Pendekar Patung Emas

Pendekar Patung Emas

Judul Baru : Pendekar Bersinar Kuning

Karya : Qing Hong

diterjemahkan Tjan Ing Djoe Tahun 1971

Di Upload Masroni/Mazrizki di Indozone

Final editor & PDF Ebook by : Dewi KZ

Source : Tiraikasih website http://kangzusi.com/

Jilid 1.1. Majikan Patung Emas yang misterius

Suatu tengah hari yang terik di padang gurun yang kering,

sesosok tubuh berjalan melintasi lautan pasir itu dengan perlahan.

Tak ada orang lain lagi yang ada di jalan itu. Tampak peluh

bercucuran di dahi dan sekali-kali terdengar hembusan napas yang

perlahan. Sejumlah elang pemakan daging terbang berputarputaran

di atas langit, siap memangsa kalau orang itu rubuh.

Kiranya sesosok tubuh itu sudah tidak kuat menahan haus dan

lapar serta keletihan, rubuhlah dia di atas permukaan tanah. Elangelang

di atas memperhatikan sambil berputaran, untuk menyaksikan

bahwa tubuh di bawah itu sudah binasa.

Beberapa saat kemudian…dengan lekas elang-elang itu mulai

menukik ke bawah sambil mementangkan cakarnya yang tajam siap

menjobek daging manusia yang dikiranya sudah menjadi majat tersebut.

Mendadak…suatu peristiwa yang sangat aneh telah terjadi.

Tangan kanan dari orang itu mendadak bagaikan kilat cepatnya

menyapu ke atasnya, disusul dengan pukulan yang dahsyat dan

tepat mengenai kepalanya.

Pukulan ini dilancarkan begitu cepat serta tepat , Oleh sebab itu

‘kesempatan’ bagi elang itu untuk merasakan terkejutnya, belum

sernpat kepalanya telah hancur luluh dan rnenggeletak ke atas

tanah, sajapnya rnemukul mukul beberapa kali di atas tanah

kemudian tenang kembali.

Dengan cepat orang itu bangkit berdiri, dari dalam sakunya

mencabut keluar sebilah pisau belati yang amat tajam, dengan

sekali tabason kepala elang itu jatuh menggelinding: Tububnya

dengart cepat di pungut sedang darah yang mulai memancar keluar

dengan derasnya itu diisap dengan lahapnya.

Hal ini memperlihatkan kalau orang tersebut amat lapar serta

dahaga, dia terus menghisap darah segar hingga betul-betul habis

baru berhenti, sambil menghembuskan nafas lega dia menampilkan

senjuman kekemenangannya. Gumamnnya:

“Hidup sebagai seekor binatang, di dalam perebutan untuk

melanjutkan hidup kau telah kalah satu langkah dari aku”

Orang itu berusia kurang lebih dua puluh tiga tahunan, bajunya

compang camping, rambutnya kusut tetapi air mukanya masih tetap

segar. Mungkin dikarenakan baru saja melakukan perjalanan jauh di

bawah terik matahari sebingga wajahnia telah berubah menjadi

kecoklatan-kecoklatan bahkan berlapiskan minyak. Tetapi sekali

pun bentuknya kurang sedap dipandang, sepasang matanya

memancarkan sinar yang amat tajam bahkan penuh dengan

semangat untuk tetap mempertahankan hidupnya.

Dengan perlahan lahan dia bangun berdiri sambil menenteng

binatang elang itu dengan perlahan berjalan ke bawah sebuah

pohon siong dan tangannya mulai bekerja menguliti elang itu

kermudian membelah perutnya, mengumpulkan kaju bakar menjulut

api.

Kelihatannya dia telah beberapa hari menderita kelaparan, oleh

karena itu baru saja daging elang itu matang dengan lahapnya dia

telah menyikat tanpa sungkan sungkan, tidak ada beberapa saat

lamanya seluruh daging elang itu telah berpindah ke dalam

perutnya.

Sambil menepuk nepuk perutnya pada bibirnya tersungging suatu

senjuman gumamnya:

“Bagus? kali ini mungkin rnasih bisa bertahan dua tiga hari lagi .

..”

Setelah itu dengan perlahan dia mulai melemaskan otot otot kaki

dan tangannya, punggungnya bersandar pada batang pohon

sedang tangannya, merogoh ke dalam sakunya mengambil keluar

lima carik kertas yang penuh berisikan tulisan, sinar matanya

dengan tajam memandang kearah tulisan itu sedang mulutnya tak

henti-hentinya berkata:

’Berjalan kearah Barat tiga ratus lie, gunung Pek Gouw San di

bawah puncak Gouw Ong Hong. . Berjalan kearah Barat laut dua

ratus li, di bawah pohon siong yang tua di atas gunung Mao Gouw

San . Berjalan kearah selatan dua ratus lie, di atas gunung Sek To

San di dalam gua Sek To Tong… Berjalan kearah Barat dua ratus li,

di atas puncak gunung Koang Mao San. berjalan kearah Barat dua

ratus li. daIam gua Hu Lu Tong di atas gunung Lo Cin San …’

Sehabis membaca kelima carik kertas tersebut dia menarik napas

panjang, pikirnya:

“Aku telah melakukan perjalanan sejauh seribu li, disaat sebelum

malam nanti mungkin aku telah sampai di dalam gua Hu Lu Tong di

atas gunung Lo Cin San semoga saja kali ini merupakan penderi

taan yang diberikan padaku untuk terakhir kaIinya…

Setelah berpikir keras seorang diri dengan perlahan dia mulai

memasukkan kelima carik kertas itu ke dalam sakunya.

Pada saat itu terdapat seekor burung elang lagi yang terbang

mengitari kepalanya tetapi burung elang itu sama sekali tidak

tertarik pada dirinya lagi. Dengan cepat dia mulai melanjutkan

perjalanannya menuju kearah Barat.

Dengan rnenggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang cepat

bagaikan kilat tak berapa lama rentetan pegunungan Lo Cin San

secara samar-samar mulai terlihat di hadapan matanya.

Pada saat itu matahari dengan perlahan mulai menyembunyikan

diri di balik pegunungan Lo Cin San, sedang dirinya pun telah

berada di bawah lereng gunuing itu.

Dari kejauhan dilihatnya seorang kakek tua sedang duduk di

bawah sebuah pohon besar, dengan cepat dia lari menjongsong

kearahnya sambil merangkap tangannya memberi hormat ujarnya:

”Losianseng permisi !”

“Ada urusan apa?” tanya kakek tua itu sambil mengangkat

kepalanya sedang air mukanya menunjukkan perasaan yang amat

heran.

Sambil menunjuk kearah rentetan gunung Lo Cin San tanyanya:

-Gunung itu apa disebut sebagai gunung Lo Cin San?

“Benar, sahut kakek tua itu sambil mengangguk.

”Kenapa gunung itu disebut sebagai gunung Lo Cin San?–

“Menurut dongeng jaman dahulu, seorang yang bernama LoaCin

pernah bertapa digunung ini oleh karena itulah gunung ini disebut

sebagai gunung Lo Cin San Lo-te kenapa kau menanyakan tentang

hal ini?”

“Aku punya rencana untuk melihat pemandangan di atas gunung

ini, aku dengar di atas gunung ini ada sebuah gua yang disebutsebagai

gua Hu Lu Tong atau gua cupu-cupu,apa betul?”

Tidak pernah kudengar nama itu” sahut kakek tua itu sambil

menggelengkan kepalanya., ”Tetapi di atas gunung ini memang ada

sebuah gua hanya letaknya jauh di puncak gunung. Pada masa

muda dahulu Lo hu pernah naik sekali ke atas puncak dan melihat

gua itu keadaannya memang sangat aneh tetapi menarik sekali,

hanya….apa..Lo-te benar-benar datang untuk berpesiar?,.

Kakek tua itu bisa miengeluarkan pertanyaan ini dikarenakan

pakaian yang digunakan olehnya telah compang camping sehingga

mirip sekali dengan seorang pengemis sehingga sudah tentu dengan

bentuk seperti ini tidak mirip seorang yang sedang berpesiar.

Sebaliknya dia tidak menyawab atas pertanyaannya itu, sambil

tersenjum matanya memandang tajam ke atas puncak gunung Lo

Cin san, tanyanya lagi:

” Gua yang kau orang tua katakan tadi kurang lebih terletak pada

puncak sebelah mana ?”

Kakek tua itu dengan cepat mengangkat jarinya menunjuk

kearah sebuah jalan gunung yang kecil sahutnya kemudian:

“Lo-te kau dapat mengikuti jalanan gunung ini mendaki ke atas

gunung, JaIanlah terus sampai tidak ada jalanan lagi dimana

terdapat tiga buah puncak gunung, gua tersebut terletak di atas

puncak gunung yang berada di tengah. ”

Dia berhenti sejenak kemudian sambungnya lagi:

”Kini hari telah hampir gelap, bila Lo-te ingin berpesiar ke atas

gunung lebih baik besok pagi saja baru pergi, ditengah malam

banyak binatang buas yang berkeliaran, bahaja sekali bagi dirimu,”

”Tidak ada halangan ” Sahutnya sambil tersenjum. ,””Cayhe

adalah seorang pemburu, tentang binatang buas bukanlah

merupakan soal yang sulit bagiku terima kasih atas petunjuk dari

kau orang tua, aku minta diri dahulu”

Tangannya dirangkap memberi hormat kemudian dengan

langkah yang lebar berjalan kearah jalanan kecil itu.

Disekitar daerah gunung Lo Cin San seluas beberapa lie saat itu

teiah diliputi oleh kabut yang amat tebal karena itulah baru saja

berjalan tidak jauh dari jalanan gunung itu dia sudah tidak dapat

melihat dengan jelas kearah kakek tua itu, bagaikan kilat cepatnya

dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya sehingga laksana

seekor kelinci dengan gesitnya lari ke atas gunung.

Di dalam sekejap saja jalanan gunung itu telah mencapai pada

ujungnya, di hadapannya terbentanglah sebuah rimba yang amat

gelap dan liar. Ketika dia mengangkat kepalanya memandang ke

atas terlihatlah kurang lebih setengah li di hadapannya menjulang

tinggi tiga buah puncak yang diliwati oleh awan tebal:

Melihat hal itu tak terasa dia menghela napas panjang pikirnya:

“Bila hendak mendaki ke atas puncak gunung itu kita harus

membutuhkan waktu setengah harian, bilamana di dalam gua Hu Lu

Tong itu sekali lagi dia meninggalkan sepucuk surat memerintahkan

diriku pergi ke tempat lain. boleh dikata perbuatannya ini sangat

keterlaluan.”

Baru saja berpikir sampai di situ mendadak dari belakang

tubuhnya menyambar datang sebuah senyata rahasia yang disertai

dengan desiran angin keras…agaknya sebuah batu cadas sedang

disambitkan tepat mengarah batok kepalanya:

Hatinya menjadi tergetar, tubuhnya dengan cepat menyingkir ke

samping sedang tangan kanannya jajunkan menyambut datangnya

batu cadas itu.

Ketika benda itu berhasil ditangkap hatInya menjadi sangat

mendongkol kiranya hanya sebuah buah Tho yang telah masak.

Melihat hal itu dia menjadi tertegun, ketika mengangkat

kepalanya memandang terlihatlah di atas sebuah pohon yang lebat

tidak jauh dari dirinya bergergelantungan seekor kera dengan

lincahnya, sedang mulutnya tidak henti-hentinya mengeluarkan

suara mencicit yang ramai. keadaannya sangat lucu sekali.

”Binatang, kau berani menggoda aku”

Baru saja suara bentakannya keluar darimulut tubuhnya bagaikan

sebuah anak panah yang terlepas dari busurnya meluncur kearah

pohon besar itu:

Dengan mengeluarkan suara mencicit kera itu dengan cepat

menyambar sebuah akar pohon dan melayang kepohon yang lain.

Melihat hal itu hawa amarahnya semakin memuncak, bentaknya

dengan keras:

Kau larilah, aku hendak melihat kau bisa lari seberapa jauh”

Tubuhnya dengan lincah .berjumpalitan ditengah udara sedang

ujung kakinya dengan ringan menutul ke atas batang pohon,

Dengan kecepatan yang luar biasa sekali lagi dia melayang kearah

pohon tersebut.

Siapa tahu…. menanti dia melayang ke arah pohon itu kera

tersebut telah lari kearah sebuah pohon lain. Lagi kira-kira tiga depa

.dari tempat semula.

Kali ini hawa amarahnya benar-benar telah meledak, sambil

bersuit nyaring tubuhnya sekali lagi mumbul ke atas dan berkelebat

ke arah pohon itu, dengan sekuat tenaga dia mengerahkan seluruh

kepandaian meringankan tubuhnya mengejar kera itu.

Dalam hatinya dia telah rnengambil keputusan akan

menggunakan ilmu meringankan tubuh serta sepasang kepalannia

untuk menangkap kera itu hidup-hidup.

Siapa tahu gerak gerik dari kera itu jauh lebih lincah, sekali pun

dia tak memiliki kepandaian sehingga tidak dapat berlari dengan

cepat tetapi loncatannya dari sebuah pohon kepohon yang lain amat

cepat sekali,sekali pun orang lelaki itu telah mengerahkan seluruh

tenaganya tidak lebih jaraknya masih tetap tertinggal tiga depa di

belakang

Hanya yang untung, arah yang ditempuh oleh kera itu tepat

merupakan puncak gunung yang dituju olehnya.

Oleh sebab itulah semakin mengejar dia semakin bersemangat,

karena dia merasa sekali pun tidak berhasil mengejar kera tersebut

tetapi tenaganya juga tidak dibuang secara percuma.

Akhirnya sesosok tubuh manusia dengan seekor kera, yang satu

berada di depan sedarng yang lain berada di belakang mengejar,

bagaikan meluncurnya sebuah bintang dari langit dengan cepat

berkelebat diantara Rimba itu.

Di dalam sekejap saja mereka telah tiba di bawah puncak

gunung, sedang waktu itu jarak antara dirinya dengan kera tersebut

juga dari tiga depa makin lama makin dekat hingga tinggal satu

depa setengah saja. Kelihatannya hanya tinggal beberapa langkah

saja dia akan berhasil menawan kera tersebut.

Tetapi di dalam sekejap itu pula kera tersebut telah mencapai di

dalam rimba pada bawah puncak gunung. Hanya dengan beberapa

loncatan saja tubuh kera itu telah lenyap dari pandangan.

Kiranya puncak gunung itu sekali pun tingginya beberapa ratus

kaki tetapi pada lerengnya penuh ditumbuhi dengan pepohonan

yang lebat, sedang kepandaian memanyat dari kera itu bagaimana

pun juga jauh lebih tinggi satu tingkat dari manusia sehingga

dengan demikian ketika mengejar hingga ke bawah puncak, kera

itu telah berhasil melarikan dirinya tak menentu.

Dengan cepat dia menghentikan langkah kakinnya sambil

mengeringkan keringat yang mengucur keluar membasahi

keningnya. Terpikir kembali ketika tadi siang dia membunuh burung

elang. Tak terasa dia tertawa pahit, gumamnya:

Sungguh menarik sekali aku dapat menangkap seekor burung

elang yang terbang jauh ditengah awang-awang tetapi tidak

berhasil menangkap seekor kera yang lari di atas pohon .

Tetapi sekali pun demikian dia tidak menjadi sedih.

pengejarannya kali ini tidak sia sia belaka, karena puncak di

hadapannya memang harus didaki malam itu juga.

Sesudah beristirahat sejenak mulailah dia berjalan mendaki

puncak itu, sekaIi pun harus mengerahkan seluruh tenaganya tetapi

setindak demi setindak dia terus melanjutkan perjalanannya.

Tidak sampai sepertanak nasi dia telahberada di atas puncak

gunung itu, bahkan dengan tidak usah susah payah lagi telah

menemukan sebuah gua di atas puncak itu.

Gua itu tertetak pada ujung sebelah kiri dari puncak gunung itu,

lebarnya tidak lebih tiga depa sedang tingginia kurang lebih dua

depa sehingga mirip sekali dengan sebuah tebing yang retak,

”Inikah yang disebut sebagai “Gua Hu Lu Tong “ atau gua cupucupu??

Hm .. tentu tidak salah, bukankah tadi kakek tua itu bilang

kalau di atas gunung Lo Cin San ini hanya terdapat sebuah gua saja,

Kalau begitu gua ini tentu adalah gua Hu Lu Tong yang sedang

dicari olehnya.

Dalam hatinya dia terus berpikir sedang kakinya tetap berhenti

pada tempat semula, dia takut kalau dalam gua itu akan

menemukan secarik kertas lagi yang tertuliskan”

“Berjalan kearah……..dua ratus li di atas gunung……

puncak……..atau gua….”Karena dia telah melakukan perjalanan

sejauh seribu li, sebenarnya dia sudah merasa tidak sabar lagi

dipermainkan oleh orang lain:

Setelah bingung beberapa saat lamanya barulah dengan hati

yang tidak tenang dan ragu-ragu dengan perlahan mulai berjalan

memasuki gua itu,

Satelah berjalan enam tujuh tindak. di hadapannya terbentanglah

sebuah gua yang amat lebar. perkataan dari kakek tua itu ternyata

tidak salah, keadaan dari goa itu memang benar-benar sangat aneh.

Sekeliling tempat itu penuh berserakan batu-batu cadas yang

amat aneh bentuknya ada yang berbentuk harimau sedang tidur ada

pula yang berbentuk kera sedang meloncat bahkan ada yang

menjerupai sebuah tugu yang tinggi bersusun-susun. Pemandangan

tempat itu benar-benar sangat mengagumkan,

Sebaliknya, pada saat itu dia sama sekali tidak punya minat

untuk menikmati keindahan alam goa itu, setelah memeriksa ke

adaan sekeliling goa tersebut segera dia, terjerumus ke dalam

perasaan yang kecewa serta bingung,

Yang membuat dia kecewa adalah, kiranya dalam goa itu sama

sekali tidak dijumpai orang yang hendak ditemuinya itu,

Sedang yang membuat dia bingung adalah, dia. merasa curiga

apakah gua ini benar-benar- merupakan gua Hu Lu Tong. yang

dimaksud orang itu di dalam suratnya.

Karena jika ditinyau dari nama goaitu tentunya bentuk dari goa

Hu Lu Tong ini mirip dengan sehuah cupu-cupu, seharusnyalah

terdapat dua buah gua yang besar baru cocok dengan nama itu,

tetapi yang dilihatnya sekarang ini hanya sebuah goa biasa saja

sedang di samping dan di hadapannya sama sekali tidak terlihat

jalan yang menghubungkan gua itu, oleh sebab itulah dia dapat

mengambil kesimpulan bahwa selain gua “Hu Lu Tong” ini mungkin

dinamakan begitu karena sebab-sebab lain maka gua itu bukanlah

gun cupu-cupu atau gua Hu Lu Tong yang sedang dicarinya.

Tetapi, bukankah tadi kakek tua itu bilang kalau di atas gunung

Lo Cin San ini hanya terdapat sebuah gua saja? Bilamana gua ini

bukan cupu-cupu lalu gua cupu-cupu yang sebenarnya terletak

dimana?

Sambil berpikir dengan telitinya dia melanjutkan pemeriksaannya

terhadap setiap jengkal tanah dari gua itu, semakin dia melihat

keadaannya semakin dia dapat mengambil kesimpulan kalau gua itu

bukanlah gua cupu-cupu yang sedang dicarinya.

Alasan dari kesimpulannya ini karena gua itu jika benar gua

cupu-cupu yang sedang dicarinya kenapa orang itu tidak datang

menemui dirinya atau meninggalkan secarik kertas pada suatu

tempat yang menjolok?

Pada waktu-waktu yang lalu orang itu tentu meletakkan secarik

kertas pada tempat yang menjolok bahkan di samping kertas itu

terdapat sebuah pukulan telapak yang amat nyata, sedang jika

dilihat keadaan gua ini sama sekali tidak terdapat tanda-tanda

adanya secarik kertas yang ditinggalkan.

Dengan perlahan dia menghela napas panjang, kemudian

memutarkan tubuhnya berjalan keluar dari gua itu.

”He..hee…kenapa kau mau pergi?”

Suara itu secara mendadak sekali berkumandang keluar dari

dalam gua itu bahkan suara itu sangat mendatar, sedikit pun tidak

memperlihatkan suara dari seorang manusia

Tubuhnya terasa tergetar dengan kerasnya bahkan dengan cepat

menjadi kaku bagaikan sebuah patung arca.

”Kau sudah betul menemukan tempat yang kau cari kenapa kini

malah mau pergi?”

Suara itu berkumandang keluar lagi dari dalam gua bahkan

bergetar dengan tak henti-hentinya dalam ruangan gua yang

kosong itu, membuat orang sukar mengetahui tempat

persembunyiannya.

Dengan cepat dia memutar tubuhnya memandang keempat

penjuru, dengan perasaan yang amat terkejut tanyanya: ”Kau?”

”Tidak salah….” sahut orang itu dengan amat dingin. Sepasang

matanya yang amat tajam dengan cepat menyapu kesekeliling goa

itu, sedang perasaan terkejut yang menghiasi wajahnya semakin

tebal, serunya:

”Kau .. kau berada dimana ?”

Pada jarak kurang lebih dua depa dari dirinya berdiri mendadak

berkumandang suara : ” Ting… ting…ting ” yang nyaring seperti

sebuah benda yang terbuat dari besi terbentar pada tanah,

kemudian terdengar sahutan dari orang itu:

”Aku berada di sini “

Dengan kecepatan yang luar biasa da memutar tubuhnya, tetapi

begitu dia melihat kearah mana tak terasa bulu kuduknya pada

berdiri secara mendadak, dengan cepat dia mengundurkan dirinya

satu langkah ke belakang.

Apakah orang itu bentuknya sangat jelek sehingga menakutkan ?

Bukan, karena orang itu tak lain adalah sebuah patung arca yang

terbuat dari emas yang amat menyilaukan mata.

Kiranya didalarn goa itu telah berdiri sebuah patung arca yang

terbuat dari emas, Tingginya kurang lebih dua depa sedang

wajahnya kelihatan amat gagah sekali.

Pada kepalanya memakai sebuah kopiah pahlawan, pada

tubuhnya memakai seperangkat pakaian yang amat ketat sedang

pada tangannya mencekal sebilah pedang panjang, sepanjang

delapan cun, kelihatannya sangat gagah sekali bahkan mirip dengan

seorang jago pedang kenamaan.

Dia dengan kakunya berdiri di atas sebuah batu cadas yang rata

di hadapannya.

Dengan perasaan yang amat terkejut dia memandang tajam

kearah patung emas itu beberapa saat lamanya, kemudian dengan

nada yang agak gemetar tanyanya:

“Kau …..kau manusia atau setan ?”

Patung emas itu tertawa aneh, balik tanyanya:

”Kau percaya di dalam dunia ini benar-benar ada setan?”

”Tidak!” Kali ini dia dapat mendengar dengan amat jelas suara itu

bukan berasal dari patung emas itu sebaliknya berasal dari dalam

gua di belakang patung emas tersebut. Sudah tentu orang itu kini

sedang bersembunyi di atas atap gua itu.

Pada saat itulah dia baru dapat menghembuskan napas lega,

dengan perlahan dia berjalan maju beberapa langkah ke depan.

Ketika dia memandang lebih teliti lagi barulah terlihat olehnya kalau

pada tubuh patung emas itu bergantungan beberapa utas tali

berwarna hitam sudah tentu tali itu digunakan untuk menggerakkan

patung emas tersebut.

Kesepuluh tali hitam itu bergantungan dari atas atap dinding gua,

dengan demikian dia dapat memastikan kalau benda itu diturunkan

dari atas gua, Hanya sajang ketika dia memandang lebih tajam lagi

ke atas dinding itu sama sekali tidak terlihat apa-apa olehnya,

karena sebuah batu cadas yang amat besar menutupi

pandangannya.

Dengan cepat dia menggerakkan kakinya lagi, pikirnya hendak

maju lagi hingga dapat melihat jelas orang yang bersembunyi di

atas atap dinding gua tersebut.

Siapa tahu mendadak terdengar suara bentakan yang amat

keras:

“Berhenti. Kau tidak dapat berjalan lebih dekat lagi !”

Bersamaan dengan suara bentakan orang itu, tiba-tiba patung

emas itu telah maju satu tindak ke depan, “pedang panjang”

ditangannya dengan cepat dilintangkan ke depan menghalangi

perjalanannya.

Tak terasa dalam hati dia menjadi amat geli, terpaksa ia

menghentikan langkahnya sambil angkat kepaia tanyanya lagi

”Siapakah kau sebenanya?”

”Kau tak perlu tahu” sahut orang itu dengan nada yang dingin.

”Lalu kenapa kau bersembunyi di atas?”

”Tentang hal ini kau juga tidak perlu tahu”

Tidak terasa lagi dia mengerutkan alisnya, sambil tertawa pahit

tanyanya lagi

”Oh… kiranya aku tidak boleh mengetahui semua-semuanya!”

”Dengan menempuh seribu li jauhnya kau datang kemari,

tentunya kau ingin menanyakan nama serta asal usulku bukan?”

“ Dia termenung berpikir keras beberapa saat lamanya, kemudian

dengan mengangkat bahu sahutnya

“Perkataanmu boleh tidak salah, tidak perduli di tempat mana

pun asalkan ada dua orang yang tidak saling kenal bila bertemu

sudah tentu harus memperkenalkan nama masing-masing.

“Tetapi keadaan kali ini tidak sama” sahut orang itu singkat

“Keadaan ini membuat aku merasa jauh diluar dugaan”,

Orang itu tertawa terbahak bahak, sahutnya:

“ Ada suatu urusan yang tak akan diuar dugaanmu, kali ini aku

membantu kau untuk mencapai cita-cita yang kau inginkan”

– Benarkah?- tanyanya sambil tertawa pahit,

Nada dari orang itu segera berubah, dengan nada yang amat

serius sahutnya, ”Tidak salah, kini jawablah pertanyaanku terlebih

dahulu: Siapa namamu?”

Da menjadi ragu-ragu untuk sesaat lamanya, seperminum teh

kemudian barulah ujarnya:

“ Kau tidak mau memberitahukan padaku siapakah sebenarnya

dirimu kenapa aku harus memberi tahukan namaku padamu?”

” Baiklah. Kalau tak mau bilang juga tidak mengapa”

”Tidak, aku akan memberitahukan padamu” sahutnya sambil

tertawa paksa: ”Aku she Ti bernama Then”

“Ooh apakah kau adalah Hek Ie hiap atau si pendekar berbaju

hitam Ti Then: yang telah menggemparkan seluruh dunia

kangouw?” tanya orang itu dengan nada yang agak terkejut.

”Benar” sahut Ti Then singkat,

”Kepandaian silatmu tidak cetek bahkan menurut berita dalam

Bu-lim saat ini kau sukar untukmendapatkan tandingan, Kenapa kau

malah pergi ke atas puncak gunung Kim Teng San mohon Put Tong

Ong alias si Kakek Pemalas Kay Kong Beng menerima dirimu

sebagai murid?”

Dengan senjuman sedih sahut Ti Then:

”Sebab-Sebab ini apa aku harus memberitahukan padamu juga?”

”Aku tidak memerintahkan kau harus memberitahukan padaku”

”Kalau begitu kebetulan sekali ” sahut Ti Then dengan serius:

”Aku minta maaf sebesar-besarnya karena sebab-sebab ini aku tidak

dapat diberitahukan padamu..”

Orang itu tertawa tergelak, ujarnya:

”Tidak ada halangan, kau ada rahasia yang tidak dapat

diberitahukan pada orang lain pula, apalagi aku punya niat untuk

menurunkan kepandaian silat padamu”

”Kau ingin menurunkan kepandaian silat kepada diriku?” tanya Ti

Then dengan termangu-mangu, ”Kenapa kau

memancing aku untuk menempuh perjalanan sejauh seribu li?”

”Aku ingin mewarisi kau ilmu silat”

Ti Then tidak menyawab lagi, pada saat ini benar-benar dia telah

dibikin bingung oleh kelakuannya yang aneh serta melanggar

kebiasaan itu.

Orang itu tertawa lagi, ujarnya:

”Hari itu secara kebetulan aku melihat kau berlutut di atas

gunung Kim Teng San di depan Kakek Pemalas untuk minta dia

menerima dirimu sebagai muridnya. Seballiknya si kakek pemalas itu

tetap seperti sebuah patung malas tak menghiraukan dirimu, pada

saat itulah timbul keinginanku untuk mewarisi kepandaian silat

padamu.”

Dia berhenti sejernak kemudian lanjutnya lagi:

“Sudah tentu, kepandaian yang kau dapat dari diriku jika

dibandingkan dengan kepandaian yang didapatkan dari si Kakek

Pemalas jauh lebih liehay beberapa kali lipat, aku pernah memukul

rubuh dirinya”

Pada saat Ti Then untuk pertama kali menerima surat yang

ditinggalnya ditambah lagi telapak tangan yang ditinggalkan di atas

batu cadas, dalam hatinya telah tahu kalau kepandaiannya sangat

tinggi sekali, tetap kini ketika mendengar kalau dia pernah

mengalahkan diri si kakek pemalas Kay Kong Beng hatinya malah

merasa tidak percaya, oleh karena selama puluhan tahun kakek

pemalas Kay Kong Beng telah dianggap sebagai jago nomor wahid

di dalam Bu-lim, kepandaian silat yang dimilikinya sejak dahulu telah

dikenal oleh orang-orang Bu-lim, bahkan tidak pernah terdengar

berita ada orang yang bisa bertempur seimbang dengan dirinya,

semakin tidak pernah didengar pula kalau dia pernah dikalahkan

oleh orang lain.

Kini, ‘Majikan patung emas’ itu mengaku pernah mengalahkan

diri si kakek Pemalas sudah tentu dia tidak mau mempercayai

perkataannya itu

Agaknya orang itu tahu kalau Ti Then tidak mau percaya atas

perkataannya, sambil tetap tertawa ujarnya lagi:

”Bilamana kau tidak percaya pada kesempatan dikemudian hari

kau boleh bertanya pada dirinya apa dia pernah dikalahkan oleh

seorang yang bernama majikan patung emas……he…he…he… aku

pikir tentunya dia tidak berani mengakuinya oleh karena dia tahu.,

kalau aku belum mati”

”Aku akan mempercayainya”

”Kini kau tidak percaya juga tidak mengapa” sahut majikan

patung emas itu sambil tertawa, ”Pokoknya pada suatu hari tentu

kau dapat membuktikan kebenaran perkataanku ini”

”Tetapi aku tidak punya minat untuk belajar kepandaian dari

dirimu” ujar Ti Then tiba-tiba.

Agaknya majikan patung emas itu tidak pernah menyangka kalau

Ti Then dapat mengucapkan perkataan itu, untuk sesaat lamanya

dia dibuat tertegun agaknya. Setelah lewat beberapa saat lamanya

barulah tanyanya:

“Kenapa kau tidak punya minat?”

”Oleh karena aku tidak mau berhutang budi dari dirimu” sahut Ti

Then dengan kukuhnya.

Sehabis berkata dengan cepat dia membalikkan tubuhnya

meninggalkan gua tersebut.

”Tunggu sebentar” seru majikan patung emas itu dengan keras.

Dengan cepat Ti Then menghentikan langkahnya, tanyanya

dengan perlahan:

”Ada petunjuk apa lagi?”

Kau tidak ingin berhutang budi dari diriku apakah dikarenakan

aku tidak mau mengangkat kau sebagai muridku?”

Ti Then mengangguk dengan perlahan, sahutnya:

“Benar, Bilamana kau mau menerima aku sebagai

muridmu:.dengan begitu hubungan kita adalah guru dengan murid,

sudah tentu sebagai murid dapat bela¬jar kepandaian dari dirimu.

Kini kau. tidak mau menerima aku sebagai murid sudah tentu aku

tidak punya alasan untuk belajar kepandaian dari dirimu”

“He..hee..kelihatannya sifatmu amat jujur dan polos: he… he. .”

Ti Then tidak menyawab, dengan melanjutkan langkah kakinya

dia berjalan keluar dari dalam gua.

“Jangan pergi dulu” teriak majikan patung emas itu. ”Bagaimana

jika kita saling bertukar beberapa syarat?”

”Saling bertukar syarat?” tanya Ti Then sambil memutarkan

tubuhnya.

”Aku akan menurunkan kepandaian silat pada dirimu hingga kau

dapat menjadi jago nomor tiga dalam dunia ini, sedang kau

melakukan pekerjaan bagiku sebagai pembalasannya”

”Apa yang kau maksudkan dengan jago nomor tiga dari dunia?”

tanya Ti Then sambil tertawa.

”Artinya aku punya cara untuk membuat dirimu berubah menjadi

seorang jago yang memiliki kepandaian sangat tinggi dan dapat

menjagoi seluruh dunia selama setengah tahun ini. Selain aku

beserta si Kakek pemalas kau dapat dihitung paling lihay dalam

dunia ini”

Hati Ti Then menjadi tértarik akan perkataannya, bukannya dia

punya ambisi untuk menjadi jago nomor tiga dalam dunia melainkan

karena dia merasa bilamana dia dapat berhasiI melatih ilmu hingga

setinggi itu maka urusan pribadinya dapat diselesaikan dengan

sangat mudah. Maka tanyanya lagi:

“Benarkah kau dapat mengubah aku menjadi jago nomor tiga di

dalam dunia ini ?”

“Sama sekali tidak ada persoalan. sesudah kau selesai melatih

ilmumu bilamana di dalam Bu-lim kau bisa menemui orang yang

bertempur seimbang dengan dirimu, maka kau dapat mengnapus

perjanyian diantara kita dan tidak usah melakukan pekerjaan sesuai

dengan perintahku”

Dia berhenti sejennk, kemudian lanjutnya lagi:

“Sudah tentu kau tidak dapat sengaja mengaiah kepada orang

lain kemudian mengingkari perjanyian kita”

“Bilamana aku menyanggupi sudah tentu tidak akan berbuat

pekerjaan seperti itu.” sahut Ti Then tegas,

“Kau menyanggupi tidak?”

„Kau menjuruh aku berbuat pekerjaan apa?” tanya Ti Then.

“Mudah sekali permintaanku, aku hanya ingin kau berbuat seperti

ini, ha.. . ha.. ha ..”

Sambil tertawa dia mulai menggerakkan kaki serta tangan patung

ema tersebut.

Semula Ti Then menjadi tertegun dibuatnya, kemudian

sambil.tersenjum sahutnya:

”Maaf saja. Aku bukan seorang pandai besi, sudah tentu tidak

bisa membuat patung seperti itu”

”Kau telab menyalahkan artiku, aku bukannya minta kau buatkan

sebuah patung besi bagiku, apa yang aku perintahkan maka kau

lakukanlah perintahku itu tanpa mernbantah.”

Di dalam hati sekali pun Ti Then merasa amat gusar tetapi tidak

sampai diperlihatkan pada wajahnya, dengan angkat kepalanya dia

tertawa keras kemudian membalikkan tubuhnya dengan langkah

yang lebar berjalan keluar dari dalam gua.

Melihat hal itu segera majikan patung emas berseru:

”Bagaimana bila kau dengarkan dulu perkataanku baru pergi?”

Ti Then tidak mau memperdulikan dirinya lagi dan tetap

melanjutkan langkahnya berjalan keluar dari gua itu.

Tiba-tiba terdengar majikan patung emas tersebut berteriak

dengan keras:

”Syarat ini hanya berlaku selama satu tahun saja, sesudah lewat

satu tahun kau boleh bebas dan memperoleh kemerdekaan kembali

untuk pergi membereskan urusanmu sendiri”

Hati Ti Then menjadi tergerak sedang langkah kakinya pun tak

terasa bertambah perlahan.

Pada saat itu dalam benaknya terlintas banyak sekali persoalan

yang rumit dan akhirnya dia mendapatkan satu keputusan dalam

hatinya.

Sekali pun syarat pihak lawan hampir-hampir dikata tidak

berperikemanusiaan, tetapi ini merupakan suatu kesempatan yang

santgat bagus bagi dirinya untuk mempertinggi ilmu silatnya,

bilamana dirinya harus membuang kesempatan ini dengan percuma

mungkin untuk selamanya dia tidak akan mendapatkan kesempatan

kedua kalinya untuk menjelesaikan persoalan sendiri yang amat

rumit.

Akhirnya tubuhnya yang telah berjalan keluar dari gua itu diputar

kembali, sambil tertawa tanyanya:

”Sebenarnya kau ingin aku kerjakan pekerjaan apa?”

Majikan patung emas yang melihat dia kembali menyaid sangat

girang sekali, sambil tertawa terbahak-bahak sahutnya:

”Sekarang kau tidak perlu bertanya, menanti setelah kau selesai

belajar silat tentu aku akan beritahukan padamu”

“Urusan ini harus diterangkan lebih jelas lagi,” ujar Ti Then,

”Kalau tidak bilamana pada waktu itu kau menjuruh aku menerjang

lautan api apa aku harus melakukannya juga?”

”Menerjang lautan api hanya merupakan suatu gambaran saja

dari ucapan seseorang. Padahal tidak ada urusan yang benar- benar

begitu”

”Tetapi, dalam dunia ini banyak sekali terdapat urusan yang jauh

lebih sukar dari menerjang lautan api !”

”Benar !” sahut majikan patung.emas, ”Tetapi tidak perduli

bagaimana sukar urusan itu juga tidak akan membahajakan jiwamu.

Sekali pun misaInya kau harus menerjang lautan api.

“Baiklah. Keselamatan diriku boleh tidak usah klta bicarakan, tadi

kau bilang akan membuat aku sebagai patung emasmu, kau

perintah aku berbuat apa aku harus melakukannya. Kalau begitu

bilamana kau menjuruh aku membunuh seorang budiman aku juga

harus membunuh orang itu tanpa membantah?”

Jilid 1.2. Menjadi jago nomor tiga di Bu-lim

”Yang tegas memang begitu Hanya aku tidak akan

memerintahkan kau untuk pergi membunuh orang”

”Benar?” potong Ti Then dengan cepat.

”Tugas yang kuberikan padamu kemungkinan sekali tidak dapat

terhindar dari suatu pertempuran yang amat sengit dan mungkin

juga harus membunuh orang, sudah tentu terserah pada

kebijaksanaan serta kepandaianmu”

Mendengar penjelasan itu Ti Then termenung berpikir keras,

kemudian barulah sahutnya:

”Aku kira pekerjaan yang kau hendak perintahkan tentu

merupakan pekerjaan yang tidak lurus”

”Benar” saghut majikan patung emas sambil tertawa, ”Tetapi kau

bisa menggunakan jalan yang lurus untuk menjelesaikannya,

tegasnya bila aku memerintahkan kau menangkap seekor ajam,

bereslah, sedang kau mau mencuri atau mau membeli aku tidak

akan melarang”

Ti Then mengangguk agaknya dalam pikirannya sedang teringat

akan sesuatu urusan yang menggelikan, mendadak tak tertahan lagi

dia tertawa terbahak-bahak.

”Kau sedang menertawakan apa?” tanya majikan patung emas

dengan penuh keheranan.

“Ketika di bawah gunung tad aku telah menemukan seorang

kakek tua, dia biIang di atas gunung ini tidak ada yang bernama

gua cupu-cupu, aku kira nama dari gua cupu-cupu ini tentu kau

yang memberikan bukan?”Ha ha…”

Tidak salah. ” sahut majikan patung emas. “Coba kau bilang

tepat tidak?-‘

“Memang sangat tepat sekali, aku benar-benar tidak tahu di

dalam cupu-cupumu sedang menjual jamu apa?

Majikan patung emas itu tertawa terbahak-terbahak, ujarnya:

“Mungkin pada suatu hari kau akan tahu, kini berilah jawaban

yang tegas kau mau atau tidak?

“Aku menjetujuinya” sahut Ti Then,” Hanya….yang kau maksud

satu tahun harus dihitung mulai kapan?”

”Sudah tentu harus dihitung sejak kau tamat dari latihan silatmu“

Ti Then menjadi sangat girang, ujarnya:

”Baiklah, sekarang silahkan kau memperlihatkan kelihayanmu

untuk aku lihat dulu, aku akan membuktikan apa kau boleh

dianggap sebagai jago tanpa tandingan yang memiliki kepandaian

amat tinggi”

”Boleh, aku akan menggunakan patung emas ini bergebrak

dengan kau”’

Ti Then menjadi tertegun, tanyanya:

”Bertempur dengan patung emas ini?”

