Pasangan Naga dan Burung Hong

img

Pasangan Naga dan Burung Hong

Oleh : SD Liong

Buku kiriman Aditya

Djvu oleh : Dewi KZ

Edit teks oleh : Aaa & Raharga (trims yee)

Ebook oleh : Dewi KZ

Source : Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

 

Pengantar :

Cersil ini sumbangan dari anelinda.com berkat jasa teman

kita aditya. Kondisi buku CUKUP parah, kertasnya sudah

rapuh sehingga proses scannya oleh TIM KANGZUSI.COM

memakan waktu lama. Dengan dihasilkannya DJVU diharapkan

buku ini tetap lestari.

Hasil convert dari djvu ke TXT juga banyak sekali huruf

cacingnya, dan tentu saja membuat kerja keras dari tim editor

yang terdiri dari : aaa, raharga, dan Dewi KZ yg harus

mengecek kembali hasil editan sebelum menjadi format

ebook.

Untuk anda yang mengupload di web lain, atau

mengconvert ke format ebook lainnya, harap jangan

membuang nama-nama pembuat ebook ini. Tanpa kerja keras

Tim diatas tidak akan ada ebook ini. Belajar lah menjadi

Manusia yang TAU menghargai jerih payah orang lain.

Untuk yang copas di web lain MOHON diperlambat, jangan

dikebut siapa tahu akan menimbulkan keinginan untuk

MEMBELI BUKU ASLINYA.

JANGAN MENGKOMERSILKAN ebook ini dalam bentuk

CD/DVD, Insya allah hidup anda TIDAK AKAN SELAMAT.

Trims

Tim Ebook

 

Jilid 1

Negeri kacau banyak perjodohan terhalang

Laut dan gunung saling merindu jumpa

Gelegah menanti sang embun mencurah sayang

Duhai, siapa yang membelai tusuk kondai pusaka?

Tahun ke tahun penjuru buana habis dilalang

Kepada siapa gerangan kurayukan bisikan jiwa

Syukurlah angin timur meniup hujan membayang

Bulan surut angin mengembus belibis terjaga.

 

Malam sunyi. Suasana di sebuah hotel di suatu kota

kecil dekat Lo-ciu tenggelam dalam keheningan malam.

Di suatu kamar hotel itu lagi duduk termenung-menung

seorang anak muda, terkadang terdengar juga mulutnya

menggumam sendiri.

”Tusuk kondaiku ini berukiran Liong dan tusuk

kondainya berukiran Hong, keduanya adalah satu

pasangan. Aku suaminya, ia isteriku. Perjodohan ini telah ditetapkan sejak lahir. Ai, tapi

bagaimana harus kukatakan kepadanya? Apakah begitu berjumpa, terus saja kukatakan: ‟Aku ini

suamimu, maka aku datang menemuimu!‟”

”Ah, tidak, tidak, berat rasanya mulutku mengucap begitu. Mungkin ia akan menganggap aku

seorang gila. Aku pun belum pernah bertemu muka dengan dia, entah ia suka padaku atau tidak,

entah apakah ia sudi menerima aku sebagai suaminya?”

”Ai, sukar nian mengerjakan urusan yang memalukan ini. Tetapi ini adalah pesang mendiang

ayah-bundaku, tak dapat aku mengingkarinya. Apakah ia mengetahui juga urusan ini? Jika sudah,

itu sih mudah. Cukup jika kuminta dia mengunjukkan Hong-ja untuk dipadu dengan punyaku

Liong-ja. Sepasang tusuk kondai pusaka serupa bentuk buatannya. Hm, tolol benar aku ini!

Bukankah saat itu aku tak perlu mengucap apa-apa lagi dan dengan sendirinya iapun sudah

mengerti?”

”Tetapi sesudah itu, lalu bagaimana? Jika aku tak bernyali untuk mengatakan apa-apa, masakan

ia berani berkata dulu : ‟Ya, benar sejak ini kita menjadi sepasang suami isteri.‟ – Suami isteri tentu

akan selalu berkumpul bersama. Dari pagi

sampai petang aku tentu akan selalu berhadapan padanya.

Bagaimanakah perangainya? Dapatkah aku menyukainya?

“Dan andaikata ia tak tahu menahu tentang urusan ini,

habis bagaimana? Apakah aku harus tebalkan kulit muka

untuk menuturkan riwayat sepasang tusuk kundai pusaka itu?

Kemudian mengatakan: aku ialah sianak lelaki dan kaulah

sianak perempuan yang dimaksudkan itu. Tapi ia tak kenal

padaku, apakah ia mau mendengar ceritaku? Dan setelah

mendengar apakah dia mau percaya…..? Ai, ai, benar2 pusing

dan akan pecah rasanya kepalaku!”

Demikianlah lalu lalang keterangan yang mengejangkan

urat syaraf Toan Khik-ya dikala ia mondar mandir dikamar

hotelnya sembari menggengam sebuah tusuk kundai kemala.

Saking tegangnya sampai2 ia mengoceh sendirian.

Kini ia sudah menginjak usia enam belas tahun. Setelah

delapan tahun lamanya negara menderita Kekacauan akibat

pemberontakan An Lok-san dan Su Su bing, kini keamanan

berangsur2 pulih kembali. Bibi He (namanya He Leng siang,

isteri dari Lam-ce-hun) yang mengasuhnya seperti ibunya

sendiri mengatakan bahwa karena ia sudah dewasa maka

disuruhnyalah ia pergi ke Lo-ciu menemui tunangannya.

Tunangannya itu adalah puteri pungut dari Sik Ko yang

menjabat Ciat-tok-su (panglima yang bertugas menjaga

perbatasan). Bibi He menerangkan pula bahwa Sik Ko itu

seorang keras, ia melarang seisi rumahnya membocorkan asal

usul puteri pungutnya itu. Oleh karena itu, mungkin sampai

sekarang gadis itu tentu belum mengetahui siapa ayah

bundanya yang aseli.

Jadi Toan Khik-ya berangkat untuk menemui seorang

tunangan yang belum pernah dikenalnya, seorang gadis yang

tak tahu akan asal usul dirinya sendiri.

Lazimnya dalam umur 15-16 tahun itulah anak mulai

mengerti urusan duniawi. Dalam usia begitu seorang dara

tentu akan kemerah2an pipinya bila bertemu dengan seorang

jejaka begitupun sebaliknya, Lebih2 seperti keadaan Toan

Khik-ya saat itu, disuruh seorang diri menjumpai seorang

tunangan yang belum pernah dilihatnya. Itulah sebabnya,

makin dekat kekota Lo-ciu, hati Toan Kbik-ya makin risau

malu, berdebar2, gembira dan penuh harapan. Ketegangan

perasaannya itu tepat seperti yang digambarkannya serasa

membuat kepala pecah.

Tiba2 ada semacam bau wangi berembus masuk dari

jendela. Ketegangan benaknya makin menjadi2 seketika ia

rasakan kepalanya pening ingin tidur.

“Celaka!!” se-konyong2 ia mengeluh. Selintas terbayanglah

olehnya akan kejadian yang dialami siang tadi. Seorang lelaki

yang memelihara kumis pendek, entah bilanama, telah

mengikutinya dari bekkang. Karena dijalanan pada siang hari

banyak orang berlalu lalang, jadi ia tak leluasa menggunakan

ilmu ginkang. Sengaja ia lambatkan langkahnya, tapi ternyata

orarg itupun kendorkan jalannya. Ketika ia berjalan cepat

sedikit, orang itupun cepatkan langkahnya.

Toan Khik-ya menaruh kepercayaan pada ilmu

kepandaiannya sendiri. Meskipun ia menaruh kecurigaan, tapi

ia tak memandang serius pada orang itu, hanya merasa

jengkel saja. Setelah tiba dijalan yang sepi, ia sengaja

unjukkan sedikit demontrasi. Sekali hantam ia patahkan

sebuah dahan pohon sebesar paha orang lalu dibuat memikul

buntelan barangnya. Entah bagaimana, orang itu lantas

menghilang.

“Apakah orang itu seorang penjahat yang karena siang hari

leluasa turun tangan, tapi malam sekarang mau

menggerayang kemari ?” demikian pikirnya.

Plak, teidengar suara sebuah kerikil melayang masok dan

jendela. Itulah cara melempar batu menanyakan jalan yang

biasa dilakukan oleh penjahat bilamana mencari keterangan

tentang keadaan sasarannya. Karena suhengnya, Gong Gongji,

bergelar Pencuri Sakti nomor satu dikolong jagat, jadi Toan

Khik-ya mengerti juga tentang cara itu.

“Hm, kiranya bangsa penjahat picisan saja. Seorang

penjahat ulung tentu tak perlu menggunakan cara bertanya

jalan begitu. Baik, coba saja bagaimana ia hendak mencuri

barangku nanti ” diam-diam ia mentertawakan.

“Tring, Liong-ja kemala yang digenggamnya itu jatuh diatas

meja, menyusul kepala Toan Khik-yapun terantuk pada meja

sepeiti orang yang terkulai pulas.

Daun pintu kedengaran terdorong, sesaat kemudian

terdengar lengking seruan kaget seorang

“Eh, lihatlah tusuk kundai kemala itu!”

Itulah suara seorang perempuan. Dan yang lebih

mengherankan lagi, mengapa ia melengking begitu nyaring ?

Bukankah biasanya bangsa pencuri itu pantang menerbitkan

suara?

“Ssst, jangan bersuara keras!.” Justru lain suara yang

bernada kasar lantang.

“Sekarang kau mengakui ketajaman mataku tidak ? Kuyakin

mataku takkan salah melihat kalau bocah ini mempunyai

sebuah benda berharga, hanya saja aku tak menyangka sama

sekali kalau bendanya itu sebuah pusaka. Ha, melulu mestika

nya beng-cu yang tercantum diatas tusuk kundai itu saja

nilainya tak kurang dari beberapa ruluh ribu tahil perak!”

“Nilainya itu tak penting,” sahut orang pertama yang

bernada seperti perempuan, “yang kuharapkan mengapa

barang itu serupa benar dengan kepunyaan nona kita!”

“Apa? Nonamu juga mempunyai tusuk kundai kemala

seperti ini?” seru silelaki.

“Ya, hanya saja lukisannya tak sama. Tusuk kundai nonaku

berukir seekor burung Hong (cenderawasih) yang tengah

mementang sayapnya hendak terbang! Ha, engkoh Bo,

rupanya peruntunganmu sudah tiba!” kata siperempuan.

“Benar, ini namanya seperti mendapat durian jatuh,!” sahut

silelaki. “Aku mempunyai beberapa kenalan pedagang intan

berlian, tak kuatir tak bisa mendapat harga. Setelah

mempunyai beberapa puluh ribu tahil perak, kita cari sebuah

tempat yana sunyi untuk mendirikan sebuah rumah tangga

yang bahagia!”

“Engkoh Bo, aku tidak mempunyai maksud begitu!” diluar

dugaan, siperempuan telah menyanggah.

“Oh. habis bagaimana rencanamu?” tanya silelaki.

“Menyembunyikan diri dan lewatkan hari2 dengan penuh

kecemasan, bukanlah cara yang benar! Apalagi tayswe

(panglima) tentu akan menyebar perintah penangkapan, kita

tak bisa bersembunyi dengan aman? pendapatku, lebih baik

ksta serahkan tusuk-kundai itu kepada nona kebetulan beliau

juga mempunyai sebuah tusuk kundai yang serupa, dengan

demikian tanggung beliau pasti akan gembira sekali.

Kemudian jika kuminta tolong kepada nona supaya

memintakan pengampunan pada tayswe, kemungkinan besar

bukan saja kita dibebaskan dari penangkapan, bahkan tayswe

akan menghadiahkan kau suatu pangkat pula. Bukankah cara

demikian adalah terlebih bagus?”

Masih si lelaki menegas dengan kesangsian: “Apakah kau

yakin dapat membujuk nona?”

“Aku adalah dayang kesayangannya. Kali ini jika bukan

gara2mu, masakan aku tega berpisah dengan nona. Bila aku

meminta ampun ia tentu meluluskan, apalagi aku membawa

barang persembahan yang berharga!” jawab siperempuan.

“Jika ia menanyakan dari mana kau peroleh barang itu,

bagaimana jawabmu?”

“Tentang itu, itu….” sekali ini siperempuan tak dapat

menemukah jawaban yang tepat.

Melihat itu si lelaki buru2 menyatakan: “Ku rasa lebih baik

kita langsung persembahkan benda pustaka ini pada tayswe

saja..”

“Mungkin kau takkan tahu bahwa tayswe itu asal-usulnya

juga dari kalangan Lok-lim (penyamun). Asal beliau sadar

menerima barang pusaka, tidak nanti ia mendesakmu untuk

memberi keterangan dari mana kau peroleh, Tidak demikian

dengan nona Ai, tapi makin kupandang benda ini makin besar

rasa sayangku, sebenarnya kita rugi kalau menyerahkannya

pada Tayswe!”

“Kau tentu cukup kenal perangai Tayswe maka lebih baik

kita serahkan saja. Oh ya, teringat aku sekarang. Bulan muka

tanggal 15 ini, nona merayakan hari pernikahannya. Itu suatu

kesempatan bagus bagi kita. Dengan persembahan kita itu

masakah Tayswe takkan di mabuk kegirangan, Hai kenapa kau

ini?”

Jawab si lelaki: “Bocah ini mengerti ilmu silat, lebih baik

sekali bacok kumampuskan dia saja dari pada kelak

menimbulkan urusan. Menyingkirlah jangan kau merintangi

aku!”

Kiranya lelaki itu hendak membunuh Toan Khik-ya,

dihadang oleh kawannya perempuan.

“Jangan, jangan masakah kita tak berperi-kemanusiann.

Sudah meiampas barangnya masih mau mengambil jiwanya.

Turutlah permintaanku, lepaskan dia. Jika kau membangkang

aku tak sudi mengikut kau!” seru siperempuan.

“Ai mengapa hatimu selemah ini?” silelaki mengomel,

“Baiklah akan kuturut apa boleh buat, ya, siapa yang suruh

aku suka padamu Nah, berikan tusuk kundai itu padaku dan

ayuh kita lekas pergi dari sini. Ha, ha, sungguh sebuah benda

pusaka bagus.”

Baru lelaki itu mendorong daun jendela hendak loncat

keluar, belum suara ketawanya sirap, tahu2 tubuh bergoyang

dan sebagai tonggak, ia berdiri tagak seperti patung.

“Tring…”

Tusuk kundai yang digenggamnya itupun jatuh kelantai,

berbareng itu Toan Khik-ya pun loncat menghadang

siperempuan.

Ternyata walaupun baru berumur 16 tahun tapi kepandaian

Toan Khik-ya sudah bukan olah2 hebatnya. Sewaktu nencium

bau wangi tadi segera ia sudah curiga, Buru2 ia gunakan ilmu

pernapasan “Pit-bi-hoan-gi” untuk menutup hidungnya. Obat

bius Ke-hing-ngo ko-hoan hun hiang yang biasa digunakan

oleh kaum persilatan itu sudah tentu tak mempan terhadap

dia. Ia tadi hanya pura2 saja pingsan untuk melihat

perkembangan. Dan dua penyatron itu ternyata kena diingusi.

Siperempuan tadi terkejut dan hendak menerobos lari, tapi

kena disamber Toan Khik-ya.

“Bukan urusannya, lepaskan dia! Kalau mau bunuh,

bunuhlah aku!” silelaki berteriak.

Ternyata lelaki itu kena tertutuk jalan darahnya oleh

tutukan Keh-gong-tiam-hiat (menutok dari kejauhan) yang

dilepas Toan Khik-ya. Tubuhnya tak dapat bergerak, tapi

mulutnya masih bisa bersuara. Ini disebabkan karena Toan

Khik ya masih kurang pengalaman. Karena terburu2, ia sampai

lupa untuk menutuk jalan darah pembisu orang.

Biasanya adalah simaling yang takut bersuara, sebaliknya

kini Toan Khik-ya yang takut simaling bersuara. Setelah

membikin bisu silelaki, barulah Toan Khik-ya lepaskan

perempuan itu.

“Jangan takut, mengingat kau tadi melindungi jiwaku, aku

pun tak akan membunuh suamimu itu. Hanya saja tusukkundai

pusaka itu adalah warisan keluargaku, jangan kalian

ambil.” kata Toan Khik-ya dengan tertawa.

Perempuan itu tertegun, berulang2 ia menghaturkan terima

kasih: “Terima atas kelapangan hati Siangkong. Sudah tentu

kami tak berani mengambil barangmu. Harap Siangkong

lepaskan kami saja!”

Toan Khik-ya menyahut dengan tertawa: “Nanti dulu. kalau

mau pergi mudah saja, asal kau memberi keterangan yang

jujur. Dari pembicaraanmu tadi, rupanya kau ini bujang

perempuan dari keluarga pembesar. Siapakah nona

majikanmu itu. lekas bilang!”

Merah padam muka siperempuan, setelah bersangsi

sejenak barulah ia berkata dengan seujujurnya, “Aku ini

adalah budak dari puteri Ciat-tok-su daerah Lo-ciu ini.”

“Oh, kiranya kau ini pelayan dari nona Sik Hong-sian, puteri

Sik Ko itu? Tapi mengapa kau berkawan dengan bangsat itu

hendak mencuri barangku?” tegur Toan Khik-ya.

Mendengar Toan Khik-ya menyebut nama nona

majikannya, perempuan iru makin terkesiap. Katanya: “Ya,

karena aku diajak pergi dengan dia. Dia menjabat sebagai wisu

(pengawal) dan Sik-tayjin, dan kami…kami…..”

“Ha, kiranya begitulah. Kau suka padanya lalu tinggal

bersama, bukan?” Toan Khik-ya menegas.

Perempuan itu tersipu kemalu-maluan.

“Huh, kekasihmu itu boleh juga. Rupanya iapun suka

padamu. Baiklah, kuampuni dia,” kata Toan Khik ya.

Perempuan itu hendak menghaturkan terima kasih, tapi

Toan Khik-ya mencegahnya: “Nanti dulu, tadi kau katakan

hendak menyerahkan tusuk kundaiku ini kepada nona

majikanmu sebagai barang persembahan. Entah mempunyai

kerja apa nonamu itu?”

“Bulan muka tanggal lima belas nona hendak keluar pintu”

sahut siperempuan.

Mendengar itu, Toan Khik-ya melongo.

“Apa? nonamu hendak keluar pintu?” ia menegas.

Menduga Toan Khik-ya tak mengerti maksud kata2 itu,

sibujang perempuan memberi keterangan : “Benar, keluar

pintu artinya menikah. Nona majikanku hendak jadi pengantin

!”

Toan Khik-ya tercengang, katanya dengan tergagap2. “Jadi,

jadi ia akan kawin ?”

Tiba2 saat itu disebelah luar terdengar derap kaki orang,

menyusul ada orang berteriak-teriak : “Ada pencuri, ayoh

bangun tangkap pencuri !”

Seketika terdengarlah suara berisik dan langkah orang

berderap2. Hotel itu ternyata memegang teguh ketertiban.

Setiap malam ada orang jaga! Jaga malam itu kaget

mendengar ribut2 dari kamar Toan Khik-ya. Karena jeri

seorang diri tak berani menangkap pencuri, maka ia berteriak

memanggil kawan.

Wajah bujang perempuan tadi menjadi pucat. Tergopoh2 ia

meminta pada Toan Khik-ya : “Mohon Siangkong sukalah

lepaskan dia !”

Toan Khik ya juga gugup, tanpa banyak bicara lagi, ia

segera membuka jalan darah bekas wi-su itu. Begitu dapat

bergerak bekas wisu itu segera ajak kekasihnya loncat keluar

jendela. Dari situ loncat keatas rumah terus melenyapkan diri.

Melihat diatas wuwungan rumah ada tubuh orang, jaga

malam itu menyurut ketakutan.

Berselang beberapa jenak, baru ia berseru kepada orang2

yang mendatang : “Aman sudah, aman, pencurinya sudah

melarikan diri.”

Toan Khik ya menyimpan tusuk kundai-nya lalu tutup

kepala dengan selimut, pura2 tidur lagi, Tak berselang

beberapa lama, terdengar pintu kamarnya diketuk, Ternyata

yang datang adalah pengurus hotel yang menanyakan

keterangan kalau barangnya ada yang tercuri maling. Toan

Khik-ya pura2 terkejut dan tak mengetahui apa2. Barang

bekalannya sederhana sekali, setelah pura2 memeriksanya

sebentar ia mengatakan tiada kehilangan apa2.

Dengan bangga, si jaga malam menepuk dada. “Untung

ada aku hingga si pencuri ketakutan lari !”

Habis itu ia minta persen pada Toan Khik-ya. Toan Khik ya

memberinya sedikit uang dan kawanan jaga malam itupun

lantas ngeloyor pergi.

Semalam itu Toan Khik-ya tak dapat tidur. Pikirannya selalu

bertanya2 : “Ia mau kawin, kawin dengan siapa? Ah, sayang

tadi aku tak keburu menanyakan keterangan. Itu kemauan Sik

Ko atau ia sendiri yang menyetujuinya ?…..Ai, karena ia toh

bakal menjadi pergantin, apakah aku masih perlu

menjumpainya untuk menceritakan tentang tusuk kundai

pusaka ini? Ayahku dan ayahnya, semasa masih hidup sama

mengikat persaudaraan, sekali pun tidak dikarenakan urusan

perjodohan itu, aku harus datang kepadanya dan

memberitahukan asal-usulnya…. Ya, benar dalam pertemuan

nanti untuk sementara takkan kukemukakan perjodohan itu.”

Demikian setelah mendapat keputusan, dapatlah Toan

Khik-ya meramkan mata beberapa jenak. Tapi hanya beberapa

saat saja, haripun sudah mulai terang tanah. Ia berkemas dan

meneruskan perjalanannya ke Lo ciu lagi.

Berjalan tak berapa lama, tiba2 didengarnya disebelah

muka ada sorak-sorai gegap gempita. Buru2 ia cepatkan

langkahnya. Setelah membiluk disebuah tikungan gunung,

dilihatnya dijalanan ada dua rombongan orang tengah

bertempur. Dari corak pakaiannya, partai yang satu terdiri dari

tentara negeri dan partai lawan adalah kawanan begal.

Dibelakang mereka tampak ber-jajar2 belasan buah kereta.

Para kusirnya sama angkat tangan keatas pertanda menyerah.

Turut peraturan golongan Hek-to yaitu kaum bandit, apabila

tiada perlawanan maka pemilik dari barang2 yang akan

dirampasnya itu, tidak boleh dibunuh.

Dari dalam hutan pohon siong, makin banyaklah kawanan

penyamun yang keluar. Karena kalah banyak jumlahnya, lama

kelamaan pihak tentara negeri menjadi keteter. Saat itu

kawanan penyamun sudah siap hendak membawa pergi

kereta barang itu.

“Sungguh banyak dan brutal (kurang ajar) sekali kawanan

penyamun itu. Masakan disiang hari bolong mereka berani

merampok. Hem, jika kereta2 itu terampas mereka, bukankah

pasukan yang menunggu rangsum itu akan mati kelaparan?”

pikir Toan Khik-ya. Ia duga belasan kereta itu memuat bekal

rangsum.

Ketika berumur sepuluh tahun, Toan Khik ya pernah ikut

ayahnya membantu perjuangan Thay-siu (setingkat Gubernur)

Thio Sun menjaga kota Sui-yang. Dengan mata kepala sendiri

kala itu la saksikan bagaimana ngenasnya kawanan serdadu

yang kehabisan rangsum. Kesan itu sampai sekarang tak

pernah ia lupakan.

“Akupun tak mau membunuh kawanan itu, asal kuhalau

pergi, cukuplah!” pikirnya.

Setelah mengambil keputusan, ia lari menghampiri mereka

dan berseru lantang: “Hai, tengah hari bolong mengapa kalian

berani merampas barang orang. Ayoh lekas enyah dan sini!”

Kawanan penyamun itu tertawa keras. Mereka tak

mengacuh sama sekali pada seorang bocah seperti Khik-ya.

“Hai, kacung yang masih ingusan apa kau mau ikut2an cari

perkara?” bentak mereka dengan serempak. “Lekas pulang

minta tetek ibumu saja, awas golokku tak bermata, tahu!”

Kepala penyamun rupanya cukup berpengalaman. Melihat

gerakan Toan Khik-ya yang gesit tadi, ia terperanjat.

“Hati2 bocah itu tak boleh dipandang enteng!” serunya

segera.

Belum habis dia memperingatkan kawan2-nya, Toan Khikya

sudah menerjang kedalam gelanggang. Tanpa membalas

ejekan mereka Toan Khik-ya mencabut pedang tinggalan

mendiang ayahnya, terus dibolang-balingkan kian kemari.

Tring terdengar beberapa kali suara gemerincing. Kejut

sikepala penyamun bukan kepalang. Golok, pedang, tombak,

sama berhamburan kutung ditanah demi terbentur pedang

Toan Khik-ya,

Mendadak pemimpin penyamun itu timpukan berdering

rantai Liu-sing-jauinya untuk menghantam po-kiam Toan Khikya,

Namun sempat Khik-ya menghindar dan secepat kilat

disambarnya bandul banderingan itu terus disambitkan

kembali, Trang, tepat sekali bandul itu menghantam bandul

yang kedua. Suaranya berderang memecah telinga. Kedua

bandul besi melayang. Cepat Khik-ya menyambuti yang

sebuah lagi dengan tangannya kiri, kemudian diiringi dengan

gerakan pedang ditangan kanan ia menari2 lagi. Tring, tring

kembali beberapa batang tombak dan golok lawan tergempur

kutung!

“Jika kalian tetap tak mau enyah, jangan salahkan kalau

aku melukai orang, Po kiam-ku ini juga tak bermata, awaslah

lebih baik kalian lekas menyingkir saja!” untuk yang kedua

kalinya Khik-ya memberi peringatan.

Kepala penyamun itu menahan napas, serunya dengan

nyaring.

“Baik, terima kasih atas kebaikan saudara. Selama gunung

masih menghijau, lain kali kami akan minta pengajaran lagi

padamu!”

Dan sekali memberi komando, kawanan penyamun itu

berbondong2 pergi. Datangnya cepat. perginyapun lekas,

persis gelombang laut yang pasang surut, Sebentar saja

mereka sudah lenyap dari pemandangan.

Opsir pasukan tentara bergegas2 lantas datang

menghaturkan terima kasih kepada Toan Khik-ya.

“Ah, untuk urusan kecil itu tak usah begitu sungkan,” sahut

Khik-ya sembari hendak berlalu.

“Siauenghiong (kesatria cilik), kau sudah membuat pahala

besar, apa tak berminat mendapat hadiah dan pangkat?”

buru2 opsir itu berseru.

Acuh tak acuh Khik-ya menjawab : “Aku masih kecil, tak

inginkan pangkat. Aku pun tak kekurangan uang, tak butuh

hadiah apa2, Nah, selamat tinggal!”

Opsir itu tercengang, sesaat kemudian ia acungkan

jempolnya berseru memuji : “Inilah kesatria sejati ! Ai,

Siauenghiong tunggu dulu, aku belum menanyakan namamu

yang mulia dan kemana tujuaumu!”

Dengan acuh tak acuh Khik-ya memberitahukan namanya

dan hendak menuju ke Lociu.

Opsir itu tertawa gelak2 : “Kamipun kebetulan hendak

menuju ke Lociu juga. Kita sama seperjalanan. Ha, ha, Toansiau-

hiap, tahukah kau untuk apa kami pergi ke Lo-ciu ini ?”

Dalam saat ini, kawanan serdadu sudah mengangkat

benderanya yang jatuh tadi. Disitu tersulam huruf : “Gui-pokciat

tok-su Tian”.

“Mana aku tahu ?” sahut Khik-ya dengan tertawa.

Menunjuk kearah bendera, berkatalah opsir itu : “Berkata

dengan sejujurnya, kami ini di titahkan Gui-pok ciat-tok-su

Tian tayciangkun untuk mengirim bingkisan ke Lo-ciu. Tian-tay

ciangkun itu dahulu adalah bekas Hou-kun-thong Teng

(panglima) dari An Lok-san. Dia dengan Sik Ko, sama2

menjadi panglima sebawahan dari An Lok-san. Keduanya

akrab sekali hubungannya. Setelah Sik Ko menakluk pada

kerajaan Tong, tak lama kemudian Tian-tay ciangkunpun

menyusul tindakannya. Kini mereka berdua sama menjabat

sebagai Ciat-tok su. Sekalipun daerah kekuasaannya lebih kecil

dari Sik Ko, tapi beliau terus membentuk pasukannya dan

memperkuat perlengkapannya. Dalam hal kekuatan tentara,

kini ia lebih kuat dari Sik Ko”

Pula Khik-ya tergetar hatinya, “Oh… jadi kalian ini hendak

mengantar Lap-jay (bingkisan emas kawin) ke Lo-ciu? Apakah

kedua keluarga itu hendak mengikat pernikahan ?”

“Benar, Tian-tay ciangkun hendak menikahkan puteranya

yang sulung. Yang menerima bingkisan perkawinan itu, ialah

puteri dari Sik ciat toksu. Mereka akan melangsungkan

pernikahan pada nanti bulan muka tanggal lima belas.

Keduanya sahabat karib dan sama2 menjabat pangkat tinggi,

sudah tentu barang2 bingkisannya berharga mahal. Jika

pembesar tinggi mempunyai hajat kerja, kami kaum

bawahannya inilah yang lari pontang panting.”

“Dalam perjalanan, sudah dua kali kami berantam dengan

kaum penyamun,” kata opsir itu pula, “Sungguh tak nyana

gerombolan penyamun yang tadi begitu lihaynya. Untung

mendapat bantuanmu hingga barang bingkisan itu dapat

diselamatkan. Jika tidak dapat diselamatkan…..aaah, mungkin

batang kepala kami sudah menggelinding! Toan-siau hiap,

terangkah kau sekarang, betapa besar pahalamu terhadap

Ciat-tok-su kami itu? Ha, ha, jika kau kepingin kaya-raya,

pangkat apa dan hadiah yang bagaimana, asal kau membuka

mulut Tayciangkun tentu akan meluluskan!”

“Oho, begitulah kiranya! Semula kukira kalian ini mengawal

rangsum!” kata Khik-ya,

Tertawa opsir itu: “Barang ini lebih penting dari rangsum.

Karena kita sama2 bertujuan ke Lo-ciu, itulah bagus sekali.”

Diam2 Khik ya geli, pikirnya. “Sudah tentu kamu

mengatakan bagus karena dapat menggunakan aku sebagai

tukang kawal dengan gratis. Huh, aku sendiri yang sial,

masakah di suruh orang mengantar bingkisan untuk isteriku!”

Tanpa menunggu penyahutan Toan Khik-ya lagi, opsir itu

segera suruh orangnya menyediakan kuda untuk anak muda

itu. Sementara nu Toan-khik-ya baru mengetahui bahwa

kereta barang itu semua berjumlah dua belas buah.

“Hm, berapa banyak darah dan keringat rakyat yang

diperas untul membeli barang2 ini? Jika dibelilan rangsum,

entah cukup untuk memelihara berapa puluh ribu serdadu!”

pikir Khik-ya,

Dalam perjalanan itu tak henti2nya pikiran Khik-ya

melayang. Se-konyong2 terdengar suara mendesing, dua

batang anak panah yang dilengkapi dengan suitan, melayang

keluar dari dalam hutan. Karena ada Toan Khik-ya, nyali opsir

itu jadi besar. Segera ia keluarkan perintah untuk menyusun

barisan guna menghadapi musuh.

Segerombolan penyamun berkuda segera menerobos

keluar dari hutan. Pemimpinnya berwajah putih licin, seorang

dari pertengahan umur yang bergaya seperti sastrawan.

Melihat jumlah mereka tak banyak, opsir itu makin

congkak. Ia segera menganjurkan Toan Khik-ya: “Hm,

kawanan manusia yang ingin cari mampus itu datang lagi.

Toan-siauhiap, kali ini sebaiknya kau jangan beri ampun lagi.

Paling tidak kau harus basmi benggolan2 nya!”

Tanpa disadari, Khik-ya keprak kudanya maju

menyongsong. Menatap sejenak pada anak muda itu, sikepala

penyamum berseru: “Apakah, kau tadi yang jual jasa pada

kawanan budak itu?”

“Urusan tadi hanya secara kebetulan saja berjumpa. Kata2

jual jasa itu sungguh tak tepat, tolong tanya apa maksud

kedatangan sicu ini?” sahut Toan Khik-ya.

“Oh begitu! Tapi tahukah kau barang apa yang mereka

bawa itu?” tanya sikepala penyamun pula.

“Barang bingkisan emas kawin dari Cui-pok ciat-tok-su Tian

Sengsu untuk Sik lo di Lo ciu,” jawab Khik-ya.

“Tepat, tok sudah tahu mengapa kau masih sudi jual jiwa

pada Tian Seng-su? Harta benda yang tidak halal ini, setiap

orang berhak mengambilnya. Mereka adalah kawanan budak

dari tian Seng-su. karena mendapat tugas dan ingin kenaikan

pangkat, jadi terpaksa mereka melakukan tugas itu. Tapi kau

kepandaianmu cukup tinggi, tentunya seorang Enghiong

muda, masakan tak mau menghargakan diri dan sudi menjadi

budak pembesar bejat?”

Toan Khik-ya terkesiap mendengar teguran kepala

penyamun yang tajam itu. Dilihatnya dibelakang kepala

penyamun itu berkibar selembar bendera besar yang bersulam

gambar seekor ayam jago yang tengah menengadahkan

kepalanya dengan gagahnya. Tergerak hati Toan Khik-ya.

“Apakah kalian ini rombongan Hohan (orang gagah) dari

gunung Kim-ke-nia? Tolong tanya, bagaimana kabarnya

dengan Shin-cecu? Dan bagaimana pula dengan Thiat-tayhiap

Thiat-mo-lek, kenalkah kau?” tanyanya.

Kepala penyamun itu berjangkit kaget, serunya: “Siapa

kau? Ai, dari mana kau peroleh pedangmu itu?” Kiranya ia

dapat mengenali pedang pusaka yang dahulu dipakai oleh

mendiang ayah Toan Khik-ya, Toan Kui-ciang.

“Po-kiam ini adalah warisan dari ayahku!” sahut Khik-ya.

Kepala penyamun itu makin terperanjat, serunya: “Jadi kau

ini, kau………”

“Benar, aku adalah putera ayahku. Tak nanti aku

mencemarkan nama ayahku, jangan kuatir. Tolong tanya

siapakah namamu, Cecu?” kata Khik-ya.

“Berjalan, tak merobah nama, duduk tak mengganti she,

Kim-Kiam-ceng-long To Peh-ing, ialah aku ini. Dahulu

mendiang ayahmu itu seperti saudara sekandung dengan

aku!”

“Hai, kiranya To siok-siok, terimalah hormat Siautit ini,”

Khik-ya sembari memberi hormat..

Mendengar percakapan itu, keruan semangat opsir tadi

serasa terbang dibuatnya, buru2 ia berseru: “Toan-siauhiap,

tolong mintakan kelonggaran bagi kami.”

To Peh ing buru2 mencegah Toan Khik ya jangan berlaku

begitu sungkan, kemudian ia bertanya: “Bagaimana Hiantit

hendak menyelesaikan urusan ini?”

“Harap siok-siok menanti disamping saja, biarlah siautit

mewakili untuk menyelesaikan,”

Khik-ya yang terus berpaling kebelakang. Menuding dengan

pokiamnya, ia berkata kepada si opsir: “Tian Seng-su

memeras keringat rakyat untuk membeli barang bingkisan

perkawinan ini, kurasa kalian tak layak menjual jiwa padanya.

Apa yang dikatakan To siok-siokku tadi memang tepat. Harta

benda yang tidak halal, setiap orang boleh mengambilnya.

Nah sekarang turunkan barang2 itu!”

Opsir itu gemetar dan berkata dengan tergagap2 “Toan

siauhiap ini, ini…….”

“Tak usah takut turunkan barang-barang itulah. Telah

kumintakan kelonggaran, tak nanti jiwa kalian diganggu. To

siok siok, orang orang ini hanya melakukan kewajiban saja,

harap kau luluskan permintaanku.”

“Baik, dengan memandang muka Hiantit, aku takkan

mengganggu mereka. Hai, mengapa kalian tak mau menerima

pengampunan ini, apa masih mau berkelahi? Mengapa tak

mau menyingkir?” seru To Peh ing.

Opsir dan kawanan serdadu itu sudah menyaksikan

kelihayan Toan Khik ya. Apalagi seorang tokoh macam Kim

Kiam Ceng Long To Peh ing yang namanya tenar didunia

persilatan. Sudah tentu mereka merasa gentar.

“Hohan meskipun sudah mengampuni jiwa kami, tapi

dengan kehilangan barang antaran itu, masakan nanti

sepulangnya dirumah kami masih bisa diberi hidup lagi?” kata

opsir dengan kuatir.

“Kalian tak perlu kuatir. Setelah kusuruh kalian turunkan

barang2 antaran itu, sudah tentu akulah yang bertanggung

jawab. Jika Tian Seng-su berani melakukan pengejaran, akan

kusuruh ia menjadi setan tanpa kepala!” kata Toan Khik-ya.

Kemudian ia berpaling kepada To Peh-ing. “Menjadi orang

jangan kepalang tanggung mengantar Buddha harus sampai di

Se thian, To sioksiok, aku hendak mohon pinjam beberapa

perak padamu untuk beramal?”

To Peh-ing tertawa: “Ini juga miliknya Tian Seng-su, Hiantit

boleh pakai sesukamu.”

Ia suruh anak buahnya untuk memeriksa kereta2 itu, Benar

juga isinya penuh dengan emas intan yang bernilai. Toan Khik

ya mengambil sepuluh ‘kong’ perak, ditumpah ditanah. Pada

jaman ahala long-tiau uang kas negara itu dijadikan semacam

bentuk “goan-po” lalu dimasukan kedalam kong (goci). Agar

mudah di simpan dan dibawa ke-mana2. Kong dibuat dari

kayu yang kedua ujungnya berlubang. Sebelah diisi dengan 50

buah goan-po, setiap buah berat 10 tail perak, lalu kedua

ujungnya ditutup. Dan jadilah sebuah kong.

“Itu lihatlah, semua kong ada capnya. Nyata Tian Seng-su

menggunakan uang negara untuk keperluannya sendiri, pakai

uang negara untuk hadiah pernikahan.” kata To Peh-ing.

Khik-ya suruh seorang anak buah To Peh ing membuka

kong itu, katanya: “Kau bakal di lepas dari pekerjaan, berarti

mangkuk nasi-mu akan hancur. Hal itu memang pantas di

sesalkan, Tadi telah kuhitung, kalian anak tentara ini semua

berjumlah seratus orang. Nah, baik golongan opsir maupun

serdadu biasa, masing boleh mengambil lima goan-po.

Dengan uang itu rasanya cukup untuk modal kecil2an. Hal itu

rasanya lebih berbahagia daripada hidup dibawah tindasan

Tian Seng su!”

Sekalian serdadu bergurang. pun kawanan opsirnya diam2

menimbang: “Untuk melawan lawan, tak mungkinlah, mau tak

mau kita harus tunduk juga. Dapat menyelamatkan jiwa itu

sudah baik. Apakah omongan anak muda itu dapat dipercaya

bahwa Tian Seng su tak akan mengusutbya, itu urusan

besok!”

Begitulah kawanan serdadu itu setelah menerima uang, lalu

menghaturkan terima kasih dan pergi, Melihat penyelesaian

itu. To Peh-ing tertawa puas: “Hiantit masih muda, tapi dapat

bekerja dengan bagus dan bertindak secara bijaksana,

membuat orang kagum!”

“Ah, Jangan sioksiok memperoleh begitu. Tapi karena

limbung, siautit telah keliru mengira bingkisan Tian Sengsu

sebagai ransum. Aku sungguh menyesal sekali karena telah

menyalahi sahabat2 dari Lok lim,” kata Khik ya.

“Yang menghadang tadi ialah anak buah dari Im ma joan

Tian Ma cu. Biar nanti kukirimkan satu bagian kepadanya

sekalian menjelaskan salah faham ini. Kau tak perlu cemas!”

ujar To Peh ing.

Toan Khik ya memberi salam pada sekalian thau-bak dari

kim-ke nya, setelah itu ia menanyakan perihal Thiat mo lek

lagi,

“Ada sebuah kabar girang bagimu, hiantit, Tiat mo lek

bakal menjadi Bengcu (ketua) dari kaum Lok lim (penyamun),”

kata Peh ing..

“Benarkah? Ai, ya teringat sekarang aku. Suhengku pernah

mengatakan! ia akan menyerahkan cap dan surat tanda Lok

lim bengcu peninggalan dari Ong Peh thong padanya. Rasanya

suheng tentu sudah mengerjakan hal itu,” kata Toan Khik ya.

Kini barulah Peh ing tahu bahwa anak muda itu adalah Sute

dari Gong Gong ji. Diam2 ia membatin, itulah sebabnya maka

Toan Khik-ya begitu lihaynya.

“Cap dan surat pertandaan itu sudah diterima oleh Thiat

mo lek. Tapi disamping tu Gong Gong-jipun menyampaikan

juga sebuah pesan dari almarhum ayahmu. Adalah karena itu

maka Thiat-mo-lek menjadi ragu2 untuk menerima jabatan

Beng-cu. Tapi karena keadaan memaksa, jadi terpaksa ia

menerimanya juga,” demikian Peh-ing menerangkan,

“Mengapa?” tanya Khik-ya,

“Marhum ayahmu menyampaikan pesan, bahwa jabatan

Bengcu itu tidak berarti. Sebenarnya Thiat mo lekpun

menurut, karena ia sudah tak mau cari permusuhan lagi

dikalangan Lok lim. Tapi kenyataan setelah ia menolak jabatan

itu banyaklah orang yang menginginkannya. Dalam beberapa

tahun ini, karena hendak memperebutkan kedudukan Beng cu,

banyak tokoh2 Lok lim yang saling gesak gesukan. disamping

itu Thiat mo lek selalu diganggu oleh orang orang yang

hendak meminta cap dan surat mandat itu. Sudah tentu ia tak

mentah2 menyerahkan pada sembarangan orang. Disebabkan

hal itu, ia tak dapat menghindari lagi tantangan2 mereka, ah,

sungguh runyam. Seorang bawahan dari ayah angkatnya,

segera menganjurkan supaya ia terima saja kedudukan Beng

cu itu, beberapa kali ia mengadakan perundingan dengan

kami, akhirnya setelah kami desak, ia terpaksa suka menerima

kedudukan itu,” demikian panjang lebar Peh ing menutur.

“Atas dasar apa kalian memaksa padanya ?” tanya Toan

Khik-ya,

To Peh-ing menghela napas, ujarnya : “Mungkin Hiantit

tidak mengetahui. Soalnya terletak pada waktu yang makin

berlarut2, Kala itu aku dan almarhum ayahmu mengira setelah

pemberontakan An Su ( An Loksan Su Si hing ) padam, negara

tentu aman. Siapa tahu pembesar2 daerah telah meminta

status otonom. Setiap Ciat-tok su memperoleh bagian sebuah

daerah kekuasaan. Mereka bertindak seolah2 raja kecil ( war

lord ) didaerahnya. Keadaan rakyat di-daerah2 lebih payah

dari semula. Karena penderitaannya, rakyat sekalian dipaksa

menjadi penyamun. Dari hari kehari, jugalah mereka

bertambah banyak. Kami berpendapat, daripada kedudukan

Beng-cu jatuh ketangan seorang penjahat, lebih baik Thiat

mo-lek saja yang menjabatnya, Setelah bulat sepakat, kami

minta Shin ce cu yang keluar untuk mengundang para orang

gagah dari segala aliran didunia Lok lim untuk menghadiri

permusyaratan besar yang diadakan pada nanti hari Peh cun

digurung Kim kesan. Pada hari itulah nanti kami dengan resmi

akan memilih Thiat mo lek menjadi Lok lim bengcu.”

“Hari ini baru tanggal 8 bulan 2, jadi masih ada waktu tiga

bulan lagi. Mungkin aku dapat menghadiri keramaian itu” kata

Khik-ya.

“He, jadi sekarang Hiantit tidak ikut kami naik ke Kim-kesan

?” tanya Peh-ing.

“Maaf, aku masih ada sedikit urusan yang belum selesai.

Nanti saja apabila urusan itu sudah beres, aku tentu akan

datang menjenguk sekalian paman,” kata Khik-ya.

“Oh, ya, tadi kau sudah berjanji pada kawanan opsir untuk

memperingatkan Tian Seng-su supaya jangan mengganggu

mereka. Ya memang Hiantit harus pergi ke Lo-ciu dulu, tapi

urusan itu kan mudah, mengapa perlu memakan waktu

sampai hari Peh cun ?”

Khik-ya menerangkan, bahwa selain itu memang ia masih

ada lain urusan lagi hendak menjenguk seorang sahabatnya di

Lok-ciu, Ia berjanji akan berusaha sedapat mungkin untuk

menghadiri rapat besar di Kim ke-san nanti.

“Baik kalau begitu”, kata Peh-ing “Jika nanti tiba di Lok-ciu,

tolong Hiantit cari berita bilamana Sik Ko hendak mengirimkan

barang-barang bingkisan kawin itu. Biar kita nanti

menggasaknya lagi. Di Lok-ciu kamipun mempunyai orang.

Hiantit boleh mencari orang itu. Begitu sudah mendapat

berita, Hiantit boleh suruh dia menyampaikan pada kami!”

Habis berkata, Peh-ing menyerahkan sebuah alamat pada

Khik-ya dan memberitahukan tentang kode pengenal.

Ternyata informant ( co lok ) Kim-kesan yang ditempatkan di

Lok-cu itu bernama Tio Peh-liong. Sebenarnya ia adalah Hupangcu

(wakil ketua) dari kaum Kay pang di Lok-ciu.

Begitulah Toan Khik-ya segera ambil selamat berpisah

dengan rombongan To Peh ing, lalu bergegas2 menuju ke Lok

ciu. Setibanya dikota itu ia langsung menuju ketempat Tio Peh

liong dan tinggal disitu.

Tio Peh liong lama tinggal dikota Lok-ciu. Sehari suntuk ia

ajak Khik-ya putar kayuh di dalam kota serta meninjau letak

tempat kediaman Ciat-tok su Sik Ko. Besok malamnya Toan

Khik-ya berganti pakaian ya-heng-ih (pakaian ringkas peranti

berjalanan malam ), lalu menuju kegedung Ciat-tok-su. Sudah

tentu kepada To Peh-liong ia hanya mengatakan hendak

menyirapi berita tentang pengiriman bingkisan kawin Sik Ko

dan tak mau menerangkan kalau sekalian hendak menyelidiki

keadaan tunangannya.

Tepat dikala Toan Khik-ya masuk kedalam gedung Ciat-toksu,

kala itu Sik Ko tengah bertengkar mulut dengan isterinya

dalam kamar rahasia. Pertengkaran itu mengenai utusan

perkawinan puteri mereka.

Isteri Sik Ko itu, telah menerima pesan terakhir dari

mendiang ibu Hong-Sian, sewaktu ibu kandung nona itu

hendak menutup mata. Ibu Heng-sian itu telah memberikan

dua pesan: pertama supaya mengasuh puterinya dengan baik:

kedua supaya Hong-sian itu dijodohkan pada putera keluarga

Toan yang semenjak kecil sudah ditunangkan.

Sebenarnya Sik-hujin (isteri Sik Ko) beberapa kali

bermaksud hendak memberitahukan Hong sian tentang asal

usulnya tapi dikarenakan takut kepada sang suami jadi hal itu

tetap masih disimpan dalam hatinya saja. Tapi kini urusan

sudah memuncak, kabarnya Tian Seng su sudah suruh

orang2nya mengirim bingkisan. Karena cemas dan gelisah,

nyonya itu menjadi nekat. Ia ajak suaminya bercekcok.

“Semenjak lahir ayah bunda Hong-sian sudah menetapkan

perjodohannya dengan putera Toan Kui-ciang. Kini mengapa

kau hendak menikahkan pada lain orang?” Demikian Sik-hujin

menegur suaminya.

“Orang tua Hong sian kan sudah menutup mata, pun Toan

Kui ciang juga sudah gugur dalam peperangan. Jika kau tak

bilang siapa yang tahu perjodohan Hong-sian dengan keluarga

Toan itu?” sahut Sik-Ko.

Sik-hu jin membantah: “Jadi orang harus mempunyai liangsim

(nurani), Tempo dulu Toan Kui-ciang pernah menolong

seisi rumah keluargamu. sebaliknya kini aku hendak

menyerahkan menantunya pada lain orang. Coba tanyalah

pada perasaan hatimu sendiri! Dan lagi cobalah renungkan,

Ayah Hong-sian. Su Ih-ji, adalah seorang Cen su (cendekia)

yang termasyhur. Kala itu ia dicelakai oleh An Lok-san dan

ditangkapnya. Sekalipun pada masa itu kau dan Thian Seng-su

hanya melakukan tugas sebagai orang bawahan An Lok-san,

tapi perbuatanmu itu sungguh menyakiti keluarga Su!”

“Diam!” bentak Sik Ko dengan gusarnya

“Apakah kau hendak menceritakan kejadian itu pada Hongsian

agar anak itu memusuhi aku?”

Kata Sik-hujin: “Mana aku mempunyai pikiran begitu. Aku

hanya memikirkan…”

Lagi2 Sik Ko memutus omongan isterinya: “Sekalipun aku

dianggap berdosa terhadap keluarga Su. tapi aku telah

merawat anak isterinya dan sekarang mengusahakan supaya

anaknya dapat jodoh yang baik, seorang turunan keluarga

yang keadaannya seratus kali lebih baik diri keluarga Toan.

Masakah arwah Su Ih ji takkan merasa berbahagia dialam

baka?”

Sik Ko masih kuatir isterinya akan membocorkan rahasia

itu. Maka ia segera berganti sikap bahasanya, dari main gertak

menjadi ramah membujuk.

“Soalnya bukan begitulah,” sanggah cik-hujin, “Lu hujin

tinggal dirumah kita ini hanya sebagai mak inang (wanita yang

memberikan air susunya). Sampai pada ajalnya, ia tetap tak

dapat mengenalkan diri pada anaknya. Jika kita sampai

mengingkari pesannya, ia tentu tak dapat mengaso dengan

tenteram dialam baka. Ya, selain itu, dahulu ketika hendak

membasmi An Lok san, semuanya ialah yang merencanakan,

hingga anak buah An Lok-san berontak dan puteranya saling

bunuh membunuh sendiri. Dalam hal mencapai pangkat Ciat

tok-su yang kau peroleh sekarang ini. ia mempunyai andil

juga. Suami isteri Toan itu melepaskan budi besar sekali

kepada kita, sekarang adalah saatnya kau harus

membalasnya. Turut pendapatku, batalkan saja pernikahan

dengan keluarga Tian itu.”

Muka Sik Ko sebentar merah sebentar pucat. Dengan

kertak gigi ia menggeram: “Kau hanya tahu soal balas budi

saja tapi tak mengenal akan soal lain yang teramat penting.

Jika Hongsian tidak jadi dinikahkan dengan keluarga Toan,

jiwakupun sukar diperhatikan!”

Sik hujin terentak kaget, serunya: “Masakah sampai begitu?

Tian ciangkun adalah sahabat baikmu, masakah karena batal

berbesan lantas membunuh kau? Dan kau toh bukan seorang

panglima yang tak berdaya!”

“Huh, kau seorang wanita masakah mengerti urusan

negara, Tian Seng-su itu mempunyai cita2 hendak mencaplok

daerah Lok ciu. Sudah lama dia mengandung cita2 itu. Pada

tahun2 belakangan ini dia terserang penyakit jat tok-hong,

(demam panas). Setiap musim panas tiba tentu kambuh.”

“Ia mempunyai penyakit jiat-tok hong apa hubungannya

dengan urusan negara?” tukas Sik-hu jin.

“Ah. Hujin. kau tak tahukah,” kata Sik Ko

“Karena tersiksa dengan penyakitnya itu ia lantas timbul

ingatan hendak merampas daerah kita sini. Ada orang

memberitahukan padaku ia sering bilang kepada orang!

bahwa daerah Gui ciu itu terlalu panas sekali, makanya ia

bermaksud hendak pindah kewilayah Shoa tang yang lebih

nyaman iklimnya, Shoa-tang adalah wilayah propinsi dan ibu

kotanya ialah Lok-ciu kita ini.”

“Ah, itu hanya suatu alasan belaka.” kata Sik-hu jin.

“Benar, tapi dikarenakan ia mengandung cita cita begitu,

tidak dengan alasan tadipun ia bisa cari alasan lain. Ya, telah

kuselidiki betul2. Dalam beberapa tahun terakhir ini ia sudah

mengumpulkan anak tentara sebanyak tiga ribu orang.

Dengan pasukan yang diberi nama Gwe thok-kun itu ia

hendak menyerang kita!”

“Ha, makanya kau lantas serahkan Hong-sian, supaya ia

jinak dan batalkan rencananya. Tapi kalau memangnya ia

mempunyai nafsu jahat iiu, sekalipun sudah terikat famili,

masakah ia tidak melaksanakannya?” tanya Sik-hu jin.

“Kalau sudah menjadi famili, masakah ia tidak merasa

rikuh? Dan lagi selama ini kita perlakukan Hong sian sebagai

anak kandung sendiri, setelah menjadi anggauta keluarga Tian

masakah ia takkan melindungi kita? Ia bukannya seorang

gadis biasa….”

“Ya, mengertilah aku,” tukas Sik-hujin, “Kau mau jadikan

Hong-Sian sebagai orangmu dalam keluarga Tian, makanya

kau begitu ketakutan kalau aku sampai membocorkan

rahasianya. Tentunya kau kuatir kalau ia tahu kau bukan ayah

kandungnya lalu tak mau mati2an membelamu!”

“Memang begigu, tapi akupun tak mau seratus persen

mengandalkan pada budak perempuan itu!” kata Sik Ko.

“Disamping itu akupun bermaksud hendak mengikat

pernikahan dengan Leng Ho ciang, Ciat-tok-su dari Hwat-ciu.

Dengan pernikahan segitiga itu rasanya keamanan masing2

dapat terjamin. Sayang anak perempuan dari Leng Ho-ciang

dan anak lelaki kita masih kecil, jadi urusan pernikahan ini

harus menunggu dulu. Sekarang yang paling perlu, kita harus

lekas menjadikan pernikahan Hong sian dengan keluarga Tian

itu.”

Sik hujin menghela napas, ujarnya: “Kini kau menjabat

kedudukan sebagai pembesar tinggi, suatu peruntungan yang

tak sembarang orang dapat menikmati, Tapi kenyataan, kau

selalu hidup dalam kegelisahan, hari-hari kau lewatkan dengan

penuh kekuatiran. Itu artinya percuma saja. Turut

pendapatku, lebih baik kau minta pensiun saja pulang

kekampung halaman. Tian Seng-su mau mencaplok daerah

shoa-rang atau tidak, biarkan sajalah. Pernikahan ini, tetap

kita batalkan!”

“Pikiran wanita yang cupat!” teriak Sik Ko dengan

marahnya, “Dengan susah payah kurebut kedudukan Ciat-toksu

ini, sekarang kau mau suruh aku lepaskan kedudukan ini

untuk orang lain. Hm, hm, tanpa pangkat dan nama apa bisa

mendapat kekayaan?”

“Tapi bagaimana kau hendak mempertanggung jawabkan

apnbila kelak putera Toan Kui-ciang bertanya padamu? Ingat,

Toan Kui-ciang pun pernah melepas budi besar kepadamu.

Dan urusan ini lambat atau laun tentu tak dapat mengelabui

Hong-sian. biarpun aku tak bilang, kelak jika putera Toan Kuiciang

datang kemari, dia tentu akan mengatakannya juga.

Dan bila Hong-sian sudah mengetahui, ia tentu akan

mengutuk kau!!”

Air muka Sik Ko menjadi gelap, hawa pembunuhan

merangsangnya. Dengan keras ia berseru: “Jika bocah dari

keluarga Toan itu berani datang kemari menanyakan hal itu,

tentu akan kubunuhnya!”

Kejut Sik-hujin bukan kepalang, serunya: “Ciangkun itu

melanggar perikemanusiaan! Apa yang kulakukan ini barulah

benar2 memikirkan kepentingan anak kita!”

“Persetan dengan perikemanusiaan segala!” sahut Sik Ko

dengan gusar. “Aku berbuat demi kepentingan anak kita!”

“Kau hendak bunuh bakal suaminya, apakah hal itu kau

anggap memikirkan kepentingan anak?” sahut Sik-hujin.

Sik Ko teitawa ejeknya: “Kau hanya memandang Toan Kuiciang

itu seorang baik? kau tak meneliti bagaimana asal

keturunannya?”

“Semasa hidupnya orang2 menyebutnya sebagai Toantayhiap!”

kata Sik-hujin.

“Berapakah harganya sebutan Tayhiap itu perkatanya?” Sik

Ko megejek. “Tayhiap atau Siauhiap hanya merek kosong

yang diberikan oleh orang persilatan saja. Paling2 mereka itu

hanyalah bangsa manusia yang bergelandangan didunia

persilatan!”

“Jangan kau memandang begitu rendah pada Toantayhiap.

Taruh kata kau lupa akan budinya, tapi kau

seharusnya ingat bahwa ia pernah membantu Tio Sun

mempertahankan kota Sui-yang, jadi ia seorang yang berjasa

kepada negara!” nyonya itu tetap tak mau kalah bicara.

Sik Ko tertawa, katanya: “Ai, Hujin mengapa kau begitu

kolot? Dalam jaman kacau begini, siapa yang dapat merebut

nama dan kekayaan, itulah yang disebut orang gagu. Apa itu

segala macam teori kosong tentang ‘tiong-gi’ (kesetiaan dan

kebajikan)? Apa sih yang dikata kejujuran? Tio Sun seorang

pembesar yang setia, tapi buktinya sampai sekarang ia tak

lebih hanya menjabat sebagai Thay-siu dari kota Sui-yang

saja. Sejak menakluk pada kerajaan Tong, aku belum pernah

menghadapi pertempuran besar, tapi aku tahu apa yang harus

ku perbuat. Kuperjuangkan daerah kekuasaan, kukumpulkan

anak buah tentaraku, hasilnya kini aku dapat menjabat

sebagai Ciat-tok-su!”

Untuk sesaat Sik- hujin tak dapat menjawab, dengan

berseri girang Sik Ko lanjutkan ocehanannya: “Anggap sajalah

Toan Kui-ciang itu benar seorang Tayhiap yang gagah dan

setia kepada negara, ya, tetapi bagaimana seorang Tayhiap

dapat menandingi kedudukan Tian Seng-su sebagai Ciat-toksu

itu? Apalagi Toan Kui-ciang itu toh sudah meninggal.

jangan2 puteranya yang tiada beribu bapa itu sudah jadi

seorang gelandangan! Hm, hm, kita tidak menjodohkan puteri

kita dengan putera seorang Ciat-tok-su, masakah kita malah

memberikannya kepada seorang bocah gelandangan! Hm, hm,

jika ia berani datang kemari, ya demi untuk kepetingan anak

kita, terpaksa kubunuh dia nanti!”

Karena dirangsang oleh kemarahan tapi takut, sesaat Sik

hujin tak dapat membantah kata-kata suaminya itu. Ia hanya

menggerutu panjang pendek: “Ai Ciangkun, karena matamu

silau pada harta kekayaan dan gila pangkat, lalu kau

menghina pada orang. Tapi kurasa sifat anak kita itu tak

seperti perangaimu!”

Mendadak Sik Ko tertawa gelak2, katanya kemudian.

“Sampai saat ini ia tetap menganggap aku sebagai ayahnya

sendiri. Apa yang ku perintahkan, ia turut. Apa kau katakan ia

tak berperangai seperti aku? Jika tak percaya, biarlah

sekarang kupanggilnya kemari, biar kusuruh ia mencaci-maki

Toan Kui-ciang agar kau dapat mendengarnya!”

Begitulah Sik Ko bergirang bukan kepalang karena merasa

dapat menundukkan sang isteri. Sudah tentu ia tak duga sama

sekali, bahwa yang dimakinya sebagai bocah gelandangan

putera Toan Kui-ciang yang bernama Toan Khik ya itu,

sebenarnya pada saat itu berada diluar jendela kamarnya.

Tapi Toan Khik ya pun tak mendengar seluruh percakapan

suami isteri itu. Ia agak terlambat datangnya, jadi hanya

dapat mendengar sebagian, yakni ketika Sik Ko memaki

kalang kabut pada mendiang ayahnya. Tapi hal itu cukup

membuat Toan Khik-ya naik pitam, hampir saja ia menerjang

masuk, tapi syukur pikiran jernih dapat menguasai dirinya:

“Tak ada gunanya juga kubunuh dia. Mengingat ia adalah

ayah angkat Su Yak bwe, untuk sementara ini biarlah

kuampuni jiwanya, coba saja bagaimana ia nanti dikemudian

hari. Memang sudah lazimlah kalau kaum pembesar negeri itu

tentu korup dan mementingkan diri sendiri mana aku dapat

membunuh mereka yang berjumlah begitu banyak?”

“Semasa hidupnya mendiang ayahku juga tak suka

mendendam. Dengan segala lapang hati beliau telah

menolong keluarga Sik Ko. Aku hendak meneladani

kepribadian ayah itu, tak bolehlah aku berlaku sempit dada !”

Memikir sampai disini, redalah kemarahan Toan Khik-ya.

Tapi pada lain saat ia menimang pula : “Tadi ia katakan kalau

Yak-bwe itu perangainya serupa dengan dia. benarkah ini. Ai,

celaka, siapa yang dekat gincu tentu merah, yang dekat tinta

tentu menjadi hitam. Diasuh oleh seorang ayah begitu macam

mungkin Yak bwe akan memandang rendah padaku seorang

bocah gelandangan ini! Memang benarlah ia sekarang adalah

puteri dari seorang Ciat tok-cu. Untuk menjaga kehormatan,

sudah selayaknya kalau menikah dengan putera seorang Ciattok

su juga!”

Tiba pada dugaan semacam itu, perasaan Toan Khik-ya

makin bertambah satu beban kegelisahan.

“Dengan susah payah kudatang kemari untuk mencarinya.

Jika ia sampai memicingkan mata, menjebikan bibir,

memandang sebelah mata padaku dan mendamperat aku

dengan getas, bukankah diriku ini seperti dibanting kedalam

jurang kehinaan!”

Pikiran anak muda itu makin melayang jauh. Ia

membayangkan bagaimana tunangannya itu tiba2 muncul

dihadapannya dengan tingkah laku yang congkak sembari

bercekak pinggang, gadis itu memakinya : “Hah, bocah

gelandangan dari mana ? Mengapa berani mati merangkai

cerita kalau aku ini tunangannya sejak kecil ini ? Hm, masakan

bocah gelandangan seperti macammu itu layak menjadi

suamiku?”

Tiba2 lamunan Toan Khik-ya itu tersentak buyar oleh

seruan Sik-hu-jin yang mamanggil Hong-sian.

“Bagus, lebih baik kuikuti budak itu ke-tempat Yak-bwe.

Bagaimana keadaannya ? Hm, jika benar karena salah asuhan

dan kini ia mewarisi perangai jahat seperti Sik Ko. maka

akupun tak akan menghiraukannya lagi. Ia lebih baik begini !”

pikir Khik-ya.

Benar ilmu Gin-kangnya belum memadai. Suhengnya yang

dapat muncul lenyap seperti bayangan saja, namun iapun

sudah dapat mencapai tingkatan cepat laksana angin.

Demikian diam2 ia menguntit budak perempuan itu, siapa

sudah tentu tak merasa dikuntit.

Disebuah kamar yang indah, berhentilah budak itu. Didalam

kamar itu memancarkan sinar penerangan. Pada kain jendela,

tampaklah sesosok bayangan dari seorang gadis. Hati Toan

Khik-ya menjadi dak-dik-duk, berdebar2 tak keruan. Untuk

pertama kali itulah ia bakal melihat wajah sang tunangan.

Dengan gunakan Gin-kang, Khik ya berindap-indap melesat

kebelakang jendela dan bersembunyi didalam semak2 pohon.

Ia menginap dicelah kain gordin jendela yang setengah

tersingkap itu dan, duhai, matanya segera tertumbuk pada

seorang nona yang amat cantik dalam pakaiannya yaug serba

menyedapkan. Tapi yang mengherankan, wajah nona jelita

suram muram seperti tertutup oleh awan kedukaan. Tangan

nona itu sedang menggenggam sebuah tusuk kundai kemala

yang bentuknya serupa benar dengan kepunyaannya.

Jantung Toan Khik-ya mendebar keras, pikirnya: “Mengapa

ia menghadapi tusuk koa dai kumala itu dengan merenung?

Apakah ia sudah mengetahui tentang riwayat tusuk kundai

itu?”

Saat itu terdengar mulut sijelita berkata seorang diri: “Ai,

aneh, mengapa mamah suruh aku mengeluarkan tusuk kundai

ini dan selanjutnya suruh aku memakainya terus, tak boleh

ditanggalkan lagi? Dan mengapa ia mengucurkan air mata

dihadapan tusuk kundai ini? Apakah ia tetap terkenang akan

Lu-ma? Ya memang Lu-ma selalu meninggalkan kesan pada

kita, bukanlah ia hanya seorang mak-inang saja? Kenapa

mamah memandang tinggi pada barang peninggalan Lu-ma?”

Walaupun kata2nya itu diucapkan dengan pelahan. namun

dapatlah Toan Khik-ya mendengarnya dengan jelas. “Oh,

kiranya benar seorang nona angkuh dan suka memandang

rendah pada lain orang”, demikian pikirnya.

Sudah tentu apa yang dinilai Toan Khik-ya itu hanya apa

yang dilihatnya saja. Padahal Hong-sian itu memperlakukan

anak inangnya itu sebagai ibunya, walaupun ia tak tahu

bahwa sebenarnya memang wanita itu adalah ibu-kandungnya

sendiri.

Tiba2 pintu kamar diketuk oleh bujang perempuan tadi.

“Apakah itu Jun-bwe? Mengapa malam? datang kemari?”

tegur si nona.

Sambil melangkah masuk, budak itu berkata: “Nona, kau ini

benar2 seorang yang menghargai kecintaan, Lu-ma sudah

meninggal beberapa tahun, tapi kau masih

mengenangkannya. Apakah kau sedih melihat tusuk-kundai

peninggalannya itu? Ah, sudahlah, baik nona jangan bersedih

aku membawa kabar girang bagimu.”

Mulutnya menghibur, tapi anehnya tiba2 budak itu tampak

muram wajahnya sendiri. Ia menghela napas, kemudian

berkata lagi: “Ah, jika Lu-ma masih hidup, ia tentu akan girang

sekali.”

Hong-sian tertegun, ujarnya. “Jangan mengoceh tak keruan

kau. Mengapa kau katakan aku akan girang?”

Budak itu tertawa : “Ai, nona masih belum mengetahui

bahwa bingkisan orang sudah rampas didalam perjalanan.”

“Bingkisan apa ?” seru Hong-sian

—————————————————-

Jilid 1 Hal 49-50 robek

—————————————————-

dengan siapa kau datang kemari ini, mengapa tak suruh dia

masuk?”

Ternyata karena getaran sang hati, tanpa sadar Khik-ya

telah menyentuh tangkai bunga hingga mengeluarkan suara

berkeresekan.

Budak itu tersentak heran, jawabnya: “Hanya aku seorang

diri, masakan bawa kawan?”

Belum habis kata2 bujang itu, Hong-sian sudah mendorong

daun jendela dan sebat sekali dia sudah loncat keluar.

“Hai siapakah yang bersembunyi disitu?” bentaknya.

Karena sudah tepergok. Toan Khik yapun tak mau main

sembunyi lagi. Ia loncat keluar daii semak pohon lalu berkata

dengan mengejek: “Kuhaturkan selamat pada nona yang akan

mendapat jodoh seorang baik2. Tapi ku-kuatir ayah bundamu

yang berada didalam baka itu, akan berduka hatinya!”

Mendadak ada seorang pemuda tak dikenal berdiri

dihadapannya, kejut Hong-sian bukan kepalang. Buru2 ia

cabut pedangnya dan membentak: “Apa katamu? Siapa kau

ini, mengapa tengah malam buta berani menyelundup masuk

kemari? Rasanya kau ini tentu bukan orang baik2, bukan

bangsat tentu pencuri,”

Toan Khik-ya tertawa lebar, sahutnya : “Aku bukan orang

baik2 bukan penjahat tentu pencuri? Haha luaskanlah hatimu

memaki dengan kata2 apa saja! Nah, biar kuberitahukan

padamu, aku ini putera dari Toan Kui-ciang!!”

Sepasang alis Hong sian berjungkat lalu mendamprat lagi.

“Ha, benar, bukan orang baik2. Maling kecil, lihat pedangku!”

“Bagus, menyebut diriku maling kecil, maling kecil lebih

buruk lagi dari gelandangan kecil,” pikir Khik-ya sembari

menghindar. Berturut2 ia menghindari tiga kali serangan

pedang, setelah itu baru menegur. “Nona besar mengapa kau

mengecap diriku sebagai seorang penjahat?”

Hong sian tertawa dingin, menyahut: “Naga tentu beranak

naga, dan burung hong tentu beranak burung hong. Anak

perampok kemana parannya lagi?”

Marahlah Toan Khik-ya dengan hinaan itu. “Kau menghina

aku itu masih mending, tapi kau berani juga memaki orang

tuamu, kau punya…..hm, memaki ayahku.”

Hampir saja mulutnya mengatakan “kau punya mertua”.

Untung ia teringat agar lebih baik jangan mengatakan hal itu

dulu,

Hong-sianpun gusar, pikirnya: “Bangsat kecil ini benar2

kurang ajar, masakan arwah ayahnya seorang perampok

dijadikan orang tuaku.” seketika ia berseru makin bernapsu:

“Menteri pemberontak, anak perampok, tidak layakkah

dimaki? Tetap akan kumaki ayahmu pejahat itu, nah, kau

apa?”

Sudah tentu Toan Khik ya tak mengetahui mengapa Hong

sian memaki ayahnya perampok dan dirinya sebagai

keturunan penjahat itu. Padahal bukan tak ada sebabnya

Hong-sian berbuat begitu. Itulah Sik Ko yang menjadi

gara2nya. Kuatir keluarganya Toan akan mengutus orang

untuk menarik janji pernikahan dengan Hong sian, maka Sik

Ko lantas merangkai cerita. Kepada putrinya Sik Ko sering

menceritakan tentang kejadian2 didunia persilatan. Ia katakan

Toan Kui-ciang itu seorang penjahat yang ganas, kemudian

dapat ditangkap oleh tentara negara dan dihukum mati.

Sik-hujin karena takut akan suaminya, jadi tak pernah

menyebut2 nama Toan Kui ciang dihadapan puterinya itu. Jadi

dalam pengetahuan Hong-sian, toan Kui-ciang itu adalah

tokoh jahat seperti apa yang digambarkan Sik Ko sudah tentu

terhadap sang ayah itu, Hong-sian tak ada alasan untuk tak

mempercayainya.

Saking gusarnya panca indera Toan Khik-ya seperti

mengeluarkan asap.

“Jika masih memaki lagi, tentu kutampar mulutmu!”

bentaknya sembari secepat kilat merapat maju, terus ulurkan

tangannya kemuka sinona.

Hong-sian terperanjat. Ia bermaksud menarik pedangnya

untuk menghalau tapi sudah tak keburu. Untung Toan Khik-ya

tiba2 merobah ingatannya. Pikirnya:

“Ah tidak boleh. Walau pun ia belum menikah padaku, tapi

ia sudah dijodohkan menjadi isteriku! Sebelum janji perjodoan

itu dibatalkan, turut kesopanan aku tak boleh memukulnya,

Apalagi aku tak boleh dipengaruhi oleh nafsu amarah seketika

lantas melupakan hubungan akrab dari keluarga Toan dan Su

pada masa yang lampau.”

Ternyata ilmu silat Hong-sian pun tidak lemah. Hanya

sekejap saja Toan Khik-ya ragu2 tadi Hong-sian sudah lantas

menyabat tangan sianak muda. Jika Toan Khik-ya tak cepat2

menarik tangannya, jarinya tentu sudah terpapas kutung.

Bermula karena melihat orang hanya bertangan kosong

saja Hong-sian hanya bermaksud akan meringkusnya saja

untuk diserahkan kepada ayahnya. Tapi setelah tadi hampir

saja ia termakan tamparan sianak muda dan malu menjadi

gusar. Pikirnya: “Ha, anak perampok ini lihay juga.! Ah, tolol

benar aku ini mengapa akan memberi kelonggaran pada

bangsa penjahat. Jika tak kuberi hajaran, seumur hidup aku

tak dapat mencuci hinaan tadi!”

Hong-sian mewarisi Ilmu pedang dari Biau Hui sinni. Dalam

gusarnya Hong-sian mainkan pedangnya dengan gentar untuk

mengarah jalan darah yang berbahaya dari sianak muda.

Benar ilmu gin-kang Toan Khik-ya cukup sempurna tapi

dengan gunakan ilmu gong-chiu-jip-pek-jim ( dengan tangan

kosong merampas senjata ) ia tetap tak mampu merebut

pedang ceng-kong kiam Hong-sian. Paling2 Toan Khik-ya

hunya dapat menjaga diri agar jangan sampai termakan

pedang saja.

Seperti diketahui, sebenarnya anak muda itu mempunyai

ribuan kata hendak diucapkan dihadapan jelita itu, termasuk

keputusannya yang datangnya secara tiba2. yakni hendak

membatalkan saja janji perjodohan itu. Tapi berhadapan

dengan sinona yang seperti tengah kesurupan setan itu, mana

ia mempunyai kesempatan untuk bicara?

Pada saat itu mendadak Toan Khik-ya balikkan tubuh

sambil kebatkan lengan bajunya. Sret, Hong-sian berhasil

memapas secarik lengan baju sianak muda tapi pedangnya

segera tergubat oleh lengan baju lawan. Dicobanya untuk

menarik, tapi tak berhasil,

Toan Khik-ya menghela napas longgar, kemudian tertawa

gelak2 :

“Nona kau keliru !”

Sebenarnya Hong-sian sudah kuatir, kalau2 sianak muda

akan balas memukul, maka ia-pun menjadi tertegun demi

anak muda itu hanya mulutnya saja yang berkata2.

“Sebagaimana kesalahanku ?” serunya.

“Turut ucapanmu itu tadi, air tentu mengalir kebawah.

artinya bagaimana orang tuanya tentu bagaimana itu pula

anaknya. Dalil itu salah. Dirimu sendiri itu, menjadi bukti yang

nyata!” kata Khik-ya.

Sudah tentu Hong-sian tersentak heran, tanyanya. “Apa

maksud kata2mu itu?”

“Ayah kandungmu sendiri adalah seorang manusia

terpelajar, gagah perkasa dan arif bijaksana. Bahkan seorang

lelaki jantan yang pantang perbuatan haram, tak gentar

menghadapi ancaman, seorang berhati lurus dan mulia! Kau

adalah puterinya, tapi mengapa sedikitpun kau tak mewarisi

sifat2nya yang mulia itu?”

Setelah diangkat menjadi panglima daerah Sik Ko

mempunyai kekuasaan besar. Sejak itu dirinya seolah2

dipagari oleh orang2 yang pandai menjilat. Sampai Hong-sian

sendiri sudah merasa jemu mendengar puji sanjung dari

kawanan penjilat itu. Tapi selama itu, tak pernah ia

mendengar ada orang yang memuji2 seperti apa yang

diucapkan Toan Khik-ya itu:

“Ayahku seorang Bu (militer), ia jarang sekali membaca

buku. Pelajaran ilmu surat dan syair yang ku pelajari diwaktu

kecil, adalah Lu-ma yang mengajarkan padaku. Sebagai

seorang Ciat-tok-su, setiap hari ayah sibuk dengan urusan

kantor, jadi tak dapat mengenal segala filsafat budi pekerti.

Kata2 pujiannya tadi, tak tepat bagi ayah!” pikir Hong-sian.

Tapi dalam pada itu diam2 ia terperanjat melihat tutur kata

sipenjahat kecil itu. Tanpa disadari ia bertanya: “Turut katamu

tadi aku ini tak sepadan dengan ayahku, habis dalam

pandanganmu, bagaimanakah diriku ini?”

“Kau? Ai, kau sudah diracuni Sik Ko. Turut penglihatanku,

kau sudah berobah menjadi seorang siaujin yang tamak

kekayaan. Kalau tidak tak nanti kau berpeluk tangan

menunggu jadi menantu seorang Ciat-tok su, pula tak nanti

kau memaki aku sebagai maling kecil!” jawab Toan Khik-ya.

Selebar muka Hong-sian merah padam dibuatnya. Dengan

gusarnya ia menyemprot “Bicaramu ini pagi hitam sore putih.

Baru saja mulutmu memuji ayah, kini lidahmu sudah berganti

nada memakinya!”

“Memang benar, yang kupuji itu ialah ayah kandungmu

yang asli dan yang kumaki ialah si Sik Ko! Bukankah tadi kau

memaki ayahku? Kau memaki ayahku sebagai menteri

pemberontak dan perampok. Padahal seharusnya kata-kata itu

adalah buat Sik Ko! Dia pernah bertekuk lutut menghamba

pada An Lok-san dan lagi ia justru berasal dari kalangan Loklim!”

Marah Hong-sian tak dapat dikendalikan lagi. Tak tunggu

sianak muda menghabiskan kata2nya, ia sudah mengdamprat.

“Ngaco-belo! Kalau bukan gila, tentulah kau memang sengaja

hendak menghina kami ayah dan anak. Lihat pedangku!”

Dan sekali gertakan pedangnya dari libatan lengan baju ia

lantas menusuk. Toan Khik-ya menghindar lagi, serunya

lantang.

“Apakah kau masih tak jelas? Kau akui seorang penjahat

sebagai ayah! Jika kau masih begitu lindung, ayah bundamu

yang sudah meninggal itu tentu dapat meram dialam baka!”

Dengan ucapan itu sudah dua kali Toan Khik-ya

memperingatkan Hong-sian kalau ayah bundanya sudah

meninggal. Pertama kali ketika ia memergoki Toan Khik-ya

bersembunyi diluar kamar. Mungkin karena terkejut melihat

seorang asing muncul dengan tiba2. Hong-sian buru2

mencabut pedang dan tak menghiraukan kata2 anak muda itu.

Tapi untuk ucapan Toan Khik-ya yang terakhir ini, benar ia

mendengarnya dengan jelas. Hatinya tergetar malu gusar dan

heran.

Sambil menusuk, ia memaki: “Kurang ajar, Dah mengaku

penjahat sebagai ayahmu!”

Sudah tentu Hong-sian tak percaya. Dalam gusarnya, ia

putar pedangnya makin gencar

Oleh karena sibuk melayani, jadi Toan Khik-ya tak sempat

bicara lagi.

Sekonyong2 terdengar suara Sik Ko membentak: “Hai,

siapa itu ? Berani mati menyelundup kedalam gedung Ciat-tok

su sini?”

Kiranya karena sampai sekian lama hong-sian tak datang,

Sik Ko lantas lari menjenguknya. Demi melihat Hong-siau

menghunus senjata dan tengah bertempur dengan seorang

asing, kejutnya bukan kepalang.

“Yah, lekas kemarilah ! Ini ada seorang gila yang mengaku

sebagai anaknya Toan Kui-ciang!” seru Hong-sian.

Bersirap darah didada Sik Ko demi mendengar seruan

puterinya itu. Sebenarnya ia juga seorang jago pedang, tapi

dalam beberapa tahun ini sesudah hidup mewah ia malas

berlatih, jadi kepandaiannya pun berkurang banyak. Dengan

tergopoh2 ia segera cabut pedangnya, tapi tak berani maju,

melainkan berteriak2 memanggil orangnya.

Toan Khik-ya tertawa : “Hai jangan ribut-ribut, ini dia

orangnya sudah datang !”

Tiba2 anak muda itu berputar tubuh terus lari menghampiri

Sik Ko, Hong-sian mengejarnya dan menyerangkan pedangnya

sampai tiga kali. tapi sia-sia. Gerakan Toan Khik-ya teramat

gesitnya. Dalam sakejap saja ia sudah tinggalkannya pula

Hong-sian dibelakang terus menyerang kearah Sik Ko,

Sik Ko menangkis sembari main mundur. Sebenarnya jika ia

beranikan diri, paling tidak ia tentu dapat bertahan sampai 10-

an jurus dan saat itu Hong sian tentu sudah menyusul datang.

Tapi dikarenakan belum2 ia sudah pecah nyalinya, permainan

pedangnya menjadi kacau.

“Hendak melarikan diri? Hm, jangan harap ia dapat lolos

dari terjangan Toan Khik-ya”. Tapi baru ia hendak

menggerakkan pedang, Toan Khik-ya sudah mendahului

mencengkeram siku lengannya terus dipencetnya.

“Sik-tayciangkun, bukankah kau menyatakan membunuh

aku? Mengapa sekarang tak lekas2 turun tangan?” tanya Khikya

dengan nada dingin.

Dipencet sikunya, seketika Sik Ko rasakan separuh

tubuhnya menjadi linu kesemutan. Dengan nada gemetar ia

meratap “Ya, aku mengaku bersalah. Toan …. Toan-kongcu,

ampunilah jiwaku !”

Toan Khik-ya merampas pedang Ciat-tok-su itu, lalu

meludahinya, “Cis, kau manusia hina-dina yang lupa budi

kebaikan, membunuh mu pun hanya membikin kotor tanganku

saja !” maki Khik-ya sembari memberi persen beberapa kali

tamparan kemuka pembesar itu.

Saat itu Hong-sian sudah tiba. Demi melihat ayahnya

diperlakukan begitu, marahnya bukan main. Ia enjot tubuhnya

melesat kemuka dan mendamprat. “Maling kecil, aku akan

mengadu jiwa denganmu!!”

Sebenarnya setelah menampar Sik Ko, kemarahan Toan

Khik-ya sudah tersirap. Tapi demi di maki sinona, amarahnya

timbul lagi: Ia pun balas mendampratnya. “Baik, aku takkan

peduli lagi kau anggap seorang penjahat menjadi ayahmu!

Aku seorang maling kecil dan kau seorang nona terhormat,

sejak ini jangan kau perdulikan aku dan kaupun tak

menghiraukan aku lagi!”

Setelah membuang pedang Sik Ko, anak muda ini enjot

tubuhnya melayang melampau pagar tembok. Pedang Sik Ko

tadi menancap pada sebuah batu ditepi empang, tangkainya

tak henti2nya bergoncang.

Hong-sian tersentak kaget. Buru2 ia memburu ketempat

ayahnya: “Yah, kau bagaimana?”

Tapi mendadak Sik Ko menjerit satu kali lalu roboh

ketanah. Hong-sian ter-gopoh2 mengangkatnya. ia melihat

muka sang ‘ayah’ itu bengap dan matang biru, napasnya

tersengal2. seperti kerbau mendengus. Ciat-tok-su itu seperti

seorang yang hilang ingatannya. Sudah tentu Hong sian

gusar, tapi juga lega karena di dapati sang ‘ayah’ itu tak

terluka, cuma mukanya bengap. Ia mengira sang ayah itu

hanya pingsan. Ya. betapa tidak? Seorang panglima yang

biasanya disanjung hormat oleh orang, kini ditampar mukanya

sampai beberapa kali oleh seorang pencuri kecil.

Sementara itu demi mendengar teriakan Sik Ko tadi, orang2

didalam gedung situ sama memburu datang. Ada yang

berteriak2 menyerukan supaya si maling diringkus, ada yang

bergegas hendak mengangkut Sik Ko, pun ada juga yang

menangisi ribut tak keruan.

“Penjahat siang2 sudah kabur jauh, perlu apa kalian ribut2?

Lekas panggil Tay hu kemari!” bentak Hong-sian.

Tay-hu adalah tabib dalam istana atau tempat kediaman

seorang pembesar tinggi, Saat itu Sik-hujinpun muncul.

Mendengar suara tangisan orang, pucatlah wajah nyonya itu.

Tergopoh2 ia menerobos kedalam kawanan bujang itu dan

bertanya dengan gugup: “Ada urusan apa? Hai, mengapa Loya

itu?”

Hong-sian menghiburnya: “Ma, jangan gelisah. Ayah hanya

pingsan saja tak mengapa, akupun sudah suruh panggil Tayhu

kemari!”

Setelah merabah hidung suaminya ternyata masih

bernapas, legalah hati nyonya itu. Habis itu baru ia

menanyakan apa sebabnya Sik Ko pingsan.

Disana sini segera terdengar kawanan bujang memberi

keterangan yang berbeda2. Ada yang mengatakan: “Tadi ada

penjahat masuk kesini tari sudah dihalau pergi oleh nona!!”

Ada pula yang menerangkan: “Loya tadi bertempur dengan

stpenjahat, mungkin Loya keliwat cape menggunakan

tenaganya.”

Mendengar laporan itu Sik-hujin terperanjat dan marah,

dampratnya: “Kalian semua ini hanya kawanan tukang

gegares belaka. Mana ada penjahat masuk kesini, kalian tak

tahu saja sekali hingga bikin kaget nona dan Loya saja.”

“Ma, mereka tak dapat dipersalahkan. Penjahat itu lihay

sekali!” kata Hong-sian.

“Siapa penjahat yang bernyali besar itu? Apakah kau masih

ingat bentuk rupanya? Panggil kepala pengawal untuk

menangkapnya!”

“Penjahat itu adalah anaknya Toan Kui-ciang. Ia amat

tangguh sekali, dapat muncul lenyap menurut sesuka hatinya.

Percuma panggil pengawal…..,”

Belum habis sinona menutur, Sik-hujin tampak seperti

orang yang tiba2 terserang penyakit demam, tubuhnya

menggigil, wajahnya pucat pasi. Dengan nada sember ia

berkata: “Ah ia benar2 datang memenuhi janji!”

Hong sian buru2 memapak Sik hujin. Pikirannya menjadi

gundah, tanyanya: “Mah, apa maksud katamu itu?”

Sik-hujin tenangkan goncangan hatinya. Sesaat ia tersadar

akan kata2nya yang terluncur dari mulutnya tadi. Ia anggap

urusan itu tak boleh diceritakan dihadapan orang banyak.

Katanya: “Ah, tidak apa2. Tapi karena ketakutan. aku sampai

mengoceh tak keruan. Dalam beberapa tahun terakhir ini,

setelah memegang kekuasaan militer, ayahmu telah

membunuh banyak jiwa. Aku kuatir ada roh penasaran yang

menagih jiwa padanya. Lekas angkat ayahmu kedalam.”

Didalam Ciat-to-su ada seorang tabib selekasnya tabib itu

segera dipanggil.

-o0odwo0o-

Jilid II

SETELAH memeriksa nadi pernapasannya si tabib memberi

keterangan bahwa pembesar itu tidak apa-apa, hanya yang

disebut “golakkan hawa panas penyerang ulu hati”. Tetapi

harus beristirahat secukupnya. Kemudian tabib itu menulis

resep.

Sik-hujin lega hatinya mendengar keterangan tabib itu. Ia

segera suruh orang2 berlalu dan hanya tinggalkan seorang

budak perempuan untuk menjaga suaminya. Setelah itu ia

berkata kepada Hong-sian: “Pergi kekamar, aku hendak bicara

padamu!”

Dengan hati tak tenteram. Hong-sian mengikut Sik-hujin

lalu bertanya dengan pelahan : “Apa yang dikatakan oleh

putera Toan Kui-ciang kepadamu tadi?”

Hong-sian menerangkan: “Banyak sekali yang dikatakan

kepadaku, tapi kata2nya itu aneh2 seperti orang gila. Mah,

lebih baik kau jangan dengarkanlah,”

“Tidak, karena toh urusan sudah berlarut. aku tak takut

mendengarnya ya, apa katanya?” kata Sik-hujin.

Apa boleh buat, Hong-sian menuturkan. “Ia bilang ayah

dan mamah ini bukan orang tuaku yang asli. Ayah dan ibu

kandungku sudah meninggal didunia Mah, apakah hal itu

benar?”

Sik-hujin menggigit bibir wajahnya tampak gelap.

Sekonyong2 ia pegang tangan Hong-sian untuk menjaga kalau

dirinya jatuh, kemudian dengan suara berat berkata. “Memang

benar !”

Kejut Hong-sian tak terkatakan dan menjeritlah ia. “Apa

benar? Mah, mengapa dulu2 kau tak memberitahukan

padaku? Siapakah orang tuaku asli, bilamana mereka

meninggal?”

Sik-hujin mulai dapat menenangkan hati. Katanya dengan

pelahan: “Akan kuberitahukan padamu, tapi kau harus lebih

dulu kasih tahu padaku apa lagi yang dikatakan Toan-kongcu

tadi?”

Mendengar Sik-hujin berganti bahasa menyebut. “Toankongcu”,

keheranan Hoa-sian makin menjadi2. Pikirnya: “Ia

memukul ayah. tetapi mengapa mamah masih begitu

mengindahkannya?, Ah, disitu tentu tersikap sesuatu!”

Sekalipun saat itu sudah tahu bahwa Sik Ko dan isterinya

itu bukan ayah bunda kandungnya, namun Hong-sian masih

tetap membahasakan ”ayah-mamah” kepada mereka.

Setelah merenung sejenak, Wajah Hong-sian tiba2

memarah, katanya: “Nah, ia memaki aku………….”

“Hai, ia memaki padamu? Memaki apa saja?” tanya Sikhujin.

“Ia memaki aku……memaki aku menanti2 menjadi nyonya

mantu Ciat-toat su Mah, apakah benar2 ayah hendak

menjodohkan aku dengan putera Tian-peh-peh?”

Hong-sian seorang nona yang memiliki ilmu silat, jadi

nyalinya besar. Namun membicarakan tentang masalah

perkawinan, tak urung wajahnya merah kemalu-maluan juga.

Sebelum menjawab, lebih dulu Sik-hujin menghela napas,

ujarnya: “Oh, makanya Toan kongcu begitu marah, memang

ayahmu telah berbuat salah. Untung kita belum menerima

panjar dari keluarga Tian.”

Mendengar didalam kata-kata Sik-hujin itu ada sesuatu hal,

Hong-sian bertanya pula: “Mah, aku masih belum berniat

kawin. Tetapi ada sangkut paut apa dengan orang she Toan

itu.”

“Apakah ia belum menceritakan padamu?” Sik-hujin balas

bertanya dengan heran.

“Menceritakan hal apa?” Hong-sian mengembalikan

pertanyaan itu.

Berkata Sik-hujin seakan-akan pada diri sendiri: “Ya,

maklumlah, ia lahir pada hari yang sama dengan usianya baru

17 tahun, kulit mukanya masih tipis (pemalu), maka tak heran

walaupun banyak sudah ia berkata2 kepadamu, namun

mengenai urusan besar itu, ia tetap tak berani mengatakan.”

Hong-sian makin gugup, ia mendesak mamanya : “Mah,

sebenarnya bagaimanakah halnya ?”

“Hal itu ada sangkut pautnya dengan Toan kongcu. Toan

kongcu itu adalah bakal suamimu yng sesungguhnya !”

Kalau ada halilintar berbunyi ditengah hari mungkin tidak

begitu mengejutkan hati Hong-sian daripada waktu

mendengar kata2 Sik-hujin itu. Malu, gugup, gundah dan

…..berbagai perasaan berkecamuk dalamnya, Saking tegang

urat syaraf hampir saja ia jatuh pingsan.

“Celaka dia, dia suamiku dan tadi aku memakinya sebagai

maling kecil” pikirnya.

Sik hujin tampak tersenyum, ujarnya : “Sian ji, setelah kau

bertemu dengan dia, apakah kau menyukainya ?”

“Mah, saat ini aku tak ingin membicarakan soal itu. Mohon

kau memberitahukan aku lebih dulu, siapakah sebenarnya

ayah bunda kandungku itu ?”

Berkata Sik-hujin dengan tenang dan pelahan : “Baiklah,

sekarang tiba saatnya memberitahumu. Ayahmu orang she Su

bernama Ih-ji, seorang Cin-su kenamaan kerajaan Tong. Dan

ibumu, bukan lain ialah orang yang memberi air susu ketika

kau masih bayi dan kemudian memberi pelajaran surat

kepadamu, ialah Lu-ma itu!”

Girang dan sedih hati Hong-sian mendengar keadaan

dirinya. Sedih karena belum pernah melihat wajah ayahnya

dau girang karena Lu-ma yang begitu sayang padanya itu

ternyata adalah ibu kandungnya sendiri.

“Ah, makanya Lu-ma begitu menyayang padaku, tapi kalau

toh ia itu ibu kandungku, mengapa selalu mengelabui aku?

Ini…. ini….” serunya.

“Ia mengelabui kau, itulah untuk kepentinganmu. Ehmm,

mana tusuk kondai pusaka peninggalan ibumu itu?” tukas Sikhujin.

“Lu…. ah, tusuk-kondai pusaka pemberian ibuku itu,

kupakai disanggul kepalaku, apa kah kau tidak

mengenalinya?” kata Hong-sian.

“Mana, berikan padaku?” kata Sik-hujin.

Setelah menerima tusuk kondai kemala itu, Sik-hujin

gunakan jari kelingkingnya menyungkil bagian paruh dan

ukiran burung Hong itu dari situ tercungkil keluar segulung

kertas kecil.

“Oh, kiranya tusuk-kondai kemala itu dibuat sedemikian

cermatnya, didalamnya terdapat alat perkakas yang halus!”

seru Hong-sian.

Kata Sik-hujin: “Mataku sudah tak begitu awas lagi, coba

kau lihat pulung kertas itu. Itu ditulis oleh ibumu sendiri, disitu

dipaparkan tentang riwayatmu. Jika ada yang kurang

mengerti, nanti kujelaskan! “

Dan membacalah Hong-sian,……..

Berketes-ketes air mata membasahi pipinya. Tulisan diatas

kertas kecil sekali hurufnya bunyinya amat sederhana.

Sebagian besar ia sudah mengerti maksudnya. Sik-hujin

memberi tambahan untuk mnjelaskan apa yang tak tertulis

diatas kertas itu. Hanya bagian dimana Sik Ko mendapat

perintah dari An Lok-san untuk menangkap ayah Hoan-sian

tidak diterangkannya.

Dalam beberapa detik saja, Hong-sian mengetahui banyak

sekali macam-macam hal. Toan Kui-ciang bukan seorang

perampok, melainkan seorang Tayhiap. Ayahnya sendiri, Su

Ih-ji ternyata seorang lelaki jantan yang lurus, suci dan

perwira, ibu kandungnya seorang wanita cantik yang

memegang teguh kesuciannya. arif dan cerdas, demi untuk

kepentingan puterinya (Hong-sian) ibunya rela mengenyam

getir derita, hina dan sudi menjadi nyama (mak-inang)

digedung keluarga Sik. Ia benar-benar seorang wanita yang

berbakti kepada negara dan setia kepada suami. Sekarang

Hong-sian tahu juga, bahwa namanya yang asli yalah Su Yakbwe.

Kesemuanya itu merupakan rangkaian kejadian aneh tapi

nyata dalam kehidupan manusia. Hong sian atau selanjutnya

kita sebut sebagai Yak bwe, kini baru mengetahui bahwa

didunia ternyata terdapat manusia yang luhur dan manusia2

itu tarayata masih dekat sekali hubungannya dengan dirinya.

Kini matanya terbuka lebar, rongga dadanyapun serasa

longgar. Ia berduka, tapipun bangga, bangga akan ayah

bundanya dan kedua mertuanya. Dan untuk pertama kali

dalam sejarah hidupnya merasakan dirinya amat kecil.

“Ah, makanya dia telah memaki aku sebagai anak yang tak

berbakti!” diam2 ia teringat akan ucapan Toan Khik-ya.

Ia menghapus air matanya, memaki tusuk kundai

kemalanya lagi terus berjalan keluar. Sik-hujin menghela

napas dalam2. Ia insaf bahwa sejak itu ia bakal kehilangan

seorang anak yang sudah dianggapnya sebagai puterinya

sendiri. Tapi iapun merasa terhibur karena sejak saat itu

hatinya bebas dari kutukan liangsimnya (nurani) sendiri!

oood0wooo

TAK berapa lama Sik Ko pun tersadar dari pingsannya.

Begitu membuka mata ia segera memapak puterinya Yak-bwe

berdiri didepan tempat tidurnya.

“Apakah penjahat tadi sudah lari! Bagaimana mamahmu?”

“Mamah berada dikamar belakang. Ayah, anak tidak

berbakti, maafkanlah aku tak dapat merawatmu,” kata Yakbwe.

Sik Ko berjengat kaget dan loncat bangun: “Apa… apa

katamu?”

“Kali ini anak sengaja datang menghaturkan selamat

tinggal!”

Mendengar itu naiklah darah Sik Ko.

“Kau mau ikut pada maling kecil itu? Dia bilang apa

padamu? Sian-ji, jangan sekali2 kau percaya pada

ocehannya!”

Tenang Yak-bwe menjawab: “Janganlah ayah marah. Anak

sekali2 takkan ikut padanya, Tapi yang benar, dia itu bukan

maling atau penjahat. Yah, semuanya anak sudah tahu,

jangan kau sembarangan memaki orang.”

Saking gusarnya tubuh Sik Ko sampai menggigil. Tapi ia

insaf, bahwa kedudukannya hanya tergantung pada puterinya

itu. Ia berusaha untuk menekan kemarahannya, katanya

densan nada gentar: “Sian-ji, apa saja yang telah kau ketahui

itu?”

“Yang sudah lampau, janganlah kita bicarakan lagi. Yah,

kutahu kau sedang meresahkan sesuatu hal. kau takut Tianpehpeh

akan merampas daerah Lo-ciu ini bukan?”

“Oh, jadi mamahmu sudah memberitahukan padamu

tentang urusan pernikahanmu? Tak mengapalah. Sian-ji,

meskipun kau bukan anak kandungku, tapi sejak kecil kau

kuperlalukan sebagai darah dagingku sendirikan? Sekarang

aku sedang dalam kesulitan. Diatas pundakmu hendak

kuletakkan sebagian beban kesulitan itu. Dengan menikah

pada keluaga Tian, pertama bubungan kedua keluarga

menjadi baik yang berarti juga akan lenyapnya ancaman itu.

Kedua, bagaimanapun ada baiknya. Baik buruk Tian Seng-su

hu juga seorang Ciat-tok su. Suamimu adalah puteranya yang

tunggal.. Setelah nanti Tian Seng-su mengundurkan diri,

sudah tentu kedudukannya akan diserahkan puteranya itu.

Pada waktu itu kau tentu menjadi It-bin-hujin (nyonya agung).

Kekayaan dan keagungan, akan kau miliki semua. Sian ji

jangan kau bimbang2 lagi!”

Yak bwe tahankan amarahnya untuk mendengarkan

ceramah Sik Ko. Setelah itu barulah ia bicara: “Apakah karena

hendak membalas budi ayah terhadap diriku selama

bertahun2 itu. maka aku sengaja datang kemari untuk turut

memikul beban kesusahanmu.”

Girang Sk Ko bukan buatan. Beium Yak-bwe habis bicara ia

lantas menyeletuk. “Jadi dengan begitu, berarti keu setuju

akan pernikahan itu, Bagus, kau benar2 puteriku manis!”

“Yah, membantu kesukaran dengan utusan pernikahan

adalah dua perkara. Ayah boleh legakan pikiran, aku aku

mempunyai daya untuk membuat Thian-peh peh tak berani

mengganggu Lo-ciu. tapi untuk itu aku perlu pinjam cap

kebesaran Ciat-tok-su.”

Sik Ko kembali tersentak kaget, serunya : “Perlu apa kau

pinjam capku itu? Sian-ji, aku tak memperlakukan kau

buruk…”

Yak-bwe mengambil keluar sepucuk surat, katanya: “Adalah

karena bendak membantu kesukaran ayah, maka aku hendak

pinjam cap itu untuk dibutuhkan pada surat ini.”

“Surat apa itu?” tanya Sik Ko.

“Dengan mencontoh gaya ucapan ayah, aku telah

menyiapkan sepucuk surat kepada Tian-peh-peh. Surat ini

surat biasa saja. isinya hanya menanyakan urusan kewarasan

Tian peh peh. Apakah ayah kepingin kubacakan?”

Sik Ko terheran2, tanyanya: “Apa artinya itu? Tak hujan tak

angin mengapa menanyakan kewarasannya?”

“Memang surat biasa itu tak ada artinya jika diantar oleh

seorang pegawai kita. Tapi akan berobah makanya, jika aku

sendiri yairg akan mengantarkannya.” kata Yak-bwe.

Sik Ko berasal dari kalangan Lok-lim. Segera ia mengetahui

persoalannya “Hm, jadi kau mau menggunakan siasat kirim

golok meninggalkan surat !”

“Hanya meninggalkan surat tuk perlu menitipkan golok.

Tapi cukup mematahkan nyali Thian-peh peh juga. Hanya saja

bila ayah masih menganggap kurang cukup, biarlah nanti

kuunjukkan sedikit gaya padanya !”

Tersipu2 Sik Ko goyangkan tangannya: “Jangan, masih

belum perlu ! Kau, kau….”

Sebenarnya Sik Ko hendak mengatakan kau sudah menjadi

anggauta keluarga Tian. Tapi dengan wajah membaja Yakbwe

sudah lantas menukasnya: “Kau anggap rencanaku itulah

baik, tidak pun boleh. Tapi yang pasti, tak nanti aku menikah

dengan keluarga Tian. Kini aku sudah mengetahui bagaimana

asal usul keturunanku, bagaimana kelak seharusnya aku

menjadi manusia, aku sudah mempunyai pendirian sendiri, tak

usah ayah kesal2 memikirkan diriku lagi.”

Sik Ko cukup faham akan puterinya itu, Pikirnya : “Jika ia

memaksa akan pergi, apa dayaku untuk menghalanginya ?

Bahwa ia datang mengajak berunding padaku, itu

membuktikan bahwa ia masih tak melupakan budiku, ia masih

menganggap aku sebagai ayah. Tapi dengan rencananya itu,

terang akan menyalahi keluarga Tian. Jika caranya

melaksanakan kurang pandai tentu akan menimbulkan

bencana.”

Ia merenung sebentar, pikirnya pula : “Tapi jika tak

menurut kehendaknya, ia tentu mengambek dan tinggal pergi.

Kalau sampai fihak keluarga Tian datang menjemput

mempelainya bagaimana akan kujawabnya? Ini juga dapat

mengundang bahaya. Ah… celaka, kabarnya bingkisan

keluarga Tian sudah berada dalam perjalanan, kukuatir dalam

2-3 hari ini tentu sudah datang.”

Selagi Sik Ko dalam kebingungan tiba2 diluar terdengar

suara orang ribut mulut. Ketika didengarkannya ternyata salah

seorang pegawainya yang menjabat Koan su (pengurus rumah

tangga) tengah ribut dengan bujang perempuan yang

menjaga kamar situ.

“Aku hendak melaporkan suatu urusan penting pada

Tayhwe, mengapa kau menghalangi?” kata Koan-su itu.

Jawab sibudak perempuan : “Malam ini Tayswe mengalami

kaget, harus beristirahat. Jangan keras2 bicara nanti membikin

kaget Tayswe pula.”

Mendengar itu Sik Ko berseru keras2 : “Aku sudah bangun,

ada urusan apa itu, suruh dia masuk !”

Kemudian ia membisiki Yak-bwe : “Coba kau bersembunyi

dibelakang pintu angin sana dulu.”

Koan-su malam2 datang melapor, tentu ada kejadian yang

buruk. Demikian Sik Ko menimang2 dalam hati. Saat itu

masukkah si Koan-su. Setelah memberi hormat, ia melapor:

“Sebenarnya hamba tak berani mengganggu Tayswe, tapi

karena sebuah urusan yang luar biasa pentingnya, jadi

terpaksa datang kemari juga!”

Sik Ko kerutkan keningnya lalu memberi perintah: “Jangan

banyak ini itu, lekas ceritakan!”

Dengan nada gemetar koan-su itu berkata:

“Barang bingkisan yang dikirimkan Tian-ciang kun, ditengah

jalan telah dirampas orang!”

Sik Ko terbeliak kaget, serunya, “Dimana?”

“Dalam daerah Lo-ciu!”

“Siapa yang merampasnya?” tanya Sik Ko.

Koan-su menerangkan. “Kabarnya adalah gerombolan

penyamun dari gunung Kim ke-san dan seorang pemuda yang

menurut desas-desus puteranya Kui-ciang……”

Sik Ko marah sekali. “Hemm, lagi2 maling kecil itu!” ia

menggeram.

Si koan-su melongo, ia melanjutkan laporannya: “Tian

ciangkun mengutus orangnya kemari memberi tahukan bahwa

perampasan itu terjadi dalam daerah kekuasaan kita, maka

Tian ciangkun minta Tayswe menangkap penjahatnya. Tianciang-

kun mengatakan pula, apabila Tayswe kekurangan

tenaga, ia mau kirimkan pasukannya yang disebut Gwe-thok

Tam yang terdiri dari tiga ribu orang, untuk membantu

Tayswe!”

Wajah Sik Ko berobah membesi. Ia memberi isyarat tangan

pada Koan-su itu: “Ya, aku sudah mengerti, kau boleh pergi!”

Mengapa tiba2 wajah Sik Ko berobah membesi itu? Kiranya

pasukan Gwe-thok Tam itu, memang khusus dibentuk Tian

Seng-su untuk menyerang daerah Lo ciu. Kebetulan terjadi

peristiwa pembegalan barang bingkisan. Dengan alasan

hendak membantu Sik Ko, Tian Sengsu akan mengirim

pasukan itu ke Lo-ciu. Ini berarti mengundang harimau

kedalam rumah, Sik Ko menginsafi hal itu. Maka ia marah tapi

pun keder juga.

Begitu Koansu pergi, Yak-bwe lantas keluar dari tempat

persembunyiannya. Dengan muka berseri girang ia berseru:

“Yah, ini kebetulan sekali!”

Sik Ko makin gusar, geramnya: “Bencana bakal datang,

mengapa kau katakan kebetulan! Apa kau tak dengar laporan

Koansu tadi yang mengatakan bahwa Tian Seng-su akan

mengirim pasukannya Gwe thok-Tam?”

Yak-bwe tertawa.

“Barang lamaran itu dirampas orang, apakah itu bukan

kebetulan? Dengan tak menerima antarannya, tentu mudahlah

kelak kau membatalkan urusan pernikahan itu. Tanpa repot2

mengangkut barang itu kesana-sini dan aku dapat pergi

dengan leluasa.”

Sik Ko meringis dibuatnya. Sampai beberapa saat baru ia

berkata : “Sian-ji, kau tak suka menikah dengan keluarga

Tian, tak usah kau mengucapkan kata2 begitu. Coba kau

pikirkan saja, setelah batang antarannya hilang, mana ia

merasa puas padaku? Ia mengatakan hendak membantu aku

membekuk penjahatnya tapi itu hanya alasan kosong.

Menangkap penjahat itu hanya pelabu saja. yang benar ia

hendak menduduki daerah Lo ciu kita ini. Nah, bagaimana kau

mau suruh aku menghadapinya?”

“Justru karena hal itulah, maka ayah tak usah takut

menyalahinya. Mengapa kau tak ijinkan aku mencoba

rencanaku tadi siapa tahu kalau bencana akan dapat

dilenyapkan.”

Sekarang barulah Sik Ko mulai tergerak hatinya, pikirnya.

“Ya, ia benar. Jika berhasil, Tian Seng-su tentu dapat dipaksa

tak berani mengganggu Lociu. Kalau gagal, pun paling2 hanya

mengorbankan jiwa seorang Hong-sian saja, toh anak itu

bukan anak kandunganku sendiri.”

Habis mengambil ketetapan, ia segera mengeluarkan cap

Ciat-toksunya, Namun ia pura2 perhatian, ujarnya: “Sian-ji

gedung Tian Seng su itu dijaga kuat sekali, kau harus hati2,

jika ada lain daya, sungguh aku tak merelakan kau pergi

kesana!”

Yak-bwe membubuhkan cap itu keatas suratnya, katanya:

“Aku dapat menyesuaikan gelagat, harap ayah lepaskan

pikiran. Atas budi kebaikan ayah yang sudah memelihara aku

sampai sekian besar ini, sudilah ayah menerima sembah

baktiku!”

Habis memberi hormat, Yak-bwe terus tinggalkan gedung

Ciat-tok-su. Sik Ko seperti kehilangan sesuatu. Ia tahu bahwa

sejak saat itu, sang puteri tentu tak kembali lagi. Tapi iapun

merasa terhibur juga:

“Anak itu cukup berbakti. Sudah tahu akan asal-usulnya,

namun toh ia masih tak lupa untuk membalas budiku.”

Dalam renungannya, tiba2 ia teringat akan perbuatannya

yang lampau. Sungguh ia menyesal demi teringat akan

perlakuannya terhadap ayah bunda Yak-bwe dahulu….

Sekeluarnya dari gedung Ciat-tok-su. Yak bwe rasakan

dirinya bebas dialam raya. Girang dan terkenang juga akan

bayangan2 kehidupannya yang lampau.

“Sejak ini, akupun juga seorang gadis dunia persilatan,”

pikirnya sesaat terlintas bayangan Toan Khik-ya dalam

kalbunya, pikirnya pula: “Kelak apa bila berjumpa lagi,

mungkin ia tak memandang rendah diriku lagi!”

Teringat ia akan Sik-hujin yang menanyai apakah ia

menyukai calon suaminya itu? Kala itu ia elakan pertanyaan

dengan menjawab masih belum memikirkan soal perkawinan.

Pada hal sejak mengetahui bahwa Toan Khik-ya itu adalah

bakal suaminya, sesaatpun pikirannya tak pernah lepas pada

anak muda itu!

Sebentar ia bergirang, sebentar gelisah, pikirnya: “Ia

seorang pemuda yang baik peribadinya, berilmu silat tinggi

dan gagah serta cakap parasnya, Pemuda seperti itu sungguh

jarang terdapat didunia.”

Tiba pada renungan bahwa pemuda itu ternyata menjadi

calon suaminya, muka Yak-bwe menjadi merah. Diam2

hatinya bergirang. Tapi demi mengingat dalam perjumpaan

pertama itu ia sudah bertengkar dengan pemuda itu, ia kuatir

pernikahan mereka akan gagal. Mau tak mau Yak-bwe merasa

gundah hatinya.

Setelah menempuh perjalanan selama tujuh hari, tibalah

Yak-bwe diwilayah Gui-pok (sekarang Tay-beng-koan

dipropinsi Hopek). Dalam masyarakat kerajaan Tong pada

masa itu pergaulan pria dan wanita bebas, tidak kolot seperti

sesudah ahala2 belakangan, (menurut penyelidikan akhli

sejarah Tan In-kho: Lian Yan pendiri ahala Tong itu, berakal

dari keturunan suku Ih. sebuah suku yang tak terlalu kukuh

pada adat istiadat. Terjadinya aliran kolot yang membuat adat

istiadat feodal, baru dimulai pada ahala Song).

Pada jaman Tong itu, terurama didaerah utara, soal kaum

pria bergaul dengan wanita dan berkelana diluaran, adalah

sudah jamak. Bagitupun Yak-bwe yang kala itu menyaru

sebagai kaum kelana, setibanya didaerah Gui-pok pun tak

menimbulkan parhatian sama sekali.

Malamnya Yak-bwe ganti pakaian ringkas lalu menuju

kegedung Ciat-tok su. Ia seorang nona yang memiliki Ginkang

sempurna dan ilmu pedang lihay. Sekalipun begitu

karena baru pertama kali itu berkelana, tak urung hatinya

berdebaran juga.

“Aku telah menepuk dada dihadapan ayah. Kalau sampai

pulang dengan hampa tangan, wah, malulah!” demikian

pikirnya. Kemudian ia merasa geli sendiri: “Beberapa hari yang

lalu, ia (Toan Khik-ya) secara diam2 masuk ke gedung ayah

dan aku memakinya sebagai pencuri kecil. Ai, tak nyana kalau

sekarang akupun juga memasuki gedung Tian-pehpeh diam2

dan menjadi pencuri kecil juga,”

Seteluh melewati tembok, masuklah ia ke halaman

belakang dari Ciat-tok-su. Ternyata di-bagian taman situ sunyi

senyap keadaannya tampak barang seorang penjaganya sama

sekali. Ia menunggu beberapa saat. Jangankan kawanan

penjaga, sedangkan kentongan rondapun tak kedengaran

bunyinya.

“Konon kabarnya Ciak tok-bu Tian-pehpeh itu di jaga kuat

sekali. Tiga ribu anak buah pasukan Gwe-thok-lam, tiap2

malam begiliran menjaga gedung ini. Tapi mengapa tak ada

apa2nya? Apakah kabar2 itu hanya kabar bohong belaka? Jika

begini naga2nya penjagaan di gedung ayah itu lebih baik dari

sini!” pikirnya. Nyali Yak-bwe menjadi besar. Dan taman itu, ia

terus masuk kedalam. Belum berapa saat ia berjalan, tiba2 ia

menampak ada dua orang Bu-su berdiri disamping sebuah

gunung2an palsu. Satu dipinggir sini, satu disana. Mereka

tegak berdiri seperti patung sedikitpun tak bergerak.

Sekalipun tidak gugup, namun Yak-bwe juga berjaga2.

Tiba2 ia ragu2 apa lebih baik menyergap dan menutuk jalan

darah mereka atau menghindari mereka? Beberapa jenak

kemudian perhatiannya tergugah, Sikap kedua Bu-su uu

mencurigakan sekali. Posisi mereka sejak tadi tidak berobah

yang satu tengah mengacungkan tombak dan yang satunya

lagi mengangkat pukul besi. Sikapnya seperti orang2an batu

yang dibuat menghiasi gunung2an palsu disitu.

“Manusiakah atau orang2an saja?” tanya Yak bwe dalam

hati. Ia tabahkan hati dan maju menghampiri. Astaga, kiranya

mereka itu memang benar manusia hidup, hanya saja tak

berkutik karena sudah tertutuk jalan darahnya. Diam2 Yakbwe

terkejut dan girang.

“Oh, ternyata ada lain orang yang lebih dulu dari aku

masuk kemari. Siapakah dia?” tanyanya pada diri sendiri.

Dari situ ia maju terus. Dan kembali ia melihat

pemandangan yang serupa. Ada 18 orang Bu su tak berkutik

karena tertutuk jalan darahnya, Yak-bwe makin bertambah

herannya Pikirnya:

“Jika semua ini dilakukan oleh satu orang saja, wah hebat

sekali dia! Suhu sering mengatakan sepandai2 orang masih

ada yang lebih panpai lagi. Ucapan itu benar sekali. Rupanya

orang itu memusuhi Tian-pehpeh, tentu takkan mengganggu

aku. Ah. tak perduli siapakah dianya, lebih baik kukerjakan

urusan ku sendiri!”

Gedung Ciat-tok hu dari Tian Seng-su itu lebih luas dari

gedung Sik Ko. Kamarnya berderet2 tinggi rendah sedikitnya

ada beberapa ratus buah. Selagi Yak-bwe bingung bagaimana

akan mencari kamar Tian Seng-su, tak terduga2 ia telah

mendapatkan apa yang dicarinya tanpa harus berjeri payah

lagi.

Bermula ia naik ketengah wuwungan, dari situ ia

memandang keempat penjuru. Tiba2 ia mendengar suara

“harr hurr”, yang aneh Yak bwe segera menghampiri ketempat

datangnya suara aneh itu. Ia tiba disebuah gedung besar yang

terusan dengan halamannya. Waktu memandang kebawah,

kembali ia merasa mengkal dan geli lagi.

Apa yang disaksikan disebelah bawah itu, adalah sebuah

pemandangan yang aneh dan lucu. Pada kedua samping

serambi dari halaman itu, bertumpukan beberapa sosok tubuh

dari kawanan Bu-su yang tidur pulas. Sana setumpuk sini

setumpuk. Suara aneh tadi, ternyata adalah suara dengkuran

dari kawanan Bu-su yang menggeros seperti babi.

“Ah, ini tentu perbuatan orang itu lagi. Tapi entah ilmu apa

yang digunakannya hingga kawanan Bu-su itu dapat dibikin

tidur pulas seperti orang mati ? Dengan adanya kawanan Busu

yang begitu banyak jumlahnya, tentunya disini adalah

tempat kediaman Tian-pehpeh.” demikian ia membatin.

Yak-bwe ambil putusan untuk turun kebawah. Ia melayang

turun, menyelinap kian kemari uatuk menghindari kawanan

Bu-su dan akhiinya berhasillah ia mendapatkan kamar Tian

Seng-su itulah sebuah kamar yang besar, tapi pemandangan

didalam kamai itu menggelikan sekali. Lilin masih memancar2,

perapian dupa mengepul2, disana sini dayang2 tegak

berpencaran. Adegan disitu mirip dalam sandiwara. Belasan

bujang2 perempuan itu melakukan posenya masing2, ada

yang menyandar ke dinding, ada yang tengah mengipas2, ada

yang tundukkan kepala terkulai dan ada pula yang

menengadah kebelakang. Mereka sama tidur mendengkur

dengan pulasnya……

“Hm, benar2 nikmat sekali hidup Tian-pehpeh itu, masakan

tidur saja diladeni oleh sekian banyak bujang gadis2. Manusia

yang begitu mesum, seharusnya diberi sedikit pengajaran ?”

diam2 Yak bwe membatin.

Yak-bwe ingin sekali mengetahui bagaimana keadaan Ciattok-

su itu. Melesat masuk, ia lantas menyingkap kain kelambu.

Diatas ranjang yang hiasannya itu, berbaringlah Tian Seng-su,

Ciai-tok-su dari Daerah Gui pok. Bantalnya di sulam indah

dengan benang emas, dimuka bantal itupun menonjol

sebatang pedang Chit-sing-kiam dan tampak dimuka pedang

itu menggeletak sebuah kotak emas yang tutupnya terbuka.

Didalamnya terdapat tulisan dari nama para malaekat Pak-tousm.

Kiranya Tian Seng-su itu amat takhayul sekali. Ia percaya

dengan Hu yang bertulisan mantra2 malaekat itu akan dapat

mengusir segala bahaya, selain itu, terdapat juga wangi2an

dan permata2 yang indah permai.

“Biar ku ambil kotak ini untuk kuberikan pada ayah (Sik Ko)

selaku bukti”, akhirnya Yak-bwe mendapat pikiran. Diambilnya

kotak itu sebagai gantinya ia letakan sampul suratnya yang

sudah dibubuhi dergan cap Sik Ko.

Setelah habis melakukan itu, ia terus hendak berlalu. Tapi

tiba2 matanya tertumbuk pada sebuah sampul surat yang

terletak diatas meja. Surat itu dilekatkan dengan sebilah belati

kecil, Yak-bwe terkesiap, pikirnya: “Oh, kiranya orang itu juga

serupa tujuannya dengan aku yakni hendak mengirim golok

meninggalkan surat.”

“Mengirim golok meninggalkan surat” adalah sebuah latihan

dunia persilatan yang berarti memberi ancaman pada

penerimanya.

Terdorong oleh rasa kepingin tabu, Yak-bwe menghampiri

meja itu dan lantas mencabut belati pemaku surat. Waktu

membaca surat itu, girangnya bukan kepalang.

Ia terloyong-loyong seperti orang kehilangan semangat!

Kiranya pada surat itu hanya tertuliskan enam kalimat yang

terdiri dari dua puluh empat huruf. Bunyinya ialah. “Semuanya

mengambil kas negara, menghamburkan untuk bingkisan

kawin, harta yang tidak halal, segala orang boleh

mengambilnya. Jika coba menyelidiki, batang kepalamu akan

kuambil.”

Susunan kalimatnya bagus, maksudnya jelas. Tapi yang

lebih mengejutkan Yak-bwe, ialah tanda tangan yang

dibubuhkan dibawahnya. Ke 3 huruf tanda tangan yang

mendebarkan jantung Yak-bwe itu, bukan lain berbunyi: “Toan

Khik ya”

“Hai, kiranya dia! Apakah ia sudah berlalu dari sini? Baik

aku menjumpainya atau tidak?” demikian Yak bwe bertanya

pada dirinya sendiri.

Selagi ia masih terbenam dalam pikiran, tiba2 ia dikejutkan

oleh suara tiupan terompet. Menyusul terdengar suara orang

berteriak2: “Celaka, ada penjahat menyelundup masuk!”

Dalam beberapa saat kemudian, suara orang makin berisik

sekali. Ada yang berseru: “Hai, ada dua kawan yang tertutuk

jalan darahnya, lekas undang suhu kemari!”

Ada yang menjerit: “Astagafirulah! Ada setan! Mengapa

orang2 ini semua pada tidur, dibangunkan tak mau bangun?

Tolol mereka kena dupa bius bintang!”

“Biarkan dulu mereka cepat lindungi Tayswe!”

Diam2 Yak-bwe mengambil putusan untuk lolos saat itu

juga. Sembari putar pedang, ia menerobos keluar dari jendela.

Kawanan Bu-su yang tengah mendatangi itu serempak

berseru: “Penjahatnya datang, penjahatnya datang!”

Ada yang segera lari masuk kedalam kamar untuk

melindungi Tayswe mereka (Tian Seng-su) ada yang mengejar

Yak-bwe. Paser, huipiau dan bermacam-macam senjata

rahasia berhamburan melayang kearah Yak-bwe. Tapi Yakbwe

gunakan gin-kang pat-poh-kam-sian, dalam beberapa

loncatan ia sudah dapat melampaui tiga buah gununggunungan

palsu, Jangankan kawanan busu itu sedangkan

segala macam senjata rahasia yang menghujaninya dari

belakang tak dapat menyentuh tubuh nona itu.

Dibawah sinar rembulan remang, kawanan Bu-su itu hanya

menampak sesosok bayangan hitam lari seperti angin puyuh,

Dalam sekejap mata, bayangan itu sudah lenyap ditelan

kegelapan. Dengan begitu kawanan Bu-su itu tak dapat

melihat jelas keadaan penjahat yang di burunya itu.

“Penjahat lari kesana. penjahat lari kesana!” hiruk pikuk

mereka berkaok kaok sendiri,

Diam-diam Yak bwe geli dalam hatinya: “Ha. pasukan Gwe

thok lam yang dibentuk Tian peh peh itu ternyata hanya

kawanan gentong nasi belaka!”

Baru berpikir sampai disitu, tiba2 terdengar orang berseru,

“Penjahatnya berada disini!”

‘Wut’

mendadak sebatang hui-piau menyambar kearah Yak-bwe.

Yak-bwe dapatkan desing hui-piau ini jauh berlainan

perbawanya dengan hui-piau yang dilepas kawanan Bu-su

tadi. Ia tak berani memandang rendah, terus putar pedang

menyampoknya jatuh. Tapi hui piau yang kedua dan ketiga

berturut-turut menyusul datang. Yak-bwe mendongkol

hatinya: “Hem, jika tidak di beri hajaran, tentu kamu tidak

kapok!”

Ia mengisar kesamping untuk menghindari hui-piau yang

kedua. Tapi untuk hui-piau yang ketiga, ia ulurkan tangan

untuk menyambarnya, lalu kontan timpukkan kepada

pengirimnya. Orang itu sudah siap hendak melepaskan huipiau

keempat, tapi tahu2 ada benda berkilat menyambar. Ia

keburu menghindar, ujung keningnya termakan sampai keatas

kepala. Kepalanya segera mengucurkan darah. Untung kalau

ia hanya terluka begitu karena Yak-bwe memang tak

bermaksud melukai orang. Coba nona itu mau mengganas,

masakan dia masih bernyawa!

“Penjahat amat lihay, Suhu, lekas datang! Disini ia disini!”

seru orang itu.

Menyusul dengan itu terdengar susra orang menyahut :

“Kalian jangan takut, aku segera datang!”

Bermula suaranya masih jauh, tapi berbareng dengan

selesainya berkata2, orang itupun sudah dekat sekali. Nada

suaranya gerontang seperti logam dipalu dan memekakkan

telinga.

Yak bwe terkesiap kaget, pikirnya : “Mengapa iblis tua itu

berada digedung Tian-pehpeh ? Celaka, aku bukan

tandingannya !”

Ternyata Yak-bwe cukup faham akan suara itu. Orang yang

ber-gegas2 mendatangi itu bukan lain ialah seorang

benggolan besar yang tenar sekali namanya didunia

persilatan. Beberapa tahun lamanya, ia pernah menjadi “Tay-

Iwe-cong-koan (pemimpin pengawal istana) dari An Lok-san.

Namanya Yo Bok-lo, digelari orang sebagai Chit-poh-tui-nun

atau tujuh langkah memburu nyawa.

Bukan melainkan tahu namanya saja, pun Yak-bwe pernah

merasakan kelihayan Yok Bok lo itu. Peristiwa itu terjadi ketika

Yak-bwe berusia 10 an tahun. Pada masa itu ayah pungutnya

(Sik Ko) masih menjadi salah seorang panglima dari An Loksan.

Pada suatu hari. An Lok-san telah mengadakan

perjamuan besar di-istananya Li-san-heng-kiong.

Yang diundang dalam perjamuan itu ialah menteri2,

panglima2 dan utusan2 daerah. Sik Ko dan Huciangkun (wakil

panglima) Sip Hong juga mendapat undangan. Yak-bwe

dengan kawannya, yakni anak perempuan Sip Hong yang

bernama Sip In-nio, ikut serta dengan menyaru sebagai anak

lelaki. Pun anak perempuan dari Ong Peh-thong Lok lim-beng

ciu (ketua perserikatan penyamun) pada masa itu, ikut sang

ayah menyelundup kedalam istana. Bocah perempuan yang

kepingin melihat keramaian itu bernama Yan-ik.

Ditengah perjamuan berlangsung, Thiat-mo-lek, seorang

pendekar besar, telah menimbulkan kegaduhan. Thiat-mo lek

berhadapan dengan Yo Bok lo dan Ong Yan ik membantu

Thiat-mo-lek untuk mengeroyok jagoan istana itu. Dasar

bocah, Yak-bwe dan Sip In-nio tak mau berpeluk tangan,

mereka membantu Ong Yan ik, Ketiga anak perempuan itu

berhasil melukai beberapa wisu (pengawal istana) An Lok san,

tapi hampir saja mereka celaka didalam tangan Yo Bok lo yang

ganas itu. Akibat dan peristiwa itu. Sik Ko menjadi ketakutan

dan terpaksa membalikan muka pada An Lok san takluk

kepada kerajaan Tong.

Waktu Yak bwe mencium gelagat akan datangnya Yo Bok

lo, ia sudah merasa gentar: “Jika kesamplokan dengan iblis

itu. sukarlah aku meloloskan diri.”

Di muka tergencet, dari belakang dikejar. Dalam keadaan

yang terjepit itu. tiba2 timbullah pikiran Yak-bwe. Sebelum Yo

Bok-Io datang, ia buru2 loncat melampaui sebuah tombak lalu

bersembunyi dalam sebuah kamar.

“Gedung Ciat-tok-su itu luas sekali, kamarnya beratus

buah, masakan mereka dapat menggeladah semuanya. Untuk

sementara, biar aku bersembunyi dulu untuk menunggu

kesempatan,” pikirnya :

Tiba2 dalam kamar terdengar suara seorang wanita

berkata: “Toa-kongcu mengapa kau tak lekas2 bangun? Coba

dengarkan, diluar begitu ributnya tentu terjadi apa2!”

Seorang lelaki yang suaranya kemalas2an menyahut:

“Perduli apa dengan ribut2 itu ? Kau temani aku tidur lagilah,

kita jarang sekali berkumpul.”

“He, celaka ! Dengarkan mereka berteriak-teriak akan

menangkap penjahat !” kembali wanita itu berseru.

Sebaliknya silelaki malah tertawa : “Jika ada kebakaran

mungkin aku akan cemas. Kalau ada penjahat atau pencuri,

perlu apa takut ? Ayah ku mempunyai pasukan Gwe-thok lam

yang terdiri dari tiga ribu orang dan akhir2 ini telah

mengundang Chit-poh tui-hun Yo Bok-lo kemari. Ai. nona

manis, ibu tercinta, kasihanilah pada diriku. Baru hendak

kupeluk, kau lantas suruh aku bangun?”

“Fui”, demikian wanita itu menyemprot, katanya dengan

genit; “Ah, memang sudah di takdirkan rupanya dalam

penghidupanku ini mesti selalu kau recoki saja. Jika kawanan

pengawal menggeledah kemari, hendak kutaruh dimanakah

mukaku nanti? Apabila ayahmu sampai mengetahui, lebih

celaka kita. Kau panggil aku sebagai ibu, aku sungguh

keberatan. Namun baik atau buruk aku memang juga seorang

Ih niomu (ibu tiri).”

“Kau takut ketahuan mereka? lekas sembunyi dalam sini.

Ih-nio yang baik, jangan kuatir, jika aku yaug melarangnya,

siapa yang berani masuk kemari?” kembali lelaki itu tertawa.

Mendengar ini merah padamlah selebar muka Yak bwe. Ia

baru mengetahui siapa kedua laki perempuan adalah

gundiknya Tian Seng Su, sedang silelaki bukan lain ialah

putera Tiang Seng Su yang manis. Tian-toakongcu yang dipuji

setinggi langit oleh Sik Ko.

“Mereka adalah sepasang anjing laki perempuan yang tak

tahu malu. Cis, untung aku keburu mengambil putusan sendiri

hingga tak jatuh dalam perangkap mereka. Jika sampai

menikah dengan manusia semacam binatang itu lebih baik

mati saja.” bisik batin Yak Bwa dengan muaknya.

Dalam pada itu kedengaran siwanita lagi tertawa genit.

“Oh. anakku, tambatan hatiku, sekarang kau begitu tergila2

padaku tetapi setelah nanti mempelaimu datang, apakah kau

masih ingat padaku?”

“Jika sampai lupa padamu, biarlah aku mati dengan

sengsara. Akupun bukan seorang lelaki yang takut pada bini,”

sahut silelaki.

“Ha, jangan buru2 menyatakan janji dulu! Ketahuilah, calon

mempelaimu itu adalah puterinya Sik ciat-tok-su!”

“Apa yang luar biasa dengan puteri seorang Ciat tok su?

Aku pun puteranya seorang Ciai tok su juga,” jawab silelaki,

“Kabarnya puteri dari Sik ciat tok su itu memiliki

kepandaian silat yang tinggi. Kau tentu kau bukan

tandingannya!”

“Ngaco! Jangan pandang rendah diriku aku pun seorang

Bun bu coan cay (mengerti ilmu surat dan silat). Mungkin

karena merdapat pelajaran sedikit ilmu pedang dari ayahnya

orang2 lalu menyohorkan nama itu lihay. Aku tak percaya

sama sekali seorang nona lemah seperti itu benar2 lihay ilmu

silat. Baik, kau boleh lihat sendiri, begitu nona melangkah

masuk pintu kita, aku segera akan menyambutnya dengan

sebuah pukulan!”

Wanita itu tertawa: “Ha, kau ini, masakan hari pertama

sudah mau menghajar isterimu?”

“Ya, lihat sajalah! Jika tak dapat menghajarnya sampai

meratap minta ampun, jangan panggil aku seorang lelaki,

seorang jantan!”

Mendengar itu Yak-bwe mendongkol dan geli, pikirnya:

“Jika tak kuberi hajaran, sepasang anjing itu tentu

menggonggong tak keruan dan terus menghina diriku!”

Segera ia sabet putus palang jendela, terus loncat masuk.

Karena Tian Seng Su itu asalnya dari seorang penyamun

besar, jadi puteranya itupun mengerti juga beberapa jurus

ilmu silat. Tapi mana mampu menandingi Yak-bwe? Baru

pemuda itu berteriak kaget dan hendak loncat bangun dari

tempat tidur ia sudah dibikin tak berdaya oleh Yak-bwe yang

menutuk jalan darahnya.

“Kongculah yang memaksa aku, bukan kemauanku sendiri,”

demikian wanita itu segera meratap. Karena gelap, ia kira

perbuatan mesum mereka telah tertangkap basah dan

menyangka Yak-bwe orang suruhan Tian Seng-su.

“Supaya jangan berteriak.” Yak-bwe segera menutuk jalan

darah wanita itu. Tapi dia jadi kaget dan gusar demi jarinya

menyentuh tubuh siwanita yang ternyata tak memakai barang

selembar pakaianpun.

“Benar2 sepasang anjing yang tak tahu malu!” dampratnya

sembari tendang wanita itu kebawah kolong ranjang.

Baru Yak-bwe hendak memberi giliran pada anak Tian

Seng-su, tiba2 diluar terdengar suara teriakan Yo Bok-lo:

“Bangsat, hendak lari kemana kau?”

Heran Yak-bwe dibuatnya.

“Apakah matanya dapat menembus tembok sehingga dapat

melihat aku disini?” tanyanya dalam hati.

Tiba2 terdengar suara gelak tertawa dan seorang anak

muda.

“Bangsat tua, sebenarnya aku hendak berlalu, tapi karena

kau berada di sini, aku sengaja berhenti! Bangsat tua

pentanglah matamu lebar2 masih kenalkah padaku?”

Darah Yak-bwe tersirap jantungnya melonjak girang. Suara

itu adalah suara Toan-Khik ya. Segera anaknya Tian Seng-su

didorongnya roboh lalu diinjaknya dipakai ancik2 untuk

melongok keluar jendela.

Ia lihat dua sosok bayangan laksana dua ekor burung yang

terbang dari dua jurusan, saling berbentur, bum…. yang dari

sebelah kanan berperawakan tinggi besar dan terhuyunghuyung

beberapa langkah kebelakang. Sebaliknya yang dari

sebelah kiri bertubuh kurus dan terpental keudara dan

berjumpalitan kemudian turun ke bumi dengan gaya yang

indah sekali.

“Bagus, bangsat kecil she Toan, aku justeru sedang

mencarimu!” seru bayangan hitam yang tinggi besar, itulah Yo

Bok lo adanya.

Ternyata benggolan itu memang matanya buta satu. Tujuh

tahun berselang ia pernah bertempur dengan Toan Kui-ciang

dan puteranya (Toan Khik-ya). Dalam pertempuran itu Toan

Khik-ya telah mencukil sebuah biji mata Yo Bok-lo. Bertemu

dengan musuh lama, sudah tentu mata Yo Bok-lo jadi merah

membara.

“Hai bangsat tua, jika kau ingin buta kedua matamu,

majulah!” Toan Khik-ya menantangnya.

“Jangan kurang ajar. serahkan jiwamu!” Yo Bok-io

menggerung sambil menerjang dengan kedua tinjunya. Tapi ia

bukannya menyerang secara kalap, karena dalam benturan

tadi, ia dapatkan tenaga sianak muda sudah jauh lebih maju

dari dulu.

“Ho, mungkin kau tak mampu berbuat begitu, coba lihat

saja siapa yang akan menyerahkan jiwanya!” sahut Khik-ya

dengan dingin. Ia melangkah dalam posisi tiong-kiong dan

tusukkan pedangnya kejalan darah hian-ki hiat didada si iblis.

Dalam ilmu pelajaran silat ada sebuah dalil: “golok berjalan

keputih, pedang berjalan kehitam”. Artinya golok itu harus

digunakan untuk membacok dari sebelah muka dan pedang

untuk menyerang dari samping. Tapi Toan Khik-ya sangat

mengandalkan akan ilmunya ginkang. Apalagi dalam tubrukan

tadi, ia merasa tak kalah. Nyalinyapun semakin besar. Sekali

serang ia merapat maju se-olah2 lawannya tak dipandang

sebelah mata.

Julukan Yo Bok-lo yalah Chit-po-tui-hun, sebuah julukan

yang tak kosong karena dalam ilmu pulkulan dan gerakan kaki

memang ia memiliki keistimewaan. Pun dalam hal tenaga,

sebenarnya ia lebih tinggi setingkat dari Toan Khik-ya.

Mengapa dalam tubrukan tadi Toan Khik-ya sampai tak

menderita apa2 itulah karena ia mengandalkan ilmu gin-kang

yang lihay. Dalam serangan saat itu. Yo Bok-lo gunakan siasat

menyerang sambil menjaga diri. Bagaimana reaksi lawan,

tetap akan dapat diikutinya. Sebuah siasat yang mudah

berobah tapi sukar diduga perobahannya.

Serangan merapat maju dari Toan Khik-ya, justru itulah

yang diharapkan. Ia mundur selangkah dan menarik

tangannya untuk melindungi dada. Saketika Toan Khik-ya

merasa ujung pedangnya itu tertumbuk dengan sebuah

tenaga keras yang tak kelihatan. Ujung pedang hanya terpisah

satu2 senti saja dari ulu hati Yo Bok lo, tapi macet tertahan

kekuatan aneh itu. Karena macet, permainan pedang Toan

Khik-ya tak kapat berkembang lagi.

Inilah saat yang di nanti2 Yo Bok-lo, sekonyong2 ia

menggerung keras, kedua tangannya didorong kemuka

sekuat-kuatnya. Perbawanya seperti gunung roboh menimpa

lautan !

Saat itu sejumlah besar kawanan Bun-su dan bujang2 Ciat

tok-hun sudah datang dengan membawa obor. Mereka

beramai2 hendak melakukan pengeledahan. Dari jendela

tadilah Yak-bwe, meskipun tak jelas sekali, dapat melihat

jalannya pertempuran antara Toan Khik ya dan Yo Bok lo.

Sewaktu Khik ya seenaknya maju merapat, diam2 Yak bwe

sudah mengeluh. Dan pada saat pedang sianak muda macet,

Yak bwe kaget sekali. Lebih2 ketika Yo Bok lo memukul

dengan kedua tinjunya, hampir saja Yak bwe menjerit.

Untung ia tak melakukan hal itu karena dalam saat2 yang

berbahaya itu, Toan Khik ya telah menunjukkan suatu gerakan

ginkang yang luar biasa indahnya. Anak muda itu mencelat

keudara dan loloslah dia dari lubang jarum, “Plak”

menghantam Toan Khik-ya.

Pukulan Yo Bok-lo itu telah mendapat sasaran batu, sebuah

batu besar segera hancur lebur. Kepingan batu itu muncrat

ke-mana2, ada beberapa anggota pasukan Gwe-thok-lam

terluka karena kecipratan. Kawanan Bu-su itu menjadi jeri dan

sama menyingkir jauh2.

Diudara toan Khik-ya gunakan gerak Kok cu-hoan-sin

(burung merpati membalik tubuh). Ia berjumpalitan dan

sambil melayang turun ia sudah jujukan ujung pedang kearah

beberapa jalan darah dibelakang batok kepala siiblis. Yo Boklo

pun bukan jago empuk. Sebat sekali ia berputar tubuh dan

tutukan tiga jarinya ke pergelangan tangan sianak muda. Bret,

lengan baju iblis itu terpapas kutung tapi pedang Toan Khik-ya

pun menjadi mencong arahnya. Yo Bok-lo kehilangan secarik

lengan baju Toan Khik-ya gagal mendapat sasaran.

Untuk menghindari tutukan lawan. Toan Khik ya terpaksa

melayang kesamping. Setiba kakinya diianah ia rasakan

pergelangan tangannya agak sedikit sakit. Diam2 ia berjengit

dalam hati: “Pukulan iblis itu benar2 lihay tak boleh

kupandang rendah,”

Waktu bergebrak lagi. Khik Ya keluarkan ilmu pedang Wan

kong-kiam-hoat ajaran suhunya, Ia bergerak dengan lincah

dan gesit. Menyerang maju seperti seekor kera menerobos

semak pobon. mundur laksana ular menurut ke dalam lubang,

melayang keudara bagaikan garuda membubung kelangit dan

loncat menerjang seolah2 harimau menerkam. Maju

menyerang mundur bertahan berputar2 seperti angin, setiap

gerakannya serba cepat seperti kilat. Empat perjuru se-olah2

penuh bayangannya

Yo Bo -lo menang dalam tenaga, tapi kalah dalam ilmu ginkang.

Ia dapat memukul serangan pedang menjadi mencong

tapi tak mampu mengenakan tubuh sianak muda. Kekuatan

mereka tampak berimbang. Karena Yo Bok-lo dengan pukulan

sakti itu tak dapat mengapa-apakan lawan, maka dalam

penilaian, Toan Khik yalah yang berada diatas angin. Ialah

yang memegang inisiatif penyerangan. Ini hanya penilaian

saja karena kenyataannya anak muda itupun tak dapat

membobolkan pertahanan diri dari iblis yang kukuh bagai

benteng baja itu.

Menyaksikan pertempuran itu, terbukalah hati Yak-bwe,

pikirnya : “Usianya sebaya dengan aku tapi sudah sedemikian

lihaynya, ah, sungguh membuat orang kagum sekali !”

Dan melayanglah pikirannya pada malam pertemuan

dengan anak muda itu: “Ah, kiranya sewaktu bertempur

dengan aku, ia masih mengalah. Paling2 ia hanya

mengeluarkan separuh kepandaiannya saja. Ah, sayang aku

keliwat ceroboh dan hanya tahu memaki2nya saja!”

Berpikir sampai disini ia merasa girang dan menyesal.

Girarg karena calon suaminya ternyata seorang jago muda,

menyesal sebab ia telah salah memperlakukannya: Karena

terpengaruh oleh getaran perasaannya, tanpa terasa ia

keraskan injakannya. Putera Tian Seng-su itu terkutuk jalan

darahnya jadi walaupun kesakitan sekali ia tak dapat menjerit,

paling2 mulutnya hanya ngosngosan seperti kerbau hendak

disembelih.

Tiba2 di sebelah luar tedengar kawanan Bu-su berteriak?-

“Go thong-leng datang, hura…. Go thong-leng datang!”

Segera kawanan Bu-su itu menyibak kesamping dan

muncullah seorang lelaki tegar kemuka. Kepalanya bundar

besar macam kepala harimau kumbang, tubuhnya besar dan

langkahnyapun lebar. Kiranya orang itu yalah thong-leng

(pemimpin) dari pasukan Gwe-thok-lam yang bernama Go

Beng-yang. Datangnya sang pemimpin itu telah disambut

dengan penuh harapan oleh kawanan Bu-su. Malam itu

mereka sakit hati karena dihajar Toan Khik ya dan dipandang

rendah oleh Yo Bok-lo, maka begitu sang pemimpin datang,

sekarang Bu-su segera sengaja berseru: “Go thong-leng,

bangsat kecil itu lihay benar, Yo-losiansing mungkin tak

mampu mengatasinya!”

Go Beng-yang mendengus, serunya: “Seorang maling kecil

yang bisanya cuma mengunakan obat-bi-hiang, sampai

dimana lihaynya, menyingkir kalian, lihat caraku

meringkusnya.”

Dengan lagak macan lapar, ia tampil kedepan dan berseru

nyaring: “Yo lo-siansing, jangan kuatirlah, aku datang

membantumu!”

Memang apa yang dikatakan oleh Thon-leng Gwe-thok-lam

itu benar. Toan khik ya memang menggunakan dupa bi-hiang

untuk membikin pulas kawanan penjaga digedung Ciat-tok-hu

situ. Ia mempunyai dupa pembius itu karena diberi oleh

Suhengnya,Gong-gong-ji.

Gong-gong-ji adalah maling mahaguna nomor satu diduma

persilatan. Dupa bi-hiang yang dibuatnya sendiri, juga merajai

seluruh dupa-bius yang terdapat didunia persilatan. Di banding

dengan dupa-bius yang banyak digunakan oleh kaum

persilatan yakni dupa Ke-hing-ing-ko-han hun-hiang, dupa bihiang

dari Gong-gong-ji itu jauh lebih hebat beberapa kali.

Kedudukan Yo Bok lo berserta ke 7 orang muridnya itu

adalah sebagai jago undangan dari Tian Seng su, jadi mereka

tak bertugas melakukan penjagaan malam. Itulah sebabnya

maka mereka tak terkena dupa bius itu. Yang memergoki

Toan Khik ya dan Yak bwe, lebih dulu adalah murid2 dari Yo

Bok lo, setelah itu baru anggauta pasukan Gwe thok lam dan

kawanan bujang. Jadi seluruh anggauta2 Gwe thok lam yang

bertugas jaga malam itu, kecuali Go Beng yang, semuanya

telah tertidur pulas.

“Kau maki aku sebagai bangsat kecil yang melakukan

perbuatan rendah! Hm, jika aku mau berbuat begitu masakan

kau masih bernyawa? Apa kau tahu mengapa kugunakan bi

hiang! Hm: kusayangkan karena kalian makan gajih dari Tian

Seng su, lantas kalian akan jual jiwa padanya. Jika kalian tidak

dibikin tidur, karena sungkan pada majikan, kalian tentu

menempur aku. Pedangku ini tak bermata, salah2 tentu

melukai kalian. Tapi sayang seorang tolol sebagai kau ini tak

dapat mengerti kebaikan orang, bahkan masih

membanggakan diri sebagai Hohan. Sebenarnya kau boleh

berpura2 tidur seja, mengapa cari sakit ingin menemani siiblis

tua Keakhirat? Hm, sungguh goblok benar!”

Toan Khik-ya baru berumur tujuh belas tahun, jadi sifat

kekanak kanakannya masih belum hilang. Hatinya ingin

mengatakan sesuatu, kontan sang mulut lantas

menumpahkan. Sudah tentu Go Beng yang berjingkrak seperti

orang yang pantainya tertusuk jarum.

“Ha, ha, bocah yang bermulut besar, berani benar kau

menghina orang? Apa yang kau andalkan untuk melawanku?

baiklah, akupun tak mau buru-buru mencabut jiwamu, tetapi

akan kuberikan tiga ratus kali gebukan dulu!”

Habis berkata ia maju dan menyerang dengan ilmu silat

Hun-kin-jo kut-chiu. Sebagai ahli silat ternama, bukan ia tak

tahu bahwa permainan pedang Toan Khik-ya itu luar biasa

indahnya, tapi dikarenakan ia terlalu yakin akan ilmunya Hunkin

jo-kut-chiu yang tiada tandingannya didunia dan lwekang

Khun-goan-it-bu-kang yang sudah dilatih sempurna, maka

lapun tak gentar. Memang selama ini, ia belum pernah kalah

dalam setiap pertandingan.

Disamping itu, iapun mempunyai alasan lain mengapa

hendak mengunjuk kegagahan dihadapan Yo Bok-lo itu. Ia

merasa iri hati akan nama Yo Bok-lo yang lebih tenar dari ia

sendiri dan merasa tak puas karena Tian Seng su lebih

menghargai orang she Yo itu. Diam diam ia merasa kuatit

kedudukannya akan direbut oleh Yo Bok-lo.

Justeru Yo Bo-lopun mengandung pikiran yang sama

dengan Go Beng-yang. Ia mendongkol sekali mendengar

ucapan besar dari orang she Go tadi,

“Hm, orang macam apa kau ini Go Beng-yang, berani

memandang rendah padaku ? Baik, biar kumenyingkir

kesamping, untuk melihat bagaimana ia hendak unjuk aksi.”

Memang beginilah mentalnya kaum budak. Coba mereka

berdua bersatu padu untuk mengerubut Toan Khik yasekalipun

tak dapat manangkap hidup2 anak muda itu,

sekurangnya dapat juga memenangkan pertandingan ini.

Oleh karena akan melihat kepandaian Go Beng-yang maka

Yo Bok-lo pun tak mau menyerang sungguh2. Ini berarti

memberi kemurahan pada Toan Khik-ya. Sebaliknya Khik ya

juga panas mendengar kecongkakan orang.

“Bagus !” serunya demi Beng yang mulai meyerang. Ia

tabaskan pedang dan tinju kirinya menyusul menghantam.

Ternyata Beng yang tak bernama kosong. Miringkan tabuh

kesamping, ia sepeta mencengkeram bahu sianak muda.

Sebenarnya tulang pipeh dibahu orang itu, adalah bagian yang

paling sukar untuk dilukai. Sekali bagian di bahu dicengkeram,

tentu orang menjadi tak berdaya lagi. Tapi kepandaian yang di

miliki Toan Khik ya itu berasal dari partai Ciang-leng-cu, Ilmu

silat dari Ciang-leng-cu itu berbeda sama sekali dengan aliran

ilmu silat di Tionggoan. Lwekang dari Ciang-leng-cu itu dapat

dilatih sampai kebagian bahu, sehingga bahu berobah menjadi

keras seperti baja. Itulah sebabnya mengapa waktu jari Bengyang

menyentuh bahu Toan Khik ya seperti membentur

dinding baja. Jari terpental dan sakitnya bukan buatan.

Baik Beng yang maupun Khik-ya sama2 bergerak dengan

cepatnya. Bersamaan waktunya ketika jari Beng-yang

membentur bahu Toan Khik-ya, pun tinju kiri Khik ya sudah

membentur tangan lawan juga. Bluk, masih Beng yang coba

menyelamatkan diri dengan sebuah gerak jungkir balik, tapi

bagaikan bayangan yang selalu mengikuti orang, pedang Khik

ya sudah merangsangnya,

“Kena!” berbareng mulut pemuda itu berseru. Ujung

pedangnyapun sudah memakan paha lawan.

Masih untung anak muda itu merasa kasihan, jadi ia hanya

mengguratnya saja. Coba ia mau berlaku kejam, Beng yang

pasti sudah kehilangan sebelah pahanya. Sekalipun begitu,

diam2 Khik ya juga terperanjat. Ia dapatkan orang she Go itu

juga lihay sekali. Jika bertempur satu sama satu, walaupun

berkat Ginkangnya kemungkinan besar ia dapat menang, tapi

kemenangan itu pun tak mudah diperolehnya.

Mengapa dalam sekali gebrak saja Toan Khik-ya sudah

dapat melukai lawan adalah karena: kesatu. Go Beng-yang

memandang rendah lawan: kedua, Yo Bok-lo sengaja berpeluk

tangan: ketiga, termakan tipu sianak muda yang sengaja

membiarkan bahunya dicengkeram: ke empat, karena

pemusatan tenaga Beng-yang di pencar dalam Hun kin jo kut

chiu dan Khun goan it bu kang. Karena pemencaran tenaga

itu, maka sekali pukul dapatlah Toan Khik ya menghantam dan

menusuknya.

Musuh yang sebenarnya dari Toan Khik Iya yalah Yo Bok lo.

Maka demi Beng yang roboh, ia segera alihkan serangannya

pada orang she Yo itu, Baru Yo Bok lo girang melihat

sitemberang Beng yang mandapat hajaran tahu2 pedang

sianak muda sudah merangsangnya.

“Entah bagaimana luka Go Beng yang itu, biar bagaimana

juga ia adalah orang tuanku sendiri. Karena menuruti

kemendorgkolan hati, bangsat cilik ini mendapat kemurahan

besar!” diam2 Bok lo menyesal telah membiarkan kepala Gwe

thok lam itu roboh.

Go Beng yang dalah pemimpin dari pasukan istimewa Gwe

thok lam. Dihadapan Yo Bok lo sakali gebrak ia dibikin jungkir

balik oleh Toan Khik-ya walaupun dia tahu bahwa anak muda

itu cukup bermurah hati, namun ia tetap marah sekali,

menggerung seperti harimau terluka ia jungkir balik dengan

gerak le hi ta-ting (ikan lele berjumpalitan), lalu menyerang

sianak muda lagi.

Kali ini ia tak berani gegabah merapat si anak muda. Ia

menyerang dengan ruyung Ca-liong-piannya, itulah senjata

ysng paling diandalkan. Ruyung itu lebih dari satu tombak

panjangnya ujungnya penuh dipasangi duri kecil2 macam

rambut, gunanya untuk menggaruk kulit orang. Itulah maka

diberi nama Ca liong-pian atau pian berewok naga.

Karena gemas, dia serentak menyerang dengan dia jurus

hwe-hong-soh-liu atau angin puyuh menyapu pohon liu.

Ruyung itu menderu hebat seperti angin puyuh. Tapi Khik-ya

tetap andalkan ginkangnya yang lihay untuk melayani.

Laksana kupu2 ia menari2 diantara taburan hujan ruyung.

Tampaklah seperti kena padahal masih terpisah satu dim.

Tapi ini kali Yo Bok-lo tak mau tinggal diam lagi. Pada

waktu Toan Khik-ya menghindari ruyung cepat dia menerkam

kedua siku lengan Toan Khik-ya dengan gerakan jong ing-tianki

(garuda pentang sayap). Untung Khik-ya waspada. Tak

kalah cepatnya ia berputar dan mainkan tinju serta

pukulannya dalam gerak hiat-koa-tan pian. Tinju kirinya dibuat

menghantam tangan Yo Bok lo sedang pedangnya dipakai

menangkis pian Go Beng yang.

Tapi bagaimanapun juga Yo Bok lo dan Go Beng-yang itu

jago2 kelas satu, Mereka memiliki kepandaian istimewa.

Dengan mengandalkan keunggulan gin kang, memang Khik ya

dapat melayani tapi hanya untuk dua tiga jurus saja.

Selewatnya, tenaganyapun mulai berkurang, gerakannya mulai

kendur, daya tahannya berkurang.

Sekaligus Yo Bok lo telah mendapat kemenangan moral

yaitu dapat mengembalikan serangan pada Toan Khik ya dan

dapat menghancurkan kecongkakan Go Beng yang. Itulah

sebabnya walaupun masih ada ganjelan dengan orang she Go,

tapi saat itu ia ‘ngeplah’ betul2 untuk menyerang Toan Khik

ya. Beberapa kali Toan Khikya hendak mematahkan bagian

penyerangan musuh yang lemah, yaitu Go Beng Yang, tapi

selalu dihadang oleh Yo Bok lo.

“Bagus, Go beng, teruskan siasatmu itu, kita tak usah

terlalu peras tenaga. Kita boleh bergantian maju merapat,

bangsat kecil itu tentu tak dapat lolos!” seru Yo Bok-lo.

Pada saat itu barulah Go Beng-yang melek bahwa

kepandaian Yo Bok-lo itu memang lebih unggul setingkat dan

dirinya. Iapun tak mau membawa kehendaknya serdiri, tak

ingin pula untuk merebut jasa. Serta merta ia turuti perintah

Yo Bok-lo. ia mainkan piannya menyerang dari jarak dua

tombak. Benar ia lebih lemah dari Yo Bok-lo, tapi ilmu

permainan Ca liong pian hoatnya yang terdiri dari delapan

belas jurus itu, juga bukan main hebatnya. Cepatnya seperti

angin, kerasnya seperti baja dan gencarnya bagai hujan lebat.

Tubuh Toan Khik ya seolah2 diselubungi bayangan pian.

Yo Bok lo pun juga lantas keluarkan ilmu pukulannya Chit

poh tui hun ciang hoat (pukulan maut dari tujuh langkah),

Bagaikan bayangan, pukulannya selalu membayangi sianak

muda yang diarah selalu bagian berbahaya.

Melihat jalannya pertempuran itu, Yak bwe menjadi gelisah.

Tiba2 terdengar orang berseru: “Bagus, Sip ciangkun datang!

Biarpun bangsat kecil itu mempunyai tiga kepala dan enam

tangan mana ia bisa lolos!”

Segera seorang yang mengenakan pakaian pembesar

militer lengkap dengan pedang dipinggang muncul Kemuka.

Melihat Ciangkun itu, Yak-bwe berobah girang. Kiranya

jenderal itu bukan lain yalah Sip Hong adalah adik misan dari

Sik Ko. Ia menjabati in siu-su dari kota Pok-ong yang terletak

ditengah perbatasan Gui pok dengan Lo ciu. Untuk mengambil

hati Tian Seng Su. Sik Ko rela menyerahkan kota Pok-ong itu

kedalam kekuasaan Tian Seng Su. Disamping itu dapatlah Sik

Ko menggunakan adik misannya itu untuk memata2i gerak

gerik Tian Seng Su. Dengan begitu dapatlah Sik Ko memasang

sebuah pion dalam pemerintahan Tian Seng Su.

Kali ini karena urusan perkawinan keluarga Tian dan Sik.

Tian Seng su telah memanggil Sip Hong. Mengingat Sip Hong

masih ada ikatan famili dengan fihak mempelai perempuan,

maka Tian Seng su hendak minta dia mengantar puteranya ke

Lo ciu menjemput mempelai perempuan.

Sebelum menjadi Ciat to su, dulu Sik Ko itu bertetangga

dengan Sip Hong. Anak perempuan Sip Hong yang bernama

Sip In nio akrab sekali dengan Yak bwe seolah2 seperti

saudara sekandung. Sejak kecil sama2 memain dan sama2

belajar ilmu silat.

“Ilmu pedang Sip piau siok itu lihay sekali jika ia turun

tangan, ah jiwanya (Toan Khik ya) pasti terancam!” pikir Yak

bwe

Kemudian ia menimbang pula : “Apakah enci In nio ikut

juga? Sip piau siok seorang baik, enci In-nio lebih baik lagi

terhadap aku. Jika kutemui dan minta mereka dengan

memandang mukaku supaya melepaskan dia, rasanya meresa

tentu meluluskan……tapi bagaimana aku hendak membuka

mulut? Dihadapan sekian banyak orang, bagaimana aku akan

mengakuinya sebagai bakal suami?”

Selagi Yak-bwe masih terbenam dalam keraguan, Sip Hong

sudah tiba di “gelanggang” pertempuran. Melihat Toan Khik-ya

yang baru berumur 16-17 tahun dapat melayani Yo Bok-lo dan

Go Beng-yang heranlah Sip Hong dibuatnya. Ia hentikan

langkah dan bertanya : “Hai, siapa kau dan siapa ayahmu ?

Mengapa menyelusup kegedung liau-tayjin sini?”

Dari bibi He, Khik-ya sudah mendapat keterangan tentang

pribadi Sip Hong. Duhulu Sip Hong iiu bersahabat baik dentan

ayahnya. Segera ia menjawab : “Ayahku bernama Toan Kui

Ciang dan aku Toan Khik-ya. Karena Tian Seng-su suka

memeras rakyat dan menggunakan uang negara untuk mas

kawin, maka lantas kurampasnya. Dan malah ini sengaja

kudatang untuk mengirim golok meninggalkan surat. Konon

kabarnya sebagai pembesar kau berkelakuan baik. masakan

kau hendak membantu padanya?”

Sip Hong terbeliak kaget, pikirnya: “Ai, kiranya putera dari

Toan Kui ciang, Toan-tayhiap adalah seorang yang

membaktikan hidupnya untuk rakyat dan negara, bagaimana

aku tega untuk mencelakai puteranya? Tapi kalau aku diam

berpeluk tangan, apakah tidak akan dituduh membelakangi

Tian Seng-su? Ya, bagaimanakah dayaku untuk diam2

membantu anak muda ini?”

Dalam batin Ciangkun itu timbul pertentangan sendiri

antara budi dan kewajiban. Karena itu untuk beberapa saat ia

tampak kebingungan. Saat itu Yak-bwe sudah berniat hendak

loncat keluar, tapi lagi2 ada orang berteriak: “Masih ada orang

penjahat lainnya yang berada didalam taman! tayswe

memberi perintah jangan sampai mereka dapat lolos!”

Yang dimaksud dengan Tayswe itu, bukan lain yalah Tian

Seng-su. Ternyata ia sudah ditolong oleh orang

sebawahannya. Setelah tersadar per-tama2 yang dilihatnya

yalah surat, yang ditaruh Yak-bwe diatas bantalnya Kemudian

didapatnya peti emaspun lenyap sudah tentu ia terkejut sekali.

Karena surat itu memakai stempel Sik Ko jadi ia menduga

kalau Sik Ko mengirim Ko-chiu untuk menyampaikan.

Sedikitpun ia tak mengira bahwa yang membawa surat itu

yalah Yak-bwe.

Sesaat kemudian orang sebawahannya telah melihat surat

Toan Khik-ya yang dipaku dengan belati pada meja. Surat

berikut belati itu segera dihanturkan pada Tian Seng su. Lagi2

Ciat-tok-su itu tersirap kaget. Ia tahu kalau putera Toan Kuiciang

itu berrama Toan Khik-ya karena Yo Bok-lo pernah

menceritakannya,

“Tulisan dalam kedua surat ini berbeda gayanya entah

apakah dibuat oleh seorang saja? Menurut keterangan Yo Boklo.

Toan Khik-ya itu memiliki kepandaian silat tinggi. Jika ia

merampas barang2 kirimanku itu dalam kedudukan sebagai

Kepala penyamun, kemudian datang kemari hendak memberi

ancaman padaku itu masih dapat dimemengerti. Tapi apabila

ia menjadi kaki-tangan Sik Ko, ini tak boleh dibuat main2″.

