Sayap-Sayap Yang Terkembang (Jilid 41 – 50)

New Picture (3s)

Sayap-Sayap Yang Terkembang

Jilid 41 – 50

Karya : S.H. Mintardja

Jilid 41

MESKIPUN belum dikatakan, tetapi Risang telah dapat menangkap maksud Sumbaga. Sumbaga yang sakit hati itu ingin menunjukkan kepadanya, bahwa ia akan dapat mengalahkan Risang dalam olah kanuragan.

Sebenarnya Risang segan untuk melayaninya, karena Risangpun mengerti, apa sebabnya Sumbaga itu menantangnya. Ternyata Sumbaga tidak senang melihatnya berhubungan dengan Riris. Dan Risangpun menduga, bahwa hal itu disebabkan karena Sumbaga adalah anak muda sebagaimana dirinya.

Tetapi kemudaan Risang memang mendesaknya, bahwa seperti Sumbaga iapun mempunyai harga diri. Ia tidak mau dianggap tidak berdaya menghadapi Sumbaga dan iapun tidak mau dengan demikian kehadirannya itu semata-mata karena satu kesempatan yang diberikan oleh keluarga Ki Dipayuda. Bahkan semacam sikap belas kasihan.

Karena itu, maka Risangpun kemudian menjawab, “Baiklah Sumbaga. Aku akan pergi ke halaman belakang.”

Sumbaga tidak menunggunya. Iapun telah melangkah mendahuluinya.

Risang menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian telah masuk kembali kedalam biliknya untk berbenah diri. Ia sengaja tidak membawa senjatanya agar ia tidak lupa mempergunakannya dalam keadaan memaksa. Sebelum ia kehilangan akal dalam perkelahian yang dapat saja terjadi diluar kendali nalar, maka lebih baik ditinggalkannya saja senjatanya dibiliknya.

Baru sejenak kemudian, Risang telah menyusul Sumbaga kehalaman belakang.

Ternyata Sumbaga telah mengajaknya agak jauh ke dalam kebun yang gelap dan rimbun. Disudut kebun itu masih terdapat rumpun-rumpun bambu yang membuat malam seakan-akan menjadi semakin pekat.

Namun ternyata Sumbaga telah menyalakan sebuah oncor yang meskipun kecil, tetapi dapat membantu menerangi kebun yang gelap itu.

“Rumpun bambu itu memang dibiarkan saja oleh Ki Lurah Dipayuda, karena sewaktu-waktu kami disini memang memerlukan beberapa batang bambu untuk keperluan yang bermacam-macam,“ berkata Sumbaga yang nampak tenang saja menghadapi Risang yang telah bersiap.

Risangpun mencoba untuk tetap tenang. Ia tidak mau dibakar oleh kegelisahannya menghadapi sikap Sumbaga itu.

Sesaat kemudian, maka Sumbaga itupun berkata, “Risang. Aku tahu bahwa kau adalah bekas seorang prajurit. Aku tahu bahwa kau adalah pewaris Tanah Perdikan Sembojan. Namun kaupun harus tahu bahwa dalam olah kanuragan, aku tidak akan mau dianggap pupuk bawang. Aku ingin membuktikan bahwa aku memiliki ilmu yang lebih baik dari setiap prajurit yang manapun dan lebih baik dari setiap pewaris Tanah Perdikan dimanapun. Kaupun tentu tahu maksudku, bahwa setelah kau yakin bahwa kau kalah dalam perkelahian ini, kau tidak akan berani datang lagi kerumah ini, karena setiap kau datang, maka aku akan memukulimu sampai pingsan. Jika tiga kali kau tidak menjadi jera, maka aku benar-benar akan membunuhmu.”

“Apakah sebenarnya sebabnya, bahwa kau tidak senang aku datang kerumah ini sementara keluarga Ki Dipayuda merasa senang akan kehadiranku?“ bertanya Risang.

Ternyata Sumbaga berterus terang, “Kau tidak boleh mengunjungi Riris lagi.”

Risang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika aku kalah, aku tidak akan datang lagi kemari.”

“Bukan sekedar jika kau kalah. Tetapi kau pasti akan kalah. Tetapi jangan takut, aku tidak akan membunuhmu kali ini,“ desis Sumbaga.

“Kalau aku menang?“ bertanya Risang.

“Kita tidak akan berbicara tentang sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi,“ jawab Sumbaga, “kau tidak akan mungkin menang. Bahkan para Lurah dan Rangga yang ada didalam lingkungan keprajuritan Pajang tidak akan menang melawanku. Jangkung juga tidak. Bahkan Ki Rangga Dipayuda juga tidak,“ berkata Sumbaga.

“Kau yakin?“ bertanya Risang.

“Aku yakin,“ jawab Sumbaga.

“Baiklah. Jika kau yakin akan menang, biarlah kenyataan nanti membuktikan. Tetapi aku tetap pada janjiku. Jika aku kalah, aku tidak akan datang lagi kerumah ini,“ desis Risang.

“Itulah satu-satunya kemungkinan yang bakal terjadi,“ sahut Sumbaga. Lalu katanya, “Bersiaplah. Jika kau harus kalah, kalahlah dengan agak terhormat.”

“Ya. Aku akan berusaha,“ jawab Risang.

Keduanyapun segera mempersiapkan diri. Dalam keredipan lampu oncor yang tidak begitu cerah. Apalagi jika angin bertiup. Nyala oncor itu terumbang-ambing berkeredipan. Sementara daun bambu diatas mereka terdengar gemerasak diantara derit tubuhnya yang saling berdesakan.

“Bersiapalah. Aku akan mulai. Bukan salahku jika tiba-tiba saja kau menjadi pingsan,“ desis Sumbaga.

“Ya. Aku sudah bersiap,“ jawab Risang.

Namun sebelum mulut Risang terkatub rapat, Sumbaga telah meloncat menyerang dengan cepat sekali. Demikian cepatnya, sehingga Risang tidak sempat mengelakkan serangan itu. Tetapi karena ia cukup terlatih, maka iapun dengan serta merta ia telah menangkis serangan kaki yang terjulur kearah dadanya itu. Dengan menyilangkan tangannya, maka Risang telah melindungi dadanya dari hentakan tumit Sumbaga.

Namun ternyata Sumbaga benar-benar memiliki kekuatan yang sangat besar. Ternyata dorongan serangan kakinya yang mengenai kedua tangannya yang menyilang didadanya, telah melemparkan anak muda itu beberapa langkah surut. Risang telah jatuh terbaring ditanah. Namun dengan cepat Risang justru berguling beberapa kali, kemudian melenting dengan cepat. Sekejap kemudian Risang Jelah berdiri tegak diatas kedua kakinya.

Sumbaga wajahnya tetap saja dingin. Seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Namun mulutnyalah yang berkata, “Mengakulah, bahwa kau tidak akan dapat menang. Kemudian penuhi janjimu, bahwa kau tidak akan datang lagi ke rumah ini. Kau harus menyadari, bahwa setiap kali kau melanggar janji, maka tulang-tulangmu akan retak. Jika itu terjadi sampai tiga kali, maka aku akan membunuhmu.”

Risang menarik nafas dalam-dalam. Tenaga Sumbaga memang besar. Tetapi itu tidak cukup untuk memaksanya menyerah dan harus memenuhi janjinya untuk tidak datang lagi kerumah itu dan bertemu dengan Riris.

Karena itu, maka Risangpun berkata, “Tenagamu memang luar biasa besarnya. Tetapi sampai saat ini aku belum kalah.”

“Jika kau memaksa diri, maka tulang-tulangmu dapat berpatahan. Ketahuilah, bahwa yang aku lakukan itu masih belum mempergunakan seluruh kekuatan tenagaku,“ sahut Sumbaga.

“Tetapi bukankah aku masih berdiri tegak dihadapanmu,“ jawab Risang.

Sekali lagi, dengan cepat sekali Sumbaga menyerang sebelum dengung suara Risang hilang. Namun Risang yang sudah mengalami serangan yang tiba-tiba itu, menjadi lebih berhati-hati. Karena itu, maka ketika serangan kedua itu meluncur dengan cepat dan dengan kekuatan yang lebih besar, maka Risang dengan tangkasnya bergeser menghindar.

Ternyata serangan itu tidak menyentuh sasaran. Sumbaga justru terdorong beberapa langkah. Ia mengira bahwa serangannya akan dapat mengenai dada Risang seperti serangannya yang pertama. Namun karena sasarannya bergeser, maka Sumbaga justru hampir kehilangan keseimbangan.

“Ternyata kau licik,“ geram Sumbaga.

“Kenapa licik?“ bertanya Risang.

“Kau tidak berani berperisai dada. Kau ternyata menghindari seranganku,“ jawab Sumbaga.

Bukankah dalam perkelahian seperti ini, menghindar adalah satu langkah yang sah?“ bertanya Risang.

“Memang sah bagi seorang pengecut,“ jawab Sumbaga.

“Apakah kau tidak akan menghindar atau menangkis jika aku menyerang?“ bertanya Risang.

Sumbaga termangu-mangu. Tetapi ternyata ia tidak menjawab. Namun ia justru telah meloncat menyerang Risang seakan-akan tanpa ancang-ancang.

Risang sama sekali tidak menghiraukan ejekan Sumbaga. Ia sadar, serangan itu demikian kuatnya, sehingga akan dapat mengguncang pertahanannya. Karena itu, iapun telah meloncat pula menghindari serangan itu.

Ternyata Sumbaga tidak banyak berbicara lagi. Ia justru telah memburu Risang dengan serangan-serangannya yang kemudian datang beruntun.

Risang memang berloncatan menghindari serangan-serangan itu. Bahkan kemudian mengambil jarak. Namun demikian ia mendapat kesempatan, maka Risang telah membangunkan tenaga cadangan didalam dirinya. Dengan kemampuannya membangun tenaga dalam, maka Risang akan dapat mengimbangi kekuatan Sumbaga yang sangat besar itu.

Ketika kemudian Sumbaga menyerangnya sekali lagi dengan mengayunkan kakinya berputar mendatar, maka Risang memang berniat untuk tidak menghindar. Tetapi dengan landasan tenaga cadangan didalam dirinya, ia sengaja membentur kekuatan tenaga Sumbaga yang besar itu.

Ternyata yang terjadi kemudian adalah benturan yang sangat keras. Sumbaga memang telah mengerahkan segenap kekuatan tenaganya untuk menghantam Risang. Ia bermaksud untuk mengakhiri perkelahian itu. Karena jika serangannya itu berhasil, maka Risang tentu akan terlempar beberapa langkah dan bahkan akan membentur rumpun bambu yang lebat itu. Mungkin ia akan pingsan dan Sumbaga harus menggotongnya ke gandok.

Tetapi yang terjadi ternyata sama sekali berbeda. Risang memang terdorong selangkah surut. Namun ia masih mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Risang masih tetap berdiri tegak.

Namun Sumbagalah yang justru terpental beberapa langkah karena benturan itu. Bahkan Sumbaga tidak lagi mampu tetap berdiri tegak diatas kedua kakinya. Betapapun ia berusaha, namun iapun kemudian telah terdorong jatuh beberapa langkah dari titik benturan.

Sumbaga mengaduh perlahan. Bukan saja kakinya yang membentur pertahanan Risang yang terasa sakit. Tetapi perasaan sakit itu seakan-akan menjalar sampai ke pusat jantungnya.

Namun sejenak kemudian Sumbaga itupun menggeram sambil bertaka, “Risang. Ternyata kau keras kepala. Kau telah melawanku dengan sungguh-sungguh. Seharusnya kau tahu, bahwa hal seperti itu dapat memancing kemarahanku. Sedangkan jika aku benar-benar menjadi marah, kau tentu akan menyesal. Aku akan menghancurkanmu. Meskipun aku tidak membunuhmu, tetapi kau akan dapat menjadi cacat. Karena itu selagi aku belum bersungguh-sungguh, kau harus mengaku kalah. Kau tidak akan mengalami nasib buruk sekarang. Tetapi kau harus menepati janjimu, tidak akan datang lagi kerumah ini dan seterusnya tidak akan berhubungan lagi dengan Riris.”

Risang memang menjadi agak heran mendengar kata-kata Sumbaga. Nampaknya anak itu tidak berniat menyombongkan diri. Tetapi kata-katanya terdengar aneh. Seakan-akan Sumbaga itu telah melihat apa yang akan terjadi.

“Ia terlalu banyak berangan-angan tentang kemampuan diri,“ berkata Risang didalam hatinya.

Meskipun demikian, Risang merasa bahwa ia harus menjadi sangat berhati-hati. Mungkin Sumbaga memang seorang yang berilmu tinggi. Bukan sekedar dalam angan-angannya saja.

Sementara itu Sumbaga itupun berkata, “Risang. Katakanlah bahwa kau menyerah. Kau tidak mempunyai pilihan. Kau harus mengatakan. Sekarang.”

“Sumbaga,“ desis Risang yang ragu-ragu, “aku tidak tahu maksudmu. Kau sekedar ingin mendengar pengakuanku atau kita akan melihat dan membuktikan, siapa diantara kita yang lebih baik. Apakah kau merasa puas jika aku mengaku kalah tanpa memperbandingkan ilmu kita masing-masing? Apakah dengan demikian, maka diantara kita tidak masih akan selalu terdapat sebuah teka-teki, siapakah yang terbaik diantara kita?”

“Jadi kau masih tetap meragukan kelebihanku dari padamu, Risang?“ bertanya Sumbaga.

Risang menjadi tidak telaten lagi. Apapun maksud Sumbaga namun darahnya yang mulai memanas didalam tubuhnya, telah memaksanya untuk bersikap lebih tegas. Karena itu, maka jawabnya, “Ya. Aku meragukan kelebihanmu. Agaknya kau hanya pandai mengancam dan menakut-nakuti orang. Tetapi kau tidak pandai mengalahkan orang lain dalam olah kanuragan.”

Seperti yang sudah terjadi, Sumbaga tidak menunggu kata-kata Risang selesai tuntas. Tiba-tiba saja ia telah meluncur menyerang Risang dengan garangnya. Kedua tangannya menerkam kearah wajah Risang dengan jari-jari terbuka.

Tetapi Risang tidak lagi lengah. Dengan cepat ia merendah, sekaligus menjulurkan kakinya menyongsong lawannya yang menerkamnya.

Sumbaga tidak mengira bahwa Risang bergerak secepat itu. Karena itu, ia terkejut melihat kaki Risang yang terjulur itu. Sumbaga berusaha menggeliat dan melindungi lambungnya dengan sikunya. Namun ia tidak lagi dapat merubah arah geraknya, sehingga sekali lagi terjadi benturan yang keras. Sekali lagi Sumbaga terlempar beberapa langkah surut dan sekali lagi Sumbaga kehilangan keseimbangannya sehingga Sumbaga itu jatuh terbanting di tanah.

Dengan cepat Sumbaga bangkit berdiri. Terdengan ia mengumpat perlahan. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Kau benar-benar tidak tahu diri.”

“Cukup,“ potong Risang yang kehabisan kesabaran, “kau jangan terlalu banyak bicara. Mengancam, menakut-nakuti, merendahkan dan cara-cara yang tidak pantas untuk mempengaruhi lawanmu secara jiwani. Cara yang hanya dapat kau trapkan menghadapi para pengecut dan orang-orang yang licik. Tetapi kepadaku. Kita berkelahi dan membuktikan siapakah yang terbaik diantara kita.”

“Setan kau,“ geram Sumbaga, “kau benar-benar ingin mati.”

“Tidak ada seorang yang ingin mati hanya karena ditakut-takuti dengan cara yang tidak pantas itu,“ jawab Risang.

“Kau kira kau akan dapat menyelamatkan dirimu setelah kau membuat aku marah,“ hati Sumbagapun benar-benar telah terbakar.

Risang tidak menjawab lagi. Justru Risanglah yang kemudian meloncat menyerang. Dengan satu putaran kakinya telah terayun mendatar.

Sumbaga sempat melihat serangan itu. Dengan cepat ia bergeser surut untuk mengelakkan serangan kaki Risang. Namun dengan cepat pula ia membalas serangan itu dengan serangan pula.

Demikian keduanya telah lagi terlibat dalam perkelahian yang sengit. Ternyata Sumbaga memang memiliki bekal ilmu yang cukup. Ia tidak asal saja berbicara untuk menakut-nakuti Risang. Tetapi semakin lama kekuatan anak muda itu seakan-akan semakin meningkat.

Risangpun telah meningkatkan kemampuannya pula.

Tenaga dalamnyapun semakin lama menjadi semakin besar sejalan dengan pertempuran yang semakin sengit itu.

Kedua orang anak muda itu telah saling menyerang dan saling mendesak. Risang ternyata harus meningkatkan kemampuannya pula untuk mengimbangi Sumbaga yang menjadi semakin tangkas sedangkan kekuatannya menjadi bertambah-tambah.

Namun ternyata Sumbaga yang marah itu benar-benar tidak mengekang diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah menghentakkan ilmunya sampai kepuncak.

Risang terkejut. Tiba-tiba saja Sumbaga itu telah mendesaknya. Sebuah serangannya tidak dapat dielakkannya. Ketika kaki Sumbaga terjulur lurus mengarah kedadanya, Risang masih sempat meloncat kesamping. Tetapi dengan cepat, Sumbaga melenting. Tangannyalah yang kemudian terjulur lurus mengenai dada Risang. Demikian kerasnya, sehingga Risang itu terdorong beberapa langkah surut.

Risang menjadi cemas ketika ia melihat Sumbaga itu memburunya. Karena itu, maka Risangpun justru telah menjatuhkan dirinya dan berguling sekali. Ketika Sumbaga masih saja menyerangnya, maka Risang telah berguling kesamping. Dengan cepat kakinyapun telah menyapu kaki Sumbaga yang mendekatinya dan siap untuk menyerang.

Sumbaga terkejut. Tetapi serangan kaki Risang benar-benar telah melepaskan keseimbangannya, sehingga Sumbaga itupun terjatuh.

Dengan cepat keduanya melenting berdiri.

Sumbaga mengumpat. Matanya menjadi merah menyala karena kemarahan yang bagaikan membakar jantungnya. Namun sementara itu Risangpun tidak lagi serba sedikit meningkatkan ilmunya. Ia sadar, bahwa Sumbaga memang memiliki kekuatan yang sangat besar serta kemampuan dalam olah kanuragan. Jika ia lengah maka Risang akan dapat benar-benar dihancurkan oleh anak muda itu.

Karena itu, maka Risang tidak mau terlambat. Ia tidak lagi terlalu banyak berpikir. Darahnya sudah mulai panas sementara kemudaannya mulai berbicara pada sikapnya.

Anak Tanah Perdikan Sembojan yang telah mendapat tuntunan ilmu dan dipersiapkan untuk menerima ilmu yang jarang ada duanya, Ilmu Janget Kinatelon yang disusun bersama oleh tiga orang nenek dan kakeknya yang juga guru-gurunya, telah berniat untuk mengakhiri permainan yang semakin menjemukan itu.

Demikianlah, maka Risang tidak mau lagi terdesak. Dikerahkannya kemampuannya dan kekuatan tenaga cadangan didalam dirinya. Dihadapinya Sumbaga dengan sungguh-sungguh.

Sumbaga yang juga menjadi sangat marah itupun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Tetapi ia sama sekali tidak menduga, bahwa ternyata lawannya memiliki landasan ilmu yang disiapkan untuk menjadi pilar ilmu! Janget Kinatelon.

Karena itu, ketika kemudian keduanya bertempur kembali, Sumbagalah yang telah terdesak surut. Serangan Risang benar-benar diluar dugaan Sumbaga yang merasa memiliki tenaga yang sangat besar dan kemampuan ilmu yang tinggi.

Namun bagaimanapun juga Sumbaga mengerahkan tenaga dan kemampuannya, namun ia tidak lagi dapat bertahan. Risang mendesaknya terus. Serangan-serangan Risang mulai dapat mengenai tubuhnya, semakin lama semakin sering.

Sumbaga juga sekali-sekali mampu membalas. Dengan gerak yang cepat dan tiba-tiba, Sumbaga dapat menggapai tubuh Risang dengan serangan tangannya mengenai dada. Risang yang merasa dadanya menjadi sesak tidak meloncat mengambil jarak. Tetapi ia meloncat sambil berputar. Kakinya terayun mendatar langsung menyambar kening Sumbaga.

Sumbaga tidak sempat menghindar dan tidak pula menangkis serangan itu. Karena itu, maka Sumbagapun langsung terlempar dan jatuh terbanting ditanah.

Tetapi dengan cepat Sumbaga berdiri meskipun kepalanya menjadi pening. Dalam gelapnya malam yang diterangi oleh lampu oncor yang kecil, maka Sumbaga hampir saja kehilangan penglihatannya.

Namun meskipun kabur, ia masih melihat bayangan Risang yang bergerak dengan cepat menyilang didepannya. Sumbaga meloncat surut mengambil jarak. Namun loncatan itu ternyata telah menyelamatkannya. Kaki Risang ternyata tidak mengenai dada Sumbaga yang tidak dapat melihatnya dengan jelas.

Tetapi beberapa saat kemudian, penglihatan Sumbagapun menjadi pulih kembali. Namun kepalanya masih terasa pening, sedang keningnya masih juga terasa sakit.

Dalam pertempuran berikutnya, Risang benar-benar telah menguasai arena. Beberapa kali Sumbaga terdorong surut. Jika sekali-sekali ia dapat mengenai tubuh Risang, maka Risang seakan-akan tidak lagi tergerak oleh serangannya.

Semakin lama Sumbaga merasakan tekanan Risang menjadi semakin berat. Juga tekanan dihatinya. Ia tidak mau dikalahkan oleh anak muda itu. Ia tidak mau Risang masih juga berkunjung kerumah itu. Ia tidak mau melihat Risang bergurau dengan keluarga Ki Dipayuda apalagi dengan Riris.

Tetapi bagaimanapun juga, Sumbaga tidak dapat mengingkari kenyataan. Beberapa kali tubuhnya masih saja dikenai oleh serangan-serangan Risang. Jauh lebih sering dari yang dapat dilakukannya. Keningnya, pundaknya, lambungnya, lengannya terasa menjadi sakit. Bahkan kemudian tumit Risangpun telah singgah pula dibibirnya sehingga bibirnya pecah dan mengalirkan darah.

Meskipun darah itu tidak bersumber dari bagian dalam tubuhnya, karena hanya bibirnya sajalah yang pecah, namun ketika tangannya mengusap mulutnya, terasa cairan itu menghangat di kulitnya. Di cahaya oncor yang remang-remang, ia melihat merahnya darah di tangannya.

Kemarahan Sumbaga seakan-akan memecahkan jantungnya. Dengan geram ia berkata, “Kau benar-benar tidak tahu diri. Kau harus mati disini meskipun aku akan dihukum oleh Ki Dipayuda.”

Namun Risang tidak menunggu. Ialah yang kemudian meloncat menyerang sebagaimana pernah dilakukan Sumbaga. Demikian tiba-tiba dan seakan-akan sebelum mulut Sumbaga terkatub.

Serangan yang sama sekali tidak diduga. Namun serangan itu benar-benar telah menghentikan perlawanan Sumbaga.

Dengan derasnya Risang telah meluncur menyerang kearah dada. Meskipun Sumbaga berusaha untuk melindungi dadanya, tetapi serangan itu demikian kerasnya sehingga Sumbaga tidak mampu bertahan tegak ditempatnya. Dengan derasnya Sumbaga terlempar surut, menghantam rumpun bambu dibelakangnya.

Terdengar keluhan tertahan. Namun kemudian dengan lemahnya Sumbaga itu terjatuh ditanah. Ketika ia menggeliat dan berusaha untuk bangkit, maka terdengar ia mengerang kesakitan. Punggungnya bagaikan telah menjadi patah.

Risang menunggu sejenak. Dibiarkannya Sumbaga menggeliat. Namun Sumbaga itu memang tidak segera bangkit berdiri.

Perlahan-lahan Risang melangkah mendekatinya. Sejenak kemudian iapun telah berdiri tegak selangkah disebelah Sumbaga terbaring sambil mengerang.

“Apa katamu Sumbaga?“ bertanya Risang kemudian.

Sumbaga berdesis menahan sakit. Katanya, “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Kau tentu berkelahi dengan tidak jujur.”

“Apa yang tidak jujur?“ bertanya Risang, “apa yang aku lakukan?”

Sumbaga berusaha bangkit sambil mengaduh. Risangpun kemudian telah mendekatinya dan membantunya untuk berdiri. Tetapi Sumbaga mengibaskan tangan Risang sambil berkata, “Kau jangan menghinaku lagi.”

Risang bergeser surut. Sementara Sumbaga tertatih-tatih berdiri. Ia berusaha untuk tegak betapapun punggungnya terasa sakit.

Risang berdiri saja mematung. Dibiarkannya Sumbaga mengatur pernafasannya.

Namun yang Risang kemudian menjadi heran adalah, Sumbaga itu berkata, “Risang. Kau harus menepati janjimu.”

“Janji apa?“ bertanya Risang.

“Kau tidak akan menginjakkan kakimu lagi di halaman rumah ini. Kau tidak akan menemui Riris lagi,“ jawab Sumbaga.

“Sumbaga, bukankah aku berjanji tidak akan datang lagi kerumah ini jika aku kalah?“ desis Risang.

“Ya. Dan kau sudah kalah. Karena itu, kau tidak boleh lagi datang kerumah ini. Jika kau memaksa untuk datang, maka kau akan aku buat pingsan. Bahkan jika lebih dari tiga kali, maka kau akan aku bunuh,“ geram Sumbaga.

“Bukankah aku tidak kalah?“ bertanya Risang.

“Kau sudah kalah. Dan kau harus menepati janji,“ jawab Sumbaga.

“Tidak. Aku tidak kalah, “Risang mulai menjadi marah lagi.

“Kau kalah,“ desis Sumbaga.

“Apa ukurannya kalah dan menang?“ bertanya Risang.

“Bukankah kau harus mengakui kelebihanku. Itu adalah pertanda bahwa aku menang,“ jawab Sumbaga.

Kemarahan Risang justru telah membakar jantungnya. Tiba-tiba saja tangannya telah menampar mulut Sumbaga. Bibirnya yang pecah menjadi semakin sakit. Darah yang mulai pampat telah mengalir lagi dari mulutnya.

“Kau menampar aku?“ bertanya Sumbaga.

“Jangan katakan aku kalah,“ bentak Risang.

“Kau telah berusaha membangunkan orang-orang yang tidur nyenyak dengan teriakan-teriakanmu itu. Tetapi jangan harap. Jaraknya cukup jauh. Kebun ini terlalu luas. Bukankah kau dengar suara angin dan kau lihat arah angin bertiup? Kau tidak akan berhasil membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak didalam rumah Ki Dipayuda dengan bentakan-bentakanmu itu,“ berkata Sumbaga.

Kesabaran Risang benar-benar telah habis. Iapun kemudian meloncat sambil menerkam leher Sumbaga. Dengan geram ia berkata, “Katakan, siapa yang menang dan siapa yang kalah sekarang ini.”

“Kau kalah Risang,“ jawab Sumbaga.

Risang tidak dapat mengendalikan diri lagi, tiba-tiba saja ia memilin tangan Sumbaga dan dengan tangan yang lain menarik rambutnya sambil berkata, “jawab, siapa yang menang dan siapa yang kalah.”

“Risang. Jangan.“ keluh Sumbaga.

Tetapi Risang memilin semakin keras sambil bertanya, “Katakan, siapa yang menang dan siapa yang kalah.”

“Jangan Risang. Tanganku dapat patah,“ minta Sumbaga.

“Sebut dahulu, siapa yang menang he?“ Risang justru memperkeras pilinannya.

Sumbaga masih saja mengaduh kesakitan. Sementara Risang benar-benar kehilangan kesabaran. Bahkan darahnya serasa menjadi mendidih menghadapi sikap Sumbaga.

Namun kemudian setelah tidak dapat menahan sakit, Sumbaga itu berkata, “Ya. Kau, kaulah yang menang.”

Risang masih memegang tangan Sumbaga. katanya, “Jika aku kalah, aku tidak akan datang kerumah ini lagi. Tetapi jika kau yang kalah, kau mau apa?”

Untuk sesaat Sumbaga masih berdiam diri, sehingga Risang menekan tangannya lebih keras lagi.

“Jangan,“ desis Sumbaga.

“Tanganmu memang harus dipatahkan,“ geram Risang. Lalu, “atau kau jawab, apa yang akan kau lakukan jika kau kalah.”

Sumbaga memang terpaksa menjawab, “Aku tidak akan mengganggumu lagi.”

Risang menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan tangan Sumbaga itu dilepaskan. Tetapi Risang tetap berhati-hati, karena sifat Sumbaga yang aneh itu. Ia akan dapat berbuat sesuatu diluar dugaan. Sejenak kemudian, maka didorongnya Sumbaga beberapa langkah maju, sehingga ia tidak akan sempat berbuat sesuatu dengan tiba-tiba.

Tetapi Sumbaga memang tidak berbuat sesuatu. Ia masih saja terhuyung-huyung. Punggungnya masih terasa sakit. Demikian pula tangannya yang baru saja dipilin oleh Risang. Bahkan lehernya, karena Risang yang marah itu telah menarik rambutnya.

“Persoalan kita sudah selesai sampai sekian,“ geram Risang. Meskipun darahnya masih terasa panas, namun ia masih mempergunakan penalarannya. Apalagi ia tahu bahwa bagaimanapun juga Sumbaga masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ki Dipayuda.

Demikianlah, tanpa berbicara lagi Risang telah meninggalkan Sumbaga yang termangu-mangu dibawah rumpun bambu yang lebat dikebun belakang yang luas. Cahaya oncor yang tidak terlalu terang itu menggapai-gapai disentuh angin malam yang lembut. Sedangkan gemeresak daun bambu terdengar menyusuri rumpun-rumpun yang rimbun.

Sumbaga berjalan tertatih-tatih meninggalkan rumpun bambu setelah memadamkan oncor. Tubuhnya yang letih menyusup diantara pepohonan, langsung menuju ke biliknya. Sementara Risang masih sempat mencuci tangan dan kakinya di pakiwan.

Dipembaringan, Sumbaga masih saja mengerang kesakitan. Tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak. Bibirnya terasa pedih meskipun sudah tidak berdarah lagi. Tangannya yang dipilin Risang seakan-akan tidak segera mau pulih kembali.

“Ternyata Pewaris Tanah Perdikan Sembojan itu memiliki kemampuan yang tinggi. Jauh lebih tinggi dari kemampuan prajurit kebanyakan,“ desis Sumbaga.

Dengan demikian, maka semalam suntuk ia tidak dapat tidur sama sekali. Tubuhnya seolah-olah tidak lagi dapat digerakkannya. Setiap kali ia bergeser, maka iapun telah berdesah kesakitan.

Menjelang pagi, terasa udara yang segar mengusap kulitnya. Meskipun menjadi lebih baik, tetapi tulang-tulangnya masih saja terasa sakit.

Tetapi menjelang fajar, Sumbaga telah bangun. Sambil menyeret kakinya, ia pergi ke pakiwan. Ketika tubuhnya tersiram air, maka terasa pedih dibeberapa tempat termasuk dipunggungnya. Agaknya kulitnyapun telah tergores ruas batang bambu, ranting-rantingnya dan bebatuan ditanah ketika ia beberapa kali jatuh berguling.

Namun dinginnya air terasa membuat tubuhnya menjadi segar.

Setelah mandi, maka Sumbaga telah pergi ke kebun belakang untuk membenahi bekas perkelahiannya melawan Risang. Kemudian ia harus melakukan pekerjaannya sehari-hari.

Ketika ia terpaksa menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan, masih juga terdengar beberapa kali ia mengeluh. Namun tiba-tiba saja terdengar suara dibelakangnya, “Biarlah aku saja yang mengisi pakiwan.”

Sumbaga menoleh. Dilihatnya Risang berdiri dengan tegar. Ia tidak nampak letih sama sekali. Apalagi kesakitan.

Sebelum Sumbaga menjawab, maka Risang telah menggapai senggot timba ditangan Sumbaga. Dan kemudian, Risanglah yang menimba air untuk mengisi jam-bangan di pakiwan. Jambangan yang cukup besar. Sementara Sumbaga telah pergi ke halaman depan sambil membawa sapu lidi yang bertangkai panjang.

Ketika kemudian pagi mendatang, seisi rumah itupun telah terbangun pula. Masih terdengar suara sapu lidi dihalaman. Tetapi masih terdengar pula suara senggot timba berderit. Ternyata Risang telah mengisi jambangan itu sekali lagi setelah ia sendiri mandi, sehingga jambangan itu menjadi penuh kembali.

Apipun telah menyala didapur. Riris yang mengambil air disumur tersenyum melihat Risang mengisi jambangan setelah mandi.

“Kau bangun pagi-pagi sekali,“ berkata Riris.

“Bukankah sudah menjadi kebiasaanku,“ jawab Risang, “dirumah, dibarak ketika aku masih menjadi prajurit dan dimana saja.”

Riris tersenyum. Iapun kemudian mengangkat kelen-tingnya dan diletakkannya dilambung. Air memang memercik membasahi ujung bajunya. Namun Riris tidak menghiraukannya. Apalagi pekerjaan itu telah dilakukannya sehari-hari.

Ketika matahari naik, Riris yang melihat Sumbaga di depan pintu dapur terkejut. Ia melihat memar diwajah Sumbaga. Bibirnya sedikit bengkak. Jalannya agak terbongkok-bongkok.

“Kakang Sumbaga. Kau kena apa?“ Riris menjadi cemas. Didekatinya anak muda itu. Sambil mengusap memar di kening Riris bertanya sekali lagi, “Kenapa kakang?”

Sumbaga termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku semalam terjatuh Riris.”

“Terjatuh dimana?“ desak Riris.

“Disumur. Aku jatuh terlentang. Namun ketika aku menggeliat, wajahku terantuk batu tlundak pakiwan. Bibirku pecah dan keningku menjadi memar,“ jawab Sumbaga.

Riris melihat keragu-raguan diwajah Sumbaga. Tetapi sebelum Riris bertanya lebih lanjut, Sumbaga sudah melangkah pergi.

Riris memandangi anak muda itu dengan beberapa pertanyaan dihatinya. Tetapi ia tidak menghentikan Sumbaga. Gadis itu ingin mengatakannya kepada kakaknya Jangkung. Karena itu, maka Ririspun segera mencari Jangkung yang ternyata telati sibuk dengan kuda-kudanya digedogan.

“Kakang,“ berkata Riris, “kenapa dengan kakang Sumbaga?”

“Kenapa?“ bertanya Jangkung.

“Wajahnya memar dan bibirnya bengkak. Nampaknya punggungnya juga sakit.”

Jangkung mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Nanti aku temui Sumbaga. Tetapi apakah kau tidak bertanya, kenapa wajahnya menjadi memar?”

“Aku sudah bertanya. Katanya ia terjatuh disumur,“ jawab Riris.

Jangkung mengangguk-angguk. Namun ia masih akan menyelesaikan kuda-kudanya lebih dahulu.

Ketika kemudian Jangkung bertemu dengan Sumbaga di halaman samping, maka Jangkungpun bertanya tentang memar diwajahnya serta bibirnya yang bengkak. Namun jawabnya sebagaimana dikatakannya kepada Riris. Bahwa ia jatuh dipakiwan.

Jangkung memang curiga bahwa telah terjadi perselisihan dengan Risang. Karena itu, maka iapun segera menemui Risang, yang ternyata duduk di serambi gandok. Bahkan Riris sedang menghidangkan minuman hangat bagi anak muda itu. Meskipun sebenarnya Ririspun ingin melihat, apakah ada tanda-tanda pada Risang sebagaimana dilihatnya pada Sumbaga. Ketika ia melihat Risang berada disumur mengisi jambangan, ia tidak begitu memperhatikan keadaan anak muda itu.

Namun ternyata Risang tidak menunjukkan tanda-tanda apapun sebagaimana yang ada pada Sumbaga. Bahkan sikapnya, kata-katanya dan kulitnya nampak biasa-biasa saja sebagaimana saat ia datang.

Jangkungpun kemudian duduk pula bersama Risang diserambi. Beberapa kali Jangkung berusaha memancing keterangan Risang yang ada hubungannya dengan Sumbaga, tetapi sama sekali tidak ada pernyataan apapun juga dari padanya.

Bahkan ketika Jangkung mengatakan bahwa Sumbaga terjatuh disumur, Risang nampak terkejut.

“Kapan ia jatuh? Pagi tadi aku berada disumur. Aku memang melihat Sumbaga. Tetapi ia pergi membawa sapu lidi bertangkai panjang,“ jawab Risang.

“Mungkin ia jatuh sebelum aku datang,“ jawab Jangkung.

“Mungkin. Karena ternyata pakiwan telah terisi hampir penuh,“ sahut Risang.

Jangkung mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Keadaan Sumbaga jauh lebih buruk dari seorang yang tergelincir dan jatuh dipelataran sumur meskipun pelataran itu dibuat dari batu.”

Risang mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Jatuh dengan punggung dan tengkuk membentur batu keadaannya akan menjadi sangat buruk. Mungkin ia menjadi pening dan muntah-muntah.”

“Tidak,“ jawab Jangkung, “kakang Sumbaga tidak menjadi muntah-muntah. Nampaknya tidak pula pening. Namun badannya nampaknya sakit dari ujung kaki sampai keujung rambut. Bahkan bibirnya nampak bengkak.”

Risang menarik nafas dalam-dalam. Ia memang terlalu banyak menyakiti anak muda itu. Untunglah tangan Sumbaga tidak dipatahkannya. Tetapi Risang merasa dirinya seakan-akan dipermainkan oleh Sumbaga.

Beberapa saat lamanya Jangkung menemui Risang minum diserambi. Namun Risangpun kemudian berkata, “Hari ini aku akan melanjutkan perjalanan.”

“Baik. Tetapi nanti. Sesudah ibu memberikan isyarat. Besok jika kau kembali ke Sembojan, kau harus singgah dan bermalam semalam lagi. Di Pajang kau harus menemui ayah yang terpaksa melakukan tugas keprajuritan untuk beberapa lama lagi dimasa peralihan ini,“ berkata Jangkung.

Risang tahu maksud Jangkung. Ia harus menunggu makan pagi yang disiapkan oleh Nyi Rangga Dipayuda. Karena itu, maka sambil tersenyum Risang menjawab, “Aku akan menunggu isyarat itu. Bukankah isyarat itu penting bagiku.”

Jangkungpun tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan minta agar ibu mempercepat persiapannya.”

“Tidak. Kau tidak perlu mendesaknya. Aku tidak tergesa-gesa. Aku masih mempunyai banyak waktu. Bukankah jarak perjalananku tidak panjang lagi?“ desis Risang.

Jangkung mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, “Minumlah. Minumanmu itu nanti menjadi dingin.”

Jangkung meninggalkan Risang seorang diri duduk diserambi. Sekali-sekali diteguknya minuman panas yang dihidangkan oleh Riris. Namun kemudian Risangpun telah membenahi dirinya di dalam bilik di gandok itu. Jika saatnya tiba, maka iapun akan segera meninggalkan rumah Ki Dipayuda untuk meneruskan perjalanan ke Pajang, menghadap Ki Rangga Kalokapraja.

Beberapa saat kemudian, maka Risangpun telah dipanggil untuk masuk keruang dalam. Jangkung dan Riris ternyata sudah menunggunya. Diruang dalam telah dihidangkan makan pagi buat Risang dan beberapa orang yang akan menemaninya makan.

“Dimana kakang Sumbaga?“ bertanya Jangkung kepada Riris.

“Kakang Sumbaga tidak mau. Ia tidak terbiasa makan bersama-sama,“ jawab Riris.

Jangkung tertawa. Katanya, “Akupun tidak terbiasa makan dengan cara yang terlalu tertib. Aku biasa makan didapur. Mengambil nasi di bakul dan sayur langsung dari kuali.”

Ibunya menggamitnya sambil berdesis, “Ah kau. Ayahmu tidak mengajarmu makan dengan cara itu.”

Jangkung tersenyum. Ia tidak membantah. Persoalannya sudah menyentuh martabat ayahnya.

Demikianlah maka merekapun telah makan pagi. Namun karena ada seorang tamu yang mereka hormati, maka hidangannya agak berlebih dibanding dengan kebiasaan mereka sehari-hari.

Sambil makan pagi, maka Risangpun telah menceri-terakan rencana perjalanannya. Ia akan pergi ke Pajang untuk menemui Ki Rangga Kalokapraja.

Ketika matahari mulai naik dan panasnya terasa menggatali kulit, Risang telah meneruskan perjalanannya menuju ke Pajang. Keluarga Ki Dipayuda telah melepas mereka sampai keregol halamannya, termasuk Riris dan Jangkung.

Sumbaga berdiri di seketeng sambil memandangi Riris yang masih saja melambaikan tangannya. Namun ia tidak dapat mengabaikan kenyataan, bahwa ia tidak lebih baik dari Risang.

Bahkan ternyata dalam olah kanuraganpun, ia tidak dapat mengimbangi kemampuan pewaris Tanah Perdikan Sembojan itu.

Dalam pada itu, maka Risangpun telah memacu kudanya langsung menuju ke Pajang. Jaraknya memang tidak terlalu jauh lagi.

Ternyata Risang tidak banyak menemui kesulitan untuk mencari rumah Ki Rangga Kalokapraja. Apalagi Risang telah banyak mengenali jalan-jalan di Kotaraja. Sehingga seakan-akan ia dapat langsung menemukan rumah itu.

Rumah Ki Rangga Kalokapraja bukan sebuah rumah yang besar dan mewah. Meskipun nampak bersih dan terawat, namun rumah itu tidak menunjukkan rumah seorang yang berlebihan.

Tetapi ketika Risang sampai kerumah itu, ternyata Ki Rangga tidak sedang ada dirumah. Ia sedang melakukan kewajibannya. Tetapi seorang yang ada dirumah itu mengatakan bahwa Ki Rangga tidak sedang bepergian jauh.

“Nanti, lewat tengah hari Ki Rangga tentu kembali,“ berkata orang itu.

Risang mengangguk-angguk.

“Silahkan naik kependapa jika Ki Sanak ingin menunggu,“ orang itu mempersilahkan.

Tetapi Risangpun kemudian berkata, “Sebaiknya aku keluar saja dahulu. Nanti aku akan kembali lewat tengah hari.”

Dengan demikian Risang dapat memanfaatkan waktunya untuk melihat-lihat keadaan kota Pajang setelah untuk beberapa lama ia tidak melihatnya.

Bahkan kemudian Risang sempat singgah disebuah kedai yang cukup besar. Ditambatkannya kudanya di sebelah kedai itu bersama-sama dengan beberapa ekor kuda yang lain.

Sambil menunggu, Risang sempat memperhatikan orang-orang yang berada didalam kedai itu. Namun tidak ada diantara mereka yang menarik perhatiannya.

Karena itu, ketika minumannya telah dihidangkan, sambil memandangi asap yang mengepul dari mangkuknya, Risang sempat mengenang apa yang telah terjadi dirumah Ki Rangga Dipayuda.

Terbayang wajah Sumbaga yang gelap. Wajah seorang anak muda yang kecewa. Risangpun menyadari bahwa agaknya Sumbaga sebagai seorang anak muda telah menaruh hati kepada Riris.Meskipun diantara mereka masih ada hubungan keluarga namun nampaknya sudah tidak begitu rapat lagi.

Namun tiba-tiba ketika asap itu mengepul semakin banyak, yang nampak bukan lagi wajah Sumbaga. Tetapi wajah Kasadha.

Jantung Risang berdesir cepat. Tiba-tiba saja Risang membayangkan, apa yang akan dilakukan jika yang berdiri ditempat Sumbaga itu adalah Kasadha.

Menurut perasaan Risang, agaknya Kasadha juga menaruh perhatian terhadap Riris.

“Jika saja Kasadha ingin mendesak aku dari halaman rumah Ki Rangga Dipayuda, apa yang harus aku lakukan? “ pertanyaan itu tiba-tiba telah menggetarkan jantungnya.

Risang terkejut ketika pelayan kedai itu bertanya kepadanya, “Apakah anak muda akan makan?”

Tanpa berpikir panjang Risang mengangguk sambil menjawab, “Ya. Bukankah matahari telah dipuncak?”

Pelayan kedai itu tersenyum. Katanya, “Sudah pantas untuk makan siang. Matahari telah melewati puncaknya. Lihat saja bayangannya.”

Risang memang memandang keluar. Dan ia percaya bahwa matahari telah mulai turun.

Tetapi Risang sudah terlanjur memesan makan. Karena itu ia memang harus menunggu. Apalagi ia tidak ingin mengganggu Ki Rangga yang demikian pulang dari lugasnya, tentu masih akan beristirahat sejenak, minum dan bahkan juga makan siang.

Namun dalam pada itu, setiap kali telah tumbuh pertanyaan dihatinya. Apa yang akan dilakukannya jika ia harus berhadapan dengan Kasadha dalam persoalan Riris?

“Ah, “Risang menarik nafas dalam-dalam, “kenapa aku menjadi gelisah? Seandainya Kasadha tidak menjadi penghambat, apakah Riris menaruh perhatian terhadapku.”

Sambil menghirup minuman hangatnya Risang mengangkat wajahnya. Ia melihat dua orang memasuki kedai itu dan duduk disudut. Namun Risang tidak menghiraukannya lagi. Ia kembali merenungi keadaannya yang gelisah.

Sejenak kemudian, maka pelayan kedai itupun telah menghidangkan makan yang dipesan oleh Risang. Nasi rames dengan dendeng ragi dan sambal goreng yang merah oleh cabai rawit. Risang bukan termasuk orang yang senang makan pedas. Tetapi iapun tidak menolaknya meskipun harus menyisihkan potongan-potongan cabai rawit itu.

Tetapi selagi Risang sibuk dengan hidangan makannya, ia terkejut mendengar seseorang yang menjadi marah. Katanya, “Kenapa kau berikan nasi itu kepada anak itu? Bukankah aku juga memesannya.”

Pelayan itu memang menjadi heran akan sikap orang itu. Karena itu maka iapun menjelaskan, “Anak muda itu telah memesan lebih dahulu.”

Ternyata orang itu masih berdiri diluar pintu kedai. Tetapi ia menjawab dengan lantang, “Tidak. Aku memesan lebih dahulu.”

“Ki Sanak,“ berkata pelayan itu, “silahkan masuk. Duduklah. Dan silahkan memesan apa saja yang ada dan yang dapat kami sediakan.”

Risangpun termangu-mangu. Ia menunggu orang yang ada diluar pintu itu melangkah masuk untuk dapat melihat dengan jelas.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka orang itupun melangkah masuk. Masih semuda Risang.

“Kasadha,“ tiba-tiba saja Risang berdiri.

Kasadha tertawa. Sambil melangkah mendekatinya ia bertanya, “Sepagi ini kau sudah ada disini.”

Ketika keduanya kemudian duduk sambil tertawa, maka pelayan kedai itupun bergeremang, “Gurau yang mendebarkan.”

Orang-orang lain yang ada di kedai itupun tersenyum melihat tingkah laku kedua orang anak muda yang nampaknya bersahabat tetapi sudah lama tidak bertemu.

Kasadha memang tidak mengenakan pakaian keprajuritan. Ia keluar untuk membeli sesuatu diluar baraknya.

Sementara itu Risangpun menjawab, “Bukankah matahari telah melewati ujung langit? Bukankah tidak dapat disebut pagi lagi sekarang ini?”

“Ya. Memang sudah siang. Sudah pantas untuk makan,“ jawab Kasadha yang kemudian memanggil pelayan kedai itu dan memesan pula nasi rames seperti yang dipesan Risang.

“Nasimu dibarak tidak ada yang makan nanti,“ desis Risang.

“Kau kira aku merasa kenyang dengan nasi semangkuk itu?“ sahut Kasadha, “Kau tahu bagaimana aku makan. Karena itu, rangsumku dibarak juga akan aku makan habis nanti.”

Keduanya tertawa. Sementara Risang bertanya, “Kenapa kau berkeliaran diluar barak?”

“Mumpung ada waktu. Aku ingin membeli ikat pinggang kulit yang lebih baik. Ikat pinggangku sudah rusak,“ jawab Kasadha.

“Bukankah kau mendapat ikat pinggang keprajuritan yang cukup baik sebagaimana aku pernah menerima dahulu?“ bertanya Risang.

“Tetapi kurang mapan untuk dikenakan selagi aku berpakaian seperti ini,“ jawab Kasadha.

Pembicaraan mereka terhenti ketika pelayan kedai itu menyuguhkan makan rames yang dipesan oleh Kasadha. Namun kemudian sambil makan keduanya telah berbicara hilir mudik mengenai soal yang bermacam-macam.

Namun tiba-tiba saja Kasadha bertanya, “He, apakah kau mempunyai keperluan penting di Pajang, atau sekedar ingin melihat-lihat? Atau kau memang mencari aku? Bukankah aku sudah tidak mempunyai hutang?”

Keduanya tertawa sehingga orang-orang yang ada di kedai itu berpaling kepada mereka. Tetapi ternyata orang-orang itu ikut tersenyum melihat wajah-wajah cerah kedua orang anak muda itu.

“Aku sebenarnya ingin menghadap Ki Rangga Kalokapraja,“ jawab Risang.

“Ki Rangga Kalokapraja,“ Kasadha mengingat-ingat, “aku pernah mendengar namanya.”

“Aku sudah sampai kerumahnya. Tetapi Ki Rangga sedang bertugas. Karena itu, aku singgah dahulu di kedai ini. Jika nanti dirumah Ki Rangga aku tidak sempat dijamu makan, maka aku tidak akan kelaparan,“ sahut Risang.

Keduanya telah tertawa lagi.

Demikianlah ketika keduanya telah selesai makan, maka Kasadha berkata, “Datanglah ke barak. Ki Rangga Dipayuda kini telah diangkat menjadi salah seorang perwira yang ikut memimpin barakku.”

“Aku akan datang nanti setelah aku bertemu dengan Ki Rangga Kalokapraja,“ berkata Risang.

Bahkan Risangpun kemudian telah bangkit berdiri dan mendekati pelayan kedai itu sambil bertanya, berapa ia harus membayar bagi dirinya sendiri dan Kasadha.

Tetapi ketika pelayan itu menyebut sejumlah uang sementara Risang sedang membuka kantong ikat pinggangnya, ternyata Kasadha telah mendahuluinya, membelikan uang seharga makanan dan minuman mereka berdua.

“O,“ Risang mengerutkan dahinya, “kau membayarnya?”

“Aku tuan rumah disini,“ jawab Kasadha, “sepantasnya akulah yang membayarnya.”

“Aku datang lebih dahulu,“ berkata Risang.

“Tetapi kau anak Tanah Perdikan Sembojan,“ jawab Kasadha.

Risang hanya dapat tertawa saja. Tetapi ia tidak mendesak Kasadha. Ia tahu, bahwa Kasadha merasa lebih berkewajiban untuk membayar, karena ia tinggal di Pajang.

Dengan demikian, maka keduanyapun telah meninggalkan kedai itu. Risang telah berjanji untuk singgah dibarak dan bertemu dengan Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda, setelah ia menemui Ki Rangga Kalokapraja, sedangkan Kasadha langsung kembali ke baraknya.

Sejenak kemudian Risang telah menyusuri jalan-jalan kota diatas punggung kudanya yang berjalan tidak terlalu cepat. Iapun langsung menuju kerumah Ki Rangga Kalokapraja. Menurut dugaan Risang, Ki Rangga tentu sudah pulang. Atau jika ia masih harus menunggu, tentu tidak akan terlalu lama lagi.

Beberapa saat kemudian, maka kuda Risang telah memasuki jalan yang menuju kerumah Ki Rangga Kalokapraja.

Ketika Risang sampai ke rumah K? Rangga, ternyata Ki Rangga memang telah berada dirumah. Bahkan nampaknya telah berganti pakaian dan duduk-duduk di serambi samping.

Demikian Risang datang, maka iapun langsung diper-silahkan naik ke serambi samping.

“Marilah. Duduklah Risang,“ Ki Ranggapun telah mempersilahkannya.

Risangpun kemudian duduk diserambi itu pula. Dengan ramah Ki Rangga Kalokapraja telah bertanya tentang keselamatan dan keadaan Tanah Perdikan Sembojan.

“Semuanya dalam keadaan baik Ki Rangga,“ jawab Risang.

“Sokurlah. Mudah-mudahan untuk seterusnya keadaan Tanah Perdikan itu semakin baik,“ desis Ki Rangga.

“Terima kasih Ki Rangga,“ sahut Risang.

Ki Ranggapun kemudian telah mempertanyakan kepentingan Risang datang.

“Aku memenuhi perintah Ki Rangga. Aku telah membawa laporan terperinci dari Tanah Perdikan Sembojan. Laporan tentang keadspn yang ada sekarang. Sedikit sejarahnya dan rencana-rencana masa mendatang dengan beberapa harapan dan permohonan,“ berkata Risang.

Ki Rangga mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Bagus. Aku memang mengharapkannya. Mudah-mudahan dalam waktu singkat segala sesuatu mengenai Tanah Perdikan Sembojan telah dapat aku selesaikan.”

Risangpun kemudian telah menyerahkan seberkas laporan tentang Tanah Perdikannya yang akan dilihat dan diselesaikan persoalannya oleh Ki Rangga Kalokapraja.

“Baiklah,“ berkata Ki Rangga Kalokapraja, “aku terima berkas ini. Aku akan segera mempelajarinya dan menyelesaikannya.”

“Terima kasih Ki Rangga,“ desis Risang berulang kali.

Sementara itu Ki Rangga juga mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan mendatang bagi Tanah Perdikan Sembojan serta perkembangan para penghuninya

Namun kemudian Ki Rangga itupun bertanya, “Apakah kau akan bermalam disini?“

Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku masih ingin menjenguk Ki Rangga Dipayuda serta saudaraku Lurah Kasadha.”

“Ki Rangga Dipayuda yang beberapa saat yang lalu telah mengundurkan diri dan kemudian dipanggil kembali ke lingkungan keprajuritan?“ bertanya Ki Rangga Kalokapraja.

“Ya Ki Rangga,“ jawab Risang.

“Apakah kau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ki Rangga Dipayuda?”

“Tidak Ki Rangga. Tetapi Ki Rangga Dipayuda pernah menjadi pimpinanku dalam tatanan keprajuritan ketika aku masih menjadi seorang prajurit. Bagiku ia seorang pemimpin yang baik,“ berkata Risang.

Ki Rangga Kalokapraja mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Aku mengenal Ki Rangga. Bahkan sejak masih menjadi Lurah dan kemudian mengundurkan diri. Setelah ia menjadi Rangga maka aku telah beberapa kali bertemu.”

“Ki Rangga Dipayuda bahkan telah menganggap aku sebagai anaknya sendiri,“ berkata Risang kemudian. Lalu katanya, “Karena itu aku ingin menemuinya. Mungkin bermalam di barak itu pula.”

Ki Rangga Kalokapraja mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi jika kau menemui kesulitan bermalam di barak itu, maka kembalilah kemari. Disini kau dapat bermalam digandok yang kanan atau yang kiri.”

Risang tersenyum. Sambil mengangguk hormat ia berkata, “Terima kasih, Ki Rangga.”

Namun dengan demikian, setelah segala kepentingannya selesai, Risangpun telah minta diri untuk mengunjungi Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda.

Ketika matahari turun semakin rendah, maka Risangpun telah meninggalkan rumah Ki Rangga Kalokapraja. Kudanya berlari tidak begitu cepat menyusuri jalan kota menuju ke barak pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda.

Ternyata Risang tidak mengalami kesulitan ketika ia menemui petugas di gerbang halaman barak dan mohon untuk diperkenankan menemui Kasadha.

“Ki Lurah Kasadha,“ desis prajurit yang bertugas.

“Ya,“ jawab Risang.

Prajurit yang bertugas itu bahkan telah menunjukkan dimana Risang dapat menemui Kasadha.

Kasadha menerima Risang dengan gembira. Ditambat kannya kudanya disudut halaman barak. Sambil beristirahat kudanya sempat makan rerumputan hijau yang tumbuh di sudut halaman barak itu, sementara Risang di, bawa oleh Kasadha menemui Ki Rangga Dipayuda.

Ternyata masih ada beberapa orang prajurit yang mengenal Risang sebagai Barata. Seorang pemimpin kelompok yang disegani sebagaimana Kasadha. Bahkan para prajurit hampir tidak dapat membedakan antara Kasadha dan Barata.

Kedua-duanya kecuali mirip, mereka memang memiliki kelebihan dari para prajurit dan bahkan para pemimpin kelompok yang lain. Karena itu, maka sudah sepantasnya bahwa Kasadha telah ditunjuk menjadi Lurah prajurit.

“Seandainya waktu itu Barata masih ada, maka tentu akan sulit menunjuk, apakah Barata atau Kasadha yang pantas menjadi Lurah,“ berkata para prajurit yang mengenal kedua-duanya.

Karena itulah, maka kedatangan Baratapun telah mendapat sambutan dari beberapa orang yang telah pernah mengenalnya. Mereka mengerumuni Barata untuk menyapa dan mengucapkan selamat datang setelah lama mereka tidak bertemu.

Baru sejenak kemudian, maka Barata telah diajak Kasadha menemui Ki Rangga Dipayuda.

Ki RanggaDipayudapunmenyambutkedatanganBarata dengan gembira. Seperti Kasadha, maka Barata bagi Ki Rangga adalah seorang anak muda yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Bukan saja kemampuan dan ilmunya, tetapi juga kepribadiannya.

Untuk beberapa lama, maka Ki Rangga Dipayuda telah berbincang dengan Barata dan Kasadha. Setiap kali terdengar mereka tertawa gembira. Banyak hal yang dapat mereka kenang. Saat-saat yang paling getirpun telah membuat mereka tertawa, betapapun asamnya.

Pembicaraan mereka terhenti sejenak, ketika seseorang memasuki bilik itu. Ternyata Ki Rangga Prangwiryawan. Sambil mengerutkan keningnya, ia mandang orang-orang yang ada didalam biliknya.

“Kenalkan Ki Rangga,“ berkata Ki Rangga Dipayuda, “anak muda ini adalah Barata. Dahulu, ketika aku menjadi Lurah Penatus, anak muda ini menjadi salah seorang pemimpin kelompok sebagaimana Kasadha.”

“O,“ Ki Rangga Prangwiryawan mengangguk kecil ketika Barata mengangguk hormat kepadanya.

“Sekarang kau dimana anak muda?“ bertanya Ki Rangga Prangwiryawan.

“Aku pulang ke kampung halaman Ki Rangga,“ jawab Risang.

“Apakah kau lebih senang menjadi seorang petani daripada menjadi seorang prajurit?“ bertanya Ki Rangga Prangwiryawan.

Barata termangu-mangu sejenak. Namun iapun menjawab, “Bagiku sama saja Ki Rangga. Tetapi dirumah aku harus menunggui ibuku.”

“O,“ Ki Rangga mengangguk kecil, “dimana ayahmu?”

“Ayahku sudah meninggal,“ jawab Barata.

Ki Rangga Prangwiryawan tidak bertanya lebih banyak lagi. Tetapi iapun kemudian telah melangkah keluar dari bilik itu.

Ki Rangga Dipayuda tersenyum ketika ia melihat Kasadha menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah ia masih memperhatikanmu?“ bertanya Ki Rangga Dipayuda.

“Ya Ki Rangga. Bahkan semakin hari seakan-akan menjadi semakin menjadi-jadi,“ jawab Kasadha,“ Ki Lurah Lenggana nampaknya sering mengipasi perasaan Ki Rangga Prangwiryawan. Sementara itu Ki Lurah Lenggana sendiri masih diliputi oleh perasaan yang kekanak-kanakan. Ia ingin disebut Lurah terbaik didalam barak ini. Padahal tidak seorangpun yang berniat menyainginya. Mungkin Ki Lurah Bantardi. Tetapi keduanya seakan-akan telah dikendalikan oleh Ki Rangga Prangwiryawan.”

“Tetapi menurut pendapatku, keduanya masih saja bersaing untuk mendapat sebutan Lurah Penatus terbaik dari barak ini. Jika pada suatu saat benar-benar diadakan semacam pendadaran untuk mendapatkan gelar Lurah Terbaik, maka keduanya akan merupakan saingan yang berat. Karena kau tentu tidak akan berniat untuk ikut serta,“ berkata Ki Lurah Dipayuda.

“Ya. Aku lebih baik menonton jika benar-benar hal itu diadakan,“ berkata Kasadha.

“Apakah aku boleh juga menyaksikan?“ bertanya Barata.

Ki Rangga menggeleng. Katanya, “Tentu tidak. Orang yang dianggap orang luar tentu tidak akan boleh menyaksikan. Jika terjadi sesuatu diluar rencana, maka tidak akan diketahui oleh orang lain selain keluarga barak ini sendiri.”

Barata mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya aku ingin menyaksikannya.”

“Jika kau mau menjadi prajurit lagi,“ desis Ki Rangga.

Barata tersenyum saja. Tetapi ia kemudian justru berceritera bahwa ketika ia pergi ke Pajang, ia telah singgah dirumah Ki Rangga Dipayuda.

“Terima kasih,“ berkata Ki Rangga Dipayuda, “Jangkung dan Riris tentu senang sekali dengan kehadiranmu.”

“Ya Ki Rangga,“ jawab Barata, “aku merasa mendapat kehormatan yang tinggi.”

Namun dalam pada itu, nampak kening Kasadha berkerut. Tetapi dengan serta merta ia berusaha mengusir gejolak didalam jantungnya yang tidak dimengerti sebabnya. Karena itu, maka sama sekali tidak nampak kesan apapun diwajah anak muda itu meskipun jantungnya berdenyut lebih cepat.

“Bukankah dirumahku sekarang anak Sumbaga?“ bertanya Ki Rangga.

“Ya. Seorang anak muda yang baik,“ jawab Barata.

“Ia dapat membantu menjaga rumah kami,“ desis Ki Rangga Dipayuda, “bagaimanapun juga ia masih kadang meskipun sudah sedikit jauh.”

Barata hanya mengangguk-angguk saja. Ia sama sekali tidak menceriterakan apa yang sudah terjadi di rumah Ki Rangga Dipayuda.

Demikianlah, malam itu Barata bermalam di barak. Bahkan ia sempat bertemu dengan Ki Tumenggung Jayayuda. Kepada Ki Tumenggung, Ki Rangga Dipayuda memberitahukan bahwa Barata pernah menjadi prajuritnya, justru saat terjadi perang antara Pajang dan Mataram.

“Apakah kau tidak tertarik lagi untuk menjadi seorang prajurit?“ bertanya Ki Tumenggung Jayayuda.

Barata tersenyum. Namun jawabnya, “Aku mempunyai tugas dirumah Ki Tumenggung.”

“Tugas apa?“ bertanya Ki Tumenggung Jayayuda.

“Menunggui ibu,“ jawab Barata.

Tetapi kepada Ki Tumenggung Jayayuda, Ki Rangga Dipayuda berkata, “Ia satu-satunya pewaris Tanah Perdikan Sembojan.”

“O,“ Ki Tumenggung mengangguk-angguk, “jadi kau akan mewarisi jabatan Kepala Tanah Perdikan itu?”

“Aku berharap demikian Ki Tumenggung,“ jawab Barata.

“Kenapa sekedar berharap? Apakah tidak ada kepastian tentang jabatan itu?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Sekarang hal itu sedang dipelajari oleh Ki Rangga Kalokapraja. Sebelumnya, persoalan Tanah Perdikan itu menjadi gawat ketika para pemimpin Pajang dibawah pemerintahan Kangjeng Adipati Demak, membuat paugeran yang agak berbeda dengan paugeran yang sebelumnya lagi berlaku,“ jawab Barata.

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin sekali. Banyak terjadi hal-hal seperti itu disegi-segi kehidupan yang lain.”

“Kami telah dicoba untuk diperas,“ berkata Barata “Tetapi bukankah sekarang hal seperti itu tidak terjadi lagi?“ bertanya Ki Tumenggung Jayayuda.

“Tidak Ki Tumenggung. Sekarang semuanya berjalan jauh lebih tertib. Ki Rangga Kalokapraja telah menyanggupi untuk berusaha menyelesaikan persoalan Tanah Perdikan itu dengan segera setelah kami memberikan laporan tentang perkembangan sebelumnya,“ jawab Barata.

“Ki Rangga Kalokapraja adalah seorang pekerja yang baik. Rajin, tekun dan tertib. Aku kira persoalan Tanah Perdikanmu akan segera selesai,“ berkata Ki Tumenggung Jayayuda.

Untuk beberapa lama mereka masih saja berbincang. Namun Ki Tumenggungpun berkata, “Baiklah. Kau tentu ingin beristirahat. Aku tidak akan memberikan kesan apapun tentang barak ini, karena kaupun pernah tinggal di barak.”

Barata tertawa. Katanya, “Keadaan barak ini sekarang sudah jauh lebih baik dari barak yang pernah aku pergunakan.”

Ki Tumenggungpun tertawa. Namun kemudian Ba-ratalah yang minta diri untuk beristirahat.

Ki Rangga Dipayuda yang juga ingin beristirahat ternyata telah ditemui oleh Ki Rangga Prangwiryawan, “Apakah maksud anak itu datang kemari yang sebenarnya?”

“Kenapa yang sebenarnya? Apakah Ki Rangga menduga, bahwa kedatangan anak itu membawa rencana yang lain dari yang dilakukan? Atau katakanlah rencana buruk?“ berkata Ki Rangga Dipayuda.

“Seandainya bukan begitu, apa maksudnya datang kemari?“ bertanya Ki Rangga Prangwiryawan pula.

“Ia bekas anak buahku dan kawan Kasadha. Keduanya sama-sama pemimpin kelompok saat itu. Akulah Lurah Penatusnya. Karena itu ia ingin menemui kami yang sudah agak lama tidak pernah bertemu lagi,“ jawab Ki Rangga Dipayuda.

“Apakah ia ingin menjadi prajurit lagi?“ desak Ki Rangga Prangwiryawan.

“Tidak. Ia terlalu sibuk dirumah,“ jawab Ki Rangga Dipayuda.

“Sibuk apa?“ bertanya Ki Rangga Prangwiryawan.

“Ia adalah pewaris jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang sekarang kosong. Ia harus mempersiapkan segala-galanya sambil menunggu diwisuda. Ki Rangga Kalokapraja telah berjanji untuk membantunya,“ jawab Ki Rangga Dipayuda.

“O,“ Ki Rangga Prangwiryawan mengangguk-angguk. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Jadi anak itu calon Kepala Tanah Perdikan Sembojan?”

Ki Rangga Dipayuda menjawab singkat, “Ya.“

Ki Rangga Prangwiryawan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun meninggalkannya.

Ternyata tidur dibarak telah memberikan kesan sendiri kepada Barata. Ia teringat kembali saat-saat ia menjadi seorang prajurit. Ia bukan saja seorang prajurit yang setiap hari menempa diri dengan latihan-latihan berat, tetapi ia telah benar-benar turun dalam pertempuran yang sangat garang. Saat itu nyawanya benar-benar telah disiapkan di ujung ubun-ubun. Namun Yang Maha Agung masih tetap melindunginya sehingga ia sempat bertemu kembali dengan ibunya dan Tanah Perdikannya.

Namun beberapa saat kemudian, Risangpun telah tertidur dengan nyenyaknya, seakan-akan baru saja bekerja keras di arena pertempuran.

Pagi-pagi Risang telah bangun sebagaimana para prajurit yang lain. Tetapi Risang tidak ikut dengan para prajurit sibuk dan bahkan gladi di halaman untuk melemaskan urat-urat dalam tubuh mereka.

Bahkan Risang telah bersiap-siap untuk kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.

Ketika para prajurit sedang sibuk, Risang sempat membersihkan kudanya. Memberinya rumput dan minum serta memasang pelananya.

Demikian para prajurit selesai, maka Risangpun telah minta diri. Kasadha, Ki Rangga Dipayuda dan bahkan Ki Tumenggung Jayayuda telah mengucapkan selamat jalan. Ki Rangga sempat menitipkan pesan kepada keluarganya, bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja.

“Pekan depan barangkali aku dapat pulang barang satu dua hari,“ berkata Ki Rangga.

“Baik Ki Rangga. Aku akan singgah meskipun hanya sebentar untuk menyampaikan pesan Ki Rangga,“ jawab Risang.

Namun seperti kemarin, jantung Kasadha tiba-tiba saja bagaikan bergetar. Tetapi cepat-cepat ia mengusir perasaan apapun yang telah menggetarkan jantungnya itu. Karena itu maka tidak ada kesan apapun diwajah anak muda itu.

Sejenak kemudian, maka Risangpun telah meninggalkan barak itu. Ia masih singgah sejenak dirumah Ki Rangga Kalokapraja untuk minta diri kembali ke Tanah Perdikan.

“Aku sudah melihat-lihat laporanmu sepintas. Nampaknya semuanya akan berjalan lancar. Mudah-mudahan persoalannya cepat dapat diselesaikan,“ berkata Ki Rangga Kalokapraja.

“Aku mohon diri Ki Rangga,“ desis Risang kemudian.

“Hati-hati dijalan. Jangan berpacu terlalu cepat. Jika kudamu tergelincir, maka kau akan sampai dirumah jauh lebih lama lagi,“ pesan Ki Rangga Kalokapraja ke bapaan.

Risangpun kemudian meninggalkan rumah Ki Rangga Kalokapraja langsung menuju ke pintu gerbang kota.

Sementara itu, Kasadhapun telah merenung di depan bangunan baraknya. Dipandanginya awan yang lewat diwajah langit yang bersih. Angin pagi bertiup menghembuskan udara segar.

Kasadha menarik nafas dalam-dalam.

Pemimpin kelompoknya yang tertua, yang setiap kali memperhatikannya mendekatinya sambil bertanya, “Apakah ada persoalan lagi Ki Lurah? Bukankah menurut Ki Lurah persoalan keluarga Ki Lurah sudah dapat diselesaikan dengan baik. Ayah dan ibu Ki Lurah ternyata tidak marah lagi.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak. Tidak ada apa-apa. Persoalan keluargaku memang sudah selesai.”

“Jika demikian, apa lagi yang Ki Lurah renungkan?“ bertanya pemimpin kelompoknya itu.

“Tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa,“ jawab Kasadha.

Pemimpin kelompok itu tidak mendesaknya lagi. Tetapi ia melihat lagi sesuatu yang menyaput kegembiraan pemimpinnya itu meskipun tidak separah beberapa waktu yang lalu.

Sebenarnyalah Kasadha merasa gelisah. Tetapi Kasadha tidak mengakui bahwa ia menjadi gelisah karena Risang akan singgah lagi kerumah Ki Rangga Dipayuda. Dirumah itu Risang tentu akan bertemu lagi dengan Riris.

Yang kemudian dilakukan oleh Kasadha adalah menenggelamkan diri kedalam tugas-tugasnya agar ia melupakan kegelisahannya itu.

Dalam pada itu, Risangpun telah berpacu kembali ke Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi ia sudah berjanji kepada Ki Rangga Dipayuda dan kepada Jangkung Jaladri, bahwa ia akan singgah dirumah Ki Rangga. Risang sama sekali tidak memperhitungkan lagi Sumbaga yang sudah mengaku kalah.

Tetapi dirumah Ki Rangga Dipayuda, Risang memang tidak terlalu lama. Ia menolak untuk bermalam lagi. Kepada Jangkung ia berkata, “Orang-orang Tanah Perdikan tentu sedang menunggu aku. Mereka berharap agar mereka segera mengetahui tanggapan Ki Rangga Kalokapraja atas laporanku.”

“Bukankah tanggapannya cukup baik?“ bertanya Jangkung.

Risang mengangguk. Katanya, “Itulah yang ingin aku sampaikan segera kepada ibuku,“ jawab Risang.

Jangkung tidak dapat menahan lagi. Setelah Riris menghidangkan minuman dan makanan, maka Risangpun segera minta diri. Namun dalam pada itu, Risang sempat bertanya kepada Jangkung, “Dimana Sumbaga?“

“ Ada . Dibelakang,“ jawab Jangkung, “Apakah kau akan bertemu?”

“Hanya untuk minta diri,“ jawab Risang.

Sebenarnyalah Sumbaga mengantar Risang pula sampai keregol seperti keluarga Ki Rangga yang lain, termasuk Nyi Rangga. Tetapi wajah Sumbaga masih saja tetap gelap. Tetapi Sumbaga memang merasa lebih senang jika Risang segera meninggalkan rumah itu.

Sejenak kemudian, maka Risangpun telah berpacu di bulak panjang menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Ia memang ingin segera memberitahukan kepada ibunya, kakek-kakeknya, neneknya dan orang-orang terdekat, bahwa laporannya telah mendapat tanggapan baik dari Ki Rangga Kalokapraja.

Hasil yang dibawa Risang memang sangat menggembirakan. Karena itu, maka orang-orang Sembojanpun telah bekerja lebih keras untuk mewujudkan rencana-rencana yang telah diserahkan Risang kepada Ki Rangga Kalokapraja.

Dalam pada itu, Kasadha di baraknya sedikit demi sedikit telah berhasil mengendalikan perasaannya. Namun ternyata persoalan baru telah timbul justru karena Barata telah mengunjungi baraknya, maka orang-orang yang pernah mengenalnya bersama-sama dengan Barata diperang yang garang saat Mataram mengalahkan Pajang dalam perang yang terdahulu, sehingga Kangjeng Sultan Pajang telah wafat, telah membicarakannya lagi. Mereka telah memuji kelebihan Barata dan Kasadha yang memiliki ilmu kanuragan yang lebih baik dari prajurit yang manapun.

Ki Rangga Prangwiryawan yang mendengar lagi ceritera itu menjadi tidak senang. Namun ia agak segan terhadap Ki Rangga Dipayuda untuk menanggapi ceritera tentang kelebihan Kasadha dan Barata.

Karena itu, maka Ki Rangga Prangwiryawan yang sejak semula ingin menunjukkan kelebihannya, telah mendesak dilanjutkannya sebuah rencana untuk mendapatkan Lurah Penatus yang terbaik dalam olah kanuragan. Namun yang belum dikatakannya adalah, bahwa Lurah yang terbaik itu kemudian akan mengalami pendadaran dari para Pandhega. Jika yang lain tidak ingin melakukannya, maka Ki Rangga Prangwiryawanlah yang akan mewakili para Pandhega itu.

“Sekedar untuk memacu kebanggaan para Lurah, Ki Tumenggung,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan.

“Apakah tidak menimbulkan persoalan?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Tentu tidak. Yang merasa kurang tentu akan berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Yang lebih baik dari yang lain dapat berbangga diri. Kepada orang-orang yang memiliki kelebihan itulah maka kita dapat memberikan kepercayaan untuk memberikan latihan-latihan khusus,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan.

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, ia sadar, bahwa Ki Rangga memang ingin menunjukkan kelebihannya. Karena itu, maka iapun bertanya, “Ki Rangga, bagaimana jika akibatnya justru sebaliknya?”

Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, “Maksud Ki Tumenggung?”

“Yang kalah justru mendendam sehingga persoalannya akan menjadi lebih buruk lagi,“ berkata Ki Tumenggung.

“Tentu tidak Ki Tumenggung. Kita dapat memberikan pengantar kepada mereka, bahwa setiap orang harus bersikap jantan sebagai seorang kesatria sejati. Mereka harus berani mengakui kekalahan bagi yang kalah. Yang dilakukan tidak ada hubungannya dengan jabatan mereka sebagai Lurah Penatus, karena kedudukan seorang Lurah tidak tergantung semata-mata kepada kemampuan olah kanuragan. Meskipun seseorang memiliki kemampuan olah kanuragan secara pribadi yang tinggi, tetapi ia tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin pasukannya, maka sebagai seorang Lurah Penatus nilainya tentu saja tidak akan begitu baik. Namun sebagai prajurit, maka olah kanuragan memang mendapat perhatian utama,“ jawab Ki Rangga Prangwiryawan.

Ki Tumenggung Jayayuda termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku serahkan pelaksanaannya kepada Ki Rangga Prangwiryawan. Dibarak ini hanya ada sepuluh orang Lurah Penatus.”

“Kita akan memulainya dari bawah,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan, “sekedar untuk memeriahkan keadaan. Setiap pasukan yang dipimpin oleh seorang Lurah Penatus harus mengirimkan dua orang pemimpin kelompok untuk melakukan pertarungan yang dibatasi dengan beberapa peraturan. Dua orang yang terbaik diantara mereka akan ikut serta dalam pendadaran diantara para Lurah Penatus sehingga jumlahnya menjadi dua belas. Dari dua belas orang itu akan tampil berikutnya enam. Kemudian tiga. Nah, tiga orang ini harus dipilih diantara mereka yang benar-benar memiliki kelebihan. Karena itu ketiganya akan bergantian melakukan pertarungan. Semua akan saling berhadapan berganti-ganti.”

“Baik. Tetapi kau harus membuat satu peraturan yang ketat yang tidak boleh dilanggar. Peraturan yang me ngikat dan tidak memiliki lubang-lubang kesempatan untuk berbuat curang, karena semuanya adalah keluarga sendiri.”

“Aku akan melakukan dengan sebaik-baiknya,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan.

“Panggil semua Pandhega. Aku akan berbicara kepada mereka tentang rencana ini. Semua Pandhega akan ikut mengawasi pendadaran yang agak lain sifatnya ini,“ berkata Ki Tumenggung. Namun iapun kemudian bertanya, “Jika demikian, bukankah pendadaran ini akan berlangsung beberapa hari?”

“Ya Ki Tumenggung,“ jawab Ki Rangga, “mungkin tiga hari. Mungkin lebih. Kita berharap bahwa permainan akan menjadi meriah dan menggembirakan para prajurit. Selebihnya kita akan dapat mengetahui kekuatan, nyata dari para Lurah dan beberapa orang pemimpin kelompok sebagai satu penilaian rata-rata karena kita tidak akan dapat mengikut sertakan semua pemimpin kelompok yang jumlahnya seratus orang itu.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Aku akan berbicara dengan semua Pandhega.”

Ki Rangga Prangwiryawanpun kemudian telah memanggil para Pandhega yang dua. Ki Rangga Dipayuda dan Ki Rangga Wirayuda.

Ki Tumenggung Jayayudapun kemudian telah memberitahukan kepada kedua Pandhega itu, bahwa rencana Ki Rangga Prangwiryawan sebagaimana pernah dibicarakan sebelumnya akan dilaksanakan.

“Apakah keuntungannya?“ bertanya Ki Rangga Wirayuda.

“Banyak sekali,“ jawab Ki Rangga Prangwiryawan yang kemudian telah menguraikan alasan-alasan sebagaimana dikatakannya kepada Ki Tumenggung Jayayuda.

Ki Rangga Wirayuda mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Kenapa tidak diadakan semacam perlombaan ketrampilan saja?”

“Misalnya?“ desak Ki Rangga Prangwiryawan.

“Misalnya lomba kemampuan membidik dengan panah dan dengan lembing. Atau sodoran atau melakukan gerakan-gerakan menarik di sanggar terbuka,“ jawab Ki Rangga Prangwiryawan.

“Rasa-rasanya seperti kanak-kanak,“ jawab Ki Rangga Prangwiryawan.

Ki Rangga Dipayuda ternyata ikut menyahut, “Tentu tidak. Justru dengan demikian, setiap kekalahan akan dapat diakui dengan tanpa tersinggung harga dirinya. Jika diadakan penilaian langsung pada tingkat kemampuan dan ilmu kanuragan dalam pertarungan yang menentukan, maka akibatnya akan dapat menjadi kurang baik.”

“Kita tidak boleh cengeng seperti itu. Kita adalah prajurit yang harus bersikap kesatria. Kita harus mengaku kalah jika kita kalah. Seperti sudah aku katakan, penilaian atas seorang prajurit tidak semata-mata dinilai dari kemampuan mereka dalam olah kanuragan, sehingga yang kalah tidak perlu merasa cemas bahwa pangkat dan kedudukannya akan digeser,“ jawab Ki Rangga Prangwiryawan.

Nampaknya Ki Rangga Dipayuda dan Ki Rangga Wirayuda merasa segan untuk berbantah. Karena itu, maka merekapun kemudian hanya mengangguk-angguk saja.

Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayayuda-pun berkata, “Baiklah. Meskipun menurut pendapatku, kedua orang Pandhega yang lain agak berkeberatan dengan cara yang diusulkan oleh Ki Rangga Prangwiryawan, nampaknya keduanya memang ingin memberikan kesempatan kepada Ki Rangga Prangwiryawan. Karena itu maka aku mengulangi perintahku. Laksanakan dengan sebaik-baiknya. Ki Rangga Prangwiryawan bertanggung jawab bukan saja pelaksanaannya, tetapi juga akibat yang dapat ditimbulkannya.”

“Terima kasih Ki Tumenggung. Tetapi dalam pelaksanaannya aku harus minta bantuan dari kedua Pandhega yang lain, bahkan Ki Tumenggung sendiri,“ jawab Ki Rangga Prangwiryawan.

“Kami tentu akan membantu Ki Rangga,“ jawab Ki Rangga Dipayuda.

Demikianlah, maka rencana itupun telah menjadi keputusan pimpinan barak itu. Keputusan yang mereka tentukan bersama adalah mengikat. Karena itu, meskipun yang bertanggung jawab adalah Ki Rangga Prangwiryawan, namun beban tugas itu harus dipikil bersama-sama.

Dengan demikian, maka dihari berikutnya, seisi barak itu telah menjadi ribut dengan pengumuman tentang akan diselenggarakannya pendadaran olah kanuragan.

Kasadha yang mendengar pula pengumuman itu berdesis kepada pemimpin kelompok tertua, “Sebenarnya aku tidak sependapat.”

“Kenapa Ki Lurah,“ bertanya pemimpin kelompok itu, “bukankah dengan demikian akan berlangsung permainan yang sangat meriah yang akan memberikan kegembiraan kepada semua penghuni barak ini?”

“Kita memang menjadi gembira. Tetapi apakah kita memikirkan perasaan mereka yang dikalahkan dihadapan banyak orang seperti itu?“ bertanya Kasadha.

Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin akan dapat menanamkan dendam. Tetapi jika sejak semula dinyatakan bahwa yang kalah tidak boleh mendendam, mungkin akibatnya tidak separah yang kita bayangkan.”

“Mudah-mudahan,“ berkata Ki Lurah Kasadha.

Pemimpin kelompok itu tidak menyahut lagi. Jika pada saatnya pendadaran itu dilaksanakan, mudah-mudahan Ki Lurah Kasadha sudah berubah pikiran. Bagaimana juga, pemimpin kelompok itu sudah meyakini, bahwa Ki Lurah Kasadha adalah Lurah yang terbaik. Bahkan dibandingkan dengan kedua orang Lurah Penatus yang baru itu.

Sebenarnyalah Kasadhapun tidak dapat menolak perintah itu. Iapun mulai berbenah diri, meskipun ia tidak tahu, kapan lomba itu akan diselenggarakan. Lomba yang memang sangat mendebarkan. Sepanjang ia menjadi prajurit, ia belum pernah mengalami pendadaran seperti yang akan dilakukan itu.

Yang kemudian agak membingungkan Kasadha adalah menunjuk dua orang pemimpin kelompok untuk mewakili pasukannya yang terdiri dari sepuluh kelompok itu.

Untuk memilih dua orang diantara sepuluh orang pemimpin kelompok, telah dilakukan bermacam-macam cara oleh setiap pasukan. Ada diantara para Lurah Penatus yang telah memilih dengan cara sebagaimana yang akan dilakukan terhadap para Lurah Penatus. Diantara para pemimpin kelompok yang sepuluh orang itu telah diselenggarakan semacam pendadaran sehingga terpilih dua orang terbaik. Tetapi ada pula yang tidak melakukannya. Seorang Lurah Penatus telah mengetahui dengan pasti dua orang terbaik diantara para pemimpin kelompoknya, sehingga ia tidak perlu memilih lagi.

Kasadha mempunyai cara tersendiri, ia menganggap kemampuan para pemimpin kelompoknya seimbang.

Karena itu, maka iapun telah mengumpulkan kesepuluh orang pemimpin kelompok dan menyerahkan kepada mereka, siapa yang harus mewakilinya.

Namun dalam keseluruhan, perintah Ki Rangga Prangwiryawan itu memang menumbuhkan kegembiraan para prajurit. Terutama beberapa orang Lurah Penatus yang merasa diri mereka terbaik. Bahkan para pemimpin kelompok yang akan mewakili setiap pasukanpun merasa bahwa mereka akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelebihan mereka.

“Nah,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan kepada kedua orang Rangga yang lain, “bukankah rencana pendadaran itu memberikan kesegaran kepada para prajurit setelah lama mereka tidak melakukan kegiatan apapun selain latihan dan latihan? Bukankah dengan cara ini mereka dapat menyalurkan luapan darah mereka yang mendidih?”

Kedua Rangga yang lain mengangguk-angguk saja.

Ketika hal yang sama disampaikan kepada Ki Tumenggung Jayayuda, maka Ki Tumenggungpun berkata, “Mudah-mudahan berlangsung dengan baik sampai selesai.”

“Ketika beberapa Lurah Penatus menyelenggarakan pendadaran serupa untuk memilih dua diantara para pemimpn kelompoknya, juga tidak terjadi sesuatu. Pendadaran diantara lingkungan pasukan Seratus orang itu merupakan semacam percobaan dari penyelenggaraan seutuhnya nanti,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan itu.

Ki Tumenggung mengangguk-angguk.

Ketika para Lurah Penatus telah mengajukan nama para pemimpin kelompok yang akan mewakili setiap pasukan, maka Ki Rangga Prangwiryawanpun mengumumkan, bahwa pendadaran yang bersifat lomba itu akan diselenggarakan pekan depan.

“Ada duapuluh orang pemimpin kelompok yang akan ikut serta,“ berkata Ki Rangga,“ Kita akan memilih dua diantaranya.”

Dalam pada itu, Ki Rangga Prangwiryawanpun telah menyusun paugeran dari pendadaran itu. Seperti pesan Ki Tumenggung Jayayuda, jangan ada kesempatan untuk berbuat curang. Karena sebenarnyalah, Ki Rangga ingin memilih orang yang benar-benar terbaik, namun yang kemudian akan ditundukkannya pula, sehingga seisi barak itu akan mengetahui bahwa ia adalah orang yang terbaik dibarak itu.

Bahkan didalam hati iapun berkata, “Jika saja Ki Tumenggung bersedia mencobai aku kelak.”

Atas persetujuan para Pandhega dan Ki Tumenggung Jayayuda sendiri atas isi paugeran yang telah disusun dengan beberapa perubahan disana-sini, maka paugeran itupun segera diumumkan kepada mereka yang akan melakukan pendadaran itu.

Sambil menunggu hari-hari yang ditentukan, maka para pemimpin kelompok yang terpilih, telah melakukan persiapan sebaik-baiknya. Mereka telah memperunakan sanggar terbuka untuk berlatih. Pada umumnya, para Lurah Penatus telah mendampingi para pemimpin kelompoknya disaat mereka melakukan latihan-latihan.

Atas ijin Ki Rangga Dipayuda, maka setiap pagi Kasadha telah membawa keluar dua orang pemimpin kelompoknya yang ditunjuk oleh kawan-awannya untuk mewakili pasukannya dalam pendadaran itu. Orang lain memang tidak tahu, apa yang dilakukan Kasadha. Namun sebenarnyalah Kasadha secara khusus telah menempa kedua orang itu.

Kedua orang itu, yang tahu benar bahwa Kasadha memiliki kelebihan dari setiap Lurah Penatus yang ada, telah berbuat sebaik-baiknya sebagaimana ditunjukkan oleh Kasadha.

Seorang diantaranya adalah pemimpin kelompok tertua yang selalu memperhatikan Kasadha bukan saja sebagai atasannya, tetapi justru sebagai seorang yang lebih muda daripadanya didalam gejolak kehidupan pribadinya. Sedangkan seorang yang lain adalah pemimpin kelompok yang lebih muda, tetapi yang juga mengetahui dengan pasti kelebihan Kasadha.

Setiap hari, sebelum dini keduanya telah berada di lereng pebukitan. Berlari-lari mereka mendaki. Kemudian mereka telah melakukan gerakan-gerakan ringan. Baru kemudian keduanya telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Dengan beberapa petunjuk Ki Lurah Kasadha, mereka telah mematangkan beberapa macam unsur gerak pilihan yang sebelumnya tidak mereka kuasai dengan baik. Namun dengan petunjuk Kasadha unsur-unsur gerak itu akan dapat dijadikan senjata untuk mengakhiri perlawanan lawan-lawan mereka.

Dalam waktu yang singkat, Kasadha telah menuntun mereka untuk menguasai pernafasan mereka. Kasadha telah menganjurkan kepada kedua orang pemimpin kelompoknya untuk berlatih setiap saat ada waktu.

“Dimana saja kalian dapat melatih diri menguasai jalannya pernafasan dengan baik. Dengan demikian akan dapat menjaga kemantapan tenaga kalian. Kalian tidak tahu berapa lama kalian akan bertarung diarena. Jika kalian tidak menguasai pernafasan dengan baik, maka kalian akan dengan cepat menjadi letih. Sementara lawan kalian masih tetap segar. Meskipun kalian memiliki kelebihan ilmu kanuragan, tetapi mungkin kalian akan dapat dikalahkan karena tenaga kalian telah habis setengah jalan,“ berkata Kasadha yang meskipun masih muda tetapi memiliki pengalaman yang luas.

Ternyata kedua orang pemimpin kelompoknya itu menurut dan mengikuti setiap petunjuk. Sehingga dalam waktu yang singkat keduanya telah mampu meningkatkan bukan saja kemampuan olah kanuragan, tetapi juga daya tahan tubuh mereka. Bahkan dalam pemusatan nalar budi, Kasadha telah memberikan petunjuk meskipun baru dalam tataran permulaan, untuk membangunkan tenaga didalam diri mereka.

Ketika sepekan telah berlalu, maka kedua orang pemimpin kelompok itu benar-benar telah siap. Ketika mereka melakukan latihan dimalam hari diudara terbuka, maka Kasadha telah merasa puas atas kemajuan dari kedua pemimpin kelompoknya itu.

Dibarak, ada diantara para pemimpin kelompok yang dengan sengaja menunjukkan kelebihan-kelebihan mereka selagi mereka melakukan latihan. Dengan demikian, maka bakal lawan-lawannya telah merasa kecil sebelum pendadaran yang sebenarnya dimulai. Para pemimpin kelompok dari pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi ternyata juga melakukan latihan-latihan tersendiri. Merekapun telah mendapat beberapa petunjuk dan tuntunan dari Lurah Penatus mereka masing-masing sebagaimana yang lain.

Sehari sebelum pendadaran dimulai, maka latihan-latihan khusus itu telah dihentikan. Para pemimpin kelompok yang akan ikut serta harus memusatkan perhatian mereka terhadap pendadaran yang akan berlangsung. Mereka harus mempelajari paugeran sebaik-baiknya.

“Kita harus menjunjung tinggi kejujuran,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan, “siapa berbuat curang, maka dengan serta merta mereka ia akan dinyatakan kalah.”

Hari-hari istirahat itu memang diwarnai dengan ketenangan. Tidak ada gerak yang melonjak sebagaimana hari-hari sebelumnya. Semuanya seakan-akan benar-benar beristirahat. Bahkan mereka yang tidak akan ikut dalam pendadaran pun telah beristirahat pula.

Namun, kedua orang pemimpin kelompok dibawah pimpinan Kasadha tidak demikian. Mereka memang tidak melakukan apa-apa yang dapat dilihat oleh para prajurit yang lain. Namun keduanya duduk dipembaringan masing-masing untuk melakukan latihan pernafasan sebaik-baiknya.

Sambil menyilangkan tangan didadanya, mereka duduk bersila. Kepala sedikit menunduk, menutup segala perhatian-lewat indera mereka.

Kawan-kawan mereka mengerti apa yang dilakukan oleh kedua pemimpin kelompok itu. Karena itu, mereka sama sekali tidak mengganggu. Bahkan anak buah kedua pemimpin kelompok itu seakan-akan telah menjaga agar keduanya dapat melakukan dengan tenang.

Ketika malam mulai turun dihari sebelum pendadaran, di halaman barak itu sudah dibuat dua arena yang akan dipergunakan. Duapuluh orang pemimpin kelompok akan dibagi menjadi dua kelompok masing-masing sepuluh orang. Dua orang dari pasukan yang dipimpin oleh seorang Lurah Penatus akan dipisahkan kelompoknya, sehingga tidak akan terjadi pertarungan antara dua orang dari pasukan yang sama. Dari kedua kelompok itu masing-masing akan diambil seorang yang terbaik untuk ikut dalam pendadarln diantara para Lurah Penatus.

Sebelum berkumpul diantara mereka yang ikut pada pendadaran Itu, kedua pemimpin kelompok itupun telah menemui Kasadha. Meskipun Kasadha lebih muda dari mereka, tetapi mereka telah minta restunya untuk memasuki arena pendadaran.

Demikian matahari terbit, maka segala sesuatunya telah bersiap. Tidak ada tempat khusus bagi Ki Tumenggung Jayayuda dan para Pandhega. Mereka justru diminta untuk ikut mengawasi agar pendadaran itu dapat berlangsung dengan baik dan jujur.

Diarena yang satu, Ki Rangga Prangwiryawan telah disertai oleh Ki Tumenggung Jayayuda sendiri bersama seorang Lurah Penatus yang ditunjuk oleh Ki Rangga Prangwiryawan. Sedangkan diarena yang lain, Ki Rangga Wirayuda dan Ki Rangga Dipayuda mengawasi pula pendadaran itu dibantu oleh seorang Lurah pula yang dianggap jujur.

Sebelum para pemimpin kelompok turun kearena, maka telah dilakukan undian. Siapakah yang akan turun lebih dahulu dari antara mereka masing-masing.

Para Lurah Penatus sebenarnya juga ikut berdebar-debar. Setiap Lurah menempatkan pemimpin kelompoknya diarena kiri seorang dan diarena sebelah kanan seorang. Sehingga dengan demikian mereka akan mengikuti jalannya pendadaran di kedua arena itu.

Ketika pendadaran akan dimulai, maka Ki Tumenggung telah memberikan sesorah pendek dengan mengingatkan tujuan pendadaran itu.

“Kita tidak sedang mengadu ayam disini. Tetapi kita tengah mempelajari kemungkinan-kemungkinan bagi pasukan kita dalam keseluruhan. Dengan pendadaran ini, kita akan dapat melihat kemampuan rata-rata dari seluruh prajurit yang ada di barak ini. Penglihatan kita atas kemampuan itu akan dapat kita jadikan landasan peningkatan kemampuan seluruh pasukan dibarak ini. Kita tidak pula sedang menanamkan dendam dihati kalian. Kalian harus jujur terhadap diri sendiri. Jika seseorang kalah, maka ia harus mengakui kekalahan itu dengan hati yang lapang. Sekali lagi aku katakan disini, bahwa pendadaran ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kedudukan kalian, baik sebagai pemimpin kelompok, maupun Lurah Penatus, karena penilaian bagi seorang pemimpin tidak semata-mata karena tingkat kemampuan olah kanuragan saja.”

Masih ada beberapa petunjuk yang diberikan oleh Ki Tumenggung yang mengarahkan para prajuritnya agar menganggap pendadaran itu satu peristiwa wajar saja.

“Tidak ada maksud apa-apa,“ berkata Ki Tumenggung menegaskan.

Dalam pada itu, sekali lagi Ki Rangga Prangwiryawan menguraikan paugeran selengkapnya dalam pendadaran yang bersifat lomba ketangkasan olah kanuragan itu.

Sesaat kemudian, maka bendepun telah berbunyi. Para prajurit di barak itu segera mengerumuni kedua arena di halaman barak yang luas itu. Mereka memang menjadi agak bingung, arena mana yang lebih menarik untuk ditonton.

Pendadaran itupun segera dimulai sesuai dengan hasil undian yang telah dilaksanakan.

Ternyata pendadaran itu benar-benar memberikan kegembiraan kepada para prajurit. Mereka mulai berteriak-teriak untuk mendukung para pemimpin kelompok yang diharapkan akan menang.

Seperti yang diharapkan oleh Ki Tumenggung Jayayuda, maka pendadaran itu sendiri berlangsung dengan jujur. Tidak ada seorangpun diantara mereka yang ikut dalam pendadaran itu berniat buruk.

Di arena sebelah kanan, seorang pemimpin kelompok yang bertubuh raksasa telah turun pertama kali diarena. Lawannya memang tidak bertubuh sebesar pemimpin kelompok itu, tetapi seorang yang bertubuh tinggi. Namun tidak terlalu besar. Meskipun demikian, orang itu tubuhnya nampaknya liat sekali.

Ketika mereka mulai bertempur, maka segera nampak bahwa keduanya nampaknya memang seimbang. Yang bertubuh raksasa memiliki kekuatan yang besar, sementara yang bertubuh tinggi mampu bergerak dengan cepat. Serangan-serangan kakinya yang mendatar, kadang-kadang terayun melingkar, memang terasa sangat berbahaya bagi lawannya.

Tetapi lawannya yang bertubuh raksasa itu bagaikan berkulit badak. Sekali dua kali tubuhnya dikenai serangan lawannya yang bertubuh tinggi itu, namun seakan-akan tidak terasa sama sekali.

Diarena yang satu lagi, dua orang pemimpin kelompok yang baik dari ujud tubuhnya, maupun kemampuannya benar-benar nampak seimbang. Keduanya kuat dan tangkas.

Sorak para prajurit yang menyaksikan pendadaran itu semakin meninggi. Bahkan ada diantara mereka yang melonjak-lonjak kegirangan. Namun yang oleh orang yang berdiri dibelakang orang yang melonjak-lonjak itu digamit pundaknya. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang menggamitnya itu memberi isyarat agar orang itu tidak menutupinya.

Satu demi satu pertempuran berakhir. Para Pandhega yang mengamati pertarungan itu benar-benar berpegang pada paugeran. Yang memang sudah dapat dipastikan kalah, segera dinyatakan kalah, sebelum keadaan menjadi semakin buruk.

Kasadha menjadi berdebar-debar ketika ia melihat disisi sebelah kiri, seorang dari pemimpin kelompoknya telah memasuki arena. Pemimpin kelompoknya yang tertua.

Kasadha merasa beruntung, bahwa pada putaran pertama kedua orang pemimpin kelompoknya tidak turun kearena dalam waktu yang bersamaan. Dengan demikian, ia dapat menunggui pemimpin kelompoknya yang banyak memperhatikan kehidupan pribadinya itu.

Ketika kedua orang pemimpin kelompok itu mulai bertempur diarena, maka Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak melihat bahwa pemimpin kelompoknya itu akan mengalami kesulitan, meskipun kemungkinan apapun dapat saja terjadi. Namun Kasadha berharap bahwa orangnya itu akan dapat mengatasi lawannya.

Tetapi pemimpin kelompok didalam pasukan Kasadha itu bukan seorang yang terbiasa membanggakan diri sendiri. Karena itu, maka iapun tidak dengan serta merta menghancurkan lawannya. Ia masih ingin menghargai lawannya dan tidak menanamkan dendam dihatinya. Karena itu, maka iapun telah meningkatkan kemampuannya perlahan-lahan sehingga pertempuran diantara kedua orang pemimpin kelompok itu menjadi seru.

Namun akhirnya, mulai nampak pula bahwa anak buah Kasadha itu semakin menguasai arena. Sehingga beberapa saat kemudian, maka anak buah Kasadha itu telah dinyatakan menang.

Beberapa saat berikutnya, maka disisi lainpun telah terjadi hal yang sama. Meskipun lawan pemimpin kelompok yang seorang lagi harus berhadapan dengan seorang yang berwajah garang dan berkumis melintang. Namun akhirnya anak buah Kasadha itupun dapat memenangkan pertempuran itu.

Ketika pendadaran putaran pertama selesai, maka para pemimpin kelompok itupun mendapat waktu untuk beristirahat. Namun ternyata bahwa matahari telah mulai turun.

Dihari pertama itu, masih belum dapat dipilih siapakah yang terbaik diantara sepuluh orang diarena sebelah kiri dan sepuluh orang diarena sebelah kanan. Karena itu, rnaka pendadaran itu akan dilanjutkan pada hari kedua.

Ternyata dihari kedua, disebelah kiri, pada putaran terakhir, pemimpin kelompok dari kesatuan yang dipimpin Kasadha, berhadapan dengan pemimpin kelompok dibawah pimpinan Ki Lurah Lenggana, sedang disisi yang lain seorang pemimpin kelompok yang seorang lagi berhadapan dengan anak buah Ki Lurah Bantaradi.

Kasadha memang menjadi berdebar-debar. Kedua orang Lurah Penatus itu adalah orang-orang yang sangat membanggakan dirinya sehingga kenangan yang demikian itu tentu akan menjalar pula pada anak buahnya.

Demikian pertempuran dikedua arena itu dimulai maka pertempuran langsung menjadi keras. Sementara itu, para prajurit yang menyaksikannya bersorak-sorak tanpa terkendali lagi. Mereka bahkan bertepuk, berteriak, menjerit dan sekali-sekali terdengar mereka menyebut nama orang-orang yang sedang bertempur itu.

Ki Rangga Prangwiryawan yang berada didalam arenapun ternyata ikut tegang. Ia tahu bahwa yang sedang bertempur itu adalah anak buah Ki Lurah Lenggana melawan anak buah Ki Lurah Kasadha. Ki Rangga Prangwiryawan memang berharap bahwa anak buah Ki Lurah Lenggana dapat memenangkan pertempuran itu.

Tetapi di arena itupun terdapat Ki Tumenggung Jayayuda sendiri, sehingga dengan demikian, maka Ki Rangga Prangwiryawan harus benar-benar bertindak adil.

Diarena yang lain, anak buah Ki Lurah Bantaradi pun ternyata telah dijalari sifat Lurahnya. Iapun merasa seakan-akan seorang pemimpin kelompok terbaik dari antara semua pemimpin kelompok yang ada di barak itu.

Namun mereka tidak dapat memaksa lawan-lawan mereka untuk segera tunduk. Baik anak buah Ki Lurah Lenggana maupun anak buah Ki Lurah Bantardi. Mereka harus mengakui perlawanan yang kuat dan gigih dari anak buah Ki Lurah Kasadha itu.

Kasadha sendiri menyempatkan diri untuk melihat kadang-kadang disisi sebelah kiri, kadang-kadang disisi sebelah kanan. Namun jantung Kasadha terasa tidak terlalu cepat berdetak melihat pertarungan itu. Sebagai seorang yang berilmu, maka Kasadhapun cepat mengerti, bahwa kedua orang pemimpin kelompoknya itu memiliki kelebihan dari lawan-lawan mereka. Baik anak buah Ki Lurah Lenggana maupun anak buah Ki Lurah Bantardi sejak pertarungan dimulai telah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya. Nampaknya kedua orang pemimpin kelompok itu telah mendapat pesan yang sama. Mereka harus mengalahkan lawan-lawan mereka secepatnya.

Tetapi jika hal itu tidak dapat mereka lakukan, maka kekuatan merekapun akan segera menyusut. Jika demikian, maka keseimbangan akan segera berbalik.

Kasadha yang mengamati pertempuran itupun melihat kemungkinan itu. Ketikkanak buah Ki Lurah Lengga-na dan anak buah Ki Lurah Kasadha mulai kehilangan lapisan-lapisan kekuatan mereka, maka Ki Lurah Kasadhapun yakin, bahwa kedua orang pemimpin kelompoknya itu akan memenangkan pertarungan.

Ki Tumenggung Jayayuda menunggui arena pertarungan bersama Ki Rangga Prangwiryawan dan seorang Lurah Penatus, telah melihat pula kemungkinan itu. Demikian pula Ki Rangga Wirayuda dan Ki Rangga Dipayuda.

Namun sebagai penengah mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat menentukan keputusan berdasarkan kenyataan yang terjadi di arena.

Diluar sadar, kedua orang pemimpin kelompok anak buah Kasadha itu telah ikut pula merasa kurang senang terhadap anak buah Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi. Karena itu, maka keduanya justru ingin menunjukkan kelebihan mereka dari lawan-lawan mereka itu.

Karena itulah, maka ketika kedua orang lawan mereka telah kehilangan sebagian dari tenaga mereka, maka kedua orang anak buah Kasadha itu mulai menunjukkan unsur-unsur gerak yang mendebarkan meskipun tidak mereka trapkan dengan sungguh-sungguh sehingga membahayakan nyawa lawannya.

Para prajurit yang menyaksikan pertarungan itu justru mulai mengagumi kedua pemimpin kelompok anak buah Kasadha itu. Justru karena mereka tidak dengan sungguh-sungguh mempergunakan unsur-unsur gerak yang sebenarnya sangat berbahaya, maka para prajurit itupun seakan-akan justru telah berpihak kepada mereka. Apalagi karena mereka tahu sifat Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi.

Demikianlah, akhirnya, maka pertempuran itupun berakhir. Ki Tumenggung Jayayuda disatu sisi dan Ki Tumenggung Dipayuda disisi lain telah menentukan, bahwa pemenangnya kedua-duanya adalah pemimpin kelompok dibawah pimpinan Ki Lurah Kasadha.

Sorakpun mengguruh. Bukan hanya anak buah Kasadha, tetapi hampir semua prajurit yang menyaksikan telah menganggap bahwa sudah sepantasnya keduanya mendapat sebutan pemimpin kelompok terbaik.

Ki Tumenggung Jayayudalah yang kemudian menyatakan, bahwa keduanya adalah pemimpin kelompok terbaik dalam olah kanuragan. Tetapi sekali lagi Ki Tumenggung memperingatkan, bahwa penilaian dari seorang pemimpin tidak tergantung sepenuhnya pada kemampuan olah kanuragan.

Barak itu memang menjadi ramai membicarakan kemenangan kedua orang itu. Yang menarik adalah, bahwa kedua-duanya adalah pemimpin kelompok didalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Kasadha.

Dengan demikian, maka bukan saja kedua orang yang menang itu sajalah yang mendapat ucapan selamat. Tetapi juga Kasadha. Bahkan Ki Tumenggung Jayayuda telah memberikan pernyataan bergembira kepada kedua orang pemimpin kelompok itu serta juga kepada Kasadha.

Kepada Kasadha Ki Tumenggung Jayayuda berkata, “Keduanya memang pantas disebut sebagai pemenang. Keduanya tidak sekedar mempergunakan tenaga dan kekuatannya. Bukan pula kecepatan gerak dan ketrampil-an olah kanuragan. Tetapi keduanya telah mempergunakan otak mereka. Itulah sebabnya, jika keduanya kelak ikut dalam pendadaran diantara para Lurah Penatus, maka dapat diharapkan, bahwa keduanya tidak segera dapat dikalahkah.”

“Terima kasih Ki Tumenggung,“ sahut Kasadha sambil mengangguk hormat, “mudah-mudahan keduanya dapat memberikan pengabdian yang lebih berarti bagi pasukannya dan bagi Pajang.”

Namun dalam pada itu, ketika diadakan pertemuan diantara para Pandhega, maka Ki Rangga Prangwiryawan mengusulkan, agar dicegah terjadinya dua orang pemimpin kelompok dari satu kesatuan maju mewakili para pemimpin kelompok.

“Itu tidak adil,“ justru Ki Tumenggung Jayayuda yang menjawab, “sebelumnya hal seperti itu tidak pernah disebutkan. Karena itu, biar saja paugeran itu berlaku sesuai dengan bunyinya.”

Ki Rangga Prangwiryawan tidak berani membantah. Nampaknya Ki Tumenggung Jayayuda semakin memperketat ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana telah disepakati.”

Karena itu, maka kedua orang pemimpin kelompok yang sudah dinyatakan sebagai pemenang dikedua lingkungan arena pendadaran itulah yang akan ikut bertanding diputaran selanjutnya, diantara para pemimpin pasukan yang jumlahnya sepuluh orang Lurah Penatus.

Pada malam harinya, Ki Rangga Prangwiryawan telah memberikan pengumuman, bahwa pertarungan pada putaran berikutnya, akan berlangsung sepekan lagi.

Barak itupun kemudian telah menjadi ramai lagi. Para pemimpin kelompok yang baru saja memasuki arena, masih merasa sangat letih. Bahkan ada diantara mereka yang tubuhnya menjadi biru memar. Ada yang punggungnya sakit dan ada yang giginya patah.

Namun dengan pengarahan yang mapan sebelumnya, perasaan dendam memang tidak tumbuh diantara para pemimpin kelompok itu. Yang kalah memang harus mengaku kalah. Sementara dua oran yang menang boleh merasa bangga. Apalagi mereka dapat mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya, yang dapat dianggap sebagai tataran yang lebih tinggi.

Ternyata waktu yang sepekan itupun telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh para Lurah Penatus yang akan turun diarena pendadaran. Demikian pula oleh kedua orang pemimpin kelompok dalam pasukan Kasadha itu. Mereka masih saja berlatih bersama Kasadha.

Kepada Ki Rangga Dipayuda Kasadha berkata, “Ki Rangga, apakah semua Lurah Penatus harus ikut?“

“Ya. Kasadha. Nampaknya memang demikian,“ jawab Ki Rangga.

“Bagaimana bagi mereka yang sakit atau yang benar-benar berhalangan?“ bertanya Kasadha.

“Tentu mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk menjadi pemenang,“ jawab Ki Rangga Dipayuda.

“Ki Rangga. Bagaimana jika aku termasuk dari antara orang yang tidak dapat ikut?“ bertanya Kasadha.

“Kasadha, semula aku mengira bahwa pendadaran semacam ini dilakukan dengan sukarela. Siapa yang menyatakan diri untuk ikut, akan dinyatakan sebagai pengikut. Tetapi ternyata tidak. Semua orang dalam jabatan Lurah Penatus harus ikut serta.”

“Tetapi aku sama sekali tidak tertarik untuk ikut serta,“ berkata Kasadha.

“Kau tidak mempunyai pilihan,“ berkata Ki Rangga Dipayuda,

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian bertanya, “Ki Rangga. Aku sebenarnya menjadi bingung. Jika aku berusaha untuk menang, maka orang-orang yang tidak menyenangi aku akan menjadi semakin tidak senang. Tetapi jika aku membiarkan diriku kalah, maka nuraniku tidak dapat menerima kekalahan itu. Mungkin aku seorang pendendam Ki Rangga. Jika aku kalah, maka aku berusaha untuk menebusnya dikesempatan lain. Namun jika orang lainpun bersikap seperti itu, bukankah akan timbul persoalan dikemudian hari?”

“Sudahlah Kasadha,“ berkata Ki Rangga, “kau harus menerima perlakuan ini. Jika kau memang mampu memenangkan pertandingan, menangkan itu. Bahkan menurut aku, jika kau mampu menunjukkan kemampuanmu, tunjukkanlah yang tertinggi daripadanya. Apapun akibatnya. Karena dengan demikian, maka kau sudah menyatakan dirimu sebagaimana adanya. Jika hal itu berakibat baik, sokurlah. Jika tidak, maka kau tidak akan tanggung-tanggung menghadapinya. Bahkan jika nanti pada saat terakhir kau harus berhadapan dengan Ki Rangga Prangwiryawan sendiri. Jika kau mampu mengalahkan, kalahkan orang itu secepat-cepatnya. Satu kesempatan yang baik bagimu, justru dihadapan Ki Tumenggung Jayayuda. Tetapi seandainya kau memang kalah, maka bukan kah itu wajar jika seorang Lurah dapat dikalahkan oleh seorang Rangga dalam jajaran keprajuritan?”

Kasadha mengangguk-angguk. Pesan Ki Rangga Dipayuda itu benar-benar sangat berarti baginya. Meskipun ia masih harus mempertimbangkan masak-masak, namun seandainya ia berbuat demikian, maka ia tidak dianggap bersalah.

Dengan demikian, maka Kasadha telah mempergunakan waktu yang ada itu sebaik-baiknya. Ia masih berusaha untuk meningkatkan kemampuan kedua orang pemimpin kelompoknya. Namun disamping itu, Kasadhapun telah menyiapkan dirinya sendiri.

Bahkan pada saat terakhir Kasadha berkata kepada diri sendiri, “Orang-orang dalam barak itu sudah terlanjur menganggap aku sebagai Lurah Penatus yang terbaik. Aku tidak boleh mengecewakan mereka. Bahkan seandainya aku harus berhadapan dengan Ki Rangga Prangwiryawan.”

Kedua orang pemimpin kelompoknya, yang menyaksikan bagaimana Kasadha berlatih menjadi heran. Keping-keping batu telah dipecahkannya dengan sisi telapak tangannya. Tiga jari-jari tangannya yang merapat mampu menghunjam ke batu-batu padas. Sementara serangan kakinya dapat memecahkan gumpalan-gumpalan lereng pebukitan.

Kedua orang pemimpin kelompok itu justru termangu-mangu, Mereka sudah mengetahui betapa tinggi ilmu Kasadha. Namun ketika mereka menyaksikan latihan-latihan yang bersungguh-sungguh, maka jantung mereka masih berdegup keras.

“Jika saja aku yang harus menghadapinya, maka aku akan mati berdiri,“ desis salah seorang dari mereka. Kawannya tersenyum. Katanya, “Batu itu tentu lebih keras dari kepala kita.”

“Bedanya, batu itu tidak dapat melarikan diri,“ sahut kawannya yang pertama.

Keduanya menahan tertawanya. Sementara Kasadha berlatih semakin keras.

Namun dalam pada itu, pada kesempatan lain, kedua orang pemimpin kelompok itulah yang berlatih. Kasadha mengajari mereka untuk memanfaatkan pernafasannya yang teratur dalam paduan mengerahkan tenaga dalam. Penguasaan urat-urat didalam tubuhnya serta simpul-simpul syarafnya.

Meskipun kedua orang pemimpin kelompok itu masih juga mampu meningkatkan kemampuannya, tetapi mereka merasa terlalu kecil dihadapan Kasadha yang mewarisi dasar-dasar ilmu dari Ki Ajar Paguhan.

Sekali-sekali Kasadha teringat akan ibunya yang mampu melandasi penguasaan diri dalam pengaruh terangnya bulan. Namun baginya, pengaruh itu tidak usah disadap dari terangnya bulan atau matahari atau keremangan senja dalam temaramnya siang yang beralih keserambi malam. Tetapi pengaruh itu dapat tumbuh atas dasar kehendak yang mantap dan bulat. Itulah sebabnya, maka setiap saat Kasadha dapat membangunkan kekuatannya yang menggetarkan.

Kasadha benar-benar sudah berniat melakukan sebagaimana disarankan oleh Ki Rangga Dipayuda. Jika ia ingin mengalah, ia harus kalah pada putaran pertama. Tetapi jika ia menang pada putaran pertama, maka itu berarti ia harus menang sampai putaran terakhir.

Demikian dari hari ke hari, Kasadha menjadi semakin menggetarkan jantung kedua orang pemimpin kelompoknya. Namun mereka ikut merasa bangga dan bahkan memastikan, bahwa Kasadha memang orang terbaik di barak itu.

Namun Kasadha selalu berpesan, bahwa mereka tidak boleh membocorkan latihan-latihan itu. Biarlah mereka melihat dan menilai pada saatnya.

“Jika mungkin aku masih akan menghindari pendadaran yang aneh itu,“ berkata Kasadha.

Akhirnya hari yang mendebarkan itupun datang juga. Ada sepuluh orang Lurah Penatus yang harus mengikuti pendadaran untuk menentukan seorang yang terbaik dalam olah kanuragan. Sedangkan dua orang pemimpin kelompok akan ikut pula diantara para Lurah Penatus. Kedua-duanya adalah anak buah Kasadha.

Menjelang hari-hari yang ditentukan bagi pendadaran itu, maka setiap Lurah Penatus telah merasa bersiap sepenuhnya. Pertandingan itu tentu akan menjadi lebih menarik daripada sepekan yang lalu, karena yang akan turun ke arena adalah mereka yang pada umumnya lebih berpengalaman dari para pemimpin kelompok. Umur merekapun tidak lagi terlalu muda kecuali Kasadha. Namun bagi Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi, Kasadha adalah anak-anak yang baru mulai tumbuh. Betapapun besar tenaganya, namun pengalamannya tentu belum banyak dan apalagi landasan ilmunyapun tentu masih sangat tipis.

Karena itu, maka bagi kedua orang yang merasa dirinya terbaik itu, maka Kasadha tidak terlalu banyak diperhitungkan.

Namun sebenarnyalah diantara kedua orang Lurah itu telah terjadi persaingan dengan diam-diam. Meskipun keduanya nampak baik, namun keduanya merasa yang satu lebih baik dari yang lain.

“Yang akan menentukan adalah arena pertandingan,“ berkata Bantardi didalam hatinya.

Namun merekapun menyadari, bahwa pertandingan yang hanya diikuti oleh dua belas orang itu tentu tidak akan dapat diselesaikan dalam sehari. Bahkan mungkin tidak dalam dua hari.

Demikian matahari terbit, maka pendadaran yang aneh itupun siap untuk dimulai. Seperti yang terdahulu, Ki Tumenggung Jayayuda telah memberikan sesorah pendek. Bahkan iapun berkata, “Nah, dengan cara ini, kita bersama-sama telah memacu diri untuk berlatih lebih baik dari hari-hari sebelumnya.”

Setelah Ki Tumenggung, maka Ki Rangga Prangwiryawan telah membacakan paugeran yang harus ditaati oleh para peserta pendadaran. Semua Lurah Penatus memang harus ikut serta, sehingga sama sekali tidak ada kesempatan bagi Kasadha untuk menghindar.

Seperti yang terdahulu, maka semua peserta lebih dahulu harus mengambil undian. Siapakah yang akan turun lebih dahulu ke arena. Dan siapakah lawan mereka masing-masing.

Yang dipergunakan memang hanya satu arena pertandingan, agar dengan demikian Ki Tumenggung dan para Pandhega dapat lebih memusatkan perhatian mereka.

“Kita tidak tergesa-gesa. Jika tidak selesai hari ini, kita lanjutkan esok pagi. Jika masih juga belum selesai, kita teruskan lusa. Bukankah Pajang tidak segera akan berperang?“ berkata Ki Tumenggung Jayayuda menanggapi usul Ki Rangga Prangwiryawan untuk mempergunakan dua arena.

Ketika waktunya telah tiba, serta matahari mulai beranjak naik, maka telah terdengar bende berbunyi sebagai pertanda pendadaran telah dimulai.

“Beruntunglah mereka yang bertanding terdahulu. Matahari belum begitu tinggi,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan.

Dua orang Lurah Penatus telah turun ke arena. Ternyata orang yang pertama bukan Ki Lurah Kasadha dan bukan pula salah seorang dari kedua pemimpin kelompoknya.

Kedua orang Lurah Penatus itu ternyata telah cukup matang. Keduanya tidak tergesa-gesa. Tetapi keduanya bergerak dengan sangat mapan.

Baru sejenak kemudian, serangan-seranganpun telah dilakukan. Semakin lama semakin cepat. Keduanya mulai meningkatkan kekuatan dan ilmu mereka sehingga pertempuranpun menjadi semakin seru.

Ternyata keduanya benar-benar memiliki kemampuan yang seimbang. Karena itu, maka keduanya memerlukan waktu yang cukup lama. Itulah agaknya keadaan yang menentukan kekalahan seorang diantara mereka. Bukan karena kelebihan ilmu dari yang lain. Tetapi Lurah Penatus yang lebih tua mulai kehilangan sebagian dari tenaganya. Nafasnya mulai terasa mengganggu, sehingga karena itu, maka siapakah yang akan memenangkan pertandingan itu sudah mulai terbayang.

Namun kekalahan yang terjadi adalah kekalahan yang terhormat sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung Prangwiryawan.

“Unsur umur dalam hal ini agaknya memang berpengaruh,“ berkata Ki Rangga, “tetapi sebenarnyalah ilmu dan kemampuan kedua Lurah Penatus itu seimbang.”

Ki Wirayuda dan Ki Dipayuda, seperti dalam pendadaran yang lewat, berusaha untuk berbuat seadil-adilnya. Mereka berdiri didalam arena lingkaran bersama dengan Ki Rangga Prangwiryawan. Keduanya mengamati setiap gerak dan langkah para peserta. Lebih dari itu, mereka juga berkewajiban untuk mencegah bukan saja kecurangan, tetapi apabila keadaan menjadi berbahaya.

Keduanya bersama-sama dengan Ki Rangga Prangwiryawan berhak memberikan peringatan, tegoran bahkan jika perlu menghentikan pertandingan.

Yang kemudian turun pada giliran kedua adalah salah seorang pemimpin kelompok anak buah Kasadha. Yang turun adalah pemimpin kelompok yang muda diantara keduanya.

Namun adalah kurang beruntung baginya, karena pada putaran pertama itu ia sudah berhadapan dengan Ki Lurah Lenggana.

Pemimpin kelompok itu tersenyum kepada Ki Lurah Kasadha ketika ia bangkit untuk memasuki arena. Justru katanya, “Jika aku kalah, aku tidak akan menyesal. Bukankah kekalahan itu wajar sekali.”

“Ya,“ desis Kasadha, “tetapi kau harus menunjukkan permainan yang baik. Pertempuran itu harus seimbang seperti yang baru saja terjadi, meskipun akhirnya kau akan kalah.”

Pemimpin kelompok itu mengangguk. Tetapi ia masih saja tersenyum. Ketika ia mulai melangkah, Kasadha telah menepuk bahunya sambil berdesis, “Hati-hatilah. Meskipun kau kalah, jangan ada yang terkilir.”

Sejenak kemudian, keduanya telah memasuki arena. Ki Lurah Lenggana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nasibku memang buruk. Undian itu menempatkan aku berhadapan dengan seorang pemimpin kelompok. Seharusnya aku berhadapan dengan seorang Lurah. Bagaimana jika kau bertukar tempat dengan Lurahmu?”

Pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya. Ia memang merasa tersinggung. Namun sebelum ia menjawab, Ki Rangga Dipayudalah yang imenyahut, “Jika demikian, apa gunanya undian?”

Ki Lurah Lenggana berpaling sekilas. Tetapi ia justru tersenyum. Meskipun tidak menjawab, tetapi seakan-akan ia berkata, “Melawan kaupun aku tidak gentar.”

Sejenak kemudian, Ki Rangga Prangwiryawan telah melangkah maju. Ketika keduanya sudah bersiap, maka iapun segera memberikan isyarat, agar pertandingan itupun segera dimulai.

Keduanya mulai bergeser dari tempatnya. Ternyata pemimpin kelompok itu justru menjadi sangat tenang. Ia sama sekali tidak membawa beban apapun saat memasuki arena. Jika ia kalah sekalipun, tidak akan adaorang yang merendahkannya, karena ia berhadapan dengan seorang Lurah Penatus. Apalagi Ki Lurah Lenggana yang menganggap dirinya orang terbaik dibarak itu. Tetapi jika menang, maka setiap orang akan memujinya.

Namun pemimpin kelompok itu menyadari, tidak akan mungkin dapat mengalahkan Ki Lurah Lenggana. Tetapi pemimpin kelompok itu berkata didalam hatinya, “Mudah-mudahan pada putaran berikutnya kau bertemu dengan lurahku. Ki Lurah Kasadha.”

***

Jilid 42

Kasadha yang menyaksikan pertandingan itu menjadi tegang. Ia melihat Ki Lurah Lenggana dengan bersungguh-sungguh ingin segera menghentikan perlawanan seorang pemimpin kelompok yang tidak diperhitungkannya sama sekali.

Namun niat Ki Lurah Lenggana itu tidak dapat dilakukannya. Ia tidak dapat mengalahkan pemimpin kelompok itu dalam sepuluh hitungan. Bahkan sekali-sekali pemimpin kelompok itu mampu mengejutkannya. Apalagi ketika tiba-tiba saja serangan pemimpin kelompok itu sempat mengenai betisnya. Satu sapuan yang tiba-tiba. Sambil menjatuhkan dirinya, pemimpin kelompok yang menghindari serangan tangan Ki Lurah Lenggana yang terayun, sekaligus telah menyapu kaki Ki Lurah.

Hampir saja Ki Lurah kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa pemimpin kelompok itu melakukannya dengan tergesa-gesa, sehingga tidak sempat membangunkan seluruh kekuatannya.

Ki Lurah Lenggana ternyata memang seorang yang tangkas. Dengan cepat ia menguasai dirinya dan keseimbangannya kembali, sehingga iapun telah berdiri dengan kokohnya pada kedua kakinya yang renggang. Namun pada saat itu juga, lawannya telah melenting berdiri dan berdiri pula sebagaimana dilakukan oleh Ki Lurah.

Sorak yang gemuruh seakan-akan telah mengguncang langit.Para prajurit yang melihat bagaimana pemimpin kelompok itu mampu mengimbangi kemampuan seorang Lurah Penatus yang bernama Lenggana itu. Seorang yang merasa dirinya lebih baik dari semua orang. Bahkan anak buahnya sendiri ternyata telah ikut bersorak mengagumi pemimpin kelompok itu.

Hanya beberapa orang diantara anak buahnya sajalah yang tidak ikut bersorak. Termasuk pemimpin kelompok yang gagal untuk memasuki putaran yang lebih tinggi itu.

Kasadha yang tegang itupun menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian, jika pemimpin kelompoknya itu kemudian dianggap kalah, namun ia telah menunjukkan sesuatu yang berarti. Ia sudah menyatakan dirinya, bahwa kemampuannya tidak terpaut terlalu banyak dengan orang yang menganggap dirinya terbaik itu.

Ki Lurah Lenggana memang menjadi sangat marah. Kecuali waktu yang dikehendaki telah jauh terlampui, ternyata orang itu hampir saja dapat menjatuhkannya. Jika hal itu terjadi, maka ia akan merasa sangat malu meskipun kemudian ia dapat memenangkan pertandingan itu.

Dengan demikian, maka pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Lurah Lenggana benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuannya. Sementara pemimpin kelompok itupun telah memeras apa yang ada padanya dalam olah kanuragan.

Tetapi setiap kali masih terdengar sorak yang melonjak tinggi. Pemimpin kelompok itu masih saja mampu melakukan perlawanan yang mengejutkan. Ditumpahkanya semua kekuatan dan kemampuan. Unsur-unsur gerak yang dipelajarinya dengan tuntunan Kasadha yang pada putaran pertama tidak dipergunakan dengan sepenuh tenaga, telah dihentakkannya pula. Meskipun serangan-serangannya akan menjadi berbahaya, tetapi pemimpin kelompok itu menyadari, bahwa Lenggana tentu akan dapat menghindari atau menangkisnya.

Namun sekali-sekali serangan itu mampu juga mengenai tubuh Laksana yang telah membuatnya semakin marah.

Tetapi sekali-sekali serangan itu mampu juga mengenai tubuh Laksana yang telah membuatnya semakin marah.

Tetapi ternyata bahwa bagaimanapun juga Lenggana masih mempunyai kelebihan. Keinginannya untuk menjadi orang terbaik ternyata mampu mempengaruhi daya tahanya. Meskipun pemimpin kelompok itu sudah mampu memadukan pernafasannya dalam irama tata geraknya dalam keseluruhan, namun akhirnya tenaganya mulai susut sedikit demi sedikit.

Sebenarnya tenaga Ki Lurah Lengganapun mulai menyusut pula. Tetapi kemauannya yang menyala didalam dadanya, membuatnya lebih kuat untuk bertahan.

Beberapa saat kemudian, maka pemimpin kelompok dibawah pimpinan Kasadha itupun tidak lagi memaksakan diri. Ia sudah menunjukkan kemampuannya mengimbangi kemampuan Ki Lurah Lenggana. Jika kemudian tenaganya mulai susut, maka lebih baik baginya untuk memberi kesempatan kepada Ki Lurah Lenggana untuk memenangkan perkelahian itu.

Sebenarnyalah, meskipun harus mengerahkan segenap kemampuan bahkan memeras tenaganya sampai tuntas, Ki Lurah Lenggana akhirnya memenangkannya juga. Sambil terengah-engah pemimpin kelompok yang dinyatakan kalah itu keluar dari arena. Bahkan sekali-sekali langkahnya agak menjadi sendat.

Namun pemimpin kelompok itu masih sempat tersenyum kepada kawan-kawannya yang mengucapkan selamat, meskipun hanya dengan sorot matanya karena kemampuannya untuk waktu yang cukup lama mengimbangi kemampuan Ki Lurah Lenggana.

Yang mengumpat tidak habis-habisnya, meskipun hanya didengarnya sendiri adalah Ki Lurah Lenggana. Bahkan dengan kasar ia berkata kepada salah seorang pemimpin kelompoknya, “Iblis mana yang telah membantunya, sehingga ia mampu bertahan untuk waktu yang cukup lama.”

Pemimpin kelompoknya tidak menjawab. Ki Lurah Lenggana itu juga terengah-engah. Nafasnya seakan-akan akan terputus dikerongkongan. Agaknya iapun telah mengerahkan kemampuannya habis-habisan. Namun pemimpin kelompoknya itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa pemimpim kelompok dibawah pimpinan Kasadha itu hanya berada selapis tipis dibawah Ki Lurah Lenggana yang merasa dirinya terbaik di seluruh isi barak itu.

Sementara itu pertarungan berikutnya telah mulai. Sepasang demi sepasang segera melaksanakan pendadaran yang bersifat semacam lomba ketangkasan olah kanuragan itu.

Dalam pada itu, pemimpin kelompok yang berada dibawah pimpinan Kasadha yang seorang lagi ternyata harus menghadapi seorang pemimpin kelompok yang memiliki tubuh raksasa. Namun raksasa itu agaknya seorang yang selalu saja tersenyum dalam keadaan apapun juga.

Perkelahian diantara keduanya terjadi dengan sangat serunya. Seperti pemimpin kelompok yang lain, maka pemimpin kelompok yang seorang inipun hampir saja dapat memenangkan pertandingan. Tetapi pemimpin kelompok itu ternyata masih dipengaruhi oleh perasaan segan dan justru karena memang tidak ada usaha untuk menang. Apalagi merasa harus menang. Itulah sebabnya, pada saat-saat terakhir, pemimpin kelompok itupun dapat dikalahkan oleh raksasa itu.

Namun demikian mereka keluar dari arena, raksasa itu menepuk bahu pemimpin kelompok itu sambil berkata, “Nampaknya kau memang mengalah.”

“Ah, tidak,“ jawab pemimpin kelompok itu, “kau memiliki tubuh dan sudah tentu kekuatan raksasa. Kulitmu seperti kulit badak air yang tidak merasa sakit apapun yang aku lakukan.”

Raksasa itu tersenyum seperti kebiasaannya. Katanya, “Nampaknya kau masih merasa segan untuk mengalahkan seorang Lurah Penatus. Kau masih mengingat harga diri orang lain. Aku harus berterima kasih kepadamu.”

“Tidak. Tidak. Aku memang harus mengakui kekalahar ini dengan ikhlas,“ jawab pemimpin kelompok itu.

Lurah Penatus yang bertubuh raksasa itu tertawa. Namun kemudian sambil menepuk bahu pemimpin kelompok itu, ia berkata, “Aku akan berganti pakaian.”

“Kau tidak menyaksikan perkelahian berikutnya? Bukankah kau akan turun di putaran kedua kelak?“ bertanya pemimpin kelompok itu.

“Sebenarnya aku tidak berhak turun keputaran kedua. Jika aku turun juga, agaknya hanya untuk menggenapi hitungan,“ orang itu tertawa lagi sambil melangkah pergi.

Kedua pemimpin kelompok itupun kemudian telah berdiri disebelah menyebelah Kasadha sambil menyaksikan pertarungan berikutnya. Pemimpin kelompok yang berkelahi melawan Lenggana harus mengeluh menahan sakit dipundak dan lambungnya.

“Nanti, aku akan mengobatimu,“ berkata Kasadha, “tetapi kau sudah menunjukkan sesuatu yang sangat berarti. Semua prajurit melihat, bahwa kemampuanmu tidak terpaut banyak dengan Lenggana.”

Namun demikian sambil menepuk bahu pemimpin kelompoknya yang lain Kasadha berkata sambil tersenyum, “Kau masih cukup segar. Apa kata lawanmu itu?”

“Ia mengira aku tidak bersungguh-sungguh,“ jawab pemimpin kelompok itu.

Kasadha tertawa kecil. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Apa jawabmu?”

“Aku mengatakan bahwa aku sudah bersungguh-sungguh. Tetapi ia tidak percaya,“ jawab pemimpin kelompoknya.

Masih sambil tertawa Kasadha berkata, “Seharusnya kau berjalan agak pincang, terbongkok-bongkok sambil mengerang sedikit.”

Kedua pemimpin kelompok itupun tertawa pula.

Sementara itu, datang giliran Kasadha turun ke lingkaran. Untunglah bahwa ia tidak bertemu dengan Ki Lurah Bantardi yang juga merasa dirinya terbaik.

Sudah diperhitungkan oleh hampir semua orang bahwa Kasadha akan menenangkan pertandingan itu. Tetapi Kasadha juga tidak berbuat semena-mena. Iapun menghormati lawannya sebagaimana diajarkan kepada para pemimpin kelompoknya. Sehingga karena itu maka pertandingan itu nampak seru dan seimbang. Beberapa kali Kasadha sempat juga terlempar jatuh. Meskipun dengan serta merta ia cepat bangkit. Demikian pula lawannya.

Lenggana dan Bantardi memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Namun yang mereka lihat adalah Kasadha masih juga belum pantas dikagumi. Ia masih mengalami kesulitan mengalahkan lawannya, seorang Lurah Penatus yang lebih kecil dan lebih pendek daripadanya.

Namun meskipun agak tersendat-sendat, Kasadha akhirnya dapat mengalahkan lawannya, sehingga Kasadha berhak mengikuti putaran berikutnya.

Demikian keduanya dinyatakan selesai, sambil tersenyum Kasadha menepuk lengannya sambil berkata, “Kau mempunyai daya tahan yang sangat baik.”

Tetapi Lurah itu menjawab, “Kau sakiti lambungku.”

“Aku tidak pernah mengenai lambungmu,“ desis Kasadha.

“Tanganku sendiri yang mengenai lambungku. Tetapi karena tekanan kakimu. Jika aku tidak melindungi lambungku dengan tanganku, mungkin aku akan muntah-muntah,“ jawab orang itu.

“Tetapi kau juga menyakiti tengkukku,“ desis Kasadha.

“Kau sendiri yang menyakitinya,“ jawab Lurah itu.

Kasadha tertawa. Katanya, “Ya. Aku mencoba berguling kebelakang. Tetapi justru leherku hampir patah.”

Lawan yang dikalahkan Kasadha itupun tertawa pula.

Pada hari itu, putaran pertama memang berakhir. Besok, mereka yang berhasil menang diputaran pertama akan memasuki putaran kedua, sehingga akhirnya hanya akan ada tiga orang saja yang keluar sebagai pemenang. Ketiga orang ini akan saling berhadapan dihari-hari berikutnya. Sehari satu pasang, sehingga pertempuran diputaran terakhir itu akan berlangsung tiga hari.

Dihari kedua terjadi putaran kedua yang hanya terdiri enam orang. Terhadap mereka tidak dilakukan undian. Tetapi Ki Rangga Prangwiryawan telah menunjuk tiga orang, Kasadha, Lenggana dan Bantardi berhadapan dengan tiga orang Lurah Penatus yang lain. Nampaknya Ki Rangga dengan sengaja ingin mensisakan ketiga orang Lurah itu untuk bertemu di putaran terakhir.

Sebenarnyalah sesuai dengan perhitungan Ki Rangga, setelah putaran kedua selesai, maka yang menang adalah Ki Lurah Lenggana, Bantardi dan Kasadha. Dengan demikian maka ketiga orang itu akan saling berhadapan. Justru mereka akan diundi, siapa yang akan tampil dihari pertama. Siapa yang akan bertanding dihari kedua dan siapa yang akan mengakhiri pertandingan pada putaran ketiga itu.

Setelah dibicarakan diantara para pemimpin barak itu, maka pertandingan putaran terakhir akan berlangsung sepekan mendatang. Hari pertama dan hari kedua berselang satu hari. Demikian pula dengan hari ketiga.

Namun undian telah dilakukan, begitu putaran kedua diselesaikan.

Pada hari yang pertama diputaran terakhir itu Lenggana akan tampil melawan Kasadha. Kemudian setelah beristirahat sehari, maka Kasadha akan tampil melawan Bantardi. Dihari terakhir, berselang pula sehari, maka Bantardi akan berhadapan dengan Lenggana.

Dengan demikian Lenggana mendapat sedikit keuntungan, karena ia dapat beristirahat lebih panjang dari kedua orang kawannya yang lain. Namun kedua orang Lurah Penatus yang lain tidak dapat merasa iri, karena hal itu ditentukan oleh sebuah undian.

Ternyata saat-saat menunggu hari-hari pertandingan pada putaran terakhir itu terasa sedikit tegang. Para Lurah Penatus yang akan turun ke lingkaran pertandingan mempunyai waktu lima hari. Mereka tidak dapat meningkatkan ilmu mereka dalam waktu yang pendek itu. Tetapi ilmu itu semisal pisau, mereka akan dapat mengasahnya sehingga menjadi tajam meskipun dengan dasar benda yang sama.

Sebenarnyalah para pemimpin pasukan itu telan mengasah kemampuan mereka ditempat yang terpisah. Ki Lurah Lenggana justru mempergunakan sanggar terbuka. Hanya sekali-sekali saja ia mempergunakan sanggar tertutup. Sementara Ki Lurah Bantardi sebaliknya. Ia lebih banyak berada disanggar tertutup. Hanya jika Ki Lurah Lenggana memerlukannya, Ki Lurah Bantardi akan berada di sanggar terbuka.

Kasadha berlatih ditempat yang terpisah sama sekali. Kedua orang pemimpin kelompoknya selalu menungguinya. Kadang-kadang berdua mereka menjadi lawan berlatih Kasadha. Namun keduanya tidak pernah dapat bertahan cukup lama.

Salah seorang pemimpin kelompoknya yang pernah bertanding melawan Lenggana berkata, “Ki Lurah. Jika Ki Lurah mau, maka Ki Lurah akan dapat mengalahkannya dalam waktu yang sangat singkat. Aku sudah pernah menjajagi ilmu Ki Lurah Lenggana, sementara ini aku sering mengikuti Ki Lurah Kasadha berlatih disini.

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali masih terngiang kata-kata Ki Rangga Dipayuda. Jika ia memang ingin dianggap kalah. Maka ia harus kalah pada putaran pertama. Sedangkan ia sendiri yakin, kekalahannya pada putaran pertama akan dapat menimbulkan persoalan, karena beberapa orang tentu tidak akan mempercayainya. Sedangkan jika ia memang sudah menang, maka ia harus menang sampai putaran terakhir. Bahkan Ki Rangga Dipayuda itupun berkata, bahwa ia harus tampil sebagaimana adanya. Jika ia dapat mengalahkan lawannya pada hitungan yang pertama, maka ia harus melakukannya. Apapun akibatnya kemudian.

Pemimpin kelompoknya yang tertua itupun kemudian berkata, “Jika mereka yakin akan kekalahan mereka, maka mereka tentu tidak akan berani berbuat apapun lagi.”

“Mungkin kau benar,“ berkata Kasadha, “aku akan mengalahkankan mereka dengan cara yang meyakinkan. Apapun akibatnya.”

Niat itu memang telah menjadi bulat dihati Kasadha. Dengan demikian maka iapun telah berlatih semakin keras. Dipergunakannya waktunya yang sepekan itu dengan sebaik-baiknya. Kasadha telah mengasah ilmunya sampai ketajaman yang tidak mungkin ditingkatkan lagi dalam waktu yang pendek itu.

Dari hari kehari, ketiga orang Lurah Penatus itu telah berlatih dengan sebaik-baiknya. Sehingga ketika hari yang ditentukan tiba, maka ketiga orang itupun telah bersiap menghadapi arena yang tentu akan menjadi semakin garang.

Demikianlah, arenapun telah disiapkan. Sedikit lebih luas dari arena yang pernah dipergunakan sebelumnya. Ketiga orang Lurah Penatus itu tentu akan berjuang dengan sekuat tenaga, agar mereka dapat menjadi orang terbaik di barak itu.

Namun hal-hal yang dicemaskan itupun mulai nampak. Bukan saja para Lurah Penatus yang nampak menjadi agak asing yang satu dengan yang lain. Tetapi orang-orang didalam pasukannyapun menjadi agak terpengaruh. Mereka mulai saling mengejek sehingga kadang-kadang menimbulkan suasana yang tidak dikehendaki.

Ki Tumenggung secara dini telah memperingatkan Ki Rangga Prangwiryawan, agara mampu membatasi perasaan para prajurit sehingga tidak terjadi salah paham.

Ketika ketiga orang yang akan memasuki putaran terakhir itu sudah siap sebelum dihari pertama Kasadha dan Ki Lurah Lenggana akan bertanding, Ki Tumenggung masih juga memberikan beberapa peringatan.

Terakhir Ki Tumenggung berkata, “Sampai hari ini tidak terjadi salah paham diantara kalian. Apalagi kalian bertiga adalah orang-orang terbaik di barak ini, sehingga pada kalianpun tentu tidak akan terjadi salah paham.”

Ketiga orang yang masih akan bertanding di putaran terakhir itu mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah bahwa dihati mereka masih saja berkobar keinginan untuk disebut bukan saja tiga orang terbaik, tetapi orang yang terbaik di barak itu.

Demikianlah, ketika semuanya sudah siap, maka sesuai dengan undian, maka yang akan turun ke arena adalah Kasadha dan Lenggana. Keduanya adalah Lurah yang memiliki kemampuan yang tinggi. Mereka telah memenangkan pertandingan pada putaran-putaran sebelumnya.

Karena itulah, maka perhatian para prajuritpun telah tertumpah sepenuhnya pada arena pertandingan. Para prajurit yang bertugas merasa sangat kecewa bahwa mereka tidak sempat menyaksikan pertandingan puncak dari rangkaian pertandingan-pertandingan yang telah diselenggarakan di barak itu.

Ketika keduanya telah bersiap di arena, Ki Rangga Prangwiryawanpun masih juga membacakan paugeran dari pertandingan yang diselenggarakan di barak itu. Namun demikian ia selesai, maka para prajuritpun telah bersorak gemuruh. Rasa-rasanya para prajurit itu sudah tidak sabar lagi’ menunggu, apa yang akan terjadi di arena.

Tiga orang Pandhega bersama-sama berada di arena itu pula. Mereka akan mengawasi jalannya pertandingan. Mereka akan mengambil sikap dan kemudian menentukan siapakah yang pantas disebut pemenang. Sedangkan Ki Tumenggung Jayayuda langsung menunggui arena untuk mengamati bukan saja yang terjadi di arena, tetapi juga diluar arena.

Demikianlah, sejenak kemudian Kasadha dan Lengganapun telah bersiap menghadapi pertandingan yang tentu akan menjadi keras. Keduanya tentu tidak irijgin kalah meskipun masing-masing masih mempunyai kesempatan sekali lagi bertanding melawan Ki Lurah Bantardi. Namun Ki Lurah Bantardi juga seorang prajurit yang merasa memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain di barak itu, sehingga tentu tidak akan mudah pula mengalahkannya.

Untuk beberapa saat Kasadha masih sempat merenungi pertandingan yang akan dilakukannya itu. Ia masih sempat mengendapkan perasaannya, memahami arti dari peringatan yang diberikan oleh Ki Tumenggung Jayaraga serta paugeran yang dibacakan oleh Ki Rangga Prangwiryawan.

Karena itu, maka ia menghadapi Ki Lurah Lenggana dengan penuh kesadaran, bahwa yang dilakukan itu adalah sekedar pendadaran. Bukan perang tanding sampai tuntas.

Ki Lurah Lengganapun menyadari pula hal itu. Namun ia masih dibebani oleh keinginannya untuk menjadi orang terbaik di barak itu. Karena itu, maka ada semacam dorongan keharusan untuk memenangkan pendadaran itu.

Namun sejak semula Ki Lurah Lenggana memang tidak menganggap Kasadha seorang yang cukup mempunyai bekal ilmu. Jika ia mendengar beberapa orang mengatakan bahwa Ki Lurah Kasadha adalah seorang prajurit yang bukan saja berani dimedan perang, tetapi juga memiliki bekal ilmu yang tinggi, maka Ki Lurah Lenggana selalu tersenyum hambar.

“Seberapa tingginya ilmu Kasadha itu? Mungkin para prajurit di barak ini tidak tahu seberapa tataran ilmu bagi seorang Lurah Penatus yang sewajarnya,“ berkata Ki Lurah Lenggana itu didalam hatinya. Namun iapun tidak dapat ingkar dari satu kenyataan, bahwa hampir saja ia mendapat malu diputaran pertama pendadaran itu, ketika ia berhadapan dengan salah seorang pemimpin kelompok dari pasukan Ki Lurah Kasadha itu.

“Aku terlalu merendahkannya sehingga aku menjadi lengah,“ Ki Lurah Lenggana masih mencoba untuk membela diri.

Dalam pada itu, maka kedua orang Lurah itupun segera mulai bergeser ketika isyarat telah diberikan. Ketika Kasadha bergerak mendekati lawannya, maka Ki Lurah Lenggana itu nampak tersenyum. Bahkan berkata meskipun lirih, “Aku ingin melihat apakah ceritera tentang kebesaran nama Kasadha bukan hanya sekedar satu khayalan.”

Kasadha mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Namun Kasadha itu mulai menggerakkan kakinya mengarah ke tubuh Ki Lurah Lenggana meskipun baru sekedar untuk menggelitik lawannya.

Tetapi tidak diduga sama sekali. Justru pada saat pendadaran itu baru dimulai, Ki Lurah Lenggana telah menyiapkan serangan yang menentukan. Demikian kaki Kasadha bergerak, Ki Lurah Lenggana telah meloncat dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti pandangan mata kewadagan. Demikian cepat dan bersungguh-sungguh.

Kasadha memang terkejut sekali. Ia tidak mengira bahwa Lenggana telah melakukan serangan yang demikian dahsyatnya pada permulaan pertandingan itu.

Karena itu, maka Kasadha tidak mempunyai banyak kesempatan. Yang dapat dilakukan untuk menghindari serangan itu adalah meloncat surut. Tetapi demikian Kasadha berdiri tegak, sebuah serangan telah menyusul. Kaki Lenggana terayun dalam putaran yang cepat dan deras mendatar menggapai kening. Agaknya Lenggana sama sekali tidak ragu-ragu lagi untuk dengan cepat menghindari pendadaran itu. Pengalamannya melawan pemimpin kelompok yang hampir saja membuatnya malu dihadapan para prajurit selalu diingatnya dengan baik. Apalagi ketika ia berhadapan langsung dengan Kasadha, bukan sekedar salah seorang pemimpin kelompoknya.

Namun Lengganapun sempat berpikir, bahwa dapat saja terjadi seorang pemimpin kelompok memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Lurah Penatusnya.

Ternyata serangan yang berikutnya itu membuat Kasadha semakin sulit. Yang dapat dilakukannya adalah melindungi keningnya dengan kedua tangannya yang bersilang. Namun karena hal itu dilakukan tergesa-gesa justru pada saat ia sedang mengelakkan serangan sebelumnya, maka benturan yang terjadi telah membuatnya hampir saja kehilangan keseimbangannya. Beberapa langkah ia terdorong surut. Namun kemampuannya yang tinggi telah menolongnya sehingga Kasadha masih tetap tegak berdiri. Bahkan dengan cepat Kasadha telah bersiap untuk menghadapi kemungkinan berikutnya.

Lenggana yang hampir saja sempat mengakhiri pendadaran justru saat pendadaran itu baru mulai, memang menjadi kecewa. Benturan yang terjadi telah membuatnya tergetar pula. Meskipun Kasadha terdorong beberapa langkah surut, namun Lenggana gagal untuk dengan cepat memburunya. Ia tidak segera dapat meloncat menyerang dengan serangan berikutnya yang memang sudah diperhitungkan apabila serangan keduanya tidak dapat menjatuhkan Kasadha. Tetapi ternyata bahwa benturan itu telah mendorongnya selangkah surut, meskipun ia tidak terguncang seperti Kasadha.

Meskipun demikian, namun hati Lenggana telah menjadi semakin besar. Ia merasa bahwa dalam waktu yang singkat ia akan dapat mengakhiri perlawanan Kasadha yang oleh beberapa orang masih saja dikagumi dan disebut-sebut, meskipun pertempuran yang dilakukan dengan gagah berani menurut orang-orang yang mengaguminya itu telah dilakukan beberapa lama.

Dalam pada itu Kasadha telah mengatupkan giginya rapat-rapat. Dikibaskannya keringat dikeningnya, seakan-akan ia ingin mengibaskan kesan buruk pada saat pendadaran itu baru saja dimulai.

Sementara itu, para prajurit yang menyaksikan pendadaran itupun terkejut pula. Apalagi para prajurit yang langsung berada dibawah pimpinannya. Beberapa orang justru terpekik.

Sedangkan Ki Rangga Dipayuda, yang ada didalam arena untuk mengawasi pendadaran itu, terkejut pula. Bahkan menjadi tegang sejenak.

Yang juga menjadi tersenyum karena hentakkan yang menyulitkan Kasadha itu adalah Ki Rangga Prangwiryawan. Sambil bergeser mendekati Lurah Penatus muda itu, ia sempat berdesis, “Hati-hati sedikit Ki Lurah Kasadha.”

Kasadha sempat berpaling kepadanya meskipun tidak menjawab. Sementara itu, kedua Pandhega yang lainpun telah memandanginya sekilas.

Ki Rangga Prangwiryawan menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia memandang berkeliling, mencari dimana Ki Tumenggung Jayayuda berdiri. Ternyata Ki Tumenggung itu berdiri tepat dibelakangnya, meskipun diluar gawar arena.

Sejenak kemudian, maka kedua orang Lurah Penatus itu telah bersiap. Ki Tumenggung Jayayuda sempat melihat, bahwa Ki Lurah Lenggana nampaknya memang bersungguh-sungguh. Wajahnya membayangkan gelora didalam dadanya sebagaimana seseorang yang memasuki arena perang tanding. Bukan sekedar pendadaran sebagaimana dimaksud oleh kegiatan yang diselenggarakan di barak itu.

Meskipun demikian, Lenggana masih belum melanggar paugeran dari pendadaran itu. Ia masih dalam batas-batas kemungkinan yang dapat dilakukan dalam pendadaran itu, meskipun sudah mendekati batas tertinggi.

Beberapa saat kemudian maka kedua orang itu masih bergerak selangkah-selangkah kecil. Kasadha memang menjadi lebih berhati-hati. Ternyata Ki Lurah Lenggana sama sekali tidak mengekang diri lagi. Bahkan seandainya serangannya yang sepenuh tenaga itu mengenai bagian-bagian yang paling lemah di tubuhnya, sehingga dapat benar-benar berbahaya bagi jiwanya.

Namun perlakuan Ki Lurah Lenggana itu memang telah menggugah kemarahan Kasadha. Meskipun demikian, Kasadha masih tetap menyadari, bahwa ia berada dalam arena pendadaran, meskipun dilakukan secara khusus.

Sejenak kemudian, maka Kasadha telah mengulangi pancingannya. Tetapi ia tidak akan terkejut lagi seandainya Ki Lurah Lenggana itu dengan tiba-tiba menyerangnya. Bahkan Ki Lurah Kasadha yang telah tersinggung oleh perlakuan Ki Lurah Lenggana pada benturan permulaan itu, telah bersiap secara khusus pula.

Seperti yang terdahulu Kasadha telah menggerakkan kakinya dengan serangan kecil mengarah ke perut Ki Lurah Lenggana. Bukan serangan yang sebenarnya.

Orang-orang yang melihat tata gerak Kasadha itu berdesah didalam hati. Kenapa Kasadha yang dianggap memiliki kemampuan yang tinggi itu telah mengulangi kesalahannya. Bahkan para prajurit itu sempat berdecak dan bertanya didalam hati, “Kenapa seperti itu lagi yang dilakukan oleh Ki Lurah Kasadha? Apakah ia tidak belajar dari pengalaman yang baru saja dialaminya.”

Namun semua orang menjadi tegang melihat peristiwa yang menyusul kemudian. Ki Lurah Lenggana memang terpancing untuk mengulangi keberhasilannya. Sebelum kaki Kasadha yang terjulur itu menyentuh tanah, maka Ki Lurah Lenggana telah melenting dengan cepat sekali sambil berputar. Sekali lagi kakinya menyapu dalam putaran setinggi kening Kasadha.

Tetap Kasadha tidak terkejut lagi. Ia justru mengharapkan satu serangan yang keras dari Ki Lurah Lenggana. Ternyata Ki Lurah Lenggana tidak mengayunkan kakinya mendatar mengarah kedadanya. Tetapi putaran yang deras mengarah ke kening seperti serangan yang kedua sebelumnya.

Kasadhapun ternyata mampu memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Sambil mengerahkan tenaga dan kemampuannya yang sudah terlatih dengan baik, maka Kasadha dengan sengaja telah membentur serangan itu dengan cara sebagaimana sebelum ia melindungi keningnya dengan tangannya yang bersilang.

Semua jantung bagaikan berhenti berdetak. Juga Ki Rangga Prangwiryawan. Serangan Lenggana terasa lebih berat dan lebih keras dari serangannya sebelumnya dengan gaya yang sama. Sementara itu, mereka melihat sikap Kasadha masih juga seperti sikapnya sebelumnya, saat ia terdorong beberapa langkah surut.

Seorang pemimpin kelompoknya, pemimpin kelompoknya yang tertua yang selama itu mengagumi Kasadha dalam latihan-latihan yang dilakukan, diluar sadarnya berdesah, “Ki Lurah.”

Sejenak kemudian sebuah benturan yang sangat keras telah terjadi. Kaki Ki Lurah Lenggana yang terayun berputar dalam loncatan yang dilakukan bertandasan segenap kekuatan dan kemampuannya itu tepat mengarah ke kening Kasadha. Tetapi kaki Ki Lurah Lenggana itu telah membentur tangan Kasadha yang bersilang didepan keningnya. Namun yang bukan sekedar melindungi sebagaimana sebelumnya. Kedua tangan yang bersilang itu mengandung tenaga yang kuat sekali. Bahkan kedua tangan itu telah menghentak keras ketika benturan sedang terjadi.

Para prajurit dari segala tataran tergetar jantungnya ketika mereka menyaksikan benturan yang terjadi. Ki Lurah Kasadha memang terdorong lagi dua langkah surut. Namun sama sekali tidak terganggu keseimbangannya. Jika ia surut dua langkah, semata-mata untuk meredam tekanan yang terjadi dalam benturan itu.

Namun sebaliknya, yang terjadi pada Ki Lurah Lenggana benar-benar diluar dugaan. Ki Lurah Lenggana bukan saja tergetar surut dan terganggu keseimbangannya. Tetapi Ki Lurah Lenggana telah terlempar dan terbanting jatuh. Beberapa kali ia harus terguling untuk menjauhi lawannya. Baru kemudian berusaha untuk bangkit.

Tetapi ketika ia berdiri tegak, terasa tulang-tulangnya menjadi sakit. Terutama tulang-tulang kakinya. Sendi-sendinya bagaikan menjadi retak, sehingga setiap kali kakinya bergerak ia harus menyeringai menahan sakit.

Ki Lurah Kasadha sendiri menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat dianggap tidak mengendalikan diri, karena ia sekedar melindungi dirinya. Ki Lurah Lenggana sendirilah yang telah menyerang dengan sepenuh kekuatan dan kemampuannya.

Sorak gemuruh yang meledak dengan serta merta seakan-akan telah mengguncang setiap bangunan di barak itu. Para prajurit yang menyimpan ketidak senang-an terhadap sikap Ki Lurah Lenggana seakan-akan melihat bagaimana orang itu dibenturkan pada satu kenyataan tentang dirinya. Bahkan sebagian dari prajurit dibawah pimpinannyapun telah bersorak pula.

Ki Tumenggung Jayayuda yang menyaksikan benturan itu mengerutkan keningnya. Semula iapun menjadi tegang melihat sikap Kasadha. Namun kemudian, diluar sadarnya, ia merasa bersukur bahwa Kasadha tidak terbanting jatuh. Bahkan sebaliknya.

Ki Tumenggung yang berdiri diluar arena itu menunggu, apa yang akan terjadi kemudian. Namun ia menjadi semakin bersungguh-sungguh mengamati keadaan meskipun telah ada tiga orang Pandhega yang berada didalam lingkaran pertempuran itu. Ki Tumenggung ternyata telah melihat gejala yang kurang baik yang meliputi pendadaran itu. Ki Lurah Lenggana agaknya benar-benar telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya. Bahkan tentu juga ilmu yang dimilikinya, ditumpahkannya sampai tuntas. Sebagai seorang yang merasa dirinya terbaik. Ia tentu tidak akan pernah bermimpi untuk dapat ditundukkan oleh Kasadha.

Ki Rangga Prangwiryawan juga terkejut melihat akibat dari benturan itu. Bukan Kasadha yang terlempar, tetapi justru Ki Lurah Lenggana.

Tetapi setiap orang disekitar dan didalam arena itu harus mengakui satu kenyataan yang terjadi. Ki Lurah Lengganalah yang telah terguncang keseimbangannya dan bahkan terjatuh meskipun dengan cepat mampu bangkit kembali. Tetapi setiap kali Ki Lurah Lenggana masih harus berdesis oleh gigitan nyeri ditubuhnya.

Ternyata Kasadha benar-benar tahu diri. Ia tidak meloncat memburu dan memanfaatkan keadaan yang sulit bagi Ki Lurah Lenggana itu untuk segera mengakhiri pendadaran. Bahkan Ki Lurah Kasadha seakan-akan dengan sengaja telah memberi kesempatan kepada Ki Lurah Lenggana untuk memperbaiki keadaannya.

Karena itu, maka Ki Lurah tidak segera meloncat menyerang. Tetapi ia justru bergeser dipinggir arena, berputar mengelilingi lawannya.

Ki Lurah Lenggana mengumpat didalam hati. Sekilas ia melihat para Pandhega yang berdiri mematung. Kemudian Ki Tumenggung Jayayuda serta wajah-wajah para prajurit yang semuanya seakan-akan memandanginya sambil mencibirkan bibirnya.

Tetapi Ki Lurah Lenggana itu telah menggeretakkan giginya. Dihentakkannya daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakitnya. Kemudian dengan garang telah bersikap kembali menghadapi Ki Lurah Kasadha.

Para Pandhega memang belum menentukan bahwa ia telah dikalahkan oleh Kasadha. Apalagi Ki Rangga Prangwiryawan. Ia ingin memberikan kesempatan kepada Lenggana untuk memenangkan pendadaran itu. Meskipun pada akhirnya Ki Rangga itu ingin menunjukkan bahwa dirinya sendirilah yang terbesar, namun kemenangan Kasadha memang tidak diinginkannya.

Sejenak kemudian kedua orang itu telah saling berhadapan pula. Kasadha tidak lagi memancing agar lawannya dengan serta merta menyerangnya. Ki Lurah Lenggana tentu tidak akan sebodoh seekor keledai sehingga ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama menghadapinya.

Justru Kasadhalah yang kemudian menunggu. Tetapi ia cukup berhati-hati.

Sesaat kemudian, ketika Ki Lurah Lenggana melihat satu kesempatan, iapun telah meloncat menyerang. Tetapi Lenggana menjadi lebih berhati-hati menghadapi orang yang tidak disukainya itu.

Kasadha dengan cepat menghindarinya. Namun serangan Lenggana beruntun memburunya, meskipun setiap kali, nampak orang itu harus menahan sakit. Tetapi perasaan sakit itu lambat laun dapat diatasinya dengan daya tahannya dan pemusatan perhatian terhadap lawannya.

Sesaat kemudian, pertandinganpun berlangsung lagi dengan serunya. Namun para pemimpin di barak itu telah dapat melihat, tidak ada kesempatan lagi bagi Ki Lurah Lenggana. Setiap kali serangan Kasadha dapat mengenainya. Namun Kasadha tidak lagi merasa perlu untuk menghentakkan kekuatan dan kemampuannya sampai puncak.

Sekali-sekali serangan Lenggana masih juga sempat mengenai tubuh Kasadha. Tetapi tenaga Lenggana telah jauh susut, sehingga serangan-serangannya sudah tidak berbahaya sama sekali.