”Benar” sahutnya, ”Tetapi bukannya bertempur secara sungguhsungguh,

dengan menggunakan patung emas ini aku akan

melancarkan satu jurus serangan kepadamu asalkan kau bisa

menyebutkan jurus pecahannya sudah cukup”

”Ha..ha..sungguh menarik sekali permainan ini”

“Sesudah patung emas ini melancarkan satu jurus serangan, kau

harus segera menyebutkan satu jurus pecahannya, asalkan kau

tidak menyawab secara cepat maka aku akan menganggap kau

telah kalah”

”Sudah tentu” sahut Ti Then sambil mengangguk, ”Kalau

bertempur secara sungguh-sungguh, apabila aku tidak berhasil

segera mengeluarkan jurus pecahannya pada saat itu mungkin aku

telah terluka bahkan mungkin binasa”

”Aku dengar ilmu pedangmu amat sempurna dan telah menjagoi

seluruh Bu-lim, tetapi aku akan mengalahkan kau di dalam lima

jurus ini mengalahkan dirimu, aku juga tidak akan ada muka lagi

untuk bertukar syarat dengan dirimu”

Sejak Ti Then untuk pertama kalinya berkelana dalam dunia

kangouw selamanya sukar baginya untuk menemukan lawan yang

dapat bertempur seimbang dengan dirinya, saat ini begitu

mendengar majikan patung emas itu hendak mengalahkan dirinya di

dalam lima jurus saja, dalam hatinya sangat tidak percaya. Segera

dia mengangguk sambil sahutnya:

”Baiklah, silahkan kau melancarkan jurus serangan”

Majikan patung emas itu tidak membuka mulutnya lagi tampak

patung emasnya segera digerakkan olehnya, sepasang kakinya

mendadak menarik ke belakang, tubuhnya berdiri tegak. sedang

pedangnya dilintangkan di depan dadanya. Sikarmja mirip sekali

dengan seorang manusia hidup.

Sepasang matanya memandang mendatar sedang hawa

murninya dipusatkan pada pusar sehingga secara samar-samar

memperlihatkan keadaan yang amat serius sekali.

Ti Then tidak berani berlaku gegabah, dengan memusatkan

seluruh perhatiannya dia memandang kearahnya.

Tiba-tiba terdengar majikan patung emas itu membentak dengan

keras:

”Sambutlah serangan ini”’

Tubuh patung emas itu sedikit merendah, kakinya berbentuk

gambar panah sedang tubuhnya mendadak berputar setengah

lingkaran. Pedang panjangnya setelah berputar di depan secara

tiba-tiba meneruskan gerakannya menusuk ke depan.

Jurus ini kelihatan amat sederhana sekali dan disebut dengan

jurus ’Coan Sin Si Yen’ atau memutar tubuh memanah burung seriti.

Tampak jurus itu Ti Then tertawa, sahutnya dengan cepat:

”Hwi Liong Tiam Cu atau naga membalik menutul mata”

”Jurus pecahan jan amat bagus, terima lagi seranganku ini”

Begitu suara tersebut keluar dari mulutnya, pedang panjang dari

patung emas itu lebih ditekan ke bawah bersamaan pula kaki kirinya

diangkat ke atas, gajanya mirip sekali dengan jurus ajam emas

berdiri disatu kaki, tetapi mendadak pedang panjangnya

melancarkan tusukan ke depan.

Ti Then melihat jurus yang digunakan ini pun merupakan jurus

”Jin Liong Jut Si” atau naga menjelam timbul di atas air yang

merupakan jurus sangat biasa sekali dalam hatinya diam-diam

merasa sangat geli, segera sahutnya:

”Sun Swi Tui Co atau mengikuti air mendorong perahu”

Mendadak kaki patung emas ini menggelincir ke depan sedang

tubuhnya berputar di tengah udara, pedang panjangnya dengan

mengikuti gerakan itu menusuk ke bawah.

Ti Then tidak berpikir panjang lagi, ujarnya dengan segera:

”Yu Tiau Liong Bun atau ikan melompat ke pintu

naga..menjerang alismu”

Pada saat itu tubuh patung emas masih belum berdiri tegak,

tampak kepalanya miring ke samping pedang panjangnya yang

menusuk ke bawah mendadak mengencang dan menusuk ke atas

dengan kecepatan yang luar biasa.

Air muka Ti Then segera berubah, dengan gugup serunya:

”Aku menggunakan jurus Koay meng Huan Sin atau ular aneh

membalikkan tubuh”

Perkataannya baru saja keluar dari mulutnya, patung emas itu

telah meloncat ke atas sedang pedang panjang ditangannya

menusuk ke sebelah kiri tubuhnya.

Saat itu Thi Then telah tahu kalau kepandaian pihak lawan

sangat lihay sekali sehingga sukar diukur, bukannya dia merasa

sedih atas kekalahannya ini malah sebaliknya sangat gembira sekali,

sambil tertawa sahutnya:

”Benar, aku mau belajar kepandaian silat dari kau dan menjadi

patung emasmu selama satu tahun”

Agaknya majikan patung emas itu pun merasa sangat girang,

ujarnya kemudian:

”Kalau begitu, ada suatu syarat yang harus kau ketahui terlebih

dahulu, apabila kau telah menjadi patung emasku dan berani

melanggar apa yang aku perintahkan bahkan tidak mau

menjelesaikan tugas yang aku berikan dengan sebaik-baiknya, aku

dapat membunuh dirimu”

”Baiklah!” sahutnya Ti Then sambil mengangguk, ”Aku akan

menyanggupi syaratmu itu dan kini silahkan kau turun untuk

memperlihatkan dirimu”

“Tidak” ujar majikan patung emas, “Mulai hari ini juga hingga

saat kau selesai belajar kepandaian silat aku akan tetap berdiam

terus di atas atap dinding gua ini”

Mendengar perkataan itu Ti Then menjadi tertegun, tanyanya:

“Kalau begitu kau akan menggunakan cara apa untuk memberi

pelajaran ilmu silat kepadaku?”

Sambil menggerakkan kaki tangan patung emasnya dia tertawa

terbahak-bahak, sahutnya:

“Aku akan menggunakan patung emas ini menurunkan ilmu silat

kepadamu”

Sekali lagi Ti Then menjadi tertegun dibuatnya, serunya:

”Kalau begitu…apa kau tidak akan makan untuk selamanya?”

”Aku akan makan dan akan tidur di atas atap dinding gua ini

juga”

”Oooh..”

”Besok pagi kau harus turun gunung untuk membeli bahan

makanan serta peralatan yang diperlukan, besok lusa aku akan

mulai menurunkan pelajaran ilmu silat padamu”

”Kau..kenapa kau harus berbuat secara demikian?”

”Ini merupakan rahasiaku!”

”Tidak dapat diberitahukan kepadaku?” tanya Ti Then.

”Tidak dapat” sahut majikan patung emas itu, ”Kau tidak perlu

tahu dan lebih baik tidak usah bertanya terus, hal ini akan

mendatangkan celaka bagi dirimu”

”Ehmm…”

”Baiklah” ujar majikan patung emas itu lagi, ”Kini cuaca telah

mulai gelap, malam ini kau tidurlah di dalam gua ini bilamana

perutmu telah lapar di atas batu cadas di belakang tubuhmu telah

tersedia rangsum untukmu”

”Sekarang perutku masih belum lapar, aku pikir hendak mandi

dulu di mata air”

Tiba-tiba terdengar Majikan patung emas itu berbicara lagi,

ujarnya:

”lima puluh langkah di sebelah barat diluar gua terdapat sebuah

mata air dan ini merupakan persediaanku selama setengah tahun

mendatang ini, janganlah kau bikin kotor”

”Baik” sahut Ti Then singkat.

“Ada lagi, apa kau akan menggunakan kesempatan ini untuk

melarikan diri?”

”Keinginanku ini tumbuh dari lubuk hatiku, buat apa harus

melarikan diri?” sahut Ti Then.

”Itulah lebih bagus, kau pergilah!”

Ti Then memutar tubuhnya berjalan keluar dari dalam gua dan

pergi mencari sumber air di gunung untuk mandi, agar air yang

dingin dan segar itu membuat seluruh tubuhnya terasa segar dan

bersemangat kembali.

Pada saat itu rembulan telah terpancang jauh ditengah angkasa

yang telah berubah menjadi hitam gelap itu, dengan termangumangu

dia membaringkan diri ditengah mengalirnya sumber air itu,

dengan tenang dia mengingat kembali pengalaman aneh yang

dialaminya hari ini serta memikirkan keputusan hati dirinya.

Terhadap keputusannya untuk menjadi patung emas selama satu

tahun dan mau mengikuti segala perintah majikan patung emas, dia

sama sekali tidak menjesal. Sekali pun dia tahu pekerjaannya amat

memalukan sekali tetapi dia pun merasa kalau inilah satu-satunya

kesempatan yang paling baik bagi dirinya untuk memperoleh

pelajaran ilmu silat yang sangat mengejutkan..satu-satunya jalan

pula untuk menjelesaikan persoalan pribadinya yang terasa amat

sulit itu.

Sekarang, terhadap gerak-gerik serta cara bertindak di dalam

segala persoalan dari majikan patung emas itu dia amat merasa

terkejut dan tidak mengerti. Dengan tidak henti-hentinya dia putar

otak, memeras keringat untuk memperoleh jawaban, siapa dia

sebenarnya? Kenapa dia tidak mau memperlihatkan wajahnya? Dia

minta dirinya menjadi patung emas sebenarnya punya tujuan apa?

Semua persoalan ini tidak dapat diperoleh jawabannya saat ini,

tetapi masih ada suatu hal yang masih dapat dia simpulkan. Majikan

patung emas itu tidak mau memperlihatkan wajah sesungguhnya,

semuanya bukanlah dikarenakan wajahnya yang tumbuh sangat

jelek sehingga takut diperlihatkan pada orang lain.

Oleh karena dia tidak selalu menyembunyikan diri di atas atap

dinding gua itu, dia telah memancing dirinya..Ti Then..dari gunung

Kim Teng San yang amat jauh letaknya hingga ke tempat ini.

Dengan demikian, kalau majikan patung emas itu berani

memperlihatkan wajah aslinya di depan banyak orang, kenapa kini

tidak mau menampilkan dirinya untuk bertemu muka dengan

dirinya.

Dari hal ini dia dapat mengambil dua kesimpulan lagi. Pertama

Majikan patung emas itu tentu sedang menggunakan dirinya untuk

menjelesaikan suatu rencana yang tidak jelas sebaliknya dia pribadi

tidak ingin tersangkut secara langsung di dalam urusan ini. Kedua,

mungkin dia adalah merupakan seorang jago berkepandaian

tinggidari Bu-lim yang dia kenal baik. Oleh karena itu dia tidak ingin

bertemu muka secara langsung dengan dirinya.

Kepandaian dari majikan patung emas itu memang benar-benar

sangat tinggi sekali, bahkan tenaga pukulannya juga merupakan

jago yang sukar untuk dicarikan tandingannya, terbukti dia dapat

menekan batu cadas yang besar sehinggga meninggalkan bekas

telapak tangan sedalam tiga cun.

Teringat kembali oleh Ti Then terhadap setiap bekas telapak

tangan yang ditinggalkan majikan patung emas di tengah jalan,

teringat kembali keempat jurus serangan ilmu pedang yang

mengalahkan dirinya barusan ini, tidak terasa lagi pikirannya

semakin terjerumus ke dalam lamunan yang memabokkan.

Keesokan harinya, dengan perantara patung emasnya majikan

patung emas itu memberikan lima puluh tail perak serta sbuah

daftar keperluan yang dibutuhkan untuk mereka kepada diri Ti Then

dan memerintahkan dirinya untuk membeli barang-barang

keperluan sesuai dengan perintahnya itu.

Dengan menurut perintah Ti Then berjalan turun gunung, setelah

melakukan perjalanan sejauh kurang lebih lima puluh li barulah

ditemukan sebuah dusun kecil yang sangat ramai, ketika dia

berhasil mengangkut seluruh kebutuhan serta bahan makanan ke

atas gunung Lo Cin San cuaca pun telah mendekati magrib kembali.

Dengan bagi dua kali jalan, barang-barang kebutuhan serta

bahan makanan berhasil dimasukkan ke dalam gua cupu-cupu di

atas puncak gunung, kemudian segera memasang api memasak air.

Tanya Majikan patung emas itu:

”Waktu dahulu apa kau pernah melakukan pekerjaan seperti ini?”

”Tidak pernah” sahut Ti Then singkat.

”Dapat masak sajur?” tanya Majikan patung emas itu lagi.

”Apabila kau tidak terlalu membicarakan rasa dari setiap

masakan, kemungkinan masih boleh juga mematangkan sajur-sajur

ini”

Majikan patung emas itu tertawa keras, ujarnya lagi:

”Bila aku tidak membicarakan soal rasanya dari setiap masakan

sama saja dengan kau makan daging elang tanpa menggunakan

garam”

Mendengar perkataan itu Ti Then menjadi termangu-mangu,

katanya:

”Di dalam perjalanan ini kau selalu membuntuti diriku?”

”Tidak salah!” sahut Majikan patung emas, ”Aku harus

mengetahui apakah ditengah jalan kau bisa berubah pikiran atau

tidak”

”Kalau begitu, kenapa kau begitu teganya melihat aku hampirhampir

mati tetapi sama sekali tidak turun tangan memberi

pertolongan?”

”Kau menanyakan peristiwa ditengah pegunungan yang sunyi

kemarin siang itu?” tanya Majikan patung emas.

”Benar” sahut Ti Then, ”Waktu itu aku telah empat hari lamanya

tidak makan sebutir nasi pun, hampir-hampir saja mati saking

laparnya”

Majikan patung emas itu tertawa terbahak-bahak, ujarnya:

”Aku tahu kalau kau sangat lapar dan dahaga sekali, tetapi ketika

kemarin kau rubuh ke atas tanah dan tidak bergerak lagi aku telah

tahu kalau kau sedang berpura-pura”

Ti Then berdiam diri tidak menyawab dan menggoreskan korek

api untuk membuat api.

Terdengar majikan patung emas itu berkata lagi:

”Tujuanmu pura-pura mati kemarin siang ada dua, tujuan yang

pertama adalah untuk memancing datangnya burung elang itu

untuk kau dahar, sedang tujuan yang kedua adalah memancing

munculnya diriku, bukankah begitu?”

”Tidak benar” sahut Ti Then dengan tawarnya, ”Sama sekali aku

tidak pernah mem punyai ingatan kalau kau sedang membuntuti

diriku”

”Benarlah” sahut Majikan patung emas sambil tertawa keras,

”Sekali pun dahulu aku tidak pernah tahu kalau kau adalah Hek Ie

hiap, Ti Then adanya. Tetapi ketika aku mengawasi secara diamdiam

segala gerak-gerikmu ditengah perjalanan segera telah

kuketahui kalau kau merupakan seorang pemuda yang amat cerdik

lagi licin…saking licinnya hingga seperti seekor rase”

”Bila aku adalah seekor rase maka kau tentunya merupakan

seekor siluman rase pula”

Perkataannya ini bilamana ditinyau dari keadaan situasi sekarang

ini dimanan orang itu hendak menurunkan kepandaian silat kepada

dirinya boleh dikata sangat tidak hormat sekali, tetapi perkataan itu

meluncur keluar dari mulutnya tanpa dipikir lebih panjang lagi oleh

karena dia hanya sangat kagum dan memuji terhadap kepandaian

silatnya yang amat tinggi, tetapi sama sekali tidak memuji atau

kagum terhadap tingkah lakunya, sebab dia menganggap kalau

dirinya sedang melakukan pertukaran syarat dengan orang itu jadi

sama sekali tidak perlu bersikap hormat terhadapnya.

Siapa tahu majikan patung emas itu sama sekali tidak dibuat

gusar oleh perkataannya itu, sambil tertawa terbahak-bahak

sahutnya:

”Tidak salah, memang aku harus disebut siluman rase, siluman

rase yang memiliki pikiran serta kepandaian yang tinggi”

Tidak lama, sajuran serta nasi yang ditanaknya dengan amat

sederhana itu telah matang, sambil menghembuskan napas lega, Ti

Thenangkat kepalanya bertanya:

”Dengan cara apa aku harus mengantar makanan ini untukmu?”

”Taruh saja di atas batu cadas tepat di bawahku itu sudah cukup”

Dengan mengikuti perkataannya Ti Then meletakkan sajuran

serta nasi itu di atas batu cadas, dengan menggunakan kesempatan

ketika mundur ke belakang itu dengan tergesa-gesa dia melirik

sekejap ke atas tetapi yang dilihatnya hanya tempat yang amat

gelap saja.

Ujar Majikan patung emas itu secara tiba-tiba:

”Kita masih ada waktu untuk berkumpul selama setengah tahun

lamanya, aku harap kau jangan begitu keheran-heranan melihat ke

atas, hal ini sangat berbahaja terhadap keselamatanmu”

Hati Ti Then serasa berdesir, dengan tertawa yang dipaksa

sahutnya:

”Pada suatu hari bila aku tahu siapakah kau sebenarnya

bukankah kau akan segera membunuh diriku?”

”Tidak salah” sahut majikan patung emas itu dengan dinginnya.

Ti Then tidak mengucapkan kata-kata lagi dan mengundurkan

diri ketempat semula untuk mulai mendahar mengisi kekosongan

perutnya.

Dengan perlahan-lahan majikan patung emas mengambil nasi

serta sajuran yang berada di atas batu cadas itu, tak lama kemudian

terdengar sambil mendahar ujarnya dengan tertawa:

”Bagus sekali, masakanmu ternyata tidak jelek”

Ti Then tetap tidak membuka mulutnya untuk berbicara,

bukannya dia tak senang berbicara dengan majikan patung emas

sebaliknya memangnya dia merupakan seseorang yang pendiam

dan wegah untuk berbicara lebih banyak.

Ketika majikan patung emas itu mendengar tidak ada lagi

jawaban, mendadak tertawa lagi ujarnya:

”Ti Then, ada orang bilang kau merupakan seorang yang sangat

aneh serta misterius sekali, kenapa begitu?”

”Karena orang-orang di dalam dunia kang-ouw hanya tahu aku

bernama pendekar baju hitam Ti Then saja, sedang tentang lainnya

tidak seorang pun yang mengetahuinya”

”Siapa suhumu?” tanya majikan patung emas lagi.

”Tidak tahu!”

Majikan patung emas itu segera tertawa tergelak, tanyanya

kemudian:

”Siapakah orang tuamu tentunya kau tahu bukan?”

”Juga tidak tahu” sahutnya sambil menggelengkan kepalanya.

Sekonyong-konyong majikan patung emas itu tertawa terbahakbahak

dengan kerasnya, ujarnya:’

”Baik, baiklah. Masih tetap pada perkataan kemarin malam, aku

mem punyai rahasia yang tidak dapat diberitahukan kepada orang

lain, kau pun mem punyai rahasia yang tidak dapat diberitahukan

kepada orang lain, sejak hari ini juga aku tidak akan menanyakan

urusan apa pun terhadap dirimu”

Ti Then hanya tertawa-tawa sahutnya:

”Bukannya aku tidak ingin memberitahu padamu, sebaliknya

memangnya aku benar-benar tidak mengetahuinya”

Suara tertawa tergelak dari majikan patung emas itu semakin

keras, suaranya bergema tak henti-hentinya di dalam gua yang

kosong melompong itu membuat telinga Ti Then serasa berdengung

dengan tak hentinya.

Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali majikan patung emas itu sudah

mulai mewarisi ilmu silatnya pada Ti Then, dengan menggunakan

patung emasnya dia mula-mula mengajar suatu ilmu pukulan yang

amat aneh tetapi sakti sekali. Oleh karena perubahan yang terdapat

di dalam ilmu pukulan itu sangat banyak serta mendalam sekali

artinya, maka selama satu hari penuh Ti Then hanya berhasil

mengingat seperlima dari rangkaian ilmu pukulan tersebut.

Sampai pada hari ketujuh barulah dia berhasil mengingat-ingat

serangkaian ilmu pukulan itu. Saat itulah majikan patung emas baru

mulai menjelaskan kegunaan dari setiap jurus ilmu pukulan itu,

berturut-turut selama tiga hari lamanya barulah Ti Then berhasil

menjelami seluruh inti serta kegunaan dari ilmu pukulan itu.

Tetapi memahami bukannya berarti telah terlatih hingga matang,

maka pada malam kesepuluh, ujar Majikan patung emas itu:

”Mulai besok kau boleh berlatih ilmu pukulan itu seorang diri

diluar gua, ilmumu haruslah kau latih hingga bisa memukul balok

kaju hingga sedalam tujuh cun, saat itulah kau baru dapat dianggap

sudah matang tiga bagian”

Keesokan harinya Ti Then dengan mengikuti perintahnya berlatih

ilmu pukulan itu seorang diri diluar gua, sebenarnya dia memang

sudah memiliki bakat yang sangat bagus sehingga setelah berlatih

beberapa kali mendadak dengan mengerahkan tenaganya dia

melancarkan pukulan kearah sebuah pohon besi yang sangat besar

sekali.

”Kraaak….” pohon besi yang sangat besar itu dengan

mengeluarkan suara yang amat nyaring telah terpukul rubuh hingga

menjadi dua bagian.

Melihat hal itu Ti Then menjadi amat girang, sambil berlari ke

dalam gua teriaknya:

”Aku sudah berhasil…aku sudah berhasil”

Siapa tahu majikan patung emas itu dengan tertawa dingin

ujarnya:

”Bukankah kau berhasil memukul rubuh sebatang pohon besar?”

”Benar” sahut Ti Then. Pohon itu sangat besar sekali, dahulu aku

belum pernah berhasil berbuat seperti ini”

”Mungkin kau telah lupa akan rahasia yang telah aku terangkan

padamu, aku memerintahkan kau untuk berlatih hingga pukulanmu

dapat meninggalkan bekas telapak pada pohon itu sedalam tujuh

cun, bukannya meminta kau untuk pukul rubuh pohon tersebut”

Ti Then menjadi tertegun atas perkataannya itu, bantahnya:

”Tetapi bukankah memukul rubuh sebatang pohon jauh lebih

lihay daripada hanya meninggalkan bekas pukulan telapak sedalam

tujuh cun pada batang pohon itu?”

”Tidak, pukulan dahsyat yang hanya meninggalkan bekas telapak

sedalam tujuh cun tetapi tidak sampai merubuhkan batang

pohonnya sendiri barulah dapat disebut lihay”

Dengan kebingungan ujar Ti Then lagi:

”Tetapi untuk memukul hingga meninggalkan bekas sedalam

tujuh cun itu harus menggunakan tenaga yang besar, dengan

demikian pohon itu mungkin akan ikut tumbang pula”

Majikan patung emas itu tertawa ringan, sahutnya:

”Agaknya aku harus memberi suatu contoh padamu baru dapat

membuat kau benar-benar paham”

”Silahkan memberi petunjuk”

”Pada tahun yang telah silam aku pernah menggunakan sebatang

pedang membunuh seseorang, pedangku dengan satu kali

sambaran saja sudah berhasil memutuskan pinggang pihak lawan,

tetapi dia sama sekali tidak merasa bahkan tetap memaki-maki terus

kepada diriku, menanti ketika dia mulai menggerakkan kakinya

tubuh yang bagian atas baru lepas dari tubuhnya bagian bawah,

tahukah hal ini apa sebabnya?”

Selamanya Ti Then belum pernah mendengar peristiwa yang

demikian anehnya, tidak terasa lagi dia menjadi sangat terkejut,

tanyanya:

”Apa sebabnya?”

”Sebabnya karena gerakan pedangku terlalu cepat sehingga

sama sekali dia tidak tahu kalau pedangku telah berhasil membabat

putus pinggangnya, seseorang bilamana tidak tahu kalau dirinya

sebenarnya telah ’binasa’, maka seluruh semangat serta tenaganya

masih bisa mempertahankan hidupnya untuk suatu saat tertentu”

Dengan nada yang penuh keheranan dan terkejut, tanya Ti Then:

”Kau..ilmu pedangmu apa benar-benar sudah mencapai

kecepatan begitu?”

”Tidak salah” sahut majikan patung emas, ”Pengalaman kita pada

hari pertama aku memangnya telah sungguh-sungguh

menggunakan jurus serangan yang sesungguhnya bertempur

melawan kau, maka kau masih bisa menahan tiga buah seranganku.

Padahal bila aku benar-benar turun tangan jangan dikata tiga jurus

hanya cukup satu jurus pun mungkin kau sudah tidak sanggup

untuk menerimanya, kepandaianku sebenarnya mengutamakan

kecepatan gerak”

”Aku dengar katanya kepandaian dari kakek pemalas Kay Kong

Beng juga mengutamakan gerakan yang cepat” ujar Ti Then.

”Sekali pun ilmu pedangnya sangat cepat tetapi dia tidak secepat

diriku, aku dapat melancarkan tujuh kali serangan tusukan di dalam

sekejap, sebaliknya dia hanya bisa mencapai lima kali tusukan saja”

Dia berhenti sejenak kemudian tanyanya lagi:

”Kini sudah paham belum?”

”Sudah paham” sahut Ti Then sambil mengangguk.

”Kalau begitu, teruskanlah berlatih dengan rajin”

Ti Then memutarkan tubuhnya dan berlalu dari tempat itu, tetapi

baru saja berjalan beberapa langkah telah berhenti lagi, tanyanya:

”Menurut penglihatanmu aku harus berlatih berapa lama hingga

bisa berhasil memukul hingga meninggalkan bekas pukulan sedalam

tujuh cun pada batang pohon tetapi tidak sampai mematahkannya”

Mendengar pertanyaan itu majikan patung emas termenung

berpikir keras beberapa saat lamanya, kemudian barulah sahutnya:

”Bakatmu tidak jelek, asal berlatih dengan rajinnya setiap hari

kemungkinan sesudah setengah bulan baru berhasil”

”Ehmm..” sahut Ti Then kemudian bertindak keluar dari dalam

gua dan mulai berlatih lagi dengan rajinnya.

Berturut-turut dia berlatih selama lima hari lamanya, pukulannya

telah berhasil meninggalkan bekas pukulan sedalam satu cun pada

batang pohon tanpa menggojangkan tubuh pohon itu sendiri,

setelah itu setiap tiga hari dia berhasil menambah satu cun lagi,

tidak salah lagi setelah setengah bulan lamanya akhirnya dia

berhasil mencapai hasil seperti apa yang diminta oleh Majikan

patung emas itu.

Pada bulan yang kedua dia mulai mempelajari suatu rangkaian

ilmu telapak dari Majikan patung emas itu. Ilmu telapak ini jauh

lebih sukar dipelajari jika dibandingkan dengan ilmu pukulan. Jurusjurus

serangannya amat ruwet dan sukar apalagi tenaga pukulan

telapaknya harus berhasil meninggalkan bekas telapak sedalam satu

cun pada permukaan batu cadas yang sangat keras bahkan tidak

diperkenankan kalau sampai permukaan batu menjadi hancur oleh

pukulannya.

Dengan tidak mengenal lelah Ti Then , berlatih keras selama

empat puluh hari lamanya dan akhirnya berhasil juga dia menguasai

ilmu telapak itu.

Jika dihitung dengan jari sejak dia naik gunung hingga kini telah

dua bulan lamanya, sedang di dalam dua bulan ini boleh dikata

merupakan penghidupan yang paling susash selama hidupnya,

tetapi dengan tidak mengenal lelah dan letih dia berlatih terus

dengan rajinnya karena dia seratus persen telah percaya kalau

majikan patung emas itu akan berhasil membuat dirinya menjadi

jago nomor tiga di dalam dunia Kang-ouw pada saat itu.

Majikan patung emas yang melihat cara berlatihnya amat rajin

juga merasa amat gembira sekali, sesudah itu dia mulai

menurunkan ilmu meringankan tubuh pada dirinya.

Sebulan telah lewat dengan cepatnya, ilmu pukulan, ilmu telapak

serta ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ti Then telah jauh lebih

maju jika dibandingkan sesaat dia mulai naik gunung.

Hari itu sesudah makan malam tiba-tiba tanya majikan patung

emas:

”Ti Then, kau naik gunung sudah berapa bulan lamanya?”

”Tiga bulan lebih sembilan hari” sahut Ti Then singkat.

”Hee..he..perhitunganmu sungguh amat jelas sekali!”

Ti Then tidak menggubris, ujarnya lagi:

”Jaraknya dengan setengah tahun perjanyian kita masih ada

kurang lebih delapan puluh hari lamanya”

”Tidak salah, kemajuan yang kau capai ternyata jauh lebih cepat

dua puluh hari dari dugaanku semula, aku mengira paling cepat kau

tentu harus menghamburkan empat bulan lamanya untuk berhasil

melatih ilmu pukulan, ilmu telapak serta ilmu meringankan tubuh

tiga macam kepandaian. Tetapi jika dilihat sekarang ini

kemungkinan sekali tidak perlu setengah tahun kau sudah bisa

turun gunung.

”Kau masih akan mewariskan kepandaian apa lagi kepada

diriku?” tanya Ti Then.

”Ilmu pedang”

”Untuk ini harus membutuhkan berapa lamanya?” tanyanya lagi.

”Sebenarnya harus membutuhkan dua bulan lamanya” sahut

majikan patung emas, ”Tetapi dengan kemajuanmu yang kau capai

sekarang ini, kemungkinan hanya cukup satu setengah bulan sudah

berhasil”

”Kalau benar-benar begitu tentunya aku akan turun gunung tiga

puluh hari lebih pagi?”

”Benar” sahut majikan patung emas, ”Kau turun gunung lebih

pagi berarti juga kau dapat bebaskan dirimu sendiri satu bulan lebih

cepat, terhadap dirimu tidak ada ruginya”

”Sudah tentu, kapan kau akan mulai menurunkan ilmu pedang

kepadaku?”

”Besok” sahut majikan patung emas singkat.

Keesokan harinya ternyata Majikan patung emas itu menepati

janyinya dan mulai menurunkan ilmu pedang kepada Ti Then, baru

saja dia melihat gerakan beberapa jurus serangan dari patung emas

itu segera dia sadar kalau ilmu pedang ini beberapa ratus kali lipat

jauh lebih sukar dilatih jika dibandingkan dengan berlatih ilmu

pukulan, ilmu telapak mau pun ilmu meringankan tubuh, tetapi dia

tidak memperdulikannya juga, dia tahu bahwa orang yang mau

menerima penderitaan lebih dahulu itulah yang dapat mencapai

kesuksesan.

Meski pun begitu untuk menjelesaikan kesukaran dirinya pun

mau tak mau dia harus mengukuhkan pendiriannya untuk tetap

berlatih dengan sabarnya.

Di dalam sekejap saja satu setengah bulan telah lewat dengan

cepatnya, ilmu pedangnya telah mencapai pada taraf yang hampirhampir

dirinya sendiri tidak percaya, di dalam satu kali gerakan

pedangnya dia dapat membabat putus tiga batang lilin tanpa

menggerakkan lilin itu sendiri dari tempat semula.

Melihat kemajuan itu, majikan patung emas menjadi sangat

girang sekali ujarnya:

”Sudah cukup!” Ti Then, dalam dunia kangouw saat ini selain aku

serta si kakek pemalas Kay Kong Beng tidak akan ada lagi seorang

pun yang merupakan tandinganmu”

”Aku pun merasa kalau aku telah berubah menjadi seorang lain”

sahut Ti Then dengan perlahan, ”Kini apakah aku benar-benar telah

menjadi jago nomor tiga dalam dunia kang-ouw, aku masih

membuktikan dengan mata kepalaku sendiri”

”Kecuali kalau di dalam bu-lim masih terdapat jago-jago

berkepandaian tinggi yang menyembunyikan diri, kalau tidak

sekarang kau boleh dikata telah merupakan seorang jago

berkepandaian tinggi yang tanpa tandingan di dalam dunia

kangouw”

Ti Then hanya tertawa saja, ujarnya kemudian:

”Apabila aku sampai bertemu dengan jago berkepandaian tinggi

yang dapat mengalahkan diriku, aku akan segera membatalkan

perjanyian kita dan tidak akan menjadi patung emasmu lagi”

”Baiklah” sahut majikan patung emas, ”Tetapi kau tidak dapat

pura-pura kalah, bilamana kau sengaja mengalah pada orang lain,

aku akan segera membunuh dirimu”

”Perkataan seorang lelaki sejati selamanya tidak akan ditarik

kembali, apa yang sudah aku katakan tentu tidak akan kulanggar

sendiri dan berbuat pekerjaan yang demikian memalukan”

Majikan patung emas itu hanya tertawa-tawa, ujarnya:

”Aku akan menggunakan waktu untuk membuktikannya?”

”Tetapi bilamana aku benar-benar dikalahkan orang lain, dengan

cara apa aku harus membuktikan agar kau mau mempercayainya?”

”Sesudah kau turun gunung” sahut majikan patung emas, ”Aku

akan bertindak seperti cacing di dalam perutmu, selamanya akan

mengikuti jejakmu, bilamana kau sunggug-sungguh dikalahkan

orang lain aku akan bisa melihatnya dengan sangat jelas”

Mendengar hal itu tidak terasa lagi seluruh bulu kuduk Ti Then

pada berdiri, ujarnya:

”Kenapa secara diam-diam kau akan terus menerus mengikuti

diriku?”

”Kalau tidak berbuat demikian bagaimana aku dapat memberi

petunjuk serta memberi perintah kepadamu?”

”Oooh..” sahut Ti Then, ”Baiklah, pertanyaan yang terakhir

tugasmu yang kau serahkan kepadaku apabila ada yang merupakan

tugas yang bukan seharusnya diselesaikan dengan menggunakan

kepandaian silat..”

Tidak menanti dia selesai berkata, memotong majikan patung

emas itu dengan cepat:

”Kau dapat menjelesaikannya dengan menggunakan cara lain”

”Tetapi apabila sekali pun telah berusaha sekuat tenaga masih

tetap tidak bisa membereskannya?”

”Asalkan kau telah bekerja sekuat tenaga, sekali pun tidak

berhasil aku juga tidak akan menyalahkan dirimu”

”Itu pun sangat bagus, kapan aku harus turun gunung?” tanya

Ti Then lagi.

”Sebelum aku memberi tahu tugas apa yang harus kau

laksanakan untuk pertama kali ini aku harus menjelaskan padamu

terlebih dahulu, sejak besok pagi kau adalah patung emasku, aku

memerintahkan kau berbuat apa pun kau harus melaksanakannya

tanpa membantah. Dengan perkataan lain, sekali pun kau

merupakan seorang yang masih hidup tetapi merupakan sesosok

tubuh tanpa nyawa, tidak memiliki akal budi, tidak tahu baik buruk

dan tak ada pendapat apa pun juga. Bilamana aku menjuruh kau

makan yang manis sekali pun kau tidak suka akan barang-barang

yang manis juga harus dimakan, paham tidak?”

”Paham” sahut Ti Then sambil mengangguk, ”Tetapi hanya ada

satu urusan yang aku tidak akan melaksanakannya, kau tidak boleh

memerintahkan aku untuk membunuh seseorang yang berbudi”

”Baiklah” sahut majikan patung emas sambil tertawa, ”Tetapi

untuk mengetahui baik buruknya orang-orang yang ada di dalam

dunia ini sebenarnya amat sukar, apa kau bisa membedakannya?”

”Aku pasti sanggup” sahut Ti Then dengan mantap.

”Perkataanmu begitu tegas serta mantapnya, hal ini

membuktikan kalau pengetahuanmu terhadap manusia masih

sangat kurang”

”Sekali pun sangat jelas terhadap seluk beluk manusia juga tidak

tentu berguna..silahkan sekarang kau mulai memberi tahu tugasku

yang pertama untuk aku selesaikan”

Majikan patung emas itu berdiam diri lama sekali, kemudian

barulah ujarnya sepatah demi sepatah:

”Tugas pertama yang harus kau selesaikan adalah pergi

mengawini seorang nona menjadi suami isteri”

Mendengar tugasnya itu Ti Then menjadi amat terkejut, dengan

melongo serunya:

”Kau bilang apa?”

”Menjadi suami isteri dengan seorang nona”

”Ini mana mungkin, aku masih tidak ingin kawin terlebih dahulu”

teriak Ti Then dengan keras.

”Harap kau perhatikan” sahut majikan patung emas itu dengan

dinginnya, ”Kau adalah patung emasku, kau tidak punya nyawa,

kau tidak tahu baik buruknya, kau tidak punya pendapat”

Ti Then mimpi pun tidak menyangka kalau tugas pertamanya

yang harus dia kerjakan adalah pergi mengawini seorang nona,

tidak terasa lagi hatinya menjadi amat gugup dan kacau, ujarnya:

”Tetapi..”

”Tidak ada tetapi segala” potong majikan patung emas itu

dengan dinginnya.

Ti Then menarik napas panjang-panjang, sesudah berhasil

menenangkan pikirannya barulah dia berkata sambil tertawa pahit:

”Coba kau dengarkan dulu perkataanku”

Potong majikan patung emas itu dengan cepat:

”Tidak perduli kau berkata apa pun sekarang sudah terlambat”

Aku hanya menyanggupi untuk menjadi patung emasmu selama

satu tahun bukannya menjual diriku untuk selamanya” timbrung Ti

Then.

”Aku tidak pernah berkata kalau selama hidupmu kau jual

padaku”

”Tetapi perkawinan merupakan suatu peristiwa yang amat besar

selama hidup” bantah Ti Then.

Satu tahun sesudah perjanyian kita habis, bilamana kau tidak

suka padanya kau boleh membuang dirinya”

”Perkataan macam apa itu, apa kau kira perkawinan dapat

dianggap sebagai barang mainan?” ujar Ti Then dengan agak gusar.

”Bilamana kau merasa tidak baik untuk melepaskan dirinya, kau

boleh terus menjadi suaminya”

”Tetapi aku masih tidak ingin berkeluarga”

”Itulah pendapatmu?” tanya Majikan patung emas.

”Benar!”

”Hee…hee..hee..tetapi kini aku sudah menjadi patung emasku,

kau tidak berhak merusak penghidupanku untuk selamanya”

”Aku tidak punya maksud untuk merusak seluruh hidupmu, aku

hanya minta kau menjadi suami isteri dengan nona itu selama

setahun ini, setelah satu tahun lewat kau mau atau tidak

meneruskan perkawinan itu bukan urusanku lagi”

Bagaikan digujur oleh sebaskom air dingin dengan lemasnya Ti

Then menyatuhkan diri ke atas tanah, semangatnya telah hancur

luluh oleh perkataan itu. Sambil menghela napas ujarnya:

”He..bila sejak dari dahulu sudah tahu harus melakukan

pekerjaan ini tentu aku tidak akan menyanggupinya”

”Ini salahmu sendiri kenapa tidak mau tanya lebih jelas lagi”

sahut majikan patung emas itu sambil tertawa dingin.

Dengan sedihnya Ti Then menundukkan kepalanya, dengan

bingung dan perasaan menjesal pikirnya secara diam-diam:

”Hei..sungguh celaka kali ini, semula aku masih menganggap

apabila aku tidak ingin pergi membunuh orang baik, tentu tidak

akan ada urusan yang lebih berat lagi, mana kusangka kalau dia

ternyata minta aku menjadi suami isteri dengan seorang nona”

Majikan patung emas yang mendengar dia tidak mengeluarkan

suara lagi, segera tanyanya:

”Ti Then, kau menjesal bukan?

”Benar!”

”Ingin melarikan diri?” tanya majikan patung emas itu lagi.

”Tidak”

”Itulah sangat bagus” sahut Majikan patung emas sambil

tertawa, ”Padahal pekerjaan ini merupakan tugas yang paling

menggembirakan. Jangan kita bicarakan yang lain, nona itu memiliki

wajah yang amat cantik sekali dan merupakan seorang gadis cantik

yang sangat jarang bisa ditemui”

Tidak terasa hati Ti Then menjadi bergerak, dengan tawar

tanyanya:

”Putri siapa?”

”Putri tunggal Toa pocu dari Benteng Pek Kiam Po, Kim Liong

Kiam atau si Pedang Naga Emas Wi Ci To, Wi Lian In adanya”

Mendengar disebutnya nama itu dalam hati Ti Then merasa

sangat terperanyat, dengan sangat terkejut serunya:

”Ha…putri tunggal dari Wi Ci To Pocu dari Benteng Pek Kiam Po?

Kau..bukankah kau punya niat untuk mencelakai diriku?”

Kiranya jika menyinggung Pek Kiam Pocu, si pedang naga emas

Wi Ci To boleh dikata semua orang di dalam bu-lim tidak seorang

pun yang tidak kenal nama besarnya.

Dia merupakan seorang jago berkepandaian tinggi yang sedikit di

bawah si kakek pemalas Kay Kong Beng, juga merupakan seorang

pimpinan yang pengaruhnya paling kuat dan paling luas di dalam

bu-lim, murid-muridnya tidak terhitung banyaknya sedang dari

’Pendekar Pedang Merah’nya saja yang dia ketahui sudah ada

sembilan puluh sembilan orang banyaknya, oleh karena itu dia

merupakan sebuah keluarga ilmu pedang yang paling kuat dan

paling disegani di dalam Bu-lim.

Tetapi perasaan terkejut dari Ti Then sesudah mendengar nama

itu bukannya karena kepandaian silat yang amat tinggi dari si

pedang naga emas Wi Ci To, sebaliknya karena sikap serta tindak

tanduk dari Wi Ci To.