Mengapa Tian Seng-su mempunyai dugaan begitu bukan

tidak ada sebabnya. Ia sendiri merancang rencana begitu jadi

ia kuatir orang lainpun begitu terhadap dirinya. Dan kalau

dugaannya itu benar terang kalau Sik Ko itu sudah mulai

mengumpulkan tenaga2 kosen dan bersiap2 hendak

menyerangnya (Tian Seng-su),

Pada lain saat datanglah Bu-su melaporkan bahwa penjahat

sudah kepergok ditaman dan tengah dihantam Yo Bok-lo dan

Go Beng-yang. Menurut gelagatnya, penjahat itu tentu dapat

tertangkap. Mendengar itu Tian Seng-su agak lega. Tapi

karena ia menduga Sik Ko tentu mengirim bukan melainkan

seorang Ko-chiu saja, maka ia segera perintahkan orang2nya

mencari lagi kalau penjahat itu masih ada kawannya yang lain.

Tian Seng-su teah menetapkan keputusan : Jika kawanan

penjabat dari Sik Ko itu dapat dikalahkan oleh orang2nya, ia

segera menuntut pertanggungan jawab dari Sik Ko. Namun

kalau orang yang dikirim Sik Ko itu ternyata lebih kuat dari

jago2nya, terpaksa ia akan minta damai dengan Sik Ko.

Kembali pada Yak-bwe yang masih bimbang mengambil

keputusan baik keluar atau tidak, se-konyong2 didengarnya

derap kaki yang riuh kedalam halaman. Sesaat kemudian

diluar pintu kamar tempat sembunyi Yak-bwe itu, terdengar

orang berseru : “Toa-kong-cu, kita kemasukan pembunuh

gelap, kau jangan keluar, kami akan menjaga diluar kamarmu

!”

Karena Toa-kongcu mereka tak berkutik dibawah injakan

kaki Yak-bwe, jadi tak dapat menyahut. Ini menimbulkan

keheranan serdadu itu. “Diluar begitu gaduh, mengapa Toa

kongcu masih enak2 tidur!!” demikian mereka itu ramai

memperbincangkan.

Tiba2 pintu diketuk dan Yak-bwe pun segera bertindak.

Diangkatnya putera Tian Seng-su itu dan serentak

dibukanyalah pintu kamar-

“Siapa yang berani menghampiri maju, Kongcu ini tentu

kubunuh !” teriaknya sambil acungkan ujung pedang

kepunggung putera Tian Seng su.

Diantara serdadu pengawal itu, ada seorang yang sudah

ber-tahun2 ikut pada Tian Seng-su. Sewaktu masih sama

menjadi orang sebawahan An Lok-san, Tian Seng-su dan Sik

Ko itu sering kunjung-mengunjungi. Itulah sebabnya maka

serdadu tua itu mengenali Yak bwe.

“Kau……apakah kau ini bukan toa-siocia keluarga Sik ?”

serunya dengan nada gemetar.

“Benar lekas bilang pada Tian Seng-su supaya perintahkan

Go Beng-yang dan Yo Bok-lo mundur, jika tidak puteranya

tentu akan kubunuh !” kata Yak-bwe.

“Hai, nona Sik, mengapa kau berbuat begitu ? Bukankah

bulan muka ini kau bakal menjadi menantu keluarga Tian sini

?” seru serdadu tua itu.

Dengan gusar Yak bwe membentaknya : “Jika kau masih

mengoceh tak keruan, jiwamu akan segera aku cabut pula!”

Semangat orang itu serasa terbang. Ia lari terbirit2 untuk

melapor kepada Tian Seng-su.

“Toh aku sudah terlanjur kepergok, takut apa!” selekas

menetapkan keputusan begitu Yak bwe lantas berseru: “Ayuh

menyingkir!” Habis itu ia lantas menggusur putera Tian Sengsu

keluar.

Digelanggang sana setelah tertegun beberapa saat, tiba2

Sip Hong lantas mencabut pedangnya dan berseru: “Bocah

she Toan, jangan coba-coba mengadu domba! Aku Sip Hong

hanya taat pada orang atasanku. Jika kau unjuk kegarangan

dilain tempat, aku tidak peduli. Tapi karena kau berani

mengamuk digedung Tian tayjin sini, aku tak dapat tinggal

diam!”

“Hm, beginilah mentalnya manusia. Jika sudah menjadi

pembesar orang baik-pun menjadi jahat!” demikian Khik-ya

berkesan di dalam bati.

Melihat Sip Hong menghampiri dengan menghunus pedang,

Toan Khik-ya dapat mengendalikan marahnya lagi.

“Hm, mendiang ayah ku sudah keliru menilai orang!”

katanya dengan dingin. Dengan gerak poan liong sian poh ia

menghindari pukalan Yo Bok lo, lalu menusuk Sip Hong.

Melibat kesempatan itu, Go Beng-yang ayunkan piaunya

menyerang dari kiri. Dengan begitu terkepung Toan Khik ya

dari tiga jurusan . Di sebelah muka ada Sip Hong sebelah

kanan ada Yo Bok lo dan dari sebelah kiri diserang Go Beng

yang. Betapapun lihaynya, tetap sukar bagi Toan Khik ya

untuk melayani ketiga lawannya yang lihay itu.

Meskipun serangan Toan Khik-ya tadi cukup keras,

sebenarnya Sip Hong masih dapat menangkis. Tapi entah

bagaimana, orang she Sip itu sudah lantas menjerit kaget dan

buru menyurut mundur. Dan seperti disengaja, gerakannya

mundur itu tepat seperti menyongsong pian yang dilayangkan

Go Beng yang. Sudah tentu pemimpin pasukan Gwet thok lam

itu terperanjat sekali. Kuatir akan melukai Sip Hong, Go Beng

yang buru2 menarik pulang piannya. Dan memang dalam ilmu

permainan pian, orang she Go itu sudah dapat menguasai

gerakan pian menurut sesuka hatinya.

Dalam pertempuran antara jago2 yang di sebut Ko chiu,

segala hanya gerak terjang selalu dilakukan dengan serba

cepat. Menang atau kalah hanya tergantung dalam sekejapan

mata saja. Sedikit ragu2 atau berayal, itu berarti kehilangan

kesempatan untuk menang. Demikianlah yang terjadi pada

saat itu, Go Beng yang menarik kembali piannya itu

sebenarnya hanya berlangsung dalam sekejap mata saja,

namun keayalan jtu sudah cukup besar artinya bagi Toan Khik

ya untuk merebut kemenangan.

Berbareng orang menarik piannya, Khik yapun sudah enjot

tubuhnya melampaui kepala Sip Hong. Sebelum Go Beng-yang

sempat memainkan piannya lagi, tahu2 matanya sudah

disilaukan oleh taburan sinar gemerlap. Dan sebelum ia tahu

apa yang harus dilakukan, ujung pedang Toan Khik ya sudah

membuat tujuh liang luka pada tubuhnya.

Keruan Yo Bok-lo terbeliak kaget dan buru buru

melancarkan tiga kali pukulan berturut-turut kearah Toan Khik

ya, Pertolongan itu berhasil menahan serangan sianak muda

dan tertolonglah jiwa Go Beng yang. Pemimpin pasukan Gwet

thok lam itu buang dirinya bergelundungan ditanah sampai

beberapa tombak jauhnya. Anak buahnya segera cepat2

mengangkatnya. Walaupun bukan pada bagian yang

mematikan, namun tujuh liang luka itu cukup membuat Go

Beng yang merintih2 kesakitan Sampai Yo Bok lo yang

mendengarnya, turut terkesiap kaget.

Sip Hong telah melakukan peranannya dengan bagus

sekali. Sampai seorang benggolan kawakan macam Yo Bok lo

yang kenyang dengan segala macam tipu muslihat, tak dapat

mengetahui perbuatan Sip Hong. Paling2 orang she Yo itu

hanya dapat memaki dalam hati pada Sip Hong yang dianggap

sebagai bernyali kecil sehingga bukan saja mereka telah

menghilangkan suatu kesempatan bagus, pun sebaliknya

membikin celaka kawan sendiri.

Tapi Toan Khik-ya yang cerdas cukup mengerti akan

kebaikan Sip Hong tadi. Diam ia menyesal mengapa tadi

sudab memakinya.

“Karena terikat oleh kewajiban, jadi ia harus pura2 bersikap

memusuhi aku. Karena kurang pikir, maka aku telah

memakinya, ah, sungguh tolol !” pikir Khik-ya.

Setelah tahu maksud Sip Hong, Toan Khik ya segera

bertindak. Ia segera keluarkan ilmu pedang simpanannya. ia

serang Yo Bok-lo dan Sip Hong oengan gencar sekali.

Tampaknya memang tiada perbedaan, tapi ternyata yang

dilancarkan kearah Ssp Hong itu hanya serangan kosong,

sedang yang ditaburkan pada Yo Bok-lo itu serangan sungguh.

Karena serangan itu dilakukan serba cepat, kecuali fihak yang

diserang itu sendiri yang dapat merasakan, orang2 yang

melihatnya tak tahu sama sekali. Dan karena Yo Bok-lo

pontang-panting membela diri, jadi ia tak sempat lagi untuk

meninjau sandiwara yang dimainkan anak muda itu.

Karena beberapa kali hampir kena, mau tak mau

tergetarlah hati Yo Bok lo. Pikirnya “Ai. sungguh tak nyana

kalau bocah ini sedemikian lihay. Malam ini aku sukar

mendapat kemenangan!”

Tapi dalam pada itu, diam2 ia merasa heran juga. Tadi

sewaktu bertempur satu lawan satu, anak muda itu tak dapat

merangsek. Kini setelah Sip Hong turut membantu, musuh

malah dapat mendesaknya. Tapi ia tak dapat mengetahui

‘rahasia’ permainan Toan Khik-ya, ia hanya dapat menarik

kesimpulan bahwa tadi sianak muda belum mengeluarkan

seluruh kepandaiannya dan masih bersikap simpan tenaga.

Karena mempunyai kesimpulan begitu, rasa takut Yo Bok-lo

makin besar.

Selagi Khik-ya gembira dengan permainannya itu, tiba2 dari

ruangan disebelah muka, berbondong2 keluar beberapa

orang. Jumlah mereka ternyata banyak juga. Menyusul

dengan itu kawanan Bu-su yang sedang menyaksikan

pertempuran itu, semua minggir. Mereka sama berbisik2

seraya menuding-nuding. Suasana jadi berisik sekali. Samar

samar Toan Khik-ya mendengar salah seorang dari Bu su itu

berseru; “Hai, bukankah itu puteri dari Sik Ciak-tosu?”

“Ia belum menikah, mengapa berada bersama Kongcu?”

“Amboi, kapan ia datang dari Lociu? Mengapa kita tak

mengetahui?” Demikian kasak-kusuk kawanan Bu su itu.

Sebenarnya Yak bwe menggusur putera Tian Seng-su itu

dengan mengancam pedang di panggung orang. Tapi karena

didahului oleh kawanan penjaga dan obor2 yang dibawa

kawanan Bu su itu tak cukup terang, jadi sepintas pedang

Yak-bwe itu dikira jalan bergandengan tangan dengan Kongcu

mereka. Mereka tak melihat ujung pedang yang diancam oleh

Yak bwe.

Sebenarnya mata Toan Khik ya lebih tajam dari orang

biasa. Tapi karena ia tengah sibuk melayani Yo Bok lo, jadi ia

tak sempat memperhatikan dengan seksama. Bagaimana

mimik wajah putera Tian Seng su yang diungsur seperti orang

tawanan itu, iapun tak dapat melihat jelas.

Reaksi pertama yang terbit dalam hati Toan Khik ya ialah

gusar dan sedih. Padang belantara tubuh rumput busuk,

didalam tanah emas tentu bercampur pasir. Demikian ia

teringat akan sebuah pepatah dan diam2 mengakui

kebenarannya. Ia pikir tunangannya itu di besarkan dalam

keluarga Ciat to su, sudah tentu tetap menjadi orang mereka,

Apakah aku masih dapat mengharapnya?

“Sebelum dijemput oleh bakal suaminya ia sudah datang

sendiri, tentulah karena kuatir jangan2 perkawinan itu akan

rewel setelah bingkisan perkawinannya kurampas. Ya teqtulah

begitu. Tanpa malu2 lagi, ia lantas datang kemari untuk

memberitahukan peristiwa itu. Kalau tidak, masakan setelah

mempunyai pasukan Gwe-thok-lam, Tian Seng-su masih perlu

mengundang seorang Ko chiu macam Yo Bok lo lagi?”

demikian pikir Khik ya.

Sebenarnya Toan Khik ya itu seorang pemuda cerdas, tapi

dikarenakan ia sudah mempunyai purbasangka terhadap Yak

bwe, jadi pandangannya selalu menjurus kesalah faham. Dan

jeleknya ia tak mau meninjau lagi anggapannya itu, Karena

terpengaruh oleh kejadian itu, hati Khik ya pun gemetar.

Pantangan dalam pertempuran yalah bercabang hati.

Kepandaian Toan Khik ya itu berimbang dengan Yo Bok lo,

malah dalam hal tenaga dalam orang she Yo itu lebih unggul

setingkat dari dirinya, Sedikit keayalan dari pemuda itu sudah

lantas dipergunakan sebaik baiknya oleh Yo Bok lo untuk

merobah posisi pertempuran. Dari diserang kini jagoan itu

berganti melakukan tekanan. Sedikit Toan Khik ya urung cepat

bergerak, bahunya kena dicengkeram lawan, untung ia dapat

cepat-cepat menghindar. Sekalipun begitu, tak urung bajunya

kena dicengkeram robek juga.

Melihat sianak muda hampir celaka, tanpa disadari

menjeritlah Yak bwe. Tapi bersamaan waktunya juga, para

busu sama bersorak memuji suhunya, dengan begitu suara

Yak-bwe pun terbenam. Betul nada seorang gadis itu berbeda

dengan nada kaum lelaki, tapi karena teriakan Yak-bwe itu

bernada kaget, jadi sepintas lalu hampir menyerupai dengan

orang bersorak.

Kembali hal itu menambah salah-faham Toan Khik-ya.

mendengar dalam sorakan itu terdapat suara Yak-bwe, makin

besarlah kedukaan dan kemarahan pemuda itu.

“Karena ia begitu senang, maka ia bersorak kegirangan Yo

Bek-lo dapat memukul aku!” ia menggeram.

-o0odwo0o-

Jilid III

KASIHAN Yak-bwe ! Begitu mesra ia tumpahkan

perhatiannya kepada Toan Khik-ya. tapi oleh sianak muda

malah diterima salah.

Tiba2 pada saat itu diudara tampak meluncur sejalur sinar

api dan menyusul pada lain saat terdengarlah ledakan. Benda

bersinar itu meletus diudara. Kawanan Bu-su segera menjerit

kaget : “Celaka, kawanan perampok datang dengan jumlah

besar.”

Memang apa yang dikatakan mereka itu benar. Yang

datang itu memang To Pik-in dan kawan2. Sebelum berpisah,

To Pek-ing tahu kalau Toan Khik-ya hendak menuju kegedung

Tian Seng su untuk mengirim golok meninggalkan surat, kuatir

kalau anak muda itu terancam bahaya, diam2 Pek-ing

membawa belasan anak buahnya masuk kedalam kota Guipok.

Ia bersembunyi dirumah seorang penduduk yang tinggal

didekat gedung Ciat-to-hu. Siang malam ia memperhatikan

gerak-gerik gedung Ciat-to-hu itu.

Pada malam itu, benar juga ia telah mendengar suara

ramai2 orang bertempur digedung Ciat-to-hu itu. Ia yakin

Toan Khik Ya tentu sudah datang mengaduk, Ia terus akan

bertindak membantu, tapi jumlah anak buahnya hanya

belasan saja, padahal pasukan Gwe-thok lam itu terdiri dari

300 orang. Untuk melawan mereka, terang sebagai telur

hendak beradu dengan tanduk.

Tapi Pek-ing pantang mundur, ia sudah siap dengan

sebuah siasat yang bagus, Siang2 ia sudah menyiapkan

banyak sekali anak panah berapi. Demikian ia segera

memimpin anak buahnya menerjang kegedung Ciat-to hu,

Sembari loncat turun mereka lepaskan anak panah berapi.

Siasat itu berhasil. Kawanan Bu-su itu melihat ada beberapa

bayangan berloncatan turun dari tembok, mereka lantas

menduga kalau kedatangan perampok dalam jumlah banyak

sekali.

Laksana kembang api, panah api itu bertaburan ke-mana2.

Sini padam sana berkobar lagi, sana reda sini timbul pula. Dua

buah istal kuda yang tetbuat dari papan kayu, tertimpa api

dan terbakar. Didalam taman yang menjadi gelanggang

pertempuran itu, segera menjadi panik suasananya.

“Urusanku sudah selesai, perlu apa terus bertempur? Ai,

lebih baik aku lekas2 tinggalkan tempat ini supaya tidak

bertemu dengan dia. nanti hatiku panas lagi!” Demikian pikir

Khik-ya,

Setelah mengambil keputusan, Khik-ya lalu bertindak.

Karena Sip Hong hanya main2 saja, mudahlah baginya untuk

meninggalkan Yo Bok-lo. Laksana burung elang, ia melayani

melampaui kepala kawanan Bu-su itu. Gerakannya indah dan

cepat sekali, oleh karena di mana2 terdapat orang, maka Bu

su regu pemanah tak berani membidikan panah Mereka kuatir

akan melukai kawannya sendiri.

Dalam beberapa kejap saja Toan Khik-ya sudah loncat

melampaui tembok. Saat ini barulah kawanan Bu-su berteriak

melepaskan anak panah. Sekalipun tahu bakal tak mengenai,

namun mereka hamburkan anak panahnya untuk

menghidupkan kembali semangat pasukannya

Melihat sianak muda sudah berhasil meloloskan diri Yak

bwe girang sekali, Tiba2 teringat: “Astaga dia sudah pergi,

akupun harus lekas2 menyingkir dari sini!”

Sebenarnya mudah sekali baginya untuk lolos. Dengan

mempunyai sandera berupa puteranya Tian Seng-su. ia dapat

menggertak kawanan Bu su itu untuk memberi jalan padanya,

tapi karena kurang pengalaman, jadi ia sudah tak dapat

memikirkan siasat itu. Tanpa berpikir lagi puteranya Tian Sees

dibanting, lalu dia menerjang keluar. Untung karena tahu

kalau Yak bwe itu puteri Sik Ciak-tosu yang bakal menjadi

caion menantu majikan mereka (Tian Seng-su), maka

kawanan Bu-su itupun tak berani merintanginya.

“Tak perduli siapa dia itu, tangkaplah!” demikianlah

perintah dari Tian Seng-su sementara itu, Kala itu setelah

mendapat laporan dari siserdadu tua bahwa puteranya telah

diringkus oleh puterinya Sik Ko, kemudian nona itu minta

supaya ia lepaskan toan Khik-ya atau kalau tidak puterinya

bakal dibunuh, Tian Seng-su segera bergesa2 memburu

keluar. Dilihatnya suasana dalam taman situ kacau balau, ada

yang sibuk memadamkan api, ada yang ber-teriak2

menangkap penjahat dan ada pula yang pontang-panting lari

kian kemari. Salah seorang dari Bu-su itu menghadap Tian

Seng-su dan bemberi laporan bahwa sipenjahat sudah

loloskan diri. Mendengar itu Tian Seng-su segera memberi

perintah tadi.

“Bagus, karena kau tak mau memandang persahabatan,

akupun takkan berlaku sungkan lagi terhadap anak buahmu,”

demikian pikir Yak-bwe. sebenarnya tiada maksudnya sama

sekali hendak melukai orang, tapi karena gusarnya ia mainkan

pedangnya dengan gencar. Barang siapa yang berani

mendekati, tentu diberinya sekali tusukan.

Ia mewariskan ilmu pedang dari Biau Hui Sinni. gerakannya

cepat dan tepat. Setiap tusukannya tentu mengarah jalan

darah yang berbahaya. Sudah tentu anggota pasukan GweTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

thok-lam itu bukan tandingannya. Dalam beberapa kejap saja,

sudah ada beberapa belas orang yang roboh dan mengerang2

kesakitan.

“Nona Sik, jika kau tak kembali, maaf kalau aku terpaksa

berlaku kurang hormat.” teriak Yo Bok-lo. Sekali melesat dia

mengejar Yak-bwe dan terus ulurkan tangan untuk

mencengkeram.

Tiba2 pada saat tangannya hendak menyentuh tubuh

sinona, entah dari mana datangnya tahu2 dua batang-jarum

Bwe-hoa-ciam menyambar dari samping. Sebenarnya kalau

tak lengah tak nanti Yo Bok-lo sampai kena dibokong. Pertama

karena Toan Khik-ya sudah lolos dan kedua ia pikir hanya

berhadapan dengan Yak-bwe, jika nona itu hendak

menaburkan senjata rahasia dia tentu dapat mengetahuinya.

Oleh karena itu dia tak mau menjaga kemungkinan lainnya

lagi. Sungguh diluar dugaan kalau ada seorang musuh gelap

menyembunyikan diri di dalam orang banyak. Dalam

kekacauan orang itu diam2 menimpukkan jarum Bwe-hoaciam

yang tak mengeluarkan suara. Sekali lututnya

kesemutan, jagoan itu hampir saja loboh !

Barbareng dengan Yo Bok-lo terkena jarum, Yak – bwe

balikkan pedang menghantam sekuat2-nya. Nona itu insaf

kalau bukan tandingan si orang she Yo, jadi ia gunakan

serangan yang paling dasyat, suatu serangan yacg disertai

tekad mati atau terluka bersama.

Sambaran pedangnya itu justru berbareng pada waktu Yo

Bok-lo terhuyung mau roboh. Cret, ujung pedang memakan

pahanya dan menghiasnya dengan sebuah luka sepanjang

belasan senti.

Dari mengerang terkena jarum. Yo Bok-lo menggerung

keras karena sakitnya. Masih ia mencoba untuk membalas si

nona dengan sekali sapukan kaki kiri, tetapi luput. Sudah

tentu dengan setelah kaki ia sukar menahan tubuhnya lagi.

“Blak!!” robohlah jago kawakan itu.

Tapi Yak-bwe tak berani menabasnya lagi. Dengan mata

kepala ia saksikan walaupun sudah terkena jarum Bwe-hoa

Ciam, Jago she Yo itu masih dapat menyerang. Ini

menandakan betapa tangguhnya orang itu. Takut kalau di

kejar orang she Yo itu lagi, Yak bwe segera melarikan diri.

Begitu roboh, Yo Bok-lo segera bergeludungan ditanah. Kuatir

kalau Yak-bwe menyerangnya lagi, ia berusaha untuk

menggelundung sejauh mungkin. Memang tindakannya itu

benar sekali, tapi itu pun berarti suatu keuntungan bagi Yak

bwe untuk lolos.

Melihat orang undangannya juga terluka, walaupun marah

tapi tak urung Tian Seng su jeri juga. Pikirnya: “Ai, sudah,

sudah, aku terpaksa harus mengubur rencanaku untuk

menelan Lo-ciu dan menerima perdamaian dengan Sik Ko.

Perkawinan itupun terpaksa batal.”

Kawanan Gwe thok lam yang dengan gagah berani

mengejar penjahat tadipun balik kembali kedalam taman.

Mereka melapor:

“Di tembok kota sebelah depan itu. terdapat segerombolan

penjahat. Dari atas tembok kota itu mereka melepaskan

panah2 api tadi. Sewaktu kami mengejar keluar, mereka

sudah menggabungkan diri dengan bangsat kecil she Toan itu.

Tampak kami datang, mereka lalu loncat turun kesebelah

sana. Karena kuatir mereka mengadakan bay-hok (barisan

pendam), kami tak berani mengejar terus. Mohon Tayswe

memberi petunjuk, apakah perlu mengirim pasukan berkuda

untuk mengejarnya?”

Sebenarnya kawanan Gwe thok lam itu hanya menghias diri

saja. Mereka jeri sekali kepada Toan Khikya. Yang dimaksud

dengan mengejar itu hanyalah keluar dari pintu taman,

melihat2 sebentar lalu masuk kembali.

“Kamu sekalian ini hanya bangsa kantong nasi semua.

Masakah sekian banyak orang tak mampu menangkap dua

orang penjahat kecil saja. Lekas enyah!” Tian Seng-su

marah2. Habis menumpahkan kemarahannya, Tian Seng-su

teringat pada puteranya. Ia segera bertanya: “Bagaimana toakongcu?”

Karena ditutuk jalan darahnya oleh Yak bwe, putera Ciat

tosu itu tak dapat berkutik lagi. Kawanan Bu-su itu hanya

mengerti beberapa jurus ilmu silat saja, sudah tentu mereka

tak dapat menolong. Malah karena tak mengerti kalau toakongcunya

tertutuk jalan darahnya mereka menjadi sibuk tak

keruan sendiri.

Akhirnya adalah Tian Seng-su sendiri yang mengetahui hal

itu. Ia dahulu berasal dari kalangan Lok-lim, jadi tahulah kalau

puteranya itu kena ditutuk orang. Namun ilmu tutukan Yak

bwe itu adalah ilmu tutukan istimewa dari Biau Sin. Walaupun

tahu tapi Tian Sengsu juga tak berdaya menolongnya.

“Coba lihat bagaimana dengan keadaan Yo siansing. Jika

lukanya tak berat, undang ia kemari untuk menolong toa

kongcu,” ia segera perintahkan orangnya mengundang Yo

Bok-lo memiliki lwekang tinggi. Begitu kena jarum Bwe-hoaciam

ia segera menutup seluruh jalan darahnya, agar jarum

itu jangan sampai menembus kejantung. Kemudian ia

berusaha mengeluarkan jarum itu, lalu dilumuri obat. Karena

lukanya itu tak berat, setelah diberi obat ia pun sudah dapat

berjalan pula. Waktu mendapat panggilan dari Tian Seng-su ia

segera bergegas2 mendatangi.

Waktu berhadapan dengan Tian Seng-su, ia merasa malu.

Tapi mengingat luka Go Beng itu lebih berat lagi, ia tak

merasa malu. Dan berkat kepandaiannya yang tinggi,

walaupun tak mengerti ilmu tutukan yang dipergunakan Yak

bwe, namun ia dapat juga membukanya.

Selagi Tian Seng-su kegirangan karena puteranya tertolong,

tiba2 terdengar orang berteriak: “Hai, dibawah kolong ranjang

seperti ada orangnya'”

Tian Seng-su mendengar juga ada suara berkeresekan.

“Siapa itu lekas seret keluar!” perintahnya.

Si serdadu tua membungkuk kebawah. Matanya segera

tertumbuk pada sepasang betis putih.

“Astaga! Seorang penjahat perempuan!” serunya seraya

menyeretnya keluar. Tapi waktu melihat wajah orang itu,

seperti terkena stroom, ia segera lepaskan tangannya dan

menjublek seperti patung.

Kiranya yang diseret keluar itu bukan lain ialah gundik

kesayangan dari Tian Seng-su. Gundik yang main pat-pat

gulipat dengan puteranya sendiri. Pada saat itu dikamar situ

penuh dengan kawanan Bu-su, sudah tentu mereka saling

berpandangan satu sama lain. Hanya mereka tak berani buka

suara.

Rahasianya terbongkar, pucatlah wajah putera yang manis

itu. Serunya dengan meratap:

“Yah, ampunilah jiwaku!”

Melihat kejadian yang memalukan itu, Tian Seng-su

rasakan kepalanya seperti berputar, Saking tak tahannya, ia

menampar puteranya: “Binatang, binatang! Kau, kau… bagus

sekali perbuatanmu ini!”

Saking gusarnya dadanya serasa sesak dan pingsanlah Ciat

to su itu!

Sekarang marilah kita tinggalkan Tian Seng su yang tak

ingat orang itu untuk mengikut perjalanan Yak bwe. Setelah

berhasil melompat pagar tembok gedung Ciat to hu, Yak bwe

dapatkan diluar sana hanya ada sebuah jalan besar. Pikirnya:

“Mungkin dia belum jauh?”

Memikir sampai disitu, ia jengah sendiri dan girang juga.

Namun sesudah berjalan sampai sepuluh li, ia tetap tak dapat

melihat bayangan Toan Khik ya. Sesaat ia menjadi putus asa.

“Apakah tadi ia tak melihat diriku? Apakah ia tahu kalau

diam-diam aku membantunya? Tapi kenapa ia tak mau

menunggu aku?”

Selagi ia berbicara dalam hatinya sendiri, tiba-tiba dari arah

belakang terdengar derap kaki orang memburu. Ia buru buru

berpaling kebelakang, ah, itulah seorang pemuda, tapi bukan

Toan Khik ya pemuda pujaannya itu.

Tapi Yak bwe merasa seperti sudah pernah mengenal

pemuda itu. Ia tertegun. Sembari meraba tangkainya ia

menegur: “Siapa kau ini? Mengapa mengejar aku?”

Pemuda itu tertawa mengikik, serunya: “Adik Hong sian,

masakan kau lupa padaku?”

Mendengar suara orang itu, girang Yak bwe bukan

kepalang, teriaknya. “Cici lu nio, kiranya kaulah. Kenapa kau

menyaru menjadi seorang pemuda?” Kiranya “pemuda” itu

adalah Sip in nio, puterinya Sip Hong.

Sejak kecil ia dengan Sip In nio selalu berkumpul bersama.

Bahkan keduanya sama sama belajar silat pada Biau Hui sin

ni, hubungan mereka sudah seperti saudara putusan perut

saja. Adalah karena ayah mereka sama-sama mendapat

jabatan sebagai panglima perbatasan terpaksalah mereka

berpisah. Bahwa ditempat dan saat seperti itu dapat berjumpa

kembali, girang mereka tak terkirakan lagi.

“Ha, jangan menghujani diriku dengan pertanyaan dulu.

Biar aku yang memeriksa kau dulu!” demikian In-nio tertawa,

“Aku melakukan kejahatan apa maka cici hendak

memeriksa diriku?” sahut Yak bwe.

Kata In-nio pula: “Bukankah kau sudah dijodohkan dengan

putera Tian Seng-su? Mengapa sebelum dijemput kau sudah

pergi ke rumahnya?”

“Ai, enci In, jangan menghina padaku. Tadi kau tentunya

berada didalam taman, masakan kau tak melihat bagaimana

aku telah memperlakukan sikatak buduk itu?” sahut Yak bwe

dengan tertawa.

“Ha, kukira sebelum keluar pintu dengan resmi, kau sudah

mengunjunginya,” In nio menggoda pula.

Mendengar cemooh itu Yak bwe terus saja maju akan

menampar mulut orang, tapi In-nio cepat mencegahnya: “Ai,

jangan ribut, jangan ribut. Ya, anggaplah aku salah omong,

biar kuhaturkan maaf padamu. Ia seorang katak buduk dan

kau seekor angsa cantik. Bukankah katak buduk itu gemar

makan daging angsa? Oi, makanya kau suka padanya?”

“Jangan bikin keseleo kata2 orang ya? Bu kan aku hendak

menaikan harga diriku, tapi putera Tian Seng su itu memang

benar bukan manusia,” kata Yak bwe yang lalu menceritakan

tentang pengalamannya digedung Ciat tohu dimana karena

menghindari kejaran Yo Bok lo, Sudah keliru masuk kedalam

kamar orang yang lagi berbuat mesum.

Waktu mendengar cerita tentang perbuatan putera Tian

Seng-su itu, wajah In-nio merah kemalu-maluan. Tapi ia pun

tak kuat lagi menahan gelinya.

“Ya, ya, aku mengertilah. Kau tak suka pada sikatak buduk

karena kau jatuh hati pada pemuda she Toan, bukan?”

In nio biasa berkelakar, tapi kali ini kelakar itu telah

membuat Yak-bwe merah padam dan tundukan kepala.

“Ci In, apakah kau melihat jejaknya? Apa yang kau lakukan

malam ini, adalah untuk kepentingannya,” kata Yak-bwe.

In-nio terkesiap, ujarnya dengan nada bersungguh: “Ai,

kiranya kau benar-benar suka padanya!”

Kata Yak bwe: “Cici, meskipun kita ini tidak seibu, tapi

rasanya kita sudah seperti saudara sekandung. Segala

urusanku, takkan kurahasiakan. Dia, ya dia itu sebenarnya

calon suamiku!”

In nio terbeliak kaget, serunya: “Bilakah kau bertunangan

dengan dia? Jika sudah ditunangkan padanya, mengapa ayah

bundamu hendak menikahkan kau pada keluarga Tian?”

Atas pertanyaan In nio yang bertubi-tubi itu, tenang2 Yak

bwe menerangkan. “Yang jodohkan aku sejak lahir adalah

orang tuaku yang aseli. Ayah ibuku yang sekarang ini bukan

ayah bundaku kandung. Namaku sebenarnya ialah Su Yak

bwe. Nama Sik Hong-sian itu sejak saat ini tak kupakai lagi!”

Demikian lah Yak bwe menuturkan riwayat hidupnya dari awal

sampai akhir. Berbagai perasaan timbul dalam hati In nio

dikala mendengar kisah itu, rasa sedih, girang, simpatik dan

gairah.

“Ohh, makanya ayahku sering memuji Toan Kui ciang

tayhiap sebagai seorang pendekar yang gagah perwira serta

berbudi luhur. Ayah mengatakan bahwa Toan tayhiap itu

mempunyai beberapa putera, tapi entah kemana beradanya.

Beberapa kali ayah bermaksud hendak menyuruh orang

mencari jejak dari putera2 Toan tayhiap itu. Dan setiap kali

membicarakan tentang hal itu, ayah seperti memberi kisikan

padaku supaya menanyakan asal-usul dirimu. Kali ini setelah

mendengar kau bakal dinikahkan dengan keluarga Tian, untuk

beberapa hari ayah tampak uring-uringan saja. Kiranya disitu

terselip sesuatu hal.”

“Ai, jadi ayahmu juga memuji muji Toan tayhiap,” seru Yak

bwe.

“Kalau memang baik, habis mau dikatakan bagaimana?

Toan tayhiap adalah orang yang paling dikagumi oleh

ayahku,” In nio menandaskan.

Mendengar itu diam2 Yak-bwe mengutuk Sik-ko: “Kalau

begitu, terang ayah angkatku itu bukan orang baik2. Ah,

bertahun2 ia mengelabuhi aku.”

“Kami ayah dan anak merasa beruntung sekali malam ini

dapat membantu kalian berdua lolos dari bahaya,” kata In nio.

Kini barulah Yak-bwe tahu persoalannya katanya: “Oh, jadi

ayahmu tadi menang sengaja mengalah padanya. Tentunya

Kaulah juga yang secara diam2 membantu hingga aku dapat

melukai Yo Bok-lo.”

“Benar, dalam kekacauan tadi diam2 aku telah

menimpuknya dengan Bwe hoa-ciam,” In-nio mengiakan.

Setelah itu ia menuturkan pengalamannya.

In-nio dapatkan ayahnya tak senang waktu mendengar

pernikahan Yak-bwe.

“Mengapa ayah tak senang? Apakah putera Tian Seng-su

itu tak sembabat dijodohkan pada adik Sian? Ah, biar kuikut

ayah kegedung Ciat-to-hu, hendak kulihat bagaimana

macamnya puteta Tian Seng-su itu dulu, Jika memang buruk,

aku akan memberitahukan pada adik Sian supaya minggat

saja,” demikian ia ambil keputusan ketika ayahnya diminta

Tian Seng-su untuk turut menjemput mempelai perempuan.

Sudah tentu ia tak mau kasih tahu pada ayahnya tentang

rencananya itu melainkan mengatakan hendak melihat2

bagaimana gedung Ciat-to hu tempat kediaman Tian Seng-su

itu. Ayahnya, Sip Hong juga setuju karena sebetulnya ia jeri

juga datang seorang diri ketempat Ciat-to-su iiu. Ia kenal

siapa tian Seng-su itu, Maka ia segera suruh puterinya

mengenakan pakaian lelaki menjadi seorang pengikutnya.

“Sudah dua hari aku tinggal digedung Ciat-to-hu, tapi tetap

belum pernah melihat bagaimana tampang muka putera tian

Seng-su. Tak terduga kau sendiri juga sudah datang, jadi aku

tak perlu capek lagi.” kata In nio dengan tertawa.

Yak-bwe menghaturkan terima kasih, namun tampaknya ia

masih bermuram durja.

“Eh, mengapa lagi kau ini?” tegur In-nio.

Yak bwe tak menyahut dan hanya mengutik ikat

pinggannya.

“Ha. biar kutebaknya. Kau tentu sedang memikirkan si

Toan kecil itu, Ya, ia memang keterlaluan mengapa tak

menunggumu!”

In-nio menggodanya. Ia merenung sejenak tiba2 berkata

pula: “Adik Sian, eh tidak, seharusnya ku panggil kau adik

Bwe, Ya, adik Bwe. apakah kau kepingin menjumpainya aku

mempunyai akal.”

Tanpa malu2 lagi Yak-bwe segera minta petunjuk.

“Baik, sekarang ikutlah padaku” kata In-nio.

Yak bwe ke-heran2an, serunya: “Apa kau tahu tempatnya?”

“Akan kubawa kau kesuatu tempat untuk menjumpai

seseorang!”

“Siapa?”

“Tak usah kau tanya, pokok aku tak nanti menipumu” sahut

In-nio.

Dalam berkata2 itu wajahnya berseri seri, bibirnya

mengulum senyum dan pipinya pun kemerah2an, sikapnya

sungguh aneh.

Yak bwe penasaran: “Segala apa kuberi tahu, pada

sebalikoya kau main gelap2an tak mau mengatakan terus

terang.”

“Tak terburu2, nanti tentu kuberitahu. Ayu ikutlah!” sahut

In-nio

Terpaksa Yak-bwe mengikutinya lari, ternyata In-nio

menuju kesebuah gunung.

Lagi2 Yak bwe menegurnya: “Ai, tengah malam begini

mengapa kau bawa aku keatas gunung? Apakah orang itu

berada disini? Apakah kau sudah berjanji padanya?”

In-nio hanya tertawa saja: “Bagaimana penyamaranku

sebagai ini, mirip tidak?”

Mendapat jawaban yang bukan ditanyakan itu, Yak bwe

makin heran

Tanpa banyak pikir lagi ia segera menyahut: “Mirip sekali.

tadi hampir saja aku tak dapat mengenalmu.”

“Mungkin memang kau tak mengetahui bahwa kita

berpisah, dalam beberapa tahun ini aku sering menyaru jadi

lelaki pesiar kemana2. Ayah tak begitu mengurusi diriku. Kau

bilang penyaruanku itu persis sekali tapi pada suatu kali aku

telah diketahui orang. Ai, sungguh berbahaya, mereka adalah

orang2 jahat dari Kim-liong-pang,” kata In-nio

“Eh, rupanya kau ini sedang menyembunyikan udang

dibalik batu. Pertanyaan yang kuajukan, sepatahpun tak kau

jawab sebaliknya kau merangkai cerita lain. Memang aku

senang sekali mendengar ceritamu itu tapi rasanya lebih baik

pada lain hari saja. Huh, kau jahat benar karena sengaja bikin

tegang urat syarafku.”

Tertawalah In-nio menjawab: “Pohon mempunyai akar dan

urusan juga ada ikhwalnya. Bagaimana jadinya kalau aku tak

menceritakan dari permulaan? Baik, karena rupanya kau

begitu bernapsu, kita menjumpai orang itu dulu baru nanti

kuceritakan lagi.”

Lalu ia mendongak keatas puncak gunung.

“Ah, rembulan sudah berada ditengah langit ia tentunya

sudah datang,” katanya kemudian.

“Dia, dia, sekali lagi dia! Siapakah sebenarnya dia itu?” seru

Yak-bwe.

Sekonyong2 In-nio bersuit panjang. Sesaat kemudian dan

arah puncak gunung terdengar suitan balasan. Kalau suitan

In-nio bernada kecil bening, adalah suitan orang dari puncak

gunung itu bernada nyaring kuat mirip dengan ringkikan naga

atau aum harimau.

“Hai, lwekang orang itu hebat sekali, tak kalah dengan

Toan Khik Ya. Orang yang hendak kau pertemukan padaku itu

orangnya?” tanya Yak-bwe.

“Benar, memang itulah orangnya,” sahut In-nio. Habis itu,

ia mendekam tempelkan telinganya pada tanah,

“Cici, mengapa kau berbuat begitu?” tanya Yak-bwe.

“Musuh2nya sudah banyak yang datang, ia tak dapat

menyambut kita,” sahut In-nio.

“Apa2an artinya ini?” Yak-bwe makin keheranan.

“Malam ini ia telah mengundang beberapa musuh untuk

bertemu digunung Pak-beng-san sini. Sekarang mumpung

mereka masih belum bertempur, kita lekas2 kesana untuk

melihat ramai2″ kata In-nio.

Sip In nio ternyata sering berkelana didunia persilatan, jadi

pengalamannyapun lebih banyak dari Yak-bwe yang selalu

dikungkung dalam gedung Ciat-tok-bu. Nona itu sudah dapat

mempelajari ilmu menempel tanah mendengar suara.

Didengarnya diatas gunung sana ada 7-8 orang tengah

bertengkar.

Kini Yak-bwe agak mengerti, ujarnya: “Ha orang itu tentu

sahabat baikmu dan kau hendak mengajak aku membantu

padanya bukan?”

In Nio tertawa: “Tidak, selamanya ia tak mau dibantu

orang. Sekalipun lawan berjumlah seratus atau seribu orang,

ia tetap menghadapinya seorang diri!”

Malam itu cuaca terang, Setelah berlari beberapa saat,

jauh2 kedua nona itu sudah dapat melihat keadaan diatas

puncak gunung itu, Dilihatnya ada seorang pemuda yang

berperawakan tinggi tengah berdiri menghadap rembulan.

Disekelilingnya dikerumuni oleh sekelompok orang. Waktu

menghitung, Yak-bwe dapatkan orang2 itu berjumlah delapan.

In-nio loncat keatas sebuah batu karang yang besar

bundar, ujarnya: “Tempat ini sesuai sekali, dari sini kita dapat

melihat jelas pertempuran mereka.”

“Apakah yang membalas suitan tadi, pemuda itu?” tanya

Yak-bwe.

“Benar! Sudah kau lihat bukan orang2 yang mengepungnya

itu?” In-nio menyahut dan bertanya. Dan nada ucapannya ia

seperti membanggakan pemuda itu.

Tiba2 terlintas sesuatu dalam pikiran Yak-bwe. Diam2 ia

tertawa.

“Kali ini dugaanku tentu tak salah. Ci In-nio tentu suka

pada pemuda itu. Ha, jadi ia juga sudah punya pilihan.”

Tapi serta dilihatnya In-nio tengah mengarahkan perhatian

pada pertempuran itu, terpaksa Yak-bwe tak jadi

menggodanya.

Tiba2 digelanggang pertempuran sana terdengar senang

berseru : “Hai, orang she Bo, berapa banyak orangkah yang

kau undang membantumu? Tunggu setelah mereka datang

semua. baru kita mulai bertempur, agar kau tak menuduh aku

sebagai orang yang menindas si lemah dengan main keroyok.”

Kata2 itu menyatakan kalau suitan In-nio tadi telah d

dengar mereka.

“Yang bicara itu yalah Hu-pangcu dari Kim-liong pang,

Dialah yang mengetahui penyamaranku kala itu. Karena

mereka berjumlah banyak, jadi aku tak mampu melawannya,

syukur ada pemuda she Bo itu yang menolongku” demikian In

nio memberi keterangan pada Yak bwe.

Dalam pada itu terdengar pemuda she Bo itu sedang

menyahut dengan dingin :

“Sebaliknya akulah yang hendak menanyakan padamu

apakah orang2mu sudah lengkap semua ?”

“Apa maksudmu ?” Hu pangcu dari Kim liong pang

bertanya.

“Aku tak mengundang barang seorang pembantupun,

melainkan ada seorang sahabat yang mungkin kepingin

melihat pertempuran ini. Kalian tak usah kuatir.”

Mendengar keterangan sipemuda, kawanan Kim-liong-pang

itu serempak tertawa mengejek : “Apa yang kami kuatirkan ?

Kuatir kau dapat melarikan dirikah ? Ha, jangan ngimpi kau!!

sekalipun kau tumbuh sayap juga tak nanti kau dapat lolos!”

Tapi pemuda itu tak mengecuh dan hanya menegas lagi :

“Sekali lagi aku akan bertanya, apakah orang2mu itu sudah

lengkap ?”

“Kalau sudah lalu bagaimana ?” si Hu-pangcu balas

bertanya.

“Kalau sudah, biailah aku enak turun tangan agar tidak

repot2 harus menghajar satu per-satu. Ha. jika memang

belum lengkap, aku bersedia menunggu beberapa saat lagi.”

kata sipemuda,

Mandengar kata2 ini, kawanan Kim liong pang itu sama

berjingkrak2 marah. Berserulah salah seorang yang bertubuh

tinggi besar : “kau ini benar2 seorang bocah yang congkak.

Baik, biar kuajar adat padamu dan akupun tak mau dibantu

siapapun juga.”

Tapi sebelum setinggi besar itu tampil kemuka, dua orang

yang baik perawakannya mau pun pakaiannya serupa

coraknya melangkah, seru mereka dengan lantang: “Nyotoako,

kalah kiranya kau tunggu dulu. Kami kaum Thay-oupang

mempunyai dendam permusuhan sedalam lautan

dengan bocah itu.”

Habis berkata mereka berdua lalu mencabut senjatanya

yang berupa sebatang poan-koan-pit dan berseru: “Sekalian

saudara yang hadir disini rasanya maklum akan peraturan dari

persaudaraan Cin. Baik lawan kami itu seorang atau seratus

orang, kami berdua saudara ini tentu selalu maju berbareng.

Ini perlu kami kemukakan terlebih dulu, agar kau jangan

menuduh kami main keroyokan. Hai, dengarlah bocah she Bo!

Asal kau dapat bertahan menghadapi 50 jurus permainan-pit

kami, maka kami berdua bersedia untuk menyembah

padamu!”

Pemuda she Bo itu hanya miringkan kepala, melihat dengan

melirik hina. Ia tak tampak mencabut pedang pun tak

menyambut tantangan kedua saudara itu.

Hu-pangcu dari Kim-liong-pang mencegahnya: “Harap

saudara berdua jangan berebut dulu. Bagaimana bocah itu

dapat bertahan sampai 50 jurus? Paling banyak 30 jurus saja

ia tentu sudah mampus. Kalau ia belum-belum sudah mati,

habis apa dayaku untuk melampiaskan kemendongkolan

hatiku? Ah, lebih baik saudara berdua mengalah dulu, biar aku

yang maju.”

Tiba2 ada seorang yang berpakaian seperti opsir tentara

melangkah kemuka dan berseru dengan nyaring: “Hai, kalian

tak boleh rebutan! Bocah itu telah merampas pesakitan

penting, aku hendak meringkusnya dan membawanya kekota

raja. Ayuh, kalian mundur semua, biar aku seorang diri yang

menangkapnya!”

Yak-bwe berbisik pada In-nio: “Aku kenal opsir itu. Ialah

Hou-ya-to-wi Ut-ti Lam, menjabat sebagai thong-leng

(pemimpin) dari pasukan Kim-wi-kun diistana. Liong-ki-to-wi

Ut-ti Pak adalah kakaknya. Mereka berdua memiliki

kepandaian silat tinggi, namanya tersohor didalam dan luar

negeri. Perangai kedua saudara itu hampir sama.”

In-nio menertawakan: “Pemimpin pasukan istana bersekutu

dengan pemimpin partai persilatan, sama-sama maukan diri

seorang pemuda, ai, sungguh mengherankan. Tapi dari

ucapan opsir itu, rupanya ia tak ada janji sama sekali dengan

kawanan orang Kim-liong-pang. Mereka hanya kebetulan

berjumpa disini saja.”

“Ah, sayang!” tiba tiba Yak-bwe menutuk.

“Sayang apa?” tanya In-nio dengan heran “Ut ti Lam adalah

seorang lelaki gagah. Dipandang dari kedudukannya, hanya

kebetulan berjumpa dengan orang2 Kim-liong-ping, namun

tetap merosotkan harga dirinya,” kata Yak-bwe.

Dan bagaimana reaksi orang orang yang dihardik Ut ti Lam

itu ternyata mereka terkesiap kaget. Tapi si tinggi besar itu

juga berwatak berangasan. Iapun tak peduli bahwa opsir yang

mengenakan seragam itam itu ialah Ut ti Lam. Serentak ia pun

balas mendamprat: “Orang macam pantat kuali seperti kau ini

juga berani berlagak pembesar? Berada disini, kau harus

menurut peraturan dunia persilatan, jangan sok aksi seperti

dalam kantormu, tahu. Jika sampai membangkitkan

amarahku, awas anti tentu kuberi makan bogem mentahku!”

“Kurang ajar! Manusia macam apa kau ini?” seru Ut ti Lam

dengan gusarnya. Wutt, ia lantas menyabet dengan piannya.

Hu pangcu dari Kim liong pang rupanya kenal akan Ut ti

Lam. Sudah tentu ia menjadi terkejut dan tergopoh gopoh

memburu maju dan mendorong si tinggi besar kesamping.

Kemudian dia haturkan maaf: “Ut ti ciangkun, harap jangan

marah. Malam ini kita sama-sama menemukan seorang

musuh, segala adat apa dapat kita bicarakan. Saudara Nyo ini

titik pandai bicara, harap Ciangkun bersabar!”

Untung Hu-pangcu itu cepat-cepat mendorong si tinggi

besar sehingga terluput dari pian Ut-ti Lam, maka pian itu

telah menghantam sebuah batu besar hingga hancur

berantakan. Melihat itu, bagaimanapun berangasannya, si

tinggi besar tak berani bercuit lagi.

“Harap kalian jangan ribut-ribut, sudilah dengarkan katakataku,”

tiba-tiba anak muda tadi berkata.

Dari sikapnya pemuda itu seperti tak mengandung

permusuhan kepada mereka dan bahkan hendak melerai.

Ut-ti Lam juga merasa heran, sahutnya: “Baik, cobalah kau

akan berkata apa?”

“Ut-ti ciangkun, kunasihatkan lebih baik biarkan mereka

bertempur dulu dengan aku. Kau nanti jatuh pada giliran yang

terakhir saja,” kata anak muda itu.

“Apa-apaan itu, kau bocah ini malah akan mengeloni

mereka,” demikian Ut-ti Lam berteriak dengan marah-marah.

Tertawalah pemuda itu: “Biarlah kuterangkan alasannya.

Ut-ti ciangkun, dengarkan dulu!”

Ia menunjuk pada kedua saudara yang bergelar Cin-kehsiang-

pit, lalu katanya: “Kalian tadi mengatakan mempunyai

dendam sedalam laut padaku, tapi aku sendiri bingung,

permusuhan apakah yang kita ikat itu?”

Kedua saudara Cin itu mendengus, sahutnya: “Ha, kau

budak kecil ini pandai berpura-pura! Baiklah, biar kuterangkan.

Keterangan ini bukan untukmu, melainkan supaya dapat

diketahui oleh saudara-saudara yang hadir disini. Selesai

mendengar keteranganku, kalian tentu tahu apa sebabnya

kami berkeras hendak melabrak bocah ini lebih dulu.”

Si Cin yang tua merandek sejenak, lalu melanjutkan

berkata: “Bulan yang lalu kami bercekcok rebutan bandar

(pangkalan perahu) dengan orang Hay-yang-pang. Bocah itu

sebenarnya orang luar, tapi suka usil. Ia membantu fihak Hayyang-

pang hingga mengalahkan orang-orangku dan

menghancurkan 17 buah perahu kami yang berada diperairan

telaga Thay-ou. Tidakkah hal ini berarti dendam sedalam

lautan?”

Lalu adiknya menambahkan: “Kala itu kami berdua saudara

tak ada disitu, hingga fihak kami menderita kerugian.

Sebenarnya kami harus menuntut balas pada fihak Hay-yangTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

pang, tapi setelah kami selidiki, 8-9 bagian dari orang-orang

kami itu dilukai oleh bocah ini. Maka kami kesampingkan

urusan terhadap Hay-yang-pang dan membikin perhitungan

pada bocah ini lebih dulu.”

Anak muda itu tiba2 menyahut: “Memang sebagian besar

hal itu benar, hanya masih keliwatan sedikit mengenai

sebabnya kalian bercekcok dengan fihak Hay yang pang.

Biarlah aku yang memberi tambahan keterangan. Hay yang

pang adalah sebuah organisasi nelayan di sepanjang pantai

Thay ou. Kalian dari Thay ou pang itu lantas mau memungut

pajak pada mereka. Para nelayan itu sudah berat membayar

pajak pada pembesar negeri setempat, apakah mereka dapat

memikul lagi beban yang makin memberatkan itu? Untuk

membela kepentingannya, maka Hay yang pang terpaksa

melawan kalian. Salahkah jika aku berdiri dipihak Hay yang

pang? Atau apakah seharusnya aku membantu pada fihakmu

untuk menindas kaum nelayan itu?”

Berkata pula anak muda itu: “Walaupun jadi perampok atau

bajak, pun seyogianya jangan meninggalkan sifat2

keperwiraan. Ditempat dimana kaum nelayan sudah menderita

kalian masih hendak merebut nasi mereka, apakah kalian tidak

malu! sebabnya maka aku beri sedikit hajaran pada orang

orang Thay ou pang itu, pertama untuk meringankan

kemengkalan hati kaum nelayan dan kedua supaya mereka

ingat betul betul bahwa aku sudah bermurah hati tak

membunuh seorangpun dari kawan mereka. Mengapa

menuduhku berbuat salah?”

Malu dan geram bercampur aduk kedua saudara Cin itu.

Belum mereka menyatakan apa-apa, Ut-ti Lam sudah memuji :

“Benar ucapanmu itu cukup cengli dan perbuatan mu tepat

sekali!”

Sebenarnya kedua saudara Cin sudah mau menumpahkan

kemarahannya, tapi demi Ut-ti Lam mengatakan begitu,

mereka agak kurang enak untuk turun tangan. Kemudian

sipemuda menuding pada si tinggi besar, katanya: “Dan kau?

Apakah kita juga mempunyai permusuhan sedalam lautan?”

“Meskipun dendam itu tak menyamai membunuh ayah atau

menumpas isteri, tapi rasanya juga tak jauh dari itu. Barangbarang

antaran piau yang hendak kami rampas, ibarat kuwe

bak-pau sudah berada dimulut, tapi mengapa kau mengadu

biru dan membantu mereka dan menggagalkan usaha kami?”

demikian seru si tinggi Besar.

Sipemuda menyahut: “Mungkin saudara tak mengetahui

bahwa barang-barang itu adalah uang perak untuk Li Yangceng

yang menjabat sebagai Ti-ho congkoan (pembesar

urusan irigasi). Kantor pengangkutan Tian-an-piau kiok telah

diserahi untuk mengantarkannya. Barang antaran itu tak boleh

dirampas.”

“Mengapa?” tanya si tinggi besar.

“Karena uang itu diperuntukan membelanjai pekerja2.

Tentang pembesar she Li itu, akupun sudah menyelidikinya,

dapat dikata seorang pembesar baik,” tutur sianak muda,

“Persetan ia pembesar baik atau jahat dan bagaimana ia

akan menggunakan uang itu! Pendek kata, yang kuketahui

hanyalah uang perak yang bergemerlapan saja, bagi kami

yang menuntut penghidupan sebagai orang Hek-to, jika tak

merampas uang masakan disuruh makan angin saja?” sahut si

tinggi besar gusar.

Tertawalah anak muda itu: “Ucapan saudara itu tidak tepat.

Jika kau mengganyang uang kaum pembesar korup, aku tentu

tak berani unjuk diri. Tapi dengan merampas uang tadi, bukan

saja rakyat pekerja akan kelaparan pun proyek bendungan

sungai Hong-ho akal terbengkalai, akibatnya ribuan jiwa

rakyat akan menderita malapetaka, rumah tangga cerai berai.

Karena tak dapat merampas uang kas hanya makan angin,

tapi apakah kau tahu bahwa ribuan rakyat itu kini benar-benar

sudah makan angin. Kutahu kalau saudara itu juga dari

keturunan keluarga miskin, mengapa saudara hanya

mementingkan diri sendiri saja?”

Si tinggi besar itu ternyata seorang jujur juga. Ia garuk2

kepalanya, katanya: “Eh, ucapanmu itu rada cengli juga. Tapi

hal itu rasanya tak sesuai dengan peraturan yang sudah

mendarah-daging di Lok-lim. Coba beri aku tempo untuk

memikirkannya.”

“Baiklah, kau boleh merenungkan dulu,” kata sipemuda.

Mendengar anak muda itu telah menyelamatkan uang

antaran untuk Ti-ho cong-koan. Ut-ti Lam menjadi terkesiap.

Tidak demikian dengan Hu-pangcu Kim-liong-pang yang

lantas membentak: “Kedatangan kita disini ini untuk

bertempur atau akan mendengarkan ceramah tentang ceng-li?

Perlu apa ribut2 begitu? Mari, ayuh, marilah, kami bertiga

Hiangcu dari Kim hong pang akan minta pelajaran ilmu

pedang lagi padamu!”

Ia menjabat sebagai Hu pangcu (wakil pemimpin)

merangkap Sang tong hiang cu (ketua bagian penghukum)

dari Kim liong pang. Ia membawa serta dua orang Hiangcu

lagi kesitu. Dari bicaranya. Ia separti hendak mengajak

kawannya maju mengeroyok,

Tiba2 Ut ti Lam berseru: “Kalau dengar pembicaraan bocah

itu, rasanya berarti sekali, apa halangannya untuk

mendengarkan terus!”

Anak muda itu sekonyong2 tertawa memanjang lalu

menuding pada Hu pangcu Kim liong-pang: “Makin kau takut

kubuka borokmu, makin aku bernapsu mengatakannya!

Dengarkanlah-sewaktu dijalan Lo pek kau hendak merampas

seorang gadis tapi karena kau dikalahkan, kau lantas panggil

kambrat-kambratmu antuk marampaskan disamping secara

diam2 kaugunakan dupa bi-hiang. perbuatanmu itu bahkan

lebih memalukan daripada perbuatan2 rendah kaum Lok-lim.

Jika hanya kuiris sebelah daun telingamu, itu sudah keliwat

murah karena kuharap kau dapat merobah kesalahanku.

Tetapi mengapa kau masih tak tahu diri dan berani mencari

balas padaku?”

Mendengar itu bukan main gusar Ut-ti Lam kepada orang

Kim Liong-pan itu serunya: “Ha, bagus bangsat terkutuk,

rasakanlah lebih dulu pianku ini!”

Si pemuda baru2 kebutkan lengan bajunya untuk

menyingkirkan pian ciangkun yang hendak diserangkan pada

Hu-pangcu dari Kim Liong pang itu.

“Ut ti ciangkun, harap jangan mencampuri urusanku. Kalau

mereka hendak menantang berkelahi, aku sanggup melayani

sendiri. Dia lagi ciangkun toh masih terhitung lawan dengan

aku,”

Sahut Ut-ti Lam: “Benar aku memang hendak bertempur

padamu nanti!”

“Baik, sekarang rasanya kau tentu sudah mengetahui

mengapa kusarankan dirimu pada urutan yang terakhir,” kata

sianak muda.

Ut-ti Lam juga seorang yang lurus. Apa yang dipikirnya

tentu lantas diucapkan. Tanpa banyak berpikir lagi ia lantas

menyahut

“Ha, aku sudah tahu sekarang, tentu takut kalau kutangkap

kau dulu hingga kau tak sempat untuk menghajar mereka.

Tidak apakah aku..”

Sebenarnya dia ingin mengatakan: “Orang2 kutu busuk aku

akan mewakilmu menghajar mereka” Tapi tiba2 pikirannya

berubah, “Tidak jika aku mengatakan begitu, tentu kawanan

kutu busuk dan perampok itu akan lari sipat kuping nanti.”

Maka tertawalah sianak muda, serunya : “Tak usah kau

katakan juga aku sudah mengerti maksudmu itu. Tapi Ut-ti

ciangkun apa kah kau sudah memperhitungkan kalau dapat

memenangkan aku?”

Ui-ti Lam tertegun. Ia melihat jelas bagai mana dengan

kebutan lengan baju taui, sianak muda telah dapat mengisat

serangan piannya kesamping. Tanpa bimbang lagi dia segera

menyahut: “Hal itu baru dapat diketahui kalau sudah

bertempur”.

“Tepat! Kau belum yakin dapat mengalahkan aku, akupun

tak pasti dapat menundukkan kau. Andaikata salah satu akan

menang juga nanti sudah kehabisan tenaga. Itu waktu

mungkin kita sudah loyo untuk menghadapi pertempuran

lagi!” kata sianak muda.

Di-pikir2 omongan itu memang benar. Ya, benar juga dia.

Jika aku dan dia sama2 terluka, kawanan penjabat itu yang

mendapat keuntungan nanti, diam2 opsir itu membatin.

Kata pula sianak muda: “Ut-ti ciangkun, jika kau ingin

menangkan aku, ada sebuah cara, ialah kau boleh ikut maju

bersama mereka untuk mengeroyok aku. Ini mungkin ada

harapan.”

“Hah, kau menilai diriku ini orang macam apa? Aku, Ut-ti

Lam, masakah sudi menggabung dengan kaum perampok dan

kawatan telur busuk itu!” teriak Ut-ti Lam dengan murka.

Karena mendongkol, ia sudah menghamburkan kata2,

“kawanan telur busuk” dan “perampok”. Sudah tentu orang2

yang dimaki itu melotot gusar.

“Ut-ti ciangkun, begitu selesai memberesi budak itu, kami

nanti pasti akan minta pengajaran padamu.” seru kedua

saudara Cin.

Tanpa menghiraukan kedua jagoan itu, sianak muda

berkata pula kepada Ut ti Lam: “Bagus. Ut ti ciangkun, karena

kau sudah tahu manusia macam apa mereka itu dan

karenanya kau tak sudi mendekati mereka, maka sekarang

silahkan minggir dulu sajalah”.

Ciangkun yang ketolol2an tapi jujur itu garuk2 kepalanya.

Tiba2 ia berseru: “Ai, masih sedikit enggan aku !”

“Harap Ciangkun jangan menguatirkan diriku. Orang itu,

sekalipun ditambah lagi jumlahnya, masih belum kupandang

sebelah mata. Setelah menghajar mereka, aku masih ada

tenaga cukup untuk mengawani kau berkelahi. Tapi kalau

bertempur dulu padamu kemudian baru menghajar mereka,

meskipun masih dapat menang tapi agak makan tenaga pula,”

kata si anak muda.

Dijunjung begitu, kemarahan Ut-ti Lam berganti menjadi

kegirangan. Serunya : “Benar, omonganmu itu memang

beralasan. Baik, biar aku jatuh pada giliran terakhir !”

Mendengar dirinya dijadikan bulan2 percakapan itu,

marahlah orang2 itu. Memang kecuali Hu pangcu dari Kimliong-

pang yang sudah pernah merasakan tangan sianak

muda, lain lainnya belum kenal siapa anak muda itu, Sekalipun

mereka itu kebanyakan adalah tokoh2 persilatan yang ada

nama, tapi karena ditantang supaya maju semua oleh sianak

muda, mereka sebaliknya malah bersangsi.

Tiba-tiba kedua Hiang-cu dari Kim-liong-pang itu membuka

suara: “Ada orang bersembunyi disana, mungkin komplotan

budak kecil itu. Biar kukeroyoknya dulu mereka itu.”

Kiranya mereka sudah mengetahui kalau In-nio dan Yakbwe

berada diatas batu tempat persembunyiannya. Kedua

Hiangcu itu licin benar. Dengan alasan mengeroyok, mereka

hendak menyingkir dulu dari sianak muda yang telah diketahui

kelihayannya. Biar kedua saudara Cin dkk bertempur dulu

dengan sianak muda, baru nanti mereka hendak melihat

perkembangannya.

Tapi mereka licin, sianak muda lebih cerdik lagi. Baru saja

kaki mereka melangkah beberapa tindak atau tahu2 kaki

mereka terasa lemas dan “bluk-bluk”, jatuhlah keduanya

terkulai ditanah.

“He, jangan lari kemana2 kembalilah! Apakah kalian tak

mendengar permintaanku tadi supaya kalian maju berbareng

semua?” seru sipemuda.

Ternyata anak muda itu sudah gunakan Kek-gong-tiamhiat

atau menutuk jalan darah dari kejauhan untuk merobohkan

kedua Hiang-cu Kiam-liong-pang itu. Tapi sungguh lacur

kedua saudara Cin itu sudah tak kenal akan ilmu tutuk yang

sakti itu. Mereka kira anak muda itu sudah mulai turun

tangan, maka tanpa berpikir panjang lagi kedua saudara Cin

itu sudah maju menyerang dengan Poan koan-pit mereka.

Yang satu dari sebelah kanan yang lain dari kiri.

Tiba2 si tinggi besar menggerung: “Keparat! Tuanmu

belum bergerak, kau sudah mendahului turun tangan ya?”

Setinggi besar yang berangasan inipun tak mengerti ilmu

apa yang digunakan sianak muda untuk menjatuhkan kedua

Hiang-cu tadi. Ia mengira anak muda itu sudah gunakan

senjata rahasia, maka habis mendamprat ia lantas maju

menjotos.

Dengan dua buah jarinya, sianak muda pentalkan senjata

pit dari kedua saudara Cin kemudian balikan telapak

tangannya untuk tangkis tinju si tinggi besar, serunya dengan

tertawa:

“Mengapa kau begitu terburu2?. Tunggu sampai kawan2mu

sudah datang semua, bukankah masih belum terlambat?

Sekali ini aku memang mengalah, supaya kau jangan

menuduh aku tak pegang janji. Ingat, jika sebelum kawan2mu

lengkap kau sudah bergebrak, kau tentu akan menderita

kerugian besar!”

Disana kedua Hiang cu Kim-liong-pang tadi tampak sedang

merangkak bangun. Dengan malu dan gusar, mereka terpaksa

kembali dan mempersatukan diri dengan sekalian orang.

Dalam pada itu sianak muda sedang ulur tangannya untuk

mendorong setinggi besar, serunya: “Ingat, kalau kawankawanmu

sudah lengkap, baru boleh maju lagi!”

Melihat kepandaian anak muda itu begitu sakti, tanpa

malu2 lagi, kawanan penjahat itu segera menyerbu berbareng.

Mendadak anak muda itu berputar tubuh, Tahu2 tangannya

sudah mencekal pedang dan dalam sabatan pertama ia sudah

dapat membabat putus Liang-cu-chui ( bandul besi berantai )

dan salah seorang penyerangnya. Sabetan kedua, sebuah

golok musuh terpental keudara. Kemudian begitu sang tubuh

bergerak, ia sudah tiba disisi si tinggi besar.

“Celaka !” mulut si tinggi besar berteriak, tapi ia tak

berdaya untuk menyingkir dari pedang sianak muda yang

sudah melayang datang. Mau tak mau menjadi nekat juga.

“Aku akan mengadu jiwa dengan kau !” teriaknya sambil

mengangkat sepasang pedangnya keatas, mirip dengan

sepasang tanduk kerbau. Ia hendak menerjang maju, tapi

ternyata sianak muda itu hanya tepuk pundaknya.

“Kau sudah memikir jelas belum? Tadi kau sudah berjanji

padaku untuk memikir masak2 !”

Ketika si tinggi besar membuka matanya, ternyata sianak

muda itu telah melesat lewat disisinya dan sudah menempur

Hu pangcu dan Kim-liong-pang. Si tinggi besar tampak

melongo, lalu berteriak : “He, kau ini rada2 cengli juga, aku

tunduk dan tak mau berkelahi lagi dengan kau !”

Habis berkata ia lantas berputar tubuh dan lari pergi

menuruni gunung. Melihat itu tertawalah sianak muda : “Baik,

Nyo-toako, aku bersahabat padamu. Kita nanti berjumpa pula

di Kim ke-nia !”

Waktu Hu-pangcu Kim liong-pang menyerang dengan

tongkatnya, sianak muda berhenti tertawa dan berseru :

“Terhadap dirimu seorang penjahat pengrusak wanita ini, aku

tak dapat memberi ampun, jiwamu kutinggalkan tapi

kepandaian silatmu kuambil!”

Cret. berbareng dengan selesai kata2nya, ujung

pedangnyapun sudah menyusup ketulang pi-peh-kut pundak

orang, Suatu hal yang membikin kejut kawanan perampok,

lebih2 kedua Hian-cu dari Kim-liong-pang tadi, mereka serasa

terbang semangatnya.

Hu pangcu itu bukan tokoh silat sembarangan. Adanya dia

dapat menjabat sebagai wakil ketua, karena kepandaiannya

itu termasuk yang nomor tiga dalam hierarchi ( urut ) Kim

liong pang. Ia hanya disebelah bawah dari Jui tianglo dan Su

pangcu. Permainan ilmu tongkat dari Hu pangcu itu juga

termasyur. Tapi anehnya belum lagi ia sempat mainkan jurus

yang ketiga tulang pundaknya sudah kena terpanggang

pedang sianak muda.

“Kiranya dia benar2 masih berlaku murah dengan hanya

memotong sebelah telinga Hu-pangcu tempo hari. Kalau Hu

pangcu saja sudah keok, apa daya kita?” Demikian barulah

timbul rasa gentar dalam hati kedua Hiangcu.

Serta merta mereka lempar senjatanya dan terus hendak

menurutkan peraturan kaum persilatan untuk meminta

ampun. Tiba2 anak muda itu tertawa: “Mengingat walaupun

kalian berdosa tapi mau bertobat, maka akan kuberi hukuman

ringan saja?”

“Sret. sret,” pedang sianak muda tampak berkelebat dan

tahu2 telinga kedua Hiangcu itu masing2 sudah hilang satu.

Yang seorang telinga kiri dan yang seorang telinga kanan.

“Nah. Biarlah kalian juga merasakan sedikit kesakitan agar

dikemudian harinya dapat mengingat baik2. Nah enyahlah,”

seru sianak muda.

Karena tidak sampai dibikin lenyap kepandaiannya seperti

Hu pangcu mereka, girang kedua Hiangcu itu bukan kepalang,

tanpa banyak bicara lagi mereka segera memanggil Hu pang

cunya dan dibawa lari kebawah gunung.

Kini yang masih segar bugar yalah kedua saudara Cin itu.

Memang kepanduan mereka lebih unggul setingkat dari Hupangcu

Kim-long pang. Biasanya merekapun congkak.

Walaupun menyaksikan kejadian itu dengan rasa terkejut,

namun mereka tak mau mencontoh perbuatan kedua Hiangcu

untuk meminta belas kasihan orang. Mereka bulatkan tekad

untuk mengadu jiwa, apabila perlu mereka siap untuk sama

binasa dengan sianak muda. Dengan ketekadan itu mereka

menyerang rapat kepada anak muda itu. Setiap serangan

mereka selalu mengarah bagian2 yang mematikan.

Karena sejak kecil kedua saudara itu sama2 belajar silat,

jadi mereka dapat mengadakan kerja sama permainan yang

rapat Sepasang senjata poan-koan pit mereka dapat berderak

dengan indah laksana burung hong dan naga menari. Kanan

kiri. muka belakang anak muda itu selalu dibayangi dengan

pagutan poan koan pit. Sedikit saja sianak muda berayal atau

salah jalan, pasti tubuhnya kena tertusuk.

Diatas batu besar sana, Yak-bwe menyaksikan pertempuran

dengan tegangnya. Ia bertanya dengan bisik2 kepada

sahabatnya : “Mengapa kawanmu itu hanya bertahan dan tak

mau menyerang? Padahal ia mampu untuk menyerang lawan.”

In-nio tertawa : “Memang setiap gerak-geriknya sukar

diraba orang. Entahlah aku sendiri tak mengerti apa

maksudnya karena hanya ia sendiri yang mengetahui

alasannya.”

Tiba2 kedengaran anak muda itu berseru lantang: “Kalian

menindas rakyat nelayan suatu dosa yang sebenarnya tidak

kecil. Tapi ku lihat kepandaian kalian agaknya masih kalah

setingkat dengan Hu pangcu Kim-liong-pang tadi, jadi kalau

dipanggang tulang Pi peh-kutmu rasanya masih keliwat berat,

Hm, biar Kupikirkan dulu, hukuman apakah yang sekiranya

cocok untuk kalian ini?”

Ia omong sendiri seperti berunding seorang diri. Serangan

maut dari kedua saudara Cin itu se-olah2 tak dihiraukan sama

sekali.

Kedua saudara Cin itu marah sekali, tapi apa daya. Seumur

hidup mereka belum pernah ketemu dengan musuh setangguh

anak muda itu. Mereka tak berani tumpahkan kemarahan,

karena kuatir sedikit saja perhatian terpencar tentu tubuh

mereka akan tertutuk oleh lawan.

“Hai, ada… sudah ada… Ya kuingat tadi kalian mengatakan

kalau aku dapat melayani serangan kalian sampai tiga puluh

jurus, kalian lantas mau menjura kepadaku Kiranya sekarang

sudah ada tiga puluhan jurus bukan?” tiba2 anak muda muda

itu berseru pula.

“Tiga puluh jurus sudah lebih sejak tadi?!”

Tiba2 Ut-ti Lam turut berseru. “Hai, jadi sudah lebih 30

jurus? Wah…”

“Kalian mau pegang janji tidak? Mau memberi hormat

kepadaku tidak?” kata sianak muda.

“Sudah tentu” kedua saudara Cin itu tak mau menurut.

Mereka malah memperhebat serangannya.

“Menjadi bangsa penjahat itu selain harus mengingat

tentang ‘keluhuran’ pun harus memegang kepercayaan.

Apakah kalian tidak tahu?” sianak muda tertawa dingin.

“Aha, jadi bangsa penjahat itu juga harus memiliki

kesopanan ? Tapi terhadap mereka, rasanya sia2 saja kau

katakan begitu, Kulihat kecuali kau ajar mereka sampai

bertekuk lutut meresa tentu tak mau mengangguk kepala

kepadamu,” ujar Ut-ti Lam.

“Benar, karena kalian berdua ini penjahat2 rendah yang tak

pegang janji, aku terpaksa gunakan kekerasan,” kata sianak

muda.

Tiba2 ia jungkirkan Ceng-hong-kiamnya, begitu membentur

senjata lawan, tahu2 si Lo Toa ( kakak ) dari saudara Cin

menjerit, terus bertekuk-lutut. Si Lo Ji ( nomor dua ) dari

saudara Cin terkejut, tapi belum lagi ia keburu menyingkir,

lututnya sudah kena ditendang si anak muda. Tanpa

dikehendakinya, iapun bertekuk-lutut ketanah. Karena jatuh

ketanah, tubuhnya bergoncang dan kepala merekapun turut

meletuk hampir mencium tanah. Dan karena mereka buru2

mengangkat lagi kepalanya, sepintas lalu menjadi benar2

seperti orang yang memberi hormat dengan menganggukan

kepala.

Tertawalah sianak muda gelak2: “Karena kalian sudah

mengangguk, nah, kubebaskan kalian dari hukuman. Tapi

ingat, jika lain kali masih berani menindas rakyat lemah,

apabila jatuh kedalam tanganku lagi, maka bukan saja

kusuruh kalian mengangguk lagi, pun tulang Pi peh-kut kalian

akan kuremukan. Nah, ingat baik2 dan enyahlah sekarang!”

Cepat kedua saudara Cin itu merangkak bangun. Wajah

mereka merah padam. Diam2 mereka menyesal tidak punya

sayap agar dapat lekas lekas terbang pergi. Karena sang

kepala ngacir, kawanan keroconyapun segera kabur semua.

Dalam sekejap saja mereka sudah tak kelihatan lagi. Kini yang

tinggal digelanggang situ, hanya Ut-ti Lam dan sianak muda.

“Bagus, bagus ! Orang she Bo, nyata kau juga seorang

jantan!” Ut-ti Lam acungkan jempolnya memuji.

“Maaf, sebenarnya aku tak layak menerima pujian begitu

dari Ciangkun,” sahut sianak muda dengan tertawa.

Tiba2 Ut-ti Lam deliki kedua matanya dan berseru: “Tapi

sayang, sungguh sayang….”

“Sayang apa?” tanya sianak muda.

“Sayang karena seorang pemuda jantan seperti kau ini,

terpaksa harus merangkap kau untuk kubawa kekota raja!”

kata Ut-ti Lam.

“Sayang, sayang, sungguh sayang!” Tiba2 anak muda itu

juga menirukan ucapan Ut-ti-Lam.

“Sayang apa?” kini ciangkun itu yang berbalik tanya.

“Dengan menempatkan kau pada giliran terakhir,

sebenarnya aku bermaksud, kita tak usah bertempur lagi! Tapi

karena kau ternyata tetap berkeras akan menangkap diriku,

tiada lain jalan bagiku kecuali harus bertempur lagi. Hati

dengan kemauan saling bertentangan, apakah tidak sayang?”

Ut-ti Lam kerutkan keningnya. Katanya: “Dalam masalah

permusuhan antara kau dengan kawanan penjahat tadi.

rupanya kaulah yang berada difihak benar dan merekalah

yang salah.”

“Setiap tindakan yang kulakukan berdasar alasan yang

benar!” sanak muda memutus omong orang.

“Baik, kalau begitu ingin juga aku mendengarkan apa

alasanmu merampas 300 ekor kuda kepunyaan baginda.

Kuda2 itu adalah dari negeri Gong-ki-kok. Baginda akan

menghadiahkan kuda2 itu kepada pasukan Gi-lim-kun. Apakah

akan tahu akan hal itu?” kata Ut-ti- Lam

“Cukup tahu, karena sebelumnya aku juga sudah

menyelidiki dengan jelas,” sahut sianak muda.

Maka marahlah Ut-ti Lam bentaknya: “Apa asalmu!”

“Bukankah Thong leng dari pasukan Gi-lim-kun sekarang itu

adalah Liong-ki-to-wi, Cin Siang!” tanya sipemuda.

“Benar, memang Cin Siang toako. Apa perlunya kau

tanyakan itu? Kiranya kau kenal juga padanya? Kalau begitu

lebih2 tak semestinya kau merampas kuda itu!”

“Konon kabarnya Cin ciangkun itu akhli dalam hal menilai

kuda. Kuda tunggang sendiri juga seekor kuda Cian-li-ma.”

“Hai, kuminta kau terangkan asalmu merampas barang

antaran masakan mau ajak aku mengobrol yang bukan2!”

teriak Ut-ti Lam dengan tak serantai.

Sianak muda tertawa geli: “Harap Ciangkun suka bersabar

sebentar. Sekarang sudah menginjak acara pokoknya. Nah,

karena Cin-ciangkun itu akhli memiliki kuda, pasukan Gi Limkun

itu tentulah terdiri dan perwira gagah dengan kuda2 yang

tegap2, bukan?”

“Sudah tentu! anggaran pasukan Gi lim kun itu terdiri dari

perwira pilihan semua. Orangnya pilihan orang, kudanya

pilihan kuda. Gi-lim-kun memang bukan sembarahgan

pasukan!” sahut Ut-ti-lam.

“Jumlah anggauta Gi-lim-kun hanya orang, sedang

persediaan kudanya berjumlah 450 ekor, benarkah ini ?” tanya

sianak muda pula.

“Eh, mengapa kau tahu begitu jelas ?” seru Ut-ti Lam.

Sianak muda ganda tertawa dan melanjutkan kata2nya :

“Jika begitu, artinya tepat tebakanku. Baiklah, sekarang akan

kuberikan alasanku. Tadi kau katakan bahwa baginda hendak

menghadiahkan kuda itu kepada pasukan Gi-lim-kun, tetapi

kenyataannya pasukan Gi-lim-kun itu tak kekurangan kuda!

Bahkan mereka itu masih ada kelebihannya! Dengan ku ambil

300 ekor kuda itu, rasanya mereka takkan menderita apa2 !”

Marahlah Ut-ti Lam, serunya : “Alasanmu itu terlalu dibuat2!

Banyak atau sedikit jumlah kuda yaug dimiliki oleh

pasukan Gi-lim-kun itu bukan soal. Pokok, kuda itu adalah

barang upeti yang dipersembahkan kepada baginda, kau

seharusnya tak boleh mengganggu !”

Sianak muda tertawa gelak2 : “Karena kau bekerja pada

raja, jadi sudah selayaknya kau mengatakan begitu. tapi

kedudukanku berlainan dengan kau, jadi caranya berpikirpun

tidak sama. Yang kutanyakan padamu hanyalah layak tidaknya

kuda kelebihan itu kuambil? Tentang siapa pemiliknya, rajakah

atau rakyatkah, itu bukan soal.”

“Ya, baik. kita boleh kesampingkan tentang pemiliknya itu.

Tapi bukankah kau telah merampas barang orang, mengapa

kau masih hendak membela kebenaran?”

“Kuda dari pasukan Gi-lim-kun sedang berlebih2an. Hadiah

tiga ratus ekor kuda itu, tak banyak berguna bagi mereka.

Malah kemungkinan mereka akan menelantarkan kuda-kuda

bagus itu. Tapi bagi fihakku, kuda itu besar sekali artinya,

kami hanya punya anak buah gagah, tapi kekurangan kudakuda

tegar !”

“Ahh, jelas aku sekarang. Kiranya kau ini juga benggolan

perampok bukan !”

Sianak muda tertawa : “Tebakanmu hanya separoh bagian

yang benar !”

“Kalau ia bilang ya, tidak bilang tidak, mengapa bilang

hanya separuh bagian yang benar?” seru Ut-ti Lam.

“Sekarang aku masih belum resmi mendirikan markas, jadi

tak boleh dianggap sebagai perampok atau begal. tapi aku

sudah siap menceburkan diri menjadi penyamun. Terus terang

saja kuberitahukan padamu, tak lama Kemudian bakal ada

Lok-lim-tay-hwe (musyawarah besar penyamun). Sekalian

orang gagah dari segala-Siapa siapa akan mengangkat Thiatmo

lek sebagai Bengcu! Tiga ratus ekor kuda itu kurampas

hendak kusumbangkan pada Thiat-mo-lek selaku bingkisan

perkenalan. Ut-ti ciangkun. kau tak dapat meminta kembali

barang itu!”

Selapang2nya hati Ut-ti Lam, namun ia tetap seorang

pembesar kerajaan. Mendengar kata2 sianak muda itu. sudah

tentu panaslah hatinya. Serunya:

“Ha, kiranya kalian ini adalah penjahat yang hendak

memusuhi kerajaan. Sudah tentu aku tak dapat melepaskan

kau!”

Masih sianak muda tertawa “Ciangkun, ucapanmu itu hanya

benar separoh bagian saja.”

“Ai, mengapa hanya separoh bagian lagi?” Ut-ti Lam

keheranan.

“Kami benar jadi penyamun, tapi belum tentu memusuhi

kerajaan. Yang nyata sekarang ini kami tak bersikap begitu.

Dengan kurampas kuda itu. bahkan ada segi2 kebaikannya

kepada kerajaan, sekali2 tidak ada keburukan.”

Ut-ti Lam makin heran.

“Ai, ai. ucapanmu benar2 hebat sekali, kerajaan sekali2

tidak ada keburukannya!”

Maka berkatalah sianak muda:

“Tolong tanya, didalam daerah Gui-pok sini, siapakah yang

mempunyai pengaruh paling besar?”

“Mengapa bertanya pula? Sudah tentu Ciat to-su Tian

Seng-su!” jawab Ut-ti Lam.

“Dan didaerah Lo-ciu?”

“Ciat-to-su Sik Ko!” sahut Ut-ti Lam.

“Jika begitu. Tian Seng-su di Gui-pok, Sik Ko di Lo-ciu,

mereka itulah raja-raja daerah tersebut!” kata sianak muda.

“Bolehlah dikata begitu, mereka berdua yalah raja

daerahnya,” Ut-ti Lam mengiakan.

Tertawalah sianak muda: “Menurut pendapatku, didalam

daerah kekuasaannya, hak mereka itu lebih besar dari raja.

Rakyat hanya takut pada Ciat-to-su tapi tidak kepada raja!”

Ut-ti Lam terdiam tak menyahut.

Sianak muda tertawa dan berkata lagi: “Pasukan Gi-lim-kun

dalam keraton hanya berjumlah 3000 orang sedangkan Tian

Seng-su bentuk apa yang dinamakan pasukan Gwe-thok-lam

yang terdiri tiga ribu orang juga. Pasukan itu merupakan

pasukan tandingan bagi Gi-limkun, Ini sebenarnya menyalahi

undang2, tapi mengapa fihak kerajaan tinggal diam saja?”

“Tentang ini……ini. ai, mengapa kau mengurus? Kau toh

bukan perdana menteri” karena kehabisan jawab, Ut-ti Lam

balas bertanya.

“Kata2mu itu salah lagi, kalau raja saja tak mau mengurus

apalagi seorang perdana menteri! Kerajaan mempunyai

undang2 tentara memiliki peraturan. Tetapi siapakah Ciat-tosu

itu yang memerintah dengan menurut undang2? Siapakah

mereka itu yang tidak korup, tidak menindas rakyat? Pajak

yang dipungut oleh Tian Seng-su, lipat tiga kali dari apa yang

ditetapkan oleh fihak kerajaan. Paling akhir ini untuk

mengawinkan anak lelaki. iya. Tian Seng-su telah

menggunakan uang negara membeli bingkisan kawin. Apakah

kau tahu akan hal itu? Baik, aku tak seharusnya mengurusi,

tapi apakah raja sudah mengurusnya?”

Ut-ti Lam menghela napas, ujarnya: “Hatikupun berontak2

seperti perasaanmu, tapi apa daya. Mereka mempunyai

tentara karena itu….”

“Karena itu maka fihak kerajaan tak dapat bertindak. Yang

dapat bertindak hanya kawanan begal kuda macam aku ini,

bukan?”

“Ha, jangan berputar terlalu jauh, kita kembali pada

persoalan semula saja. Kau tidak hendak menjelaskan

alasanmu merampas antaran kuda, mengapa lantas membalik

memaki pada Ciat-to su?” akhirnya Ut-ti Lam memberi

peringatan.

Kata sianak muda: “Rupanya kau masih tak mengerti. Apa

yang kukatakan tadi adalah merupakan alasanku. Coba

renungkan, dalam suasana dimana para Ciat-to-su berebutan

minta daerah otonom agar mereka dapat merajai daerahnya

terus terang, saja, perintah2 dari rajamu itu tak laku lagi

diluaran. Kami adalah kawanan penyamun yang menjalankan

amanat penderitaan rakyat, apakah hal itu merugikan pada

rajamu? Jika ada yang merasa dirugikan karena tindakan kami

itu, paling2 hanya para Ciat-to su setempat dan anak buah

mereka saja! Bukankah hal itu malah menguntungkan bagi

kerajaan? Pasukan Gi lim-kun-nya tidak berani menempur

mereka, tetapi kami berani. Tiga ratus ekor kudamu yang

kurampas itu sekarang sudah kugunakan untuk menempur

pasukan Gui-pok dan Lo ciu. Secara tak langsung ia

membantu rajamu untuk mematahkan kekuatan Tian Seng-su

dan Sik Ko. Jika raja mengetahui seharusnya berterima kasih

kepada kami bukan?”

Ut-ti Lam terlongong2 sejenak. Katanya :

“Meskipun keterarganmu itu agak berbelit2 dan mendekati

kebenaran, maka akupun takkan menyampaikan pada

baginda. Aku hanya menerima perintah dari Cin-toako untuk

menangkapmu!”

“Bagus, asal kau sudah mengakui kalau aku benar, itu

sudah cukup. Tentang kita harus bertempur, itu lain perkara

lagi”, kata sianak muda.

Tiba2 Ut-ti Lam berseru : “Hai. aku mempunyai sebuah

cara. Kita tak usah berkelahi, tapi apa kau suka

mendengarnya ?”

“Dengan segala senang hati aku bersedia medengar

perintah Ciang-kun” sahut sianak muda dengan cekatnya.

“Lebih baik kau bawa anak buahmu menakluk pada

kerajaan, itu lebih tepat, Aku sedia memberi bantuan agar Cin

toako dapat memasukkan kalian semua kedalam pasukan Gi

lim-kun. Dengan tiga ratus ekor kuda itu anggap saja sebagai

dihadiahkan padamu, takkan diusut lagi, Kelak apabila

kerajaan hendak tergerak pada kawanan panglima daerah itu,

kalianpun harus maju,” kata Ut-ti Lam.

Anak muda itu mengadah keatas dan tertawa nyaring :

“Apakah kau pandang aku pun menjadi pembesar negeri?

Dahulu Thiat-mo lek pun pernah bekerja sama dengan

kakakmu Ut-ti Pak dan Cin Siang, serta pernah juga menjabat

sebagai San-ki to-wi. Tapi akhirnya karena tak kuat menahan

hinaan para menteri dorna, ia lantas melarikan diri. Aku ini

seorang yang bisa menikmati kebebasan, mungkin lebih tak

kuat menahan hati dari pada Tiat mo-lek, Ciang-kun, aku

menghaturkan banyak terima kasih atas maksud baikmu itu.”

Ut-ti Lam tertegun beberapa jenak. Iapun tahu juga akan

riwayat Thiat-mo lek. jadi ia tak berani membujuk anak muda

itu lagi. Pada lain saat ia menghela napas, ujarnya:

“Sebenarnya aku ingin sekali mengikat persahabatan dengan

kau, tapi karena aku diperintahkan untuk menangkapmu, apa

boleh buat marilah kita mulai. Silahkan mencabut pedangmu!”

Sebaliknya sianak muda malah menyarungkan pedangnya.

Lalu tertawa: “Terhadap musuh atau orang yang kubenci, aku

baru mengunakan pedang. Karena kau berniat mengikat

persahabatan dengan aku, mana aku tega melawanmu

dengan pedang? Aku hendak bertangan kosong saja untuk

menemani kau main2 barang dua tiga jurus!”

“Hai, ini bukan main2!” seru Ut-ti Lam kebingungan.

“Ya, ia, aku tahu. Kau boleh menyerang sesukanya untuk

melukai aku. Kalau sampai ketangkap, akupun takkan

menyesali kau.” tenang-tenang sianak muda menyahut.

Ut-ti Lam menjadi agak mendongkol, pikirnya: “Tahu

bahwa aku hendak menyerangmu dengan pian, kau masih

mau melawan dengan tangan kosong. Bukankah itu berarti

kau hendak memandang rendah padaku?”

“Baik, biar kusaksikan sampai dimana kepandaianmu dalam

ilmu tangan kosong. Gong thiu-jip-peh-jim itu,” ujarnya

kemudian.

Wut, ia lantas menyabet. Tapi dikarenakan ia sayang pada

anak muda itu jadi serangannyapun tidak dengan tenaga

penuh.

Anak muda itu menggerakkan tubuh, punggung telapak

tangannya menangkis pada batang pian, kemudian kedua

jarinya menarik, katanya: “Telah lama kudengar ilmu pian

Ciang kun itu termasyhur sekali, mengapa tak dikeluarkan?”

Tarikan jari itu membuat tubuh Ut ti Lam terseret dua

langkah. Sudah tentu bukan kepalang kejut Ciangkun,

pikirnya: “Bocah ini berisi. Jika aku menyerang setengah hati,

mungkin akan merugikan kemasyhuran ilmu pian dari keluarga

Ut ti.”

Segera Ut ti Lam menyentakkan piannya dan anak muda

itupun tak kuat menyanggahnya. Dengan To jay chit sing poh,

ia menghindarkannya, ia mengagumi: “Ilmu pian warisan dari

Ut-ti Kiong, benar2 tak bernama kosong!”

Ut-ti Lam adalah keturanan dari Ut-ti Kiong, itu pahlawan

yang termasyhur dan kerajaan Yong-tiau. Dahulu sewaktu

membantu baginda Li Si Min untuk menaklukkan daerah

selatan dan utara, ectah berapa banyak, pahlawan2 musuh

yang jatuh dibawah pian Un-ti Kiong itu ilmu pian dari Ut-ti

Tiam itu berasal dari warisan pusaka keluarganya. Ilmu

permainan pian Cui-mo pian hoat itu terdiri dari 64 jurus,

semuanya bergaya dahsyat dan sebat.

Ditempatnya sembunyinya In-nio mengikuti dengan penuh

perhatian akan pertempuran itu. Walaupun ia percaya akan

kepandaian dari pemuda tambatan hatinya itu tentu dapat

mengatasi lawan, tapi tak urung hatinya turut kebat-kebit

juga.

Ut-ti Lam juga terperanjat. Berulang2 mulut anak muda itu

memuji ilmu pian hebat, namun sampai sebegitu jauh piannya

itu belum berhasil menyentuh ujung baju sianak muda.

Dari kakeknya Ut-ti Lam telah mewarisi dua macam ilmu

kepandaian, ilmu Cui-cho-pian hoat dan ilmu tangan kusong

Gong-chiu-jip peh-jin. Dahulu kakeknya itu ketika di Thing-makau

dengan ilmu Gong-chiu-jip-peh-jin telah berhasil merebut

senjata Thiat sok milik Tan Hiong-sin, itu pahlawan Hwa-kangcat.

Dengan begitu ia telah menyelamatkan jiwa baginda Li Si

Bin sebmgga namanya tersohor harum diseluruh negeri.

Karena Ut ti Lam agak lamban (tidak cerdas) maka ia

belum dapat meyakinkan dengan sempurna ilmu warisan

keluarganya itu. lailah dengan kakaknya, Ut-ti Pak. Tapi itu

bukan berarti ia tak lihay, karena bagaimanapun ia juga

tergolong jago yang kosen.

Bermula ia menertawakan sianak muda yang dianggap

congkak sekali karena berani melawan ilmu pian dengan

tangan kosong. Tapi setelah sepuluh jurus berlangsung,

barulah Ut-ti Lam terbuka matanya bahwa ternyata diatas

langit itu masih ada langit lagi, atau orang yang pandai masih

ada yang lebih pandai lagi. Bukan saja dengan tangkas dan

gesit sianak muda menghindar dari serangan pian, pun masih

dalam kesempatan2 tertentu ia dapat balas menyerang. Ilmu

tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jin dari sianak muda itu, ada

beberapa bagian yang ia (Ut-ti Lam) belum pernah

mempelajarinya. Diam2 ia menilai kepandaian anak muda itu

tak disebelah bawah dari engkohnya Ut-ti Pak.

Tiba2 terlintas dalam ingatannya: “Tiap2 kali engkoh

gunakan Gong-chiu-jip-peh-jin untuk berlatih dengan aku,

kira2 pada jurus yang kelima puluh, ia tentu dapat merampas

pianku. Tapi ia pernah memberi petunjuk padaku begini:

‘dalam keadaan terdesak bolehlah memikat lawan supaya

mendesak maju dari tengah. Kemudian kita harus gunakan

jurus Pat hong-hwe-tiong-ciu untuk menghajar musuh.

Bagaimana saktinya ilmu Gong-chiu-jip-peh-jin musuh, asal itu

bukan keturunan keluarga Ut ti, pasti tak dapat menangkis

serangan itu!”

Tapi pada lain kilas, ia berpikir lagi: “Tapi jika kugunakan

jurus yang ganas itu, anak muda itu pasti celaka, kalau tidak

mati tentu akan terluka berat. Ah, sayang, bagaimanapun ia

adalah seorang pemuda jantan!”

Karena rasa suka kepada sianak muda, untuk sekian saat

sampai ia tak dapat mengambil keputusan. Tapi anak muda itu

makin lama makin mendesak dan sekejap inilah permainan

sudah berlangsung sampai jurus ketiga puluhan lebih. Diam2

Ut ti Lam menjadi sibuk, pikirnya. “Celaka, akan segera

meningkat jurus ke lima puluh. Kepandaian anak muda itu

nyata lebih tinggi dari engkohku. Jika tak gunakan jurus itu,

pianku pasti kena direbutnya. Wah, runyam ini!”

Melihat sampai jurus keempat puluh serangan pian lawan

tetap tak terdapat lubang kelemahannya, anak muda itu makin

kagum. Sekonyong-konyong dilihatnya Ut ti Lam terhuyung

huyung dan dibagian tengah terbukalah suatu lubang.

Terlintaslah pikiran sianak muda. Kalau terhadap orang lain,

mungkin ia tak berani. Tapi ia cukup tahu Ut ti Lam itu

seorang gagah yang ketolol2an, ia mengambil keputusan

hendak merebut pian tanpa melukai orangnya.

Baru ia berpikir begitu, tiba2 Ut ti Lam berteriak: “Awas!”

Pian disapukan dengan cepat sehingga seketika itu berubah

menjadi ribuan sinar yang mengurung tubuh sianak muda.

Sebatang Cui mo kong pian yang beratnya 64 kati, pada saat

itu telah berubah menjadi sebatang pian lemas yang

bergeliatan laksana seekor ular. Didalam kelemahan

mengandung kekerasan, didalam kekerasan mengandung

kelemasan. Sungguh sebuah permainan yang sukar diduga

perobahannya! Itulah jurus Pat hong hwe liong ciu yang sakti!

Jurus itu diciptakan Ut ti Kiong semasa ia sudah berusia

tua, Permainan itu khusus di ciptakan untuk menghancurkan

ilmu bertangan kosong Gong chiu jip peh jin termasuk dalam

enam puluh empat jurus ilmu piau cui mo pi ao hoat.

Mengenai hal itu ada sebuah kisahnya sebagai berikut:

Setelah dengan tangan kosong Ut ti Kiong merampas

senjata thiat sok dari panglima Wa koan cat yang bernama

Tan Hiong-sin kemudian berhasil juga menangkap hidup2

panglima itu maka termasyurlah nama Ut-ti Kiong. Pada suatu

hari ketika diadakan perjamuan besar di istana, Cin Sok po

bertanya padanya: “Meskipun ilmu piantou itu deras seperti air

hujan, tapi masakan orang dengan tangan kosong tak dapat

merampasnya?”

“Sudah tentu tak mungkin!” sahut Ut-ti Kiong.

“Dan Matumu tangan kosong Gong chiu-jip-peh-jin konon

juga tiada yang menandinginya diseluruh dunia. Apakah ilmu

bertangan kosong itu benar2 sakti dan dapat kau gunakan

merampas senjata apa saja dari musuh?” tanya Cin Siok-po

pula.

“Kau adalah Toako-ku sudah tentu aku tak berani

membohongimu. Ilmu itu memang tiada orang yang dapat

menandingi. Tapi aku sendiri sayang belum meyakinkan

sampai sempurna. Jika bertemu dengan musuh yang sakti

belum tentu aku dapat merebut senjatanya. Misalnya

sepasang liang-koan Toako itu, jika digunakan terhadap diriku,

akupun tak berani menghadap dengan tangan kosong saja,”

kata Ut-ti Kiong dengan terus terang.

“Ya. tapi bagaimana setelah kau dapat meyakinkan dengan

sempurna?” tanya Cin Siok-po.

“Ilmu itu sudah berabad usianya dan tiada habis sumber

keindahannya. Jika memang sungguh2 sudah dapat

mempelajari sampai sempurna, betapa lihaynya lawan, tetap

akan kerebut juga senjatanya,” sahut Ut-ti Kiong dengan

pelan.

Maka tertawalah Cin Siok-po: “Bagus sekarang kalau

umpamanya ada seorang yang faham akan ilmu permainan

Cui-mo-kang-pian dan seorang lagi mahir akan ilmu Gong-jiujip-

peh jin itu, lalu siapakah yang akan menang apa bila saling

bertempur?”

Ut ti Kiong garuki kepala dan menyahut: “Aku sendiripun

tak tahu.”

Sejak itu Ut-ti Liong mengasah otak untuk menjawab

pertanyaan Cin Siok-po yang sebenarnya hanya untuk

mengolok2nya saja. Akhirnya ia berbasil menciptakan jurus

Pat-hong hong–hwe-tiong-ciu. Dan karena ia sendiri akhli

dalam ilmu Gong-chiu jip peh jim, jadi ia cepat mengisi ciptaan

baru itu dengan kemungkinan2 yang dapat digunakan oleh

Gong chiu jip peh jim itu.

Oleh karena bila jurus itu dikeluarkan musuh tentu terluka

atau binasa, maka tadi Ut-ti Lam agak bersengsi. Dan setelah

terpaksa mengeluarkan, sianak muda menjadi terperanjat

juga.

“Ilmu permainan pian yang hebat!” ia berseru memuji

Iapun mengeluarkan juga ilmu ginkangnya. “Wut” ia enjot

tubuhnya melambung ke tengah udara, tapi sudah kasip. Pian

telah menggubat paha kanannya dan oleh pemiliknya terus

ditarik kebawah.

“Ayuh, jatuh, jatuhlah!” teriak Ut ti Lam

“Ai, mungkin tidak!” sahut sianak muda dengan tertawa.

Sekonyong-konyong ia gunakan kaki kiri untuk mendepak

lengan Ut ti Lam. Suatu hal yang tak terduga sama sekali oleh

Ut ti Lam.

“Kaki sudah tergubat pian mengapa masih dapat mendepak

pula?”

-o0odwo0oTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

Jilid IV

KARENA tak bersiaga, ujung kaki si anak muda tepat

mengenai sasarannya. Seketika Ut-ti Lam rasakan tangannya

kesemutan dan terlepaslah pian dari tangannya.

Dengan paha masih tergubat pian, anak muda itu

berjumpalitan diudara dan dengan mudahnya melayang turun

ketanah. Dengan berseri-seri tawa ia melepaskan ikatannya

lalu menyerahkan pian itu kepada Ut-ti Lam.

Merah padam wajah Ciangkun itu ketika menerima piannva.

Sampai beberapa saat ia terlongong-longong.

“Orang she Bo, kali ini aku menyerah padamu!” tiba-tiba ia

berseru.

“Terima kasih atas kemurahan hati Ciang kun. Jika tidak,

pahaku pasti sudah pincang. Pertandingan ini kita anggap seri

saja,” kata sianak muda.

Tapi dengan sportif sekali Ut-ti Lam mengakui

kekalahannya: “Tidak, kaulah yang menang. Tadi aku

menggunakan tenaga penuh untuk menarik pian, tapi kau pun

dapat mendepak lenganku. Jika kau mendepak sungguhsungguh,

aku tentu terluka berat. Ya, aku cukup tahu akan hal

itu maka aku sungguh tunduk padamu dan mengaku kalah!”

“Siapa kalah atau menang, tak usah kiranya kita

perbincangkan. Yang penting dan menggirangkan ialah jika

kita tak bertempur kita tentu tak saling kenal,” sahut sianak

muda.

Seru Ut-ti Lam: “Benar, mengikat persahabatan dengan

seorang seperti kau, aku merasa girang sekali. Walaupun

karena itu harus kehilangan pangkat sampai tiga tingkat, tapi

biarlah, tak apa!”

Sianak muda tertawa: “Oh, jadi ketika menitahkan kau

keluar kota, Cin to-ut telah mengatakan begitu padamu? Tapi

rasanya tak perlu kau kuatir…..”

“Mengapa kuatir? Saudara Bo, rupanya kau melihat diriku

keliwat rendah. Jadi pembesar negeri atau tidak, bukan

halangan bagiku. Hanya saja karena keluargaku itu keturunan

menteri yang banyak menerima budi kerajaan. jadi akupun

terpaksa tak dapat ikut kau menjadi penyamun,” kata Ut-ti

Lam.

“Ai, bukan begitu yang kumaksudkan. Aku tahu kau ini

bukan orang yang kemaruk harta dan gila pangkat. Tapi pada

hematku, tak nanti Cin to-ut benar-benar akan mengajukan

laporan pada fihak kerajaan untuk menurunkan pangkatmu,”

menerangkan sianak muda.

“Mengapa tidak? Ketahuilah bahwa Cin toako itu seorang

yang berhati besi. Jika kini aku pulang dengan tangan hampa,

mana bisa ia tak menghukumku?”

“Oh, mungkin kau tak mengetahui bahwa engkohmu dan

Cin-toakomu itu mempunyai orang sahabat karib yang

bernama Thiat-mo lek. Nanti jika pulang, bilang terus terang

saja pada Cin to-ut bahwa kuda yang kurampas itu hendak

kupersembahkan pada Thiat-mo-lek. Coba saja masakah dia

berani mengirim laporan kepada kerajaan,” kata sianak muda.

“Maksudmu dia lebih memberatkan persahabatannya

dengan Thiat-mo-lek?” tanya Ut li Lam.

“Bukan hanya itu saja. Jika ia berani mengirim laporan,

fihak kerajaan tentu akan menitahkan ia untuk menumpas

Thiat-mo-lek. Pihak kerajaan tidak tahu kalau ia bersahabat

dengan Thiat-mo-lek. Kalau ia melapor apakah ia tak takut

rahasianya diketahui? Jika sampai terjadi hal itu, berarti ia

akan terjepit dalam dua kesulitan, maju salah mundur keliru.

Maka asal kau bilang terus terang, dia pasti takkan

menghukummu, bahkan akan berusaha untuk melindungi

kesalahanmu itu. Dalam kawanan pembesar, kenal akan istilah

“mengulur” Sekarang kawanan berandal tumbuh dimana mana

laksana cendawan dimusim hujan. Asal ia mengatakan tak

dapat menyelidiki golongan penyamun mana yang merampas

kuda itu, masakah fihak kerajaan bisa berbuat apa-apa? Dan

dengan berlalunya sang waktu, Lama kelamaan peristiwa itu

tentu sudah terlupakan.”

Ut-ti Lam seperti orang yang disadarkan dari mimpinya.

Serta merta ia menyatakan terima kasih: “Terima kasih atas

advismu itu, sekarang aku hendak kembali. Kelak bila datang

ke Tiang-an, silahkan mampir kerumahku, nanti kita minum

arak sampai puas!”

Tapi tiba-tiba perwira itu teringat sesuatu, serunya: “Tapi

bagaimana kau dapat datang ke Tiang-an? Ah, ya, hampir saja

kulupa bahwa kau ini seorang penyamun.”

Sianak muda tertawa: “Urusan di dunia ini sukar diduga

lebih dulu. Siapa tahu pada suatu hari aku akan pesiar ke

Tiang-an. Asal Ciangkun tak kuatir menerima tetamu seorang

penyamun, aku tentu akan berkunjung kerumah Ciangkun!”

Ut-ti Lam tak menyahut melainkan terus berlalu. In-nio

segera ajak Yak-bwe turun dari atas batu. Sianak muda buruburu

menyongsong mereka.

“Terima kasih kau datang kemari. Kukira ayahmu

melarangmu karena tadi sampai sekian lama kutunggu kau tak

datang,” kata sianak muda dengan tertawa. Demi melihat Yakbwe.

ia lantas tanyakan diri nona itu.

“Ayahku tak pernah melarang aku. Adanya aku sampai

datang terlambat itu karena digedung Tian Seng-su telah

terbit peristiwa besar,” sahut In-nio.

“Peristiwa apa?” tanya sianak muda.

“Nanti tentu kuceritakan, sekarang lebih dulu akan

kuperkenalkan kalian satu sama lain,” jawab In-nio. Kemudian

ia perkenalkan Yak-bwe pada sianak muda. Selelah itu baru ia

kenalkan sianak muda dengan Yak-bwe.

“Engkoh ini orang she Bo, namanya Se-kiat. Dia adalah

murid angkatan keempat dari Kiu-si-khek. Pamannya yang

bernama Bo Jong-long, sembilan tahun yang lalu pernah

datang ke Tionggoan, pernah punya sedikit hubungan dengan

Toan Khik-sia. Kini pamannya adalah To-cu (pemimpin pulau)

dari pulau Hu-siang-to.”

Kedua anak muda itu tersipu-sipu saling memberi salam

perkenalan. Kata Se-kiat: “Apakah nona Su kenal pada Toan

Khik-sia?”

Tertawalah In-nio: “Tidak hanya terbatas dalam kenalan

saja, bahkan dia…..”

Merah padam muka Yak-bwe. Diam-diam mencubit In-nio.

Nona ini segera berganti nada: “Bukan hanya kenal saja,

mereka berdua itu sahabat karib. Terus terang saja…..”

Mendengar In-nio berkata begitu, Yak-bwe menjadi sibuk

lagi. Untuk mencegahnya sudah tak keburu. Tapi untung Innio

lain tujuannya: “Terus terang saja, kedatanganku ke mari

ini bukan karena hendak membantu semangatmu pada

pertempuran tadi, melainkan khusus hendak minta bantuanmu

untuk urusan adik Yak-bwe ini.”

“Silahkan berkata, asal aku dapat mengerjakan, tentu aku

merasa senang sekali membantu,” Se-kiat menyahut dengan

serempak.

“Urusah ini tidak memerlukan sedikit tenagamupun,” kata

In-nio. “Dia hanya akan menanyakan keterangan tentang

seseorang padamu!”

“Siapa? Apakah Toan Khik-sia?” tanya Se-kiat.

Mendengar itu tertawalah In-nio: “Tepat sekali, memang

Toan Khik-sia.”

Se-kiat agak heran, pikirnya: “Kalau sudah kenal pada Toan

Khik-sia, mengapa masih bertanya padaku pula?”

Rupanya In-nio sudah dapat membaca isi hati sianak muda,

ujarnya: “Kau pintar tapi keblinger. Adik Bwe-kan seorang

anak perempuan, meskipun kenal pada Toan Khik-sia, tapi

juga tetap tak leluasa untuk bertanya pada sembarang orang.”

“Ha, jadi kalian ini tak tahu akan alamat Toan-siauhiap itu.

lalu minta tolong aku supaya bantu mencarikan! Tapi dengan

sejujurnya saja, walaupun sudah lama kenal akan namanya,

namun aku juga belum pernah bertemu muka dengan Toansiauhiap

itu,” kata Se-kiat.

Yak-bwe agak kecewa oleh keterangan itu.

“Tapi urusan itu mudah saja dikerjakan. Kira-kira sepuluh

hari lagi, para orang gagah dari dunia Lok-lim bakal

mengadakan pertemuan besar di puncak Kim-ke-nia. Disitu

mereka hendak mengangkat Thiat-mo-lek sebagai Beng-cu.

Dengan Thiat-mo-lek, sudah sejak dua turunan Toan-siauhiap

mengikat persahabatan. Konon kabarnya masih ada sedikit

hubungan famili. Sudah tentu pada waktu itu dia akan hadir.

Nah, asal kalian kesana kan bakal berjumpa dengan Toansiauhiap,”

kata Se-kiat pula.

“Tapi kami tak leluasa untuk datang ke pertemuan besar

itu,” ujar In-nio.

“Ah, mudah saja. Asal kalian suka menyaru jadi pria dan

pura-pura menjadi pengikutku, mengapa tak dapat masuk

kesana?” kata Se-kiat.

“Tapi jika sampai ketahuan orang, bagaimana?” tanya Innio.

“Banyaklah larangan-larangan yang digaris oleh kaum Hekto,

antaranya ialah terhadap bangsa hamba negeri yang coba

menyelundupi masuk kedalam kalangan mereka. Tapi

bukankah kau ini sahabatku? dan nona Su itu kawan Toan

Khik-sia .Taruh kata sampai ketahuan Thiat-mo-lekpun pasti

takkan menghalau kalian pergi.. Malah siapa tahu dia bakal

kegirangan sekali karena sudah kedatangan dua nona yang

kosen. Rasanya tiada halangan untuk kalian datang kesana,”

menerangkan Se-kiat.

In-nio menanyakan bagaimana pendapat Yak-bwe atas usul

Se-kiat itu.

Yak-bwe yang sudah sejak tadi tak buka suara, kini

terpaksa bicara; “Siasat itu memang bagus, tapi terpaksa

memerlukan bantuan Bo-Toako!”

“Ah….jangan sungkan-sungkan. Apa yang perlu bilanglah

padaku,”, sahut Se-kiat.

“Kuterima usul Bo-toako tadi, tapi harap pegang teguh

rahasia,” akhirnya Yak-bwe mau menerimanya.

“Apakah Toan Khik-sia juga tak perlu di beritahukan rahasia

itu?” In-nio kembali menggodanya.

“Paling baik jangan memberitahukan padanya. Nanti saja

bila aku ada kesempatan berjumpa padanya aku, aku….”!

“Ya, urusan kalian berdua itu memang sebaiknya kau

sendiri yang menjelaskan padanya!” kata In-nio

Se-kiat tampik melongo, rupanya kini ia sudah paham

sedikit akan hubungan Yak-bwe dengan Toan Khik-sia.

“Harap nona jangan kuatir. Aku ini orang yang paling tak

suka sembarang omong! Nah, baiklah, aku yang bertugas

untuk memasukkan kalian kesana. Urusan lain-lainnya,

terserah pada nona berdua,” kata Se-kiat. Lalu sambungnya:

“Pamanku amat mengagumi Toan siauhiap. Setelah menginjak

dibumi Tionggoan sini, sebenarnya ingin sekali kumencarinya.

Tapi karena tak tahu alamatnya, maka ketunda sampai

sekarang. Kelak dalam gelanggang pertemuan besar itu,

kuharap nona Su suka memperkenalkan aku dengan Toansiauhiap!”

“Sayang kau tak pergi kegedung Tian Seng-su. Jika kesana

tentu dapat memberi bantuan pada Toan-siauhiap,” kata Innio.

“Oh, jadi peristiwa yang kau katakan terjadi dalam gedung

Tian Seng-su itu adalah perbuatan Toan-siauhiap?” tanya Sekiat.

“Ya, ia hendak memberi ancaman dan terpaksa bertempur

dengan Yo Bok-lo,” sahut In-nio. Kemudian ia menuturkan

jalannya peristiwa itu.

Se-kiat amat terpikat, serunya: “Memang telah kudengar

bahwa antaran mas-kawin Seng-su ke Lo-ciu itu di begal

orang. Kiranya Toan-siauhiaplah yang melakukannya. Kisah ini

sungguh hebat!”

In-nio tertawa: “Eh, rupanya kau belum mengetahui bahwa

nona yang akan dipinang Tian Seng-su untuk puteranya itu,

adalah adikku ini!”

Lalu In-nio menceritakan lagi tentang riwayat Yak-bwe dan

lagi-lagi Se-kiat amat kagum.

“Sungguh jarang terdapat seorang nona yang bersifat luhur

seperti nona Su ini. Ia tak kemaruk harta dan tak silau dengan

kedudukan tinggi!” pemuda itu memuji.

Yak-bwe mengucapkan kata-kata merendah, ia

menerangkan harus kembali ke Lo-ciu dulu untuk

menyerahkan kotak-mas kepada ayah angkatnya (Sik Ko).

Setelah itu baru ia dapat mengikut kedua anak muda itu

kegunung Kim-ke-san.

“Kalau begitu nanti sehari sebelum pertemuan itu

berlangsung, kutunggu kalian didusun Hu-li-ki dikaki gunung

Kim-ke-nia sana. Dalam beberapa hari ini akupun masih akan

mengerjakan sedikit urusan!” kata Se-kiat.

Demikian setelah saling berjanji, mereka lalu berpisah. Innio

mengawani Yak-bwe berjalan beberapa li. Dalam

perjalanan itu. In-nio menuturkan tentang perkenalannya

dengan pemuda Se-kiat. Kini barulah Yak-bwe mengetahui

bahwa kepergian sang sahabat ke Gui-pok itu selain

menemani ayahnya (Sip Hong) pun memang hendak menemui

Se-kiat! Pemuda itu telah memberitahukan kepada In-nio akan

tantangan pertempurannya dengan beberapa orang tadi

digunung Pak-bong-sah. Akhirnya dengan tak malu-malu lagi

In-nio mengatakan bahwa ia dengan Se-kiat itu sudah saling

jatuh hati.

Mendengar itu teringat Yak-bwe akan sesuatu, ujarnya:

“Tadi Bo-toako bermaksud hendak mengajak kita ke Kim-kenia,

tapi bagaimana nanti kalau sampai kepergok……”

“Ai, kau ini bagaimana? Tadi kan sudah Bo toako katakan,

kalau sampai ketahuan dia akan menerangkan pada Thian-mo

lek bahwa aku ini seorang sahabatnya dan kau ini kawan dari

Toan Khik-sia. Jangan kuatir tentu tak ada urusannya!” sahut

In-nio.

Yak-bwe tertawa kecut: “Ya, Bo-toako tentu suka mengakui

kau sebagai sahabatuya, tapi mana Toan Khik-sik suka

mengakui aku sebagai kawannya?”

“Sudah tentu ia tak suka mengaku kau sebagai kawan,

karena kau adalah calon isterinya yang sudah dipancangkan

sejak dalam kandungan! Ah, adik Bwe, sudahlah jangan

bertanya hati lagi. Pemuda idamanmu itu adalah ibarat itik

panggang, tak nanti ia dapat terbang kemana-mana lagi!” Innio

menggodanya.

“Huh, apa kau tahu dia telah salah paham padaku?” bantah

Yak-bwe dalam hati. Namun ia seorang nona yang keras

kepala, Jadi ia tak mau menceritakan peristiwa salah faham

yang terjadi antara ia dengan anak muda itu.

Setelah berjalan beberapa li, In-nio terpaksa ambil selamat

berpisah. Lebih dulu ia minta pada Yak-bwe, setelah

menyelesaikan urusannya, supaya terus datang kerumahnya

(In-nio) untuk bersama-sama menuju kedusun Hu-li-ki.

Demikianlah Yak-bwe segera meneruskan perjalanan pulang

seorang diri.

Setibanya digedung ayah angkatnya, Yak-bwe segera

menyerahkan kotak-mas itu kepada sang ayah. Girang Sik Ko

bukan kepalang. Tentang kepergian puteri angkatnya itu lagi,

tak begitu dihiraukan. Hanya Sik-hujin yang masih berat hati

untuk berpisah dengan puterinya itu. Dikala hendak berpisah,

nyonya yang baik itu bercucuran air matanya. Setelah susah

payah membujuk dan berjanji kelak akan datang menjenguk

lagi, barulah Yak-bwe dapat meredakan kesedihan ibu

angkatnya itu.

Setelah periksa isinya, Sik Ko lalu menutup kotak-mas itu

rapat-rapat, kemudian suruh juru tulisnya menulis sepucuk

surat kepada Tian-seng-su. Surat itu dibubuhi setempel

namanya (Sik Ko) dan berbunyi ringkas saja: “Kemarin ada

tetamu datang dari Gui, mendapatkan sebuah kotak-mas

didekat bantal Goan-swe. Kami tak berani menyimpannya

lama-lama dan dengan ini kami haturkan kembali.”

Sik Ko suruh seoraug kurir (pesuruh) untuk mengantarkan

surat dan kotak-mas itu kepada Tian Seng-su. Menerima

kiriman itu, pecahlah nyali Tian Seng-su. Sejak itu ia tak

berani merencanakan lagi untuk mencaplok daerah Lo-ciu.

Bahkan ia malah mempererat hubungannya dengan Sik Ko.

Setelah tinggalkan gedung Ciat-to-su dari Lo-ciu, Yak-bwe

terus menuju ketempat kediaman In-nio. Kala itu ayah In-nio

(Sip hong) pun sudah pulang dari Gui-pok. In-nio telah

menceritakan kepada sang ayah apa yang telah terjadi.

Sip Hong girang sekali dengan kejadian itu. Biasanya orang

yang paling dipujanya ialah Toan Kui-ciang. Bahwa Yak-bwe

telah tinggalkan ayah angkatnya karena hendak mencari

tunangannya yang ternyata adalah putera dari Toan Kui-ciang,

sudah, tentu hal ini membuat Sip Hong amat gembira sekali.

Ia ijinkan puterinya pergi ke Kim-ke-nia bersama Yak-bwe.

Malah disamping itu ia menyampaikan juga sebuah berita

kepada Yak-bwe, bahwa Yo Bok-lo sudah sembuh dari lukanya

dan dengan beberapa anak buahnya sedang siap-siap mencari

jejak Toan Khik-sia. Hal itu ia minta Yak-bwe sampaikan pada

Khik-sia nanti. Kedua, Tian Seng-su sudah membatalkan

urusan pernikahan puteranya dengan keluarga Sik Ko dan lapjay

(bingkisan kawin) yang dirampas orang itu tak diusutnya

lebih jauh.

Yak-bwe girang mendengar berita itu. Kemudian kedua

gadis itu mulai berkemas. Karena tak berpengalaman, jadi Innio

yang mengajarkan pada Yak-bwe bagaimana caranya

berdandan dan membawa sikap sebagai seorang pria.

Sebentar saja Yak-bwe sudah dapat memahami. Waktu

menghadap pada Sip Hong, Sip Hong menjadi terkejut dan

tertawa gelak-gelak demi melihat kedua gadis itu berobah

menjadi pemuda-pemuda yang cakap.

Malam itu Yak-bwe tidur dirumah In-nio, keesokan harinya,

mereka berangkat. Karena telah diperhitungkan, maka tepat

pada waktunya, dalam sehari sebelum pertemuan digunung

Kun-ke-nia itu dilangsungkan, tibalah kedua pemuda itu

didusun Hu-li-ki.

Disitu Se-kiat sudah menunggunya, Ia membawa banyak

pengikut. Begitulah mereka segera mendaki keatas gunung.

Ce-cu atau pemimpin markas, Shin Thian-hiong, menyambut

rombongan Se-kiat itu dengan istimewa. Dia sendiri yang

perlukan menyongsong keluar dan memperlakukan mereka

dengan hormat serta ramah sekali.

Dari rombongan pengikut Se-kiat itu, In nio memperoleh

keterangan kalau mereka itu kebanyakan adalah tokoh-tokoh

dari kalangan Hek-to. Malah ada beberapa orang yang

mempunyai kedudukan sebagai Ce-cu. Diam-diam In-nio

merasa girang.

“Baru setahun menginjak bumi Tionggoan, ia sudah

berhasil menundukkan sekian banyak orang-orang gagah,

sungguh hebat sekali!” demikian diam-diam ia memuji Se-kiat.

“Maafkan kalau mataku sudah lamur, tapi rasanya kedua

saudara ini belum pernah ku kenal,” kata Thian-hiong waktu

menyambut rombongan Se-kiat. Yang dimaksudkan itu ialah

In-nio dan Yak-bwe.

Dengan tangkasnya Se-kiat memberi keterangan: “Kedua

saudara ini adalah sahabat-sahabatku yang baru. Malah

saudara Su ini juga menjadi kenalan Toan-siauhiap. Memang

keduanya belum pernah mengembara keluar dan baru

pertama kali ini ikut serta menghadiri rapat orang gagah dari

dunia Lok-lim.”

“Ai, sungguh beruntung sekali. Kita kaum Lok-lim adalah

sekeluarga. Meskipun saudara berdua ini baru pertama kali

datang, tapi kita anggap sebagai sahabat lama. Harap jangan

sungkan,” demikian Thian-hiong mengunjukkan keramahtamahannya

sebagai tuan rumah.

Namun sekalipun mulutnya mengucap begitu, hati Ce-cu itu

berpendapat lain. Pikirnya: “Dalam dunia Lok-lim, jarang sekali

terdapat tokoh-tokoh semacam mereka. Dari sikap dan

wajahnya, mereka berdua itu lebih pantas menjadi pelajar

daripada kaum persilatan!” Hanya saja karena Se-kiat yang

membawaya, jadi Thian-hiongpun tak menaruh curiga apaapa.

Sebaliknya bagi Yak-bwe, ia semula mengira Thian-hiong

tentu akan mengatakan apa-apa tentang Khik-sia, tapi

ternyata tidak. Karena tetamu-tetamu yang datang keliwat

banyak jadi tuan rumah itu sibuk menyambut mereka dan tak

membicarakan lagi perihal Khik-sia, Diam-diam Yak-bwe

merasa kecewa.

Beberapa saat kemudian penuh sesaklah ruangan, itu

dengan orang-orang gagah dari segala aliran. Diantaranya tak

sedikit yang sudah termasyhur namanya. Suasana pada saat

itu tampak meriah sekali, sekalian orang sama bercakap-cakap

dengan gembira. Hanya In-nio dan Yak-bwe sendiri yang

merasa rikuh dalam penyamarannya itu. Mereka berdua duduk

berdiam diri disudut. Sampai sekian saat Yak-bwe

memperhatikan setiap tetamu yang datang, namun belum

juga kelihatan Toan Khik-sia muncul.

Tiba-tiba ada seorang tetamu membicarakan diri Toan

Khik-sia!

“Kabarnya Toan Khik-sia telah membuat geger digedung

Ciat-to-su Gui-pok. Benar-benar dia itu seorang jago muda

yang jempol. Tapi heran mengapa ia belum kelihatan datang?”

Mendengar itu buru-buru Yak-bwe alihkan perhatiannya,

untuk memasang telinga.

Saat itu ada seorang tetamu lain yang berkata: “Kabarnya

ia seorang diri hendak menempur Hong-ho-ngo-pah. entah

apakah ia keburu datang kemari atau tidak.”

“Jangan kuatir, saudara!” kata seorang tetamu pula. “Toansiauhiap

telah bilang padaku, kalau tidak hari ini tentu besok

pagi ia akan datang.”

Yang bicara paling akhir itu ternyata adalah tokoh

persilatan yang termasyhur, Kim kiam-ceng-long To Peh-ing.

“Hong-ho-ngo-pah juga lihay. Apakah dengan maju

seorang diri itu Toan-siauhiap tidak terlalu memandang

rendah mereka?” kata seorang lain.

To Peh-ing tertawa: “Kepandaian dari Hiantitku itu jarang

sekali dicari keduanya. Menurut pendapatku, ia lebih tangguh

dari orang-orang yang lebih tua. Jangan kan hanya lima

benggolan Hong-ho (Hong-ho-ngo-pa) sekalipun ada sepuluh

benggolan, rasanya ia masih dapat menanggulangi. Kalau ia

bilang akan datang kemari, tentu datang!”

Ada beberapa tetamu yang tak kenal siapa Toan Khik-sia

itu sama menanyakan pada To Peh-ing. Waktu mendengar

bahwa Khik-sia itu putera dari almarhum pendekar termasyhur

Toan Kui-ciang, semua orang sama menyanjung puji.

Kemudian waktu To Peh-ing menceritakan tentang peristiwa

perampasan antaran mas-kawin dari Tian Seng-su, semua

orang gagah yang berada disitu tak habis-habis memuji dan

mengagumi. Ingin benar mereka melihat wajah jago muda itu.

Yak-bwe girang sekali mendengar bakal suaminya

disanjung puji sedemikian hebatnya. Tapi dalam pada itu,

iapun memperhatikan juga bahwa ada beberapa orang yang

tak puas dan iri hati pada Toan Khik-sia.

Tiba-tiba terdengar orang berseru keras: “Thiat ce-cu

datang!”

Seorang lelaki yang bertubuh kekar gagah, bermata besar

dan alis tebal, tampak melangkah masuk. Begitu melangkah

pintu, ia segera berseru nyaring: “Yang manakah Bo-tayhiap?

Harap maafkan aku Thiat-mo-lek telah datang terlambat.”

In-nio dan Yak-bwe terkejut melihat Thiat-mo-lek itu.

Kiranya dahulu Thiat-mo-lek itu pernah berkunjung kerumah

Sip Hong untuk mengobati lukanya. Pada waktu itu ia

memakai nama Ong Siu-hek dan atas perantara Sip Hong,

telah mengaku sebagai orang sedesa dengan Sik Ko. Sik Ko

percaya saja pada Sip hong, tanpa menyelidiki lebih lanjut, ia

terima Thiat-mo-lek menjadi wi-su (pengawal).

Pada masa itu Yak-bwe baru berumur 10 tahun. Boleh

dikata setiap hari ia bersama In-nio mendapat pelajaran silat

dari Thiat-mo-lek. Bahwa hari ini dapat berjumpa kembali

dengan Thiat-mo-lek, sudah tentu mereka berdua jadi girang.

“Ah, kiranya Thiat-mo-lek itu Ong Sian-lek dahulu. Jika

siang-siang tahu akan dianya, tak perlu orang perantara lagi

juga kita dapat datang kemari,” pikir mereka.

Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat itu sudah lama saling

mengagumi kemasyhuran nama masing-masing, tapi baru

pertama kali itu mereka bertemu meka. Maka berbangkitlah

Se-kiat dengan serentak: “Siaute adalah Bo Se-kiat itu. Untuk

pujian tayhiap tadi, siaute sungguh tak berani menerimanya!”

Thiat-mo-lek tertawa: “Apakah menjadi penyamun itu tak

dapat berbareng menjadi tayhiap juga? Bo-heng, dalam

kalangan Lok-lim namamu sudah amat menonjol. Setiap sepak

terjangmu telah membangkitkan rasa kagum pada sekalian

orang. Meskipun Bo-heng dianggap sebagai penyamun, tapi

rasanya pantas disanjung sebagai pendekar yang menjalankan

budi kebaikan. Tak terhingga rasa kagumku kepadi Bo-heng”.

Peristiwa Se-kiat merampas iring-iringan kuda, telah

menggemparkan dunia Lok-lim. Kini barulah semua orang

mengetahui bahwa Se-kiat telah mempersembahkan kuda

rampasan itu kepada Thiat-mo-lek selaku perkenalan. Sudah

tentu semua hadirin sama memberi selamat kepada kedua

pendekar itu.

Berkata Se-kiat: “Berbicara tentang iring-iringan kuda itu,

karena hal itulah maka aku berkenalan dengan seorang

sahabat lagi. Kurasa Thiat-heng tentu kenal juga padanya.”

Se-kiat menuturkan tentang pertempurannya dengan Ut-ti

Lam yang berakhir dengan persahabatan itu. Mendengar itu

Thiat-mo-lek tertawa gelak-gelak.

“Eh, ya, katanya Bo-heng membawa dua orang pemuda

gagah yang juga menjadi sahabatnya Toan-hiante. Entah

dimanakah mereka itu?” tiba-tiba Thiat-mo-lek bertanya.

Se-kiat melambaikan tangan memanggil In-nio dan Yakbwe,

kemudian memperkenalkan kepada Thiat-mo-lek. Thiatmo-

lek terkesiap, rasanya ia pernah kenal dengan kedua

“pemuda” itu. Tapi untuk sesaat ia tak dapat membayangkan

kemungkinan puteri-puteri dari Sik Ko dan Sip Hong akan

menyaru jadi lelaki dan datang kemarkas gunung itu.

Sebaliknya In-nio dan Yak-bwe secara sembarangan saja

telah memberitahukan nama samaran mereka,

“Eh, rasanya kita pernah bertemu bukan?” kata Thiat-molek,

In-nio tertawa: “Ai, Thiat ce-cu mungkin sedikit khilaf. Kami

berdua baru pertama kali ini keluar. Jika tak ada perjamuan

besar ini, kami tentu tak mempunyai rejeki untuk bertemu

dengan Thiat ce-cu!”

“Ai, saudara berdua terlalu sungkan. Kalian adalah sahabat

Toan-hiante, berarti sahabatku juga. Jangan sebut-sebut

tentang siapa Cianpwe dan siapa wanpwe segala,” kata Thiatmo-

lek.

“Akupun sudah bertahun-tahun tak berjumpa dengan Khiksia.

Eh, bagaimana kalian dapat berkenalan dengan dia?”

Wajah Yak-bwe bersemu merah. Suatu hal yang membuat

Thiat-mo-lek heran, pikirnya: “Huh, mengapa pemuda itu

begitu pemalu seperti anak perempuan? Belum membuka

mulut sudah kemerah-merahan wajahnya!”

Melihat gelagat yang kaku itu, buru-buru In-nio yang lebih

tua dan lebih banyak pengalamannya, menerangkan suatu

cerita kosong untuk mewakilkan Yak-bwe: “Perkenalan kami

dengan Toan-siauhiap itu baru kira-kira sepuluhan hari

lamanya. Itu waktu kami berpapasan dengan kawanan Bu-su

dari Tian Seng-su. Karena mereka coba menggertak, maka

kami pun segera melawannya. Mereka berjumlah banyak dan

kami hanya berdua, sudah tentu kami kewalahan. Untung

Toan-siauhiap kebetul lewat disitu dan membantu kami untuk

melabrak kawanan Bu-su itu. Dari keterangan yang kami

peroleh, kawanan Bu-su itu memang diperintahkan Tian Sengsu

untuk mengusut gerombolan yang merampas antaran maskawinnya.

Setiap bertemu dengan orang asing, mereka tentu

segera menahannya. Walaupun baru saja berkenalan tapi

kami merasa cocok dengan Toan-siauhiap. Dia mengatakan

juga bahwa barang antaran mas-kawin Tian Seng-su itu dia

dan kawanan orang gagah dari Kim-ke-nia yang

merampasnya. Kemudian ia memberitahukan kami bahwa dia

akan menuju kegedung Tian Seng-su untuk meninggalkan

ancaman, sayang karena kami masih ada lain urusan, jadi tak

dapat membantu padanya.”

Tentang peristiwa Toan Khik-sia menyatroni gedung Tian

Seng-su, memang Thiat-mo-Lek sudah mendengarnya. Karena

itu maka ia percaya akan keterangan In-nio tadi.

‘Pada malam Toan-siauhiap menyerbu gedung. Tian Sengsu,

akupun berada di Gui-pok. Sayang karena malam itu aku

harus memenuhi tantangan Ut-ti Lam, jadi belakangan saja

baru mendengarnya. Kabarnya malam itu Toan siauhiap dapat

melukai Yo Bok-lo.” kata Se-kiat.

Setelah mengacaukan gedung Tian Seng-Toan Khik-sia

terus pergi kelain tempat. Karena selama itu belum datang lagi

ke Kim-ke-nia, jadi Thiat-mo-lek belum jelas akan jalannya

pertempuran malam itu.

“Ha, kiranya iblis tua itu masih belum mati. Dia adalah

pembunuh ayahku, aku memang hendak mencarinya,” kata

Thiat-mo-lek kemudian dengan geram.

Karena ia sibuk berbicara dengan Se-kiat tentang diri Yo

Bok-lo, jadi lupalah sudah ia akan diri In-nio dan Yak-bwe.

Demikianlah malam itu, dimarkas gunung Kim-ke-nia telah

diselenggarakan suatu pesta perjamuan besar yang dihadiri

oleh segenap orang gagah dari pelbagai aliran. Setelah

perjamuan selesai, sekalian orang gagah itu dipersilahkan

beristirahat. Oleh karena rombongan pengikut Se-kiat itu

berjumlah banyak, maka tuan rumah Shin Thian-hiong khusus

menyediakan 10 buah kamar untuk mereka. Se-kiat pun

memperlakukan istimewa kepada kedua nona itu. Untuk

mereka berdua saja, diberinya sebuah kamar. Lain-lainnya

setiap rombongan 4-5 orang diberi satu kamar. Karena

pelayanan yang istimewa itu, rombongan pengikut Se-kiat itu

sama menduga kalau In-nio dan Yak-bwe itu tentu bukan

tokoh sembarangan.

Malam itu Yak-bwe gulak-gulik diatas ranjang, tapi tak

dapat tidur. Kira-kira pukul tiga pagi. Se-kiat mengetuk pintu

kamar kedua nona itu dan menyuruh mereka bangun. Setelah

cuci muka dan berdandan, kedua nona itu pun keluar dari

kamarnya.

“Masakah hari belum terang tanah Eng-hiong-hwe sudah

akan di mulai?” tanya In-nio.

“Shin ce-cu akan mengundang sekalian tetamu untuk

menikmati keindahan matahari terbit, setelah itu Tay-hwe

akan segera dibuka,” menerangkan Se-kiat.

Diam-diam Yak-bwe geli dalam hatinya: “Tampaknya Shin

ce-cu itu seorang yang kasar. tapi ternyata juga suka akan

seni keindahan. Dia mempersilahkan para tetamunya

menikmati matahari terbit, itu menandakan seleranya akan

seni.”

Yang dijadikan medan pertempuran itu, adalah sebuah

padang dataran yang luas. Ketika In-nio dan Yak-bwe tiba, di

medan pertempuran itu sudah penuh sesak dengan orang.

Kula itu rembulan sudah condong kebarat dan fajar remangremang

mulai memancar. Beberapa saat kemudian gumpalan

awan putih mulai buyar, cakrawala mulai terang. Langit diufuk

timur mulai memancarkan cahaya kemerah-merahan. Dan

ayampun terdengar berkokok sahut-sahutan.

Sekejap mata pula, sang roda dunia yang merah membara

mulai unjukkan wajahnjya. Kabut awan yang berarak-arak

buyar itu. karena ditimpah oleh sinar sang surya,

memantulkan cahaya warna-warni bagai untaian pelangi.

Sungguh indah permai pemandangan matahari terbit dipagi

hari itu.

Kini barulah Yak-bwe tahu apa maksud Shin Thian-hiong

mengundang sekalian tetamunya untuk menikmati matahari

terbit itu. Kiranya pemimpin penyamun itu hendak

menghidangkan suatu pemandangan yang sesuai dengan

nama gunung itu. Kim-ke-nia atau puncak ayam emas.

Saat itu Thian-hiong menghadap kearah barat, lalu

menjura. Setelah itu berserulah ia dengan suara nyaring:

“Terima kasih kepada sekalian Toako yang sudi memerlukan

datang ke markas kami. Aku adalah seorang kasar dan tak

pandai pula berbicara. Apa yang kupikirkan terus saja

kuucapkan. Benar tidaknya saudara-saudara sekalian sukalah

memberi petunjuk.”

Pecahlah mulut para hadirin dengan gelak tertawa.

“Aha, Shin-toako, bilakah kau belajar main rikuh-rikuhan

itu? Kita adalah kau yang berbicara dengan bahasa golok. Jika

ingin mengatakan sesuatu, silahkan bicara dengan terus

terang, tak usah jual mahal seperti kaum wanita!” seru

mereka.

Maka berkatalah Thian-hiong: “Sejak saudara Ong Pekthong

menutup mata, dalam sepuluhan tahun ini perserikatan

Lok-lim tak punya pemimpin lagi. Terus terang saja, semasa

saudara Ong itu menjabat pimpinan Lok-lim. akulah orang

pertama yang menentang padanya. Dia mengandalkan

kekuatan untuk menindas yang lemah, suka menghina sesama

kaum dan tidak tepat menjalankan kebijaksanaannya. Yang

paling tidak pantas, dia minta sekalian orang gagah dari Loklim

agar mengangkatnya setanggi langit. Rupanya diangkat

menjadi pemimpin saja ia masih kurang puas, ia masih

bercita-cita menjadi raja muda, bersekongkol dengan An Loksan

untuk mendapat kekayaan dan pangkat. Tentang hal itu,

rasanya para saudara tentu sudah maklum, maka tak perlu ku

bicarakan panjang lebar lagi. Hanya saja. tentang kesalahan

saudara Ong menjadi pemimpin itu suatu hal. sedang tentang

perlu tidaknya kita mengangkat pemimpin lagi, itu lain hal

lagi.”

“Menurut pendapatku, lebih baik kita mempunyai seorang

pemimpin. Dalam masa sepuluhan tahun ini, karena tiada

pemimpin, jika tentara negeri menyerang, kita lantas

kehilangan koordinasi untuk bantu membantu. Kita banyak

menderita karena hal itu. Malah yang lebih buruk lagi, karena

kita terdiri kaum yang menggunakan bahasa golok, jadi

seringkali tak terhindar dari bentrokan saling berebut daerah

kekuasaan dan hasil rampasan. Bukti-bukti menyatakan hal itu

sudah sering terjadi. Bukan saja hal itu meretakkan hubungan,

pun memperlemah persatuan hingga memudahkan tentara

negeri menghancurkan kita. Kalau membicarakan hal itu, hati

kita merasa sedih sekali. Sebab utama dari keadaan itu adalah

karena kita tak mempunyai pemimpin!”

“Dengan alasan yang kukemukakan tadi, maka kuundang

saudara-saudara sekalian hadir dalam pertemuan ini guna

menyarankan seorang calon yang akan kita angkat menjadi

pemimpin Lok-lim. Entah bagaimana pendapat saudarasaudara

sekalian?”

“Bagus, Shin-toako, pidato pembukaanmu hebat benar.

Hanya sayang sekali calon itu sukar didapatkan. Jika salah

pilih, bukankah akan terulangi lagi lelakon Ong Pek-thong

kedua?” seru beberapa hadirin.

Mereka adalah golongan orang-orang yang liar atau bebas,

maka dari itu mereka tak menyukai adanya pimpinan dan

berusaha untuk mengguyur air dingin atas pernyataan tuan

rumah tadi.

Tapi ada pula serombongan orang yang menyetujui:

“Memang kesukaran tentu ada, tapi itu bukan ulasan untuk

mundur. Pimpinan harus ada, untuk itu kita harus berhati-hati

memilihnya.”

“Shin-toako yang mengambil inisiatif menyelenggarakan

pertemuan ini, jadi kebanyakan ini tentu sudah mempunyai

pilihan calon yang tepat. Nah, suruh saja dia

mengemukakannya!” seru beberapa orang pula.

Terang golongan ini menunjang Thiat-mo-lek dan Shin

Thian-hiong, maka merekapun berdaya untuk menindas

golongan yang menentang tadi.

Memang dalam rapat kawanan penyamun itu, tiada apa

yang dinamakan tata-tertib persidangan, misalnya

pemungutan suara dan sebagainya. Karena tak ada suara

yang menentang lagi, maka usul memilih calon pemimpin itu

dianggap sudah diterima baik oleh sebagian besar hadirin. Kini

semua mata ditujukan pada pimpinan rapat (Shin Thianhiong).

Suasana yang berisik tadi pun mulai sirap.

Maka berkata pula Thian-hiong: “Benar, memang kita harus

memilih orang yang tepat. Pada hematku, syaratnya ialah,

pertama, harus lapang dada mengabdi kepentingan orang

banyak, kedua, harus yang mempunyai kewibawa ini, ketiga,

mempunyai ilmu silat yang sakti dan keempat, harus ditinjau

dari keturunan keluarganya. Yang kumaksud dengan keluarga

di sini bukan golongan keturunan keluarga pembesarpembesar

korup, akan tetapi keturunan dari keluarga

penyamun.”

“Dalam anggapanku, hanya ada seorang yang mencukupi

keempat syarat itu. Dia adalah Thiat-mo-lek. Nah, saudarasaudara,

aku majukan Thiat-mo-lek sebagai calon pemimpin

Lok-lim!”

Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing segera menyanggupi:

“Saudara-saudara, bukan maksudku hendak mengeloni Thiatmo-

lek, Hiantitku itu. tapi aku hendak berbicara apa adanya

saja. Meskipun dia tergolong seorang dari angkatan muda,

tapi ketenaran namanya sudah berkumandang diseluruh

negeri. Peribadinya jujur dan bertanggung jawab. Tentang

ilmu silatnya, ia telah mendapat pelajaran dari tokoh-tokoh

yang termasyhur, misalnya Mo Kia Lojin dan mendiang Toan

Kui-ciang. Tentang asal keturunannya, rasanya tak perlu

diragukan lagi. Siapakah yang tak kenal akan nama Thiat-gunlun,

ayah Thiat-mo-lek itu? Sewaktu Thiat-gun-lun masih

berkecimpung dalam dunia persilatan, meskipun benar belum

pernah menjadi pemimpin Lok-lim, tapi kemasyhuran

namanya tidak dibawah kedua jago she Ong dan she Toan.

Keempat syarat yang disebut-sebut Shin-toako tadi. Hiantitku

Thiat-mo-lek itu memiliki semuanya. Apalagi pada masa ini ia

sedang gagah-gagahnya, jadi pantaslah untuk menjabat

pemimpin Lok-lim kita!”

Thiat-mo-lek mempunyai pergaulan luas sekali. Sebagian

besar dari thau-bak Kim-ke-nia sama menunjangnya. Maka

begitu Shin thian-hiong dan To Peh-ing selesai menyatakan

pendapatnya, dari empat penjuru segera terdengar tampik

sorak yang gegap gempita, tapi dalam pada itu, juga masih

tak sedikit juga yang diam-diam sama kasak-kusuk, Mendadak

ada seorang lelaki yang bermuka ungu berbangkit dan berseru

keras:

“Masih ada satu hal yang saudara To lupa mengatakan,

‘padahal semua orang sudah sama mengetahuinya. Ialah

Thiat-mo-lek itu putera angkat dari Tou Leng pemimpin Loklim

yang sudah almarhum. Jadi boleh dikata, Thiat-mo-lek itu

berasal dari keturunan keluarga Lok-lim. Tetapi kiranya para

saudara yang hadir disini tentu sudah maklum bahwa antara

orang she Ong dengan she Tou itu adalah musuh bebuyutan.

Meskipun Ong Pek-thong sudah lama meninggal dunia, tapi

sampai sekarang anak buahnya masih banyak. Walaupun

semasa hidupnya Ong Pek-thong pernah berbuat kesalahan,

tapi pada masa itu ia menjadi pemimpin Lok-lim, sudah tentu

orang yang taat padanya juga banyak. Orang-orang itu

sebenarnya tak ikut-ikutan bersalah. Apalagi kejadian itu

sudah lampau, kalau diungkat2 lagi tiada bawa manfaat apaapa…!”

Belum ia menyelesaikan kata-katanya Thian hiong sudah

serentak bangkit dan menyeletuk. “Memang tak ada orang

yang hendak mengungkat hal itu! Tujuan dari pertemuan hari

ini ialah akan membuang kesalahan lama dan membangun lagi

semangat persatuan baru. Apa perlunya kau menyinggung

soal lama!”

Berkata simuka ungu tadi. “Jangan Shin ce cu keburu

marah dulu, bolehlah aku menyelesaikan kata-kataku tadi?

Memang kurasa perlu untuk mengungkat hal tadi. Pada

hematku, memang kuanggap Thiat mo lek itu pantas menjadi

pemimpin kita. Tapi harap saudara2 suka merenungkan

sebentar. Andaikata Thiat mo lek, benar dapat menjalankan

kewajibannya dengan bijaksana, hal itu baru belakangan

dapat diketahui. Tapi yang nyata pada saat ini para pengikut

Ong Pek thong tentu sudah mempunyai ganjelan didalam

hati!”

Ucapan itu telah menimbulkan reaksi hebat dari golongan

yang pro Thiat mo lek.

Sudah tentu Thiat mo lek merasa tak enak sendiri.

Sebenarnya ia pun sudah menduga tentang hal itu, tapi ia tak

menyangka, bahwa akan ada orang yang akan mengatakan

didepan umum. Hal itu menandakan bahwa pengaruh Ong

Pek-thong itu masih kuat. Diam2 Thiat-mo-lek timbul niatan

untuk mengundurkan diri dari pencalonan itu.

Namun baru ia hendak berbangkit untuk menyatakan

penolakannya, tiba2 ada seorang lelaki menghampirinya dan

menyuruhnya duduk kembali. Orang itu bukan lain ternyata

adalah menantu dari Ong Pek-thong yang bernama Can Goansu.

Isterinya atau anak perempuan dari Ong Pak-tiong yang

bernama Ong Yan-ih dan sekarangpun menyertai suaminya

datang ketempat itu.

Selagi Goan-siu mendudukkan Thiat-mo-lek Yan-ih sudah

berbangkit dari tempat duduknya dan berseru : “Aku adalah

anak perempuan dari Ong Pek-thong. Pada saat ayah

menutup mata, aku selalu berada disamping. Ayah

menyatakan sendiri padaku bahwa ia merasa menyesal atas

perjalanan hidupnya selama ini. Beliau meninggalkan pesan

supaya kami seturunan menghapuskan permusuhan dengan

kaum keluarga Tou. Sekarang atas nama dari Ong Pek-thong

dengan ini aku menyatakan menujang sepenuhnya usul Shin

ce-cu tadi. Aku setuju akan pengangkatan Thiat mo lek

menjadi pemimpin Lok-lim.”

“Oh, kiranya bibi Ong juga turut datang kemari. Dengan

pernyataannya itu tentu tiada orang yang menentang Thiatmo-

lek lagi!” seru Yak-bwe.

Yak-bwe memang masih bersih pikirannya. Tetapi

persoalan saat itu tak sederhana seperti apa yang dipikirnya.

Benar dengan pernyataan Yan-ih tadi golongan oposisi dapat

ditindas, namun bal itu bukan berarti sudah aman lancar dan

tak ada oposisi lagi.

Kembali simuka ungu tadi berbangkit lagi, ujarnya: “Pesan

yang ditinggalkan Ons Pek-thong pada detik2 terahhir itu

hanya nona Ong saja yang mendengarnya. Aku tak berani

mengatakan tak percaya, tapi setiap orang mempunyai cara

berpikir sendiri2. Akupun tak berani memberi jaminan bahwa

pengikut2 Ong Pek-thong dapat menerima keterangan Nona

Ong tadi dengan hati terbuka dan bebas dari ganjelan, Dalam

pemilihan ketika ini, tak dapat hanya memandang akan

ketenaran nama. Tetapi harus diulik dari segala segi.”

Shin dan To kedua toako tadi mengusulkan Thiat-mo-lek,

bukannya aku menentang, alangkah baiknya jika diajukan lagi

beberapa calon, agar sekalian hadiran dapat memilikinya.

Dengan cara demikian rasanya mungkin pilihan itu akan

memperoleh hasil yang memuaskan!”

Sampai dimana perhubungan Yan-Ih dengan Thiat mo lek,

semua orang sudah mengetahui. Ucapan si muka ungu itu

terang hendak menyindir Yan ih yang dituduh terpengaruh

oleh hubungannya dengan Thiat mo lek. Sudah tentu Yan ih

gusar sekali, namun ia masih kuatkan hatinya untuk menahan

diri.

Berkata Thian hiong.

“Pada pertemuan ini, para saudara dipersilahkan

menyatakan pendapat dengan bebas. Harap mengajukan

calon sendiri sendiri yang memiliki sifat2 pintar dan bijaksana,

agar kita sekalian betul betul taat. Memang dalam pemilihan

ini, jangan hanya tergantung pada pencalonan seseorang saja.

Han toako, siapakah yang hendak kau usulkan, silahkan

mengajukannya!”

Segera ada seorang berseru nyaring. “Benar! Punya

omongan harus diucapkan, ingin kentut lekas dihembuskan,

tak usah eco-eco seperti ular tambang!”

Si muka ungu itu seorang yang tenang dan dingin. Apapun

perasaan dalam hatinya, selalu tak kentara di wajahnya!

Terhadap ucapan kasar dan cemooh tadi, sama sekali ia tak

menghiraukannya.

“Baiklah, sekarang aku hendak mengajukan seorang calon

yaitu Thiat koay Li. Nama Li toako itu sudah bergema jauh

didaerah utara dan selatan sungai, rasanya sekalian saudara

tentu sudah mengetahui, bukan?” demikian si muka ungu itu

berkata.

Dengan berbisik Yak-bwe menanyakan tentang tokoh Thiatkoay

Li (Li si Tongkat Besi) yang disebut itu kepada In-nio,

tapi In-nio gelengkan kepala tanda tidak tahu. Adalah seorang

tetamu yang duduk disebelah dan dengar pertanyaan Yak-bwe

itulah menjadi berani, katanya. “Kalian tak kenal akan Thiatkoay

Li? Dia adalah Li Thian go, Congthaubak dari tujuh san

ce (sarang bandit) didaerah Hopak. sudah dua puluh tahun

lamanya ia menjagoi dunia Lok lim dengan ilmu permainan

tongkatnya, Loan bi hong koay hwat dari tujuh puluh dua

jurus. Saudara berdua ini tentunya baru pertama kali ini keluar

bukan?”

Yak bwe tertawa dan menghaturkan terima kasih pada

orang itu. Sementara itu simuka ungu berhenti sebentar untuk

menunggu reaksi dari para hadirin.

Sesaat kemudian ia melanjutkan berkata!

“Dalam empat syarat yang disebut Shic-toako tadi. Li toako

itu telah memenuhi tiga. Sudah dua puluh tahun Li toako

menjadi Congthaubak dari tujuh San ce, selama itu dia dalam

soal pembagian hasil ia tidak pernah merugikan salah satu

pihak. Terhadap orang sehaluan, ia selalu memperlakukan

dengan kebaikan dan keadilan. Boleh dikata ia dapat

mengabdi pada kepentingan umum dan jauh dari

mementingkan diri sendiri. Dalam soal kewibawaan dan

kebijaksanaan, ia telah memiliki. Tentang ilmu silatnya,

dengan ilmu permainan tongkat Loan bi-hong koay-hwat ia

menjagoi daerah selatan dan utara sungai, Dalam hal ini

rasanya tak perlu banyak memberi komentar lagi, Hanya

sebuah syarat yang sayangnya ia tak menemui yaiiu tentang

keturunan keluarganya. Kakek dan ayahnya tak pernah

menuntut penghidupan sebagai pedagang tanpa modal

(penyamun) jadi dia bukan dari keturunan keluarga Lok-lim.

Kedudukannnya dalam kalangan Lok-lim diperolehnya dari

tongkat besinya itu, sekali2 bukan warisan dari leluhurnya,

Hanya saja menurut alam pikiranku yang dangkal ini, memilih

seorang pemimpin Lok-lim tidaklah sama seperti raja, hendak

memilih menantu, harus meneliti keturunan keluarga apa

segala. Dari keturunan keluarga Lok-lim atau bukan soal yang

penting. Jika bicaraku ini keliru harap Shin ce-cu memberi

maaf,”

Dengan menunjukkan perbedaan antara pemilihan ketua

Lok-lim dengan pemilihan orang menantu raja, simuka ungu

bermaksud hendak meniadakan syarat yang diajukan Thianhiong

dalam hal keturunan. Disamping itu, ia singgungsinggung

juga Thiat-mo lek karena membonceng pada soal

keturunan keluarga.

Sekalian hadirin tak dapat menyelami maksud yang

tersembunyi dalam ucapan simuka ungu itu. Yang diketahui

mereka, karena kata2 simuka ungu diucapkan dengan menarik

sekali, maka mereka sama tertawa.

Sebaliknya merah padamlah wajah Thian-hiong. Baru ia

hendak berbangkit akan mengangkat bicara. To Pek-ing sudah

membisiki telinganya : “Shin toako harap kendalikan diri,

jangan merusak suasana pertemuan ini !”

Kiranya Thiat-koay Li Thian-go itu termasuk golongan

orangnya Ong Pek-thong bersekongkol dengan An-lok-san.

Thiat-koay Li- ini mau ikut serta. Ini bukan karena ia gentar,

melainkan ia akan menunggu saat2 yang tepat untuk

bergerak. Memang ia lebih cerdik dari Pek-thong. Kalau itu ia

sudah mengetahui bahwa tindakan Ong Pek thong yang salah

itu tentu bakal membangkitkan rasa tak puas dikalangan

orahg gagah. Kedudukan Ong Pek-thong itu adalah

merupakan sebagai pemimpin Lok-Lim pasti tak dapat

dipertahankan lagi. Maka ia mengambil sikap pasief saja dan

memperkuat kedudukannya sebagai Congthaubak dari ketujuh

San-ce.

Baik kepada tentara negeri maupun kepada kerajaan Wiyan

(merk kerajaan yang didirikan oleh An Lok San), ia tak

mau pembantu. Tapi sekalipun begitu, pada masa2 jayanya.

Thiat-koay Li mengadakan kontak dengan Ong Pek-thong

secara sembunyi.

Kedatangannya kepertemuan digunung Kim ke nia

sekarang dengan membawa harap bahwa ia niscaya akan

memperoleh kedudukan sebagai pemimpin Lok lim. Pada

hakekatnya orang yang mencalonkan dirinya itu adalah

konco2nya sendiri.

Shin Thian hiong sudah mempunyai keterangan lengkap

tentang diri orang she Li itu. Sebenarnya Thian-hiong pun

akan membeberkan rahasia hubungan gelap antara Thiat-koay

Li dengan Ong Pek thong, tapi To Peh ing yang sudah kenal

baik karakternya, buru2 mencegah Thian-hiong seperti orang

disadarkan, pikirnya. “Ya, benarlah, Aku tadipun sudah

menyatakan, bahwa urusan lama sebaiknya jangan di bawa

bawa iagi. Aku tak boleh memusuhinya karena dahulu punya

hubungan dengan Ong Pek-thong. Apa lagi pada masa itu ia

tidak terang2an ikut pada Ong Pek-thong, jadi sukar untuk

membuktikan jejaknya itu. kalau aku berkeras menentangnya,

hadirin tentu menuduh aku menimbang berat sebelah. Hal ini

sebaliknya tak menguntungkan diri Thiat-mo-lek.”

Tapi sekalipun Thian hiong tak membeberkan namun lain

orangpun tahu akan gerak-gerik Li Thian-go itu. Seketika

sekalian yang hadir sama hiruk membicarakan. Yang berdiri

dari tempat duduknya dan berteriak2 adalah dari golongan

Thiat-koay Li. Tapi kalau dibanding dengan penyokongan

Thiat-mo-lek, mereka itu masih belum seberapa.

Setelah suara teriakan mereka, kembali ada seorang

berbangkit dan berseru : “Aku pun hendak mengajukan

seorang calon. Yang hendak kucalonkan itu yalah Thiat- pikian

to Tang lo-ya cu yang dalam Lok-lim namanya juga tak

asing lagi bagi kita.”

Seorang tua bermuka merah yang tangkas segera

berbangkit dan berkata : “Ai, harap Nyo-lote jangan membuat

buah tertawaan orang. Aku seorang tua yang sudah lama cuci

tangan, mengapa mencalonkan diriku ?”

Orang yang dipanggil she Nyo itu menyahut : “Jahe makin

tua makin pedas. Justeru karena kau sudah tua dan sudah

cuci tangan maka tak mempunyai hubungan apa2 dengan

kedua keluarga Tou dan Ong. Dalam menjalankan kewajiban

tentu lebih adil bijaksana. Saudara2 sekalian, maaf aku

hendak bicara terus terang. Kulihat pada masa ini sahabat2

dari kalangan Hek-to tak mempunyai kebulatan hati jadi

sukarlah rasanya untuk memilih calon yang benar2 ditunjang

dengan suara bulat. Maka daripada begitu, lebih baik kita

meminta seorang tokoh yang sudah tua usianya untuk

menjadi pemimpin kita,”

Thiat-pi-kim-to Tang Kia cukup ternama, maka kata2 orang

she Nyo tadi mendapat sambutan tepuk tangan dan sorak

sorai yang gegap gempita. Mereka menyatakan mendukung.

Tapi usia Yang Kiam itu sudah tua. maka ada beberapa orang

yang sangsi apakah jago tua itu masih dapat memikul

kewajiban. Mereka kuatir jangan orang tua itu nanti cuma

menjadi semacam boneka saja. Maka karena itu jumlah

penyokong Thiat-mo lek tetap lebih banyak.

Tang Kiam tetap menolak lagi. tapi karena terus menerus di

desak orang, akhirnya ia mau menerima juga dengan

pertimbangan supaya dapat mendamaikan pertentangan

antara ke dua golongan yang pro dan kontra itu.

“Baiklah, terserah saja pada sekalian hadirin. Tapi aku

sendiri menganggap Thiat-mo-leklah yang paling tepat!”

katanya.

Dalam suasana berisik dari orang2 yang sama

memperbincangkan itu, tiba2 seorang lelaki bertubuh kekar

dan tinggi hampir dua meter tampak berbangkit. Dengan

suara nyaring seperti lonceng berlalu, ia berseru: “Aku pun

hendak mengajukan seorang calon!”

Waktu sekalian hadirin memandang kearahnya, ternyata ia

itu pemimpin kaum Lok-lim dipantai Selatan sungai Tiangkang

yang bernama. Kay Thian-ho. Sekalian orang sama

terperanjat, pikir mereka: “Kay Thian ho itu seorang congkak,

tak pernah tunduk pada orang. Ketika dahulu orang she Ong

dan she Tou menjabat pemimpin Lok-lim, Kay Thian-ho itupun

tak menjual muka. Kini ia hendak mengajukan seorang calon,

entah siapakah tokoh itu?”

Rupanya Kay Thian-ho tahu apa yang dipikirkan sekalian

orang itu, Ia tertawa nyaring.

“Harap saudara sekalian jangan meragukan. Walaupun ia

baru setahun muncul di dunia persilatan, tapi ia sudah

melakukan perbuatan2 yang menggemparkan?”

Berbagai reaksi timbul dikalangan hadirin. Ada yang

menduga-duga siapa tokoh itu ada yang tak atau main

menduga tapi segera berseru menanyakan pada Thian-ho:

“Kay-toako bilanglah lekas sapa calonmu itu!”