Pertandingan menjadi kurang menarik. Namun Lenggana yang tidak pernah merasa lebih rendah kemampuannya dari Kasadha masih memaksa Kasadha lebih banyak sekedar melayaninya. Memaksa Lenggana mengerahkan kemampuannya, namun kemudian membiarkan Lenggana merasa mendapat beberapa kesempatan baru.

Ki Lurah Bantardi memperhatikan pertandingan itu dengan saksama. Setelah beristirahat sehari, Kasadha itu akan menghadapinya sesuai dengan undian yang telah dilakukan. Karena itu maka dengan saksama Ki Lurah Bantardi mempelajari kelebihan pada kedua orang yang sedang bertanding itu, terutama Kasadha. Seperti Lenggana iapun merasa harus menang atas Kasadha. Namun bukan hanya itu, iapun harus menang atas Lenggana. Baru ia dapat disebut Lurah terbaik dalam olah kanuragan di barak itu.

Semula Bantardi memang menganggap Lenggana sebagai saingannya yang terberat. Tetapi setelah melihat kenyataan yang terjadi diarena, maka iapun menyadari sepenuhnya, bahwa Kasadha adalah orang yang paling menentukan.

“Jika aku dapat menang atas Kasadha, akupun yakin, bahwa dihari terakhir, aku akan menang pula atas Ki Lurah Lenggana. Dengan demikian maka aku adalah Lurah Penatus terbaik di barak ini,“ berkata Bantardi didalam hatinya.

Sementara itu pertandingan berlangsung terus. Semakin lama maka kekuatan Ki Lurah Lenggana menjadi semakin susut. Setiap kali Kasadha memancingnya untuk bertempur dengan langkah-langkah panjang. Sekali dua kali dikenainya. Kemudian seakan-akan ia telah membuka diri sehingga Ki Lurah Lenggana dapat mengenainya, meskipun tidak banyak pengaruhnya atas ketahanan tubuhnya.

Dengan demikian, maka para Pandhega segera dapat mengambil kesimpulan. Ki Lurah Kasadha tentu akan memenangkan pertandingan itu.

Namun baik Ki Rangga Dipayuda maupun Ki Rangga Wirayuda lebih banyak menunggu sikap Ki Rangga Prangwiryawan yang dibebani tanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan pertandingan itu.

Namun Ki Rangga Prangwiryawanpun akhirnya harus melihat kenyataan itu. Iapun akhirnya mengambil sikap lain. Siapapun yang menang, maka tidak ada soal baginya. Ia akan mengalahkan orang terbaik itu. Meski pun sebenarnya ia mulai memperhitungkan kemampuan Kasadha.

“Apakah ia benar-benar seorang yang berani dan pilih tanding sebagaimana dikatakan oleh para prajurit yang pernah bersamanya dalam perang yang sebenarnya?“ pertanyaan itu mulai tumbuh dihatinya.

Namun pada saat itu ia harus segera mengambil keputusan. Keadaan Ki Lurah Lenggana menjadi semakin buruk. Jika pertandingan itu tidak dihentikan, maka Ki Lurah Lenggana akan menjadi semakin lemah. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga pandangan para prajurit terhadapnya meskipun ia telah memenangkan pertandingan diputaran-putaran sebelumnya.

Karena itu, maka Ki Rangga Prangwiryawanpun telah memberikan isyarat kepada Ki Rangga Wirayuda dan Dipayuda. Hampir berbareng kedua orang Pandhega itu mengangguk mengiakan setelah mereka mengerti maksud Ki Rangga Prangwiryawan.

Demikianlah, maka Ki Rangga Prangwiryawan itupun melangkah mendekati kedua orang yang sedang bertempur. Iapun segera memberikan isyarat kepada keduanya dengan mengangkat tangannya sambil berdiri diantara keduanya.

“Kami, para Pandhega yang mengamati pendadaran ini telah mengambil kesimpulan,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan.

Keduanya menjadi tegang. Sementara para prajuritpun diam mendengarkan meskipun mereka sudah tahu apa yang akan diucapkan oleh Ki Rangga Prangwiryawan itu.

“Sebenarnyalah, setelah menyaksikan dan mempertimbangkan kenyataan di arena ini, maka bersama-sama dengan kedua orang Pandhega yang lain, kami menyatakan untuk menghentikan pertandingan ini, karena menurut penilaian kami, Ki Lenggana telah menjadi semakin lemah dan tidak akan mungkin memenangkannya. Sehingga dengan demikian, maka Ki Lurah Kasadha telah dianggap memenangkan pendadaran kali ini. Jika ada diantara para Pandhega yang berkeberatan, kami mohon pertimbangannya.”

Ternyata kedua orang Pandhega yang lainpun tidak memberikan pernyataan apa-apa. Bahkan keduanya mengangguk kecil untuk menyatakan persetujuan mereka.

Yang terdengar kemudian adalah sorak yang gemuruh. Semua orang memang sependapat. Seandainya pertandingan itu diteruskan, keadaannya tidak akan menguntungkan Ki Lurah Lenggana.

Tetapi Ki Lurah Lenggana ternyata terkejut mendengar pernyataan Ki Rangga Prangwiryawan. Dengan lantang ia berkata, “Aku belum kalah. Bahkan aku masih sanggup untuk memenangkan pertandingan ini.”

Namun Ki Rangga Prangwiryawan menggeleng. Katanya, “Tidak. Kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Kau sudah menjadi semakin lemah, sementara Ki Lurah Kasadha masih tegar.”

“Tidak. Aku tidak akan meninggalkan arena. Aku memerlukan beberapa waktu lagi untuk mengalahkannya. Tetapi aku minta kesempatan,“ minta Ki Lurah Lenggana yang memang tidak percaya akan kenyataan yang dihadapinya.

Tetapi Ki Rangga Prangwiryawan berkata, “Kau akan mengalami kesulitan yang lebih parah,“ Lalu iapun berdesis lirih, “Wibawamu akan runtuh jika kau harus terbaring pingsan diarena ini.”

Ki Lurah Lenggana termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia melihat Kasadha, maka akhirnya iapun harus menerima kenyataan itu. Kasadha, maka akhirnya iapun harus menerima kenyataan itu. Kasadha memang masih tegar. Ia masih dapat berbuat apa saja yang dikehendaki. Sementara itu, tenaganya memang terasa sudah menjadi jauh susut.

Yang menjadi kecewa adalah Ki Lurah Bantardi. Ia ingin pertandingan itu berlangsung lebih lama lagi, sehingga keadaan keduanya akan menjadi lebih parah. Ia ingin baik Ki Lurah Lenggana maupun Kasadha mengalami kesulitan dengan tubuhnya.

“Tetapi aku tidak boleh kehilangan kepercayaan diri,“ berkata Ki Lurah Bantardi kepada diri sendiri.

Demikianlah, akhirnya pertandingan itu dianggap selesai. Meskipun kekalahan Ki Lurah Lenggana tidak mutlak, tetapi ia sudah dinyatakan kalah.

Ki Tumenggung Jayayuda menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sependapat bahwa pertandingan itu dihentikan, justru untuk menjaga wibawa Ki Lurah Lenggana sendiri. Bahwa ia tidak jatuh terlentang dan tidak bangkit kembali karena pingsan. Atau keadaan tubuhnya yang mengalami kesulitan karena tulangnya retak atau sendi-sendinya terkilir.

Sementara itu, Ki Rangga Prangwiryawan berbisik, “Kau masih mempunyai kesempatan. Kau akan bertanding melawan Ki Lurah Bantardi dihari terakhir. Jika keadaanmu menjadi sangat buruk sekarang, maka dihari terakhir kau tidak akan mampu berbuat banyak, sehingga kau akan kalah dua kali berturut-turut.”

Ki Lurah Lenggana mencoba untuk mengerti. Namun bagaimanapun juga, kekalahannya dari Ki Lurah Kasadha merupakan satu pukulan yang pahit sekali.

Hari itu, para prajurit di barak itu telah mendapatkan kepastian, bahwa ternyata Ki Lurah Kasadha memang lebih baik dari Ki Lurah Lenggana. Ada semacam kebanggaan, justru karena Ki Lurah Kasadha adalah seorang Lurah Penatus yang sejak semula berada di barak itu, sedangkan Ki Lurah Lenggana dan juga Ki Lurah Bantardi adalah dua orang yang memang ditempatkan di barak itu kemudian. Dengan demikian maka citra dari para prajurit di barak itupun ikut terangkat. Tidak ada lagi anggapan bahwa kemampuan para prajurit di barak itu sebenarnya terlalu rendah. Bahkan para Lurahnyapun tidak dapat dipertanggung jawabkan kemampuannya.

Kemenangan Kasadha telah membuktikan, bahwa nilai kemampuan para prajurit di barak itu tidak kalah dengan kemampuan para prajurit Pajang yang lain.

Kemenangan Kasadha menjadi bahan pembicaraan diantara para prajurit di barak itu. Setiap ada sekelompok orang berbincang, mereka membicarakan kelebihan Ki Lurah Kasadha. Bahkan juga sikapnya yang hati-hati. Ia tidak dengan sengaja menunjukkan kelebihannya dengan menghancurkan lawannya, meskipun sebenarnya ia mampu melakukannya.

Dihari berikutnya halaman barak itu terasa sepi. Tidak ada kegiatan apapun juga. Para prajurit seakan-akan mendapat kesempatan untuk beristirahat. Sejak mulai diselenggarakan pendadaran, maka kegiatan barak itu seakan-akan memang terhenti. Namun para prajurit memang merasa mendapatkan kesegaran baru.

Kasadhapun mempergunakan waktu itu untuk beristirahat. Pagi-pagi sekali ia masih melakukan sedikit kegiatan di sanggar tertutup. Namun ketika kemudian Ki Lurah Bantardi akan mempergunakan untuk berlatih, Kasadha telah memilih untuk melakukannya diluar, Apalagi ia hanya sekedar melakukan gerakan-gerakan ringan. Namun cukup lama. Baru kemudian ketika matahari mulai naik, Kasadha menghentikan latihan-latihannya. Kemudian diseluruh hari itu, ia benar-benar beristirahat. Ia hanya duduk-duduk saja berbincang-bincang dengan beberapa orang prajurit. Baru menjelang sore hari, Kasadha berada didalam baraknya untuk melakukan latihan pernafasan. Seperti saat ia melakukan latihan-latihan ringan, maka iapun memerlukan waktu yang cukup panjang. Baru ketika barak itu kemudian menjadi gelap dan lampu-lampu minyak dinyalakan, Kasadha menghentikan latihan pernafasannya.

Meskipun ia hanya duduk saja sambil menempatkan kedua telapak tangannya diatas lututnya, namun ternyata bahwa Kasadha telah melakukan sesuatu bagi ketahanan tubuh dan jiwanya.

Namun kemudian setelah makan malam dan berbincang-bincang sejenak dengan para prajuritnya, maka Kasadhapun berkata, “Aku harus benar-benar beristirahat malam ini. Besok aku harus turun lagi ke gelanggang yang sama sekali tidak aku sukai itu. Tetapi apa boleh buat. Rasa-rasanya turun ke gelanggang itu menjadi kewajiban dalam pasukan yang ada di barak ini.”

“Tetapi kita memang melihat manfaatnya,“ berkata pemimpin kelompoknya yang tertua.

“Aku tidak ingkar. Memberikan kesegaran baru kepada para prajurit di barak ini. Juga memberikan dorongan kepada para pemimpin kelompok dan para Lurah untuk berlatih,“ jawab Kasadha, “tetapi semula aku mengira bahwa pertandingan itu dilakukan atas dasar pernyataan dari mereka yang ingin mengikutinya. Tetapi ternyata setiap orang yang ditunjuk harus turun pula ke gelanggang.”

Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi kita memang akan melihat siapakah yang terbaik diantara kita.”

“Aku masih menganggap bahwa penilaian ini belum cukup,“ jawab Kasadha, “bagaimana jika diantara para prajurit ada yang memiliki kelebihan? Seandainya ada diantara mereka yang pernah ditempa disebuah perguruan kemudian menyatakan diri sebagai seorang prajurit? Apalagi jika orang itu bukan seorang yang sombong. Maka agaknya orang itu masih tetap tersembunyi.”

Tetapi pemimpin kelompok itu masih juga menjawab, “Bagaimana jika prajurit yang demikian itu tidak menyatakan diri untuk ikut dalam pendadaran ?”

Kasadha mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Kau benar. Seandainya ada orang yang demikian, maka ia akan tetap juga tersembunyi.”

Pemimpin kelompok itupun tersenyum pula.

Namun Kasadhapun kemudian berkata, “Sudahlah. Aku ingin tidur lebih awal. Dengan demikian aku akan mendapatkan kesegaran penuh esok pagi.”

“Tetapi orang yang terlalu lama tidur, justru sebaliknya. Apalagi tidak terbiasa melakukannya,“ desis pemimpin kelompoknya.

Kasadha tersenyum pula. Katanya, “Untungnya aku terbiasa tidur nyenyak dimalam hari.”

Pemimpin kelompok itu tidak berkata apa-apa lagi. Kasadhapun kemudian bangkit dan melangkah menuju ke pembaringannya, yang disekat dinding untuk membatasi ruangannya dengan ruang yang luas memanjang bagi sebagian prajurit-prajuritnya.

Kasadhapun kemudian telah membaringkan dirinya. Beberapa diantara pembaringan di ruang yang disekat dengan ruangan bagi Kasadha itupun sudah banyak terisi. Bahkan ada diantara mereka yang sudah mulai tidur mendekur.

Meskipun Kasadha tidak segera dapat tidur, namun ia sudah benar-benar berniat untuk beristirahat. Bahkan kemudian seakan-akan ia telah mengosongkan dirinya sendiri, sehingga sejenak kemudian Kasadhapun telah tertidur nyenyak.

Ketika fajar menyingsing dihari berikutnya, Kasadha sudah mempersiapkan dirinya. Setelah mandi dan membenahi dirinya, Kasadha telah berjalan-jalan mengelilingi baraknya, seakan-akan ingin mengendorkan urat-uratnya yang tegang.

Demikian matahari terbit, maka segala persiapan-pun telah dilakukan. Hari itu yang akan memasuki arena pertandingan adalah Ki Lurah Kasadha dan Ki Lurah Bantardi.

Seperti Ki Lurah Lenggana, maka Ki Lurah Bantardi justru telah dibebani keinginan untuk memenangkan pendadaran itu. Ia harus mengalahkan Kasadha dan dihari terakhir mengalahkan Ki Lurah Lenggana. Dengan demikian, maka ia akan menjadi orang terbaik di barak itu.

Ki Rangga Prangwiryawanpun masih juga berharap bahwa Ki Lurah Bantardi memenangkan pertandingan itu. Jika demikian, maka pertandingan dihari terakhir akan menjadi sangat seru. Jika Ki Lurah Lenggana menang, maka ketiganya mempunyai kedudukan yang sama, sehingga harus diambil satu cara untuk menentukan hasil akhir dari pendadaran itu.

“Aku akan merupakan penentu. Atau ketiga-tiganya akan aku kalahkan berturut-turut,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan didalam hatinya meskipun sete lah ia menyaksikan kemampuan Kasadha menghadapi Ki Lurah Lenggana, ia harus berpikir dengan sungguh-sungguh.

Sebelum pertandingan dimulai Ki Rangga Prangwiryawan masih harus membacakan paugeran bagi pertandingan itu, agar kedua-duanya teringat kembali dan sama sekali tidak berniat melanggarnya.

Baru kemudian, maka kedua orang Lurah Penatus itu bersiap untuk bertanding didalam arena yang dikerumuni oleh hampir semua prajurit di barak itu, kecuali yang bertugas.

Berbeda dengan pertandingan dua hari sebelumnya, maka Ki Lurah Bantardi tidak dengan serta-merta ingin mengalahkan Kasadha. Tetapi ia berusaha untuk menjajagi kemampuan lawannya dari permulaan, sehingga jika kemungkinan terbaik telah terbuka, barulah ia akan mengalahkannya.

Kasadha yang memiliki pengalaman yang luas dalam usianya yang muda itu, menanggapi sikap Bantardi dengan sangat berhati-hati. Justru Kasadha menganggap Bantardi lebih matang dari Lenggana yang tiba-tiba saja telah menyerangnya dengan segenap kekuatan dan kemampuannya.

Dengan demikian, maka pada ujung pertandingan itu terasa kedua-duanya menjadi lamban. Terlalu berhati-hati dan tidak berkesan bersungguh-sungguh.

Tetapi semakin lama, maka pertandingan itu memang menjadi semakin cepat. Bantardi telah meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis. Sementara Kasadhapun menanggapinya. Iapun harus meningkatkan ilmunya pula untuk mengimbangi lawannya.

Bantardipun menyadari, bahwa Kasadha memang seorang yang mempunyai perhitungan yang luas. Ia ti dak saja bertempur sebagaimana kebanyakan orang-orang muda. Tetapi Kasadha benar-benar mampu menguasai dirinya dan mempergunakan penalaran yarig terang.

Bahkan ketika Bantardi telah sampai ketataran yang tinggi dari penguasaan ilmunya, ternyata bahwa Kasadhapun telah mengimbanginya tanpa kesulitan.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu memang merasa lesu. Tidak menghentak seperti Ki Lurah Lenggana. Namun semakin lama merekapun semakin tegang pula. Meskipun untuk beberapa lama tidak terdengar sorak yang gemuruh, namun ketegangan justru semakin mencengkam jantung mereka.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayayuda dan para Pandhega justru menjadi berdebar-debar. Mereka melihat bagaimana kedua orang yang ada diarena itu mempersiapkan diri untuk sampai kepuncak ilmu mereka. Dengan demikian, maka pertandingan itu akan menjadi keras dan berkesan bersungguh-sungguh.

Karena itu, maka mereka mengamati pertandingan itu semakin cermat.

Ki Lurah Lenggana yang tulang-tulangnya masih terasa sakit, menyaksikan pertempuran itu dengan saksama. Ia lebih memperhatikan Ki Lurah Bantardi daripada Kasadha. Ia sudah terlanjur dikalahkan oleh Kasadha. Jika Ki Lurah Bantardi dapat mengalahkan Kasadha, dan ia kemudian dapat mengalahkan Bantardi, maka kedudukan mereka akan menjadi sama. Mereka tinggal menunggu kesempatan berikutnya atau pendadaran itu dianggap selesai. Namun dengan demikian, ia akan dapat menebus kekalahannya. Tetapi jika Ki Lurah Bantardi juga dikalahkan oleh Kasadha, maka Kasadhalah yang akan dianggap orang terbaik di barak itu. Kemenangannya atas Ki Lurah Bantardi tidak akan berarti apa-apa lagi.

Ki Lurah Lenggana yang mengamati pertandingan itu dengan saksama memang menjadi berdebar-debar pula. Tingkat kemampuan kedua orang yang berada di arena itu merambat perlahan-lahan, namun mendebarkan. Keduanya meningkatkan ilmu mereka selapis demi selapis.

Dengan demikian maka pertandingan itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Ketika ilmu mereka sudah sampai etataran yang tinggi, maka mulailah para prajurit yang menyaksikan pertandingan itu bergejolak. Hentakan-hentakan yang keras mulai disambut dengan teriakan-teriakan yang riuh. Namun sekali-sekali para prajurit yang menyaksikan itu justru terdiam. Ketegangan telah mencengkam jantung mereka pula.

Dengan demikian, maka para Pandhegapun menjadi semakin bersungguh-sungguh mengamati pertandingan itu. Agaknya kedua orang Lurah Penatus itu telah memasuki satu tataran yang menentukan.

Ki Lurah Bantardi yang merasa memiliki kemampuan yang tinggi, berusaha menekan Ki Lurah Kasadha ditataran puncak ilmunya. Dengan cepat Ki Lurah Bantardi telah mendesak dan kemudian mengurung Ki Lurah Kasadha djsudut arena. Serangan-serangan Ki Lurah Bantardi menjadi berbahaya, sementara ruang bergerak Ki Lurah Kasadha menjadi semakin sempit.

Para prajurit yang menyaksikan pertandingan itu sempat menahan nafas ketika serangan Ki Lurah Bantardi menjadi semakin deras. Seperti gelombang yang datang beruntun serangan-serangan itu semakin menyudutkan Ki Lurah Kasadha. Usaha Ki Lurah Kasadha untuk menerobos keluar dari kurungan itu terasa sulit. Bantardi mampu bergerak cepat dan membatasi ruang gerak Kasadha disudut arena.

Kasadha memang mengalami kesulitan karena ruang geraknya yang sangat terbatas. Beberapa kali Kasadha harus menangkis serangan Bantardi karena tidak mempunyai ruang untuk menghindar.

Para Pandhega memperhatikan pertempuran itu semakin bersungguh-sungguh. Bertiga para Pandhega itu seakan-akan berkerumun mendekati sudut arena. Bahkan Ki Rangga Dipayuda menjadi berdebar-debar melihat kedudukan Kasadha yang seakan-akan terjepit oleh kecepatan gerak Bantardi yang tidak memberinya jalan keluar dari lingkaran yang semakin sempit itu.

Kasadhapun merasa bahwa ia hampir kehilangan ruang gerak sama sekali. Beberapa kali ia mencoba untuk bergeser, namun Bantardi nampaknya tidak mau memberinya peluang. Tetapi justru karena itu, maka Kasadhapun telah berniat untuk membuat jalan sendiri.

“Apaboleh buat,“ desis Kasadha.

Sejenak kemudian, ketika ternnyata Bantardi justru berusaha mengurungnya lebih ketat, Kasadha justru telah mengerahkah segenap kekuatan dan kemampuannya. Dibangunkannya kekuatan atas landasan tenaga dalamnya. Sejenak ia mengambil ancang-ancang sambil memusatkan nalar budinya.

Ketika Bantardi merasa telah berhasil menyudutkan Kasadha disudut arena sehingga tidak mungkin bergeser lagi, maka Bantardipun telah berniat untuk mengakhiri pertandingan itu. Ia harus menghancurkan Kasadha pada kesempatan itu. Sehingga karena itu, maka Bantardipun telah bersiap untuk melakukan serangan habis-habisnya. Serangan yang bagaikan banjir bandang menghantam bendungan yang mulai retak sehingga akhirnya harus pecah dan hancur berserakkan.

Para prajurit menjadi semakin tegang. Tidak ada lagi sorak yang membahana. Semuanya justru diam sambil memandang pertandingan itu tanpa berkedip. Sementara Ki Tumenggung Jayayudapun ikut menahan nafas pula.

Para pemimpin kelompok dibawah pimpinan Kasadha benar-benar dicengkam oleh kecemasan. Kasadha seakan-akan memang sudah kehilangan kesempatan untuk keluar dari sudut arena itu, sehingga saat-saat terakhir dari pertandingan itu sudah mulai terbayang. Jika Bantardi menerjangnya tidak berkeputusan maka akhirnya Kasadha tentu akan kehilangan kesempatan.

Namun yang terjadi justru diluar dugaan mereka. Kasadha yang terjepit disudut arena itu, telah menghentakkan serangan yang dilandasi oleh segenap kekuatan dan kemampuannya didukung oleh kekuatan tanaga dalamnya.

Sebelum Bantardi melancarkan serangan beruntun yang akan menghabisi kesempatan perlawanan Kasadha, maka justru Kasadhalah yang telah meloncat menyerang Bantardi. Kakinya berputar mendatar terayun deras sekali mengarah langsung kekening Lurah Penatus yang sudah berniat mengakhiri perlawanan Kasadha itu.

Serangan Kasadha memang demikian tiba-tiba. Bantardi terkejut melihat gerakan kaki Kasadha, justru pada saat ia bersiap untuk menyerang.

Karena itu, maka ia tidak sempat untuk mengelakkan serangan itu. Yang dilakukannya adalah melindungi sasaran serangan Kasadha itu dengan kedua belah tangannya yang bersilang.

Sejenak kemudian, telah terjadi benturan yang sangat keras. Putaran kaki Kasadha yang dilambari dengan segenap kekuatan dan tenaga dalamnya ternyata tidak mampu ditahan oleh Ki Lurah Bantardi. Dengan demikian maka benturan itu telah mendorong Ki Lurah Bantardi beberapa langkah surut meskipun Ki Lurah Bantardi masih mampu memperbaiki keseimbangannya yang goyah, yang hampir saja membuatnya terjatuh. Sedangkan kaki Kasadha memang tergetar karena benturan itu. Tetapi Kasadha tidak terdorong surut dan menimpa gawar arena. Meskipun tubuhnya memang telah menyentuh gawar, namun Kasadha justru dengan cepat memanfaatkan kesempatan itu untuk membuka jalan keluar dari himpitan lawannya itu lebih lebar lagi. Karena itu maka sekali lagi Kasadha melenting demikian kakinya menyentuh tanah.

Serangan berikutnyapun cukup kuat dan keras. Kaki Kasadha terjulur mendatar. Bantardi yang masih berusaha memperbaiki keseimbangannya, tidak sempat mengelak dan juga tidak sempat menangkis serangan itu. Karena itu, maka kaki Kasadha yang terjulur itu telah mengenai dada Ki Lurah Bantardi.

Ki Lurah Bantardi benar-benar tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Serangannya yang kedua telah mendorongnya beberapa langkah surut dan bahkan iapun telah jatuh terlentang.

Meskipun dengan sigapnya Ki Lurah Bantardi itu melenting berdiri, namun wajahnya menjadi merah. Ia benar-benar telah terjatuh oleh serangan Kasadha.

Kasadha ternyata sudah tidak lagi berada disudut arena. Dengan hati-hati Kasadha bergerak memutar. Ketika Bantardi kemudian berdiri tegak menghadap kepadanya, maka Kasadha telah berada hampir ditengah-tengah arena.

Keberhasilan Kasadha melepaskan diri dari kurungan itu telah disambut dengan sorak gemuruh. Bukan saja para prajurit dibawah pimpinan Kasadha. Tetapi hampir semua prajurit yang mengelilingi arena itu bersorak. Suaranya menjadi gegap gempira seakan-akan hendak meledakkan barak itu.

Bantardi yang terdesak itu benar-benar merasa tersinggung oleh sorak yang gemuruh itu. Karena itu, tiba-tiba ia telah kehilangan pengamatan diri, sehingga ke pada para prajurit yang berada dikeliling arena itu, ia berteriak, “Diam, diam. Apakah kalian sudah menjadi gila? Kalian telah mempengaruhi pendadaran ini sehingga hasilnya tidak lagi dapat dianggap murni.”

Beberapa orang prajurit yang berdiri dibagian depan memang telah terdiam. Apalagi para prajurit yang berada dibawah pimpinan Ki Lurah Bantardi itu sendiri, yang seakan-akan telah hanyut oleh suasana di arena sehingga mereka ikut bersorak ketika mereka melihat Kasadha terlepas dari himpitan tekanan Ki Lurah Bantardi.

Ketiga orang Pandhega yang ada di arena hampir bersamaan telah mendekatinya. Ki Rangga Prangwiryawanlah yang berkata, “Itu adalah hak mereka. Sebelum ini, kita tidak pernah menghiraukan, apakah para penonton itu bersorak-sorak, diam atau mengumpat-umpat.”

Bantardi mengerutkan keningnya. Tetapi karena yang berbicara itu Ki Rangga Prangwiryawan, maka Bantardi tidak membantah. Apalagi Ki Rangga itu berkata, “Kau pusatkan saja perhatianmu kepada lawanmu. Kau mempunyai kemampuan untuk itu.”

Ki Lurah Bantardi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian terdengar giginya gemeretak. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya.

Sejenak kemudian, maka iapun telah berdiri lagi berhadapan dengan Kasadha. Kasadhapun menyadari, bahwa Bantardi telah menjadi benar-benar marah. Karena itu maka iapun segera bersiap-siap menghadapi bagian akhir dari pendadaran itu. Bahkan sikap Bantardi itu telah mendorong Kasadha untuk segera mengakhiri pendadaran itu.

Demikianlah, maka kedua orang Lurah Penatus yang menjalani pendadaran itu telah mulai bergeser.

Keduanya berniat untuk dengan cepat mengakhiri pertandingan itu. Bantardi yang merasa memiliki ilmu yang lebih baik dari Kasadha sulit untuk dengan serta merta mengakui kenyataan yang dihadapinya.

Apalagi Ki Lurah Bantardipun sadar, jika ia kalah pada pendadaran itu, maka Kasadha akan langsung dapat dianggap sebagai orang terbaik di barak itu tanpa menunggu pertandingan terakhir antara dirinya dan Ki Lurah Lenggana. Tetapi jika Ki Lurah Bantardi dapat memenangkan pertandingan itu, maka beberapa kemungkinan masih dapat terjadi. Jika ia kemudian dapat menang atas Ki Lurah Lenggana, maka ia adalah orang terbaik. Seandainya ia akan kalah, maka kedudukannya akan menjadi sama.

Karena itu, maka Ki Lurah Bantardi menganggap bahwa kemenangannya saat itu akan menentukan.

“Ki Lurah Kasadha telah memeras tenaganya pada hari yang pertama,“ berkata Ki Bantardi, “jika saja aku dapat memaksanya untuk bertanding dengan keras, maka ia tentu akan menjadi lebih cepat letih.”

Karena itu, maka Ki Lurah Bantardipun telah bersiap-siap untuk memancing Kasadha bertempur dengan keras dan dalam jarak jangkau yang panjang, agar Kasadha lebih banyak memeras tenaganya. Bantardi mempunyai perhitungan, bahwa pengerahan tenaga di pertandingan sebelumnya tentu akan berpengaruh atas lawannya itu.

Dengan demikian, maka pertandinganpun telah berlangsung lagi dengan serunya. Ternyata Kasadha sadar, bahwa lawannya berusaha untuk memancingnya bertempur dengan keras dan loncatan-loncatan panjang.

Ternyata Kasadha sama sekali tidak berkeberatan. Ia merasa memiliki daya tahan yang panjang karena latihan-latihan yang pernah dilakukan dengan baik dengan keras. Karena itu, maka ia mempunyai perhitungan, bahwa jika ia dapat mengatur irama pernafasannya maka ia tidak akan lebih dahulu kehabisan nafas.

Kasadhapun sebenarnya juga sadar, bahwa perhitungan lawannya tentu didasarkan pada pertandingannya yang pernah dilakukan melawan Ki Lurah Lenggana dua hari yang lalu. Jika saja kekuatannya belum pulih seluruhnya, maka ia tentu akan menjadi cepat lelah.

Dengan demikian maka kedua orang yang berada di arena itu bertempur semakin keras dan loncatan-loncatan panjang. Bantardi dengan cepat berusaha mengurung Kasadha seperti yang pernah terjadi jika ia melihat kesempatan itu. Tetapi jika ia gagal, maka kembali ia memancing gerakan-gerakan panjang dan keras.

Kasadha mengimbanginya dengan keras pula. Iapun berloncatan dengan cepat dan tangkas. Serangan-serangannya justru mengalir berurutan, sehingga kadang-kadang Ki Lurah Bantardi harus bergeser surut.

Semula Ki Lurah Bantardi merasa pancingannya berhasil. Namun ternyata kemudian, ia mulai gelisah. Justru saat kekuatan dan kemampuannya sendiri mulai goyah, Kasadha masih tetap tegar menghadapinya.

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, justru Bantardilah yang menjadi cemas. Ia tidak lagi berloncatan dengan garang. Bahkan ia mulai memperhitungkan keadaannya.

Namun Bantardi sudah terlambat. Kasadha yang tahu keadaan lawannya telah memanfaatkan keadaan itu. Justru Kasadhalah yang memaksa Bantardi bertempur dengan keras dan jarak jangkau yang panjang. Bahkan semakin lama Kasadha bergerak semakin cepat. Seakan-akan ia memiliki tenaga rangkap yang dapat mendukungnya untuk tetap tegar.

Bantardi untuk selanjutnya tidak pernah berhasil lagi menyudutkan Kasadha. Bahkan ia menjadi makin terdesak. Serangan-serangan Kasadha yang keras telah mendorongnya beberapa kali sehingga menggoyahkan keseimbangannya.

Ki Lurah Lenggana yang tegang menjadi cemas. Ia berharap bahwa Ki Lurah Bantardi dapat memenangkan pertandingan itu, sehingga ia masih akan mempunyai peluang untuk dapat memiliki kedudukan yang sama.

Tetapi nampaknya hal itu tidak akan terjadi. Apalagi ketika Kemudian justru Ki Lurah Bantardi telah dikurung oleh Kasadha sebagaimana pernah dilakukan oleh Bantardi terhadap Kasadha. Kasadha mendesak Bantardi ke sudut arena dan memaksanya bertahan di daerah yang sempit. Beberapa kali Bantardi berusaha untuk keluar dari lingkaran sempit itu. Tetapi ia tidak berhasil. Apalagi ketika ia mencoba untuk memecahkan lingkaran itu dengan keras sebagaimana telah dilakukan oleh Kasadha. Bantardi justru terdorong surut. Hampir saja ia terjatuh. Untunglah bahwa ia masih dapat berusaha untuk tetap berdiri meskipun tubuhnya telah menimpa gawar lawe diseputar arena, sehingga tiang disudut arena itu roboh.

Wajah Bantardi menjadi merah. Apalagi ketika Kasadha justru menghentikan serangan-serangannya ketika beberapa orang prajurit sibuk menegakkan kembali tiang disudut arena.

Ketiga orang Pandhega yang menunggui pendadaran itupun telah mendekat. Namun justru karena Kasadha memberi peluang kepada Bantardi, maka merekapun telah melangkah menjauh, sementara Kasadha telah berdiri ditengah-tengah arena.

Bantardi memang melangkah maju betapapun wajahnya terasa panas. Kemarahannya benar-benar telah mencengkam jantungnya sehingga terasa dadanya menjadi sesak.

Kasadha yang memberinya kesempatan itu telah bersiap menghadapai serangan-serangannya. Namun Bantardi telah merasa betapa kekuatan dan kemampuannya menjadi susut.

Pertandingan berikutnya sudah tidak terlalu menarik lagi. Segalanya telah menjadi jelas. Bantardi tidak lagi dapat berbuat banyak. Sekali-sekali ia memang mencoba menyerang. Namun serangannya tidak pernah sampai kesasaran. Bahkan kadang-kadang Bantardi telah terseret oleh dorongan serangannya sendiri. Sentuhan tangan Kasadha kemudian menjadi semakin sering mengenainya.

Ketiga orang Pandhega yang mengamati pertandingan itu merasa bahwa pertandingan itu telah selesai. Meskipun Ki Lurah Bantardi masih menunjukkan niatnya untuk bertanding terus, namun ketiga orang Pandhega itu sudah tahu pasti, apa yang akan terjadi.

Ki Rangga Prangwiryawan memang merasa kecewa akan hasil pendadaran itu. Namun dihadapan para Pandhega yang lain serta dihadapan Ki Tumengung Jayayuda, ia tidak dapat berbuat lain kecuali berbuat sebaik-baiknya dalam rangka pendadaran itu sesuai dengan pesan Ki Tumenggung Jayayuda.

Karena itu, ketika beberapa kali Ki Lurah Bantardi terhuyung-huyung tanpa dapat berbuat banyak selain mempertahankan diri agar tidak jatuh, maka para Pandhega itu telah memutuskan untuk menghentikan pendadaran.

Para prajuritpun melihat apa yang terjadi di arena. Untunglah bahwa Ki Lurah Bantardi bertanding melawan Ki Lurah Kasadha, sehingga dalam keadaan yang demikian, Ki Lurah Kasadha justru lebih banyak mengekang dirinya daripada memanfaatkan keadaan. Seandainya saja Ki Lurah Kasadha masih tetap bertempur dengan keras, maka Bantardi tentu sudah tersungkur beberapa saat sebelumnya.

Seperti Ki Lenggana, Ki Lurah Bantardipun mula-mula merasa berkeberatan untuk mengakui kekalahan. Apalagi ia masih menginginkan kedudukan yang setidak-tidaknya sama diantara mereka bertiga.

Namun ia tidak dapat membantah keputusan para Pandhega. Apalagi ketika Ki Rangga Wirayuda berkata, “Apakah kau ingin kami membiarkan pertandingan ini masih berlangsung terus?”

Ki Lurah Bantardi justru menjadi ragu-ragu. Ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan tentang dirinya dihadapan Ki Lurah Kasadha. Jika pertandingan itu dibiarkan berlangsung terus, maka ia tentu akan jatuh terbaring di tengah-tengah arena dan bahkan mungkin pingsan.

Karena itu, maka Ki Lurah Bantardi itupun tidak mempunyai pilihan lain. Ia memang kalah dalam pertandingan itu melawan Ki Lurah Kasadha.

Demikianlah, maka Ki Rangga Prangwiryawan akhirnya telah menghentikan pertandingan itu dan menyatakan bahwa Kasadha telah memenangkannya.

Sorak yang gemuruh bagaikan hendak membelah langit. Para prajurit itu dengan serta merta menyatakan kegembiraannya. Sebagian terbesar dari para prajurit itu memang berharap, agar Ki Lurah Kasadha memenangkan pendadaran itu. Apalagi ketika kemudian mereka melihat sikapnya serta kemampuannya menahan diri.

Ki Lurah Lenggana menjadi sangat kecewa melihat hasil pendadaran itu. Ia benar-benar berharap bahwa Ki Lurah Bantardi akan dapat memenangkannya, agar ia mendapat kesempatan untuk mencari keseimbangan lagi dengan mengalahkan Ki Lurah Bantardi. Namun sebagaimana dilihatnya, Ki Lurah Kasadha memang memiliki kelebihan dari Ki Lurah Bantardi.

Dengan demikian, mala pertandingan dihari terakhir sudah tidak akan menarik perhatian lagi. Siapapun yang menang tidak akan mendapat sebutan orang terbaik dalam barak itu dihidang olah kanuragan.

Ketika kemudian pertandingan itu dinyatakan selesai, maka beberapa orang pemimpin kelompok dalam pasukan Ki Lurah Bantardi telah membantunya keluar dari arena. Sementara itu Ki Tumenggung Jayayuda dan para Pandhega telah memberikan ucapan selamat kepada Kasadha yang kemudian sudah pasti dapat dianggap orang terbaik. Bahkan beberapa orang pemimpin kelompok dan para prajuritpun telah memberikan pernyataan yang sama. Para prajurit yang pernah men-ceriterakan kelebihan Kasadha dengan bangga berkata, “Nah, apa kataku? Ia adalah orang terbaik di barak ini. Tetapi ia lebih senang diam dan tidak menunjukkan kelebihannya. Ketika aku bersama-sama dengan Ki Lurah Kasadha, yang waktu itu masih menjadi pimpinan kelompok aku sudah memperhitungkan, bahwa ia akan menjadi seorang prajurit yang sangat baik. Apalagi ia masih sangat muda.”

Namun kawannya berkata, “Tetapi seandainya Barata masih ada disini.”

“Ya,“ jawab prajurit yang pertama, “satu-satunya orang yang memiliki kemampuan dan keberanian yang mampu mengimbanginya adalah Barata. Anehnya keduanya mempunyai wajah yang sangat mirip, sehingga seperti kakak beradik saja. Namun Kasadha memang nampak sedikit lebih tua dari Barata.”

Pembicaraan seperti itu memang menjalar dimana-mana. Sehingga akhirnya Kasadha sendiri mendengar seseorang yang berkata, “Hanya Baratalah yang mampu mengimbanginya.“

Namun orang lain berkata, “Keduanya seperti kakak beradik saja.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Iapun menyadari beberapa persamaan yang terdapat pada dirinya dan Barata. Iapun menyadari, bahwa dirinya nampak sedikit lebih tua dari Barata, meskipun yang sebenarnya Barata itu lebih tua sedikit saja daripadanya.

Sambil mengangguk-angguk Kasadha itupun berkata didalam hatinya, “Memang hanya Barata yang mampu mengimbangi ilmuku seandainya ia masih berada di barak ini pula.”

Tetapi setiap kali terbayang, bahwa ibunya, Warsi, dalam keadaan apapun tidak dapat mengimbangi kemampuan ibu Barata, yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Namun Kasadha sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan mempersoalkan lagi Tanah Perdikan Sembojan. Itu memang hak Barata, sebagaimana ibunya sendiri pernah juga mengatakannya.

Tetapi adalah diluar sadarnya jika kemudian juga terbayang Riris, anak gadis Ki Rangga Dipayuda.

“Ah,“ Kasadha menggelengkan kepalanya.

Sementara itu, halaman barak itupun semakin lama menjadi semakin lengang. Para prajuritpun telah kembali ke tempat masing-masing. Atau pergi ke kebun dan duduk-duduk dibawah pepohonan yang rindang. Ternyata pertandingan yang hanya terdiri dari sepasang Lurah Penatus itu tidak sampai melewati tengah hari. Namun gaung kemenangan Kasadha telah menyusup kesegenap relung bangunan di barak itu.

Bahkan disore harinya, berita kemenangan itu telah merembes keluar barak ketika beberapa orang pra jurit mendapat tugas keluar dari barak, serta mereka yang kebetulan beristirahat dan memerlukan keluar dari barak.

Ki Lurah Lenggana yang sudah tidak berpengharapan lagi, berbaring di pembaringannya. Meskipun udara terasa panas bagaikan membakar. Namun dibiarkannya keringatnya membasahi tikar dan pakaiannya. Kekecewaan yang mencengkam jantungnya rasa-rasanya tidak akan pernah dilupakannya. Bahkan iapun sama sekali tidak bergairah lagi untuk menempuh pendadaran dihari terakhir melawan Ki Lurah Bantardi. Meskipun ia mempunyai keuntungan waktu beristirahat, tetapi yang akan dicapai bukannya yang diinginkannya.

Demikian pula Ki Lurah Bantardi. Ia terbaring bukan saja merenungi kekalahannya. Tetapi tubuhnya memang terasa sakit. Tulang-tulangnya terasa nyeri sementara daging dan kulitnya bagaikan menjadi tebal dan sakit.

Seorang pemimpin kelompok dalam pasukannya telah mengolesi tubuh Ki Lurah Bantardi dengan param yang hangat, ketika senja kemudian mulai turun.

Di bangunan yang lain, Kasadha duduk di serambi bersama beberapa orang pemimpin kelompok dan prajuritnya. Mereka masih saja memperbincangkan pendadaran yang telah diselenggarakan di barak itu. Seorang diantara prajuritnya berkata, “Ternyata pendadaran itu berakibat baik sekali. Selain menimbulkan kegembiraan, dorongan untuk mengadakan latihan dan akhirnya diketemukan orang yang sebenarnya.”

“Sebenarnya apa?“ bertanya Kasadha.

“Orang yang sebenarnya memang terbaik di barak ini,“ jawab prajurit itu.

“Belum menjadi ukuran,“ jawab Kasadha, “kemampuan seorang prajurit dinilai dari banyak hal. Olah kanuragan, kemampuan kerja sama dalam pertempuran tetapi juga dalam tugas-tugas yang lain, kepemimpinan dan tidak kalah pentingnya kesetiaan dan kesediaan pengabdi. Nah, bukankah kelebihan dalam olah kanuragan masih dapat dikalahkan oleh jumlah lawan. Namun kesediaan pengabdi dan kesetiaan tidak akan terhapus oleh lawan berapapun juga jumlahnya, karena kekalahan secara wadag tidak akan dapat menggugurkan kesetiaan dan kesediaan pengabdi dari seorang prajurit.”

Prajurit-prajuritnya yang berada diserambi itupun mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa Kasadha bukan seorang yang dengan bangga menunjukkan kelebihan-kelebihannya. Sejak ia menjadi seorang prajurit bersama dengan Barata, maka sudah nampak bahwa anak muda itu selalu mengendalikan diri.

Namun ketika malam menjadi semakin dalam, maka Kasadhapun berkata, “Aku merasa sangat letih. Aku akan beristirahat.”

Kasadha memang berbaring di pembaringannya. Tetapi ia tidak segera dapat tidur. Ia mulai memikirkan, akibat dari kemenangannya itu.

“Apakah akan memberikan akibat yang baik atau sebaliknya?“ pertanyaan itu justru membayanginya.

Namun dengan pertandingan yang telah dilakukan dua kali, Kasadha merasa bahwa tugas khususnya itu sudah selesai. Kalah atau menang tidak lagi penting baginya, meskipun Kasadha tidak dapat menghindar dari pertanyaan tentang kemungkinan mendatang.

Namun dalam pada itu, di ruang yang lain, Ki Rangga Prangwiryawanpun sedang berbaring pula. Iapun merasa letih oleh ketegangan yang mencengkamnya selama ia menunggui pertandingan yang berlangsung di arena.

“Aku lebih senang terjun dalam pertandingan itu sendiri,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan kepada diri sendiri.

Namun tiba-tiba saja kening Ki Rangga itu berkerut. Ia mulai mempunyai pertimbangan lain. Pertandingan dihari terakhir itu sudah tidak mempunyai banyak arti, karena orang terbaik telah ditentukan.

Sebuah pertanyaan telah muncul didalam hatinya, “Bagaimana akibatnya jika pertandingan itu dibatalkan saja, tetapi diganti dengan pertandingan yang tentu lebih menarik lagi para prajurit?”

Ki Rangga Prangwiryawanpun kemudian telah bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir didalam biliknya. Ia mempunyai satu’rencana lain jika disetujui oleh Ki Tumenggung Jayayuda. Satu rencana yang menurut pendapatnya cukup baik.

Ki Rangga sebenarnya ingin dengan segera menyampaikan rencananya itu kepada Ki Tumenggung. Tetapi ia tidak dapat menghadap malam itu. Apalagi jika Ki Tumenggung sudah beristirahat.

Karena itu, maka Ki Rangga harus menunggu sampai esok pagi.

Rasa-rasanya malam memang menjadi terlalu panjang. Ki Rangga yang kemudian berbaring kembali dan tertidur karena keletihan itu merasa seakan-akan pagi hari tidak juga kunjung datang. Ketika ia terbangun, maka didengarnya suara kenthongan berbunyi dengan nada dara muluk.

“Baru tengah malam,“ desisnya.

Ki Rangga memang mengalami kesulitan untuk dapat tidur lagi. Namun akhirnya, menjelang dini, iapun berhasil mengosongkan dirinya dan tidur kembali, meskipun hanya beberapa saat, karena menjelang fajar, Ki Rangga telah terbangun pula.

Pagi itu Ki Rangga telah menghadap Ki Tumenggung mendahului kedua orang Pandhega yang lain. Ki Rangga tergesa-gesa ingin menyampaikan gagasannya, yang barangkali lebih bermanfaat bagi para prajurit.

“Apa yang akan kau katakan Ki Rangga?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Ki Tumenggung. Pertandingan dihari terakhir besok, agaknya tidak akan menarik lagi. Bukan saja bagi prajurit yang akan menyaksikannya, tetapi juga bagi kedua orang yang akan turun ke arena. Mereka menyadari, bahwa orang terbaik telah terpilih,“ jawab Ki Rangga.

“Jadi, apalagi yang akan kita lakukan?“ bertanya Ki Tumenggung pula, “Apakah menurut Ki Rangga pertandingan itu akan dibatalkan saja?”

“Bagaimana jika pertandingan itu dibatalkan?“ Ki Rangga itu justru bertanya meskipun dengan ragu-ragu.

“Barangkali Ki Rangga sudah mempunyai rencana?. Katakan minta Ki Tumenggung.

“Ki Tumenggung. Aku ingin menghubungi kedua orang yang akan turun ke arena besok. Apakah mereka memilih pertandingan itu diteruskan tanpa perhatian dari para prajurit, atau dibatalkan saja,“ desis Ki Rangga.

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepada Ki Rangga. Tetapi mungkin kedua orang itu masih mempunyai keinginan untuk saling menguji.”

“Tetapi Ki Tumenggung,“ berkata Ki Rangga kemudian, “aku justru mempunyai satu gagasan, bahwa pertandingan ini ditingkatkan.”

“Maksud Ki Rangga?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Bukan hanya sampai kepada para Lurah Penatus. Bagaimana jika para Pandhega juga ikut serta bermain-main bersama Lurah yang terbaik itu?“ bertanya Ki Rangga.

Namun dengan serta merta Ki Tumenggung menjawab, “Tidak. Hal itu akan menyangkut soal kewibawaan. Jika dalam pertandingan itu, seorang Pandhega dikalahkan oleh seorang Lurah, maka akibatnya akan buruk sekali. Padahal sudah kita sepakati, kelebihan seorang prajurit tidak hanya terletak pada kemampuan olah kanuragan.”

“Justru karena itu, bukankah kekalahan dalam pertandingan itu tidak akan banyak berpengaruh?“ bertanya Ki Rangga Prangwiryawan.

“Tetapi aku tidak sependapat,“ jawab Ki Tumenggung.

“Bukankah persoalannya akan sama saja dengan pendadaran bersama antara peijiimpin kelompok terbaik yang ikut serta dalam pendadaran diantara para Lurah?“ desak Ki Rangga Prangwiryawan.

“Ada sepuluh Lurah Penatus. Tetapi hanya ada tiga Pandhega disini. Bagaimana jika Ki Rangga Prangwiryawan dikalahkan oleh Ki Lurah Kasadha?“ Ki Tumenggung justru bertanya.

“Itulah soalnya Ki Tumenggung. Apakah para Pandhega yakin akan kemampuannya? Tentang aku secara pribadi, aku sama sekali tidak akan cemas, karena aku yakin, bahwa bukan saja para Lurah tetapi para Pandhega tidak akan mengalahkan aku dalam pertandingan seperti itu. Sebelum aku memasuki barak ini, maka aku telah mengikuti beberapa kali pertandingan seperti ini. Ternyata aku tidak pernah dikalahkan. Juga diantara beberapa orang Rangga dan bahkan aku pernah mengalahkan dua orang Tumenggung dalam pertandingan serupa. Dua orang Tumenggung yang seorang dari Demak dan yang seorang dari Pajang ini sendiri,“ berkata Ki Rangga.

“Aku bangga akan kelebihanmu, Ki Rangga. Tetapi aku tidak sependapat. Aku tidak mengijinkan permainan yang diselenggarakan diantara para Pandhega. Apalagi diikut sertakannya Lurah terbaik dalam barak ini. Aku yakin bahwa Kasadha yang muda itu masih akan dapat meningkatkan kemampuannya jika ia mendapat lawan yang lebih tangguh,“ berkata Ki Tumenggung.

“Biarlah aku yang melawannya,“ sahut Ki Rangga Prangwiryawan, “sementara kedua Pandhega yang lain biarlah bertanding. Yang menang kemudian akan melawan aku pula. Tidak dalam perang tanding Ki Tumenggung. Hanya dalam semacam pendadaran saja.”

“Tidak. Aku tidak mengijinkan. Tetapi aku tidak berkeberatan jika Ki Rangga akan menggantikan permainan yang kurang menarik besok dengan menjajagi kemampuan Ki Lurah Kasadha. Namun jika kedua Lurah Penatus itu masih juga ingin bertanding, maka Ki Rangga dapat memilih kesempatan lain. Tetapi dengan mengingat, apakah Kasadha bersedia atau tidak. Berbeda dengan pendadaran yang telah diselenggarakan, yang seakan-akan merupakan keharusan,“ berkata Ki Tumenggung yang semakin kurang senang terhadap sikap Ki Rangga Prangwiryawan.

Ki Rangga Prangwiryawan termangu-mangu. Namun kesempatan itu sudah cukup memadai. Ia sudah mendapat kesempatan untuk turun ke arena. Mempertunjukkan kemampuannya sehingga para prajurit di barak itu yakin, bahwa ia adalah oraiig terbaik.

Karena itu, maka Ki Ranggapun kemudian berkata, “Baiklah Ki Tumenggung. Aku akan menjajagi kemungkinan itu. Aku akan bertemu dengan Ki Lurah Lenggana, Ki Lurah Bantardi dan Ki Lurah Kasadha.”

“Tetapi Ki Rangga hanya dapat membicarakannya. Bukan memerintahkannya, karena sebelumnya sudah dibuat satu ketentuan sebagai paugeran dalam pertandingan pendadaran ini,“ pesan Ki Tumenggung yang tahu, bahwa sebenarnya Ki Rangga, hanya ingin menunjukkan kelebihannya. Ki Tumenggungpun tahu, bahwa dalam pertandingan nanti, Ki Rangga tentu akan menunjukkan berbagai macam kemampuannya untuk sekedar dikagumi.

Demikianlah, hari itu, Ki Rangga benar-benar mengadakan pendekatan diantara ketiga orang Lurah Penatus itu. Dengan beberapa penjelasan, maka Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi telah dapat dibujuknya, agar mereka tidak melanjutkan pendadaran karena sudah tidak akan menentukan tataran yang diinginkan. Mereka sama sekali memang tidak berminat untuk disebut orang terbaik kedua atau ketiga.

Karena itu, maka ketika Ki Rangga Prangwiryawan datang kepadanya untuk minta agar pertandingan itu diurungkan, ia tidak banyak menemui kesulitan.

Namun ketika ia menghubungi Ki Lurah Kasadha, maka persoalannya tidak berjalan selancar sebelumnya. Ki Lurah Kasadha tidak dengan serta merta menerima tawaran untuk melakukan pertandingan pendadaran dengan Ki Rangga Prangwiryawan.

“Aku tidak berani Ki Rangga,“ jawab Kasadha.

“Kenapa? Bukankah kau Lurah terbaik di barak ini?“ bertanya Ki Rangga Prangwiryawan.

“Mungkin hanya satu kebetulan. Tetapi sudah tentu untuk melakukan satu pertandingan pendadaran dalam olah kanuragan dengan Ki Rangga, tentu aku tidak dapat melakukannya,“ jawab Kasadha.

Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ada dua kemungkinan. Kau benar-benar tidak berani atau kau memang menaruh belas kasihan kepadaku, seandainya aku dapat kau kalahkan. Jika kemungkinan kedua ini yang bergejolak didadamu, maka kau justru telah menghina aku.”

Wajah Kasadha memang menjadi tegang. Ia sadar, bahwa Ki Rangga benar-benar ingin menyudutkannya sehingga ia bersedia melakukan pertandingan pendadaran melawannya.

Namun Kasadha masih mencoba untuk mengelak, “Ki Rangga. Apakah artinya pendadaran yang melibatkan seorang Pandhega bagi seorang Lurah seperti aku ini? Sudahlah, biarlah aku merasa puas dengan kemungkinan yang telah aku dapatkan. Aku sudah disebut Lurah terbaik sekarang ini. Tetapi bukankah itu terjadi dalam satu saat saja yang lebih banyak dipengaruhi oleh unsur kebetulan? Karena itu, aku tentu tidak akan cukup berharga untuk memasuki arena bersama seorang Pandhega.”

“Ki Lurah Kasadha,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan, “kau jangan terlalu berbangga dengan kemenanganmu. Kau nampaknya tidak ingin gelarmu sebagai Lurah terbaik itu ternoda oleh kekalahan yang menyusul kemudian. Tetapi kau harus menyadari, bahwa pertandingan yang demikian akan sangat bermanfaat bagi para prajurit. Mereka akan melihat dan tentu akan mendorong kemauan mereka untuk menempa diri, satu ilmu yang baru disebut pantas bagi seorang prajurit. Aku tidak akan dapat melepaskan ilmu yang akan sangat berarti itu tanpa seorang lawan yang memadai. Dalam hal ini, lurah terbaik di barak ini.”

Ki Lurah Kasadha memang menjadi bingung. Namun tiba-tiba saja telah terngiang pesan Ki Rangga Dipayuda. Bahwa ia harus bersikap tegas. Jika ia ingin kalah, kalahlah dibenturan pertama. Jika ia memang ingin menang, ia harus menang sampai putaran terakhir. Bahkan seandainya ia harus melawan Ki Rangga Prangwiryawan sekalipun.

“Kau tidak pantas untuk menjadi ragu-ragu,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan kemudian, “kau tentu menyadari, bahwa gelar yang kau sandang itu merupakan beban. Kau jangan begitu saja tanpa tanggung jawab meletakkan bebanmu.”

Kasadha mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Namun kemudian tiba-tiba saja ia menjawab, “Baiklah Ki Rangga. Jika aku memang tidak dapat mengelak lagi, maka aku menerima tawaran ini sekedar sebagai seseorang yang memancing agar Ki Rangga dapat menunjukkan ketrampilan olah kanuragan yang terbaik bagi para prajurit.”

“Tetapi setelah kita berada di arena, maka yang ada adalah pertandingan pendadaran,“ jawab Ki Rangga.

“Baiklah. Aku akan mencoba melakukannya sebaik-baiknya,“ jawab Kasadha, “meskipun aku sudah dua kali tujun ke arena, besok aku akan turun sekali lagi.”

“Beristirahatlah dengan baik. Bahkan jika perlu, aku akan mengundur waktu pertandingan agar kau mempunyai kesempatan untuk memulihkan kekuatanmu, agar tidak dapat kau pergunakan sebagai alasan apapun juga.”

“Ki Rangga,“ jawab Kasadha, “jika aku kalah dalam pertandingan itu, aku tidak akan berdalih apapun. Aku akan menerima kekalahan itu dengan senang hati. Apalagi aku hanya seorang Lurah Penatus.”

“Kau jangan mengucapkan kepangkatan itu setiap kali,“ berkata Ki Rangga,“ Ki Tumenggung telah berkali-kali mengatakan, bahwa pangkat dan kedudukan seorang prajurit tidak semata-mata ditentukan oleh tataran kemampuan olah kanuragan.”

Kasadha mengangguk hormat. Katanya, “Baiklah Ki Rangga.”

“Nah, apakah kau akan minta pertandingan itu diundur waktunya?“ bertanya Ki Rangga.

“Tidak. Besok atau kapan saja, kemampuanku tidak akan dengan serta merta meningkat,“ jawab Kasadha.

“Nah, jika demikian, beristirahatlah dengan baik. Kau suruh seseorang memijit urat-urat nadimu. Kau parami tubuhmu dengan reramuan yang terbaik agar besok kau dapat turun ke arena dengan segar, utuh dan bergairah untuk menang.”

Kesediaan Ki Lurah Kasadha untuk turun ke arena, serta niat Lenggana dan Bantardi untuk mengurungkan pertandingan itupun segera tersebar, sementara Ki Rangga telah melaporkannya kepada Ki Tumenggung serta kedua Pandhega yang lain.

Ki Rangga Wirayuda dan Ki Rangga Dipayuda hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena Ki Tumenggung telah memberikan ijinnya, maka keduanya tidak mengatakan sesuatu tentang rencana itu.

Barak itu memang menjadi riuh oleh pembicaraan tentang perubahan acara pertandingan dikeesokan harinya. Sebenarnyalah pertandingan antara Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi sudah tidak begitu menarik lagi. Namun perubahan itu telah menumbuhkan gairah bagi para prajurit. Bahkan pertandingan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya itu bagaikan letupan kegembiraan para prajurit menyambut acara pertandingan pendadaran yang telah berlangsung cukup lama itu.

“Kali ini Ki Lurah Kasadha akan mengalami kesulitan dari lawannya,“ berkata para prajurit.

Namun sebagian besar mereka masih berharap bahwa Ki Lurah Kasadha setidak-tidaknya akan mampu memberikan perlawanan yang memadai bagi Ki Rangga Prangwiryawan yang namanya telah mengumandang sebagai seorang prajurit yang tangguh-tanggon.

Tetapi dalam penjelasannya, Ki Rangga sudah menyatakan, bahwa yang terpenting adalah satu contoh dari ungkapan kemampuan Ki Rangga Prangwiryawan yang terbaik untuk dapat dipelajari oleh para prajurit. Kasadha adalah sekedar alat untuk memancing unsur-unsur gerak itu.

Demikian Ki Rangga Prangwiryawan mengumumkan perubahan acara itu dengan resmi, maka Kasadha telah menghadap Ki Rangga Dipayuda untuk menyampaikan persoalannya itu.

Ternyata Ki Rangga Dipayuda mengulangi pesannya sebagaimana pernah dikatakannya sebelumnya. Jika Kasadha memang sudah mulai dengan kemenangan, maka iapun harus mengakhiri dengan kemenangan jika ia mampu melakukannya.

“Dengan demikian, maka kau akan dilihat oleh setiap prajurit termasuk Ki Tumenggung Jayayuda, Ki Wirayuda dan orang-orang yang belum mengenalmu sejak permulaan sebagaimana kau adanya,“ berkata Ki Rangga itu kemudian.

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Rangga. Aku akan melakukannya.”

“Kau berada dalam keadaan yang lebik baik dari Ki Rangga. Jika kau kalah, maka kau tidak akan dicaci orang. Apalagi Ki Rangga sadar atau tidak sadar mengatakan kepada para prajurit, bahwa kehadiranmu di arena itu sekedar untuk memancing, agar Ki Rangga dapat menunjukkan unsur-unsur olah kanuragan yang akan sangat berarti bagi para prajurit,“ berkata Ki Rangga Dipayuda.

Kasadha masih saja mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku tidak akan dibebani oleh satu keinginan apalagi keharusan apapun. Aku akan turun dengan hati yang ringan.”

Ki Rangga menepuk bahu Kasadha sambil berkata, “Berbuatlah sebaik-baiknya. Kau tidak usah terlalu banyak berpikir.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam.

Namun sebelum Kasadha meninggalkan Ki Rangga, seorang prajurit telah datang untuk memberitahukan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengan Kasadha.

“Siapa?“ bertanya Kasadha.

“Barata,“ jawab prajurit itu.

“Bawa orang itu kemari,“ minta Kasadha yang wajahnya tiba-tiba saja menjadi cerah. Namun kemudian tiba-tiba pula ia sadar, bahwa ia tidak berada di biliknya sendiri. Karena itu maka iapun segera bertanya, “Apakah Ki Rangga tidak berkeberatan?”

Ki Rangga tertawa kecil. Katanya, “Ajak Barata kemari.”

Sejenak kemudian Barata telah berada diruang itu. Dengan gembira Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda menyambutnya.

“Kau sudah berada disini lagi,“ desis Ki Rangga.

“Kemarin ada seorang utusan Ki Rangga Kalokapraja memanggilku,“ jawab Barata, “ada sesuatu yang masih harus aku lengkapi. Justru aku belum mencantumkan kenyataan tentang diriku sendiri didalam surat pernyataan sebagai kelengkapan laporan dari Tanah Perdikan Sembojan,“ jawab Barata.

“Apakah menimbulkan kesulitan?“ bertanya Ki Rangga Dipayuda.

“Tidak Ki Rangga. Aku sudah menghadap Ki Rangga Kalokapraja. Semuanya sudah aku lengkapi,“ jawab Barata, “dalam waktu yang tidak terlalu lama, Tanah Perdikan Sembojan yang pernah menimbulkan persoalan itu akan segera disahkan lagi. Bukan kekancingan baru, tetapi mensahkan kekancingan yang pernah ada. Kemudian wisuda Kepala Tanah Perdikan.”

“Aku mengucapkan selamat, Barata,“ desis Kasadha.

Tetapi Barata menjawab sambil tertawa, “Tidak sekarang. Besok saja jika hal itu sudah terjadi.”

Kasadhapun tertawa. Demikian pula Ki Rangga Dipayuda.

Sementara itu Ki Ranggapun bertanya, “Jadi kau sudah lama berada di Pajang?”

“Aku berangkat sebelum dini,“ jawab Barata.

“Kau singgah dirumahku?“ bertanya Ki Rangga.

“Tidak Ki Rangga,“ jawab Barata, “aku ingin segera menyelesaikan persoalan Tanah Perdikanku. Mungkin besok dalam perjalanan kembali. Itupun tentu hanya sebentar.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Sementara Kasadhapun tiba-tiba saja menunduk. Namun Kasadha segera menghapus segala kesan apapun di wajahnya. Bahkan sambil tersenyum ia bertanya, “Kau tentu akan bermalam disini.”

“Jika diijinkan,“ jawab Barata.

“Kau diijinkan bermalam disini,“ berkata Ki Rangga Dipayuda. Lalu katanya, “Bahkan satu kebetulan. Kau besok akan dapat melihat pendadaran. Justru dihari terakhir.”

“Pendadaran seperti yang pernah direncanakan dahulu sebagaimana aku dengar?“ bertanya Barata.

“Ya. Bahkan bukan sekedar mereka yang menyatakan keinginannya untuk ikut serta. Tetapi semua Lurah Penatus harus ikut serta. Tetapi semua Lurah Penatus harus ikut serta,“ jawab Ki Rangga Dipayuda.

“Jadi Kasadha juga ikut?“ bertanya Barata.

Kasadha tersenyum. Katanya, “Aku terpaksa ikut pula.“

“Dan menang? Atau kalah?“ bertanya Barata.

“Kasadha adalah orang pertama diantara para Lurah Penatus,“ jawab Ki Rangga Dipayuda.

“Aku mengucapkan selamat, Kasadha,“ desis Barata.

“Tidak sekarang,“ jawab Kasadha, “tetapi setelah pendadaran seluruhnya selesai.”

Barata tertawa. Tetapi ia bertanya, “Apakah masih belum selesai?”

“Bukankah Ki Rangga sudah mengatakan, besok adalah hari terakhir,“ jawab Kasadha.

“Jadi, masih belum dapat ditentukan Lurah Penatus terbaik di barak ini?“ bertanya Barata.

“Sudah,“ Ki Rangga Dipayudalah yang menjawab, “besok adalah pendadaran terakhir. Ki Rangga Prangwiryawan, salah seorang Pandhega, ingin menimbang kemampuan diri dengan Lurah Penatus terbaik di barak.”

“Seorang Pandhega,“ desis Barata.

“Itulah yang menarik,“ berkata Ki Rangga, ”seorang Pandhega yang ingin secara tidak langsung memberikan contoh tataran yang pantas bagi seorang prajurit. Sedangkan Kasadha hanya sekedar untuk memancing agar Ki Rangga Prangwiryawan dapat melepaskan unsur-unsur kemampuan kanuragannya yang dikatakannya pantas bagi para prajurit itu.”

Barata mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Rangga Prangwiryawan. Dengan seorang lawan, maka itu akan lebih baik dan wajar daripada ia harus menunjukkan unsur-unsur gerak yang penting bagi para prajurit sebagaimana dalam latihan-latihan seorang diri.

Tetapi hal itu tentu berbahaya bagi orang yang ditunjuk menjadi lawan bermainnya.

Namun Baratapun mencoba utuk mengerti, bahwa yang ditunjuk itu adalah orang terbaik diantara para Lurah Penatus, sehingga orang terbaik itu akan dapat memberikan perlawanan yang cukup untuk memancing kemampuannya agar dapat dilihat dan tentu saja dengan maksud untuk dapat dipelajari oleh para prajurit.

Dengan demikian, maka Barata merasa beruntung bahwa ia datang tepat pada waktunya tanpa disengaja.

Malam itu .Ki Rangga menemui Ki Tumenggung untuk melaporkan bahwa ia telah menerima tamu seorang anak muda dan mohon untuk dapat bermalam.

“Siapa?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Barata, Ki Tumenggung, “jawab Ki Rangga Dipayuda, “sekaligus mohon ijin, besok akan menyaksikan pendadaran pada hari terakhir.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak berkeberatan anak muda itu bermalam disini. Tetapi apakah ia datang khusus untuk menyaksikan pendadaran dihari terakhir itu?”

“Tidak Ki Tumenggung,“ jawab Ki Rangga Dipayuda, “hanya satu kebetulan.”

Ternyata Ki Tumenggungpun tidak berkeberatan. Apalagi Barata sendiri adalah bekas seorang prajurit pula. Bahkan langsung dibawah pimpinan Ki Rangga Dipayuda masih menjadi seorang Lurah Penatus.

Malam itu, Kasadha minta ijin kepada Ki Rangga Prangwiryawan untuk mempergunakan sanggar tertutup. Ia ingin menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi Ki Rangga esok pagi.

Ki Rangga ternyata sama sekali tidak berkeberatan. Katanya, “Aku akan berada disanggar terbuka. Udara terlalu panas sehingga aku tentu akan kepanasan untuk berlatih di sanggar tertutup. Apalagi sudah bukan saatnya lagi untuk berlatih, kecuali sekedar untuk melemaskan tubuh.”

Sebenarnyalah malam itu, Barata menemani Kasadha berada di sanggar tertutup. Kasadha memang tidak berlatih keras. Tetapi ia sekedar memadukan irama geraknya dengan irama pernafasannya dalam satu latihan yang sangat khusus. Dengan demikian maka aliran hawa didalam tubuhnya akan selalu serasi dengan setiap gerak urat-urat nadinya serta kerja simpul-simpul syarafnya.

Pada saat terakhir, maka Kasadha kemudian telah duduk diatas sebuah tonggak kayu yang tegak setinggi badannya.

Barata tahu bahwa Kasadha sedang memusatkan nalar budinya dalam putaran pernafasannya yang mapan. Mengosongkan dirinya dan bertumpu pada kehendaknya. Dengan demikian maka kehendaknya telah menguasai seluruh tubuhnya sebulat-bulatnya, yang getarannya merambat kepada kemampuan tanggap nalurinya.

Barata sendiri duduk disebuah amben bambu yang tidak terlalu besar didalam sanggar tertutup itu. Amben bambu yang tidak terlalu kuat buatannya. Namun sengaja dipergunakan untuk latihan meringankan tubuh bagi para prajurit, terutama para pemimpin di barak itu.

Lewat tengah malam, Kasadha baru selesai. Meskipun ia tidak melakukan latihan dengan gerak yang keras dan berat, namun keringatnya bagaikan diperas dari tubuhnya.

Sejenak kemudian, maka Kasadha telah mengajak Barata untuk berjalan-jalan sejenak disekeliling barak didinginnya malam. Baru kemudian ketika keringat Kasadha telah kering, maka iapun mempersilahkan Barata untuk menunggunya diserambi baraknya.

“Aku akan mandi dahulu. Tubuhku akan menjadi segar dan tidur nyenyak,“ berkata Kasadha.

“Waktumu tinggal sedikit,“ desis Barata.

“Tetapi cukup panjang untuk tidur menjelang permainan yang sama sekali kurang menarik itu,“ sahut Kasadha sambil melangkah ke pakiwan.

Sebenarnyalah, setelah mandi dan berpakaian, maka Kasadhapun telah mengajak Barata untuk tidur.

“Aku harus beristirahat,“ berkata Kasadha.

“Kita sudah memasuki dini hari,“ desis Barata.

“Masih ada waktu,“ jawab Kasadha.

Kasadha memang segera dapat tidur. Ia benar-benar telah melepaskan segala macam beban dihatinya menjelang pendadaran itu. Apapun yang terjadi, ia adalah Lurah Penatus yang terbaik. Apalagi jika ia mampu mengalahkan Ki Rangga. Seandainya tidak, tidak ada tanggung jawab apapun kepada orang lain. Ia bertanggung jawab kepada diri sendiri.

Pernyataan Ki Rangga Prangwiryawan sadar atau tidak, bahwa ia sekedar alat untuk memancing ungkapan ilmu dan kemampuan Ki Rangga telah lebih memperingan bebannya lagi.

Barata yang bermalam di barak itu, justru tidak segera tertidur. Ia membayangkan apa yang dilakukan oleh Kasadha esok.

Namun beberapa lama kemudian, Baratapun telah tertidur pula diantara para prajurit di barak itu. Justru ia bekas seorang prajurit, maka iapun segera dapat menyesuaikan dirinya.

Pagi-pagi sekali para prajuritpun telah terbangun. Demikian pula Barata. Namun ketika ia pergi ke pakiwan, Kasadha ternyata telah mandi pula.

Sebelum matahari terbit, maka Kasadha telah bersiap. Ia masih sempat memusatkan nalar budinya sejenak, mengatur pernafasannya dan menempatkan dirinya dalam bayangan kuasa Yang Maha Agung sepenuhnya.

Dengan demikian, ketika kemudian ia keluar dari baraknya bersama-sama dengan Barata menjelang matahari terbit, maka rasa-rasanya segala-galanya menjadi cerah. Langkahnya menjadi ringan dan dihadapannya rasa-rasanya tidak ada masalah sama sekali yang harus dipecahkannya.

“Aku akan turun kegelanggang, bertanding sebaik-baiknya dan terserah apa yang akan terjadi,“ berkata Kasadha didalam hatinya.

Sebenarnyalah, di halaman barak itu telah berkumpul para prajurit disekitar gawar lawe. Ternyata arena telah dibuat sedikit lebih luas lagi dari sebelumnya. Ki Rangga minta agar ia mendapat lebih banyak kesempatan untuk mempertunjukkan unsur-unsur gerak yang akan sangat berarti bagi para prajurit.

“Mudah-mudahan Ki Lurah Kasadha memiliki kemampuan cukup untuk memancing unsur-unsur gerak itu,“ berkata Ki Rangga kepada beberapa orang prajurit yang mengerumuninya.

Para prajurit itu mengangguk-angguk. Namun merekapun menjadi cemas, bahwa Ki Lurah yang sebelumnya mereka anggap sebagai orang terbaik di barak itu akan mengalami kesulitan yang akan dapat mengecilkan namanya.

Tetapi para prajuritpun telah mempunyai penilaian sebagaimana Ki Lurah Kasadha sendiri. Jika Ki Lurah Kasadha itu kalah, maka itu adalah wajar sekali. Yang penting bagi mereka, apakah Ki Lurah Kasadha mampu menunjukkan kemampuannya sesuai dengan sebutan orang terbaik di barak itu.

Dalam pada itu, Kasadha sendiri sambil tersenyum berjalan diantara para prajurit mendekati arena. Sambil berjalan ia sempat berkata kepada Barata, “Aku menjadi berdebar-debar justru karena kau ada disini.”

“Kenapa?“ bertanya Barata.

“Seisi barak ini tidak akan mempersoalkan kekalahanku, jika aku kalah. Tetapi aku akan segan kau lihat bahwa aku kalah,“ desis Kasadha sambil tertawa kecil.

Baratapun tertawa pula. Katanya, “Aku akan menyaksikan pendadaran ini sambil memejamkan mata.”

“Jangan. Kau harus melihat bagaimana aku terlempar jatuh dan tidak bangun lagi. Itu lebih baik daripada saat kau membuka mata aku sudah pingsan,“ Kasadha tertawa semakin keras, sehingga beberapa orang prajurit berpaling kepadanya.

Namun dengan demikian para prajurit itu tahu, bahwa Kasadha sama sekali tidak menjadi gemetar untuk memasuki arena pendadaran meskipun harus mela wan Ki Rangga Prangwiryawan. Meskipun para prajurit itu belum pernah melihat Ki Rangga Prangwiryawan di medan yang sebenarnya, namun seakan-akan mereka telah yakin, bahwa Ki Rangga adalah seorang prajurit yang mumpuni.

Ketika kemudian matahari mulai naik, maka segala sesuatunyapun mulai dipersiapkan. Yang akan mengamati pendadaran itu adalah Ki Tumenggung Jayayuda sendiri dibantu oleh kedua orang Pandhega yang lain. Ki Rangga Wirayuda dan Ki Rangga Dipayuda.

Sejenak kemudian, maka kedua orang yang akan memasuki pendadaran itupun telah dipersilahkan. Ki Rangga Prangwiryawan adalah orang ying pertama memasuki arena itu. Sambil mengangkat tangannya ia berjalan berkeliling disambut oleh tepuk tangan dan sorak gemuruh.

Baru kemudian Kasadhapun siap untuk memasuki gelanggang. Namun ia masih berpesan kepada Barata, “Setidak-tidaknya kau harus bertepuk tangan dan berteriak, meskipun seorang diri.”

Barata tertawa. Ditepuknya bahu Kasadha sambil berkata, “Tubuhmu masih sekeras besi baja,“ suara Barata merendah, “Kau akan menang.”

Kasadhapun tertawa pendek. Namun kemudian iapun telah melangkah memasuki gelanggang.

Sejenak kemudian, kedua orang yang akan melakukan pendadaran itu sudah bersiap di arena. Sementara Ki Tumenggung Jayayuda telah memperingatkan mereka akan semua paugeran yang harus ditaati.

“Kalian adalah pemimpin tertinggi di barak ini. Karena itu kalian harus mampu memberikan contoh yang baik bagi para prajurit. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga sikap dan perbuatan berhadapan dengan paugeran,“ berkata Ki Tumenggung Jayayuda.

Yang kemudian membacakan paugeran adalah Ki Rangga Wirayuda untuk mengingatkan kedua orang yang akan bertanding di arena itu.

Barata yang bukan penghuni barak itu berdiri diantara beberapa orang yang memang sudah dikenalnya ketika ia masih menjadi prajurit. Bahkan rasa-rasanya Barata masih juga menjadi bagian dari para prajurit itu.

Pendadaran di kesempatan terakhir itu memang membuat jantung para prajurit menjadi tegang. Hampir semuanya berharap agar Kasadha dapat menunjukkan bahwa ia memang orang terbaik diantara para Lurah Penatus, meskipun seandainya harus kalah. Para Lurah Penatus merasa, bahwa Kasadha adalah wakil dari mereka semuanya. Bahkan Lenggana dan Bantardipun menjadi berdebar-debar pula. Mereka sadar, seandainya mereka menjadi Lurah terbaik, maka mereka tentu akan melakukan sebagaimana dilakukan oleh Kasadha itu. Bagaimanapun juga mereka tentu akan menjadi gelisah jika harus turun ke gelanggang berhadapan dengan Ki Rangga Prangwiryawan.

Sejenak kemudian, Ki Tumenggung Jayayudapun telah memberikan isyarat, bahwa pendadaran akan segera dimulai. Ki Rangga Prangwiryawanpun kemudian mengangguk hormat sambil berkata, ”Kami sudah siap.”

Demikianlah, maka kedua orang yang ada di gelanggang pendadaran itupun telah bersiap. Mereka bergeser selangkah ketika sekali lagi terdengar sorak yang gemuruh.

Sementara itu, Ki Rangga Prangwiryawan masih juga sempat berkata kepada Kasadha, “Kerahkan segenap kemampuanmu agar kau dapat memancing ilmu dan kemampuanku sehingga dapat menjadi contoh dan pegangan sewajarnya bagi prajurit Pajang. Mudah-mudahan akan dapat mendorong para prajurit itu meningkatkan kemampuan mereka.”

Ternyata Kasadha menjawab, “Baik Ki Rangga.”

Ki Rangga tersenyum. Iapun maju selangkah mendekat. Tangannya terayun kearah dahi Kasadha.

Namun Kasadha bergeser surut, sehingga tangan Ki Rangga tidak menyentuhnya. Tetapi Ki Ranggapun melangkah maju. Sekali lagi tangannya menggapai kening. Cepat sekali, sehingga hampir saja Kasadha terlambat menghindar.

Ketika Ki Rangga bergerak maju lagi, ia berkata, “Marilah. Jangan segan. Kau tidak usah mengekang dirimu lagi.”

Kasadha termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah menyerang Ki Rangga pula meskipun masih belum bersungguh-sungguh.

Dengan demikian, maka keduanya mulai saling menyerang meskipun nampaknya masih saling menjajagi. Terutama Kasadha yang belum pernah melihat tataran ilmu Ki Rangga Prangwiryawan.

“Tetapi aku tidak peduli seandainya ia memiliki kemampuan setinggi guruku,“ katanya didalam hati. Namun Kasadhapun mengerti bahwa jarang sekali seseorang memiliki kemampuan setinggi Ki Ajar Paguhan atau Ki Randukeling.

Ki Tumenggung Jayayuda dan kedua orang Pandhega yang menunggui pertandingan itu mulai menjadi tegang. Ki Rangga Prangwiryawan kadang-kadang telah mulai menunjukkan kelebihannya. Meskipun belum sepenuhnya, namun kecepatan geraknya kadang-kadang memang mengejutkan Kasadha.

Selapis demi selapis Ki Rangga Prangwiryawan mulai meningkatkan kemampuannya. Kadang-kadang ia telah mendesak Kasadha sampai kesudut arena. Namun kemudian ia telah membuka kesempatan kepada Kasadha untuk melepaskan diri dari kurungannya.

Para prajurit memang mulai menjadi cemas. Mereka akan ikut menahan nafas jika Kasadha terdesak. Para prajurit itu tidak ingin melihat Kasadha terdesak. Para prajurit itu tidak ingin melihat Kasadha sekedar menjadi bahan permainan Ki Rangga Prangwiryawan. Mereka ingin melihat Kasadha memberikan perlawanan yang pantas meskipun akhirnya harus mengakui keunggulan Ki Rangga Prangwiryawan.

Namun setiap kali mereka melihat Ki Rangga Prangwiryawan yang mendesak Kasadha justru bergeser sambil tersenyum. Dengan sengaja Ki Rangga memberikan beberapa kesempatan kepada Kasadha agar Lurah Penatus itu tidak terus-menerus terdesak mundur.

Sebenarnya Kasadha tidak mengharapkan kesempatan seperti itu. Justru karena itu, maka ia menjadi sedikit ragu. Apakah ia dapat bersungguh-sungguh menghadapi Ki Rangga Prangwiryawan yang memang seakan-akan sedang berusaha mempermainkannya itu.

Namun ketika sekali lagi Ki Rangga itu menggelitiknya dengan tajam, maka Kasadhapun seakan-akan telah bangkit untuk benar-benar melakukan sebuah pertandingan.

Dalam pada itu, Ki Ranggapun mulai menunjukkan berbagai macam unsur gerak yang manis. Sekali-sekali Ki Rangga itu justru bagaikan menari. Namun kemudian dengan tangkasnya meloncat sambil berputar. Kakinya menyambar mendatar kearah dagu lawannya.

Kasadha memang harus berloncatan surut. Ia belum tahu seberapa tinggi kekuatan Ki Rangga Prangwiryawan sehingga ia tidak berani dengan serta merta membentur kekuatan itu. Meskipun demikian Kasadhapun mulai mencoba untuk menyentuh gerakan-gerakan yang nampak bertenaga dari Ki Rangga Prangwiryawan.

Ketika matahari semakin tinggi, maka Ki Ranggapun berkata, “Kau sama sekali belum mampu memancing kemampuanku Kasadha. Jangan ragu-ragu. Pertandingan ini jangan sampai nampak menjemukan.”

Dengan singkat Kasadhapun menjawab, “Baik Ki Rangga.”

Sebenarnyalah Kasadha telah memenuhi harapan Ki Rangga Prangwiryawan. Ia mulai meningkatkan tenaga dan kecepatan geraknya. Beberapa kali ia melakukan serangan beruntun sehingga Ki Rangga memang harus bergeser surut.

Namun Ki Rangga nampaknya menjadi gembira. Peningkatan serangan-serangan Kasadha seakan-akan memberi kesempatan kepada Ki Rangga Prangwiryawan untuk semakin menunjukkan kemampuannya. Berbagai macam unsur gerak yang mendebarkan mulai terungkap. Baik untuk menghindari serangan lawan, maupun untuk menyerang.

Para prajurit memang mulai berdecak kagum melihat unsur-unsur gerak Ki Rangga Prangwiryawan. Bukan saja memiliki kekuatan dan kemampuan yang tinggi untuk mendesak lawannya, tetapi juga merupakan tontonan yang menarik.

Namun Kasadha yang juga memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari para prajurit yang lain sempat melihat, bahwa Ki Rangga Prangwiryawan masih sempat memperhatikan bentuk dan ujud penampilan unsur-unsur gerak itu juga memiliki kemampuan yang tinggi atau sekedar memiliki kelebihan dalam ujud dan penampilannya? pertanyaan itu telah menggoda hati Kasadha dan ternyata menggoda pula untuk membuktikannya.

Karena itu, sesuai dengan keinginan Ki Rangga Prangwiryawan sendiri, maka Kasadha yang mulai berkeringat diseluruh tubuhnya itu, berniat untuk segera sampai kepada tataran yang menentukan, sementara matahari telah menjadi semakin tinggi. Apalagi ternyata para prajurit mulai menjadi jemu melihat permainan yang nampaknya kurang bersungguh-sungguh.

Ki Rangga Prangwiryawan mengerutkan dahinya ketika ia merasakan tekanan serangan-serangan Kasadha menjadi semakin kuat dan semakin cepat. Bahkan Kasadha sudah mulai menahan serangan-serangannya dengan tangkisan yang mapan, sehingga beberapa kali telah terjadi benturan-benturan.

Ki Rangga Prangwiryawan kemudian telah sampai kepada rencananya untuk mempertunjukkan ilmunya yang dianggap akan dapat membuat para prajurit dan bahkan Ki Tumenggung Jayayuda dan pada Pandhega menjadi kagum.

Dengan tangkasnya Ki Ranggapun kemudian telah melenting tinggi dan kemudian tegak berdiri diatas kedua kakinya yang merenggang. Lututnya sedikit merendah dan kedua tangannya bersilang didepan dadanya. Jari-jari tangannya mengepal kuat-kuat, sementara wajahnya menghadap lurus kearah lawannya.

Sikap itu telah membuat Kasadha berdebar-debar, ia sadar, bahwa Ki Rangga telah memanjat ke tataran yang lebih tinggi lagi, sehingga dengan demikian Kasadhapun telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya pula.

Kasadhapun kemudian telah berdiri sedikit menyamping. Namun kakinya yang kokoh bahkan bagaikan telah menancap di bumi.

Ketika Ki Rangga mulai bergerak, maka Kasadha tidak menunggu lagi. Ia justru telah meloncat menyerang dengan menjulurkan kakinya kearah dada. Sementara Ki Rangga telah bergeser dengan cepat pula menyamping. Ki Rangga masih sempat menunjukkan cara menangkis serangan Kasadha itu dengan manisnya. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba Kasadha telah memutar tubuhnya. Kakinya yang lain telah terlempar mendatar menyambar pundak Ki Rangga.

Namun Ki Rangga yang menggeliat masih sempat terhindar dari serangan Kasadha. Tetapi ia tidak segera tanggap ketika Kasadha yang meletakkan kakinya itu justru meloncat sambil menjulurkan tangannya menyambar keningnya.

Ki Rangga menarik wajahnya. Tangan Kasadha terayun didepan wajah Ki Rangga. Namun bersamaan dengan itu, Kasadha yang tubuhnya memutar hampir melekat didepan tubuh Ki Rangga telah mempergunakan siku tangannya yang satu lagi. Demikian ia berdiri hampir membelakangi Ki Rangga, maka Ki Rangga itu telah tergetar surut.

***

Jilid 43

TIDAK banyak yang melihat ketika siku Kasadha bergerak cepat. Telapak tangan Ki Rangga sempat menahan, tetapi ternyata bahwa ayunan kekuatan Kasadha mampu menggoyahkan tangan Ki Rangga sehingga tergetar dan bahkan Ki Rangga itupun telah terdorong selangkah surut.

Dengan cepat Kasadha mempersiapkan serangan berikutnya dengan melenting sambil berputar. Sementara kakinya terayun mendatar. Namun Ki Rangga telah sempat meloncat dua langkah surut sehingga kaki Kasadha tidak mengenainya.

Serangan beruntun yang kemudian seakan-akan telah mendesak Ki Rangga Prangwiryawan itu telah menghentak jantung para prajurit. Ketika kemudian Kasadha menghentikan serangannya, maka tiba-tiba saja telah meledak sorak para prajurit.

Wajah Ki Rangga Prangwiryawan memang menjadi panas. Ia terkejut mengalami serangan beruntun itu, sehingga ia tidak sempat menunjukkan kemampuannya yang dijadikan contoh bagi para prajurit di barak itu.

“Tetapi masih banyak waktu,“ desisnya.

Sementara itu Kasadha telah berdiri tegak siap menghadapi segala kemungkinan.

Melihat sikap Kasadha itu jantung Ki Rangga berdesir. Sikap itu begitu nampak meyakinkan, sehingga Ki Rangga justru tersentuh karenanya.

Namun sadar bahwa lawannya itu adalah Lurah Penatus terbaik di barak itu, maka Ki Ranggapun justru menjadi semakin berhati-hati meskipun keinginannya untuk memamerkan kelebihannya masih saja bergejolak dihatinya.

Demikianlah, maka keduanyapun segera bersiap. Kasadha sudah berniat untuk benar-benar bertanding. Apakah ia akan kalah atau akan menang bukan soal lagi baginya. Apalagi ketika ia kemudian teringat kata-kata Ki Rangga Prangwiryawan sendiri, bahwa di arena mereka akan benar-benar bertanding.

Ki Rangga benar-benar terkejut ketika kemudian ia mengalami serangan-serangan Kasadha yang cepat dan kuat. Meskipun satu dua kali Ki Rangga masih mampu memamerkan kemampuannya dan kelebihannya menguasai unsur-unsur gerak yang memiliki bentuk penampilan yang sangat menarik, namun selebihnya, Ki Rangga harus benar-benar berusaha mengimbangi Kasadha yang bergerak dengan cepat dan bahkan cenderung mendesaknya.

“Gila orang ini,“ berkata Ki Rangga didalam hatinya.

Sebenarnyalah Kasadha, murid Ki Ajar Paguhan itu, telah meningkatkan ilmunya merambat ke puncak. Ia tidak lagi menahan diri dan ragu-ragu. Ia hanya ingin mengerahkan kemampuannya. Kemudian akhir dari pertandingan itu terserah kepada tataran kemampuan Ki Rangga.

Ki Ranggapun harus mengimbangi kemampuan Kasadha. Bahkan kemudian Ki Rangga harus meningkatkan kemampuannya dengan cepat pula sebagaimana dilakukan oleh Kasadha.

Dengan demikian, maka irama dari pertandingan itu dengan cepat pula meningkat. Keduanya saling menyerang dan menghindar.

Ki Tumenggung Jayayuda dan kedua Pandhega yang menunggui pertandingan itupun menjadi semakin tegang pula. Mereka menyadari, bahwa Kasadha benar-benar mulai bersungguh-sungguh.

Para prajuritpun menjadi semakin tegang. Pertandingan itu benar-benar menjadi semakin keras. Kasadha dengan cepat menyerang. Namun kemudian melenting menghindari serangan-serangan yang datang dari Ki Rangga Prangwiryawan.

Dalam pertandingan yang semakin keras, ternyata sulit bagi Ki Rangga untuk sekedar memamerkan kelebihan-kelebihannya. Setiap kali ia akan melakukan, serangan Kasadha melandanya seperti badai yang datang mengguncang pepohonan. Sehingga Ki Rangga itu harus berusaha menghindar atau menangkis serangan itu serta mencari.kesempatan untuk menyerang kembali.

Dengan demikian yang terjadi di arena itu adalah benar-benar pertandingan beradu ilmu. Desak mendesak dan serang menyerang. Satu keadaan yang tidak diinginkan sama sekali oleh Ki Rangga Prangwiryawan. Ia berniat mempermainkan Kasadha dengan unsur-unsur geraknya yang dapat dipamerkan kepada para prajurit di barak itu. Sebagai orang baru, maka para prajurit itu belum pernah melihat apa yang dapat dilakukannya dalam olah kanuragan.

Tetapi kesempatan itupun menjadi hilang sama sekali. Ia benar-benar harus mengerahkan kemampuannya, justru karena serangan-serangan Kasadha yang semakin berbahaya.

Ki Rangga itupun kemudian telah membuat perhitungan baru. Ia tidak lagi ingin melakukan pameran kekuatan dan kemampuannya lebih dahulu baru kemudian menghentikan perlawanan Kasadha. Tetapi ia akan menyusut kekuatan dan kemampuan Kasadha dahulu. Jika ia berhasil menyakiti Lurah Penatus yang muda itu, dan memperlemah tenaganya, maka ia tentu akan mendapat kesempatan untuk melakukan pameran ilmu itu.

Karena itu, maka Ki Ranggapun telah dengan serta merta meningkatkan kemampuannya sampai kepuncak. Ia ingin membuat Kasadha tidak mampu berbuat banyak.

Dengan demikian, maka Ki Rangga itupun telah menyerang Kasadha bagaikan banjir bandang. Susul-menyusul dengan kekuatan dan tenaga yang sangat besar.

Untuk sesaat Kasadha memang terdesak. Ia merasakan kekuatan lawannya yang menghentak mendesaknya. Bahkan ketika serangan Ki Rangga mengenai dadanya, Kasadha memang telah terdorong beberapa langkah surut, sehingga keseimbangannya menjadi goyah. Karena itu, ketika Ki Rangga menyerangnya pula, Kasadha justru telah menjatuhkan dirinya untuk menghindari serangan itu.

Arena dan sekitarnya di halaman barak itu benar-benar telah dicengkam oleh ketegangan.

Kedua orang yang berada di arena itu agaknya telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya.

Dalam pada itu, ketiga orang yang mengamati pertandingan itu di dalam arena memang menjadi berdebar-debar. Ki Tumenggung Jayayuda menjadi semakin berhati-hati. Demikian pula kedua orang Pandhega yang lain. Mereka memang melihat bahwa pertandingan itu benar-benar telah menuntun keduanya untuk memperbandingkan kemampuan mereka sampai puncak. Karena itu, jika mereka tidak berhati-hati, maka akan dapat terjadi kemungkinan yang buruk pada keduanya atau salah seorang dari keduanya.

Sementara itu diluar arena Barata menjadi tegang. Seperti para pengamat yang ada didalam arena, maka Baratapun melihat bahwa kedua orang yang bertanding itu telah bertekad untuk dengan cepat memenangkan pertandingan.

Ki Rangga Prangwiryawan yang berniat segera menguras tenaga Kasadha untuk mendapat kesempatan mempertunjukkan kemampuannya dengan unsur-unsur gerak yang tentu dikagumi oleh para prajurit, telah menghentakkan segenap kemampuannya. Serangan-serangannya datang meluncur tanpa berkeputusan. Setiap kesempatan telah dipergunakannya. Dengan demikian ia akan dapat menekan Kasadha sekaligus memaksanya untuk melepaskan segenap kemampuan dengan mengerahkan tenaganya habis-habisan.

Tetapi Kasadha, murid Ki Ajar Paguhan yang telah menempa diri dalam kehidupan yang garang itu ternyata masih mampu mengimbanginya. Pengalamannya di pertempuran telah membuat jiwanya semakin kokoh.

Karena itu, ketika ia menyadari bahwa Ki Rangga Prangwiryawan benar-benar sampai kepuncak, maka Kasadhapun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Ia masih saja selalu ingat pesan Ki Rangga Dipayuda, bahwa jika ia ingin menang, maka ia harus menang. Tanpa ragu-ragu.

Dengan demikian maka sejenak kemudian, maka Kasadhapun telah mengimbangi serangan-serangan Ki Rangga dengan serangan-serangan yang lidak kalah dahsyatnya pula. Segala kemungkinan dari tingkat ilmu yang disadapnya dari Ki Ajar Paguhan telah dihentakkannya, sehingga dengan demikian, maka dua ilmu yang tinggi telah berbenturan di arena pertandingan.

Ki Tumenggung Jayayuda melihat dua kekuatan yang sangat besar itu. Tetapi ia tidak dapat menghentikan pertandingan itu, karena kedua belah pihak tidak melanggar paugeran. Keduanya telah melakukan hal-hal yang tidak diperkenankan dalam pertandingan itu.

Namun yang terjadi benar-benar benturan dua kekuatan yang dilandasi dengan ilmu yang tinggi dan jantung yang agaknya sedang memanas, sehingga memang mungkin sekali terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Tetapi menilik kemampuan keduanya, maka masing-masing agaknya akan mampu menjaga dirinya untuk tidak mengalami keadaan yang gawat.

Namun dalam pada itu, keinginan Ki Rangga untuk mempertunjukkan permainan unsur-unsur gerak yang tentu akan memukau, tidak lagi diingatnya. Apalagi ketika kekuatan Kasadha bagaikan berlipat mendesaknya dalam tatanan unsur gerak yang semakin rumit dan berbahaya.

Ki Rangga Prangwiryawan mengumpat didalam hati. Ia sadar, bahwa justru karena ia mengerahkan kemampuannya, seakan-akan telah memancing Kasadha untuk berbuat serupa. Yang ternyata bahwa anak muda itu justru memiliki kelebihan atas Ki Rangga itu.

Umurnya yang masih muda, gejolak jantungnya yang nampaknya telah terlalu lama ditahankan, membuat Kasadha menjadi sangat garang.

Ki Rangga Prangwiryawan memang agak terdesak. Serangan-serangan Kasadha menjadi semakin cepat dan kuat. Apalagi ketika Ki Rangga Prangwiryawan yang ingin mematahkan perlawanan Kasadha dan kemudian mempermainkannya sekaligus memamerkan penguasaannya atas beberapa unsur gerak yang belum pernah dilihat oleh para prajurit, telah mengerahkan kemampuannya.

Barata memang menjadi semakin tegang. Ia melihat wajah Kasadha yang seakan-akan memancarkan api yang menyala didadanya. Sehingga dengan demikian maka Kasadha itupun tidak lagi mengekang diri serta tidak lagi mengingat dengan siapa ia berhadapan.

Pertandingan itupun menjadi semakin garang. ke duanya telah benar-benar sampai kepuncak kemampuan mereka. Ki Rangga Prangwiryawan tidak sempat lagi memikirkan pameran kemampuan. Tetapi jika saja ia dapat bertahan maka ia telah merasa beruntung. Sementara Kasadhapun tidak lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Unsur-unsur gerak dari perguruannya yang untuk beberapa lama disimpannya, telah terurai semuanya untuk mengatasi desakan ilmu Ki Rangga Prangwiryawan.

Para prajurit untuk beberapa saat justru bagaikan membeku. Mereka melihat pertandingan itu menjadi semakin sengit. Beberapa kali kedua belah pihak mampu mengenai lawan mereka dengan serangan-serangan mereka yang cepat dan kuat. Beberapa kali keduanya saling terdorong surut satu dua langkah.

Namun akhirnya, kemudian Kasadha mulai menunjukkan kelebihannya dari Ki Rangga Prangwiryawan.

Murid Ki Ajar Paguhan itu telah menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya, sehingga dengan demikian, maka seluruh isi barak itu akhirnya mengetahui, bahwa Kasadha memang seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Bukan sekedar desas-desus atau sanjungan para prajurit dibawah pimpinannya. Tetapi sebenarnyalah, bahwa Kasadha adalah seorang prajurit yang baik.

Ketika tubuhnya mulai disakiti oleh Ki Rangga Prangwiryawan karena serangan-serangannya yang keras dan kuat, maka Kasadha benar-benar telah mengambil ke putusan. Ia ingin menang dalam pertandingan itu sebagaimana dipesankan oleh Ki Rangga Dipayuda.

Ki Tumenggung Jayayuda, Ki Rangga Surayuda dan Ki Rangga Dipayuda benar-benar melihat satu pertandingan yang mendebarkan. Namun mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika Ki Rangga Prangwiryawan benar-benar telah terdesak. Ki Rangga kemudian hanya mampu bertahan dan melindungi dirinya dari serangan-serangan Ki Lurah Kasadha. Jika sekali-sekali ia mendapat kesempatan untuk menyerang, maka serangannya tidak lagi terarah dengan baik karena kecepatan gerakan Kasadha.

Bahkan ketika ketahanan tubuh Ki Rangga Prangwiryawan mulai susut, maka Kasadha justru nampak menjadi semakin tegar. Serangan-serangannya menjadi semakin mantap dan menjadi semakin sering mengenai tubuh Ki Rangga.

Ki Tumenggung Jayayuda menjadi agak cemas melihat keadaan itu. Pertandingan itu akan dapat menjadi arena perkelahian yang sebenarnya. Ki Rangga Prangwiryawan yang ditugaskan untuk mengatur pertandingan itu, nampaknya tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri, sehingga ia sendiri jutru terlibat dalam perkelahian yang keras dan berbahaya.

Karena itu, maka Ki Jayayuda telah memberi isyarat kepada kedua orang Rangga yang membantunya mengawasi pertandingan itu untuk mendekat. Dengan singkat dan cepat keduanya mendengar niat Ki Tumenggung untuk menghentikan pertandingan.

Keduanya mengangguk. Niat Ki Tumenggung itu mereka anggap penyelesaian yang terbaik. Keduanya dinyatakan telah bermain dengan sangat baik dan diantara keduanya tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Bagaimanapun juga mereka masih harus mempertahankan kewibawaan seorang Pandhega, meskipun sebelumnya berkali-kali telah dinyatakan, bahwa kepemimpinan seorang prajurit tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan olah kanuragan.

Tetapi ternyata Ki Tumenggung terlambat. Demikian ia mendapat persetujuan dari kedua orang Pandheganya, maka pertandingan itu telah sampai pada puncaknya.

Ternyata Ki Rangga Prangwiryawan yang tersudut, berusaha memecahkan tekanan Ki Lurah Kasadha. Satu serangan yang keras dilontarkan oleh Ki Rangga dengan kakinya yang terjulur lurus ke arah dada. Namun Kasadha sempat menangkis serangan itu dengan menepisnya menyamping. Tetapi demikian kaki itu jatuh ditanah, maka Ki Rangga telah memutar tubuhnya. Kakinya yang lain terayun deras mengarah ke pelipis Kasadha.

Dengan tangkasnya Kasadha mengelakkan serangan itu. Bahkan demikian Ki Rangga berputar, Kasadha yang sedikit merendah, telah maju selangkah kedepan dengan menjulurkan serangan ke bagian bawah dadanya. Tangan Kasadha yang terbuka dengan keempat jarinya merapat, telah menusuk arah ulu hati Ki Rangga Prangwiryawan.

Ki Rangga mengaduh tertahan. Namun diluar sadarnya Ki Rangga telah terbungkuk kesakitan.

Kasadha mendapat kesempatan terakhir untuk memenangkan pertandingan itu. Ia dapat menghantam tengkuk Ki Rangga atau menyerang wajah Ki Rangga yang menunduk itu dengan lututnya.

Namun tangannya yang terayun kearah tengkuk Ki Rangga ternyata masih sempat ditahannya. Sejengkal dari sasaran, Kasadha membatalkan serangannya. Bahkan iapun telah meloncat surut dua langkah.

Ki Rangga masih saja kesakitan. Serangan jari-jari tangan Kasadha yang merapat, seakan-akan telah menghentikan pernafasan Ki Rangga Prangwiryawan selain perasaan sakit yang menyengat sampai ke jantung.

Pada saat itu Ki Tumenggung Jayayuda telah bergeser dengan cepat mendekati Ki Rangga Prangwiryawan. Sementara Ki Rangga Dipayuda telah mendekati Ki Lurah Kasadha. Tetapi sebelum Ki Rangga Dipayuda menghentikannya, Kasadha memang sudah berhenti dengan sendirinya.

Ketika kemudian Ki Rangga Prangwiryawan berdiri tegak sambil mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan sakit, maka Ki Tumenggung berkata, “Sudah cukup. Kalian berdua memiliki tingkat kemampuan yang sama.”

Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Ketika ia memandang Kasadha, maka diwajah anak muda itu sama sekali tidak terbayang sikapnya terhadap keputusan Ki Jayayuda itu.

Kasadha juga mendengar keputusan Ki Tumenggung Jayayuda. Dipandanginya pula Ki Rangga Prangwiryawan sejenak. Namun Kasadha nampaknya tidak ingin menyatakan pendapatnya atas keputusan itu.

Ki Rangga masih saja berdiam diri. Namun kemudian ia menggeleng lemah, “tidak,“ katanya.

Ki Tumenggung Jayayuda mengerutkan keningnya. Dengan nada ragu ia bertanya, “Jadi, bagaimana maksudmu?”

“Kami tidak mempunyai kemampuan yang sama,“ desis Ki Rangga.

“Jadi?“ desak Ki Jayayuda yang berdebar-debar sebagaimana juga Ki Rangga Surayuda dan Ki Rangga Dipayuda.

Dua orang Lurah yang pernah dikalahkan oleh Ki Lurah Kasadha juga tidak dengan serta merta menerima kekalahannya.

Namun Ki Rangga itu menjawab, “Aku harus mengakui kelebihan Ki Lurah Kasadha. Aku ternyata dikalahkannya.”

Ki Jayayuda terkejut mendengar pengakuan itu. Demikian pula Ki Rangga Surayuda dan Ki Rangga Dipayuda. Mereka tidak mengira bahwa Ki Rangga Prangwiryawan yang sebelumnya menunjukkan sikap yang terlalu yakin akan kemampuan diri itu, dengan dada yang lapang mengakui kelebihan Kasadha.

Bahkan kemudian Ki Rangga Prangwiryawan itu berkata, “Aku tidak merasa perlu untuk berpura-pura. Semua prajurit tahu bahwa aku tidak mampu mengimbangi kemampuan Ki Lurah Kasadha betapapun aku berusaha. Satu-satunya cara untuk mempertahankan harga diri yang tersisa padaku adalah dengan mengaku kalah. Dengan demikian aku masih merasa bahwa aku bertindak jujur.”

Ki Jayayuda menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang seakan-akan tersangkut dikerongkongan Ki Tumenggung berkata, “Ki Rangga. Ternyata kau adalah seorang prajurit yang baik.”

“Terima kasih Ki Tumenggung. Agaknya Ki Tumenggung dapat mengumumkan, bahwa yang memenangkan pertandingan ini adalah Ki Lurah Kasadha,“ berkata Ki Rangga.

Ki Tumenggung mengangguk. Namun dalam pada itu Kasadhapun berdesis, “Aku kira pengumuman itu tidak perlu. Ki Tumenggung sudah menyatakan keputusannya. Karena itu, agaknya tidak perlu dirubah lagi.”

“Tentu perlu,“ berkata Ki Rangga, “aku akan selalu diusik oleh keputusan yang tidak sewajarnya itu untuk seterusnya. Aku akan merasa bahwa setiap mata akan memandangku dengan curiga. Wibawa yang maksudnya untuk dipertahankan, justru akan terjadi sebaliknya.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Kemudian iapun berdiri tegak sambil memandang berkeliling. Setiap orang yang tersapu oleh tatapan mata Ki Tumenggung itu-pun terdiam mematung.

Sejenak kemudian, setelah suasana disekitar arena itu menjadi tenang, maka Ki Tumenggungpun berkata, “Para prajurit yang menyaksikan pertandingan ini. Setelah kita mengetahui, siapakah orang yang dianggap terbaik dalam olah kanuragan diantara para Lurah, maka hari ini diadakan semacam penjajagan yang dilakukan oleh Lurah terbaik dengan Ki Rangga Prangwiryawan. Sebagaimana kita lihat bersama, bahwa ternyata Ki Lurah Kasadha mampu mempertahankan gelar yang pernah disandangnya sebagai Lurah terbaik, sehingga dalam pertandingan ini dinyatakan bahwa Ki Lurah Kasadha telah memenangkan pertandingan ini.”

Demikian Ki Tumenggung selesai berbicara, maka halaman barak itu bagaikan meledak. Suaranya bergetar sampai keluar dinding halaman. Beberapa orang yang lewat didepan barak itu termangu-mangu sejenak. Dua orang yang sempat berhenti didepan regol telah bertanya kepada prajurit yang bertugas, “Apa yang terjadi?”

“Tidak ada apa-apa. Para prajurit sedang bergembira,“ jawab prajurit yang bertugas itu.

“Kenapa para prajurit bergembira sampai berteriak-teriak seperti itu?“ bertanya orang itu.

“Biasa saja. Bukankah orang yang bergembira kadang-kadang mempergunakan cara seperti itu untuk menyatakan kegembiraannya? Bersorak, berteriak dan mungkin melohjak-lonjak seperti anak-anak yang melihat biyungnya pulang dari pasar dengan membawa oleh-oleh?“ jawab prajurit itu.

“Apakah mereka sedang mabuk?“ bertanya orang itu lagi.

“Tentu tidak. Apakah kebiasaan prajurit Pajang menjadi mabuk dan kemudian berteriak-teriak tidak keruan? “ prajurit itu ganti bertanya.

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun ia masih berusaha melihat kedalam lewat lubang pintu gerbang yang terbuka. Tetapi yang nampak adalah prajurit-prajurit yang ada di halaman, dan tidak terlalu dekat dengan regol itu.

Sejenak kemudian maka orang itupun telah melanjutkan perjalanannya.

Dalam pada itu, diarena Ki Tumenggung Jayayuda dan para Pandhega telah memberikan ucapan selamat kepada Ki Lurah Kasadha. Bahkan, ternyata Ki Rangga Prangwiryawan sendiri telah memberikan ucapan selamat pula kepada lawannya yang telah mengalahkannya dalam pertandingan itu.

Baru kemudian, beberapa orang Lurah dan pemimpin kelompok telah menyatakan pula kekagumannya serta ucapan selamat atas kemenangannya.

Barata ikut berbangga atas kemenangan Kasadha. Meskipun ia tidak segera mendapat kesempatan untuk mengucapkan selamat, namun ia masih saja berdiri sambil tersenyum-senyum. Pada kesempatan terakhir, Barata telah mendekatinya sambil berkata, “Kau memang luar biasa, Kasadha.”

“Ah,“ desis Kasadha, “hanya satu kebetulan. Ki Rangga Prangwiryawan nampaknya ingin memberikan sedikit kebanggaan kepadaku.”

Barata termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berdesis perlahan sehingga hanya didengar oleh Kasadha, “Tidak. Kau memang lebih baik dari Ki Rangga. Kau jangan lupa, bahwa aku mampu menilai kemampuan seseorang dalam olah kanuragan.”

Kasadha mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menjawab, “Apakah kau menganggap bahwa Ki Rangga Prangwiryawan sudah bersungguh-sungguh.”

“Sudah. Kau tentu tahu itu,“ jawab Barata.

Keduanyapun kemudian berjalan diantara para prajurit yang masih berada di halaman, berdiri berkelompok-kelompok. Sementara Ki Tumenggung Jayayuda dan Para Pandhega telah meninggalkan halaman.

Ki Tumenggung Jayayuda masih sempat berkata kepada para prajurit sebelum meninggalkan halaman, “Tetapi sekali lagi aku ingatkan, bahwa kemampuan olah kanuragan, bukan satu-satunya syarat untuk menjadi seorang pemimpin.”

Hari itu, Kasadha minta agar Barata tidak meninggalkan barak itu lebih dahulu. Kasadha mendengar dari Ki Rangga Dipayuda, bahwa justru Ki Tumenggung Jayayuda akan menyelenggarakan semacam sukuran bagi para prajurit di barak itu. Ternyata rencana besar mereka untuk menyelenggarakan pertandingan antara para prajurit di barak itu telah selesai dengan selamat.

“Kapan hal itu diselenggarakan?“ bertanya Barata.

“Besok pagi,“ jawab Kasadha.

“Besok pagi? “ ulang Barata.

“Ya,“ jawab Kasadha, “baru saja aku mendengar dari Ki Rangga Dipayuda. Bahkan Ki Rangga juga berpesan, agar kau jangan pulang dahulu. Besok siang, kita berjalan bersama-sama.”

“Bersama-sama?“ bertanya Barata.

“Aku mendapat waktu beristirahat dua hari,“ jawab Kasadha.

“O,“ Barata mengangguk-angguk, “kau akan pergi ke Tanah Perdikan? Ibu tentu senang sekali menerimamu.”

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan pergi ke Tanah Perdikan. Aku akan bermalam semalam. Kemudian kembali dari Tanah Perdikan aku akan singgah dirumah Ki Rangga Dipayuda yang pada hari itu akan mengambil istirahat satu atau dua hari.”

Barata tiba-tiba saja mengerutkan dahinya. Namun dengan cepat ia berkata, “Kenapa kau tidak bermalam di Tanah Perdikan Sembojan dua malam?”

Kasadha tersenyum. Katanya, “Lain kali aku akan bermalam lebih lama di Tanah Perdikan Sembojan. Jika persoalanmu dengan Rangga Kalokapraja telah selesai, itu berarti bahwa saat-saat wisudamu sudah dekat. Nah, pada saat kau diwisuda menjadi Kepala Tanah Sembojan itulah aku akan berada di Tanah Perdikan itu lebih lama lagi.”

Barata mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja terasa sesuatu yang bersangkut di perasaannya, sejak ia mendengar bahwa Kasadha akan singgah dirumah Ki Rangga Dipayuda. Namun Barata telah menyembunyikan perasaannya itu jauh-jauh didalam dasar hatinya.

Karena Barata nampaknya masih bimbang, Kasadha berkata pula, “Nah, bukankah kau bersedia menunda perjalananmu pulang ke Tanah Perdikan sampai besok?”

Barata akhirnya mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Tetapi malam nanti ibu akan menjadi sedikit gelisah bahwa aku masih belum pulang.”

“Tetapi besok kau sudah akan pulang bersamaku,“ sahut Kasadha.

Demikianlah, maka Barata telah bermalam semalam lagi di barak itu.

Seperti direncanakan, maka dihari berikutnya, di barak itu telah diselenggarakan keramaian kecil. Para petugas didapur telah menyediakan makan dan minum agak berbeda dengan hari-hari lainnya. Beberapa ekor kambing telah disembelih untuk membuat acara pernyataan sukur bahwa acara-acara yang mereka selenggarakan telah berlangsung dengan selamat.

Namun demikian acara itu selesai, maka Kasadha bersama Barata telah menghadap Ki Rangga Dipayuda untuk minta diri.

“Aku akan beristirahat di Tanah Perdikan Sembojan Ki Rangga. Besok, jika aku kembali, maka aku akan singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda,“ berkata Kasadha.

“Aku besok ada dirumah,“ berkata Ki Rangga, “tetapi baru besok pagi-pagi aku meninggalkan barak ini.”

“Besok pagi-pagi aku berangkat dari Tanah Perdikan Sembojan,“ sahut Kasadha.

“Baiklah,“ jawab Ki Rangga Dipayuda, “tetapi kau harus menghadap Ki Tumenggung Jayayuda. Pada dasarnya kau sudah diperkenankan untuk beristirahat. Tetapi jika kau akan meninggalkan barak hari ini, sebaiknya kau minta diri.”

“Ya Ki Rangga. Aku akan menghadap Ki Tumenggung,“ jawab Kasadha yang sekaligus minta diri kepada Ki Rangga untuk meninggalkan barak itu bersama Barata menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Demikian pula dengan Barata. Iapun telah minta diri kepada Ki Rangga Dipayuda.

Ketika keduanya keluar dari bilik khusus bagi para Pandhega, maka mereka telah bertemu dengan Ki Rangga Prangwiryawan. Bagaimanapun juga, terasa jantung Kasadha berdesir. Apalagi ketika ia melihat Ki Rangga itu seakan-akan dengan serta merta mendekatinya.

Namun ternyata sambil tersenyum Ki Rangga itu berkata, “Aku dengar kau akan beristirahat barang dua tiga hari”

“Ya Ki Rangga,“ jawab Kasadha.

“Beristirahatlah dengan baik. Sekali lagi aku mengucapkan selamat. Kau memang pantas untuk menjadi orang terbaik di barak ini,“ berkata Ki Rangga.

“Ah sudahlah Ki Rangga. Aku sudah melupakannya,“ jawab Kasadha.

“Tidak, bukan begitu. Aku adalah seorang prajurit. Aku harus bersikap jujur. Apalagi mengenai tingkat kemampuan diantara kita,“ berkata Ki Rangga. Lalu katanya, “Selain itu, aku merasa berkewajiban untuk minta maaf kepadamu.”

“Kenapa?“ bertanya Kasadha.

“Selama ini aku merasa diriku lebih baik dari kau,“ jawab Ki Rangga.

“Ah. Tidak. Aku tidak mempunyai perasaan apa-apa,“ jawab Kasadha.

Ki Rangga menepuk bahu Kasadha sambil berkata, “Apapun tanggapanmu, tetapi aku sudah merasa meletakkan beban perasaanku. Kau ternyata orang yang baik.”

“Ki Rangga terlalu memuji,“ desis Kasadha.

“Biarlah kawanmu ini menjadi saksi, bahwa aku berkata sebenarnya. Aku bukan sekedar memuji. Meskipun aku memang memuji, tetapi aku benar-benar menyatakannya dari dasar perasaanku,“ jawab Ki Rangga.

“Terima kasih Ki Rangga,“ jawab Kasadha.

“Baikah. Beristirahatlah dengan baik,“ berkata Ki Rangga.

Ki Rangga itupun kemudian telah melangkah pergi. Iapun telah menepuk bahu Barata sambil berkata, “Melihat ujudmu, kaupun tentu benar-benar memiliki kemampuan seperti Kasadha.”

Baratapun mengangguk dalam-dalam sambil menyahut, “Terimakasih Ki Rangga.”

Namun setelah Ki Rangga melangkah menjauh, Barata itu bertanya, “Kenapa Ki Rangga tiba-tiba saja mengatakan bahwa aku benar-benar memiliki kemampuan seperti kau?”

Kasadhapun tersenyum sambil melangkah untuk menghadap Ki Tumenggung Jayayuda. Katanya, “Sebelum pertandingan ini dilaksanakan, beberapa orang prajurit pernah berceritera tentang kau dan aku dalam perang antara Pajang dan Mataram yang pertama. Mereka, maksudku para prajurit itu, mengatakan bahwa kau dan aku memiliki ilmu yang lebih baik dari rata-rata prajurit Pajang. Agaknya rerasan itu telah didengar oleh Ki Rangga Prangwiryawan.”

Baratapun tersenyum sambil berkata, “Dan agaknya Ki Rangga memperhatikan rerasan itu.”

Kasadha tertawa. Namun ia tidak menjawab lagi. Demikianlah keduanyapun kemudian telah minta diri kepada Ki Tumenggung untuk meninggalkan barak itu.

“Sering-seringlah datang kemari,“ berkata Ki Tumenggung kepada Barata.

“Tentu Ki Tumenggung,“ jawab Barata, “aku kadang-kadang masih merindukan satu kehidupan di barak seperti ini.”

Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, “Jika saja kau tidak akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan, aku minta kau menjadi seorang prajurit lagi,“ Ki Tumenggung berhenti sejenak. Lalu katanya, “Tetapi pengabdian dapat dilakukan dimana saja. Sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan kaupun dapat mengabdi sebagaimana seorang prajurit.”

“Ya Ki Tumenggung,“ jawab Barata, “mudah-mudahan aku dapat melakukannya dengan baik.”

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itupun bersiap-siap untuk meninggalkan barak. Kasadha masih memberikan beberapa pesan kepada para pemimpin kelompoknya dan menunjuk seorang yang tertua diantara mereka untuk mewakilinya.

“Hanya dua atau tiga hari,“ berkata Kasadha. Beberapa saat kemudian, maka kedua orang anak muda itu sudah berada di luar barak. Kuda mereka berlari-lari kecil menyusuri jalan yang cukup ramai.

Ternyata Barata masih sempat berhenti sejenak didepan sebuah kedai didekat pasar untuk membeli beberapa potong makanan.

“Bibi sering menanyakan, apakah aku membawa oleh-oleh,“ berkata Barata sambil tersenyum.

Kasadhapun tersenyum pula. Katanya, “Ternyata kau seorang anak muda yang tahu diri. Bibi itu tentu akan senang sekali menerima oleh-olehmu.”

“Bibi sudah mulai merajuk sekarang. Beberapa tahun lagi, Bibi akan menjadi kanak-kanak kembali,“ jawab Barata.

“Bukankah itu wajar sekali. Seorang yang mulai memasuki hari-hari tuanya sering bertingkah seperti kanak-kanak,“ sahut Kasadha.

Sambil menyimpan bungkusan makanannya, Baratapun telah meloncat ke punggung kudanya. Demikian pula Kasadha telah siap pula untuk meneruskan perjalanannya.

Ketika keduanya keluar dari Kotaraja, maka mereka berpacu lebih cepat. Jalanpun tidak lagi terlalu ramai. Namun demikian keduanya tidak berpacu seperti dalam arena pacuan kuda.

Sepanjang perjalanan keduanya nampak gembira. Langit yang bersih dan batang-batang padi yang hijau. Air di parit yang mengalir jernih berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari pagi. Semuanya terasa cerah secerah suara kicau burung dipepohonan.

Kasadha dan Barata masih saja berbincang sambil menempuh perjalanan. Mereka terutama berbicara tentang masa depan Tanah Perdikan Sembojan. Ternyata Kasadha juga menaruh banyak perhatian tentang Tanah Perdikan peninggalan kakeknya itu. Namun tercermin dalam pembicaraannya, bahwa hati Kasadha memang bersih, ia sama sekali tidak berniat untuk menuntut meskipun hanya sekeping kecil sawah atau ladang di Tanah Perdikan. Kedudukan Kasadha sendiri, meskipun masih sedang merambat, namun seorang Penatus yang menjabat dihidang pemerintahan telah mendapat tanah pelungguh seluas seratus Karya, sehingga hasilnya cukup untuk hidup dan menghidupi satu keluarga yang sudah tentu tidak berlebih-lebihan.

Dalam pada itu, maka Baratapun telah menceriterakan bahwa persoalannya dengan Ki Rangga Kalokapraja memang sudah selesai. Semua kekurangan dari laporannya telah dipenuhi. Sementara itu Ki Rangga sendiri telah melihat kenyataan yang ada di Tanah Perdikan Sembojan, sehingga Ki Rangga Kalokapraja yakin bahwa seisi Tanah Perdikan akan menerima kehadiran Barata sebagai Kepala Tanah Perdikan.

Tanpa singgah dimanapun keduanya langsung menuju ke Tanah Perdikan Sembojan.

Kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh keluarga di Tanah Perdikan. Seperti dugaan Barata, ibunya memang sempat menjadi cemas, bahwa Barata tidak pulang sebagaimana waktu yang direncanakan.

Ketika Barata kemudian memberikan oleh-olehnya kepada Bibi, maka Bibi benar-benar menjadi gembira. Baginya bukan makanan yang diterimanya itulah yang sangat membesarkan hatinya, tetapi ternyata Barata selalu mengingatnya sebagai seorang yang ikut menumpang mengakunya sebagai anaknya.

“Aku akan menyimpannya,“ berkata Bibi sambil membawa makan itu kebelakang. Sementara Iswari hanya tersenyum saja memandanginya.

Namun Bibi bukan sekedar memindahkan makanan itu dari bungkusnya ke sebuah mangkuk. Tetapi beberapa kali ia telah mengusap air yang mengembun di pelupuknya.

Di pendapa, Iswari menemui Kasadha yang datang bersama anaknya itu ditemani oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung. Setelah menanyakan keselamatannya, maka Iswaripun telah berbincang dengan Kasadha dalam suasana yang akrab. Nampaknya kebesaran jiwa dari keduanya telah menghapuskan pagar yang membatasi hubungan mereka.

Bahkan Barata telah sempat pula berceritera bahwa ia telah menyaksikan, bagaimana Kasadha mampu menjadi orang terbaik di baraknya dalam olah kanuragan.

“Bagus sekali, Kasadha,“ sahut Iswari, “mudah-mudahan kemenanganmu itu akan memberikan arti bagimu, khususnya kedudukanmu sebagai seorang prajurit. Bagaimanapun juga, pimpinan barakmu telah mencatat, bahwa kau adalah seorang prajurit yang baik dalam olah kanuragan. Jika kau kemudian mampu melengkapi kele-bihanmu dengan unsur-unsur yang lain, maka tentu kau mempunyai harapan untuk mendapatkan kedudukan yang lebih baik.”

“Ada unsur yang tidak mungkin dapat aku paksakan ibu,“ jawab Kasadha.

“Unsur apa?“ bertanya Iswari.

“Umur,“ jawab Kasadha, “nampaknya umur juga diperhitungkan. Tentu saja dalam umur yang masih terlalu muda, seseorang tidak akan mendapat kedudukan yang lebih tinggi, karena tentu dinilai pengalamannya masih belum cukup.”

Iswari tersenyum sambil mengangguk. Namun kemudian iapun berkata, “Tetapi umur adalah syarat pelengkap, meskipun memang diperhitungkan.”

Kasadhapun tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan. Tetapi nampaknya ujudku memang lebih tua dari umurku yang sebenarnya. Ternyata bahwa hampir semua orang mengatakan bahwa umurku tentu lebih tua dari Risang.”

“Bukan kau yang nampak terlalu tua dari umurmu. Tetapi agaknya aku yang memang awet muda,“ sahut Risang.

Kasadha tertawa. Sambi Wulung dan Jati Wulungpun tertawa pula.

Ketika kemudian Bibi keluar lagi sambil membawa hidangan, maka pertemuan itu menjadi semakin ramai. Ternyata Bibi telah menghidangkan pula makanan yang dibeli oleh Risang di Pajang. Jenang dodol dan sejenis makanan yang jarang ada di Tanah Perdikan Sembojan, jenang pelok.

Setelah beberapa saat mereka berbincang di pendapa, maka Barata, yang di Tanah Perdikan dikenal dengan nama Risang, telah membawa Kasadha ke gandok. Sebuah bilik telah disiapkan baginya.

Disore hari, setelah keduanya mandi, maka keduanya telah menyiapkan kuda-kuda mereka. Risang akan mengajak Kasadha untuk melihat-lihat perkembangan Tanah Perdikan Sembojan. Tanah Perdikan yang pernah menjadi sumber sengketa antara ibu Risang dan ibu Kasadha, yang kedua-duanya adalah isteri Ki Wiradana, yang seharusnya mewarisi Tanah Perdikan Sembojan itu dari Ki Gede Sembojan yang terbunuh setelah Ki Gede mengalahkan pimpinan gerombolan Kalamerta.

Ketika matahari semakin rendah, maka keduanya telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Mereka berkuda diantara kotak-kotak sawah dan hijaunya dedaunan. Matahari yang tidak lagi terasa teriknya menyengat kulit, sinarnya masih mewarnai puncak-puncak pebukitan yang membujur panjang menyusuri sisi Selatan Tanah Perdikan Sembojan.

“Tanah ini telah menjanjikan kesejahteraan bagi masa depan,“ berkata Kasadha sambil memandangi hijaunya hutan lereng pegunungan.

Kami masih bekerja keras untuk mengatasi tanah-tanah yang gersang dilereng pegunungan. Kami sedang mencoba untuk membuat teras-teras di tanah yang miring itu. Kami sedang berusaha untuk menemukan pepohonan yang paling sesuai untuk lereng-lereng kering seperti itu,“ berkata Barata sambil menunjuk ke lereng-lereng yang masih belum berhasil ditanami.

“Tetapi tanah yang gersang itu sudah tidak begitu banyak lagi,“ sahut Kasadha, “dalam waktu lima sampai sepuluh tahun lagi, semuanya tentu sudah menjadi hijau. Padukuhan dibawah lereng tidak lagi takut tertimpa tanah yang longsor jika hujan turun.”

“Mudah-mudahan,“ desis Barata, “kami memang sedang bekerja keras untuk itu.”

Kasadha mengangguk-angguk. Sementara itu kuda mereka meluncur terus menyusuri jalan-jalan Tanah Perdikan yang termasuk cukup terpelihara. Parit-paritpun mengalir dengan lancar membelah kotak-kotak sawah yang terbentang di bulak yang luas.

“Aku yakin, kau akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan yang baik, Barata,“ desis Kasadha.

“Bukan aku. Tetapi seluruh rakyat Tanah Perdikan inilah yang telah membuat Tanah Perdikan ini menjadi Tanah Perdikan yang diharapkan menjadi gemah ripah lohjinawi,“ jawab Kasadha.

“Tetapi mereka memerlukan seorang yang berwibawa untuk mengikat mereka dalam satu keutuhan keluarga besar yang tertib, rukun, damai tetapi hidup dan berkembang, “gumam Kasadha sambil memandang jauh ke bibir cakrawala. Bahkan kemudian seakan-akan ia berkata kepada dirinya sendiri, “Sawah dan ladang seluas ini tentu akan dapat menjadi sumber kesejahteraan hidup bagi rakyat Tanah Perdikan ini.”

“Kita akan saling berdoa, semoga kita dapat berhasil dalam tugas kita masing-masing,“ berkata Barata kemudian.

Setelah mengelilingi beberapa bagian Tanah Perdikan, maka Barata telah mengajak Kasadha kembali ke rumahnya.

Ketika kemudian malam turun, setelah makan, Kasadha dan Barata masih berbincang-bincang diserambi gandok. Cahaya lampu minyak menggapai-gapai menerangi serambi itu. Sementara di gardu, para peronda duduk melawan kantuk.

Ada saja yang dibicarakan oleh Kasadha dan Barata. Rasa-rasanya pembicaraan itu tidak akan ada habisnya.

Namun ketika malam sampai kepertengahannya, maka Baratapun berkata, “Sudahlah. Kau tentu juga ingin beristirahat.”

Kasadha tersenyum. Katanya, “Aku sudah terbiasa tidur lewat tengah malam.”

Tetapi Baratapun kemudian telah masuk keruang dalam langsung kedalam biliknya karena ruang dalam rumahnya itupun telah menjadi sepi. Agaknya ibunyapun telah berada dibiliknya pula.

Pagi-pagi sekali Kasadha telah bangun. Namun ketika ia pergi ke pakiwan, maka Baratapun telah mulai menimba air.

“Kau masih melakukannya sendiri?“ bertanya Kasadha.

“Aku sengaja melakukannya. Pagi dan biasanya juga sore hari,“ jawab Barata.

Kasadha tersenyum. Katanya, “Satu cara untuk melemaskan urat-urat darah.”

Baratapun tertawa. Katanya, “Ya. Baru kemudian setelah berkeringat, bersiap-siap untuk mandi. Cara ini juga dapat untuk mengusir dingin.”

Kasadhapun tertawa. Katanya, “Jika demikian sisakan jambangan itu. Jangan diisi sampai penuh. Aku juga ingin mengusir dingin.”

Demikianlah keduanyapun segera bergantian mandi. Kemudian Kasadhapun segera berkemas. Ia akan meninggalkan Tanah Perdikan itu untuk kembali ke Pajang, namun ia akan singgah dirumah Ki Rangga Dipayuda yang hari itu juga akan pulang kerumahnya.

Setelah makan pagi, maka seperti yang direncanakan, Kasadha telah minta diri kepada seluruh keluarga di Tanah Perdikan. Kehadirannya di Tanah Perdikan itu telah memberikan kesegaran baru setelah untuk beberapa lama ia tenggelam dalam bukan saja pertandingan, tetapi bahkan semacam pendadaran baginya.

Ketika Kasadha kemudian meninggalkan rumah Barata, maka Barata berkata, “Aku akan mengantarmu sampai ke batas Tanah Perdikan ini.”

“O,“ Kasadha mengangguk-angguk, “terima kasih. Kita masih akan sempat berbincang-bincang untuk beberapa lama.”

Barata tertawa. Katanya, “Seharusnya kau berada di Tanah Perdikan ini lebih lama lagi.”

“Hati-hatilah diperjalanan,“ pesan Iswari.

“Ya ibu, aku mohon restu,“ sahut Kasadha.

Iswari tersenyum. Kebenciannya kepada anak itu benar-benar telah larut. Apalagi ketika ia mendengar bahwa anak itu merupakan orang terbaik di baraknya. Jika anak muda itu mendapat tempat yang baik dan mapan, maka tidak akan ada iblis yang manapun yang akan dapat membujuknya untuk mengganggu Tanah Perdikan Sembojan.

Sejenak kemudian, maka Kasadha dan Barata telah berkuda menyusuri jalan-jalan bulak di Tanah Perdikan Sembojan. Sekali-sekali mereka memasuki padukuhan yang pada umumnya nampak bersih. Kemudian muncul lagi dibulak berikutnya.

Ketika keduanya kemudian sampai di perbatasan, maka Barata pun berkata, “Sudahlah Kasadha. Aku tidak dapat mengantarmu sampai ke Pajang. Aku kira seorang Lurah terbaik dari satu pasukan akan berani berkuda sendiri sampai ke Pajang.”

Kasadha tertawa. Katanya, “Antarkan aku sampai ke Pajang. Nanti jika kau tidak berani kembali ke Tanah Perdikan, aku antar kau pulang.”

Baratapun tertawa. Namun kemudian katanya, “Hati-hati. Masih ada orang yang berkeliaran mencari seorang anak muda yang bernama Puguh.”

Kasadha tertawa semakin keras. Katanya, “Bukankah kau yang bernama Puguh?”

Keduanyapun tertawa berkepanjangan. Mereka rasa-rasanya melihat kembali peristiwa yang aneh itu. Kedua-duanya pada satu saat bersama-sama dianggap seorang anak muda yang bernama Puguh justru karena wajah mereka yang mirip.

Namun sesaat kemudian, Kasadha telah minta diri. Ia harus melanjutkan perjalanannya kembali ke Pajang. Namun kepada Barata ia berkata, “Aku sudah berjanji untuk singgah dirumah Ki Rangga Dipayuda.”

Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian Kasadha telah meninggalkan Barata yang termangu-mangu diperbatasan. Beberapa saat kemudian, Kasadha masih berpaling sambil melambaikan tangannya. Namun kemudian kudanyapun berlari semakin cepat meninggalkan Barata yang termangu-mangu.

Namun ketika Kasadha telah hilang dikelok jalan, maka Baratapun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan maka ditariknya kendali kudanya, sehingga kudanyapun telah berputar dan berjalan kembali menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan.

Seperti penunggangnya, kudanya berjalan saja sambil terangguk-angguk. Sementara Barata mulai merenungi perjalanan Kasadha.

“Ia akan singgah dirumah Ki Rangga,“ desis Barata. Lalu, “Anak muda itu akan segera bertemu dengan Riris.”

Baratapun segera teringat kepada seseorang yang ada dirumah itu. Sumbaga. Ketika ia bermalam di rumah Ki Rangga, maka ia harus berkelahi dengan Sumbaga.

Namun karena Ki Rangga malam nanti ada dirumahnya, maka Kasadha tentu tidak perlu berkelahi dengan anak muda itu.

Tetapi tiba-tiba saja Barata menarik kekang kudanya, sehingga kudanya itu berhenti ditengah-tengah bulak. Matahari yang mulai memanjat langit mulai terasa panasnya menggatalkan kulit.

“Kenapa Kasadha kemarin pergi ke Tanah Perdikan?“ Tiba-tiba pertanyaan itu timbul dihatinya, “kenapa ia tidak lebih baik pergi menemui ibunya sendiri dari pada menemui ibuku?”

Barata diluar sadarnya telah berpaling. Tetapi ia tidak melihat Kasadha lagi yang telah menjadi semakin jauh.

Tetapi tiba-tiba saja Barata telah diganggu oleh dugaan-dugaan yang muncul didalam hatinya.

“Agaknya Kasadha sengaja ikut ke Tanah Perdikan agar aku tidak singgah dirumah Ki Rangga Dipayuda,“ berkata Barata kepada diri sendiri. Yang kemudian terbayang adalah seorang gadis yang cantik berlari-lari menyambut kedatangan Kasadha dihalaman rumahnya yang bersih.

Barata menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menggeleng kecil, seolah-olah ingin mengibaskan angan-angannya itu. Bahkan iapun kemudian berkata kepada diri sendiri, “Iblis manakah yang telah merasuk kedalam hati ini, sehingga aku telah berprasangka buruk terhadap Kasadha! Tidak. Ia tidak sengaja ingin menggiring aku pulang agar aku tidak singgah dirumah Riris. Ia sama sekali bukan seorang yang curang dan licik.”

Barata tiba-tiba saja telah menghentakkan kendali kudanya dan berpacu kencang-kencang menuju ke padukuhan induk.

Dibulak-bulak panjang, satu dua orang yang melihatnya menjadi heran. Barata yang dikenal bernama Risang itu tidak pernah berpacu demikian kencangnya.

“Apakah ada sesuatu yang sangat penting sehingga anak muda itu berpacu demikian cepatnya? “ seorang petani bertanya kepada diri sendiri.

Namun petani itupun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Ia kembali sibuk dengan kerjanya. Menyiangi sawahnya. Mencabut batang-batang rumput liar yang tumbuh diantara batang-batang padinya.

Ternyata Risang tidak langsung pulang. Jlistru ketika kudanya mendekati padukuhan induk, maka Risangpun telah menarik kekang kudanya dan berbelok kekanan, menuju ke pebukitan yang gersang.

Akhirnya kudanya berhenti dibawah sebatang pohon yang rindang. Setelah mengikat kudanya di pohon itu, maka Risangpun telah berjalan dengan cepat memanjat bukit yang kering dan keras.

Tanpa mengingat matahari yang semakin tinggi dan mulai memanasi kulitnya, Barata naik semakin tinggi. Meskipun agak mengalami kesulitan, namun akhirnya ia berdiri dipuncak sebuah bukit yang tidak begitu tinggi, kering dan tandus.

Sejenak Risang berdiri termangu-mangu, memang ada beberapa batang pohon di puncak bukit! Kemudian lapangan rumput yang tidak begitu luas. Selebihnya batu dan padas.

Tetapi melihat beberapa batang pohon yang dapat tumbuh, maka Risangpun berpendapat, bahwa batang-batang yang lainpun tentu akan dapat tumbuh pula.

Dari tempatnya Risang melihat dataran dibawah bukit yang subur. Batang padi yang hijau. Parit-parit yang berkelok seperti seekor ular yang sedang menjalar. Jalan-jalan yang membelah bulak-bulak panjang menghubungkan padukuhan dengan padukuhan.

Risang menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian duduk diatas sebongkah batu padas justru dibawah panasnya matahari yang menjadi semakin tinggi.

Tiba-tiba mulai terbayang diatas hamparan sawah didataran dibawah bukit itu, arena pertandingan antara para prajurit di barak Kasadha. Terbayang bagaimana Kasadha dengan tangkasnya berhasil mengalahkan seorang Rangga, yang menjadi salah seorang Pandhega di pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda itu.

Risang menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia berusaha mengibaskan angan-angannya itu. Namun ia tidak berhasil. Seakan-akan ia telah berdiri lagi diluar gawar arena pertandingan antara Kasadha dan Ki Rangga Prangwiryawan. Terbayang jelas di hadapannya, bagai mana Kasadha menunjukkan sikap seorang laki-laki muda dengan ilmunya yang tinggi.

“Kenapa aku tidak mendapat kesempatan untuk melakukannya dihadapan Ki Rangga Dipayuda,“ geram Risang. Ketika ia mengalahkan Sumbaga yang ternyata juga memiliki kemampuan yang cukup, tidak seorangpun yang mengetahuinya. Kasadha juga tidak. Apalagi Ki Rangga Dipayuda. Sehingga dengan demikian yang akan didengar oleh Riris tentu hanya kelebihan Kasadha di arena barak pasukannya, karena Ki Rangga Dipayuda tentu akan berceritera tentang kemenangan Kasadha itu kepada keluarganya. Kepada Jangkung dan kepada Riris.

Diluar sadarnya, tiba-tiba saja Risang itupun bangkit. Dilepasnya bajunya dan diletakkannya diatas batu padas. Dengan sigapnya anak muda itu telah meloncat dan mulai menggerakkan tangannya perlahan-lahan.

Namun gerakan itu semakin lama menjadi semakin cepat. Mula-mula gerakan-gerakan yang sederhana sekedar untuk memanaskan tubuhnya. Namun kemudian Risang mulai berloncatan. Tangannya berputaran dengan gerak yang cepat dan kuat. Unsur-unsur gerak yang semakin lama semakin rumit telah dilakukannya pula.

Dibawah panasnya matahari yang merambat ke puncak bukit, Risang telah berlatih seorang diri. Bukan hanya sekedar melepaskan kebekuan urat-urat darahnya. Namun ia benar-benar telah mengungkapkan segenap Jcemam-puannya. Dasar-dasar ilmu yang tumurun dari ketiga orang yang berilmu tinggi. Ki Badra, Ki Soka dan Nyai Soka, sebagai landasan ilmu Janget Kinatelon.

Tidak ada orang yang menyaksikannya. Tidak ada satu dua orang pemimpin kelompok prajurit yang mengaguminya dan terheran-heran melihat puncak-puncak kemampuan Risang yang ternyata juga mampu memecahkan batu-batu padas sebagaiana dilakukan oleh Kasadha. Tidak pula ada sorak gemuruh para prajurit yang melihat kemenangannya atas lawannya.

Namun apa yang dilakukan Risang tidak kurang dari apa yang dapat dilakukan Kasadha. Bahkan mengalahkan Ki Rangga Prangwiryawan.

Beberapa lama Risang tenggelam dalam latihan yang ternyata cukup berat dan bersungguh-sungguh. Keringatnya kemudian mengalir bagaikan terperas dari tubuhnya. Batu-batu padaspun telah pecah berserakan.

Tetapi akhirnya, Risangpun mengurangi ungkapan ilmunya perlahan-lahan, sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Perlahan-lahan ia menarik sikunya dan mengangkat telapak tangannya yang menengadah. Namun kemudian diputarnya tangannya menghadap kedepan dan bersamaan dengan itu Barata telah melepaskan nafas panjang.

Risang itupun kemudian telah berhenti latihan. Dipandanginya lembah dan ngarai yang diterpa oleh teriknya matahari yang memanjat sampai kepuncak. Udara nampak bagaikan bergetar kepanasan.

Risang melangkah mendekati sebatang pohon yang tidak terlalu rimbun. Namun ia dapat sedikit terhindar dari panasnya sinar matahari.

Ketika sekali lagi ia memandang bulak yang terbentang luas, maka tiba-tiba saja ia menggeretakkan giginya dan berkata kepada diri sendiri, “Iblis mana lagi yang menyusup kejantungku. Kenapa aku berpikir buruk seperti ini.”

Risang membanting dirinya duduk diatas batu. Kemudian kedua telapak tangannya telah menutup wajahnya yang berkeringat.

“Tidak. Tidak. Kasadha tidak seburuk itu. Jika hatinya berbulu, maka ia tentu tidak akan melepaskan kesempatan yang pernah didapatnya untuk mengambil Tanah Perdikan ini dari tanganku.”

Namun seakan-akan terdengar suara jauh di bawah relung hatinya, “Tetapi persoalannya lain Risang. Persoalannya bukan Tanah Perdikan. Persoalannya adalah seorang gadis cantik yang bernama Riris Respati, anak Ki Rangga Dipayuda.”

Wajah Risang menjadi panas. Namun iapun kemudian berteriak keras-keras, “Tidak. Tidak. Hatikulah yang berbulu seperti hati iblis.”

Suaranya hanyut diudara dan melontarkan gema yang bersahutan.

Untuk beberapa saat Risang mendengarkan getar gema disela-sela puncak-puncak bukit. Namun kemudian dengan tergesa-gesa RiSang telah mengambil bajunya. Mengenakannya dan kemudian berjalan tergesa-gesa menuruni lereng.

Ketika Risang sampai dikaki bukit, dilihatnya kudanya masih terikat pada sebatang pohon dan makan rerumputan yang hijau.

Risang menarik nafas dalam-dalam, ia mencoba untuk menenangkan hatinya yang tiba-tiba saja gelisah. Meskipun ia mencoba untuk menguasainya dengan penalarannya, namun setiap kali jantungnya terasa berdetak semakin cepat.

Selangkah demi selangkah Risang mendekati kudanya yang masih saja makan rerumputan dibawah pohon yang cukup rindang itu. Ketika tangannya menggapai tali kudanya, tiba-tiba saja Risang dikejutkan oleh suara orang tertawa.

Risang dengan tangkasnya memutar tubuhnya menghadap kearah suara itu. Wajahnya berkerut ketika ia melihat seorang yang nampaknya sudah menginjak pertengahan abad.

“Siapa kau?“ bertanya Risang dengan tatapan mata tajam.

Orang itu melangkah mendekatinya. Meskipun rambutnya yang nampak sedikit tersembul dibawah ikat kepalanya sudah nampak memutih, demikian pula dengan kumis dan sedikit janggutnya yang pendek, namun tubuhnya masih nampak segar. Apalagi orang itu termasuk bertubuh tinggi kekar, sehingga memberikan kesan seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.

“Angger memang luar biasa,“ desis orang itu.

“Apa yang luar biasa?“ bertanya Risang.

Orang itu tertawa pula. Katanya, “Aku melihat apa yang angger lakukan dipuncak bukit. Aku belum pernah melihat orang seumur angger mampu melakukan sebagaimana yang angger lakukan itu. Tentu angger telah berguru kepada seorang guru yang sangat tinggi ilmunya.”

“Ah,“ desah Risang. Tetapi ia tidak mau terbenam dalam pujian orang yang belum dikenalnya. Karena itu, maka sekali lagi ia bertanya, “Siapa kau?”

“Aku adalah orang yang tidak berarti apa-apa. Namaku Ki Labdagati. Aku berasal dari daerah yang tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan Sembojan. ini,“ jawab orang itu.

“Ki Sanak berasal darimana?“ bertanya Risang mendesak.

“Aku berasal dari hutan Ketawang. Hutan yang tidak terlalu luas, termasuk Kademangan Wangon,“ jawab orang itu.

“Ki Lebdagati tinggal di dalam hutan itu?“ bertanya Risang lebih jauh.

“Ya, begitulah. Atas ijin Ki Demang, aku memang membuat sebuah Pakuwon kecil dipinggir hutan Ketawang,“ jawab orang itu.

“Kenapa dipinggir hutan?“ bertanya Risang pula.

“Aku tidak mempunyai sanak kadang ngger. Aku memang ingin hidup menyepi. Tetapi bukan berarti bahwa aku tidak berhubungan lagi dengan orang lain. Aku justru berusaha untuk lebih banyak membantu orang lain. Dipinggir hutan setiap hari aku dapat mencari dedaunan yang berguna bagi pengobatan. Aku kemudian juga mempunyai banyak kesempatan untuk merenungi kehidupan ini. Menerawang menembus batasan waktu dan ruang.”

Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Sekarang, apakah yang Ki Sanak kehendaki?”

“Tidak apa-apa ngger. Aku benar-benar hanya ingin menyatakan kekagumanku kepadamu. Tidak lebih,“ sahut orang itu.

“Terima kasih,“ jawab Risang, “dan sekarang, Ki Sanak akan pergi ke mana?”

“O,“ orang itu mengangguk-angguk kecil, “aku hanya sedang berjalan-jalan. Maaf, aku telah menjelajahi Tanah Perdikan ini tanpa memberi tahukan kepada angger sebagai calon Kepala Tanah Perdikan ini.”

“Tanah Perdikan ini terbuka bagi siapapun,“ jawab Risang, “bukan hanya Ki Lebdagati, siapapun boleh keluar dan masuk Tanah Perdikan ini dengan bebas, asal mereka tidak mengganggu ketenangan Tanah Perdikan ini serta melakukan tindakan yang bertentangan dengan paugeran.”

“Tentu tidak ngger,“ jawab orang itu, “aku justru merasa betapa tenang dan damainya Tanah Perdikan ini.”

“Nah, jika demikian silahkan. Ki Lebdagati dapat berada di Tanah Perdikan Sembojan setiap saat Ki Lebdagati menghendaki,“ berkata Risang.

“Dan sekarang? Angger akan pergi kemana?“ bertanya Ki Lebdagati.

“Pulang,“ jawab Risang.

“Silahkan ngger, silahkan,“ berkata Ki Lebdagati.

Risangpun kemudian telah meloncat kepunggung kudanya. Kemudian kuda itupun telah berlari meninggalkan kaki bukit. Sementara itu Ki Lebdagati memperhatikannya sampai anak itu hilang dibalik pepohonan.

Orang itupun mengangguk-angguk kecil. Katanya kepada diri sendiri, “Memang luar biasa. Landasan ilmunya terlalu tinggi bagi anak-anak muda sebayanya. Jika saja anak muda itu dengan sungguh-sungguh meningkatkan ilmunya, maka ia akan menjadi seorang yang pilih tanding.”

Tetapi orang itupun kemudian tersenyum sambil memandang jalan yang memanjang dihadapannya. Didalam hatinya ia berkata, “Jika saja aku dapat memasang kendali pada anak itu.”

Ki Lebdagati itupun kemudian melangkah kejurusan yang berbeda dengan jalan yang dilalui Risang. Ia masih saja berkata kepada diri sendiri, “Tetapi agaknya memang terlalu sulit untuk dapat mengetrapkan kendali pada anak itu. Namun bagaimanapun juga aku harus berusaha. Tanah Perdikan ini harus dapat menjadi bagian dari satu kesatuan yang besar menentang kekuasaan Panembahan Senapati di Mataram. Apalagi jika Madiun benar-benar dapat bangkit dengan segera. Selagi Mataram masih belum terlalu kuat.”

Sementara itu Risang telah berpacu kembali ke padukuhan induk. Ibunya memang agak terlalu lama menunggu. Ia mengira bahwa Risang tidak akan terlalu lama. Demikian ia melepas Kasadha diperbatasan, maka Risangpun akan segera kembali pulang.

Dalam pada itu, Kasadha masih berada pula diperjalanan. Namun karena kudanya berlari cukup kencang, maka iapun sudah menjadi semakin dekat dengan tempat tinggal Ki Rangga Dipayuda.

Meskipun Kasadha berhenti juga sejenak untuk memberi kesempatankudanya minum, makan rumput dan ber istirahat, namun ada semacam dorongan agar ia berusaha untuk secepatnya sampai dirumah Ki Rangga Dipayuda.

Sebenarnyalah Ki Rangga telah pula berada dirumahnya. Karena jarak rumahnya dari Pajang tidak terlalu jauh, maka sebelum matahari terlalu tinggi, Ki Ranggapun telah berada di rumahnya.

“Aku mendapat istirahat dua atau tiga hari,“ berkata Ki Rangga itu kepada keluarganya.

“Dua atau tiga hari,“ desak Jangkung, “biasanya bagi seorang prajurit hitungan hari itu selalu pasti.”

Ki Rangga tersenyum. Katanya, “Aku mendapat waktu istirahat dua hari. Tetapi jika aku menambahnya satu hari lagi, maka aku tidak akan dianggap bersalah, karena kesempatan untuk itu memang ada.”

“Lalu ayah akan mempergunakan atau tidak?“ bertanya Jangkung pula.

Ki Rangga tertawa. Katanya, “Ya. Aku akan mempergunakannya.”

“Ayah nampak ragu-ragu,“ berkata Jangkung.

“Tetapi apa kepentinganmu? Biasanya kau tidak pernah mempersoalkan berapa hari aku beristirahat,“ berkata Ki Rangga kemudian.

“Soalnya aku ingin minta agar ayah mengantarkan aku menghadap Ki Tumenggung Ranamanggala,“ berkata Jangkung.

“Untuk apa kau menghadap Ki Tumenggung Ranamanggala?“ bertanya Ki Rangga.

“Aku mengenal anaknya dengan baik. Ia mengatakan kepadaku bahwa ayahnya memerlukan seekor kuda yang paling baik,“ jawab Jangkung Jaladri.

Ki Rangga tertawa semakin keras. Katanya, “Kau sudah dewasa. Seharusnya kau dapat menyelesaikan persoalanmu sendiri tanpa harus membawa nama ayah. Beristirahat atau tidak, ayah agak berkeberatan membawamu menghadap Ki Tumenggung Ranamanggala.”

“Kenapa?“ bertanya Jangkung.

“Sudah tentu aku merasa segan untuk berhubungan dengan seorang Tumenggung karena seekor kuda. Jika aku bukan seorang prajurit, tentu aku tidak akan berkeberatan,“ jawab ayahnya. Namun katanya selanjutnya, “Apalagi dalam dua hari ini kita akan mendapatkan seorang tamu.”

“Siapa?“ bertanya Jangkung.

“Kasadha,“ jawab ayahnya!

“Kakang Kasadha? “ tiba-tiba saja Riris mengulang diluar sadarnya.

“Kalau Kasadha kenapa?“ bertanya Jangkung.

Wajah Riris memang menjadi merah. Namun ia menjawab, “Kalau Kasadha kenapa? Kalau bukan Kasadha kenapa? Bukankah aku hanya bertanya?”

“Pertanyaanmu agak lain,“ desis Jangkung.

Riris tiba-tiba saja sudah bergeser sambil mencubit lengan kakaknya.

“Riris, Riris, “kakaknya menyeringai kesakitan.

“Sudahlah,“ berkata Ki Rangga, “sebaiknya kalian mempersiapkan sebuah bilik dan mungkin menambah sedikit lauk agar tamu kita akan makan dengan senang disini.”

Riris tidak menjawab. Sementara Nyi Rangga yang mendengar keterangan Ki Rangga bahwa Kasadha akan datang, telah pergi pula kedapur untuk bersiap-siap agar makan yang akan dihidangkan menjadi lebih baik. Sementara Riris membersihkan bilik di gandok.

Ketika Riris keluar dari gandok sebelah kanan, Sumbaga menemuinya sambil bertanya, “Siapa lagi yang akan datang, Riris? Anak Sembojan itu?”

“Bukan,“ jawab Riris, “yang akan datang adalah kakang Kasadha. Seorang Lurah Prajurit dalam kesatuan ayah.”

“Untuk apa ia datang kemari?“ bertanya Sumbaga.

Riris termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Tidak apa-apa. Ia mendapat waktu beristirahat sebagaimana ayah. Ia kemarin menurut ayah, telah pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Hari ini ia akan kembali ke Pajang. Dalam perjalanan kembali itulah ia akan singgah disini dan mungkin akan bermalam semalam.”

Dengan wajah berkerut Sumbaga bertanya, “Kenapa anak-anak muda itu bergantian datang kemari?”

Riris menjadi semakin heran mendengar pertanyaan Sumbaga itu. Karena itu, iapun justru bertanya, “Siapa yang kau maksud dengan anak-anak muda itu? Ada berapa anak muda yang sering datang kemari?”

“Anak Sembojan itu juga,“ jawab Sumbaga.

“Bukankah hanya dua orang?“ sahut Riris, “Kakang Barata dan kakang Kasadha?”

Wajah Sumbaga menjadi tegang mendengar nama itu. Dengan suara yang agak gemetar ia bertanya, “Untuk apa sebenarnya mereka kemari?”

“Pertanyaanmu aneh kakang,“ jawab Riris, “kakang sudah tahu bahwa keduanya adalah bekas anak buah ayah. Bahkan kakang Kasadha kini kembali menjadi bawahan ayah.”

“Jika semua bawahan paman Dipayuda datang kemari, apakah rumah ini akan dapat menampung?“ bertanya Sumbaga kemudian.

“Aku menjadi semakin tidak mengerti maksudmu,“ desis Riris.

“Aku tidak senang melihat anak-anak muda itu datang kemari. Apakah itu Barata, apakah itu Kasadha,“ geram Sumbaga.

Tetapi Riris tidak sempat bertanya lebih jauh. Sumbaga itu kemudian meninggalkan Riris yang terheran-heran.

Namun Riris yang sudah menginjak dewasa itu, dapat menduga apakah maksud Sumbaga sebenarnya. Meskipun ia tidak yakin akan kebenaran dugaannya. Tetapi Riris mulai berpikir tentang sikap Sumbaga. Bahkan Riris mulai menilai sikap Sumbaga sehari-hari kepadanya.

Tetapi Riris berusaha untuk tidak memikirkan lebih panjang lagi. Ia masih harus menilai sikap Sumbaga lebih jauh lagi dihari-hari mendatang.

Sebenarnyalah, hari itu Kasadha telah singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda. Justru karena Ki Rangga ada dirumah, maka rasa-rasanya kedatangan Kasadha menjadi lebih banyak mendapat perhatian. Apalagi kedatangannya memang sudah diketahui lebih dahulu oleh keluarga Ki Rangga Dipayuda.

Sumbaga yang memperhatikan anak muda yang bernama Kasadha itu termangu-mangu. Wajahnya mirip dengan anak muda yang pernah datang kerumah itu. Anak muda dari Tanah Perdikan Sembojan.

Darahnya memang terasa menjadi semakin cepat mengalir melihat kehadiran anak muda yang seakan-akan diterima dengan lebih baik dari Barata. Menurut dugaan Sumbaga, Ki Rangga telah memerlukan pulang untuk menerima kedatangan anak muda yang sebenarnya tidak lebih dari anak buah Ki Rangga itu sendiri. Seakan-akan Kasadha bagi Ki Rangga Dipayuda adalah seorang yang khusus bagi keluarganya.

Sebenarnyalah, seisi rumah itu menjadi gembira karena kedatangan Kasadha. Jangkungpun segera mengucapkan selamat kepadanya atas kemenangannya dalam pertandingannya melawan Ki Rangga Prangwiryawan.

“Memang tidak selalu seseorang yang memiliki pangkat dan jabatan lebih tinggi akan dapat mengalahkan orang yang pangkat dan jabatannya lebih rendah dalam olah kanuragan,“ berkata Jangkung kepada Kasadha setelah mereka duduk di pendapa.

“Bukan hanya olah kanuragan,“ justru Ki Rangga menyambung, “dalam pengetahuan yang lainpun anak-anak muda memiliki kelebihan dari orang-orang tua yang pangkat dan jabatannya lebih tinggi. Tetapi meskipun dalam banyak hal anak-anak muda memiliki kelebihan, namun satu hal yang anak muda dimanapun di seluruh permukaan bumi ini tidak dapat melebihi orang-orang tua.”

“Tentang apa? Pengalaman?“ bertanya Jangkung.

“Tidak .Tentang pengalaman anak-anak muda akan dapat melebihi orang tua. Apalagi orang tua yang terbiasa hidup dibawah ruang lingkup yang sangat sempit,“ jawab Ki Rangga Dipayuda.

“Jadi tentang apa?“ bertanya Jangkung.

“Umur,“ jawab Ki Rangga sambil tersenyum.

Kasadhapun tertawa pula. Namun Jangkung nampaknya tidak mau kalah, Iapun berkata, “Tetapi apa pula yang tidak dapat ditandingi pada anak-anak muda oleh orang-orang tua diseluruh muka bumi.”

“Kemudaannya itulah,“ jawab Ki Rangga.

Kasadha justru tertawa semakin keras. Demikian pula Jangkung sendiri.

Ketika kemudian Riris datang membawa minuman dan makanan, serta kemudian ikut duduk bersama mereka, maka pembicaraanpun menjadi semakin meluas. Bertebaran antara perjalanan Kasadha dan keadaan Tanah Perdikan Sembojan yang baru saja dikunjunginya.

“Kenapa kakang Barata tidak singgah ketika kembali ke Tanah Perdikan?“ bertanya Riris.

Kasadha mengerutkan dahinya sejenak. Namun kemudian wajahnya cepat berubah. Senyumnya mulai membayang lagi dibibirnya. Jawabnya, “Barata ingin segera kembali. Ia sudah terlambat sehari sehingga ibunya sudah mulai cemas.”

“Seharusnya ia pulang sehari lebih cepat,“ berkata Ki Rangga Dipayuda.

Riris hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu Jangkung minta agar Kasadha menceriterakan kesibukan baraknya disaat diselenggarakan pertandingan.

“Tidak ada yang menarik,“ jawab Jangkung sambil memandang kepada Ki Rangga. Lalu katanya, “Namun agaknya Ki Rangga lebih banyak mengetahui daripada aku. Aku hanya sekedar menonton atau masuk ke arena. Selebihnya tidak tahu. Ki Rangga tentu tahu sejak pertandingan itu dirancang.”

“Ah, aku ingin mendengar ceritera itu dengan nada yang berbeda. Aku sudah mendengarkan ayah berceritera. Tetapi baru dalam garis besarnya. Kau tentu lebih banyak mengerti pelaksanaan dari pertandingan itu daripada ayah.”

Tetapi Kasadha tetap mengelak. Katanya, “Mungkin aku akan berceritera dari sisi pandang yang khusus. Tidak menyeluruh.”

Jangkung mengangguk-angguk. Katanya, “Kau tentu takut membuat kesalahan agar penilaian atasanmu terhadapmu tidak menurun.”

“Ah kau,“ potong Ki Rangga Dipayuda.

Jangkung tertawa. Kasadhapun tertawa pula.

Ki Ranggapun kemudian mempersilahkan minum minuman yang sudah tidak terlalu panas lagi sambil mencicipi makanan yang dihidangkan.

Setelah makan bersama-ama dengan keluarga Ki Rangga, maka Kasadhapun dipersilahkan untuk beristirahat di bilik gandok yang memang telah dipersiapkan. Jangkung mengantarkannya ke bilik itu sambil berkata, “Beristirahatlah. Nanti sebelum senja kita berjalan-jalan ke sudut desa. Kita dapat melihat bulak disebelah. Besok pagi-pagi kita akan pergi ke pasar. Pasar yang tentu akan menarik, karena kebetulan besok adalah hari pasaran.”

Kasadha mengangguk-angguk sambil berkata, “Terima kasih. Tetapi besok siang aku sudah harus kembali ke barak.”

“Ayah ada disini. Kau mendapat kesempatan beristirahat sampai sepekan,“ berkata Jangkung.

“Ah, tentu tidak,“ jawab Kasadha.

“Nah, silahkan. Aku akan melihat kuda-kuda yang ada dikandang,“ berkata Jangkung kemudian.