Dia pernah dengar oarng bilang kalau Wi Ci To jadi orang amat

gagah, ramah, sosial serta membela keadilan dan merupakan

seorang giam lo ong bagi kaum penyahat di kalangan Hek to, kini

Majikan patung emas menghendaki dia pergi mengawini putri

tunggal dari Wi Ci To jaitu Wi Lian In, tidak dapat diragukan lagi

kalau dia tentu sedang menggunakan dirinya untuk melaksanakan

suatu rencana busuk, ketika majikan patung emas telah mencapai

pada cita-cita, rencana kejinya segera dia dapat menghindarkan diri

dan cuci tangan dari urusan ini, sebaliknya dia…Ti Then..harus

melarikan diri kemana?

Kini soal yang paling penting, bagaimana dia dapat membantu

seorang yang tidak jelas asal usulnya untuk pergi membunuh

seorang jago berkepandaian tinggi dari kalangan lurus?

Semakin berpikir dia merasa semakin tidak tenteram, sambil

angkat kepala tanyanya:

”Apa tujuanmu sebenarnya? Kenapa kau menjuruh aku

memperisteri putri Wi Ci To?”

”Tentang hal ini aku akan memberitahu padamu sesudah kau

menjadi menantu kesajangan dari Wi Ci To”

”Kalau begitu adanya, sekarang kau boleh turun” ujar Ti Then

sambil tertawa pahit.

”Kau bicara apa?”

”Kau boleh turun untuk membunuh aku”

-ooo0dw0ooo-

Jilid 2.1. Rusuh di Touw Hoa Yuan

Untuk beberapa saat lamanya majikan patung emas itu tidak

mengucapkan sepatah kata pun, kemudian dengan nada yang amat

dingin bertanya:

“Kau tidak mau menurut perintahku?”.

“Tidak salah ?” Sahut Ti Then dengan tegas.

Tiba-Tiba Majikan patung emas itu tertawa terbahak-bahak,

ujarnya:

“ Aku paham sebab apa kau tidak mau menyalankan perintah

sesuai dengan perjanyian, kau takut aku memerintahkan kau pergi

membunuh Wi Ci To bukan?.”

“Apa mungkin aku salah menerka?” Sahut Ti Then sambil tertawa

dingin.

Suara tertawa Majikan patung emas itu mendadak berhenti,

dengan suara yang mantap tetapi tegas serunya:

“Sama sekali salah besar, tujuanku sama sekali tidak

mendatangkan kerugian pada diri Wi Ci To mau pun anak

muridrnya, yang ada adalah sesudah perjanyian kita satu tahun

penuh dan kau tidak mau meneruskan menjadi suami istri dengan

Wi Lian In, saat itulah akan mendatangkan sedikit kerugian dan

kesedihan pada diri Wi Lian In. “

“Aku tidak percaya” ujar Ti Then sambil menggelengkan

kepalanya.

“Boleh saja aku mengangkat sumpah sekarang juga bilamana

pekerjaan yang aku lakukan ini mendatangkan kerugian pada orangorang

dari Benteng Pek Kiam Po, aku akan mendapatkan kematian

dengan cara yang mengerikan.”

Ti Then yang mendengar sumpahnya di ucapkan begitu jujur

serta tegasnya tidak terasa dia menjadi semakin bingung, ujarnya

kemudian:

“Kalau benar tidak akan mendatangkan kerugian pada orangorang

dari benteng Pek Kiam Po lalu ada urusan apa sebenarnya

kau menjuruh aku pergi menjadi suami Wi Lian In ?”

“Tadi aku sudah bilang, sebab musababnya aku tidak akan

mernberitahukan padamu sekarang juga. “

“Bagaimana ini bisa jadi, pada saat sesudah aku menjadi suami

Wi Lian In bilamana kau memerintahkan aku untuk melakukan

pekerjaan yang merugikan orang-orang benteng Pek Kiam Po aku

akan segera membatalkan perjanyian kita sedang kau pun tidak

dapat membunuh aku karena pembatalan perjanyian itu “

Majikan patung emas itu termenung berpikir keras beberapa saat

lamanya, kemudian barulah sahutnya:

“Aku hanya dapat menanggung tidak sampai mengganggu seutas

rambut pun dari orang-orang benteng Pek Kiam Po”

Dalam hati diam-diam Ti Then berpikir keras, asalkan satu tahun

telah lewat, dirinya akan meneruskan menjadi suami istri dengan Wi

Lian In atau tidak sebenarnya bukan merupakan urusan yang

sangat besar, sambil menghela napas panjang sahutnya

”Baiklah, tetapi ada satu hal yang harus kau ketahui, bilamana Wi

Lian In tidak mau dikawinkan dengan diriku hal itu bukan salahku.”

”Dengan bakat serta wajahmu” ujar majikan patung emas itu.

“Kemudian di tambah dengan sedikit permainan kemungkinan sekali

tidak sampai tiga bulan kau telah berhasil mendapat kecintaannya!”

Dia berbenti sejenak, kemudian sambil tertawa lanjutnya lagi:

“Yang dimaksud dengan sedikit permainan, selain kau harus

berusaha untuk memasuki Benteng Pek Kiam Po dan merebut

kepercayaan serta kecintaan dari Wi Ci To dan putrinya kau pun

harus menggunakan sedikit kepandaianmu agar Wi Lian In merasa

benci dan bosan terhadap “In Tiong Liong atau sinaga mega Hong

Mong Ling.

Ti Then menjadi tertegun untuk sesaat lamanya dia tak dapat

berbuat apa apa tanyanya kemudian:

Siapa itu si Naga mega Hong Mong Ling ?

“Murid kesajangan dari Wi Ci To, juga merupakan bakal suami

dari Wi Lian In.

“Haaa??? Wi Lian In sudah dijodohkan kepada orang lain ?

“Benar !”sahut Majikan patung emas itu. “Itu merupakan suatu

urusan yang baru saja terjadi setengah tahun yang lalu, oleh karena

Si naga mega Hong Mong Ling itu tumbuh dengan wajah yang

sangat tampan, bakat serta tindak tanduknya pun sangat menarik

akhirnya dia berhasil memenangkan hati Wi Lian In sehingga

menjadi kekasihnya bahkan dengan demikian dia berhasil pula

diangkat Wi Ci To sebagai bakal menantunya.”

Mendangar penjelasan itu Ti Then mengerutkan alisnya, ujarnya:

“Jika demikian adanya, kau menginginkan aku untuk pergi

merusak dan mengacau perjodohan orang lain ?”

“Tidak!” sahut majikan patung emas, “Menurut penglihatanku Wi

Lian In jauh lebih cocok bila dijodohkan kepadamu dari pada harus

dijodohkan dengan Hong Mong Ling itu.”

“Kau terlaiu memuji” sahut Ti Then sambil tertawa tawa.

Majikan patung emas itu tidak menggubris perkataannya dan

lanjutnya lagi:

“Secara diam-diam aku pernah mengadakan pemeriksaan dan

telah kutemui kalau Hong Mong Ling itu sekalj pun bakatnya sangat

bagus tetapi sifatnya sebenarnya tidak baik hati tidak jujur secara

sembunyi sembunyi sering dia keluar benteng untuk bermain

dengan pelacur-pelacur”

Ti Then mengucak-ucak matanya, mendadak tertawa terbahakbahak,

ujarnya:

“Ha .. ha .. , ha . . . aku sekarang paham, aku sekarang sudah

paham benar-benar …. “

“Kau sudah memahami tentang apanya?” tanya majikan patung

emas itu sambil tertawa pula.

“Kau adalah Pocu dari benteng Pek Kiam Po, sipedang naga emas

Wi Ci To, bukankah begitu? “

“Ha . . ha ha . . bagaimana kau bisa punya pikiran kalau aku

adalah si Pedang naga emas, Wi Ci To?”

”Sesudah kau menjodohkan putrimu kepada Hong Mong Ling

karena mengetahui kalau perbuatan serta tindak tanduknya tidak

lurus sehingga timbullah pikiran untuk membatalkan perjodohan ini,

tetapi dikarenakan cintanya putrimu terhadap dirinya sudah sangat

mendalam, di dalam keadaan yang sangat kepepet inilah terpikir

olehmu akan menggunakan cara ini dan meminta aku pergi merusak

hubungan seerta perasaan cinta diantara mereka berdua kemudian

memperisteri putrimu itu, dengan tindakan ini kau akan berhasil

menolong putrimu dari penderitaan dikemudian hari.”

Majikan patung emas itu tertawa terbahak-terbahak lagi

sahutnya.

“Ha . . ha . otakmu ternyata sangat tajam sekali, hanya sajang

semua dugaanmu salah besar. “

Ti Then mana mau mempercayai omongannya, sambil tersenjum

ujarnya lagi:

”Alasanku hingga bisa kerkata demikian adalah ilmu pedang yang

kau miliki jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan ilmu ilmu yang

lain, bahkan sekali pun kau menggunakan kekerasan juga tidak

akan mengganggn orang-orang dari benteng Pek Kiam Po itu,

tentang hal ini saja sudah cukup membuktikan kalau kau adalah

majikan dari benteng Pek Kiam Po itu. “

Dengan nada yang sangat kalem dan halus sahut majikan patung

emas jtu

”llmu pedang dari benteng Pek Kiam Po sekali pun tidak jeiek

tetapi dengan ilmu kepandaian yang kau berhasil pelajari sampai

kini sudah cukup untuk mengalahkan dia di dalam ratusan jurus

saja, sedang mengenai aku sekali pun menggunakan kekerasan juga

tidak akan mengganggu seujung rambut pun dari orana orang

benteng Pek Kiam Po tetapi aku belum pernah tidak menjetujui

kalau kau mau rneninggaikan Wi Lian In sesudah perdianyian kita

satu tahun penuh. Bilamana aku adalah Wi Ci To maka aku akan

memutuskan kalau selamanya kau tidak diperkenankan

meninggalkan dia bahkan harus hidup bersama dengan dia hingga

tua, coba kau pikir betul tidak perkataanku ini?

Pikiran Ti Then terus berputar, terasa olehnya kalau perkataannia

sedikit pun tidak salah bahkan sangat beralasan sekali membuat dia

segera terjerumus kedaiam pikiran-pikiran yang sangat ruwet, tetapi

dia malas untuk bertanya, lebih banyak lagi dengan perlahanperlahan

mulai merebahkan diri diri di atas batu cadas dimana

setiap malam dia tidur, dengan tidak bersemangat tanyanya

“Kau masih mau pesan apa lagi?-

“Sudah tidak ada” sahut majikan patung emas, “aku hanya

merintahkan padamu di dalam tiga bulan ini kau harus berhasil

manyadi suami istri dengan Wi Lian In itu, perkataan lain boleh kita

bicarakan tiga bulan kemudian.

”Bilamana dia tetap kukuh tidak mau dikawinkan dengan diriku

lalu bagaimana?

”Bila perlu, gunakanlah tentera dahulu bisa disusul dengan

upacara, sehingga urusan jadi kenyataan. Saat itu aku tidak takut

kalau dia tidak mau . . he, he… “

Sehabis berkata mendadak dia menyatuhkan sebuah buntalan

yang kelihatan sangat berat sekali, ujarnya lagi

“Di dalam buntalan itu telah aku sediakan tiga ratus tahil uang

perak sebagai ongkcos jalanmu besok pagi sesudah kau turun

gunung pergilah membeli beberapa buah pakaian yang bagus, kau

harus dandan lebih gagah dan lebih perlente”

Dengan perlahan Ti Then bangkit dan memungut buntalan uang

perak itu, sambil tertawa pahit sahutnya

“Semoga saja sebelum aku berhasil mencapai benteng Pek Kiam

Po dapat bertemu dengan seseorang yang bisa mengalahkan diriku

.”

“Hee . . he . kecuali aku serta sikakek pemalas Kay Kong Beng

jangan harap di dalam hidupmu ini bisa bertemu ddengan seorang

lawan tangguh yang bisa mengalahkan dirimu”

Beberapa hari kemudian terlihatlah Ti Then telah munculkan

dirinya di atas loteng kedai arak dikota Go-bi dalam keresidenan

Siok Si. Dia telah berdiam di atas loteng penjual arak ini selama tiga

hari berturut turut.

Kedai arak yang memakai merek Go bi lo ini mem punyai bentuk

yang paling mewah di dalam kota itu, arak mau pun masakan dari

kedai itu pun merupakan yang paling baik dan paling terkenal,

tetapi ke semuanya ini bukanlah dikarenakan hal ini saja sehingga

loteng “-Go bi Lo” ini menjadi sangat ramai dan terkenal, alasan

yang lebih tepat adalah dikarenakan orang-orang yang setiap hari

mengunjungi kedai arak arak itu tak lebih merupakan, orang-orang

dari kalangan persilatan.

Sedang kedai arak ini dapat digemari oleh orang-orang dari

kalangan persilatan alasan yang paling kuat adalah dikarenakan

jaraknya dengan benteng Pek Kiam Po sangat dekat sekali.

Si kakek pemalas Kay Kong Beng sekali pun dikenal oleh orangorang

Bu lim sebagai jago nomor wahid di dalam dunia saat ini

tetapi benteng Pek Kiam Po ini merupakan sebuah partai perguruan

yang memiliki kekuasaan paling kuat dalam Bu-lim, oleh karena

itulah kota Go-bi ini boleh dikata sudah merupakan kota yang paling

banyak dikunjungi oleh orang orang dari kalangan persilatan.

Setiap hari Ti Then tentu berada di dalam loteng kedai arak itu

hingga jauh malam baru meninggalkan tempat itu, dandanannya

masih tetap tidak berubah, ditengah rambutnya yang terurai tidak

karuan terbentanglah sebuah wajah yang sangat dengkil, pada

tubuhnya pun masih mengenakan pakaian compang camping yang

amat kotor hanya saja pelajan dari kedai itu tak ada seorang pun

yang berani memandang rendah terhadap dirinya bahkan

pelajannya jauh lebih ramah daripada yang lain-lainnya.

Karena mereka-mereka itu sudah memiliki pengalaman yang

sangat luas sekali, mereka tahu bentuk luaran yang semakin aneh

kepandaian yang dimiliki orang itu semakin lihay, tamu-tamu

semacam ini tidak boleh diperlakukan tidak sopan barang sedikit

pun. Sudah tentu hal ini termasuk juga Ti Then yang memakai

pakaian tidak karuan.

Seorang pelajan kedai dengan membawa secawan teh wangi

dengan perlahannya di letakkan di hadapannya, wajahnya

memperlihatkan senjuman yang manis, ujarnya:

“Khek-koan si naga mega Hong Mong Ling itu sudah datang. “

Tak terasa semangat Ti Then menjadi bangkit kembali, dengan

perlahan tanyanya: “Dimana?

Dengan cepat pelajan itu mendekati telinganya sambil berbisik

sahutnya:

“Orang yang memakai baju berwarna hijau muda dan duduk

dimeja ketiga dari sini itulah dia orangnya, “

Dengan cepat Ti Then menoleh memandang ke sana, terlihatlah

dimeja itu duduklah dua orang pemuda yang baru saja duduk tidak

lama, salah satu diantara mereka merupakan seorang pemuda yang

memakai baju berwarna hijau muda sinaga mega Hong Mong Ling

… wajahnya sangat tajam, sikapnya gagah dan merupakan seorang

lelaki bagus yang sukar di carikan tandingannya, tak terasa lagi

diam-diam hatinya memuji, pikirnya:

“Hm… wajahnya ternyata demikian tampannya bahkan

kelihatannya merupakan seorang pemuda yang jujur dan lurus

hatinya . He . . . he … tidak disangka kalau pemuda semacam ini

ternyata gemar pipi licin dan suka main perempuan” .

Begitu pikiran tersebut berkelebat di dalam pikirannya, segera

tanyanya lagi dengan perlahan.

“Orang yang duduk bersama dia itu siapa?”

“He …he . .. hi . . hihi…” pelajan itu ternyata hanya tertawa

nyaring saja sedang mulutnya tetap tidak mengucapkan sepatah

kata pun. Ti Then segera mengambil keluar sekeping perak dan di

lemparkan ke atas bakinya,tanyanya:

“Ini . . sudah cukup tidak?”

Dengan cepat pelajan itu mengambil kepingan perak tersebut

dan dimasukkan ke dalam sakunya, kemudian sambil tertawa

barulah sahutnya.

“Dia adalah putra dari Hartawan Cang bernama Bun Piauw

dengan sebutan “Go-bi Te Ci atau tikus rakus dari Go-bi, dia

merupakan seorang putra hartawan yang suka pelesiran, pada

waktu dekat-dekat ini sering sekali bersama sama dengan si naga

mega Hong Mong Ling bermain dan berpesta, pada waktu seperti ini

mereka minum arak di sini tetapi sesudah malam tiba mereka akan

secara sembunyi sembunyi pergi ketempat pelacuran Toaw Hoa

Yuan mencari pelacur terkenal Liuw Su Cen untuk main-main.”

“Dimana itu letaknya tempat pelucuran Touw Hoa Yuan ?” tanya

Ti Then sambil manggut-manggut.

“Belakang jalan raja ini ?”

“Baiklah terima kasih.”

Tetapi pelajan itu tidak pergi, sambil tertawa ujarnya

”Khek koan mencari Hong Kouw-ya dari benteng Pek Kiam Po ini

entah ada urusan apa ? “

Dengan perlahan Ti Then mengangkat cawannya. dan meneguk

habis isinya, kemudian dengan menundukkan kepalanya barulah

sahutnya.

“Kau mau minta jawaban dari diriku harus beri persen dulu? “

Pelajan itu menjadi serba susah dan tidak berani bertanya lebih

banyak lagi, sambil tertawa perlahan dia mengundurkan diri dari

tempat itu.

Dengan cepat Ti Then menghabiskan hidangannya kemudian

meletakkan sekeping perak ke atas meja kembali ke dalam

penginapannya.

Tidak selang lama dia sekali lagi keluar dari penginapan itu, pada

saat ini pemilik kedai serta pelajan itu dengan sinar mata yang

mengandung keheran-heranan memandang kearahnya.

Kiranya seorang pemuda yang rambutnya tidak karuan serta

mernakal baju compang camping yang sangat dekil itu kini telah

berubah menjadi seorang kongcu yang sangat tampan serta

perlente.

Tangannya dengan menggojangkan sebuah kipas yang

berlapiskan emas dengan langkah serta gaja seorang hartawan

dengan perlahannya berjalan menuju kesarang pelacuran Touw Hoa

Yuan itu.

Pada saat itu malam terah tiba, lampu-ampu mulai dipasang

menyinari seluruh tempat, sedang jalanan menuju kesarang

pelacuran itu pun kelihatan mulai ramai orang yang lewat.

Saat itu Ti Then dengan langkah yang sangat perlahan telah tiba

di depan sarang pelacuran, kemudian dengan tanpa riku lagi dia

mulai memasuki halaman rumah itu, terlihatlah seorang penjaga

tempat itu dengan cepat mempersilahkan dia untuk duduk,

menjuguh teh wangi, kemudian barulah sambil tertawa katanya :

“Kongcu, kau…”

“Cepat undang ibu germo kalian ke luar” sahut Ti Then sambil

ulapkan tangannnya,

Penjaga itu menjadi termangu-mangu, sambil tertawa paksa

ujarnya lagi:

“Bilamana kongcu mau mencari seorang nona untuk menemani

malam ini hambamu masih bisa mencarikan satu orang untuk

kongcu nikmati.”

”Kau sanggup untuk mencarikan?” tanya Ti Then sambil melirik

kearahnya.

“Benar . . benar…”

“Kalau begitu sangat bagus sekali aku akan menemui nona Liuw

Su Cen?-

Penjaga itu menjadi tertegun, tanyanya dengan agak gugup.

“Nona..nona Liuw Su Cen?”

“Tidak salah” sahut Ti Then sambil mengangguk.

Air muka penjaga itu segera berubah menjadi merah padam,

dengan gugup. ujarnya:

“Ini . ini . ini .”

“Bagamana ? tidak bisa bukan ? “ ujar Ti Then sambil tertawa

dingin tak henti-hentinya,

“Benar” sahut penjaga itu sambil ter tawa paksa.” Hanya nona

Liuw seorang yang harus ditentukan oleh Ku-Ie. “

Dari dalam sakunya Ti Then mengambil keluar uang perak

sebanyak sepuluh tail dan dilemparkan kearahnya, sahutnya.

“Cepat undang Ku-Ie itu datang kemari ? “

Satu kali keluar uang telah memerseni sebanyak sepuluh tail

perak, sekali pun pun cucu raja atau hartawan pun juga tidak akan

sebanyak itu.

Dengan cepat penjaga itu menerima uang sepuluh tail perak

tersebut, saking girangnya air mukanya telah berubah menjadi

pucat pasi, beberapa kali dia mengucapkan terima kasihnya

kemudian dengan cepat putar tubuh dan pergi.

Tidak selang lama seorang wanita berusia pertengahan yang

berdandan amat menjolok telah keluar dan mendekati diri Ti Then.

Dangan segera Ti Then bangkit, tanyanya:

“Ku Ie. . ?”

Wanita berusia pertengahan itu mengangguk, sambil tertawa

matanya tak henti-henti nya melirik kearahnya, kemudian barulah

tanyanya:

“Kongcu she apa??”

“Aku she Lu

”Ooh . Lu kongcu, entah berasal dari mana???” tanya Ku le itu

sambil tertawa:

“Tiang An”

“Ooh.. senjuman yang menghiasi bibir wanita itu pun semakin

manis “

“Kiranya adalah Lu Toa Kongcu yang telah datang menyambangi,

maaf. .. maaf, aku tidak datang menyambut”

Ti Then hanya tertawa tawar, sahutnya:

”Mana, mana…”

“Silahkan duduk, Silahkan daduk.

Kemudian kuberkata pada penjaga yang berada di samping

tubuhnya.

“Cepat kau sediakan sepoci teh wangi yang paling terkenal. “

Penjaga itu segera menyahut dan pergi melakukan perintahnya,

setelah itulah si Ku Ie itu barulah duduk di hadapan Ti Then, sambil

tersenjum katanya.

“Lu Toa Kongcu adalah seorang cerdik pandai yang telah sangat

terkenal di kota Tiang An, baik di dalam hal surat mau pun pelesiran

semuanya merupakan ilmu yang telah terkenal diseluruh tempat, ini

hari dapat berkunjung ketempat ini sungguh merupakan

kebahagiaan dari kami semua”

“Ha ..ha.. mana, mana…aku pernah mendengar katanya wajah

dari nona Liuw amat cantik bahkan tak ada bandingannya di dalam

kota ini kali ini dari tempat jauh aku datang kemari harap Ku Ie mau

memenuhi harapanku ini. “

Ku Ie itu menjadi demikian girangnya, sahutnya dengan cepat,

“Su Cen bisa mendapatkan perhatian yang demikian besarnya

dari Lu Toa kongcu sungguh sangat beruntung sekali, harap kongcu

tunggu sebentar aku akan panggil dia datang.

Sehabis berkata dengan cepat dia bangkit dan berlalu.

Tidak lama kemudian seorang gadis cantik yang mem punyai

bentuk tubuh ramping kecil serta sangat padat dengan sangat

menggiurkan sekali berjalan di belakang tubuh Ku le itu, lagaknya

kemalu maluan seperti seorang gadis pemalu.

Pelacur terkenal Liuw Su Cen ini usianya baru tujuh-delapan

belas tahunan, mem punyai bentuk wajah seperti kwaci, alisnya

hitam disertai dengan sepasang matanya yang sangat indah,

bibirnya kecil mungil berwarna merah sedang kulit tubuhnya putih

bersih bagaikan salju, ditambah lagi dandanan yang memakai

barang yang paling mahal, sehingga sangat mirip sekali dengan

seorang bidadari yang turun dari kahjangan.

Ku le yang melihat sikap kemalu maluan darinya segera menarik

ke hadapan Ti Then, sambil tertawa ujarnya.

“Cen-ji, cepat beri hormat kepada Lu Toa Kongcu ini, dia adalah

putra dari panglima Tiang An Pembesar Lu Aan merupakan seorang

siucay yang sangat terkenal dikota Tiang An, ini hari dengan tidak

menghiraukan perjalanan yang jauh datang menyambangi dirimu.”

Dengan sikap, yang mash kernalu-maluan Liuw Su Cen dengan

sangat hormatnya memberi hormat pada Ti Then, kemudian dengan

merdu ujarnya :

“Lu Toa kongcu harap memberi petunjuk. “

Ku le itu pun tersenjum, ujarnya kemudian:

“Sudahlah, marl aku akan memimpin kongcu menuju ke dalam

kamarnya,”

Ti Then dengan tanpa sungkan lagi berdiri dan mengikuti di

belakang tubuhnya berjatan masuk, sesampainya di depan pintu

sebuah kamar yang pintunya tertutup horden dengan perlahan Ku

Ie itu mendorong dirinya artinya menjuruh dia masuk ke dalam

kemudian barulah ujarnya dengan perlahan :

“Aku akan pergi memerintah orang untuk membantu kongcu

menjediakan arak serta sedikit sajuran. “

Sehabis berkata dengan perasaan yang amat girang

meninggalkan tempat tersebut.

Dengan perlahan-lahan Ti Then menyingkap tirai itu dan berjalan

masuk, terlihatlah Liauw Su Cen itu dengan menundukkan

kepalanya duduk di depan meja rias segera dia maju ke depan

memberi hormat, sambil tersenjum ujarnya:

“Kedatanganku yang mengganggu ketenangan nona harap nona

tidak sampai marah.

Liuw Su Cen pun segera membungkukkan tubuhnya membalas

hormat, sahutnya sambil tersenjum.

“Mana, mana kongcu silahkan duduk.”

Dengan perlahan Ti Then duduk ke atas kursi sedang matanya

dengan tak henti-hentinya berputar menikmati keindahan dari

kamarnya itu, diam-diam pikirnya.

“Hm .. tak nyana kamar ini dapat diatur demikian rapi serta

indahnya

Sinar matanya dengan perlahan dialihkan ke atas wajah gadis itu,

dan katanya.„

“Aku telah lama mendengar tentang kecantikan serta kecerdikan

dari nona setelah bertemu hari ini dan dapat melihat dengan mata

kepala sendiri atas kecantikan wajah nona membuat aku

benar¬benar merasa sangat beruntung sekali.

“Ha.. .kongcu terlalu memuji, dengan kejelekan wajahku ini

ternyata bisa mendapatkan pujian serta perhatian dari kongcu

membuat aku merasa amat malu. “

“Aku dengar katanya nona Liuw bukan saja berwajah cantik

tetapi kepandajan di dalam menari menyanyi mau pun membuat

syair sangat tinggi sekali, malam ini aku sangat mengharapkan nona

mau memamerkan di hadapanku agar aku benar benar terbuka

mata untuk menikmatinya. –

Wajah Liuw Su Cen itu segera berubah menjadi kemerah

merahan, ujarnya dengan kemalu maluan:

“Hanya sedikit permainan yang sangat jelek masih

mengharapkan Lu kongcu jangan sampai mentertawakan.”

Pada saat kedua orang bercakap-cakap itulah seorang pelajan

dengan membawa arak serta sajuran masuk ke dalam kamar.

Liuw Su Cen melihat sajur serta arak telah dihidangkan, dengan

lemah lembut yang sangat menggiurkan ujarnya.

“Kongcu silahkan duduk.”

“Terima kasih atas perhatian nona.”

Begitulah kedua orang itu segera duduk saling berhadapan,

dengan perlahan Liuw Su Cen mulai mengangkat poci arak dan

memenuhi cawan Ti Then kemudian cawannya sendiri, ujarnya.

“Aku akan menghormati kongcu dengan satu cawan terlebih

dahulu”

Segera Ti Then mengangkat cawannya dan meneguk isinya

hingga habis.

Tiba-tiba dilihatnya Liuw Su Cen sambil menutupi mulutnya

dengan tangan tertawa merdu tak henti-hentinya seperti teringat

akan sesuatu yang sangat lucu baginya:

Ti Then, menjadi tertegun dibuatnya, tanyanya

“Kenapa nona tertawa?”

“Nama besar dari Lu kongcu kudengar sangat lama sekali” sahut

Liuw Su Cen sambil tetap tertawa. “Tetapi setelah bertemu ini hari

ternyata jauh berbeda dengan apa yang aku dengar”

“Ooh….” sahut Ti Then sambil tertawa pula, “entah menurut

kabar yang kau dengar Lu Kongcu itu orangnya bagaimana? dan Lu

kongcu yang kau lihat ini hari bagaimana pula?? “

“Bila aku katakan harap kongcu jangan sampai marah”

”Ooh . . . tentu tentu aku tidak marah, harap nona cepat katakan

Dengan manyanya Liuw Su Cen itu tersenjum senjum, kemudian

barulah ia berkata

“Menurut kabar yang aku dengar katanya Lu Kongcu jadi orang

suka pelesiran dan gemar bermain main dengan perempuan bahkan

jadi orang amat sombong, sedang kini setelah aku bertemu dengan

Lu kongcu sendiri ternyata sama sekali tidak tampak adanya tandatanda

seperti itu, bahkan sikapnya sangat gagah serta jujur.

Mendengar perkataan itu Ti Then tertawa terbahak-bahak,

katanya:

“Nona terlalu memuji, aku memang merupakan seorang yang

sangat sombong dan suka menangan sendiri, kalau nona tidak

percaya boleh kau lihat nanti”

“Di samping itu” ujar Liuw Su Cen sambil tersenjum,” Pada alis

kongcu kelihatan samar-samar mengandung perasaan sedih serta

bingung agaknya dalam hati masih punya urusan yang sangat

memakan pikiran, tentang hal ini juga tidak mirip dengan apa yang

aku dengar…”

“Ooh..kiranya nona pun masih pandai melihat wajah orang”

“Ehm..hanya memandang saja juga bisa, kali ini kongcu

meninggalkan kota Tiang An tentunya bukan dikarenakan untuk

mencari kesenangan saja bukan?”

“Aku datang karena tertarik oleh nama serta kecantikan dari

nona, urusan yang lain tidak ada”

“Baiklah, bagaimana kalau aku memainkan satu lagu untuk

kongcu dengarkan” maka mulailah dia mengambil khim dan

menyanyikan sebuah lagu, lagu ini memiliki nada kesedihan yang

amat mendalam.

Ditengah alunan suara yang sangat merdu itu nada suaranya

membawa kesedihan yang tak terhingga, membuat orang yang

mendengar suara nyanyian itu tak terasa tergerak juga hatinya.

Dengan perlahan Ti Then meletakkan kembali cawan araknya,

sambil tertawa tawar ujarnya:

”Nyanyian dari nona keluar dari dasar lubuk hati, membuat orang

yang mendengarkannya ikut juga terjerumus ke dalam lembah

kesedihan. Hei.. sekarang aku tidak ingin memikirkan urusan yang

membuat kesedihanmu timbul kembali harap kau pun jangan

menyanyikan lagu yang bisa membuat air mataku meleleh keluar ”

Liuw Su Cen hanya tersenjum saja, sesaat kemudian barulah

sahutnya dengan perahan :

”Kalau memang demikian adanya, aku akan menyanyikan sebuah

lagu yang lebih enak lagi. “

Jari tangannya yang ramping kecil serta halus itu mulai bermain

diantara senar-senar Khiem tersebut, baru saja dia akan mulai

menyanyi tiba-tiba diluar pintu kamar itu berkumandang datang

suara tiga kali ketukan.

“Siapa?”

“Aku.”

“Ooh. . Ku le, silahkan rnasuk.

Ku Ie dengan perlahan mendorong pintu dan berjalan masuk,

kenapa Ti Then dia hanya tersenjum-tersenjum saja sedang langkah

kakinya meneruskan perjalanannya hingga di samping tubuh Liuw

Su Cen, ujarnya kemudian dengan suara yang perlahan di samping

telinganya.

“ Ku le . . beritahukan saja padanya kalau tubuhku ini hari masih

tidak enak, suruh besok datang lagi.

Ku le segera melirik sekejap kearah Ti Then, sedang pada

wajahnya pun terlihat terlintas senjuman yang dipaksa, ujarnya:

“Tidak mungkin. Bilamana bilang tubuhmu tidak enak tentu dia

akan paksa masuk juga.

Air muka Liuw Su Cen segera berubah ujarnya dengan agak

gusar.

“Kalau begitu bilang saja padanya kalau aku sekarang masih ada

tamu, suruh dia besok kembali lagi.

“Tetapi dia sukar sekali untuk bisa datang kemari, bagaimana kini

menjuruh dia pulang dengan tangan kosong?”

“Ku le,” ujar Liuw Su Cen dengan nada yang tidak senang. “Kau

hanya mengajari aku tiara menari, cara menghadapi orang lain

tetapi belum pernah kau beri pelajaran tentang cara memisahkan

tubuh menjadi dua ? “

“Aku lihat kau budak semakin bicara semakin tidak genah-genah”

“Kalau begitu kau suruh aku harus berbuat bagaimana? “

Dengan setengah berbisik sahut Ku Ie itu.

“Keluar temuilah dia sebentar asalkan kau sudah bicara beberapa

patah kata dengan dia sudahlah cukup, pokoknya tidak sampai

membuat dia merasa tersinggung.”

Liuw Su Cen ragu ragu sejenak kemudian barulah dia menoleh

tersenjum kepada Ti Then ujarnya

“Kongcu, aku ada sedikit urusan yang harus dikerjakan segera

kini mohon pergi sebentar tentu kongcu tidak akan marah bukan?

“Siapa yang telah datang? , tanya Ti Then dengan nada yang

kurang senang.

“Ooh . . seorang . . seorang tamu yang tidak boleh aku singgung

perasaannya dia baru saja datang.” sahutnya dengan kemalu

maluan.

”Kenapa tidak boleh menyinggung perasaannya ? “

“Karena dia punya asal usul yang terkenal- sahut Liuw Su Cen

sambil menundukkan kepalanya.

”Orang orang yang bisa berkenalan dengan nona tentu paling

sedikit harus punya asal usul yang terkenal, tetapi malam ini aku

harus lihat dulu sebenarnya siapakah orang itu, bilamana asal

usulnya tidak bisa mengalahkan asal usuIku, maka silahkan dia

cepat cepat menggelinding dari sini,”

Ku le melihat sikapnya yang ketus serta sombong itu tak terasa

lagi mendiadi sangat cemas, dengan cepat ujarnya.

“Kongcu harap jangan bicara begitu sekali pun dia bukan putra

atau murid dari seorang pembesar kerajaan tetapi merupakan

seorang yang telah sangat terkenal sekali namanya, orang orang

seperti kami ini mana berani menyinggung perasaannya.”

Sepasang alis Ti Then dikerutkan dalam-dalam, dengan tidak

sabar tanyanya:

“Siapa toh sebenarnya orang itu ?”

“Seorang pendekar pedang dari benteng Pek Kiam Po yang

disebut sebagai sinaga mega Hong Mong Ling.”

“Hu…” ujar Ti Then “Aku kira siapa orangnya yang begitu

terkenal serta terhormatnya, tidak terkira hanya seorang budak

kasar yang suka main kepalan”

Baru perkataan itu diucapkan mendadak:

“Brak…” pintu kamar itu telah diterjang hingga rubuh, seorang

pemuda dengan sangat gagahnya telah berdiri di depan pintu kamar

itu, dengan nada yang berat dia tertawa dingin tak hentihentinya,

ujarnya

“Tidak salah” Cayhe adalah seorang budak kasar yang suka main

kepalan saja yang bisa memaksa seseorang berlutut di hadapannya

sambil memaki ajah ibunya sendiri “

Orang yang baru saja datang itu tidak lain adalah si naga mega

Hong Mong Ling adanya, dan di belakang tubuhnya berdirilah

seseorang yang tidak lain adalah si tikus rakus dari Go-bi, Cang Bun

Piauw.

Dengan pandangan yang sangat dingin Ti Then melirik sekejap

kearahnya kemudian barulah bentaknya

“Bocah bangsat dari mana yang berani mengganggu kesenangan

dari Kongcu Ya mu?? apa kalian sudah bosan hidup lebih lama lagi?”

Ku Ie yang melihat mereka berdua dengan sama-sama gusar

telah saling berhadapan segera menjadi gugup dan bingung

dibuatnya, sambil menggojang-gojangkan tangannya ujarnya :

“Kalian berdua jangan gusar, semuanya ini adalah salahku.

Hei…Hong Siangkong mari aku kenalkan kepada kalian, Kongcu ini

adalah putra kesajangan dari Panglima perang Lu Ko Sian Lu

Thayjin dari kola Tiang An, ini hari dia …”

Dengan sangat kasar si naga mega Hong Mong Ling itu

mendorong dia ke samping kemudian dengan langkah yang lebar

berjalan masuk ke dalam kamar, sinar matanya dengan sangat

tajam memandang Ti Then tanpa berkedip sedang mulutnya

tertawa dingin tidak henti-hentinya, ujarnya kemudian :

“ He . . he . Hm . Hm.. Kiranya adalah seorang pemuda yang

gemar pelesiran. Sungguh bagus sekali, aku Hong Mong Ling

selamanya memang paling suka mencari gara-gara dengan seorang

Kongcu yang dojan pelesiran.

Berkata sampai di situ mendadak suara ucapannya berubah,

dengan keras bentaknya :

”Bertutut!”

Ti Then sama sekali tidak menggubris dirinya malah dengan

tenangnya dia mengangkat poci berisi arak dan dituangkan ke

dalam cawannya setelah itu dengan perlahan diteguknya hingga

habis, kepada Liuw Su Cen ujarnya.

”Nona Liuw bukankah kau tadi bilang mau menyanyikan sebuah

lagu untukku!”

Sejak munculnya Hong Mong Ling ditempat tersebut dengan

perlahan-lahan Liuw Su Cen telah menyingkir keujung kamar, kini

mana dia berani mengucapkan sepatah kata pun.

Hong Mong Ling melihat perkataannya sama sekali tidak digubris

bahkan seperti di sampingnya tidak terdapat orang dengan

seenaknya bergerak, tak terasa lagi kegusarannya memuncak.

Sambil tertawa dingin tubuhnya dengan cepat menubruk maju ke

depan telapak kanannya men jambar mencengkeram urat nadi

ditangan kanan Ti Then.

Sambarannya ini dilakukan bagaikan kilat cepatnya, sekali pun

orang yang memiliki kepandaian silat pun belum tentu bisa

menghindarkan diri dengan mudah.

Tetapi gerakan dari Ti Then jauh lebih cepat beberapa kali lipat

dari dirinya.

Tangan kanannya sedikit diangkat ternyata telah berhasil

mencengkeram urat nadinya terlebih dahulu, kemudian disusul

tangannya melayang dan diputar sepasang kaki Hong Mong Ling

segera meninggalkan tanah, tubuhnya bagaikan sebuah balingbaling

berputar dengan kencangnya ditengah udara. Sebelum

tubuhnya rubuh ke atas tanah belakang batok kepalanya telah

keburu kena hajaran telapak tangan Ti Then.

Begitu tubuhnya rubuh ke atas tanah, dia segera jatuh tak

sadarkan diri sedang tubuhnya dengan terlentang kaku bersandar di

bawah kaki Ti Then.

Si tikus rakus dari Go-bi Cang Bun Piauw begitu melihat gelagat

tidak baik dengan cepat memutar tubuhnya siap lari keluar dari

kamar itu, siapa tahu baru saja kakinya diangkat siap lari belakang

batok kepalanya telah keburu dihajar oleh cawan arak yang

dilontarkan Ti Then, tak tertahan lagi tubuhnya sedikit bergojang

dan jatuh rubuh tak sadarkan diri pula di atas tanah.

Melihat kejadian yang berlangsung hanya sekejap itu tetapi

sangat mengejutkan tersebut tak tertahan lagi air muka Ku le

berubah menjadi pucat pasi, teriaknya.,

“Celaka : wah . . celaka “bencana ini terlalu besar mak .”

Dengan tenangnya Ti Then bangkit berdiri dan menggusur tubuh

si tikus rakus dari Go-bi, Cang Bun Piauw, itu ke dalam kamar,

kemudian berjaian kembali ke tempat semula, ujarnya sambil

tersenjum

”Jangan takut, sekali pun ada urusan yang lebih besar pun aku

ada di sini yang menanggung”

Dengan wajah yang hampir menangis kata Ku le itu lagi

“Lu kongcu kau tidak tahu sekali pun kau berhasil mengalahkan

dirinya tetapi bagaimana pun juga merupakan tamu dari tempat

kami ini, begitu kongcu nanti meninggaikan tempat ini urusan sudah

beres, sedang kami. harus tetap menetap ditempat ini seteiah

terjadinya urusan ini kami Touw Hoa Yuan juga akan sulit untuk

menghindarkan diri dari bencana”

Mendengar perkataan itu Ti Then tertawa nyaring sahutnya

“Ku Ie, pengetahuanmu terhadap benteng Pek Kiam Po itu

seberapa banyak?”