Sahut Kay Thian-ho: “Pemuda gagah itu bernama Bo Se

kiat. Kiranya para saudara yang hadir disini tentu sudah

maklum bahwa aku orang she Kay ini tak mudah

sembarangan memuji orang. Tapi hari ini aku benar2 hendak

berkata dengan sungguh2, Bo heng-te itu benar2 tergolong

tokoh sakti dalam jaman ini! Dia adalah murid angkatan

keempat dari Kiu-si-khek dan keponakan dari Tocu (pemimpin

pulau) Hu-siang-to, Bo Jong-siang. Walaupun mereka tinggal

diluar lautan yang amat jauh, tapi juga dapat digolongkan

sebagai keturunan keluarga Lok-lim.”

Kiu si khek adalah seorang Koay-kiat (pendekar aneh) dari

dunia Lok-lim pada masa permulaan kerajaan Tong. Karena

baginda Sui-yang te seorang raja yang Buto (lalim), maka

sekalian orang gagah diseluruh negeri sama berontak.

Kabarnya Kiu-si-khek itu juga bermaksud menceburkan diri

dalam persekutuan orang2 gagah dan kemudian mengangkat

diri sebagai raja. Tapi kemudian seorang sahabatnya yang

bernama Li Ceng datang mengunjunginya dan memuji

kecakapan, Li Si bin. Sahabat Kiu si-khek itu lebih lanjut

mengatakan bahwa kegagahan, kecerdasan dan kewibawaan

pemuda Li Si-bin itu benar2 luar biasa. Dengan saingan seperti

itu, impian Kiu-si-khek untuk mendapatkan takhta kerajaan

tentu akan gagal.

Mendengar itu Kiu-si-khek lalu ajak Li Ceng masuk

kedaerah Thay-goan (Li Si-bin adalah putera Li Yan, Liu-siu

dari Thay-goan) Di Thay-goan, Kiu-si-khek juga mempunyai

seorang sehabat yang bernama Lau Bun-cing, Lau Bun-cing

kenal juga pada Li Si-bin, Kiu si-khek lalu minta pada Bun-cing

supaya ia mengundang Li Si-bin berkunjung kerumahnya, Ia (

Kiu-si-khek ) ingin bertemu muka dengan pemuda calon kaisar

itu.

Sambil menunggu kedatangan Li Si-bin, Kiu si-khek main

catur dengan Ui-san-khek, seorang Tosu dari biara Thay-hikwen.

Ui-san-khek itu juga seorang berilmu yang terpendam.

Kebetulan pada waktu itu ia bertamu kerumah Bun-cing.

Waktu Li Si-bin datang, kedua orang itu terbeliak kaget, Li

Si-bin ternyata seorang pemuda yang berparas agung, gagah

dan wibawa. Ketika Li-Si-bin duduk melihat permainan catur

itu. Ui-san-khek yang melihat tanda2 luar biasa pada pemuda

itu, permainannya segera menjadi kacau. Serentak berdirilah

ia, ujarnya : “Aku menyerah kalah, aneh, posisi ku tak dapat

tertolong lagi !”

Tapi Kui-si-khek juga menjadi lesu dan berbangkit menuju

keruang belakang. Katanya kepada Li Ceng : “Dia seorang cinbeng-

thian-cu, sukar dilawan!”

Cin-beng-thian-cu artinya orang yang sudah ditakdirkan

menjadi raja. Kemudian ia menyerahkan seluruh harta

simpanannya kepada Li Ceng agar yang tersebut belakangan

ini membantu se-kuat2nya pada perjuangan Li Si-bin, Ia

sendiri akan menurut nasehat Ui-san khek untuk menyingkir

jauh keseberang lautan, menjadi raja pulau Hu siang to.

Kalangan Lok-lim juga kenal akan kisah Kiu-si-khek

menyerahkan tahta kerajaan pada Li Si bin. Meskipun

peristiwa itu terjadi pada ratusan tahun yang lalu. namun

kaum Lok lim tetap masih menghormat peribadi Kiu si khek.

Untuk sekedar mengemukakan ukuran nilainya, kedudukan Kiu

si khek didunia Lok lim serupa dengan derajat Khong Cu

dalam dunia sasterawan.

Maka demi mendengar bahwa Bo Se kiat itu anak murid

turunan keempat dari Kiu si khek, sekalian hadirin sama

membuka mata lebar2.

Berkata pula Kay Thian-ho: “Dewasa ini para ciat-to-su

berebutan daerah kekuasaan, keadaan rakyat amat merderita.

Para orang serempak bangun kembali, keamanan terganggu.

disana sini timbul kekacauan. Dahulu dengan rela hati Kiu-Sikhek

menyerahkan gunung dan sungai (negara) pada Li Sibin,

siapa duga anak cucu orang she Li itu ternyata tak becus

untuk menjaga warisan kerajaan leluhurnya!”

Mendengar pidato orang she Kay itu, sekalian orang gagah

menjadi tergugah semangatnya. Dengan penuh perhatian

mereka mendengarkan. Sesaat hening lelaplah suasana dalam

medan pertemuan itu.

Kay Thian-ho tertawa lalu melanjutkan pidatonya: “Didalam

suasana negara kalut ini, kita kaum Lok-lim juga memiliki

pambek (cita2) dan pandangan yang luas. Sekali2 jangan

hanya berebutan daerah kekuasaan atau pembagian hasil

rampasan saja. Yang akan menjabat sebagai pemimpin Loklim

juga tak terbatas hanya cakap menghadapi serangan

tentara negeri dan mampu mengatasi pertentangan didalam

kalangan kita saja. Lebih dari itu kita masih harus melindungi

rakyat jelata, membasmi kawanan raja kecil berupa panglima

daerah itu.

Makin besar kekacauan negara berlangsung, makin

besarlah seharusnya kita gelorakan perjuangan kita. Ha. ha,

peribahasa mengatakan ; “Yang berhasil akan menjadi raja,

yang kalah lantas menjadi perampok. Nanti apabila suasana

sudah kembali aman. kitapun jangan terus2an menjadi

penyamun!”

“Bo-hiangte adilah akhli waris dari kiu-si-khek. Orangnya

gagah dan pintar, mempunyai kewibawaan untuk mengemban

amanat leluhurnya, Tahun ini saja apa yang dia lakukan,

misalnya merampas antaran kuda, menyerbu Teng-cu,

medundukkan kawanan orang gagah dari 12 cu-ce (markas

bajak) ditelaga Thay-oh membantu meringankan penderitaan

rakyat didaerah sungai Hoang ho yang dilanda banjir dan

lain2, semua itu sudah cukup menggemparkan dan membuat

orang kagum sekali. Maka menurut hematku, jika kita ingin

melaksanakan suatu pekerjaan besar, haruslah kita memilih

Bo hiangte ini menjadi pemimpin kita!”

Bergelorakan darah sekalian hadirin. Ada seorang lelaki

berdiri dan berseru: “Kami rombongan dan Im-nia-jwai ini

pernah di jungkir-balikan oleh Bo Se-kiat. Sementara aku

sendiri orang she Nyo ini, juga merasakan pil pahit (hajaran)

dari dia. Tapi meskipun dikalahkan aku tunduk setulus hati

padanya. Karena dalam urusan tempo hari itu fihak kamilah

yang bersalah. Ia dapat mengemukakan alasan2 yang tepat

hingga mau tak mau aku harus tunduk….”

Orang itu berhenti sejenak, lalu meneruskan kata2nya pula:

“Kini atas nama segenap warga Im-nia-jwan, aku menyatakan

dukungan sepenuhnya pada percalonan Bo Se-kiat, Apakah

nanti ia hanya menjadi pemimpin atau akan menjadi kaisar

kami akan taat padanya!”

Yak-bwe dan In-nio kenal orang itu sebagai si tinggi besar

she Nyo yang bertempur dengan Se-kiat digunung Pak-long

san tempo hari, tapi baru setengah jalan setinggi besar itu

lantas mengakui kesalahannya.

Setelah kedua orang she Nyo dan Kay itu berbicara, hati

sekalian orang meluap2 penuh semangat. Tapi ada sementara

orang juga yang gelisah, pikir mereka: “Apakah ini bukan

pemberontakan?”

Memang kaum penyamun itu terdiri dari dua golongan. Ada

yang menjadi penyamun karena melihat ketidak adilan dan

kekacauan negara, jadi mereka terdiri orang2 yang

mempunyai pambek besar. Pun ada yang menjadi penyamun

karena dorongan penghidupan. Untuk golongan yang terakhir

ini, kebanyakan selalu menurut saja, tak berani memberontak.

Maka berbangkitlah Se kiat dari tempat duduknya, “Kay

toako telah menjunjung begini tinggi padaku, aku sungguh tak

berani menerimanya. Apa yang diucapkan Nyo toako tentang

mau jadi raja apa segala itu lebih merupakan lelucon saja.

Memang sekarang ini negara sedang mengalami kekacauan

dan inilah saatnya bagi putra2 ibu pertiwi untuk tampil

membuat jasa. Kewajiban sebagai Bengcu (pemimpin) itu

terlampau berat, aku tak dapat memikulnya. Tapi aku berjanji

akan taat dan memberi bantuan sepenuh tenaga kepada

Toako lain yang akan menjabat kedudukan pemimpin itu!”

Ucapan itu dinyatakan dengan nada yang gagah, tapi

mengandung maksud penolakan.

“Kaulah orangnya pemimpin itu! Ya, jangan menolak lagi!”

seru Kay Thian ho dan beberapa orang.

Didesak begitu keras, apa boleh buat Se-kiat tak mau

membantah lagi. Ia terpaksa menerima pencalonan itu.

Jantung In nio berdenyut keras, ia girang, girang kaget. Ya,

mengapa tidak? Se kiat adalah jantung hatinya, bahwa sang

jantung hati menerima sekian besar dukungan, ia merasa

girang. Tapi mengingat nanti bakal berebut melawan Thiat mo

lek, in nio merasa tak enak hatinya.

“Siapa lagi yang akan mengajukan calon?” tanya Thian-

Hiong kemudian, ia mengulangi beberapa kali tawaran itu. tapi

tak ada yang menyahut.

“Baiklah, sekarang ada empat calon Bang cu yang diajukan.

Thiat-mo-lek siau-cecu dari Yan-san, Li Thian-go congthaubak

dari Ho-pak-chit ce, Thiat-pi kim to Tang Kiam locianpwee dan

Bo Se kiat siau tocu dari Hu siang to. Sekarang kita adakan

pemilihan lagi yang manakah diantara Keempat calon itu yang

akan kita pilih menjadi Bengcu?” kata Thian hiong akhirnya.

“Tapi dengan cara bagaimanakah pemilihan itu dilakukan.

Ia sendiri bingung. Menurut cara yang sederhana, pilihan itu

dapat dilakukan dengan cara pemungutan suara. Siapa yang

mendapat suara terbanyak, itulah yang menang. Tapi dengan

cara begitu, akan semakin tajamlah garis pertentangan antara

golongan yang pro dan kontra. Benar suara terbanyak akan

dapat menindas suara sedikit, tapi sifat2 kaum Lok lim itu suka

membandel. Jika mereka cuma tunduk dilahirnya saja, kelak

kemudian hari tentu akan terbit perkara yang tidak2.

Disamping itu Thiah-hiong sendiri mempunyai keinginan

ialah mengharap Thian mo-lek menang. Tapi jika meneliti

gelagat, penyokong2 Se kiat itu tak kalah jumlah dengan

pendukung Thian mo lek.

Akhirnya tampillah seorang tua, Hiong ki goan, locecu dari

gunung Hok-gusan. Serunya: “Sekarang kita menghadapi

empat calon yang sama mempunyai dukungan kuat. Bicara

tentang soal kemasyuran nama dan keluaran peribadi,

kesemuanya itu sukar untuk dinilai. Jika menilai baik buruknya

atau kuat lemahnya ilmu kepandaian merekapun dapat

menyinggung perasaan. Turut pendapatku siorang tua, lebih

baik diputuskan menurut cara lama saja.”

Pemimpin dari Ho gu san itu sudah berusia 70-an tahun, Ia

sudah pernah turut dalam pemilihan Beng cu sampai tiga kali,

jadi sudah paham akan peraturan lama mengenai hal itu.

“Kalau begitu harap locianpwee memberi petunjuk kepada

kami.” seru Thian hiong.

Hiong ki goan berdiri kembali, lalu berseru:

“Sederhana saja, caranya ialah mengadu kepandaian.

Sekaranga ada 4 orang calon, maka harus bertanding 1 kali,

Pertandingan ditentukan secara berturut-turut. Dalam setiap

babak keluar tiga orang. Yang kalah akan kehilangan hak

dipilih menjadi Beng cu. Yang menang terus bertanding lagi

dalam babak kedua. Pemenang dan babak kedua ini baru

boleh mengganti atau boleh juga tak memerlukan

penggantinya. Tetapi calon Bengcu yang berkepentingan itu

sedikitnya harus keluar bertanding satu kali. Demikianlah

peraturan itu. jelaskan?”

Thian-hiong berpendapat hal itu merupakan satu2nya cara

untuk menyelesaikan persoalan saat itu. Meski bertanding itu

dapat merusak hubungan, tapi kaum Lok-lim itu memang

hanya menjunjung ilmu kepandaian saja. Bagi pemenang yang

memiliki kepandaian sakti, orang2 yang bermula menentang

pencalonannya itu, tentu akan tunduk juga.

Sekalian hadirin tak ada yang menentang usul Hong Kigoan

itu. Karena itu Thiah-hiong segera mengadakan

pengundian. Hasilnya dalam babak pertama Bo Se kiatmelawan

Li Thian lo. Siapa yang menang akan maju dalam

babak kedua melawan Tang Kiam. Thiat mo lek mendapat

giliran yang terakhir.

Segera Li Thian go suruh wakilnya To Hoa, untuk maju

dalam babak pertama itu. To Hoa mempunyai kepandaian

istimewa dalam ilmu golok kilat. Perangainya kasar, dunia

persilatan menjulukinya dengan sebutan si Jagal.

Dari golongan yang pro Bo Se-kiat, sebenarnya Kay thianbo

yang akan maju tapi melihat fihak lawan hanya

mengeluarkan seorang Wakil Cecu sja. maka iapun tak mau

turun kegelanggang.

Tiba2 ada seorang tamu menerobos keluar dan berseru

dengan lantang:

“Lama nian kukagumi golok kilat dari lo-toako yang tiada

tandingannva itu. Hari ini ingin sekali aku mendapat pelajaran

barang beberapa jurus sajalah.”

Sekalian orang mengenal orang itu sebagai Li Beng. Cecu

dari gunung Tong pik-san. Seorang tokoh yang termasyur

dengan permainannya golok Pat-kwa to. Bersama dengan To

Hou, ia menikmati kemasyhuran nama sebagai jago golok dari

daerah selatan dan utara.

Sekalian hadirin tersirap kaget melihat jago Pat kwa to itu

sengaja hendak menempur jago Gway to (galok kilat).

Tapi To Hou tertawa gelak2, ujarnya “Aha.,Li cecu terlalu

sungkan.”

“Siapakah yang tak tahu bahwa golok Pat kwa to Li toako

itu merajai dunia persilatan? Aku merasa amat beruntung

bahwa hari ini dapat berjumpa dengan Li toako. Maka sudilah

nanti Li-toako jangan pelit memberi pelajaran pada aku!”

Suara yang bernada ramah itu sesungguhnya berisi suatu

peringatan keras. Bahwasanya nanti jago she To itu akan

mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih

jempol dalam ilmu golok. Karenanya ia minta pada Li Beng

supaya jangan sungkan2 lagi.

Sebagai jago kawakan, sudah tentu Li Beng mengerti

kemana jatuhnya perkataan jago golok kilat itu. Selekasnya

mencabut golok, iapun lalu mempersilahkan: “To toako adalah

seorang tetamu dari jauh, harap mulai lebih dulu!”

Permainan To Hou itu di sebut ‘golok kilat’ karena ia

menitik beratkan selalu turun tangan lebih dulu dengan cepat.

Maka setelah mengucapkan sepatah kata minta maaf, iapun

segera membuka serangan.

Tring2, tring, tring dalam sekejap saja To Hou sudah

berturut2 melancarkan tujuh kali serangan. Sekalian orang

yang melihat perkelahian itu menjadi berkunang2 matanya.

Diantara mereka sama memuji dan mengakui kemasyhuran

ilmu golok kilat To Hou.

Sebaliknya permainan golok Pat-kwa to dari Li Beng itu

menitik-beratkan pada kecepatan. Dengan menggunakan

posisi kuda2 kaki Ngo heng-pat kwa, goloknya berkelebatan

naik turun laksana hujan mencurah rapatnya. Empat-lima

puluh kali serangan golok To Hou semua kena ditangkisnya.

Demikianlah kedua jago golok itu terlibat dalam suatu

pertempuran yang dahsyat dan menarik sekali hingga

berulang2 terdengarlah teriak pujian dari sekalian hadirin. Li

Beng mencurahkan seluruh perhatiannya kearah ujung

goloknya. se-olah2 ujung goloknya ia banduli dengan benda

yang beratnya seribu kati. Makin lama permainannya makin

lambat, namun arahnya serangan kilat yang dilancarkan To

Hou dengan bertubi2 itu tak mampu menembus lingkaran

pertahanan golok Li Beng.

Melihat itu Li Thian-go mulai merasakan gelagat tidak baik.

“Celaka!”

Diam2 ia mengeluh didalam hati. Baru ia mengeluh begitu,

disana sudah terdengar Li Beng membentak keras: “Kena!”

Li Bang gunakan jurus Hoan-chiu-liau-bun yaitu balikan

tangan untuk memapas ketika To Hou melintangkan goloknya

hendak menangkis, tapi siku lengannya sudah kena termakan

golok lawan. Jago golok kilat itu menggerung keras, golok

dipindah ke tangan kirinya dan dengan kecepatan yang luar

biasa ia menghantam lawan pula.

Setelah dapat melukai lawan, Li Beng menjadi kegirangan.

Sedikitpun ia tak menyangka sama sekali bahwa lawan begitu

bandel dan galak, baru saja lengannya terluka sudah balas

menyerang dengan hebatnya. Dan memang tak kecewa To

Hou mendapat gelaran golok kilat itu. Bagaimana Li Beng

hendak berusaha menghindar namun sudah terlambat.

Bahunyapun kena termakan tebasan golok lawan, darah

segera bercucuran keluar.

To Hou dengan beringas masih akan menyerbunya lagi.

Tapi syukur demi melihat lengan kanan Li Beng hampir putus

serentak berserulah Thian-hiong dan Thian-go: “Berhenti,

berhenti!”

To Hou deliki mata: “Menang kalah belum ketahuan,

mengapa di suruh berhenti?”

Tapi setelah berkata begitu, ia rasakan lengan sendiri sakit

sekali! Tadi karena getaran amarahnya, ia tak merasa apa2.

Tapi setelah berlangsung beberapa menit kemudian, nyeri

pada lengan kanannya itu menyerang dengan hebat.

Bagaimana gagahnya, ia tetap seorang manusia yang terdiri

darah dan daging juga. Rasa sakit itu sampai menusuk keulu

hati.

“Pertandingan ini adalah antara sesama kawan sendiri,

sudah cukup bila ada yang kalah atau menang. Tapi babak ini

anggap seri perlu apa sampai ada yang mati?” kata Thian

hiong.

Li Thian-go mengangguk setuju: “Ucapan Shin-toako itu

bijaksana sekali. Babak ini anggap saja serilah.”

Menurut penilaian, kedua jago tadi sama2 terluka. Tapi luka

Li Beng tidak begitu berat. Sebaliknya To Hou terkutung

lengan kanannya, suatu halangan besar baginya karena ia tak

mahir bermain dengan tangan kiri, Jika pertandingan itu

dilanjutkan, kemungkinan besar ia tentu akan kalah.

Bermula Li Thian-go kuatir kalau fihak Se Kiat (Li Beng) tak

setuju pertandingan itu di hentikan, sebab sudah jelas ia pasti

akan menderita kekalahan dalam babak permulaan itu. Maka

setelah Thian-hiong memberi pertimbangan seri, iapun lekas2

menyatakan persetujuannya.

Karena menahan kesakitan, saat itu To Hong sudah mandi

keringat dingin. Bila tak malu akan ditertawai oleh sekalian

orang gagah dari berbagai penjuru, ia tentu sudah menjerit2.

Gelarannya yalah si Jagal dan memang perangainya

berangasan dan kasar. Tapi pada saat itu, terpaksa ia tak

berani unjuk kegarangan lagi. Setelah dikeluarkannya

keputusan seri, maka dari kedua belah fihak segera ada

berapa orang yang maju menghampiri kedua jago itu untuk

mengobati dan menggotongnya keluar.

Baru kedua jago yang terluka dibawa pergi majulah

digelanggang situ simuka ungu tadi. Ia mencekal sebatang

Tok-kah-tang-jin (orang2an tembaga berkaki satu).

“Saudara2 sekaum Lok-lim! Siapakah diantara kita yang tak

pernah terguling dibawah ujung golok? Kita selalu menjunjung

kebajikan dan keadilan. Kalau dalam pertempuran kita hanya

terluka saja, itulah masih mujur dan kita tetap bersahabat.

Aku disini hendak membantu fihak Li toako, sahabat manakah

yang suka memberi pelajaran padaku? Biar nanti tubuhku

berhias dengan beberapa liang darah juga aku akan tetap

berterima kasih”.

Ternyata simuka ungu itu bernama Han Wi, seorang

benggolan begal besar yang bekerja seorang diri. Karena ia

seorang kuat pribadinya, marah girang tak kentara, maka

orang persilatan menjulukinya dengan nama Leng bin hou

atau Macan bermuka dingin.

Senjata Tok-kah-tang jin yang digunakan itu, beratnya ada

48 kati. sebenarnya tetmasuk senjata berat juga. Tapi

istimewanya sepasang lengan dari orang-orangan tembaga itu

dapat digunakan untuk menutuk jalan darah orang. Senjata itu

mempunyai tiga macam ciri yang khas, Yakni: berat, kasar

dan tangkas. Dan pemilihan orang she han itu. tentunya lebih

lihay dari To Hou.

Ucapannya tadi amat menusuk perasaan orang. Dan fihak

Se kiat sebenarnya sudah ada beberapa orang yang sedianya

akan maju, tapi sama mengkerat nyalinya karena gertakan

orang she Han itu. Adalah Kay Titan-bo yang tak dapat

mengendalikan diri lagi. Tapi baru ia hendak tampil kemuka,

tiba2 ada seorang lelaki tinggi besar dan berwajah gemilang

seperti batu kemala, berbangkit dari duduknya dan berseru

nyaring:

“Biarlah aku yang mohon pelajaran ilmu tutuk dari Hantoako!”

Orang2 dari fihak Se-kiat terbeliak kaget melihat orang itu.

Orang itu masih muda tapi bukan termasuk golongan mereka.

Dia ialah Pian Cioan-su suami Ong Yan-Ih (puterinya Ong Pek

thong).

“He, mengapa kau tak mau bersabar untuk membantu

Thiat mo Lek nanti?” bisik Yan-ih kepada sang suami.

Goan-siu mengepal tangan isterinya dan menyahut dengan

pelahan: “Demi untuk kepentinganmu!”

Yan-ih dapat memaklumi maksud suaminya, kiranya ucapan

orang she Han tadi sembari mengandung hinaan pada Yan-ih.

Itulah sebabnya Goan-siu hendak membalaskan kemengkalan

isterinya. Ia anggap fihak orang2nya Thiat-mo lek sudah

cukup jago2nya yang tangguh, kurang dia seorang rasanya

tak terpengaruh. Dah lagi kalau ia memenangkan

pertandingan ini, benar secara langsung. Bo Se-kiatlah yang

mendapat keuntungan, tapi secara tak langsung, karena fihak

Li Thian-go kalah, jadi fihak Thian mo lekpun mendapat

keringanan juga.

Han wi kenal pemuda itu sebagai putera dari Li-mo-thau

Tian Toa-nio. Diam2 dia tergetar hatinya.

“Tian-toako. bilakah kau mengikat persahabatan dengan

kaum Hu-siang-to?” segera serunya dengan tertawa.

Goan-siu menjawab: “Hari ini adalah pemilihan Bengcu dan

bukan untuk membicarakan hubungan persahabatan. Aku

suka membantu siapa, itu urusanku sendiri, tak perlu kau

hiraukan. Bagaimana, apa kau hendak memilih seorang lawan

lain?”

Amarah Han Wi menjadi meluap, pikirnya “Aku hanya takut

pada ibumu bukan kepadamu.”

Namun ia masih menguasai kerut wajahnya dan berkata

dengan tenang: “Ah, Tian-toako bergurau ini. Seorang yang

membuka kedai nasi masakan takut didatangi pembeli2 yang

lapar. Hanya saja kita berdua ini cuma membantu pada

sahabat saja, jadi urusan ini menjadi tanggung jawab kita

berdua. Jelaskah kiranya Tian toako akan kata2ku ini?”

Goan-siu tertawa dingin : “Jangan kuatir! Keluarkanlah

seluruh kepandaianmu untuk membunuh aku, tak nanti ada

orang yang minta ganti jiwa padamu !”

“Ah, bukan begitu.” sahut Han-Wi. “Aku hanya hendak

mengatakan bahwa dalam pertempuran itu nanti tentu sukar

terhindar dari salah satu yang menderita. Maka lebih dulu

kutegaskan dimuka. Harap Tian toako memberi maaf atas

kekurang ajaranku!”

Wut!! begitu angkat Tok-kah-tang jin, ia lantas

menghantam kepala Goan-siu. Goan-siu gunakan jurus Pek

Hong-koan jit(bianglala melintas matahari). Ia berkelit sambil

menutuk ke dada lawan. Tapi Han Wi juga tidak lemah, Trang,

ia cepat menangkisnya. Kemudian Tok-kah-tang jin disapukan

kelengan orang-orangan itu menutuk darah dipinggang Goansiu.

Goan siu miringkan tubuhnya sembari kirim tiga kali

tusukan sekaligus, semuanya mengarah jalan darah yang

sangat berbahaya sekali. Han Wi menjadi semakin kelabakan

melihat permainan pedang lawan yang begitu cepat dahsyat

itu. Posisi menjadi terdesak, dan menyerang kini ia berganti

menjaga diri. Tok-kah-tang jin diputar dengan keras sekali.

Tring, tring. tring. dalam sekejab saja tubuh orang2an

tembaga itu penuh dengan lubang tusukan pedang, Bagianbagian

yang tertusuk itu banyak yang gempil tapi karena berat

senjata itu ada 48 Kati dan tebalnya beberapa dim jadi pedang

pun tidak dapat menembusnya. apa lagi pedang yang

digunakan Goan siu itu hanya pedang Ceng-kong kiam biasa.

ujung pedangnya itupun menjadi tumpul juga.

Ilmu pedang dari Goan siu itu dititik beratkan pada

kecepatan dan kekerasan. Sebenarnya bukan maksudnya

hendak adu senjata. Sedapat mungkin ia hendak menusuk

tubuh lawan tanpa terbentur dengan senjatanya (Han Wi).

Tapi permainan Han Wi itu tangkas sekali. Kemana Goan siu

menusuk, disitu tentu sudah disongsong dengan Tok-kah-tang

jin.

“Orang ini menggunakan Tang-jin sebagai perisai, aku tak

mampu melukainya, ah, bagaimana aku dapat membalaskan

kemengkalan Yan-moay?” akhirnya Goan-siu merasa putus

asa.

Sebaliknya diam2 Han Wi bergirang hati, pikirnya: “Ilmu

pedangmu meskipun hebat tapi kau ini hanya seorang berani

tapi tanpa punya siasat! Bagus, akan kubiarkan kau unjuk

kegirangan menusuk sepuasmu. Nanti satelah pedangmu

putus, awaslah jiwamu!”

Tengah Han Wi membayangkan kemenangan itu, tiba2

Goan-siu menggerung keras. Begitu menyarungkan

pedangnya, mendadak pemuda itu lantas menghantam

dengan bajunya. Pukulan itu tepat mengenai punggung Tokkah-

tang jin Blak,

Terdengar suara keras dari login dipalu. Saking dahsyatnya

pukulan itu Tok-kah-tang jin terpental membalik kearah

pemiliknya. Begitu keras tenaga pukulan itu hingga Han Wi tak

dapat menguasai senjatanya lagi.

-o0odwo0o-

Jilid V

TOK-KAH-TANG-JIN berbalik menghantam keningnya

sendiri. Darah memuncrat, dan bluk, robohlah jago she Han

itu…..

Sepintas pandang tindakan Goan-siu itu amat berbahaya

sekali. Tapi sebenarnya ia bertindak dengan memakai

perhitungan yang tepat. Jelas dilihatnya bahwa dalam hal

tenaga, Han Wi kalah dengan dia. Itulah sebabnya ia lantas

memutuskan untuk menghantam. Tapi sekalipun ia berhasil

merobohkan Han Wi, tinjunya juga melepuh.

Masih Goan-siu belum reda kemarahannya. Sebelum Han

Wi sempat loncat bangun Goan-siu sudah injak punggungnya.

“Tian-toako, janganlah!” Thiat-mo-lek buru-buru

mencegahnya.

Goan-siu tertawa dingin: “Mengingat ada orang

memintakan kasihan bagimu, kali ini biar kuampuni kau!”

Tapi waktu ia angkat kakinya, Han Wi sudah pingsan.

Kiranya walaupun Goan-siu tak jadi mencabut jiwa

pecundangnya, tapi ia sudah menginjak remuk pekakas dalam

orang she Han itu. Nanti apabila Han Wi sembuh pun ia bakal

menjadi seorang cacat yang tak berguna lagi.

Melihat itu gusar Li Thian-go bukan kepalang. Tanpa

tunggu ada orang dalam rombongannya yang maju, ia sudah

lantas loncat kemuka: “Orang she Tian, akupun hendak minta

pelajaran dari kau!”

Se-kiat tertawa. “Ai, rupanya Li-cecu telah melupakan

peraturan. Karena Tian-toako itu mewakili rombonganku,

maka menurut peraturan pertandingan, ia hanya boleh

bertanding satu kali saja!”

Kemarahan Li Thian-go sekarang beralih pada jago itu,

tantangnya segera: “Baik, kalau begitu biarlah sekarang aku

meminta pelajaran padamu saja. Fihak Hu-siang-to kalian

tentu berilmu sangat sakti.”

Se-kiat menyahut: “Aku tinggal dilautan yang terasing,

maka dalam pengetahuan amat dangkal sekali. Juga dalam

ilmu kepandaian perguruanku, aku hanya memperoleh sedikit

kulitnya saja. Mana aku berani menerima pujian Li-cecu itu?

Kedatanganku kemari hanya untuk menambah pengetahuan

tentang kepandaian yang mengagumkan dari sekalian

sahabat-sahabat gagah. Telah lama kudengar ilmu permainan

tongkat Li-cecu yang disebut Loan-bi-hong-koay-hwat itu

merupakan ilmu sakti yang tiada taranya didunia persilatan.

Sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat berjumpa dengan

Li-cecu, maka hendaknya sukalah Li-cecu memberi pelajaran

barang beberapa jurus saja dari permainan tongkat yang sakti

itu.”

Habis berkata ia lemparkan pedangnya lalu menghampiri

sebatang pohon besar. Dengan tangan kosong ia tabas

sebuah dahan, lalu dipotong-potongnya sehingga merupakan

sebuah tongkat dari satu setengah meter panjangnya.

Sekalian orang yang menyaksikan tenaga pukulan anak muda

itu sedemikian hebatnya, sama tercengang-cengang.

Lalu Se-kiat kembali ketengah gelanggang dan tegak berdiri

menghadapi Thian-go, serunya: “Silahkan Li-cecu memulai!”

Kini baru mengertilah Thian-go bahwa si anak muda itu

hendak melawannya dengan tongkat kayu saja. Seketika

meluaplah amarahnya, nafsu pembunuhan menyala-nyala

diwajahnya.

Sebagian dari penyamun-penyamun yang hadir dalam

pertemuan itu belum pernah kenal siapa Se-kiat itu, mereka

bersangsi dalam hati: “Meskipun anak muda itu anak murid

angkatan keempat dari Kiu-si-khek, tapi usianya masih begitu

muda. Taruh kata begitu lahir ia sudah belajar silat, masakah

ia dapat mengatasi Thiat-koay Li. Apalagi ia begitu congkak

hanya memakai dahan pohon untuk melawan tongkat besi.

Bukankah ia seperti ular cari gebuk?”

Selagi sekalian hadirin menguatirkan diri Se-kiat, disana

Thian-go kedengaran membuka suara dengan dingin: “Karena

Bo-heng hendak menguji permainan tongkatku, terpaksa aku

pun akan mengunjukkan permainan yang jelek itu!”

Thian-go benci kepada sianak muda yang begitu

memandang rendah padanya. Maka begitu membuka

serangan, ia sudah gunakan jurus yang keras sekali. Sekejap

saja tongkat besi itu sudah berobah menjadi lingkaran sinar

yang menderu-deru seperti badai.

Se-kiat tak mau menghindar, sebaliknya ia angkat tongkat

kayunya untuk menangkis. Sekalian orang hampir menjerit

kaget. Mereka yakin tongkat anak muda itu pasti hancur dan

orangnya tentu kena terhantam. Tapi aneh bin ajaib, bukan

tongkat kayu sianak muda yang patah, sebaliknya tongkat besi

Thian-go yang terpental.

Thiat-koay Li penasaran dan ulangi hantamannya sampai

tiga kali, tapi setiap kali tongkat besinya itu selalu terpental

waktu berbentur dengan tongkat kayu sianak muda. Serangan

Thiat-koay Li yang dilancarkan dengan ngotot itu hanya

ditangkis seenaknya saja oleh sianak muda. Setiap serangan

selalu dapat dipatahkan dan kalau tongkat besi terpental

adalah tongkat kayu itu tetap utuh tak kurang suatu apa.

Hal itu telah menimbulkan kegemparan hebat dikalangan

hadirin. Mereka tak habis-habisnya menyatakan

keheranannya.

“Jangan-jangan anak itu mempunyai ilmu sihir. Tongkat

besi dari Thiat-koay Li dapat menghancurkan batu dan

meremukkan kepala orang. Mengapa tongkat kayu anak muda

itu tak kena apa-apa?” kata beberapa hadirin.

Benarkah Se-kiat menggunakan ilmu sihir? Tidak! Ia hanya

mahir dalam ilmu lwekang. Semuda itu usianya namun, ia

sudah dapat meyakinkan lwekang dengan sempurna. Tadi ia

telah gunakan apa yang disebut tenaga menyedot. Memang

tampaknya ia adu kekerasan, tapi sebenarnya ia telah dapat

memperhitungkan datangnya serangan lawan dengan tepat.

Begitu menerima pukulan, ia terus saja ‘menyedot’ tenaga

lawan. Paling sedikit 7-8 bagian dari tenaga Thiat-koay Li telah

kena disedot, sehingga tak heranlah kalau tongkat kayu sianak

muda tak menderita apa-apa.

“Kau mengatakan hendak adu ilmu tongkat, tapi mengapa

tak balas menyerang?” seru Thiat-koay Li.

Se-kiat tertawa: “Aku adalah tetamu dari jauh, sudah

sepantasnya mengalah sampai tiga jurus.”

Habis itu ia lantas putar tongkat kayunya untuk menyerang.

Dan jurus yang digunakan juga ilmu permainan tongkat Loanbi-

hong-koay-hwat bagian it-lat-ciang-cap-hwe (tenaga satu

menindih sepuluh).

Sudah tentu kepandaian Thiat-koay Li lebih tinggi dari

kawanan tetamu yang berteriak-teriak keheranan tadi. Tahu

kalau lwekang si anak muda lebih tinggi, sengaja ia menyuruh

lawan balas menyerang. Dan bahwa sianak muda mau

menyerang, apalagi gunakan jurus Loan-bi-hong-koay-hwat,

diam-diam ia heran tapi girang juga. Jurus it-lat-ciang-caphwe

itu, adalah jurus untuk adu kekuatan.

Thiat-koay Li bertenaga besar, jadi ia girang dengan

serangan itu, maka iapun segera gunakan jurus serupa it-latciang-

cap-hwe untuk menyambutnya.

Trang, terdengar benturan keras. Anehnya, tongkat kayu

Se-kiat tetap tak patah, sebaliknya tongkat besi Thiat-koay Li

tak dapat di kuasainya lagi, turut berputar-putar dibawa

tongkat sianak muda. Kiranya tenaga Se-kiat yang keras itu

mengandung kelemasan, jauh lebih tinggi dari kepandaian

Thiat-koay Li. Setelah berbentur, Se-kiat lalu ganti

menggunakan lwekang memutar. Ia melancarkan, kemudian

meminjam tenaga lawan untuk mengendalikan iagi, cara ini

adalah termasuk lwekang sakti yang,disebut pinjam tenaga

mengembalikan tenaga. Sudah tentu Thiat-koay Li tak berdaya

lagi.

Masih untung Se-kiat tak mau membikin celaka lawan.

Setelah memutar beberapa kali, ia lantas tarik pulang

tongkatnya. Ujarnya dengan tertawa: “Loan-bi-hong-koayTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

hwat dari Li-ce cu benar-benar luar biasa, aku hendak mohon

pelajaran lainnya lagi.”

Sebenarnya Thiat-koay Li harus mengakui kekalahannya.

Tapi kalau ia berbuat begitu, berarti habislah harapannya

untuk maju kebabak kedua. Apa boleh buat ia tebalkan muka

dan pantang menyerah. Tanpa berkata apa-apa, ia lantas

menyerang lagi dengan permainan Loan-bi-hong-koay-hwat.

Se-kiat memang bermaksud hendak menggodanya. Lawan

gunakan jurus apa, iapun gunakan jurus itu. Ilmu permainan

Thiat-koay Li disebut ‘loan-bi-hong’ atau angin puyuh, sudah

tentu gerakannya amat cepat sekali. Tapi ternyata Se-kiat

dapit memainkan lebih cepat lagi dari dia. Jangan lagi dapat

melukai atau meaghantam tongkat kayu lawan, sedang ujung

baju sianak muda itu saja Thiat-koay Li sudah tak mampu

menyentuhnya.

Selagi mata sekalian penonton kabur karena gerak gerik

kedua jago itu secepat bayangan, tiba-tiba Thiat-koay Li loncat

keluar dari gelanggang. Bluk, tongkat besinya dibuang

ketanah, lalu memberi hormat dengan kedua tangannya:

“Terima kasih atas kemurahan hati Bo-heng, aku orang she Li

menyerah dengan sepenuh hormat!”

Se-kiat buru-buru membalas hormat. Diambilnya tongkat

besi, lalu diserahkan kepada si pemilik Thiat-koay Li.

Memang kecuali Thiat-mo-lek, To Peh-ing, Tang Kiam, Kay

Thian-ho dan beberapa tetamu yang lihay, lain-lain orang tak

mengerti mengapa Thiat-koay Li lompat keluar dan menyerah

kalah itu. Kiranya setelah Thiat-koay Li habis memainkan jurus

permainan tongkatnya sampai jurus yang terakhir, dengan

kecepatan luar biasa Se-kiat segera menusuk robek dada

bajunya. Coba anak muda itu mau berlaku kejam, dada Thiatkoay

Li pasti amblong, Sampai disitu barulah Thiat-koay Li

insyaf bahwa kepandaian lawan memang jauh beberapa kali

lebih lihay dari dirinya. Mau tak mau senang tak senang

terpaksa ia harus menyerah kalah juga.

Menurut peraturan pertandingan, babak kedua nanti akan

dimainkan oleh fihak jago tua Thiat-pi-kim-to Tang Kiam

lawan pemenang dari babak kesatu yakni fihak Se-kiat.

Pendukung-pendukung dari Tang Kiam kebanyakan adalah

golongan Locianpwe (jago tua) yang sudah ternama didunia

persilatan.

Untuk pertandingan pertama dari babak ke dua itu, dari

fihak Tang Kiam mengajukan Wi-tin-ho-sok Ban Liu-tong

sedang fihak Se-kiat menampilkan Kay Thian-ho.

Ban Liu-tong bergelar ‘wi-tin-ho-sok’ atau terbawa

menggetarkan utara sungai. Sudah tentu ia memiliki

kepandaian yang istimewa. Tiga puluh tahun yang lalu,

dengan sebatang tombak ia malang melintang didunia

persilatan tanpa tandingan. Didalam dunia Lok-lim ia termasuk

tokoh kelas berat.

Tetapi sayang ia sudah berusia tua, lebih tua dua tahun

dari Tang Kiam. Sebaliknya lawannya, Kay Thian-ho, dalam

usia sedang gagahnya. Dalam kekuatan tenaga, Thian-ho jauh

lebih menang dari lawan. Maka waktu pertandingan mencapai

jurus yang ketiga puluh, dengan jurus Lat-bi-hoa-san (dengan

tenaga penuh menghantam gunung Hoa-san) ia hantam Liutong.

Jago tua itu tak kuat menangkis, hampir saja ia

terhuyung jatuh. Taian-ho tetap menghormati sang lawan itu

sebagai seorang cianpwe. Buru-buru ia buang goloknya terus

merangkul lawannya supaya jangan jatuh. Tapi Liu-tong juga

seorang jago tua yang sportif. Ia mengatakan tadi memang

thian-ho sengaja jatuhkan senjatanya sendiri, bukannya kalah.

Dengan serta merta jago tua itu menyatakan dirinyalah yang

kalah. Sekalian orang gagah yang menyaksikan kesudahan

pertempuran itu, sama memuji keperwiraan ke dua jago itu.

Untuk pertandingan kedua dalam babak kedua itu, dari

fihak Tang Kiam sebetulnya akan keluar Say-coan-cu Siong

Kam, seorang jago tua dari Beng-ciu. Tapi tiba-tiba Tang Kiam

berbangkit mencegahnya: “Siong-lote, akulah yang

mengajakmu datang kemari. Masih ingatkah kau akan

pembicaraan kita itu?”

Sahut Siong Kam: “Itu waktu sebenarnya kau tak berhasrat

datang kemari, kemudian ku katakan bahwa kita berdua itu

sudah tua, sedikitpun tak mempunyai keinginan untuk

kedudukan pemimpin Lok-lim itu. Tapi tak ada jeleknya kita

hadir kemari untuk meninjau apakah didunia Lok-lim dewasa

ini terdapat tunas-tunas muda yang lihay.”

Tang Kiam tertawa: “Benar! Oleh sebab itu maka kuminta

sukalah kau duduk lagi untuk menonton saja!”

“Tang-toako, sebenarnya masih terdapat banyak sekali

sahabat-sahabat yang mengajukan dirimu. Jika sekarang kau

hendak undurkan diri, bukankah akan membikin kecewa hati

mereka?” bantah Siong Kam.

Tang Kiam menggeleng kepala, ujarnya: “Setelah

menyaksikan tadi bahwa tunas-tunas muda kita itu mampu

mengganti dan bahkan lebih jempol dari kita angkatan tua,

aku merasa girang sekali. Masakah aku masih mempunyai

nafsu untuk turut berebut lagi? Tapi seperti kau katakan tadi,

kitapun tak boleh mengecewakan harapan sahabat-sahabat

kita itu maka baiknya begini sajalah. Untuk pertandingan ini,

akan kuminta Bo-siauhiap mengunjukkan kepandaian lagi,

coba saja aku si tua ini masih dapat melayani sampai berapa

jurus? Dengan begitu, biarlah babak terakhir yang tentunya

lebih menarik ini dapat segera dimulai dan lekas selesai pula.”

Ucapannya itu mengandung dua macam arti. Pertama,

sebagai seorang angkatan tua ia akan menguji seorang

angkatan muda. Ya, hanya menguji saja bukan hendak

merebut menang atau kalah. Kedua, ia hendak mengunjukkan

kerendahan hati (mengalah). Jika Siong Kam yang maju,

apabila sampai menang, tentu pertandingan ketiga harus

dimainkan lagi. Ini berarti akan memakan waktu. Maka ia

ambil putusan untuk maju sendiri dengan membawa

keyakinan, pasti kalah. Dengan begitu, biarlah babak ketiga,

yakni pertandingan antara Bo Se-kiat lawan Thiat-mo-lek,

segera dapat dimulai. Dari sini dapat diketahui, sampai dimana

kebijaksanaan jago tua itu.

Seperti telah diterangkan dimuka, menurut tata tertib

pertandingan, pemenang pertandingan tadi boleh minta

diganti orangnya, pun boleh melanjutkan bertempur terus

sendiri.

Maka bertanyalah Thian-hiong kepada Se-kiat: “Tanglocianpwe

bermaksud hendak berkenalan dengan jago-jago

muda saja, maka ia minta kau saja yang terus melanjutkan

pertandingin. Bagaimana kehendakmu?”

Se-kiat buru-buru memberi hormat kepada Tang Kiam:

“Atas perhatian Locianpwe, aku menghaturkan terima kasih.

Dengan segala senang hati kuturut perintah Locianpwe!”

Tang Kiam tertawa gelak-gelak: “Bagus!, Kau hendak pakai

senjata apa?”

Kiranya Se-kiat tak membawa senjata apa-apa dan hanya

bertangan kosong saja, itulah sebabnya maka Tang Kiam

menanyainya.

Se-kiat menjura, ujarnya: “Dihadapan Lo cianpwe masakah

aku berani kurang ajar memakai senjata!”

Tang Kiam tertegun, lalu tertawa lagi: “Baik, kalau begitu

biarlah aku bertambah pengalaman lagi untuk menyaksikan

permainan tangan kosong Siauhiap ini!”

Dikalangan orang persilatan, memang masih menjunjung

perbedaan antara kaum tua dengan kaum muda. Jika

berhadapan dengan lawan yang sama derajatnya, apabila

salah seorang memakai senjata, itu berarti menghina lawan.

Tapi terhadap angkatan yang lebih tua, hal itu malah berarti

kebaikannya. Tidak menggunakan senjata, itu menandakan

menghormat, mengunjukkan bahwa dirinya (kaum muda) tak

berani memusuhi seorang Lo cianpwe. Biarpun dirinya terluka,

tapi tetap tak mau melukai Locianpwe itu.

Mendengar percakapan itu, sekalian hadirin sama memuji

Se-kiat. Tapi mereka diam-diam menguatirkan anak muda itu:

“Thiat-pi-kim-to dari Tang Kiam itu jauh lebih hebat dari

tongkat besi Thiat-koay Li. Jika Se-kiat memakai pedang,

dengan mengandalkan tenaganya yang masih muda itu, ia

tentu menang. Tapi kalau hanya dengan tangan kosong saja,

karena tenaganya itu tak banyak berguna, maka sukar di

tentukan kalah menangnya. Tapi anak muda itu memang

perwira sekali, rupanya ia lebih suka kehilangan kesempatan

mendapat kedudukan Beng-cu daripada dikatakan tak

menghormat seorang Cianpwe!”

Tang Kiam menyelentik sekali punggung goloknya, lalu

menyuruh lawan siap: “Baiklah, kalau begitu harap Siauhiap

terima seranganku ini!”

Golok kim-to segera ditabaskan miring, Se-kiat rangkapkan

kedua tangan selaku memberi hormat sembari tundukkan

kepalanya kebawah untuk menghindari tabasan golok. Sebagai

seorang angkatan muda, untuk serangan pertama itu ia tak

mau membalas. Malah ia sengaja berikan suatu kesempatan

bagus kepada Tang Kiam.

“Ai, janganlah Bo-siauhiap berlaku sungkan!” Tang Kiam

tertawa. Begitu tubuhnya membalik, ia melancarkan serangan

yang lihay. Golok ditangan kanan ditabaskan dari samping dan

tinju kirinyapun menyusul dengan sebuah hantaman. Seketika

itu kanan, kiri dan bagian tengah dari sianak muda terkurung

rapat.

Sama sekali Se-kiat tak menyangka bahwa jago tua yang

usianya sudah mendekati 70-an tahun itu, masih begitu hebat

dalam permainan golok dan pukulannya. Tanpa terasa mulut

Se-kiat memujinya: “Bagus!”

Sekalian hadirin menghormati Tang Kiam sebagai seorang

ciaupwe. Serempak mereka berseru memuji permainan jago

tua itu. Diam-diam mereka membatin: “Dalam taburan sinar

golok dan pukulan semacam itu, mungkin lalat pun tak

mampu terbang menerobos keluar. Ha, bagaimanakah anak

muda she Bo itu akan menghindarkan dirinya?”

Saat itu terdengar suara berdering dan Se-kiatpun sudah

kisarkan kakinya kesamping Tang Kiam. Hanya pakaiannya

yang tampak berkibar-kibar tertiup sambaran golok lawan,

tapi orangnya masih tetap tak kurang suatu apa.

Kiranya Se-kiat telah gunakan It-ci-sin-kang (jari sakti)

untuk mementalkan golok sedikit lalu menyelundup keluar dari

bawah sambaran mata golok itu. Melihat permainan silat

sianak muda yang belum pernah disaksikan selama itu,

sekalian penonton terhening diam menahan napas. Begitu Sekiat

sudah lolos dengan selamat, pecahlah tepuk sorak mereka

menggemparkan tanah datar itu. Sorak pujian kali ini, jauh

lebih gempar dari pujian kepada sijago tua Tang Kiam tadi.

Tang Kiam sendiripun turut memuji: “Sungguh hebat!

Setengah abad lamanya golokku ini malang melintang dan

baru sekarang ketemu tandingannya!”

Dengan gagahnya jago tua itu putar lagi kim-tonya,

diimbangi dengan tinjunya yang menghantam seperti angin.

Perbawa serangan jago tua itu, dapat dilukiskan seperti

gelombang sungai Tiang-kang yang mendampar dengan

dahsyatnya.

Diam-diam Se-kiat memuji juga: “Orang tua ini benar-benar

tak bernama kosong. Jika pada tiga puluh tahun yang lalu

dikala ia masih muda, tentu aku tak dapat menghadapinya

dengan tangan kosong!”

Iapun tak berani berayal dan lalu keluarkan ilmu

ginkangnya. Dengan mengandalkan kelincahan, ia hadapi

serangan lawan. Dengan tinju menyambut tinju, dengan

pukulan menghantam golok.

Begitulah makin lama, kedua jago tua dan muda itu

bertempur makin seru. Sekalian hadirin yang menyaksikan

pertempuran itu sama menahan napas dan memandang

dengan mata tak berkedip.

Se-kiat menyelinap kekanan, menerobos ke kiri.

Gerakannya mirip dengan seekor kupu-kupu menyusup

kelompok bunga. Empat pelosok delapan penjuru, yang

tampak hanyalah bayangan sianak muda itu. Walaupun yang

bertempur digelanggang itu hanya dua orang saja, tapi

tampaknya seperti ribuan tentara yang tengah bergumul

dengan rapat.

Gerakan Se-kiat makin cepat hingga beberapa penonton

sama berkunang-kunang matanya. Saking tak tahan, mereka

buru-buru pejamkan mata tak berani melihatnya lagi.

Tiba-tiba sinar golok berputar melingkar seperti bianglala

dan tahu-tahu kedua jago yang bertempur itu loncat mundur

bersama. Dan secepat itu Se-kiat lantas rangkapkan kedua

tangan memberi hormar, “Locianpwe, maafkanlah!”

Tang Kiam sarungkan goloknya kedalam kerangka dan

tertawa gelak-gelak. Sekalian hadir sama-sama heran tak tahu

apa yang telah terjadi. Sana-sini sama bertanya: “Sebetulnya

siapakah yang menang itu?”

Tang Kiam tampak acungkan jempolnya dan berseru:

“Golok kim-to ini telah kupakai selama 50 tahun, baru pertama

kali ini terasa pantul. Tapi selama hidupku, belum pernah aku

begini gembira seperti hari ini. Bahwa di dunia Lok-lim telah

muncul seorang bintang cemerlang seperti Bo-lote, sungguh

pantas di buat girang dan diberi ucapan selamat!”

Mendengar itu barulah sekalian hadirin tahu bahwa Sekiatlah

yang menang. Kiranya dengan kecepatan yang luar

biasa, Se-kiat telah berhasil merebut golok lawan kemudian

dengan tak kurang sebatnya ia mengembalikannya lagi.

Merebut dan mengembalikan golok itu, telah berlangsung

dalam tempo yang cepat sekali, lebih cepat dari kejapan mata

orang. Itu sebabnya maka tadi para hadirin melihat bayangan

seperti pelangi melingkar lalu tahu-tahu kedua jago itu

terpental mundur. Kecuali beberapa tokoh lihay, kebanyakan

dari para penonton disitu tak dapat melihat kejadian yang

sebenarnya.

Karena fihak Tang Kiam sudah dua kali mengalami

kekalahan, jadi babak kedua itu di akhiri sampai disitu dengan

fihak Se-kiat sebagai pemenangnya. Untuk babak ketiga atau

yang terakhir, akan muncullah golongan Se-kiat melawan

jago-jago dari golongan Thiat-mo-lek. Pertandingan ini pasti

akan berjalan lebih seru dan menarik. Kalau dalam babak

kesatu dan kedua fihak Se-kiat bakal memperoleh

kemenangan, itu sudah dapat diduga lebih dulu. Tapi untuk

pertandingan babak yang terakhir ini, semua orang tak berani

mengira-kirakan lagi.

Thian-hiong selaku juru bicara telah mengumumkan

dimulaikannya babak ketiga dengan keterangan bahwa

pemenangnya nanti adalah yang berhak menjadi Bengcu.

Seketika suasana dalam gelanggang itu menjadi hening.

Orang-orang dari kedua rombongan yang akan bertempur

itupun sama berkelompok berunding untuk memilih jagonya

masing-masing.

Tampak Thiat-mo-lek mengerutkan alis seperti memikirkan

sesuatu. To Peh-ing yang berada disamping segera berbisik:

“Tidak boleh!”

“Apa yang tidak boleh?” tanya Tian Goan-siu.

“Tidak boleh menyerah padanya!” sahut Peh-ing.

“Mengapa tidak boleh? Bo Se-kiat memiliki kepandaian silat

yang hebat dan kecerdasan otak yang jempol. Bukankah amat

baik sekali jika menyerahkan kedudukan Bengcu padanya?”

kata Thiat-mo-lek.

Kata Peh-ing: “Dia datang dari luar lautan, baru setahun

menginjak bumi Tionggoan sudah lantas mengikat

persahabatan dengan banyak orang gagah. Kuanggap dia

memang bermaksud hendak merebut kedudukan Bengcu ini.”

“Itu kebetulan sekali! Memang aku sebenarnya tak ingin

menjadi Bengcu,” kata Thiat-mo-lek.

“Adalah justru karena sifat-sifat kecerdasannya itu amat

menonjol sekali, jadi sukar orang hendak menduganya. Siapa

tahu ia bakal memimpin saudara-saudara kita kearah mana?

Kuharap kecurigaanku ini tak berlebih-lebihan, tapi

bagaimanapun aku tak dapat menghilangkan kekuatiran

hatiku, ya aku kuatir setelah ia menjadi Bengcu belum tentu

dunia Lok-lim akan berbahagia!” kata Peh-ing.

Dalam kalangan Lok-lim, To Peh-ing itu dijuluki sebagai

Siau-cu-kat atau Cukat Liang kecil. Cukat Liang atau Khong

Bing adalah seorang Kunsu (penasehat militer) yang

cemerlang dalam jaman Sam Kok. Dalam meneliti ucapan Pehing

itu, Thiat-mo-lek seperti merasa ada sesuatu maksud yang

dalam. Maka ia merasa kaget dan lantas tak berani buka suara

lagi.

Shin Thian-hiong seorang lelaki berwatak blak-blakan.

Takut kalau Thiat-mo-lek akan undurkan diri, maka cepat ia

acungkan sepasang kapak terus lari kedalam gelanggang.

“Aku seorang pendukung Thiat-mo-lek. Sekarang dengan

memberanikan diri, aku akan tampil yang pertama. Siapa

diantara saudara-saudara yang akan memberi pelajaran

padaku?”

Sebagai tuan rumah, tampilnya Thian-hiong itu telah

menarik perhatian semua orang. Anggota-anggota kelompok

penyokong Thiat-mo-lek. bangkit semangatnya. Riuh rendah

mereka bertepuk tangan dan berseru membantu moril

jagonya.

Dari fihak Se-kiat, tampak Kay Thian-ho yang maju.

“Ha, ha, Shin-cecu, kita adalah sahabat kental. Selama ini

entah sudah berapa kali kita bertanding minum arak.

Bertanding kepandaian, baru pertama kali ini. Kita sama-sama

mem bantu sahabat. Tentunya sebagai seorang kakak, kau

takkan menyesali adikmu ini, bukan?” kata Thian-ho tertawa.

Thian-hiong tertawa juga: “Baiklah kita anggap

pertandingan ini semacam pertandingan arak saja. Siapa kalah

siapa menang, harus menerimanya dengan gelak tertawa. Jika

kau yang kalah, akan kupersilahkan kau minum tiga puluh

cawan besar!”

Kedua tokoh itu, sama tinggi besarnya, sama jujurnya dan

sama pula kedudukan namanya dalam dunia Lok-lim. Inilah

yang dibilang berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

Para hadirin tidak ada yang pro mana-mana. Mereka

bertepuk memuji Thian-hiong, pun bersorak menyanjung

Thian-ho.

In-nio kerutkan alisnya: “Eh, mereka benar-benar akan

berkelahi?”

“Sudah tentu berkelahi sungguh-sungguh, masakah hanya

bergurau saja? Eh, apakah kau menguatirkan mereka? Takut

orang she Kay yang terluka, atau kuatir orang she Shin yang

bonyok?” tanya Yak-bwe tertawa.

“Mereka adalah sahabat karib, maka tak perlulah aku

menguatirkan. Aku…..ak…..” suara In-nio terputus-putus

waktu akan menentukan pilihannya.

Yak-bwe mengerti, ujarnya: “Oh, kau kuatirkan Bo-toako

dan Thiat-mo-lek. Yang satu kekasihmu, yang satu kenalan

kita yang baik. Kemarin mereka masih bercakap-cakap mesra

sebagai sahabat lama, tak nyana hari ini mereka saling

berebut kedudukan Bengcu. Siapakah yang kau harapkan

akan menang?”

In-nio tundukkan kepala berdiam. Beberapa saat kemudian

baru menyahut: “Entahlah, aku tak tahu. Hm, aku sungguh

tak mengerti mengapa ia tak mau mengalah untuk Thiat-molek?”

In-nio mengindahkan Thiat-mo-lek, ia anggap Thiat-mo-lek

yang lebih tepat menjadi Bengcu. Tapi dalam pada itu, iapun

berharap supaya Se-kiat dapat menundukkan para orang

gagah dan dapat mengangkat nama. Itulah sebabnya ia

kebat-kebit melihat pertandingan antara banteng dan harimau

itu dan hatinya gelisah sendiri.

Tiba-tiba Shin Thian-hiong kedengaran berteriak keras

hingga In-nio sampai tersentak kaget. Ternyata kedua jago itu

sudah bertempur seru dan berteriak-teriak. Tapi pertempuran

mereka itu lebih banyak seperti orang adu tenaga. Thian-ho

menghantam dengan goloknya dan Thian-hiong menangkis

dengan kapaknya. Adu senjata itu telah menimbulkan lengking

dering yang memekakkan telinga.

“Kay-lote, sungguh hebat tenagamu!” seru Thian-hiong.

“Shin-toako, sepasang kapakmu itu berat bukan main!”

Thian-ho balas memuji.

Mereka berdua sama terbahak-bahak. Tiba-tiba mereka

sama menggembor terus berbaku. hantam dengan golok dan

kapak lagi. Mereka itu kawan akrab, tetapi diwaktu berkelahi,

sama-sama tak mengalah. Karena tenaga mereka kuat, maka

gelanggang pertempuran itu sampai terasa bergoncang.

Waktu melayani Wi-tin-ho-sok Ban Liu-tong tadi, karena

jago itu sudah tua, Thian-ho tak banyak mengeluarkan

tenaga. Kini baru ia keluarkan seluruh kekuatannya. Goloknya

berputar menderu-deru. Sedikit saja menyerempet pohon atau

batu, tentu benda-benda itu akan hancur. Anak buah Kim-keTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

nia tahu bagaimana kepandaian Cecunya (Thian-hiong), tapi

tak urung mereka merasa kuatir juga.

Dan ternyata Thian-hiong tak mengecewakan harapan

mereka. Demi untuk kepentingan Thiat-mo-lek, ia bertempur

dengan mati-matian. Sepasang kapaknya itu masing-masing

tak kurang dari 50 kati beratnya. Jadi lebih berat dari golok

Thian-ho. Waktu dimainkan, sepasang kapak itu seperti dua

ekor naga yang tengah berebut mustika. Perbawanya dapat

melekahkan gunung, menghancurkan batu. Juga anak buah

Thian-ho tak terluput dari perasaan kuatir seperti anak buah

Kim-ke-nia. Mereka tahu dan percaya akan kegagahan

Cecunya masing-masing, tetapi tetap merasa kuatir juga.

Saking hebatnya pertempuran itu, para penonton yang

tadinya bersorak memberi semangat, kini makin berkurang

dan akhirnya lenyap sama sekali. Mereka sama menahan

napas. Dahsyatnya pertarungan kedua jago itulah yang

membuat suasana berobah menjadi hening tegang.

“Mereka berdua sama-sama berangasan dan bersahabat

baik. Siapa yang terluka, mereka tentu merasa menyesal

seumur hidup,” demikian semua orang sama membatin.

Sekonyong-konyong keduanya berbareng menggembor

keras. Thian-ho lintangkan goloknya dan trang…..dua buah

logam beradu keras, menghamburkan letikan api. Sepasang

kapak Thian-hiong dan golok Thian-ho sama-sama terpental

keudara. Dan orangnyapun sama-sama terjungkir balik.

Sekalian hadirin terkejut. Beberapa orang sudah cepatcepat

memburu masuk kegelanggang. Ada yang menolong

Thian-hiong ada yang mau mengangkat Thian-ho.

Tiba-tiba kedua orang itu sama menghambur tertawa

gelak-gelak dan hampir bersamaan saatnya mereka samasama

gunakan gerak Le-hi-ta-ing atau ikan lele berjumpalitan,

mereka loncat berdiri.

“Kay-lote, kau memang hebat. Sepasang kapakku itu

sekarang hanya dapat digunakan untuk menebang kayu bakar

saja!” seru Thian-hiong.

“Sama-sama! Golokku itupun nantinya hanya dapat

digunakan untuk memotong sayur saja!” sahut Thian-ho.

Keduanya sama menjemput senjatanya masing-masing.

Sepasang kapak Thian-hiong rompal-rompal, golok Thian-ho

ujungnya juga melingkar. Keduanya sama tertawa kegirangan.

“Bagaimana ini?” seru Thian-hiong. “Kita berdua seperti

pengemis yang kematian ular, sama-sama nihil tak dapat apaapa!”

“Kalau begitu kita bertanding minum arak sajalah!” sahut

Thian-ho.

Karena senjatanya sama-sama terpental jatuh dan

orangnya tak terluka, maka pertandingan itu berakhir seri.

Seorang juri tampil kemuka dan mengumumkan pertandingan

itu seri. Melihat kesudahan pertempuran itu, kedua belah fihak

sama gembira puas.

Baru kedua jago tua itu dengan diantar oleh tepuk sorak

yang riuh meninggalkan gelanggang, tiba-tiba terdengar

gemerincing kelinting kuda. Kuda itu mendatangi dengan

pesat sekali.

“Toan-siauhiap datang!” sekonyong-konyong ada orang

berteriak.

“Hai, ia bersama seorang nona, siapa nona itu?” kata

seorang lain.

Jantung Yak-bwe mendebur keras. Waktu mendongak

mengawasi, memang benar ada dua penunggang kuda berlari

mendatangi. Yang berada dimuka ialah Toan Khik-sia dan

dibelakangnya seorang nona baju merah.

Sesudah melihat terang, sekalian orang gagah sama

bersorak: “Hai, nona Lu, kau datang juga? Mana engkohmu?”

Begitu loncat turun dari kudanya, nona baju merah itu

segera menjura keempat jurusan. Serunya: “Engkohku suruh

aku menyampaikan salam kepada saudara-saudara sekalian.

Dia tak datang.”

Nona itu cantik sekali, tapi gagah juga. Dibawah sorotan

mata dari sekian banyak orang gagah, sedikitpun ia tak

jengah. Sikapnya wajar seperti seorang pemuda.

“Rasanya nona Lu itu tak asing bagiku, tetapi mengapa ia

datang bersama Toan-toako? Entah apakah hanya secara

kebetulan bertemu saja atau memang ajak-ajakan?” demikian

Yak-bwe membatin.

Begitu tiba dihadapan Thian-hiong, Khik-sia lantas memberi

keterangan: “Shin-sioksiok, maafkan aku terlambat datang.

Inilah surat dari Hong-ho-ngo-pa. Dalam menundukkan Hongho-

ngo-pa kali ini, aku banyak mendapat bantuan dari nona

Lu.”

Ia membuka sebuah bungkusan dan menyerahkan lima

buah sampul besar warna merah kepada Thian-hiong.

“Bagus, bagus. Setelah Bengcu yang baru di lantik resmi,

nanti akan kuhaturkan arak pernyataan selamat padamu!”

kata Thian-hiong.

Nona baju merah itupun menghampiri dan berkata: “Shincecu,

hari ini aku menjadi seorang tetamu yang tak diundang,

kiranya Cecu tentu takkan mengusir aku, bukan?”

“Al, mana, mana! Sebenarnya sudah kusisakan surat

undangan kepada kalian kakak beradik, tapi karena tak tahu

alamatnya, jadi sayang tak dapat diterimakan. Harap nona

suka maafkan. Kedatangan nona kemari ini, telah memberi

muka terang kepada kami semua. Barusan saja aku habis

bertempur dengan seorang sahabat karib, jadi rupaku tentu

tak keruan, harap nona jangan menertawakan aku,” kata

Thian-hiong.

Memang Cecu dari gunung Kim-ke-nia itu mukanya kotor

kena lumpur, pakaiannya ada yang koyak. Ya, benar-benar

lucu kelihatannya.

Nona baju merah itu tak dapat menahan gelinya lagi. Ia

mengikik tertawa, sahutnya: “Sayang aku datang terlambat,

tak dapat menyaksikan Cecu main kunthau tadi. Tapi, ah,

janganlah aku mengganggu urusan disini. Silahkan kalian

melanjutkan pertandingan lagi.”

“Toan-hiantit, kebenaran sekali kau datang!” seru To Pehing

seraya menarik tangan pemuda itu kearah fihaknya.

Nona baju merah itu juga ikut berdiri di samping Khik-sia.

Melihat pergaulan mereka yang begitu akrab, hati Yak-bwe

menjadi gundah. Malah ada dua orang tetamu yang berada

didekat situ, saling membicarakan tentang Khik sia dengan

sinona baju merah.

“Adik perempuan dari Sin-cian-chiu Lu Hong-jun itu, jika

dipasangkan dengan putera dari Toan-tayhiap, sungguh

merupakan sejoli yang sebabat sekali!” demikian kata seorang

diantaranya.

Maka sahut orang yang lain: “Tapi puteri dari keluarga Lu

itu tampaknya lebih tua beberapa tahun dari putera keluarga

Toan.”

Kata orang yang pertama tadi: “Apa halangannya?

Bukankah didesa kami banyak mempelai-mempelai

perempuan yang jauh lebih tua dari lakinya?”

Di Tiongkok dulu ada kebiasaan, mengambil menantu

perempuan sejak masih kecil. Orang tua diri fihak lelaki,

mengambil dan memelihara calon menantu bagi puteranya

yang masih kecil. Setelah gadis itu dewasa, barulah dinikahkan

dengan resmi. Ini hampir sama dengan kebiasaan di Indonesia

yang disebut nikah pacul. Bedanya kalau disana calon

menantu perempuan yang dipelihara mertuanya, tapi kalau

disini calon menantu laki yang dipelihara mertuanya.

Lalu ada seorang lagi yang turut bicara;

“Benar, mereka adalah keturunan kaum persilatan. Didunia

persilatan mereka mempunyai kedudukan sebagai ksatryaksatrya

angkatan muda. Keduanya sama-sama rupawan, jika

saling berjajar, wah, sungguh seperti sepasang dewa-dewi.

Jika mereka dapat terangkap menjadi suami-isteri, pasti akan

menjadi buah sanjungan dunia persilatan.”

Hati Yak-bwe makin kecut. Diam-diam ia membatin:

“Menurut ucapan Khik-sia tadi, mereka berdua itu bukan

secara kebetulan bersua dijalan. Malah nona she Lu itu

katanya pernah membantu dia menundukkan Hong-ho-ngopa.

Wah, hubungan mereka tentu sudah mendalam!”

Tiba-tiba In-nio membisiki telinganya: “Pemuda-pemudi

persilatan itu umumnya bergaul secara bebas. Adik yang baik,

jangan pikirkan yang tidak-tidak. Lebih baik kau tutup

telingamu jangan mendengar ocehan mereka.”

“Sedikitpun aku tak gelisah. Jika dia berbalik pikiran,

akupun tak merasa kecewa,” sahut Yak-bwe.

Walaupun sang telinga tak ingin mendengar, namun tak

urung sang hati kepingin mengetahui. Tanpa dapat dicegah

lagi, bertanyalah Yak-bwe kepada orang tadi: “Siapakah

sebenarnya kakak beradik she Lu itu?”

Orang itu tertawa, sahutnya: “Kakak beradik she Lu adalah

bintang-bintang cemerlang dalam kalangan persilatan,

masakah kau tak mengetahui? Mereka menuntut penghidupan

sebagai maling haguna (mulia). Memang jarang sekali mereka

melakukan pekerjaan, tapi sekali turun tangan tentu “ikan

besar” yang ditangkapnya. Hasil yang diperolehnya, tentu

didermakan pada rakyat yang menderita. Mereka benar-benar

layak disebut pendekar-pendekar budiman dan dermawan.

Kedua kakak beradik itu memiliki kepandaian istimewa.

Kakaknya disebut Sin-cian-chiu Lu Hong-jun yang malang,

melintang didaerah selatan-utara dengan sebatang busur

besinya. Didunia persilatan sukar dicari orang kedua yang

dapat memanah begitu tepat seperti dia. Adiknya, Lu Hong-jiu

lebih lihay lagi. Selain ilmu goloknya amat lihay, pun ia

mempunyai kelinting Sip-hun-leng.”

“Apakah Sip-hun-leng itu?” tanya Yak-bwe dengan heran.

Orang itu tertawa: “Sewaktu berjalan bukankah ia

kedengaran bergemerincing seperti suara kelinting?

Pakaiannya itu dipasangi banyak sekali kelinting emas kecilkecil

sebesar jari. Sewaktu bertempur dengan musuh,

kelinting-kelinting itu dapat dipergunakan sebagai senjata

rahasia. Kelinting itu khusus dipakai untuk menghantam jalan

darah berbahaya dari orang. Seratus kali timpuk, seratus kali

kena. Maka banyaklah musuh-musuhnya yang sudah lari

terbirit-birit jika mendengar suara kelintingnya itu. Selain itu,

pun ada lain kegunaannya. Karena orangnya amat cantik dan

jika berjalan berkelintinean seperti diiringi musik, maka

banyaklah orang-orang yang tak mengetahui siapa nona itu,

tentu akan terpikat semangatnya.”

Mendengar orang begitu memuji-muji Lu Hong-jiu, hati

Yak-bwe makin tak tenteram. Pikirnya: “Seperjalanan dengan

nona itu entah apakah Khik-sia tidak akan dipikat

semangatnya, diraih jiwanya?”

“Ah, sudahlah jangan membicarakan Sip-hun-leng lagi.

Lihat saja bagaimana mereka akan mengadu jiwa itu. Hai,

lihatlah, Toan Khik-sia maju kemuka. Baru saja datang, apa ia

sudah lantas mau membantu Thiat-mo-lek memperebutkan

kedudukan Bengcu?” demikian seorang yang berada disebelah

segera menyeletuk tertawa.

Dan begitu berada ditengah gelanggang, Khik-sia lantas

berseru nyaring: “Bo-toako!”

Se-kiat yang dengan sehatnya sudah menyongsong, pun

berteriak keras: “Hai, Toan hiante!”

Kedua jago muda itu segera saling berjabatan tangan dan

tertawa gelak-gelak.

“Begitu mendengar kau datang ke Tionggoan siang-siang

aku lantas ingin menjumpaimu. Apakah leng-siok (pamanmu)

baik-baik saja? Dahulu aku banyak menerima petunjuknya

yang berharga,” kata Khik-sia.

“Pada waktu kembali dari Tionggoan, dalam membicarakan

tentang tokoh-tokoh Bu-lim dewasa ini, pamanku juga tak

putus-putusnya nemuji kau. Beliau masih ingat, pada waktu

itu kau baru berumur 10-an tahun, tapi sudah dapat

digolongkan sebagai salah seorang tunas muda yang paling

menonjol dalam angkatan muda. Beliau amat terkenang

padamu. Begitu datang di Tionggoan aku dititahkan segera

mencarimu. Sayang karena mondar-mandir kian kemari, baru

sekarang aku dapat bertemu muka dengan kau,” sahut Sekiat.

Kata Khik-sia: “Aku sendiripun sayang sekali terlambat

sedikit, tak dapat menikmati pelajaran yang Bo-toako

unjukkan dalam pertempuran tadi.”

Beberapa orang yang sudah kepingin menyaksikan

pertempuran ramai, segera berteriak: “Sekarang masih belum

malam. Omong-omong nanti saja dilanjutkan, sekarang adu

kepandaian dulu agar mata kita dapat terbuka lebih lebar!”

Khik-sia tertawa: “Bo-toako, sebenarnya aku tak berani jual

aksi dihadapanmu. Tapi setelah menerima beberapa petunjuk

dari leng-siok, berselang beberapa tahun kemudian, entah

kemajuanku sampai dimana. Hari ini beruntung aku dapat

berjumpa dengan toako. Jika toako sudi memberi petunjuk,

aku sungguh merasa beruntung sekali.”

“Ah, janganlah Toan-hengte begitu merendah. Memberi

petunjuk, aku mana berani. Sekarang baiklah kita bermainmain

untuk saling menguji kepandaian kita saja!” kata Se-kiat.

Mendengar itu jago tua Hiong Ki-gwan segera menyeletuk

dengan tertawa: “Ah, tak usah kalian berdua saling sungkan.

Ini adalah pertandingan resmi, bukan hanya sekedar saling

menguji kepandaian secara biasa saja. Toan siauhiap mewakili

Thiat-cecu dalam pertandingan kedua. Baiklah, sebelumnya

hendak ku tegaskan lagi, silahkan kalian mengeluarkan

kepandaian sungguh-sungguh.”

“Apa yang diucapkan saudara Hiong Ki-gwan itu memang

benar!” sekalian hadirin sama tertawa memberi komentarnya.

Khik-sia tertawa: “Masakah aku tahu sungkan? Apa yang

kukatakan tadi memang berasal dari lubuk hatiku. Memang

saat ini aku membantu Thiat-mo-lek untuk merebut

kemenangan dan berusaha keras supaya jangan sampai kalah.

Tapi bagaimanapun halnya, aku harus bersedia kalah juga.

Maka akupun hanya dapat mengatakan kepada Bo-toako

untuk meminta petunjuk saja.”

Habis itu ia silangkan pedang ditangan dan berkata: “Botoako,

maafkan aku berlaku kurang ajar akan menyerang lebih

dulu!”

Padahal yang dikata ‘kurang ajar’ itu pada hakekatnya

bersikap menghormat orang. Karena ia dengan Se-kiat itu

sama tingkatannya. Bertempur dengan orang yang sama

tingkatannya, jika menyerang dulu, itu berarti merendahkan

kedudukan diri sendiri dan mengangkat derajat lawan.

Maka bahu Se-kiat sedikit bergerak dan tubuhnya segera

mundur sampai 7-8 langkah. Ia pun sudah lantas melolos

pedang, ujarnya: “Bagus, Hiante, silahkan!”

Dalam pertandingan yang terdahulu, ia tak mau gunakan

senjata. Bahwa kini ia memakai pedang itu berarti

memandang tinggi juga kepada Khik-sia.

Melihat kedua pemuda itu sudah siap akan bertempur, Yakbwe

dan In-nio tumpahkan seluruh perhatiannya. Hati kedua

gadis itu kebat-kebit tak keruan.

Tampak Khik-sia lintangkan pedang didada. Sebelum

bergerak, lebih dulu ia menatap sejenak kepada Se-kiat. Ia

lihat Se-kiat mengambil sikap (kuda-kuda) yang disebut “Bukek-

bap-it-gi”. Sebuah jurus ilmu pedang yang memusatkan

seluruh tenaga dan pikiran menjadi satu. Sepasang tangan

menjulai, mata memandang keujung pedang dan kuda-kuda

kakinya mengapung tegak. Keadaan anak muda itu benarbenar

angker seperti gunung, tenang laksana telaga.

Tergetar hati Khik-sia melihat perbawa lawan, pikirnya:

“Jurus yang diambilnya itu sungguh kokoh sekali, aku harus

mencari siasat untuk membobolkannya.”

Jika kaum Ko-chiu (jago sakti) bertanding, sedikit

kesempatan saja sudah dapat menentukan kalah menangnya.

Kalau dalam jurus pertama tak dapat menguasai

pertandingan, tentu berbalik akan dikuasai lawan. Tapi dasar

muda, maka Khik-sia tak terhindar dari watak ingin menang.

Meskipun ia tahu tak mempunyai modal untuk mengalahkan

Se-kiat, namun ia merasa enggan kalau sampai kalah. Maka ia

amat memperhatikan sekali akan jurus pembukaan dari lawan.

Se-kiat tertawa: “Toan-hengte, mengapa belum

menyerang?”

Khik-sia sudah menetapkan rencana. Tiba-liba ia berseru:

“Lihat pedang!” terus saja ia mulai mainkan pedangnya. Tapi

anehnya, pedang bukan diserangkan langsung ketubuh Se

kiat, melainkan berputar-putar mengelilingi orang. Sinar

pedang berhamburan laksana hujan mencurah. Sepintas

pandang seolah-olah berpuluh-puluh “Khik-sia” menyerang

Se-kiat. Serangan itu sukar dilukiskan kecepatannya. Semua

penonton hanya melihat sinar pedang bergulung-gulung,

sedang bayangan orang ampak sama sekali.

Kiranya Khik-sia menggunakan siasat memakai kelebihan

dirinya untuk menyerang kelemahan lawan. Teringat ia akan

paman Se kiat bernama Bo Jong-long. Pada waktu itu Bo

Jong-long pernah menguji kepandaiannya suheng Khik-sia,

yakni Gong-gong-ji. dari segala kepandaian, Bo Jong-long

lebih unggul. Hanya dalam ilmu ginkang, ia kalah setingkat

dengan Gong-gong-ji.

Khik-sia merasa, dalam ilmu ginkang sekarang ia sudah

hampir menyamai suhengnya. Sebaliknya ia

memperhitungkan, kepandaian Se-kiat itu diperoleh dari

pamannya, sudah tentu tak dapit menyamai benar-benar

dengan sang paman. Maka Khik-sia ambil putusan gunakan

serangan kilat. Ia harap Se-kiat akan menjadi keripuhan.

Tapi tiba-tiba terdengar serentetan suara gemerincing dari

senjata beradu. Se-kiat dengan masih tegak laksana gunung,

setapakpun kakinya tak berkisar, telah dapat menghalau tiga

puluh jurus lebih serangan Khik-sia. Tapi sekalipun begitu

dalam libatan serangan kilat berantai dari Khik-sia itu, Sekiatpun

tak berdaya untuk balas menyerang.

“Ia telah menguasai dengan sempurna ilmu Menghapus

tenaga serangan lawan. Baik, akan kuserbu ia dengan siasat

‘sembilan kali kosong satu kali sungguh’. Dengan pedang

pusaka, masakah ia tak kelabakan,” diam-diam Khik-sia

mengatur rencana.

Kiranya pedang yang berada ditangan Khik-sia itu, adalah

pedang pusaka warisan mendiang ayahnya. Pedang pusaka itu

dapat menabas logam seperti menabas kapuk. Tapi

dikarenakan dalam setiap kali bergerak, Se-kiat selalu dengan

tepatnya dapat menghapus tenaga lawan, maka pedang

pusakanya itupun tak dapat berkembang perbawanya. Coba

kalau tenaganya berimbang atau setidak-tidaknya hanya

terpaut sedikit saja, tentu tenaga “menghapus” itu tak nanti

mempan.

Memang siasat menyerang kilat yang digunakan Khik-sia

tadi, tepat sekali. Tapi karena terlampau cepatnya ia

melontarkan serang begitu merapat lantas mundur, maka

perbawa pedangnya tak dapat menggabungkan kondisi antara

kedahsyatan dengan kecepatan, karena itu mudah dihapus

kekuatannya oleh Se Kiat.

Kini Khik-sia mengganti siasat sembilan kosong, satu kali

sungguh. Gerakannya serba bahkan lebih cepat dari tadi.

Hanya saja dalam kesepuluh kali serangan itu, tak seluruhnya

dilontarkan dengan cepat. Yang sembilan kali serangan

kosong memang dilancarkan cepat. Yang satu kali serangan

sungguh, agak lambat tapi keras. Tapi karena serangan yang

cepat lebih besar jumlahnya, jadi keseluruhannya merupakan

serangan cepat semua.

Dan yang lebih lihay lagi, walaupun serangan kosong, tapi

apabila lawan kelihatan ayal, dapat juga berobah menjadi

serangan sungguh-sungguh.

Dalam ilmu pedang, Se-kiat sudah mempunyai peyakinan

sempurna. Namun menghadapi bertubi-tubi serangan kosong

dari Khik-sia itu, tak urung ia heran juga. Tiba-tiba saat itu

Khik-sia maju merapat dan melancarkan serangan sungguh.

Anginnya menderu keras.

Serangan kali ini, indahnya bukan buatan, hebatnya bukan

kepalang. Sekalian orang gagah yang menyaksikan sampai

terkesiap kaget, In-nio sampai menjerit tertahan dan si

berangasan Kay Thian-hopun berjingkrak keatas.

Dalam detik-detik yang menegangkan urat syaraf itu,

sebelum sekalian penonton melihat jelas, tiba-tiba terdengar

Se-kiat berseru memuji: “Ilmu pedang hebat, sambutlah

serangan ini!”

Dan tampaklah ia kibaskan pedangnya dalam jurus Biauchiu-

te-sing atau tangan indah memetik bintang. Tepat sekali

pedangnya itu sudah dapat melekat pedang pusaka Khik-sia.

Kemudian sekali dipelintirkan kemuka, ujung pedang lantas

mengancam jalan darah Hian-ki-hiat didada Khik-sia.

Waktu melancarkan serangan berisi (sungguh), memakai

tenaga lebih besar, jadi kecepatan serangan Khik-siapun

berkurang. Se-kiat adalah seorang akhli pedang yang

menguasai segala gerak-gerik lawan. Sedikit perobahan dari

gerakan Khik-sia itu tak terluput dari pandangan matanya

yang jeli. Segera ia menguasai kesempatan itu, kecepatan

dilawan dengan kecepatan, menyerang untuk menghalau

serangan,

Perobahan siasat dari bertahan berganti menyerang itu,

datangnya secara tak terduga-duga. Kalau tadi In-nio yang

menjerit tertahan karena Se-kiat terancam, adalah sekarang

giliran Yak-bwe yang berteriak tertahan sebab Khik-sia

terserang.

Sekonyong-konyong Toan Khik-sia bersuit, tubuhnya

mencelat keudara dan serupa dengan Se-kiat tadi, iapun

berseru: “Ilmu pedang hebat, sambutlah serangan ini!”

Bagaikan burung melayang, anak muda itu melampaui

kepala Se-kiat dan dengan jurus Eng-kik-tiang-gong atau

burung elang menghantam udara, laksana selarik pelangi

pedangnya menusuk kebawah.

Se-kiat putar pedangnya melingkar. Dua kali ia berputar

tubuh dan serangan Khik-sia tadi dapat dipecahkan. Detik

demi detik diperebutkan oleh mereka berdua untuk

mendahului menyerang. Bagaimana tegang dan runcingnya

pertempuran itu, sukar dilukiskan. Setiap perobahan situasi,

sukar diduga sama sekali.

Sekalian hadirin hanya melihat gelanggang pertempuran itu

penuh dengan sinar pedang. Sinar pedang yang bentuknya

menyerupai sepasang naga saling berebut mutiara. Mana Sekiat

dan mana Khik-sia sudah tak dapat dibedakan lagi.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba tampak permainan

pedang kedua anak muda itu mulai lambat gerakannya. Bagi

orang yang tajam pendengarannya, akan dapat mendengar

bahwa di dalam deru sambaran pedang itu, juga terdapat

hamburan napas yang bergolak-golak.

Diam-diam Thiat-mo-lek berbisik-bisik kepada To Peh-ing:

“Sebenarnya Khik-sia Hiantit itu masih kurang pengalaman,

tapi ia bernafsu sekali untuk menang.”

Kiranya pertempuran itu berlangsung dengan seimbang.

Masing-masing mengeluarkan keistimewaannya sendiri-sendiri.

Khik-sia menang unggul dalam ilmu ginkang, sedang Se-kiat

menang kuat dalam ilmu lwekang. Dalam babak permulaan,

Khik-sia secara cerdik telah menetapkan rencana

menggunakan kelebihan kepandaiannya untuk menundukkan

kelemahan lawan. Tapi karena siasat itu sampai sekian lama

tak memberi hasil, ia lantas berganti siasat dengan sembilan

kali serangan kosong, satu kali serangan berisi. Berkat

ketajaman pedang pusakanya, memang ia dapat menang

angin sedikit.

Tapi Se-kiat ternyata seorang akhli pedang yang sudah

kenyang pengalaman. Menggunakan kesempatan sewaktu

Khik-sia agak lambat gerakannya, Se-kiat cepat balas

menyerang. Dengan begitu selalu dapat merobah situasi dari

di serang menjadi menyerang. Saat itu, ia salurkan

lwekangnya keujung pedang. Hamburan suara yang bergolakgolak

tadi, ialah berasal dari arus hawa dalam tubuhnya

sewaktu memainkan pedang.

Makin lama permainan pedang Se-kiat makin perlahan.

Pada akhirnya, tampak sepasang matanya memandang lekatlekat

keujung pedang. Seolah-olah pedangnya itu seperti

diganduli benda yang beratnya seribu kati. Lambat-lambat ia

menunjuk ketimur, menggurat kebarat. Jauh sekali

perbedaannya dengan permainannya dalam babak-babak

permulaan tadi.

Namun bagi mata seorahg akhli silat, hal itu sebaliknya

malah lebih dahsyat dari yang tadi.

Khik-sia merasa pedang ceng-hong-kiam lawan beratnya

seperti sebuah gunung. Daya tindihnya makin lama makin

berat sekali. Apa boleh buat, iapun lalu kerahkan lwekangnya

untuk melayani. Kini rencananya semula menjadi buyar

semua. Kelincahan ginkang dan kecepatan permainan

pedangnya, tak dapat digunakan sama sekali.

Tring, tiba-tiba kedengaran suara bergemerincing dan

melengketlah kedua pedang anak muda itu menjadi satu,

diam tak bergerak lagi. Beberapa jenak kemudian, tubuh

kedua anak muda itu tampak menurun sampai separuh

bagian. Astaga, kiranya kaki mereka itu menyusup kedalam

tanah.

Sewaktu sekalian hadirin sama terperanjat, sekonyongkonyong

Thiat-mo-lek loncat ketengah gelanggang dan

berseru: “Sudah, hentikan pertempuran. Pertandingan ini

adalah Bo toako yang menang!”

Trang, berbareng dengan seruan itu, terdengarlah suara

bergemerincing keras. Pedang pusaka Khik-sia mencelat

terlepas dari tangan, sedang ceng-hong-kiam Se-kiatpun

terkutung separuh.

Kiranya pertandingan yang terakhir itu, merupakan

pertandingan adu lwekang. Sudah tentu Se-kiat unggul. Tepat

dikala Thiat-mo-lek loncat sambil berseru tadi, Se-kiat telah

berhasil mencungkil pedang Khik-sia sampai meacelat

keudara. Tapi dikarenakan lwekangnya tak terpaut banyak

sekali dengan Khik-sia dan lagi pedang Khik-sia itu sebuah

pedang pusaka, maka sewaktu Khik-sia mengerahkan lwekang

sekuatnya, segera pedang pusaka itu mengunjuk gigi.

Berbareng pedang Khik-sia terpental, pun pedang Se-kiat

terkutung.

Begitu loncat maju, Thiat-mo-lek segera ulurkan sepasang

tangan untuk menyiak kedua pemuda itu. Dan berbareng itu,

ia membuyarkan tekanan tenaga lwekang masing-masing,

agar jangan ada salah satu yang terluka. Para tokoh-tokoh

yang berkepandaian tinggi dalam kalangan hadirin, sama

memuji tindakan Thiat-mo-lek. Mereka memuji Thiat-mo-lek

sebagai orang yang adil, tidak semata mementingkan

keuntungan fihaknya.

Seperti diketahui, ia dengan Se-kiat itu terhitung fihak yang

berlawanan. Dengan mengakui fihaknya yang kalah,

sebenarnya ia boleh menarik Khik-sia seorang saja.

Apakah Se-kiat terluka atau tidak karena tekanan lwekang

Khik-sia nanti, ia boleh tak usah memperdulikan. Tapi ternyata

ia rela mengambil resiko menerima tekanan lwekang dari

kedua fihak. Tanpa memandang mana kawan mana lawan, ia

perlakukan sama rata. Kedua-duanya ia tarik dengan

berbareng. Kejujurannya itu menimbulkan rasa kagum dan

perindahan dalam hati sekalian hadirin.

Khik-sia memungut pedangnya. Dengan muka kemerahmerahan

ia berkata: “Lwekang Bo toako sungguh hebat sekali.

Dengan tulus hati, aku mengaku kalah!”

Se-kiat tersipu-sipu goyangkan tangan: “Tidak!! kau sudah

mengutungkan pedangku. Sebenarnya akulah yang harus

dianggap kalah!”

“Mana bisa!” bantah Khik-sia. “Aku dapat mengutungkan

pedangmu karena mengandalkan ketajaman pedang

pusakaku. Tapi berkat ilmu kepandaian yang sesungguhnyalah

kau dapat membikin terlepas pedangku. Sudah tentu aku

harus mengaku kalah.”

Mendengar perdebatan saling berebut mengaku kalah itu,

sekalian orang gagah merasa heran tapi kagum.

Maka berkatalah Thiat-pi-kim-to Tang Kiam: “Tadi sewaktu

bertanding, sejengkalpun kalian tak mau saling mengalah.

Sekarang malah rebutan mengaku kalah. Aku sudah hidup

beberapa puluh tahun, tapi baru sekali ini melihat peristiwa

yang begini istimewanya.”

Pecahlah mulut sekalian hadirin dengan gelak tertawa yang

gemuruh.

Jago tua Hiong Ki-gwan yang menjadi juri segera tampil

kemuka: “Ah, sudahlah, jangan kalian berbantah. Menurut

peraturan pertandingan, belum ada ketetapan yang

menyatakan senjata-senjata apa yang tak diperbolehkan di

pakai. Pedang pusakakah atau kapak penebang kayukah,

semua boleh dipakai. Pendek kata yang menang tetap

dianggap menang. Menurut penilaian pertandingan tadi, yang

satu senjatanya terlepas jatuh, yang lain pedangnya kutung.

Terlepasnya pedang Khik-sia memang terjadi lebih dulu, tapi

kerusakan yang diderita pedang Se-kiat itu lebih besar. Karena

kedua belah fihak tak mau melanjutkan bertanding dengan

tangan kosong, maka menurut peraturan, pertandingan ini

hanya dapat dianggap seri.”

Sekalian hadirin menyetujui putusan juri itu. Apa boleh

buat, Se-kiat dan Khik-sia tak mau berbantah lagi, dan

masing-masing saling menyatakan maaf.

Selanjutnya berseru pula Hiong Ki-gwan: “Menurut

peraturan pertandingan, bagi setiap calon Bengcu diharuskan

bertempur satu kali. Babak ketiga ini sudah berlangsung dua

kali pertandingan. Dari fihak Thiat-mo-lek yang maju pada

pertandingan pertama ialah Thian-hiong. Kemudian

pertandingan kedua, yang maju Toan Khik-sia. Maka untuk

pertandingan yang terakhir, haruslah Thiat-mo-lek sendiri

yang tampil. Fihak Bo Se-kiat yang maju untuk pertandingan

pertama ialah Kay Thian-ho. Kemudian pertandingan kedua,

yang maju Se-kiat sendiri. Untuk pertandingan terakhir,

menurut peraturan pertandingan, Se-kiat boleh menyuruh lain

kawannya yang maju, pun boleh juga ia sendiri lagi yang

tampil.”

Juri itu berhenti sejenak, lalu bertanya kepada Se-kiat: “Bosiauhiap,

apakah kau akan maju sendiri atau suruh lain kawan

yang maju?”

Se-kiat memberi hormat kepada Thiat-mo-lek, ujarnya:

“Kepandaian dari Thiat-cecu melebihi lain-lain orang.

Keharuman nama Thiat cecu termasyhur sampai jauh. Dengan

setulus hati aku merasa kagum. Bahwa dapat memperoleh

rejeki seperti saat ini, aku merasa beruntung sekali. Jika tak

menampik, aku hendak mohon pengajaran pada Thiat-cecu.”

“Ahh, kepandaian Bo-heng begitu sakti. Apa yang

kusaksikan tadi benar-benar sesuai dengan kenyataan, sudah

tentu aku tak berani menampiknya. Hanya saja, aku

mempunyai suatu pengharapan. Jika Bo-heng dapat

meluluskan, barulah hatiku merasa tenteram,” kata Thiat-molek.

Sahut Se-kiat: “Apabila Thiat-cecu yang menitahkan, tak

ada alasan bagiku untuk tak mentaati.” .

Sekalian orang gagah yang hadir disitu sama kenal

bagaimana pribadi Thiat-mo-lek yang penuh dengan kebajikan

dan luhur budi. Harapan atau permintaan yang akan diajukan,

tentu takkan bernada merugikan orang dan menguntungkan

diri sendiri. Tetapi sikap Se-kiat yang tak ragu-ragu

menyatakan kesediaannya itupun mendapat pujian tinggi dari

sekalian hadirin.

Serentak berserulah Thiat-mo-lek dengan suara sungguhsungguh:

“Baiklah, sekali seorang ksatria sudah berkata…..”

“Laksana kuda dicambuk berlari cepat!” buru-buru Se-kiat

menyanggapi.

Pada saat itu salah seorang anak buah Se-kiat telah

mengantarkan sebatang pedang ceng-hong-kiam kepadanya.

Maksudnya hencak minta Se-kiat berganti pedang baru karena

pedangnya yang tadi sudah kutung. Tapi karena melihat

pemimpinnya (Se-kiat) sedang berbicara dengan Thiat-mo-lek,

maka orang itupun tak berani mengganggu dan hanya tegak

menunggu disamping saja.

Tiba-tiba Thiat-mo-lek lambaikan tangan kearah Khik-sia:

“Toan-hiante, berikanlah pedangmu itu kepadaku!”.

Orang-orang difihak Se-kiat terkejut. Pikir mereka: “Tidak

sari-sarinya Thiat-mo-lek berbuat begitu. Apakah karena

hendak berebut kedudukan Bengcu, maka ia tak

menghiraukan harga diri lagi? Apakah ia hendak gunakan

pedang pusaka untuk menempur Bo Se-kiat yang sudah

lelah?”

Khik-sia sendiripun tampak ragu-ragu. Tapi terpaksa ia

serahkan pedangnya juga. Setelah menerima pedang,

berkatalah Thiat-mo-lek dengan tenang: “Bo-heng, harap

maafkan atas kelancanganku ini. Harap kau sudi memakai

pokiam ini!”

“Apa artinya ini? Kau, kau…..” sahut Se kiat dengan

tergagap-gagap.

Thiat-mo-lek cepat menyela: “Harap Bo-heng jangan salah

faham. Sekali-kali aku tak bermaksud memandang rendah Boheng.

Kau tadi sudah bertanding melawan Khik-sia, ini berarti

aku mendapat kemurahan. Dengan berganti pakai pokiam,

barulah pertandingan ini akan menjadi adil!”

Sekarang barulah orang-Orang difihak Se-kiat mengerti

maksud Thiat-mo-lek. Mereka merasa malu sendiri, malu

karena mengukur pribadi seorang ksatria dengan ukuran

seorang siaujin (manusia rendah).

Se-kiat tertawa gelak-gelak: “Terima kasih atas kebaikan

Thiat-cecu. Tapi maafkan, aku tak dapat menerimanya.”

Ia sengaja hendak pamerkan lwekangnya. Maka ketawanya

itu tergemerontang seperti patu logam berbentur.

Kumandangnya jauh sampai menjurus kelembah. Dengan

ketawa itu, Se-kiat hendak mengunjukkan bahwa ia masih

mempunyai tenaga cukup untuk melayani Thiat-mo-lek, tak,

memerlukan suatu senjata apapun lagi.

Benar juga, kelihayan anak muda itu telah mengejutkan

seluruh hadirin.

Thiat-mo-lek sendiri tetap tenang. Dengan tersenyum ia

berkata: “Kita kaum persilatan, selalu pegang teguh akan

setiap patah ucapan, masakah kita mau ingkar?”

Tampak Se-kiat kerutkan dahi. Setelah bersangsi sebentar,

dengan enggannya terpaksa ia menyambuti pedang dari Thiatmo-

lek itu. Dalam detik-detik, batinnya mengalami

pertentangan-pertentangan.

Pertama ia membatin: “Sifat kesatri dari Thiat-mo-lek ini

amat menonjol sekali, menawan hati orang. Lebih baik aku

mengalah, menyerahkan kedudukan Bengcu kepadanya.”

Tetapi bisikan hatinya yang lain lagi menentang: “Dari

ribuan li aku datang kemari, apakah tujuanku? Seorang lelaki

sejati yang mencita-citakan usaha besar, masakah goyah

pendirian karena urusan kecil?”

Baru ia merenung begitu, tiba-tiba Thiat-mo-lek sudah

mulai mempersilahkannya: “Bo heng adalah seorang tetamu

dari jauh. Harap mulai menyerang dulu!”

Kening Se-kiat mengerut. Ia sudah mengambil ketetapan.

Segera ia mengucapkan maafkanlah, dan terus ayun

pedangnya menyerang. Waktu Thiat-mo-lek lintangkan

pedang menangkis. Se-kiat memburunya lagi dengan tiga

buah serangan berantai. Begitu menyerang lantas mundur,

lalu maju merapat lagi dan mundur pula.

Thiat-mo-lek juga seorang jago kawakan. Ia tahu gerakan

anak muda itu dimaksudkan untuk mengalah sampai tiga

jurus. Hal itu selaku pernyataan terima kasih atas budi

pinjaman pedang pusaka tadi.

“Harap Bo-heng jangan sungkan-sungkan,” katanya.

Dengan jurus Tia-soh-heng-kang atau rantai besi melintang

sungai ia halau pedang Se-kiat keluar dari pertahanannya.

Jurus itu mengandung dua gaya, menyerang dan bertahan.

Memiliki gerak lanjutan yang membahayakan lawan. Jika Sekiat

masih main sungkan tak mau menyerang sungguhsungguh,

ia tentu bakal terjirat dalam kedudukan sulit.

Se-kiat mengerti bahwa ia dipaksa lawan supaya

menyerang sungguh-sungguh. Ya, apa boleh buat. Ia segera

gunakan jurus pek-hong-koan-jit atau bianglala putih

menyilang matahari. Pedangnya menerobos masuk kedalam

lingkaran pertahanan Thiat-mo-lek. Perbawa jurus pek-hongkoan-

jit itu dahsyat sekali. Menusuk keatas dan memapas

kebawah. Pedang pusaka milik Toan Khik-sia itu, kali ini

benar-benar dapat kesempatan untuk mengembangkan

perbawanya.

“Bagus!” saking kagumnya Thiat-mo-lek sampai berseru

memuji. Tapi iapun tak berani berayal. Tiba-tiba pedangnya

diputar melingkar seperti gaya gerakan golok besar. Kemudian

baru melancarkan sebuah tabasan. Tapi tebasan itu bergaya

istimewa sekali, lain dari yang lain. Ujung pedang dari bawah

melilit keatas lalu dijungkirkan untuk memapas lengan kanan

Se-kiat. Ilmu permainan itu adalah buah ciptaan Thiat-mo-lek

sendiri yang mengkombinasikan kelincahan ilmu pedang

dengan kedahsyatan ilmu golok. Hebatnya bukan kepalang.

Sudah tentu Se-kiat tak kenal akan permainan itu. Hanya

dalam meninjau kedahsyatan serangan lawan itu, diam-diam

ia membatin: “Jelas ia mengetahui aku memakai pedang

pusaka, tapi mengapa ia sengaja mau main bentur?”

Trang, baru menimang begitu, sudah terdengar suara

senjata beradu. Dan melengketlah kedua pedang itu. Tapi

pada saat itu tahu-tahu Thiat-mo-lek sudah balikkan

punggung pedang untuk hantam pedang lawan sekeraskerasnya.

Begitu hebat, tekanan tenaga yang dilontarkan

Thiat-mo-lek, hingga pedang Se-kiat menjadi condong,

tangannyapun terasa sakit sekali. Betapa ia hendak gunakan

ilmu menghapus, namun hanya dapat menghapus tiga bagian

tenaga lawan saja.

Kini barulah Se-kiat insyaf akan tenaga Thiat-mo-lek yang

luar biasa kuatnya itu. Itulah sebabnya maka Thiat-mo-lek tak

gentar menghadapi pedang pusaka.

Thiat-mo-lekpun tak kurang kagetnya. Bahwa hantamannya

tadi tak mampu membuat pedang sianak muda terlepas jatuh,

telah menimbulkan rasa kekaguman. Perlu dikemukakan di

sini, bahwa Thiat-mo-lek itu memang dilahirkan sebagai anak

lelaki yang memiliki tenaga luar biasa. Kemudian diperhebat

pula dengan latihan ilmu silat yang tinggi. Kini ia sudah

menginjak usia setengah umur, sudah tentu kepandaiaanya

makin sempurna. Bagaimana dahsyat permainan pedangnya

dapat dibayangkan. Jika Se-kiat diganti lain orang, tentu

sudah tak kuat menahan gempurannya tadi.

Se-kiat baru berumur 20 tahun lebih. Ia tak memiliki tenaga

pembawaan yang sakti. Dapat menerima gempuran Thiat-molek

itu saja sudah cukup membuktikan sampai dimana

kesempurnaan Iwekangnya. Nyata dalam ilmu lwekang ia tak

dibawah Thiat-mo-lek.

Berbicara tentang pedang pusaka atau pokiam, memang

pokiam Khik-sia yang dipakai Se-kiat itu tajamnya bukan

buatan. Tapi pedang itu tak dapat menabas benda jika tak

digerakkan oleh tangan pemakainya. Apalagi untuk

mengutungkan pedang Thiat-mo-lek, sungguh tidak mudah.

Karena ditangan Thiat-mo-lek, pedangnya itu berobah menjadi

sebuah benda yang amat berat sekali. Jika hendak

memapasnya, Se-kiat harus mengerahkan segenap

lwekangnya. Dan hal itu tak cukup dengan sekali dua kali

tekan saja melainkan harus dilakukan beberapa kali pada

posisi yang berbeda-beda.

Tapi dikuatirkan sebelum pedang Thiat-mo-lek dapat

ditabasnya kutung, pedangnya sendiri sudah akan terpukul

jatuh oleh gempuran tenaga lawan yang maha kuat itu. Kini

berputar-putarlah anak muda itu memainkan pedangnya

kekanan kiri. Gerakannya amat aneh dan berbahaya. Jurus

apa yang digunakan itu, sukar diketahui. Tapi yang nyata, ia

selalu menjaga jangan sampai berbenturan dengan pedang

Thiat-mo-lek. Rupanya ia hendak mencari lubang yang lemah

dari pertahanan orang.

Tujuh kali serangan pedang ia lontarkan berturut-turut.

Saking gencarnya permainan pedang anak muda itu, sekalian

penonton sampai berkunang-kunang matanya.

Thiat-mo-lek mengambil posisi menurut perhitungan kiukiong-

pak-kwa untuk menghadang serangan sianak muda.

Satu demi satu dapatlah ia memecahkan ketujuh serangan Sekiat.

Sekonyong-konyong Thiat-mo-lek menggembor keras dan

menusuk dengan cepat sekali.

Anginnya sampai menderu-deru. Jurus itu disebut toa-mohko-

yan-tit atau asap membubung dipadang pasir. Sebenarnya

hanya jurus ilmu pedang yang biasa saja, tapi ditangan Thiatmo-

lek, jurus itu hebatnya tak terkira. Beberapa penonton

yang berada didekat gelanggang itu, sampai menggigil dingin

karena mukanya tersambar angin pedang itu.

Se-kiat putar tubuhnya dan putar pedangnya melingkar

bundar. Gerakan itu tepat sekali dapat mengurung pedang

lawan. Tring, tring, kembali pedang mereka beradu dan cepat

sekali pedang itu berpisah lagi. Pedang Thiat-mo-lek berhias

sebuah rompalan, sebaliknya Se-kiat tersurut mundur

beberapa langkah.

Jurus yang digunakan Se-kiat itu disebut Tiang-ho-lok-jitwan

atau matahari terbenam disungai Tiang-ho. Dengan jurus

toa-moh-ko-yan-tit yang dipakai Thiat-mo-lek itu merupakan

dua jurus ilmu pedang Kun-lin-kiam-hoa. Pertarungan kedua

jago tadi, sepintas pandang tampaknya seperti dua orang

saudara seperguruan saling berlatih. Tapi gerak keindahannya,

inti kekerasan dan kelemasan dari ilmu pedang, rahasiarahasia

ilmu melepaskan diri dan mematikan lawan, semuanya

telah tercakup dalam kedua permainan tadi. Nyata kedua

jurus itu telah diperkembangkan secara sempurna oleh kedua

jago tersebut.

Kalau ditengah gelanggang kedua jago itu telah

menumplakkan seluruh kemampuannya, adalah para hadirin

yang menyaksikan disekeliling gelanggang itu yang menjadi

tegang. Wajah mereka sebentar pucat sebentar merah, napas

naik turun tak berketentuan. Setelah kedua jago itu saling

pencar, sekalian orang gagah itu sama berpandangan satu

sama lain sendiri. Tokoh-tokoh kelas satu atau yang disebut

ko-chiu, saat itu merasa dirinya kecil. Mereka mengakui

kepandaiannya masih jauh terpautnya dengan kedua jago

yang bertanding itu. Dan ketegangan suasana yang

menyesakkan napas sekalian penonton itu kemudian telah

dipecahkan dengan sorak sorai yang menggemparkan.

Kalau dalam babak pertempuran Se-kiat lawan Khik-sia

tadi, para hadirin sudah sama leletkan lidah, adalah kini sama

sekali mereka tak menyangka bakal menyaksikan suatu

pertempuran yang lebih tinggi lagi mutunya.

Memang tampaknya pertempuran itu tak sehebat

pertandingan Se-kiat lawan Khik-sia tadi. Tapi bagi mata

seorang akhli, pertandingan Se-kiat lawan Thiat-mo-lek

sekarang inilah baru tepat disebut pertandingan ilmu pedang

yang sesungguhnya. Tadi Khik-sia mengkombinasikan ilmu

ginkang dengan ilmu pedang, maka gayanyapun berjenis

ragam dan dilakukan serba cepat. Bagi pandangan mata

sudah tentu cara bertempur seperti itu menyenangkan sekali.

Tapi dalam hal keindahan ilmu pedang, kalah dengan partai

yang terakhir ini.

Thiat-mo-lek kembangkan lagi permainan pedangnya. Kali

ini lebih menghebat. Cepat dan dahsyatnya seperti harimau

mengamuk, tapi tenang dan kokohnya bagai gunung. Setiap

jurus yang digunakan selalu ilmu pedang ‘terang’, tak mau ia

memakai jurus-jurus aneh dan berbahaya untuk nyelonong

menyerang ke bagian lemah dari lawan.

Sekalipun begitu karena setiap jurus itu mengandung

perbawa yang dahsyat, lawanpun menjadi gentar juga.

Untuk menghadapi kekerasan lawan, Se-kiat gunakan inti

‘kelemasan menundukkan kekerasan’ dari ilmu pedang. Baik

gerak tubuh maupun permainan pedangnya, semua ringan

bagaikan air mengalir atau awan bertebaran diudara. Kedua

jago itu yang satu gagah perkasa, yang lain lemah gemulai.

Keduanya sama-sama menguasai pokok-pokok sari

keindahan dari ilmu pedang.

Sampai detik itu pertempuran sudah berlangsung setengah

jam, namun masih belum ada yang kalah atau menang. Para

jago-jago pedang dalam kalangan hadirin itu sama terpesona

seperti orang dimabuk arak. Sementara sebagian besar dari

hadirin, karena pertandingan itu merupakan babak final untuk

menetapkan Bengcu, mereka sama tegang urat syarafnya.

Pendukung-pendukung Thiat-mo-lek dan penunjangpenunjang

Se-kiat, sama sibuk keripuhan sendiri. Mereka

kebanyakan tak mengerti ilmu pedang, maka apabila ada

salah seorang jago yang terdesak, reaksinya tentu disambut

dengan kegirangan atau kecemasan oleh kaum

pendukungnya.

Disamping itu ada lain golongan yang tidak pro sana-sini

alias netral, mereka saling bertaruh. Ada yang memegang Sekiat

dan ada yang memegang Thiat-mo-lek. Mereka pun tak

kalah berisiknya sewaktu bersorak-sorak dan berteriak-teriak

mendorong semangat jagonya masing-masing.

Walaupun lagi bertempur, namun Thiat-mo-lek tetap

pasang mata dan telinga akan keadaan disekitar. gelanggang

itu. Jelas dilihatnya, apabila ia menang angin maka fihak Li

Thian-go dan kawan-kawannya sama berjingkrak-jingkrak

marah. Sebaliknya golongan Kay Thian-ho dan kawankawannya

tampak bermuram durja.

Walaupun tangan Thiat-mo-lek tak pernah berayal untuk

menghalau serangan dan memecahkan tipu lawan, namun

batinnya bergolak-golak. Pikirnya: “Ucapan Han Wi tadi

memang benar. Aku adalah anak angkat keluarga Tou.

Perselisihan antara kedua keluarga Ong dan Tou itu sudah

berjalan hampir seabad. Sekalipun Ong Pek-thong sudah

meninggal dan puterinya sudah menyatakan suka menghapus

dendam keluarganya, tapi anak buah Ong Pek-thong masih

banyak sekali. Belum tentu mereka mau taat padaku. Ditilik

dari gerak-gerik Li Thian-go dan kawan-kawannya itu terang

mereka itu tak suka aku menjadi Bengcu. Taruh kata aku

menjabat Bengcu dan kuperlakukan mereka dengan sama

rata, mungkin mereka akan berbalik pikiran. Tapi hal itu

urusan dibelakang hari, yang nyata pada waktu sekarang ini

mereka mempunyai hati menentang lebih dulu. Kalau begitu,

kedudukan Bengcu tak ada manfaatnya bagiku, bahkan dapat

meretakkan persatuan.”

Kemudian pikirnya lebih jauh: “Shin-toako dan To-sioksiok

menasehati supaya aku merebut kedudukan Bengcu,

maksudnya tak lain tak bukan ialah mengharap aku dapat

mendamaikan silang-sengketa didunia Lok-lim. Dengan ada

satu pimpinan, masalah rebutan daerah operasi dan barang

rampasan tentu akan berkurang. Selain itu, sebagai Bengcu ia

berhak untuk memberi komando agar anggota-anggota di

daerah-daerah suka saling bantu membantu, kemudian

dipersatukan untuk melawan tentara negeri. Memang maksud

tujuan kedua orang mempunyai kewibawaan untuk

menyelesaikan persengketaan-persengketaan itu, maka tak

berguna aku ikut bercokol menjadi raja gunung dan

menentang kerajaan. Ah, mengapa saat ini aku ngotot hendak

merebut kedudukan Bengcu? Mengapa aku tak mengalah

saja?”

Baru Thiat-mo-lek menimang sampai disitu, Se-kiat kembali

melancarkan 7-8 kali serangan berantai. Serangan-serangan

itu hebat dan indah sekali. Meskipun Thiat-mo-lek dapat

menghalaunya satu demi satu, namun tak urung hatinya

merasa kagum juga. Kembali pikirannya melayang: “Bo Se-kiat

ini selain berkepandaian tinggi, pun selama berkelana didunia

persilatan ia selalu dapat menundukkan orang dengan

bijaksana. Perilakunya itu dapat digolongkan sebagai ksatria

yang berbudi luhur. To-sioksiok kuatir anak itu mempunyai

hati serong. Kuatir bila dia menjadi Bengcu akan membawa

kawan-kawan Lok-lim kejalan yang nyeleweng. Memang hal

itu pantas menjadi pemikiran. Tapi apakah benar dia akan

berbuat begitu, itulah kelak baru dapat diketahui. Andaikata

kemudian hari negara terjadi kekalutan, dan anak muda itu

benar-benar mempunyai ambisi untuk menjadi raja, itupun

apa salahnya?”

Lalu ia berpikir pula: “Sekarang banyaklah orang yang

mendukung Bo Se-kiat. Memang kalau dihitung jumlahnya,

pendukungku tetap lebih besar dari dia. Tapi Li Thian-go dan

kawan-kawannya itu adalah pengikut-pengikut setia dari Ong

Pek-thong. Kalau disuruh memilih antara aku dengan Se-kiat,

sudah tentu mereka akan memilih Bo Se-kiat. Setelah ia

menjadi Bengcu, aku akan dapat mengusahakan supaya

pengikut-pengikut Ong Pek-thong dan anak buah Kim-ke-nia

taat padanya. Tapi jika aku yang menjadi Bengcu, tentu tak

ada orang yang akan membantu aku supaya kawan-kawan

Lok-lim itu tunduk padaku. Ditilik dari sudut ini, untuk ruginya

sudah jelas. Demi untuk persatuan, demi pergerakan,

mengapa aku tak memberikan kedudukan Bengcu kepada Bo

Se-kiat saja?”

Berpikir begitu, makin mantaplah keputusannya. Tepat

pada saat itu Se-kiat gunakan jurus pang-pok-kiu-siau.

Tubuhnya melambung keudara lalu melayang turun sambil

menusuk. Setelah mempunyai ketetapan untuk mengalah,

maka Thiat-mo-lek sengaja luruskan pedangnya kemuka purapura

menangkis. Bret, tahu-tahu lengan bajunya robek karena

terpapas secabik oleh pedang Se-kiat.

Cepat jago budiman itu loncat keluar gelanggang. Begitu

pedang disarungkan ia segera mengangkat kedua tangannya

memberi hormat.

Serunya dengan lantang: “Bo-hengte benar-benar sakti,

aku mengaku kalah. Selamat kuhaturkan kepada Bo-hengte

sebagai Bengcu baru. Aku siorang she Thiat rela menjadi

pengiringmu saja!”

Ucapan Thiat-mo-lek itu seperti bunyi halilintar disiang

bolong. Saking kagetnya akan kejadian yang tak disangkasangka

itu, sekalian hadirin menjadi bungkam semua.

Siapapun tak percaya bahwa Thiat-mo-lek secara tiba-tiba

dikalahkan Se-kiat. Dan pula hanya terpapas secabik lengan

bajunya, masakah begitu mudah sudah mengaku kalah.

Se-kiat sendiripun merasa heran. Tadi dikarenakan

serangan Se-kiat itu memang luar biasa bagusnya dan tipu

daya Thiat-mo-lek untuk berpura-pura kalah itu, pun teramat

indahnya, maka tiada seorangpun yang mengetahui siasatnya

itu. Bahkan Se-kiat sendiripun kena dikelabuhi. Ia mengira

bahwa secara beruntung sekali dapat mengalahkan lawan.

“Jurus peng-pok-kiu-siau yang kugunakan tadi, adalah

jurus yang mengandung resiko besar. Jika ia gunakan gerak

ki-hwt-liau-thian (mengangkat api menyuluh langit), karena

tubuhku mengapung diudara aku tentu sukar menghindar.

Kesalahannya tadi ialah ia tak seharusnya menjulurkan pedang

lurus kemuka. Ah, menilik ilmu pedangnya yang amat sakti itu,

mengapa tiba-tiba ia bisa berbuat kekeliruan? Apakah

memang diriku sudah diberkahi untuk menjadi Bengcu hingga

dalam saat-saat yang genting itu lawan berbuat kesalahan?”

Demikian Se-kiat mengadakan analisa dalam hatinya. Hal

itu disebabkan karena ia tahu bahwa serupa dengan dirinya

sendiri, tadi tampaknya Thiat-mo-lek itu amat bernafsu sekali

untuk merebut kedudukan Bengcu. Sudah tentu ia tak

mengetahui, kalau Thiat-mo-lek itu memang sengaja

mengambil putusan untuk mengalah.

-o0odwo0o-

Jilid VI

SETELAH tersadar dari termenungnya, sekalian orang

gagah sama membatin: “Ya, dari kedudukannya itu, jika

karena kealpaan kecil sampai menyebabkan kekalahannya,

sudah tentu Thiat Mo Lek sungkan untuk melanjutkan

pertempuran. Sebagai seorang ksatrya ia tentu mengaku

kalah.”

Lama sekali para orang gagah itu sama merasa gegetun

atas kekalahan Thiat Mo Lek.

Malah ada juga yang penasaran, mengapa Thiat Mo Lek

sampai gunakan jurus yang begitu tololnya. Tapi apa boleh

buat, nasi sudah jadi bubur. Thiat Mo Lek sudah mengaku

kalah dan pengangkatan Se Kiat menjadi Beng cu itu sudah

pasti.

Suasana sunyi yang meliputi gelanggang pertempuran itu,

tiba-tiba dipecahkan oleh hiruk pikuk dan sorak sorai yang

gempar. Rombongan Kay Thian Ho dan rombongan Li Thian

Go sama berbondong-bondong datang memberi selamat

kepada Se Kiat. Fihak rombongan Kim ke Nia walaupun

masgul, tapi atas dorongan dari Thiat Mo Lek, pun maju untuk

memberi selamat kepada anak muda itu.

Melihat itu, diam-diam Thiat Mo Lek bergirang dalam hati.

Pikirnya: “Pengalahanku itu ternyata tepat. Jika aku yang

menjadi Bengcu, tak mungkin segenap hadirin akan memberi

selamat dengan tulus hati sebagaimana sekarang terhadap Se

Kiat.”

Toan Khik Siapun tak ketinggalan maju memberi selamat.

Se Kiat segera mengembalikan pokiam kepadanya sambil

menghaturkan terima kasih. Kemudian Bengcu baru itu

berkata: “Toan-hiante, ada dua orang sahabatmu juga datang

kemari. Apakah kau sudah menjumpai mereka?”

“Belum. Tapi entah sahabat yang mana?” Khik Sia balas

bertanya.

Berbareng dengan kata-katanya itu, Ang-ih-li-hiap Lu Hong

Jiu ikut pada Shin Thian Hiong datang memberi selamat

kepada Se Kiat. Memandang sejenak kepada nona baju merah

itu, tiba-tiba terkilas sesuatu dalam hati Se Kiat.

“Sungguh tak kunyana sama sekali bahwa aku bisa berhasil

menjadi Bengcu. Dan sekalian kawan-kawan sama memberi

dukungan. Mereka begitu hiruk pikuk kacau. Entah dimanakah

kedua sahabatmu tadi? Tapi jangan gelisah, sebentar mereka

berdua tentu akan mencarimu juga!” kata Se Kiat kemudian

kepada Khik Sia.

Disana Yak Bwe sedang berbisik psrlahan-lahan kepada In

Nio: “Cici In, kiong-hi, kiong-hi!”

Kiong-hi artinya memberi selamat. Sudah tentu muka In

Nio menjadi merah dibuatnya, Ia berseru: “Kiong-hi untuk

apa?”

“Si ‘dia’ telah menjadi Bengcu tanpa merusak perhubungan

dengan Thiat-sioksiok. Apakah ini tak layak kuberi kiong-hi?”

sahut Yak Bwe.

“Kiong-hi, kiong-hi juga kepadamu!” In Nio balas

menghaturkan selamat.

“Apa yang kau kiong-hikan itu?” tanya Yak Bwe dengan

keheranan.

“Kiong-hi untuk pergabungan kalian berdua pada hari ini.

Itu lihatlah, ‘dia’mu juga sedang memberi selamat pada Se

Kiat. Mengapa kau tak lekas-lekas menjumpai dia kesana?”

kata In Nio.

Tapi waktu Yak Bwe arahkan matanya kesana, dilihatnya

sinona baju merah tengah berdiri merapat pada Khik Sia. Yak

Bwe segera, jebikan bibir dengan marahnya.

“Aku tak sudi kesana!” serunya dengan banting-banting

kaki.

In Nio tertawa: “Kau adalah tunangannya yang sah, yang

resmi, mengapa takut pada nona itu?”

“Siapa bilang aku takut padanya!” Yak Bwe menggeram.

“Habis mengapa kau tak berani menemui dia?” kata In Nio

dengan setengah mengejek setengah membakar hatinya.

Benar juga Yak Bwe kena dibikin panas hatinya. Ia biarkan

saja ditarik berjalan oleh In Nio.

“Nona Lu itu berhati lapang, ramah terhadap orang. Belum

tentu ia mempunyai ‘apa-apa’ dengan Khik Sia. Harap kau

jangan terburu ngambek dulu,” kata In Nio pula sambil

tertawa.

Saat itu ditengih gelanggang sudah ramai sekali. Penuh

dengan orang yang mondar mandir kian kemari mengelilingi

Se Kiat. Belum In Nio dan Yak Bwe berhasil mendekati

ketempat Se Kiat, tiba-tiba terdengar ada orang berseru: “Hai,

cuaca begini cerah, dilangit tiada awan sama sekali, mengapa

mendadak ada suara guntur?”

Kedua nona itu turut mendengarkan. Benar juga lapat-lapat

seperti ada guntur menggelegar.

“Tidak, itu bukan suara guntur tapi seperti bunyi genderang

tentara negeri!” tiba-tiba Hiong Ki Gwan, jago tua yang

menjadi juri dalam pertandingan babak terakhir tadi

menyeletuk. Dia seorang veteran (jago kawak) yang kenyang

dengan pengalaman bertempur melawan tentara negeri.

Baru saja ia berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara

dentuman keras. Segempal asap yang berwarna hitam kebirubiruan

melayang keudara. Datangnya bola asap itu dari kaki

gunung. Itulah Coa Yam Cian atau panah ular. Api yang

dilepas oleh kawanan liaulo (anak buah) dari gunung Kim Ke

Nia. Coa Yam Cian itu diperuntukkan memberi tanda jika ada

bahaya datang.

Selagi sekalian orang menduga-duga, dua orang thaubak

(kepala liaulo) berlari-lari datang sambil melambai-lambaikan

bendera merah.

“Celaka, pasukan tentara negeri menyerbu kemari!” teriak

mereka.

Seketika gemparlah orang-orang gagah digelanggang itu.

Mereka sama mengertek gigi dengan marah. Disana sini

segera terdengar orang memaki-maki.

“Tentu ada pengkhianat yang membocorkan tentang rapat

kita ini!” seru seorang.

“Jahanam, mereka hendak mengadakan razia untuk

menangkap kita!” ada seorang lain yang mendamprat.

“Bagus, kebetulan sekali mereka datang! Kita cincang

mereka sampai hancur lebur untuk selamatan hari

pengangkatan Bengcu kita!” terang lagi dengan gagahnya.

Se Kiat segera meredakan mereka: “Harap saudara-saudara

jangan panik. Kita lihat dulu keadaan mereka, baru nanti kita

atur perlawanan!”

Sementara itu genderang berbunyi memecah angkasa.

Bendera berkibar-kibar seperti lautan pelangi. Tentara negeri

bagaikan air bah sudah menyerbu datang. Se Kiat dan Thiat

Mo Lek memperhatikan dengan seksama. Tentara yang

datang itu ternyata bukan serdadu biasa. Mereka sama

mengenakan baju perang yang lengkap. Garang dan tegaptegap

tampaknya. Jelas mereka itu terdiri dari empat buah

pasukan. Mereka melakukan penyerangan dalam formasi

mengurung bersama. Pasukan mereka amat rapi,

bergelombang datangnya, tapi tidak kacau. Pimpinannya tentu

seorang yang mempunyai bakat tay-ciang (jenderal)

cemerlang.

Sekalian orang gagah yang berkumpul diatas gunung Kim

Ke Nia itu memang rata-rata mempunyai kepandaian silat

tinggi, pun sudah beberapa kali bertempur dengan tentara

negeri. Tapi rasanya mereka belum pernah menghadapi

gelombang serangan dari pasukan tentara negeri yang begitu

besar jumlahnya dan bagus disiplinnya. Walaupun ada

beberapa orang yang masih gembar-gembor mencaci maki,

tapi diam-diam mereka itu sebenarnya gentar juga.

“Kawan-kawan yang hadir sekarang benar gagah berani,

tapi mereka hanya mengandalkan keberanian saja.

Kebanyakan belum pernah mendapat pelatihan kemiliteran.

Dikuatirkan sukar menghadapi serangan tentara negeri seperti

kali ini,” diam-diam Se Kiat membuat aaalisa dalam hati.

Baru ia membayangkan hal itu, tentara negeri sudah makin

maju. Kini mereka sudah berhasil mencapai setengah bagian

gunung. Thiat Mo Lek terbeliak kaget.

Pasukan yang datang dari sebelah utara-dan selatan itu,

yang satu membawa bendera bertuliskan huruf “Cin” dan yang

lain membawa bendera berhuruf “Ut-ti”. Nyata kedua pasukan

itu adalah pasukan Gi Lim Kun (istana) yang dipimpin oleh Cin

Siang dan Ut-ti Pak.

Diam-diam Thiat Mo Lek mengeluh. Dahulu sewaktu ia

masih bekerja sebagai Wi-su (pengawal istana), ia bersahabat

baik sekali dengan Ut-ti Pak dan Cin Siang. Siapa nyana kini ia

harus berhadapan dengan mereka sebagai musuh.

Se Kiat kerutkan alis. Ujarnya kepada Thiat Mo Lek: “Ah,

ternyata mereka itu adalah pasukan Gi Lim Kun dari Tiang An.

Menilik gerakan mereka yang sedemikian besarnya itu,

Pastilah ada pengkhianat yang membocorkan pertemuan kita

kepada fihak kerajaan.”

Anak muda itu berhenti sejenak lalu menyambung pula:

“Karena musuh dipersiapkan rapi, menurut pendapatku lebih

baik kita mundur saja. Meskipun dengan berbuat begitu kita

akan korbankan markas Shin-toako disini, tetapi kekuatan

induk kita masih dapat diselamatkan. Setelah nanti kekuatan

kita tersusun kuat, kita akan gempur mereka lagi.

Bagaimanakah pendapat Toako?”

Thiat Mo Lek juga mempunyai pikiran begitu. Ia

menyatakan persetujuannya. Tapi belum kata-katanya selesai,

pasukan musuh dari arah timur dan barat sudah menyerbu

datang. Pasukan dari sebelah timur itu bukan pasukan Gi Lim

Kun. Pemimpinnya seorang tua yang berwajah merah, itulah

Yo Bok Lo, musuh besar dari Thiat Mo Lek. Ayah Thiat Mo Lek

di bunuh oleh orang she Yo itu. Sementara pemimpin pasukan

dari sebelah barat adalth Gou Beng Yang, Thong-Jeng atau

pemimpin pasukan Gwe Thok Lam dan Tian Seng Su.

Jika bertemu musuh besar, orang tentu menjadi beringas.

Walaupun setuju untuk mundur, namun begitu melihat Yo Bok

Lo. Thiat Mo Lek menjadi lupa segalanya. Serentak ia

memburu maju dan berseru: “Bagus, bangsat tua, kiranya kau

belum mampus! Aku Thiat Mo Lek memang hendak

mencarimu!”

“Thiat-toako, kembalilah!” dengan terkejut Se Kiat buruburu

memanggilnya. Tapi Thiat Mo Lek tak mau menghiraukan

lagi.

Yang tiba lebih dahulu ternyata pasukan berkuda dari Cin

Siang. Kuda mereka kuda pilihan, maka dapat mendaki naik

dengan cepat. Begitu tiba, mereka maju menghambat

jalannya Thiat Mo Lek.

Kedatangan Cin Siang kesitu, sebenarnya bukan atas

kehendaknya sendiri. Tian Seng Su me mengirim laporan

rahasia kepada fihak kerajaan, mengatakan bahwa pada hari

itu benggolan benggolan perampok dan penyamun dari

berbagai aliran akan mengadakan pertemuan digunung Kim

Ke Nia. Hal itu merupakan suatu ketika baik untuk merazzia

mereka. Agar gerakan razzia itu berhasil bagus, Tian Seng Su

minta fihak kerajaan suka mengirimkan pasukan Gi Lim Kun

untuk membantunya.

Fihak kerajaan terpaksa meluluskan. Pertama, untuk

merebut hati Tian Seng Su, seorang, “war-lord” (panglima

daerah yang berkuasa besar). Kedua, karena kawanan

penyamun itu merupakan pengganggu keamanan negeri.

Dengan mengadakan pertemuan besar, mereka tentu akan

mengadakah gerakan rahasia yang membahayakan negara.

Dengan pertimbangan itu, mau tak mau fihak kerajaan lalu

mengirim pasukan pilihan, Gi Lim Kun.

Dan memang jalannya kehidupan manusia itu serba aneh.

Seperti sudah suratan nasib, Cin Siang dan Ut-ti Pak yang

diwajibkan untuk memimpin pasukan Gi Lim Kun itu. Sudah

hampir 10-an tahun, Cin Siang tak pernah bertemu dengan

Thiat Mo Lek. Maka mereka tak menyangka sama sekali kalau

bakal berjumpa lagi dalam keadaan yang begitu. Keduanya

sama merasa tak enak hatinya.

Dengan suara perlahan, Cin Siang berseru: “Thiat-hengte,

mengapa kau menyiksa diri di dalam kawanan penyamun? Kini

kawanan dorna sudah dibersihkan dalam kalangan kerajaan.

Lebih baik kau ikut aku kembali ke Tiang An lagi. Dengan

segenap jiwa raga, aku sanggup melindungi dirimu.”

Sahut Thiat Mo Lek: “Masing-masing orang mempunyai

tujuan sendiri-sendiri. Maaf, Siau te tak dapat meluluskan titah

Toako itu. Apa bila Toako suka mengingat akan persaudaraan

kita yang lalu, harap Toako suka beri jalan pada Siaute. Nanti

bila Siaute sudah dapat melakukan pembalasan sakit hati,

Siaute rela menyerahkan diri untuk memenuhi harapan

Toako.”

Saat itu Yo Bok Lo sudah tampak mendatangi. Masih jauh

ia sudah berteriak: “Bangsat itu adalah kepala penyamun Kim

Ke Nia, Thiat Mo Lek. Cin-towi, jangan lepaskan dia, aku

segera datang!!”

Apa boleh buat terpaksa Cin Siang pura-pura marah,

bentaknya: “Baik, karena kau tolak nasehatku yang baik,

lihatlah senjataku!” Pemimpin Gi Lim Kun itu segera ayunkan

sepasang “kan”, senjata gada bersegi banyak. Waktu Thiat Mo

Lek. menangkis, barulah ia mendusin bahwa sahabatnya itu

sebenarnya tak bermaksud menyerang sungguh-sungguh.

Nyata Cin Siang hanya gunakan lima bagian dari

kepandaiannya saja.

Thiat Mo Lek juga bukan orang yang lupa sahabat. Ia tak

mau menyerang sungguh-sungguh. Hatinya merasa gundah.

Pun Cin Siang serupa perasaannya. Ia tak kurang sulitnya. Tak

mau melepaskan Thiat Mo Lek, juga tak ingin melukainya.

Sungguh suatu kedudukan yang serba sulit.

Dalam pada itu, Ut-ti Pak, saudara Ut-ti Lam, sedang

congklangkan kudanya mendatangi. Sembari angkat pian, ia

berseru: “Kepada penyamun yang merampok kuda negara

berada disana. Ha, Cecu dari Kim Ke Nia juga di sana. Cintoako,

ringkus bangsat itu!”

Siberangasan Ut-ti Pak itu ternyata bukan orang tolol.

Dalam saat-saat yang genting, dapat juga ia menemukan akal.

Dengan seruan itu, ia kasih jalan pada Cin Siang agar Thiat Mo

Lek bisa bebas.

Rupanya Cin Siang tahu Juga akan maksud siberangasan

itu.

“Ya, ya, kita lebih penting tangkap tawanan itu. Yo losiansing,

kuserahkan orang ini kepadamu supaya kau

mendapat pahala.”

Ia pura-pura hantamkan senjatanya, lalu bersama Ut-ti Pak

maju kemuka, menerjang barisan penyamun.

Kini Thiat Mo Lek mendapat kesempatan untuk berhadapan

dengan musuh besarnya. Dengan menggerung keras, ia

menyongsong Yo Bok Lo dengan serangan jurus “Lat Bik Hoa

San” atau menghantam sekuat-kuatnya gunung Hoa San.

Sebenarnya jurus “Lat Bik Hoa San” itu merupakan jurus ilmu

permainan golok. Bahwa “Thiat Mo Lek sudah gunakan

pedang dengan jurus ilmu golok, adalah karena ia sangat

bernafsu sekali untuk menyerang musuh itu.

Yo Bok Lo menghadapinya dengan tangan kosong. Sekali

kakinya berputar, ia lantas mainkan ilmu pukulan “Chit Poh Tui

Hun Ciang Hoat”. Tangan kiri merangsang untuk menampar

golok lawan, berbareng tangan kanan menghantam dada

Thiat Mo Lek. Jika senjata orang tertampar, Yo Bok Lo

sedianya terus akan gunakan “Gong Chiu Jip Peh Jin”, dengan

tangan kosong merebut senjata lawan.

Tapi serta tenaga keduanya saling beradu, tangan Yo Bok

Lo segera berdarah. Dan sekali ujung pedang Thiat Mo Lek

diputar, kembali telapak kaki Yo Bok Lo tergurat luka. Untung

tadi pedang Thiat Mo Lek sedikit condong karena kena

ditampar lawan, jadi posisi pedangnyapun mendoyong. Jika

tidak, telapak kaki orang she Yo itu tentu sudah kutung.

Dahulu sudah beberapa kali Yo Bok Lo bertempur dengan

Thiat Mo Lek. Dan setiap kali tentu dialah yang menang angin.

Maka mimpipun tidak dia bahwa dalam gebrak pembukaan

saja ia sudah menderita luka. Kaget orang she Yo itu tak

terkira.

“Beberapa tahun tak berjumpa, ternyata kemajuan anak ini

bertambah pesat sekali!” iiam-diam ia harus mengakui.

Tapi Thiat Mo Lek juga tak kurang gentarnya: “Bangsat tua

ini umurnya sudah mendekati 70-an tahun, tapi ia sanggup

menyambut serangan pedangku dengan tangan kosong. Jika

iku tak menang dari tenaga kemudaanku, mungkin aku benarbenar

bukan tandingannya!”

Waktu bertempur lagi, keduanya sama-sama tak berani

memandang rendah. Karena menderita luka lebih dulu, Yo Bok

Lo tetap yang rugi. Waktu Gou Beng Yang datang dengan

pasukannya, ia lantas membantu Yo Bok Lo. Betapapun

lihaynya Thiat Mo Lek, namun karena musuh banyak

jumlahnya, jadi ia tetap terkepung.

Tadi Se Kiat sudah keluarkan perintah untuk mundur. Tapi

karena melihat Thiat Mo Lek terkepung, orang-orang

sebawahan lama dari keluarga Tou dan anak buah Kim Ke Nia,

tak mau berpeluk tangan. Dengan gagah berani mereka

menyerbu tentara negeri.

Tapi anak buah pasukan Gi Lim Kun itu sama mengenakan

baju perang dari besi. Pula mereka itu sudah terlatih baik

untuk berperang secara massal (gelombang besar). Sebaliknya

kawanan orang gagah dari Lok-lim itu hanya mahir dalam ilmu

silat perseorangan. Sekalipun setiap orang sanggup melawan

sepuluh musuh, namun menghadapi gelombang serangan dari

empat jurusan, mereka tetap kewalahan juga.

“Toan-hiante, lekas bantu Thiat-sioksiokmu keluar dari

kepungan. Minta dia supaya suka memikirkan keadaan

keseluruhannya dan lekas turut kita mundur!” buru-buru Se

Kiat meneriaki Khik Sia.

Habis itu ia berseru keras: “Selama gunung masih

menghijau, masakah takut tak memperoleh kayu bakar! Tanglocianpwe,

To-toasiok, harap kalian pimpin kawan-kawan dari

lain-lain tempat dan mundur kebelakang gunung. Shin cecu,

pimpinlah anak buah Kim Ke Nia melawan dibagian tengah.

Kay Thian Ho, kau dan aku yang memotong dibagian

belakang!”

Sekalian orang gagah yang mendengar perintah itu, sama

taat. Mereka anggap komando Bengcu baru itu tepat sekali.

Tetapi masih ada beberapa orang yang bawa maunya sendiri,

bertempur secara perseorangan. Lebih-lebih anak buah dari

gunung Hui Hou San, Yan San Ce dan Kim Ke Nia. Mereka baik

sekali dengan Thiat Mo Lek, seperti saudara sehidup semati.

Mereka hanya curahkan perhatian untuk menolong Thiat Mo

Lek. Perintah Se Kiat tadi di anggapnya sepi saja.

Melihat itu hati Se Kiat merasa kecewa dan girang. Kecewa

karena ia masih kalah berwibawa dengan Thiat Mo Lek. Ya,

maklum, karena baru saja menjabat Bengcu. Girang sebab ia

mengetahui ciri kelemahan Thiat Mo Lek, yakni kekurangan

‘toleransi’ (kesabaran). Thiat Mo Lek masih mudah

dipengaruhi oleh rasa sentimen kemarahan. Ini bukan

martabat dari seorang pemimpin besar. Selintas timbul dalam

hati Se Kiat untuk melepas budi, maka begitu mencemplak

seekor kuda tegap, ia lantas menerjang maju.

Anak buah Kim Ke Nia saat itu tengah di kepung pasukan

Gi Lim Kun. Mereka dicerai-beraikan oleh tentara kerajaan itu

sehingga tak dapat saling bantu membantu. Kesitulah Se Kiat

menyerbu. Pakaian baja dari Gi Lim Kun berat dan tak tembus

senjata tajam, tapi dengan permainan pedang yang lihay, Se

Kiat selalu dapat menusuk tepat kebagian tenggorokan

mereka yang tak terlindung itu. Dalam beberapa kejap saja

robohlah berpuluh-puluh anggota Gi Lim Kun. Dengan begitu

dapatlah Se Kiat menolong anak buah penyamun yang sudah

tercerai berai itu.

“Bukankah kau ini Bo Se Kiat yang merampas kuda milik

kerajaan?” tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. Menyusul

seekor kuda putih menerjang tiba. Penunggangnya seorang

opsir bermuka hitam. Orang dengan kudanya, merupakan

suatu warna yang amat kontras sekali. Opsir itu bukan lain

ialah kakak dari Ut-ti Lam, Liong-ki-to-wi Ut-ti Pak.

Serta saling merapat, Ut-ti Pak segera ayunkan piannya

menyabet. Se Kiat berseru memuji dan balas menusuk dengan

pedang. Waktu Ut-ti Pak hendak menangkis, secepat kilat Se

Kiat putar arah pedangnya, menusuk kuda putih lawan. Jurus

serangan itu disebut “Li Kong Sia Ciok” (Li Kong memanah

batu). Ujung pedang menusuk kepala kuda.

Tapi Ut-ti Pakpun bergerak sebat sekali. Hampir pada

waktu berbareng, iapun sudah balikkan pian menampar leher

kuda Se Kiat, Kuda terjungkal roboh dan Se Kiat terlempar.

Kini keduanya sama-sama tak berkuda lagi.

“Sayang, sayang! Kepandaianmu begitu hebat, mengapa

mau jadi penyamun?” teriak Ut-ti Pak.

“Memang aku tak berhasratkan pangkat. Hal itu pernah

kukatakan kepada adikmu!” sahut Se Kiat.

“Ya, pertempuranmu dengan adikku digunung Pak Bong

San telah kuketahui. Terima kasih atas kemurahan hatimu

kepadanya. Menurut kepantasan, seharusnya aku lepaskan

kau, tapi aku masih ada sedikit ketidak puasan. Tempo hari

dengan tangan kosong kau dapat merebut senjata pian

adikku. Maka kini jika aku tak menempur kau sampai

beberapa puluh jurus, kau tentu menganggap ilmu permainan

pian dari keluarga Ut-ti hanya sebegitu saja!” kata Ut-ti Pak.

Se Kiat mengucapkan beberapa kata merendah. Segera Utti

Pak mainkan piannya untuk mengurung tubuh Se Kiat.

Terpaksa Se Kiat melayani dengan hati-hati. Ternyata

permainan ilmu pian dari Ut-ti Pak itu jauh lebih lihay dari

adiknya. Kalau sewaktu berhadapan dengan Ut-ti Lam. Se Kiat

dapat menang dengan hanya memakai tangan kosong. Tapi

sekarang walaupun menggunakan pedang, namun ia hanya

dapat bermain seri saja melawan Ut-ti Pak.

Kedua jago itu bertempur dengan, serunya. Kalau Ut-ti Pak

beringas dan tangkas, adalah Se Kiat bermain dengan

tenangnya. Sinar pedangnya seperti mata rantai yang

melingkar-lingkar laksana hujan deras. Keduanya sama kuat

dan gagah. Melihat jalannya pertempuran itu, diam-diam Se

Kiat menjadi sibuk sendiri.

Disana Toan Khik Siapun mengamuk laksana banteng

ketaton. Ia berlincahan dengan ginkangnya yang hebat.

Menusuk kesana, menabas kesini. Pagar berlapis yang

merupakan pasukan musuh itu, tak dapat berbuat apa-apa

terhadap anak muda itu. Setempo ia menyelinap masuk

diantara barisan tentara, lain waktu ia berloncatan melampaui

kepala para opsir musuh. Dalam beberapa kejap saja ia sudah

berhasil menerjang masuk kedalam kepungan tentara yang

memagari Thiat Mo Lek itu.

Didalam barisan yang mengepung Thiat Mo Lek itu terdapat

Yo Bok Lo, Gou Beng Yang dan belasan busu kelas satu yang

menjadi orang sebawahan Tian Seng Su. Menurut penilaian,

pasukan pengepung itu jauh lebih kuat dari pasukan Gi Lim

Kun.

Dalam suatu kesempatan waktu Toan Khik Sia melambung

keudara, ia segera gunakan jurus “Gin Ho Sia Ing” atau Bima

Sakti (sungai bintang) meluncurkan bayangan. Ujung

pedangnya langsung mengancam Yo Bok Lo. Waktu Yo Bok Lo

menghindar kesamping, terdengarlah dua kali jerit ngeri. Dua

orang Busu yang berada dikanan-kiri Yo Bok Lo, sudah tembus

tenggorokannya. Kiranya jurus Gin Ho Sia Ing itu mempunyai

tiga gerakan, berisi tenaga penuh. Sinar pedang berobah

menjadi lingkaran jaring yang tertebar. Dalam lingkaran seluas

satu tombak persegi, musuh tentu akan termakan binasa.

Lihaynya bukan kepalang.

Yo Bok Lo menggeram marah. Sekaligus ia menghantam

kedua pelipis Khik Sia dengan sepasang tangan. Saat itu Khik

Sia baru saja turun ketanah. Sudah tentu Thiat Mo Lek

menjerit kuatir, cepat ia hantamkan pedangnya ketengah

untuk menahan pukulan Yo Bok Lo itu.

Tapi ternyata Khik Sia dapat bergerak luar biasa sehatnya.

Ia sudah secepat kilat menyerang tiga kali. Angin sambaran

pedangnya menampar kemuka lawan. Tapi ternyata Yo Bok Lo

itu seorang jago kawak yang kenyang pengalaman. Dergan

tenang sekali, ia gerakkan kedua tangannya untuk membela

diri dan menyerang. Dalam sekejap saja ia sudah dapat

memecahkan serangan Khik Sia tadi.

Gou Beng Yang buru-buru menghampiri. “Lo Chiu Poan Kin”

atau pohon tua melingkarkan akar, adalah jurus yang

dimainkan Gou Beng Yang untuk menyapu kaki Khik Sia.

Tetapi dengan berlincahan macam anak kecil main loncat tali,

tiga kali serangan pian beruntun dari Gou Beng Yang itu selalu

hanya menyambar lewat dibawah sepatu Khik Sia saja, Dalam

pada itu Khik Sia telah berputar diri dan membentaknya:

“Bagus, kau benar-benar kaum budak yang ganas, biar

kubunuhmu dulu!”

Cik Ci Thian Lam atau lurus menuding ke arah langit

selatan, adalah jurus yang ditusukkan Khik Sia. Ujung

pedangnya menyusup kedalam lingkaran pian dan terus

menusuk ke muka orang.

Gou Beng Yang tersipu-sipu gunakan gerak “lengkungkan

pinggang menanam pohon liau”. Sembari tekuk pinggang ia

gelincirkan kakinya. Dengan susah payah barulah ia dapat

lolos dari tusukan Khik Sia, Namun bagaikan bayangan

melekat, Khik Sia memburu dan menyusuli puia dengan

serangan yang bertubi-tubi. Beng Yang menjadi sibuk bukan

buatan.

Sebagai Thong-leng dari pasukan Gwe Thok Lam, sudah

tentu Beng Yang mempunyai kepandaian silat yang tinggi.

Hanya karena pernah kecundang satu kali oleh anak muda itu,

maka belum-belum ia sudah mempunyai rasa takut terhadap

Khik Sia. Rasa takut merupakan halangan besar bagi orang

yang tengah bertempur. Karena takut, permainannya menjadi

tak wajar. Terhadap serangan Khik Sia itu, ia hanya dapat

menangkis, sama sekali tak mampu balas menyerang.

Melihat itu Yo Bok Lo Buru-buru berteriak: “Gunakan Te

Tong To dan Liu Sing Jui untuk menghadapinya!”

Te Tong To artinya ilmu permainan golok dengan

bergelundungan ditanah. Sedang Liu Sing Jui adalah senjata

bandringan yang di ikat dengan rantai. Te Tong To khusus

untuk membabat kaki orang, sedang Liu Sing Jui menyambarnyambar

diudara untuk menghantam batok kepala musuh.

Ternyata dalam rombongan Busu itu, ada empat orang

murid Yo Bok Lo. Berkat dilatih Yo Bok Lo, ada dua muridnya

yang, mahir dalam ilmu Te Tong To dan dua orang lagi yang

pandai menggunakan Liu Sing Jui. Terhadap musuh yang lihay

ginkangnya, kedua senjata itu paling cocok digunakan.

Tapi ginkang Khik Sia terlalu tinggi untuk diserang oleh

kedua senjata itu. Dari bawah golok tak dapat mengenai

kakinya, dari atas Liu Sing Jui tak mampu menghantamnya.

Tapi sekalipun begitu, Khik Sia terpaksa harus menjaga diri.

Dan karena itu tekanan yang diderita Gou Beng Yang menjadi

kendur juga.

Kini rasa takut Beng Yangpun mulai hilang. Tiang-pian atau

ruyung panjang segera dikembangkan dengan hebat. Dibawah

teriakan dan bantuan para Busu, kini ia berbalik menjadi

menang angin.

Tiba-tiba dibarisan tentara negeri terbit kekacauan. Dua

orang pemuda menerjang maju. Menyusul terdengar suara

kelintingan. Seorang nona baju merah tampak berlarian

datang. Itulah Lu Hong Jiu. Orangnya belum tiba, senjata

rahasianya sudah melayang. Seperti telah disebutkan diatas,

senjata rahasianya itu berupa kelintingan emas yang besarnya

hanya seperti jari telunjuk. Jika tak digunakan, dipasang pada

ujung bajunya sebagai perhiasan. Kini ia timpukkan kelintingTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

kelinting emas itu sebagai senjata rahasia. Suaranya

berkelintingan menusuk telinga.

Timpukan Lu Hong Jiu bukan sembarang timpukan,

melainkan mengarah jalan darah orang. Seketika beberapa

orang Busu sudah bergelimpangan roboh.

“Celaka, Sip Hun Leng dari keluarga Lu!” beberapa Busu

yang kenal akan kelintingan istimewa itu, segera berteriak

kaget.

Mendengar itu paniklah barisan Busu. Mereka desak

mendesak lari kian kemari untuk menyelamatkan diri.

Pada lain kejap, kedua pemuda tadipun sudah menerjang

datang. Kiranya mereka bukan lain ialah Yak Bwe dan In Nio

yang menyaru sebagai lelaki. Yak Bwe yang tiba lebih dulu,

segera membabat kebawah. Salah seorang yang menyerang

Khik Sia dengan ilmu golok Te Tong To tadi, segera tak

berkutik lagi. Kini setelah berkurang tekanannya, Khik Sia

segera kisarkan kaki dalam gerak “Ih Hing Hoan Wi” (pindah

bentuk ganti tempat). Begitu sang kaki melangkah, orang

satunya yang menyerang dengan Te Tong To tadi ikut terpijat

remuk tulang punggungnya.

“Terima kasih!” Khik Sia berpaling kearah Yak Bwe seraya

berseru. Dan saat itu Yak Bwe pun tengah memandangnya.

Empat mata saling beradu…..

Khik Sia terkesiap. Rasanya ia seperti sudah pernah

bertemu dengan “pemuda” itu, tapi lupa-lupa ingat ia dimana.

Apalagi dimedan pertempuran yang dahsyat seperti kala itu,

tak sempat lagi ia menggali ingatannya.

“Wut, wut,” tiba-tiba terdengar bandringan menyambar

kepala Khik Sia. Walaupun sekarang ia tak perlu kuatir lagi,

namun tak boleh ia tinggal diam saja. Ia enjot tubuhnya

keatas untuk menyambar rantai Liu Sing Jui. Sudah tentu

orang itu tak dapat menandingi tenaga Khik Sia. Sekali

dibetot, Liu Sing Jui itu terlepas dari tangannya.

Setelah merebut Liu Sing Jui musuh, Khik Sia segera

timpukkan kearah Liu Sing Jui musuh kedua yang tengah

menyambar datang. “Trang,” saking kerasnya hantaman Khik

Sia, orang kedua yang menyerang dengan Liu Sing Jui itu

sampai jungkir balik. Begitu merangkak bangun, cepat-cepat

ia lantas ikut jejak kawannya untuk melarikan diri.

In Nio dan Yak Bwe lintangkan pedang untuk menyambuti

sebatang pian Beng Yang. Dengan begitu dapatlah Khik Sia

kesempatan untuk menghajar kedua penyerangnya yang

menggunakan Liu Sing Jui tadi. Kemudian anak muda itu

berputar diri dan menyerang Beng Yang kembali. Satu persatu

saja sebenarnya Gou Beng Yang itu bukan tandingan Khik Sia,

apa lagi ditambah dengan In Nio dan Yak Bwe berdua.

Cret, pantat Beng Yang termakan sebuah tusukan pedang.

Tanpa banyak pikir lagi, orang she Gou itu segera angkat kaki

seribu.

“Bagus, Toan-siauko, ilmu pedangmu sungguh hebat. Jurus

Kim Cian Tok Kiap tadi indah sekali!” tiba-tiba Lu Hong Jiu

kedengaran memuji. Ternyata nona itupun sudah dapat

menerjang kedekat Khik Sia.

Tadi waktu pertama kali mendengar mulut Khik Sia

mengucapkan terima kasih kepadanya, perasaan hati Yak Bwe

seperti dimabuk sarinya madu. “Apakah ia belum mengetahui

diriku? ahh, kali ini kau tentu tahu betapa kesetiaan hatiku

kepadamu!” pikirnya.

Tapi kini demi Lu Hong Jiu muncul kedekat Khik Sia dan

bahu merapat bahu bertempur melawan musuh, sejenakpun

Khik Sia tak mau berpaling kemari lagi. Hati Yak Bwe

mendongkol sekali.

“Bagus, kau pura-pura tak kenal padaku!” diam-diam ia

mendamprat. Namun saat itu masih dalam pertempuran,

maka Yak Bwepun tak dapat menumpahkan kemarahannya

dan terpaksa hanya mengikut dibelakang anak muda itu untuk

menggempur musuh.

Hong Jiu kembali memetik 3 buah kelinting emas. Sekali

ayunkan tangan, ketiga kelinting itu segera melayang

merupakan bentuk huruf “V”. Yang atas menghantam jalan

darah Thay Yang Hiat dipelipis Yo Bok Lo, yang ditengah

mengarah jalan darah Hian Ki Hiat didadanya dan yang bawah

mengancam jalan darah Hoan Thiam Hiat diujung paha orang

itu.

Tetapi iblis she Yo itu hanya tertawa dingin saja: “Ha,

mutiara sebesar biji beras, masakah dapat memancarkan sinar

terang!”

Dua buah jari tangannya dijentikkan, kakinya

ditendangkan, dua buah kelinting yang melayang kearah

pelipis serta paha segera terpental balik. Sedang kelinting

yang menghantam kedadanya dibiarkan saja.

Tring, kelinting itu membentur dada tapi bukan Yo Bok Lo

yang roboh melainkan kelinting itu sendiri yang membal balik.

Kiranya Yo Bok Lo telah meyakinkan ilmu lindung Kim Ciong

Toh. Jangan kata hanya sebuah ketinting kecil, sekalipun

pedang dan lain-lain senjata tajam, tak nanti mampu melukai

dirinya.

Kalau tadi Hong Jiu mengirim ketiga buah ketintingnya

dalam bentuk huruf V (satu di atas, dua dibawah), pun kini Yo

Bok Lo mengirimnya kembali juga dalam bentuk huruf

tersebut. Tapi bedanya, timpukan Hong Jiu tadi hanya

mengeluarkan bunyi kelintingan, adalah sekarang tamparan

Yo Bok Lo itu sampai menbuat kelinting-kelinting itu bersuara

riuh sekali. Entah berapa kali lipat kerasnya dari timpukan

sinona tadi.

Selagi Hong Jiu masih meragu tak berani lekas-lekas

menyambuti kelinting itu, dengan tangkas sekali Khik Sia

sudah ulurkan tangannya dan menyanggapi terus diterimakan

kepada yang empunya. Wajah Hong Jiu kemerah-merahan,

serta merta ia berbisik mengucapkan terima kasih.

Yak Bwe yang mengikuti dibelakang mereka, tahu akan

kejadian itu. Ia merasa girang tapi agak kecut hatinya. Girang

karena Hong Jiu sudah memperlihatkan ‘isinya’ yang

sebenarnya. Nyata kepandaian nona itu tak jauh bedanya

dengan dirinya. Tapi mendongkol karena Khik Sia telah

menolong nona itu dengan mesranya.

Sebenarnya senjata rahasia kelinting emas dari Lu Hong Jiu

itu termasuk golongan kelas satu. Tapi celakanya, kali ini ia

bertemu dengan Yo Bok Lo. Ilmu Kim Ciong Toh yang

diyakinkan orang she Yo itu merupakan ilmu penunduk dari

senjata rahasia termasuk yang dimiliki Hong Jiu itu.

Namun walaupun tak takut akan senjata kelinting dari Hong

Jiu, Yo Bok Lo tetap gentar akan serangan pedang Thiat Mo

Lek. Disaat ia bergerak untuk menghalau serangan kelinting

tadi. Thiat Mo Lek sudah membarengi dengan sebuah

tabasan. Hampir saja ia kena tertabas. Adalah setelah pontang

panting berjungkir balik sampai tiga kali, barulah ia dapat

menyelamatkan diri.

Thiat Mo Lek hendak mengejarnya tapi Khik Sia segera

meneriaki: “Thiat-toako, Se Kiat menyuruhmu kembali. Jika

kau tak mau balik, saudara-saudara kita tak mau mundur!”

Thiat Mo Lek tersadar, serunya: “Ya, benar, tak boleh

karena diriku seorang sampai membikin celaka semua

saudara-saudara!”

Ia berputar diri untuk membuka jalan ke luar. Karena Yo

Bok Lo dan Gou Beng Yang sudah menyingkir, tak ada lain

orang lagi yang mampu menahan terjangan Thiat Mo Lek.

Dalam beberapa kejap saja, kepungan dari kawanan Busu itu

telah menjadi bobol.

Pada saat itu, Se Kiat dan Ut-ti Pak telah bertempur sampai

30 jurus lebih. Melihat Thiat Mo Lek sudah meloloskan diri, Se,

Kiat menjadi sibuk. Ut-ti Pak selalu mendesaknya dengan seru.

“Awas, terimalah pianku!” bahkan tiba-tiba Ut ti Pak itu

membentak keras seraya menyerang hebat. Ternyata ia

mainkan salah satu jurus yang paling ganas dari ilmu

permainan pian Cui Mo Pian Hwat, yakni yang disebut Pat

Hong Ih Hwe Tiong Ciu atau hujan dan angin dari delapan

penjuru bertemu di Tiong Ciu. Ribuan sinar pian, benar-benar

seperti badai menderu, gelombang mendampar.

“Bagus!” seru Se Kiat. Ujung pedang dijung katkan keatas,

tiba-tiba ia melambung keudara dan gunakan jurus Tiau Thian

Cu Hiang atau mendongak kelangit membakar dupa.

Sinarnya segera berobah menjadi seperti rantai, memagutmagut

kedalam sinar pian. Krak… bret…..terdengar dua kali

suara. Lengan baju Se Kiat robek terkena pian, sedang leher

baju Ut-ti Pakpun berlubang termakan pedang Se Kiat. Duaduanya

menderita kerugian alias seri.

Ut-ti Pak tertawa gelak-gelak, serunya: “Kau benar-benar

lihay. Lain kali kita bertempur lagi sampai 300 jurus!”

Kiranya karena tahu Thiat Mo Lek sudah lolos, maka Ut-ti

Pakpun tak mau melibat anak muda itu. Karena Cin Siang dan

Ut-ti Pak sengaja mengalah, maka dapatlah Se Kiat daa Thiat

Mo Lek bergabung menjadi satu lagi. Beberapa kelompok anak

buah penyamun yang masih terkepung, dapat juga ditolong

mereka.

Sekalipun diam-diam Cin Siang dan Ut-ti Pak memberi

kelonggaran pada Thiat Mo Lek, namun mereka tak kuasa

mencegah pasukan Gi Lim Kun yang menggempur barisan

penyamun. Anak buah penyamun itu tidak menerima didikan

kemiliteran, mereka bertempur sambil mundur. Digempur

hebat oleh pasukan Gi Lim Kun, barisan penyamun itu

berceceran kalang kabut. Tidak lagi mereka merupakan suatu

formasi kesatuan, melainkan masing-masing sama lari

pontang panting menyelamatkan jiwanya sendiri-sendiri.

Untung masih ada Thiat Mo Lek dan beberapa tokoh lain yang

melindungi, hingga kerusakan yang dideritanya tidak begitu

besar.

Pada saat itu kawanan liaulo dari markas Kim Ke Nia sudah

menghilang semua. Sebelum mundur, dengan memimpin

beberapa anak buahnya, Shin Thian Hiong membakari belasan

tempat didalam dan diluar markasnya. Api cepat berkobar

dengan hebatnya. Thian Hiong mempunyai dua maksud

dengan melepas api itu. Pertama, jangan sampai tentara

negeri mendapatkan barang-barang yang berada dimarkas.

Kedua, kebakaran itu akan dapat menghalangi serbuan

mereka.

Thiat Mo Lek, Se Kiat dan lain-lainnya bertugas untuk

melindungi anak buahnya. Setelah anak buah mereka sudah

sama lolos, barulah mereka mundur. Thiat Mo Lek

memandangi api yang berkobar-kobar itu dengan hati kecewa.

“Akulah yang menjadi gara-garanya hingga markas Shintoako

menjadi korban,” katanya.

Se Kiat menghiburinya: “Api perjuangan kita takkan padam.

Begitu angin musim semi meniup tentu akan berkobar lagi.

Asal kita dapat bersatu padu, masakah kelak dikemudian hari

kita takkan punya pangkalan yang lebih megah lagi. Mengapa

toako lekas berputus asa?”

Thiat Mo Lek mengiakan.