Ketika Jangkung meninggalkannya, Kasadha duduk sendiri di serambi gandok sambil memandang halaman yang nampak sejuk dan bersih. Riris sempat datang ke serambi untuk menghidangkan minuman hangat.

Beberapa saat mereka bercakap-cakap diserambi gan-idok. Bahkan Kasadha sempat bertanya, “Kenapa kau tidak pernah pergi ke Pajang selagi Ki Rangga ada di Pajang. Mungkin kau dapat melihat-lihat keadaan kota. Pasarnya atau tata kehidupannya yang tentu agak lain dengan tata kehidupan disini.”

“Aku sudah sering pergi ke Pajang. Tetapi hanya sebentar-sebentar saja. Aku memang tidak sempat melihat kehidupan di Pajang seutuhnya. Namun agaknya aku tidak akan kerasan tinggal disana.”

“Kenapa?“ bertanya Kasadha.

“Rasa-rasanya tidak ada ketenangan. Di padukuhan ini, kehidupan terasa tenang. Meskipun sekali-sekali terjadi gejolak karena gelombang kehidupan yang dapat menempuh siapa saja, namun rasa-rasanya tidak selalu diburu seperti hidup di Pajang,“ jawab Riris,

Kasadha tersenyum. Katanya, “Tetapi untuk mencapai tataran kehidupan yang lebih tinggi, maka di Pajang rasa-rasanya lebih banyak kemungkinannya.”

“Jika semua orang berpendirian seperti itu, maka padukuhan dan padesan akan menjadi kosong,“ jawab Riris.

Kasadha tertawa. Katanya, “Kau benar Riris. Ada kalanya orang yang terdampar di Pajang yang ramai justru kehilangan kesempatan sama sekali. Tidak demikian halnya hidup di padukuhan. Tanah memang perlu diolah untuk dapat menghasilkan pangan bagi kita semuanya.”

“Seperti kakang Barata. Ia tentu tidak akan meninggalkan Tanah Perdikannya. Ia pernah hidup di kota untuk beberapa lama. Namun akhirnya ia kembali pula ke Tanah Perdikannya,“ jawab Riris.

Wajah Kasadha berkerut mendengar nama Barata terlontar dari bibir Riris. Namun ia sudah terbiasa mengendalikan perasaannya sehingga sama sekali tidak membayang di wajahnya.

Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Orang-orang seperti Barata tidak seharusnya meninggalkan kampung halamannya. Tenaga dan pikirannya sangat diperlukan oleh putaran kehidupan dilingkungannya.”

Namun Riris tidak berbincang lebih lama lagi. Sambil mempersilahkan Kasadha minum dan beristirahat, maka Ririspun berkata, “Ah, sudahlah kakang. Aku harus membantu ibu.”

Sepeninggal Riris, Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Setelah beberapa kali bertemu, maka Riris tidak lagi nampak terlalu canggung. Ia sudah dapat berbicara lancar serta mengemukakan pendapatnya. Namun Kasadha memang menjadi berdebar-debar jika Riris menyebut nama Barata.

Ketika Kasadha baru menghirup minuman hangatnya sambil duduk bersandar dinding serambi dengan melipat kakinya, tiba-tiba Sumbaga telah menghampirinya.

Kasadha memang terkejut. Ia belum begitu mengenal Sumbaga, meskipun ia sudah tahu serba sedikit tentang anak muda yang ada di rumah Ki Rangga itu.

“Marilah, duduklah,“ Kasadha mempersilahkan anak muda itu untuk duduk disebelahnya.

Namun Sumbaga menggeleng lemah. Katanya, “Terima kasih. Aku tidak merasa perlu untuk duduk.”

“O,“ justru Kasadhalah yang bangkit berdiri, “jadi, apakah ada pesan untukku?”

“Ya,“ jawab Sumbaga.

“Dari Ki Rangga atau dari Riris?“ bertanya Kasadha pula.

Namun dengan tegas Sumbaga menjawab, “Tidak dari Riris. Dan tidak pula dari Ki Rangga.”

“Jadi, pesan dari siapa?“ Kasadha menjadi agak heran.

“Dari aku sendiri,“ jawab Sumbaga.

“O,“ Kasadha mengangguk-angguk meskipun ia masih tetap merasa heran melihat sikap anak muda itu, “pesan apa yang kau maksud?”

“Kenapa kau datang kemari?“ bertanya Sumbaga.

Wajah Kasadha menjadi tegang. Ia tidak segera tahu arah pertanyaan Sumbaga. Namun iapun kemudian menjawab, “Aku hanya sekedar singgah. Aku baru pulang dari Tanah Perdikan Sembojan menuju ke Pajang.”

“Jika kau hanya sekedar singgah, kenapa kau tidak segera melanjutkan perjalanan?“ bertanya Sumbaga kemudian.

“Aku akan bermalam semalam disini,“ jawab Kasadha.

“Kenapa kau bermalam disini? Bukankah Pajang tidak terlalu jauh dari sini?“ desak Sumbaga.

Kasadha memang menjadi bingung. Dengan tanpa mengetahui latar belakang sikap Sumbaga, Kasadha itupun menjawab, “Ki Rangga minta aku bermalam disini.”

“Apakah kau tidak tahu, bahwa itu hanya sekedar basa-basi? Seharusnya kau tanggap akan sikap Ki Rangga Dipayuda. Ia tidak senang jika seseorang bermalam dirumah ini,“ berkata Sumbaga.

“Tetapi tidak ada kesan seperti itu. Juga pada Jangkung dan Riris,“ jawab Kasadha lugu.

“Sudahlah. Sekarang, sebaiknya kau tinggalkan rumah ini. Jika kau tidak pergi sekarang juga, maka akibatnya akan kurang baik bagimu. Meskipun kau seorang prajurit pilihan yang mampu memenangkan pertandingan di barakmu, namun disini kau bukan apa-apa bagiku,“ berkata Sumbaga.

“Aku tidak tahu maksudmu. Jika demikian, baiklah aku berbicara berterus terang. Setidak-tidaknya kepada Jangkung. Apakah yang kau katakan itu benar. Sebab menilik sikap mereka, maka mereka merasa senang aku bermalam disini,“ jawab Kasadha.

“Kau terlalu dungu. Kau tidak perlu bertanya kepada siapapun juga. Mereka semuanya lamis. Sekarang, kemasi pakaianmu dan pergilah. Aku akan membawa kudamu kemari,“ berkata Sumbaga pula.

Kasadha memang menjadi agak bingung. Tetapi ia tidak langsung mempercayai kata-kata itu. Ia yakin bahwa tentu ada sesuatu yang tidak wajar pada anak muda yang bernama Sumbaga itu. Karena itu, maka iapun berkata, “Tidak Ki Sanak. Aku tidak akan pergi sebelum aku berbicara dengan Ki Rangga Dipayuda atau Jangkung. Aku bukan pengemis yang dapat kau usir begitu saja dari tempat ini. Aku datang kerumah Ki Rangga, pimpinanku yang aku kenal dengan baik. Jika kau mengada-ada, apa sebenarnya kepentinganmu?”

Wajah Sumbaga menjadi merah. Katanya, “Jika kau tidak mau pergi, kau jangan menyesal. Kau akan membuat perhitungan dengan aku. Jika kau jantan, maka kau tidak akan mengatakan hal ini kepada siapapun juga. Kecuali jika kau tidak lebih dari seorang perempuan yang hanya pantas mengenakan kain panjang dengan sabuk kemben dan memotong berambang di dapur. Nanti tengah malam aku akan menemuimu lagi.”

Sumbaga tidak menunggu jawaban Kasadha. Iapun kemudian telah meninggalkan Kasadha termangu-mangu.

Kasadha itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil duduk kembali. Dihirupnya minumannya sambil berdesah perlahan, “Ada apa pula dengan Sumbaga.”

Tetapi Kasadha tidak menunjukkan kegelisahannya itu. Ia berlaku wajar saja.

Setelah mandi dan berbenah diri, menjelang senja bersama-sama dengan Jangkung, Kasadha melihat-lihat jalan padukuhan. Kemudian keduanya pergi ke mulut jalan induk padukuhan itu untuk melihat bulak yang luas, yang terbentang disebelah padukuhan itu.

“Sawah, batang padi dan air yang mengalir diparit-parit selalu menarik perhatian,“ berkata Kasadha ketika mereka berdiri ditanggul parit diluar padukuhan.

“Di ujung Kademangan ini masih terdapat sebuah hutan yang memanjang, menusuk masuk kedaerah Kademangan sebelah. Tetapi hutan itu terjulur lebih luas lagi sampai kelereng bukit,“ berkata Jangkung.

“Apakah padukuhan-padukuhan terdekat dengan hutan itu tidak merasa terganggu? Bukankah hutan itu masih dihuni binatang buas?“ bertanya Kasadha.

“Diluar hutan itu terdapat semacam padang perdu yang seakan-akan memisahkan lingkungan hutan dan lingkungan padesan yang berpenghuni. Kemudian sawah dan pategalan. Meskipun demikian para petani cukup berhati-hati, sehingga hampir tidak pernah terjadi seorang petani diserang oleh binatang buas meskipun hal itu memang pernah terjadi tiga tahun yang lalu,“ jawab Jangkung.

Kasadha mengangguk-angguk. Ada keinginannya untuk melihat padang perdu itu. Namun nampaknya senja menjadi semakin suram, sehingga keduanyapun kemudian memutuskan untuk kembali saja.

“Besok pagi kita akan melihat-lihat lebih banyak. Jika kau ingin pergi ke hutan, besok kita melihat hutan itu,“ berkata Jangkung.

Kasadha tertawa. Katanya, “Besok kita pergi ke pasar. Jika tidak terlalu siang kita dapat pergi ke padang perdu itu. Tetapi jika kesiangan, biarlah kita tidak usah kesana.”

Jangkungpun tertawa. Katanya, “Agaknya kau sudah sering melihat hutan. Dan hutan dimana-mana tentu tidak akan banyak bedanya.”

Kasadha masih tertawa. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk, sambil berkata, “Tanah masih cukup luas. Tetapi apakah disini ada hutan khusus?”

“Maksudmu?“ bertanya Jangkung.

“Hutan yang menghasilkan kayu-kayuan atau buah-buahan yang dipelihara secara khusus. Tidak dibiarkan begitu saja seperti hutan-hutan yang liar itu?“ bertanya Kasadha.

“Tidak,“ jawab Jangkung.

Kasadhapun tidak bertanya lagi. Namun tiba-tiba saja niatnya untuk berbicara dengan Jangkung tentang sikap Sumbaga tidak tertahankan. Berbeda dengan Barata yang tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan penghuni rumah itu sebelum ia memenuhi tantangan Sumbaga. Tetapi Barata juga tidak mengatakan apapun sesudahnya, sehingga Sumbaga sempat mengaku telah terjatuh ketika isi rumah itu bertanya tentang wajahnya yang memar.

Ketika Jangkung mendengar ceritera Kasadha sambil melangkah menyusup jalan padukuhan yang menjadi semakin suram itu, ia terkejut. Dengan nada tinggi ia berkata, “Aku akan memanggilnya. Aku akan berbicara dengan kakang Sumbaga.”

“Jangan tergesa-gesa,“ cegah Kasadha, “aku masih belum tahu apa yang akan dilakukannya.”

“Jadi?“ bertanya Jangkung.

“Aku akan melihat apa yang akan dilakukannya,“ jawab Kasadha.

“Aku akan berada dibilikmu malam nanti,“ berkata Jangkung lalu katanya pula, “aku akan berada dibelakang selintru jika ia benar-benar mendatangimu malam nanti.”

“Tetapi sebaiknya kau tidak usah mengatakan kepada Ki Rangga lebih dahulu,“ desis Kasadha.

Jangkung mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, “Agaknya ada sesuatu yang tidak wajar terjadi atasnya. Atau pada dasarnya kakang Sumbaga memang agak terganggu keseimbangan jiwanya?”

Kasadha tidak menyahut. Sementara itu, langkah merekapun sudah hampir sampai regol halaman rumah Ki Rangga Dipayuda.

Dua orang anak muda yang berpapasan sempat menyapa Jangkung. Namun mereka berjalan terus.

Setelah makan malam dan berbincang-bincang dengan keluarga Ki Rangga beberapa lama maka Ki Ranggapun berkata, “Nah, jika kau sudah lelah, beristirahatlah. Sebaiknya kau tidak usah kembali ke barak besok. Lusa kita bersama-sama kembali. Ki Tumenggung tentu tidak akan menyalahkan kau.”

Kasadha memang menjadi ragu-ragu. Jika yang berkata demikian itu adalah atasannya langsung, maka ia percaya bahwa ia memang tidak akan dianggap bersalah.

Tetapi iapun merasa segan untuk bermalam dua malam dirumah Ki Rangga. Apalagi mengingat sikap Sumbaga.

Karena itu, maka Kasadhapun kemudian berkata, “Ki Rangga. Agaknya Ki Tumenggung Jayayuda memang tidak menganggap aku bersalah. Tetapi rasa-rasanya aku akan meninggalkan kesatuanku terlalu lama. Para pemimpin kelompoklah yang tentu menunggu-nunggu.”

Ki Rangga Dipayuda tersenyum. Katanya, “Jika aku bukan salah seorang Pandhega di barak kita, maka aku akan dapat, mengabaikan alasanmu. Tetapi aku justru salah seorang pimpinan di barak itu.”

“Justru itu,“ sahut Jangkung, “ayah dapat memerintahkan Kasadha untuk mengawal ayah sampai lusa.”

Ki Rangga tertawa. Katanya, “Kau kira aku dapat berbuat apa saja menurut kemauanku tanpa menghiraukan paugeran yang berlaku.”

“Tetapi bukankah ayah sudah menganjurkan agar Kasadha pulang besok lusa bersama ayah,“ berkata Jangkung.

“Itulah yang dapat aku lakukan tanpa menyimpang dari paugeran. Bukan memerintahkan Kasadha untuk mengawalku,“ jawab Ki Rangga.

Jangkung mengerutkan dahinya. Katanya, “Itulah yang membuat aku sulit untuk berada didunia keprajuritan sebagaimana ayah.”

Kasadhapun tertawa. Katanya, “Kau sendiri yang mempersulit persoalan yang sebenarnya cukup sederhana.”

Jangkung juga tertawa. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Ki Ranggapun kemudian telah mempersilahkan sekali lagi agar Kasadha beristirahat di bilik gandok.

“Marilah,“ berkata Jangkung, “aku antar kau ke bilikmu.”

Sebenarnya Jangkung ingin tetap berada di bilik Kasadha sampai Sumbaga datang kepadanya.

Beberapa saat kemudian, rumah Ki Rangga Dipayuda itu menjadi sepi. Semua orang telah berada didalam bilik masing-masing kecuali Jangkung yang sengaja berada di bilik yang diperuntukkan bagi Kasadha.

Didalam bilik itu memang terdapat sebuah selintru yang dibuat dari kayu.

“Aku akan tidur dibelakang selintru ini,“ berkata Jangkung, “jika Sumbaga datang, aku tentu akan terbangun. Bukankah ia harus mengetuk pintu lebih dahulu?”

Kasadha inengangguk. Katanya, “Tentu. Pintu itu diselarak dan hanya dapat dibuka dari dalam.”

Jangkungpun kemudian telah membentangkan sebuah tikar. Ia sengaja tidur ditempat yang sempit diantara dinding bilik itu dengan sebuah selintru kayu. Sementara itu, ia mempersilahkan Jangkung tidur di amben bambu yang memang tersedia didalam bilik itu.

Ternyata baik Jangkung maupun Kasadha tidak segera dapat tidur. Mereka bahkan seakan-akan menunggu sampai tengah malam.

Sebenarnyalah seperti yang pernah terjadi dengan Risang, maka tengah malam Sumbaga itu telah mengetuk pintu bilik gandok.

Kasadha dan Jangkung ternyata masih belum tidur. Karena itu, maka dengan cepat Kasadha menyahut, “Ya. Aku belum tidur.”

Kasadhapun segera bangkit. Namun Jangkung yang juga sudah bangkit memberi isyarat agar Kasadha berhati-hati.

Ketika kemudian pintu terbuka, dilihatnya Sumbaga berdiri termangu-mangu dimuka pintu. Dengan nada rendah Sumbaga berkata, “Apakah kau mengatakan hal ini kepada seseorang?”

“Tidak,“ jawab Kasadha, “tetapi apa maksudmu?”

“Kita akan pergi ke halaman belakang. Aku sudah menyalakan sebuah obor kecil dibawah rumpun bambu. Kita akan berkelahi. Jika kau kalah, kau berjanji untuk tidak akan datang lagi ke rumah ini. Jika kau memaksa untuk datang, maka aku akan memukulimu. Tetapi jika kau masih datang lagi, maka aku akan membunuhmu,“ berkata Sumbaga.

“Jika kau yang kalah?“ bertanya Kasadha.

“Aku tidak akan berbicara tentang sesuatu hal yang tidak mungkin,“ jawab Sumbaga.

“Jadi menurut dugaanmu, kau tidak mungkin kalah?“ bertanya Kasadha.

“Ya. Aku tidak mungkin kalah. Aku adalah seorang laki-laki sejati,“ jawab Sumbaga.

Kasadha memang masih ragu-ragu. Namun Sumbaga itu kemudian berkata, “Pergilah. Aku menunggu. Jangan takut bahwa aku akan membunuhmu.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat bertanya lagi. Sementara Sumbaga telah meninggalkan gandok menuju ke halaman belakang rumah Ki Rangga. Agak jauh dibawah rumpun bambu Sumbaga telah menyalakan sebuah obor kecil yang hanya dapat menerangi sebuah lingkaran kecil dibawah rumpun bambu itu.

Didalam biliknya Kasadha termangu-mangu sejenak.

Jangkung yang telah keluar dari balik selintru itupun berdesis, “Memang aneh. Tetapi pergilah ke kebun belakang. Aku akan melihat apa yang akan dilakukan oleh Sumbaga itu.“

Kasadha mengangguk. Namun iapun telah meninggalkan senjatanya dibilik itu. Meskipun ia belum pernah membicarakan persoalan Sumbaga itu dengan Barata, tetapi seperti Barata, ia tidak ingin kehilangan pengamatan diri dan mempergunakan senjata untuk melawan Sumbaga dalam keadaan yang sulit.

Sejenak kemudian, Kasadha sudah berada di kebun belakang dibawah rumpun bambu. Ternyata apa yang telah terjadi atas Barata telah terulang lagi. Sumbaga telah mengancam Kasadha agar tidak datang lagi ke tempat itu dan apalagi bertemu dengan Riris.

Ternyata Kasadha kemudian mengetahui, kenapa Sumbaga itu mengancam agar ia pergi dan tidak kembali. Ternyata Sumbaga tidak mau melihat seseorang bertemu dan berbicara dengan Riris, apalagi kemudian berhubungan lebih erat lagi.

Dalam pada itu Jangkung ternyata telah dapat mendengar semuanya. Diluar pengetahuan Sumbaga, maka Jangkung mendengar apa yang telah dikatakan Sumbaga kepada Kasadha.

Jantung Jangkung memang menjadi berdebar-debar. Hampir saja ia kehilangan kekang diri dan meloncat menyerang Sumbaga yang telah berani mengancam tamunya. Bahkan Sumbaga telah mengulangi keterangannya, bahwa sebenarnya Ki Rangga juga membenci orang-orang yang bermalam dirumahnya.

Namun untunglah bahwa Jangkung masih tetap menahan diri. Bahkan kemudian timbul keinginannya, untuk mengetahui apa yang akan terjadi kemudian, ia yakin, bahwa Kasadha tidak akan mengalami kesulitan karena Kasadha adalah seorang prajurit yang sangat baik. Bahkan ia telah mampu mengalahkan salah seorang pimpinannya, Ki Rangga Prangwiryawan.

Sejenak kemudian, maka Kasadhapun telah bertempur pula melawan Sumbaga. Ternyata Sumbaga adalah seorang yang memiliki kekuatan yang sangat besar.

Namun apa yang pernah terjadi dengan Barata, telah terulang kembali. Kasadha semakin lama semakin menekannya. Bahkan seperti juga Barata, Kasadha memberinya kesempatan untuk menghentikan perkelahian Tetapi Sumbaga tidak pernah mengakui bahwa ia akan kalah dalam perkelahian itu.

Beberapa kali Sumbaga telah icrlempar jatuh. Bahkan kemudian nafasnya menjadi semakin terengah-engah. Tenaganya sudah jauh susut. Bahkan berdiripun seakan-akan tidak lagi mampu untuk tegak.

Tetapi setiap kali Kasadha mengatakan bahwa ia akan kalah, Sumbaga telah menolaknya. Bahkan iapun kemudian berkata dengan penuh keyakinan akan kemenangannya, “Nah Kasadha. Sekarang kau harus menyadari, bahwa kau ternyata tidak dapat berbual apa-apa. Berjanjilah, bahwa kau tidak akan datang kembali kerumah ini.”

Kasadha bergeser beberapa langkah surut. Katanya, “Bukan aku yang akan kalah. Kau harus melihat kenyataan, bahwa kau sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi.”

“Menyerahlah. Berjanjilah agar aku tidak menjadi marah dan membunuhmu,“ geram Sumbaga.

Kasadha memang menjadi jengkel. Dengan kerasnya ia menyerang. Kakinya yang terayun dengan derasnya telah mengenai lambungnya sehingga Sumbaga yang sudah lemah itu terlempar selangkah menyamping dan kemudian jatuh terbanting ditanah.

Tetapi anak muda itu telah terbangun lagi meskipun agak kesulitan untuk bangkit. Sekali lagi Sumbaga mengancam, “Nah, kau harus melihat kenyataan. Kau sudah aku kalahkan. Pergilah dan jangan kembali.”

Kasadha yang jengkel itu menjawab, “Tidak. Aku akan kembali seribu kali. Aku akan mengunjungi Riris sesuka hatiku. Aku senang kepada gadis itu dan gadis itu senang kepadaku. Nah, apa pedulimu.”

Sumbaga mengumpat kasar sambil menyerang. Tangannya terjulur lurus mengarah kekening Kasadha. Tetapi Kasadha menghindari, maka hampir saja Sumbaga itu jatuh terjerembab dengan sendirinya.

Yang tidak dilakukan oleh Barata adalah dengan sengaja membakar hati anak muda itu. Kasadha ingin tahu, sampai sejauh mana sikap Sumbaga yang tidak sewajarnya itu. Jika Barata memaksa Sumbaga untuk melihat kenyataan dan mengakui kekalahannya, maka Kasadha telah menggelitik hati Sumbaga. Katanya, “Sumbaga. Ketahuilah. Beberapa hari lagi, orang tuaku akan datang kemari. Mereka akan melamar Riris untuk menjadi isteriku. Kau tidak akan dapat mencegahnya, karena kau tidak dapat mengalahkan aku.”

“Iblis kau,“ sekali lagi Sumbaga meloncat menyerang. Tetapi ketika Kasadha berhasil menghindarinya, maka Sumbaga justru telah terseret oleh kekuatannya yang tersisa. Sejenak Sumbaga terhuyung-huyung. Namun kemudian Sumbaga itu telah jatuh tertelungkup.

Tertatih-tatih anak muda itu bangkit. Sementara Kasadha masih tetap memanasi hati anak muda itu, sehingga beberapa kali Sumbaga menyerang, namun beberapa kali anak muda itu jatuh terjerembab. Sehingga akhirnya, Sumbaga itu tidak dapat lagi untuk bangkit. Ketika ia mencoba untuk berdiri, maka iapun telah terjatuh pada lututnya.

Namun ia masih berkata, “Ingat Kasadha. Aku telah mengalahkanmu. Kau telah berjanji untuk tidak akan kembali lagi ke rumah ini untuk selama-lamanya.”

“Tentu aku akan kembali bersama orang tuaku. Dalam waktu dekat, Sumbaga. Kau boleh menyaksikan apa yang akan dikatakan oleh orang tuaku,“ jawab Kasadha.

Sumbaga menggeram. Namun ketika ia mengerahkan sisa tenaganya untuk menyerang, maka iapun telah terjatuh lagi.

Sumbaga kemudian duduk sambil mengerang. Namun ternyata ia tidak sekedar mengerang kesakitan. Tetapi Sumbaga itu telah menangis.

“Sumbaga,“ Kasadha terkejut. Dengan hati-hati ia mendekat sambil bertanya, “Kenapa kau menangis?”

Sumbaga justru menangis semakin keras. Betapa ia berusaha menahan tangisnya, namun ia tidak mampu melakukannya. Air matanya mengalir diantara jari-jari tangannya yang menutup wajahnya.

“Kenapa kau tidak menepati janjimu Kasadha,“ suaranya mengambang disela-sela isaknya, “kau berjanji untuk tidak kembali lagi.”

Kasadha menjadi bingung. Ia tidak pernah ingin berjanji sebagaimana dimaksud oleh Sumbaga. Tetapi ia ingin agar Sumbaga itu tidak menangis semakin keras.

Dalam pada itu, Jangkung tidak dapat terus menerus bersembunyi. Semula ia mengagumi Kasadha yang memiliki ilmu yang tinggi. Namun kemudian ia menjadi jengkel dan marah melihat sikap Sumbaga. Tetapi ketika ia melihat Sumbaga menangis, maka Jangkungpun menjadi bingung.

Karena itu, maka Jangkungpun justru telah meloncat dari persembunyiannya dan melangkah mendekat Sumbaga yang menangis.

“Kakang Sumbaga, kenapa kau menangis?“ bertanya Jangkung.

Sumbaga terkejut. Sekejap tangisnya terhenti. Namun kehadiran Jangkung telah membuat hatinya semakin kacau. Diluar sadarnya ia bertanya, “Apa yang kau lakukan disini?”

Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun bertanya pula, “Kenapa semuanya itu kau lakukan? Kau adalah sanak kadang kami. Kau adalah keluarga kami.”

Sumbaga termangu-mangu sejenak. Namun isaknya masih saja terdengar. Sementara air matanya masih juga mengembun di pelupuknya.

Tetapi Sumbaga tidak menjawab.

“Sudahlah,“ berkata Kasadha kemudian, “kembalilah kedalam bilikmu.”

Sumbaga tidak menjawab. Namun Jangkung masih juga bertanya, “Apakah kau berbuat seperti ini juga kepada Barata saat ia berada disini? Pagi-pagi kami melihat wajahmu memar dan tubuhmu seolah-olah kesakitan. Setiap kali kau ditanya tentang memar itu maka kau selalu menjawab, bahwa kau tergelincir dan jatuh. Ternyata yang terjadi atasmu waktu itu sebagaimana terjadi sekarang.”

Sumbaga mengangguk kecil.

“Untunglah kau berhadapan dengan Barata dan Kasadha. Jika hal ini kau lakukan terhadap orang lain, mungkin kau sudah dibunuhnya,“ berkata Jangkung.

Namun jawab Sumbaga mengejutkan, “Aku tidak pernah dikalahkan oleh siapapun juga.”

“Apalagi sikapmu seperti itu,“ sahut Jangkung, “seseorang yang sebenarnya tidak ingin membunuhmu, justru kau dorong untuk melakukannya. Aku tahu sebenarnya kau tahu bahwa kau telah dikalahkan oleh Barata dan Kasadha. Tetapi tentu ada sesuatu yang tidak wajar atasmu.”

Wajah Sumbaga menegang. Namun kemudian tangisnya tiba-tiba meninggi.

“Sudah. Sudahlah,“ berkata Kasadha, “kembali sajalah ke bilikmu. Mumpung masih malam. Kau dapat beristirahat sejenak sebelum besok pagi-pagi kau harus mandi. Kecuali wajahmu yang tentu pengab bukan saja karena memar, tetapi juga karena kau telah menangis seperti perempuan.”

“Aku adalah laki-laki sejati,“ jawabnya disela-sela isaknya.

Jangkung menarik nafas dalam-dalam untuk mengendapkan perasaannya yang bergejolak melihat sikap Sumbaga. Namun iapun kemudian berkata lebih keras, “Cepat kembali ke bilikmu.”

Sumbaga mencoba untuk diam. Meskipun nampak dadanya yang justru menjadi sesak, tetapi Sumbaga memang diam. Sambil menunduk iapun telah bangkit dan berjalan meninggalkan rumpun bambu dan obor kecilnya.

Jangkunglah yang kemudian memadamkan obor kecil itu dan membawanya kembali kebelakang rumah, karena obor kecil itu sering dipergunakan jika ada keperluan malam hari dibelakang rumah dekat sumur. Jika malam hari masih harus mencuci mangkuk atau alat-alat dapur yang lain karena satu keperluan. Atau harus pergi ke pakiwan di malam hari, maka obor itu dinyalakan.

Kasadhapun kemudian telah kembali pula ke biliknya setelah membersihkan dirinya di pakiwan. Sementara Jangkung telah ikut pula ke bilik Kasadha di gandok.

Beberapa saat keduanya masih berbincang. Kasadha sependapat dengan Jangkung, bahwa hal yang sama tentu pernah terjadi pula atas Barata.

“Waktu itu tidak ada seorang saksipun,“ berkata Jangkung, “karena itu kakang Sumbaga masih dapat mengelak dengan mengatakan bahwa ia terjatuh. Sementara Barata tentu agak segan pula untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”

Kasadha mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berdesis, “Jangkung, apakah dengan demikian Sumbaga justru berbahaya bagi Riris.”

“Ya. Selama ini kami sangat percaya kepadanya. Jika aku pergi sementara ayah berada di Pajang, Sumbagalah yang aku serahi untuk melindungi rumah ini. Tugas itu dilakukan dengan baik karena ia memang masih mempunyai hubungan keluarga dengan kami. Namun dalam keadaan kecewa, maka hal-hal yang tidak diinginkan akan dapat terjadi,“ desis Jangkung.

“Kau dan Ki Rangga harus segera mengambil langkah-langkah tertentu untuk melindungi Riris. Meskipun kehadirannya itu juga dalam rangka usaha Ki Rangga untuk melindungi seisi rumah ini termasuk Riris,“ berkata Kasadha pula.

Jangkung, mengangguk-angguk. Katanya, “Mumpung ayah ada dirumah. Besok pagi-pagi aku akan berbicara dengan ayah tentang kakang Sumbaga.”

Kasadha mengangguk-angguk. Agaknya itulah yang terbaik yang dapat dilakukan oleh Jangkung.

Demikianlah sejenak kemudian, Jangkung telah mempersilahkan Kasadha untuk tidur lagi. Katanya, “Aku akan kembali ke bilikku. Pintu samping tentu tidak diselarak oleh ayah karena ayah tahu aku mengantarmu kedalam bilikmu.”

Sepeninggal Jangkung, maka Kasadhapun telah berbaring di amben bambu didalam biliknya. Angan-angannya menerawang kebeberapa saat mundur. Ia membayangkan Barata yang juga mendapat perlakuan sebagaimana dirinya oleh Sumbaga.

“Tentu Sumbaga melihat apa yang terjadi dengan Barata dan Riris. Mungkin karena itu, ia menjadi curiga kepada setiap anak muda yang datang kerumah ini, karena sebenarnya Sumbaga sendiri juga menaruh hati kepada gadis itu,“ berkata Kasadha didalam hatinya.

Kasadha justru menjadi gelisah karena angan-angannya itu. Karena itu, ia justru tidak dapat tertidur lagi.

Beberapa kali ia justru bangkit dan berjalan hilir mudik. Namun kemudian ia duduk lagi dipembaringannya dan bahkan membaringkan diri.

Ketika Kasadha mendengar ayam jantan berkokok menjelang fajar, maka Kasadhapun tidak lagi berniat untuk tidur, sehingga semalam suntuk anak muda itu tidak tertidur sama sekali. Bahkan kemudian iapun telah bangkit dan melangkah keluar bilik di gandok itu.

Ternyata hari telah menjadi terang tanah. Ayam-ayam sudah keluar dari kandangnya dan berkeliaran dihalaman meskipun beberapa ekor diantaranya masih nampak kedinginan di sudut pendapa.

Lampu minyak dipendapa masih menyala. Namun di jalan padukuhan di depan rumah Ki Rangga telah terdengar pedati yang lewat. Suara tembang para pedagang yang duduk memeluk lutut didalam pedati yang berjalan lamban menuju ke pasar.

“Kebetulan hari pasaran,“ berkata Kasadha kepada diri sendiri.

Beberapa saat kemudian Kasadha telah pergi ke pakiwan. Ternyata jambangannya masih belum terisi. Karena itu, maka Kasadhapun telah menarik senggot timba untuk mengisi jambangan. Baru setelah jambangan itu penuh, Kasadhapun mandi pula.

Betapa sejuknya air dingin dipagi hari. Bukan saja badannya yang menjadi segar. Tetapi penalarannya dan perasaannyapun terasa menjadi lebih bening.

Ketika langit menjadi terang dan matahari mulai bangkit, Jangkung telah pergi ke bilik Kasadha. Ia termangu-mangu sejenak ketika ia melihat Kasadha justru sudah berbenah diri.

“Kau mandi atau tidak?“ bertanya Jangkung.

“Tentu,“ jawab Kasadha, “bukankah kau lihat, bahwa aku sudah siap?”

Jangkung yang juga sudah mandi dan berpakaian rapi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku kira kau terlambat bangun karena letih dan mengantuk. Ternyata kau tentu bangun lebih dahulu dari aku.”

“Aku bukan saja bangun lebih dahulu. Tetapi aku memang tidak tidur semalam,“ jawab Kasadha.

“Jangan terlalu kau pikirkan. Aku datang untuk mengajakmu berbicara dengan ayah sebelum kita pergi ke pasar. Agaknya ayah sudah duduk di ruang dalam. Minuman panasnya telah tersedia,“ ajak Jangkung.

Berdua mereka kemudian telah masuk keruang dalam. Ternyata Riris sedang sibuk mempersiapkan minuman dan makanan. Ketika ia melihat Jangkung dan Kasadha datang, maka Ririspun berkata, “Marilah, silahkan kakang.”

“Bukankah kau tidak terbiasa mempersilahkan aku seperti itu? Kau biarkan saja aku minum atau tidak minum,“ sahut Jangkung.

“Aku tidak mempersilahkanmu,“ jawab Riris.

“Jadi siapa?“ bertanya Jangkung.

“Ah, entahlah,“ wajah Riris terasa menjadi panas. Bahkan iapun kemudian telah meninggalkan ruang itu.

“Kau selalu mengganggu adikmu,“ desis Ki Rangga Dipayuda yang juga sudah duduk diruang tengah. Lalu katanya, “Sebenarnya biar saja ia duduk disini. Riris yang sudah menjadi semakin dewasa sudah harus tidak lagi menjadi seorang pemalu.”

“Tetapi sudah saatnya ia dipingit ayah,“ jawab Jangkung. Ia sengaja berbicara agak keras asar Riris dapat mendengarnya.

Tetapi Ki Rangga Dipayuda justru tertawa. Katanya, “Pada saatnya gadis itu memang harus dipingit. Beberapa orang gadis anak tetangga kita juga ada yang dipingit. Tetapi aku mempunyai cara sendiri untuk memingit anak gadisku.”

Jangkung tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum ketika ia mendengar nampan yang dilemparkan ke geledeg rendah di ruang samping. Tentu Riris yang tersinggung.

“Sudahlah, duduklah,“ minta Ki Rangga kepada Jangkung. Iapun kemudian juga mempersilahkan Kasadha duduk.

“Minumlah,“ Ki Rangga mempersilahkan, “mumpung masih hangat.”

Kasadha yang tidak tidur semalam suntuk itupun menghirup minuman hangat, sehingga tubuhnya yang menjadi agak segar setelah mandi, menjadi lebih segar lagi. Darahnya serasa menjadi hangat menjalar keseluruh tubuhnya.

Namun dalam pada ituJangkungpun kemudian berkata, “Ayah, sebenarnya ada sesuatu yang penting aku katakan kepada ayah.”

“Tentang apa?“ bertanya ayahnya.

“Kakang Sumbaga,“ jawab Jangkung.

“Ada apa dengan Sumbaga?“ bertanya Ki Rangga pula.

Jangkung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ada sesuatu yang tidak wajar.”

Ki Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berkata, “Aku belum melihatnya pagi ini. Tetapi apa yang sudah dilakukannya?”

Jangkung memang agak ragu-ragu. Tetapi ia telah melihat sendiri apa yang telah terjadi. Iapun mencemaskan Riris dimana-mana datang apabila ia berada dirumah sendiri. Jangkungpun teringat kepada anak muda yang menjadi seperti kehilangan akal karena ia mencintai Riris, tetapi Riris tidak menanggapinya, sehingga anak muda itu telah mencoba mempergunakan kekerasan. Untunglah saat itu ada Barata, dan secara kebetulan ketika kekerasan itu terjadi lagi, Kasadha sempat menolongnya.

“Kau nampaknya ragu-ragu untuk mengatakannya,“ desis ayahnya kemudian.

Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian dipaksakannya bibirnya untuk mengatakan apa yang dilihatnya semalam.

Ki Rangga Dipayuda mendengarkan keterangan Jangkung itu dengan saksama. Namun terasa betapa jantungnya berdenyut semakin keras.

Demikian Jangkung selesai dengan keterangannya tentang Sumbaga, maka Ki Ranggapun berkata, “Jangkung, sebaiknya kau panggil Sumbaga. Biarlah aku berbicara dengan anak itu.”

“Baik ayah,“ jawab Jangkung.

“Hati-hatilah. Dalam keadaan seperti itu, Sumbaga akan menjadi terlalu cepat tersinggung,“ pesan Ki Rangga.

“Baik ayah,“ jawab Jangkung kemudian.

Sejenak kemudian maka Jangkungpun telah keluar dari ruang dalam itu untuk memanggil Siimbaga. Sementara itu Ki Rangga bertanya tentang beberapa hal kepada Kasadha dalam hubungannya dengan Sumbaga.

Seperti Jangkung, maka Kasadhapun telah berkata terus terang. Bahkan Kasadhapun berkata bahwa hal serupa telah terjadi pula terhadap Barata beberapa saat yang lalu. Tetapi agaknya Barata tidak dapat mengatakan hal itu kepada siapapun.

Ki Rangga Dipayuda menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berdesis, “Kenapa hal itu harus terjadi. Aku semula percaya kepada anak itu. Namun tiba-tiba ia telah berubah.”

Dalam pada itu, dengan tergesa-gesa Jangkung telah masuk keruang dalam. Dengan wajah yang nampak gelisah ia berkata, “Sumbaga tidak ada ayah.”

“Kemana?“ bertanya Ki Rangga.

Jangkung tidak menjawab. Tetapi ia menunjukkan sesobek kain yang ditulisi dengan kapur yang agaknya di colek dari botekan kapur sirih.

Wajah Ki Rangga menjadi tegang. Tulisan itu berbunyi, “Jangkung, pagi ini aku pergi entah kemana.”

Ki Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ketika kemudian Nyi Rangga masuk ke ruang dalam dan duduk bersama mereka, maka Ki Ranggapun berkata, “Satu persoalan lagi telah timbul.”

“Persoalan apa Ki Lurah?“ bertanya Nyi Rangga yang sudah terbiasa memanggil Ki Lurah.

“Dalam hubungannya dengan anakmu, Riris,“ jawab Ki Rangga.

“Apakah laki-laki yang pernah menjadi kehilangan akal itu mengganggu Riris lagi?“ bertanya Nyi Rangga pula.

“Tidak,“ Ki Rangga Dipayuda menggeleng. Iapun kemudian telah menceriterakan tentang tingkah laku Sumbaga dan bahwa anak muda itu ternyata telah pergi.

“Jadi Sumbaga telah pergi?“ suara Nyi Rangga menjadi dalam sekali.

“Aku juga tidak mengira sama sekali,“ jawab Ki Rangga.

“Kenapa ia berbuat seperti itu? “ mata Nyi Rangga menjadi basah, “aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri.”

“Aku juga tidak mengira sama sekali,“ jawab Ki Rangga.

“Aku mohon maaf, bahwa kedatanganku kerumah ini sudah menimbulkan persoalan,“ desis Kasadha sambil mengangguk dalam-dalam.

“Tidak. Bukan salahmu,“ jawab Ki Rangga, “aku kira bahwa hal ini terjadi, justru lebih baik. Persoalannya segera kita ketahui sebelum terjadi sesuatu atas Riris. Bagaimanapun juga Sumbaga adalah seorang laki-laki dewasa. Jika hatinya telah ditumbuhi perasaan yang satu itu terhadap seorang gadis, maka matanya akan dapat menjadi buta. Ia tidak lagi tahu siapakah yang dihadapinya.”

Kasadha menundukkan kepalanya. Tetapi bagaimanapun juga ia juga merasa menjadi salah satu sebab kepergian anak muda yang bernama Sumbaga.

“Jangkung,“ berkata Ki Rangga, “jika demikian, maka kau sekarang menjadi satu-satunya pelindung adikmu. Jika besok aku kembali ke Pajang, maka keselamatan Riris akan sangat tergantung kepadamu.”

Jangkung mengangguk kecil. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah Riris tidak perlu tahu tentang hal ini?”

“Aku kira ia lebih baik mengetahuinya sehingga ia dapat menjadi lebih berhati-hati jika ia bertemu dengan Sumbaga di manapun juga,“ berkata ayahnya. Lalu katanya kepada Nyi Rangga, “Terserah kepadamu, bagaimana caranya kau berbicara dengan anak gadismu.”

Nyi Rangga mengangguk kecil sambil menjawab, “Aku akan mencobanya. Aku akan berbicara dengan Riris.”

“Baiklah,“ desis Ki Rangga Dipayuda, “kau dapat mengatakan kepadanya secepatnya.”

Nyi Rangga itupun kemudian minta diri untuk menemui Riris. Namun ia masih sempat mempersilahkan Kasadha untuk minum dan makan makanan yang telah dihidangkan.

Namun dalam pada itu, Kasadha dan Jangkungpun telah minta diri pula. Mereka akan melihat keramaian pasar yang sedang pasaran. Hari yang paling ramai dalam waktu sepekan.

Seperti yang direncanakan, maka Jangkung telah mengajak Kasadha untuk pergi ke pasar. Ketika mereka melihat matahari yang mulai memanjat langit, Jangkung berkata, “Sudah agak kesiangan.”

“Masih belum,“ jawab Kasadha, “bahkan sepagi ini pada umumnya pasar belum temawon.”

Jangkung mengangguk. Tetapi katanya, “Jika kita dapat datang pagi-pagi, maka kita akan dapat melihat para pedagang membuka dagangannya. Aku senang melihat bagaimana mereka mengatur dagangan mereka. Kemudian menjajakannya.”

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, memang ada sesuatu yang menarik, bagaimana seorang penjual telur menghitung telur yang dibawanya atau saat ia membeli telur dari pedagang yang mengumpulkan telur di padesan dan menjualnya dipasar.”

“Juga para pedagang gula kelapa. Mereka menghitung dagangannya sambil berdendang,“ desis Jangkung.

Namun mereka masih sempat melihat pasar itu menjadi semakin ramai menjelang temawon. Orang-orang yang datang untuk berbelanja semakin lama semakin banyak. Biasanya mereka berbelanja untuk sepekan, karena dihari-hari lain, kecuali hari pasaran, pasar tidak seramai itu. Biasanya tidak lebih dari beberapa orang saja yang berjualan dipasar. Sedangkan dipinggir pasar hanya ada satu saja pande besi yang membuka bengkelnya. Tetapi dihari pasaran ada tujuh atau delapan pande besi yang sibuk bekerja membuat alat-alat pertanian dan barang-barang keperluan rumah tangga yang lain.

Sementara itu, dirumah, Nyi Rangga Dipayuda telah memanggil Riris. Dengan hati-hati Nyi Rangga memberitahukan, apa yang telah dilakukan Sumbaga. Baik terhadap Kasadha, maupun terhadap Barata. Nyi Ranggapun lelah memberitahukan, kenapa Sumbaga telah berlaku demikian.

Wajah Riris terasa menjadi panas. Namun kemudian air matanya mulai mengalir dipipinya. Dengan menahan isak iapun bertanya, “Jadi kakang Sumbaga telah pergi?”

“Ya Riris,“ jawab ibunya, “akupun merasa kehilangan.“

“Aku sudah menduga perasaan apa yang tersembunyi dijantung kakang Sumbaga. Tetapi aku masih belum yakin benar sehingga aku tidak berbuat apa-apa.”

“Apa yang dapat kau lakukan seandainya hal itu dikatakan kepadamu?“ bertanya ibunya.

Riris tidak segera menjawab. Tetapi ia masih saja mengusap air mata yang mengalir dari pelupuknya.

“Riris,“ berkata ibunya, “kemungkinan itu masih ada. Suatu ketika Sumbaga datang untuk melamarmu mendahului orang lain.”

Suara Riris menjadi semakin sendat, “Ibu. Aku menganggap kakang Sumbaga sebagai kakak kandungku sendiri. Aku tidak dapat merubah perasaan itu. Tetapi seandainya aku dapat berbicara dengan kakang Sumbaga, maka aku akan dapat menjelaskannya.”

Nyi Rangga termangu-mangu sejenak. Iapun tahu, bahwa Riris menganggap anak muda itu sebagaimana saudara kandung sendiri.

“Baiklah Riris,“ berkata ibunya, “sekarang kau sudah mengetahuinya. Bahkan kakakmu Sumbaga itu telah melakukan perbuatan yang tidak kita duga sebelumnya. Ia masih beruntung, bahwa ia berhadapan dengan Barata dan Kasadha sehingga mereka tidak berbuat lebih jauh daripada memenuhi keinginan Sumbaga itu.”

Riris mengangguk. Namun ia tidak menjawab lagi.

“Meskipun selama ini Sumbaga tidak pernah melakukan satu hal yang tidak sepantasnya, namun kau harus berhati-hati Riris. Kita tidak dapat membayangkan apa yang dapat dilakukan oleh seseorang. Meskipun sebelumnya nampak baik-baik saja, tetapi kekecewaan dan harapan yang pudar bahkan padam sama sekali akan dapat merubah seseorang,“ pesan ibunya.

Riris mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.

Namun peristiwa itu ternyata membekas dalam di hati gadis itu. Ketika ia kemudian berada di dalam biliknya, maka Riris mulai merenung.

“Aku sama sekali tidak berniat mengecewakan siapapun juga,“ berkata Riris kepada diri sendiri, “tetapi akupun tidak dapat mengorbankan diriku untuk sesuatu yang akan dapat menyiksaku seumur hidupku.”

Anak muda yang pernah kecewa itupun pernah berbuat diluar kendali nalarnya bahkan dengan dibantu oleh beberapa orang keluarganya telah berniat mempergunakan kekerasan. Sumbagapun seperti tidak lagi berpijak pada kesadaran nalarnya, sehingga ia telah melakukan sesuatu yang tidak masuk akal terhadap tamu-tamu keluarganya.

Tetapi angan-angn Riris tidak berhenti sampai sekian. Yang kemudian terbayang adalah dua orang anak muda yang sering datang ke rumah itu. Keduanya pernah mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya dari Sumbaga.

Kasadha dan Barata. Yang seorang adalah seorang Lurah prajurit yang nampaknya akan mempunyai masa depan yang baik dilangsungkan keprajuritan, karena ternyata memiliki beberapa kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain, bahkan dengan seorang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Sedang seorang yang lain pada wakili yang tidak terlalu lama akan diwisuda menjadi Kepala Janah Perdikan Sembojan.

“Keduanya adalah sahabat yang sangat akrab,“ berkata Riris didalam hatinya.

Namun Ririspun sadar, bahwa pada suatu saat akan dapat terjadi perubahan.

Sebagai seorang gadis yang telah dewasa Riris serba sedikit dapat menangkap sikap kedua orang anak muda itu. Keduanya pernah menolongnya, menyelamatkannya dari tangan seorang yang kehilangan nalarnya. Juga karena kecewa.

Diluar sadarnya Riris berharap, bahkan berdoa, semoga ia tidak dihadapkan pada satu keadaan yang tidak dapat diatasinya lagi. Jika kedua orang anak muda itu bersama-sama mempunyai perasaan yang sama terhadapnya, maka ia benar-benar akan terjebak kedalam persoalan yang sangat sulit untuk dipecahkan.

Riris dengan cemas membayangkan, seandainya, ya, seandainya kedua-duanya menaruh hati kepadanya, apakah ia akan dapat memilih satu diantaranya? Tetapi sudah tentu tidak mungkin kedua-duanya. Jika ia memilih seorang diantaranya dan yang lain menjadi kecewa, maka yang kecewa itu akan dapat berbuat sesuatu diluar kendali nalarnya.

Hati Riris tentu akan hancur jika ia melihat Kasadha dan Barata itu pada suatu saat akan berselisih karena dirinya. Namun bayangan itu agaknya tidak mustahil akan terjadi.

Sementara itu Kasadha dan Jangkung sudah beberapa lama berada si pasar. Mereka sempat melihat pande besi yang bekerja keras didepan perapian yang panas untuk membuat alat-alat dari besi dan baja. Cangkul, parang, kejen bajak, pisau dan bahkan kapak pembelah kayu.

Kasadha memang tertarik melihat pande besi yang sedang bekerja mengayunkan alat pemukul dari besi yang berat untuk menempa besi yang tengah membara membentuk alat-alat yang dikehendaki.

Untuk beberapa lama mereka menunggui pande besi di satu dua bengkel kerja dipinggir pasar itu. Suara besi beradu saat mereka menempa terdengar seperti irama yang menghentak-hentak dari sebuah kerja yang keras.

Beberapa orang pande besi itu sudah mengenal dengan baik Jangkung yang sering datang untuk membeli alat-alat bagi orang-orang yang bekerja disawahnya, sehingga Jangkung dapat berbicara bahkan berkelakar dengan mereka sambil melihat-lihat para pande besi itu bekerja.

Beberapa saat kemudian, maka Jangkung dan Kasadha telah melangkah keluar dari pasar. Tetapi mereka masih melihat-lihat pasar hewan disebelahnya. Berbagai macam binatang peliharaan diperjualbelikan. Kambing, kerbau, lembu dan bahkan ada juga beberapa ekor kuda. Tetapi bukan kuda tunggangan sebagaimana diperdagangkan oleh Jangkung. Kuda yang ada di pasar itu adalah kuda beban.

“Kau tentu tidak tertarik kepada kuda-kuda itu Jangkung?“ bertanya Kasadha.

Jangkung tertawa. Katanya, “Tetapi kuda-kuda seperti itu banyak dibutuhkan oleh para pedagang untuk membawa barang-barang dagangannya. Kecuali pedati, kuda beban merupakan alat angkutan yang cukup baik, yang dapat lewat melalui jalan-jalan sempit.”

Kasadhapun mengangguk-angguk. Sebuah pedati yang dapat membawa beban yang cukup banyak, namun tidak dapat melalui jalan-jalan sempit sebagaimana dapat dilalui oleh kuda beban.

Beberapa saat kemudian, maka keduanyapun merasa sudah cukup lama melihat-lihat pasar, karena keduanya ternyata tidak membeli apapun juga. Bagi Kasadha agaknya lebih senang membeli apapun juga di Pasar Pajang yang memang lebih besar dari pasar yang dilihatnya itu, meskipun pasar itu cukup ramai.

“Nah,“ berkata Jangkung, “kita nanti akan melihat-lihat padang perdu di tepi hutan. Kau harus pulang besok pagi sebagaimana dikatakan ayah.”

Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Bukan karena aku tidak betah tinggal dirumahmu, tetapi apakah para pemimpin kelompok di pasukanku tidak menunggu-nunggu. Aku mengatakan kepada mereka, bahwa aku akan kembali hari ini.”

“Tentu tidak. Bukankah pasukanmu tidak akan berangkat kemedan perang? Seandainya sore nanti pasukanmu harus berperang dan kau tidak kembali hari ini, maka kau akan dapat dipersalahkan,“ berkata Jangkung, “tetapi hal itu tidak akan terjadi.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia memang lebih senang tinggal satu hari lagi dirumah Ki Rangga Dipayuda. Tetapi ia juga merasa terganggu oleh peristiwa yang menyangkut anak muda yang bernama Sumbaga itu.

Jangkung seakan-akan dapat membaca perasaan Kasadha. Karena itu maka iapun bertanya meskipun agak ragu, “Apakah kau kecewa karena sikap Sumbaga?”

“Tidak,“ jawab Kasadha dengan serta merta meskipun sebenarnya memang demikian, “bukankah sudah aku katakan sejak belum terjadi persoalan dengan Sumbaga itu, bahwa aku hanya akan bermalam satu malam saja? Aku tidak dapat mengabaikan kegelisahan para pemimpin kelompok itu.”

“Mereka tidak akan gelisah. Kau adalah seorang yang pilih tanding. Para pemimpin kelompokmu tahu bahwa kau dapat melindungi dirimu sendiri,“ berkata Jangkung.

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku belum dapat mengambil keputusan. Tetapi baiklah kita pergi ke padang perdu.”

“Kita pulang dahulu mengambil kuda,“ berkata Jangkung.

Keduanyapun kemudian telah meninggalkan pasar yang ramai itu. Namun mereka tidak melihat sepasang mata yang memandangi mereka dari sela-sela banyak orang.

Ternyata Sumbaga masih berada dipasar. Ia memang kebingungan kemana ia harus pergi. Ia tidak dapat begitu saja pulang, karena keluarganya tentu akan segera menghubungi Ki Rangga Dipayuda lagi.

Namun dalam pada itu, diluar sadarnya, sepasang mata Sumbaga itu masih juga nampak basah. Sekali-sekali ia mengusap matanya dengan lengan bajunya. Begitu kecewa ia menghadapi kenyataan itu, maka hatinya yang sebenarnya memang lemah, terasa bagaikan terkoyak-koyak.

Tetapi Sumbaga memang sudah bertekad untuk meninggalkan rumah Ki Rangga Dipayuda yang baginya tidak lebih dari neraka yang selalu menyiksanya.

Sumbaga tahu bahwa Ki Rangga dan Nyi Rangga Dipayuda, bahkan Jangkung dan Riris bersikap baik kepadanya. Bahkan ia sudah diakunya sebagai keluarga sendiri. Namun kenyataan yang dihadapinya ternyata terlalu pahit.

***

Jilid 44

KARENA itu, maka dengan membawa sebuah bungkusan kecil Sumbaga kemudian meninggalkan pasar itu setelah membeli beberapa potong makanan untuk bekal di perjalanan meskipun ia belum tahu kemana ia harus pergi.

Sementara itu Kasadha dan Jangkung telah mempersiapkan kuda mereka. Kepada ayah dan ibunya Jangkung minta diri untuk melihat-lihat padang perdu dan hutan yang menjelujur sampai kelereng pegunungan.

“Apa yang akan kalian lihat di padang perdu itu?“ bertanya Ki Rangga Dipayuda.

Jangkung mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Yang akan kami lihat adalah padang perdu itu sendiri. Padang yang mengantarai hutan dan sawah yang digarap oleh para petani. Kami juga ingin melihat-lihat hutan yang memanjang itu.”

“Tetapi berhati-hatilah,“ pesan Ki Rangga Dipayuda.

Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah meninggalkan halaman rumah Ki Rangga Dipayuda. Berkuda keduanya menyusuri jalan padukuhan. Beberapa orang kawan Jangkung sempat bertanya, “kemana kedua orang itu akan pergi.”

“Sekedar melihat-lihat,“ jawab Jangkung.

Sekali-sekali kawan-kawannya sempat mengagumi kuda Jangkung. Tetapi seorang kawannya yang bertubuh agak pendek berkata, “Bukankah kuda merupakan sumber penghasilannya.”

Kawannya tertawa. Katanya, “Kenapa ia tidak mau menjadi prajurit seperti ayahnya?”

“Mungkin belum saja. Jangkung juga rajin melatih diri. Jika pada suatu ketika ia memiliki ilmu yang tinggi, maka ia akan dapat langsung menjadi seorang pemimpin di lingkungan keprajuritan,“ jawab kawannya yang bertubuh pendek.

Namun kawannya yang lain berkata, “Sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan dunia keprajuritan. Jangkung lebih senang mengikuti kemauannya sendiri. Apakah ia akan dapat mematuhi segala peraturan dilingkungan keprajuritan?”

Kawannya yang bertubuh pendek itu tertawa. Katanya, “Hari ini ia bangun pagi-pagi. Tetapi pada hari yang lain, mungkin ia baru bangun saat matahari sudah sepenggalah.”

Yang lainpun tertawa. Tetapi Jangkung diantara kawan-kawannya termasuk seorang anak muda yang disenangi. Apalagi jika kebetulan ada uang didalam kantung ikat-pinggangnya, Jangkung sering membelikan makanan dan minuman bagi kawan-kawannya. Jika kebetulan ia mendapat giliran ronda, maka ia sering membawa sebakul kecil kacang rebus atau pisang rebus.

Sementara itu Jangkung dan Kasadha telah melarikan kuda mereka setelah mereka berada diluar padukuhan. Meskipun tidak terlalu kencang, namun debupun telah dilontarkan dibelakang kaki-kaki kuda mereka.

“Hutan itu tidak terlalu jauh,“ berkata Jangkung ketika mereka berada di bulak, “Tidak lebih dari tiga buah bulak panjang dan sebuah bulak yang agak pendek yang langsung berhubungan dengan padang perdu itu.”

Kasadha mengangguk-angguk. Namun terasa udara memang segar menyentuh kulit wajahnya. Selembar awan putih mengambang diatas pebukitan diujung langit.

Ketika Kasadha menengadahkan wajahnya, dilihatnya sekelompok burung bangau terbang ke Selatan mengarungi birunya langit.

Demikianlah kuda-kuda itu berderap melintasi bulak panjang, menyusup kesebuah padukuhan. Ternyata Jangkung mempunyai banyak kawan dipadukuhan itu, sebagaimana dipadukuhannya sendiri.

Ketika mereka kemudian muncul lagi di bulak panjang, maka kuda-kuda merekapun berlari lebih cepat. Matahari sudah semakin tinggi, sehingga sinarnya mulai menggatalkan kulit.

Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak ketika mereka melihat seseorang yang berjalan agak jauh didepan kearah yang sama dengan perjalanan mereka. Tetapi meskipun mereka hanya melihat punggungnya, tetapi mereka, terutama Jangkung segera mengenalinya. Orang itu adalah Sumbaga.

Karena itu, maka hampir diluar sadarnya, maka keduanya telah mempercepat perjalanan mereka.

Sebenarnyalah orang itu adalah Sumbaga yang berjalan sambil menunduk. Karena ia sudah merasa berjalan dipinggir jalan, apalagi pikirannya yang sedang kalut, maka ia sama sekali tidak menghiraukannya ketika ia mendengar derap kaki kuda. Ia tidak mengira sama sekali bahwa keduanya adalah Jangkung dan Kasadha, karena Sumbaga baru saja melihat mereka berada di pasar.

Sumbaga terkejut ketika kedua orang penunggang kuda yang melampauinya itu tiba-tiba saja berhenti. Dua orang anak muda meloncat turun dari punggung kudanya.

Ketika Sumbaga menyadari bahwa penunggangnya adalah Jangkung dan Kasadha, maka Sumbagapun menghentikan langkahnya. Namun ketika ia bersiap untuk meloncati parit dan berlari lewat pematang. Jangkung dengan cepat memotong langkahnya, sehingga Sumbaga itu terhenyak surut selangkah.

“Kenapa kalian menyusul aku?“ bertanya Sumbaga dengan wajah tegang.

Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk memberikan kesan yang lain di wajahnya. Karena itu, maka iapun justru tersenyum. Katanya, “Aku tidak sengaja menyusulmu, kakang.”

“Jadi apa?“ bertanya Sumbaga.

“Kami berniat pergi ke ujung hutan itu untuk melihat-lihat,“ jawab Jangkung.

“Melihat apa? Ada apa di ujung hutan?“ bertanya Sumbaga.

“Kami memang ingin melihat hutan yang memanjang sampai kelereng pebukitan itu,“ jawab Jangkung.

“Bohong. Kalian tentu menyusul aku. Kalian tentu ingin menantang aku,“ berkata Sumbaga kemudian.

“Kau jangan berprasangka buruk seperti itu,“ berkata Jangkung dengan kening berkerut.

“Baiklah. Jika kalian memang ingin menantang aku, lakukanlah. Aku tidak akan lari apapun yang terjadi atas diriku. Mungkin Kasadha merasa dendam bahwa ia tidak dapat membunuh aku. Atau kau Jangkung, kau selama ini merasa tersisih sejak aku berada di rumahmu,“ berkata Sumbaga lantang. Bahkan katanya kemudian, “Majulah kalian berdua. Kalian sangka aku akan lari? Sama sekali tidak.”

“Sumbaga,“ berkata Jangkung menyabarkan diri, “aku benar-benar tidak ingin berbuat sesuatu atasmu. Kami tidak sengaja menyusulmu.”

“Kau dapat berbicara apapun menurut seleramu. Tetapi jika kalian sudah siap, kita akan mulai. Aku akan melawan kalian berdua bersama-sama,“ berkata Sumbaga.

Jangkung tidak menghiraukan lagi kata-kata Sumbaga. Tetapi ia berkata, “Adalah kebetulan bahwa kami berdua telah menyusulmu.”

“Nah, bersiaplah,“ berkata Sumbaga.

“Kakang,“ berkata Jangkung yang masih saja tidak menghiraukan sikap Sumbaga, “ayah, ibu dan Riris merasa kehilangan sepeninggalmu.”

“Kau mulai menghina aku,“ geram Sumbaga.

“Tidak,“ jawab Jangkung, “apakah selama ini kau tidak merasakan sikap ayah dan ibu terhadapmu sebagaimana sikap mereka kepada anak sendiri? Apakah kau tidak merasakan sikap Riris kepadamu tidak ubahnya sebagaimana sikapnya terhadap aku?”

Wajah Sumbaga menegang. Sementara itu Sumbaga berkata selanjutnya, “Kakang, menurut pengakuan ayah dan ibu sendiri, kau sudah dianggapnya sebagai anak kandungnya. Kenapa kau tiba-tiba meninggalkannya? Apakah salah ayah dan ibu kepadamu. Apa pula salah Riris yang menganggapmu sebagai kakak kandungnya pula?”

Sumbaga tidak menjawab. Tetapi wajahnya menunduk dalam-dalam.

“Nah kakang, sekarang aku minta kakang kembali. Jika kami sekeluarga melakukan kesalahan terhadap kakang dan kakang tidak dapat memaafkannya lagi, sebaiknya kakang berkata berterus-terangan kepada ayah dan ibu, sehingga kepergian kakang tidak menimbulkan persoalan didalam keluarga kami,“ berkata Jangkung selanjutnya.

Sumbaga tidak segera menjawab. Namun kepalanya masih saja tertunduk. Sementara Jangkung berkata selanjutnya, “Jika seandainya kau benar-benar akan pergi, dan tidak dapat dibatalkan lagi, sebaiknya kau minta diri dengan baik kepada ayah dan ibu. Kau harus menyadari, bahwa kau, sudah tentu dengan seluruh keluargamu, masih kadang sendiri. Jika kau pergi begitu saja, maka bukan hanya kau sajalah yang akan terpisah dari kami. Tetapi juga seluruh keluargamu akan tidak lagi mau mengenal kami. Apalagi jika kau bagaikan hilang begitu saja.”

Sumbaga yang masih menunduk itu tiba-tiba saja terduduk dipinggir jalan. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Ternyata dari sela-sela jarinya telah mengalir air matanya, sementara Sumbaga mencoba bertahan, tetapi justru isaknya telah mengguncang tubuhnya.

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa Sumbaga adalah seorang anak muda yang hatinya lemah. Meskipun ia berusaha untuk menjadi seorang laki-laki, tetapi sulit baginya untuk menyembunyikan sifat-sifatnya yang sebenarnya.

Jangkungpun kemudian duduk disebelahnya. Katanya, “Kau jangan menangis lagi seperti itu. Orang akan mengira kau seorang perempuan. Atau setidak-tidaknya seorang laki-laki tetapi hatinya rapuh. Seharusnya kau mengangkat wajahmu dan menghadapi kenyataan dengan hati yang tegar.”

Sumbaga mencoba menahan tangisnya. Tetapi ia tetap tidak dapat menyembunyikan isaknya.

“Baiklah. Marilah kita kembali. Kau akan naik kuda bersamaku,“ berkata Jangkung.

Sumbaga mengusap matanya. Sekilas dipandanginya Kasadha.

Kasadha masih saja berdiri tegak sambil memegangi kendali kudanya. Ia memang merasa kasihan melihat keadaan Sumbaga. Tetapi ia tentu tidak dapat menolongnya.

“Marilah,“ ajak Jangkung, “ayah, ibu dan seluruh keluarga kami akan menjadi senang sekali jika kau pulang. Segalanya akan dapat kita bicarakan. Bukankah kita keluarga yang saling terbuka. Katakan apa yang tersimpan dalam hatimu, biarlah ayah dan ibu menanggapinya. Mereka sudah tahu sebagian kecil dari persoalan yang mungkin menggetarkan hatimu. Tetapi yang terbaik adalah apabila kita berbicara dengan terbuka. Kasadhapun bukan orang lain bagi ayah. Ia adalah bawahannya yang akan selalu tunduk pada perintahnya.”

Sumbaga seakan-akan justru kehilangan penalarannya. Ia tidak tahu, yang manakah yang terbaik untuk dilakukannya.

Namun ketika Jangkung mendesaknya sekali lagi, Sumbaga tidak menolaknya. Seperti kanak-kanak yang sedang merajuk, Jangkung membimbingnya sambil berkata, “Marilah. Aku akan naik kepunggung kudaku. Nanti kau duduk dibelakangku. Kudaku adalah kuda yang sangat baik. Besar dan kuat.”

Kepada Kasadha, Jangkung berkata, “Nanti sore saja kita pergi ke hutan. Kau tidak mempunyai pilihan lain, bahwa kau harus bermalam lagi, karena besok kau harus mengawal ayah kembali ke Pajang.”

Kasadha memang tidak dapat menolak lagi. Ia tahu bahwa persoalan tentang Sumbaga tidak dapat dibiarkannya begitu saja. Anak muda itu harus mendapat penjelasan apa yang sebaiknya dilakukan. Bagaimana ia harus bersikap terhadap keluarga Ki Rangga Dipayuda. Termasuk anak perempuannya yang bernama Riris.

Demikianlah mereka bertiga kemudian telah menempuh jalan kembali. Kasadha berkuda sendiri dibelakang Jangkung yang membawa Sumbaga di punggung kudanya pula.

Namun Jangkung ternyata telah memilih lewat jalan-jalan kecil diantara bentangan sawah yang luas. Ia menghindari padukuhan-padukuhan yang tadi dilewatinya. Bahwa Sumbaga duduk bersamanya diatas punggung seekor kuda akan dapat menarik perhatian kawan-kawannya yang melihatnya.

Bahkan ketika mereka mendekati padukuhan tempat tinggal Ki Rangga, Sumbaga sendiri minta untuk turun dan berjalan kaki saja.

“Anak-anak akan mentertawakan kita,“ berkata Sumbaga.

Jangkung tidak menolak. Iapun kemudian berjalan pula sambil menuntun kudanya. Demikian pula Kasadha.

Sekali lagi mereka melewati jalan didepan pasar. Namun mereka tidak singgah lagi dipasar yang masih cukup ramai itu. Bahkan mereka sama sekali tidak lagi memperhatikan kesibukan orang yang sedang berjual-beli.

Ki Rangga Dipayuda yang sedang duduk di pendapa terkejut melihat Jangkung dan Kasadha kembali justru bersama-sama dengan Sumbaga. Karena itu, maka Ki Rangga Dipayudapun telah bangkit dan menyongsong mereka.

Sikap Ki Rangga itu justru mengejutkan Sumbaga. Tiba-tiba saja ia berhenti dan bahkan akan berlari keluar regol halaman.

Namun dengan cepat Kasadha sempat menangkap lengannya, sehingga Sumbaga tidak lepas keluar dari regol halaman itu.

“Kenapa?“ bertanya Jangkung sambil mendekatinya, “bukankah kau setuju untuk berbicara dengan ayah, ibu Riris dan aku. Bahkan dengan Kasadha, anak buah ayah?”

Sumbaga termangu-mangu sejenak. Namun matanya sudah mulai menjadi merah. Tetapi dengan cepat Jangkung berdesis perlahan ditelinganya, “Bukankah kau seorang laki-laki.”

Sumbaga mengangguk kecil. Sementara Jangkung berkata pula, “Hadapi kenyataan ini dengan ketegaran hati seorang laki-laki. Hatimu tidak rapuh seperti anak-anak yang cengeng.”

Sumbaga mengangguk-angguk lagi.

“Marilah,“ berkata Ki Rangga Dipayuda yang sudah menjadi semakin dekat, “aku memang berharap, bahwa kau akan datang kembali menemui aku Sumbaga.”

Sumbaga menundukkan kepalanya. Ki Rangga sendirilah yang kemudian menggandengnya naik kependapa.

Demikian mereka duduk diatas tikar pandan putih bergaris-garis biru yang terbentang di pendapa, Ki Rangga Dipayuda bertanya, “Kenapa kau meninggalkan kami begitu saja tanpa memberi tahukan lebih dahulu?”

Sumbaga tidak menjawab. Tetapi kepalanya sajalah yang menunduk dalam-dalam.

Namun Jangkunglah yang kemudian berkata, “Aku menjumpainya di bulak menuju ke hutan. Aku minta kakang Sumbaga untuk pulang dan berbicara dengan terbuka. Mungkin ibu dan Riris dapat ikut berbicara sehingga persoalannya akan menjadi tuntas.”

“Tidak. Tidak,“ tiba-tiba saja Sumbaga berdesis. Tetapi suaranya terdesak oleh isaknya.

“Kau tidak akan menangis kakang,“ Jangkung memang harus menyabarkan dirinya. Ia memang menjadi jengkel atas sikap Sumbaga yang dinilainya cengeng itu. Tetapi ia tidak dapat membuat hati anak muda itu semakin sakit.

Sumbaga memang bertahan untuk tidak benar-benar menangis seperti perempuan. Meskipun air matanya mulai menitik.

Tetapi Ki Rangga Dipayuda justru berkata, “Jika kau memang ingin menangis Sumbaga, menangislah. Aku tahu, bahwa ada sesuatu yang menghentak-hentak didadamu, namun terasa sulit sekali untuk mengungkapkannya. Itulah agaknya, maka kau memilih pergi dari rumah ini. Tetapi jika dengan menangis hatimu menjadi lapang, menangislah. Aku yakin, bahwa kau tidak akan menangis seandainya kau diikat pada sebuah tiang dan dilecut dengan cambuk. Tetapi wadagmu. Tubuhmu. Kau tentu akan bertahan dan bahkan mungkin kau masih sempat tersenyum atau mengumpat. Tetapi nampaknya kau merasa bahwa hatimulah yang dicambuk sehingga luka parah. Karena itu, maka kau menangis.”

Jantung Sumbaga bagaikan meledak mendengar kata-kata Ki Rangga Dipayuda. Tetapi ia justru mampu menahan tangisnya, sehingga air matanya tidak lagi meleleh dipipinya.

“Aku sudah tahu apa yang terjadi atasmu,“ berkata Ki Rangga Dipayuda, “karena itu, maka aku dan bibimu ingin berbicara denganmu. Kami sangat menyesal ketika kami mengetahui bahwa kau telah meninggalkan rumah ini tanpa memberitahukan kepada siapapun juga. Karena itu, kami merasa sangat bergembira ketika kau telah kembali apapun sebabnya.”

Sumbaga tidak menyahut sama sekali. Bahkan kepalanya menjadi semakin dalam menunduk.

“Duduklah,“ berkata Ki Rangga Dipayuda, “biar bibimu ikut duduk disini.”

Sumbaga masih menunduk saja. Sementara Ki Rangga berkata kepada Jangkung, “panggil ibumu.”

Jangkungpun bergeser dan kemudian bangkit untuk memanggil ibunya dibelakang.

Nyi Ranggapun merasa gembira ketika ia mendengar Sumbaga pulang. Demikian pula Riris meskipun tidak nampak tersirat diwajahnya. Setidak-tidaknya Riris akan mendapat kesempatan untuk menjelaskan perasaannya kepada Sumbaga.

Ketika Nyi Rangga telah berada di pendapa pula, maka Ki Ranggapun berkata, “Jangkung dan Kasadha. Aku minta kalian tinggalkan kami. Tanpa kalian, Sumbaga akan dapat berbicara lebih leluasa.”

Jangkung mengerutkan dahinya. Sumbaga telah bersedia untuk berbicara dengan terbuka, sehingga sebenarnya ia tidak perlu meninggalkan pendapa.

Tetapi Kasadha telah beringsut dan menggamitnya, sehingga Jangkungpun kemudian telah bangkit pula dan meninggalkan kedua orang tuanya yang duduk dihadap oleh Sumbaga.

“ngGer Sumbaga,“ berkata Nyi Rangga kemudian, “kenapa kau tiba-tiba saja telah meninggalkan kami. Apapun yang bergejolak didalam hatimu, bukankah sebaiknya kau bicarakan dengan kami. Aku dan paman mu, yang menganggap kau sebagai anak sendiri.”

Terasa wajah Sumbaga menjadi panas. Dengan suara sendat ia menjawab, “Aku tidak pantas tinggal dirumah paman dan bibi. Aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar.”

“Tidak Sumbaga,“ berkata Ki Rangga, “kau tidak bersalah. Tentu bukan maksudmu, bahwa perasaanmu telah berkembang sebagaimana yang kau alami. Bahkan kaupun tentu merasa tersiksa pula karenanya. Aku kira kau akan merasa lebih senang jika perasaanmu tidak tumbuh sebagaimana yang kau alami sekarang.”

Sumbaga menundukkan kepalanya semakin dalam. Sementara Nyi Ranggapun berkata, “Sumbaga. Sebaiknya kau mau berpikir dengan tenang. Kau harus mempergunakan nalarmu. Bukan sekedar perasaanmu. Kau tahu, bahwa adikmu, Riris, menganggapmu sebagai kakak kandungnya. Karena itu, maka sudah tentu bahwa ia menyayangimu. Tetapi sikapnya tidak akan lebih dari sikap seorang adik kepada kakaknya.”

Sumbaga mengangguk-angguk. Tetapi dadanya telah menjadi sesak kembali. Isaknya mulai menghentak-hentak didadanya, sehingga rasa-rasanya dadanya telah tersumbat.

“Menangislah Sumbaga,“ berkata Ki Rangga, “aku tidak berkeberatan.”

“Aku mohon maaf Bibi. Aku mohon maaf,“ tangis Sumbaga.

“Seperti kata pamanmu, kau tidak bersalah,“ berkata Nyi Rangga.

“Tetapi aku sudah berlaku kasar terhadap tamu-tamu paman disini. Aku benar-benar seperti orang yang kehilangan nalar, sehingga aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan,“ berkata Sumbaga disela-sela isaknya.

“Sudahlah,“ berkata Nyi Rangga yang matanya ikut menjadi kemerah-merahan, “kita akan dapat melupakannya. Aku harap bahwa kau tidak lagi berlaku kasar terhadap tamu-tamu paman. Kesadaranmu yang mengatakan hal itu adalah pertanda bahwa nalarmu telah terbuka.”

“Bibi, aku takut, bahwa pada suatu saat aku tidak dapat mengendalikan diri lagi terhadap tamu-tamu paman dan apalagi tamu-tamu Riris. Aku benar-benar menjadi seperti orang gila. Dan dalam saat-saat seperti ini aku sempat menyadarinya. Tetapi aku tidak tahu apakah kesadaran itu akan tetap dapat aku pertahankan setiap kejap mataku,“ berkata Sumbaga yang masih saja disertai isaknya yang tertahan-tahan.

“Kenapa tidak?“ desis Ki Rangga, “seseorang yang mengerti bahwa ia telah bertindak salah, maka ia tidak akan mengulanginya. Apalagi kekasaranmu terhadap tamu-tamuku itu sudah kami ketahui pula sebabnya dan hal itu kau sadari pula.”

“Tetapi aku takut paman. Aku selalu takut melihat bayanganku sendiri. Bayangan yang hitam yang kadang-kadang membesar seakan-akan siap mencengkamku dalam kekelamannya,“ jawab Sumbaga. Lalu katanya, “Karena itu, maka aku lebih baik mohon diri saja paman. Aku akan pergi.”

“Sumbaga,“ berkata Nyi Rangga, “ketika kami berniat mengajakmu kemari, sudah tentu kami sama sekali tidak membayangkan, bahwa kau akan demikian cepatnya meninggalkan kami. Karena itu, aku minta kau mempertimbangkannya lagi.”

Sumbaga terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sementara itu Ki Rangga berkata, “Sumbaga. Aku minta kau tetap berada dirumah ini. Besok aku harus kembali ke Pajang. Sementara itu Jangkung akan sibuk dengan pekerjaannya yang tidak mengenal waktu. Kadang-kadang ia memangi tidak pergi sama sekali. Bahkan sampai dua tiga hari. Tetapi kemudian selama sepekan hampir tidak berada dirumah kecuali malam hari. Karena itu maka kehadiranmu disini penting sekali. Kecuali ikut menjaga adikmu Riris, juga mengatur orang-orang yang bekerja disawah. Pekerjaan jangan sampai terbengkelai. Namun imbalan bagi mereka juga jangan sampai sendat. Termasuk makan dan minum mereka siang hari selama mereka bekerja disawah.”

“Tetapi … ,“ desis Sumbaga.

“Sudahlah,“ potong Ki Rangga, “kita lupakan apa yang pernah terjadi. Kita mulai dari lembaran baru. Meskipun demikian kita wajib mengingat bahwa kita tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah kita lakukan.”

Sumbaga tidak menjawab. Sementara itu Nyi Rangga berkata, “Ingat. Kau bagi kami tidak berbeda sama sekali dengan Jangkung dan Riris.”

Sumbaga menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya iapun mengangguk kecil sambil berkata, “Jika paman dan bibi mengampuni aku, maka aku akan bersedia kembali kerumah ini.”

“Bukankah sudah aku katakan, kita lupakan semuanya. Kita lupakan namun harus selalu kita ingat, untuk tidak terulang kembali,“ berkata Ki Rangga.

Sumbaga mengerutkan dahinya. Sementara Nyi Rangga berkata, “Kenapa harus mempergunakan kalimat yang berbelit? Nampaknya Sumbaga justru menjadi bingung.”

Ki Rangga tersenyum. Katanya, “Maksudku, kita tidak akan mempersoalkannya lagi. Kita melupakannya. Atau dengan kata lain, kita memaafkan kesalahan yang pernah terjadi. Tetapi kita berharap bahwa kesalahan itu tidak akan pernah dilakukan lagi.”

“Ya, ya,“ desis Nyi Rangga, “begitulah maksud pamanmu Sumbaga.”

Sumbaga mengangguk kecil sambil menyahut, “Aku mengerti bibi.”

“Nah, jika demikian kembalilah ke bilikmu. Aku justru berharap bahwa kau akan menjadi kawan yang baik dari Ki Lurah Kasadha. Juga menjadi kawan yang baik jika Barata datang kemari,“ berkata Ki Rangga Dipayuda.

Wajah Sumbaga menjadi merah. Namun iapun kemudian telah mengangguk.

“Baiklah,“ berkata Nyi Rangga, “kembalilah ke bilikmu.”

Sumbagapun kemudian beringsut dan bangkit meninggalkan tempat itu. Dengan ragu-ragu ia melangkah menuju ke biliknya, dibagian belakang gandok sebelah kanan.

,

Jangkung dan Kasadha melihat Sumbaga turun dari pendapa. Tetapi Jangkung menarik nafas panjang ketika ia melihat Sumbaga memasuki seketheng menuju ke biliknya.

“Ayah dan ibu tentu telah meyakinkannya, bahwa sebaiknya ia tinggal dirumah ini,“ berkata Jangkung.

Namun hampir diluar sadarnya Kasadhapun bertanya, “Bagaimana dengan Riris. Apakah anak muda itu tidak berbahaya bagi adikmu?“

Sebenarnyalah pertanyaan yang sama telah dilontarkan pula oleh Nyi Rangga, meskipun dengan gaya yang berbeda. Dengan nada rendah Nyi Rangga bertanya kepada Ki Rangga, “Apakah Sumbaga tidak akan berbuat apa-apa terhadap Riris?”

“Tidak,“ jawab Ki Rangga, “anak muda seperti Sumbaga itu, tidak akan berani melanggar janjinya sendiri. Hatinya terlalu lembut. Atau katakanlah dengan istilah lain, hatinya terlalu lemah. Tetapi bukan mustahil bahwa anak-anak yang berhati lemah pada suatu saat menjadi gila dan kehilangan akal. Karena itu, maka kita harus berhati-hati menghadapinya. Kita harus terbuka dihadapan Riris, agar iapun berhati-hati.”

Sementara itu, Jangkungpun menjawab pertanyaan Kasadha dengan jawaban yang serupa, “Aku yakin, bahwa Sumbaga yang hatinya sebenarnya rapuh itu tidak akan berani berbuat apa-apa lagi. Apalagi jika ayah dan ibu mengancamnya.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia menjawab, “Mudah-mudahan penglihatanku benar.”

“Aku yakin,“ jawab Jangkung.

Sedangkan dipendapa Nyi Rangga masih duduk termangu-mangu. Sekali-sekali nampak kepalanya terangguk-angguk. Namun nampaknya tidak begitu sejalan dengan perasaannya. Beberapa kali nampak dahinya berkerut. Namun kemudian ternyata angan-angannya terjulur kearah yang sama dengan angan-angan Riris sendiri.

Hampir diluar sadarnya Nyi Rangga berdesis, “Kali ini Sumbaga menjadi kecewa. Namun nampaknya anak itu masih dapat mencapai keseimbangan jiwanya setelah terhempas pada kebingungan yang hampir tidak teratasi. Namun bagaimana jika pada suatu saat terjadi sesuatu yang lebih menggelisahkan lagi.”

“Apakah yang kau maksud?“ bertanya Ki Rangga.

Nyi Rangga termangu-mangu sejenak. Hampir diluar sadarnya ia berpaling kepintu. Baru kemudian ia berkata, “Aku senang sekali mendapat kunjungan angger Kasadha dan angger Barata. Tetapi apakah Ki Lurah tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka dengan Riris pada suatu waktu akan bergeser?”

“Maksudmu?“ bertanya Ki Rangga mendesak.

“Seharusnya Ki Lurah mulai memikirkannya. Riris tentu akan menjadi gelisah jika kedua anak muda itu menaruh hati kepadanya,“ desis Nyi Rangga.

Ki Rangga mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tertawa pendek. Katanya, “Kita jangan terlalu berbangga dengan anak gadis kita. Belum tentu keduanya atau bahkan salah satu diantaranya memperhatikan gadis kita dengan pandangan seorang anak muda. Mungkin mereka terikat oleh unggah-ungguh karena gadis itu anakku. Anak atasannya. Bagi Barata, akupun masih dihormati sebagai atasannya meskipun sekedar bekas.”

“Kita tidak akan merasa sakit hati jika keduanya sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap anak gadis kita Ki Lurah. Tetapi jika hal itu terjadi, apakah kita dan terutama Riris sudah siap menghadapinya?“ bertanya Nyi Rangga.

“Untuk sementara kita tidak usah menjadi gelisah karena itu,“ berkata Ki Rangga, “apalagi keduanya jarang sekali bertemu dengan Riris. Bahkan mungkin Riris sudah berhubungan dengan anak muda di padukuhan ini atau kawan Jangkung yang lain,“ Ki Rangga berhenti sejenak. Namun katanya kemudian, “Tetapi sebaiknya kita berbicara dengan Jangkung. Agaknya ia banyak mengetahui persoalan yang kita bicarakan ini.”

Nyi Rangga mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Lurah, Nanti, pada satu kesempatan tersendiri kita berbicara dengan Jangkung. Bahkan jika perlu kita berbicara dengan Riris.”

“Ah, jangan tergesa-gesa. Jika selama ini Riris belum memikirkan sama sekali persoalan ini, atau bahkan seperti yang aku katakan, gadis kita itu sudah berhubungan dengan kawan Jangkung atau anak muda yang lain yang belum dapat dikatakan kepada kita, maka hal itu akan dapat menggelisahkannya,“ jawab Ki Rangga.

“Tetapi itu lebih baik daripada tiba-tiba saja ia dihadapkan pada persoalan itu,“ desis Nyi Rangga.

Namun sambil mengangguk-angguk kecil Ki Rangga berkata, “Aku masih memikirkan kemungkinan lain. Seandainya karena itu Riris justru berharap, sementara keduanya sama sekali tidak menaruh perhatian, apakah kita tidak akan turut bersedih.”

Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit, dari mana harus dimulai. Tetapi perasaan seorang ibu ternyata lebih tajam terhadap anak gadisnya dari seorang ayah. Apalagi Riris memang lebih dekat dengan ibunya daripada ayahnya yang bertugas sebagai seorang prajurit.

Namun Nyi Rangga tidak memaksakan kehendaknya. Ia memang ingin memastikan, bahwa anak gadisnya tidak justru terdorong untuk memperhatikan anak-anak muda itu atau seorang diantaranya lebih dahulu.

Namun dalam pada itu, Riris yang mengetahui bahwa Sumbaga telah berada dibiliknya, telah langsung menemuinya. Dengan lembut Riris menjelaskan sikapnya kepada Sumbaga.

“Kau bagiku tidak kurang dari kakang Jangkung. Karena itu aku memang mengasihimu sebagai aku mengasihi kakang Jangkung. Aku mohon, kakang Sumbaga dapat mengerti,“ berkata Riris.

Sumbaga mengangguk-angguk. Ia seakan-akan tidak sedang berhadapan dengan seorang gadis yang pernah dicintainya. Tetapi ia merasa berhadapan dengan seorang perempuan yang pantas memberinya nasehat.

“Aku minta maaf kepadamu kakang. Tetapi ini adalah kenyataanku, sehingga aku tidak dapat merubah sikap dan perasaanku terhadap kakang dengan sikap dan perasaan yang lain. Kau bagiku adalah kakang kandungku,“ berkata Riris kemudian.

Sumbaga yang menunduk itu tiba-tiba telah terisak kembali. Memang agak mengherankan, bahwa justru Sumbagalah yang j terisak-isak didepan seorang gadis. Namun Riris yang semula nampak tegar, akhirnya matanya menjadi basah juga.

“Sudahlah kakang,“ berkata Riris, “tempatkan dirimu disini sebagaimana kakang Jangkung. Kau akan menjadi terbiasa dan kau akan menganggap aku sebagai adikmu sendiri. Aku memang bukan orang lain bagimu kakang.”

Sumbaga mengangguk-angguk. Disela-sela isaknya ia berkata, “Aku minta maaf kepadamu Riris.”

“Bukan kau kakang, akulah yang minta maaf kepadamu. Selanjutnya, kita akan melupakan bahwa pada suatu saat, hubungan kita sebagai kakak beradik agak terganggu,“ berkata Riris sambil mengusap matanya.

Sumbaga mengangguk-angguk kecil, ia berusaha untuk menahan isaknya yang terasa justru mendesak.

Namun Riris tidak terlalu lama menemuinya. Sejenak kemudian gadis itupun berkata, “Sudahlah kakang. Aku akan berbicara dengan ayah dan ibu.”

Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada ayah dan ibunya, Ki Rangga dan Nyi Rangga menjadi berdebar-debar. Dengan nada rendah Ki Rangga berkata, “Ternyata kau sudah benar-benar dewasa Riris. Kami memang ingin berbicara denganmu tentang kakakmu Sumbaga. Tetapi kau sudah langsung menemui dan berbicara dengannya.”

“Aku hanya ingin kakang Sumbaga mengetahui perasaanku yang sebenarnya ayah,“ jawab Riris.

“Baiklah. Agaknya keterbukaan hatimu itu akan memberikan pengertian kepadanya dan mendapat tanggapan yang baik,“ berkata Ki Rangga kemudian.

“Nampaknya memang demikian ayah. Kakang Sumbaga dapat mengerti,“ jawab Riris.

Ketika Riris kemudian pergi ke dapur, maka Ki Rangga dan Nyi Rangga telah memanggil Jangkung yang sudah bersiap-siap untuk pergi ke hutan diujung Kademangan itu bersama Kasadha.

“Kau akan pergi kemana?“ bertanya Ki Rangga ketika Jangkung datang menemuinya.

“Tadi kami belum jadi pergi ke hutan ayah,“ jawab Jangkung.

“Apa yang sebenarnya menarik hatimu untuk membawa Kasadha pergi ke hutan itu?“ bertanya Ki Rangga.

“Tidak ada apa-apa. Tetapi bukankah dengan demikian Kasadha akan tertahan disini. Biarlah besok ia kembali ke Pajang bersama ayah,“ jawab Jangkung.

Ki Rangga tersenyum. Tetapi ia bertanya, “Dimana Kasadha sekarang?”

“Ia menunggu diserambi gandok. Ia tahu bahwa ayah dan ibu agaknya akan berbicara tentang Sumbaga, sehingga ia tidak ikut datang menemui ayah dan ibu,“ jawab Jangkung.

“Baiklah. Jika demikian kita akan berbicara malam nanti saja. Riris sendiri justru sudah menemui Sumbaga dan berbicara dengan berterus-terang tentang sikap dan perasaannya terhadap Sumbaga. Nampaknya Sumbaga dapat mengerti betapapun pahitnya kenyataan itu,“ desis ayahnya.

“Jadi Riris sendiri telah berbicara langsung?“ bertanya Jangkung.

“Ya. Aku juga tidak mengira bahwa anak itu dapat melakukannya. Nampaknya usia dewasanya telah banyak mempengaruhi sikap jiwanya,“ desis ibunya.

Jangkung mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata, “Tetapi Riris termasuk seorang gadis pemalu. Aku tidak mengira bahwa ia dapat berbicara langsung dengan Sumbaga. Mungkin justru karena ia merasa bahwa Sumbaga itu saudaranya. Keikhlasannya menganggap Sumbaga itu sebagaimana saudara kandung sendiri telah membuatnya mempunyi keberanian untuk berbicara.”

Ayah dan ibunya mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah Ki Rangga berkata, “Nanti malam kita dapat berbicara lebih luas tentang Riris.”

Jangkungpun kemudian telah minta diri. Kasadha yang masih duduk diserambi mengerutkan dahinya sambil bertanya, “Begitu cepatnya?”

“Tidak banyak yang ayah dan ibu katakan. Nampaknya mereka akan berbicara langsung dengan Riris,“ jawab Jangkung, Kemudian katanya, “Marilah. Kita akan melihat-lihat isi Kademangan ini. Kau harus menghabiskan waktumu disini agar kau tidak berpikir untuk kembali ke Pajang.”

Kasadha tersenyum. Namun ia memang tidak akan kembali ke Pajang hari itu.

Untuk beberapa lama keduanya berkuda melintasi jalan-jalan bulak. Jangkung telah membawa Kasadha melalui jalan lain, agar kawan-kawannya yang tadi melihatnya lewat tidak merasa heran bahwa ia telah lewat lagi bersama orang itu juga.

Sebelum senja turun, keduanya telah berada di rumah kembali. Setelah mandi dan membenahi diri, maka keduanya duduk diserambi sambil meneguk minuman hangat. Ketika Riris menghidangkan minuman dan makanan, Jangkung tidak lagi mengganggunya. Apalagi sikap Riris-pun rasa-rasanya sudah berubah, ia bukan lagi seorang gadis kecil yang manja. Tetapi juga sikapnya.

Untuk beberapa lama Jangkung masih saja berada diserambi gandok. Ketika lampu dinyalakan, maka keduanya telah dipanggil untuk masuk keruang dalam. Ki Rangga Dipayuda, Nyi Rangga dan Riris sudah duduk lebih dahulu diruang itu. Ternyata diruang dalam juga telah tersedia minuman panas dan makanan.

Beberapa saat mereka bercakap-cakap. Sementara Jangkung bertanya, “Apakah ayah tidak memanggil kakang Sumbaga?”

“Aku sudah minta agar ia masuk. Tetapi mungkin masih ada gejolak didalam hatinya, sehingga anak itu tidak mau datang,“ jawab Ki Rangga.

“Apakah sekali lagi aku memanggilnya?“ bertanya Jangkung.

Ki Rangga Dipayuda menggeleng. Katanya, “Tidak usah. Biarlah ia mendapatkan ketenangan dahulu.”

Jangkung mengangguk kecil.

Beberapa saat kemudian, maka Riris telah pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam mereka. Namun Riris tidak lupa menyediakan makan malam bagi Sumbaga sebagaimana selalu dilakukan sebelumnya.

Baru setelah makan malam dan berbincang-bincang sejenak, maka Kasadha telah dipersilahkan untuk beristirahat dibiliknya, sementara Ki Rangga dan Nyi Rangga masih akan berbicara di ruang dalam. Adapun Riris berada di dapur untuk mencuci mangkuk dan alat-alat dapur yang masih kotor dibantu oleh seorang perempuan yang sudah separo baya yang memang bekerja di rumah itu. Namun Riris bukanlah seorang gadis yang malas, yang menyerahkan segala pekerjaan kepada ibu dan pembantu-pembantunya. Tetapi Riris juga melakukannya sebagaimana ibunya.

Diruang dalam Ki Rangga dan Nyi Rangga mulai mempertanyakan tanggapan Jangkung tentang adik perempuannya. Apakah Jangkung melihat atau merasakan hubungan yang lain antara Riris dengan Kasadha dan Barata.

Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menjawab, “Sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Nampaknya sikap mereka wajar-wajar saja. Tetapi untuk mengatakan tidak ada apa-apa sama sekali juga tidak tepat.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin memang masih terlalu sulit untuk menjajaginya karena hubungan mereka yang jarang dan belum terlalu lama.”

“Tetapi sikap Riris kepada keduanya nampaknya sama sekali tidak berbeda,“ berkata Jangkung.

“Justru itulah yang membuat kami, orang-orang tua ini, berpikir. Kau lihat sendiri, akibat dari perasaan yang tumbuh dihati Sumbaga. Seseorang yang sedang dicengkam oleh perasaan seperti itu, maka rasa-rasanya matanya menjadi gelap. Dalam ceritera dan dongeng-dongeng kita pernah mendengar bahwa persoalan antara laki-laki dan perempuan dapat membuat hitam menjadi putih, tetapi juga putih menjadi hitam,“ berkata Ki Rangga.

Jangkung mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Ayah dan ibu mencemaskan hubungan antara Kasadha dan Barata yang sampai sekarang terjalin sangat baik itu akan dapat retak karena Riris.”

“Mungkin hanya semacam ketakutan yang tidak berdasar. Mungkin Kasadha dan Barata sama sekali tidak menaruh perhatian kepada Riris,“ sahut Ki Rangga.

Jangkung mengangguk-angguk kecil. Ia dapat mengerti perasaan kedua orang tuanya. Namun katanya kemudian, “Aku akan mencoba untuk mengikuti perkembangan hubungan mereka.”

“Baiklah,“ berkata Ki Rangga, “Mudah-mudahan yang dicemaskan itu tidak terjadi.”

“Aku juga berharap demikian ayah,“ jawab Jangkung.

Namun dalam pada itu Nyi Ranggapun berkata, “Tetapi bagaimana dengan kau sendiri Jangkung? Kau sudah dewasa penuh sekarang. Seharusnya kau mulai berbicara tentang seorang gadis. Ayahmu dan aku semakin lama akan menjadi semakin tua. Sementara itu masih belum ada seorang cucupun yang dapat kami timang.”

“Ah. Ibu selalu berbelok kesana. Apapun yang kita bicarakan, akhirnya ibu tentu bermuara pada pertanyaan seperti itu,“ desis Jangkung.

Namun ayahnya cepat menjawab, “Bukankah itu wajar Jangkung. Tugasku yang diperpanjang ini tentu tidak akan berbilang sebanyak jari sebelah tangan. Jika dua atau tiga tahun lagi aku sudah diperkenankan untuk beristirahat lagi, maka akupun berharap ada seorang cucu yang dapat menemaniku mengisi waktu-waktuku yang luang.”

“Ah, sudahlah. Jika sampai kesana, maka sebaiknya aku menemani Kasadha yang sendiri dibiliknya,“ berkata Jangkung.

“Biarlah ia beristirahat,“ berkata Nyi Rangga.

“Ia tentu tidak dapat segera tidur,“ berkata Jangkung.

“Tetapi dengarlah kata-kata ayahmu dan kata-kataku, Jangkung. Kau sudah cukup dewasa. Kaupun sudah memiliki lapangan tersendiri untuk menunjang hidupmu kelak. Kaupun akan mewarisi sawah dan ladang ayahmu. Apa lagi yang harus ditunggu?“ berkata ibunya.

“Baiklah ibu,“ jawab Jangkung, “mulai besok aku akan memilih seorang diantara kawan-kawan gadisku. Tetapi tentu dengan syarat, aku harus mengulangi lagi, karena aku tidak mau menjadi kehilangan pegangan seperti Sumbaga.”

“Sudah berapa kali aku mendengar jawaban seperti itu, Jangkung,“ berkata ibunya, “Yang belum hanyalah keteranganmu yang terakhir.”

Jangkung menarik nafas dalam-caiam. Katanya kemudian, “Aku akan memikirkannya dengan sungguh-sungguh.”

Jika sudah sampai kejawaban itu, maka ibu dan ayahnya selalu harus diam, karena Jangkung tentu akan segera pergi. Apalagi saat itu ia mempunyai alasan untuk menemani Kasadha, sehingga ayah dan ibunya tidak menahannya lebih lama lagi.

Riris sendiri masih menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Diaturnya mangkuk-mangkuk yang telah dicuci di paga bambu di sudut dapur. Kemudian dibenahinya perapian dan alat-alat dapur yang lain. Menyimpan sisa makan dan lauk pauknya digledeg setelah dipanasi.

Ketika Riris kemudian masuk keruang dalam, yang ditemuinya hanya ayah dan ibunya saja. Ririspun tidak menanyakan kakaknya, karena ia tahu, Jangkung tentu berada digandok bersama Kasadha.

Ketika kemudian Riris duduk bersama ayah dan ibunya, mereka tidak lagi berbicara tentang Kasadha dan Barata. Tetapi mereka masih juga berbicara tentang Sumbaga. Ki Rangga dan Nyi Rangga masih memperingatkan agar Riris tetap berhati-hati meskipun menurut pendapat gadis itu, Sumbaga dapat mengerti penjelasan yang diberikan meskipun kenyataan itu sangat menyakitkan hatinya.

“Baiklah ayah,“ berkata Riris kemudian, “namun mudah-mudahan kakang Sumbaga telah benar-benar berubah. Untunglah bahwa perlakuan kasar kakang Sumbaga tertuju kepada kakang Kasadha dan kakang Barata yang kedua-duanya mampu menahan diri sehingga kakang Sumbaga tidak mengalami kesulitan yang tidak teratasi.”

Ki Rangga dan Nyi Rangga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Ki Rangga berkata, “Kita semua berharap, agar Sumbaga benar-benar berubah.”

Setelah berbincang-bincang lama, maka Ki Ranggapun kemudian berkata, “Sudahlah. Aku akan beristirahat. Besok aku kembali ke Pajang. Waktu istirahatku telah habis. Aku juga harus mempertanggung jawabkan kelambatan Kasadha kembali ke pasukannya.”

“Tetapi bukankah hal itu tidak akan menjadi persoalan?“ bertanya Riris.

“Tidak. Tidak apa-apa. Apalagi Kasadha baru saja menunjukkan bahwa ia adalah seorang prajurit yang baik,“ jawab Ki Rangga sambil tersenyum.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Ranggapun telah berada dibiliknya bersama Nyi Rangga, sementara Riris juga pergi ke biliknya pula. Namun Ki Rangga berkata, “Biarlah pintu butulan sebelah kiri tidak diselarag. Jangkung masih ada digandok.”

Namun hampir diluar sadarnya, didalam biliknya Ki Rangga itu berkata, “Kasadha dan Barata adalah dua orang yang memiliki banyak kesamaan. Keduanya adalah prajurit yang berani, tangguh dan berkemampuan tinggi. Bertanggung jawab namun bukan pendendam. Memang sulit untuk memilih satu diantara dua. Namun aku dapat melihat perbedaan diantara keduanya.”

Nyi Rangga mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya pula ia bertanya, “Apakah perbedaan itu?”

“Aku merasa lebih dekat dengan Kasadha. Setiap hari aku bertemu, berbicara dan berbincang tentang banyak hal. Ia selalu patuh akan perintahku, karena kebetulan ia adalah anak buahku,“ berkata Ki Rangga kemudian.

Nyi Rangga tidak menyahut. Ia mengerti pendapat Ki Rangga. Sementara Barata berada di tempat yang jauh. Ki Rangga tidak melihat perkembangan pribadinya. Apalagi jika nanti Barata telah di wisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan. Meskipun melihat pribadi Barata yang mantap itu agaknya sulit untuk berubah, namun seseorang memang mungkin sekali berubah oleh pengaruh keadaan diluar atau di dalam dirinya.

Untuk beberapa saat Nyi Rangga masih saja duduk merenung sementara Ki Rangga sudah berbaring. Tetapi matanya masih saja terbuka menatap rusuk-rusuk atap rumahnya yang bagaikan membeku di malam yang mulai dingin untuk beberapa lama. Namun iapun segera tertidur nyenyak.

Namun Jangkung masih saja berada di bilik Kasadha. Keduanya masih berbicara tentang berbagai masalah yang menyangkut anak-anak muda. Keduanya memang berdiri disisi yang berlainan karena Kasadha adalah seorang prajurit, tetapi ia sendiri bukan seorang prajurit.

Sebagaimana dikatakan oleh ayahnya, bahwa pengabdian itu tidak memilih jalan dan padang. Dimanapun seseorang akan dapat memberikan pengabdian kepada negerinya dengan tulus.

Ternyata Kasadhapun bersikap seperti ayah Jangkung. Perbedaan sisi tempat mereka berpijak adalah sekedar landasan pengabdian yang sama-sama mereka berikan.

Baru lewat tengah malam Jangkung kemudian meninggalkan bilik Kasadha sambil berkata, “Besok kau terkantuk-kantuk dijalan.”

Kasadha tersenyum. Katanya, “Masih banyak waktu untuk beristirahat. Bukankah sekarang belum pagi?”

Jangkungpun tersenyum. Katanya, “Aku sudah mengantuk.”

Demikianlah Jangkung kemudian telah meninggalkan Kasadha sendiri. Ketika ia membuka pintu yang belum diselarak, maka Nyi Rangga yang belum dapat tidur telah keluar pula dari biliknya untuk melihat, apakah benar-benar Jangkung yang telah membuka pintu.

“Aku ibu,“ desis Jangkung ketika ia melihat ibunya keluar dari biliknya.

“O,“ desis ibunya, “kau baru meninggalkan angger Kasadha?”

“Ya ibu,“ jawab Jangkung.

“Ia memerlukan beristirahat lebih banyak. Besok ia akan kembali ke Pajang,“ berkata ibunya.

“Bukankah Kasadha akan kembali bersama ayah?“ bertanya Jangkung.

“Ya,“ jawab ibunya.

“Dimana ayah sekarang?“ bertanya Jangkung pula.

“Sudah tidur,“ jawab ibunya.

Jangkung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia memandang pintu bilik Riris. Dengan isyarat ia bertanya, apakah adiknya itu ada didalam.

“Nampaknya ia sudah tidur,“ jawab ibunya.

Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Sambil mendekati ibunya Jangkung berkata perlahan, “Jika benar ia berdiri dijalan simpang, maka ia akan mendapat kesulitan. Kasadha dan Barata memang memiliki banyak persamaan. Bukan hanya ujudnya, tetapi juga sikap dan bahkan pandangan hidupnya.”

Nyi Rangga mengangguk. Katanya, “Ayahmu juga berkata demikian.”

“Apakah ayah mengatakan, yang mana yang lebih baik dari keduanya?“ bertanya Jangkung hampir berbisik.

Nyi Rangga menggeleng. Tetapi iapun kemudian berdesis, “Bagi ayahmu, Kasadha memiliki kelebihan.”

“Apa kelebihannya?“ bertanya Jangkung.

“Kasadha adalah anak buah ayah. Ayahmu mengenal Kasadha seperti mengenal kau. Setiap hari mereka bertemu, berbicara dan merundingkan banyak hal,“ jawab ibunya.

“Itu terlalu pribadi. Bukan secara umum. Bagaimana kelak jika ayah tidak lagi menjadi prajurit?“ bertanya Jangkung sambil sekali-sekali memandang pintu bilik adiknya.

“Itulah pendapat ayahmu. Kenapa?“ bertanya ibunya.

“Aku mempunyai perhitungan lain. Barata bukan seorang prajurit. Tetapi ia memiliki kelebihan sebagai seorang prajurit yang dapat ditrapkan dalam tugas-tugasnya sebagai Kepala sebuah Tanah Perdikan yang besar. Ia mempunyai pandangan yang tentu harus menyeluruh atas rakyat di Tanah Perdikannya, termasuk para pengawal Tanah Perdikan yang mempunyai tugas dan wewenang sebagai prajurit di Tanah Perdikan itu,“ sahut Kasadha.

“Apakah itu artinya kau sudah mulai memilih?“ bertanya ibunya.

Jangkung mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian menggeleng. Katanya, “Tidak. Semuanya adalah wewenang Riris.”

Nyi Rangga termangu-mangu sejenak. Namun sambil melangkah mendekati anak laki-lakinya Nyi Rangga bertanya, “Jangkung. Semuanya memang wewenang Riris. Tetapi jika adikmu itu mengalami kesulitan, bukankah kita wajib memberikan pertimbangan. Bahkan kita dapat mendesaknya dengan alasan-alasan tertentu. Meskipun segala sesuatunya terserah kepada Riris untuk mengambil keputusan akhir.”

“Sudahlah ibu. Kita jangan terburu-buru digelisahkan oleh sesuatu yang belum pasti. Baik Kasadha maupun Barata belum tentu menaruh hati kepada Riris. Biarlah kita tidak usah memikirkannya sekarang,“ desis Jangkung.

Ibunya tidak menjawab lagi. Sementara itu Jang-kungpun telah pergi ke biliknya pula.

Nyi Rangga memang pergi kebiliknya setelah Jangkung hilang dibalik pintu. Tetapi setelah menutup pintu, Nyi Rangga tidak segera berbaring, sementara Ki Rangga telah tidur dengan nyenyaknya.

Sebagai seorang ibu ternyata Nyi Rangga lebih banyak memperhatikan keadaan anak gadisnya. Apalagi setelah peristiwa yang hampir saja mengusir Sumbaga dari rumah itu.

Tetapi justru karena ia mendengar pendapat Ki Rangga dan Jangkung yang berbeda, Nyi Rangga menjadi semakin bingung. Ia dapat mengerti keterangan Ki Rangga, bahwa Kasadha adalah seorang prajurit yang baik, yang patuh kepada paugeran namun juga seorang yang memiliki kelebihan. Sedangkan iapun mendengar pendapat Jangkung, bahwa Barata akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan yang mampu memimpin rakyatnya yang terdiri dari berbagai macam tataran, pekerjaan dan juga mempunyai berbagai macam kepentingan yang berbeda-beda. Sementara itu Nyi Rangga sendiri masih mempertimbangkan sifat dan watak Riris sendiri, apakah ia sesuai menjadi isteri seorang prajurit, justru karena Nyi Rangga sendiri adalah isteri seorang prajurit. Jika Riris tidak mempunyai ketabahan jiwani dan menyadari sepenuhnya akan kedudukannya sebagai seorang isteri prajurit, maka ia akan merasa bahwa perhatian suaminya kepadanya selalu dibayangi oleh tugas-tugasnya yang berat.

Nyi Rangga itu justru terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara suaminya bertanya perlahan, “Nyi, kau belum tidur?”

Nyi Rangga memang tergagap. Namun iapun menjawab, “Baru saja aku melihat Jangkung membuka pintu.”

“Bukankah pintu tidak diselarak?“ bertanya Ki Rangga pula.

“Ya. Karena itu aku melihatnya. Apakah benar-benar Jangkung yang masuk atau justru orang lain,“ jawab Nyi Rangga.

Ki Rangga Dipayuda itu menguap. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Tidurlah. Nanti kau tidak sempat beristirahat.”

Nyi Rangga tidak menjawab. Iapun segera berbaring disamping suaminya. Namun ketika suaminya telah tertidur lagi, Nyi Rangga masih saja tidak dapat memejamkan matanya. Ia mendengar ayam jantan berkokok didini hari. Namun Nyi Rangga tidak mendengar ayam berkokok menyambut fajar.

Nyi Rangga terbangun justru saat suaminya bangkit dari pembaringan. Dengan tergesa-gesa Nyi Ranggapun bangkit sambil berdesis, “Aku tentu kesiangan.”

“Belum fajar,“ jawab Ki Rangga.

“Tetapi aku harus merebus air dan menyiapkan makan Ki Rangga dan angger Kasadha sebelum berangkat ke Pajang,“ berkata Nyi Rangga yang turun dari pembaringan dan membenahi pakaiannya.

“Aku tidak tergesa-gesa Nyi. Aku dan Kasadha tidak sedang mengepung musuh dan harus menyergap mereka sebelum matahari terbit,“ berkata Ki Rangga.

Nyi Rangga mengerutkan keningnya. Namun Ki Ranggapun tertawa sambil berkata, “Semalam nampaknya kau sulit untuk dapat tidur.”

Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sambil melangkah ia berkata, “Aku akan ke dapur.”

Tetapi ternyata ketika Nyi Rangga masuk kedapur, Riris dan seorang pembantunya telah sibuk menyiapkan minuman bagi Ki Rangga, Kasadha dan Jangkung. Sementara itu telah terdengar derit senggot timba disumur. Ternyata Kasadhalah yang sedang mengisi jambangan. Sedangkan derit sapu lidi terdengar di halaman samping. Sumbaga yang juga terbiasa bangun pagi-pagi telah menyapu halaman, karena pakiwannya sudah diisi oleh Kasadha.

Jangkungpun sudah terbangun pula. Ketika Kasadha kemudian mandi di pakiwan, maka Jangkungpun berganti menimba air.

Pagi itu, Ki Rangga Dipayuda dan Kasadha telah bersiap-siap untuk kembali ke barak mereka di Pajang. Karena itu, maka Ki Ranggapun telah memanggil keluarganya termasuk Sumbaga untuk makan bersama-sama ketika Nyi Rangga dan Riris telah menyiapkannya diruang dalam.

Sambil makan Ki Rangga Dipayuda sempat memberikan beberapa pesan kepada keluarganya yang akan ditinggalkannya, karena belum tentu kapan Ki Rangga sempat pulang lagi melihat keluarganya meskipun Pajang terhitung tidak terlalu jauh.

Demikianlah ketika matahari sepenggalah, maka Ki Rangga Dipayuda dan Kasadhapun telah bersiap. Nyi Rangga, Jangkung, Riris dan Sumbaga mengantar mereka sampai ke regol halaman melepas mereka kembali ke Pajang.

Ketika kedua ekor kuda dengan penunggangnya itu mulai bergerak, maka terasa sesuatu bergejolak dihati Riris. Kasadha memang nampak sebagai seorang anak muda yang perkasa disamping ayahnya. Sikapnya telah menyatakan ketegaran jiwanya sebagai seorang prajurit yang baik. Kekaguman Riris terhadap ayahnya yang kebetulan juga seorang prajurit, memang berpengaruh atas sikap batinnya terhadap Kasadha. Apalagi setelah ia mendengar kelebihan Kasadha dari kawan-kawannya. Bahkan dalam satu pendadaran, Kasadha mampu menang atas seorang prajurit yang berkedudukan lebih tinggi daripadanya.

Hampir diluar sadarnya, Nyi Rangga Dipayuda telah berpaling kepada anak gadisnya yang memandangi kedua orang berkuda yang semakin jauh itu dengan tatapan mata yang seakan-akan tidak berkedip.

Baru ketika kedua orang penunggang kuda itu hilang dibalik kelok jalan maka mereka yang melepas itu meninggalkan regol halaman rumah mereka.

Namun ketika Nyi Rangga dan Riris naik tangga pendapa rumahnya, Jangkung telah minta diri kepada mereka, “Aku akan pergi kerumah seseorang yang memerlukan seekor kuda yang baik.”

“Kemana?“ bertanya ibunya yang menangkap satu kesan yang lain pada wajah anak laki-lakinya.

“Ke Kademangan sebelah. Seorang Bekel memesan seekor kuda yang berwarna kelabu. Aku telah mendapatkannya,“ jawab Jangkung.

Nyi Rangga tidak bertanya lebih lanjut, karena Jangkungpun segera pergi ke kandang kudanya.

Riris tidak begitu menghiraukan sikap kakaknya. Karena itu ia tidak melihat sesuatu. Yang diketahuinya ada-lah kakaknya memang seorang yang memperdagangkan kuda. Ayahnya pernah menyarankan kepada Jangkung untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi Jangkung masih belum menyatakan sikapnya dengan pasti. Namun menilik sifatnya yang kadang-kadang hanya menuruti kemau-annya sendiri itu, agaknya sulit baginya untuk berada dilingkungan keprajuritan yang irama hidupnya dilandasi oleh paugeran-paugeran dan kesediaan untuk melaksanakan dengan tertib didalam pengabdian.

Demikianlah, sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda meninggalkan halaman rumah Ki Rangga Dipayuda.

Sementara itu Sumbaga telah pergi ke belakang untuk menyediakan kayu bakar. Dengan kapak yang besar Sumbaga membelah potongan-potongan kayu yang mulai mengering. Sedangkan Riris dan ibunya telah berada di dapur pula.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Rangga Dipayuda dan Kasadha menjadi semakin dekat dengan Pajang yang memang tidak terlalu jauh itu. Sehingga. sebelum tengah hari keduanya telah berada di barak mereka. Keduanyapun langsung menemui Ki Tumenggung Jayayuda untuk melaporkan kedatangan mereka kembali.

“Aku mohon maaf Ki Tumenggung. Seharusnya kemarin aku sudah berada dibarak ini,“ berkata Ki Lurah Kasadha.

“Nampaknya kau telah mendapat ijin dari Ki Rangga,“ jawab Ki Tumenggung sambil tersenyum.

Ki Lurah Kasadhapun tersenyum pula, sementara Ki Rangga Dipayuda tertawa sambil menjawab, “Ya. Aku sudah memberinya ijin.”

“Baiklah,“ berkata Ki Tumenggung, “Silahkan kembali kepasukan kalian masing-masing,“

Keduanyapun kemudian telah meninggalkan bilik khusus Ki Tumenggung Jayayuda dan kembali ketempatnya masing-masing. Ki Lurah Kasadhapun segera menemui prajurit-prajuritnya yang sebagian besar sedang sibuk melakukan latihan di sanggar terbuka dibawah pimpinan para pemimpin kelompoknya.

Dengan demikian, maka Ki Lurah Kasadha telah kembali kedalam kesibukannya sebagai seorang prajurit yang memimpin bagian dari seluruh pasukan di barak itu. Dari hari ke hari Kasadha berusaha untuk meningkatkan kemampuan prajurit-prajuritnya. Bahkan karena kelebihannya, maka Kasadha telah mendapat kesempatan untuk mengadakan tuntunan khusus bagi para Lurah prajurit. Menyelenggarakan latihan-latihan tertutup di sanggar, meskipun hanya sebagai tambahan latihan-latihan yang diselenggarakan sebagaimana seharusnya.

Namun dalam pada itu, Kasadha masih saja selalu teringat akan gurunya. Kesediaan gurunya untuk tetap membimbingnya. Sehingga setiap kali Kasadha masih saja didorong untuk meningkatkan ilmunya itu. Namun Kasadha tentu masih harus mendapat ijin lebih dahulu secara khusus.

Karena itu, maka ada dua hal yang setiap saat seakan-akan selalu mengikutinya kemana ia pergi. Pada saat-saat yang luang, kedua hal itu selalu muncul bergantian. Bahkan kadang-kadang bersamaan dan justru saling mendorong.

Jika Kasadha telah berbaring dipembaringannya, menjelang kedalaman malam, maka tiba-tiba saja bagaikan hanyut oleh semilirnya angin yang sejuk, muncul wajah seorang gadis Ki Rangga Dipayuda. Tetapi setiap kali wajah itu hadir, maka bayangan yang lain selalu saja tampil pula betapapun samarnya. Wajah saudaranya yang lahir dari ibu yang berbeda, yang berhak untuk mewarisi kedudukan ayahnya, Kepala Tanah Perdikan di Sembojan.

Namun dalam pada itu, jika wajah-wajah itu membayang dipenglihatan angan-angannya, maka selalu saja tumbuh keinginannya yang seakan-akan mendesak sekali untuk menemui gurunya, Ki Ajar Paguhan. Dalam keadaan yang demikian Kasadha yang dianggap orang terbaik di barak itu, selalu merasa bahwa ilmunya masih sangat sempit. Ia ingin gurunya menuntunnya untuk mendapatkan landasan ilmu yang lebih banyak lagi.

Gejolak itu akan selalu berlangsung beberapa saat. Namun setiap kali Kasadha selalu menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menguasai perasaannya itu dan mencari keseimbangan dengan penalarannya. Baru ketika ia berhasil menyingkirkan angan-angan itu, Kasadha dapat tidur dengan nyenyak. Namun jika saja angan-angannya itu muncul dan muncul lagi, maka sulit baginya untuk dapat memejamkan matanya.

Tetapi akhirnya Kasadha tidak mau terombang-ambing oleh keadaan itu. Karena itu, maka ia telah memutuskan untuk berbicara dengan Ki Rangga Dipayuda. la ingin meneruskan rencananya untuk meningkatkan kemampuannya diwaktu-waktu luang tanpa mengganggu tugas-tugasnya.

Ketika ia menemui Ki Rangga Dipayuda maka Kasadha itupun berkata, “Bukankah keadaan di barak ini sudah berubah? Menurut pendapatku, Ki Rangga Prangwiryawan ternyata benar-benar bersikap sebagai seorang prajurit. Justru ia telah mengakui kekalahannya, maka sekarang ia menjadi sangat baik kepadaku. Tidak ada bekas-bekas kebenciannya dan apalagi mendendamku.”

“Ya. Aku juga percaya akan hal itu. Ki Rangga Prangwiryawan tidak mau berpura-pura. Ia memang sudah mengaku kalah dalam olah kanuragan. Akupun yakin, ia tidak mendendam. Tetapi aku tidak tahu tentang kedua orang Lurah yang juga merasa orang terbaik itu. Di arena mereka tidak mengaku bahwa mereka telah kau kalahkan,“ berkata Ki Rangga, “tetapi kenyataan itulah yang terjadi.”

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Sikap mereka sampai saat ini memang masih kurang baik, apalagi disaat-saat berlatih, meskipun aku berusaha tidak menunjukkan sikap seperti itu. Berbeda dengan Ki Rangga Prangwiryawan.”

“Tetapi mudah-mudahan hal itu tidak akan menyu-liikanmu dimasa-masa datang,“ berkata Ki Rangga Dipayuda.

Ternyata Ki Rangga Dipayuda tidak berkeberatan lagi atas rencana Kasadha untuk meningkatkan ilmunya. Namun sudah barang tentu bahwa Ki Ajar Paguhan harus berada di Pajang, karena tidak mungkin bagi Kasadha harus hilir mudik menemui guoinya itu dirumahnya atau dirumah ibunya di Bayat.

Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Rangga, maka Ki Rangga itupun berkata, “Sayang, rumahku juga tidak berada di Kotaraja meskipun tidak terlalu jauh. Seandainya Ki Ajar Paguhan bersedia tinggal dirumahku, maka aku akan merasa senang sekali.”

“Tetapi jarak itupun agak terlalu jauh jika aku setiap hari harus berlatih,“ sahut Kasadha.

“Kau dapat berangkat sore hari. Nanti sebelum tengah malam kau tentu sudah berada disini,“ berkata Ki Rangga.

“Waktuku diperjalanan akan lebih panjang dari waktuku untuk meningkatkan ilmuku,“ jawab Kasadha.

Ki Rangga Dipayuda tersenyum. Katanya, “Ya. Kau benar. Sebaiknya Ki Ajar Paguhan itu memang berada di Kotaraja. Setiap hari ia akan dapat berada disanggar di barak ini. Sudah tentu dengan ijin Ki Tumenggung. Apalagi jika Ki Ajar bersedia memberikan serba sedikit tuntunan bagi setidak-tidaknya para Pandhega dan para Lurah di barak ini, selain kau.”

Kasadha tidak menjawab. Namun gurunya agaknya tidak berkeberatan jika ia harus memberikan tuntunan olah kanuragan kepada para Pandhega dan para Lurah dibarak itu. Meskipun demikian Kasadha menjawab, “Aku akan mencoba menyampaikannya kepada guru. Segala sesuatunya terserah kepadanya.”

“Aku mengerti. Akupun mengerti bahwa gurumu tentu tidak akan memperlakukan para prajurit sebagai muridnya. Kedudukan para prajurit itu akan sangat berbeda dengan kedudukanmu. Tetapi setidak-tidaknya gurumu akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi ilmu yang telah ada pada diri kami masing-masing, yang tentu dengan landasan yang berbeda-beda. Ketika Pajang menerima prajurit bersamaan dengan saat kau memasukinya, maka pendadaran yang diberikan termasuk pendadaran yang ketat, sehingga prajurit yang datang bersamamu pada umumnya sudah memiliki landasan ilmu mereka masing-masing,“ berkata Ki Rangga.

Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Meskipun demikian aku tidak dapat tergesa-gesa menghadap guru. Aku baru saja meninggalkan barak dan mendapat waktu beristirahat. Mungkin aku harus menunggu sebulan lagi untuk minta ijinmeninggalkan barak barang dua hari.”

“Ya,“ jawab Ki Rangga, “tetapi pada dasarnya aku tidak berkeberatan. Aku akan menyampaikan permohonanmu untuk memperdalam ilmumu kepada Ki Tumenggung. Niat ini sejalan dengan kedudukanmu sebagai prajurit, sehingga peningkatan kemampuanmu akan berarti juga bagi barak ini.”

“Terima kasih Ki Rangga,“ desis Kasadha, “jika Ki Tumenggung mengijinkan, maka aku harus mempersiapkan segala sesuatu sehubungan dengan rencana itu.”

“Apa yang harus kau persiapkan?“ bertanya Ki Rangga.

“Aku harus menyediakan tempat tinggal bagi guru. Bahkan mungkin bersama kakek jika kakek menghendaki,“ jawab Kasadha.

Ki Rangga termangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah kau tidak mempunyai sanak kadang disini?”

Kasadha menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Rangga.”

“Jika demikian maka kau memang harus mengusahakan. Mungkin ada orang yang akan menjual sende rumah dan pekarangannya untuk dua atau tiga tahun atau sampai orang itu dapat menebusnya kembali,“ berkata Ki Rangga, “sehingga kau tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak sebagaimana jika kau harus membelinya.”

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menghubungi prajurit-prajuritku yang berasal dari Kotaraja. Mungkin mereka mempunyai sanak kadang yang dapat membantu.”

“Baiklah. Mudah-mudahan kau segera mendapatkannya sebelum kau membawa gurumu ke Kotaraja ini,“ berkata Ki Rangga kemudian.

Dengan demikian, maka Kasadha menjadi semakin mantap. Ia harus segera melakukan rencana itu. Mengajak gurunya untuk tinggal di Kotaraja dan memberikan latihan-latihan baginya untuk meningkatkan ilmunya.

Dalam pada itu, seperti yang disanggupkan kepada Kasadha, maka Ki Rangga Dipayuda telah menyampaikan keinginan Kasadha itu kepada Ki Tumenggung. Seperti di duga sebelumnya, Ki Tumenggung sama sekali tidak berkeberatan, asal rencana itu dilakukan tanpa mengganggu tugas-tugas Kasadha sebagai seorang prajurit.

“Ia harus tetap memperhatikan tugas-tugasnya serta keadaan prajurit-prajuritnya,“ berkata Ki Tumenggung Jayayuda, “jika ia tenggelam dalam peningkatan kemampuannya, maka akan dapat terjadi, perhatiannya terhadap kewajibannya akan susut. Bahkan hilang sama sekali, justru karena ia memusatkan perhatiannya kepada ilmunya.”

“Aku akan mengamatinya Ki Tumenggung,“ sahut Ki Rangga Dipayuda.

“Baiklah. Aku serahkan segala sesuatunya kepada Ki Rangga. Apalagi Kasadha berada dibawah kepemimpinan Ki Rangga sendiri,“ berkata Ki Jayayuda.

“Aku akan melakukannya dengan sebaik-baiknya,“ jawab Ki Rangga yang kemudian berkata, “Selain ijin itu Ki Tumenggung, Kasadha jua mohon diijinkan untuk mempergunakan sanggar tertutup atau terbuka untuk mengadakan latihan-latihan olah kanuragan.”

Ki Tumenggung Jayayuda mengerutkan dahinya. Sejenak ia terdiam. Namun kemudian katanya, “Sebenarnya tidak ada keberatan apapun juga bagiku untuk menyetujui permohonan itu. Tetapi yang aku pikirkan adalah, bagaimana jika hal seperti itu datang dari beberapa orang diantara para Lurah dan Pandhega? Misalnya Ki Rangga Prangwiryawan, Ki Lurah Bantardi atau Ki Lurah Lenggana dan bahkan beberapa orang lagi?”

Ki Rangga Dipayuda menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya, ya. Aku mengerti Ki Tumenggung. Sanggar itu tentu tidak akan dapat lagi dipergunakan oleh para prajurit di barak ini.”

“Tetapi bukan maksudku untuk menghambat kemajuan Kasadha,“ berkata Ki Tumenggung Jayayuda.

Ketika kemudian Ki Rangga itu berada didalam biliknya, iapun mulai merenungi sikapnya. Baginya, seakan-akan semua niat Kasadha itu sepantasnya mendapat dukungan. Iapun justru tidak memikirkan kemungkinan seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Jayayuda tentang sanggar di barak itu jika Ki Tumenggung mengijinkan Kasadha mempergunakannya.

Namun dengan demikian ia mulai menyadari, bahwa ada sesuatu yang telah tumbuh didalam hatinya mengenai prajuritnya yang dianggapnya memiliki kelebihan itu.

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa kendali penalarannya agak terlepas sehingga ia justru memberikan petunjuk kepada Kasadha untuk berlatih di sanggar barak itu.

“Aku harus memberitahukan kepadanya, bahwa hal itu tidak dapat dilakukannya,“ berkata Ki Rangga didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Ki Rangga tidak dapat ingkar bahwa memang ada sesuatu yang membuatnya agak memanjakan Ki Lurah Kasadha. Setiap kali ia telah menghubungkan Lurah yang masih muda itu dengan kemungkinan yang lebih jauh dari hubungannya sebagai seorang pemimpin dan anak buahnya dalam lingkungan keprajuritan. Justru karena Ki Rangga mempunyai anak seorang gadis yang mulai tumbuh dewasa.

Meskipun kadang-kadang terlintas juga wajah Barata dari Tanah Perdikan Sembojan, tetapi yang setiap hari ditemuinya adalah Kasadha dengan segala kelebihannya dilingkungan barak itu. Tingkat ilmunya yang tinggi serta kemampuannya memimpin pasukannya. Nampaknya ia mempunyai wibawa yang tinggi namun juga sifat kebapaan yang akrab meskipun umurnya masih terhitung muda.

Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan, Barata tiba-tiba saja menjadi agak berubah. Kadang-kadang anak muda itu duduk merenung di serambi tanpa sebab. Namun kadang-kadang Barata yang di Tanah Perdikan lebih sering disebut Risang, meninggalkan rumahnya hampir sehari-harian. Risang memang berkuda mengelilingi padu-kuhan demi padukuhan serta memperhatikan hampir selebar Tanah Perdikan itu sendiri. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung pernah menemukan anak muda itu berbaring seorang diri disebuah gubug yang berdiri di tengah-tengah bulak panjang. Dari kejauhan Jati Wulung dan Sambi Wulung melihat kuda yang terbiasa dipergunakan oleh Risang terikat pada tiang sebuah gubug kecil.

Dengan serta merta keduanya berhenti. Dengan nada rendah Jati Wulung berkata, “Risang tentu berada di gubug itu.”

“Marilah, kita lihat apa yang dikerjakannya,“ sahut Sambi Wulung.

Keduanyapun menuntun kuda mereka mendekati gubug ditengah bulak itu.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka melihat Risang berbaring digubug itu seorang diri.

Namun Risang menjadi terkejut ketika ia mendengar langkah orang dan derap perlahan kaki kuda yang berjalan mendekati gubug itu. Dengan serta merta iapun telah bangkit dan bahkan meloncat turun.

Tetapi Risang menarik nafas dalam-dalam sambil duduk kembali digubug itu ketika ia melihat Sambi Wulung dan Jati Wulung melangkah mendekati gubug itu.

Setelah menambatkan kudanya, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah duduk pula di gubug itu. Dengan hati-hati Sambi Wulungpun bertanya, “Apa yang kau lakukan disini ngger?”

“Aku merasa sangat letih setelah mengelilingi Tanah Perdikan ini. Aku ingin disaat-saat terakhir menjelang wisuda Kepala Tanah Perdikan, maka Tanah Perdikan ini benar-benar telah siap,“ jawab Risang.

“Apakah masih ada yang mengecewakan?“ bertanya Jati Wulung.

“Memang tidak. Tetapi jika aku tidak dengan rajin melihat-lihat persiapan itu, maka pada suatu saat kita akan menyesal karena ternyata masih ada yang kurang,“ jawab Risang.

Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya mengangguk-angguk saja. Namun keduanya memang melihat sesuatu sedang bergejolak dihati anak muda itu. Tetapi mereka masih merasa belum waktunya untuk menanyakannya.

Namun beberapa saat kemudian Jati Wulung itupun berkata, “Marilah, kita pulang.”

Tetapi Risang menjawab, “Aku masih akan melihat-lihat beberapa tempat lagi.”

“Bukankah masih ada waktu?“ bertanya Sambi Wulung.

“Jika setiap kali kita bersikap seperti itu, maka kita tidak akan dapat melakukan apapun. Semua pekerjaan akan tertunda, karena esok masih ada waktu. Sampai akhirnya kita akan merasa terlambat,“ jawab Risang.

Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak dapat memaksanya. Keduanya kemudian justru minta diri untuk mendahului pulang.

“Aku pulang setelah matahari turun,“ berkata Risang.

Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian telah berkuda mendahului Risang. Namun disepanjang jalan keduanya masih saja membicarakan anak muda yang sedang menyimpan persoalan didalam hatinya.

“Apakah Risang merasa kecewa bahwa wisudanya tidak segera dilakukan?“ bertanya Jati Wulung.

“Memang mungkin. Tetapi agaknya bukan tentang wisudanya. Ia bukan seorang yang tergila-gila akan pangkat dan jabatan,“ jawab Sambi Wulung.

“Jadi, apa menurut dugaanmu?“ bertanya Jati Wulung pula.

Sambi Wulung hanya menggelengkan kepalanya saja.

Demikianlah keduanya telah melarikan kudanya langsung kembali kerumah Risang. Ketika mereka memasuki regol halaman rumah itu, maka Sambi Wulung berkata, “Ada baiknya kita berbicara dengan Nyi Wiradana. Mungkin dalam satu masa saat anak muda itu meningkat dewasa memerlukan perhatian lebih banyak dari Nyi Wiradana sebagai ibunya.”

Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita akan menemui Nyi Wiradana.”

Untuk beberapa saat Sambi Wulung dan Jati Wulung harus menunggu, karena Nyi Wiradana masih menerima seorang tamu yang menghadapnya. Ki Demang Banyu Urip.

Baru setelah Ki Demang Banyu Urip minta diri, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung dapat menemui Nyi Wiradana.

“Apakah kalian menemukan sesuatu yang menarik perhatian kalian?“ bertanya Nyi Wiradana.

“Tidak. Bukan persoalan Tanah Perdikan Sembojan,“ jawab Sambi Wulung.

“Jadi?“ desak Nyi Wiradana.

Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Sambi Wulungpun berkata, “Kami melihat perubahan pada diri Risang.”

Wajah Nyi Wiradana berkerut. Dengan nada rendah ia menjawab sambil mengangguk kecil, “Ya. Aku memang melihat satu perubahan. Tetapi aku tidak tahu, apa yang membuatnya jadi berubah. Apakah kau melihat bahwa ada sesuatu yang telah terjadi di Tanah Perdikan ini? Apakah ada sesuatu yang tidak berkenan dihatinya?”

“Tidak. Bukan itu,“ jawab Sambi Wulung, “namun agaknya usianyalah yang membuatnya menjadi berubah. Anak itu seakan-akan menjadi perenung. Dirumah ia tidak betah. Hampir setiap hari ia berkuda mengelilingi Tanah Perdikan ini dengan banyak alasan.”

Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Sementara Sambi Wulungpun berceritera bahwa ia baru saja bertemu dengan Risang yang sedang berbaring disebuah gubug kecil ditengah-tengah bulak.”

“Sendiri?“ bertanya Nyi Wiradana.

“Ya. Sendiri,“ jawab Sambi Wulung.

Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Risang sering pergi ke Kotaraja dan bermalam dirumah bekas pemimpinnya. Sekali-sekali sengaja atau tidak sengaja, ia menyebut sebuah nama dari seorang gadis.”

“Nah,“ tiba-tiba saja Jati Wulung memotong, “memang satu kemungkinan. Aku sudah mengira bahwa sikapnya itu berhubungan dengan hal-hal seperti itu.”

Nyi Wiradana mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baiklah. Aku akan berbicara dengan Risang.”

“Tetapi kita harus memilih kesempatan yang terbaik. Jika tidak, maka ia tentu akan menjawab dengan singkat, bahwa tidak ada apa-apa,“ berkata Sambi Wulung.

“Aku akan mengusahakan kesempatan itu,“ jawab Nyi Wiradana.

Sepeninggal Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka Nyi Wiradana telah memanggil Bibi. Namun ternyata bahwa Risang, yang juga dekat dengan Bibi, tidak pernah mengatakan sesuatu kepadanya.

“Anak itu tertarik untuk mendalami penggunaan selendang sebagai senjata,“ berkata Bibi.

“Tetapi apakah sekali-sekali Risang pernah menyebut nama seorang gadis?“ bertanya Nyi Wiradana.

Bibi termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia menjawab, “Anak itu memang pernah melihat-lihat beberapa selendangku. Ia pernah memperbandingkan warna-warna cerah dengan beberapa bajuku yang berwarna lunak. Anak itu pernah bertanya kepadaku, warna yang manakah yang pantas bagi seorang gadis? Tetapi Risang nampaknya tidak bersungguh-sungguh. Ia memang sering menggangguku dengan gurau-gurauannya.”

Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah kau melihat beberapa perubahan pada anak itu?”

Bibi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ya. Aku memang melihatnya. Anak itu lebih banyak merenung sekarang.”

Nyi Wiradana menjadi yakin. Tentu ada sesuatu yang menyangkut dihati anaknya itu. Namun Nyi Wiradana memang harus mendapatkan waktu terbaik untuk menanyakannya kepada Risang.

Hari itu, seperti yang dikatakan Risang kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka anak muda itu pulang setelah matahari turun. Ibunya yang melihatnya melarikan kudanya dihalaman hanya dapat mengelus dadanya. Sebelumnya anak muda itu tidak pernah berbuat demikian. Namun Nyi Wiradana sama sekali tidak menegurnya.

Demikian menambatkan kudanya, maka Risangpun telah langsung masuk kedalam biliknya. Bahkan untuk beberapa saat, anak muda itu tidak keluar lagi.

Ibunyapun kemudian telah melihatnya kedalam biliknya. Ketika ibunya mendorong pintu bilik itu, maka Nyi Wiradana melihat Risang itu berbaring dipembaringannya.

“Apakah kau sakit Risang?“ bertanya ibunya. Risang terkejut. Iapun dengan serta merta telah bangkit dan duduk dibibir ambennya.

“Tidak ibu, aku tidak apa-apa,“ jawab Risang.

“Bukankah kau belum makan?“ bertanya pula.

Risang mencoba tersenyum. Sambil mendekati ibunya ia berkata, “Aku telah melihat seluruh Tanah Perdikan itu. Rasa-rasanya aku tidak menjadi lapar. Segala sesuatunya berkembang semakin baik.”

“Kau letih Risang,“ berkata ibunya pula, “sekarang pergilah ke pakiwan. Makanmu sudah tersedia sejak tadi. Biarlah dipanasi lebih dahulu selagi kau membersihkan keringatmu.”

Risang tidak menjawab. Tetapi iapun melangkah ke pakiwan.

Beberapa saat kemudian, Nyi Wiradana telah menungguinya makan. Tetapi Nyi Wiradana tidak bertanya tentang perubahan sikap Risang. Ia justru bertanya, apa saja yang telah dilihatnya hari ini.

“Bukankah sama dengan yang kau lihat kemarin?“ bertanya ibunya.

Risang mengerutkan dahinya. Namun iapun menjawab, “tidak ibu. Tidak sama.”

“Apakah yang berbeda?“ bertanya ibunya.

“Kemarin air di anak susukan Wotan belum mengalir. Pagi ini anak susukan itu sudah dibuka. Air sudah mengalir menelusuri parit-parit yang membelah bulak panjang di Kademangan Guntur,“ jawab Risang..

Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, “Sokurlah jika anak susukan Wotan itu sudah mulai mengalir. Dua hari yang lalu, aku mendapat laporanmu bahwa anak susukan itu masih belum siap dialiri.”

“Ya. Tetapi dihari berikutnya, berpuluh-puluh orang telah turun mengerjakannya sehari penuh,“ jawab Risang sambil menyuapi mulutnya.

“Sokurlah,“ ibunya masih saja mengangguk-angguk.

Namun tiba-tiba saja Risang berkata dengan nada rendah, “Ibu besok aku akan pergi ke Pajang.”

“Untuk apa?“ bertanya ibunya.

“Aku akan menghadap Ki Rangga Kalokapraja,“ jawab Risang.

“Untuk apa?“ bertanya ibunya pula.

“Aku akan memberitahukan bahwa segala sesuatunya telah siap di Tanah Perdikan Sembojan. Jika tidak ada masalah lagi, maka hendaknya ketetapan dan wisuda itu dapat dilakukan secepatnya,“ jawab Risang.

Ibunya menarik nafas panjang. Namun kemudian Nyi Wiradana itu berkata, “Jangan Risang. Jangan terlalu sering mendesak. Bukankah kita tidak tergesa-gesa? Sikap Ki Rangga Kalokapraja itu sudah baik sekali bagi kita, mengingat apa yang pernah terjadi sebelumnya, sehingga kita harus bertempur melawan Pajang dengan bantuan Jipang.”

“Tetapi Pajang waktu itu sedang diliputi oleh ketidak pastian,“ jawab Risang.

“Dengarkan kata-kata ibu Risang. Kita jangan mendesak-desak, seakan-akan kita tidak dapat menunggu sampai esok. Ki Rangga Kalokapraja justru akan dapat tersinggung karenanya. Jika terjadi demikian, maka ia akan dapat berubah sikap. Wisuda itu bahkan akan menjadi semakin mundur lagi. Atau bahkan Ki Rangga akan mencari-cari kekurangan yang selama ini dianggap dapat diabaikannya,“ berkata ibunya.

Risang tidak segera menjawab. Tetapi wajahnya nampak menjadi gelap.

Untuk beberapa saat, Nyi Wiradanapun terdiam. Dipandanginya Risang yang nampaknya tidak begitu bergairah untuk makan. Ia ternyata tidak makan sebagaimana biasanya. Tetapi perut Risang seakan-akan terlalu cepat menjadi kenyang.

Sambil mencuci tangannya Risang kemudian berkata, “Jika aku menemui Ki Rangga, sudah tentu aku tidak akan mendesak, apalagi menuntut agar wisuda dapat segera dilakukan. Tetapi kehadiranku tentu dapat mengingatkannya, bahwa ada sesuatu yang harus diselesaikannya di Tanah Perdikan ini.

Tetapi ibunya menggeleng. Katanya, “Itu kurang baik Risang. Kita harus bersabar menunggu. Bukankah kau belum lama pergi ke Pajang justru karena kau dipanggil Ki Rangga Kalokapraja?”

Risang mengangguk sambil menjawab, “Ya ibu.“

“Nah, jika demikian, kau tidak usah menemuinya,“ desis ibunya. Namun tiba-tiba saja ibunya bertanya, “Risang, apakah sebenarnya kau ingin cepat-cepat diwisuda sehingga kau akan segera mengenakan gelar Kepala Tanah Perdikan Sembojan?”

Pertanyaan ibunya memang mengejutkannya. Dengan serta merta ia menjawab, “Tidak ibu. Aku sama sekali tidak ingin mendesak agar wisuda itu segera diadakan. Aku tidak ingin cepat-cepat mendapatkan gelar Kepala Tnah Perdikan. Bukankah selama ini kepemimpinan di Tanah Perdikan ini mantap?”

“Jika demikian, apakah arti kedatanganmu kepada Ki Rangga Kalokapraja itu?“ bertanya ibunya.

Risang menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab.

Sementara itu, Nyi Wiradana itupun berkata, “Risang. Jika kau memang ingin pergi ke Pajang, pergilah. Kau tidak perlu menemui Ki Rangga itu sebagai alasan. Mungkin kau dapat pergi menemui Kasadha atau menemui siapapun. Kau dapat singgah dimanapun kau inginkan.”

Terasa wajah Risang menjadi panas. Namun justru karena itu, maka iapun menunduk semakin dalam. Kata-kata ibunya itu rasa-rasanya tepat menusuk kedasar jantungnya. Sebenarnyalah bahwa ia memang ingin pergi ke Pajang dan singgah dirumah Ki Rangga Dipayuda. Tetapi ia harus mempunyai alasan yang lebih pantas untuk melakukannya.

Tetapi justru karena ibunya telah menebaknya, maka Risang itupun kemudian justru menjawab, “Tidak ibu. Aku tidak ingin pergi ke Pajang.”

Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Sebelum ia berbicara lebih jauh, maka Risang itupun telah bergeser sambil berkata, “Maaf ibu. Aku akan mencari angin diluar. Udara agaknya terlalu panas disini.”

“Kau hanya makan sedikit saja Risang,“ desis bunya.

Risang memandang ibunya sekilas. Kemudian katanya, “Aku sudah kenyang ibu. Mungkin aku terlalu banyak minum air kelapa muda diperjalananku hari ini.”

Ibunya tidak menjawab lagi. Sementara itu Risang-pun telah melangkah keluar.

Nyi Wiradana hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun sebagai seorang ibu, maka ia tidak dapat melepaskan diri dari persoalan anak tunggalnya.

Apalagi ketika dihari-hari berikutnya Risang menjadi semakin pendiam. Namun Risang menjadi semakin sering berada di sanggar. Seakan-akan ia ingin melarikan diri dari kesulitan penalarannya ke sanggar dan menyendiri, jika ia tidak pergi mengelilingi Tanah Perdikannya.

Akhirnya Nyi Wiradana tidak lagi dapat menahan hatinya, sehingga iapun telah menemui Kiai Badra serta Kiai dan Nyai Soka untuk mohon petunjuknya.

Orang-orang tua itupun tidak dapat memberikan pemecahan yang memuaskan. Namun ketiganya sependapat, bahwa agaknya Risang telah meniti hidup dewasanya. Hatinya agaknya mulai tersangkut kepada seseorang.

“Tetapi aku yakin, Risang tidak dirisaukan oleh wisudanya yang tidak segera dilakukan. Ia sudah menempa dirinya untuk menguasai perasaannya atas nafsu ketamakan. Ia akan tetap bersabar menunggu. Apalagi. pangkat dan jabatan yang menyangkut langsung dirinya sendiri,“ berkata Kiai Badra.

“Aku menjadi sangat gelisah,“ desis Nyi Wiradana.

“Aku dapat mengerti,“ sahut Nyai Soka, “kau memang harus selalu mengikuti perkembangan keadaan anakmu itu.”

Nyi Wiradana mengangguk-angguk kecil. Sementara Kiai Sokapun berkata, “Sokurlah jika dalam kegelisahan itu, Risang mampu mencari penyaluran yang baik dan berarti. Lebih baik ia berada disanggar daripada ia mencari pelepasan kegelisahannya pada hal-hal yang akan dapat merugikan masa depannya kelak.”

“Beruntunglah aku, bahwa Risang tidak melakukannya,“ desis Nyi Wiradana, “selain berada disanggar, Risang sehari-hari pergi mengelilingi Tanah Perdikan ini.”

“Baiklah. Kami akan membawanya lebih banyak. Untuk berlatih. Mudah-mudahan umur kami masih menggapai saat-saat anak itu siap menerima tataran tertinggi ilmunya, ilmu Janget Kinatelon,“ berkata Kiai Badra.

Dengan demikian, maka Kiai Badra itupun telah memanggil Risang untuk menemuinya. Bersama Kiai Soka dan Nyai Soka, maka orang-orang tua itu telah minta agar Risang siap untuk lebih banyak berada disanggar.

Bagi Risang, hal itu merupakan satu kebetulan. Ia tidak mengerti, kenapa hatinya seakan-akan selalu digelisahkan oleh ilmunya yang dianggapnya masih terlalu rendah.

Namun Risang sendiri kadang-kadang terkejut jika tiba-tiba saja ia mencoba memperbandingkan ilmunya dengan ilmu Kasadha.

“Kasadha ternyata mampu mengalahkan Ki Rangga Prangwiryawan,“ katanya didalam hatinya. Namun selalu disusul dengan pertanyaan, “Kenapa aku yang justru menjadi gelisah?”

Tetapi Risang tidak dapat ingkar, bahwa perasaan yang terbersit dihatinya adalah, bahwa ia tidak ingin tertinggal dari adiknya itu.

Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka memang terkejut melihat kesungguhan Risang untuk berlatih dan meningkatkan ilmunya ketika mereka mulai memasuki sanggar dalam tataran ilmu berikutnya, yang sebenarnya akan diberikan sesudah Risang diwisuda. Tetapi ketiga orang tua itu justru sepakat untuk memberikannya saat-saat Risang memerlukan isi bagi waktunya yang tentu terasa sangat panjang karena kegelisahan yang belum diketahui sebabnya.

Demikianlah dari hari ke hari Risang dengan tekun berada di sanggarnya bersama ketiga orang kakek dan neneknya. Ketiga orang tua itu memang merasakan, bahwa Risang memang sedang menyembunyikan sesuatu dan berusaha menyelimutinya dengan latihan-latihan yang berat di sanggarnya.

***

Sementara itu, di Pajang, atas bantuan salah seorang pemimpin kelompoknya, Kasadha telah mendapatkan sebuah rumah yang meskipun kecil, tetapi cukup untuk tempat tinggal gurunya. Sedangkan bagian belakang rumah itu dapat dipergunakannya sebagai sanggar untuk melakukan latihan-latihan. Demikian pula halaman belakang dari rumah yang tidak begitu besar itu.

Atas ijin Ki Rangga dan Ki Tumenggung Jayayuda maka Kasadha telah menjemput gurunya dan sekaligus kakeknya untuk bersedia tinggal di Pajang.

“Kakek setiap saat dapat menengok ibu di Bayat,“ berkata Kasadha ketika ia mempersilahkan kakeknya tinggal bersama gurunya di Pajang.

Akhirnya kakeknyapun bersedia tinggal di Pajang. Namun sejak semula Kiai Randukeling itu berkata, “Tetapi aku tentu sering meninggalkan rumah itu untuk menengok ibumu. Ia kini sudah benar-benar berubah dan hidup wajar sebagaimana seorang perempuan. Bergantian ibumu sudah mau pergi ke pasar untuk berbelanja dan dirumahpun ibumu telah dengan rajin masak meskipun hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri dan bibimu.”

Namun diluar sadarnya Kasadha tiba-tiba saja bertanya, “Dimana adikku itu sekarang kakek?”

“Ibumupun tidak tahu dimana adikmu itu sekarang berada,“ jawab Kiai Randukeling, “sekali-sekali kerinduannya kepada adikmu itu terasa sangat menekan perasaannya. Tetapi ia belum mempunyai cukup keberanian untuk mencarinya.”

Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut, karena Kasadha tahu, bahwa ada beberapa persoalan yang tentu menghambat usaha ibunya untuk mencarinya apabila ibunya tidak ingin terjerumus lagi kedalam kehidupannya yang lama. Namun memang tidak seharusnya ibunya membiarkan adiknya tetap hidup dalam dunia yang kelam itu.

Sejak Ki Ajar Paguhan dan Ki Randukeling tinggal di Pajang, maka setiap kali, jika tugas-tugasnya sudah diselesaikan, Kasadha selalu berada di rumah tempat tinggal gurunya itu. Dengan sungguh-sungguh Kasadha berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Karena ilmu kanuragan baginya akan memberikan arti pula bagi tugas-tugasnya sebagai seorang prajurit.

Kepada Ki Rangga Dipayuda, kepada para Pandhega dan juga kepada Ki Tumenggung. Kasadha sama sekali tidak merahasiakan usahanya untuk meningkatkan ilmunya. Bahkan Ki Rangga Prangwiryawan yang pernah dikalahkan oleh Kasadha dan dengan jantan mengakui kekalahan itu, pernah bertanya kepadanya, “Apakah aku diperkenankan untuk serba sedikit meningkatkan ilmuku? Aku sudah tidak mempunyai guru lagi. Guruku meninggal dua tahun yang lalu. Sebelumnya aku merasa bahwa ilmuku cukup tinggi bagi seorang prajurit. Namun setelah aku berada digelanggang bersamamu, maka terbukti bahwa ilmuku masih jauh ketinggalan.”

“Bukan jauh ketinggalan Ki Rangga, tetapi mungkin kita berada di tataran yang sama. Namun ketika memasuki arena, aku sama sekali tidak membawa beban sebagaimana Ki Rangga yang nampaknya sangat tegang,“ jawab Kasadha.

Ki Rangga Prangwiryawan tertawa. Katanya, “Kau pandai membuat orang lain tertidur. Tetapi baiklah. Jika saja gurumu bersedia. Bukan maksudku aku menuntut hak sebagai orang murid. Tetapi sekedarnya saja asal dapat membantu membuka kemungkinan baru bagi ilmuku.”

Kasadhapun tersenyum. Katanya, “Aku akan mengatakannya kepada guru.”

Ki Rangga Prangwiryawan menepuk bahunya sambil berkata, “Terima kasih. Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan.”

Ketika hal itu dikatakan oleh Kasadha kepada Ki Rangga Dipayuda, maka Ki Rangga itupun berkata, “Cobalah kau katakan kepada gurumu. Jika gurumu bersedia, akan berakibat baik juga bagimu. Dan bahkan bagi kedudukanmu disini. Apalagi beberapa saat kemudian, aku tentu akan meninggalkan barak ini. Aku memang sudah terlalu tua.”

Kasadha mengerutkan keningnya. Katanya, “Tetapi Ki Rangga Dipayuda masih nampak tegar sebagai seorang prajurit.”

Ki Rangga tersenyum. Katanya, “Namun, bukankah umurku merambat setiap saat?”

Kasadhapun mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Namun dalam pada itu, berbeda dengan Ki Rangga Prangwiryawan, dua orang Lurah yang lain justru tidak dapat menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Jika Ki Rangga Prangwiryawan kemudian justru menjadi baik dan akrab dengan Kasadha, maka kedua Lurah yang lain itu justru terasa menjadi semakin jauh.

Ki Lurah Bantardi dan Ki Lurah Lenggana sama sekali tidak menghiraukan sikap Ki Rangga Prangwiryawan. Mereka menganggap bahwa Ki Rangga Prangwiryawan terlalu lemah menghadapi Kasadha, sehingga akan dapat membuat Kasadha itu menjadi semakin sombong.

“Dipamerkannya gurunya kepada kita,“ berkata Lenggana ketika ia mendengar bahwa Kasadha telah membawa gurunya ke Pajang.

“Kenapa ia mendapat ijin untuk setiap hari keluar dari barak meskipun tugasnya telah diselesaikan? Bagaimana jika orang lain mohon ijin seperti itu?“ desis Ki Lurah Bantardi.

“Sebaiknya kita semuanya, seisi barak itu minta ijin untuk keluar dari barak ini setiap hari sebagaimana Ki Lurah Kasadha dengan alasan apapun juga. Adilnya, kita semuanya juga harus diijinkan,“ sahut Ki Lurah Lenggana.

Ketika hal ini secara tidak langsung disampaikan kepada Ki Rangga Prangwiryawan, maka Ki Rangga berkata, “Apakah kau lupa, bahwa sesuai dengan paugeran, para perwira diperkenankan keluar barak pada saat-saat tertentu-serta jika semua tugas sudah dilakukan? Sudah tentu bagi mereka yang tidak sedang mendapat tugas mempertanggung jawabkan penjagaan untuk sehari-semalam. Para Lurah, kecuali yang bertugas, dapat saja keluar dari barak disore hari untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat keadaan. Bahkan bukankah para prajurit juga dapat melakukannya, tetapi juga untuk saat-saat tertentu yang diatur sesuai dengan paugeran? Kita di barak ini bukan tawanan dan bukan pula orang-orang yang sedang dipenjarakan.”

Kedua orang Lurah itu termangu-mangu. Namun mereka tidak mengatakan apa-apa lagi.

Karena itulah, maka hampir setiap hari, kecuali pada saat-saat ia bertugas sehari-semalam, Kasadha selalu diijinkan menemui gurunya setelah tugas-tugasnya selesai. Dengan tuntunan gurunya, maka Kasadha telah meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis.

***

Sejalan dengan itu, maka di Tanah Perdikan Sembojan, Risangpun tengah menempa diri. Risang sendiri tidak tahu pasti, apakah yang mendorongnya untuk melakukannya. Bahkan dirasa agak berlebihan oleh kakek dan neneknya.

“Aku tidak bermusuhan dengan siapapun juga,“ berkata Risang kepada dirinya sendiri jika ia sedang merenung. Lalu katanya pula, “Apalagi dengan Kasadha. Ia sangat baik. Ia mengerti apa yang telah terjadi atas keluarga kami dan iapun berjanji untuk tidak mengganggu lagi ketenangan Tanah Perdikan Sembojan.”

Namun disaat yang lain, maka yang terbayang adalah wajah seorang gadis yang baginya sangat cantik. Riris. Anak Ki Rangga Dipayuda.

Jika kesadaran penalarannya sedang terkendali, maka Risang yang sering berkuda mengelilingi Tanah Perdikannya, memang mencoba untuk memperhatikan gadis-gadis yang ditemuinya dipadukuhan-padukuhan atau mereka yang pergi ke sawah untuk membawa makan dan minum keluarganya yang sedang bekerja. Bahkan Risang juga sering mengunjungi para bebahu padukuhan yang tersebar di Tanah Perdikan Sembojan. Kadang-kadang Risang beristirahat untuk waktu yang cukup lama dirumah para Demang.

Namun Risang tidak pernah menjumpai seorang gadis yang mampu mengusik hatinya. Sehingga setiap kali maka angan-angannya selalu membayangkan wajah Riris yang bening dengan senyumnya yang cerah.

Dalam kesibukannya menempa diri, serta mengatasi kemelut dihatinya, maka Tanah Perdikan Sembojan telah kedatangan dua orang tamu dari Pajang. Bahkan Ki Rangga Kalokapraja sendirilah yang telah datang dengan seorang pembantunya.

Nyi Wiradana memang menjadi sibuk. Risangpun segera dipanggil. Untunglah ia belum berangkat mengelilingi Tanah Perdikannya dan belum pula masuk ke Sanggar bersama ketiga orang kakek dan neneknya. Bahkan Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka telah diminta oleh Nyi Wiradana untuk ikut mengniui utusan dari Pajang itu.

Setelah saling mempertnyakan keselamatan masing-masing, maka Nyi Wiradana yang agaknya segera ingin tahu maksud kedatangan tamunya itupun bertanya, “Agaknya Ki Rangga membawa perintah bagi kami di Tanah Perdikan ini?”

Ki Rangga tersenyum sambil berkata, “Aku membawa kabar gembira bagi Tanah Perdikan ini.”

“Sokurlah,“ desis Nyi Wiradana.

“Kami datang sebagai utusan Kangjeng Adipati di Pajang. Atas nama Panembahan Senapati di Mataram, maka telah siap Surat Kekancingan ketetapan angger Risang menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan,“ berkata Ki Rangga Kalokapraja.

“Tuhan Maha Agung,“ desis Nyi Wiradana, “kami tentu akan sangat bersukur dan berterima kasih kepada Kangjeng Adipati Pajang.”

“Selanjutnya, aku datang untuk membicarakan pengesahan dan wisuda angger Risang sebagai Kepala Tanah Perdikan ini,“ berkata Ki Rangga Kalokapraja. Lalu katanya selanjutnya, “berhubung dengan kesibukan Kangjeng Adipati, maka aku pulalah yang mendapat perintah untuk menyelenggarakan wisuda angger Risang. Karena itu, aku perlukan datang sendiri ke Tanah Perdikan ini untuk membicarakan segala sesuatunya. Sedangkan penjabat yang akan ditugaskan mewisuda atas nama Kangjeng Adipati masih akan ditentukan kemudian.”

“Terima kasih Ki Rangga. Sudah tentu kami gembira sekali bahwa Ki Rangga sendirilah yang mendapat tugas-penyelenggaraan wisuda itu. Dengan demikian, maka pembicaraan berikutnya akan dapat kita lakukan dengan terbuka, karena kita sudah saling mengerti akar perkembangan keadaan,” jawab Nyi Wiradana yang kemudian bertanya, “Lalu apa saja yang harus kami siapkan sehubungan dengan wisuda itu? Pertanda kepemimpinan Tanah Perdikan yang berupa bandul bertatahkan lukisan burung itu serta barangkali ada yang lain?”

Tetapi Ki Rangga Kalokapraja menggeleng. Katanya sambil tertawa kecil, “Itu tidak penting sebenarnya Nyai. Pertanda itu hanya sekedar kelengkapan kewadagan. Tetapi yang penting bagi kami adalah kebenaran urutan keturunan lajer Kepala Tanah Perdikan sesuai dengan paugeran. Kekancingan atas Tanah Perdikan yang masih berlaku dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesetiaan dan bahwa orang yang akan ditetapkan itu dapat diterima oleh rakyat Tanah Perdian itu sendiri. Nampaknya segala syarat ini sudah dipenuhi, sehingga akupun telah mengusulkan agar ketetapan dan wisuda segera dapat dilakukan.”

Dengan demikian, maka Ki Ranggapun telah membicarakan pula kepastian hari untuk melaksanakan wisuda serta segala macam perlengkapan yang harus disiapkan dalam wisuda itu.

“Jika kemudian di Tanah Perdikan ini akan diselenggarakan keramaian sebagai pernyataan sukur, itu terserah kepada angger Risang,“ berkata Ki Rangga Kalokapraja kemudian.

Ketika segala sesuatunya sudah dibicarakan dengan matang, maka Ki Rangga itu berkata, “Sepekan sebelum wisuda dilakukan, aku harap angger Risang datang ke Pajang untuk mendengar keputusan terakhir dari Pajang. Seandainya ada perubahan, masih ada waktu untuk melakukannya di Tanah Perdikan ini.”

“Baiklah Ki Rangga, aku akan datang sepekan sebelum pelaksanaannya. Jika wisuda itu direncanakan akan diadakan sebulan lagi, maka waktunya masih cukup luas untuk membuat rencana-rencana yang lain sehubungan dengan wisuda itu,“ berkata Risang.

Dalam pada itu, setelah minum dan makan beberapa potong makanan, maka Risang menawarkan kepada Ki Rangga Kalokapraja untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Sembojan.

“Bukankah Ki Rangga bermalam disini barang semalam?“ bertanya Risang.

Ki Rangga berpaling kepada pembantunya sambil bertanya, “Bagaimana? Apakah kita akan bermalam. Dengan demikian kita akan sempat melihat-lihat Tanah Perdikan ini pada saat-saat terakhir menjelang wisuda Kepala Tanah Perdikan yang baru, yang masih muda dan bekas seorang prajurit pula.”

Pembantunya hanya tersenyum saja. Katanya, “Segala sesuatunya terserah kepada Ki Rangga.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Baikkah. Kami akan bermalam disini.”

“Jika demikian Ki Rangga akan mendapat kesempatan untuk melihat-lihat. Baru saja kami telah membuka anak susukan yang mampu mengaliri parit-parit yang menelusuri bulak panjang di Kademangan Guntur,“ berkata Risang.