“Nama benteng Pek Kiam Po telah menggetarkan seluruh dunia,

pendekar-pendekar pedang dari dalam Benteng pun tak seorang

pun yang bukan merupakan jago berkepandaian tinggi, tentang ini

semuanya sudah mengetahui dengan sangat jelas”

”Tetapi ada satu urusan yang tidak kau ketahui”

Ku le menjadi termangu-mangu, tannya :

”Urusan apa ??”

”Orang-orang Benteng Pek Kiam Po dari Pocu sendiri Wi Ci To

sampai bawahannya pun dan murid-muridnya semuanya merupakan

orang yang jujur dan berpikiran lurus, mereka tidak mungkin akan

bermain atau membalas dendam terhadap Touw Hoa Yuan mu ini

hanya dikarenakan urusan sekecil ini. “

Ku Ie memandang sekejap kearah si naga mega Hong Mong Ling

yang rubuh terlentang di atas tanah, dengan ragu-ragu ujarnya:

”Tentang ini sukar untuk dibicarakan, misainya saja dengan Hong

Siangkong ini, dia…”

Ti Then tertawa terbahak-bahak, potongnya:

“Dia pun tidak pernah melakukan kejahatan-kejahatan yang

melampaui batas hanya sajang jadi orang dia punya sedikit cacad

jaitu gemar akan pipi licin dan suka main perempuan”

Dia berhenti sejenak kemudian tambahnya:

“Apalagi Hong Mong Ling yang sering mencari kesenangan

ditempat ini semuanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi

sehingga tidak diketahui oleh bakal mertuanya, ini hari dia

mendapatkan sedikit kerugian sekali pun telah pulang juga tidak

berani lapor, maka itu kau legakanlah hatimu.”

Dengan perlahan-perlahan Ku Ie menghembuskan napas, ujarnya

kemudian :

”Perkataan memang Kongcu ucapkan seperti itu, hanya aku takut

kalau Hong siangkong ini menyatuhkan seluruh kegusarannya

kepada diri kami dikemudian hari.”

”Aku akan menyamin kalian kalau sejak hari ini dia tidak akan

berani menginyak tempat ini lagi.”

Ku Ie memandang sekejap lagi kearah Hong Mong Ling yang

rebah tak sadarkan diri di atas tanah, tanyanya

“Kini dia jatuh tak sadarkan diri ditempat ini, kita harus berbuat

bagaimana?.”

“ Kau punya kereta kuda ?”

“Ehm..ada sebuah, biasanya digunakan nona-nona untuk pesiar

keluar kota”

“Perintahkan orang-orang untuk siapkan kereta, aku akan

menghantar sendiri mereka-mereka ini ke dalam benteng Pek Kiam

Po”

Mendengar perkataan itu Ku Ie menjadi sangat terkejut,

tanyanya:

“Kongcu tidak takut dengan orang-orang dari benteng Pek Kiam

Po?”

“Aku ada cara untuk menghadapi mereka”

Sambil menuding kearah Cang Bun Piauw ujarnya Ku Ie itu lagi:

“Cang siangkong ini bukan anggota dari benteng Pek Kiam Po,

apa kongcu juga akan menghantar dia ke dalam Benteng?”

“Tidak salah” sahut Ti Then sambil mengangguk.

Dalam hati Ku Ie memangnya mengharapkan semua urusan

dengan cepat dibereskan perkataan itu dengan cepat dia keluar

kamar untuk menyiapkan kereta.

Setelah Ku Ie berlalu dari dalam kamar barulah dengan perlahan

Ti Then memutar tubuhnya, ujarnya kepada Liuw Su Cen sambil

tersenjum

“Heei…aku telah membuat kesalahan kepada kawan nona, harap

nona tidak menjadi marah”

Pada saat ini sebaliknya pada wajah Liuw Su Cen menampilkan

perasaan girangnya, sambil tertawa sahutnya

“Lu Kongcu harap jangan bicara demikian, Hong siangkong ini

memang seharusnya mendapatkan hajan, aku sama sekali tidak

punya perasaan apa pun terhadap dirinya, pada waktu-waktu yang

lalu pun aku terpaksa baru mau menemui dia”

Berkata sampai di situ, mendadak dia merendahkan nada

suaranya, tanyanya:

“Lu kongcu pada kemudian hari apa kau mau datang lagi?”

”Tentang ini sukar dipastikan mungkin datang mungkin tidak

datang lagi. .. “

Air muka Liuw Su Cen berubah menjadi kemerah merahan,

sambil menundukkan kepalanya dia tertawa malu-malu katanya:

“Bilamana kongcu tidak menampik harapanku ini dan tidak bosan

dengan wadiahku harap mau datang berkunjung lagi,”

“ Baiklah” Sahut Ti Then sambil mengangguk. “Kalau aku ada

waktu yang luang tentu akan segera berangkat kemari”

Pada saat itulah Ku Ie dengan perlahan berjalan masuk, katanya:

“Kereta kuda sudah dipersiapkan, kongcu akan berangkat

kapan.?”

“Sekarang juga” sahutnya sambiI bangkit berdiri.

Sehabis berkata dari dalam buntaiannya dia mengambil keluar

ratusan tail uang perak yang dengan perlahan diletakkan ke atas

meja, kemudian membungkuk memanggul tubuh Hong Mong Ling

serta Cang Bun Piauw berjalan keluar dari kamar itu.

Jilid 2.2. Masuk Benteng Pek Kiam Po

Ku Ie yang melihat sekali keluar uang ratusan tail banyaknya

menjadi amat girang, dengan membuntuti di belakang tubuhnya dia

mengucapkan terima kasihnya dengan tidak henti hentinya, ujarnya.

“Lu Kongcu, pada kemudian hari harap datang lagi, bila kau

datang aku akan memerintahkan Liuw Su Ceng untuk masakkan

beberapa macam sajuran untuk menyambut kedatangan Kongcu, Su

Cen kami ini bukan saja sangat pandai di dalam menari menyanyi

serta membuat syair dia pun pandai memasak!”

Ti Then hanya menyahut dengan sembarangan, dengan cepat

dia membopong, tubuh Hong Mong Ling serta Cang Bun Piauw

keluar dari sarang pelacur Touw Hoa Yuan itu tidak salah lagi di

depan telah tersedia sebuah kereta kuda yang amat mewah, dengan

cepat dia mengangkat kedua orang itu ke dalam kereta sedang

dirinya pun mengikuti duduk di dalam kereta tersebut.

Orang yang menjadi kusir kereta tak lain adalah penjaga yang

diberi upah dirinya tadi, dengan cepat dia menutup pintu kereta dan

manyalankan keretanya dengan cepat.

Dengan perlahan lahan Ti Then mulai menggeserkan diri

mendekati kusir kuda, tanyanya,

“Kau tahu tidak jalan menuju ke benteng Pek Kiam Po ? “

”Tahu . tahu . pada tahun yang lalu ketika Pocu merajakan ulang

tahunnya yang keenam puluh di dalam Benteng telah diadakan

perlombaan, hamba pada saat itu juga ikut masuk ke dalam

benteng untuk melihat keramaian.

“ Ehm… itu sangat bagus sekali perjalanan menuju kebenteng

Pek Kiam Po masih ada dua puluh li jauhnya aku akan berbaring

untuk beristirahat sebentar, bilamana kereta sudah tiba di bawah

sebuah pohon siong yang tua kau hentikanlah kereta kuda dan

memanggil bangun diriku.”

“ Baik….baik….kongcu silahkan beristirahat, hambamu tidak akan

salah mencari jalan.”

Dengan perlahan Ti Then masuk ke dalam kereta kembali,

tangannya dengan sangat cepat sekali rnenotok jalan darah pingsan

ditubuh Hong Mong Ling serta Cang Bun Piauw setelah itu barulah

dia membaringkan diri untuk beristirahat.

Dengan cepat dia telah jatuh tidur dengan njenyaknya,

dikarenakan dia telah kebiasaan untuk berkelana keseluruh tempat

oleh karena itu sejak dahulu telah terbiasa dengan tidur ditempat

mana-mana, asalkan dalam hatinya tidak memikirkan urusan apaapa

maka dengan cepat dia telah jatuh pulas dengan njenyaknya.

Kereta kuda itu dengan mengikuti jalan raja di bawah gunung itu

berlari selama satu jam lamanya, sesampainya di bawah pohon

siong tua yang dimaksudkan oleh Ti Then dengan cepat penjaga

sarang pelacur Touw Hoa Yuan itu menghentikan keretanya dan

turun untuk memanggil diri Ti Then, teriaknya

”Lu kongcu….Lu Kongcu…kau sudah mendusin belum?”

Pada saat kereta kuda itu berhenti Ti Then telah mendusin dari

tidurnya mendengar panggilan itu dengan perlahan dia duduk dan

tanyanya

“Ehm …sudah sampai??”

“Belum, bukankah tadi kongcu meme¬san pada hamba untuk

memanggil kongcu ditempat ini ? ?”

“Ehm . .“ Segera dia membuka pintu kereta kuda itu dan

meloncat turun, kepalanya diangkat memandang sejenak keadaan

cuaca, ujarnya kemudian

“Sudah kentongan kedua ?”

”Benar, setelah berjalan dua li lagi kita akan tiba di dalam

benteng Pek Kiam Po itu“

Dengan tangannya Ti Then menggosok gosok wajahnya sehingga

kesadarannya pulih kembali, kemudian dengan menyeret keluar

tubuh Hong Mong Ling serta Cang Bun Piauw dari dalam kereta

kuda ujarnya

“Cukup, sekarang kau boleh pulang”

Penjaga sarang pelacuran itu di tertegun, tanyanya:

“Kongcu tidak rnenghantar mereka sampai di dalam Benteng Pek

Kiam Po?”

“Sudah tentu harus dihantar.

“Tetapi . tetapi “ kenapa?”

”Bilamana aku menggunakan kereta kuda dari Touw Hoa Yuan

kalian menghantar mereka masuk ke dalam Benteng, tentu Wi Pocu

tidak akan mengam puni Hong Mong Ling ini … dimana bisa

mengam puni orang lakukanlah pengam punan itu terhadap setiap

orang, buat apa kita berbuat keterlaluan.”

Agaknya penjaga itu dibuat sadar oleh perkataan dari Ti Then ini,

segera sahutnya:

”Ooh…agaknya kongcu tidak ingin menjelaskan urusan yang

sebenarnya kepada Pek Kiam Pocu, Wi Ci To?”

“Benar, “

Sepasang mata penjaga Touw Hoa Yuan itu sedikit melirik kearah

tubuh Cang Bun Piauw yang menggeletak di atas tanah, lalu ujarnya

lagi:

“Kalau begitu, Lu kongcu akan menggunakan cara apa untuk

menjelaskan tentang Cang siangkong ini kepada diri Wi Ci To itu

pimpinan dari benteng Pek Kiam Po “

“Biar Hong Mong Ling yang menjelaskan sendiri”

Penjaga itu tertawa, setelah memberi hormat lalu ujarnya:

“Kalau memangnya begitu, hamba akan segera kembali”

Sehabis berkata dia kembali ke atas kereta dan memutar haluan

untuk kembali ke dalam sarang pelacurnya.

Sebelum berangkat terdengar Ti Then telah memesan wantiwanti

lagi ujarnya dengan agak keras:

“Setelah peristiwa ini bilamana terdapat orang lain yang rnencari

berita tentang urusan yang sebenarnya terjadi, kalian orang-orang

dari Touw Hoa Yuan boleh menjelaskannya dengan sejujurnya

tetapi jangan bilang kalau kau pernah menghantar mereka berdua

hingga tempat ini, cukup kau bilang aku telah membawa mereka

berdua sampai diluar kota”

”Baik..” sahut penjaga itu, pecutnya diajunkan kepantat kudanya,

dengan sangat cepat kereta kuda itu meluncur kearah kota.

Ti Then berdiam diri hingga kereta kuda itu jauh dari

pandangannya barulah dengan perlahan mulai membuka pakaian

serta sepatunya yang baru serta mewah itu, kemudian rambutnya

dibuat kacau sehingga kembalilah bentuknya seperti semula.

Kiranya sekali pun diluar dia memakai pakaian yang sangat bagus

dan mewah tetapi di dalam tubuhnya masih tetap memakai

pakaiannya yang sudah dengkil serta compang camping itu,

sehingga begitu pakaian barunya dicopot maka di dalam sekejap

saja dari seorang “Lu Kongcu yang perlente berubah menjadi wajah

asli dari Ti Then yang kotor serta dengkil.

Sesudah membuka pakaian serta sepatu barunya dengan cepat

disimpannya benda-benda itu sesuatu tempat yang sangat

tersembunyi disekitar tempat itu sesudah itulah dengan langkah

yang cepat pula berjalan kembali ke bawah hohon siong tua dan

sambil mengempit tubuh Hong Mong Ling serta Cang Bun Piauw

berjalan ke depan.

Setelah berjalan puluhan tindak lamanya tiba-tiba di dalam

benaknya teringat kembali akan kata-kata dari Majikan patung emas

: Sesudah turun gunung aku bertindak seperti seekor cacing dalam

perutmu selamanya akan mengikuti kau kemana pun juga.”

Pikirannya segera berkelebat diam diam batinnya:

“Hm . . kenapa aku tidak mau mencoba-coba untuk membuktikan

apa benar dia terus mengikuti diriku ?

Berpikir sampai di situ tanpa ragu ragu ujarnya. .

“Aku akan segera memasuki Benteng Pek Kiam Po, coba lihat

permainanku ini bagus tidak ?

Tetapi setelah suara itu berkumandang, keluar lama sekali tetap

tidak terdengar suara sahutan: ”Apa mungkin Madikan patung emas

tidak ikut datang kemari ?”

”Atau mungkin dia sengaja tidak mau memberi jawabannya?”

Pikirannya segera berkelebat lagi, batinnya.

“Hm…hm…agaknya perkataan yang diucapkan tempo hari hanya

untuk menggertak diriku saja. Hm…Hmm…

Berpikir sampai di sini dengan segera dia mempercepat langkah

kakinya berjalan kearah Benteng Pek Kiam Po.

Perjalanan menuju kebenteng Pek Kiam Po itu makin lama

terlihat makin cepat, jalan raja yang menghubungkan Benteng itu

dengan kota Go bi pun dibuat demikian lebar serta ratanya,

sungguh tidak nyana kalau dapat dibuat sedemikian bagusnya.

Baru saja dia lari dengan cepatnya ke depan, tiba-tiba tetlihatlah

olehnya di atas tanah bertuliskan enam buah tulisan yang sangat

besar sekali.

“Semoga kau cepat mencapai hasil yang dicita-citakan. “

“ Haa….Tidak salah lagi tulisan dari Majikan Patung Emas”. Ti

Then menarik napas panjang-panjang, pada air mukanya pun

dengan perlahan-lahan timbul perasaan apa boleh buat, sambil

tertawa pahit dia mengangkat bahunya, dan ujarnya:

“Kalau kau memangnya sudah datang aku mau memberitahukan

padamu akan suatu urusan, tiga ratus tahil perak yang kau berikan

kepadaku kini sudah kuhamburkan hingga habis.”

Sehabis berkata dengan rnenggunakan kakinya menghapus

tulisan di atas tanah, setelah itu barulah melanjutkan perjalanannya

menuju ke depan.

Setelah berjalan kurang lebih ratusan tindak terlihatlah jawaban

dari Majikan Patung Emas yang ditulis di atas tanah ditengah jalan

juga.

Kira-Kira tulisan itu berbunyi:

Kau jadi orang terlalu sosial, sikapmu yang dernikian sosialnya

terhadap Liuw Su Cen membuat orang merasa sajang, kini aku beri

seratus tail perak lagi harap kau gunakan lebih hemat lagi, jangan di

hambur hamburkan seenakmu ?

Di samping beberapa patah tulisan itu terletaklah sebuah

bungkusan yang berisikan uang perak.

Ti Then segera memungut buntalan itu dan dimasukkan ke dalam

sakunya, setelah menghapus tulisan itu sambil tertawa ringan

ujarnya:

“Untuk mencuri seekor ajam juga harus disediakan segenggam

beras, Liuw Su Cen bagaimana pun juga merupakan seorang

pelacur yang sangat terkenal dan punya nama yang cemerlang

sekali pun kuberi ratusan tail perak kepadanya juga tidak mengapa,

perlu apa kau demikian kikirnya.”

“Kau mau ikut aku memasuki Benteng Pek Kiam Po tidak ?”

Sehabis berkata dengan kecepatan yang luar biasa dia berlalu

dari tempat itu.

Kali ini setelah berjalan seratus tindak baru terlihat jawaban dari

Majikan Patung Emas, jawaban nya sangat singkat sekali hanya

tertuliskan satu huruf saja jakni

”Ikut.”

Tak terasa lagi tirnbul perasaan yang sangat tertarik dan girang

sekali di dalam hatinya.

Sekali pun dia belum pernah memasuki Benteng Pek Kiam Po

tetapi dia tahu dengan amat jelas kalau penjagaan di dalam

Benteng Pek Kiam Po tetapi amat rapat dan keras sekali, tidak

mungkin seseorang dapat menjusup ke dalam dengan sangat

mudah tanpa ditemukan oleh penjaganya. Sudah tentu dengan

kepandaian yang dimiliki Majikan Patung Emas dia bisa menjusup ke

dalam benteng Pek Kiam Po tanpa diketahui oleh penjaganya, tetapi

persoalannya yang penting, Dapatkah dia bertahan lebih lama di

dalam Benteng Pek Kiam Po itu ????

Tugas dirinya yang terutama di dalam memasuki Benteng Pek

Kiam Po ini adalah memperistri Wi Lian In tetapi tugasnya ini tidak

mungkin akan mencapai hasilnya di dalam satu hari satu malam

saja, bila mana dirinya harus berdiam selama setengah tahun di

dalam benteng ini apa mungkin dia pun dapat menyembunyikan diri

di dalam Benteng selama setengah tahun lamanya tanpa diketahui

oleh orang lain ??

Hal ini tidak mungkin akan bisa terlaksana!

Tetapi bilamana dia dapat bertahan dan bersembunyi di dalam

Benteng Pek Kiam ini selama setengah tahun lamanya tentu tanpa

diragu-ragukan lagi dia merupakan anggota dari Benteng Pek Kiam

Po ini.

Sedang bilamana dia benar-benar merupakan salah satu anggota

dari Benteng Pek Kiam Po ini maka tidaklah akan sukar untuk

menjelidiki sebenarnya rencana busuk apakah yang sedang disusun

olehnya untuk dilaksanakan oleh dirinya sendiri.

Ti Then yang sembari jalan sambil berpikir semakin terasa amat

tertarik dan girang, tak terasa dia tertawa tergelak, ujarnya:

“Sungguh bagus sekali, dengan demikian bilamana aku

membutuhkan petunjuk darimu maka sembarangan waktu aku bisa

meminta keterangan, tetapi aku harus menggunakan cara apa untuk

mengadakan hubungan dengan dirimu ?”

Sehabis berkata dia melanjutkan lagi perjalanannya ke depan.

Seperti yang semula kali ini pun pada ratusan tindak baru

ditemukan jawabannya.

“Hubungan dilakukan pada malam hari ketuklah jendela

sebanyak tiga kali dan sulutlah lampu minyak didekatnya, tetapi aku

tidak tentu akan munculkan diri”

Di sampingnya terlihat ada tulisan yang tertuliskan:

“Sudah cukup, di depan sudah ada anak buah dari Benteng Pek

Kiam Po yang melakukan jaga malamnya, kau tidak perlu bertanya

lagi-

Ti Then pun dengan cepat menghapus tulisan-tulisan itu, setelah

itu dengan langkah yang lebar melanjutkan perjalanan ke depan.

Jalanan gunung itu berkelok-berkelok dan berputar-berputar

diantara lereng gunung, puncak gunung Go bi san dipandang

ditengah malam yang buta itu kelihatan semakin menjeramkan,

puncaknya yang aneh serta banyak berserakan disekitar tempat itu,

pohon siong tumbuh bagaikan mega rapatnya, tebing-tebing yang

amat curam diselingi dengan jurang yang amat lebar dan dalam

menambah keseraman sekitar tempat itu, di sekitar tempat itu pun

sering terdengar suara pekikan dari kera-kera yang berkeliaran

ditambah dengan desiran pohon siong tertiup angin memecahkan

kesunyian malam yang mencekam .

Ti Then belum pernah mengunjungi Benteng Pek Kiam Po hanya

dia pernah dengar orang bilang katanya Benteng Pek Kiam Po itu

terletak di bawah puncak Sian Ciang Jen itu, hanya dia tahu

asalkan mengikuti jalan gunung ini terus berjalan ke atas maka

akhirnya akan sampai juga ke dalam benteng Pek Kiam Po itu.

Dengan mengikuti jalanan gunung itu dia berjalan kurang lebih

satu li jauhnya setelah melalui sebuah jembatan gantungan

mendadak di hadapannya berkelebat sebuah bajangan manusia

yang melayang turun dari atas pohon, dalam hati segera dia tahu

kalau orang itu tentunya penjaga malam dari Benteng Pek Kiam Po,

dengan cepat dia menghentikan langkah kakinya dan berdiri diam

ditempat.

Orang yang datang itu adalah seorang pemuda yang memakai

pakaian singsat berwarna hitam pekat, pada punggungnya tersoren

sebilah pedang yang berwarna hitam pula, sesaat ketika dia

melayang turun dari atas pohon sama sekali tidak menimbulkan

suara sedikit pun hal ini memperlihatkan kalau kepandaiannia tidak

lemah.

Begitu Ti Then melihat kalau pemuda itu menjoren sebilah

pedang yang berwarna hitam segera dia tahu kalau orang itu

termasuk di dalam “Pendekar pedang hitam” dari Benteng Pek Kiam

Po.

Kiranya di dalam Benteng Pek Kiam Po ini para pendekar pedang

yang tergabung di dalamnya dibagi menjadi tiga macam jaitu

’Pendekar Pedang Merah’, Pendekar pedang putih’ dan Pendekar

Pedang Hitam’, diantara ketiga tingkatan itu kedudukan “Pendekar

pedang Merah lah yang tertinggi kemudian disusul oleh “Pendekar

Pedang Putih dan akhirnya baru “Pendekar pedang hitam.

Orang-Orang dari “Pendekar Pedang Hitam: bilamana hendak

naik ke dalam kedudukan “Pendekar pedang Putih haruslah

mendapat pengujian dari para “Pendekar pedang merah “ terlebih

dahulu sedang dari pendekar putih bilamana akan naik kependekar

pedang merah harus diuji oleh Majikan Benteng ini sendiri sedang

setiap orang yang telah naik di dalam kedudukan ,”Pendekar

pedang merah” barulah diperkenankan berkelana di dalam dunia

kang ouw sebaliknya pendekar pedang putih serta pendekar pedang

hitam tidak diperkenankan keluar dari Benteng untuk mengadakan

perjalanan di dalam Bu-lim, bilamana mendapat perintah untuk

dilaksanakan di dalam Bu-lim mereka pun tidak diperkenankan

dengan menggunakan kedudukan pendekar pedang putih atau

pendekar pedang hitam untuk menyebut dirinya.

Oleh karena itulah sekali pun orang-orang di dalam Bu-lim tahu

kalau di dalam Benteng Pek Kiam Po terdapat pendekar pedang

hitam serta pendekar pedang putih tetapi selamanya belum pernah

menemuinya sendiri.

Sesuai dengan namanya tentu keadaannya pun harus sama dan

jika menurut penilaian dengan tingkatan itu maka kepandaian yang

dimiliki orang orang dari pendekar pedang hitam seharusnya paling

cetek dan paling lemah tetapi setelah Ti Then melihat sendiri

pendekar pedang hitam yang berdiri di hadapannya segera tahu

kalau pemikiran dirinya pada waktu yang lalu adalah salah besar,

diam-diam dalam hatinya sangat memuji, pikirnya:

“Hanya seorang pendekar pedang hitam saja sudah memiliki

kepandaian yang demikian tingginya apalagi kepandaian silat dari

orang orang pendekar pedang merah kelihatannya kepandaian silat

yang dimili si sipedang naga emas Wi Ci To tidaklah lemah sesuai

dengan dugaan dari majikan patung emas semula…

Dia bisa punya pikiran seperti ini dikarenakan majikan patung

emas pernah berkata kepadanya kalau dia sudah sanggup untuk

mengalahkan sipedang naga emas Wi Ci To di dalam ratusan jurus

saja.

Di dalam sarang pelacuran Touw Hoa Yuan dia bisa berhasil

membekuk batang leher Hong Mong Ling dari “Pendekar pedang

merah’ kesemuanya ini hanya hasil dari luar dugaannya.

Baru saja pikiran-pikiran itu berkelehat di dalam benaknya

dengan kecepatan bagaikan kilat. Pendekar pedang hitam yang

menghalangi perjalanannya itu telah membuka mulut bertanya:

“Kawan siapa namamu, ditengah malam buta ini naik gunung ada

urusan apa yang penting”

Sikap serta nada ucapannya tidak sombong juga tidak halus,

sepasang matanya yang sangat tajam dengan tak henti-hentinya

memandang kearah Hong Mong Ling serta Cang Bun Piauw yang

dikepit diketiak Ti Then.

Dikarenakan malam yang semakin larut ditambah lagi jaraknya

masih ada tiga empat kaki jauhnya oleh karena itu sama sekali dia

tidak menduga kalau diantara dua orang yang dikempit di bawah

ketiak Ti Then itu adalah Si naga mega Hong Mong Ling dari

“pendekar pedang merah” Benteng Pak Kiang Po.

Dengan cepat Ti Then membungkukkan dirinya memberi hormat

dan sahutnya:

“Cayhe Ti Then, tadi malam ketika berjalan diluar kota Go-bi

telah menemukan kedua orang ini dipukul tak sadarkan diri dan

menggeletak di tengah jalan. Oleh karena kenal kalau salah satu

diantaranya adalah ’Pendekar Pedang Merah’ dari Benteng Pek Kiam

Po maka sengaja aku datang menghantarkan mereka”

Dengan sedikit pun tidak ragu-ragu dia telah melaporkan nama

aslinya kepadanya karena di dalam hatinya dia telah mengambil

keputusan, dia merasa sekali pun dirinya menerima perintah yang

mengharuskan memperistri Wi Lian In tetapi bagaimana pun juga

urusan ini menyangkut nama baik dari seorang nona, dirinya harus

menanggung segala beban serta resikonya dan tidak mungkin

menggunakan nama palsu untuk meni punya.

Pendekar pedang hitam itu begitu mendengar perkataan tersebut

air mukanya segera berubah hebat, dengan cepat dia maju dua

langkah ke depan, begitu melihat orang yang berada di bawah

ketiak sebelah kanan dari Ti Then adalah bakal menantu kesajangan

dari majikan Benteng Pek Kiam Po perasaan terkejutnya semakin

menghebat, serunya.

”Ooh Thian… .dia….kenapa dia,”

“Hanya jatuh tidak sadarkan dirinya saja, agaknya di dalam

tubuhnya tidak mengalami cedera apa pun.

Dengan perasaan yang arnat terkejut tanya pendekar pedang

hitam itu lagi : “Siapa orang yang satunia ?

“Cayhe juga tidak kenal..”

“Tetapi dia bukan orang dari Benteng kami.” ujar pendekar

pedang hitam

”Tadi dia menggeletak bersama-sama dengan kawan pendekar

pedang merah ini, maka itu cayhe terpaksa bawa sekalian kemari.”

“ Dengan tiara bagaimana dia bisa terluka.”

“Tidak tahu” sahut Ti Then sambil menggelengkan kepalanya.

Ketika cayhe hendak mamasuki kota telah menemukan mereka

menggeletak ditengah jalan diluar kota”

Dengan perasaan yang sangat terkejut dan ragu ragu pendekar

pedang hitam itu tak henti-hentinya memandang kearah tubuh

Hong Mong Ling yang tidak sadarkan diri itu, gumamnya:

”Sungguh heran, “ sungguh mengherankan sekali, di dalam Bulim

saat ini ada siapa yang berhasil memukul dia hingga seperti ini

?. “

Ti Then segera tersenjum ujarnya:

”Menanti dia sadar kembali tentu akan mengetahui dengan lebih

jelas lagi.”

Pendekar pedang hitam itu tidak berani berlaku ajal lagi, sambil

mengangguk sahutnya :

“Baik silahkan saudara mengikutiku masuk ke dalam Benteng

Sehabis berkata dia maju menyambut tubuh Hong Mong Ling dan

memutar tubuhnya berlalu,

Ti Then dengan mengempit tubuh Cang Bun Piauw terpaksa

mengikuti di belakang orang itu, tanyanya:

”Jaraknya dari sini sampai ke dalam Benteng masih seberapa

jauhnya ? “

”Tidak jauh, segera akan tiba.”

”Ehm…saudara termasuk pendekar pedang hitam dari Benteng

Pek Kiam Po?”

”Benar” sahut pendekar pedang hitam itu. ”Cayhe She Ki

bernama Hong?”

”Ooh jaa… Lo-heng tadi bilang she Ti, Ti apa ?.”

“Ti Then” “ Sahut Ti Then singkat,

“Ti Then? ‘Sepertinya nama ini pernah kudengar,

agaknya..Hmm.. tak dapat kuingat kembali Kakinya didepakkan ke

atas sesaat kemudian tiba-tiba dengan kejut bercampur girang

menoleh kembali memandang kearah Ti Then, ujarnya:

“Kau adalah si pendekar berbaju hitam Ti Then?”

Ti Then hanya tersenjum saja, sahutnya:

“Hek Ie Hiap tiga buah kata, cayhe tidak sanggup menerimanya,

“Aku dengar ilmu pedangniu amat tinggi, bukan begitu? tanya Ki

Hong dengan girangnya.

“Tidak benar “sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya “Pada

saat ini ada siapa yang dapat menandingi kehebatan serta kelibayan

dari ilmu pedang Benteng Pek Kiam Po?”

Ki Hong masih tetap meneruskan perjalanannya menuju ke

dalam Benteng Pek Kiam Po, sembari berjalan ujarnya:

“Cayhe sering mendengar katanya ilmu Pedang dari Lo-heng bisa

rnenandingi pendekar pedang merah dari Benteng kami orangorang

yang memiliki usia seperti Lo-heng sekarang hanya

Hong Mong Ling seorang, karena itulah Lo-heng boleh dikata

merupakan bintang diantara kami orang-orang muda.

“Ki-heng terlalu mernuji” sahut Ti hen sambil tertawa.

”Kepandaian yang cetek dari Cayhe mana bisa dibandingkan dengan

kelihayan ilmu pedang pendekar pedang merah dari Benteng Pek

Kiam po. “

“Aah .,, Ti-heng terlalu sungkan, nama besarmu sekali pun Pocu

dari benteng kami pun telah mengenalnya.

“Haa …”Sahut Ti Then. “Bisa mendapatkan penghargaan dari

orang berkepandaian tinggi sungguh membuat Cay he merasa

sangat bahagia.. . Bagaimana pandangan Pocu kalian tentang diriku

ini?

“Menurut apa yang diucapkan majikan Benteng kami kepada

orang lain, Kaum pendatang baru di dalam Bu-lim yang paling

menonjol pada saat ini ada tiga orang, diantara ketiga orang itu

adalah Ti-heng sendiri, kemudian bakal menantu majikan benteng

kami jaitu Hong Kouw-ya dan yang terakhir adalah . –

“ Bukankah si Hong Liuw Kiam Khek atau sipendekar pedang

suka pelesiran Ing Ping Siuw ini?” Timbrung Ti Then.

“Benar, apa Ti-heng pernah bertemu muka dengan si pendekar

pedang suka pelesiren Trig Ping Siuw

”Belum pernah, hanya pernah mendengar nama besarnya. –

”Cayhe dengar ilmu pedangnya sangat tinggi sekali bahkan

pernah dengan menggunakan pedangnya membabat habis Lauw

San Lak Hiong atau enam penyahat dari gunung Lauw san”

“Benar, Lauw San Lak Hiong bukanlah merupakan lawan yang

sangat enteng, tetapi Ing Ping Siuw ternyata bisa menahan

serangan keenam orang itu bahkan di dalam sekejap saja

membunuh habis mereka, sungguh bukan merupakan pekerjaan

yang mudah ”

Sedang mereka berbicara itu dari hadapan jalanan gunung itu

telah muncul seorang pendekar pedang hitam yang melintangkan

pedangnya menghalangi perjalanan mereka teriaknya dengan keras

“Siapa yang datang?”

“Saudara, aku adanya” sahut Ki Hong dengan cepat.

“Oooh . .”segera pendekar pedang hitam itu memasukkan

kembali pedangnya ke dalam sarung kemudian berjalan ke depan

menjongsong datangnya Ki Hong tetapi ketika melihat datangnya

membopong tubuh sinaga mega Hong Mong Ling sedang di

belakang tubuhnya pun berjalan seorang pemuda yang asing, tak

terasa dia menjadi amat terkejut, serunya:

”Aduh ….terjadi urusan apa?”

Ki Hong segera menjelaskan yang sebenarnya bahkan

rnemperkenalkan orang itu kepada Ti Then, tanyanya kemudian

”Kau sudah bertemu dengan kepala barisan Shia Kiauw To ???”

”Aku tidak melihat dia berjalan keluar, mungkin masih berada di

dalam Benteng”

“ Kalau begitu bagus sekali, Siauw-te akan masuk mencari dia

untuk memberi laporan.

Sehabis berkata segera dia memimpin jalan menuju kedalarn

Benteng.,

“Siapa itu kepala barisan she-Shia ?” tanya Ti Then.

“Oooh… dia adalah seorang pendekar pedang merah dari

benteng kami, sebutannya sebagai Juan Sim Kiam atau si pedang

penembus ulu hati, Shia Pek Tha din merupakan salah satu dari

murid-murid kesajangan majikan Benteng kami, ini malam dialah

yang bertugas sebagai kepala regu jaga asal kita menemukan

sesuatu urusan harus dilaporkan kepada dirinya terlebih

dahulu”sahut Ki Hong.

“Ooh kiranya sipedang penembus ulu hati Shia Pek Tha, pada

tahun yang lalu dikota Tiang An Cayhe pernah bertemu dan minum

arak bersama dengan dia, ehm dia memang merupakan seorang

yang sangat periang dan suka bergaul.”

“Dengan cara bagaimana Ti Then bisa berkenalan dengan

dirinya?”

”Pada suatu malam pada tahun yang lalu” sahut Ti Then “ketika

Caybe sedang berpesiar didaerah istana delapan dewa, tiba-tiba

kulihat didekat tempat itu tiga orang sedang bertempur, ketika aku

melihat lebih dekat lagi segera kukenal kalau dua diantaranya

adalah iblis dari kalangan Hek to, ketika aku lihat Shia Pek Tha

agaknya tidak kuat melawan mereka maka aku munculkan diri untuk

menolong menggempur mundur kedua orang itu, demikanlah kami

berkenalan dan ketika saling omong-omong itulah baru aku ketahui

kalau dia merupakan pendekar pedang merah dari Benteng Pek

Kiam Po. Keesokan harinya Shia Pek Tha mengundang cayhe minum

arak di atas loteng Cuang Yuan Lo… ”

Ki Hong menjadi amat girang, ujarnya

“Jika dernikian adanya, maka Ti heng dengan kepala regu Shia

Pek Tha merupakan kawan lama, nanti bilamana bertemu dengan Ti

heng tentu akan sangat girang”

Sembari berbicara mereka telah berjalan berputar putar di dalam

puncak gunung itu sebuah bangunan yang sangat megah dan kokoh

kuat segera terbentang di hadapan mata, ketika dipandang lebih

teliti lagi terlihatlah benteng Pek Kiam Po yang sangat terkenal dan

menggetarkan kangouw ini mem punyai bentuk bangunan yang

amat aneh tetapi sangat angker.

Bangunan itu didirikan di bawah tebing yang amat curam

disekelilingnya dikelilingi oleh tembok yang amat tinggi, di depan

pintu benteng berdirilah sebuah loteng pengintai sehingga

keadaannya mirip sekali dengan sebuah kota kecil. setiap ruangan di

dalam benteng tersebut terang benderang sehingga kelihatan besar

keangkerannia.

“Benteng Pek Kiam Po. “ tiga buah tulisan yang amat besar

terpancang jauh tinggi di depan pintu benteng dan terlihat terbuat

dari emas murni di bawah sorotan sinar rembulan memancarkan

sinarnya yang menyilaukan mata.

Benteng Pek Kiam Po. Inilah Benteng Pek Kiam Po yang mewakili

keadilan dan kebenaran di dalam dunia Kangouw.

Oleh karena di dalam hati Ti Then memangnya mem punyai

suatu rencana yang tertentu begitu melihat benteng Pek Kiam Po

yang amat megah serta angker itu tak terasa lagi menjadi amat

tegang.

Untuk menenangkan pikiran serta hatinya dia menarik napas

panjang-panjang, kemudian ujarnya:

“Ehm . sungguh besar benteng ini mungkin seluruh benteng ini

berisi ribuan orang banyaknya?”

Ki Hong hanya mengia saja tanpa memberikan penjelasan yang

lebih panjang. Agaknya semua anggota dari benteng Pek Kiam Po

itu mem punyai kewajiban untuk menutup mulutnya rapat-rapat

terhadap segala rahasia dari benteng itu sehingga mereka sama

sekali tidak mau membuka rahasia di depan orang luar.

Ti Then pun segeta merasakan kalau pertanyaannya sudah

keterlaluan, segera dia putar haluan ujarnya lagi:

”Tebing itu pun amat besar sekali, apa tebing itu yang disebut

sebagai Sian Ciang Jen ??.

”Tidak salah” sahut Ki Hong” Sian Ciang Jen ini jauh lebih indah

dari Sian Ciang Jen yang terdapat di atas gunung Hoa San.

Ketika itulah mereka telah sampai di depan pintu benteng yang

sangat besar itu.

Dua orang penjaga pintu benteng begitu melihat yang datang

adalah orang sendiri segera membukakan pintu mempersilahkan Ki

Hong serta Ti Then masuk, segera Ki Hong membawa Ti Then

kesebuah ruang tamu yang amat luas dan meletakkan tubuh Hong

Mong Ling serta Cang Bun Piauw ke atas kursi, ujarnya kemudian:

“Ti heng, silahkan menunggu sejenak, aku hendak memberi

laporan sebentar kepada Shia-te “

Baru saja dia selesai berbicara, tiba-tiba dari luar ruangan tamu

yang luas itu berkumandang datang suara yang amat nyaring dan

sedikit serak-serak yang sedang bertanya :

“Ki Hong, kau membawa siapa datang kemari ?”

Sehabis berkata seorang lelaki berusia pertengahan yang

memiliki bentuk tubuh yang tinggi besar dan amat kekar berjaIan

masuk ke dalam ruangan itu.

Wajah dari orang lelaki berusia pertengahan itu amat keren dan

gagah, wajahnya persegi dengan telinga yang besar, alisnya tebal

bagaikan sapu, matanya bagaikan bola mata seekor harimau

hidungnya bagaikan hidung singa, berewoknya memenuhi seluruh

wajahnia sedang tubuhnya memakai baju berwarna merah darah

dengan sebilah pedang berwarna merah yang disorenkan

dipinggangnya, sikap serta tindak tanduknya memperlihatkan

seorang yang amat gagah sekali.

Orang ini tidak lain adalah sipedang penembus ulu hati, Shia Pek

Tha adanya.

Ketika sinar matanya bertemu denga tubuh Hong Mong Ling

serta Cang Bun Piauw yang bersandar di atas kursi dengan

lemasnya itu tak terasa air mukanya berubah hebat, kakinya sedikit

menutul tanah dengan kecepatan yang luar biasa melayang

ketengah udara dan berkelebat ke samping tubuh kedua orang itu.

Tetapi …ketika dia berjaIan lebih dekat lagi dan dapat melihat

wajah dari Ti Then dengan sangat jelas, air,mukanya terlintaslah

perasaan tertegunnya, serunya:

“ Kau …Ti Then??”

Ti Then segera merangap tangannya memberi hormat, ujarnya:

“Sejak perpisahan..apa.Shia..heng baik-baik saja??”

Si pedang penembus ulu hati Shia Pek Tha menjadi amat terkejut

bercampur girang, sambil memandang kearah Hong Mong Ling serta

Cang Bun Piauw dua orang tanyanya

“Sebenarnya apa yang telah terjadi?”

“Ketika tadi siauwte berjalan hendak memasuki kota Go bi

menemukan kedua orang ini menggeletak di pinggir jalan agaknya

mereka telah dipukul hingga jatuh tidak sadarkan diri, karena

siauwte kenal diantara mereka dua ada seorang yang merupakan

pandekar pedang merah dari Benteng Pek Kiam Po maka sengaja

datang mengantar mereka kembali ”

Si pedang penembus ulu hati Shia Pek Tha setelah mendengar

perkataan itu segera memeriksa keadaan dari Hong Mong Ling dan

mengadakan pemeriksaan dengan teliti pada seluruh tubuhnya

setelah itu barulah dia membuka kelopak matanya, ujarnya

“Ehm . . tidak ada tanda-tanda terIuka dalam, agaknya hanya

tertotok jalan darah pingsannya saja”

”Oooh… kiranya hanya tertotok jalan darah pingsannya

saja”sahut Ti Then.