Saat itu api makin besar dan menjalar luas. Hutan yang

terletak dimuka markas itu, dalam beberapa kejap tentu akan

terjilat. Itu berarti jalanan akan putus. Tiba-tiba mata Thiat Mo

Lek tertumbuk akan pemandangan yang mengejutkan. Jago

tua Ban Liu Tong bersama 7-8 muridnya masih terkepung

tentara negeri. Tempat mereka bertempur itu ialah disebuah

tikungan gunung, maka tadi Thiat Mo Lek dan kawankawannya

tak melihat mereka.

Ban Liu Tong menggunakan senjata Hou Thau Jiang

(tombak berkepala harimau) yang beratnya tak kurang dari

50-an kati. Usianya sudah hampir tujuh puluhan tahun, namun

masih begitu gagah sekali. Sudah belasan serdadu Gi-lim-kun

yang binasa ditangan jago tua itu. Melihat itu Cin Siang

menjadi murka. Segera ia keplak kudanya menghampiri,

“Celaka!” Thiat Mo Lek mengeluh kaget. Cepat ia

menyambar busur besi dari seorang thaubak, terus lari

kesana.

Kuda tunggangan Cin Siang itu pesat sekali. Dalam sekejap

saja, sudah tiba ditikungan. Belum lagi orangnya tiba,

sepasang ‘kan’-nya sudah menghantam. Ban Liu-tong coba

menangkis dengan tombaknya. Cin Siang juga memiliki tenaga

pembawaan yang luar biasa kuatnya. Tenaganya tak dibawah

Thiat Mo Lek. Sudah tentu jago tua she Ban itu tak kuat

menahannya. Krak, begitu berbentur, ujung tombak segera

putus. Kan ditangan kiri Cin Siang didorongkan dan senjata

ditangan kanan menghantam lagi.

“Jangan mencelakai jiwa Ban lo-enghiong!” tiba tiba

terdengar Thiat Mo Lek berteriak keras. Menyusul ia lepaskan

sebatang anak panah. Anak itu menderu-deru menerobos

ditengah tengah tombak dan Kan. Itu berarti seperti melerai

mereka.

Cara ilmu memanah yang liehay disertai tenaga yang luar

biasa hebatnya itu, telah menimbulkan kegemparan.

Sampaipun kawanan tentara negeri turut bersorak memuji.

Melihat lawan tua, yang sudah beruban itu masih dapat

menyambut serangannya, Cin Siangpun tak tega

membunuhnya. Apalagi Thiat Mo Lek turut meminta

kelonggaran, maka ia memutuskan untuk sekali lagi ‘membeli

hati’ sahabatnya ( Thiat Mo Lek ) itu. Cin Siang pura-pura

hendak menunjukkan bahwa kudanya kaget karena bidikan

panah tadi, maka ia lantas jepitan kedua kakinya keras-keras

kepinggang kuda. Binatang itu sudah terlatih baik. Begitu

pinggangnya dijepit oleh sang tuan, ia lantas berputar dan

mencongklang keras kelain jurusan. Dengan begitu, Ban Liutorig

dan muridnya terhindar dari kehancuran.

Kini jago tua itu bersama anak muridnya segera berjuang

keras untuk mengundurkan anak buah pasukan Gi-lim-kun.

Tapi celakanya dari arah belakang, pasukan Gwe-thok-lam

dari Tian Seng-supun menyerang, pasukan itu dipimpin oleh

tangan kanan Gou Beng-yang yang bernama Pek Siat.

Ban Liu-tong menjadi beringas. Tombaknya yang kutung

separoh tadi, kini digunakan sebagai toya (tongkat). Sepasang

golok dari Pek Siat kena dihantam jatuh. Tapi tiba-tiba jago

tua itu menguak, Ia muntahkan segumpal darah segar.

Kiranya sewaktu menyambuti hantaman Cin Siang, ia sudah

terluka dalam. Beberapa anak muridnya buru-buru

menyanggapinya. Sudah tentu Tiat Mo Lek tak dapat berpeluk

tangan mengawasi kejadian yang mengenaskan lu. Untuk

kedua kalinya, ia kembali menerjang masuk kedalam barisan

tentara negeri.

Dalam medan pertempuran, yang masih berlangsung

hanyalah partai Ban Liu tong yang terkepung itu saja. Lain-lain

rombongan penyamun ada yang sudah mundur kebelakang

gunung, ada yang lolos dari kejaran musuh. Di sana sini

tampak orang berserabutan lari kian kemari. Suasana

digunung situ jauh berlainan dengan sebelum pasukan negeri

menyerbu keatas.

“Toan-hiante, silahkan kau berangkat dulu. Aku hendak

menyongsong Ban lo-enghiong. Nanti aku segera menyusul!”

kata Se-kiat.

“Aku mau ikut!” sahut Khik-sia.

“Ah, kawan kita masih terkepung hanya beberapa orang

saja. Tak usah kita banyak buang tenaga. Lu lihiapdan

beberapa saudara itu baru pertama kali ini datang ke Kim-kenia,

mereka tentu tak faham jalanan disini. Silahkan kau

pimpin mereka meloloskan diri dulu. Jangan kuatir, Toan

hiante, sekalipun musuh berjumlah besar tetapi belum tentu

mereka mampu menghadang aku dan Thiat toako!” kata Sekiat.

Mendengar itu, terpaksa Khik-sia mengiakan: “Baiklah,

kutunggu kalian sebelah muka sana.”

Didalam lautan api yang menggenangi puncak Kim-ke-nia

itu Khik-sia pimpin kawan2nya untuk mencari jalan keluar.

Dengan mengitari lautan api itu, ia ajak rombongannya

kebelakang gunung. Pasukan Gim-lim-kun coba mengejar, tapi

dibikin kocar kacir oleh senjata rahasia yang ditimpukkan Lu

Hong-jiu. Pohon-pohon didalam hutan yang termakan api itu,

tumbang bergelundungan bebawah. Ini merupakan rintangan

bagi musuh. Ditambah pula dengan api yang meranggas maju,

pasukan Gi-lim-kun itu terpaksa hentikan pengejarannya.

Setelah terlepas dari pengejaran, rombongan Toan Khik-sia

tiba disebuah selat yang terletak dibagian belakang dari

gunung itu. Waktu menoleh kebelakang, dilihatnya api

menjulang kelangit, tetapi hiruk pikuk teriakan orang sudah

tak kedengaran lagi:

Memandang sejenak kepada rombongannya Hong jiu

tertawa: “Ha, ha, kita semua berubah menjadi setan hitam

ini!”

Kiranya karena menerobos disebelah lautan api. muka

orang orang itu menjadi hitam terkena asap. Kebetulan

didekat situ ada sebuah aliran sungai. Khik-sia segera ajak

kawan2nya:

“Ayuh, kita cuci muka dulu kesana, kemudian kita tunggu

kedatangan Thiat toako dan Bo-heng disini!”

Disungai situ terdapat dua buah batu yang dapat digunakan

untuk tempat membasuh muka. Dasar anak perempuan, maka

Hong-jiu ih yang lantas membersihkan mukanya.

Khik-sia duduk diatas salah sebuah batu dan melambaikan

tangannya kepada In-nio dan Yak bwe. “Ai, disini masih ada

tempat. Siapa diantara kalian yang mau kemari, silahkan,

jangan sungkan. Kita semua adalah kaum lelaki, tak usah

rikuh2.”

Ternyata kedua batu itu saling berdekat. Jadi kalau orang

duduk membasuh muka, tentu akan duduk saling merapat.

Karena itu Khik-sia tadi tak mau bersama cuci muka dengan

Hong-jiu.

“Fui, berapakah usiamu, berani kau memberi ceramah

tentang pergaulan wanita pria? Kuanggap kau ini hanya

seorang adik kecil saja. Tetapi sebaliknya kau tak berani

bersama aku mencuci muka!” Hong-jiu mendengus tertawa.

“Bukannya tak berani, melainkan biar kau lebih leluasa.

Mengapa kau tak berterima kasih kepadaku?” bantah Khik-sia.

“Huh, selalu kau ini mengatakan aku masih kecil saja. Toh

kalau berdiri, aku lebih tinggi setengah kepala dari kau!”

Yak-bwe hanya tertawa dingin mendengar pembicaraan

mereka itu.

“Hai, saudara yang itu! Muka kita semua seperti pantat

kuali, jangan mentertawakan orang. Ayuh, sini lekas cuci

mukamu?” Tiba tiba Khik sia meneriaki Yak-bwe.

Khik-sia baru berusia tujuh belas tahun, jadi sifat kekanakkanakannya

masih belum hilang. Ia kira Yak-bwe tadi

menertawakan orang orang,

Sebaliknya telinga Hong-jiu yang tajam, dapat menangkap

nada tertawa Yak-bwe tadi agak aneh. Ia menjadi kurang

senang dan deleki mata kepada Yak-bwe.

Yak-bwe merasa mendongkol terhadap Khik sia, In-nio

buru2 membisikinya: “Itu Khik-sia memanggilmu, pergilah!”

“Pergi ya pergi, masakah aku takut kepadanya!” jawab Yakbwe

dengan aseran.

Khik-sia mendengar juga ucapan Yak-bwe itu. Diam-diam ia

merasa heran: “Omongan orang ini aneh benar. Kusuruh cuci

muka bersama aku, masakah mengigau tidak takut segala?”

Hanya karena dalam medan pertempuran tadi pemuda itu

membantu sekuat tenaganya, apa lagi ia belum mengetahui

siapakah sebenarnya pemuda itu, maka Khik-sia hanya

menganggapnya sebagai seorang sahabat baru saja.

Walaupun hatinya merasa heran, namun ia sungkan untuk

meminta keterangan juga.

Begitulah kedua anak muda itu duduk berjajar dibatu itu.

Sambil cuci muka, Khik-sia bertanya. “Terima kasih atas

bantuan saudara tadi. Tapi maaf, aku belum mengetahui

nama saudara yang mulia ini? Dan saudara ini dari golongan

mana?”

Saat itu muka mereka sudah tercuci bersih. Kecantikan

Yak-bwe tampak memancar jelas. Saking kagetnya Khik-sia

sampai melonjak-

“Kau adalah…..”

Tak tahu Khik-sia hendak mengucapkan sebutannya. Maka

sampai pada kata-kata adalah mulutnya hanya ternganga saja.

Jantungnya berdetak keras, darahnya mengalir kencang.

“Siapakah dia?” buru-buru Hong-jiu bertanya.

Cepat cepat Khik-sia katupkan mulut lalu berseru keras:

“Dia adalah toa siocia dari Sik Ko, ciat-to-su Lo-ciu. Dia

menjadi menantu kesayangan dari Gui pok ciat to su Tian

Seng-su!”

Hong-jiu itu seorang nona yang beradat keras. Begitu

mendengar keterangan itu, segera naik pitam. Bentaknya:

“Hem, kiranya kaulah perempuan hina ini yang menjadi cumi2

dalam selimut!”

Kejadian yang tak terduga itu hampir saja dada Yak-bwe

meledak. Kontan ia balas mendamperat: “Kau sendirilah

perempuan hina yang tak tahu malu!”

Wut, ia serentak menampar mulut Hong-jiu. Tapi ternyata

tenaga Hong-jiu lebih kuat. Sekali ia dorongkan kedua tangan,

Yak bwe terhuyung2 kebelakang sampai tiga langkah. Hampir

saja tergelincir jatuh kedalam sungai.

Tring, Hong jiu cepat mencabut liu yap to (pisau belati

yang tipis seperti daun pohon liu), lalu memaki pedas:

“Pengkhianat yang bernyali besar, jika kau tidak dibunuh

sungguh membikin kecewa saudara-saudara kita yang gugur

dalam pertempuran tadi!”

Yak bwe tertawa mengejek: “Ya, kalian begitu bernapsu

hendak mengambil jiwaku supaya cita cita kalian dapat

terkabul, bukan? Hemm tidak semudah itu kawan?”

Tring, iapun segera melolos pedang untuk menyambut

serangan Hong-jiu. Yak-bwe sudah mewarisi seluruh ilmu

pedang dari Biau Hui sin-ni. “Sret, sret, sret” tiga kali serangan

di lancarkan berturut-turut. Dirangsang oleh api kemarahan,

serangan Yak-bwe itu luar biasa dahsyatnya.

Kepandaian istemewa dari Hong-jiu ialah terletak dalam

ilmu menggunakan senjata rahasia. Sekalipun dalam ilmu

permainan golok ia juga tak lemah, namun tetap kewalahan

juga menghadap serangan Yak-bwe yang sedahsyat itu!

Seketika situasinya menjadi berobah. Dari fihak penyerang,

kini Hong-jiu menjadi fihak yang diserang. Hampir saja ia

tergelimpang jatuh kedalam air karena didesak Yak bwe.

“Toan Khik-sia, mengapa kau diam saja? Terhadap seorang

pengkhianat, mengapa kau masih tetap memegang peraturan

Kang ouw?”

Nyata ia telah salah sangka. Melihat Khik sia hanya diam

saja tak mau memberi bantuan padanya, ia kira anak muda itu

enggan main keroyok.

Khik sia gelisah bukan main. Waktu mendengar teriakan

Hong jiu tadi, ia gelagapan. “Ya, kali ini kenapa pasukan Gwe

tok lam dan Tian Se.ng-su dapat bergabung dengan pasukan

Gi lim kun menyerang kemari? Dengan mata kepala sendiri

aku pernah melihat ia tengah bergandengan tangan dengan

mesra sekali bersama lelaki Tian Sengsu. Hm, hari ini ia berani

menyelundup ke Kim ke nia. Jika bukan seorang cumi2, paling

tidak ia itu seorang musuh juga! Tali pertunangan siang2

sudah ku putuskan perlu apa aku harus memberatkannya

lagi?”

Berpikir sampai disitu, Khik sia segera mengambil

ketetapan. Tepat pada saat iiu, terdengar suara “bret”. Baju

Hong jiu kena tertembus oleh ujung pedang Yak bwe. Kini

nona yang tersebut dimuka itu ongkang2 dengan satu kakinya

ditepi sungai, tubuhnya bergoyang goyang hendak jatuh. Yak

bwe tak mau kasih hati. Waktu ia hendak melancarkan

serangan lagi untuk mendesak jatuh kedalam sungai, tiba tiba

ada serangkum angin keras menyambar. Kiranya Khik sia

sudah lantas loncat maju. Dengan gong chiu jip peh jim

(tangan kosong) merebut pedang Yak bwe.

Yak bwe makin berkobar amarahnya.

“Bagus Toan Khik sia, bunuhlah aku!” teriaknya. Dengan

kalap ia menusuk anak muda itu.

Kepandaian Khik sia sebenarnya jauh lebih lihay dari nona

itu. Tetapi karena serangan Yak Bwe itu keliwat dahsyatnya,

Khik Sia terpaksa tak dapat memilih lain jalan lagi. Ia harus

melukai Yak Bwe atau ia akan gagal merebut senjatanya.

Akhirnya ia terpaksa keraskan hati dan gunakan Kim Kong

Ciang (pukulan tenaga raksasa) untuk menampar. Jika sampai

kena, Yak Bwe pasti akan terluka parah.

Tangan Khik Sia sudah menempel pada kulit Yak Bwe.

Sewaktu hendak melancarkan lwekangnya, tiba-tiba pikiran

Khik Sia terlintas.

“Benar, aku telah putus tunangan dengannya, tapi ayahnya

telah melepas budi besar kepada keluargaku. Jika aku sampai

melukainya, di alam baka ayahku tentu akan menyesali

perbuatanku.”

Secepat berpikir begitu, secepat itu pula ia sedot kembali

lwekangnya. Sekalipun begitu, angin pukulannya tadi telah

membuat tubuh Yak Bwe terhuyung juga. Saat itu Hong Jiu

sudah dapat memperbaiki posisinya. Sret, ia mengisar maju

dan ayunkan goloknya. Karena saat itu Yak Bwe sedang

terhuyung, jadi ia tak sempat lagi untuk menangkis. Untung

dalam detik-detik berbahaya itu, dengan sebat sekali Khik Sia

segera loncat kemuka, tepat menghadang ditengah tsngah

kedua nona itu. Disatu fihak ia menahan serangan golok Hong

Jiu, di lain fihak ia mendorong perlahan-lahan hingga Yak Bwe

tertolak mundur beberapa langkah.

Caranya ia menolong Yak Bwe itu pintar sekali. Loncat

sembari gerakan tangan tadi, dilakukan berbareng. Sepintas

pandang tampaknya sembari memburu Yak Bwe dan

menghantamnya. Sudah tentu Hong Jiu tak melihat akal si

anak muda yang liehay itu. Pun ia tak menyangka sama sekali,

bahwa Khik Sia akan melindungi nona yang dianggapnya

sebagai cumi-cumi itu.

Salah faham digedung Tian Seng-su tempo hari itu, hanya

Khik Sia sendiri yang mengetahui. Dan salah faham itu hanya

anggapannya sendiri saja. Yak Bwe sama sekali tak merasa,

bahwa tindakannya untuk menolong anak muda itu, malah

dianggap menyakitinya.

Kalau Yak Bwe sendiri saja tak merasa, apa lagi In-nio.

Melihat perobahan sikap Khik Sia yang tak terduga itu, In-nio

menjadi kelabakan seperti semut diatas kuali panas.

“Ia sudah mengenali adik Bwe, tapi mengapa berbalik

muka? Apakah ia sungguh sudah berbalik hati kepada adik

Bwe?” pikirnya dengan cemas.

Baru ia berpikir begitu, disana kedengaran Yak Bwe berseru

marah. “Sungguh bagus perbuatanmu! Baiklah, aku mengalah

supaya kalian dapat melaksanakan idam idamanmu. Mulai saat

ini, aku tak sudi melihat tampangmu seorang yang tak kenal

budi itu!”

Begitu berputar tubuh, Yak Bwe lantas lari pergi……

“Yak Bwe, Yak Bwe! Ai, kalian seharusnya bicara baik-baik,

mengapa bertengkar begitu?” In-nio terkejut dan cepat-cepat

meneriakinya.

“Bukankah kau sendiri melihat, dia begitu tipis budinya,

perlu apa banyak bicara lagi? Ayuh kita pergi saja!” sahut Yak

Bwe.

In-nio menjadi serba salah. Ia tak mampu menasehati

tapipun enggan ikut Yak Bwe. Ia percaya diantara kedua anak

muda itu terjadi suatu kesalahan fahaman. Tapi dalam saatsaat

itu iapun bingung, jadi tak dapat memberi penjelasan

pada Khik Sia.

Waktu mendengar kata-kata yang terakhir dari Yak Bwe

tadi, Hong Jiu menjadi jengah dan gusar.

“Hai, perempuan siluman, kau mengaco belo apa itu?”

bentaknya dengan marah sekali. Lalu diambilnya dua buah

kelinting lalu mengejar Yak Bwe dan terus menimpuknya.

“Sudahlah, sudahlah, biarkan dia pergi!” seru Khik Sia

seraya lontarkan dua buah Thiat Lian Cu. Dengan tepat sekali

Thiat Lian Cu itu dapat menghantam jatuh kedua kelinting

Hong Jiu.

Hong Jiu tertegun, serunya: “Hai, mengapa kau malah

hendak mengeloni seorang pengkhianat?”

Seorang thaubak yang kebetulan berada didekat situ,

waktu mendengar suara ramai2 tangkap pengkhianat, buruburu

putar kudanya mengejar Yak Bwe. Tanpa banyak bicara,

ia lantas tusukan tombaknya.

Yak Bwe saat itu sedang dirangsang kemarahan. Ia sambar

tombak thaubak itu terus digelandangnya kebawah. Begitu

thau-bak itu jatuh, Yak Bwe segera enjot tubuhnya loncat

kepunggung kuda. Kuda itu adalah salah seekor kuda milik Gi

Lim Kun yang dirampas Se Kiat dahulu. Begitu duduk

dipunggung kuda, Yak Bwe lantas mencongklang pesat. Waktu

Hong Jiu memburu datang, Yak Bwe sudah jauh sekali.

Sekalipun Hong Jiu itu gampang naik darah tapi ia seorang

nona yang cerdas. Saat itu kemarahannya sudah mulai reda.

Seketika timbullah sesuatu dalam pikirannya, tanyanya: “Toan

hiante, bilanglah terus terang. Bukankah nona tadi mempunyai

hubungan denganmu?”

Wajah Khik Sia menjadi merah, lidahnya terkait tak dapat

berkata, untung In-nio menghampiri dan tertawa tawar: “Kau

tanyakan hubungan mereka? Mereka hanya baru berjumpa

dua tiga kali saja, maka hubungannyapun tak begitu erat.

Tetapi mereka itu sejak kecil sudah dijodohkan!”

Kejut Hong Jiu tak terkira. Ia membelalakan matanya

memandang Khik Sia.

“Lu cici, jangan percaya omongannya!” Khik Sia

membantah dengan gugup.

In-nio tertawa mengejek. “Kecewalah kau sebagai

puteranya Toan tayhiap, peribudimu begitu tipis! Apa salahnya

Yak Bwe? Mengapa kau tak mengakuinya?”

“Jangan mengoceh tak keruan! Ia sudah jadi menantu

perempuan dari keluarga Tian, dengan aku tak ada hubungan

lagi!” Khik Shia berjingkrak.

In-nio marah juga, ia balas mendamprat: “Kau sendiri yang

ngaco belo! Bilakah ia jadi menantu keluarga Tian!”

“Bingkisan kawin dari keluarga Tian, akulah yang

merampasnya. Siapakah orang loklim yang tak mengetahui

peristiwa itu?” Khik Sia tak mau kalah.

Jawab In-nio: “Hal itu adalah urusan Sik Ko dan Tian Sengsu,

tetapi Yak Bwe tak setuju. Yang hendak dinikahkan Sik Ko

ialah puterinya yang bernama Sik Hong Sian, tapi kini Sik

Hong Sian itu sudah tak ada lagi. Yang ada sekarang adalah

Su Yak Bwe, puteri mendiang dari Su Ih Ji! Su Yak Bwe

bukanlah Sik Hong Sian. Apakah kau masih belum jelas?”

Kini Khik Sia menjadi bimbang. Ditatapnya In-nio dan

bertanyalah ia.

“Siapa kau?? Apakah kau tahu akan urusan ini?”

“Tak perlu kau tanya siapa aku ini. Lebih dulu jawablah

pertanyaanku, kau mau mengakui atau tidak bakal isterimu

itu?” In-nio balas bertanya.

Tiba2 Hong Jiu menyeletuk: “He.. mengapa kau begitu jelas

akan urusan orang? Calon isteri Khik Sia, mengapa kau

diberitahukan segala2nya? Mungkin hubunganmu baik sekali

dengan dia, bukan?”

Pada saat itu In-nio masih menyaru jadi seorang pria.

Bukan saja Hong Jiu, pun Khik Sia juga curiga. Tapi In-nio

memang sengaja hendak mempermainkan mereka, Ia

menyahut sambil tertawa: “Sudah tentu aku erat sekali

hubungannya dengan dia. Paling sedikit tak kalah dengan

hubunganmu dengan Khik Sia!”

Selama Hong Jiu mengangkat nama didunia persilatan

sebagai seorang lihiap (pendekar wanita), belum pernah dia

diejek orang seperti itu. Serentak marahlah ia

“Bagus, karena kau baik sekali dengan dia, coba jawablah.

Ia seorang anak perempuan dari Ciat-to-su, apa perlunya

menyelundup kedalam sarang penyamun? Kau seharusnya

tahu akan hal itu. Toan siau hiap, apakah kau masih perlu

minta keterangan lagi tentang perbuatan khianat itu?”

In-nio marah sekali: “Memang pertama kali membuka

mulut, kalian sudah mencap orang sebagai cumi2, nah, perlu

apa minta penjelasan lagi?”

Saat itu Khik Shia tak tahan lagi, ia berseru: “Siapa kau?

Jika tetap tak mau mengaku, aku, aku…..”

“Kau mau apa?” tukas In-nio dengan sikap menantang.

Baru Khik Sia hendak mengatakan bahwa ia nanti terpaksa

akan bertindak, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda riuh

mendatangi. Ternyata yang datang adalah Thiat Mo Lek dan

Se-kiat. Malah masih jauh, Se-kiat sudah kedengaran

berteriak: “Hai mengapa kalian ribut-ribut itu?”

Setelah berhasil menolong Ban Liu Tong, kedua jago itu

terpaksa harus berjalan memutari lautan api dan rintanganrintangan

yang malang melintang dijalanan. Maka saat itu

barulah mereka dapat tiba ditempat Khik Sia menunggu.

Khik Sia tersentak girang. Cepat ia lari menyongsong.

“Bo toako, kau adalah seorang bengcu. Urusan ini

kuserahkan padamu!” serunya.

“Urusan apa?” tanya Se-kiat.

“Ada dua orang yang kami curigai sebagai cumi-cumi

musuh. Yang seorang sudah melarikan diri, yang seorang

masih disini. Ini, inilah orangnya. Apakah kau ingin

menanyainya?” kata Khik Sia.

Se-kiat terkesiap, serunya: “Yang mana melarikan diri?

Astaga! Jadi kau tak mengetahui siapa dia itu? In-nio, adik Yak

Bwe tentu sungkan mengatakan, mengapa kau tak mau

mewakilinya menjelaskan?”

“Sudah kuberitahukan tetapi mereka tak mau mengakui

perjodohan itu, apa dayaku?” In-nio membuat pembelaan.

Mendengar itu kini Se-kiat mendamprat Khik Sia: “Toan

hiante, kiranya kaulah yang salah. Mengapa kau tak mau

mengakui dia?”

Khik Sia menjadi gelagapan, ia menjerit:

“Bo toako, kau tak tahu, dia bukan orang golongan kita.

Bagaimana aku dapat menerimanya?”

Tadi sewaktu mendengar Se Kiat memanggil nama In-nio,

Thiat Mo Lek merasa tidak asing lagi. Tapi sama sekali ia tak

teringat bahwa In-nio itu adalah puteri dari Sip Hong. Ia

menghampiri nona itu dan bertanya:

“Siapakah nama saudara? Dimanakah kita pernah

berjumpa?”

“Ya, benar, bukankah kemarin kita sudah berjumpa?

Ingatkah bahwa aku sudah memberitahukan namaku?” sahut

In-nio.

“Tidak! Kemarin kau memakai lain nama. Dan kemarin kau

katakan dahulu kita belum pernah bertemu muka. Rupanya

jika bukan kau yang berbohong, akulah yang jelek ingatanku.

Saudara, apakah kau tak mau menganggap Thiat Mo Lek

sebagai saudara?” kata Thiat Mo Lek.

In-nio tertawa mengikik. Sret, cepat ia mencabut kain

pembungkus kepalanya dan seuntai rambut hitam segera

menjulai terurai.

“Ong toako, lupakah kau padaku?” serunya.

Khik-sia dan Hong Jiu terbeliak kaget. Mereka tak mengira

sama sekali bahwa pemuda ang mengajak berbantah tadi

ternyata seorang gadis. Dan lebih terperanjat lagi mereka

demi mendengar nona itu memanggil ‘Ong toako’ kepada

Thiat Mo Lek.

Jika Khik Sia dan Hong Jiu termangu keheranan, adalah

Thiat Mo Lek kedengaran tertawa gelak-gelak. Serunya: “Oho,

makanya kau masih ingat pada Ong Siong-hek. Kiranya kau

saudara kecil yang nakal itu kini sudah sedemikian besarnya.

Jika kau tak memanggil Ong toako, sungguh mati aku tak

kenal padamu! Apakah ayahmu sehat-sehat saja? Mengapa

kau datang kegunung sini?”

“Akulah yang membawa mereka berdua kemari. Aku tak

tahu bahwa Thiat toako adalah kenalan lama dengan mereka,”

kata Se-kiat de ngan tertawa.

“Ia adalah puteri kesayangan dan Sip Hong ciangkun.

Meskipun Sip-ciangkun itu menjadi pembesar negeri, tapi dia

seorang lelaki jantan. Dahulu aku pernah menerima budinya.

Toan hiante, ketika ayahmu dahulu masih hidup, ia juga

bersahabat baik sekali dengan Sip cingkun. Ayub, kalian

berdua lekas menyambutnya lagi,” seru Thiat Mo Lek kepada

Khik Sia

“Ya, ketika aku mengaduk gedung Tian Seng su, diam-diam

Sip-ciangkun juga memberi bantuan kepadaku, untuk itu aku

belum menghaturkan terima kasih. Cici In, sudilah kau

sampaikan ucapan terima kasihku kepada beliau,” kata Khik

Sia sambil menjura.

Dengan kerutkan alis In-nio menyahut: “Ah tak berani kami

menerima hormatmu itu. Cukup asal kau tak menuduh lagi

aku dan adik Bwe sebagai cumi-cumi, aku sudah berterima

kasih sekali!”

Kini Hong Jiulah yang meringis. Apa boleh buat terpaksa ia

hampiri In-nio dan menghaturkan maaf; “Karena salah faham,

aku telah berlaku kurang adat pada cici, harap cici suka

memaafkan!”

Kemarahan In-nio sudah reda. Kini ia merasa suka dengan

nona itu. Ujarnya: “Karena aku bersama adik Bwe menyaru

jadi lelaki datang kemari, apalagi mengingat adik Bwe itu

adalah puteri dari seorang Ciat To Su, maka sudah selayaknya

menimbulkan kecurigaan kalian tadi.”

“Ho, kiranya yang kabur tadi adalah puteri dari Sik Ko!

Apakah ia sudah mengetahui asal-usul dirinya?” menyeletuk

Thiat Mo Lek.

“Benar, memang siang-siang ia sudah berganti lagi dengan

namanya yang aseli…. Su Yak Bwe!” sahut In-nio.

“Khik Sia, ketika ayah bundamu gugur untuk negara, itu

waktu aku tak berada disitu. Tapi kutahu mereka mempunyai

pesan terakhir sewaktu mereka menutup mata, pesan itu telah

diberikan kepada bibi Lam (He Leng-siang) agar supaya

apabila kau sudah dewasa supaya disampaikan padamu.

Apakah bibi Lam belum memberitahukan padamu?” tanya

Thiat Mo Lek.

Khik Sia tundukkan kepala, jawabnya: “Bibi He sudah

mernberitahu padaku!”

“Kalau begitu ceritakanlah padaku,” kata Thiat Mo Lek pula.

“Aku diharap menjadi seorang lelaki yang berguna untuk

nusa dan bangsa,” sahut Khik Sia.

“Selain itu?” Thiat Mo Lek menegas.

Selebar wajah Khik Sia berwarna merah, kemudian baru ia

berkata dengan suara rendah: “Minta aku supaya dengan

membawa tusuk kondai berukir Liong ini, mencari anak

perempuan Su-peh-peh!”

“Untuk apa?” desak Thiat Mo Lek.

“Dengan tusuk kondai itu sebagai barang pertandaan,

mengambil nona Su sebagai isteri!”

Memang sengaja Thiat Mo Lek maukan supaya Khik Sia

mengatakan hal itu dengan mulutnya sendiri. Setelah itu

barulah ia berkata dengan nada keras: “Cepatlah! Kiranya kau

tak lupa akan pesan ayah bundamu, tetapi mengapa engkau

tak mau mengakui nona Su sebagai bakal isterimu?”

Didesak begitu, Khik Sia memberi reaksi juga, serunya: “Dia

adalah seorang puteri dari Ciat To Su, diriku tidak sepadan!”

“Jangan kau bicara keras dihadapanku. Sebaliknya, karena

ia hanya puteri dari seorang Ciat To Su maka tak sepadan

menjadi isterimu seorang hohan (Jantan) yang termashur

bukan?” ujar Thiat Mo Lek.

“Aku bukannya memandang rendah padanya tetapi dia

bukan segolongan denganku,” bantah Khik Sia.

“Kau keliru. Sik Ko itu hanya ayah angkatnya saja. Ayah

bundanya yang aseli adalah manusia utama, setia kepada

negara luhur budi pekertinya. Siapa orangnya yang tak taruh

perindahan pada mereka? Jika orang tuanya manusia yang

begitu macam, masakan anaknya akan menyeleweng kelain

jurusan? Bilang saja sekarang ini tidak segolongan, tapi jika

sudah menikah apakah tak ikut pada suaminya Tapi celakalah,

rupanya siang-siang kau sudah takut akan bayanganmu

sendiri!” Thiat Mo Lek menindas bantahan anak muda itu.

Khik Sia diam tak dapat menyahut.

“Apalagi walaupun ia menjadi puteri angkat dari Sik Ko, tapi

sejak kecil dipelihara oleh ibu kandung sendiri. Aku pernah

tinggal dirumah keluarga Sip. Kala itu keluarga Sip

bertetangga dengan keluarga Sik. Kutahu ibu kandungnya itu

menjadi inang pengasuh dalam keluarga Sik. Tiap hari ibunya

itu mengajarkan ilmu sastera padanya. Sejak kecil nona itu

sudah lain perangainya dengan Sik Ko. Menurut penilaianku,

nona itu seorang gadis yang mencocoki idaman seleraku.

Jangan kuatirlah!”kata Thiat Mo Lek pula.

Khik Sia masih tundukkan kepala berdiam diri.

Thiat Mo Lek agak marah. Dengan kerutkan wajah ia

berkata lagi: “Bukankah kau bercita cita hendak menjadi lelaki

jantan yang termashur? Tidak menurut pesan orang tua, tidak

memegang janji suami isteri, tidak mengingat tali

persaudaraan, itulah yang dibilang tidak berbakti, tidak

berbakti dan tidak berbudi! Pantaskah seorang hohan berbuat

begitu? Ayah bun damu sudah menutup mata, urusanmu aku

tak dapat tinggal diam saja. Katakanlah, apa alasanmu hendak

merobek janji perkawinanmu itu?”

Ayah angkat dari Thiat Mo Lek adalah kakak dari ibu Khik

Sia. Dengan begitu Thiat Mo Lek masih terhitung kakak misan

(piauko) dengan Khik Sia. Khik Sia sudah sebatang kara, ia tak

mempunyai sanak famili lagi kecuali kakak misannya itu. Maka

kakak misannya (Thiat Mo Lek) itu ia anggap sebagai engkoh

kandungnya sendiri. Dalam hubungan itulah maka Thiat Mo

Lek berani mengata2i kepadanya.

Karena didamperat habis-habisan oleh Thiat Mo Lek, Khik

Sia menjadi bingung tak keruan. Semestinya ia masih

mempunyai rahasia yang sungkan dikatakan. Tapi kini apa

boleh buat ia terpaksa menerangkan juga. Dengan suara

terkait-kait ia berkata: “Toako kau tak tahu. Sewaktu digedung

Tian Seng-su, dengan mata kepala sendiri, kulihat nona Su itu,

ia..”

“Dia mengapa?” tanya Thiat Mo Lek.

“Dia dengan anak lelaki Tian Seng-su sangat mesra…….”

Thiat Mo Lek belalakan sepasang matanya yang bundar dan

menegas: “Benarkah itu?”

“Hai, bilang yang jelas sedikit! Bagaimana yang kau anggap

mesra itu?” In-nio menyela.

“Kelihatannya mereka itu bergandengan tangan..”

“Kelihatannya? Jadi nyata kau tidak melihat jelas dan hanya

kelihatannya, saja, bukan? Berada dimanakah waktu itu?”

tanya In-nio.

“Aku berada didalam kebun Tian tengah bertempur matimatian

dengan Yo Bok-lo. Di bawah sorak-sorai dan lindungan

dari kawanan para busu, nona Su dan putera Tian Seng-su

saling bergandengan tangan keluar dari ruangan. Ya, mataku

tak salah lihat lagi. Nona In, coba kau pikirkan. Belum lagi

keluarga Tian menyambutnya, ia sudah lari kerumah

mempelai lelaki. Mengapa? Tentulah karena ia sudah

mengetahui bahwa aku bakal mengganggu pada keluarga

Tian, maka sebelum dijemput ia sudah datang kerumah bakal

mertuanya untuk memberi khabar. Timbanglah saja, ia begitu

setia kepada keluarga Tian, apakah aku harus disuruh

mengakui sebagai isterinya lagi?” Khik Sia memberi penjelasan

panjang lebar.

In-nio mendongkol tapi iapun merasa geli juga. Ujarnya:

“Ho, mengapa kau menilai begitu rendah pada nona Su?

Untung waktu itu aku juga berada disitu. hingga semua

kejadian itu dapat kusaksikan dengan jelas. Jika tidak, hm,

nona Su tentu akan hancur hatinya karena kau bikin

penasaran!”

“Terang kulihat sendiri masakah bisa keliru?” bantah Khik

sia.

“Ia, memang tak salah malam itu ia berjalan keluar

bersama putera Tian Seng-su. Tetapi mereka bukan

bergandengan tangan, melainkan nona Su menyembunyikan

sebilah pisau belati dilengan bajunya dan belati itu

dilekatkannya pada punggung anak lelaki Tian Seng su. Nona

Su bermaksud hendak menolongmu, sebaliknya kau anggap

kebaikannya itu sebagai suatu kenistaan, cis, kurang ajar

betul!”

Mendengar itu Khik Sia tertegun diam seperti terpaku.

Berkata pula In-nio: “Kau tahu apa sebabnya malam itu ia

pergi kerumah keluarga Tian? Kepergiannya itu tak lain dan

tak bukan karena hendak membatalkan perkawinan itu!”

Ia lalu menuturkan tentang riwayat Yak Bwe sejak

tinggalkan rumah Sik Ko lalu pergi kegedung Tian Seng-su,

mengambil kotak emas ciat-to-su itu hingga dia (Tian Sengsu)

tak berani mengganggu daerah Lo-ciu lagi dan terpaksa

membatalkan pernikahan puteranya dengan Yak Bwe.

Kesemuanya itu satu persatu diuraikan dengan jelas oleh Innio.

Karena In-nio dapat menuturkan kejadian malam

pertempuran digedung Tian Seng-su dengan lancar, mau tak

mau Khik Sia harus percaya semuanya.

“Bagus, nona Su itu ternyata seorang gadis idaman setiap

pria. Ia berani dan cerdik, setia dan berbudi! Khik Sia, apa

katamu lagi sekarang?” seru Thiat Mo Lek.

Khik Sia malu dan menyesal. Sejenak kemudian barulah ia

dapat membuka mulut: “Aku merasa salah, aku berdosa

terhadap nona Su.”

“Cukupkah kesalahanmu itu kau tebus dengan sepatah kata

pengakuan saja?” tanya Thiat Mo Lek.

Jawab Khik Sia: “Aku akan mencarinya sampai ketemu dan

menghaturkan maaf padanya. Hanya saja….”

Thiat Mo Lek tahu apa yang dikandung Khik Sia. Serentak

ia mengerat omongan anak muda itu: “Urusan ini, tak usah

kau pikirkan. Patah tumbuh hilang berganti. Kim-ke-nia hilang

kita masih mempunyai lain pangkalan lain lagi. Gi-lim-kun

takkan lama tinggal disni. Ada Bo bengcu dan sekalian

saudara2 disini, masakan tentara negeri dapat mencelakai

kita? Lekas cari nona Su dan bawalah kemari, nanti akulah

yang meresmikan perjodohan kalian!”

Selebar wajah Khik Sia merah padam, Katanya: “Usia

siauwte masih muda urusan perkawinan boleh ditunda dahulu.

Tetapi perintah toako tadi tentu akan kulaksanakan. Nona Su

tentu akan kuajak pulang.”

Bagaikan awan tersapu angin, kini segala kesalah fahaman

sudah terang. Sekalian orang merasa girang, hanya seorang

yang akan merasa masgul yakni Lu Hong Jiu.

“Kedatanganku kepertemuan orang gagah kali ini, tiada

dengan setahu engkohku. Mungkin ia sedang sibuk mencariku

maka aku terpaksa hendak minta diri pulang. Harap bengcu

suka memaafkan,” akhirnya ia menemukan jalan keluar.

“Ah, harap nona jangan kelewat sungkan. Tolong

sampaikan hormatku kepapa engkoh nona!” sahut Se-kiat.

Karena sewaktu menundukkan lima jagoan hong-ho-ngopah

pernah mendapat bantuan nona itu, maka Khik Sia pun

segera tampil kemuka dan menghaturkan terima kasih kepada

Hong Jiu.

“Ah, masak aku membantumu? Malah aku merasa

membikin sukar kau saja, asal kau tak menyalahkan aku, itu

sudah cukup baik,” sahut Hong Jiu.

“Aku sendiri yang limbung, taci tak ada sangkut pautnya.

Taci kau berdua dengan engkohmu, mempunyai pergaulan

luas didunia persilatan. Aku hendak mohon bantuanmu untuk

satu urusan,” kata Khik Sia.

“Tak usah kau katakan, aku sudah mengerti. Begitu ada

kabar tentang diri nona Su, tentu akan segera kusuruh orang

menyampaikan padamu. Kau hendak minta tolong tentang

urusan itu, bukan?” tanya Hong Jiu.

Khik Sia hanya tertawa ganda saja selaku mengiakan.

Sebaliknya Hong Jiu mengulum kepahitan. Kiranya ia hanya

terpaut dua tahun lebih tua dari Khik Sia. Selama dalam

perjalanan dengan anak muda itu, ia memang mulai menaruh

hati. Untung ia seorang nona persilatan yang berjiwa lapang.

Setitik bayangan dalam hatinya dapatlah segera dihapus

dengan tanpa meninggalkan luka apa-apa!

“Ah, akupun hendak pulang juga karena sudah lama keluar,

Bo toako, terima kasih atas kebaikanmu membawa kami

kepertemuan besar ini. Kelak bila toako lewat dikotaku,

ijinkanlah aku menjamu,” In-nio juga mengatakan maksudnya

akan pulang.

Se-kiat tertawa: “Ah, kini aku benar2 menjadi kepala

penyamun. Jika keluargamu tidak takut kedatangan tetamu

penyamun, tentu aku senang datang berkunjung.”

Hati In-nio terasa getar, wajahnya tampak rawan namun ia

paksakan menghias senyum: “Ayahku gemar sekali bersahabat

dengan kaum enghiong. Dan beliaupun amat sayang padaku.

Silahkan kalian datang, kutanggung tak akan mencelakai

kalian.”

Walaupun mulut mengucap begitu, namun bukan tak tahu

In-nio bahwa kini ayahnya itu sudah menjadi ponggawa

kerajaan. Orang atasannya ialah Tian Seng-su, tokoh yang

paling dibenci dan membenci kawanan penyamun. Se-kiat kini

menjadi kepala penyamun. Betapa ayahnya itu mencintai

dirinya, namun paling banyak ia tentu hanya akan berusaha

supaya jangan sampai bentrok dengan Se-kiat itu saja. Jika

melangkah kesoal pernikahan, ayahnya itu tentu takkan

mengijinkan ia menikah dengan seorang kepala penyamun,

“Khik Sia, antarkanlah nona In dan nona Lu. Setelah itu kau

harus mencari nona Su. Jangan bertemu aku jika belum

membawa nona Su pulang!” kata Thiat Mo Lek.

Setelah tiba diselat lembah, Hong Jiu segera minta diri

menuju kebarat. Sementara Khik Sia dan In-nio masih

meneruskan perjalanannya.

“Bagaimana rencanamu untuk mencari adik Bwe?” tanya

In-nio,

Dengan masgul Khik Sia menyanut: “Entahlah. Dalam dunia

yang begini luas, kemana hendak kucarinya? Kupasrahkan

saja pada nasib.”

“Ia tiada sanak keluarga, pun belum pernah berkelana

keluar. Jika sementara waktu kau tidak berhasil

mendapatkannya, datanglah kerumahku untuk menanyakan

khabar. Hubunganku dengan Yak Bwe sudah seperti saudara

kandung. Jika tak pergi kelain tempat, kebanyakan ia tentu

kerumahku,” kata In-nio pula.

Khik Sia haturkan terima kasih.

-od0o-ow0o-

Jilid VII

“TETAPI sayang ia tak tahu bilamana aku pulang. Apalagi ia

sedang marah, mungkin ia akan pergi mengembara

menurutkan ayun kakinya. Ah, yang kukuatirkan kalau ia

sampai membikin onar diluaran. Ia belum punya pengalaman

sama sekali dalam dunia persilatan. Kebanyakan ia tentu

berjalan disepanjang jalan raya lama.” kembali In-nio berkata.

Sewaktu berpisah dengan In-nio, Khik Sia membawa hati

yang gundah kalana. Ia mencemaskan nasib calon isterinya

itu. Terpaksa ia menuruti petunjuk In-nio untuk mengambil

jalan raya saja.

Dan memang apa yang diduga In-nio itu tepat. Setelah

congklangkan kudanya keluar dari selat lembah, Yak Bwe

menimang dalam hati: “Karena mereka menuduh aku sebagai

cumi cumi (kaki tangan musuh), maka akupun tak sudi

ketemu lagi pada mereka.”

Pada hal ia hanya tak sudi berjumpa lagi dengan Khik Sia.

Namun karena dirangsang oleh kemarahannya, segala yang

menyangkut dengan anak muda itu, ia lempar kesamping

semua. Namun Khik Sia, sahabat2nya sampai pun orang-orang

yang berhubungan dengan anak muda itu, ia tak mau bertemu

lagi. Ia tahu kawanan penyamun itu tak mau kesamplokan

dengan tentara negeri. Mereka tentu mengambil jalan yang

sunyi. Itulah sebabnya maka ia lantas mengambil jalan besar

saja.

Saat itu Yak Bwe masih menyaru sebagai seorang pria.

Dandanannya menyerupai anak orang hartawan. Apalagi kuda

yang dinaiki itu seekor kuda tegar yang jarang terdapat. Maka

orang tentu bakal tak menduga bahwa ia itu seorang pelarian

dari sarang penyamun gunung Kim-ke-nia. Tapi rakyat sekitar

Kim-ke-nia itu masih kolot. Dandanan semacam itu telah

menimbulkan perhatian dikalangan mereka.

Tetapi karena sedang dilanda kemarahan ia tak

mengacuhkan mereka. Ia keprak kudanya kencang-kencang.

Pun ia berusaha untuk menghapuskan kenangannya terhadap

Khik Sia. Tapi ah, makin keras ia coba menekan sang hati.

makin jelas bayang-bayang anak muda itu dalam pikirannya.

“Sejak ini aku laksana seekor burung yang bebas diudara.

Tetapi walaupun jagad ini amat luas, kemanakah. aku akan

menempatkan diri!?” pikirnya. Teringat akan sang nasib, ia

merasa pedih sekali. Beberapa butir air mata bercucuran

membasahi sepasang pipinya.

Tiba2 dari arah belakang terdengar seseorpng berseru:

“Hai, alangkah eloknya kuda itu! Eh aneh sekali budak itu.

Coba dengarkan, apakah ia sedang menangis?”

Nada orang itu tak begitu keras. Tapi karena sejak kecil Yak

Bwe sudah biasa berlatih ilmu senjata rahasia, maka

pendengarannya jadi tajam sekali. Ia dapat menangkap kata2

orang dengan jelas.

Cepat2 Yak Bwe usap air matanya dan ketika berpaling

kebelakang, dilihatnya kira-kira pada jarak setengah li

disebelah sana ada dua orang lelaki bermuka bengis tengah

mencongklang kudanya,

“Cis sungguh memuakkan. Aku menangis sendiri, mengapa

kalian ngerasani (membicarakan) aku!” ia mendamprat orang

itu dalam hati. Ia cepat keprak kudanya supaya lari lebih

cepat. Sekejap saja, ia tinggalkan kedua orang itu jauh

dibelakangnya.

Memang ia masih kurang pengalaman. Ia sama sekali tak

memikikan bahwa kalau pada jarak setengih li jauhnya orang

dapat dengar suara tangisnya, orang itu tentu bangsa kaum

persilatan yang berilmu tinggi. Paling tidak mereka itu seperti

dirinya, sendiri, tentu pernah berlatih ilmu senjata rahasia.

Bagaimanapun juga Yak Bwe itu diasuh dalam kalangan

keluarga seorang pembesar tinggi. Ia biasa hidup sebagai

seorang puteri Ciat To Su yang manja. Ia benar memiliki ilmu

silat yang tinggi dan mahir juga dalam ilmu naik kuda. Tapi

sebegitu jauh ia masih belum mempunyai pengalaman

praktek. Berselang tak berapa lama dilarikan oleh sang kuda,

lebih2 ketika menyusuri jalan didaerah selat pegunungan yang

naik turun, ia mau tak mau jadi meringis juga karena tak

tahan di goncang-goncangkan diatas pelana. Tulang-tulangnya

terasa kaku kesakitan.

Ia berpaling lagi kebelakang. Karena kedua lelaki tadi

sudah tak kelihatan, barulah ia tahan tali les kudanya dan

mulai berkuda perlahan-lahan. Kini pikirannya mulai bekerja

lagi: “Pulang kerumah keluarga Sik, terang aku tak mau.

Baiklah, mulai saat ini aku akan jadi seorang gadis kelanalah.

Nanti apabila tiba dikota, lebih dulu akan kubeli pakaian dari

kain kasar. Ya, sepatu dan kain kepalaku ini juga perlu

diganti.”

Hari sudah menjelang petang. Kebetulan sekali tak jauh

disebelah muka sana, ada sebuah kota kecil. Ia berkeliling

dalam kota itu untuk mencari rumah penginapan yang

mencocoki seleranya, Tapi ternyata rumah penginapan itu

kotor-kotor, temboknya banyak yang hitam kena asap. Apa

boleh buat ia terpaksa memilih salah sebuah yang agak bersih,

“Menurut peraturan rumah penginapan kami ini, uang

kamar, makan dan perawatan kuda, harus dibayar lebih dulu,”

kata Tiam-siau-ji atau jongos.

“Ya, berilah aku sebuah kamar yang paling baik, berapa

sewanya semua?” tanya Yak Bwe.

Pengurus rumah penginapan segera mengambil suipoa dan

menghitungnya. “Sewa kamar tiga chi. Hidangan disini ada

tiga golongan. Tuan tentu menghendaki menu (hidangan)

golongan kesatu, nah pembayarannya lima perak. Makanan

kuda, kami hitung satu setengah perak, jadi semua sembilan

perak setengah, Hi, hi keliwat murah, tidak sampai satu tail

perak!”

Pada hal setiap macam, ia mahalkan sedikit. Ia memukul

dua perak lebih banyak dari harga semestinya.

“Sudah jangan ribut, akan kubayar satu tahil pas!” kata Yak

Bwe.

Pengurus rumah penginapan itu terbeliak matanya.

Mulutnya segera tertawa lancar: “Baik terima kasih tuan!”

Tetapi ketika Yak Bwe merogoh saku baju sampai sekian

lama belum juga tangan itu dikeluarkan lagi. Wajah

sipengurus rumah penginapan segera berobah. Pikirnya:

“Ditilik dari pakaiannya yang mewah, masakan ia seorang

pemuda bangkrut. Tidak punya uang, mengapa berani masuk

hotel?”

Kiranya uang yang dibawa Yak Bwe sudah habis digunakan.

Tetapi sewaktu tinggalkan rumah keluarga Sik, ia mengambil

segenggam ‘kedele mas’. Menurut adat kebiasaan dikota

Tiang-an pada masa itu, kaum hartawan kebanyakan suka

menjadikan mas mereka berupa seperti bundaran kecil2

sedikit lebih besar dari kedele. Emas yang sudah dijadikan

dalam bentuk seperti itu disebut kim-tau atau kedele emas.

Hari raya Sin-cia, waktu halal-bihalal kerumah sahabat,

mereka menghadiahi anak-anak putera sahabatnya itu dengan

biji mas seperti itu.

Sebagai seorang Ciat-to-su dari daerah Lo-kiu, Sik Ko juga

mengembangkan adat kebiasaan dikota raja Tiang-an itu.

Sewaktu pada hari tahun baru orang-orang sebawahannya

berkunjung untuk menghaturkan halal-bihalai kepadanya,

mereka tentu memberi ang-pao kedele kepada Yak Bwe.

Ketika meninggalkan rumah ayah angkatnya karena

terburu-buru maka Yak Bwe tak sempat lagi membekal goanpo

atau hancuran perak, melainkan mengambil sekenanya

saja segenggam kedele emas itu. Kemudian selama dalam

perjalanan dengan In-nio, semua ongkos-ongkos diperjalanan

itu dibayar oleh In-nio, maka bekal emas itu sebutirpun masih

belum digunakan.

Karena tak mendapatkan perak hancur, seketika wajah Yak

Bwe bersemu merah. Terpaksa ia menjemput keluar sebutir

kim-tau. Katanya: “Ciang-kui, aku tak membawa perak hancur.

Ini sebutir kim-tau kubayarkan kepadamu selaku pembayaran

rekeningku.”

Selama rumah penginapan itu dibuka, belum pernah

kedatangan tetamu yang begitu royalnya. Karena herannya,

tetamu-tetamu yang berada disitu sama maju mengerumuni.

Dengan tangkasnya, pengurus rumah penginapan itu

menimbang-nimbang kim-tau itu dengan tangannya. Menurut

pengalamannya, ia taksir kedele mas itu beratnya ada 6 – 7

gram. Nilai emas pada masa itu, satu tahil emas sama dengan

tiga puluh tahil perak lebih. Kim-tau itu paling sedikit harganya

dua puluh tahil perak.

Ciang-kui atau pengurus rumah penginapan itu, jarang

sekali mendapat emas. Diam-diam ia timbul kecurigaannya:

“Masakan didalam dunia ada seorang tolol yang menganggap

emas sama dengan perak? Ah, tidak, tidak! Pemuda ini tentu

seorang penipu. Ha, kim-tau apa? Tentulah hanya tembaga

belaka!”

Karena hidupnya dalam keluarga Sik itu tak pernah

kekurangan, jadi Yak Bwe itu tak mengerti harganya emas.

Demi melihat sipengurus rumah penginapan berdiam diri

dengan wajah gelap, ia pun bertanya dengan heran:

“Bagaimana, apakah emas itu masih belum cukup untuk

membayar rekeningku? Jika masih kurang, biar kutambahi lagi

sebiji!”

Hal itu bukan membikin girang sipengurus rumah

penginapan, sebaliknya malah membuatnya makin curiga.

Katanya: “Aku selamanya memegang teguh kejujuran, tak

mau membikin rugi, orangpun tak suka dibikin rugi. Aku hanya

menghendaki perak saja, tak mau emas!”

“Bukankah telah kukatakan bahwa aku tak membekal uang

perak?” seru Yak Bwe dengan gugup.

Mata ciang-kui itu mendelik, ujatnya: “Tidak punya uang

perak? Baik, beri saja pakaianmu itu kepadaku. Pakaianmu itu

kuhargai dua tahil perak, jadi aku masih memberimu lagi dua

perak!”

Yak Bwe makin gelisah. Kepalanya mulai berkeringat.

Serunya: “Mana bisa? Mana bisa? Kau keliwat menghina

orang!”

Mata ciang-kui itu berkeliaran, sahutnya: “Sewa hotel harus

dengan uang. Tak punya uang silahkan pergi saja. Aku sudah

keliwat bermurah hati. Mengapa kau menuduh aku

menghinamu? Tuan-tuan tetamu, harap suka memberi

pertimbangan!”

Selagi bertengkar ramai, tiba-tiba ada dua orang

menerobos maju. Hampir bersamaan waktunya mereka itu

berseru: “Ciang-kui jangan ribut! Rekening tuan ini, akulah

yang membayarnya?”

Yak Bwe mendongak mengawasi. Dilihatnya ada dua orang

tengah menghampiri kearah tempatnya. Yang seorang adalah

seorang pemuda pelajar dan yang seorang lelaki pertengahan

umur yang mukanya penuh dengan daging menonjol, sebuah

muka yang menimbulkan rasa jemu pada setiap orang yang

memandangnya. Yak Bwe seperti pernah bertemu dengan dia,

tapi entah dimana. Sejenak merenung, barulah ia teringat. Dia

adalah seorang penunggang kuda yang siang tadi berada

disebelah belakang dan ngerasani dirinya.

Simuka daging nonjol merebut berkata lebih dulu: “Aku

yang gemar mengikat persahabatan. Urusan yang tak berarti

ini, harap kau jangan pikirkan. Ai, ciang-kui, ambillah uangku

dua tahil perak ini!”

Berkata sipemuda pelajar: “Air bertemu dengan rawa,

harap maafkan kelancanganku. Ah saudara tak perlu kau

mendongkol terhadap orang-orang itu!” katanya kepada Yak

Bwe. Kemudian iapun merogoh keluar dua tahil perak dan

diletakkan dimeja kasir: “Ciang-kui itu benar-benar tak punya

biji mata. Masakan emas tidak mau menerima sebaliknya

minta perak. Baiklah, karena kau minta perak, nih terimalah!”.

Simuka menonjol berkaok-kaok keras: “Tidak! Ciang-kui,

kau harus menerima uang perakku tadi. Karena akulah yang

lebih dulu!”

Pemuda pelajar itu tertawa: “Kita sama-sama hendak

mencari kawan, mengapa ada perbedaan yang dulu dan yang

belakang? Harap jangan saudara rebutan.”

“Ah, anak ini besar rejekinya!” diam-diam ciangkui itu

berkata dalam hati. Tapi dalam pada itu ia merasakan

kesukaran sekarang. Kala tadi ia kuatir Yak Bwe tak punya

uang kini setelah ada dua orang rebutan membayari sukar

baginya hendak menerima kepunyaan siapa. Simuka daging

menonjol itu tampak deleki mata kepadanya.

Yak Bwe mendongkol, serunya: “Terima kasih atas

kebaikan saudara berdua. Silahkan simpan kembali uang

perak itu, aku tak mau tinggal dihotel ini!”

Diam2 ia tak percaya, masakan perak lebih berharga dari

emas! Kalau kasir rumah penginapan itu tak mau

menerimanya, ia hendak coba pergi kelain rumah penginapan.

Kini sebaliknya sipengurus rumah penginapanlah yang

gelagapan. Sudah tentu ia tak sudi kehilangan keuntungan

yang sebesar itu. Buru-buru ia hendak maju menghadang Yak

Bwe. Tapi belum lagi ia bergerak, tahu-tahu simuka nonjol

sudah mendahului cepat dimuka Yak Bwe yang hendak berlalu

itu.

“Tuan muda, rumah penginapan ini adalah yang terbaik

dikota sini. Atas kekasaran ciang-kui, biarlah aku yang

menghaturkan maaf. Harap tuan suka bermalam disini saja.

Mari kita menjadi sahabat,” serunya sembari menjura.

Wajah Yak Bwe menjadi merah, bentaknya, “Perlu apa kau

mau merintangi aku?” Sekali mengilah, ia sudah lolos dari

hadangan orang itu.

Orang yang bermuka nonjol itu tak dapat berbuat apa-apa

kecuali mendengus. Tapi diam2 ia mengerti. Sipemuda pelajar

juga tertegun melihat perbuatan Yak Bwe. Buru-buru ia maju

menghampiri.

“Apa yang dikatakan saudara ini tadi, memang

sesungguhnya. Didalam kota ini, hanya rumah penginapan

inilah yang paling baik. Jin-heng, mengapa kau taruh dihati

perbuatan orang goblok itu?” serunya.

Kemangkelan hati Yak Bwe agak reda. Dipikir-pikir lagi

memang simuka menonjol itu pun sebenarnya bermaksud baik

kepadanya. Buru-buru ia menghaturkan maaf, tapi tiba-tiba

ada seseorang melangkah masuk kedalam ruangan situ. Dia

seorang yang rambutnya sudah bercampur uban. Usianya

diantara lima puluh tahunan. Mirip dengan seorang guru desa,

tapi pada hakekatnya seorang tiau-hong (juru taksir) sebuah

pegadaian besar di kota yang datang kekota kecil untuk

menagih rekening.

Melihat kedatangan tauhong tersebut, girang ciang-kui

bukan kepalang. Serunya: “Ah, kebetulan sekali kau datang.

Tolong lihatkan emas. ini palsu atau tulen?”

Acuh tak acuh tauhong itu lantas menyahut: “Apa yang

kamu ributkan tadi, telah kudengar semua. Sungguh baru

sekali ini kudengar ada orang yang menyamakan harga emas

dengari perak. Aku memang kepingin menyaksikan.”

Semula tiauhong itu memang tak percaya bahwa emas dari

Yak Bwe itu emas tulen. Tapi demi menyambuti kim-tau

tersebut, sekali pandang, kejutnya bukan kepalang.

“Ciang-kui, kau sungguh seorang yang tak punya biji

mata!! Malaekat rejeki masuk kepintu rumahmu, kenapa kau

tolak mentah2?”

“Apa?” teriak siciangkui tak kurang kagetnya.

“Ini adalah cia-kim (emas murni) yang beratnya tak kurang

dari tujuh gram! Tuan muda, biarlah kutukar dengan perak!”

katanya kepada Yak Bwe. Ia mengambil seuntai goanpo yang

beratnya sepuluh tahil dan sepuluh tahil perak hancur untuk

diberikan kepada Yak Bwe.

“Tuan, menurut kurs emas sekarang ini, emasmu ini

seharusnya mempunyai nilai dua puluh dua tahil dan tujuh

setengah gram perak. Tapi aku hanya membawa dua puluh

tahil saja. Jika kau mau tukar, kau harus pergi kekota dulu.

Kekurangan ini……”

“Terima kasih, terima kasih! Kau telah menolongi

kerepotanku. Tentang kekurangan yang tak seberapa

jumlahnya itu, ambillah sebagai uang pembeli arak,” saking

girangnya Yak Bwe cepat-cepat menyahut. Ia tak mau pusingpusing

lagi dengan soal tetek bengek.

Wajah sipengurus rumah penginapan menjadi gelap. Ia

menyesal karena begitu tolol mengira seekor ikan kakap

sebagai ikan teri. Kini ikan kakap itu sudah disambar oleh

sitiau-hong yang bermata jeli. Buru-buru ia meminta maaf

kepada Yak Bwe dengan menjura. Katanya dengan terbatabata:

“Karena ketololan-ku, tadi telah menyalahi tuan. Harap

tuan suka maafkan, biar kusiapkan kamar yang bagus untuk

tuan.”

Yak Bwe hanya tersenyum saja. Diberikannya dua puluh

tahil perak itu semua kepada ciang-kui, katanya: “Sudahlah,

jangan sibuk-sibuk. Belikan dulu aku dua stel pakaian!”

Dengan tersipu-sipu ciang-kui itu menyahut. “Baik, baik,

tapi mungkin dikota ini tak ada orang yang jual pakaian sutera

halus,”

“Aku tak mau dengan pakaian sutera, belikan saja dua stel

pakaian dari kain kasar. Sisanya kau boleh ambil. Tadinya

memang hendak, kuberikan kepadamu kim-tau itu selaku

pembayaranku menginap disini. Karena kim-tau itu berharga

dua puluh tahil perak, maka semuanya menjadi bagianmulah!”

kata Yak Bwe.

Seketika pengurus rumah penginapan ternganga kesima.

“Hai, mengapa kau tak lekas2 menghaturkan terima kasih

pada tuan ini?” seru si tiau hong dengan tertawa.

Saking girangnya, ciang-kui itu seperti orang gila. Duk, duk,

duk, tiga kali ia menjura ke bawah sampai kepalanya

membentur pada lantai. Kemudian ia lekas2 menyuruh

seorang jongos siapkan sebuah kamar kelas satu dan seorang

jongos lagi untuk membeli pakaian.

“Bereslah, sekarang aku sudah mendapat kamar. Terima

kasih atas kebaikan saudara tadi,” kata Yak Bwe sembari

memberi hormat kepada sipemuda pelajar dan simuka daging

menonjol tadi. Terhadap yang tersebut belakangan ini,

sebenarnya ia merasa muak, tapi apa boleh buat terpaksa ia

menghaturkan terima kasih juga.

Karena tadi mendapat kopi pahit dari Yak Bwe, simuka

daging menonjol itu masih kikuk dan menyesal. Kini setelah

Yak Bwe menghaturkan terima kasih, ia merasa mendapat

angin. Buru-buru ia hendak menghampiri untuk mengajak

bicara, tapi kecele lagi oleh Yak Bwe yang segera pamit

hendak mengaso: “Maafkan saja, kalau mau bicara besok pagi

saja! Karena habis menempuh perjalanan, aku merasa lelah,

dan hendak mengaso.”

“Iya, ya, benar. tuan harus beristirahat. Biar kupersiapkan

bantal dan selimut yang bersih untuk tuan!” kata siciang-kui.

Ia segera mengantar Yak Bwe kedalam kamarnya.

Simuka daging menonjol melirik kearah bayangan Yak Bwe

dan mendengus perlahan. Mulutnya berkemak-kemik

menyumpahi: “Sombong benar!”

Sipemuda pelajar beikipas-kipas dan berkata seorang diri:

“Mengikat persahabatan, yang penting terletak pada

persesuaian faham. Harus suka sama suka, tak boleh

dipaksakan.”

Simuka daging menonjol itu deleki mata: “Apa katamu?”

Pemuda pelajar itu hanya tersenyum saja: “Ah, tak apaapa.

Jika saudara tak menampik marilah kita menjadi

sahabat.”

Rupanya simuka daging menonjol itu sedang uring2an.

Serentak ia berseru keras: “Baik, ayuh kita berjabatan

tangan!”

Ia menjabat tangan sipelajar itu. Diam-diam ia hendak

memberi pil pahit pada sipelajar maka genggamannya

diperkeras, Tapi diluar dugaan, pelajar itu tenang-tenang saja

seperti tak merasa kesakitan. Sudah tentu simuka daging

menonjol terperanjat. Lebih kaget lagi ia ketika merasakan

tangan sipelajar yang di genggamnya itu panas seperti besi

dibakar. Buru-buru ia lepaskan tangan, tapi ternyata telapak

tangannya telah melepuh sebagian.

“Mengapa wajah saudara tampak tak wajar apakah tak sudi

mengikat persahabatan denganku?” ujar sipemuda pelajar.

Simuka daging menonjol itu meringis. Buru buru ia

menjawab: “Akupun merasa lelah, maaf, tak dapat lama2

menemani saudara.”

Pemuda pelajar itu menirukan sikap orang tadi. Ia

mendengus dan mulutnya berkeroak-kemik: “Sombong

benar!”

Simuka daging menonjol itu tak berani cari perkara lagi. Ia

pura-pura tak mendengar terus masuk kedalam kamar.

Sementara itu sipengurus rumah penginapan yang

mengantarkan Yak Bwe tadi, begitu masuk kedalam kamar,

Yak Bwe segera kerutkan alisnya. Dua buah daun pintu, dari

jendela kamar itu sudah rusak. Temboknya penuh dengan

noda-noda hitam, kelambunya yang sudah kumal kehitamhitaman

itu sudah banyak lubangnya. Terang kelambu itu

sudah lama tak pernah dicuci. Kamar itu baunya apek dan

lembab.

“Inilah kamar yang terbaik dihotel kami. tuan harap kau tak

berkeberatan untuk tidur disini semalam saja.” kata

sipengurus rumah penginapan itu disertai permintaan maaf.

Dalam hati Yak Bwe sudah bertekad bulat; “Aku sudah

mengambil ketetapan untuk menjadi gadis persilatan. Aku

harus dapat menyesuaikan diri dengan segala macam

keadaan.”

“Baiklah, besok pagi-pagi bangunkanlah aku. Aku hendak

lekas-lekas meneruskan perjalanan, Eh, ya, pakaian yang

kusuruh kau belikan itu, lekaslah bawa kemari.”

Sipengurus rumah penginapan katakan bahwa ia sudah

menyuruh orangnya untuk membelikan. Tak lama tentu akan

datang. Kemudian ia menanyakan hidangan apa yang Yak

Bwe hendak minta untuk malam itu.

“Bawakan kemari beberapa macam sayur. Apa saja boleh

tapi harus yang bersih.” kata Yak Bwe.

Tak berselang berapa lama, pengurus itu datang pula

dengan seorang jongos yang membawa sepenampan

hidangan. Selain itu juga membawa dua bungkusan kertas

yang berisi dua stel pakaian dari kain kasar.

“Harap Tuan coba dulu. Jika kurang pas? biar segera

kutukarkan..” kata sijongos.

“Tak usah dicoba, taruh disitu saja.” sahut Yak Bwe.

Diam-diam jongos itu merasa heran, pikirnya; “Janganjangan

orang ini kurang waras pikirannya. Pakaian dari kain

sutera halus tidak mau, sebaliknya minta dari yang kain kasar.

Kemudian disuruh mencoba pas atau tidaknya, juga tidak

mau,”

Tapi karena Yak Bwe merupakan seorang tetamu yang

paling royal dalam sepanjang sejarah hotel itu, baik

sipengurus maupun jongos tak berani banyak mulut lagi.

Ternyata walaupun tadi Yak Bwe hanya minta beberapa

macam sayur yang sederhana saja, tapi ternyata hidangan

yang diberikan kepadanya itu mewah juga. Ada seekor ayam

goreng beberapa macam masakan ikan dan daging. Karena

Yak Bwe tak begitu bernafsu makan, maka setelah menyirupi

beberapa sendok kuah ayam dan makan sepotong kaki ayam

goreng, ia segera suruh si jongos membawa pergi.

Sewaktu berada seorang diri, Yak Bwe coba berusaha

untuk menekan perasaan muaknya kepada kamarnya itu. Tapi

apa mau dikata. Dari kecil sampai sekian besarnya, belum

pernah ia tidur dikamar yang sedemikian jeleknya. Ia sudah

tak enak hatinya waktu melihat daun jendela rusak, maka

iapun tak berani lepas pakaian, meja itu lebih mendingan

bersihnya.

Demikian pikirnya dan ambil putusan untuk tidur

menggelendot dimeja saja. Tapi karena hatinya tak tenteram

jadi iapun tak dapat tidur pulas.

Jauh diluar jalan sana terdengar suara kentungan dipalu.

Rembulan mulai condong kebarat. Saat itu sudah lewat tengah

malam. Akhirnya kantuknya tiba juga. Tapi baru ia hendak

meramkan sang mata, tiba-tiba terdengar ada dua lembar

daun bertebaran jatuh dimuka jende!a. Diluar seperti ada

sebuah suara halus.

Disebelah luar kamar itu adalah sebuah halaman kecil.

Disitu terdapat sebatang pohon co (semacam jambu) yang

tinggi besar daunnya amat rindang, sehingga sinar rembulan

sukar menembus kebawah. Pikiran Yak Bwe tersentak dan

kantuknya pun serentak hilang. Pikirnya: “Mengapa tiada

angin, daun itu bisa jatuh sendiri?”

Seketika timbullah kecurigaannya. Ia mengintip dari daun

jendela yang rusak itu. Beberapa saat kemudian, dilihatnya

ada beberapa lembar daun bertebaran jatuh lagi.

Memperhatikan kearah datangnya daun yang jatuh itu, ia

tersentak kaget. Samar-samar diantara gerombolan daun yang

rindang itu, seperti tampak ada bayangan hitam

mendekam….. (tak terbaca)

benda tak boleh diperlihatkan orang. Ya, tentulah karena

tadi aku mengeluarkan kim-tau maka telah menarik perhatian

bangsa penjahat. Untung aku tak jadi ganti pakaian, jika tidak

wah, betapa maluku.”

Teringat akan hal itu, timbullah kemarahannya. Cepat ia

mengambil sejemput jarum bwe hoa-ciam. Dengan berendapindap

ia menghampiri kemuka jendela. “Hem, karena kau

berani kurang ajar hendak mengintai, rasakanlah kelihayankul”

diam-diam ia mendamprat.

Tapi pohon cio itu tingginya tak kurang dari tiga tombak.

Biasanya ia hanya dapat menimpukkan bwe-hoa-ciam sampai

dua tombak saja. Dipikir-pikir timpukkannya itu tentu akan

gagal, kecuali ia gunakan ginkang untuk loncat keatas pohon

itu. Tapi jika berbuat begitu, tentu akan membikin kaget

orang-orang dan ini berarti akan timbul ramai-ramai nanti.

Selagi ia masih ragu-ragu belum dapat mengambil

keputusan, tiba-tiba terdengar suara bluk. Entah dari mana

datangnya, ada sebuah batu melayang kearah pohon itu.

Rupanya orang yang bersembunyi diatas dahan pohon itu

menjadi terkejut. Gerombokan daun tersiak, dan bagaikan

sebuah bintang jatuh dari langit.

Orang itu segera melayang turun keluar pagar tembok dan

menghilang. Karena tempat dibawah pohon itu rindang teduh,

maka Yak Bwe tak dapat melihat dengan jelas siapa orang itu.

Yang diketahuinya hanyalah bahwa ilmu ginkang orang, itu

lihay sekali, tidak dibawah dirinya. Terang orang itu bukan

pencuri biasa. Kini Yak Bwe teringat akan orang yang

menimpukan batu mengusir penjahat itu. Tapi darimana orang

itu mengumpet, Yak Bwe tak tahu sama sekali. Diam-diam

kagum atas kepandaian orang.

“Entah orang gagah mana yang diam-diam telah membantu

aku tadi,” pikirnya. Tapi ia yakin tentu bukan Khik Sia.

Mengingat nama itu, wajah Yak Bwe bersemu merah. Ia

mendamprat dirinya sendirinya: “Huh, jangan melamun yang

tidak-tidak. Dia sudah memutuskan tali pertunangan denganku

dan sekarang dia sudah mempunyai pacar lagi masakah dia

mau membantuku?”

Dengan pikiran yang gundah itu sampai Yak Bwe tegak

menggagahi jendela saja. Setelah di halaman tiada terdengar

suara apa-apa lagi, barulah ia tidur dimeja. Tapi menjelang

pukul tiga pagi, barulah ia bisa tidur sejenak. Dan beberapa

saat kemudian datanglah sudah ciang kui membangunkannya.

Karena tak sempat, terpaksa Yak Bwe tak dapat berganti

pakaian kasar yang baru dibelinya itu.

Rupanya setelah menerima persen dari Yak Bwe, ciang-kui

itu merasa sungkan juga. Tengah malam ia bangun untuk

membuat kuweh bakpau dan ia paksa Yak Bwe suka

membawanya sebagai bekal diperjalanan. Pun kuda Yak Bwe

sudah dimandikan bersih, dikemasi dan di suruhnya seorang

jongos untuk menyediakan diluar pintu. Diam-diam Yak Bwe

geli didalam hati. Benar ciangkui itu mata duitan, tapi

pelayanannya cukup memuaskan.

“Terima kasih atas pelayananmu yang baik itu. Ini

kuberikan sebiji kim-tau lagi. Disamping itu aku hendak

memberi nasehat padamu. Lain kali bila ada tetamu yang tak

membawa uang, janganlah suka membelejeti pakaiannya,”

katanya.

Ciangkui itu malu tapi girangnya bukan kepalang. Ia

mengiakan dan menghaturkan terima kasih. Serta naik keatas

pelana, Yak Bwe segera larikan kudanya. Kuda itu sebenarnya

kuda upeti dari daerah Ceng-hay yang sedianya akan dipakai

untuk pasukan Gim-lim-kun. Tapi entah bagaimana, baru

berjalan belum jauh, binatang itu tak henti-hentinya

meringkik, jalannyapun makin lambat, seolah-olah seperti

hendak mogok.

“Semalam aku tidak bisa tidur sebaliknya kau sudah

beristirahat dan makan rumput cukup. Mengapa kau masih

bertingkah?” ia menggerutu dan segera pecut kuda itu.

Kuda itu lari lagi tapi beberapa detik kemudian kembali

meringkik-ringkik. Waktu diperhatikan, Yak Bwe dapatkan kaki

kuda yang depan itu seperti pincang.

“Celaka! Apakah ia terluka? Tapi kemarin ia masih baik,”

pikir Yak Bwe.

Waktu ia hendak turun memeriksa, tiba-tiba dari arah

belakang terdengar derap kaki kuda mendatangi. Ah, kiranya

simuka daging menonjollah yang mengejar kesitu.

“Hai, bukankah kemarin kau mengatakan hendak bercakapcakap

padaku hari ini?? Mengapa begini pagi kau sudah ngacir

sendirian apa tak mau bersahabat?” orang itu tertawa.

Yak Bwe muak melihatnya. Sahutnya dengan getas: “Aku

ada urusan, tak ada waktu berkenalan padamu!”

Simuka daging menonjol tertawa gelak-gelak, serunya:

“Bolehkah aku bertanya padamu sepatah kata saja?”

Karena kudanya sakit, Yak Bwe tak dapat berbuat apa-apa.

Terpaksa ia tahankan kemarahannya! “Ya, kau hendak

bertanya apa?”

Orang itu miringkan matanya dan berkata dengan suara

rendah: “Kita sebenarnya sudah berkenalan, maka kalau tak

bisa menjadi sahabat, paling tidak kita harus saling

mengetahui nama masing-masing. Aku orang she Hau,

bernama tunggal Pheng. Dan kau nona tolong tanya siapa

namamu yang harum?”

Saking kagetnya Yak Bwe hampir terperosot jatuh dari

kudanya.

“Apa katamu?” teriaknya dengan tak lampias.

Orang itu tertawa pula: “Dihadapan seorang imam,

janganlah bicara bohong. Nona, siang-siang aku sudah

mengetahui kau ini seorang wanita. Tapi jangan kuatir, aku

tak akan mengatakan kepada siapapun juga,”

“Apa maksudmu?” tanya Yak Bwe.

Orang itu tertawa mengikik, ujarnya: “Tak apa-apa. Tapi

aku hendak mengulangi pertanyaanku tadi, mengapa begini

pagi kau sudah melanjutkan perjalanan? Apakah hendak

menjumpai kekasihmu?”

“Mulut anjing tentu tak bergigi gading!” damprat Yak Bwe

seraya ayunkan cambuknya kepada orang itu. Mulut anjing tak

bergigi gading, artinya seorang buaya tentu tak dapat bicara

sopan.

“Hai, menjumpai seorang kekasih juga perbuatan jelek

lho!” orang itu tertawa sembari menghindar dengan gerak

teng-tha-ciang-sim atau mendaki menara menyembunyikan

diri.

Tiba-tiba kuda Yak Bwe mendeprok ketanah dan Yak Bwe

pun terlempar. Simuka daging menonjol pun melayang turun,

terus hendak menyambar Yak Bwe. Yak Bwe gunakan gerak

le-hi-ta-thing atau ikan kutuk berjumpalitan. Begitu loncat

bangun, ia cepat mencabut pedang dan memaki: “Enyahlah!

Jika berani maju selangkah lagi, aku tak akan memberi ampun

lagi!”

Simuka menonjol itu sipitkan matanya dan tertawa-tawa:

“Aku kan bermaksud baik, Nona kudamu sudah tak dapat

dipakai, biar kuantarkan kau.”

“Tidak sudi!” teriak Yak Bwe dengan gusar.

Orang itu masih peringas-peringis: “Nona, sungguh

berbahaya jika berjalan seorang diri, lebih baik ikut aku

sajalah. Tanya saja pada orang-orang, siapakah kaum

persilatan yang tak tahu namaku Hau Pheng itu. Tak usah kau

menemui kekasihmu lagi!”

Saking gusarnya dada Yak Bwe hampir meledak. Wut, Ia

lantas menusuk. Tak mengira si muka menonjol kalau ilmu

pedang Yak Bwe hebat sekali. Buru-buru ia surutkan

tangannya namun tak urung lengan bajunya kena terpapas.

Muka menonjol itu juga amat tangkas. Waktu Yak Bwe

menyerang lagi, ia sudah cabut senjata liang-to (sepasang

golok) dan menangkis. Mereka bertempur sampai sepuluh

jurus lebih. Orang itu kelabakan, tapi Yak Bwe kalah tenaga.

Beberapa kali dengan gerak serangan yang indah, ia hampir

saja dapat menusuknya tapi setiap kali tentu dapat

ditangkisnya oleh simuka menonjol.

Tiba-tiba orang itu tertawa keras. “Ho, kiranya kau

mengerti ilmu silat juga, itulah bagus! Kita bakal merupakan

sepasang suami isteri yang setimpal betul!”

Yak Bwe makin geram: “Anjing bermulut najis, akan kujagal

kau!”

“Ai, mau menjagal aku? Apakah kau tak kuatir menjadi

janda? Aduh, betapa kesepian seorang janda itu! Apakah kau

dapat bertahan?”

Maka Yak Bwe marah, simuka menonjol itu makin mesum

kata-katanya. Kiranya ia memang sengaja hendak membikin

marah Yak Bwe. Ia tahu ilmu kepandaiannya kalah tinggi

dengan sinona, maka ia hendak membikin marah orang agar

pikirannya menjadi kalang kabut.

Dan karena kurang pengalaman, Yak Bwe termakan

perangkap, Nafsu amarahnya meluap luap hendak segera

menyelesaikan penjahat itu, agar ia tak mendengar kata-kata

yang kotor lagi. Karena amat ngotot, permainannya menjadi

rancu. Lawan mengetahui kelemahannya itu. Tiba-tiba dengan

berseru keras “lepas” sepasang goloknya menyusup kedalam

lingkaran pertahanan sinar pedang terus menabas lengan Yak

Bwe.

Keyakinan simuka menonjol bahwa Yak Bwe tentu akan

terpaksa lepaskan pedangnya memang beralasan, Jika lain

orang tentu akan berbuat begitu. Tapi Yak Bwe sudah

dirangsang kemarahan. Ia sudah nekad untuk mati berbareng

dengan lawan. Bukannya mundur sebaliknya ia malah

melangkah maju. Tanpa hiraukan tangannya bakal tertabas

kutung lagi. iapun menusuk kedada orang.

Simuka berdaging nonjol itu kiranya seorang penjahat

tukang ‘petik bunga’ (istilah dunia kangouw untuk orang yang

suka merusak kehormatan wanita). Sebenarnya hanya

mengiler melihat kecantikan Yak Bwe dan tak mempunyai

permusuhan apa-apa. Maka iapun tak mau diajak mati

bersama. Buru-buru ia gunakan gerak “lengkungkan

pinggang-miring menancapkan-pohon liu”. Ia lengkungkan

tubuh kesamping untuk menghindarkan tusukan pedang dan

karena berbuat begitu, sepasang goloknyapun tak dapat

mengenai sasaran.

“Hem, tak nyana budak ini begitu nekat. Untuk membikin

lepas senjatanya terpaksa aku harus mengutungi lengannya.

Tapi jika lengannya kutung, ia bukan lagi seorang wanita

cantik. Apa artinya hal itu bagiku?” pikirnya.

Sebenarnya ia tak mau membikin cacad Yak Bwe dan kaiau

dapat ingin menawannya hidup hidup saja. Tapi karena Yak

Bwe begitu nekat rencananya itupun macetlah.

Selagi ia kebingungan, tiba-tiba dari arah belakang

terdengar derap kaki kuda mendatangi. Dan penunggangnya

segera berteriak: “Hau toako, rupanya kau hendak tinggalkan

kawan. Mengapa kau mengelabui aku dan ‘berdagang’

seorang diri?”

Segera Yak Bwe mengenali orang itu sebagai kawan

seperjalanan dari simuka daging menonjol kemarin itu.

Girang Hau Pheng bukan kepalang, serunya: “Hong toako,

lekaslah kemari! Kau tutuk ia, nanti harta bendanya kuambil

semua. Tepi kau jangan menutuk jalan darah kematiannya!”

Kiranya orang itu bernama Hong Cin-gi, seorang ahli

penutuk jalan darah dengan senjata poan-koan-pit. Itulah

justeru yang dimaukan Hau Pheng. Ia membutuhkan seorang

yang dapat merubuhkan Yak Bwe tanpa melukainya.

Hong Cin-gi loncat turun dari kudanya. Dengan sipitkan

mata ia tertawa: “Mengapa Hau toako bermurah hati. hanya

mau orangnya tidak, mau uangnya? Oh…. ha, ha, hal Tahulah

aku sekarang. Orang itu ternyata memang jauh lebih berharga

dari semua emasnya. Jual beli ini tetap kau yang mendapat

kemurahan!”

Hau Pheng tahu bahwa kawannya itu pun sudah

mengetahui siapa Yak Bwe. Buru-buru ia membujuknya lagi:

“Ah, bukankah kita ini seperti saudara sendiri! Sudah tentu tak

suka kau rugi. Asal toako membantu aku. nanti aku akan

tambahi lagi sepuluh tahil emas.”

Mendengar itu tertawalah Hong Cin-gi kegirangan: “Bagus,

bagus, bagus! Kau gemar paras cantik aku rakus harta. Baik,

akan kubantu dengan sungguh-sungguh!” Ia segera cabut

sepasang poan-koan-pitnya dan terus ikut menyerang Yak

Bwe.

Ilmu menutuk jalan darah dari Hong Cin-gi itu ternyata

lihay benar. Ia merangsang maju dan tutukan poan-koan-pit

kirinya kemuka Yak Bwe: Yak Bwe coba miringkan tubuh

sembari papaskan pedangnya, tapi ternyata serangan Cin-gi

hanya gertakan kosong. Begitu menarik pulang tangan kirinya,

ia lantas maju menutukan poan-koan-pit kanannya kejalan

darah hun tay-hiat didada Yak Bwe. Syukur Yak Bwe amat

lincah. Waktu ujung poan-koat-pit sudah menempel dibajunya,

ia segera meluncur kesamping. Ia dapat lolos dari ujung poankoan-

pit hanya terpisah seujung rambut saja. Dan kini ia

mengirim serangan balasan, la ayunkan pedangnya untuk

memapas bahu dan lengan orang kemudian diteruskan

membabat pergelangan tangan.

Hong Cin-gi mengeluh perlahan. Ia putar tubuh sembari

mainkan poan-koan-pit untuk menghalau serangan Yak Bwe.

Kemudian mulutnya berseru: “Hau toako, bakpau yang sudah

dimulut ini ternyata tak mudah ditelan, lho! Malah bisa

membikin melonyoh mulut nanti.”

“Bagaimana?” seru Hau Pheng.

“Apa kau tak memperhatikan? Ilmu pedangnya itu adalah

ajaran Biau Hui sin-ni!” sahut Cin-gi.

Hau Pheng tergetar hatinya namun ia berpikir lagi: “Ah,

Biau Hut sin-ni kan sudah lama lenyap dari dunia kangouw.

Apakah ia masih hidup, tiada orang tahu. Masakan aku harus

membuang kuwe bakpau yang sudah dimulut ini?”

Ternyata pengaruh paras cantik lebih menguasai

pikirannya. Sekalipun takut dan kepada Biau Hui, tapi ia tetap

mata gelap.

“Hong toako, jangan kuatir! Akulah yang menawannya.

Meskipun Biau Hui Sin-ni masih hidup, jika ada apa biar cari

padaku, aku yang menanggungnya. Hong toako bantulah aku

sungguh-sungguh, jika sepuluh tahil emas masih kurang, biar

kutambah sepuluh tahil lagi. Nah, bagaimana?”

Tapi Hong Cin-gi gelengkan kepala: “Anak muridnya Biau

Sin-ni, ah terlalu besar resiko-ku. Aku tak ingin jual jiwaku

dengan dua puluh tahil emas saja.”

Hau Pheng kertak gigi, serunya: “Jangan ngoceh yang tak

perlu. Bilanglah, kau minta berapa?”

“Sedikitnya untuk tiga puluh tahil emas, barulah kita

rundingkan lagi!” akhirnya Hong Cin-gi menyatakan.

“Baik, kuturut permintaanmu!” sahut Han Pheng dengan

serentak.

Hong Cin-gi adalah seorang yang paling kemaruk dengan

harta. Kata sebuah pepatah: “Dibawah kerincingnya uang

emas, tentu ada orang yang berani.”

Jangan lagi apa yang dikatakan Hau Pneng tadi memang

benar, sskalipun kelak Biau Hui Sin-ni itu masih hidup dan

mencarinya, paling-paling ia hanya sebagai pembantu Hau

Pheng saja. Biau Hui Sin-ni belum tentu akan membunuhnya.

Berpikir sampai disini, pikiran Cin-gi yang sudah dibayangi

dengan kilaunya emas itu, segera menyanggupi. Serunya

dengan girang: “Baik, jual beli ini kita jadikan!”

Begitu sepasang poan-koan-pit dikembangkan ia segera

menyerang Yak Bwe lagi. Tangan kanan menyerang dengan

jurus sian-jin-ci-lo (dewa menunjuk jalan) dan tangan kiri

bermain dalam gerak hi-hu-un-cin atau nelayan bertanya kota.

Sepasang poan-koan-pit menyerang jalan darah ki-bun-hiat

dibawah lambung Yak Bwe.

Yak Bwe mendahului menyerang dengan jurus thiat-sohheng-

kiang atau rantai besi melintang disungai. Dengan

sekuat-kuatnya ia tusukkan pedangnya. “Tring” cepat Cin-gi

tutukan poan-koan-pit kebatang pedang. Begitu pedang

terdorong kesamping, ia cepat susupkan sepasang poan-koanpit

kedada. Yang satu mengarah jalan darah ki-bun hiat, yang

satu mengancam jalan darah ceng-pek-hiat. Namun

permainan pedang Yak Bwe sudah mencapai tingkat

kesempurnaan. Dengan andalkan ginkang ia gunakan jurus

kek-cu-hoan sin atau burung dara berbalik tubuh. Dengan

miring ia loncat kebelakang sampai satu tombak jauhnya.

Sekalipun orangnya lolos, namun tak urung bajunya kena

tertusuk berlubang oleh poan koan pit. Hampir saja ia terluka.

Hong Cin gi juga gesit sekali. Bagaikan bayangan, ia sudah

mengejar dan memburunya lagi dengan ribuan pagutan sinar

pit. Tubuh Yak Bwe, seolah olah terbungkus oleh sinar poan

koan pit,

“Hong toako, jangan melukainya!” teriak Hau Pheng

dengan cemas.

“Tahulah, jangan kuatir!” seru Hong Cin gi.

Sebenarnya Hong Cin gi lebih lihay beberapa kali dari Yak

Bwe, tapi dikarenakan tak boleh melukai, maka agak sukar

juga. Sekalipun pagutan poan koan pitnya tampaknya

mengancam jalan darah yang berbahaya dari lawan tetapi

sebagian besar hanyalah serangan kosong belaka. Ia harus

menghindari jalan darah maut menyingkiri jalan darah yang

membikin luka. Yang dicarinya hanyalah jalan darah pelemas

saja. Ia mempunyai pantangan, sebaliknya Yak Bwe bebas

bergerak. Maka walaupun jauh lebih lihay, tapi untuk

memenangkan pertandingan itu dalam waktu singkat,

sungguh tak mudah.

Tapi bagaimanapun juga, kepandaian itu tetap memegang

peranan penting Cin-gi yang jauh lebih lihay akhirnya setelah

lewat tiga puluh jurus dapat membuat Yak Bwe menjadi lemas

juga. Dan karena kehabisan tenaga, permainan pedang Yak

Bwe pun tidak sehebat tadi. Cin-gi tetap merangsangnya maju

mundur. Ia hanya menunggu saat2 munculnya lubang

kelemahan lawan, terus akan menutuk jalan darah

pelemasnya.

Melihat itu Hau Pheng giiang sekali. Kini sepasang goloknya

dipindahkan ketangan kiri semua. Iapun menanti kesempatan.

Begitu ada kesempatan, ia akan gunakan ilmu tangan kosong

kim-na ciu hwat untuk meringkus Yak Bwe.

Yak Bwe sudah senen kemis napasnya. Pikirnya: “Aku tak

sudi ternoda jatuh ditangan buaya itu!”

Ia ambil putusan nekad. Tapi ketika ia hendak

melaksanakan tekadnya untuk bunuh diri itu, tiba tiba

terdengar derap kaki kuda mencongklang pesat. Belum

kejutnya hilang, seorang penunggang kuda sudah muncul

dihadapannya. Dan penunggangnya yang sudah segera loncat

turun itu, bukan lain adalah sipemuda pelajar yang menginap

dihotel tadi malam.

Sambil kebutkan kipasnya pemuda pelajar itu berkata

dengan dingin: “Oh, jadi beginilah caranya memperlakukan

sahabat itu?”

Hau Pheng yang sudah pernah merasai kelihayannya,

tersentak kaget. Buru-buru ia berseru: “Harap saudara sudi

memandang mukaku, jangan mengurusi perkara ini. Nanti

tentu aku memberi balasan yang setimpal.”

Pelajar itu tertawa tawai: “Bagus, kau hendak mengajak

bersahabat? Kalau begitu ayuh kita berjabatan tangan,”

Sambil tebarkan kipas ia menghampiri Hau Pheng. Sudah

tentu Hau Pheng cepat-cepat menyurut mundur, serunya:

“Kau hendak apa?”

“Kita menjadi sahabatlah! Bukankah kau selalu mengatakan

hendak bersahabat dengan tuan muda! Kau hendak

bersahabat dengan gunakan golok. Aku tak akan pakai golok

melainkan pakai kipasku ini untuk bersahabat denganmu.”

katanya dan orangnya pun sudah tiba. Secepat kilat kipas

dikebutkan kemuka Hau Pheng.

Hau Pheng gusar dan karena melihat orang tak memakai

senjata, ia memperhitungkan: “Betapapun tinggi lwekangmu,

tapi kipasmu itu belum tentu dapat menundukkan sepasang

golokku.”

Cepat ia mengangkat goloknya dan terus dihantamkan

kepada kipas orang. Sedang golok yang satunya dibuat

menabas lengan sipelajar. Pemuda pelajar itu tertawa gelakgelak.

Kakinya diputar dan tiba terdengar suara mendering.

Golok Hau Pheng yang hendak menabas ke-lengannya tadi,

telah dibikin terpental oleh kipas sipelajar. Sedangkan golok

satunya telah disedot melekat oleh kipas untuk ditarik

kesamping.

Memang dalam dunia Kang-ouw sebenarnya terdapat apa

yang disebut senjata that-thiat-san atau kipas pelengkat besi.

Tapi kipas si pemuda pelajar itu tidak besi melainkan dari

bambu biasa. Hanya saja kipas itu dibuat oleh tukang pandai

dan diberi ukir-ukiran gambar yang indah sekali. Memang

pada masa itu, sebagian besar kaum bun-su (sasterawan)

yang berada, suka menggunakan kipas semacam itu. Itu

untuk mewujudkan daya perbawanya. Maka kipas bambu itu

sebenarnya hanya dipakai sebagai perhiasan bukan senjata!

Sepasang golok dari Hau Pheng itu terbuat dari pada bahan

baja murni, tajamnya bukan kepalang. Dia yakin bahwa

dengan sekali tabas tentu dapat menghancurkan kipas lawan.

Siapa tahu gerakan sipelajar itu bukan buatan lihaynya. Tahutahu

kipas sudah melengket dipunggung golok. Waku

sipemuda memutar kipasnya, golok Hau Pheng pun ikut

berputar. Hampir saja golok itu terlepas dari tangan karena

seperti dipelintir.

Walaupun tengah bertempur, tapi Cin-gi dapat melihat

dengan jelas gerakan sipelajar itu. Ia insaf pemuda pelajar itu

seorang tokoh silat yang berilmu tinggi. Ia ambil putusan

harus lekas-lekas merubuhkan Yak Bwe dulu. Maka tanpa

menghiraukan pantangan memilih jalan darah apa, ia segera

merangsang maju dengan jurus siang sing kia hwe atau

sepasang binatang kebetulan berjumpa. Keatas menutuk jalan

darah hoakay diubun kepala, kebawah menutuk jalan darah

tiangjiang dipantat. Hoa kay hiat adalah sebuah jalan darah

utama dari tubuh manusia. Jika kena tertutuk kalau tidak

binasa tentu akan menjadi invalid.

Yak Bwe buru-buru gunakan jurus kihwe liau thian atau

angkat api membakar langit. Di angkat pedang keatas, seluruh

perhatiannya ditumpahkan untuk menolak poan koan pit yang

menyerang kepalanya. Siapa tahu, justru itulah yang

dikehendaki Cin gi. Secepat kilat poan koan pit ditangan

kirinya mengincar ting jiang hiat dibawah.

Meski Tiang-jiang-hiat bukan merupakan jalan darah maut

atau pemingsan, tapi jika sampai tertutuk, kaki orang pasti

akan lumpuh atau pincang karena urat2nya menyurut.

“Kalau kubikin pincang sebelah kaki mu itu, rasanya takkan

membikin marah Lo Hau. Ya, aku terpaksa harus berbuat

begitu karena pemuda itu lihay sekali. Lo Hau pasti takkan cari

alasan untuk membatalkan perjanjiannyai tadi,” demikian pikir

Hong Cin-gi.

Pada saat ia berpikir begitu, ujung poan koan pitnya sudah

menyentuh baju Yak Bwe. Tapi berbareng itu iapun merasa

disambar oleh serangkum angin keras.

“Celaka!” demikian ia mengeluh, seraya gelincirkan sang

kaki untuk menghindar, namun sudah terlambat. “Plak”

bahunya kena ditampar oleh sipemuda pelajar.

Ternyata pemuda pelajar itu telah berhasil menolong Yak

Bwe dalam saat yang berbahaya. Tapi dengan berbuat begitu,

berarti muda pelajar memberi kelonggaran bagi Hau Pheng.

Tapi ternyata yang tersebut belakangan ini rupanya tak tahu

diri. Begitu longgar ia segera mengajak kawannya: “Hong

toako, ayuh kita beresi bocah kurang ajar ini!”

“Ha, bagus, bagus! Memang aku kepingin tahu bagaimana

kalian hendak membereskan diriku ini!” sipemuda pelajar

tertawa mengejek; Ia tebarkan kipasnya sehingga sepasang

golok Hau Pheng tersiak. Setelah itu secepat kilat ia katupkan

pula kipasnya untuk dipakai menutuk seperti poan-koan-pit.

“Kau adalah seorang akhli tutuk, nah aku hendak unjukkan

sedikit permainan itu, tolong kau beri petunjuk!” dalam pada

berkata-kata itu sipemuda sudah melancarkan tiga kali

serangan yang ditujukan kearah jalan darah lo-kiong-hiat,

thiat-cu-hiat, tang jiang hiat, ih gi hiat dan suan ki hiat ditubuh

Hong Cin gi.

Sudah tentu Cin gi menjadi kelabakan setengah mati. Mati

matian ia berusaha untuk menghalau serangan serangan itu

sehingga sampai mandi keringat. Ia terperanjat sekali. Nyata

ilmu kepandaian menutuk dari pemuda pelajar itu jauh lebih

lihay dari dirinya. Sebatang kipasnya jauh lebih berbahasa dari

sepasang poan koan pit orang she Hong.

Yak Bwe benci setengah mati pada Hau Pheng. Setelah

Hong Cin gi dapat dicegat oleh sipemuda pelajar, kini ia

mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahannya.

Cepat ia cabut pedangnya dan lari menerjang Hau Pheng.

“Jika tak melukaimu, jiwaku sendiri yang terancam. Ya, apa

boleh buat, seorang jelita pincang ada lebih baik dari pada

tidak ada sama sekali,” demikian pikir Hau Pheng sambil

kertak giginya erat-erat seraya mainkan sepasang goloknya

untuk menahan serangan Yak Bwe. Yang atas untuk

menangkis dan yang bawah untuk memapas lutut Yak Bwe.

Jurus yang dimainkan itu adalah jurus yang paling diandalkan

kelihayannya.

Telah dikatakan dibagian muka, bahwa Yak Bwe adalah

murid dari Biau Hui Sin ni. Ia telah mewarisi ilmu pedang dari

rahib sakti itu. Jika dinilai dari mutunya, sebenarnya

kepandaian Yak Bwe itu lebih tinggi dari Hau Pheng. Benar

dua buah serangan golok dari orang she Hau itu cukup

berbahaya, tetapi jika Yak Bwe dapat berlaku tenang, ia pasti

dapat menghadapinya. Tapi disebabkan karena ia kurang

pengalaman dan kehabisan tenaga setelah bertempur hampir

setengah harian itu, maka hampir saja ia tercelaka.

Seharusnya sewaktu lawannya tengah pentang kedua

goloknya keatas dan kebawah itu, ia segera menusuk kedada

lawan saja karena bagian itu terbuka. Dengan berbuat begitu,

berarti menghalau serangan yang kemungkinan besar malah

dapat menang.

Tapi ternyata ia tidak bertindak begitu. Melihat lawan

menghantam dengan ganas, Yak Bwe menjadi marah sekali.

Iapun mengimbangi untuk memapas sekuat-kuatnya. Ini suatu

kesalahan besar, karena dalam hal kekuatan ia kalah dengan

lawan. “Trang” pedangnya dapat ditahan oleh salah sebuah

golok Hau Pheng sementara golok yang satu dapat langsung

menabas lutut dengan lancarnya.

Untung Yak Bwe masih dapat menyelamatkan diri. Dengan

gunakan ginkang ih sing hoan wi, ia berloncatan sampai tiga

kali untuk menghindari serangan berantai dari Hau Pheng.

Hau Pheng cerdik sekali. Ia biarkan saja sinona berloncatan

kian kemari, namun goloknya yang sebelah atas tetap

menekan erat-erat pedang nona itu supaya jangan sempat

ditarik pulang. Ia terus bolang-balingkan goloknya membabat

kaki. Untuk menghindar terpaksa Yak Bwe berloncatan terus

dan karena terus menerus berloncatan itu, napasnya tersengal

sengal, tubuhnya mandi keringat.

Melihat itu sipemuda pelajar mengkerutkan keningnya

pikirnya: “Anak muda itu memiliki ilmu pedang yang bermutu

tinggi, sayang ia masih belum sempurna latihannya, jadi tak

mampu menggunakan dengan selayaknya.”

Ia ambil putusan menolongnya lagi. Cepat ia lancarkan tiga

kali serangan. Setelah Cin-gi dapat didesak dengan

menggelap. Lebih dulu ia berseru supaya Hau Pheng siap

menerima serangannya. Tapi hal itu cukup membuat Hau

Pheng terkejut setengah mati. Buru-buru ia kebaskan

goloknya yang dibawah itu untuk membacok sipemuda. Tapi

lagi2 pemuda pelajar itu unjukan kepandaian yang

mengagumkan. Ia songsong golok Hau Pheng itu dengan

kipasnya, “Ctak”, begitu berbenlur, golok itu seperti melengket

pada kipas. Dan begitu sipemuda pelajar memutar-mutar

kipasnya mau tak mau Hau Pheng dipaksa harus melepaskan

goloknya.

“Lo Hau, aku tak mau emasmu lagi, kau pakai sendiri

sajalah!” tiba-tiba terdengar suara Hong Cin-gi berseru.

Kiranya ia dapat mengetahui gelagat, bahwa pemuda pelajar

itu keliwat tangguh. Begitu ada kesempatan ia lantas angkat

kaki panjang dan kabur.

Hau Pheng serasa terbang semangatnya. Karena

semangatnya hilang, nyalinyapun pecah. Sudah tentu ia tak

dapat menahan pedang Yak Bwe lagi. “Trang” goloknyapun

segera jatuh kaiena didorong Yak Bwe.

“No, no…” demikian sebenarnya ia hendak meratap “nona,

ampunilah jiwaku.” Tapi baru saja mulutnya berseru “no”

ujung pedang Yak Bwe sudah bersarang keulu hatinya hingga

tembus kepunggung. Teriakan “no” itu sudah tentu tidak

terdengar jelas artinya sehingga sipemuda pelajarpun hanya

menganggapnya sebagai teriakan orang yang sudah hampir

mati. Setitik pun tidak terkilas dalam pikiran pemuda itu

bahwa kata “no” itu sebenarnya potongan dari kata “nona”

Yak Bwe haturkan terima kasih kepada pemuda pelajar itu.

“Aku mempunyai she dobel “Tok-ko” dengan nama tunggal

U. Dan siapakah nama saudara yang mulia ini? Mengapa

bermusuhan dengan kedua bangsat itu.?” kata sipelajar itu.

Sembarangan saja Yak Bwe memakai sebuah nama

samaran, ujarnya: “Aku sendiripun tak mengetahui mengapa

mereka memusuhi padaku. Mungkin mereka hendak

merampas harta bendaku.”

“Apakah Suheng tak pernah berkelana di dunia Kangouw?

Apakah Suheng membawa sesuatu benda pusaka ?” tanya

Tok-ko U pula.

Orang bertanya dengan tiada maksud tertentu sebaliknya

Yak Bwe malah tertegun. Pikirnya: “Hem, pemuda ini juga

hendak menyelidiki pan, sedikitpun tak ada tanda2 seorang

penjahat. Karena kurang pengalaman, maka menyahutlah Yak

Bwe dengan sejujurnya. “Aku hanya membawa segenggam

kim-tau saja. Ini, semua berada disini.”

Dengan ucapan itu terang Yak Bwe mengira kalau pemuda

pelajar itu hendak minta upah. Tapi karena melihat pemuda

itu tampaknya bukan orang sembarangan, ia kuatir jangan

jangan dugaannya itu meleset, salah salah bisa ditertawai

orang. Lebih berbahaya lagi jika orang sampai menganggap

perbuatannya itu (memberi persen), tak ubah seperti tingkah

laku kaum wanita. Maka akhirnya ia menemukan akal.

Diambilya keluar emasnya, tapi tak mau ia menyatakan apaapa.

Ia hendak menunggu sampai orang membuka mulut

dulu.

Sudah tentu rencana Yak Bwe itu gagal, karena sipemuda

pslajar itu sama sekali bukan macam orang seperti yang

diduga Yak Bwe. Tampak pemuda itu tertawa kecil, ujarnya:

“Ha, kalau begitu, kedua penjahat tadi sudah salah mata.”

“Apa?” seru Yak Bwe dengan terkesiap.

“Mungkin Suheng tak tahu akan asal usul kedua penjahat

itu. Kemudian waktu baru tiba dirumah penginapan, memang

aku sendiri belum mengetahui. Sekarang baru kuketahui.

Apakah tadi kau tak memperhatikan bagaimana mereka saling

menyebut “Hau toako” dan “Hong-toako”? Coba kau pikir,

penjahat-penjahat she Hau dan she Hong yang terkenal ganas

didunia Lok-lim, siapa lagi kalau bukan mereka?” kata pemuda

itu.

Wajah Yak Bwe bersemu merah. Sahutnya “Ya, terus

terang saja, aku baru pertama kali ini mengembara keluar.

Bagaimana selu-beluk urusan Lok-lim sedikitpun aku tidak

tahu. Harap saudara suka memberi petunjuk.”

Kata Tok-ko U: “Kedua penjahat tadi, kupastikan sembilan

puluh sembilan persen adalah Hau Pheng dan Hong Cin gi!”

“Siapakah sebenarnya mereka itu?” tanya Yak Bwe.

“Hau Pheng adalah penjahat yang termashur tukang “petik

bunga”. Sedang Hong Cin gi adalah seorang benggolan

perampok yang bekerja seorang diri. Dikalangan Lok-lim,

kepandaian mereka berdua itu juga termasuk golongan kelas

satu. Selain gemar merampas wanita-wanita muda yang

cantik, Hau Pheng itu pun juga suka merampas harta benda.

Tapi ia selalu memilih, jika bukan ‘dagangan besar’ ia tak mau

turun tangan. Hong Cin-gi lebih2 lagi. Ia selalu mengincar

pada kaum hartawan besar. Terhadap yang hanya punya

belasan tahil emas saja, ia tak memandang sebelah mata.”

Berkata sampai disini pemuda pelajar itu berhenti sejenak.

Kemudian dengan tersenyum ia melanjutkan pula berkata:

“Harap Suheng simpan lagi kim-tau itu. Memang kim-tau

Suheng itu tidak sedikit jumlahnya, tapi paling banyak hanya

berjumlah sepuluh sampai dua puluh tahil emas, bukan? Maka

tadi telah ku katakan bahwa kedua penjahat itu sudah salah

mata. Sekalipun begitu, ada baiknya juga selanjutnya Suheng

berhati-hati sedikit. Emas dan uang jangan sampai

diperlihatkan orang, agar jangan menimbulkan akibat2 yang

tidak menyenangkan, Misalnya, tindakan Suheng yang begitu

‘royal’ semalam itu, tak mengherankan kalau dapat menarik

perhatian kedua penjahat itu. Kukira mereka tentu menduga

bahwa Suheng masih mempunyai barang-barang berharga

lainnya. Ha, ha, akhirnya yang satu mati dan yang lainnya

terluka. Sudah sepantasnya mereka msndapat ganjaran itu.”

Mengetahui bahwa Hau Pheng itu seorang penjahat tukang

‘petik bunga’, wajah Yak Bwe makin merah. Ditendangnya

pula mayat Hau Pheng itu, serunya dengan geram: “Kiranya

seorang penjahat jahanam. Aku kepingin menusukmu lagi!”

“Dengan membunuh penjahat itu, berarti suheng telah

melenyapkan sebuah bisul dalam dunia kang-ouw, sungguh

pantas diberi selamat,” puji Tok-ko U. Ia masih mengira

bahwa Yak Bwe itu seorang ‘pemuda’ yang benci akan

kejahatan. Sedikitpuu ia tak mimpi bahwa ‘pemuda’

dihadapannya itu ternyata seorang nona.

“Ah, kesemuanya tadi berkat bantuan saudara, masakan

aku berhak mengangkangi pahala,” sahut Yak Bwe merendah.

Tiba ia teringat sesuatu dan bertanyalah: “Semalam ada

orang bersembunyi diatas pohon halaman hotel, kemudian

ada lain orang yang menghalaunya pergi dengan timpukan

batu. Apakah itu perbuatan saudara sendiri?”

Tok-ko U tertawa: “Benar, memang aku. Yang bersembunyi

diatas pohon itu ialah Hau Pheng ini.”

Tiba-tiba kuda Yak Bwe meringkik kesakitan. Tok-ko U

melirik dan mengerut heran. “Suheng… Suheng, kudamu itu

telah dikerjai orang.”

“Oh, makanya ia tak mau jalan, kukira binatang itu sakit.

Tapi entah bagian apanya yang terluka?” tanya Yak Bwe.

Tok-ko U menyatakan hendak memeriksanya. Kaki depan

binatang itu terangkat keatas, tak berani ditapakan ditapakan

ditanah. Setelah melihat sebentar, berkatalah Tok-ko U.

“Benarlah, dia terkena jarum bwe-hoa-ciam.”

Dikeluarkannya sebuah batu semberani, lalu ditepuknya

kuda itu perlahan-lahan. “Jangan takut, nanti kuobati lukamu.

Suheng, tolong kau pegangi dia dan pinjamkan pedangmu.”

Dengan ujung pedang Tok-ko U mencukil sedikit daging

kaki binatang itu yang sudah busuk, kemudian ditempeli

dengan batu semberani tadi. Benar juga dari dua buah kuku

kaki kuda itu, keluar sebatang jarum perak yang berkilat-kilat.

Habis itu lalu dilumuri dengan obat.

“Selesailah. Kuda ini amat tegar, setelah beristirahat

sebentar tentu bisa jalan lagi. Hanya belum saja dapat berlari

cepat mungkin besok pagi baru dapat sembuh seperti biasa.”

katanya.

Girang Yak Bwe tak kepalang. Kembali ia haturkan terima

kasih. Diam-diam ia membathin: “Ah, orang ini amat baik

sekali. Tapi entah dari golongan mana? Usianya lebih tua

sedikit dari aku tapi dia tahu dan membekal macam-macam

obat.”

“Sudah jamak bagi kaum Kelana itu untuk saling tolong

menolong. Sedikit bantuanku yang tak berarti itu mana

berharga untuk menerima ucapan terima kasih Suheng?

Sebaliknya aku malah merasa menyesal,” kata Tok-ko U.

“Menyesal apa?” tanya Yak Bwe.

“Ah, tak perlu bertanya tentu juga sudah mengerti sendiri.

Ya, apalagi kalau bukan tentang perbuatan si Hau Pheng itu.

Semalam sudah kuketahui bahwa dia mengandung maksud

jelek terhadap Suheng dan untuk itu aku hanya mengawasi

gerak-geriknya saja, sama sekali tak menduga bahwa mereka

bakal mencelakai kudamu juga. Bukankah hal ini pantas

disesalkan?”

“Ah, memang tipu muslihat orang didunia persilatan itu

sukar diduga.” Yak Bwe coba menghiburnya.

Kalau Yak Bwe mempunyai rasa curiga terhadap diri Tok-ko

U, pun pemuda pelajar itu jaga mempunyai rasa demikian

terhadap Yak Bwe. Selesai mengobati kuda, bertanyalah

pemuda itu: “Rupanya kuda ini sejenis kuda dari luar daerah,

benarkah?”

“Mungkin,” sahut Yak Bwe. “karena aku sendiri bukan

seorang akhli kuda.”

“Dimanakah suheng membelinya? Kuda sejenis ini jarang

terdapat didaerah tionggon sini,” kata Tok-ko U.

“Pemberian seorang sahabat.” sahut Yak Bwe dengan agak

gelagapan. Karena tak biasa berbohong, jadi kata2 Yak Bwe

itu tidak wajar.

Pikir Tok-ko U: “Ah, seorang yang rela menyerahkan seekor

kuda macam begini, tentu seorang sahabat yang karib sekali.

Seharusnya orang itu menceritakan juga tentang asal-usul dan

keistimewaan binatang ini. Aneh, mengapa jenis kuda yang

berasal dari luar daerah saja, ia tak tahu.”

Tapi karena baru berkenalan, jadi Tok-ko U tak leluasa

untuk bertanya dengan melilit. Hanya dalam hati saja ia tetap

mempunyai rasa curiga. Dia sudah banyak pengalaman dalam

dunia kangouw, sepintas pandang tahulah bahwa Yak Bwe itu

masih hijau, sekali-kali bukan pemuda jahat.

“Menilik bagaimana tadi ia serta merta mengeluarkan bekal

kim-taunya, hal ini membuktikan bahwa dia seorang pemuda

jujur. Jika ia tak mau menceritakan urusannya, mengapa aku

harus mendesaknya?” akhirnya Tok-ko U tiba pada kesimpulan

begitu.

“Terima kasih atas budi kebaikan saudara, kelak aku tentu

membalasnya,” kata Yak Bwe sembari memberi hormat

perpisahan.

“Suheng hendak menuju kemana?” tanya Tok-ko U.

“Aku, aku tak mempunyai tujuan tetap,” sahut Yak Bwe.

“Apakah Suheng mempunyai urusan yang penting?” tanya

pemuda itu pula..

“Juga tidak,” jawab Yak Bwe.

“Jika begitu, pondokku tak berapa jauh dari sini. dengan

berkuda kira-kira hanya makan waktu setengah hari saja.

Entah apakah Suheng sudi memberi muka padaku untuk

menjamu Suheng selama beberapa hari saja?”

Yak Bwe terkesiap. Sahutnya dengan terputus-putus: “Ini,

ini…… maaf aku tak dapat menerima budi kehormatan

saudara, namun aku sangat berterima kasih sekali!”

“Apakah Suheng menganggap aku keliwat lancang?” tanya

Tok-ko U dengan kurang senang.

“Bukan, bukan! Tadi aku lupa bahwa aku masih mempunyai

sedikit urusan lain. Ya, meskipun bukan urusan penting, tapi

harus kulakukan juga. Budi kebaikan Tok-ko-heng tadi di lain

hari tentu kubalas. Harap sudi memaafkan, aku terpaksa tak

lama-lama menemani Tok-ko-heng.” kata Yak Bwe.

Melihat tingkah orang yang kikuk itu, tahulah Tok-ko U

bahwa Yak Bwe menolak undangannya. Sudah tentu ia

merasa kurang puas, pikirnya: “Ah, orang ini aneh sekali

perangainya. Setempo terus terang tanpa tedeng aling-aling,

setempo kemalu-maluan seperti anak perawan.”

Memang renungan Tok-ko U itu tepat sekali. Sayang ia tak

mengetahui bahwa ‘pemuda’ yang dihadapannya itu ternyata

memang seorang gadis.

“Ah, karena Suheng ada urusan lain, aku pun tak berani

memaksa. Kejurusan mana Suheng hendak mengambil jalan?”

tanyanya.

“Dimanakah letak kediaman Tok ko heng?” itu?” Yak Bwe

balas bertanya.

“Aku tinggal di Pek-ciok-kong sebelah timur dari kota Huntay-

tin.” sahut Tok ko U.

“Kalau begitu tentu mengambil jalanan yang menjurus

ketimur ini?”

Tok-ko U mengiakan. Baru ia hendak menanyakan apakah

orang juga hendak mengambil jalan yang sama, Yak Bwe

sudah mendahului: “Sungguh sayang, aku hendak menuju

kejurusan barat. Lain hari bila ada jodoh untuk bertemu lagi,

tentu akan kuperlukan berkunjung ketempat Tok-ko-heng.”

Dengan tergesa-gesa seolah-olah kuatir kalau Tok-ko U

menahannya lagi, ia segera beri hormat perpisahan. Tok-ko U

masih kurang senang, bathinnya: “Ah, orang ini benar-benar

tak punya rasa persahabatan. Benar ia tak kenal padaku, tapi

aku telah menolongnya dari kesukaran. Hm, rupanya ia tidak

seperti orang Kangouw, tapi anehnya kata-katanya begitu

cemerlang, ilmu pedangnya bukan olah-olah dan memiliki

kuda bagus dari benua barat. Ah, orang apakah ia itu,

sungguh membuat orang tak mengerti!”

Makin merenung, makin besar kecurigaannya. Setelah

berjalan beberapa saat, diam diam ia memotong jalan singkat

berganti arah kesebelah barat.

Sekarang mari kita ikut Yak Bwe yang berjalan seorang diri

menuju kearah barat itu ia tak mempunyai arah tujuan yang

tertentu. Ke manapun ia bebas lepas. Hanya karena tadi Tokko

U mengatakan hendak mengambil jalan sebelah timur, ia

lantas hendak mengambil arah barat. Jalanan yang menuju

kebarat itu ternyata adalah sebuah jalan kecil yang menjurus

kejalan raya kota Ping-lu. Dari kota Ping-lu terus menuju

kebarat, dapat tiba di kota Tiang-an.

Baru mencongklang kudanya tak berapa lama dari belakang

terdengar suara derap kaki kuda yang riuh. Malah berbareng

itu terdengar ada seseorang berteriak: “Hai, bangsat kecil

hendak kemana kau?”

Yak Bwe marah. Ia kira tentu konco-konco Hau Pheng yang

mengejarnya. Tapi alangkah kejutnya ketika ia berpaling

kebelakang, ternyata yang mengejar itu serombongan tentara

Gi-lim-kun yang berjumlah tak kurang dari lima belas orang.

Mereka adalah rombongan depan atau semacam perintis dari

suatu pasukan Gi lim kun yang besar. Setiap tiba didaerah

atau kabupaten, mereka minta diadakan penyambutan. Maka

lebih dulu dikirimlah sebuah regu anak buah Gi lim kun untuk

memberi warta pada pembesar setempat agar mereka

mempersiapkan penyambutan.

Adanya Yak Bwe mengambil jalan besar, adalah karena

hendak menyingkir dari gangguan bangsa penyamun. Siapa

tahu kini ia berpaspasan dengan rombongan tentara negeri.

Ini berarti lebih besar bahayanya.

Sebenarnya pakaian yang dikenakan Yak Bwe itu cukup

mewah, memadai bangsa puteri pembesar negeri. Hal itu tak

akan menimbulkan kecurigaan tentara Gi lim kun itu. Tetapi

kuda yang dinaikinya itu adalah kuda tegar yang

dipersembahkan oleh raja daerah Ceng-hay kepada kerajaan

Tong. Jika bersua dengan tentara negeri biasa, tentu tak akan

ketahuan. Tapi celakanya Yak Bwe telah kesamplokan dengan

pasukan Gi-lim-kun. Pasukan istimewa yang bertugas khusus

untuk menjaga keselamatan istana, mempunyai perlengkapan

yang paling sempurna dan kuda2 ternama dari daerah luar.

Walaupun dari jauh, tapi sepintas pandang saja regu Gi lim

kun itu sudah dapat mengenali kuda Yak Bwe.

Pemimpin regu Gi lim kun itu seorang opsir yang bernama

An Ting wan. Pangkatnya sebagai Hou ya to wi. Didalam

hierarchie (urutan pangkat) tentara Gi lim kun yang tertinggi

adalah opsir yang berpangkat Liongkitowi, nomor dua barulah

Hou ya to wi. An Ting Wan adalah ko chiu (jago kosen) nomor

lima dalam Gi lim kun. Yang nomor satu adalah Cin Siang, lalu

Ut-ti-pak (berpangkat Liong kitowi), Ut ti Lam (berpangkat

Hou pa wi) dan seorang Hou ya to wi lain yang bernama Gong

Pan. An Ting-wan adalah seorang opsir yang gagah dan mahir

berperang.

Kaget sekali An Ting-wan melihat kuda yang dinaiki Yak

Bwe itu, serunya: “Itu dia penjahat Kim ke nia yang lolos!”

Dengan acungkan tombaknya, ia segera pimpin anak buahnya

mengejar.

Kuda An Ting-wan pesat sekali, ialah yang lebih dulu tiba.

Bentaknya dengan keras: “Bangsat bernyali besar, berani

menaiki kuda rampasan dijalan besar? Ha, sungguh hebat!

Ayoh lekas turun serahkan diri atau tidak?”

Seruan itu ditutup dengan sebuah tusukan keulu punggung

dalam jurus ‘tok liong jut tong’ (naga keluar dari gua). Yak

Bwe balikan pedangnya untuk menangkis. Tetapi ia tak biasa

bertempur diatas kuda, tenaganyapun kalah dengan lawan.

Begitu berbenturan, tubuh Yak Bwe tergetar, hampir saja ia

terjungkal dari kudanya. Dan berbareng itu terdengarlah suara

menderu. Seorang anak buah Gi-lim-kun yang mahir dalam

ilmu laso. Setelah memutar-mutar tali terus dilontarkan ke

arah Yak Bwe. Yak Bwe terjepit, ia harus pilih menyelamatkan

diri atau menolong kudanya. Cret, kepala kuda itu tepat kena

terlaso, keempat kakinya segera menjulai kebawah. Berbareng

itupun An Ting-wan menusuk pula.

“Jika menghendaki kuda ini, ambillah! Mengapa berlaku

begini kurang ajar!” teriak Yak Bwe dengan gusar. Ujung

kakinya sekali menginjak pelana, tubuhnya Yak Bwe segera

melayang tinggi.

An Ting-wan memburu maju dengan sebuah tusukan. Yak

Bwe berteriak dengan marahnya: “Ayuh, kau pun harus turun

juga!”

Tapi belum lagi sebelah kaki Yak Bwe menginjak tanah, An

Ting-wan sudah menusuk ke-arah dadanya. Yak Bwe tak mau

menangkis, melainkan lengkungkan pinggangnya. Begitu

terhindar dari tusukan, ia membabat sebuah kaki kuda An

Ting-wan. Opsir itu mengerang keras dan terpaksa loncat

turun.

“Hai, mengapa kau berkeras menuduh aku seorang

penjahat?” bentak Yak Bwe.

An Ting-wan tertawa dingin: “Kalau bukan penjahat, dari

mana kau peroleh kuda bagus itu?”

“Sahabatku yang memberi, aku tak tahu kalau kuda ini

milik pemerintah,” sahut Yak Bwe.

“Siapa yang memberimu itu?” tanya An Ting Wan pula.

Yak Bwe gelagapan, ia hanya dapat menyahut: “Pendek

kata aku ini bukan penjahat atau penyamun, percaya atau

tidak terserahlah!”

“Kalau bukan bangsa penyamun, habis siapa kau ini?” An

Ting-wan menegas.

Sudah tentu Yak Bwe tak mau menerangkan dirinya itu

putri ciat to su, maka ia tak dapat menyahut, melainkan deleki

mata saja.

Kembali An Ting-wan tertawa dingin: “Kukira kawanan

penyamun Kim-ken ia itu semuanya jantan2 yang kepala batu,

kiranya juga ada orang punya ‘tulang emas’ seperti kau.

Sudah berani menjadi penyamun tapi tidak berani mengaku.

Thiat Mo Lek dan Shin Thian Hiong sungguh harus malu

mempunyai anak buah semacam kau!” .

Sebenarnya An Ting Wan itu tak punya hubungan baik

dengan Thiat Mo Lek dan Shin Thian Hiong. Tetapi terhadap

kedua orang gagah itu, ia menaruh perindahan juga. Itulah

sebabnya ia mengeluarkan kata-kata tadi.

Memang Yak Bwe itu tak ingin bertempur dengan tentara

negeri. Tetapi karena selama dalam gedung Ciat To Su, ia

selalu disanjung hormat orang, jadi sifat-sifatnya sebagai Su

cia (puteri pembesar) masih tebal. Sudah tentu ia tak kuat

menerima hinaan siopsir semacam itu.

Pada saat An Ting-wan mengacungkan tombaknya kearah

Yak Bwe sebagai isyarat agar anak buahnya segera meringkus

nona itu, tiba-tiba terdengar suara mendering. Yak Bwee

sudah mencabut pedangnya dan berkata dengan dingin: “Jika

pembesar negeri menindas, tentu rakyat memberontak. Baik.

karena kau berkeras mengatakan aku seorang penyamun, aku

sekarang benar-benar menjadi penyamun. Nah lihatlah

pedangku!”

Giok-li-tho-soh atau bidadari lemparkan tali adalah jurus

yang segera digunakan Yak Bwe untuk menusuk siopsir.

An Ting-wan mendengus pelahan, pikirnya; “Kukira seorang

penjahat keroco yang takut mati, ternyata ilmu pedangnya

boleh juga.”

Tapi ia bukannya jeri, melainkan hanya terkejut saja.

Sembari berseru ‘bagus’ ia segera getarkan ujung tombaknya,

Begitu ujung tombak itu berkembang menjadi lingkaran sinar

terus ditusukkan kedada Yak Bwe dalam gaya “tiong-pingjiang”

Yak Bwe tahu kalau lawan bertenaga besar. Ia ambil

putusan tak mau adu senjata. Pedangnya segera memutar,

tubuhnyapun ikut maju dengan sang pedang. Dengan begitu

ia menghindari muka berhadapan muka. Tiba-tiba ujung

pedangnya disusupkan, menyusul tubuhnyapun ikut

menyelinap masuk kedalam lingkaran sinar tombak. Setelah

itu ia gunakan gerak “hong-hong can ki” (burung hong

pentang sayap) begitu ujung pedang melekat pada batang

tombak, ia segera membentak: “Lepas!” Pedang itu

digelincirkan untuk memapas jari An Ting-wan.

An Ting-wan adalah seorang perwira yang sudah kenyang

pengalaman perang. Dalam keadaan yang bagaimanapun ia

tak menjadi gugup. Begitu ujung pedang hampir tiba ditangan

segera tombak diputarnya sehingga pedang Yak Bwe terpental

kesamping.

Berbareng iapun membentak. “Lepas!” Tombak digunakan

sebagai toya, terus disapukan kepinggang Yak Bwe. Dengan

gerak wan yau ja liu atau lengkungkan pinggang menancap

pohon liu. Hanya terpisah seujung rambut saja, dapatlah ia

menghindar dari serangan maut itu. Kemudian dengan

gerakan “Hong hong tim thau atau burung hong mengangguk

kepala, ia menghindar dari ujung tombak lawan yang masih

mengubernya. Dengan begitu kedua fihak sama2 tak terluka

dan sama sama tak lepas senjatanya.

“Siapa kau? Lekas kasih tahu namamu!” bentak An Tingwan.

“Aku hanya seorang keroco yang tak bernama, lihat

pedang!”

An Ting wan diam-diam merasa heran. pikirnya:

“Kepandaiannya lihay, terang dia bukan keroco, Cin To wi

tidak pernah mengatakan dikalangan Kim Kee nia terdapat

tokoh semacam dia!”

Memang Cin Siang itu kenal baik dengan pemimpinpemimpin

gunung Kim-ke-nia, seperti Thiat Mo Lek, Shin

Thian Hiong. To Peh Ing dll. Sebelum menyerbu, oranng she

Cin itu sudah menerangkan dengan jelas kepada An Ting Wan,

suruh yang tersebut belakangan itu berhati-hati terhadap

mereka. Jika dapat bertahan boleh bertahan. Jika sekiranya

kewalahan, harus lekas lekas mundur. Dengan berbuat begitu,

Cin Siang berbuat dua macam kebaikan. Melindungi anak

buahnya (An Ting wan) dan sekaligus juga membantu pada

Thiat Mo Lek.

-od0o-ow0oTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

Jilid VIII

WAKTU Yak Bwe tak mau mengatakan namanya itu, diamdiam

An Ting wan menduga kalau Yak Bwe itu tentu seorang

thaubak baru yang menduduki tempat penting dalam kalangan

Kim ke nia. Dengan anggapan itu, An Ting wan ambil putusan

tak mau memberi ampun lagi. Begitulah ia segera mainkan

tombaknya dengan gencar. Pertempuran telah berjalan

dengan seru.

Melihat bahwa An Ting wan sebagai jenderal hanya

bertempur melawan seorang penyamun kecil, anak buah Gi

lim kun itu tak mau bantu. Mereka hanya berjajar jajar

melingkari gelanggang.

An Ting-wan menggunakan senjata tombak yang

panjangnya kira2 satu tombak (i.k. 3 meter). Diatas kuda

memang amat dahsyat sekali perbawanya. Tapi begitu

bertempur ditanah, pedang Yak Bwe lebih tangkas geraknya.

Dengan mengandalkan kelincahannya, Yak Bwe kembangkan

permainan pedangnya dengan pennh semangat hingga

akhirnya ia sedikit lebih menang angin.

Berulang-ulang An Ting-wan menyerang dengan hebat,

namun ujung baju lawan saja ia tak mampu menyentuhnya.

Akhirnya ia berganti siasat, dari menyerang menjadi bertahan.

Karena tombaknya itu merupakan senjata berat, maka waktu

dimainkan senjata itu menerbitkan angin yang menderu-deru,

gencarnya sampai airpun tak dapat menetes masuk.

Yak Bwe tak berani adu kekerasan. Ia gunakan siasat

berlincahan kian kemari, sewaktu mencuri kesempatan uutuk

menusuk. Tapi bagai manapun ia kalau tenaga dengan lawan.

Apa lagi ia baru saja habis bertempur.

Semula memang menang angin, tetapi setelah lewat tiga

puluh jurus, perlahan-lahan tenaganya mulai berkurang,

keringatnya mengucur dengan deras.

Tetapi untungnya pasukan Gi-lim-kun itu tak mengetahui

tentang perobahan situasi itu. Sebaliknya mereka malah

merasa kagum dan heran, an Ting Wan adalah ko-chiu nomor

lima dari pasukan Gi-lim kun. Bermula anak buah Gi-lim kun

itu menduga, dalam dua tiga jurus saja, An Ting wan tentu

sudah dapat membekuk lawan itu. Maka betapalah heran dan

kaget mereka demi sampai puluhan jurus keroco itu masih

tetap dapat balas menyerang.

“An towi, kita masih harus lekas2 mencari penginapan. Tak

usah harus menangkapnya hidup-hidup!” teriak seorang opsir.

An Ting-wan mendongak. Dilihatnya hari sudah lewat

tengah hari. Diam-diam berpikir: “Sebentar lagi ia tentu sudah

kehabisan tenaga dan mudah untuk menawannya hiduphidupan.

Tapi paling sedikit masih harus menggunakan waktu

setengah jam ini tentu membikin kapiran lain-lain urusan.”

Opsir yang berteriak tadi adalah seorang sin cian-chiu atau

akhli panah dalam pasukan Gi lim-kun. Dengan seruannya tadi

sebenarnya ia secara diam-diam hendak bertanya, apakah An

Ting Wan memerlukan tenaganya untuk melepas panah atau

tidak?

An Ting Wan mengerti juga isyarat itu. Cepat ia putar

tombaknya untuk mengurung Yak Bwe, lalu berseru: “Baiklah,

tapi sedapat mungkin bidik saja bagian tubuh yang tak

berbahaya. Tapi kalau sampai mati, ya biarlah.”

Yak Bwe tetap berlincahan kian-kemari dengan tangkasnya,

jadi tak mungkin orang akan dapat memanahnya dengan

memilih bagian-bagian yang tak berbahaya. Tapi karena sang

Jenderal sudah menghendaki supaya dapat menangkap hidup,

maka opsir itupun sengaja hendak mempamerkan kepandaian

dihadapan sang atasan. Akhirnya ia mendapat akal bagus.

Wut, ia lepaskan sebatang anak panah disisi kanan Yak Bwe.

Menyusul ia lepaskan lagi sebatang disisi kirinya. Kedua

batang itu sengaja di layangkan hanya beberapa dim dari sisi

tubuh Yak Bwe. Kemudian lepaskan lagi anak panah yang

ketiga, tapi hanya pura-pura saja karena tali busur saja yang

ditarik tapi tak ada anak panahnya.

Yak Bwe mahir juga dalam ilmu melepas senjata rahasia

lian-cucian-hwat. Biasanya ilmu lian-cu-cian-hwat itu

dilepaskan tiga kali beruntun-untun diarahkan disisi kanan, kiri

dan tengah. Tadi karena bergeliatan menghindari anak panah

yang pertama dan kedua, posisi tubuhnya berada ditempat

yang sudah diduga oleh musuh. Waktu didengarnya lawan

menggetarkan tali busurnya ia yakin tentu akan mengarah

bagian tengah. Dan untuk itu, ia harus menghindari dengan

meloncat keudara.

Tapi dengan cerdiknya siopsir sudah mendahului lepaskan

anak panahnya setinggi satu meter keudara. Dengan begitu

gerak loncatan dari Yak Bwe tadi berarti ‘anjing cari gebuk’.

Cret, lengannya termakan panah, darah mengucur deras,

“Menilik kau juga seorang jantan, aku tak mau mengambil

jiwamu. Lekas buang senjatamu dan menyerah saja!” buruburu

An Ting Wan menyerukan.

Yak Bwe kertak gigi dan menyahut getas: “Jantan dari Kimke-

nia tak kenal kata-kata menyerah!”

Karena gusar mendapat hinaan tadi, Yak Bwe nekad

hendak mengadu jiwa. Ia kuatkan diri menangkis tombak An

Ting Wan, Tapi setelah terluka itu, tenaganya makin lemah,

sudah tentu ia tak dapat menangkis dengan jitu. Segera ia

rasakan lengannya linu, mata berkunang kunang dan kakinya

lemas. Hampir saja ia tak mampu menahan lepasnya sang

pedang. Dalam keadaan begitu, asal An Ting Wan memberi

tekanan lagi, pedang Yak Bwe pasti terlepas jatuh.

Dalam keadaan yang berbahaya itu, sekonyong-konyong

terdengar suara benda mendesing. Sebatang paser melayang,

bukan kearah Yak Bwe melainkan menuju kepada An Ting

Wan. An Ting Wan terbeliak kaget, pikirnya: “Ha, mengapa

anak panah dari Hwe Poh Hu bisa nyasar.”

Baru ia menghindar, panah yang kedua dan ketiga susul

menyusul menyambarnya. Apa boleh buat, terpaksa An Ting

Wan lepaskan Yak Bwe. Ia putar tombaknya untuk menangkis

paser lian-cu-cian itu. Setelah itu barulah ia mengetahui

bahwa yang melepas lian-cu-cian itu ternyata bukan siopsir

tadi melainkan orang lain lagi.

Tiba-tiba dari hutan pohon siong yang terle tak ditepi jalan,

menerobos seekor kuda tegar. Penunggangnya mengenakan

kerudung muka. Begitu keluar ia timpukkan dua buah lian-cu

cian. Walaupun hanya dengan tangan, tapi panah itu tak kalah

dahsyatnya daripada dilepaskan dari busurnya. Selain keras

timpukannya, juga arahnya amat jitu. Untuk melindungi diri,

An Ting Wan putar tombaknya gencar sekali. Namun sekalipun

begitu, tak urung ia tetap terkena sebatang panah. Kebetulan

sekali mengenai lengannya juga, darah mengucur deras, Yak

Bwe mempunyai kawan sependeritaan.

Setelah mengetahui An Ting Wan terluka, orang

berkerudung itu tak mau mencecernya lagi. Kini ia beralih

sasaran. Tujuh delapan batang anak panah ditimpukan kearah

pasukan berkuda Gi lim kun. Setiap batang tentu membawa

korban seekor kuda. Karena terluka, kuda pasukan Gilimkun

itu menjadi binal dan mencongklang lari. Yak Bwe menjadi,

terlepas dari kepungan anak buah Gi-lim-kun.

Pemimpin regu panah dari Gi lim-kun menjadi murka,

serunya: ”Bangsat, jangan kurang ajar! Terimalah panahku!”

Tapi baru saja ia bidikan sebuah anak panah lawanpun

melepaskan sebuah paser untuk membantunya. Ternyata

orang berkerudung muka itu lebih tangkas dari opsir

pemimpin regu panah. Siopsir coba akan mengembangkan

ilmu bidikan yang disebut lian-cu-cimi-hwat. Tapi baru ia

menarik busurnya, terdengarlah bunyi berkeretakan. Sebuah

paser dari seorang berkerudung itu tepat sekali telah

menghantam bagian tengah dari busur sampai patah. Dan

lebih celaka lagi, siorang berkerudung sudah susuli pasernya

yang kedua yang dengan jitu telah mengenai paha siopsir.

Kontan-opsir itu terjungkal.

“Su-heng. lekas lari!” teriak orang berkerudung itu.

Melihat kejadian itu, marah An Ting Wan bukan kepalang.

Begitu tombak dipindah ketangan kiri, ia lantas menerjang.

Tetapi dengan menahan rasa sakit. Yak Bwe sudah loncat

kepunggung kuda siopsir. Karena anak buah Gi-lim-tun yang

masih belum terluka, hanya enam tujuh orang saja, sudah

tentu tak mampu menahan Yak Bwe. Sekejap saja Yak Bwe

sudah larikan kudanya ikut seorang berkerudung masuk

kedalam hutan.

Karena jeri akan kesaktian ilmu permainan paser dari

simuka berkerudung dan kuatir kalau didalam hutan

bersembunyi barisan musuh terpaksa An Ting Wan menggigit

jari saja. Setelah mengumpulkan sisa anak buahnya, iapun

lantas meneruskan perjalanan lagi.

Selama membawa Yak Bwe menyusup hutan dan kemudian

berjalan disebuah jalan terpencil, orang berkerudung itu tak

mengatakan sepatah katapun juga. Waktu menengok

kebelakang legalah perasaan Yak Bwe karena musuh tak

mengejar. Tapi berbareng saat itu, luka di lengannya terasa

sakit sekali sampai ia mengucurkan keringat dingin. Hampir2

saja ia tidak kuat bertahan diri duduk diatas pelana kuda.

Ia tahan sakit dan hendak cabut panah yang tertancap

dilengannya itu, tapi keburu dicegah oleh simuka berkerudung

“Jangan, jangan!”

Mereka hentikan kudanya dan tiba-tiba orang itu tertawa

gelak: “Suheng, sungguh tak nyana kita bakal berjumpa lagi.”

“Bret” terus di cabutnya kain kerudung yang menutupi

mukanya itu.

“Hai, kiranya kau!” teriak Yak Bwe dengan kaget.

Kiranya siorang berkerudung itu bukan lain ialah pemuda

pelajar yang belum lama berpisah dengan Yak Bwe, yaitu Tokko

U.

“Aku tak tahu sama sekali kalau Suheng ini juga salah

seorang kesatria Kim-ke-nia. Maaf tadi aku telah berlaku tak

menghormat,” kata Tok-ko U.

Dengan gunakan bahasa Kangouw yang baru dipelajari

bertanyalah Yak Bwe: “Dari golongan manakah saudara ini?”

Tok-ko U tertawa gelak-gelak, sahutnya: “Aku sebenarnya

bukan orang loklim tetapi aku gemar bersahabat dengan kaum

enghiong hokiat. Siapakah orangnya yang tak kenal pada

Thiat Mo Lek pemimpin Kim ke nia itu? Sungguh sayang

sekali, sampai sekarang aku belum mempunyai rejeki untuk

berjumpa. Kabarnya tentara negeri telah mengadakan serbuan

besar2an kegunung Kim ke nia, bagaimanakah dengan Thiat

Mo Lek?”

Karena dirinya dianggap seorang hohan (orang gagah) dari

Kim ke nia, Yak Bwe membiarkannnya saja. Ia menyahut:

“Thiat cecu siang2 sudah dapat meloloskan diri. Karena

kepandaianku rendah maka aku tak mampu mengikuti jejak

Thiat cecu dan tercecer dari barisan.”

“Jangan kuatir Suheng. Jika sekiranya tak menampik,

sukalah kiranya Suheng untuk sementara menetap

dipondokku,” kata Tok-ko

“Terima kasih tapi nanti merembet saudara!” sahut Yak

Bwe.

“Dulu kita belum kenal satu sama lain. Tapi sekarang jika

Suheng tetap menolak, itu berarti menghina diriku.” ujar Tokko

U.

Yak Bwe bimbang hatinya. Sesaat ia tidak dapat mengambli

putusan. Pikirnya: “Rupanya ini seorang gagah budiman.

Tetapi aku seorang gadis, bagaimana bisa tinggal ditempat

seorang pemuda yang belum kukenal?” ,

Maka dengan ragu-ragu ia menjawab: “Kurasa lukaku ini

tak apa apa,” Baru ia berkata begitu lukanya itu sudah

mengucurkan darah pula

Tok-ko U cepat turun dari kudanya. “Nih, aku membawa

obat kim jong yok. Obatilah dulu lukamu itu, baru nanti kita

sambung bicara lagi,” katanya sembari menghampiri terus

hendak menolong Yak Bwe turun dari kuda.

Sudah tentu Yak Bwe terperanjat sekali. Dengan menahan

sakit, ia mendahului loncat sendiri.

Hampir saja ia terjerembab jatuh. Tok ko U hendak ulurkan

tangan menahannya, tapi Yak Bwe cepat2 menghindar,

serunya: “Tidak apa apa. Tolong berikan obatmu itu padaku,

aku dapat mengobatinya sendiri.”

Diam-diam Tok-ko U heran melihat sikap Yak Bwe.

Masakan seorang hohan dari loklim begitu pemaluan sikapnya.

Tapi segera dikejutkan dengan gerak-gerik Yak Bwe. Karena

sudah hampir setengah jam lengannya tertancap panah,

kucuran darah telah membasahi bajunya. Dengan tahan rasa

sakit Yak Bwe merobek bajunya itu dan terus hendak

mencabut anak panah.

“Jangan Suheng! Harus dicuci bersih dengan air dulu,

dilumuri obat dan dibungkus kain pembalut. Paling sedikit

lewat satu malam, setelah nanti darahnya berhenti mengucur

baru boleh panah itu dicabut. Jika sekarang di cabut, darah

tentu mengalir tak berhenti. Di kuatirkan darah itu

mengandung racun. Obat ku kim jong yok ini pasti tak dapat

menolong apa-apa. Diumah aku mempunyai persediaan obatobatan

yang lengkap, Besok pagi dicabut, rasanyapun masih

belum terlambat,” buru buru Tok-ko U mencegah.

Yak Bwe menghaturkan terima kasih lalu melumurkan kimjong-

yok pada lukanya. Tapi ia tak mempunyai pengalaman

sama sekali, Jari-jarinya bergemetaran. Ketika melumpurkan

obat dan kena pada tulang. saking sakitnya hampir saja ia

menjerit. Keringat dingin mengucur deras.

Tok-ko U makin heran. Pikirnya: “Pekerjaannya selalu

berhubungan dengan golok dan darah, tetapi mengapa

mengobati luka saja tak mengerti. Sudah diperingatkan satu

kali supaya jangan mencabut panah, ia masih bermaksud

mencabut. Dan sampai pun cara untuk melumuri obat juga tak

tahu. Sungguh mengherankan bahwa didunia loklim terdapat

seorang hohan seperti dia.”

Tetapi ketika melihat Yak Bwe menahan kesakitan hebat,

Tok-ko U tak tega melihat saja. Dan ia bermaksud hendak

membantunya melumuri obat.

Yak Bwe tengah asyik melumurkan obat sambil tundukan

kepala.

Ia tak mengetahui kalau Tok-ko U sudah menghampiri

kesampingnya. Pun terdorong oleh rasa kasihan tanpa bilang

lebih dulu, Tok-ko U terus ulurkan tangan untuk memapahnya.

Waktu tubuhnya serasa dijamah tangan orang, kejut Yak Bwe

bukan kepalang. Serentak timbul juga reaksinya sebagai

seorang gadis. Cepat ia mendorong dan berteriak: “Mau apa

kau?” Karena gerakan itu bungkusan obat yang dipegangnya

pun turut jatuh ketanah.

Tok-ko U terbeliak kaget: “Suheng, aku mau membantumu,

kau ini bagaimana sih?”

Waktu tampak yang datang itu Tok-ko U, tahulah Yak Bwe

akan maksudnya. Wajahnya segera berobah kemerahmerahan,

ia paksakan tertawa: “Aku sudah melumurinya,

terima kasih.”

“Mana biar kubantu balutkan,” kata Tok-ko U.

“Tak usah, tak usah, aku sendiri bisa,” Yak Bwe goyangkan

tangannya.

Keheranan Tok-ko U makin bertambah besar, bathinnya:

“Aneh benar orang ini. Dia lebih pemaluan dari seorang toasiocia,”

Yak Bwe merobek secarik kain bajunya lalu membalut

lengan kirinya yang terluka itu. Tapi ia tak mengerti caranya

membalut luka. Ia malang melintangkan balutnya, hingga tak

keruan bentuknya. Tok-ko U kerutkan alis. Beberapa kali ia

bermaksud hendak ulurkan bantuan, tapi selalu mundur

teratur karena sikap Yak Bwe yang janggal itu.

Pada jaman kerajaan Tong masa itu, masyarakat tidak

terlalu terkekang dengan adat istiadat pergaulan. pergaulan

antara wanita dengan pria agak bebas. Adalah karena Yak

Bwe itu dibesarkan sebagai Siocia (nona) sebuah keluarga

pembesar, ibu kandungnyapun berasal dari keluarga

terhormat, maka watak perangainya berbeda dengap gadis

kebanyakan. Terhadap pria yang belum dikenalnya, ia tak

berani bergaul terlalu rapat. Justeru karena sifatnya yang

berbeda dengan kaum gadis umumnya. Tok-ko U tak

bercuriga kalau ia itu seorang gadis. Pada umumnya kaum

wanita, terutama wanita kang ouw, sewaktu mendapat luka

tentu tak menolak mendapat bantuan kaum pria. Tok-ko U

anggap Yak Bwe itu seorang pemuda yang berwatak aneh

saja. Diam-diam ia kurang senang tapi sungkan untuk

mengatakannya.

Setelah dibalut dan beristirahat beberapa saat, tenaga Yak

Bwe mulai timbul sedikit, ia paksakan diri untuk naik keatas

pelana kudanya.

“Suheng, kau perlu beristirahat baik-baik. Harap jangan

sungkan lagi, beristirahatlah untuk sementara hari

dirumahku,” kata Tok-ko U pula. Sudah tiga kali ini, ia

menawarkan jasa baiknya.

sudah berkata lagi. “Sejak dari perjalanan di sini,

Seterusnya dimana-mana tentu terdapat tentara negeri. Taruh

kata kau mempunyai urusan penting yang harus dikerjakan,

namun kiranya tak leluasa untuk melanjutkan perjalanan. Kau

seorang diri dalam keadaan terluka pula. Jangankan anak

tentara negeri, sedangkan setiap orangpun tentu akan

mencurigai dirimu.”

Yak Bwe mengakui kebenaran ucapan itu, namun ia tak

dapat mengambil keputusan dengan segera. Pikirnya:

“Pemuda ini rupanya seorang bangsa hiapgi (orang gagah

budiman). Dalam keadaan seperti sekarang ini, apa boleh buat

aku terpaksa harus memenuhi ajakannya. Rasanya orang ini

tentu tak akan berbuat jahat terhadap diriku.”

“Karena Tok-ko-heng begitu sungguh hati mengundang,

biarlah kutebalkan muka untuk menerimanya. Ah, sungguh

bikin repot kau saja dan kemungkinan juga akan merembet

dirimu,” akhirnya Yak Bwe menerima juga.

Jawab To-ko U: “Harap Suheng jangan cemas. Desa

kediamanku itu terpencil ditempat pegunungan sunyi. Orang

luar pasti tak menaruh perhatian. Hanya saja aku sedikit

menguatirkan….”

“Apa yang kau kuatirkan?” tukas Yak Bwe.

“Karena menderita luka, mungkin Suheng akan susah naik

kuda. Lebih baik kita boncengan saja, naiklah dikudaku ini!”

kata Tok-ko U.

Jantung Yak Bwe berdebar keras, pikirnya: “Mungkinkah ia

sudah mengetahui diriku lalu mengandung maksud buruk?”

Tapi demi menilik sikap pemuda itu amat sopan dan

bersungguh-sungguh, ia membantah dugaannya yang tidaktidak

itu sendiri. Ia merenung sejenak lalu menyahut.

“Walaupun lenganku terluka, tapi kalau kau bukan kesatria

dari Kim-ke-nia, tak nanti aku mau gubris padamu?”

Sekalipun ia coba membikin gagah ucapannya, namun

sikapnya tetap kurang wajar. Tok ko U menggerutu dalam

hatinya: “Coba kalau kau bukan kesatria dari Kim-ke-nia tak

nanti aku mau gubris padamu.”

Kuatir kalau kesamplokan dengan tentara negeri. Tok-ko U

mengambil sebuah jalanan kecil ditepi gunung. Jalan di itu

berliku-liku, orang naik kuda sekalipun juga akan peringisan.

Dengan tahan rasa sakit Yak Bwe tetap mempertahankan diri

naik kuda sendiri. Untung kediaman Tok-ko U itu hanya

terpisah jarak 40 an li. Tak berapa lama tibalah sudah mereka

didesa kediaman Tok-ko U.

Kediaman Tok-ko U itu terletak dibawah puncak Pek-ho-nia,

depan rumah ada sebuah empang teratai dan kedua tepinya

dikelilingi oleh pohon-pohon liu. Atap rumah merah yang

menonjol diantara hutan berwarna hijau itu, sungguh seperti

pemandangan dalam sebuah lukisan.

“Alangkah indahnya tempat ini, seperti sebuah taman

firdaus diluar dunia,” Yak Bwe memuji.

“Ah, Suheng itu tak mirip seorang loklim tapi lebih

mendekati seorang seniman.” Tok-ko U tertawa. “Pujian

Suheng itu lebih menggirangkan hatiku sebagai tuan rumah.

Aku tentu minta Suheng untuk tinggal lebih lama disini.”

Tengah mereka bicara itu, muncullah seorang dara berlari

lari keluar. Masih jauh dara itu sudah berteriak: “Koko, kau

sudah pulang!”

Tapi serta melihat Tok-ko U membawa seorang pemuda

yang terluka lengannya, dara itu terkesiap. Tok-ko U tertawa

menerangkan bahwa ia membawa seorang sahabat. Kemudian

ia memperkenalkan: “Ini adalah Su Ceng-to (nama samaran

yang dipakai Yak Bwe). Dan ini adalah adik perempuanku Tokko

Ing. Su toaka ini sungguh seorang tetamu yang jarang kita

jumpai, Ing-moay, tolong kau melayaninya baik2.”

“Hai, Su toako, mengapa kau terluka begitu?” tanya Tok-ko

Ing.

Tiba tiba Tok ko U berkata: “Moay moay, tentu kau akan

gembira……”

“Huh, mengapa kau malah senang melihat orang lain

terluka?” Toko Ing mengomelnya.

“Bukan itu yang kumaksudkan, melainkan aku hendak

menuturkan tentang riwayat Su toako. Harap kau jangan

mencampur adukkan Ing moay, bukankah kau pernah

mengatakan bahwa kau hanya kagum kepada tiga tokoh

dalam jaman ini?” kata Tok ko U.

“Ya, benar. Yang satu Thiat Mo Lek, yang kedua Bo Se Kiat

dan yang ketiga Toan Khik Sia.” Kata Tok ko Ing.

“Nah, begitulah Su toako ini adalah sahabat baik dari ketiga

tokoh itu. Ia adalah seorang hohan dari Kim ke nia,” ujar

Tokko U.

Memang hubungan Se kiat dan Khik Sia dengan Thiat Mo

Lek itu sudah diketahui oleh kaum Bu lim. Oleh karena itu

Walaupun Yuk Bwe tak mengatakan kalau ia kenal dengan

kedua pemuda itu, namun dengan spontan (serentak) Tokko U

yakin Yak Bwe tentu mengenalnya. Dan ini terang

mengangkat diri Yak Bwe dimuka Tok-ko Ing.

Tertawalah Yak Bwe menyahut: “Aku hanya seorang keroco

dari Kim-ke nia, mana dapat digolongkan sebagai sahabat dari

ketiga tokoh itu?”

“Oh, mengertilah aku. Kabarnya beberapa hari yang lalu

tentara negeri telah mengadakan sergapan ke Kim-ke-nia,

Bukankah kau terlu kena panah mereka?” tanya Tok-ko Ing.

“Ah, ia barusan saja terluka itu,” sahut Tok ko U. Ia lantas

menceritakan tentang pertemuannya dengan Yak Bwe

sewaktu sedang bertempur dengan pasukan Gi lim kun.

“Hai, koko, kau ini memang keterlaluan juga. Orang

menderita luka sebaliknya kau hanya enak2 mengobrol saja.

Ayuh, lekas sediakan tempat untuk Su toako,” tiba-tiba Tokko

Ing menyeletuk.

Memang kala itu Yak Bwe amat lelah sekali. Kedua kakinya

serasa mati rasa, seolah olah seperti bukan kakinya sendiri.

Ternyata gedung kediaman keluarga Tok ko itu agak terletak

di atas, jadi meteka harus melalui lamping gunung yang

menanjak. Ketika melihat Yak Bwe turun dari kuda dan

berjalan dengan susah payah yaitu setiap berjalan selangkah

tentu harus berhenti sejenak, Tok-ko Ing serentak

menghampiri hendak menolong memapahnya. Sedang mulut

dara itu tetap mengomel sang engkoh: “Kau sendiri tadi yang

minta supaya aku melayani tetamu baik2, masakan kau sendiri

tak mengerti bagaimana harus melayani orang?”

Walaupun, dalam hati Yak Bwe benci kepada Khik Sia, tapi

entah bagaimana, kepada orang yang memuji sang tunangan

itu, ia merasa senang sekali. Apalagi Tok-ko Ing itu seorang

dara. Seketika lupalah Yak Bwe bahwa dirinya pada saat itu

sedang menjadi seorang; ‘pria’. Bukan hanya membiarkan saja

To-ko Ing menggandeng tangannya, pun karena letihnya ia

lantas menggelendot tubuh sang dara.

Tersentuh deugan hangatnya tubuh Yak Bwe dan membaui

harum dari napas dan rambut Yak Bwe, seketika mendeburlah

darah Tok ko Ing. Tapi ia seorang dara yang lapang dada.

Didiamkannya perbuatan ‘pemuda’ itu, dengan wajah tenang

ia tetap menggandeng tangan Yak Bwe untuk diajak masuk

kedalam rumah.

Semula Tok-ko U kuatir kalau adiknya itu bakal mendapat

‘kopi pahit’ (sikap getas) dari Yak Bwe. Siapa tahu ternyata

pemuda gadungan ini telah menunjukkan sikap yang diluar

dugaannya. Pikirnya: “Kukira ia itu seorang yang amat

pemaluan. Siapa tahu ia begitu mesra kepada Ing-moay. Aneh

benar ini. Aku yang sekaum dengannya tapi ia sudah begitu

enggan berdekatan. Sebaliknya dengan seorang yang

berlainan jenis ia malah begitu mesranya. Hm, jika semalam

aku belum mengetahui jelas bagaimana pribadinya tentu

kusangka ia seorang pemuda hidung belang.”

Ketika mendengar napas Yak Bwe tersengal sengal, Tok-ko

Ing merasa kasihan, ujarnya: “Su toako, kau benar-benar

seorang pemuda gagah. Meskipun terluka parah, tapi masih

dapat naik kuda mendaki gunung. Koko, mari kita rawat luka

Su toako ini lebih dulu kemudian biar ia mengaso dikamarmu,

ya?”

Yak Bwe terkejut, buru-buru ia berkata: “Ah, jangan sampai

merepoti Tok-ko-heng. Aku memang mempunyai adat aneh,

yakni tak suka tidur sekamar dengan orang, melainkan senang

tidur seorang diri disebuah kamar yang sunyi.”

“Ah, benar-benar ia seorang yang terus terang. Biasanya

seorang tetamu itu tentu menurut peraturan tuan rumah,

sebaliknya ia tak sungkan mengajukan permintaan. Ah,

rupanya ia tak mau membikin repot tuan rumah,” pikir Tok-ko

Ing

“Aku mempunyai sebuah kamar buku yarg lumayan

bersihnya. Entah mencocoki tidak selera Su toako?” katanya

sembari memapah Yak Bwe menuju kesebuah kamar buku.

Ternyata kamar buku itu indah dan rapi. Diatas dinding dari

rak buku digantungi lukisan. Sementara pida tepi jendela

dimana sebuah meja tulis, pun dijajar vas-vas bunga. Dupa

wangi diperapian masih mengepulkan hawa yang harum,

Berhadapan dengan lemari buku terdapat sebuah dipan yang

tak berkasur, melainkan sebuah bantal saja. Rupanya dipan itu

dibuat tempat Tok-ko Ing berbaring dikala ia membaca.

“Su toako, jika kau senang dengan kamar ini, biarlah

kusiapkan kasur,” kata dara itu.

“Ya, ya, bagus benar! Sungguh tak kira nona ini juga

seorang penggemar buku. Dikamar sini terdapat sekian

banyak buku. Huruf pada lukisan itu, sungguh kuat

expresienya. Aha, kiranya syair gubahan Tu Fu!” demikian Yak

Bwe memuji.

Tu Fu dan Li Pai adalah dua dewa penyair yang disanjung

pada jaman itu. Setiap buah karya mereka keluar, tentu

segera menjadi buah deklamasi pada setiap mulut orang.

Tetapi buah sajak yang ditulis oleh tangan kedua penyair

termasyhur itu, jarang sekali dapat di peroleh.

Syair yang tergantung didinding kamar buku Tok-ko Ing itu

ternyata buah tulisan dari penyair Tu Fu, Yak Bwe pernah

melihatnya dan seketika timbullah gelora hatinya untuk

mendeklamasikan sajak itu. Kiranya sajak itu digubah oleh Tu

Fu ketika ia dikota Lim-pin melihat anak murid dari Kon-suntoa-

nio yang bernama Li Sip Ji Nio memainkan pedang.

Tertarik oleh permainan pedang sinona yang sedemikian

indahnya, penyair itu telah menarik an pit, mempersembahkan

sebuah sajak pujian.

“Sair indah, syair indah! Datangnya bagaikan halilintar

mengumbar kemarahan, gemuruh laksana ombak laut

memancar sinar mengkilap. Ah, ilmu pedang yang telah

mencapai tingkatan semacam itu, sungguh tak dapat

dibayangkan oleh pikiran.” Yak Bwe memuji. Tapi dalam pada

itu ia merasa heran juga dan bertanya: “Syair ini digubah oleh

Tu Fu untuk dipersembahkan kepada Li Sip Ji Nio. Mengapa

bisa berada ditempat nona ini?”

Tok-ko U tertawa menyahut: “Adikku itu adalah sumoay

dari Li Sip Ji Nio. Kami kakak beradik berlainan suhu.”

Yak Bwe terbeliak kaget, tegasnya: “Apakah Kong Sun

toanio masih hidup? Bukankah beliau sudah hampir berusia

seratus tahun?”

“Beberapa ratus tahun yang lalu suhuku sudah menutup

mata. Benar Li Sip Ji Nio itu toa suciku, tapi kepandaianku itu

adalah toa Guci yang mengajarkannya. Toa suci amat

memanjakan sekali kepadaku. Ketika tahun yang lalu toa-suci

lewat disini, karena tahu aku gemar akan syair Tu Fu, maka

serangkai syair gubahan Tu Fu diberikan kepadaku,” kata Tok

ko Ing.

Sebaliknya kini Tok-ko U yang balas bertanya dengan

heran. “Menilik Suheng begitu gemar akan syair, rasanya

tentu seorang keturunan sasterawan. Tetapi mengapa

ceburkan diri dalam kalangan loklim?”

Sahut Yak Bwe: “Ya, begitulah kalau mau dikata, memang

aku pernah membaca sedikit sajak. To-ko-heng tanya

kepadaku mengapa terjerumus dalam kalangan loklim, ah hal

itu lebih baik tak kukatakan saja!”