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan melihat-lihat. Tetapi sudah tentu tidak perlu seluruh Tanah Perdikan.”

Demikianlah, Risang telah mengantar Ki Rangga Kalokapraja dan pembantunya turun dari pendapa. Sementara Nyi Wiradana dan orang-orang tua di Tanah Perdikan itu mengantarnya kehalaman. Namun dalam pada itu, Risang telah mengajak Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk mengikutinya.

Sejenak kemudian, maka kelima orang itu telah berpacu nelintasi bulak-bulak panjang dan pendek. Menusuk padukuhan-padukuhan dan menyeberangi sungai-sungai yang tidak begitu deras airnya.

Yang pertama-tama mereka lihat adalah susukan yang baru saja dibedah untuk, mengalirkan airnya ke anak susukan bagi bulak panjang di Kademangan Guntur.

Ki Rangga Kalokapraja ternyata ikut berbangga atas keberhasilan Tanah Perdikan Sembojan meningkatkan kesejahteraan hidup rakyatnya.

Dari susukan itu Ki Rangga telah menelusuri anak susukan sampai ke bulak daerah Kademangan Guntur, kemudian meninggalkan bulak itu untuk melihat-lihat, bagaimana orang-orang Tanah Perdikan yang tinggal di kaki pegunungan membuat lereng pegunungan itu seperti tangga yang hijau, karena tanaman diatas tanah yang bertingkat itu tumbuh dengan suburnya.

Ternyata Ki Rangga Kalokapraja yang sehari-harinya berada di kesibukan kota itu tidak jemu-jemunya melihat hijaunya tanaman di sawah dan ladang. Ki Ranggapun berkuda melewati pinggir hutan yang membujur memanjat lereng pebukitan. Meskipun panas mulai terasa membakar kulit, namun Ki Rangga masih saja berkuda melintasi bulak, kaki-kaki pebukitan, pategalan dan pinggir hutan.

Baru setelah matahari turun Ki Rangga merasa letih.

“Kita beristirahat sebentar,“ berkata Ki Rangga ketika mereka berada disebuah tikungan yang dibayangi oleh rimbunnya pohon gayam yang besar.

Kelima orang itupun kemudian berhenti dibawah pohon gayam itu. Angin yang bertiup terasa segar menyentuh kulit diteriknya panas matahari itu.

“Aku dapat tertidur disini,“ berkata Ki Rangga. Risang tersenyum. Katanya, “Akupun pernah tidur digubug di siang yang terik seperti ini. Dibawah gubug mengalir air yang jernih, sedangkan batang padi terayun-ayun oleh semilirnya angin dari pegunungan.”

“Menyenangkan sekali,“ desis Ki Rangga.

Namun dalam pada itu, selagi mereka sedang beristirahat, seseorang yang berada diatas gumuk kecil, memperhatikan mereka dengan saksama. Namun ia berusaha agar terlindung oleh semak-semak yang tidak begitu lebat.

“Siapa pula orang-orang itu?“ berkata orang itu kepada diri sendiri. Ia mengenal Risang, orang yang berhak untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan di Sembojan. Tetapi yang lainnya orang itu belum mengenalnya.

“Nampaknya memang sulit untuk memasang kendali dihidung anak muda itu. Tetapi memang harus dicoba,“ berkata orang itu kemudian.

Beberapa saat orang itu mengamati kelima orang yang beristirahat dibawah pohon gayam itu. Namun kemudian kelima orang itupun telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu kembali ke padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan.

Ternyata perjalanan keliling Tanah Perdikan itu cukup lama. Sore hari mereka baru memasuki regol halaman rumah Nyi Wiradana yang nampaknya telah lama menunggu.

Makan siang yang telah disiapkan sudah menjadi dingin, sehingga harus dipanasi kembali.

Tetapi nampaknya Ki Rangga Kalokapraja merasa senang melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Sembojan yang semakin lama menjadi semakin maju. Kehidupan rakyatnyapun nampak menjadi semakin sejahtera pula.

Ternyata apa yang dilihatnya itu akan menjadi laporan, sehingga tidak akan ada keragu-raguan lagi mewisuda Risang menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi Tanah Perdikan itu sudah terlalu lama tidak memiliki Kepala Tanah Perdikan. Yang ada adalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang dipegang oleh seorang perempuan. Namun Ki Rangga Kalokaprajapun sudah mengetahui, meskipun seorang perempuan, namun Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan adalah seorang yang memiliki ilmu dan pengetahuan yang tinggi, serta kepemimpinan yang berwibawa.

Malam itu, Ki Rangga Kalokapraja benar-benar telah menginap dirumah Nyi Wiradana bersama seorang pembantunya. Risang ternyata masih sempat memanggil lima orang yang memiliki kemampuan dibidang karawitan untuk sekedar memetik siter, gender, gendang dan gong dipendapa rumahnya.

Sambil mendengarkan siteran, maka Ki Rangga Kalokapraja telah berbincang-bincang panjang lebar dengan Risang dipendapa ditemani oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung yang sangat senang mendengarkan siteran. Meskipun tidak tampil dipendapa, tetapi Bibipun duduk mendengarkan diruang dalam. Sekali-sekali Bibi ikut bertepuk kecil mengikuti irama siter itu.

“Kenapa kau tidak pergi kependapa saja?“ bertanya Nyi Wiradna, “Jika kau mau, suaramu tentu masih mampu menggetarkan pendapa.”

Bibi tertawa. Katanya, “Dilengkapi dengan saron dan bonang, maka kita sudah mendapatkan satu perangkat gamelan untuk mengadakan pertunjukan keliling. He, bukankah kau masih dapat menari.”

Iswari itupun tersenyum pula sambil berkata, “Apakah aku akan menari saat Risang diwisuda?”

Bibipun tertawa pula, sementara suara gamelan di pendapa menyusup dibawa angin yang lembut ke ruang dalam.

Kiai Soka yang juga senang mendengarkan siteran telah duduk pula dipendapa. Namun Nyai Soka nampaknya lebih senang duduk diruang dalam bersama Nyi Wiradana dan Bibi. Sementara Kiai Badra agak lebih cepat mengantuk, sehingga telah lebih dahulu masuk kedalam biliknya.

Lewat sedikit tengah malam, maka Risangpun telah mempersilahkan Ki Rangga Kalokapraja untuk beristirahat.

Namun sementara itu, seorang yang asing berada diantara beberapa orang yang ikut mendengarkan siteran itu dihalaman. Orang itupun kemudian mendapat keterangan bahwa yang datang itu adalah utusan dari Pajang.

Orang itu tidak bertanya lebih lanjut. Ia masih ikut mendengarkan beberapa saat. Namun kemudian orang itupun telah meninggalkan tempat itu.

Ternyata siteran itu sendiri berlangsung sampai menjelang fajar. Meskipun Ki Rangga dan pembantunya telah masuk kedalam biliknya di gandok kanan, namun orang-orang Sembojan sendiri masih mendengarkan siteran itu. Diantara mereka ada yang naik kependapa, tetapi ada juga yang lebih senang dihalaman.

“Kenapa tidak naik?“ bertanya salah seorang pembantu rumah Nyi Wiradana.

“Aku lebih senang duduk disini. Setiap saat aku dapat pergi dan kembali lagi. Jika haus aku dapat mencari minum di belakang,“ jawab orang itu sambil tertawa.

Sementara itu, pembantu rumah itu berdesis, “Jika Gandar ada, maka ia akan ikut menabuh gamelan itu.”

“Dimana Gandar?“ bertanya orang yang duduk dihalaman.

Pembantu rumah itu menggeleng. Ia memang tidak tahu bahwa Gandar berada disebuah padepokan yang agak jauh untuk beberapa lama.

Demikianlah, ketika matahari terbit, Ki Rangga Kalokapraja telah selesai berbenah diri. Demikian pula pembantunya telah siap untuk menempuh perjalanan kembali ke Pajang. Sementara itu makan pagipun telah disiapkan pula.

Sambil makan Ki Rangga sempat mengingatkan Risang agar datang sepekan sebelum wisuda dilaksanakan.

“Segala sesuatunya akan pasti. Sehari sebelum wisuda, aku akan datang lagi ke Tanah Perdikan untuk mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk tempat untuk menginap para pemimpin yang akan menghadiri wisuda itu,“ berkata Ki Rangga Kalokapraja.

“Baik Ki Rangga,“ jawab Risang, “aku tidak akan dapat melupakannya.”

Dengan demikian, setelah makan pagi, maka Ki Rangga Kalokapraja dan pembantunya telah minta diri kepada Nyi Wiradana selaku Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan serta kepada orang-orang tua yang banyak memberikan petunjuk dan tuntunan kepada Risang.

“Terima kasih atas kesediaan Ki Rangga datang ke Tanah Perdikan ini,“ berkata Nyi Wiradana.

“Bukankah aku sekedar menjalankan tugas?“ desis Ki Rangga sambil tersenyum.

“Tetapi Ki Rangga tidak sekedar memerintahkan orang lain datang kemari atau sekedar memanggil kami yang ada di Tanah Perdikan,“ sahut Nyi Wiradana.

“Bukankah dengan demikian aku dapat melihat langsung keadaan Tanah Perdikan ini?“ berkata Ki Rangga pula.

Ketika matahari mulai memanjat naik, maka Ki Rangga dan pembantunya itupun meninggalkan padu-kuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Ki Rangga ternyata ikut bersama keluarga Tanah Perdikan Sembojan menjadi gembira bahwa sekitar sebulan lagi akan dilakukan wisuda sehingga Tanah Perdikan itu akan memiliki seorang pemimpin yang mantap.

Kicau burung rasa-rasanya ikut menyambut kabar gembira yang dibawakan oleh Ki Rangga Kalokapraja, sedangkan kilat pantulan embun yang masih tersangkut di batang padi rasa-rasanya seperti senyum segar seisi Tanah Perdikan itu.

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam: Angin pagi terasa sejuk mengusap wajahnya.

Dalam pada itu, sepeninggal Ki Rangga, maka Nyi Wiradana telah mengumpulkan beberapa orang pembantu dekatnya. Bersama Risang mereka membicarakan kepu-tusan Pajang untuk menyelenggarakan wisuda itu sebulan lagi.

“Kita harus segera bersiap-siap. Waktu yang sebulan itu akan terasa sangat pendek. Kita akan menerima beberapa orang tamu dari Pajang. Selain seorang pemimpin yang akan mewakili Kangjeng Adipati, mewisuda Risang, tentu saja akan hadir beberapa orang tamu yang lain. Seperti yang dikatakan oleh Ki Rangga Kalokapraja, bahwa ia akan datang sehari sebelumnya untuk mengatur penginapan para tamu itu. Karena itu, bukankah sebelumnya kita harus sudah bersiap-siap,“ berkata Nyi Wiradana.

“Kita pada saatnya akan mengundang keempat orang Demang dilingkungan Tanah Perdikan ini ibu,“ berkata Risang.

“Ya. Jika perlu para bekel,“ sahut Nyi Wiradana.

Risangpun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku akan menyampaikan kabar ini kepada para Demang. Para Demang itu tentu akan memperluas kabar ini kepada para Bekel. Kita semuanya memang harus membuat satu suasana khusus sehingga seisi Tanah Perdikan dapat merasakan kegembiraan ini,“ berkata Risang.

“Ya. Bahkan sejak awal,“ sahut Nyi Wiradana.

“Aku akan memberitahukan kepada Kasadha,“ berkata Risang kemudian, “ia harus ikut bergembira bersama kita disini, karena sebenarnyalah ia memang menjadi bagian dari Tanah Perdikan ini. Bukankah ibu tidak berkeberatan?”

Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku setuju. Aku yakin, bahwa Kasadha sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap Tanah Perdikan ini. Apalagi kedudukannya dilingkungan keprajuritanpun memanjat dengan cepat diusia mudanya.”

Namun tiba-tiba suara Risang merendah, “Tetapi bagaimana dengan ibunya, ibu. Seandainya ibunya juga ingin melihat Tanah Perdikan ini. Mungkin ada semacam kerinduan yang tersimpan dihatinya, sehingga ia menyatakan untuk ikut bersama Kasadha datang ke Tanah Perdikan ini?”

Wajah Nyi Wiradana yang dimasa kanak-kanaknya dipanggil Iswari itu termangu-mangu sejenak. Keragu-raguan yang tajam telah mencengkam jantungnya.

Namun dalam pada itu, Sambi Wulung pun berkata, “Sebaiknya hal itu tidak usah kita pikirkan sekarang. Jika kau bertemu dengan Kasadha, maka kau akan dapat menduga, apakah ibunya akan diajaknya ke Tanah Perdikan ini atau tidak.”

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Luka yang dalam didasar jantungnya memang sulit untuk dibersihkan bekas-bekasnya. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Kita akan memikirkannya kelak. Aku akan tunduk kepada keputusan kalian. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya tersimpan didalam hatinya. Berbeda dengan Kasadha yang sikap lahir dan batinnya aku yakini.”

Risangpun tidak membicarakannya lebih panjang. Ia tahu, bahwa ibunya baru mencari keseimbangan batin menghadapi Warsi, isteri Ki Wiradana yang hampir saja merenggut jiwanya seandainya Bibi tidak diperciki oleh terang dari Yang Maha Agung pada saat itu.

Dengan demikian, maka sejak hari itu Tanah Perdikan Sembojan menjadi sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut hari yang besar itu. Ketika Risang memberitahukan hal itu kepada keempat orang Demang dilingkungan Tanah Perdikan Sembojan, maka sambutannya benar-benar menggembirakan. Demang Banyu Urip dengan serta berkata, “Berapa ekor lembu yang akan dipotong. Biarlah Banyu Urip yang menyediakannya.”

Risang tersenyum. Katanya, “Itu masih belum kami hitung, paman. Tetapi sebelumnya aku mengucapkan terima kasih.”

Ternyata Demang yang lainpun telah menawarkan apa saja yang diperlukan untuk keramaian wisuda itu. Beras, kelapa, kambing dan ayam berapapun yang dibutuhkan, para Demang akan menyiapkan.

Risang mengangguk-angguk saja. Namun sebenarnya ia merasa gembira pula, bahwa kehadirannya sebagai pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan diterima dengan senang hati oleh rakyat Tanah Perdikan itu.

Namun ketika malam kemudian tiba, maka angan-angan Risang mulai menerawang jauh kemasa-masa mendatang. Ia mulai berpikir tentang orang yang akan dapat dibawa bersama-sama memerintah Tanah Perdikan itu.

“Aku tidak akan dapat menemukan orang seperti ibuku,“ berkata Risang didalam hatinya, “selain memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi, ibu cukup bijaksana dan mampu menempatkan diri. Perkawinannya yang kurang cerah membuatnya kehilangan gairah untuk berumah tangga lagi. Namun segala yang ada didalam dirinya telah dicurahkan bagi Tanah Perdikan Sembojan serta bagi anaknya, aku,“ namun tiba-tiba saja ia berdesis, “Bukan. Bukan sekedar karena kekecewaan ibu dalam perkawinan yang gagal itu ibu tidak mau berumah tangga lagi, tetapi ternyata ibu memiliki kesetiaan yang seakagr-akan tidak bertepi meskipun ibu telah dikhianati.”

Risang menarik nafas dalam-dalam. Angan-angan-nyapun segera merambat kepada seorang gadis yang bernama Riris.

Namun tiba-tiba saja Risang berkata kepada diri sendiri, “Besok selambat-lambatnya lusa aku akan pergi ke Pajang. Kasadha harus segera mengetahui rencana wisuda ini. Ia pagi-pagi harus ikut bergembira dengan seluruh rakyat Tanah Perdikan Sembojan.”

Pagi-pagi, demikian ia bertemu dengan ibunya, maka iapun telah mengatakan rencananya untuk pergi ke Pajang.

“Bukankah kau baru diminta datang sepekan sebelum hari wisuda?“ bertanya ibunya.

“Aku akan menemui Kasadha. Bukan Ki Rangga Kalokapraja. Aku harus memberitahukan kepadanya, bahwa dalam waktu dekat wisuda itu akan diselenggarakan. Ia harus ikut bergembira bersama kita sejak rencana itu dibuat. Bukan dengan tiba-tiba. Jika aku menemuinya sepekan sebelum wisuda, maka rasa-rasanya segalanya terjadi dengan tiba-tiba. Ia tidak dapat ikut merasakan kegembiraan itu sejak awal.”

Ibunya tersenyum. Tetapi Iswari itu melihat, bahwa yang mendorong Risang untuk segera pergi ke Pajang tentu bukan hanya keinginannya menyampaikan hal itu kepada Kasadha. Tetapi tentu ada hal lain yang telah mendorongnya melakukannya. Apalagi sejak sebelum berita tentang wisuda itu didengar, Risang sudah sering minta ijin untuk pergi ke Pajang.

Karena itu, maka ibunya itupun kemudian menjawab, “Baiklah Risang. Jika kau ingin segera memberitahukan hal ini kepada Kasadha. Pergilah.”

“Aku akan pergi besok ibu,“ berkata Risang kemudian.

Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, “Siapakah yang akan kau ajak pergi bersamamu? Atau Sambi Wulung dan Jati Wulung berdua?”

“Tidak ibu. Aku lebih senang pergi sendiri,“ jawab Risang.

Ibunya masih saja tersenyum, “Terserahlah kepadamu. Tetapi sebagai seorang yang akan diwisuda, maka sebaiknya kau menjaga dirimu sebaik-baiknya agar sampai pada saat wisuda kau tidak mengalami hambatan apapun.”

“Bukankah selama ini aku sudah selalu hilir mudik ke Pajang seorang diri? Agaknya kekacauan dan ketidak pastian sudah lewat ibu. Jalan ke Pajang sudah menjadi semakin ramai. Para pedagangpun hilir mudik tanpa gangguan diperjalanan,“ berkata Risang.

“Baiklah. Tetapi kau harus tetap berhati-hati,“ pesan ibunya.

Hari itu justru menjadi hari yang gelisah bagi Risang. Terasa segala sesuatunya menjadi lamban. Meskipun hari itu juga diisinya dengan berlatih di sanggar bersama neneknya, namun-rasa-rasanya hari menjadi sangat panjang.

“Kau tidak dapat memusatkan perhatianmu hari ini Risang,“ berkata neneknya, “Apakah kau ingin kedua kakekmu juga menungguimu? Keduanya kini sedang berada diserambi kanan. Keduanya sedang mengolah satu unsur yang pelik yang harus kau lintasi dalam latihan-latihanmu agar unsur itu dapat kau kuasai dengan baik tanpa mengganggu keadaan tubuhmu.”

Tetapi pertanyaan Risang justru aneh, “Kenapa nenek tidak ikut memecahkannya?”

“Aku sudah ikut melakukannya semalam. Yang dilakukan oleh kedua kakekmu sekarang adalah pelaksanaannya saja,“ berkata Nyai Soka.

Risang mengangguk-angguk kecil. Namun neneknya itu bertanya, “Apakah ada sesuatu yang mengganggu pemusatan nalar budimu?”

“Tidak nek. Tidak,“ jawab Risang.

“Kapan kau akan pergi ke Pajang?“ bertanya neneknya pula.

“Besok nek,“ jawab Risang.

Nyai Soka menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa anak itu sedang gelisah. Agaknya ia memang ingin segera pergi ke Pajang untuk satu keperluan yang tentu bukan sekedar memberitahu Kasadha.

Tetapi Nyai Soka tidak bertanya lebih jauh. Bahkan katanya, “Baiklah. Kita tidak meneruskan latihan hari ini.”

***

Jilid 45

RISANG termangu-mangu sejenak Sambil mengerutkan dahinya ia bertanya, “Kenapa kita tidak meneruskan latihan ini, nek?”

“Tidak apa-apa. Tetapi nampaknya kau tidak dapat memusatkan perhatianmu pada latihan ini.“ jawab neneknya.

“Aku akan berusaha, nek,“ desis Risang kemudian.

Tetapi neneknya menggeleng. Katanya, “Biarlah hari ini kau beristirahat. Bukankah kau besok akan pergi ke Pajang?”

“Tetapi aku dapat berusaha memusatkan perhatianku hari ini, nek,“ sahut Risang.

“Tidak Risang. Sebaiknya kita meneruskan latihan-latihan setelah kau kembali dari Pajang. Sementara itu, kedua orang kakekmu tentu sudah menyelesaikan salah satu unsur yang sedang mereka bicarakan hari ini. Bahkan akupun akan dapat ikut membicarakannya pula,“ berkata neneknya kemudian.

“Apakah nenek marah?“ bertanya Risang agak cemas.

“Tidak. Kenapa nenek marah? Aku tahu bahwa angan-anganmu sudah berada diperjalanan ke Pajang sehingga yang tertinggal disini adalah wadagmu saja. Kosong, tanpa jiwa,“ jawab neneknya yang memang agak kesal.

Tetapi Nyai Soka itupun kemudian tersenyum sambil berkata, “Sudahlah. Jangan pikirkan. Kau tentu ingin segera berada di Pajang, dengan siapapun kau ingin bertemu. Karena itu, bagaimanapun kau berusaha, namun kau akan tetap sulit untuk dapat memusatkan nalar budimu pada latihan ini. Tetapi tidak apa. Kau memang tidak boleh tergesa-gesa dengan penguasaan ilmumu. Kau harus benar-benar bersiap lahir dan batin untuk menerima puncak ilmu Janget Kinatelon.”

Risang mengangguk-angguk. Namun ia tidak berani menatap wajah neneknya meskipun ia tahu bahwa neneknya itu tersenyum. Tetapi iapun tahu bahwa neneknya memang agak kecewa.

“Sudahlah. Aku akan menemui kedua kakekmu dan ikut berbicara tentang unsur yang satu itu. Yang akan dapat kau pergunakan sebagai pancadan untuk sampai ke puncak ilmumu,“ berkata Nyai Soka kemudian.

Keduanyapun kemudian meninggalkan sanggar itu. Nyai Soka memang pergi ke serambi kanan untuk bersama-sama dengan Kiai Badra dan Kiai Soka memecahkan satu masalah yang pelik yang terdapat pada salah satu unsur yang harus dikuasai oleh Risang sebelum ia sampai pada puncak ilmunya.

Risang sendiri memang merasa bersalah. Tetapi ia benar-benar tidak dapat menguasai dirinya yang gelisah. Ia selalu saja membayangkan perjalanannya ke Pajang untuk menemui Kasadha besok di Pajang. Namun sebenarnyalah bahwa yang membuatnya lebih gelisah adalah niatnya untuk singgah menemui Riris untuk menyampaikan berita yang menggembirakan bagi Tanah Perdikan Sembojan itu. Bahkan Risangpun berharap semoga Ririspun menjadi gembira pula karenanya.

“Aku tidak tahu apakah ia tertarik kepada berita ini atau tidak sama sekali,“ berkata Risang didalam hatinya.

Hari itu memang terasa jauh lebih panjang dari hari-hari sebelumnya. Namun akhirnya malampun turun. Tanah Perdikan Sembojanpun diselimuti oleh kegelapan yang semakin lama semakin pekat.

Tetapi malam itu bagi Risang justru terasa sangat menggelisahkan. Udara terasa panas. Apalagi matanya menjadi sulit untuk dipejamkan. Bunyi kentongan di gardu sejak wayah sepi bocah, sepi uwong, tengah wengi dan kokok ayam jantan di tengah malam, dini hari dan menjelang fajar, dapat didengarnya semua. Jika ia terpejam sesaat itu hanya sekedar terlena. Namun sejkejap kemudian matanya itupun telah terbuka kembali.

Dalam kegelisahannya, udara malam terasa panas, sehingga Risang telah membuka bajunya.

Tidak dapat tidur semalam suntuk dalam kegelisahan memang terasa sangat menyiksa. Namun, demikian terdengar ayam jantan berkokok menjelang fajar, maka Risang itupun menarik nafas dalam-dalam. Dikenakannya bajunya sambil melangkah keluar dari biliknya.

Seperti biasa Risangpun segera pergi ke pakiwan, menimba air untuk mengisi jambangan. Kemudian mandi dan berbenah diri. Ia ingin berangkat ke Pajang sebelum matahari terasa membakar kulit.

Namun seperti biasanya, ibunya tentu minta kepadanya, agar ia makan pagi lebih dahulu. Kemudian minta diri kepada kedua kakek dan kepada neneknya. Sehingga akhirnya Risang berangkat ke Pajang setelah matahari mulai naik dan sinarnya sudah terasa gatal dikulit.

Demikian Risang lepas dari padukuhan induk, maka kudanyapun segera berlari kencang. Meskipun Risang sadar, bahwa ia tidak terikat oleh waktu, namun seakan-akan ada yang membuatnya tergesa-gesa.

Namun yang kemudian dipikirkannya, apakah ia akan menemui Kasadha lebih dahulu, atau ia akan singgah dirumah Riris.

“Lebih baik aku pergi ke Pajang lebih dahulu,“ berkata Risang kepada dirinya sendiri, “sambil kembali ke Tanah Perdikan, aku dapat singgah dirumah Riris. Aku akan merasa lebih tenang karena aku tidak mempunyai kepentingan yang lain.”

Risangpun kemudian berketetapan untuk pergi ke Pajang lebih dahulu untuk menemui Kasadha. Baru kemudian, ia akan singgah dirumah Riris. Memang masih terbayang sikap Sumbaga yang memusuhi orang-orang yang datang kerumah Ki Rangga Dipayuda.

“Mudah-mudahan ia sudah berubah,“ desis Risang. Bahkan kemudian katanya kepada diri sendiri, “Ia akan menyadari bahwa ia telah salah langkah.”

Demikianlah, maka Risangpun telah berpacu dengan matahari yang semakin tinggi. Panasnya mulai terasa menggigit kulit. Keringatpun mulai membasahi pakaian Risang. Namun Risang seakan-akan telah menjadi kebal akan sinar matahari. Setiap hari ia selalu berada dipanasnya sinar matahari apapun yang dikerjakan.

Ketika Risang memasuki gerbang kota Pajang, maka Risang telah memperlambat derap kaki kudanya. Jalan-jalan didalam kota memang terasa lebih ramai. Orang berjalan hilir mudik, sementara ada juga diantara mereka yang berkuda. Bahkan anak-anak mudapun banyak yang berkuda melintas jalan-jalan raya. Bahkan kadang-kadang tanpa menghiraukan sibuknya lalu-lintas di jalan yang semakin terasa sempit itu. Bukan jalannya yang menjadi sempit, tetapi muatannyalah yang bertambah-tambah.

Apalagi sejak Pajang menjadi semakin tenang dalam kepemimpinan yang tertib.

Risang memang sempat melihat-lihat keadaan kota sejenak. Namun ketika ia sampai disebuah simpang tiga yang satu diantaranya menuju ke rumah Ki Rangga Kalokapraja, maka Risang justru memilih jalan yang lain, yang menuju ke barak prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda dan beberapa orang Rangga. Diantaranya adalah Ki Rangga Dipayuda, ayah Riris.

Kedatangan Risang telah disambut dengan gembira oleh Kasadha dan bahkan Ki Rangga Dipayuda. Namun karena keduanya sedang sibuk di sanggar terbuka untuk melatih beberapa orang prajurit yang ditempa secara khusus, maka Risangpun dipersilahkan untuk menunggu sejenak.

Baru beberapa saat kemudian, Kasadha datang menemuinya dengan keringat yang masih membasahi tubuhnya. Sambil mengusap keringat dikeningnya ia berkata sambil tertawa, “Aku minta maaf, tidak dapat segera menerima kedatanganmu.”

“Tidak apa. Aku tahu bahwa kau bukan seorang penganggur disini. Tetapi kau adalah seorang prajurit yang mempunyai tugas-tugas tertentu. Nah, jika kau sedang menjalankan tugas, maka aku memang tidak boleh mengganggumu,“ berkata Risang sambil tertawa pula.

Demikianlah, maka Kasadhapun mempersilahkan Risang yang baginya terbiasa dipanggil Barata, kebilik khususnya. Bersama Ki Rangga Dipayuda, Kasadha menerima Barata yang sudah beberapa lama tidak bertemu.

“Bukankah segala sesuatunya baik di Tanah Perdikanmu?“ bertanya Ki Rangga Dipayuda.

“Ya, Ki Rangga,“ jawab Barata, “segala sesuatunya berjalan dengan baik. Tidak ada hambatan apapun juga sampai hari ini. Semoga untuk selanjutnya juga demikian,“ jawab Barata. Rasa-rasanya ia ingin segera menyampaikan berita gembira tentang Tanah Perdikan nya. Namun ia masih menahan diri untuk menyimpan berita itu sampai pada saat yang tepat.

Karena itu maka pembicaraan mereka justru telah bergeser kesana-kemari. Mereka berbicara tentang keselamatan lingkungan mereka masing-masing. Tentang pekerjaan mereka sehari-hari dan tentang apa saja yang dapat mereka bicarakan dengan gembira.

Beberapa saat kemudian, maka Kasadhapun telah menyelinap ke dapur untuk mengambil minuman bagi tamunya dari Sembojan itu.

“Ada juga hidangan disini,“ desis Barata.

“Sebentar lagi aku akan menghidangkan makan siang. Bukankah matahari telah melewati puncaknya?“ jawab Kasadha.

Barata tertawa. Ki Ranggapun tertawa pula. Katanya “Kau minta hidangan apa saja. Disini tersedia sesuai dengan selera setiap orang didalam barak ini.”

Baru kemudian setelah Barata minum, iapun berkata “Aku membawa berita yang bagiku sangat menggembirakan. Aku cepat-cepat datang kemari dengan harapan bahwa kalianpun akan dapat ikut bergembira bersama aku dan seluruh keluarga Tanah Perdikan Sembojan.”

“Berita apakah yang kau bawa?“ bertanya Ki Rangga Dipayuda sambil mengerutkan dahinya. Sementara Kasadhapun nampaknya juga segera ingin tahu.

Barata termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Apakah berita itu akan membuat Kasadha ikut bergembira atau justru sebaliknya.

Karena Barata tidak segera menjawab, maka Kasadhapun mendesaknya, “Kau membuat jantungku berdebar-debar.”

Barata memandang Ki Rangga dan Kasadha berganti-ganti. Keragu-raguan memang membayang diwajahnya.

Namun kemudian iapun berkata, “Di Tanah Perdikan Sembojan akan dilaksanakan wisuda.”

“Wisuda,“ Kasadha mengulang, “maksudmu wisuda Kepala Tanah Perdikan Sembojan?”

“Ya,“ jawab Barata dengan nada berat.

Wajah Kasadha tiba-tiba saja berbinar cerah. Sambil memberikan salam dan mengguncang tangan Barata, Kasadha berkata, “Selamat Barata, Selamat. Aku adalah orang yang pertama memberikan ucapan selamat kepadamu. Mudah-mudahan segalanya dapat berlangsung dengan lancar dan selamat.”

Wajah Baratapun menjadi cerah. Ia melihat kegembiraan yang serta merta diwajah Kasadha. Bukan sekedar dibuat-buat untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

Sementara itu, Ki Ranggapun telah menyampaikan pernyataan selamat pula kepada Barata. Dengan nada gembira Ki Rangga berkata, “Kau pantas untuk menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan. Meskipun sebenarnya kau masih terlalu muda, namun nampaknya kau telah ditempa oleh keadaan sehingga kau nampak cukup dewasa untuk menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan yang besar seperti Sembojan. Aku yakin bahwa pengalamanmu dan tuntunan yang kau terima dari orang-orang tua di Tanah Perdikan akan dapat membuatmu menjadi seorang yang sesuai dengan jabatan yang bakal kau sandang. Kepala Tanah Perdikan.”

“Terima kasih Ki Rangga. Aku mohon restu. Bukan saja dari kejauhan, tetapi aku mohon Ki Rangga dan Kasadha merestui wisuda itu langsung di Tanah Perdikan Sembojan. Tegasnya, aku mohon Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha bersedia hadir untuk menyaksikan wisuda itu.”

“Kapan wisuda itu akan dilaksanakan?“ bertanya Kasadha.

“Masih sebulan lagi,“ jawab Barata, “hari dan saatnya masih akan ditentukan kemudian.”

“Masih cukup waktu,“ desis Ki Rangga Dipayuda, “tetapi tolong beri tahu kami jika saatnya telah mendekat. Aku benar-benar ingin datang ke Tanah Perdikan Sembojan di saat wisuda itu dilakukan.”

“Aku juga,“ berkata Kasadha kemudian, “katakan kepastiannya saat wisuda itu dilakukan. Jangan terlalu dekat, agar aku dapat bersiap-siap.”

“Lima hari dari jarak sebulan itu aku diminta untuk datang kerumah Ki Rangga Kalokapraja untuk mendapatkan kepastian saat wisuda itu. Hari, saatnya dan salah seorang Nayaka Praja yang akan mewakili Kangjeng Adipati mewisuda Kepala Tanah Perdikan itu. Sehingga kami di Tanah Perdikan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan segala sesuatunya,“ berkata Barata.

“Waktunya hanya sepekan?“ bertanya Kasadha.

“Tetapi sejak sekarang kami sudah dapat mempersiapkannya. Seandainya ada perubahan penting, maka Ki Rangga Kalokapraja tentu akan memberitahukan dengan segera,“ jawab Barata.

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jadi waktunya hampir pasti sebulan lagi sejak kau mendapat keterangan tentang wisuda itu.”

“Ya,“ jawab Barata, “apalagi yang menyampaikan kepadaku adalah Ki Rangga Kalokapraja sendiri, sehingga menurut pendapatku maka segala sesuatunya tentu sudah masak.”

“Agaknya memang demikian,“ sahut Ki Rangga Dipayuda, “jika Ki Rangga Kalokapraja sendiri datang ke Tanah Perdikan Sembojan, maka agaknya semuanya sudah hampir pasti.”

Kasadha mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba dahinya berkerut. Dengan nada ragu ia bertanya, “Apakah aku pantas memberi tahukannya kepada ibu?”

Pertanyaan itu telah mengetuk jantung Barata. Namun karena selain Barata dan Kasadha hadir juga Ki Rangga Dipayuda, maka Baratapun berkata, “Nanti saja kita bicarakan.”

Agaknya Kasadhapun tanggap akan jawaban itu, sehingga iapun tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Bukankah kau tidak segera ingin kembali ke Tanah Perdikanmu? Aku harap kau bermalam disini. Ki Rangga tentu tidak berkeberatan. Dan karena Ki Rangga tidak berkeberatan, maka biasanya Ki Tumenggungpun tidak berkeberatan pula.”

Ki Rangga tertawa. Katanya, “Tentu aku tidak berkeberatan. Jangankan satu hari. Dua atau tiga haripun aku dan tentu Ki Tumenggung juga tidak berkeberatan. Bukankah kau tidak akan membuat gaduh disini?”

Barata dan Kasadhapun tertawa, meskipun kedua anak muda itu telah menyembunyikan satu masalah didalam hati mereka masing-masing. Sebenarnyalah pertanyaan Kasadha tentang ibunya, agak sulit untuk dapat dijawab oleh Barata. Apalagi ketika hal itu pernah ditanyakan kepada ibunya, Nyi Wiradana belum memberikan jawaban yang pasti.

Namun baik Barata maupun Kasadha berusaha untuk tidak menunjukkan perasaan mereka.

Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Kasadha, maka Baratapun telah dibawanya pergi keruang yang lain bersama Ki Rangga. Ketika dengan heran Barata bertanya ia akan dibawa kemana, Ki Ranggalah yanag menjawab sambil tersenyum, “Menurut sajalah. Kau tidak akan dibawa kebilik tahanan.”

Baru kemudian Barata sadar, bahwa ia telah dibawa kesebuah ruang yang agak luas disebelah dapur.

“Nah, aku ingin membuktikan kata-kataku,“ berkata Kasadha, “kau akan memesan apa? Nasi liwet, serundeng kelapa, dendeng ragi, atau nasi rawon sandung lamur dengan lalaban ketimun dan seunting kemangi?”

Barata tertawa. Namun katanya, “Karena aku tidak duduk disebuah kedai, maka aku menurut saja, apa yang akan dihidangkan.”

“Bagus,“ jawab Kasadha, “aku akan memesan nasi liwet, rawon dengan lalaban, sepotong daging ayam dan kerupuk udang.”

“Ah, jangan terlalu banyak macam lauknya. Aku terbiasa makan apa adanya,“ berkata Barata.

“Tetapi kau sebulan lagi adalah Kepala Tanah Perdikan,“ sahut Kasadha.

Ki Rangga hanya tertawa saja. Dipandanginya saja Kasadha yang pergi ke dapur untuk memesan makan bagi tamunya.

Ternyata beberapa saat kemudian, seorang petugas didapur telah menghidangkan makan yang dipesan. Semangkuk nasi, semangkuk lodeh keluwih, sambal terasi dan sepotong daging lembu. Lalaban mentimun dan terung ungu.

Ki Rangga tertawa melihat hidangan itu. Baratapun tidak dapat menahan tertawanya pula sehingga perutnya terguncang. Sementara itu Kasadha berkata, “Nah, bukankah benar kataku. Lalaban mentimun?”

“Kau memang pandai membuat kejutan,“ berkata Barata, “Nasi liwet, rawon, sandung lamur, pupu gending atau dada mentok dan kerupuk udang, sambal lombok goreng dan apa lagi.”

“Tetapi ada yang tepat seperti yang aku tawarkan, lalaban mentimun,“ sahut Kasadha sambil tertawa.

“Tetapi adalah kebetulan, aku gemar sekali lodeh keluwih,“ berkata Barata kemudian.

Ternyata Barata tidak mengecewakan mereka yang memberikan suguhan. Nasi dan semua yang dihidangkan dimakannya dengan lahapnya meskipun ia tidak mampu menghabiskannya.

Sementara itu Ki Rangga Dipayuda merasa senang melihat keakraban antara keduanya. Namun dengan demikian justru terkilas bayangan hubungan kedua orang anak muda itu dengan anak gadisnya. Kedua-duanya nampaknya akrab dengan Riris, sementara memang sulit untuk mengatakan, yang manakah yang lebih baik dari keduanya. Namun bagi Ki Rangga Dipayuda, Kasadha yang seorang Lurah prajurit itu mempunyai hubungan yang lebih rapat dengan dirinya. Bahkan menjadi anak buahnya yang sedikit banyak akan mempunyai pengaruh terhadap hubungannya dengan anaknya, Riris.

Namun Ki Rangga masih selalu menyimpan persoalan itu didalam dadanya. Ia masih belum pasti apa isi Riris sebenarnya, khususnya terhadap kedua orang anak muda itu.

Demikianlah malam itu Barata benar-benar bermalam di barak Kasadha atas ijin Ki Tumenggung sebagaimana diminta oleh Kasadha. Namun dengan demikian, ketika malam mulai turun, maka keduanya telah terlibat dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh.

Tanpa hadirnya orang lain, maka Kasadha dan Barata yang duduk disebuah amben bambu panjang diserambi bilik Kasadha telah mengulangi pembicaraan mereka. Kasadha telah mengulangi lagi pertanyaannya, apakah ia dapat membawa ibunya untuk hadir pada upacara wisuda itu.

Barata memang termangu-mangu. Namun dengan terus terang ia berkata, “Kasadha, aku belum dapat menjawab pertanyaanmu. Sebenarnyalah ibu sangat mempercayaimu. Ibu menganggap kau sebagai anaknya sendiri. Tetapi, ketika kami menyinggung tentang ibumu, apakah ibumu dapat hadir di Tanah Perdikan itu atau tidak, maka ibuku menjadi ragu-ragu.”

“Jadi ternyata hal ini pernah kalian bicarakan juga di Tanah Perdikan?“ bertanya Kasadha.

“Kami telah membicarakan segala kemungkinan,“ jawab Barata.

“Apakah ibumu telah mengambil keputusan?“ bertanya Kasadha kemudian.

Barata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ibu menyerahkan segalanya kepada kami.”

“Kami siapa?“ desak Kasadha.

“Maksudku, aku dan orang-orang tua di Tanah Perdikan,“ jawab Barata.

“Dan bagaimana keputusan mereka?“ desak Kasadha lebih lanjut.

Barata memandang Kasadha dengan tajamnya. Namun kemudian jawabnya, “Tidak ada yang menolak kehadiran ibumu.”

“Jadi ibumu masih tetap bimbang?“ bertanya Kasadha dengan nada dalam. Bahkan hampir tidak terdengar oleh Barata.

Barata menelan ludahnya. Dengan nada dalam ia berkata, “Kasadha, aku harap kau dapat mengerti, kenapa ibuku masih saja ragu-ragu. Peristiwa berpuluh tahun yang lalu itu tidak mudah dilupakannya, karena hampir saja melepaskan nyawanya. Justru saat itu ibu sedang mengandung.”

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Aku dapat mengerti Barata. Namun sekarang ibuku benar-benar telah menyesali perbuatannya. Bahkan ibu telah melakukan satu perbuatan yang sangat pahit bagi perasaannya. Entah aku pernah mengatakan hal ini kepadamu atau belum, bahwa ibuku telah membunuh laki-laki yang pernah hadir didalam hidupnya. Seakan-akan merupakan satu putaran peristiwa, bahwa ibuku harus menebus dosanya.”

Barata menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Warsi, ibu Kasadha yang saat dilahirkan bernama Puguh itu, tentu sudah berubah sama sekali.

Dengan nada lembut Barata kemudian berkata, “Kasadha, biarlah aku berusaha meyakinkan ibuku. Tetapi dihadapan orang-orang tua di Tanah Perdikan, ibu sudah pernah menyerahkan persoalan itu.”

“Tetapi itu belum dapat diartikan, bahwa ibumu benar-benar telah melupakan peristiwa yang sangat menyakitkan hatinya itu. Bahkan bukan saja melupakan, tetapi memaafkan.”

“Aku berjanji Kasadha,“ jawab Barata, “aku akan meyakinkan ibuku sehingga ibuku akan melupakan dan bahkan memaafkan apa yang pernah terjadi itu.”

“Aku berterima kasih kepadamu Barata. Dengan demikian tidak ada persoalan lagi diantara kita. Kita akan dapat hidup tenang dalam lingkungan keluarga besar,“ berkata Kasadha kemudian. Namun dengan nada rendah ia berkata, “tetapi aku juga masih belum berbicara dengan ibuku. Apakah ibuku bersedia datang ke Tanah Perdikan Sembojan juga masih satu pertanyaan. Bukan karena ibuku tidak dapat melupakan peristiwa yang pernah terjadi itu. Tetapi justru karena ibuku merasa tidak berharga lagi untuk menyentuh Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi mengaku sebagai anggauta keluarga besar Tanah Perdikan itu. Tetapi akupun akan meyakinkan, bahwa ibu telah dimaafkan oleh keluarga Tanah Perdikan Sembojan,“ Kasadha itu berhenti sejenak. Lalu katanya, “Tetapi dari mana kita akan mulai? Apakah aku menunggu kepastianmu bahwa ibuku dapat diterima di Tanah Perdikan kemudian aku minta ibuku untuk hadir di Tanah Perdikan atau sebaliknya, aku akan bertanya lebih dahulu kepada ibuku, apakah ia akan datang ke Tanah Perdikan atau tidak. Jika ibu bersedia datang, maka barulah kau minta kepastian, apakah ibuku dapat diterima atau tidak, karena kedua-duanya mengandung kemungkinan dapat menimbulkan persoalan batin.”

“Ya,“ Barata mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa ibu Kasadha akan dapat tersinggung, jika ia sudah menyatakan bersedia hadir, ternyata ibunya menolaknya. Sebaliknya seandainya ibunya akan bersedia menerimanya, namun ibu Kasadha itu tidak bersedia hadir karena perasaan bersalah. Namun akan dapat menim bulkan salah paham seakan-akan Warsi itu menolak untuk hadir.

Namun akhirnya Baratapun berkata, “Tetapi baiklah. Kita akan menyampaikan persoalan ini kepada ibu kita masing-masing. Sepekan sebelum wisuda kita akan bertemu lagi. Kita tentu akan dapat berbicara lebih lanjut.

“Aku setuju,“ jawab Kasadha, “jika terjadi salah paham, kita akan berusaha menyelesaikannya.”

Dengan demikian maka akhirnya kedua orang bersaudara itu telah bertekad untuk menjadi jembatan antara kedua orang ibu mereka masing-masing agar mereka dapat melupakan permusuhan yang pernah terjadi untuk waktu yang lama.”

Malam itu, ketika terdengar suara kentongan ditengah malam, maka keduanyapun telah masuk kedalam bilik Kasadha. Barata yang bermalam di barak itu telah ikut tidur di bilik itu pula.

Pagi-pagi sekali keduanya sudah terbangun. Baratapun segera pergi ke pakiwan untuk mandi. Ia akan berangkat kembali ke Tanah Perdikan Sembojan saat matahari terbit.

Namun Kasadha telah menghambat saat keberang-katan Barata. Katanya, “Kau belum mencicipi kendo udang barak ini. Kendo udang dengan sambal goreng ati rempela yang pedas. Rempeyek kacang goreng sangan dan empal daging lembu.”

Barata tertawa. Tetapi ia tidak menolak. Waktu keberangkatannya diundurnya beberapa saat.

Sementara itu ketika ia berada diruang sebelah dapur bersama Kasadha, maka yang dihidangkannya adalah oyok-oyok lembayung, kerupuk abang dan ikan lele yang digoreng kering.

“Sudah agak lama aku tidak makan kendo urang,“ desis Barata, “kebetulan aku menemukannya disini.”

Kasadha tidak dapat menahan tertawanya sehingga para prajurit yang sedang makan diruang itu berpaling kepadanya. Namun Kasadha tidak menghiraukannya. Apalagi ketika Baratapun tertawa pula. Bahkan beberapa orang prajurit yang melihatnya tanpa mengetahui persoalannya telah ikut tertawa pula.

Demikianlah beberapa saat kemudian keduanya telah melangkah menghadap Ki Rangga Dipayuda untuk minta diri sebelum mereka menghadap Ki Tumenggung. Beberapa orang prajurit yang telah mengenal Barata telah menyapanya pula. Termasuk Ki Rangga Prangwiryawan.

“Kapan kau datang?“ bertanya Ki Rangga.“

“Kemarin Ki Rangga,“ jawab Barata.

“Kau tidak mau singgah ke bilikku,“ berkata Ki Rangga Prangwiryawan yang sudah merubah sikapnya terhadap Kasadha.

“Besok lain kali Ki Rangga. Aku akan sering datang kemari,“ jawab Barata.

Keduanyapun kemudian melanjutkan langkah mereka untuk menghadap Ki Rangga. Sementara itu Kasadhapun berdesis, “Mudah-mudahan setelah ibu kita masing-masing dapat bertaut dan melupakan permusuhan yang pernah terjadi itu, maka diantara kita benar-benar tidak ada persoalan lagi.”

Barata mengangguk kecil. Katanya, “Kita akan selalu berdoa. Permusuhan tidak menguntungkan siapapun juga. Bahkan mungkin akan dapat menyeret kita kedalam kesulitan.”

Kasadha mengangguk-angguk. Namun ia tidak berbicara lagi, karena mereka sudah berdiri didepan pintu Ki Rangga Dipayuda.

Ketika Barata minta diri, maka Ki Rangga Dipayuda itupun bertanya, “Apakah kau sudah singgah dirumahku?”

“Belum Ki Rangga. Dari Sembojan aku langsung pergi kemari. Aku ingin segera menyampaikan berita gembira yang aku terima itu kepada Kasadha dan Ki Rangga,“ jawab Barata.

“Terima kasih,“ sahut Ki Rangga. Namun iapun berpesan, “Jika kau pulang nanti, tolong kau singgah sebentar dirumahku. Aku minta kau sampaikan berita gembira itu kepada keluargaku. Terutama Jangkung. Aku akan membawanya pergi ke Tanah Perdikan besok pada hari wisuda itu agar ia menyaksikan kau diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan di Tanah Perdikan Sembojan,“ pesan Ki Rangga.

Barata tidak menyangka, bahwa ia justru mendapat alasan untuk singgah dirumah Ki Rangga. Karena itu sebelum Ki Rangga mengulang, Barata telah dengan serta merta menjawab, “Baiklah Ki Rangga. Aku akan singgah di rumah Ki Rangga untuk bertemu dengan Jangkung.”

“Terima kasih,“ desis Ki Rangga kemudian.

Namun dalam pada itu wajah Kasadha tiba-tiba berubah. Untunglah bahwa Barata dan Ki Rangga Dipayuda yang sedang berbincang itu tidak memperhatikannya. Pada saat Barata berpaling kepada Kasadha, maka Kasadha telah berhasil menguasai perasaannya.

Dalam pada itu, Baratapun telah mengajak Kasadha untuk mohon diri kepada Ki Tumenggung Jayayuda.

“Marilah. Aku antar kau menghadap Ki Tumenggung,“ berkata Kasadha kemudian setelah ia menguasai, perasaannya sepenuhnya.

Setelah sekali lagi mohon diri kepada Ki Rangga Dipayuda, maka kedua anak muda itupun segera menghadap Ki Tumenggung Jayayuda. Baratapun telah mohon diri pula untuk segera kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.

Demikianlah, sesaat kemudian, maka Baratapun telah menuntun kudanya keluar dari pintu gerbang barak Kasadha. Kasadha yang mengantarnya sampai kepintu gerbang berdesis, “Hati-hati diperjalanan. Mudah-mudahan kau tidak menemui hambatan apapun juga.”

“Terima kasih,“ jawab Barata, “menjelang hari wisuda, sekitar sepekan sebelumnya, aku akan datang lagi, sekaligus menghadap Ki Rangga Kalokapraja.”

“Baiklah,“ jawab Kasadha, “sebelum itu aku akan menemui ibuku.”

Barata mengangguk sambil menjawab, “Akupun akan berbicara dengan ibuku. Semoga tidak akan ada masalah apapun.”

Kasadha tersenyum. Sementara Barata telah meloncat ke punggung kudanya sambil berkata, “Sampai bertemu.”

Kasadha berdiri termangu-mangu. Ia melihat kuda dengan Barata dipunggungnya, berlari sambil melemparkan debu. Semakin lama semakin jauh, sehingga akhirnya hilang dikelok jalan.

Kasadha menarik nafas panjang, seakan-akan anak muda itu ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Bahkan tiba-tiba saja timbul pertanyaan dihatinya, “Seandainya antara ibuku dan ibu Barata tidak lagi bermusuhan, apakah benar diantara kami tidak akan ada persoalan lagi?”

Kasadha menggelengkan kepalanya, seakan-akan ingin mengibaskan pertanyaan-pertanyaan itu dari kepalanya. Namun justru terbayang di angan-angannya Barata yang singgah dirumah Ki Rangga Dipayuda tidak untuk menemui Jangkung, tetapi justru menemui Riris.

Sekali lagi justru bagaikan terngiang ditelinganya pertanyaan, “Benarkah bahwa tidak ada persoalan lagi?”

Tiba-tiba saja Kasadha melangkah dengan cepat memasuki baraknya. Sejenak kemudian, maka Kasadha itupun telah menenggelamkan diri dalam tugas-tugasnya.

Namun beberapa orang anak buahnya, terutama pemimpin kelompoknya yang tertua melihat sesuatu yang lain pada Ki Lurah yang masih muda itu. Wajahnya seakan-akan dibayangi oleh mendung yang kelabu. Jika kedatangan sahabatnya yang dikenal bernama Barata itu disambutnya dengan gembira, namun setelah sahabatnya itu pergi seakan-akan meninggalkan kesan yang justru berlawanan.

Tetapi tidak seorangpun yang berani menanyakannya kepada Kasadha yang menjadi lebih bersungguh-sungguh melakukan tugasnya dari biasanya.

Sementara itu, Barata telah melarikan kudanya di jalan-jalan kota yang ramai, sehingga karena itu, maka Barata tidak berani berpacu terlalu kencang. Baru kemudian setelah Barata keluar dari gerbang kota, maka kudanyapun berlari lebih cepat. Jalan tidak lagi seramai jalan-jalan dalam kota Pajang. Bahkan rasa-rasanya jalan terlalu lapang. Barata tidak tertarik lagi untuk melihat-lihat kota maupun isinya, karena ia ingin segera sampai kerumah Ki Rangga Dipayuda.

Karena itu maka dengan tidak disadarinya kudanya berlari semakin lama semakin cepat, sehingga jarak yang memang tidak terlalu jauh itu telah ditempuhnya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Diperjalanan yang menjadi semakin dekat dengan rumah Ki Dipayuda itu Risang tersenyum sendiri. Ia mendapat alasan yang kuat untuk singgah dirumah Ki Dipayuda. Meskipun seandainya tidak ada pesan apapun Risang tetap akan singgah juga. Namun pesan itu telah membebaskannya dari beban apapun juga dengan niatnya singgah di rumah Ki Dipayuda itu.

Beberapa saat kemudian, maka Baratapun telah sampai didepan regol halaman rumah Ki Dipayuda. Namun bagaimanapun juga, meskipun dengan pesan Ki Dipayuda, Barata masih juga berdebar-debar, karena ia tidak dapat ingkar dari niatnya sejak ia berangkat dari rumahnya. Bahwa ia akan singgah dirumah Ki Dipayuda untuk menemui Riris.

Namun akhirnya Barata berhasil menenangkan perasaannya. Dituntunnya kudanya memasuki halaman sambil berkata kepada diri sendiri, bahwa ia akan mulai dengan pernyataan bahwa ia singgah atas pesan Ki Rangga Dipayuda, karena ia baru saja pergi ke baraknya untuk menemui Kasadha.

Barata menarik nafas dalam-dalam ketika yang menyambutnya pertama kali bukan Riris dan bukan pula Sumbaga. Tetapi Jangkung sendiri yang nampaknya sudah siap untuk pergi. Apalagi kudanyapun telah ditambatkannya pada sebuah patok di sisi halaman rumahnya.

Dengan gembira Jangkung menyambut kedatangan Barata dan meyongsongnya kehalaman.

“Marilah. Naiklah,“ berkata Jangkung sambil mengambil kendali kuda dari tangan Barata.

“Sudahlah,“ berkata Barata, “biarlah aku tambatkan sendiri. Bukankah aku sudah biasa datang ke rumah ini.”

“Biarlah aku nampak seperti tuan rumah yang sangat ramah,“ jawab Jangkung sambil tertawa.

Demikianlah, maka setelah menambatkan kuda Barata, Jangkungpun membawa Barata untuk naik kependapa dan mempersilahkannya duduk diatas tikar pandan yang sudah dibentangkan.

“Kau datang darimana? Dari rumah atau dari Pajang?“ bertanya Jangkung.

“Aku baru saja dari Pajang,“ jawab Barata, “aku pergi ke Pajang untuk menemui Kasadha. Tetapi ketika aku pulang, Ki Rangga Dipayuda berpesan kepadaku, agar aku singgah dirumahnya. Ki Rangga berpesan, agar aku menemuimu.”

“O, apakah ada yang penting?“ bertanya Jangkung.

“Tidak penting. Tetapi aku memang harus menyampaikan sebuah pesan,“ jawab Barata. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah kau akan pergi.”

“Tidak,“ jawab Jangkung, “aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku memang sedang malas hari ini.”

“Tetapi kudamu sudah kau sediakan di halaman,“ berkata Barata kemudian sambil memandang kuda Jangkung ditambatannya.

“Aku justru baru pulang,“ jawab Jangkung sambil tersenyum.

Namun Barata tahu bahwa Jangkung berbohong. Katanya, “Aku belum melihat jejak kaki kuda di regol halaman rumahmu itu.”

Jangkung tertawa. Katanya, “Aku lupa bahwa aku berbicara dengan seorang bekas prajurit. Agaknya kau belajar juga tentang menelusuri jejak.”

Baratapun tertawa pula. Katanya, “Aku hanya mengira-ira saja. Aku tidak benar-benar melihat jejak.”

“Tetapi duduklah. Aku akan memberitahukan ibu dan Riris. Atau barangkali pesan itu khusus untuk aku sehingga ibu dan Riris tidak perlu mendengar?“ bertanya Jangkung.

Barata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “pesan itu memang untukmu. Tetapi tidak ada salahnya Nyi Rangga dan Riris mendengarnya.”

“Jika demikian, aku akan memberitahukan mereka dan yang penting, kau tentu haus juga,“ berkata Jangkung sambil bangkit.

“Tidak. Aku tidak haus,“ jawab Barata dengan serta merta.

Namun Jangkung melangkah kepintu pringgitan sambil berkata, “Kau masih juga berpura-pura disini.”

Barata hanya dapat tertawa sementara Jangkungpun segera hilang dibalik pintu pringgitan itu.

Sejenak kemudian Jangkungpun telah keluar lagi dari pintu itu bersama ibunya yang juga menyambut kedatangan Barata dengan gembira.

Namun Baratalah yang merasa agak kecewa. Riris tidak ikut menemuinya, sementara ia merasa segan untuk menanyakannya.

Bahkan Barata itu justru bertanya, “Aku tidak melihat Sumbaga. Apakah ia masih ada disini?”

“Ya,“ jawab Nyi Rangga, “ia masih berada disini. Ia berada di belakang. Nampaknya ia sedang sibuk membelah kayu.”

Barata mengangguk-angguk. Sementara Riris masih juga belum nampak keluar. Justru karena itu ia menjadi gelisah. Ia ingin menyampaikan pesan Ki Rangga sehingga juga dapat didengar oleh Riris. Dan Baratapun berharap bahwa Riris juga berniat untuk ikut pergi ke Tanah Perdikan Sembojan disaat ia diwisuda.

Namun sebelum Riris hadir pula di pendapa, Jangkung sudah bertanya, “Nah, apakah pesan ayah bagiku itu?”

“Apakah ayahmu berpesan sesuatu bagimu?“ bertanya Nyi Rangga.

“Begitulah menurut Barata,“ jawab Jangkung.

Nyi Rangga mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah pesan itu penting sekali?”

“Tidak Nyi,“ jawab Barata sambil memperpanjang waktu. Ia masih berharap bahwa Riris akan hadir pula di pendapa, “bukan pesan yang sangat penting.”

“Apakah aku boleh mendengar ngger?“ bertanya Nyi Rangga.

“Tentu Nyi. Pesan itu sama sekali bukan sesuatu yang harus dirahasiakan. Seluruh keluarga dapat saja mendengar pesan itu,“ jawab Barata.

“Jika demikian, katakanlah. Aku juga ingin mendengar isi pesan itu,“ minta Nyi Rangga Dipayuda.

Barata menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar pintu pringgitan berderit. Ketika ia berpaling, maka jantungnyapun berdenyut semakin cepat. Yang keluar dari ruang dalam adalah Riris sambil membawa sebuah nampan berisi beberapa mangkuk dan makanan.

Ternyata sikap Riris tidak lagi dikekang oleh perasaan rtialu. Selelah beberapa kali Barata mengunjungi rumah itu, maka Ririspun merasa bahwa hubungan mereka menjadi semakin wajar.

Karena itu sambil meletakkan hidangan ditikar pandan, iapun mempersilahkan, “Marilah kakang, aku agak lambat menyiapkan minuman dan makanan.”

“Ah tidak,“ jawab Barata, “justru begitu cepat sudah siap minuman panas dan makanan.”

“Kebetulan ibu sedang merebus air,“ jawab Riris sambil bergeser mundur.

“Kau akan kemana?” bertanya Jangkung.

Sementara Barata merasa cemas, bahwa Riris akan segera meninggalkan pendapa karena ia ingin gadis itu juga mendengar pesan Ki Rangga Dipayuda bagi Jangkung.

“Aku akan menyiapkan makan siang,“ jawab Riris.

“Nanti sajalah,“ berkata Jangkung, “sebaiknya kau ikut mendengarkan pesan ayah lewat Barata. Meskipun pesan itu ditujukan kepadaku, namun ibu dan kau boleh mendengarkannya. Mungkin pesan itu menarik juga bagi ibu dan bagimu.”

“Ya. Mudah-mudahan,“ tiba-tiba saja Barata menyahut hampir diluar sadarnya. Bahkan setelah itu ia merasa malu kepada dirinya sendiri, seakan-akan ia telah memaksa Riris untuk ikut mendengarkan pesan Ki Rangga itu..

Untunglah bahwa tidak ada kesan apa-apa yang timbul pada wajah Riris dan bahkan pada wajah ibunya. Namun Barata melihat sebuah senyum kecil dibibir Jangkung.

Tetapi Jangkungpun segera berkata, “Nah, sekarang kita sudah berkumpul. Katakan pesan itu agar kami semuanya dapat mendengarnya.”

Barata menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “baiklah. Aku akan menyampaikan pesan Ki Rangga. Sebenarnya pesan ini ditujukan kepada Jangkung, tetapi karena pesan ini sama sekali bukan sebuah rahasia, maka aku akan menyampaikannya justru setelah semuanya berkumpul.”

Nyi Rangga hanya mengangguk-angguk, sementara Riris menunggu dengan hati yang berdebar-debar.

“Pesan itu memang bermula dari berita yang aku sampaikan kepada Kasadha dan kemudian juga kepada Ki Rangga Dipayuda,“ Barata mulai menyampaikan pesannya kepada Jangkung sekeluarga. Berturut-turut Barata meneeriterakan keperluannya datang ke Pajang. Kemudian, bagaimana Ki Rangga berpesan kepadanya untuk menyampaikan pesan agar Jangkung bersiap-siap untuk ikut bersama Ki Rangga dan Kasadha ke Tanah Perdikan Sembojan.

“Jadi kau sudah akan diwisuda?“ bertanya Jangkung.

“Ya,“ jawab Barata agak ragu.

“Kakang akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan?“ bertanya Riris pula.

“Ya,“ jawab Barata yang masih ragu.

“Bukan main. Kau akan menjadi Kepala Tanah Perdikan termuda di Pajang. He, bagaimana memanggil kakang Barata kemudian? Ki Gede Barata atau siapa? Mungkin kau akan berganti nama,“ berkata Riris seperti pacar wutah.

“Ah,“ Barata justru menjadi agak segan. Namun kalanya kemudian, “Semua itu belum terpikirkan sekarang.”

“Barata,“ berkata Jangkung kemudian, “aku berterima kasih bahwa kau telah membawa pesan ayah kepadaku. Sudah tentu aku akan menjalankan sesuai dengan kehendak ayah. Tetapi seandainya ayah tidak berpesan kepadamu, apakah kau tidak akan singgah dan memberitahukan hal itu kepadaku, sehingga jika aku pergi ke Tanah Perdikan Sembojan itu bukan sekedar ikut bersama ayah karena ayah menghendakinya. Tetapi aku pergi ke Tanah Perdikan karena kau memang mengundangku. Sehingga kehadiranku di Tanah Perdikan itu sepenuhnya karena aku memang diundang untuk hadir. Dengan demikian maka aku adalah tamumu. Bukan sekedar mengantarkan seorang tamu. Meskipun tamu itu ayahku.”

Wajah Barata menjadi tegang. Dengan tergesa-gesa ia menjawab, “Tentu Jangkung. Seandainya Ki Rangga tidak berpesan kepadaku, maka aku tentu singgah di rumah ini dan mengundangmu. Tetapi justru karena Ki Rangga Dipayuda sudah terlanjur memberikan pesan itu, maka agaknya kurang enak bagiku untuk tidak menyampaikannya.”

“Ah, kau jangan mengada-ada Jangkung,“ desis ibunya. Lalu katanya, “Kami mengucapkan terima kasih ngger, kau sudah menyampaikan pesan Ki Rangga kepada Jangkung. Aku sekeluarga mendahului mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan kau dapat menjalankan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Meskipun sejak sebelum kau menjabat, kau sudah banyak terlibat dalam pemerintahan di Tanah Perdikan itu. Namun tanggung jawab sepenuhnya selanjutnya ada di pundakmu.”

“Terima kasih Nyi Rangga,“ jawab Barata. Namun Barata masih digelisahkan oleh sikap Jangkung.

Tetapi Jangkungpun kemudian tertawa. Katanya, “Aku memang tidak merasa apa-apa. Justru karena aku yakin, bahwa Barata dipesan atau tidak dipesan oleh ayah, tentu akan singgah dirumah ini.”

“Kenapa kau yakin?“ bertanya Barata yang menjadi kebingungan karena ia tidak tahu arah pembicaraan Jangkung.

Namun Jangkung itu tertawa semakin keras. Katanya, “Alasan bahwa ia membawa pesan ayah justru untuk sekedar menyelubungi rencananya yang sebenarnya.”

“Ah,“ Barata berdesah. Ia mulai mengerti maksud Jangkung yang mulai menggodanya. Tetapi Barata justru merasa berbesar hati mendengarnya.

Tetapi Jangkung tidak meneruskannya. Sementara itu, Ririslah yang bertanya kepadanya ibunya tanpa menghiraukan kelakar kakaknya yang tidak diketahui artinya itu, “Apakah ibu juga akan pergi bersama ayah?”

“Ayahmu tidak mengajak aku pergi ke Tanah Perdikan. Kau dengar bahwa pesannya hanya ditujukan kepada Jangkung,“ jawab ibunya.

“Tetapi sebaiknya ibu pergi. Ibu berhak minta kepada ayah agar ayah mengajak ibu untuk pergi,“ minta Riris.

“Untuk apa?“ bertanya ibunya, “di Tanah Perdikan akan ada sebuah wisuda. Bukan sebuah peralatan pernikahan atau peralatan yang lain. Karena itu, maka yang diundang tentu hanyalah mereka yang pantas untuk menghadiri wisuda itu. Seperti ayahmu dan Ki Lurah Kasadha misalnya. Dalam upacara itu tentu tidak akan diundang perempuan-perempuan yang tidak ada hubungannya dengan wisuda itu. Aku kira satu-satunya perempuan yang hadir adalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang sekarang. Ibu angger Barata. Tidak ada perempuan yang lain.”

Tetapi Riris mendesak, “Ibu tidak akan menghadiri upacara wisuda. Ibu akan menjadi tamu ibu kakang Barata. Bukankah tidak ada salahnya seseorang datang bertamu kepada orang lain yang sedang mendapatkan anugerah apapun ujudnya.”

Ibu Riris tersenyum. Ia tahu maksud anak gadisnya. Jika ia pergi maka ada kesempatan baginya untuk ikut pula. Namun dalam pada itu Jangkung yang mengerti juga keinginan adiknya, mulai mengganggunya. Katanya, “Sebaiknya ibu tidak pergi.”

“Kenapa?“ bertanya Riris.

“Jika aku pergi dan ibu pergi, maka kau tidak mempunyai kawan dirumah. Memang dirumah ini masih ada beberapa orang pembantu dan bahkan Sumbaga. Namun apakah ayah, ibu dan aku sampai hati meninggalkan kau sendiri? Seandainya ibu memaksa untuk berangkat, maka sudah tentu bahwa aku akan tetap tinggal dirumah menemanimu.”

“Kenapa kau harus tinggal. Kau boleh pergi sesukamu. Ikut ayah atau tidak. Kau tidak usah memikirkan aku. Aku sudah cukup dewasa dan sudah mampu menentukan sikap sendiri,“ sahut Riris.

“Ah, bagaimanapun juga aku tidak akan sampai hati, Riris. Kau adalah satu-satunya adikku. Karena itu, aku atau ibu akan tinggal dirumah menemanimu,“ gumam Jangkung.

“Cukup. Cukup,“ Riris hampir berteriak.

“Aku kasihan kepadamu jika kau harus tinggal dirumah sendiri,“ berkata Jangkung pula.

“Aku tidak membutuhkan belas kasihanmu,“ Riris mulai menjerit seperti biasanya jika ia mulai jengkel kepada kakaknya.

“Sudahlah,“ potong ibunya, “kau masih saja selalu mengganggu adikmu. Kau tentu sudah tahu maksudnya. Dan Riris masih saja membiarkan dirinya diganggu. Jika kau biarkan saja, maka kakakmu akan jengkel sendiri.”

Jangkung justru tertawa semakin keras, sementara Riris beringsut mendekatinya.

“Jangan. Jangan,“ Jangkung menjauhinya sambil menyeringai, “aku sudah tidak akan mengganggumu lagi. Apalagi disini ada Barata. Sebaiknya kau jangan terlalu garang.”

“Awas kau,“ geram Riris.

“Jangan sakiti aku. Biarlah aku yang menanyakan kepada Barata apakah Tanah Perdikan Sembojan dapat menerima jika kami datang sekeluarga,“ berkata Jangkung kemudian.

Barata,yang hanya menunduk saja sementara Jangkung mengganggu adiknya, tiba-tiba telah mengangkat kepalanya. Pertanyaan itu memang ditunggunya. Karena itu, maka dengan serta merta ia menjawab, “Tentu, kami akan menerima dengan senang hati. Apalagi jika ibu mengetahui bahwa Ki Rangga Dipayuda adalah pimpinanku langsung saat aku menjadi prajurit.”

Jangkunglah yang kemudian menyahut, “Nah, kau dengar. Ia sudah menjawab sebelum aku bertanya.”

“Ah, kau,“ potong ibunya yang kemudian berkata kepada Barata, “kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan itu. Tetapi sebaiknya angger Barata berhubungan lebih dahulu dengan keluarganya di Tanah Perdikan agar semuanya menjadi jelas dan pasti. Aku juga minta agar jika kelak keluarga angger di Tanah Perdikan setuju bukan hanya sekedar karena perasaan segan. Tetapi kehadiran kami benar-benar tidak mengganggu. Karena kami tidak ingin membuat orang-orang yang sedang sibuk itu menjadi semakin sibuk pula.“

“Tentu tidak Nyi Rangga,“ sahut Barata, “kami akan membagi tugas. Mereka yang memimpin persiapan wisuda adalah justru datang dari Pajang. Sedangkan kami dari Tanah Perdikan hanya menyiapkan kelengkapannya saja, termasuk kepentingan kami sendiri. Tamu-tamu kami dan sanak-kadang yang mungkin akan datang berkunjung.”

“Tetapi bukankah Tanah Perdikan harus menyiapkan tempat-tempat penginapan bagi para pejabat dari Pajang? Bukankah itu sudah merupakan tugas yang sangat menyibukkan? Berapa buah rumah harus dipersiapkan. Sementara harus menyiapkan penginapan bagi kami pula,“ berkata Nyi Rangga Dipayuda.

Namun yang menyahut adalah Riris, “Tetapi bukankah Tanah Perdikan Sembojan cukup luas, sehingga tidak akan. penuh dengan para tamu dari Pajang?”

“Kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri Riris,“ sahut ibunya, “tetapi kita harus memikirkan kesulitan dan kesibukan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.”

Riris tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi gelap. Sementara Barata berkata, “Nyi Rangga. Aku akan bertanggung jawab bahwa kehadiran Ki Rangga Dipayuda sekeluarga tidak akan menyulitkan kami. Sebelum aku berangkat ke Pajang kemarin, kami sudah mencoba menghitung-hitung, ada berapa buah rumah yang dapat kami pinjam dan kami siapkan untuk penginapan. Menurut perhitungan kami, maka rumah yang dapat disiapkan itu lebih banyak dari kebutuhan. Karena itu, maka aku memperhitungkan bahwa kehadiran Ki Rangga Dipayuda tidak akan menambah beban kami.”

Nyi Rangga mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Riris tentu akan sangat kecewa jika mereka tidak pergi ke Tanah Perdikan. Namun Nyi Rangga itupun kemudian berkata, “Baiklah. Segala sesuatunya akan aku bicarakan dengan Ki Rangga. Mudah-mudahan Ki Rangga tidak berkeberatan jika kami sekeluarga pergi ke Tanah Perdikan Sembojan.”

Namun yang menjawab adalah Jangkung, “Tentu tidak. Ayah tentu tidak akan berkeberatan. Peristiwa wisuda seorang Kepala Tanah Perdikan adalah peristiwa yang jarang terjadi. Apalagi yang diwisuda adalah orang yang kita kenal dengan baik. Sedangkan yang mengundang kita sekeluarga adalah justru orang yang diwisuda itu sendiri.”

Nyi Rangga mengangguk. Namun ia niasih juga berkata, “Tetapi bagaimanapun juga, biarlah ayahmu yang memutuskan.”

“Ya. Sudah barang tentu ayah yang akan memutuskan,“ jawab Jangkung.

Demikianlah, maka keluarga Ki Rangga Dipayuda itu ternyata memang berkeinginan untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Mereka memang ingin melihat peristiwa yang jarang sekali terjadi itu. Sementara itu Riris memang serasa mendapat dorongan lain untuk pergi ke Tanah Perdikan. Kecuali untuk menyaksikan satu peristiwa yang langka, juga ia ingin melihat Barata itu diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan. Riris sendiri tidak mengetahuinya kenapa ia merasa bangga bahwa Barata yang muda itu telah menerima jabatan sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan Sembojan sebagaimana setiap kali ia mendengar orang memuji kemampuan Kasadha serta kedudukannya sebagai seorang Lurah Prajurit dalam umurnya yang masih muda itu.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Nyi Ranggapun telah mempersilahkan Jangkung menemani Barata karena Nyi Rangga akan pergi ke dapur.

“Aku juga,“ berkata Riris kemudian, “bukankah kakang tidak jadi pergi ke padukuhan sebelah?”

“Tidak,“ jawab Jangkung, “aku memang tidak berniat untuk pergi sekarang.”

Sepeninggal Nyi Rangga dan Riris, maka Jangkung dan Barata telah berbicara tentang peristiwa yang menarik yang akan terjadi di Tanah Perdikan Sembojan itu. Peristiwa yang belum pernah dilihatnya. Bahkan Baratapun berkata, “Aku juga belum pernah melihat upacara semacam itu dimanapun. Tetapi sehari sebelumnya Ki Rangga Kalokapraja akan datang dan mempersiapkan wisuda yang akan diselenggarakan itu. Sudah tentu dengan memberikan petunjuk-petunjuk apa yang harus aku lakukan.”

Kasadha mengangguk-angguk, sementara Barata bertanya, “Tetapi bukankah kau akan pergi?”

“Tidak. Aku sudah membatalkan rencana itu, di rumaku sedang ada tamu penting. Kepala Tanah Perdikan Sembojan.”

“Ah, kau,“ desis Barata. Lalu katanya, “Jika kau akan pergi, pergilah. Aku akan menunggumu. Tetapi aku tidak dapat terlalu lama disini, karena aku akan melanjutkan perjalanan.”

“Tidak. Kau tidak akan melanjutkan perjalanan hari ini. Kau akan bermalam disini. Besok pagi kau baru akan,meninggalkan rumah ini,“ berkata Jangkung.

“Aku sudah bermalam di Pajang semalam. Jika aku bermalam lagi disini, maka ibu tentu akan menunggu-nunggu kedatanganku,“ sahut Barata.

“Bukankah kau bukan kanak-kanak lagi? Kau sudah akan diwisuda menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan,“ berkata Jangkung sambil tersenyum.

“Tetapi justru karena aku akan diwisuda, ibu menjadi khawatir. Seperti seseorang yang akan memasuki upacara pengantin, maka selama sepekan ia tidak boleh keluar dari rumah.”

“Tetapi bukankah kau tidak akan menjadi pengantin? Bukankah sebulan lagi kau akan diwisuda menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan?“ bertanya Jangkung.

Baratapun hanya dapat tersenyum saja. Sebenarnyalah ia tidak ingin memaksa diri untuk meninggalkan rumah itu hari itu juga. Bahkan ia memang berniat untuk bermalam dirumah Jangkung itu meskipun sebenarnya keperluannya sudah selesai.

Karena itu, maka Jangkungpun berkata, “Jika kau tidak berkeberatan untuk bermalam, marilah, kita pergi bersama-sama.”

“Apakah aku tidak mengganggu kepentinganmu?“ bertanya Barata.

“Tidak. Aku hanya akan menunjukkan kuda itu, karena seorang kawanku memerlukannya. Sebenarnya bukan kawanku itu sendiri yang akan memakainya. Tetapi pamannya. Namun agaknya pamannya itu telah mempercayakannya kepada kawanku itu,“ berkata Jangkung. Lalu katanya pula, “Kuda itu pulalah yang akan aku bawa kepadanya karena nampaknya sesuai dengan keinginannya.“

Barata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah jika aku tidak mengganggu.”

Demikianlah keduanyapun kemudian minta diri kepada Nyi Rangga dan kepada Riris untuk pergi sebentar.

Malam itu, Barata bermalam dirumah Jangkung, ia sempat berbicara dengan Sumbaga yang dinilainya sudah berubah. Bahkan anak muda itu seakan-akan tidak lagi berminat untuk berbicara apapun juga. Bahkan selalu menghindarkan dirinya.

Berbeda dengan Sumbaga, maka Riris justru menjadi semakin akrab dengan tamunya. Jarak diantara mereka seakan-akan menjadi semakin sempit. Riris tidak lagi segan untuk berbicara apa saja bahkan bergurau sebagaimana ia bergurau dengan Jangkung dan dengan ibunya.

Sikap Riris membuat hati Barata menjadi semakin berharap. Meskipun anak muda itu tidak pasti, namun ada semacam harapan yang terbersit pada sikap Riris.

Tetapi Barata tetap berhati-hati. Ia tidak ingin menangkap bayangan yang setiap saat dapat lenyap tanpa bekas.

Malam itu, Barata berbaring dipembaringannya sambil tersenyum. Udara didalam bilik gandok rumah Jangkung itu terasa sejuk sekali, sehingga beberapa saat kemudian, setelah ia berbaring, maka iapun segera tertidur. Mimpi yang manis telah menyambutnya didalam tidurnya yang nyenyak.

Namun dalam pada itu, di Pajang, dibarak prajurit, Kasadha berbaring dengan gelisah. Ia sudah menduga bahwa Barata tentu akan bermalam dirumah Ki Rangga Dipayuda. Apalagi ia membawa pesan dari Ki Rangga untuk Jangkung. Dengan demikian ia mempunyai alasan untuk berlama-lama tinggal dirumah itu.

“Kenapa Ki Rangga tidak memerintahkan aku saja pergi menemui Jangkung dengan membawa pesannya?“ Kasadha itu mengeluh didalam hatinya.

Namun Kasadha masih selalu berusaha untuk mencari keseimbangan antara perasaannya dan penalarannya. Meskipun sampai lewat tengah malam Kasadha belum dapat memejamkan matanya, namun ia akan berusaha untuk tetap menjaga hubungannya dengan Barata.

“Ia tidak bersalah,“ berkata Kasadha kepada dirinya sendiri meskipun tanpa keyakinan. Namun katanya kemudian, “la dapat berbuat apa saja untuk menangkap burung dara itu. Tetapi sudah tentu aku juga mendapat kesempatan yang sama. Jika ia akan diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan, maka aku sudah menjadi Lurah prajurit. Sementara aku masih berpengharapan untuk mendapat kenaikan pangkat yang lebih tinggi.”

Tetapi angan-angannya itu tidak dapat menenangkan gejolak perasaannya.

Namun ketika dini hari menjadi semakin dingin, Kasadhapun akhirnya terlena pula. Dengan wajah yang buram ia tertidur beberapa lama. Namuji ketika fajar menyingsing, maka iapun telah terbangun sebagaimana kebiasaannya.

Ketika Kasadha membawa sebagian dari prajurit-prajuritnya yang tidak bertugas untuk melakukan pemanasan sebelum memasuki sanggar terbuka karena hari itu pasukannya mendapat giliran untuk mempergunakan sanggar itu, Barata yang berada di rumah Jangkung telah mandi dan berbenah diri. Ia ingin meninggalkan rumah itu sebelum matahari naik, agar sinarnya belum menggatalkan kulitnya.

Tetapi Barata masih harus menunggu makan pagi baginya yang disiapkan oleh Riris. Namun demikian, dengan sabar Barata menunggu. Bahkan ia sama sekali tidak merasa gelisah bahwa matahari ternyata sudah naik.

Bersama Jangkung, Barata duduk di ruang dalam untuk makan pagi. Ririslah yang melayaninya karena Nyi Rangga Dipayuda sedang sibuk didapur.

Baru setelah matahari sepenggalah Barata turun dari tangga pendapa rumah Ki Rangga Dipayuda diiringi oleh Jangkung, Nyi Rangga dan Riris.

“Menjelang hari wisuda aku akan singgah lagi kemari, karena aku harus menghadap Ki Rangga Kalokapraja. Aku juga akan singgah di barak Kasadha dan sudah tentu bertemu pula dengan Ki Rangga Dipayuda,“ berkata Barata sambil melangkah turun ke halaman.

“Kami menunggu,“ sahut Jangkung. Lalu katanya pula, “Namun sebelumnya aku akan bertemu dengan ayah. Bagaimanapun juga aku harus minta pendapatnya.”

Demikianlah, sejenak kemudian maka Baratapun telah menuntun kudanya keregol halaman rumah Ki Dipayuda. Jangkung, Nyi Rangga dan Riris masih mengiringinya. Baru kemudian mereka berhenti setelah mereka berdiri diregol, sementara Barata telah siap untuk meloncat naik.

Sekali lagi Barata minta diri dan sejenak kemudian maka iapun telah melarikan kudanya meninggalkan regol halaman rumah Ki Rangga Dipayuda itu.

Kunjungannya ke rumah Ki Rangga ternyata cukup berkesan bagi Barata. Disepanjang perjalanannya ia mengancam angan-angan apa yang sebaiknya dilakukan setelah ia benar-benar diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Sebuah Tanah Perdikan yang cukup besar dan berarti dibandingkan dengan beberapa Tanah Perdikan yang lain.

Panas matahari yang berayun semakin tinggi dilangit tidak dihiraukannya. Kudanya berlari menyusuri jalan-jalan bulak, diantara batang-batang padi yang hijau.

Sementara itu dirumahnya, Riris telah minta kepada ibunya, agar ibunya mendesak kepada ayahnya agar mereka benar-benar dapat ikut ke Tanah Perdikan Sembojan.

“Bukankah kakakmu Jangkung sudah berniat untuk menemui ayahmu untuk menyampaikan keinginanmu?”

“Bukan aku,“ sahut Riris, “tetapi ibu. Ibu yang minta kepada ayah agar ayah membawa ibu ke Tanah Perdikan Sembojan. Tentu saja ibu akan membawa aku. Aku ingin sekali melihat upacara wisuda itu. Sepanjang umurku, aku belum pernah melihatnya.”

“Kau kira aku pernah melihatnya?“ sahut ibunya.

“Jika demikian kita harus benar-benar pergi,“ berkata Riris, “aku akan sangat kecewa sekali jika aku tidak sempat melihatnya. Bukankah ibu juga kecewa?”

“Ya, ya,“ sahut ibunya, “sudah aku katakan, kakakmu akan minta kepada ayahmu.”

“Kakang Jangkung tentu tidak bersungguh-sungguh. Ia hanya berpura-pura saja, “gumam Riris.

“Jangan berkata begitu,“ berkata ibunya, “jika kakakmu mendengar ia akan dapat tersinggung. Ia sudah bersedia untuk berbicara dengan ayah. Tetapi jika kau menganggapnya berpura-pura ia akan dapat mengurungkan niatnya.”

Riris tidak menjawab lagi. Namun nampak wajahnya yang cemberut, sementara ibunya berkata, “Kau tidak boleh marah sejak sekarang. Apalagi ibu dan kakakmu sudah menyanggupinya. Jika ayahmu bersikap lain, maka itu persoalanmu dengan ayahmu. Kau dapat marah sepuas-puasnya kepada ayahmu.”

Riris masih berdiam diri. Namun wajahnya tidak menjadi terang.

Ternyata ibunya tidak menanggapinya lagi. Iapun meninggalkan Riris yang duduk diamben dapur. Semen tara itu ibunya telah tenggelam kembali dalam kerja yang sibuk.

Dalam pada itu, di barak prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda, Kasadha memang merasa gelisah. Bukan hanya sehari, tetapi dihari berikutnya Kasadha masih saja nampak tidak gembira seperti hari-hari biasanya.

Ternyata Kasadha juga mulai memikirkan ibunya. Apakah ibunya akan pergi ke Sembojan atau tidak.

“Terserah kepada ibu,“ berkata Kasadha didalam hatinya.

Namun demikian ia merasa wajib untuk menemuinya dan mengatakan bahwa Barata akan diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan di Sembojan.

Untuk itu, maka Kasadha harus minta ijin meninggalkan baraknya barang dua tiga hari. Meskipun hal itu bukan merupakan kesulitan baginya, namun Kasadha merasakan bahwa ia sedang menghadapi persoalan yang rumit, ia harus menjaga perasaan ibunya agar tidak terbenam kedalam perasaan bersalah tanpa melihat jalan keluar. Namun demikian, ia masih juga harus menunggu sikap ibu Barata di Tanah Perdikan Sembojan itu.

Tetapi keduanya sudah berjanji untuk berusaha mempengaruhi ibu mereka masing-masing agar pada suatu saat keduanya mampu bertaut kembali tanpa dihantui oleh kenangan masa lalu mereka masing-masing. Karena jika demikian maka untuk selamanya keduanya tidak akan dapat bertaut.

Tetapi pada saat-saat Kasadha merenung, maka timbul pertanyaan didalam dirinya, “Apakah persoalan kedua orang perempuan itulah yang membuatku selalu gelisah? Bukankah Barata juga sudah berjanji untuk membujuk ibunya?”

Betapapun Kasadha berusaha untuk ingkar, namun ia pada suatu saat ia harus mengakui, bahwa yang menggelisahkan benar baginya bukan persoalan ibunya dan ibu Barata, tetapi justru karena Ki Rangga Dipayuda sudah berpesan agar Barata singgah dirumahnya.

Tetapi Kasadha selalu berusaha untuk mengatasinya dengan penalarannya sehingga ia masih dapat mengendalikan diri menghadapi kegelihanannya itu. Namun kadang-kadang diluar sadarnya, perasaan itu muncul dipermukaan.

Dalam pada itu, Barata yang telah berada di Tanah Perdikannya dengan penuh gairah mempersiapkan segala sesuatunya menyongsong hari wisudanya. Sekali-sekali terdengar Barata itu melakukan sesuatu sambil berdendang. Wajahnya nampak selalu cerah dan sekali-sekali senyumnya nampak menghiasi bibirnya.

Setiap orang Tanah Perdikan memang mengenal Barata yang lebih mereka kenal dengan nama Risang itu sebagai seorang yang ramah. Tetapi ia juga seorang yang bersungguh-sungguh dalam kerja. Namun pada saat terakhir Risang menjadi nampak lebih cerah dari sebelumnya.

Meskipun demikian, di sanggar Risang tetap nampak bersungguh-sungguh. Ketiga orang gurunya, dua orang kakeknya dan seorang neneknya yang sudah memiliki sebangsal pengalaman melihat bahwa didalam hati cucunya itu agaknya sedang bersemi perasaan yang menompang harapan di masa depan. Bukan sekedar hari wisudanya yang akan berlangsung tidak lama lagi.

Semakin dekat dengan hari wisudanya, maka di Tanah Perdikan Sembojan itu nampak menjadi semakin sibuk. Rumah-rumah yang dipersiapkan untuk menginap tamu-tamunya telah dibersihkan dan dibenahi. Termasuk rumah yang dipersiapkan untuk penginapan Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya. Risang sangat berharap bahwa Ki Rangga Dipayuda benar-benar akan datang bersama Nyi Rangga, Jangkung dan Riris. Bahkan yang paling diharapkan datang adalah justru Riris.

Yang kemudian menjadi sibuk bukan hanya di Padukuhan Induk Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi para Demangpun menjadi sibuk pula. Mereka berniat untuk membuat seluruh Tanah Perdikan mendukung kegembiraan karena Tanah Perdikan itu akan mendapatkan seorang Kepala Tanah Perdikan.

Namun didalam kegembiraan itu, Risang masih juga digelisahkan oleh kemungkinan bahwa sikap ibunya terhadap ibu Kasadha tidak sebagaimana diharapkan. Meskipun ibunya pernah berkata bahwa ia menyerahkan hal itu kepada para pemimpin di Tanah Perdikan, namun disaat-saat terakhir, ibunya akan dapat bersikap lain, yang akan dapat membuatnya berselisih paham dengan Kasadha. Apalagi jika Kasadha sudah terlanjur membujuk ibunya untuk bersedia hadir di Tanah Perdikan.

Karena itu selagi masih ada waktu, Risang telah berbicara dengan ketiga orang gurunya. Dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung. Terutama dengan Bibi yang dianggap Risang sebagai seorang yang terlibat langsung dalam persoalan yang terjadi saat itu antara ibunya dengan ibu Kasadha.

“Aku akan berusaha,“ berkata Bibi.

“Aku mohon Bibi. Aku sudah berjanji kepada Kasadha, bahwa jika ibunya berniat untuk datang ke Tanah Perdikan saat wisuda, ibu tidak akan berkeberatan,“ desis Risang.

“Tetapi kau juga harus dapat mengerti perasaan ibumu. Aku adalah orang yang saat itu menjadi orang upahan diperintah untuk membunuh ibumu saat ia mengandung kau. Jika saja saat itu hatiku tetap dikuasai oleh iblis, maka aku tentu sudah membunuh ibumu yang saat itu masih belum memiliki kemampuan apapun juga. Aku akan dapat membunuhnya semudah aku memijat buah ceplukan matang di semak-semak. Tetapi untunglah, bahwa sepletik sinar dari Yang Maha Agung telah mengendalikan perasaanku sehingga aku tidak melakukannya,“ gumam Bibi hampir kepada diri sendiri.

Risang mengangguk kecil. Katanya, “Aku mengerti Bibi. Ceritera itu sudah aku dengar sebelumnya.”

“Ini bukan sekedar ceritera ngger. Tetapi sesuatu yang benar-benar terjadi. Akulah yang harus melakukan itu,“ sahut Bibi. Masih nampak gejolak perasaannya membayang diwajahnya.

“Ya, ya. Bibi. Aku mengerti. Tetapi bukankah itu sudah lama lampau. Sedangkan ibu Kasadhapun sudah menyesali perbuatannya,“ berkata Kasadha, “aku tahu pasti, bahwa penyesalan itu bukan sekedar lamis, atau sekedar untuk menyelimuti noda-noda didalam relung hatinya. Tetapi ibu Kasadha benar-benar telah berubah, sebagaimana Bibi juga berubah,“ berkata Risang.

“Tetapi ada bedanya. Aku berubah justru saat aku mempunyai kesempatan untuk melakukan kejahatan dan mendapat keuntungan daripadanya. Tetapi Warsi tidak, ia berubah setelah keadaan memaksanya tanpa memberinya kesempatan lain.”

“Aku mengerti Bibi. Tetapi aku mohon. Apakah kita tidak dapat memaafkan kesalahan seseorang sementara itu kita selalu ingin dimaafkan apabila kita berbuat salah? Apapun alasannya perubahan itu sudah terjadi. Ibu Kasadha yang bernama Warsi itu tidak mendendam sampai keliang kuburnya. Sehingga ia mendapat kesempatan itu menyesali perbuatannya dengan jujur,“ berkata Risang dengan sungguh-sungguh.

Bibi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata perlahan-lahan, “Aku akan mencobanya ngger. Mudah-mudahan ibumu dapat memaafkannya.”

“Tetapi ibu pernah mengatakan bahwa segala sesuatunya terserah kepada orang-orang tua dan para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan ini,“ desis Risang.

Bibi tidak menjawab lagi. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil.

Demikianlah hari-hari dilalui dengan kesibukan di Tanah Perdikan Sembojan. Sementara itu di Pajang, Kasadha telah minta ijin kepada Ki Rangga Dipayuda untuk menemui ibunya.

Namun Kasadha belum mengatakan kepentingannya. Meskipun ia pernah menyebut kemungkinan itu kepada Barata di hadapan Ki Rangga Dipayuda, namun saat itu agaknya Ki Rangga memang tidak begitu memperhatikannya. Apalagi saat itu Barata sengaja mengelakkan pertanyaannya itu.

Ternyata Ki Rangga memang tidak berkeberatan. Apalagi Kasadha hanya minta ijin untuk dua hari saja.

Tempat tinggal ibunya memang tidak sejauh Tanah perdikan Sembojan. Karena itu, maka Kasadha tidak memerlukan waktu terlalu lama diperjalanan. Dari baraknya Kasadha berangkat sesaat setelah makan pagi. Dan sebelum matahari sampai kepuncak, Kasadha telah menyusuri jalan menuju ke padukuhan tempat tinggal ibunya. Sebuah tempat tinggal yang sederhana yang dihuni oleh ibu dan bibinya yang hidup dalam keadaan sederhana pula. Sementara itu, kakek dan gurunyalah yang setiap kali sering menengok ibu dan bibinya dalam dunianya yang baru yang penuh kesederhanaan itu.

Kedatangan Kasadha telah disambut dengan gembira oleh ibu dan bibinya. Sudah agak lama mereka tidak bertemu. Karena itu, kehadiran Kasadha merupakan tetes kesejukan dihati ibunya dan bibinya yang telah menganyam harapan yang lain terhadap anak muda yang telah diangkat menjadi Lurah prajurit itu.

Kasadha memang tidak ingin merusak suasana itu. Ia tidak segera mengatakan kepentingan menemui ibunya, karena Kasadha tidak yakin apakah ibunya akan merasa gembira atau justru sebaliknya.

Kepada ibu dan bibinya Kasadha hanya mengatakan bahwa ia mendapat kesempatan untuk beristirahat selama dua hari.

“Kau akan bermalam dirumah ini selama dua hari?“ bertanya ibunya dengan penuh kegembiraan.

“Ya, ibu,“ jawab Kasadha, “besok lusa aku harus sudah berada di barak kembali. Karena itu aku akan berangkat dari rumah ini pagi-pagi benar.”

Kegembiraan ibunya ternyata diungkapkan pula pada hidangan yang dipersiapkan bagi Kasadha. Bibinya telah menangkap seekor ayam peliharaan mereka, kemudian memotongnya.

Selama Kasadha berada dirumah ibunya, ia dapat melihat bagaimana ibu dan bibinya mengisi kehidupan mereka sehari-hari. Mereka bekerja sebagaimana perempuan-perempuan di padukuhan itu. Ibu dan bibinya berceritera, bahwa sehari-hari mereka juga turun ke sawah. Ikut menanam padi dimusim tanam dan ibu menuai padi dimusim panen. Mereka mendapat upah yang dapat mereka pakai untuk menyambung hidup mereka. Namun dirumah keduanya juga memelihara ayam, menanam ketela, kacang panjang dan empon-empon untuk meramu obat-obatan. Di halaman dan kebunpun terdapat beberapa batang pohon kelapa yang kelebihannya dari keperluan mereka sendiri dapat ditukarkan dengan keperluan mereka sehari-hari. Bahkan pakaian dan keperluan mereka yang lain.

“Tetapi kau tidak usah memikirkan kami. Puguh,“ berkata ibunya. “Aku tidak ingin mengurangi penghasilan untuk ibu dan bibi. Jika penghasilanmu tersisa, maka kau dapat menabungnya untuk kepentingan masa depanmu.

“Apakah ibu tidak memerlukan bantuanku?“ berkata Kasadha.

“Bukan tidak memerlukan. Tetapi sementara ini keperluan ibu dan bibi sudah tercukupi. Upah yang kami dapatkan ditambah dengan penghasilan kebun dan ternak kami sudah cukup bagi kehidupan kami. Bahkan kami dapat menabung serba sedikit untuk suatu saat dimana kami menjadi semakin tua,“ berkata ibunya.

Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi kerongkongannya bagaikan tersumbat. Ibunya adalah seorang yang berilmu tinggi. Meskipun setelah perang tandingnya yang terakhir, ada sesuatu yang cacat sehingga ibunya tidak lagi mampu mencapai tataran yang lebih tinggi lagi, tetapi ibunya tetap seorang perempuan yang jarang ada bandingnya. Perempuan yang diketahuinya memiliki ilmu yang lebih tinggi hanyalah ibu Barata dan mungkin neneknya yang juga menjadi guru ibu serta Barata sendiri. Namun perempuan itu sudah menjadi semakin tua sehingga keadaan wadagnya tentu sudah tidak mendukung ilmunya itu lagi.

Dalam pada itu bibinyapun berkata, “Kerja ibumu sangat dipuji oleh orang-orang padukuhan ini. Ibumu dapat melakukan pekerjaan lebih baik dari perempuan lain. Apakah saat menanam padi atau saat menuai padi. Bahkan ibumu mengerjakan sawah kami yang hanya sekotak itu sebagaimana laki-laki melakukannya. Mencangkul hampir sehari penuh dapat dilakukannya, yang bahkan kadang-kadang sempat membuat orang-orang padukuhan ini menjadi heran. Bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki.”

Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi jantungnya serasa menjadi semakin bergetar. Kehidupan ibunya jauh berbeda dengan kehidupan ibu Barata. Namun yang terjadi itu seakan-akan ibunya harus menuai buah hasil tanamannya sendiri. Namun disamping haru terbersit rasa bangga, bahwa pada saat-saat terakhir ibunya telah meninggalkan suatu kehidupan yang gelap. Penuh nafsu dan dendam tiada berkeputusan.

Namun Kasadha juga terhibur ketika ia melihat ibunya justru tertawa sambil berkata, “Bukan hanya aku. Tetapi bibimu bekerja jauh lebih keras. Tetapi ia memang masih lebih muda dari aku. Bahkan masih ada searang laki-laki yang ingin mengambilnya sebagai isterinya. Justru seorang yang cukup terpandang di padukuhan ini. Apalagi laki-laki itu masih belum terlalu tua meskipun seorang duda beranak lima.”

“Ah, kau ini ada-ada saja,“ potong bibinya.

Kasadha sempat tersenyum.

Sementara ibunya melanjutkan, “Tetapi aku berkata sebenarnya.”

“Aku telah menolaknya,“ sahut bibinya.

“Justru karena itu, laki-laki itu marah. Ia merasa orang berpengaruh di padukuhan ini. Tetapi kenapa lamarannya ditolak oleh perempuan miskin seperti kami,“ berkata ibunya.

Sementara itu bibinya berkata, “Ia tidak ingin mengawini aku untuk dijadikan isterinya. Tetapi ia hanya memerlukan tenagaku, karena aku dapat mengerjakan sawah seperti seorang laki-laki sebagaimana dilakukan oleh ibumu.”

Ibu Kasadha tertawa. Kasadhapun akhirnya tertawa juga. Ternyata dalam kemiskinannya itu ibunya sempat juga tertawa.

“Tetapi laki-laki itu benar-benar marah,“ berkata ibunya kemudian, “bahkan pernah mengancam bibimu.”

“Apakah arti ancaman itu bagi bibi,“ sahut Kasadha..

“Aku sudah melaporkan kepada Ki Bekel,“ berkata bibinya, “tentunya akan lebih baik bagiku daripada aku mempergunakan cara lain.”

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat bibi.”

“Aku juga sependapat,“ berkata ibunya, “kami tidak akan memilih jalan yang pernah kami tempuh beberapa saat yang telah lewat.”

Kasadha tersenyum meskipun ada semacam gejolak didalam jiwanya. Namun dengan demikian ia yakin, bahwa ibunya telah benar-benar berubah, sehingga baik bibinya maupun ibunya telah memilih jalan yang terbaik dalam tata cara pergaulan dan tatanan hidup di padukuhan itu.

Ketika malam tiba dihari pertama, Kasadha masih belum sampai hati mengutarakan kepentingan kedatangannya. Ia masih ingin ikut merasakan suasana kehidupan ibu dan bibinya sehari-hari.

Namun Kasadha juga merasa cemas, bahwa bibinya akan mengulangi permintaannya agar Kasadha bersedia berpaling kepada anak gadisnya. Gadis yang belum pernah dilihatnya.

Tetapi ternyata bibinya tidak melakukannya. Bibinya sama sekali tidak mengganggunya ketika ia kemudian berbaring disebuah amben yang besar diruang dalam rumah ibunya yang sederhana itu.

Dihari berikutnya, Kasadha justru berniat untuk pergi bersama ibu dan bibinya kesawah. Katanya, “Aku ingin ikut merasakan kehidupan yang utuh di padukuhan ini. Bukankah aku juga sudah terbiasa berada disawah?”

“Kapan kau turun kesawah?“ bertanya ibunya.

“Bersama guru,“ jawab Kasadha.

Ibunya mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa masa kecil dan remajanya Kasadha lebih banyak bersama, dengan gurunya daripada bersama ibunya.

Seperti yang dikehendaki oleh Kasadha, maka mereka bertiga telah pergi kesawah setelah Kasadha menempatkan kudanya di halaman belakang. Meskipun ibunya sudah mengatakan bahwa padukuhan itu cukup aman, namun Kasadha masih juga berhati-hati.

Memang tidak banyak yang dikerjakan disawah karena musim tanam sudah lewat. Mereka hanya ingin membersihkan rerumputan yang tumbuh disela-sela batang padi yang hijau subur.

“Sawah kami hanya sekotak ini,“ berkata ibu Kasadha.

Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi sawah itu memang tidak cukup luas untuk menghasilkan padi bagi persediaan makan mereka berdua, ibu dan bibinya.

Ibunya yang melihatnya merenung, seakan-akan dapat menangkap perasaan anaknya. Dengan nada dalam ia berkata, “Hasil sawah ini memang tidak mencukupi Kasadha. Tetapi jika kami berdua ikut menuai disawah para tetangga, maka kamipun mendapat upah dari mereka. Setiap sembilan ikat, kami mendapat seikat padi. Sehingga kadang-kadang kami justru mempunyai kelebihan padi dilumbung kami, yang dapat tukar dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Garam, gula kelapa dan kebutuhan dapur yang lain.”

Kasadha mengangguk-angguk. Namun kalanya kemudian, “Tetapi, bukankah lebih baik jika ibu mempunyai sawah sekotak lagi sehingga tidak akan tergantung pada upah dari orang lain?”

“Kami melakukan bergantian. Kami diupah untuk menuai padi disawah tetangga, tetapi dihari lain, tetangga itu menuai padi disawah kami,“ berkata ibunya, “sehingga kami tidak merasa seorang lebih berarti dari orang lain.”

“Meskipun demikian, tentu lebih baik jika sawah ibu dan bibi lebih luas dari yang ada sekarang,“ berkata Kasadha.

“Tentu,“ jawab ibunya, “tetapi belum terlalu mendesak.”

Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Ibu, aku mempunyai sedikit uang tabunganku. Jika ibu dan bibi tidak berkeberatan, biarlah uang itu dijadikan sawah meskipun hanya sekotak kecil..”

Ibunya tersenyum. Namun dadanya cukup bergetar. Anak itu disia-siakannya sejak bayinya. Hampir dibuangnya. Namun setelah ia menjadi dewasa, ia masih juga mengerti tentang ibunya yang penuh noda-noda dosa itu.

Karena itu, maka ibunya tidak kuasa menolak uluran tangan anaknya itu, meskipun ia masih bertanya, “Apakah kau sendiri tidak memerlukannya? Mungkin kau sudah merencanakan untuk membeli sesuatu bagi kebutuhanmu nanti.”

“Bukankah sawah juga berarti tabungan?“ Kasadha justru bertanya.

Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kau benar-benar ingin menabung dalam ujud sawah, maka biarlah aku mengusahakannya. Mungkin ada orang yang ingin mengurangi luas tanahnya yang berlebihan, yang tidak sempat menggarapnya.“

“Jika ibu dan bibi tidak sempat menggarap sendiri, maka bukankah sawah itu dapat diserahkan orang lain?” berkata Kasadha kemudian.

Tetapi bibinya berkata sambil tertawa, “kami dapat melakukannya sendiri. Bahkan lebih dari dua tiga kotak.”

Kasadha dan ibunya tertawa.

Namun suara tertawa itu terputus ketika mereka mendengar suara seseorang, “He, apa kerja kalian disini? Bukankah tidak ada kerja disawah?”

Ketiga orang yang berdiri di pematang itu berpaling. Mereka melihat seseorang berdiri di jalan di sebelah kotak sawah mereka bersama dengan dua orang yang agaknya pembantunya.

Kasadha yang belum mengenal orang itu bertanya, “Siapakah orang itu?”

“Setan itu,“ desis bibinya.

Tetapi ibunya sempat menyembunyikan senyumnya sambil berdesis, “Orang itulah yang pernah kita bicarakan. Orang yang ingin mengambil bibimu.”

Diluar sadarnya Kasadhapun tertawa kecil sambil berdesis, “Agaknya seorang yang cukup terpandang.”

“Ah kau,“ gumam bibinya. Namun dengan cepat disahut oleh ibunya, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa ia seorang yang berpengaruh di padukuhan ini.”

Namun bibinya melanjutkan, “Yang akan mengambil aku untuk menjadi budak dirumahnya. Jika aku bersedia menerima lamarannya maka pada suatu saat aku akan membunuhnya.”

Ibu Kasadha tertawa. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sementara orang itu bertanya lebih keras, “He, apa kerja kalian disini he? Bukankah baru beberapa hari kalian membersihkan rumput dari sawah kalian ini?”

Ibu Kasadha terpaksa menjawab, “Tidak apa-apa, Ki Tunggul. Sekedar melihat, apakah rumput yang telah kami bersihkan itu tumbuh lagi?”

“Kemarilah kalian,“ teriak orang itu.

Ketiga orang yang berdiri dipematang itu termangu-mangu. Sementara itu orang itu berteriak sekali lagi, “Kemarilah kalian, apakah kalian tidak mendengarnya?”

Ibu Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berdesis, “Marilah. Daripada orang itu marah-marah.”

“Kenapa marah-marah?“ bertanya Kasadha.

“Ia sudah terbiasa marah-marah,“ jawab ibunya.

“Tetapi bukankah ia tidak berhak marah kepada setiap orang termasuk kepada bibi dan ibu?“ bertanya Kasadha.

“Biarlah kita mengalah,“ berkata ibunya sambil melangkah menelusuri pematang mendekati orang yang memanggilnya itu.

“Kedua orang itu pengawalnya,“ desis bibinya, ”keduanya dapat berbuat kasar terhadap siapa saja. Bahkan orang yang belum dikenalnya sama sekali.”

Kasadha mengangguk-angguk. Iapun condong untuk mengalah agar tidak terjadi persoalan. Apalagi justru ia sedang hadir ditempat itu. Sebagai seorang prajurit ia harus berusaha untuk menghindari timbulnya persoalan yang apalagi mengarah pada kekerasan. Hanya jika tidak ada jalan lain, maka ia bertindak untuk menegakkan paugeran yang berlaku tanpa mementingkan kepentingan diri sendiri.

Demikian ketiga orang itu mendekat, maka orang yang dipanggil Ki Tunggul itu bertanya dengan tatapan mata tajam. Agaknya ia heran melihat kehadiran Kasadha. Katanya, “Siapa anak itu?”

Ibu Kasadha menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian katanya, “Anak itu adalah anakku.”

“Anakmu? Apakah anak itu belum pernah datang kemari?“ bertanya Ki Tunggul.

Ibu Kasadha masih saja ragu-ragu. Dipandanginya anaknya sejenak. Baru kemudian ia menjawab lagi, “Tidak Ki Tunggul. Ia sudah sering datang kemari. Tetapi memang tidak terlalu sering. Ia tidak, pernah tinggal dirumah lebih dari dua hari sebagaimana sekarang ini.”

Ki Tunggul mengangguk-angguk. Namun ia bertanya lebih lanjut, “Dimana tempat tinggal anakmu jika ia tidak tinggal bersamamu di padukuhan ini?”

Ibunya menjadi semakin bimbang. Namun Kasadhalah yang menjawab, “Aku tinggal bersama paman, Ki Tunggul. Aku membantu kerja paman disawah dan ladangnya yang agak lebih luas dari ladang ibu dan bibiku disini.”

Ki Tunggul itu mengangguk-angguk. Namun ia masih saja memandangi pakaian Kasadha yang meskipun tidak mengenakan pakaian seorang prajurit, namun pakaian itu dinilainya lebih baik dari pakaian anak-anak muda padesan yang setiap hari turun kesawah.”

Tiba-tiba saja Ki Tunggul itu bertanya, “Dimana pamanmu tinggal?”

Kasadhapun menjadi ragu-ragu. Namun ia harus menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka iapun kemudian berkata, “Paman tinggal sedikit diluar dinding Kotaraja.”

“Pajang maksudmu?“ desak Ki Tunggul.

“Ya Ki Tunggul,“ jawab Kasadha.

“Itulah agaknya maka kau berpakaian seperti anak-anak muda Pajang. Tetapi apakah kekayaan pamanmu cukup besar, sehingga kau dapat bergaya seperti anak orang yang meskipun tidak kaya, tetapi cukup berada?”

Pertanyaan itu semakin membingungkan Kasadha. Dengan tersendat ia kemudian menjawab, “Pamanku bukan orang kaya. Tetapi ia seorang yang sangat baik. Aku mendapat kesempatan cukup untuk menyesuaikan diri dengan kawan-kawanku. Sudah tentu aku harus tahu diri. Tidak menyesuaikan diri dengan anak orang-orang kaya yang memiliki apa saja yang diinginkannya.”

“Tetapi siapa yang kau maksud dengan pamanmu itu?“ bertanya Ki Tunggul semakin mendesak.

Namun tiba-tiba saja timbul pikiran aneh di kepala Kasadha. Tanpa minta pertimbangan ibu dan bibinya ia menjawab, “Paman adalah bekas suami bibi ini. Aku datang khusus untuk menyampaikan pesannya.”

“Pesan apa?“ dahi Ki Tunggul itu berkerut.

“Paman minta bibi mau menerima paman kembali. Paman akan bersedia memenuhi permintaan bibi apapun juga. Termasuk memelihara itik,“ jawab Kasadha.

“Kenapa memelihara itik?“ bertanya Ki Tunggul itu pula.

“Paman bercerai dengan bibi karena soal itik. Bibi ingin memelihara itik, tetapi paman menolaknya. Pertengkaranpun merembet kesoal-soal lain dan membengkak sehingga akhirnya bibi meninggalkan paman,“ jawab Kasadha.

“Tidak,“ jawab Ki Tunggul, “bibimu tidak akan kembali kepada pamanmu. Kaupun tidak usah kembali kepadanya. Kau dan bibimu dapat tinggal bersamaku. Aku akan mencukupi kebutuhanmu melebihi pamanmu itu.”

Kasadha menarik nafas panjang. Katanya, “Terlambat, Ki Tunggul. Bibi telah menyatakan kesediaannya kembali kepada paman. Sebenarnyalah paman dan bibi belum resmi bercerai,“ jawab Kasadha sambil berpaling kearah bibinya.

Wajah bibinya memang menjadi merah. Tetapi ia mengerti maksud Kasadha. Karena itu ketika Ki Tunggul bertanya kepadanya maka bibi Kasadha itupun mengangguk membenarkan, “Aku memang belum bercerai.”

“Kalian harus segera menyelesaikan perceraian itu berapapun besar beayanya. Aku akan menanggungnya dan aku ulangi lamaranku agar kau bersedia menjadi isteriku. Hidupmu dan kakak perempuanmu bahkan kemenakanmu itu akan menjadi jauh lebih baik dari sekarang, bahkan seandainya kau kembali kepada suamimu yang tidak bertanggung jawab itu,“ berkata Ki Tunggul lantang.

Tetapi bibi Kasadha itu menggeleng. Katanya, “Aku sudah menyatakan untuk bersedia kembali kepada suamiku itu.”

“Tidak. Kau tidak boleh kembali kepadanya,“ Ki Tunggul itu hampir berteriak.

“Jangan berteriak begitu Ki Tunggul,“ cegah ibu Kasadha, “nanti orang-orang yang sedang membersihkan rerumputan disela-sela batang padinya itu berdatangan kemari.”

“Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa atasku,“ jawab Ki Tunggul dengan nada tinggi.

“Tetapi adikku tentu merasa malu. Persoalan yang penting ini tidak seharusnya dibicarakan dipinggir jalan bulak seperti ini. Sebaiknya kita bicarakan lain kali. Apalagi adikku telah memberikan jawabannya,“ desis ibu Kasadha.

“Aku minta kepastian,“ berkata orang itu.

“Aku sudah memberikan kepastian,“ jawab bibi Kasadha itu.

“Aku tidak mau kau perlakukan semena-mena. Aku seorang yang berpengaruh disini. Aku dapat mempergunakan pengaruhku untuk memaksamu,“ berkata Ki Tunggul dengan marah.

“Aku sudah melapor kepada Ki Bekel,“ jawab bibi Kasadha, “jika Ki Tunggul akan memaksaku, maka Ki Bekel akan campur tangan langsung. Bukankah Ki Tunggul sudah mengetahui?”

“Ki Bekel tidak berani berbuat apa-apa atasku. Kau kira Ki Bekel dapat melindungimu?“ geram Ki Tunggul.

“Jika bukan Ki Bekel, aku akan menyampaikannya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya,“ jawab bibi Kasadha.

Laki-laki itu menggeretakkan giginya karena marah. Katanya, “Aku tidak mau bertengkar di pinggir jalan. Tetapi bukan berarti aku tidak akan meneruskan niatku. Sementara itu kau sempat berpikir bahwa aku akan dapat mengangkatmu dan seluruh keluargamu dari lembah kemiskinan.”

Bibi Kasadha tidak menjawab lagi. Sementara itu laki-laki itupun berkata sambil bergeser dari tempatnya, “Jangan menunggu aku memerintahkan orang-orangku mengambilmu dengan paksa.”

Bibi Kasadha masih tetap berdiam diri. Sementara Ki Tunggul itupun mengajak kedua orang pengiringnya itu melangkah pergi.

“Laki-laki itu mempunyai mata yang tajam,“ desis ibu Kasadha sambil berpaling kearah saudara sepupunya.

“Kenapa?“ bertanya bibi Kasadha.

“Ia dapat melihat kecantikan seseorang meskipun diselimuti oleh kemiskinan,“ jawab ibu Kasadha.

“Ah,“ desah saudara sepupunya, “kau selalu saja mengganggu. Bukankah kau tidak bersungguh-sungguh?”

Ibu Kasadha tertawa. Namun iapun kemudian berkata, “Sudahlah. Agaknya Kasadha sudah cukup lama berada di sawah.”

“Aku belum mohon maaf, bahwa aku telah menjawab asal saja,“ berkata Kasadha kemudian, “seharusnya aku mohon ijin lebih dahulu kepada bibi sebelum aku membual.”

“Tidak apa. Jawabku untuk selanjutnya akan berpegang kepada bualanmu itu,“ jawab bibinya.

“Tetapi bukankah akhirnya orang itu mengetahui bahwa apa yang aku katakan tidak benar?“ berkata Kasadha kemudian.

“Mudah-mudahan orang itu sudah melupakannya,“ jawab bibinya selanjutnya.

Kasadha hanya mengangguk-angguk saja. Sementara ibunya berkata, “Marilah. Sebaiknya kita pulang saja.”

Bertiga merekapun kemudian meninggalkan sawah yang hanya sekotak itu. Disepanjang jalan Kasadha mengulangi niatnya untuk membeli sawah sekotak lagi agar tanah garapan ibu dan bibinya menjadi lebih luas, sehingga hasilnya akan cukup bagi mereka berdua untuk semusim. Dari panen sampai ke panen berikutnya.

Ketika mereka sampai dirumah, maka Kasadhapun telah ikut pula membantu kerja ibu dan bibinya. Membelah kayu bakar dan menimba air untuk mengisi gentong didapur dan jambangan di pakiwan.

Namun dalam pada itu, Kasadha justru telah mulai digelisahkan lagi oleh keperluannya datang menemui ibunya. Ia sama sekali lidak memikirkan lagi laki-laki yang akan mengambil bibinya, karena bibinya tentu akan dapat menyelesaikannya sendiri dengan cara apapun yang dikehendaki oleh Ki Tunggul. Seandainya Ki Tunggul akan mempergunakan kekerasan, maka bibinya tentu akan dapat mengatasinya. Jika terpaksa maka ibunyapun tentu akan membantunya. Namun jika terjadi demikiin, maka kehadiran mereka di padukuhan itu tentu akari menjadi sorotan orang. Karena itu, ia sependapat justru bibinya melaporkannya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya jika Ki Bekel tidak dapat mengatasinya. Namun apapun yang dilakukan oleh Ki Tunggul, tidak akan berbahaya bagi bibi dan ibunya asal Ki Tunggul tidak berbuat licik dan pengecut.

Yang kemudian dipikirkan oleh Kasadha, bagaimana ia akan mulai dengan sebuah pembicaraan tentang wisuda di Tanah Perdikan Sembojan.

“Tetapi aku harus mengatakannya,“ berkata Kasadha kepada diri sendiri.

Karena itulah, ketika mereka makan malam lewat senja, dibawah nyala lampu minyak yang redup, Kasadha telah memaksa diri untuk menyampaikan keperluannya datang kerumah ibunya.

“Ibu,“ berkata Kasadha sambil menelan nasi yang terakhir disuapkan kemulutnya. Sejenak ia berhenti untuk meneguk wedang sere yang disediakan oleh bibinya.

Ibunya mengerutkan keningnya. Ia melihat wajah dan suara Kasadha yang bersungguh-sungguh. Karena itu, maka iapun meperhatikan anaknya itu dengan bersungguh-sungguh pula.

“Ibu,“ Kasadha mengulangi, “sebenarnya disamping aku datang untuk menengok ibu dan bibi, aku juga membawa sebuah berita yang aku tidak tahu, apakah ibu dan bibi menganggap penting atau tidak.”

Ibunya menarik nafas panjang. Katanya, “Aku sudah mengira ngger. Agaknya kau tidak datang sekedar menengok ibu dan bibimu saja. Tetapi karena aku tidak yakin, maka aku menunggu sampai saatnya kau mengatakannya.”

“Besok aku harus kembali ke barak pasukanku. Karena itu, maka malam ini adalah kesempatan terakhir bagiku untuk membicarakannya dengan ibu serta bibi.”

“Katakanlah, Puguh. Aku akan mendengarkannya dengan baik, berita apapun yang akan kau sampaikan. Hatiku sekarang sudah tidak lagi mudah terguncang setelah aku mengalami peristiwa yang telah melemparkan aku ketempat ini dengan sikap dan anutan hidupku sekarang.“ sahut ibunya.

Kasadha menarik nafas panjang. Lalu katanya dengan patah-patah, “Ibu. Aku akan menyampaikan satu berita yang akan terjadi di Tanah Perdikan Sembojan.”

Ternyata dengan dingin ibunya berkata, “Katakanlah ngger.”

Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ibu, di Tanah Perdikan Sembojan akan diselenggarakan wisuda.”

Ibunya mengerutkan dahinya. Namun iapun cepat tanggap. Karena itu maka iapun segera bertanya, “Angger Risang akan diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan?”

“Ya ibu,“ jawab Kasadha.

Wajah ibu Kasadha itupun segera berubah. Secerah kegembiraan justru memancar dari sorot matanya. Sambil mengusap rambutnya yang sudah memutih tergerai di dahinya, maka iapun berkata, “Sokurlah. Tanah Perdikan itu tidak lebih lama lagi kosong tanpa seorang pemimpin yang sah. Dengan wisuda itu, maka Tanah Perdikan itu akan mempunyai seorang Kepala Tanah Perdikan yang sebenarnya.”

“Aku telah mendapat undangan untuk menghadiri wisuda itu ibu. Risang sendiri datang ke barakku untuk mengundang aku agar aku bersedia datang ke Tanah Perdikan disaat wisuda itu dilaksanakan beberapa pekan lagi.“ berkata Kasadha.

Ibunya mengangguk-angguk. Namun dengan hati-hati ia bertanya, “Bukankah kau telah menyatakan kesediaanmu untuk datang?”

“Ya ibu. Aku sudah menyatakan, bahwa aku akan datang,“ jawab Kasadha. Sementara itu jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia berniat untuk mengatakan, bahwa ibunya juga diharapkan untuk datang.

Ibunya melihat sesuatu yang masih tersimpan dihati anaknya itu. Karena itu, maka iapun justru berusaha untuk mengungkit agar yang tersimpan itu juga dilontarkan keluar.

Karena itu, maka ibunya itu justru bertanya, “Apakah ada pesan yang lain yang kau bawa?”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ya ibu. Ada yang lain yang akan aku sampaikan.”

“Katakan Puguh. Kau tidak perlu ragu-ragu. Sudah aku katakan bahwa hatiku tidak lagi mudah terguncang.”

Kasadha mengangguk kecil. Katanya, “Ibu. Kami, maksudku aku dan Risang berharap bahwa ibu juga bersedia untuk datang.”

Meskipun ibunya sudah mengatakan bahwa hatinya tidak mudah terguncang, namun yang dikatakan oleh Kasadha dengan ragu itu sempat membuat jantungnya bergetar lebih cepat.

Namun sesaat kemudian, ibu Kasadha itu telah menguasai perasaannya sepenuhnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Apakah Risang juga mengundang aku atau kau tawarkan kepadanya bahwa aku akan kau ajak serta?”

“Apakah ada bedanya? “ justru Kasadha bertanya kembali.

“Tentu ada bedanya ngger,“ jawab ibunya, “jika kau tawarkan kepadanya, bahwa aku akan kau bawa bersamamu, maka belum tentu jika hal itu berkenan dihatinya. Apalagi ibunya. Seandainya kemudian ia mengiakannya, mungkin hal itu hanya karena perasaan segan saja. Sehingga dengan demikian, maka Risang apalagi ibunya tidak menerima kedatanganku dengan ikhlas.”

Kasadha mengangguk-angguk. Sepercik keraguan telah membersit dihatinya. Ia dapat mengerti perasaan ibunya. Namun iapun telah berjanji kepada Kasadha bahwa ia akan membujuk ibunya sebagaimana Kasadha akan meyakinkan ibunya bahwa ibunya telah berubah.

Untuk beberapa saat Kasadha merenung. Namun kemudian iapun berkata, “Ibu, sebenarnyalah bahwa aku dan Risang telah bersepakat untuk meyakinkan ibu dan ibu Risang, agar dapat menghapus jarak yang selama ini terbentang diantara ibu dan ibu Risang itu. Permusuhan yang telah lama berlangsung tidak akan dapat memberikan apapun juga, baik kepada ibu maupun kepada ibu Risang. Yang ada justru ketidak tenteraman, ketegangan jiwa dan kebencian yang seakan-akan memburu sepanjang hidup kita.”

Ibunya mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku sependapat sepenuhnya dengan pendapatmu itu Kasadha. Akupun sebenarnya tidak berkeberatan untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan, sepanjang aku akan dapat diterima dengan hati terbuka.”

Kasadha memandang ibunya dengan tajamnya, seakan-akan ingin melihat apakah isi hatinya sesuai dengan kata-katanya. Namun ibunya itupun menjelaskan, “Aku berkata sebenarnya Kasadha. Aku berada dipihak yang salah, yang harus menempatkan dirinya dalam kedudukan yang lebih rendah. Tetapi aku tidak berkeberatan. Seandainya aku harus berlutut untuk mohon maaf sekalipun, hal itu akan aku lakukan. Justru setelah Iswari itu mau menerimamu dengan kedua belah tangannya, bahkan menganggapmu sebagai anak sendiri. Bagiku sekarang, aku memang sudah tidak ada harganya. Aku hanya dapat mengharap agar kau tidak mengalami nasib seperti aku. Jika Tanah Perdikan Sembojan itu menerimamu dengan baik dan memberimu tempat selayaknya, maka aku tidak akan memberikan harga sama sekali bagi diriku sendiri.”

Kasadha justru termangu-mangu. Ternyata sikap ibunya tidak sebagaimana dibayangkan. Ibunya tidak merasa tidak pantas datang karena merasa bersalah. Tetapi juga tidak ingin bersikap sebagai tamu yang terhormat. Ibunya justru bersedia direndahkan sebagai pengakuan atas kesalahannya.

Perasaan Kasadha tersentuh karenanya. Bagaimanapun juga ia tidak akan dapat melihat ibunya direndahkan dan apalagi dijadikan bahan pangewan-ewan, betapapun besar kesalahannya. Namun disamping perasaan itu, Kasadhapun menganggap bahwa ibunya adalah seorang yang berhati jantan. Ia tidak gentar menghadapi kenyataan betapapun pahitnya. Bahwa dengan dada tengadah ibunya sanggup mengakui kesalahannya, adalah pertanda bahwa ibunya bukan seorang yang berjiwa kerdil. Sebagaimana diingatnya, apa yang pernah dilakukan ibunya, maka ibunya memang mempunyai landasan jiwa yang kuat. Namun yang pada saat itu jalan yang ditempuh oleh ibunya adalah jalan yang sesat.

Karena itu, maka dengan suara yang bergetar Kasadha berkata, “Ibu, kita akan pergi ke Tanah Perdikan dalam keadaan wajar. Mungkin ibu memang membawa beban. Tetapi sudah tentu bukan niat Risang untuk menghadapkan ibu pada sebuah pengadilan. Karena itu, jika kita pergi ke Tanah Perdikan, maka kita akan menyatakan ikut bergembira bahwa Risang telah diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan,”

Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan dengan senang hati datang ke Tanah Perdikan Sembojan. Apapun yang akan aku alami disana. Aku sudah merasa bersukur bahwa kau mendapat undangan langsung dari Risang sendiri. Apalagi jika Risang itu juga mengundang aku.”

Kasadha mengangguk kecil sambil menjawab, “Terima kasih atas sikap ibu yang justru terbuka. Sejak semula aku merasa cemas bahwa ibu akan berkeberatan karena berbagai pertimbangan.”

“Nah, katakan kepada Risang, bahwa aku bersedia untuk datang ke Tanah Perdikan Sembojan saat ia diwisuda,“ berkata ibunya, “asal kau yakin bahwa kesediaannya menerima aku bukan karena terpaksa. Apalagi ibunya, justru karena ia bersikap baik kepadamu. Tentang apa yang akan dilakukan atasku aku tidak akan menghiraukannya.“

Kasadha mengangguk-angguk pula. Katanya, “Jika demikian, pada saatnya aku akan datang menjemput ibu dan sudah tentu bibi. Aku mohon bibi bersedia menemani ibu ke Tanah Perdikan Sembojan.”

Bibinya mengangguk sambil menjawab, “Sudah tentu aku akan bersedia menemani ibumu. Selama hidupku aku belum pernah menyaksikan wisuda seorang Kepala Tanah Perdikan. Dengan datang ke Sembojan, agaknya aku akan dapat berceritera tentang upacara itu.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Persoalannya dengan ibunya sudah selesai. Nampaknya iapun tidak akan terlalu banyak dibebani persoalan apabila ibu Barata berkeberatan menerima kehadiran ibunya, karena ibunya justru sudah mengatakan, bahwa ia akan datang jika ia akan dapat diterima dengan ikhlas, apapun yang akan terjadi atas dirinya di Tanah Perdikan kelak. Jika ibu Risang ternyata kemudian tidak ikhlas, maka ibunya tidak akan merasa sakit hati karena telah ditolak.

Tetapi bagaimanapun juga Kasadha tentu akan berusaha untuk menempatkan ibunya pada kedudukan yang wajar meskipun ibunya sendiri sudah mengaku bersalah dan akan menerima perlakuan yang bagaimanapun juga kelak.

Karena itu, maka Kasadhapun kemudian berkata, “Baiklah ibu. Dengan demikian maka aku sudah mendapat satu kepastian bahwa ibu akan datang ke Tanah Perdikan. Tetapi tentu saja tidak akan diperlakukan seperti seorang tertuduh didepan perdata yang akan mengadilinya atau justru seperti seorang terhukum yang harus menjalani hukumannya.”

“Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang bakal timbul Kasadha. Aku datang ke Tanah Perdikan hanya akan menyampaikan ucapan selamat dengan ikhlas kepada angger Risang, sebagaimana sikap ibu Risang yang dengan ikhlas menerimamu dalam rangkuman keluarga Tanah Perdikan Sembojan meskipun ia dan orang-orang tua di Tanah Perdikan tahu siapakah ibumu,“ berkata ibunya.

“Mudah-mudahan wisuda itu juga menjadi batas pertautan kembali seluruh keluarga Tanah Perdikan Sembojan tanpa saling curiga-mencurigai,“ berkata Kasadha dengan nada dalam.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum menjawab, mereka telah dikejutkan oleh ketukan perlahan-lahan pada daun pintu rumah mereka yang memang sudah tertutup.

“Siapa?“ bertanya bibi Kasadha.

“Buka pintunya,“ terdengar suara geram diluar. Ketukan dipintu itu bahkan terdengar semakin kertas.

“Siapa?“ bertanya bibi Kasadha itu pula.

“Buka saja pintunya, aku akan berbicara,“ Kasadhapun segera tanggap. Katanya, “Orang yang tadi siang kita temui disawah.”

Ibunya mengangguk sambil berdesis, “Ya. Ki Tunggul. Nampaknya ia sudah benar-benar gila.”

“Aku tidak akan membuka pintu,“ geram Bibi Kasadha.

“Bukalah,“ minta ibu Kasadha, “nanti pintu itu rusak dan kita harus memperbaikinya. Atau biarlah Kasadha membukan pintu itu. “Silahkan mereka masuk. Ki Tunggul tentu tidak sendiri.”

Kasadhapun bangkit dari tempat duduknya sementara wajah bibinya menjadi buram. Bahkan iapun berdesis, “Jika mereka mempergunakan kekerasan, apakah kita akan melayaninya? Lalu bagaimana anggapan tetangga-tetangga terhadap kita? Sikap mereka tentu akan berubah. Mereka akan menganggap kita sebagai hantu-hantu betina yang dijauhi orang.“

“Mumpung ada Kasadha. Besok pagi-pagi kita menghadap Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Malam ini kita tidak usah ikut campur,“ jawab ibu Kasadha.

Bibinya tidak membantah lagi, sementara pintupun diketuk semakin keras. Sehingga Kasadha harus menjawab, “Ya, ya. Aku sedang berjalan menuju ke pintu.“

Sejenak kemudian, Kasadha telah mengangkat selarak pintu lereg yang terbuat dari anyaman bambu itu. Ia mundur beberapa langkah ketika tiba-tiba saja Ki Tunggul dan dua orang pengikutnya memasuki rumah itu.

“Aku datang dengan maksud baik,“ berkata Ki Tunggul.

“Marilah, silahkan duduk, Ki Tunggul. Tempatnya masih dikotori sisa-sisa makan yang belum sempat kami singkirkan, karena kami sedang berbincang-bincang,“ ibu Kasadha itu mempersilahkan sambil membenahi mangkuk-mangkuk yang masih berserakan diamben bambu yang juga dipergunakan Kasadha untuk tidur.

Ki Tunggul tidak menjawab. Tetapi iapun segera duduk diamben itu pula, sementara dua orang pengiringnya berdiri tegak di sebelahnya. Seorang diantaranya meletakkan tangannya pada hulu goloknya yang besar. Sedang yang lain menyilangkan tangannya di dadanya.

Kasadhapun kemudian juga dudijk diamben itu pula disebelah bibinya. Sementara ibunya beringsut, justru ketengah.

“Kedatangan Ki Tunggul malam-malam telah mengejutkah kami,“ desis ibu Kasadha.

“Belum terlalu malam,“ jawab Ki Tunggul, “baru saja senja lewat. Rumah sebelah menyebelah pintunya masih terbuka. Hanya rumah ini sajalah yang sudah menyelarak pintu rumahnya.”

“Agaknya kami sudah tidak mempunyai kepentingan apa-apa lagi diluar, Ki Tunggul. Karena itu, maka kami telah menyelarak pintu rumah kami,“ berkata ibu Kasadha kemudian.

“Baiklah. Aku akan segera mengatakan kepentinganku datang kemari. Sudah aku katakan, bahwa aku berniat baik. Aku akan meneruskan pembicaraan kita di bulak tadi. Aku memang tidak mau bertengkar di jalan meskipun tidak akan ada orang yang berani menegurku. Tetapi aku semata-mata menghormati kalian, perempuan yang katanya merasa malu ribut-ribut dipinggir jalan.”

Ibu Kasadha, bibinya dan Kasadha sendiri tidak menjawab. Mereka menunggu Ki Tunggul itu berkata selanjutnya meskipun mereka sudah dapat menduga, apa yang akan dikatakannya.

Sebenarnyalah sejenak kemudian Ki Tunggul itu berkata, “aku akan melanjutkan pembicaraan kita. Aku benar-benar berniat untuk melamarmu. Sudah hampir setahun aku menduda. Bukankah sudah cukup lama anak-anakku hidup dalam kegersangan karena mereka tidak mempunyai seorang ibu?”

“Dimana ibu-ibu mereka?“ bertanya bibi Kasadha.

Sementara Kasadhapun mengerutkan keningnya, karena kesan dari pertanyaan itu adalah bahwa isteri laki-laki itu tidak hanya satu.

Ki Tunggul menjadi tegang mendengar pertanyaan itu. Jawabnya, “Kau tidak perlu tahu kemana mereka pergi. Tetapi mereka adalah perempuan-perempuan yang tidak tahu diri. Perempuan-perempuan malas yang hanya pandai menghabiskan uang untuk bersolek dan membeli barang-barang perhiasan yang tidak sewajarnya. Karena itu mereka sudah aku usir dari rumahku. Aku tidak peduli kemana mereka akan pergi dan apa yang akan mereka lakukan kemudian, karena itu sudah bukan tanggung-jawabku lagi.”

“Tetapi ternyata anak-anak mereka membutuhkan mereka,“ berkata bibi Kasadha.

“Sudahlah. Jangan hiraukan mereka. Aku memerlukan kau, itu saja. Kau akan menjadi isteriku dan menjadi ibu dari anak-anakku. Kau akan dapat hidup lebih baik daripada hidup digubug yang miring ini,“ berkata Ki Tunggul.

“Gubug ini tidak miring, Ki Tunggul,“ sela Kasadha tiba-tiba sambil tersenyum.

Namun Ki Tunggul itu membentak, “Kau anak dungu. Kau tentu tahu bahwa gubug ini buruk, kotor dan pengab.”

Kasadha tidak menjawab lagi. Tetapi ia menyembunyikan senyumnya sambil menunduk dalam-dalam.

Sementara bibi Kasadha itu menjawab, “Ki Tunggul, bukankah sudah aku katakan bahwa aku akan segera kembali kepada suamiku. Karena itu, aku tidak dapat memenuhi keinginan Ki Tunggul. Apalagi akupun termasuk perempuan yang malas dan tidak mempunyai kelebihan apapun dari perempuan-perempuan lain.”

“Tetapi kau terbiasa bekerja keras. Kau dapat bekerja sehari penuh disawah melampaui ketahanan kerja seorang laki-laki. Bukankah itu satu kelebihan?“ berkata Ki Tunggul.

Kasadhapun tahu pasti mendengar jawaban itu, bahwa bibinya memang tidak akan dijadikan seorang isteri yang sewajarnya. Tetapi ia akan menjadi seorang budak. Karena itu, maka diluar sadarnya timbullah kebenciannya kepada Ki Tunggul itu. Namun Kasadha berusaha untuk tidak mencampuri persoalannya jika tidak terpaksa.

Sementara itu, bibinyapun menjawab, “Sudahlah Ki Tunggul. Aku tidak akan dapat kau jadikan isterimu sekaligus budakmu. Sebaiknya aku kau lupakan saja. Dalam waktu dekat, suamiku tentu akan datang kemari. Soalnya tinggal, apakah aku akan mengikut suamiku ke Pajang atau suamiku yang akan tinggal disini.”

Wajah Ki Tunggul menjadi merah. Katanya, “Kau tahu bahwa di padukuhan ini tidak seorangpun yang dapat mencegah kemauanku. Karena itu pikirkan masak-masak. Jika aku tidak mendengar kabar bahwa kau akan kembali ke suamimu, aku akan memberimu kesempatan berpikir beberapa hari lagi. Tetapi justru karena anak itu membawa bawa kabar bahwa kau akan kembali pada suamimu, maka aku harus mendapat kepastianmu sekarang. Aku tidak mau terlambat.”

“Aku sudah memberimu kepastian,“ jawab bibi Kasadha.

“Jangan membuat aku marah,“ berkata Ki Tunggul, “jika kau mengharap perlindungan dari Ki Bekel, itu akan berarti sia-sia. Ki Bekel tidak akan berani menentangku, ia sudah berada dibawah pengaruhku.”

“Jika demikian aku akan melaporkannya kepada Ki Jagabaya. Bahkan jika perlu Ki Demang, karena Ki Tunggul tahu bahwa Ki Jagabaya adalah seorang yang berpegang teguh pada paugeran bebrayan sehingga Ki Jagabaya tentu akan bersedia melindungiku,“ berkata bibi Kasadha.

“Kau tidak akan mendapat kesempatan,“ berkata Ki Tunggul.

“Besok pagi-pagi aku akan pergi kerumah Ki Jagabaya. Aku sudah tahu rumahnya meskipun agak jauh,“ berkata bibi Kasadha.

“Kau tidak akan sempat melakukannya meskipun besok pagi-pagi, karena malam ini aku sudah memutuskan membawamu kerumahku. Aku sudah terlalu sabar menunggumu. Tetapi aku tidak mau didahului oleh suamimu,“ berkata Ki Tunggul.

“Tidak,“ bibi Kasadha hampir berteriak, “kau kira aku apa sehingga kau akan dapat membawaku sekehendakmu sendiri?”

“Aku tidak peduli,“ berkata orang itu. Sambil memberi isyarat kepada kedua orang pengiringnya Ki Tunggul itu berkata, “Aku sudah tidak dapat menahan diri lagi. Kau malam ini harus sudah berada dirumahku. Kau harus berganti pakaian yang pantas sebagai isteriku sehingga kecantikanmu akan semakin nyata.”

“Tidak,“ wajah bibi Kasadha menjadi merah. Namun ketika ia melihat Kasadha, maka iapun mencoba untuk menahan diri. Seperti yang dikatakannya sendiri, ia tidak mau menjadi seorang perempuan yang terasing, karena ia memiliki kemampuan berkelahi. Ia telah berhasil mengatasi kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga ia tidak ingin merusaknya jika tidak terpaksa sekali.

Karena itu, maka ia menyerahkan persoalannya kepada Kasadha agar jika Ki Tunggul itu mempergunakan kekerasan, anak muda itu dapat mengatasinya.

“Kedudukan perempuan didesa kecil ini berbeda dengan kedudukan Warsi dipadepokannya atau Iswari di Tanah Perdikannya,“ berkata bibi Kasadha itu didalam hatinya.

Sebenarnyalah ketika kedua orang pengikut Ki Tunggul itu mulai bergerak, Kasadha berkata, “Ki Tunggul. Bibi telah menyatakan sikapnya. Sebaiknya Ki Tunggul juga menghormati haknya. Karena itu, Ki Tunggul jangan memaksa bibi untuk tunduk kepada kemauan Ki Tunggul. Apalagi menurut kesimpulanku dari pembicaraan Ki Tunggul dan bibi, sebenarnyalah bibi tidak akan menjadi seorang isterinya dengan hak sepenuhnya sebagai seorang isteri yang wajar. Tetapi bibi akan menjadi seorang isteri yang dibebani oleh pekerjaan yang berat karena bibi mampu bekerja keras. Karena itu, biarlah bibi kembali kepada paman tanpa gangguan orang lain. Termasuk Ki Tunggul.”

Kemarahan Ki Tunggul menjadi semakin menyala di dadanya. Dengan lantang ia berkata, “Kau anak yang masih berbau kencur. Kau mau apa? Sebaiknya kau bujuk agar bibimu dapat berpikir bening sehingga ia bersedia ikut bersamaku. Kaupun boleh ikut bersamaku dan ibumu sekaligus. Sawahku cukup luas untuk kalian kerjakan menurut kehendakmu.”

Kasadha menggeleng. Katanya, “Sudahlah. Kami sudah cukup memberikan penjelasan. Sekarang aku mohon Ki Tunggul pulang saja agar tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan.”

Seorang diantara pengiring Ki Tunggul itu nampaknya tidak sabar lagi. Karena itu maka iapun maju selangkah mendekati Kasadha sambil membentak, “Jika kau membuka mulutmu lagi, aku akan mengoyaknya.”

Kasadha tidak segera menjawab. Tetapi iapun telah bangkit berdiri. Tetapi ia melangkah surut ketika pengiring Ki Tunggul itu melangkah maju.

“Ki Sanak,“ berkata Kasadha, “bukankah kita mempunyai mulut untuk berbicara dan menyelesaikan persoalan kita? Apakah kita perlu mempergunakan kekerasan sehingga diantara kita, orang-orang dewasa saling berkelahi? Bukankah itu akan dapat menjadi bahan tertawaan anak-anak yang masih pantas berkelahi.”

Tetapi orang itu tidak menjawab. Tangannyalah yang dengan cepat bergerak menampar wajah Kasadha.

Tetapi tangan itu ternyata tidak menyentuhnya sama sekali. Hampir tidak masuk akal bahwa tangannya tidak mengenai sasaran, sementara Kasadha seakan-akan tidak bergerak sama sekali.

Pengiring Ki Tunggul itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya kemarahannya sudah tak terbendung lagi. Bahwa tangannya tidak menyentuh sasarannya telah membuatnya semakin geram.

Namun Kasadha tidak mau terjadi keributan didalam rumah itu. Karena itu, maka iapun berkata, “Ki Sanak. Meskipun aku tahu bahwa kau adalah salah seorang pengikut Ki Tunggul yang tentunya dianggap sebagai orang kuat atau bahkan memiliki ilmu yang tinggi, namun aku tidak akan membiarkan kau atas nama orang yang mengupahmu berbuat sewenang-wenang terhadap bibi. Betapapun lemahnya aku, tetapi aku juga seorang laki-laki. Aku tidak tahu apakah aku mampu melakukan atau tidak. Namun aku akan mencegahmu jika kau akan mengambil bibi diluar kehendak bibi itu sendiri. Karena itu, jika kau ingin memaksakan kehendakmu atas nama orang yang mengupahmu, maka kita tentu akan beradu kekerasan. Tetapi sudah tentu tidak didalam rumah yang sempit ini. Kita akan berkelahi diluar rumah. Meskipun gelap malam telah menyelimuti halaman rumah ini, tetapi kita tidak akan terganggu karenanya.”

Wajah pengiring Ki Tunggul itu menjadi merah. Kemarahannya telah sampai keubun-ubun. Apalagi ketika Ki Tunggul berkata, “Selesaikan anak itu.”

Kasadha tidak menunggu lagi. Iapun segera bergeser kepintu, sementara Ki Tunggul telah mengisaratkan agar kedua pengikutnya mengikutinya.

Sejenak kemudian Kasadha sudah berdiri di halaman rumah ibunya. Sementara itu kedua orang pengikut Ki Tunggul dan bahkan Ki Tunggul sendiri telah keluar pula.

Dalam pada itu terdengar suara Ki Tunggul, “Buatlah anak itu menjadi jera. Ia harus tahu, siapa aku dan seberapa besar pengaruhku disini. Meskipun ia akan berteriak-teriak, jika orang-orang disekitar rumah ini tahu, bahwa aku ada disini, maka mereka tentu tidak akan berani berbuat apa-apa.”

Kasadha hanya berdiam diri saja mendengar kata-kata Ki Tunggul itu. Namun ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

“Jangan ragu-ragu,“ berkata Ki Tunggul kemudian.

Kedua orang itupun kemudian telah mendekati Kasadha yang melangkah surut justru ke tengah-tengah halaman.

“Kau akan menyesal anak muda,“ geram salah seorang dari kedua orang pengikut Ki Tunggul, “jika kau mampu bertahan untuk hidup, maka kau tentu akan menjadi cacat untuk seumur hidupmu.”

“Tetapi aku akan membiarkan anak yang cacat itu ikut bersama bibinya dirumahku,“ berkata Ki Tunggul.

Kasadha masih saja berdiam diri. Namun ia benar-benar telah bersiap.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun mulai bergerak. Agaknya merekapun menyadari, melihat sikap Kasadha, maka mereka sudah memperhitungkan, bahwa anak muda itu bukannya anak muda yang kosong sama sekali. Setidak-tidaknya anak muda itu tentu merasa bahwa ia mampu melawan kedua orang pengikut Ki Tunggul itu.

Kasadhapun telah bergeser selangkah surut. Namun iapun kemudian mulai meloncat sambil menggapai salah seorang lawannya untuk memancingnya mulai menyerang.

Sebenarnyalah orang itu menghindari tangan Kasadha. Namun dengan cepat orang itu telah bergerak untuk menyerang.

Dengan demikian, maka perkelahianpun telah di. mulai. Meskipun Kasadha seorang prajurit dan lebih dari itu ia adalah murid Ki Ajar Paguhan, namun ia tidak merendahkan kemungkinan yang dimiliki oleh kedua orang lawannya. Keduanya tentu orang-orang yang terbiasa melakukan kekerasan.

Beberapa saat kemudian, mereka bertiga itupun bergerak semakin cepat. Kedua orang pengikut Ki Tunggul itu menjadi semakin yakin bahwa anak muda itu memang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.

Ki Tunggul memperhatikan perkelahian yang terjadi di halaman rumah itu. Dalam kegelapan ia melihat kedua belah pihak saling menyerang dan menghindar.

Namun Ki Tunggul itu mulai menjadi cemas karena kedua orang kepercayaannya itu tidak segera menyelesaikan anak muda itu.

Dengan demikian, maka Ki Tunggulpun segera mendekati arena. Ki Tunggul menjadi semakin jelas melihat mereka yang berkelahi itu karena bulan dilangit mulai tersembul dari balik dedaunan yang rimbun di halaman itu.

Dalam pada itu, ternyata ibu dan bibi Kasadha juga keluar dari pintu rumah mereka untuk menyaksikan apakah yang telah terjadi di halaman.

Sebenarnyalah perkelahian itu sudah menajdi semakin sengit. Namun dengan demikian, baik Ki Tunggul maupun ibu dan bibi Kasadha segera melihat, bahwa kemampuan mereka memang kurang seimbang. Beberapa kali Kasadha telah mampu mengenai tubuh lawan-lawannya. Bahkan seorang diantara mereka terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya dan jatuh terlentang. Namun untunglah bahwa ia masih mampu menyelamatkan dirinya.

Dalam perkelahian selanjutnya, maka ibu dan bibi Kasadha melihat bahwa Kasadha benar-benar telah menguasai kedua lawannya. Namun agaknya Kasadha tidak ingin membuat keduanya menjadi sangat malu karena kekalahan mereka yang hanya dalam waktu yang terhitung singkat, sedangkan sebelumnya mereka seakan-akan yakin bahwa mereka akan dapat memperlakukan Kasadha sekehendak hati mereka. Karena itu dalam perkelahian selanjutnya, Kasadha seakan-akan hanya sekedar melayani saja. Ia memang menunggu sampai kedua orang itu kehabisan tenaga dengan sendirinya karena kelelahan.

Namun kedua orang pengikut Ki Tunggul yang merasa selalu terdesak, bahkan beberapa kali telah dikenai serangan Kasadha, tidak membiarkan diri mereka kehilangan kepercayaan Ki Tunggul. Ketika keduanya semakin menyadari kemampuan anak muda itu, maka seorang diantara mereka telah memberikan isyarat agar mereka mempergunakan senjata mereka.

Dengan demikian, sejenak kemudian, maka kedua orang pengikut Ki Tunggul itu telah menarik golok mereka. Dengan geram seorang diantara mereka berkata, “Kau ternyata tidak tahu bahwa kau masih dikasihani. Betapa kami memberi kesempatan kepadamu untuk melihat kenyataan bahwa kau tidak akan mampu menghalangi kami, tetapi agaknya kau memang keras kepala.”

Kasadha termangu-mangu sejenak. Ternyata kedua orang itu sudah mempergunakan senjata mereka, sehingga perkelahian itu akan menjadi bersungguh-sungguh.

Tetapi Kasadha tidak membawa senjatanya. Ketika ia melangkah keluar, ia melupakan pedangnya.

Meskipun demikian Kasadha sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan Kasadha berniat menghentikan perlawanan kedua orang itu jika ternyata mereka bersungguh-sungguh. Menurut perhitungan Kasadha, keduanya tidak akan terlalu berbahaya baginya meskipun keduanya bersenjata.

Namun ternyata ibunyalah yang menjadi cemas. Meskipun ketika ia sempat melihat Kasadha bertempur ia mengerti bahwa ilmu anaknya sudah semakin meningkat, namun menghadapi kedua orang bersenjata itu, ibunya merasa perlu meyakinkan dirinya bahwa Kasadha tidak akan mengalami kesulitan.

Karena itu, maka iapun kemudian telah memanggil anaknya dan berkata, “Kasadha, ini pedangmu.”

Kasadha berpaling. Ia melihat ibunya telah melemparkan pedangnya kepadanya.

Dengan tangkas Kasadha menerima pedangnya. Bahkan ketika kedua orang lawannya melangkah maju sambil mengacukan goloknya, Kasadha telah menarik pedangnya pula sambil berkata, “Kalianlah yang telah mendahului menarik senjata dari sarungnya. Karena itu jika darah nanti menetes di halaman rumah ini, bukan tanggung jawabku.”

Tantangan Kasadha itu ternyata telah menggetarkan hati kedua orang itu. Anak itu ternyata berbeda dengan orang-orang Bayat yang pernah diperlakukan dengan kasar oleh mereka berdua. Anak itu dengan tatapan mata yang tajam memandang keduanya berganti-ganti, sementara ujung pedangnya dengan mantap terjulur lurus ke depan.

Namun sebelum mereka mulai menggerakkan sepjata mereka, Ki Tunggul berkata hampir berteriak, “Hentikan kebodohan kalian berdua. Apakah mata kalian tidak melihat siapakah lawan mereka?”

Kedua orang pengiring Ki Tunggul itu termangu-mangu. Namun Ki Tunggul yang melihat pedang Kasadha kemudian melangkah maju sambil berkata, “Anak ini tentu seorang prajurit.”

Kedua orang kepercayaan Ki Tunggul itu menjadi tegang. Namun ibu dan bibi Kasadhapun terkejut mendengar tebakan Ki Tunggul yang tepat itu.

Sementara itu Kasadha sendiri juga menjadi heran. Karena itu maka iapun telah bertanya, “Darimana Ki Tunggul tahu?”

“Aku pernah menjadi prajurit,“ jawab Ki Tunggul, “tetapi aku tidak merasa betah karena aku merasa seperti ditelikung oleh paugeran-paugeran yang tidak masuk akal. Selebihnya aku telah membentuk diriku sendiri. Jangan terlalu cepat menepuk dada. Aku sama sekali tidak gentar menghadapi seorang prajurit. Apalagi dengan demikian aku tahu bahwa kau telah membual dihadapanku. Aku tidak senang sama sekali terhadap sikapmu itu, sehingga karena itu, maka aku akan menentukan apa yang akan aku lakukan atasmu. Aku harus membungkam mulutmu bukan hanya untuk sesaat, tetapi untuk selama-lamanya agar apa yang aku lakukan ini tidak berbekas. Kemudian aku akan membawa bibi dan ibumu bersamaku sekarang.”

Kasadha termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat wajah Ki Tunggul, iapun tahu bahwa Ki Tunggul tentu memiliki ilmu yang cukup tinggi.

Ternyata ibu dan bibinyapun melihat pancaran wajah Ki Tunggul itu, sehingga diluar sadarnya ibu dan bibinya bergeser mendekatinya.

“Kasadha,“ bisik ibunya, “pandanglah bulan itu. Hisap getaran inti sinarnya dengan seluruh permukaan kulitmu. Kekuatan yang terpancar daripadanya akan menyusup ke lubang-lubang kulitmu sehingga getarannya akan membuat kemampuan dan ilmumu mekar didalam dirimu, termasuk tenaga dalammu.”

Kasadha mengerutkan keningnya. Ia memang menengadahkan wajahnya memandang bulan dilangit. Meskipun belum bulat, tetapi bulan itu memancarkan sinarnya yang keemasan menyiram tubuh Kasadha.

Tetapi Kasadha sama sekali tidak tertarik kepada sinar bulan untuk memekarkan kemampuan dan ilmunya, karena gurunya tidak mengajarinya demikian. Namun Kasadha tidak mau mengecewakan ibunya. Beberapa saat ia memandang bulan itu, kemudian mengangkat pedangnya tinggi. Namun didalam hati ia berkata, “Jika aku dipengaruhi oleh sinar bulan, maka disiang hari atau disaat saat bulan tidak bersinar, aku merasa bahwa kemampuanku dan ilmuku akan menyusut.

Tetapi apa yang dilakukan oleh Kasadha itu ternyata telah menarik perhatian Ki Tunggul. Katanya, “Kau termasuk salah seorang pemuja bulan dan mendapat kekuatan dari padanya? Persetan. Kau kira aku menjadi gentar karenanya. Pengaruh sinar bulan itu tidak akan menggetarkan selembar rambutku. Apalagi jantungku.”

Kasadha tidak menjawab. Tetapi ia mulai melangkah maju mendekati Ki Tunggul sambil menggerakkan ujung pedangnya.

 

Jilid 46

KI TUNGGULPUN kemudian telah menarik senjatanya pula. Sebuah luwuk yang panjang. Pada tangkainya terdapat ukiran yang dihias dengan rambut yang Kasadha mengira rambut itu tentu rambut manusia, sebagaimana sering dilihat sebelumnya, bahwa rambut manusia memberikan kebanggaan tersendiri kepada pemiliknya. Apalagi rambut orang yang telah dibunuhnya dalam persoalan apapun.

“Marilah anak muda,“ berkata Ki Tunggul, “kita akan bertempur seorang lawan seorang. Jangan menyesal bahwa di padukuhan kecil ini kau bertemu dengan seseorang yang memiliki kemampuan melampaui Senapatimu sekalipun.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mengelak. Ki Tunggul yang memiliki pengaruh yang besar itu agaknya memang seorang yang tidak mau dikecewakan. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya tanpa menghiraukan kepentingan orang lain.

Namun Kasadhapun menyadari, bahwa Ki Tunggul itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Ia mengerti juga bahwa ada kekuatan yang bersumber dari siraman cahaya bulan.

Demikianlah keduanyapun telah berhadapan. Ki Tunggul mulai menggerakkan luwuknya yang kehitam-hitaman. Pamornya nampak berkilat memantulkan cahaya bulan Sementara itu Kasadha menggenggam sebilah pedang yang tajamnya bagaikan membelah cahaya bulan itu.

Sejenak kemudian, luwuk Ki Tunggul itupun mulai terayun. Namun Kasadha yang ingin menjajaginya telah menyentuh luwuk itu dengan pedangnya.

Satu benturan kecil telah terjadi. Tetapi dengan benturan itu keduanya masih belum dapat menduga kekuatan dan kemampuan mereka masing-masing.

Karena itu, maka keduanya masih harus tetap berhati-hati. Masing-masing masih belum tahu pasti, sampai dimanakah tataran kekuatan lawannya. Terutama Kasadha yang masih belum melihat sama sekali, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Tunggul, sementara Ki Tunggul telah melihat bagaimana ia mampu mengalahkan para pengawalnya.

Dengan demikian, maka Kasadha masih saja berusaha untuk dapat membentur ayunan senjata lawannya. Ketika sekali-sekali benturan yang keras terjadi, maka Kasadhapun mengetahui, bahwa lawannya memiliki kekuatan yang sangat besar.

Demikianlah, sejenak kemudian, pertempuran antara Kasadha dan Ki Tunggul itu menjadi semakin cepat. Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka pula. Bahkan semakin lama semakin tinggi. Luwuk Ki Tunggul-pun berputaran semakin cepat. Ayunannyapun menjadi semakin kuat. Beberapa kali Kasadha memang harus meloncat surut untuk menghindari sambaran luwuh Ki Tunggul itu.

Tetapi pedang Kasadhapun tidak pula kalah garangnya. Pedang itu bagaikan terbang menyambar-nyambar. Pantulan kilatan cahaya bulan kadang-kadang memang membuat jantung Ki Tunggul berdebaran apalagi setelah ia menduga bahwa Kasadha termasuk salah seorang pemuja bulan yang mengisap sinarnya dengan lubang-lubang kulitnya untuk meningkatkan kemampuannya.

“Iblis kecil ini ternyata keras kepala,“ berkata Ki Tunggul didalam hatinya, “tetapi ia harus benar-benar dihancurkan agar tidak ada lagi tuntutan karena aku telah berani melawan seorang prajurit. Meskipun prajurit itu tidak sedang bertugas, tetapi prajurit muda itu dapat menyatakan bahwa ia sedang melindungi seseorang, apalagi orang itu adalah bibinya.”

Karena itu, maka setelah mereka bertempur beberapa saat, Ki Tunggul menjadi tidak sabar lagi. Iapun telah mengerahkan kemampuannya sampai kepuncak.

Kasadha memang terdesak untuk beberapa saat. Ibunya sempat menjadi cemas melihat keadaannya. Meskipun ia sendiri akan dapat menyelesaikan Ki Tunggul, tetapi itu akan dapat merusak suasana hidupnya sehari-hari.

“Apakah aku harus menyelesaikan persoalan ini sebagaimana pernah aku lakukan?“ pertanyaan itu mulai timbul didalam hati ibu Kasadha itu.

Namun hatinya menjadi sedikit tenang, ketika ia melihat anaknya menjadi mapan lagi. Kasadha tidak lagi nampak terdesak setelah iapun meningkatkan kemampuannya pula. Pedangnya berputar secepat luwuk Ki Tunggul.

Ki Tunggul sempat mengumpat didalam hati. Anak muda itu ternyata tidak segera dapat ditundukkan. Menurut perhitungannya, sebagaimana dikenalnya, kemampuan para prajurit tidak akan dapat memanjat sampai ketingkat kemampuan anak muda itu.

Karena itu, maka Ki Tunggul itupun menjadi semakin yakin, bahwa Kasadha adalah seorang yang bukan saja memiliki kemampuan seorang prajurit, tetapi juga pernah berguru kepada seseorang yang ternyata pemuja bulan.

Karena itu, maka dalam siraman sinar bulan, maka kemampuannya telah menjadi semakin berkembang.

Ki Tunggul itupun kemudian berusaha untuk mendesak Kasadha agar anak muda itu lepas dari pengaruh sinar bulan dan bertempur dibawah bayangan pepohonan. Namun ternyata bahwa Ki Tunggul tidak mampu melakukannya. Ternyata Kasadha cukup trampil menanggapi usaha Ki Tunggul itu. Jika serangan Ki Tunggul itu datang memburu, maka dengan tangkasnya Kasadha meloncat berputaran. Namun Ki Tunggul itu tidak pernah dapat mendesak Kasadha sehingga tenggelam dalam bayangan pepohonan yang rimbun di halaman rumah itu. Setiap kali Kasadha sempat menembus desakan lawannya dan kembali berdiri di terangnya sinar bulan yang kekuningan. Sehingga dengan demikian, maka Ki Tunggulpun menjadi semakin yakin, bahwa Kasadha adalah seorang diantara mereka yang berusaha menyerap cahaya bulan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam olah kanuragan.

Kasadhapun ternyata mengerti juga usaha lawannya. Justru karena itu, maka Kasadha setiap kali selalu berusaha untuk berada di cerahnya sinar bulan yang bergerak semakin tinggi.

“Anak iblis,“ geram Ki Tunggul itu diluar sadarnya, “kau kira bulan itu akan dapat menolongmu?”

Kasadha tidak menjawab, tetapi ia menjadi semakin yakin, bahwa lawannya menyangka ia termasuk seorang yang bergantung pada cahaya bulan.

Justru karena itu, maka Kasadha semakin keras berusaha agar ia nampak selalu berusaha berada dibawah cahaya bulan sehingga pada suatu saat ia akan menunjukkan bahwa bulan itu sama sekali tidak mempengaruhinya.

“Jika ibu menjadi kecewa, aku akan menjelaskan,“ berkata Kasadha kepada diri sendiri.

Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tunggul masih saja berusaha mendesak lawannya, tetapi Kasadha justru tetap berusaha bertahan dibawah sinar bulan yang semakin lama seakan-akan menjadi semakin cerah.

Namun sebenarnyalah bahwa kemampuan Ki Tunggul memang tidak dapat untuk mengatasi kemampuan Kasadha. Beberapa kali Ki Tunggullah yang justru terdesak. Sehingga Ki Tunggul itupun mencoba untuk berganti cara. Ia tidak lagi berusaha mendesak Kasadha, tetapi ia justru mencoba memancing agar Kasadha memburunya ke kegelapan oleh bayangan dedaunan.