Pada saat itu sipedang penembus ulu hati Shia Pek Tha telah

memutar tubuhnya berkata kepada Ki Hong ujarnya.

“Cepat undang Pocu serta Siaocia datang.”

Ki Hong menyahut dan segera berlalu dengan targesa gesa dari

dalam ruangan.

Setelah itu barulah dengan perlahan Shia Pek Tha memeriksa

keadaan dari Cang Bun Piauw, ketika menemukan kalau Cang Bun

Piauw pun juga tertotok jalan darah pingsannya tak terasa lagi

menjadi mengerutkan alis dalam dalam, ujar nya:

“Sungguh mengherankan sekali, bagaimana bisa terjadi urusan

seperti ini?”

“Shia heng apa kenal dengan orang ini ? “

“Kenai” sahut Shia Pek Tha. orang ini bernama Cang Bun Piauw

dengan julukan sitikus rakus dart Go-bi dia merupakan seorang

yang paling gemar pelesiran, bukan saja berjudi, mabok mabok kan

serta suka main perempuan bahkan perbuatannya pun tidak ada

yang merupakan pekerjaan baik-baik:”

“Benar..memang hal ini amat aneh dan mengherankan sekali”

“Kalau benar mereka hanya ditotok jalan darah pingsannya

kenapa Shia heng tidak membantu membebaskan jaIan darahnya

yang tertotok.?..”

”Tidak” sahut Shia Pek Tha sambil menggelengkan kepalanya,

”Menanti setelah suhu datang baru kita bicarakan lagi, suhuku mem

punyai pangetahuan yang sangat luas di dalam cara menotok jalan

darah dari seluruh penjuru dunia, asalkan dia orang tua melihat

sendiri cara menotok jalan darah ini kemungkinan sekali bisa

mengetahui siapakah sebenarnya orang yang merubuhkan mereka.”

Setelah itu dia bangkit berdiri, kepada Ti Then sambil merangkap

tangannya memberi hormat ujarnya:

”Aku orang she-Shia seharusnya mengucapkan banyak terima

kasih terlebih dahulu pada Lo-te.”

“Oooh… tidak perlu sungkan-sungkan”

“Sesudah perpisahan kita di kota Tiang An di dalam sekejap saja

sudah lama tidak bertemu selama ini Lo-te baik-baik bukan ?”

Mendengar perkataan itu Ti Then tertawa pahit, sahutnya:

”Sangat buruk, semakin lama semakin miskin”.

Sejak tadi Shia Pek Tha telah dapat melihat si pendekar baju

hitam yang berdiri di hadapannya sekarang jauh berbeda

keadaannya dengan sewaktu bertemu dikota Tiang An pada tahun

yang lalu, ketika tahun yang lalu dia bertemu dengan Ti Then bukan

saja pakaian yang dipakainya sangat mewah serta perlente bahkan

keadaannya pun sangat gagah, sedang kini Ti Then telah berubah

demikian miskinnya sehingga baju yang dipakai pun compang

camping tidak karuan dan sangat dengkil sekali tidak terasa hatinya

menjadi amat terkejut bercampur heran, kini ketika mendengar dia

bilang kalau dirinya semakin lama semakin miskin tak tertahan

tanyanya:

-ooo0dw0ooo-

Jilid 3.1. Hong Mong Ling si pendusta

”Lo-te telah menemui bencana apa yang demikian seriusnya?”

”Tidak ada “ sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya, “Hanya

siauw-te telah menghabiskan harta benda peninggalan leluhurku,

sehingga kini telah berubah menjadi seorang yang amat miskin”

Shia Pek Tha tertawa terbahak-bahak, tanyanya :

” Perkataan dari Lo-te ini apa benar benar ?”

“Buat apa aku menipu dirimu ?? “

Shia Pek Tha tersenjum ujarnya:

”Kalau begitu aku orang she-Shia benar-benar mengagumi dan

memuji dirimu. “

Perkataan dari Shia-heng ini bagaimana bisa diucapkan ??” Tanya

Ti Then sambil tertawa kaget.

“Lo-te punya kepandaian silat yang demikian tingginya ternyata

dapat hidup tenteram di dalam keadaan yang miskin, tidak pernah

menggunakan kepandaian silatnya untuk merampok atau merampas

barang orang lain, bukankah hal ini patut dikagumi dan dipuji ‘???”

Shia-heng tidak usah terlalu memuji dan kagum terhadap Siauwte,

kemungkinan sekali pada suatu hari bilamana Siauw-te sudah

tidak bisa menahan kemiskinan yang menimpa segera akan

mendaftarkan diri menjadi anggauta perampok.

Baru saja Shia Pek Tha hendak berbicara lagi, mendadak

matanya dapat melihat suhunya si pedang naga emas Wi Ci To

beserta putrinya Wi Lian In telah berjalan memasuki ruangan itu,

dengan nada yang serius ujarnya dengan cepat :

“Suhu telah datang! “

Orang yang disebut sebagai jago nomor dua di dalam Bu-lim ini,

pocu dari Benteng Pek Kiam Po sipedang naga emas Wi Ci To sekali

pun usianya sudah lebih dari enam puluh tahun tetapi jika dilihat

dari wajah serta bentuknya tidak lebih kelihatan baru berusia lima

puluh tahunan. Tubuhnya tinggi besar dengan sikap serta tindak

tanduk yang halus bagaikan siucay tetapi keren bagaikan baja

bahkan sikapnya amat menjenangkan sekali, bila orang yang tidak

tahu tentu tidak akan percaya kalau dia merupakan seorang jago

berkepandaian tinggi yang memiliki ilmu pedang yang amat lihay,

bahkan mungkin menganggap dia sebagai seorang siucay yang

hanya tahu akan syair-syair saja.

Agaknya dia telah mendapatkan keterangan yang amat jelas dari

mulut Ki Hong oleh karena itu setelah berjalan masuk ke dalam

ruangan sedikit pun tidak memperlihatkan sikapnya yang amat

terperanyat, dengan tidak mengucapkan sepatah kata pun juga dia

berjalan mendekati tubuh Hong Mong Ling kemudian menggendong

tubuhnya dan direbahkan ke atas tanah, tangannya tidak ambil

diam sampai di situ saja dengan amat cekatan mengadakan

pemeriksaan diseluruh tubuhnya.

Putri dari Wi Ci To jaitu Wi Lian In yang berada di sampingnya

dengan wajah yang penuh perasaan kuatir memandang tak hentihentinya

ketubuh Hong Mong Ling, ujarnya dengan agak gugup:

“Dia, dia tidak mengapa bukan ?”

Putri dari Wi Ci To itu memang amat cantik sekali wajahnya,

agaknya perkataan dari majikan patung emas sedikit pun tidak

salah. Wajah dari Wi Lian In hampir mem punyai kesamaan dengan

wajah dari Liuw Su Cen dari sarang pelacur Touw Hoa Yuan,

wajahnya berbentuk kuaci dengan alisnya bagaikan bulan, matanya

yang cemerlang bagaikan bintang timur, bibirnya yang keciI mungil

berwarna kemerah-merahan sehingga kelihatan amat cantik sekali,

keadaan serta sikapnya pun jauh lebih agung dan lebih halus jika

dibandingkan Liauw Su Cen, Ti Then yang melihat kecantikan

wajahnia tak terasa diam-diam memuji tak henti-henti-nya, pikirnya:

“Hong Mong Ling sudah mempunyai bakal istri yang demikian

cantiknya ternyata masih pergi bermain cinta dengan seorang

pelacur urusan ini memang sedikit mengherankan . .”

Ketika terpikir olehnya kalau Wi Lian In ini kemungkinan sekali

akan berubah menjadi bakal istrinya tak terasa lagi jantungnya

berdebar dengan amat keras.

”Dapatkah dia berhasil memperistri Wi Lian In yang cantik jelita

itu?”

Ketika dia sudah menjadi istrinya, perintah selanjutnya dari

majikan patung emas itu akan menjuruh dia berbuat apa lagi?

Apakah dengan meminyam sebutan ‘menantu’ dari dirinya untuk

menutupi gerak-gerik selanjutnya kemudian mengadakan gerakangerakan

untuk mengacau dan menghancurkan benteng Pek Kiam Po

ini dari dalam?

Tidak, Majikan patung emas sudah pernah memberi penjelasan

kepadanya kalau dia tidak akan memerintahkan dirinya untuk

melakukan pekerjaan yang membahajakan orang-orang dari

benteng Pek Kiam Po, tetapi perkataannya apa boleh dipercaya?

Kalau begitu sekali pun “Rencana” dari majikan patung emas itu

tidak mendatangkan kerugian bagi orang-orang dari Benteng Pek

Kiam Po, apa mungkin “rencana” nya mendatangkan keuntungan

bagi benteng Pek Kiam Po ini?

Kalau mendatangkan keuntungan bagi Benteng Pek Kiam Po lalu

apakah keuntungan itu?

Ketika Ti Then berpikir sampai di sini tidak terasa lagi dia mulai

melayangkan pandangannnya memperhatikan sipedang naga emas

Wi Ci To itu.

Sampai saat ini juga dalam hatinya dia masih tetap mencurigai

kalau Majikan patung emas itu adalah rubahan dari si pedang emas

Wi Ci To ini dikarenakan dia hendak melindungi putrinya Wi Lian In

tidak sampai dijodohkan dengan seorang pemuda hidung bangor

maka dia hendak menggunakan dirinya untuk mengacau dan

merusak hubungan cinta antara putrinya dengan Hong Mong Ling,

dengan demikian putrinya Wi Lian In bisa dijodohkan dengan

dirinya.

Dan kini terlihatlah olehnya pada wajah Wi Ci To memperlihatkan

perasaan `tidak suka” dan ‘tidak puas” nya terhadap Hong Mong

Ling ini.

Sipedang naga emas Wi Ci To sesudahnya memeriksa dengan

teliti seluruh tubuh dari Hong Mong Ling, alisnya dikerutkan

kencang-kencang ujarnya dengan keren:

“Hm..dia terpukul belakang lehernya terlebih dahulu kemudian

baru ditotok jalan darah pingsannya”

”Suhu, dia tertotok oleh cara menotok jalan darah yang macam

bagaimana?” tanya Shia Pek Tha.

Cara.menotok jalan darah yang sangat biasa, tidak ada tempat

yang terlalu mengherankan “

Sesudah berhenti sejenak dia menoleh kearah Cang Bun Piauw

sambil tanyanya:

“Siapa orang ini?”

“Si tikus rakus dari Go bi Cang Bun Piauw”

Si pedang naga emas Wi Ci To sambil menggerakkan tangannya

membebaskan jalan darah yang tertotok pada tubuh Hong Mong

Ling tanyanya:

“Orang mana tikus rakus dari Go bi itu?”

“Rumahnya tinggal didaiam kota Go bi, dia adalah seorang

kongcu yang suka pelesiran, suka judi mau pun mabok-mabokan”

Mendengar perkataan itu dengan wajah yang penuh perasaan

terkejut Wi Lian In angkat kepalanya, tanyanya pada Shia Pek Tha:

“Pek Tha suheng, kau bilang apa?

Pada wajah Shia Pek Tha segera timbul perasaan bimbang dan

sedihnya, sesaat kemudian barulah sahutnya,

“Sumoay, kau tidak usah marah kemungkinan sekali suhengmu

telah salah bicara’

“Hmm…Dengus Wi Ci To dengan dinginnya.” cepat katakan

dengan jelas kau kenal dengan orang ini ?”

“Tecu hanya tahu tindakan serta gerak gerik dan perbuatan

orang ini saja, dengan dirinya sama sekali tidak kenal”

“Hmm..aku lihat dia sama sekali tidak paham ilmu silat.”

“Benar” sahut Shia Pek Tha,” Ajahnya pernah memangku jabatan

sebagai pembesar kota sehingga harta kekajaannya amat banyak

sekali sedang dia lalu menggunakan nama besar dari bapaknya

serta kekajaannya untuk berbuat tidak senonoh diluaran dan

menganiaja kaum rakjat yang lemah.”

Dengan-perlahan Wi Ci To putar tubuhnya pergi membebaskan

jalan darah dari Cang Bun Piauw, tanyanya lagi.

“Lalu bagaimana mungkin Mong Ling bisa bergaul dengan orang

macam ini?”

“Tentang ini tecu juga tidak tahu,” sahut Shia Pek Tha dengan

cepat, “Kemungkinan sekali Mong Ling sute sama sekali belum

pernah kenal dengan orang ini, hanya mungkin… pokoknya

bagaimana keadaan sesungguhnya lebih baik tunggu saja Mong

Ling sute sesudah sadar kembali baru kita tanyai”

Wi Ci To melihat Hong Mong Ling belum juga sadarkan diri

segera putar tubuhnya mengangguk kepada Ti Then, ujarnya sambil

tertawa:

“Inikah si pendekar baju hitam Ti Then ?”

“Benar” sahut Ti Then sambil rangkap tangannya memberi

hormat.

“ Ha. .. ha… ha . Lohu telah tidak sedikit mendengar cerita

mengenai pendekar baju hitam, lohu amat girang bisa bertemu

dengan seorang pendekar muda yang amat terkenal di dalam dunia

kang ouw.”

“Pocu terlalu memuji”

“Siapakah suhu dari Ti-heng ?”

Ditanyai dengan pertanyaan itu Ti Then segera menjadi serba

susah, dengan gugup sahutnya:

“Tentang hal ini boanpwe………..”

“Ha… ha.. ha.. bilamana Tiheng merasa ada sesuatu yang tidak

enak untuk dibicarakan lebih baik tidak usah menyawab, orang yang

bisa menggembleng seorang pemuda seperti Ti heng ini tentunya

merupakan seorang diago tua yang telah lama menyembunyikan diri

dan mengasingkan diri dari pengalaman.”

“Tidak salah” sahut Ti Then cepat, “Suhuku memang telah lama

mengasingkan diri dari pergaulan, dia orang tua pernah memberi

tahu pada boanpwe untuk tidak secara sembarangan

mernberitahukan namanya kepada orang lain”

Bagaimana pun juga pengalaman dari Wi Ci To telah amat luas,

begitu melihat keadaan itu segera dia tukar pembicaraan, ujarnya

lagi:

“ Pada tahun yang lalu Ti-heng pernah membantu Shia Pek Tha

memukul mundur musuh tangguh dan ini hari Ti-heng menolong

muridku lagi pulang ke dalam Benteng dalam hati Lohu benar-benar

merasa sangat berterima kasih.

“Aah..mana, mana . hanya secara kebetulan saja, perlu apa

terlalu dipikirkan. “

Saat itulah terdengar suara Shia Pek Tha yang sedang berseru:

“Suhu … Mong Ling sute sudah sadar kembali”

Sinaga mega Hong Mong Ling yang rebah terlentang ditengah

ruangan dengan perlahan sadar kembali, sambil mengucak-ucak

matanya dia memandang dengan perlahan kesekelilingnya, tetapi

ketika dia melihat dengan jelas kalau dirinya sedang rebah ditengah

ruangan dalam Benteng Pek Kiam Po dengan cepat segera meloncat

bangun.

Pada saat itu pula ketika dilihatnya Cang Bun Piauw berada pula

disisi tubuhnya tak terasa air mukanya berubah dengan hebatnya.

Dengan dingin ujar Wi Lian In:

“ Hm.. telah terjadi peristiwa apa?”

Hong Mong Ling tidak segera memberi jawaban, dengan wajah

yang penuh perasaan terkejut dan ketakutan dia memandang wajah

Wi Ci To, Shia Pek Tha serta akhirnya berhenti pada wajah Ti Then.

Dengan pandangan yang amat tajam dia memandang beberapa

saat lamanya ke atas wajahnya kemudian dengan bimbang

gumamnya:

“Kau..kau . . ..siapa kau? „

“He . . he ,sahut Wi Ci To sambil tertawa dingin: “Dia adalah

sipendekar baju hitam Ti Then, juga merupakan in-jin yang telah

menolong kau kembali. “

Mendengar perkataan itu dengan cepat sambung Ti Then.

“Malam tadi cayhe kebetulan sedang lewat hendak masuk kota

ketika sampai diluar kota telah melihat di samping jalan rebah

Hong-heng berdua dengan tidak sadarkan diri, oleh karena cayhe

kenal kalau Hong-heng adalah pendekar pedang merah dari

benteng Pek Kiam Po ini maka sengaja menolong Hong heng berdua

kembali ke dalam benteng.

Ketika Hong Mong Ling dengar kalau Ti Then menemukan dirinya

berada diluar kota dalam hatinya baru merasa amat lega sedang

perasaan terkejut serta ketakutan yang menghiasi wajahnya pun

dengan perlahan mulai lenyap.

Dengan cepat dia bangkit berdiri sambil ujarnya:

“Ooh … kiranya begitu, kalau begitu cayhe mengucapkan banyak

terima kasih dahulu atas budi pertolongan dari Ti-heng,.

Sambil berkata dia merangkap tangannya memberi hormat

kepada Ti Then.

Wi Lian In yang berdiri disisinya dengan wajah yang cemberut

ujarnya dengan amat dingin:

“Cepat bilang, bagaimana bisa terjadi peristiwa ini?”

Hong Mong Ling melihat sekejap kearah Cang Bun Piauw yang

masih belum sadarkan dirinya, pikirnya dalam hati:

“ Hmm …sekarang dia belum sadar kembali, biar aku tunggu

sebentar lagi baru bicara. “

Berpikir sampai di situ, tangannya memegang belakang leher,

ujarnya :

“Ehm..bicara sesungguhnya aku sendiri juga tidak tahu telah

terjadi peristiwa apa.. .

Wajah Wi Ci To segera berubah, dengan keren bentaknya:

“Hmm..Kau dipukul orang hingga tidak sadarkan diri mana

mungkin tidak tahu apa yang telah terjadi ?

Dengan tetap menggosok kedua pelipisnya ujar Hong Mong Ling

dengan perlahan, :

“Suhu…kau orang tua tidak usah marah biarlah tecu dengan

tenang mengingat-ingat kembali- Heeei…kepalaku masih tetap

pusing sekali…aduh.”

“Hmm …sungguh kurang ajar” dengus Wi Lian In sambil

depakkan kakinya ke atas tanah.

Hong Mong Ling dengan tundukkan kepalanya “berpikir keras”

menanti setelah dia melihat Cang Bun Piauw dengan perlahan-lahan

sadar kembali barulah angkat kepalanya kembali sambil sahutnya:

–Tecu sekarang sudah teringat kembali peristiwa yang

sebenarnya adalah begini, ini hari ketika tecu sampai diluar kota Go

bi cuaca sudah hampir gelap, baru saja hendak melangkah masuk

kota tiba-tiba di belakang tubuhku terdengar ada seseorag yang

sedang berteriak teriak memanggil tecu: Hei . . yang berada di

depan bukan kah Mong Ling heng?” ketika tetiu menoleh terliharlah

orang itu adalah Cang Bun Piauw adanya”

“He… h.e..Potong Wi Lian In sambil tertawa dingin “bagus sekali

kiranya kau sudah berkenalan dengan si tikus rakus dari Go bi Cang

Bun Piauw ini”

“In moay jangan salah paham” ujar Hong Mong Ling dengan

ketakutan.

“Siau heng sama sekali tidak kenal dengan orang ini, kami tidak

lebih hanya punya kesempatan bertemu satu kali saja”

”Hmmm .. lanjutkan !”, bentak Wi Ci To.

Hong Mong Ling ragu-ragu sejenak kemudian barulah

sambungnya:

“Ketika tecu melihat orang itu adalah dia maka segera tecu tanya

dia punya urusan apa, dia tidak ada hanya katanya baru saja

menagih hutang dari desa dan kini akan pulang dalam kota, dia

ingin berjalan bersama-sama dengan tecu. Ketika baru saja berjalan

tidak jauh mendadak dari samping jaIan meloncat keluar seorang

berkerudung menanyakan tecu apakah benar pendekar pedang

merah dari Benteng Pek Kiam Po, maka segera tecu membenarkan

pertanyaan itu. Siapa tahu orang berkerudung itu tanpa

mengucapkan kata-kata lagi segera menjerang tecu.”

Ti Then yang berdiri di samping ketika mendengar ceritera itu

diam-diam merasa amat geli, pikirnya.

“ Majikan patung emas bilang Hong Mong Ling ini berhati tidak

lurus jadi orang amat curang ternyata sedikit pun tidak salah.

Didengar dari cerita bohongnya ini sudah tahu kalau kepandaiannya

di dalam hal itu amat liehay sekali. “

Sinar mata Wi Ci To memancarkan sinar yang amat tajam

potongnya:

“Bagaimana nada suara dari orang berkerudung itu? Berapa

besar usianya?”

“Jika didengar dari nada ucapannya agaknya berasal dari daerah

San Si, sedang usianya kurang lebih lima puluh tahunan.”

“Pakai senyata?”

“Tidak” sahut Hong Mong Ling dengan cekatan. “Tetapi ilmu

telapaknya amat aneh dan liehay sekali, tecu yang didesak dengan

serangan telapak yang bertubi-bertubi itu memaksa tecu sama

sekali tidak punya kesempatan untuk mencabut pedang

menyambut datangnya serangan musuh. Sehingga akhirnya-

…akhirnya belakang leherku terkena gaplokannya sesudah itu

urusan selanjutnya tecu tidak tahu sama sekali

Sinar mata Wi Ci To berkelebat tak henti-hentinya, dengan berat

ujarnya:

“Kau tidak.tahu kepandaian silatnya dari golongan apa?”

Wajah Hong Mang Ling segera menampiIkan perasaan

kecewanya, sahutnya dengan sedikit malu.

“Benar tecu sama sekali tak tahu”

“Ehm..” sambil mengelus jenggotnya Wi Ci To berpikir keras

sejenak.- “Didaerah sekitar San-si siapa yang paling hebat dalarn

ilmu telapaknya?”

“Apa mungkin Thiat Sah Ciang atau si pukulan pasir besi, Cau Si

Pei? “

“Tidak mungkin” sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya,

“sekali pun ilmu telapak dari si pukulan pasir besi: Cau Si Pei sangat

hebat tetapi dia tidak mungkin memenangkan kalian”

“Tia” seru Wi Lian In. “dia sudah sadar, coba tanyakan pada

dirinya”

Wi Ci To ketika melihat Ceng Bun Piauw sudah bangkit dan

duduk di atas tanah segera memutar tubuhnya. Sinar matanya

dengan amat tajam memperhatikan seluruh tubuhnya,kemudian

barulah tanyanya:

“Cang kongcu, dapatkah kau menceritakan peristiwa yang terjadi

kemarin malam dengan amat teliti kepada Lo hu?

“ Kau orang tua apakah majikan dari Benteng Pek Kiam Po?”

“Tidak salah! memang lohu sendiri. “ sahut Wi Ci To sambil

mengangguk.

“Selamat bertemu, selamat bertemu. Siauw-cu telab lama

rnendengar nama besar dari Wi Pocu, hanya selama ini tidak punya

jodoh untuk bertemu, ini hari dapat …”

Wi Lian In yang tahu orang itu merupakan seorang kongcu yang

suka pelesiran, judi mabok-mabokan dalam hatinya sudah timbul

perasaan bencinya, kini tak tertahan lagi bentaknya dengan keras:

“Tidak usah banyak ngomong, cepat bicara. “

Cang Bun Piauw yang dibentak men jadi berdiri termangumangu,

segera dengan wajah yang penuh senjuman tengik

lanjutnya:

“Baik.. baik. „peristiwa yang sebenarnya adalah begini. Ini hari

Siauw seng pergi kedesa Lie-khia-cung untuk menarik pajak sawah,

pada saat pulang dan tiba diluar kota secara kebetulan telah

bertemu dengan Hong-heng ini, lalu siauw-seng berjalan bersama

dengan dirinya, tetapi belum berjalan begitu jauh secara tiba-tiba

dari samping jalan meloncat keluar seorang yang berkerudung …”

Apa yang diceritakan olehnya persis dengan cerita yang

dikisahkan oleh Mong Ling.

Tanya Wi Ci To :

“Sesudah dia merubuhkan muridku, baru memukul rubuh

dirimu?”

“Benar “- sahut Cang Bun Piauw sambil mengangguk. “Siauw

seng tidak punya dendam dan sakit hati dengan dirinya ternyata dia

berani turun tangan terhadap siauw seng, sungguh kurang ajar

sekali “

“Hmm sesudah dia pukul rubuh muridku pernah mengucapkan

kata-kata apa?”

Cang Bun Piauw menundukkan kepalanya pura-pura berpikir

keras, sesaat kemudian baru sahutnya:

“Ooh .. ada, sesudah dia pukul rubuh Hong heng dia pernah

tertawa dingin sambil ujarnya: . He he… pendekar pedang merah

dari Benteng Pek Kiam Po tidak lebih juga hanya begini saja“

sehabis berbicara segera dia lajangkan tangannya memukul rubuh

Siauw seng.

Wi Ci To mengangguk perlahan kemudian dengan perlahan dia

menoleh ke arah Hong Mong Ling sambil tanyanya:

“Sebenarnya kau kuat menahan beberapa jurus serangannya?”

“Di dalam keadaan yang amat gugup dan kelabakan tecu hanya

berhasil menyambut sepuluh jurus saja”

”He..he..orang yang bisa mengalahkan kau hanya di dalam

sepuluh jurus saja tidak banyak”

“Suhu..tahukah kau siapa orang itu?”

“Ehm . aku masih belum bisa mengetahui” sahut Wi Ci To sambil

gelengkan kepalanya.

”Apa mungkin musuh bujutan suhu pada masa yang lalu…Co Shu

Koay kiam atau sipendekar pedang tangan kiri, Cian Pit Yuan? “

tanya Shia Pek Tha.

”Bila dia orang yang melakukan” sahut Wi Ci To- “ seharusnya

dia langsung datang mencari aku, tidak mungkin bisa pergi

menjerang Hong Mong Ling”

“Suhu” seru Hong Mong Ling ”Siapa itu sipendekar pedang

tangan kiri, Cian Pit Yuan ?

”Seorang pendekar pedang kenamaan yang pada dua puluh

tahun yang lalu pernah kalah di bawah ilmu pedangku dan dia

pernah bersumpah untuk mencari balas.”

Berbicara sampai di sini dia menoleh memandang Shia Pek Tha

lagi, lanjutnya:

“Tidak perduli siapakah orang berkerudung itu, tetapi dia sudah

menghina Hong Mong Ling sudah tentu kedatangannya tidak punya

niat baik, cepat kau pergi bangunkan beberapa orang pendekar

pedang merah untuk menyaga diseluruh tempat sekitar Benteng?.”

Shia Pek Tha segera bungkukkan dirinya menerima perintah dan

mengundurkan diri dari dalam ruangan.

Sesudah memberi perintah pada Shia Pek Tha dengan perlahan

Wi Ci To menoleh lagi kearah Hong Mong Ling, ujarnya:

“Mong Ling, kau bawalah Ti-heng beserta Cang kongcu masuk ke

dalam kamar untuk beristirahat, besok pagi-pagi suruhlah orang

menghantar Cang Kongcu masuk ke dalam kota Go-bi terlebih

dahulu”

Hong Mong Ling segera bungkukkan diri menerima perintah,

setelah itu kepada Ti Then serta Cang Bun Piauw ujarnya:

“Kalian berdua silahkan mengikuti siautw-te masuk kamar untuk

beristirahat.”

Ti Then serta Cang Bun Piauw segera minta ijin pada Wi Ci To

dan mengikuti di belakang tubuh Hong Mong Ling ke luar dari

ruangan tamu, setelah berjalan beberapa lama sampailah mereka

disebuah deret kamar yang memanyang, Hong Mong Ling dengan

cepat membuka dua buah pintu kamar, semula dia mempersilahkan

Ti Then memasuki salah satu kamar kemudian barulah membawa

Cang Bun Piauw kekamar yang lain.

Sesudah masuk ke dalam kamar tangannya segera menutupi

pintu dan menjulut lampu, ujarnya kepada Cang Bun Piauw dengan

nada yang amat perlahan:

“Sungguh amat bahaja, kurang sedikit saja diketahui rahasia kita”

“Siapa bilang tidak, semula kita masih berada di dalam Touw Hoa

Yuan dan di pukul rubuh oleh Lu kongcu itu, bagaimana akhirnya

bisa dibuang diluar kota?”

“Hmm . .mungkin Lu kongcu itu telah membawa kita keluar kota

. kali ini berhasil mengelabuhi mereka tetapi kau harus ingat jangan

sekali-sekali sampai keadaan yang sesungguhnya bocor dan

diketahui orang lain,

“Ooh . . sudah tentu sudah tentu..

“He…he .”ujar Hong Mong Ling lagi. “Bilamana urusan ini sampai

diketahui orang lain dan sumoayku tahu kalau aku pernah pergi

main wanita .he . he . . tentu dia tidak mau kawin sama aku lagi,

saat itu aku akan membereskan nyawamu. “

Cang Bun Piauw yang diancam seperti itu terpaksa hanya bisa

tertawa pahit saja sambil sahutnya

“Kau legakanlah hatimu, orang lain aku berani main-main tetapi

terhadap Hong-heng aku tidak akan berani main-main”

“Masih ada” tambah Hong Mong Ling: “Besok pagi sesudah kau

pulang ke dalam kota segera pergi ke dalam Touw Hoa Yuan untuk

memberi peringatan kepada Ku le, katakan padanya untuk jangan

menceritakan urusan kemarin malam kepada orang lain kalau tidak

hmm . hm hmm aku tidak akan berbuat sungkan-sungkan lagi

terhadap dirinya.”

“Baik, baik…siauwate tentu melaksanakan perintah ini dengan

sebaik-baiknya”

“Bagus, sekarang kau boleh beristirahat, aku pergi.”

Sehabis berkata segera dia putar tubuh untuk berlalu dari dalam

kamar tersebut,

“Hong-heng tunggu sebentar !”-

”Ada urusan apa?” tanya Hong. Mong Ling sambil balikkan

tubuhnya,

Cang Bun Piauw menuding kearah kamar sebelah, ujarnya

dengan perlahan

”Siauw-te rasa orang ini agaknya pernah kita jumpai, entah

bagaimana perasaan Hong-heng?”

“Hm..dia adalah sipendekar baju hitam Ti Then dan merupakan

seorang dari kalangan yang punya nama sangat terkenal, kau

pernah bertemu dengan dia ?

“Tidak…tidak…” sahut Cang Bun Piauw cepat, “Hanya saja siuawte

rasa wajahnya sedikit mirip, sedikit mirip dengan bangsat she Lu

itu “

Mendengar perkataan itu wajah Hong Mong Ling segera berubah,

sinar matanya dengan tajam memandang wajah Cang- Bun Piauw,

ujarnya:

“…Tapi ini tidak bisa mungkin terjadi.”

“Kenapa tidak mungkin?,”

“Ehm..kau curiga kalau bangsat she Lu itu adalah jelmaan dari

dirinya?”

“Sama sekali Cang Bun Piauw tidak pernah berpikir kalau urusan

bisa berubah ,demikian seriusnya, mendengar perkataannya itu dia

menjadi sangat terperanyat, balik bertanya:

“Kau lihat benar tidak?”

Hong Mong Ling menggigit kencang sesaat kemudian barulah

angkat bicara lagi, sahutnya.

“Hm..untung saja kau cepat peringatkan diriku, siauw te pun

merasa kalau dia mirip sekali degan bangsat she Lu itu, tetapi kalau

memang perkataan ini benar apa tujuan darinya untuk berbuat

demikian?”

“Mungkin dia hendak menggunakan kesempatan ini untuk masuk

ke dalam Benteng dan melakukan suatu pekerjaan yang tidak

menguntungkan bagi keselamatan Benteng Pek Kiam Po”

”Tidak mungkin” Sahut Hong Mong Ling sesudah berpikir

sejenak” Alasannya ada dua, pada urusan sebelumnya dia sama

sekali tidak tahu kalau kita akan pergi ke Touw Hoa Yuan untuk

mencari senang, seperti mungkin bisa menyamar sebagai “Lu

kongcu” untuk menunggu kita di sana, ke dua dia adalah jago dari

kalangan Pek-to di dalam dunia persilatan dengan Benteng Pek

Kiam Po sama sekali tidak punya ganyalan apa-apa, mana mungkin

dia bisa menggunakan kesempatan ini untuk mamasuki Benteng dan

melakukan pekerjaan yang tidak menguntungkan bagi Benteng Pek

Kiam Po kita ini?”

“Kalan tidak sudah tentu dia punya tujuan untuk merusak

perkawinan antara kau dengan nona Wi”

“Tidak mungkin..” sahut Hong Mong Ling sambil gelengkan

kepalanya lagi” dia tidak punya alasan untuk merusak perhubungan

antara diriku dengan sumoay, kita boleh berbicara satu langkah ke

belakang, bilamana dia punya tujuan ini kenapa dia pun ikut

membantu kita untuk mangelabuhi mereka ? “

“Bilamana bangsat she-Lu itu adalah jeimaan dirinya, masih ada

satu kemungkinan . . . dia ingin merebut bakal istrimu ?”,

Pada air muka Hong Mong Ling segera terlintas senjuman yang

amat dingin sahutnya:

“Hmm..dengan wajah serta keadaannya yang amat miskin itu dia

masih belum mamadahinya?”

Sekali pun pada mulutnya dia bicara demikian padahal dalam

hatinya telah timbut perasaan curiganya yang, amat tebal, segera

ujarnya lagi:

“Kau beristirahatlah, biar aku pergi menjelidiki keadaan yang

sesungguhnya.”

Sehabis berkata segera dia putar tubuhnya berlalu dart kamar

Cang Bun Piauw.

Ketika dia berjalan sampai di depan kamar Ti Then dillhatnya

suasana kamar itu sudah amat sunyi, dengan perlahan dia angkat

tangannya mengetuk kamar itu, panggilnya:.

“Ti-heng “ Ti-heng..Ti-heng kau sudah tidur?”

Dari dalam kamar segera terdengar sahutan dari Ti Then,

sahutnjna:

“Ooooh ..siapa? Hong-heng?silahkan masuk “

Hong Mong Ling setelah ragu-ragu sejenak kemudian mendorong

pintu dan berjalan masuk, terlihatlah baju luar dari Ti Then telah

dilepaskan dan dia sedang berbaring di atas pembaringan. Melihat

hal itu dengan cepat dia pura-pura mau mengundurkan diri sambil

udiarnya,

“Ooh , kiranya Ti-heng sudah siap hendak tidur, kalau begitu

siauw-te telah mengganggu”

“Hong-heng silahkan duduk, “ ujar Ti Then sambil bangkit duduk

di atas pembaringan “Siauw-te belum punya maksud untuk tidur,

lebih balk kita cerita-cerita saja.

Hong Mong Ling yang mendengar parkataannya persis seperti

maksud di dalam hatinya diam-diam merasa amat girang, cepat dia

duduk di atas sebuah kursi sambil rangkap tangannya memberi

hormat, ujarnya:

“Budi pertolongan dari Ti heng membuat siauw-te bingung harus

berbuat bagaimana untuk membalasnya.”

”Ha..Ha..ha…..mana bisa dihitung sebagai menolong nyawamu,

harap Hong-heng tidak usah risaukan dalam hati. “

“Nama besar Ti-heng bagaikan halilintar yang memekikkan

telinga, sudah lama siauw-te mengandung maksud untuk bertemu

dengan Ti-heng, ini hari bisa bertemu muka boleh dikata sangat

menjenangkan hati siauw-te.

”Ha…ha .. ha … mana..mana..Sinaga Mega Hong Mong Ling

nama ini jauh- lebih nyaring dan lebih terkenal di dalam Bu-lim.”

Teringat kembali di dalam benak Hong Mong Ling ketika dia di

dalam satu jurus saja telah dipukul rubuh oleh “Lu kong cu” tidak

terasa lagi telinga serta wajahnya berubah menjadi kemerahmerahan,

ujarnya.

“Mana mungkin, kepandaian siauw-te masih terlalu jauh

ketinggalan jika dibandingkan dengan Ti-heng, harap mulai saat ini

Ti-heng mau memberi banyak petunjuk kepada siauw-te.”

“Ha… ha .. ha . Hong-heng berbicara demikian mungkin bisa

membuat siauwte mejadi malu dengan sendirinya.”

Hong Mong Ling pun tertawa, sahutnya:

”Ha … ha, . Ti-heng terlalu merendahkan diri ”

”Ooh :..kali ini Ti-heng berkunjung kekota Go-bi entah punya

tujuan apa ?”

”Ooh …siauwte hanya secara tidak sengaja lewat di sini,

sebenarnya aku punya rencana untuk mencari kawan bermain.”

“Ini hari Ti-heng dapat berkunjung ke dalam Benteng harap kaki

mau tinggal beberapa hari di sini.”

“Baiklah, “ sahut Ti Then tanpa pikir panjang lagi,”Memangnya

sudah datang bilamana tidak mengganggu beberapa hari suhengmu

juga tidak mungkin mau melepaskan diri siauw-te. “

Hong Mong Ling lihat dia menyanggupi dengan demikian

cepatnya tak terasa semakin curiga lagi, sambil tertawa paksa

ujarnya:

”Asalkan Ti-heng tidak terlalu kesunyian atas kejelekan Benteng

kami, siauw te dengan segala senang hati akan menyambut Ti-heng

untuk berdiam beberapa hari lamanya di dalam, Benteng.”

”Baiklah, siauw-te pun punya perasaan simpatik begitu bertemu

muka dengan Hong-heng, dalam hatiku merasa amat girang sekali

bisa berkawan dengan seorang semacam Hong-heng ini.”

”Ha…ha, mana..mana… siauw-te dengar ilmu pedang dari Tiheng

amat lihay sekali, pada kemudian hari masih mengharapkan

petunjuk-petunjuk dari Ti-heng.”

”Memberi petunjuk dua buah kata Siauw-te tidak berani

menerima, bilamana saling bertukar pikiran masih jauh lebih bagus

lagi.”

Diam-Diam hati Hong Mong Ling semakin girang pikirnya:

“Hmm…bagus sekali, kau pendekar baju hitam Ti Then sekali pun

namanya tidak kecil tetapi bilamana bicara dalam hal ilmu pedang

aku masih punya kepercayaan untuk merubuhkan dirimu, menanti

besok pagi aku akan mencari kesempatan untuk minta petunjuk

darimu, di hadapan orang banyak memukul rubuh dirimu, pada saat

ini aku mau lihat kau masih punya muka tidak untuk bertamu di

sini.”

Sampai saat ini juga dia masih tetap berani untuk mengambil

kesimpulan bahwa Ti Then adalah Lu Kongcu tetapi dia pun tidak

berani untuk mengambil kesimpulan kalau Ti Then adalah Lu kongcu

oleh karena itulah dia baru mengambil keputusan untuk mengajak

dia bertanding ilmu pedang dan mengambil kesempatan itu mebuat

malu Ti Then sehingga dia tidak berani berdiam lebih lama lagi di

dalam Benteng Pek Kiam Po dengan sendirinya secara tidak

langsung dia pun telah melenyaplan sebuah bencana dikemudian

hari.

Terhadap kemampuannya dengan mengandalkan ilmu

pedangnya bisa mengalahkan diri Ti Then dia sudah merasa mem

punyai pegangan yang amat kuat oleh sebab itulah semakin berpikir

semakin merasa girang, segera dia bangkit mohon diri, ujarnya:

“Hari sudah mendekati pagi Ti-heng silahkan beristirahat, siauwte

mohon diri terlebih dahulu”

Sehabis berkata dia memberi hormat lagi dan mengundurkan diri

dari dalam kamar.

Sesudah melihat Hong Mong Ling pergi jauh barulah dengan

perlahan Ti Then bangkit berdiri untuk menutup pintu kamar dan

balik lagi ke atas pembaringan, matanya dipejamkan rapat-rapat.

Padahal dia tidak bisa tidur karena dia merasa bahwa masib

banyak urusan yang harus dipikirkan terlebih dahulu, banyak siasat

yang harus diselidiki, persoalan pertama yang harus dipikirkan

terlebih dahulu adalah:

“Benarkah sipedang naga emas Wi Ci To itu adalab majikan

patung emas?”

Tadi dia pernah melakukan pemeriksaan yang amat teliti

terhadap sikap serta seluruh gerak gerik dari sipedang naga emas

Wi Ci To, tetapi sekali pun telah diperhatikan amat teliti dia tetap

tidak bisa mengambil keputusan benar tidak dia adalah majikan

patung emas, maka itu kini dia harus memikirkan sebuah “Bukti”

dari penjelidikannya itu.

Dengan cara dan siasat apakah dia baru bisa menjelidiki kalau Wi

Ci To itu benar atau tidak sebagai Majikan patung emas?