Sebenarnya Yak Bwe hendak merangkai suatu cerita, tapi

karena ia tidak biasa berbohong dalam saat-saat yang

mendesak ia sudah tak dapat mengatur ceritanya. Sebaliknya

Tok-ko U mengira kalau tetamu itu mempunyai hal-hal yang

sukar dikatakan. Iapun tak mau mendesak lebih jauh. Buru

buru ia alihkan pembicaraan “Suheng seorang yang pandai

ilmu sastera dan mahir ilmu silat, sungguh patut dipuji.

Didalam negeri yang kacau ini, pahlawan-pahlawan

bermunculan dari kalangan lok lim. Mengapa Suheng

mengatakan terjerumus?”

Habis berkata kembali Tok-ko membathin: “Ah, kiranya dia

seorang pendatang baru didunia loklim, makanya ia begitu

hijau sekali. Sedikitpun tak menyerupai seorang penjahat

tetapi lebih mirip dengan seorang sasterawan.”

Dalam pada itu, datanglah seorang pelayan membawa

kasur.

Setelah mengatur tempas tidur buat sang tamu, lalu

berkatalah Tok-ko Ing: “Sudahlah, jangan tarik lidah lebih

lanjut. Ayuh kita rawat luka Su toako,”

Setelah itu ia minta Yak Bwe supaya berbaring diatas

pembaringan darurat itu.

“Dalam hal kerjaan, seorang anak perempuan itu tentu

lebih teliti. Ing-moay, untuk mengobati luka Su-toako, aku

terpaksa harus minta bantuanmu,” kata Tok-ko U.

Hati Tok-ko Ing tergetar. Ia tundukan kepala tapi tiba-tiba

mulutnya pecah: “Huh, koko, rupanya kau cerdik juga karena

tahu diri. Aku pun tak mau mempersalahkanmu. Tuh lihatlah,

caramu membalut luka begitu macam? Malang melintang tak

karuan, sampai lengan Su toako menjadi seperti buah

semangka saja!”

Merahlah wajah Yak Bwe mendengar itu, katanya: “Aku

sendirilah yang membalutnya.”

Tok-ko Ing sudah terlanjur mengata2i, walaupun likat, tapi

terpaksa ia tertawa juga: “Memang anak lelaki itu kebanyakan

tak dapat mengurus diri sendiri, Su toako, tidurlah, biar

kulumuri obat pada lukamu.”

Darah dari luka Yak Bwe itu sudah mengental dan melekat

pada pakaiannya. Tok-ko Ing menanyakan kalau-kalau Yak

Bwe membawa ganti pakaian.

“Dalam buntalanku itu terdapat dua stel pakaian yang baru

kubeli kemarin, entah cocok tidak ukurannya,” kata Yak Bwe.

“Kau tak tahu bahwa Su toako itu royal sekali. Kedua stel

pakaiannya itu dibelinya dengan memakai biji emas!” Tok-ko U

tertawa. Ia menuturkan peristiwa semalam yang terjadi

dirumah penginapan.

“Su toako, kau balikan tubuhmu, biar kulepas bajumu.

Koko, tolong ambilkan samangkok air hangat,” kata Tok-ko

Ing. Nyata dara itu hendak mencuci luka Yak Bwe dengan air

hangat, baru kemudian dilumuri obat dan dibalut.

Sebaliknya wajah Yak Bwe menjadi merah. Katanya dengan

berbisik: “Ah, tak usah begitu repot. Apakah kau punya

gunting?”

“Gunting? Mau buat apa?” sudah tentu Tok ko Ing menjadi

heran.

“Cukup gunting saja lengan baju didekat luka itu, kan

dengan begitu boleh lantas dicuci dan dilumuri obat,” jawab

Yak Bwe.

Diam-diam Tok-ko Ing menggerutu dalam hati: “Katanya

seorang hohan dari loklim, tapi lebih pemaluan dari seorang

gadis pingitan. Aku bersikap bebas, sebaliknya ia sungkan

akan pergaulan wanita dan pria!”

Tapi iapun terpaksa mengambilkan gunting dan melakukan

permintaan Yak Bwe tadi. Setelah mencuci bersih, barulah ia

melumuri luka itu dengari obat lagi.

Tok-ko U datang dengan membawa poci teh som, katanya:

“Kau sudah terlalu banyak mengeluarkan darah, tentu merasa

haus. Poci yang berisi teh som ini, akan dapat menghentikan

hausmu. Besok pagi jika lapar, barulah kau makan hidangan

ini.”

Yak Bwe tergerak hatinya dengan kebaikan tuan rumah. Ia

menghaturkan terima kasih dan mempersilahkan supaya

kedua saudara Tok-ko itu juga beristirahat.

“Aku tidur di sebelah depan sana. Jika tengah malam

memerlukan apa-apa, panggil saja jangan sungkan,” kata Tokko

U.

Kembali Yak Bwe menghaturkan terima kasihnya. Setelah

kedua saudara itu tinggalkan kamar situ, timbullah kekuatiran

pada hati Yak Bwe jangan-jangan nanti tengah, malam Tok-ko

U akan berkunjung kesitu lagi. Ia menggeliat bangun untuk

menutup jendela. Setelah itu barulah ia leluasa ganti pakaian

lalu masuk tidur.

Bermula batinya memang masih kebat-kebit tapi karena

letihnya, tak lama kemudian ia sudah jatuh pulas. Entah sudah

lama ia kelelap dalam impiannya dipulau kapuk itu, hanya

ketika ia sadar segera ia dikejutkan suara ketukan pintu. Buruburu

ia bangun.

“Tok-ko-heng, aku tak memerlukan apa apa silahkan tidur

kembali,” buru buru ia berseru.

Diluar kamar terdengar suara ketawa mengikik: “Akulah Su

toako. Hari sudah terang nih kubawakan santapan pagi

untukmu.”

Kiranya yang mengetuk pintu itu ialah Tok ko Ing. Waktu

Yak Bwe membukakan pintu, dara itu tertawa: “Mengapa

jendelanya juga kau tutup rapat? Apakah tidak kepanasan

jawanya?” Dara itu segera buka jendela agar dapat hawa dan

sinar matahari pagi.

“Diwaktu kecil aku takut pada setan, maka sudah menjadi

kebiasaanku untuk menutup jendela kamar rapat-rapat. Harap

kau jangan mentertawakannya.” dengan pintarnya Yak Bwe

mencari jawaban.

Sebetulnya Tok-ko Ing tak tertawa, tapi demi mendengar

penjelasan itu ia menjadi geli juga, ujarnya: “Kurasa hanya

seorang perempuan yang takut pada setan, siapa tahu kalian

kaum gagah dari loklim juga takut. Baiklah sekarang sudah

terang hari, tak usah takut setan lagi dan lekaslah makan

santapan pagi.”

To-ko Ing menghidangkan makanan yang di bawanya itu

diatas meja. Isinya terdiri dari empat macam masakan lezat

dan semangkok bubur.

Nikmat sekali tampaknya Yak Bwe makan.

“Masakan ini kumasak sendiri, kukuatir jangan jangan kau

tak doyan,” kata Tok ko Ing.

Yak Bwe tertawa dan berkata: “Nona Tok ko benar benar

serba serba pandai. Pandai sastera, mahir ilmu silat dan akhli

masak. Entah siapakah dikemudian hari yang beruntung….”

Wajah Tok ko Ing merah jengah lalu cepat cepat

menyelanya: “Su toako, apa katamu?”

Kini barulah Yak Bwe gelagapan dan sadar bahwa dirinya

sedang menjalankan rol sebagai seorang pemuda. Buru-buru

ia telan kembali separoh ucapannya yang sedianya berbunyi

menyunting dara jelita yang cerdik cendekia itu. Cepat ia

tertawa meringis dan mengalihkan haluannya,

“Mungkin usiamu tak terpaut banyak dari-ku, tapi segala

apa kau dapat mengerjakan, sebaliknya aku tak mengerti apaapa.

Terus terang kukatakan, aku ingin seperti dirimu!”

katanya.

Yak Bwe katakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya

sebagai seorang gadis. Sebalik nya Tok-ko Ing telah

menerimanya lain. Wajah dara itu menjadi tambah merah lagi.

“Celaka! Aku salah omong lagi.” Yak Bwe mengeluh dalam

hati, “menyaru jadi anak lelaki, kiranya bukan hal yang

mudah.”

Buru-buru ia tundukkan kepala dan menghirupi bubur

untuk menutupi perobahan kerut di wajahnya. Selama

beberapa saat kemudian, barulah ia mendongak lagi. Demi

melihat sinar mata Tok-ko Ing yang ditujukan kepadanya itu

tak mengandung hawa kemarahan, legalah perasaan Yak Bwe.

“Su toako, kau masih terlalu merendah diri. Kaulah yang

pantas disebut seorang bun-bu-coancay (pandai sastera dan

ilmu silat)!,” tiba tiba Tok-ko Ing berkata dengan tersenyum.

Kesempatan itu telah digunakan Yak Bwe untuk

mengalihkan persoalan, katanya: “Dulu hanyalah Li Pai itu saja

yang kuketahui suka bergaul dengan kaum hiap-su (orang

gagah) dan mengerti ilmu pedang. Kini setelah melihat Tu Fu

mempersembahkan syairnya pada suci mu, barulah terbuka

mataku bahwa beliau (Tu Fu) itu seorang akhli pedang juga

yang jempol.”

“Bagaimana kau ketahui ia seorang akhli?” tanya Tok-ko

Ing.

“Kalau tidak masakan ia dapat melukiskan permainan

pedang sucimu itu sedemikian indahnya?” balas Yak Bwe,

Tok ko Ing tertawa: “Menurut pendapatku. Tu Fu tak

mengerti ilmu pedang tapi tahu menikmatinya. Ya, memang

begitulah.”

“Tahu menikmati, itulah juga seorang akhli,” sahut Yak

Bwe.

“Su toako, kenal baik kau dengan Khik Sia!” tiba tiba Tok

ko Ing mengajukan pertanyaan.

Jantung Yak Bwe berdetak keras dan tanpa terasa

wajahnya bersemu merah. Sahutnya: “Tak begitu akrab.

Mengapa kau tanyakan soal itu?”

“Tadi ketika kau katakan bahwa Li Pai itu gemar bergaul

dengan kalangan hiapsu, teringatlah aku. Li Pai dengan Toan

Kui Ciang tayhiap itu mempunyai hubungan yang karib sekali.

Rasanya kau tentu sudah mengetahui hai itu. Sayang Toan

tayhiap itu sudah menutup mata hingga kita dari angkatan

muda itu tidak sempat lagi untuk menjumpainya. Entah

sampai dimanakah kesaktian ilmu pedang dari tokoh yang

pernah disanjung oleh penyair Li Pai itu?”

Belum Yak Bwe menyahut. Tok-ko Ing sudah melanjutkan

kata-katanya pula:

“Kabarnya ilmu pedang dari Toan Khik Sia itu lebih lihay

dari ayahnya. Pernahkah kau menyaksikannya?”

Mendengar Toan Khik Sia dipuji, diam diam Yak Bwe girang

dalam hatinya. Tapi pura pura ia bersikap dingin memberi

jawaban: “Mungkin begitulah, tapi aku belum pernah

menyaksikannya?”

Diam-diam heran Tok-ko Ing dibuatnya, pikirnya: “Menilik

gelagatnya, mungkin pergaulannya dengan Toan Khik Sia itu

hanya biasa saja. Ia aneh juga, biasanya peribahasa

mengatakan “warna itu tentu mencari warna” Tapi rupanya

hal itu tak berlaku baginya. Ia tinggal disatu markas dengan

Toan Khik Sia, tapi mengapa tak mau mencari kesempatan

untuk bergaul rapat?”

Dalam menimang begitu, dilihatnya pintu kamar dari

engkonya (Tok-ko U) yang berada disebelah muka sudah

terbuka. Dan masuklah Tok-ko U dengan tertawa: “Moay

moay, kiranya kau sudah lebih pagi datang kemari.”

“Siapa yang mau meniru kemalasanmu? Hari sudah begini

siang kau masih dekam dipembaringan. Sikap begitu berarti

tidak memperdulikan tetamu,” Tok-ko Ing jebikan bibirnya,

“Mempunyai seorang adik seperti kau, masakan aku masih

perlu membanting tulang?” Tok-ko U membantah disertai

tertawa.

Mendengar dalam nada tertawa engkohnya itu

mengandung sesuatu yang dalam artinya tanpa terasa

berdebarlah hati Tok-ko Ing.

“Bagaimana Su toako, apa sudah baikan?” tanya Tok-ko U.

Yak Bwe mengiyakan: “Ya. sudah banyak baikan, lihatlah

aku sudah makan begini banyak?”

“Ya, sekarang bolehlah anak panah itu dicabut. Ing moay,

kau cermat dan tangkas. Mencabut panah dilengan Su toako

nanti, lagi lagi mesti minta tolong padamu.” kata Tok ko U.

Tok ko Ing tahu bahwa sang engkoh memang sengaja

supaya ia bergaul rapat dengan pemuda cakap itu. Iapun

sungkan menolaknya: “Ko enak saja segala apa suruh aku

yang mengerjakan. Baiklah, tapi kaupun harus kerja sedikit.

Harap kau sediakan obat2 yang akan dipakai.”

“Siang-siang aku sudah menyediakannya,” sahut Tok-ko U.

Yak Bwe merasa tak enak hatinya: “Nona Tok-ko, aku

sungguh banyak merepoti kau saaja!”

Tok-ko Ing tertawa: “Su toako, aku hanya bergurau dengan

koko, harap kau jangan menaruh dihati. Kau adalah sahabat

baik dari koko, kau terluka dan seharusnya aku merawatnya.”

“Ing-moay, kau seharusnya berterima kasih juga

kepadaku!” Tok-ko U menggodanya.

“Terima kasih? jangan ngaco?” teriak Tokko Ing.

“Ya, terima kasih karena kubawa Su toako kemari. Kau

belajar pedang pada sucimu, tetapi selama ini tak ada orang

lain yang mengujimu. Su toako adalah seorang akhli pedang

yang jempolan, nanti kau boleh banyak belajar darinya,” kata

Tok ko U.

Bermula Tok ko Ing kuatir kalau sang koko akan

menggodanya lebih lanjut, tapi mendengar keterangan itu, ia

bergirang hati. Dengan hal itu dapatlah ia lebih banyak

mendekati Yak Bwe.

“Ya, benar, memang akupun mempunyai hasrat begitu.

Mudah2an Su-toako lekas sembuh,” sahut Tok-ko Ing.

“Kau adalah murid kesayangan Kong-sun toanio, akulah

yang selayaknya mengangkat guru padamu. Mengapa kau

begitu sungkan kepadaku?” kata Yak Bwe.

“Ai, janganlah kalian berdua saling sungkan. Begitu nanti

Su toako sudah sembuh, kalian boleh saling uji kepandaian,

agar akupun dapat menikmati,” kata Tok-ko U menengahi.

Walaupun kurang pengalaman, namun Yak Bwe tahu juga

akan gelagat, sikap dan ucapan orang. Diam-diam ia geli

dalam hati. “Agaknya nona ini ada maksud kepadaku.

Engkohnya pun setuju, malah mendorong. Tapi sayang

mereka salah alamat.”

Yak Bwe kuatir kalau sampai rahasianya terbongkar oleh

kedua kakak beradik itu. Tapi setelah mendengar pembicaraan

kedua saudara itu, ia merasa lega. Walaupun geli tapi ia

merasa terhibur juga!

Begitulah dengan hati-hati sekali Tok-ko Ing mulai

mencabut panah yang mengeram dilengan Yak Bwe. Karena

kepalanya menunduk, rambut sidarapun terurai jatuh kemuka

Yak Bwe. Begitu dekat sehingga keduanya sama

mendengarkan denyut napas masing-masing. Pipi si dara

makin merah dan berbisiklah dia: “Sakitkah Su-toako?”

“Tidak, terima kasih,” sahut Yak Bwe.

Tok-ko Ing merasa bahagia. Ia mempunyai suatu perasaan

yang sukar dilukiskan. Padahal pujian Yak Bwe itu bukan

karena sungkan melainkan benar-benar Tok-ko Ing itu

seorang dara yang cekatan. Setelah mencabut panah lantas

melumuri obat. Yak Bwe tak merasa sakit dan amat berterima

kasih kepada dara itu.

Sejak itu, berhari hari boleh dikata Tok-ko Ing tak pernah

berpisah dengan Yak Bwe. Ia merawat dan melayaninya

dengan tekun sekali. Sebaliknya Tok-ko U jarang sekali

kelihatan. Hubungan Yak Bwe dengan Tok-ko Ing makin

akrab. Luka Yak Bwe itu sebenarnya memang tak berat.

Mendapat perawatan dari Tok-ko Ing dengan istimewa,

sembuhnya cepat sekali. Pada suatu hari ketika bangun, Yak

Bwe coba gerak gerakan lengannya. Ternyata sudah pulih

seperti sedia kala. Tok ko Ing merasa girang serunya. “Su

toako, dalam beberapa hari ini kau merasa kegerahan. Mari

kuantar jalan-jalan kekebun bunga. Ya, Su toako, nanti kau

boleh memberi petunjuk tentang ilmu pedang kepadaku.”

Kala itu adalah pada permulaan musim semi. Ketika Yak

Bwe ikut Tok-ko Ing kedalam kebun bunga, dilihatnya bunga2

sama mekar. Taman disitu tak berapa besar, tapi diatur indah

sekali. Disana sini tampak batu-batu berjajar, pagoda tempat

peristirahan dan jalanan yang melingkar lingkar. Setiap

kuntum bunga, setiap batang pohon dan setiap gunduk batu,

diatur dengan sangat serasi. Apabila orang berjalan didalam

taman tampaknya mirip dengan orang didalam lukisan.

Sudah beberapa hari Yak Bwe terkurung di dalam kamar.

Berada didalam taman yang indah itu, seketika longgarlah

perasaannya, semangatnya nyaman segar. Dasar Yak Bwe itu

seorang nona rupawan, dalam keadaan riang gembira, ia

kelihatan makin cantik lagi. Ketika keduanya lewat diempang

teratai, permukaan empang itu muncul sepasang muda mudi

yang cakap. Tok-ko Ing mengawasi ‘lukisan’ yang terpantul

dalam permukaan air itu, lalu berpaling memandang ‘pemuda’

cakap yang berada disampingnya itu. Pikirannya melayanglayang:

“Ia benar2 seorang pemuda yang serba cakap. Tak

nyana bahwa dalam dunia loklim terdapat seorang tokoh

semacam dia. Po An yang disanjung orang sebagai tokoh

Arjuna, rasanya belum tentu lebih tampan seperti dia.”

“Nona Tok-ko, apa yang sedang kau pikirkan?” tiba2 Yak

Bwe menegur sambil tertawa,

Tok-ko Ing tersentak kaget dan buru buru menyahut. “Aku

menimbang nimbang akan minta kau mengajarkan ilmu

pedang, entah maukah engkau?”

“Mana aku berani unjuk kepandaian jelek. Lebih baik nona

yang bermain dulu,” kata Yak Bwe,

“Baiklah, karena kau baru sembuh, bolehlah beristirahat

dulu. Biarlah aku yang memulai,” Tok-ko Ing mengiakan.

Setelah mencabut pedang, nona itu memutar tubuh. Sinar

pedangnya tampak mengembang seperti untaian tali.

Selanjutnya waktu pedang tergentak, mirip dengan gerak

burung kuntul yang tersentak kaget, lincahnya seperti naga

bermain. Gerakannya menimbulkan angin dingin yang

menderu deru ningga bungai sama bertaburan jatuh

terbawanya. Benar2 hebat, indah dan mempersonakan.

Yak Bwe bertepuk tangan memujinya dan mulutnya segera

mendeklamasikan syair Tu Fu yang menyanjung puji

keindahan ilmu pedang Li Sip-ji Nio itu….

To-ko Ing menghentikan permainannya. Dengan setengah

girang, setengah aleman, ia berseru: “Hmm pedang suciku,

mungkin dapat disejajarkan dengan syair pujian itu. Tetapi

aku, mana bisa memadai!”

“Aku belum pernah melihat permainan pedang sucimu. Tapi

menyaksikan permainanmu tadi saja, mataku sudah

berkunang-kunang dan semangatku terasa terbang!’ Yak Bwe

tertawa.

“Mulutmu itu hanya pandai merangkai kata-kata untuk

menyenangkan hati orang saja. Ko ko mengatakan, permainan

pedangmu itulah baru tepat disebut sakti. Aku sudah

mengunjuk permainan jelek, masakah kau masih tak mau

memberi pelajaran?” To-ko Ing mengomel.

Yak Bwe juga terpikat semangatnya. Sebenarnya iapun

ingin mengunjukan kepandaian. Katanya: “Sebenarnya tak

ingin aku mengunjukkan diri, tapi kuatir mulutmu yang lancip

itu akan berhamburan; maka terpaksa aku akan menuruti

juga. Nona Tok-ko, biarlah kuberi jurus umpan padamu, tapi

harap kau menaruh kasihan.”

“Aku mempunyai cara bermain yang baru. Kita masingmasing

berdiri tiga tombak jauhnya, kemudian saling

melontarkan serangan. Dengan begitu dia dapat menghindari

salah melukai. Kita boleh keluarkan seluruh kepandaian

masing-masing. Nah, bagaimana?” kata To-ko Ing.

Yak Bwe tahu kalau nona itu masih menguatirkan dirinya

yang baru saja sembuh. Diam2 Yak Bwe berterima kasih akan

nona yang bijaksana itu.

“Ya, silahkan memulai lebih dulu,” katanya.

Sebagai tuan rumah, Tok-ko Ing tak mau sungkan lagi.

Segera ia lancarkan jurus giok li tho soh atau bidadari

lemparkan tali. Untuk itu Yak Bwe menyambut dengan jurus

tho thau po li atau lemparkan buah tho membalas buah peer.

“Ah, Su toako, kau terlalu banyak peradatan. Jangan

sungkanlah,” seru To-ko Ing tertawa.

Memang jurus tho thau po li itu mengandung maksud

menghaturkan terima kasih atas kebaikan tuan rumah dan

menyatakan hendak membalas budi.

Kini Tok-ko Ing kisarkan langkah dan menderu-derulah

pedangnya. Sikapnya itu mirip dengan orang yang bertempur

secara merapat dan jurus yang dilancarkan itu adalah jurus

serangan yang lihay untuk melukai musuh.

“Ganas betul!” seru Yak Bwe dengan tertawa. Iapun

mengisai kesamping dan bolang-balingkan pedangnya. Sekali

sang ujung kaki berputar, ia kembali ketempatnya yang

semula.

“Bagus, indah benar tangisanmu itu!” Tok ko Ing berteriak

memuji.

Keduanya dengan tetap terpisah pada jarak tiga tombak,

saling serang menyerang. Keduanya sama mengeluarkan

jurus-jurus permainan pedang yang istimewa. Sekalipun

terpisah jauh tapi mereka sama bermain dengan sungguh,

seperti orang yang sedang bertempur mati-matian. Dan

justeru karena terpisah itu keindahan gerak permainan mereka

dapat kelihatan dengan jelas.

Dalam sekejap saja mereka sudah bertempur sampai tiga

puluh jurus. Yak Bwe merasa heran demi melihat wajah Tokko

Ing seperti sedang melamun. Pikirnya: “Saat ini sudah

menginjak detik detik yang meruncing. Mengapa ia tak

pusatkan perhatian dan seperti orang melamun?”

“Awas, serangan ini!” cepat ia membentak. Pedang cengkong-

kiam diguratkan keudara. Begitu ujungnya tergetar,

sinar pedang segera berobah menjadi berkuntum-kuntum

rangkaian bunga. Jurus itu disebut hud-kong-boh-ciau (sinar

Budha memancar luas). Jurus ini merupakan jurus yang paling

lihay dari ajaran ilmu pedang Biau Hui sin-ni.

Tok-ko Ing tersentak kaget. Ia mundur sampai tiga

langkah. Tiba-tiba ia berseru: “Hati, hati serangan ini!”

Tubuhnya melambung keudara, pedangnya berkembang

menjadi sebuah lingkaran untuk mengurung tubuh Yak Bwe.

“Ilmu pedang yang indah!” mulut Yak Bwe meluncur pujian,

tubuhnyapun berdiri tegak. Ia ganti permainannya dengan

jurus tiau-thian it-cut-hiang atau menghadap kelangit dengan

sebatang dupa. Untuk itu tubuhnyapun turut berputar-putar.

Tok-ko Ing melayang ketanah lagi. Kini ke duanya tegak,

berhadapan. Pedang masing-masing saling ditudingkan tapi

tidak melanjutkan serangannya lagi. Kiranya sampai pada

babak itu, apabila dalam pertempuran sesungguhnya, pedang

mereka tentu saling menempel dan disitulah pertandingan adu

lwekang dimulai. Barang siapa yang lwekangnya lebih unggul,

dialah yang menang sebaliknya barang siapa yang cooa

berusaha merobah gerakannya, ia tentu akan menderita.

“Ilmu pedang Kong-sun toanio, benar-benar tak bernama

kosong. Aku sungguh kagum dan rela menyerah kalah,” kata

Yak Bwe.

“Mana bisa. Kau seorang lelaki, dalam hal tenapa tentu

lebih kuat dari aku. Jika dalam hal pertempuran yang

sesungguhnya, kalau sudah mencapai babak seperti ini,

akulah yang seharusnya kalah,” sahut Tok ko Ing.

Keduanya segera sama menyimpan pedangnya.

Tiba-tiba Tok-ko Ing bertanya: “Su, toa ko, siapa suhumu

itu?”

Yak Bwe terkesiap, sahutnya: “Pelajaranku tak becus, malu

aku untuk mengatakan nama suhuku.”

“Su toako, ada sesuatu hal yang menjadi keherananku,”

kata Tok-ko Ing.

“Dalam ha! apa?” tanya Yak Bwe.

“Konon kabarnya Biau Hui Sin-ni itu tak mau menerima

murid lelaki, mengapa beliau mau melanggar pantangan itu?”

kata Tok-ko Ing.

Diam-diam Yak Bwe terperanjat sekali. Kini ia baru insaf

bahwa Tok-ko Ing telah mengetahui aliran sumber

perguruannya. Diam-diam ia menyesali dirinya sendiri: “Ah,

benar benar limbung aku ini. Ia adalah anak murid Kong sun

toanio, sudah tentu akhli dalam ilmu pedang. Mengapa tadi

aku sampai terlepas mengeluarkan permainan pedang

sehingga ia dapat mengetahuinya?”

Setelah memutar otak sebentar, dengan tertawa meringis

ia berkata:- “Nona Tok-ko, matamu itu sungguh jeli sekali.

Kalau begitu mungkin sekali permainan pedangku tadi adalah

berasal dari ajaran Biau Hui Sin-ni!”

Keheranan Tok-ko Ing makin menjadi-jadi. Tanyanya:

“Aneh sekali ucapanmu itu. Masa kan kau tak tahu sendiri ilmu

pedang apa yang kau mainkan tadi?”

Yak Bwe tetap tertawa: “Ya, terus terang saja

kuberitahukan padamu bahwa ilmu pedangku itu kuperoleh

dari seorang wanita, tetapi bukan Biau Hui Sin-ni!”

“Siapakah wanita itu?” desak sidara.

“Cici misanku yang bernama Sip In-nio,” jawab Yak Bwe.

Dalam ini ia memang tidak berdusta seratus prosen. In-nio

lebih tua dua tahun darinya dan lebih dahulu yang belajar

pada Biau Hui Sin-ni. Ilmu pedang Yak Bwe sebagian besar Innio

yang mengajarkan.

Karena In-nio sering berkelana didunia kang ouw maka

meskipun belum pernah berjumpa tapi Tok-ko Ing mendengar

juga akan namanya. Tahu ia pula bahwa In-nio itu anak murid

Biau Hui Sin-ni.

“Oh, kiranya kau ini adik misan dari Sip In nio. Ah, tak

heran kiranya,” kata dara itu dengan tiba-tiba nadanya

berobah tawar, hatinya kecewa dan sikapnya berobah tak

wajar.

“Aku adik misannya yang jauh urutannya. Sejak masih kecil

ayah bundaku meninggal, maka aku lantas tinggal pada

keluarganya belajar ilmu surat. Setempo piau-ci (taci besar)

itu mengajak aku berlatih ilmu pedang. Aku menyaksikan dari

samping saja, tapi lama kelamaan akupun bisa juga. Pernah

piauci mengatakan bahwa pelajarannya ilmu pedang itu di

dapatinya dari seorang rahib tua. Tetapi aku tak tahu kalau

rahib tua itu ternyata adalah Biau Hui sin-ni adanya.” Yak Bwe

menjelaskan.

Dingin dingin sidara berkata: “Baik benar, piaucimu itu

kepadamu. Ia sampai berani mengajarkan ilmu pedang

padamu diluar tahu subonya. Kabarnya piaucimu itu adalah

puteri dari seorang ciangkun. Tentunya kau enak tinggal

ditempat kediamannya, mengapa tega meninggalkannya?”

“Aku tak ingin selama hidupku menjadi bennalu

(mengandalkan orang). Itulah makanya aku meninggalkah

rumah keluarga Sip dan berkelana. Tak berapa lama aku

berkenalan dengan thaubak dari Kim-ke-nia. Kutahu bahwa

pemimpin Kim-ke-nia itu Thiat Mo Lek itu bukan penyamun

biasa. Lalu aku masuk dalam perserikatan mereka,” kata Yak

Bwe.

Masih dengan nada tawar Tok ko Ing mengoloknya: “Kau

mempunyai cita2 tinggi, tapi tidakkah dengan berbuat begitu

berarti kau sudah mengabaikan kebaikan piaucimu?”

Sebenarnya Yak Bwe hendak menggodanya lebih lanjut

yaitu akan mengatakan sekali bahwa ia sudah bertunangan

dengan In nio tapi demi melihat mata sidara sudah mulai

mengembang air mata, ya tinggal tunggu saatnya saja tentu

akan ‘hujan’ (menangis), ia merasa tidak sampai hati. Pikirnya:

“Biarlah nanti kalau diam kupergi dari sini, kutinggalkan

sepucuk surat untuk menjelaskan diriku yang aseli, Tapi kalau

sekarang kuberitahukan siapa diriku ini, rasanya tak leluasa

bagiku.”

“Ah, harap nona jangan memperolok diriku. Aku dengan

piauci adalah ibarat loyang dengan mas. Aku hanya seorang

kacung, ia seorang puteri ciangkun. Mana layak aku dituduh

mengabaikan kebaikannya?” katanya.

Dengan bantahan itu hati sidara agak longgar, katanya:

“Sewaktu masih hidup, suhuku itu baik sekali hubungannya

dengan Biau Hui Sin-ni, Dua jurus paling akhir yang kau

mainkan tadi adalah jurus yang dikeluarkan ketika mereka

berdua saling menguji kepandaian. Hal itu kudengar dari cerita

suciku. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Biau Hui

Sin-ni.”

“Oh, makanya tadi kau tampak melamun, kiranya aku

dengan suhunya masih ada sedikit ikatan!” demikian kata Yak

Bwe.

Tok-ko Ing berkata pula: “Su toako, jika kelak ada

kesempatan, ingin sekali aku berkenalan dengan piaucimu itu.

Ah, betapa senangnya melihat seorang jelita yang memiliki

ilmu pedang yang sakti!”

Dalam berkata kata itu nada sidara terdengar risau,

beberapa butir air mata menetes turun. Yak Bwe tahu bahwa

sidara itu mengandung hati cemburu. Diam2 ia merasa geli.

Tiba tiba seorang bujang perempuan datang Setelah

memberi hormat kepada Tok ko Ing dan Yak Bwe, lalu

melapor: “Ada seorang tetamu datang. Kongcu minta siocia

dan Su siang kong suka keluar menyambutnya.”

Diam2, Yak Bwe merasa heran. Dan Tok ko Ing lantas

menanyakan siapakah tetamu itu.

“Seorang lelaki yang bertubuh kekar. Kong cu

memanggilnya Lu tayhiap,” sahut sibujang

“Al, tak perduli siapa, asal orang kangouw tentu disebut

tayhiap atau siauhiap,” Tok-ko Ing tertawa, “Su toako, mari

kita melihat-lihat ‘tayhiap’ itu bagaimana orangnya.”

“Kalau ia (Tok-ko U) suruh adiknya turut menyambut

tetamunya, itu sih tak mengapa. Tapi mengapa juga minta

aku ikut menyambutnya. Rasanya aku tidak kenal dengan

orang she Lu itu,” pikir Yak Bwe.

Rupanya Tok ko Ing tahu apa yang dipikirkan Yak Bwe.

Ujarnya: “Koko itu seorang yang cermat. Kalau ia minta kau

keluar menemui tetamu itu, rasanya tentu tak apa-apa!”

Bermula Yak Bwe enggan pergi, tapi mendengar penjelasan

sidara itu, ia merasa kalau tak ikut tentu bisa menimbulkan

kecurigaan tuan rumah. Apa boleh buat terpaksa iapun segera

ikut keluar.

Diruangan tetamu tampak Tok ko U sedang menemani

seorang lelaki pertengahan umur. Begitu tampak Tok ko Ing

dan Yak Bwe datang buru buru ia berbangkit.

“Ini adalah tokoh termasyur didunia kang ouw, Sin cian

chiu Lu Hong jun tayhiap. Dan ini adalah Su Ceng to toako

dan adikku Tok ko Ing.” Tok ko U memperkenalkan mereka

satu sama lain.

“Ing-moay, pendekar wanita Lu Hong chiu yang kau

kagumi itu, ialah adik perempuan dari Lu tayhiap ini,” kata

Tok-ko U lebih lanjut.

“Ah, aku sungguh tak berani menerima pujian setinggi itu.

Kalian berdua kakak beradik barulah pantas disebut sepasang

pendekar yang dikagumi orang,” buru2 Lu Hong-jun

merendah.

“Oh, kiranya Sin-cian-chiu Lu Hong-jun pantaslah kalau

mendapat kehormatan disebut ‘hiap’ (pendekar). Hanya saja

sorot matanya itu sungguh memuakkan orang.” diam-diam

Tok ko Ing membathin.

Ya, memang tak salah sidara mengatakan sang tetamu

tidak sopan. Tapi siapakah orangnya yang terkesiap melihat

kecantikan sidara itu? Pun tak terkecuali dengan Sin Cian Chiu

Lu Hong Jun. Sampai dua kali memandang lekat lekat pada

Tok ko Ing. Waktu sidara melirik kepadanya, buru buru dia

membetulkan tempat duduknya lagi.

Lain Tok ko Ing lain penerimaan Yak Bwe. Kalau sidara tak

senang akan sikap sitetamu, adalah Yak Bwe terperanjat

melihat siapa yang datang itu. Pikirnya: “Ah, kiranya dia itu

engkoh dari Lu Hong Jiu. Celaka, aku pernah berkelahi dengan

adiknya, entah apakah engkohnya ini sudah mengetahui atau

belum. Atau mungkinkah ia sudah mengetahui jejakku, lalu

suruh Tok-ko U minta aku supaya keluar menemuinya?”

“Mengapa leng-moay (adikmu) tak ikut serta?” tanya Tokko

Ing pada tetamunya.

Memang biasanya kakak beradik she Lu itu selalu bersama

kemana mereka pergi. Itulah sebabnya maka Tok-ko Ing

menanyakannya.

“Justeru kepergianku kali ini ialah karena hendak mencari

adikku itu!” jawab Lu Hong-jun.

Mendengar jawaban itu, legalah hati Yak Bwe. Nyata Hongjun

itu belum bertemu dengan deagan adiknya.

“Sayang, tak bisa berjumpa dengan cici Hong chiu,” kata

Tok ko Ing.

“Bulan yang lalu dia hadir dalam pertemuan orang gagah

digunung Kim-ke-nia, tapi kabarnya pada waktu itu tentara

negeri mengadakan serangan besar-besaran. Itulah sebabnya

aku menjadi kuatir,” menerangkan Hong ju.

“Ha, kebenaran sekali Su toako ini seorang hohan dari Kim

ke nia juga,” seru Tokko U.

“Oh, kiranya ia ingin mencari keterangan tentang adiknya

kepadaku,” pikir Yak Bwe.

Suru2 ia berkata: “Aku hanya seorang keroco Kim-ke-nia.

Lu-lihiap seorang tetamu terhormat, mana aku berharga untuk

melayaninya. Yang dapat kusaksikan hanyalah nona Lu itu

sering bersama-sama Toan Khik Sia.”

“Ya, benar. Ia berjumpa dengan Toan siau hiap dikota

Tong Kwan. Karena ia membantu sedikit kerepotan Toan

siauhiap, maka Toan siauhiap telah mengajaknya pergi ke

Kim-ke-nia.” sahut Hong jun.

“Turut keterangan Su toako tadi, Thiat Mo Lek, Shin Thian

Hiong. Toan Khik Sia dan beberapa pemimpin Kim ke nia telah

berhasil meloloskan diri. Menilik hal itu rasanya enci Hong chiu

tentu juga telah lolos.” kata Tok-ko Ing. Tapi kesimpulan dara

itu telah disambut dengan buah tertawaan dari sang engkoh.

“Salahkah omonganku tadi?” sudah tentu Tokko Ing heran

dan bertanya.

“Ha, ha, Lu toako bukan hendak mencari keterangan,

sebaliknya ia malah hendak memberi khabar pada kita,” kata

Tokko U.

“Ai, kabar apa?” tanya Tok ko Ing.

“Dia telah bertemu dengan Thiat Mo Lek dan Bo Se Kiat,”

sahut Tok ko U.

Kejut Yak Bwe bukan kepalang. “Kalau ia sudah bertemu

dengan mereka berdua, berarti tentu sudah mengetahui

rahasiaku. Apakah kedua orang itu minta tolong padanya

untuk mencari aku?” pikirnya.

Tapi ia sekarang sudah terlanjur menyaru jadi anak buah

Kim-ke-nia. Maka terpaksa ia kuatkan urat syarafnya dan

berkata: “Oh, bagus. Aku yang tertinggal dari barisan ini, ku

ingin sekali mengetahui tempat tinggal Thiat ceeu, agar lekaslekas

dapat menggabungkan diri. Apakah Thiat cecu

memberitahukan pada Lu tayhiap?”

“Benar, aku bersahabat baik dengan Thiat Mo Lek, tapi aku

ini bukan orang loklim. Ke mana pergi mereka, tak leluasa

bagiku untuk menanyakannya,” katanya. Dalam pada itu

timbul kecurigaannya terhadap Yak Bwe: “Aneh, dia seorang

thaubak dari Kim-ke-nia, mengapa tak mengerti sama sekali

akan pantangan kaum loklim?”

Tapi segera ia melanjutkan ceritanya: “Setelah berjumpa

dengan mereka, barulah kuketahui bahwa adikku tak kurang

suatu apa. Itu sudah cukup melegakan hatiku. Tentang lainlain

urusan, aku tak punya banyak waktu untuk menanyakan.

Tetapi ada sebuah berita yang boleh kusampaikan pada Su

toako, bahwa sekalipun markas Kim-ke-nia pecah, namun

kerugian jiwa anak buahnya tak seberapa besar!”

“Pernahkah Lu toako bertemu dengan Khik Sia?” tiba2 Tokko

U mengajukan pertanyaan.

Memang walaupun belum lama muncul di-dunia kangouw

tapi nama Toan Khik Sia itu sudah cukup tenar, ya boleh

dikata menjadi buah bibir tiap orang loklim. Dalam hubungan

itulah maka Tok-ko U mengajukan pertanyaannya.

“Belum pernah. Konon kabarnya ia sedang mencari bakal

isterinya,” sahut Hong-jun.

“Siapakah calon isterinya itu?” tanya Tokko Ing.

“Memang rasanya kalian tentu tak bakal menduga bahwa

bakal isterinya itu adalah puteri dari Sik Ko. Ciat-tosu dari Locu.”

jawab Hongjun dengan tertawa.

“Ya, memang diluar dugaan! Toan Khik Sia adalah seorang

loklim. mengapa bisa tersangkut dalam perkawinan semacam

itu?” kata Tok ko Ing dengan heran.

“Kabarnya nona itu bukan anak sesungguhnya dari Sik Ko.

Dahulu ayah bunda nona itu bersahabat baik dengan orang

tua Toan Khik Sia, maka mereka menetapkan perjodohan

anak-anak mereka. Nona itu sudah tinggalkan rumah Sik Ko

dan berkelana didunia kang ouw. Turut cerita Thiat Mo Lek,

tali perjodohan kedua anak muda itu mengalami kejadian yang

mengherankan. Ya, jika hendak diceritakan satu hari satu

malam rasanya takkan habis. Karena waktu itu tak mempunyai

banyak waktu, jadi akupun tak mendengarkan dengan jelas.”

menerangkan Lu Hong-jun.

Sejak awal, Yak Bwe menjublek saja dengan perasaan

kebat kebit. Demi Hong-jun sudah mengakhiri keterangannya,

barulah ia longgar napasnya. Pikirnya: “Ya, ketika aku ribut2

dengan Khik Sia, telah merembet adiknya (Lu Hong-chiu).

Rupanya Thiat toako dan Se Kiat sungkan menceritakan

kepadanya.”

“Khik Sia mencari aku? Hm, apakah hal itu bukan alasan

kosong agar ia dapat meninggalkan rombongan supaya dapat

menemani Lu Hong-chiu? Hm, bukan sekali dua Khik Sia selalu

menghina aku. Taruh kata ia sadar dan menyesali

kekhilapannya, akupun tak sudi menghiraukannya lagi”.

demikian pikirnya pula. Namun dalam hatinya sebenarnya ia

mengharap agar benar-benar Toan Khik Sia itu sedang

mencarinya.

Kedua saudara Tok-ko dan kedua saudara Lu merupakan

dua pasang kakak beradik yang terkenal didunia Kang-ouw.

Satu sama lain saling mengagumi. Sebenarnya pertemuan dua

pasang pendekar kakak beradik itu akan menggembirakan

sekali, tetapi sayang Lu Hong chiu tak ikut serta. Namun hal

itu tak mengurangi kegembiraan mereka. Rupanya Tok-ko U

cocok sekali dengan Hong jun. Mereka berbicara dengan asyik

sekali.

“Masih ada sebuah soal lain yang bagus sekali untuk kalian

bertiga dengarkan. Soal itu timbul dari soal perkawinan Toan

Khik Sia,” kata Hong-jun.

Kembali Yak Bwe terkesiap, dan bertanya:

“Bukankah tadi telah kukatakan tentang cerita Thiat Mo Lek

mengenai pernikahan Toan Khik Sia itu? Pada waktu itu tibatiba

Thiat Mo Lek berhenti bercerita. Ini bukan karena

panjangnya cerita yang dibawakan itu, pun karena ia sedang

memikirkan suatu hal lain. Hal itu ia minta tolong akan

bantuanku. Dengan mereka aku hanya berbicara selama dua

jam. Kuatir waktunya tak cukup, maka Thiat Mo Lek terpaksa

menunda cerita tentang Toan Khik Sia dan mengganti dengan

lain cerita yaitu tentang pernikahan dari seorang lain lagi.”

Ternyata Tok-ko Ing itu gemar sekali mengetahui tentang

urusan pernikahan orang. Maka cepat2 ia menanya: “Urusan

pernikahan siapakah yang hendak dimintakan bantuan pada

Lu tayhian itu?”

“Bo Se Kiat” sahut Hong Jun. “Hal itu tak kurang

menariknya. Ya, entah bagaimana secara kebetulan terdapat

persamaan dengan pernikahan Toan Khik Sia. Gadis yang

menjadi idaman Se Kiat itu juga puteri dari seorang Ciangkun

kerajaan. Walaupun kedudukan Ciang kun itu tidak setinggi

Sik Ciat tosu, tetapi juga tak seberapa terpautnya.”

“Ha, Lu toako, jangan main teka-teki, terangkanlah

siapakah gadis itu?” kata Tok ko Ing.

“Ialah puteri dari Sip Hong, berpangkat Tin Siu-su dari Pok

Ong-teng. Dalam dunia kangouw nama nona itu sudah tidak

asing lagi, yaitu Sip In-nio,”

“Meskipun Sip In-nio itu puteri seorang Ciangkun tapi ia

lebih banyak berkelana diluaran, jadi juga termasuk golongan

puteri kang ouw, sepadan dengan diri Bo Se Kiat,” kata Tok-ko

U.

“Tetapi bagaimananapun kenyataannya itu puteri seorang

Ciangkun dan Se Kiat kuatir kalau ciangkun itu tak menyetujui

pernikahan puterinya. Mendiang ayahku bersahabat baik

dengan Sip Ciangkun, malah pernah berbuat suatu kebaikan

kepada ciangkun itu. Thiat Mo Lek tahu akan hal itu, maka ia

lantas dapat akal, minta tolong aku supaya menjadi

perantaranya. Coba kalian pikir, bukankah hal itu cukup

menarik?” tanya Hong-jun.

“Hebat, sungguh menarik sekali!” entah apa sebabnya Tokko

Ing serentak berseru girang.

“Hai mengapa kau begitu kegirangan atas pernikahan

orang lain?” Tok-ko U menjadi heranan melihat sikap adiknya

yang kurang layak itu. Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa

didalam taman bunga tadi, adiknya itu telah ‘minum cuka’

alias cemburu kepada Sip In-nio.

Ya, memang dara itu tak mengetahui bahwa dirinya

dibohongi oleh Yak Bwe yang begitu lihay merangkai cerita. Ia

cemburu pada In-nio yang diduganya tentu ada hubungan

dengan Yak Bwe. Bahwa ternyata kekasih In-nio itu adalah Se

Kiat, sudah tentu membuat Tok-ko Ing girang setengah mati.

Harapannya untuk merebut kekasih pemuda cakap Yak Bwe,

menjadi besar.

“Menarik sih, cukup menarik. Tetapi akulah yang runyam.

Pertama aku tak mempunyai pengalaman menjadi comblang.

Kedua kah, sejak mendiang ayah menutup mata aku berdua

dengan adikku berkelana didunia kangouw. Setitikpun tidak

ada minatku untuk menginjak lantai gedung kaum pembesar

lagi. Dengan begitu hubungan kami dengan keluarga Sip

sebenarnya sudah lama terputus,” kata Hong-jun.

Tok-ko Ing buru-buru menganjurkan: “Ah. Lu toako, itu

adalah suatu perbuatan mulia. Sekalipun menghadapi

rintangan kiranya tak seharusnya kau mundur.”

“Ah, memangnya tidak sukar. Paling banyak hanya gagal

sebagai comblang saja,” sahut Lu Hong-jun,

Tok-ko U tertawa. “Ing-moay, dalam urusan pernikahan itu

rupanya kau begitu ngotot seperti Thiat Mo Lek dan Bo Se Kiat

sendiri,”

Tiba-tiba Tok-ko Ing teringat sesuatu, serunya: “Hai, Su

toako, kau adalah adik misan Sip In-nio, Agar Lu toako

mendapat sukses dalam tugasnya nanti, lebih baik kau

ceritakan tentang kegemaran nona Sip itu.”

Lu Hong jun tertegun, ujarnya: “Kiranya Su toako itu adik

misan dan Sip In-nio? Kalau begitu kuserahkan saja tugasku

itu kepada Su toako. Bukankah itu lebih leluasa?”

“Jangan begitu ah! Su toako justru diam2 tinggalkan rumah

keluarga Sip, kalau pulang tentu kurang enak. Dan lagi ia

pernah muda, jadi tak leluasa terhadap Sip Ciangkun.” cepat

cepat Tok-ko Ing menyanggupi. Ia lalu menuturkan cerita

yang dirangkai oleh Yak Bwe di dalam taman bunga tadi.

Kiranya dara itu mempunyai maksud tertentu. Sebelum

pernikahan Sip In-nio berlangsung dengan Se Kiat, ia tak

menghendaki pemuda ‘Yak Bwe’ itu bertemu dengan In-nio.

Habis mendengar penuturan Tok-ko Ing, timbullah rasa

curiga dalam hati Hong-jun. Tetapi ia tak mau mengatakan.

Hanya saja matanya selalu memperhatikan gerak-gerik Yak

Bwe. Karena kuatir rahasianya akan ketahuan buru buru Yak

Bwe memutuskan ocehan Tok ko Ing, ujarnya; “Sip piaupehku

itu seorang yang lapang dada, perangaipun penurut. Jika

berhadapan padanya, lebih baik jangan mengajukan tentang

urusan pernikahan itu lebih dahulu. Tetapi banyak-banyaklah

menceritakan tentang perbuatan mulia dari Bo Se Kiat selama

ini. Satelah Sip piaupeh mempunyai kesan baik, barulah kau

bicarakan urusan selanjutnya.”

“Ah, Thiat Mo Lek juga menasehati aku begitu. Malah ia

menambahkan, bahwa Sip Hong itu seorang yang setia akan

budi dan perbuatan mulia. Mendiang ayahku pernah melepas

budi padanya, dirasa tentu ia suka mendengarkan katakataku,”

kata Hong-jun.

“Bagus, kalau begitu lekaslah laksanakan tugas itu?” seru

Tok-ko Ing.

“Ai, mengapa kau mendesak orang begitu macam? Untung

Lu toako itu bukan orang, yang sempit dada, kalau tidak tentu

ia mengira kau seperti hendak mengusirnya.” Tok-ko U

menegur sang adik.

“Ah, memang sudah lama mengobrol disini sudah

seharusnya aku pergi!” kata Hong-jun,

Mendapat teguran sang koko. Tok-ko Ing merasa tak enak.

Buru buru ia mencegahnya: “Lu toako, mendengar kata

kataku tadi kau lintas mau pergi. Bukankah itu menandakan

kau sempit dada? Duduklah sebentar lagi dan ceritakanlah

kepada kami tentang beberapa peristiwa yang menarik didunia

kangouw.”

Semula Tok-ko Ing tak menyukai Hong jun. malah ia

merasa jemu melihat sikap anak muda yang plintat plintut

suka melirik muka orang lain. Tapi setelah mengetahui Hongjun

hendak menjadi perantara dalam pernikahan Se Kiat-In

nio, sikapnya lantas berubah seratus derajat. Dari tak suka

menjadi suka.

Sebaliknya melihat sikap yang manis dari dara itu, entah

bagaimana, nyamanlah rasanya perasaan Hong-jun. Sungkan

juga ia untuk pergi dan terpaksa duduk lagi.

“Masih ada lagi sebuah berita. Kabarnya setelah palang ke

Tiang-an, Cin Siang, itu panglima dari pasukan Gi-lim-kun juga

berniat hendak mengadakan Eng Hiong hwe. Katanya niatnya

itu timbul setelah ia mengetahui tentang pertemuan orang

gagah digunung Kim-ke nia. Rencananya itu mengandung

maksud untuk menampung sekalian orang gagah dalam dunia

kangouw agar jangan sampai terjerumus dalam kalangan

loklim,” kata Hong-jun.

“Sekarang ini kekuasaan berada didalam tangan para

panglima daerah. Kerajaan dalam keadaan gelap. Bagi kaum

kangouw yang menjunjung cita-cita luhur, sukar rasanya mau

bekerja untuk kerajaan,” demikian Tok-ko U memberi

pandangannya.

“Mungkin tidak demikian kenyataannya. Turut pendapatku,

kini kaum persilatan dapat digolongkan dalam empat kategori

(golongan). Pertama, golongan Ceng-pay yang bercita-cita

luhur. Golongan ini pun masih dapat dibagi menjadi tiga kelas:

kesatu, yang tak mau bekerja untuk kerajaan dan benci

kepada sepak terjang kaum panglima daerah. Karena hal itu

mereka terpaksa masuk dalam loklim menjadi penyamun.

Dalam nal itu, Thiat Mo Lek dan Bo Se Kiat adalah contohnya.

Kedua ialah kaum yu-hiap (pendekar kelana) dalam dunia

kangouw. Misalnya, kalau dulu, ialah mendiang Toan Kui Cing

tayhiap dan kalau sekarang ialah pengemis sakti Wi Gwat,

Gong gong-ji yang termasyur itu dapat dimasukan dalam kelas

ini…..”

“Bukankah Gong-gong-ji itu sudah berganti haluan dari

jahat menuju kejalan yang lurus?” Tok-ko Ing menyeletuk.

“Gong-gong-ji adalah suheng dari Toan Khik Sia. Perangai

orang itu memang aneh sekali. Juga sepak terjangnya dahulu

itu bukan termasuk jahat, melainkan ditengah-tengah antara

jahat dan baik.”

-od0o-ow0oTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

Jilid IX

”KHABARNYA dalam beberapa tahun terakhir ini,

kejahatannya sudah banyak berkurang. Dia sudah dapat

digolongkan dalam kelas sebagai yu-hiap,” Hong-jun

menerangkan.

Ia menghirup cawan tehnya lalu menyambungnya lagi:

“Dalam kalangan tokoh2 aliran Ceng-pay itu masih terdapat

lagi golongan yang kedua yang suka bekerja pada kerajaan.

Tujuan mereka bukan karena hendak merebut kedudukan

menjadi pembesar negeri, melainkan dengan mendapat

kepercayaan dari pemerintah itu, nantinya mereka hendak

mengembangkan cita-cita mereka. Mungkin juga mereka itu

hendak membantu fihak kerajaan untuk melucuti kekuasaan

kaum panglima daerah. Turut yang kuketahui, dalam pasukan

Gi-lim-kun tak sedikit jumlahnya tokoh-tokoh seperti itu.

Misalnya, opsir yang pernah bertempur dengan Su toako, yaitu

An Ting-wan, adalah juga dari golongan itu.”

Tok-ko U tertawa: “Ya memang kutahu seyakni kaum Bulim

in-su (tokoh-tokoh bulim yang mengasingkan diri). Karena

putus asa melihat keadaan negara, mereka lari dari

masyarakat ramai, Mo Kia-lojin dan Se gak sin liong Honghu

Ko locianpwe, adalah contohnya,” kala Hong Jun.

Diam diam Tok ko U kagum akan analisa yang dibuat oleh

tetamunya itu, ujarnya: “Pengetahuan Lu loako ternyata amat

luas. Berdasarkan hal itu, maka Eng-hiong hwe (rapat para

orang gagah) yang akan diselenggarakan Cin Siang itu, juga

pentingkah?”

Hong Jun mengucap kata merendah hati lalu ia menyahut:

“Pada hematku, menilik kedudukan dan kewibawaan Cin

Siang, rapat yang akan diselenggarakan itu, kecuali golongan

Bu lim ini, ketiga golongan kaum bulim yang lain itu, tentu

akan banyak yang datang. Malah dikuatirkan akan lebih

mendapat sambutan hebat dari Eng hiong tay hwe yang

diadakan di gunung Kim ke nia itu.”

“Apakah rapat itu sudah ditetapkan harinya?” tanya Tok ko

U

“Kabarnya akan diadakan pada hari Tiong. ciu tahun ini

diistana Li san hing kiong,” kata Hong Jun.

“Kalau begitu hanya kurang tiga bulan lagi. Sayang aku

seorang gadis jadi tak leluasa batang kesana. Apakah Lu toako

bermaksud hendak kesana?” tiba2 Tok-ko Ing bertanya.

Hong Jun tertawa: “Aku hendak ke Peh Ong dulu menemui

Sip Hong untuk menyelesaikan urusan Bo Se Kiat. Setelah itu

pulang. Jika masih keburu, ingin juga aku melihat keramaian

itu. Dalam rapat itu, rasanya Su toako tak leluasa datang

tetapi jika kalian, engkoh adik mempunyai minat, besok kita

boleh kita pergi bersama,”

Dalam Eng-hiong-hwe itu, yang penting ialah mengadu

kepandaian silat. Tentang yang boleh menghadiri itu siapa,

baik wanitakah atau priakah semua diperbolehkan.

“Aku pernah bertempur dengan pasukan Gi lim kun.

Walaupun pada waktu itu aku memakai kerudung muka, tapi

rasanya tentu diketahui juga,” kata Tok-ko U.

Jawab Hong Jun: “Cin Siang mempunyai banyak sahabat

kangouw. Sudah tentu ia mengetahui juga tentang pantangan

orang kangouw. Kabarnya untuk Eng hiong hwe itu ia telah

membuat pengumuman. Barang siapa yang hadir, takkan

diselidiki tentang perbuatannya yang sudah2, sekalipun

pernah memusuhi kerajaan. Syaratnya hanyalah mereka itu

jangan sekali kali membuat onar dikota Tiang An. Dalam

pertandingan silat, tak ada paksaan bahwa yang menang nanti

akAn diharuskan bekerja pada kerajaan. Untuk pemenang

pertama sampai dengan pemenang kelima, akan diberi hadiah

sebatang golok pusaka dan seekor kuda pilihan. Aku sih tak

menginginkan hadiah itu, melainkan hanya ingin menambah

pengalaman saja.”

“Ya. nanti apabila sudah tiba waktunya, kita putuskan lagi,”

sahut Tok-ko U.

Mendengar itu tampaknya Hong Jun agak kecewa. Ia

mendongak kelangit dan tertawa “Ai, tanpa terasa sudah

terlalu lama mengobrol, kini aku betul-betul hendak pergi?”

Karena tahu orang mempunyai urusan penting, maka Tokko

U tak mau mencegahnya.

“Koko, apakah kau benar benar berhasrat untuk hadr dalam

Eng-hiong-hwe di Tiang An?” tanya Tok-ko Ing kepada

kokonya setelah Hong Jun pergi.

“Dan kau bagaimana?” tanya Tok-ko U.

“Aku kepingin sekali menambahi penglihatan, ai

sayang……”

“Sayang apa?” tukas Tok-ko U.

“Sayang Su toako tak leluasa ikut pergi. Dan akupun tak

ingin pergi juga menghadiri semacam pertemuan begitu, baru

menggembirakan kalau banyak kawan,” kata sidara.

Yak Bwe tertawa: “Bukankah tadi Lu Hong Jun mengajak

kalian?”

“Aku tak begitu kenal dengan dia.” sahut Tok-ko Ing.

Tok-ko U mengolok tertawa: “Oh, jadi kalau Su toako tidak

pergi, kaupun tak mau ikut pergi? Kalau begitu, karena kau

tak pergi maka akupun tak mau pergi.”

Begitulah setelah bercakap-cakap beberapa waktu lagi,

mereka lalu sama masuk tidur. Ketika berada dikamarnya, hati

Yak Bwe menjadi gelisah. Bukan disebabkan karena tak dapat

menghadiri pertemuan di Tiang An itu, melainkan karena

memikirkan Toan Khik Sia.

Teringat dalam perjumpaannya beberapa kali dengan Toan

Khik Sia itu selalu terjadi salah faham, diam-diam Yak Bwe

menghela napas, keluhnya: “Kalau aku memang tak berjodoh

padanya mengapa aku ditakdirkan lahir sehari dengan dia.

Dan begitu lahir lantas dijodohkan? Tapi jika berjodoh,

mengapa setiap kali berjumpa selalu bertengkar? Ataukah

hanya karena ia tak berani melanggar pesan mendiang orang

tuanya saja? Kalau dikata ia tak menaruh hati padaku,

mengapa ia marah marah ketika mendegar aku dipasangkan

pada putera Tian Seng su? Namun bila benar benar menaruh

hati, tak selayaknya ia bersikap dingin padaku, walaupun ia

sudah mengetahui bahwa aku sudah meninggalkan keluarga

Sik!… Keterangan Lu Hong Jun tadi bahwa kini ia sedang

mencari aku, apakah boleh dipercaya? Bagaimanakah

hubungannya dengan Lu Hong-chiu? Sudah menginjak

perjanjian kasih ataukah hanya sebagai kawan biasa….. Hmm,

Yak Bwe, Yak Bwe! Jangan kau pikirkan dia lagi! Tidakkah ia

sudah cukup banyak menghina padamu! Persetan dengan

pemuda gagah atau perwira. Dia memperlakukan kau begitu

macam, masakah kau sudi tunduk kepadanya?”

Makin sang pikiran melayang, makin bergolak amarah Yak

Bwe. Tapi makin ia berusana menghapus bayangan Toan Khik

Sia dalam hatinya makin bayangan anak muda itu tergores

jelas. Dan tahu-tahu kala itu sudah lewat tengah malam,

namun ia tak merasa ngantuk.

Jendela kamarnya yang sebelah belakang itu kebetulan

menghadap kearah taman. Dari jendela itu melongok keluar,

dilihatnya sang dewi malam memancarkan sinarnya yang

gilang gemilang. Taman bunga seolah-olah bermandikan

cahaya rembulan. Permukaan empang bening laksana kaca,

pohon pohon, batu-batu dan bunga bunga bersemarak

bagaikan terbungkus dalam kabut perak. Sungguh suatu

pemandangan yang permai.

Diruang sebelah depan sana, ternyata masih tampak

penerangannya. Itulah kamar yang di tempati Tok-ko Ing.

“Kiranya ia masih belum tidur,” kata Yak Bwe seorang diri.

Menyebut nama Tok-ko Ing, teringatlah Yak Bwe akan diri

dara itu. Ya, teringat akan sikap dara itu kepadanya. Diam2 ia

merasa geli sendiri: “Baik rupa, perangai dan ilmu silat nona

Tok-ko Ing itu, bukan sembarangan nona dapat menandingi.

Sayang aku ini sekaum dengannya……. Mereka berdua kakak

beradik amat baik kepadaku, tapi bagaimanapun aku terpaksa

tak dapat lama tinggal disini. Hmm, kini lukaku sudah sembuh.

Seharusnya kutinggalkan tempat ini.”

Sebenarnya Yak Bwe merencanakan untuk pergi secara

diam-diam. Ia akan tinggalkan sepucuk surat menjelaskan

tentang dirinya yang sebenarnya. Tapi demi teringat akan budi

kebaikan Tok-ko Ing, ia merasa sungkan untuk berbuat

begitu. Setelah beberapa hari bergaul timbullah rasa sukanya

kepada dara itu.

Ia putar otak untuk mencari jalan yang lebih sempurna.

Tiba tiba ia mendapat akal. Hanya saja akal itu sedikit bersifat

nakal. “Lebih baik sekarang aku menjenguk kekamarnya.

Melihat kedatanganku pada tengah malam begini ia tentu

terkejut. Pada saat itu ia murka, aku segera menerangkan

diriku. Ha, entah bagaimana reaksinya nanti, kecewa atau

girangkah ia?” demikian akal yang direkanya itu.

Membayangkan akan reaksi sidara nanti, ia merasa gembira

sekali.

Ia melangkah keluar menuju kekamar cat merah itu. Tapi

waktu hampir dekat, tiba2 dari kain jendela kamar itu tampak

dua bayangan orang, seorang wanita dan seorang pria. Yang

pria adalah Tok-ko U.

“Kiranya mereka berdua masih belum tidur. Karena Tok-ko

U berada didalam, aku tak leluasa masuk,” pikirnya.

Waktu Yak Bwe hendak angkat kaki, tiba tiba kedengaran

Tok-ko U berkata: “Ing-moay hal ini menyangkut nasibmu

seumur hidup. Harap kau pikir-pikir masak-masak.”

Geli Yak Bwe dibuatnya. Karena ingin mencuri dengar apa

yang dipercakapkan kedua saudara itu, ia batalkan maksudnya

pergi.

Tok ko Ing diam saja. Beberapa saat kemudian Tok ko U

berkata pula: “Kiranya sudah menjadi layaknya apabila kau

berjodoh dengan… Hong Jun. Seperti kau ketahui, ilmu siiat

Lu Hong Jun itu amat tinggi dan orangnyapun baik.”

Yak Bwe terkesiap mendengar ucapan itu. “Kiranya bukan

memperbincangkan diriku. Kokonya hendak menjodohkan dia

pada Lu Hong Jun. Bagus, aku terlepas dari kesulitan. Hanya

sayang sekalipun Lu Hong Jun itu orangnya baik, tapi adiknya

itu seorang gadis yang katak. Kalau Tek-ko Ing jadi menikah

dengan keluarga Lu, jangan-jangan ia bakal setori dengan

iparnya itu,” pikirnya.

“Apa? Jadi kedatangan Lu Hong Jun kemari tadi, akan

meminang sendiri?” tiba2 Tok-ko Ing berseru.

“Bukan meminang melainkan berkenalan,” Tok-ko tertawa.

Dengan nada agak marah, Tok-ko Ing berseru; “Kau

mulanya tak mengatakan apa-apa, masakan datang-datang

lantas mau nontoni orang. Aturan macam apa itu? Jika tahu,

sudah tentu aku tak sudi keluar!”

“Ai, memang sebelumnya sudah mengatakan tetapi aku tak

memberitahukan padamu. Ketika aku bepergian baru-baru ini,

telah berjumpa dengan Hong-git Wi Gwat. Locianpwe ini

seorang yang suka mengurusi perkara orang. Ia mengobrol

panjang lebar dan menanyakan juga tentang dirimu. Ia

mengatakan, kita berdua adalah sepasang saudara pendekar.

Jika dapat terungkap dalam perjodohan, tentulah bakal

menjadi buah pujian dunia bulim!”

“Lu Hong Jun kan mempunyai seorang adik. Pinang

sajalah!” Tok-ko Ing menyeletuk,

Wajah Tok-ko U berobah merah. Memang pada waktu itu

Hong-git Wi Gwat juga mengatakan hal itu, yaitu agar

sepasang saudara itu saling mengikat jodoh.

“Yang kubicarakan sekarang ini ialah tentang urusan

pernikahanmu, perlu apa menyangkut tentang diriku?” Tok-ko

U membantah.

Kata Tok-ko U lebih jauh: “Locianpwe itu mengatakan,

apabila kita setuju, ia akan segera akan mencari Lu Hong-jun,

suruh ia datang, kerumah kita untuk berkenalan dengan kau.

Biasanya locianpwe itu suka ugal-ugalan, jadi aku tak berani

pastikan sungguh tidaknya omongannya itu. Jawabanku pada

saat itu ialah akan menyerahkan hal itu padamu sendiri.

Maksud kunjungan Hong Jun, kita sambut dengan senang

hati, tetapi soal pernikahan itu urusan yang tidak boleh

dipaksakan, biar kau sendiri yang memutuskan,”

Tok-ko Ing menghela napas, ujarnya: “Benarlah, kau telah

memberi jawaban tepat!”

“Oleh karena tak terlalu kumasukkan dalam hati kata kata

locianpwe itu, maka waktu pulang akupun tak mau buru buru

mengatakan kepadamu. Apalagi karena kita sibuk merawat Su

toako, jadi tak keburu memberitahukan. Sungguh tak terduga

bahwa Lu tayhiap itu benar-benar datang kemari. Sebelum

kau keluar, ia sudah beberapa kali menanyakan tentang

dirimu. Sebenarnya ia itu seorang yang berwatak terus terang,

tapi ketika menanyakan dirimu ia sudah berlaku likat. Sudah

tentu kuketahui maksudnya. Rupanya Hong-git Wi Gwat telah

menyuruhnya datang kemari, Ing-moay, apakah kau tak

mengetahui bagaimana beberapa kali ia melirik kepadamu?”

“Ya, justeru sinar matanya itulah yang ku benci!” sahut Tok

ko Ing

Tok ko U tertawa: “Ya, aku tahu ada seorang yang tak kau

benci, Dan diapun suka bergaul dengan kau!”

“Su toako dalam keadaan sakit. Ia adalah tetamu yang kau

undang kemari. Bahwa jerih payahku mewakili kau untuk

merawatnya bukan mendapat terima kasihmu, sebaliknya kau

malah mengejek padaku,” demikian Tok ko Ing mengomel.

“Kaulah yang harus berterima kasih padaku. Moay moay,

jangan kira aku tahu isi hatimu, ya? Memang aneh ini. Aku

yang lebih dulu dan lebih kenal lama dengan Su toako tak

dapat bergaul dengan rapat, sebaliknya begitu bertemu

denganmu ia lantas jatuh hati. Ai, mungkin sudah menjadi

kehendak nasib. Hanya saja, hanya saja……..”

Sebenarnya Tok-ko Ing tengah tundukkan kepala. Tapi

begitu mendengar ucapan sang engkoh itu, serentak

dongakan kepala.

“Hanya apa?” ia tanya dengan cepat.

Tenang-tenang saja Tok-ko U menyahut: “Meskipun Su

toako itu tidak tercela, tapi asal usulnya tak ketahuan.

Bagaimana keturunan keluarga Lu rasanya kita sudah cukup

mengetahui.”

“Apanya yang tidak jelas? Ia sudah menuturkan asalusulnya

kepadaku.” cepat2 Tok ko Ing menukas.

“Tapi aku tetap bercuriga,” sahut Tok-ko U.

“Ah, memang kau ini banyak curiga. Tapi aku menaruh

kepercayaan penuh padanya!” bantah Tok-ko Ing.

Dengan nada bersungguh Tok-ko U berkata: “Moay moay

urusan pernikahan itu suatu hal yang serius. Coba kau bilang

terus terang tentang keputusanmu, biar kudapat memberi

keterangan pada orang.”

“Baik, berilah jawaban pada orang itu dengan

membilang…. dengan membilang….”

“Membilang bagaimana?” tukas Tok-ko U.

Selebar wajah Tok ko Ing bertebar warna merah. Tiba-tiba

berhamburanlah kata-kata dari mulutnya: “Bilang sajalah

padanya, bahwa aku sudah dijodohkan pada lain orang.

Pemuda she Lu itu terlambat datangnya. Dan habis perkara!”

Tok-ko U terbeliak tanyanya dengan suara berbisik:

“Apakah kau sudah mengikat janji dengan Su toako?”

“Ha, koko, kau sungguh pintar. Kalau satu waktu kukatakan

kau tolol, itu hanya karena keserentakan dari pikiranku saja.

Silahkan kau kembali untuk memberi jawaban pada pemuda

she Lu itu,” ujar Tok-ko Ing.

“Moay moay, kau lebih suka menikah dengan Su toako.

Sayang tiada comblang yang memperantarakan. Turut

katamu, rupanya kau sudah mengambil keputusan yang

masak. Kau tentu bermaksud mengatakan bahwa Su toako itu

dapat diandalkan daripada Lu Hong Jun,” kata Tok-ko U.

Tok-ko Ing berkobar semangatnya. “Ilmu sastera dan ilmu

silat dari Su toako amat menonjol, belum temu kalah daripada

Lo Hong Jun. Sekalipun taruh kata, ia nempil dengan Lu Hong

Jun, tapi aku sudah kenal pribadinya dan cocok perangainya.

Biarpun Lu Hong Jun sepuluh kali lebih lihay dari dia,

aku..aku..!”

“Kau akan tetap memilih Su toako bukan?” Tok-ko U

menukas sambil tertawa.

Tok-ko Ing tundukkan kepala. Ia tak menyahut dan sikap

begitu berarti ia menerimanya.

“Bagaimana kau mengetahui kalau ilmu silat Su toako itu

lihay? Ai, mungkin ketika kalian berdua keluar untuk

menyambut kedatangan Lu Hong Jun, kalian sama-sama

menyelinapkan pedang. Apakah kalian sebelumnya sudah

menguji kepandaian didalam taman?” tanya Tok-ko U.

“Benar, kau tentunya hanya mengetahui ilmu pedangnya

lihay, tapi tentu belum mengerti siapa suhunya. Dengarlah,

ilmu pedangnya bukan ajaran dari Biau Hui Sin ni.” sahut Tok

ko ing.

Dengan bersemangat dara itu menceritakan tentang

permainan pedang Yak Bwe. Setiap gerak dan setiap jurus dari

ilmu pedang Su toako nya, ia lukiskan dengan gairah sekali.

“Oo, o, hm, hm,” selama mendengarkan cerita sang adik,

mulut Tok-ko U selalu menghamburkan nada heran dan

kagum.

“Mengapa ilmu pedang Biau Hui Sin-ni dapat diturunkan

kepada seorang lelaki, itu sungguh mengherankan sekali!”,

akhirnya Tok-ko menyatakan keheranannya.

“Piauci-nya yang bernama Sip In-nio yang

mengajarkannya.” To-ko Ing memberi keterangan. Ia lantas

menceritakan keterangan yang di rangkai oleh Yak Bwe.

Anehnya kesangsian Tok-ko U makin jelas menampil pada

wajahnya.

“Ai, kau ini bagaimana koko? Apakah kau curiga Su toako

menyintai piaucinya?” tanya Tok-ko Ing.

Tok-ko U tertawa: “Omitohud, berdosa, berdosa! Tidaklah

kau mendengar ucapan Lu Hong Jun? Sip In-nio sudah

tertambat hatinya dengan Bo Se Kiat. Thiat Mo Lek dkk

mengetahui hal itu. Dan untuk urusan itulah, malah sudah

minta tolong Lu Hong Jun menjadi comblangnya. Sip In-nio

seorang jelita perkasa, seorang pendekar wanita. Masakan ia

bermoral tipis?”

“Ya, habis mengapa wajahmu lain? Terus terang, aku

sendiripun bermula juga menaruh kecurigaan. Tapi setelah

mendengar keterangan Lu Hong Jun, hilanglah segala

prasangkaku,” kata To-ko Ing.

Tok-ko U merenung beberapa saat, kemudian berkata

tenang-tenang: “Moay-moay, percayakah kau akan

omongannya?”

Tok-ko Ing membeliakan matanya lebar lebar dan

menyentak: “Apa?”

“Kulihat didalam situ terdapat sesuatu yang mencurigakan,”

kata Tok-ko U.

“Apanya yang mencurigakan?” cepat-cepat Tok-ko Ing

mendesak.

“Bahwa ilmu pedang dari Biau Hui Sin-ni itu hanya

diajarkan pada kaum wanita dan tidak boleh kepada kaum

pria, itu sudah menjadi peraturan dari perguruannya.

Sekalipun Sip In-nio mempunyai ikatan keluarga dengan Su

toako, tapi tak mungkin nona itu berani melanggar pantangan

suhunya secara diam-diam mengajarkan kepada Su toako,”

kata Tok U.

Mendengar itu timbul juga keheranan Tok-ko Ing. Dengan

ragu-ragu ia berkata: “Mungkin, ia mungkin karena Sip In nio

itu masih kecil maka ia tak menyadari perbuatannya.

Terdorong rasa kegembiraannya bermain-main dengan Su

toako, ia lupa pantangannya itu.”

Tok-ko U gelengkan kepala: “Meskipun aku belum pernah

bertemu dengan Sip In-nio, tapi khabarnya ia itu seorang

nona yang bijaksana, kalau tidak, masakan Bo Se Kiat penuju

padanya. Pantangan suhunya, merupakan suatu hal yang

penting. Meskipun usianya masih muda, tak nantinya ia naif

akal itu.”

“Ha, aku sampai lupa. Su toako mengatakan pada setiap

hari Sip In nio berlatih pedang, ia tentu melihat disamping!”

kata Tok ko Ing.

‘Ilmu pedang ajaran Biau Hui sin-ni Itu bukan olah sukar

dan anehnya. Tanpa ada guru yang memberi petunjuk,

bagaimanapun cerdasnya, rasanya tetap tak mungkin mampu

mencuri belajar. Apakah ia mengatakan pada muka lau ilmu

pedangnya itu bolehnya mencuri?” tanya Tok-ko U.

Tok-ko Ing sendiri juga seorang ahli ilmu pedang. Ia cukup

mengetahui bagaimana sukarnya orang belajar ilmu pedang

itu. Tapi anehnya karena terpengaruh oleh rasa pancaran

kalbunya, in main telan saja akan obrolan Su Yak Bwe tadi.

Ketika saat itu engkohnya mengingatkan hal itu, barulah ia

timbul rasa kecurigaannya.

Tiba2 dengan suara menggumam Tok-ko U berkata:

“Jangan-jangan, hem, jangan-jangan.”

“Jangan2 apa?” cepat Tok-ko Ing menyeletuk .

“Jangan2 ia itu seorang gadis,” sahut Tok-ko U.

Tok-ko Ing tercengang. Sesaat kemudian ia membentak

sang engkoh: “Ngaco saja kau ini! Mana bisa ia seorang

gadis?!”

“Ah, aku akan hanya meraba-raba dalam dugaan saja.

Jangan kesusu” sahut Tok-ko U.

Kedua saudara itu amat baik sekali hubungannya. Tok-ko

Ing merasa menyesal juga tadi sudah membentak sang

engkoh dengan kata-kata kasar. Buru-buru ia tertawa: “Jika ia

memang benar seorang gadis, itu malah kebenaran sekali.

Bisalah ia menjadi ensoh-ku nanti. Maukah kau kujodohkan

padanya?”

Sebenarnya olok2 Tok-ko Ing itu hanya sekedar untuk

memperbaiki kesalahannya tadi. Siapa tahu, waktu

mendengarnya Tok-ko U juga tercengang. Beberapa saat

kemudian baru ia dapat berkata: “Kalau ia benar seorang

gadis istimewa yang jarang terdapat didalam dunia. Mana aku

layak menjadi pasangannya?”

“Ai, kalau begitu kau anggap dirimu itu lebih rendah dari

aku?” tanya sidara.

Kembali setelah termenung beberapa saat, barulah Tok-ko

U dapat berkata: “Ah, sudah tentu ia itu bukan seorang gadis

ya, tak mungkin, tak mungkin! Akulah yang mengadakan

dugaan secara serampangan.”

Walaupun mulutnya mengatakan begitu, namun tahu juga

Su Yak-bwe ditempat persembunyian, se-olah2 mendapat

kesan bahwa pemuda itu merasa getun karena Su-toako itu

seorang lelaki.

Yak-bwe berpikir: “Tok-ko U sudah menaruh kecurigaan.

Kalau aku sampai menceritakan kepadanya bahwa aku ini

seorang nona, jangan-jangan bisa menimbulkan kerunyaman.

Jika Tok-ko U sampai mengajukan pinangannya, apakah aku

dapat menolaknya?”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik dari Tok-ko

Ing, lalu katanya:

“Ah, memang sungguh sayang bahwa Su toako bukan

seorang nona. Kalau pembicaraan kita saat ini didengar Su

toako, wah tentu runyam sekali.”

“Apakah kau sungguh tak mengetahui kalau ia itu seorang

gadis yang menyaru jadi lelaki?” tanya Tok-ko U,

Sahut Tok-ko Ing: “Sudah tentu aku mengetahui. Ia….

ia….”

Tok-ko U terbeliak kaget, serunya: “Moay, moay, kau, kau

dengan dia:….”

“Koko, jangan menduga sembarangan. Ia hanya

menyatakan padaku, menyatakan…”

“Oh, ia tentu menyatakan isi hatinya kepadamu, bukan?”

tanya Tok-ko U.

Kedua belah pipi sidara bersemu merah. Ia tersipu-sipu

tundukkan kepala kemaluan sambil memainkan ikat

pinggangnya.

Yak Bwe juga terkesiap, pikirnya: “Bilakah aku menyatakan

isi hatiku kepadanya”

Tiba tiba ia teringat ketika sidara menjenguk sakitnya, ia

telah memuji dara itu berilmu tinggi dan pintar bekerja. Ya,

ya, ia pernah mengatakan kepada Tok-ko Ing. “Siapakah hai,

gerangan yang berbahagia mempersuntingkan nona?”

“Ah, apakah ia kira aku menaruh hati pada saya?” Demikian

pikir Yak Bwe lebih lanjut.

Didalam ruangan kedengaran Tok-ko U tertawa: “Su toako

bukan seorang wanita, ah itulah memang rejekimu. Baiklah,

biarlah ku jadikan kehendakmu itu. Besok akan kuselidiki lagi

sikapnya kepadamu. Biar kujadikan perjodohanmu itu, agar

dirimu mendapat tempat. Nah, tidurlah baik-baik, aku hendak

pergi.'”

“Mengapa aku gelisah? Asal kau tak merecoki aku dengan

urusan Lu Hong Jun, aku pun tak punya keresahan apa-apa

lagi,” sahut Tok-ko Ing.

Karena Tok-ko hendak tinggalkan ruangan itu, Yak Bwe

pun segera mendahului pergi. Tapi baru ia melangkah sampai

dirumpun pohon bunga sekonyong-konyong sesosok

bayangan hitam loncat melampaui tembok dan melayang

tepat diatas batu gunung-gunungan yang berada

disebelahnya. Ketika mengawasi, kejut Yak Bwe bukan

kepalang. Saking kagetnva, tubuhnya sampai gemetar dan

bunga-bunga yang tersentuhnya jadi berhamburan jatuh.

Orang yang tiba-tiba datang itu bukan lain ialah manusia

yang dibencinya tapipun yang paling dirindukannya, Toan Khik

Sia!

Kiranya Toan Khik Sia telah menempuh jarak tujuh ratus li

menyusur jalan raya Tiang an, tapi tetap tak dapat

menemukan Yak Bwe. Ia terpaksa kembali dan hendak

membalik haluan kearah selatan. Kebetulan ia berjumpa

dengan Lu Hong Jun.

Sebenarnya Lu Hong Jun sudah mempunyai kecurigaan

terhadap Yak Bwe. Dalam pembicaraan selanjutnya, ia

menceritakan juga diri Yak Bwe itu kepada Khik Sia. Demi

mendengar bahwa ‘pemuda’ itu orang she Su dan mengaku

masih adik misan dari Sip In-nio, girang Khik Sia bukan

kepalang. Ya, siapa pemuda gadungan itu kalau bukan Yak

Bwe! Cepat cepat Khik Sia minta alamat tempat tinggal Tok ko

dan malam itu juga ia segera berangkat.

Ketika tiba dipintu gedung keluarga Tok-ko, haripun sudah

lewat tengah malam. Menurut peraturan, jika hendak bertamu

itu seharusnya pada siang hari. Tapi Khik Sia sudah tidak

tahan lagi. Apalagi Lu Hong Jun juga menyinggung-nyinggung

tentang hubungan rapat antara pemuda she Su itu dengan

adik perempuan Tok-ko U. Maka tanpa dapat mengendalikan

diri lagi. Khik Sia segera mengambil keputusan. Lebih dulu

masuk menyelundup kedalam gedung untuk mencari Yak Bwe

sesudah itu baru ia menghaturkan maaf kepada tuan rumah.

Dan sungguh kebetulan sekali, ketika ia melayang masuk

keatas batu gunung-gunungan, ia kesamplokan dengan orang

yang dicari-cari nya. Karena ‘tertangkap muka’ Yak Bwe

menjadi gelagapan, sebaliknya Khik Sia terkejut dan girang

sekali!

“Adik Yak Bwe……..!” tanpa ragu-ragu lagi Khik Sia

meluncurkan tegur salam manis.

Tapi wajah Yak Bwe sedingin es. Tanpa memandangnya

lagi, ia terus kebutkan lengan bajunya dan pergi. Khik Sia

memburunya, dan terus menjambret lengan baju Yak Bwe,

bisiknya dengan lirih: “Adik Bwe, kau, kau dengarlah

perkataanku…….”

Yak Bwe kebas lengannya dan membentak dengan dingin:

“Tahulah sopan sedikit! Siapa adikmu itu?”

Rasa cinta Khik Sia itu hangat membara tapi kulit mukanya

tipis. Dibentak sedingin begitu, merahlah telinganya, ribuan

kata-kata yang hendak dirangkainya, menjadi kacau balau

lagi. Dengan gerak hun-hoa-hud-liu atau bunga tersiak

mengebut pohon liu, Yak Bwe lanjutkan langkahnya. Khik Sia

makin bingung. Dengan besarkan nyali ia tekan ujung

tumitnya. Dengan gerak ginkang istimewa Ing-hun jong, ia

melambung melampaui kepala Yak Bwe dan melayang jatuh

dihadapan sinona untuk menghadangnya.

“Minggir!” bentak Yak Bwe. Dan tanpa hentikan langkah, ia

terus maju menerjang.

Tapi Khik Sia lantas menghadangkan kedua tangannya.

Bagaimanapun Yak Bwe henak mencoba menerobos, tetap

kena terhadang.

“Toan Khik Sia, kau terlalu menghina orang!” akhirnya

meluncurlah kata-kata kemarahan dari mulut Yak Bwe.

“Yak Bwe, kau marah padaku, aku tak sesalkan padamu.

Harap kau mengingat akan hubungan antara keluarga kita

dahulu,” demikian buru-buru Khik Sia berkata.

“Bagaimana?” Yak Bwe menegas.

“Sejak dilahirkan, kita lantas, lantas…..ah sudahlah jika kita

sampai tidak rukun, arwah ayah bunda kita dialam baka tentu

tak dapat tenteram.” Khik Sia melanjutkan kata-katanya.

Sebenarnya betapa inginnya Yak Bwe ‘rujuk’ dengan

pemuda yang dikenangkan itu. Tapi ia sudah biasa dibesarkan

sebagai seorang siocia yang beradat tinggi. Teringat beberapa

kali Khik Sia pernah menghinanya, api amarah Yak Bwe masih

belum reda. Jika kedatangnya tadi Khik Sia lantas meminta

maaf, mungkin Yak Bwe dapat diredakan kemarahannya.

Adalah karena Khik Sia itu memang tak pandai merangkai

kata2, walaupun sudah merancangkan lama, tapi hasilnya

tetap tak seperti diharapkan. Ia kira dengan mengingatkan

Yak Bwe akan hubungan keluarga mereka dahulu, dapatlah ia

mendinginkan hati sinona. Siapa tahu sebaliknya Yak Bwe

malah lain penerimaannya.

Pikirnya: “Ha, ha, kiranya kau hanya takut dicap tak

berbakti kepada orang tua, maka terpaksa mencari aku. Jadi

sekali-kali bukan karena kau suka kepadaku.”

“Thiat toako juga amat perhatikan terhadap urusan kita. Ia

pesan wanti-wanti kepadaku harus mengajakmu pulang. Adik

Bwe, sukalah kiranya kau perkenalkan aku kepada tuan rumah

agar dapat kujelaskan duduk perkaranya. Dan besok pagi kita

lantas berangkat pulang,” demikian kata Khik Sia pula.

Kali ini pun Khik Sia membuat kesalahan pula. Dengan

membawa-bawa nama Thiat Mo Lek ia kira dapat

mempengaruhi tunangannya siapa tahu Yak Bwe malah makin

muring2.

“Apa pedulikan kepada omongan lain orang? Yang kuingat

hanyalah satu, ialah kau sudah menyatakan memutuskan

hubungan padaku. Sejak ini, kau kerjakan urusanmu sendiri

dan aku lakukan kehendakku sendiri. Tali pertunangan kita

sudah putus, jadi aku dan kau tiada hubungannya sama

sekali. Harap kau hormati kata-katamu itu sendiri dan

janganlah terus mengganggu diriku,” demikian semprot Yak

Bwe dengan tertawa dingin.

Keruan Khik Sia menjadi kikuk, ia menyengir. Dengan

terputus-putus ia menerangkan. “Hal itu, adalah

kelimbunganku dahulu, aku, aku…..”

Baru ia hendak mengakui kesalahannya, Yak Bwe sudah

membentaknya dengan keras-keras: “Kau menyingkir tidak?

Jika kau tak mau menyingkir, biarlah aku yang pergi!”

Tiba-tiba terdengar suara Tok-ko Ing berseru: “Su toako,

ada apakah? Dengan siapa kau bicara?”

Menyusul Tok-ko U pun berseru keras: “Sahabat

darimanakah itu? Tengah malam buta datang kemari, hendak

bermaksud apa?”

Kiranya kedua kakak beradik itu mendengar juga

pertengkaran mulut Khik Sia dan Yak Bwe tadi. Mereka kira

kawanan ko chiu (jago lihay) fihak pemerintah telah

mengetahui bahwa Tok-ko U telah menyembunyikan ‘seorang

hohan dari Kim-ke-nia’.

Bergegas-gegas kedua kakak beradik itu memburu datang.

Pada saat itu Khik Sia tengah pentang lengannya menghadang

Yak Bwe. Jalanan didalam taman bunga situ berliku-liku dan

saat itu Khik Sia tepat berada ditengah tengah gununggunungan

palsu. Malam itu rembulan remang. Dari kejauhan

orang tentu mengira bahwa Khik Sia hendak menangkap Yak

Bwe sementara Yak Bwe tengah berusaha menghindar diri.

Melihat itu, Tok-ko Ing gugup sekali. Ia kuatir kalau

terlambat sedikit saja, tentulah ‘Su toakonya’ itu kena

tertangkap lawan. Begitu sang tubuh melesat maju, belum

kakinya sempat menginjak bumi, pedangnya sudah maju

menusuk Khik Sia,

Ilmu pedang ajaran Kong Sun toanio itu bukan main

hebatnya. Apalagi Tok-ko Ing begitu buru-buru hendak

menolong Yak Bwe. Ia keluarkan jurus serangannya yang

lihay. Kecepatannya laksana kilat menyambar. Khik Sia hanya

sempat berteriak kaget, karena belum lagi ia dapat

menyerukan supaya Tok-ko Ing hentikan serangannya dulu.

Sidara sudah menyerang beruntun-untun tiga kali. Terpaksa

Khik Sia gunakan ginkangnya yang lihay untuk berputar

menghindar. Satu demi satu ia kelit ketiga serangan kilat itu.

Jangankan orangnya, sedang ujung bajunyapun Tok-ko Ing

tak mampu menyerempetnya. Tapi sekalipun begitu, Khik Sia

menjadi keripuhan juga. Mata dan seluruh perhatiannya

terpaksa ia curahkan kearah gerak ujung pedang sidara. Oleh

karena itu terpaksa ia tak dapat bicara.

Juga Tok-ko Ing tak kurang terkejutnya demi mengetahui

kelihayan ‘musuh’. Ia perhebat lagi serangannya itu. Derasnya

seperti ombak disungai Tiang-kang. Bergulung-gulung tiada

putusnya. Dan setiap jurus serangannya itu mengandung

penuh perobahan-perobahan yang tak terduga. Ayal sedikit

saja. Khik Sia pasti kena diganyang.

Tok-ko U hanya mengikuti permainan adiknya itu dari

samping saja. Dalam hal kesabaran, ia memang lebih sabar

dari sang adik. Setelah lewat beberapa gebrak, tahulah bahwa

tetamu yang tak diundang itu jauh lebih lihay beberapa kali

dari adiknya. Diam-diam ia membathin: ‘Luka Su toako itu

baru saja sembuh. Kepandaiannya tak jauh dari Ing-moay.

Dengan memakai pedang saja, Ing-moay tak mampu

menandingi orang itu. Apalagi Su toako tadi hanya dengan

tangan kosong saja. Kalau orang itu sungguh-sungguh hendak

menangkapnya, tentu tadi sudah kena,”

Baru To-ko U hendak meneriaki adiknya supaya berhenti

agar dapat menanyai tetamu itu tiba-tiba terdengar suara

bergemerincing. Kiranya setelah mendapatkan ilmu pedang

Tok-ko Ing bukan olah2 hebatnya, kalau hanya mengandalkan

ilmu ginkang saja, Khik Sia merasa kuatir. Dan kedua kalinya,

anak muda itu marah juga.

Demikian akhirnya ia ambil putusan hendak balas

menyerang. Menggunai kesempatan Tok-ko Ing hendak

merobah gerakannya, secepat kilat Khik Sia maju merapat dan

gunakan dua jarinya untuk menutuk batang pedang sidara.

Tutukan itu hanya menggunakan 5 – 6 bagian tenaganya saja,

namun Tok-ko Ing sudah tak kuat menahannya. Kuda-kuda

kakinya tergempur dan tubuhnya sempoyongan kemuka.

Justeru tepat dimuka sidara itu terdapat sebuah batu kerucut

yang menonjol tajam. Hal itu mengejutkan Khik Sia juga.

Buru-buru ia ulurkan tangan hendak menyambret punggung

baju sinona.

Tapi bagi Tok-ko U hal itu diartikan lain. Ia mengira Khik

Sia tentu hendak turunkan tangan ganas kepada adiknya.

Tempat Tok-ko U berdiri itu memang baik sekali posisinya.

Sembarang waktu ia dapat menolongi adiknya. Tanpa banyak

pikir lagi, ia terus enjot tubuhnya keudara. Ditengah udara itu

berjumpalitan dalam gerak kok-cu-hoan-sin atau burung

merpati berjungkir tubuh. Tahu-tahu kipasnya sudah maju

menutuk punggung Khik Sia.

Sejak tadi memangnya Yak Bwe hanya berpeluk tangan

mengawasi saja. Kini setelah di ketahui Tok-ko Ing bakal

terbentur batu kerucut, ia menjadi gugup dan terus maju

memburu untuk menarik tubuh sidara kesamping.

Perbuatan Yak Bwe itu tak terduga sama sekali oleh Khik

Sia. Tangan kirinya bergerak menangkis tutukan kipas Tok-ko

U, sedang tangan kanannya masih tetap menjulur

kepunggung Tok-ko Ing. Maksudnya hendak menjamjambret

baju sidara, tapi karena Tok-ko U mengira sang adik bakal

dicelakai, ia cepat putar kipasnya untuk diteruskan menutuk

jalan darah cu-ping-hiat dipinggang Khik Sia.

Karena dihalang oleh Tok-ko U itu, ia kalah dulu dengan

Yak Bwe yang sudah berhasil menarik Tok-ko Ing kesamping.

Tapi baru saja Yak Bwe berputar tubuh, astaga tangan Khik

Sia tadi sudah tiba didadanya! Segera muka Yak Bwe menjadi

merah padam. Adalah suatu hinaan bagi seorang kaum

persilatan kalau sampai tak dapat menjaga diri dari serangan

lawan. Tanpa banyak pikir lagi, Yak Bwe kontan menangkis

tangan Khik Sia itu.

Sudah disebutkan diatas, bahwa jambretan tangan Khik Sia

itu adalah untuk menolong Tok-ko Ing, sudah tentu ia tak

menggunakan tenaga. Maka begitu didorong oleh Yak Bwe

Khik Sia menjadi terhuyung kebelakang dan dengan begitu

termakanlah pinggangnya oleh kipas Tok-ko U. Untung ia

dapat berpikir sebat, Membarengi tubuhnya menjorok kemuka

ia lantas menggelincir dua langkah. Tapi biar pun jalan

darahnya tak terkena tepat, tidak urung ia merasa kesakitan

juga. Dan yang lebih runyam lagi, berbareng itu kipas Tok-ko

U pun sudah tiba. Dilain fihak karena mendapat kekalahan,

marahlah Tok-ko Ing. Begitu tubuhnya dapat berdiri tegak ia

cepat menyerang dengan pedang lagi. Dengan demikian Khik

Sia yang bertangan kosong itu kini terkepung oleh kedua

saudara Tok-ko. Benar ia masih dapat berusaha untuk

menghindari, namun tak urung menjadi kelabakan juga.

Sampai disini tak dapat Khik Sia mengendalikan

kemarahannya lagi. Ia deleki mata ke arah Yak Bwe: “Mereka

membabi buta menyerang aku dan aku tak sempat memberi

penjelasan lagi. Mengapa kau berpeluk tangan mengawasi

saja dan tak mau menjelaskan duduk perkaranya?”

Padahal sebenarnya sekalipun taruh kata Khik Sia sempat

bicara sendiri, tapi dikarena kan kulitnya tipis (pemaluan), jadi

ia sungkan juga dihadapan orang yang tak dikenalnya,

mengaku-aku kalau Yak Bwe itu sebenarnya adalah calon

isterinya.

Itu hanya penoropongan Khik Sia secara sefihak dari

sudutnya sendiri. Coba pikirkan, Yak Bwe adalah seorang

gadis, apalagi ia masih mendongkol kepadanya (Khik Sia).

Mana ia mau menerangkan kalau Khik Sia itu adalah bakal

calon suaminya?

Dideleki mata oleh Khik Sia, kemarahan Yak Bwe makin

berkobar. Menyaksikan pertandingan beberapa gebrak tadi, ia

mendapat kesimpulan bahwa kedua kakak beradik she Tok-ko

itu tak mampu melukai Khik Sia. Jadi ia tak perlu

menguatirkan keselamatan anak muda itu. Jika mau, anak

muda itu {Khik Sia) berkat ilmu ginkangnya yang tinggi tentu

dapat meloloskan diri. Dirangsang oleh rasa kemangkelannya

terhadap Khik Sia, Yak Bwe ambil putusan untuk menggebah

anak muda itu pergi. Dan sekarang inilah kesempatannya.

“Su toako, siapakah bangsat ini? Apakah kau

mengenalnya?” tiba2 Tok-ko U bertanya kepadanya.

Pertanyaan diajukan, karena Tok-ko U heran melihat Yak Bwe

sejak tadi hanya tinggal diam dan mengawasi saja.

“Ya, tentunya seorang penjahat. Tok-ko-heng, beri hajaran

yang keras, jangan kasih dia lari!” sahut Yak Bwe. Iapun cabut

pedangnya dan turut menyerang.

“Hai, Su toako, penjahat itu lihay sekali. Kau, kau jangan

turut maju. Kita sudah cukup dapat mengatasinya.” seru To-ko

Ing dengan tergopoh-gopoh. Terang ia menguatirkan

keselamatan ‘pemuda she Su’ itu karena tahu lukanya baru

saja sembuh, kalau dibuat bertempur tentu akan merekah

lagi.

Dalam pada itu. diam-diam Tok-ko U membathin bahwa

penjahat itu sedemikian lihay itu tentu bukan sebarang

penjahat, melainkan tetamu jago pilihan dari istana. Ia tahu

Yak Bwe itu masih hijau dalam dunia kang-ouw, jadi tak dapat

menilai kekuatan musuh. Mengingat bahwa anak muda she Su

itu baru saja sembuh dari lukanya, iapun turut kuatir juga.

Bermula memang ia curiga jangan-jangan Yak Bwe itu kenal

dengan sipenjahat. Tapi kini setelah melihat sikap Yak Bwe

sedemikian garangnya, kecurigaannya itupun lenyaplah.

Khik Sia mendengar juga tentang ucapan kedua saudara

Tok-ko yang begitu memperhatikan sekali kepada Yak Bwe.

Tiba-tiba ia berpikir: “Hampir sepuluh hari Yak Bwe tinggal

dirumah ini. Masakan selama merawat lukanya itu, kedua

saudara Tok-ko tak mengetahui kalau ia seorang gadis?”

Karena memikir begitu, pikirannya buyar. Dan terlambatlah

ia untuk menghindari sebuah kibasan kipas Tok-ko U yang

ditujukan ke mukanya. Bret Bret, pakaiannya berlubang

termakan rangka kipas yang tajam.

Mendapat hasil itu, semangat Tok-ko U makin berkobar.

Kipas besi dimainkan lebih gencar, sebentar dimainkan

sebagai poan-koan-pit untuk menutuk jalan darah, sebentar

juga dijadikan sebagai pedang ngo-heng-kiam untuk

membabat. Tangannya yang gagah dan gerakan tubuhnya

yang tangkas lincah, benar-benar seperti air mencurah dari

langit. Dia memang dari keturunan keluarga berada. Dengan

memainkan kipas itu, sikapnya makin indah, gayanya makin

menarik.

Sebaliknya perasaan Khik Sia makin tak karuan, hatinya

timbul penasaran. Tiba-tiba ia berpikir: “Ketika aku tadi

datang, ia tengah mundar-mandir dibawah pohon bunga.

Malam begini larut, mengapa ia seorang diri didalam taman?

Apakah sedang menunggu seseorang?” Pikirnya lebih jauh:

“Ah, maka ia tak memperdulikan aku lagi, Kecakapan Tok-ko

kong-cu ini jauh sepuluh kali lipat dari aku!”

Hatinya menjadi tawar dan menyusul lantas putus asa serta

kecewa. Pikirnya: “Ah, memang aku sendiri yang tak baik. Aku

telah salah faham dan memperlakukan kasar padanya. Malah

pernah menyatakan memutuskan pertunangan dengannya.

Mendapat hinaan begitu. Masakan ia tak marah? Kalau ia kini

sudah mencari lain pilihan lagi, masakan aku dapat

menyalahkannya tak setia janji?”

Terbit pertentangan dalam bathin Khik Sia. Makin

dibayangkan, makin mendekati kebenaran dan menarik

kesimpulan kalau Yak Bwe itu sudah berobah hatinya.

“Seorang lelaki harus lapang dada. Pemuda she Tok-ko itu

tentulah juga seorang hiap-gi. Jika Yak Bwe suka padanya dan

tidak suka padaku, mengapa tak kujadikan saja kehendak

mereka itu?” akhirnya ia tiba pada kesimpulan seperti itu.

Seketika bersuitlah ia dengan nyaring, lalu enjot tubuhnya

keatas. Tutukan kipas Tok-ko U menemui tempat kosong.

Justeru pada saat itu Tok-ko Ingpun menusuk dengan jurus

ki-hwe-liau-thian atau mengangkat obor membakar langit.

Dengan tangkasnya Khik Sia segera gunakan dua jari untuk

menutuk dan kali ini tutukannya itu tepat sekali. Tiing, pedang

sidara menjadi melengkung kesamping dan tepat membentur

kipas engkohnya. Dalam saat kedua kakak beradik itu

terkesiap kaget, Khik Sia sudah melayang melampaui pagar

tembok. Yang terdengar hanya suara suitan nyaring seperti

membelah angkasa. Pada lain kejab suitan itu sudah beberapa

li jauhnya.

Wajah kedua saudara Tok-ko itu berobah. Kata Tok-ko U:

“Kepandaian orang itu tinggi dan ginkangnya lihay sekali.

Jarang sekali terdapat jago muda seperti dia. Tapi mengapa ia

mendadak pergi?”

“Lebih baik biarkan ia pergi saja. Su toako apakah kau tak

terluka?’, kata Tok-ko Ing yang selalu memperhatikan keadaan

Yak Bwe.

Yak Bwe ternyata tegak membisu seperti patung. Setelah

sidara mengulangi lagi pertanyaannya, barulah ia mendengar

dan menyahut kalau ia tak kena apa-apa. Sebenarnya Yak

Bwe saat itupun menyesal dalam bati. Khik Sia ia gebah pergi

dengan semena-menanya. Dengan berbuat begitu, ia sudah

puas menumpahkan kemarahannya. Tapi setelah itu, kini ia

jadi getun sendiri.

Bagi Tok-ko Ing, sikap Yak Bwe itu diartikan lain. Ia

mengira kalau ‘pemuda gadungan’ itu tentu terbeliak kaget

mengetahui kepandaian sipenjahat yang begitu lihay.

“Rupanya orang itu adalah dari golongan Gong-gong-ji.

Setiap kali Gong-gong-ji gagal menyerang, ia tentu tinggalkan

sasarannya dan tak mau kembali lagi,” kata Tok-ko U.

“Mudah-mudahan saja ia tak balik lagi!” kata Tok-ko Ing.

Memang pada waktu bertempur tadi kedua saudara Tok-ko

itu tak kenal takut. Tapi kini demi membayangkan kelihayan

‘sipenjahat’ diam2 mereka menjadi gelisah. Ya, kalau Khik Sia

sampai kembali, bagaimanakah mereka hendak menghadapi.

Demikian bayang2 kecemasan yang meliputi perasaan kedua

kakak beradik itu.

“Su toako, apakah kau sudah pergi ke Tiang An?” tiba-tiba

Tok-ko U bertanya.

“Waktu kecil aku pernah kesana. Mengapa?” sahut Yak

Bwe.

“Kami belum pernah pergi kesana. Cio Siang akan

menyelenggarakan sebuah pertemuan besar dari orang gagah

dikota Tiang An. Ayuh besok pagi kita bersama-sama kesana?”

kata To-ko U.

“Hm, koko.” Tok-ko Ing mendengus, “bukankah kau

sebenarnya tak berhasrat pergi ke sana? Mengapa sekarang

berobah haluan?”

Dalam pada itu sidara merasa heran sendiri mengapa

mendadak sontak engkohnya berpikiran demikian. Hal yang

penting ( urusan Tok-ko Ing dengan Yak Bwe ) tak

dibicarakan, sebaliknya memikirkan urusan lain.

Tok-ko U melirik sekejap pada adiknya, katanya dengan

tertawa. “Moay-moay, apakah kau tak kepingin ikut pergi?

Tujuanku inipun untukmu juga!”

Tok-ko Ing yang cerdas segera mengerti kemana jatuhnya

perkataan engkohnya itu. sahutnya: “Benar, memang itu

sebuah pertemuan besar yang jarang terjadi. Tak usah turut,

cukup ikut melihat saja juga dapat menambah pengalaman

kita. Su toako. jangan kuatir. Cin Siang pernah menjanjikan,

asal jangan bikin onar didalam kota Tiang An, siapa saja dan

bagaimanapun perbuatannya yang lalu, ia tak akan menarik

panjang. Seorang tokoh Seperti Cin Siang, apa yang ia

janjikan tentu takkan dingkarinya.”

“Jika Su toako masih kuatir, aku mempunyai pil ih-yong-tan

(merobah air muka). Pil itu dapat merobah air muka. Dengan

begitu dapatlah Su toako leluasa kesana Hanya sayangku

kudamu itu sudah tak dapat dinaiki lagi. Didalam kota Tiang

An, aku mempunyai beberapa orang kenalan yang dapat

menyambut kedatangan kita. Tapi aku belum pernah ke Tiang

An, jadi nanti akan minta tolong Su toako menunjukkan jalan,”

kata Tok-ko U.

Waktu Yak Bwe tetap tak mau bicara, mata Tok-ko Ing

berkeliaran. Ia tertawa: “Takutkah Su toako untuk

menyerempet sedikit bahaya? Kalau memangnya kuatir tak

apalah tak jadi pergi ke Tiang An, Aku mempunyai seorang

kohkoh (bibi) yang tinggal dikota Hong Siang daerah Liong Se.

Pamanku itu ialah tokoh kangouw yang ternama yakni Tong Pi

Sin Kun Ko Tay Hau. Sudah beberapa tahun aku tak berjumpa

dengan kohkoh itu. Bagaimana kalau kita pergi kesana saja?

Disana alam pemandangan indah permai. Jika Su toako tak

berhasrat untuk mengikat persahabatan dengan orang2

gagah, baiklah kita pesiar kesana.”

Sebenarnya enggan rasa hati Yak Bwe. Ia heran mengapa

kedua saudara itu begitu memperhatikan sekali pada dirinya.

Tiba-tiba ia tersadar. Sahutnya: “Terima kasih atas kebaikan

budi kalian berdua. Tetapi lebih baik kalian jangan tinggalkan

rumah. Aku seorang diri berkelana, tak jadi soal. Jika orang

tadi (Khik Sia) hendak membikin perhitungan, ia tentu mencari

aku, tak nanti mencari perkara pada kalian.”

Dugaan Yak Bwe itu memang kena. Kiranya kedua saudara

Tok-ko itu tetap akan meresahkan buntut dari peristiwa

malam itu. Orang yang datang tadi keliwat lihay, mereka

merasa bukan lawannya. Betul mereka percaya kalau orang itu

takkan datang lagi, tapi mereka tak berani memastikan

seratus persen. Ini disebabkan karena mereka tak mengetahui

sama sekali bahwa orang lihay itu sebenarnya adalah Toan

Khik Sia dan Toan Khik Sia itu bakal suami dari Yak Bwe

sendiri. Mereka kira Khik Sia itu tentu salah seorang jago kelas

satu dari istana. Demi untuk menjaga keselamatan Yak Bwe

dan melindungi juga jiwa mereka, kedua saudara Tok-ko itu

hendak menyingkir untuk sementata waktu. Dikota Tiang An

mereka mem ….

——————————————————————–

ada Hal yang hilang 😦

——————————————————————–

Kamar yang dipakai Yak Bwe itu, adalah kamar tulis dari

Tok-ko Ing: Disitu alat-alat tulis serba lengkap. Setelah bolakbalik

memikir, akhirnya ia memuluskan untuk menulis surat

dan kemudian tinggalkan rumah itu. Tapi ternyata tak mudah

untuk menarikan pit-nya. Beberapa kali, ia terpaksa harus

mengganti kertas. Setelah setengah harian, kemudian barulah

ia dapat menyelesaikan surat itu. Tapi ketika dibacanya sekali

lagi, ia masih belum puas. Isinya masih belum dapat

mencangkum kehendak hatinya.

Bermula ia hendak memaparkan keadaan dirinya yang

sebenarnya agar Tok-ko Ing jangan sampai berlarut-larut

jatuh hati. Tapi lain saat ia berpikir lagi: “Entah bagaimanakah

hubunganku dengan Toan Khik Sia besoknya itu. Jika tejadi

suatu perobahan sehingga perjodohan kita itu sampai batal,

bukankah akan menjadi buah tertawaan orang? Ah, tak boleh

kutulis bahwa aku akan pergi untuk mencari bakal suamiku

itu…. Tapi jika menyebut-nyebut hal itu, apakah yang hendak

kutulis? Apakah hanya menyebut kalau diriku ini seorang gadis

saja? Ah, itu juga kurang sempurna. Jika Tok ko Ing nanti

akan melamar aku untuk engkohnya. Bagaimana aku harus

menghadapinya?”

Akhirnya Yak Bwe memaparkan tiga buah hal dalam

suratnya itu. Pertama, menyatakan terima kasih kepada kedua

saudara Tok-ko itu-Kedua, ia menyatakan tak mau merembetrembet

kedua saudara itu. Kemudian yang ketiga ialah

menenteramkan hati mereka, Ia menjamin, seperginya dari

rumah itu, tentu rumah saudara Tok-ko itu tak akan

kedatangan musuh. Dan akhirnya ia memberikan isyarat

kepada Tok-ko Ing dengan kata-kata yang tegas: “maaf tak

dapat menerima kasih, dikemudian hari tentu mengetahui”.

Demikianlah ia menyudahi suratnya.

Mendongak kemuka, ia lihat diluar jendela cuaca masih

gelap remang. Sebenarnya berat juga Yak Bwe akan isi

suratnya itu, tapi apa boleh buat.

“Lebih baik Tok-ko U memaki aku sebagai sahabat culas

dan Tok-ko Ing mencaci aku sebagai manusia yang buta cinta,

aku menerimanya. Kuberdoa semoga kita diberkahi Allah, agar

aku selekasnya dapat berjumpa dengan Khik Sia dan

menyelesaikan salah faham ini, kemudian dapatlah aku

kembali kesini untuk menghaturkan terima kasih dan meminta

maaf kepada kedua saudara Tok-ko. Pada waktu itu mereka

tentu takkan mempersalahkan aku!” pikirnya.

Setelah mengambil ketetapan, ia segera letakkan surat itu

diatas meja tulis, dan setelah membuka jendela ia loncat

keluar. Untung karena semalam lelah bertempur dengan Khik

Sia, Tok-ko U tidur dengan pulasnya. Jadi sedikitpun Yak Bwe

tak mengalami gangguan.

Sewaktu melalui kamar Tok-ko Ing, tiba-tiba didengarnya

dara itu berteriak memanggil ‘Su toako’, Kejut Yak Bwe bukan

kepalang. Buru-buru ia tahan napas. Tapi selang beberapa

saat tak kedengaran dara itu bersuara apa-apa lagi. Kini ia

baru sadar bahwa dara itu kiranya sedang mengigau. Diamdiam

ia geli,

“Dalam tidurnya ia tetap teringat padaku. Sebaliknya aku

sendiri pun sedang memikirkan lain orang.”

Teringat sampai disitu, hatinya menjadi tawar. Ia memaki

dirinya sendiri keliwat katak. Dahulu Toan Khik Sialah yang

jerih payah mencarinya, tetapi kini menjadi sebaliknya ialah

yang memburu Khik Sia. Bagi Khik Sia dulu mudahlah untuk

mencarinya, tapi sekarang ia sukar untuk mencari pemuda itu.

Memapg demikianlah jalannya kisah kasih kedua mudamudi

itu. Mereka harus mengalami cobaan derita yang

berbelit-belit.

Kini marilah kita ikuti perjalanan Khik Sia. Anak muda itu,

pergi dengan hati yang tak karuan rasanya. Ia lanjutkan

perjalanan tanpa arah tujuan lagi, asal sang kaki dapat

membawanya saja. Tahu-tahu haripun terang tanah. Ketika

melihat paoa sebuah papan jalanan, ternyata kini ia sudah tiba

dikota Lu-liong tin yang terletak ditapal batas residensi Pakkoan.

Kiranya dalam sejam saja, ia sudah lari sejauh dua

ratusan li. Karena lari sekian jauh itu, kesesakan dadanya pun

agak longgar dan kegelisahanpun reda. Sebagai gantinya kini

perutnya terasa minta diisi. Untung ditepi jalan situ terdapat

sebuah warung arak yang kebetulan sudah mulai buka

pintunya.

Warung arak itu tentunya diperuntukan orang-orang yang

kebetulan melalui situ. Tapi pada saat hari baru mulai terang

tanah itu, masakan ada orang yang datang? Mestinya warung

arak itu tak perlu sepagi itu buka. Diam-diam Khik Sia merasa

heran. Tapi karena perutnya meronta-ronta, iapun tak banyak

pikir lagi terus menghampiri.

Didalam warung itu terdapat sepasang laki perempuan

setengah umur dan seorang anak perempuan berusia

sepuluhan tahun lebih. Rupanya mereka itu suami isteri dan

seorang anaknya. Begitu tampak Khik Sia melangkah masuk,

anak perempuan itu cepat berteriak: “Yah, tuan besar

pengemis datang!”

Ayahnya melihat juga akan kedatangan Khik Sia itu. Benar

pakaian anak muda itu penuh debu tapi tidak compang

camping. Heran juga dibuatnya orang lelaki itu.

“Hus, jangan omong sembarangan!” bentaknya kepada

sibocah perempuan, “harap tuan jangan taruh dihatilah.

Selamat pagi tuan.”

Ternyata warung itu hanya mempunyai sebuah ruangan

tetamu. Ruangan dalam diperuntukan kamar tidur. Dapurnya

terletak disudut ruangan. Bahwa warung itu amat sederhana

dan jelek, itu tak mengherankan. Tapi yang mengherankan

diatas meja dapur tertumpuk belasan ekor ayam gemuk yang

sudah dibului bersih, sedang dilantai tertumpuk bergumpalgumpal

tanah liat dan daun teratai. Sedang tungku dapur api

tengah menyala. Biasanya warung ditepi jalan itu tak banyak

dagangannya. Setempo tak sedia ikan atau daging. Maka

anehlah kalau warung sekecil itu mempunyai persediaan ikan

yang sedemikian banyaknya.

Tapi karena laparnya. Khik Sia tak berbanyak tanya lagi.

Begitu duduk ia segera berseru: “Bagus, bagus! Berikan aku

seekor ayam dan dua kati arak!”

Wajah pemilik warung itu berobah meringis, Ia memberi

hormat dan berkata dengan terbata-bata: “Tuan persediaan

ayam disini semuanya hendak dibuat kiau-hoa-ke!”

Khik Sia kerutkan alisnya: “Membuat kiau hoa-ke makan

waktu terlalu lama, aku tidak mau menunggu. buatkan aku

pik-kiap-ke sajalah!” Diam-diam Khik Sia heran mengapa

pemilik warung itu hendak membuat masakan kiau-hoa-ke

(ayam pengemis).

Pemilik warung itu paksakan tertawa: “Aku belum

menerangkan jelas. Ayam2 itu sudah di pesan orang lain, tak

boleh dijual.”

Khik Sia makin keheranan. Warung begitu hanyalah

melayani orang-orang jalan yang setiap harinya tentu gantiberganti.

Mengapa ada orang yang pesan makanan disitu.

Apalagi mereka pesan masakan kiau-hoa-ke? Bukankah hal itu

aneh? Tapi Khik Sia sedang resah. Ia tak punya tempo untuk

bertanya ini itu lagi. Seketika ia kerutkan alisnya dan berkata.

“Sekarang masih pagi sekali, kau toh beli lagi beberapa ekor

ayam. Ayam yang sudah siap dimasak itu toh tak mengapa

kalau diberikan seekor saja, bukan?”

Pemilik warung itu tertawa: “Ah, tuan tak tahu. Semua

ayam2 didesa ini sudah diborong oleh restoran dikota dan

warung2 dipinggir jalan. Aku yang sudah berusaha untuk

membeli hanya dapat belasan ekor saja. Kukuatirkan tak

mencukupi keperluanku nanti! Tuan, kupercaya tuan ini

seorang pelajar yang bijaksana. Biarlah kuhidangkan tuan

sekati daging kerbau!”

Karena laparnya. Khik Sia tak ambil pusing: “Baiklah, lekas

berikan aku sekati daging kerbau!”

Sewaktu menghirup arak, tetap ia masih heran akan

kejadian tadi. Tak dapat ia menahan keinginannya bertanya

lagi “Turut keterangan-mu radi, rupanya nanti bakal ada

rombongan besar tetamu yang datang kemari, ya?”

Sahut sipemilik warung: “Jumlahnya sih tak banyak, tapi,

tapi tuan yang terhormat…….:”

Berkata sampai disini, isterinya tiba2 berseru: “Ai. kui-khek

(tetamu terhormat) sudah datang!”

Diam-diam Khik Sia ingin tahu juga siapakah yang

dikatakan sebagai tetamu yang terhormat itu. Ketika

mendongak kemuka, dilihatnya ada tiga orang lelaki

melangkah masuk. Kiranya yang dijunjung-junjung sebagai

kui-khek itu hanyalah tiga orang pengemis yang pakaiannya

penuh dengan tambalan.

Anehnya sipemilik warung begitu menghormat sekali

melayani ketiga pengemis itu. Ujarnya: “Selamat pagi ketiga

toaya! Yang matang baru ada dua ekor ayam, tetapi tak ada

sayuran yang baik, harap toaya bertiga sudi memaafkan.”

Ketiga pengemis itu melirik kearah Khik Sia sebentar.

Mereka agak keheranan: “Mengapa budak kecil itu begini pagi

sudah nongkrong disini?” Tapi karena dilihatnya Khik Sia

masih begitu muda, mereka tak memandang mata.

Pun Khik Sia juga memandang kearah mereka. Cepat ia

mengetahui bahwa mereka itu ahli silat semua dan bukan

pengemis sembarangan. Mereka sama memanggul apa yang

disebut hoa-cong (kantong pengemis) dibahunya, tapi

warnanya berlainan. Sipengemis tua memanggul kantong dari

kain merah, yang dihias dengan tiga buah bundelan.

Sementara kedua pengemis yang agak mudaan, masingmasing

menggamblok kain kantong biru, tetapi tak ada

bundelannya.

“Ah, kiranya thaubak dari Kang-pang.” Kini barulah Khik Sia

teringat. Kay-pang atau partai pengemis pada masa itu,

mempunyai tanda pangkat dengan warna dan bundelan pada

kantongnya. Yang tertinggi kedudukannya, membawa kantong

kuning dengan tiga bundelan. Dibawahnya barulah kantong

merah, biru hijau, putih dan hitam. Karena pengemis tua itu

memanggul kantong merah dengan tiga bundelan,

kedudukannya dalam partai Kay Pang juga tinggi. Peraturan

dan adat kebiasaan partai2 besar didunia kangouw Thiat Mo

Lek pernah menceritakan dengan jelas pada Khik Sia. Jadi

tahulah Khik Sia.

Maka terdengar sipengemis tua berkata: “Orang-orang

mengatakan bahwa Ma-thocu pemimpin Kay-pang dari daerah

Pah-koan sini, cakap sekali kerjanya. Nyata pujian itu tak

kosong. Tentulah pagi2 sekali, ia sudah perintahkan pemilik

warung ini untuk menyiapkan hidangan bagi kita. Bagus,

ambillah guci arak yang besar.”

Yang disebut hidangan itu bukan lain adalah kiau-hoa-ke

yang merupakan masakan khas kaum pengemis.

Kata salah seorang pengemis yang mudaan: “Partai kita

sudah hampir sepuluhan tahun tak pernah mengadakan rapat

besar. Bahwa kini rapat itu akan diadakan didaerah kediaman

Ma thocu, masakan ia tak berusaha untuk memberikan service

sebaik-baiknya?”

“Tapi ibarat ‘permadani kecipratan noda’. Belum tentu

pangcu kita akan menjadi gembira dengan hal itu!” sahut

sipengemis tua.

Pengemis muda itu berkata: “Tapi kita telah menempuh

perjalanan siang malam. Kalau bukan dia yang mengurus,

apakah kita masih di suruh mengemis rumah-rumah orang

lagi?” Rupanya ia amat puas sekali dengan perlayanan yang

diberikan oleh Ma thocu itu.

Kini barulah Khik Sia mengetahui bahwa partai Kay-pang

hendak menyelenggarakan rapat besar didaerah Pak-koan

situ. Diam-diam ia membatin: “Ah, makanya semua ayam

didesa sini habis diborong. Selama ini Kay Pang terpelihara

baik. Tapi tindakan Ma thocu itu, uh, sungguh membikin orang

tak puas. Apakah orang-orang yang kebetulan lalu disini,

takkan menggerutu?”

Teringat ia akan cerita Thiat Mo Lek tentang partai Kaypang

itu. Partai Kay Pang mempunyai tiga tianglo (tetua) yang

termasyur. Mereka digelari sebagai “Kangouw Sam-ih-kay”

atau tiga pengemis luar biasa didunia persilatan. Yang satu

disebut: Ciu-kay atau pengemis Arak Ki Ti. Satunya lagi Hongkay

atau Pengemis gila Wi Gwat dan yang terakhir Hong hu Ko

bergelar Se Gak Sin Liong atau Naga Sakti dari gunung Se

Gak. Ki Ti sudah meninggal dunia. Wi Gwat tak berketentuan

beradanya sedang Hong-hu Ko mengasingkan diri di gunung

Hoa San. Kedua orang itu sudah tak mau mengurusi Kay Pang

lagi. Yang menjadi pangcu yang sekarang ini ialah Ciu Ko, sutit

dari Wi Gwat. Ia seorang jujur serta ilmu silatnyapun tinggi.

Hanya sayang ia kurang waspada dan sembarangan, Itulah

sebabnya banyak murid2 Kay Pang yang tak mengindahkan

peraturan partai mereka.

Tiba pada pemikiran begitu, tanpa merasa Khik Sia merasa

getun.

Sipengemis yang memanggul kantong hijau meneguk dua

buah cawan arak yang besar, menyambar sebuah paha ayam

terus diganyangnya. Ujarnya: “Mengapa kali ini lo-ya-cu

memanggilnya rapat besar, apakah kau orang tua ini

mengetahui sebabnya?”

Sipengemis tua itupun lagi mengunyah sebuah paha ayam.

Ia melirik kearah Toan Khik Sia dan berkata perlahan:

“Tentang itu, aku sendiripun kurang terang… aduh, fui!” Tiba

tiba ia muntahkan sekerat tulang ayam.

Toan Khik Sia hanya terpisah satu meja dengan pengemis

itu. Tulang ayam itu mendesing seperti gangsingan di udara,

terus melayang kearah Khik Sia.

Diam-diam Khik Sia terperanjat dalam hati. “Ha, hebat

benar kepandaian pengemis tua itu. Dapat menyemburkan

tulang ayam sebagai senjata rahasia!” Tapi ia pura-pura tidak

tahu. Disumpitnya seiris daging kerbau, ujarnya: “Ai, lezat

benar daging kerbau ini. Hai bung, tambahi lagi satu kati!”

Ketika tiba dibelakang batok kepala Khik Sia, buk, tahutahu

tulang ayam itu jatuh ke tanah. Sipengemis tua berteriak:

“Aya, celaka benar, Engkoh kecil, apakah tidak mengotori

pakaianmu?”

Khik Sia menoleh kebelakang. Tampaknya ia baru saja

mengetahui tentang tulang ayam itu. Buru-buru ia menyahut:

“Tidak!” Habis berkata ia putar kepalanya lagi untuk lanjutkan

makan dan minum.

Pengemis tua itu seperti berkata seorang diri: “Ayam ini

kurang matang masaknya dan gigi pengemis tua ini tak

berguna lagi, tak kuat menggigit tulang, terpaksa

memuntahkannya.”

Kiranya pengemis itu memang sengaja muntahkan tulang

untuk menguji Toan Khik Sia. Tulang itu diincarkan kearah

jalan darah thian tho-hiat dibelakang kepala sianak muda.

Jalan darah itu merupakan jalan darah maut pada tubuh

manusia. Jika Khik Sia mengerti ilmu silat, pasti akan cepatcepat

menyingkir atau menggunakan apa saja untuk

menangkisnya. Tapi sama di lihatnya Khik Sia tenang-tenang

saja seperti tak mengetahui, diam diam pengemis itu menjadi

girang, Pikirnya, anak muda itu ternyata tak mengerti ilmu

silat.

Itulah dugaan sipengemis tua sendiri. Padahal sebenarnya

telinga Toan Khik Sia mendengar juga akan desing tulang

ayam itu. Diam-diam. ia sudah memperhitungkan bahwa

tulang ayam itu tak nanti mengenai jalan darah thian-tho hi it,

sungguh-sungguh. Tapi ia pun juga sudah siap sedia. Apabila

tulang itu sampai mengenai kepalanya, ia dapat

menyumpitnya dengan sumpit,

Setelah mengetahui hasil ujiannya kepada Khik Sia,

kecurigaannya sipengemis tua banyak berkurang. Tapi

sekalipun begitu, ia tak mau membocorkan rahasianya, maka

pembicaraannya pun dilakukan dalam bahasa kangouw

katanya: “Partai kita sudah hampir sepuluh tahun tak pernah

mengadakan rapat. Maka rapat kali ini sudah tentu luar biasa.

Kabarnya menyangkut suatu masalah penting mengenai jaya

atau runtuhnya partai kita. Dalam hal itu pangcu sendiri juga

tak dapat mengambil keputusan.”

“Masalah apakah itu?” tanya sipengemis muda.

Dengan menghindar, pengemis tua memberi penjelasan :

“Aku sendiripun tak tahu jelas. Toh nanti kau bakal

mengetahui sendiri, perlu apa kau begitu bernapsu ingin

tahu.”

“Kabarnya akan menghadapi seorang lawan yang kuat,

benarkah?” tanya sipengemis muda yang bertanya lagi.

Tiba-tiba wajah sipengemis tua berobah keren, bentaknya:

“Kalau toh sudah tahu musuh itu teramat kuat, mengapa kau

sembarangan mengomongkan?”

Sebenarnya pengemis muda itu penasaran. Tapi

dikarenakan pengemis tua itu kedudukannya lebih tinggi tiga

tingkat, jadi ia tak berani membantah. Ia hanya menggerutu

dalam hati: “Dalam warung ini kan hanya seorang anak muda

yang tak mengerti ilmu silat. Pemilik warung juga bukan orang

kangouw. Mengapa kau ketakutan setengah mati?”

Toan Khik Sia belum lama keluar didunia persilatan. Ia tak

mengerti akan bahasa orang kaugouw. Tapi apa yang

dibicarakan oleh ketiga pengemis itu. ia dapat mengerti enamtujuh

bagian. Diam-diam terkejut. dalam hati, pikirnya: “Kaypang

adalah partai nomor satu di kangouw. Siapakah yang

berani bermusuhan dengan mereka? Mengapa Kay-pang

sampai perlu mengadakan rapat besar untuk menghadapi

orang itu?”

Dalam pembicaraan selanjutnya, ketiga pengemis itu hanya

membicarakan tentang urusan partai mereka. Khik Sia tak

dapat menangkap jelas. Dengan susah payah ia coba

berusaha untuk mencuri dengar pembicaraan mereka itu. tapi

karena amat susah, hatinyapun menjadi tawar. Pikirnya:

“Kedua locianpwe dari Kay-pang itu adalah sahabat baik dari

almarhum ayahku. Kay Pang juga baik sekali hubungannya

dengan Kim-ke-nia. Jika benar mereka bertemu dengan

musuh tangguh, mana boleh aku hanya berpeluk tangan

saja?”

Tapi pada lain saat ia mempunyai pikiran lain: “Tokoh2

lihay dari Kay Pang, banyak sekali jumlahnya. Merekapun tak

mengeluarkan surat undangan untuk minta bantuan. Jika aku

sampai lancang membantu, jangan2 menimbulkan salah

faham dikira aku memandang rendah mereka….. Ah, urusanku

sendiri belum beres, mengapa mesti urusi lain orang? Ai,

sekarang sudah terang kalau hubunganku dengan Yak Bwe

putus, bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan

kepada Thiat toako nanti?”

Teringat akan Thiat Mo Lek, ia pun teringar akan sebuah

urusan antara Toakonya dengan fihak Kay Pang. Hal itu

bersangkutan dengan rapat besar orang gagah digunung Kimke-

nia bulan yang lalu itu. Rapat di Kim-ke-nia itu yang

terutama adalah bertujuan untuk memilih seorang Lok Lim

Beng-cu. Yang diundang sebagian besar ialah tokoh-tokoh

Loklim. Kay Pang bukan golongan loklim, seharusnya berdiri

diluar garis. Hanya saja karena Kay Pang itu sebuah partai

besar didunia kangouw, jadi sedikit banyak mereka itu

mempunyai pergaulan dengan tokoh-tokoh loklim. Terutama

dengan Thiat Mo Lek, mereka itu mempunyai hubungan yang

intim sekali.

Oleh sebab itu, penyelengara dari rapat orang gagah itu,

siang siang sudah mengirimkan surat undangan kepada fihak

Kay Pang. Malah fihak Kay Pang yang terdiri dari Ciu pangcu

dan belasan anak buahnya yang termuka, diangkat menjadi

fihak ketiga yakni sebagai juri. Jika ada perselisihan, fihak Kay

Pang lah yang diberi hak untuk memutuskan. Undangan itu

sebagai bukti bagai mana orang-orang loklim menaruh

perindahan kapada partai Kay Pang.

Tapi dalam pembukaan rapat, ternyata bukan saja Ciu

pangcu pun keempat Tay Tay tianglo dan kedelapan Hiangcu

mereka, sama tak datang semua. Menilik hubungan dunia lok

lim dengan Kay Pang, apalagi pergaulan antara Ciu pangcu

dengan Shin Thian-hiong dkk. itu, taruh kata Ciu pangcu tak

sempat datang, seharusnya mengirimkan wakilnya. Tapi

kenyataannya tiada seorang anak buah Kay Pang pun yang

muncul!

Hal itu mengherankan semua tokoh2 loklim. Sebenarnya

Thiat Mo Lek hendak mengirimkan orang untuk menanyakan

kepada fihak Kay Pang, tapi sudah keburu disergap oleh

tentara negeri. Kini semua tokoh-tokoh loklim yang ber

kumpul di Kim-ke-nia itu sudah tercerai berai, Thiat Mo Lek

dan Bo Se Kiat menghadapi bermacam2 urusan. Satelah

urusan itu beres, barulah mereka meminta penjelasan kepada

fihak Kay Pang.

Teringat akan hal itu, timbullah gagasan pada Khik Sia:

“Thiat dan Bo kedua toako itu justeru hendak mengetahui

berita dari Kay Pang. Kebetulan partai itu sekarang sedang

mengadakan rapat ditempat ini. Kiranya tiada jeleknya aku

datang kerapat itu sebagai wakil Thiat toako.”

Sejak kecil ia digembleng oleh ayah dan suhunya, jadi rasa

keperwiraan dan kejantanannya merasuk kedalam tulang

sumsumnya, Begitulah setelah ketiga pengemis itu pergi, Khik

Siapun berbangkit dan membayar rekeningnya. Pemilik

warung menghaturkan maaf: “Tuan, Maafkan. Karena hari ini

aku sibuk melayani para Hoa cu-toi-ya (tuan pengemis) yang

sedang rapat disitu, maka sampai tak dapat melayani kau

dengan baik.”

“Ah, tak apalah. Berapa rekeningnya?” sahut Khik Sia.

“Satu kati daging kerbau dua kati arak, semua tujuh chi

lima hun perak,” kata sipemilik warung.

Sewaktu Khik Sia hendak mengambil uang, matanya

tertumbuk akan sebuah karung yang menggeletak dilantai.

Karung itu, karung beras, isinya sepuluh kati. Kiranya

pedagang beras didaerah situ, kebanyakan suka meninggalkan

barang2nya kepada rumah tangga. Mereka sama menaruh

kepercayaan. Karena pengambilan biasanya berjumlah

sepuluh kati, maka fihak pedagangpun sebelumnya sudah

menyediakan setiap karung yang berisi sepuluh kati beras. Ini

adalah untuk memudahkan pekerjaan.

-od0o-ow0o-

Jilid X

JUGA pemilik warung ditepi jalan itu saban harinya

membutuhkan sepuluh kati beras. Begitu berasnya sudah

dituang, karungnya sembarangan dilemparkan disudut.

Diam-diam timbul suatu pikiran pada Khik Sia. Sambil

mengangsur dua tahil perak, ia tertawa: “Tiam-ke bolehkah

karung itu kuambil? Dua tahil perak itu tak usah diberi

kembalinya!”

Bagi sipemilik warung, karung itu tiada gunanya.

Harganyapun hanya beberapa hun perak saja. Kembalian

uang Khik Sia itu masih ada dua puluh lima hun. Sudah tentu

sipemilik warung menjadi heran dan bertanya: “Tuan, buat

apa kau menghendaki karung itu?”

Khik Sia tertawa: “Untuk hari ini, paling baik orang menjadi

pengemis. Dengan menyanggul karung itu, dapatlah aku pergi

kelain warung untuk makan ayam kiau-hoa-ke.”

Sipemilik warung merasa kalau muda itu menyindirnya. Ia

menyengir: “Ah tuan ini suka bergurau saja,”

Khik Sia memungut karung itu dan dipanggulnya

dibelakang pundak. Ujarnya: “Uang perak semua berada

disini, siapa yang bergurau padamu?”

Sipemilik warung berbalik menjadi kuatir atas kesungguhan

Khik Sia, katanya: “Tuan sebaiknya jangan menerbitkan

perkara,”

“Aku kan tak gegares kiau-hoa-ke kepunyaanmu dengan

cuma-cuma, mengapa kau ribut? Cukup asal kau jangan

memberitahukan pada lain warung.”

Habis berkata Khik Sia lantas mengusap pantat kuali dan

diulaskan kemukanya. Setelah itu pakaiannya dikoyaknya

beberapa bagian. Karena pakaiannya itu penuh debu, maka

setelah dikoyak dan membawa karung, kini Khik Sia benar2

berobah menjadi pengemis kecil.

Diluar jalan sana tampak ada beberapa pengemis

menghampiri kewarung situ. Khik Sia membisiki pemilik

warung, minta dia jangan sampai buka rahasia. Ia percaya

sipemilik warung itu tentu bernyali kecil dan tidak berani

membocorkan rahasianya, Khik Sia lalu melangkah keluar

dengan langkah lebar dan menyanyi! macam orang mabok.

Karung yang di panggulnya itu mirip dengan karung anggaota

Kay Pang. Beberapa pengemis yang melihatnya mengira kalau

Khik Sia itu seorang anak buah Kay Pang tingkat keroco, jadi

merekapun tak menaruh perhatian.

Walaupun belum banyak pengalaman didunia kangouw,

tapi sebelumnya Khik Sia sudah banyak mendengar cerita

Thiat Mo Lek tentang seluk beluk dunia persilatan. Maksudnya

menyelundup kedalam anggauta Kay Pang itu, tak lain ialah

hendak memberi bantuan pada fihak Kay Pang jika ternyata

musuh mereka itu terlampau tangguh. Tapi dikarenakan

belum lama muncul didunia kangouw. jadi ia asing dengan

orang-orang Kay Pang. Sudah tentu rapat anggauta Kay Pang

itu, jika tak mendapat undangan, tentu tak seorang luarpun

yang diperbolehkan datang. Jika sampai ketahuan, tentu

orang-orang Kay Pang akan marah. Demikianlah akhirnya Khik

Sia mengambil putusan untuk menyelundup dengan menyaru

sebagai pengemis kecil.

Berjalan tak berapa lama, dilihatnya rombongan pengemis

makin banyak jumlahnya. Khik Sia tak mau bicara apa. Ia

hanya mengikuti saja rombongan pengemis yang berbondongbondong

itu saja. Diam-diam ia memperhatikan keadaan

mereka. Ternyata pengemis2 itu datang dari berbagai daerah,

jadi satu sama lain tak kenal. Mereka tak memperdulikan Khik

Sia.

Akhirnya setelah berjalan beberapa jam, pada saat itu

sudah hampir tengah hari. Dan kini mereka mulai memasuki

sebuah lembah gunung. Dikedua samping lembah itu,

berderet-deret batu-batu karang yang menjulang. Sedang

dasar lembah itu sendiri merupakan sebuah tanah datar.

Ditengah-tengahnya terdapat sebuah altar batu. Para

pengemis itu menempatkan diri menurut pangkat mereka. Ada

yang duduk, ada yang berdiri. Mereka mengelilingi altar batu

itu. Khik Sia menyelundup ditempat rombongan pengemis

yang bertingkat paling rendah sendiri. Letaknya yang paling

luar, dekat pada lamping gunung.

Anak murid Kay Pang berbondong-bondong masuk kedalam

lembah. Menjelang tengah hari ketika jumlah yang datang

sudah cukup banyak, maka mulai berkuranglah jumlah orang

orang baru yang datang. Saat itu, hampir daerah gunung dan

lembah situ penuh dengan kaum pengemis. Tetapi diatas altar

batu, tetap kosong.

Seorang pengemis yang duduk disebelah Khik Sia

kedengaran berkata: “Ai, aneh, mengapa pangcu belum juga

datang?”

Dari pembicaraan yang didengar Khik Sia tadi, tahulah ia

bahwa rapat besar itu akan dibuka tengah hari. Kini hari sudah

naik tinggi. namun pangcu mereka tetap belum muncul. Hal ini

menimbulkan banyak pertanyaan dan dugaan dikalangan anak

buah Kay Pang. Khik Sia sendiripun turut merasa heran.

Bisik-bisik anak buah Kay Pang itu makin lama makin

santer. Sekonyong-konyong ada seorang pengemis tua

dengan karung kuning loncat keatas altar batu. Ia bertepuk

tangan dan berseru: “Pangcu sudah terang takkan datang.”

Nada suaranya rawan sekali. Orang-orang yang duduk

didekat altar situ, melihat mata pengemis tua itu bercucuran

air mata. Seketika timbullah kegemparan dikalangan anak

buah Kay Pang.

“Dimanakah pangcu kita?”

“Mengapa ia tidak dapat datang?”

“Apakah terjadi sesuatu dengan dia?”

Demikian ramai ucapan yang meluncur dari setiap bibir

anak buah Kay Pang.

Pengemis tua itu adalah salah seorang tokoh Kay Pang

yang disebut Su-tay tiang-lo atau Empat Tetua Besar.

Kedudukan mereka hanya dibawah pangcu saja. Pengemis tua

itu memberi isyarat tangan untuk menenangkan suara berisik.

Dan berkatalah ia dengan suara sedih:

“Ini adalah sebuah berita yang paling sedih. Kita takkan

bertemu muka lagi dengan pangcu. Pangcu….. pangcu kita

sudah tiada lagi di dunia!”

Berita itu sudah menggoncangkan seluruh persidangan.

Lembah seolah-olah bergetar dengan tangisan dan teriakan

anak buah Kay Pang.

“Setengah bulan yang lalu, aku masih bertemu dengan

pangcu. Tak ada khabar bahwa pangcu menderita sakit,

mengapa tahu2 dia meninggal dunia!”

“Mengapa pangcu meninggal, lekas, lekas beri penjelasan!”

Demikian susul menyusul anak buah Kay Pang berteriak

dengan kalap.

“Uh-bun Jui, naiklah kemari untuk memberi penjelasan

pada sekalian saudara,” seru pengemis tua tadi:

Seorang pengemis muda yang habis menangis loncat

keatas altar batu. Umurnya disekitar dua puluh tahunan.

Wajahnya cakap berseri dan pakaiannya yang walaupun ada

tambalannya, tapi hanya bagian-bagian yang tak kelihatan

saja. Jika bukan menggerombol dengan kaum pengemis

tentulah orang takkan menyangka bahwa ia itu seorang

pengemis.

“Siapakah dia?” bisik Khik Sia.

Pengemis yang berada disampingnya menjawab: “Ai,

mengapa kau tak tahu siapa dia? Dia kan murid dari kepala

dari pangcu kita. Beberapa tahun ini semua urusan partai dia

lah yang mengerjakan.”

“Aku baru saja masuk kedalam Kay Pang,” cepat Khik Sia

memberi penyahutan yang cerdik.

Sebenarnya pengemis itu merasa aneh, tetapi tak punya

waktu menanyai Khik Sia dengan melilit.

Sekonyong-konyong tampak Uh-bun Jui angkat tongkat

bambunya dan menangislah ia sekeras2nya. Tongkat bambu

itu adalah tongkat kekuasaan dari Kay Pang. Semua anak

buah Kay Pang tahu apa artinya gerakan Uh-bun Jui itu.

“Lekas bilang, lekas bilang, siapa yang mencelakai pangcu!”

mereka berebutan bertanya.

Pengemis tua yang memanggul karung kuning tadipun

membujuk Uh-bun Jui: “Uh-bun Jui, urusan takkan beres

hanya ditangisi saja. Mari kita berunding dengan sungguhsungguh.”

Uh-bun Jui besut air matanya. Dengan kertek gigi ia

berkata keren. “Pangcu dibinasakan oleh kedua pembesar

anjing Cin Siang dan Ut ti Pak!”

Suasana yang bermula amat berisik, tiba2 berubah menjadi

hening lelap. Beberapa saat kemudian, baru terdengar orang2

berseru kaget dan heran;

“Ha, ai, ih, merekakah? Merekakah?”

Seperti diketahui kedua orang yang disebut oleh Uh-bun Jui

tadi adalah pembesar2 militer tinggi dari kerajaan. Dengan

kaum Kay Pang mereka itu tak mempunyai hubungan apa apa.

Maka ketika Uh-bun Jui mengatakan kedua orang itulah yang

membunuh pangcu Kay Pang, orang-orang tersentak kaget.

Hanya Khik Sia seorang yang diam-diam mempunyai

kesangsian: “Cin Siang adalah seorang panglima yang gagah

perwira. Seorang jantan yang berpambek mulia. Ia selalu

melindungi tokoh-tokoh kangouw. Sekalipun belakangan ini

menyerang markas Kim-ke-nia, tapi ia terpaksa melakukan hal

itu karena perintah atasannya. Namun meskipun begitu, diamdiam

ia telah membiarkan Thiat toako lolos. Seorang tokoh

begitu, masakan mau membunuh pangcu dari Kay Pang? Juga

Ut ti Pak itu seorang jago yang jujur dan terus terang. Turut

logikanya tak nanti ia melakukan perbuatan itu. Dan

keterangan Uh-bun Jui bahwa Cin Siang dan Ut-ti Pak itu

berkumpul disatu tempat, lebih mencurigakan lagi. Taruh kata

Ut-ti Pak itu amat berangasan, masakan Cin Siang tak dapat

mencegahnya?”

Lain kecurigaan Khik Sia, lain kecurigaan anak buah Kay

Pang. Benar mereka itu merasa heran dengan peristiwa itu,

tapi karena yang memberi keterangan itu adalah anak murid

kesayangan dari pangcu yang selalu mendampingi kemana

saja pangcu itu berada, anak buah Kay Pang tak dapat

mengatakan lain kecuali percaya penuh.

Serentak suasana tempat situ menjadi berisik lagi dengan

hanum makian dan sumpah serapah dari anak buah Kay Pang

tertuju kepada alamat Cin Siang. Disamping mengata-ngatai

Cin Siang dan Ut-ti Pak itu manusia berhati serigala dll. pun

para pengemis itu memperbincangkan akan melakukan

pembalasan kepada kedua pemimpin Gi-lim-kun tersebut.

Diantara sebagian besar anak buah Kay Pang yang spontan

(serempak) memberikan reaksi mereka, pun ada sementara

pengemis yang benar-benar terlongong-longong dengan

kejadian yang diluar dugaan itu. Benar mereka itu tak berani

untuk mempercayai, namun mereka minta juga kepada Uhbun

Jui supaya menuturkan jalannya peristiwa.

Setelah kegemparan suasana menjadi reda, menuturlah

Uh-bun Jui: “Tanggal enam belas bulan yang lalu, pangcu

telah menerima surat, undangan dari Cin Siang supaya suka

datang ke Tiang An untuk berunding suatu urusan penting.

Pangcu segera mengajak aku kesana.”

Keterangan Uh-bun Jui telah menimbulkan bermacammacam

tafsiran pada anak buah Kay Pang. “Ia (Cin Siang)

tentu merundingkan urusan Eng Hiong Tay Hwe dengan

pangcu. Apakah mungkin karena pangcu menolak memberi

bantuan, ia lantas membunuhnya?”

Rupanya Uh Bun Jiu tahu juga apa yang sedang

dibayangkan oleh sekalian anak buah Kay Pang. Ujarnya;

“Bermula memang pangcu juga menduga kalau Cin Siang

tentu hendak mengajaknya berunding tentang Eng Hiong Tay

Hwe. Tapi setelah bertemu dengan Cin Siang, barulah kami

mengetahui kalau bukan.”

Para tianglo dan hiangcu sama menganggukkan kepala:

“Benar Cin Siang tak nanti karena urusan Eng Hiong Tay Hwe

lantas membunuh pangcu.”

Kiranya setelah pengumuman Cin Siang untuk mengadakan

rapat besar kaum enghiong itu tersiar, Ciu Ko dan keempat

Tianglo serta kedelapan Hiangcu mengadakan perundingan

untuk menentukan sikap. Dalam rapat itu diputuskan: anak

murid Kay Pang bebas untuk turut atau tidak dalam rapat

besar itu. Keputusan itu supaya disampaikan kepada hiangcu

dari berbagai daerah. Bila ada anak murid Kay Pang yang

meminta instruksi, supaya dijawab begitu.

Kaum pengemis yang tergabung dalam Kay Pang itu,

dimana-mana menuntut penghidupan sebagai peminta-minta.

Mereka sudah biasa hidup bermalasan. Maka pada hakekatnya

merekapun tak mempunyai setitik pikiran untuk ikut serta

dalam Eng Hiong Tay Hwe tersebut. Anak buah Kay Pang

didaerah daerah yang menanyakan hal itu kepada hiangcunya

masing-masing pun sedikit sekali jumlahnya. Pun anggauta

Kay Pang yang hadir dalam rapat partai pada hari itu,

kebanyakan tiada tahu sama sekali akan peristiwa yang

menimpah pada diri pangcu mereka.

“Jika bukan untuk urusan rapat itu, habis tentang apa?”

tanya salah seorang pengemis.

Uh-bun Jui menjawab: “Tak lain tak bukan ialah Cin Siang

akan melarang adanya partai kita didalam kota Tiang An!

Begitu bertemu dengan pangcu, Cin Siang berkata: “Cinpangcu,

kusambut dengan gembira kedatanganmu kemari ini.

Tetapi adanya sekian banyak pengemis besar kecil didalam

kota Tiang An sungguh menjemukan!”

Kembali suasana persidangan menjadi hiruk pikuk: “Kurang

ajar! Sejak dulu kami kaum pengemis mengembara keempat

penjuru. Orang macam apa Cin Siang itu berani melarang kita

tinggal di Tiang An?”

“Peduli dengan pangkat nya rebagai kepala Gi-lim-kun.

Anak buah Gi lim-kun boleh menurut perintahnya, tapi jangan

lantas menginjak kepala kita!”

Ji-tianglo, salah seorang dari keempat tiang lo berkata:

“Oa, kiranya ia mengungkat soal lama lagi. Bukankah hal itu

dahulu telah dibicarakan? Apakah anak buah kita menerbitkan

onar dikota Tiang An? Mana Wi hiangcu?”

Ada seorang pengemis yang menggendong karung warna

kuning, tampil kemuka: “Entah di mana beradanya Wi hiangcu

itu. Memang anak buah Kay Pang dikota raja itu satu tempo

suka mencuri ayam dan merampas anjing. Membikin onar

kecil, pun pernah juga. Tetapi perbuatan yang melawan

pemerintah, selama tiga tahun ini tak pernah terjadi.”

Pengemis yang memberi keterangan itu, ternyata adalah

Hu-hiangcu (wakil kepala) Kay Pang di Tiang An. Wi hiangcu

yang ditanyakan oleh Tianglo itu, adalah hiangcu di Tiang An.

Ji tianglo tampak terkesiap, tanyanya: “Apakah Wi hiangcu

hilang? Bilakah ketahuan hilangnya itu? Bagaimana

peristiwanya?”

“Pada tanggal delapan belas bulan yang lalu, Wi hiangcu

sudah hilang. Sekalian saudara cemas jangan2 ia itu

dimasukkan kedalam penjara oleh Cin Siang!” sahut Hu

hiangcu.

Berkata Ma tianglo: “Mengapa perlu ditanya, lagi? Habis

membunuh pangcu, Cin Siang mengganas pula pada Wihiangcu.”

Memang sejak Ciu Ko menjabat pangcu Kay Pang,

peraturan partai agak longgar. Kalau perbuatan tak berdisiplin

dari anak buah Kay Pang itu, terjadi didaerah2, itu masih tak

menyolok. Tapi Tiang An adalah kota raja. Perwakilanperwakilan

dagang dari berbagai negeri, banyak yang tinggal

di Tiang An. Boleh dikata saban hari tentu terjadi perbuatan

ugal-ugalan dari anak buah Kay Pang. mencuri ayam,

merampas anjing, minta dengan paksa dan bahkan melukai

orang untuk merampas barangnya. Sudah tentu pembesar

kota situ tak mau tinggal diam. Pembesar yang berpangkat

siu-in (semacam kepala daerah) dari Tiang An tahu bahwa Cin

Ciang mempunyai hubungan baik dengan partai2 persilatan

kangouw. Ia segera minta Cin Siang untuk menghubungi

pangcu Kay Pang, agar partai pengemis itu suka

mengendalikan anak buahnya. Pembesar tersebut mengajukan

tuntutan sebaiknya anak buah Kay pang di larang tinggal

dikota raja. Tentang kaum pengemis lainnya yang bukan

anggaotanya Kay Pang, asal mereka tak mengganggu

keamanan, bolehlah tinggal dikota itu.

Akhirnya Cin Siang mengundang Ciu Ko dan dalam

perundingan itu, Ciu Ko memberi pernyataannya yang positip,

ia bersedia memberi instruksi kepada hiangcu Kay Pang di

Tiang An, supiya lebih keras mengendalikan anak buahnya.

Jika anak buah Kay Pang sampai ada yang melanggar undangundang,

bolehlah pembesar negeri menindak mereka dan Kay

Pang takkan campur tangan. Tetapi jika disuruh mengusir

anak buah Kay Pang dari kota Tiang An, itulah sukar.

Cin Siang menerima baik usul pangcu Kay Pang itu dan

segala sesuatu berjalan sesuai dengan keputusan perundingan

itu.

Oleh karena anggaota-anggaota Kay Pang yang mempunyai

kedudukan tinggi sudah pernah mendengar tentang hal itu,

maka penuturan Uh-bun Jui itu tak disangsikan lagi. Kembali

disana-sini terdengar hanum makian kepada alamat Cin Siang.

Dikatakan orang she Cin itu, melanggar janjinya dan hendak

mengandalkan pengaruhnya untuk menindas kaum Kay Pang.

Puas menghamburkan isi kemarahannya, kembali suasana

menjadi hening lagi. Ribuan telinga siap mendengarkan cerita

Uh-bun Jui melanjutkan penuturannya.

“Karena pangcu menolak tuntutan Cin Siang supaya anak

buah Kay Pang dibersihkan dari kota Tiang An, maka

berkatalah Ut-ti Pak: “Karena kau menolak, maka kau

sendiripun harus tinggal dikota ini, jangan pergi lagi!”

Sudah tentu pangcu marah dengari hinaan itu. Akhirnya

keduanya berkelahi. Pangcu berjanji. apabila ia sampai kalah

dengan orang she Ut-ti itu, dalam waktu tiga bulan ia sanggup

memerintahkan anak buahnya pergi dari Tiang An. Sebaliknya

kalau beliau menang, ia minta agar Ut-ti Pak jangan

mengganggu gugat kaum Kay Pang lagi.

“Sampai setengah harian mereka bertempur. Sebenarnya

dalam ilmu silat, pangcu tak kalah dengan orang she Ut-ti itu.

Tapi disebabkan usia beliau sudah lanjut, maka tenaga

beliaupun berkurang. Akhirnya dalam suatu kesempatan, Ut-ti

Pak telah berhasil menghantam pangcu sampai terluka berat.”

“Bagaimana dengan Cin Siang? apakah setelah Ut-ti Pak

melukai pangcu, ia tak mencegahnya?” menyeletuk salah

seorang Tianglo she Ji.

“Bukannya melerai, sebaliknya ia malah memuji tindakan

Ut-ti Pak!” sahut Uh-bun Jui,

Ma tianglo tertawa dingin: “Memang Cin Siang itu

mengandung maksud tak baik waktu mengundang pangcu.

Siapakah yang tak tahu ka lau Cin Siang itu sudah seperti

saudara hubungannya dengan Ut-ti Pak? Turut pendapatku

peristiwa itu memang sudah direncanakan oleh mereka. Cin

Siang yang menggunakan diploma si lidah dan Ut-ti Pak yang

menggunakan pukulan. Huh, mengapa kau masih

menganggap Cin Siang itu seorang manusia baik?”

Ji tianglo diam-diam curiga. Tapi karena saat itu sekalian

anak buah Kay Pang hiruk pikuk menyumpahi Cin Siang dan

Ut-ti Pak, jadi ia tak berani banyak bicara lagi.

Tidak demikian dengan Ma tianglo yang segera meloncat

keatas atas batu dan berseru nyaring: “Pangcu kita telah

dicelakai dengan sewenang-wenang. Kita harus

menghempaskan dendam ini. Tapi lebih dulu kita harus

mengangkat pangcu baru, kemudian merundingkan langkahlangkah

selanjutnya. Uh-bun Jui, lekas katakan pesan

pangcu.”

“Beliau telah menyerahkan tongkat kekuasaan ini padaku,

hal ini….. ini……. sungguh menggelisahkan hatiku,” kata Uhbun

Jui dengan suara terkait-kait.

“Pangcu menghendaki kau memikul tanggung jawab

bagaimana kauherani menolaknya?” seru Ma Tianglo.

Tiba-tiba Ji Tianglo menyeletuk: “Uh-bun Jui, pangcu telah

menyerahkan tongkat kekuasaan padamu, apakah sudah jelas

artinya bahwa kau diangkat menjadi penggantinya?”

“Memang beliau telah mengatakan kepadaku begitu, tapi

aku masih begini hijau kurang pengalaman, jadi tak berani

menerimanya.” sahut Uh-bun Jui.

Tampak wajah Ma tianglo kurang senang. Dengan nada

dingin ia bertanya: “Ji tianglo apa maksudnya pertanyaanmu

tadi? Tongkat kekuasaan sudah diserahkan kepada Uh-bun Jui

masakah masih diragukan?”

Menjawab tianglo she Ji itu dengan suara keren:

“Pengangkatan seorang pangcu itu, bukan urusan sepele.

Maaf, aku masih hendak mengajukan sepatah dua patah

pertanyaan lagi kepadamu, Uh-bun Jui Sewaktu, pangcu

menyerahkan tongkat padamu sebagai tanda mengangkat kau

menjadi penggantinya itu, selain kau masih ada siapa lagi

yang hadir?”

Pertanyaan itu terang mengandung arti tak mempercayai

keterangan Uh-bun Jui.

Uh-bun Ju pesut air matanya dan berkata: “Kala itu pangcu

terluka parah dan akulah yang segera memapahnya pulang.

Tapi sebelum tiba ditempat kediaman hiangcu, beliau sudah

menarik napas penghabisan. Pada detik-detik terakhir ia

menyerahkan tongkat kekuasaan ini dan setelah mengucapkan

beberapa patah pesanan ia lantas wafat.”

“Kalau begitu, tiada lain orang lagi yang berada disitu?”

menegas Ji tianglo.

“Yang ada hanyalah orang yang berjalan saja. Orang-orang

yang dikirim Wi hiangcu untuk menyambut kita, belum

datang,” sahut Uh-bun Jui.

Tiba-tiba Ma tianglo berseru keras: “Ji tianglo,

pertanyaanmu itu tidaklah keliwat tak menghormat kepada

pangcu baru dan tak menghormat kepada pangcu lami dan

tak menghargai kepada lopangcu almarhum. Beliau telah

dicelakai orang, bukannya kau buru-buru membalaskan sakit

hatinya sebaliknya malah mencurigai pesan almarhum. Apakah

artinya sikapmu ini?”

Sahut Ji tianglo: “Jika pangcu benar-benar meninggalkan

pesan tersebut, sudah tentu aku patuh. Tapi ternyata pesan

almarhum itu belum mempunyai kebenaran yang teguh.

Bagaimana kita disuruh menerima keterangan sefihak saja?”

Terang tianglo she Ji itu menuntut saksi lagi. Jika Uh-bun

Jui tak dapat membuktikan, terang ia bakal menolak.

Bahwa Uh-bun Jui membantu Ciu Ko mengurus urusan

partai, memang sudah berjalan beberapa tahun. Apalagi ia itu

adalah murid kesayangan dari Ciu Ko. Meskipun masih kurang

pengalaman dan kepandaian, tapi bahwa Ciu Ko menjatuhkan

pilihan penggantinya kepada Uh-bun Jui itu, memang sudah

pada tempatnya. Tiada seorang pun anak buah Kay Pang yang

menyangsikan keterangan Uh-bun Jui itu. Hanya orang she Ji

itulah satu-satunya orang yang berani menyatakan

kesangsiannya. Oleh karena dalam partai Ji tianglo itu

mempunyai kedudukan yang tinggi, maka setelah ia

melahirkan kata2nya tadi, terpengaruhlah anak buah Kay

Pang. Kini mereka mempunyai sedikit kecurigaan terhadap Uhbun

Jui. Dan karena kedudukannya itulah, maka Ma tianglo

tak berani menuduh yang bukan-bukan kepada Ji tianglo.

Memang yang mempunyai kecakapan untuk menggantikan

kedudukan pangcu, ada beberapa orang. Dalam persidangan

itu, segera timbul perbincangan yang tegang. Ada sementara

fihak yang menyokong Uh-bun Jui, karena pemuda itu sudah

diserahi tongkat kekuasan oleh pangcu. Tapi lain fthak,

cenderung pada alasan yang dikemukakan oleh Ji tianglo.

Sebelum Uh-bun Jui dapat mengajukan saksi lain, pemilihan

pangcu itu harus diangkat oleh rapat anggota Kay Pang.

Ma tianglo bertepuk tangan tiga kali. Ia berdiri dimuka altar

batu dan berseru: “Pada saat pangcu menutup mata,

meskipun aku tak berada disampingnya, tapi sewaktu masih

hidup, beliau sudah menetapkan siapa penggantinya kelak.

Kepada siapa pilihannya itu dijatuhkan, sudah jelas sekali.”

Ciok Tan, orang yang menjabat sebagai Seng-tong-hiangcu

atau kepala bagian hukum buka suara: “Benar, kuingat

pangcu sewaktu mengangkat sdr. Uh-bun sebagai pembantu

beliau dalam mengurus urusan partai, beliau pernah berkata:

“urusan paitai kita kian lama kian banyak kerjaannya.

Kedudukan pangcu, selayaknya dijabat oleh tenaga muda

yang cakap dan tangkas,” Terang kata-kata beliau itu

mengandung maksud untuk mengundurkan diri. Dikarenakan

sdr. Uh-bun masih belum mempunyai pengalaman, maka

pangcu hendak menggemblengnya dulu disuruh menjadi

pembantunya. Terang gamblang, bahwa memang pangcu

menginginkan sdr. Uh-bun untuk menjadi penggantinya.”

Mendengar itu maka berdirilah Ji tianglo: “Benar, memang

pangcu pernah mengucapkan kata-kata itu. Tapi beliaupun

pernah mengatakan lain pernyataan. Pada suatu hari beliau

mengajak kami membicarakan tentang tenaga tenaga yang

berbakat dalam kalangan kita. Ia anggap Ciok sutenya itulah

yang paling cakap. Sayang tabiat sutenya itu amat keras.

Dikarenakan sedikit bentrokan pikiran dengan beliau sutenya

itu pergi kedaerah Kanglam dan sampai sekarang tiada

beritanya lagi. Sewaktu membicarakan perihal diri sutenya itu,

tampaknya pangcu amat menyesal. Pernah beliau

mengatakan, jika sutenya itu kembali, beliau rela

menyerahkan kedudukan pangcu kepadanya. Kata-kata

pangcu itu disaksikan juga oleh Ma tianglo, Lau tianglo, Ko

hiangcu, Ciok hiangcu dan Han hiangcu.”

Memang Ciu Ko itu mempunyai seorang sute yang bernama

Ciok Ceng Yang. Ciu Ko mempunyai tiga saudara seperguruan.