Mula-mula Kasadha masih mencoba untuk tidak terpancing memasuki bayangan dedaunan. Namun akhirnya ia menjadi jemu untuk selalu menghindari bayangan pepohonan. Justru karena itu, maka ketika Ki Tunggul itu terdesak dan dengan serta merta meloncat kebawah lindungan dedaunan, maka Kasadhapun telah memburunya. Dalam pada itu, demikian tubuh Kasadha lepas dari cahaya bulan maka dengan serta merta Ki Tunggul meloncat menyerangnya sambil berteriak nyaring, “Tengadahkan wajahmu kepada bulan yang kau sembah itu. Mintalah pertolongannya agar kau mampu menyelamatkan dirimu.”

Namun Ki Tunggul itu terkejut. Serangannya sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Ketika luwuknya terjulur lurus mengarah kepada Kasadha, maka Kasadhapun dengan tangkasnya telah menangkis serangan itu. Dengan kuatnya Kasadha memukul luwuk itu kesamping. Demikian kerasnya, sehingga hampir saja luwuk itu terlepas dari tangannya. Namun selagi ia berusaha mempertahankan luwuk itu, maka dengan kecepatan melampaui kesadaran Ki Tunggul, pedang Kasadha bergerak terayun mendatar.

Terdengar Ki Tunggul mengaduh perlahan. Sambil meloncat surut Ki Tunggul telah meraba pundaknya. Terasa cairan yang hangat telah meleleh dari luka yang menganga dipundaknya itu. Namun baru sejenak kemudian perasaan pedih menyengat lukanya, setelah keringatnya yang menitik mulai membasahi lukanya itu.

Kasadha tidak memburunya. Tetapi ia menunggu Ki Tunggul mempersiapkan diri untuk melanjutkan pertempuran.

Ibunya yang menjadi cemas melihat Kasadha memburu lawannya kedalam bayangan dedaunan telah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dibawah bayangan yang menghalangi cahaya bulan, Kasadha masih tetap seorang yang memiliki ilmu yang mampu mengatasi ilmu lawannya.

Dalam pada itu, maka terdengar Ki Tunggul menggeram, “Ternyata kau memang anak iblis yang licik.”

“Kenapa?“ bertanya Kasadha.

“Kau menunggu aku menjadi lengah, justru karena aku yakin bahwa kau telah menyerap kekuatan sinar bulan untuk meningkatkan ilmumu yang kotor itu.”

“Kenapa aku kau anggap licik? Kenapa kau tidak melakukannya juga karena sinar bulan itu melimpah dan tidak habis aku serap seberapapun aku perlukan?“ jawab Kasadha.

“Kau jangan terlalu sombong karena kau sempat melukai aku,” geram Ki Tunggul, “tetapi aku sudah bersikap. Kau harus mati dan berkubur di kebun ini. Kau akan diam dan kedua perempuan itupun tidak akan sempat berbicara kepada siapapun. Aku memerlukan bibimu. Jikabenar yang seorang itu ibumu maka ia akan mengalami nasib sebagaimana nasibmu. Ia akan diam untuk selama-lamanya. Nah, kau yakin bahwa tidak akan ada saksi yang dapat mengatakan apa yang terjadi disini?”

Tetapi Kasadha tertawa. Katanya, “Jangan berkata begitu Ki Tunggul. Tidak mudah untuk membunuh seseorang, karena kematian kami tidak berada ditanganmu. Juga batas kematianmu tidak berada ditangan kami. Tetapi jika aku akan menjadi perantara, maka kau akan dapat terbunuh disini justru karena kau memang sudah sampai kebatas hidupmu yang sesat itu.”

“Tutup mulutmu iblis kecil,“ geram Ki Tunggul sambil menyerang. Luwuknya terayun deras menebas kearah leher. Namun Kasadha yang sudah yakin akan kelebihannya, telah menangkis serangan itu. Dengan demikian maka benturan telah terjadi dengan kerasnya. Sekali lagi Ki Tunggul terkejut. Luwuknya hampir saja terlepas dari tangannya.

Dengan demikian, maka akhirnya Ki Tunggul itu menyadari, dengan atau tidak dengan sinar bulan, maka kemampuan anak muda itu memang berada diatas kemampuannya. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali membawa kedua pengawalnya kedalam pertempuran itu dengan satu perintah yang tegas, “Bunuh anak yang sombong itu. Meskipun ia seorang prajurit, tidak seorangpun akan dapat menjadi saksi.”

Kasadha meloncat selangkah surut. Jantungnya memang menjadi berdebar-debar. Dengan demikian berarti bahwa ia harus bertempur melawan ketiga orang itu sekaligus. Meskipun seorang demi seorang kemampuan mereka tidak banyak berarti, tetapi bersama-sama mereka akan menjadi lawan yang berat.

Tetapi Kasadha sama sekali tidak gentar menghadapi mereka. Ia tidak mempunyai pilihan lagi. Apalagi Ki Tunggul nampaknya telah berniat untuk benar-benar membunuhnya.

Karena itu, maka sejenak kemudian Kasadha telah bersiap. Diluar sadarnya ia telah bergeser keluar dari bayangan dedaunan. Sinar bulan yang semakin tinggi itu, rasa-rasanya menjadi semakin terang.

Diwaktu Kasadha masih kanak-kanak dan bernama Puguh, jarang sekali ia sempat bermain-main diterangnya bulan. Jika anak-anak sebayanya bermain kejar-kejaran, maka Kasadha harus tinggal didalam biliknya yang sempit pengab. Yang didengarnya tidak lebih dari makian dan umpatan kasar.

Justru setelah ia dewasa dan menjadi seorang Lurah prajurit, maka rasa-rasanya ia mendapat kesempatan untuk bermain-main sepuas-puasnya dibawah sinar bulan, meskipun permainan yang dilakukan adalah permainan yang berbahaya. Permainan dengan taruhan maut.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, Kasadha harus bertempur melawan ketiga orang itu. Ki Tunggul dengan kedua orang pengawalnya, yang keduanya tidak berdaya menghadapinya. Namun bertiga dengan Ki Tunggul mereka akan dapat memecah pemusatan nalar budinya.

Warsi dan adik sepupunya menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka mengerti bahwa Kasadha memiliki kemampuan yang tinggi, namun melawan ketiga orang itu, rasa-rasanya memang akan terlalu berat baginya.

Karena itu Warsipun menjadi semakin berhati-hati. Diamatinya pertempuran itu dengan sungguh-sungguh. Setiap saat ia akan dapat terpanggil untuk berbuat sesuatu, jika Kasadha mengalami kesulitan.

Meskipun demikian, ketika ia melihat Kasadha sudah berada dibawah sinar bulan yang semakin terang itu, hatinya terasa menjadi semakin tegar, meskipun ia masih belum pasti, apakah sinar bulan itu berpengaruh atau tidak atas anak laki-lakinya, karena nampaknya Kasadha sendiri tidak begitu menaruh perhatian atas sinar bulan itu sendiri.

Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah berlangsung kembali. Memang terasa bagi Kasadha bahwa ia harus lebih banyak mengerahkan tenaganya. Namun dengan tenaga dalamnya, maka Kasadha telah membuat ketiga orang lawannya mengalami kesulitam.

Sambil berloncatan menyerang dan menghindari serangan, Kasadha masih sempat berkata, “Ki Tunggul. Urungkan niatmu. Jika kau masih saja berniat buruk terhadap bibi, maka aku akan dapat kehabisan kesabaran. Tetapi jika kau mengurungkannya, dan bersedia meninggalkan tempat ini, maka kau akan kami maafkan.”

Tetapi nampaknya Ki Tunggul juga seorang yang keras hati.

“Hanya ada satu hal yang dapat menghentikan pertempuran ini. Jika kau sudah mati,“ jawab Ki Tunggul sambil menyerang dengan garangnya.

Kasadha sempat menghindar. Bahkan pedangnya yang berputar telah menggeliat dan menyambar salah seorang pengawal Ki Tunggul itu, sehingga terdengar keluhan tertahan. Sebuah goresan telah menyilang didada orang itu. Tidak terlalu dalam, namun luka itu telah menitikkan darah.

Ki Tunggullah yang mengumpat kasar. Dengan garangnya ia meloncat menyerang, seakan-akan memberi kesempatan kepada pengawalnya yang terluka untuk memperbaiki kedudukannya. Namun Kasadha sempat bergeser dan menangkis serangan Ki Tunggul. Ketika kemudian pedangnya terjulur, maka Ki Tunggul itu harus meloncat menghindari menjauhi lawannya. Namun dalam pada itu, pengawalnya yang lain telah mencoba mempergunakan kesempatan itu. Dengan cepat ia melenting sambil mengayunkan senjatanya menebas kearah leher Kasadha tanpa ragu-ragu. Ia memang benar-benar ingin membunuh anak muda itu.

Namun ternyata bahwa Kasadha telah menghindarinya dengan merendahkan diri, berlutut pada satu kakinya. Namun sementara itu, pedangnya telah ter julur lurus menyongsong lawannya yang menyerangnya.

Pedang itu akan dapat menghunjam kedada pengawal itu. Tetapi demikian terasa ujung pedang itu menyentuh dada, maka Kasadha justru telah menarik pedangnya. Namun demikian ujung pedang itu telah sempat melukai dada pengawal Ki Tunggul meskipun tidak terlalu dalam.

Pengawal itu terkejut, ia merasa ujung pedang yang tajam itu menyengat dadanya. Sehingga karena itu, maka iapun telah meloncat surut pula beberapa langkah.

Kasadha memang tidak memburunya. Dibiarkannya lawannya yang terluka itu berdiri termangu-mangu. Dengan tangan kirinya ia meraba lukanya yang mengalirkan darah yang hangat itu.

Dua orang pengawal Ki Tunggul telah terluka. Darah telah mengalir dari luka-luka mereka.

Ki I unggul tidak dapat mengabaikan kenyataan itu. Ia harus membuat perhitungan yang lebih cermat untuk selanjutnya.

“Ki Tunggul,“ berkata Kasadha, “sebenarnyalah seorang prajurit bukan seorang pembunuh. Karena itu, maka aku tidak ingin membunuh kalian. Aku hanya ingin mencegah kalian melakukan perbuatan yang sewenang-wenang. Karena itu Ki Tunggul. Aku minta kau dan kedua orangmu mengurungkan niatmu untuk mengambil bibi. Bukan hanya sekarang karena aku ada disini. Tetapi besok atau lusa atau kapan saja. Dalam waktu yang tidak lama lagi aku akan datang kemari untuk menengok ibu dan bibi. Jika ternyata terjadi sesuatu atas mereka, maka aku akan langsung berurusan dengan Ki Tunggul. Mungkin aku tidak akan berusaha menahan diri lagi seperti sekarang ini.”

Ki Tunggul menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat lain, karena bagaimanapun juga ia dan kedua orangnya tidak akan dapat mengalahkan prajurit muda itu.

Karena itu, maka kemudian katanya, “Baiklah. Aku mengurungkan niatku membawa bibimu sekarang.”

“Sekarang? Bagaimana dengan besok, lusa dan seterusnya,“ bertanya Kasadha.

Ki Tunggul tidak segera menjawab. Namun Kasadha mendesaknya, “berjanjilah.”

“Ya. Ya. Aku berjanji,“ jawab Ki Tunggul.

“Baiklah. Sekarang bawa orang-orangmu pergi. Besok pagi-pagi aku akan mengantarkan ibu dan bibi ke rumah Ki Bekel dan langsung kerumah Ki Jagabaya. Aku akan menitipkan keduanya kepada Ki Jagabaya, setidak-tidaknya untuk mengawasinya,“ berkata Kasadha.

Wajah Ki Tunggul menjadi semakin tegang. Sementara Kasadha masih saja berkata, “Seandainya mereka tidak kuasa melawan pengaruhmu disini karena kau memiliki uang sehingga kau akan dapat berbuat apa saja dengan uangmu, namun kau tidak dapat melawan paugeran. Aku dapat mempergunakan kekuatan prajurit-prajuritku jika perlu untuk menegakkan paugeran itu. Berapapun banyaknya orang yang kau upah, namun prajurit Pajang, jumlahnya lebih banyak lagi.”

Ki Tunggul tidak menjawab. Nampaknya anak muda itu bersungguh-sungguh. Sementara itu ia memang tidak dapat berbuat apa-apa lagi menghadapinya.

Karena itu, maka iapun segera memberi isyarat kepada kedua orangnya untuk meninggalkan halaman rumah perempuan yang menolak untuk diperisteri itu.

Kasadha hanya memandang sambil berdiri termangu-mangu. Baru kemudian ia menarik nafas panjang sambil berkata kepada ibunya, “Mudah-mudahan ia tidak kembali lagi.“

Ibunya mengangguk. Katanya dengan nada rendah, “Ya. Agaknya ia tidak akan kembali. Nampaknya ia benar-benar telah jera.“

Namun bibinya menyahut, “Meskipun demikian, aku masih akan menemui Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati, sementara kita sendiri tidak dapat langsung melawannya meskipun kita mampu.”

Ibu Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, besok pagi-pagi kita pergi menghadap Ki Bekel dan Ki Jagabaya untuk mohon perlindungan.”

“Bagaimana jika Kasadha ikut bersama kita sebelum ia kembali ke Pajang? Meskipun ia akan sampai kebaraknya lebih siang, tetapi masih dalam hari yang sama,“ bertanya bibi Kasadha.

Ibu Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu lebih baik. Aku harap Kasadha tidak berkeberatan.”

“Baikah ibu,“ sahut Kasadha kemudian, “besok aku akan ikut kerumah Ki Bekel dan Ki Jagabaya.”

Demikianlah, mereka bertigapun telah masuk kedalam rumah mereka setelah Kasadha menutup pintu regol halaman. Setelah mencuci kaki dan tangannya, maka Kasadhapun telah dipersilahkan untuk beristirahat.

Kasadha merasa beruntung bahwa ibunya sama sekali tidak bertanya tentang pengaruh cahaya bulan bagi ilmunya. Meskipun Kasadha sudah bersedia jawaban seandainya hal itu ditanyakan kepadanya.

Malam itu, Kasadha memang tidak terlalu nyenyak tidur. Ia masih saja memikirkan orang yang bernama Ki Tunggul yang pernah menjadi seorang prajurit yang ingin mengambil bibinya sebagai isterinya sekaligus sebagai budaknya.

Namun kemudian Kasadha juga mulai dibayangi lagi oleh persoalan yang menyangkut dirinya sendiri. Wisuda di Tanah Perdikan Sembojan dan seorang gadis yang bernama Riris.

Meskipun demikian, karena badannya yang terasa letih, maka Kasadhapun akhirnya tertidur juga. Tetapi menjelang fajar, Kasadha telah bangun. Ketika langit menjadi merah, maka senggot timbapun telah berderit. Kasadha telah mengisi jambangan penuh sebelum ia sendiri mandi disejuknya pagi hari.

Seperti yang direncanakan maka ketika matahari terbit, Kasadha telah mengantar ibu dan bibinya kerumah Ki Bekel untuk memberikan laporan tentang maksud Ki Tunggul. Namun jawaban Ki Bekel tidak cukup tegas. Ia nampak ragu-ragu meskipun ia dapat mengerti bahwa sikap Ki Tunggul itu tidak dapat dibenarkan.

Dengan demikian maka Kasadha, ibu dan bibinya memang mendapat kesan bahwa Ki Bekel itu tidak dapat bertindak tegas terhadap Ki Tunggul. Sebagaimana keterangan Ki Tunggul, bahwa Ki Bekel telah dapat dipengaruhinya.

Namun baik Kasadha, maupun ibu dan bibinya sama sekali tidak mempersoalkannya. Apalagi mereka memang telah merencanakan pergi menghadap Ki Jagabaya, karena mereka menganggap bahwa Ki Jagabaya akan selalu berpegang pada paugeran yang berlaku.

Ternyata sambutan Ki Jagabaya membesarkan hati ibu dan bibi Kasadha. Apalagi setelah Ki Jagabaya mendengar bahwa Kasadha adalah seorang prajurit Pajang.

“Baiklah ngger,“ jawab Ki Jagabaya, “aku akan ikut mengawasi Ki Tunggul. Ternyata orang itu telah membuat banyak gangguan di Kademangan ini. Ki Demangpun pernah menyebut-nyebut namanya. Sementara kamipun sudah menduga bahwa Ki Bekel tidak banyak dapat berbuat apa-apa atas Ki Tunggul itu karena Ki Tunggul adalah seorang yang kaya yang dapat mempergunakan uangnya untuk mendapat pengaruh di padukuhannya. Tetapi hal itu tidak akan berlaku di Kademangan ini ngger.”

“Terima kasih Ki Jagabaya,“ jawab Kasadha, “kami tidak dapat lain daripada mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Nanti aku harus kembali ke Pajang, sehingga karena itu, maka pagi-pagi aku telah mengantar bibi untuk menghadap Ki Jagabaya agar hatiku menjadi tenang.”

“Jangan cemas ngger. Kami akan membantu bibi dan ibumu sejauh dapat kami lakukan. Akupun nanti akan menyampaikan hal ini kepada Ki Demang agar ketenangan bibimu lebih terjamin,“ berkata Ki Jagabaya itu kemudian.

Sebenarnyalah Kasadha menjadi tenang. Meskipun sebenarnya Ki Tunggul itu tidak berarti apa-apa bagi ibu dan bibinya, namun agaknya mereka tidak mau merusak anggapan orang-orang padukuhan itu tentang diri mereka.

Demikianlah, maka Kasadha serta ibu dan bibinya-pun segera mohon diri, karena Kasadha akan segera kembali ke Pajang.

Dalam pada itu, ternyata seorang suruhan Ki Tunggul tengah mengawasi mereka. Ki Tunggul tidak yakin bahwa Kasadha, ibu dan bibinya akan benar-benar melaporkan kepada Ki Jagabaya. Namun ketika suruhan Ki Tunggul itu melaporkan kepadanya bahwa pesuruh itu benar-benai melihat Kasadha, ibu dan bibinya menghadap Ki Jagabaya, maka Ki Tunggul itu mengumpat kasar. Katanya, “Anak iblis itu telah membuat rencanaku gagal. Perempuan itu adalah perempuan yang dapat dimanfaatkan untuk bekerja disawah selain sebagai seorang isteri yang tentu akan terampil mengerjakan pekerjaan seorang perempuan dirumah. Tetapi agaknya niat itu tidak akan terjadi karena Ki Jagabaya sifatnya agak berbeda dengan Ki Bekel padukuhan ini yang mudah diselesaikan dengan uang.”

Pesuruh itu tidak begitu mengerti maksud Ki Tunggul. Karena itu ia lebih banyak berdiam diri.

Demikianlah, setelah persoalan tentang bibinya dapat diselesaikan, maka Kasadhapun telah minta diri kepada ibu dan bibinya untuk kembali ke Pajang.

Keduanya memang melepaskannya dengan berat hati. Namun mereka tidak dapat menahan Kasadha lebih lama lagi. Anaknya adalah seorang prajurit yang mempunyai tugas yang tidak dapat terlalu sering dan terlalu lama ditinggalkan.

Namun dalam pada itu Kasadha berkata, “Ibu, dalam waktu dekat, aku akan datang lagi untuk menjemput ibu dan bibi. Kita akan bersama-sama menghadiri wisuda Kepala Tanah Perdikan di Sembojan.”

“Baiklah Kasadha, aku menunggumu,“ jawab ibunya.

Bibinya nampak termangu-mangu. Agaknya ada yang akan dikatakannya namun tidak terucapkan justru karena ada ibu Kasadha. Namun Kasadha mengerti apa yang akan dikatakan bibinya. Tentu tentang anaknya perempuan.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Kasadha telah meloncat naik kepunggung kudanya. Ketika kudanya mulai bergerak, maka Kasadha sekali lagi minta diri dari atas punggung kudanya itu, “Sampai bertemu kembali ibu dan bibi.”

Ibu dan bibinya mengangkat tangannya sementara kuda Kasadha itupun telah bergerak semakin cepat.

Ketika Kasadha keluar dari regol padukuhan, maka iapun menarik kendali kudanya, karena tidak diduga, Kasadha telah bertemu dengan Ki Tunggul dan seorang pengiringnya. Tetapi bukan salah seorang dari kedua pengiringnya yang telah dilukainya semalam.

“Aku minta diri Ki Tunggul,“ berkata Kasadha tanpa turun dari kudanya, “aku terpaksa berangkat terlalu siang, karena pagi tadi aku harus menghadap Ki Bekel dan Ki Jagabaya dirumah mereka. Aku terpaksa menitipkan ibu dan bibi kepada mereka karena aku tidak yakin akan kejujuranmu.”

“Aku tidak memerlukan bibimu lagi. Ternyata bibimu adalah orang dungu yang tidak diuntung. Ia menolak untuk menjadi seorang yang paling terpandang di padukuhan ini,“ jawab Ki Tunggul. Lalu katanya lagi, “Bahkan seandainya bibimu menyesal dan datang sambil menyembah, aku tidak sudi lagi menerimanya.”

“Jika demikian, aku mengucapkan terima kasih Ki Tunggul,“ berkata Kasadha kemudian.

“Kenapa kau berterimakasih?“ bertanya Ki Tunggul.

“Karena dengan demikian, kau tidak akan mengganggunya lagi,“ jawab Kasadha.

Ki Tunggul itu menggeram. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Bahkan iapun telah memberikan isyarat kepada pengiringnya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke regol padukuhan.

Kasadha hanya tersenyum saja memandanginya. Namun kemudian iapun telah melanjutkan perjalanannya.

Perjalanan Kasadha memang tidak terlalu jauh. Ketika matahari turun ke Barat, maka Kasadha sudah memasuki pintu gerbang kota.

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Pajang nampaknya menjadi terlalu ramai setelah dua hari dua malam ia berada disebuah padukuhan yang tidak terlalu besar. Suasananyapun menjadi jauh berbeda. Yang nampak di jalan-jalan adalah orang-orang yang berlalu lalang. Beberapa orang berkuda lewat tanpa saling menyapa karena yang satu dan yang lain tidak saling mengenal.

Beberapa saat kemudian, maka Kasadhapun telah memasuki jalan yang langsung menuju ke baraknya. Sambil memperlambat lari kudanya Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia telah berada diambang pintu rumahnya kembali.

Ketika Kasadha itu memasuki gerbang halaman baraknya, maka prajurit yang sedang bertugas di pintu gerbang itupun menghentakkan landean tombaknya sebagai sapa hormatnya.

Kasadhapun mengangguk sambil tersenyum.

Dalam pada itu, demikian Kasadha sampai di baraknya, maka iapun telah langsung menghadap Ki Rangga Dipayuda untuk melaporkan kehadirannya.

“Apakah urusanmu telah selesai?“ bertanya Ki Rangga Dipayuda.

“Sudah Ki Rangga. Tidak ada persoalan penting. Aku hanya merasa rindu kepada ibuku, karena sudah agak lama tidak bertemu,“ jawab Kasadha.

“Aku kira kau membawa persoalan yang penting,“ desis Ki Rangga Dipayuda, “mungkin kau telah mengenal seorang gadis Pajang sehingga kau minta ibumu untuk melamarnya.”

“Ah,“ desah Kasadha, “gadis mana yang tertarik kepada seorang Lurah Prajurit.”

“Jangan merasa rendah diri terhadap gadis-gadis,“ berkata Ki Rangga, “ketika aku kawin, aku belum menjadi seorang Lurah prajurit. Aku masih seorang prajurit.”

Kasadha tersenyum. Namun katanya, “Jodoh itu pada suatu saat akan datang sendiri Ki Rangga.”

“Memang mungkin. Tetapi tidak ada salahnya jika kau juga berusaha untuk mengenal gadis-gadis. Setidak-tidaknya kau akan mengenali sifat dan watak mereka. Nah, jika saatnya datang, maka tentu kau tahu, yang manakah gadis yang paling sesuai dengan sifat dan watakmu.”

Tetapi hampir diluar sadarnya Kasadha menjawab, “Apalagi untuk mengenali sifat dan watak orang lain, Ki Rangga. Sedangkan terhadap sifat dan watakku sendiri aku tidak yakin.”

Ki Rangga Dipayuda tertawa. Ia menganggap bahwa Kasadha sekedar bergurau. Sementara Kasadha sendiri juga tertawa. Tetapi dibalik suara tertawanya, pertanyaan tentang sifat dan wataknya sendiri itu tiba-tiba telah menyelinap kedalam dadanya sehingga terasa sesuatu telah mengganjal direlung jantungnya.

Namun Kasadhapun kemudian telah minta diri untuk kembali ke pasukannya yang telah ditinggalkannya selama dua hari dua malam, selama ia pergi ke ibu dan bibinya.

“Nanti sore aku akan melapor kepada Ki Tumenggung,“ desis Kasadha ketika ia siap meninggalkan bilik Ki Rangga Dipayuda.

Tetapi Ki Rangga berkata, “Hari ini Ki Tumenggung tidak ada di barak. Ada tugas penting yang harus dilakukannya bersama dua orang Tumenggung yang lain.”

“O,“ Kasadha mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “apakah Ki Tumenggung akan pergi keluar kota Pajang? Atau tugas penting didalam kota saja?”

“Ki Tumenggung bersama dengan dua orang Tumenggung yang lain telah mendapat tugas untuk pergi ke Madiun,“ jawab Ki Rangga Dipayuda.

“Ke Madiun?“ ulang Kasadha, “nampaknya ada sesuatu yang penting di Madiun.”

“Tentu,“ jawab Ki Rangga Dipayuda sambil tersenyum.

Kasadha mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian iapun sekali lagi minta diri dan meninggalkan Ki Rangga itu sendiri.

Ketika Kasadha kembali ke pasukannya, maka para prajuritnya menyambutnya dengan gembira. Rasa-rasanya sudah terlalu lama Ki Lurah Kasadha itu meninggalkan baraknya.

Di hari berikutnya, maka Kasadha telah melakukan tugasnya sehari-hari. Selama Ki Tumenggung meninggalkan barak, maka Ki Rangga Prangwiryawanlah yang diserahi melakukan tugasnya sehari-hari. Namun Ki Rangga Prangwiryawan memang sudah berubah.

Setelah berada di baraknya kembali untuk beberapa hari, maka Kasadha telah melupakan kekasaran Ki Tunggul atas ibu dan bibinya, apalagi Kasadha telah mempercayakan kepada Ki Jagabaya. Yang kemudian ditunggunya adalah Barata yang akan datang sepekan sebelum wisuda.

Kepadanya Kasadha akan dapat mengatakannya, bahwa ibunya ternyata telah menyatakan kesediaannya untuk menghadiri wisuda Kepala Tanah Perdikan Sembojan di Sembojan.

Sementara itu di Sembojan, Risang masih dibayangi oleh kecemasan atas sikap ibunya. Jika saja ibunya menolak menerima kehadiran Warsi yang pernah hampir saja menyebabkan kematiannya justru saat ia mengandung, maka ia akan mengalami kesulitan.

Karena itu, maka Risang masih saja selalu mendesak kakek dan neneknya bahkan Bibi agar membantunya membujuk ibunya untuk menerima ibu Kasadha itu datang ke Tanah Perdikan Sembojan.

Menjelang sepekan dari ancar-ancar waktu sepekan menjelang hari Wisuda, maka Risang sudah menjadi gelisah. Ia harus segera datang ke Pajang untuk menghadap Ki Rangga Kalokapraja yang akan memberikan kepastian dari saat wisuda baginya itu.

Namun dalam pada itu, neneknya telah memanggilnya dan berkata kepadanya, “Nampaknya hati ibumu telah menjadi lunak ngger. Tetapi sebaiknya kau berbicara langsung dengan ibumu. Nanti sore jika kita duduk-duduk diserambi, cobalah mengemukakan persoalan itu. Aku, kakek-kakekmu, dan juga Bibi telah memberikan pertimbangan kepada ibumu.

Risang menarik nafas panjang. Katanya, “Baik nek. Aku akan mencoba.”

“Sambi Wulung dan Jati Wulung juga sudah dipanggil oleh ibumu. Ternyata keduanya telah diminta pertimbangan mereka tentang persoalan Warsi itu,“ berkata neneknya pula.

Risang mengangguk-angguk. Ia memang harus mendapat kepastian segera karena dalam waktu yang dekat, ia harus menghadap Ki Rangga Kalokapraja.

Seperti yang dikatakan oleh neneknya, ketika Risang sedang duduk-duduk diserambi samping rumahnya bersama ibunya dan neneknya, maka Risang telah memberanikan diri untuk bertanya kepada ibunya.

“Kasadha telah menanyakan hal itu kepadaku ibu,“ berkata Risang kemudian.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Jika sebelumnya ia telah hampir melupakannya, namun ketika anaknya menanyakan apakah Warsi itu boleh hadir disaat anaknya itu diwisuda atau tidak, maka rasa-rasanya waktu telah bergerak beberapa tahun kembali kemasa silam.

Yang terjadi itu rasa-rasanya baru saja kemarin, ketika Bibi mengacungkan pisau belati ke dadanya.

Saat itu ia memang sudah tidak berpengharapan lagi. Ia tidak mempunyai kekuatan apapun untuk melawan Serigala Betina yang garang. Seorang pembunuh upahan meskipun ia seorang perempuan.

Namun keajaiban itu telah terjadi. Sepeletik sinar telah menerangi hati Serigala Betina itu sehingga pisau itu tidak menikam jantungnya. Yang Maha Agung ternyata menghendaki lain.

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Anak yang berada didalam kandungannya ketika ia hampir saja ditikam mati itu sekarang sudah siap untuk diwisuda. Dan perempuan yang menginginkan kematiannya itu akan hadir dalam wisuda anaknya yang diharapkan mati bersamanya itu.

Iswari memang menjadi bingung. Yang minta kepadanya untuk pienerima perempuan itu adalah justru anaknya yang diharapkan kematiannya itu yang ternyata orang yang akan diwisuda itu sendiri.

Namun Iswari memang telah mendapat beberapa pertimbangan. Dari Nyai Soka, bahkan juga Kiai Soka dan Kiai Badra dan bahkan dari Bibi yang waktu itu telah mengacungkan pisau kejantungnya, Iswari telah diharapkan untuk dapat menerima kedatangannya.

“Perempuan itu telah benar-benar merasa bersalah,“ berkata Nyai Soka kepadanya.

Dalam kebimbangannya itu Risang berkata, “Ibu, biarlah untuk meyakinkannya, aku akan menemui bibi Warsi itu langsung dan mengundangnya datang ke Tanah Perdikan?”

Iswari masih termangu-mangu. Namun Nyai Soka telah menyahut, “Aku kira ada baiknya Risang datang sendiri menemui Warsi. Ia tentu akan mendapat kesan sikap dan tingkah laku perempuan itu. Jika ternyata sikapnya mencurigakan, maka kita memang harus berhati-hati. Tetapi menurut dugaanku, Puguh telah banyak memberikan keterangan tentang sikap kita disini terhadapnya, sehingga sikap kita kepada Puguh itu akan dapat memberikan pengaruh atas sikap Warsi kepada kita disini.”

Akhirnya Iswari menganggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah Risang. Kau dapat pergi ke Pajang lebih awal. Ki Rangga Kalokapraja tentu tidak akan menolak seandainya kau datang dua hari sebelum hari yang ditentukan. Kemudian kau ajak Kasadha pergi menemui ibunya untuk minta agar ia bersedia datang ke Tanah Perdikan yang pernah ingin dirampasnya ini. Bukan hanya Tanah Perdikan ini. Tetapi dengan seluruh isinya.“

“Sudahlah Iswari,“ potong neneknya, “kau tidak usah selalu dibayangi oleh keadaan masa silammu. Sekarang tengadahkan wajahmu ke masa mendatang. Sebentar lagi anakmu sudah akan diwisuda menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan yang besar. Bukankah itu merupakan satu kurnia. Dan kau, anakmu dan kita semuanya harus mensukurinya.”

Iswari mengangguk kecil. Katanya, “Aku memang tidak berkeberatan Risang.”

Risang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “terima kasih ibu. Aku akan mengunjunginya dan langsung minta kepadanya, agar bersedia hadir dihari wisuda itu.”

Ternyata keputusan ibunya itu membesarkan hati Risang yang akan pergi ke Pajang sebelum sepekan dari ancar-ancar yang diberikan oleh Ki Rangga Kalokapraja sehingga ia akan mempunyai waktu untuk singgah di rtimah ibu Kasadha.

“Kasadha tentu tidak akan berkeberatan mengantarkan aku untuk menemui ibunya,“ berkata Risang didalam hatinya.

Dengan demikian, maka dua hari sebelum waktu yang diberikan oleh Ki Rangga Kalokapraja Risang telah bersiap untuk berangkat ke Pajang. Mungkin Ki Rangga itu menganggap bahwa ia terlalu tergesa-gesa atau bahkan ingin mempercepat hari wisuda. Namun ia akan dapat menjelaskannya. Tetapi sebelum ia menemui ibu Kasadha, maka ia harus sudah mendapat kepastian tentang wisuda itu sendiri.

Seperti biasanya, Risang ingin pergi sendiri ke Pajang tanpa seorangpuan yang menemaninya. Ibunya, nenek dan kedua kakeknya mengerti kenapa Risang lebih senang seorang diri meskipun mereka tidak tahu pasti kemana Risang akan singgah selain di barak Kasadha.

Seperti yang telah direncanakan maka Risangpun telah berangkat berkuda ke Pajang tujuh hari sebelum rencana wisuda itu dilaksanakan. Ibu, nenek dan kakek-kakeknya serta orang-orang tua yang lain, berpesan agar ia berhati-hati diperjalanan.

“Kau akan segera diwisuda, Risang. Karena itu, kau harus segera kembali agar segala persiapan dengan pasti dapat kami lakukan,“ pesan ibunya.

“Tentu ibu,“ jawab Risang, “aku tentu akan segera kembali.”

Sesaat kemudian maka kuda Risangpun telah berpacu ke Pajang, selagi hari masih pagi. Segarnya udara telah mengantar perjalanan Risang menuju ke Pajang.

Risang memang tidak berniat singgah dirumah Ki Rangga Dipayuda. Ia berharap bahwa Riris akan benar-benar pergi ke Tanah Perdikan Sembojan saat ia diwisuda. Mudah-mudahan jika ia bertemu dengan Ki Rangga, ia akan mendapat kepastian, apakah Riris akan pergi atau tidak.

Tanpa sesadarnya maka kuda Risangpun berpacu semakin cepat. Seakan-akan ia demikian tergesa-gesa untuk sampai ke Pajang dan menemui Ki Rangga Kalokapraja.

Karena Risang tidak singgah diperjalanan, maka iapun dengan cepat telah memasuki jalan raya yang langsung menuju kepintu gerbang kota Pajang.

Namun Matahari telah tinggi di puncak langit. Tubuh Risang telah menjadi basah oleh keringat.

Tetapi diperjalanan betapapun Risang ingin cepat sampai tujuan, namun ia tidak sampai hati memaksa kudanya berlari terus. Iapun telah memaksa diri untuk berhenti sejenak, memberi kesempatan kepada kudanya untuk beristirahat dan minum air diparit yang mengalir jernih. Rerumputan yang hijau ditanggul parit membuat kuda itu tidak lagi haus dan lapar.

Sedikit lewat tengah hari Risang telah berada didalam kota Pajang. Iapun telah langsung menuju kerumah Ki Rangga Kalokapraja, meskipun terlalu cepat dua hari.

Kedatangannya telah disambut dengan ramah oleh Ki Rangga sendiri yang untung berada dirumah.

“Aku baru saja pulang dari paseban,“ berkata Ki Rangga Kalokapraja.

“Maaf Ki Rangga. Aku datang terlalu cepat. Sebenarnyalah aku juga mempunyai kepentingan yang lain di Pajang, sehingga aku tidak menunggu dua hari lagi,“ berkata Risang.

“Kebetulan sekali,“ jawab Ki Rangga yang kemudian mempersilahkan Risang duduk di serambi gandok.

“Untunglah bahwa aku belum memerintahkan orang menjemputmu,“ berkata Ki Rangga Kalokapraja, “semuanya sudah jelas dan pasti, sehingga aku sudah boleh menyampaikannya kepadamu”

Risang mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Ki Rangga. Sebenarnya aku sudah ragu-ragu untuk menghadap, justru belum sampai waktunya. Jangan-jangan Ki Rangga menjadi marah karena seakan-akan aku terlalu tergesa-gesa dan mendesak untuk mempercepat hari wisuda itu.”

“Tentu tidak,“ jawab Ki Rangga, “kapanpun kau datang, aku akan menerimamu dengan baik. Seandainya kau menjadi gelisah dan ingin segera mendapat kepastian waktu itupun wajar sekali karena kau tentu akan mengundang beberapa orang tamu dari luar Tanah Perdikanmu selain keluarga Tanah Perdikanmu itu sendiri.”

“Ya Ki Rangga. Aku memang mengharapkan beberapa orang keluarga dari luar Tanah Perdikan untuk hadir dalam wisuda itu. Meskipun tidak terlalu banyak.”

“Nah,“ berkata Ki Rangga, “ternyata hari yang ditentukan adalah hari yang telah kita jadikan ancar-ancar. Tujuh hari lagi. Sebenarnya Kangjeng Adipati Pajang ingin datang sendiri setelah Kangjeng Adipati mendengar apa yang pernah kalian lakukan di Tanah Perdikan itu dalam gejolak beberapa saat yang lalu. Namun ternyata Kangjeng Adipati tidak mungkin dapat memenuhi keinginannya itu, karena Kangjeng Adipati sedang terlibat dalam persoalan yang menghangat dengan Madiun.”

“Dengan Madiun?“ bertanya Risang.

“Tetapi Kangjeng Adipati akan menyelesaikan persoalan ini dengan sebaik-baiknya. Persoalan yang juga menyangkut Mataram. Apalagi Kangjeng Panembahan di Madiun adalah paman Kangjeng Pangeran Benawa sendiri, sementara Kangjeng Panembahan Senapati di Mataram adalah kakaknya meskipun bukan kakak kandungnya. Apalagi Mataram telah membantu mengembalikan Pajang kepada Pangeran Benawa itu,“ Ki Rangga berhenti sejenak, lalu katanya pula, “yang kemudian akan mewakili Kangjeng Adipati adalah seorang Tumenggung Wreda. Ki Tumenggung Wirajaya.”

Risang mengangguk-angguk. Seandainya Kangjeng Adipati Pajang sendiri yang berkenan mewisudanya, maka ia akan menjadi sangat berbangga. Tetapi siapapun yang melakukannya sudah tentu atas nama Kangjeng Adipati itu sendiri.

Dalam pada itu, Ki Rangga itupun berkata, “Ia adalah seorang yang baik. Ki Tumenggung Wreda Wirajaya selalu menjalankan tugasnya dengan bersungguh-sungguh. Tetapi ia termasuk seorang yang dapat diajak berbincang untuk membicarakan segala sesuatu. Ia bukan termasuk seorang yang hanya mau mendengarkan suara hatinya sendiri.”

“Aku percayakan segala kebijaksanaan kepada Kangjeng Adipati sendiri,“ berkata Risang.

Baiklah. Seperti yang aku katakan, sehari sebelumnya aku akan berada di Tanah Perdikan untuk menyiapkan segala sesuatunya agar wisuda itu dapat berlangsung dengan baik. Jangan cemas, upacara itu bukan upacara yang sudah mempola. Setiap Tanah Perdikan memiliki caranya sendiri yang mungkin berbeda, karena upacara itu hanyalah kelengkapan dari wisuda itu sendiri sehingga tidak terlalu mengikat,“ berkata Ki Rangga kemudian.

“Baiklah Ki Rangga,“ berkata Risang kemudian, “jika demikian maka segala sesuatunya kami siapkan setelah Ki Rangga berada di Tanah Perdikan.”

“Itu tidak perlu,“ berkata Ki Rangga, “siapkan apa yang ingin kalian siapkan. Wisuda itu sendiri dapat dilakukan di pendapa. Karena itu, yang kami perlukan adalah pendapa rumahmu itu saja. Namun sudah tentu bahwa pada hari wisuda itu pendapa rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan tidak dipergunakan untuk pagelaran wayang kulit sehari semalam. Tetapi jika itu akan dilakukan setelah wisuda, maka tentu tidak akan ada keberatannya sama sekali.”

Risang mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah mengerti Ki Rangga. Yang diperlukan dalam wisuda itu hanyalah pendapa.”

“Ya. Peralatan yang diperlukan akan aku siapkan jika aku sudah berada di Tanah Perdikan,“ jawab Ki Rangga Kalokapraja.

Risang masih saja mengangguk-angguk. Segala sesuatunya sudah menjadi jelas baginya.

Namun Ki Rangga masih memberikan beberapa pesan lagi kepada Risang agar segala sesuatunya dapat berlangsung dengan baik dan tertib. Demikian pula tentang penginapan yang diperlukan oleh Ki Tumenggung Wreda Wirajaya, yang akan mewakili Kangjeng Adipati Pajang mewisuda Risang sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Ketika segala sesuatunya sudah jelas, maka Risang itupun mohon diri untuk melanjutkan tugas-tugasnya di Pajang. Namun Ki Rangga masih menahannya ketika kemudian hidangan telah disuguhkan. Minuman hangat dan beberapa jenis makanan.

Namun ketika minuman sudah diminum dan beberapa potong makanan telah dimakan, maka Risangpun telah mohon diri pula.

“Baiklah. Hati-hatilah diperjalanan,“ pesan Ki Rangga Kalokapraja. Lalu katanya pula, “Seandainya terjadi sesuatu atasmu, maka segala yang telah dipersiapkan itu akan urung.”

“Ya Ki Rangga,“ jawab Risang, “aku akan berhati-hati diperjalanan. Bukankah Pajang sekarang sudah menjadi tenang?”

Ki Rangga tersenyum. Namun katanya, “Jika kudamu tergelincir karena kau tergesa-gesa bukankah tidak ada hubungannya dengan Pajang yang telah menjadi tenang dan damai?”

Risangpun tersenyum pula. Katanya, “Ya Ki Rangga. Aku akan berhati-hati diperjalanan. Sangat berhati-hati.”

Ki Rangga tertawa. Lalu katanya, “Semoga segala sesuatunya dapat berlangsung dengan baik. Yang Maha Agung hendaknya menyertaimu dalam segala kewajibanmu.”

Demikianlah, maka Risangpun meninggalkan rumah Ki Rangga Kalokapraja. Segala sesuatunya memang telah menjadi pasti, sehingga ia akan dapat menyampaikannya kepada Kasadha dan minta agar Kasadha bersedia mengantarkannya menemui ibunya.”

Jarak antara rumah Ki Rangga Kalokapraja dan barak Kasadha memang tidak terlalu jauh. Beberapa saat Risang berkuda melalui jalan kota yang ternyata cukup ramai itu. Kemudian, kudanyapun telah berhenti didepan regol barak sepasukan prajurit Pajang dibawah pimpinan Ki Tumenggung Jayayuda.

Prajurit yang bertugas di gerbang halaman barak itu kebetulan telah mengenal Risang. Karena itu, maka iapun segera dipersilahkannya masuk.

Kedatangan Risang telah diterima oleh Kasadha dengan gembira. Dipersilahkannya Risang duduk di biliknya. Katanya, “Kau tunggu aku sebentar. Aku selesaikan tugasku yang tersisa. Hanya sebentar.”

Risang memang hanya menunggu sebentar. Sejenak kemudian, maka Kasadhapun telah datang dengan keringat yang membasahi seluruh pakaiannya.

“Satu latihan khusus,“ desis Kasadha.

Sejenak kemudian, maka merekapun telah berbincang dengan akrabnya. Sama sekali tidak membayang warisan permusuhan diantara ibu-ibu mereka sebelumnya. Meskipun keduanya mengetahui bahwa ibu mereka telah pernah berusaha untuk saling membunuh, namun kedua-nyapun telah meyakinkan diri mereka masing-masing bahwa permusuhan itu memang harus dihentikan.

Namun Kasadha terkejut juga ketika Risang berkata, “Kasadha, aku minta kau bersedia mengantarkan aku untuk pergi menemui ibumu. Keluarga di Tanah Perdikan berharap, bahwa aku sendiri dapat menemuinya dan menyampaikan undangan agar ibumu bersedia untuk hadir disaat wisuda itu.”

“Aku telah menyampaikannya. Ternyata ibuku bersedia untuk datang saat kau diwisuda. Bahkan dengan rendah hati ibuku yang merasa bersalah itu datang bukan sebagai tamu. Seandainya ibuku diperlakukan sebagai seorang yang sangat dibenci sekalipun ibuku tidak berkeberatan. Namun aku berkeyakinan, bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi. Bahkan sekarang ternyata bahwa kau telah berniat untuk menemui ibuku dan menyampaikan undangan langsung kepadanya.”

Risang mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, “Ibumu tentu akan diterima dengan baik oleh keluarga Tanah Perdikan. Sebaiknya sekaiang kita tidak lagi berbicara tentang siapa yang bersalah.”

“Aku tahu dan aku yakin akan hal itu,“ jawab Kasadha.

“Bukankah dengan keyakinanmu itu kau tidak berkeberatan untuk mengantarku kepada ibumu?“ bertanya Risang.

“Tentu tidak. Persoalannya adalah, bahwa aku baru saja minta ijin pergi menemui ibuku itu,“ jawab Kasadha, “meskipun demikian aku akan mencobanya. Tetapi tidak lebih dari satu malam saja. Lepas tengah hari kita berangkat. Kemudian sebelum tengah hari berikutnya aku harus sudah berada di barak ini.”

“Kaulah yang mengatur waktu,“ sahut Risang.

“Baiklah. Aku akan menghubungi Ki Rangga. Aku akan minta ijin untuk pergi menemui ibu bersamamu dan bukankah tujuh hari lagi aku harus minta ijin lagi? Tentu tidak mungkin hanya sehari, karena aku harus menjemput Ibu dan bersamanya pergi ke Tanah Perdikan Sembojan? Ibu sekarang tidak lagi ibu yang dahulu. Seandainya aku mendapat pinjaman kuda sekalipun, ibu tentu tidak akan bersedia naik kuda meskipun dahulu hal itu sering dilakukannya. Karena itu, tentu diperlukan waktu yang panjang untuk berjalan ke Tanah Perdikan, meskipun bagi ibu dan bibi perjalanan itu bukan perjalanan yang berat.“ jawab Kasadha.

Risang mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa Kasadha tidak dapat sekehendak sendiri meninggalkan baraknya.

“Baiklah. Tetapi bukankah Ki Rangga Dipayuda juga akan pergi ke Tanah Perdikan?“ bertanya Risang.

“Agaknya memang demikian,“ jawab Kasadha, “tetapi nanti kita akan menghadap bersama-sama.”

Risang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kita akan menghadap. Besok kita akan pergi menemui ibumu.”

Kasadha tidak berkeberatan. Karena itu, setelah Risang dipersilahkan minum dan makan diruangan sebelah dapur, maka merekapun telah menghadap Ki Rangga Dipayuda.

Risangpun telah menjelaskan, bahwa wisuda akan dilakukan tujuh hari lagi sebagaimana direncanakan.

“Baiklah,“ berkata Ki Rangga, “seperti telah aku janjikan, maka aku benar-benar akan datang. Malahan bukan hanya aku sendiri. Jangkung telah datang menemuiku dan minta agar kami sekeluarga dapat datang ke Tanah Perdikan Sembojan. Maksudku, aku, isteriku, Jangkung dan Riris.”

Secercah kegembiraan membersit diwajah Risang. Namun Risang segera berusaha untuk menyembunyikannya.

Namun sebaliknya, jantung Kasadha bagaikan terhempas dari tangkainya. Ia tahu bahwa beberapa hari yang lewat, Jangkung datang untuk menemui ayahnya di barak itu. Tetapi Kasadha tidak pernah mengetahui apa yang dibicarakan dengan ayahnya itu.

Baru ketika Ki Rangga Dipayuda mengatakan hal itu kepada Risang, Kasadha menduga, bahwa kedatangan Jangkung itu tentu membicarakan akan kepergian mereka ke Tanah Perdikan Sembojan.

Yang merisaukan hati Kasadha adalah justru kesungguhan sikap keluarga Ki Dipayuda, sehingga seakan-akan mereka dihadapkan pada satu masalah keluarga yang sangat penting. Padahal bukankah Risang itu bagi Ki Dipayuda adalah orang lain sebagaimana dirinya dan para nrajurit yang lain?

Tetapi seperti Risang yang berusaha secepatnya menghapuskan kesan yang memercik diwajahnya, Kasadhapun berusaha untuk tidak menunjukkan gejolak perasaannya itu.

Bahkan untuk mengalihkan pembicaraan tentang rencana Ki Dipayuda dan keluarganya yang akan pergi ke Tanah Perdikan, maka Kasadhapun kei:udiaq mengemukakan maksudnya untuk minta ijin lagi menemui ibunya bersama Risang sebelum ia tentu akan minta ijin lagi disaat hari wisuda itu.

Ki Rangga Dipayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, karena aku mengerti kepentinganmu, maka aku tidak berkeberatan. Tetapi sebaiknya, kita berbicara dengan Ki Rangga Prangwiryawan yang diserahi tugas sehari-hari selama Ki Tumenggung Jayayuda bertugas ke Madiun.”

Ki Rangga Prangwiryawan ternyata tidak berkeberatan. Tetapi ternyata ia ingin tahu, kenapa Risang memerlukan menghadap ibu Kasadha untuk mengundangnya.

Risang memang agak bingung menghadapi pertanyaan itu. Tetapi kemudian katanya, “Aku dan Kasadha telah menjadi saudara .sejak kami bersama-sama bertugas dalam dunia keprajuritan. Kami hampir mati bersama dan ternyata kami berdua bersama-sama masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.”

Ki Rangga Prangwiryawan mengangguk-angguk. Ternyata ia tidak bertanya lebih panjang lagi. Namun katanya, “Tetapi jika kau kembali ke barak ini Ki Lurah Kasadha, kau harus membawa sebakul oleh-oleh dari Tanah Perdikan.”

“Ki Rangga Dipayuda juga akan datang ke wisuda itu,“ jawab Kasadha.

“Jika demikian maka Ki Lurah Kasadha membawa sebakul dan Ki Rangga Dipayuda akan membawa sebakul pula.”

Mereka yang ada diruang itupun tertawa. Risang yang dikenal dengan nama Barata itupun berkata, “Apakah aku harus megirimkan pedati?”

Ki Rangga Prangwiryawan tertawa pula. Katanya, “Jangan hanya satu, tetapi sepuluh pedati sehingga dapat dibagi rata seluruh penghuni barak ini.”

Demikianlah, maka Kasadhapun mengucapkan terima kasih atas ijin yang diberikan oleh Ki Rangga Prangwiryawan. Dengan demikian di keesokan harinya Kasadha akan dapat mengantar Barata pergi menemui Warsi.

Dihari berikutnya, menjelang tengah hari keduanya telah meninggalkan barak itu menuju kerumah ibu dan bibi Kasadha. Bayat memang tidak terlalu jauh dari Pajang. Karena itu mereka akan sampai ketujuan sebelum matahari menjadi merah.

Diperjalanan Barata dan Kasadha sempat berbincang tentang tugas-tugas keprajuritan. Memang tidak jauh berbeda dengan saat-saat Barata masih menjadi seorang prajurit. Namun pembicaraan merekapun kadang-kadang bergeser juga ke Tanah Perdikan Sembojan yang sebentar lagi akan memiliki Kepala Tanah Perdikan yang baru.

Namun akhirnya Kasadha berkata, “Kehidupan ibuku kini sudah sangat jauh berbeda dengan masa-masa silam, selagi ibu masih dibayangi oleh nafsunya yang melonjak-lonjak. Justru setelah ibu membunuh laki-laki yang pernah dianggapnya menjadi pasangan yang serasi itu, maka ibu benar-benar telah menjadi lain.”

“Sokurlah,“ sahut Barata, “dengan demikian maka hari-hari yang tersisa akan dijalaninya dengan hati yang tenang dan penuh kedamaian hati.”

“Aku juga berdoa agar untuk selanjutnya ibu akan dapat menikmati kehidupan yang tenang dan damai itu,“ desis Kasadha.

Keduanyapun kemudian terdiam untuk beberapa saat. Namun kemudian Kasadha berkata, “Kita sudah mendekati padukuhan yang kita tuju.”

Barata mengangguk-angguk. Tetapi ia juga menjadi berdebar-debar. Ia tidak dapat membayangkan, bagaimana sikap ibu Kasadha nanti jika ia sudah menghadapnya.

Jantung Barata memang sudah semain cepat bergetar. Beberapa saat kemudian, maka Kasadhapun berkata, “Regol itu adalah regol halaman rumah bibiku itu.”

“O,“ Barata mengangguk-angguk.

Demikian keduanya sampai keregol, maka keduanyapun segera meloncat turun.

Kasadha dan Baratapun menuntun kuda mereka memasuki regol itu setelah Kasadha mendorong pintu regol yang hanya sedikit terbuka. Ternyata mereka tidak melihat seorangpun dihalaman.

“Rumah ini memang hanya dihuni oleh dua orang saja,“ berkata Kasadha sambil menuntun kudanya ke halaman samping diikuti oleh Barata, “Jika keduanya pergi ke sawah, maka rumah ini memang menjadi kosong.”

Barata mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Namun dalam pada itu terdengar suara orang menyapa dari dalam, “Siapa itu?”

“Ternyata ibu ada dirumah,“ desis Kasadha.

“Memang sudah terlalu sore untuk berada disawah,“ jawab Barata.

“Jika demikian, bibi tentu juga ada dirumah,“ berkata Kasadha pula.

Dalam pada itu terdengar kembali suara dari dalam, “Siapa diluar?”

“Aku ibu. Kasadha,“ jawab Kasadha. Terdengar pintu rumah itupun terbuka. Seorang perempuan yang menjelang hari-hari tuanya muncul dari dalam.

“Kau begitu cepatnya kembali Kasadha. Apakah hari wisuda itu sudah dekat?“ bertanya ibunya.

Kasadha tersenyum. Katanya, “Aku tidak datang sendiri ibu.”

Ibu Kasadha memang melihat seorang anak muda bersama Kasadha itu. Dipandanginya anak muda itu dengan kening yang berkerut.

“Siapa?“ terdengar suaranya tertahan. Anak muda yang datang bersama Kasadha itu wajahnya memang mirip dengan anaknya. Umurnyapun tidak terpaut banyak seandainya anak itu lebih muda dari anaknya.

“Apakah ibu dapat menerka?“ bertanya Kasadha.

Ibunya termangu-mangu. Sementara itu, bibinyapun telah melangkah keluar pintu pula bersama ibu Kasadha yang masih belum mengucapkan sepatah katapun untuk menebak siapakah anak muda itu.

“Kasadha,“ berkata bibinya, “wajah anak muda itu mirip wajahmu. Umurnyapun tentu hanya terpaut sedikit dengan umurmu. Ia pantas menjadi adikmu.”

Namun Kasadha itu menjawab, “Ialah kakakku yang akan diwisuda di Tanah Perdikan Sembojan.”

“Risang,“ desis ibu Kasadha ragu-ragu.

“Ya,“ jawab Kasadha, “ia datang khusus untuk mengucapkan sendiri undangan bagi ibu dan bibi disaat ia diwisuda nanti.”

Wajah ibu Kasadha menjadi tegang. Dengan suara bergetar ia bertanya, “Benarkah begitu?”

Barata mengangguk hormat sambil menjawab, “Benar bibi. Aku datang untuk mohon kesediaan bibi datang saat aku diwisuda nanti. Enam hari yang akan datang.”

Ibu Kasadha itu justru mematung. Wajahnya masih tegang. Namun kemudian dahinya mulai berkerut. Tanpa dapat dibendung lagi, maka tiba-tiba saja air matanya telah mengalir dari kedua pipinya.

Kasadhapun dengan tergesa-gesa mendekati ibunya. Katanya dengan nada cemas, “Ibu. Bukankah ibu tidak apa-apa.”

“Tidak. Tidak Kasadha. Aku hanya merasa tersentuh perasaanku. Angger Risang sudi datang untuk minta aku hadir disaat ia diwisuda,“ jawab ibunya.

“Ibu, marilah kita masuk,“ berkata Kasadha, “marilah Barata. Akulah yang mempersilahkan kau masuk?”

“Kau memanggilnya Barata?“ bertanya ibunya lirih.

“Ya ibu. Kami memang mempunyai nama tersendiri dilingkungan keprajuritan. Jika aku dipanggil Kasadha, maka Risang lebih dikenal dengan nama Barata,“ jawab Kasadha.

Ibunya mengangguk-angguk. Baru kemudian iapun berkata, “Marilah Risang. Masuklah. Aku merasa lebih dekat jika aku memanggilmu dengan namamu sendiri.”

Barata menarik nafas dalam-dalam. Namun setelah menambatkan kudanya, maka iapun segera mengikuti Kasadha masuk ke ruang dalam setelah ibu dan bibinya juga masuk pula.

Demikianlah, mereka berempat duduk di amben besar diruang dalam. Dengan sendat ibu Kasadha berkata, “Ngger, Risang. Apakah pantas aku ikut memanggil angger dan ikut pula menganggap kau sebagai anakku.”

“Tentu bibi,“ jawab Barata, “ibu juga menganggap Kasadha sebagai anaknya pula.”

“Tetapi keadaannya jauh berbeda ngger. Kasadha merasa bangga bahwa ia boleh ikut menganggap ibumu, seorang perempuan yang berbudi dan berjiwa besar sebagai ibunya. Tetapi aku adalah seorang perempuan yang paling hina didunia ini. Sehingga aku tidak tahu apakah aku masih pantas untuk datang kerumah ibumu di Tanah Perdikan Sembojan,“ suara ibu Kasadha masih saja sendat oleh perasaannya yang bergejolak.

“Bibi dan ibu tidak ada bedanya,“ jawab Barata, “bibi sebagaimana juga ibu, tentu akan dihormati di Tanah Perdikan. Yang telah lalu biarlah berlalu.”

“Aku akan sangat berterima kasih kepada kalian,“ berkata ibu Kasadha itu sambil mengusap matanya yang basah.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, ibu dan bibi Kasadhapun telah sibuk didapur untuk menyiapkan hidangan bagi tamunya. Makan malam. Dan seekor ayam-pun telah dipotong pula.

Ketika kemudian setelah Kasadha dan Barata mandi dan berbenah diri, maka hidangan makanpun telah disiapkan di amben bambu diruang dalam.

Sambil makan ibu Kasadha masih sekali-sekali menyinggung akan kehadirannya di Tanah Perdikan Sembojan. Dengan ragu ia berkata, “Tetapi bukankah tidak akan ada tamu perempuan diantara mereka yang akan hadir di hari wisudamu?”

“Tetapi bibi bagi kami bukan tamu. Bibi adalah keluarga sendiri. Sementara itu selain bibi berdua ada juga tamu perempuan yang akan hadir. Mereka adalah isteri Ki Rangga Dipayuda yang pernah menjadi pemimpinku ketika aku masih menjadi prajurit bersama Kasadha. Dan yang satu lagi adalah anaknya, Riris.

Ibu Kasadha yang tidak mengenal Riris mengangguk-angguk kecil. Tetapi wajah Kasadhalah yang terasa menjadi tegang. Namun seperti biasanya Kasadha berusaha untuk menghapus kesan itu dari wajahnya.

Meskipun setiap kali ia berhasil, tetapi gejolak perasaannya itu tidak dapat dihapuskannya begitu saja. Selapis demi selapis gejolak perasaannya itu tertimbun didasar jantungnya sehingga semakin lama menjadi semakin tebal.

Namun pembicaraan itupun segera terputus ketika ibunya mempersilahkan Risang untuk makan lebih banyak lagi. Bahkan kemudian pembicaraan merekapun segera beralih. Kasadha yang berusaha untuk menghilangkan kesan yang buram dihatinya itu telah berceritera kepada ibunya, bagaimana mereka berdua menjadi prajurit. Bagaimana mereka merasa sehidup semati sebelum mereka sadar bahwa mereka memang bersaudara.

Meskipun masih juga terasa sentuhan tajam di jantungnya, namun Kasadha sempat tertawa ketika ia berceritera kepada ibu dan bibinya bagaimana sekelompok orang yang mencari anak muda yang bernama Puguh menjadi kebingungan.

“Seorang menuduh akulah Puguh,“ berkata Kasadha, “sedangkan yang lain menganggap bahwa yang bernama Puguh adalah Risang.”

Betapa pahitnya. Namun ibu dan bibinya sempat tertawa pula.

Demikianlah malam itu keduanya bermalam dirumah bibi Kasadha. Namun keduanya telah menyatakan, bahwa mereka akan minta diri esok pagi-pagi, karena mereka hanya mempunyai sedikit waktu.

“Selain Barata harus segera mempersiapkan Tanah Perdikan Sembojan, akupun harus segera kembali ke barak,“ berkata Kasadha, “bukankah tiga hari lagi aku akan datang kembali untuk menjemput ibu?”

Ibu dan bibi Kasadha itu dapat mengerti. Namun rasa-rasanya mereka masih ingin menahan Risang untuk satu dua hari.

“Pada kesempatan lain, aku akan datang lagi bibi,“ berkata Risang kemudian.

***

Namun dalam pada itu, seseorang yang mendendam ternyata tengah mengadakan pembicaraan dengan beberapa orang. Seorang diantara orang-orang itu berkata, “Biarlah kami menyelesaikan mereka sekarang.”

“Jangan bodoh,“ geram Ki Tunggul, “jika terjadi sesuatu dirumah perempuan itu, maka Ki Jagabaya akan segera menangkapku karena mereka telah melaporkan segala-galanya kepada Ki Bekel dan Ki Jagabaya.”

“Bukankah tidak akan ada masalah dengan Ki Bekel,“ bertanya seorang diantara mereka.

“Dengan Ki Bekel memang tidak ada masalah. Tetapi dengan Ki Jagabaya aku tidak berani bermain-main. Ia seorang yang sulit diajak berbincang tentang kepentingan bersama.”

“Jadi, bagaimana maksud Ki Tunggul?“ bertanya orang yang lain. Seorang yang bertubuh tinggi tegar.

Ki Tunggul termangu-mangu. Namun iapun bertanya, “Tetapi apakah benar yang kau lihat? Anak muda yang pernah datang kerumah itu?”

“Ya,“ jawab pengikutnya yang pernah dilukai Kasadha, “aku tidak akan pernah dapat melupakannya.”

“Ki Tunggul mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Awasi. Kapan mereka meninggalkan rumah itu. Sementara itu lima orang akan segera mempersiapkan diri ditambah dengan tiga orang pengawalku yang diantaranya telah mengenal mereka dengan baik. Orang-orang itu harus diselesaikan diluar padukuhan. Mungkin di bulak panjang atau ditempat penyeberangan. Mereka dapat diseret ke tikungan sungai dan kuburkan mereka disana.”

“Untuk melawan dua orang, kenapa harus delapan orang?“ bertanya salah seorang diantara mereka.

“Jangan besar kepala. Anak itu mempunyai ilmu yang tinggi. Bukan sekedar ilmu yang diperolehnya dari lingkungan keprajuritan,“ jawab Ki Tunggul.

“Baiklah,“ berkata orang yang bertubuh tinggi tegar, “semakin banyak kawan, semakin ringan pekerjaanku.”

“Kalian harus selalu bersiap. Kita tidak tahu kapan mereka akan meninggalkan rumah itu. Mudah-mudahan kawannya bukan seorang yang berilmu tinggi,“ berkata Ki Tunggul pula.

Demikianlah mereka telah mendapat tugas untuk mencegat Kasadha dan Barata dan membunuhnya karena dendam Ki Tunggul yang masih saja membakar jantungnya. Apalagi Kasadha telah menyentuhnya dengan ujung senjata.

Sejak saat itu, maka rumah ibu Kasadha itu selalu diawasi.

Ki Tunggul mengira bahwa anak muda itu tidak akan terlalu lama tinggal dirumah perempuan yang disebutnya sebagai ibu dan bibinya itu, karena belum lama berselang anak itu baru saja mengunjunginya.

“Anak itu tentu hanya ingin melihat apakah ibu dan bibinya selamat,“ berkata Ki Tunggul kepada orang-orangnya.

Sebenarnyalah, pagi-pagi orang yang mengawasi rumah ibu Kasadha itu lewat pintu regol halaman yang terbuka telah melihat kedua orang anak muda yang datang kerumah itu telah mempersiapkan kuda mereka. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa orang itupun telah meninggalkan regol halaman rumah itu. Setelah agak jauh dari regol halaman rumah yang diawasinya, maka orang itupun memungut busur dan anak panah yang disembunyikannya.

Sejenak kemudian maka anak panah sendarenpun telah terbang di udara. Suaranya berdesing melintasi beberapa rumah menuju kerumah Ki Tunggul.

Suara sendaren itu sendiri memang tidak banyak menarik perhatian. Di padukuhan itu, anak-anak memang sering bermain dengan burung merpati dan memberi sendaren pada ekornya, sehingga jika burung merpati itu terbang, maka sendaren itupun telah berdesing. Namun sendaren pada anak panah itu tidak berdesing berputar-putar. Tetapi langsung menuju dan memang jatuh dihalaman rumah Ki Tunggul.

Ki Tunggul sempat memuji orangnya yang melemparkan anak panah sendaren itu. Namun kemudian iapun segera memerintahkan orang-orangnya untuk menerobos sawah dan pategalan.

“Kalian akan dapat memotong perjalanan kedua orang berkuda itu,“ perintah Ki Tunggul, “asal kalian berjalan cepat.”

Orang-orang Ki Tunggul itu tidak membuang waktu. Tiga orang telah berlari lebih dahulu. Mereka akan dapat menghentikan perjalanan anak muda yang telah menghina Ki Tunggul dan para pengikutnya. Sementara itu lima orang yang lain telah menyusul pula dengan cepat.

“Hati-hatilah. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi. Setidak-tidaknya seorang diantara mereka. Aku akan menyusul kemudian. Aku akan naik kuda lewat jalan yang dilalui oleh anak-anak itu,“ berkata Ki Tunggul.

Sementara itu, Kasadha dan Barata telah minta diri kepada ibu dan bibi Kasadha. Sambil memegangi kendali kudanya Kasadha berkata, “Tiga hari lagi aku akan datang kerumah ini. Wisuda itu akan dilakukan lima hari lagi.”

Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, “Hati-hatilah di jalan.”

Demikianlah sejenak kemudian maka Kasadha dan Barata itu telah menuntun kuda mereka kepintu regol, sementara ibu dan bibi Kasadha juga mengantar mereka sampai keregol itu pula. Untuk beberapa saat mereka masih berbincang. Namun kemudian Kasadha dan Barata sekali lagi telah minta diri. Keduanyapun segera meloncat kepunggung kuda mereka dan sesaat kemudian kuda itupun telah meninggalkan regol halaman rumah itu. Ketika keduanya berpaling, mereka masih melihat ibu dan bibi Kasadha itu berdiri didepan pintu regol itu.

Namun sejenak kemudian kuda keduanyapun telah berlari menuju kegerbang padukuhan, memasuki bulak pendek didepan padukuhan itu.

Kedua anak muda itu sama sekali tidak menduga, bahwa perjalanan mereka telah ditunggu disebuah sungai kecil. Jika keduanya nanti menyeberangi sungai itu, maka delapan orang telah siap untuk membunuh mereka. Ungkapan dendam seorang yang kecewa karena usahanya untuk memperisteri dan sekaligus menjadikannya sebagai budak, seorang perempuan yang diakunya sebagai bibi anak muda yang menjadi seorang prajurit itu, telah gagal.

Bahkan lebih dari itu, anak muda itu telah berani melawannya dan bahkan melukainya.

Ternyata orang-orang yang berusaha mencegat perjalanan Kasadha dan Barata itu tidak terlambat. Ketika mereka sampai disungai kecil yang tebingnya agak tinggi itu, mereka belum menemukan jejak kaki kuda, sehingga mereka memperhitungkan bahwa kedua orang anak muda itu masih belum lewat.

Perhitungan orang-orang yang mencegat perjalanan Kasadha dan Barata itu memang benar. Seorang diantara mereka yang duduk diatas tebing telah melihat dua ekor kuda yang berlari mendekat.

Dengan isyarat orang itu memberitahukan kepada kawan-kawannya yang menunggu dibawah, bahwa yang mereka tunggu telah tiba.

“Nah, bersiap-siaplah,“ berkata seorang yang tertua diantara mereka,“ Kita harus dengan cepat menyelesaikan mereka. Upah yang disediakan bagi kita cukup banyak.”

Kawan-kawannyapun berpencar. Mereka bersiap dibelakang tebing yang memang agak tinggi. Setiap saat mereka telah siap menyergap kedua orang anak muda yang akan lewat berkuda itu.

Kasadha dan Barata memang tidak menduga. Bahkan Kasadha masih sempat menceriterakan apa yang pernah terjadi dengan bibinya itu. Bahkan iapun berkata, “Agaknya Ki Tunggul telah benar-benar melupakan bibi dan peristiwa yang pernah terjadi itu. Bagaimanapun juga ia harus mempertimbangkan kekuasaan Ki Jagabaya.”

Namun, demikian mereka sampai ke tanggul tebing sungai, maka Kasadha justru telah menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seseorang yang duduk termangu-mangu dan sekali-sekali berpaling kebelakang tanggul.

“Orang itu mencurigakan,“ desis Kasadha.

Barata mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menjawab, “Ada apa dibelakang tanggul itu? Nampaknya memang menarik perhatian.”

Keduanya justru menjadi berhati-hati. Meskipun baru saja Kasadha menganggap bahwa orang yang disebut Ki Tunggul itu sudah tidak akan mengganggu bibinya lagi, namun orang itu memang perlu diperhatikan.

Orang itu tidak berbuat apa-apa ketika kedua orang penunggang kuda itu lewat disebelahnya. Bahkan orang itu seakan-akan tidak menghiraukannya. Namun demikian Kasadha dan Barata menuruni tebing, maka mereka menarik kendali kuda mereka. Dibawah tebing beberapa orang berdiri disebelah menyebelah jalan.

Kedua ekor kuda itu memang berhenti. Ketika keduanya berpaling maka orang yang duduk ditanggul dan tidak menghiraukannya itu telah bangkit berdiri ditengah jalan.

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata aku salah menilai keadaan. Orang-orang ini tentu ada hubungannya dengan Ki Tunggul.”

Barata mengangguk-angguk kecil. Katanya, “bukankah kita belum berbicara dengan mereka?”

Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bergumam, “Aku menyesal bersedia membawamu kemari. Nampaknya aku melibatkanmu dalam kesulitan.”

Tetapi Barata menjawab, “Bukankah kita pernah juga bersama-sama mengalami keadaan seperti ini? Bagaimana jika orang-orang itu masih juga mencari Puguh dan menyangka aku dan yang lain menganggapmu Puguh?”

Kasadha masih juga sempat tersenyum. Katanya, “Bagus. Kita akan mengaku bahwa kita masing-masing adalah Puguh.”

Demikianlah Kasadha dan Barata telah bergeser beberapa langkah maju. Nampaknya mereka tidak akan dapat memutar kuda mereka untuk menghindar karena dibelakang mereka seseorang telah menjaga dan berdiri di tengah jalan.

Sebelum keduanya sampai ke tempat beberapa orang berdiri, maka keduanya telah berhenti pula. Sementara itu, seorang diantara mereka yang berdiri ditepi jalan penyeberangan itu berkata, “Marilah Ki Sanak, silahkan lewat. Kami memang sedang menunggu seseorang.”

“Siapakah yang kalian tunggu?“ bertanya Kasadha.

“Sebuah pedati yang akan mengambil batu untuk bebatur rumah,“ jawab orang itu.

“Rumah siapa?“ bertanya Kasadha.

Orang itu memang termangu-mangu sejenak. Yang kemudian menjawab adalah Kasadha sendiri, “Rumah Ki Tunggul?”

Wajah orang itu menjadi tegang. Demikian pula kawan-kawannya yang menunggu kedatangan kedua orang berkuda itu, seakan-akan rahasia mereka telah dapat ditebak.

Sementara itu Kasadha dan Barata telah meloncat turun dari kuda mereka dan bahkan dengan tenang keduanya telah menambatkan kuda-kuda mereka pada pohon perdu dipinggir jalan.

Orang-orang yang memang diupah oleh Ki Tunggul itu merasa tidak perlu lagi menyembunyikan niat mereka. Karena itu, maka merekapun justru telah melangkah mendekati Kasadha dan Barata yang kemudian berdiri termangu-mangu.

“Ki Sanak,“ berkata orang tertua diantara orang-orang yang menunggu kedua anak muda itu di penyeberangan itu, “sebaiknya kami memang tidak usah berpura-pura lagi. Kami, delapan orang telah mendapat upah dari Ki Tunggul untuk membunuh kalian berdua, karena kalian berdua telah menyakiti hatinya dan bahkan menghinanya. Tidak ada pilihan lain bagi Ki Tunggul selain membunuh kalian berdua. Tetapi pembunuhan ini tidak dapat kami lakukan dirumah perempuan dungu itu, karena persoalannya telah kalian laporkan kepada Ki Jagabaya. Dengan demikian maka kami telah memutuskan untuk menghabisi kalian berdua disini dan kemudian menghilangkan jejak kalian. Jika kalian kami kuburkan disini, maka tidak akan ada seorangpun yang mengetahui apa yang telah terjadi dengan kalian.”

“Kau memang bodoh,“ berkata Kasadha sambil tertawa, “seisi barakku mengetahui bahwa hari ini aku dalam perjalanan dari rumah ibuku kembali ke barak. Nah, jika sampai nanti malam aku tidak datang ke barak, maka pimpinanku tentu akan menelusuri perjalananku. Mereka akan menemui ibuku dan bertanya apakah benar aku telah datang menemuinya. Kemudian ditelusurinya semua kemungkinan. Juga dendam seorang yang bernama Ki Tunggul.”

“Jika ibu dan bibimu memberikan laporan kepada para prajurit maka merekapun akan terancam jiwanya?”

Kasadha tertawa. Katanya, “Kenapa kalian tidak berani berusaha membunuhku dirumah ibuku? Bukankah hal itu akan sama saja akibatnya jika Ki Tunggul mengancam ibuku untuk tidak memberikan laporan yang sebenarnya, karena ibu danjbibi berada dibawah lindungan Ki Jagabaya?”

“Persetan semuanya itu,“ geram orang yang bertubuh tinggi besar dan berkumis lebat, “kewajiban kami adalah membunuhmu. Kami akan menerima upah karena itu. Apapun yang akan terjadi pada Ki Tunggul, aku tidak peduli.”

“Dihadapan para prajurit dan perabot Kademangan, apakah Ki Tunggul tidak dapat menyebut namamu dan nama kalian semua?“ bertanya Kasadha.

“Aku tidak sempat membuat pertimbangan-pertim-angan seperti itu. Seandainya bal itu dilakukan oleh Ki Tunggul, maka Ki Jagabaya Kademangan Lipur yang meliputi padukuhan Bayat itu tidak akan dapat menangkapku, karena aku tidak tinggal di Bayat.”

“Tetapi prajurit Pajang akan dapat mengejarmu sampai keujung bumi sekalipun,“ sahut Kasadha.

“Persetan,“ gerak orang itu, “kami sudah menerima sebagian dari upah kami, Kami akan melakukan tugas ini dengan baik untuk dapat mengambil sisa upah kami.”

Namun tiba-tiba suara Kasadha berubah geram, “Dan kalian telah mempertaruhkan nyawa kalian? Berapa upah yang kalian terima he?”

Orang-orang itu termangu-mangu sejenak, Tetapi orang tertua diantara mereka itupun segera memberikan isyarat sehingga delapan orang telah bergerak bersama-sama.

“Kita harus melakukannya dengan cepat,“ berkata orang tertua itu, “kita tidak mempunyai waktu banyak.”

Kasadha dan Baratapun segera mempersiapkan diri. Dengan geram pula Kasadha berkata, “Marilah. Siapakah yang akan mati lebih dahulu.”

Bagaimanapun juga sikap Kasadha telah membuat jantung orang-orang yang mencegatnya itu berdebar-debar. Anak muda itu sama sekali tidak merasa gentar. Sementara itu anak muda yang seorang lagi nampak tenang-tenang saja. Seakan-akan orang-orang itu tidak berarti apa-apa baginya.

Sejenak kemudian, kedelapan orang itupun telah mulai menyerang meskipun mereka masih harus menjajagi kemampuan kedua orang anak muda itu. Kasadhaj dan Baratapunl telah mengambil jarak diantara mereka. Dengan tangkas keduanya mulai berloncatan. Tangan mereka berputaran, semakin lama menjadi semakin cepat.

Tetapi mereka harus bertempur masing-masing melawan empat orang sehingga baik Kasadha maupun Barata harus benar-benar berhati-hati.

Demikianlah arena pertempuran itupun telah bergeser ketepian sungai yang tidak begitu besar itu. Mereka telah bertempur diatas pasir yang basab. Berbeda dengan kedelapan orang lawan mereka yang kakinya mulai diberati oleh pasir lunak tempat mereka berpijak, Kasadha dan Barata masih saja berloncatan dengan sigap dan cepat.

Keempat lawan Kasadha dan keempat lawan Barata segera menyadari bahwp lawan mereka adalah orang orang yang berilmu tinggi sebagaimana dikatakan oleh Ki Tunggul. Bahkan Ki Tunggul sendiri bersama dengan para pengawalnya tidak mampu mengalahkan salah seorang diantara anak-anak muda itu.

Dengan demikian maka kedelapan orang itu telah berusaha mengerahkan kemampuan mereka agar mereka dapat melakukan tugas yang dibebankan kepada mereka dengan upah yang cukup banyak. Tetapi merekapun kemudian menyadari, bahwa untuk upah yang banyak itu mereka memang harus mempertaruhkan nyawa mereka.

Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka rasa-rasanya ada sesuatu yang menarik perhatian Kasadha. Tiba-tiba saja ia ingin menilai, apakah kemampuan Barata masih saja sebagaimana saat mereka menjadi prajurit atau sudah menjadi semakin maju. Tanpa disadarinya Kasadha ingin membuat perbandingan antara kemampuannya dan kemampuan Barata.

Barata yang tidak menyadari, bahwa Kasadha telah memperhatikannya, telah bertempur dengan tangkasnya. Keempat orang lawannya saipa sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mengenai tubuh Barata dengan serangan-serangan mereka. Begitu tangkasnya Barata menghindari setiap serangan, sehingga lawan-lawannya mulai menjadi gelisah.

Sementara itu Kasadhapun menjadi berdebar-debar melihat kemampuan Barata. Ternyata Barata maju dengan pesat. Kemampuannya tidak lagi terbatas sebagaimana saat ia menjadi prajurit. Tetapi kemampuan Barata telah meningkat jauh lebih tinggi.

Kasadha yang justru berloncatan surut menghindari serangan lawan-lawannya menyadari, bahwa iapun masih harus berhati-hati menghadapi keempat orang lawan itu,

Kasadha sendiri tidak mengerti, kenapa kemajuan Barata membuatnya risau. Sementara itu, antara dirinya dan Barata sudah tidak ada permusuhan lagi. Bahkan ibu-ibu merekapun telah dapat dipertautkan.

Namun Kasadha tidak sempat memikirkannya lebih panjang lagi. Empat orang lawannya berusaha untuk semakin mendesaknya dan bahkan membunuhnya.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang yang bertempur melawan kedua orang anak muda itu berlompatan menyerang bergantian. Bahkan kadang-kadang dua atau tiga diantara mereka menyerang bersama-sama.

Namun justru merekalah yang lebih dahulu dikenai oleh serangan anak-anak muda itu. Serangan Kasadha yang cepat dan keras telah melemparkan seorang diantara mereka yang mengeroyoknya. Namun demikian ia terbanting diatas pasir, iapun segera bangkit kembali. Tetapi betapa dadanya terasa menjadi sesak. Nafasnya tersendat sehingga orang itu menjadi terbatuk-batuk kecil.

Samil menggeretakkan giginya orang itu telah meng-geggam hulu parangnya. Sambil menarik parangnya ia berkata lantang, “Kenapa kita menunggu lebih lama lagi? Bukankah kita akan membunuhnya?”

“Kita bunuh mereka dengan tangan kita. Kita akan menjadi lebih puas karenanya,“ jawab seorang kawannya.

“Mampukah kita melakukannya?“ bertanya orang yang telah menarik parangnya itu.

Kawan-kawannya memang mulai berpikir. Sudah sekian lama mereka berkelahi. Namun tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka tanpa mempergunakan anjata.

Karena itu, maka kawan-kawannyapun setuju untuk dengan segera mengakhiri perkelahian itu dengan senjata.

Dengan demikian, maka keempat orang yang bertempur melawan Kasadha itu telah menarik senjata mereka.

Selain parang, ada juga yang bersenjata golok dan seorang lagi bersenjata pedang pendek, namun terlalu besar untuk ukuran pedang pada umumnya.

Kasadha yang melihat lawan-lawannya bersenjata, segera meloncat mengambil jarak. Bagaimanapun juga, ia tidak mau terlambat. Jika ia tidak mempergunakan senjata pula, maka ia akan mengalami kesulitan.

Karena itu ketika keempat orang lawannya memburunya, maka Kasadhapun segera mencabut pedangnya. Pedang seorang Lurah Prajurit Pajang.

Demikianlah, maka Kasadhapun telah bertempur dengan pedangnya melawan ampat orang yang juga bersenjata. Dalam kilatan pantulan sinar matahari pada daun pedang Kasadha terbersit ungkapan ilmu pedang Kasadha yang menggetarkan jantung keempat orang lawannya.

Sementara itu lawan-lawan Baratapun merasa tidak lagi mempunyai harapan untuk dapat mengalahkan apalagi membunuh Barata hanya dengan tangan mereka. Meskipun hal yang demikian sering mereka lakukan terhadap korban-korban mereka yang tidak berdaya menyelamatkan nyawa mereka.

Tetapi jangankan mencekik atau mematahkan leher anak muda yang bertempur dengan tangkasnya itu, menyentuhpun mereka tidak dapat melakukannya.

Bahkan justru merekalah satu demi satu telah dikenai serangan Barata. Seorang diantara mereka mengerang kesakitan ketika bibirnya menjadi pecah. Tumit Barata telah mengenai mulutnya sehingga bibirnya itu berdarah.

Karena itu, maka keempat lawan Baratapun telah mempergunakan senjata mereka pula. Dua orang bersenjata golok yang besar, seorang mempergunakan pedang dan seorang lagi mempunyai senjata yang tidak terlalu sering dipergunakan orang. Seutas rantai baja yang tidak terlalu panjang.

Melihat lawannya bersenjata, maka Baratapun telah menarik pedangnya pula. Namun ternyata bahwa pedang Barata tidak sama dengan pedang Kasadha, Lurah Prajurit Pajang. Dengan demikian maka ada diantara orang-orang yang melawannya itu mengenalinya, bahwa Barata bukan seorang prajurit.

Dengan demikian maka orang-orang itu berharap bahwa Barata bukannya seorang yang memiliki kemampuan sebagaimana Lurah Prajurit yang bernama Kasadha itu.

“Kita akan membunuh orang ini lebih dahulu,“ berkata salah seorang yang bertempur melawan Barata, “ia bukan seorang prajurit. Pedangnya bukan pedang seorang prajurit. Baru kemudian kita beramai-ramai membunuh yang seorang lagi, yang nampaknya lebih liat dari orang ini.”

Barata menggeram mendengar kata-kata salah seorang lawannya itu, Bagaimanapun juga Barata merasa bahwa harga dirinya telah direndahkan. Tanpa disadarinya, maka Barata merasa bahwa ia tidak lebih buruk dari Kasadha.

Karena itu, maka Baratapun dengan serta merta telah menggerakkan pedangnya. Ternyata bahwa ilmu pedang Barata memang sempat membingungkan keempat lawannya.

Namun dengan demikian pertempuran itupun semakin menjadi sengit. Senjatapun saling beradu. Bunga apipun berhamburan di kedua lingkaran pertempuran itu.

Sekali lagi Kasadha memuji kemampuan Barata, Ilmu pedangnya ternyata lebih baik dari yang pernah dikenalinya ketika Barata masih menjadi seorang prajurit. Kasadha tidak sempat menilai kemampuan Barata ketika Kasadha atas perintah para pemimpin Pajang sebelum pemerintahan Pangeran Benawa menyerang Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi saat itu Kasadha dengan sengaja memang menghindari pertempuran dengan Barata di medan pertempuran.

“Barata memang luar biasa,“ berkata Kasadha didalam hati.

Dalam pada itu, adalah diuar dugaan Kasadha, bahwa ketika tidak sengaja Barata melihat Kasadha memutar pedangnya, pedang seorang prajurit, maka Baratapun mengerutkan dahinya. Sambil bertempur Barata sempat memuji ketrampilan Kasadha mempermainkan pedangnya.

Adalah diluar kesadaran masing-masing, bahwa baik Barata maupun Kasadha seakan-akan tengah menguji kemampuan mereka masing-masing. Keduanyapun kemudian seakan-akan tengah berlomba, siapakah yang lebih dahulu dapat mengalahkan keempat lawannya. Sedangkan menurut pengamatan mereka, kedelapan orang itu memiliki kemampuan yang rata-rata hampir sejajar.

Dengan demikian maka baik Kasadha maupun Barata telah meningkatkan kemampuan mereka untuk mempercepat pertempuran itu.

Sementara itu, selagi pertempuran itu berlangsung dengan-sengitnya, diatas tebing, Ki Tunggul menyaksikannya dengan jantung yang berdebaran. Kasadha yang melihat kehadiran orang itu sempat berkata lantang, “Barata. Lihatlah. Orang diatas tanggul itulah yang bernama Ki Tunggul, yang berusaha untuk mengganggu bibi. Menurut pernyataannya, ia ingin memperisteri bibi. Namun sebenarnyalah ia ingin memperbudaknya.”

Baratapun sempat melihat orang yang bernama Ki Tunggul itu. Dengan lantang pula ia menjawab, “Seorang yang nampaknya berilmu tinggi. Tetapi kenapa ia tidak mau turun?”

“Nanti,“ sahut Kasadha pula, “jika perkelahian ini sudah mendekati akhirnya. Ia berharap orang-orangnya akan menang. Tetapi bukankah kita tidak akan membiakkan leher kita ditebas sampai putus?”

Barata tidak menjawab lagi. Namun iapun bergerak semakin cepat. Pedangnya berputar seperti baling-baling, seakan-akan yang bergerak itu bukannya sebilah pedang saja, tetapi beberapa bilah pedang didalam genggaman beberapa pasang tangan.

Sementara itu Kasadhapun berloncatan semakin garang. Pedangnya terayun menebas mendatar. Namun kemudian terjulur lurus mematuk kearah dada seorang diantara lawannya. Tetapi ketika lawannya yang lain meloncat menyerang, maka ujung pedang itu berputar menggeliat dengan cepatnya.

Seorang diantara lawan Kasadha itu berdesah menahan sakit yang menyengat pundaknya. Ternyata bahwa ujung pedang Kasadha telah sempat hinggap dipundaknya itu, sehingga kulitnyapun telah menganga dan darahpun mulai mengalir.

“Anak iblis,“ geram orang yang terluka itu, “aku akan menyayat kulit dagingmu sampai ketulang.”

Namun sebelum orang itu sempat memasuki lingkaran pertempuran kembali, seorang lawan Barata seakan-akan telah terdorong keluar lingkaran pertempuran. Bajunya yang kehitam-hitaman itupun telah terkoyak. Bahkan sampai ke kulitnya menyilang dada. Luka itu memang tidak begitu dalam. Namun dari luka itu darahpun telah mengalir pula.

Kedelapan orang yang bertempur melawan kedua anak muda itu menjadi semakin marah. Apalagi ketika mereka mendengar Ki Tunggul yang berada diatas tanggul sungai itu berteriak, “Jangan beri kesempatan. Kedua orang itu harus dibunuh dan dikubur ditikungan sungai itu. Jangan beri kesempatan keduanya atau salah seorang dari mereka lolos.”

Kasadha yang sudah mengenal Ki Tunggul itu berkata, “Marilah Ki Tunggul. Bukankah kau termasuk orang yang memiliki ilmu yang tinggi? Kenapa kau tidak ikut bertempur bersama orang-orangmu yang ternyata tidak berkemampuan apa-apa?”

Ki Tunggul menggeram. Namun ia memang melihat bahwa kedelapan orang upahannya termasuk para pengikutnya itu tidak segera akan dapat mengatasi kedua orang anak muda itu. Bahkan ia sempat melihat diantara orang-orang itu terluka.

Karena itu, maka Ki Tunggulpun menjadi cemas. Jika orang-orangnya tidak dapat menyelesaikan kedua orang anak muda itu, maka keduanya akan dapat memberikan kesaksian yang akan dapat menyulitkan kedudukannya kelak.

Meskipun demikian Ki Tunggul masih menunggu sejenak. Ia masih berharap bahwa kedelapan orang itu akan dapat menyelesaikan tugas mereka.

Namun dalam pada itu, kedelapan orang itu justru menjadi semakin sulit. Barata yang menghentakkan kemampuannya, telah melukai seorang diantara lawannya lagi. Sehingga dengan demikian maka kekuatan bersama keempat orang lawannya itu telah menjadi semakin susut.

Ki Tunggul yang berada diatas tanggul itu menjadi semakin gelisah. Didalam pengamatannya, kawan anak muda yang pernah datang ke padukuhan itu sebelumnya adalah sangat berbahaya. Setidak-tidaknya ia memiliki ilmu yang setingkat dengan anak muda yang telah melukainya itu. Bahkan nampaknya putaran pedang ditangannya terasa lebih mantap dan berbahaya.

Karena itu, sebelum terlambat, maka Ki Tunggul itu benar-benar harus ikut campur. Ia harus membantu orang-orang upahannya itu. Setidak-tidaknya untuk membunuh salah seorang diantara kedua orang anak muda itu. Dengan demikian maka kedelapan orang itu akan bersama-sama membunuh seorang yang lain.

Dengan cepat Ki Tunggul itupun menuruni tebing dan menginjakkan kakinya di tepian. Namun ia terkejut ketika ia melihat, seorang diantara orang upahannya yang bertempur melawan Barata telah terbaring diatas pasir yang basah. Meskipun sekalisekali ia masih menggeliat, namun lukanya ternyata cukup parah sehingga ia tidak mampu lagi, untuk bangkit dan kembali bertempur bersama kawan-kawannya.

Ki Tunggul yang sempat melihatnya, menggeram melihat darah yang tercecer dari lambungnya yang koyak.

“Anak iblis kau,“ geram Ki Tunggul yang telah siap memasuki arena pertempuran.

Barata yang melihat orang itu mendekatinya, telah mempersiapkan diri pula. Dari Kasadha ia tahu bahwa orang itu memiliki ilmu yang justru lebih baik dari para pengawalnya dan sudah tentu juga orang-orang yang diupahnya itu.

Karena itu, maka pada kesempatan terakhir sebelum orang itu memasuki arena, dengan menghentakkan kemampuannya, Barata telah meloncat menyerang salah seorang lawannya yang sudah terluka didadanya. Orang yang telah mengalirkan darah itu geraknya sudah mulai Jamban, sehingga ketika tiba-tiba saja Barata menggeliat danmemutar pedangnya, orang itu tidak mampu menghindar secepat putaran ujung pedang Barata.

Karena itu, demikian Ki Tunggul memasuki arena, maka orang itu tengah mengaduh perlahan. Pedang Barata telah tergores menyilang sekali lagi didadanya. Tetapi lebih dalam dari lukanya sebelumnya.

Ki Tunggul terkejut. Tetapi ia tidak sempat menilai keadaan. Demikian ia mendekat, maka Baratapun telah meloncat menyerangnya dengan garangnya.

Karena itu, maka Tunggulpun dengan serta merta telah meloncat surut menghindari kejaran ujung pedang Barata.

Namun dalam pada itu, Ki Tunggul justru sempat mendengar seorang diantara empat lawan Kasadha berteriak mengumpat kasar. Namun suaranyapun segera terputus. Ujung pedang Kasadha telah mengoyak lengannya. Namun demikian ia merasa kesakitan dan mengumpat marah, kaki Kasadha telah menyusul serangan pedangnya dan menghantam dada orang itu.

Orang itu terlempar beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di pasir tepian. Pasir itu sendiri tidak menyakitinya. Tetapi tulang-tulang iganyalah yang terasa berpatahan. Nafasnya menjadi sesak, seakan-akan segumpal batu padas telah menindih dadanya yang terasa sangat kesakitan.

Ki Tunggul menggeram marah. Ia sudah mengupah delapan orang untuk membunuh hanya dua orang. Menurut perhitungannya, empat orang pembunuh upahan itu akan mampu membunuh sedang diantara anak muda itu. Namun ternyata mereka mengalami kesulitan.

Karena itu Ki Tunggul tidak mau terlambat. Ternyata orang yang terhempas oleh tendangan Kasadha itu masih berusaha untuk bangkit betapa sulitnya. Semantara itu Ki Tunggulpun segera memasuki arena dilingkaran pertempuran melawan Barata.

Namun Barata telah siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu demikian Ki Tunggul masuk, maka kakinyapun seakan-akan menjadi semakin tangkas bergerak Bahkan kemudian kaki Barata itu tidak lagi berjejak diatas tanah.

Namun sebenarnyalah kata Kasadha, maka Ki Tunggul memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari orang-orang upahannya. Sehingga karena itu maka Barata harus benar-benar mengerahkan kemampuannya untuk melawan Ki Tunggul dan dua orang upahannya.

Sementara itu Kasadhapun telah semakin menguasai arena. Orang yang terluka lengannya dan yang nafasnya serasa sesak itu tidak mampu lagi bergerak cepat, sehingga ia justru lebih banyak mengganggu kawan-kawannya. Sementara itu, pedang prajurit di tangan Kasadha itu berputaran semakin cepat dan berbahaya. Pantulan cahaya matahari berkilat kilat menyilaukan, sementara bunga api pada benturan benturan senjata telah memancar kebiru-biruan.

Ki Tunggul yang bertempur melawan Barata itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Selagi masih ada dua orang upahannya yang dapat membantunya, maka Ki Tunggul berusaha untuk dengan cepat menyelesaikannya.

Tetapi ternyata usaha Ki Tunggul itu tidak segera dapat dilaksanakan. Barata tidak dengan mudah dapat ditundukkan. Bahkan anak muda itu seakan-akan semakin lama justru menjadi semakin tangkas dan garang.

Sebenarnyalah ketika Ki Tunggul yang memiliki kemampuan lebih baik dari orang-orang upahannya itu menekannya semakin berat, maka Barata benar-benar telah menghentakkan kemampuannya pula. Sebagai seorang yang telah dipersiapkan untuk menerima warisan ilmu Janget Kinatelon, maka landasan kemampuan Barata benar-benar telah mapan. Sehingga karena itu, maka Ki Tunggul dan kedua orang upahannya yang tersisa itu tidak banyak berbuat. Mereka tidak mampu menguasai arena pertempuran karena Baratalah yang justru seakan-akan mengepung ketiga orang lawannya itu. Barata yang tangkas dan berilmu tinggi itu berloncatan dengan cepat disekitar lingkaran pertempuran, sehingga ketiga orang lawannya menjadi bingung.

Sementara itu, Kasadhapun telah menguasai medan sepenuhnya. Ketika seorang lagi berteriak kesakitan, maka yang lainpun menjadi semakin ragu-ragu.

Ki Tunggulpun rasa-rasanya telah menjadi berputus asa. Apalagi ketika seorang diantara orang upahannya itu telah terlempar pula. Bukan ujung pedang Barata yang mengenainya, tetapi ketika orang itu menusukkan pedangnya dan Barata sempat menangkisnya maka pedang orang itupun telah terangkat. Satu kesempatan terbuka bagi Barata ketika ia melontarkan serangan kaki kebawah lengan di bagian samping dada lawannya itu.

Dengan demikian maka Ki Tunggul tinggal mempunyai seorang kawan lagi, karena serangan kaki Barata itu justru membuat lawannya itu pingsan.

Ki Tunggul semakin menjadi gelisah. Namun justru kegelisahan serta keputus-asaannya, telah membuatnya kehilangan pertimbangan. Nalarnya menjadi buntu dan perasaannya menjadi gelap.

Dengan demikian maka Ki Tunggul itu menjadi seperti orang yang sedang mabuk tuak. Senjatanya terayun-ayun tanpa arah dan perhitungan. Luwuk Ki Tunggul yang panjang dan pada tangkainya terjurai rambut manusia itu, sama sekali tidak mengarah ke sasaran yang mapan.

Untuk beberapa saat Barata justru lebih banyak menghindari serangan-serangan itu. Dengan nada tinggi ia berkata, “Ki Tunggul, kenapa kau menjadi bingung seperti orang yang kehilangan akal? Padahal, bukankah kau orang berilmu tinggi dan mempunyai pengalaman yang luas? “

Ki Tunggul tidak menjawab. Tetapi luwuknya menggapai-gapai dan terayun-ayun dengan garangnya, namun sama sekali tidak mapan. Sementara kawannya telah terseret pula kedalam arus perasaannya dan menjadi bingung dan kehilangan pegangan pula.

Ki Tunggul semakin bingung ketika sejenak kemudian, Kasadha telah melumpuhkan lawan-lawannya. Lawannya yang terakhir ternyata tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Ketika pedangnya terayun deras menebas kearah leher Kasadha, maka dengan segeip kekuatannya Kasadha telah menangkis serangan itu dengan membenturkan pedangnya. Ketika benturan yang keras terjadi, maka pedang lawannya telah terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah daripadanya.

 Namun orang itu ternyata cukup licik. Dengan cepat ia meraih segenggam pasir dan dilontarkan kewajah Kasadha.

Pasir yang terhambur itu telah membuat Kasadha sesaat kehilangan penglihatannya. Matanya menjadi sangat pedih. Namun ia masih sempat melihat bayangan yang kabur dari lawannya yang meloncat menyerangnya dengan kakinya yang terjulur kedadanya.

Dengan gerak naluriah Kasadha memiringkan tubuhnya sekaligus mengayunkan pedangnya.

Justru yang terjadi adalah diluar kehendaknya. Ujung pedang Kasadha itu telah mengoyak perut lawannya. Meskipun kakinya mengenai pundak Kasadha, tetapi ia sempat menjerit kesakitan dan sesaat kemudian jatuh diatas pasir tepian.

Orang itu mengerang kesakitan sementara Kasadha berlari ke aliran air sungai yang tidak begitu besar. Dengan cepat ia membersihkan wajahnya dan pasir di matanya, sehingga meskipun matanya menjadi merah, namun ia sudah dapat melihat keadaan disekitarnya. Mata Kasadha itu terasa masih sangat pedih ketika ia berjalan mendekati lawan-lawannya yang terbaring diatas pasir. Yang lukanya nampak paling parah adalah justru orang yang terakhir, yang dengan licik telah menghamburkan pasir kematanya.

Dalam pada itu, ketika Kasadha kemudian berpaling, Barata telah menyelesaikan lawan-lawannya pula. Empat orang upahan dan pengikut Ki Tunggul itu sudah tidak berdaya. Bahkan ada diantaranya yang jatuh pingsan. Sementara itu luwuk Ki Tunggulpun telah terlempar pula.

Yang masih tinggal adalah Ki Tunggul yang termangu-mangu. Ujung pedang Barata teracu ke arah dadanya, sementara ia sendiri sudah tidak bersenjata.

Kasadha yang juga sudah kehilangan lawannya melangkah mendekatinya pula, sehingga wajah Ki Tunggul menjadi pucat.

“Ki Tunggul,“ berkata Kasadha yang masih menggenggam pedang ditangannya, “jadi kau benar-benar sudah berniat untuk membunuh kami? Bahkan dengan mengupah delapan orang yang kau anggap akan dapat menyelesaikan niatmu itu?”

Wajah Ki Tunggul yang pucat itu menegang. Namun kemudian dengan gagap ia menjawab, “Tidak. Aku sama sekali tidak ingin membunuhmu. Aku hanya ingin menjajagi kemampuanmu.”

Kasadha tertawa. Ketika ia meletakkan daun pedangnya dipundak Ki Tunggul, maka rasa-rasanya tajam pedang itu telah menyentuh lehernya.

“Kau mencoba untuk berbohong. Bukankah dari atas tanggul kau telah meneriakkan perintah itu?“ berkata Kasadha kemudian.

“Aku hanya sekedar menakut-nakutimu. Tetapi orang-orang ini sudah tahu, bahwa kalian tidak akan dibunuh,“ Ki Tunggul menjadi semakin gemetar.

“Kau memang pandai berbohong. Tetapi kau tidak dapat menolong dirimu sendiri dengan kebohonganmu itu. Nah, sekarang kau boleh memilih salah seorang diantara kami. Siapakah yang akan kau jadikan lawan dalam perang tanding sampai mati,“ berkata Kasadha dengan geram, “kau sudah pernah menjajagi kemampuanku. Meskipun sekarang tidak ada sinar bulan, namun aku tidak berkeberatan untuk bertempur melawanmu. Saudaraku ini juga tidak akan berkeberatan jika kau memilihnya sebagai lawan dalam perang tanding itu.”

Namun Ki Tunggul itu menjawab terbata-bata, “Tidak. Aku tidak akan berperang tanding dengan siapa-pun juga.”

“Jadi maksudmu, kau menyerah?“ bertanya Kasadha.

Ki Tunggul memang agak ragu-ragu untuk menjawab. Namun Kasadha itupun berkata, “Jika kau memang tidak ingin menyerah, jangan menyerah. Bukankah kau seorang laki-laki yang berilmu tinggi?”

“Ya, ya,“ suaranya semakin gagap, “aku menyerah.”

“Jika demikian, maka menunduklah. Aku akan memenggal lehermu dengan pedang prajuritku ini. Aku yakin, bahwa sekali tebas, lehermu akan terputus. Aku tidak akan perlu mengulanginya,“ suara Kasadha menjadi berat.

Tetapi tiba-tiba Ki Tunggul, orang yang berpengaruh dipadukuhan Bayat itu telah berjongkok sambil berkata dengan suara gemetar, “Jangan bunuh aku. Aku mohon maaf. Aku benar-benar sudah jera.”

“Cukup begitu? Ternyata kau adalah seorang pendendam. Jika kau masih hidup, maka kau tentu masih akan mendendamku sampai kau berhasil membunuhku. Karena itu, agaknya lebih baik aku membunuhmu lebih dahulu.”

“Jangan. Jangan. Aku mohon ampun. Aku berjanji tujuh turunan tidak akan mengganggumu lagi,“ minta Ki Tunggul memelas.

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih bertanya, “Hanya itu?”

“Maksudmu?“ bertanya Ki Tunggul gagap, “apakah aku harus menyediakan uang? Atau apa? Kuda? Pedati?”

Kasadha menggeleng. Katanya, “Tidak. Tetapi kau harus benar-benar menepati janjimu. Kali ini kau aku maafkan. Tetapi sekali lagi, aku benar-benar akan membunuhmu.”

“Aku berjanji. Aku berjanji. Aku akan memberi ibu dan bibimu apa saja yang mereka butuhkan.”

“Itu tidak perlu. Jika kau ingin memberikan sesuatu, serahkan kepada Ki Demang. Tentu akan berguna bagi Kademanganmu,“ berkata Kasadha.

“Ya. Ya. Aku akan melakukannya,“ jawab Ki Tunggul.

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Kemudian diangkatnya pedangnya yang masih bernoda darah. Katanya, “Aku akan membersihkan pedangku. Mudah-mudahan pedangku tidak akan dinodai dengan darah lagi. Darah siapapun juga. Lebih-lebih darahmu Ki Tunggul,“ geram Kasadha. Lalu, “Sepeninggal kami, uruslah orang-orangmu. Merekapun harus menjadi jera agar lain kali aku tidak membunuh mereka.”

Kasadhapun kemudian memberikan isyarat kepada. Barata untuk meninggalkan Ki Tunggul yang masih gemetar.

Sejenak kemudian maka Kasadha dan Barata telah berada di punggung kudanya untuk melanjutkan perjalanan. Namun pada kesempatan itu, ternyata baik Barata maupun Kasadha telah dapat saling mengetahui tingkat kemampuan mereka setelah mereka berpisah. Keduanya tidak mengerti, kenapa mereka menaruh perhatian terhadap kemampuan masing-masing.

Bahkan dalam perjalanan berikutnya, setiap kali mereka masih membayangkan bagaimana masing-masing mengerahkan ilmu pedangnya untuk melawan empat orang upahan yang akan membunuh mereka.

Namun dalam perjalanan pulang ke Pajang itu, Kasadha masih sempat pula menceriterakan tentang Ki Tunggul yang ternyata mendendam itu.

“Apakah mereka tidak akan melepaskan dendam kepada ibu dan bibimu?“ bertanya Barata.

“Dalam keadaan terpaksa, ibu dan bibi tentu akan mampu melindungi diri mereka sendiri. Namun ibu dan bibi berusaha untuk menghindari sejauh-jauhnya. Karena jika ibu dan bibi bertempur maka tentu akan menarik perhatian orang sehingga hubungan mereka sehari-hari dengan para tetangga tentu akan berubah,“ jawab Kasadha.

“Jadi, seandainya Ki Tunggul itu benar-benar akan bertindak terhadap ibu dan bibimu?“ bertanya Barata.

“Kami sudah melaporkan kepada Ki Jagabaya. Ibu dan bibi ada didalam perlindungannya,“ jawab Kasadha.

Barata mengangguk-angguk.Kasadha memangpernah menceriterakan bahwa mereka telah menghadap Ki Bekel dan Ki Jagabaya.

Demikianlah, maka kedua anak muda itu berkuda semakin cepat. Mereka ingin segera sampai ke barak Kasadha di Pajang. Sementara Barata yang semula berniat kembali ke Tanah Perdikan, agaknya telah menjadi terlalu siang. Karena itu, maka Barata harus bermalam semalam lagi.

Namun Barata mulai menjadi bimbang.

“Apakah aku akan bermalam di barak prajurit itu atau dirumah Ki Rangga Dipayuda?”

Agaknya pertanyaan itu ternyata telah membuatnya ragu-ragu.

Namun ketika Barata dan Kasadha memasuki kota Pajang dan turun ke jalan yang menuju ke barak, maka Barata telah mengambil keputusan meskipun dengan ragu-ragu, untuk bermalam saja di Pajang.

Sebenarnyalah, ketika mereka telah berada di barak, Kasadha minta agar Barata bermalam satu malam lagi di Pajang. Katanya, “Matahari telah turun jauh di Barat. Jika kau kembali ke Tanah Perdikan, kau akan kemalaman di perjalanan.”

Barata mengangguk kecil. Meskipun masih agak ragu namun akhirnya ia menjawab, “Baiklah. Aku akan bermalam semalam lagi.”

Ternyata Barata merasa bahwa keputusan yang diambilnya itu benar. Ketika bersama Kasadha ia menghadap Ki Rangga Dipayuda, maka Ki Rangga itu juga minta agar Barata bermalam saja semalam lagi di barak itu.

“Kau akan kemalaman di jalan,“ berkata Ki Rangga.

Ternyata Ki Rangga itu tidak minta kepadanya, agar ia. singgah dan bermalam saja dirumahnya sambil memberitahukan kepastian hari wisuda itu kepada Jangkung dan keluarganya yang lain. Tetapi Ki Rangga itu justru berkata, “Besok saja jika kau kembali ke Tanah Perdikan, kau dapat singgah sejenak dirumah untuk bertemu dengan Jangkung. Beritahukan, bahwa empat hari lagi aku akan singgah mengambil mereka untuk pergi ke Tanah Perdikan menghadiri wisudamu itu.”

Malam itu Barata bermalam di barak prajurit. Sementara Ki Tumenggung Jayayuda masih belum kembali.

Namun dalam pada itu, Kasadha merasa semakin terhimpit oleh perasaannya yang kurang dimengertinya terhadap Barata. Ia selalu menjadi berdebar-debar jika mendengar Barata akan singgah dirumah Ki Rangga Dipayuda, karena dirumah itu tinggal seorang gadis yang bernama Riris.

Demikianlah, pagi-pagi sekali dihari berikutnya, Barata sudah bersiap-siap untuk berangkat. Ketika Barata membersihkan kudanya, Kasadha bertanya kepadanya, “Apakah kau akan berangkat pagi-pagi sekali?”

“Ya,“ jawab Barata, “aku masih harus mempersiapkan beberapa kelengkapan untuk wisuda. Harinya semakin aus, sehingga waktunya benar-benar tinggal sepekan.”

“Tetapi sebaiknya kau menunggu nasi didapur masak. Hari ini bukan kendo udang. Bukan pula dendeng ragi. Tetapi aku lihat beberapa ekor kambing telah dipotong.”

Barata tertawa. Katanya, “Gigiku sedang sakit. Aku tidak dapat makan daging.”

Kasadha tidak dapat menahannya. Pagi-pagi sebelum matahari terbit Barata telah siap untuk berangkat.

Ki Rangga Dipayuda sekali lagi berpesan, agar ia singgah dirumahnya dan memberitahukan kepada Jangkung, agar keluarganya bersiap-siap empat hari lagi.

Demikianlah, maka Baratapun telah meninggalkan barak itu setelah ia minta diri pula kepada Ki Rangga Prangwiryawan. Kasadha yang mengantarnya sampai kepintu gerbang, memperhatikannya sampai hilang di tikungan. Diluar sadarnya ia berkata kepada diri sendiri, “Ia telah mendapat kesempatan lagi untuk singgah dirumah Riris.”

Namun seperti biasanya, setiap kali Kasadha berusaha untuk mengusir perasaannya itu. Bahkan ia berusaha untuk menyalahkan diri sendiri, “Kenapa jiwaku begini kerdil? Aku tidak pernah merasa iri hati ketika aku harus melepaskan seluruhnya hakku atas Tanah Perdikan Sembojan. Kenapa tiba-tiba timbul perasaan dengki seperti ini.”

Sementara itu Barata telah memacu kudanya. Memang jalan-jalan masih agak sepi. Baru beberapa orang yang akan berjualan ke pasar nampak lewat di jalan-jalan kota. Satu dua pedati membawa hasil bumi merayap perlahan-lahan.

Namun Kasadha merasa bahwa ia harus berpacu agak cepat. Apalagi ia masih harus singgah dirumah Ki Rangga Dipayuda.

Tetapi keharusannya untuk singgah dirumah Ki Rangga itu bagi Barata bukan merupakan beban yang memberatinya. Namun ia justru merasa mendapat kesempatan untuk melakukannya, meskipun ia agak kecewa bahwa ia tidak bermalam dirumah Ki Rangga Dipayuda itu saja daripada dibaraknya.

Demikianlah, karena jarak rumah Ki Rangga memang tidak terlalu jauh dari Pajang, maka dengan memacu kudanya lebih cepat, maka Baratapun segera telah sampai kerumah yang dituju.

Kedatangan Barata yang masih terhitung pagi itu memang mengejutkan. Sumbaga yang sedang membersihkan halaman depan rumah itu memang terkejut. Namun ia sudah merasa bahwa dirinya tidak lebih dari seorang yang menumpang hidup dirumah itu, sehingga ia lidak dapat berbuat lebih dari itu, meskipun ia masih terhitung kadang sendiri.

Karena itu, maka setelah mempersilahkan Barata duduk dipendapa maka Sumbagapun segera memberitahukan kedatangan Barata kepada Nyi Rangga Dipayuda.

Nyi Ranggapun dengan tergesa-gesa telah pergi ke pendapa setelah disuruhnya Sumbaga memanggil Jangkung yang sedang berada dikebun belakang.

Beberapa saat kemudian, maka Nyi Rangga, Jangkung dan Ririspun telah menemui Barata di pendapa. Mereka memang sudah menduga bahwa kedatangan Barata itu ada hubungannya dengan rencana wisuda yang akan segera diselenggarakan di Tanah Perdikan.

Baratapun agaknya sulit untuk menahan diri berlama-lama. Karena itu, maka iapun segera menyampaikan kepentingannya singgah dirumah itu.

“Aku telah menemui Ki Rangga di Pajang,“ berkata Barata,“ Ki Rangga berpesan agar aku singgah memberitahukan kepada keluarga disini untuk bersiap-siap. Ampat hari lagi Ki Rangga akan berangkat ke Tanah Perdikan bersama dengan seluruh keluarga disini.”

“Baiklah ngger,“ sahut Nyi Rangga, “kami akan bersiap-siap. Demikian Ki Rangga datang, kami akan dapat segera berangkat.”

Namun demikian Barata lelah ditahannya agar tidak tergesa:gesa meninggalkan rumah itu. Nyi Rangga dan Riris segera akan menyiapkan hidangan baginya.

Barata memang menjadi agak bimbang. Ia ingin segera sampai kerumah untuk mempersiapkan segala sesuatu, namun rasa-rasanya ia masih ingin juga tinggal dirumah Riris untuk beberapa lama.

Namun Nyi Rangga telah benar-benar menahannya untuk beberapa saat sambil duduk berbincang dengan Jangkung.

“Air telah hampir mendidih. Kebetulan ketika kau datang, aku sudah mulai menjerang air,“ berkata Nyi Rangga.

Barata memang tidak mempunyai pilihan. Iapun untuk beberapa saat menunggu hidangan disuguhkan.

Ternyata sambil minum minuman hangat ia masih sempat berbincang dengan Riris untuk beberapa saat. Namun Barata memang tidak dapat duduk terlalu lama. Bagaimanapun juga keluarga dirumah tentu sudah sangat menunggunya.

Demikianlah, setelah minum dan makan beberapa potong makanan, maka Baratapun segera minta diri. Ia harus segera sampai ke Tanah Perdikan yang telah bersiap-siap untuk menyelenggarakan wisuda.

Nyi Rangga, Jangkung dan Riris tidak menahannya lagi. Mereka mengerti bahwa Barata sudah digelisahkan oleh waktuyang semakin sempit. Karena itu, maka merekapun segera melepaskan Barata meninggalkan rumah itu.

Sejenak kemudian, maka Baratapun telah berpacu menyusuri jalan persawahan. Jarak yang ditempuhnya memang masih jauh. Namun kudanya yang tegar telah berlari cukup kencang. Bahkan kadang-kadang Barata harus memperlambat derap kaki kudanya karena kadang-kadang jalan tidak begitu rata. Bekas roda pedati membuat jalan-jalan bulak itu ditelusuri oleh jalur-jalur yang semakin lama semakin dalam.

Kedatangannya di Tanah Perdikan disore hari, disambut oleh keluarganya dengan tarikan nafas lega. Ternyata seperti yang diduganya, ibu, nenek dan kakek-kakeknya telah menjadi gelisah. Selain tentang perjalanan Barata juga tentang hari wisuda yang menjadi semakin dekat.

Demikian Barata sampai dirumah, maka iapun segera melaporkan hasil perjalanannya. Terutama tentang pembicaraannya dengan Ki Rangga Kalokapraja.

“Semua akan berjalan sesuai dengan rencana,“ berkata Barata, “tidak ada perubahan apapun juga.”

“Apakah Ki Rangga akan datang sehari sebelum wisuda sebagaimana direncanakan?“ bertanya ibunya.

“Ya. Ki Rangga akan datang sehari sebelumnya,“ jawab Barata, “tetapi tidak banyak lagi yang harus dikerjakan, kecuali kelengkapan wisuda itu sendiri.”

“Apa saja yang harus kita sediakan sebagai kelengkapan wisuda itu?“ bertanya ibunya.

“Pendapa rumah kita. Hanya itu. Yang lain, apabila harus disediakan adalah kelengkapan-kelengkapan kecil yang tidak banyak berarti,“ jawab Barata, “Namun jelasnya nanti setelah Ki Rangga Kalokapraja datang.”

Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian nampaknya tidak akan terlalu banyak memerlukan persiapan. Namun agaknya justru penginapan mereka yang akan hadir itulah yang harus kita siapkan dengan baik.”

Baratapun telah memberitahukan kepada ibunya, bahwa tamu yang terpenting selain pejabat dari Pajang yang akan mewakili Kangjeng Adipati Pajang sgrta beberapa pengiringnya, Barata juga mengundang Ki Rangga Dipayuda yang akan datang sekeluarga. Merekapun memerlukan tempat untuk menginap. Demikian pula Puguh akan datang bersama ibu dan bibinya.

“Siapa saja yang kau maksud dengan keluarga Ki Dipayuda itu, Risang? Isterinya atau siapa?“ bertanya ibunya.

“Ya ibu. Ki Rangga Dipayuda akan datang bersama Nyi Rangga, anaknya laki-laki dan anak gadisnya,“ jawab Risang.

“O,“ ibunya mengangguk-angguk, “jadi mereka akan datang berempat?”

“Ya ibu,“ jawab Risang agak ragu.

Ibunya tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi yang menjadi perhatiannya adalah, bahwa keluarga Ki Rangga Dipayuda itu akan datang bersama seorang anak gadisnya.

“Apakah gadis itu yang telah menarik perhatian Risang sehingga ia lebih senang pergi ke Pajang seorang diri?“ pertanyaan itu memang timbul dihatinya meskipun tidak diucapkannya.

Ternyata bukan hanya ibu Risang saja yang tertarik kepada akan kehadiran seorang gadis pada hari wisudanya itu. Tetapi juga nenek dan kedua kakeknya. Apalagi Nyai Soka yang telah agak lama memperhatikan kelakuan Risang itu.

Tetapi seperti ibu Risang, merekapun tidak menanyakannya.

Demikianlah, maka kesibukan di Tanah Perdikan Sembojan semakin nampak. Beberapa buah rumah telah diperbaiki dan disiapkan untuk menginap para tamu. Rumah disekitar rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang akan dipinjam untuk dipergunakan sebagai penginapan. Sebuah bangunan khusus telah didirikan di belakang dapur rumah Kepala Tanah Perdikan, karena dapur yang telah ada ternyata terlampau kecil. Selain dapur, telah disiapkan pula sebuah kandang kuda bagi kuda-kuda yang bakal dipakai oleh para tamu. Kandang yang justru cukup panjang.

Sementara itu, di Pajang, Kasadha telah bersiap-siap pula untuk menjemput ibunya. Ia telah minta ijin lagi kepada Ki Rangga Dipayuda dan Ki Rangga Prangwiryawan untuk meninggalkan barak beberapa hari. Namun dalam pada itu, Ki Rangga Dipayudapun berkata, “Aku-pun akan minta ijin pula untuk barang dua hari, karena aku juga akan pergi ke Tanah Perdikan Sembojan.”

“Tetapi aku harus menjemput ibuku Ki Rangga,“ jawab Kasadha dengan ragu.

“Bagaimana jika kita pergi bersama-sama? “ tiba-tiba Ki Rangga bertanya.

Wajah Kasadha berbinar sejenak. Namun kemudian segera menjadi muram kembali? Sekilas ia melihat kesempatan untuk menempuh perjalanan bersama Riris. Namun ketika ia sadar akan keadaan ibunya, maka agaknya sulit baginya untuk pergi bersama Ki Rangga. Ia tidak akan mampu mencegah jika ibunya yang penuh dengan perasaan bersalah itu, tiba-tiba menumpahkan perasaannya kepada Nyi Rangga Dipayuda. Meskipun mungkin hal itu dapat terjadi di Tanah Perdikan, namun Kasadha berharap bahwa ia dan ibunya akan datang lebih dahulu dari para tamu yang lain. Apapun yang akan ditumpahkan oleh ibunya karena perasaannya yang penuh sesak dan berjejalan didalam hatinya, diharapkan telah dilakukannya sebelum ada orang lain di Tanah Perdikan itu.

Karena itu, maka Kasadha yang ragu-ragu itu akhirnya berkata, “Maaf Ki Rangga. Ibuku adalah seorang perempuan yang tidak terbiasa bergaul. Ibuku hidup sebagai petani di padukuhan terpencil. Karena itu, maka agak sulit bagiku untuk mengajak ibu pergi bersama-sama dengan orang lain, apalagi bersama keluarga.

Ki Rangga tersenyum. Katanya, “Sebenarnya tidak ada jarak diantara kita. Petani yang bagaimanapun juga terasingnya, namun bagiku, defajad dan martabat kita sebagai mahluk Yang Maha Agung tidak ada bedanya. Hanya secara kebetulan tugas kita berlainan.”

Namun Kasadha berkata pula, “Aku mohon maaf Ki Rangga. Ibuku tentu merasa rendah diri sehingga sulit baginya untuk menyesuaikan diri. Bahkan akupun mencemaskannya, apakah ia dapat menyesuaikan dirinya.di Tanah Perdikan Sembojan. Namun setidak-tidaknya ibu akan dapat berada di dapur membantu menunggui perapian.”

“Ah,“ desis Ki Rangga, “kau selalu merendahkan diri. Sikap itu dapat dibaca dalam sikapmu sehari-hari disini. Juga saat-saat kau membuat perbandingan ilmu. Sebagaimana kau bertanding melawan K i Rangga Prangwiryawan. Jika Ki Rangga Prangwiryawan tidak dengan jantan mengakui kekalahannya, maka kaupun tidak akan menyatakan dirimu menang.”

Kasadha tersenyum kecil sambil menjawab, “tentu tidak Ki Rangga. Aku memang tidak menang.”

Ki Ranggalah yang tertawa. Katanya, “Jika kau berkata bahwa kau memang rendah hati, itu pertanda bahwa kau sama sekali tidak rendah hati. Tetapi kau tidak berkata demikian.”

Kasadha masih tersenyum. Tetapi ia berdesah, “Ah, Ki Rangga selalu memuji.”

“Tetapi baiklah,“ berkata Ki Rangga, “kau dapat berangkat lebih dahulu karena kau akan menjemput ibumu. Tetapi tidak mustahil jika kita akan bertemu di perjalanan.”

Kasadha mengerutkan dahinya. Namun katanya kemudian, “Memang mungkin Ki Rangga.”

Demikianlah, pada saat yang ditentukan, maka Kasadhapun telah minta diri. Kasadha memang sengaja membawa seekor kuda. Jika nanti ibu dan bibinya mengajaknya berjalan kaki saja, maka kudanya akan menjadi kuda beban. Mungkin ibu dan bibinya akan membawa sebungkus keperluan mereka, justru karena seorang perempuan yang bepergian tentu akan membawa bekal apapun juga. Mungkin pakaian atau barang-barang lain.

Ketika Kasadha sampai kerumah ibu dan bibinya, maka ternyata ibu dan bibinya memang sudah siap. Mereka memang membawa sebungkus bekal berisi pakaian, kapur sirih dan keperluan-keperluan lainnya.

***

Seorang pengikut Ki Tunggul ternyata melihat kehadiran Kasadha seorang diri. Namun ketika hal itu disam paikan kepada Ki Tunggul, maka Ki Tunggul itupun berkata, “Jika kau mau mati, cegatlah besok di penyeberangan sungai itu.”

“Tetapi orang itu sendiri,“ sahut pengikutnya.

“Yang nampak ia sendiri,“ jawab Ki Tunggul, “tetapi siapa tahu anak itu sengaja menjebakku.”

Pengikutnya tidak menjawab lagi. Tetapi sebenarnyalah bahwa iapun benar-benar telah jera untuk berhadapan dengan prajurit muda itu. Apalagi setelah Ki Tunggul sendiri merasa berkeberatan.

Ternyata Ki Tunggul benar-benar sudah menjadi jera. Ia telah mengesampingkan mimpinya untuk mendapatkan seorang isteri dan sekaligus seorang budak yang cekatan, terampil, mampu bekerja keras dan cantik, meskipun tidak muda lagi.

Betapapun dendam membara dihatinya, namun kenyataan-kenyataan pahit yang telah terjadi tidak akan dapat dilupakannya. Bahkan nampaknya prajurit muda itu akan benar-benar membunuhnya jika ia berani mengganggunya sekali lagi.

Dalam pada itu, Kasadha, ibu dan bibinya memang sudah siap untuk berangkat. Mereka berniat untuk berangkat lewat tengah malam. Sebenarnyalah bagi ibu dan bibi Kasadha, perjalanan itu bukan merupakan persoalan.

Buku 47

KEDUA perempuan itu adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Mereka memiliki ketahanan tubuh yang tinggi karena mereka sudah terbiasa melakukan latihan-latihan yang berat. Meskipun pada saat terakhir keduanya sudah tidak sering lagi melakukan latihan, tetapi mereka masih harus bekerja keras di sawah dan dirumah, sehingga seakan-akan ketahanan tubuh mereka tetap terpelihara.

Seperti yang direncanakan, maka lewat tengah malam keduanya meninggalkan pondok tempat tinggal kedua orang perempuan itu. Namun menjelang malam, mereka sudah menitipkan rumah itu kepada tetangga terdekat.

“Besok kami berdua akan pergi untuk beberapa hari,“ berkata ibu Kasadha kepada tetangganya, “tolong awasi rumahku. Tolong beri makan ayamku. Aku masih mempunyai persediaan jagung untuk memberi makan ayam-ayam itu.”

Ternyata tetangganya adalah seorang yang baik, sehingga dengan senang hati tetangganya itu menyatakan kesediaannya.

“Biar anak-anak menyapu halaman selama kalian pergi,“ berkata tetangganya itu. “Tetapi sudah tentu mereka akan memanjat pohon jambu air itu.”

“Silahkan. Jambu itu tidak akan habis diambil anak-anak,“ jawab ibu Kasadha.

Dengan demikian maka, malam itu keduanya dengan tenang meninggalkan rumah mereka yang memang tidak berisi barang-barang berharga. Beberapa lembar pakaian yang terbaik telah mereka bawa. Namun demikian ada juga yang disembunyikan oleh ibu dan bibi Kasadha. Senjata-senjata mereka. Keduanya sepakat untuk tidak membawa senjata apapun, karena senjata jika dilihat oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan akan dapat menimbulkan salah paham.

Ketika ayam berkokok untuk kedua kalinya, ketiga orang itu telah berada diluar padukuhan. Kasadha yang berjalan dipaling belakang menuntun kudanya yang membawa beban. Tetapi bukan beban yang berat.

Kasadha memang ingin mereka mendahului perjalanan Ki Rangga Dipayuda. Bahkan Kasadha berniat untuk mengambil jalan lain. Ia akan membawa ibu dan bibinya menghindari padukuhan tempat tinggal Ki Rangga Dipayuda.

Perjalanan ke Tanah Perdikan memang perjalanan yang panjang. Namun ibu dan bibi Kasadha sudah membawa bekal lengkap diperjalanan. Mereka membawa nasi beberapa bungkus lengkap dengan lauknya, karena sebelum mereka berangkat, seekor ayam sudah disembelihnya.

Namun Kasadha tidak mengalami kesulitan di perjalanan. Kedua orang perempuan itu sama sekali tidak menjadi beban baginya, karena mereka memiliki banyak kelebihan dari orang kebanyakan.

Namun perjalanan di malam hari tidak selalu menguntungkan. Matahari memang tidak memancar dilangit sehingga kulit mereka tidak terbakar oleh sinarnya yang terik. Meskipun mereka sadar, bahwa perjalanan mereka yang panjang itu tentu akan melewati juga masa-masa matahari menyengat kulit mereka.

Tetapi di malam hari, udara terasa dingin. Bahkan titik-titik embun terasa membasahi kening.

Namun yang ternyata sangat mengganggu perjalanan mereka justru saat mereka berjalan di bulak panjang, setelah menjelang fajar. Meskipun langit masih kelam, ketiga orang itu sama sekali tidak terhambat oleh kegelapan sebagaimana mereka berjalan keluar dari halaman rumah mereka dan menelusuri jalan padukuhan. Justru ketika mereka berjalan di jalan bulak, rasa-rasanya malam menjadi lebih terang. Bintang-bintang dilangit nampak berhamburan dari kaki langit sampai kekaki langit yang lain.

Tetapi ternyata masih juga ada orang-orang yang ingin mendapatkan harta benda dengan mudah dan cepat. Meskipun cara yang ditempuh tidak sepantasnya. Ampat orang yang berwajah garang, tiba-tiba saja meloncat dari balik gerumbul-gerumbul perdu di pinggir jalan. Dengan serta merta keempat orang itu berdiri tegak dengan bertolak pinggang.

Dengan cepat ibu dan bibi Kasadha yang berjalan dipaling depan segera tanggap atas apa yang mereka hadapi. Ampat orang itu tentu sekelompok penyamun yang sering mengganggu orang-orang yang akan pergi ke pasar dengan membawa barang-barang dagangan mereka. Para pedagang yang berhasil kadang-kadang tidak saja membawa barang dagangan, tetapi mereka juga membawa dan mengenakan perhiasan yang mahal.

Karena itu, sebelum orang-orang itu menghentikan langkah mereka, ibu dan bibi Kasadha sudah berhenti beberapa langkah dari mereka.

Kasadhalah yang kemudian melangkah maju setelah menyerahkan kendali kudanya kepada bibinya.

“Kuda ini sudah jinak bibi,“ desis Kasadha meskipun ia tahu bahwa sebelumnya bibinya sebagaimana ibunya sering berpacu diatas punggung kuda.

Keempat orang itu melangkah mendekat. Seorang diantara mereka berada dipaling depan. Dengan suara yang mengguruh orang itu berkata, “Ki Sanak. Aku ingin berbicara dengan kalian.”

“Aku sudah mengira melihat Ki Sanak langsung berdiri ditengah jalan. Nah, jika kau ingin berbicara, katakan.”

Wajah orang itu berkerut. Ia memang agak heran melihat sikap Kasadha yang tetap tenang. Demikian pula kedua orang perempuan itu sama sekali tidak berkesan ketakutan.

“Kalian akan pergi kemana Ki Sanak?“ bertanya orang yang berdiri dipaling depan itu.

“Kami akan kepasar. Kami membawa beberapa jenis barang yang akan kami jual ke pasar. Diantaranya adalah wesi aji,“ jawab Kasadha tanpa ragu-ragu.

“Apa yang kau maksud dengan wesi aji? Keris, patrem, luwuk atau wesi kuning?“ bertanya orang itu.

“Apakah kau akan membelinya?“ bertanya Kasadha tiba-tiba.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berpaling kepada ketiga orang kawannya sambil berkata, “Nampaknya anak ini anak yang sombong dan keras kepala. Ia mencoba untuk membuat kita tersinggung.”

Namun Kasadha justru menyahut, “Bukankah lebih baik aku bertanya demikian daripada aku bertanya, apakah kalian akan menyamun atau merampok?”

“Setan kau,“ geram orang itu, “aku memang akan merampok. Aku tidak perlu berpura-pura membeli atau apapun juga. Serahkan wesi aji itu kepadaku bersama kuda itu. Aku tidak akan mengganggu dan menyakiti kalian.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Apakah kau sudah benar-benar tidak dapat mencari nafkah dengan cara yang lebih baik dari cara yang kau pilih sekarang ini?”

“Tutup mulutmu,“ orang itu membentak, “aku tidak mau berbicara apapun juga. Berikan barang-barang itu sekarang. Sebelum aku melakukan kekerasan.”

“Ki Sanak. Kedua orang perempuan ini telah mengupah aku untuk mengantar mereka ke pasar. Sudah tentu melindungi mereka jika terjadi perampokan seperti sekarang ini. Karena itu, maka aku tidak akan membiarkan kau mengambil selembar rambutnya sekalipun. Nah, terserah kepada kalian, apakah kalian ingin meneruskan niat kalian, atau kita akan berkelahi.”

Wajah orang itu menegang. Bahkan seorang kawannya yang tidak dapat menahan diri menggeram, “Serahkan anak itu kepadaku.”

“Nah, kau dengar anak iblis? Sebaiknya kami tidak usah menyakitimu, apalagi perempuan itu. Karena itu, serahkan saja barang-barangmu dan kudamu itu kepadaku,“ berkata orang yang berdiri dipaling depan itu.

“Jika kalian berhasil merampas barang-barang kedua perempuan itu artinya sama saja dengan mematikan penghasilanku. Aku adalah orang upahan yang mendapat penghasilan karena tugas seperti ini. Kalau kau merampas wesi aji itu berarti kau merampas sesuap nasi dari mulutku. Karena itu, biarlah aku mempertahankannya. Aku yakin bahwa mencari makan dengan caraku jauh lebih baik dari cara yang kau tempuh.”

Para penyamun itu tidak sabar lagi. Merekapun segera berpencar dan langsung menyiapkan senjata mereka masing-masing.

“Seandainya kau mampu bertahan terhadap dua orang diantara kami, namun dua orang yang lain akan dapat membunuh kedua orang perempuan itu,“ berkata salah seorang dari para perampok itu.

Namun tiba-tiba Kasadha bertanya, “He, apakah kau orang upahan seperti aku, tetapi untuk membunuh orang? Apakah kau orang upahan Ki Tunggul?”

“Persetan dengan celotehmu. Aku tidak mengenal nama itu,“ jawab pemimpin mereka.

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia berpaling kepada bibi dan ibunya. Katanya, “Mereka orang lain. Mereka bukan orang-orang padukuhan kita.”

“Maksudmu?“ bertanya ibunya.

“Seperti yang dikatakannya, diantara mereka ada yang akan berbuat licik dengan menyerang perempuan. Tetapi mereka tidak akan mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari meskipun seandainya kita melakukan sedikit kelainan untuk mempertahankan diri,“ jawab Kasadha.

Ibu dan bibinyapun tanggap akan maksud anak muda itu. Seandainya benar ada diantara para penyamun itu menyerang ibu dan bibinya itu, maka hendaknya mereka melindungi diri mereka masing-masing.

Sementara itu, keempat orang yang berniat untuk merampok itu mulai bergerak. Mereka telah mengacukan senjata mereka, sementara Kasadhapun telah menarik pedangnya pula.

“Kami tidak mempunyai banyak waktu. Langit menjadi semakin merah. Sebelum jalan ini menjadi ramai, maka kalian harus kami habisi jika kalian berkeras untuk tidak menyerahkan barang-barang kalian,“ geram pemimpin perampok itu.

Kasadha tidak sempat menjawab. Orang itu segera meloncat menyerangnya.

Namun Kasadha telah bersiap. Ketika serangan itu datang, maka iapun segera berloncatan menghindar.

Tetapi para perampok yang lainpun telah menyerangnya pula. Berturut-turut empat ujung senjata terjulur ke arahnya. Namun Kasadha cukup tangkas untuk menghindar dengan loncatan-loncatan panjang. Bahkan sambil menangkis, putaran pedang Kasadha justru menggeliat menyambar lawannya.

Beberapa saat lamanya Kasadha bertempur seorang diri melawan keempat orang penyamun itu. Meskipun beberapa kali Kasadha harus berloncatan mengambil jarak, namun keempat orang itu tidak segera dapat menundukkannya, sehingga pemimpin perampok itu menjadi tidak sabar. Sementara itu langitpun menjadi semakin merah oleh bayangan fajar.

Karena itu, maka pemimpin perampok itupun segera berteriak, “Letakkan senjatamu, atau kedua orang perempuan itu aku bantai dihadapan matamu. Jika mereka terbunuh disini, siapakah yang akan mengupahmu, he?”

Tetapi Kasadha justru tertawa. Katanya, “Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Namun jika kalian berani mengganggu kedua orang perempuan itu, maka kalian semuanya akan aku tumpas.”

Pemimpin perampok itu memang menjadi heran. Nampaknya orang yang menyatakan diri sebagai orang upahan itu tidak merasa cemas sama sekali meskipun kedua orang perempuan itu diancamnya untuk dibunuh.

Namun para perampok itu benar-benar telah kehilangan waktu. Langit yang merah itupun membuat mereka tidak lagi dapat berpikir panjang.

Karena itulah, maka pemimpin perampok itu telah meneriakkan aba-aba. Dua orang diantara mereka akan bertempur melawan anak muda yang mengaku orang upahan itu sedangkan dua orang yang lain akan merampok barang-barang yang dibawa dipunggung kuda itu. Bahkan jika perlu dengan kekerasan terhadap kedua orang perempuan itu.

Demikianlah sejenak kemudian, maka dua orang diantara para penyamun itu telah meninggalkan Kasadha. Mereka bergerak, seorang mendekati ibu dan bibi Kasadha, sedangkan yang lain menuju langsung kearah kuda Kasadha yang kendalinya masih dipegangi oleh bibinya.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat menjerat leher kalian sendiri,“ ancam salah seorang dari kedua orang penyamun itu.

Namun penyamun itu justru menjadi heran, ketika bibi Kasadha itu berkata dengan tenang, “Tunggu sebentar Ki Sanak. Aku akan menambatkan kuda ini pada batang perdu dipinggir jalan itu. Barangkali itu lebih baik daripada kuda ini berlari menjauh.”

Kedua perampok yang keheranan melihat sikap perempuan itu justru tercenung untuk beberapa saat. Baru kemudian setelah kuda itu tertambat, maka keduanya mulai melangkah mendekat. Seorang diantara mereka mendekati kuda yang tertambat itu.

Tetapi kedua perampok itu menjadi heran. Seorang diantara perempuan itu justru langsung menghalangi perampok yang mendekati kuda itu sambil berkata, “Jangan singgung kuda itu Ki Sanak. Kuda itu membantu kami membawa barang-barang kami.”

Sebelum para perampok itu menyadari benar apa yang dilihatnya maka perempuan yang seorang lagi telah berkata pula, “Sebaiknya kalian mengurungkan niat kalian. Tidak ada gunanya kalian mencoba merampok kami, karena hanya akan mencelakai kalian sendiri saja.”

Para perampok itu menjadi semakin heran. Sementara itu Kasadha sudah tidak lagi berloncatan mengambil jarak sebagaimana ketika ia bertempur melawan empat orang sekaligus. Baginya dua orang perampok itu tidak terlalu menyulitkannya sebagaimana mereka berempat.

Namun ketika warna merah dilangit semakin jelas, maka para perampok itupun menjadi semakin gelisah. Perampok yang dihalangi oleh bibi Kasadda itupun berkata geram, “Apakah kau sudah gila? Atau kau memang sedang membunuh diri?”

“Tidak Ki Sanak,“ jawab bibi Kasadha, “tetapi aku ingin mempertahankan milikku jika kau memaksa.”

“Apakah kau benar-benar sudah gila? “ penyamun itu hampir berteriak. Namun diluar sadarnya, pedangnya telah teracu kearah dada bibi Kasadha itu.

Namun bibi Kasadha justru menyingsingkan kainnya sambil berkata, “Sebenarnya aku tidak siap melawanmu dalam pakaian ini. Tetapi apaboleh buat.”

“Gila kau. Jadi kau akan melawan aku?”

“Ya, kenapa? Apakah kau heran? Bukankah wajar jika aku mempertahankan milikku,“ jawab bibi Kasadha.

Perampok itu memang tidak sabar lagi. Ia benar-benar merasa terhina. Karena itu, maka senjatanyapun mulai digerakkannya untuk mengancam perempuan yang mencoba menghalanginya itu.

Namun perempuan itu sama sekali tidak merasa cemas melihat ujung senjata itu. Bahkan ketika ujung senjata itu mulai bergerak maka perempuan itupun mulai bergeser.

Tetapi yang sangat mengejutkan adalah perempuan yang seorang lagi. Ibu Kasadha. Selagi perampok yang mengancamnya memperhatikan gerak perempuan yang seorang lagi, maka seakan-akan terjadi didalam mimpinya, perempuan itu begitu saja telah berhasil merampas senjatanya. Perampok itu tidak tahu bagaimana terjadinya. Ia hanya merasa angin bergeser menyentuh kulitnya. Dan tiba-tiba senjatanya telah terlepas.

Perempuan itu tiba-tiba tertawa. Katanya, “Maaf, aku memang ingin meminjam senjatamu sebentar.”

Perampok itu masih kebingungan sehingga justru berdiri membeku. Sementara itu ibu Kasadha itu berkata kepada adik sepupunya itu, “Marilah. Kau tentu memerlukannya.”

Yang terjadi memang terlalu cepat untuk diikuti. Senjata itu telah meloncat dari tangan perempuan yang merampasnya ketangan perempuan yang seorang lagi, sehingga dengan demikian maka bibi Kasadha itu menghadapi lawannya dengan bersenjata pula sebagaimana lawannya. Sementara itu, perampok yang kehilangan senjatanya itu harus berhadapan dengan perempuan yang telah merampas senjatanya tanpa diketahui bagaimana terjadi itu.

Namun terasa tengkuk perampok itu mulai meremang. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah aku berhadapan dengan sosok-sosok peri dan gendruwo?”

Sementara itu, kedua kawannya masih bertempur melawan anak muda yang mengaku orang upahan itu. Kedua orang kawannya itupun nampaknya tidak segera dapat menguasai anak muda itu, sementara kawannya yang berhadapan dengan perempuan yang kemudian telah bersenjata itu, mulai bergeser surut ketika bibi Kasadha mengacukan senjata rampasannya itu.

Namun perampok yang masih bersenjata itu memang tidak segera menyerah. Ia mencoba untuk menggerakkan senjatanya dan menyerang perempuan itu. Tetapi ternyata bahwa perempuan itu dengan tangkas telah menangkis serangan-serangannya.

Namun demikian, kain panjang bibi Kasadha itu memang agak mengganggu sehingga langkah kakinyapun tidak dapat leluasa sebagaimana ia mengenakan pakaian khususnya.

Meskipun demikian namun bibi Kasadha itu telah mampu menunjukkan ilmu pedang yang cepat dan mendebarkan.

Dalam pada itu, ibu Kasadha yang berhadapan dengan perampok yang sudah tidak bersenjata lagi itupun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan kau? Apakah kau juga masih akan menyerangku atau kau mempunyai rencana yang lain?”

Perampok itu memang termangu-mangu sejenak. Namun ternyata bahwa iapun masih berpegang kepada harga dirinya. Dengan lantang iapun berkata, “Meskipun kau iblis betina sekalipun, aku akan memaksamu untuk menyerahkan barang-barangmu.”

“Kau tidak akan mampu melakukannya,“ berkata ibu Kasadha, “seperti dikatakan oleh anak muda itu, bahwa kami membawa wesi aji dan benda-benda bertuah lainnya. Karena itu, maka pengaruhnya akan dapat menjeratmu dan bahkan mencekik lehermu.”

“Persetan dengan igauanmu itu,“ geram perampok itu. Sementara itu, iapun telah bersiap untuk menyerang ibu Kasadha yang juga tidak bersenjata.

“Aku sudah memperingatkanmu,“ desis ibu Kasadha.

Namun perampok itu ingin meyakinkannya. Perempuan itu nampak sudah merambat ke usia tuanya. Ujudnyapun tidak meyakinkan sama sekali.

Apalagi ketiga orang kawannya yang lain masih saja bertempur dengan sengitnya.

Karena itu, maka perampok yang sudah tidak bersenjata lagi itupun telah bergeser selangkah menyamping. Iapun telah bersiap untuk menyerang Warsi.

Warsi menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah tidak tertarik lagi untuk berkelahi karena alasan apapun. Tetapi ia sadar, jika Kasadha sendiri harus melawan keempat orang penyamun itu, ia memang akan mengalami kesulitan. Bagaimanapun juga keempat orang penyamun itu adalah orang-orang yang memiliki pengalaman yang luas didunia kekerasan.

Karena itu, maka mau tidak mau ia harus memperingan tugas Kasadha itu.

Sekilas Warsi sempat melihat bagaimana Kasadha bertempur melawan dua orang perampok yang keras dan kasar. Namun Kasadha masih selalu dapat mengimbangi mereka. Bahkan ketika Kasadha semakin meningkatkan kemampuannya, maka kedua orang lawannya itupun mulai mengalami kesulitan.

Sementara itu bibi Kasadha sama sekali tidak mengalami kesulitan apapun menghadapi lawannya. Bahkan beberapa kali senjatanya telah mulai menyentuh tubuh penyamun itu, sehingga sesekali penyamun itu berdesah menahan pedih, tetapi juga menggeram marah. Darah yang menitik dari lukanya, telah membuatnya liar.

Tetapi orang itu memang tidak mampu berbuat banyak. Setiap kali serangannya tidak berhasil menyentuh tubuh perempuan itu. Bahkan jika terjadi benturan senjata, maka terasa tangannya menjadi pedih.

Namun dalam pada itu, maka penyamun yang berhadapan dengan Warsipun telah mulai menyerangnya pula. Kedua tangannya terjulur mengarah ke dada selagi ia meloncat mendekat.

Tetapi ibu Kasadha itu tidak mau berkelahi berkepanjangan. Permainan yang sudah tidak disukainya lagi. Bahkan ada perasaan tidak pantas lagi baginya untuk melakukan kekerasan.

“Mudah-mudahan benar orang-orang ini bukan orang upahan Ki Tunggul yang akan dapat menyebarkan ceritera ini di padukuhan,“ berkata Warsi didalam hatinya.

Karena itulah, maka ia telah berniat untuk segera menghentikan perkelahian itu.

Demikianlah, ketika lawannya itu menyerang kearah dadanya, maka seperti kilat tangan Warsi bergerak menangkap pergelangan tangan orang itu. Satu putaran yang kuat telah memilin tangan orang itu, sehingga penyamun itu terpekik dan tubuhnyapun terputar membelakangi ibu Kasadha, namun tanpa dapat melepaskan tangannya yang terpilin.

“Aku dapat mematahkan tanganmu,“ berkata Ibu Kasadha itu.

Orang itu menyeringai menahan sakit. Tetapi ia merasa malu untuk menyatakan kesakitannya. Sehingga untuk beberapa saat ia mencoba mengerahkan daya tahannya.

“Apakah kau menyerah?“ bertanya ibu Kasadha itu.

Orang itu tidak menjawab. Bahkan ia masih mencoba untuk melepaskan diri. Tetapi tangan ibu Kasadha itu bagaikan besi yang menghimpit tangan penyamun itu.

“Jangan menunggu tanganmu patah,“ ibu Kasadha berdesis sambil menekan tangan orang itu.

“Jangan,“ orang itu mulai mengaduh, “Jangan kau patahkan tanganku.”

“Apakah kau menyerah?“ bertanya ibu Kasadha kemudian.

Orang itu tidak segera menjawab. Namun yang terjadi di arena yang lain telah mengejutkan pula. Seorang dari antara para penyamun yang bertempur melawan Kasadha telah terlempar beberapa langkah surut dan jatuh berguling ditanah. Orang itu memang mencoba untuk bangkit, tetapi iapun telah jatuh terduduk sambil mengerang kesakitan. Didadanya telah tergores luka menyilang yang panjang.

Sementara itu, lawan bibi Kasadha itupun telah terdesak pula. Meskipun tidak dalam, tetapi ada beberapa luka ditubuhnya. Perasaan pedih semakin menyengat ketika keringatnya mulai membasahi luka-lukanya itu.

Sementara itu langit memang menjadi semakin merah. Jika fajar menyingsing, maka jalan itu akan segera menjadi ramai oleh orang-orang yang pergi ke pasar.

Karena itu, maka para penyamun itu semakin menjadi gelisah.

Yang terdengar kemudian adalah suara Kasadha, “Apakah kau tidak akan menyerah? Aku telah melukai kawanmu. Ingat, aku akan dengan mudah membunuhmu jika aku kehilangan kesabaranku.”

Penyamun itu memang menjadi bingung. Ia sudah kehilangan harapan untuk dapat memenangkan perkelahian itu. Apalagi kawan-kawannya nampaknya juga sudah tidak berdaya.

Bahkan selagi ia dicengkam oleh kebimbangan, maka tiba-tiba saja pedang Kasadha bagaikan berputar. Tanpa dapat berbuat sesuatu, senjata penyamun itu terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah daripadanya.

Ketika pedang Kasadha kemudian teracu ke dadanya, maka penyamun itu segera berjongkok dan mohon dengan memelas, “Ampun anak muda. Jangan bubuh aku dan saudara-saudaraku.”

“Bukankah menyenangkan sekali membunuh seseorang yang ketakutan?“ desis Kasadha.

“Jangan, kami mohon ampun,“ minta orang itu dengan suara yang gemetar.

Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun pedangnya masih teracu kepada orang itu.

Sementara itu, lawan bibi Kasadha itupun telah meloncat mengambil jarak, sementara bibi Kasadha tidak memburunya meskipun ia masih bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi, karena penyamun itu akan dapat menyerangnya dengan tiba-tiba saja.

Sedangkan ibu Kasadha justru berdiri tegak sambil memegangi tangan lawannya yang dipilinnya. Ia tidak memberikan isyarat apapun kepada anaknya. Justru ibu Kasadha itu ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh Kasadha menghadapi penyamun yang telah menyerah itu.

Sebagai seorang yang pernah turun di dunia yang gelap dan penuh dengan kekerasan, maka ibu Kasadha saat itu tidak akan pernah memberi ampun kepada seseorang yang telah melakukan perlawanan atasnya meskipun orang itu sudah menyerah dan tidak berdaya. Kesadaran yang datang kemudian itu masih dibayangi oleh kecemasannya bahwa kekelaman jiwanya itu terselip juga dibawah sadar pada jiwa anaknya.

Ibu Kasadha itu menahan nafasnya ketika ia melihat Kasadha menekan leher penyamun itu dengan ujung pedangnya dan berkata, “Kau tidak pantas diampuni. Sepantasnya kau mati dan tubuhmu terkapar di bulak ini. Sebentar lagi orang-orang akan lewat dan melihat bahwa orang yang mereka takuti selama ini sudah menjadi mayat. Hal itu tentu akan dapat memberikan ketenangan kepada mereka yang setiap kali selalu dibayangi ketakutan itu.”

“Ampun, aku mohon ampun,“ suara orang itu menjadi gemetar.

Ibu Kasadha memang menjadi tegang sejenak. Ia menunggu apa yang akan dilakukan oleh anaknya yang masih saja melekatkan ujung pedangnya dileher lawannya.

Namun ibu Kasadha itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Kasadha mengangkat pedangnya dan bertanya kepada penyamun itu, “Kau kenal bentuk pedangku?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menggeleng sambil menjawab, “Tidak.”

“Baiklah. Jika pada suatu saat kau bertemu dengan seorang prajurit, maka perhatikan pedangnya,“ berkata Kasadha kemudian.

“Kenapa dengan pedang seorang prajurit?“ bertanya penyamun yang ketakutan itu.

“Pedangku ini adalah pedang seorang prajurit,“ berkata Kasadha dengan nada dalam.

“Apakah kau seorang prajurit?“ bertanya penyamun itu.

“Ya. Kami memang prajurit yang mendapat tugas khusus untuk membantai para penyamun di daerah ini.”

Wajah para penyamun itu menjadi pucat. Orang yang tangannya dipilin itupun kemudian justru telah didorong dan dilepaskan. Namun ia sama sekali tidak berani melarikan diri. Bahkan iapun telah berjongkok pula sambil berkata, “Aku juga mohon ampun.”

Demikian pula lawan bibi Kasadha. Dilemparkannya senjatanya sambil berkata, “Kami mohon jangan bunuh kami. Kami berjanji untuk tidak melakukan hal seperti ini lagi.”

“Apakah janji seorang penyamun dapat dipercaya?“ bertanya Kasadha.

“Mungkin kami berbohong kepada orang lain. Tetapi tidak kepada seorang prajurit,“ jawab penyamun itu.

“Ingat. Daerah ini adalah daerah ronda kami. Salah seorang dari kami akan selalu mengawasi daerah ini, bahkan mungkin dengan kawan-kawan yang lain. Jika kami menjumpai kalian lagi bukan hanya dibulak ini, tetapi dimanapun juga, maka kami tidak akan mengampuni kalian lagi. Kalian akan mati ditempat sebagaimana perintah yang kami terima untuk menangkap hidup atau mati para penyamun, perampok dan penjahat yang manapun.”

“Kami berjanji,“ jawab penyamun yang bertempur melawan Kasadha itu, “Ieher kami akan menjadi taruhan. Kami tidak akan melakukan pekerjaan ini lagi.”

“Kalian kami lepaskan kali ini. Tetapi ingat, bahwa kami tidak mempercayai kata-kata kalian itu sepenuhnya. Karena itu, bersiap-siap sajalah untuk mati ditempat jika kami bertemu dengan kalian selagi kalian menyamun atau merampok.”

“Tidak. Kami tidak akan melakukannya lagi,“ jawab tiga orang diantara para perampok itu hampir berbareng.

Kasadha mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya, “Pergilah sekarang. Langit telah menjadi merah. Kau dengar suara tembang itu? Tentu orang yang akan pergi ke pasar dalam satu iring-iringan. Mereka tidak berani berjalan dalam kelompok kecil karena tingkah kalian selama ini. Keuntungan mereka yang tidak seberapa harus mereka bagi dengan orang-orang yang mereka upah untuk mengawal mereka.”

Keempat orang penyamun itu ragu-ragu sejenak. Namun Kasadhapun membentak mereka, “Cepat pergi. Atau aku harus menyerahkan kalian kepada orang-orang yang akan pergi ke pasar itu?”

Orang-orang itu tidak menjawab. Namun dengan cepat mereka beringsut meninggalkan tempat itu.

Tetapi Kasadha masih memanggil mereka dan berkata, “Bawa kawanmu yang terluka itu.”

Merekapun kemudian bergerak serentak untuk menolong dan membawa kawannya yang terluka itu meninggalkan jalan yang segera akan menjadi semakin ramai.

Ketika para penyamun dan perampok itu meninggalkan Kasadha, ibu dan bibinya, maka mereka bertigapun segera membenahi diri. Mereka melepaskan kuda mereka yang tertambat dan bersiap untuk meneruskan perjalanan.

Dalam pada itu, suara tembang yang telah mereka dengarpun menjadi semakin jelas.

Beberapa saat kemudian, maka nampak iring-iringan beberapa orang yang akan pergi ke pasar membawa barang dagangan mereka.

Meskipun Kasadha tidak tahu sebelumnya, namun apa yang dikatakannya ternyata benar. Orang-orang yang pergi ke pasar itu telah mengajak beberapa orang upahan selain untuk membantu membawa barang-barang dagangan mereka, juga untuk melindungi mereka jika terjadi kejahatan diperjalanan. Bahkan mereka telah saling menunggu sebelum mereka memasuki bulak-bulak yang mereka anggap rawan. Dengan tiga atau ampat kelompok pedagang, maka mereka memang merasa aman. Meskipun orang-orang upahan itu bukan orang-orang berilmu tinggi, namun jumlah mereka menjadi cukup banyak.

Ketika orang yang berjalan diujung iring-iringan itu melihat dalam keremangan fajar tiga orang yang berdiri dipinggir jalan bulak dan seekor kuda, maka orang itupun segera memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Meskipun langit menjadi semakin terang, tetapi kemungkinan, buruk masih dapat terjadi di bulak itu.

Yang kemudian berjalan didepan adalah ampat orang laki-laki yang membawa keranjang dikepalanya. Namun mereka telah bersiap-siap menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi.

Tetapi keempat orang itu berbareng menarik nafas panjang. Yang mereka lihat berdiri dipinggir jalan itu adalah seorang laki-laki dan dua orang perempuan.

Karena itu, maka merekapun merasa bahwa perjalanan mereka tidak akan terganggu oleh orang-orang itu. Bahkan orang yang berjalan dipaling depan sempat berhenti sejenak dan bertanya, “Apa yang kalian tunggu?”

Yang menjawab adalah Kasadha, “Kami hanya ingin berjalan bersama-sama.”

“Marilah,“ jawab orang itu, “tetapi daerah ini adalah daerah yang paling rawan. Selewat daerah ini, maka tidak ada lagi bulak-bulak panjang yang dapat mendirikan bulu tengkuk, meskipun kemungkinan buruk dapat saja terjadi dimana-mana.”

“Terima kasih,“ jawab Kasadha, “mudah-mudahan kita tidak menemui hambatan diperjalanan.”

“Jangan takut. Jumlah kami cukup banyak. Jika terjadi sesuatu maka kami akan dapat saling membantu. Bukankah kau juga membawa pedang?”

Diluar sadarnya Kasadha melihat hulu pedangnya. Pedang yang khusus bagi para prajurit Pajang. Ternyata orang-orang yang lewat itu tidak mengetahui bahwa pedang itu adalah pedang prajurit. Namun dalam pada itu, Kasadha itupun berkata didalam hatinya, “Sebaiknya aku memiliki pedang yang lain. Jika aku tidak mengenakan pakaian keprajuritan, sebaiknya akupun tidak membawa pedang khusus seperti ini. Mungkin ada orang yang langsung dapat mengenalinya seperti Ki Tunggul yang memang bekas seorang prajurit.”

Demikianlah sejenak kemudian maka Kasadha, ibu serta bibinya telah melanjutkan perjalanan bersama iring-iringan orang yang akan pergi ke pasar. Mereka berjalan diujung paling belakang.

Namun dalam pada itu, Kasadha yang menuntun kudanya, telah dihampiri oleh salah seorang dari mereka yang menjadi pengantar dari orang-orang yang pergi ke pasar itu.

“Kau juga akan pergi ke pasar Ki Sanak?“ bertanya orang itu.

“Sebenarnya tidak,“ jawab Kasadha, “kami sedang dalam perjalanan dari Bayat ke Sembojan.”

“O,“ orang itu mengangguk-angguk, “satu perjalanan yang panjang. Aku pernah pergi ke Sembojan beberapa saat yang lalu. Tetapi hanya sekedar lewat.”

“Apakah Ki Sanak mempunyai sanak kadang di Sembojan?“ bertanya Kasadha.

“Tidak,“ jawab orang itu, “waktu itu aku masih senang bertualang. Aku dan dua orang kawanku menempuh perjalanan tanpa tujuan dari satu tempat ketempat yang lain. Namun akhirnya kami menyadari, bahwa akhirnya kami tidak dapat hidup seperti burung. Apalagi sekali-sekali kami mengalami benturan-benturan kekerasan diperjalanan. Bahkan ada diantara kami bertiga yang hampir mati di perantauan.”

“Sekarang petualangan itu telah Ki Sanak hentikan?“ bertanya Kasadha.

“Ya. Aku telah beranak isteri. Akupun mulai terikat dengan tanah garapan. Meskipun sawahku tidak luas, tetapi dapat menjadi landasan hidup sekeluarga. Disamping mengerjakan sawah, aku mempunyai pekerjaan sambilan seperti ini. Sedikit banyak dapat mengobati kerinduanku pada masa petualanganku yang tidak dapat aku lakukan lagi. Kecuali itu, akupun mendapat sedikit tambahan uang untuk membelikan pakaian anak-anakku.”

“Tetapi apakah pekerjaan Ki Sanak sekarang ini tidak berbahaya?“ bertanya Kasadha.

Orang itu tersenyum. Katanya, “Sebagaimana kau lihat, pekerjaan ini sama sekali tidak berbahaya. Bukankah tidak terjadi apa-apa disepanjang perjalanan?”

“Apakah selama Ki Sanak bertugas tidak pernah terjadi sesuatu dengan Ki Sanak?“ bertanya Kasadha.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang pernah terjadi sesuatu ketika dua orang mencoba mencegat sekelompok orang yang pergi ke pasar. Tetapi aku dan beberapa orang pengantar dengan cepat mengatasi mereka yang kemudian melarikan diri ke tengah sawah dan kemudian masuk ke pategalan,“ orang itu terdiam sejenak. Namun kemudian katanya, “Memang pernah pula terjadi bencana atas seorang kawanku yang juga menjadi pengantar. Ia seorang yang berani. Tetapi menurut pendapatku, ia justru bukan seorang yang berpengalaman dalam petualangan sebagaimana pernah aku lakukan. Ia merasa dirinya terlalu kuat, sehingga ia terbunuh di bulak ini juga. Barang-barang bawaan orang yang diantarkannya telah dirampas oleh tiga orang penyamun yang membunuhnya.”

“Bagaimana dengan kawan-kawannya?“ Kasadha bertanya.

“Itulah yang membuat kami menyesal. Ia memberanikan diri untuk mengawal sebuah iring-iringan kecil seorang diri. Ia memang tamak, karena ia ingin mendapat upah untuk dirinya sendiri tanpa dibagi dengan orang lain. Namun akibatnya sangat menyedihkan. Bukan saja bagi keluarganya, tetapi juga bagi kami.”

Kasadha mengangguk-angguk. Agaknya peristiwa itu telah menjadi pengalaman yang sangat berarti. Ternyata para pengawal itu tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Pada iring-iringan itu terdapat beberapa orang pengawal. Enam orang.

Meskipun hal itu tidak ditanyakan oleh Kasadha, namun orang itu berkata, “Iring-iringan ini sebetulnya terdiri dari tiga kelompok yang masing-masing dikawal oleh dua orang. Kami memang sepakat untuk bergabung jika menyeberangi bulak yang satu ini. Agaknya bulak ini memang sering makan korban. Untunglah bahwa kau tidak mengalaminya meskipun kau tidak berada dalam iring-iringan yang dikawal.”

Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi diluar sadarnya ia berdesis, “Satu pilihan yang terpuji.”

“Apa yang terpuji?“ bertanya orang itu.

“Ki Sanak telah memilih jalan yang paling baik,“ berkata Kasadha, “ada orang yang memilih jalan yang sesat jika ia memiliki sedikit kemampuan sebagaimana Ki Sanak katakan pernah terjadi disini.”

“Ya. Yang menyedihkan, seorang dari kawan-kawanku bertualang telah mengambil jalan sesat itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi jika tiba-tiba kami bertemu disini,“ desis orang itu.

“O,“ Kasadha mengerutkan keningnya. Sementara orang itu berkata, “Tetapi selama ini aku memang belum berhasil menemuinya. Aku pernah mencari kerumahnya, tetapi ia jarang sekali pulang. Apalagi ketika tetangga-tetangganya seakan-akan menolak kehadirannya di padukuhannya.”

“Apakah ia mempunyai anak isteri?“ bertanya Kasadha.

“Aku tidak tahu. Tetapi aku memang pernah mendengar kabar, bahwa ia akan kawin. Namun aku tidak tahu, apakah ia benar kawin atau tidak,“ jawab orang itu.

Kasadha mengangguk-angguk. Sementara itu mereka telah melewati bulak panjang yang rawan itu. Langitpun menjadi semakin terang oleh cahaya pagi.

“Nah, bukankah kita tidak diganggu oleh para penyamun? Mereka memang harus berpikir ulang untuk menyamun iring-iringan seperti ini. Ada beberapa orang pengawal diantara iring-iringan ini. Selebihnya, laki-laki dalam iring-iringan ini juga bersenjata, sehingga kami siap menghadapi segala kemungkinan.”

Kasadha mengangguk-angguk. Ia tidak mengatakan bahwa ada empat orang penyamun di bulak panjang itu. Tetapi menurut perhitungan Kasadha, penyamun itu akan mengurungkan niatnya jika mereka melihat iring-iringan yang kuat seperti yang baru lewat di bulak itu.

Demikianlah, ketika langit menjadi terang, maka Kasadha, ibu dan bibinyapun telah minta diri kepada orang-orang dalam iring-iringan itu untuk memisahkan diri. Kasadha mengajak ibu dan bibinya untuk berbelok mengambil jalan simpang. Apalagi mereka memang tidak akan pergi ke pasar.

“Perjalanan kalian masih jauh,“ berkata pengawal yang berbincang dengan Kasadha.

“Ya. Tetapi kami sudah menyiapkan bekal diperjalanan kami,“ jawab Kasadha.

Demikian mereka berpisah, maka ibu Kasadha itupun bertanya, “Apakah mereka mengetahui tujuan kita?”

“Aku telah mengatakan kepada pengawal itu,“ jawab Kasadha.

Ibunya mengangguk-angguk. Tetapi iapun tidak merasa berkeberatan karena memang tidak ada persoalan dengan tujuan perjalanan mereka.

Demikianlah, mereka bertigapun berjalan semakin cepat. Bibi dan ibu Kasadha yang memiliki kemampuan olah kanuragan itu sama sekali tidak segera merasa letih. Daya tahan mereka cukup tinggi sehingga mereka sama sekali tidak menjadi beban bagi Kasadha yang berjalan sambil menuntun kudanya.

Dengan demikian maka mereka bertiga tidak perlu terlalu sering berhenti, meskipun ditengah hari mereka singgah di sebuah kedai dipinggir jalan sekaligus memberi kesempatan kepada kudanya untuk beristirahat, makan dan minum pula.

Namun demikian mereka selesai makan dan minum serta setelah beristirahat sejenak. Maka merekapun telah meneruskan perjalanan ke Tanah Perdikan Sembojan. Kasadha ingin bahwa mereka akan sampai di Sembojan lebih dahulu dari Ki Rangga Dipayuda.

Di perjalanan selanjutnya, mereka bertiga memang tidak menemui hambatan apapun juga. Mereka telah melintasi beberapa puluh padukuhan dan bulak-bulak panjang dan pendek. Ketika matahari melewati puncaknya, maka sinarnya telah memanasi mereka bertiga dari arah punggung. Meskipun tengkuk mereka terasa terpanggang oleh panasnya sinar matahari, namun mereka tidak menjadi silau karena mereka membelakangi matahari yang semakin lama menjadi semakin rendah.

“Kita akan memasuki Tanah Perdikan Sembojan menjelang senja,“ berkata Kasadha.

“Kita sudah berjalan cukup jauh,“ desis bibinya.

“Apakah bibi merasa letih?“ bertanya Kasadha.

“Apakah jika aku letih kau akan mendukungnya?” justru bibinya ganti bertanya, sehingga Kasadha dan ibunya tertawa.

Namun Kasadha masih menjawab, “Jika bibi mau, kuda ini dapat mendukung bibi.”

“Jika aku mau berkuda, kenapa kita tidak berkuda sejak dari rumah?“ sahut bibinya.

Kasadha hanya tersenyum saja, sementara ibunya menjawab, “Kau dapat berkuda ditengah bulak yang sepi. Kemudian kau harus meloncat turun jika bertemu dengan orang-orang yang pergi ke sawah.”

Bibi Kasadha itupun tertawa. Tetapi ia justru berjalan dipaling depan.

Seperti yang dikatakan oleh Kasadha, maka menjelang senja mereka memang telah memasuki lingkungan Tanah Perdikan Sembojan yang sedang bersiap-siap untuk menyambut wisuda bagi Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu.

Sebenarnyalah, demikian mereka memasuki wilayah Tanah Perdikan Sembojan, maka kegembiraan itu telah terasa. Regol-regol padukuhanpun sudah mulai dihiasi dengan janur. Bahkan ada yang telah memasang rontek, umbul-umbul dan kelebet beraneka warna untuk menyatakan kegembiraan seisi padukuhan. Di senja hari itu, oncor-oncor telah mulai dipasang sehingga setiap padukuhan terasa kehangatan penghuninya menyambut hari yang besar bagi Tanah Perdikan yang sudah beberapa lama tidak mempunyai seorang Kepala Tanah Perdikan.

Meskipun selama itu Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu mampu menjalankan tugas-tugas yang dipangkunya dengan baik, namun akan hadirnya seorang Kepala Tanah Perdikan yang sebenarnya tentu akan lebih menggembirakan para penghuni Tanah Perdikan itu.

Apalagi Kepala Tanah Perdikan yang akan diwisuda itu adalah seorang yang telah dikenal dengan baik oleh setiap orang, bahwa ia adalah seorang yang memang pantas untuk menduduki jabatan itu. Apalagi orang itu memang seorang pewaris yang sah untuk menerima jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga Warsi mengatur perasaannya, namun masih terasa juga duri-duri tajam yang menyentuh hatinya. Luka-luka yang pernah dibuatnya sendiri, pengakuan atas segala kesalahan serta niat untuk menyongsong hari-hari yang lebih bening memang membuat Warsi lebih tenang dalam kepedih annya. Namun Warsi memang sudah meletakkan segala-galanya dalam kepasrahannya kepada Yang Maha Agung yang dijumpainya menjelang hari-hari tuanya. Seakan-akan Yang Maha Agung itu telah mengulurkan tangannya yang lembut mengusap dinding hatinya yang gersang sehingga menjadi sejuk dingin.

Karena itu, maka Warsi itu telah berjalan dengan tetap menyusuri jalan Tanah Perdikan yang pernah diperebutkannya.

Tetapi seandainya seseorang yang pernah mengenalnya saat-saat ia tinggal di Tanah Perdikan itu, bertemu dengan Warsi saat itu, maka orang itu tentu tidak akan dapat mengenalnya lagi. Dahulu Warsi adalah seorang yang cantik, yang memasuki Tanah Perdikan Sembojan sebagai seorang penari keliling yang mampu merebut hati anak Kepala Tanah Perdikan yang seharusnya dapat mewarisi kedudukan itu, maka kini Warsi adalah seorang tua yang sederhana dalam pakaian seorang petani kebanyakan, berjalan menyusuri jalan-jalan berdebu.

Warsi sendiri memang berusaha untuk melupakan semua itu.

Demikianlah, maka ketika malam mulai turun, ketiga orang itu telah mendekati padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Melebihi padukuhan-padukuhan yang lain, maka padukuhan induk itupun nampak terlalu sibuk. Meskipun pititu gerbang padukuhan telah dihiasi dengan janur kuning, tetapi orang-orang masih sibuk membenahinya. Beberapa rontek dan umbul-umbul masih nampak diperbaiki letaknya, ditambah dipindah. Sementara oncor-pun telah menyala pula dimana-mana.

Sambi Wulung dan Jati Wulungpun ikut menjadi sibuk mengatur hiasan disepanjang jalan padukuhan. Sedangkan Gandar yang sudah berada di Tanah Perdikan itu telah ikut menghiasai rumah Kepala Tanah Perdikan yang akan menjadi tempat wisuda.

Risang sendiri bersama ibu, kakek serta neneknya ikut mengatur segala sesuatunya di halaman rumah itu, terutama pendapa tempat wisuda akan berlangsung.

Dalam pada itu, Kasadha, ibu dan bibinyapun telah sampai keregol padukuhan induk. Orang-orang yang sedang sibuk bekerja telah memberi jalan kepada mereka. Ketiga orang yang lewat itu memang tidak menarik perhatian. Seperti orang-orang lewat yang lain, yang datang dari satu padukuhan pergi ke padukuhan yang lain. Atau orang yang kebetulan menempuh perjalanan jauh, melewati padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan.

Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung yang kebetulan juga berada di regol padukuhan induk serta ikut mengatur tarub dipintu gerbang, terkejut melihat ketiga orang itu. Meskipun gelapnya senja menjadi semakin hitam, namun dibawah cahaya oncor diregol maka Sambi Wulung dan Jati Wulung segera mengenali Kasadha yang menuntun kudanya memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan.

“Kasadha,“ desis Sambi Wulung.

Kasadha tersenyum ketika ia melihat Sambi Wulung dan Jati Wulung berada diantara orang-orang yang sedang sibuk itu.

“Ternyata kalian menjadi sangat sibuk,“ desis Kasadha.

“Marilah,“ Sambi Wulung mempersilahkan, “ternyata kau benar-benar datang.”

“Aku datang bersama ibu dan bibiku,“ sahut Kasadha.

Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk hormat. Dengan nada rendah Sambi Wulung berkata, “Kami mengucapkan selamat datang kepada Nyai berdua.”

“Terima kasih Ki Sanak,“ jawab ibu Kasadha, “kami memerlukan datang untuk menghadiri wisuda angger Risang.”

“Kedatangan Nyai agaknya memang telah ditunggu oleh Risang dan ibunya.”

Sebuah desir lembut menyentuh dasar jantung ibu Kasadha, bahkan juga Kasadha. Namun Warsi itu masih saja tersenyum sambil menjawab, “Aku mengucapkan terima kasih.”

“Biarlah Jati Wulung mengantar Nyai ke rumah Risang yang juga sedang dipajang,“ berkata Sambi Wulung kemudian.

“Terima kasih Ki Sanak,“ jawab ibu Kasadha.

Jati Wulunglah yang kemudian mengantar Kasadha, ibu dan bibinya menuju kerumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang sedang dihiasi dengan berbagai macam hiasan termasuk janur kuning.

Ketika mereka bertiga mengikuti Jati Wulung memasuki halaman rumah yang sedang dihiasi dengan berbagai macam hiasan itu, tidak banyak mendapat perhatian. Jati Wulunglah yang kemudian naik ke pendapa mendapatkan Risang yang sedang sibuk mengatur orang-orang yang sedang bekerja. Sambil menggamit Risang, Jati Wulung berkata, “Mereka telah datang.”

“Mereka siapa?“ bertanya Risang.

“Angger Kasadha bersama ibu dan bibinya,“ jawab Jati Wulung.

“O, dimana mereka?“ bertanya Risang.

“Mereka masih berada di halaman,“ jawab Jati Wulung.

Dengan tergesa-gesa Risangpun kemudian turun ke halaman. Dengan akrab pula Risang menerima kedatangan Kasadha, ibu dan bibinya.

“Marilah bibi, marilah naik kependapa,“ Risang menipersilahkan, “marilah Kasadha.”

Ketiga orang itu memang termangu-mangu sejenak. Sementara Risang berkata kepada Jati Wulung, “Tolong paman. Berikan kuda itu kepada anak-anak.”

Jati Wulungpun kemudian menerima kuda yang dituntun oleh Kasadha dan menambatkannya di halaman, sementara itu Kasadha bersama ibu dan bibinya telah dibawa oleh Risang naik kependapa yang sedang dihiasi itu.

Orang-orang yang sedang bekerja menghiasi pendapa itu memang menyibak. Tetapi mereka tidak mengenal kedua orang perempuan yang diterima dengan hormat oleh Risang itu.

Seorang yang umurnya telah setengah abad yang ikut menghiasi pendapa itu sempat memperhatikan Warsi. Kepada seorang anak muda yang sibuk disampingnya ia berdesis, “aku pernah melihat perempuan itu.”

“Siapa?“ bertanya anak muda itu.

“Tetapi aku lupa, dimana aku pernah melihatnya atau barangkali hanya mirip saja,“ jawab orang tua itu.

Anak muda yang sibuk disebelahnya itu mengerutkan dahinya. Ia ikut memandangi perempuan yang disebut itu. Tetapi ia sama sekali tidak mengenalinya.

Dalam pada itu, Risangpun telah berlari-lari masuk keruang dalam untuk mencari ibunya. Dengan sedikit gugup ia berkata kepada ibunya, “Ibu, Kasadha telah datang. Ia datang bersama ibu dan bibinya.”

Wajah Nyi Wiradana memang menegang. Bagaimanapun juga luka di jantungnya masih membekas. Untuk beberapa saat ia berdiri membeku.

Risang termangu-mangu sejenak. Namun sekali lagi ia mempersilahkan ibunya, “Ibu, silahkan ibu menerima kedatangan mereka. Kemudian mereka akan diantar kerumah yang telah disediakan bagi peristirahatan mereka.”

Namun ibunya masih saja merenung. Wajahnya justru tampak menegang. Diluar sadarnya telah terkilas, bagaimana Serigala Betina membawanya ketempat yang sepi justru saat ia mengandung. Kemudian, hampir saja jantungnya ditembus oleh ujung pisau belati yang tajam.

Namun selagi Iswari itu termangu-mangu, maka neneknya, Nyai Soka telah menepuk bahunya sambil berkata lembut, “Jemputlah tamumu dipendapa Iswari. Ia datang atas undanganmu untuk menghadiri wisuda anakmu Risang, yang akan menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan.”

Iswari itupun menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin mengendapkan segala macam gejolak didalam hatinya.

Namun bersama neneknya, Iswaripun kemudian telah melangkah kepintu pringgitan untuk selanjutnya keluar dari ruang dalam.

Demikian Iswari turun ke pringgitan dari ruang dalam, maka langkah Iswaripun tertegun. Yang dilihatnya berdiri dipendapa bersama Kasadha adalah seorang perempuan yang nampaknya sudah tua dalam pakaian seorang petani biasa. Jauh sekali dari gambarannya tentang Warsi, seorang perempuan cantik yang pernah merebut suaminya sehingga suaminya sampai hati untuk berusaha membunuhnya justru saat ia mengandung. Perempuan yang memasuki Tanah Perdikan itu sebagai seorang penari keliling yang merias wajahnya dengan agak berlebihan.

Sejenak Iswari berdiri termangu-mangu. Sementara itu, jantung Warsipun rasa-rasanya berdetak semakin cepat.

Namun secara jiwani, ternyata Warsi lebih siap menghadapi pertemuan itu. Karena itu, maka ialah yang melangkah mendekati Iswari dan berhenti dua langkah dihadapannya.

Kasadha dan Risang menjadi berdebar-debar. Bahkan orang-orang yang ada dipendapa itupun menjadi diam. Jati Wulung menahan nafasnya untuk beberapa saat.

Yang tidak diduga ternyata telah terjadi. Juga Kasadha tidak menduga, bahwa tiba-tiba saja ibunya telah berlutut dihadapan Iswari yang berdiri bagaikan membeku.

“Apakah aku masih pantas untuk menginjakkan kakiku dipendapa rumah ini?“ desis Warsi. Ternyata suaranya bergetar sebagaimana getar jantungnya yang semakin cepat.“

Semua orang dipendapa itu sejenak ikut membeku. Iswaripun menjadi bingung sesaat melihat Warsi berjongkok dihadapannya. Apalagi Warsi itupun kemudian berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Aku datang untuk menyatakan segala penyesalan atas tingkah lakuku. Aku datang untuk mohon diampuni.”

Warsi adalah seorang perempuan yang sebelumnya mempunyai hati sekeras batu. Watak yang kasar sebagaimana darah Kalamerta yang mengalir didalam diri dan ilmunya. Namun ketika Warsi berjongkok dihadapan Iswari itu, terdengar perempuan yang garang itu terisak.

Ternyata betapapun tegarnya hati Iswari sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, yang telah menempa diri dalam kehidupan yang keras dan berat, namun hatinyapun dapat menjadi luluh seperti malam.

Justru karena ia mendengar Warsi yang pernah dihadapinya di perang tanding sampai dua kali itu terisak, maka matanyapun telah menjadi basah.

Iswari itupun kemudian menunduk sambil menarik lengan Warsi. Rasa-rasanya ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kerongkongannya terasa tersumbat.

Warsipun kemudian berdiri sambil menunduk. Tetapi ia benar-benar tidak dapat menahan tangisnya.

Namun Warsi itupun terkejut ketika tiba-tiba saja Iswari itu memeluknya.

Keduanyapun kemudian berpelukan. Tangis mereka adalah tangis yang tulus.

Pendapa itupun sesaat dicengkam oleh keharuan. Nyai Soka yang pernah menyaksikan keduanya bertemu di arena perang tanding menarik nafas dalam-dalam. Permusuhan yang sudah berlangsung berpuluh tahun itupun telah diakhiri.

Demikianlah, maka Nyai Sokalah yang kemudian mengajak mereka untuk masuk keruang dalam. Katanya, “Biarlah orang-orang menyiapkan pendapa ini. Kita akan duduk diruang dalam.”

Beberapa saat kemudian, Kasadha, ibu dan bibinya-pun telah dipersilahkan masuk keruang dalam. Risang, Iswari dan Nyai Sokapun telah menemui mereka. Pertemuan yang mempunyai kesan tersendiri itu kemudian berlangsung dengan akrab. Sisa-sisa permusuhan yang ada telah larut dihanyutkan oleh kebesaran jiwa mereka masing-masing.

Setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka Risangpun telah mempersilahkan Kasadha, ibu dan bibinya untuk beristirahat dirumah yang memang telah disediakan.

“Kami mohon maaf, bahwa rumah ini tidak dapat menampung. Semua tamu yang menginap terpaksa kami titipkan dirumah tetangga-tetangga terdekat,“ berkata Risang.

“Kami mengerti,“ jawab Kasadha, “kami sama sekali tidak merasa keberatan.”

Risang sendirilah yang mengantar Kasadha, ibu dan bibinya ke penginapan yang hanya berjarak beberapa patok saja dari rumah itu. Sementara Kasadha menuntun kudanya yang membawa beban pakaian ibu dan bibinya.

Setelah mapan dan diserahkan kepada pemilik rumah itu, Risangpun telah minta diri untuk meneruskan pekerjaannya. Katanya, “Baru besok Ki Rangga Kalokapraja akan datang. Mungkin masih harus ada beberapa perubahan dari persiapan yang kami lakukan sampai hari ini.”

Sepeninggal Risang, maka Kasadhapun telah mempersilahkan ibu dan bibinya beristirahat setelah mandi dan berbenah diri.

“Aku akan pergi kerumah Risang,“ berkata Kasadha kemudian, “mungkin aku dapat membantu kesibukannya.”

“Apakah kau tidak lelah?“ bertanya ibunya.

“Tidak,“ jawab Kasadha, “Minuman hangat telah membuatku segar kembali.”

“Kasadha,“ pesan ibunya dengan nada dalam,“ berbuatlah sebaik-baiknya. Ternyata Iswari adalah seorang perempuan yang berjiwa besar.”

“Ya ibu,“ jawab Kasadha, “sejak aku bertemu dengan ibu Iswari, aku telah merasakan kebesaran jiwanya.”

“Sokurlah jika kau juga menangkapnya dengan penglihatan mata hatimu. Bersokurlah kau bahwa kita masih sempat menghirup udara Tanah Perdikan ini dengan leluasa seperti ini,“ desis ibunya.

Demikianlah, maka Kasadhapun telah meninggalkan ibu dan bibinya, kembali kerumah Risang untuk ikut membantu kesibukannya. Setidak-tidaknya ia ikut melihat apa yang sedang dilakukan di pendapa rumah itu.

Tengah malam baru pekerjaan itu selesai. Kasadha ikut bersama dengan orang-orang yang sibuk bekerja di pendapa itu makan malam sebelum orang-orang itu pulang.

“Besok pagi kami mengharap kalian datang lagi,“ berkata Risang, “mungkin masih ada yang harus dibenahi setelah Ki Rangga Kalokapraja datang.”

Sementara itu Kasadha masih tinggal beberapa saat di pendapa yang sedang dihias itu. Ia masih sempat berbincang dengan Risang dan ibunya. Namun Risangpun kemudian mempersilahkan Kasadha untuk beristirahat, karena Risang sendiri juga akan beristirahat.

Namun dalam pada itu, Nyai Soka masih sempat berkata kepada Iswari dan Risang, “Ternyata Warsi seorang perempuan yang berjiwa besar. Bagaimanapun juga ia telah datang memenuhi undangan kalian. Sekaligus mengakui segala kesalahan yang telah diperbuatnya. Dengan demikian aku yakin, bahwa sikapnya jujur. Ia tidak sekedar berpura-pura.”

“Nampaknya memang demikian, nek,“ jawab Iswari, “karena itu, maka akupun menerimanya dengan terbuka.”

“Aku memang kagum atas kebesaran jiwa kalian. Juga kebesaran jiwa Warsi. Mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak akan pernah terjadi persoalan lagi diantara kalian dan Warsi.”

Iswari tidak menjawab. Bahkan wajahnya nampak menunduk.

Demikianlah, maka Nyai Sokapun telah pergi ke biliknya. Sementara Kiai Soka dan Kiai Badra masih mempunyai kesibukan tersendiri. Mereka bukan saja mengamati orang-orang yang bekerja di pendapa, tetapi mereka telah melihat-lihat rumah yang dipersiapkan untuk menjadi penginapan para pemimpin yang akan datang dari Pajang serta para tamu yang lain.

Dipagi hari berikutnya, padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan nampak semakin hidup. Orang-orang yang lewat di tlatah Tanah Perdikan itupun ikut mengagumi kemeriahan yang nampak di seluruh lingkungan Tanah Perdikan Sembojan.

Pada hari itu, sebagaimana dijanjikan oleh para Demang, maka kebutuhan bahan-bahan untuk menjamu para tamu telah berdatangan seakan-akan mengalir dengan sendirinya.

Dalam pada itu, ibu Risang tidak hanya sibuk menyiapkan wisuda anaknya dengan segala macam kelengkapannya, tetapi sebagai seorang perempuan, maka Iswaripun telah ikut sibuk pula didapur. Ia masih harus mengatur apa saja yang harus dipersiapkan oleh perempuan-perempuan yang berdatangan ikut membantu menyiapkan hidangan bagi mereka yang bekerja mempersiapkan dan menghiasi tempat wisuda serta memajang seluruh padukuhan induk.

Sementara itu beberapa orang perempuan secara khusus telah ditunjuk untuk menyiapkan hidangan bagi para tamu yang pada hari itu akan berdatangan. Bahkan Ki Rangga Kalokaprajapun akan datang juga hari itu.

Warsi dan sepupunya tidak tinggal diam dirumah yang disediakan bagi mereka. Tetapi merekapun telah ikut pula membantu perempuan yang sibuk bekerja didapur sebagaimana kebiasaan perempuan.

Beberapa orang memang mempertanyakan, siapakah kedua orang perempuan itu. Mereka saling berbisik dan saling bertanya. Namun sebagian besar mereka tidak mengetahuinya.

“Tentu seorang perempuan cantik semasa mudanya,“ desis seorang perempuan sebaya dengan ibu Kasadha itu.

Namun akhirnya, tersebarlah kenyataan tentang perempuan itu. Merekapun saling membicarakannya. Perempuan itu adalah Warsi. Isteri muda Ki Wiradana.

Namun kesannyapun sudah jauh berbeda. Perempuan yang mereka lihat ikut membantu bekerja didapur itu sebagai seorang perempuan yang ramah dan lembut. Sama sekali tidak menunjukkan kekasaran dan apalagi kegarangannya dimasa mudanya.

Perempuan-perempuan yang membantu bekerja didapur itupun sempat mengusap dada, bahwa hubungan perempuan itu dengan Iswari nampak akrab dan baik.

Bahkan orang-orang itupun mulai berbicara tentang anak laki-laki Nyi Wiradana yang muda itu.

“Namanya Puguh. Tetapi ia kini dipanggil Kasadha. Seorang prajurit yang nampaknya berhasil. Masih muda ia telah menjadi Lurah Prajurit,“ berkata seseorang yang merasa dirinya paling tahu.

Sedangkan perempuan yang lain yang tidak mau kalah menyahut, “Tetapi wataknya tidak seperti ibunya. Ia seorang anak muda yang baik.”

Namun yang lain lagi menambahkannya dengan berbisik, seakan-akan ia telah mengatakan satu rahasia yang tidak boleh didengar orang lain, “Tetapi ibunya juga sudah berubah sama sekali. Ia sekarang menjadi perempuan yang baik.”

Perempuan-perempuan yang berbincang itu hampir bersamaan telah berpaling kepada Warsi. Namun cepat-cepat mereka menghindarkan pandangan matanya ketika Warsi tiba-tiba saja berpaling meskipun ia tidak sadar, bahwa beberapa orang telah berbincang tentang dirinya.

Tetapi seandainya hal itu didengar oleh Warsi sekalipun, perempuan itu tidak akan marah. Tidak pula akan menanggapi. Ia menganggap bahwa hal seperti itu adalah wajar. Perempuan-perempuan yang berkumpul didapur itu akan membicarakannya. Tetapi ia sudah benar-benar mempersiapkan diri untuk tetap tabah.

Orang-orang yang membicarakannyapun telah berbicara pula tentang hubungan yang akrab antara Iswari dan Warsi, seakan-akan diantara mereka tidak pernah terjadi sesuatu.

Menjelang tengah hari, maka orang-orang Tanah Perdikan itu menjadi sibuk. Ki Rangga Kalokapraja dengan beberapa orang pejabat yang lain telah datang. Mereka adalah orang-orang yang mendapat tugas untuk mempersiapkan semua kelengkapan agar wisuda dapat berlangsung dengan lancar.

Nyi Wiradana dan Risang telah menyambut langsung kedatangan Ki Rangga Kalokapraja. Setelah mengucapkan selamat datang, maka para tamu itupun dipersilahkan untuk naik kependapa yang telah siap dipajang.

Demikianlah, setelah para tamu telah beristirahat sejenak, hidanganpun mulai disuguhkan. Bukan sekedar minum. Tetapi juga dihidangkan makan siang.

“Nanti setelah makan sajalah Ki Rangga melihat-lihat persiapan yang telah kami lakukan,“ berkata Iswari mempersilahkan tamunya untuk makan.

Ternyata para tamu itu tidak menolak. Merekapun kemudian setelah makan diantar oleh Risang dan Kasadha, sementara Iswari masih sibuk bersiap-siap diruang dalam. Ia menjadi sangat sibuk justru karena ia berperan ganda. Selain Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang akan menyerahkan jabatannya kepada Risang yang akan diwisuda, iapun harus mempersiapkan hidangan dan mengatur persiapan di rumah-rumah yang akan dipergunakan sebagai penginapan.

Namun ketika kemudian Ki Rangga Kalokapraja mengamati segala persiapan yang telah dikerjakan, maka dengan puas ia berkata, “Ternyata semuanya telah tertata dengan tertib. Aku tidak perlu mengadakan perubahan-perubahan apapun juga. Aku hanya akan membimbing Risang dan Nyi Wiradana untuk menjalani upacara besok. Sementara itu pendapa rumah inipun telah memenuhi persyaratan untuk melakukan wisuda.”

Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan yang telah bekerja keras itupun merasa puas pula bahwa jerih payah mereka ternyata memenuhi keinginan Ki Rangga Kalokapraja.

Demikianlah, maka seisi Tanah Perdikan itu tinggal menanti. Besok sekitar tengah hari, para utusan dari Pajang akan datang. Sementara itu Ki Rangga Kalokapraja-pun telah melihat rumah yang akan menjadi penginapan Ki Tumenggung Wreda Wirajaya yang atas nama Kangjeng Adipati Pajang akan mewisuda Risang menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan menggantikan kakeknya yang telah terbunuh. Ki Wiradana yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya ternyata juga telah terbunuh, sehingga kemudian cucunya, Risang akan menggantikan kedudukan kakeknya itu setelah untuk waktu yang terhitung lama, Tanah Perdikan Sembojan tidak mempunyai seorang Kepala Tanah Perdikan. Yang ada hanyalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang dipegang oleh isteri Ki Wiradana yang terbunuh itu.

Ternyata tempat yang disediakan bagi Ki Tumenggung Wreda Wirajaya dan beberapa orang pengiringnya menurut Ki Rangga Kalokapraja cukup memadai. Sehingga dengan demikian maka segala sesuatunya telah dianggap mencukupi.

Karena itu, maka setelah mengamati segala persiapan, maka Ki Rangga Kalokaprajapun telah dipersilahkan untuk beristirahat pula ditempat yang telah disediakan. Sebuah rumah disamping rumah yang akan dipergunakan Ki Tumenggung Wreda Wirajaya.

Namun dalam pada itu, meskipun segala persiapan sudah dianggap memadai, namun Risang masih saja gelisah. Ia belum melihat Ki Rangga Dipayuda datang. Sebenarnya ia tidak terlalu mengharap Ki Rangga Dipayuda itu sendiri. Tetapi bersama Ki Rangga Dipayuda itu akan datang pula Riris. Gadis itu benar-benar diharapkan dapat datang menghadiri wisuda yang akan dilangsungkan esok malam.

Tetapi Risang tidak mengatakan kepada siapapun juga. Bahkan tidak pula kepada Kasadha meskipun keduanya seakan-akan tidak pernah berpisah selama Kasadha berada di Tanah Perdikan.

Ternyata bahwa pada hari itu, Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya masih belum datang di Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, maka rasa-rasanya bagi Risang masih ada yang kurang meskipun Ki Rangga Kalokapraja telah merasa puas dengan segala macam persiapan.

Ketika menjelang malam, Ki Rangga Kalokapraja dan beberapa orang duduk-duduk di pendapa yang telah dihias rapi. Risang, ibunya dan Kasadha menemui mereka untuk mendengarkan beberapa petunjuk tentang upacara wisuda yang akan dilakukan esok lewat senja sebagaimana direncanakan.

Risang dan ibunya mendengarkan petunjuk itu dengan bersungguh-sungguh. Beberapa orang bebahu telah mendapat tugasnya masing-masing. Demikian pula telah diberitahukan tentang beberapa orang pejabat yang akan menyertai Ki Tumenggung Wreda Wirajaya dalam upacara itu.

“Jika di Tanah Perdikan ini ada pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan, maka pertanda itu akan dapat dikenakannya esok dalam upacara itu,“ berkata Ki Rangga Kalokapraja.

“Ada Ki Rangga,“ jawab ibu Kasadha, “sebuah kalung dengan sebuah bandulnya. Barangkali Risang pernah mengatakannya kepada Ki Rangga.”

“Ya. Tetapi itu tidak mutlak harus ada besok. Pertanda itu hanya untuk mengukuhkan saja. Karena pertanda seperti itu kadang justru menjadi hambatan. Jika pertanda itu hilang atau rusak, maka persoalannya akan berkepanjangan. Bahkan pertanda itu akan dapat diperebutkan, seolah-olah siapa yang memiliki pertanda itu adalah orang yang berhak menjadi Kepala Tanah Perdikan tanpa diperhitungkan cara pemilikannya. Meskipun seseorang mempunyai pertanda itu, tetapi hasil dari perampokan misalnya, maka sudah tentu bahwa orang itu tidak akan dapat ditetapkan menjadi Kepala Tanah Perdikan. Bahkan orang itu harus ditangkap dan dihukum, karena hak atas jabatan Kepala Tanah Perdikan tidak tergantung pada pertanda itu,“ berkata Ki Rangga Kalokapraja. Lalu katanya kemudian, “Tetapi jika seseorang yang memang berhak berdasarkan atas penelitian atas dasar keturunan memiliki pertanda itu, tentu akan lebih baik.”

Risang dan ibunya mengangguk-angguk. Sementara Ki Rangga berkata selanjutnya, “Jika pertanda itu ada, maka sebaiknya besok disiapkan saja. Dalam upacara itu biarlah Ki Tumenggung Wreda Wirajaya akan mengalungkan pertanda itu. Tetapi harus disiapkan pula seseorang yang akan membawa pertanda itu diatas sebuah nampan yang pada saatnya dibawa naik kependapa. Besok aku akan berbicara dengan Ki Tumenggung agar acara itu dapat berlangsung dengan lancar.”

Risang dan ibunya masih saja mengangguk-angguk. Sementara Ki Rangga berkata pula, “Urut-urutan waktunya baru akan kami susun setelah besok Ki Tumenggung Wreda itu datang. Secepatnya urut-urutan upacara itu akan kami serahkan kepada Nyi Wiradana.”

“Terima kasih Ki Rangga,“ jawab Iswari, “kami hanya dapat menunggu perintah Ki Rangga karena kami memang belum pernah mengalami sebelumnya.”

“Tidak ada yang rumit. Semuanya akan berlangsung dengan wajar saja,“ jawab Ki Rangga Kalokapraja.

Demikianlah, setelah hal-hal yang penting disampaikan oleh Ki Rangga Kalokapraja, maka pembicaraan selanjutnya adalah sekedar pengisi waktu menjelang makan malam yang kemudian disuguhkan kepada mereka yang berada di pendapa itu.

Namun ternyata Risang masih saja merasa gelisah. Apalagi ketika malam menjadi semakin kelam. Ki Rangga Dipayuda masih belum tampak hadir di Tanah Perdikan.

“Mudah-mudahan besok Ki Rangga datang,“ berkata Risang didalam hatinya.

Dengan demikian maka malam itu ternyata harus dilalui oleh Risang dengan hati yang gelisah. Berbeda dengan para pemimpin di Tanah Perdikan itu yang lain serta Ki Rangga Kalokapraja yang merasa bahwa tugas-tugasnya telah selesai. Bahkan Kasadha yang tidak mengerti kegelisahan dihati Risangpun setiap kali menyatakan bahwa Risang seharusnya beristirahat secukupnya.

“Besok, kau akan menjadi pusat segala kegiatan ini Risang,“ berkata Kasadha, “sekarang, beristirahatlah.”

Risang memang mengangguk. Tetapi ia tidak segera masuk kedalam biliknya. Bahkan ia telah mempersilahkan Kasadha untuk beristirahat.

“Rasa-rasanya aku harus menunggui semua yang telah dipersiapkan dengan baik ini Kasadha. Beristirahatlah. Sebentar lagi, akupun akan beristirahat. Aku akan menemui Gandar, paman Sambi Wulung dan Jati Wulung, agar mereka ganti mengawasi segala-galanya yang telah dipersiapkan ini.”

Kasadha memang menganggap bahwa perasaan gelisah pada Risang itu wajar. Bagaimanapun juga besok ia akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan.

Karena itu, ketika malam menjadi semakin larut, Kasadha telah minta diri untuk kembali ketempat yang disediakan baginya dan bagi ibu serta bibinya yang juga sudah kembali lebih dahulu, setelah pekerjaan didapur berkurang, meskipun masih ada perempuan yang sibuk untuk mempersiapkan makan di keesokan harinya bagi mereka yang masih akan sibuk membersihkan halaman dan tempat-tempat yang akan dipergunakan upacara. Juga tempat-tempat yang akan dipergunakan oleh para tamu.

Ketika tengah malam telah lewat, maka Padukuhan Induk itu mulai lelap didalam tidurnya. Meskipun didapur rumah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu masih nampak sibuk, namun dihalaman, di jalan-jalan dan dirumah-rumah penghuni padukuhan induk itu sudah nampak sepi.

Iswari yang masih ikut sibuk didapur, tidak melihat anaknya melangkah keluar dari halaman rumahnya berjalan menyusuri jalan padukuhan induk. Diluar kehendaknya, maka Risang telah melihat-lihat hiasan disepanjang jalan. Rontek, umbul-umbul dan kelebet yang dipasang berderet dipinggir jalan sampai ke regol padukuhan induk. Kegelisahannya telah membawa Risang menuju kepintu regol padukuhan induk yang telah dipajang rapi.

Namun Risang itu terkejut ketika ia mendengar suara tertawa dihadapannya. Kemudian iapun melihat sinar lampu minyak yang memancar menusuk kegelapan menerangi jalan.

Risang menarik nafas dalam. Ternyata anak-anak muda yang meronda masih berkelakar didalam gardu.

Rasa-rasanya Risang tidak ingin bertemu dan berbicara dengan mereka. Risang memang ingin sendiri malam itu untuk memanjakan kegelisahannya. Justru karena Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya masih belum datang.

Karena itu ia tidak meneruskan langkahnya. Tetapi Risang itupun melangkah kembali ke regol halaman rumahnya yang juga diterangi oleh oncor minyak.

Namun sekali lagi Risang terkejut. Dilihatnya seseorang berjongkok dipinggir jalan. Orang itu belum dilihatnya ketika ia berjalan menuju kegardu diujung jalan padukuhan induk itu.

Ketika Risang menjadi semakin dekat, maka orang itupun bangkit berdiri sehingga Risangpun menjadi lebih berhati-hati.

“Selamat malam anak muda,“ berkata orang itu hampir bergumam, sehingga suaranya tidak begitu terdengar.

“Selamat malam Ki Sanak,“ jawab Risang, “nampaknya Ki Sanak bukan orang padukuhan ini.”

“Memang bukan anak muda,“ jawab orang itu, “aku datang untuk mengucapkan selamat. Bukankah besok kau akan diwisuda? Kau akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan yang masih muda. Namun dengan demikian Tanah Perdikan ini tentu akan menjadi lebih hidup. Kau tentu mempunyai greget yang lebih tinggi dari seorang perempuan, meskipun aku tahu, ibumu adalah seorang perempuan yang mumpuni. Namun bagaimanapun juga, seorang laki-laki muda seperti kau tentu akaa mempunyai gejolak yang lebih panas. Bukankah begitu?”

“Terima kasih Ki Sanak,“ jawab Risang dengan hati-hati.

“Tetapi sayang bahwa aku tidak mendapat undangan untuk menghadiri wisuda esok malam,“ berkata orang itu kemudian.

“Aku belum pernah mengenal Ki Sanak,“ jawab Risang.

Orang itu tertawa. Katanya, “Aku mengerti anak muda. Tentu hanya orang-orang terdekat sajalah yang akan menghadiri wisuda itu besok selain para bebahu Tanah Perdikan ini dan para pejabat dari Pajang. Kau tentu tidak akan mengundang para pejabat dari Kadipaten Madiun yang belum kau kenal sebelumnya.”

“Apakah kau salah seorang pejabat dari Kadipaten Madiun?“ bertanya Risang.

Orang itu tersenyum. Katanya, “Ya. Aku memang salah seorang pejabat dari Kadipaten Madiun. Kedatanganku memang dalam kerangka tugasku untuk melihat apa yang terjadi di Tanah Perdikan ini, karena berita tentang wisuda ini sudah sampai kepada kami di Madiun. Tetapi tugasku memang sekedar melihat dan kemudian memberikan laporan kepada Kangjeng Adipati di Madiun.”

“Apakah ada kepentingan Kangjeng Adipati Madiun?“ bertanya Risang.

Orang itu tertawa. Katanya, “Tanah Perdikan Sembojan yang terletak di pesisir Selatan ini berada dekat dengan Madiun. Maksudku dibandingkan dengan Pajang, maka jarak Tanah Perdikan ini dengan Madiun terhitung dekat pula.”

Risang mengangguk-angguk, sementara orang itu berkata selanjutnya, “Tetapi kami tidak mempunyai maksud apa-apa. Kami hanya ingin tahu saja.”

“Jika demikian, aku persilahkan Ki Sanak singgah.“ berkata Risang kemudian.

“Terima kasih anak muda. Aku memang sedikit segan karena Ki Rangga Kalokapraja telah hadir. Jika aku bertemu dengan Ki Rangga Kalokapraja, maka kami tentu akan berbicara panjang lebar merambat kesoal-soal pribadi yang tidak berkeputusan, karena kami memang sudah lama tidak bertemu,“ orang itu berhenti sebentar. Lalu katanya, “Salamku saja kepadanya.”

“Tetapi siapakah Ki Sanak itu?“ bertanya Risang.

“Sebut saja nama panggilanku masa kecil, Rumpon.”

“Rumpon,“ Risang mengulang.

“Ya. Ki Rangga lebih mengenal nama itu daripada namaku yang sebenarnya,“ jawab orang itu.

“Tetapi siapakah nama Ki Sanak? Bukankah tidak pantas jika aku memanggil Ki Sanak dengan sebutan itu?“ bertanya Risang.

Orang itu tertawa. Katanya, “tidak apa. Panggil saja aku Rumpon. Karena aku jauh lebih tua darimu, kau dapat memanggil aku paman. Paman Rumpon. Sedangkan aku tidak perlu menanyakan namamu, karena aku sudah mengetahuinya.”

Risang termangu-mangu sejenak. Namun sekali lagi ia mempersilahkan, “Marilah paman Rumpon. Duduklah. Kita akan dapat berbicara lebih panjang.”

“Terima kasih. Terima kasih,“ jawab orang itu, “aku sudah mendapat banyak bahan yang dapat aku laporkan kepada Kangjeng Adipati di Madiun. Seperti yang aku katakan, tidak ada maksud apa-apa selain sekedar ingin mengetahui saja. Bahkan Kangjeng Adipati tentu akan mengucapkan selamat kepadamu, ngger. Karena Kepala Tanah Perdikan Sembojan untuk selanjutnya akan dipegang oleh angger Risang yang juga bernama Barata.”

“Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih paman,“ jawab Risang meskipun ia masih agak ragu.

Namun orang yang menyebut dirinya Rumpon itupun kemudian telah minta diri. Katanya, “Aku akan kembali ke Madiun, ngger. Aku tidak mempunyai sanak kadang disini.”

“Aku mempunyai tempat bagi paman untuk menginap,“ Risangpun telah menawarkan bantuan kepada orang itu. Tetapi orang itu menjawab, “Terima kasih. Aku sudah terbiasa melakukan tugas seperti ini. Lewat senja aku sampai disini, dan sebelum dini aku akan berangkat menempuh perjalanan kembali ke Madiun.”

“Satu perjalanan yang berat,“ desis Risang.

“Tidak. Aku hanya menempuh satu perjalanan. Anggerlah yang akan memikul beban yang berat sejak besok. Bukan sekedar melaksanakan tugas. Tetapi angger juga harus merencanakan dan kemudian menilai pelaksanaannya sebelum angger merencanakan kerja selanjutnya. Sementara itu angger harus juga mengawasi selama pelaksanaannya. Tetapi lebih berat dari itu, angger harus mempertanggung jawabkan hasilnya kepada seluruh rakyat Tanah Perdikan Sembojan ini.”

Risang menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia menjawab, “Ya. Itulah tugas yang harus aku pikul kemudian setelah hari wisuda.”

“Tetapi kau akan mampu melaksanakannya ngger,“ berkata orang itu kemudian.

Risang tidak menjawab lagi, sementara orang itupun segera minta diri untuk kembali ke Madiun. Namun sebelumnya ia berkata, “Apakah angger belum pernah bertemu dengan seorang diantara kawanku dari Madiun yang pernah datang kemari?”

Risang mencoba untuk mengingat. Ia pernah bertemu dengan seseorang dibawah bukit. Orang yang juga tidak dikenalnya yang menyaksikan, saat ia melepaskan gemuruh dihatinya.

Tetapi orang itu berkata, “Sudahlah. Itu tidak penting. Mungkin pada suatu hari aku akan datang lagi, atau orang lain yang mendapat tugas dari Kangjeng Adipati di Madiun.”

“Kami akan menerima dengan baik,“ berkata Risang kemudian.

“Terima kasih. Bukankah tidak ada buruknya Tanah Perdikan ini memperluas persahabatan?“ bertanya orang itu.

“Ya,“ jawab Risang, “semakin banyak sahabat, tentu akan menjadi semakin baik.”

Demikianlah orang yang menyebut dirinya Rumpon itupun meninggalkan Risang yang termangu-mangu. Dipandanginya orang itu sampai hilang dikegelapan. Meskipun sikap Risang baik terhadap orang itu, tetapi Risang tidak kehilangan kewaspadaan. Orang itu tentu tidak memasuki padukuhan induk lewat regol dikedua ujung jalan di padukuhan induk itu, karena di kedua ujung jalan itu terdapat regol dan gardu para peronda, sehingga para peronda itu tentu akan bertanya kepada orang itu dan membawa orang itu kepadanya. Mungkin orang itu memasuki padukuhan induk lewat lorong-lorong kecil yang tidak diawasi oleh para peronda.

“Apakah maksudnya sebenarnya?“ Risang tidak dapat menyingkirkan pertanyaan itu dari hatinya. Tetapi Risang tidak bermaksud untuk berbuat kasar terhadapnya. Jika terjadi keributan, maka suasana yang tenang menjelang hari wisudanya itu akan terganggu sehingga akan dapat menimbulkan kesan yang kurang baik.

Demikianlah, dengan berbagai macam pertanyaan, Risang memasuki halaman rumahnya. Ia memang berniat untuk berbicara dengan Ki Rangga Kalokapraja esok pagi.

Namun demikian, malam.itu Risang benar-benar menjadi gelisah. Bukan saja karena kehadiran orang yang terasa asing itu, tetapi juga karena Ki Tumenggung Dipayuda masih belum datang.

Namun menjelang pagi, akhirnya Risang sempat juga tidur meskipun hanya beberapa saat.

Ketika matahari terbit, setelah mandi dan berbenah diri, Risang tidak sempat merenung lagi. Ia sudah mulai sibuk lagi bersama Kasadha untuk mengatur penerimaan para tamu yang akan datang di sekitar tengah hari. Gandar, Jati Wulung dan Sambi Wulungpun ikut sibuk pula. Sementara ibu Risang menyiapkan segala kelengkapan termasuk pertanda bagi Kepala Tanah Perdikan Sembojan, nampan dan alasnya yang khusus dibuat dari kain beludru berwarna kuning, maka Bibi telah diserahi untuk mengatur segala sesuatunya di dapur.

Dengan demikian maka Tanah Perdikan Sembojan benar-benar telah bersiap.

Ketika kemudian Ki Rangga Kalokapraja dan beberapa orang pengiringnya yang telah berada di Tanah Perdikan Sembojan berada dipendapa untuk makan pagi, maka Risangpun telah menyampaikan kepadanya tentang pertemuannya dengan seorang yang mengaku pejabat dari Kadipaten Madiun.

“Dari Madiun?“ bertanya Ki Rangga Kalokapraja.

“Ya. Menurut keterangannya dari Madiun,“ jawab Risang.

“Kenapa orang itu tidak mau singgah barang sebentar?“ bertanya Ki Rangga itu pula.

“Aku sudah mempersilahkannya. Tetapi orang itu berkeberatan,“ berkata Risang.

“Apakah ia menyebut namanya?“ bertanya Ki Rangga.

“Ia tidak mau menyebut namanya. Tetapi ia hanya menyebut nama panggilannya. Menurut keterangannya, ia sudah mengenal Ki Rangga Kalokapraja dengan baik,“ jawab Risang. Lalu katanya pula, “Nama panggilannya Rumpon.”

“O, jadi orang itulah yang telah datang,“ sahut Ki Rangga, “Aku telah mengenalnya dengan baik.”

“Orang itu juga mengatakan bahwa ia mengenal Ki Rangga Kalokapraja dengan baik.”

“Tetapi kenapa ia tidak mau singgah?”

“Ia tidak mau mengganggu Ki Rangga. Menurut keterangannya, jika ia singgah juga, maka ia dan Ki Rangga akan berbicara berkepanjangan. Mungkin orang itu menganggap bahwa dengan demikian Ki Rangga tidak akan sempat beristirahat.”

“Orang itu memang aneh sejak mudanya,“ desis Ki Rangga, “ia memang berada di Madiun. Lepas dari persahabatanku dengan orang itu, aku minta kau berhati-hati terhadapnya. Bukan karena Rumpon seorang yang jahat atau seorang yang licik. Sama sekali tidak. Tetapi justru karena ia bekerja untuk kadipaten Madiun,“ Ki Rangga justru termangu-mangu sejenak.

Risang tidak segera bertanya. Ia masih menunggu. Nampaknya ada sesuatu yang akan dikatakan oleh Ki Rangga, namun masih tertahan di bibirnya.

Namun tiba-tiba saja Ki Rangga berkata, “Bukankah Pajang telah mengirimkan beberapa orang utusan ke Madiun untuk sedikit menguak kabut yang kelabu yang menyaput hubungan antara Madiun dan Mataram? Sudah tentu menyangkut Pajang.”

Risang mengangguk-angguk. Sementara Ki Rangga berkata, “Tanah Perdikan ini letaknya memang agak menjorok ke Timur, sehingga jaraknya ke Madiun tidak jauh berbeda dengan jaraknya ke Pajang. Karena itu agaknya yang membuat Madiun menaruh perhatian khusus kepada Tanah Perdikan ini.”

Risang menarik nafas panjang. Iapun mengerti bahwa Ki Tumenggung Jayayuda juga sedang pergi ke Madiun.

“Baiklah Ki Rangga,“ berkata Risang kemudian, “jika kemudian datang lagi para petugas dari Madiun sebagaimana dikatakan oleh Rumpon, maka aku akan berhati-hati.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Tetapi kau tidak usah berprasangka buruk terhadap Madiun. Perbedaan pendapat sudah tentu dapat saja terjadi. Jangankan antara dua kekuasaan, sedangkan antara dua orang saudara kandung dalam lingkungan yang sempitpun dapat terjadi.”

Risangpun mengangguk-angguk pula. Sementara Ki Rangga berkata selanjutnya, “Sebenarnya jika aku ingat sebelumnya akan kepentingan Madiun, lebih baik Madiun justru diundang secara resmi. Namun segalanya sudah terlanjur. Seandainya hal itu aku usulkan kepada para pemimpin tertinggi di Pajang, belum tentu mendapat tanggapan yang baik.”

Risang masih saja mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali, karena ia masih belum mempunyai bahan yang cukup untuk ikut menilai Madiun. Namun yang dapat dilakukannya adalah lebih berhati-hati menghadapi para petugas dari Madiun yang mungkin akan datang di Tanah Perdikan itu kemudian sejalan dengan perkembangan hubungan Mataram dan Pajang dengan Madiun.

Namun Ki Ranggapun kemudian berkata, “Baiklah. Kita lupakan saja untuk sementara Rumpon itu. Tetapi sebagai orang, ia ramah dan baik. Jika ia datang dengan cara yang agak asing, barangkali karena ia merasa tidak perlu bertemu dengan terlalu banyak orang yang justru akan dapat menghambat tugasnya.”

“Ya Ki Rangga,“ desis Risang kemudian, “sikapnya memang cukup baik. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan.”

Demikianlah, maka pembicaraan merekapun segera bergeser kepada rencana pelaksanaan wisuda yang akan diselenggarakan menjelang malam nanti.

“Tidak ada masalah lagi,“ berkata Ki Rangga Kalokapraja kemudian, “segalanya sudah siap. Termasuk pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.”

Karena itu tugas Ki Rangga kemudian bersama Risang adalah tinggal menunggu kedatangan Ki Tumenggung Wreda Wirajaya dan para pengiringnya.

Untuk mengisi waktunya, maka Ki Rangga Kaloka-prajapun telah diantar oleh Risang dan Kasadha melihat-lihat seisi padukuhan induk yang sudah dirias untuk menyambut hari yang dianggap sangat berarti bagi Tanah Perdikan Sembojan.

Namun keresahan hati Risang masih saja terasa bergejolak didadanya. Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya ternyata belum datang.

Demikianlah, maka menjelang tengah hari, seorang yang bertugas menunggu kedatangan para tamu dari Pajang telah melihat iring-iringan itu datang. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa iapun telah melaporkannya kepada Risang yang berada di banjar bersama Ki Rangga Kalokapraja dan Kasadha.

Dengan demikian, maka padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan itupun menjadi sibuk. Risang, Kasadha dan Ki Rangga Kalokapraja dengan tergesa-gesa telah kembali kerumah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Sementara Iswaripun telah menyiapkan segala sesuatunya berkenaan dengan kedatangan Ki Tumenggung Wreda Wirajaya.

Namun Ki Rangga Kalokapraja sempat berkata, “Jangan bersikap berlebihan. Ki Tumenggung justru kurang senang mendapat sambutan yang terlalu besar. Ki Tumenggung termasuk orang yang sederhana menurut kedudukannya.”

“Tetapi bukankah Ki Tumenggung datang atas nama Kangjeng Adipati Pajang?“ bertanya Risang.

“Ya. Tetapi demikianlah pribadi Ki Tumenggung,“ jawab Ki Rangga Kalokapraja.

Risang dan para pemimpin Tanah Perdikan yang menyambutnya memaklumi. Pribadi seseorang memang berbeda-beda. Bahkan ada seseorang yang justru menginginkan sambutan dan penghormatan yang berlebihan. Namun agaknya tidak bagi Ki Tumenggung. Namun bagaimanapun juga, sulit bagi para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan untuk mengekang rakyatnya yang ingin menyambut kedatangan Ki Tumenggung Wreda Wirajaya yang datang atas nama Kangjeng Adipati di Pajang.

Karena itulah, maka hampir semua orang di Tanah Perdikan Sembojan, bukan saja yang tinggal di padukuhan induk, tetapi di setiap padukuhan yang dilalui oleh iring-iringan itu, telah keluar dari rumahnya dan berdiri berjajar disepanjang jalan.

Ki Tumenggung memang seorang yang ramah dan rendah hati. Sambil duduk diatas punggung kudanya Ki Tumenggung Wreda telah mengangguk membalas hormat yang diberikan oleh rakyat Tanah Perdikan Sembojan yang menyambut kedatangannya.

Dengan demikian maka perjalanan Ki Tumenggung Wreda itu menjadi lamban. Ia tidak mau mengecewakan orang-orang yang menyambutnya dengan lewat begitu saja. Apalagi dengan kuda yang berlari kencang.

Demikianlah, betapapun juga, sambutan atas kedatangan Ki Tumenggung Wreda itu terasa cukup meriah. Meskipun diusahakan tidak terasa berlebihan, namun terasa bahwa rakyat Tanah Perdikan menaruh hormat kepada pemimpinnya.

Ki Tumenggung Wreda itupun telah diterima oleh Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan di pendapa rumahnya, yang telah dipersiapkan untuk melaksanakan wisuda pada menjelang malam mendatang.

Namun kesan yang timbul atas Ki Tumenggung itu memang terasa sejuk. Wajahnya lembut meskipun pada sorot matanya menunjukkan ketajaman penalarannya.

Hubungannya dengan Ki Rangga Kalokaprajapun nampak akrab. Ki Tumenggung Wreda Wirajaya itu agaknya memang sengaja didalam kehidupannya sehari-hari tidak mengambil jarak dengan orang-orang disekitarnya meskipun pangkat dan derajatnya lebih rendah daripadanya.

Itulah agaknya yang membuat semua persoalan yang ditanganinya justru melahirkan hasil yang baik. Orang-orang yang mendapat tugas daripadanya tidak merasa takut dan segan untuk membicarakan tugas-tugasnya dengan Ki Tumenggung Wreda. Bahkan yang kedudukannya dibatasi oleh jarak yang agak jauh.

Kesan itulah yang membuat semua persoalan dapat dibicarakan dengan lancar menjelang saat wisuda menjelang malam nanti. Sementara Ki Rangga Kalokapraja yang menjadi jembatan pembicaraanpun dapat membawakannya dengan baik karena ia dapat berbicara dengan akrab pada keduabelah pihak.

Ketika kemudian Ki Rangga Kalokapraja melaporkan semua persiapan yang telah dianggapnya baik serta menawarkan agar Ki Tumenggung menilainya kembali, maka Ki Tumenggung berkata sambil tersenyum, “Jika semuanya sudah dianggap baik oleh Ki Rangga, maka aku-pun menganggapnya baik. Bukankah yang penting dalam upacara ini asal aku tidak lupa membawa mulutku untuk menyampaikan ketetapan wisuda Kepala Tanah Perdikan ini? Sedangkan yang lain-lain adalah sekedar kelengkapan yang tidak mutlak.”

Orang yang hadir dalam penerimaan itu tertawa tertahan mendengar gurau Ki Tumenggung. Namun sikap itu sama sekali tidak mengurangi kewibawaannya. Sikap kebapaan nampak jelas, juga pada kata-kata yang diucapkannya kemudian menanggapi laporan Ki Tumenggung Kalokapraja.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka para petugaspun telah menghidangkan berbagai macam suguhan. Minuman hangat, beberapa jenis makanan dan bahkan kemudian makan siang karena matahari memang telah melewati puncak langit.

Baru kemudian, setelah beristirahat sejenak sambil membicarakan jalannya upacara, maka Ki Tumenggung itupun telah dipersilahkan beristirahat ditempat yang lelah disediakan.

Demikian Ki Tumenggung diantar oleh K i Rangga Kalokapraja, Risang, Kasadha dan beberapa orang yang lain pergi ke tempat peristirahatannya, maka Iswaripun telah menemui kakek dan neneknya diruang dalam.

Kepada mereka Iswari berkata, “Ternyata Ki Tumenggung Wreda Wirajaya tidak sebagaimana aku bayangkan. Ia adalah seorang yang rendah hati, ramah dan gembira dalam usianya yang sudah dipertengahan abad. Tetapi tidak mengurangi kewibawaannya.”

“Sokurlah. Bukankah dengan demikian segala sesuatunya akan dapat berjalan lebih lancar?“ bertanya Kiai Badra.

“Ya kek,“ jawab Iswari, “semua pembicaraan dapat dilakukan dengan terbuka. Tidak ada perasaan segan dan apalagi takut untuk menyatakan satu pendapat.”

“Jika demikian, nampaknya segala sesuatunya akan dapat dilaksanakan dengan baik,“ berkata Kiai Soka kemudian.

Sebenarnyalah bahwa tidak ada masalah lagi yang agaknya dapat mengganggu upacara yang bakal dilakukan menjelang malam. Sehingga dengan demikian maka Iswari menjadi semakin tenang. Sementara itu jalannya upacarapun telah disetujui oleh Ki Tumenggung sehingga segala sesuatunya tinggal melaksanakannya saja.

Ketika Ki Tumenggung Wreda sudah berada ditempat peristirahatannya bersama beberapa orang pengiringnya, maka Ki Rangga Kalokaprajapun telah memperingatkan agar Risang juga beristirahat. Setidak-tidaknya untuk mengendapkan perasaannya menjelang saat wisudanya.

“Aku sudah cukup beristirahat Ki Rangga,“ berkata Risang yang telah mulai diganggu lagi oleh kegelisahannya karena Riris masih belum nampak datang dengan atau tidak dengan Ki Rangga Dipayuda. Namun nampaknya Risangpun ingin menyimpan kegelisahannya itu sendiri. Ia masih belum mengatakannya sama sekali kepada siapapun juga, termasuk kepada Kasadha.

Bahkan kemudian justru Risanglah yang memper-silahkan Kasadha untuk beristirahat barang sejenak.

“Kau sudah terlibat dalam kesibukan yang melelahkan,“ berkata Risang, karena itu beristirahatlah meskipun hanya sebentar. Nanti kau masih akan ikut membantu menerapkan kelangsungan upacara agar dapat berjalan sebagaimana seharusnya.”

“Bukankah selama ini aku tidak berbuat apa-apa? Aku hanya duduk ikut menemui para tamu. Berjalan-jalan mengiringi Ki Rangga Kalokapraja, kemudian menyongsong kedatangan Ki Tumenggung Wreda,“ jawab Kasadha.

“Tetapi bukankah sekarang tidak ada lagi yang harus dilakukan sampai menjelang senja? Baru kemudian setelah mandi dan membenahi diri, maka kita akan kembali naik kependapa untuk mengikuti upacara itu,“ berkata Risang kemudian.

Kasadha tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan beristirahat.”

“Bibi keduanya juga sebaiknya beristirahat,“ berkata Risang kemudian, “justru bibi berdua menjadi sangat sibuk didapur terus-terusan.”

Kasadha tersenyum sambil berkata, “Tetapi baiklah. Aku akan mempersilahkan ibu dan bibi untuk beristirahat. Tetapi biasanya orang-orang yang sedang membantu kesibukan peralatan apapun juga, baru akan berhenti jika pekerjaan itu telah selesai atau sebagian besar selesai.”

“Tetapi didapur bukankah sudah banyak orang vang mengerjakannya?“ desis Risang.

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian perempuan-perempuan didapur itu sebaiknya memang bergilir sehingga tidak semua bersama-sama menjadi letih.”

“Ya. Padahal bukan hanya nanti malam mereka menjadi sangat sibuk. Besok pagipun mereka masih sangat sibuk menyiapkan makan pagi bagi para tamu dari Pajang dan mereka yang bekerja membersihkan tempat upacara dan halaman-halaman rumah yang dipergunakan untuk menginap itu. Apalagi jika mereka baru meninggalkan Tanah Perdikan ini disiang hari,“ sahut Risang.

Dengan demikian maka Kasadhapun telah meninggalkan Risang, kembali ke tempat yang disediakan baginya serta ibu dan bibinya, yang ternyata seperti dugaannya masih berada didapur bersama perempuan-perempuan yang lain.

Namun nampaknya Risang telah minta pada Bibi yang sibuk didapur, agar tenaga yang ada itu dapat dibagi seisuai dengan kebutuhan.

Sementara itu, Risang sendiri sama sekali tidak dapat beristirahat. Perasaannya masih selalu diusik oleh kegelisahannya karena Ki Rangga Dipayuda masih belum datang. Sementara itu segala sesuatu yang berhubungan dengan wisuda itu sudah mulai berlangsung. Ki Tumenggung Wreda Wirajayapun telah datang pula bersama beberapa orang pengiringnya.

Ketika matahari menjadi semakin turun, serta beberapa orang laki-laki mulai menyiram halaman rumah sebelum disapu agar tidak berdebu, maka Risangpun seakan-akan menjadi putus asa. Ia tidak dapat menunjukkan kepada Riris, bagaimana ia telah diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Dengan lesu Risang itupun kemudian masuk keruang dalam langsung kebiliknya. Ia ingin berbaring meskipun hanya sesaat untuk menghilangkan pegal-pegal dipunggungnya. Namun Risang sendiri mengerti, bahwa ia tidak dapat menghilangkan pegal-pegal dihatinya karena ke tidak datangan Riris.

Namun selagi Risang itu seakan-akan menghitung kerangka atap rumahnya, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu biliknya sambil berdesis, “Risang. Masih ada tamu yang datang dari Pajang.”

Risang tahu bahwa suara itu adalah suara ibunya. Dengan nada tingi ia bertanya, “Siapa ibu?”

Ternyata Risang tidak menunggu jawaban ibunya. Iapun segera meloncat turun dari pembaringannya dan lari kepintu. Sambil membuka pintu maka iapun berdesis, “Tentu Ki Rangga Dipayuda.”

Risang memang tidak menunggu ibunya. Iapun segera berlari kepintu pringgitan. Demikian ia membuka pintu, maka hatinya yang mengering itu seakan-akan telah disentuh titik-titik air embun. Yang dilihatnya dipendapa adalah Ki Rangga Dipayuda disertai oleh Nyi Rangga, Jangkung dan Riris.

Baru kemudian Risang teringat akan ibunya. Karena itu, maka iapun telah mempersilahkan ibunya untuk menemui Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya itu.

Perasaan seorang ibu ternyata cukup tajam menanggapi sikap anaknya. Ketika Risang memperkenalkan ibunya dengan Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya, maka tatapan matanya telah tertambat sesaat kepada seorang gadis diantara mereka.

Perkenalan merekapun segera menjadi akrab. Risang telah menyebutkan siapakah Ki Rangga Dipayuda, sementara Risangpun telah mengatakan kepada, Ki Rangga bahwa untuk waktu yang cukup lama, ibunyapun yang menjadi Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

“Maaf, kami datang terlambat,“ berkata Ki Rangga Dipayuda kemudian.

“Tidak,“ sahut Risang, “wisuda baru dilakukan nanti malam.”

“Sebenarnya kami ingin datang kemarin,” berkata Ki Rangga, “tetapi aku tidak dapat meninggalkan barak. Ketika Ki Tumenggung Jayayuda datang dari tugasnya, maka ia telah memanggil semua pandega untuk memberikan beberapa penjelasan. Baru kemudian aku diijinkan untuk meninggalkan barak.”

“Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Rangga dan keluarga untuk datang,“ desis Iswari kemudian.

Namun Ki Rangga itupun bertanya, “Bukankah Kasadha sudah berada disini?”

“Ya,“ jawab Risang, “kemarin lusa ia datang setelah senja.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Untunglah bahwa aku tidak menahan anak itu agar pergi bersamaku. Jika ia pergi bersamaku, maka iapun akan terlambat.”

Demikianlah, setelah dihidangkan minuman, makanan dan bahkan makan, maka Ki Rangga Dipayudapun telah dipersilahkan untuk beristirahat ditempat yang telah disediakan.

Namun sebelum mereka meninggalkan pendapa, dengan ragu Risang bertanya kepada ibunya, “Ibu, apakah ibu telah menunjuk seseorang yang akan membawa nampan berisi pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan?”

Ibunya mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menjawab, “Segala sesuatunya telah siap Risang. Tetapi aku lupa menunjuk seseorang. Namun itu bukan soal yang terlalu sulit. Aku akan segera menyiapkannya.”

“Ibu,“ tiba-tiba nada suara Risang merendah, “bagaimana jika aku minta tolong Riris untuk melakukannya. Sudah tentu jika Ki Rangga dan Nyi Rangga tidak berkeberatan.”

Ibunya termangu-mangu. Diluar sadarnya ia memandang Riris yang justru menunduk.

Namun ibu Risang itupun tanggap akan perasaan anaknya. Karena itu, maka iapun telah memberanikan diri untuk menyampaikan permintaan kepada Ki Rangga dan Nyi Rangga Dipayuda, “Kami mohon maaf sebelumnya, Ki Rangga. Sebagaimana permintaan anakku, kami mohon perkenan Ki Rangga dan Nyi Rangga, bahwa angger Riris akan kami minta pertolongannya untuk mempersiapkan pertanda bagi seorang Kepala Tanah Perdikan Sembojan, yang nanti akan dikalungkan oleh Ki Tumenggung Wreda Wirajaya.”

Ki Rangga Dipayuda menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berpaling kepada Riris, bahkan sambil tersenyum. Katanya, “Bukankah kau tidak berkeberatan Riris?”

Sebelum Riris menjawab, Jangkung berdesis, “Jika kau berkeberatan, biarlah aku saja.”

Namun Ririspun berdesis, “Ah, kau.“

Ki Rangga Dipayudapun kemudian berdesis, “Baiklah Nyi. Agaknya Riris tidak berkeberatan untuk melakukannya.”

Risang menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, ibunya telah mempersilahkannya pula untuk beristirahat meskipun waktunya menjadi semakin sempit.

Risanglah yang kemudian mengantar mereka ke tempat yang telah disediakan. Disepanjang jalan yang hanya beberapa puluh patok itu, Ki Rangga sempat bertanya tentang Ki Tumenggung Wreda Wirajaya.

“Ki Tumenggung telah berada disini,” jawab Risang.

Sementara itu Jangkungpun bertanya pula, “Dimana Kasadha sekarang?”

“Ia berada di tempatnya menginap. Baru saja ia meninggalkan pendapa. Sejak kemarin ia membantu mempersiapkan tempat ini.”

“Sayang, aku datang terlalu lambat,“ desis Jangkung.

“Kami merasa bersukur bahwa Ki Rangga sekeluarga akhirnya sempat datang,“ desis Risang.

Demikianlah, setelah Ki Rangga dan keluarganya berada ditempat yang telah disediakan, maka Risangpun meninggalkan mereka untuk mempersiapkan diri. Sementara itu matahari telah menjadi semakin rendah. Namun hati Risang tidak lagi terasa gelisah. Bahkan ia merasa beruntung, bahwa Riris telah bersedia untuk membawa pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan dalam upacara yang akan diselenggarakan nanti.

Waktupun merambat setapak demi setapak. Menjelang senja, maka lampu-lampupun telah dinyalakan, lebih cepat dari biasanya. Bahkan oncor diregolpun telah menyala. Bukan saja di regol halaman rumah yang akan dipakai untuk wisuda, tetapi diregol-regol halaman rumah yang lain. Bahkan dipintu gerbang padukuhan induk. Sehingga ketika gelap mulai turun, maka justru jalan-jalan menjadi terang benderang. Demikian pula halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Sejenak kemudian, maka para tamupun mulai berdatangan. Pendapapun mulai terisi. Sementara beberapa orang perempuan yang menjadi tamu khusus dipersilahkan duduk diruang dalam. Demikian pula Nyi Rangga Dipayuda yang ditemui oleh Nyai Soka, beberapa orang isteri bebahu yang ditunjuk oleh Iswari. Namun lernyala ibu Kasadha tidak bersedia duduk bersama mereka, ia dan bibi Kasadha lebih senang berada di dapur menenggelamkan diri dalam kesibukan.

“Bukankah dengan demikian aku tidak sempat merenungi diriku sendiri,“ berkata ibu Kasadha itu kepada sepupunya.

Diruang dalam itu pula Riris dipersiapkan, ia mengenakan pakaian yang paling baik yang dibawanya. Disebelahnya telah disiapkan sebuah nampan yang dialasi dengan beludru berwarna kuning keemasan. Diatasnya terletak sebuah kalung yang lebih besar dari kalung kebanyakan. Terbuat dari emas dengan bandul dari emas pula dan bertatahkan lukisan kepala seekor burung yang garang.

Risang sendiri duduk didepan pintu pringgitan bersama ibunya dan kedua orang kakeknya, Kiai Soka dan Kiai Badra. Disebelahnya yang lain, duduk Ki Rangga Kalokapraja yang telah hadir pula.

Kasadha terkejut ketika ia melihat Ki Rangga Dipayuda dan Jangkung telah ada diantara para tamu. Iapun segera beringsut dan duduk disebelahnya.

Ki Ranggapun beringsut pula. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku datang terlambat. Ki Tumenggung Jayayuda yang datang dari Madiun telah memanggil para Pandega untuk berbincang.”

Kasadha mengangguk-angguk. Sementara Jangkung berkata, “Kau sempat membantu mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tidak.”

Kasadha tersenyum. Katanya, “Tetapi bukankah karena Ki Rangga sedang dalam tugas yang penting.”

“Sebenarnya aku dapat berangkat lebih dahulu,“ desis Jangkung yang nampak kecewa atas kelambatannya.

Tetapi Kasadha menjawab, “Kau tidak usah menyesali dirimu sendiri. Semuanya sudah terjadi. Bukankah kau juga datang tidak terlambat?”

“Ya. Aku memang tidak terlambat,“ desis Jangkung.

“Apakah kau sudah bertemu dengan Risang?“ bertanya Kasadha dengan nada rendah.

“Risang?“ bertanya Jangkung.

“Maksudku Barata,“ jawab Kasadha.

“Sudah. Ketika kami datang, kami sudah ditemuinya. Ibunya memang memanggilnya Risang. Agaknya disini ia lebih dikenal dengan nama itu daripada Barata,“ berkata Jangkung kemudian.

“Kau hanya berdua saja?“ bertanya Kasadha, “apakah Nyi Rangga tidak jadi berangkat?”

“Aku datang bersama ibu dan Riris,“ jawab Jangkung.

Jantung Kasadha berdesir lembut. Jika demikian ibu Jangkung tentu ada didalam bersama Riris. Mungkin mereka duduk bersama ibu dan bibinya. Namun Kasadha tidak tahu, dimana ibu dan bibinya duduk. Ketika ia berangkat dari tempat yang disediakan baginya, ibu dan bibinya sudah mendahuluinya.

“Tetapi agaknya ibu dan bibi lebih senang berada di dapur,“ berkata Kasadha didalam hatinya.

Demikianlah, sejenak kemudian, ketika malam menjadi gelap, Ki Tumenggung Wreda Wirajaya telah datang pula bersama beberapa orang pengiringnya. Para tamupun beringsut dan menempatkan diri, sementara Ki Tumenggung Wreda Wirajayapun dipersilahkan untuk duduk di muka pintu pringgitan yang tertutup.

Suasana pendapa rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu memang menjadi ceria. Wajah Risangpun nampak cerah dibawah cahaya lampu minyak yang kekuning-kuningan. Demikian pula Iswari yang nampak lebih muda dari umurnya yang sebenarnya.

Setelah Ki Tumenggung Wreda Wirajaya duduk sejenak, maka Ki Rangga Kalokapraja yang mengantar upacara wisuda itupun mulai membuka pertemuan.

Para tamu mendengarkannya dengan bersungguh-sungguh. Kata demi kata yang diucapkan oleh Ki Rangga Kalokapraja.

Kasadhapun mendengarkan penjelasan Ki Rangga tentang upacara wisuda itu. Sedikit uraian tentang riwayat Tanah Perdikan itu, serta Surat Kekancingan yang menetapkan Tanah Perdikan Sembojan sebagai Tanah Perdikan yang sah.

Kasadha menjadi berdebar-debar ketika disebut oleh Ki Rangga Kalokapraja bahwa Ki Wiradana, yang tidak sempat diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan, meninggal dengan meninggalkan dua orang anak laki-laki.

Namun Ki Rangga ternyata tidak menyebutkan nama kedua orang anak laki-laki itu. Yang dikatakannya kemudian adalah, “Yang sekarang akan diwisuda adalah anak tertua dari Ki Wiradana itu. Risang.”

Demikianlah, maka upacara wisuda itupun segera dimulai. Ki Tumenggung Wreda Wirajaya telah minta salah seorang pembantunya untuk membacakan Surat Kekancingan penetapan Risang, anak laki-laki tertua Ki Wiradana untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan di Sembojan.

Ki Tumenggung itupun kemudian telah mengucapkan sesorahnya berkenaan dengan Surat Kekancingan itu. Kemudian sesorahnya diakhirinya dengan mempersilahkan Risang untuk maju dan duduk dihadapannya bersama ibunya, yang selama itu menjadi Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang kosong.

“Atas nama Kangjeng Adipati yang memerintah di Pajang, maka Risang, anak laki-laki tertua Ki Wiradana, tanpa mengkesampingkan hak atas anak yang termuda, dibawah perlindungan Yang Maha Agung terhadap segala marabahaya, ditetapkan menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan dengan segala wewenangnya, haknya dan kewajibannya.”

Susana di pendapa itupun terasa hening. Seakan-akan anginpun telah berhenti berhembus. Dedaunan menjadi diam tanpa terusik seakan-akan ikut mendengarkan sesorah yang diakhiri dengan wisuda atas Risang menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Demikian sesorah itu selesai, maka Ki Rangga Kalokaprajapun mempersilahkan Ki Tumenggung Wreda Wirajaya mengenakan sebuah kalung pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Suasanapun menjadi semakin hening. Pintu pringgitan dibelakang tempat duduk Ki Tumenggung itu terbuka dari dalam. Kemudian muncul seorang gadis yang berjalan sambil berjongkok membawa sebuah nampan yang beralaskan kain’beludru berwarna kuning keemasan. Gadis itu adalah Riris.

Semua orang memandang dengan kagum. Gadis yang dirias dan berpakaian serasi dengan warna kulitnya itu, nampak sangat cantik. Cahaya lampu minyak membuat kulit gadis itu menjadi kuning langsat. Matanya yang icdup sedikit menunduk membuatnya nampak agung dalam bayangan warna kuning keemasan dari alas nampan yang dibawanya.

Didalam nampan itu terletak pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Namun dalam pada itu, jantung Kasadha yang duduk didekat Ki Rangga Dipayuda dan Jangkung itu telah terguncang. Ia sudah tahu kalau Riris ada didalam sebagaimana dikatakan oleh Ki Rangga dan Jangkung. Namun ia lidak mengira bahwa Riris akan ikut melayani Ki Tumenggung Wreda Wirajaya dalam rangkaian upacara itu. Justru membawa pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Apalagi malam itu Riris yang berhias dan berpakaian sangat serasi itu nampak sangat cantik.

Dada Kasadha bergelora melihat Riris duduk mendekat Risang yang sedang diwisuda itu. Kemudian Ki Tumenggung Wreda bergeser dari tempatnya mengambil kalung emas pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan di nampan yang dibawa oleh Riris, dan mengalungkannya dileher Risang.

Rasa-rasanya dada Kasadha akan meledak. Keringat dingin telah mengalir diseluruh tubuhnya, sehingga bajunya menjadi basah. Di keningnya keringat itu mengalir menitik satu-satu.

Tetapi betapa hatinya bergejolak, namun Kasadha masih tetap bertahan duduk ditempatnya. Meskipun tikar tempat ia duduk itu bagaikan menjadi bara, Kasadha tetap tidak beringsut. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap mengendalikan penalarannya. Apalagi saat itu adalah salah satu peristiwa puncak dalam perjalanan hidup Risang dan kehidupan Tanah Perdikan Sembojan.

Namun untuk selanjutnya wisuda itu sendiri sudah tidak lagi menjadi perhatiannya, justru karena ia harus mengerahkan ketahanan jiwanya untuk mengatasi gejolak yang mengguncang-guncang jantungnya. Sementara itu, upacara itupun masih berlangsung. Tetapi setelah upacara pengalungan pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan itu, rasa-rasanya memang tidak ada lagi hal-hal yang penting. Sedikit sesorah Nyi Wiradana sebagai Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Kemudian ucapan kesediaan dan janji Risang sebagai Kepala Tanah Perdikan yang sudah ditetapkan.

Dengan demikian upacara itu sendiri telah selesai. Yang tinggal kemudian adalah acara makan bersama.

Satu-satu suguhan telah dihidangkan. Sementara itu Kasadha masih saja harus selalu mengusap keringat dinginnya. Sekali-sekali terdengar ia berdesah, seakan-akan ingin melepaskan himpitan pada perasannya.

Dengan tidak sengaja Jangkung melihat keadaan Kasadha. Beberapa kali Kasadha mengusap keringat dikeningnya. Bahkan bajunya mulai nampak menjadi basah. Bagaimanapun juga Kasadha berusaha, tetapi ia tidak dapat menyembunyikan seluruh kegelisahannya, sehingga Jangkungpun bertanya, “Kenapa kau Kasadha? Apa kau sakit?”

Kasadha terkejut mendapat pertanyaan itu. Dengan serta-merta iapun menjawab, “Tidak. Aku tidak apa-apa.”

“Tetapi kau nampak gelisah sekali. Keringatmu mengembun dikening dan lihat, bajumu menjadi basah,“ berkata Jangkung pula hampir berbisik.

“Tidak. Aku tidak apa-apa. Sudah terbiasa bagiku keringat mengalir seperti diperas dari tubuh,“ jawab Kasadha perlahan. Lalu katanya pula, “Minuman hangat membuat peluhku semakin banyak. Tetapi itu tidak apa-apa.”

Jangkung mengangguk kecil. Tetapi iapun merasa bahwa keringatnya juga mengalir. Tetapi tidak sebanyak keringat ditubuh Kasadha.

Acara makan bersama itupun berlangsung tidak terlalu lama. Ketika acara itu selesai, maka Ki Tumenggung Wreda Wirajayapun merasa bahwa pertemuan itu sudah Cukup. Tugasnya telah diselesaikannya dengan baik. Karena itu, maka Ki Tumenggungpun akan segera meninggalkan tempat upacara kembali ketempat yang disediakan baginya.

Kesempatan itu sekaligus dipergunakan oleh Ki umenggung untuk minta diri. Katanya, “Sayang, aku besok harus kembali ke Pajang, sehingga aku tidak sempat melihat acara-acara keramaian yang akan diselenggarakan mulai besok di Tanah Perdikan ini. Karena itu, maka biarlah aku mengucapkan selamat atas kegembiraan rakyat Tanah Perdikan ini menyambut kehadiran Kepala Tanah Perdikan ini. Besok aku minta diri.”

Beberapa orangpun kemudian mengiringi Ki Tumenggung meninggalkan pendapa rumah Risang. Tetapi Tumenggung justru mencegah Risang yang akan mengiringinya pula. Katanya, “Kau menjadi pusat segala kesibukan sekarang. Biarlah kau tidak usah meninggalkan pendapa ini.”

Risang memang menjadi agak bimbang. Namun kemudian Ki Rangga Dipayudalah yang berbisik kepadanya, “Biarlah aku mewakilimu.”

“Terima kasih Ki Rangga,“ jawab Risang. Namun ternyata Kasadha juga berbisik, “Aku juga dapat ikut mengantar Ki Tumenggung. Barangkali aku juga dapat mewakilimu.”

“Terima kasih,“ desis Risang itu pula tanpa mengerti gejolak perasaan Kasadha.

Kasadha memang ingin sedikit melepas himpitan perasaannya. Dengan meninggalkan pendapa itu, maka dadanya memang terasa agak lapang. Ia sempat meng hirup udara malam yang segar sepanjang langkahnya dalam iring-iringan mengantar Ki Tumenggung Wreda sampai ketempat yang dipersiapkan baginya.

Oleh Ki Rangga Kalokapraja dan Ki Rangga Dipayuda yang memang sudah mengenal Ki Tumenggung dengan baik, Kasadhapun telah diperkenalkan kepada Ki Tumenggung.

“Kau masih begitu muda sudah diangkat menjadi Lurah prajurit?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Satu anugerah Ki Tumenggung,“ jawab Kasadha sambil mengangguk hormat.

“Bagus. Mudah-mudahan kau akan segera mendapat kesempatan yang lebih baik,“ berkata Ki Tumenggung sambil tersenyum. Namun kemudian ia menjawab, “Siapakah pimpinan kesatuanmu?”

“Ki Tumenggung Jayayuda,“ jawab Kasadha.

“O,“ Ki Tumenggung Wreda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Seorang Tumenggung yang baik.”

“Kemudian dibawah Pandega Ki Rangga Dipayuda,“ berkata Kasadha kemudian.

“O,“ Ki Tumenggung Wreda mengangguk-angguk pula, “juga seorang Pandega yang baik. Sayang, umurnya sudah mengejarnya terus, sehingga kesempatannya menjadi terbatas.”

Orang-orang yang mendengar gurau Ki Tumenggung Wreda itu tertawa. Ki Rangga Dipayuda sendiri berkata sambil tertawa, “Siapa tahu bahwa pada suatu saat aku akan menajdi muda kembali. Sehingga aku akan mendapat kesempatan lagi.”

“Kesempatan apa?“ berkata Ki Tumenggung Wreda.

Sekali lagi orang-orang yang masih berkerumun disekitar Ki Tumenggung Wreda itu tertawa. Namun Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, “Sudahlah. Aku akan beristirahat. Besok pagi-pagi aku akan kembali ke Pajang. Sebagaimana kalian ketahui, Pajang masih saja diselubungi kabut. Apalagi sekarang Kangjeng Adipati sedang sakit.”

“O, jadi Kangjeng Adipati sedang sakit?” justru Ki Rangga Kalokapraja yang bertanya.

“Ya. Hanya orang-orang terbatas yang mengetahui. Namun sekarang hal itu memang tidak perlu dirahasiakan lagi,“ jawab Ki Tumenggung, “mudah-mudahan dalam satu dua hari ini Kangjeng Adipati akan segera sembuh.”

Demikianlah, ketika Ki Tumenggung Wreda itu masuk keruang dalam rumah yang diperuntukkan baginya sebagai penginapan, maka Ki Rangga Dipayuda, Kasadha dan beberapa orang lagi telah kembali kerumah Risang.

Tetapi demikian mereka sampai keregol halaman rumah Risang, maka Kasadha telah menjadi gelisah lagi. Sekali lagi ia harus bertahan, agar jantungnya tidak meledak, sehingga dapat menimbulkan suasana yang tidak pantas.

Tetapi Kasadha justru menjadi sedikit lega, justru karena pendapa itu sudah menjadi lengang. Agaknya sepeninggal Ki Tumenggung Wreda, maka para tamupun telah minta diri.

Namun demikian, ternyata orang-orang terdekat masih juga berada di pendapa. Bahkan beberapa orang perempuan telah keluar pula dan duduk dipendapa.

Kasadha menjadi berdebar-debar ketika diantara mereka terdapat Nyi Rangga Dipayuda dan anak gadisnya Riris. Namun diantara mereka tidak terdapat ibu dan bibinya.

Ketika Kasadha melangkah mendekati pendapa, maka Iswaripun berkata kepadanya, “Marilah ngger. Ibu dan bibimu tidak mau aku minta duduk bersama kami disini.“

“Terima kasih ibu,“ jawab Kasadha, “biarlah aku menemani ibu dan bibi.”

Namun Risanglah yang menyahut, “Biar aku sajalah yang memanggilnya. Aku juga akan pergi kebelakang.”

“Tidak. Jangan,“ cegah Kasadha, “aku ingin menemani ibu.”

Risang tidak dapat memaksanya. Sementara Ki Rangga Dipayuda dan Ki Rangga Kalokapraja naik kependapa, maka Kasadhapun telah pergi ke dapur menemui ibu dan bibinya.

Ketika Jangkung berbisik untuk mengikutinya, Kasadha berkata, “Jangan. Kau duduk saja dipendapa. Nanti aku juga kembali kependapa.”

Jangkung termangu-mangu. Namun Risangpun kemudian mempersilahkan naik kependapa pula.

Sementara itu, Kasadha yang pergi ke dapur, mendapatkan ibu dan bibinya sudah duduk diamben panjang bersama beberapa orang perempuan. Nampaknya sudah tidak ada pekerjaan yang dikerjakannya. Sehingga karena itu, maka Kasadhapun berkata, “Jika ibu dan bibi ingin beristirahat, marilah. Aku antarkan kembali kepenginapan.”

“Tetapi bukankah masih ada tamu dipendapa?“ bertanya ibunya.

“Nanti aku akan kembali,“ jawab Kasadha.

Ibu dan bibinya tidak menolak. Apalagi pekerjaan memang sudah selesai di dapur. Besok pagi-pagi sekali perempuan-perempuan itu harus sudah mulai lagi sibuk mempersiapkan makan pagi para tamu.

Merekapun kemudian telah minta diri. Iswari memang menahannya. Namun ibu dan bibi Kasadha menyatakan bahwa besok pagi-pagi benar mereka sudah akan berada didapur lagi.

Sementara itu Risangpun bertanya, “Kau juga akan kembali ke penginapanmu Kasadha?”

“Nanti aku kembali lagi. Sekedar mengantar ibu,“ jawab Kasadha.

Risang tersenyum. Baginya memang terdengar aneh, luhwa ibu dan bibi Kasadha masih harus diantarkan. Tanpa Kasadha maka keduanya tidak akan ada yang dapat imngganggunya. Sepengetahuan Risang, perempuan itu adalah perempuan yang berilmu sangat tinggi.

Namun dalam pada itu, sepanjang jalan menuju kepenginapannya terasa oleh ibu dan bibi Kasadha perubahan akap anak muda itu. Ia lebih banyak merenung. Pertanyaan-pertanyaan ibu dan bibinya kadang-kadang mengejutkannya.

Apalagi ketika mereka sampai dipenginapan. Mereka melihat wajah Kasadha yang pucat, pakaiannya yang basah oleh keringat. Kata-kata yang keluar dari mulutnya, kadang-kadang tidak dikendalikan oleh nalarnya yang bugaikan beku.

“Kau kenapa Kasadha?“ bertanya ibunya.

Kasadha memang menjawab dengan serta-merta, ”Aku tidak apa-apa ibu.”

Namun kemudian angan-angannyapun telah menerawang. Wajah Riris yang cantik nampak melintas di penglihatan batinnya. Bahkan kemudian nampak Riris seakan-akan duduk tidak sekedar didekatnya membawa nampan berisi kalung pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan. Namun seakan-akan Riris itu duduk disebelah Risang.

“Ibu,“ berkata Kasadha tiba-tiba, “besok kita akan pulang.”

“Besok? Bukankah besok disini masih sibuk? Besok malam keramaian baru dimulai.”

“Keramaian itu akan berlangsung sedikitnya tiga hari. Apakah aku harus menunggu disini sampai tiga hari? Bukankah aku seorang prajurit ibu? Aku mempunyai tugas di barak. Tentu aku tidak dapat bersenang-senang disini tanpa memikirkan tugas-tugasku di barak?”

“Kasadha,“ potong ibunya, “kenapa kau sebenarnya? Bukankah kau merencanakan untuk berada disini sedikitnya lima hari? Bukankah kau sudah mendapat ijin dari Senapatimu. Bahkan Ki Rangga Dipayuda juga ada disini. Apakah ia memerintahkan agar kau segera kembali?”

Wajah Kasadha memang menegang. Ia tidak segera menjawab. Namun keringatnya mulai mengalir lagi diseluruh tubuhnya.

Namun suara ibunya merendah. Sambil mendekati dan memegang kedua bahu anaknya, Warsi itu berkata lembut, “Kasadha. Bukankah selama ini kau telah mengatakan, bahwa kau dengan ikhlas menyerahkan semua hak atas Tanah Perdikan ini kepada Risang, saudara tuamu sendiri? Bukankah kau sudah berjanji, bahwa kau tidak akan merasa iri atau dengki atas warisan dan juga sudah tentu kedudukan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.”

“Tentu ibu, tentu,“ suara Kasadha justru mengeras. Ia beringsut beberapa langkah dari ibunya sambil berkata, “Aku sama sekali tidak merasa iri. Apalagi dengki atas kedudukan Risang sekarang.”

Buku 48

IBUNYA termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anaknya yang gelisah dengan kerut didahinya.

“Kasadha,“ desis ibunya pula, “jika bukan karena hak atas Tanah Perdikan ini, apalagi yang kau pikirkan? Kau merenung, gelisah dan bahkan seperti orang bingung. Tiba-tiba saja kau ingin meninggalkan tempat ini dan kembali ke Pajang. Semuanya itu terjadi setelah wisuda itu dilakukan. Mungkin sebelumnya kau memang tidak berniat untuk menjadi iri, dengki dan semacamnya. Tetapi ketika kau menyaksikan wisuda atas Risang itu, maka perasaan yang selama ini mampu kau tekan kebawah sadar, tiba-tiba telah muncul kepermukaan. Justru lebih dahsyat bergelora didadamu.”

“Tidak ibu, tidak. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak pernah memikirkan tentang warisan atas Tanah Perdikan ini. Bukankah aku sekarang seorang Lurah prajurit pada umurku yang masih muda ini? Beberapa tahun lagi aku akan mendapat kesempatan untuk mendapatkan pangkat dan jabatan yang lebih tinggi. Demikian pula tahun-tahun berikutnya sehingga pada suatu saat aku akan menjadi seorang Senapati dengan pangkat Tumenggung.”

“Jika demikian apakah yang terjadi atasmu sebenarnya? Kenapa kau tiba-tiba mengajak aku kembali mendahului rencana yang telah kita buat sebelumnya?“ bertanya ibunya.

Wajah Kasadha menjadi semakin tegang. Sementara itu ibunya berkata lembut, “Kasadha. Jika kau terpaksa harus kembali ke pekerjaanmu, maka biarlah kau tinggalkan aku dan bibimu disini. Aku masih akan tinggal untuk satu dua hari lagi. Aku dan bibimu akan dapat pulang tanpa kau, karena kau tahu, bahwa kemampuanku jauh lebih tinggi dari kemampuanmu, sehingga jika terjadi sesuatu diperjalanan, maka aku dan bibimu akan dapat menyelesaikan sendiri. Kami berdua tidak mau berkelahi hanya di Kademangan kami untuk mempertahankan hubungan kami dengan tetangga-tetangga kami.”

Kasadha itupun terduduk lemah. Ternyata ibunya salah menangkap perasaannya. Ia sama sekali tidak merasa iri, dengki atau perasaan apapun terhadap Risang yang diwisuda. Tetapi ia tidak dapat menahan gejolak perasaannya ketika ia melihat Riris.

Tetapi Kasadha tidak dapat mengatakan hal itu kepada ibunya. Karena itu, maka gejolak perasaannya itu disimpannya saja didalam dadanya. Namun dengan demikian, maka dada Kasadha itu terasa menjadi nyeri.

Ibunya tidak berbicara lebih panjang lagi. Namun ia justru memperingatkan Kasadha, “Bukankah kau berjanji untuk kembali kerumah Risang?”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia merasa segan untuk kembali kerumah Risang. Tetapi ia tidak ingin ibunya menjadi semakin salah paham. Karena itu, maka katanya, “Baiklah ibu. Aku akan kembali ke rumah Risang.”

Dengan langkah yang lesu Kasadha menyusuri jalan di padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Di regol-regol halaman masih terpancang obor-obor yang menerangi jalan yang sedang dilaluinya. Bahkan satu dua ia masih bertemu dengan orang-orang yang menyusuri jalan itu pula. Bukan saja mereka yang pulang dari rumah Risang, tetapi juga beberapa orang anak muda yang sedang meronda.

Dipendapa rumah Risang memang masih ada beberapa orang yang duduk-duduk sambil berbincang kesana-kemari. Kasadha menarik nafas dalam-dalam ketika ia tidak melihat lagi seorang perempuanpun di pendapa itu. Agaknya mereka telah kembali lebih dahulu ke tempat yang sudah disediakan bagi mereka. Nyi Rangga Dipayuda dan Riris juga sudah tidak berada dipendapa. Namun Ki Rangga dan Jangkung ternyata masih duduk diantara beberapa orang yang masih tinggal dipendapa.

Kasadhapun kemudian telah duduk pula diantara mereka. Dari Jangkung ia mendengar bahwa Nyi Rangga dan Riris sudah diantarkannya ketempat yang disediakan bagi mereka untuk beristirahat.

Ki Rangga Kalokapraja ternyata sudah tidak ada pula di pendapa itu, meskipun dua orang yang datang bersamanya, yang terhitung masih muda, masih berada di pendapa itu untuk ikut berbincang dan berjaga-jaga.

Sanak kadang dan orang-orang terdekat yang berada di pendapa itu ternyata hampir semalam suntuk. Ki Dipayuda dan Jangkung yang baru disiang harinya datang, tidak meninggalkan pendapa itu pula. Karena itu, bagaimanapun segannya, Kasadha juga tinggal di pendapa itu sampai hampir menjelang pagi.

Dalam kesempatan itu, Ki Rangga Dipayuda sempat bertanya, “Kapan kau meninggalkan Tanah Perdikan ini?”

Kasadha mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Aku menunggu ibu, Ki Rangga. Tetapi sudah tentu tidak lebih dari ijin yang diberikan kepadaku.”

“Aku akan kembali besok,“ berkata Ki Rangga.

“Besok pagi?“ bertanya Kasadha, “begitu tergesa-gesa.”

“Maksudku, aku masih akan bermalam semalam lagi. Bukankah sekarang sudah pagi?“ sahut Ki Rangga.

Kasadha termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia ingin kembali ke Pajang bersama Ki Rangga Dipayuda yang berarti bersama-sama dengan Jangkung, Nyi Rangga dan sudah tentu Riris.

“Tetapi bagaimana dengan ibu?“ pertanyaan itu telah tumbuh didalam hatinya.

Pertanyaan itu memang tidak dapat dijawab oleh Kasadha. Karena itu, maka dadanya yang sesak itu seakan-akan justru menjadi bertambah sesak. Ternyata ibu dan bibinya yang semula disangkanya tidak akan menjadi beban baginya itu, agaknya justru merupakan beban yang sangat berat bagi perasaannya. Tanpa ibunya ia tentu sudah meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan atau ia dapat memilih kembali ke Pajang bersama-sama dengan Ki Rangga Dipayuda. Tetapi ia tidak dapat melakukannya karena ibu dan bibinya.

Memang kadang-kadang terbersit pernyataan didalam dirinya, bahwa ibunya itu akan dapat pulang berdua saja bersama bibinya. Namun rasa-rasanya hal itu akan menimbulkan persoalan dihati ibunya yang ternyata telah menjadi salah sangka, karena ibunya mengira bahwa perasaan Kasadha terguncang ketika ia melihat Risang diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Tetapi Kasadha menyadari, jika ia masih tetap berada di Tanah Perdikan itu, akan berarti bahwa perasaannya akan menjadi tersiksa setidak-tidaknya sampai Riris meninggalkan rumah Risang itu.

Namun Kasadha memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia memang harus mengorbankan perasaannya. Ia harus mengerahkan segenap daya tahannya untuk menjaga keseimbangan nalar budinya.

Demikianlah, menjelang fajar, maka pendapa rumah Risang itu menjadi sepi. Para tamu yang datang dari luar Tanah Perdikan itu sudah berada kembali di tempat yang telah disediakan bagi mereka. Mereka memanfaatkan waktu yang pendek untuk beristirahat karena setelah matahari mulai memanjat langit sepenggalah, mereka harus sudah berada di pendapa itu lagi. Para tamu dari Pajang akan meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan setelah makan pagi. Karena itu, para tamu yang lain akan dipersilahkan untuk ikut makan pagi bersama Ki Tumenggung Wreda Wirajaya.

Di tempatnya menginap, sikap Kasadha memang menimbulkan persoalan bagi ibu dan bibinya. Namun ketika keduanya berada dibelakang, ibu Kasadha itu sempal berdesis, “Mungkin hatinya terguncang melihat upacara wisuda yang memang mendebarkan itu. Namun setelah dua tiga pekan, maka ia akan melupakannya.”

“Mudah-mudahan,“ sahut bibi Kasadha, “tetapi agaknya Kasadha tidak akan larut terlalu jauh dalam gejolak perasaannya. Sampai saat terakhir, sama sekali tidak nampak kesan padanya, bahwa ia merasa iri. Karena itu, maka gejolak itu tentu baru timbul setelah ia menyaksikan upacara itu.”

Kedua orang perempuan itu mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat. Namun segala sesuatunya memang masih harus dilihat kemudian.

Dalam pada itu Kasadha memang tidak memaksa untuk meninggalkan Tanah Perdikan itu lebih dahulu. Ia sadar, bahwa ia harus bertahan apapun yang terjadi pada jantung didalam dadanya.

Seperti direncanakan, maka ketika matahari mulai naik, ibu dan bibi Kasadha telah mengajak Kasadha yang juga telah berbenah diri untuk pergi ke rumah Risang. Kasadha memang tidak dapat menolak. Ia sebaiknya memang berada di pendapa untuk mengantar Ki Tumenggung Wreda Wirajaya makan pagi sebelum ia meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan bersama para pejabat dari Pajang, yang ternyata termasuk juga Ki Rangga Kalokapraja.

Ketika Kasadha sampai dipendapa, maka Risangpun telah mempersilahkannya naik. Hampir berbisik Risang berkata, “Tolong temani Ki Rangga Dipayuda dan Jangkung. Aku masih belum dapat duduk bersama mereka.”

“Baik,“ jawab Kasadha sambil mengangguk. Iapun Kemudian naik kependapa dan duduk bersama Ki Dipayuda dan Jangkung. Satu dua bebahu telah berada di pendapa itu pula menunggu kehadiran Ki Tumenggung Wreda Wirajaya dan para pejabat yang lain.

Dalam kesempatan itu Ki Rangga Dipayuda sempat bertanya lagi, “Apakah kau dapat kembali bersamaku besok?”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Keinginannya memang melonjak. Namun apakah ibu dan bibinya bersedia menempuh perjalan bersama Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya.

Karena itu, maka Kasadhapun menjawab, “Agaknya kami masih akan tinggal sampai lusa. Kami masih ingin ikut menunggui ujung dari malam-malam yang akan dimeriahkan oleh berbagai macam keramaian di Tanah Perdikan ini.”

Ki Rangga Dipayuda mengangguk-angguk. Ia tahu benar hubungan yang sangat akrab antara Kasadha dan Risang yang semula dikenalnya bernama Barata itu, maka ia tidak mendesaknya lagi.

Beberapa saat kemudian maka Ki Tumenggung Wreda Wirajayapun telah datang bersama-sama dengan para pejabat dari Pajang. Para tamu yang telah berada di pendapapun segera bangkit, turun ke tangga dan mempersilahkan Ki Tumenggung untuk naik.

Demikianlah, maka sejenak kemudian maka hidang-anpun telah disuguhkan. Dan ternyata yang menghidangkannya adalah Riris.

Jantung Kasadha yang berdebaran itu menjadi semakin bergejolak. Namun ia sadar sesadar-sadarnya, bahwa ia memang harus dengan sekuat tenaga menahan diri.

Beberapa saat kemudian, setelah semua hidangan disuguhkan, Iswari, ibu Risang, telah mempersilahkan Ki Tumenggung Wreda Wirajaya untuk makan pagi bersama para tamu yang lain sebelum Ki Tumenggung meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan.

Segalanya serba buram bagi Kasadha. Tidak ada sesuatu yang dapat membuatnya melupakan gejolak dijantungnya itu. Apalagi kemudian Riris masih saja sibuk dipendapa melayani para tamu yang sedang makan. Terutama Ki Tumenggung Wreda Wirajaya.

Demikianlah, setelah segalanya selesai serta mangkuk, tenong dan cething serta kelengkapan yang lain disingkirkan, maka Ki Tumenggung Wreda masih sempat memberikan beberapa pesan kepada Risang yang telah resmi menjadi Kepala Tanah Perdikan.

“Apalagi kau masih muda, masih belum berkeluarga,“ berkata Ki Tumenggung Wreda kemudian, “kau masih harus menganyam masa depanmu disamping masa depan Tanah Perdikan Sembojan. Kau tidak boleh gagal sebagai Kepala Tanah Perdikan. Tetapi kau juga tidak boleh gagal sebagai seorang anak muda yang kemudian akan menempuh satu kehidupan berkeluarga.”

Risang duduk sambil menundukkan kepalanya, sementara Ki Tumenggung itu berkata selanjutnya, “Karena itu, maka sejak semula kau harus memikirkan bahwa orang yang akan mendampingimu harus seorang yang tahu benar akan tugas dan kewajibanmu sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Bukan hanya mengetahui hakmu semata-mata.”

Risang mengangguk hormat sambil menyahut, “Ya Ki Tumenggung.”

Ki Tumenggung tersenyum. Ia masih memberikan beberapa pesan lagi. Namun kemudian setelah segalanya dirasa cukup, maka Ki Tumenggung itupun berkata, “Aku sudah selesai dengan tugasku. Karena itu aku akan kembali ke Pajang. Nampaknya aku telah kesiangan dibandingkan dengan rencanaku.”

Demikianlah, maka Ki Tumenggung serta para pejabat dari Pajang telah minta diri, termasuk Ki Rangga Kalokapraja. Namun Ki Rangga Dipayuda masih tetap tinggal, karena kehadirannya bukan karena kedudukannya. Tetapi ia diundang sebagai seorang tamu di Tanah Perdikan Sembojan.

“Kau masih ingin tinggal?“ bertanya Ki Tumenggung sambil tersenyum.

“Aku masih mempunyai hari yang tersisa dari ijin yang diberikan kepadaku,“ jawab Ki Rangga Dipayuda.

“Baiklah,“ berkata Ki Tumenggung Wreda, “tetapi besok jika Ki Rangga kembali ke Pajang, tentu Ki Rangga akan membawa jodang berisi makanan.”

Ki Rangga dan orang-orang yang mendengarnya tersenyum. Namun Ki Tumenggungpun kemudian telah menuntun kuda yang telah dipersiapkan baginya keregol halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu sambil sekali lagi minta diri.

Orang-orang Tanah Perdikan serta para tamu yang semula duduk dipendapa telah mengantar Ki Tumenggung Wreda dan para pejabat dari Pajang yang lain, yang akan meninggalkan Tanah Perdikan itu. Mereka berdiri berjajar diluar regol halaman. Diantara mereka berdiri Iswari dan Risang.

Kasadha yang juga berdiri diluar regol, berada agak dibelakang dari kerumunan orang-orang Tanah Perdikan. Dipandanginya mereka yang sibuk mengucapkan selamat jalan dan terima kasih itu dengan tatapan mata yang kosong. Ki Rangga Dipayuda ternyata sedang sibuk pula ikut mengucapkan selamat jalan. Tetapi Jangkung justru berdiri disebelah Kasadha.

Namun Kasadha itu justru terkejut ketika ia merasa lengannya digamit seseorang. Ketika ia berpaling, dilihatnya Riris berdiri dibelakangnya.

“Kau juga pulang besok kakang?“ bertanya Riris diluar dugaan Kasadha.

Jantung Kasadha kembali diguncang oleh keragu raguan. Ketika Ki Rangga bertanya kepadanya, ia sudah mendapatkan kepastian pada dirinya sendiri, bahwa apapun yang terjadi didalam dadanya, ia terpaksa tinggal menunggu ibu dan bibinya sesuai dengan rencananya. Tetapi ketika Riris itu bertanya pula kepadanya, maka keragu-raguanpun kembali melanda dinding hatinya.

Dalam pada itu, terdengar Jangkung berbisik, “Sayang. Kasadha baru akan kembali dihari berikutnya karena ia harus menunggu ibu dan bibinya.”

Sebenarnya Kasadha tidak menghendaki Jangkung mengucapkan jawaban itu. Tetapi Jangkung telah mengatakannya, sehingga Kasadha tidak dapat berkata lain. Apalagi ketika Jangkung kemudian berkata, “Ayah sudah mengajaknya. Tetapi nampaknya Kasadha menjadi agak berkeberatan.”

“Sayang,“ desis Riris.

Namun mereka tidak dapat berbicara lebih banyak lagi. Ki Tumenggung Wreda Wirajaya telah berada di punggung kudanya. Demikian pula para pejabat yang lain, termasuk Ki Rangga Kalokapraja.

Demikianlah sejenak kemudian, maka kuda-kuda itu-pun telah berderap maju. Tidak terlalu cepat. Tetapi beberapa saat kemudian iring-iringan itupun telah menuju ke kelok jalan. Sejenak kemudian yang nampak tinggal debu kelabu yang terhambur dibelakang kaki-kaki kuda itu.

Dalam pada itu sejenak kemudian Iswari telah mem-persilahkan para tamu untuk kembali duduk di pendapa. Namun ternyata beberapa orang diantaranya langsung mohon diri dan kembali kerumah mereka masing-masing.

Yang kemudian duduk dipendapa hanyalah orang-orang yang terdekat saja lagi. Diantara mereka terdapat Ki Rangga Dipayuda, Jangkung dan ternyata Riris juga ikut duduk dipendapa itu.

Adalah diluar dugaan Kasadha, bahwa ternyata sikap Riris rasa-rasanya telah pulih kembali sebagaimana dikenalnya. Disaat upacara berlangsung, maka Riris seakan-akan telah menjadi seorang gadis yang lain, yang tiba-tiba jaraknya terasa demikian jauh daripadanya. Riris seakan-akan menjadi seorang gadis yang beku yang menjadi bagian peralatan dari upacara wisuda. Namun kini ternyata sikap Riris telah menjadi wajar kembali sebagaimana sering dijumpainya dirumahnya.

Bahkan Riris justru sempat berceritera, bagaimana keringatnya bagaikan terperas dari seluruh tubuhnya, saat ia harus membawa pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan dihadapan Ki Tumenggung Wreda Wirajaya.

Kasadha mendengarkan ceritera Riris sambil mengangguk-angguk. Sekali-sekali nampak Kasadha tersenyum meskipun ceritera Riris itu kadang-kadang membuat desir yang pedih dihatinya. Namun Kasadha sadar, bahwa Riris sama sekali tidak mempunyai maksud apa-apa dengan ceriteranya.

Sikap Riris itu ternyata sedikit meredakan gejolak perasaan Kasadha. Dengan demikian maka ia mengetahui, bahwa yang dilakukan Riris pada saat wisuda itu tidak lebih dari menjalankan beban kewajiban yang diserahkan kepadanya.

Sebenarnyalah dengan demikian keinginan Kasadha untuk pulang ke Pajang bersama Ki Rangga Dipayuda menjadi semakin melonjak didadanya. Tetapi setiap kali ia teringat akan ibu dan bibinya, maka ia harus kembali pada satu kenyataan bahwa ia tidak akan dapat melakukannya.

Ketika Kasadha kemudian kembali ke tempat yang disediakan baginya bersama ibu dan bibinya, telah nampak sedikit perubahan pada sikapnya. Terutama sikap batinnya. Sebagai seorang ibu Warsi ternyata mampu mengamati getaran jiwa anaknya yang sempat membuatnya gelisah.

Kepada bibi Kasadha Warsi itu berdesis, “Nampaknya hatinya mulai mengendap lagi.”

Bibinya mengangguk sambil tersenyum, “Sokurlah. Aku kemarin hampir kehilangan akal.”

“Besok mudah-mudahan ia sudah melupakannya.“ desis Warsi.

“Upacara wisuda itu memang mampu menggugat batinnya,“ sahut sepupunya. Namun katanya kemudian, “Tetapi sokurlah, bahwa keadaan anak itu tidak berlarut-larut.”

Ketika matahari lewat dipuncak langit, maka segala persiapan bagi pertunjukan di malam harinya telah selesai. Malam pertama dari rangkaian keramaian di padukuhan induk Tanah Perdikan itu adalah sebuah pertunjukan tari topeng. Para penarinya adalah orang-orang Tanah Perdikan itu sendiri. Demikian pula para penabuh yang akan mengiringi tari topeng itu.

Dalam pada itu, justru karena Risang masih sibuk dengan berbagai macam hal, maka Riris lebih banyak bersama Jangkung dan Kasadha. Mereka sempat menikmati acara-acara yang berlangsung di Tanah Perdikan. Disore hari mereka sempat melihat-lihat bukan saja padukuhan induk Tanah Perdikan, tetapi satu dua pedukuhan terdekat. Mereka melihat bagaimana Rakyat Tanah Perdikan Sembojan menyambut dengan gembira kehadiran seorang Kepala Tanah Perdikan yang disahkan oleh Pajang.

Dimalam hari mereka berada di pendapa untuk menyaksikan pertunjukan yang meriah. Namun tengah malam Riris dan ibunya telah meninggalkan pendapa. Hanya Ki Rangga Dipayuda sajalah yang masih berada di pendapa bersama Jangkung diantara orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Kasadha juga meninggalkan pendapa untuk mengantarkan ibu dan bibinya. Namun ia berjanji untuk kembali lagi ke pendapa.

Risang memang tidak mendapat banyak kesempatan untuk berada diantara tamu-tamunya. Ternyata bahwa pada hari-hari yang pertama ia memegang jabatan Kepala Tanah Perdikan, ia telah mendapat laporan, bahwa ada orang-orang yang tidak dikenal berkeliaran di Tanah Perdikan. Terutama di padukuhan-padukuhan disisi Utara.

“Apakah para peronda telah mencoba menemui orang-orang itu?“ bertanya Risang.

Seorang bebahu yang ikut mendengarkan laporan itu berkata, “Sudahlah ngger. Silahkan duduk diantara para tamu. Biarlah aku yang mengurusnya.”

Tetapi Risang ternyata merasa bertanggung jawab sepenuhnya atas ketenangan di Tanah Perdikannya. Karena itu, maka iapun berpesan kepada bebahu itu, “Tanyakan kepada orang itu jika kau berhasil menemuinya, apakah mereka orang Madiun?”

Bebahu itu mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan pergi ke padukuhan-padukuhan yang menjadi gelisah itu.”

“Hati-hatilah,“ pesan Risang, “jangan merusak suasana yang meriah ini. Apalagi masih ada beberapa orang tamu dari luar Tanah Perdikan.”

Namun bagaimanapun juga Risang tidak dapat tenang duduk diantara para tamu. Sebenarnya ia ingin duduk bersama Riris dan Jangkung. Apalagi Kasadha berada diantara mereka. Namun setiap kali ia memang harus bangkit berdiri dan ikut membicarakan beberapa masalah yang timbul.

Tetapi ketika Riris telah meninggalkan pendapa, maka Risang justru tidak terlalu tertarik lagi untuk berada diantara para tamu. Kepada Kasadha yang kembali dari mengantarkan ibu dan bibinya kembali ke penginapan mereka berbisik, “Tolong, temui para tamu.”

“Apa yang akan kau lakukan?“ bertanya Kasadha meskipun agak ragu.

Risangpun membisikkan laporan yang diterimanya dari padukuhan-padukuhan disisi Utara itu.

“Kau akan kesana?“ bertanya Kasadha.

“Tidak,“ jawab Risang, “tetapi aku harus mengikuti perkembangannya. Seorang bebahu telah pergi ke padukuhan-padukuhan yang gelisah itu.”

“Baiklah,“ berkata Kasadha, “aku akan berada di pendapa.”

Demikianlah Risang ternyata masih saja hilir mudik. Menjelang dini bebahu yang pergi ke sisi Utara Tanah Perdikan itupun telah kembali untuk memberikan laporan kepadanya.

“Semula para peronda mengira bahwa mereka adalah orang-orang dari luar Tanah Perdikan yang ingin melihat-lihat keramaian di Tanah Perdikan induk ini. Sejak kemarin dari Kademangan sebelah menyebelah Tanah Perdikan ini memang banyak orang yang datang untuk melihat wisuda dan malam ini melihat keramaian. Tetapi orang-orang yang demikian biasanya tidak menarik banyak perhatian. Mereka lewat saja tanpa memperhatikan padukuhan-padukuhan yang mereka lewati karena mereka telah sangat sering melihat.”

“Jadi bagaimana dengan orang-orang yang dikatakan asing itu?“ bertanya Risang.

“Mereka nampaknya sangat memperhatikan padukuhan-padukuhan disisi Utara itu. Bukan karena padukuhan-padukuhan itu berhias. Tetapi nampaknya lebih dari itu. Bahkan setelah mereka keluar dari padukuhan itu mereka masih saja memperhatikan padukuhan-padukuhan itu. Seorang yang kebetulan sedang membuka air disawah melihat dua orang yang berdiri saja di jalan bulak sambil memperhatikan padukuhan dengan saksama. Sekali-sekali mereka menunjuk kesudut-sudut padukuhan, kemudian mereka mulai memperhatikan sawah yang hijau segar.”

Risang mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah orang-orang itu masih ada disana?”

“Tidak. Mereka sudah pergi. Tetapi tidak seorang-pun tahu kemana mereka menghilang,“ jawab bebahu itu.

“Apakah kau pesan kepada para peronda agar mereka berhati-hati?“ bertanya Risang kemudian.

“Ya,“ jawab bebahu itu, “jika perlu Bekel di padukuhan itu dapat memanggil orang-orang itu untuk mendapat keterangan apa yang sedang mereka lakukan.”

Risang mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Tetapi ingat, bahwa jangan merusak suasana. Orang-orang Tanah Perdikan sedang bergembira untuk beberapa hari.”

Namun ternyata bahwa hal itu tidak dapat begitu saja dikesampingkan oleh Risang, Bahkan Risang telah memberitahukan hal itu kepada ibunya.

“Besok aku ingin mendengar langsung dari orang-orang yang melihat orang-orang yang berkeliaran itu,“ berkata Risang yang memperbandingkan dengan kegiatan seorang pejabat dari Madiun yang tidak mau menemuinya dengan terbuka.

“Kau memang sebaiknya datang ketempat itu Risang,“ berkata ibunya.

“Besok ibu, setelah Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya kembali ke Pajang,“ jawab Risang.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat memaksa, justru Iswari tahu bahwa diantara keluarga Ki Rangga Dipayuda itu terdapat seorang gadis yang cantik.

Di dini hari baru Risang sempat duduk bersama Ki Dipayuda dan Jangkung. Kepada Ki Rangga, Risang juga menceriterakan apa yang terjadi disisi Utara Tanah Perdikan yang sedang bergembira itu.

“Hati-hatilah,“ pesan Ki Rangga Dipayuda, “hal-hal yang nampaknya kecil itu harus kau perhatikan dengan sungguh-sungguh karena mungkin dibelakangnya tersimpan hal-hal yang besar bagi Tanah Perdikan ini.”

Risang mengangguk sambil menjawab, “Ya Ki Rangga.”

“Tetapi bukankah sebelumnya tidak pernah ada masalah dengan Tanah Perdikan ini?“ bertanya Ki Rangga.

“Maksud Ki Rangga?“ bertanya Risang.

“Misalnya persoalan antara keluarga Tanah Perdikan ini. Mungkin ada satu dua orang keluarga yang mempunyai pertimbangan lain atas Tanah Perdikan ini. Jelasnya, bukankah tidak ada orang yang merasa iri terhadap kedudukanmu sekarang?”

“Tidak Ki Rangga, tidak. Semua keluargaku menganggap bahwa yang terjadi ini wajar sekali. Sebagaimana seharusnya terjadi,“ jawab Risang dengan serta merta.

Kasadha menahan nafas sesaat. Namun iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Jika ibu dan bibinya mendengar pertanyaan Ki Rangga itu, akan dapat menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Apalagi jika mereka mendengar tentang orang-orang yang berkeliaran di sisi Utara Tanah Perdikan Sembojan itu.

Namun ternyata Ki Rangga Dipayuda tidak mempersoalkannya lebih panjang. Bahkan kemudian Ki Rangga itupun minta diri untuk beristirahat.

“Besok aku harus kembali ke Pajang. Karena itu, meskipun hanya sebentar aku akan beristirahat,“ berkata Ki Rangga.

“Silahkan Ki Rangga,“ sahut Risang yang tidak dapat menahannya untuk tetap berada di pendapa.

Bersama Jangkung keduanyapun kemudian kembali ke penginapan yang disediakan bagi mereka. Sementara Kasadha masih tetap berada di pendapa bersama Risang. Sementara itu pertunjukan tari topeng akan berlangsung sampai menjelang pagi.

Tetapi Kasadha juga tidak terlalu lama berada di pendapa. Iapun kemudian minta diri untuk beristirahat.

Disepanjang jalan menuju ke penginapannya, Kasadha ternyata masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Rasa-rasanya ia memang ingin kembali ke Pajang bersama Riris. Namun bagaimana mungkin ia dapat meninggalkan ibu dan bibinya. Karena ia sebelumnya pernah dengan serta merta mengajak ibu dan bibinya pulang, maka seandainya sekali lagi ia menyatakan keinginannya itu, maka ibu dan bibinya tentu masih tetap salah mengerti. Sementara ia masih tetap tidak dapat mengatakan alasan yang sebenarnya.

Ketika ia sampai dipenginapannya, ternyata ibu dan bibinya masih juga belum tidur. Mereka masih duduk berbincang diruang tengah.

Sikap Kasadha ternyata memang membuat kedua orang perempuan itu agak bingung. Sebelumnya mereka l melihat keadaan Kasadha sudah menjadi lebih baik. Namun malam itu mereka kembali melihat Kasadha yang merenung dalam-dalam.

Tetapi keduanya tidak bertanya lebih banyak lagi kecuali beberapa pertanyaan tentang tari topeng di pendapa rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Malam itu, Kasadha hanya sempat beristirahat beberapa saat. Pagi-pagi ketika ibu dan bibinya bangun dan membersihkan diri, Kasadhapun melakukannya pula.

Baru ketika matahari sepenggalah maka mereka berangkat ke rumah Kepala Tanah Perdikan.

Beberapa saat Kasadha duduk dipendapa, Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya telah datang pula. Namun agaknya mereka telah bersiap untuk kembali ke Pajang.

Sebenarnyalah, setelah Risang dan Iswari menemuinya, maka Ki Rangga Dipayudapun menyatakan niatnya untuk minta diri.

Namun Iswari masih menahannya untuk makan pagi lebih dahulu.

Sambil makan pagi, Ki Rangga Dipayuda sempat berkata kepada Kasadha, “Sebenarnya Jangkung ingin tinggal dan kembali bersamamu besok.”

Kasadha mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Jadi, bagaimana keputusannya?”

“Aku akan merasa terlalu sibuk untuk seorang diri kembali ke Pajang bersama Riris dan ibunya,“ jawab Ki Rangga.

Kasadha mengangguk-angguk. Iapun segera teringat kepada ibu dan bibinya yang tentu agak berkeberatan untuk menempuh perjalanan bersama orang lain.

Namun terbersit pula pertanyaan didalam dirinya, “Apakah hanya ibu dan bibi saja yang merasa rendah diri?”

Ternyata ketika Kasadha menukik kedalam dasar batinnya, sebenarnyalah Kasadhapun merasakan hal yang sama. Meskipun orang lain tidak tahu latar belakang kehidupan ibu dan bibinya, namun rasa-rasanya bayangan kehidupan Warsi dimasa lampau masih saja mengikutinya.

Dengan demikian iapun justru bersukur bahwa Jangkung tidak akan tinggal dan kembali bersamanya di keesokan harinya.

Tetapi Jangkung sendiri sambil bersungut-sungut berdesis, “Aku sebenarnya masih kerasan tinggal disini. Aku belum sempat melihat-lihat seluruh Tanah Perdikan ini. Aku belum sempat bersama-sama dengan Kasadha dan Risang berpacu di jalan-jalan bulak dan di lereng-lereng pegunungan Tanah Perdikan Sembojan untuk melihat secara utuh.”

“Bukankah pada kesempatan lain kau dapat pergi sendiri atau katakanlah, jika Kasadha pergi ke Tanah Perdikan ini kapan saja, kau dapat ikut bersamanya,“ sahut ayahnya.

Jangkung mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Pada kesempatan lain aku akan datang lagi.”

Risang yang hanya mendengarkan pembicaraan itu tiba-tiba menyahut, “Aku tunggu kedatanganmu, Jangkung. Kau akan dapat melihat-lihat lebih banyak lagi. Dan barangkali kau akan mendapatkan arena bermain-main dengan kuda sepuas-puasmu disini. Tetapi disini jarang kau jumpai seekor kuda yang baik.”

“Ya. Pada kesempatan lain aku tentu akan datang lagi kemari dan untuk waktu yang lebih lama,“ jawab Jangkung.

Demikianlah, maka sejenak kemudian acara makan pagi itupun selesai. Setelah mangkuk, tenong, cething serta alat-alat yang lain disingkirkan, serta beristirahat sesaat, maka Ki Rangga Dipayudapun minta diri untuk kembali ke Pajang.

Risang dan ibunya tidak dapat menahan mereka lebih lama lagi, karena mereka tahu bahwa Ki Rangga Dipayuda masih seorang prajurit, sehingga iapun harus kembali ke tugasnya pada saat yang telah ditentukan.

Demikianlah, maka Nyi Rangga, Jangkung dan Riris-pun telah minta diri pula kepada Risang yang telah dengan resmi menjadi Kepala Tanah Perdikan serta ibunya, yang semula adalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan di Sembojan.

Dalam pada itu, ibu Kasadha yang tidak mau ikut keluar ke pendapa, ternyata ingin juga melihat keluarga Ki Rangga Dipayuda. Dari Kasadha ibu dan bibinya mendengar bahwa Ki Rangga adalah seorang Senapati prajurit yang pernah memimpin langsung Kasadha dan Risang ketika mereka masih menjadi satu dilingkungan keprajuritan.

Ibu Kasadha serta bibinya termangu-mangu sejenak ketika mereka dari belakang seketheng sebelah kiri melihat keluarga Ki Rangga Dipayuda. Seorang diantara mereka adalah seorang gadis yang cantik.

“Gadis itulah kemarin yang membawa pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan,“ desis bibi Kasadha.

“Ya,“ sahut ibu Kasadha, “betapa cantiknya gadis itu ketika ia dirias mirip dengan rias pengantin. Dengan pakaian yang berwarna cerah dan kain beludru berwarna kuning keemasan sebagai alas nampan tempat pertanda jabatan itu diletakkan, gadis itu seakan-akan bersinar melampaui terangnya cahaya lampu.”

“Jarang aku melihat gadis secantik itu,“ desis bibi Kasadha.

Namun kening ibu Kasadha itupun berkerut dalam. Kegelisahan mulai mengusik perasaannya. Hampir diluar sadarnya ia berdesis, “Itukah sebabnya kenapa Kasadha ingin lebih cepat pulang agar dapat bersama-sama dengan gadis itu?”

“Ah,“ tiba-tiba bibinya berdesah.

“Kenapa?“ ibunya segera berpaling.

Tetapi sepupunya itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebaiknya Kasadha menghindari gadis itu.”

“Kenapa?“ bertanya ibu Kasadha.

“Bahwa ia dipilih untuk membawa pertanda kedudukan Kepala Tanah Perdikan Sembojan tentu ada sebabnya,“ jawab sepupunya.

Ibu Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud sepupunya itu. Namun justru karena itu, maka jantungnyapun menjadi berdebar-debar. Hampir berbisik ia berkata, “Apakah kecantikan gadis itu telah mengguncang jantung Kasadha? Jika demikian, yang membuatnya gelisah sama sekali bukan kedudukan Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi gadis anak Ki Rangga Dipayuda itu.”

Wajah sepupunyapun berkerut. Katanya, “Jika demikian, maka persoalan itu harus dihindari.”

Ibu Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orang yang sudah turun dari pendapa itu. Ibu dan bibi Kasadha sempat melihat, bagaimana Riris minta diri kepada Kasadha yang masih akan tinggal sehari lagi di Tanah Perdikan Sembojan.

Ibu dan bibi Kasadha itu melihat bagaimana gadis itu bersikap ramah, baik kepada Risang maupun kepada Kasadha. Sehingga karena itu, maka ibu Kasadha itu berkata, “Jiwa gadis itu masih bersih, lugu dan tidak dibuat-buat.”

“Tetapi justru karena itu akan dapat menimbulkan salah paham diantara kawan-kawannya. Barangkali juga Kasadha.”

“Tetapi apakah kita dapat berbicara berterus-terang dengan Kasadha?“ bertanya ibu Kasadha.

Sepupunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita harus menunggu kesempatan.”

“Ya. Kita memang harus menunggu kesempatan untuk berbicara tentang gadis itu dengan Kasadha. Nampaknya hatinya akan mudah tersinggung. Apalagi jika dugaan kita salah,“ desis ibu Kasadha.

Keduanyapun kemudian terdiam. Orang-orang yang turun dari pendapa itu sudah berada dipintu regol. Kemudian Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya itupun melangkah menjauhi regol halaman rumah itu.

Namun ternyata Kasadha dan Risang ikut mengantar mereka sampai ke penginapan yang disediakan bagi mereka untuk mengambil barang-barang bawaan yang ditinggal di penginapan itu.

Demikianlah hari itu Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya telah meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan. Sehingga dengan demikian maka rasa-rasanya rumah Risang itu menjadi semakin lama semakin lengang.

Yang kemudian tinggal adalah Kasadha, ibu dan bibinya yang masih akan bermalam semalam lagi di Tanah Perdikan. Mereka masih akan menyaksikan keramaian dihari kedua. Sementara itu keramaian berikutnya akan berlangsung tersebar di padukuhan-padukuhan di seluruh Tanah Perdikan Sembojan. Para Demang dan para Bekel-pun telah mempersiapkan segala-galanya untuk itu.

Namun dalam pada itu, sebagaimana direncanakan oleh Risang, maka setelah Ki Rangga Dipayuda meninggalkan Tanah Perdikan, maka ia sendiri akan pergi ke padukuhan-padukuhan disisi Utara untuk mendapat keterangan langsung dari orang-orang yang melihat orang-orang asing yang mencurigakan itu.

Namun karena Kasadha masih berada di Tanah Perdikan, maka Risangpun telah mengajaknya untuk melihat-lihat padukuhan-padukuhan disisi Utara.

Kasadha sama sekali tidak berkeberatan. Justru setelah Riris pergi, maka rasa-rasanya perasaannya tidak lagi digelitik oleh kegelisahan yang tajam.

Demikianlah maka Kasadhapun telah memberitahukan kepada ibu dan bibinya yang masih berada dirumah Risang, bahwa ia akan pergi ke sisi Utara Tanah Perdikan itu.

“Baiklah,“ jawab ibunya, “hati-hatilah diperjalanan.”

Sejenak kemudian maka kedua anak muda itu telah berderap diatas punggung kudanya, menyeberangi bulak-bulak di Tanah Perdikan Sembojan. Mereka menuju ke sisi Utara Tanah Perdikan itu untuk mendapatkan keterangan tentang beberapa orang asing yang mencurigakan.

Di padukuhan disisi Utara Tanah Perdikan itu, Risang dan Kasadha telah menemui Ki Bekel dari padukuhan Karanggayam. Salah satu padukuhan yang didatangi oleh beberapa orang yang dianggap asing itu.

“Ya ngger,“ berkata Ki Bekel Karanggayam, “beberapa orang Karanggayam memang melaporkan tentang orang-orang yang mencurigakan itu. Namun ketika aku sendiri turun ke tempat yang dilaporkan itu, orang-orang itu sudah tidak ada.”

“Apakah orang-orang yang melihat langsung tidak berbuat sesuatu?“ bertanya Risang pula.

“Tidak ngger. Mereka hanya sekedar mengawasi ketika seorang diantara mereka melaporkan kepadaku. Tetapi orang-orang yang mengawasinya itu telah kehilangan mereka. Bahkan kehilangan jejaknya,“ jawab Ki Bekel.

Bersama Ki Bekel, Risangpun kemudian telah melihat tempat-tempat yang menjadi perhatian orang-orang asing itu. Satu lingkungan persawahan yang subur diantara beberapa buah padukuhan.

Bahkan Ki Bekel itupun kemudian berkata, “Bukan hanya padukuhan Karanggayam saja yang menjadi sasaran pengamatan mereka. Tetapi juga dibeberapa padukuhan lain. Pada umumnya adalah padukuhan-padukuhan yang subur. Namun pada umumnya, orang-orang padukuhan yang mengawasi orang-orang itu telah kehilangan jejak pula.”

Risang mengangguk-angguk kecil. Sementara Kasadha berkata, “Jika demikian maka mereka tentu memerlukan waktu yang cukup lama untuk melihat-lihat beberapa padukuhan disisi Utara ini.”

“Agaknya memang demikian. Namun setiap kali orang-orang itu telah menghilang dari pengawasan. Bahkan jejaknyapun sulit untuk ditelusuri,“ sahut Risang.

Untuk beberapa saat keduanya telah berjalan menuntun kuda mereka dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain sambil memperhatikan jalan-jalan bulak yang mereka lalui. Bulak diantara daerah persawahan yang subur. Sementara batang-batang padi tumbuh menghijau dari cakrawala sampai ke cakrawala.

Keduanya tertegun sejenak ketika mereka mendengar suara seruling yang menyusup disela-sela angin yang menghanyutkan gemericiknya air sungai kecil yang mengalir disela-sela kotak-kotak sawah.

Ternyata beberapa orang anak yang menggembalakan kambingnya tengah duduk diatas bebatuan. Seorang diantara mereka berbaring diatas sebongkah batu yang besar sambil meniup seruling, sementara beberapa ekor kambing berkeliaran dilereng tebing sungai sambil makan rumput yang segar.

Risang dan Kasadhapun meneruskan perjalanan mereka, menuntun kuda di jalan-jalan bulak. Sambil memandang sawah yang terbentang bagaikan tanpa batas itu Kasadha berdesis, “Daerah ini sangat subur. Agaknya hal itulah yang menarik perhatian beberapa orang yang datang ke Tanah Perdikan ini.”

“Apakah kira-kira yang mereka maksudkan? Apakah mereka menginginkan tanah ini? Jika demikian maka mereka akan melanggar hak kami di Tanah Perdikan ini.“ sahut Risang.

“Hanya satu kemungkian. Tetapi tentu ada kemungkinan yang lain,“ jawab Kasadha.

Merekapun tertegun ketika mereka melihat dibawah sebatang pohon turi yang tumbuh dipinggir jalan terdapat jejak beberapa ekor kuda yang agaknya ditambatkan pada batang pohon turi itu. Rumput disekitarnya nampak bekas terinjak-injak kaki kuda yang jelas nampak jejak telapak besi pada kaki kuda itu.

“Mereka berhenti disini untuk beberapa saat,“ berkata Risang sambil mengamati jejak itu.

“Ya,“ jawab Kasadha.

“Aku akan minta paman Sambi Wulung dan Jati W ulung untuk mengawasi daerah ini. Biarlah mereka berusaha untuk menemui orang-orang itu jika mereka datang kembali.”

Namun keduanya masih juga meneruskan pengamatan mereka sampai ke padukuhan berikutnya. Risang telah memberikan beberapa pesan kepada Ki Bekel agar berhati-hati.

“Besok malam kita menyelenggarakan keramaian,“ berkata Ki Bekel, “mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu.”

“Hati-hatilah,“ pesan Risang, “siapkan para pengawal sebaik-baiknya. Jika perlu beritahukan kepada kami di padukuhan induk agar kami dapat mengirimkan secukupnya.”

“Baiklah ngger. Aku akan berhati-hati dan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya,“ jawab Ki Bekel.

“Keramaian apa yang akan diselenggarakan disini?“ bertanya Kasadha.

“Tayub,“ jawab Ki Bekel. Namun dengan cepat ia melanjutkan, “Tetapi kami akan menjaga, bahwa tayub yang kami selenggarakan tidak akan menimbulkan keributan. Batas antara penari dan mereka yang ikut ngibing harus jelas.”

“Bukankah tayub biasanya dilakukan setelah panen berhasil? Ucapan sukur atas keberhasilan itu diungkapkan lewat keramaian yang dilakukan disawah yang baru saja dipanen,“ bertanya Kasadha sambil tersenyum.

Ki Bekel mengangguk. Katanya, “Ya. Tetapi kali ini kita juga bergembira sebagaimana panen yang berhasil, karena kami telah memiliki Kepala Tanah Perdikan di Sembojan.”

“Baiklah Ki Bekel,“ berkata Risang kemudian, “tetapi aku sependapat dengan Ki Bekel. Jangan timbul kekisruhan. Biasanya tuak ikut mewarnai keramaian yang diselenggarakan dengan tayub. Jika seseorang menjadi mabuk, maka sulitlah untuk menguasai diri. Apalagi jika orang itu memiliki kebanggaan bahwa ia dapat bersikap sebagai seorang laki-laki. Kita tidak dapat ingkar Ki Bekel, bahwa seseorang ingin menunjukkan kelebihannya dengan tingkah laku yang aneh-aneh yang dapat mereka tunjukkan atau mencari kesempatan selama tayub berlangsung.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Kami akan membatasinya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki. Apalagi berhubungan dengan kehadiran orang-orang yang kita anggap asing itu. Mungkin saja mereka memanfaatkan kesempatan untuk membuat keributan disini.”

“Bagus,“ Risang mengangguk-angguk.

Tetapi Ki Bekel masih berkata, “Namun demikian, jika perlu kami akan mohon bantuan untuk menjaga ketertiban. Maksud kami, jika orang-orang asing itu datang. Adapun orang-orang padukuhan ini aku yakin akan dapat kami kendalikan.”

Risang masih mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian minta diri bersama Kasadha untuk kembali ke padukuhan induk.

Namun sepanjang perjalanan kembali Kasadha berkata, “Sayang besok aku sudah kembali ke Pajang, sehingga aku tidak dapat menyaksikan tari tayub dipadukuhan itu.”

“Kenapa tidak besok lusa saja?“ bertanya Risang.

“Jika aku terlambat sampai ke barak, aku akan mendapat hukuman. Padahal aku masih harus mengantar ibu dan bibi lebih dahulu,“ jawab Kasadha.

Risang mengangguk-angguk pula. Ia tahu benar akan hal itu, sehingga karena itu maka ia tidak akan menahannya lagi.

Sejenak kemudian maka keduanya telah berpacu mendekati padukuhan induk.

Demikian mereka sampai ke padukuhan induk, maka Risangpun telah memanggil Sambi Wulung dan Jati Wulung. Risang minta kepada mereka, agar besok malam mereka berada di padukuhan Simanyar untuk melihat keramaian.

“Keramaian apa?“ bertanya Sambi Wulung.

“Di padukuhan Simanyar akan diselenggarakan tayub,“ jawab Risang.

Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Dengan ragu-ragu Sambi Wulung berkata, “Apakah kau anggap aku seorang penggemar tari tayub?”

Risang tersenyum. Katanya, “Jangan salah sangka. Aku tidak menganggap demikian, tetapi bahwa aku minta kau pergi ke Simanyar justru ada kepentingan yang lain kecuali tayub itu sendiri.”

Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesis, “Jadi?”

“Aku tadi baru saja pergi ke padukuhan-padukuhan disisi Utara dari Tanah Perdikan ini. Aku sudah bertemu dengan Ki Bekel Karanggayam, Ki Bekel Tegalwareng dan terakhir Ki Bekel Simanyar.”

Sambi Wulung dan Jati Wulung mendengarkan keterangan Risang itu dengan sungguh-sungguh. Sementara itu Risangpun telah memberitahukan tentang orang-orang asing, jejaknya serta rencana keramaian di padukuhan Simanyar.

“Hubungi lebih dahulu Demang Cupuwatu,“ pesan Risang.

Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Mereka menjadi jelas apa yang harus mereka lakukan.

Namun dalam pada itu, Risangpun telah berbicara dengan Gandar pula. Tidak mustahil bahwa orang-orang asing itu sampai juga di padukuhan induk dan memasuki halaman rumah itu untuk berpura-pura melihat keramaian.

“Baiklah,“ jawab Gandar, “aku akan berhati-hati.”

“Tetapi jangan terlalu cepat bertindak. Perhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Sebaiknya keramaian-keramaian di Tanah Perdikan ini tidak terganggu,“ pesan Risang.

Demikianlah Risang masih membatasi persoalannya pada orang-orang yang dianggapnya dapat menahan diri serta tidak cepat melakukan tindakan-tindakan yang menyangkut banyak orang. Risang berharap bahwa dalam keadaan tertentu Sambi Wulung dan Jati Wulung berdua akan dapat mengatasi keadaan tanpa mengerahkan banyak pengawal dan anak-anak muda yang akan dapat mengganggu ketenangan Tanah Perdikan yang sedang bergembira itu.

Sebenarnya Kasadha juga ingin ikut memecahkan persoalan orang-orang yang tidak dikenal itu dan menge-: tahui maksud mereka. Tetapi dihari berikutnya Kasadha harus sudah meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan.

“Sayang,“ katanya, “besok aku harus kembali. Mudah-mudahan tidak ada masalah yang gawat di Tanah Perdikan ini.”

Tetapi sambil tersenyum Risang berkata, “Jika terjadi sesuatu aku tentu akan memberitahukan kepadamu. Tidak sia-sia aku mempunyai seorang adik yang telah diangkat menjadi seorang Lurah Prajurit Pajang.”

Kasadhapun tertawa pendek. Tetapi diluar sadarnya, didalam dadanya terasa desir lembut. Tetapi terasa pedih. Ia memang adik Risang meskipun berbeda ibu. Namun betapapun samarnya, Kasadha harus mengakui bahwa antara dirinya dan Risang, sadar atau tidak sadar, telah terjadi semacam persaingan dalam hubungan mereka dengan Riris.

“Atau hatikulah yang memang kelam. Sementara itu Risang tidak berpikir apapun tentang Riris,“ berkata Kasadha didalam hatinya. Bahkan ia mulai menilai dirinya sendiri, apakah memang ada tetesan noda hitam dihatinya yang diwarisinya dari ibunya.

“Tidak,“ berkata Kasadha kepada dirinya sendiri didalam hatinya pula, “aku adalah seorang yang mempunyai nalar budi yang dapat aku pergunakan untuk menimbang baik dan buruk. Akal budi yang dikurniakan oleh Yang Maha Agung itulah yang harus mewarnai hidupku. Bukan siapa-siapa. Bukan pula ibu bapaku.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, Risang melihat Kasadha yang tiba-tiba saja merenung itupun bertanya, “Apa yang kau pikirkan? Orang-orang yang datang itu?”

“Ya,“ jawab Kasadha tanpa sempat berpikir, “Tetapi aku kira bukan saja aku. Ki Rangga Dipayudapun tentu akan berbuat sesuatu jika Tanah Perdikan ini mengalami kesulitan.”

Risang mengangguk-anggukjpula. Katanya, “Tetapi kau tidak usah terlalu memikirkan Tanah Perdikan ini. Biarlah kami mencoba untuk mengatasi persoalan kami. Tetapi bukan berarti bahwa kami tidak memerlukan bantuanmu jika kami memang mengalami kesulitan. Kami, di Tanah Perdikan ini ingin belajar untuk dapat tegak diatas kemampuan kami sendiri.”

“Ya. Tanah Perdikan ini akan segera menjadi dewasa penuh setelah mempunyai seorang Kepala Tanah Perdikan,“ desis Kasadha, “tetapi aku akan tetap menjadi bagian dari Tanah Perdikan ini, lebih-lebih jika terjadi kesulitan.”

“Terima kasih Kasadha,“ desis Risang, “ibuku dan ibumu tentu akan sangat bergembira pula melihat keutuhan Tanah Perdikan ini. Sementara itu kau bukan saja merupakan bagian dari Tanah Perdikan ini, tetapi kau harus ikut menentukan arah perkembangannya.”

Kasadhapun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku akan berusaha untuk memegang kewajibanku sebaik-baiknya, karena aku adalah anak Tanah Perdikan ini.”

Dalam pada itu, ibu dan bibi Kasadha memang merasa heran melihat sikap anaknya. Sepeninggal Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya, yang diantaranya adalah seorang gadis cantik yang bernama Riris itu, sikap Kasadha justru menjadi wajar kembali. Memang sekali-sekali anak muda itu masih merenung. Tetapi tidak lagi nampak gelisah dan bingung.

Perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat itu memang membuat ibu dan bibinya gelisah. Mereka menghubungkan perubahan-perubahan sikap Kasadha itu dengan hadirnya Riris dan kemudian kepergiannya bersama keluarganya.

Namun ada latar belakang yang berbeda dari kegelisahan antara ibu dan bibi Kasadha. Ibu Kasadha menjadi gelisah, bahwa hubungan anaknya dengan Riris akan dapat mempengaruhi kerukunannya dengan Risang, saudaranya seayah. Jika kedua anak muda itu mempunyai perasaan yang sama terhadap Riris, maka persoalannya akan dapat berkembang kearah yang tidak dikehendaki. Sedangkan bibi Kasadha merasa gelisah, bahwa perhatian Kasadha benar-benar ditujukan kepada gadis anak Ki Rangga Dipayuda, sehingga apa yang pernah diutarakannya kepada Kasadha tentang anak perempuannya akan tersisih dari perhatian anak muda itu.

Namun kedua perempuan itu masih belum dapat mencampuri persoalan Kasadha yang masih belum jelas bagi mereka.

Demikianlah, malam itu Kasadha masih berada di Tanah Perdikan Sembojan. Sebenarnya Kasadha berharap bahwa pada malam terakhir baginya berada di Tanah Perdikan dalam rangka wisuda Kepala Tanah Perdikan itu, ia dapat membantu memecahkan masalah orang-orang yang tidak dikenal di Tanah Perdikan Sembojan. Namun ternyata bahwa malam itu justru tidak ada laporan tentang kehadiran orang-orang yang dianggap asing itu.

Malam itu di pendapa rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan telah diselenggarakan pertunjukan wayang beber. Pertunjukan yang sangat digemari. Apalagi dengan seorang dalang yang sangat terkenal dan digemari oleh orang-orang Sembojan.

Karena itulah, maka sampai pertunjukan selesai, menjelang fajar, penontonnya masih tetap memenuhi halaman rumah Kepala Tanah Perdikan itu.

Ketika kemudian fajar mulai menyingsing maka ibu dan bibi Kasadha sudah mulai berbenah diri. Seperti yang direncanakan, maka pada hari itu, Kasadha bersama ibu dan bibinya akan meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan. Betapapun ingin mereka untuk tinggal lebih lama, namun Kasadha tidak dapat menunda-nunda lagi. Ia masih harus mengantarkan ibu dan bibinya pulang, sebelum ia sendiri kembali ke baraknya di Pajang.

Ternyata bahwa kehadiran ibu dan bibi Kasadha yang hanya beberapa hari di Tanah Perdikan itu telah membuat ikatan yang erat antara mereka dan ibu Risang. Meskipun sebelumnya mereka bagaikan air dan minyak yang tidak dapat bercampur, namun kesadaran yang tumbuh dihati mereka telah membuat hubungan mereka menjadi akrab.

Karena itu, ketika saatnya mereka harus berpisah, terasa juga jantung mereka telah tergetar.

“Aku akan berusaha untuk dalam waktu dekat datang kembali ke Tanah Perdikan ini,“ berkata Warsi ketika ia minta diri untuk meninggalkan Tanah Perdikan itu.

“Kami di Tanah Perdikan ini selalu menunggu kedatangan kalian,“ jawab Iswari.

Bibi yang sebelumnya masih merasa sulit untuk melupakan sikap dan kesalahan Warsi, ternyata hatinya menjadi lunak pula. Sikapnyapun telah menjadi baik dan wajar.

Demikian pula Gandar yang tahu pasti apa yang sebenarnya telah terjadi pada Iswari dan Warsi. Namun itu telah sangat lama berlalu. Yang berkepentinganpun telah memaafkannya.

Warsi dan sepupunyapun telah minta diri pula kepada Kiai Badra yang menjadi semakin tua, Kiai Soka dan Nyai Soka yang rambutnya telah memutih seperti kapuk.

Ketika Warsi mencium tangan Nyai Soka, maka terasa air matanya telah menitik.

“Alangkah bahagianya jika aku masih mempunyai orang-orang tua yang dapat menunggui aku setiap hari,“ desis Warsi.

Nyai Soka tersenyum sambil berkata, “Bukankah ada orang-orang tua disebelah-menyebelah rumahmu?”

Tetapi Warsi justru menjawab, “Akulah yang dituakan di lingkunganku.”

“Jika demikian, maka kau tentu mempunyai banyak anak dan cucu. Nah, kau dapat mengisi waktumu bersama mereka,“ berkata Nyai Soka kemudian.

“Ya Nyai,“ jawab Warsi, “namun kadang-kadang aku merasa betapa hidupku menjadi sepi.”

“Bagaimana dengan Ki Randukeling?“ bertanya Kiai Badra.

“Ki Randukeling memang masih sering mengunjungi aku. Tetapi iapun menjadi semakin tua, sehingga kewadagannya menjadi semakin lemah.”

“Bukankah itu wajar,“ sahut Kiai Soka, “setiap orang akan menjadi semakin tua dan semakin lemah. Tetapi hubungan kita dengan Yang Maha Agung tidak boleh ikut menjadi lemah.”

Warsi mengangguk sambil menjawab, “Ya Kiai. Akupun selalu berdoa bagi diriku sendiri, agar aku selalu merasa dekat dengan Yang Maha Agung.”

“Nah,“ berkata Nyai Soka kemudian, “baik-baiklah kau dengan lingkunganmu. Kau sudah dilahirkan kembali dalam keadaan yang jauh berbeda dengan masa hidupmu yang lalu. Karena itu, pertahankan citra hidupmu yang baru itu. Yang Maha Agung akan selalu memberikan terang kepadamu.”

Demikianlah Warsipun meninggalkan Tanah Perdikan. Beberapa saat ia berpelukan dengan Iswari. Namun kemudian merekapun harus berpisah.

Risang masih sempat mengantarkan Warsi, sepupunya dan Kasadha sampai ke gerbang padukuhan induk. Kemudian dilepaskannya mereka menempuh perjalanan yang cukup panjang, karena mereka tidak hanya sekedar sampai ke Pajang. Tetapi mereka masih harus singgah di Bayat, justru disebelah Barat Pajang. Sepeninggal Kasadha, ibu dan bibinya, maka rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu memang terasa sepi. Sementara itu keramaian dimalam-malam berikutnya akan tersebar di Kademangan-kademangan dan bahkan di padukuhan-padukuhan.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Risang, ibu dan seluruh keluarganya memang sudah merasa sangat letih. Sejak mereka mempersiapkan hari-hari wisuda dan kemudian diakhiri dengan keramaian yang meriah seakan-akan telah menguras tenaga mereka.

Walaupun demikian Iswari dan keluarganya merasa puas dengan segala-galanya. Meskipun tubuh mereka menjadi letih, tetapi kepuasan batin mereka membuat mereka tetap tegar.

Beberapa orang masih sibuk membersihkan rumah-rumah yang untuk beberapa hari telah dipinjam Iswari untuk menginap para tamu yang datang dari luar Tanah Perdikan Sembojan. Beberapa dinding batas yang dirubah harus dikembalikan lagi.

Tetapi ternyata bahwa orang-orang yang memiliki rumah itupun ikut berbangga pula, karena mereka telah dapat ikut membantu terselenggaranya wisuda bagi Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Untuk mengisi waktunya, maka Risangpun kemudian telah mengunjungi beberapa padukuhan yang dimalam harinya akan menyelenggarakan keramaian, terutama padukuhan-padukuhan disisi Utara.

Kepada Bekel di padukuhan Simanyar, Risang menanyakan apakah semalam nampak orang-orang yang dianggap orang asing bagi padukuhan Simanyar.

“Semalam orang-orang itu tidak nampak disekitar padukuhan Simanyar,“ jawab Ki Bekel, “tetapi entahlah di padukuhan yang lain. Mungkin mereka melihat-lihat tempat lain yang juga menarik perhatian mereka.”

“Memang dari padukuhan-padukuhan lainpun tidak ada laporan,“ jawab Risang. Namun iapun sempat berpesan, “Tetapi jangan kehilangan kewaspadaan. Usahakan dapat berhubungan dan berbicara dengan mereka.”

“Baik ngger,“ jawab Ki Bekel Simanyar. Ketika Risang berkuda kembali ke padukuhan induk, maka ia sempat melihat bekas kaki-kaki kuda ditengah bulak dibawah batang pohon turi. Namun ia tidak melihat jejak-jejak baru di tempat itu. Sehingga Risang berkesimpulan bahwa orang-orang itu memang tidak mendekati padukuhan Simanyar. Tetapi itu bukan berarti bahwa perhatian mereka terhadap padukuhan itu sudah hilang. Mungkin hanya sekedar tertunda.

Seperti yang pernah dikatakan kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka malam itu mereka diminta untuk melihat tayub di banjar padukuhan Simanyar. Tetapi tugas mereka bukan menilai tayub itu sendiri. Bahkan jika perlu Sambi Wulung dan Jati Wulung diminta untuk melihat-lihat keadaan diseputar padukuhan itu.

“Daerah itu sangat subur,“ berkata Risang, “mungkin kesuburan lingkungan itulah yang menarik perhatian mereka.”

“Ya,“ desis Sambi Wulung, “hutan disebelah Timur padang perdu yang memang masih termasuk lingkungan padukuhan Simanyar itu memang sangat menarik perhatian. Sebuah sungai yang mengalir menembus hutan itu merupakan jalur yang membuat tanah disebelah-menyebelahnya menjadi subur. Jika hutan itu kemudian ditebang, maka lingkungan itu akan menjadi lingkungan persawahan yang subur sebagaimana sawah dibulak-bulak panjang disekitar padukuhan Simanyar.”

“Tetapi hutan itu merupakan tanah cadangan bagi perkembangan Tanah Perdikan ini. Itupun harus diperhitungkan, seberapa luas hutan itu dapat ditebang. Sebagaimana hutan-hutan yang lain yang ada di Tanah Perdikan ini,“ sahut Risang.

“Tetapi mungkin orang lain mempunyai perhitungan lain,“ berkata Jati wulung hampir bergumam.

“Memang mungkin,“ jawab Risang, “karena itu, maka aku minta kalian melihat kemungkinan itu. Sedangkan kemungkinan lain orang-orang itu adalah orang-orang dari Madiun.”

Meskipun orang-orang yang tidak dikenal itu baru nampak di Tanah Perdikan disisi Utara, tetapi Risang telah memerintahkan menyampaikan hal itu kepada para Demang diseluruh Tanah Perdikan. Mereka harus memberitahukan hal itu kepada para Bekel agar mereka berhati-hati. Tetapi para Bekel jangan tergesa-gesa bertindak, karena mereka masih belum tahu apa yang dikehendaki oleh orang-orang asing itu.

Demikianlah, keramaian-keramaian yang dilakukan hampir diseluruh Tanah Perdikan Sembojan telah dibayangi oleh kekhawatiran akan hadirnya orang-orang asing yang tidak dikenal. Namun demikian para Demang dan Bekel berusaha untuk tidak mengurangi kegembiraan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan seperti yang direncanakan maka keramaian di Sembojan itu akan berlangsung sekitar tujuh hari tujuh malam, meskipun diselenggarakan oleh Kademangan dan Padukuhan yang berlainan dan waktu yang bergantian. Disiang hari hampir disemua padukuhan bergantian menyelenggarakan pertunjukan reog. Sementara di malam harinya dipendapa Kademangan dan banjar-banjar padukuhan diselenggarakan pertunjukan tari, wayang beber atau tayub sebagaimana diselenggarakan di padukuhan Simanyar.

Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun tidak henti-hentinya mengunjungi keramaian-keramaian itu. Di Simanyar mereka tidak menemukan orang-orang yang pantas dicurigai. Mereka juga tidak melihat ada orang-orang yang tidak dikenal berkeliaran.

Tetapi dimalam berikutnya, ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung berada di padukuhan Sukareja, maka keduanya telah melihat sesuatu yang menarik perhatian.

Sambi Wulung dan Jati Wulung yang mengenakan pakaian orang kebanyakan dan berada diantara para penonton itu telah melihat-lihat keadaan disekitar pendapa banjar padukuhan. Bahkan kemudian selagi pertunjukan tari topeng-masih berlangsung di banjar keduanya telah meninggalkan tontonan itu.

Sambi Wulung dan Jati Wulung telah banyak mengenali orang padukuhan Sukareja merasa belum pernah mengenal, bahkan belum pernah melihat orang itu. Karena itu, maka keduanya merasa perlu untuk melihat apa yang mereka lakukan di padukuhan Sukareja itu.

“Apakah keduanya orang Madiun seperti yang telah menemui Risang itu?“ desis Jati Wulung.

“Kenapa mereka harus melakukan hal-hal yang mencurigakan? Bukankah orang Madiun itu langsung menemui Risang meskipun saat itu ia tidak mau dipersilahkan singgah?“ sahut Sambi Wulung.

Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, agaknya memang bukan. Kita memang harus melihatnya lebih jauh.”

Dengan demikian maka Sambi Wulung dan Jati Wulung itu telah berusaha mengikuti kedua orang yang meninggalkan banjar itu. Ternyata keduanya berjalan menyusuri jalan-jalan padukuhan yang sepi, karena sebagian besar penghuninya berada di banjar.

Sekali-sekali memang terdengar tangis bayi didalam rumah yang pintunya telah tertutup rapat. Bayi yang masih terlalu kecil untuk diajak pergi ke banjar melihat keramaian, sehingga karena itu, maka ibunya harus menungguinya dirumah.

Ketika kedua orang itu memasuki jalan induk padukuhan itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah mendahului mereka, berloncatan melewati dinding batas halaman menuju gardu dimulut lorong.

Ternyata digardu itu masih ada ampat orang anak muda yang meronda. Mereka memang terkejut melihat kehadiran Sambi Wulung dan Jati Wulung.

“Aku sedang mengawasi dua orang,“ desis Sambi Wulung,

“Siapa?“ bertanya salah seorang dari anak-anak muda yang kebetulan telah mengenal Sambi Wulung dan Jati Wulung dengan baik.

Sambi Wulung menggeleng. Katanya, “Aku belum tahu. Aku justru ingin mengetahui apa yang mereka lakukan. Karena itu, jika mereka lewat didepan gardu ini jangan kau hentikan. Kau boleh menyapa sekedarnya, tetapi biarkan mereka lewat.”

Anak muda itu tanggap akan maksud Sambi Wulung. Karena itu maka iapun menjawab, “Baiklah. Kami akan membiarkan orang-orang itu lewat.”

“Terima kasih,“ sahut Sambi Wulung. Tetapi ia masih sempat bertanya, “Kalian tidak menonton keramaian di banjar?”

“Aku mendapat giliran ronda malam ini. Besok saja aku dapat melihat tontonan dipadukuhan sebelah.”

Sambi Wulung menepuk bahu anak muda itu. Katanya, “Bagus. Kau harus dapat mengesampingkan kesenanganmu untuk kepentingan orang banyak. Meskipun bukan berarti bahwa kau harus mengorbankan segala-galanya.”

“Terima kasih atas pujian itu,“ jawab anak muda itu sambil tersenyum.

Sambi Wulungpun tersenyum pula. Tetapi sekejap kemudian keduanya telah hilang didalam kegelapan.

Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Sambi Wulung oan Jati Wulung. Dua orang memang lewat didepan gardu itu. Bahkan keduanya justru berhenti didepan gardu sebelum anak-anak muda itu menyapa.

“Apakah padukuhan ini perlu dijaga?“ bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

Anak muda yang tertua diantara keempat orang peronda itu meloncat turun dari gardu sambil menjawab, “Ya Ki Sanak. Malam ini ada keramaian di banjar. Jika semua orang pergi ke banjar, maka rumah-rumah akan menjadi kosong sehingga perlu mendapat pengawasan khusus.”

“Tetapi kalian hanya duduk saja disini. Bagaimana kalian tahu jika terjadi sesuatu ditengah-tengah padukuhan kalian ini. Pencuri misalnya atau apalagi perampok. Justru karena padukuhan ini ada keramaian, maka banyak orang yang hilir mudik keluar masuk padukuhan. Sebagian dari mereka justru bukan orang Tanah Perdikan ini.”

“Ya Ki Sanak,“ jawab peronda itu, “karena itu maka ampat orang kawan kami sedang nganglang padukuhan ini disisi Barat. Sedangkan peronda di gardu ujung Timur meronda disisi sebelah Timur dari padukuhan ini.”

“Tetapi aku tidak bertemu dengan para peronda itu,“ berkata salah seorang dari kedua orang itu.

“Mungkin Ki Sanak berselisih jalan,“ jawab peronda itu.

“Memang mungkin,“ jawab kedua orang itu.

Namun diluar sadarnya peronda itu bertanya, “Apakah Ki Sanak baru saja melihat keramaian?”

“Ya. Aku baru dari banjar,“ jawab orang itu.

“Kenapa Ki Sanak sudah meninggalkan keramaian? Nampaknya baru Ki Sanak berdua yang keluar dari padukuhan ini meskipun sejak sore tadi banyak sanak dari padukuhan lain yang memasuki padukuhan ini. Bukankah pertunjukan masih panjang? Bahkan semalam suntuk?”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka menjawab, “Aku tidak tertarik untuk melihat lebih lama lagi. Penari-penari yang jelek. Nampaknya mereka dipaksa untuk menari tanpa mengerti bagaimana seseorang harus menari.”

Anak-anak muda yang ada di gardu itu tiba-tiba saja merasa tersinggung. Hampir berbareng yang lainpun telah berloncatan turun pula. Seorang diantara anak-anak muda itu menyahut, “Ki Sanaklah yang tidak mengenal tari. Mereka adalah penari-penari terbaik bukan saja dari padukuhan ini. Beberapa orang kami undang dari padukuhan lain, bahkan dari padukuhan induk.”

“Kau sendiri tidak menyaksikannya,“ jawab orang Itu.

“Aku sudah melihat latihan-latihannya. Aku melihat gladi resiknya dan tadi serba sebentar aku sudah melihat pula,“ jawab anak muda itu.

Kedua orang itu saling berpandangan lagi. Namun keduanya tersenyum. Seorang yang lain berkata, “Baiklah. Mungkin kami memang tidak banyak mengenal tari. Kami minta maaf.”

Anak-anak yang meronda itu termangu-mangu sejenak. Mereka yang sudah siap mempertahankan harga diri para penari di padukuhannya itu ternyata justru kehilangan greget ketika kedua orang itu justru minta maaf.

Namun ternyata kedua orang itu tidak segera meninggalkan gardu itu. Mereka justru melangkah mendekat. Seorang dari mereka berkata, “Apakah aku boleh ikut duduk digardumu? Bukankah aku tidak mengganggu?”