Ooh ..ada. Asalkan bertanya dan menjelidiki sebentar kepada

Shia Pek Tha atau Hong Mong Ling apakah, di dalam setengah

tahun ini Wi Ci To selalu berada di dalam Benteng atau tidak maka

dengan cepat dia akan mengerti benarkah dia majikan patung emas

atau bukan.

Bilamana selama setengah tahun yang lalu Wi Ci To tidak pernah

berada di dalam Benteng Pek Kiam Po maka dia tentu dan pasti

adalah Majikan patung emas.

Tetapi bilamana selama setengah tahun yang lalu dia selalu

berada di dalam Benteng maka sudah tentu dia tidak mungkin

adalah Majikan patung emas.

Bilamana hasil dari penjelidikannya membuktikan kalau Wi Ci To

bukan majikan patung emas, lalu apa mungkin majikan patung

emas itu adalah sipendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan?

Mengenai “Si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan” ini dia

pernah mendengar dan mengetahui kalau dia pun merupakan

seorang pendekar yang amat lihay ilmu pedangnya, pada dua puluh

tahun yang lalu dia pernah memiliki nama besar yang sejajar

dengan nama Wi Ci To di dalam Bu-lim, kemudian di bawah hasutan

serta gosokan orang banyak maka kedua orang, itu di hadapan

orang banyak telah mengadakan pertandingan untuk menentukan

tinggi rendahnya kepandaian masing-masing akhirnya Cian Pit Yuan

kalah sedang telinga sebelah kanannnya pun berhasil ditabas oleh

pedang Wi Ci To hingga tinggal separuh, sejak saat itulah Cian Pit

Yuan lenyap dari dalam Bu-lim sampai saat ini.

Seorang pendekar pedang kenamaan secara tiba tiba mendapat

kekalahan ditangan orang lain bahkan sebuah telinganya berhasil

ditabas putus, hinaan dan perasaan malu seperti ini sudah tentu

membuat hatinya merasa dendam, sedang sakit hati ini pun sudah

tentu harus dicari balas.

Tetapi bilamana majikan patung emas itu adalah sipendekar

pedang tangan kiri Cuan Pit Yuan, bilamana dia ingin membalas

dendam seharusnya turun tangan sendiri, kenapa kini

memerintahkan dirinya untuk menjusup ke dalam Benteng bertindak

sebagai “Patung emas ?

Dia menggunakan “patung emas” ini untuk mencari kemenangan

dari Wi Ci To, apa mungkin dia ingin memenangkan .pertandingan

ini dengan tanpa menggunakan kepandaian silat?

Oleh sebab Itulah dia semakin merasa kalau Cuan Pit Yuan ini

tidak mungkin adalah Majikan patung emas:

Lalu, siapakah sebenatnya Majikan patung emas itu?

Apakah dia sudah mengikuti dirinya masuk ke dalam Benteng Pek

Kiam Po ini ?

Atau, apa mungkin dia merupakan salah satu anggota dari

Benteng Pek Kiam Po ini?

Beberapa pertanyaan ini membuat dia benar-benar sukar untuk

memejamkan matanya sebaliknya masih terdapat banyak sekali

urusan yang membuat dia merasa tidak tenteram, sekarang dia

sudah memasuki Benteng seratus pedang, sejak saat ini

kemungkinan sekali dia bisa menggantikan kedudukan Hong Mong

Ling sebagai mantu dari Wi Ci To tetapi sekali pun dirinya dapat

dengan sungguh hati pergi mencintai Wi Lian In apabila pada suatu

hari Majikan patung emas secara tiba tiba memerintahkan dirinya

untuk melakukan sesuatu perbuatan yang tidak mendatangkan

kebaikan bagi Wi Ci To, lalu dia harus berbuat bagaimana ?

Bilamana dia menolak perintah dari patung emas ini sudah tentu

dia akan membunuh dirinya, kematian dari dirinya tidak perlu

disajangkan tetapi bukankah dengan demikian malah merusak

kebahagiaan dari Wi Lian In ?

Heeei, apabila kepandaian silat yang dimiliki o!eh Wi Ci To bisa

mengalahkan dirinya itulah sangat bagus sekali, tetapi majikan

patung emas pernah berkata selain si kakek pemalas Kay Kong Beng

tidak mungkin ada orang yang bisa mengalahkan dirinya

Hari telah pagi.

Terdengar suara orang yang sedang mengetuk pintu dari luar.

Dengan cepat Ti Then bangkit berdiri dan membuka pintu,

terlihatlah si pedang penembus ulu hati Shia Pek Tha dengan

menyinying sebuah buntalan telah berdiri di depan dengan cepat dia

memberi hormat ujarnya:

”Ooh .. Shia heng, pagi benar.”

“Ha . -ha .bagaimana tidurmu kemarin malam ???” ujar Shia Pek

The sambil melangkahkan kakinya berjalan masuk ke dalam kamar.

“Masih baikan, apakah telah menemukan seseorang yang

menjelundup masuk ke dalam benteng ??”

“Tidak ada” sahut Shia Pek Tha sambil gelengkan kepalanya,

“Kelihatannya orang berkerudung itu sama sekali tidak punya

maksud berbuat jahat terhadap benteng Pek Kiam Po ini.”

“Ooh… benar ??,”

Menurut dugaan Ie-heng, tentunya dia merupakan seorang jago

berkepandaian tinggi dari dalam Bu-lim yang ingin mencoba

kepandaiannya sendiri sehingga dia sengaja dengan wajah yang

berkerudung sengaja munculkan dirinya bergebrak melawan Mong

Ling sute, sesudah kemarin malam berhasil mengalahkan Mong Ling

sute dengan hasil yang puas telah meninggalkan kota Go-bi ini, “

“Ehm . . benar”- sahut Ti Then sambil mengangguk “Kelihatannya

mungkin memang demikian “

Shia Pek Tha berbatuk ringan, sambil tertawa ujarnya:

”Tadi siauwheng dengar dari Mong Ling sute katanya Lote sudah

menyanggupi untuk berdiam di dalam Benteng selama beberapa

hari?”

“Benar, tetapi sudah tentu harus melihat dulu apakah Wi Pocu

serta Shia heng man menerima atau tidak.”

”Ha . ..ha…ha… . kenapa tidak mau menerima? Lote sukar sekali

bisa berkunjung ketempat ini, kali ini bilamana kau tidak tinggal

selama beberapa hari di tempat ini, aku juga tidak akan melepaskan

dirimu dengan demikian mudahnya.”

Sehabis berkata dia berhenti sejenak dan memandang seluruh

tubuh Ti Then sekejap, tiba-tiba dengan merendahkan suaranya

ujarnia lagi:

Tetapi ada beberapa urusan yang terpaksa aku harus minta maaf

darimu terlebih dahulu”

Ti Then menjadi tertegun dibuatnya, tanyanya cepat:

“Ada urusan apa?”

”Ha…ha . . ha… . sebelum aku jelaskan urusan ini terlebih dahulu

aku harap Lo-te jangan sampai memandang maksudku yang tulus

hati ini sebagai suatu hinaan atau cemoohan terhadap Lo-te.”

“ Sebenarnya urusan apa?“ tanya Ti Then.

“Ha…ha . . kau harus menyanggupi dahulu kalau tidak akan

menerima maksud baikku ini sebagai suatu hinaan atau cemoohan,

kalau tidak maka “ he…he..maap saja aku tidak berani untuk

meneruskan. ”

”Selamanya Shia-heng selalu suka blak-blakan, kenapa ini hari

secara mendadak bisa berubah demikian seriusnya?”

“Urusan ini menyangkut perhubungan antara majikan rumah

dengan tamu, mau tidak mau harus berbuat demikian. “

“Hee .. kalau begitu baiklah siauw-te menerimanya, cepat Shiaheng

silahkan bicara. “

Dengan perlahan-lahan Shia Pek Tha membuka buntalan yang

dibawa ditangannya, dari dalam buntalan itu diambilnya

seperangkat baju yang sangat baru serta sepasang sepatu yang

baru pula, kemudian diangsurkan ke depan Ti Then, ujarnya sambil

tertawa.

“Hanya ini saja, barang ini merupakan sedikit penghormatan

siauw-heng kepada diri Lo-te harap Lo-te tidak sampai salah paham

terhadap maksudku ini?”

Secara tiba-tiba Ti Then menjadi sadar kembali, sambil tertawa

terbahak bahak sahutnya:

“Sungguh maaf, siauwte kini bertemu di dalam Benteng

seharusnya tidak boleh memakai baju yang telah compang camping

ini ?

“Ha…. ha . . perkataan bukannya demikian, sekali pun lo te

memakai pakaian yang lebih dengkil serta compang-camping pun

orang-orang dalam Benteng tidak akan ada yang berani

memandang rendah terhadap diri Lo te, hanyalah siauw-heng

merasa kalau Lo te seharusnya berdandan baru benar., ada pepatah

yang mengatakan bahwa Budha memakai pakaian emas manusia

memakai pakaian dari kain? sudah seharusnya Lo te harus yang

lebih baik lagi”

Dalam hati Ti Then tahu akan maksud balk yang tulus dari kawan

lamanya ini, segera dia membuka pakaiannya yang dengkil itu dan

berganti dengan pakaian barunya kemudian barulah dia

membereskan rambutnya, seperminum teh kemudian sambil

tertawa ujarnya:

“He …he… sampai aku sendiri pun telah tidak kenal ?”

Sesudah bertukar dengan pakaian yang baru ditambah lagi

dengan dandanannya yang rapi, di dalam sekejap saja dia telah

‘berubah'” jauh lebih mirip dengan Lu-kongcu lagi.

Jilid 3.2. Mempermalukan Hong Mong Ling

Ujar Shia Pek Tha sambil tertawa:

“Begini barulah wajahmu yang sesungguhnya, pada waktu yang

lalu ketika siauwheng bertemu kau di kota Tiang An, saat itu kau

pun gagah dan perlente seperti sekarang?”

Seorang pembantu segera mengangsurkan sebaskom air hangat

kepadanya untuk cuci muka, setelah semuanya selesai barulah

dengan mengikuti Shia Pek Tha berjalan keluar dari dalam kamar.

Ujar Shia Pek Tha:

“Suhuku telah menunggu di dalam ruangan dalam menanti lo-te

untuk dahar bersama,, cepat Lo-te ikuti diriku”

Ti Then segera menggerakkan langkahnya mengikuti di

belakangnya sambil tanyanya:

“Bagaimana dengan Cang kong-cu itu?”

“Sejak tadi sudah dihantar pulang !”

“Sejak perpisahan kita pada tahun yang lalu di kota Tiang An

apakah Shia heng pernah melakukan perjalanan keluar Benteng?”.

“Tidak pernah” sahut Shia Pek Tha,”Suhu bilang sifat dari siauwheng,

amat berangasan dan kasar mudah sekali bentrok dengan

orang lain maka sengaja tidak perbolehkan siauw-heng untuk

mengadakan perjalanan di luaran.”

Dengan meminyam kesempatan inilah tanya Ti Then lagi

“ Suhumu juga tidak suka keluar benteng?'”

“Benar, dia orang tua memang pada masa dekat ini jarang sekali

melakukan perjalanan keluar Benteng”

“Setengah tahun baru-baru ini apa juga tidak pernah pergi?”

“Ehm…”sahut Shia Pek Tha sesudah mengingat ingat sebentar. .

“Pernah satu kali pergi ke kuil Sang Cing Kong di atas Cing Jen

mencari Cui Toojin bermain catur, baru pada beberapa hari yang

lalu pulang ke dalam benteng, satu-satunya kegemaran dia orang

tua pada waktu mendekat ini hanya bermain catur”

Ti Then yang mendengar keterangan itu dalam hatinia menjadi

tergerak tanyanya lagi:

“Pada saat dia melakukan perjalanan diluaran apa Shia heng

sekalian mengawani?”

Dalam pikiran Shia Pek Tha mengira kalau dia amat menaruh

perhatian terhadap cara hidup sehari-hari dari suhunya sebab itulah

seluruh pertanyaannya dijawab tanpa ragu-ragu, kini ditanyai

dengan pertanyaan ini segera sahutnya

“Tidak perlu, dia suka berpesiar seorang diri “

“Jarak dari sini ke Cing Jen kira-kira tiga ratus li jauhnya,

ternyata suhumu hanya sengaja ke sana untuk bermain catur

dengan Cui Toojin. Ha ha.. . ha , sungguh hebat sekali

kegemarannya ini”

Shia Pek Tha pun tertawa, ujarnya:

“Ha..ha..ha… bagaimana pun juga dia orang tua memangnya

tidak punya urusan sehingga tidak perlu mengejar waktu, ada

kalanya begitu keluar pintu selama setengah tahun lamanya baru

pulang, umpama saja kepergiannya kali ini untuk bermain catur

catur dengan Cui Toojin saja sudah menghabiskan waktu empat,

lima bulan lamanya..”

Ti Then yang mendengar perkataan ini dalam hatinya semakin

mantap dugaannya kalau Wi Ci To adalah Majikan patung emas itu,

tak terasa lagi pikirnya

“Bagus sekali, kelihatannya kau Wi Ci To ternyata adalah

majikan” ku” hanya dikarenakan tidak ingin putrimu dijodohkan

kepada Hong Mong Ling ternyata telah memeras otak untuk

mengatur siasat semacam ini.

Setelah berpikir sejenak ujarnya lagi:

”Shia heng, agaknya hubungan putri suhumu dengan Mong Ling

heng tidak jelek”

“Benar “ sahut Shia PekTha.

“Sejak semula mereka sudah mengikat tali perkawinan mungkin

dua tiga bulan lagi mereka akan segera dikawinkan secara resmi.”

“Ooh.. kiranya demikian adanya tidak aneh kalau kemarin malam

nona Wi kelihatan demikian tegangnya,”

“Ha ..ha . ha ha ha sumoayku itu memangnya sangat suka

dengan Mong Ling sute, melihat dia bersama sama dengan Cang

Bun Piauw sudah tentu menjadi tegang.”

Kedua orang itu sambil berjalan berbicara tidak terasa lagi telah

sampai di. dalam ruangan bagian dalam, terlihatlah di tengah

ruangan besar itu telah diatur meja perjamuan sedang si pedang

naga emas Wi Ci To beserta seorang kakek tua berbaju hijau telah

menanti di sana, sinaga mega Hong Mong Ling berdiri di belakang

kedua orang itu.

Begitu dia melihat wajah serta dandanan dari Ti Then yang

sangat rajin dan perlente itu mendadak air mukanya berubah hebat,

sepasang matanya dengan tajam memperhatikan seluruh tubuh Ti

Then sedang dalam hatinya pikirnya dengan gemas:

“Hmm..tidak. salah kiranya kau adanya. “

Kiranya satu kali pandang saja dia sudah dapat melihat kalau Ti

Then yang berdiri di hadapannya saat ini tidak lain adalah Lu

kongcu yang memukul rubuh sewaktu berada di dalam sarang

pelacuran Touw Hoa Yuan.

Dengan langkah yang amat perlahan Ti Then berjalan masuk ke

dalam ruangan, sinar matanya dengan perlahan dialihkan ke atas

wajah kakek tua berbaju hijau itu, terlihatlah orang itu mem punyai

wajah yang amat angker, sikapnya gagah sedang pada janggutnya

terurai jenggot berwarna hitam yang amat panjang.

Ketika dia melihat dandanannya itu segera tahu kalau orang itu

tentunya adalah sute dari si pedang naga emas Wi Ci To, Hien Liong

Kiam atau si pedang naga perak Huang Puh Kiam Pek yang

merupakan wakil majikan dari benteng Pek Kiam Po, dengan tidak

berpikir lebih banyak lagi dia maju ke depan memberi hormat

kepada Wi Ci To sambil ujarnya:

“Boanpwe Ti Then memberi hormat kepada Wi Pocu”

Dengan cepat Wi Ci To angkat tangannya mengulap, ujarnya

sambil tersenjum:

“Tidak usah terlalu sungkan, tentunya kemarin malam Ti heng

tidak bisa tidur njenyak.??”

“Aah mana, mana tidak perlu Pocu tarlalu kuatir, boannwe dapat

tidur dengan sangat njenyak”

Wi Ci To segera menuding kearah kakek tua berbaju hijau yang

duduk di sampingnya ujarnya:

“Ini adalah sute dari lohu, Huang Puh Kiam Pek”

Ti Then segera memutar tubuhnya dan merangkap tangannya

memberi hormat ke pada sipedang naga perak Huang Puh Kiam Pek

itu, sambil tersenjum ujarnya.

“Boanpwe Ti Then, memberi hormat kepada Huang Puh cianpwe.

“Ha…h a . “sahut sipedang naga perak itu sambil .tertawa, “Tiheng

masih muda belia ternyata bisa memiliki kepandaian silat serta

ilmu surat yang demikian tingginya, sungguh merupakan jago yang

dapat dipandang sebagai pembawa kebahagiaan dalam Bu-lim, “

“Aah . . cianpwe terlalu memuji, boannwe tidak berani

menerima.”

“Ti heng.” terdengar suara panggilan dari Wi Ci To. “ silahkan

duduk, mari kita mulai bersantap. “

Dengan tidak sungkan-sungkan lagi Ti Then segera duduk di

samping Wi Ci To.

Sesudah itu kepada Hong Mong Ling serta Shia Pek Tha ujarnya

pula:

“Kalian berdua pun duduklah menemani tamu.”

Shia Pek Tha serta Hong Mong Ling segera menyahut secara

berbareng, demikianlah tua muda lima orang bersama-sama mulai

bersantap sambil bercerita panjang lebar.

Apa yang menjadi bahan pernbicaraan mereka tidak lebih

merupakan bahaja-bahaja yang mengancam keutuhan dari dunia

persilatan.

Sesudah seiesai bersantap, terdengar Wi Ci To buka mulut

tanyanya:

“Kali ini Ti Then rnengunjungi kota Go-bi entah punya tujuan

apa?”

“ Ooh..tidak ada yang penting pada bulan yang lalu boanwe

punya urusan untuk menuju ke telaga Tian Ci, kali ini dalam

perjalanan pulang sebenarnia ingin mengunjungi teman-teman

untuk bermain.

“Ti-heng apa sudah berd janjj untuk bertemu dengan kawankawan?”

“Tidak”- sahut Ti Then. “Temanku itu adalah seorang terpelajar.

Waktu yang lalu kami berkenalan dikota Tiang An selama itu selalu

dia mengajak boan pwe untuk bermain kerumahnya. Padahal

tempat itu sudah sering boanpwe kunjungi sehingga kini pergi atau

tidak pergi tidak mengapa.

“Kalau memang demikian adanya” ujar Wi Ci To dengan girang.

“Ti-heng kali ini harus berdiam selama beberapa hari di dalam

Bentengku yang buruk ini”

“Ha..ha..bisa mendapatkan kesempatan untuk berkumpul dengan

para cianpwe sekalian sudah tentu boan-pwe tidak berani

menampiknya, hanya saja..”

Wi Ci To mengulap tangarnya memotong pembicaraan

selanjutnya,

“Ti-heng tidak perlu demikian sungkannya, sekali pun lohu tidak

tahu asal usul suhumu tetapi lohu tahu kalau kau merupakan

seorang pemuda yang berhati tulus, selama hidupku ini lohu paling

suka berkenalan dengan seorang pemuda seperti Ti-heng ini,

bilamana kau tidak rnenampiknya silahkan berdiam di sini beberapa

lama”

Diam-Diam dalam hati Ti Then merasa amat geli pikirnia

“Hm..kau menginginkan aku untuk memperistri putrimu sudah

tentu dengan sangat gernbira dan tangan terbuka menyambut

kedatanganku ini “tetapi pada mulutnya, sahutnya dengan lembut

“Terima kasih atas perhatian dan kecintaan dari Pocu terhadap

diri boanpwe?”

Si pedang naga perak Huang Puh Kiam Pek yang selama ini

berdiam diri tiba-tiba menambahkan:

“Dengan rnemberanikan diri lohu ingin bertanya apakah suhu dan

Ti heng masih sehat-sehat saja?”

“Boanpwe sudah ada tiga empat tahun lamanya tidak bertemu

dengan dia orang tua, entah bagaimana keadaan dari dia orang tua

mendekat ini..”

Sipedang naga Perak, Huang Puh Kiam Pek tersenjum, ujarnya

lagi:

“Ti-heng dengan mengandalkan ilmu pedang menjagoi seluruh

dunia kang-ouw melihat muridnya sudah cukup untuk menunjukkan

gurunya sudah tentu ilmu pedang dari suhumu telah mencapai pada

taraf kesempurnaan yang amat tinggi”

“Tidak berani” sahut Ti Then tetapmerendah. –Bagaimana

kehebatan dari kepandaian silat suhuku, boanpwe sukar untuk

mengukurnya tetapi keberhasilan dari boanpwe tidak setinggi apa

yang cianpwe pikirkan, kalau sembarangan saja masih boleh jadi

tetapi bilamana harus dibandingkan dengan seorang jago pedang

kenamaan, ha..ha…ha .maaf kalau boanpwe tidak berani

meneriman ja”

“ Ha..ha . , ha…” ujar si pedang naga perak, Huang Puh Kiam

Pek, “Ti-heng ternyata sangat pandai untuk merendah diri, teringat

akan Tiong Lam Siauw Toojin itu juga merupakan seorang jago

pedang kenamaan yang sukar dicari tandingannya di dalam Bu-lim

tetapi ternyata bisa bergebrak seimbang dengan diri Ti-heng, hanya

cukup dari hal tadi saja sudah cukup untuk membuktikan kalau

kepandaian silat Ti-heng telah mencapai pada taraf kesempurnaan”

“ Ha – ha “ mana, mana, itu hanya secara kebetulan saja tidak

bisa terhitung sebagai kepandaian yang sebenaraja.”

“Lohu punya semacam permintaan yang kurang pantas entah Tiheng

mau menerimanya atau tidak”

“Silahkan cianpwe memberi petunjuk” sahut Ti Then cepat.”

asalkan boanpwe bisa melakukannya tentu akan melaksanakannya

dengan tidak membantah”

“Anggota benteng kami dari atas sampai ke bawah semuanya

mengandalkan kepandaian ilmu pedang, oleh karena itu begitu

mendengar ada orang yang pandai di dalam permainan ilmu pedang

tidak dapat dihindarkan lagi timbul perasaan girangnya, asalkan Tiheng

tidak menyalahkan, ketidak sopanan dari lohu ini maka lo-hu

ingin menjuruh seseorang mencoba-coba dengan kepandaian Tiheng

sudah tentu hanya cukup dengan tutulan dianggap selesai.

Bagaimana ? ?

“Baik sih baik, hanya takutnya sampai menjadi tidak enak saja.”

“Ha…ha.. . siapa menang siapa kalah tidak boleh dimasukkan ke

dalam hati dan tidak dapat disiarkan keluar, bilamana sudah

disebutkan terlebih dahulu sudah tentu tidak sampai merasa enak

dengan lainnya bukan?

“Kalau memang demikan adanya, boan-pwe menurut perintah

saja.

“ Sipedang naga perak, Huang Puh Kiam Pek segera menoleh

kearah Hong Mong Ling sambil ujarnya:

“Mong Ling, cepat panggil seorang pendekar pedang putih

datang”

Dia tidak mengundang seorang pendekar pedang merah untuk

bertanding denganTi Then sudah tentu hal ini memperlihatkan kalau

dia tidak memandang terlalu tinggi kepandaian silat dari Ti Then ini.

Agaknya Wi Ci To merasa tidak tenang di dalam hatinya, tetapi

dia pun hanya melirik sekejap saja kearah Huang Puh Kiam Pek

sedang mulutnya tetap ditutup rapat-rapat.

Hong Mong Ling begitu mendengar susioknya tidak mengirim

dirinya untuk bertanding melawan Ti Then di dalam hatinya sedikit

merasa kecewa, tetapi sesudah berpikir sejenak dia pun merasa

bilamana harus rnengirirn seorang pendekar pedang putih untuk

bertanding dengan Ti Then terdahulu jauh lebih baik sehingga dia

pun bisa melihat kehebatan dari kepandaiaa silat Ti Then segera

dengan sangat hormatnya menyahut dan berlalu dari meja

perjamuan.

Ujar Wi T’i To mendadak,

“Pendekar pedang putih dari benteng kami ini sudah tentu bukan

tandingan dari Ti- heng, harap nanti bilamana terjadi pertandingan

jangan turun tangan lebih ganas”

”Mana. .mana” sahut Ti Then dengan cepat, “padahal kepandaian

dari boan-pwe sangat terbatas, kemungkinan sekali masih belum

sanggup untuk mengalahkan seorang pendekar pedang hitam dari

benteng Pek Kiam Po ini”

“Ha…ha..wajah Ti-heng bersinar tajam. Semangatnya pun

sangat mantap. luar tidak sama dengan dalamnya, bilamana lo-hu

tidak melihat salah, mungkin diantara pendekar pedang merah dari

Benteng Pek Kiam Po ini pun tak ada yang sanggup untuk

menerima serangan dari Ti Then.”

“Mungkin Wi Pocu telah salah melihat, pendekar pedang merah

dari Benteng Pocu merupakan jago-jago pedang gemblengan mana

mungkin boanpwe bisa berhasil menandingi mereka”

Pada saat mereka berbicara saling merendah itulah terdengar

suara merdu:

“Selamat pagi”

Air mukanya bening sebening embun pagi. Begitu cantik dan

segar.Wi Lian In yang cantik jelita.

“Ha..ha..ha..Inyie, cepat datang memberi hormat kepada Ti

Siauwhiap, kemarin malam orang lain sudah berhasil menolong

Mong Ling kembali kau masih belum juga mengucapkan terima

kasih kepada orang”

Saat itulah dengan. resmi Wi Lian In memberi hormat kepada Ti

Then samblt ujarnya:

“Ti Siauw-hiap kau baik-baik saja.”

Dengan cepat Ti Then bangkit membalas hormat sahutnya:

“Terima kasih atas perhatian nona Wi “

Dengan perlahan sinar mata Wi Lian In berputar kesekeliling

ruangan ketika dilihatnya Hong Mong Ling tidak berada di sana

dengan perasaan heran bertanya “Tia, dia belum bangun ??.”

“Sudah sudah bangun, hanya saja Huang Puh susiok barn saja

memerintahkan dia untuk mengundang seorang pendekar pedang

putih datang kemari .”

“ Wi Lian In menjadi tertegun, tanyanya:

“Buat apa memanggil seorang pendekar pedang putih datang ??

“Untuk meminta pengajaran ilmu pedang denganTi siauw hiap”

Perasaan ingin tahu dan tertarik dalam dalam hati Wi Lian In

segera timbul, sambil bersorak kegirangan ujarnya : “Bagus sekali

sudah lama aku tidak melihat orang bertanding kapan kau mulai ??”

”Menanti sesudah Hong Mon g Ling membawa seorang pendekar

pedang putih maka kita boleh mulai “

Perkataanya baru selesai tampak Hong Mong Ling dengan

membawa seorang pemuda dari Pendekar pedang putih berjalan

memasuki ruangan.

Pendekar pedang putih itu sudah memberi hormat kepada Wi Ci

To serta Huang Puh Kiam Pek, lalu dia memberi hormat juga kepada

Ti Then sambil ujarnya:

“Siauw-te Hong Ling An menghunjuk hormat kepada Ti-heng”

Nada ucapannya sekali pun sangat halus dan sopan tetapi

sepasang matanya memancarkan sinar yang amat buas.

Sekali pandang saja Ti Then sudah tahu kalau pihak lawannya

telah mendapatkan banyak petunjuk dari Hong Mong Ling tetapi dia

tidak mau pikirkan di dalam hatinya sambil merangkap tangannya

membalas hormat sahutnya:

“Selamat bertemu.”

Air muka Wi Ci To terlihat secara mendadak berubah menjadi

amat keren dengan sangat serius sekali ujarnya.

“ Ling An, di dalam pendekar pedang putih kau merupakan

seorang yang mem punyai sipat paling keras dan paling berangasan,

kemungkinan sekali dapat naik menjadi pendekar pedang merah,

sekarang aku beri satu kali kesermpatan bagimu untuk bertanding

melawan Ti siauw-hiap. Tetapi kemungkinan sekali kau bukan

lawannya seumpama sampai bisa menang aku melarang kau untuk

menyiarkan berita ini keluar.

“Baik” sahut Hong Ling An sambil bungkukkan dirinya.

“Bilamana kau berani melanggar peritah ini segera dikeluarkan

dari perguruan”

Air muka Hong Ling An segera berubah sekali lagi dia

membungkukan dirinya sambil sahutnya:

“Baik”

Selesai berbicara tidak menanti lainnya lagi segera Wi Ci To

bangkit berdiri ujarnya:

“Baik, sekarang kita semua menuju ke halaman beiakang!”

Wi Lian In yang berdiri di samping menjadi tertegun, tanyanya

dengan penuh keheranan:

“Kenapa tidak pergi bertanding dilapangan latihan silat?”

“Tidak perlu” sabut Wi Ci To dengan keren, “cepat kehalaman

belakang”

Tidak perlu dia menjelaskan sebab-sebab kenapa tidak diadakan

dilapangan latihan silat tetapi semua orang asal berpikir sebentar

saja sudah tahu artinya, sudah tentu dikarenakan dia hendak

melindungi kekalahan yang akan dialami oleh satu pihak maka ingin

mengadakan pertandingan ini di hadapan umurn.

Sebaliknya di dalam pandangan Ti Then dia mengira bahwa

tentunya dia bertujuan hendak menjelamatkan perasaan malu dari

Hong Ling An barulah berbuat dernikian dalam hatinya diam-diam

merasa amat geli, pikirnya

“Hm…kau ingin aku tinggal di sini tetapi juga tidak tahu kalau

muridmu dipukul hingga kalah oleh diriku, pikiranmu sungguh tajam

sekali?”

Segera dengan dipimpin oleh Wi Ci To berjalanlah mereka keluar

dari ruangan menuju ke halaman belakang.

Di dalam sekejap saja sampailah rombongan orang-orang itu di

halaman belakang, halaman itu tidak begitu luas hanya kurang lebih

lima kaki saja besarnya, di atas tanah berlapiskan batu-batu jubin

yang besar sehingga sangat cocok sekali untuk bertanding

kepandaian silat.

Sesudah Wi Ci To berdiri tegak ditengah halaman, matanya

dengan perlahan melirik sekejap ke pinggang Ti Then, terlihatlah dia

sama sekali tidak membawa senyata maka tak terasa lagi sambil

tertawa ujarnya:

“Ooh.kiranya Ti-heng tidak membawa pedang.?”

“Sebenarnya boanpwe mem punyai sebilah pedang

hanya.dikarenakan di tengah jalan kehabisan perbekalan sehingga

terpakasa harus menjualnya?”

“Heeei?” sahut Wi Ci To sambil menghela napas ternyata Ti-heng

lebih rela menjual pedang sendiri daripada melakukan pekerjaan

yang tidak senonoh, sungguh membuat orang amat kagum!”

Dengan perlahan dia menoleh kearah Hong Mong Ling sambil

ujarnya:

“Mong Ling, cepat lepaskan pedangmu dan pinyamkan kepada

Ti-heng!”

“Baik!” sahut Hong Mong Ling sambil melepaskan pedangnya

kemudian dengan menggunakan sepasang tengannya diangsurkan

pedang itu ke hadapan Ti Then.

Ti Then segera menyambut dan dipandangnya sekejap, pujinya.

“Ha . ha sungguh sebilah pedang bagus ?

“Ha ha..bagaimana ? Cocok?.” tanya sipedang naga perak Huang

Puh Kiam Pek sambil tertawa.

”Bagus . . bagus sekali !”

“Kalau begitu mulailah ?”

Pendekar pedang putih Hong Ling An segera memberi hormat

kepada Wi Ci To serta Huang Puh Kiam Pek kemudian mencabut

keluar pedang panjangnya dan berjalan menuju ketengah halaman,

sambil merangkap pedangnya di depan dada ujarnya:

“Ti-heng silahkan memberi petunjuk

“Tidak berani? sahut Ti Then sambil membalas hormat. “harap

Hong-heng mau memberikan pelajaran dengan tidak terlalu ganas.”

Sehabis berbicara dia pun berjalan menuju kearah Selatan dan

berdiri tegak tidak bergerak.

Hong Ling An melihat dia sudah bersiap-siap, dengan kudakudanya

diperkuat seluruh perhatiannya dipusatkan ke depan

kemudian berturut maju tiga langkah ke depan.

Seluruh perhatiannya dipusatkan ke depan ujung pedangnya

bergetar tak henti-hentinya sedang hawa murninya dipusatkan di

pusar, sungguh tidak dapat dipandang rendah sikapnya ini.

Ti Then pun dengan cepat maju tiga langkah ke depan, tetapi

dia tidak menggunakan gerakan jurus serangan apa pun pedang

panjang ditangannya pun masih tetap menunjuk ke bawah, hal ini

membuktikan kalau sama sekali dia tidak mau ambil peduli dengan

sikap pihak musuh.

Wi Ci To yang melihat hal itu diam-diam. menganggukkan

kepalanya agaknya dalam hatinya merasa amat kagum terhadap

kemantapan dari Ti Then yang seperti sebuah gunung Thay san itu.

Tetapi sikap serta bentuk dari TI Then yang demikian tenangnya

ini di dalam pandangan Hong Ling An membua hawa amarahnya

memuncak, dia menganggap kalau Ti Then terlalu sombong

sehingga dalam hatinya seger timbul pikiran untuk memberi

pelajaran kepada Ti

Then ini di dalam keadaan apa pun juga.

Sinar matanya dengan tajam memandang tubuh Ti Then,

langkah kakinya dengan perlahan mulai digeserkan ke depan

agaknya. dia sedang menanti suatu kesempatan untuk mengadakan

penjerangan dengan amat dahsyat. Siapa tahu sekali pun dia telah

bergeser setindak demi setindak tetapi tetap juga tidak berhasil

melancarkan satu jurus serangan pun.

Karena dia sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk

melancarkan serangannya, sesudah Ti Then maju tiga langkah ke

depan selama ini dia selalu tidak bergerak. Tetapi. sekali pun tidak

bergerak seluruh tubuhnya terjaga begitu rapatnya sehingga tidak

ada lubang kelemahan sedikit pun bisa digunakan untuk menjerang.

Bukan saja Hong Ling An yang merasakan kalau tubuh Ti Then

terjaga amat rapat sekali sekali pun Wi Ci To serta Huang Puh Kiam

Pek yang berdiri di samping pun merasakan kalau tubuh Ti Tnen itu

amat sukar untuk diserang, oleh karena itulah tidak terasa lagi air

mukanya berubah semakin tegang.

Dugaan dari Wi Ci To terhadap diri Ti Then jauh lebih tinggi dari

dugaan Huang Puh Kiam Pek, tetapi agaknya dia pun sama sekali

tidak pernah menyangka kalau Ti Then ternyata dapat demikian

menakutkan. Suasana ditengah kalangan sunyi senyap tak

kedengaran suara, mungkin jatuhnya sebuah jarum pun saat itu

dapat di dengar dengan nyata.

Berturut-Berturut Hong Ling An mengubah dengan beberapa

macam jurus serangan, agaknya ingin memancing Ti Then untuk

menggeserkan tubuhnya tetapi selama ini Ti Then terus menerus

bagaikan sebuah patung Buddha tetap tidak bergerak sedikit pun

juga sedang pada wajahnya tersungging suatu senjuman yang amat

manis.

Kedua belah pihak sama-sama mempertahankan diri kira-kira

seperempat jalan lamanya tetapi masing-masing tetap tidak ada

yang turun tangan terlebih dahulu, terlihatlah wajah Hong Ling An

telah mulai basah kujup oleh butiran-butiran keringat yang

mengucur keluar dengan sangat deras.

Agaknya dia sudah kelihatan sangat lelah sekali napasnya mulai

terengah-engah sedang air mukanya berubah menjadi merah

padam.

Dalam hatinya dia merasa amat gemas sekali ingin sekali dengan

satu kali serangan mengalahkan diri Ti Then. Makin lama dia mulai

kehilangan ketenangannya sedang hatinya pun mulai menjadi kacau

dan bimbang.

Wi Ci To begitu melihat keaadan segera tahu kalau dia bukanlah

lawan dari Ti Then, sambil menghela napas ajarnya:

“Sudahlah Ling An kau sudah dikalahkan !”

Wajah Hong Ling An segera berubah menjadi merah padam, dia

tidak berani lagi untuk melanjutkan pertempuran itu dengan cepat

mengundurkan dirinya ke belakang , tangannya dirangkap memberi

hormat sambil ujarnya : “kepandaian dari Ti heng amat lihay,

siauwte sungguh amat kagum sekali dan terimakasih atas welas

kasih dari Ti heng tadi.”

Dalam hatinya dia pun paham bilamana Ti Then punya maksud

untuk turun tangan saat ini kemungkinan sekali dirinya sudah

dikalahkan oleh karena itu mau tak mau dia pun harus

mengucapkan kata-kata ini.

Ti Then segera merangkap pedagnya memberi hormat, sahutnya,

“Tidak berani Hong heng terlalu sungkan “

“Heeei…” ujar Wi Ci To sambil menghela napas panjang, “dengan

berdiam diri berhasil mengundurkan musuh, ini hari hitung-hitung

Lohu telah terbuka mata.

Huang Puh Kiam Pek pun ikut memuji ujarnya: “ Sungguh hebat,

sungguh hebat tidak kusangka sama sekali kalau Ti heng dengan

usia yang demikian mudanya ternyata telah dapat melatih diri

hingga mencapai taraf yang demikian sempurnanya

Sebaliknya dalam hati Hong Mong Ling diam-diam merasa tidak

puas ujarnya : “ Suhu biarlah muridmu minta petunjuk beberapa

jurus dari Ti heng bagaimana ??

“Heeei ..kau pun bukan lawan dari Ti-heng “

“Tentang hal ini murid mu sudah tahu” sahut Hong Mong Ling,

“Tetapi biar pun bagaimana Ti-heng merupakan tamu terhormat

dari benteng kita, demikian baiknya kesempatan bilamana tidak

minta beberapa petunjuk bukankah sangat sajang sekali?

“Baiklah” sahut Wi Ci To sambil mengangguk, “Kalau memangnya

niat untuk minta petunjuk sekarang juga boleh mulai”

Hong Mong Ling menjadi amat girang segera dia minta pedang

panjang ditangan Hong Ling An dan turun ketengah

kalangan,kepada Ti Then sambil bungkukkan diri memberi hormat

ujarnya:.

“Thi-heng silahkan memberi petunjuk”

“Tidak berani “ sahut Ti Then :sambl membalas hormatnya

“Pedang ditangan siauwte ini merupakan benda dari Hong-heng,

lebih baik Hong heng mernakai ini saja,” sambil berkata segera dia

melemparkan pedang itu kearahnya.

“Tidak perlu” seru Hong Mong Ling dengan keras, “Biar siauwte

menggunakan yang ini saja”“

Sambil berkata dia menggerakkan pedangnya mengembalikan

pedang tersebut kearah Ti Then, kemudian disusul dengan satu

serangan dahsyat.

Wi Ci To yang melihat Hong Mong Ling ternyata menggunakan

kesempatan mengembalikan pedang itu telah melancarkan serangan

dahsyat dalam hatinya merasa tidak puas, baru saja, dia bendak

membentak tetapi siapa tahu saat itu juga dia dibuat menjadi

tertegun:

Kiranya di dalam sekejap mata itu juga Ti Then ternyata telah

berhasil meloloskan diri dari bahaja.

Kiranya ketika Hong Mong Ling melancarkan serangan

dahsyatnya itu bukannya Ti Then mengundurkan diri untuk

menghindarkan diri sebaliknya malah maju ke depan entah dengan

menggunakan kepandaian apa tahu-tahu dia sudah berkelebat

berdiri di belakang tubuh Hong Mong Ling, sedang tangannya

menyambar menyambut pedang yang dilemparkan kearahnya tadi.

Sebaliknia begitu Hong Mong Ling melihat di hadapannya telah

kehilangan bajangan tubuh dari Ti Then segera dengan cepat dia

memutar tubuhnya, lutut sebelah kirinya setengah berlutut di tanah

sedang tubuh bagian atasnya berputar dengan cepat, pedangnya

dengan membawa sambaran angin yang amat tajam menyapu

mendatang.

Kegesitari dari geraknya sungguh membuat setiap orang merasa

amat kagum.

Ti Then sudah menduga kalau dia tentu bisa melancarkan

serangan ini oleh karena itu begitu dia menyambut pedangnya

dengan cepat ditekan ke bawah. “Criing.” dengan tepat sekali dia

berhasil menahan sambaran pedangnya.

Hong Mong Ling yang melihat sambarannya tidak mencapai pada

hasil segera pedangnya berubah kembali, dengan kecepatan yang

luar biasa pedangnya berputar sehingga terlihatlah sinar pedang

yang menyilaukan mata memenuhi seluruh angkasa.

“Sret “ sret…berturut-berturut dia melancarkan tujuh kali

serangan hebat keseluruh tubuh Ti Then sedang tempat yang

diancam pun merupakan jalan darah yang terpenting.