Ciu Ko yang tertua, sedang Ciok Ceng Yang itu yang buncit

sendiri. Usia Ciu Ko lebih tua dua puluhan tahun dari Ciok

Ceng Yang. Namun diantara keempat saudara seperguruan

itu, Ciok Ceng Yanglah yang paling menonjol sendiri

kepandaiannya. Belum lama ia keluar kedunia kangouw,

orang-orang persilatan sudah memberikan julukan sebagai Sin

Ciang Kay Hiap atau Pendekar Pengemis Tangan Sakti.

Memang Ciok Ceng Yang itu tinggi ilmu silatnya, cerdas

otaknya, banyak akal dan pandai memutuskan perkara.

Jangankan lain-lain tokoh Kay Pang, sedang Ciu Ko sendiri tak

nempil padanya.

Mengapa tidak orang she Ciok yang ditetapkan menjadi

pangcu? Itulah disebabkan karena sewaktu pangcu yang lama

menutup mata, Ciok Ceng Yang masih belum dewasa, dan

sebab sute kedua dan sute ketiga dari Ciu Ko itu sudah

meninggal, maka ditetapkanlah Ciu Ko menjadi pengganti

pangcu. Lima tahun lamanya, Cing Ceng Yang tiada kabar

beritanya lagi. Ada orang luar yang mengatakan, bahwa orang

she Ciok itu berselisih dengan suheng-nya (Ciu Ko), lalu

minggat kedaerah Kang lam. Tapi bagaimana tentang

perselisihan itu, tiada seorangpun yang mengetahui jelas

Ma tianglo kerutkan alisnya, katanya: “Ji tianglo, tidaklah

kau merasa bahwa kata-katamu itu kosong belaka? Ciok Ceng

Yang sudah lama tiada ketahuan rimbanya. Masakan

kedudukan pangcu harus terluang begitu lama?”

Sahut Ji tianglo: “Tidak! Memang Ciok Ceng Yang berselisih

dengan suhengnya, tetapi jika ia mendengar suhengnya

dicelakai orang, ia tentu segera datang kembali. Apalagi anak

buah Kay Pang tersebar diseluruh pelosok negeri, jika kita

intruksikan untuk menyirapi diri Ciok Ceng Yang, masakan tak

dapat mencari keterangan.”

Ma tianglo tak dapat membantah, tapi segera ia

menemukan alasan: “Tindakan membalaskan sakit hati

pangcu, tak boleh terlalu lama. Jika tak lekas-lekas

mengangkat pangcu baru, kita seperti ular tanpa kepala.

Bagaimana kita hendak melaksanakan pembalasan itu ?”

Nyi Cin Hiong wakil hiangcu di Tiang An turut menyatakan

pendapatnya: “Ucapan Ma tianglo itu amat beralasan.

Rencana pembalasan sakit hati itu, tak boleh berlarut keliwat

lama. Dan apa yang kuketahui, rasanya sdr. Uh-bun kini sudah

mempunyai rencana untuk tindakan pembalasan itu.”

Ucapan wakil hiangcu Tiang An itu menimbulkan reaksi.

Segera terdengar orang berseru:

“Lekas katakanlah rercana itu!”

Sebaliknya Uh Bun Jui diam saja,

“Meskipun ditempat persidangan ini yang hadir adalah

saudara-saudara kita anggota Kay Pang semua, tapi jauh dari

mulut lorong. Sekali rencana itu dikatakan, sukar dijamin

takkan bocor keluar. Turut pendapatku, lebih baik kita pilih

pangcu baru dulu, kemudian pangcu itulah yang akan

mengadakan rapat dengan para tianglo dan hiangcu guna

merundingkan rencana pembalasan sakit hati.”

Sekalian anak buah Kay Pang itu berkobar-kobar hatinya

untuk segera menuntut balas.

Meskipun ada sementara anak buah Kay Pang yang tak

tunduk kepada Uh-bun Jui, namun untuk menghadapi lawan,

mereka terpaksa ke sampingkan urusan dalam. Dengan cepat

Ma tianglo dapat kepercayaan untuk mengangkat Uh-bun Jui

sebagai ketua Kay Pang.

Empat tianglo dan delapan hiangcu, segera satu persatu

memberi hormat. Kata Un-bun Jui: “Siautit bodoh dan tak

punya pengalaman. Sebenarnya siautit tak berani menerima

beban kedudukan pangcu yang sedemikian beratnya itu.

Namun karena saudara-saudara sekalian berkeras tekad akan

menuntut balas, untuk tidak mempersukar keadaan, terpaksa

siautit terima pengangkatan itu untuk sementara waktu. Nanti

apabila Ciok susiok sudah pulang, siautit tentu akan

menyerahkan kembali kedudukan ini.”

“Pangcu adalah pusat harapan dari sekalian saudara,

bagaimana bisa dihubungkan dengan urusan pribadi?

Jangankan waktu ini Ciok Ceng Yang tak ketahuan rimbanya,

taruh kata hari ini ia datang, pun harus menurut perintah

pangcu. Dalam hal ini harap pangcu jangan sungkan.

Sekarang lebih baik segera rundingkan saja tentang rencana

pembalasan sakit hati itu,” kata Ma tianglo.

Demikian tokoh-tokoh terkemuka dari partai Kay Pang,

termasuk empat tianglo dan kedelapan hiangcanya serta

belasan anak murid yang mempunyai tingkat karung kuning

naik ke atas altar batu. Mereka duduk mengelilingi Uh Bun Jui.

Sedangkan pengemis-pengemis yang tingkatannya karung biru

kebawah masing-masing sama bubaran. Sebagai tuan rumah

bertindak thocu (pemimpin cabang) dari Tiang An yakni Ma

thocu (keponakan dari Ma tianglo).

“Cin Siang dan Ut-ti Pak keduanya itu masing-masing

menjabat pangkat To-wi, berkuasa besar dalam militer. Jika

hanya mengandalkan kekuatan kaum Kay Pang kita sendiri,

sukar untuk menuntut balas. Syukur partai kita mendapat

kesanggupan bantuan dari beberapa sahabat, ini berarti suatu

kekuatan…..”

“Pangcu, apakah maksudmu hendak minta bantuan dari

orang luar?” cepat Ji tianglo menukas kata-kata Uh-bun Jui

tersebut.

Baru berkata sampai disitu, tiba-tiba Ma tho cu datang

melapor ada kedatangan tetamu. Malah rombongngan tetamu

yang terdiri dari enam tujuh orang itu sudah mengikuti

dibelakang Ma thocu. Kepala rombongan itu seorang yang

berwajah aneh. Mulut lancip muka panjang, tak ubah seperti

seekor mawas atau orang hutan.

Kejut Toan Khik Sia bukan main. Kiranya orang itu bukan

lain ialah Ji-suhengnya yang bernama Ceng Ceng Ji. Dulu

Ceng Ceng Ji itu telah murtad (berkhianat) kepada

perguruannya, lalu masuk berguru pada lain orang.

Gong-gong-ji, toa-suheng dari Toan Khik Sia mendapat

perintah dari subo (sebutan suhu untuk wanita) dalam waktu

tiga tahun harus dapat menangkap dan membawa palang

Ceng Ceng Ji. Tapi Gong Gong Ji itu terlalu berat akan tali

persaudaraan. Ia enggan untuk melaksanakan perintah

subonya. Tiga tahun kemudian ia mencari alasan kepada

subonya kalau belum berhasil mencari tempat persembunyian

Ceng Ceng.Ji. Subonya terpaksa tak berbuat apa apa. Tapi

pan dalam beberapa tahun itu, Ceng Ceng Ji tak berani

muncul. Maka heranlah Toan Khik Sia bahwa mendadak

sontak Ceng Ceng Ji itu berani tampakan diri menjadi tetamu

partai Kay Pang.

“Apakah subo sudah meninggal dunia? Ho, Ji suheng itu

tiada mempunyai hubungan dengan Kay Pang, mengapa tibatiba

datang kemari?” pikir Khik Sia. Ia takut kalau ketahuan

Ceng Ceng Ji, yang berarti keduanya akan dapat kesulitan,

maka buru-buru ia mengumpet diantara kawanan pengemis

yang tengah makan dan minum.

Uh Bun Jui menyambut sendiri kedatangan tetamunya itu.

“Selamat, selamat,” Ceng Ceng Ji tertawa gelak-gelak.

“Saudara Uh-bun seorang pemuda yang berguna, seorang

tunas muda yang cemerlang dari partai Kay Pang. Aku sengaja

mengajak beberapa kawan untuk memberi selamat padamu.

Mari Kuperkenalkan, inilah sdr. Pok Yang Kay dari Ki San, ini

sdr. Liu Bun Siong dari Hun Bong, ini sdr. He Ping Tat dari Yu

ciu……..” demikian Ceng Ceng Ji satu persatu

memperkenalkan sahabat-sahabatnya kepada Uh Bun Jui.

Nyata mereka itu adalah benggolan dari dunia kangouw.

Ji tianglo tak senang, pikirnya: “Kiranya sebelum menerima

jabatan pangcu, Uh-bun Jui sudah lebih dulu mengundang

Ceng Ceng Ji. Hm, juga tak ketinggalan dengan beberapa

benggolan busuk itu!”

Uh-bun Jui mempersilahkan tetamunya itu naik kealtar dan

duduk bersama rombongan tianglo dan hiangcu. Nyata

mereka itu diperbolehkan ikut dalam rapat itu. Sudah tentu Ji

tianglo makin tak puas. Tapi dikarenakan memandang muka

pangcunya yang baru, terpaksa ia tinggal diam saja.

Kata Uh Bun Jui: “Tentang nasib malang yang menimpah

Ciu pangcu kita. Ceng Ceng cianpwe sudah mengetahui. Nah,

kita sedang merundingkan urusan mencari balas, harap Ceng

Ceng cianpwe suka memberi petunjuk.”

Dengan kegirangan berkatalah Ceng Ceng Ji: “Untuk

membalas kelapangan hati pangcu yang sudah menganggap

kami sebagai orang sendiri, hanya dapat kami balas dengan

kesediaan kami untuk membantu sekuat-kuatnya. Memang

siang-siang aku sudah mempunyai rencana bagus, Ho, nanti

bulan depan tanggal lima belas adalah hari pembukaan dari

Eng Hiong Tay Hwe yang diselenggarakan Cin Siang. Kita

semua datang kerapat itu. Disitu kita buka kedok Cin Siang

supaya rapatnya menjadi kacau, Apabila mendengar perihal

kematian Ciu pangcu, dipercaya semua orang gagah dari

berbagai aliran tentu akan murka terhadap Cin Siang.

Sebelumnya kita nanti hubungi beberapa orang untuk

mempelopori kemarahan itu. Mereka supaya berteriak-teriak

membangkitkan kemarahan hadirin. Rasanya aksi mereka itu

tentu mendapat sambutan hangat dari hadiran. Nah,

walaupun Ci Siang dan Ut-ti Pak mempunyai tiga kepala enam

tangan, pun takkan mampu menandingi serbuan sekian

banyak orang-orang persilatan!”

“Tapi Cin Siang mempunyai tiga ribu tentara Gi-lim-kun!”

seru Ciok Tan, seng-tong-hi-ang-cu dari Kay Pang.

Ceng Ceng Ji tertawa gelak-gelak: “Mengapa jeri terhadap

tiga ribu anak buah Gi-lim-kun? Bukankah anak buah Kay

Pang lebih dari jumlah itu?”

“Bagus, rencana bagus!” teriak Uh Bun Jui sembari

bertepuk tangan, sekarang harap sekalian hiangcu

memberitahukan kepada anak buah mising-masing supaya

pada waktu itu menyelundup kedalam kota Tiang An. Kita

akan mengadakan gerakan ‘Kay Pang mengacau kota raja

Tiang An!”

Ada beberapa hiangcu tua, diam diam menganggap

rencana itu kurang baik. Mereka sama memandang kearah Ji

tianglo. Maksudnya minta tianglo itu buka suara. Dan memang

Ji tianglo sendiri juga tak kuat menahan luapan hatinya lagi.

Serentak berbangkitlah dia dan berseru: “Pangcu, sakit hati

memang harus kita balas. Tapi perlukah kita harus

mengadakan gerakan secara besar-besaran begitu?”

“Ji tianglo mempunyai rencana apa yang lebih baik?” Uhbun

Jui dengan dingin.

Jawab Ji tianglo “Penasaran ada biang keladinya, hutang

ada penanggungnya. Musuh dari pangcu adalah Cin Siang dan

Ut-ti Pak. Jika menurut peraturan kangouw, haruslah mencari

balas kepada kedua orang itu. Dengan begitu urusan takkan

berlarut. Tapi jika menyelesaikan hal itu didalam rapat Eng

Hiong Tay Hwe. tentulah anak buah Kay Pang akan bertampur

melawan Gi-lim-kun. Ini berarti suatu pemberontakan. Dan

lagi pergaulan Cin Siang itu cukup luas, Tokoh2 yang hadir

dalam Eng Hiong Tay Hwe, tentulah kebanyakan sahabatsahabatnya,

masakan mereka tak mau membantu Cin Siang?

Dengan begitu kawanan orang gagah akan berbaku hantam

sendiri. Demi urusan partai Kay Pang perlukah mengorbankan

sekian banyak jiwa. Apakah kita merasa enak hati?

Bagaimanapun, lebih baik kita gunakan siasat lain!”

“Baiklah, jika kita melakukan pembalasan sesuai dengan

peraturan kangouw maka kita minta kau suka menyampaikan

tantangan kepada Cin Siang dan Ut-ti Pak. Sedangkan

mendiang Ciu pangcu saja terbinasa ditangan Ut-ti Pak,

apalagi Cin Siang yang lebih lihay dari Ut-ti Pak. Taruh kata

kau, Ji tianglo, lebih lihay setingkat dari kepandaianmu

sekarang, rasanya masih belum tentu dapat menandingi Cin

Siang dan Ut-ti Pak” Ma tianglo menyeletuk.

Mendengar hinaan itu, gemetaranlah tubuh Ji tianglo.

Sahutnya dengan murka: “Benar, memang aku bukan

tandingan mereka. Tetapi masakan didalam partai Kay Pang

tiada orangnya lagi? Wi Wat dan Hong-hu Ko kedua locianpwe

toh masih ada, Ciu pang-tin adalah sutit dari Wi

locianpwe. Entah apakah Uh Bun Jui pangcu sudah pernah

memberitahukan kematian Ciu pangcu kepada kedua cianpwe

itu?”

Uh-bun Jui menyahut dingin “Kalau sudah memberitahukan

bagaimana? Kalau belum bagaimana?”

Dengan wajah bersungguh. Ji tianglo menjawab: “Jika

belum silahkan lekas memberitahukan. Jika sudah mengirim

orang memberitahukan, kita harus tunggu kedatangan kedua

locianpwe itu dulu, baru nanti kita rundingkan siasat lagi.”

Wajah Ceng Ceng Ji berubah seketika. Ia tertawa dingin:

“Kalau begitu, kedatangan kami untuk membantu ini, percuma

saja! Karena Kay Pang ternyata mempunyai orang sendiri, kini

tak perlu pada kita lagi! Uh Bun pangcu, kau telah

mengirimkan surat undangan kepada alamat yang salah. Nah,

kami hendak minta diri!”

Tongkat kekuasan, cepat digentakkan Uh Bun Jui: “Ji

tianglo, kutahu kau tak senang dengan pengangkatanku

sebagai pangcu ini. Memang sebenarnya aku juga tak berani

menjabat kedudukan pangcu: Tapi aku tak dapat menolak

tuntutan sekalian saudara. Terpaksa aku menerimanya.

Karena saat ini aku menjabat pangcu maka akulah yang

memegang peraturan partai. Jika kau tetap omong

sembarangan, apakah bukan berarti memandang rendah

padaku?”

Memang partai Kay Pang mempunyai disiplin yang keras.

Meskipun pangcu itu pimpinan tertinggi dari partai, namun Ji

tianglo itu termasuk angkatan yang lebih tua. Dituding Uh-bun

Jui dihadapan orang banyak itu hati Ji tianglo murka sekali.

Namun ia masih berusa untuk mengendalikan diri, tanyanya:

“Pangcu, kesalahan omong apa aku tadi? Maafkan diriku yang

sudah tua, tentu agak limbung. Karena sukar untuk

mengetahui kesalahanku sendiri, maka mohonlah pangcu

memberi koreksi.”

Kata Uh Bun Jui: “Ciu pangcu adalah suhuku yang berbudi,

masakan aku tak ingin melakukan pembalasan? Wi locianpwe

itu sukar di duga tempat tinggalnya. Sementara Honghu Ko

locianpwe itu tinggal menyepi digunung Hoa San. Untuk

memberitahukan padanya pergi pulang juga memerlukan

waktu. Jika harus, menunggu kedatangan mereka, kita akan

kehilangan kans baik. Selalu kau menekankan perlunya

bermusyawarah, tapi hakekatnya kulihat kau emangnya mau

merintangi kita!”

Wajah Ji tianglo berobah membesi, serunya: “Uh Bun

pangcu, apakah ucapanmu itu tidak keliwatan? Aku dengan

suhumu sudah seperti kaki dengan tangan, kau, kau….”

“Tutup mulut! Kau telah berlaku kurang hormat kepada

tetamu yang kuundang. Apakah kau tidak lekas2

menghaturkan maaf!” bentak Uh Bun Jui.

Saking murkanya, tubuh Ji tianglo sampai gemetar, la

mendamprat: “Sejak beratus tahun lamanya, dalam partai Kay

Pang tak pernah ada pangcu yang memerintahkan tianglo

untuk menghaturkan maaf kepada orang luar! Pangcu hukum

mati saja aku ini. Aku tiada bersalah, matipun aku tak mau

tunduk! Tetamu-tetamu itu adalah kau yang mengundang, jika

mau menghaturkan maaf, kau sendirilah vang menghatur

maaf!!”

Sekalian anak buah Kay Pang saling pandang satu sama

lain. Ketika Lau tianglo, Ko hiangcu dan beberapa pemimpin

Kay Pang hendak melerai, tiba-tiba Ceng Ceng Ji sudah

kedengaran tertawa dingin: “Mana aku berani menerima

permintaan maaf Ji tianglo. Ji tianglo adalah soko guru dari

Kay Pang. sudah lama aku mengagumi namanya. Nah, baiklah

kita berdampingan dekat-dekat!”

Jarak antara Ceng Ceng Ji dan Ji tianglo terpisah oleh

beberapa orang saja. Masih nada suaranya bergema,

beberapa orang itu sudah merasa tersambar angin keras.

Ternyata dengan gunakan ilmu ih-sing-hoan-wi, Ceng Ceng Ji

sudah menyelinap disamping orang-orang itu. Sekali ulurkan

tangan, ia sudah mencengkeram tangan Ji tianglo.

Tapi Ji tianglo juga bukan seorang lemah. Dikala

mendengar Ceng Ceng Ji mengatakan hendak ‘berdekatan’

tadi, ia sudah tahu kalau orang akan bermaksud jahat. Kaki

kirinya tendangkan dalam gerak gue-sirg-thi-rou, sementara

tangan kirinya menyodok dalam jurus poan-ciu-cak-ceg Kaki

menendang pinggang melengkung, tangan dicakakkan keiga.

Itu adalah sebuah jurus yang terlihay dari ilmu pukulan Kay

Pang yang disebut kin-liong-hok-hou-kun atau ilmu silat

harimau mendekam menangkap naga.

Tapi ternyata Ceng Ceng Ji lebih cepat lagi. Sekali dapat

mencengkeram lengan orang, ia lantas gunakan ilmu

memelintir tulang hun-kin jo-kut. Dua buah urat lengan Ji

tiangio menjadi putus, seketika tubuh tianglo menjadi

kesemutan. Sekalipun tendangannya kaki kiri tadi mengenai

Ceng Ceng Ji, tapi sama sekali tiada bertenaga.

Tapi Ji tianglo itu seorang lelaki jantan. Walaupun kesakitan

sampai mengucurkan keringat, namun ia tetap tahan sakit,

sedikitpun tak mengerang

Ceng Ceng Ji tertawa terbahak-bahak: “Uh Bun pangcu,

bagaimana kau hendak menjatuhkan hukuman kepada orang

tua ini, terserah kepadamulah!”

Ada beberapa hiangcu yang tidak terima. Tapi demi melihat

Ji tianglo yang berkepandaian tinggi pun dibikin tak berdaya

oleh Ceng Ceng Ji, terpaksa mereka menelan kemarahannya,

tak berani bercuwit.

Begitu Ceng Ceng Ji lepaskan cengkeraman dan Ji tianglo

terhuyung-huyung beberapa tindak. Dingin-dingin saja Uh Bun

Jui berkata: “Kau adalah tianglo dari partai kita. Aku tak mau

menghukummu. Coba kau sendiri yang menimbang,

bagaimana harus bertindak.”

Dada Ji tianglo berombak keras karena kemurkaan. Tanpa

menjawab apa-apa, ia lantas cabut belatinya dan tusukan

ketenggorokannya. Tiba-tiba terdengar suara logam berdering.

Belati Ji tianglo terpental jatuh ketanah. Menyusul terdengar

suara kering dari seorang tua: “Ji Hui, ada urusan hebat apa

kau sampai hendak menggorok lehermu?”

Seorang pengemis berambut putih yang memanggui

sebuah bulI2 (tempat arak) merah dengan menyeret

sepatunya yang berbunyi berkelotekan, tengah berjalan

menghampiri datang. Munculnya pengemis itu begitu

mendadak, hingga sekalian orang tak tanu dari mana tadi

datangnya.

Pengemis tua itu bukan lain ternyata adalah Hong Kay Wi

Wat. Sudah lama kaum Kay Pang mengharap kedatangannya,

tapi mereka tak menyangka sama sekali kalau dia bakal

datang secara begitu tiba-tiba.

Bluk, Ji tianglo cepat jatuhkan diri berlutut dan berseru:

“Susiok, sudilah mengatasi keadaan ini.”

Hong Kay Wi Wat tak menghiraukan sekalian orang. Ia

langsung menuju kepada Ceng Ceng Ji. Dengan sipitkan mata

ia memandang orang itu, ujarnya: “Hai monyet kecil, sejak

kapan kau menyelundup kedalam partai kami? Siapa suhumu?

Apakah dia tak memberitahukan kepadamu tentang peraturan

Kay Pang? Aku adalah kakek gurumu, ayuh berlutut!”

Murkalah Ceng Ceng Ji: “Kau benar-benar Hong (gila) atau

pura-pura Hong saja? Siapakah yang kau panggil anak murid

partaimu? Bukalah matamu lebar? aku ini siapa?”

Kiranya pada waktu sepuluh tahun berselang, Gong-gong-ji

pernah berkelahi dengan Wi Wat. Kala itu Ceng Ceng Jipun

menyaksikan.

Wi Wat mendengus, serunya “Apa? Kau bukan anak murid

Kay Pang? Bagus, mengapa kau berani memukul tianglo Kay

Pang? Apakah Kay Pang mandah dihina orang luar?”

Sebenarnya dalam peraturan yang lazim berlaku didunia

kangouw, seorang anak murid yang bertingkat wan-pwe

(tingkatan muda) dapat menghukum seorang tiangpwe

(angkat tua) jika mendapat perintah dari pangcunya. Tapi

rupanya Wi Wat pura-pura tak tahu akan peraturan itu.

Dengan mengajukan pertanyaannya tadi, sekaligus ia

mendamprat Ceng Ceng Ji dan Uh Bun Jui,

Ma tianglo buru-buru memberi hormat: “Wi susiok Ciu

pangcu pangcu telah dicelakai orang. Sdr. Uh Bun Jui

sekarang yang mengganti jadi pangcu.”

Sementara Uh Bun Jui sendiri dengan muka merah padam,

mengangsurkan tongkat kekuasaan. dengan sepasang

tangannya keatas (ini tanda penghormatan bila pangcu

bertemu dengan tiangpwe). Ujarnya: “Susiokcu, Ceng Ceng

cianpwe ini adalah tecu yang mengundangnya,”

“Ho jadi tetamu yang kau undang? Bagus biarlah

kuhaturkan arak kepadanya!”

Ia membuka sumbat buli2nya, meneguknya lalu ngangakan

mulut. Serangkam air arak meluncur kearah Ceng Ceng Ji,

Betapapun lihay ginkang Ceng Ceng Ji yang dengan cepat

menghindar, namun tak urung mukanya kena kejatuhan

beberapa percik arak. Sakitnya bukan kepalang.

Sudah tentu Ceng Ceng Ji marah. Cepat ia cabut

pedangnya dan terus hendak menyerang, tapi buru-buru

dicegah oleh kawannya yang bernama Pok Yang Kau: “Kay

Pang ada pangcunya, jangan sampai orang mengatakan kita

tak tahu adat.”

Dengan perkataan itu, Pok Yang Kau hendak mendesak Uh

Bun Jui supaya bertindak. Tapi Wi Wat itu dua tingkat

keturunan lebih atas dari Uh Bun Jui, Apalagi perangainya

kegila-gilaan. Itulah sebabnya maka ia dijuluki sebagai Hong

Kay atau Pengemis Gila. Siapakah yang berani mencari

perkara kepadanya? Sedang kaisarpun ia tak ambil perduli,

apalagi hanya seorang anak kemarin sore macam Uh Bun Jui.

Dan Uh Bun Jui sendiri, meskipun sudah menjadi pangcu, tapi

tak berani berbuat apa-apa terhadap susiokcu atau paman

kakek gurunya itu.

“Pangcu kau harus berani bertindak untuk mengatasi

keadaan,” bisik Ma tianglo yang berada disamping Uh Bun Jui.

Apa boleh buat Uh Bun Jui terpaksa memberanikan diri

juga. Diangkatnya tongkat kekuasaan itu keatas, lalu

menghadang ditengah tengah Wi Wat dan Ceng Ceng Ji.

Ujarnya: “Susiokcu, mohon sudi mendengarkan laporanku.

Suhu tecu, mendiang Ciu pangcu, telah dicelakai orang. Musuh

itu adalah pemimpin serta wakil pemimpin Gi-lim-kun yakni Cin

Siang dan Ut-ti Pak. Cemas tak dapat membalaskan sakit hati

suhu, maka tecu mengundang beberapa sahabat bulim

membantu kita. Ceng Ceng cianpwe ini, adalah seorang dari

tetamu-tetamu yang tecu undang itu. Hal ini tecu ambil,

karena selama ini susiokcu tak ketahuan beritanya, maka tecu

tak sempat memberitahukan kepada susiokcu. Harap mohon

dimaafkan,”

Wi Gwat mendengus: “Hmm, hal ini mencurigakan!”

Wajah Uh Bun Jui berobah, ujarnya: “Tentang in-su

dicelakai itu, tecu menyaksikan sendiri!”

Sepasang biji mata pengemis gila itu mendelik katanya:

“Baik, taruh kata Ciu Ko benar benar dicelakai oleh Cin Saing,

masakan Kay Pang benar-benar tiada mempunyai kekuatan,

toh didunia ini banyak sekali orang gagah yang suka memberi

bantuan. Mengapa mengundang mahkluk yang menyerupai

kunyuk begitu?”

Ceng Ceng Ji berseru marah: “Baik, karena partaimu

mengundang sampai beberapa kali, barulah aku terpaksa

datang. Kau tua bangka yang masih temahak hidup, mengapa

selalu berkata-kata menyakiti hati orang?”

“Susiok To sudilah kiranya memandang muka partai kita

keseluruhannya. Sudilah kiranya berlaku sedikit sungkan

terhadap tetamu,” kata Uh Bun Jui.

“Kau berani menasehati aku, bagus, kau benar-benar

seorang pangcu yang jempol,” bentak Wi Wat.

Bentakan itu sedemikian kerasnya sampai nyali Uh Bun Jui

serasa pecah dan tersurut mundur sampai tiga langkah.

Waktu Wi Wat hendak bertindak lebih lanjut tiba-tiba

dikalangan anak buah Kay Pang terbit kegaduhan. Seorang

penunggang kuda lari masuk kedalam lembah situ.

“Hai, apakah itu bukan Ciok hiangcu!” teriak salah seorang

pengemis.

Sekalian orang sama menyingkir untuk memberi jalan.

Dalam sekejap mata, penungang kuda sudah tiba didekat altar

batu dan turun dari kudanya. Setelah mengawasi dengan

seksama, barulah sekalian anak buah Kay Pang itu

mengetahui, bahwa yang datang itu adalah Ciok Ceng Yang

yang sudah menghilang selama tiga tahun.

“Wi susiok, kau juga datang, itulah bagus! Apakah ‘batunya

sudah menonjol ditimpah air’?”

“Apanya yang menonjol?” sahut Wi Wat.

Batu menonjol tertimpah air, adalah suatu kiasan yang

artinya, duduk perkara yang sebenarnya sudah ketahuan.

“Tentang kematian dari Ciu suheng!” balas Ciok Ceng Yang.

“Apakah kau mempunyai bukti?” tanya Wi Wat.

“Bagaimana kata Uh Bun Jui?” Ceng Yang balas bertanya

pula.

“Dia bilang, Ciang Siang dan Ut-ti Pak yang menganiaya,”

jawab Wi Wat.

“Mencurigakan!” dengan tegas Ceng Yang memberi

pernyataan.

“Ya, benar, memang aku sendiri merasa curiga. Ceng Yang

Yang, kau tentu telah menyelidiki beritanya,” kata Wi Wat.

Cepat Ma tianglo menyeletuk: “Ciok Crng Yang, sayang kau

datang terlambat. Kedudukan pangcu sudah diserahkan

kepada sutitmu. Meskipun kau tergolong tiangpwe, juga harus

tunduk pada peraturan partai. Apakah kau mau lekas-lekas

menghadap kepada pangcu?”

Ma tianglo dengan Ciok Ceng Yang itu sebaya dan setingkat

golongannya. Jadi dia tak takut menyalahi orang. Tapi pada

hakekatnya, ucapannya itu hanya pelabi saja guna

mendamprat Wi Wat. Keruan Wi Wat kerutkan alisnya, tapi tak

berbuat apa-apa.

Dingin2 saja Ciok Ceng Yang membalas: “Aku datang

kemari bukan hendak berebut kedudukan pangcu!”

Bukannya ia menurut perintah Ma tianglo untuk

menghadap pangcu, sebaliknya lantas loncat kealtar batu dan

berseru nyaring: “Ini urusan penting sekali, segala adat

peraturan baiklah kelak disusulkan. Aku baru saja datang dari

Tiang An, Aku berjumpa dengan Cin Siang.”

Kawanan pengemis yang memencar dibeberapa tempat itu,

cepat berkerumun lagi.

“Cin Siang telah membicarakan padaku tentang suatu hal

yang aneh. Ia bilang kalau Ciu pangcu mengirim sepucuk

surat kepadanya untuk mengundangnya bertemu disuatu

tempat. Pada hari yang dijanjikan itu, ia tak melihat Ciu

pangcu muncul. Sejak itu Ciu pangcu tak pernah kelihatan

lagi?”

Sekalian anak buah Kay Pang gempar mendengar berita

itu. Seketika suasana menjadi hiruk pikuk Ada yang berkata:

“Apakah Uh Bun Jui bohong?” Ada pula yang berkata: “Jika

bukan Uh Bun Jui yang berbohong, tentulah Ciok Ceng-yang

yang berdusta,”

“Cin Sianglah yang membunuh Ciu pangcu, masakan kita

mau percaya akan omongannya?” tiba2 Ma tianglo berseru

keras. “Ho Ceng Yang, apa maksudmu menemui Cin Siang

itu?”

Tak kurang kerasnya, Ciok Ceng Yang berseru: “Tak lain

tak bukan akan menyelidiki kematian Ciu suheng itu sampai

jelas, agar murid murtad jangan bersimaharajalela! Kau

katakan omongan Cin Siang itu tak boleh dipercaya? Baiklah,

hendak kukatakan lagi sebuah hal lain. Hal ini sudah kuselidiki

kebenarannya, bukan hanya dari pendengaran saja.”

Berkata sampai disitu, tiba-tiba Cang Yang menuding

kearah hadirin, serunya: “Hai, Thio Kam Lok. keluarlah

kemuka! Mengapa kau mencelakai Wi hiangcu?”

Sekalian anak buah Kay Pang makin menggelora. Sekalian

mata ditujukan pada orang yang bernama Thio Kam Lok itu.

Orang itu bukan lain adalah wakil hiangcu partai Kay Pang

daerah Tiang An. Yang menyahut pertanyaan Ji tianglo tadi

serta yang melaporkan bahwa Wi hiangcu dari Tiang An,

hilang lenyap adalah orang she Thio juga.

Muka Thio Kam Lok berobah pucat dan dengan suara

tergagap-gagap menyahut: “Hal ini, ini dari mana sumbernya?

Tidak… tidak ada hal semacam itu!”

Ciok Ceng Yang deleki mata.

“Tidak ada kejadian begitu? Jika tak ingin diketahui orang,

janganlah berbuat! Pada tanggal tujuh belas bulan tiga

malam, kau telah mengundang Wi hiangcu minum arak.

Didalam arak kau campur racun. Sebelum racun bekerja, Wi

hiangcu telah menghantammu. Kau terluka dirusuk kirimu.

Karena jaraknya dengan sekarang sudah ada setengah

bulanan, mungkin lukamu itu baik. Kalau dipijit sedikit saja,

kau tentu kesakitan, bukan? Apakah kau berani dipijat sedikit

saja oleh Wi susiok?”

Kiranya Wi hiangcuitu adalah salah satu jago kim-kong-cilat

atau ilmu jari malaekat dari Kay Pang: Dengan kekuatan

jarinya, ia dapat menembus jalan darah dan melukai pekakas

dalam tubuh orang. Memang luka dalam itu lain orang tak

mengetahui. Tapi bagi kaum persilatan, asal meraba dibagian

yang terluka itu, tentulah segera mengetahui tentang luka

akibat ilmu kim-kong-ci-lat.

“Baik, Thio Kam Lok, kemarilah Wi Wat,” Baru Wi Wat

berkata begitu, tiba2 terdengar jeritan nyaring dan rubuhlah

Thio Kam Lok ketanah. Sebat sekali, Wi Wat loncat

menghampiri dan mengangkat tubuh Thio Kam-lok. Dilihatnya

sekujur badan orang she Thio itu penuh dengan bintik-bintik

hitam, dibelakang batok kepalanya tertancap sebatang ginciam

atau jarum perak. Pangkal jarum itu masih kelihatan

sedikit. Teranglah kalau Thio Kam Lok dibunuh orang. Orang

itu kuatir kalau Thio Kam Lok sampai buka rahasia. Dan

karena yang hadir banyak jumlahnya, jadi sukarlah untuk

mencari tahu siapa pembunuhnya itu.

“Ciok Ceng Yang mengapa belum kau tanya jelas lantas kau

bunuh dia?” teriak Wa Tianglo.

Marah Ceng Yang bukan main. “Kurang ajar! Terang

didalam partai kita ada pengkhianat yang hendak menutup

mulut saksi, sebaliknya kau malah manuduh aku. Apa

maksudmu?”

Sabut Ma tianglo: “Secara diam2 kau menemui musuh kita,

kemudian kau merangkai tuduhan palsu tentang terbunuhnya

Wi hiangcu. Sedemikian rupa kau karang ceritamu itu supaya

orang dapat mempercayai. Setelah itu dapatlah kau

selundupkan komplotanmu untuk membunuh Thio Kam Lok.

Hm, hm, ganas betul siasatmu itu!”

“Ringkus Ma tianglo, aku hendak menanyainya?” teriak Wi

Wat.

“Tangkap Ciok Ceng Yang, aku hendak mengadilinya!”

bersamaan saat itu Uh Bun Juipun berseru.

Dua tokoh Kay Pang sama mengeluarkan perintah. seketika

gegerlah anak buah Kay-pang,

Ciok Ceng Yang maju merangsang Ma tiang lo, tapi tianglo

yang mahir ilmu silat Tiang-kun itu, begitu mengisar kaki

lantas menjotos. Ceng Yang cepat lingkarkan sepasang

tangannya dan masukkan tinju Ma tianglo kedalamnya, terus

dijepitnya. Tapi kuda-kuda kaki Ma tianglo amat kokoh.

Meskipun tangannya kena dijepit, tapi tubuh tianglo itu tetap

tak bergeming laksana terpaku ditanah.

“Ciok Ceng Yang, kau berani menentang perintah pangcu

dan malah hendak memberontak?” teriak Uh Bun Jui seraya

hantamkan tongkat kekuasaan kemuka orang dua Ciok Ceng

Yang, adalah murid angkatan kedua dari partai Kay Pang.

Dalam hal ilmu silat, suhu Uh Bun Jui, Ciu Ko itu saja masih

tak menang, apalagi Uh Bun Jui.

Tetapi dikarenakan Uh Bun Jui mencekal tongkat

kekuasaan. Ceng yang tidak berani merampasnya. Ia terpaksa

hanya menghindar saja. Kesempatan itu telah digunakan Ma

tianglo untuk mengirimkan tendangan. Dengan begitu Ceng

Yang terserang dari dua jurusan. Plak, Ceng Yang termakan

hantaman tongkat Uh Bun Jui.

Wi Wat gusar sekali, Ia segera semburkan arak dari

mulutnya. Kenal gelagat, Ma tianglo buru-buru menghindar.

Celaka adalah Uh-bun Jui. Tahu ia melihat ada gumpalan sinar

putih melayang kepadanya. Waktu ia hendak menyingkir, tibatiba

pergelangan tangannya terasa sakit seperti tertusuk

jarum. Kiranya Wi Wat telah gunakan ilmu lwekang tinggi

untuk merobah air arak menjadi semacam rantai putih yang

dengan tepat menghantam jalan darah kwan-gwan-hiat

tangan Uh Bun Jui. Karena tangannya lemah lunglai, tongkat

kekuasaan yang dicekal Uh Bun Jui itupun jatuh ketanah,

“Uh Bun Jui, kau telah melanggar peraturan partai kita.

Mengundang komplotan buaya untuk menghina tianglo kita.

Apakah kau masih mimpikan kedudukan pangcu?” teriak Wi

Wat sembari mencongkel dengan ujung kakinya. Begitu

tongkat mencelat keudara, terus ia sambuti. Tapi baru ia

hendak loncat kealtar batu untuk membuka persidangan

membatalkan pengangkatan pangcu itu, tiba-tiba Ceng Ceng Ji

sudah menyerangnya.

“Bagus. pengemis tua hendak menggebah kawanan buaya,

baru nanti ada pembersihan dalam tubuh Kay Pang!” teriak Wi

Wat sembari balas menghantam.

Ceng Ceng Ji miringkan tubuh lalu menyusup kebawah

ketiak orang, terus menusuk dengan jurus sun-cui-thui-co

atau menurutkan aliran air mendorong perahu. Tapi mana Wi

Wat kena disengkelit secara begitu mudah. Siku tangan kirinya

disodokkan kebelakang. Jika tak lekas menyingkir, batok

kepala Ceng Ceng Ji bisa terpukul pecah.

Ceng Ceng Ji gunakan langkah ih-sing-hoan wi untuk

menyelinap kebelakang lalu menusuk jalan darah hong-hu-hiat

dipunggung orang. Kala itu Wi Wat sudah dapat mencekal

tongkat kekuasaan. Dan punggungnya seperti bermata, ia

hantamkan tongkat itu kebelakang. Tongkat kekuasaan dari

partai Kay Pang itu juga sebuah benda mustika, terbuat dari

logam emas yang kokoh. Pedang Ceng Ceng Ji tidak mampu

memapas tongkat itu, sebaliknya malah terhantam sampai

terpental. Demikianlah kedua jago itu bertempur dengan

serunya. Yang satu lihay ilmu gin-kangnya, yang satu hebat

ilmu silatnya.

“Ciok Ceng Yang mempunyai dendam permusuhan dengan

Ciu almarhum. Saudara-saudara sekalian tentu mengetahui.

Jika sekarang ia berkomplot dengan musuh dan berusaha

merebut kedudukan pangcu, itulah sudah sewajarnya

pengkhianat semacam itu, harus dihukum menurut peraturan

partai!” teriak Ma tianglo

Ma tianglo adalah pemimpin dari keempat tianglo. partai

Kay Pang. Selain berpengaruh iapun mempunyai banyak

pengikut didalam partai. Ucapannya tadi telah mendapat

sambutan hangat dari pengikut-pengikutnya. Mereka sama

berteriak: “Benar, harus dihukum?”

“Kentut! Kami berani melawan orang atasan bersekongkol

dengan kaum buaya serta berani bermusuhan dengan Wi

locianpwe. Apakah hukumannya?” teriak Ji tianglo.

Wajah Uh-bun Jui berubah membesi. Begitu ia memberi

tanda, Seng-tong hiangcu Ciok Tan, Lwe Tong hiangcu serta

Siang Tong hiangcu Han Ciat segera maju akan meringkus Ji

tianglo.

Karena tulang lengan kanan dari Ji tianglo sudah

dipatahkan oleh Ceng Ceng Ji, maka Ji tianglo hanya dapat

melawan dengan tangan kirinya. Keadaannya berbahaya

sekali. Melihat itu berteriaklah Ciok Ceng Yang: “Hai Ciok Tan

dan Hai Ciat, kalian berani melawan orang atasanmu. Jangan

sesalkan aku berlaku kejam, ya!”

Kedua hiangcu cukup kenal kelihayan Ceng Yang. Buruburu

keduanya mundur lagi.

“Wi locianpwe angot limbungnya. Lebih dulu ringkus Ciok

Ceng Yang dan periksa persekongkolannya itu, tentulah nanti

Wi locian-pwe dapat dibikin mengerti,” demikian teriak Ma

tianglo.

“Ma-hun, kau sudah gila atau pura2 gila?” dengan

murkanya Wi Wat menghardik. Ma-hun artinya tahi kuda.

Wi Wat kembali semburkan arak dari mulutnya. Wut,

sekonyong-konyong dari samping Ma tianglo melesat keluar

seseorang yang terus lontarkan pukulannya kearah arak Wi

Wat itu. Orang itu bukan, lain ialah Pok Yang-kau tokoh kedua

dari Ki-san-sam-nio atau tiga iblis dari gunung Ki-san.

Memang Ma tianglo dan Uh Bun Jui itu banyak pengikutnya

didalam partai. Tapi Wi Wat adalah tetua yang paling tinggi

kedudukannya dalam Kay Pang. Meskipun Uh-bun Jui itu

mendapat sebagai pangcu, tapi perbuatannya itu berarti

melawan terhadap orang atasan. Banyak juga diantara anak

buah Kay-pang yang tak setuju dengan perbuatannya itu. Dan

masih ada sebagian anak buah Kay Pang yang menyokong

Ciok Ceng Yang. Dengan demikian kaum Kay Pang terpecah

menjadi dua golongan. Kedua golongan ini, jumlahnya

meliputi separoh dari jumlah anggaota Kay Pang. Sedang

separoh lainnya, hanya melongo saja, tidak berfihak siapasiapa

alias netral.

Pok Yang Kau bersama Ceng Ceng Ji mengerubuti Wi Wat.

Pok Yang Kau adalah tokoh kelas satu dari apa yang disebut

golongan Sia Pay (jahat). Ilmu kepandaiannya tidak di-sebelah

bawah Ceng Ceng Ji. Ia melangkah maju untuk menghantam

dada Wi Wat.

Kemarahan Wi Wat makin menyala, serunya: “Jika saat ini

buaya-buaya kangouw macam kalian tak dibasmi, aku tiada

muka untuk bertemu dengan para cosu Kay Pang!”

Ia balas menangkis pukulan Pok Yang Kau. Seketika orang

she Pok itu rasakan dadanya nya seperti dihantam palu besi.

Ceng Ceng Ji menyelinap kebelakang Wi Wat untuk

menusuknya, tapi tanpa menoleh lagi, Wi Wat sabatkan

tongkatnya kebelakang. Seperti bermain tongkat itu dengan

telak menghantam terpental pedang Ceng Ceng Ji. Tanpa

berhenti Wi Wat masih mencecernya lagi dengan pukulan

yang ketiga. Kali ini Pok Yang Kau terpaksa menangkis dengan

kedua tangannya. Tapi pukulan jago Kay Pang itu dahsyatnya

bagai gunung roboh lautan bergelombang. Makin kuat Pok

Yang Kau menangkis, makin celaka dia. Dadanya serasa sesak

dan mulutnya muntahkan darah segar. Tapi Wi Wrat tak

kurang herannya karena tiga kali hantaman hanya membikin

lawannya itu muntah darah, tidak sampai rubuh.

Kawan Ceng Ceng Ji yang satunya lagi. yakni Hun Bon Jin

Yau (Manusia siluman dari awan impian) Liu Bun Siong, cepat

menghunus pedang maju membantu. Jagoan ini adalah buaya

tukang ‘petik bunga’ (mengganggu wanita baik2). Wajahnya

cantik macam wanita, tetapi ilmu pedangnya ganas sekali.

Dalam ilmu gin-kang ia dibawah Ceng Ceng Ji, tapi lebih atas

dari Pok Yang Kau. Dengan berlincahan kian kemari, Wi Wat

tak berhasil merebut pedangnya. Ini dikarenakan Ceng Ceng Ji

selalu mengancamnya.

Dengan siasat berlincahan itu, dalam beberapa kejap saja,

Liu Bun Siong telah lancarkan tujuh delapan kali serangan

pedang. Sudah tentu Wi Wat seperti orang kebakaran jenggot.

Sekonyong-konyong ia berputar kebelakang dan sekali jari

tengahnya maju, tring, dengan tepat pedang Liu Bun Siong

kena tertutuk sampai mencelat keudara. Tapi berbareng saat

itupun kedengaran suara ‘pruk’. Ternyata buli-buli arak milik

Wi Watpun kena ditusuk pecah oleh pedang Ceng Ceng Ji.

Ternyata hal itu memang sudah diperhitungkan oleh Wi

Wat. Setelah menaksir posisi lawan, barulah ia berani berbuat

melancarkan tutukannya kearah pedang Liu Bun Siong. Tapi

dengan berbuat begitu dia terpaksa harus mengorbankan bulibuli

arak kesayangannya. Diam-diam ia merasa gegetun juga.

Untuk melampiaskan kemendongkolannya, kini ia menyerang

Ceng Ceng Ji dengan gencar. Betapa hebat ilmu ginkang Ceng

Ceng Ji, namun tak urung ia merasa kesakitan juga tersambar

oleh angin pukulan Wi Wat yang laksana badai mengamuk itu,

Ternyata daya tempur Pok Yang Kau itu cukup tinggi.

Walaupun menerima tiga buah serangan Wi Wat dan terluka

dalam, tapi ia masih kuat benahan. Pun Liu Bun Siong itu juga

jagoan yang keras kepala. Sekalipun tangan kanannya

kesakitan, tapi ia tetap pantang mundur. Kini ia ganti mainkan

pedang dengan tangan kiri. Demikianlah ketiga benggolan itu,

kini maju mengeroyok Wi Wat. Karena ketiga benggolan itu

masing-masing mempunyai kepandaian istimewa sendirisendiri

maka dapatlah mareka bertanding seri dengan Wi Wat?

Dipartai sana, Ciok Ceng Yangpun diserang oleh salah

seorang konconya Ceng Ceng Ji yang bernama He Ping Tat.

Ping Tat itu mahir dalam ilmu pelintir tulang hun-kin jo-kut.

Benar kepandaiannya tak menyamai Ceng Yang, tapi begitu

Ceng Yang merangsek mendekat, dengan gunakan ilmu hunkin-

jo-kut dapatlah Ping-tat memaksanya mundur.

Demikianlah dua buah partai telah bertempur dengan seru.

Dinilai dari ilmu kepandaiannya, Wi Watlah yang nomor wahid.

Tapi fihak Ceng Ceng Ji menang jumlah. Dengan main keroyok

itu dapatlah mereka menang angin.

Menyaksikan pertandingan itu, Khik Sia kebat kebit hatinya,

“Wi Wat adalah seorang cianpwe yang bersahabat baik

dengan mendiang ayahku, Pun Kay Pang ini rapat sekali

hubungannya dengan Thiat toako. Apakah aku tak mau

memberi bantuan?”

“Tapi, ah ini urusan partai Kay Pang, apakah aku leluasa

turut campur?”

“Ceng Ceng Ji meskipun sudah masuk kedalam perguruan

lain. tapi dahulu ia adalah suhengku. Pernah toa suheng (

Gong Gong Ji ) mengatakan kepadaku, supaya aku berlaku

sungkan kepadanya Jika kini aku membantu Kay Pang untuk

menangkapnya, apakah hal itu tak menusuk perasaan toasuheng?”

Memang sejak usia sewindhu, Khik Sia sudah diambil oleh

Gong Gong Ji. Bermula dua tahun lamanya Gong Gong Ji lah

yang memberi pelajaran silat, setelah itu baru gurunya. Oleh

karena itu hubungan Khik Sia dengan Gong Gong Ji itu sangat

baik sekali.

Perangai Gong Gong Ji itu suka menurutkan kemaunnya

sendiri saja. Dan dia sering di pengaruhi oleh konco system

atau famili system. Sudah terang Ceng Ceng Ji itu jahat, tapi

ia tetap suka melindungi.

Teringat akan pesan toa-suhengnya itu, Khik Sia pun tak

mau ikut campur dalam urusan Kay Pang. Baru ia mengambil

putusan begitu, tiba2 terdengar bunyi terompetdan sekonyong

konyong dari balik hutan menerobos keluar sepasukan wanita

berbaju merah!

Sebenarnya sewaktu Kay Pang mengadakan rapat itu,

walaupun tidak dijaga keras, tetapi dalam keliling lima li

luasnya, terdapat petugas-petugas yang akan memberi

pertandaan, bilamana ada orang luar masuk. Tetapi ternyata

pasukan wanita baju merah itu dapat menerobos dengan tibaTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

tiba. Entah bagaimana cara mereka lolos dari penjagaan anak

buah Kay Pang. Semua anak buah Kay Pang menjadi kesima.

Pemimpin pasukan wanita itu itu adalah seorang gadis.

Dengan gesit nona itu loncat dari kudanya, terus lari menuju

ketempat Wi Wat.

“Hai pengemis gila, kau sungguh gila! Sudah begitu tua

bangka, masih merampas barang kepunyaan anak muda!

Lekas kembalikan!” seru nona itu.

Wi Wat terkesiap, serunya: “Apa katamu?” Ia anggap

budak perempuan itu lebih limbung dari dirinya.

Cepat sekali datangnya nona itu. Hampir ber bareng

dengan suaranya, orangnya pun sudah tiba. Dengan tangan

kosong nona itu lantas menyeruduk kedada Wi Wat, Sudah

tentu yang tersebut belakangan ini menjadi kaget. Meski pun

ia luas pengalaman, tapi juga tak mengerti apa maksud

gerakan gadis itu. Walaupun bergelar Hong-kay atau

Pengemis Gila, tapi sebenarnya Wi Wat itu bukan sebenarnya

gila. Jika ia mau menghantam, terang nona itu tentu remuk.

Tapi Wi Wat sadar akan kedudukannya sebagai Chit-lo atau

Tujuh Orang Tua didunia persilatan. Mana mau ia

merendahkan derajatnya untuk melukai seorang budak

perempuan. Pula ia tak kenal serta tak mengerti maksud gadis

itu. Dan karena ia berpikiran begitu, maka ia sedikit berayal.

Akibatnya ia rasakan pil pahit.

Tiba-tiba nona itu balikkan tangan. Justeru pada saat itu

Ceng Ceng Ji tengah menusuk dari samping. Wi Wat

menangkis serangan Ceng Ceng Ji dengan tongkatnya,

berbareng itu ia harus menghindar dari benturan sigadis. Mau

tak mau gerakannya agak sedikit terlambat. Ketika ia

miringkan tubuh hendak menyingkir kesamping, ujung jari

nona itu sudah mengenai siku lengannya. Seketika Wi Wat

rasakan tangannya kesakitan dan tahu-tahu tongkat

kekuasaan yang dipegangnya sudah pindah ketangan sidara.

Marah si Pengemis Gila bukan kepalang. Ia menghantam

mundur Ceng Ceng Ji, kemudian mencengkeram punggung

sinona. Tapi gesit laksana burung walet, nona itu sudah

meluncur jauh.

Kiranya nona itu memakai gelang jari atau semacam krak

keling yang bentuknya aneh seperti tutup pit (pena) yang

runcing. Gelang itu menutupi jari, ujungnya dipasang jarum

bwe-hoa-ciam yang halusnya sukar dilihat dengan mata,

Sebenarnya Wi Wat siang siang sudah siap menutup seluruh

jalan darah ditubuhnya. Tapi ditusuk oleh jarum itu, tidak

urung ia merasa kesakitan juga. Begitulah dengan memakai

akal itu, dapatlah sinona merebut tongkat dari tokoh yang

jauh lebih lihay dari dirinya. Tapi memang nona itu juga

memiliki gerakan tangan yang luar biasa indah serta

tangkasnya. Tepat dan cepat ia berhasil merampas tongkat

orang. Kepandaiannya itu jarang dipunyai oleh orang

persilatan pada umumnya.

Habis melarikan tongkat, nona itu lalu berputar tubuh dan

melesat kemuka Uh Bun Jui.

Dengan kedua tangannya ia serahkan tongkat itu kepada

Uh Bun Jui, ujarnya: “Kuhaturkan selamat atas

pengangkatanmu sebagai pangcu. Tongkat kekuasaan ini bagi

seorang pangcu adalah sama seperti cap kebesaran dari

seorang pembesar negeri. Selanjutnya harus dijaga hati-hati

supaya jangan direbut orang lagi.”

Dengan berseri Uh Bun Jui menyambuti, katanya: “Terima

kasih nona nona Su. seluruh anggauta Kay Pang selanjutnya

akan menurut perintah nonalah!”

“Membantu orang harus membantu sampai selesai, ibarat

mengantar Budha harus tiba di Se Thian (barat). Biarlah

kubantu menghukum kawanan pemberontak,” sahut gadis itu,

Ia lambaikan tangan dan pasukan wanita baju merah yang

dipimpinnya itu segera menyerbu ke gelanggang pertempuran.

Sebenarnya kekuatan kedua fibak yang bertempur tadi

berimbang. Tapi begitu pasukan wanita baju merah itu masuk,

fihak Uh Bun Jui – Ma tianglo tambah kekuatan, sedang fihak

Ciok Ceng Yang dan Wi Wat menjadi keteter. Dalam beberapa

saat saja pasukan wanita baju merah itu sudah dapat

meringkus berpuluh orang, kemuaian semuanya diringkus

dengan tali.

Kehilangan tongkat dan terluka tangannya itu, telah

membuat tenaga dalam Wi Wat banyak berkurang. Dengan

tangan gosong ia lanjutkan perlawanannya terhadap ketiga

benggolan. Situasinya kini berobah. Kalau tadi Wi Wat yang

memegang inisiatip pertempuran, kini ia berbalik menjadi fihak

yang bertahan. Sama sekali ia tak dapat membuat serangan

balasan.

Sepintas pandang, fihak yang menentang Uh Bun Jui bakal

menderita kekalahan. Tetapi sekonyong2 didalam rombongan

para pengemis itu, ada sesosok tubuh melayang melalui

kepala orang. Sebelum orang-orang sempat melihat jelas,

tahu-tahu orang itu sudah meluncur turun disamping altar

batu, tepat disebelah Ceng Ceng Ji. Kini barulah orang

mengetahui bahwa dia hanya seorang pengemis muda yang

mukanya penuh berlumuran kotoran hitam.

“Hai, didalam partai kita ternyata ada seorang anak yang

begitu lihay!” sekalian pengemis sama berseru heran.

Walaupun bertempur, tapi Ceng Ceng Ji tetap waspada

terhadap setiap gerak yang terjadi disekelilingnya. Begitu

dibelakangnya ada angin menyambar, ia lantas tusukan

pedangnya kebelakang. Iapun memandang ringan kepada

pengemis kecil itu. Siapa tahu dengan suatu gerakan

kesimping, pengemis muda itu dapat menghindari tusukan

Ceng Ceng Ji. Kejut Ceng Ceng Ji bukan kepalang. Gerak

permainan pedangnya itu penuh dengan perobahanperobahan

yang sukar diduga. Jago-jago-yang lihay, pun

belum tentu dapat semudah itu menghindarinya.

Siapakah gerangan pengemis kecil itu? Dia bukan lain ialah

Toan Khik Sia sendiri. Kepandaian Khik Sia sekarang sudah

melampaui Ceng Ceng Ji. Apalagi permainan pedang yang

digunakan Ceng Ceng Ji itu berasal dari perguruannya, sudah

tentu dengan mudah sekali ia dapat menghindarinya. Dan

malah gerakan menghindar dari Khik Sia itu disusuli pula

dengan sebuah tepukan perlahan kebahu Ceng Ceng Ji.

Tepukan itu sebagai isyarat supaya Ceng Ceng Ji menyingkir.

Kini kejut Ceng Ceng Ji itu berobah menjadi rasa

keheranan. Jelas ia mengetahui gerakan pengemis muda itu,

juga berasal dari perguruannya. Buru-buru ia loncat tiga

tindak dan berseru: “Kau, kau….”

Khik Sia membayangi dibelakangnya dengan berbisik

berkata: “Toa suheng segera akan datang. Lebih baik kau

lekas tinggalkan tempat ini!”

Ceng Ceng Ji mengerti juga bahwa Gong Gong Ji telah

diperintah oleh subonya untuk menangkap diriya. Walaupun ia

tahu bahwa toa-suhengnya itu diam-diam menaruh kasihan

padanya tapi kalau kebentrok dihadapan orang banyak, toa

suhengnya itu tentu sungkan untuk tidak mengapa-apakan

dirinya. Itulah sebabnya maka dalam beberapa tahun yang

lalu itu. Ceng Ceng Ji selalu menyembunyikan diri.

Gertakan Khik Sia tadi, telah membuat Ceng Ceng Ji

ketakutan setengah mati. Tanpa memberitahukan kepada

konco-konconya lagi, ia lantas terbirit-birit melarikan diri. Khik

Sia hanya tersenyum saja. Saat itu ada lima orang anggaota

pasukan wanita menghampiri datang.

“Hai, pengemis kecil, kau menertawakan apa?” bentak

salah seorang wanita itu.

Khik Sia makin tertawa geli, sahutnya: “Kulihat tangan

kalian itu halus-halus semua, lebih baik menyulam dirumah

saja, jangan main-main dengan pedang, ini tidak sesuai!”.

Mulutnya berkata begitu, tangannya tak tinggal diam.

Dengan gunakan ilmu tangan kosong merampas senjata atau

gong-chiu-jip peh jim, ia sudah merebut senjata kelima

anggaota pasukan wanita itu.

Baru Khik Sia menerobos keluar dari kepungan kelima

wanita itu, ia sudah disambut oleh sepasang tangan dari

seorang lelaki yang hendak mencengkeramnya. Karena tak

menduga, hampir saja bahu Khik Sia kena.

Kiranya orang itu adalah He Ping Tat, jago ilmu pelintir

tulang hun-kin-jo-kut yang termashur. Melihat kepandaian

‘pengemis kecil’ itu amat hebat, ia tinggalkan Ciok Ceng Yang

terus menerjang Khik Sia.

“Ha, kepandaianmu hun-kin-jo-kut hanya begitu saja,

sayang belumkan yakinkan dengan sempurna!” Khik Sia

tertawa mengejek.

Ping Tat itu seorang yang sombong. Sudah tentu ia

menjadi merah telinganya.

“Cara bagaimana baru dikata mahir? Hm, bocah kemarin

sore tahu apa?” Bentaknya sembari lingkarkan lengan kirinya

dan tangan kanannya melalui lingkaran itu menjulur keluar

mencengkeram pergelangan tangan Khik Sia.

-od0o-ow0o-

Jilid XI

ITULAH jurus yang paling lihay dari ilmu hun-kin-jo-kut.

Nyata ia bernapsu sekali akan memelintir tangan Khik Sia

sampai putus.

Diluar dugaan, Khik Sia tak mau menghindar. Ia biarkan

saja tangannya dicengkeram, tapi diam-diam ia salurkan

lwekang. Seketika lengannya itu berobah seperti besi

kerasnya. Ping Tat terbeliak kaget. Tapi sudah kasip.

“Paling tidak harus setingkat begini baru boleh dianggap

sempurna!” seru Khik Sia sambil tertawa. Sekali tangan kirinya

ditekuk, lengan Ping Tat malah kena dibekuk. Krek……

patahlah lengan jago yang suka memelintir itu.

Ini bukan dikarenakan gerakan Khik Sia lebih jempol dari

Ping Tat melainkan karena Khik Sia dapat menggunakan

lwekang tepat pada waktunya. Saking marahnya Ping Tat

sampai muntah darah dan terus rubuh pingsan,

Habis meremukan lengan Ping Tat, Khik Sia bersuit panjang

Sekali enjot, tubuhnya melayang keatas altar batu.

“Hai, siapakah gurumu? Mengerti tidak kau akan peraturan!

Disini bukan tempatmu, turunlah.!” cepat Uh Bun Jui

membentaknya.

Ternyata Uh Bun Jui juga tak kenal akan Khik Sia. Dikiranya

itu salah seorang anak murid Kay Pang. Altar batu itu hanya

diperuntukkan tempat duduk para pangcu, hiangcu dan

tianglo. Bahwa seorang anak murid kecil berani menginjak

tempat itu, merupakan pelanggaran besar. Dengan

menanyakan siapa suhu Khik Sia tadi, maksud Uh Bun Jui

telah hendak menyuruh suhunya itu mengatasi anak

muridnya.

Khik Sia hanya tertawa menyahut: “Kau sudah menjadi

pangcu atau bukan, itu aku tak mengerti. Tapi yang kuketahui

hanyalah bahwa Wi locianpwe itu adalah susiok-comu. Kau

berani menghina pada angkatan yang lebih tua itu suatu dosa

yang tak berampun!”

“Pemberontak!” teriak Uh Bun Jui seraya tusukan

tongkatnya kejalan darah tubuh Khik Sia.

Khik Sia hendak sambar tongkat lawan, tapi tak terduga Uh

Bun Jui itu lihay juga. Benar ia itu murid dari Ciu Ko, tapi

mempunyai bakat yang bagus sekali. Dalan usianya itu, ia tak

kalah dengan suhunya diwaktu muda. Ilmu permainan tongkat

Hang-hong-ciang-hwat, termasuk suatu ilmu sakti didunia

kangouw. Bermula Khik Sia tak memandang mata kepada Uh

Bun Jui. Baru jarinya menyentuh batang tongkat lawan, tibatiba

dirasanya tongkat itu bergetar dau tahu2 sudah lolos dari

cengkeramannya. Terpaksa Khik Sia gunakan siasat lain. Ia

buru-buru miringkan tubuh dan menjentik dengan dua buah

jarinya. Tongkat itu terpental dan tangan Uh Bun Jui kesakitan

sekali.

Khik Sia maju merapat untuk menghadapi permainan

tongkat Hang-liong-ciang-hwat dari Uh Bun Jui. Meskipun Uh

Bun Jui lihay juga, namun tetap bukan tandingannya Khik Sia.

Dalam sepuluh jurus saja, ia sudah gelagapan. Dan ketika

pada lain saat Khik Sia membentak: “lepaskan”, dengan

tusukan jari tengahnya yang membikin Uh Bun Jui meringis,

tongkatnya pun terlepas mencelat keudara,

Tapi pada waktu Khik Sia hendak menyambuti, tiba-tiba ia

merasa ada angin menyambar punggungnya.

“Permainan golok yang luar biasa cepatnya!” diam diam ia

memuji sembari balikkan tangan kebelakang untuk

menghalaunya. Waktu ia berpaling, kiranya yang menyerang

itu adalah seorang nona muda yang mencekal sepasang Liuyang-

siang-to atau sepasang golok setipis daun Liu. Malah

dalam sekejap itu, sinona itu sudah lancarkan delapan kali

gerakan golok.

Kiranya nona lihay itu adalah nona yang disebut sebagai

nona Su oleh Ih Bun Jui tadi. Sekilas teringatlah segera Khik

Sia pada Su Yak Bwe. Dan karena pikirannya beihayal itu

hampir saja mukanya kena terpapas rata oleh golok sinona.

Ilmu golok Hui-hoan-to-hwat sinona yang terdiri dari enam

puluh empat jurus itu, penuh dengan perobahan yang hebat.

Gerakannya amat cepat sekali. Tapi meski sudah melancarkan

sampai delapan belas kali serangan tetapi ia tak dapat melukai

Khik Sia. Diam-diam nona itu terperanjat juga.

“Jika kau tetap membandel, aku terpaksa ambil tindakan

keras!” seru Khik Sia.

Sret, sret, sret, tiga kali bolang-balingkan pedang untuk

mendesak mundur nona itu. Ia menyerang dengan gencar,

“Lepaskan golokmu!” tiba-tiba ia membentak. Ia yakin

lawan tentu sudah tidak dapat bertahan lagi. Siapa tahu nona

itu malah maju selangkah. Sebenarnya Khik Sia memang tidak

bermaksud mengambil jiwa sinona. Permainan pedang Khik

Sia telah mencapai tingkat sedemikian rupa hingga dapat

dilancarkan dan di hentikan menurut sekehendak hatinya. Tadi

ia miringkan ujung pedangnya untuk menutuk siku sinona

supaya lepaskan goloknya. Tapi tak nyana, nona itu hanya

tertawa mengejek seraya berseru: “Jangan kesusu Bung,…..”

Sepasang goloknya dilingkarkan dan dengan tenaga Iwekang

lunak, ia menarik pedang Khik Sia ke-samping.

Kiranya walaupuun tenaga nona itu kalah dengan Khik Sia,

tapi ilmu kepandaiannya tak dibawah Khik Sia. Disamping itu

matanya amat jeli sekali dan pikirannya tajam pula. Begitu

melihat gerakan Khik Sia. ia segera mengetahui kalau anak

muda itu tak akan mengambil jiwanya. Itulah sebabnya maka

ia sengaja maju selangkah untuk menggeser pedang Khik Sia

kesamping. Dengan begitu tenaga Khik Sia berkurang

separoh. Begitulah nona itu telah berhasil kembangkan ilmu

golok dengan lwekang lunak untuk menundukan kekerasan

lawan. Sudah tentu dalam hal itu, cara si nona mengambil

‘timing’ (waktu) yang tepat adalah faktor yang menentukan.

Diam-diam Khik Sia merasa kagum juga.

Kalau disini ia masih belum merebut kemenangan, adalah

dipartai sana Hong-kay Wi Wat suiah mulai menang angin.

Dengan ngacirnya Ceng Ceng Ji karena ketakutan digertak

Khik Sia, lawan Wi Wat hanya tinggal dua: Pok Yang Kan dan

Liu Bun Siong. Sekalipun Wi Wat tadi kena tertutuk, tapi

lwekang Pok Yang Kau pun menderita besar, maka meskipun

ditambah dengan seorang Liu Bun Siong, tetap Wi Wat dapat

mengatasinya.

Sesaat Liu Bun Siong tusukan pedangnya ke muka Wi Wat,

tiba2 yang tersebut belakangan ini menggembor keras

sehingga saking kagetnya Bun Siong sampai tergetar dan

tusukannyapun menemui tempat kosong. Dan secepat kilat Wi

Wat segera merebut pedang lawan seraya menendang

musuhnva yang satu (Pok Yang Kau) sampai terjungkir balik.

Wi Wat seorang pembenci kejahatan. Benar Pok Yang Kau

dan Liu Bun Siong itu benggolan penjahat, tapi keduanya

mempunyai ciri-ciri kejahatan yaug berlainan. Kalau Pok Yang

Kau hanya malang melintang mengandalkan kekuatannya,

adalah Liu Bun Siong itu termasyur sebagai tukang petik

bunga alias pengrusak kaum wanita. Diantara kedua orang

itm. Wi Wat benci kepada Bun Siong. Pedang yang

dirampasnya tadi segera ditimpukkan kepada orang she Liu

itu. Sebenarnya ilmu gin-kang Liu Bun-siang cukup lihay dan

lagi saat itu ia sudah menyingkir sampai belasan tindak.

Namun tak urung ia tetap termakan pedang timpukan Wi Wat

juga. Ujung pedang dari punggung menembus sampai kedada.

Pok Yang-kau cerdik sekali. Pada saat Wi Wat tengah

mengincar jiwa Bun siong ia gunakan kesempatan itu untuk

loncat bangun terus menyusup dalam rombongan para

pengemis.

Ciok Ceng-yangpun juga sudah dapat merobohkan Han

Ciat. Sedang saat itu tongkat kekuasaan jatuh diatas kaki altar

batu. Di situ Ma tianglo dan Ji tianglo tengah berebutan

mengambilnya. Melihat itu Uh bun Jui hendak loncat

membantu Ma tianglo. Tapi Ceng-yang datang, Ma tianglo dan

Uh-bun Jui tidak menyerangnya. Mereka putar tubuh terus

ngacir. Ceng yangpun segera mengambil tongkat kekuasaan

dari partai Kay-pang tersebut. Bintang penolong yang

diharapkan Uh-bun Jui. sinona pemimpin gadis berbaju merah,

ternyata saat itu tampak kelabakan menghadapi serangan

Khik Sia.

Dengan geramnya Uh-bun Jui berseru sengit: “Urusan

besar telah dirusakkan bangsat kecil itu. Nona Su, aku telah

menelantarkan maksudmu yang baik.”

Sahut nona itu dengan hati besar: “Selama gunung masih

menghijau, masa takut tak mendapat kayu bakar. Kalah

menang bukan soal. Kekalahan sementara waktu tak jadi

apalah.”

Ia lancarkan sebuah seranaan kosong, kemudian mundur

dari gelanggang. Tapi rupanya ia masih belum puas karena

tiba2 ia menoleh dan berseru kepada Khik Sia: “Hai siapa kau?

Harap beritahukan namamu!”

Tiba2 dsri bawah alur batu, ada seorang menyahut:

“Bangsat kecil itu adalah Toan Khik Sia!”

Kiranya orang yang membuka rahasia Khik Sia itu, bukan

lain adalah Ping-tat, jago yang patah tulang lengannya karena

dipelintir Khik Sia tadi. Sebenarnya ia tak kenal dengan Khik

Sia. Tapi ia kenal lama dengan Ceng ceng Ji. Tentang ilmu

kepandaian Ceng ceng Ji, ia cukup paham. tadi ia perhatiksn

bahwa gerakan Khik Sia itu, serupa benar dengan Ceng-ceng

Ji. Ia tahu bahwa sahabatnya itu mempunyai seorang suheng

dan seorang sute “Pengemis” muda yang memelintir

tangannya tadi jauh lebih muda dari Ceng Ceng Ji. Sudah

tentu bukan suheng dari Ceng Ceng Ji, melainkan sutenya.

Ping-tat merasa tak dapat membalas sendiri, maka ia

hendak gunakan siasat pinjam pisau membunuh orang. Ia

harap setelah mengetahui siapa Toan Khik Sia, nona itu akan

mencari balas.

Meskipun ilmu silat nona itu tak memadai Khik Sia, tapi ia

menpunyai “backing” (andalan) kuat serta mempunyai anak

buah banyak. Jadi kemungkinan besar tentu dapat membalas.

Dan benar juga dikemudian hari Khik Sia akan mendapat

beberapa kesulitan dari nona itu tapi karena belum sampai

waktunya, baiklah kita petangguhkan dulu.

Demi mendengar nama Khik Sia, nona itu tercengang. Pada

lain saat ia tertawa: “Oh, kiranya Toan siauhiap, sungguh tak

bernama kosong. Walaupun aku kalah, tapi puaslah.”

Dengan putar sepasang golokrya, ia lindungi Un-bun jui.

Dengan diikuti oleh barisan wanita merah dan anka buah Uhbun-

jui, mereka menerobos pergi, Ciok Ceng-yang tak mau

menimbulkan pertumpahan darah besar, Buru2 ia acungkan

tongkat untuk mencegah anggauta2 Kay pang yang hendak

mengejar mereka.

Khik Sia menghapus arang dimukanya dan menjumpai

Hong-kay Wi Wat.

Jago tua dari Kay pang itu tertawa girang : “Sungguh tak

kecewa menjadi putera Toan tay-hiap. Ayahmu tentu akan

bersenyum gembira di alam baka.”

Ciok Ceng-yang dan Ji tianglopun menghampiri untuk

menghaturkan terima kasih kepada Khik Sia,

“Sayang Uh-bun Jui dan Ma tianglo dapat lolos. Kukira

kerisauan Ciu pangcu tua tentu ada sangkut pautnya dengan

mereka berdua. Entah siasat apa yang mereka gunakan?” kata

Ji tianglo.

Kata Wi Wat : “Mereka tentu pergi ke Tiang-an untuk

mengacau Eng-hiong tay hwe yang diselenggarakan Cin Siang

Sebenarnya aku tak berhasrat hadir, tapi berhubung ada

urusan ini, terpaksa aku harus kesana.”

Ciok Ceng-yang segera menuturkan hasil penyelidikannya

ke Tiang an. Kiranya Tho Kam lok menganiaya Wie hiangcu itu

terjadi pada tengah maiam, Tempatnya diatur di paseban

dalam dari hun-thio (anak cabang ) Kay-pang di Tiang-an,

Rencana itu telah diatur Thio Kam-lok sedemikian rupa,

Sisanya ia cari2 alasan merobek surat untuk Wi hiancu. ia

percaya rencananya itu pasti takkan ketahuan orang, tapi tak

nyana seorang anak buah Kay Pang telah tak sengaja

mempergokinya. Pengemis itu menjadi pencuri dan dikejar

alat negara. Ia tahu dirinya tak dapat berdiam di Tiang-an

lagi. Maka malam2 ia pergi ketempat Wi hiangcu. Maksudnya

hendak minta perlindungan dari hiangcu itu. ia hendak

serahkan barang curiannya itu kepada Wi hiangcu dengan

permintaan supaya dikembalikan kepada pemiliknya, Secara

kebetulan sekali, ia mengetahui rencana kecil dari Thio Kam

lok.

Pengemis pencuri itu sembunyi didalam tumpukan genteng

dibawah jendela. Mengetahui apa yang terjadi didalam

ruangan, kejutnya bukan kepalang, Ia tak berani keluar dari

tempat persembunyiannya, pun setelah peristiwa itu ia tetap

tak berani bicara pada lain orang. Baru setelah Ciok Ceng

yang datang membuat penyelidikan, karena yakin Ceng-Yang

pasti dapat melindungi dirinya, pengemis itu berani membuka

rahasia.

“tampaknya penganiayaan terhadap Wi hiangcu dan

suhengku itu adalah dua buah perkara. Tapi besar

kemungkinannya mempunyai hubungan satu sama lain.” kata

Ceng yang.

“Betul. Wi hiangcu itu adalah pengikut dari Ciu Pangcu.

Pengkhianat2 itu menganggap jika tak lenyapkan Wi hiangcu

tentulah sukar buat Uh Bun Jui merangkai cerita

sandiwaranya.” kata Ji tianglo.

“Apakah kau meragukan kalau Ciu pangcu tak datang ke

Tiang An?” Tanya Lok San Lwean tong cu.

“Kupikir makin mencurigakan. Hm, siapa tahu jangan2

suheng masih hidup dunia.” tiba-tiba Ceng Yang berseru.

Katanya lebih lanjut.

“Pada hakekatnya Cin siang belum berjumpa dengan

suheng. Menilik kedudukan dan pribadinyam aku percaya ia

tidak berdusta. Waktu ku mau menyeldiki di Tiang an, anak

buah Kay Pang di Tiang An juga tak pernah bertemu dengan

Ciu Pangcu!”

Ji tianglo menyeletuk “Yaa, memang aku sudah

menyangsikan. Dengan lancar sekali Uh Bun Jui menuturkan

tentang peristiwa dicelakainya Ciu Pangcu, tapi tak ada saksi

sama sekali. Paling ia mengatakan Thio Kam Lok yang

menyaksikan. Tapi kini setelah nyata Thio Kam Loklah yang

membunuh Wi hiangcu, cerita Uh Bun Jui tidak dapat

dipercaya lagi. Turut pendapatku, sembilan puluh persen

tentulah Uh Bun jui bersekongkol dengan Thio Kam Lok.

Dengan membunuh Wi hiangcu, tak ada orang lagi yang

menyangsikan keterangan Uh Bun Jui. tetapi setiap

kebohongan itu tentu bakal ketahuan.”

Ciok Ceng Yang melanjutkan kata2nya lagi

“Jika peristiwa terbunuhnya suheng hanya karangan saja,

menilik bahwa suheng belum datang ke Tiang An, maka

sekalipun Uh Bun Jui begitu bernafsu hendak merebut

kedudukan pangcu, tapi belum tentu ia berani membunuh

suhunya.”

Ji tianglo mengangguk, ujarnya: “Mudah2an begitulah.

Ditinjau dari peristiwa hari ini, rasanya Uh Bun Jui tentu

mempunyai backing (penunjang) yang kuat. Jika tidak,

masakan dia berani berbuat begitu.”

“Siapakah nona yang membawa barisan wanita tadi?

Tampaknya baik sekali hubungannya dengan Uh Bun Jui.

apakah kalian tahu?” tanya Ceng Yang.

Para tiang lo dan Hiang cu saling berpandangan tapi tak

seorangpun dari mereka yang mengetahui.

“Budak busuk itu benar, biar kuselidiki asal usulnya, tapi

sekarang ini baik kita jangan hiraukan ia dulu, masih ada lain

urusan yang lebih penting.” kata Wi Wat.

Ji tianglo menyetujui “Ya, benar… sekarang kedudukan

pangcu jangan diberikan kepada Uh Bun jui, Wi susiok,

pengangkatan pangcu baru tak boleh di tunda2 lebih lama,

Harap kau orang tua yang memutuskan.

“Ceng yang kau adalah orang satu2nya yang diharapakan

seluruh angggauta Kay Pang. Kau sajalah yang menjabat

pangcu. jangan menolak lagi.” kata Wi Wat.

“Hidup matinya Ciu suheng masih belum ketahuan,

masakan aku lantas menduduki jabatan itu?” bantah Ceng

yang.

Jawab Wi Wat dengan tandas: “Negeri tak boleh satu

haripun tak ada kepalanya, begitu pula dalam partai kita tak

boleh sehari tak punya pemimpin. Banyak nian pekerjaan yang

harus kita selesaikan, untuk itu kita harus punya pemimpin.

Jika keadaan suhengmu belum jelas, dan kau sungkan

menjadi pangcu. biarlah untuk sementara kau menjabat

sebagai wakil pangcu saja.”

Wi Wat bergelar Hong-kay atau Pengemis Gila, tapi apa

yang ia ucapkan tadi benar2 jitu sekali, Ciok Ceng yang tak

dapat menolak lagi. Begitulah Wi Wat dengan segera

mengadakan persidangan anggauta dan mengumumkan

tentang hal itu. Oleh karena golongan yang anti Ceng-yang

saat itu sudah ikut pada Uh-bun Jui, maka pengangkatan itu

telah disambut dengan persetujuan aklamasi atau suara bulat.

Setelah urusan partai selesai, berkatalah Wi Wat kepada

Khik Sia: “Toan siauhiap, pengemis tua masih hendak minta

bantuanmu untuk sebuah urusan.”

Khik Sia tersipu-sipu mengiakan dan minta pengemis tua itu

mengatakan.

“Sungguh memalukan sekali bahwa dalam partaiku telah

muncul seorang pengkhianat semacam Uh bun Jui itu. Dia

bersekongkol dengan kawanan durjana hendak mengacaukan

rapat dari Cin Siang. Apa maksud yang mereka rencanakan

itu, sekarang masih belum jelas. Tapi bagaimanapun, rencana

mereka itu bukan bermaksud baik, kita harus menjaganya.

Sekarang aku si pengemis tua ini masih belum dapat

berangkat. Kau mempunyai ilmu ginkang yang tinggi, apakah

suka mewakili aku berangkat ke Tiang an lebih dulu untuk

memberitahukan Cin Siang?”

Khik Sia berpikir sejenak, berkata: “Aku sanggup

mengerjakan perintah lo-cianpwe itu, tapi akupun mempunyai

sebuah hal yang akan mohon bantuan locianpwe juga.”

“Katakanlah,” kata Wi Wat.

“Tentulah locianpwe sudah mengetahui tentang peristiwa

tentara negeri menggempur gunung Kim-ke-nia, Toakoku

Thiat Mo Lek dan Bo Se-kiat membawa anak buahnya menuju

ke Ho-se. Di sana mereka tengah menyusun kekuatan lagi.

Aku mendapat perintah dari Thiat toako untuk mencari

seseorang. Orang itu telah kuketemukan, tapi ia menolak

kuajak pulang. Terpaksa sekarang aku hendak pulang melapor

pada Thiat toako!”

Oleh karena Wi Wat tak tahu bahwa orang yang dicari Khik

Sia itu ternyata seorang nona yang bakal menjadi isterinya,

maka bertanyalah pengemis tua itu. “Siapakah orang itu?

Apakah penting sekali?”

“Dia bukan orang persilatan, melainkan seorang……

seorang sahabatku yang baik,” sahut Khik Sia dengan

terputus-putus.

“Oh, tahulah aku. Kalau sekarang sedang giat

mengumpulkan orang gagah. Tentulah hendak minta orang itu

masuk kedalam perserikatan kalian,” seru Wi Wat.

Pengemis Gila itu tak mau minta penjelasan apakah

sahabat Khik Sia itu pria atau wanita. Dengan sembarangan

saja, Ia menduga duga semaunya.

Khik Sia berduka, ia tertawa getir: “Bagaimana pendirian

orang itu, telah kuketahui jelas. Tak nanti ia mau bergabung

pada kita. Tapi tak apalah….”

Hong-kay Wi Wat itu sudah tua, tapi suka ceriwis. Cepat ia

memberi komentar: “Betul, toakomu Thiat Mo Lek itu luas

sekali pergaulannya. Jika ia mau bergerak, tentulah dengan

mudah akan mendapat sambutan baik dari orang gagah

diempat penjuru. Kurang satu orang itu, tak jadi apa.”

“Benar, locianpwe. Tetapi jika aku tak lekas-lekas pulang

tentulah Thiat toako amat mengharap-harap. Oleh karena itu,

hendak ku mohon kepada locianpwe agar menyuruh seorang

anak murid Kay-pang memberitahukan kepada Thiat toako

bahwa aku sedang pergi ke Tiang An. Selain itu, meskipun Kim

ke-nia diserang oleh tentara Gi-lun-kun, tapi hubungan pribadi

toako dengan Cin Siang itu tetap baik. Dalam hal ini harap

Thiat toako mengetahuinya.”

Wi Wat tertawa. “Thiat Mo Lek memimpin kaum enghiong.

Pun Bo Se-kiat itu seorang lok lim bengcu yang baru. Tidak

usah kau katakan, akupun sebenarnya hendak melaporkan hal

itu kepada mereka. Nah, baiklah kita sama-sama membagi

laporan. Karena waktunya rapat di Tiang-an itu mendesak,

maka baiklah kau lekas-lekas berangkat.”

Begitulah setelah saling menetapkan rencana pembagian

tugas, Khik Sia segera berangkat ke Tiang-an. Dengan

gunakan Ginkang, pada hari pertama Khik Sia dapat

menempuh jarak 300-an li lebih. Hari kedua ia sudah tiba di

Gui-ciu (sekarang propinsi Hopak). Tiba-tiba ia berpapasan

dengan suatu rombongan rakyat yang terdiri dari laki

perempuan, tua muda dan besar kecil. Dari wajah dan

dandanan serta keadaan mereka, teranglah mereka itu tengah

mengungsi.

Waktu Khik Sia menanyakan, pak tua yang menjadi

pemimpin rombongan itu menyahut dengan heran: “Engkoh

kecil, apakah kau tak tahu bahwa Su Tiau-gi telah menderita

kekalahan. Pasukannya yang kalah itu kini mundur ke Pokyap.

Dimana tempat yang dilalui, mereka merampok rakyat.

Mengapa kau hendak kesana? Kau masih begini muda. baik

ketemu tentara negeri maupun tentara perampok, kau tentu

dipaksa turut mereka.”

Yang dikatakan ‘Su Tiau-gi’ oleh pak tua itu, adalah putera

dari Su Su-bing, itu jenderal dari An Lok-san. Setelah An Loksan

dibunuh oleh anaknya sendiri, An Ging-hi, maka anak

buah An Lok-san menjadi terpecah belah. Panglima Kwe Cu-gi

dari kerajaan Tong-tiau dengan mudah dapat membasmi

mereka. Untuk sementara waktu, Su Su-bing menakluk pada

kerajaan Tong. Tapi tak lama kemudian ia dapat menyusun

kekuatan lagi, dan berontak. Setelah berhasil mengalahkan

tentara gabungan dari 9 Ciat-to-su (panglima perbatasan), ia

mulai menyerang Lok-yang.

Su Su-bing dapat membunuh An Ging-hi dan lalu

mengangkat diri menjadi kaisar Tay Yan hongte. Tapi tak lama

kemudian, ia dibunuh oleh puteranya sendiri yakni Su Tiau-gi.

Kerajaan Tong-tiau memerintahkan Li Kong-pik mengganti

kedudukan Kwe Cu-gi untuk memukul Su Tiau-gi. Akhirnya

pada permulaan tahun kerajaan Po-ging atau tahun 762

Masehi, Li Kong-pik berhasil masuk ke Lok-yang dan mengejar

tentara Su Tiau-gi, Su Tiau-gi membawa sisa anak buahnya

menuju kedaerah Pok-yap dengan maksud hendak

menggabung pada suku He. Rombongan rakyat di pimpin oleh

pak tua itu, adalah rakyat didaerah yang mengungsi karena

takut dirampok tentara Su Tiau-gi.

Khik Sia sendiri adalah seorang anak yang menjadi

sebatang kara karena akibat peperangan. Teringat akan

kematian sang ayah dimedan pertempuran dan ibunya yang

akibat melarikan diri lalu menderita luka dan akhirnya juga

meninggal, diam diam Khik Sia menjadi ngeri, Ngeri karena

peperangan atau huru hara itu sampai sekarang masih belum

padam.

“Engkoh kecil, kembalilah saja. Disebelah depan sana

sudah kosong semua,” kata pak tua itu pula.

Khik Sia menghaturkan terima kasih: “Terima kasih lotio.

Tapi aku mempunyai urusan penting, terpaksa aku harus

kesana. Terserahlah pada nasib.”

Karena Khik Sia tak mau mendengar nasehatnya, pak tua

itu hanya menghela napas panjang. Dan Khik Sia lalu

meneruskan perjalanan pula. Belum berapa jauh, disebelah

depan sana tampak debu mengepul tinggi. Benar juga ia

berpapasan dengan sepasukan tentara pecundang. Didalam

pasukan itu terdapat belasan buah kereta. Mereka membawa

panji-panji tapi keadaan pasukan itu tak mirip dengan susunan

tentara lagi. Ketika Khik Sia sedang pertimbangkan baik

tidaknya ia menghindar dari pasukan perampok itu, tiba-tika

terdengar ada suara orang menggembor keras. Seorang tua

yang bertubuh tinggi besar menyerbu ketengah pasukan itu

dan membentak keras: “Siapa yang sayang jiwanya, harus

lekas-lekas pergi! Tinggalkan kereta pesakitan.”

Khik Sia tersentak kaget. Pikirnya: “Siapakah orang tua itu?

Mengapa seorang diri ia berani kawanan serigala? Dari suara

bentakannya itu, terang ia memiliki lwekang tinggi, tidak

dibawah Hong-kay Wi Wat. Tapi sayang ia sudah terluka

dalam.”

Orang tua gagah itu bersenjatakan sebatang tongkat besi.

Trang, ia hantam golok seorang opsir sampai mencelat

keudara. Dan ketika tongkat besinya melayang turun, seorang

opsir lain yang tak keburu menangkis dengan senjatanya longya-

pang, telah terhantam remuk. Melihat opsirnya mati,

kawanan tentara perampok itu lari kalang kabut.

Dari rombongan pasukan itu tampil dua orang, tapi mereka

tak berpakaian opsir. Serempak keduanya berseru: “Hai, Hong

hu Ko jiwamu sudah berada diujung rambut, mengapa masih

berani merampas kereta pesakitan? Baiklah kau ingin lekas2

menghadap raja Akhirat biarlah kami bantu.”

Orang tua yang dipanggil Hong Hu Ko itu tak menyahut

dengan mulut melainkan dengan pukulan toigkat besinya.

Kedua orang tadi ternyata bukan jago lemah, tapi toh mereka

hanya kuat bertahan sampai 10-an jurus saja, sudah lantas

kalah. Orang tua she Hong-hu itupun tak dapat mengejar

mereka. Setelah anak buah pasukan itu bubar, ia lantas

berusaha membuka kereta pesakitan. Kereta pesakitan itu

merupakan sebuah kerangkeng yang ditutup besi rapat-rapat.

Sebenarnya harus mencari kuncinya dulu, tapi rupanya orang

tua itu tak sabar lagi. Bruk, ia hantamkan tongkat besinya

kekerangkeng besi sehingga tutup kerangkeng itu berlubang,

jago tua itu menjenguk kedalamnya, tapi segera ia berseru:

“Bukan!”

Ia lantas berganti sasaran kerangkeng yang kedua.

Melihat kekuatan orang tua itu, diam-diam Khik Sia terkejut

sekali. Tiba tiba ia teringat: “Astaga! Kiranya tokoh yang

kedudukannya sejajar dengan Hong-kay Wi Wat, ialah Se-gaksin-

liong (Naga Sakti gunung berat) Hong-hu Ko locianpwe.

Makanya walaupun terluka dalam, tapi masih begitu sakti.

Tapi siapakah yang dapat melukai tokoh semacam orang tua

itu? Dan mengapa ia hendak merampas kereta pesakitan?”

Khik Sia belum pernah berjumpa dengan Hong-hu Ko, tapi

sudah mendengar kemasyhuran namanya. Kiranya Hong Hu

Ko itu selain bersababat baik dsngan mendiang ayah Khik Sia

juga pernah menerima budi dari bibi Khik Sia yaog bernama

He Leng Siang itu (He Leng-siang adalah isteri dari Lam Ci

hun. Sejak umur sepuluh tahun Khik Sia lantas ikut pada

bibinya itu.).

Khik Sia menimang dalam hati: “Meskipun locianpwe itu

mampu menandingi kawanan tentara perampok, tapi setelah

kutahui kalau dia masakan aku tinggal diam tak mau memberi

bantuan?”

Pada saat itu Hong hu-ko sudah menghantam terbuka

tujuh buah kereta pesakitan, tapi tetap belum mendapatkan

orang yang dicarinya.

Tiba2 terdengar derap kaki kuda mendatang dengan

gemuruh sekali. Penunggang kuda yang paling depan sendri,

seorang tua berwajah jelek kejam, tubuhnya kekar dan

matanya hanya tinggal satu. Astaga. Khik Sia tersirap kaget

Chit-poh tui-hun Yo Bok Lo!

Iblis itu tertawa nyaring: “Hai, Hong-hu Ko nyawamu

sendiri sudah di ujung rambut, masih mau menolong orang?

Mari biar kuantar ke akherat!”

Wut, iblis itu loncat dari kudanya. Dengan gerak can-liong

chiu atau gerak menabas nabas naga, ia berjumpalitan

diudara terus menghantam lawan, Hong-hu Ko

menyambutnya dengan jurus khi-hwe-liau-thian atau

mengangkat api membakar langit. Tongkat diarahkan kedada

Yo Bok Lo. Brak, pukulan iblis she Yo tadi telah berhasil

mementalkan tongkat Hong-hu Ko kesamping.

Sebenarnya ilmu kepandaian Hong-hu Ko tak kalah dengan

Yo Bok Lo. Tapi karena sebelumnya ia sudah terluka dalam

lebih dulu, kemudian mengamuk menghantami kerangkeng

besi, tenaganya berkurang banyak sekali. Maka dalam adu

kekuatan yang pertama itu, Yo Bok Lo lah yang menang

angin.

Iblis she Yo itu, tak mau memberi hati. Baru kakinya turun

kebumi ia sudah enjot lagi menerjang Hong-hu Ko membabat

kearah kaki, tapi sebagai iblis yang bergelar Chit-poh-tui-hun

(tujuh langkah mengejar nyawa), Yo Bok Lo itu lihay sekali

kakinya. Tendangannya tadi ternyata hanya pancingan, begitu

Hong-hu Ko menghantam, dengin berdiri sebelah kaki ia putar

tubuh kesamping Hong-hu Ko.

Disitu secepat kilat ia menyambar tongkat orang. Dengan

meminjam tenaga Hong-hu Ko dan tenaganya sendiri, begitu

ia mencengkeram tongkat, terus membentak: “Lepaskan”

Hoig-hu Ko kena diselomoti, terang ia tentu tak dapat

mempertahankan tongkatnya lagi. Tapi sekonyong-konyong

terdengar suara orang membentak: “Lepaskan!” Sesosok

tubuh melayang datang terus menusuk jalan darah li-yan niat

dipunggung telapak tangan Yo Bok Lo.

Itulah Toan Khik Sia. Ia datang tepat pada waktunya, Yo

Bok Lo segera mengenali musuh besarnya itu. Sebuah

matanya yang buta karena tusukan anak muda itu. Walaupun

bencinya kepada anak muda itu menyusup sampai ketulang,

namun kedatangan Khik Sia secara begitu mendadak itu,

membuatnya ia tergetar juga. Tinggalkan tongkat, ia berganti

sasaran untuk menangkis tusukan Khik Sia, ilmu kim-na-chiu

atau merebut senjata dengan tangan kosong dari iblis itu,

sudah mencapai tingkat tinggi. Tetapi karena anak muda itu

lihay ilmu ginkangnya, tambahan pula menggunakan pedang

pusaka, maka Yo Bok Lo tak berdaya untuk merapatnya.

Malah dalam serangan tiga kali berturut-turut, iblis itu dipaksa

mundur tiga langkah.

Hong-hu Ko tak kenal pada Khik Sia. Melihat anak muda itu

dapat melayani seorang jago kolotan seperti Yo Bok Lo, ia

merasa heran juga. Ia berniat memberi bantuan kepada

sianak muda itu. tapi ia dapatkan tenaganya habis. Pikirannya

cepat bekerja dan akhirnya ia ambil putusan, lebih baik

menolong orang yang dicarinya itu dulu.

Dengan kertak gigi, ia gunakan sisa tenaganya umuk

menghantam kereta pesakitan, Namun sudah dua buah kereta

yang dirusakannya, tetap orang yang hendak ditolongnya itu

tak kelihatan.

Pada saat itu, anak buah Yo Bok-lo yang mengikut

dibelakangnya tadi pun sudah tiba. Dua orang opsir

penunggang kuda loncat turun. Yang seorang mencekal

ruyung cat-mo-piau yang seorang mencekal sam Ciat-kun atau

tongkat tiga ruas. Cepat mereka menyerang Khik Sia, tapi

dengan sigapnya Khik Sia menghindari cambukan pian untuk

kemudian membabat sam-ciat kun.

“Hati2!!” saking terkejutnya Hong-bu Ko berteriak

memperingatkan Khik Sia.

Tapi pedang Khik Sia itu bukan sembarang pedang, trang,

terdengar bunyi menderng dan tahu2 tongkat sam ciat-kun

sudah kutung sebuah ruasnya. tiba2 tampak sebuah sinar

putih berkelebat. Ternyata bagian tengah dari sam-ciat kun itu

berlubang dan didalam lubang itu dipasangi senjata rahasia hu

kut-Ting atau paku pembunuh tulang yang amat baracun

sekali.

Paku beracun secara mendadak keluarnya dan tidak diduga

sama sekali oleh Khik Sia. Jaraknyapun amat dekat sekali.

syukur tadi Hong hu Ko sudah meneriakinya lebih dulu, Dalam

saat2 yang berbahaya itu, Khik Sia unjukkan kepandaian gin

kangnya yang istimewa. Ia buang tubuhnya mendatar seraya

tubuhnya menyampok paku itu. Yang sebuah kena ditampar

jatuh, yang kedua buah menyambar dibawah kakinya.

Sedikitpun ia tidak terluka.

Tapi disebelahnya masih ada Yo Bok-lo laksana harimau

buas yang siap menerkam sang korban, pada saat Khik Sia

tengah menghindar dari serangan paku tadi. iblis itu segera

lontarkan sebuah hantaman dahsyat. tubuh Khik sia masih

terapung diudara, jadi sadar untuk menghindar.

Hong-hu Ko berseru keras. Cepat ia timpukan tongkat

besinya, kemudian menyusul menghantam, Opsir yang

bersenjata rayung cat-mo-pian berusaha menyerbu tapi kena

timpukkan tongkat Hong hu Ko. seketika kepala pecah,

otaknya berhamburan keluar dan jiwanya melayang.

Hong hu Ko gunakan sisa tenaganya untuk adu pukulan

dengan pukulan hiat-gong-ciang dari Yo Bok Lo. Begitu kuat

Hong-hu Ko menghantam, sampai mulutnya mendengus

keras, Plak, Yo Bok Lo tersurut mundur sampai beberapa

tindak. Tetapi anehnya, Hong-hu Ko tampaknya masih tegak

berdiri tidak apa2.

Sesaat Khik Sia turun ketanah, begitu ia memandang

kearah Hong-hu Ko, kejutnya bukan kepalang. Ternyata jago

tua itu wajahnya pucat seperti kertas. Sepasang matanya

merah, Khik Sia tak mau merangsang Yo Bok Lo lagi,

melainkan perlu menolong Hong-hu Ko dulu.

Huak….. mulut Hong-hu Ko menguak muntah darah.

Ternyata jago tua itu sudah kerahkan seluruh tenaganya

untuk menghantam. Benar Yo Bok Lo kena dihantam mundur,

tetapi jago tua yang sudah terluka dalam itu, kini makin

bertambah parah lukanya, ia kehabisan tenaga betul-betul.

Melihat kesempatan itu, opsir yang bersenjata Sam-ciat-kun

tadi cepat timpukkan dua buah paku hu-kui-ting lagi kearah

Hong-hu Ko, Tapi kali ini Khik Sia sudah siap siaga, tak nanti

ia kena dibokong. Cepat ia melejit kemuka untuk melindungi

Hong-hu Ko, kemudian putar pedangnya untuk menyampok

jatuh hu-kut-ting.

Pada saat itu Yo Bok Lo sudah dapat memperbaiki posisinya

dan mulai menyerang lagi, Khik Sia cepat memanggul Honghu

Ko sembari maju menghampiri Yo Bok Lo.

Yo Bok Lo heran dibuatnya, pikirnya: “Anak itu sungguh

gila, mengapa ia senekad itu?”

Memang dengan memanggul Hong-hu Ko, tentu berbahaya

sekali bagi Khik Sia untuk bertempur dengan Yo Bok Lo.

Salah2 keduanya Khik Sia dan Hong-hu Ko akan binasa

semua. Memang Yo Bok Lo sendiri juga tak terluput dari luka

berat.

Tapi ternyata iblis she Yo itu malah menjadi gentar dengan

kenekatan sianak muda itu. Sebenarnya ia pasti menang, tapi

sebaliknya malah jeri untuk adu kekuatan. Ia miringkan tubuh

dan dengan gerak chit-poh-tui-hun. ia menyelinap kesamping

Khik Sia. Disitu ia memberi Hong-hu Ko sebuah hantaman.

Sekonyong-konyong Khik Sia berganti arah. Tubuh,

meluncur seperti anak panah terlepas diri busurnya

“Rebahlah!” mulutnya kedengaran membentak. Kiranya

Khik Sia telah gunakan siasat suara di timur tapi yang diserang

arah barat. Dengan mengandaikan ilmu gin-kangnya yang

jempol. Ia menyergap ketempat siopsir dan tahu2 pinggang

opsir itu sudah berbisa sebuah tusukan pedang yang cukup

membuat nyawanya melayang. Dengan berhasil membunuh

opsir itu berarti Khik Sia mendapat keringanan.

Gusar Yo Bok-lo bukan oleh2, Tapi demi milihat walaupun

dengan memanggul orang, tubuh anak muda itu masih dapat

lari secepat kuda. Diam diam Yo Bok-lo jadi kaget juga,

“Taruh kata dapat mengejarnya tapi belum tentu dapat

merobohkan bangsat kecil itu.” Akhirnya setelah menimang2

sejenak. Yo Bok-lo terpaksa tak mau mengejar.

Khik Sia membawa Hong hu Ko keatas gunung yang

disebelah muka. Disitu ia letakkan orang tua yang terluka

berat itu. Dilihat jago tua itu sudah tersengal2 napasnya,

wajahnya berwarna gelap, Khik Sia terkejut, buru2 ia

tempelkan telapak tangannya kepunggung Hong-hu Ko. Ia

salurkan lwekang untuk menolong orang she Hong-hu itu.

Lewat beberapa menit kemudian Hong-hu Ko dapat

membuka mata dan bertanya: “Siapa kau?”

“Wanpwe Toan Khik Sia.”

“Toin Kui-ciang itu apamu?” tanya Hong-hu Ko pula.

“Ayah Wanpwe ” sahut Khik Sia.

Mendengar itu Hong hu Ko tertawa gelak: “Sungguh jaman

itu selalu maju. Aku sipengemis tua dalam hari2 terakhir dapat

berjumpa dengan putera sahabat karibku, sungguh

berbahagia sekali!”

Nada orang tua itu makin lemah, katanya pula: “Hiantir,

aku sudah tak berguna lagi, harap kau jangan buang tenaga

sia2.”

Tapi mana Khik Sia mau menurut, ujarnya “Lo cianpwe.

tolong kau salurkan pernapasan, biar kubantu melancarkan

darahmu. Akupun membekal pil leng-tan yang mustajab!”

“Aku terkena sebatang paku hu-kut-ting dan termakan dua

buah pukulan iblis tua itu. Sekalipun ada pil siok-beng sian-tan

(pil dewa penyambung jiwa.), rasanya tak berguna. Jangan

membuang waktu, hiantit, maukah kau membantu sebuah

urusan untukku ?”

Meskipun tak mengerti ilmu pengobatan, tapi demi melihat

kaki tangan Hong-hu Ko makin kaku, Khik Sia akan percaya

keterangan jago tua itu. Adanya pengemis tua itu masih dapat

bicara, adalah karena mengandalkan kekuatan napasnya saja.

Terpaksa dengan menahan kepiluan hati, Khik Sia menyatakan

kesanggupannya untuk melakukan permintaan orang.

“Aku adalah paman guru dari Ciu pangcu partai Kay-pang.

Tahukah kau kepada Ciu Ko itu ?” tanya Hong-hu Ko.

Khik Sia menerangkan bahwa ia barusan menghadiri rapat

Kay-pang yang menghebohkan peristiwa terbunuhnya Ciu Ko.

“Tidak. Ciu Ko belum mati, Dia ditawan oleh anak buah Su

Tiau-gi,” menerangkan Hong hu Ko.

Khik Sia tersentak kaget. Heran ia dibuatnya.

“Su Tiau-gi itu adalah kaisar Wi Yan, ada hubungannya apa

dengan Ciu Ko.”

“Aku sendiripun tak mengerti entah apa sebabnya Su tiaugi

menawannya, Kemarin barulah aku mendapat berita bahwa

tertangkapnya Ciu Ko itu karena dijebak. Keterangan jelas

tentang hal itu, kurasa tak sempat lagi kututurkan cukup asal

kau suka menyampaikan berita ini kesuatu tempat, aku sudah

sangat berterima kasih padamu” kata Hong-hu Ko. sampai

disini, suara pengemis tua itu sudah makin lemah.

Buru2 Khik Sia tahan tangannya yang masih menempel

dipunggung Hong hu Ko itu dan menyalurkan lagi lwekangnya.

“Dengan sisa pasukannya Su Tiau gi hendak menggabung

pada Kahan, kepada suku He, Pesakitan2 pentingpun

dibawanya kesana juga. Oleh karena itu maka tadi aku telah

mencegat mereka untuk menolong Ciu Ko, Hal ini harus lekas

dilaksanakan. Jika mereka sudah keburu tiba didaerah Kahan,

sukarlah untuk membebaskan Ciu Ko. Kira2 lima puluhan li

dari sini, ada sebuah gunung. Diatas gunung itu terdapat

sebuah gua, didepannya tumbuh lima batang pohon siong tua.

Tempat itu jadi markas hunthio (cabang) Kay pang. Setelah

mendapatkan tempat itu. kau harus minta bertemu dengan

Hwe Tay-yap, tho cu Kay pang disitu, Sampaikan padanya

berita ini supaya ia lekas2 mengadakan pencegatan dan

merampas pesakitan sebelum pasukan Su Tiau-gi tiba di Pok

ong.”

“Aku telah mendapat janji bantuan dari tiga orang sahabat.

Paling lambat besok pagi, mereka tentu sudah datang, kau

minta Hwe thocu supaya kirim orang2nya menunggu kedua

sahabatku itu dipagoda yang terletak dikaki gunung itu. Kedua

sahabatku itu tak kenal pada Hwe thocu, maka bawalah

barangku ini….”

Hong-hu Ko meloloskan sebentuk cincin besi dari jarinya,

lalu diserahkan pada Khik Sia. ujarnya: “Berikan cincin ini pada

Hwe thocu. Suruh ia berikan pada orangnya yang disuruh

menyambut sahabatku itu untuk menjadi tanda pengenal.

Sudah jelaskan?!”

“Harap Locianpwe legakan hati, aku sudah dapat

mengingatnya deogan sungguh.” jawab Khik Sia.

Hong-hu Ko tertawa getir: “Delapan belas tahun yang lalu,

aku pernah memberikan sebuah cincin kepada ayahmu karena

hendak minta pertolongannya. Sungguh tak nyana. Delapan

belas tahun kemudian, aku harus menyerahkan sebuah cincin

lagi kepadamu, juga untuk minta bantuan. Dengan kalian ayah

dan anak, rupanya aku ternyata berjodoh!”

Suara tertawa reda, sepasarg kakinya berkelojotan dan

Hong-hu Ko menarik napas yang penghabisan……

Khik Sia amat berduka. Seorang pengemis luar biasa dari

dunia persilatan, seorang tokoh persilatan yang sakti, telah

meninggal secara menyedihkan disebuah gunung belantara.

Dengan pedang pusakanya, Khik sia menggali sebuah liang

dan mengubur Hong hu Ko. Kemudian ia meletakkan sebuah

batu besar selaku pertandaan.

Setelah menyiram kuburan itu dengan kucuran air mata.

Khik Sia dengan hati berat meninggalkan tempatitu.

Untuk jarak 5 li itu, Khik sia hanya menggunakan waktu

kurang dari satu jam.

Ternyata gunung itu tak berapa tinggi. Mendaki keatas dan

mencari dengan teliti, cepat ia sudah dapatkan kelima batang

pohon siong itu. Tapi heran ia tak melihat suatu guapun.

“Aneh, apakah aku keliru?” pikirnya. Tapi ia hendak

mencoba sebuah cara.

“Wanpwe Toan Khik sia mendapat perintah dari cianpwe

Kay pang Hong Hu Ko untuk minta bertemu dengan Hwe

Thocu.” Demikian dia berseru nyaring.

Tiba2 tanah yang dibawah pohon siong yang ditengah itu

mengungkap keatas dan pada lain kejap berubah menjadi

sebuah mulut gua. Malah menyusul ada seorang berseru

:”Apakah membawa bukti persaudaraan?”

Kiranya gua itu dibuat dari tanahm diatasnya ditutup

dengan tanah yang bertumbuh rumput. Jika tidak menyelidiki

dengan seksama, orang luar pasti sukar mengetahuinya.

“Ada sebuah cincin besi dari Hong hu Ko Locianpwe.” sahut

Khik sia.

“Lemparkan cincin kemari untuk kami periksa,” seru orang

itu,

Khik Sia menurut. Beberapa saat kemudian, orang berseru:

“Aku ini Hwe Tay-yap sendiri, silahkan masuklah.”

Menurut kepantasan, Hwe Tay-yap seharusnya yang keluar

untuk menyambut orang yang dimintai tolong oleh tetua Kaypang.

Sebaliknya malah Khik Sia yang disuruh masuk.

Meskipun Khik Sia seorang pemuda yang tak menghiraukan

segala macam peradatan tetek bengek namun tak urung

merasa kurang senang juga. Diam2 menganggap Hwe thocu

itu seorang yang angkuh. Namun karena berat melakukan

pesan Hong hu Ko, terpaksa ia mengalah juga.

Didalam gua itu amat gelap, Lebih2 Khik Sia baru datang

dari tempat terang. Samar2 ia hanya melihat beberapa sosok

bayangan orang kembali Khik Sia mengerutu: “Hm, mengapa

tahu ada tetamu, mereka tetap tak mau menyalakan lampu?”

Saat itu ia sudah berjalan masuk beberapa langkah. Tiba ia

hentikan langkahnya dan timbul pikirannya hendak bertanya,

tapi sekonyong2 ia mendengar bunyi senjata rahasia

mengaum diudara dan berbareng itu tersiar bau yang harum.

Untung Khik Sia selalu siap sedia. Cepat ia cabut pedangnya

dan bolang balingkan kian kemari untuk menjaga diri. Dua

buah thi-ci-jong, dua batang paku tho-kut-ting dan tiga bilah

belati, kena ditampar jatuh semua.

Dalam sinar yang terpencar dari kelebat pedangnya itu,

Khik Sih melihat ada tiga orang maju menyerangnya, Salah

seorang bukan lain adalah ji-suhengnya sendiri: Ceng ceng-ji.

“Setan ciik. kau telah memperdayai aku, sekarang aku juga

menyelomotimu. Lihat pedangku,” Ceng-ceng-ji tertawa dingin

seraya menyerang. Cepat sekali ia lancarkan serangan itu.

Dalam beberapa kejap saja ia sudah menyerang tujuh kali,

Khik Sia gunakan gerakan kaki i-poh hoan sing untuk

berloncatan menghindar, Serunya: “Ji Suheng, jangan salah

paham, Kau bermusuhan dengan Kay pang itu, bisa

menimbulkan bahaya. Maka meskipun aku telah menipumu,

tapi aku bermaksud baik. Mengapa kau salahkan aku ?”

Ceng ceng ji memaki: “Kurang ajar. kau seorang anak

kemarin sore berani menasehati aku? Dulu karena adanya

tiang pengandaian sunio mu itu. aku biarkan saja kepada

dirimu sendiri. Tapi kini setelah jatuh kedalam tanganku, kau

tentu kuhajar.”

Dalam melontarkan dampratannya itu, Ceng ceng ji tetap

lancarkan pedangnya dengan serangan-serangan yang

berbahaya.

Khik sia naik darah juga, pikirnya “Dia hendak membunuh

aku. Apakah aku masih mengingat tali persaudaraan lagi?”

“Karena Ji suheng tak mau memberi maaf, terpaksa siaute

melanggar adat.” serunya sambil kembangkan pedang dalma

jurus tiang-he-lok jit atau matahari terbenam disungai

panjang.

Trang, pedang Ceng-ceng ji yang terbuat dari emas murni

itu, kena dipentalkan kesamping. Pedang keduanya sama2

pedang pusaka, maka sama-sama tak gampil serabutpun juga.

Tapi sekalipun begitu, tangan Ceng ceng ji merasa kesakitan.

Dalam hal ginkang terang kalau Khik sia lebih unggul dari

beas ji-suhengnya itu. Pun dalam ilmu lwekang, setelah

mendapat gemblengan dari Bo Jonglong, ayah Bo Se-kiat yang

menjadi kepala pulau Hu-siang to, lebih atas juga dari Ceng

ceng ji. Pada saat itu khik sia tidak mau mengalah lagi.

Permainan yang digunakan ialah ilmu pedang Thian Liong

Kiam Hwat dari warisan keluarganya. Ilmu permainan Ttian

Liong Kiam Hwat itu mengutamakan kekeras-an. Ini sesuai

dengan ilmu lwekang yang dimiliki Khik Sia sekarang. Maka

kalau Ceng Ceng Ji menjadi tersirap kaget itulah sudah jamak.

Dari rasa mengiri timbullah piki ranbuas dari CengCeng Ji

untuk membunuh sutenya itu.

Tadi telah diterangkan bahwa dalam gua itu terdapat tiga

orang. Sewaktu Khik Sia menghalau mundur Ceng Ceng Ji,

tiba-tiba salah seorang dari mereka menghantam dari samping

dengan senjata tongkat. Orang, itu bukan lain adalah murid

pemberontak Kay Pang. yaitu Uh Bun Jui.

“Aku adalah pangcu dari Kay Pang, Ceng Ceng cianpwe

membantu partai kami, mengapa kau mengadu biru memutar

balik hitam putihnya. Urusan partai Kay Pang kami, tak perlu

kau campur tangan?” seru Uh Bun Jui.

Beradanya Uh Bun Jui disitu, telah membuat Khik Sia

menjadi terang persoalannya, Uh Bun Jui tentu menduga

bahwa Hong-hu Ko akan datang kemarkas gua situ, itulah

sebabnya maka Uh Bun Jui mendudukinya lebih dulu. Tetapi

mengapa ia berbuat begitu? Apakah benar-benar ia sudah

berbalik haluan, mengkhianati leluhur guru dan menggabung

pada pemberontak Su Tiau-gi?

Memikir sampai disini, berkobarlah amarah Khik Sia. Sudah

tentu Uh Bun Jui bukan tandingan Khik Sia. Hanya sekali

gebrak saja, tongkat Uh Bun Jui sudah kena dipapas kutung

oleh Khik Sia. Untung Ceng Ceng Ji cepat menyerang sehingga

Uh Bun Jui terlepas dari serangan Khik Sia yang kedua.

Bentak Khik Sia: “Benar, memang aku tak berhak campur

urusan partaimu Kay pang. Tetapi Hong-hu Ko locianpwe

berhak campur tangan! Beliau telah dicelakai orang sampai

binasa, tahu tidak kau? Beliau suruh aku kemari, untuk

menyampaikan kabar. Suhumu ditawan kaum pemberontak,

tahukah kau? Asal kau masih punya setitik rasa nurani

(liangsim), tentu akan berdaya untuk menolong suhumu.

Tetapi kau ternyata menganggap aku sebagai musuh, apa

maksudmu?”

Semprotan Khik Sia itu membuat Uh Bun Jui terlongonglongong.

tetapi pida lain saat ia tertawa gelak-gelak: “Telah

kuketahui semua urusan itu. Suhuku tak membutuhkan

bantuanmu. Untuk melakukan karya besar harus

menyampingkan urusan tetek bengek,kau tahu apa adik kecil?

Betapapun aku ini adalah pangcu dari Kay Pang. Aku

melarangmu turut campur!”

Ancaman itu dibarengi dengan sebuah hantaman tongkat.

Khik Sia masih mempunyai pikiran panjang. Bigaimanapun

halnya. Uh-Bun Jui itu adalah masih anak murid Kay Pang.

Segala kedosaannya harus partailah yang memberi keputusan.

Maka ia ambil putusan tak mau membunuhnya. Ia gunakan

jurus giok-li-joan-cian atau bidadari menyusupkan jarum,

yakni sebuah gerak serangan yang memakai Iwekang lunak,

untuk menutuk jalan darah jiok-ti-hiat disiku lengan orang.

Khik Sia hendak menawan murid murtad itu hidup-hidup.

Pertama, dapat digunakan sebagai barang tanggungan agar ia

dapat keluar dari gua itu. Kedua, demi menghormati

kewibawaan pimpinan Kay Pang untuk mengurusnya sendiri.

Tapi ternyata Uh Bun Jui itu cukup licin. Ia tahu kelihayan

Khik Sia, sudah tentu ia tidak berani bertempur sesungguhnya.

Gerakan tongkatnya yang berkelebat kesana tetapi mengarah

sini, kosong isinya sukar diduga itu, memang diperuntukkan

membuat supaya ia mudah mundur setiap saat. Untuk tusukan

Khik Sia yang tak mudah baginya untuk menangkis itu, telah

dihindarinya dengan loncatan kesamping.

Saat itu Ceng Ceng Ji pun sudah menyerang lagi dengan

pedangnya. Benar Khik Sia lebih unggul setingkat dengan Ji

suhengnya itu, tapi karena pada saat itu ia tengah

kembangkan permainan lwekang lunak, maka tak dapatlah ia

mementalkan pedang Ceng Ceng Ji, Ceng Ceng Ji gunakan

ilmu cak-jit-hiat atau tusukan tujuh jalan darah. Tapi dengan

tangkasnya dapatlah Khik Sia, menangkisnya dengan tepat.

Kiranya anak muda itupun mahir dalam ilmu pedang

perguruannya. Iapun kembangkan jurus cat-jit-hiat. Dalam

beberapa kejap saja, kedua pedang mereka saling berbentur.

Tapi karena sama-sama pedang pusaka, jadi tak menderita

sesuatu apa.

Hang Liong Koay Hwat atau permainan tongkat

menundukan naga yang digunakan Uh Bun Jui itu adalah

berasal dari ilmu pusaka Kay pang. Tapi dikarenakan Khik Sia

keliwat tangguh, maka ia tak dapat berbuat apa-apa.

Walaupun dikeroyok dua orang itu Khik Sia masih menang

angin, tapi untuk merebut kemenangan dalam waktu yang

singkat, juga tak mudah.

Demikian mereka bertempur dengan makin serunya, Sekonyong2

Khik Sia rasakan kepalanya pusing mata

berkunang2. Memang sejak masuk kedalam gua situ, Ia sudah

tercium bau wangi. Ia pun sudah curiga, tetapi karena

secepatnya ia sudah mendapat serangan, jadi ia tak sampai

memikirkan lagi. Tetapi wangian itu berasal dari bunga Asulo

atau dalam nama nama bahasa Tionghoa disebut bunga Mokui-

hoa (bunga setan). Bnnga itu diperoleh Ceng Ceng Ji

ketika ia mendaki dipuncak gunung Himalaya. Kemudian

bunga itu diramu dengan istimewa sekali, hingga menjadi

suatu bi-hiang (wangi pembius) yang amat lihay, lebih hebat

dari bi-hiang kepunyaan Gong Gong Ji.

Detik-detik berjalan dengan cepat dan racun dari bi-hiang

itupun makin bekerja, Khik Sia dapatkan tenaganya makin

berkurang. Diam diam ia mengeluh. Akhirnya dengan

menahan napas, ia robah permainannya menjadi ilmu golok.

Dengan jurus ho-hay-to-liong atau ngaduk laut membunuh

naga, ia hantam kepala Ceng Ceng Ji. Jurus itu adalah jurus

yang terganas dari ilmu pedang keluarganya. Ketrampilan

pedang digabung dengan perbawa kedahsyatan golok.

Ceng Ceng Ji kenal lihay. Tak berani menangkis, melainkan

cepat-cepat menghindari. Tapi Uh-bun Jui agak lambat,

kembali tongkatnya kena terpapas kutung. Trang mencelatlah.

tongkatnya itu dari tangannya. Khik Sia berputar hendak

berlalu, tapi segera ada lengking suara dingin mengerang:

“Masih ada aku ini!”

Seperti telah diterangkan tadi, didalam gua situ terdapat

tiga orang, Ceng Ceng Ji, Uh-bun Jui dan seorang paderi asing

berbaju merah, Paderi itu berdiri dimulut gua. Sejak tadi ia

hanya berpeluk tangan mengawasi saja. Ia hendak tunggu

sampai Khik Sia sudah kehabisan tenaga, baru nanti turun

tangan.

Hong Ceng atau paderi asing itu menggunakan senjata

sepasang kecer (plat logam berbentuk bundar, di pukulkan

satu sama lain untuk tetabuhan). ketika Khik Sia menusuk,

paderi itu kemplangkan (benturkan satu sama lain) kecernya

sehingga menimbulkan suara gempar yang mengalun sampai

jauh kelembah, Khik Sia terperanjat, pikirnya: “Lihay benar

paderi ini, tenaganya tak dibawahku!”

Tapi itu hanya penilaian Khik Sia sendiri karena pada

hakekatnya iwekang paderi itu masih kalah setingkat dengan

Ceng Ceng Ji. Adanya Khik Sia mempunyai anggapan demikian

karena saat itu tenaganya sudah banyak berkurang.

Mulut gua dihadang sipaderi, tiga kali Khik Sia coba

menerjang tapi kena dihalau oleh sepasang kecer sipaderi.

Tiba2 dari belakang terdengar deru senjata menyambar, Ceng

Ceng Ji kembali sudah datang menyerang, Khik Sia menyabat

kebelakang. Sabatan pedangnya itu ia lancarkan dengan

sepenuh tenaga. Kedua pedang mereka muncratkan letikan

api, tetapi bukannya mundur sebaliknya Ceng Ceng Ji malah

maju dua langkah. Ujung pedang kim-ceng-loan-kiamnya

ditujukan kemuka Khik Sia tapi pemuda itu sempat

menghindar. Melihat Khik Sia mulai kehabisan tenaga, segera

Uh-Bun Jui berani menyerang lagi.

Dengan menutup pernapasannya itu, bagaimanapun juga

Khik Sia tak dapat bertahan lama. Kembali ia harus mengambil

napas tapi dengan berbuat begitu, ia seperti orang yang

mabuk minum, kepalanya serasa pusing kepingin tidur sekali,

Khik Sia mengeluh, dengan kuatkan semangat ia tangkis

pedang Ceng Ceng Ji.

“Bagus hendak kulihat kau yang mengajar aku atau aku

yang mengajar kau.” Ceng Ceng Ji tertawa mengejek. Set. set,

set….. tiga kali ia lancarkan serangan lagi. Serangan pertama

memapas kopiah Khik Sia, yang kedua memutuskan ikat

pinggang dan yang ketiga melubangi baju sianak muda. Ia tak

mau melukai, melainkan hendak membikin malu saja.

Khik Sia gigit lidahnya. Pada saat Ceng Ceng Ji tertawa,

sekonyong-konyong Khik Sia kiblatkan pedangnya. Begitu

pedang Ceng Ceng Ji terpental kesamping, ia lantas teruskan

menggurat lengan orang hingga terluka. Bluk, kakinya

menendang Uh Bun Jui sampai jatuh jumpalitan. Dengan

menggigit lidahnya tadi, Khik Sia merasa kesakitan. Tapi

dengan begitu semangat menjadi tergugah dan dengan

perangsang sakitnya itu. tenaganyapun malah bertambah.

Malah kuat dari tenaganya semula.

Ceng Ceng Ji tersentak kaget. Buru buru ia pindah

pedangnya ketangan kiri Kini ia menyerang dengan pedang

tangan kiri dan menghantam dengan tangan kanan, ia

gabungkan serangan keras dan lunak ganti berganti. Ilmu itu

adalah ilmu pelajaran yang didapatnya ketika ia ikut pada

Coan Lun Hwat Ong. Dengan begitu Khik Siapun tak

mengetahui cara memecahkannya.

Daya perangsang dari gigitan lidahnya tadi kini sudah reda.

Ketambahan lagi Khik Sia harus menghadapi ilmu serangan

yang tak dikenalnya. Kepalanya makin pusing, bingung ia

bagaimana harus menghadapi. Ia dapat menghindari pedang

Ceng-ceng-ji tapi tak mampu dari pukulan dan tutukan jarinya.

Akhirnya sebuah pukulan Cena-ceng ji telah membikin rubuh

anak muda itu, Ceng ceng ji menambahi lagi dengan sebuah

tutukan pada jalan darah pelemas

“Hm, coba saja kau masih keras kepala tidak ?” Ceng cengji

mendengus dingin. Ia terus hendak menusuk tulang pi-pehkut

dibahu Khik Sia untuk membikin kacau kepandaian anak

muda itu.

Saat itu Uh bun Juipun sudah tenggela bangun. Terhadap

anak muda yang membikin kacau urusannya itu, Uh bun Jui

benci setengah mati. Cepat2 diambilnya potongan tongkat

terus hendak disabatkan kekaki Khik Sia.

Trang. trang, sipaderi menghadang dengan sepasang

kecernya, hingga pedang Ceng ceng ji dan tongkat Uh bun Jui

terhalang. Dengan suara keren puteri itu berseru: “Tuan

paderi maukan hidup tidak boleh melukainya,”

Mendapat tutukan berat dari Ceng ceng ji dan menghirup

obat bi hiang yang keras, maka pikiran Khik Sia menjadi

limbung, Samar samar ia mendengar kata-kata tuan puteri

(kongcu) tadi. Pikirnya: “Siapakah tuan puteri itu?”

Tapi ia tak sampai memikirkan lagi, karena saat itu sipaderi

sudah lantas menjinjingnya. Karena banyak menyedot bihiang,

seketika Khik Sia menjadi pingsan.

Entah berselang berapa lama, tahu-tahu ketika Khik Sia

membuka mata, kejutnya bukan kepalang. Kiranya saat itu ia

tengah berbaring disebuah ranjang yang berkasur empuk dari

sebuah kamar yang dihias indah. Pantasnya kamar itu adalah

kamar dari seorang gadis orang berada.

Hendak ia menggeliat bangun, tapi susah, tenaganya tak

ada sama sekali. Ia bingung mengapa dirinya berada disitu.

Tapi setelah merenung tenang, ingatannya berangsur-angsur

kembali. Kini barulah ia teringat bahwa dirinya diculik oleh

sipaderi hoan ceng.

Tengah ia menggali ingatannya itu, tiba-tiba terdengar

lengking tawa macam bunyi kelinting. Seorang dara muncul

dan berkata: “Bagaimana, apakah disini kurang enak? Maaf,

telah membuat kau kaget. Tapi aku tak bermaksud jahat,

melainkan hendak mengundargmu sungguh-sungguh. Kuatir

kau menolak undanganku itu, terpaksa kugunakan jalan

begitu.”

Gadis itu bukan lain ternyata nona pemimpin barisan

wanita baju merah yang dipanggil oleh Uh-bun Jui dengan

sebutan Nona Su itu.

“Siapa kau? Aku belum kenal padamu, mengapa kau

hendak mengundang aku? Tempat apa ini?” tanya Khik Sia.

“Sekarang kau adalah tetamuku, tak kuatir aku

menerangkan. Aku bernama Su Tiau-ing, adik perempuan dari

Su Tiau-gi. Kau tak kenal padaku, tapi bukankah kau pernah

mengatakan nama engkohku itu? Waktu ini kami menjadi

pengungsi, jadi tak dapat menyediakan kamar tetamu dan

terpaksa kuberikan kamarku sendiri. Apa kau merasa senang?”

kata nona itu.

Su Tiau-gi adalah putera dari Su Su-bing. Ia bunuh

ayahnya dan mengangkat diri menjadi raja Wi Yan. Tentang

hal itu Khik Sia sudah mengetahui.

Kini baru ia mengerti bahwa yang dipanggil tuan puteri oleh

paderi hoan-ceng itu adalah Su Tiau-ing ini.

Khik Sia tertawa tawar: “Aku seorang rakyat jelata, tak

berani bergaul dengan kaum ningrat. Apa maksudmu

mendatangkan aku ke mari ini?”

Dara itu tertawa: “Jangan marah dulu, maukah? Siapa

dirimu penyamun. Hanya saja ayahmu lebih bernyali besar,

berani melawan raja. Kaum pemberontak, jika menang tentu

menjadi raja, tetapi kalau kalah dimanakah berandal. Itulah

sudah jamak.”

Terang gamblang jelas getas, ucapan dara itu. Nyata ia tak

mengandung maksud buruk terhadap Khik Sia

“Tentang mengapa kuundang kau kemari, tentu akan

kuterangkan perlahan2. Singkatnya saja, aku hendak minta

bantuanmu untuk sebuah hal ” kata Tiau-ing.

Mendiang ayah Khik Sia dahulu telah gugur dalam medan

pertempuran melawan pasukan Su Su-bing. Jenderal Leng Hotiau

adalah yang memimpin pasukan untuk menyerang kota

Ci-au-yang yang dipertahankan Toan Kui-ciang. Meskipun

Toan Kui-ciang tidak langsung terbunuh oleh Su Su-bing.

tetapi secara tidak langsung ada hubungannya juga. Maka

setelah mengetahui dara itu puteri Su Su-bing, belum2 Khik

Sia sudah mempunyai rasa anti-pati. Maka tanpa banyak pikir

lagi, ia segera menyahut :

“Benar, aku ini seorang penyamun, tetapi aku tidak seperti

kamu orang. Aku seorang penyamun yang tak punya cita2

muluk, aku tak mampu membantu urusanmu,”

Gadis itu tertawa: “Jangan kaliwat merendah diri dululah.”

Khik Sia tertawa tawar: “Dan lagi. akupua tak suka

membantumu. Terserah bagaimana kau hendak mengapakan

diriku.”

Tiba2 gadis itu tertawa nyaring.

“Apa yang kau tertawakan?” teriak Khik Sia dengan marah.

“Aku menertawai dirimu. seorang lelaki, tak tidak lapang

dada,” sahut Su Tiau-ing.

Khik Sia terkesiap. “Dalam hal apa aku tidak lapang dada?”

tanyanya.

“Kutahu mengapa kau benci padaku. Kau tentu masih

teringat akan peristiwa pertempuran dahulu yang bukan?

Dalam pertempuran itu ayahmu gugur dan kebetulan

ayahkulah yang menjadi fihak lawannya, Sudah sewajarnya

kalau kau mendendam, Tetapi mana ada pertempuran tanpa

ada korban yang jatuh? Jika dua pihak saling bertempur, tentu

sukar terhindar dan korban2 yang luka dan mati. Apalagi

ayahku dan Leng Ho-tiau sudah meninggal, seharusnya

dendam sakit hatimu itu dihilangkan juga. Turut kata kau tak

mau meghapus rasa dendammu itu, pun seharusnya hanya

tertuju pada ayahku saja. Pada masa itu aku juga masih

seorang anak perempuan kecil yang tak tahu apa-apa.

Mengapa diriku turut dibawa-bawa? Dengan setulus hati

kuundang kau kemari karena aku hendak minta bantuanmu.

Tetapi ternyata kau bersikap begitu getas kepadaku. Apakah

ini bukannya menandakan hatimu sempit?” dengan tepat

sekali Tiau ing telah menelanjangi isi hati Khik Sia. Nona itu

telah memberikan uraian yang jitu.

Diam-diam Khik Sia mengagumi kecerdikan nona itu.

Meskipun perasaannya masih tetap tawar terhadap nona itu.

namun sikapnya, tidak segetas tadi lagi. Sahutnya: “Memang

aku tak bermusuhan dengan kau, tetapi kita berlainan jalan,

berbeda tujuan, aku tak dapat membantu kerepotanmu!”

“Toh aku belum mengatakan, bagaimana kau tahu tak

dapat membantu? Dan mungkin juga kita sehaluan”, Tiau-ing

tertawa.

Khik Sia kalah separoh, akhirnya terpaksa ia mengalah:

“Baiklah, silahkan mengatakan saja urusanmu itu.”

“Aku bermaksud hendak berserekat dengan Thiat-mo-lek

dan Bo Se-kiat. Kita sama-sama membagi rata kerajaan dan

negeri. Sukakah kau menyampaikan hal ini kepada mereka?”

kata Tiau-ing.

“Tidak!” tukas Khik Sia dengan tegas.

“Mengapa?” tanya Tiau-ing.

“Tidak ya tidak! Siapa Thiat toakoku itu, rasanya kau tentu

tak mengetahui,” sahut Khm Sia.

“Mengapa tak tahu? Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai

si-wi diistana, Kemudian di fitnah oleh kaum dorna sehingga

keluar. Tapi ia masih tetap setia kepada kerajaan Tong.

Dengan An Lok-san dan ayahku, ia pernah bertempur. Dalam

anggapannya, fihakku itu kawanan pemberontak. Berdasarkan

hal itu, kau lantas menetapkan bahwa ia tentu tak sudi

berserekat dengan aku. Betul tidak?”

“Kalau sudah tahu, itulah sudah cukup,” sahut Khik Sia.

Dengan komentarnya yang terakhir itu, Khik Sia hendak

memutuskan pembicaraan, ia duga nona itu tentu tak dapat

berkata lagi. Siapa tahu, Tiau ing malah tertawa gelak.

“Mengapa kau tertawa lagi?” Khik Sia heran dibuatnya.

“Kutertawai kau terlalu gegabah dan menelan saja sejarah

kerajaan Tong dan tak menyesuaikannya dengan suasana

perobahan jaman.” Sahut Tiau-ing.

“Bagaimana aku tak dapat melihat perubahan jaman?

harap nona katakan” kata Khik Sia.

“Lain dulu. lain sekarang, An Lok-san adalah suku Oh

(utara). Ia ingin menjadi kaisar Tiongkok. Jika sekalian patriot

Tionggoan tidak setuju, itulah sudah jamak. Keluargaku she

Su adalah orang Han. Jika orang she Li dapat menjadi kaisar,

mengapa kami orang she Thiat. orang she Bo dan kau she

ToAn, tidak boleh? Ini dalil pertama.

“Dahulu Tiat-mo-lek menjadi pengawal kaisar Tong,

sekarang menjadi pemimpin Lok-lim (begal). Bo Si kiat itu

seorang yang purya ambisi besar, kutahu hal itu. Mungkin

Thiat mo lek tidak berniat berontak, tapi keadaan sudah

berkembang sedemikian rupa. mau tak mau ia harus

menetapkan putusannya. Baik ia mau berontak atau tidak,

pihak lawan tetap takkan memberi ampunan padanya,

Markasnya di Kim-ke-nia sudah di hancurkan tentara

pemerintah. kini ia melarikan diri entah kemana. Rasanya

sukar untuk menginjakkan kakinya lagi, Jika mau bererikat

dengan kami, tentu sama2 ada kebaikannya. Mengapa tak

mau?”

Tiau-ing berlidah tajam dan pandai merangkai kata2,

Sebaliknya Khik Sia tak pandai bicara. dalam hatinya ia merasa

ada sesuatu yang tidak benar, tapi sukar untuk

mengatakannya.

“Bagaimana, kau sudah dapat memikir jelas belum?” tanya

nona itu.

Diam-diam Khik Sia membathin: “Meskipun An Lok San

adalah suku Oh dan Su Su-bing suku Han, tapi dua2nya

merupakan harimau dan serigala. Siapa yang jadi kaisar, sama

saja. Sedikitpun tiada manfaatnya bagi rakyat jelata. Su Tiaugi

membunuh ayahnya sendiri karena hendak merebut

kedudukan, ini lebih biadab lagi Su Tiau-ing ini adalah adik

perempuannya, rasanya tentu tak berbeda banyak dengan

engkohnya.”

Walaupun hatinya begitu, tapi lahirnya Khik Sia tetap

bersikap ramah kepada nona itu. Kemudian ia mengambil

ketetapan, ujarnya. “Kau minta aku mengatakan sejujurnya?”

Tiau Ing mengatakan:

“Taruh kata Bo Se Kiat mau bersekutu dengan kau, akupun

tak mau menjadi orang perantaranya.” kata Khik Sia.

“Mengapa? Kau memandang hina pada kami?” seru Tiauing.

“Terserah kau hendak mengatakan bagaimana, pendek

kata apa yang aku tak ingin, takkan kukerjakan. Jika mau

mengirim orang lain perantara, silahkan cari lain orang saja,”

sahut Khik Sia.

Dengan tawar Tiau-ing berkata: “Jika ada orang yang lebih

sesuai dari kau, sudah tentu kami pun takkan berjerih payah

untuk mendatangkan kau kemari. Jika kau tak mau, aku pun

tak dapat memaksa. Tapi karena dengan tak mudah kita

mengundangmu datang, rasanyapun tak mudah kau hendak

pergi. Dalam hal ini, rasanya kau tentu mengerti, bukan? Nah,

silakan menimbang lagi, mau meluluskan atau tidak?”

Khik Sia tertawa dingin: “Apakah kau menghendaki aku

pura-pura meluluskan permintaanmu? Sebenarnya aku dapat

berbuat begitu, berbohong padamu. Tapi dengan tak pegang

janji begitu, bukanlah laku seorang laki-laki perwira. Maka

akupun tak mau berbuat begitu. Mengertikah kau? Nah,

rasanya sudah cukup jika hendak membunuh aku, silahkan

saja.”

Kembali Tiau-ing tertawa gelak-gelak.

“Mengapa kau tertawa?” Lagi-lagi Khik Sia kesima.

“Kali ini aku bukan menertawai kau, melainkan menertawai

engkohku yang sudah salah lihat orang. Ternyata mataku

lebih tajam dari dia,” sahut Tiau-ing.

“Bagaimana?” tanya Khik Sia.

“Engkohku berpendapat, dengan siasat paksa dan

membujuk, dapatlah menundukkan kau. Tetapi pendapatku

bertentangan. Kupandang kau seorang muda yang

berperibadian kuat, jujur dan perwira. Apa yang kau pikirkan,

tentu kau katakan. Tak mau membohongi diri sendiri. pun tak

mau menipu orang. Bagus, benar dapat digolongkan perilaku

seorang laki-laki utama.”

Disamping puji, adalah menjadi kesukaan setiap orang.

Tanpa merasa Khik Sia pun tergerak hatinya. Pikirnya: “Nona

ini cerdik dan berpambek tinggi. Sebenarnya dapat

digolongkan sebagai pahlawan wanita. Sayang seorang nona

begitu, rela menjadi pemberontak.”

Selagi berpikir begitu, tiba-tiba didengarnya ada suara

berkeresekan pelahan sekali. Obat bius yang dihirup Khik Sia

masih belum hilang khasiatnya. Tenaganya lenyap tapi

pendengarannya masih tajam. Jika lain orang tentu sukar

menangkap suara berkeresekan yang sedemikian perlahannya

itu.

“Siapakah orang yang lihay ginkangnya ini? Menilik Su Tiauing

itu sebagai seorang kongcu (puteri), tentulah orang itu

anak buahnya. Tapi jika benar orang sebawahannya, mengapa

berani mencari dengar. Hem, apakah musuhnya yang

datang?” Khik Sia menimang nimang dalam hati. Tapi

ditunggu sampai sekian jenak, tiada terdengar suara apa-apa

lagi.

Rupanya Tiau-ing merasa juga. Tiba-tiba ia berkata:

“Biarlah kubukakan jendelanya, ya?”

Cepat tangannya mendorong daun jendela, ternyata diluar

tak kelihatan suatu apa, Tapi dengan telinganya yang tajam

itu, dapatlah Khik Sia menangkap bahwa suara itu hilang

berbareng pada saat Tiau-ing membuka jendela. Orang itu

tentu sudah kabur.

Diam-diam Khik Sia terkejut, pikirnya: “Hebat benar

ginkang orang itu, Apakah toa-su hengku yang datang?”

Tiau-ing berputar lagi dan menghela napas perlahan,

ujarnya: “Toan kongcu. aku tak mau memaksa kau, tapi juga

tak dapat membebaskan kau. Apakah kau membenci padaku?”

Dingin-dingin Khik Sia menjawab: “Aku adalah orang

tawananmu. Hendak kau apakan, terserah saja. Masakah aku

dapat membantah.”

“Toan kongcu, jika kulepaskan kau pergi, bagaimana

sikapmu kepadaku?” tiba-tiba nona itu bertanya.

“Sebenarnya kita ini berlainan golongan. Jika kau tidak

membikin susah kepadaku, sudah tentu aku takkan bikin

perhitungan padamu. Begitu kutinggalkan tempat ini, semua

ganjelan selama inipun takkan kutarik panjang.” sahut Khik

Sia.

“Kalau begitu, biarlah kulepaskan kau. Apakah kau hanya

meluluskan takkan membenci aku?” kata Tiau-ing.

“Kau masih menghendaki apa lagi? Apakah minta aku

bertekuk lutut minta maaf padamu?”

Tiau-ing kerdipkan matanya kepada anak muda itu sejenak,

lalu tertawa: “Ah, mana aku berani menerima kehormatan

begitu. Sebaliknya, akulah yang hendak mohon kasihan

kepadamu.”

Khik Sia menduga nona itu hendak mengungkit lagi

pembicaraan tadi. Buru2 ia menyahut: “Seorang laki2 lebih

baik mati dari pada menyerah, Telah kukatakan tadi, baik kau

lepaskan aku atau tidak, aku tetap tak dapat membantu

padamu. Nah, kiranya sudah cukup terserah padamu untuk

memutuskannya!”

Tiau-ing kerutkan alisnya yang bagus, seperti ada yang

dipikirkan. Lewat beberapa jenak kemudian, tiba-tiba ia

menghela napas, katanya: “Toan kongcu, sebenarnya ingin

sekali aku untuk melepaskan kau, tapi sayang aku tak kuasa

melakukan seluruhnya. Baiklah, kau pikirkan lagi saja dulu,

aku hendak pergi!”

Pikiran Khik Sia bekerja, tetapi bukan karena memikirkan

kata2 Su Tiau-ing tadi, melainkan pengintai yang memiliki ilmu

ginkang hebat itu. Bermula ia duga kalau toa-suhengnya

Gong-gong Ji, yang datang itu. Kalau benar ia, mengapa

takut? Toh tak ada orang yang mampu menghalanginya? Dan

mengapa sampai sekarang tak muncul lagi? Namun bila

pengintai itu orangnya Su Tiau-ing sendiri, pun tak masuk akal

juga. Mana ada orang sebawahan berani mencuri dengar

pembicaraan tuan puterinya? Memikir bolak-balik, tetap Khik

Sia tak menemukan jawabannya.

Seorang budak perempuan datang dengan membawa talam

yang berisi semangkok besar bubur dan beberapa mangkuk

masakan. “Kuatir kau lapar, kongcu suruh mengantarkan

hidangan ini untukmu,” kata budak itu.

Pikir Khik Sia: “Jika ia hendak mencelakai aku, toh tak perlu

memberi racun dalam makanan.”

Khik Sia sudah tak mengacuhkan mati hidupnya lagi. Terus

ia gasak hidangan itu sampai habis. Setelah budak itu pergi

Khik Sia duduk sendirian didalam kamar situ.

Sampai sekian lama tak kelihatan orang datang. Timbullah

ingatannya: “Dari pada menunggu pertolongan orang, lebih

baik berusaha sendiri.”

Ia lantas duduk bersila manyalurkan lwekangnya.

Semangatnya sudah agak baik, tetapi hawa murni (cin-gi)

masih sukar dipusatkan. Lewat beberapa saat, hawa cin-gi itu

mulai bergerak tapipun hanya terbatas sampai kearah tangan

kakinya saja. Untuk melancarkan ilmu gin-kangnya, itulah

masih sukar.. Tiba-tiba diluar terdengar suara orang berbicara.

Suara orang lelaki berkata. “Apakah ia sudah menyanggupi?”

“Aku sedang membujuknya,” sahut suara seorang anak

perempuan yang lain ialah Su Tiau ing.

Lelaki itu tertawa dingin: “Moay-moay, lebih baik jangan

buang tenaga. Memang sudah kuduga ia tentu menolak.”

“Tidak beri ia waktu dua hari lagilah,” bantah Tiau-ing.

Kata lelaki itu: “Apa yang kau bicarakan padanya, telah

kudengar semua. Kalau toh ia menolak, kau bisa berbuat apa?

Hm, apakah kau hendak gunakan siasat memikat dengan

kecantikan?”

Maka marahlah Tiau-ing: “Koko, jangan ngaco belo! Kau

anggap aku ini orang macam apa ?”

Khik Sia tahu kalau kedua orang yang bicara itu tentulah Su

Tiau-ing dan engkohnya Su Tiau-gi Pikirnya; “Benar-benar

peribadi Su Tiau-gi itu hina-dina. Meskipun Su Tiau-ing itu

bukan tergolong kaum Ceng-pay (lurus) tapi ia masih lebih

baik dari engkohnya.”

Tiba-tiba ia teringat sesuatu: “Hai, bukankah tadi Tiau-ing

mengatakan kalau engkohnya menganggap aku dapat

ditundukkan? Tetapi barusan Su Tiau-gi mengatakan kalau ia

tak menganggap begitu. Habis siapakah yang menangkap aku

kemari dan hendak menggunakan aku sebagai orang perantau

itu?”

-od0o-ow0o-

Jilid XII

BARU berpikir begitu, terdengar begitu, terdengarlah Su

Tiau-gi tertawa gelak2, serunya: “Moay-moay, kalau begitu

nyata kau tak jatuh hati kepada budak itu?”

“Aku hanya hendak memakainya sebagai pembantu kita,

mengapa kau melantur begitu?” Tiau-ing bersungut-sungut.

“Budak itu berkepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan

Thiat Mo Lek. Asal ia mau membantu kita, kelak kau menikah

padanya-pun tiada jeleknya.” kata Su Tiau-gi.

Tiau-ing makin meradang: “Koko, makin lama kata2mu itu

makin rendah. Jika kau tetap bicara begitu, aku tak mau

memperdulikan kau lagi!”

Kembali Su Tiau-gi tertawa gelak2: “Baiklah, sekarang aku

hendak bicara sungguh-sungguh. Dengarlah, toh budak itu

menolak membantu kita, serta kau pun tak ada minat menikah

padanya, perlu apa kau menahannya? Lebih baik kutungi saja

kepalanya, habis perkara, agar jangan sampai menerbitkan

bahaya dikemudian.”

“Apa? Kau hendak membunuhnya?” seru Tiau-ing.

Su Tiau-gi tertawa mengejek: “Apa? Kau hendak

melepaskannya? Tahukah kau bahwa menangkap harimau itu

mudah, tapi melepaskannya sukar?”

“Kasih tempo dua hari lagi, biar kunasehatinya lagi,” tetap

Tiau-ing meminta waktu.

“Tidak, budak itu berkepandaian tinggi, siapa yang berani

menjamin ia tak dapat lolos? Apalagi….. ha, ha, ha, ha!”

“Apalagi bagaimana? Apakah tidak mempercayai aku?”

Tiau-ing tak mau mundur.

“Ya, benar memang aku tak percaya padamu. Tahu kalau ia

tak mau berfihak kepada kita, mengapa kau tetap

berkeberatan untuk membunuhnya,” jawab Su Tiau gi.

Gemetarlah suara Tiau-ing saking gusarnya: “Kau tak

percaya padaku, mengapa tak kau bunuh sekali aku ini!”

Su Tiau-gi tertawa mengejek: “Baik, jika kau tak

mengijinkan ia kubunuh, hem, jangan kira aku tak berani

membunuhmu?”

Tiau-ing balas tertawa mengejek: “Ayah saja tega kau

bunuh apalagi membunuh aku. Tapi kukuatir kalau hendak

membunuh aku, tak semudah membunuh ayah!”

Su Tiau-gi menggembor keras: “Kau hendak menjadi anak

perempuan yang berbakti kepada setan tua itu, bukan? Lihat

golokku!”

Cret, dan berteriaklah Su Tiau-gi dengan sengitnya:

“Pengawal kemarilah!”

Kiranya Tiau-ing, lebih cepat mencabut senjatanya dari

sang engkoh. Pula ilmu silatnya lebih tinggi dari Tiau-gi. pun ia

turun tangan lebih dulu. Sekali tusuk ia dapat melukai

engkohnya.

Mendengar kakak beradik itu saling bertengkar, diam2 Khik

Sia mengeluh. Tiba-tiba saat itu jendela terbuka dan sesosok

tubuh loncat masuk.

“Toan Khik Sia, selama ini kau selalu tak memandang mata

kepadaku Ji-suhengmu. Sekarang jangan sesalkan aku

seorang kejam!” kedengaran orang itu tertawa dingin.

Orang itu bukan lain ialah Ceng Ceng Ji. Cepat ia

menyingkap kelambu terus membacok Khik Sia. Kini Barulah

Khik Sia tersadar, siapa yang mencuri dengar tadi. Tentulah

Ceng Ceng Ji itu memberitahukan semua kepada Su Tiau-gi.

Tapi pengertian Khik Sia itu sudah kasip karena saat itu

pedang Ceng Ceng Ji sudah mengancam kearah dadanya.

Tring….. Ceng Ceng Ji rasakan tangannya kesemutan dan

terlepaslah pedangnya jatuh ke lantai Kiranya saat itu Khik Sia

sudah dapat menggerakan lwekangnya, walaupun baru duatiga

bagian saja. Dalam menghadapi saat-saat yang

berbahaya itu, ia kerahkan seadanya tenaga kearah ujung jari

dan dengan sekuatnya, ia gunakan ilmu tutukan jari tan-ci-sithong.

Sekali menutuk dengan jari tengahnya, dapatlah ia

membuat tangan Ceng Ceng Ji kesemutan.

Berhasilnya tutukan Khik Sia itu benar-benar sangat

kebetulan sekali. Pertama karena Ceng Ceng Ji kelewat

bernapsu sekali. Ia kira Khik Sia sudah tak mampu berkutik,

apalagi balas menyerang. Kedua kalinya karena posisi Khik Sia

amat menguntungkan. Sebenarnya dengan berbaring diatas

ranjang itu, Khik Sia itu amat berbahaya. Tapi dengan

kecerdikannya, ia dapat merobah posisi yang berbahaya

menjadi menguntungkan baginya.

Kepandaian Ceng Ceng Ji hanya terpaut, tak banyak

dengan Khik Sia. Dalam keadaan seperti itu, Khik Sia pasti

kalah melawan Ji suhengnya itu. Tapi ada beberapa hal yang

menguntungkan bagi Khik Sia. Kesatu, Ceng Ceng Ji hanya

gunakan sebelah tangan untuk menusuk, karena tangan

kirinya dibuat menyingkap kain kelambu. Kedua, Ceng Ceng Ji

datang dari tempat terang dan melongok kedalam

pembaringan yang gelap, Khik Sia tahu gerakan tangannya,

sebaliknya Ceng Ceng Ji tak tahu akan gerakan Khik Sia. Inilah

faktor yang menguntungkan.

Kejut Ceng Ceng Ji bukan kepalang, pikirnya: “Janganjangan

ia sudah mendapat obat penawar dan sengaja

memancing aku untuk di bokongnya, ha?”

Karena kepandaiannya tinggi, gerakannya pun gesit sekali.

Begitu mendapat tutukan tadi, secara otomatis ia sudah loncat

kebelakang untuk bersiap. Tapi hal itu justru suatu

keuntungan bagi dia. Coba Ceng Ceng Ji menghantamnya lagi,

Khik Sia tentu sudah binasa. Celakanya Ceng Ceng Ji sudah

pecah nyalinya.

Barulah ketika mundur beberapa langkah tapi tak tampak

Khik Sia turun dari pembaringan, mulailah timbul

kecurigaannya. Tiba-tiba terdengar auman senjata rahasia

melayang diudara. Ternyata Su Tiau-ing telah menimpuk tiga

batang pisau sembari mendamprat: “Ceng Ceng Ji, besar

sekali nyalimu berani masuk ke dalam kamarku melakukan

pembunuhan!”

Makian nona itu malah menimbulkan perobahan pada

dugaan Ceng Ceng Ji, pikirnya: “Jika Su Tiau-ing telah

memberi obat penawar padanya, masakan ia begitu gugup

hendak menolongnya.”

Sudah tentu ketiga batang paser Tiau-ing tak dapat

mengenai Ceng Ceng Ji. Senjata itu dapat dikebas jatuh

olehnya semua…

“Maaf, kongcu, suteku bersembunyi didalam kamarmu, biar

kuberi pengajaran, maka terpaksa aku lancang masuk

kekamarmu,” serunya dengan tertawa.

Mendengar suara Ceng Ceng Ji, Su Tiau-gi segera

meneriakinya: “Ceng Ceng Ji, bunuh saja budak perempuan

hina dan orang itu. Aku takkan mempersalahkan kau!”

Hubungan Ceng Ceng Ji dengan keluarga Su kakak beradik

itu, hanyalah berdasarkan saling menguntungkan saja. Sudah

tentu ia tidak begitu menaruh penghormatan terhadap ‘kaisar’

palsu dan ‘tuan puteri’ tiruan itu. Maka tanpa mendapat

perintah Su Tiau-gi sekalipun, habis memukul jatuh paser Su

Tiau-ing, ia lantas menyerbu ketempat Khik Sia lagi.

Sekalipun Su Tiau-ing tak segesit Ceng Ceng Ji namun

kepandaian nona itu cukup lihay. Begitupun ketiga pasernya

itu tentu tak dapat melukai Ceng Ceng Ji, tapi sekurangkurangnya

dapat menghalanginya beberapa jenak.

Dalam beberapa waktu cukuplah sudah bagi Su Tau-ing

untuk menerobos maju. Baru Ceng-ceng ji tiba dimuka

ranjang, punggungnya sudah disambar angin tabasan golok

Kim-to, Ceng ceng ji balikan tangannya, dengan jurus wankoog-

sin-tiau. ia tutuk jalan datah kiok-ti hiat, dilengan Tiauing,

Su Tiau-ing malah merangsek maju dan tabaskan

goloknya ditangan kiri.

Serangan itu dilakukan dengan keras. Nona itu melakukan

pertempuran nekad, biar dua2nya menderita luka. Jika Ceng

ceng ji tak menarik pulang tangannya paling banyak ia hanya

dapat membalikin inyalid sebelah tangan Tiau-ing. Tapi

dengan berbuat begitu, sebelah tangannyapun pasti kena

tertebas kutung oleh golok Tiau ing.

Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak mau kehilangan sebuah

lengannya. Memang gerakannyapun luar biasa gesitnya.

Dengan miringkan tubuh ia menggelincir kesamping. Dengan

begitu tebasan Su Tiau-Ing itu menemui tempat kosong

Tapi memang maksud Su Tiau-ing hanyalah hendak

memaksa lawan menyingkir saja. Begitu Ceng-ceng-ji

menggeser kesampirg, Su Tiau ing cepat menduduki tempat

Ceng ceng ji berdiri tadi, yakni didepan ranjangnya Khik Sia.

Disitu cepat ia merogoh keluar sebuah bungkusan. Bluk,

terus dilemparkan kedalam ranjang. serunya: “Ini obat

penawar, lekas minumlah, Sekarang kutolong kau, nanti aku

yang akan minta tolong padamu.”

Ceng ceng ji terkejut. Buru2 ia hendak merebutnya, tapi Su

Tiau-ing lancarkan tiga kali tabasan, tiap serangan dilancarkan

dengan nekad dan dahsyat. Sepasang goloknya berebutan

maju. Belum yang kiri ditarik, yang kanan sudah menyusul

maju. Tak seperti permainan golok yang harus berganti jurus

lebih dulu.

Ceng ceng ji gunakan ilmu merebut senjata gong chiu-jinpeh-

jin, Tapi hanya dapat menghindar dari tertabas saja dan

tak mampu merebut senjata sinona.

Khik Sia mendapat kesempatan minum obat penawar.

Seperti orang yang tersadar dari maboknya, semula kepalanya

pening, sesaat kemudian sudah sadar sama sekali. Biarpun

begitu, lwekangnya masih belum pulih. Di cobanya untuk

melakukan pernapasan agar hawa murninya bergerak. Benar

darahnya sudah mulai menyalur, tapi hawa murninya masih

belum dapat dipusatkan. Kiranya memang begitulah jalannya

obat penawar itu. Kalau caranya menyalurkan darah tepat,

juga harus menunggu sampai setengah jam baru pulih

tenaganya.

Rupanya tahu juga Su Tiau-ing akan maksud Khik Sia,

buru2 ia meneriaki: “Jangan turun dari pembaringan dulu. Jika

turun kau hanya akan mengantar jiwa saja. Salurkanlah

darahmu terus!”

Sudah tentu Ceng ceng-ji tahu bagaimana bekerjanya obat

penawar itu. Ia makin gugup karena dalam setengah jam ini ia

sudah harus mengalahkan Su Tiau-ing, kalau tidak Khik Sia

tentu sudah bangun, tapi makin gugup, makin celakalah ia.

Sepasang golok Su Tiau-ing dimainkan dengan rapat sekali.

Betapapun Ceng-ceng ji pelancarkan serangan yang dahsyat,

pa1ing2 hanya dapat merebut sebuah golok sinona yang

satunya.

Sebenarnya, jika Ceng ceng-ji tak gugup, ia gunakan siasat

membikin celah. Untuk mengalahkan Su Tiau-ing, tak perlu

memakan waktu sampai setengah jam. Justeru karena gugup

itu, hampir saja Ceng ceng-ji kena dilukai Su Tiau-ing.

Berulang kali Ceng ceng ji terpaksa menghindar mundur. Dan

kesemuanya itu telah menghabiskan waktu yang tidak sedikit,

Tiba2 mata Ceng ceng ji tertumbuk akan benda yang

berkilau2an dilantai “Ah sungguh limbung sekali aku ini.

Mengapa lupa akan pedang pusakaku yang jatuh dilantai itu?”

pikirnya menyesali diri sendiri,

Pedang Ceng-ceng-ji itu terpisah tak jauh dari Su tiau ing.

Nona itu jeli sekali matanya. Demi melihat mata Ceug-ceng-ji

tertuju akan pedangnya yang menggeletak dilantai itu, tahulah

ia maksudnya. Baru Ceng ceng ji hendak bergerak, ia sudah

lantas mendahului menyerang.

“Lihat golok!”

Pedang ditendang Su Tiau-ing, mencelat kira 2 setengah

meter didepan ranjang. Dengan gerak kek cu hoan-sim atau

burung merpati membalik tubuh Ceng ceng-ji sudah lantas

ulurkan tangan hendak menyambarnya. Kala itu jaraknya

dekat dengan pedang. Tahu bakal kalah dulu, Su Tiau-ing

timpukkan lagi ketiga batang paser. Yang dua ditujukan pada

Ceng-ceng ji yang satu lagi kearah pedang itu.

Benar Ceng ceng ji tak jeri, tapi sedikitnya iapun harus

gerakan tangan untuk menyambutnya. Layang ketiga paser itu

berlainan arahnya. Dua batang yang hendak menyambar

dirinya. dapatlah ia sambut. Tapi yang sebatang lagi telah

lolos lewat disampingnya.

Yang ini ia tak berhasil menyambarnya. Justru paser inilah

yang menuju kearah pedang.

Paser yang melayang turun dari atas. sebenarnya sukar

untuk membikin mencelat sasarannya. Tapi su Tiau-ing

gunakan ilmu lincah. Begitu mengenai tangkai pedang,

pedang itu menjadi membalik miring. Karena lantai amat licin,

maka pedang itu menggelincir kemuka. Meskipun hanya

meluncur setengah meter, tapi pedang itu menyusup masuk

kebawah kolong ranjang. Kini sukarlah bagi Ceng ceng-ji

hendak mengambil pedangnya itu, kecuali masuk ke bawah

kolong.

Ceng-ceng ji marah sekali, Ia batalkan rencana menyambar

pedang, kini ia berganti menyambar orang. Dengan

menggerung keras ia timpukkan dua batang passer tadi

kepada Su Thiau Ing, kemudian dengan sebat sekali ia lantas

membuka kain kelambu dan mencengkeram Khik Sia.

Khik Sia kala itu sedang menyalurkan lwekang, mana ia

dapat melawan. Pun ketika Su Tiau ing dapat menghindar

timpukan paster tadi, tangan Ceng-ceng-ji sudah bergerak

mencengkeram Khik Sia, Nona itu mengeluh.

Tiba2 terdengar suara jeritan kesakitan. Tapi anehnya,

bukan suara Khik sia, melainkan Ceng ceng ji.

Kiranya sewaktu hendak dicengkeram tadi Khik Sia dapat

menggeser kesamping hingga tangan Ceng ceng-ji itu hanya

mencengkeram kasur saja. Celakanya pedang pusaka milik

Khik Sia disembunyikan didalam selimut dan pedang itu sudah

dilolos dari sarungnya. Begitu menyentuh benda dingin Cengceng-

ji sudah kaget dan cepat2 tarik pulang tangannya,

namun tak urung dua buah jarinya kena tergulat pecah oleh

ujung pokiam Khik Sia.

Su Tiau-ing tak tahu apa yang terjadi, Tapi demi melihat

Ceng ceng ji yang menjerit sembari tarik pulang tangannya,

tahulah ia kalau terjadi perobahan, Cepat ia, sudah lantas

loncat maju sembari babatkan sepasang goloknya, Ceng ceng

ji tak dapat berbuat apa2, kecuali membiarkan Khik Sia duduk

tepekur di dalam ranjsng karena ia harus menghindari sabetan

golok Su Tiau-ing.

Pada saat itu keadaan Khik Sia mencapai titik yang genting.

Jika ia lantas loncat turun dari ranjang, sekali peredaran

darahnya tersesat pasti celakalah ia. Bukan saja jerih

payahnya tadi akan sia2, pun ia bakal rusak jasmaninya atau

dalam istilahnya disebut “co-hwe-jip mo” (terbakar api

kemasukan setan!). Syukur Su Tiau-ing juga seorang akhli

lwekang. Tahu ia bagaimana keadaan Khik Sia nanti. Buruburu

ia meneriakinya: “Toan kongcu, meramkanlah matamu!!”