Orang tertua diantara para peronda itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun sudah tentu bahwa para peronda itu tidak dapat menolak mereka begitu saja.

Karena itu, maka kedua orang itupun kemudian telah dipersilahkannya duduk.

Meskipun demikian para peronda itupun selalu ingat kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung yang tentu menunggu kedua orang itu. Tetapi kedua orang itu agaknya sudah terlalu lama tidak muncul dari pintu gerbang.

“Anak-anak muda,“ berkata salah seorang dari kedua orang itu, “bagaimana kesan kalian tentang Kepala Tanah Perdikan kalian yang masih sangat muda itu?”

Anak-anak muda itu saling berpandangan. Baru sejenak kemudian yang tertua diantara mereka menjawab, “Ia memang berhak untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan ini. Ia adalah cucu Ki Gede Sembojan yang memerintah Tanah Perdikan ini sebelumnya.”

“Tetapi bukankah jabatan itu pernah dipangku oleh seorang perempuan?“ bertanya orang itu.

“Ya. Ibu Risang, yang sekarang menjadi Kepala Tanah Perdikan ini,“ jawab anak muda yang tertua diantara para peronda itu.

“Apakah anak itu mampu melakukan tugasnya dengan baik?“ bertanya orang itu pula.

“Ia baru beberapa hari ini diwisuda. Tentu saja kami belum dapat menilainya dengan baik. Tetapi seandainya terdapat kekurangan-kekurangan padanya, maka ibunya masih ada. Ia akan dapat membantu memecahkan persoalan-persoalan yang rumit,“ jawab anak itu.

“Tetapi apa yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan,“ desis orang itu kemudian.

“Bukankah Ki Sanak tahu bahwa sebelumnya ia memangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan ini? Selama perempuan itu memangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan, segala sesuatunya berjalan dengan baik. Apalagi sekarang.”

“Bukankah itu hanya satu kebetulan bahwa selama itu tidak pernah terjadi persoalan yang gawat di Tanah Perdikan ini?“ berkata orang itu pula.

“Tentu sudah. Pergolakan di Pajang membuat Tanah Perdikan ini bergejolak pula. Terakhir, Pajang justru mengirimkan prajurit-prajuritnya kemari. Justru saat Jabatan Kepala Tanah Perdikan ini dipangku oleh seorang perempuan.”

Tetapi kedua orang itu tertawa. Seorang diantara mereka berkata, “Aku kagum kepada kesetiaan para bebahu Tanah Perdikan ini. Mereka selama ini tunduk dan setia kepada seorang pemimpin yang sebenarnya tidak berhak memegang kendali pemerintahan disini. Apalagi ia seorang perempuan. Para bebahu itulah yang sebenarnya memiliki kemampuan dan ketrampilan memimpin Tanah Perdikan ini. Bukan perempuan itu. Dan sudah tentu bukan pula anaknya yang bernama Risang itu.”

Peronda yang tertua diantara keempat anak-anak muda itu dengan serta merta menyahut, “Itu persoalan kami. Tetapi apakah maksudmu sebenarnya datang ke tanah Perdikan ini?”

“Jangan marah anak muda,“ berkata orang itu, “kami tidak bermaksud buruk. Kami hanya ingin menempatkan persoalannya pada tempat yang sewajarnya.”

“Sewajarnya apa maksudmu?“ bertanya anak muda yang lain.

“Sebenarnyalah kesadaran kami tentang hak atas Sembojan memang sudah terlambat. Tetapi masih belum berarti segala-galanya tidak lagi dapat dibicarakan,“ jawab orang itu.

“Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan,“ berkata salah seorang diantara anak-anak muda itu.

“Kau masih terlalu muda untuk mengetahuinya,“ jawab orang itu, “tetapi barangkali kau memang perlu mendengar apa yang sebenarnya terjadi atas Tanah Sembojan ini.”

“Apa yang sesungguhnya terjadi itu?“ bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “sebenarnya sebagian besar dari tanah Perdikan ini telah melanggar hak dan milik orang lain.”

“Kenapa?“ bertanya anak muda yang tertua dian-tarapara peronda itu.

“Dahulu disini berdiri sebuah padepokan yang besar dan kuat. Tetapi padepokan itu telah didesak oleh kekuatan seseorang yang berhasil membujuk para pemimpin dari Demak untuk membantunya menyingkirkan padepokan itu. Daerah yang berhasil direbutnya itulah yang kemudian disebut Tanah Perdikan Sembojan sekarang ini.”

“Omong kosong,“ desis salah seorang anak muda yang ada digardu itu.

“Memang sudah lama sekali terjadi. Kamipun belum lama mengetahui akan hal itu. Tetapi karena orang-orang tua kami telah menceriterakan hal ini kepada kami, maka kamipun berniat untuk mempersoalkannya kembali. Sebenarnyalah hal ini akan kami lakukan sebelum Tanah Perdikan ini mempunyai Kepala Tanah Perdikan yang sah seperti sekarang ini. Tetapi kami ternyata terlambat. Meskipun demikian, kami merasa bahwa hak kami untuk mempersoalkannya,“ berkata orang itu.

“Kau jangan mengigau,“ geram salah seorang anak muda, “bukan hanya kedudukan Kepala Tanah Perdikan saja yang telah disahkan. Tetapi juga lingkungan wilayah Tanah Perdikan ini. Jika Ki Tumenggung Wreda Wirajaya mengesahkan kedudukan Kepala Tanah Perdikan ini dengan mewisuda, maka itu berarti bahwa kedudukan dan batas wilayah Tanah Perdikan inipun sah. Apa yang dilakukan Ki Tumenggung Wreda Wirajaya itu adalah atas nama kuasa Kangjeng Adipati di Pajang.”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Menurut Kangjeng Adipati di Pajang itu sudah sah. Wilayah dan batas Tanah Perdikan inipun sah pula.”

“Sejak kekuasaan tertinggi berada di Demak, kedudukan Tanah Perdikan ini adalah sah,“ jawab anak muda itu.

Tetapi orang itu tertawa. Seorang diantara mereka berkata, “Kau salah anak muda. Mungkin Pajang menganggap kedudukan itu sah. Tetapi belum tentu dengan Madiun.“

“Kenapa dengan Madiun?“ bertanya anak muda itu.

“Apalagi kedudukan Tanah Perdikan ini. Sedangkan Madiun dapat menganggap kedudukan Pajang itu sendiri tidak sah,“ jawab wang itu bersungguh-sungguh.

“Aku tidak tahu apa yang kalian katakan,“ jawab anak muda itu, “menurut pendengaranku, Madiun telah mengucapkan selamat pula kepada Risang yang telah diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan lewat salah seorang pejabatnya yang datang ke tanah Perdikan ini meskipun tidak resmi.”

“Tentu hanya satu dongeng ngaya-wara,“ jawab orang itu.

“Kata-katamulah yang tidak masuk akal,“ bentak anak muda yang tertua, “kau tidak dapat mengigau seperti itu disini sekarang. Pergilah. Kata-kata dan sikapmu telah menyebarkan kemarahan dihati kami.”

Tetapi kedua orang itu tertawa. Katanya, “Anak-anak muda. Aku datang dari sebuah padepokan yang besar dan berwibawa. Kau tidak dapat mengusir aku seperti mengusir tikus begitu. Apalagi aku merasa bahwa aku berada diatas bumiku sendiri.”

“Cukup,“ bentak anak muda yang tertua itu, “sekali lagi aku minta kau meninggalkan tempat ini.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu anak-anak muda digardu itu berharap bahwa kedua orang itu akan meninggalkan gardu itu dan bertemu dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung sehingga keduanya akan dapat mendengar keterangan kedua orang yang tidak dikenal itu.

Tetapi ternyata kedua orang itu tidak segera pergi. Meskipun keduanya sudah turun dari gardu, namun keduanya masih tetap bediri ditempatnya. Seorang diantara mereka berkata, “Sayang anak-anak muda. Kau tidak dapat memperlakukan kami seperti itu. Sudah aku katakan, bahwa kami berdua tidak akan dapat kau bentak-bentak seperti itu.”

Anak muda yang tertua diantara para peronda itu berkata, “Jika demikian, maka kami akan menangkap kalian dan membawa kalian menghadap Ki Bekel untuk selanjutnya dibawa menghadap Kepala Janah Perdikan ini.“

Kedua orang itu tertawa. Seorang diantara mereka berkata, “Jangan aneh-aneh. Kalian tidak akan dapat melakukannya.”

“Jika kalian berdua tidak mau pergi dari tempat ini, maka kami akan melakukannya. Kami akan menangkap kalian.”

“Sebenarnya kami ingin berhubungan dengan kalian dengan cara yang baik. Pada saatnya tanah ini akan kembali kepada kami. Dengan demikian maka kita akan selalu berhubungan dalam pergaulan hidup kita sehari-hari. Tetapi jika seseorang menentang kami, maka orang itu tidak berhak hidup diatas bumi yang subur ini. Orang itu harus pergi atau ditiadakan sama sekali.”

Keempat anak muda itu tidak dapat menahan diri lagi. Mereka adalah anak-anak muda Tanah Perdikan yang telah mendapat serba sedikit latihan-latihan olah kanuragan. Merekapun telah mempunyai pengalaman mempergunakan senjata. Karena itu, maka yang tertua diantara merekapun berkata, “Ki Sanak. Jika demikian, marilah. Kita menghadap Ki Bekel. Kau dapat berbicara apa saja kepada Ki Bekel.”

Tetapi seorang diantara kedua orang itu berkata lancang, “Kau harus minta maaf kepada kami, agar pada saatnya kami kembali ketempat ini, kalian kafan ijinkan untuk tinggal disini. Kalian harus tahu, bahwa Pajang masih harus menguji diri terhadap kekuasaan Madiun.”

“Jadi kau memang orang Madiun?“ bertanya anak itu.

“Sudah aku katakan. Kami tinggal disebuah padepokan yang besar dan berwibawa. Kami memang tinggal di wilayah Madiun. Sejak Madiun menentukan sikapnya terhadap Pajang dan Mataram, maka kamipun berniat menentukan sikap kami terhadap Tanah Perdikan ini.”

Keempat anak muda itupun segera bersiap. Dengan lantang pula yang tertua diantara mereka berkata, “Jangan mencoba melawan kami. Kami bertanggung jawab atas keamanan padukuhan ini.”

Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak menghirau kannya. Dengan tegas seorang diantara mereka berkata, “Tundukkan kepala kalian. Kalian harus minta maaf kepada kami. Kalian dengar?”

“Tidak,“ anak muda itu hampir berteriak, “buat apa aku minta maaf kepadamu?”

Tetapi baru saja mulutnya terkatub, maka terdengar anak muda itu mengaduh. Tubuhnya terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia jatuh terlentang. Namun ternyata ia masih mampu bertahan untuk tetap berdiri tegak. Tetapi ketika ia mengusap bibirnya yang pedih, terasa darah yang hangat mengalir dari bibirnya yang pecah.

Anak muda itu marah bukan buatan. Dengan cepat iapun telah meloncat menyerang. Demikian pula kawan-kawannya yang melihat salah seorang dari kedua orang asing itu telah memukul kawannya dengan tiba-tiba.

Sejenak kemudian telati terjadi perkelahian antara dua orang yang tidak dikenal itu dengan ampat orang peronda yang ada digardu. Ternyata bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang tinggi, sehingga dalam waktu singkat keempat anak muda itu telah terdesak. Bahkan ketika salah seorang diantara mereka meloncat kearah kentongan yang tergantung diemper gardu itu, tiba-tiba terasa tangannya dicengkam oleh kekuatan yang sangat besar. Satu dorongan yang sangat kuat telah melemparkannya keseberang jalan, sehingga anak muda itu jatuh terjerembab. Hampir saja kepalanya membentur dinding batu batas halaman diseberang jalan.

Namun hempasan yang sangat kuat itu telah membuat kepalanya menjadi pening sehingga ketika ia berusaha untuk bangkit, maka terasa tubuhnya bergetar dan pandangan matanya berputar, sehingga sekali lagi ia jatuh terbanting ditanah.

Sebelum anak muda itu sempat memperbaiki keadaannya, maka seorang lagi diantara anak-anak muda itu vang terlempar jatuh. Punggungnya justru menimpa tiang gardu itu sehingga terdengar ia mengaduh kesakitan. Gardu itupun berguncang. Untunglah bahwa obor yang menyala itu tidak jatuh menimpanya.

Dua orang anak muda yang tersisa memang tidak berdaya. Meskipun mereka masih bertempur dengan mengejankan segenap kemampuan mereka, tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Beberapa kali tubuh mereka justru lelah terkena serangan lawan-lawan mereka. Beberapa kali pula keduanya terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan. Tetapi agaknya kedua orang asing itu dengan sengaja telah mempermainkan mereka. Dengan nada tinggi seorang diantara kedua orang yang tidak dikenal itu berkata, “Nah, sebaiknya kalian serba sedikit mengenal kami. Tetapi kalian tidak perlu membunyikan kentongan. Dengan demikian maka keramaian di banjar itu akan sandal terganggu. Bahkan mungkin keadaannya akan menjadi kacau-balau.”

Kedua orang anak muda itu benar-benar tidak mampu berbuat banyak. Bahkan seorang diantara mereka telah terlempar dengan kerasnya menimpa anak muda yang masih terhenyak ditempatnya dengan pandangan mata berkunang-kunang.

Namun dalam pada itu, selagi wajah kedua orang anak muda itu mulai menjadi pengab, tiba-tiba saja telah terdengar suara dari luar pintu gerbang, “Bagus Ki Sanak. Ternyata kalian hanya berani menyakiti anak-anak.”

Kedua orang itu terkejut. Merekapun segera meloncat surut. Sementara itu dari luar pintu gerbang nampak dua orang melangkah mendekat. Keduanya adalah Sambi Wulung dan Jati Wulung.

“Aku mencoba mendengarkan pembicaraan kalian. Meskipun tidak seluruhnya dapat kami dengar, tetapi kami dapat menangkap maksud kalian,“ berkata Sambi Wulung.

“Siapakah kalian berdua?“ bertanya salah seorang dari kedua orang asing itu.

“Aku penghuni padukuhan ini. Namaku Sambi Wulung sedangkan adikku ini namanya Jati Wulung. Kami baru pulang dari sawah, karena kebetulan kami sedang mendapat bagian air. Sebenarnya kami ingin segera melihat keramaian di banjar. Namun tingkah laku kalian sangat menarik perhatian kami.”

“Ki Sanak,“ berkata salah seorang dari kedua orang asing itu, “jika kalian sudah mendengar pembicaraan kami, maka sebaiknya kalian segera menentukan sikap. Bertinkah laku baik dihadapan kami atau mengalami nasib buruk seperti anak-anak itu. Tetapi karena kalian sudah terlalu tua untuk mendapat pelajaran yang sama dengan anak-anak itu, maka sebaiknya kalian jangan membuat kami marah.”

“Kalau aku boleh tahu, siapakah nama kalian dan kalian datang dari padepokan mana? Padepokan yang mengaku memiliki bumi perdikan ini.”

“Aku memang tidak ingin merahasiakan namaku. Aku Nagawana dan ini saudara seperguruanku, Nagawereng,“ jawab orang itu.

“Apakah itu memang nama kalian sendiri atau nama yang kalian buat kemudian untuk satu kebanggaan,“ bertanya Sambi Wulung dengan nada sumbang.

“Jangan bersikap begitu Ki Sanak,“ berkata orang yang disebut namanya Nagawereng, “kalian sudah terlalu tua untuk membuat persoalan dengan orang lain. Kalian telah berada didunia senja sehingga sebentar lagi maka langitpun akan menjadi kelam. Karena itu seharusnya kalian bersikap baik, agar kalian tetap mendapat tempat tinggal di padukuhan ini.”

Sambi Wulung tertawa. Katanya, “Terima kasih atas kesempatan itu Ki Sanak. Tetapi kesempatan itu seharusnya datang dari Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Bukan dari kalian, meskipun kalian mengaku memiliki Tanah Perdikan ini.”

“Ah,“ desah Nagawana, “Nampaknya Ki Sanak memang keras kepala. Bukankah kalian melihat bahwa ampat anak-anak muda yang masih kuat dan berkemampuan tinggi ini sama sekali tidak berdaya menghadapi kami? Apalagi kalian. Atau kalian ingin bersandar pada bunyi kentongan? Sudah aku katakan, bunyi kentongan hanya akan mengacaukan tontonan di banjar padukuhan itu. Dan itu sama sekali tidak menguntungkan bagi kalian dan orang-orang yang sedang bergembira itu.”

“Aku sependapat,“ jawab Sambi Wulung, “kami tidak akan membunyikan kentongan. Anak-anak muda itupun tidak. Aku ingin bersikap baik kepada kalian berdua. Aku minta kalian bersedia bersamaku pergi menemui Ki Bekel di padukuhan ini atau langsung menemui angger Risang, Kepala Tanah Perdikan yang baru saja diwisuda. Percayalah bahwa Kepala Tanah Perdikan yang muda itu mempunyai cukup kebijaksanaan untuk menyelesaikan persoalannya dengan kalian.”

“Pada suatu saat kami memang akan menemui anak muda yang menyebut dirinya Kepala Tanah Perdikan itu. Kami ingin berbicara tentang hak kami. Tetapi sudah tentu dengan cara yang terhormat. Bukan dengan pengawalan sebagaimana seorang tawanan yang sedang digiring ke tiang gantungan.“

“Tentu tidak,“ sahut Sambi Wulung, “marilah, kau akan diterima oleh angger Risang dengan baik sebagai tamu yang terhormat. Beberapa saat yang lalu angger Risang juga telah menerima seorang tamu dari Madiun meskipun tamu itu tidak bersedia dipersilahkan naik kependapa, justru karena di Tanah Perdikan ini sedang banyak tamu dari Mataram.

“Tidak Ki Sanak. Aku tidak akan menemuinya sekarang. Aku sudah cukup memperkenalkan diriku kepada anak-anak muda Tanah Perdikan. Kalian, orang-orang senja itu sebaiknya tidak usah berbuat apa-apa. Bawa saja pesanku kepada Risang, bahwa pada suatu saat aku akan datang untuk membuat perhitungan. Risang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima syarat-syarat yang kami ajukan. Pajang tidak akan dapat campur tangan jika Pajang tidak ingin berbenturan dengan Madiun.”

Tetapi Sambi Wulung tertawa. Katanya, “jangan menakut-nakuti dengan nama besar Kangjeng Adipati di Madiun. Sudah aku katakan bahwa Madiun justru datang untuk mengucapkan selamat. Bahkan pada kesempatan lain pejabat dari Madiun itu akan datang lagi. Madiun justru menawarkan bantuan kepada angger Risang sejauh dapat dipenuhinya.”

Kedua orang itu mengerutkan dahinya. Mereka berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Kalian petani-petani tua jangan terlalu banyak membual. Apa yang ingin aku tunjukkan kepada para pengawal Tanah Perdikan ini sudah cukup. Sekarang aku akan pergi. Tetapi pada kesempatan lain aku akan datang menemui Risang.”

“Apakah kau menganggap sudah cukup?“ bertanya Sambi Wulung, “tidak Ki Sanak. Kau harus menghadap angger Risang sekarang. Setelah menyakiti anak-anak itu kau tidak dapat begitu saja pergi.”

“Ki Sanak,“ berkata Nagawereng, “aku tahu bahwa kalian berdua tentu serba sedikit memiliki ilmu kanuragan. Jika tidak kalian tidak akan berani berbuat seperti itu. Tetapi aku peringatkan bahwa kami dapat berbuat jauh lebih banyak dari yang sudah kami lakukan terhadap anak-anak muda itu. Karena itu minggirlah.”

Sambi Wulung dan Jati Wulungpun justru saling menjauh. Sambi Wulungpun kemudian berkata, “Kalian tidak dapat pergi begitu saja. Kalian harus menghadap angger Risang.”

“Orang-orang tua yang tidak tahu diri. Jika terjadi sesuatu atas kalian, bukan salah kami. Kami telah memperingatkan kalian beberapa kali. Tetapi kalian ternyata keras kepala.”

Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak beringsut. Tetapi Sambi Wulung berkata kepada anak-anak muda yang telah bangkit berdiri meskipun masih saja menyeringai menahan sakit.

“Anak-anak muda. Kalian tidak perlu membunyikan kentongan. Aku sependapat dengan kedua orang yang menyebut dirinya Nagawana dan Nagawereng ini, agar tontonan di banjar tidak menjadi kacau. Biarlah kita selesaikan persoalan kita disini.”

Nagawana dan Nagawereng menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan nada rendah Nagawereng berkata, “Orang-orang tua yang sombong. Tetapi apaboleh buat. Kalianlah yang membuat persoalan diantara kita.”

“Apapun yang kau katakan, tetapi kalian berdua telah melanggar hak atas tanah Perdikan ini. Kalian telah menyerang anak-anak muda yang sedang menjalankan tugasnya,“ sahut Sambi Wulung sambil bergeser mendekati Nagawana.

Nagawanapun segera bersiap. Kepada Nagawereng ia berkata, “Kita selesaikan mereka dengan cepat. Aku tahu, mereka dengan sengaja mengulur waktu sambil menunggu anak-anak muda yang meronda berkeliling.”

Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah bersiap sepenuhnya. Ketika kemudian Nagawana mulai menggerakkan kedua tangannya menebas kearah leher dari dua arah, maka Sambi Wulungpun melangkah surut.

Tetapi Nagawana memang belum berniat menyerang bersungguh-sungguh. Ia ingin melihat kecekatan orang yang menyebut dirinya petani padukuhan itu yang sedang mendapat giliran air bagi sawahnya.

Meskipun Sambi Wulung juga hanya sekedar menghindari tangan Nagawana, tetapi justru sikap Sambi Wulung yang nampaknya tenang-tenang saja itu telah mengisyaratkan, bahwa petani-petani tua itu memiliki ilmu yang cukup.

Sementara itu, berbeda dengan dengan Nagawana, maka Nagawereng telah benar-benar meloncat menyerang Jati Wulung dengan kakinya yang terjulur lurus menyamping. Nagawereng merasa bahwa waktunya telah banyak yang tersita oleh pembicaraannya dengan kedua orang itu tanpa arti. Bahkan kedua orang itu tentu hanya berusaha untuk mengulur waktu agar mereka sempat minta pertolongan kepada para peronda yang sedang berkeliling padukuhan yang sebentar lagi tentu akan datang kembali ke gardu itu.

Namun serangan serangannya itupun sama sekali tidak menyentuh tubuh Jati Wulung. Dengan tangkasnya Jati Wulungpun meloncat menghindari serangan itu. Bahkan dengan cepat pula tubuh Jati Wulung berputar dengan cepat. Kakinyalah yang terayun mendatar mengarah kedada Nagawereng. Nagawereng memang terkejut mendapat serangan itu. Ternyata orang tua itu masih juga cekatan.

Dengan tangkasnya Nagawereng meloncat surut, sehingga serangan Jati Wulung itu tidak mengenainya. Namun yang tidak diperhitungkan adalah kemampuan Jati Wulung bergerak dengan cepat. Sehingga karena itu, maka demikian kaki Nagawareng berjejak diatas tanah, maka serangan Jati Wulung telah menyusulnya pula.

Nagawereng yang tidak menduga sama sekali akan datang serangan itu tidak sempat menghindar lagi. Karena itu maka Nagawereng harus menangkis serangan itu.

Satu benturan kekuatan telah terjadi dengan serta merta. Keduanya memang belum mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Namun demikian benturan yang terjadi itu benar-benar telah mengejutkan Nagawereng. Orang tua yang mengaku petani yang baru pulang dari mengairi sawahnya itu, ternyata mempunyai kekuatan yang sangat besar. Benturan itu justru telah mendorong Nagawereng selangkah surut.

Tetapi Nagawereng sama sekali tidak merasakan hal itu sebagai satu ukuran kekuatan mereka. Nagawereng merasa bahwa ia benar-benar tidak siap. Bahkan justru karena ia menganggap bahwa lawannya memang tidak lebih dari seorang yang baru sekedarnya memiliki ilmu sehingga ia menjadi terlalu bangga karenanya.

Namun benturan itu telah memperingatkan Nagawereng, bahwa lawannya bukan sekedar seorang petani tua yang bangga memiliki sedikit tenaga dan kemampuan olah kanuragan.

Karena itulah, maka Nagawerengpun telah meningkatkan ilmunya pula. Apalagi ia memang ingin dengan cepat mengakhiri pertempuran itu sebelum para peronda yang nganglang itu kembali ke gardu.

Tetapi mereka yang sedang bertempur itu, bahwa juga anak-anak muda yang sedang meronda itu tidak tahu, bahwa kawan-kawan mereka yang meronda berkeliling telah tersangkut di banjar melihat keramaian yang sedang berlangsung.

Meskipun kemudian Nagawereng meningkatkan ilmunya, namun ia masih saja merasa heran. Orang yang menyebut namanya Jati Wulung itu masih saja mampu mengimbanginya. Selapis ilmunya meningkat, maka kemampuan lawannyapun telah meningkat pula.

Nagawana sempat juga melihat Nagawereng terdorong surut ketika benturan terjadi. Bahkan Naga wanapun terkejut pula. Tetapi seperti Nagawereng, maka Nagawanapun mengira bahwa Nagawereng masih terlalu merendahkan lawannya.

Tetapi bahwa saudara seperguruannya terdorong surut dalam benturan kekuatan itu telah memberikan peringatan pula kepada Nagawana. Lawannya itupun tentu juga memiliki kekuatan yang cukup untuk mengimbangi kekuatannya.

Karena itulah, maka Nagawana telah meningkatkan kemampuannya pula. Iapun ingin segera menyelesaikan orang tua yang dianggapnya terlalu sombong itu.

Tetapi perhitungan Nagawana ternyata keliru. Orang tua itu tidak segera dapat ditundukkan. Bahkan semakin meningkat ilmunya, maka perlawanan Sambi Wulungpun menjadi berbahaya.

Sementara itu, anak-anak muda yang wajahnya telah menjadi biru pengab itu menyaksikan pertempuran dengan hati yang berdebar-debar. Mereka merasa bersukur, bahwa Sambi Wulung dan Jati Wulung telah datang ke gardu. Nampaknya mereka merasa terlalu lama menunggu, sehingga mereka telah melihat apakah kedua orang itu terhenti dimulut lorong.

Jika saja Sambi Wulung dan Jati Wulung itu tidak datang kegardu itu, maka mungkin anak-anak muda itu telah mengalami nasib yang lebih buruk. Meskipun kedua orang itu agaknya memang tidak ingin membunuh mereka, tetapi keduanya tentu benar-benar akan menyakiti mereka. Bahkan mungkin mereka menjadi cacat.

Kehadiran Sambi Wulung dan Jati Wulung tepat pada waktunya ternyata telah menyelamatkan mereka dari kemungkinan buruk itu.

Dengan tegang keempat orang anak muda itu memperhatikan pertempuran yang sedang terjadi. Meskipun ilmu mereka tidak terhitung tinggi, namun mereka dapat menduga bahwa Sambi Wulung dan Jati Wulung setidak-tidaknya tidak terdesak oleh lawan-lawannya yang garang itu.

Tetapi anak-anak muda itu tidak dapat berbuat apa-apa selain menyaksikan dengan jantung berdebaran. Sambi Wulung sendiri telah berpesan agar mereka tidak membunyikan kentongan untuk memanggil kawan-kawannya, karena hal itu akan dapat mengacaukan keramaian yang sedang berlangsung di banjar.

Namun sebenarnyalah Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak memerlukan bantuan. Keduanya ternyata tidak mengalami banyak kesulitan mengatasi kedua orang yang mengaku datang dari padepokan yang besar dan berwibawa itu.

Sebenarnyalah, Sambi Wulungpun dengan cepat telah mendesak Nagawana. Meskipun Nagawana meningkatkan ilmunya sampai ketataran tertinggi, namun ternyata bahwa Sambi Wulung masih saja mampu mengimbanginya. Demikian pula Nagawereng. Seakan-akan ia telah kehilangan akal untuk dapat mengalahkan Jati Wulung. Apapun yang dilakukannya, maka Jati Wulung selalu dapat mengimbanginya. Bahkan semakin lama justru semakin mendesak Nagawereng sehingga kadang-kadang Nagawereng harus berloncatan mengambil jarak.

Dengan demikian, maka kedua orang yang mengaku datang dari sebuah padepokan di daerah Madiun itu mengalami kesulitan. Serangan-serangan mereka semakin lama justru menjadi semakin kabur. Sementara itu, sekali-sekali tangan Sambi Wulung dan Jati Wulung telah menyentuh tubuh mereka.

Nagawana yang yakin akan kemampuannya itu, justru harus mengaduh kesakitan ketika jari-jari Sambi Wulung yang berkembang merapat sempat menusuk bagian atas perut Nagawana. Terdengar orang itu mengumpat sambil mengambil jarak. Tetapi Sambi Wulung justru memburunya. Satu tendangan yang keras terayun menyamping. Tubuh Sambi Wulung yang bagaikan terbang itu datang terlalu cepat, sehingga Nagawana tidak sempat menghindarinya.

Karena itu, maka yang dapat dilakukan adalah melindungi dadanya yang menjadi sasaran serangan itu dengan kedua tangannya yang bersilang didepan dadanya.

Tetapi serangan itu datang terlalu keras. Tangan yang bersilang itu tidak mampu menahan dorongan kaki lawannya yang datang dengan kuatnya.

Karena itu, maka justru kedua tangan yang bersilang itu telah menghentak menekan dadanya. Demikian kuatnya dorongan serangan itu, maka Nagawanapun telah terdorong pula beberapa langkah surut. Bahkan kemudian ia telah kehilangan keseimbangannya sehingga jatuh berguling. Tetapi Nagawana yang memiliki ketangkasan bergerak itu dengan cepat pula melenting bangkit dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi ternyata Sambi Wulung tidak memburunya. Tidak pula menyerangnya pada saat-saat kedudukannya belum tegak. Seakan-akan Sambi Wulung membiarkannya bersiaga untuk menghadapinya.

Nagawana yang sudah berdiri tegak itu memang merasa heran bahwa Sambi Wulung tidak mempergunakan kesempatan itu. Namun Nagawana menyadari bahwa lawannya memang seorang yang berilmu tinggi.

Bahkan Sambi Wulung itupun kemudian berkata, “Nagawana. Apakah kau masih menolak untuk bertemu dengan Kepala Tanah Perdikan ini?”

Nagawana menggeram. Katanya, “Apapun yang terjadi, aku tidak akan menemuinya sekarang. Tetapi aku akan datang pada kesempatan lain.”

“Apa bedanya? Mumpung kau sudah berada di Tanah Perdikan ini. Bukankah itu lebih baik? Dengan demikian persoalan yang akan kau bicarakan tidak tertunda-tunda lagi,“ berkata Sambi Wulung.

“Jangan berusaha menyelamatkan diri dengan cara yang licik itu. Jika kau tidak lagi mampu bertempur, minggirlah. Kami akan meninggalkan tempat ini,“ geram Nagawana.

“Jangan begitu,“ sahut Sambi Wulung sambil tertawa, “kita adalah orang-orang yang memiliki wawasan yang cukup luas tentang olah kanuragan. Apakah menurut penilaianmu kemampuanku berada dibawah kemampuanmu?”

“Ya,“ jawab orang itu tegas, “jika kau memaksakan perkelaian, maka bukan salahku jika aku nanti membunuhmu.”

Sambi Wulung tertawa semakin keras. Bersamaan dengan itu, maka Jati Wulung telah berhasil menembus pertahanan Nagawereng. Tangannya dengan kerasnya mengenai ulu hati sehingga Nagawereng itu terbungkuk kesakitan. Pada saat itu pula Jati Wulung dengan tangkas menangkap kepala lawannya dan menghentakkannya membentur lututnya yang diangkatnya tinggi-tinggi.

Terdengar Nagawereng mengaduh tertahan. Namun dengan cepat ia berusaha menyerang dengan kedua belah tangannya kearah perut Jati Wulung. Tetapi Jati Wulung yang melihat serangan itu sempat meloncat surut. Justru pada saat Nagawereng berusaha untuk tegak, serangan Jati Wulung telah datang lagi meluncur dengan derasnya. Tubuhnya yang berputar telah mengayunkan kakinya tepat mengenai keningnya.

Nagawereng terlempar kesamping. Dengan kerasnya ia terjatuh terbanting ditanah. Sekali ia berguling. Kemudian dengan cepat iapun bangkit berdiri. Tetapi untuk beberapa saat, punggungnya terasa nyeri, sementara dari bibirnya telah menitik darah. Lutut Jati Wulung telah memecahkan bibirnya ketika wajah itu terantuk lututnya itu.

Jati Wulungpun tidak segera menyerangnya. Iapun berdiri tegak beberapa langkah didepannya sebagaimana Sambi Wulung berdiri dihadapan Nagawana.

Sambi Wulung menunggu sejenak. Kemudian sambil lersenyum ia bertanya, “Apa katamu Ki Sanak.”

Wajah Nagawana menjadi panas. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa kedua orang yang mengaku petani itu memiliki ilmu yang tinggi.

Karena Nagawana dan Nagawereng masih berdiam diri saja, maka Sambi Wulung itupun berkata, “Ki Sanak. Aku kira kesempatan untuk memperkenalkan diri sudah cukup. Jika kau ingin menunjukkan kepada anak-anak itu bahwa kalian yang datang dari padepokan yang kau sebut besar dan berwibawa itu, maka kaupun telah melihat isi dari Tanah Perdikan Sembojan. Jika kau harap bahwa akan ada pembicaraan antara Tanah Perdikan ini dengan padepokanmu maka marilah, kita menghadap Kepala Tanah Perdikan ini.”

Wajah kedua orang asing itu menjadi tegang. Namun mereka memang tidak berniat untuk bertemu dengan Risang. Karena itu maka Nagawana dan Nagawereng masih berpikir bagaimana mereka harus menghindarinya. Sementara itu mereka memang tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa mereka berdua tidak dapat mengimbangi kemampuan kedua orang yang mengaku petani dari Tanah Perdikan Sembojan itu.

Sementara itu Sambi Wulungpun berkata selanjutnya, “Kalian tidak mempunyai pilihan lain Ki Sanak.”

Nagawana menjadi tegang sekali. Namun tiba-tiba saja ia berteriak nyaring. Dengan cepat dan sekuat tenaga ia telah meloncat menyerang Sambi Wulung.

Nagawereng, saudara seperguruan Nagawana itu segera tanggap. Iapun berteriak pula keras-keras, sehingga suara mengumandang menggetarkan padukuhan yang sepi itu.

Sambi Wulung dan Jati Wulung terkejut. Serangan itu datang begitu tiba-tiba dan begitu cepat. Mereka menyadari bahwa teriakan-teriakan itu tentu merupakan isyarat.

Sambi Wulung dan Jati Wulung mengira bahwa teriakan itu mengisyaratkan bahwa keduanya akan mengerahkan ilmu puncak mereka. Sehingga karena itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung pun meloncat menghindari serangan itu sambil mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk bertempur dalam tataran ilmu tertinggi.

Tetapi sekali lagi keduanya terkejut. Ternyata Naga wana dan Nagawereng tidak memburu dan menyerang mereka. Bahkan tiba-tiba saja mereka telah meloncati dinding halaman dan menyusup diantara pohon-pohon perdu dan tanaman yang ada di halaman itu.

Sambi Wulung dan Jati Wulung itupun dengan cepat memburu. Merekapun telah meloncati dinding halaman pula. Sebagaimana kedua orang yang melarikan diri itu berpencar, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah berpencar pula.

Tetapi ternyata kedua orang yang ilmunya tidak dapat mengimbangi tingkat ilmu Sambi Wulung dan Jati Wulung itu memiliki kemampuan menghindar yang tinggi. Kelebihan waktu yang sekejap ternyata telah mampu membawa mereka menghilang dibalik tanaman tanaman di kebun. Apalagi ketika mereka mencapai rumpun-rumpun bambu di kebun belakang.

Sementara Sambi Wulung dan Jati Wulung mengejar mereka, seorang diantara anak-anak muda di gardu itu telah bangkit dan melangkah cepat mendekati kentongan. Tetapi anak muda tertua di gardu itu dengan serta-merta telah mencegahnya, “Jangan. Bukankah paman Sambi Wulung dan Jati Wulung melarang kita memukul kentongan agar keramaian di banjar tidak menjadi kacau?”

Anak muda itu ragu-ragu sejenak. Namun katanya kemudian, “Tetapi bukankah dengan demikian seluruh isi padukuhan ini akan dapat ikut mengejar kedua orang itu.”

“Tetapi kegembiraan seisi padukuhan ini akan lenyap seketika. Beberapa lama kita mempersiapkan kera maian ini, sehingga jika terjadi kekacauan maka akan siap-sialah kerja kita selama ini. Padahal kita bukan saja telah mencurahkan tenaga, tetapi juga dana,“ jawab anak muda yang tertua itu.

Anak muda yang akan memukul kentongan itu mengurungkan niatnya. Iapun kemudian duduk di gardu sambil mengusap lambungnya yang masih.terasa sakit. Pundaknyapun rasa-rasanya menjadi retak. Sedangkan yang lainpun kemudian telah duduk pula. Semua anak muda yang ada digardu itu memang sedang kesakitan.

Tetapi beberapa saat kemudian Sambi Wulung telah meloncat dari halaman disebelah gardu itu. Sambil menggeleng ia berkata, “Ternyata mereka memiliki kemampuan berlari sangat tinggi. Aku tidak berhasil menyusul buruanku.”

“Bagaimana dengan paman Jati Wulung?“ bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.

Belum lagi Sambi Wulung menjawab, maka Jati Wulungpun telah muncul pula sambil bergumam, “Orang itu mampu menghilang seperti iblis.”

“Aku juga kehilangan buruanku,“ sahut Sambi Wulung.

“Sebenarnya aku sudah akan memukul kentongan,“ berkata salah seorang dari anak-anak muda yang ada di gardu itu.

Tetapi Sambi Wulung berkata, “Untunglah, bahwa hal itu belum jadi kau lakukan. Sudah aku katakan, bahwa suara kentongan itu akan dapat membuat keramaian di banjar menjadi kacau.”

Anak muda itu mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, selagi mereka masih berbincang, seorang laki-laki tua yang tinggal tidak jauh dari gardu itu berjalan tertatih-tatih mendekati gardu. Seorang diantara anak muda itu menyongsongnya sambil bertanya, “Ada apa kek, malam-malam begini pergi ke gardu?”

“Aku mendengar teriakan-teriakan. Cucuku terkejut dan sampai sekarang tidak dapat tidur lagi. Jika anak itu tidur, sebenarnya ibunya dan kakaknya yang sulung akan pergi ke banjar,“ berkata orang tua itu.

“Jadi kakek mendengar teriakan itu?“ bertanya anak muda yang menyongsongnya.

“Tentu, teriakan yang keras. Mungkin orang-orang yang ada dirumah-rumah yang lain tidak mendengarnya, atau rumah disebelah itu memang kosong, karena semua isinya pergi ke banjar,“ jawab orang tua itu.

“Maaf Ki Sanak,“ jawab Sambi Wulung, “anak-anak itu jika sedang bergurau telah melupakan segala-galanya. Mereka berteriak-teriak tanpa mengenal waktu dan tempat.”

“Sekarang cucuku masih belum tidur, sehingga ibunya dan kakaknya yang sulung tidak dapat pergi ke banjar,“ berkata orang tua itu.

“Bukankah tontonan itu akan berlangsung semalam suntuk?“ bertanya Jati Wulung.

“Tetapi sudah tentu penontonnya lebih senang jika dapat melihat urut-urutan ceriteranya,“ jawab kakek tua itu.

“Kami minta maaf kek,“ jawab anak muda itu.

“Lain kali hati-hatilah. Jika kalian sedang meronda, kalian harus menjaga ketenangan dan ketentraman. Bukan justru merusak ketenangan dengan mengganggu orang-orang yang sedang tidur.”

“Ya kek,“ jawab anak muda itu.

“Nah, seharusnya yang tua-tua itu dapat mengatur anak-anak yang sedang meronda. Jangan sampai terjadi keributan,“ berkata orang itu pula. Namun tiba-tiba ia bertanya, “He, siapakah Ki Sanak berdua itu?”

“Kami datang dari padukuhan induk Tanah Perdikan ini, Ki Sanak. Kami memang jarang berada disini, sehingga Ki Sanak nampaknya belum mengenal kami. Tetapi anak-anak muda ini telah mengetahui siapakah kami. Kami datang untuk melihat keramaian yang diselenggarakan di Banjar.”

“Tetapi kenapa kalian masih ada disini, sedangkan malam sudah larut begini?“ bertanya orang tua itu.

“Bukankah pertunjukan itu akan berlangsung semalam suntuk? Sejak sore aku berada di padukuhan Banjarreja. Tetapi kami tidak dapat melihat wayang beber yang diselenggarakan di banjar, karena penontonnya penuh sesak. Jadi aku kemudian bergeser kemari. Tetapi di gardu kami sempat berbincang-bincang sejenak dengan anak-anak muda itu.”

“Dan berteriak-teriak,“ sahut orang tua itu.

Sambi Wulung tidak menjawab. Anak-anak muda itupun terdiam. Sementara itu orang tua itupun telah melangkah meninggalkan anak-anak muda yang termangu-mangu.

“Untunglah orang tua itu tidak melihat wajahnya yang biru pengab,“ desis salah seorang anak muda itu kepada kawannya.

Kawannya hanya tersenyum saja.

Dalam pada itu, ketika anak-anak muda itu kemudian duduk digardu, mereka melihat keempat kawannya yang meronda berkeliling padukuhan disisi Barat itu datang. Begitu mereka mendekati gardu, merekapun mulai tertawa-tawa. Seorang diantara mereka berkata, “Maaf, mungkin kami terlalu lama meronda berkeliling. Kami menyelusuri semua lorong-lorong sampai lorong yang paling sempit sekalipun. Kami mengetuk setiap pintu rumah dan mengamati semua kebun dan halaman.”

Tanpa berjanji anak-anak muda yang berada digardu, bahkan Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak menjawab!

Karena itu maka salah seorang anak muda itu berkata, “Maafkan kami. Terus terang kami singgah sebentar di banjar,“ lalu katanya kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, “untunglah paman berdua menemani kawan-kawan kami yang bertugas di gardu.“ bahkan katanya kemudian, “tetapi jika kalian ingin melihat barang sebentar, pergilah.”

Anak-anak muda yang ada di gardu itu masih belum menjawab. Mereka hanya memandangi kawan-kawan mereka yang baru datang itu sambil berdiam diri.

Tiba-tiba saja salah seorang diantara mereka yang datang itu memandangi wajah kawan-kawannya itu dengan kerut didahinya. Semula ia hanya mengira bahwa yang nampak diwajah kawan-kawannya itu adalah bayangan cahaya obor digardu itu. Namun ternyata bukan.

“He, kenapa wajahmu itu? Dan wajahmu? Kenapa?“ bertanya anak itu dengan cemas.

Baru kemudian kawan-kawannyapun telah memperhatikannya pula. Mereka memang melihat sesuatu yang tidak wajar diwajah kawan-kawannya itu. Bahkan ada diantara mereka yang nampaknya bibirnya telah berdarah dan membengkak.

Baru kemudian keempat orang yang datang itu menjadi ribut. Mereka telah bertanya bergantian dengan nada cemas. Bahkan sekali-sekali mereka memandang Sambi Wulung dan Jati Wulung.

“Kalian mengira bahwa aku telah menyakiti mereka?“ bertanya Sambi Wulung.

“Tidak,“ jawab salah seorang dari para peronda itu, “tetapi kenapa?”

Sambi Wulung hanya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, yang tertua diantara mereka yang ada di gardu itu menjawab, “kami hampir mati terbunuh disini. Seandainya paman Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak kebetulan lewat, maka aku kira kami tidak melihat lagi kedatangan kalian.”

Keempat kawannya yang baru datang itu menjadi tegang. Seorang diantara mereka bertanya, “Apa yang terjadi, kenapa kalian tidak memukul kentongan?”

“Semula kami memang tidak ingin membuat keributan di padukuhan ini. Jika kami membunyikan kentongan, maka keramaian di banjar akan menjadi kacau balau. Apa yang telah dipersiapkan lama itu akan tidak berarti sama sekali. Ketika kemudian kami tidak mampu lagi melawan orang-orang itu dan berniat memukul kentongan, maka kami tidak sempat lagi. Ternyata mereka mampu menghalagi niat itu dan bahkan membuat kami tidak berdaya sama sekali. Nampaknya mereka benar-benar ingin menyakiti kami dan mungkin juga membunuh kami.”

“Siapakah yang kau maksud dengan mereka itu?“ bertanya salah seorang peronda yang tersangkut di banjar itu.

“Dua orang yang mengaku datang dari sebuah padepokan,“ jawab yang tertua diantara anak-anak muda yang ada di gardu.

“Kami minta maaf,“ berkata seorang dari mereka yang baru datang, “seharusnya kami tidak meninggalkan kalian terlalu lama, sehingga hal ini dapat terjadi.”

“Tetapi hal ini sudah terjadi,“ jawab salah seorang peronda yang ada di gardu itu.

“Itulah sebabnya kami minta maaf,“ sahut kawannya yang baru datang.

“Sudahlah,“ berkata Sambi Wulung, “segalanya sudah terlanjur. Sekarang aku akan minta diri. Aku harus segera melaporkan hal ini kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan malam ini juga. Kalian yang ada digardu ini dapat berceritera tentang kedua orang yang mendatangi gardu ini. Untunglah bahwa kami merasa terlalu lama menunggu kedua orang itu dibulak dan kami datang untuk melihat mereka di gardu ini, sehingga kami sempat melihat apa yang terjadi.”

“Kami mengucapkan terima kasih paman,“ berkata anak muda yang tertua diantara para peronda yang ada digardu.

Sambi Wulung tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Hati-hati sajalah. Mudah-mudahan mereka tidak kembali lagi.”

“Baik paman,“ jawab anak muda itu.

“Jika mereka kembali dan keadaan memang memaksa sekali, apaboleh buat. Kalian dapat membunyikan kentongan itu. Keramaian di banjar sudah berlangsung cukup lama. He, apakah sekarang sudah lewat tengah malam?”

“Sudah menjelang dini paman,“ jawab anak muda itu.

Demikianlah, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun segera meninggalkan padukuhan itu langsung kembali ke padukuhan induk. Ternyata bahwa di padukuhan induk, Risang masih belum tidur. Iapun mengikuti keramaian yang terjadi di beberapa padukuhan lewat orang-orang yang memang ditugaskan untuk itu. Dengan demikian Risang dapat mengetahui kegembiraan orang-orang Tanah Perdikan itu sehubungan dengan wisuda yang telah dijalaninya.

Kedatangan Sambi Wulung dan Jati Wulung yang langsung menemuinya itu memang membuatnya berdebar-debar. Sedangkan Sambi Wulung dan Jati Wulungpun ingin segera menyampaikan laporannya tentang peristiwa yang telah dialaminya.

Risang mendengarkan laporan itu dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali kepalanya terangguk-angguk. Namun kemudian dahinyalah yang berkerut.

“Jadi mereka datang dari Madiun?“ bertanya Risang.

“Tetapi tentu tidak ada hubungannya dengan Kangjeng Adipati di Madiun,“ jawab Sambi Wulung.

“Ya. Aku mengerti,“ jawab Risang, “mereka adalah orang-orang yang memanfaatkan keadaan. Disaat mereka melihat mendung diatas hubungan antara Madiun dengan Pajang dan Mataram, maka mereka dengan serta-merta ingin mendapatkan keuntungan dari itu. Mereka mengira bahwa rhereka akan dapat dengan mudah mengambil Tanah Perdikan ini. Agaknya mereka mengira bahwa kekuatan Tanah Perdikan ini bergantung kepada bantuan Pajang.”

“Kita memang harus bersiap-siap,“ berkata Sambi Wulung.

“Sayang, kami kehilangan mereka berdua,“ berkata Jati Wulung kemudian.

“Tetapi itu lebih baik daripada padukuhan yang sedang bergembira itu menjadi kacau,“ sahut Risang.

“Tetapi aku memperhitungkan, bahwa orang-orang itu atau mungkin bersama orang lain akan datang menemuimu,“ berkata Sambi Wulung kemudian, “dengan demikian, maka kau harus sudah mempunyai landasan sikap menghadapi mereka.”

“Bukankah sikap kita sudah jelas?“ bertanya Risang.

Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun Sambi Wulung kemudian berkata, “Tetapi sebaiknya kau sampaikan hal ini kepada ibumu. Meskipun sekarang kau adalah Kepala Tanah Perdikan, tetapi jabatan ini baru kau pegang beberapa hari, sementara ibumu telah melakukannya untuk waktu yang lama.”

Risang mengangguk-angguk. Katanya, “Ibu sekarang sudah tidur dibiliknya. Biar besok saja aku bicarakan hal ini sekaligus dengan kakek dan nenek.”

“Ya. Tetapi sekarang, sebaiknya kaupun beristirahat,“ berkata Sambi Wulung.

Risang mengangguk. Tetapi ternyata bahwa ia tidak segera beringsut dari tempatnya meskipun kemudian Sambi Wulung dan Jati Wulung meninggalkannya sendiri di pendapa.

Untuk beberapa saat Risang masih termenung sendiri. Angan-angannya menerawang ke masa lampau dan ke masa mendatang. Ternyata bahwa jabatan yang dipegangnya memang menuntut tanggung jawab yang berat. Baru beberapa hari ia diwisuda, maka persoalan yang gawat telah membayang dihadapannya. Adalah kebetulan bahwa saat ia diwisuda langit diatas Pajang justru menjadi mendung. Persoalan dengan Madiun yang untuk beberapa saat mampu diredam, pada akhirnya muncul pula dipermukaan. Untunglah bahwa kedua belah pihak berusaha untuk menahan diri sehingga benturan akan masih dapat dicegah.

Namun akibat samping dari persoalan itu adalah justru ada sekelompok orang yang memanfaatkan keadaan mengambil keuntungan justru ketika Pajang dan Mataram sedang berusaha untuk meredakan goncangan-goncangan yang terjadi. Demikian pula Adipati di Madiun.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka Risangpun akhirnya meninggalkan tempatnya. Agaknya memang sudah tidak ada laporan-laporan khusus datang dari padukuhan-padukuhan. Ternyata di padukuhan-padukuhan lain keramaian dapat berlangsung dengan baik dan kegembiraan mewarnai seluruh rakyat Tanah Perdikan Sembojan.

Dipagi hari berikutnya Risang telah menyampaikan laporan yang disampaikan oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung bukan saja kepada ibunya, tetapi juga kepada kakek dan neneknya yang kebetulan duduk bersama-sama diruang dalam.

“Satu isyarat bahwa kau benar-benar harus mulai melakukan tugas serta tanggung jawabmu,“ berkata Kiai Badra.

“Ya kakek,“ jawab Risang, “mudah-mudahan mereka benar-benar datang untuk berbicara tentang tanah Perdikan ini. Dengan demikian aku dapat menunjukkan surat kekancingan yang pernah kita terima serta kekan-cingan jabatan Kepala Tanah Perdikan yang sudah aku terima pula. Dengan melihat sendiri surat-surat kekancingan itu, maka mereka tidak akan dapat menuntut terlalu banyak lagi.”

Tetapi Kiai Badra menggeleng. Katanya, “Mereka tentu sudah mengetahui bahwa kita memiliki surat-surat kekancingan. Tanpa surat kekancingan maka tidak akan dapat dilakukan wisuda. Tetapi mereka dengan sengaja telah melontarkan satu perang urat syaraf untuk mengguncang ketahanan jiwani orang-orang Tanah Perdikan ini. Mereka berharap bahwa kekalutan antara Pajang dan Mataram dengan Madiun menjadi semakin parah.”

“Apakah dengan demikian berarti bahwa padepokan yang dikatakannya itu, mereka perhitungkan memiliki kemampuan untuk menguasai Tanah Perdikan ini?“ bertanya Risang.

“Ya. Mereka menganggap bahwa Tanah Perdikan ini adalah Tanah Perdikan yang bergantung kepada Pajang. Jika Pajang terlibat dalam perang melawan Madiun, maka Pajang tentu tidak akan sempat melindungi Tanah Perdikan ini,“ jawab Kiai Badra.

Risang mengangguk-angguk, sementara Kiai Soka berkata pula, “Apa yang dilakukan oleh kedua orang itu tentu satu penjajagan. Mereka ingin mengetahui kesiagaan Tanah Perdikan ini. Tetapi juga kemampuan anak-anak mudanya. Tentu akan diperbandingkan dengan para cantrik dari padepokan yang disebutnya besar dan berwibawa itu.”

“Tetapi ternyata keduanya telah membentur Sambi Wulung dan Jati Wulung,“ sambung Nyai Soka, “mudah-mudahan mereka sempat mempertimbangkan.”

Risang mengangguk-angguk pula. Namun sementara itu ibunyapun berkata, “Jika demikian Risang, maka yang perlu kita siapkan bukan sekedar sikap kita yang sudah pasti tentang Tanah Perdikan ini. Bukan pula sekedar surat-surat kekancingan. Tetapi juga kekuatan. Menurut perhitunganku, jika perselisihan yang terjadi antara Pajang dan Mataram dengan Madiun tidak terselesaikan, maka padepokan itu akan mengambil kesempatan untuk menyerang Tanah Perdikan ini yang diperhitungkan bersandar kepada bantuan kekuatan dari Pajang. Tetapi kitapun harus berjaga-jaga pula. Mungkin padepokan itu memang benar sebuah padepokan yang besar dan kuat, sehingga kita akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri.”

Risang mengangguk-angguk pula sambil menjawab, “Ya. Ibu. Setelah keramaian-keramaian ini berakhir, maka kita akan mulai dengan mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan itu. Bukankah mereka tidak ikan bergerak dalam satu dua hari ini?”

“Ya. Agaknya memang demikian. Mereka tentu menunggu perkembangan hubungan yang suram antara Madiun dengan Pajang dan Mataram,“ jawab ibunya.

Risang mengangguk-angguk. Namun jelas baginya, bahwa Tanah Perdikan itu memang harus bersiap-siap. Tetapi Risang tidak mau mengganggu keramaian yang diselenggarakan di Kademangan-kademangan dan padukuhan-padukuhan yang masih tinggal dua tiga hari lagi.

Namun dalam pada itu, Risang ternyata juga ingin menemui Kasadha atau Ki Rangga Dipayuda di Pajang. Risang ingin mendapat kabar tentang hubungan antara Pajang dan Madiun.

Tetapi sudah tentu bahwa keinginannya itu baru akan dapat dilakukan setelah keramaian-keramaian di Tanah Perdikan Sembojan itu selesai.

Sementara itu, di Pajang, Kasadha telah berada kembali di baraknya. Ia mulai tenggelam dalam tugas-tugasnya. Namun apa yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan masih saja terkesan dihatinya. Wisuda itu sendiri merupakan satu peristiwa yang baru pertama kali dilihatnya justru menyangkut dirinya sendiri meskipun hanya sekedar sentuhan-sentuhan kecil. Tetapi yang diwisuda itu adalah kakaknya seayah.

Tetapi lebih dari itu, kehadiran Riris di Tanah Perdikan Sembojan yang bahkan merupakan bagian dari upacara itu tidak dapat terlepas dari angan-angannya. Riris nampak cantik sekali ketika ia duduk sambil membawa sebuah nampan yang beralaskan beludru berwarna kuning emas untuk membawa pertanda Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Tetapi Kasadhapun tidak dapat melepaskan diri dari kegelisahannya bahwa ibunya telah salah terima. Ibunya masih saja menyangka bahwa hatinya telah terguncang saat ia melihat kakaknya diwisuda.

“Tetapi aku tidak dapat menjelaskannya,“ berkata Kasadha kepada diri sendiri. Meskipun sebenarnya Kasadha sendiri mulai tersentuh oleh pertanyaan ibunya tentang seorang gadis yang membawa nampan beralaskan beludru berwarna kuning itu.

“Apakah ibu sudah mulai menduga-duga tentang gadis itu?“ pertanyaan itupun mulai bergejolak dihatinya.

Tetapi untuk sementara Kasadha berusaha melupakan semuanya itu. Persoalan Riris merupakan persoalan yang baru akan dapat dipecahkan dalam waktu yang panjang.

Persoalan yang kemudian dihadapinya, bukan saja oleh Kasadha sendiri atau bahkan oleh prajurit-prajurit seisi baraknya, tetapi oleh seluruh rakyat Pajang, bahwa ternyata Pangeran Benawa sudah beberapa hari tidak dapat keluar dari biliknya.

Semula berita tentang sakitnya Pangeran Benawa itu bertahan disekeliling dinding istana saja. Namun ternyata berita itu telah menyusup keluar, sehingga Pajangpun mudian telah diliputi oleh suasana yang muram.

Kasadha yang juga telah mendengar tentang sakitnya Pangeran Benawa itupun telah bertemu dan berbicara dengan Ki Rangga Dipayuda yang mendapat kesempatan bertemu dengan para pemimpin di istana.

“Pangeran Benawa baru kira-kira setahun memerintah sejak Adipati Demak diminta meninggalkan Pajang dan kembali ke Demak,“ desis Kasadha.

“Ya. Tetapi dalam waktu yang singkat itu telah banyak terjadi perubahan-perubahan,“ berkata Ki Rangga Dipayuda, “diantaranya adalah bahwa aku telah kembali masuk kedalam barak. Bahwa kau telah ditetapkan menjadi seorang Lurah prajurit dalam kesatuan pandhega yang aku pimpin. Terakhir adalah bahwa Pajang telah mewisuda angger Risang menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Bukan karena hal itu menyangkut Risang. Tetapi apa yang dilakukan atas Tanah Perdikan Sembojan itu adalah satu pertanda bahwa Pangeran Benawa membuka wawasan yang lebih luas bagi kesejahteraan rakyatnya, lahir dan batin.”

Kasadha mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Rangga Dipayuda. Sembojan hanyalah salah satu contoh dari langkah-langkah yang telah diambil oleh Pangeran Benawa untuk menata kembali susunan pemerintahan serta citra kekuasaan Pajang setelah kakak iparnya kembali ke Demak.

“Tetapi bagaimana keadaannya pada saat-saat terakhir?“ bertanya Kasadha.

“Para tabib masih berusaha untuk menyembuhkannya. Beberapa hari yang lalu, keadaannya berangsur baik. Tetapi sejak kemarin sore keadaannya telah menurun dengan cepat. Panas bagaikan membakar seluruh tubuhnya. Kemudian dinginpun membuat darahnya seakan-akan membeku.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu hubungan antara Pajang dan Madiun masih belum ada tanda-tanda membaik meskipun tidak menjadi semakin buruk.

Keadaan Pangeran Benawa itu telah disampaikan pula kepada Panembahan Senapati di Mataram. Bahkan Panembahan Senapati telah mengirimkan tabib terbaik dari istana Panembahan Senapati itu sendiri.

“Apakah tabih itu tidak dapat mengobatinya?“ bertanya Kasadha.

“Baru hari ini tabib itu tiba. Tetapi ia sudah berada di istana,“ jawab Ki Rangga Dipayuda.

Kasadha mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga keadaan Pangeran Benawa itu membuat seluruh rakyat Pajang berprihatin, justru karena apa yang dilakukan dalam setahun telah menunjukkan bekas tangannya yang dingin.

Buku 49

SEBENARNYALAH keadaan Pangeran Benawa memang menjadi semakin mencemaskan. Kedatangan tabib dari Mataram hanya mampu sekedar memperingan penyakitnya. Tetapi kemudian, keadaannya telah menajdi semakin mendebarkan keluarganya.

Siang malam Pangeran benawa ditunggui oleh orang-orang terdekat, sementara para pemimpin pemerintahan-pun ikut berjaga-jaga diserambi samping istana Pajang.

Panembahan Senapati sendiri telah memerlukan melihat keadaan Pangeran Benawa. Namun sebagai manusia biasa, Panembahan Senapati hanya dapat berdoa dan memohon kepada Yang Maha Agung disamping usaha para tabib.

Bukan saja Panembahan Senapati, tetapi Panembahan Madiunpun telah mengirimkan utusan untuk menengok keadaan Pangeran Benawa yang nampaknya memang menjadi semakin berat.

Setelah segala usaha dilakukan sesuai dengan kemampuan manusia, maka hari yang tidak diharapkan itupun datang. Pangeran Benawa dipanggil menghadap Yang Maha Agung.

Seluruh Pajang seakan-akan menjerit menangisinya. Para keluarganya, para pemimpin pemerintahan, prajuril dan rakyat seluruhnya. Suasana yang baik dan mapan baru saja terasa mulai menjamah Pajang. Dengan susah payah Pangeran Benawa berusaha untuk mencegah meluasnya persoalan dengan Madiun, dengan pamannya sendiri. Namun Pajang memang harus menyerahkan pemimpinnya itu dengan ikhlas.

Demikianlah seluruh Pajang berkabung. Bahkan Mataram dan Madiun ikut berkabung. Mereka berusaha melupakan perbedaan-perbedaan pendapat yang memang menjadi semakin tajam antara Mataram dan Pajang dengan Madiun.

Hari-hari yang dijalani kemudian oleh Pajang terasa menjadi sepi. Berita itupun telah mengetuk hati rakyat Tanah Perdikan yang berlindung, kebawah barat pemerintahan Pajang, termasuk Tanah Perdikan Sembojan.

Meskipun kemudian pemerintahan berjalan sebagaimana biasa, namun tanpa seorang pemimpin Pajang tentu akan dapat mudah diguncang oleh ketidak pastian.

Hal itu nampaknya terasa pula oleh Panembahan Senapati yang tidak dapat membiarkan Pajang berjalan tanpa seorang pemimpin yang disegani.

Tetapi Panembahan Senapati tidak dapat mengambil langkah dengan tergesa-gesa. Disisi sebelah. Timur Pajang memerintah Panembahan Emas di Madiun. Salah seorang keturunan langsung dari Demak, karena la adalah putera bungsu Sultan Trenggana, bernama Pangeran Timur di masa kecilnya.

Tetapi Panembahan Senapatipun tidak dapat membiarkan Pajang untuk terlalu lama tanpa seorang pemimpin yang disegani.

Sementara itu perginya Pangeran Benawa terasa pula di Tanah Perdikan Sembojan. Meskipun hubungan antara Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan berlangsung baik dan masih saja ditangani oleh Ki Rangga Kalokapraja, namun Tanah Perdikan Sembojan juga merasakan kekosongan kepemimpinan di Pajang.

Tetapi ternyata persoalan yang dihadapi Tanah Perdikan Sembojan bukan saja ketiadaan pimpinan di Pajang. Tetapi Tanah Perdikan Sembojan juga menghadapi persoalan dengan sebuah Padepokan yang belum diketahui dengan pasti, yang menurut pengakuan orang yang pernah datang ke Tanah Perdikan Sembojan, padepokan itu terletak di daerah Madiun.

Risang yang mendapat laporan tentang dua orang yang mengaku berasal dari padepokan itu telah memerintahkan kepada semua orang di Tanah Perdikan Sembojan untuk berhati-hati. Ketika keramaian di Tanah Perdikan Sembojan telah lewat, maka Risang mulai dengan meningkatkan usaha-usaha yang pernah dirintisnya sebelumnya bersama ibunya. Termasuk ketenangan dan ketenteraman hidup diseluruh Tanah Perdikan Sembojan.

Tetapi kehadiran orang-orang dari padepokan yang disebut berada di Madiun itu agaknya akan dapat mengganggu ketenangan dan ketenteraman rakyat Tanah Perdikan Sembojan.

Bahkan kemudian laporanpun telah datang pula kepada Risang, bahwa dibeberapa padukuhan memang terlihat orang-orang yang belum dikenal sebelumnya.

Kepada para Demang Risang telah memerintahkan untuk menangkap orang-orang yang dicurigai. Namun pesannya, “Tetapi jangan melakukan tindakan-tindakan yang tidak pada tempatnya karena mungkin orang-orang yang dicurigai itu memang tidak bersalah. Karena itu, maka segala sesuatunya harus dipertimbangkan sebaik-baiknya agar tidak terjadi salah langkah.

“Jangan sampai terjadi bahwa orang-orang yang tidak berwenang telah menghukum orang yang ternyata tidak bersalah,“ pesan Risang kepada setiap Demang dan bahkan para Bekel di padukuhan-padukuhan.

Tetapi Tanah Perdikan Sembojan tidak lagi dalam suasana keramaian. Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan mempunyai kesempatan lebih banyak untuk bertindak tanpa merasa cemas akan mengacaukan keramaian karena keramaian-keramaian itu sudah selesai seluruhnya.

Tetapi Risang memang tidak terlalu lama berteka-teki tentang orang-orang Padepokan yang datang ke Tanah Perdikan itu. Karena tanpa diduga sebelumnya dua orang telah datang menemui Risang dirumahnya. Kedua Orang yang belum dikenal sebelumnya di Tanah Perdikan Sembojan.

Tetapi Risang telah menduga, bahwa kedua orang itu tentu mempunyai hubungan dengan laporan-laporan yang pernah diterimanya tentang orang-orang yang tidak dikenal dan mengaku datang dari sebuah padepokan di Madiun.

Dengan ramah dan sepantasnya Risang menerima kedua orang itu. Ternyata kedua orang itu juga datang dengan unggah-ungguh yang genap dan keduanya bersikap ramah pula.

Meskipun Risang telah sepenuhnya memegang jabatan kepemimpinan di Tanah Perdikan Sembojan, namun Risang masih juga minta ibunya untuk ikut menemui kedua orang tamu itu.

Seperti yang diduga, maka salah seorang tamu itu telah memperkenalkan diri. Katanya, “Kami datang dari sebuah padepokan yang memang agak jauh. Tetapi tidak sejauh Pajang. Kami berdua datang untuk memenuhi perintah pemimpin Padepokan kami yang ingin memperkenalkan diri beserta padepokan kami kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan.”

“Terima kasih Ki Sanak,“ jawab Risang, “setiap perkenalan berarti memperluas persahabatan. Jika tidak berkeberatan, aku ingin mengetahui nama Ki Sanak serta nama padepokan Ki Sanak.”

“Tetapi kami sebenarnya ingin bertanya, bagaimana kami memanggil Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang masih sangat muda. Tentu tidak pantas aku memanggilnya dengan sebutan-sebutan orang tua, seperti Ki Gede dan semacamnya.”

Risang tersenyum. Katanya, “panggil saja namaku Risang. Sedangkan ibuku ini dapat Ki Sanak sebut dengan Nyi Wiradana.”

Kedua orang itupun tersenyum pula. Seorang diantara mereka berkata, “Baiklah. Aku akan menyebut Kepala Tanah Perdikan dengan namanya. Angger Risang.”

“Terima kasih,“ sahut Risang yang masih saja tersenyum. Bahkan ibunyapun ikut tersenyum pula. Sementara itu Risang berkata selanjutnya, “Seperti yang sudah aku katakan, aku ingin mengetahui nama Ki Sanak berdua”

“Namaku Pandansirat dan ini adik seperguruanku, namanya Wirasrana,“ jawab salah seorang dari keduanya.

Risang mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “Dan nama padepokan Ki Pandansirat dan Ki Wirasrana?”

“Padepokan Sela Kuning. Nama itu sama dengan nama perguruan kami yang ada di padepokan itu. Perguruan Sela Kuning. Mungkin nama yang aneh, tetapi sebenarnyalah di padepokan kami banyak sekali terdapat batu-batu besar yang berwarna kuning.”

Risang memandang kedua orang itu dengan dahi berkerut. Nampak keragu-raguan membayang di wajahnya. Meskipun demikian, akhirnya Risang itu bertanya juga, “Apakah kalian datang dari padepokan yang sama dengan dua orang yang pernah datang lebih dahulu di Tanah Perdikan ini?”

Kedua orang itulah yang kemudian termangu-mangu. Bahkan keduanya saling berpandangan sejenak. Baru kemudian seorang diantaranya bertanya, “Siapakah nama mereka berdua? Apakah mereka memperkenalkan diri mereka?”

“Ya,“ jawab Risang, “mereka tidak datang ke padukuhan induk ini. Tetapi anak-anak muda di padukuhan yang dikunjungi itulah yang menerima mereka. Seorang mengaku bernama Nagawana dan yang seorang lagi bernama Nagawereng.”

Kedua orang itu kembali termangu-mangu. Tetapi kemudian seorang diantara mereka berkata, “Ya. Aku mengenal mereka. Mereka memang penghuni padepokan kami.”

“Jika demikian, maka agaknya perlu kami beritahukan kepada Ki Sanak berdua, bahwa Nagawana dan Nagawereng telah melakukan kekerasan di Tanah Perdikan ini,“ desis Risang.

“Aku minta maaf ngger,“ jawab seorang diantara kedua orang itu, “Nagawana dan Nagawereng juga memberikan laporan tentang benturan kekerasan yang terjadi. Nampaknya memang terjadi salah paham antara kedua orang penghuni padepokan kami itu dengan beberapa orang penghuni Tanah Perdikan ini. Kedatangan kami antara lain juga untuk menghapuskan salah paham itu.”

“Terima kasih Ki Sanak,“ jawab Risang. Namun iapun kemudian bertanya, “Tetapi, apakah ada keperluan Ki Sanak datang kemari, atau sekedar ingin memperkenalkan diri kepada kami. Barangkali karena Ki Sanak mendengar bahwa di Tanah Perdikan ini baru saja diwisuda Kepala Tanah Perdikan, sehingga Ki Sanak atas nama Padepokan Watu Kuning datang untuk menyambung persahabatan yang disaat-saat terakhir telah terputus.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Yang tertua, Ki Pandansiratpun berkata, “Benar Ki Sanak. Kedatangan kami memang berniat untuk menyambung kembali hubungan yang pernah terputus itu.”

“Aku, atas nama Tanah Perdikan ini mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Sanak berdua datang untuk menyambung kembali hubungan antara Tanah Perdikan ini dengan Padepokan Watu Kuning. Setiap uluran tangan persahabatan kami terima dengan senang hati, karena semakin banyak sahabat-sahabat kita, maka kehidupan ini terasa menjadi semakin semarak.”

“Selain itu anak muda,“ berkata Pandansirat, “ada persoalan yang ingin aku sampaikan kepada angger Risang sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan.”

“Persoalan apa Ki Pandansirat?” bertanya Risang.

“Sebelumnya aku minta maaf ngger, jika mungkin apa yang akan aku sampaikan ini mengejutkan. Tetapi aku kira lebih baik aku berterus-terang dan kemudian membicarakannya dengan baik-baik daripada persoalan ini tiba-tiba akan meledak menjadi malapetaka bagi Tanah Perdikan ini,“ jawab Ki Pandansirat.

“Nampaknya masalahnya cukup penting,“ desis Risang.

“Memang ngger. Penting bagi Tanah Perdikan Sembojan, juga penting bagi Padepokan Watu Kuning,“ Pandansirat berhenti sejenak, lalu katanya pula, “sebenarnyalah aku membawa pesan dari pimpinan padepokan kami.”

“Pesan apa Ki sanak?“ bertanya Risang yang sudah menduga apa yang akan dikatakannya, karena ia sudah mendengar laporan yang disampaikan oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung tentang dua orang yang telah melakukan kekerasan itu.

“Angger Risang,“ berkata Pandansirat kemudian, “pesan itu memang mirip sebuah ceritera. Jika aku sampaikan sejak awal mulanya, maka ceritera itu akan berkepanjangan. Barangkali aku dapat memotong bagian terpenting dari ceritera itu sesuai dengan kepentinganku datang kemari.”

“Baiklah Ki Pandansirat,“ jawab Risang, “mana saja yang penting menurut Ki Sanak.”

“Angger Risang,“ berkata orang itu, “sebelum angger dilahirkan, bahkan sebelum ibumu, Nyi Wiradana menjadi isteri ayahmu yang telah meninggal itu, maka di sini berdiri sebuah Padepokan yang besar dan kuat.”

Jantung Risang mulai berdebaran. Darahnyapun serasa mulai mengalir semakin cepat. Kemudaannya telah bergejolak mendengar keterangan orang yang menyebut dirinya Pandansirat itu. Karena itu, maka Risang yang muda itu segera memotong, “Ki Pandansirat. Bukankah Ki Pandansirat akan berceritera, bahwa dengan bantuan Demak maka leluhurku telah merampas tanah itu dan kemudian mendirikan Tanah Perdikan ini?”

“Risang,“ potong ibunya, “biarlah Ki Pandansirat melanjutkan ceriteranya yang sangat menarik itu.”

Dahi Ki Pandansirat dan Ki Wirasrana memang berkerut. Sementara itu Risang justru berkata, “Ceritera itulah yang membuat Nagawana dan Nagawereng menjadi salah paham dengan orang-orang Tanah Perdikan ini.”

“Mungkin ngger,“ jawab Ki Pandansirat, “mungkin cara menyampaikan ceritera itu, keduanya tidak mempergunakan kata-kata yang jelas sehingga telah menimbulkan salah paham.”

Sebelum Risang menjawab, Nyi Wiradana telah menyahut, “Ceriterakan Ki Sanak. Mungkin Ki Sanak dapat menceriterakan dengan cara yang jauh lebih baik.”

Pandansirat termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Nyi Wiradana sekilas. Ternyata bahwa perempuan itu memiliki ketajaman penalaran serta mampu menahan diri meskipun pengertian yang tersirat dari kata-katanya tidak kalah tajamnya dari kata-kata yang dilaporkan oleh Risang dengan gaya kemudaannya.

Risang mengerutkan dahinya. Tetapi iapun mencoba untuk menahan diri.

“Nyi Wiradana,“ berkata Pandansirat, “aku mohon kesempatan untuk berbicara agar tidak terjadi salah paham.”

“Silahkan, silahkan Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak tidak tergesa-gesa?“ jawab Nyi Wiradana sekaligus bertanya.

“Tidak. Kami memang tidak tergesa-gesa,“ jawab Pandansirat yang kemudian melanjutkannya, “hari ini kami memang menyediakan waktu untuk memperkenalkan diri kepada angger Risang.”

“Jika demikian, biarlah kami mendengarkan pesan itu sebaik-baiknya,“ berkata Nyi Wiradana kemudian.

Pandansirat menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia berkata, “Nyi Wiradana dan angger Risang. Pesan itu memang berbunyi sebagaimana angger katakan. Tanah ini pernah menjadi tanah yang dimiliki oleh Padepokan Watu Kuning. Tetapi pada suatu saat tanah ini jatuh ketangan Ki Wanasraya. Ki Wanasraya adalah seorang Demang yang semula menguasai tanah yang sempit disudut Tanah Perdikan ini. Tetapi begitu pandainya Ki Wanasraya mengatur perkembangan Kademangannya, pada suatu saat Demak telah merestui rencananya untuk menguasai tanah yang lebih luas lagi. Dengan bantuan Demak, maka padepokan Watu Kuning telah terusir dan bergeser ke Timur. Sehingga sampai sekarang Padepokan Watu Kuning berada ditempat itu, sementara tanah ini berkembang dengan pesatnya menjadi Tanah Perdikan Sembojan.”

“Jadi menurut ceritera itu, Padepokan Watu Kuning itu didirikan diatas tanah ini Ki Sanak?“ bertanya Nyi Wiradana.

“Ya,“ jawab Ki Pandansirat.

“Tetapi yang terdapat banyak batu-batu berwarna kuning justru ditempat kalian yang baru,“ berkata Nyi p style=”text-align:justify;”Wiradana sambil mengerutkan keningnya, seakan-akan ia sedang memikirkan satu teka-teki yang sulit untuk dipecahkan.

Pertanyaan itu memang sangat sederhana. Tetapi Ki Pandasirat dan Ki Wirasrana memang menjadi bingung sesaat. Mereka memang tidak mengira bahwa hal itulah yang akan ditanyakan oleh Nyi Wiradana.

Namun Ki Wirasrana kemudian menjawab, “Nama Watu Kuning itu memang baru kemudian setelah kami berada ditempat kami yang baru. Sebelumnya padepokan dan perguruan kami memang bernama Padepokan dan Perguruan Sembojan sebagaimana nama yang dipakai oleh Tanah Perdikan ini.”

Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Namun katanya, “Kakek Risang tidak pernah menceriterakan sebelumnya sebagaimana kau ceriterakan Ki Sanak. Bahkan ceritera yang pernah kami dengar tentang berdirinya Tanah Perdikan ini berbeda dengan ceriteramu. Sementara itu di Tanah Perdikan ini masih ada orang-orang tua yang dapat berceritera dengan lancar, bagaimana Tanah Perdikan ini berdiri. Meskipun pada umumnya mereka sudah tidak mengalaminya langsung, tetapi mereka dapat berceritera sebagaimana mereka mendengar ceritera itu dari orang tua sebelumnya. Aku percaya kepada mereka, karena pada umumnya orang-orang tua kita adalah orang yang jujur.”

“Apakah dengan demikian Nyi Wiradana ingin mengatakan bahwa kami tidak jujur sebagaimana orang-orang tua di Tanah Perdikan ini?“ bertanya Pandansirat.

Jawab Nyi Wiradana memang mengejutkan kedua orang yang datang dari Padepokan Watu Kuning itu. Katanya, “Ya. Aku memang tidak percaya kepada kalian. Tidak percaya kepada ceritera kalian itu.”

Pandansirat menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wirasrana yang sedikit lebih muda itu berkata, “Percaya atau tidak percaya, tetapi itu adalah kenyataan. Karena itu, maka sudah waktunya sekarang kami berbicara tentang kebenaran dari kenyataan itu. Bahkan kami menginginkan tanah kami kembali.”

“Ki Sanak,“ berkata Nyi Wiradana, “bahwa Tanah Perdikan ini ada, itu adalah sah. Kami mempunyai surat kekancingan dari Demak dan yang kemudian surat kekancingan pengakuan dan wisuda Risang sebagai Kepala Tanah Perdikan ini. Wisuda itupun merupakan salah satu ungkapan pengakuan Pajang atas Tanah Perdikan ini. Karena itu, maka apa yang ada ini tidak akan dapat diganggu gugat oleh siapapun.”

Wajah kedua orang itu memang menegang. Tetapi merekapun sudah menduga bahwa Tanah Perdikan Sembojan tidak akan dengan mudah dapat mereka ambil. Karena itu, maka Pandansiratpun berkata, “Nyi Wiradana. Kami sama sekali tidak berhubungan dengan Pajang. Kami hanya mengakui kekuasaan Madiun, sehingga karena itu, maka pengakuan Pajang atas Tanah Perdikan inipun tidak berarti apa-apa bagi kami.”

“Kalian hanya berpijak pada sikap sepihak,“ sahut Risang, “ketahuilah Ki Sanak. Kami bukan orang-orang berjiwa kerdil yang dapat percaya begitu saja kepada ceritera itu Ki Sanak.”

“Aku sudah menduga,” jawab Ki Pandansirat, “tetapi ketahuilah ngger, bahwa kami datang tanpa niat buruk. Kami memang sedang menawarkan satu pembicaraan untuk menyelesaikan persoalan ini. Bukankah kita masing-masing mempunyai alasan dan sikap terhadap tanah ini? Nah, bukankah dengan demikian kita akan dapat mempertemukan pendapat kita masing-masing sehingga akhirnya kita dapat menghasilkan satu kesimpulan bersama tanpa saling merugikan.”

“Tentu tidak akan ada pembicaraan tentang kedudukan tanah ini Ki Pandansirat,“ jawab Risang. Lalu katanya, “Kedudukan Tanah ini sudah pasti.”

“Baiklah ngger,“ berkata Ki Pandansirat, “sebenarnyalah kami berdua hanya merintis satu pembicaraan. Biarlah pimpinan kami datang sendiri untuk bertemu dengan angger dan Nyi Wiradana. Tetapi sebelumnya aku ingin memberitahukan, bahwa pemimpin kami itu mempunyai cacat.”

“Apakah ada hubungannya antara cacatnya dengan persoalan yang timbul antara Tanah Perdikan ini dengan Padepokan Watu Kuning?”

“Ada ngger,“ jawab Ki Pandansirat, “pemimpin kami adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Ia seorang yang mempunyai daya pikir yang sangat tajam. Tetapi, inilah cacatnya, ia bukan seorang yang sabar.”

Tetapi Ki Pandansirat dan Ki Wirasrana terkejut. Risang justru tertawa sambil berkata, “Jangan mencoba menakut-nakuti kami seperti menakuti anak-anak.”

“Tidak. Kami sama sekali tidak menakut-nakuti angger,“ jawab Ki Pandansirat dengan serta-merta, “Aku justru berniat baik agar angger tidak menjadi sasaran kemarahannya. Aku ingin minta angger menyesuaikan diri dan tidak terlalu banyak bertanya apalagi menolak gagasan-gagasannya. Aku ingin menganjurkan agar angger meyakini bahwa apa yang dilihat dengan mata hatinya adalah benar, sehingga tidak perlu mendapat pertimbangan-pertimbangan apapun lagi.”

“Ki Pandansirat,“ berkata Nyi Wiradana, “anakku sudah terlalu tua untuk mendengarkan dongeng kanak-kanak menjelang tidur itu. Apalagi dongeng Ki Pandansirat itu sama sekali tidak menarik. Bahkan hanya sekedar seperti sebuah lelucon saja.”

Wajah Ki Pandansirat menjadi merah. Sebelum ia menjawab, Maka Ki Wirasrana telah mendahuluinya menggeram, “Kalian telah menghina pemimpin kami. Tetapi jangan menyesal bahwa hal ini akan kami sampaikan kepadanya, sehingga ia akan datang ke Tanah Perdikan ini dengan sikap yang sudah pasti.”

“Baik Ki Pandansirat,“ jawab Risang mendahului ibunya, “kamipun akan menerima pemimpinmu itu dengan sikap yang pasti pula. Bahkan kami sekarang sudah tahu bahwa pemimpinmu akan datang untuk memaksakan kemauannya. Tetapi kami harap pemimpinmu itu juga mengetahui bahwa kami tidak akan bersedia diperlakukan seperti itu.”

“Baik,“ Ki Wirasranalah yang menjawab, “kalian akan menyesal dengan sikap kalian itu. Tetapi apa yang sudah kalian ucapkan itu tidak akan dapat kalian telah kembali.”

“Kami akan mempertanggungjawabkan segala ucapan dan sikap kami,“ jawab Risang.

“Jika demikian ngger,“ berkata Ki Pandansirat,“ perkenankanlah kami mohon diri. Kami telah menjalankan tugas kami merintis hubungan antara angger Risang sebagai Kepala Tanah Perdikan ini menurut pengakuan Pajang dengan Padepokan Watu Kuning.”

“Kami akan menunggu kedatangan pemimpin kalian itu Ki Sanak,“ jawab Risang.

“Baiklah, pemimpin padepokan kami yang sekaligus guru kami itu akan datang kira-kira sepekan lagi. Bersiaplah menerimanya. Tetapi kami masih berpengharapan bahwa pembicaraan yang akan terjadi itu akan menghasilkan kesimpulan yang dapat kita terima bersama-sama,“ berkata Ki Pandansirat kemudian.

“Tetapi ketahuilah bahwa kami tidak akan pernah bergeser setapakpun dari sikap kami,“ jawab Risang.

Ki Pandansirat tersenyum. Tetapi Ki Wirasrana menyahut, “Sekarang kau memang tidak berniat bergeser setapakpun. Tetapi bagaimana jika kau justru harus bergeser seribu tapak.”

“Ki Wirasrana,“ jawab Risang, “Tanah ini sama harganya dengan diriku sendiri. Karena itu, maka taruhannya adalah diriku bukan saja sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan, tetapi juga sebagai seseorang yang lahir dan dibesarkan disini.”

Ki Pandansirat dan Ki Wirasrana tidak menyahut lagi. Sebenarnya Ki Wirasrana sama sekali tidak puas dengan pembicaraan itu. Tetapi Ki Pandansirat telah mengajaknya untuk minta diri.

Diperjalanan mereka meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan, Ki Pandansirat berkata, “Kita sudah cukup melakukan tugas kita dengan baik. Kita hanya mendapat tugas untuk menghubungi Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang muda itu. Kemudian menjajagi sikapnya. Bukankah kita sudah tahu betapa kerasnya hati Kepala Tanah Perdikan itu? Ia segera tersinggung demikian ia mendengar niat kita.”

“Kita tidak boleh terlalu mengalah, seakan-akan kita lebih lemah dari Tanah Perdikan Sembojan itu. Dengan demikian, anak itu akan menjadi semakin besar kepala.”

Ki Pandansirat tersenyum. Katanya, “Kau jangan terlalu mudah dihanyutkan oleh perasaanmu semata-mata. Jika Risang menunjukkan sikapnya yang keras sejak semula, itu karena di Tanah Perdikan ini pernah hadir pula Nagawana dan Nagawereng. Mereka bahkan telah terlibat dalam benturan kekerasan dengan orang-orang Tanah Perdikan ini. Untunglah bahwa mereka sempat melepaskan diri, meskipun mereka harus melawan sekelompok peronda. Jika tidak, maka persoalannya akan menjadi lain.”

“Tetapi kita harus menunjukkan bahwa kita kuat dan mampu memaksakan kehendak kita atas mereka. Dengan demikian maka anak itu tidak akan bersikap seakan-akan mereka jauh lebih kuat dari kita,“ geram Wirasrana.

Pandansirat justru tertawa. Katanya, “Kepala Tanah Perdikan itupun masih muda. Darahnya mudah menjadi panas. Jika terjadi sesuatu atas kita, maka kita tidak akan menyampaikan hasil pengamatan kita. Bukan karena aku takut menjadi korban kemarahan orang-orang Tanah Perdikan ini. Tetapi persoalannya akan pecah sebelum kita siap benar menghadapi mereka.”

Wirasrana tidak menjawab. Namun wajahnya masih saja nampak tegang.

Tetapi dengan demikian, keduanya yakin bahwa Perguruan Watu Kuning harus memukul Tanah Perdikan itu dengan kekerasan,’ karena mereka yakin bahwa Risang tidak akan mau membicarakan kemungkinan untuk mencari pemecahan atas masalah yang dikemukakan oleh Perguruan Watu Kuning.

Sementara itu, sepeninggal kedua orang yang mengaku datang dari Perguruan Watu Kuning itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah dipanggil Risang. Bahkan juga Gandar dan beberapa orang bebahu Tanah Perdikan itu.

Kepada mereka Risang menceriterakan apa yang baru saja terjadi. Bahkan Risang juga memperingatkan apa yang pernah terjadi sebelumnya di Tanah Perdikan itu, ketika dua orang yang mengaku bernama Nagawana dan Nagawereng datang dan terjadi benturan kekerasan dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung.

“Kita harus berhati-hati,“ berkata Risang. Lalu katanya pula, “Aku tahu. Mereka mempergunakan saat Pajang sedang dibayangi oleh mendung yang kelabu. Pangeran Benawa baru saja meninggal, sementara kemelut dengan Madiun masih belum dapat diatasi sampai tuntas. Mereka menganggap bahwa selama ini Tanah Perdikan Sembojan selalu menggantungkan diri pada perlindungan Pajang. Sehingga saat Pajang sedang kalut, maka Tanah Perdikan ini tidak mendapat perlindungan dari siapapun.”

“Pajang memang tidak akan sempat membantu kita sekarang ini,“ sahut ibunya, “karena itu, maka kita harus benar-benar berpijak pada kekuatan dan kemampuan kita sendiri.”

Mereka yang mendengar keterangan itu mengangguk-angguk kecil. Mereka menyadari, bahwa bahaya memang sedang mengancam Tanah Perdikan itu.

Dalam pada itu, maka Risangpun kemudian telah memerintahkan bebahu untuk memanggil semua Demang dan Bekel dikeesokan harinya. Risang akan berbicara langsung dengan mereka tentang ancaman yang bakal datang atas Tanah Perdikan mereka itu.

Sebenarnyalah maka semua Demang dan Bekel telah datang dikeesokan harinya. Risangpun kemudian telah memberikan keterangan dan penjelasan sikap apakah yang harus diambil oleh seisi Tanah Perdikan Sembojan itu.

“Waktunya memang terlalu sempit. Sepekan lagi pemimpin Perguruan Watu Kuning itu akan datang ke Tanah Perdikan ini. Kemudian, kita dapat memperhitungkan apa yang bakal terjadi. Nampaknya mereka sudah bertekad bulat untuk mengambil alih Tanah Perdikan ini apapun alasannya. Agaknya alasan mereka itu sengaja dicari-cari sekedar untuk menimbulkan persoalan sehingga terjadi perselisihan,“ berkata Risang kepada para Demang dan para Bekel. Lalu katanya pula, “Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali bersiaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atas tanah Perdikan ini. Aku sudah berkata kepada kedua orang yang datang itu, bahwa harga Tanah Perdikan ini sama dengan harga diriku sendiri. Maksudku, bukan diriku secara pribadi. Tetapi diriku sebagai rakyat Tanah Perdikan ini. Dengan demikian maka juga semua pribadi yang merasa dirinya keluarga Tanah Perdikan ini.”

Ternyata para Demang dan para Bekel telah menun jukkan sikap mereka sesuai dengan sikap Kepala Tanali Perdikan mereka yang muda itu. Seorang Demang berkata, “Orang-orang Kademangan kami masih dilandasi ungkapan kebanggaan mereka atas hadirnya seorang Kepala Tanah Perdikan. Gelora jiwa mereka saat-saat mereka membuat keramaian masih memanasi darah mereka, sehingga jika mereka mendengar bahaya yang mengancam Tanah Perdikan ini, maka sudah tentu maka darah mereka yang masih hangat itu akan kembali bergelora meskipun dengan sasaran yang berbeda.”

“Terima kasih,“ sahut Risang, “aku harapkan, bahwa setiap jengkal tanah di Tanah Perdikan ini kita pertahankan sampai batas kemungkinan terakhir,“ berkata Risang. Lalu katanya, “Selama ini kita telah mengalami ancaman serupa beberapa kali. Bahkan dari Pajang sendiri. Namun kita sampai saat ini masih tetap berpijak pada kecintaan kita kepada Tanah ini. Yang Maha Agung akan selalu melindungi kita. Karena Tanah ini adalah Tanah yang memang dikurniakan kepada kita.”

Jiwa para Demang dan Bekelpun bergelora seperti gelora kata Risang. Mereka berjanji didalam hati, bahwa mereka akan melakukan perintah Risang itu dengan sebaik-baiknya sejauh dapat mereka lakukan.

Demikianlah, ketika para Demang dan para Bekel itu kembali ketempat tinggal mereka masing-masing, maka merekapun segera pula mengumpulkan para bebahu Kademangan dan Padukuhan untuk menyampaikan perintah Risang sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Sementara itu Risang dan ibunya telah mengadakan pertemuan pula dengan orang-orang tua di Tanah Perdikan itu. Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka. Mereka ingin mendapat pertimbangan dari mereka, apakah yang sebaiknya mereka lakukan.

“Apakah tidak sebaiknya kita memberikan laporan kepada Ki Rangga Kalokapraja?“ desis Kiai Badra.

“Aku kira memang ada baiknya,“ sahut Kiai Soka, “Bukankah Ki Rangga Kalokapraja termasuk salah seorang pejabat di Pajang yang bertugas menjadi penghubung dengan Tanah-tanah Perdikan yang ada?”

“Aku sependapat,“ sahut Nyi Wiradana, “jika terjadi sesuatu atas Tanah Perdikan ini, Pajang sudah mengetahuinya. Atau jika kita harus mempergunakan kekerasan, maka kita tidak dianggap bersalah.”

“Baiklah,“ jawab Risang, “masih ada waktu. Besok aku akan pergi ke Pajang,“ jawab Risang.

“Tetapi kali ini sebaiknya kau tidak pergi sendiri,“ pesan Nyi Wiradana kemudian.

Risang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menolak, karena ia menyadari bahwa nampaknya Padepokan Watu Kuning itu tidak sedang bermain-main.

Karena itu, maka iapun bertanya, “Dengan siapakah sebaiknya aku pergi ke Pajang?”

“Kau dapat mengajak kedua pamanmu, Sambi Wulung dan Jati Wulung,“ jawab ibunya, “biarlah Gandar dan Bibi menemani aku dirumah disamping kakek dan nenek.”

“Baiklah,“ sahut Risang, “besok kami akan berangkat pagi-pagi sekali. Kami berharap bahwa sebelum tengah malam kami sudah berada di Tanah Perdikan ini kembali.”

Demikianlah, seperti yang direncanakan, maka didini hari berikutnya, Risang telah berangkat menuju ke Pajang bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung. Sebelum matahari terbit mereka telah berpacu meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan. Mereka berharap bahwa mereka akan sampai di Pajang sebelum Ki Rangga Kalokapraja pergi ke tempat tugasnya, meskipun jika demikian, mereka akan dapat menyusulnya. Tetapi Risang merasa lebih baik untuk berbicara dirumah Ki Rangga.

Meskipun matahari masih belum terbit, tetapi nampak langit cerah. Tiga ekor kuda berlari dalam keremangan dini hari menembus udara yang masih terasa dingin. Embun masih menggelantung diujung dedaunan yang bagaikan masih tidur nyenyak.

Tetapi sejenak kemudian, maka burungpun mulai berkicau. Suaranya nyaring menggetarkan udara pagi. Seakan-akan memanggil membangun batang-batang padi yang merunduk dalam kepulasan tidur.

Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah meninggalkan Tanah Perdikan. Ketika langit di Timur mulai menjadi merah, maka perbatasan Tanah Perdikanpun telah mereka lampaui.

Disepanjang perjalanan, mereka tidak banyak berbicara. Risang lebih banyak merenungi niat Padepokan Watu Kuning untuk mengambil setidak-tidaknya sebagian dari bumi Tanah Perdikannya. Bagi Risang, maka itu sama saja dengan gaung gentha perang yang mengumandang di seluruh Tanah Perdikannya.

Tetapi ternyata bahwa perjalanan Risang itu telah terganggu. Mereka mendengar derap kaki kuda berpacu menyusul perjalanan mereka. Tidak hanya tiga, tetapi lima ekor kuda.

Risang menoleh. Diantara Sambi Wulung dan Jati Wulung yang melarikan kudanya dibelakang Risang, ia melihat dalam keremangan pagi beberapa orang berkuda berpacu searah dengan perjalanannya membelakangi cahaya fajar yang mulai mewarnai langit.

“Siapakah mereka?“ desis Risang.

Sambi Wulungpun menggeleng sambil menjawab, “Aku belum tahu.”

Risang tidak bertanya lebih jauh. Tetapi iapun menepi sambil memperlambat lari kudanya. Risang ingin memberi kesempatan kepada orang-orang berkuda itu yang nampaknya juga tergesa-gesa agar mendahului perjalananya.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, kelima orang penunggang kuda itu telah berpacu mendahului Risang. Sekilas Risang melihat bahwa kelima orang itu adalah orang-orang yang bertubuh tinggi, kekar dan berwajah keras. Mereka membawa berbagai macam senjata. Ada yang membawa tombak yang digantungkan dipunggungnya. Ada yang membawa pedang. Bahkan ada yang membawa kapak yang cukup besar.

Sekilas Risang dapat menduga bahwa mereka bukan orang baik-baik. Bukan saja ujud mereka, tetapi juga sikap mereka yang nampak kasar meskipun mereka berpakaian cukup baik.

Tetapi Risang tidak begitu menghiraukan mereka. Apalagi ketika kelima orang penunggang kuda itu berpacu terus tanpa berpaling lagi. Untuk beberapa lamanya Risang yang juga ingin cepat sampai di Pajang itu melarikan kudanya dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari kelima orang berkuda yang mendahuluinya itu. Bahkan karena kecepatan kuda mereka tidak berbeda, jaraknyapun seakan-akan terpelihara.

Namun Risang sama sekali tidak menduga, bahwa kelima orang itupun tiba-tiba telah menghentikan kuda mereka ketika mereka sampai disebuah simpang ampat.

Risang memang terkejut. Hampir saja ia kehilangan penguasaan atas kudanya. Demikian pula Sambi Wulung dan Jati Wulung. Untunglah bahwa mereka benar-benar menguasai kuda mereka, sehingga kuda-kuda itu berhenti tepat pada waktunya. Bahkan kuda Risangpun telah berdiri diatas kaki belakangnya sambil meringkik keras. Tetapi Kisangpun kemudian telah mengelus leher kudanya sehingga kudanya menjadi tenang kembali.

Kelima orang berkuda yang masih duduk dipunggung kudanya itu telah memutar kudanya menghadap kearah Risang dan kedua orang yang menyertainya. Seorang yang membawa tombak tergantung dipunggungnya, yang agaknya adalah pemimpin mereka, berkata dengan lantang, “Ki Sanak. Kenapa kalian mengikuti kami?”

Risang menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Dengan nada tinggi Risang menjawab, “Ki Sanak? Bukankah kalian yang telah mendahului kami sehingga perjalanan kami yang searah ini telah menempatkan kami dibelakang Ki Sanak berlima? Bukankah dengan demikian kalian tidak dapat menuduh kami mengikuti Ki Sanak berlima?”

“Bukankah kalian dapat mengambil jalan lain?“ bertanya orang bertombak itu pula, “kami sudah bersabar menunggu sampai kami melewati dua jalan simpang. Kami berharap bahwa kalian akan berbelok di salah satu jalan simpang itu. Tetapi ternyata tidak. Ternyata Ki Sanak masih saja mengikuti kami. Karena itu. kami berhenti disimpang ampat ini. Kami ingin memperingatkan kepada Ki Sanak bertiga, agar mengambil jalan lain dari jalan yang akan kami lalui.”

“Ki Sanak memang aneh,“ sahut Risang, “aku tidak tahu Ki Sanak akan pergi ke mana. Tetapi ketahuilah, bahwa kami akan menuju ke Pajang, sehingga kami akan menempuh jalan yang lurus kedepan.”

“Ki Sanak tidak dapat berjalan lurus. Kami akan berjalan lurus kedepan. Kami persilahkan Ki Sanak mengambil jalan lain. Ada dua jalur jalan yang lain yang dapat Ki Sanak lalui.”

“Tetapi kami akan pergi ke Pajang,“ jawab Risang jalan terdekat adalah jalan lurus dihadapan kita.”

“Sekali lagi aku peringatkan. Jangan melalui jalan yang akan kami lalui,“ berkata orang itu.

Risang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjadi curiga terhadap sikap kelima orang itu. Sikap mereka benar-benar tidak masuk akal. Karena itu, maka Risangpun kemudian berkata, “Ki Sanak. Bukankah jalan itu memang disediakan bagi siapapun. Apakah jika kami lewat melalui jalan itu pula, kami akan mengganggu perjalanan kalian berlima?”

“Tentu,“ jawab orang yang membawa tombak itu, “kami merasa tidak enak diikuti oleh tiga orang berkuda dibelakang kami. Kalian tentu mengamat-amati apa yang akan kami lakukan. Terus terang, kalian akan dapat mengganggu tugas kami atau bahkan kalian akan dapat menjadi saksi dari perbuatan kami.”

“Apakah yang akan kalian lakukan?“ bertanya Risang.

“Itu bukan urusanmu. Karena itu, pilihlah jalan yang lain. Jangan jalan yang lurus dihadapan kita ini.”

Risang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian jawabnya sangat mengejutkan. Sambi Wulung dan Jati Wulungpun terkejut mendengarnya. Bahkan kelima orang itupun terkejut pula. Dengan nada rendah dan mengalah Risang berkata, “Baiklah Ki Sanak. Jika kalian tidak mengijinkan kami meneruskan perjalanan lewat jalan lurus didepan kami karena kami dapat mengganggu kalian berlima, biarlah kami mengambil jalan kekanan. Kami akan menempuh jalan sedikit jauh. Tetapi perbedaan jarak itu tidak seberapa. Kami memang harus segera sampai di Pajang. Ada persoalan penting yang harus kami sampaikan kepada para pejabat di Pajang atau bahkan para Senapati.“

Wajah orang itu berkerut. Kelima orang itu saling berpandangan sejenak. Orang yang membawa tombak itu kemudian bertanya, “Untuk apa sebenarnya kalian pergi ke Pajang?”

“Itu persoalan kami Ki Sanak,“ jawab Risang.

“Bukankah kalian orang-orang Tanah Perdikan Sembojan?“ orang yang membawa tombak itu agaknya ingin meyakinkan.

“Dari mana kau tahu?“ Risang ganti bertanya.

“Kalian melintasi perbatasan Tanah Perdikan ketika kami mulai menyusul kalian,“ jawab orang itu.

“Ya. Kami orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Kami ingin pergi ke Pajang,“ jawab Risang. Lalu katanya, “Karena kami tidak kalian perbolehkan lewat jalan terdekat, maka biarlah kami menempuh jalan yang sedikit memutar.”

Kelima orang itu nampak menjadi bingung. Sementara Risang berkata, “Selamat jalan Ki Sanak. Jika kalian juga akan pergi ke Pajang, maka kita akan dapat bertemu lagi.“

Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak mengerti kenapa tiba-tiba Risang dapat begitu saja mengalah. Keduanya berpendapat bahwa Risang ingin segera sampai ke Pajang, sehingga ia berusaha untuk menghindari perselisihan. Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung mengetahui bahwa jalan yang akan ditempuh memang menjadi agak jauh. Bahkan beberapa ratus patok lagi, mereka harus menyeberangi sebuah sungai, kemudian sedikit memanjat bukit. Baru kemudian turun lagi. Tetapi jalan itu akan bertemu kembali dengan jalan yang lurus itu.

Meskipun demikian, baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung tidak ingin mempersoalkannya. Mereka mendapat perintah menyertai Risang. Tidak menolak kebijaksanaan yang diambilnya.

Tetapi sekali lagi Sambi Wulung dan Jati Wulung terkejut ketika orang yang membawa tombak itu berkata, “Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak juga tidak mengambil jalan itu.”

Risang mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa? Bukankah aku sudah menuruti kehendak kalian, aku tidak mengambil jalan lurus itu. Bukankah kalian juga yang menawarkan agar aku berbelok kekanan atau kekiri?”

“Sebaiknya juga tidak kekanan,“ suara orang itu menjadi berat. Bahkan ketika Risang akan bertanya lagi orang itu membentak, “Kau tidak boleh mengambil jalan lurus ataupun kekanan.”

“Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu. Bagaimana jika aku mengambil jalan kekiri. Meskipun jalan kekiri lebih buruk dari jalan kekanan, tetapi aku dapat mengambil jalan pintas, lewat lorong-lorong kecil.”

“Tidak. Dengar kata-kataku, kalian tidak boleh pergi ke Pajang, “orang yang membawa tombak itu hampir berteriak.

Ketika Risang kemudian tertawa, barulah Sambi Wulung dan Jati Wulung menyadari kebodohan mereka. Tiba-tiba saja keduanyapun ikut tertawa. Mereka baru mengerti, bahwa Risang sama sekali tidak ingin mengalah. Tetapi ia ingin meyakinkan, dengan siapa ia berhadapan.

Risang berhenti tertawa ketika orang yang membawa tombak itu membentak, “Kenapa kau tertawa, he?”

“Kau memang menggelikan Ki Sanak,“ jawab Risang, “kau sendiri yang menawarkan agar aku memilih jalan. Tetapi kemudian kalian juga melarang pilihan kami. Bahkan akhirnya kalian melarang kami pergi ke Pajang, apakah hak kalian untuk melarang kami?”

“Aku tidak perduli akan hak. Berhak atau tidak, tetapi kami tidak akan membiarkan orang-orang Tanah Perdikan pergi ke Pajang apalagi menemui para pejabat dan para Senapati,“ bentak orang itu pula.

Risang mengangguk-angguk kecil. Dengan nada berat ia berkata, “Kalian tidak usah mengelak. Bukankah kalian orang-orang dari padepokan yang disebut Padepokan Watu Kuning?”

Wajah orang itu menjadi tegang. Orang yang membawa tombak itu bertanya, “Dari mana kau tahu?”

“Sikap dan perbuatan kalian,“ jawab Risang.

“Persetan. Meskipun kalian mengenal kami, namun hal itu sama sekali tidak akan berpengaruh sama sekali. Tetapi sebelum kalian mati, siapakah nama kalian?“ bertanya orang yang membawa tombak itu.

“Namaku Werdi,“ jawab Risang sebenarnya, “kedua orang pamanku ini bernama Kerta dan Weru.”

“Setan kau anak muda,“ geram orang itu, “aku tahu itu bukan nama kalian. Tentu kau sudah menyebut nama apa saja seperti orang mengigau. Tetapi sebentar lagi kalian akan mati. Orang-orang Tanah Perdikan tidak akan pernah melihatmu lagi. Apalagi mendengar ceriteramu bahwa perjalanan kalian telah dihentikan oleh orang-orang dari Padepokan Watu Kuning.”

“Ki Sanak,“ berkata Risang kemudian, “sebenarnya apakah keberatan kalian jika kami melanjutkan perjalanan kami ke Pajang. Bukankah hal itu tidak akan mengganggu Padepokanmu?”

“Aku tidak peduli mengganggu atau tidak mengganggu. Tetapi tidak seorangpun dari Tanah Perdikan Sembojan boleh berhubungan dengan Pajang,“ jawab orang yang membawa tombak itu.

Risang mengangguk-angguk pula. Iapun dapat mengurai sikap orang-orang Padepokan Watu Kuning. Meskipun orang-orang Padepokan Watu Kuning sudah memilih saat yang paling baik sepeninggal Pangeran Benawa sementara hubungan antara Pajang dan Madiun menjadi semakin tajam, sehingga pada saat-saat berkabung Pajang tidak akan mungkin melibatkan diri membantu Tanah Perdikan Sembojan justru karena Pajang sendiri tentu bersiaga sepenuhnya manghadapi kemungkinan buruk yang mungkin ditimbulkan oleh Madiun, namun Padepokan Watu Kuning masih berusaha mencegah kemungkinan lain yang dapat terjadi jika Tanah Perdikan Sembojan menghubungi Pajang.

Karena itulah maka lintasan antara Tanah Perdikan dan Pajang telah ditutup.

Dalam pada itu, maka Risangpun kemudian berkata, “Sebenarnya aku masih memikirkan kemungkinan lain. Jika Ki Sanak tidak memperbolehkan kami pergi ke Pajang, maka kami akan kembali dan melaporkan hal ini kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan.”

“Tidak anak muda. Ternyata kau adalah anak muda yang keras kepala. Jika kau lepas dari tangan kami, maka kau tentu benar-benar akan sampai ke Pajang lewat jalan yang manapun.”

Tetapi Risang menjawab, “Baiklah, jika demikian, maka kamipun harus memilih cara yang terbaik untuk menyelamatkan jiwa kami, karena kami tidak akan dengan suka rela menyerahkannya kepada kalian.”

Orang yang membawa tombak itu agaknya tidak ingin berbicara berkepanjangan. Sekali-sekali ia melihat keempat arah jalan simpang ampat itu untuk melihat apakah ada orang yang lewat. Tetapi agaknya jalan bulak panjang itu memang sepi. Tkiak banyak orang yang melewatinya.

Karena itu, maka orang yang membawa tombak itupun kemudian berkata kepada kawan-kawannya, “Kita selesaikan saja ketiga orang ini. Kita kuburkan mayatnya di tengah-tengah simpang ampat ini. Justru tidak akan ada orang yang menemukannya. Kudanya dapat kita bawa untuk menambah jumlah kuda di padepokan.”

Kelima orang itupun dengan cepat berloncatan turun. Agaknya mereka tidak ingin bertempur diatas punggung kuda mereka, karena tempat yang tidak memungkinkan.

Risangpun segera memberi isyarat kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung. Ketika kelima orang yang mencegat perjalanan mereka itu menambatkan kuda-kuda mereka, maka Risangpun telah melakukan hal yang sama.

Sejenak kemudian, maka kedua belah pihakpun telah saling berhadapan. Risang bertiga menghadapi lima orang yang mencegat perjalanan mereka.

Nampaknya kelima orang itu ingin dengan cepat menyelesaikan tugas mereka. Karena itu, maka merekapun segera menarik senjata mereka masing-masing.

Namun dengan demikian Risang menyadari bahwa kelima orang itu benar-benar ingin membunuh mereka bertiga, sehingga karena itu, maka Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun benar-benar telah bersiap menghadapi pertempuran yang keras. Sementara itu mereka bertiga masih belum mengetahui tataran kemampuan kelima orang dari Padepokan Watu Kuning itu.

Sebenarnyalah orang yang membawa tombak itu telah meneriakkan perintah kepada kawan-kawannya untuk segera menyelesaikan tugas mereka itu. Sambil memutar tombaknya terdengar perintahnya, “Cepat kita selesaikan orang-orang itu dan kita kuburkan disimpang ampat ini.”

Kelima orang itupun segera berpencar. Mereka berdiri disegala arah menghadapi ketiga orang itu.

Dalam pada itu, Risangpun telah menggenggam pedangnya. Demikian pula Sambi Wulung dan Jati Wulung. Bertiga mereka bersiap menghadapi lima orang yang telah mengepungnya.

Demikianlah, sejenak kemudian, maka orang yang bersenjata tombak itupun mulai menjulurkan tombaknya kearah dada Risang. Belum begitu berbahaya, sementara Risang cukup bergeser selangkah kesamping. Sementara itu, sebuah kapakpun telah terayun deras mengarah ke pundak Sambi Wulung. Namun dengan cepat Sambi Wulung telah memiringkan tubuhnya, sehingga kapak itu terayun sejengkal disisinya.

Orang yang bersenjata tombak itu mengerutkan dahinya. Melihat bagaimana ketiga orang itu dengan tenang menghadapi mereka berlima, maka orang bersenjata tombak itu menyadari, bahwa ketiga orang itu tentu orang-orang yang berilmu.

Dengan demikian, maka mereka berlima harus berhati-hati. Menurut pendengaran kelima orang itu, di Tanah Perdikan Sembojan memang terdapat beberapa orang yang berilmu tinggi.

Demikianlah sejenak kemudian, maka delapan orang telah berloncatan disimpang ampat bulak panjang itu, namun tidak ada orang yang menyaksikannya. Para petani-pun nampaknya belum tergesa-gesa turun kesawah karena matahari baru saja terbit. Apalagi nampaknya tanaman padi di sawah sudah nampak tumbuh subur sedangkan tanah masih basah.

Orang yang bersenjata tombak itu ternyata memiliki ketangkasan yang tinggi sehingga ujung tombaknya berputaran dengan cepat sekali. Sedangkan orang yang bersenjata kapak itupun nampak menjadi sangat berbahaya. Orang itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar. Kapaknya terayun-ayun bagaikan sebatang lidi meskipun kapaknya adalah kapak yang besar dan terbuat dari baja pilihan. Selain tombak dan kapak, maka pedangpun berputaran, sehingga desing anginnya menyambar-nyambar menerpa kulit.

Tetapi Risangpun cukup tangkas. Anak muda itu berloncatan seperti anak kijang direrumputan. Kakinya yang bergerak ringan seakan-akan tidak menyentuh tanah.

Risang yang telah dipersiapkan dengan masak untuk menerima ilmu Janget Kinatelon itu memiliki bekal yang cukup untuk melawan orang-orang yang mengaku dari Padepokan Watu Kuning itu.

Apalagi Sambi Wulung dan Jati Wulung yang berilmu tinggi. Mereka sama sekali tidak menjadi bingung. Bahkan Sambi Wulung dan Jati Wulung telah mulai dengan gerakan yang dapat mengganggu pemusatan perhatian lawannya. Berdua mereka mulai dengan putaran perlahan-lahan. Sementara Sambi Wulung berbisik ditelinga Risang, “Sesuaikan dirimu. Kami akan berputar.”

Risang yang telah memiliki dasar yang lengkap dalam olah kanuragan segera tanggap. Iapun mulai bergerak perlahan-lahan dalam satu putaran. Dengan gerak berputar mereka telah berganti-ganti lawan.

Ternyata gerak berputar itu untuk beberapa saat telah membingungkan kelima orang dari Padepokan Watu Kuning. Namun kemudian perlahan-lahan merekapun dapat menyesuaikan dirinya. Meskipun mereka tidak ikut berputar, tetapi setiap orang akan menyambut serangan yang datang dari siapapun diantara ketiga orang lawannya itu.

Namun demikian, selagi mereka bertempur dengan sengitnya, terdengar Sambi Wulung berkata, “He Ki Sanak. Agaknya kalian memang datang dari Padepokan Watu Kuning. Tetapi agak aneh bahwa jika kalian murid-murid perguruan Watu Kuning, maka landasan dasar ilmu kalian sama sekali tidak menunjukkan bahwa kalian datang dari satu perguruan.”

Kelima orang itu tidak segera menjawab. Pertempuran itu justru menjadi semakin sengit? Kapak yang besar itu terayun-ayun mengerikan, sementara ujung tombak yang berputar itu sekali-sekali mematuk menjangkau kearah jantung salah seorang yang berada dalam kepungan itu.

Baru sesaat kemudian orang yang bersenjata tombak itu menjawab, “Ternyata kalian adalah orang-orang yang sangat picik dalam olah kanuragan. Kalian tidak dapat melihat landasan dasar kemampuan seseorang pada sifat dan watak ilmunya. Yang kalian lihat hanyalah sekedar gelar yang sudah dikembangkan oleh setiap pribadi sesuai dengan kepribadian masing-masing.”

Tetapi Sambi Wulung justru tertawa. Tetapi ia harus bergeser selangkah ketika kapak yang besar itu terayun mengarah ke ubun-ubunnya. Dengan cepat Sambi Wulung memberikan serangan balasan. Hampir saja Sambi Wulung berhasil mengoyak dada lawannya. Namun lawannya sempat meloncat surut, meskipun ujung pedang sambi Wulung sempat menyentuh dan menggores tipis kulit dada lawannya yang membawa kapak itu.

Terdengar orang itu mengumpat. Tetapi Sambi Wulung telah bergeser. Orang yang berkapak itu terkejut ketika tiba-tiba serangan datang bukan dari Sambi Wulung, tetapi serangan yang cepat datang dari Jati Wulung. Orang itu sekali lagi meloncat mundur. Dengan kasarnya ia mengumpat. Sementara kawannya yang bersenjata pedang berusaha untuk menolongnya. Pedangnya terayun mendatar menebas leher Jati Wulung. Tetapi Jati Wulung sempat merendahkan diri, justru sambil menjulurkan pedangnya kearah lambung.

Orang yang bersenjata pedang itu berdesis sambil menyeringai menahan pedih yang menyengat. Ternyata ujung pedang Jati Wulung mampu menggapai lambung orang berpedang itu meskipun hanya seujung duri. Tetapi dari lambung itu telah mengembun darah.

Orang berpedang itupun mengumpat pula. Sengatan rasa pedih itu telah membuat darahnya menggelegak sampai ke tenggorokan.

Dengan demikian maka pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit. Kelima orang itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk segera mengakhiri perlawanan ketiga orang Tanah Perdikan Sembojan itu.

Tetapi ternyata bahwa tidak mudah untuk dapat mengalahkan ketiga orang Tanah Perdikan Sembojan itu. Ketiganya memiliki ilmu yang tinggi serta kecepatan gerak yang mendebarkan. Serangan-serangan yang datang dari kelima orang itu bagaikan menebas angin. Demikian tangkasnya Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung menghindari serangan-serangan lawannya dan bahkan demikian cepatnya mereka berganti menyerang dalam putaran yang semakin lama semakin cepat, telah membuat kelima orang dari Padepokan Watu Kuning itu menjadi semakin gelisah.

Telah beberapa lama mereka bertempur. Tetapi senjata mereka sama sekali tidak dapat menyentuh ketiga orang dari Tanah Perdikan Sembojan itu. Bahkan satu demi satu kelima orang Padepokan Watu Kuning itu telah tersentuh senjata. Orang yang bersenjata kapak yang besar itupun telah terluka pula dilengannya ketika orang itu dengan sekuat tenaga mengayunkan kapaknya kearah kepala Risang. Jika mata kapak itu sempat menyentuh sasaran, maka kepala Risang memang akan dapat terbelah.

Tetapi Risang tidak membiarkan kapak itu mengenai kepalanya. Iapun tidak berniat untuk mengadu tenaga, karena Risang sadar, orang berkapak itu memiliki kekuatan yang sangat besar.

Dengan tangkasnya Risang melenting melampaui kecepatan ayunan kapak itu. Bahkan sambil menggeliat Risang telah menyerang dengan tebasan mendatar.

Ternyata pedang Risang telah mengoyak lengan orang berkapak yang dadanya telah dilukai oleh Sambi wulung.

Orang bersenjata kapak itu berteriak marah sekali. Matanya menjadi merah dan giginya gemeretak.

Namun teriakannya itu disambut oleh desah perlahan kawannya yang membawa tombak. Jati Wulung sempat menangkis tombak yang mengarah kelambungnya. Dengan satu putaran ujung tombak itu bergeser jauh dari sasarannya. Sementara pedang Jati Wulung berputar menikam kearah jantung. Tetapi orang bertombak itu menggeliat. Meskipun demikian ujung pedang Jati Wulung sempat menyusulnya meskipun hanya mengenai pundaknya.

Seorang demi seorang kelima orang itu telah dikenai ujung-ujung senjata dari ketiga orang Tanah Perdikan Sembojan itu. Bahkan orang yang bersenjata kapak itu mulai kelihatan letih. Bukan saja karena ia telah mengerahkan senjatanya yang berat, tetapi juga karena dari beberapa luka ditubuhnya, darah masih saja mengalir. Bahkan menjadi semakin deras. Orang yang bersenjata tombak, yang nampaknya memimpin kawan-kawannya yang lain menjadi sangat marah. Ia dengan mengerahkan segenap kemampuannya berusaha untuk benar-benar membunuh lawan-lawannya. Tetapi ternyata usahanya masih saja sia-sia. Meskipun ujung tombaknya berputar dengan cepat, namun ternyata bahwa ketiga orang dari Tanah Perdikan Sembojan itu mampu bergerak secepat gerakan ujung tombaknya itu.

Semakin lama maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak benar-benar telah berniat mengakhiri pertempuran itu. Sambi Wulung dan Jati Wulung yang bergerak dalam putaran itu memang menjadi jemu untuk bertempur lebih lama lagi. Karena itulah, maka keduanyapun telah meningkatkan kemampuannya sehingga kelima orang lawannya itu menjadi semakin terdesak. Ujung-ujung senjata bukan saja Sambi Wulung dan Jati Wulung, namun juga ujung pedang Risang telah menyentuh tubuh lawan-lawannya semakin sering.

Ternyata kelima orang dari Padepokan Watu Kuning itu harus mengakui kelebihan ketiga orang Tanah Perdikan Sembojan. Semakin tinggi matahari, maka keringatpun menjadi semakin banyak mengalir. Luka-luka ditubuh keempat orang itu semakin terasa pedih.

Ketiga orang Tanah Perdikan Sembojan itu justru menjadi semakin garang. Senjata mereka bergerak semakin cepat sehingga kelima orang dari Padepokan Watu Kuning itu benar-benar merasa tidak akan mampu mengalahkan mereka. Luka-luka mereka justru menjadi semakin banyak. Apalagi ketika ketiga orang dari Tanah Perdikan Sembojan itu merasa bahwa mereka telah terlalu lama bertempur disimpang ampat itu.

Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari orang-orang Padepokan Watu Kuning itu daripada meninggalkan medan.

Demikianlah maka sejenak kemudian telah terdengar isyarat dari orang yang bersenjata tombak itu. Bergegas kelima orang itu menarik diri dari medan. Mula-mula mereka saling merapat. Meskipun mereka masih melawan, tetapi mereka sudah mengambil ancang-ancang.

Risang sadar, bahwa kelima orang itu akan melarikan diri. Karena itu, maka Risangpun berdesis, “jangan beri kesempatan mereka menempuh jalan lain kecuali jalan lurus ke Pajang. Kita memang tidak akan membunuh mereka. Tetapi biarlah mereka menempuh perjalanan yang agak panjang.”

Sambi Wulung dan Jati Wulungpun tanggap akan maksud Risang. Karena itu, maka mereka memang tidak mengejar orang-orang yang berusaha melarikan diri itu. Dengan tangkas Sambi Wulung, Jati Wulung dan Risang segera berdiri di ketiga simpang jalan untuk mencegah agar kelima orang itu menempuh satu-satunya jalan yang terbuka, justru jalan terdekat menuju ke Pajang.

Kelima orang itu memang dengan cepat berhasil meloncat kepunggung kudanya. Tetapi mereka memang tidak dapat memilih jalan. Ketiga simpangan jalan itu telah dijaga dengan senjata yang teracu. Jika mereka berusaha untuk menerobos dengan memacu kudanya, maka lambung mereka akan dapat dikoyak oleh ujung pedang dari orang-orang yang berilmu tinggi itu.

Karena itu, maka mereka tidak mempunyai pilihan lain. Apalagi mereka memang tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berpikir. Dengan demikian maka sejenak kemudian kelima orang itu telah berpacu melalui jalan yang langsung menuju ke Pajang.

Demikian kelima orang itu memasuki mulut jalan dan melarikan kuda mereka, maka Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah berlari kekuda mereka. Dengan cepat merekapun meloncat dan sejenak kemudian ketiga ekor kuda itu telah berlari seakan-akan memburu kelima orang yang lebih dahulu memacu kudanya.

Bagaimanapun juga luka-luka pada kelima orang itu telah berpengaruh atas kecepatan berpacu kuda-kuda mereka. Karena itu, maka sejenak kemudian Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah berhasil mendekati mereka.

“Kita tidak akan menangkap mereka,“ berkata Risang, “biarlah mereka kembali ke Padepokan Watu Kuning dan berceritera tentang tugas mereka sambil menunjukkan luka-luka ditubuh mereka,“ berkata Risang, “tetapi dengan cara ini mereka akan benar-benar merasakan betapa mereka merasa dirinya semakin kecil. Hal itu akan sangat penting membubui laporan mereka kepada para pemimpin di Padepokan Watu Kuning.”

Sambi Wulung dan Jati Wulung yang berpacu dise-belah menyebelah Risang agak kebelakang mendengar kata-kata Risang itu. Meskipun tidak seluruhnya tetapi mereka mengerti maksudnya, bahwa Risang masih ingin bermain-main dengan kelima orang dari Padepokan Watu Kuning itu.

Sebenarnyalah orang-orang dari Padepokan Watu Kuning itu berusaha mempercepat derap kuda mereka. Tetapi darah yang mengalir dari tubuh mereka menjadi semakin banyak sehingga tubuh merekapun menjadi semakin lemah. Sementara itu, jalan yang mereka lalui adalah jalan menuju ke Pajang.

Tetapi nampaknya orang yang bersenjata tombak itu telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, agar mereka membelok kekanan ketika mereka menjumpai jalan simpang.

Tetapi Risang justru memacu kudanya lebih dekat lagi, sehingga kelima orang itu menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika kuda Risang kemudian hampir menyusul kuda mereka.

Tetapi jalan simpang itu sudah berada didepan hidung mereka. Dengan cepat orang bersenjata tombak itu telah berusaha memasuki tikungan yang tajam, sementara kudanya berpacu dengan kecepatan sangat tinggi.

Ketika kendali kuda orang bersenjata tombak itu ditarik, maka kudanyapun berusaha untuk berbelok. Tetapi tidak ada kesempatan untuk mengambil arah. Kuda itu dengan serta merta telah berbelok memasuki jalan yang tidak begitu lebar itu.

Ternyata yang tidak dikehendaki itu terjadi. Meskipun orang bersenjata tombak itu adalah seorang yang memiliki kemampuan berkuda, tetapi ketergesa-gesanya serta keadaan wadagnya yang tidak mendukung karena luka-lukanya, maka orang itu telah terpelanting dari kudanya, sementara kudanya juga tergelincir dan jatuh beberapa langkah dari tikungan.

Keadaan itu terjadi dengan tiba-tiba, sehingga kuda-kuda yang berada dibelakangnya tidak mendapat kesempatan untuk berbuat banyak. Apalagi keempat ekor kuda yang lain serta penunggangnya berada dalam keadaan yang sama seperti kuda serta penunggangnya yang bersenjata tombak itu.

Keempat ekor kuda yang berlari dibelakangnya telah terantuk tubuh kuda yang terjatuh itu. Dengan demikian maka berurutan keempat ekor kuda itupun telah terjatuh pula.

Risang memang tidak ingin berbelok mengejar mereka.

Tetapi ketika Risang melihat kelima ekor kuda itu saling menindih, maka iapun telah memberi isyarat kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk berhenti.

Bahkan kemudian mereka bertiga telah kembali beberapa langkah sampai ke simpang tiga itu.

Risang melihat kelima orang penunggangnya telah terpelanting dari kuda-kuda mereka. Namun ketika Risang melihat tiga orang diantara mereka masih sempat bangkit, maka sambil menarik nafas dalam-dalam Risang berkata, “Ternyata masih ada yang dapat mengurusi kawan-kawannya yang agaknya terluka karena mereka terbanting dari punggung kudanya.”

Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung memerlukan untuk turun dari kuda dan berjalan mendekati orang-orang yang dengan kesakitan berusaha untuk bangkit itu.

Ketiga orang itu memang menjadi ketakutan. Mereka tidak akan mungkin dapat melarikan diri lagi. Tulang-tulang mereka rasanya telah berpatahan. Sebelumnya, ketika mereka masih tegar, apalagi mereka berlima, tidak dapat memenangkan pertempuran melawan ketiga orang itu. Apalagi setelah mereka hampir kehabisan tenaga dan terbanting jatuh pula sehingga tubuh mereka seakan-akan remuk karenanya.

Tetapi ternyata Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung itu tidak berbuat sesuatu. Mereka yang mengaku bernama Werdi, Kerta dan Weru itu, memandangi ketign orang itu dengan wajah yang nampak bersungguh-sungguh. Bahkan terdengar anak muda yang mengaku bernama Werdi itu bertanya, “Bukankah kalian tidak apa-apa?”

Pertanyaan itu terdengar aneh ditelinga ketiga orang yang sudah kehabisan tenaga itu. Namun justru karena itu, maka mereka tidak menjawab sama sekali.

Risang yang melihat bahwa ketiga orang itu masih mungkin berbuat sesuatu bagi kedua orang kawannya yang agaknya pingsan serta kuda-kudanya yang terjatuh dan mungkin ada diantaranya yang menjadi cidera itupun kemudian berkata, “Bangkitlah dan berusahalah. Jika kalian menyerah, maka kalian akan mati bersama dengan kuda-kuda kalian dan kawan-kawan kalian.”

Ketiganya masih saja berdiam diri. Bahkan sekali-sekali terdengar mereka berdesah menahan sakit.

“Nah,“ berkata Risang, “kalian dapat berusaha kembali ke Padepokan Watu Kuning. Kalian dapat melaporkan, bahwa kalian gagal menutup perbatasan Tanah Perdikan Sembojan. Jika kalian ingin, maka kalian dapat membawa kawan yang lebih banyak untuk mencegat kami kembali, karena kami besok akan melalui jalan ini pula.”

Risang memang tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian mengajak Sambi Wulung dan Jati Wulung meneruskan perjalanan mereka. Sementara itu, mereka sempat melihat dua diantara kelima ekor kuda itu sudah dapat bangkit berdiri tanpa pertolongan. Namun yang lain masih juga terbaring meskipun kuda-kuda itu nampaknya masih hidup. Tetapi cacat bagi seekor kuda adalah isyarat bahwa kuda itu tidak akan dapat disembuhkan lagi.

Demikianlah sejenak kemudian, maka Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah meneruskan perjalanan, sementara ketiga orang yang masih tetap sadar itu, betapapun sakit tubuhnya berusaha untuk berbuat sesuatu atas kedua orang kawannya yang pingsan.

Dalam pada itu, maka Risangpun meluncur dengan cepat menuju ke Pajang. Mereka telah tertahan beberapa lama, sehingga mereka memang menduga Ki Rangga Kalokapraja tentu sudah berangkat ketempat tugasnya, sehingga dengan demikian maka mereka harus menyusulnya.

Ketika Risang kemudian mendekati regol kota, maka sudah terasa suasana yang berbeda dari suasana sebelumnya, ketika Pangeran Benawa masih memegang pimpinan pemerintahan di Pajang.

Jalan-jalan rasa-rasanya tidak terlalu ramai. Wajah-wajahpun nampak murung. Rasa-rasanya seisi kota Pajang masih saja berkabung sepeninggal Pafngeran Benawa. Bahkan ketika Risang melintasi jalan yang melalui pasar yang biasanya sangat ramai, rasa-rasanya menjadi lengang.

Namun ketika hal itu dikatakan kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka Sambi Wulungpun menjawab, “Tetapi hari memang sudah agak siang. Mungkin pasar itu memang menjadi lengang atau orang-orang yang berada di pasar sudah menyusut.”

Risang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah, maka mereka bertiga meneruskan perjalanan mereka langsung menuju kerumah Ki Rangga Kalokapraja. Tetapi mereka tidak dapat berpacu terlalu cepat. Meskipun jalan-jalan kota nampak menjadi lebih sepi, namun masih juga terasa cukup banyak orang yang berjalan hilir mudik.

“Jika Ki Rangga sudah tidak ada dirumah, kita akan menyusul ketempat tugasnya. Kita harus dengan cepat menyampaikan persoalan ini dan kembali ke Tanah Perdikan. Nampaknya perang memang sudah dimulai. Kita tidak yakin apakah benar masih ada waktu sepekan.”

Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka tidak menjawab.

Setelah beberapa saat mereka menelusuri jalan-jalan kota, maka merekapun telah sampai kerumah Ki Rangga Kalokapraja. Meskipun mereka menduga bahwa Ki Rangga telah pergi ketempat tugasnya, namun mereka mencoba juga untuk memasuki halaman dan mendekati pendapa.

Seorang laki-laki yang agaknya seorang pembantu di rumah itupun telah mendekati mereka sambil bertanya, “Ki Sanak, apakah keperluan Ki Sanak datang kemari?”

“Apakah Ki Rangga sudah pergi bertugas?“ bertanya Risang.

“Belum Ki Sanak. Ki Rangga ada dirumah,“ jawab orang itu.

“O, sokurlah. Kami ingin menghadap Ki Rangga.” berkata Risang kemudian.

“Marilah, silahkan duduk,“ berkata orang itu, “biarlah aku menyampaikannya. Tetapi siapakah Ki Sanak bertiga itu?”

“Aku Risang. Dari Tanah Perdikan Sembojan,“ jawab Risang.

Orang itu mengangguk-angguk. Sekali lagi ia mempersilahkan ketiga orang tamu itu naik kependapa, sementara orang itu kemudian masuk lewat seketeng kelongkangan samping kanan.

Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian duduk diatas tikar pandan putih bergaris-garis biru yang terbentang dipendapa. Dengan nada rendah Risang berkata perlahan, “Ternyata Ki Rangga masih ada dirumah. Apakah mungkin Ki Rangga sedang sakit atau ada persoalan lain sehingga Ki Rangga tidak pergi ke tempat tugasnya?”

Sebelum Sambi Wulung dan Jati Wulung menyahut, mereka telah mendengar langkah kaki dibelakang dinding gebyok kayu melangkah menuju ke pintu pringgitan.

Sejenak kemudian maka pintupun berderit. Ki Rangga muncul dari balik pintu sambil tersenyum. Namun wajahnya nampak letih.

Sambil duduk, maka Ki Ranggapun mengucapkan selamat datang kepada ketiga orang tamunya.

“Aku memang tidak pergi hari ini,“ berkata Ki Rangga sebelum Risang bertanya, “Tiga hari tiga malam aku bertugas diistana. Sejak Pangeran Benawa wafat, bergantian para pejabat diistana berjaga-jaga. Baru pagi tadi aku selesai bertugas sehingga hari ini aku mendapat kesempatan untuk beristirahat sehari.”

“O, maaf Ki Rangga. Ternyata kami telah mengganggu saat-saat Ki Rangga beristirahat,“ desis Risang.

“Tidak. Kalian tidak mengganggu. Sejak pagi-pagi demikian aku sampai dirumah, aku langsung tidur. Ketika kalian datang, aku memang sudah bangun.”

Risang mengangguk hormat. Katanya, “Kamilah yang harus minta maaf Ki Rangga.”

“Sudahlah,“ berkata Ki Rangga, “tetapi agaknya kedatangan kalian membawa persoalan yang penting. Atau kalian sekedar menengok keselamatanku dan sahabatmu di barak pasukan Ki Tumenggung Jayayuda?”

“Kedatangan kami memang membawa persoalan yang bagi kami cukup penting Ki Rangga,“ jawab Risang.

“Persoalan apa? Kau baru saja diwisuda. Apakah kau sudah mulai menghadapi persoalan-persoalan yang rumit?”

Risangpun kemudian telah menyampaikan persoalan yang dihadapinya. Bahkan Risangpun kemudian berkata, “Ternyata bahwa perang itu memang sudah dimulai.”

Ki Rangga mengerutkan dahinya. Sementara Risang meneruskan laporannya tentang orang-orang yang mencegatnya diperjalanan karena pemimpin Padepokan Watu Kuning memang ingin menutup perbatasan Tanah Perdikan Sembojan, agar tidak seorangpun yang diperbolehkan keluar dari Tanah Perdikan, apalagi berhubungan dengan Pajang.

Ki Rangga mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian terdengar suaranya agak serak, “Orang-orang itu ternyata memang licik. Mereka agaknya memang sudah memperhitungkan keadaan. Demikian Pangeran Benawa wafak, maka mereka telah mengambil langkah. Sementara hubungan antara Pajang dan Madiun sepeninggal Pangeran Benawa nampak menjadi semakin buruk. Pangeran Timur di Madiun yang bergelar Panembahan Mas itu merasa mempunyai hak pula atas Pajang. Bahkan Pangeran Timur yang keturunan langsung Sultan Trenggana sebagai putra bungsu itu merasa bahwa ia adalah pewaris Demak itu sendiri.”

“Tetapi bukankah Panembahan Mas belum mengambil langkah-langkah tertentu?“ bertanya Risang.

“Memang belum,“ jawab Ki Rangga Kalokapraja, “tetapi kesiagaan Madiun membuat Pajang harus bersiaga pula justru sepeninggal Pangeran Benawa.”

“Dalam keadaan yang demikian, siapakah yang berwenang memegang pimpinan tertinggi di Pajang sekarang?“ bertanya Risang.

“Secara resmi memang belum ditentukan. Tetapi untuk sementara Pangeran Gagak Baning sudah ada disini. Ia mewakili Panembahan Senapati memegang kendali pemerintahan di Pajang.”

“Pangeran Gagak Baning,“ desis Risang.

“Ya. Pangeran Gagak Baning adalah adik Panembahan Senapati memegang kendali pemerintahan di Pajang.“

“Pangeran Gagak Baning,“ desis Risang.

“Ya. Pangeran Gagak Baning adalah adik Panembahan Senapati yang dimasa mudanya bernama Raden Tompe.”

Risang mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Bagaimana menurut Ki Rangga Kalokapraja? Apakah kepemimpinan Pangeran Gagak Baning sama baiknya dengan Pangeran Benawa atau tidak?”

“Sudah tentu bahwa aku tidak akan dapat menilai kepemimpinan Pangeran Gagak Baning dalam waktu yang singkat. Tetapi apa yang aku lihat selama ini, nampaknya Pangeran Gagak Baning berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan kepemimpinan Pangeran Benawa. Maksudku, dalam waktu dekat ini, Pangeran Gagak Baning tidak mengambil sikap yang mengejutkan. Bahkan ia berusaha mengerti apa yang telah dilakukan oleh Pangeran Benawa, sehingga yang dianggapnya baik, dilanjutkannya dengan penuh tanggung jawab.”

Risang masih saja mengangguk-angguk. Sementara Ki Rangga Kalokapraja mengerti apa yang dipikirkan oleh anak muda itu. Karena itu, maka iapun berkata, “Juga tentang kedudukan beberapa Tanah Perdikan yang ada. Aku sudah dipanggilnya untuk memberikan keterangan tentang Tanah Perdikan yang ada itu. Agaknya Pangeran Gagak Baning tidak mempunyai perhatian yang berbeda dari Pangeran Benawa. Maksudku, nampaknya tidak akan timbul perubahan kebijaksanaan, setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat ini.”

Risang termangu-mangu sejenak. Tetapi keterangan itu telah membuat dadanya menjadi lapang. Agaknya ia tidak perlu mencemaskan sikap pemimpin Pajang yang baru atas Tanah Perdikannya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Rangga. Setidak-tidaknya untuk waktu dekat ini.

Dengan demikian maka perhatiannya sepenuhnya dapat ditujukan pada Padepokan Watu Kuning yang berusaha untuk memanfaatkan keadaan.

Sebenarnyalah, Ki Rangga Kalokaprajapun kemudian bertanya dengan nada dalam,“ Risang. Bagaimana menurut pendapatmu tentang Padepokan Watu Kuning? Mereka benar-benar licik, justru karena mereka tahu bahwa Pajang tidak akan dapat berbuat banyak sekarang ini. Pangeran Gagak Baning sudah memerintahkan untuk bersiaga sepenuhnya setiap saat. Tidak ada seorang prajaurit dan pemimpin pemerintahanpun yang diijinkan meninggalkan Pajang pada saat ini, karena sewaktu-waktu mereka dapat diperlukan untuk menyelamatkan Pajang. Karena itulah maka aku benar-benar merasa cemas akan perkembangan keadaan di Tanah Perdikan Sembojan.”

“Ki Rangga,“ jawab Risang, “hal ini memang sudah aku perhitungkan. Jika aku menghadap, sebenarnya aku hanya mohon petunjuk, apakah aku diperkenankan mengambil langkah sendiri untuk keselamatan Tanah Perdikan Sembojan. Aku adalah orang baru. Meskipun hal yang sama pernah dilakukan oleh ibu selaku Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, namun aku tidak ingin melakukan kesalahan. Karena itu aku mohon ijin untuk mengambil tindakan sesuai dengan kemampuan yang ada. Bahkan seandainya hal itu akan dapat mempertajam persoalan antara Pajang dari Madiun.”

Ki Rangga Kalokapraja termangu-mangu sejenak. Dengan ragu ia justru bertanya, “Apakah ada kaitannya dengan Madiun?”

“Mudah-mudahan tidak Ki Rangga,“ jawab Risang.

“Jika ada kaitannya, tentu tidak dengan sepengetahuan Panembahan Madiun. Mungkin satu dua orang pejabat di Kadipaten Madiun yang dapat dipengaruhi oleh orang-orang yang mengaku dari Padepokan Sela Kuning itu,“ berkata Ki Rangga kemudian.

Risang mengangguk-angguk. Sedangkan Ki Rangga setelah berpikir sejenak telah berkata, “Sebaiknya aku mengirimkan orang untuk mengetahui, apakah Madiun ikut campur atau tidak. Atau orang-orang padepokan Sela Kuning itu saja yang memanfaatkan keadaan. Aku akan mohon ijin untuk mengirimkan satu dua orang saja, karena tidak mungkin sekelompok prajurit. Hal itu tidak akan diijinkan. Mudah-mudahan untuk melepas satu dua orang Pangeran Gagak Baning masih mengijinkan.”

Risang mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan Ki Rangga. Kami, seluruh Tanah Perdikan akan berterima kasih sekali jika ada satu atau dua orang yang sempat melihat keadaan dan sekaligus memberikan petunjuk-petunjuk kepada kami, agar kami tidak melakukan kesalahan yang dapat mempersulit kedudukan Pajang dengan Madiun.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Meskipun perintah Pangeran Gagak Baning mengatakan bahwa tidak seorangpun dapat meninggalkan tugasnya, namun bukankah yang akan dilakukan di Tanah Perdikan itu juga termasuk tugas seorang prajurit? Aku akan mohon kepada Pangeran Gagak Baning. Sokurlah jika diijinkan Kasadha untuk pergi ke Tanah Perdikan. Bukankah ia seorang yang dekat sekali dengan kau?”

“Sokurlah jika hal itu diijinkan,“ sahut Risang dengan serta merta. Lalu katanya, “Kami, di Tanah Perdikan akan berterima kasih sekali.”

“Apakah kau dapat menunggu sampai esok? Jika permohonan ini diijinkan, maka kau akan kembali ke Tanah Perdikan bersama Kasadha,“ berkata Ki Rangga kemudian.

Namun wajah Risang memancarkan keragu-raguan. Ia sadar, bahwa keadaan sudah menjadi semakin panas di Tanah Perdikan. Kelima orang yang dikalahkannya bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung akan dapat mengadu, sehingga orang-orang Padepokan Sela Kuning akan dapat mengambil langkah-langkah dengan cepat.

Ki Rangga melihat keragu-raguan Risang. Karena itu, maka iapun berkata, “Agaknya kau memikirkan Tanah, Perdikanmu yang kau tinggalkan. Karena itu, baiklah. Jika kau akan kembali lebih dahulu, biarlah besok Kasadha menyusul. Atau mungkin juga orang lain.“

“Terima kasih Ki Rangga. Kami memang merasa gelisah untuk menunggu sampai esok,“ jawab Risang.

“Baiklah. Jika demikian, aku tidak akan menahanmu sampai esok. Kau memang harus segera berada di Tanah Perdikanmu lagi. Bahkan secepatnya,“ berkata Ki Rangga.

Tetapi ketika Risang segera ingin meninggalkan rumah itu, Ki Rangga menahannya. Katanya, “Hanya sebentar. Kalian tentu haus. Bahkan mungkin lapar. Lebih baik kalian menunggu sejenak daripada kalian harus singgah di sebuah kedai.”

Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak dapat menolak. Mereka harus menunggu. Tetapi seperti dikatakan oleh Ki Rangga, mereka tidak perlu menunggu terlalu lama.

Setelah minum dan makan serta beristirahat sejenak, maka ketiganyapun segera minta diri kembali ke Tanah Perdikan. Mereka tidak sempat singgah dibarak Kasadha. Apalagi Ki Rangga sudah menjanjikan untuk menemui dan berbicara dengan Kasadha apabila permohonannya untuk mengirimkan prajurit muda itu diperkenankan.

Demikianlah, maka Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah mohon diri. mereka ingin segera berada ditengah-tengah keluarga Tanah Perdikan Sembojan yang sedang terancam bahaya itu. Bahaya yang sudah mulai terasa menyentuh Tanah Perdikan Sembojan dengan kekerasan.

Tetapi Risang tidak mengambil jalan yang sama sebagaimana saat mereka berangkat. Bertiga mereka berusaha untuk mengambil jalan lain yang meskipun agak melingkar tetapi kemungkinan adanya hambatan jauh lebih kecil. Hal itu dilakukan Risang bukan karena mereka bertiga menjadi, ketakutan. Tetapi mereka memang ingin segera berada di Tanah Perdikan. Apalagi menurut perhitungan, kelima orang itu jika benar-benar ingin mencegatnya tentu akan membawa kawan lebih banyak lagi, sehingga sesuai dengan pertimbangan nalar, maka mereka bertiga akan dapat kehilangan kesempatan untuk sampai di Tanah Perdikan lagi.

Sementara itu mataharipun telah menjadi semakin rendah di ujung Barat. Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung berpacu semakin cepat, apalagi ketika mereka berada dibulak-bulak panjang. Karena jalan agak sempit, maka bertiga mereka berpacu berurutan membelakangi matahari yang mulai menjadi kemerah-merahan.

Selagi Risang bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung berpacu menuju ke Tanah Perdikan Sembojan, maka memenuhi janjinya, Ki Rangga Kalokapraja meskipun masih merasa letih telah berusaha menghadap Pangeran Gagak Baning untuk menyampaikan pesoalan yang berkembang di Tanah Perdikan Sembojan serta mohon perkenan Kasadha untuk pergi melihat keadaan di Tanah Perdikan itu.

Mendengar nama Padepokan Watu Kuning, Pangeran Gagak Baning terkejut. Ketika Pangeran Gagak Baning masih seorang anak muda yang sedang menempa diri, maka ia memang pernah mendengar nama Padepokan Watu Kuning. Kemudian beberapa tahun kemudian, dalam perjalanan pengembaraannya untuk mematangkan ilmu yang dimilikinya, Pangeran Gagak Baning kembali bertemu dengan nama Padepokan Watu Kuning.

“Sebuah padepokan yang terhitung memiliki kekuatan yang besar,“ berkata Pangeran Gagak Baning.

“Padepokan itulah yang mengancam Tanah Perdikan Sembojan, Pangeran,“ desis Ki Rangga Kalokapraja.

“Menurut pendengaranku, padepokan itu memiliki jumlah cantrik yang terhitung banyak. Yang berbahaya adalah, bahwa banyak orang berilmu tinggi yang bergabung dengan Padepokan Watu Kuning karena padepokan itu mampu menjanjikan kenikmatan duniawi kepada orang-orang itu. Padepokan Watu Kuning yang dihuni oleh Perguruan Watu Kuning itu memberikan apa saja yang dibutuhkan oleh orang-orang berilmu tinggi. Namun sudah tentu, bahwa apa yang diberikan itu berasal dari sumber yang tidak sewajarnya,“ berkata Pangeran Gagak Baning. Namun kemudian katanya, “Agaknya para pemimpin padepokan itu memang licik. Mereka sadar sepenuhnya bahwa Pajang sedang berjaga-jaga menghadapi kemungkinan buruk yang dapat ditimbulkan oleh Madiun. Dengan demikian maka orang-orang Watu Kuning memperhitungkan bahwa Tanah Perdikan Sembojan tidak akan mampu menghadapi kekuatan Watu Kuning tanpa bantuan Pajang.”

“Benar Pangeran,“ jawab Ki Rangga Kalokapraja, “tetapi apakah Pajang memang tidak dapat memberikan sekedar bantuan kepada Tanah Perdikan Sembojan?”

“Itulah yang menyulitkan, Ki Rangga. Aku tidak berani menerima akibat buruk jika Madiun tiba-tiba bergerak. Setiap orang prajurit Pajang akan sangat berarti dalam keadaan seperti ini,“ jawab Pangeran Gagak Baning.

“Risang, Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang datang menemui hamba memang telah memperhitungkannya. Tetapi Kepala Tanah Perdikan yang muda itu dan masih belum mengetahui kekuatan Padepokan Watu Kuning menyatakan bahwa Tanah Perdikan Sembojan telah bersiap menghadapi Padepokan itu.”

“Aku hanya dapat mencemaskan mereka Ki Rangga,“ berkata Pangeran Gagak Baning, “aku menyangsikan kekuatan Tanah Perdikan Sembojan. Meskipun mungkin jumlah laki-laki di Tanah Perdikan itu cukup banyak, namun aku tidak yakin bahwa mereka memiliki kemampuan yang pantas untuk menghadapi orang-orang dari Padepokan Watu Kuning. Sementara itu Pajang dalam keadaan seperti sekarang ini, sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, Prajurit kita terlalu sedikit untuk masih harus dikurangi lagi. Sementara Madiun agaknya telah menghubungi para Adipati disisi Timur tanah ini.

Ki Rangga Kalokapraja mengangguk-angguk. Tetapi nampak bahwa iapun menjadi gelisah karenanya. Jika benar Padepokan Watu Kuning mempunyai banyak orang-orang berilmu tinggi, maka meskipun jumlah laki-laki di Tanah Perdikan cukup banyak, namun hal itu justru hanya akan menambah jumlah korban saja.

Dengan ragu-ragu Ki Ranggapun kemudian berkata, “Pangeran. Jika Pangeran mengijinkan, hamba ingin mohon agar Pangeran berkenan menugaskan dua orang saja prajurit untuk melihat perkembangan di Tanah Perdikan Sembojan.”

Pangeran Gagak Baning memang menjadi ragu-ragu sejenak. Terbayang mendung yang menggelantung dilangit diatas Pajang. Angin bertiup dari Timur membawa awan hitam yang basah, yang setiap saat dapat tercurah diatas Pajang dan sekitarnya.

Tetapi hampir bergumam Pangeran Gagak Baning berkata, “Hanya dua orang.”

“Ya Pangeran, dua orang saja untuk sekedar mengamati keadaan. Mereka akan dapat memberikan laporan terperinci tentang keadaan di Tanah Perdikan serta kemungkinan terburuk yang dapat terjadi jika Padepokan Watu Kuning beriar-benar menyerang Tanah Perdikan itu.”

“Apakah Ki Rangga dapat menyebutkan, siapakah kedua orang yang kau maksud itu?“ bertanya Pangeran Gagak Baning.

“Seorang diantaranya Ki Lurah Kasadha, Pangeran,“ jawab Ki Rangga.

“Kenapa Ki Rangga menunjuk Ki Lurah Kasadha?“ bertanya Pangeran Gagak Baning pula.

“Ki Lurah Kasadha adalah seorang Lurah Prajurit muda yang tangkas. Memiliki kemampuan yang cukup meskipun tidak terlalu berlebihan. Tetapi lebih dari itu, ia adalah sahabat terdekat dari Kepala Tanah Perdikan Sembojan ketika keduanya sama-sama menjadi prajurit.”

“Jadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu juga bekas seorang prajurit?”

“Ya Pangeran,“ jawab Ki Rangga.

“Baiklah. Aku ijinkan mereka berdua pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi beri bekal pengertian kepada kedua orang prajurit itu. Padepokan Watu Kuning adalah padepokan yang memiliki sebangsal orang-orang berilmu tinggi, meskipun sebenarnya mereka bukan sejak semula murid dari Padepokan Watu Kuning. Itu terjadi beberapa tahun yang lewat. Apalagi sekarang, agaknya mereka memiliki lebih banyak orang berilmu tinggi, bahkan dari. lingkungan hitam sekalipun, karena itu kedua orang prajurit itu harus berhati-hati. Mereka tidak harus ikut mempertahankan Tanah Perdikan sampai batas terakhir. Jika demikian maka mereka tidak akan dapat memberikan laporan kepada kita.“

“Hamba Pangeran,“ jawab Ki Rangga.

“Yang harus mereka amati adalah, apakah Madiun terlibat langsung atau tidak dalam tindak kekerasan itu,“ pesan Pangeran Gagak Baning pula.

Demikianlah, maka Ki Ranggapun segera meninggalkan istana setelah Pangeran Gagak Baning memberikan pertanda tugas kepada Ki Lurah Kasadha Sebuah kelebet berwarna kuning keemasan dengan pelisir hitam ditepinya. Ditengah-tengahnya terdapat gambar sebilah keris dengan luk sebelas.

Ki Rangga tidak segera pulang. Tetapi ia langsung menemui Ki Tumenggung Jayayuda dibaraknya Ki Tumenggungpun memang agak terkejut. Apalagi. ketika ia melihat kelebet yang berwarna kuning itu.

“Apa ada perintah bagi pasukanku?“ bertanya Ki Tumenggung Jayayuda dengan nada tegang.

“Tidak Ki Tumenggung,“ jawab Ki Rangga, “tetapi kepada dua orang prajurit Ki Tumenggung.”

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Ranggapun menceriterakan tentang kedatangan Risang serta pembicaraannya langsung dengan Pangeran Gagak Baning.

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi Ki Rangga memerlukan Kasadha dan seorang lagi yang ditunjuknya?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Ya Ki Tumenggung,“ jawab Ki Rangga.

“Baiklah. Aku akan memanggil Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha, karena Ki Lurah Kasadha berada di bawah pimpinan langsung Ki Rangga Dipayuda,“ berkata Ki Tumenggung Jayayuda.

Ketika kemudian keduanya menghadap, maka dengan singkat Ki Rangga telah menyampaikan persoalan yang menyangkut Ki Lurah Kasadha, pesan serta perintah yang harus dijalankannya.

Ternyata perintah itu diterima dengan baik oleh Kasadha. Bahkan dari wajahnya nampak bahwa perintah itu memberikan kegembiraan kepadanya.

“Aku akan menjunjung perintah itu dengan sebaik-baiknya,“ jawab Kasadha.

Namun dalam pada itu, maka Ki Ranggapun telah menyampaikan pula pesan Pangeran Gagak Baning tentang pengenalannya atas Padepokan Watu Kuning beberapa tahun yang lalu, selagi Pangeran Gagak Baning mengembara di Timur.

“Padepokan itu mempunyai banyak orang berilmu sangat tinggi. Tetapi mereka sebagian besar justru orang-orang yang memiliki ihnu hitam. Mereka adalah orang-orang yang mengesahkan segala cara untuk mencapai tujuannya,“ berkata Ki Rangga. Lalu, “Adapun tugas Ki Lurah adalah mengamati apakah yang ikut bergerak bersama orang-orang Watu Kuning itu terdapat kekuatan Madiun itu sendiri. Karena menurut pertimbangan Pangeran Gagak Baning, betapapun panasnya hubungan antara Madiun dan Pajang, Madiun tidak akan mempergunakan cara yang kotor itu.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia mencoba menilai para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi Kasadha tidak dapat mendapat ukuran yang pasti karena ia memang tidak sempat mengetahui terlalu banyak tentang Tanah Perdikan yang dipimpin oleh kakaknya itu.

Kepada Ki Rangga Dipayuda, Ki Tumenggung Jayayuda memerintahkan agar Kasadha diijinkan untuk meninggalkan barak berdua dengan seorang prajurit yang akan ditunjuknya. Meskipun ada perintah dari Pangeran Gagak Baning bahwa tidak seorangpun boleh meninggalkan barak, namun Ki Lurah Kasadha justru langsung mendapat perintah dari Pangeran Gagak Baning itu sendiri.

Tentu saja Ki Rangga Dipayuda tidak mempunyai keberatan. Namun sebelum berangkat Kasadha diminta untuk menunjuk seseorang yang akan mewakilinya selama ia pergi.

Demikianlah, maka Kasadhapun segera mempersiapkan diri. Atas ijin Ki Rangga Dipayuda, maka Kasadha telah menunjuk seorang pemimpin kelompoknya yang tertua, yang banyak mengetahui tentang pergolakan jiwanya untuk ikut bersamanya ke Tanah Perdikan Sembojan. Kemudian menunjuk seorang lagi diantara pemimpin kelompoknya untuk mewakilinya selama ia bertugas ke Tanah Perdikan Sembojan.

Sementara Kasadha bersiap-siap, maka tiba-tiba saja ia teringat akan ibunya. Dalam keadaan yang sulit, maka ibunya tentu tidak akan berkeberatan jika ibunya ikut membantu menyelamatkan Tanah Perdikan Sembojan.

Apalagi menurut Pangeran Gagak Baning, Padepokan Watu Kuning mempunyai banyak sekali orang-orang berilmu tinggi.

Karena itu, maka Kasadhapun telah memberanikan diri untuk meminjam dua ekor kuda dari baraknya kepada Ki Tumenggung Jayayuda.

“Untuk apa?“ bertanya Ki Tumenggung Jayayuda.

“Ki Tumenggung, sesuai dengan pesan dari Pangeran Gagak Baning tentang kelebihan Padepokan Watu Kuning dengan orang-orang berilmu tinggi, maka aku ingin singgah kerumah seorang pamanku yang mungkin akan dapat membantu Risang di Tanah Perdikan Sembojan. Karena agaknya pamanku itu tidak mempunyai kuda, maka aku ingin membawa kuda itu bagi paman. Besok, setelah aku kembali dari Tanah Perdikan, maka kuda itu akan aku bawa kembali ke barak.”

Ki Tumenggung memang agak ragu. Tetapi akhirnya Ki Tumenggungpun mengijinkannya.

Dengan demikian, maka Kasadhapun segera minta diri kepada para prajuritnya, kepada Ki Rangga Dipayuda dan kepada Ki Tumenggung Jayayuda serta para Pandhega yang lain untuk pergi ke Tanah Perdikan. Tetapi Kasadha sudah berniat untuk singgah ke Bayat menjemput ibu dan bibinya untuk dibawanya pula ke Tanah Perdikan Sembojan.

Kasadha juga teringat kepada gurunya yang masih selalu membimbing dan meningkatkan ilmunya. Tetapi ternyata Kasadha memutuskan untuk tidak minta kepada gurunya menyertainya ke Tanah Perdikan karena beberapa pertimbangan.

Meskipun kemudian malam akan segera turun, tetapi Kasadha yang sudah bersiap segera berangkat justru ke Barat. Anak muda itu yakin, bahwa ibunya tidak akan berkeberatan melihat sikapnya serta sikap ibu Risang ketika mereka bertemu di Tanah Perdikan.

Tanpa berhenti Kasadha memasuki padukuhan tempa 1 tinggal ibu dan bibinya. Meskipun Kasadha sadar, bahwa kedatangannya akan mengejutkan ibu dan bibinya, tetapi Kasadha tidak mempunyai waktu lagi untuk menunda.

Seperti yang diduganya, ibu dan bibinya memang terkejut sekali. Tetapi dengan cepat Kasadhapun memberikan penjelasan bahwa memang ada hal yang penting, tetapi ia tidak membawa kabar buruk tentang dirinya dan juga tidak bagi ibu dan bibinya.

Dengan jelas Kasadhapun kemudian menceriterakan tentang perintah yang diterima untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Iapun menjelaskan persoalan yang tengah dihadapi oleh Tanah Perdikan Sembojan justru saat kemelut sedang terjadi di Pajang.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kasihan Risang yang baru saja mendapat wisuda. Ia sudah harus mengalami cobaan yang sangat berat. Padepokan Watu Kuning memang sebuah padepokan yang kuat. Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Pangeran Gagak Baning. Dipadepokan itu tersimpan orang-orang berilmu tinggi, namun yang berhati gelap. Ibu tahu pasti, karena ibupun pernah hidup didunia yang gelap itu pula. Orang-orang berilmu tinggi itu merasa hidup di Padepokan Watu Kuning seperti hidup disorga. Apa yang mereka butuhkan ada di Padepokan itu. Karena itu, maka Padepokan Watu Kuning sering melakukan penculikan atas gadis-gadis yang meningkat dewasa.”

Kasadha mengangguk-angguk mendengarkan keterangan ibunya yang ternyata juga sudah mendengar tentang Padepokan Watu Kuning. Padepokan yang sekedar dipergunakan sebagai kedok dari sebuah gerombolan yang melakukan banyak kejahatan. Bukan hanya banyak dalam pengertian jumlahnya, tetapi juga jenisnya.

Karena itu, maka ibu Kasadha itupun kemudian berkata, “Baiklah. Aku bersedia melakukannya. Aku dan bibimu akan ikut bersamamu ke Tanah Perdikan Sembojan.”

“Terima kasih ibu,“ Kasadha menjadi gembira. Tetapi iapun menjadi sedikit cemas tentang kemampuan Tanah Perdikan untuk mempertahankan diri. Sementara itu Pajang dalam keadaan tersudut sehingga tidak akan mampu memberikan bantuan apapun juga.

Ibu dan bibi Kasadhapun segera berkemas. Tetapi mereka masih harus menemui tetangga mereka yang terdekat untuk menitipkan rumah dan ternak mereka selama mereka pergi.

Tetangganyapun ternyata terkejut juga. Ibu Kasadha memang mengatakan bahwa saudaranya ada yang menderita sakit keras, sehingga ia harus segera pergi menemuinya sebelum terlambat.

Beberapa saat kemudian, maka berempat Kasadha meninggalkan rumah bibinya. Sebelum keluar dari lingkungan padukuhan, mereka memang hanya berjalan kaki sambil menuntun keempat ekor kuda yang dibawa oleh Kasadha. Tetapi demikian mereka berada dibulak panjang, maka mereka berempatpun segera berpacu dipunggung kuda.

Malam memang kelam, meskipun dilangit banyak terdapat bintang yang tertabur dari cakrawala sampai ke cakrawala.

Tetapi ibu Kasadha itu berkata, “Menjelang dini bulan akan terbit meskipun tinggal sebagian saja.”

“Tetapi yang sebagian itu akan dapat membantu menerangi jalan,“ jawab Kasadha.

Sejenak kemudian, maka kuda-kuda itupun berpacu semakin cepat. Mereka tidak lagi berbicara. Mereka berharap bahwa sebelum siang besok, mereka telah berada di Tanah Perdikan Sembojan.

Dalam pada itu. ketika malam menjadi semakin dalam. Risang telah memasuki Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, maka mereka tidak lagi terlalu tergesa-gesa. Ternyata Tanah Perdikan Sembojan masih tetap tenang.

Tetapi demikian mereka memasuki bulak-bulak panjang di Tanah Perdikan, Risang segera teringat akan orang-orang Padepokan Watu Kuning yang mencegat mereka ketika mereka berangkat. Dengan nada tinggi Risang berkata, “Aku lupa memberikan pesan agar Kasadha atau siapapun yang akan datang ke Tanah Perdikan, tidak melalui jalan itu.”

Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk kecil. Tetapi Sambi Wulung kemudian berkata, “Bukankah Ki Rangga sudah mengetahui bahwa jalan itu berbahaya?”

“Ya. Mudah-mudahan teringat oleh Ki Rangga Kalokapraja sempat menceriterakan hal itu kepada mereka yang akan pergi ke Sembojan. Itupun jika Pangeran Gagak Baning mengijinkan.”

Sebenarnyalah, lima orang dari Padepokan Watu Kuning itu telah memberikan laporan kepada seorang berilmu tinggi yang bertugas mengawasi Tanah Perdikan sebelum pimpinan tertinggi Padepokan itu datang menemui Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang masih muda itu.

Dari kelima orang itu, tiga diantaranya terluka parah. Bahkan, seorang diantara mereka kemudian telah meninggal. Sedangkan kedua orang yang lain meskipun terluka, tetapi tidak terlalu parah. Sementara itu, tiga diantara kelima aekor kuda yang mereka bawa memang harus dibunuh ditempat karena kuda-kuda itu tidak akan mungkin dapat ditolong lagi.

Orang berilmu tinggi itu menggeram marah. Tetapi kenyataan itu telah terjadi.

“Kapan orang-orang itu akan pulang?“ bertanya Wira Gobang yang dipercaya untuk memimpin sekelompok orang mengamati Tanah Perdikan Sembojan dari gubug mereka disebuah hutan dilereng bukit kecil tetapi memang agak terpencil letaknya, justru diluar Tanah Perdikan Sembojan. “Menurut kata-kata yang mereka ucapkan, besok mereka akan kembali,“ jawab salah seorang dari mereka yang masih dapat memberikan keterangan.

“Baik,“ jawab Wira Gobang, “aku sendiri akan menunggu anak gila itu. Aku akan memaksanya mengakui kebesaran Padepokan Watu Kuning. Karena itu aku tidak akan membunuh mereka sebagaimana kau tidak dibunuhnya. Tetapi dengan demikian orang-orang Tanah Perdikan tidak lagi dapat menyombongkan diri, karena mereka akan melihat kenyataan. Anak itu akan menjadi cacat seumur hidupnya.” Demikianlah, maka Wira Gobang yang merasa memiliki ilmu yang tinggi itu telah memerintahkan lima orangnya yang terpilih untuk menyertainya. Dengan geram ia berkata, “Sebenarnya aku sendiri akan mampu melumpuhkan perlawanan mereka. Tetapi ada baiknya kalian melihat, bagaimana aku menghancurkan kesombongan seseorang.”

Wira Gobang itu ternyata tidak menunggu sampai esok. Ia menduga bahwa sebelum fajar orang-orang itu tentu sudah akan lewat. Bahkan katanya kemudian, “Aku tidak akan menunggu meskipun diluar Tanah Perdikan. Tetapi aku akan menyongsong mereka meski hampir sampai di Pajang sekalipun. Aku tidak mau kehilangan Orang yang telah menghina Padepokan Watu Kuning itu.”

Dengan demikian, maka Wira Gobang bersama lima orangnya yang terpilih telah menempuh perjalanan menuju ke arah Pajang. Mereka berniat untuk mencegat perjalanan kembali tiga orang yang telah berhasil menembus penjagaan lima orang dari Padepokan Watu Kuning.

Sementara itu, ternyata Kasadha bersama ibu dan bibinya serta seorang prajurit yang lain, sama sekali tidak memperhatikan kemungkinan untuk memilih jalan lain. Meskipun Kasadha juga mendengar keterangan Ki Rangga Kalokapraja bahwa perjalanan Risang telah dicegat oleh lima orang dari Padepokan Watu Kuning, namun mereka tidak berpikir, bahwa perjalanan merekapun akan mungkin dicegat pula.

Karena itu, maka mereka telah menempuh jalan yang terdekat menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Jalan yang juga langsung memasuki jalan dari Pajang ke Tanah Perdikan itu.

Adalah diluar perhitungan Kasadha, tetapi juga diluar perhitungan Wira Gobang, bahwa mereka akan bertemu sebelum fajar menyingsing. Justru karena Wira Gobang tidak saja menunggu, tetapi justru menyongsong orang yang disangkanya akan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan melalui jalan itu pula.

Ketika Wira Gobang memasuki sebuah bulak panjang, justru setelah ia menelusuri jalan yang langsung menuju ke Pajang, ia memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk berhenti. Telinganya yang tajam telah mendengar derap kaki beberapa ekor kuda dengan arah yang berlawanan dari perjalanannya.

“Mungkin mereka,“ berkata Wira Gobang.

Seorang pengikutnya yang bertubuh raksasapun berkata, “Ya. Agaknya memang mereka itu. Seharusnya kita mengajak salah seorang dari mereka yang telah mengenalinya.”

“Mereka akan mati diperjalanan,“ desis Wira Gobang. Lalu katanya, “Bukankah kita mempunyai mulut untuk bertanya. Tetapi seandainya mereka bukan orang-orang yang kita cari. mereka tidak akan kita ijinkan memasuki Tanah Perdikan Sembojan.”

Kelima orang pengikut Wira Gobang itu mengangguk-angguk. Seorang yang bertubuh agak gemuk dengan jambang lebat berkata, “Siapapun mereka, kita akan menyudahi.”

Demikianlah, sejenak kemudian, dalam keremangan malam mereka melihat beberapa orang berkuda mendekat. Langit menjadi semakin terang ketika bulan mulai nampak, meskipun tinggal sebagian karena bulan itu menjadi semakin tua.

Kasadha yang berkuda dipaling depan telah memberikan isyarat pula kepada ibu dan bibinya, sehingga kuda merekapun telah menjadi semakin lambat. Dengan nada datar Kasadha berkata, “Kita harus berhati-hati. Aku tidak sempat memikirkan kemungkinan untuk bertemu dengan orang-orang dari Padepokan Watu Kuning meskipun Ki Rangga Kalokapraja telah menceriterakan bahwa Risang juga telah dicegat ketika ia menuju ke Pajang.”

Ibunya yang kemudian berada disampingnya menyahut, “Jika benar mereka adalah orang-orang Watu Kuning, maka kita memang harus berhati-hati.”

“Kita tidak sempat mengambil jalan lain,“ berkata Kasadha kemudian.

“Ya,“ desis ibunya, “biarlah kita berjalan terus. Mudah-mudahan mereka bukan orang-orang Watu Kuning.”

Demikianlah, kuda-kuda itupun telah bergerak maju perlahan-lahan, sementara orang-orang Watu Kuning telah menghalangi jalan yang akan mereka lewati.

Dengan demikian, maka Kasadha dan ketiga orang yang bersamanya terpaksa berhenti beberapa langkah didepan orang-orang dan Padepokan Watu Kuning itu.

Kasadha yang ada dipaling depan, dengan nada rendah bertanya, “Ki Sanak. Kenapa kalian telah menutup jalan yang akan kami lalui? Apakah kalian mempunyai kepentingan dengan kami?”

“Siapakah kalian, dari mana dan akan pergi ke mana?“ bertanya Wira Gobang.

“Kami adalah orang-orang Bayat, Ki Sanak. Kami akan pergi ke Kademangan Pakis, disebelah Timur Tanah Perdikan Sembojan,“ jawab Kasadha, yang pernah mendengar nama Kademangan Pakis.

Tetapi sambil mengerutkan keningnya Wira Gobang itu bertanya, “Apakah kau orang dari Kademangan Pakis?”

“Bukan Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa kami orang-orang Bayat. Tetapi yang tinggal di Pakis adalah pamanku.”

“Siapakah nama pamanmu itu?“ bertanya Wira Gobang.

Kasadha memang menjadi agak ragu. Tetapi kemudian ia menjawab, “Namanya Ki Partawandawa.”

Wira Gobang mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa sambil berkata, “Kau berbohong Ki Sanak. Aku belum pernah mendengar nama Ki Partawandawa.”

“Bukankah itu wajar jika kau tidak mengetahui nama semua orang Kademangan Pakis?“ sahut Kasadha.

“Tidak Ki Sanak. Sama sekali tidak wajar. Aku mengenali semua orang dari Kademangan Pakis karena aku memang pernah tinggal di Kademangan itu.”

Kasadha termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian ia berkata, “Entahlah Ki Sanak. Kenapa kau belum mengenal pamanku yang tinggal di Pakis. Namun bagaimanapun juga, aku tidak akan mengurungkan niatku untuk mengunjunginya hanya karena kau tidak mengenalnya. Karena itu Ki Sanak. Aku minta agar kalian memberi jalan kepadaku agar kami dapat lewat.”

“Tidak. Kami tidak dapat memberi jalan kepada kalian, karena kami tahu, niat kalian bukan niat yang baik, karena kalian telah menipu kami.”

“Ki Sanak,“ berkata Kasadha, “lihat, kami menempuh perjalanan jauh bersama dua orang perempuan. Karena itu, aku harap kalian dapat mengerti kesungguhan kami. Jika aku berniat buruk, tentu aku tidak akan mengajak dua orang perempuan.”

Wira Gobang memandang kedua orang perempuan yang berkuda dibelakang Kasadha. Meskipun agak ragu, tetapi Wira Gobangpun berkata, “Mereka bukan perempuan kebanyakan. Aku mengenal bagaimana seorang perempuan kebanyakan naik seekor kuda.”

Kasadha mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu seorang perempuan kebanyakan naik kuda?”

“Mereka hanya berani naik jika kuda itu dituntun. Merekapun tidak mengenakan pakaian seperti itu. Karena itu, maka perempuan-perempuan itu tentu perempuan yang sudah terbiasa mengembara, apakah mereka pelaku kejahatan atau pemburu kejahatan. Tetapi bagi kami sama saja.”

“Ki Sanak,“ bertanya Kasadha kemudian, “apakah maksudmu sebenarnya. Katakanlah, agar kami tidak berteka-teki.”

“Kalian tidak boleh meneruskan perjalanan. Kalian harus kembali ke Bayat. Kami akan mengantar kalian sampai keperbatasan kota Pajang. Jika kalian mencoba untuk mengelabuhi kami dan menempuh jalan lain ke Tanah Perdikan Sembojan, maka kalian akan mati. Karena kami tidak akan segan membunuh siapapun yang menentang paugeran yang kami buat.”

“Paugeran apa? Kau kira kau berhak membuat paugeran?“ bertanya Kasadha pula.

“Ya. Kami berhak membuat paugeran. Ketetapan hak itu ada ditajamnya pedang kami,“ jawab Wira Gobang.

Tetapi Kasadha menjawab, “Jika demikian, maka paugeran yang kau buat mempunyai nilai sama dengan tajamnya pedang. Jika kalian merasa berhak menentukan paugeran itu akan kami patahkan dengan tajamnya pedang pula.”

“Nah, bukankah dugaan kami benar, bahwa kedua perempuan itu bukan perempuan kebanyakan, mereka sama sekali tidak menjadi ketakutan melihat kami dan mendengarkan pembicaraan kita.”

“Aku tidak berkeberatan,“ berkata ibu Kasadha, “mungkin kami memang bukan perempuan kebanyakan karena kami memang tidak menjadi ketakutan. Tetapi sebenarnya kami tidak ingin bertengkar, meskipun kami tidak akan ingkar jika pertengkaran itu dipaksakan atas kami. Kami akan melayani apa saja yang akan kalian lakukan.”

“Lihat, kami berenam. Diantara kami terdapat aku, Wira Gobang. Orang-orang disekitar Madiun menjadi ketakutan mendengar namaku. Tetapi agaknya kalian belum mengenal kami.”

“Jadi kalian berasal dari Madiun?“ bertanya Kasadha.

“Aku tidak mempunyai sangkut paut dengan Madiun,“ jawab Wira Gobang.

“Jika demikian kalian tentu datang dari Padepokan Watu Kuning,“ Kasadha mulai menebak.

Wira gobang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Kau dapat berkata apa saja tentang kami.”

“Kami tidak akan salah,“ sahut ibu Kasadha, “tentu hanya orang-orang Watu Kuning sajalah yang mampu berpikir cemerlang dalam kelicikannya. Hanya orang Watu Kuning yang dengan cepat memanfaatkan wafatnya Pangeran Benawa serta kemelut yang terjadi dalam hubungan antara Pajang dan Madiun. Karena itu. maka aku berani memastikan bahwa kalian tentu orang-orang Watu Kuning. Kalian tentu mendapat tugas untuk mengurung Tanah Perdikan Sembojan agar tidak dapat berhubungan dengan orang luar.”

“Baiklah,“ berkata Wira Gobang, “kita tidak usah saling berpura-pura. Aku memang orang dari Perguruan Watu Kuning. Dan kalian tentu orang-orang tanah Perdikan Sembojan.”

“Tidak,“ jawab ibu Kasadha, “aku tetap berkeberatan disebut orang manapun juga. karena aku memang orang Bayat.”

“Persetan,“ geram Wira Gobang, “pokoknya kalian tidak boleh meneruskan perjalanan, apalagi ke Tanah Perdikan Sembojan.“

“Aku tidak akan menghiraukan laranganmu. Kami berempat akan tetap meneruskan perjalanan,“ berkata Kasadha.

Wira Gobang yang mempunyai pengalaman yang luas itupun segera dapat menilai keempat orang itu. Apapun yang dikatakannya tidak akan mampu memaksa mereka kembali kecuali dengan kekerasan. Karena itu maka Wira Gobang berkata, “Baiklah. Jika kalian memaksa, maka kalian akan mati. Jika saja kalian orang Sembojan yang baru saja kembali dari Pajang, maka kami ingin membiarkan kalian hidup dan mengabarkan kekuatan dan kemampuan orang-orang Watu Kuning kepada orang-orang Sembojan. Tetapi karena kalian mengaku bukan orang Tanah Perdikan Sembojan, maka kalian harus mati disini. Kami tidak memerlukan kalian, sementara kalian akan dapat berbuat buruk terhadap rencana kami atas Tanah Perdikan Sembojan.”

Kasadhapun kemudian menyahut, “Apapun yang ingin kalian lakukan kami sudah menentukan niat kami untuk berjalan terus.”

Wira Gobangpun kemudian telah memberi isyarat kepada orang-orangnya agar mereka turun dari kuda mereka. Mereka akan menghadapi keempat orang itu tidak diatas punggung kuda.

Ternyata Kasadhapun telah berbuat hal yang sama. Dengan demikian maka sepuluh orang telah terbagi menjadi dua kelompok yang saling berhadapan. Satu kelompok berjumlah enam orang sedangkan kelompok yang lain berjumlah ampat orang. Termasuk dua orang perempuan didalamnya. Namun kedua orang perempuan itu adalah Warsi dan sepupunya.

Namun Warsi sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaannya. Dengan serta merta iapun telah bersiap menghadapi Wira Gobang, karena ia tahu bahwa Wira Gobang tentu memiliki ilmu yang tinggi, sebagaimana dikatakannya.

Tetapi ternyata Wira Gobang merasa terhina. Dengan lantang ia berkata, “He, kenapa aku harus berhadapan dengan betina ini?”

Warsilah yang menjawab tidak kalah lantangnya, “Kau yang telah menghina aku dengan mengatakan bahwa aku bukan perempuan kebanyakan. Kau kira aku perempuan apa? Karena itu, maka biarlah kita berhadapan untuk menyalurkan perasaan kita masing-masing. Kita sudah saling merasa tersinggung. Nah, kita selesaikan persoalan kita dengan tuntas.”

Wira Gobang itu menggeram. Katanya, “Aku justru semakin yakin bahwa kau termasuk salah seorang dari sedikit perempuan liar yang berkeliaran di bulak-bulak panjang dan di medan-medan pertempuran. Baiklah. Aku akan mengurangi setidak-tidaknya dua orang perempuan diantara kalian.”

Warsi tiba-tiba tertawa. Tetapi ketika Kasadha berpaling kepadanya, tiba-tiba saja Warsi menutup mulutnya sambil berdesis, “Maafkan aku Kasadha. Kebiasaan ini kadang-kadang muncul tanpa terkendali.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia justru merasa iba terhadap ibunya yang selalu dibayangi oleh kesalahan-kesalahannya masa lampau, sehingga disetiap langkahnya, bayangan itu selalu membuatnya cemas bahwa ia telah membuat kesalahan lagi.

Berbeda dengan tanggapan Kasadha, maka Wira Gobang merasa bahwa perempuan itu telah mentertawa-kannya dan bahkan mempermainkannya. Karena itu, iapun menggeram, “Perempuan iblis. Kaulah yang akan mati lebih dahulu dari semua kawan-kawanmu.”

Warsi tidak menjawab lagi. Namun hampir diluar sadarnya ia memandang bulan tua yang sudah bertengger dilangit. Bagaimanapun juga Warsi tidak dapat memisahkan dirinya dengan sinar bulan jika bulan mulai nampak. Meskipun disiang hari, Warsi tetap seorang yang berilmu tinggi, tetapi sinar bulan itu benar-benar telah memberikan pengaruh jiwani kepadanya.

Demikianlah, sejenak kemudian maka Wira Gobang itupun telah berteriak, “Selesaikan semua orang diantara jalan ini melihat ampat sosok mayat terkapar dengan dada yang menganga.”

“Itu sangat mengerikan,“ sahut Kasadha, “tetapi lebih mengerikan lagi jika enam sosok terbaring disini.”

Wira Gobang itu menjadi semakin marah. Karena itu, maka iapun segera bergeser bersiap untuk menyerang Warsi sambil berkata, “Bukan kebiasaanku berkelahi dengan perempuan, tetapi jika ia sudah menghina kebesaran namaku, maka apaboleh buat.”

mereka. Biarlah besok orang pertama kali lewat

Warsi itupun telah bersiap pula. Ketika ia berdiri agak miring, sementara kedua kakinya merenggang dan sedikit merendah pada lututnya, serta kedua tangannya dengan jari-jari terbuka bersilang didepan dadanya, maka Wira Gobangpun melihat, bahwa perempuan itu bukan perempuan yang kurang waras dan berangan-angan menjadi seorang yang berilmu tinggi. Tetapi perempuan itu benar-benar seorang yang berilmu.

Demikian, maka sejenak kemudian, Wira Gobangpun telah mulai bertempur melawan Warsi. Keduanya nampaknya masih harus menjajagi kemampuan lawan, sehingga keduanya tidak berani tergesa-gesa memasuki jarak yang berbahaya.

Tetapi semakin lama perempuan itupun menjadi semakin cepat. Wira Gobang mulai berloncatan menyerang dengan tangannya menggapai tubuh lawannya. Tetapi Warsipun dengan tangkas telah menghindar dan bahkan membalas menyerang, meskipun serangan-serangan mereka belum merupakan serangan-serangan yang dapat menentukan.

Sementara itu, lima orang kawan Wira Gobang telah bergerak pula. Mereka menghadapi tiga orang yang telah bersiap pula. Kasadha dan kawannya telah bersiap sepenuhnya. Demikian pula bibi Kasadha. Karena lawan-lawan mereka telah menggenggam senjata, maka mereka bertiagapun telah bersenjata pula.

Dengan demikian maka sejenak kemudian, telah terjadi pertempuran yang sengit di bulak persawahan itu. Kasadha dan bibinya telah memancing masing-masing duaorang lawan, sementara kawan Kasadha itu Bertempur melawan seorang diantara pengikut Wira Gobang itu.

Ternyata mereka harus mengakui kenyataan yang mereda hadapi. Anak muda itu tidak mudah untuk dapat ditaklukkan meskipun oleh dua orang sekalipun. Sementara itu, perempuan yang harus bertempur melawan dua orang itupun ternyata sangat tangguh sehingga tidak segera dapat ditundukkan.

Wira Gobangpun harus melihat kenyataan pula. Perempuan yang dihadapinya memang seorang perempuan yang berilmu tinggi. Meskipun perempuan itu nampak mulai menjadi tua, namun ia masih mampu bergerak dengan tangkas dan cepat.

Bahkan semakin lama Wira Gobang itupun menjadi semakin berdebar. Bagaimanapun juga perempuan itu berusaha menyembunyikan unsur-unsur geraknya, tetapi Wira Gobang melihat, betapa kerasnya dasar-dasar unsur gerak yang mengalasi ilmu perempuan itu.

Namun sebelum Wira Gobang mengatakan sesuatu tentang ilmu perempuan itu, tiba-tiba saja ia mendengar perempuan itu berkata diantara derap kakinya yang dengan tangkas menggelepar melontarkan tubuhnya yang seakan-akan menjadi sangat ringan, “Ki Sanak. Aku melihat kau mempergunakan ilmu dasar bukan dari Perguruan Watu Kuning. Tetapi kau menguasai keturunan ilmu dari Perguruan Kumara Kala.”

“Iblis betina kau. Kau kira aku tidak melihat ilmu Kalamerta dalam permainanmu yang kasar itu.”

Wajah Warsi menjadi panas. Meskipun Kasadha sudah mengetahui akan hal itu, tetapi ia tidak ingin anaknya mendengarnya lagi hubungannya dengan gerombolan Kalamerta dimasa lampaunya. Tetapi ia tidak dapat ingkar. Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka dasar ilmu masing-masing justru menjadi semakin jelas.

Tetapi Warsi tidak ingin terpengaruh karenanya.

Iapun kemudian memutuskan, bahwa jika Kasadha melihat kekasarannya, ia tidak akan mengingkarinya. Apalagi hal itu memang sudah diketahui oleh Kasadha sebelumnya.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Wira Gobang dan Warsi itupun semakin lama memang menjadi semakin keras. Pada dasarnya kedua ilmu itu memiliki sumber yang sama. Namun perkembangannyalah yang membuat keduanya menjadi berbeda. Tetapi watak dasar dari ilmu yang keras dan kasar itu masih nampak.

Meskipun demikian, bagaimanapun juga, ilmu itu adalah ilmu yang sangat berbahaya.

Dalam pada itu, Wira Gobangpun kemudian berkata lantang, “Ternyata aku telah berhadapan dengan sisa gerombolan Kalamerta. Tetapi sebentar lagi sisa-sisa itupun akan segera terbabat habis. Ilmu yang termasuk ilmu hitam itu memang harus dimusnakan sampai tuntas.”

“Jangan sebut ilmu hitam atau putih. Semuanya tergantung kepada orang yang memilikinya. Ilmu yang diturunkan oleh Resi Ragageni yang dianggap orang yang paling bersih dari perguruan tiga bersaudara itu, akhirnya telah merusakkan citra kebersihan Resi Ragageni sendiri, Empat muridnya telah berkhianat dan menjadi bajak laut yang paling ditakuti. Nah, bagaimana jika aku mempergunakan ilmu yang sama dengan orang-orang gerombolan Kalamerta. tetapi aku pergunakan untuk memerangi kejahatan sebagaimana akan dilakukan oleh orang-orang Padepokan Watu Kuning?”

“Tetapi kau hisap ilmunya diantara bau kemenyan ditempat-tempat yang dihuni genderuwo dan thethekan, “Wira Gobang hampir berteriak.

“Omong kosong,“ geram Warsi, “aku tekuni ilmuku dalam sanggar dengan latihan-latihan yang berat. Tetapi aku tidak ingkar, bahwa tujuan semula mengusai ilmu itu memang untuk melakukan kejahatan,“ Warsi berhenti sejenak. Ia meloncat mengelakkan serangan Wira Gobang yang hampir saja membungkamnya, untuk selamanya karena ujung parang Wira Gobang yang besar itu mematuk kearah lehernya..

Namun kemudian ia melanjutkan pula, “Tetapi apakah kau kira aku tidak tahu, untuk apa sekelompok orang berguru dan menekuni ilmu dari perguruan Kumara Kala? Katakan, apakah Kumara Kala ditekuni dalam kemelutnya asap kemenyan di sarang genderuwo dan thethekan?”

“Setan kau,“ bentak Wira Gobang sambil meloncat menyerang. Parangnya yang besar itu berputar kemudian menebas kearah lambung.

Tetapi Warsi masih mampu mengelak dengan sebuah loncatan panjang. Namun Wira Gobang tidak melepaskannya. Dengan cepat ia memburunya. Parangnyapun terayun-ayun mengerikan.

Warsi akhirnya harus mengakui bahwa ia tidak dapat melawan Wira Gobang yang kuat dan tangkas dengan parangnya itu hanya dengan tangannya. Karena itu, maka Warsi terpaksa harus mengurai senjatanya lagi. Meskipun ia sudah berniat untuk tidak mempergunakannya, tetapi ketika ia berangkat ke Tanah Perdikan Sembojan yang terancam oleh kekuatan yang besar dari Padepokan Watu Kuning itu, maka senjatanya itupun telah dibawanya pula.

Ketika ia semakin terdesak oleh parang Wira Gobang, maka tiba-tiba saja terdengar suara berdesing.

Wira Gobang meloncat surut. Dengan jantung yang berdebaran ia melihat perempuan itu telah memutar seutas rantai yang terbuat dari baja pilihan.

Wira Gobang itupun menggeram. Dalam keramangan cahaya bulan tua ia melihat, bagaimana perempuan itu benar-benar menguasai senjatanya yang kemudian berputaran. Demikian cepat, seolah-olah pada putaran rantai itu telah timbul kabut yang keputih-putihan karena pantulan cahaya bulan.

Sebenarnyalah bahwa pengaruh cahaya bulan itu benar-benar telah membuat Warsi seakan-akan menajdi semakin garang. Ia tidak saja menunggu lawannya menyerang untuk dihindarinya. Tetapi dengan rantainya itu, Warsi justru telah menyerang lawannya dengan tangkas dan kuat.

Wira Gobang mengumpat kasar. Ia sadar, bahwa ia harus bertempur diantara hidup dan mati, sebagaimana perempuan itu sendiri. Ia tahu bahwa mereka yang ilmunya dibasahi oleh landasan ilmu sebagaimana dikuasainya, jarang sekali meleapskan lawan-lawannya dalam keadaan hidup.

Itulah sebabnya, maka Wira Gobang kemudian tidak sempat lagi memperhatikan orang-orangnya yang juga sedang bertempur, karena ia harus memusatkan perhatiannya kepada perempuan yang sudah mendekati hari-hari tuanya itu. Namun yang ternyata masih memiliki kemampuan bertempur sangat tinggi.

Sebenarnyalah bahwa ujung rantai Warsi bagaikan kepala seekor ular yang sangat buas. Bahkan seakan-akan mempunyai sepasang mata yang sangat tajam, sehingga setiap kali mematuk ke sasaran yang berbahaya. Bahkan hampir saja mematuk mata Wira Gobang.

Sementara itu Kasadha, bibinya dan seorang kawannya masih bertempur dengan sengitnya pula. Dua orang pengikut Wira Gobang yang bertempur melawan bibi Kasadha semakin menjadi heran, bahwa setelah bertempur beberapa lama, mereka sama sekali tidak mampu menguasai perempuan itu. Bahkan sekali-kali keduanya harus berloncatan menjauh untuk mengambil jarak, jika keduanya menjadi kebingungan.

Kasadha telah bertempur dengan garang pula. Pedangnya berputaran semakin cepat. Ketika seorang lawannya meloncat menyerang sambil mengacukan senjatanya kearah dada Kasadha, maka dengan cepat Kasadha menghindar. Ketika senjata lawannya terjulur. Kasadha justru merendah hampir berjongkok pada sebelah lututnya. Tetapi sementara itu tangannya telah menjulurkan pedangnya pula menggapai lambung lawannya itu. Lawannya berteriak nyaring ketika pedih terasa menggigit lambung. Dengan cepat ia telah meloncat mundur. Tetapi Kasadha tidak sempat memburu, karena lawannya yang seorang lagi telah menyerangnya pula. Pedangnya terayun mendatar menebas kearah leher.

Kasadha dengan cepat bangkit dan meloncat mundur. Ketika lawannya itu menyerangnya pula dengan tusukan kearah jantung, maka Kasadha telah menangkis serangan itu. Dengan putaran yang cepat dan kuat, hampir saja pedang lawannya itu terlempar. Untunglah betapa pedih telapak tangan lawannya, namun senjata lawannya itu masih dapat diselamatkan, meskipun lawannya itu kemudian harus melangkah surut.

Kasadha juga tidak memburu. Ia harus memperhatikan lawannya yang seorang lagi, yang menjadi semakin marah karena lambungnya telah terluka meskipun tidak begitu dalam.

Dengan demikian maka pertempuran diantara merekapun menjadi semakin sengit. Senjata mereka berputaran, beradu dengan dentang yang keras, sehingga bunga apipun berhamburan. Kaki-kaki mereka yang terlibat dalam pertempuran itu berloncatan dengan cepat. Sementara mulut kedua orang lawan Kasadha itu mengumpat beberapa kali dengan kasarnya.

Buku 50

KEDUA orang pengikut Wira Gobang yang bertempur melawan bibi Kasadha itupun menjadi gelisah. Perempuan itu terlalu tangkas. Ia dapat bergerak dengan cepat dan kadang-kadang bahkan tidak terduga-duga. Senjatanya berputaran dengan cepat. Terayun deras dan sekali-sekali menebas mendatar. Bahkan kemudian mematuk kearah jantung. Pedang yang hanya sehelai itu seakan telah berubah menjadi dua, tiga bahkan lima helai pedang yang bergerak bersama-sama.

“Iblis betina,“ geram salah seorang lawan bibi Kasadha itu.

Tetapi bibi Kasadha itu tidak menghiraukannya. Pedangnya justru semakin cepat berputar. Ketika seorang lawannya terlambat menghindar, maka pedang yang menebas mendatar itu telah menyentuh lengannya, sehingga sebuah luka telah menganga.

Orang yang terluka lengannya itu megumpat kasar. Tetapi luka itu tidak membuat perlawanannya menjadi surut. Seperti seekor harimau yang terluka, orang itu justru menjadi semakin garang. Kemarahan dan dendam telah membakar kepalanya.

Dalam pada itu, kawan Kasadha, seorang diantara para pemimpin kelompok yang banyak mengerti tentang pergo lakan jiwa Kasadha telah bertempur dengan keras pula. Untunglah bahwa kadang-kadang ia mendapat kesempatan untuk berlatih khusus dengan Kasadha sehingga prajurit itu memiliki pengalaman yang lebih luas tentang ilmu kanuragan. Ia tidak saja memiliki kemampuan seorang prajurit dalam perang gelar. Tetapi ilmunya secara pribadipun telah banyak meningkat.

Disisi lain, Wira Gobangpun harus bertempur dengan mengerahkan kemampuannya. Bahkan ia merasa dirinya seorang yang berilmu tinggi, harus melihat kenyataan, bahwa perempuan itupun memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan ia tidak mengira sama sekali,bahwaia’akanbertem-pur dengan seorang yang memiliki landasan dasar ilmu yang sama. Keras dan bahkan kasar. Namun perkembangannya telah membuat ilmu itu seakan-akan terpisah, meskipun wataknya masih nampak.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh Warsi. Ilmu kanuragan yang tidak jauh berbeda dengan senjata itu arti dan nilainya tergantung pada orang yang memiliki dan mempergunakannya, jika ilmu itu dipelajari dengan cara yang wajar. Bekerja keras dan berlatih dengan tekun.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Warsi dan Wira Gobang itu semakin lama menjadi semakin rumit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka. Bahkan mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Warsi memang merasakan pengaruh perang tandingnya yang terakhir melawan Iswari sehingga ilmunya tidak dapat berkembang lagi. Tetapi dengan ilmu dan kemampuan yang telah dikuasainya, maka ia yakin akan dapat menyelesaikan lawannya yang juga berilmu tinggi itu.

Tetapi Wira Gobang bukan orang yang mudah menyerah pada keadaan. Dengan keras dan kasar ia melawan setiap serangan. Benturan-benturan telah terjadi. Kedua-duanya melandasi kemampuan mereka dengan landasan yang memang keras dan kasar. Parang Wira Gobang berputaran menggetarkan udara disekitarnya. Namun rantai Warsipun bagaikan perisai yang tidak tertembus mengelilingi tubuhnya. Sentuhan-sentuhan antara rantai baja dengan parang Wira Gobang telah memercikkan bunga-bunga api yang membungai gelapnya malam.

Tetapi ujung rantai Warsi yang bagaikan kepala ular itu mampu bergerak lebih cepat dari ayunan parang Wira Gobang. Selagi parang itu terayun menebas kearah leher, Warsi sempat mengelak. Sambil merendah Warsi bergeser selangkah kesamping. Namun bersamaan dengan itu, ujung rantainya meluncur mematuk dengan cepatnya mengenai lambung Wira Gobang.

Wira Gobang meloncat beberapa langkah surut. Perasaan pedih dan nyeri telah menyengat lambungnya. Bahkan lambungnya itupun kemudian telah menitikkan darah. Ketika tangannya meraba, maka cairan hangat itu telah tersentuh jari-jarinya.

Wira Gobang mengumpat kasar. Tetapi ia masih belum kalah. Ia masih mampu-mengatasi perasaan nyeri itu. Bahkan dengan demikian Wira Gobang itu justru menjadi semakin garang.

Tetapi ternyata bahwa Warsi yang pernah menempa diri justru karena nafasnya ingin menguasai Tanah Perdikan Sembojan itu, memiliki pengalaman yang lebih luas dari Wira Gobang. Ilmunya berkembang lebih jauh sehingga Warsi mampu menunjukkan unsur-unsur gerak yang sama sekali tidak dikenal oleh Wira Gobang. Sementara itu, Warsi lebih banyak dapat mengenali unsur-unsur gerak pada ilmu lawannya. Karena itu, maka Warsi mempunyai kesempatan lebih besar untuk memotong dan melawan ilmu Wira Gobang. Sementara itu kekuatan cadangan didalam dirinya yang diungkapkan sebagai tenaga dalam-pun Warsi masih mempunyai kelebihan.

Dengan demikian, maka Wira Gobang itupun semakin lama menjadi semakin terdesak. Beberapa kali ia harus berloncatan surut. Sementara Warsi yang bertempur disiraman sinar bulan yang semakin tinggi itu nampak menjadi semakin garang. Perempuan itu tidak lagi menghiraukan tanggapan anaknya atas unsur-unsur geraknya. Ia tidak akan dapat mengatasi Wira Gobang jika ia terlalu membatasi geraknya untuk menghindari kekerasan dan kekasaran yang nampak pada unsur-unsur geraknya itu.

Tetapi Kasadha memang tidak sempat memperhatikan bagaimana ibunya bertempur. Jika sekali-sekali ia sempat melihat pertempuran itu, ia hanya dapat mengambil kesimpulan bahwa ibunya akan dapat mempertahankan dirinya sendiri.

Meskipun demikian Kasadha tidak dapat membiarkan ibunya bertempur seorang diri melawan orang berilmu tinggi itu. Bagaimanapun juga ibunya sudah menjadi semakin tua.

Karena itu, maka Kasadha berusaha untuk dengan secepatnya menyelesaikan kedua lawannya itu. Sehingga karena itu, maka iapun’telah mengerahkan segenap kemampuannya.

Pertempuranpun berlangsung dengan kerasnya. Ujung pedang Kasadha ternyata telah berhasil sekali lagi menggores lawannya yang telah dilukainya itu. Sehingga karena itu, maka orang itupun menjadi semakin lemah. Darah yang mengalir dari lukanya itu telah membuat tenaganya menyusut dengan cepat.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Kasadha sebaik-baiknya. Beberapa kali Kasadha justru mencari kesempatan untuk menyerang orang yang menjadi semakin lemah itu.

Tetapi ternyata bahwa kesempatan yang lain telah terbuka pula. Ketika lawannya menyerang dengan cepat dan mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya untuk menebas kearah lehernya, Kasadha sempat meloncat surut. Demikian senjata lawannya terayun, Kasadha justru telah memukul senjata itu dalam ayunan yang searah. Kasadhapun telah mengerahkan kekuatannya pula, sehingga karena itu, maka sentuhan senjata Kasadha yang membentur senjata lawannya pada arah yang sama, seakan-akan telah mendorong lawannya sehingga lawannya itu telah kehilangan keseimbangannya dan terlempar beberapa langkah. Betapapun ia berusaha, tetapi orang itu telah terjatuh dan berguling beberapa kali justru untuk mengambil jarak.

Dengan cepat orang itu bangkit berdiri. Tetapi ia sudah terlambat. Kawannya yang telah terluka, yang berusaha membantunya telah jatuh terjerembab. Satu lagi luka telah menganga didadanya.

Meskipun orang itu masih berusaha untuk bangkit, tetapi ternyata ia sudah tidak berdaya lagi.

Kawannya termangu-mangu sejenak. Berdua ia tidak mampu mengalahkan Kasadha. Apalagi seorang diri.

Tetapi ketika ia melihat Wira Gobang masih bertempur dengan sengitnya, maka iapun telah menggeretakkan giginya pula. Sebagai seorang kepercayaan Wira Gobang ia tidak boleh terlalu mudah merasa kalah.

Dengan demikian, maka iapun telah berteriak nyaring sambil melompat menyerang.

Tetapi kegelisahan didalam dirinya membuatnya tidak Tagi mampu memusatkan nalar budinya.

Apalagi ketika kemudian ia mendengar seorang kawannya berteriak keras melontarkan kemarahan yang harus tertahan didadanya. Sebuah tusukan yang cepat, telah terhunjam didadanya itu. Ketika pedang bibi Kasadha itu ditariknya, maka orang itu terhuyung-huyung sejenak. Namun ketika ia berteriak keras-keras mengumpat marah, maka darah bagaikan dihentakkan dari lukanya itu. Sementara tubuhnyapun kemudian jatuh terhempas di tanah.

Seorang dari lawan bibi Kasadha telah jatuh. Meskipun ia masih tetap bernafas, namun sulit baginya untuk dapat bangkit lagi sebagaimana lawan Kasadha yang seorang.

Tetapi yang kemudian menentukan segala-galanya adalah pertempuran antara Warsi melawan Wira Gobang. Semakin lama Wira Gobang memang menjadi semakin terdesak. Ujung rantai Warsi sekali lagi telah mengenainya. Bukan saja mematuk tubuh Wira Gobang. Tetapi rantai baja itu telah terhempas dilambungnya. Hentakan sendai pancing, bukan saja membuat tulang-tulangnya bagaikan retak, tetapi tarikan yang menghentak dari rantai itu telah tergores mengoyak pakaian dan kulit lambungnya.

Wira Gobang berteriak keras menahan sakit yang menggigit lambungnya itu. Namun teriakan itu terputus ketika sekali lagi rantai Warsi tanpa dapat dihindari dan ditangkisnya, terjulur kelehernya. Rantai itu memang seperti tubuh seekor ular yang ganas. Dengan cepat rantai itu membelit leher Wira Gobang.

Wira Gobang yang merasa tidak akan dapat mengurai rantai itu dengan cepat, ternyata masih juga mampu mengambil sikap. Ketika rantai itu ditarik dengan satu hentakan, Wira Gobang sama sekali tidak melawan. Ia justru mengikut arah tarikan itu. Namun demikian ia bergerak semakin dekat dengan tubuh Warsi yang menariknya, Wira Gobang telah mengayunkan parangnya.

Warsi memang terkejut. Parang itu ternyata telah menyentuh tangannya. Segores luka menyilang diatas pergelangannya.

Tetapi dengan cepat Warsi melepaskan rantai itu dan menangkapnya dengan tangannya yang lain. Warsi tidak menarik lagi rantai itu, tetapi ia meloncat kesamping.

Waktu yang sekejap itu sempat dipergunakan oleh Wira Gobang dengan baik. Sambil berputar ia melepas rantai yang melilit lehernya. Tetapi ia terlambat untuk menghindar ketika tangan Warsi terayun dengan derasnya. Jari-jarinya yang merapat terbuka telah menghantam tengkuk Wira Gobang yang baru berhenti berputar.

Tetapi tangan Warsi yang telah terluka diatas pergelangannya itu tidak melontarkan tenaganya sepenuhnya. Warsi tidak ingin lukanya itu menyemburkan darah, sementara tangannya yang lain tengah memegangi rantainya yang baru saja terurai dari leher Wira Gobang.

Wira Gobang memang terhuyung. Tetapi ia tidak jatuh tertelungkup. Bahkan ia sempat menjulurkan pedangnya menyentuh lambung Warsi.

Meskipun hanya segores kecil, tetapi kemarahan perempuan itu benar-benar telah membakar jantungnya.

Karena itu hampir diluar kendali nalarnya, bahkan seolah-olah kegarangan Warsi telah kambuh kembali, maka tiba-tiba tangannya yang memegang rantainya itupun bergetar. Ujung rantainyapun menggelepar dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata mematuk dada Wira Gobang.

Terdengar Wira Gobang berteriak nyaring. Orang itupun menggeliat sambil melangkah surut. Terasa dadanya bagaikan disengat bara.

Tetapi Warsi yang sangat marah itu tidak melepaskan lawannya yang telah melukai tangan dan lambungnya. Sekali lagi rantainya menggelepar menampar kening.

Wira Gobang berteriak skalilagi. Tetapi keningnya seakan-akan telah pecah. Matanyapun menjadi gelap dan sejenak kemudian Wira Gobang itu terpelanting jatuh.

Ternyata darah telah mengalir dari luka dikeningnya itu.

Warsi berdiri termangu-mangu. Dipeganginya rantainya pada pangkal dan ujung. Wajahnya masih nampak tegang.

Tetapi sejenak kemudian Warsi itupun menarik nafas dalam-dalam. Wira Gobang agaknya menjadi pingsan. Sementara itu, orang-orangnya yang masih sempat bertempur telah kehilangan keberaniannya. Ketika kemudian Kasadha memberi kesempatan kepada mereka untuk menyerah, maka merekapun telah meletakkan senjata mereka.

Kasadhapun kemudian melangkah mendekati ibunya yang masih berdiri termangu-mangu. Ketika Kasadha itu kemudian berdiri disisinya, maka Warsi itupun berdesis, “Maafkan ibumu Kasadha.”

“Kenapa?“ bertanya Kasadha.

“Ibumu memang bukan seorang yang lembut. Dalam keadaan yang memaksa, maka kau telah melihat, betapa kasarnya ilmu yang aku kuasai.”

“Tetapi kita sedang mempertahankan diri ibu. Bukankah kita tidak berdiri dipihak yang bersalah?“ bertanya Kasadha. Lalu katanya, “Apapun yang kita lakukan, kita berhak untuk membela diri, melindungi diri kita sendiri. Kita tidak sedang merampok atau menyamun atau perbuatan-perbuatan lain yang menyalahi paugeran Pajang dan paugeran hidup.”

Ibunya mengangguk-angguk. Tetapi kemudian dengan nada dalam ia bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika dengan ilmu yang kasar ini ibu ikut mempertahankan Tanah Perdikan Sembojan?”

“Tidak seorangpun akan mencela ibu. Bukankah ibu berniat baik sehingga ibu telah mengorbankan waktu, tenaga dan bahkan mempertaruhkan nyawa untuk kebaikan Tanah Perdikan Sembojan?“ sahut Kasadha.

Ibunya mengangguk-angguk kecil.

Namun dalam pada itu, bibi Kasadha itupun berkata, “Sebaiknya lukamu diobati meskipun tidak parah. Tetapi darah itu harus dipampatkan. Karena itu sebaiknya luka itu diobati lebih dahulu.”

Warsi memang membawa obat untuk memampatkan luka dalam sebuah bumbung kecil. Ditaburkannya obat itu pada lukanya sehingga darahpun menjadi pampat.

Sementara ibu Kasadha dibantu oleh bibinya, maka Kasadha berkata kepada orang-orang yang telah menyerah, “Kami tidak akan membunuh kalian. Seandainya ada diantara kalian yang terbunuh, bukan niat kami. Tetapi tentu merupakan peringatan bagi kalian, bahwa kalian tidak berhak berbuat sebagaimana kalian lakukan. Jika kalian sempat memberikan laporan kepada pemimpin Padepokan Watu Kuning, maka katakan apa yang telah terjadi. Kami akan meneruskan perjalanan kami ke Kademangan Pakis seperti yang sudah aku katakan kepada kalian.”

Orang-orang yang masih tersisa itu mengangguk.

“Nah, sampaikan salamku kepada pemimpin Padepokan Watu Kuning,“ berkata Kasadha kemudian.

Orang-orang itu mengangguk lagi.

“He, kenapa kalian hanya mengangguk-angguk saja? Jawab pesan-pesan kami itu,“ bentak Kasadha.

“Baik, baik Ki Sanak,“ jawab salah seorang dari mereka, “kami akan kembali ke Padepokan Sela Jene untuk memberikan laporan.”

“Padepokan Sela Jene?“ bertanya Kasadha.

“Ya, Padepokan Sela Jene. Maksudku, Padepokan Sela Kuning, eh, Sela Watu, eh, Watu Kuning,“ orang itu menjadi gagap.

“Apapun namanya, tetapi aku tahu Padepokan yang kau maksud,“ berkata Kasadha kemudian.

Sejenak kemudian, maka setelah membenahi diri, maka iring-iringan itupun melanjutkan perjalanan. Pemimpin kelompok tertua dari antara para prajurit Kasadha yang ikut bersamanya itu memang juga terluka meskipun hanya segores kecil. Tetapi luka-lukanya telah menjadi pampat pula, sehingga luka-luka itu tidak mengganggu sama sekali.

Sementara itu, langit menjadi semakin terang. Mata-haripun memancarkan sinarnya yang cerah. Bulan tua yang sudah berada dipunggung bukit tidak lagi mampu bersaing dengan terangnya matahari pagi.

Demikianlah, keempat orang itu berusaha untuk tidak menarik perhatian banyak orang. Meskipun demikian, beberapa orang yang berpapasan masih saja memperhatikan pakaian ibu dan bibi Kasadha yang tidak terbiasa dipakai oleh seorang perempuan.

Namun ketika kemudian mereka memasuki daerah Tanah Perdikan Sembojan, maka yang menarik perhatian banyak orang bukan lagi bentuk pakaian mereka. Mereka sudah sering meihat sebelum Risang diwisuda, ibunya yang saat itu masih menjadi Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, memakai pakaian seperti itu juga. Yang justru menarik adalah bahwa ada perempuan lain yang juga memakai pakaian seperti itu.

Dalam pada itu, setelah menempuh perjalanan yang panjang maka dibawah teriknya matahari yang sudah melampaui titik puncaknya, Kasadha bersama iring-iringan kecilnya telah berada di Tanah Perdikan Sembojan. Mereka semakin mendekati Padukuhan Induk. Meskipun kuda-kuda mereka nampak letih, tetapi karena jarak yang akan ditempuhnya tinggal beberapa puluh patok, maka merekapun melanjutkan perjalanan mereka.

Kedatangan mereka di Tanah Perdikan Menoreh memang agak mengejutkan. Yang diharap dan ditunggu hanyalah Kasadha dan barangkah seorang prajurit yang akan datang bersamanya. Namun ternyata Kasadha datang bersama ibu dan bibinyaIbu Risangpun menerima mereka dengan gembira. Demikian pula Risang. Apalagi ketika kemudian Kasadha menyatakan bahwa ia telah mengajak ibu dan bibinya setelah ia mendengar dari Ki Rangga Kalokapraja, apa yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan ini. Bahkan Kasadhapun sempat menceriterakan apa yang telah terjadi di perjalanan serta menyampaikan pesan Pangeran Gagak Baning serta apa yang diketahui pula oleh ibu Kasadha.

“Jadi, yang disebut Padepokan Watu Kuning itu hanyalah satu tempat yang menjadi sarang orang-orang yang sebagian besar, adalah orang-orang yang tidak terpuji. Memang di Padepokan Watu Kuning terdapat perguruan Watu Kuning. Tetapi yang ada di Padepokan itu bukan saja orang-orang dari perguruan Watu Kuning,“ berkata Kasadha selanjutnya.

Risang mengangguk-angguk kecil. Katanya dengan nada dalam, “Terima kasih atas keterangan ini. Kami juga berterima kasih bahwa bibi berdua telah datang pula dan berniat membantu kami. Juga kepada Ki Sanak, yang telah menyempatkan diri datang bersama Kasadha ke Tanah Perdikan kami yang sedang terancam bahaya ini.”

“Saya sekedar menjalankan tugas,“ berkata pemimpin kelompok yang datang bersama Kasadha itu.

Dengan demikian, maka Tanah Perdikan itu merasa menjadi semakin kuat. Meskipun Pajang jelas tidak dapat membantu, tetapi kehadiran Kasadha merupakan pertanda bahwa Pajang tidak berniat untuk membiarkan saja Tanah Perdikan Sembojan berada dalam kesulitan. Kehadiran Kasadha akan dapat memantau keadaan Tanah Perdikan dan melaporkannya kepada pimpinan pemerintahan di Pajang yang untuk sementara masih berada ditangan Pangeran Gagak Baning.

“Kita masih menunggu,“ berkata Risang, “ketika dua orang utusan dari Padepokan Watu Kuning datang, mereka mengatakan bahwa sepekan lagi pemimpin Padepokan Watu Kuning akan datang kemari.”

“Jadi masih ada waktu dua tiga hari lagi,“ desis Kasadha.

“Ya. Dua hari lagi. Tetapi Tanah Perdikan ini sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Kami merasa semakin tenang karena kedatangan bibi berdua dan dua orang prajurit Pajang,“ sahut Risang.

“Apa yang dapat kami lakukan,“ berkata ibu Kasadha, “agaknya memang tidak banyak. Tetapi niat kamilah yang telah membawa kami datang kemari.”

“Itulah yang membesarkan hati kami,“ jawab ibu Risang, “dan hal itu tentu akan sangat besar pengaruhnya.”

Demikianlah, maka hari itu juga, setelah mereka beristirahat dan makan bersama-sama, maka Risang telah mengajak Kasadha untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan. Mereka melihat bagaimana Tanah Perdikan itu mempersiapkan dirinya. Sementara itu, prajurit yang datang bersama Kasadha itupun telah melihat-lihat pula dibagian lain dari Tanah Perdikan itu bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung.

“Ternyata persiapan Tanah Perdikan ini sudah rapi sekali,“ berkata Kasadha, “bahkan para pengawal sempat meminjam dan mengumpulkan kuda yang ada di padukuhan-padukuhan untuk mempercepat gerak pasukan. Meskipun tidak begitu banyak, tetapi cukup memadai.”

“Para pemilik kuda itu menyerahkan kuda-kuda mereka dengan ikhlas. Mereka tahu pasti, untuk apa kuda-kuda itu dikumpulkan,“ jawab Risang.

“Aku kira Padepokan Watu Kuning tidak menyadari bahwa Tanah Perdikan ini memiliki pengawal yang mempunyai tatanan yang tersusun rapi sebagaimana tatanan dalam lingkungan keprajuritan yang sudah mapan. Karena itu, Padepokan Watu Kuning itu akan terkejut membentur pertahanan di Tanah Perdikan ini. Meskipun demikian, kita belum tahu pasti kekuatan Padepokan Watu Kuning yang menganggap Tanah Perdikan ini hanya dapat menyelamatkan diri karena bantuan Pajang,“ berkata Kasadha kemudian.

Risang mengangguk-angguk. Iapun menyadari bahwa kekuatan Padepokan Watu Kuning sama sekali belum dapat dijajagi.

“Jika saja Padepokan Watu Kuning merupakan sebuah perguruan yang wajar, maka jumlahnya tidak akan dapat menyamai jumlah pengawal dan anak-anak muda di Tanah Perdikan Sembojan,“ berkata Risang, “namun mereka tentu memiliki kesempatan lebih baik untuk menempa diri secara pribadi. Merekapun tentu mempunyai ikatan yang lebih erat yang satu dengan yang lain, serta antara para cantrik, putut dan para pemimpinnya. Sementara itu, seperti yang kau katakan sesuai dengan pesan Ki Rangga Kalokapraja yang mendengarnya dari Pangeran Gagak Baning serta dari bibi, maka di perguruan Watu Kuning tentu terdapat banyak orang berilmu tinggi.”

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Apapun yang kita hadapi nanti, Tanah Perdikan ini sudah melakukan persiapan sebaik-baiknya.”

“Kita masih harus selalu berdoa, semoga Yang Maha Agung melindungi Tanah Perdikan ini,“ desis Risang kemudian.

“Ya. Bukan kita yang bersalah. Kita tidak berniat untuk bermusuhan,“ desis Kasadha.

Demikianlah, kedua orang anak muda, cucu Ki Gede Sembojan itu telah meyakinkan diri bahwa Tanah Perdikan itu sudah bersiap sebaik-baiknya. Bahkan pada saat-saat terakhir, para pengawal masih sempat melakukan latihan-latihan yang cukup berat. Terutama mereka membiasakan diri untuk mempergunakan senjata sesuai dengan pilihan mereka masing-masing. Mereka bukan saja berlatih secara pribadi, tetapi mereka juga berlatih untuk bekerja sama dalam perang brubuh.

Kasadha, seorang Lurah prajurit Pajang mengagumi kemampuan para pengawal Tanah Perdikan yang tidak berada dibawah tataran seorang prajurit. Mereka memiliki landasan dasar yang cukup. Sudah tentu bahwa mereka masih belum memiliki pengalaman yang cukup luas sebagaimana seorang prajurit. Meskipun demikian, mereka tidak akan mengecewakan jika mereka turun didalam pertempuran yang sebenarnya.

Karena itulah, maka Kasadhapun menjadi berbesar hati. Ia tidak terlalu mencemaskan keadaan Tanah Perdikan Sembojan menghadapi Padepokan Watu Kuning. Meskipun demikian, Kasadha masih belum dapat memperhitungkan apakah di Tanah Perdikan terdapat cukup banyak orang yang berkemampuan tinggi untuk menghadapi para pemimpin dari Padepokan Watu Kuning yang jumlahnya cukup banyak sehingga dapat mencemaskan sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Gagak Baning maupun oleh ibu Kasadha itu sendiri.

Tetapi untuk menanyakan hal itu langsung kepada Risang, Kasadha memang agak segan. Tetapi Kasadha tahu bahwa setidaknya ada beberapa orang yang dapat dijadikan tumpuan kekuatan Tanah Perdikan. Selain ibu Risang sendiri maka ibunya telah ada di Tanah Perdikan itu pula. Meskipun demikian, Kasadha masih juga meragukan ibunya. Apakah ibunya dapat mengerahkan segenap kemampuannya, karena ibunya merasa segan untuk menunjukkan, bahwa dasar ilmunya adalah ilmu yang kasar dan keras.

Tetapi Kasadha berniat untuk mempersilahkan ibunya bertempur ditempat yang berbeda dengan ibu Risang, agar ibunya tidak merasa dibayangi oleh kesegannya sendiri atas jenis ilmu yang dimilikinya.

Ketika Risang dan Kasadha telah berada dirumah, maka telah datang dua orang pengawal yang bertugas untuk mengawasi keadaan diperbatasan.

“Apa yang kau lihat?“ bertanya Risang.

“Di sebelah perbatasan Tanah Perdikan Sembojan terdapat pasukan yang berkemah,“ berkata salah seorang dari kedua pengawal itu.

“Pasukan apa?“ bertanya Risang.

“Belum kami ketahui. Tidak ada pertanda yang dapat menunjukkan untuk mengenali pasukan itu,“ jawab pengawal itu.

Namun baik Risang maupun Kasadha hampir berbareng berkata, “Padepokan Watu Kuning.”

Pengawal itu mengangguk hormat. Katanya, “Kamipun sudah menduga. Tetapi tidak ada pertanda apapun yang dapat menguatkan dugaan kami.”

“Aku akan melihatnya,“ berkata Risang.

“Aku ikut bersamamu,“ desis Kasadha.

Demikianlah maka mereka berdua telah berpacu diatas punggung kuda untuk melihat, pasukan yang berkemah diluar perbatasan Tanah Perdikan Sembojan. Meskipun mereka tidak akan mendekat, tetapi dari perbatasan mereka akan dapat mengurai keadaan pasukan yang berkemah itu.

Demikianlah sejenak kemudian maka Risang, Kasadha dan beberapa orang apengawal telah berada diperbatasan. Mereka memang tidak berniat untuk melampaui perbatasan dan melihat perkemahan itu dari dekat.

Sebenarnyalah, ketika mereka berada diperbatasan yang menghadap padang perdu yang agak luas, maka mereka memang melihat pasukan yang berkemah di padang perdu itu. Didirikannya gubug-gubug kecil untuk beberapa kepentingan. Menyimpan peralatan, untuk dapur dan untuk beberapa orang pemimpin mereka, dan beberapa macam kepentingan yang lain. Juga untuk berteduh sementara orang didalam pasukan itu. Sedangkan yang lain tersebar di padang perdu itu. Mereka duduk-duduk dan bahkan ada yang berbaring dibawah pohon-pohon perdu.

Kasadha yang melihat perkemahan itu dari kejauhan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebuah pasukan yang kuat. Aku tidak yakin bahwa mereka benar-benar terdiri dari sebuah Padepokan saja. Meskipun Padepokan Watu Kuning merupakan sarang dari banyak kelompok, tetapi yang nampak itu adalah satu kekuatan yang besar.”

Risang mengangguk-angguk. Katanya, “Tanah Perdikan ini berada dalam keadaan bahaya yang sebenarnya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa kita tidak mempunyai harapan.”

“Nampaknya Kademangan Pakis yang memiliki padang perdu yang dipergunakan untuk perkemahan itu tidak dapat berbuat apa-apa,“ desis Kasadha kemudian. Namun tiba-tiba iapun bertanya, “Bukankah Kademangan disebelah Timur Tanah Perdikan ini Kademangan Pakis?”

“Ya,“ jawab Risang.

“Aku memang mengaku untuk pergi ke Pakis ketika aku datang dan dicegat oleh orang-orang dari Padepokan Watu Kuning seperti yang pernah aku ceriterakan,“ berkata Kasadha.

“Sebenarnya bahwa Kademangan Pakis juga termasuk sebuah Kademangan yang kuat. Justru karena Tanah Perdikan ini sering bergolak, maka Kademangan Pakis juga telah berusaha untuk membuat perisai bagi Kademangannya. Bahkan Kademangan Pakis telah minta beberapa orang pengawal Tanah Perdikan ini untuk melatih anak-anak mudanya, agar mereka tidak terlalu canggung untuk mempertahankan diri jika hal itu diperlukan. Tetapi mereka tidak akan dapat menghadapi kekuatan yang demikian besarnya, bahkan Tanah Perdikan inipun telah menjadi gentar pula karenanya. Bukan berarti bahwa kami pengecut, tetapi kami tidak dapat mengabaikan kenyataan itu.”

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti. Tetapi melihat kesiagaan Tanah Perdikan ini, aku masih mempunyai keyakinan bahwa Tanah Perdikan ini akan dapat bertahan.”

Sementara Kasadha dan Risang serta beberapa orang pengawal mengamati keadaan, maka mereka melihat lima orang berkuda yang berpacu menuju kearah mereka.

“Nampaknya mereka sengaja ingin menemui kita,“ berkata Risang.

Kasadha mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, maka Kasadhapun sebagaimana Risang dan para pengawal telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Namun orang yang berkuda dipaling depan telah mengangkat tangan kanannya ketika kuda itu menjadi semakin dekat. Bahkan ketika kuda itu berhenti beberapa langkah dihadapan Risang dan Kasadha.

“Selamat bertemu anak-anak muda,“ berkata orang yang berkuda di paling depan sambil mengangguk hormat.

Risang dan Kasadhapun telah mengangguk pula. Dengan ramah pula Risang menjawab, “Selamat bertemu Ki Sanak. Kami, penghuni Tanah Perdikan ini menjadi sangat teratrik atas kehadiran Ki Sanak dengan pasukan yang demikian kuatnya di Kademangan Pakis. Tetapi yang dapat kami lakukan hanyalah melihat dan bertanya-tanya, siapakah mereka.”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Kami memang sedang melakukan perjalanan panjang dalam rangka latihan besar-besaran dari Padepokan kami. Kami sedang menguji kemampuan dan ketahanan para cantrik kami, agar pada saat yang penting mereka tidak mengecewakan kami, para pemimpin dari Padepokan kami.”

“Dari Padepokan manakah kalian berasal?“ bertanya Risang.

“Kami datang dari Padepokan Watu Kuning,“ jawab orang itu.

“Watu Kuning,“ Risang mengulang, “Jadi kalian dengan pasukan yang besar itu menempuh satu perjalanan panjang untuk melakukan latihan?”

“Ya. Kami sedang menjelajahi daerah Selatan ini. Sekarang kami berhenti dan berkemah didaerah Kademangan Pakis. Nanti kami akan meneruskan perjalanan ke Barat.”

“Nanti?“ bertanya Risang.

“Maksudku, setelah kami beristirahat dua tiga hari disini,“ jawab orang itu.

“Apakah kau sudah mendapat ijin dari Ki Demang di Pakis?“ bertanya Kasadha kemudian.

“Kami tidak merasa perlu untuk minta ijin. Ternyata Ki Demang Pakis orang yang baik hati. Ia sama sekali tidak menyatakan keberatannya. Sampai saat ini tidak ada utusannya yang menemui kami dan menolak kehadiran kami,“ orang itu berhenti sejenak, lalu, “kami berharap bahwa daerah yang lainpun berbuat demikian.”

“Kaukah pemimpin pasukan itu?“ bertanya Kasadha pula.

“Aku salah seorang diantara para pemimpin itu. Tetapi aku bukan pemimpin tertinggi dari Padepokan Watu Kuning.”

“Siapakah pemimpin tertinggi Padepokanmu?“ bertanya Risang meskipun dengan agak ragu.

“Kebetulan aku bertemu dengan orang-orang Tanah Perdikan disini,“ berkata orang itu, “karena itu, aku ingin berpesan agar kau sampaikan kepada Kepala Tanah Perdikanmu, bahwa pemimpin tertinggi Padepokan Watu Kuning akan bertemu dan berbicara dengan Kepala Tanah Perdikanmu.”

“Apakah kau pernah bertemu dengan Kepala Tanah Perdikan Sembojan?“ bertanya Kasadha.

“Aku sendiri belum. Tetapi beberapa orang Padepokan Watu Kuning sudah,“ jawab orang itu.

“Baiklah,“ jawab Risang, “aku akan menyampaikannya. Tetapi tepatnya, kapan pemimpin tertinggi itu akan datang berkunjung kepada Kepala Tanah Perdikan kami?”

“Menurut pendengaranku, besok lusa. Besok segala sesuatunya baru dipersiapkan. Baru besok lusa pemimpin tertinggi Padepokan Watu Kuning itu akan bertemu dengan Kepala Tanah Perdikan,“ jawab orang itu.

“Persoalan apakah yang akan dibicarakannya?“ bertanya Risang, “Mungkin hal itu perlu bagi Kepala Tanah Perdikan.”

“Biarlah pemimpinku mengatakannya langsung. Tetapi sudah tentu berhubungan dengan latihan yang sedang kami selenggarakan disepanjang daerah Selatan ini,“ jawab orang itu.

“Baiaklah,“ berkata Risang, “terima kasih atas keteranganmu. Aku akan segera menyampaikannya.”

“Akupun berterima kasih kepadamu,“ berkata orang itu, “mudah-mudahan kedatangan kami dapat diterima dengan baik. Bukan saja oleh Kademangan Pakis, tetapi juga oleh Tanah Perdikan Sembojan.”

Orang itupun segera bersiap-siap untuk kembali ke kemahnya. Tetapi ia sempat berkata, “Sebaiknya kami juga mengucapkan ikut berduka cita atas meninggalnya Pangeran Benawa dari Pajang. Kalian tentu berkabung karenanya. Selama ini Pangeran Benawa merupakan pelindung Tanah Perdikan ini yang terbaik.”

“Kami memang berkabung,“ jawab Kasadha, “tetapi Pajang akan segera bangkit kembali dari kemuram-annya atas wafatnya Pangeran Benawa. Mudha-mudahan kami akan segera mendapatkan ganti yang lebih baik.”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku minta diri.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang berkuda itu telah melarikan kuda mereka kembali keperkemahan mereka di padang perdu itu.

Risang dan Kasadha masih memandangi mereka beberapa saat sebelum mereka meninggalkan perbatasan. Sementara itu langitpun menjadi muram. Matahari telah turun kebalik bukit.

Dipadukuhan-padukuhan hari telah terasa menjadi gelap. Lampu telah menyala dirumah-rumah yang nampak hening.

Namun dalam keheningan itu, Risang dan Kasadha melihat kesiagaan para pengawla Tanah Perdikan di padu kuhan-padukuhan. Di banjar-banjar para pengawal yang bertugas selalu bersiaga menghadapi segala kemungkinan, apalagi setelah mereka mengetahui bahwa diseberang perbatasan terdapat pasukan yang sedang berkemah, Dan merekapun telah menduga bahwa pasukan itu tentu berasal dari Padepokan Watu Kuning.

Sementara Risang dan Kasadha masih berada di perjalanan menuju kepadukuhan induk, maka ia telah memerintahkan dua orang pengawal yang baru saja kembali dari perbatasan bersamanya untuk mengatur pengawasan bersama-sama padukuhan terdekat. Bukan saja dari satu padukuhan, tetapi bersama-sama beberapa padukuhan.

Risangpun telah memerintahkan salah seorang dari para pengawal itu untuk menghubungi para Demang. Malam nanti mereka harus berkumpul dirumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Ketika Risang dan Kasadha sampai dirumah, maka malam sudah mulai turun. Ternyata dirumah itu terdapat dua orang tamu yang datang dari Kademangan Pakis. Seorang diantara mereka adalah Ki Demang Pakis sendiri.

“Ki Demang,“ desis Risang, yang kemudian telah memperkenalkan Kasadha sebagai seorang Lurah prajurit di Pajang.

“Nampaknya ada sesuatu yang penting Ki Demang?“ bertanya Risang kemudian.

“Ya ngger,“ jawab Ki Demang, “aku sudah menyampaikannya kepada Nyi Wiradana.”

Namun ibu Risang yang masih juga menemui Ki Demang itu berkata, “Sebaiknya Ki Demang menyampaikan langsung kepada Risang.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengulanginya.”

“Silahkan Ki Demang,“ sahut Risang.

“Ngger,“ berkata Ki Demang kemudian, “aku ingin menyampaikan keluhan kepada angger Risang. hari ini di daerah Kademangan Pakis telah didatangi segerombolan orang yang tidak kami ketahui darimana datangnya. Mereka berada hampir diperbatasan dengan Tanah Perdikan. Mereka menempati sebuah padang perdu yang cukup luas. Mereka bahkan telah membuat gubug-gubug di padang perdu itu. Tanpa minta ijin kepada siapapun mereka telah menebangi batang-batang bambu dihutan bambu disebelah padang perdu itu. Mereka telah mengambil batang padi yang sedang dikeringkan oleh orang-orang padukuhan terdekat.”

“Apakah Ki Demang sudah memerintahkan menghubungi mereka?“ bertanya Risang.

“Sudah. Ki Jagabaya dan seorang Kebayan telah datang menemui pemimpin mereka. Tetapi sikap mereka kasar sekali. Mereka sama sekali tidak mempedulikan kekuatan Kademangan Pakis. Mereka terlalu yakin akan kekuatan mereka, sehingga agaknya mereka menganggap bahwa hak dan wewenang berada diujung senjata mereka,“ jawab Ki Demang.

Risang dan Kasadha saling berpandangan sejenak. Menurut orang yang ditemuinya di perbatasan, Ki Demang sama sekali tidak mempedulikan kehadiran mereka. Ki Demang tidak mengirimkan utusan untuk menemui mereka.

“Mungkin orang itu berbohong. Tetapi mungkin orang itu tidak tahu bahwa ada dua orang utusan Ki Demang yang telah menemui pemimpin mereka,“ berkata Risang didalam hatinya.

Dengan nada dalam Risangpun kemudian bertanya, “Ki Demang. Apa yang dapat kami lakukan? Maksudku jika Ki Demang ingin kita berkerja bersama.”

“Bagaimana menurut pendapat angger?“ Ki Demang justru bertanya.

“Ki Demang,“ berkata Risang, “sebenarnyalah menurut pengetahuan kami, orang-orang yang berkemah di lingkungan Kademangan Pakis itu adalah orang-orang dari Padepokan Watu Kuning. Sasaran mereka sebenarnya adalah Tanah Perdikan Sembojan. Mereka ingin menguasai Tanah Perdikan ini karena Tanah Perdikan ini adalah Tanah Perdikan yang subur. Dengan berbagai macam alasan mereka berniat untuk dengan kekerasan merebut Tanah Perdikan ini. Justru mereka memilih saat yang paling tepat untuk mendung yang mengalir dari Madiun setiap saat dapat menjatuhkan hutan prahara diatas Pajang.”

Ki Demang Pakis mengangguk-angguk. Dengan suara yang bergetar ia berdesis, “Jadi mereka akan menyerang Tanah Perdikan ini dan mempergunakan Pakis sebagai landasan serangannya?”

“Ya, begitulah kira-kira,“ jawab Risang.

“Lalu bagaimana sikap angger?“ bertanya Ki Demang Pakis.

“Sudah tentu kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Kami akan melawan. Sudah tentu kekerasan hanya dapat kami lawan dengan kekerasan,“ jawab Risang.

“Apakah angger telah memberikan laporan kepada Pajang?“ bertanya Ki Demang Pakis.

“Sudah aku katakan, Pajang sedang diliputi mendung. Bukan saja karena wafatnya Pangeran benawa, tetapi juga karena hubungan antara Pajang dan Madiun yang kurang mantap.”

“Jadi angger akan bertumpu pada kekuatan Tanah Perdikan ini sendiri?“ bertanya Ki Demang.

“Ya,“ jawab Risang. Lalu katanya pula, “Kami memang sudah menyiapan diri Ki Demang. Apalagi kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami akan memilih mempertahankan diri daripada harus menyerahkan Tanah Perdikan ini.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia mengangkat wajahnya sambil berkata, “Sejauh dapat kami lakukan, kami akan membantu, ngger. Meskipun kekuatan kami jauh lebih kecil dari kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Sembojan, namun kami juga merasa tersinggung atas kehadiran orang-orang Watu Kuning. Apalagi sikapnya yang sama sekali tidak menghiraukan hak kami atas tanah kami sendiri. Kecuali itu, kamipun menyadari, seandainya Tanah Perdikan Sembojan benar-benar dikuasai oleh Padepokan Watu Kuning, maka lingkungan inipun benar-benar akan tercemar. Orang-orang Watu Kuning akan berbuat sewenang-wenang. Bahkan Kade-mangan-kademangan yang lain yang berada diluar wilayah Tanah Perdikan Sembojan.”

“Ki Demang,“ berkata Risang, “sebenarnya aku tidak ingin menyeret Kademangan-kademangan kecuali dalam lingkungan Tanah Perdikan, kedalam persoalan ini, karena bagaimanapun juga akan dapat terjadi kekerasan yang akan membawa korban.”

“Bukankah itu wajar,“ sahut Ki Demang Pakis, “korban adalah pupuk bagi kesejahteraan hidup kami. Korban bukan berarti kesia-siaan. Pengorbanan itu akan sangat berharga bagi kami.”

“Jika demikian, kami mengucapkan terima kasih Ki Demang. Tetapi Ki Demang harus memperhitungkan segala segi dari pengorbanan ini,“ berkata Risang kemudian.

“Kami menyadari ngger. Dan pengorbanan ini sebenarnya juga mengandung landasan perhitungan bagi kepentingan diri sendiri. Maksudku bagi Kademangan Pakis. Bahkan aku akan berbicara dengan para Demang disekitar Pakis yang berhubungan langsung dengan Tanah Perdikan yang tentu mempunyai kepentingan yang sama seperti kepentingan Kademangan Pakis,“ berkata Ki Demang Pakis.

“Tetapi Ki Demang harus menyadari bahwa orang-orang Watu Kuning adalah orang-orang yang memiliki pengalaman yang luas. Seandainya Ki Demang Pakis atau Kademangan lain yang ingin membantu Tanah Perdikan, maka harus dipilih para pengawal yang sudah memiliki landasan kemampuan dalam olah kanuragan dan lebih-lebih kemampuan olah senjata. Mereka akan berhadapan dengan orang-orang yang terlatih baik, justru karena mereka adalah murid-murid sebuah perguruan.”

Ki Demang menganguk-angguk. Katanya, “Bukankah para pengawal Kademangan, khususnya Kademangan Pakis dan sekitarnya telah pernah mendapat tuntunan dari para pengawal Tanah Perdikan ini pada saat-saat yang gawat. Aku yakin, bahwa mereka masih tetap memiliki gejolak jiwa jantan sebagai pagar tanah kelahiran.”

“Baiklah Ki Demang,“ berkata Risang, “masih ada waktu dua tiga hari. Biarlah anak-anak muda itu kembali meraba hulu senjata mereka dan membiasakan lagi bagaimana mereka harus menggerakkannya. Dengan demikian, mereka akan kembali mengenali watak dan tabiat senjata-senjata mereka serta beberapa hal yang berhubungan dengan medaan pertempuran yang sebenarnya.”

“Aku akan memerintahkan agar mereka menentukan siapakah yang akan ikut serta memasuki medan dan siapakah yang akan menjaga kampung halaman,“ berkata Ki Demang kemudian.

Namun ketika Ki Demang kemudian minta diri, Risang tlah menahannya. Dimintanya Ki Demang ikut dalam pertemuan antara para Demang di Tanah Perdikan Sembojan.

Ternyata dalam pertemuan itu, telah disusun kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh serta kesediaan Ki Demang Pakis untuk membantu. Bahkan Ki Demang Pakis telah menyatakan kesediaannya untuk menghubungi para Demang disekitar Tanah Perdikan Sembojan.

Risang memang tidak berkeberatan. Tetapi ia tetap bertumpu pada kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Sem bojan itu sendiri. Sehingga karena itu, maka perintah Risang kepada para Demang adalah, bahwa besok, segala sesuatu harus sudah siap. Setiap saat mereka harus dapat bergerak bersama para pengawal dari setiap padukuhan. Para pengawas akan memberikan isyarat, perbatasan yang manakah yang menjadi paling rawan. Sementara itu, semua kuda yang ada harus dikerahkan untuk mempercepat gerak para pengawal dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain.

Ternyata para Demang, termasuk Ki Demang Pakis tidak menunggu sampai esok. Malam itu juga langkah-langkah yang harus diambil oleh para Demang itupun telah mulai dilaksanakan. Para Demang di Tanah Perdikan Sembojan yang memang sudah mempersiapkan diri sejak beberapa hari sebelumnya tinggal menyalurkan perintah-perintah yang datang kemudian lewat jalur yang sudah dipersiapkan oleh para Bekel di padukuhan-padukuhan.

Sementara segala persiapan dilakukan, maka Tanah Perdikan Sembojan telah menyusun petugas khusus untuk mengawasi setiap gerak orang-orang yang ada diperkemahan. Jika keadaan menjadi berbahayam mereka harus segera memberikan laporan.

Tetapi dihari berikutnya, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa akan ada gerakan kekuatan langsung yang ditujukan kepada Tanah Perdikan Sembojan. Yang mereka lakukan adalah sekedar berlatih diantara beberapa kelompok, sedang yang lain masih saja menebar di padang perdu itu.

Tetapi ada diantara orang-orang yang berkemah dipa-dang perdu itu justru memasuki hutan dilereng bukit diseberang padang perdu dengan alat-alat berburu. Lembing dan busur serta anak panah. Agaknya mereka akan mencari binatang buruan untuk menambah perbekalan yang sudah mereka bawa.

Para pengawal yang bertugas mengawasi perkemahan itu dari kejauhan melihat, beberapa kelompok diantara mereka telah berlatih dengan bersungguh-sungguh. Nampaknya mereka sengaja menunjukkan betapa mereka mampu melakukan latihan yang berlandaskan pada ilmu yang tinggi, sehingga agaknya mereka ingin mengatakan bahwa dengan mudah mereka akan dapat menembus pertahanan Tanah Perdikan Sembojan seandainya benar-benar terjadi pertempuran diantara mereka.

Namun para pengawal Tanah Perdikanpun terdiri dari anak-anak muda yang telah berlatih. Merekapun memiliki pengalaman yang cukup untuk menghadapi kekuatan yang ada di padang perdu itu.

Sementara itu, Risang dan Kasadha masih juga melihat-lihat seluruh kekuatan yang ada di Tanah Perdikan. Kesediaan Kademangan Pakis untuk membantu akan sangat berarti bagi Tanah Perdikan Sembojan.

Kasadha yang melihat sendiri kesiagaan para pengawal berkata kepada Risang dengan nada dalam, “Kau tidak usah cemas. Meskipun Pajang tidak dapat turun membantu, agaknya Tanah Perdikan ini bukan sasaran yang lunak bagi Padepokan Watu Kuning. Aku sebagai prajurit pernah mengalami benturan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini. Meskipun saat itu Tanah Perdikan ini mendapat bantuan dari Jipang, tetapi kekuatan dasar Tanah Perdikan ini dapat dipercaya.”

Risang mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan kami dapat menyelamatkan Tanah Perdikan ini.”

Ketika matahari mulai turun, maka berdua mereka kembali pulang. Ternyata dirumah itu telah menunggu tiga orang Demang yang memimpin tiga Kademangan disekitar Tanah Perdikan Sembojan, termasuk Ki Demang Pakis.

Seperti Ki Demang Pakis mereka menyatakan kesediaan mereka untuk membantu.

Risang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Seperti yang pernah aku katakan kepada Ki Demang Pakis, sebenarnya kami tidak ingin menyeret tetangga-tetangga kami dalam kesulitan. Karena yang akan terjadi adalah kekerasan.”

Tetapi jawab para Demang itu tidak berbeda dengan jawab Ki Demang Pakis. Mereka merasa bahwa mereka akan ikut mengalami kesulitan jika benar Padepokan Watu Kuning dapat merebut Tanah Perdikan dengan kekerasan.

“Selama ini kami tidak dapat berbuat sesuatu yang dapat meringankan beban Tanah Perdikan ini. Jika terjadi benturan kekerasan, kami selalu berusaha membatasi diri dan berlindung dibalik garis perbatasan, seolah-olah kami sama sekali tidak bersangkut-paut dengan segala peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu. Tetapi ternyata kami menyadari kemudian, bahwa kami tidak dapat berbuat demikian untuk seterusnya. Apalagi sekarang kami merasakan, betapa sakitnya harga diri kami diinjak-injak oleh orang asing. Kehadiran orang-orang Watu Kuning di Kademangan Pakis adalah satu pertanda bahwa mereka sama sekali tidak menghargai orang lain. Kamipun mulai membayangkan, apa jadinya, jika orang-orang itu berkuasa di daerah yang berbatasan dengan daerah kami,“ sahut Ki Demang Pakis.

“Baiklah,“ berkata Risang, “sekali lagi kami hanya dapat mengucapkan terima kasih. Seperti yang pernah aku pesankan kepada Ki Demang Pakis, bahwa lawan yang akan kita hadapi adalah orang-orang yang memiliki landasan ilmu kanuragan. Karena itu, kami mohon hendaknya dipilih anak-anak muda yang benar-benar tidak canggung lagi memegang senjata. Mereka yang memiliki keberanian dan tekad yang besar. Pertempuran yang jika benar terjadi, merupakan pertempuran yang gafang. Hal ini dapat dilihat bagaimana kerasnya ilmu mereka dalam latihan-latihan yang sengaja diperlihatkan dihadapan perbatasan Tanah Perdikan ini.”

Ketiga orang Demang itu mengangguk-angguk. Ki Demang Pakislah yang kemudian berkata, “Angger Risang. Untuk membatasi perasaan dendam dari orang-orang Watu Kuning, biarlah kami tidak semata-mata melakukan perlawanan. Biarlah kami mengirimkan anak-anak muda kami yang sudah memiliki sedikit dasar olah kanu-ragan memasuki Tanah Perdikan lebih dahulu. Dengan demikian maka biarlah mereka berada didalam lingkungan pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan.”

“Baiklah Ki Demang, aku mengerti. Jika demikian, biarlah kami menugaskan beberapa orang untuk menerima para pengawal Kademangan-kademangan yang dengan ikhlas membantu kami. Kami akan menempatkan mereka dalam tatanan pasukan pengawal Tanah Perdikan.”

“Jika demikian, biarlah malam nanti kami kirimkan anak-anak kami meskipun jumlahnya tidak seberapa. Tetapi sebenarnyalah kami ingin ikut mempertahankan lingkungan ini dari kekuasaan, orang-orang yang menganggap bahwa kekuasaan itu berada di ujung senjata,“ berkata Ki Demang Pakis.

Dengan demikian, maka Risangpun telah membicarakan dengan ketiga orang Demang itu, bagaimana sebaiknya yang harus mereka lakukan. Risang telah memberikan petunjuk tempat-tempat yang akan dipergunakan para pengawal Kademangan itu untuk memasuki Tanah Perdikan Sembojan tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang berkemah di padang perdu dilingkungan Kademangan Pakis.

“Mereka tentu menyebar orang-orangnya untuk mengawasi Tanah Perdikan ini siang dan malam,“ berkata Risang, “tetapi para pengawal kamipun akan melakukan hal yang sama, sehingga daerah yang telah aku sebutkan itu akan mendapat pengawalan yang cukup dari para pengawal Tanah Perdikan ini.”

Dengan demikian, maka telah disepakati beberapa rencana yang berhubungan dengan bantuan beberapa Kademangan disekitar Tanah Perdikan Sembojan. Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, tetapi bantuan itu akan sangat berarti.

Hari itu, maka segala sesuatunya dalam hubungannya dengan kesiagaan Tanah Perdikan Sembojan telah tersusun rapi. Setiap saat, pasukan pengawal Tanah Perdikan itu sudah siap bergerak. Sebagian besar dari para pengawal telah dipersiapkan di padukuhan yang terdapat dengan perbatasan, menghadapi perkemahan orang-orang Watu Kuning.

Para pengawal Tanah Perdikan tidak merasa perlu untuk melakukannya dengan diam-diam sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Padepokan Watu Kuning. Bahkan Tanah Perdikan Sembojan telah menunjukkan, bahwa kehadiran kekuatan Padepokan Watu Kuning tidak membuat Tanah Perdikan itu menjadi gemetar ketakutan sehingga tidak berani berbuat sesuatu menghadapi ancaman Padepokan Watu Kuning.

Tetapi Risang masih mengendalikan diri. Ia masih menunggu kedatangan pemimpin tertinggi Padepokan Watu Kuning yang akan datang menemuinya dihari berikutnya.

Sebenarnyalah, dihari berikutnya, pemimpin tertinggi Padepokan Watu Kuning, diiringi oleh sebelas orang telah memasuki perbatasan Tanah Perdikan Sembojan. Mereka dengan berkuda melintasi sekelompok pengawal di perbatasan.

Para pengawal yang telah mendapat perintah untul membiarkan mereka lewat, memang tidak mengganggu sama sekali. Pemimpin pengawal itu memang menghentikan mereka dan bertanya, siapakah mereka dan untuk apa mereka melintasi perbatasan Tanah Perdikan Sembojan.

Pemimpin Tertinggi Padepokan Watu Kuning itu tertawa mendengar pertanyaan pemimpin pengawal itu. Katanya, “Kau mempunyai niat untuk melihat dan mempunyai telinga untuk mendengar. Kau tentu tahu siapa aku dan untuk apa aku memasuki Tanah Perdikan ini.”

Ternyata pemimpin pengawal itu menjawab, “Aku hanya tahu kau adalah salah seorang yang ada di perkemahan itu. Tetapi aku tidak tahu siapa namamu dan untuk apa kau memasuki perbatasan Tanah Perdikanku.”

Pemimpin Tertinggi Padepokan itu tertawa semakin keras. Katanya, “Ternyata para pengawal Tanah Perdikan ini benar-benar anak muda yang bertanggung jawab meskipun sedikit dungu. Dengar. Aku akan berjalan terus dengan para pengawalku. Aku tidak peduli apakah kau mengetahui siapa aku dan apa maksudku atau tidak. Jika kau benar-benar pengawal yang bertanggung jawab, coba, cegah aku.”

Pengawal itu justru terdiam. Wibawa orang berkuda itu cukup tinggi, sehingga ketika orang itu bersama sebelas orang pengawalnya telah melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Padukuhan Induk Tanah Perdikan Sembojan para pengawal itu tidak mencegahnya. Diantara mereka yang mengawal Pemimpin Tertinggi Padepokan Watu Kuning itu terdapat Pandansirat dan Wirasrana yang telah pernah menemui Risang sebelumnya.

Dalam pada itu, sebelum Pemimpin Tertinggi itu memasuki Padukuhan Induk, maka Risang telah mengetahuinya dari laporan para pengawal, bahwa satu iring-iringan orang-orang berkuda telah mendekati Padukuhan Induk Tanah Perdikan Sembojan.

Karena itu, maka Risangpun telah bersiap-siap untuk menerima mereka. Selain Risang sendiri, maka ibunya dan Kasadha telah bersiap-siap pula. Sementara itu diruang dalam, sambi Wulung dan Jati Wulung, Ibu dan bibi Kasadha, juga telah hadir pula ketiga orang kakek dan nenek dan sekaligus guru Risang. Sedangkan dihalaman, beberapa orang pengawal berada di serambi gandok. Diantara mereka terdapat Gandar iyang telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka sebuah iring-iringan orang berkuda telah meinasuki halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Ketika orang-orang itu kemudian meloncat turun dari punggung kuda, maka Risang dan Kasadha telah turun dari tangga pendapa untuk menyongsongnya.

Berbeda dengan sikapnya di perbatasan, maka Pemimpin Tertinggi Padepokan Watu Kuning itupun berlaku sopan. Sambil tersenyum dan mengangguk hormat iapun berkata, “Apakah aku berhadapan dengan Kepala Tanah Perdikan yang masih muda itu?”

“Ya Ki Sanak,“ jawab Risang, “marilah, silahkan naik. Ki Sanak tentu Pemimpin tertinggi Padepokan Watu Kuning yang sedang berkemah di tlatah kademangan Pakis berhadapan dengan perbatasan Tanah Perdikan Sembojan.”

“Tepat anak muda,“ jawab orang itu, “aku adalah orang yang dituakan di padepokan dan Perguruan Watu Kuning.”

“Marilah, silahkan naik,“ Risang sekali lagi mempersilahkan tamu-tamunya.

Sejenak kemudian, maka Pemimpin Tertinggi Padepokan Watu Kuning serta beberapa orang pembantu dekatnya telah naik dan duduk dipendapa, sementara beberapa orang pengawalnya menebar di halaman.

Setelah saling mengucapkan selamat, maka Pemimpin Tertinggi Padepokan Watu Kuning itupun berkata, “Kami memenuhi janji kami untuk datang menemui Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang belum lama ini disiwuda.”

“Terima kasih atas kunjungan ini, Ki Sanak,“ jawab Risang, “tetapi apakah kami boleh mengetahui nama atau sebutan Ki Sanak agar kami tidak menjadi canggung karenanya?”

“Tentu, tentu,“ sahut orang itu dengan serta merta, “orang memanggilku Ki Gede Sela Kuning atau ada yang menyebut Ki Gede Watu Kuning.”

“Ya manakah yang sebaiknya kami pakai?“ bertanya Risang.

“Kedua-duanya sama saja. Tetapi lebih banyak orang memanggilku Ki Gede Watu Kuning,“ jawab orang itu.

“Baiklah Ki Gede Watu Kuning,“ berkata Risang kemudian,“ Ki Gede dapat memanggilku Risang. Namaku memang Risang. Ini ibuku, Nyi Wiradana dan ini adalah adikku, Kasadha.”

Orang itu mengangguk hormat sambil berkata, “Senang sekali aku dapat berkenalan dengan Nyi Wiradana dan angger Kasadha.”

“Nah Ki Gede,“ berkata Risang kemudian, “kedatangan Ki Gede memang sudah kami ketahui sebelumnya. Beberapa orang pernah mengatakannya. Ki Pandansirat dan Ki Wirasrana yang pernah datang kemari juga sudah mengatakannya. Dua hari yang lalu, di perbatasan ada juga beberapa orang yang menemui kami dan mengatakan bahwa Ki Gede akan datang kemari.”

“Dan aku memang memerlukan datang ngger,“ berkata Ki Gede Watu Kuning.

“Apakah kedatangan Ki Gede sekedar ingin memperkenalkan diri atau mempunyai kepentingan tertentu dengan kami, orang-orang Tanah Perdikan Sembojan?”

Ki Gede Watu Kuning berpaling kepada Pandansirat yang duduk dekat Wirasrana. Dengan nada rendah ia kemudian menjawab, “Serba sedikit agaknya Pandansirat dan Wirasrana telah mengatakan, bahwa ada sedikit persoalan yang akan kami sampaikan atas nama Padepokan Watu Kuning. Tetapi persoalan itu bukan persoalan yang penting dan hanya sekedar bahan pembicaraan saja.”

Risang menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Maksud Ki Gede, tentang kedudukan Tanah Perdikan ini?”

“Ya, begitulah. Tetapi angger jangan menganggap bahwa persoalan ini sangat penting. Bagiku persahabatan dan persaudaraan diantara sesama merupakan hal yang jauh lebih penting dari kepentingan-kepentingan yang lain. Karena itu, maka kedatanganku ini adalah satu usaha untuk lebih memperluas persahabatan itu. Tidak lebih! ngger.! Jika ada persoalan-persoalan lain itu adalah sekedar pembicaraan sambilan saja.”

“Sokurlah Ki Gede,“ Risang mengangguk-angguk. Meskipun demikian, ia tetap berhati-hati menghadapi sikap Ki Gede Watu Kuning yang nampaknya sangat bersahabat itu.

“Barangkali kami hanya ingin sekedar memperingatkan ngger, bahwa persaudaraan kami akan dapat menjadi lebih erat, karena kami memang berasal dari tanah kelahiran yang sama.”

Risang mengerutkan keningnya. Dengan agak ragu ia bertanya, “Maksud Ki Gede?”

“Ya. Kita memang lahir ditempat yang sama. Tanah Perdikan ini lahir diatas bumi Sembojan, sedang Padepokan Watu Kuning juga lahir diatas bumi Sembojan. Nah, bukankah kami benar-benar bersaudara? Jika angger bertanya siapakah yang lebih tua diantara kita, maka tentu aku akan menjawab, bahwa Padepokan Watu Kuninglah yang pantas disebut saudara tua,“ berkata Ki Gede Watu Kuning kemudian.

Risang yang sudah mengetahui arah pembicaraan itupun menjawab, “Terima kasih atas keterangan ini Ki Gede. Kami sama sekali tidak berkeberatan dengan pernyataan Ki Gede, bahwa kami lahir diatas bumi yang sama, bumi Sembojan.”

“Terima kasih ngger,“ Ki Gede itu tersenyum, “aku tidak mengira bahwa sikap angger demikian longgar terhadap pernyataan kami tentang bumi Sembojan.”

“Aku berpendirian sama seperti Ki Gede Watu Kuning,“ jawab Risang, “persaudaraan dan persahabatan merupakan hal yang yang jauh lebih penting dari kepentingan-kepentingan yang lain.”

Ki Gede Watu Kuning mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tertawa panjang. Katanya, “Bagus ngger. Ternyata kau adalah anak muda yang cerdas dan tangkas berpikir.”

Risangpun tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas pujian itu Ki Gede.”

“Nah, dengan demikian, agaknya pembicaraan kita selanjutnya tidak akan mengalami kesulitan. Kami, Padepokan Watu Kuning ingin mempererat hubungan kita sebagai saudara yang lahir di bumi yang sama dengan ikatan yang lebih nyata ngger,“ berkata Ki Gede kemudian.

“Maksud Ki Gede?“ bertanya Risang.

“Kami ingin mengembalikan kedudukan Sembojan sebagaimana sebelum kami harus terbelah. Agaknya orang-orang tua kita di Tanah Perdikan sebelum kita sekarang, mempunyai pikiran yang kerdil, sehingga Sembojan harus dipecah. Bahkan dengan kekerasan dan dengan tajamnya senjata. Campur tangan Demak membuat perselisihan diantara saudara yang sama-sama lahir di bumi Sembojan semakin menjadi-jadi. Akibatnya Padepokan Watu Kuning harus menyingkir dari bumi Sembojan. Sedangkan untuk memperkuat kedudukan saudara-saudara kita yang masih tetap berada di Sembojan telah didirikan Tanah Perdikan Sembojan,“ berkata Ki Gede.

Risang mengangguk-angguk kecil. Agaknya pembicaraan Ki Gede Watu Kuning telah mengarah kepada maksudnya yang sebenarnya.

Dengan nada rendah Risang berkata, “Biarlah ceritera itu tetap merupakan ceritera Ki Gede. marilah, persahabatan dan persaudaraan kita, kita landasi dengan apa yang ada sekarang,”

Wajah Ki Gede menegang sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Bukankah kita bukan orang-orang yang hidup tanpa masa lalu? Nah, sudah tentu bahwa kita tidak dapat mengatakan bahwa sekarang adalah sekarang. Dan ceritera itu biarlah tetap menjadi ceritera saja.”

“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?“ bertanya Risang.

“Kita akan selalu berpijak pada masa lalu untuk menyongsong masa depan,“ berkata Ki Gede.

“Tetapi kita tidak dapat ingkar akan kenyataan kita sekarang,“ jawab Risang, “sebagaimana Ki Gede ketahui, kenyataan yang ada sekarang, kita telah terpisah oleh alasan dan sebab apapun juga. Padepokan Watu Kuning sebagai satu kenyataan memang ada dan berdiri tegak sebagai sebuah perguruan yang besar dan berwibawa. Namun disamping itu Tanah Perdikan Sembojan yang ada sekarang inipun adalah sebuah Tanah Perdikan yang ada dan sah pula adanya berdasarkan beberapa bukti dan kenyataan.”

Ki Gede Watu Kuning mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti ngger. Tetapi sebagaimana perubahan itu pernah terjadi, maka kita sekarangpun berhak membuat perubahan-perubahan bahkan sampai yang mendasar sekalipun tentang kedudukan bumi Sembojan. Kita dapat berbuat sesuai dengan keinginan kita. Bukankah kita terikat dalam persaudaraan dan persahabatan sehingga kita akan dapat membuat perubahan-perubahan tanpa menimbulkan masalah?”

“Ya Ki Gede,“ jawab Risang. Namun kemudian katanya, “Tetapi sebagai saudara dan sahabat yang baik, kita-pun dapat saling bersetuju untuk tidak mengadakan perubahan apa-apa tentang kedudukan kita masing-masing. Maksudku, Padepokan Watu Kuning yang besar dan berwibawa sebagaimana adanya sekarang dan Tanah Perdikan Sembojan yang sudah mendapat kekancingan dari Demak dan kemudian Pajang. Bahkan Jipangpun mengakui adanya Tanah Perdikan Sembojan. Terakhir aku menerima ucapan selamat dari Kangjeng Panembahan Mas di Madiun lewat utusannya yang datang pada saat aku diwisuda.”

Ki Gede Watu Kuning itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Jika demikian, apakah kita akan ingkar, bahwa persaudaraan dan persahabatan kita jauh lebih penting dari kepentingan-kepentingan yang lain”

“Ya. Aku juga akan bertanya kepada Ki Gede. Jika Ki Gede menghendaki perubahan-perubahan apalagi yang mendasar tentang kedudukan bumi Sembojan, bukankah itu berarti bahwa Ki Gede mengingkari pernyataan Ki Gede sendiri, bahwa persaudaraan dan persahabatan kita lebih penting dari kepentingan-kepentingan yang lain termasuk kedudukan bumi Sembojan?”

Warna merah sekilas membayang diwajah Ki Gede. Namun Ki Gede itupun kemudian tersenyum sambil berkata, “Aku tidak mengira bahwa angger yang masih muda itu begitu terampil berbicara. Baiklah. Mungkin kemudaan angger Risang yang membuat angger tidak segera mengerti yang aku maksud.”

“Mungkin Ki Gede. Karena itu, aku mohon Ki Gede menjelaskan maksud Ki Gede yang sebenarnya,“ jawab Risang.

“Baiklah,“ berkata Ki Gede “ aku akan mempergunakan kata-kata yang lebih sederhana, sehingga ngger Risang yang muda itu akan segera mengetahui maksudku yang sebenarnya.”

Ki Gede Watu Kuning berhenti sejenak, sementara Risangpun menunggu kelanjutan kata-katanya. Baru setelah menarik nafas dalam-dalam, Ki Gede itu berkata, “Angger. Sebenarnyalah bahwa aku ingin menyatukan kembali bumi Sembojan ini. Persaudaraan kita akan menjadi lebih kental dan akrab karena kita akan menjadi satu. Satu Sembojan dan satu pemegang pimpinan. Sedangkan isinya adalah bersatunya kembali keluarga yang pernah terpisah oleh ketamakan orang-orang tua kita waktu itu.”

Risang menarik nafas dalam-dalam. Dengan kerut dikening Risang bertanya, “Itulah artinya persaudaraan dan persahabatan yang jauh lebih penting dari kepentingan-kepentingan lain?”

“Bukankah persaudaraan dan persahabatan yang demikian akan menjadi lebih tegas dan pasti?“ bertanya Ki Gedei Risang tidak segera menjawab. Sementara itu, orang-orang yang mendengarkan pembicaraan itu memang menjadi tegang. Mereka menunggu jawaban Risang yang akan menentukan hasil dari pembicaraan itu.

Mereka sempat terkejut ketika Risang menjawab, “Baiklah jika itu yang Ki Gede kehendaki.”

“Jadi angger bersedia menerima keinginan ini?“ bertanya Ki Gede Watu Kuning.

Nyi Wiradana dan Kasadha memang terkejut ketika Risang berkata, “Aku setuju Ki Gede.”

Tetapi ternyata Risang belum selesai. Katanya selanjutnya, “Jika Ki Gede ingin bernaung dibawah pemerintahanku dan menjadi satu kembali di bumi Sembojan, tentu aku tidak berkeberatan. Sembojan akan menjadi lebih besar dan kuat. Tetapi sudah tentu bahwa Padepokan Watu Kuning akan tunduk pada segala paugeran yang ada di Tanah Perdikan Sembojan.”

Terasa wajah Ki Gede Watu Kuning menjadi panas. Ia tidak mengira bahwa anak muda itu dengan beraninya akan menentangnya sementara itu pasukannya yang kuat telah berada di perbatasan.

Tetapi Ki Gede Watu Kuning kemudian masih juga tersenyum dan berkata, “Angger ternyata seorang yang pandai bergurau. Tetapi persoalan bumi Sembojan bukan sekedar bahan untuk bergurau.”

Risang yang melihat perubahan wajah Ki Gede betapapun Ki Gede berusaha untuk tersenyum, menjadi semakin berhati-hati. Dengan nada dalam ia menjawab, “Ki Gede. Aku memang senang bergurau. Tetapi sekarang aku tidak sedang bergurau. Aku berkata dengan sesungguhnya. Ki Gede tidak usah merasa cemas, bahwa pada suatu saat aku mencabut kesediaanku menerima Ki Gede yang ingin kembali ke bumi Sembojan yang sekarang menjadi Tanah Perdikan dan yang sekarang aku pimpin sebagai Kepala Tanah Perdikan dengan surat kekancingan dari Pajang dan yang bahkan telah diwisuda atas nama Pangeran Benawa.”

Bagaimanapun juga Ki Gede menyembunyikan perasaannya, namun tersirat juga dalam getaran kata-katanya, “Angger Risang. Marilah kita berbicara wajar dan bersungguh-sungguh. Bumi Sembojan ini adalah bumi kelahiran Padepokan Watu Kuning sebelum Tanah Perdikan ini ada. Singkatnya, kami ingin memiliki bumi kelahiran kami ini kembali.”

“Lalu bagaimana dengan Tanah Perdikan Sembojan?“ bertanya Risang.

“Kalian yang mengaku orang-orang Tanah Perdikan Sembojan harus menyatakan diri dalam satu permohonan untuk diijinkan tinggal di Sembojan. Kamilah yang akan menentukan, siapa yang diijinkan dan siapa yang tidak diijinkan.”

Namun ternyata Risang masih juga mampu menahan diri. Di wajahnya masih nampak sebuah senyum yang menghiasi bibirnya. Bahkan katanya, “Ki Gede. Marilah kita berpijak pada kesepakatan kita untuk lebih mementingkan persaudaraan dan persahabatan. Sebaiknya Ki Gede dengan kebaikan hati dengan resmi mohon kepadaku, Kepala Tanah Perdikan Sembojan untuk diperkenankan membuat sebuah padepokan kecil disudut Tanah Perdikan ini dengan janji untuk tunduk kepada semua paugeran yang berlaku di Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede Watu Kuning itupun tertawa. Tetapi betapa kecutnya suara tertawanya. Dengan suara yang tertahan-tahan oleh gejolak didalam dadanya ia berkata, “Angger Risang. Jadi tegasnya angger menolak mengembalikan Tanah Perdikan ini kepada kami?”

“Ki Gede,“ jawab Risang, “ikhlaskan saja bumi Sembojan seandainya Ki Gede merasa bahwa bumi ini milik Padepokan Watu Kuning.”

“Angger,“ berkata Ki Gede yang masih berusaha untuk berbicara dengan lembut, “aku sebenarnya merasa kasihan kepada angger sekarang ini. Jika angger kukuh pada sikap angger, sebaiknya angger melihat orang-orangku yang sudah berkemah di perbatasan. Sementara itu, angger pada saat ini tidak akan dapat bertumpu pada kekuatan Pajang yang mengakui kehadiran Tanah Perdikan ini. Pangeran Gagak Baning yang untuk sementara memimpin Pajang adalah seorang yang berhati-hati. Ia tidak ingin mengirimkan prajuritnya ke Tanah Perdikan ini sementara Madiun telah merunduknya dan siap untuk menerkam.”

“Itu sudah kami perhitungkan Ki Gede,“ jawab Risang, “kami memang tidak dapat mengharapkan bantuan Pajang. Meskipun demikian kami tidak akan membiarkan bumi Sembojan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak. Betapa lembutnya bulu-bulu domba yang Ki Gede kenakan, tetapi getar suara Ki Gede tidak lebih ramah dari geram seekor serigala.”

Ternyata Ki Gede masih juga berhasil menguasai diri. Sambil tertawa pendek ia berkata, “Baiklah ngger. Jika demikian apaboleh buat. Kau sudah menolak uluran tangan persaudaraan dan persahabatan Padepokan Watu Kuning.”

“Terima kasih Ki Gede,“ jawab Risang, “tetapi persaudaraan yang Ki Gede tawarkan ternyata tidak sesuai bagi Tanah Perdikan Sembojan.”

“Baiklah ngger. Kami masih memberi kesempatan kepada angger untuk berpikir selama dua hari. Jika dalam dua hari ini angger tidak memberikan jawaban yang sesuai dengan keinginan kami, maka apaboleh buat. Kami akan kembali ke bumi Sembojan dengan cara kami. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa Pajang tidak akan mungkin dapat membantu angger.”

“Terima kasih atas peringatan itu Ki Gede. Tetapi sayang, bahwa kami akan tetap dalam sikap dan pendirian kami. Bumi Sembojan adalah bumi kelahiran. Apapun yang terjadi, dengan bantuan Pajang atau tidak, maka kami akan mempertahankannya,“ jawab Risang.

Ki Gede tertawa, katanya, “Angger memang seorang yang pantas untuk menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan. Angger memegang jabatan angger dengan penuh tanggung jawab. Tetapi sayang bahwa angger menjadi Kepala Tanah Perdikan diatas bumi Sembojan milik kami.”

“Kami mohon restu Ki Gede, agar kami mampu mempertahankan bumi kelahiran kami,“ sahut Risang.

Wajah Ki Gede menjadi semburat merah. Namun ia menjawab, “Sebaiknya angger berdoa agar angger mendapat umur panjang.”

Demikianlah, dengan sikap yang masih saja ramah dan kebapaan Ki Gede minta diri meninggalkan Padukuhan Induk, kembali keperkemahannya. Namun demikian ia keluar dari padukuhan Induk, maka warna yang terang di wajahnya segera disaput oleh ledakan kemarahan yang ditahannya. Dengan geram ia berkata, “Siapkan kekuatan sepenuhnya dalam dua hari ini. Jika dalam dua hari ini cucurut kecil itu tidak datang menemui kami, maka kamilah yang akan datang kepadanya dan menghancurkannya.”

Para pengikutnya tidak menyahut. Mereka tahu bahwa dalam keadaan yang demikian, Ki Gede Watu Kuning akan cepat sekali meledak.

Para pengawal Tanah Perdikanpun tidak mengganggu perjalanan Ki Gede Watu Kuning. Bahkan sambil menempuh perjalanan berkuda dari Padukuhan Induk, Ki Gede sempat melihat kesiagaan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi Ki Gede tetap berpendapat bahwa anak-anak muda itu tidak akan banyak berarti bagi para cantrik Padepokan Watu Kuning.

Demikian Ki Gede Watu Kuning sampai ke perkemahan, maka iapun segera mengeluarkan perintah untuk bersiaga penuh bagi orang-orangnya. Bahkan Ki Gede memerintahkan agar mereka melakukan latihan-latihan dan menunjukkan kelebihan mereka agar anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan menjadi gentar.

“Aku memberi kesempatan kepada Risang dua hari. Pada hari ketiga kita akan menghancurkan Tanah Perdikan itu. Kita akan melintasi perbatasan sebagaimana kita masuk kehalaman rumah kita sendiri. Risang tidak akan dapat membendung pasukan kita. Dalam sehari kita tentu sudah akan menguasai Padukuhan Induk Tanah Perdikan Sembojan,“ berkata Ki Gede Watu Kuning dengan wajah yang tegang.

Namun bukan berarti bahwa Ki Gede Watu Kuning hanya duduk bertopang dagu menunggu dua hari sebagaimana ia memberikan waktu kepada Risang. Tetapi ia sudah memerintahkan orang-orangnya untuk mengawasi lebih ketat agar tidak ada orang-orang yang mencurigakan masuk dan keluar perbatasan Tanah Perdikan.

Tetapi Ki Gede Watu Kuning terlambat mengadakan pengawasan yang ketat. Ternyata anak-anak muda dari tiga Kademangan termasuk Kademangan Pakis telah memasuki perbatasan Tanah Perdikan. Mereka telah berada di banjar Padukuhan Induk dan sebagian yang lain di banjar padukuhan-padukuhan disekitar Padukuhan Induk. Mereka telah mendapat penanganan khusus dari para pemimpin pengawal Tanah Perdikan untuk mempersiapkan mereka agar mereka dapat menyesuaikan dirinya dengan para pengawal Tanah Perdikan.

Dalam pada itu, ternyata waktu yang dua hari yang dbiberikan oleh Ki Gede Watu Kuning itu sangat berarti bagi para pengawal Tanah Perdikan. Lebih-lebih lagi bagi para pengawal ketiga Kademangan yang berada di Tanah Perdikan. Dalam waktu yang singkat itu, mereka sempat berbenah diri. Mereka berusaha untuk semakin mengenali watak dan tabiat senjata mereka masing-masing dengan tuntunan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang lebih banyak berpengalaman dari mereka. Namun ternyata bahwa tekad yang menyala dihati mereka tidak kalah dari para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan sendiri.

Sementara menunggu dua hari, maka Risang telah berbicara dengan bersungguh-sungguh dengan para pemimpin Tanah Perdikan serta dengan Kasadha dan ibunya. Sebagai seorang prajurit ternyata Kasadha mempunyai pendapat-pendapat yang sangat berarti bagi Risang. Pengelompokan-pengelompokan pasukan yang ada akan menghasilkan daya tempur yang lebih besar apalagi menghadapi pasukan yang dipimpin oleh orang-orang yang berilmu tinggi.

“Kau dapat memisahkan sejumlah orang terbaikmu Risang,“ berkata Kasadha, “mereka dapat dibagi menjadi beberapa kelompok. Mereka akan menjadi ujung tombak dari seluruh pasukanmu. Dengan kelebihan mereka, maka mereka akan dapat memancing kegelisahan lawan, sementara pasukan yang lain akan segera menentukan arah penyelesaian pertempuran itu.”

Risang ternyata sependapat. Iapun segera memerintahkan para pemimpin pengawal untuk memilih mereka yang terbaik diantara para pengawal Tanah Perdikan. Pada lapis kedua para pengawal yang lain akan mengikuti gerak kelompok-kelompok khusus. Sementara itu telah disiapkan pula pasukan cadangan yang akan turun kemedan jika sangat diperlukan. Mereka akan terdiri dari laki-laki yang lebih tua, terutama mereka yang pernah mengalami menjadi pengawal Tanah Perdikan Sembojan atau bahkan pernah menjadi prajurit.

Dalam keadaan tertentu mereka akan dapat membantu para pengawal karena pengalaman mereka serta kemampuan yang mereka miliki meskipun tenaga dan daya tahan tubuh mereka sudah mulai menyusut.

Karena tatanan pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang sudah mapan, maka semua rencana itu dapat berjalan dengan cepat. Dihari berikutnya Risang telah mendapat laporan bahwa segala sesuatunya telah tersusun dengan rapi.

Dalam kesempatan yang pendek itu ternyata Risang masih sempat mengamati langsung susunan pasukan pengawalnya yang jumlahnya menjadi semakin banyak karena diantara mereka terdapat anak-anak muda dari tiga Kademangan.

Secara khusus Risang dan Kasadha telah melihat para pengawal yang terbaik yang ada di Tanah Perdikan. Mereka akan menjadi kelompok pertama dalam benturan kekuatan dengan orang-orang dari Padepokan Watu Kuning.

Ketika hari pertama lewat, maka sekali lagi Risang memanggil semua unsur pimpinan yang ada di Tanah Perdikan Sembojan termasuk para Demang, para pemimpin pengawal Tanah Perdikan dan dari tiga Kademangan diluar Tanah Perdikan Sembojan.

Mereka akan membicarakan lingkaran pertahanan yang akan mereka susun menghadapi pasukan lawan yang nampaknya masih terpusat di perkemahan mereka.

“Kita tidak tahu, dari mana mereka akan menusuk Tanah Perdikan ini. Tetapi justru karena mereka berada di padang perdu dihadapan perbatasan Tanah Perdikan, maka kita dapat melihat langsung gerakan mereka,“ berkata Risang.

Dalam pada itu, meskipun agak ragu-ragu, namun ibu Risangpun berkata, “Selama ini kita berbicara tentang pertahanan untuk melindungi Tanah Perdikan ini dari serangan orang-orang Padepokan Watu Kuning. Kita tahu bahwa orang-orang Watu Kuning telah berkemah dihadapan perbatasan Tanah Perdikan ini. Kenapa kita tidak mencoba berpikir, bagaimana jika kita tidak menunggu.”

“Maksud ibu?“ bertanya Risang.

“Jika semula kita memperhitungkan kemungkinan Kademangan Pakis tersinggung jika kita memasuki wilayahnya, maka sekarang kita dapat berbicara dengan pemimpin pengawal Kademangan Pakis. Bagaimana jika kitalah yang memasuki wilayah Pakis dan menyerang perkemahan itu,“ jawab Nyi Wiradana.

Pendapat itu telah menyentuh hati para pemimpin yang sedang membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi itu. Risang mengangguk-angguk sambil berdesis, “Memang menarik untuk melakukannya.”

Sedang Kasadhapun berkata, “Satu pikiran yang sangat baik. Jika Pakis tidak berkeberatan, memang lebih baik kita memasuki wilayah Pakis dan langsung menyerang perkemahan itu.”

Pemimpin pengawal dari Kademangan Pakis itupun menyahut, “Pakis tentu tidak berkeberatan. Bukankah Pakis telah menyatakan dirinya untuk membantu Tanah Perdikan Sembojan sepenuhnya meskipun kekuatan yang ada di Pakis terhitung kecil dibanding dengan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi hanya dengan memberikan kesempatan pasukan Tanah Perdikan memasuki wilayah Pakis untuk mengusir orang-orang dari Padepokan Watu Kuning itu. Ki Demang Pakis tentu tidak akan merasa tersinggung.”

“Terima kasih,“ berkata Risang kemudian, “jika demikian, bagaimana pendapat kalian jika kitalah yang menyerang mereka. Bukan sekedar menunggu apa yang akan mereka lakukan besok lusa.”

Ternyata semua orang yang hadir menyetujuinya. Bahkan mereka menjadi tidak sabar menunggu waktu yang disediakan oleh Ki Gede Watu Kuning.

Tetapi pasukan Tanah Perdikan Sembojan tidak dapat bergerak lebih cepat dari rencana itu. Meskipun pasukan pengawal Tanah Perdikan sudah siaga sepenuhnya, tetapi perubahan rencana itu memang memerlukan persiapan agar dapat berlangsung dengan baik.

Karena itulah maka mereka memutuskan, bahwa pasukan Tanah Perdikan Sembojan akan bergerak pada malam hari sehari kemudian tepat pada batas akhir ancaman Ki Gede Watu Kuning. Sebelum fajar, perkemahan itu harus sudah dikepung dan serangan akan dilakukan dari beberapa arah.

“Pasukan khusus dari para pengawal pilihan akan menjadi paruh serangan pasukan Tanah Perdikan Sembojan,“ berkata Risang kemudian.

Demikianlah, setelah pertemuan itu selesai, maka Risang, Kasadha dan para pemimpin pasukan pengawal telah melakukan pembicaraan secara khusus. Mereka akan mengatur dari mana pasukan induk akan menyerang, sementara pasukan yang lain akan memecahkan perhatian orang-orang Watu Kuning yang ada di perkemahan itu.

“Kita akan bertempur dalam gelar,“ berkata Risang, “meskipun demikian, maka kemungkinan lain dapat terjadi. Jika lawan mempergunakan gelar Glatik Neba atau Samodra Rob, maka perang brubuh dapat saja terjadi. Dengan demikian dituntut kemampuan para pengawal secara pribadi disamping kerja sama yang harus tetap dibina sebaik-baiknya.”

Malam itu juga maka para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Sembojan itupun mengatur pasukan mereka, termasuk para pengawal dari Kademangan-kademangan diluar Tanah Perdikan. Malam itu, para pengawal telah digerakkan kepadukuhan-padukuhan. Bahkan di beberapa padukuhan yang terdekat dengan perkemahan.

“Besok, setelah matahari terbit, maka semua gerakan pasukan di Tanah Perdikan justru dihentikan. Rencana penyerangan itu tidak boleh diketahui oleh orang-orang Padepokan Watu Kuning yang ada di perkemahan,“ pesan Risang kepada para pemimpin pengawal.

Karena itu, maka malam itu juga, semua pasukan sudah harus ditempatkan sesuai dengan rencana.

“Ketika fajar menyingsing, maka permukaan wajah Tanah Perdikan Sembojan masih nampak tenang. Tetapi ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka yang dilihat oleh orang-orang padepokan Watu Kuning adatlah justru orang-orang yang mengungsi, sehingga kesan yang timbul pada orang-orang Padepokan Watu Kuning adalah, bahwa Tanah Perdikan Sembojan akan mempertahankan diri pada padukuhan-padukuhan pertama dibelakang perbatasan.

Karena itu, maka persiapan-persiapan yang dilakukan oleh orang-orang Padepokan Watu Kuning adalah justru kesiagaan untuk menyerang. Beberapa kelompok diantara mereka sebagaimana diperintahkan oleh Ki Gede Watu Kuning telah melakukan latihan-latihan yang memang membuat para pengawal Tanah Perdikan Sembojan menjadi berdebar-debar. Kelompok-kelompok itu telah menunjukkan, betapa mereka memiliki kemampuan olah senjata yang sanagat tinggi. Dengan sengaja mereka melakukan latihan-latihan dekat dengan padukuhan-padukuhan diperbatasan agar dapat dilihat oleh para pengawal yang ada di padukuhan itu.

Tetapi para pengawal pilihan yang akan menjadi ujung tombak pasukan pengawal Tanah Perdikan itu berkata, ”Lihatlah dengan baik. Beberapa unsur gerak yang diulang. Tidak hanya sepihak, tetapi kedua belah pihak.”

“Maksudmu?“ bertanya seorang pengawal.

“Latihan yang kita lihat memang mendebarkan. Tetapi yang mereka lakukan benar-benar telah terlatih untuk waktu yang panjang,“ jawab pengawal itu.

Para pengawalpun mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, “Jadi kapanpun dan dimanapun, latihan-latihan itu akan berlangsung seperti itu?”

“Ya,“ jawab pengawal terpilih itu, “bukankah kita juga dapat melakukannya jika kita ingin?”

Para pengawal, terutama yang termuda diantara mereka mengangguk. Mereka baru mengerti bahwa gerakan-gerakan yang nampaknya rumit dan berbahaya itu telah dilatih dan dihafal sebelumnya sehingga mereka benar-benar dapat melakukan dengan baik sekali. Meskipun demikian pengawal terpilih yang telah berpengalaman itu berkata, “Tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak memiliki kelebihan. Mereka memang memiliki ketrampilan yang tinggi. Daya tahan tubuh yang kuat dan sudah tentu pengalaman yang luas. Kita memang harus berhati-hati menghadapi mereka. Tetapi juga bukan berarti bahwa kita akan menjadi gentar karenanya.”

Para pengawal muda itu mengangguk-angguk. Ketika dengan saksama mereka memperhatikan latihan-latihan yang nampak menyeramkan itu, ternyata yang dikatakan oleh kakak-kakak mereka yang lebih berpengalaman itu benar. Latihan itu berlangsung dengan lancar dan sangat tertib buat sebuah latihan yang bersungguh-sungguh.

Ketika matahari melewati puncaknya, maka Ki Gede Watu Kuning nampaknya sudah yakin bahwa Risang tidak akan datang atau mengirimkan utusannya untuk menyampaikan kesediaannya menerima keinginan Ki Gede Watu Kuning. Karena itu, maka Ki Gedepun telah memerintahkan semua kekuatan yang ada padanya untuk bersiap sebaik-baiknya, “Besok, disaat matahari terbit, kita memasuki Tanah Perdikan Sembojan. Kita tidak usah memilih medan. Dimanapun kita siap untuk bertempur. Kekuatan kita jauh lebih besar dari kekuatan yang ada di Tanah Perdikan. Meskipun ada satu dua orang Tanah Perdikan yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga beberapa orang kita telah dapat dikalahkan, tetapi orang-orang kita itu bukannya orang-orang terbaik di Padepokan Watu Kuning.”

Karena itulah, maka menjelang sore hari, Padepokan Watu Kuning yang sedang berkemah didepan perbatasan Tanah Perdikan Sembojan itu telah mempersiapkan diri. Mereka telah membagi diri dalam kelompok-kelompok yang akan memasuki Tanah Perdikan Sembojan.

Para pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan memperhatikan kesiagaan pasukan Watu Kuning itu dengan saksama. Sementara Tanah Perdikan sendiri belum menunjukkan tanda-tanda bahwa merekalah yang akan datang menyerang perkemahan itu.

Ketika senja turun, maka Ki Gede Watu Kuning justru memerintahkan orang-orangnya untuk beristirahat kecuali sebagian dari mereka yang bertugas menjaga perkemahan itu.

Pada saat itu pula, Risang juga memerintahkan para pengawalnya untuk beristirahat sampai tengah malam. Setelah itu, maka mereka akan segera bergerak.

Namun para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Sembojan tidak sempat beristirahat. Para Demang dan para Bekel. Juga para pemimpin pengawal padukuhan-padukuhan serta para pemimpin pengawal dari ketiga Kademangan yang telah berada di Tanah Perdikan Sembojan. Mereka telah mengatur diri serta mendengarkan perintah-perintah yang diberikan oleh Risang. Risang sendiri beserta ibunya, Nyi Wiradana akan berada di pasukan induk. Sementara itu, Kasadha seorang prajurit Pajang yang datang bersamanya serta ibu dan bibinya akan berada di sayap kanan bersama Gandar, sementara itu disayap kiri Sambi Wulung dan Jati Wulung akan memegang pimpinan. Para Demang yang akan langsung terjun ke medan akan menjadi pengapit kanan dan kiri di pasukan induk. Sedangkan para bekel akan menebar disepanjang gelar pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Gelar yang akan dipergunakan adalah Garuda Nglayang. Namun gelar itu dapat berubah sesuai dengan keadaan medan. Bahkan mungkin jika perlu pasukan Tanah Perdikan Sembojan akan mempergunakan gelar Jurang Grawah untuk menenggelamkan pasukan lawan. Apalagi jika pasukan lawan mempergunakan gelar Glatik Neba atau Samodra Rob.

Tetapi disamping pasukan induk itu, maka ada tiga pasukan kecil yang harus memancing perhatian pasukan lawan. Mereka akan menyerang pasukan yang berkemah itu dari belakang dan dari samping kanan dan kiri. Pasukan kecil itu bukannya pasukan yang harus menembus dan memasuki perkemahan lawan. Tetapi mereka hanya sekedar untuk memancing perhatian dan juga mempunyai tugas untuk menjaga agar orang-orang Perguruan Watu Kuning tidak sempat melarikan diri jika pasukan Tanah Perdikan berhasil mendesak mereka. Tetapi pasukan kecil itu diberi kesempatan untuk mundur jika keadaan menjadi sangat buruk.

“Kita tidak dapat membiarkan korban terlalu banyak jatuh. Seandainya pasukan kecil itu terdesak, sebaiknya mereka menarik diri. Biarlah pasukan induk yang akan memberikan tekanan terbesar kepada pasukan yang berkemah itu,” berkata Risang.

Setelah semuanya menjadi jelas, maka barulah mereka diperkenankan untuk beristirahat.

Namun Risang masih sempat berpesan, “Pada saatnya kita harus bersiap. Kita akan mendahului gerakan mereka.

Karena itu, maka kita harus mempersiapkan diri sebelum fajar. Beberapa saat kemudian, kita harus sudah berada di tempat kita masing-masing dan siap untuk bergerak. Tidak ada pertanda bende sampai tiga kali. Tetapi hanya ada satu kali isyarat dengan panah api yang akan dilontarkan ke udara. Mungkin ada dua atau tiga bersama-sama. Dengan demikian maka setiap kelompok harus selalu siap memperhatikan arah pasukan induk yang akan memberikan isyarat itu. Kita tidak akan menangkap isyarat itu dengan telinga, tetapi dengan mata.”

Demikianlah, maka para pemimpin pasukan itupun segera kembali kepasukan masing-masing. Merekapun berusaha untuk dapat mempergunakan waktunya yang sedikit untuk beristirahat, agar mereka mendapatkan kembali tenaga mereka seutuhnya.

Sementara para pengawal dan anak-anak muda serta hampir semua orang laki-laki yang masih mampu dan berani turun ke medan pertempuran beristirahat, maka Bibi tengah sibuk mempersiapkan makan bagi mereka. Sebenarnya Bibi lebih senang untuk langsung berada di medan. Bahkan hampir menangis ia minta kepada Nyi Wiradana agar ia diberi kesempatan untuk ikut dalam pasukan induk. Namun ibu Risang berkata, “Bibi, sebaiknya kau tetap berada di dapur. Bukankah kita sudah belajar dari pengalaman? Ketika dapur kita pernah diserang oleh lawan, bukankah Bibi waktu itu mampu menyelamatkan? Jika hal seperti itu terulang lagi, sedangkan tidak ada seorangpun yang mampu berbuat apa-apa terhadap lawan, maka dapur kita tentu akan menjadi hangus bersama semua bahan yang telah kita persiapkan.”

Bibi tidak dapat menolak. Karena itu, betapapun kecewanya ia menjawab, “Baiklah. Aku akan melakukan tugas ini sebaik-baiknya untuk Tanah Perdikan Sembojan dan anakku Risang.”

Nyi Wiradana menepuk bahu Bibi sambil berkata, “Terima kasih Bibi. Risangpun akan berterima kasih kepadamu.”

Demikianlah, maka segala persiapan telah dilakukan. Pada saatnya semuanya akan dapat bergerak sesuai dengan rencana. Meskipun mungkin ada perkembangan yang tiba-tiba saja terjadi, namun tatanan pasukan Tanah Perdikan itu sudah tersusun rapi. Mereka yang telah ditentukan sebagai cadanganpun akan dapat digerakkan setiap saat. Sedangkan sebagian dari mereka tetap berada di padukuhan-padukuhan mereka masing-masing. Namun di padukuhan-padukuhan itu telah disiapkan kuda yang dapat mempercepat gerak pasukan cadangan bila diperlukan.

Waktu yang sempit itu telah dipergunakan para pengawal Tanah Perdikan dengan sebaik-baiknya. Lewat sedikit tengah malam merekapun telah dibangunkan. Setelah berbenah diri dan sebagian dari mereka sempat mencuci muka, maka merekapun segera bersiap. Orang-orang yang bertugas didapur yang dibuat khusus telah membagikan makan bagi setiap orang sebelum mereka mulai bergerak.

“Makanlah secukupnya,“ berkata orang-orang yang membagikan makan bagi para pengawal, “kita tidak tahu apakah besok kalian mempunyai kesempatan untuk makan jika pertempuran berlangsung meskipun kami berusaha untuk membuat makanan khusus yang dapat kalian makan sambil bergerak di medan.”

“Bawa saja besok ke medan jika memungkinkan,“ jawab para pengawal.

Demikianlah, maka pada saatnya para pengawalpun telah siap seluruhnya. Memang tidak ada isyarat bunyi sama sekali. Demikian pula saat para pengawal menempatkan diri ditempat yang sudah ditentukan. Tiga kelompok pasukan pengawal bertugas untuk menyerang perkemahan dari tiga arah. Dengan diam-diam mereka menembus gelapnya dini hari ketempat yang sudah direncanakan. Sementara itu pasukan indukpun telah menebar memasang gelar.

Sementara itu, orang-orang yang berada diperkemahan-pun telah mulai bersiap-siap pula. Mereka merencanakan untuk memasuki Tanah Perdikan demikian fajar menyingsing. Karena itu, maka mereka tidak terlalu tergesa-gesa untuk menempatkan diri. Apalagi mereka merasa pasukan Watu Kuning itu demikian kuatnya sehingga mereka akan dapat memasuki perbatasan Tanah Perdikan tanpa kesulitan. Mereka tidak akan memilih dimana mereka menembus perbatasan.

“Kita tahu bahwa dipadukuhan-padukuhan terutama diperbatasan telah disiapkan pasukan pengawal. Tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi kita,“ berkata Ki Gede Watu Kuning, “bahkan kita tahu bahwa hal itu merupakan salah satu kebodohan Kepala Tanah Perdikan yang masih sangat muda itu. Jika para pengawal Tanah Perdikan ingin mempertahankan padukuhan demi padukuhan, maka mereka justru akan dilumatkan, karena kekuatan mereka terpecah belah. Pasukan yang hanya sedikit itu dibagi dalam beberapa padukuhan disepanjang perbatasan.”

Mendekati fajar, maka orang-orang Watu Kuning itupun telah mendapat kesempatan untuk makan sebelum mereka akan bergerak menyerang Tanah Perdikan. Semuanya itu mereka lakukan dengan terbuka. Mereka sama sekali tidak berusaha untuk menyembunyikan apapun juga justru karena mereka merasa terlalu kuat.

Saat itulah yang ditunggu Risang. Jika orang-orang Watu Kuning itu sedang makan, maka pasukan Tanah Perdikan akan mulai bergerak.

Namun sebelum ada isyarat untuk bergerak bagi pasukan Tanah Perdikan, dua orang pengawas dari perkemahan Watu Kuning berlari-lari mencari Ki Gede Watu Kuning untuk memberikan laporan.

“Ada apa?“ bertanya Ki Gede Watu Kuning.

“Kami melihat kelompok-kelompok kecil pengawal Tanah Perdikan mulai bergerak menyeberang perbatasan.”

Wajah Ki Gede Watu Kuning berkerut. Dengan nada rendah ia bertanya, “Untuk apa?”

“Kami tidak tahu Ki Gede. Mereka menyeberangi perbatasan dan melingkar beberapa puluh patok dari perkemahan kita.”

“Satu tindakan yang sangat bodoh,“ berkata Ki Gede, “mereka tentu berniat untuk menyerang pasukan kita dari belakang setelah terjadi pertempuran antara pasukan kita dengan para pengawal Tanah Perdikan. Seharusnya mereka tidak memecah-mecah pasukan mereka yang tidak terlalu besar itu di padukuhan-padukuhan dan apalagi kelompok-kelompok kecil yang akan menyerang dari belakang atau dari lambung. Itu tidak akan berarti apa-apa. Kita tidak akan menyerang Tanah Perdikan dengan gelar apapun juga. Kita akan menyerang sebagaimana kita pergi bertamasya dengan anak cucu melihat-lihat lereng-lereng bukit yang hijau, danau yang luas dengan riak-riak kecil serta ngarai yang terbentang seperti permadani yang sangat luas.”

“Tetapi mereka akan dapat berbuat sesuatu diluar dugaan,“ berkata salah seorang dari para pengawas itu.

“Kau tidak usah menjadi cemas dan apalagi menjadi bingung. Biarkan mereka melakukan apa saja. Kita tidak akan terguncang oleh mereka bahkan dengan akal dan cara apapun juga. Apakah kau tidak yakin?”

Kedua orang pengawas itu tidak berani menjawab lagi. Mereka kemudian hanya dapat menganggu-angguk mengiyakan.

Sementara itu, maka orang-orang Padepokan Watu Kuning, baik para cantrik yang memang berguru pada perguruan Watu Kuning, maupun orang-orang yang hanya ikut saja bersarang di padepokan itu, telah sibuk dengan sebungkus nasi yang mereka terima dari para petugas di dapur mereka. Nasi hangat dengan daging hasil buruan dan bahkan daging kambing yang sudah mereka persiapkan sebelumnya.

Pada saat yang ditunggu itulah, maka Risangpun telah siap memberikan isyarat kepada tiga orang yang berdiri disebelahnya dengan panah api yang sudah melekat pada busurnya.

“Nyalakan api,“ perintah Risang.

Beberapa orang telah membuat api dengan emput aren dan batu titikan. Kemudian dengan dimik belerang mereka menyalakan api yang kemudian disulutkan pada ujung anak panah api yang sudah siap itu.

Sekejap kemudian, maka Risangpun telah memberikan isyarat dengan mengangkat tangannya. Kemudian, tiga buah anak panah api telah lepas dari busurnya dan meluncur keudara.

Orang-orang yang sedang makan diperkemahan memang terkejut. Sementara itu padang perdu itu masih disaput oleh kegelapan.

Tetapi beberapa oncor telah membuat beberapa bagian dari padang perdu itu dapat diamati dari kejauhan oleh para petugas dari Tanah Perdikan Sembojan.

“Isyarat apakah itu?“ bertanya beberapa orang cantrik dari padepokan Watu Kuning, ketika mereka melihat panah api yang naik keudara. Justru tiga buah dengan arah yang berbeda.

Ki Gedepun melihat panah api itu pula. Sambil berdiri bertolak pinggang ia memanggil beberapa orang kepercayaannya.

“Isyarat apa menurut pendapatmu?“ bertanya Ki Gede.

“Mereka menganggap bahwa kita akan segera menyerang. Nampaknya mereka memerintahkan para pengawal untuk bersiap-siap,“ berkata salah seorang dari mereka yang dianggap pemimpin di padepokan Watu Kuning.

“Tetapi bagaimana dengan kelompok-kelompok kecil yang menembus perbatasan?“ bertanya Ki Gede pula.

Para pemimpin Padepokan itu memang sudah mendengar laporan tentang kelompok-kelompok kecil itu pula. Seorang diantara mereka menjawab, “Isyarat itu mungkin ditujukan kepada mereka agar mereka mengganggu gerakan kita.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kita percepat gerakan kita. Perintahkan semuanya bersiap. Kita justru akan segera bergerak sekarang juga. Kita tidak usah menunggu matahari.”

Para pemimpin Padepokan Watu Kuning itu ternyata sependapat. Karena itu, maka merekapun segera menebar kembali ke tempat mereka masing-masing. Ki Gede Watu Kuning akan segera memerintahkan pasukannya bergerak demikian mereka selesai makan.

Justru karena itu, maka para cantrik itupun menjadi tergesa-gesa. Para pemimpin mereka mulai menjadi gelisah dan karena itu mereka memerintahkan para cantrik untuk segera menyelesaikan makan mereka.

Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan untuk berpikir. Tiba-tiba saja para pengawas telah memberitahukan bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan justru telah bergerak menyeberangi perbatasan dan menuju ke perkemahan.

“Mereka berani menyerang kita?“ bertanya Ki Gede Watu Kuning.

“Mereka memang menyerang,“ jawab seorang pengawas.

“Kepala Tanah Perdikan yang masih muda itu memang gila. Seharusnya mereka bertahan dibelakang dinding pedukuhan dan menyambut kedatangan kita dengan menghujani anak panah dan lembing untuk menahan arus pasukan kita,“ teriak Ki Gede.

“Tetapi mereka sudah menyerang,“ sahut seorang Putut kepercayaan Ki Gede.

“Kenapa anak itu tidak memusatkan pertahanannya pada padukuhan induknya saja?“ Ki Gede itu menjadi sangat marah. Serangan itu baginya merupakan satu penghinaan. Karena itu maka katanya kemudian, “Kerahkan semua kekuatan yang ada. Kita akan menghancurkan mereka dalam sekejap. Sebelum matahari terbit, mereka harus sudah menjadi bagaikan tebasan batang ilalang.“

Para pemimpin Padepokan Watu Kuning itupun segera bergerak. Dengan tergesa-gesa para cantrik, Putut, Jejanggan dan semua unsur yang ada di padepokan itu telah berlari-lari ke kelompok mereka masing-masing.

Ternyata merekapun mampu bergerak cepat. Sesaat kemudian, maka merekapun telah bersiap menyongsong pasukan Tanah Perdikan Sembojan.

Mereka ternyata terkejut melihat sederet pasukan melebar dalam gelar. Dalam keremangan dini hari mereka melihat gelar yang utuh untuk bergerak mendekati perkemahan mereka di padang perdu yang cukup luas itu.

“Anak iblis,“ geram Ki Gede Watu Kuning, “dari-mana mereka sempat mengumpulkan orang sebanyak itu.”

Tetapi Putut kepercayaan yang mendampinginya berkata, “Kami benar-benar akan menebas ilalang. Kita tidak akan dapat menghitung dan bahkan kita tidak akan sempat menguburkan mereka yang akan menjadi korban pertempuran ini.”

“Ingat, ada diantara mereka yang berilmu,“ berkata Ki Gede Watu Kuning, “Nagawana dan Nagawereng sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa ketika ia bertemu dengan dua orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan yang menyebut dirinya sebagai petani kebanyakan. Sementara itu, lima orang kita yang lain terbantai bersama kuda-kuda mereka sementara Wira Gobang hampir mati pula ditangan orang-orang Tanah Perdikan.”

“Tetapi jumlah mereka tidak lebih dari tiga orang. Yang bertempur melawan Nagawana dan Nagawereng tentu juga yang membantai kelima orang yang mengawasi jalan ke Pajang itu. Juga mereka pulalah yang mengalahkan Wira Gobang,“ sahut Putut kepercayaannya itu.

“Yang mengalahkan Wira Gobang adalah seorang perempuan,“ geram Ki Gede sambil melangkah dengan cepat dipaling depan.

“Perempuan itu tentu ibu Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang pernah menjadi Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan. Ia memang seorang perempuan yang berilmu tinggi. Tetapi sebagaimana kita ketahui, Wira Gobang terlalu lemah menghadapi seorang perempuan.”

“Perempuan itu sudah tua,“ bentak Ki Gede Watu Kuning.

“Apakah Wira Gobang dapat membedakan perempuan tua dan muda bahkan yang telah pikun sekalipun,“ sahut Putut itu.

Dalam keadaan gelisah Ki Gede Watu Kuning masih dapat tertawa. Namun kemudian ia berteriak, “Hancurkan mereka. Gelar itu harus dipecahkan menjadi kepingan-kepingan yang terkoyak-koyak. Bunuh semua orang yang ada di gelar itu kecuali mereka yang menyerah. Yang menyerah akan menjadi budak yang melayani kekuasaan kita di Tanah Perdikan Sembojan.”

Teriakan itu lamat-lamat terdengar oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Namun teriakan itu segera tenggelam oleh sorak orang-orang Tanah Perdikan yang bagaikan menggugurkan sisa-sisa bintang dilangit.

Sorak itu memang sempat menggetarkan jantung orang-orang Padepokan Watu Kuning. Namun seorang Pututpun kemudian berteriak, “He, apakah kita tidak dapat berteriak sekeras mereka?”

Sebenarnyalah orang-orang Padepokan Watu Kuning itupun bersorak-sorak pula. Lebih keras dan bahkan kesannya lebih kasar. Disela-sela sorak yang mengguntur itu terdengar umpatan-umpatan kasar bahkan kotor.

Demikianlah, maka kedua pasukan itu menjadi semakin dekat. Ibu Kasadha yang berada di sayap kanan sempat melihat sisa bulan tua yang masih bertengger dipunggung bukit disisi Timur langit yang sudah menjadi merah.

Namun terasa demikian cepatnya langit menjadi terang. Ketika kedua pasukan itu saling berhadapan, maka langit sudah menjadi semakin terang.

Sekali lagi terdengar teriakan Ki Gede Watu Kuning, “Sudah terlambat untuk mohon pengampunan. Tetapi masih mungkin untuk menyerah dan dibiarkan hidup. Yang lain akan ditumpas seperti menyulut ilalang kering.”

Namun dalam pada itu, pasukan Padepokan Watu Kuning itu terkejut. Dari lambung kiri dan kanan beberapa kelompok pengawal Tanah Perdikan telah berlari-lari seakan-akan memburu mereka dengan mengacu-acukan senjata mereka yang telanjang.

Ternyata orang-orang Padepokan Watu Kuning itu tidak menjadi bingung. Dengan sendirinya, kelompok-kelompok kecil diantara mereka telah memisahkan diri untuk menyongsong pasukan yang menyerang lambung itu. Bahkan kemudian mereka terkejut ketika mereka melihat asap mengepul diperkemahan. Tanpa mendapat perintah dari Risang, beberapa gubug perkemahan itu telah terbakar. Pertempuran kecil telah terjadi antara sekelompok pengawal yang bertugas menyerang dari belakang dengan orang-orang Padepokan yang bertugas didapur. Dalam pertempuran kecil yang terjadi itu dengan tidak sengaja, maka apipun telah terserak oleh hentakan-hentakan pertempuran, sehingga menjilat dinding-dinding bambu yang sudah menjadi kering. Apipun dengan cepat berkobar dan membakar atap jerami gubug-gubug di perkemahan. Bahkan ikut terbakar juga bahan-bahan makanan yang menjadi persediaan orang-orang Watu Kuning.

Ki Gede Watu Kuning yang melihat asap dan bahkan kemudian lidah api yang menjilat itu mengumpat habis-habisan. Kesan keramahannya ketika ia mengunjungi Risang telah lenyap sama sekali. Dengan kemarahan yang memuncak ia berteriak, “Biarlah apa yang ada di perkemahan itu terbakar. Kita akan mencari gantinya di Tanah Perdikan Sembojan. Kita akan mengambil kembali Tanah Perdikan itu dengan segala isinya.”

Orang-orang Padepokan Watu Kuning itupun berteriak semakin kasar. Sementara kelompok-kelompok kecil di lambung pasukan dari Padepokan Watu Kuning itu sudah bertempur melawan kelompok-kelompok kecil pasukan Pengawal Tanah Perdikan Sembojan.

Ketika benturan itu terjadi, maka orang-orang dari Padepokan Watu Kuning itu terkejut. Mereka tidak mengira sama sekali bahwa ujung kekuatan kecil itu ternyata memiliki kemampuan yang tinggi. Mereka adalah para pengawal terpilih yang harus membuka jalan pertempuran bagi kawan-kawannya.

Bahwa para cantrik dari Padepokan Watu Kuning itu terkejut dan bahkan sesaat mereka tertahan oleh para pengawal yang berdiri di paling depan, telah membesarkan hati para pengawal yang lain. Dengan berani mereka menyerang para cantrik yang masih tergetar hatinya melihat kemampuan para pengawal.

Namun sejenak kemudian pertempuran telah berlangsung dengan sengitnya antara kelompok-kelompok kecil di lambung itu.

Sementara itu induk pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang menyerang dalam gelar itupun telah berada beberapa langkah saja dari pasukan dari Padepokan Watu Kuning. Risang dan ibunya yang berada diinduk pasukan telah melambaikan senjatanya memberikan perintah kepada pasukannya untuk langsung menyerang lawannya.

Para pengawal yang ada di paruh pasukan induk itupun adalah pengawal-pengawal pilihan. Dengan tangkasnya mereka berlari menyergap orang-orang yang berada di paling depan dari pasukan Watu Kuning. Sementara itu, para Demang yang menjadi pengapit Kepala Tanah Perdikan Sembojan bersama beberapa orang kepercayaan merekapun telah membenamkan diri dalam benturan-benturan kekuatan yang terjadi.

Seperti benturan pada kelompok-kelompok kecil di lambung, maka orang-orang Padepokan Watu Kuning yang membentur paruh induk pasukan Tanah Perdikan Sembojan dalam gelar Garuda Nglayang juga terkejut. Kelompok-kelompok kecil diparuh pasukan pengawal Tanah Perdikan itu ternyata memiliki kemampuan diluar dugaan mereka. Dengan tangkasnya para pengawal itu menyusup memasuki pertempuran dengan kemampuan olah senjata yang tinggi. Mereka memiliki bekal kemampuan bertempur secara pribadi, tetapi mereka juga terlatih bertempur dalam gelar.

Dengan demikian maka sejak benturan antara kedua pasukan itu terjadi, maka pertempuran berlangsung dengan sengitnya. Kedua belah pihak memiliki orang-orang yang berkemampuan tinggi serta ketrampilan olah senjata, sehingga dengan demikian maka benturan yang terjadi antara kedua pasukan itu adalah benturan yang sangat keras.

Ternyata para cantrik dari Padepokan Watu Kuning yang sebelumnya selalu mendapat keterangan bahwa anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan tidak lebih baik dari anak-anak muda padukuhan-padukuhan yang lain, harus menghadapi kenyataan, bahwa anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang tergabung dalam kelompok-kelompok pengawal bahkan kelompok terpilih adalah anak-anak muda yang mempunyjai bekal yang lengkap untuk turun kemedan pertempuran.

Demikianlah, gelar Garuda Nglayang yang utuh itupun telah bertempur melawan pasukan lawan yang sama sakali tidak tersusun dalam gelar. Karena itu, maka tekanan terberat pada pasukan Tanah Perdikan adalah pada induk pasukan. Kekuatan pasukan Watu Kuning memang seakan-akan berkumpul berkelompok dihadapan induk pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang menebar dalam gelar.

Sementara itu, kedua sayap gelar pasukan Tanah Perdikan Sembojan seakan-akan tidak tersentuh oleh pasukan lawan.

Namun Risang yang pernah menjadi seorang prajurit itupun tanggap akan keadaan pasukannya. Jika ia tetap membiarkan gelarnya melebar, maka induk pasukanlah yang akan mengalami kesulitan sementara kedua sayapnya tidak mendapatkan lawan. Karena itu maka Risangpun telah mengerutkan gelar pasukannya. Dengan lewat penghubungnya ia memerintahkan sayap pasukannya menyesuaikan diri. Tanpa merubah gelarnya, maka pasukan Tanah Perdikan Sembojan akan bertugas sebagai kedua sapit pada gelar Sapit Urang.

Para penghubung itu dengan cepat telah berlari ke gelar Garuda Nglayang. Mereka berbicara dengan para pemimpin sayap untuk segera menyesuaikan diri.

Dengan cepat, maka Kasadha dan Gandari di sayap kanan dan Sambi Wulung dan Jati Wulung di sayap kiri telah membawa pasukannya untuk bergerak melingkar sehingga ujung kedua sayap itu hampir bersentuhan dengan kelompok-kelompok kecil yang menyerang lambung.

Ternyata bahwa dengan demikian, orang-orang Padepokan Watu Kuning seakan-akan justru terkepung. Namun jumlah mereka cukup banyak untuk berusaha menembus kepungan.

Tetapi Ki Gede Watu Kuning sama sekali tidak memerintahkan untuk mematahkan kepungan lawan. Ki Gede masih percaya kepada kemampuan para cantrik dan orang-orang padepokan yang lain sehingga ia tidak memandang perlu untuk mempergunakan cara yang lebih baik daripada membenturkan kekuatannya pada kekuatan lawan.

Sementara pertempuran itu berlangsung, maka kelompok-kelompok kecil pengawal terpilih dari Tanah Perdikan Sembojan yang bertugas menyerang dari belakang, telah dapat menyelesaikan tugas mereka. Orang-orang Watu Kuning yang berada di dapur bersama beberapa pengawalnya tidak berdaya menghadapi para pengawal itu. Merekapun tidak mampu memadamkan api yang membakar semua persediaan makan mereka, karena kesulitan air. Meskipun para pengawal Tanah Perdikan itu seakan-akan tidak menghiraukan mereka dan meninggalkan mereka begitu saja tanpa membunuh atau menciderai mereka kecuali yang memang terbunuh dan terluka dalam pertempuran singkat, namun mereka tidak mampu lagi berbuat apa-apa.

Karena itu, maka pasukan kecil itu segera menyusul gerak pasukan Watu Kuning dan langsung menyerang mereka dari arah belakang.

Dengan demikian maka perhatian orang-orang Padepokan Watu Kuning itu benar-benar telah terpecah. Mereka harus menghadapi serangan dari lambung. Kemudian gelar yang melingkar dan yang terakhir serangan dari arah belakang.

Ki Gede memang menjadi sangat marah. Tetapi ia masih saja berteriak, “Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan memang bodoh. Mereka telah memecah-mecah kekuatan mereka sendiri menjadi kepingan-kepingan kecil yang akan dengan mudah dapat kami hancurkan menjadi debu.”

Tetapi ternyata melakukan hal itu tidak semudah sebagaimana Ki Gede Watu Kuning itu berteriak. Meskipun pasukan Padepokan Watu Kuning itu cukup besar, tetapi perhatian mereka yang terbagi membuat Ki Gede kurang dapat memusatkan perhatian mereka.

Apalagi sekali-sekali pasukan Tanah Perdikan yang dilambung itu bersorak dengan kerasnya justru saat orang-orang Watu Kuning sudah menjadi serak suaranya.

Sesaat kemudian, para pengawal yang menyerang dari belakang itulah yang bersorak. Belum lagi suaranya mereda, maka induk pasukannya bersorak gemuruh bagaikan meruntuhkan langit.

Dalam pada itu, Kasadha yang bertempur di sayap kanan ternyata telah melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebagai seorang prajurit, maka ia melihat bahwa diantara orang-orang Padepokan Watu Kuning, terdapat kelompok-kelompok yang memiliki gaya bertempur para prajurit. Mereka bertempur dalam kesatuan yang tertib. Meskipun mereka berpakaian sebagaimana orang-orang Padepokan Watu Kuning yang lain, namun rasa-rasanya mereka memiliki sikap dan kerja sama yang rasa-rasanya dapat dikenalnya sebagai kelompok-kelompok dalam kesatuan prajurit.

Meskipun demikian Kasadha tidak berani langsung menyebut bahwa mereka adalah sekelompok prajurit yang menyusup diantara orang-orang padepokan Watu Kuning. Menurut pengamatan Kasadha, para pengawal Tanah Perdikanpun mempunyai kesatuan sikap dalam pertempuran sebagaimana prajurit. Apalagi dalam gelar yang utuh sebagaimana nampak pada gelar Garuda Nglayang itu.

Demikianlah ketika matahari mulai memanjat langit, keringatpun mulai mengalir dituduh mereka yang tengah bertempur itu. Panas matahari yang menyengat seakan-akan ikut membakar kemarahan mereka yang sedang bertempur menyabung nyawa itu.

Para pengawal terpilih yang menjadi kelompok-kelompok yang diharapkan dapat membuka jalan, ternyata memang tidak mengecewakan. Kemampuan mereka yang tinggi, serta senjata mereka yang menghentak-hentak telah membuat lawan mereka mengalami kesulitan. Sementara itu, maka para pengawal yang lain berusaha untuk meneruskan tekanan para pengawal yang terpilih itu.

Di induk pasukan, ternyata Risangpun melihat kelompok-kelompok yang memiliki gaya yang berbeda dengan para cantrik yang lain. Kelompok-kelompok yang tidak terlalu mengandalkan kemampuan mereka secara pribadi. Sehingga Risangpun telah menduga, bahwa diantara orang-orang Padepokan Watu Kuning itu. terdapat kelompok-kelompok prajurit atau setidak-tidaknya kelompok-kelompok diluar para cantrik dari Padepokan Watu Kuning itu sendiri.

Tetapi sebelumnya Risang memang sudah mendengar, bahwa Padepokan Watu Kuning ternyata tidak lebih dari sarang kelompok-kelompok yang mempunyai kesamaan sifat, watak dan bahkan pekerjaan yang tidak terpuji. Karena itu kehadiran orang-orang lain dalam pasukan Watu Kuning itu memang memungkinkan sekali.

Namun Risang tidak menjadi gentar. Pasukan pengawal Tanah Perdikan dengan bantuan anak-anak muda pengawal Kademangan diluar Tanah Perdikan itupun jumlahnya cukup banyak. Bahkan masih ada kekuatan cadangan yang berarti jika mereka dipanggil turun ke medan. Meskipun mereka adalah orang-orang yang sudah lebih tua dari para pengawal, namun pada umumnya mereka adalah justru orang-orang yang berpengalaman, sebagaimana ibu Risang dan ibu Kasadha yang masih juga tampil di medan.

Dengan demikian maka pertempuran itupun berlangsung dengan sengitnya. Dua kekuatan yang cukup besar saling berbenturan. Ternyata para pengawal Tanah Perdikan Sembojan tidak seperti yang dibayangkan oleh orang-orang Padepokan Watu Kuning. Mereka memiliki kemampuan dan keberanian untuk melawan para cantrik dari Padepokan Watu Kuning dan kelompok-kelompok yang bertempur bersama mereka.

Seperti yang pernah diberitahukan oleh Pangeran Gagak Baning serta apa yang pernah diketahui oleh ibu Kasadha sendiri, bahwa banyak orang berilmu tinggi yang terlibat dalam pertempuran itu. Diantara mereka adalah Pandansirat dan Wirasrana. Keduanya ternyata memang termasuk pimpinan Padepokan Watu Kuning.

Di induk pasukan Padepokan Watu Kuning, Ki Gede Watu Kuning masih saja berteriak-teriak memberikan perintah-perintah kepada orang-orangnya. Ia sendiri masih belum langsung turun ke pertempuran yang menjadi semakin sengit.

Dalam pada itu, Risang yang berada di paruh gelar Garuda Nglayang memang telah mempersiapkan diri untuk menghadapi pemimpin tertinggi Padepokan Watu Kuning itu. Ia sudah berada bersama beberapa orang pengawal pilihan untuk menembus medan agar ia dapat langsung bertemu dengan Ki Gede Watu Kuning.

Namun ibunya yang melihat usaha itu telah mendekatinya sambil berkata, “Bukan kau lawan orang itu Risang.”

“Aku adalah Kepala Tanah Peprdikan Sembojan,“ jawab Risang.

“Dengar nasehatku,“ berkata ibunya, “Ki Gede adalah orang yang berilmu tinggi. Kau belum sempat menerima ilmu Janget Kinatelon seutuhnya. Meskipun kau sudah siap untuk menerimanya. Sedangkan ibu adalah orang yang pernah menerima ilmu itu langsung dari ketika, kakek dan nenekmu. Akulah yang akan menghadapi Ki Gede Watu Kuning. Tetapi tidak sekarang. Biarlah ibu menunggu orang itu langsung memasuki lidahnya api pertempuran.”

Risang termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak dapat membantah lagi. Ia memang menyadari, bahwa ibunya memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu yang dimilikinya. Tetapi rasa-rasanya ia tidak sampai hati membiarkan ibunya yang sudah menjadi semakin tua itu bertempur melawan Ki Gede Watu Kuning yang tentu seorang yang sangat garang dipertempuran.

Dalam pada itu, maka pertempuran itupun menjadi semakin garang dimana-mana. Bukan saja diinduk pasukan. Tetapi kedua sayap gelar pasukan Tanah Perdikanpun telah bertempur dengan sengitnya pula. Ternyata naluri seorang ibu memang cukup tajam untuk melindungi anaknya. Seperti Risang, maka Kasadhapun telah dicegah ketika ia bersiap untuk menghadapi salah seorang pemimpin Padepokan Watu Kuning yang nampaknya sangat meyakinkan.

Ketika keduanya bertemu di medan, maka orang itu tiba-tiba berkata, “Ternyata aku salah lihat. Aku kira aku berhadapan dengan Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Ternyata bukan meskipun wajahmu mirip sekali.”

Namun yang menyahut adalah ibu Kasadha, “Ia adalah adiknya.”

“O,“ orang itu mengangguk-angguk, “tetapi kau siapa? Seorang perempuan tua yang berani memasuki medan pertempuran yang keras seperti ini? Aku kira kau bukan ibu Kepala Tanah Perdikan ini yang pernah memangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan sebelumnya.”

“Memang bukan,“ jawab ibu Kasadha.

“Jadi kau siapa?“ bertanya orang itu..

“Aku adiknya, kau siapa?“ bertanya ibu Kasadha.

”Jika kau adiknya, kau nampak sedikit lebih tua. Tetapi aku percaya bahwa masa mudamu, sebagaimana masa muda ibu Kepala Tanah Perdikan itu, tentu perempuan-perempuan yang cantik.”

“Mungkin,“ jawab ibu Kasadha. Namun kemudian iapun bertanya, “Siapakah kau? Apakah kau pernah bertemu dengan ibu Risang?”

“Namaku Pandansirat. Aku memang pernah menemui Risang dan ibunya dirumahnya sebelum persoalan ini berkembang semakin buruk,“ berkata orang itu yang ternyata adalah Pandansirat.

“Pendirian Kepala Tanah Perdikan Sembojan sudah tetap. Tinggal ada dua pilihan bagi Padepokan Watu Kuning. Dihancurkan disini atau menarik diri,“ berkata ibu Kasadha.

Tetapi Pandansirat tertawa. Katanya, “Sayang, bahwa kami tidak memilih kedua-duanya. Tetapi kami akan menghancurkan Tanah Perdikan ini dan membangun sebuah Padepokan yang besar, utuh dan berwibawa disamping kekuasaan yang ada di Pajang dan Madiun.”

“Kau ternyata telah bermimpi,“ desis ibu Kasadha.

“Apapun yang kau katakan, kami akan menghancurkan pasukan Tanah Perdikan yang sombong ini,“ geram orang itu.

Kasadha menjadi tidak sabar lagi. Tetapi ketika ia siap untuk menyerang, ibunyalah yang kemudian menantang orang itu, “Cobalah kau lakukan kalau kau mampu.”

“Ibu,“ desis Kasadha.

“Biarkan orang ini. Hati-hati. Lawanmu adalah disekelilingmu. Kau tidak boleh menjadi lengah.”

Orang-orang dari Padepokan Watu Kuning yang berhadapan langsung dengan sayap kanan itu segera mengalami tekanan yang berat. Kasadha dan seorang prajurit yang menyertainya dari Pajang telah bertempur dengan tangkasnya pula. Sementara itu, Kasadha masih juga sempat menilai lawan-lawannya yang berhadapan dengan sayap kanan pasukan pengawal Tanah Perdikan itu.

Semakin lama Kasadha semakin yakin, bahwa didalam lingkungan orang-orang Padepokan Watu Kuning itu terdapat sekelompok prajurit atau sekelompok orang yang menjadi bagian dari pasukan yang lebih teratur dan tertib dari orang-orang Padepokan Watu Kuning sendiri yang nampaknya memang terdiri dari para cantrik perguruan Watu Kuning dan orang-orang yang sekedar ikut bersarang di Padepokan itu. Bahkan semakin lama Kasadhapun semakin menggali orang-orang Watu Kuning dari unsur-unsur gerak mereka yang bersumber dari perguruan yang sama, serta ciri-ciri yang mereka perlihatkan. Teriakan-teriakan dan bahkan umpatan-umpatan mereka. Sementara itu, kelompok yang lain dapat dilihat dari jenis senjata mereka yang sama.

Tetapi Kasadha memang tidak berani mengambil kesimpulan. Apalagi penglihatan yang hanya sepintas karena pertempuran itupun menjadi semakin lama semakin sengit. Hanya karena latihan-latihan yang mantap sajalah para pengawal Tanah Perdikan Sembojan mampu mempertahankan gelarnya sambil menekan kedudukan lawan.

Disayap yang lain, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah bertempur dengan garangnya pula. Keduanya bersama-sama beberapa orang pengawal terpilih seakan-akan mampu menyibakkan pasukan lawan yang bertempur mengandalkan kemampuan pribadi mereka masing-masing.

Namun Sambi Wulung terhenti ketika seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berkulit hitam sambil mengumpat-umpat mendekatinya. Dengan suara yang gemuruh seperti guntur orang itu berteriak lantang, “He, cucurut mabuk. Siapa kau yang berani menyombongkan diri dihadapanku?”

“Bukankah kita sedang berperang?“ bertanya Sambi Wulung, “aku tidak mempunyai kesempatan untuk menyombongkan diriku disini. Agaknya memang tidak ada gunanya. Lebih baik aku menyombongkan diriku dipasar atau disimpang-simpang ampat padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan.”

Sambil tersenyum Pandansirat berkata, “Aku percaya sekarang, bahwa kau pantas berada di medan perang yang garang seperti ini meskipun kau seorang perempuan yang memanjat keusia tua.”

“Aku belum terlalu tua,“ jawab Warsi, “kau lihat bahwa gigiku masih utuh meskipun wajahku nampak lebih tua dari kakak perempuanku.”

Pandansirat termangu-mangu sejenak. Perempuan itu nampaknya memang terlalu yakin akan dirinya. Karena itu, maka ia harus menghadapinya dengan hati-hati.

Sementara itu, beberapa langkah dari Pandansirat, seseorang bertempur dengan tangkasnya. Gerak senjatanya seakan-akan telah mendesak para pengawal yang ada disekitarnya. Suaranya berdesing menaburkan getaran angin yang tajam.

Para pengawal Tanah Perdikan menghadapinya dengan kelompok kecil dari beberapa arah. Namun kadang-kadang’ kelompok itu harus pecah karena para cantrik dari Padepokan Watu Kuning telah menyerang mereka pula dari arah yang berbeda.

Tetapi ayunan senjata orang itu telah tertahan oleh sebilah pedang yang besar dan berat. Seorang yang bertubuh, kekar berdiri dihadapannya.

“Kau bertempur seperti seekor harimau terluka,“ geram orang bersenjata pedang yang besar dan berat itu.

“Kau siapa,“ geram orang Padepokan Watu Kuning yang sedang mengamuk itu.

“Namaku Gandar,“ jawab orang berpedang besar dan berat itu. Bahkan katanya kemudian, “Kau tentu orang yang pernah datang ke rumah Kepala Tanah Perdikan sekitar sepekan yang lalu.”

“Kau melihat aku waktu itu?“ bertanya orang itu.

“Ya,“ jawab Gandar, “kau berdua menghadap Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Bukankah namamu Wirasrana.”

“Ya. Namaku Wirasrana,“ jawab orang itu, “nah, kita ternyata sudah saling mengenal. Jika aku membunuhmu, aku dapat berceritera bahwa aku telah membunuh Gandar.”

Gandar tidak menjawab. Namun pedangnya yang berat itulah yang mulai bergerak terjulur lurus mengarah kepada Wirasrana. Wirasrana mundur selangkah. Ia sadar, bahwa Gandar belum benar-benar menyerangnya.

Demikianlah, maka keduanyapun segera saling menja-jagi. Keduanya sudah saling menduga, bahwa lawan mereka adalah orang berilmu tinggi.

Seorang Putut dari Padepokan Watu Kuning menjadi heran, ketika ia bertemu dengan seorang perempuan yang garang dimedan perang. Bibi Kasadha yang bersenjata pedang telah menggetarkan pertahanan Putut itu. Apalagi ketika keduanya terlibat dalam pertempuran yang semakin cepat. Maka perempuan itu ternyata memiliki ketangkasan yang tidak diduga sebelumnya. Sehingga dengan demikian maka Putut itu harus bertempur dengan sangat berhati-hati.

~Semoga Postingannya Bermanfaat. Silahkan meninggalkan komentar walaupun hanya sepatah kata~