Tujuh kali serangannya sekali pun ada perbedaan waktunya

tetapi, di dalam sekejap saja sudah selesai dilancarkan,

kecepatannya sungguh luar biasa.

Tetapi Ti Then sama sekali tidak geserkan kakinya setindak pun,

pedangnya tetap disambar mematahkan setiap serangannya,

ternyata dengan amat mudah dia berhasil memunahkan ketujuh

buah serangan dahsyat yang dilancarkan Hong Mong Ling itu.

Ketika sampai pada jurus yang terakhir mendadak

terdengar:”Criing… “yang amat nyaring sekali, tubuh Hong Mong

Ling bagaikan terpukul oleh suatu tenaga “yang amat besar sekali,

tidak am pun lagi tubuhnia dengan terhujung-terhujung mundur

beberapa langkah ke belakang.

“Cukup!” terdengar suara bentakan dari Wi Ci To menghentikan

pertandingan itu.

Wajah Hong Mong Ling segera berubah menjadi merah padam,

sambil melemparkan pedangnya kearah Hong Ling An, dia

merangkap tangannya memberi hormat, ujarnya

“Kepandaian Ti-heng sungguh amat hebat sekali, siauwte tak

sanggup untuk menahan lebih lama lagi”

“Ha..ha : mana mana, Hong heng terlalu mernuji”

Dia tahu bahwa ketujuh buah serangan pedang yang baru saja

dilancarkan oleh Hong Mong Ling itu tentunya merupakan ketujuh

buah jurus andalan dari Wi Ci To, semakin dia tahu kalau pihak sana

mengandung maksud untuk membereskan nyawanya tetapi dalam

hal ini sama sekali dia tidak mengambil perduli,

Air muka Wi Ci To berubah semakin jelek lagi, dengan amat

gusarnya dia melotot sekejap kearah Hong Mong Ling, kepada Ti

Then dengan tertawa yang di paksa ujarnya

“Ilmu pedang yang Ti heng miliki ternyata demikian tingginya

sehingga jauh berada diluar dugaan lohu, sungguh tidak malu

disebut sebagai jago berkepandaian tinggi dari dunia kangouw”

“Mana.. mana” ujar Ti Then dengan merendah “Bilamana tadi

Hong heng menjerang dengan sekuat tenaga kemungkinan sekali

boanpwe tidak akan bisa menahan serangan tersebut ”

Sehabis berbicara dengan sangat hormat sekali dia menjerahkan

pedang ditangannya kepada Hong Mong Ling.

Terdengar Wi Ci To tertawa terbahak bahak, tanyanya

“Apakah Ti-heng pernah berpesiar ke atas gunung Go-bi ini?”

“Belum pernah” sahut Ti Then. “Hanya aku dengar di atas

gunung Go bi ada puncak Ban hud Ting, Kim Teng serta Jian Pay

Teng sebagai tiga tempat yang terindah di atas gunung ini, pada

waktu yang lalu boanpwe memang punya niat untuk berpesiar ke

sana. “

Dengan perlahan Wi Ci To menoleh memandang kearah Shia Pek

Tha, ujarnya

-Pek Tha, kau temanilah Ti-heng berpesiar ke atas gunung, nanti

siang cepat pulang untuk makan siang. “

Shia Pek Tha segera membungkukkan diri menyahut, kepada Ti

Then sambil tertawa ujarnya.

“ Entah Lo-te ini hari punya minat untuk berpesiar tidak ?”

”Sudah tentu.”sahu Ti Then sambil tersenjum.

Kedua orang itu sesudah berpamit kepada Wi Ci To serta Huang

Puh Kiam Pek dua orang segera meninggalkan halaman belakang

untuk berpesiar keluar Benteng. Wi Ci To sesudah melihat bajangan

tubuh Ti Then lenyap dari pandangan mendadak air mukanya

berubah menjadi amat keren, sinar matanya dengan sangat tajam

memandang kearah Hong Mong Ling sambil ujarnya dengan berat.

“Mong Ling, kau tahu tidak untuk menjadi seorang pendekar

pedang harus memperhatikan hal apa?-.

“Silahkan.suhu memberi petunjuk.” sahut Hong Mong Ling sambil

menundukkan kepalanya rendah-rendah.

“He .- . he..” ujar Wi Ci To sambil tertawa dingin. “Bilamana kau

sudah lupa maka aku akan memberitahu padamu sekali lagi,

seorang yang berlatih ilmu silat yang terpenting adalah jujur,

berbudi dan ramah, jangan sekali-sekali merasa sombong bila

mendapatkan kemenangan: dan jangan iri atau mendendam

bilamana dikalahkan oleh orang lain. “

“Benar suhu” sahut Hong Mang Ling dengan wajah yang penuh

bernadakan kekecewaan.

“Hmm… tadi betul-betul kau sedang mengadu jiwa, kelihatannya

kau benar-benar benci kepadanya sehingga ingin sekali membunuh

dirinya dalam satu kali tusukan karena apa?”

“Muridmu tahu kesalahan, karena muridmu tahu kalau ilmu

pedangnya amat tinggi dan hebat maka perasaan ingin menrang

segera timbul di dalam hatiku, di samping itu . . .aku ingin .. aku

ingin mencoba-mencoba .. “

“Mencoba apa?” bentak Wi Ci To dengan keras.

“Muridmu curiga kalau dia kemungkinan sekali adalah orang

berkerudung yang kemarin malam mencegat muridmu ditengah

jalan!”

Hati Wi Ci To menjadi tergerak, sambil memandang tajarn

kearahnya ujarnya

“Bukankah kemarin kau bilang orang berkerudung itu berusia

kurang lebih lima puluh tahunan?”

“Hal ini adalah dugaan dari muridmu berdasarkan suara

ucapannya, tetapi mungkin juga suaranya disengajakan begitu”

Sinar mata Wi Ci To berkedipit tanyanya lagi

“Dia mem punyai alasan apa menyamar sebagai orang

berkerudung memukul rubuh kau kemudian menolong kau

kembali?,”

“Tujuannya kemungkinan sekali meminyam kesempatan ini

memasuki benteng dengan kedudukan dan pandangan sebagai

seorang tamu terhormat, seudah itu secara diam-diam melakukan

sesuata pekerjaan yang mendatangkan bencana bagi benteng kita”

-Hm .”Dengus Wi Ci To, ““tetapi benteng kami sama sekali tidak

punya ganyalan apa-apa dengan dirinya dia mem punyai alasan apa

untuk berbuat sesuatu yang jelek bagi benteng kita?”

“Penyahat di dalam menyalankan perampokannya juga tidak

menggunakan alasan yang kuat “

“Tetapi sipendekar baju hitam Ti Then itu bukan merupakan

orang dari kalangan Hek-to

”Tidak,” potong sipedang naga perak Huang Puh Kiam Pek.

“selama beberapa sekali pun sipendekar baju hitam Ti Then itu

bertindak sebagai seorang pendekar budiman tetapi hati manusia

ditutup dengan kulit yang tebal siapa pun tidak bisa mengetahui dia

seorang yang balk atau seorang yang buruk “

Dengan perlahan Wi Ci To mengalihkan pandangannya

kearahnya ujarnya:

Siauw-heng masih tidak dapat terpikir juga dengan menggunakan

alasan apa dia memasuki benteng kita untuk melakukan

pengacauan :”

“Hmm : dengus Huang Puh Kiam Pek dengan dinginnya, “dia

tidak mau menyebutkan asal usul serta nama suhunya, mungkin

sekali suhunya adalah sipendekar pedang tangan kiri, Cian Pit Yuan

Wi Ci To mengerutkan alisnya rapa-rapa, ujarnya

.”Tetapi Ti Then sama sekali tidak menggunakan tangan kirinya

untuk bergebrak”,

“He..he..urusan sudah lewat dua puluh tahun lamanya,

kemungkinan sekali Cian Pit Yuan sudah menciptakan ilmu baru

yang tidak perlu menggunakan tangan kiri lagi

Tak terasa lagi sambil menggendong sepasang tangannya Wi Ci

To berjalan bolak balik_ di dalam ruangan itu, setelah berpikir

sejenak ujarnya.

“ Ehm . . Cian Pit Yuan jadi orang tidak terlalu jahat hanya saja

sifatnya terlalu berangasan apabila dia hendak membalas dendam

atas terpapasnya telinga sebelah kanannya kenapa tidak datang

berkunjung sendiri ??”

“ Suhu” seru Hong Mong Ling.”Bagaimana pun juga cara berpikir

dari seorang pengecut tidak dapat ditangkap oleh pikiran orang

budiman, kemungkinan sekali Cian Pit Yuan sama sekali sudah tidak

punya maksud untuk mengadakan pertandingan secara blak blakan

dengan suhu.”

Wit Ci To menghela napas panjang ujarnya

Bilamana sipendekar baju hitam itu benar benar merupakan

murid Cian Pit Yuan, dengan kelihayan dari Ti Then saat ini

kemungkinan sekali aku sudah bukan merupakan tandingannya, dia

masih punya pegangan yang amat kuat untuk menantang

pertempuran secara terang terangan.”

Menurut dugaan dari tecu” ujar Hong Mong Ling. “ mungkin

dikarenakan Cian Pit Yuan belum mengetahui kepandaian yang

diciptakan itu apa bisa memukul rubuh suhu oleh sebab itulah

mengirim Ti Then terlebih dahulu untuk menjelidiki keadaan

sesungguhnya”

Wi Ci To mengangguk dengan perlahan sekali lagi dia berjalan

bolak balik mengitari ruangan itu, ujarnya kemudian: Apa yang kau

duga mernang sangat beralasan sekali tetapi bagaimana pun juga

hal ini hanya dugaan belaka, kita tidak dapat menyalahi orang lain

sebelum mendapatkan bukti yang nyata . . “

“Tetapi..suhu, mungkin bilamana, kita berhasil mendapatkan

bukti kalau dia adalah murid dari Cian Pit Yuan, saat itu sudah

terlalu terlambat”

Tiba-tiba Wi Ci To menghentikan langkahnya, dengan pandangan

yang amat tajam tanyanya: ”Menurut kau kita harus berbuat

bagaimana untuk menghadapinya?”

“Siapa yang turun terlebih dahulu dialah yang kuat, buat apa kita

meninggalkan bencana dikemudian hari.”

—ooo0dw0ooo—

”Omong kosong” bentak Wi Ci To dengan amat gusarnya.

Tubuh Hong Mong Ling segera tergetar dengan kerasnya, sambil

menundukkan kepalanya sahutnya.

“Bagaimana pun juga seharusnya di dalam pikiran tecu tidak

boleh mem punyai pikiran seperti ini, tetapi untuk keutuhan di

kemudian hari bila kita tidak berbuat demikian..”

“Tidak usah ngomong lagi” potong Wi Ci To dengan amat gusar.

“Sebelum kita berhasil mendapatkan bukti penjelewengan dari

dirinya, aku melarang kalian untuk bertindak secara gegabah.

“Baik” sahut Hong Mong Ling dengan sangat hormat.

Kemudian kepada Huang Puh Kiam Pek ujarnya pula.

”Sute, kau mengutus dua orang pendekar pedang merah untuk

siang malam mengawasi segala gerak gerik dari Ti Then bilamana

terlihat sesuatu yang mencurigakan harus segera lapor tetapi

seluruh gerak gerik kita jangan sampai diketahui olehnya.

“Baik.”

“Hmm..ooh masih ada lagi, kirim dua orang lainnya siang malam

jaga itu loteng penyimpan kitab”

—ooo0dw0o000—

Pada siang hari itu pula terlihatlah Ti Then bersama dengan Shia

Pek Tha dengan langkah yang perlahan berjalan kembali ke dalam

Benteng. Dengan resmi segera Wi Ci To mengadakan jamuan

menyambut kedatangan Ti Then, orang-orang yang menemani Ti

Then saat itu masih tetap Huang Puh Kiam Pek, Shia Pek Tha, Hong

Mong Ling serta Wi Lian In, di dalam jamuan itu pembicaraan

mereka tidak lebih berkisar pada persoalan ilmu pedang dari

berbagai partai di dalam dunia persitatan, juga tiba-tiba bahan

pembicaraannya telah berputar tentang diri Ti Then. Sambil tertawa

ujar Huang Pub Kiam Pek:

“Ti-heng lohu punya sesuatu pertanyaan yang merasa tidak

enak untuk ditanyakan, harap kau jangan sempai tersinggung .

“Tidak mengapa.. tidak mengapa, silahkan cianpwe untuk

bertanya””

Sambil menuding kearah Shia Pek Tha„ ujarnya:

“Tahun yang lalu, ketika Ti-heng membantu Pek Tha memukul

mundur Hoa San Ji koay, pada saat Pek Tha pulang ke dalam

Benteng pernah menceritakan hal itu dengan amat teliti sekali, saat

itu Pek Tha bilang katakan ilmu pedang dari Ti-heng berada diantara

pendekar pedang putih serta pendekar pedang merah dari Benteng

kami, dengan bukti dari hari ini terbukti kalau penglihatan dari Pek

Tha sama sekali salah besar tetapi sekali pun telah melihat juga

seharusnya tidak terlalu jauh perbedaannya, sesudah peristiwa

dikota Tiang An ini apa mungkin Ti-heng telah menemui sesuatu

peristiwa yang aneh?”

“Tidak ada” sahut Ti Then cepat. “ di dalam satu tahun ini

boanpwe memang merasa kepandaianku telah mengalami kemajuan

yang amat pesat hal ini kemungkinan sekali dikarenakan

pengalaman yang terlalu banyak yang boanpwe alami, hal ini tidak

bisa disebut sebagai suatu peristiwa yang aneh.”

“Bilamana dikarenakan dari pengalaman yang didapat, maka

asalkan Ti heng berkelana lagi selama beberapa tahun di dalam

dunia Kangouw tentunya akan jauh lebih hebat lagi ?”

“Cianpwe terlalu memuji, padahal kesempurnaan yang boanpwe

dapatkan ini masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan

kalian berdua Pocu.”

Tiba tiba Wi Lian In membuka mulut bertanya:

“Toako, bagaimana pandanganmu terhadap kami orang-orang

dari Benteng Pek Kiam Po ini??”

“Kepandaian dari ajahmu sangat tinggi . . .”

“Kita tidak usah membicarakan soal kepandaian silat “ Potong Wi

Lian In dengan cepat.

Ti Then menjadi tertegun sejenak kemudian barulah ujarnya:

“Pendekar pedang dari Benteng Pek Kiam Po ini tidak ada

seorang pun yang bukan merupakan pendekar pedang kenamaan

jadi orang sangat budiman di dalam dunia kangouw pun sangat

sering menolong yang lemah menindas yang kuat, oleh karena itu

cayhe amat kagum dan menghormati orang-orang ini”

-ooo0dw0ooo-

Jilid 4.1. Ti Then, ilmu silat mu mencengangkan!

“Kalau begitu” ujar Wi Lian In sambil tersenjum, “Kita dapat

menjadi kawanmu sedang kau pun dapat menjadi kawan kami,

benar tidak ?”

“Tidak salah” sahut Ti Then sambil tersenjum.

Wi Lian In tersenjum lagi, ujarna:

“Tetapi sajang sekali sekali pun kau memandang kami sebagai

kawan tetapi sebaliknya kami tidak bisa menganggap kau kawan”

Dengan terburu-buru bentak Wi Ci To:

“In ji, jangan ngomong sembarangan ?”

“ Ha . . ha .. ha ha . ha “ udiar Ti Then sambil tertawa terbahakbahak,

“Perkataan dari nona Wi ini tentu mem punyai maksud yang

sangat mendalam, dapat kah nona menjelaskan lebih teliti lagi?”

“ Kami senang berkawan dengan seorang teman yang suka

berterus terang, sedang kau sekali pun memandang kami orangorang

dari Benteng Pek Kiam Po sebagai teman tetapi tidak mau

berterus terang kepada kami ?

“Ha .. ha.. . lalu nona Wi ingin cayhe berterus terang dalam hal

apa sehingga bisa menjadi teman ?

“Bilamana kau merasa kalau kami merupakan kawan-kawan yang

dapat dipercaya dan merupakan kawan-kawan karib, maka

seharusnya kau memberi tahukan kepada kami asal usul serta nama

dari suhumu”

“Ooh . . begitu?” sahut Ti Then sambil tertawa. Ha… ha benar ?

Nona memang seharusnya menyalahkan diri cayhe . . ?”

“Ehm Ti-heng harap jangan marah atas kelancangan dari putriku

ini.” ujar Wi Ci To sambiftertawa paksa.

“Tidak” ujar Ti Then sambil gelengkan kepalanya. “Boanpwe

memang seharusnya memberitahukan nama dari suhuku, kemarin

malam boanpwe tidak mau menyebutkan dikarenakan boanpwe

merasa sekali pun disebut Wi Pocu juga tidak akan percaya.”

“.Ha, ha, ha . mata Lohu belum sampai kabur, perkataan dari

siapa pun dapat mempercayainya tetapi perkataan dari siapa pun

juga bisa tidak dipercaya masih bisa melihatnya sendiri

-Kalau begitu Wi Pocu mau percaya atas perkataan dari

boanpwe?”

“Sudah tentu” sahut Wi Ci To sambil mengangguk.

“Baiklah, sekarang juga boanpwe akan beritahu nama dari

suhuku

Dengan perlahan dia angkat cawannya yang berisikan arak dan

diteguknya dengan perlahan-lahan. Lagaknya mirip sedang

menceritakan suatu cerita biasa ujarnya kemudian

“Jika boanpwe katakan mungkin saudara sekalian tidak akan

percaya, suhu cayhe adalah seorang Bu Beng Lojin atau orang tua

tanpa nama.

“Bu Beng Lojin?” tanya Wi Ci To dengan keheran-heranan sedang

sinar matanya dengan, tajam memandang wajahnya.

“Benar” sahut Ti Then sambil menundukkan kepalanya.

…Boanpwe belajar silat selama delapan tahun darinya tetapi selama

ini dia tidak pernah mengijinkan boanpwe untuk mengetahui

namanya…

“Kenapa dia berbuat demikian? “

Ti Then tertawa pahit, sahutnya

“Siapa yang tahu, setiap kali boanpwe mohon dberi tahu nama

besar dari dia orang tua maka setiap kali pula dia bilang kalau

„Nama”nya sudah binasa beberapa tahun yang lalu, agaknya dia

orang tua pernah mengalami peristiwa menjedihkan yang menimpa

dirinya pada masa yang lalu”

“Lalu kenapa dia menerima kau sebagai muridnya?”

“ Dia bilang manusia boleh mati tetapi kepandaian silat tidak

boleh musnah, dia tidak tega melihat kepandaiannya ikut terkubur

bersama tubuhnya oleh karena itulah menerima boanpwe sebagai

muridnya, bahkan dia sudah membuat peraturan yang sangat keras

bagi diri boanpwe asalkan boanpwe berani berbuat kejahatan maka

dengan tanpa am pun dia akan mencabut nyawa boanpwe.”

“Wajah dari suhumu apakah Ti-heng mau juga melukiskan? ujar

Wi Ci To.

“Boleh” sahutnya sambil tersenjum.

“Rambutnya sudah berubah dan memutih semuanya, sedang

usianya kurang lebih delapan puluh tahun lebih bentuk tubuhnya

sedengan hanya saja matanya yang sebelah sudah cacad, agaknya

terluka oleh semacam benda semasa mudanya.”

Wi Ci To menundukkan kepalanya her pikir, kemudian tanyanya

lagi

“Apa suhumu sendiri yang bercerita kalau matanya itu terluka

semasa dia masih muda?”

“Tidak, hanya dugaan dari boanpwe sendiri “

“Selain sebelah mata dari suhumu yang cacad, apa masih

terdapat anggota badan lain yang cacad?” timbrung Huang Puh Kian

pek.

“Tidak ada” sahutnya sambil menggelengkan kepalanya.

“Telinganya juga tidak cacad?”

“Tidak” sahutnya sambil menggeleng kan kepalanya kembali.

“Suhumu apa sering memakai tangan kiri mengambil barang?”

“Ha . . ha … ha ..” sahut Ti Then sambil tertawa tergelak.

“Huang Puh cianpwe apa mencurigai suhuku adalah sipendekar

pedang tangan kiri Cian Pit Yuan? Bukan, bukan . .. suhuku bukan

sipendekar tangan kiri Cian Pit Yuan. “

Air muka Huang Puh Kian pek segera berubah menjadi merah

padam sambil angkat bahu ujarnya:

“Maaf, maaf sekali, di dalam dugaan Lohu hanya tahu bahwa di

dalam Bu-lim saat ini selain sipendekar tangan kiri Cian Pit Yuan

sebenarnya tidak mungkin ada orang lain yang bisa melatih

kepandaian silat setinggi apa yang dimiliki Ti-heng saat ini.”

“Ada satu kali” ujar Ti Then, “Suhu pernah bercerita kalau dia

orang tua sudah mengundurkan diri dari kalangan dunia kangouw

pada lima puluh tahun yang lalu, maka bilamana Huang Puh

cianpwe ingin mengetahui dengan jelas siapakah suhuku itu

seharusnya pergi mencari jago-jago yang terkenal pada lima puluh

tahun yang lalu”

“Ha . ha . . lima puluh tahun yang lalu Lohu masih ingusan”

“Lohu ini tahun juga baru berusia enam puluh satu.- sambung Wi

Ci To sambil tertawa ”pada lima puluh tahun yang lalu baru berusia

sebelas tahun, saat itu lohu belum belajar silat”

“Lalu dimana tempat tinggal dari suhumu ?” ujar Hong Mong Ling

dengan cepat.

“Sejak dia orang tua menerima siauwte sebagai muridnya selalu

tinggal bersama dengan siauw-te di dalam sebuah gua di atas

gunung Kwua Cang San, pada tiga tahun yang lalu dia

memerintahkan siauw-te turun gunung berkelena di dalam dunia

kangouw, pada tahun kedua siauwtle pernah satu kali naik ke atas

gunung tetapi sudah tidak tampak dia orang tua berdiam di dalam

gua, maka tempat tinggal dari dia orang tua sekarang ini sekali pun

siauw-te sendiri juga tidak tahu”

Jika demikian adanya suhumu sudah tidak ingin bertemu lagi

dengan Ti-heng, “ ujar Hong Mong Ling..

“Jika dilihat keadaannya memang begini” sahut Ti Then dengan

sedih.

“Tadi Siauw-te pernah bilang bahwa dia mewarisi Siauw-te ilmu

silat semuanya adalah dikarenakan dia tidak tega melihat

kepandaian silatnya turut dengan tubuhnya, jika bicara dalam

perhubungan antara guru dengan murid boleh dikata sangat tawar

sekali. “

Dengan wajah yang sangat serius ujar Wi Ci To.

“Jika didengar dari perkataan ti-heng suhumu pada usia tiga

puluh tahun sudah mengundurkan diri dari Bu-lim agaknya pernah

mengalami suatu peristiwa yang menjedihkan hatinya sehingga di

dalam keadaan yang putus asa dia berbuat demikian”

Ti Then hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata

pun.

“Kepandaian silat dari suhumu apakah mengandalkan ilmu

pedangnya yang paling lihay?” tanya Wi Lian In tiba-tiba.

“Tidak,Kepandaiannya di dalam ilmu pukulan, telapak serta ilmu

meringankan tubuh baru boleh dikata merupakan ilmu tunggalnya”

“Seluruh kepandaiannya sudah kau kuasai?”

“Benar.” Sahut Ti Then mengangguk.

“Hanya bakat cayhe ada batasnya sekali pun sudah berhasil

mempelajari seluruh ilmu silat dari suhuku tetapi belum mencapai

pada kesempurnaan.”

Teringat oleh Wi Lian In akan ilmu pedangnya sudah demikian

mengejutkan bilamana ilmu pukulan serta ilmu meringankan

tubuhnya jauh lebih lihay dan lebih hebat dari ilmu pedangnya

sudah tentu sukar ditandingi lagi, untuk sesaat lamanya tak tertahan

ujarnya:

“Maukah kamu mendemonstrasikan sedikit permainan pukulan

serta ilmu meringankan tubuh yang pernah kau pelajari ?”

“Hei Budak” bentak Wi Ci To sambil tertawa, ternyata makin lama

kau semakin tidak karuan.

“Tia” ujar Wi Lian In sambil tertawa. “Ti Toako juga sangat

mengharapkan bisa mengetahui siapakah suhunya kini minta dia

memperlihatkan beberapa jurus kepandaiannya kemungkinan sekali

dari permainan silatnya itu Tia bisa mengetahui asal usul dari

suhunya.”

“Sekali pun memang benar tetapi.”

“Perkataan dari putrimu memang benar.” potong Ti Then,

“Apabila Pocu tidak memandang rendah diri cayhe maka boanpwe

akan sedikit mempertunjukkan kepandaian cakar ajam yang

boanpwe miliki.”

Dia bisa dengan demikian cepat dan gembiranya menerima

permintaan dari Wi Lian In ini semuanya dikarenakan pertama dia

ingin menarik simpatik dan kegembiraan dari Wi Lian In sedang

kedua, dia ingin sedikit gujon-gujon dengan Wi Ci To (Menurut

perkataan dari Shia Pek Tha kepadanya katanya Wi Ci To pernah

meninggalkan Benteng selama empat lima bulan lamanya sehingga

di dalam hati dia menganggap Wi Ci To adalah majikan Patung

Emas) …dengan mempertunjukkan sedikit kepandaian silat yang

diajarkan oleh Wi Ci To di hadapan Wi Ci To sendiri bukankah

merupakan permainan yang sangat menarik sekali?

Terlihat Wi Ci To mengerutkan alisnya ujarnya,

“Ilmu pedang yang Ti-heng perlihatkan pagi tadi saja sudah

cukup membuat Lohu bingung dan tidak tahu asal usulnya apalagi di

dalam pukulan, Lohu kira juga sama saja?”

“Ha … ha , ha . ha.” Potong Huang Puh Kian Pek. “Tidak perduli

dibagaimana pun semuanya tidak mendatangkan bahaja, hanya

melihat-lihat saja juga tidak mengapa bukan?”

Wi Ci To melihat semua orang demikian tertariknya terpaksa

bangkit dari tempat duduknya sambil ujaraja

“Baiklah mari kita pergi ke lapangan latihan silat.”

Lapanqan latihan silat dari Benteng seratus pedang ini terletak

ditengah Benteng, luasnya kurang lebih tiga puluh kaki, pada saat

tua muda enam orang tiba ditengah lapangan latihan silat itu

terlihatlah ditengah lapangan sedang terdapat puluhan orang dari

Pendekar pedang hitam yang sedang melatih ilmu pedangnya.

Ujar Ti Then sesudah melihat hal itu:

“Pendekar-Pendekar pedang dari Benteng kalian sungguh amat

rajin sekali sampai saat ini masih juga melatih ilmu pedangnya”

“Ha.. ha …Lote telah salah menduga” ujar Shia Pek Tha:

“Beberapa pendekar pedang hitam ini pada hari biasa amat malas

berlatih sehingga kini kami sengaja menghukum mereka untuk

berlatih ilmn pedang satu hari penuh.”

“Ooh.. . kiranya demikian.”

Wi Lian In yang sudah kepingin melihat kepandaian silat dari Ti

Then segera mendepakkan kakinya ke atas tanah, ujarnya :

“Sudahlah, Ti Toako harus mendemonstrasikan kepandaiannya

dulu”

Dengan perlahan Ti Then menyapu sekeliling tempat itu,

terlihatlah di sebelah kiri dari lapangan terdapat sebuah rak senyata

segera ujarnya:

“Baiklah sekarang cayhe akan memperlihatkan ilmu meringankan

tubuh terlebih dulu.”

Sambil berkata dengan langkah yang lebar dia berjalan

mendekati rak senyata tajam itu.

Terlihatlah setiap senyata tombak yang terdapat di dalam rak itu

runcing-runcing sekali bahkan kelihatannya sangat tajam diam-diam

dalam hatinya sangat kagum, pikirnya.

“Kepandaian dari Wi Ci To sungguh sebanding dengan apa yang

disiarkan di dalam dunia kangouw, hanya cukup dengan senyatasenyata

tajam yang terdapat di dalam rak senyata ini saja sudah

sangat berlainan dengan tempat. Biasanya, apabila pada satu

setengah tahun yang lalu menjuruh aku meloncat melalui atas

senyata mungkin sukar untuk melaksanakannya sebaliknya kini

bilamana aku tidak menggunakan sedikit kembangan mungkin

belum bisa memperlihatkan kelihayanku”

Pikirannya dengan cepat berputar, kemudian kepada Hong Mong

Ling sambil tertawa ujarnya.

“Hong heng, tolong ambillah beberapa batang hio (alat

sembahjangan orang Tionghoa) untuk siauwte”

Air muka Hong Mong Ling segera berubah, tanyanya dengan

kaget-

-Ti-heng menghendaki hio untuk apa? Untuk sedikit permainan

dalam ilmu meringankan tubuh?”

Hong Mong Ling melihat dia tidak mau memberikan penjelasan

yang tegas terpaksa mengangguk dan berlalu dari lapangan.

Tidak lama dia sudah kembali dengan membawa beberapa

batang hio. Ti Then segera mengucapkan terima kasih dan

mengambil benda itu dari tangannya.

Setelah itu dengan perlahan-perlahan dia medekati rak senyata

dan meloncat naik ke atas ujung senyata yang sangat tajam

tersebut.

Wi Ci To serta Huang Puh Kian Pek yang melihat kepandaiannya

ini dimana menancapkan hio ke atas ujung senyata tajam tidak

tertahan lagi pada berubah wajahnya.

Sudah tentu dalam hati mereka tahu kalau Ti Then hendak

memperlihatkan ilmu meringankan tubuh di atas hio itu tetapi yang

membuat hati mereka kini merasa sangat terkejut adalah

menancapkan hio di atas ujung tombak itu, haruslah diketahui alat

sembahjangan yang terbuat dari bambu yang sangat tipis itu

merupakan benda yang mudah putus sedang ujung tombak

merupakan benda dari baja tetapi dia bisa dengan mudahnya

menancapkan ke atas ujung tombak, kepandaian ini boleh dikata

sudah mencapai pada taraf memetik daun melukai orang, melukai

orang di balik gunung,

Sebaliknya dia hanya merupakan pemuda yang baru berusia

kurang lebih dua puluh tahunan.

Diam-Diam Wi Lian In menarik ujung baju ajahnya, ujarnya

dengan perlahan.

“Tia, kepandaiannya sungguh amat tinggi”

Wi Ci To mengangguk..dengan suara yang setengah berbisik

ujarnya,

“Benar, sekali pun ajahmu juga tidak bisa melakukan hal seperti

itu”

“Bukankah dia akan memperlihatkan permainan ilmu

meringankan tubuhnya di atas hio” tanya Wi Lian In Lagi.

“Benar, kepandaian ini tidak terhitung ajahmu di dalam dunia

kangouw saat ini juga hanya si kakek pemalas Kay Kong Beng serta

si pendekar tangan kiri Cian Pit Yuan dua orang yang bisa

melakukan”

Wi Lian In menjadi sangat terkejut, tanyanya dengan cepat:

“Apa mungkin dia murid dari si kakek pemalas Kay Kong Beng?”

“Bukan, “ sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya, “Sejak dua

puluh tahun yang lalu sesudah si kakek pemalas Kay Kong Beng

menerima muridnya yang tidak berbakti itu pernah bersumpah

bahwa selamanya tidak akan menerima murid lagi, bahkan jika

dilihat dari kepandaian yang dimiliki Ti Then sekarang agaknya

sekali pun si kakek pemalas juga tidak mungkin bisa mengajari

hingga demikian lihay.”

Pada saat ajah beranak berbisik dengan perlahan itulah Ti Then

sudah selesai menancapkan hionya ke ujung tombak.

Terdengar Huang Puh Kiam Pek sambil menghela napas panjang

pujinya:

“Kepandaian sakti, kepandaian sakti, cukup melihat permainan

dari Ti-heng ini saja Lohu tidak lihat sudah tahu kalau kepandaian

lainnya pun tentu sangat menarik sekali”

Ti Then hanya tersenjum saja, setelah memberi hormat kepada

Wi Ci To dan Huang Puh Kiam Pek ujarnya:

“Boanpwe akan memperlihatkan sedikit kejelekan, harap Pocu

berdua suka beri petunjuk ?”

Sehabis berkata tubuhnya melayang ke atas dan berdiri dengan

kaki sebelah di atas ujung hio yang menancap pada ujung tombak

itu, jurus yang, digunakan ini adalah jurus Kim Ki Tok Lie atau ajam

emas berdiri disatu kaki.

Hio itu sendiri sebenarnya hanya terkena sedikit tenaga saja

maka segera okan putus, kini di atasnya diinyak oleh seorang

dengan ratusan kali beratnya ternyata sedikit melengkung pun

tidak hal ini memperlihatkan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah

mencapai pada kesempurnaan, bahkan tubuhnya yang berat itu bisa

diubah menjadi sangat ringan bagaikan kapas,

“Bagus…”

“Ilmu meringankan tubuh yang sempurna…”

“Kepandaian yang sangat lihay…”

Suara pujian dan seruan kagum dengan cepat berkumandang

dari seluruh penjuru lapangan membuat suasana menjadi sangat

ramai.

Kiranya beberapa puluh orang pendekar pedang hitam yang

sedang berlatih ilmu pedang itu ketika melihat Ti Then

menancapkan hio di ujung tombak tadi sudah mulai memperhatikan

dengan penuh kekaguman dari tempat jauh, saat ini begitu TiThen

meloncat naik dan berdiri di ujung hio yang kecil dan mudah putus

itu tidak tertahan lagi pada bersorak memuji.

Ditengah suara sorakan memuji yang sangat ramai itulah terlihat

Ti Then sedikit memutar tubuhnya bagaikan segulung asap yang

sangat ringan telah mumbul ke tengah udara kemudian bersalto

beberapa kali dan melayang turun pada ujung Hio yang kedua

sedang benda yang diinyak ini sedikit pun tidak melengkung atau

bergerak.

Setelah itu tubuhnya dengan gerakan yang sama melayang pula

pada ujung yang ketiga.

Demikianlah dia mulai berlari dengan kecepatan yang luar biasa

di atas ujung tombak yang ditancapi Hio itu, semakin lari semakin

cepat sehingga akhirnya hanya terlihat segulung bajangan manusia

yang menari dan berkelebat diantara ujung Hio disekeliling lapangan

itu.

Suara tepukan tangan, suara sorakan memuji semakin lama

semakin keras sehingga menggetarkan seluruh lapangan,

Selama hidupnya Wi Lian In juga belum pernah melihat ilmu

meringankan tubuh yang demikian saktinya, sehingga saking

girangnya air mukanya berubah menjadi merah padam, dengan

penuh kegirangan dia bertepuk tangan dan bersorak sorai.

Sebaliknya Hong Mong Ling sekali pun ikut bertepuk tangan

tetapi wajahnya semakin lama berubah semakin membesi. Ditengah

suara tepukan serta sorakan yang ramai itulah berturut-turut Ti

Then mengitari lapangan puluhan kali banyaknya, mendadak

tubuhnia menerjang ke atas udara setinggi tiga kaki lebih kemudian

dengan sangat ringannya melayang turun ke atas tanah kepada

para badirin sambil merangkap tangan memberi hormat ujarnya:

“Permainan yang jelek. Permainan yang jelek”

“Heei..”puji Wi Ci To sambil menghela napas panjang: “Bilamana

bukannya Lohu melihat dengan mata kepala sendiri sesungguhnya

sukar untuk mempercayai.”

“Benar” -sambung Huang Puh Kiam Pek. “Dengan usia Ti-heng

yang masih demikian mudanya ternyata sudah berhasil melatih

kepandaiannya hingga sedemikian sempurnanya sungguh sukar

untuk diduga”

Ti Then hanya mengucapkan banyak terima kasih berulang kali,

ujarnya kemudian

“Boanpwe akan mempertunjukan ilmu pukulanku yang masih

cetek, harap Po cu berdua suka beri petunjuk”

Sesudah mengucapkan kata-kata itu dia menoleh memandang

kearah Hong Mong Ling, sambil tertawa ujarnya,

“Hong-heng, kali ini merepotkan kau lagi”

Terpaksa Hong Mong Ling tersenjum, tanyanya:

“Kali ini Ti-heng membutuhkan barang apa lagi ?”

“Hanya ingin meminyam pakaian longgar yang Hong-heng pakai

itu”

Sekali pun dalam hati Hong Mong Ling merasa tidak puas tetapi

dia juga tidak berani menolak terpaksa dengan hati yang mangkal

dia melepaskan pakaiannya dan di angsurkan kearah Ti Then.

Dengan segera Ti Then menyambut sambil mengucapkan terima

kasih, kepada Wi Ci To kemudian ujarnya lagi,

“Entah Po cu mengijinkan tidak kedua orang saudara Pendekar

pedang hitam untuk membantu boanpwe ?

Wi Ci To segera mengangguk, kepada para pendekar pedang

hitam yang sedang menonton itu teriaknya:

“Teng Eng Kiat Kauw Huan Tiong kalian kemari”

Dua orang pendekar pedang hitam segera menyahut dan

meloncat datang.

Ti Then segera menjerahkan pakaian itu kepada mereka dan

menjuruh mereka berdiri masing-masing disatu pojok

mementangkan pakaian itu kemudian dirinya mundur lima enam

langkah ke belakang.

Tiba-Tiba Hong Mong Ling tertawa tanyanya:

“Ti-heng apa hendak melancarkan serangan menghancurkan

pakaian itu?”

“Tidak salah”

Hong Mong Ling tertawa lagi„ ejeknya

-Dengan menggunakan batu cadas bukankah malah bisa

memperlihatkan kepandaian asli dari Ti-heng? “

Ti Then hanya tersenjum tanpa mengucapkan sepatah kata pun

punggungnya membelakangi kedua orang pendekar pedang hitam

itu sesudah memusatkan seluruh tenaga dalamnya mendadak

tubuhnya berputar setengah lingkaran ditengah udara dan

melancarkan serangan yang dahsyat kearah depan.

“Sreeet ?– pakaian yang dibentangkan itu sudah terpukul hingga

berlubang.

Win Ci To yang melihat kepandaian itu diam-diam mengerutkan

alisnya rapat-rapat sedang hadirin lainnya pun dibuat melongo dan

memandang terpesona ke atas pakaian yang berlubang itu lewat

beberapa saat kemudian baru terdengar suara sorakan yang sangat

ramai,

Dengan satu pukulan tangan membuat pakaian berlubang

sebenarnya bukan merupakan suatu peristiwa yang aneh tetapi

‘lubang’ yang dihasilkan dari angin pukulan Ti Then ini sangat

berbeda dengan keadaan lainnya.

Dia bukannya memukul pakaian itu hingga hancur dan

berlubang-lubang melainkan hanya membuat pakaian itu berlubang

tidak besar tidak kecil persis sebesar kepalannya.

Hal ini sama saja artinya kekuatan pukulannya berhasil

dipusatkan pada satu tempat saja bukan menjebar keseluruh tangan

bahkan kecepatan pukulannya pun laksana sambaran kilat yang

sedang berkelebat.

Hong Mong Ling mimpi pun tidak pernah menyangka kalau Ti

Then bisa memiliki kepandaian yang demikian menakutkan teringat

akan kata-kata ejekan yang tadi dia lontarkan tidak tertahan lagi

wajahnya berubah menjadi merah padam dengan sangat malu dia

menundukkan kepalanya rendah.

Ti Then segera maju ke depan mengambil pakaian dari tangan

kedua orang pendekar pedang hitam itu dan diserahkan kembali

kepada Hong Mong Ling, ujarnya:

“Sungguh maaf sekali telah merusak pakaian dari Hong-heng “

Hong Mong Ling segera menyambut pakaiannya, sambil tertawa

tawar sahutnya:

“Tidak mengapa, hanya untung cuma melubangi sebuah pakaian

saja dan bukan melukai hati siauwte”

-Hong-heng tadi bilang batu cadas, bagaimana kalau minta

tolong Hong heng mengambilkan sebuah batu cadas kemari?”

Hong Mong Ling mengangguk tetapi bukannya dia mengambil

sendiri tetapi menoleh ke salah seorang pendekar pedang hitam

serunya:

“Huan Tiong, ambil sebuah batu cadas kemari”

Pendekar pedang hitam itu menyahut dan pergi, tidak lama dia

sudah kembali dengan membopong sebuah batu cadas berbentuk

persegi panjang setebal lima cun dan diletakkan di hadapan Ti

Then.

Ti Then memberi hormat kembali kepada Wi Ci To dan Huang

Puh Kian Pek sambil ujarnya:

“Boanpwe sekali lagi akan mempertunjukkan permainan yang

jelek, bilamana sampai tidak baik harap jangan ditertawakan”

Wi Ci To hanya tersenjum sambil mengangguk sepatah kata pun

tidak diucapkan.