Ia kuatir jika membuka mata Khik Sia tentu melihat

bagaimana ia sedang bertempur mati2 an dengan Ceng ceng

ji, Kebanyakan pemuda itu akan loncat turun membantunya.

Dan ini berbahaya sekali.

Untung karena kedua jarinya terluka, rangsangan tangan

Ceng-ceng-ji tak sehebat tadi lagi. Dengan mati2an Su Tiau

ing mendesaknya terus. sehingga setindak demi setindak

Ceng-ceng ji dapat dihalau mundur dari muka ranjang.

Adalah pada saat itu, tiba2 paderi berjubah merah itu

muncul.

Diluar kedengaran Su Tiau-gi sudah lantas meneriaki:

“Harap taysu jangan beri ampun lagi. Bunuh saja budak

perempuan hina itu!”

Su Tiau-ing sudah berseru: “Suhu, monyet tua ini menghina

padaku, lekaslah bantu padaku!”

Kiranya paderi jubah merah itu bergelar Hoan Gong. kepala

dari biara Oa-gik-mi-si di Ceng-hay. Pada ketika Su Su-bing

menduduki Ceng-hay, untuk mengambil muka para paderi itu,

ia sudah suruh kedua putera puterinya berguru padanya.

Hanya saja kala itu Su Tiau-gi masih kecil, tidak pernah dia

belajar silat padanya maka paling2 ia hanya dapat disebut

calon murid saja.

Oa-gik-mi-si sebenarnya adalah tingkatan dari kaum agama

Pek kau dari Tibet, Adalah karena beberapa partai agama di

Tibet timbul pertentangan, maka Pek-kau tak dapat mengurus

sehingga dapat diduduki oleh Hoan Gong. Lebih sepuluh tahun

Hoan Gong menempati biara itu, Kala itu pertentangan agama

didaerah Tibet sudah sirap. Ketua Pek-kau mengirim beberapa

utusan ke Ceng-hay untuk mengambil pulang biara itu. Karena

tahu tak dapat melawan, Akhirnya Hoan Gong pergi. Waktu itu

Su Su-bing sudah meninggal. Su Tiau-gi lalu mengundangnya

dan mengangkat menjadi kok-su atau penasehat agung.

Su Tiau-gi dan Su Tiau ing itu berlainan ibu. Umur Tiau gi

lebih tua lima tahun dari adiknya. Pada masa itu, Su Tiau-gi

pernah belajar silat pada Hoan Goan setengah tahun lamanya.

Sebenarnya Su Tiau ing punya guru lain, tetapi sejak Hoan

Gong datang, sedikit banyak ia juga pernah mendapat

pelajaran silat dari paderi itu. Jika menurut hubungan guru

dan murid, Hoan Gong lebih rapat dengan Su Tiau-gi dari

pada dengan Su Tiau-ing. Tetapi karena dalam hal bakat. Su

Tiau-ing lebih baik dari engkohnya, maka Hoan Gong lebih

suka pada gadis itu.

Bermula Hoan Gong mengira kalau kedatangan musuh

gelap, maka buru2 ia datang. Setelah memetahui bagaimna

keadaannya ia menjadi serba salah. Akhirnya ia mendApat

suatu pemecahan, serunya: “Sama saudara sendiri mengapa

bertengkar? Kongcu, haturkanlah maaf kepada engkohmu!”

Diluar kedengaran Su Tiau gi berteriak: “Budak hina itu

telah bersekongkol mengundang orang luar untuk melawan

aku. Suhu bunuh saja dianya. Aku tak sudi mengakui adik lagi

padanya!”

“Suhu, kau dengar tidak! Ia tetap hendak membunuh aku.

Bagaimana kau suruh aku menghaturkan maaf padanya?” seru

Su Tiau-ing

“Ah, baginda itu sedang marah, biar nanti kunasehatinya.”

sahut Hoan Gong.

“Suhu, sedang terhadap ayah kandungnya sendiri ia berani

membunuh, apalagi terhadap aku. Percuma saja kau akan

menasehatinya,” bantah Su Tiau ing.

Tentang Su Tiau-gi membunuh ayah kandungnya sendiri,

Hoan Gong belum mengetahui. Meskipun ia juga seorang

jahat tapi setelah mendengar hal itu. berdirilah bulu romanya

juga.

“Suhu, jangan dengarkan ocehannya. Lekas bunuh saja

dia!” teriak Su Tiau gi.

“Suhu kau dengar tidak itu? Ia begitu bernapsu untuk

lekas2 melenyapkan aku supaya rahasianya jangan sampai

ketahuan.” Su Tiau-ing tetap ngotot.

Hoan Gong lebih cenderung dengan kata2 Su Tiau-ing. Ya,

mengapa Su Tiau-gi begitu bernapsu sekali menyuruhnya

membunuh adik perempuan itu?

“Aku tak mau mengeloni siapa2 karena kalian adalah

saudara sekandung sendiri,” akhirnya Hoan Gong memberi

pernyataan.

Ceng ceng-ji turut berkata juga: “Akupun juga tak sengaja

hendak melukai kongcu, tetapi bangsat itu adalah seorang

pemberontak. Adalah karena dia, maka kongcu bertengkar

dengan baginda, Hoan Gong taysu, harap kau bunuh bangsat

itu kedua fihak tentu akan puas.”

Hoan Gong menimbang kata2 Ceng-ceng ji itu beralasan

juga. Tapi ketika ia hendak turun tangan pada Khik Sia, Su

Tiau ing sudah lantas meneriakinya: “Suhu, jangan kena

ditipu. Pemuda she Toan ini adalah sutenya. Toa suhengnya,

Gong gong ji, sayang sekali kepadanya. Sebaliknya monyet

tua itu sendiri yang berkhianat kepada perguruannya, jika kau

bunuh orang she Toan itu, berarti kau hanya membantu dan

menghimpaskan dendam diri peribadinya monyet tua itu,

Tetapi resikonya, Gong-gong-ji tentu akan membikin

perhitungan padamu.”

Hoan Gong terkesiap kaget, pikirnya: “Apakah keterangan

itu benar atau salah, yang terang Gong gong-ji itu tak boleh

dimusuhi.”

Akhirnya tanpa berkata ba atau bu lagi, paderi itu melesat

pergi, Baru Su Tiau-ing dapat bernapas longgar, sekonyong2

Un bun Jui muncul!.

“Hai, Uh bun Jui, hendak mengapa kau? Jangan lupa,

tanganku masih mencekal golok,” teriak Su Tiau ing.

Ceng ceng ji tertawa gelak2: “Uh bun Jui, itu lihatlah siapa

yang berbaring didalam ranjangnya itu. Burung merpatimu

sudah didahului orang ho!”

Kiranya adanya Uh bun Jui sampai mengkhianati

perguruannya dan mengadakan perebutan pangcu Kaypang,

adalah karena bujukkan Su Tiau ing, Su Tiau ing hendak

menggunakan tesnaga partai Kay pang untuk melawan

tentara kerajaan Tong. Sementara Uh bun jui juga hendak

pinjam tenaga nona itu untuk merebut kedudukan pangcu

Kaypang, Tapi faktor yang terutama, ialah karena ia tergila2

akan kecantikan Su Tiau ing. Memang paras cantik itu sering

membikin orang lupa daratan. Kalau tidak masakan Uh-bun Jui

berani bertindak begitu rupa.

Rupanya Ceng ceng-ji tahu akan isi hati pemuda itu. Sekali

berkata ia dapat menusuk perasaan Uh bun Jui. terdorong

oleh rasa cemburu berkobarlah nafsu membunuh dalam

sanubari Uh-bun Jui.

“Kongcu, aku sekali2 tak berani melawan kau. tapi untuk

menjaga nama kehormataumu. aku takkan membiarkan kau

terpikat oleh bangsat itu,” kata Uh-bun Jui.

Su Tiau-ing mendampratnya: “Jangan ngaco belo tak

keruan, enyahlah,”

Kembali Ceng-ceng ji tertawa mengejek: “Uh-bun Jui,

apakah kau masih punya setitik pambek lelaki jantan? Dengan

mata kepala sendiri kau menyaksikan bangsat itu tidur

dipembaringannya. masakah kau diam-diam mau ngacir?”

Uh-bun Jui menggerung keras. Dengan mengacungkan

tongkatnya, ia berlarian menghampiri ranjang.

“Kongcu. maafkan aku tak mendengar perintahmu. Aku

tetap harus membunuh bangsat ini !” teriaknya dengan keras.

Su Tiau-ing hendak menyabetnya dengan golok, tapi Cengceng-

ji tak mau memberi kesempatan. Ia merangsek, nona itu

tak sempat mengurusi Uh-bun Jui lagi, Memang

kepandaiannya masih terpaut jauh dengan Ceng ceng ji.

Karena bingung, permainan goloknyapun rancu. Dengan

beberapa rangsangan dapatlah Ceng-ceng-ji menghalau nona

itu terpisah lebih jauh dari ranjang.

Seperti diterangkan diatas, saat itu Khik Sia sedang berada

dalam keadaan yang kritis (genting) ia tak dapat menangkis

serangan Uh bun Jui itu. Bluk, tongkat Uh-bun Jui dapat

mengenai pundaknya. Khik sia cepat putar tubuhnya sehingga

membelakangi Uh bun Jui.

Uh bun Jui menghantam untuk yang kedua kalinya, Pikirnya

hendak hantam pecah kepala Khik Sia.

Dan anehnya, Khik Sia malah gunakan jurus hou gim toau

(burung tiong mengangguk) ia sodorkan panggungnya

kebelakang. desss…. terdengar bunyi macam rumput

dipotong. Punggung Khik Sia terpukul tongkat, tapi sementara

itu Uh bun Jui rasakan tangannya kesemutan panas, hampir

saja tongkatnya terlepas jatuh.

Kiranya saat itu sudah lewat agak lama, Meskipun jalan

darah Cap ji ciong lo ditubuh Khik Sia belum tertembus, tapi ia

sudah mendapat kembali enam tujuh bagian tenaganya.

Dengan tenaga itu saja cukup sudah baginya untuk

menyengkelit Uh-bun Jui. Tapi kuatir usahanya tadi akan

gagal seluruhnya, sehingga kemungkinan tubuhnya rusak,

maka ia tak mau turun tangan, sekalipun begitu, dengan

paksakan diri ia dapat menyalurkan lwekangnya kearah

punggung. Sudah tentu pukulan Uh bun Jui tadi, sedikit pun

tak menjadi soal.

Sebaliknya ketika mendengar suara gebukan tongkat, hati

Su Tiau ing menjadi goncang, Ia tahu bahwa bekerjanya obat

penawarannya harus menunggu sampai setengah jam, atau

sama dengan dua batang dupa terbakar habis. Kini kira2

temponya baru dapat sebatang dupa terbakar habis. Ia duga

Khik Sia tentu belum dapat melawan, jadi kesadarannya tentu

berbahaya. Hal itu disebabkan karena ia belum mengetahui

sampai dimana kesempurnaan iwekang Khik Sia.

Tidak demikian dengan Ceng ceng ji yang sudah kawakan.

Demi mendengar bunyi tongkat itu agak lain, ia sudah

menduga jelek. Kejutnya lebih hebat dari Su Tiau ing. Buru2 ia

merangsek Su Tiau ing dengan jurus pay bun chiu, Su Tiau ing

masih belum banyak pengalamannya bertempur. Saat itu

karena memikirkan keselamatan Khik Sia, pikirannya menjadi

kacau sehingga permainannyapun rancu, Golok ditangan

kirinya kena ditampar oleh Ceng ceng ji sampai terlepas jatuh.

Hilangnya satu golok itu, menyebabkan kendurnya permainan

Su Tiau-ing.

Musuh utama bagi Ceng-ceng ji adalah Khik Sia. Selain itu

memang ia tak berniat hendak melukai Su Tiau ing. Dengan

kecepatan yang luar biasa, menyelinap dari hadangan sinona

menuju kemuka ranjang. Setelah mendorong Uh-bun jui

kesamping, ia lantas menghantam Khik Sia. Tiba2 seperti bola,

tubuh Khik Sia melambung keatas. Brak … bukan tubuh Khik

Sia tetapi ranjanglah yang menjadi sasaran hamtaman Cengceng

ji itu hingga remuk. Pokiam Khik Sia jatuh kelantai,

sementara pedang Ceng ceng-ji yang menyusup ke bawah

kolong tadi, kini teruruk oleh ranjang, Untung tidak seluruhnya

karena tangkainya masih kelihatan menonjol diluar.

Su Tiau ing memburu datang dengan sebuah tabasan.

Ceng Ceng ji memiliki ilmu thing hong pian ki atau dengan

anginnya mengetahui senjata. Tanpa menoleh, ia tamparkan

tangannya kebelakang untuk menyampok golok Su Tiau-ing,

Sedang tangannya yang lain hendak menyambar pedangnya,

Su Tiau ing tanpa memperdulikan jiwanya lagi. terus mencecer

Ceng-ceng ji.

“Uh-bun jui, lekas rebut pokiam!” serunya.

Pada saat itu Su Tiau ing mengirim tabasan yang keempat.

Ceng-ceng ji sudah berhasil memperoleh pedangnya. Begitu

berputar tiba- tiba lantas membacok Su Tiau ing.

Setelah mendapat peringatan dari Ceng ceng-ji, Uh-bun Jui

cepat memungut pokiam Khik Sia. Girangnya bukan kepalang.

“Hm, sekalipun kau mempunyai ilmu kebal yang sakti, pun

tubuhmu itu tetap terdiri dari darah dan daging. Masakan tak

mempan ditusuk senjata.” pikirnya.

Ketika mengawasi ke muka dilihatnya tubuh Khik sia sudah

turun dilantai dan tetap masih duduk bersila seperti tadi.

menggeletarkan pedang pusaka, ia segera menusuk, yang

diarah yalah tulang pi-peh-kut dibahu Khik Sia. Jika kena, Khik

Sia tentu akan menjadi cacat seumur hidup, Tapi Khik Sia

cepat miringkan tubuhnya kesamping. Cret, yang kena

hanyalah secarik pakaiannya saja, sedang ujung po-kiam lalu

diatas pundaknya, Khik Sia gunakan lwekang untuk menyedot.

Dengan goyangkan bahu, ia telah menyedot tenaga Uh-bun

Jui sampai separoh bagian sehingga anak muda she Uh-bun

itu tak dapat menguasai keseimbangan tubuhnya lagi. Hampir

saja ia menyeruduk tubuh Khik Sia,

Uh-bun Jui juga seorang akhli silat.

Pada saat itu ia tahu kalau Khik Sia juga dapat

menggunakan ilmu lwekang tinggi. Kejutnya bukan main.

Takut kalau dibalas, saking gugupnya ia lantas susuli

menghantam, tapi akibatnya malah runyam. Daya membal

yang dipancarkan bahu Khik Sia lebih besar dari tadi.

Krek……. tongkat Uh Bun Jui kutung menjadi dua. Sedang Uh

Bun Jui sendiri terpental mundur sampai beberapa langkah.

Untung karena kencang mencekalnya, pokiam tak sampai

jatuh terlepas dari tangannya.

“Coba kulihat sampai berapa kali kau mampu menyingkir

dari serangan pedang ini,” ia berteriak keras seraya tusukkan

ujung pokiam kepunggung lawan.

“Lepaskan!” kedengaran Khik Sia buka suara. Dengan dua

jarinya ia menjepit batang pokiam itu. Jepitannya itu tepat

benar, seolah-olah punggungnya itu seperti bermata saja.

Kejut Uh Bun Jui tak terkirakan. Baru ia hendak

memutarnya, tahu-tahu dengan kekuatan dua buah jarinya

saja, pokiam sudah berpindah ketangan yang empunya (Khik

Sia)! Dan tiba Khik Sia loncat bangun.

“Kau sudah keliwat kurang ajar kepadaku. Lihat pedang!”

seru pemuda itu.

Uh Bun Jui gunakan separoh kutungan tongkatnya tadi

sebagai senjata. Tapi dengan mudahnya, dapatlah Khik Sia

memapas tongkatnya lagi hingga hanya ketinggalan sedikit di

bagian tangkai yang dicekalnya. Coba Uh Bun Jui tak cepat

menarik tangannya, mungkin pergelangan tangannya juga ikut

hilang.

Ternyata serangan kalap Uh Bun Jui dengan tongkatnya itu,

bukannya melukai Khik Sia sebaliknya malah memberi bantuan

besar kepadanya. Seperti diketahui penyaluran lwekang Khik

Sia pada saat itu sedang dalam tingkat genting. Kebetulan Uhbun

Jui menggebuknya, ini ia pergunakan untuk mempercepat

pengaliran darahnya. Setelah bagian Cap-ji ciong lo dapat

menyalur, tak perlu menggunakan waktu setengah jam

lamanya, tenaganya dengan cepat sudah dapat pulih kembali.

Memang ilmu silat itu mempunyai inti keistimewaan yang

indah. Kembali pada penuturan setelah tongkat Uh Bun Jui

terpapas kutung oleh pokiam Khik Sia, kejut Uh Bun Jui serasa

terbang semangatnya. Saat itu asal Khik Sia menusuk lagi,

jiwa Uh Bun Jui pasti melayang. Tapi tiba-tiba terdengar suara

logam jatuh berkerontang di lantai. Kiranya golok ditangan

kanan Su Tiau-ing juga kena oleh pedang Ceng Ceng Ji.

Saat itu hubungan Su Tiau-ing dengan Khik Sia bukan lagi

sebagai musuh melainkan sebagai sahabat. Sinona terancam

bahaya, sudah tentu Khik Sia tak mau berpeluk tangan

mengawasi saja. Dalam pada itu Khik Sia juga berpendapat

bahwa Uh Bun Jui itu adalah anak murid Kay Pang. Sebaliknya

ia tak lancang melanggar hak partai Kay-pang untuk memberi

hukuman.

Dengan keputusan itu. secepat kilat ia sudah meluncur

kemuka Ceng Ceng Ji. Ceng Ceng Ji cepat lancarkan jurus

istimewa liu-sing-kam-gwat atau bintang jatuh mengejar

rembulan. Tiga serangan sekaligus ia balingkan kekiri untuk

menusuk jalan darah peh-hay hiat, kekanan menusuk jalan

darah hu-tho-hiat dan ketengah menusuk jalan darah suan-kihiat.

Tiga serangan dalam satu jurus itu, adalah jurus

mematikan yang paling ia andalkan. Hebatnya bukan olah2.

Melihat Ji suhengnya sedemikian buasnya marahlah Khik

Sia. Ia berseru nyaring: “Ceng Ceng Ji, karena kau begitu

keras kepala hendak mengambil jiwaku, jangan sesalkan aku

yang tak mau mengakui kau sebagai saudara seperguruan

lagi. Mulai saat ini, hubungan kita sebagai suheng dan sute,

putus sampai di sini!”

Ia lintangkan pokiamnya untuk menutup serangan lawan.

Berulang kali terdengar bunyi mendering yang memekakan

telinga. Keduanya sama bergerak cepat. Dalam waktu Khik Sia

mengucapkan kata-katanya tadi, kedua pedang mereka sudah

beberapa kali saling beradu.

Pedang pendek dari emas murni Ceng Ceng Ji, sebenarnya

tak kalah dengan pedang pusaka peninggalan keluarga Toan.

Tapi tenaganyalah yang kalah dengan bekas sutenya itu.

Dalam beberapa benturan senjata itu, kalau Khik Sia masih tak

merasakan apa-apa, adalah Ceng Ceng Ji yang sudah rasakan

tangannya panas kesakitan. Pedangnya hampir saja terlepas.

Kini Ceng Ceng Ji tak berani adu kekerasan. Ia ganti siasat

gunakan kelincahan. Mereka adalah seperguruan. Keduanya

saling mengetahui mengetahui kelemahan dan keunggulan

masing:. Diam2 Khik Sia membathin: “Dapat kukalahkan dia

tapipun harus melalui seratusan jurus. Musuh berjumlah

banyak dan aku sendirian, kalau bala bantuan mereka datang,

sukarlah aku untuk loloskan diri!”

Seketika ia lantas gunakan jurus sin-liong jip-hay atau naga

sakti menyusup kedalam laut. Pokiam diputar naik turun

kekanan kiri sehingga mau tak mau Ceng Ceng Ji harus

mundur.

“Maaf, aku hendak pergi dulu!!” ia melontarkan biat-gongciang

untuk menghancurkan jendela dan terus hendak loncat

keluar.

“Hai, apakah aku masih dapat tinggal di-sini?” teriak Su

Tiau-ing.

Sebenarnya separoh tubuh Khik Sia sudah menyusup keluar

jendela. Tapi begitu mendengar jerit keluhan sinona tadi, ia

segera hentikan tubuhnya. Dengan gaetkan sebelah kakinya

kepinggiran jendela, ia berpaling melongok kebelakang.

Dilihatnya Su Tiau-ingpun ternyata mengikuti dibelakangnya.

Sedang Ceng Ceng Ji sudah tusukan pedangnya kepunggung

gadis itu.

Bermula Khik Sia kira kalau Ceng Ceng Ji tentu tak berani

membunuh Su Tiau-ing. Tapi apa yang dilihatnya itu, ternyata

berlainan, Ceng Ceng Ji benar benar tak mau kasih ampun

lagi. Terkilas dalam pikiran Khik Sia:

“Ya, benarlah seorang lelaki harus menarik garis tajam

antara budi dan dendam. Gadis ini meskipun belum tentu

seorang baik, tapi ia telah melepas budi menolong jiwaku.

Masakan aku takkan memperdulikannya!”

Persatuan gerak tubuh Khik Sia dengan pedangnya telah

mencapai suatu tingkat yang dapat digerakkan menurut

sekehendak hatinya. Setelah sebelah kakinya dikaitkan pada

ujung jendela, ia segera ayunkan tubuhnya kemuka. Tangan

kirinya menarik Su Tiau-ing, tangan kanannya menusuk pada

Ceng Ceng Ji. Pedang, pusaka Toan Khik Sia itu lebih dari

setengah meter panjangnya. Sedangkan pedang Ceng Ceng Ji

hanya sembilan inci. jadi pokiam Khik Sia lebih panjang hampir

setengah meter. Dengan keuntungan itu, meskipun Khik Sia

bergelantungan pada jendela, namun berhasil juga ia

menghalangi Ceng Ceng Ji. Tapi kerugiannya karena

bergelantungan itu, tenaganya kalah dengan Ceng Ceng Ji!

Begitu kedua pedang berbenturan, tergetarlah tubuh Khik

Sia mau jatuh. Tapi dengan cepat ia lengkungkan tubuhnya

kebawah untuk menyambar tubuh Su Tiau-ing terus dibawa

loncat keluar. Gerakan Khik Sia itu termasuk ilmu gin-kang

yang hebat. Sebenarnya sudah dari tadi, barisan bu-su

(pengawal) Su Tiau-gi datang dalam jumlah besar. Tapi

karena mereka tak mendapat perintah Su Tiau-gi, apalagi

karena didalam sudah ada Ceng Ceng Ji, mereka anggap

belum perlu turun tangan. Mereka tidak masuk kedalam kamar

Su Tiau-ing dan hanya menunggu diluar saja.

Saat itu demi melihat Khik Sia lolos keluar dan Su Tiaugipun

sudah memberi perintah untuk membunuh, maka

menyerbulah mereka. Ketika Khik Sia masih melayang diudara,

puluhan tombak dan pedang serentak sudah menyambutnya.

Khik Sia berseru keras sembari mainkan pedangnya dalam

jurus ya-can-pat-hong atau malam menyerang delapan

penjuru. Tring, tring, terdengar suara mendering susul

menyusul. Sembari melayang turun Khik Sia sudah memapasi

kutung senjata kawanan busu itu.

Kala itu Ceng Ceng Ji pun sudah mengejar loncat dari

jendela. Melihat itu Khik Sia segera berikan pokiamnya kepada

Su Tiau-ing.

“Nona Su, ambillah pedangku ini! Kau buka jalan keluar dan

biarlah aku yang menahan mereka!”

Su Tiau-ing menerima pokiam itu dengan rasa kejut dan

girang. Benar juga dalam lain kejap saja, Ceng Ceng Ji sudah

menyerang dengan pedangnya. Begitu merasa belakang

kepalanya ada angin menyambar, tiba2 Khik Sia balikkan

tangannya dan gunakan sebuah jari untuk menutuk telapak

tangan Ceng Ceng Ji.

Kejut Ceng Ceng Ji tak terkira, pikirnya: “Suhu ternyata

berat sebelah. Tutukan jari kiu-kiong-sin-ci itu dahulu suhu

tidak mau mengajarkan kepadaku. Tetapi telah memberikan

kepada anak itu.”

Ditengah telapak tangan terdapat sebuah jalan darah yang

disebut lau-kiong-hiat, merupakan salah satu bagian yang

mematikan orang. Saking gugupnya, Ceng Ceng Ji cepat2

ganti gerakannya. Pedangnya dibabatkan kesamping tubuh

Khik Sia untuk menusuk bagian bawah iga Khik Sia. Tapi saat

itu Khik Sia sudah mendapat kesempatan untuk putar tubuh

menghadapi lawan.

Dalam pada itu ia berbareng hantamkan kedua tangannya.

Yang satu untuk menghantam pedang Ceng Ji, yang satunya

untuk memukul lutut Ceng Ceng Ji. Pukulan yang dilancarkan

secara tiba dan pada jarak begitu dekat, membuat Ceng Ceng

Ji tak sempat lagi menghindar. Ia terpelanting jatuh,

pedangnyapun mencelat keudara. Khik Sia sambar tubuh busu

itu, Sementara dalam detik-detik itu juga Khik Sia sudah

menyingkir kesamping.

Melihat Khik Sia dan Ceng Ceng Ji bertempur begitu seru,

kawanan busu itu berteriak-teriak sembari berpencaran

keempat penjuru. Tak berani lagi mereka mengganggu Khik

Sia.

Khik Sia hanya dengan tangan kosong, Ceng Ceng Ji

gunakan pedang. Untuk itu Khik Sia hanya andalkan

kelincahan dan ilmu tutukan jari sakti kiu-kong-sin ci . Mereka

bertempur dengan rapat. Sembari melawan, Khik Sia terus

main mundur.

Su Tiau-ing yang mencekal pedang pusaka, kini menjadi

garang. Para kawanan busu yang biasanya amat garang, saat

itupun tak berani menphalangi Su Tiau-ing. Tengah Su Tiauing

kegirangan sekonyong ada sebatang tombak tengah

meluncur kearahnya. Ia cepat tabaskan po kiam, tring, sinar

api terpencar. dan batang tombak itu tergurat melewat, tapi

tidak putus. Sebaliknya Su Tiau-ing merasa tangannya sakit

kesemutan sekali hingga hampir tak kuat mencekal pedangnya

lagi.

Berpaling kebelakang ia melihat seorang bertubuh tinggi

besar (tingginya sampai dua meteran ), mukanya hitam

seperti pantat kuali, matanya besar rambutnya bercakap

bunga. Dari dandanannya yang aueh itu, ia benar2

menyerupai Hek sat sin atau Malaikat Maut hitam. Orang

itulah yang menghadang Su Tiau ing sembari ketawa meringis,

Su Tiau-ing terkejut dan diam diam mengeluh.

Kiranya orang itu adalah putera dari raja peribumi suku Ki

namanya Chomulun. Sejak Su Tiau-ing tiba didaerah situ,

Chomulun itu mengandung maksud tak baik terhadap Su Tiau

ing. Acapkali ia mengikuti nona itu, Su Tiau ing benci

kepadanya, tapi karena hendak menggunakan tenaga ayah

dan anak itu, terpaksa ia kekang kemarahannya.

Chomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali.

Dengan tangan kosong ia dapat memukul mati harimau.

Tombaknya itu beratnya 52 kati. Dimainkannya kekuatannya

sama dengan puluhan orang. Tusukannya tadi hanya

menggunakan 2-3 bagian tanaganya saja, coba tidak Su Tiau

ing sudah hancur.

“Yan Khan (raja Yan) adikmu cantik benar, sayang kalau

dibunuh, lebih baik kasih aku saja,” serunya kepada Su Tiau

gi.

“Bunuh dulu bangsat itu. baru nanti kuserahkan ia

padamu.” sahut Su Tiau gi.

“Apanya yang sukar?” teriak pangeran itu.

Ia terus angkat tombaknya hendak menyerang Khik Sia,

tapi kuatir Su Tiau ing akan merat lolos, ia lantas bersuara:

“Hai. buanglah pokiammu itu dan ikut aku saja, Engkomu

sudah meluluskan.”

Tak mampu memapas kutung tombak si raksasa dan tak

dapat menerobos hadapannya, Su Tiau ing tak dapat berbuat

apa2. Dalam keadaan berbahaya timbul akalnya. Pura2 ia

lantas tertawa kepada Chomulun.

Girang siraksasa bukan main, serunya : “Orang cantik

apakah kau meluluskan ?”

Sahut Su Tiau ing, “Yang kupuja adalah, kaum pahlawan

gagah perkasa. Asal kau dapat menangkan dia (ia menunjuk

Khik Sia). mau aku menikah padamu .”

“Benarkah ? kau tak lari?” Chomulun menegas.

“Tak nanti aku melarikan diri. tapi kau harus bertanding

satu lawan satu. Jika menang barulah kau kuanggap gagah

perkasa!” seru Su Tiau ing.

Si raksasa ngangakan mulutnya yang besar dan tertawa:

“sudah tentu begitu, mengapa aku harus minta bantuan

orang!”

“Dan masih ada sebuah lagi. Kau harus halau monyet tua

itu, Jika monyet tua itu sampat melukai aku, bagaimana

nanti?”

Chomulun berseru keras: “Kau adalah orangku. siapa yang

berani mengganggu selembar rambutmu saja, tentu akan

kubunuhnya.”

Dengan mainkan tombak besinya, Benar juga Chomulun

lantas menghampiri Khik Sia, teriaknya dengan suara

menggeledek: “Hai. monyet tua, menyingkirlah. Biar kutempur

budak ini.”

Yang disebut-2 monyet tua ini adalah Ceng Ceng-ji, sudah

tentu diri Ceng ceng ji tidak terima dihina begitu, Sahutnya

dengan tertawa mengejek: “Siau ya, jangan termakan tipunya

(Su Tiau ing). Budak ini lihay sekali.”

Chomulun menganggap dirinya itu tiada yang melawan

didunia ini. Mendengar ejekan Ceng ceng ji. marahnya bukan

main:

“Bagaimana lihaynya? Apakah lebih lihay dari singa?

Apakah lebih buas dari harimau? Kau sendirilah yang tak

berguna, tak mampu mengalahkannya lalu memuji2nya

setinggi langit!”

Saking marahnya ubun2 kepala Ceng ceng ji sampai keluar

asap. Sebenarnya ia tak mau menyingkir, tapi demi hasil

pertempurannya dengan Khik Sia tadi berimbang saja, jika

Chomulun siraksasa limbung itu benar2 akan menombaknya,

tentu akan berbahaya sekali. Akhirnya terpaksa ia kendalikan

kemarahannya dan tertawa dingin.

“Bagus, kau benar2 tak tahu gelagat. Karena kau hendak

maju mengantarkan jiwa silahkan majulah!”

Chomulun membentak keras: “Monyet tua kau berani

menghina aku? Tunggu setelah kuselesaikan budak ini, tentu

kubikin perhitungan padamu”.

Ceng Ceng ji tertawa ejek dan mengundurkan diri.

Maju dua langkah, Chomulun lantas putar tombaknya

sehingga menimbulkan lingkaran sinar. Serunya kepada Khik

Sia: “Kau minta senjata apa, biar kusuruh orang

mengambilkan agar kau jangan mati penasaran.”

Ia yakin tentu dapat menang. Sengaja ia pamerkan

kegagahannya dihadapan Su Tiau ing. Menandakan bahwa ia

tak mau membunuh orang yang tak bersenjata.

Khik Sia tak ada waktu meladeni orang limbung itu,

Barbareng mulutnya berseru: “Aku minta tombakmu ini,

lepaslah!” Tangannyapun sudah secepat kilat menyambar

ujung tombak orang.

“Hai, budak ini kuat sekali!” teriak Chomulun dengan kaget.

Ia gunakan kedua tangannya untuk memegang kencang2

tangkai tombaknya. Khik Sia menariknya, tapi tak berhasil

merebut dari tangan raksasa itu.

“Kau tak mau melepaskan? Hm, kau sendiri yang minta

sakit!” teriak Khik Sia yang lantas hantamkan tangan kirinya

kearah batang tombak. Tar, seperti bunyi halilintar

menyambar memecahkan telinga, seketika Chomulun rasakan

seperti ada arus tenaga menyalur lewat batang tombaknya

terus manghantam kedadanya, Darahnya serasa berggolak

dan gedebuk….. ia jatuh terbalik dengan kaki diatas, sudah

tentu tombaknya berbalik ketangan Khik Sia.

Kiranya Kik sia menggunakan pukulan lwekang kek lui

coan-kang. Ia salurkan lwekang melalui batang tombak terus

menghantam tubuh lawan.

Betapapun kuatnya tenaga Chomulun ini, tapi mana kuat

menahan gelombang lwekang yang memancar sedemikian

kuatnya?

Sekonyong2 terdengar dua kali deru angin menyambar dari

kanan kiri Khik sia. Ceng ceng ji dan Ma Tianglo dari partai

Kay pang telah serempak menyerang Khik sia. Selagi Khik sia

merebut tombak dan belum sempat menggunakannya, terus

diserangnya saja. Memang tombak itu senjata yang sukar

untuk digunakan bertempur secara rapat. Tapi ilmu ginkang

Khik sia itu sudah mencapai tingkat yang sedemikian rupa.

Begitu merasa ada angin menyambar dari belakang. Ia

dapat lemparkan tombaknya keudara. kemudian ia enjot

tubuhnya untuk melambung. sambil menyambar tombak. ia

melayang turun tiga tombak jauhnya. Kini ia mempunyai jarak

yang lapang dengan Ceng ceng-ji dan Ma tianglo. Dengan

tangkasnya mulailah ia kembangkan permainan tombak.

Trang, tangan Ma tianglo terasa kesemutan karena

tongkatnya kena dihantam putus oleh tombak Khik Sia.

Tianglo itu lekas-lekas mundur. Seperti telah diterangkan

diatas, tombak itu berataya 72 kati. Pedang Ceng Ceng-ji pun

tak mampu memapas kuntung, Khik Sia mainkan tombaknya

sedemikian rupa. ibarat percikan air tak dapat menerobos

masuk. Dalam keadaan begitu, Ceng Ceog-ji tak berdaya

untuk merangseknya.

Chomulunpun membawa pengawal sebanyak 50 orang.

Pengawalnya disebut pasukan Thing pay-chiu atau pasukan

perisai rotan. Sebenarnya saat itu mereka sudah pecah diri

berjajar menjadi formasi kipas, untuk menghadang jangan

sampai Su Tiau-ing lolos. Begitu Chomulun terbanting

ketanah, Su tiau ing tertawa mengejek :”Itu lihat, Tiau-ong-ya

kalian sudah menang, aku sekarang hendak pergi .”

Anak huah thing-pay-chiu itu masing2 memegang golok

dan perisai rotan, perisai itu dapat menahan bacokan senjata

tajam. Benar po kiam Si Tiau ing dapat menghancurkan perisai

mereka tapi jumlah mereka banyak, satu hancur dan maju,

Dan demikianlah seterusnya. Lima puluh anak buah pasukan

thing pay chiu itu seperti kumbang mengepung Su tiau ing

dan delapan penjuru. Kepungan mereka itu makin lama makin

rapat. Sukarlah bagi Su Tiau ing untuk menerobos keluar.

Khik Si tak mau mengorban banyak jiwa. Tiba2 ia putar

tombaknya dan menggembor keras. Dtusukkanya tombak itu

pada sebuah tiang batu. Krek, bum. .. pecahlah batu

berhamburan ke-mana2 dan pilar batu itu telah kena, kena

tertusuk sampai berlobang. Setelah itu ia putar tombaknya

sampai seperti kitiran dan berseru nyaring: “Siapa yang

menghalang tentu mati, yang menyingkir akan hidup. Coba

saja kalian tanya pada diri kalian serdiri. Apakah kepala kalian

itu lebih keras dari pilar batu ini?”

Kelima puluh anak buah Thing-pay-chiu itu sebenarnya

bangsa jagoan yang buas dan tak takut mati. Tapi demi

melihat Khia Sia menyerbu dengan tombaknya, pecahlah nyali

mereka. Dengan berteriak2 keras, mereka sama lari tunggang

langgang keempat jurusan. Sebetulnya mereka itu bukan takut

mati melainkan ketakutan melihat keperkasaan Khik Sia yang

mengamuk seperti banteng ketaton itu.

Melihat tak dapat merintangi lagi, berserulah Su Tiau gi

memanggil adiknya: “Moay moay, apakah kau sungguh2

hendak melarikan diri bersama bangsat kecil itu?”

Su Tiau-ing tertawa mengejek: “Ho, jadi kau masih

menganggap aku sebagai adik? Sejak saat ini, hubungan kita

sebagai kakak-adik putuslah.”

Saat itu dengan sudah ganti toya (tongkat) baru. Uh bun

Jui menerobos maju dan berseru: “Nona Su, jika siang-siang

tahu akan kejadian begini, mengapa dulu kita berjerih payah?”

Dengan tawar Su Tiau-ing menjawab: “Kebaikanmu tetap

kuingat. Kini aku telah mengambil ketetapan untuk tinggalkan

tempat ini. Siapapun tak dapat menghalangi aku.”

Habis berkata, Su Tiau-ing lantas menabas. Uh-bun Jui

berteriak, lalu ngacir pergi.

Dengan bersenjata tombak panjang yang ampuh itu,

dapatlah Khik Sia dalam waktu yang singkat membuka jalan

lolos. Ia terus menerjang kepintu besar, Su Tiau-gi

perintahkan pasukan panahnya untuk mengejar dan lepaskan

anak panah, Ceng-ceng-jipun ikut memburu.

Bagaikan kawanan belalang ribuan batang panah segera

menghujani Khik Sia dan Su Tiau-ing, Khik Sia tetap putar

tombaknya sedemikian gencarnya untuk melindungi Su Tiauing

didalam membuka jalan lari itu. Tiba-tiba diantara hujan

anak panah itu tampak ada sekumpulan sinar perak

bergemerlapan, pada lain kejap sekonyong-konyong Su TiauTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

ing berteriak mengaduh : “Celaka aku terkena senjata

rahasia!”

Ceng-ceng-ji tertawa gelak2. Kiranya ialah yang

melepaskan jarum rahasia bwe-hoa-cam itu. Timpukannya itu

dapat mencapai jarak tiga tombak lebih. Yang hebat lagi,

jarum rahasia itu tak mengeluarkan suara sama sekali.. Jarum

itu susah dijaganya.

Khik Sia gunakan kecekatan tangannya untuk menyambuti

10 batang anak panah. Kemudian dengan gunakan ilmu

timpukan thian-li-sam hoa atau bidadari menabur bunga, ia

timpukkan anak panah itu kearah Ceng Ceng ji. Karena

lwekangnya yang tinggi, maka timpukannya itu tak kalah

lihaynya dengan kekuatan busur. Anak panah yang

ditimpukkan itu mendengung di udara. Ceng ceng ji tak berani

menyambarnya, buru2 dia putar pedang untuk melindungi diri

sembari menyingkir kesamping. Luput mendapat sasara Ceng

ceng ji, anak panah itu telah mengganyang beberapa orang

angguta pasukan panah. Pasukan panah itu tak berani

merangsek dekat-dekat lagi.

“Dibagian mana yang terluka?” tanya Khik Sia

“Celaka, yang terluka pada bagian ujung kaki.” Sahut Su

tiau ing. Ia beringsut, larinya susah sekali. Sejenak Khik sia

mengerutkan alis terus memimpinnya diajak berlari.

Tiba2 dimuka kembali ada sepasukan berkuda menyerbu

datang.

“Ong ciangkun, apakah kau hendak membikin susah

padaku?” Su Tiau ing menegur opsir pemimpin pasukan itu.

“Ah, aku tak berani mengganggu kongcu, Harap kongcu

menyingkir, aku hanya akan membunuh maling kecil itu.”

sahut opsir itu. Dan pada waktu dia berkata itu, dngan

menunggang kuda yang tegar, ia sudah menerjang Khik sia

dengan tumbaknya.

Ciangkun atau jendral orang she Ong itu mahir dalam

permainan pat-coa un (tombak delapan ular). Diantara orang

sebawahan Su tiau gi, ia termasuk seorang opsir yang gagah

perkasa. Tapi apa lacur, berhadapan dengan Khik Sia, benar2

ia ketemu dengan batunya.

“Bagus!!” seru Khik sia sembari tusukan tombaknya.

Tusukan itu berhasil dapat menyengkelit jatuh opsir itu. Kuda

opsir itu sudah banyak kali dipakai dalam pertempuran,

Tuannya jatuh, binatang itu tetap menyerbu kemuka untuk

meloloskan diri. Tapi dengan tangkas, Khik Sia cepat

menguasainya, Karena Su Tiau-ing terluka dan waktunya

kelewatan mendesaknya, dan apa boleh buat pada waktu itu

Khik Sia segera boncengkan nona itu diatas kuda.

Pasukan berkuda itu datangnya seperti air bah. Khik Sia

menghadapi mereka dengan sebuah taktik. Ia tak mau

mengarah penunggang, tetapi mengincar kuda

tunggangannya. Dalam beberapa kejap saja, ia sudah berhasil

melukai belasan ekor kuda. Karena terluka, kuda itu menjadi

binal dan lari mencongklang keras. Kepanikan mereka itu telah

menyebabkan pasukan kawannya yang berada dibelakang,

menjadi terhalang, Su Tiau-ing dengan sebelah tangannya

mendekap pinggang Khik Sia, sedang sebelah tangannya lagi

memutar pokiam untuk melindungi anak muda itu dari

serangan anak panah dari kedua jurusan (kanan kirinya).

Tiba-tiba dari kalangan anak buah pasukan berkuda itu

timbul hiruk pikuk yang menggemparkan. Ketika Khik Sia

berpaling, dilihatnya ada asap api mengepul keatas. Khik Sia

girang-girang terkejut, pikirnya: “Tepat sekali datangnya api

itu bagiku. Tapi entah siapa yang diam-diam membantu aku

itu?”

Pertama, karena pasukan berkuda pasukan pemanah itu

sudah gentar melihat kegagahan Khik Sia. Kedua kalinya,

mereka kaget melihat dimarkas besarnya timbul bahaya

kebakaran. Tanpa banyak pikir lagi, mereka tinggalkan

pengejarannya kepada Khik Sia, terus memburu kearah

kebakaran.

Kini lepaslah Khik Sia dari kepungan. Ia congklangkan

kudanya pesat-pesat. Ada belasan anak buah Su Tiau-gi yang

masih berusaha untuk mengejarnya, tapi mereka itu dapat

dihalau taburan anak panah Khik Sia. Yang masih mengejar,

kini tinggal Ceng-ceng ji seorang. Sebenarnya dengan ginkang

yang dipunyai itu, dalam batas jarak 10 li, dapatlah Ceng-ceng

ji mencandak larinya kuda. Tapi karena ia hanya sendirian

saja, nyalinya menjadi kecil juga.

Setelah kejar beberapa saat, waktu mengetahui belakang

tiada seorang kawan lagi timbullah kekuatiran Ceng ceng-ji,

kalau-kalau Khik Sia akan balik dan menyerangnya. Terpaksa

ia pun putar langkahnya lari balik.

Selolosnya Khik Sia dari bahaya itu, diam-diam ia malah

mengeluh dalam hati: “Kalau nona ini tak terluka itulah

mudah. Aku bisa berpisah dengannya. Tak memperdulikan

lagi, sebenarnya juga tak mengapa. Tapi sekarang ia terluka.

Karena membela diriku, ia sampai putuskan hubungannya

dengan engkohnya. Bagaimana aku tega tak

menghiraukannya lagi?”

Waktu masih bertempur, tadi Su Tiau-ing tak merasa

kesakitan. Tapi kini setelah lolos dari bahaya, Ia mulai

mengerang kesakitan, Dan untuk melonggarkan nyeri sakitnya

ini, ia peluk pinggang sianak muda erat2.

Khik Sia kerutkan alis dan menanya: “Bagaimana apakah

kau merasa sakit sekali?”

“Kumerasa jarum itu seperti bergerak2 ke atas, makin lama

makin menyusup lebih dalam” jawab Su Tiau-ing

Khik Sia terkesiap kaget. Memang ia tahu bagaimana

kepandaian bekas suhengnya itu. Pikirnya: “Jika tak di cabut,

dalam tujuh hari jarum itu tentu dapat menyerang kejantung,

pada waktu itu, tiada obatnya lagi. Sekali pun tidak kena

jantung dan hanya menyusup kedalam jalan darah saja, juga

akan menyebabkan invalid. Ai, tak nyana Ceng-ceng ji itu

sedemikian ganasnya, Terhadap nona Su, ia juga gunakan

jarum rahasia.”

Penderitaan Su Tiau-ing makin menyebabkan Khik Sia tak

dapat meninggalkannya. Katanya: “Kau tahan dulu sebentar,

biar kucari tempat untuk mengobati lukamu itu,”

Ia lari sampai dua puluhan li, mendaki sebuah gunung.

Disitu ia berhenti dan bantu Su Tiau-ing turun dari kuda.

Mereka masuk kedalam sebuah hutan.

“Maaf… Aku telah membikin cape kau,” kata Su Tiau-ing

“Kau telah menolong aku, seharusnya aku membalas

menolongmu. aku tak berterima kasih kepadamu dan kaupun

tak usah berterima kasih kepadaku.” jawab Khik sia.

Su tiau ing tertawa. “Rupanya kau berniat hendak

tinggalkan aku, maka sekarang kau berusaha mengobati

lukaku. Jangan takut, sekalipun nanti aku tak punya saudara

siapa2 lagi, tak nanti aku membayangi kau. Apalagi kau punya

ginkang hebat, setiap waktu kau tinggalkan aku, masa aku

dapat mengejarmu lagi?”

Khik sia termekmek dengan kata2 si nona yang membuka

isi hatinya itu. Merahkah mukanya. Sampai sekian lama baru

dapat bersuara lagi. “Aku tidak bermaksud begitu. Seorang

lelaki harus dapat membedakan budi dan dendam. Aku tak

suka menerima budi kebaikan orang.”

Su Tiau Ing menjawab dengan sungguh2, “Mana aku telah

melepas budi padamu? Karena aku tak baik, maka sampai

hampir mencelakai dirimu. Kau kuberi obat penawar, itu sudah

selayaknya. Cukup asal kau tak membenci aku lagi, aku sudah

merasa berterima kasih tak terhingga.”

Khik sia putuskan pembicaraan.

“Perkara lama, jangan ungkit lagi. Sekarang harap kau

duduk bersandar pada pohon ini. Kau merasa jarum itu

menyusup kebagian mana?”

Su Tiau-ing julurkan kaki kanannya: “Sepertinya menyusup

sampai di betis, disebelah jalan darah sam-kwat-hiat.”

Khik Sia bersangsi sebentar lalu berkata: “Nona, maafkan

kekurang ajarku.”

Tiba-tiba ia pegang ujung kaki Su Tiau-ing terus

melepaskan sepatunya.

“Akan kuambil jarum dikakimu itu,” sahut Khik Sia.

Su Tiau-ing menghela napas lalu tertawa cekikikan: “Ai, kau

ini memang. Omong saja tak jelas. Kalau tadi-tadi mengatakan

begitukan aku tak sampai kaget dan tak perlu kau menyebutnyebut

soal kurang ajar atau tidak.”

“Kau tahankan ya sakitnya! Hendak ku cabut keluar jarum

itu,” kata Khik Sia.

Ia menutuk jalan darah sam-kwat-hiat di betis sinona,

kemudian mencekal kencang ujung kakinya. Diam-diam ia

kerahkan lwekangnya. Serangkum arus lwekang menyalur dan

mendorong jarum itu keluar. Begitu ujung jarum menonjol,

terus dipijat Khik Sia. Saking sakitnya Su Tiau-ing sampai

mandi keringat dan tubuhnyapun gemetar. Tanpa terasa,

karena menahan kesakitan itu, Su Tiau-ing menyandar pada

tubuh Khik Sia. Ketika melirik, didapati kedua belah pipi Khik

Sia merah padam napasnya memburu.

Memang sebesar itu, belum pernah Khik Sia berjajar rapat

dengan seorang gadis. Meskipun saat itu untuk keperluan

pengobatan, namun karena menyentuh kaki seorang gadis

yang harum baunya. mau tak mau jantung Khik Sia berdebar

keras. Sebaliknya Su Tiau-ing diam2 merasa girang.

“Kiranya anak muda ini lebih kemaluan dari aku.”

Dalam derita kesakitanya itu, Su Tiau-ing merasa bahagia.

Bahkan ia malah mengharap kesakitannya itu bisa panjang

waktunya. Dengan iwekang yang liehay dalam sekejap saja

dapatlah Khik Sia menekan jarum itu turun ketelapak kaki Su

tiau ing. Begitu ujungnya menonjol keluar, Khik Sia gunakan

dua buah jari untuk menariknya.

“Aduh”, Su Tiau-ing menjerit kesakitan, Tapi jarum itu

sudah dapat dikeluarkan Khik sia, setelah itu Khik Sia lalu

melumuri obat. Su Tiau-ing bersandar pada pohon dengan

napas tersengal2, sedangkan Khik Sia juga mandi keringat.

kala itu hari sudah gelap, dicela gunung sang dewi malam

sudah mulai mengintip,

“Aduh, mengapa tenagaku tak ada sama sekali. Kau

bagaimana, apa sekarang mau pergi?” seru Su Tiau-ing.

“Beristirahat dulu disini sebentar, aku hendak mencari

makanan. Lukamu sudah sembuh. Tenagamu lemas, tentu

kau lapar.” Kata Khik Sia, ia sendiri hanya memakan

semangkuk bubur pagi tadi. Dalam pertempuran tadi ia sudah

gunakan tenaga tidak sedikit. Kemudian mencabut jarum

dikaki Su Tiau-ing, ini membuatnya merasa lapar juga.

Benar dihutan situ banyak binatangnya tapi di waktu

malam hari sukar untuk mencarinya. Apalagi Khik Sia tak

punya pengalaman berburu. dengan susah payah akhirnya ia

hanya dapat menangkap dua ekor kelinci hutan saja.

Dilihatnya Su Tiau-ing sudah membuat api dan

menyambutnya dengan senyum tertawa : “Kukira kau tak

balik lagi .”

“Hm, jika bukan karena tenagamu masih belum pulih, aku

tentu sudah pergi.” demikian Khik Sia membatin.

Tapi Su tiau-ing rupanya tahu apa yang di batin anak muda

itu, serunya tertawa . “Didunia tiada perjamuan yang tiada

berakhir. Biarlah kurangkai bunga untuk dipersembahkan Hud.

baiklah kupersiapkan hidangan selaku perjamuan perpisahan

kita.!”

Ia menyambut kedua ekor kelinci itu, menambahi pula

unggun api lalu mulai membakar kelinci itu. Ditingkah oleh

cahaya api, wajah nona itu tampak ke-merah2an, suatu warna

yang makin menambah kecantikan wajahnya. Hati Khik Sia

ber-debar2, pikirnya: “Jika sehabis makan lantas kutinggalkan,

apakah tidak keliwat menyolok. Seorang gadis yang lukanya

masih belum sembuh, berada seorang diri ditengah hutan

belantara, apakah tidak berbahaya? Jangan kata engkohnya

akan mengirim orang untuk mencarinya, sedang kalau sampai

berjumpa dengan binatang buas saja, apakah jiwanya tak

terancam nanti? Ai, tetapi….tetapi…, apakah malam ini aku

harus menemaninya disini.”

Rembulan makin naik tinggi. Sinarnya menerobos di-sela

daun pohor, yang rindang membawakan suatu suasana yang

rawan. Angin malam berembus mengantar bau bunga. hutan

yang wangi. Keindahan suasana malam kala itu diperkaya

dengan hadirrya seorang gadis jelita. Pikiran Khik Sia

melayang2…. Tiba2 ia teringat akan diri Yak-bwe. Pada malam

yang sedemikian indahnya inilah ia bertemu dengan nona itu.

Ditaman bunga gedung Sik Ko, untuk pertama kali ia

berjumpa dengan calon istrinya itu.

“Ah, waktu perjumpaan kita di ramaikan dengan

pertengkaran. Dan ia malah memakimu sebagai pencuri. Tapi

aku sendiri juga tidak baik. Karena sikapku kepadanya juga

jelas mengejek.”

Lain adegan terbayang lagi dalam lamunan Khik Sia.

Adegan yang terjadi pada lain malam, yaitu adegan ditaman

bunga Tok-ko U. Seorang diri ia mondar mandir ditaman

bunga, menunggu kedatangan Tok-ko U. Teringat sampai

disini, hati Khik Sia merasa pilu. Buru2 ia putuskan

lamunannya itu dan tak mau lagi ia melamun yang tidak2.

Didahului dengan pecahnya sang mulut karera tertawa,

berserulah Su Tiau-ing: “Apa yang kau pikirkan? Kau tampak

asyik sekali. Ini sate kelinci sudah matang”

Khik Sia gelagapan, tiba2 teringat olehnya: “Pada malam

dua bulan yang lalu. aku berjumpa empat mata dengan Su

yak-bwe. Tak nyana kalau dalam ini juga menghadap keadaan

seperti itu. Sayangnya meskipun ia juga she Su, tapi bukan Su

yak-bwe Ah, janganlah mengingat dia lagi. Ia (Yak Bwe)

sudah mendapat orang di penujuinya..”

Ter-sipu2 Khik sia menyambut kelinci bakar itu. Karena tak

hati2, tangannya terbentur dengan ranting yang dimasukkan

kedalam api oleh Su tiau-ing tadi. Buru2 ia tarik pulang

tangannya.

“Ai, bagaimana kau ini? Apakah yang kau pikirkan?” Su

Tiau-ing tertawa.

Cepat Khik Sia berkesiap sungguh2 dan bertanya, “Aku

hendak menanya suatu hal padamu.”

“Apa itu hingga kau harus merenungkan sekian lama?”

tanya Su Tiau Ing. ia menatap pemuda itu tajam2.

Khik Sia batuk sebentar baru berkata: “Kau sudah

tinggalkan sarang kaum pemberontak. Sebenarnya aku takkan

mengungkit peristiwa lama lagi. Tetapi urusan ini tak dapat

terlepas dari itu.”

Su Tiau-ing tersirat hatinya pikirnya: “Ia memandang

kerajaan Tay Yan sebagai sarang pemberontak. Ia sendiri juga

bangsa penyamun mengapa begitu memandang rendah pada

kaum pemberontak? Apalagi keluargaku itu bukan bangsa

pemberontak biasa. Kalau berhasil tentu menjadi raja, kalau

gagal menjadi perampok. Masakah hal ini saja ia tak

mengerti.”

Ia paksakan bersenyum dan bertanya: “Bilanglah. tentang

hal apa?”

“Cui Ko pangcu dari Kay-pang apakah masih kalian tawan?”

tanya Khik Sia.

“Oh, kiranya tentang hal itu. Jangan kuatir, bukankah tadi

kau melihat dimarkas engkohku itu terbit kebakaran?” Su

Tiau-ing balas bertanya.

“Ha? Jadi kau tahu siapa yang melepas api itu ? Apakah

hubungan api itu dengan Ciu pangcu ?!” seru Khik Sia.

Su Tiau-ing tertawa : “Kau begini pintarnya, masa tak

dapat menerka? Api itu aku yang melepaskannya. Tempat

yang terbakar itu adalah kamar Ciu pangcu.”

“Apa? Kau yang membakar? Apakah kau mempunyai ilmu

Hun-sin hwat (membagi diri)?” Khik Sia berseru kaget.

Su Tiau-ing mentertawainya .”Apakah masih belum jelas?

Benar aku tak punya ilmu hun-sin-hwat, tapi aku punya budak

kepercayaan.” Sinona masih tetap tertawa.

“Lama sudah kuduga, lambat atau cepat, engkohku itu

tentu bentrok dengan aku. Karena itu siang2 telahku pesan

orang2 bila terjadi apa2 harus lekas menyulut api. Pertama,

agar Ciu pangcu jangan sampai jatuh ketangan engkohku.

Kedua, juga menguntungkan kita untuk lolos. Masihkah kau

tak mengerti!”

“Kalau begitu Ciu pangcu juga sudah lolos.”

“Sudah tentu. Memang sebenarnya aku tak berniat

membunuhnya, Dengan susah payah ku tawannya, masakan

lantas gampang2 mau membakarnya mati ?” sahui Su tiau ing.

Khik Sia seperti terlepas dari tindihan batu. Namun ia masih

belum yakin, pikirnya: “Agaknya nona Su ini menjadi otak dari

engkohnya didalam merencanakan sesuatu. Merancang tipu

siasat, rupanya ia pandai sekali. Menawan Ciu pangcu itu,

tentu juga ia yang mengatur. Tak terluput diriku yang ditawan

dan dijadikan orang perantara untuk menyampaikan

maksudnya kepada Thiat-toako tentu juga buah pikirannya.

Tapi mengapa mendadak sontak ia merobah haluan,

melepaskan Ciu pangcu dan putuskan hubungan dengan

engkohnya. Apakah kesemuanya itu untuk diriku se-mata2?”

Su Tiau-ing tertawa: “Pertanyaanmu telah kujawab, Ciu

pangcu tak binasa. Seharusnya kau tak usah gelisah tapi

mengapa kau masih memikirkan apa-apa lagi?”

“Apakah kau tak menyesal putuskan hubungan dengan

engkohmu?” tanya Khik Sia.

Su Tiau-ing tertawa menyahut: “Aku sebenarnya berlainan

ibu dengan dia, dan ia telah berbuat khianat membunuh ayah

kami dan telah menyebabkan ibuku meninggal karena marah.

Coba kau pikirkan, apakah aku masih dapat menganggapnya

sebagai engkoh lagi.?”

“Kalau begitu, sebenarnya kau sudah lama benci

kepadanya? Tetapi mengapa, mengapa..”

“Kau hendak menanyakan mengapa sebelum melarikan diri

aku mau membantu engkohku itu, bukan ?” Tiau Ing menegas

“Sebenarnya aku tak suka mengangkat urusanmu yang

lama. Jika kau tak suka menerangkannya. ya sudahlah!!”

Su Tiau ing tertawa: “Ku tahu kau ini seorang anak lelaki

yang kasar. Siapa nyana agaknya kau juga mengerti soal

etiket (tata susila). Padahal sekalipun tak kutanyakan, aku

tentu akan memberitahukan padamu juga. Apa kau kira aku

tulus ikhas membantu engkohku? Hanya karena belum tiba

saatnya, aku belum dapat melakukan pembalasan padanya.

Kekuasaan engkohku lebih besar, anak buahnya lebih banyak

dari anak buahku, dari itu aku tak dapat sembarangan

bergebrak!”

Kini teranglah Khik Sia, katanya: “Kiranya kau memperalat

Uh-bun Jui. karena hendak memakai tenaga kaum Kay-pang

untuk menghantam engkohmu?” Sebenarnya Khik Sia masih

menahan sebuah pertanyaan lagi, yakni: “Kau bersikap begitu

juga kepadaku, apakah bukan serupa maksud tindakanmu

terhadap Uh bun Jui.”

Dengan tegas Su Tiau-ing menjawab: “Benar, jika tak

bermaksud menggunakan tenaga kaum Kay-pang. masakan

aku sudi berkenalan dengan Uh-bun Jui. Sayang meskipun

telah kugunakan bermacam jalan, namun ia tetap gagal

menjadi pangcu.”

Dingin2 Khik Sia berkata: “Akulah yang merusak usahamu

itu, Kala itu jika aku tak muncul melawan kalian, kemungkinan

besar Uh bun Jui tentu sudah menjadi pangcu.”

Su Tiau-ing tertawa lebar. “Memang kala itu aku benci

benar2 padamu, Tapi kemudian tidak lagi, telah kunilai,

Meskipun Uh-bun Jui itu memiliki sedikit kepandaian tapi tak

dapat digembleng menjadi bahan yang bagus. Untuk

mengangkatnya, juga sukar. Ada apa? engkau masih tak mau

mengampuni dia ?”

“Aku tak punya sangkut paut dengan dia. Diberi ampun

atau tidak itu urusan partai Kay pang”, sahut Khik Sia.

Mata Su Tiau-ing berkeliaran. Dengan tertawa ia menatap

Khik Sia, lalu berkata perlahan lahan: “Kukira kau masih

mengandung permusuhan padanya.”

“Tidak, sebaliknya aku malah agak merasa kasihan

padanya,” kata Khik Sia.

Sampai beberapa saat. Su Tiau ing berdiam saja. Lewat

beberapa saat barulah ia berkata : “Tentang bentrokanku

dengan engkoh itu, memang suatu hal yang sukar dihindari.

Hanya aku tak menyangka kalau secepat ini terjadi-nya. Aku

belum siap betul, sudah didesak harus mengadakan pilihan.”

Diam2 tergetar hati Khik Sia. pikirnya : “Kiranya kakak

beradik itu diam2 sudah mendendam permusuhan, nona ini

masih muda sekali umurnya. tapi hatinya amat besar.”

Pikirnya pula: “Su Su bing mati memang sudah selayaknya.

Tapi tak seharusnya ia mati ditangan puteranya sendiri.

Rupanya nona itu hendak membalas pada engkohnya, bukan

semata2 karena hendak menuntut balas kematian ayahnya.”

Katanya kepada Su Tiau ing : “Kalau begitu lagi. akulah

yang merusak rencanamu itu bukan?”

“Tapi dengan begitu malah lebih baik. apakah kau suka

membantu aku?,” tanya Su tiau ing.

“Telah kukatakan dari tadi, kau sudah menolong aku dan

akupun sudah menolongmu. kita tak usah merasa saling

menerima budi. Besok apabila fajar sudah menyingsing, kita

bakal sudah berpisah. Aku tak dapat membantumu.” jawab

Khik Sia. Dalam pada itu ia membathin: “Kamu saling bunuh

dengan keluargamu sendiri dalam hal itu aku tak boleh turut

campur.”

Su Tiau-ing tertawa: “Aku belum bicara selesai, Bukan saja

hanya membantu urusanku. pun bagimu juga ada

kebaikannya,”

“Kebaikan apa saja, pun aku tak memikirkan.” Khik Sia

tetap menolak.

“Apakah kau setitik saja tak mempunyai cita2 untuk

melakukan suatu pekerjaan besar?” tanya Su Tiau-ing.

“Kulihat dulu, pekerjaan apa?” kata Khik Sia.

“Meskipun engkohku itu menderita kekalahan tapi ia masih

punya berpuluh ribu anak buah. Selain itu aku sendiri juga

punya tiga ribu pasukan wanita. Mereka hanya mendengar

perintahku saja, Engkohku tak punya kekuasaan untuk

memerintah mereka. Tapi jika engkohku itu meninggal,

sebaliknya aku dapat menguasai anak buahnya”.

“Jadi kau mau hilangkan dia dan menggantinya? Tetapi hal

itu tak ada sangkut pautnya dengan diriku. Telah kukatakan

ber-ulang2 bahwa aku tak dapat membantu urusanmu,” kata

Khik Sia.

“Tidak, hal itupun justru ada sangkut pautnya padamu.

Coba dengarlah. Aku juga tak menghendaki kau mewakili aku

membalas sakit hati karena toh sekarang ini kau sudah putus

arang (hubungan yang tak mungkin baik lagi) dengan Cengceng

ji. Kita pulang secara diam-diam. Pasukanku itu dapat

menghadapi anak buah engkohku, Engkohku itu juga bukan

tandinganku. Aku hendak melakukan pemberontakan secara

tiba2. Urusan itu tanggung berhasil. Yang kukuatiri yalah

beberapa ko-chiu (jago liehay) yang diundangnya itu. Tapi

diantara mereka itu, Hoan Gong Sian jiu. terang berdiri netral.

Dalam kalangan orang Kay pang ada Ma tianglo dan Uh bun

Jui. tapi Uh-bun Jui tak berani berbuat apa2 terhadap aku.

Yang masih perlu dikuatirkan hanya Ceng-ceng-ji seorang. Aku

hanya minta padamu, Jika Ceng ceng-ji itu sampai merintangi,

harap kau bunuh saja dia itu. Jika urusanku itu selesai,

kuangkat kau menjadi raja2 diseluruh anak buah engkohku

akan kuserahkan padamu.”

Mendengar itu Khik sia tertawa gelak2,

“Mengapa kau tertawa?” tanya Su Tiau-ing.

Sahut Khik Sia:

“Kau salah memilih orang. Aku bukan manusia yang

setimpal menjadi raja!”

“Sampai sekarang, kerajaan mana yang tidak terdiri dari

orang yang mempertaruhkan jiwanya, menang jadi raja, kalah

jadi perampok? Apa kau kira seorang raja itu memang sudah

ditakdirkan?”

Jawab Khik Sia : “Setiap orang mempunyai cita2 sendiri.

Karena kau bercita2kan menjadi raja nah, jadilah.”

Su Tiau-ing tertawa mengikik : “Sayang aku ini seorang

anak perempuan.”

Khik Sia bersikap sungguh, katanya : “Apakah seorang

perempuan tak boleh menjadi raja? Apakah Bu Cek-thian itu

bukan seorang kaisar wanita? Ia telah mengganti kerajaan

Tong menjadi kerajaan Ciu dan bukankah ia berhasil

menikmati takhta kerajaan selama 18 tahun lamanya?”

Su Tiau-ing kerutkan sepasang alisnya. Biji matanya

berseri2 dan tertawalah ia : “Kaisar Cek thian itu seorang

wanita yang pandai lagi berani, kaisar Thay Cong saja tak

lebih pintar dari padanya, mana aku dapat dipersamakan

dengannya? Dan lagi jangan dilupakan bahwa kaisar Cek thian

itu juga mempunyai pembantu yang jempol seperti Tek Jinkiat.”

Khik Sia tertawa : “Sayang aku tak mampu menjadi Tek Jin

kiat. Jika kau mau menjadi raja. pilihlah lain Tek Jin kiat yang

dapat membantumu.”

Sa Tiau-ing menunduk dengan rasa kecewa, tapi pada lain

saat tiba2 dia tertawa lagi.

“Hi, kau tertawa lagi?” seru Khik Sia.

“Aku hanya omong guyon kau lantas anggap

sesungguhnya. Kau adalah seorang gagah, seorang pendekar

tapi takut ber-angan2kan menjadi raja. Coba pikirkan, aku

seorang anak perempuan mana berani tak tahu diri? Tadi

hanya sekedar guyonan saja. jangan kau anggap sungguh2!”.

Padahal ia mengatakan hal itu dengan tertawa untuk

memulas maksudnya yang sesungguhnya. Benar2 noca itu

licin sekali,

Katanya pula: “Engkohku rasanya juga takkan lama

menjadi raja. Tapi ia masih mempunyai puluhan ribu anak

buah, Apabila orang yang pegang kekuasaan itu tidak

bijaksana, akibatnya hanya membahayakan rakyat saja. Jika

kau sendiri tak mau menindaknya, toh bukan suatu hal jelek

jika kau suka membantuku untuk merobohkannya? Dengan

begitu berarti bisa basmi perbuatannya yang merugikan

kepentingan rakyat bukan?”

Tergerak juga hati Khik Sia mendengar ucapan nona itu.

Tapi segera ia berkata,

“Ia. masalah kerajaan tak perlu aku yang mengurusi.”

Rupanya Khik Sia sungkan untuk mengutarakan

selanjutnya, bahwa “.Urusanmu aku tak mau turut campur.”

Su Tiau-ing putus asa, tapi tak mengatakan. tak mau ia

unjukkan kepada Khik Sia. Lewat sesaat, ia menatap Khik Sia

dan tertawa: “Ai, kau ini tidak itupun tidak. Habis kau mau jadi

apa?!”

“Aku hanya bercita2 menjadi orang seperti ayahku,” jawab

Khik Sia.

“Oh kau ingin menjadi pendekar kelana? Yang menjadikan

dunia ini rumah tanggamu, yang akan menuntut keadilan bagi

rakyat dunia yang tertindas?”

Atas pertanyaan itu, Khik Sia hanya tertawa saja. Sikap itu

dapat diartikan, secara diam2 ia mengakuinya.

Su Tiau-ing diam2 menghela napas katanya: “Telah

kukoreksi diriku sendiri. Hati ingin memeluk gunung apa daya

tangan tak sampai. Aku ingin menjadi tokoh semacam itu. tapi

kepandaianku tak mencapai. Tapi aku tetap tak dapat

membiarkan engkoh berbuat kejahatan. Aku toh barus

membereskan urusan keluargaku baru dapat menurutkan

cita2ku bebas berkelana seperti burung yang bebas terbang

diudara.”

“Setiap orang mempunyai cita2 sendiri, tak dapat dipaksa.

Kau senang menjadi apa tak usah kiranya berunding padaku.”

kata Khik Sia.

Su Tiau-ing tertawa: “Sedikit pun kau tak menaruh

perhatian pada urusanku.”

“Bukan, aku justru hendak bertanya padamu. Apakah

semangatmu sudah pulih? Apakah luka kakimu itu sudah

sembuh? Apa besok sudah dapat lari? Baiklah sekarang kau

beristirahat saja,” kata Khik Sia.

Su Tiau-ing bersungut2. “Inikah yang disebut perhatian?

Kau kuatir aku merepotimu saja. Baiklah, biar aku mati atau

hidup tak perlu kau hiraukan. Bisa berjalan atau tidak, tak

perlu kau pedulikan. Aku hendak tidur sekarang.”

-od0o-ow0o-

Jilid XIII

IA LANTAS meramkan mata, tak mengacuhkan Khik Sia

lagi. Meskipun Khik Sia tak punya kesan baik terhadap nona

itu, namun tak tega juga hatinya untuk meninggalkannya

seorang diri didalam hutan dalam keadaan seperti saat itu.

Diam-diam ia menghela napas, pikirnya: “Perangai anak

perempuan itu memang sukar diraba. Jika menyalahi tentu

runyam. Untung kerunyaman itu hanya untuk satu malam

saja. Besok pagi2 kita sudah akan berpisah. Kelak belum tentu

kita akan berjumpa lagi. Bencilah sepuas-puasmu biarlah!”

Karena kuatir kalau ada binatang buas datang, bukan saja

Khik Sia tak menyingkir, malah iapun tak dapat tidur, ia tak

mau dekat, tapi pun tak terpisah jauh dari nona itu. Ia mondar

mandir dibawah pohon menjadi penjaga malamnya Su Tiauing.

Berulang kali ia berpaling mengawasi nona itu.

Beberapa saat kemudian rembulan semakin tinggi, bintang2

bergemerlapan dan malampun makin dingin, Su Tiau-ingpun

rupanya sudah tidur pulas. Khik Sia berindap-indap

menghampirinya. Lapat-lapat ia mendengar suara napas nona

itu, bagaikan sekuntum bunga teratai yang tidur dibawah sinar

rembulan, menyebarkan hawa nan harum.

Serangkum angin berembus, tubuh sinona agak gemetar.

Hati Khik Sia pun terkesiap, pikirnya: “Dalam angin malam

yang dingin, ia hanya memakai pakaian tipis, apakah tidak

masuk angin nanti.” Tanpa terasa ia meloloskan bajunya lalu

ditutupkan ketubuh nona itu.

Su Siau-ing agak menggeliat, buru2 Khik Sia menyingkir.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang halus tapi cukup jelas

dalam telinga Khik Sia. Berbareng itu, tanpa ada angin sebuah

biji siong jatuh mengenai jidatnya. Kejut Khik Sia bukan

kepalang. Cepat ia melolos pokiamnya dan gunakan

ginkangnya it-ho-liong-thian (burung bangau menerobos

langit), ia loncat keatas pohon dan menusuknya.

Memang ternyata diatas pohon itu bersembunyi seseorang.

Hanya saja ketika Khik Sia menusuk, orang itu sudah

menyelinap loncat kelain pohon. Gerakannya luar biasa

tangkasnya, Khik Sia hanya melihat sesosok bayangan saja,

tapi siapa orangnya ia tak tahu sama sekali. Kejutnya makin

menjadi-jadi. Pikirnya: “Ginkangnya jauh lebih hebat dari aku.

Jika orang itu suruhan engkohnya, sukarlah untuk

menghadapinya.”

Setelah mengejar sampai tiga batang pohon, barulah orang

itu melayang turun kebumi dan melambaikan tangannya

kepada Khik Sia. Serunya sambil tertawa: “Turunlah, kita

boleh omong2 disini.”

Khik Sia terkesiap, keluhnya dalam hati: “Ah, tolol benar

aku ini. Seharusnya siang-siang aku ingat kepada suheng.

Selain ia siapa orangnya lagi yang memiliki ginkang

sedemikian hebatnya itu!”

Kiranya orang yang muncul itu bukan lain adalah suheng

dari Khik Sia sendiri, yakni, Gong-gong Ji. Walaupun sudah

mengerti, namun pada saat itu Khik Sia tak enak hatinya.

Mengapa suhengnya membawa ia jauh dari tempat Su Tiauing,

seolah-olah takut pembicaraannya nanti didengar nona

itu?

“Apa yang akan dikatakannya tak mau didengar orang

lain?” pikirnya.

Sudah beberapa tahun lamanya Khik Sia tak berjumpa

dengan suhengnya itu. Sejak ayah bundanya meninggal

kecuali Thiat Mo Lek hanya dengan suhengnya itulah ia paling

baik hubungannya. Sudah tentu pertemuan yang tak terduga

itu, ia merasa girang dan terkejut. Walaupun mempunyai

perasaan tidak enak hati, namun ia tak mau mengurangkan

kegirangannya itu.

“Suheng mengapa tiba-tiba kau kemari?” serunya dengan

girang.

“Apalagi kalau bukan karena hendak menengok kalian.

Sute, peruntunganmu sungguh besar!” Gong-gong-ji tertawa.

Selebar muka Khik Sia merah padam. Baru ia hendak

membantah. Gong-gong-ji segera berkata dengan nada tegas:

“Memang paras cantik itu mudah memikat hati. Dalam hal ini

tak dapat mempersalahkan kau. Hanya saja di kolong dunia

itu banyak sekali gadis-gadis cantik-molek, tetapi mengapa

pilihanmu jatuh kepada nona itu? Sute, dengarlah nasehatku,

lebih baik jangan berhubungan dengan nona itu?”

Khik Sia gelagapan dan goyang-goyangkan tangannya, tapi

mulutnya sukar untuk mencari permulaan pembelaannya.

Akhirnya ia hanya berteriak seperti orang kepedasan: “Tidak

tidak! Suheng, kau salah faham!”

Gong-gong-ji gelengkan kepala: “Ketika Ceng Ceng Ji

mengatakan, bermula memang aku tak percaya. Tapi aku

telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Apakah aku

tak mempercayai mata kusendiri!”

Khik Sia kaget dan berseru: “Ceng Ceng Ji berbuat apa

dihadapanmu?”

Seketika wajah Gong-gong Ji tampak kurang senang

katanya: “Ceng Ceng Ji tinggalkan perguruan dan galangTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

gulung dengan kaum penjahat, memang tidak senonoh

perbuatannya itu. Tetapi bagaimanapun dia adalah suhengmu

mengapa kau tidak mengindahkan lagi padanya? Sampai

panggilan ‘ji-suheng’ saja kau sudah tak sudi

menyebutkannya? Dan begitu bertanya kau lantas menuduh ia

membual?”

“Ceng Ceng Ji mau membunuh aku! Mengapa aku harus

mengakuinya sebagai suheng lagi?” bantah Khik Sia,

“Dia mau membunuhmu? Oh, kumengertilah. Tentulah

karena kau tak mau medengar nasehatnya maka ia lantas

menggertakmu.”

Dada Khik Sia seperti meledak karena marahnya, serunya:

“Suheng tahukah kau tentang perbuatannya belakangan ini?

Apa yang dikatakan padamu?”

“Karena mendengar bahwa ia berada dengan Su Tiau-ing,

maka baru aku datang menyelidiki. Ia sudah berjumpa

padaku, tetapi ia mengatakan, ia berbuat begitu kerena

terpaksa untuk kepentingan dirimu.”

Geli2 jengkel Khik Sia dibuatnya, segera! katanya:

“Mengapa karena diriku?”

“Karena ia tahu kalau kau kena terpikat oleh nona siluman

itu, setelah berulang kali gagal menasehati kau, barulah ia

terpaksa menerima undangan Su Tiau-ing. Maksudnya tak lain

karena hendak mengawasi kau saja, agar jangan sampai

melakukan perbuatan yang tak senonoh. Siapa tahu ternyata

kau benar2 melakukan hal itu. Kabarnya nona Su telah

melarikan diri dengan kau, dicegah engkohnya tapi malah

engkohnya itu ditusuk sampai terluka. Benarkah itu?”

“Segala obrolan Ceng Ceng Ji itu bohong belaka, Suheng

mengapa kau percaya padanya?” bantah Khik Sia.

Gong-gong Ji kerutkan alisnya: “Jadi kau katakan dia

membohong? Tapi diam-diam aku telah menyelundup

kekamar Su Tiau-gi dan melihat dia memang betul-betul

terluka!”

“Benar, memang Su Tiau-gi dilukai adiknya itu, tapi sekalikali

bukan karena hendak melarikan diri dengan aku, Suheng,

sayang siang-siang kau tak datang. Kalau tidak, tentu kau

menyaksikan bagaimana aku bertempur dengan Ceng Ceng

Ji.”

Kata Gong gong ji: “Tidak melarikan diri? Mengapa kalian

berdua bisa berada di sini pada malam begini? Hm,

sebenarnya kau ini seorang anak baik, tapi karena seorang

nona siluman kau lantas berobah begini jelek. Kau tak mau

mendengar nasihat ji-suhengmu itulah sudah tapi mengapa

kau berkelahi padanya.”

“Suheng. maukah kau juga mendengarkan keteranganku?”

saking bingungnya Khik Sia berteriak keras,

“Baik, bilanglah. Sejak kecil kau belum pernah berbohong

kepadaku. Kini kau sudah dewasa, kuharap kau tetap seperti

masa kecilmu itu”, kata Gong gong-ji yang dengan kata2 itu

se-olah2 ia sudah tak begitu menaruh kepercayaan pada Khik

Sia lagi.

Tak enak sekali hati Khik Sia. Tapi teringat bagaimana pada

saat itu ia berdua dengan seorang nona dan pada saat ia

menutupkan bajunya ketubuh sinona, suhengnya itu

kebenaran sekali telah melihatnya. Kalau Gong-gong-ji

menganggapnya berbuat serong itulah mudah dimengerti.

“Apakah aku atau Ceng-ceng-ji yang bohong silahkan nanti

suheng menilainya. Dan asal suheng suka menyelidiki, tentu

tak sukar untuk mendapat jawaban. Karena urusan Ciu

pangcu maka beberapa hari yang lalu partai itu mengadakan

rapat besar. Entah apakah suheng sudah mendengar tentang

hal itu,” kata Khik Sia

“Ditengah perjalanan, banyak aku terjumpa dengan kaum

pengemis, tentang rapat besar kaum kay-pang sudah lama

kudengarnya, tapi aku tak berminat mengurusi mereka,

tentang peristiwa apa yang menimpa Ciu pangcu mereka. apa

hubungannya denganmu?”

”Dengan mengandalkan pengaruh keluarga Su kakak

beradik Uh-bun Jui melakukan pengkhinatan terhadap

partainya. Ceng ceng-ji menulang-punggung Uh-bun Jui, kala

itu mereka telah melakukan sandiwara yang bagus. Pada saat

itu kebetulan aku juga hadir, Aku tak setuju akan tindakan

Ceng-ceng-ji sehingga unjuk turun tangan membantu pihak Wi

locianpwe.”

Demikian khik Sia segera menuturkan semua kejadian,

mulai dari peristiwa di Kay pang. kemudian sampai ia ditawan

oleh Ceng-ceng ji dengan obat bius, bagaimana Su tiau ing

bentrok dengan Su Tiau-gi lalu lolos dari kepungan.

Akhirnya ia berkata: “Bukankah Ceng-ceng ji mengatakan

pada Suheng bahwa ia terpaksa mau menerima undangan Su

Tiau-gi karena hendak mata2i perbuatanku dengan nona Su?”

”Pada waktu Kay pang rapat besar, aku sama sekali tak

kenal dengan Su Tiau-ing. Tapi Ceng-ceng ji pada waktu itu

sudah membantu pada Su Tiau ing kakak beradik. Peristiwa

dalam rapat Kay pang pada saat itu, disaksikan oleh ribuan

anggautanya. Apakah aku yang bohong atau Ceng-ceng-ji

yang dusta, mungkin sudah diketahui.”

“Jadi kalau menurut keteranganmu, dalam rapat itu anak

murid Kay pang belum mengetahui bahwa Ciu-pangcu mereka

ditawan oleh kakak beradik Su?” kata Gong gong ji

“Benar mungkin begitulah, maka Ceng-ceng ji baru berani

berbohong padamu. Tetapi pada kala itu selain bergempur

dengan Ceng ceng-ji akupun berkelahi juga dengan nona Su

itu, jika siang2 aku sudah ada hubungan baik dengan nona

itu, mengapa aku merusakkan rencananya ?” bantah Khik Sa.

Kini mulailah Gong-gong-ji tergerak kepercayaannya.

“Ai, tak kira kalau Ceng-ceng-ji sedemikian kurang ajarnya.

Jika siang2 kutahu, tentu sudah kutangkap dan kuhukum dia

suruh menghadap tembok sampai tiga tahun,” akhirnya

meluncurlah pengakuan Gong gong-ji.

“Apakah dia sudah melarikan diri?” tanya Khik Sia.

“Sebenarnya kuajak ia datang kemari untuk mencari kau.

Tapi ia menolak dengan alasan tak enak meninggalkan Su

Tiau-gi yang sedang terluka, karena ia sudah menerima

penghormatan besar dari Su Tiau-gi itu, Nanti setelah Su Tiaugi

sembuh barulah ia dapat pergi. Sekalipun begitu, karena ia

telah merasa berdusta padaku takut kalau ku tangkap maka ia

tentu sudah meloloskan diri,” menerangkan Gong-gong-ji,

Sebenarnya Gong-gong-ji itu masih ada setitik kecurigaan

terhadap Khik Sia. Ia percaya bahwa Ceng-ceng-ji yang

berbohong, tapi ia tetap belum percaya penuh kalau Khik Sia

sama sekali tak ada hubungan apa2 dengan Su Tiau ing.

Pikirnya : “Kau berar pernah bertempur dengan dia (Su Tiauing)

dalam rapat Kaypang, tapi itu bukan suatu jaminan

bahwa selanjutnya kau tak kena terpikat olehnya. Jika kau tak

sayang padanya, mengapa kau begitu tekun menjadi penjaga

malam dan menutupi tubuhnya dengan bajumu ?”

Maka katanya kemudian. “Kau tak terjerumus ke jalan

sesat, itulah baik sekali. Bagaimana pun halnya dara she Su

itu jangan rapat2 didekat. Lebih baik kau lekas menyingkir dari

dia makin jauh makin baik .”

Khik Sia merasa agak jengkel tapipun agak geli juga.

Pikirnya: “Nona itu kan bukan seekor ular berbisa, asal aku tak

dekat toh sudah cukup. Mengapa harus begitu ditakuti?”

Namun sekalipun hatinya membatin, tapi Khik Sia tak mau

adu bicara dengan suhengnya lagi, Katanya.

“Harap suheng jangan kuatir. Besok pagi aku tentu

berpisah dengan dia. Aku pun tak mau memperdulikan

urusannya lagi.”

Gong-gong-ji, mengangguk, tetapi ia bertanya pula: “Kau

hendak pergi kemana nanti?”

“Lebih dulu aku hendak kembali melapor pada Kay-pang.

setelah itu baru menuju ke Tiang an,” kata Khik Sia.

Khik Sia mengiakan, “Benar yang melepaskan api ialah

anak buah dari nona Su itu, Api berkobar besar sekali, apakah

ditengah jalan kau tak melihat cahayanya?”

“Ketika tiba, api baru mulai merangsang. Cahaya api sudah

tentu kulihatnya, tapi huh, tapi sedikit aneh.” kata Gong gong

ji.

“Apa yang aneh?” tanya Khik Sia.

Kata Gong-gong-ji “Ciu pangcu, Ma tianglo, Uh bun Jui dan

lain2 orang Kay pang, aku kenal semua, Tapi……” Sampai

disitu Gong gong ji hentikan kata2nya.

Baru Khik Sia hendak menanyakan mengapa suhengnya itu

mendadak berhenti bicara, disitu ia mendongak, dilihatnya Su

tiau ing tengah berjalan menghampiri mereka.

Dingin2 nona itu menegurnya: “Gong-gong ji, bilakah kau

datang? Mengapa tak memberi tahu padaku? Apa yang kalian

suheng dan sute berdua omongkan secara bersembunyi

dibelakangku itu? Bolehkah aku mendengarnya?”

Pikir Khik sia bahwa suhengnya tentu akan marah, ternyata

meleset. Dengan ramahnya Gong-gong ji menyahut, “Jangan

curiga nona Su, Karena kau tidur, maka aku tak berani

mengganggumu, kami sudah beberapa tahun tak berjumpa

dengan suteku ini, maka kami saling menuturkan pengalaman

masing2, sekali2 tidak ngrasani kau dibelakangmu.”

Dengan tawar Su tiau ing berkata : “Benarkah? tapi Gonggong

ji, aku tidak terlalu percaya padamu. Khik sia, Bukankah

suhengmu mengatakan sesuatu tentang diriku?”

Khik sia tidak bisa berbohong, tapi karena Su tiau-ing

bertanya begitu, ia pun tak mau menjawabnya. Pikirnya

“Suheng mengatakan kau ini seorang wanita siluman, tapi tak

mau memberitahukan padamu.”

Maka sahutnya: “Kau sudah tahu dia adalah suhengku,

sudah tentu kami suheng dan sute banyak sekali yang

dibicarakan. Tentang apa yang kita bicarakan itu bukan

urusanmu.”

“Baiklah. rupanya kamu berdua suheng dan sute sudah

saling bersepakat. Aku orang luar tidak boleh turut campur.

Tapi Gong-gong ji akan ada seseorang yang hendak mengurus

dirimu. Dan orang itu segera akan tiba kemari. Memang

kebetulan sekali kita berjumpa disini, jangan kau ngacir dulu

lho..” demikian Su tiau-ing menyerocos.

“Nona su,jangan membikin susah payah padaku. Aku masih

ada lain urusan. ai.. benar2 ada urusan. Maaf aku terpaksa

harus pergi.”

Habis berkata, Gong-gong Ji pun segera melesat pergi,

tanpa meninggalkan sepatah katapun pada Khik sia. Pada lain

kejap ia sudah lenyap dari pemandangan.

Su tiau-ing cibirkan bibirnya dan ketawa riang.

Muncul dan perginya Gong-gong ji itu sungguh diluar

dugaan Khik sia. Tapi cara ia pergi secara begitu mendadak.

Lebih menherankan Khik sia dari pada ketika muncul tadi.

Gong-gong ji itu seorang manusia yang tak takut segala apa.

Seumur hidupnya kecuali terhadap suhu dan subonya, ia tak

pernah tunduk kepada siapaun juga. Pada waktu dahulu

karena peristiwa dari Ceng-ceng ji ia pernah bertempur

dengan Hon kay Wi wat, itu tokoh dari Kay pang. Padahal Wi

wat itu termasuk angkatan sebaya dengan suhunya. Tapi

heran, manusia tak punya takut itu kini ternyata lari terbiritbirit

oleh beberapa patah kata Su tiau ing. Sungguh

mengherankan sekali.

Dengan penuh tanda tanya, diam2 Khik sia menimang

dalam hati,

“Siapakah yang dikatakan su Tiau ing? Pada masa ini

tokoh2 yang dapat mengalahkan suheng hanya dapat dihitung

dengan jari saja. Selain Bok Jong-long dari pulau hu-siang-to

dilaut Tang hay yang begitu jauhnya, mungkin hanya Kim Lun

Hwat ong yang dapat menundukkan suheng. Lain2nya seperti

Wi wat, Mo Keng lojin dan Biau Hui sinni dll, paling banyak

hanya berimbang dengan dia. Sedang terhadap Kim Lun hwat

oang, suheng tak takut, masakah orang yang disebut Su tiauing

itu jauh lebih sakti dari Kim Lun Hwat ong itu?”

Su tiau ing tertawa, “Suhengmu sudah lari jauh., Kukira ia

tentu tak berani datang lagi. Mengapa kau masih mengawasi

terlongong2 saja? Bahwa tadi aku telah mengganggu

pembicaraan kalian berdua suheng dan sute sungguh aku

merasa menyesal. Ha, aku sendiripun tak menyangka sama

sekali bahwa Biau chiu Gong gong ji begitu berjumpa padaku

lantas lari ter-birit2 begitu rupa.”

Khik Sia tak dapat tiada berpikir. “Sudah lama sekali

suhengku termashur namanya, maka pambeknyapun tinggi. Ia

muncul pergi tanpa terduga. Terhadap kaum rendahan,

bagaimana ia mau meladeni? Nona Su ini masih muda

umurnya pun puteri dari Su Su bing yang di benci oleh

suheng, Tapi mengapa ia kenal pada suheng.”

Dan keheranan hatinya itu segera disalurkan dalam sebuah

pertanyaan: “Nona Su. bilakah kau kenal pada suhengku itu?

Mengapa suheng tak pernah mengatakan padaku?”

“Amboi, belum pernah mengatakan?” Sahut Su tiau-ing..

“Bukankah tadi dibelakaagku ia mengomongkan tentang

diriku?”

Tergerak hati Khik Sia. Teringat tadi sikap suhengnya kala

menasehatinya supaya jangan bergaul rapat dengan Su Tiau

ing ditilik nada2nya, agaknya Gong-gong-ji itu memang sudah

kenal dengan nona itu. Hanya saja mengapa ia begitu

ketakutan terhadap nona itu?”

Kata Su Tiau-ing pula: “Aku tak peduli apa yang kalian

berdua bicarakan tadi. Kaupun tak usah menghiraukan

bagaimana aku kenal padanya, pokoknya kau takut pada

suhengmu, tetapi aku tak takut sama sekali kepadanya.”

Sejak dulu Khik Sia selalu memperindahkan kepada

suhengnya. Mendengar kata2 Su Tiau-ing begitu, ia tak enak

hatinya.

“Bagus, memang sebenarnya kita bukan sekaum maka tak

perlu menghiraukan urusan masing2. Aku cukup akan

bertanya padamu, apakah sekarang kau sudah sembuh sama

sekali? Dapatkah kau berjalan seperti biasa lagi?”

Su Tiau-ing kerutkan alis dan menyahut: “Ya, terima kasih

atas pertolonganmu tadi. Aku sudah sembuh.”

Kala itu rembulan sudah remang diufuk barat. Fajar segera

akan menerangi bumi. Kata Khik Sia: “Baik. sekarang kita akan

berpisah.” Ia terus ayunkan langkah pergi.

“Hm!, mau ke mana kau? apakah bukan hendak melapor

pada kaum Kay pang.” tiba2 Su Tiau-ing meneriakinya.

“Hm, bukankah telah kita katakan. kita tak boleh mengurus

urusan masing2? Aku hendak pergi kemana, perlu apa kau

ingin tahu?” sahut Khik sia yang tanpa berpaling kepala lagi

terus melangkah maju.

Dari belakang kedengaran Su Tiau-ing tertawa:

“Sebenarnya aku malas untuk bertanya urusanmu itu. Aku

hanya kuatirkan apalagi orang Kay-pang bertanya tentang diri

Ciu pangcu. bagaimana jawabanmu?”

Dari ucapan Su Tiau-ing yang mencurigakan ini, teringatlah

Khik Sia akan sesuatu, tadi ketika ia menceritakan kepada

suhengnya bahwa Ciu pangcu sudah lolos, sikap suhengnya

agak aneh, malah mengatakan aneh juga. Sayang suhengnya

belum sempat menerangkan hal itu karena keburu Su tiau-ing

datang.

Bahwa sekarang Su Tiau ing mengungkit lagi hal itu,

kecurigaan Khik sia makin besar, tanpa terasa ia hentikan

langkah dan berpaling bertanya: “Nona Su, bagaimana?

Bukankah tadi kau mengatakan Ciu pangcu sudah lolos?”

“Tentang hal itu? Boleh dikatakan ya, boleh dikatakan

tidak,” sahut Su Tiau-ing dengan nada yang tawar!

“Ya bilang ya, tidak bilang tidak, mengapa tak tegas

begitu? Permainan apa yang kau lakukan ini, ha?” tegur Khik

Sia yang sudah mulai sengit.

“Tempat tahanan Cia pangcu sudah musnah terbakar api,

Engkohku tak mengetahui dimana Ciu pangcu itu sekarang

berada. Dengan begitu ia tak dapat mencelakainya lagi.” kata

Su Tiau ing

“Bukankah hal itu berarti ia sudah lolos?”

“Benar,” jawab Su Tiau-ing sambil tertawa “Memang aku

tak usah menguatirkan keselamatan jiwanya lagi. Tapi ia

masih berada dalam cengkeramannya. Bahaya sih sudah

tidak, namun lolos, tetap belum. Maka untuk pertanyaanmu

tentang lolosnya atau tidak aku hanya dapat menjawab secara

dualistis (dua2nya). Jadi sekali lagi kuulangi, boleh dikata ya

boleh dikata tidak.”

“Bukankah kau sudah mengatakan kalau sudah

melepaskannya? Jadi kalau begitu kau hendak menipu aku!”

teriak Khik Sia dengan marahnya.

Tapi dingin2 saja Su Tiau ing menjawab : “Pikirlah yang

terang sedikit. Bilakah kuberkata aku sudah melepaskannya?

Akukan hanya mengatakan padamu tentang kusuruh budakku

melepaskan api? Menuduh aku sudah melepaskan dia itulah

anggapanmu sendiri.”

Khik Sia ingat2 kembali dan benar juga ia tak mendengar

kalau Su Tiau ing itu mengatakan sudah melepas Ciu pangcu.

Kejut Khik Sia bukan kepalang. Buru2 ia bertanya: “Bagaimana

kejadian ini yang sebenarnya? tapi aku ingat, kau mengatakan

kalau tak membakar Ciu pangcu.”

“Memang tidak membinasakannya, dan mengapa aku harus

membinasakan? Membiarkan ia hidup, gunanya jauh lebih

besar, dengarlah aku hanya memindahkan tempat tahanannya

saja kelain tempat, tempat itu kecuali aku dan dan dua orang

budak kepercayaanku, siapapun tak tahu.”

Khik Sia menghela napas, serunya: “Oh, kiranya begitu,

tapi meskipun ia tak berbahaya, mengapa masih ditahan lagi?

Untuk itu aku tetap kuatir Kay-pang mempunyai hubungan

dengan aku, harap kau suka memberitahukan tempat

tahanannya dan tolong berikan obat penyembuh untuknya

agar segera dapat menolongnya.”

Su Tiau-ing tertawa dingin. “Bukankah kau sudah

mengatakan kalau kita masing2 tak usah saling minta

pertolongan? sejak saat ini kau ketimur aku kebarat, kau tak

perdulikan aku, aku juga tak menghiraukan kau?!”

Khik Sia terlongong2, serunya “Ini….ini. janganlah kau

begitu keliwat sekali.”

“Kay pang mempunyai hubungan denganmu, tapi tak

punya hubungan apa-apa dengan aku. Karena kau

menganggap diriku orang asing, mengapa sekarang kau

hendak minta pertolonganku supaya bebaskan Ciu pangcu?

Bukankah ini juga keliwatan sekali?” dengan lidahnya yang

tajam. Tiau-ing dapat membalas serangan Khik Sia.

Debatan ini membuat Khik Sia tersipu2 merah mukanya

sampai sekian lama ia tak dapat bicara.

“Sudahlah, bicaraku sudah habis, Bukankah kau hendak

pergi? mengapa tak jadi?” Su Tiau-ing menertawakannya.

Khik Sia seperti patung. Ia tak dapat berkutik sama sekali.

“Baik, demi memandang dirimu, jika mau menjenguk Ciu

pangcu. mari ikut aku ke Tiang an.” kembali Su Tiau ing

berkata dengan tenang.

Khik Sia terkesiap, serunya: “Menemui Ciu pangcu ke Tiang

an?”

“Benar telah kupesan kepada budak kepercayaanku, kalau

terjadi sesuatu perubahan harus lekas2 bawa Ciu pangcu ke

Tiang-an,” sahut nona Su. Teringat bahwa hari pembukaan

dari Eng hiong-tay-hwe di Tiang-an itu sudah dekat, karena

toh ia juga memang hendak ke sana. akhirnya ia menerima

tawaran nona itu.

Demikian mereka berdua lalu menuju Tiang-an. Belum lama

berjalan, tiba2 dari sebelah muka tampak ada dua ekor kuda

mengcongklang datang. Ketika dekat, ternyata penunggang

kuda itu seorang laki2 dan seorang wanita, Khik Sia terkesiap

kaget. Kiranya kedua penunggang kuda itu bukan lain adalah

Tok-ko U dan Tok ko Ing.

Memandang dengan terlongong kearah kedua pemuda itu.

hati Khik Sia serasa seperti diinjak2 oleh kuda mereka. Namun

ia tak dapat menahan keheranannya juga : “Ai. nona Yak

bwe? Mengapa ia tak kelihatan bersama kedua kakak beradik

itu?”

Timbulnya pikiran semacam itu pada Khik Sia karena ia

menuduh Yak bwe itu sudah jatuh hati pada Tok-ko U. Kalau

begitu tentulah kemana2 selalu ikut. Siapa tahu karena Yak

Bwe lenyap, maka kedua kakak beradik itu menjadi sibuk tak

karuan. Kepergian mereka kali ini tujuannya hanyalah hendak

mencari jejak Yak-bwe.

Kepergian Yak bwe malam itu. meskipun telah

meninggalkan surat, tapi suratnya itu tidak jelas maksudnya,

hanya samar2 Yak-bwe hanya menulis urusan ini kelak tentu

jelas sendiri, sekarang masih sukar untuk memberitahukan.

Kata2 dalam surat Yak Bwe itu. makin manambah

kebingungan hati kedua kakak adik tersebut. Sebagaimana

diketahui Tok ko ing tetap belum tahu bahwa Yak-bwe itu

sebenarnya seorang gadis. Untuk jangan membuat sedih hati

sang adik dan karena ia sendiri juga kepingin mengetahui

persoalannya, maka Tok ko U mau menemani adiknya pergi ke

Tiang an. Mereka duga Yak bwe tentu hadir dalam pertemuan

besar para enghiong yang sudah makin dekat waktunya itu.

Jika Yak-bwe tak datang pun, mereka akan dapat bertanya

kepada orang2 gagah yang hadir dalam pertemuan besar itu,

dengan begitu, mereka yakin tentu akan berhasil menemukan

jejak Yak-bwe.

Saat itu kedua kakak beradik she Tok-ko itupun juga

melihat Khik Sia. merekapun terkesiap dan serempak sama

meraba pedangnya. Pikirnya : “Ah, sungguh sial, mungkin

akan bertempur dengan dia.”

Jarak kedua pihak makin lama makin dekat, rupanya Tokko

U lebih berpengalaman. Ia melihat Khik Sia tak bersikap

bermusuhan, tapi Tok-ko ing yang melihat Khik Shia tetap

berjalan ditengah straat (jalan) seperti tak mau menyingkir

kepinggir, diam-diam merasa kuatir juga. Pikirnya: “Entah

siapakah bangsat itu. Hmm. ditilik ia berjalan dengan seorang

nona cantik rupanya ia bukan kaki tangan pemerintah.

Kebanyakan tentulah bangsa pengganggu wanita.”

Sebaliknya Su Tiau-ing tak kenal dengan kedua kakak

beradik itu. Kala melihat mata Khik Sia tak terkesiap

memandang kearah nona itu,(pada hal sebenarnya Khik Sia

hanya mencurahkan perhatiannya kearah Tok ko U saja) dan

nona itupun terus menerus memandang pada Khik Sia juga

(sudah tentu ini hanya menurut anggapan Su Tiau ing sendiri)

diam-diam marahlah Su Tiau-ing.

“Siapakah budak perempuan yang berani jual lagak

ditengah jalan itu? Baik, biarkan kuolok oloknya, suruh ia

menelan pil pahit”, demikian pikirnya

Dalam pada Su Tiau ing berpikir itu kedua penunggang

kuda itupun sudah tiba disebelahnya. Rupanya ilmu

menunggang kuda dari Tok ko U masih belum mahir, hingga

tak dapat menguasai congklang kudanya yang menerjang

maju. Begitulah Tok ko Ing yang sudah tak dapat menguasai

kudanya menjadi gelisah. Buru ia meneriaki Khik Sia: “Hai,

minggirlah.. Kau hendak mengapa disitu?”

Khik Sia gelagapan dan buru2 berseru: “Maaf aku sampai

lupa memberi jalan,” ia segera menyingkir kepinggir untuk

memberi jalan pada kuda Tok-ko Ing.

Tapi tidak demikian dengan Su Tiau-ing. tiba2 ia tamparkan

tangannya, Dua batang jarum bwe hwa-ciam telah menyusup

kedalam paha kuda Tok-ko Ing. Sekali meringkik keras kaki

depan kuda itu segera menekuk kebawah, Hampir saja Tok ko

ing dilemparkan kebumi. Memang sebenarnya tok-ko Ing

sudah berjaga2 kalau diserang senjata rahasia. tapi tak

menyangka sama sekali bahwa serangan itu datangnya dari

Su tiau-ing

Adalah karena sudah siap sedia sebelumnya maka dengan

cepat Tok ko Ing sudah lantas mencelat keudara. Dalam

melayang turun ia sudah gunakan jurus kim-eng-tian-ki atau

burung garuda pentang sayap, pedangnya dikembangkan

diudara kemudian meluncur turun menusuk Su tiau ing.

Tok ko Ing adalah anak murid dari Kong-sun tianglo, ilmu

pedang Kong sun tianglo itu tiada lawannya didunia persilatan.

Meskipun sucinya, Li-sip ji-nio yang memberi pelajaran

padanya tapi tok-ko Ing sudah dapat meyakinkan dengan

sempurna.

Keruan Su tiau-ing kaget. Nona yang tak dipandang mata

itu ternyata memiliki ilmu pedang yang luar biasa hebatnya.

Kalau ia agak ayal menyingkir tentu sudah dimakan pedang

Tok ko Ing. Sekalipun dapat menghindar, tapi karena diserang

secara cepat oleh lawan, Su Tiau-ing tak sempat iagi

mencabut goloknya,

Tok-ko Ing menyerang secara kilat. Sekaligus ia sudah

lancarkan tiga serangan. Setiap serangannya tentu mengarah

jalan darah Su Tiau-ing yang berbahaya. Su Tiau-ing menjadi

keripuban dan terdesak dalam bahaya, Sebenarnya Khik Sia

mendongkol kepada Su Tiau-ing yang cari gara2 itu. Tapi demi

melihat Tok-ko Ing menyerang dengan jurus2 yang hebat, ia

kerutkan dahi. Kalau terus berlangsung begitu terang Su Tiauing

takkan sempat mencabut senjatanya dan kemungkinan

besar tentu binasa di ujung pedang Tok-ko Ing. Apa boleh

buat terpaksa turun tangan untuk memberi kesempatan Su

Tiau-ing bernapas.

Pada saat Khik Sia menengahi. Tok-ko Ing justru sedang

lancarkan jurus yang keempat yakni giok-li-tho soh atau

bidadari melempar tali, Tampaknya Su Tiau ing sukar

menghindar lagi. Tapi sekali jari tengah Khik Sia menyentik,

tring …. pedang Tok ko Ing kena dipentalkan kesamping.

Kaget dan marah Tok-ko Ing bukan kepalang, dampratnya.

“Bangsat jahanam. aku mengadu jiwa padamu !”

Meskipun jelas dilihatnya bahwa tadi Khik Sia tak

mengandung maksud bermusuhan sungguh-sungguh, namun

untuk menjaga kemungkinan yang tak di harapkan, Tok-ko U

cepat putar kudanya, tepat ada saat itu Khik sia menyentil

pedang Tok-ko Ing. Anak muda itu berdiri berhadapkan

dengan adiknya, jaraknya amat dekat sekali, dapat menyerang

apabila Khik Sia mau. Sudah tentu Tok-ko U terperanjat.

Kuatir kalau anak muda itu akan berbuat jahat terhadap

adiknya, tanpa banyak pikir lagi, Tok ko U juga ikut2an

memaki: “Bangsat, lihatlah passerku.”

Khik Sia hendak memberi perjelasan tapi dua batang passer

Tok ko U sudah menyambarnya. Cepat Khik Sia ulurkan

tangan untuk menyambutinya. Pada saat itu ia berhasil

menjepit paser itu, pedang Tok ko Ingpun sudah tiba, Khik Sia

segera gunakan paser itu untuk menangkis, tring…. paser

terpapas kutung. tangan Khik Sia hampir terluka juga.

Karena Khik Sia sendiri menghadapi Tok-ko Ing, jadi Su

tiau-ing berada dibelakangnya Tok-ko Ing mencekal sebatang

pedang pusaka sedang Khik sia hanya bertangan kosong saja.

Makin dekat jarak mereka, makin berbahaya bagi Khik Sia

harus tumplek seluruh perhatian kepada pedang pusaka si

nona itu. Dengan begitu ia tak sempat memperhatikan Su Tiau

ing lagi. Tapi telah dikatakan bahwa Tok-ko U telah timpukkan

dua batang paser.

Yang sebatang dapat disambut Khik Sia, tapi yang sebatang

lagi yang memang diarahkan oleh Tok-ko U untuk Su Tiau-ing

dan tak mampu disambuti oleh gadis itu.. Memang lain Khik

Sia lain Su Tiau-ing. karena kalah lihay dari pada pemuda itu,

jalan satu2nya bagi Su Tiau-ing yalah menghindar. Tapi meski

ia sebat sekali dapat menghindar, toh tak urung, tusuk

kondenya yang terbuat dari batu kumala kena dihantam jatuh

oleh paser itu.

Inilah yang dinamakan jangan suka mengganggu anjing

tidur atau jangan suka cari perkara yang berarti mengundang

bahaya.

Kejut dan marahlah Su Tiau-ing. Cepat ia sudah siapkan

jarum bwe-hoa-ciamnya. ia bermaksud hendak gunakan siasat

seperti terhadap Tok-ko Ing tadi. yaitu merobohkan kuda

tunggangan Tok-ko U. Tapi tiba2 Khik Sia putar tubuhnya dan

dengan pukulan hiat-gong ciang ia hantam jarum Su Tiau ing

itu sampai tercerai berai. Setelah deliki mata, Khik Sia lantas

menyikut dan aduh…. begitu sang mulut mengaduh, tubuh Su

tiau-ingpun sudah terlempar sampai tiga tombak jauhnya.

Padahal sikutan Khik Sia itu hanya dengan gunakan tenaga

kiau-kin atau ketangkasan, Sebenarnya Su Tiau ing tak

menderita kesakitan apa2. Ia menjerit tadi, karena sama sekali

tak menduga akan tindakan Khik Sia.

Tapi pukulan hiat-cong-ciang yang dilepas Khik Sia tadi,

memang menggunakan iwekang penuh, ia pernah bertempur

dengan Tok-ko U dan tahu kalau Tok-ko U itu tak boleh dibuat

main2. Apalagi anak muda She Tok-ko itu jaraknya masih 6-7

tombak jauhnya, taruh kata Su Tiau ing benar lepaskan bwehoa-

ciam, pun Tok-ko U tentu dapat mengatasinya. Jalan

pikiran Khik Sia telah mencegah Su Tiau ing memperbesarkan

perkara. Itulah sebabnya ia hantam jarum bwe-hoa ciamnya

sampai berceceran.

Sayang dalam kesibukannya itu Khik Sia tak sempat

memikir jauh, ia bermaksud baik terhadap Tok-ko U. Tapi

karena tak mempersatukan akibatnya malah menjadikan salah

pahamnya. Pukulan hiat-gong ciangnya tadi tak berarti bagi

Tok-ko U, tapi kudanya, ya.. kudanya itulah tak yang kuat.

Bukan saja kuda Tok-ko U yang tengah lari itu berhenti

dengan tiba2 pun bahkan tersurut mundur sampai beberapa

langkah. Kuda menjadi kaget dan melonjak2 sehingga Tok-ko

U hampir hampir dilemparkan ketanah. Maksud baik dari Khik

Sia. menjadi percuma saja. Bahkan hal itu di artikan

sebaliknya oleh Tok-ko U. Dengan murka, anak muda itu

loncat turun dan kudanya. Sekali ia rangsangan kipasnya,

jalan darah yang mematikan ditubuh Khik Sia segera di

serangnya,

Ilmu tutukan kipas dari Tok-ko U, sebenarnya merupakan

ilmu sakti dalam dunia persilatan. Tapi ia kebentur dengan

Khik Sia yang memiliki ginkang jempol. Tanpa menghiraukan

Su Tiau-ing lagi, Khik Sia segera kembangkan ginkangnya

untuk berlincahan kian kemari naik turun menghindari tujuh

buah serangan Tok-ko U Jangankan kena, sedang menyentuh

bajunya saja kipas Tok-ko U itu sudah tak mampu.

Insyaf bahwa kepandaian lawan lebih tinggi dari dirinya,

kini Tok-ko U menjadi kalap. Asal dapat menutuk saja, tak

peduli apakah itu jalan darah yang fatal (mematikan) atau

jalan darah yang tak berbahaya. Jadi ia menutuk asal menutuk

saja.

Kebencian Tok-ko Ing terhadap Khik Sia jauh lebih

engkohnya. Seperti engkohnya, sekali gerak iapun sudah

lancarkan serangan-serangan yang berbahaya, selain itu

mulutnya terus nyerocos memaki2 Khik Sia sebagai maling

jahat.

Menghadapi keroyokan kedua kakak beradik itu, terpaksa

Khik Sia keluarkan seluruh kebisaannya. Dalam pada itu.

diam2 ia mulai marah juga, Pikirnya: “Taruh kata pihakku

yang bersalah karena mengganggu kuda kalian, toh juga tak

seharusnya kalian lantas menyerang secara begitu ganas.”

Sampai sekian saat, Khik Sia belum berhasil untuk

membebaskan diri dari rangsangan kedua saudara itu.

Akhirnya setelah berkutetan sekian lama. barulah ia

memperoleh kesempatan itu, Ia melenyap keluar dari samping

Tok-ko Ing sembari membentaknya: “Berhenti!”

Namun Tok-ko ing sudah seperti orang kerangsekan setan,

Ia terus menguber maju dan menusuk lagi: “Bangsat, mau

lari?”

Khik Sia tertawa dingin: “Jika aku seorang bangsat, tentu

tadi sudah kucabut nyawamu, Bukannya aku takut pada

kalian, aku hanya memandang pada diri nona Su….”

“Siapa yang suruh kau memandang mukaku? Kedua

bangsat kecil itu kurang ajar sekali, hajar sajalah mereka itu

habis2an. Sedikitpun aku tak kasihan pada mereka” dengan

serempak Su Tiau-ing sudah lantas menyahuti kata Khik Sia.

Yang dimaksud oleh Khik Sia diri ‘nona Su’ itu, adalah Su

Yak-bwe. Dalam mengucapkan kata2nya itu, hati Khik Sia

amat ramah sekali. Siapa tahu, Su Siau-ing sudah salah duga,

mengira kalau dirinya yang dimaksudkan sianak muda itu.

Sudah tentu Khik Sia menjadi meringis seperti monyet

tertawa.

Adalah Tok-ko ing yang hampir mau meledak dadanya.

Dengan lantang ia memaki: “Kurang ajar, siapa yang minta

kasihanmu?”.

Pedang ceng ong-kiamnya kembali memburu Khik Sia

dalam hujan serangan sin-liong-jut-hay, leng-wan-hoan-ci,

hian niau-hwat sat dan beng-ke-toh-li. Sekaligus ia lancarkan

empat buah jurus yang semuauya mengarah jalan darah

mematikan.

Khik Sia tak mempunyai kesempatan untuk memberi

perjelasan lagi dan lagi ia sendiripun tak tahu bagaimana

harus menjelaskannya. Dalam penjelasan itu, tak urung ia

harus mengatakan: “Su Yak-bwe adalah calon istriku yang

batal. Kini ia tak mau padaku, tapi dengan masih memandang

mukanya, aku tetap memberi ampun pada kalian,” Ini

runyam…..

Tok-ko U lebih terang dari adiknya, dalam pengalamannya

iapun lebih banyak dari sang adik, Setelah mendengar kata2

Khik Sia tadi. ia duga disitu tentu tersembunyi sesuatu. Belum

lagi ia sempat merangkai dugaannya lebih jauh Su Tiau-ing

sudah menyelutuk tadi. Diam2 Tok-ko U berpikir: “Ah, kiranya

nona siluman itu juga orang she Su. Kukira ucapan anak muda

itu menyangkut diri Su hiante (Yak bwe). Hm, lucu benar,”

Namun kecurigaan Tok-ko U masih tetap belum hilang sama

sekali. Pikirnya pula: “Dengan tanpa alasan, nona jahat itu

menyerang Tok ko Ing secara tiba2!. Anehnya mengapa

bangsat kecil itu (Khik Sia) mengatakan karena memandang

mukanya? Dari rupanya bangsat kecil itu masih belum mau

mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk bertempur.”

Setelah menutukan kipas kepunggung Khik Sia, Tok-ko U

tiba2 hentikan serangannya dan berseru: “Siapakah kau ini?

Kami tiada bermusuhan padamu mengapa kau hendak

memusuhi kami?” Apa yang diucapkan Tok-ko U itu, hanya

separuh bagian yang dimengerti Su Tiau-ing. Kiranya bukan

saja Tok-ko U itu menganggap Khik Sia dan (Su Tiau-ing) itu

sekawan pun memandang serangan yang dilakukannya (Su

Tiau-ing) itu juga berarti perbuatan Khik Sia. Lebih lanjut, Tokko

U tetap mengira kalau perbuatan Khik Sia dulu

menyelundup kedalam rumahnya itu, tentu bermaksud jahat.

Tapi Su Tiau-ing hanya tahu akan peristiwa saat itu. Sama

sekali ia tak tahu menahu tentang peristiwa Khik Sia

menyelundup kegedung keluarga Tok-ko tempo hari.

Sebenarnya Khik Sia hendak memberi penjelasan. Tapi

karena ia tak tahu bagaimana harus memulai, maka walaupun

mulutnya komat kamit tapi tak keluar suaranya. Adalah Su

Tiau-ing yang bermulut lancar, dengan sikap mengejek sudah

lantas buka suara: “Apa kan kalian itu anak ayam yang baru

pertama kali ini keluar dari kandang? Masakan pendekar muda

Toan Khik Sia yang cemerlang namanya kalian sudah tak

mengetahui? Hm, apakah sekarang kalian masih berani kurang

ajar padaku lagi?”

“Apa? Benarkah kau Toan Khik Sia?” teriak Tok-ko U

dengan kaget. Saat itu Khik Sia merasa jengah dan

mendongkol. Selagi Tok ko U dan adiknya terkesiap, ia lantas

gunakan gerak it-ho-jong thian atau burung bangau

menyusup keudara, loncat keluar dari kepungan mereka.

Disana Khik Sia rangkap kedua tangannya memberi hormat:

“Urusan hari ini, adalah pihak kami yang bersalah, dengan ini

kuhaturkan maaf.”

Habis berkata ia lantas berputar tubuh dan terus

menggandeng tangan Su tiau-ing diajak pergi. Tindakan Khik

Sia itu membuat Su Tiau-ing melonjak kaget, serunya: “Hai.

bagaimana kau ini? Tidak menghajar mereka sebaliknya kau

malah minta maaf?”

Dengan wajah keren Khik Sia mendengus dan berkata:

“Jangan membikin onar lagi”

Ditariknya tangan si nona terus dibawa lari. Dicekal oleh

Khik Sia erat2. mana Su Tiau ing mampu berkutik.

Kedua saudara Tok-ko saling berpandangan satu sama lain.

Kemengkalan hati Tok ko Ing masih belum reda, namun ia tak

mau memaki2 “bangsat” lagi kepada Khik Sia.

Tok-ko ing amat menyayang sekali akan kudanya itu.

Walaupun kuda kesayangannya itu kena sebatang jarum bwe

hoa ciam. ia duga tentu tak jadi halangan. Asal jarum itu

lekas2 dikeluarkan dan kuda dibari obat seperlunya, tentulah

akan sembuh. Apalagi ia selalu membawa batu sembrani

untuk alat menyedot jarum bwe hoa ciam. Tapi alangkah

kejutnya ketika ia menghampiri kuda itu, ternyata binatang itu

mulutnya mengeluarkan busa putih. Dan dulunya kuda itu

seekor kuda putih yang tegar, kini berobah menjadi seekor

kuda hitam. Waktu sudah dekat, Tok-ko Ing tercium bau yang

busuk.

“Inilah akibat dari kena jarum bwe-hoa ciam yang beracun”

seru Tok-ko U demi turut menghampiri.

Kemarahan Tok-ko Ing tadi masih belum reda. Waktu

mendengar keterangan engkohnya itu berkobar lagi

amarahnya itu.

“Betul2 seorang wanita siluman yang ganas kurang ajar

sekali, tanpa suatu alasan apa2 ia sudah membunuh kuda

kesayanganku dengan jarum beracun. Hm, Toan Khik Sia itu

juga bukan orang baik. Tapi peduli dia itu seorang pendekar

kecil atau besar, pokok dengan galang gulung bersama

seorang perempuan jahat, ia tentu juga bukan manusia baik”

nona itu memaki2 untuk melampiaskan kemarahannya.

“Urusan ini memang agak aneh,” kata Tok-ko U.

“Apanya yang aneh?” tanya sang adik. “Masih ingatkah kau

kepada Sin-ciam-chiu Lu Hong jian?” tanya Tok-ko U.

Tok-ko Ing merah mukanya dan bersungut:

“Perlu apa kau sebut2 namanya ? Apa hubungannya

dengan dia?”

“Ah, jagaan marah2 dulu, toh aku belum selesai

mengatakannya. Coba jawab, apakah kau masih ingat akan

beberapa hal yang dikatakan tempo hari itu?” tanya Tok-ko U

pula.

“Tentang apa?”

“Bukankah ia pernah mengatakan tentang diri Toan Khik

Sia yang katanya sudah mempunyai seorang tunangan yaitu

puteri angkat dari Sik Ko, ciat-to-su dari Lu ciu. Dulu nona itu

bernama Sik Hong-sian tapi sebenarnya ia bernama Su Yakbwe.

Dikatakan Lu Honh jun pula, bahwa nona Su itu juga

seorang pendekar wanita, tapi entah bagaimana, ia telah

cekcok dengan Khik Sia terus lolos tak ketahuan tempat

tinggalnya lagi. Kini Toan Khik Sia itu ubek2an mencarinya kemana!.”

“Benar, Lu Hong-jun memang pernah mengatakan begitu.

Ai. kalau begitu, apakah nona jahat yang melepas bwe-hoaciam

pada kudaku itu Su-Yak-bwe?”

“Lha, itulah makanya kukatakan kalau urusan ini agak

aneh,” kata Tok-ko U, “Khik Sia berjalan bersama nona itu.

Karena Khik sia memanggilnya ‘nona su’ teranglah kalau ia itu

tentu Su Yak bwe. Jika mereka berdua sudah rukun kembali

biarlah, kita tak usah pedulikan. Tapi Su Yak bwe itu seorang

pendekar wanita dan seorang nona dari keluarga ternama.

Mengapa tanpa suatu sebab ia membunuh kudamu dengan

bwe-hoa ciam? Ya. mengapa begitu melihat kami berdua, ia

lantas bersikap memusuhi? Tidakkah hal ini aneh?”

Tok-ko Ing cibirkan bibirnya: “Apa yang di sebarkan orang

tentang pendekar kecil dan pendekar wanita itu tak dapat

dipercaya penuh. Siapa tahu kalau Toan Khik Sia dan Yak-bwe

itu juga orang macam golongan begitu?”

Tok-ko U gelengkan kepala: “Siapa tak tahu akan

kemasyhuran nama Toan Khik Sia sebagai pendekar utama?

Tentang Su Yak-bwe, walaupun tak setenar Toan Khik Sia,

tapi Lu Hong-junpun mengatakan kalau ia itu seorang

pendekar wanita, tentunya ia takkan berbuat hal2 macam

tingkah seorang perempuan siluman begitu.”

Tok-ko Ing tertawa menghina: “Yang di-dengung2kan

orang itu adalah palsu, apa yang kita sudah saksikan sendiri

barulah tulen. Kalau mereka memang ternyata jahat, apakah

kita tak mau percaya?”

“Tapi masih ada lain hal yang mencurigakan. Jika dipikirkan

sampai sekarang aku masih belum mendapat jawabannya,”

tanya Tok-ko Ing.

“Ya. benar, tengah malam buta Toan Khik Sia menyelundup

kedalam rumah kita. Su Toakolah yang pertama2

mengetahuinya didalam taman lalu menyerangnya. Itu waktu

kita masih belum tahu kalau orang itu ternyata Toan Khik Sia.

Kita hanya menduganya tentulah kaki tangan kerajaan yang

mendapat tugas menangkap Su toako.” kata Tok-ko U.

Mendengar itu mulailah timbul tanda tanya dalam hati Tokko

Ing. Dengan seksama dia mendengar penuturan

engkohnya. Setelah berhenti sejenak, Tok-ko U melanjutkan

pula: “Dalam hal itu ada tiga buah hal yang mencurigakan,

Pertama, Su toako dan Toan Khik Sia itu sama2 tinggal

dimarkas Kim ke-nia, Su-toako sendiri pernah mengatakan,

bahwa sekalipun tak kenal baik, namun ia sudah kenal dengan

Toan Khik Sia ketika berada dimarkas Kim-ke nia. Tapi

anehrya mengapa ia menyerang Toan Khik sia dan

memakinya? Kedua sesuai dengan peribadi seorang pendekar

seperti Toan Khik Sia. seharusnya ia menggunakan aturan

untuk menjumpai kita. Anehnya lagi, mengapa ia terus

menyeludup masuk pada tengah malam buta. Ketiga setelah

Toan khik Sia pergi, mengapa Su toakopun lantas tinggalkan

kita tanpa pamit? Entah kepergiannya itu dengan Toan Khik

Sia ada hubungan apa ?”

Tok-ko Ing berdiam sambil berpikir. Beberapa saat

kemudian barulah ia berkata, “Hal2 aneh yang kau katakan

itu, memang sukar dipecahkan. Mungkin sebenarnya Su toako

sudah tahu kalau toan Khik Sia itu bukan orang baik2 maka ia

tak mau mengenalnya ?”

Tapi Tok-ko U geleng2kan kepala: “Belum tentu begitu. Jika

ia benar tak mau kenal pada toan Khik sia, seharusnya ia

mengatakan kepada kita.”

“Urusan ini hanya setelah kita bertemu dengan Su toako

baru dapat dijelaskan,” akhirnya hanya begitulah komentar

Tok-ko Ing.

Kata Tok-ko U lebih lanjut: “Su toako orang she su. Nona

kawan toan Khik sia tadi juga she Su…”

“Wanita jahat macam Su Yak-bwe mana dapat disejajarkan

dengan Su toako? Orang she Su banyak jumlahnya, sudah

tentu ada yang baik ada yang jahat. Hm. aku sungguh tak

puas, mengapa perempuan jahat tadi tentu menyamai she su

toako,” menyelutuk Tok ko Ing dengan uring-uringan.

Di kala Tok-ko ing mengucapkan kata2 Su toako, itu

nadanya penuh dengan kemesraan. Mimpipun tidak kiranya ia,

bahwa su toakonya itu ternyata seorang wanita Dan makin

jauh dari alam pikirannya bahwa su toakonya yang disanjung

puji itu, bukan lain adalah siperempuan jahat Su Yak-bwe itu

sendiri.

Sebenarnya Tok-ko U masih belum hilang kesangsiannya,

tapi karena Toan Khik sia tadi tegas menyebut nona kawannya

itu dengan panggilan nona su, maka iapun keliru menduga Su

Tiau-ing itu Su Yak-bwe. Karena itu analisanya yang sudah

hampir kebenarannya itu menjadi kalang kabut tak keruan.

“Ah, Koko. sudahlah jangan dipikirkan lagi, Ayoh. kita

lekas2 kekota membeli seekor kuda lagi, agar jangan sampai

terlambat tiba di Tiang-an. Asal sudah bertemu dengan Su

toako segala apa tentu jelas.”

Akhirnya Tok-ko ing meneriaki sang engkoh yang

termangu2 kelebat dalam dugaan itu. Pikir ToK-ko U “Jika Su

Yak-bwe itu seorang lain lagi. dugaanku semula itu keliru

semua. Su Toako itu tentulah bukan seorang nona yang

menyamar sebagai lelaki. Ah. semoga ia itu benar2 seorang

lelaki perwira, agar idam2an adikku itu terkabul.”

Walaupun bermula Tok-ko U menyangsikan bahwa Su

toako itu seorang lelaki benar2, tapi selama itu belum pernah

ia mengutarakannya kepada Tok-ko Ing. Tapi setelah terjadi

peristiwa tadi, ia mulai menyangsikan kesangsiannya tempo

hari itu. Hal itu lebih2 ia tak berani mengatakan kepada

adiknya karena kuatir ditertawainya.

“Ya, benar, hanya setelah bertemu dengan Su toako. kita

baru mengetahui jelas persoalan ini,” akhirnya ia menyetujui

pendapat adiknya.

Sekarang marilah kita tinggalkan kakak beradik she Tok-ko

itu. untuk mengikuti perjalanan Toan Khik Sia dengan Su Tiauing.

Dalam beberapa kejab saja mereka sudah lari sejauh 6-7

li. selama itu mereka tak saling bicara apa2.

“Hai, apa kau hendak mematahkan tulang kakiku?

Lepaskan tanganku, lepaskan tanganku!!” Su Tiau-ing

menjerit..

Khik Sia hentikan larinya dan lepaskan cekalannya, kembali

Su Tiau-ing menjerit kesakitan. tubuhnya terhuyung hampir

merubuhi dada Khik Sia. Hal itu bukan karena ia memang

sengaja, seperti diketahui, ia diseret lari oleh Khik sia. Begitu

tenaga penyeret itu dilepaskan, tubuhnya tentu kehilangan

keseimbangannya dan lalu mau menjorok kemuka. walaupun

mendongkol namun tak tega juga Khik sia mengawasi nona itu

jatuh tersangkut, cepat ia jambret nona itu supaya berdiri

tegak, setelah itu baru ia lepaskan tangannya lagi.

“Mengapa kau begitu kasarnya? Coba lihat ini lenganku

sampai biru kau pijat,” su tiau-ing mengomel.

Dengan mendongkol Khik sia menjawab. “Siapa suruh kau

tadi cari perkara? Hm, kalau lain kali begitu.”

Su Tiau-ing kerutkan alisnya, menukas, “Apa?!!”

“Bukan saja hendak kuremas tulang lenganmu. pun akan

kupatahkan kedua tanganmu nanti.” kata Khik sia.

Sengaja Khik sia berkata keras, agar cekcok dengan nona

itu supaya tahu ia marah sungguh2. Su Tiau-ing tak berani

unjuk kekerasan kepala dan malah menghaturkan maaf:

“Baiklah kali ini anggaplah aku yang kurang ajar berani

menyalahi kawan2mu hingga membikin kau marah. kau marah

marah sebengis ini, lain kali aku tentu tak berani berbuat lagi!”

Karena sudah mengakui salah, kemarahan Khik siapun

reda. Katanya: “Memang kau yang salah, mengapa harus

suruh menganggap salah, sekalipun aku tak kenal mereka,

tapi tak seharusnya kau berbuat begitu.”

Tiba2 mulut Su Tiau-ing tertawa mengikik, “Sebenarnya

akupun bukan tanpa alasan berbuat begitu.”

“Huh, jadi kau mempunyai alasan? Orang berjalan baik2

apa mengganggu kau? Mengapa kau lepaskan bwe-hoa-ciam

kekuda mereka?” Khik sia mendengus.

“Sudah tentu aku mempunyai alasan sendiri. Apakah kau

mau mendengarnya?”

“Bilanglah !” ksta Khik Sia dengan ketus.

Su tiau-ing jebikan mulutnya tertawa: “Mengapa kau

memandang tak berkedip pada anak perempuan orang? Dan

mengapa budak hina itu juga memandang terus menerus

padamu? Aku tak senang melihat perbuatan itu.”

Merah padam selembar muka Khik Sia mendengar kata2

itu. Ia kerupukan. marah tak bisa, membantah tak dapat.

Akhirnya ia hanya dapat membentak2 saja: “Ngaco. ngaco

belo!”

“Sayang tadi aku tidak memberimu sebuah kaca cermin

supaya kau dapat melihat,” kata Su Tiau-ing.

“Huh, peduli apa kau? Aku memandangnya sekali atau dua

kali, peduli apa kau?”

Su Tiau ing tertawa: “Ha. kiranya kau ini tak kenal susila.

Aku ini kaum wanita bukan?”

“Kalau wanita lalu bagaimana?”

“Kau berjalan bersama aku, tetapi mengincar gadis lain. Ini

dikatakan tidak punya susila, berarti kau menghina aku, tahu?

Aku tak dapat menamparmu, maka mencari sasaran nona itu

untuk melampiaskan kemengkalan hatiku,” kata Su Tiau-ing.

Pemutar balikan Su Tiau-ing itu telah membuat Khik Sia

bungkam. Pikirnya: “Anak perempuan memang aneh.

Sudahlah, sudahlah aku tak mau adu mulut padamu”

Khik Sia tak mau meladeninya lebih lanjut tapi Su Tiau-ing

tetap tak mau melepaskannya. Setelah berjalan beberapa

langkah, ia bertanya pula: “Siapa kakak beradik tadi? Kau

katakan kenal, tapi mengapa mereka menanyakan siapa kau?

Dan mengapa budak perempuan itu terus menerus memaki

maki kau sebagai pencuri? Mengapa ia begitu geram hendak

membunuh kau? Bermula ia memandangmu tanpa kesiap.

kemudian tak henti2nya memakimu. hmm tentu kau pernah

berbuat sesuatu yang menyalahi ia?”

Pertanyaan Su Tiau-ing menyebabkan hati Khik Sia merasa

pilu lagi. Pikirnya: “Ya, mengapa kakak beradik she Tok ko itu

benci sekali kepadaku? Sebelum kejadian tadi, mereka tak

kenal aku ini siapa. Kalau mereka memaki2 dan membenci

aku, itulah disebabkan karena urusan Su Yak-bwe. Yak-bwe

memaki aku bang sat, merekapun lantas ikutan begitu. Ah.

Yak bwe, walaupun aku Toan Khik Sia mempunyai seribu satu

kesalahan padamu, tapi kita toh pernah terikat dalam

perjodohan sepasang tusuk kondai kumala. Mengapa kau

begitu membenci padaku ?”

Melihat sianak muda merenung diam. Su Tiau-iog tertawa

kegirangan: “Bagaimana? Kata2ku itu tepat bukan? Kau telah

berbuat kesalahan apa kepadanya?”

Dirundung oleh kepiluan hatinya, sudah tentu Khk Sia tak

bernapsu untuk banyak bicara. Apalagi ia anggap Su Tiau-ing

itu bukan Orang yang patut ia curahi perasaan hatinya. Maka

iapun diam saja dan hanya menghela napas. Lewat beberapa

saat kemudian barulah ia dapat menjawab “Entahlah. aku

sendiri tak tahu, Mungkin aku pernah berbuat salah kepada

lain orang, terserah bagaimana kau hendak mengatakan?”

Lagi2 mulut Su Tiau-ing mengikik tertawa. katanya:

“Apakah kau suka kepada nona Su?”

“Jangan mengurus perkara orang!!” bentak Khik Sia. “Biar

kukasih tahu padamu, aku tak suka kepada siapapun juga.”

“Sungguh? Ah sayang sekali… sedikitpun kau tak mengerti

hati anak perempuan.” Su tiau ing menertawakan.

“Huh jangan berkata yang tidak2, Apanya yang

disayangkan?” kata Khik Sia.

“Nona itu mulutnya memaki kau bangsat, tapi hatinya suka

padamu, mengerti?” kata su tiau-ing.

Khik Sia terkesiap dan membentak. “Omonganmu makin

lama makin melantur. Aku sama sekali tak kenal nama nona

itu. Ia begitu membenci aku, mengapa kau katakan suka?”

Su Tiau-ing tertawa. “Kalau ia tak suka padamu, mengapa

ia benci padamu? Makin ia benci, itu berarti ia makin

merindukan kau. Apakah ini bukan menandakan ia suka

padamu? sedikitpun kau tak mengerti sehingga

mengecewakan rasa kasih orang. Apakah kau tidak sayang

sekali.”

Pikiran hati Khik Sia seperti terbuka. Ia kira kalau Su Yak

Bwe itu sungguh bukan main bencinya. Kiranya apa yang

dikatakan Su Tiau ing jauh sekali bedanya dengan jalan

pikirannya. Diam2 ia membathin: “Benarkah hati seorang

gadis itu begitu? Apakah kebencian Yak Bwe itu karena ia tak

dapat melupakan aku?” Pikirannya melayang2 pada peristiwa

yang lampau dan wajah calon isterinya itu terbayang

dimukanya……

Sudah tentu Su Tiau-ing tak mengerti isi hati Khik Sia, Khik

Sia berdebat tentang Tok ko Ing, tapi ternyata hatinya

mengenangkan Yak Bwe. Maka dugaan Su Tiau-ingpun

tentulah kalau Khik Sia itu mempunyai hubungan yang amat

mesra dengan Tok-ko Ing. Demi melihat anak muda itu

termenung2, diam2 Su Tiau-ingpun merasa rawan. Kiranya

rangkaian kata-katanya yang dibuat berdebat dengan Khik Sia

itu, adalah untuk menjajaki apakah anak muda itu tahu akan

perasaannya (Su Tiau-ing) kepadanya?

Karena melamun, tanpa terasa Khik Sia-pun hentikan

langkahnya. Tiba-tiba Su Tiau-ing berseru pelahan didekat

telinganya: “Dan nona Su itu? Siapakah dia?”

Khik Sia terkesiap, serunya: “Apa katamu?”

Su Tiau-ing tertawa: “Kutanyakan siapa nona Su itu?”

“Apa? Jadi kau sebenarnya sudah tahu? Sudah tahu bahwa

yang kusebut nona Su itu bukan kumaksudkan kau?”

Su Tiau-ing menyahut dengan tenang: “Sudah tentu

tahulah. Apakah kau kira aku tolol? Mana kau sudi

memandang perasaan hatiku? Sudah tentu nona Su itu

seorang lain lagi!”

Khik Sia mendongkol dan tersipu-sipu: “Kalau sudah tahu,

mengapa kau masih bingung dan mengira kalau dirimu?”

Su Tiau-ing tertawa getir: “Kau memberatkan hubunganmu

dengan nona Su, maka kau lantas tak mau bercidera dengan

kakak beradik tadi. Tapi aku tak ada sangkut pautnya dengan

mereka, maka memperolok-olokkannya. Mengapa? Apa kau

tak suka hati? Mereka berdua hampir menghilangkan

nyawaku, masakah aku tak boleh membalas?”

Diam-diam Khik Sia marah, namun tak mau ia

menceritakan urusannya dengan Yak-bwe kepada Su Tiau-ing.

“Sebenarnya kau suka yang mana?” kembali Su Tiau-ing

menggoda. Nona Su apa nona tadi? kulihat kau ini tak setia

pada cinta, maka tak heran kalau orang marah-marah

padamu.”

“Kau ngaco belo!” bentak Khik Sia.

“Ngaco belo apa? Kau sendiri mengatakan kau tak punya

kesetiaan hati?” bantah Su Tiau ing.

“Aku hanya mengatakan siapapun aku tak suka. Jangan

tanya panjang lebar lagi. Hm, hm, jika masih ribut saja,

aku…..”

“Kau mau apa?” tukas Su Tiau-ing.

“Aku takkan peduli lagi padamu.” kata Khik Sia.

Su Tiau-ing tertawa mengejek: “Huh, siapa yang minta kau

mengurusi diriku? Kau mau pergi, silahkan pergilah. Bukankah

untuk kepentinganmu maka kau baru mau bersama aku ke

Tiang-an ini? Pertama, kau tentu mempunyai kesempatan

bertemu dengan kedua kakak beradik tadi. Kedua, karena kau

tak mengerti isi hati seorang gadis, jika aku berada

disampingmu, tentu dapat memberi advis.”

Khik Sia tertawa meringis lalu memutuskan pembicaraan

itu: “Baik, aku tak mau bicara lagi padamu. Ayuh, kita lekas

berjalan. Sejak ini jangan membicarakan hal itu lagi.”

Walaupun mulut Khik Sia mengatakan begitu, tapi dalam

hatinya ia masih tetap mengenangkan urusannya dengan Yakbwe.

Sebentar ia merasa heran mengapa Yak Bwe tak

bersama-sama dengan Tok-ko U? Sebentar lagi ia bertanya

pada diri sendiri apakah karena terkenang padaku maka Yak

Bwe benci padaku? Kemudian sebentar lagi ia berpikir.

Kepergian kedua engkoh dan adik ke Tiang An itu, tentulah

hendak hadir dalam rapat Eng Hiong Tay Hwe. Ya, memang

aku mempunyai kesempatan berjumpa dengan mereka nanti.

Meskipun sekarang Yak Bwe tak ikut, tapi tentulah ia sudah

berjanji dengan kedua saudara itu untuk bertemu di Tiang

An,” Pikiran itu telah menyebabkan hatinya ingin lekas2

mencapai Tiang An.

0doo0oow0

Sekarang mari kita meninjau keadaan Yak Bwe. Seperginya

dari rumah keluarga Tok-ko hatinya merasa kecil. Tak tahu

kemana harus mencari jejak Khik Sia. Akhirnya dalam

kegelapan pikiran itu, ia teringat akan Sip in-nio. Pikirnya: “Cici

In itu lebih banyak pengalaman dari aku. Baik aku kesana

minta advisnya, mungkin ia dapat memberi petunjuk,”

Demikian ia bergegas-gegas ayunkan langkah menuju

ketempat Sip In-nio. Pada hari itu ia tiba disebuah kota kecil.

Dari tempat kediaman In-nio, kota itu hanya terpisah kira-kira

setengah hari perjalanan, Yak Bwe merasa lapar lalu singgah

di sebuah warung yang letaknya ditepi sungai. Sebenarnya ia

tak biasa minum arak, tapi karena pikirannya pepat ia hendak

minum arak untuk melepaskan keruwetan hatinya itu.

Sebelumnya ia periksa dulu isi kantongnya, setelah itu ia

berani pesan ini dan itu.

Seorang tetamu yang duduk dipinggir, rupanya

memperhatikan gerak gerik Yak Bwe. Ia meliriknya tajam2.

Ketika Yak Bwe berpaling dilihatnya orang itu seorang pemuda

desa berbaju kain kasar. Dari sikapnya, menandakan ia itu

seorang tolol, sama sekali bukan bangsa kaum persilatan, Yak

bwe tak menaruh persangkaan apa-apa. Hanya ketika Yak

Bwe berpaling tadi, buru-buru pemuda desa itu alihkan

pandangannya.

Teringat Yak Bwe akan pengalamannya ketika tempo hari

diwarung arak ia membayar dengan mas kim-to. Diam-diam ia

merasa geli sendiri, pikirnya: “Ah, sekali pernah digigit ular,

lain kali kalau bertemu semak belukar tentu harus berhati-hati.

Setiap kali aku masuk wqrung tentu lebih dulu kuperiksa

kantongku ada uangnya tidak. Ini memang lucu, tapi apa

boleh buat. Pemuda desa itu tentulah bukan bangsa orang

jahat.”

Pengalamannya diwarung arak itu. Karena membayar

dengan Kim-to ia telah kesamplokkan dengan dua orang

benggolan penjahat. Dan karena peristiwa itu, kenallah

dengan Tok ko U. Terkenang akan peristiwa itu, ia geli tapi

kemudian merasa berduka juga. Bayangan Khik Sia kembali

terbayang-bayang dikalbunya. Dari Tok ko U, ia kembali

terkenang pada Khik Sia.

Pertemuannya dengan Khik Sia ditaman keluarga Tok-ko,

terlintas lagi dalam kenangannya. Kata-kata Khik Sia yang

meminta maaf kepadanya secara sungguh itu kembali

mengiang-ngiang dalam telinganya. Bagaimana dengan rasa

putus asa Khik Sia pergi, pun tak luput dari kenangannya.

Diam2 Yak Bwe menghela napas. Hatinya gundah dan

menyesali dirinva sendiri: “Ia begitu sungguh-sungguh

kepadaku tetapi kuperlakukan ia begitu getas. Ai seharusnya

aku tak boleh bersikap sedemikian keterlaluan. Ah, Khik Sia,

Khik Sia, tahukah bagaimana getaran hasratku untuk minta

maaf padamu?”.

Karena kepekatan hatinya itu, tahu-tahu tanpa merasa ia

sudah meneguk lima-enam cawan arak. Ia mulai mabuk.

Ketika pikirannya melayang-layang dibuai oleh bekerjanya

arak itu, tiba-tiba ada dua orang lelaki masuk kedalam warung

situ. Begitu berat langkah kaki kedua orang itu, hingga papan

lantai sampai tergetar dan Yak Bwe pun kaget dan tersadar.

Bukan saja Yak Bwe, pun lain tetamu juga memandang kearah

kedua orang itu. Ternyata mereka itu seorang hwesio dan

seorang tosu. Orang pertapaan masuk kedalam warung arak

itulah aneh. Begitu duduk, keduanya lantas pesan arak dan

makanan barang berjiwa (daging) secara royal sekali.

Diam2 Yak Bwe mendamprat: “Huh, memuakkan betul.

Hwesio yang gemar makan daging minum arak, tentu bukan

golongan baik.”

Habis itu ia lantas alihkan pandangan matanya, tak mau

melihat mereka lagi. Tapi diluar dugaan, tanpa disengaja Yak

Bwe telah mendengar pembicaraan mereka yang dilakukan

dalam bahasa kangouw. Dulu memang ia tak memang tak

mengerti, tapi setelah diajar oleh In nio. Tok-ko U dll, kini ia

sudah dapat menangkap walaupun belum seratus persen.

Bermula, ia tak begitu mengacuhkan tapi tiba-tiba terdengar

hwesio itu berkata: “Kalau bertemu dengan budak perempuan

she Su itu, apakah toheng bisa mengenalnya?”

Yak Bwe terkesiap, pikirnya: “Siapakah yang dimaksudkan

itu?”

“Waktu masih kecilnya, aku pernah melihatnya! Tapi

kebanyakan anak perempuan itu kalau sudah besar tentu

berobah. Kalau sekarang bertemu muka, entahlah aku dapat

mengenalinya tidak. Hanya saja wanita yang lihay amat sedikit

jumlahnya didunia persilatan. Walaupun bagaimana juga,

tentulah ia mempunyai ciri yang dapat kita gunakan sebagai

tinta pengenal.” sahut si tosu.

“Berapakah umurnya sekarang?” tanya si hwesio pula.

“Diantara tujuh belas-delapan belas tahunan,” jawab

siimam, “Waktu kecilnya cantik, konon kabarnya ia sekarang

lebih hebat lagi.”

Hwesio itu tertawa gelak2, serunya: “Aku tak peduli ia

cantik atau tidak. Aku seorang pertapaan, tak ingin merusak

kaum wanita. Cuma apa yang kau katakan bahwa ia

berkepandaian tinggi itu, entah sampai dimana kelihayannya

itu?”

“Itu sih tak mengherankan, karena ia anak murid dari

seorang tokoh kenamaan. Tentang siapa suhunya itu,

meskipun belum pernah ketemu tapi rasanya kau tentu pernah

mendengar namanya. Wanita tua itu benar seorang tokoh

yang jarang terdapat tandingannya. Oleh karena itu,

sebaliknya kita harus berhati-hati dalam urusan ini,” kata

siimam.

Tampak hweshio itu kurang senang, katanya “Kau ternyata

bersikap seperti anjing bercawat ekor (ketakutan), terhadap

seorang nona kecil saja kau ketakutan setengah mati, Apa

peduli dengan suhunya yang lihay, apakah kita tak mampu

mengatasi?”

Si imam tertawa: “Jangan toheng marah2. Aku hanya

bilang supaya kita berhati2 dan sama sekali bukan jeri

padanya. Dengan keangkeran nama partaimu Leng-san pay

itu sekalipun suhunya keluar juga belum tentu dapat menang.

Tapi dari pada tambah sebuah urusan, kan lebih baik

berkurang satu urusan, Bisa membuat suhunya tak tahu,

itulah lebih baik.”

Si hweshio menghirup secawan besar arak dan berkata:

“Nah, itu dapat diterima, Memang kita hanya diminta tolong

menangkap nona itu saja, Jika dapat mengurangi urusan,

sudah tentu itu lebih baik sakali.”

Tiba2 hwebio itu lirihkan (pelahankan) suaranya: “Kabarnya

nona itu bertengkar dengan keluarganya karena seorang anak

lelaki she Toan. Benarkah itu ?”

“Benar, justeru karena bertengkar itu, kukuatir apakah ia

ikut melarikan diri dengan pemuda she Toan itu ?” kata si

imam.

Kembali si hweshio mengerut kurang senang katanya: “Tak

usah kiranya kau banyak kekuatiran. Cukup kalau ada orang

yang patut kau sangsikan, kau terus bilang, tentu nanti aku

yang turun tangan. Budak she Toan itu entah baik atau jahat,

pokok akan kuringkusnya dulu urusan belakangan.”

Imam itu tertawa: “Toheng, kau juga memandang rendah

padaku. Meskipun anak she Toan itu lebih lihay dari budak

tersebut, tapi sedikitpun aku tak gentar. Kukira anak she Toan

itu belum tentu bersama2 dengan budak itu. Aku melainkan

hanya mempertinggi kewaspadaan saja”.

“Mengapa? Bukankah kau katakan budak itu bertengkar

dengan keluarganya karena seorang pemuda she Toan.

Kemudian kalau budak itu melarikan diri. mengapa tak

mungkin turut pada pemuda itu?” tanya sihweshio.

“Toheng kau tahu satu tak tahu dua. Kabarnya budak laki

itu sudah punya pacar lain.” sahut siimam.

Hweshio itu tertawa keras, serunya: “Kalau begitu, tindakan

budak itu meninggalkan kenikmatan kedudukan, ternyata

hanya memburu bayangan kosong saja. Hai, mendiang

ayahnya yang sudah menjadi setan itu…”

“Toheng…minum.. minumlah.. Jangan sembarangan

menyebut nama ayahnya itu, sekarang suasananya sedang

genting,” cepat2 siimam menukasnya dan kata2nya yang

terakhir itu diucapkan dengan berbisik2. Sekalipun begitu,

Yak-bwe tetap dapat mendengarnya dengan jelas.

Makin mendengari, Yak-bwe makin terperanjat heran.

Pembicaraan kedua orang pertapaan itu se-olah2nya ditujukan

kepadanya. Budak perempuan she Su dan budak lelaki she

Toan yang dijadikan pokok pembicaraan mereka itu, siapa lagi

kalau bukan ia dan Toan Khik Sia. tapi Yak-bwe merasa aneh

akan beberapa hal yang diucapkan mereka itu tadi. Salah satu

kalimat yang paling nenusuk telinga, yalah tentang budak

lelaki she Toan itu sudah punya pacar lain.

“Entah benar entah tidak ucapan itu. Kalau benar, mengapa

malam itu ia menumpahkan perasaan hatinya kepadaku? Ya.

begitu sungguh-sungguh ia mengucapkan kata2nya itu,

Masakah dalam beberapa hari saja sekarang ia sudah

mendapat lain gadis? Hal itu tak sesuai dengan keterangan

siimam sudah lama. Ah, urusan ini tentu salah urus” pikirnya.

Tapi pada lain saat pikirannya membantah sendiri. “Ada api

tentu ada asap. Jika urusan itu hanya isapan jempol belaka,

mengapa tersiar santer didunia persilatan? Sampaipun

kalangan penjahat juga mengetahui hal itu.”

Disamping hal2 yang menyangsikan itu maka ada lain hal

yang menambah kesangsiannya menjadi makin kuat. Pertama,

imam itu mengatakan kalau pernah melihatnya ketika ia masih

kecil. Tapi betapapun Yak-bwe gali lubuk ingatannya, tetapi ia

yakin kalau seumur hidup belum pernah bertemu dengan

imam tersebut. Ditempat gedung kediaman ciat-to-su Sik Ko,

tak pernah ada bangsa imam dan hweshio. Kedua, tadi

sihweshio menyebut2 mendiang ayahnya yang sudah menjadi

setan. Ini tentu menunjuk ayahnya (Yak-bwe) yang sudah

meninggal dunia itu. Tentang asal usul dirinya itu, kecuali

hanya beberapa orang yang tahu, semua orang mengira kalau

ia puterinya Sik Ko, mengapa hweshio itu tahu kalau ayah

sudah meninggal?

“Dan ayah itu seorang cin su dari kerajaan Yay-tong. Beliau

meninggal karena dicelakai An Lok san. Pada masa An Lok san

jaya, memang tak boleh sembarangan menyebut nyebut nama

ayah. Tapi toh kini An Lok-san sudah hancur, mengapa tak

boleh mengatakan nama ayah. Dan apakah yang dimaksud

siimam bahwa suasana sekarang ini genting ?”

Sebenarnya Yak-bwe itu seorang nona yang cerdas, tapi

terhadap soal yang berbelit2, sepintas benar sepintas tidak itu,

betapapun ia peras otaknya namun tak dapat menemukan

pemecahan yang memuaskan.

Ya, memang dapat dimengerti kalau ia sampai bingung

begitu, Karena yang dimaksud dalam pembicaraan kedua

orang pertapaan itu bukan lain yalah Su Tiau-ing. Adalah

karena Yak bwe yang sudah mempunyai prasangka, maka

budak perempuan she Su itu dianggapnya tentu dirinya.

Kebalikannya yang dikatakan oleh si imam dengan pacar

budak she Toan itu. dianggapnya lain gadis. Padabal, ialah

dirinya itulah.

Karena asyik mendengarinya, tanpa terasa Yak-bwe sampai

hentikan sumpitnya, letakan cawan araknya dan matanya

terus diarahkan kepada kedua orang pertapaan itu. Sudah

tentu sikapnya lekas menarik perhatian orang. Walau pun kala

itu Yak-bwe berdandan sebagai seorang pelajar, tapi sebagai

seorang kangouw yang berpengalaman, sepintas pandang

mata sihweshio yang tajam siapa diri Yak-bwe yang

sebenarnya itu?”

Kedua kaum agama itu saling memberi kecupan mata dan

masing saling berfikir dalam hati “Jangan2 budak perempuan

ini sendiri atau sekurang2nya ia mempunyai hubungan. Kalau

tidak tak nanti ia mendengari pembicaraan kita sedemikian

asyiknya.”

Serempak hwesio dan imam itu berbangkit dan

menghampiri ketempat duduk Yak Bwe. Setelah memberi

hormat si imam berkata “Siapa she siangkong yang mulia ini.

sukakah memberitahukan?”

Kalau si imam masih pakai aturan, adalah si hweshio lebih

kasar lagi. Serentak dia menegur Yak Bwe, “Hei, engkoh kecil

apakah kau she Su?”

Sudah tentu marahlah Yak Bwe. Bentaknya dengan keras:

“Aku tak kenal kalian, perlu apa tanya siapa she aku?”

Hweshio itu terkesiap, tapi pada lain saat ia lantas tertawa

dingin: “Kau tak sudi berkenalan dengan kami. Baik, sekarang

jawablah, mengapa kau terus menerus mengawasi kami

berdua saja? Mengapa kau mencuri dengar pembicaraan

kami?”

“Bagaimana kau tahu aku mengawasi kau? Didalam rumah

makan apakah orang dilarang melihat kau? Kau benar2 tak

tahu adat!” bentak Yak Bwe. Tiba2 pemuda desa yang duduk

didekat situ mengomel seorang diri.

“Hweshio yang minum arak makan daging memang jarang

ada. Tak heran, kalau orang sama melihatnya.”

“Kentut!! Peduli apa dengna hweshio minum arak makan

daging? Kau berani mengurusi Hud ya, Hai babi kecil..!” si

hweshio berseru marah.

Buru2 pemuda desa itu surutkan kepala dan mengoceh

sendiri. “Aku hanya mengatakan jarang ada saja. Apakah

orang omong tidak boleh? Bagus.. bagus.. baguslah. Karena

kau larang aku bicara, akupun takkan bicara lagi.”

“Ah, mengapa suheng ladeni anak desa. Sebaliknya kita

bicarakan urusan penting dengan sicu ini dulu.” buru2 siimam

mengoceh, kemudian dia berkata kepada Yak Bwe. “Karena

kelancangan kami, maka sicu sampai berhenti minum.

Sekarang biarlah kupersembahkan arak padamu.”

Habis berkata ia lantas angkat poci arak dan terus hendak

dituangkan kepada Yak Bwe.

Adakah Yak-bwe itu mengerti silat. Kalau Yak bwe pintar,

seharusnya ia pura2 kaget dan jangan menghiraukan. Dengan

begitu, tentulah imam itu tak berani sembarangan melukainya.

Tapi memang sejak tadi Yak-bwe sudah benci dengan tingkah

laku kedua orang itu. Bahwa tiba2 dirinya hendak diguyur

arak, sudah tentu ia marah sekali.

“Imam bangsat, jangan kurang ajar.” bentaknya dan

tutukan sumpitnya kearah jalan darah ditangan si imam.

Sebenarnya imam itu lebih tinggi Iwekangnya dari Yakbwe.

Tapi karena gerakan Yak-bwe itu dilakukan amat cepat

sekali, terpaksa imam itu tarik pulang tangannya.

-od0o-ow0oTiraikasih

Website http://kangzusi.com/

Jilid XIV

NAMUN tak urung tangannya terasa kesemutan dan

terlepaslah poci itu dari cekalannya.

Si hweshio kebetulan berada disampingnya dan poci itu

tepat sekali melayang kearahnya. Meskipun tak tepat

mengenai, tak urung ia meringis kesakitan juga karena

kecipratan arak. Dengan murkanya ia menghantam. Kini poci

itu terbang balik melayang kearah Yak-bwe.

Yak-bwe agak terkesiap, batinnya : “Kedua hweshio jahat

itu bermulut besar, tapi ternyata memang mempunyai

kepandaian berisi.”

Takut tak kuat menyambuti hingga nanti menjadi buah

tertawaan buru2 Yak-bwe menghindar saja. Brak, poci itu

menghantam kaca jendela, terus melayang jatuh kedalam

sungai. Tapi araknya berhamburan ke-mana2, sampai Yakbwepun

turut basah kuyup dengan percikannya.

“Sayang, sayang, poci arak baik terbuang dalam sungai”,

kedengaran sipemuda desa mengoceh sendirian.

Si hweshio menggerung keras terus hendak mencengkeram

Yak-bwe, tapi Yak-bwe cepat menyambutnya dergan totokan

sumpit. Krek, supit patah menjadi dua. Kiranya hweshio itu

memiliki ilmu kim-ciong-oh dan thian-po-san atau ilmu lindung

yang kebal senjata. Sekali pun begitu karena totokan supit

Yak-bwe tadi tepat mengenai jalan darah tangannya,

meskipun tak sampai rubuh, hweshio itu juga merasa sakit

seperti ditusuk jarum. Saking sakitnya ia sempat loncat keatas.

Si imam biasanya selalu tenang. Karena tadi dia menderita

kerugian kecil, untuk sementara waktu ia hanya diam

mengawasi di samping. Setelah menyaksikan Yak-bwe

bertempur dengan kawannya, diam2 ia merasa heran.

Apakah yang menjadi keheranannya itu? Kiranya totokan

supir Yak-bwe tadi, belum mengenai lengannya. Ujung sumpit

hanya baru menyentuh ujung bajunya, tapi anehnya ia

rasakan lengannya sudah kesemutan sehingga tak kuat

mencekal poci arak lagi. Dalam ilmu totokan, yang paling

liehay sendiri yalah apa yang disebut kek-gong-tiam-hiat atau

menotok jalan darah, dari kejauhan. Hanya orang yang

sempurna lwekangnya, baru dapat menggunakan jimu totokan

itu.

Selain itu, masih ada semacam ilmu totok yang tak kurang

liehay, yakni tak usah menutuk tepat tapi dengan gunakan

lwekang dapat menutup jalan darah orang. Ia duga Yak-bwe

tentu memiliki salah satu dari dua macam ilmu tutuk yang

hebat itu. Jarak ujung sumpit Yak-bwe dengan jalan darah

dilengan si imam, hanya terpisah selembar kertas tebalnya.

Jadi terang bukan termasuk ilmu tutukan kek-gong-tiam-thian.

Suatu keuntungan bagi Yak Bwe bahwa imam itu telah

keliru menyangka kalau Yak bwe memiliki kedua macam ilmu

tutuk jalan darah yang liehay: kek-gong-tiam-thian dan lwe

tat-pit-hiat (lwekang untuk menutup jalan darah). Karena

persangkaan itu, si imam sudah tak berani sembarangan turun

tangan dan mundur kesamping.

Selama mengawasi permainan Yak-bwe tadi ia telah

melihat suatu lubang kelemahannya. Tapi tak urung ia makin

keheranan. Jika Yak bwe memiliki ilmu tutuk seperti yang

diduganya itu, sekalipun si hweshio memiliki ilmu lindung kimciong-

oh, pun tak nanti kuat bertahan. Tapi ternyata hwesio

itu tak kena apa2, melainkan loncat berjingkrak2, pula sumpit

Yak bwepun patah dibuatnya. Jelas dilihatnya gerakan

menutuk dari Yak-bwe tadi, meskipun hebat tapi kurang

mahir, menandakan Yak bwe itu masih trondol.

Sudah tentu imam itu bingung memikirkannya. Pikirnya:

“Bagaimana ini? Apakah memang ia sengaja tak mau

keluarkan kepandaiannya sungguh2? Tapi mengapa tadi sekali

turun tangan kepadaku ia lantas gunakan ilmu tutuk yang

hebat ?”

Mari kita tengok kembali si hweshio, Ketika melambung

diudara, dengan menggerung keras ia lantas meaghantam

dengan ilmu pukulan boh-pny-chiu. Dengan tangkasnya Yakbwe

ber-putar2 menghindar. Brak, bukan Yak-bwe yang kena

melainkan meja yang terhantam jungkir balik,

Melihat warung araknya dibuat medan perkelahian,

sipemilik ber-kaok2. Pun tetamu lain, buru2 menyingkir.

Pukulan hweshio itu dahsyat sekali, Setiap kali ia memukul,

anginnya mrnderu2, mangkuk piring pecah berantakan kemana2.

Tring2, prang, prang,….,

Yak-bwe tetap gunakan ilmu kelincahan, Sebentar loncat

keatas meja, sebentar keatas dingklik, menyusup kebawah

meja, menyelinap kesana memberosot kesini. Betapapun

hweshio itu hendak umbar kemarahannya, namun tak dapat

mengapa2kan Yak-bwe, yang nyata, pukulannya itu selalu

mendapat sasaran meja, kursi atau mangkuk piring meja,

Setelah mengikuti bagaimana selama bertempur itu Yakbwe

lalu menghindar dan sudah beberapa kali hampir saja

termakan pukulan si hweshio, si imam mulai menarik

kesimpulan bahwa memang Yak-bwe itu tidak pura2 dan

benar2 bukan jago keras, Kini hilang kekuatirannya dan

dengan tertawa ia berkata : “Nona Su, berkelahi didalam

rumah makan ini, sungguh tak sedap dipandang. Lebih baik

kita pergi kelain tempat untuk berunding .”

Ternyata si hweshio dan si imam saat itu sudah yakin

bahwa Yak-bwe tentu Su Tiau-ing yang hendak dicarinya itu.

Yak-bwe malu dan gusar sekali. Malah sehabis berkata, si

imam sudah menerjangnya. Buru2 ia jumpalitkan sebuah meja

untuk menahannya, kemudian segera mencabut pedangnya

dan membentak : “Berani maju selangkah lagi, pokiamku ini

tak punya mata!”

Si imam tertawa : “Pokiammu tak bermata, tapi aku punya

mata.”

Habis berkata ia tas kebutkan lengan jubahnya untuk

menampar pokiam Yak-bwe. Berbareng itu si hweshio dengan

menggembor keras sudah pentang kedua tangannya hendak

merebut pedang Yak-bwe. Yak-bwe tusukkan pokiamnya

ketenggorokan si hweshio. Meskipun si hweshio punya ilmu

lindung kim-ciong-toh, tapi tenggorokan adalah bagian yang

dapat mematikan. Buru2 ia sambar sebuah dingklik untuk

menangkis.

Ternyata tusukan Yak-bwepun tak dilancarkan dengan

sepenuh tenaga. Begitu membentur dingklik, ia lantas putar

arah menusuk si imam. Melihat gerakan ganti jurus itu

dilakukan demikian cepatnya, diam2 si imam merasa kagum.

Pikirnya : “Ilmu pedang budak ini jauh lebih hebat dari ilmu

tutuknya. Sayang tenaganya masih belum memadai.”

Iapun tetap gunakan lengan bajunya untuk menampar, tapi

pun tak berani terlalu bernapsu hendak merebut po-kiam Yakbwe.

Dengan ilmu kelincahannya dan dibantu oleh meja kursi

yang malang melintang, ia mainkan pedangnya kian kemari.

Dengan cara itu dapatlah ia melawan sampai 10an jurus.

Hweshio itu bertubuh gemuk. Meskipun ia memiliki ilmu

gwa-kang yang hebat, namun ilmu lindungnya masih belum

sempurna betul. Beberapa kali hampir saja ia termakan

pedang Yak-bwe. Akhirnya marahlah hweshio itu. Ia lepaskan

jubahnya dan berseru : “To-heng, ayuh, kita tangkap ikan.”

Ia mainkan jubahnya. Jubah itu berobah menjadi semacam

awan merah yang mencangkup kepala Yak-bwe. Si imam

tetap gunakan sepasang lengan bajunya untuk menampar.

Setiap ada kesempatan tentu ia pergunakan sebaik-baiknya

untuk melibat pedang Yak-bwe. Kepungan dari kedua orang

tersebut memang makin lama makin rapat. Permainan pedang

Yak Bwe pun mulai berkurang gayanya.

Sekalian tetamu sudah sama ngacir pergi. Sipemilikpun

juga sudah bersembunyi dikolong mejanya. Mangkuk piring

pecah berantakan. Meja kursi sunggsang sumbal,

gederobokan tak henti2nya.

“Ho, hendak lolos kemana kau?” teriak si hwesio. Ia tetap

perkeras permainan jubahnya yang mengancam kepala Yak

Bwe.

Tiba2 terdengar jeritan mengaduh dan ada seorang

mendekap paha si hwesio.

“Aduh, mati aku dipijaknya!” teriak orang itu.

Kiranya diruangan situ masih ada seorang tetamu yang

belum menyingkir. Orang itu bukan lain adalah sipemuda desa

tadi, Marahlah si hwesio. Ia sepak pemuda desa sekuat2nya

sampai jungkir balik. Tapi pemuda itu sudah menggigit

pahanya. Meskipun si hwesio punya ilmu lindung kim-ciongtoh,

tapi tak urung pahanya kena digigit sampai berlumuran

darah.

Yak Bwe menghindari jaringan jubah si hwesio terus balas

menusuk. Tusukannya itu tepat mengenai jalan darah ih-gihiat

diperut si hwesio. Karena tusukan itu memakai tenaga

penuh, akibatnya juga lebih hebat dari ilmu tutukan dengan

jari. Betapapun hwesio itu seorang otot kawat tulang besi,

namun tetap ia tak kuat menahan tusukan itu, Sekali menjerit,

rubuhlah ia dilantai.

Sewaktu ditendang jungkir balik tadi, si pemuda desa

bergelundungan dilantai. Jatuhnya tepat menggelundung

disamping si imam segera angkat kakinya hendak memberi

sebuah tendangan, tapi cepat pemuda desa itu mendekapnya

sambil berteriak2: “Tolong! tolong!”

Karena dipeluk se-kencang2nya oleh sipemuda, hampir saja

imam itu terjerambab jatuh. Sebenarnya kepandaian imam itu

lebih tinggi dari si hweshio. Sekali kakinya diputar, pemuda

desa itupan tak kuat mempertahankan dekapannya lagi,

terpaksa ia lepaskan. Berbareng itu si imam cepat

menendang.

“Pembunuhan, tolong, tolong!” teriak pemuda itu. Tiba2 ia

jungkir balik dan terlempar keluar dari jendela.

Sebenarnya tendangan si imam itu belum mengenai. Tapi

entah mengapa, sipemuda desa jumpalitan. Pada lain saat

terdengar suara gedebuk yang keras. Rupanya pemuda desa

itu terbanting jatuh sekeras-kerasnya.

Masih Yak-bwe belum menginsyafi bahwa pemuda desa itu

sebenarnya diam2 telah memberi bantuan padanya. Ketika

sipemuda menjerit2 minta tolong tadi, Yak-bwe menjadi

gugup hendak menolongnya. Cepat ia tusuk si imam.

Tadi beberapa kali pedang Yak-bwe kena disampok

terpental oleh kebutan jubah si imam. Tapi kali ini sungguh

aneh. Bret, lengan jubah si imam kena dipapas kutung. Dan

ketika ujung pedang terus meluncur maju. lengan si imam

tergurat luka sepanjang lima dim. Mengapa mendadak sontak

si imam tak selihay tadi; Kiranya gigitan sipemuda desa yang

menyebabkannya. Karena ujung kakinya digigit sampai

terluka, bukan saja gerakan si imam itu tak setangkas tadi,

pun tenaganya menjadi berkurang. Jika saat itu Yak-bwe terus

menyerang lagi, imam itu pasti binasa atau sekurangkurangnya

tentu terluka berat.

Tapi Yak-bwe tak mau berbuat ganas. Ia hanya bermaksud

memberi sedikit hajaran saja. Demi melihat kedua orang

agama itu sudah pontang panting tak keruan, diam2 ia sudah

merasa senang. Kedua kalinya, ia tetap menguatirkan keadaan

sipemuda yang terlempar keluar jendela itu. Maka setelah

dapat melukai si imam, ia lantas tarik pulang pedangnya.

“Katamu kau punya mata. tapi kulihat kau benar punya

mata tapi tidak punya biji matanya. Jika lain kali berani kujang

ajar lagi apabila bertemu aku, tentu akan kukorek keluar biji

matamu,” kata Yak-bwe.

Imam itu tahu kalau kepandaian lawan tak menang dengan

dia. Tapi entah apa sebabnya ternyata ia menderita

kekalahan. Saking marahnya, dari tujuh lubang inderanya

sampai mengeluarkan asap. Namun ia tak berani ber-cuwit

lagi. Celaka adalah si hwesio botak. Ternyata ia menderita

luka lebih parah. Ia tengah mengerang2 menyalurkan jalan

darahnya, sehingga tak dapat berkata-kata lagi.

Baru Yak-bwe hendak melangkah keluar tiba2 sipemilik

warung menerobos keluar dari kolong mejanya dan menangis

gerung2. Kiranya ia sedih karena menderita kerugian besar,

tapi ia tak berani minta ganti kerugian pada Yak-bwe.

“Ciang-kui, sudahlah, jangan menangis. Ni kuganti uang,”

kata Yak-bwe sembari mengeluarkan uang tembaga dan

pecahan perak.

Mendengar itu buru2 sipemilik warung mengusap air

matanya. Tapi serta dilihatnya Yak-bwe hanya menyodorkan

sejumlah uang tembaga dan pecahan perak, kecewalah ia.

Serunya dengan terputus-putus: “Tuan ini, ini ….”

Setelah mengatakan ini, ini, achirnya ia beranikan diri juga

untuk menerangkan bahwa uang Yak-bwe iiu masih belum

cukup untuk mengganti kerusakan barang-barangnya.

Diam2 Yak-bwe geli sendiri; “Ah, aku ini benar2 limbung.

Kali ini aku hampir merusakan sebuah rumah makan, masakan

hanya membayar dengan jumlah rekening makananku tadi!”

Akhirnya ia mengambil uang mas kim-tonya terus

dilemparkan dilantai serunya: “Ini emas murni, jangan kuatir

kutipu. Cukuplah kiranya” Habis berkata ia lantas loncat keluar

jendela. Melihat keroyalan Yak Bwe, imam dan hwesio tadi

makin yakin kalau Yak Bwe itu tentulah Su Tiauw-ing.

Tampak pemuda desa tadi tengah berjalan ditepi sungai

dengan langkah pincang. Hati Yak Bwe serasa longgar

dibuatnya. Ia meneriaki pemuda desa itu. “Hai bung, aku

hendak menghaturkan maaf kepadamu. Dalam perkelahian

tadi, aku telah membikin susah kau. Apakah kau terluka?”

“Tidak, tidak apa2. Syukur Tuhan masih adil, tidak suruh

aku menjadi makanan ikan sungai. Hanya lecet sedikit saja

dan terluka dibagian tumit kaki. Apa kau menang? Kiong-hi,

Kiong-hi?” sahut sipemuda memberi selamat.

Karena dapat berjalan, Yak Bwe menduga pemuda desa itu

hanya terluka sedikit saja tak mau meladeni bicara, terus

mengeluarkan perak dan selembar sapu tangan serta obat.

katanya: “Ini adalah obat kim-jong-yok yang jempolan,

bubuhkanlah pada lukamu. Dalam dua hari saja tentu sudah

baik. Dan perak ini terimalah untuk ongkos keperluan.”

Mengingat selama dua hari nanti sipemuda tentu tak dapat

bekerja, maka Yak-bwe memberinya sedikit ongkos. Ia duga

pemuda itu tentu mau menerimanya dengan girang. Tapi

diluar dugaan tiba2 wajah pemuda desa itu berubah. Serunya:

“Apa maksudmu ini? Apakah aku ini dianggap sebagai

pengemis?”

Kemerah2anlah wajah Yak-bwe. Ia merasa serba salah apa

mesti menyimpan kembali perak itu atau tidak. Kebetulan

sekali saat itu ada seorang pengemis berjalan lalu disitu. Tiba2

pemuda desa itu tertawa: “Ya, sudahlah, mana perakmu itu,

biar kuwakilkan kau memberi sedekah padanya.”

Diberi sekian banyak perak, pengemis itu melongo. Setelah

tersadar, ia tersipu2 menyambutnya dan tak henti2nya

menghaturkan terima kasih.

“Perak itu kepunyaan tuan ini. Kau berterima kasihlah

kepadanya. Ai, tubuhmu juga penuh dengan luka2, ini obat

untukmu. Juga dari tuan itu,” kata sipemuda desa.

Yak-bwe tak dapat berbuat apa2 kecuali tertawa meringis,

tanpa berkata apa2 ia lantas pergi. Lewat beberapa jenak,

keadaan menjadi hening. Tiba2 Yak-bwe teringat sesuatu:

“Hai, gerak gerik pemuda desa tadi sungguh luar biasa, pun

wataknya juga aneh.”

Makin teringat akan pemuda desa itu, makin timbul

kecurigaan. Tapi ketika ia berpaling kebelakang, ternyata

pemuda desa itu sudah tak tampak bayangan lagi. Sudah

tentu Yak-bwe terbeliak kaget. Pikirnya: “Kuejek imam tadi

punya mata tapi tak punya biji mata. Ternyata aku sendiri

juga salah lihat pada orang. Jika pemuda desa itu tak punya

kepandaian tinggi, masakan ia tak sampai terluka parah

dilempar keluar jendela begitu rupa? Ah, tak nyana aku

kembali tak sengaja berbuat salah pada orang,”

Memang apa yang disesalkan Yak-bwe itu tepat sekali. Tapi

iapun tetap masih belum insyaf bahwa adanya ia dapat

memenangkan imam dan hweshio tadi adalah berkat bantuan

secara diam2 dari pemuda desa itu.

Tengah hari lewat sedikit, tibalah sudah Yak-bwe dimuka

pintu gedung Sip Hong. Penjaga pintu yang sudah tua dengan

keheranan mengawasi Yak-bwe. tegurnya:

“Kau hendak cari siapa?”

Yak-bwe tertawa mengikik, sahutnya: “Ong tua apakah kau

tak kenal lagi padaku?”

“Ai, kiranya nona Sik. Dalam dandanan begitu, apabila tak

kau katakan, sudah tentu aku tak mengenal kau lagi,” seru

sipenjaga pintu.

Dahulu kedua keluarga Sip dan Sik itu tinggal berdekatan.

Sewaktu kecilnya, boleh dikata saban hari Yak-bwe tentu

main2 dengan In-nio. Penjaga pintu tua itu sudah bekerja

selama berpuluh2 tahun pada keluarga Sip. Ia mengikuti

kedua nona itu dari kecil sampai berangkat dewasa. Maka

sekali Yak-bwe buka suara, cepat ia sudah mengenalinya.

“Lo-ya sedang bepergian, tapi nona ada dirumah sedang

berlatih ilmu pedang didalam taman. Mari kuantarkan kau

kesana,” kata sipenjaga.

“Tak usah, aku dapat kesana sendiri”, sahut Yak-bwe.

“Ai, nona Sik dalam dandanan sebagai pemuda, kau benar2

tampak cakap sekali. Aku sampai tak mengenal kau sama

sekali. Ah, sayang kau bukan pemuda sesungguhnya. Jika

sungguh, merupakan pasangan yang setimpal dengan nona

majikanku.” kata penjaga tua itu dengan bergurau,

Yak-bwe girang karena penyaruannya itu telah dapat

mengelabuhi mata pak tua itu sahutnya: “Jangan kuatir,

nonamu itu sudah ada yang punya.”

“Nona sudah mendapat jodoh? mengapa aku tak tahu sama

sekali ?”

“Sabarlah, nanti sedikit waktu tentu kau bakal tahu sendiri.

Sekarang ini aku justru hendak menjadi comblangnya,” jawab

Yak-bwe terus melangkah.

Tiba ditaman, benar juga In-nio sedang asyik berlatih

pedang. Dilihatnya sinar pedang In-nio itu berkelebatan pergi

datang dengan cepatnya. Setiap kali pedang itu berkelebat,

tentu meninggalkan percikan pedang berbentuk seperti

taburan bunga. Ternyata In-nio tengah mainkan jurus huihoa-

ciu-yap atau bunga bertebaran memburu sang kupu2.

Jurus itu sebuah permainan dari ilmu pedang Hian-li-kiamhwat.

Apalagi di latih sampai tingkat sempurna, dapatlah

dibuat memapas bunga tanpa merusak tangkainya sedikitpun

juga. Dapat memapas sayap seekor kupu2 tapi tanpa

menyebabkan kematiannya, In-nio belum dapat mencapai

tingkatan itu. Tapi sudah tak banyak terpautnya:

“Permainan pedang yang bagus !” Yak-bwe memuji

sembari menghampiri.

Sebat sekali In-nio sudah tarik pulang pedangnya, tapi

iapun mengawasi Yak-bwe dengan pandangan yang lain dari

biasanya.

“Hai, kau melihat apa saja ? Apa kau juga tak mengenali

aku ?” tegur Yak-bwe sambil tertawa.

“Lihatlah sendiri keadaanmu itu. Apakah kau barusan habis

berkelahi dengan orang ?” seru In-nio.

Yak-bwe cepat menghampiri ketepi empang teratai. Begitu

melongok kepermukaan air, barulah ia tersadar. Katanya: “Ah,

makanya tadi pak tua penjaga pintu itu pentang mata lebar

lebar memandang aku.”

Kiranya rambut Yak-bwe kusut masai, pakaiannya kacau

risau, banyak debu yang melekat. Wajahnya tak keruan

warnanya, banyak bekas2 noda arak, air kuah, kecap dll, Yakbwe

mendongkol tapi geli juga.

“Hm, pak tua itu memperolok2 aku, Katanya aku seorang

pemuda tampan,” katanya.

In-nio ambil sapu tangan, setelah dicelup air lantas

mengusap noda2 kotoran diwajah Yak bwe. Ujarnya: “Jangan

buru2 tukar pakaian dulu. Tuturkan ceritamu itu. Mengapa kau

nakal sebelum datang kemari berkelahi dulu dengan orang ?”

“Ho, kau juga hendak meng-olok2 aku ya? Bukan cerita

yang baik, tapi menjengkelkan hati,” sahut Yak-bwe, ia lantas

menutur kejadian yang dialaminya diwarung arak itu.

“Aku tak kenal pada iman hidung kerbau dan si hweshio

busuk itu tetapi entah bagaimana mereka itu hendak cari

perkara padaku. Coba kau timbang, apakah itu tidak

menjengkelkan?” katanya.

In-nio heran dibuatnya, tanyanya: “Masa ada kejadian

begitu, apakah kau tak salah dengar? Atau mungkin mereka

mengatakan tentang lain orang?”

“Mestipun aku tak faham seluruhnya akan bahasa kangow,

tapi aku dapat mendengarkannya dengan jelas. Coba pikirkan,

mana di atas dunia ini ada seorang budak perempuan she Su

yang galang gulung dengan budak laki2 she Toan itu?” bantah

Yak-bwe yang lantas mencernakan omongan si imam. Dalam

bercerita itu, wajahnya menjadi kemerah2an.

“Ah, hal itu benar aneh. Siapakah yang membocorkan

keluar? Mengapa dalam kalangan orang luar yang tak ada

hubungannya sama sekali mengetahui bahwa kau tinggalkan

rumahmu karena urusan Toan Khik Sia?” In nio tertawa.

“Malah mereka tahu juga akan sumber perguruanku dan

tingkat kepandaianku. Tapi memang ada beberapa bagian

yang tidak benar,” kata Yak bwe. Iapun menerangkan tentang

hal2 yang menimbulkan curiga pada In-nio. In-nio memang

lebih berpengalaman. Memang ia anggap dalam urusan itu

tentu terselip sesuatu, tapi seperti halnya dengan Yak-bwe,

iapun juga tak mengetahui tentang adanya seseorang nona

yang bernama Su Tiau-ing itu. Maka dugaannya pun, sama

dengan Yak-bwe, yakni yang dimaksud si imam dengan budak

perempuan she Su itu, siapa lagi kalau bukan Yak-bwe.

Dalam penuturannya itu, Yak-bwe sudah lupa menyebut

tentang diri sipemuda desa.

“Ai, kau toh sudah memberi hajaran pada mereka, ini

sudah cukup melonggarkan kemendongkolan hatimu. Rupanya

mereka itu hanya bangsa kelas 2-3 saja. Masakan mereka

berani mencari kau lagi. Sekarang mari kita bicarakan soal

Khik Sia. Sebetulnya kalian berdua ini bagaimana, ya ?”

Dengan suara berbisik, Yak-bwe menyahut: “Justru aku

headak minta advismu. . .”

Baru ia berkata begitu tiba2 terdengar si penjaga Pintu tadi

bergegas mendatangi, serunya .

“Nona Sip, ada tetamu hendak minta bertemu loya. Waktu

kuberitahukan kalau loya sedang pergi, ia lantas keluarkan

karcis nama suruh aku berikan pada nona. Ia minta

keterangan, apakah nona mau menjumpainyakah?”

Waktu menyambuti dan membaca karcis nama itu. In-nio

berseru: “Oh, kiranya Sin-ciang chiu Lu Hong-jun. Baik,

silahkan dia duduk di ruangan tetamu. Sebentar aku ganti

pakaian dulu,”

Yak-bwe tertawa mengikik.

“Hai, mengapa kau tertawa itu ?” tegur In-nio.

“Tahukah kau apa maksud kedatangan Lu Hong-jun kemari

?” Yak-bwe balas bertanya.

“Bagaimana aku mengetahui? Kalau begitu rupanya kau

tentu sudah tahu, bukan?”

“Dia hendak menjadi comblang untukmu, Comblang

datang, calon yang akan dipinang itu harus menyembunyikan

diri tapi sebaliknya kau hendak menjumpainya. Lucu tidak ini

?”

“Kau memang pandai menggerakkan lidahmu. Masakan

seorang pendekar muda dituduh menjadi comblang. Biar

kutemuinya. Kebanyakan ia datang kemari karena kau. Kau

telah menghina adiknya, ia tentu hendak mencarimu.” sahut

In-nio yang tak percaya akan keterangan Yak bwe,

“Tidak, aku sungguh tak membohongimu. Lu Hong-jun

dimintai tolong Thiat-mo-lek untuk melamar bagi Bo Se-kiat.

Jika kau tak percaya, dengarkan saja bagaimana omongannya

nanti,”

“Sudahlah, jangan berolok2 lagi. Lekas ganti pakaian dan

ikut aku menemui tetamu itu.” tukas In-nio.

“Ah, aku bukan tuan rumah dan kedua kalinya, jika ada

aku, ia tentu tak leluasa bicara.” bantah Yak-bwe.

“Apa kau kuatir kalau ia sebenarnya hendak mencarimu?

Baik jika kau takut, biarlah aku sendiri yang menyambutnya.

Aku tak mau terpengaruh oleh olok2mu tadi hingga sampai

melantarkan tetamu.” kata In-nio

Yak-bwe tertawa “Ya, Memang, memang jauh2 orang

datang hendak menjadi comblang, masakan tak disambut

baik-baik.”

“Lekas ganti pakaian dan tunggu disini, Nanti aku hendak

bikin perhitungan padamu,” bentak In-nio.

Setelah pesan seorang budak untuk melayani keperluan

Yak-bwe, ia lantai ganti pakaian dan keluar menyambut sang

tetamu, Yak-bwe pun lantas mandi dan berganti pakaian Innio.

Ternyata Yak-bwe itu lebih pendek dari In-nio. Bujang

segera menyediakan pakaian In-nio yang dibuat pada dua

tahun yang lalu. Ternyata ukurannya pas dengan Yak-bwe.

Yak-bwe menunggu didalam taman. Tak berapa lama

kemudian, datanglah In-nio. Wajah nona itu agak berbeda

dengan tadi. Kiranya benar apa yang dikatakan Yak-bwe

kepadanya tadi. Hong-jun telah membicarakan tentang diri Bo

Se-kiat, Benar juga secara terang2an, Hong jun tidak

menyatakan jadi comblang, tapi ia menuturkan tentang

pertemuan dengan Bo Se kiat dan Thiat Mo Lek. Kemudian ia

sampaikan salam Se-kiat kepada In-nio. Dalam pembicaraan

selama itu, secara samar2 Hong-jun menyatakan sudah

mengetahui tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio. Pun

tahu juga dia (Hong-jun) akan kemungkinan bahwa Sip Hong

tak suka Se-kiat. Selanjutnya Hong-jun menyatakan

kesediaannya hendak membicarakan hal dari Se-kiat itu

kepada Sip Hong.

“Nah bagaimana, Kan aku tidak omong kosong doang ?”

tegur Yak-bwe sambil tertawa.

“Heran, bilakah berjumpa dengan Lu Hong jun itu?

Mengapa tadi ia tak mengatakan sebaliknya malah

menanyakan tentang dirimu ?” kata In-nio. Yak-bwe tetap

tertawa saja.

“Aku bertemu padanya, tapi ia tak tahu kalau aku. Kejadian

itu memang lucu sekali, nanti akan kuceritakan juga padamu.

Coba kau tuturkan dulu, apa saja yang ia tanyakan tentang

diriku tadi ?”

Kini ganti giliran In-nio yang tertawa : “Dia juga membantu

Thiat Mo Lek mencarimu untuk kepentingan Khik Sia, Thiat Mo

lek dan Bo Se-kiat juga sangat perhatian akan arusan kamu

berdua itu. Kukatakan pada Lu Hong-jun bahwa kau sudah

berada disini dengan aku. Mendengar itu girangnya bukan

kepalang. Ia mengatakan hendak lekas2 menyampaikan hal

itu kepada Khik Sia dan Thiat-mo-lek, agar mereka terbebas

dari kecemasan selama ini. Tadi sebenarnya aku berniat

hendak memanggil kau keluar…..”

“Aku sih tak suka menemuinya,” sahut Yak-bwe.

“Itulah. Kutahu sudah bagaimana perangaimu. Menduga

kau tentu tak suka menemuinya, akupun tak mengatakan hal

itu juga,” kata In-nio.

Tiba2 Yak-bwe bertanya: “Apakah ia tahu kalau baru hari

ini aku tiba disini.”

“Tentang itu tak kuutarakan. Dengan Lu Hong jun baru

pertama kali ini aku bertemu muka. Waktu ia menanyakan

dirimu, segera beritahukan kau berada disini. Lain2 hal aku tak

mau mengatakan lagi,”

“Mendinglah. Kalau ia tahu baru hari ini aku tiba disini,

tentu ia menaruh kecurigaan. Diriku yang sebenarnya, tentu

akan ketahuan olehnya,” kata Yak-bwe.

“Ai, kau mainkan sandiwara apa saja? Mengapa kau takut

dirimu ketahuan ?” tanya In-nio

“Tentang diriku menyaru jadi pemuda itu, lho,” kata Yakbwe.

“Belum lama ini, aku berjumpa dengan Lu Hong-jun.

Kuperhatikan kala itu ia sudah mencurigai diriku, tapi rupanya

ia pun masih belum yakin betul bahwa aku ini seorang anak

perempuan.”

Ia lalu menuturkan pengalamannya selama berpisah

dengan In-nio. Bagaimana ditengah jalan terluka parah,

bagaimana perkenalannya dengin Tok-ko U serta bagaimana

pada suatu hari Lu Hong jun datang berkunjung kerumah Tokko

U diceritakan semua.

“Aku memakai nama palsu Su Ceng-to, berbohong

mengaku salah seorang gagah dari Kim ke-nia. Tak kusangka

bahwa sebelum datang kesitu, Lu Hong jun berjumpa dulu

dengan Thiat-mo-lek. Mungkin ia tentu merasa keteranganku

itu sedikit mencurigakan. Tapi syukur, aku dapat mengatasi

kesemuanya itu. Jika tadi ia tahu kalau baru hari ini aku

datang kemari, mungkin ia tentu akan menghubungkan

dengan diri pemuda Su Ceng-to itu. Dan diriku tentu bakal

ketahuan.”

Habis mendengar, In-nio tampak kerutkan alisnya.

Tegurnya: “Perbuatanmu itu kurasa tidak tepat. Mengelabuhi

mata Lu Hong jun itu sih tak mengapa. Tapi masakan kau

juga mau menyelomoti Khik Sia juga?”

“Tidak, siang2 Khik Sia sudah tahu. Setelah Lu Hong-jun

pergi, malamnya Khik Sia juga datang kerumah Tok ko U dan

bertemu dengan aku.” kata Yak bwe.

“Bagus, bagus ! Khik Sia tentu tahu dan apakah kau

memberitahukan siapa dirimu itu kepadanya? Kupercaya ia

tentu tak mencemburui kau. Kalian sudah berbaik, bukan ?” ,

“Celaka, karena kubikin marah, ia pergi dengan putus asa.

Memang kala itu aku masih marah kepadanya, maka akupun

tak mau berkata kepadanya.”

Waktu mendengar cerita Yak-bwe tentang pertemuannya

dengan Khik Sia, In nio banting2 kaki: “Ai, mengapa kau

berlaku keliwatan begitu?”

Yak bwe menyatakan penyesalannya: “Ya sekarang aku

sudah tahu kesalahanku. Jika nanti bertemu lagi, aku akan

menghaturkan maaf padanya. Tapi entah sekarang ini dia

berada dimana. Enci In, bagaimana advismu? Apa sebaiknya

cari dulu dianya, lalu kau katakan padanya.”

In-nio tertawa: “Ya, enak saja kau ngomong. Dengan

begitu tak perlulah kiranya kau minta maaf lagi kepadanya,

bukan? Hanya saja, kau sudah membuat urusan itu kacau

balau, dikuatirkannya tidak cukup dengan sepatah dua patah

penjelasan dapat membuat mengerti.”

Mendengar itu angot pula perangai kaum siocia (gadis

orang hartawan atau berpangkat) pada Yak-bwe. Ujarnya :

“Ya, aku memang berlaku kelewatan kepadanya, tapi iapun

juga berulang kali tanpa suatu alasan, menghina padaku.

Kalau ditimbang, dua2nya mempunyai kesalahan. Jika setelah

kau nasehati, ia tetap tak mau menerima penjelasanku,

akupun tidak mengharap padanya lagi.”

In-nio tertawa : “Ah, bukan begitulah. Tapi jawablah

pertanyaanku ini. Apakah Tok ko U pernah curigai padamu ?”

“Curiga apa? Curiga kalau aku ini seorang anak

perempuankah?”

“Kau tinggal hampir setengah bulan dirumahnya itu,

tentunya setiap hari kau berjumpa padanya. Sebagai seorang

yang suka berkelana dan banyak pengalaman, masakan ia tak

melihat sedikitpun tanda2 yang mencurigakan pada dirimu ?”

Dengan bangga, Yak-bwe menerangkan : “Kepandaian

menyaru jadi pemuda, meskipun tak sempurna seperti kau,

tapi rasanya lebih dari cukup untuk mengelabuhi mata kedua

kakak beradik tersebut. Bukan saja kuberhasil mengelabuhi

mereka, malah adiknya yg bernama Tok-ko Ing itu sudah

jatuh hati padaku !”

Yak-bwe segera menceritakan tentang Tok ko Ing yang

mencintainya itu. Sudah tentu dalam ceritanya itu, ia tambahi

dengan bumbu secukupnya hingga In-nio tak kuat lagi

menahan gelinya.

Puas tertawa, berkatalah In-nio: “Janganlah kau keltwat

melanggar susila. Tidakkah perbuatanmu itu menyebabkan

penderitaan seorang gadis?”

“Nanti apabila sudah tiba saatnya, aku tentu akan memberi

penjelasan padanya. Tapi pada waktu itupun aku hendak

mengolok olok Lu Hong-jun juga. Tahukah kau bahwa Lu

Hong jun itu sebenarnya juga akan meminang nona Tok-ko?”

“Itu kan tak ada jeleknya, mengapa kau hendak mengolokoloknya?”

“Aku tak suka dengan adik perempuan dari Lu Hong-jun.

Karena aku sayang akan Tok ko Ing, maka aku tak suka kalau

sampai mendapat ipar perempuan semacam itu.

“Gila, gila benar kau ini. ia akan menikah dengan Lu Hongjun,

bukan dengan adik perempuannya. Sekalipun taruh kata

kedua ipar itu tak rukun, tokh tak ada sangkut pautnya

dengan kau? Apalagi Lu Hong jun itu seorang lelaki yang

lapang dada, setidaknya bukan orang busuk.”

“Tak usah kau damprat, belakangan aku-pun tahu

kesalahanku itu juga. Tadikan telah kukatakan padamu,

lambat atau laun aku tentu akan menjelaskan pada Tok ko

Ing. Hanya sekarang ini belum tiba saatnya” ujar Yak bwe

tertawa.

Sejak kecil In-nio sudah bergaul dengan Yak-bwe, jadi ia

cukup kenal perangainya, tertawalah ia: “Saat yang kau pilih

itu terus terang saja tentulah setelah kau baik lagi dengan

Khik Sia agar jangan belum2 apabila sampai ketahuan dirimu

seorang anak perempuan Tok ko ing akan mengutuk kau “

Yak-bwe tertawa : “Terhadap kau aku tak dapat menutup

isi hatiku. Itulah makanya aku lekas2 kemari, perlu minta

advismu.”

Dengan suagguh2 In-nio berkata. “Untung lah karena tak

melihat penyaruanmu, Tok-ko U tak sampai merayu kau. Tapi

hal itu tak mengurangkan cemburunya Khik Sia. Apakah tak

memikir sampai disitu ?”

Yak-bwe terkesiap: “Kau maksudkan Khik Sia akan

mencemburui aku, aku….”

“Benar, ia mencemburui kau punya hubungan istimewa

dengan Tok-ko U,” tukas In-nio.

“Kurang ajar ! Kalau ia mempunyai pikiran begitu, tandanya

ia berhati serong sendiri,” Yak-bwe menyeletuk sengit.

Sebagai puteri dari pembesar tinggi, Yak-bwe biasa

memandang segala hal secara subyektip atau menurut

anggapannya sendiri. Itulah sebabnya maka ia tak memikirkan

kemungkinan Khik Sia akan menaruh persangkaan jelek

terhadap tindakannya dirumah keluarga Tok-ko.

“Mengapa menyalahkan Khik Sia? Andaikata aku, pun juga

akan menaruh persangkaan begitu. Ketahuilah bahwa Tok-ko

U itu termasuk golongan anak muda seperti kita. Dia jauh

berlainan dengan putera manis dari Tian peh-peh” bantah Innio.

“Hm, kau masih mengungkat hal itu. Apa kah tidak karena

Tian peh peh hendak memaksa aku jadi menantunya, maka

Khik Sia sampai marah2 dan menghina habis2an padaku ?

Baik, jika karena peristiwa dirumah Tok-ko U itu ia sampai

marah lagi, biarkan sajalah,” Yak-bwe makin sengit

In-nio menggeleng kepala, ujarnya: “Apakah kau benar2

hendak membikin dia marah? Kalau begitu, aku tak dapat

mengurusi urusan kalian lagi.”

Wajah Yak-bwe berobah agak gelisah, katanya:

“Kelihatannya ketika ia tinggalkan aku sikapnya amat sedih

sekali. Maka, maka kemarahannyapun berkuranglah separoh.”

Dengan menirukan gaya bicara Yak-bwe itu, In nio berkata:

“Maka, maka kaupun lantas minta aku menjadi orang

perantaranya.”

Yak-bwe tertawa mengikik dan sandarkan diri pada tubuh

In-nio. Bisiknya: “Siapakah yang suruh kau menjadi ciciku?

Aku sudah tak punya sanak kadang lagi, kalau tak minta

tolong padamu habis minta tolong siapa?”

“Ucapanmu yang menyayat hati itu, mau tak mengurus pun

terpaksa harus mengurus. Baik bangunlah,” kata In-nio. Ia

mengatur rambut Yak bwe yang terurai, kemudian berkata

pula “Dalam pertengahan bulan ini. Cin Siang akan

menyelenggarakan rapat besar kaum enghiong. Tentunya kau

sudah mengetahui hal itu. Turuti pendapatku, Khik Sia tentu

akan datang untuk melihat2. Taruh kata ia tak datang pun,

disana kita tentu dapat bertemu dengan kawan2nya yang bisa

memberi keterangan.”

“Kau artikan kita akan pergi juga? Tapi aku pernah

bertempur dengan tentara negeri, Walaupun Cin Siang telah

mengumumkan takkan menangkap orang2 yang pernah

melanggar hukum, tapi kitapun tak boleh mempercayainya

seratus persen. Dan jangan lupa, bahwa kita ini anak

perempuan. Ya, meskipun kita dapat menyaru sebagai anak

lelaki dengan bagus, tapi ditempat dimana kaum persilatan

yang kasar sama berkumpul, rasanya gerak gerik kita tetap

tak leluasa juga.” bantah Yak-bwe.

In-nio menertawakan “Tak usah banyak kau kuatirkan. Hal

itu telah kupikirkan semua. Aku dapat menjaminmu. Ayahku

sekarang sedang pergi ke Gui-pok. Nah, akan kuambil cap

kebesarannya dan kucapkan pada sepucuk surat keterangan.

Kita akan menyaru jadi opsir sebawahannya yang ditugaskan

mengurus suatu pekerjaan ke Tiang-an. Siapa yang berani

mengganggu usik pada kita lagi? Di Tiang an ayah mempunyai

sebuah pesanggrahan. Kita tak perlu tinggal dihotel, tapi

bermalam dipasenggrahan itu saja. Dengan selalu menjauhi

kawanan orang persilatan itu, masakan kita takut apa lagi.”

Yak bwe kegirangan dan menyetujui rencana itu,

“Jika berjumpa dengan Khik Sia, aku dapat memberi

penjelasan padanya. Juga terhadap urusanmu dengan Tok ko

Ing, karena akupun kenal dengan kakak beradik she Lu,

biarlahku minta bantuan Lu Hongjun untuk menyampaikan

halmu kepada Tok-ko Ing. Dengan demikian dapatlah

urusanmu itu dibebaskan,”

Yak-bwe makin girang dibuatnya. Mulutnya tak henti2nya

menghaturkan terima kasih

“Tahukah kau mengapa ayahku pergi ke Gui-pek ?” tanya

In-nio.

“Bagaimana aku tahu ?” sahut Yak-bwe.

“Yalah untuk urusanmu juga. Setelah kotak emas Tian

pehpeh kuambil, ia menjadi ketakutan setengah mati. Bukan

saja ia batalkan pernikahanmu itu, pun ia berjanji takkan

mengganggu wilayah Lu-ciu lagi. Ia menyatakan mau menjadi

serekat ayah angkatmu. Kepergian ayahku ke Gui-pok itu,

ialah hendak menjadi orang perantara mereka. Ha, adik Bwe,

kau sungguh hebat. Peristiwa kau merampas cap kebesaran

Tian Peh peh itu, kelak tentu bakal menjadi buah tutur yang

indah,” kata In-nio.

“Jangan keliwat memuji setinggi langit,” Yak -bwe tertawa,

“tentang kepandaian, aku tak nempil padamu. Ilmu

permainanmu hui-hoa-cu-tiap tadi, sampai membuat aku

mengiler benar. Beberapa tahun aku belajar ilmu pedang,

tetap tak mampu bermain sedemikian sempurnanya. Cici,

dimasa kecil kau sering memberi petunjuk padaku, sekarang

aku hendak minta petunjukmu lagi.”

Suasana pertemuan dan pembicaraan dengan In-nio itu,

telah memberi banyak kegembiraan pada Yak-bwe. Karena

hari masih belum gelap, ia lantas cabut pedangnya dan

mainkan ilmu pedang hui-hoa-cu-tiap. Ia minta In-nio

memberi petunjuk dibagian yang masih kurang baik. Baru

bermain sampai 10-an jurus lebih, tiba2 terdengar orang

berseru: “Ilmu pedang yang bagus!”

Cepat2 Yak-bwe hentikan permainannya. Dilihatnya

didalam taman muncul seorang pemuda. Dan pemuda itu.

astaga…..kiranya sipemuda desa yang dijumpainya dirumah

makan itu.

Pemuda itu tertawa berkata: “Orang hidup tentu sering

berjumpa. Sungguh tak nyana di-sini kita saling berjumpa

lagi.”

Yak-bwe deliki mata dan membentaknya: “Mengapa kau

berani masuk kedalam taman ini?”

“Tadi ketika diluar pagar, kudengar suaramu. Mengingat

bahwa kau telah memberi persen aku setahil perak, ya,

walaupun uang itu telah kuberikan pada para pengemis, tapi

aku tetap merasa menerima sesuatu dari kau. Karena belum

menyatakan terima kasih maka aku masuk kemari. He,

mengapa kau sekarang berubah menjadi seorang nona?”

Walaupun Yak-bwe masih hijau pengalamannya, tapi pada

saat itu, iapun dapat merasa tingkah laku pemuda desa itu

bukan pemuda biasa. Cepat ia menghaturkan maaf: “Tadi

karena khilaf, aku telah memandang rendah padamu,

maafkan. Tapi mengapa kau kenal akan ilmu pedang yang

kumainkan tadi?”

Tertawalah sipemuda itu: “Kau memberi persen perak,

tetapi malah minta maaf, ini aku tak berani menerimanya. Ha,

ha, aku hanya tahu mencangkul sawah saja, tak mengerti apa

itu ilmu pedang atau ilmu golok.”

“Tapi mengapa kau berseru memuji?” tanya Yak-bwe.

“Karena selama hidup aku belum pernah melihat seorang

nona bermain pedang. Saking heran, tanpa terasa aku berseru

memuji,” sahut sipemuda.

Melihat orang berlagak pilon, Yak-bwe menjadi kurang

senang: “Aku sudah minta maaf, tapi kau tetap hendak

mengolok2.” Ia mendamprat dalam hati.

“Kau lancang masuk kemari, tetapi kubiarkan saja. Kau pun

jangan meigurusi urusanku,” ia menyelutuk. Kata2 itu berarti

menyuruh orang pergi. Tapi rupanya pemuda itu bandel

sekali. Bukannya pergi, sebaliknya ia malah beringsut2

menghampiri Yak-bwe, serunya: “Ih, kata2mu itu

membingungkan aku. Bilahkah aku mengurusi urusan nona?”

Penyaruannya telah diketahui oleh sipemuda, Yak-bwe

sudah kurang senang, tapi ia tak leluasa menjelaskan bahwa

yang dimaksud dengan urusan itu, ialah tentang hal itu.

Sesaat hatinya bingung2 jengkel, tapi belum ia sempat

meluapkan kejengkelannya itu, sipemuda itu sudah mengoceh

seorang diri: “Sebenarnya orang yang suka usil mengurusi

urusan, juga bukannya tak baik. Tadi dirumah makan, jika tak

ada orang yang suka usilan, kurasa ah, nona ah, belum tentu

menang dengan si imam busuk dan sikepala gundul itu.”

Tergerak hati Yak-bwe, diam2 ia membatin: “Apakah diam2

dia yang membantu aku? Mengapa aku tak merasa sama

sekali?”

Baru ia menimang begitu, tiba2 In-nio kedengaran memaki

seraya mencabut pedangnya: “Berani lancang masuk kedalam

tamanku, kau sungguh tak punya aturan sekali, ini rasakan

pedangku!”

Berbareng dengan berkumandangnya kata2, orangnyapun

sudah menyerang sipemuda dengan jurus giok-li-joan-suh

atau bidadari menyusup tali, Kejadian itu amat mengejutkan

Yak-bwe. In-nio biasanya lebih sabar dari ia. Mengapa tanpa

berkata sepatah pun jua ia lantas menyerang orang. Bahkan

serangannya itu menggunakan jurus yang berbahaya. Benar

Yak-bwe tak senang dengan pemuda itu, tapi ia belum sampai

hati untuk menghajarnya sampai binasa. Tanpa terasa ia

segera berseru mencegah: “Cici, cici, kau…,.”

Belum seruannya selesai, In-nio sudah lancarkan tiga kali

serangan, sehingga Yak-bwe tak dapat meneruskan seruannya

lagi. Tiga serangan berantai dari In-nio itu dengan indahnya

telah dihindari oleh sipemuda, Jelas tampak oleh Yak-bwe,

bahwa pemuda itu takkan terancam jiwanya, Diam2 ia

membatin; “Kiranya orang ini lihay sekali dan hendak mengolok2

kita,” Pada lain saat ia berpikir lagi: “Biasanya ci In itu

sabar, tentu ada sebabnya ia sampai bertindak keras.”

Yak-bwe ambil putusan akan melihat dari samping dulu.

Tak mau ia mencegah In-nio lagi. dilihatnya setiap kali pedang

In-nio menyambar, pemuda itu hanya menghindari dengan

gerak langkah beringsut2. Beberapa kali pedang In-nio

tampaknya sudah berhasil menusuk, tapi dalam jarak hanya

seujung rambut saja selalu dapat dihidari oleh sipemuda,

“Kau berani menghina aku, ayuh loloslah senjatamu!”

bentak In-nio.

Habis berseru, tiba2 ia gantikan serangannya dengan jurus

Hong-biau-lok-hoa (angin meniup bungi berguguran). Jurus itu

terdiri dari tujuh buah serangan berturut2 yang sukar diduga

isi kosongnya.

Laksana bunga gugur, sinar pedang berhamburan jatuh

menyilaukan kegelapan malam. Justru itu merupakan timpalan

dari ilmu permainan pedang hui-hoa-cu-tiap (bunga bertebar

mengejar sang kupu2). Diam2 Yak-bwe malu pada dirinya

sendiri. Ia pentang mata lebar2 untuk melihat bagaimana

sipemuda hendak melayaninya.

“Aduh. celaka!” teriak pemuda itu, Tiba2 ia tergelincir jatuh.

Tapi baru Yak-bwe terkesiap kaget, dilihatnya pemuda itu dua

kali berputaran ditanah, kemudian loncat berjumpalitan dan

jaraknya dengan ujung pedang In-nio hanya sejari saja.

Sepintas pandang. ia seperti terpontang panting tapi

sebenarnya ia telah mainkan gerak cui-pat-sian atau Delapan

dewa mabuk, yang indah sekali.

Sebenarnya Yak bwe jemu dengan pemuda itu, tapi

menyaksikan permainannya yang sedemikian luar biasanya,

mau tak mau ia berteriak memuji juga.

In-nio juga tak kurang tangkasnya. Begitu tusukannya

menemui tempat kosong, ia sudah susuli lagi dengan lain

serangan. Rupanya pemuda itu tahu juga akan lihaynya ilmu

pedang In-nio. Ia merasa jika melayani dengan tangan

kosong, lama2 tentu akan menderita juga akhirnya. Ketika Innio

kembangkan serangannya yang kedua, tiba2 pemuda itu

berseru: “Karena tak dapat mengganti pedang dengan golok,

terpaksa hendak gunakan kayu untuk melayani. Maaf, aku

hendak merusak sebatang dahan pohon itu kepunyaanmu.”

Dalam berkata2 itu. ia sudah memotes sebatang dahan liu,

terus dimainkan. Dalam rangsangan pedang In-nio, daun2

pada dahan pohon yang dipakai sebagai senjata oleh pemuda

itu, berhamburan jatuh. Dalam sekejap saja dahan itu sudah

bersih menjadi sebatang tongkat. Anehnya, hanya daunnya

saja yang terkupas hilang, sedang batangnya tetap tak kena

tabasan pedang In-nio.

Kini pemuda itu mulai kembangkan permainannya. Dahan

itu dimainkan dalam jurus permainan pedang. Ditangan

sipemuda, dahan kayu itu berobah menjadi senjata hebat

perbawanya. Belum In-nio menghabiskan jurus serangan

berantainya sudah knra desak kesamping oleh dahan liu

sipemuda.

Diam2 heranlah Yak-bwe. Bahwa kepandaian pemuda itu

lebih tinggi dari In-nio, itulah sudah terang. Tapi yang lebih

mengagumkan lagi, jurus permainan pedang dengan

menggunakan dahan pohon itu. juga luar biasa anehnya.

Sampai sekian lama memperhatikan barulah Yak-bwe teringat

bahwa permainan pedang kayu sipemuda itu serupa dengan

pertandingan pedang antara Thiat-mo-lek dengan Bo Se-kiat

digunung Kim-ke-nie tempo hari.

Permainan ilmu pedang itu mengutamakan tenaga lwekang

yang tinggi baru dapat dikembangkan dengan baik. Walaupun

lwekang pemuda itu cukup lihay, tapi terang kalau masih

kalah dengan Thiat-mo-lek,

Tempo hari Thiat-mo-lek gunakan pedang yang berat,

sedang pemuda itu kini gunakan dahan pohon yang enteng

untuk melawan pedang In-nio yang berat, ini juga bukan

suatu hal yang mudah. Oleh karena itu walaupun In-nio kalah

dalam hal lwekang, tapi ia mendapat kemurahan dalam hal

senjata. Permainan yang dimainkan In-nio, adalah ilmu

pedang yang diandalkan. Untuk menghadapi permainan

pedang kayu dari si pemuda, ia memerlukan waktu agak lama.

Begitulah berselang beberapa saat, kira2 setelah 20-an jurus

lewat, pemuda itu mulai kendor permainannya. Berangsur2

mulailah ia kalah angin.

Diam2 Yak-bwe girang: “Kali ini rupanya cici In tentu akan

memberi hajaran pada orang itu.”

Tapi kegirangannya itu hendak berobah menjadi kekagetan

ketika sekonyong2 dalam sebuah gerak menyongsong

kemuka, dahan kayu sipemuda itu berhasil medorong pedang

In nio kesamping. Kiranya bergerak tamparan dari sipemuda

itu juga menggunakan salah sebuah jurus dari ilmu pedang

hoa cu tiap.

“Bagus!” In-nio berseru seraya geliatkan pedangnya untuk

lolos dari libatan dahan liu. Srt, srt, pedangnya berkilat kian

kemari laksana kupu2 menari diantara bunga atau burung

denari menyusup kebawah daun. Isi kosongnya serangan itu

sukar diduga sekali. Memang itulah jurus yang disebut tiap bu

ing hui atau kupu-kupu menari burung kenari terbang.

Sambil memuji, pemuda itu putar dahan pohonnya berganti

jurus ceng lo siau san, dahan liu dikiblatkan dan kakinya

berlincahan. Gerakannya sungguh mirip dengan suasana yang

dilukiskan dalam sajak “ceng-Lo-siau-san-boh liu ing” atau

goyangkan kipas menangkap kunang-kunang. Indah sekali ia

pecahkan serangan In-nio,

Jurus tiap-bu-ing hui itu tak mengutamakan tenaga

kekuatan. Dan memang Biau Hui-si-ni telah menciptakan

khusus buat wanita. Setiap gerakannya disesuaikan dengan

keindahan gerak badan, maka bila dimainkan tak ubah seperti

orang menari.

Pemuda yang mengenakan dandanan seperti pemuda desa

itu, dengan dahan kayu ikut menari2 untuk menghalau

serangan, sudah tentu gerakannya lucu sebali. Tapi

dikarenakan luar biasanya jurus yang di mainkan itu, maka

dari merasa geli sebaliknya Yak bwe malah mengikuti dengan

penuh perhatian.

Pada waktu pertempuran mencapai klimaksnya, tampak

bunga2 bertebaran gugur, suatu hal yang lebih

menyemarakkan suasana pertandingan. Pada lain saat

pemuda itu juga menggunakan permainan ilmu pedang yang

serupa dengan In-nio. Pada saat itulah segera terdapat

keseimbangan kekuatan. Dahan liu dimainkan tepat seperti

sebatang pedang. Sedemikian mahir pemuda itu

memainkannya sehingga dapat mengembangkan inti

keindahan ilmu pedang, yakni lemah gemelai laksana ujung

tangkai liu, bagai burung Hong kaget, Setiap jurus penuh

mengandung perobahan2 yang sukar diduga

Yak-bwe tersemsem sekali, ya begitu terpesona sekali ia

sampai lupa soal kalah menangnya. Pikirnya: ,Kiranya ilmu

pedang dari suhu itu mempunyai banyak perobahan yang

indah.”

Setelah mengikuti sekian lama, tiba2 ia seperti disadarkan:

“Aneh, mengapa pemuda itu mengerti akan ilmu pedang itu?

Rupanya malah ia lebih faham dari ci In “

Tiba2 pemuda itu tindihkan dahan pohonnya kegigir

pedang dan tertawa: “Tak perlu bertempur terus, ya ?”

In-nio tarik kembali pedangnya. “Apakah Pui suheng ?”

tegurnya.

Pemuda itu lemparkan dahan kayunya dan lalu memberi

hormat: “Ya, memang benar, harap suci berdua memaafkan.”

Heran Yak-bwe dibuatnya, pikirnya: “Bilakah suhu

menerima seorang murid lelaki? Ha, suheng dari mana ini?”

In-nio segera melambainya segera datang, katanya: “Pui

Suheng ini, adalah tit-ji (keponakan) dari suhu. Dia adalah

murid Mo Kia lojin.”

Memang Yak-bwe tak begitu tahu tentang asal usul

suhunya ketika belum menjadi nikoh (rahib). Kiranya Biau Hui

Si-ni itu orang she Pui. Ia mempunyai seorang adik lelaki yang

sudah meninggal. Adiknya itu mempunyai anak lelaki yang

bernama Pui Bik-hu, Biau Hui kasihan pada anak itu. Selain

diserahkan pada Mo Kia Lojin untuk belajar silat, ia sendiripun

menurunkan kepandaiannya kepada keponakannya itu, In-nio

tahu akan hal itu karena ia lama bergaul dengan suhunya.

Itulah sebabnya maka In-nio tahu tentang urusan itu

sebaliknya Yak-bwe tidak tahu.

“Apakah suhu baik2 saja?” tanya In-nio.

“Bulan yang lalu beliau telah genap berusia 80 tahun.

Beliau ambil putusan akan menutup pintu meyakinkan

pelajaran agama selanjutnya tak mau keluar dari dunia

persilatan lagi. Beliau menitipkan sepucuk surat padaku

supaya diberikan padamu.” jawan Bik-hu.

In-nio melihat tulisan pada sampul itu benar buah tangan

suhunya. Setelah memberi hormat, barulah ia membukanya.

Ternyata isi surat itu yalah hendak memperkenalkan Bik-hu

kepada In-nio. Dikatakan bahwa Bik-hu itu masih hijau baru

saja menyelesaikan pelajaran silatnya dan hendak terjun

kedunia persilatan. Oleh karena itu, sukalah In-nio

memimpinnya sebagai adik dsb.

Surat itu diberikan kepada Yak-bwe juga dan tertawalah Innio

; “Ah, suhu terlalu sungkan. Kita kan seperti orang

serumah, masakan perlu pelayanan khusus ?”

Waktu melihat dalam surat itu tertera hari dan tanggal lahir

Bik-hu, tahulah Yak-bwe kalau pemuda itu lebih muda

beberapa bulan dari In-nio, tetapi lebih tua setahun lebih dari

ia. Diam2 Yak-bwe geli dibuatnya, pikirnya- “Ai, suhu memang

banyak ini itu. Cukup mengatakan Pui Bik-hu ini pernah sute

dan ci In itu suci-nya, kan sudah jelas. Perlu apa menerangkan

hari lahir, seperti orang hendak mencari hari untuk

perjodohan,”

Memang Yak-bwe tak tahu kalau Biau Hui sin-ni itu justru

bermaksud begitu, Bik-hu itu adalah keponakannya sendiri,

sudah tentu ia mengharap agar anak itu mendapat jodoh yang

baik. Dua orang anak muridnya, Yak-bwe sudah ditunangkan

pada Khik Sia, tinggal In-nio yang masih bebas. Ini sudah

diketahuinya. Menurut penilaiannya. In-nio itu lebih masuk

pikirannya, perangainyapun mencocoki seleranya (Sik-Hui).

Oleh karena itu ia mempunyai minat untuk menjodohan Bik-hu

dengan In-nio.

Hanya saja, Biau Huipun tahu juga akan soal pernikahan.

Pernikahan harus disadarkan rasa saling suka pada kedua

fihak. Jika ia menggunakan kedudukannya juga sebagai suhu

menjodohkan mereka, dikuatirkan In-nio tak senang dan

mengatakan suhunya itu hendak menggunakan pengaruh

untuk memaksanya. Maka dari itu, dalam surat iapun tak mau

menjelaskan, melainkan titipan keponakannya itu kepada In

nio. Maksudnya tak lain tak bukan, agar supaya kedua anak

muda itu bisa berkelana dari dekat dan dapat

mengembangkan rasa suka mereka.

In-nio seorang nona yang berhati lapang hatinya sudah

terisi oleh Bo Se-kiat. Dalam membaca surat itu, walaupun

agak merasa aneh atas sikap suhunya yang begitu sungkan,

tapi ia tak dapat merabah maksud suhunya itu.

“Pui sute, kau memiliki ilmu kepandaian dari dua aliran, Aku

sebagai suci sungguh merasa malu sekali. Kelak aku tentu

akan minta petunjuk dari kau. Ucapan suhu itu seharusnya

ditukar balik, baru benar.” katanya dengan tertawa.

Yak-bwe pun tertawa. “Kau kau masih punya toa-suheng

Thiat-mo-lek, masakan takut tak ada orang yang merawatimu

?”

Muka Bik-hu agak tersipu merah, suhunya: “Markas Kim-kenia.

dari Thiat suheng dihancurkannya tentara negeri, untuk

mencarinya sungguh tak mudah. Maka paling baik kudatang

kemari menemui suci berdua dulu.”

Kiranya ia sudah tahu maksud dari bibinya (Biau Hui sin-ni).

Adanya ia tak mau unjukkan diri dulu dan bertempur dengan

In-nio adalah karena ia hendak menjajal sampai dimana ilmu

silat In-nio itu. Adakah nona itu layak menjadi pasangan atau

tidak.

“Ai, Pui suheng, kau pandai bicara. Sebenarnya kau kan

hendak berkunjung pada ci In mengapa diriku turut terbawa2?

Masakan kau dapat meramalkan bahwa hari ini aku

juga datang kemari? Apa lagi aku ini bukan suci mu,” Yak-bwe

tertawa.

Bik Lu te tawa gelak2, ujarnya: “Kalau begitu aku harus

minta maaf padamu. Tadi ketika dirumah arak aku belum

mengetahui kalau kau ini sumoayku. Perbuatanku tadi juga

kurang pantas, membuat kau marah.”

“Pui suheng, sekarang aku sedikit jelas. Pertempuran yang

kumenangkan itu, tentulah karena mendapat bantuanmu

secara diam2. bukan?” kata Yak-bwe pula.

Bik-hu ganda tertawa: “Begitu kau turun tangan, aku

segera tahu kalau kau ini tentu murid bibiku. Dan ketika habis

menyengkelit ke dua bangsat itu kau meloncat kebawah

kejalan raya aku hendak menjelaskan padamu. Tapi karena

kulihat kau sedang kegirangan maka akupun tak mau

mengganggumu.”

Yak-bwe kemerah2an wajahnya. Demi In nio mengetahui

peristiwanya, ia tertawa juga.

“Su sumoay mengapa kau mengikat permusuhan dengan

kaum Leng-san-pay?” taya Bik hu.

Pertanyaan itu diajukan oleh Bik-hu karena ia mendengar

juga percakapan antara kedua imam dan hweshio itu. Ia kira

mereka tentu benar hendak menangkap Yak-bwe.

“Aku sendiri juga tak tahu,” sabut Yak-bwe. “Hm, apakah

Leng-san-pay itu? Pui-suheng, rasanya kau tentu mengetahui

tentang mereka itu.”

“Aku baru saja keluar didunia kangouw. Orang yang

kukenal sedikit sekali. Aku tak tahu asal usul kedua orang itu.

Hanya saja, pernah kudengar dari suhu, tentang kaum Leng

san-pay itu. Kau telah menggasak mereka, selanjutnya harus

ber-hati2,” kata Bik-hu.

“Apa ? Apakah mereka itu tak dapat diganggu ? Kulihat,

walau kepandaian mereka itu lebih unggul setingkat dari aku,

tapi rasanya tidak begitu berlebih2an,” Yak-bwe tak puas.

“Dari pembicaraan hweshio itu, menunjukkan kalau ia anak

murid Leng-san-pay. Benar dia itu biasa saja kapandaiannya,

tapi suhunya yang bernama Leng Cu sangjin, betul2 tak boleh

dibuat main2, kata Bik hu. Setelah berhenti sejenak; ia

melanjutkan pula: “Leng-san pay adalah salah satu anak

cabang dan partai agama Ang-kau di Se-ik (Tibet), Kaucunya,

Leng Cu siangjin, itu seorang suicu Han, Murid-murid yang

diterimanya campur bawur, ada suku pribumi ada suku Han,

ada kaum paderi ada kaum biasa. Kabarnya Leng Cu siang jin

itu adalah suheng dari Tian Hui-liong, seorang tokoh persilatan

yang termasyhur pada jamannya. Karena tak dapat

melaksanakan cita-cita didaerah Tiong-goan, maka ia lantas

kabur kedaerah Se ik, mencukur rambut menjadi paderi dan

mendirikan sebuah partai.”

In-nio terbeliak kaget, serunya: “Apakah Tian Hui-liong itu

bukan suami dari Tian toa nio, ayah dari Tian Goan-siu ?”

Bik-hu mengangguk, “Benar, pada masa itu tokoh2 partai-

Ceng-ji (baik) telah mengepung Tian Hui-liong, suhu dia bibiku

juga turut. Dan dengan ikut sertanya juga Hong-gi Wi Gwat,

Se gak sin liong Hang hu Ko dll. Barulah dapat mengalahkan

orang she Tian itu,”

“Apalagi Leng Cu siangjin itu suheng dari Tian Hui liong

tentunya lebih hebat lagi. Tetapi Leng-san-pay itu jauh sekali

di daerah Se-ik. Dan Yak-bwe itu seorang nona tak ternama

yang baru keluar didunia persilatan. Sudah tentu ia tak kenal

mengenal dengan orang2 Leng-san-pay, tetapi mengapa

dapat terikat permusuhan? Baik Bik-hu, In-uio bahkan Yak

bwe sendiri tak tahu sebabnya.

“Ah, tak usah kita hiraukan hal itu lagi. Pui suheng, hendak

kemana kau?” kata In-nio “Maksudku hendak ke Tiang-an

untuk ikut dalam Eng hiong tay hwenya Cin Siang. Ya, agar

menambah pengalaman, In suci apakah kalian juga berminat

kesana?” kata yang diranya In-nio tahu kalau pembicaraannya

dengan Yak-bwe tadi tentu sadah didengar sute baru itu.

Pikirnya: “Suhu sudah pesan supaya aku mengurusnya, kalau

tak pergi ber-sama2 dia, itu berarti tak memenuhi permintaan

suhu.”

“Ya, memang tadi aku dan Su sumoay sedang merunding

tentang kepergian kami ke Tiang-an. Kebetulan Pui sute juga

setujuan, jadi kita boleh ber-sama2 kesana,” katanya.

Maksud Yak-bwe ke Tiang-an itu yalah hendak menyirapi

diri Khik Sia. Sebenarnya ia tak suka pergi bersama Bik hu,

tapi karena In nio sudah meluluskan apalagi Bik-hu itu masih

saudara sepengaruh, maka iapun tak enak untuk membantah.

Begitulah dalam itu Bik-hu menginap dirumah In-nio.

Keesokan harinya, mereka segera berangkat, In-nio dan Yakbwe

menyaru menjadi opsir tentara. Karena menganggap

dalam pakaian sebagai pemuda desa itu, Bik-hu tak layak

berjalan bersama mereka, maka In-nio niata Bik-hu menyaru

menjadi seorang ba-koan pengawal. Dan mengajarinya juga

sedikit tentang hal yang patut diketahui dan tingkah laku dari

seorang anak tentara.

“Ho, selama ini aku selalu mengikuti suhu menjadi kacung

pelayannya, kini tak nyana naik pangkat setinggi langit begini,

menjadi anak meliter. Tapi, ah, jadi seorang anak meliter itu

begini berabe lebih baik jadi seorang kacung penggosok kaca

saja.” Bik-hu tertawa geli.

Kini barulah Yak-bwe mengerti bahwa adanya pemuda itu

mengenakan pakaian sebagai orang desa, bukan tak ada

sebabnya. Ternyata Bik-hu selama itu, ikut pada suhunya Mo

Kia lojin mengerjakan pekerjaan tersebut ( gosok kaca ).

Setelah membuat surat dinas yang hendak dihaturkan

kepada fihak kerajaan dan membawa sabuk lencana pada Bikhu,

maka In-nio segera ajak kedua sumoay dan Sutenya itu

berangkat ke Tiang an. Dalam perjalanan itu, mereka

bercakap2 tentang berita dan peristiwa di dunia bulim. In-nio

dapatkan, walaupun Bik hu itu baru pertama keluar dari

perguruan, tapi apa yang diketahui tentang keadaan diluar itu,

tak kalah dengan dia.

Kiranya Mo Kia-lojin itu berlainan sekali caranya memberi

pelajaran pada muridnya. Bukannya menyuruh murid tinggal

digunung belajar silat seperti lajimnya guru2 lain, tetapi ia

suruh muridnya itu memikul pikulan dan ikut padanya

menjelajahi kota dan desu2. ( Gosok kaca) adalah sebuah

mata pencaharian pada jaman dahulu. Pada jaman dulu,

orang memakai long-kia (kaca tembaga) bukan kaca gelas,

maka lewat beberapa waktu, tentu harus digosok sampai

mengkilap, itulah sebabnya maka pengalaman dan

pengetahuan Bik-hu, cukup banyak.

Diam2 In-nio menertawai suhunya. Bukan ia yang pantas

mengurus Bik-hu, sebaliknya Bik hulah yang tepat

mengurusnya. Tapi In nio hanya mengira kalau suhunya itu

keliwat sayang pada keponakannya, maka keponakannya itu

dikatakan sebagai anak kecil yang tak tahu apa2, harus diurusi

orang. Ini menandaskan bahwa sampai Saat itu, In-nio tetap

belum mengetahui maksud yang sebenarnya terkandung

dalam hati Biau Hui-sin-ni itu.

Karena berkendaraan kuda, dalam tujuh hari saja, tibalah

sudah mereka dikota Hin peng, sebuah kota yang ramai. Dari

Hin peng ke Tiang an, kalau naik kuda hanya memerlukan

waktu dua hari saja. Karena saat itu sudah menjelang petang,

mereka bertiga lalu menginap di sebuah hotel yang besar di

Hin peng.

Tiba dimuka pintu hotel, tiba2 Yak-bwe mendengus heran.

“Hih, dari mana datangnya dua ekor kuda yang begitu

bagus itu!.”

Ketika memandang, In nio dapatkan pada tempat

penambat kuda yang terletak dihalaman hotel itu, sudah

penuh dengan belasan ekor kuda. Diantaranya terdapat dua

ekor kuda yang menyolok mata. Yang seekor berbulu merah

api, yang seekor putih seperti salju. Sekali pandang, dapatlah

diketahui bahwa kedua binatang itu termaksud kuda bagus

yang mahal harganya.

“Itulah kuda ternama dari jenis keluaran Gong ki. Yang

dirampas oleh Bo Se kiat tempo hari. juga sama dengan kuda

itu. Aku pernah menunggangi, tapi kurasa tetap tak mampu

menandingi keterangan kedua ekor itu.” Yak bwe ber-bisik2.

In-nio terkesiap kaget, pikirnya: “Apakah ada bangsa tay

lwe ko chiu disini ?” Tay lwe ko chiu artinya jagoan istana

yang liehay.

Setelah menambatkan kudanya, In-nio berindap2

menghampiri kedua ekor kuda bagus itu. Setiap kuda yang

dipersembahkan untuk raja tentu dicap pertandaan. Tapi

kedua ekor kuda itu tak punya noda sama sekali, apalagi cap.

Kuda itu perasa sekali. Begitu ada orang datang dan orang

itu selalu mengincarnya saja iapun lantas beringas dan

meringkik keras. Kakinya diangkat terus hendak disepakkan,

In-nio cepat2 menyingkir. Berbareng itu, terdengar orang

membentaknya: “Hai, apa kau mau cari mampus, berani

mengganggu kuda tuanmu !”

Dari ambang pintu hotel, seorang melongok keluar, tangan

menuding mulut memaki, wajahnya aneh sekali mirip dengan

tokoh Ti pat kay dengan dongeng Se Yu. Hidungnya

mendongak seperti hidung babi, dahi rata dan rambut

berwarna kuning diikat dengan kim-hoan (gelang emas), mirip

dengan bangsa thau-to (paderi) daerah Se-ik. Barang

siapapun melihat tentu akan merasa muak.

Yak-bwe tak dapat kendalikan kemarahannya lagi, ia segera

balas mendamprat: “Kurang ajar, apakah lihat saja tak boleh,

mengapa mulutmu memaki2″.

In-nio cepat menyetopnya. Ia tertawa menghaturkan maaf.

“Harap taysu jangan marah. Karena selama ini belum

pernah melihat kuda sebagus itu, maka tak kusengaja

melihatnya beberapa saat.”

Melihat In-nio dan Yak-bwe dalam dandanan sebagai

seorang opsir apalagi In-nio memuji kudanya serta

menghaturkan maaf, redalah kemarahan paderi itu. Tapi

terhadap Yak-bwe ia masih mendongkol, matanya ber-kilat2

memandangnya.

Ketika keduanya masih saling pencerengan (memandang

dengan sorot bermusuhan), muncul pula seseorang yang terus

menarik thau-to itu, kata orang itu dengan tertawa; “Wah, tak

sembarangan kedua tayjin itu mengagumi kuda kami, suheng,

seharusnya kau bergirang.”

Orang itu memberi isyarat mata kepada si thau-to.

tertegun. Tiba2 ia berobah kegirangan dan angkat tangan

memberi hormat: “Maaf, aku memang berangasan sehingga

tak tahu kalau tayjin berdua.”

Kawan si thauto itu ternyata juga orang Se-ik, tapi

mengenakan dandanan sebagai orang biasa. Hidung sebesar

seperti singa, mulut lebar macam harimau, sepintas pandang

tampaknya lebih gagah dari si thauto tadi. Ciri yang menonjol

pada orang itu ialah sepasang Kelopak matanya menyusup

kedalam, pertanda kalau dia seorang yang licin. Setelah

memandang tajam2 kepada In-nio dan Yak-bwe, ia segera

menyampaikan salam perkenalan: “Siapakah nama tayjin

berdua yang mulia dan hendak menuju kemana saja ?”

Yak-bwe hendak mendampratnya tapi cepat cepat In-nio

menariknya. Dengan sembarangan saja, In-nio memberikan

nama palsu kepada orang itu.

“Oh, kiranya tayjin berdua juga akan menuju ke Tiang-an.

Beberapa hari lagi, di Tiang an bakal ada Eng-hiong tay-hwe,

Beruntung kita tentu dapat kesempatan melihatnya,” kata

orang itu.

“Benar? Maafkan, kami sedang melakukan tugas, tak dapat

bicara banyak2,” langsung saja In-nio memutuskan

pembicaraan,

Terbentur tembok, orang itu meringis dan meloyor pergi.

Ketika In nio, Yak bwe dan Bik hu masuk kedalam ruangan

dalam, dilihatnya si thau to tadi kembali ribut mulut dengan

ciang kui (pengurus), Ciang kui itu kelihatan meminta maap:

“Maaf kamar kelas satu sudah ditempat orang. Tapi kamar

yang kusediakan untuk taysu itu, juga menghadap kearah

selatan. Dibanding dengan kamar kelas satu juga tak banyak

bedanya. Baiklah taysu menginap disitu satu malam ini.”

“Ngaco!” bentak thauto itu, “Mengapa kau tak berikan

kamar kelas satu itu padaku? Hm, kalau ada orangnya

suruhlah dia pindah.”

Tampak kerut wajah ciang-kui itu menampil kesukaran,

ujarnya: “Tetamu itu lebih dulu datangnya.”

“Tapi peduli dia datang lebih dulu atau belakangan, kau

berani membantah perintah?” bentak paderi itu dengan

murkanya,

Tiba2 kedengaran nada seorang gadis melengking:

“Sungguh jarang terdapat manusia yang begitu kurang ajar!”

Sekalian orang yang berada disitu terkesiap dan mencari

datangnya suara itu, Seorang nona yang amat cantik, sudah

tegak dihadapan thauto itu. Thauto itu melongo karena tak

menyangka bahwa yang tinggal dikamar kelas satu itu

ternyata seorang nona jelita. Begitu kesima ia melihat

kecantikan yang gemilang dari gadis itu, sehingga tak dapat

marah2 lagi.

“Hm, dengan alasan apa kau hendak mengusir aku dari

kamar itu?” tegur nona itu.

Thiuto itu seperti terkancing mulutnya. Coba yang

berhadapan seorang lelaki, tentu sudah dilabraknya, Tapi yang

berdiri dihadapannya itu seorang jelita yang molek. Sebesar

tinjunya namun masih nyalinya tak sebesar itu untuk

menjatuhkan pukulannya

Siorang hidung besar kawan dari thauto itu memindang

dengan tak berkesiap kearah jelita itu. Pada lain saat ia

menghampiri si thauto dan mengucapkan beberapa patah

kata. Mungkin yang diucapkan itu bahasa daerah Se-ik, jadi

tiada seorangpun yang mengerti.

Jelita itu makin meradang, ia mendengus dan menantang:

“Hm, kalian kasak kusuk siapa itu? Kalau mau berkelahi,

silahkan maju”

Sihidung besar tertawa: “Ah, nona salah mengerti. Aku

menasehati suhengku untuk menghaturkan maaf padamu.”

Sithau-to agak terkesiap, wijahnya mengernyut aneh. Tapi

rupanya ia tak berani membantah perintah sutenya. Benar

juga ia lantas memberi hormat kepada nona itu: “Masakan ada

orang lelaki hendak hendak meminta kamar yang dipakai

wanita ? Tadi karena tak tahu kalau kamarin sudah dipakai

nona, maka aku telah mengucapkan kata2 kasar harap nona

maafkan.”

“Diam”

Yak-bwe geli dibuatnya, pikirnya! “Sepasang suheng dan

sute ini, serasi sekali. Yang satu baik yang satu jahat. Rupanya

si thauto itu sudah biasa minta maaf pada orang.”

Setelah orang menghaturkan maaf, kemarahan jelita itu

sudah berkurang, tapi masih mendongkol. Ia hanya ganda

tertawa saja, dan tanpa membalas hormat si thauto ia lantas

kembali masuk kedalam kamarnya. Sambil melangkah masuk,

mulutnya mengomel panjang pendek: “Mau main2 dengan

aku, ya? Hm, kurang ajar benar !”

Kamar nona itu terletak diujung gang. Waktu ia melangkah

masuk dan menyingkap tirai kebetulan Yak-bwepun

mengawasi kesitu. Samar-sama ia seperti melihat ada

bayangan orang lelaki yang pernah dikenalnya. Tapi karena

jaraknya amat jauh dan gang itu gelap, apalagi begitu masuk

si nona lantas menutup pula kamarnya, maka Yak-bwepun tak

dapat melihat dengan jelas.

Hanya saja kedengaran lelaki itu rupanya tengah

menasehati si nona maka Yak-bwe buru buru pasang telinga.

Pembicaraan yang dibagian muka dilakukan perlahan sekali

hingga tak kedengaran jelas. Tapi pada akhirnya, karena

silelaki agaknya marah, kata2nyapun agak keras, yaitu

demikian ”mereka sudah tak mau cari setori, maka kaupun

janganlah cari perkara lagi.”

Dari pembicaraan itu jelaslah kiranya bahwa si nona

bermaksud hendak melanjutkan persetoriannya dengan thauto

tadi, tapi silaki anggap tak perlu karena urusan toh sudah

selesai sampai disitu.

Waktu dapat menangkap nada suara orang lelaki itu,

terbeliaklah Yak-bwe. Ya, tak salah lagi, itulah nada suara Khik

Sia. Sudah berulang kali ia bertengkar dengan Khik Sia, maka

ia pun tak asing lagi akan nada anak muda itu. Jangan lagi

kata2 Khik Sia yang diucapkan terahir itu, dapat didengarnya

jelas sekalipun henya samar2 saja, namun ia tetap akan dapat

membedakannya sebagai nada suara pemuda itu.

Sekalipun begitu, Yak-bwe belum berani yakin seratus

persen. Ia me-nimang2 dalam hati: “Masakan dia itu Khik Sia?

Masakan dia berada dalam kamar dengan seorang wanita?

Apakah lain orang yang suaranya sama dengan dia? Tapi

mengapa begitu persis sekali?”

In-nio tidak ikut pasang telinga, jadi ia tak mendengar

suara pembicaraan Khik Sia tadi. Melihat Yak-bwe terlongong2

sepertti orang yang kehilangan semangat, ia segera

menertawakannya.

“Nona itu sungguh cantik sekali. Tidakkah kau kesima

melihatnya? Ah, sayang ia sudah bersuami. Kalau kau kurang

ajar memandangnya dengan lekat, awas, suaminya tentu akan

membikin perhitungan padamu. Sudahlah, jangan melamun

bereskan dulu kamar kita,”

Baru In-nio hendak menghampiri ciang-kui (pengurus hetel)

sihidung besar sudah mendahului. Sambil berdiri disebelah

ciang-kui sihidung besar tertawa cekikikan dan berbisik2:

“Siapakah nama nona itu tadi? Pemuda itu apanya? Tahukah

kau?”

“Peraturan hotel ini yalah, asal membayar saja siapapun

boleh menginap. Dan kita tak berhak untuk menanyai

keterangan tentang pekerjaan dari tiap2 tetamu.

Pertanyaanmu tadi, maaf, aku tak dapat mengetahui,” sahut

ciang-kui.

“Masakan nama mereka saja kau tak tahu?” tanya sihidung

besar.

“Nona itu yang mencatatkan nama padaku, tapi sipemuda

tak turut datang,” kata ciang-kui.

“Tapi dia justru yang kutanyakan memang nama nona itu.

Sipemuda tak begitu perlu bagiku,” ujar sihidung besar.

“Karena kau berasal dari daerah Se-ik, mungkin kau tak

begitu jelas tentang adat istiadat d«daerah Tiong-tho

(Tiongkok) sini. Apa lagi seorang nona tak lebih dulu

mengatakan namanya, kita tak leluasa bertanya padanya.”

Sihidung besar kerutkan dahinya, tiba2 ia merogoh keluar

sebuah pundi uang. ujarnya: “Cukup aku ketahui she si nona

itu saja, uang ini akan menjadi milikmu.”

Pundi uang tak kurang dari sepuluh tail beratnya. Seketika

berkilatlah mata si ciangkui. Ia garuki kepala, tiba2 berkata

“Ah, teringat aku sekarang. Kudengar pemuda itu memanggil

si nona, ah, apa itu…..oh, ya nona Su.”

Si thauto berteriak, matanya dipentang lebar-lebar, kerut

wajahnya menampil kaget girang, buru2 sihidung besar

menyikutnya.

“Bagus, uang ini untukmulah” katanya dengan tertawa.

Setelah memberikan uang pada ciangkui, ia lantas ajak

suhengnya masuk kenbali kekamarnya.

Melihat sihidung besar menyogok uang kepada ciang-kui

untuk menanyakan tentang she dari si nona tadi, heranlah Innio

dibuatnya. Tapi ia tak mempunyai dugaan lebih panjang,

berbeda dengan Yak-bwe, yang selain terperanjatpun terlintas

dalam pikirannya akan peristiwa diwarung arak tempo hari

dimana si imam mengoceh tentang diri Khik Sia.

“Ah, sungguh kebetulan sekali. Nona itu seorang she Su

dan tempo hari imam itu mengatakan kalau Khik Sia

mempunyai kawan akrab seorang nona apakah bukan nona itu

yang dimaksudkan? Tapi imam itu mengatakan kalau Khik Sia

tak senang kepada sahabatnya wanita, tetapi mengapa

sekarang ia tinggal sekamar dengan nona itu?” Demikian Yakbwe

me-nimang2 dalam hati. Makin memikir makin melantur

tak keru an. Ia tak dapat menemukan jawaban yang positip.

Waktu In-nio pesan kamar, ciangkui menjadi gugup

dibuatnya. Karena melihat In-nio dan Yak-bwe mengenakan

pakaian opsir, ciang kui itu ketakutan. Buru2 ia memberi

hormat dan menerangkan bahwa hanya tinggal dua buah

kamar yang masih kosong, entah In-nio suka menempatinya

tidur.

“Sungguh kebenaran, memang kita menghendaki dua buah

kamar. Asal bersih sudahlah. Kami bukan seperti paderi dari

Se-ik itu kalau tidak kamar kelas satu tidak mau,” sahut Innio.

Belum pernah ciangkui itu berjumpa dengan orang

pembesar militer yang seramah itu.

Girangnya bukan main, Ter-sipu2 ia mengantar In-nio dan

Yak-bwe masuk In-nio dan Yak-bwe satu kamar, sedang Bikhu

satu kamar. Lagi2 terjadi hal yang kebetulan. Kamar

mereka hanya terpisah satu kamar dengan si nona dan

pemuda tadi.

Setelah ciang-kui pergi, maka Bik-hu menghampiri

ketempat In-nio katanya: “Gerak-gerik kedua orang Se-ik itu

aneh sekali. Malam ini kita harus waspada,”

“Ya, memang kulihat mereka itu bukan orang baik. Tapi

kita dalam penyaruan sebagai opsir tentara, rasanya mereka

tentu tak berani mengganggu kita.”

-od0o-ow0o-

Jilid XV

BIK-HU mengiakan. Setelah omong2 beberapa saat, ia

lantas kembali kedalam kamarnya sendiri.

Rupanya Yak-bwe mempunyai banyak pertanyaan dalam

hati. Setelah makan malam, hampir jam satu tengah malam

tetap ia tidak dapat tidur, dan berdiri bersandar dimuka

jendela. Beberapa kali In-nio mengajaknya tidur, namun Yakbwe

tetap membisu tak mau menyahut.

“Ai, apalagi yang kau pikirkan?” tanya In nio.

Yak Bwe seperti tenggelam dalam lamunannya. Tampaknya

ia tak mengacuhkan pertanyaan In-nio itu. Saat itu diluar

halaman turun hujan rintik2. Angin malam berembus

membawa hawa dingin. Di halaman terdapat sebatang pohon

go-tong (sejenis jambu). Daun2nya seding bergurah

memenuhi halaman. Awan gelap menutup rembulan, malam

pekat pukau, sang angin mengantar hujan gerimis.

Yak-bwe merasa rawan hatinya. Tiba-tiba kedengaran ia

merintih: “Ah, laut nan bebas lepas, ujung langit bagai

bertetangga,” Meskipun nadanya perlahan sekali, tapi karena

diantar dengan basa dalam, dendang rintihan kalbu Yak-bwe

itu kedengaran nyaring tajam bagai dering kelinting.

In-nio tertawa dan mengguncang2 tubuhnya, serunya:

“Oho, kiranya kau sedang melepas rindu disini. Sayang Khik

Sia tak berada disebelah sini hingga mensia2kan kiriman suara

hatimu. Sudahlah, jangan melamun yang tidak2, apakah tak

kuatir mengganggu orang tidur ?”

Sudah tentu In-nio tak tahu bahwa sebenarnya, memang

Yak-bwe itu sedang sengaja hendak mengganggu orang tidur,

ia berharap Khik Sia mendengarkan suaranya. Tapi dalam

batin Yak-bwe timbul kontradiksi (pertentangan) sendiri.

Sebentar ia mengharap Khik Sia bisa mendengar dan datang.

Tapi sebentar ia harap orang didalam kamar sebelah itu bukan

Khik Sia saja dan mudah2an Khik Sia itu tidak berada dihotel

situ.

“Laut merupakan kesatuan ujung langit saling bertetangga.

Hebat benar dua baris syair yang dirangkai oleh Ong Pok itu.

Karena hatimu sudah bersatu dengan Khik Sia, walaupun

orangnya berada diujung langit, namun seperti dekat dihati,

itu kan tak perlu gelisah lagi. Ayuh, tidurlah!”

Ia menarik tubuh Yak-bwe untuk disuruh masuk. Tapi

ketika Yak-bwe berputar menghadapinya, ternyata ujung mata

nona itu mengembang dua butir air mata, In-nio merasa

kasihan tapipun geli juga.

“Kau memang mencemaskan hai yang tak perlu

dicemaskan. Kalau terus2an begitu, ku kuatir kau akan

menjadi senewen nanti,” ujar In-nio.

Ir-nio hanya bermaksud ber-olok2 saja, siapa tahu

kata2nya itu menyentuh perasaan Yak-bwe sehingga

menambah kedukaannya, Yak Bwe menghela napas, katanya

dengan sayu: “Ci In, mana kau tahu. Dalam keadaan seperti

malam ini dua baris syair tadi harus ditafsirkan sebaliknya baru

benar. Jika dia benar berada didekat sini, dia bukan orang

yang menjadi tambatan hatiku!”

Tak tahu In-nio kemana tujuan kata2 Yak bwe itu. Ujarnya:

“Apakah kau sakit? Kedua baris sajak tadi hanya tamsil

perumpamaan saja, mengapa pikiranmu kacau balau dan

mengira kalau Khik Sia betul berada didekat sini?”

Yak-bwe menggigit bibirnya: “Ci In, aku bukan mengigau

tak keruan, tapi jangan2 memang Khik Sia berada disini!”

In-nio tersentak kaget, serunya: “Apa katamu ? Mengapa

dia berada disini ?”

Ucapan In-nio itu telah diputus dengan dering suara dua

batang pedang beradu. Menyusul terdengar Bik-hu berseru:

“Mau apa kau hai, bangsat kecil!”

Mendengar itu pucatlah wajah Yak-bwe In-nio dengan

sebat mencabut pedang mendorong jendela, terus loncat

keluar. Terpisah sebuah rumah tampak ada dua sosok

bayangan sedang bertempur diatas genting, Yang menghadap

kearah sini, terang adalah Pui Bik-hu. Sedang lawannya

karena berdiri membelakang, tak jelas siapa orangnya rasanya

In-nio seperti sudah pernah tahu.

Tring, tring, sinar pedang berkelebatan dan Bik-hu kena

didesak mundur oleh lawannya. Karena habis hujan,

gentingpun licin dan hampir saja Bik-hu tergelincir. Tapi

lawannya itu bukannya mendesak melainkan hentikan

serangannya, berputar tubuh terus melesat pergi.

Waktu melihat jurus serangan yang dilontarkan orang itu,

In-nio terkesiap kaget. Siapa lagi dia kalau bukan Toan Khik

Sia? Membayangkan hal itu, In-nio tegak terpaku.

Mengapa Khik Sia dapat bertempur dengan Bik-hu. Hal itu

ternyata terjadi secara kebetulan. Kamar yang ditempati Khik

Sia itu termasuk kamar besar, dibagian tengahnya terdapat

sebuah pintu, Khik Sia tahu juga kalau kedua orang Se-ik tadi

bukan orang baik. Meskipun sudah memarahi Tiau-ing, tapi ia

sendiri tetap berjaga2. Sampai tengah malam ia tak tidur

melainkan duduk bersemadhi diatas ranjangnya. Lewat tengah

malam, tiba2 ia mendengar dendang suara Yak-bwe.

Terperanjat ia, terus loncat keluar memburu arah suara itu.

Disana Bik-hu pun juga menaruh kecurigaan terhadap

kedua orang Se-ik tadi. Untuk menjagai sesuatu kemungkinan,

siang2 ia sudah mendekam diatas wuwungan. Begitu tampak

Khik Sia loncat keluar dengan gerakan yang sebat sekali,

kuatir kalau tak dapat mengatasi, Bik-hu segera turun tangan

lebih dulu. Begitu Khik Sia tiba didekatnya, ia segera

menerjangnya dengan sebuah tabasan. Karena ilmu pedang

Bik-hu itu berasal dari dua aliran, maka hebatnya bukan main.

Hampir saja Khik Sia termakan. Terpaksa iapun segera

mencabut pedang dan melayaninya. Begitu bertempur,

keduanya sama tersentak kaget. Masing-masing sama

mengagumi kepandaian lawan.

Tapi Khik Sia ternyata lebih unggul satingkat. Dalam jurus

yang ketujuh, ia berhasil mendesak Bik-hu yang terpaksa

mundur dan hampir saja tergelincir tadi.

Karena gerak geriknya diketahui orang Khik Sia menjadi tak

enak. Pikirnya: “Kalau sampai ramai2, tak baik dilihat orang,

Dengan dilihat orang. Sekalipun bertemu dengan Yak-bwe,

tapi tak leluasa untuk bicara. Dan masih belum dapat

dipastikan, apakah yang bersenandung tadi Yak-bwe atau

bukan. Ah, lebih baik ku kembali kedalam kamar dulu, besok

pagi biar kutemu mereka lagi.”

Tapi lain Khik Sia lain Bik-hu, Kalau yang tersebut duluan

hendak menyingkir, yang tersebut belakangan itu sebaliknya

malah ngotot. Sejak keluar dari perguruan, yang baru pertama

kali itu Bik-hu menderita kekalahan. Hal itulah yang

membuatnya penasaran. Apa lagi saat itu In-niopun tampak

keluar melihat. Dihadapan sang suci itu, lebih2 ia tak mau

kehilangan muka. Maka segera ia membentak keras: “Hai

bangsat kecil, apa maksudmu mengintip kemari ? Kalau tak

mau bilang terus terang jangan harap ngacir pergi!”

Sekali enjot kakinya, ia terus loncat menerjang dengan

gerak engki-tiang-gong atau burung garuda melayang

diudara. Selagi masih melayang diudara ujung pedangnya

sudah menusuk.

Serangan itu telah membuat Khik Sia marah. Ia tak kenal

siap Bik hu itu dan apa hubungannya dengan Yak-bwe. Sudah

tentu ia segan memberitahukan tentang keluarnya dari kamar

tadi, seketika ia menegur: “Ah, rupanya suka usilan, karena

saudara keliwat mendesak, apa boleh buat aku terpaksa

melayani.”

Lintangkan pedang, ia tangkis serangan Bik hu. Kali ini ia

gunakan 8-9 bagian tenaga lwekangnya, Tubuh Bik-hu hanya

tergetar tapi tak sampai jatuh. Cepat pemuda itu (Bik hu)

menyusuli dengan jurus serangan kedua yakni hi siang-cian-te

atau ikan menyelundup kedasar. Memang dalam hal lwekang,

ia kalah dengan Khik Sia. tapi ilmu pedang yang dimainkan

adalah ilmu pedang istimewa warisan dari Biau Hui sinni. Ilmu

pedang itu mengutamakan pokok dengan kelemasan

menundukan kekerasan, meminjam tenaga pukulan lawan

untuk memukul lawan. Dengan kekalahannya yang tadi, kini

Bik-hu makin berhati2. Saat itu mereka berdua bertempur

diatas wuwungan rumah yang tak begitu licin seperti diatas

genting tadi

Dingan begitu dapatlah ia mengatur keseimbangan kakinya

lebih stabil. Tapi setelah berlangsung tiga jurus, kembali Bikhu

kalah angin. Hanya saja tidak serancu tadi, kini keadaan

lebih baikan, dapat bertahan dapat pula menyerang.

“Pui sute, berhentilah, itu orang sendiri?” tiba2 In-nio

berseru. Bik-hu tertegun, cepat ia menghindarkan kesamping,

Khik Sia merasa kenal dengan nada suara itu, tapi pikirannya

tak sampai pada dugaan kalau In-nio. Selagi ia hendak

bertanya, se-konyong2 terdengar letusan. Dari kamar sebelah

sana terpancar sinar api.

Dalam pancaran sinar api itu tampak Su Tiau-ing loncat

keatas genting dan bertempur dengan si thau-to. Gerakan

thiu-to gesit sekali, tapi kena juga ia kecipratan dengan letikan

api hingga ada beberapa bagian kulitnya yang terbakar.

“Siluman perempuan yang tak kenal selatan, disuruh

minum arak manis tak mau minta arak kecut, bahkan kurang

ajar berani membakar hud-ya.” dengan marah2 sithau-to

berseru seraya mencabut golok dan menabas Su Tiau-ing

Kiranya memang paderi itu hendak menculik Su Tiau-ing,

Kebetulan saat itu Khik Sia sedang keluar hendak mencari

Yak-bwe, jadi dengan leluasa dapatlah thau-to itu

menghampiri kamar Su Tiau-ing. Ia tak mau membikin kaget

orang, maka dilubanginya kertas jendela kemudian meniupkan

dupa bius kehiang-ngo-hoan-hun hiang kedalam kamar,

Tapi ternyata Su Tiau-ing juga tangkas sekali. Begitu

mencium bau yang mencurigakan ia segera bertindak, Kimciam

liat-yan-tan itu berbentuk opal (bujur lonjong) dalamnya

terisi obat peledak dan beberapa batang jarum bwe-hoa-ciam

yang halus. Untung thau-to itu memiliki ilmu lindung kimciong-

toh. Cukup melindungi bagian mukanya saja, jarum2

bwe hoa-ciam itu tak dapat menembus bagian tubuhnya. Tapi

sekalipun begitu, bahan peledaknya meletus dan membakar

juga kulitnya.

Dari dering adu senjata tadi, dengan kepandaiannya yang

dalam dapatlah Khik Sia mengetahui bahwa Su Tiau-ing kalah

unggul. Sewaktu api muncrat tadi. Su Tiau ingpun segera

dapat melihat Khik Sia. Cepat ia meneriakinya : “Khik Sia,

lekas kemari !”

Dalam saat seperti itu, Khik Sia tak sempat untuk

mengamati siapa In nio itu, karena ia harus menolong Su

Tiau-ing lebih dahulu. Tapi selagi Khik Sia loncat ketempat Su

Tiau ing, hidungnya tiba2 tersampok dengan angin yang

berbau amis. Ternyata sihidung besar, yakni kawan dari

sitahuto, sejak tadi telah bersembunyi ditempat gelap. Begitu

Khik Sia hendak membantu Su Tiau-ing. iapun cepat

menerjang keluar dengan sebuah hantaman.

Dari angin yang amis itu. tahulah Khik Sia kalau sepasang

tangan Orang itu beracun, Marahlah ia dibuatnya. Ia ambil

putusan hendak memberinya pengajaran. Setelah menutup

jalan darab, Khik Sia kerahkan lwekangnya daa menangkis

pukulan beracun orang itu.

Tar, dua buah tinju saling beradu keras, racun yang

terdapat ditelapak tangan sihidung besar itu tak dapat

menembus tubuh Khik Sia, sebaliknya malah kena dipentalkan

kembali. Hidung besar itu kembali gunakan ilmu Cian Kin Tui

untuk menahan tubuhnya, namun tetap terhuyung huyung

hendak rubuh.

Tiba2 saat itu Su Tiau-ing menjerit “aduh” seperti orang

yang terluka, Khik Siapun tidak mau terlibat dengan sihidung

besar itu lebih lama lagi. Cepat ia dorongkan tangannya kemuka

hingga sihidung besar itu sempoyongan tersurut

mundur sampai keujung payon.

Untung kakinya dapat mengait tiang rusuk, sehingga tak

sampai terpelanting jatuh.

Jeritan Su Tiau-ing tadi ternyata dapat menolong jiwa

sihidung besar yang sudah di-ambang pintu akhirat. Karena

jeritan itu maka Khik-sia lantas tinggalkan sihidung besar

untuk menghampiri ketempat Su Tiau-ing. Co ba tidak begitu,

tentu ia sudah memberi hajaran lagi pada hidung besar itu.

Memang kepandaian hidung besar itu tetap kalah dengan Khik

Sia. Racun yang sudah dikerahkan ditelapak tangannya tadi,

kena ditampar balik oleh pukulan Khik Sia. Itu masih untung

kalau hanya begitu saja, coba racun itu mengalir balik

kedalam tubuh terus menyerang jantungnya, dia pasti akan

melayang jiwanya.

Khik Sia telah menghantam sekuat2nya tadi, tapi ternyata

tak dapat menggulingkan si hidung besar. Hal ini membuatnya

heran juga. Ternyata walaupun sithau-to itu pernah sulung,

tapi kepandaiannya kalah dengan sute-nya sihidung besar itu.

Saat itu sithau-to rasakan belakang batok kepalanya

tersambar angin, buru2 ia hantamkan goloknya kebelakang.

Tapi Khik Sia sudah mengisar, dan dengan jurus Kwan-ping

hong-in atau juga Kwan Ping mempersembahkan cap. Tangan

kiri dibuat menahan siku orang, sedang tangan kanan di buat

mencengkeram pundaknya, tapi pada saat2 yang berbahaya

bagi sithau-to itu, untung sihidung besar keburu datang.

Secepat kilat orang itu segera menghantam punggung Khik

Sia. Karena gangguan itu, Khik Sia terpaksa alihkan tangan

kanannya untuk menyambut serangan sihidung besar, terlepas

dari ancaman, sithau-to ber-putar2 beberapa kali, baru ia

berdiri tegak sebaliknya dalam adu pukulan dengan sihidurg

besar itu, Khik Sia menderita sedikit kekalahan dan terpaksa

mundur tiga langkah.

Perangai thau-to itu amat berangahan sekali, selama

mengembara, baru malam itu ia menderita kekalahan

ditangan Khik Sia, saking marahnya, ia sampai ber-kaok2

seperti babi hendak disembelih. Dan tanpa memperhitungkan

bahwa tadi ia baru saja lolos dari lubang jarum, segera ia

maju menyerang lagi.

“Tiau-ing, apakah kau terluka?” tanya Khik Sia.

“Tak mengapalah. Tapi hinaan itu, sukar ditebus Khik Sia,

hajarlah mereka!”

Kuatir Khik Sia tak mau meluluskan, Su Tiau-ing kembali

menguatkan alasannya. Mereka yang hendak mengganggu

aku, bukan aku yang mencari perkara.”

“Baik. kembalilah kedalam kamar. Aku dapat mengurus

mereka, tak perlu kau turut campur urusan disini,” sahut Khik

Sia.

Khik Sia berganti siasat bertempurnya, seketika delapan

penjuru penuh dengan bayangannya. Kedua lawannya itu

segera merasa seperti didera oleh angin yang menampar

kemukanya. Kiranya Khik Sia telah mengombinasikan ilmu ginkang

dengan pukulan yang penuh variasi perobahan, ia

mengurung mereka rapat2 begitu ada kesempatan terus

hendak menangkapnya hidup-hidupan.

Sebetulnya jika kedua orang Se-ik itu bersatu menghadapi

Khik Sia, rasanya kekuatan mereka tak dibawah lawan. Tapi

dikarenakan Khik Sia menggunakan ilmu gin-kang yang luar

biasa pesatnya, ditambah dengan cuaca malam yang gelap

dan genting yang licin karena habis turun hujan, mereka

menjadi panik dan tak dapat mengembangkan cara bertempur

secara bersama. Dikocok pergi datang oleh arus serangan Khik

Sia yang ber-tubi2 datangnya dari empat penjuru, dalam

beberapa saat saja, mereka berdua sudah kepayahan sampai

matanya berkunang-kunang kegelapan sehingga dan

beberapa kali hampir saja menghantam kawan sendiri.

Sewaktu Khik Sia menegur Bik-hu tadi, In nio tak ragu lagi.

Tanpa terasa ia berseru

“Hai, kiranya benar Toan Khik-sia. Yak-bwe, Yak-bwe,

kemarilah lekas !”

“Toan Khik Sia.? Ha, mengapa tadi2 kau tak mengatakan?”

Bik-hu menanggapi dengan terperanjat.

Sebaliknya Yak-bwe hanya tertawa dingin: “Ci In, tak peduli

dia itu siapa, tapi orang macam begitu aku tak menghiraukan

lagi!”

Kiranya sejak tadi Yak-bwepun diam2pun sudah datang

ketempat ramai2 situ. Jelas didengarnya pembicaraan Khik Sia

dengan Su tiau ing yang penuh dengan kemesraan itu. Rasa

cemburu telah melahirkan kemarahan yang menyala2 dihati

Yak-bwe.

Pada saat itu tengah melancarkan jurus suan-kian-cuangun

atau berputar2 mengelilingi dunia. Ia menyusup dan

siapkan kedua tangannya kearah kedua lawannya itu. Tangan

kiri menampar muka sihidung besar, begitu sang kaki

mengisar, tangan kanannya segera menyambar tulang pi-peh

dibahu sithau-to, Kalau memang serangan tangan kiri tadi

hanya menggunakan tiga bagian tenaganya, adalah serangan

lengan kanannya itu menggunakan tujuh bagian tenaganya.

Maksudnya tak lain tak bukan yalah hendak mematahkan

musuh yang lebih lemah, yaitu sithau-to.

Sebenarnya rencananya itu sudah mendekati berbasil atau

tiba2 ia mendengar suara Yak bwe yang menyahut seruan Innio

tadi. Dalam hari2 yang terakhir ini, siang malam Khik Sia

salalu memikirkan Yak-bwe saja. Bahwa pada saat itu ternyata

Yak-bwe berada ditempat situ dan mengeluarkan kata2 yang

begitu sinis, telah membuat Khik Sia tergetar hatinya.

Pikirannya buyar dan kuda2 kakinyapun menjadi kacau.

Kembali kemenangan yang sudah didepan mata itu jadi

buyar. Sebaliknya bagi sihidung besar itulah suatu kesempatan

yang se-bagus2 nya. Baru mulut Khik Sia berseru memanggil

“Adik Yak-bwe…” sihidung besar cepat mengirim sebuah

tutukan berat kearah jalan darah ji-khi-hiat dipinggang Khik

Sia. Khik Sia menggerung keras dan terus menghantam. Tapi

ketika ia hendak mengejar sihidung besar ternyata gerak

langkahnya sudah tak tetap lagi, malah pada lain saat tiba2

matanya terasa berkunang kunang. Sekali sang kaki

menginjak tempat yang kosong, iapun segera terguling jatuh

kebawah.

Sithau to cepat mengeluarkan sebuah hui-jai (besi

bandringan), Tapi baru ia hendak menimpukkan kepunggung

Khik Sia, tiba2 dari arah belakang terdengar suara

membentaknya: “Bangsat, jangan kurang ajar.” Aum senjata

menyambar belakang batok kepalanya.

Sithau-to cepat tangkiskan goloknya kebelakang.

Tangkisannya itu tepat membentur pedang dari

penyerangnnya. Dan penyerangnya itu bukan lain adalah Yakbwe.

Ternyata walaupun marah, tapi dalam hatinya Yak bwe

tetap menyintai Khik Sia. Dan karena cintanya itu maka setiap

kali ia sampai salah faham. Begitu melihat Khik Sia kena

sodokan sihidung besar, ia tahu kalau anak muda itu bakal

celaka. Buru2 ia maju hendak menolongi tapi ternyata tetap

terlambat, Khik Sia sudah terguling rubuh dan tak sampai

melihat Yak-bwe.

Tapi pertolongan Yak-bwe itu juga tak sia sia. Karena harus

menangkis kebelakang, timpakan sithau-to menjadi mencong,

Hai-juinya tak mengenai Khik Sia jatuh ketanah, Thau-to dari

Se-ik itu bertenaga besar. Dalam adu senjata tadi, Yakbwepun

telah merasakan pada tangannya kesemutan. Tapi

demi mengingat keselamatan Khik Sia, Yak-bwe tak

menghiraukan kesakitannya itu, dengan tahankan sakit, ia

cepat kembangkan permainan pedang hui-ho at-ciu-tiap atau

kembang beterbangan mengejar kupu2, Menusuk kekiri.

menabas kekanan. Serangan yang satu belum selesai sudah

disusul dengan serangan berikutnya, sehingga thau-to itu

menjadi keripuhan.

Karena terus dicecer dengan serangan gencar akhirnya

marah jugalah thau-to itu, bentaknya “Jangan mengandalkan

sebagai pembesar lantas mau mengganggu agama, sekalipun

raja, kami pun tak perduli.”

Dengan geramnya, thau-to itu segera mengirim beberapa

bacokan, selagi Yak-bwe tak kuat bertahan. In-niopun datang,

kepandaian in nio lebih tinggi setingkat dari Yak-bwe, dengan

mendapat bantuan In-nio, berhasillah kedua nona itu untuk

mengatasi kegarangan sithau-to. Dipartai sana sihidung besar

sedang menghampiri Su Tiau-ing. Dengan cengar-cengir, ia

tertawa: “Nona Su, tak nanti kau mampu lolos. Apakah kau

sungguh2 menampik arak wangi dan minta arak kecut? Ah,

lebih baik kau serta merta ikut padaku saja”

Marahlah Bik-hu memlengar kekurang ajaran orang itu,

dampratnya: “Kau mengandalkan apa berani menghina nona

Su? Masih ada aku disini yang akan membeiantasmu!”

Sihidung besar itu masih terpisah agak jauh dengan Su

Tiau-ing. Bahwa ditengah jalan ia dihadang dan dimaki Bik-hu,

hal ini membuatnya marah bukan kepalang. Tanpa berkata

apa2, ia segera mengirim tabasan pedang.

Mengapa Bik-hu hendak membela Su Tiau ing? Ah, ternyata

ia sudah salah faham. Dikiranya sihidung besar menyebut

nona Su itu adalah Yak-bwe yang dimaksudkan, Bik hu tahu

kalau Yak Bwe adalah caloa isteri dari Khik Sia. Bahwa tadi ia

telah kesalahan berkelahi dengan Khik Sia itu, sudah

membuatnya menyesal. Maka kali ini waktu sihidung besar

hendak menangkap noaa Su, ia timbul pikiran hendak

menebus dosa. Pikirnya: “Tadi Khik Sia hendak menjenguk

bakal isterinya dan aku gegabah menyerangnya. Sungguh tak

pantas tindakanku tadi. Sekarang aku harus melindungi Su

sumoay dari gangguan orang. Orang hidung besar inilah yang

melukai Khik Sia, jika aku dapat membalaskan kelak aku tentu

ada muka berjumpa dengan Khik Sia.”

Dengan keputusan mendirikan jasa untuk menebus dosa

itu, pula untuk unjuk kegagahan dihadapan In-nio, maka ia

segera menerjang sihidung besar itu dengan serangan pedang

yang gencar.

Dalam penilaian kepandaian sihidung besar itu lebih unggul

setingkat dari Bik-hu, tapi tadi ia habis adu pukulan dengan

Khik Sia dan seketika ia memberi tutukan pada Khik Sia telah

kena digetarkan oleh tenaga sin-kang dari tubuh Khik Sia

sehingga tenaga dalamnya terluka sedikit. Maka dalam

pertempuran dengan Bik-hu itu, ia hanya dapat bertahan saja

atau berarti kalah angin dengan Bik-hu.

Mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua tokoh yang

kenamaan, permainan Bik-hu memang cukup mematahkan

nyali lawan, ia kembangkan permainannya sedemikian rupa,

sebentar gunakan jurus2 yang keras, sebentar mainkan jurus

yang mengutamakan kelemasan. Dua corak permainan

pedang dikombinasikan silih berganti dalam jurus2 yang

penuh dengan perubahan yang sukar diduga, telah membuat

si hidung besar kelabakan setengah mati. Sekali pun ia

meyakinkan sepasang pukulan tangan beracun, tapi tak

berdaya dilancarkan sehingga tak berguna sama sekali.

“Kau pernah apa dengan budak perempuan itu? Mengapa

kau begitu membelanya mati2an?. Hm, kau tahu aku ini siapa

?”

“Tak peduli kau ini siapa, tapi jangan coba menghina pada

kami!!” bedak Bik-hu.

“Pernahkah kau mendengar kebesaran nama Leng Ciu

siangjin? Tahukah kau akan kelihayan partai Leng-san-pay ?”

kembali sihidung besar tertawa mengejek.

Bik-hu hanya mendengus tak acuh, sahutnya: “Kutahu

partaimu Leng-san pay itu mem punyai pengikut banyak dan

pengaruh besar. Dengan mengandalkan perlindungan dari2

Leng Ciu siangjin, kalian lantas malang melintang kejahatan.

Hm, sampai dimana kepandaian dari anak buah Leng-san-pay

itu, dulu ketika di Gui-pok aku sudah pernah mengujinya!!”

Memang sejak tadi Bik-hu sudah menduga kalau kedua

orang itu tentu anak buah Leng-san-pay. Ternyata dugaannya

itu besar, hal ini menyebabkan ia tak berani ayal. Dengan

menggunakan posisinya yang menguntungkan itu, ia

menyerang lebih hebat. Pikirnya: “Ya, memang kaum Lengsan-

pay itu tak boleh dimusuhi. Tapi sekali sudah terlanjur

bentrok, satu2nya jalan ialah harus bertempur mati2an!”

Karena gelap, sihidung besar Itu, tak dapat melihat wajah

Bik hu. Tapi demi mendengar Bik-hu mendengus, iapun

membentaknya: “Apa katamu ?”

Bik-hu sudah terlanjur kerangsokan setan, iapun balas

menghardiknya: “Aku sedang memastikan sampai dimana

kelihayanmu itu !”

Sret, sret, sret, tiga kali ia lancarkan serangan pedangnya

dengan hebat, sihidung besar makin kelabakan sampai

napasnya tersenggal2 dan tak dapat membuka mulut untuk

bicara lagi.

Sementara disana, In-nio dan Yak-bwepun telah berhasil

menindih sithau-to. Menghadapi serangan pedang dari kedua

nona yang datang nya ber-tubi2 itu, sithau-to hanya dapat

membela diri tak mampu balas menyerang lagi, dalam suatu

kesempatan, Yak-bwe melirik kearah Khik Sia. Ternyata

tunangannya lenyap dan ketika memandang kesekeliling

penjuru ternyata si nona tadipun tak kelihatan bayangannya

lagi. Tentu nona itu diam2 telah ngacir pergi. Yak-bwe makin

meluap kemarahannya pikirnya: “Aku menghadang musuhmu,

tapi kau diam2 mengurusi kecintaanmu.”

Yang dimaksud dengan kau, yalah Su Tiau-ing. Berbareng

pada saat itu, terdengarlah suara kuda meringkik. Suaranya

ngeri, seperti kuda yang dipersakiti. Mendengar itu, si thau to

meloncat dan menggembor keras. Yak-bwe gunakan

kesempatan itu untuk mengirimkan tusukan dan berhasil

melukai bahunya. Darah segar mengucur dari bahu thau-to

itu. Masih untung tusukan Yak-bwe itu agak mencong sedikit

sehingga masih terpisah setengah dim dengan tulang pundak

korbannya.

Rupanya In-nio tahu isi hati Yak-bwe, tertawalah ia: “Yakbwe,

lekas tengok Khik Sia!”

Melihat sithau-to sudah terluka, Yak-bwe itu percaya kalau

In-nio dapat mengatasi maka setelah menghaturkan terima

kasih pada cicinya ia segera loncat keluar dari gelanggang,

terus melayang turun, Ketika tiba dilapangan yang berada

dimuka pintu hotel, dilihatnya nona tadi tengah memeluk Khik

Sia hendak naik keatas kuda, yaitu kuda putih kepunyaan

kedua orang Se ik tadi.

“Tunggu !” cepat Yak-bwe meneriaki, Tapi belum

seruannya habis, nona itu tampak ayunkan tangannya

menimpuk kim-ciam liat-yan tan, maka pecahlah letikan api

dan melayang kearah Yak-bwe.

Yak-bwe tahu bahaya. Sembari putar pedang untuk

melindungi tubuhnya, ia menghindar kesamping. Kembang api

itu tak sampai mengenainya dan beberapa batang jarum bwehoa-

campun kena dipukul jatuh. Tapi dengan gangguan itu,

Yak-bwe tak berdaya untuk mencegah Su Tiau-ing yang saat

itu sudah melarikan kuda putih dengan menggondol Khik Sia

Yak-bwe marah sekali. tiba2 terlintas dalam pikirannya:

“Kedua ekor kuda orang Se-ik itu kuda pilihan semua. Setelah

dibawa lari seekor, masih ada seekor lagi. Ah, mengapa tak

kucuri kuda itu untuk mengejarnya. Benar kuda putih itu lebih

hebat, tapi dengan membawa dua orang, tentu dapat kususul.

Setelah mengambil ketetapan Yak-bwe terus menghampiri

istal kuda dan hendak melepaskan tali ikatan kuda itu. Tiba2

kuda bulu merah itu meringkik kesakitan. Suaranya makin

lama makin lemah. Melihat Yak-bwe datang, binatang itu

lantas menyepak2kan kakinya, tapi tampaknya lemah tak

bertenaga. Sebelum dapat menyepak Yak-bwe, kuda itu sudah

rubuh sendiri.

Yak-bwe cepat menyulut korek api. Astaga ternyata kelopak

mata kuda itu complong tak berbiji mata lagi, Malah darahnya

masih bercucuran keluar, Kiranya biji mata kuda itu telah

dikorek orang, paha, kakinya juga luka tergurat2 senjata

tajam sehingga sampai kelihatan tulangnya, Yak-bwe kaget

dan gusar

“Hm, siluman perempuan yang ganas sekali. Mengapa Khik

Sia bersama dengan ia ?” kata Yak-bwe dengan geram.

Apa boleh buat Yak-bwe tak dapat mengejar. Ia kembali

kekamarnya. Ternyata kamar yang ditempati Khik Sia itu

terdapat dua buah jendelanya, menandakan kalau kamar itu

mempunyai dua buah ruangan. Salah sebuah ruangan masih

belum padam lampunya. Ketika melalui disitu, Yak-bwe

tertarik hatinya. Segera ia masuk kedalam. Disitu barulah ia

mengetahui kalau kamar besar itu dipisah dengan sebuah

pintu tengah. Dibawah yang terdapat pelitanya tadi, terdapat

sebuah meja yang letaknya persis dimuka ranjang. Diatas

meja itu dilihatnya ada beberapa tulisan huruf “Bwe” dengan

air teh.

Dahulu ketika dikamar Tian Seng-su, ia pernah melihat

tulisan Khik Sia pada surat ancaman yang ditujukan pada ciatto-

su itu. Maka sekali lihat, tahulah ia bahwa tulisan air teh

pada meja itu adalah buah tangan Khik Sia. Ia duga ketika

Khik Sia coret2 dimeja itu, tentulah si nona kawannya itu (Su

Tiau-ing) tak berada disitu. Kalau tidak, masakan Khik Sia

sampai lupa diri (melamun) begitu rupa.

Seketika timbullah pertanyaan dalam hati Yak-bwe: “Ah, ia

selalu mengenangkan diriku sedemikian rupa, tapi mengapa

bergaul begitu akrab dengan nona itu ? Apakah terdapat apa2

didalamnya ?”

Memikir pada hal itu. redalah amarahnya. Adalah ketika

Yak-bwe sedang menimang2 dalam kamar, diatas rumah

pertempuran telah mencapai klimaks yang menentukan.

Dengan gunakan seluruh tenaganya, sihidung besar lontarkan

sebuah pukulan sehingga seketika itu timbullah desus angin

yang berbau amis Bik-hu merasa mau muntah, karena kuatir

kena pukulan beracun, baru ia sedikit mengisar sehingga

gerakan pedangnyapun agak kendor. Sihidung besar

mendapat kesempatan bernapas lalu buru2 bertanya: “Apa

katamu tadi ? Kau pernah bertempur dengan anak murid

Leng-san-pay di Gui-pok ?”

“Ya apa kau hendak menuntut balas bagi mereka? Yang

melukai mereka adalah aku, bukan nona Su!”

“Kau keliru, berhentilah!” teriak sihidung besar.

Bik-hu berada ditempat gelap. Kuatir kalau orang hendak

membokongnya dengan pukulan beracun, ia tidak berani

hentikan serangannya. Tapi ia merasa bersangsi juga dengan

kata2 sihidung besar itu. Maka ia hanya batasi serangannya

dengan bertahan diri saja dan tak menyerang, untuk memberi

kesempatan bicara pada orang.

Berkata hidung besar: “Suteku itu juga keliru, ia hanya

hendak menangkap budak perempuan she Su itu saja.”

“Huh, beberapa kali kalian selalu hendak menyusahkan

nona Su, mengapa mengatakan aku keliru?” Bik-hu

mendamperatnya.

Srettt, kembali ia lancarkan serangan. Karena sihidung

besar iiu sudah kehabisan tenaga, maka tidak dapat ia

menangkis. Lengan kirinya kena termakan ujung pedang

sampai terluka panjang.

Cepat2 hidung besar itu loncat keluar beberapa langkah.

Sebenarnya ia marah sekali dengan Bik-hu, tapi karena

tenaganya sudah habis dan kuatir kalau Bik-hu menyerang

lagi, terpaksa ia telan kemarahannya dan segera berseru: “Ya

kami yang salah. Aku sudah tahu sekarang. Bukankah

kawanmu perempuan yang menyaru lelaki itu orang she Su?”

Sambil bolang balingkan pedangnya Bik-hu maju

menghampiri dan membentaknya: “Bagaimana ? Apakah

dengan menyaru lelaki itu dia menyalahi kau ?”

Dengan menahan kemarahan. Sihidung besar menyahut;

“Kawanmu perempuan itu bukan budak she Su yang kami

maukan, jelaskah kau ? Kami salah faham, kau salah wesel!”

Bik-hu tertegun, pikirnya: “Kalau begitu benar2 salah faham

!” Baru ia berpikir begitu sihidung besar menggunakan

kesempatan itu untuk loncat dua tombak jauhnya dengan

gerak kim-li-joan-bo atau ikan lehi menyusup ombak. Setelah

terlolos dari lingkaran ancaman pedang Bik-hu, ia berada

disebelah In-nio Se-konyong2 ia menghantam In-nio.

Walaupun tenaga sihidung besar itu sudah berkurang

sampai separoh tapi serangan mendadak itu tak diduga sama

sekali oleh In-nio. Hampir saja In-nio celaka dengan pukulan

beracun. Tapi untung ginkang atau ilmu meringankan tubuh

dari In-nio itu hebat. Begitu membau angin amis, segera ia

loncat kesamping. Tapi sekalipun begitu tak urung kepalanya

terasa pusing, mata berkunang-kunang dan tubuhnya terhuyung2

mau rubuh.

Melihat itu buru2 Bik-hu menghampiri, sebaliknya sihidung

besarpun sudah lantas loncat turun dan melarikan diri. Bik-hu

tak sempat mengejarnya karena perlu menolong In-nio, ia

tanya: “Suci, bagaimana keadaanmu?”

In-nio menghembus napas, sahutnya: “Tak apa, tidak kena

racun!”

“Saat itu dari kejauhan terdengar suara sithau-to berseru:

“Bagus, budak kecil, kau berani cari perkara dengan Leng-sanpay,

lihat saja nanti.”

In-nio tertawa getir, ujarnya: “Ah, tak nyana secara

semberono kita telah mengikat permusuhan dengan orang

Leng-san-pay.”

“Tapi bukan kita yang bersalah. Jikalau sudah dianggap

bermusuhan, terserahlah, pada mereka!” bantah Bik-hu.

In-nio tertawa: “Kesalahan ini terjadi secara kebetulan

sekali. Ayuh, kita tengok apakah Su sumoay kita itu sudah

dapat mencari si nona Su itu!”

Ketika loncat turun, In-nio melihat penerangan dikamar

kelas satu yang ditempati Khik Sia tadi masih belum padam.

Dari kertas jendela tampak bayangan seorang gadis. Tahu

kalau gadis itu tentu Yak-bwe, In-nio mengira kalau Khik Sia

tentu dibawa Yak-bwe kedalam kamarnya, pikirnya: “Bagus

sekarang kita sudah berkumpul lagi, tetapi mana si nona she

Su itu?”

In-nio tak mau mengganggu Yak-bwe. tapi baru ia hendak

menyingkir ternyata Yak-bwe sudah mengetahui dan

memanggilnya masuk. Bik-hu pun hendak ikut masuk tapi

dicegah oleh Yak-bwe: “Pui Suheng, tolong kau jaga diluar

dulu, barangkali masih ada musuh yang akan datang.”

Bik-hu tertegun, pikirnya: “Ah, aku ini benar2 tolol. Toan

Khik Sia sudah didalam, mengapa aku ter-buru2 hendak

menjumpainya?”

Kiranya Bik-hupun berpendapat bahwa Khik Sia telah

ditolong dan dibawa masuk ke kamar oleh Yak-bwe, maka tadi

ia buru2 hendak menjumpainya dan menghaturkan maaf atas

perbuatannya tadi. Siapa tahu ternyata Yak-bwe hendak

bicara empat mata dengan In nio maka ia cegah Bik-hu turut

masuk:

“Mana Khik Sia?” demikian kata2 yang pertama meluncur

dari mulut In-nio ketika ia masuk kedalam kamar dan tidak

melihat anak muda itu.

Yak-bwe kerutkan alis dan berkata dengan geram: “Nona

siluman itu telah melarikannya!”

In-nio tersentak kaget, serunya: “Ai, celaka, mengapa

mendekam didalam kamar saja?”

Setelah mendengar derap kaki Bik-hu sudah jauh, barulah

Yak-bwe membisiki In-nio supaya datang dekat kepadanya.

Ketika In-nio lihat tulisan “bwe” dengan air teh diatas meja,

ia tertawalah: “Ha, jangan kuatir, hatinya hanya terisi kau,

nona siluman itu tak nanti dapat merampasnya!”

Wajah Yak-bwe menjadi merah dadu. Ia hapus tulisan air

teh itu, katanya: “Tak mengerti aku, kalau toh hatinya tetap

padaku, mengapa ia bergaul rapat dengan nona siluman itu?

Ya, kawan seperjalanan dan tinggal sekamar!”

In-nio tertawa: “Kau sendiri toh juga menginap beberapa

malam dirumah keluarga Tok ko?”

Dari merah dadu wajah Yak-bwe menjadi merah bara,

serunya dengan sengit: “Kemana tujuan kata2mu itu? Aku

berbuat secara terang terangan, ya, batang pohon yang lurus

tak takut mempunyai bayangan yang doyong!”

“Kalau ada orang yang mencurigai kau, kau marah tidak ?”

tanya In-nio.

“Jika ada orang semacam itu, dia adalah orang yang

bermentalitet rendah, tapi coba2 hendak menilai orang lain,”

sahut Yak-bwe dengan murka.

“Itulah, jika lain orang mencurigaimu, kau katakan dia itu

orang rendah metalietnya. tapi mengapa kau seenaknya

sendiri menuduh Khik Sia yang bukan2 ?”

Kini tersadarlah Yak-bwe, katanya: “Oh, kiranya kau

mengukur diriku untuk menilai dia..”

“Bukankah kedua perbandingan itu tak berbeda ?” tanya

In-nio.

Setelah merenung sejenak, berkuranglah cemburu Yakbwe.

namun tetap ia membantah: “Masalahnya memang

sama, tapi orangnya berlainan. Tok-ko U seorang kun-cu,

seperti langit dengan bumi bedanya dengan siluman

perempuan kawan Khik Sia itu, ia mengangkat Khik Sia

dinaikan kuda, kusuruh berhenti, bukannya menurut malah

melepaskan senjata rahasia padaku !” Ia lalu menceritakan

kejadian tadi.

“Bukankah Khik Sia masih tak ingat diri?” tanya In-nio.

“Tampaknya begitulah,” kata Yak-bwe.

“Kalau begitu Si nona siluman itu yang salah, bukan Khik

Sia,” kata In-nio. Katanya lebih jauh: “Ucapanmu tadi memang

tepat batang pohon yang lurus tak takut mempunyai

bayangan yang condong. Asal Khik Sia itu seorang kun-cu

sejati, itu sudah cukup. Memang urusan didunia itu sering2

diluar dugaan dan sukar dimengerti orang. Misalnya kau

beristirahat merawat lukamu dirumah Tok-ko U, adalah salah

sebuah contoh. Masakan kau tahu hal2 yang sebenarnya

dalam hubungan Khik Sia dengan nona siluman itu? Turut

pendapatku, Khik Sia hanya mencurahkan hatinya kepadamu,

maka seharusnya kaurun harus menaruh kepercayaan

kepadanya.”

Setelah mendapat penjelasan dari In-nio, walaupun masih

menaruh sedikit keraguan, namun kemarahan Yak-bwe sudah

reda. Sebagai gantinya, kini ia malah menaruh kekuatiran

akan keselamatan Khik Sia.

“Entah bagaimana lukanya itu, berat atau tidak, ya?

Didalam tangan siluman perempuan itu, aku sungguh tak

tega. Ah mengapa ia bergaul dengan bangsa perempuan

siluman begitu?” katanya.

In-nio tertawa: “Jika tak tega, Satu2nya jalan hanyalah

kalau kau lekas mengejarnya ke Tiang-an. Temui Khik Sia dan

tanyalah padanya dengan jelas. Karena mereka menginap

dihotel ini. tentulah tujuan mereka akan ke Tiang-an untuk

hadir dalam pertemuan Eng-hiong-tay-hwe Lwekang Khik Sia

cukup tinggi, rasanya dengan hanya sedikit luka itu tentu

takkan sampai membahayakan jiwanya.”

“Tapi aku tetap merasa heran. Jelas kulihat habis terpukul

oleh sihidung besar, ia masih punya tenaga untuk balas

memukul. Tapi anehnya, ketika dipondong oleh siluman

perempuan itu, ya hanya terpaut sepeminum teh la manya,

tapi ia malah dalam keadaan pingsan.” kata Yak-bwe.

“Oh, itu mudah saja, ketika Khik Sia terluka, si nona

siluman lantas menutuk jalan darahnya sekali.” sahut In-nio.

“Ganas benar siluman perempuan itu, entah apakah ia

hendak mencelakai Khik Sia?.”

In-nio tertawa lagi: “Jangan kuatir, nona siluman itu takut

kau nanti merampas Khik Sia dan sebaliknya kau kuatir ia

akan teledor merawat Khik Sia.”

Yak-bwe sedih sekali hatinya, ia kuatir jangan2 Khik Sia

akan jatuh dalam buaian si nona siluman tapi sebaliknya iapun

berharap semoga nona siluman itu merawat Khik Sia dengan

baik.

“Siapa? Lekas unjukkan diri !” tiba2 In nio dan Yak-bwe

dikejutkan oleh teriakan Bik hu yang berada diluar kamar,

Dengan sebat kedua nona itu meleset keluar dilihatnya Bikhu

sudah meringkus seseorang. Orang itu meratap minta

ampuu: “Akulah Tay ong ampunilah jiwaku !”

In-nio tertawa cekikikan sebaliknya Yak-bwe lantas

menegur: “Pui suheng, mengapa kau ringkus pengurus hotel

!”

Kiranya ramai2 diatas rumah tadi telah membangunkan

para tetamu yang menginap di hotel situ, mereka kira kalau

kedatangan kawanan perampok, maka mereka sangat

ketakutan dan sama bersembunyi dan tak berani bersuara.

Sebenarnya ciang-kui itu juga ketakutan, tapi sebagai pemilik

hotel itu, setelah suara ribut2 tadi berhenti, ia beranikan diri

keluar melihat2. Tahu2 ia diringkus Bik-hu.

Setelah mengetahui kekeliruannya, Bik-hu pun geli juga,

segera dilepaskannya ciang-kui itu, katanya: “Aku bukan

perampok, perampoknya sudah dihajar lari !”

“Tetamu yang menempati kamar kelas satu ini mengejar

penjahat mereka adalah kedua orang Se-ik itu. Karena

mungkin tamu dikamar kelas satu itu tak kembali lagi, maka

bagaimana dengan uang rekening mereka, apakah sudah

dibayar ?” nyeletuk Yak-bwe.

Rasa takut siciang-kui menjadi berkurang ujarnya:

“Memang kedua orang Se-ik itu buas sikapnya, telah kuketahui

mereka bukan orang baik, dan ternyata benar bangsa

perampok. Banyak terima kasih atas bantuan tay-jin sekalian

yang telah melindungi hotel ini, tetamu dikamar kelas satu ini,

sungguh baik sekali, rekeningnya sudah dibayar oleh si nona,

malah kembalinya masih belum kuberikan padanya !”

Ciang-kui itu menyulut korek. Dilihatnya atap rumah

terdapat beberapa lubang. Ia mengeluh panjang pendek,

“Yak-bwe, simpanan uangmu bolehlah digunakan,” kata Innio.

“Yak-bwe menerangkan bahwa kim-tau (emas perongkol)

yang dibekalnya tinggal tak seberapa jumlahnya karena

sebagian besar sudah ditukarkan dengan perak. Ia mengambil

dua biji kim-tau dan seuntai petak yang beratnya 10 tahil,

katanya: “Ini emas murni, jangan takut. Selain ini kutambahi

pula dengan seuntai perak, nah cukup tidak untuk membikin

betul kerusakan atap rumahmu ini ?”

Yak-bwe tak tahu nilai uang, sekali ambil dikeluarkannya

emas dan perak, hal itu membuat ciang-kui melonjak kaget,

tetapi sebagai pengusaha hotel yang terletak dikota yang

menuju kekota raja. hotelnya itu tergolong hotel kelas satu,

banyak kaum saudagar dan orang hartawan yang menginap

disitu. Oleh karena itu, pengalamannya luas. Sekali dilihat,

tahulah ia kalau kim-tau itu memang emas murni. Pikirnya:

“Untuk membikin betul kerusakan atap yang rusak itu, seuntai

perak itu cukup banyak, apalagi ditambah dengan dua biji

emas, ah, aku benar2 ketimpah rejeki besar dari langit.”

Dengan ber-seri2 girang disambutnya pemberian Yak-bwe

itu dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga.

Saat itu sudah hampir terang tanah, In-nio segera ajak

Yak-bwe lekas berangkat, Yak-bwe amat bersyukur sekali

terhadap cici In-nionya yang selalu memikirkan

kepentingannya itu. Demikian mereka segera tinggalkan hotel

itu, selama dalam perjalanan menuju ke Tiang-an, Yak-bwe

tampak bermuram durja.

Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Khik Sia. Memang

apa yang diduga In-nio itu tak meleset. Ketika Khik Sia jatuh

dari atas genting, Su Tiau-ing segera menolongnya, dalam

kesempatan itu, Tiau-ing menutuk jalan darah Khik Sia supaya

pingsan. Setelah itu ia segera mencuri kuda putih milik sithauto

untuk melarikan Khik Sia.

Kuda putih itu memang bukan kuda sembarangan kuda.

Dalam beberapa kejab saja, bin tang itu sudah lari sampai

empat lima puluh li. Saat itupun baru terang tanah. Pikir Tiauing:

“Rasanya tak mungkin budak perempuan itu mampu

mengejar lagi. Hm, dengan kubawa Khik Sia, budak

perempuan itu tentu kelabakan.”

Disebelah muka tampak sebuah hutan. Di sinilah Tiau-ing

menurunkan Khik Sia dan di bawa masuk kedalam hutan, lalu

dibuka jalan darah yang tertutuk.

Begitu membuka mata, dalam keadaan yang masih

limbung, Khik Sia segera menarik tangan Tiau-ing, serunya:

“Adik Bwe!”

Tiau-ing melengking tertawa, serunya: “Maafkan, aku

bukan adik Bwemu itu. Lihatlah aku ini siapa ?”

Khik Sia tenang semangatnya, barulah ia ketahui kalau

yang dihadapannya itu Su Tiau ing, dengan tersipu2 merah

mukanya, ia segera melepaskan cekalannya.

“Mengapa aku ada disini? Apakah disini hanya ada kau

sendiri?”

“Dengan siapa lagi, ha? Kau kira adikmu Bwe itu akan ikut

kemari?” sahut Tiau ing.

“Tadi karena mendengar suaranya, hatiku tergetar maka

sampai jatuh kebawah. Saat itu kulihat ia lari menghampiri

kepadaku. Mengapa, apakah kau tak melihat dia?”

“Dia, dia apakah si ‘dia’ yang kau maksud kan itu adalah

orang banci yang kau sebut adik Bwe itu?” teriak Tiau-ing.

Karena kepingin tahu bagaimana keadaan Yak-bwe,

terpaksa Khik Sia sabarkan diri, ujarnya: “Ya, benar. Dia

adalah nona Su yang pernah kukatakan padamu. Dan yang

satu adalah taci misannya, nona Sip. Mereka berdua sering

berkelana didunia persilatan dan gemar menyaru menjadi

orang lelaki. Ketika aku terluka, bagaimana dengan mereka?

Mengapa dalam saat2 yang genting itu, kau tutuk jalan

darahku?”

Tertawalah Su Tiau-ing. “Kau benar2 tak mau berpikir.

Setelah menderita luka beracun, apakah pikiranmu masih

sadar ? Apalagi ketika itu musuh segera memburu, kecuali

membawamu lari bagaimana aku harus bertindak ? Kututuk

jalan darahmu supaya engkau dapat tidur jangan merasakan

kesakitan lagi. Hm, tak kira sebaliknya kau malah menyesali

alu.”

Khik Sia seorang ahli silat. Saat itu diam2 ia salurkan darah.

Didapatinya Su Tiau-ing telah gunakan ilmu tutuk yang lihay

untuk mencegah menjalarnya racun, yaitu dengan menutuk

jalan darah dibagian dada. Cara tutukan itu memang dapat

mencegah mengalirnya racun kebagian jantung, tapi orang

yang ditutuk tak sampai menderita apa-apa.

Khik Sia haturkan terima kasih kepada Su Tiau-ing, namun

dalam hatinya tetap timbul pertanyaan: “Oh, kiranya ilmu silat

Tiau ing itu jauh dari apa yang kuduga. Ternyata ia juga mahir

dalam ilmu tutuk.”

“Kalau begitu apakah nona Su dan nona Sip itu sudah

bertempur dengan musuh kita? Dia, ya, apakah dia tak

mengejarnya?” tanya Khik Sia. Dari pertanyaan itu teranglah

kalau Khik Sia menaruh perhatian khusus terhadap Yak-bwe.

Tiba2 Tiau-ing menghela napas, ujarnya: “Sayang kasihmu

kasihmu yang kau tumpahkan secara mati2an kepadanya itu,

telah dianggap sepi olehnya. Dia telah memakimu, tahu tidak

kau?”

“Ya, kudengar juga. Tapi pada saat aku terluka, jelas

kulihat dia lari menghampiri ke tempatku,” sahut Khik Sia.

Tiau-ing tertawa ejek : “Benar ia memang menghampiri,

tapi tahukah kau apa tujuannya!”

“Apa tujuannya itu ?” tanya Khik Sia dengan serentak.

“Ia datang karena hendak menimpukkan sebatang bwehoa-

ciam padamu .”

Khik Sia tersentak kaget : “Benarkah itu ?”

“Apakah aku pernah berbohong padamu?” sahut Tiau-ing

dengan yakin. Lalu melanjutkan ceritanya pula : “Untung saat

itu aku sudah mengangkatmu keatas kuda, ya, kuda milik

sithoau-to yang kucuri. Dengan begitu bwe hoa-ciam tak kena

dan iapun tak dapat mengejar kita .”

Khik Sia tergoyah pikirannya namun ia masih kurang

percaya, pikirnya : “Apakah ia masih mendendam padaku ?”

Pikirnya segera melayang kembali kegedung keluarga Tok-ko.

Ya, ketika itu Yak-bwe dan kakak beradik Tok ko telah

mengerubuti dirinya. Renungan itu telah menambah besar

kesangsian Khik Sia terhadap Yak-bwe.

Kembali Tiau-ing menghela napas dalam, ujarnya : “Ah,

aku sungguh turut perihatin padamu. Coba pikirkan, ia

bersikap begitu kepadamu, apa katamu jika kelak kau

berjumpa padanya?”

Sebenarnya Khik Sia sudah gundah hatinya dengan

keterangan itu. Dengan ditambah bumbu yang begitu sedap

sekali, makin terantulah hati Khik Sia dalam lautan kepiluan.

Demi melihat Khik Sia tertegun seperti patung dan pucat

lesi, terkejutlah Tiau-ing. Buru-buru ia menghiburnya : “Khik

Sia, jangan berduka, lapangkanlah hatimu.”

Tadi karena kuatir Khik Sia masih terkenang akan Yak bwe.

maka telah merangkai cerita untuk meretakkan perhubungan

antara pemuda itu dengan Yak-bwe. Tapi demi melihat Khik

Sia seperti orang yang kehilangan semangat diam2 Tiau-ing

menyesal, pikirnya: “Celaka, sungguh tak kira kalau

sedemikian besar kasihnya kepada nona Su itu. Omonganku

malah sebaliknya telah membikin sedih hatinya. Saat ini ia

masih menderita luka, jangan sampai perasaannya

tergoncang.” Terbit pertentangan dalam batin Tiau-ing.

Sebenarnya ia hendak menceritakan saja kejadian yang

sebenarnya, tapi lain perasaannya lagi menguasai batinnya,

jangan setelah Khik Sia ngerti duduk perkara yang sebenarnya

lalu tak mau memperdulikan dia (Tiau-ing) lagi. Hatinya

bimbang tak dapat mengambil putusan.

Sebenarnya separoh bagian yang terakhir dari cerita Tiauing

tadi, Khik Sia tak menaruh perhatian karena saat itu

pikirannya melayang2: “Ya, benarlah, memang Yak bwe masih

mendendam padaku. Apalagi kini ia telah punya pilihan lain,

apalagi kelak bertemu padanya, apakah yang akan kukatakan

lagi?”

Huak, tiba2 ia menguakan muntah darah. Luapan

kesedihannya telah menggelorakan darahnya. Tiau-ing

menjadi sibuk sekali, pikirnya dengan keraskan hati: “Lebih

baik ia benci padaku, asal jiwanya tertolong. Karena keadaan

menjadi begini rupa, lebih baik baik kukatakun padanya

sajalah .”

Ia menghampiri perlahan2 menarik tangan Khik Sia.

Dengan suara lembut yang gemetar ia berkata: “Khik Sia,

janganlah berduka. Dengarkanlah keteranganku………..”

Tiba2 Khik Sia mengangkat kepalanya dan menukas,

“Benar kata2mu itu memang benar. tak usah kau menasehati

lagi aku sudah dapat mengerti sendiri. Kuharap semoga ia

berbahagia, agar hatikupun menjadi tentram. Sejak saat ini

tak mau aku cari kesusahan lagi. Baiklah, anggap saja aku tak

pernah berkenalan dengannya .”

Setelah memuntahkan darah, perasaan hati Khik Sia terasa

longgar. Apalagi setelah pikirnya dibulatkan, pikirannyapun

menjadi tenteram. Sudah tentu Su Tiau-ing menjadi girang,

pikirnya : “Untung aku belum terlanjur menceritakan hal yang

sebenarnya.”

“Ya, jangan putus asa. Dunia bukan se-daun kelor, bukan

hanya ada seorang nona Su itu saja. Karena ia tak cinta

padamu, mengapa kau menyiksa dirimu sendiri ?

Kesehatanmu adalah yang terpenting. Nanti setelah lukamu

sembuh kita bicarakan lagi. Aku mempunyai obat penawar

racun, tapi entah dapat digunakan atau tidak,” kata Tiau-ing.

Tapi Khik Sia menolak dengan mengatakan bahwa lukanya

keracunan itu tak berat jadi tak perlu obat penawar. Segera ia

duduk bersila untuk menyalurkan lwekang. Racun itu berasal

dari luka yang terdapat pada jalan darah lau-kiong-hiat

ditelapak tangannya. Tapi setelah ditotok oleh Tiau-ing, racun

itu hanya sampai disiku lengannya saja. Begitu jalan darahnya

dibuka, racun itupun menjalar naik lagi, tapi untung belum

mencapai kebagian bahunya.

Dengan ilmu Iwekangaya yang tinggi dalam beberapa saat

saja yang setelah ubun2 kepala Khik Sia mengeluarkan asap,

dapat mengalirkan racun itu kebawah lagi. Lewat sepenyulut

dupa, racun itu dihalau sampai ketelapak tangan pula.

Kala itu sudah fajar. Mataharipun mulai pancarkan sinarnya

diantara lebatan daun pohon yang rindang. Hawa pagi sejuk

nyaman dan perasaan hati Tiau-ing menjadi riang gembira.

Pikirnya: “Ia, sebentar lagi, racun tenru sudah dapat diusirnya.

Setelah lukanya sembuh baru nanti dengan pe-lahan2 akan

kuhibur luka hatinya.”

Tiba2 kegirangannya itu dipecahkan oleh derap kaki kuda

yang gemuruh suaranya. Rupanya ada belasan ekor kuda

yang berlari datang.

Ah, lagi 2 datang gangguan…..

Su Tiau-ing terkejut, pikirnya: “Khik Sia sedang berkutetan

menyelesaikan penyaluran lwekangnya. Kalau yang datang itu

musuh, bagai mana nanti?”

Tepat pada pikirannya membayangkan hal itu, sekelompok

orang menyelusup masuk kedalam hutan dan mengepung

Khik Sia dan Tiau ing, ketika itu Tiau-ing dapatkan

pengepungnya itu tak kurang dari tiga belas Orang

banyaknya. Dan astaga, sithau-to sihidung besar juga ada.

Kiranya kedua orang itu telah mengajak kembrat2nya untuk

mengejar Tiau ing.

Seorang paderi yang memakai jubah warna merah

kudengar berkata: “Apakah nona itu adik perempuan dari Su

Tiau-gi? Apa kau tak keliru.”

“Kali ini pasti tak keliru” sahut sihidung besar.

“Siapa anak muda itu ?” tanya paderi itu pula,

“Entahlah, tapi ia liehay sekali. Untung telah kuberinya

hantaman hingga ia tak dapat berlari lagi,” sahut sihidung

besar dengan bangga.

Si paderi hanya mendengus, ujarnya: “Hm, sekali keluar

kalian2 sudah mencemarkan kewibawaan partai Leng-san-pay,

tapi masih berani buka mulut.”

Dampratnya itu telah membuat sihidung besar dan sithauto

menjadi merah padam dan tak berani bercuit lagi.

“Kutahu siapa anak muda itu. Dia bernama Toan Khik Sia,

sute dari Gong-gong-ji.” kata salah seorang rombongan

pendatang itu, yakni seorang hwshio yang berdaun telinga

besar, hweshio inilah yang ketika diwarung anak di Gui-pok

telah keliru menyangka Su Yak-bwe sebagai Su Tiau-ing.

Leng-san-pay telah mengerahkan seluruh anak buahnya

untuk mengejar jejak Su Tiau-ing. Dan kebetulanlah mereka

berjumpa ditempat situ. Setelah mendapat hajaran, sihidung

besar dan sithau-to melarikan diri. Ditengah jalan mereka

berpapasan dengan rombongrn gerombolannya. Sihidung

besat dan sithau-to segera diajak untuk mengejar Tiau-ing.

Demi mendengar keterangan tentang diri Khik Sia, si paderi itu

tampak tertegun, ujarnya: “Oh, kiranya sute dari Gong-gongji.

Baiklah, jangan hiraukan dia, cukup asal meringkus budak

perempuan itu saja,” Dari kata2nya itu terdengarlah kalau

paderi jubah merah itu menaruh perindahan terhadap Gonggong-

ji.

“Tapi bagaimana dengan kedua budak perempuan yang

menyaru jadi opsir dihotel itu?” tanya si hweshio telinga besar.

Kembali si paderi jubah merah mendengus; “Karena

membikin ribut2 Gui-pok, kau tentu mendapat pil pahit dari

kedua nona itu bukan?”

Hweshio telinga besar itu menyahut dengan berbisik: “Jisuheng

memang telah kuakui bahwa akupun telah keliru

dengan menyangka orang. Tapi tadi Jit-suheng mengatakan

bahwa kemungkinan kedua anak perempuan itu adalah kawan

dari budak perempuan ini. Apalagi bila sampai tersiar bahwa

anak buah Leng-san-pay dihajar oleh dua anak perempuan,

bukankah memalukan ?”

Dikilik begitu, akhirnya sipadri jubah merah itu mau juga

meluluskan . “Baiklah, kau kembali mencegat mereka. Hm,

jika bukan memandang nama baik partai kita, masakah aku

sudi mengurusi urusanmu yang tak berguna itu ?”

Rupanya rombongan pengepung2 dari Leng san-pay itu,

menganggap Khik Sia dan Tiau-ing sebagai ikan yang telah

masuk kedalam jaring. Mereka tak mau buru2 turun tangan.

Padri jubah merah itu adalah murid kedua dari Leng Ciusianjin.

Karena toa-suhengnya tak mau keluar. maka

terpaksalah ia sebagai suheng yang kedua, memimpin

rombongan. Setelah cukup memberi dampratan pada

sute2nya. Barulah ia mulai mengurusi Su Tiau-ing.

“Nona Su, aku telah menerima perintah dari kakakmu dan

raja suku Ki untuk mengantar kau pulang. Harap nona suka

menurut saja. Kalau sampai kita didesak turun tangan, ah,

sungguh tak menyedapkan pandangan.” katanya.

Sejak mengetahui siapa pengepungnya itu diam2 Su Tiauing

sudah merancang siasat untuk menghadapi mereka. Tiba2

ia tertawa: “Oh, kiranya kalian adalah anak murid Leng-sanpay?

Kalau begitu, kita ini bukan orang luar. Suhuku Sin Cikoh

dan Leng Ciu siangjin adalah sahabat.”

Ucapan itu telah membuat anak murid Leng sin-pay

gelanggang. Ada beberapa orang yang saling berbisik

mengatakan kalau Tiau-ing itu tak boleh dibuat main2. Gerak

gerak gerik mereka itu tak luput dari pengawasan Tiau-ing.

Pikirnya: “Dengan Gong gong-ji saja kalian tak berani, apalagi

dengan suhuku, masakan kalian tak lekas ngacir.”

Diluar dugaan si paderi jubah merah tadi mengerut gelap,

katanya: “Memang telah kuketahui siapa suhumu itu, tapi

jangan harap dapat menakuti aku!”

Jawaban itu telah membuat Tiau ing terbeliak kaget. Tapi ia

teguhkan nyalinya dan tertawa dingin; “Baiklah, siapa yang

berani turun tangan tangan silahkan maju! Tapi asal suhuku

mengetahui, jangan harap kalian ada yang bisa hidup lagi!” .

Masih Tiau-ing coba menggunakan nama suhunya untuk

menggertak mereka. Dan memang ada beberapa anggauta

rombongan yang ketakutan.

Tapi si paderi jubah merah itu cepat memberantas

ketakutan sutenya : “Urusan itu seluruhnya menjadi

pertanggungan jawab toa-suheng kita. Ayuh, jangan takut

meringkusnya!”

Karena tadi dihotel sihidung besar dan si thau-to telah

mendapat hinaan dari Khik Sia dan Tiau-ing kemudian

mendapat dampratan dari ji-suhengnya pula, maka mereka

hendak unjuk pahala untuk menebus dosa. Serempak kedua

orang itu loncat maju menerjang Tiau-ing.

Tiau-ing cepat mencabut pedang Khik Sia dan menghadang

dimuka anak2 muda itu.

“Nona Su, tadi dengan tak sengaja kami telah melukai

kekasihmu itu. Janganlah nona coba melindunginya lagi tapi

ikutlah pulang dengan kami”, kata sihidung besar.

Dari jarak tiga meteran, sihidung besar itu telah dorongkan

kedua tangannya kearah Tiau ing. Seketika Tiau-ing seperti

terdampar oleh angin kuat hingga tubuhnya ter-huyung2

menyurut mundur dua langkah dan berada debelakang Khik

Sia.

“Tak nanti kau dapat melindunginya, pun dia tak nanti

dapat melindunginya ,”

Memutar kesamping Khik Sia, ia lantas mau menyambar Su

Tiau-ing. Berbareng pada saat itu, sithau-topun ikut nimbrung

meneranya. Tapi dia itu seorang yang berangasan. Walaupun

ji-suhengnya sudah memerintahkan supaya hanya meringkus

Su Tiau ing saja, tapi karena tadi ia mendapat hajaran dari

Khik Sia, maka sekarangpun ia hendak membalasnya.

“Hai, budak kecil, enyahlah kau”, serunya sembari

mengirim sebuah tendangan pada Khik Sia.

Tetapi untuk itu sebaliknya ia harus membayar mahal.

Seperti telah diterangkan, saat itu Khik Sia sedang

memusatkan seluruh lwekangnya untuk mengeluarkan racun

yang mengeram ditelapak tangannya. Tendangan thau-to itu

seperti mengenai sebuah bola karet saja yang mempunyai

tenaga mementalkan. Karena tendangan itu dilakukan keras,

maka makin keras juga reaksi pentalannya, Thau-ro itu

menjerit keras dan laksana sebuah satelit, tubuhnya

terpelanting keudara dan meluncur melalui atas kepala Khik

Sia,

Justru pada saat itu sihidung besar sedang ulurkan

tangannya menyambar Tiau-ing. Tubuh sithau-to melayang

dan tepat menubruk badan sihidung besar Bluk, kedua2nya

sama terjungkal jatuh dan bergelundung beberapa meter.

Kejadian itu telah mengejutkan rombongan anak murid Lengsan-

pay.

“Bagus, budak kecil, kita tak mau mengurusi kau, tapi

sebaliknya, kau berani cari perkara pada kami. Ayoh ringkus

juga budak itu,” teriak sipadri jubah merah.

Ia mempelopori dengan sebuah terjangan dan pukulan

biat-goan-cian kepada Khik Sia. Tubuh Khik Sia bergoyang,

tapi tetap bersila. Pikirnya : “Padri ini lebih lihay dari sihidung

besar. Pukulannya saja sedemikian hebatnya .”

Ia empos lagi semangatnya untuk mengusir racun yang

sudah terdesak diujung jari tengahnya. Dalam lain kejap saja

racun itu tentu sudah dapat disalurkan keluar, tapi jika sampai

berkelahi tentu akan menggagalkan usahanya mengusir racun.

Sekalipun tak kepalang kejut si paderi demi melihat pukulan

biat-gong-ciangnya tak dapat mengapa2kan Khik Sia, pikirnya

: “Karena to-suheng yang menanggung urusan ini, aku tak

peduli jika sampai mengikat permusurhan dengan Gong gongji.”

Karena ia berkepandaian tinggi maka dapatlah ia

mengetahui usaha Khik Sia menyalurkan lwekang menghalau

racun itu sudah mencapai saat2 yang menentukan dan

karenanya tak dapat menggerakkan tubuh. Seketika timbullah

pikirannya.

“Ayuh, hujani ia dengan bacokan,” serunya kepada para

sutenya.

Sudah tentu kawanan sute itu tak berani membangkang.

Secepat menghunus golok mereka segera menerjang Khik Sia.

Tspi ketika tubuh Khik Sia terancam hujan golok, sekonyong,

konyong terdengar suara bentakan: “Ayuh, siapa yang berani

turun tangan.” Nadanya melengking nyaring tapi cukup

lantang dan menandakan dari seorang wanita.

Aneh untuk dikata, suara seruan itu bagaikan jarum yang

menusuk anak telinga orang, hingga orang2 sama terdengar

hatinya. Otomatis mereka hentikan langkahnya. Ternyata disamping

Su Tiau-ing telah muncul seorang wanita kira2

berumur 30-an tahun, rambutnya dikat dengan gelang emas,

alisnya panjang dan bahunya menyanggul sebatang hud-tim

(kebut pertapaan). Dandanan wanita itu terang bukan orang

biasa tapipun bukan juga sebangsa Tiikoh (rahib). Wajahnya

cantik tapi sinar matanya memancarkan sorot dingin yang

menyebabkan orang tak berani memandangnya. Ya, aneh

benar wanita itu hingga orang menduga2 keadaan dirinya.

Setelah sapukan matanya sejenak, berserulah wanita cantik

itu dengan dingin ; “Ah, kiranya seorang anak emas dari Leng

Ciu lokoay. Hm, apakah hanya ini saja. Mana toa-suheng mu

Ceng-bing-cu ?”

Bermula anak murid Leng-san-pay itu ke lima melihat

kecantikan wanita itu, maka untuk beberapa saat mereka tak

mempunyai rasa permusuhan. Tapi demi membuka mulut

siwanita cantik itu lantas menghina suhu mereka sebagai

‘lokoay’ atau makhluk tua aneh, maka marahlah rombongan

murid Leng-san-pay itu. Tapi ketika mereka hendak bertindak,

kembali mereka dikejutkan oleh kata2 terakhir dari wanita

cantik itu.

Kiranya Ceng-bing-cu itu adalah murid paling disayang oleh

Leng Ciu siangjin. Ceng-bing cu telah mendapatkan tujuh

bagian dari kepandaian suhunya. Dalam beberapa tahun yang

terakhir ini, Leng Ciau siangjin sudah mengundurkan diri.

Sepala urusan partai Leng-san-pay di wakili oleh Ceng-bing cu.

Karena itu sekalian anak murid Leng-san-pay jeri dan

mengindahkan sekali terhadap toa-suhengnya itu.

Berserulah si paderi jubah merah.

“Siapa kau ini ? Apakah kenal dengan toa-suheng kami ?

Kami diperintah toa-suheng untuk mengambil budak

perempuan ini .”

Dalam pada ji-suheng (si paderi jubah merah) mereka

berkata itu, para anak murid Ltng, san-pay itu saling berkata

kasak kusuk sendiri. Ada yang bilang kalau wanita aneh itu

dari golongan jahat. Ada pula yang mengatakan jangan2

wanita itu adalah kekasih dari toa-su heng mereka.

Mendengar itu ada yang lantas memperingatkan supaya

jangan ngerasani (mengatakan dibelakang orangnya) toasuhengnya.

Kiranya toa-suheng mereka itu gemar dengan paras cantik.

Banyaklah sababat2nya wanita dari golongan jahat.

Hal itu diketahui oleh para sutenya, walau pun rombongan

anak murid Leng-san-pay itu kasak kusuk dengan suara

pelahan namun rupanya tajam sekali pendengaran wanita

cantik itu. Segera wajah wanita cantik itu, berobah gelap.

Pada saat itu Tiau-ing sudah hilang kejutnya dan berkatalah

ia : “Suhu dengan mengandalkan pengaruh Leng Ciu lokoay,

bukan, saja mereka menghina padaku, pun tak memandang

mata juga kepada suhu! Telah kukatakan nama suhu kepada

mereka, tapi apa kata mereka? Mereka mengatakan suhu

sebagai wanita siluman dan menantang suhu tentu tak berani

mencabut selembar bulu dari anak murid Leng-san-pay !”

Kata2 Tiau-ing itu telah mengejutkan kawanan anak murid

Leng-san-pay. Kini baru tahulah mereka kalau wanita cantik

itu kiranya Shin-Ci-koh, iblis wanita yang namanya sebenar

Leng Ciu siangjin didaerah utara. Gerak gerik Shin Ciu-koh itu

amat mysterius, muncul lenyap sukar di-duga2. Barang siapa

berani menyalahinya jangan harap bisa hidup. Oleh karena itu

walaupun tak terhitung jumlah korban yang dibunuhnya

sehingga namanya cukup memecahkan nyali setiap orang

persilatan namun tak seorangpun yang dapat menerangkan

bagaimana wajah wanita iblis itu, Shin Ci-koh tak punya

barang seorang sahabatpun juga. Setiap orang yang menjadi

musuhnya tentu sudah dilenyapkan. Karena keganasannya itu,

timbullah cerita dikalangan kaum persilatan bahwa wanita iblis

itu tentu berwajah seperti burung kukuk beluk yang

menyeramkan. Maka sungguh diluar dugaan rombongan anak

murid Leng-san-pay bahwa ternyata iblis wanita itu seorang

wanita cantik yang masih tak begitu tua usianya.

“Ayuh, semua maju!” teriak si paderi jubah merah memberi

komando kepada sute2nya. Ia tahu Shin Ci-koh itu ganas

sekali, tak nanti ia dapat lolos dengan selamat. Maka daripada

mati konyol lebih baik adu jiwa saja. Ia memperhitungkan

betapapun lihay Shin Ci-koh itu tapi kalau dikeroyok sekian

banyak orang tentulah dapat dihalau juga.

Plak, tiba2 terdengar suara tamparan. Ternyata salah

seorang murid Leng-san-pay sudah ditampar pipinya oleh Shin

Ci-koh. Tamparan itu cepat dan tak terduga-duga datangnya

hingga orang yang ditampar itu tak dapat berbuat apa-apa.

Yang dilihatnya hanya sesosok bayangan berkelebat dan tahu2

pipinya sudah panas kesakitan. Matanya gelap, mulutnya

mengerang tertahan dan berbareng dengan muncratnya darah

rubuhlah ia tak bernyawa lagi. Orang yang menjadi korban itu

bukan lain ialah orang yang mengatakan bahwa Shin Ci-koh

itu adalah gula2 dari toa-suhengnya (Ceng-bing-cu).

Menyusul cepat sekali Shin Ci-koh sudah ayunkan pula hudtimnya.

Plak, kembali seorang anak murid Leng-san-pay

hancur batok kepalanya. Sihidung besar maju dan lancarkan

pukulan beracun.

“Pukulanmu yang beracun ini telah mencelakai banyak

orang, nah, sekarang biar kau nikmati sendiri betapa rasanya

racun itu!”

Segera Ci-koh kebutkan hudtimnya, tahu2 sihidung besar

rasakan ujung siku lengannya seperti tertusuk jarum. Tanpa

dapat ditahan lagi, tangannya membengkok dan plak, ia

memukul dirinya sendiri. Seketika itu juga rubuhlah ia.

Shin Ci-koh tarikan hud-tim. Ditingkah dengan ketawanya

yang bernada dingin, beberapa murid Leng-san-pay silih

berganti rubuh di tanah. Lemah gemulai tampaknya gerakan

hud tim itu, tapi dengan saluran lwekang tinggi, hud-tim itu

dapat berobah menjadi keras dan lunak. Sesaat kencang

menjadi pangkal untai, sesaat buyar seperti tebaran ijuk.

Apabila ken cang (kempai), merupakan seperti thiat-pit (pit

besi) yang dapat ditutukkan kebatok kepala, sedang apabila

lepas bertebaran dapat di gunakan sebagai jarum-jarum yang

menusuk jalan darah. Maka orang2 yang menjadi korbannya

itu kalau tidak batok kepalanya pecah berhamburan tentulah

jalan darahnya yang tertusuk. Jika batok kepalanya hancur,

tentu seketika binasa. Tapi jika jalan darahnya tertusuk tentu

akan menderita siksaan yang ngeri, mati tidak hidup tidak.

Satu2nya yang dapat dilakukan oleh korban itu hanyalah

mengerang2 kesakitan dengan rintihan yang mengenaskan.

Kawanan anak murid Leng-san-pay itu biasa merajalela

dengan segala kecongkakannya. Tapi sekali berjumpa dengan

seorang iblis wanita macam Snin Ci-koh, keganasan mereka

itu ternyata masih kalah jauh. Dalam pertempuran maut itu,

bergelimpangan tubuh2 kawanan anak murid Leng-san-pay itu

ada yang tewas ada yang terluka dan ada yang berusaha

untuk melarikan diri.

Sebagai murid kedua dari Leng Ciu siangjin, si paderi jubah

merah itu tak tega melihat para satenya didera begitu hebat.

Dengan besarkan nyali, terpaksa ia maju menyerang. Kalau

dibandingkan dengan kawanan sutenya itu sudah tentu

kepandaiannya jauh lebih tinggi. Setelah lepaskan jubahnya, ia

segera gunakan jubah itu untuk menghantam Shin Ci-koh.

Wut, Wut, terdengar suara benda menderu dan tahu2

sebelum ia sempat mengetahui, jubahnya itu terasa berat

sekali dan dan tertekan kebawah. Buru2 ia kerahkan

tenaganya untuk mengangkat keatas. Bluk, bluk, terdengarlah

dua sosok tubuh berjatuhan dari lipatan jubahnya itu. Dan

berbareng itu terdengarlah dua buah jeritan ngeri. Kiranya

Shin Ci-koh menyambar dua orang anak murid Leng-san-pay

terus dilemparkan kearah si paderi. Diayun gontaikan oleh

permainan jubahnya sudah tentu kedua sutenya itu tak

bernyawa lagi

“Kau punya mata tapi tak ada gundunya perlu apa ?” Shin

Ci-koh tertawa mengejek.

Baru si paderi jubah merah berhasil mengibarkan jubahnya

keatas, sebelum ia sempat berjaga2, tahu2 kedua matanya

terasa seperti disusupi jarum, sakitnya sampai mnnusuk keulu

hati. Seketika itu benda disekelilingnya menjadi gelap gelita.

Ternyata ia sudah buta. Buru2 ia bolang balingkan jubahnya

terus melarikan diri se-kencang2nya.

Shin Ci-koh mengejar. Sekali kebutkan hut-tim, belasan

lembar bulu kebut itu melayang menyusup kepunggung empat

lima anak murid yang melarikan diri bersama si paderi Segera

mereka bergulingan ditanah dan menjerit ngeri. Tapi si paderi

yang sudah buta matanya itu tak mendapat persen bulu kabut

legi

Tertawalah Shin Ci-koh: “Hari ini aku melanggar peraturan,

sengaja mempunyai jiwamu agar kau dapat pulang memberi

kabar. Katakan pada Leng Ciu lokoay, lekas serahkan Cengbing-

cu padaku. Kalau tidak aku akan datang sendiri

mengorek biji mata Ceng-bing-cu kemudian membeset

kulitnya.”

Mengapa Shin Ci-koh sangat membenci Ceng-bing-cu ?

Kiranya disitu terdapat persoalannya. Sebenarnya Shin Ci-koh

itu sudah berumur empat puluhan tahun tapi dasar orang

cantik, tampaknya seperti masih belum mencapai umur tiga

puluh tahun, Apabila orang baru mengenalnya tentu tak

mengira kalau ia adalah seorang iblis wanita yang termasyhur

ganas, Pada suatu hari berpapasanlah Ceng-bing-cu dengan

Shin Ci-koh ditengah jalan. Dasar orang bermata keranjang

dan belum kenal siapa Shin Ci-koh itu, maka Ceng-bing-cu

sudab coba untuk menggodanya. Dalam marahnya Shin Ci-koh

lantas menghajarnya. Untung karena memandang muka Leng

Ciu Siangjin maka Shin Ci-koh memberinya ampun.

Sudah tentu Ceng-bing-cu tak dapat melupakan hinaan itu.

Tapi ia tak berani menceritakan kepada suhunya. Setelah

merawat lukanya dan pulang kegunung, ia tetap menyimpan

rahasia itu untuk menunggu kesempatan menuntut balas.

-TAMAT

~Semoga Postingannya Bermanfaat. Silahkan meninggalkan komentar walaupun hanya sepatah kata~