Dengan tangan kirinya Ti Then mengangkat batu cadas itu dan

dilemparkan ke atas kemudian telapak tangannya disertai dengan

tenaga dalam menekan di atas permukaan batu itu, baru saja

terdorong setengah depa batu cadas itu sudah jatuh ke atas tanah.

Dari permukaan batu cadas hancuran kapur beterbangan

mengikuti arah bertiupnya angin dan muncullah sebuah bekas

telapak tangan yang sangat jelas sedalam satu cun lebih.

Kali ini tidak ada orang yang bertepuk tangan atau bersorak

memuji semuanya membisu seribu bahasa hanya sepasang matanya

melotot keluar sebesar-besarnya agaknya mereka sudah dibuat

terkejut oleh kelihayan dari tenaga dalamnya.

Lama sekali Wi Ci To termenung memandang terpesona kearah

Ti Then kemudian barulah dia menoleh kearah para pendekar

pedang hitam yang sedang mengerumun itu, ujarnya:

“Kalian sudah melihat sendiri Pendekar baju hitam Ti Then ini

masih sangat muda dan usianya sebanding dengan kalian ternyata

sudah berhasil melatih kepandaiannya hingga mencapai demikian

sempurnanya, bilamana kalian ingin berubah seperti dia maka mulai

ini hari harus lebih giat lagi berlatih. “

Agaknya dia tidak punya bahan percakapan untuk dibicarakan

maka dengan mengambil dalih memberi nasehat menutupi

kesunyian itu,

Ujar Wi Lian In tiba-tiba:

“Tia, kau sudah berhasil melihat asal usul dari perguruan Ti

Toako ??.

Wi Ci To tidak menyawah hanya dengan langkah yang perlahan

berjalan meninggalkan lapangan.

Semua orang terpaksa mengikuti dia juga berjalan kembali ke

dalam ruangan tamu tanya Wi Lian In lagi:

-Tia, kau sudah tahu belum ??.

Wi Ci To gelengkan kepalanya, sambil tertawa pahit sahutnya:

“Belum.”

“Hei..” ujar Hong Mong Ling sambil menghela napas,

“Kepandaian Ti heng sungguh amat tinggi sekali, untung merupakan

kawan dari benteng kami, bilamana merupakan musuh dari benteng

Pek Kiam Po maka saat itu entah harus dengan cara bagaimana

untuk menghadapi diri Ti-heng.”

“Ha . ha . ha “ ujarnya sambil tertawa, “ Bilamana Hong-heng

mencurigai kedatangan Siauw-te ini mem punyai maksud buruk

lebih baik sekarang juga Siauw-te mohon diri. “

Sehabis berkata dia bangkit berdiri dari kursinya.

“Ti-heng harap duduk kembali.” ujar Wi Ci To dengan gugup

ketika melihat tamunya akan pergi.

“Baiklah” ujar Ti Then dengan sangat hormat dan duduk kembali

ketempat semula.

Wi Ci To dengan wajah yang gusar menoleh kearah Hong Mong

Ling, makinya

“Mong Ling, Ti-heng merupakan tuan penolongmu bagaimana

sekarang kau berani mengeluarkan kata-kata semacam ini. “

Air muka Hong Mong Ling segera berubah menjadi merah padam

seperti kepiting rebus sambil tertawa paksa ujarnya:

“Suhu, tecu sedang bergurau dengan Ti-heng sama sekali tidak

mem punyai maksud lain. “

Wi Ci To hanya mendengus dengan dinginnya, sambil tertawa dia

menoleh kearah Ti Then kembali ujarnya:

“Ti-heng maukah menceritakan asal usulmu kepada Lohu ??”

“Baiklah” sahut Ti Then sesudah berpikir sebentar. “Boanpwe

berasal dan Kay Hong sejak kecil sudah ditinggal mati oleh orang

tuaku, kehidupan sehari hari hanya tergantung dari Sam-siokku.

Pada usia sepuluh tahun Sam-siok ternyata menjual boanpwe

kepada seorang hartawan didesa itu untuk bekerja sebagai kacung

buku di samping putra hartawan. Dua tahun kemudian ada suatu

hari mendadak Toa Sauvv-ya mendapat serangan penyakit dan

meninggal karena sedihnya kematian putranya itu kegusaran ini

ditimpakan kepada diri boanpwe dengan demikian boanpwe diusir

dari rumahnya. Saat itu karena takut dimaki oleh Sam Siok maka

boanpwe tidak berani pulang kerumah sesudah. meninggalkan

rumah hartawan itu berkelana diseluruh tempat akhirnya kalau

sesudah lewat setengah tahun baru bertemu dengan suhu dan

diterima sebagai muridnya. “

“Jika demikian adanya.” ujar Wi Ci To “Sejak kini Ti-heng sudah

merupakan sebatang kara saja di dalam dunia ini?”

“ Benar. “

Tiba-Tiba Shia Pek Tha tertawa terbahak bahak, ujarnya.

“Perkataan dari Lote ini apa sungguh-sungguh?

“Sudah tentu sungguh-sungguh. “

“Kalau begitu kemarin Lote bilang kalau harta dari leluhur sudah

kau habiskan, tolong tanya Lote mendapat harta dari leluhur yang

mana?”

Sama sekali Ti Then tidak pernah menyangka kalau dia bisa

mengingat-ingat perkataannya dengan demikian telitinya, segera dia

pura-pura memperlihatkan perasaan malunya, sambil tertawa

sahutnya:

-Sungguh maaf kemarin malam siauwte hanya membual saja,

perkataannya sekarang ini barulah merupakan perkataan yang

sesungguhnya”

“Kalau begitu” ujar Shia Pek Tha lagi, “Kali ini apa sebabnya Lote

berkelana dan berkeliaran di dalam dunia kangouw?”

“Tiga tahun yang lalu sesaat Siauwte meninggalkan suhu dia

orang tua pernah memberi siauwte ratusan tail emas tetapi pada

waktu-waktu mendekat ini sudah digunakan hingga ludas”

-Tetapi dengan kepandaian Lote yang demikian sempurnanya

untuk mencari uang, bukanlah merupakan pekerjaan yang sulit”

“Behar” sahut Ti Then sambil tertawa. -Siauwte memang bisa

bekerja sebagai guru silat atau sebagai pengawal barang tetapi

kedua macam pekerjaan ini siauwte tidak ada yang senang”

Wi Ci To batuk-batuk ringan, tanyanya mendadak:

“Sesudah ini Ti-heng punya rencana hendak kemana?”

“Heei.. saat ini keadaan sudah sangat mendesak terpaksa

Siauwte menerjunkan diri sebagai pengawal barang saja.”

“Dari pada Ti-heng menjadi pengawal barang lebih baik tinggal

saja di dalam Benteng kami”

Sesudah mendengar perkataan dari Wi Ci To ini dalam hati Ti

Then semangkin menganggap dia adalah majikan patung emas,

segera pura-pura tertegun oleh perkataannya, ujarnya:

-Bagaimana hal ini bisa jadi, sekali pun boanpwe tidak punya

kepandaian apa-apa tetapi boanpwe percaya masih sanggup untuk

mencari hidup bagi diriku sendiri”

-Ha ha ha ha” potong Wi Ci To, “Lohu minta Ti-heng tinggal di

dalam benteng kami bukannya menjuruh Ti-heng makan minum

dengan tanpa bekerja”

“Ooh….” dia menguncak-uncak matanya kemudian tanyanya lagi

dengan keheran-heranan. Kalau tidak lalu Po cu menginginkan boan

pwe bekerja apa ? “,

Wi Ci To termenung berpikir sebentar kemudian barulah

sahutnya:

“Sebelumnya Lohu ingin tanya sesuatu apa suhumu pernah

memberi wanti wanti kepada Ti-heng untuk melarang kau

menurunkan ilmu silat kepada orang lain ?,-

“”Tidak ?

“Kalau memangnya begitu Lohu akan mengangkat Ti-heng

sebagai pimpinan di dalam Benteng kami ini yang bertugas memberi

petunjuk ilmu silat kepada para pendekar pedang merah pendekar

pedang putih serta pendekar pedang hitam dari Benteng Pek Kiam

Po, setiap bulan kami akan membajar tiga ratus tail uang perak,

bagaimana ?”

Perkataan ini begitu keluar dari Wi Ci To sampai air muka dari

Shia Pek Tha pun kelihatan berubah dengan sangat hebat, karena

kesembilan puluh sembilan pendekar pedang merah dari Benteng

Pek Kiam Po semuanya merupakan jago-jago pedang kenamaan di

dalam Bu-lim bahkan selain Hong Mong Ling seorang lainnya sudah

merupakan orang-orang yang sudah lanjut, kini ternyata Wi Ci To

akan mengangkat Ti Then yang usianya masih sangat muda sebagai

pimpinan dari seluruh pendekar pedang di dalam Benteng Pek Kiam

Po sebenarnya merupakan suatu pandangan rendah terhadap diri

mereka pendekar pedang merah.

Air muka Hong Mong Ling pun kelihatan berubah menjadi sangat

jelek yang semakin lama semakin tegang dan membesi, sejak

semula dia sudah tahu kalau Ti Then sebenarnya merupakan “Lu

kongcu” yang memukul rubuh dirinya di dalam sarang pelacur Touw

Hoa Yuan itu, tetapi karena urusan ini menyangkut nama baik

dirinya dia diuga tidak berani menceritakan keadaan yang

sesungguhnya kepada bakal mertuanya, dia takut karena hal itu

perkawinan antara dirinya dengan Wi Lian In bisa dibatalkan tetapi

kini bilamana Ti Then menyanggupi menyabat sebagai pimpinan dari

seluruh pendekar pedang dari Benteng Pek Kiam Po sama saja

dengan sebuah pedang panjang yang ditusuk ke dalam hatinya,

membuat dia selamanya akan sukar tidur njenyak sukar makan

dengan nikmat.

Ti Then sendiri pun sudah tahu perubahan „Aneh” dari air muka

Shia Pek Tha, dalam hati diam-diam merasa sangat geli pikirnya:

“Ha ha ha ….orang She Hong rasakanlah, sekali pun dalam

hatimu punya maksud untuk berbicara tetapi tidak berani untuk

mengutarakan keluar.

Dalam hatinya dia berpikir demikian tetapi pada air mukanya

sengaja memperlihatkan perasaan menjesal, sahutnya:

“Terima kasih atas kebaikan Pocu, boanpwe tidak berani

menerimanya.”

“Kenapa ???.

Pertama, dengan kepandaian dari boanpwe agaknya tidak punya

hak untuk menjadi pimpinan pendekar pedang merah”

“ Sembilan puluh sembilan pendekar pedang merah dari Benteng

Pek Kiam Po semuanya merupakan didikan langsung dari Lohu,

sedang kepandaian dari Ti-heng sudah sangat jelas jauh di atas

kepandaian Lohu sendiri maka jika berbicara dalam berhak atau

tidak Ti-heng sudah tidak ada persoalan lagi

-Kedua,-, ujar Ti Then, “usia boanpwe masih sangat muda

sedang pendekar pedang merah dari Benteng Pek Kiam Po hampir

seluruhnya jauh lebih tua usianya dari boanpwe, maka..”

“Belajar kepandaian tidak memandang tua muda” Potong Wi Ci

To lagi: “siapa yang mencapai dahulu sebagai guru tentang hal ini

semakin tidak ada persoalau lagi”

Sehabis berkata dia menoleh kearah Shia Pek Tha, tanyanya

“Pek Tha, suhumu akan mengangkat Ti heng sebagai pimpinan

dari seluruh pendekar pedang di dalam Benteng kita, menolak

tidak?-

Dalam hati Shia Pek Tha merasakan serba susah tetapi dia pun

merasa tidak punya alasan yang kuat untuk menolak terpaksa

dengan serius sahutnya:

-‘Tecu tidak menolak? –

Dengan perlahan sinar mata Wi Ci To beralih ke atas wajah Hong

Mong Ling tanyanya pula.

“Mong Ling, kau bagaimana??-,

“Tecu juga tidak menolak hanya “

“Hanya apa ?

“Ti-heng merupakan kawan dari Benteng kita tetapi dengan

Benteng kita sama sekali tidak mem punyai ikatan perguruan mau

pun aliran, bilamana suhu mengundang Ti-heng sebagai pimpinan

dari para pendekar Benteng Pek Kiam Po kita bilamana sampai

diketahui orang luar bukankah hanya akan dibuat sebagai bahan

ejekan saja”

“Hmm ,” Dengus Wi Ci To dengan keren, “Aku mendirikan.

Benteng Pek Kiam Po hanya bertujuan melindungi keselamatan dari

Bu-lim selamanya tidak punya niat untuk mengagungkan nama

besar sendiri mau pun nama besar dari Benteng kita bahkan di

dalam ilmu silat semuanya juga berasal dari satu aliran aku

selamanya tidak pernah memikirkan soal aliran mau pun perguruan,

bilamana mereka mau mengejek biarkanlah mereka mengejek ?

Dengan perlahan dia menoleh kearah Ti Then kembali tanyanya:

“Bagimana pendapat Ti-heng sendiri?”

Sengadia Ti Then memperlihatkan sikapnya yang serba salah

ujarnya dengan gugup:

“Tentang ini . . ini –

“Bilamana Ti-heng merasa tiga ratus tahil perak terlalu kurang,

lohu bisa menambah satu kali lipat lagi ?

“Bukan… bukan…”sahut Ti Then dengan gugup, “Bukan soal

uang ..bukan soal uang , “

Ti-heng masih punya kesulitan apa lagi ?

Boan pwe ingin berpikir dulu…”.

“Itu sangat bagus, sesudah Ti-heng berpikir harulah beri jawaban

kepada Lohu,.. Pek Tha ? tadi pagi kalian pesiar kemana saja ?

“ puncak seribu Buddha”

–Untuk berpesiar ke puncak emas serta Ban Hud Teng waktunya

sudah tidak cukup lebih baik kau ajak Ti-heng pesiar ke gua Kiu Lo

Tong juga tidak jelek”

Ti Then segera bangkit berdiri dan memberi hormat ujarnya

“Baiklah, boan pwvee minta ijin untuk pesiar ke atas gua Kiu Lo

Tong dan sekalian memikirkan maksud hati dari Pocu ini”

Shia Pek Tha segera ikut dan memberi hormat kepada kedua

orang Pocu kemudian bersama-sama Ti Then berjalan keluar dari

ruangan tamu.

Menanti sesudah bajangan punggung dari Ti Then serta Shia Pek

Tha hilang dari pandangan mata dengan perlahan barulah Huang

Puh Kian Pek menoleh ke atas Wi Ci To sambil tanyanya:

“Apa benar Toako akan mengundang dia sebagai pimpinan para

pendekar pedang dari Benteng kita?”

“Benar ”

_Tetapi musuh atau kawan kita masih belum jelas, bagaimana

toako bisa berbuat”

“ Ha . ha .ha… ” aku mengundang dia sebagai Cong Kiauwtouw

atau pimpinan sebenarnya memang sedang menjelidiki asal usul

serta maksud hati nya “

“Bagaimana maksudnya ? tanya Huang Puh Kiam Pek dengan

termangu-mangu.

“Bilamana dia menyanggupi untuk menjadi pimpinan para

pendekar pedang kita, tidak sampai satu bulan kita sudah akan tahu

dengan jelas dia kawan atau lawan”

Dia berhenti sejenak kemudian tambahnya:

“Bilamana dia punya tujuan terhadap Benteng kita tentu tidak

akan bersungguh-sungguh memberi pelajaran silat kepada para

pendekar pedang sebaliknya bilamana dengan bersungguh-sungguh

hati dia memberi petunjuk kepada para pendekar kita maka hal ini

membuktikan kalau apa yang diutijapkan memang benar-benar,

saat itu di dalam Benteng punya pimpinan seperti dia bukankah

sangat untung sekali?”

“Tidak salah. tidak salah” sahut Huang Puh Kian Pek sambil

mengangguk.

“Jika ditinyau dari kepandaian silatnya, bilamana sampai terjadi

suatu gerakan dari dirinya agaknya dua orang pendekar pedang dari

Benteng kita masih belum cukup untuk menahan dirinya, menanti

sesudah dia pulang dari pesiar kirim lagi dua orang pendekar

pedang merah untuk mengawasi seluruh gerak geriknya setiap saat

Baiklah, nanti aku perintahkan.”

“Masih ada, loteng penyimpanan kitab kirim juga dua orang

untuk menyaganya, siang malam.”

Malam semakin larut udara begitu dinginnya sedang angin pun

bertiup dengan kencangnya saat itulah Ti Then serta Shia Pek Tha

baru saja pulang dari goa Kiu Lo Tong. Huang Puh Kian Pek segera

menunjuk seorang pelajan tua khusus melajani keperluan Ti Then,

membantu dia mengambil air teh, dahar serta lain-lainnya membuat

dia yang bertindak sebagai „patung emas” makin lama merasa

semakin senang dan kerasan.

Baru saja dia selesai membersihkan badan dan berganti pakaian

Shia Pek Tha sudah datang mengundang dia lagi, ujarnya:

“Lo-te, Pocu sedang menanti kedatanganinu di dalam ruangan

dalam”

-Pocu demikian memperhatikan diriku sungguh membuat Siauwte

merasa tidak enak hati”

.-Ha..ha… tidak perlu mengucapkan kata-kata begini, marilah !”

Kedua orang itu berjalan mendatangi ruangan dalam, tampak di

dalam ruangan itu sudah disediakan meja perjamuan, Wi Ci To,

Huang Puh Kian Pek, Hong Mong Ling serta Wi Lian In sudah hadir

di dalam meja perjamuan begitu melihat Ti Then berjalan masuk ke

dalam ruangan segera mereka besama sama berdiri menyambut

kedatangannya.

Dengan tersenjum Ti Then memberi hormat kepada semua

orang.

Ujar Wi Ci To sambil. tersenjum.

“Ti-heng silahkan duduk, bagaimana pemandangan gua Kiu Lo

Tong ?”

-Bagus, bagus sekali, hanya burung waletnya sangat banyak

sehingga permukaan tanah penuh dengan kotoran burung dan

merusak pemandangan bagus.’

“Di dalam gua ada patung dewa Cau Kong Beng yang katanya

sangat cocok, apa tadi Ti-heng sudah bersembahjangan

menanyakan rejeki ?

Tidak -” sahut Ti Then sambil tersenjum, “Manusia hidup

semuanya tergantung Thian, buat apa menanyakan rejeki atau tidak

terhadap sebuah patung?”

Begitulah mereka tua muda enam orang duduk kembali ke

tempat masing-masing dan mulai bersantap.

Jilid 4.2. Jadi Kiauwtauw benteng Pek Kiam Po

Ujar Ti Then lagi:

“ Goa Kiu Lo Tong disebut sebagai Kiu Lo, tetapi kenapa di

dalamnya hanya terdapat patung dewa Cau Kong Beng seorang

saja?

“Ooh . . ” ujar Wi Ci To. “patung dewa Cau Kong Beng ini entah

akhirnya secara bagaimana bisa ikut masuk di dalam goa itu,

padahal nama dari Kiu Lo itu masih mem punyai arti lain: “

Sambil menjumpit sajur ujarnya:

“ Menurut dongeng ketika Kaisar mengunjungi Thian Huang

Cinyien ditempat itu pernah bertemu dengan seorang pertapa tua

ketika Kaisar bertanya kepada pertapa itu ada berapa orang yang

ikut bertapa maka jawabnya ada sembilan orang maka sejak itu

orang-orang menamakan goa itu sebagai Kiu Lo Tong”.

Di dalam dunia ini banyak pemandangan yang menggunakan

nama yang aneh-aneh, misalnia saja dengan gunung Lo Cin

san..Pocu pernah berpesiar ke atas gunung Lo Cin san ??” tanya Ti

Then.

“ Belum pernah ! “ sahutnya sambil gelengkan kepalanya.

“Ha.. ha. . ha “ di dalam gunung Lo Cin San itu ada sebuah gua

cupu-cupu itu hanya punya nama gua cupu-cupu saja padahal

sama sekali tidak mirip dengan sebuah cupu-cupu, sungguh tidak

tahu dia sedang jual jamu apa di dalam cupu-cu punya.”

Wi Ci To tertawa terbahak-bahak tetapi sama sekali tidak

memperlihatkan pendapat apa pun.

Sesudah semua orang selesai mendahar dengan diam-diam Wi Ci

To menggojangkan kakinya memberi tanda kepada Huang Puh Kian

Pek yang ditendang dengan kaki itu segera merasa tanyanya:

“Terhadap undangan pocu tadi siang apakah Ti-heng sudah

ngambil keputusan?”

“..,Benar “ sahut Ti Then sambil mengangguk.

-,Bagaimana?”

“Boanpwe mau menerimannya tetapi ada beberapa syarat…”

“Silahkan beri petunjuk”

“Boanpwe punya sifat suka bergerak dan dolan bilamana Pocu

berdua mengijinkan boanpwe untuk keluar masuk maka boanpwe

akan menyanggupi juga menyabat sebagai pimpinan dari Para

pendekar pedang”

“Apa yang dimaksud dengan keluar masuk dengan bebas?”tanya

Huang Puh Kian Pek_

“Misalnya boanpwe gemar berjalan-jalan keluar dari benteng,

harap Pocu berdua tidak melarang”

Wi Ci To tersenjum, sahutnya:

“Sesudah Ti-heng menerima jabatan sebagai pimpinan para

pendekar pedang dalam Benteng kami sudah tentu kita semua

merupakan orang scndiri sedang Lohu saja sama sekali tidak

melarang keluar masuk dari para pendekar pedang merah apalagi

diri Ti-heng ?”

“ Kalau memangnya demikian, boanpwe menerimanya hanya

saja bilamana tidak baik dalam cara memberi petunjuk harap Pocu

mau memaafkan !”-

-Ha ha ha ha . asalkan Ti-heng bisa menurunkan kepadaian silat

dari sepuluh bagian menjadi tiga bagian saja kepada para pendekar

pedang di dalam Benteng kami ini Lohu sudah merasa sangat puas

sekali?”

Berbicara sampai di sini sepasang tangannya mengangkat cawan

arak, dan bangkit berdiri ujarnya:

“Marilah Lohu akan menghormati Ti Cong Kauw-tauw secawan?”

Dengan tergesa-gesa Ti Then bangkit membalas hormatnya,

sahutnya.

“Tidak berani Pocu terlalu memandang tinggi diri Boanpwe !”

Maka Huang Puh Kian Pek, Shia Pek Tha, Hong Mong Ling serta

Wi Lian In berturut turut berdiri memberi hormat, membuat Ti Then

menjadi repot juga untuk membalasnya.

Sudah tentu Hong Mong Ling suka diluarnya, gemas di dalam

hatinya melihat hal ini.

Wi Ci To sendiri juga mungkin sengaja atau tidak mendadak

ujarnya kepada putrinya Wi Lian In sambil tersenjum.

“In-ji, selanjutnya kau pun harus sering minta petunjuk dari Ti

Cong Kiauw tauw ?”

Dengan tersenjum malu-malu sahut, Wi Lian In.

“Kepandaian silat Ti toaku sangat tinggi, sudah tentu putrimu

harus belajar dari dirinya?”

-Mulai besok pagi” ujar Wi Ci To lagi, “lohu akan mengumpulkan

seluruh jago pedang dari seluruh Benteng untuk mengumumkan Tiheng

sebagai pimpinan seluruh pendekar dari benteng kita, tetapi,

tetapi. . . .”

Dia termenung berpikir sebentar, kemudian barulah ujarnya lagi:

– Kini sekali pun pendekar pedang merah yang berada di dalam

Benteng hanya dua puluh orang saja tetapi pendekar pedang putih

serta pendekar pedang hitam hampir mencapai dua ratusan,

bilamana Ti Kiauwtauw seorang harus memberi petunjuk berapa

ratus orang banyaknnya mungkin akan terlalu payah, baiklah

demikian saja, Lohu akan menunjuk sepuluh orang pendekar

pedang merah belajar terlebih dulu dari Ti Kiauw-tauw kemudian

dengan menggunakan tenaga dari kesepuluh orang pendekar

pedang merah menurunkan ilmu itu kepada para pendekar pedang

putih serta pendekar pedang hitam”

“Lalu Tia akan menunjuk siapa saja diantara sepuluh orang itu?”

tanya Wi Lian In.

“Yuan Ci Liong, Pan Kia Yang, Tay Tiauw Eng, Njoo Ceng Bu,

Tong Shit le, Lan Liang Kim, Lak Hong, Kian Ceng Haan, Hong Ling

dan kau”

Air muka Hong Mang Ling segera berubah menjadi merah

padam, ujarnya:

“Suhu, tecu punya rencana akan pergi ke Tiang An pada masa

sekarang ini, maka…”

Wi Ci To menjadi tidak senang, bentaknya:

“Kau tidak ingin belajar silat dari Ti heng?”

-Bukan . . bukan” ujar Hong Mong Ling dengan gugup” tecu

pernah menyanggupi In Moay untuk membelikan barang dikota

Tiang An.”

“Soal ini tidak perlu kau sendiri pergi beli, perkawinan kalian juga

tinggal tiga bulan lagi barang-barang yang In ji inginkan biarlah

beberapa hari lagi Lohu kirim orang untuk pergi membeli ?”

“Tetapi … tetapi…” ujar Hong Mong Ling lagi dengan terputus

putus. ““Tecu ,.tecu juga . ..juga ingin sekalian menengok .”

Wi Ci To segera mengulap tangannya memutuskan pembicaraan

selanjutnya ujarnya :

“Tidak usah bilang lagi tidak ada urusan yang jauh lebih penting

lagi dari pada belajar ilmu silat dari Ti Kiauw-tauw ?”

Hong Mong Ling tidak berani berbicara lagi, dengan berdiam diri

dia menghabiskan daharnya.

Sesudah semuanya merasa kenyang maka bahan pembicaraan

pun beralih pada soal-soal remeh kehidupan sehari-hari saja, saat

malam semakin kelam itulah perjamuan baru bubar sedang Ti Then

pun bangkit mohon diri dan kcmbali kekamarnya sendiri.

Pelajan tua yang melajani dirinya begitu melihat dia sudah

kembali segera mengikuti dirinya masuk kadalam kamar, tangannya

diluruskan ke bawah dengan sangat hormatnya menanti perintah.

Tanya Ti Then dengan perlahan:

“Orang tua, siapa namamu?-.

“Lapor kongcu”- sahut pelajan tua itu dengan sangat hormat.

“Budakmu she Ci bernama Tiang Siang, pocu selamanya memanggil

budakmu dengan sebutan Lo Cia, lebih baik kongcu pun memanggil

budakmu dengan sebutan ini saja”

“Sudah berapa lama kau berdiam di dalam Benteng Pek Kiam Po

ini? “ tanya Ti Then lagi sambil tersenjum.

-,Sudah puluhan tahun lamanya sebelum pocu kami mendirikan

benteng Pek Kiam Po ini budakmu sudah mengikuti dirinya, jika

dihitung kurang lebih hampir mendekati empat puluh tahun

lamanya.-

“Kau mengikuti Pocu sudah demikian lamanya, sudah tentu

kepandaian silatnya tidak lemah?”

“Tidak bisa jadi, tidak bisa jadi” sahut Locia sambil gelengkan

kepalanya.. “Budakmu tidak mem punyai bakat untuk belajar silat,

pernah Pocu menjuruh budakmu ikut dia belajar silat tetapi

selamanya tidak bisa berlatih dengan baik”

“Kali ini Pocu yang mengirim kau untuk melajani aku?

“Bukan” sahut Locia lagi sambil gelengkan kepalanya.

“Wakil Pocu yang mengirim budakmu kemari karena usia yang

sudah tua maka pada beberapa tahun ini budakmu berganti bekerja

di samping wakil Pocu-.

Ti Then mengangguk dengan perlahan dengan langkah yang

kalem dia berjalan mendekati jendela dan mendorong hingga

terpentang lebar, sambil menunjuk kesebuah bangunan berloteng

tanyanya.

“Ruangan itu sangat besar sekali siapa yang tinggal di sana?”

Dia teringat kembali akan pesan dari majikan patung emas,

bilamana hendak mengadakan hubungan dengan dia, pasang lampu

didekat jendela dan ketuk tiga kali kini dia harus memeriksa

keadaan disekeliling tempat itu, dia mengira bahwa bila mana diam

memasang lampu sebagai tanda hendak berhubungan dengan

majikan patung emas maka orang yang bisa melihat dengan sangat

jelas tandanya itu seharusnya orang yang berdiam di dalam loteng

itu, karena itulah dia sengaja menanya dengan sangat jelas.

Dengan cepat Lo-cia berjalan mendekati tubuhnya, sambil

menunjuk kearah bangunan loteng itu tanyanya.

“Kongcu menanyakan bangunan itu?”

¬-Benar.”

“Itu tempat kamar buku Pocu kami”

“Ooh.”kemudian dia menunjuk pula kearah bangunan loteng

yang berada disebetah kiri dimana bangunan itu berdiri sendiri,

tanyanya lagi:

“ Lalu yang itu?”

-Ooh, itu loteng penyimpanan kitab”

-Loteng penyimpanan kitab?” tanya Ti Then dengan penuh

keheranan.

-Benar, loteng penyimpanan kitab dari Pocu kami.”

-Kalau sudah ada kamar baca buat apa mendirikan sebuah loteng

penyimpan kitab lagi ?”

-Pocu kami gemar membeli dan menyimpan kitab” ujar Lo-cia,

“Karena jumlah buku yang terlalu banyak hanya sebuah kamar baca

saja tidak cukup untuk menam pungnya maka sengaja mendirikan

sebuah loteng penyimpanan buku untuk menjmpan kitab-kitab

tersebut.

“Ooh..kiranya begitu, pada kemudian hari bilamana ada

kesempatan tentu aku akan pergi ke dalam untuk melihat-lihat

kitab, aku kira buku yang Pocu kalian simpan tentu merupakan

benda-benda yang sangat berharga… “

“Kiranya tidak mungkin bisa. “ potong Lo-cia.

“Kenapa ?” tanya Ti Then yang dibuat tertegun oleh

perkataannya

“Loteng penyimpanan kitab itu selamania pocu kami melarang

orang lain memasukinya, termasuk wakil Pocu kami serta nona Wi

sendiri:

“Mungkin di dalamnya menyimpan banyak rahasia ?

~Tentang hal ini budakmu tidak tahu’ sahut Lo-cia sambil

gelengkan kepalanya.

“Budakmu hanya tahu bahwa Pocu tidak mungkin akan

mengijinkan orang lain ikut dia memasuki loteng penyimpanan

kitabnya itu”

“Dia sendiri sering masuk ke sana?”

“Setiap lewat beberapa hari tentu dia masuk satu kali ke dalam,

dia senang seorang diri membaca buku di dalam tempat itu.

“Bagaimana kau bisa tahu dia membaca buku?” tanya Ti Then

sambil tersenjum.

“Tidak membaca buku, buat apa dia masuk ke dalam?”

“Mungkin juga di dalam loteng penyimpan kitab itu bersembunyi

seorang yang sangat misterius” sahut Ti Then dengan tersenjum.

Lo-cia menjadi tertawa terbahak-bahak sahutnya :

“Kongcu suka gujon, bilamana di dalam sana berdiam seseorang

saat ini tentu dia sudah mati kelaparan.

“Mana mungkin ?”

“Selamanya kami tidak pernah melihat Pocu membawa makanan

masuk ke dalam bilamana di dalam sana ada orang bukankah sudah

mati kelaparan ?”

Ti Then tertawa terbahak-babak, sambil menepuk bahunya

ujarnya lagi:

“Ha.ha ha ha , : . orang itu akan mati kelaparan karena dia

disebut Yan Yu Giok”

Lo-cia menjadi termangu-mangu beberapa saat kemudian

barulah menjadi sadar, sambil tertawa terbahak-bahak sahutnya:

“Tidak salah ? tidak salah ? di dalam buku memang ada yang

disebut Yan Yu Giok..ha..haa.ha..”

Dengan perlahan Ti Then menutup jendela dan kembali ketempat

pembaringannya ujarnya.

“Di sini sudah tidak ada urusan, kau boleh beristirahat

Lo-cia segera menangkap tangannya memberi hormat, sahutnya

:

“Baiklah, budakmu berdiam dikamar sebelah bilamana kongcu

punya perintah silahkan mengetuk dinding tembok maka budakmu

akan mendengarnya”.

Sehabis berkata din mengundurkan diri dari dalam kamar.

Ti Then pun segera melepaskan pakaiannya dan berbaring

dengan tenang di atas pembaringan memikirkan berbagai persoalan

yang sangat rumit.

Menurut bukti yang dia dapatkan sampai saat ini dia merasa

bahwa Wi Ci To memang merupakan majikan patung emas itu,

maka sekarang yang dia ingin ketahui adalah selain Wi Ci To

menginginkan dirinya memperistri putrinya apa mungkin masih

ada„rencana” lainnya ? Loteng penyimpan kitab itu sampai wakil

Pocu serta putrinya sendiri pun tidak boleh masuk, mungkinkah di

dalamnya tersimpan berbagai macam barang yang berharga atau

menyimpan rahasia yang mem punyai hubungan yang sangat erat

dengan urusan ini?”

Di dalam suasana pemikiran yang sangat ruwet itulah tidak

terasa lagi dia jatuh pulas dengan sangat njenyaknya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sipedang naga perak Huang

Puh Kiam Pek sudah mengumpulkan seluruh pendekar pedang yang

ada di dalam Benteng ketengah lapangan latihan silat.

Sebenarnya „Pendekar Pedang Merah” dari Benteng Pek Kiam Po

berjumlah sembilan puluh sembilan orang, tetapi ada tujuh puluh

empat orang sedang berkelana di dalam dunia kangouw karena

itulah saat ini yang berada ditengah lapangan termasuk Wi Liam In

serta Hong Mong Ling hanya berjumlah dua puluh lima orang.

Mereka berbaris dipaling depan kemudian disusul dengan ratusan

pendekar Pedang putih dan ratusan pendekar pedang hitam

sehingga seluruhnya berjumlah dua ratusan orang dengan sangat

rapinya berdiri berjajar ditengah lapangan, pada pinggang setiap

orang tersoren sebilah pedang panjang keadaannya sangat angler

dan gagah sekali. Tidak berselang lama sipedang naga emas Wi Ci

To beserta Ti Then sudah berjalan masuk ke dalam lapangan.

Wi Ci To langsung naik ke atas mimbar yang disediakan, sesudah

menerima penghormatan dari seluruh muridnya ujarnya dengan

suara yang sangat lantang :

“Saudara-Saudaraku sekalian ini hari lohu mengumpulkan kalian

di sini bertujuan hendak mengenalkan kepada kalian seorang

pendekar aneh dari Bu-lim yang masih sangat muda, orang itu

adalah pendekar baju hitam Ti Then yang sekararig berdiri di

hadapan Lohu.”

Dari tengah lapangan segera gemuruh suara tepukan serta sorak

sorai yang sangat ramai, sudah tentu suara tepukan dari pendekar

pedang putih serta pendekar pedang hitam yang paling ramai.

Ti Then menjadi repot untak membalas hormat kepada semua

hadirin. Menanti sesudah suara tepukan serta sorak sorai itu mereda

sambung Wi Ci To lagi :

“Nama besar dari pendekar baju hitam Ti Then tentunya kalian

sudah lama mendengar, dia merupakan seorang pendekar yang

suka menolong sesamanya berlaku adil bijaksana dan bersifat

jantan, apa lagi kepandaian silatnya sudah berhasil dilatih hingga

mencapai pada tarap kesempurnaan, kemarin sudah ada beberapa

orang pendekar pedang hitam yang dengan mata kepala sendirt

melihat kelihayan dari Ti Siauwhiap, mungkin mereka pun sudah

menceritakan keadaan itu kepada kalian oleh sebab itulah tentang

bagaimana kelihayan dan kepandaian yang dimiliki Ti siauwhiap

tidak perlu lohu ceritakan lagi di sini. Sekarang lohu akan

mengumumkan suatu berita baik kepada kalian jaitu Ti siauwhiap

sudah menerima tawaran lohu untuk menyabat sebagai pimpinan

dari seluruh pendekar pedang yang ada di dalam Benteng Pek Kiam

Po kita”

Suara tepukan dan sorak sorai sekali memecahkan kesunyian.

Sedang Ti Then pun dengan repot memberi hormat kepada semua

orang. Sambung Wi Ci To lagi,

“Kemungkinan sekali diantara kalian ada yang merasa bahwa Ti

Siauwhiap bukan orang Benteng kita sehingga tidak seharusnya

menyabat pimpinan ini, bilamana diantata kalian ada yang berpikir

secara demikian maka kalian sudah salah besar, pada saat Lohu

mendirikan Benteng ini pernah baca suatu keputusan bahwa

Benteng Pek Kiam Po yang Lohu dirikan ini bukanlah melulu untuk

mencari nama yang terkenal di dalam Bu-lim, semakin tidak punya

maksud untuk menduduki pucuk pimpinan diseluruh Bu-lim dan

tidak ingin bentrok atau saingan dengan partai-partai lainnya. Lohu

hanya ingin mengumpulkan para ahli ilmu pedang untuk bersamasama

menjelidikinya, dengan semangat yang berkobar kobar

bersama sama menjelidiki kepandaian silat bersama-sama,

membasmi kejahatan berbuat baik, .berbuat amal menolong

sesamanya dan bersikap pendekar dimana pun, oleh karena itulah

asalkan orang yang berhati luhur dan mem punyai bakat di dalam

ilmu silat boleh menjadi anggota Benteng kita, diantara kalian pun

ada banyak yang bcrasal dari suatu perkumpulan atau partai yang

bcrbeda, dengan bakal ilmu yang lalu masuk ke dalam Benteng

karena itulah ini hari Lohu mengangkat Ti siauw hiap sebagai

pimpinan diantara kalian juga mengunakan alasan yang sama”

Dia berbenti sejenak sedang pada bibirnya pun tersungging suatu

senjuman, sambungnya:

“Sudah tentu diantara kalian ada yang merasa bahwa usia Ti

siauw-hiap masih sangat muda sedang usia kalian jauh iebih tua kini

diharuskan belajar silat dengan dia tidak urung akan merasa malu

juga soal ini merupakan suatu soal yang sangat biasa tetapi kalian

haruslah memahami suatu kenyataan yang dikatakan belajar ilmu

tidak mengingat tua atau muda yang mencapai terdahulu dialah

guru. Kepandaian silat dari Ti siauwhiap jauh melebihi kepandaian

kalian sudah tentu kalian harus menghormati dia sebagai guru-

Dia berhenti sejenak.lagi, sesudah memandang setiap pendekar

pedang yang berdiri di sana ujarnya lagi sambil tersenjum

“Untuk membuktikan kalau Ti siauwhiap punya hak dan punya

alasan yang kuat bertindak sebagai pimpinan kalian maka muiai

sekarang Lohu akan memberikan suatu kesempatan kepada kalian,

bagi siapa yang merasa tidak puas boleh keluar minta pelajaran dari

Ti Siauwhiap, Lo hu tidak akan marah, ada tidak?”

“Tidak ada”

Kedua puluh lima orang pendekar pedang merah tidak ada yang

bergerak dari tempatnya, sejak semula mereka sudah mendengar

kalau kemarin pagi dengan tidak melancarkan serangan apa pun Ti

Then sudah berhasil mengalahkan seorang pendekar pedang putih,

kemudian tidak sampai sepuluh jurus berhasil rnengalahkan si naga

Hong Mong Ling pula, di samping itu ada pula yang secara

sembunyi-sembunyi melihat Ti Then ketika dia sedang

mendemontrasikan ilmu meringankan tubuh serta ilmu pukulan

karena itu mereka merasa bahwa dirinya masih belum apa-apanya

jika dibandingkan dengan Ti Then, sudah tentu tidak ada yang

berani mengajukan dirinya.

Para pendekar pedang putih dan pendekar pedang hitam yang

berdiri di belakang sudah tentu semakin tidak berani bergerak lagi:

Senjuman yang menghiasi bibir Wi Ci To dengan pelahan

menghilang dari wajahnya dengan serius ujarnya.

“Bilamana tidak ada orang yang berani keluar untuk minta

pelajaran dengan Ti siauw-hiap maka sejak hari ini kalian semua

harus menghormati dirinya dan mengikuti petunjuknya, barang

siapa yang berani kurang ajar dengan Ti siauw-hiap maka Lohu

tidak akan mengam puni lagi”

Perkataannya barn saja selesai dari antara pendekar pedang

merah tiba-tiba terlihat seseorang mengacungkan tangan kanannya

agaknya dia hendak mengatakan sesuatu.

Orang itu merupakan seorang kakek tua berusia lima puluh

tahunan dengan bentuk tubuh yang kurus kecil tetapi kedua belah

pelipisnya menonjol keluar sepasang matanya memancarkan sinar

yang sangat tajam agaknya dia merupakan seorang jago

berkepandalan tinggi yang sempurna

Melihat hal itu ujar Wi Ci To de ngan cepat

“Ki Kiam-su apa mau minta pelajaran dari Ti siauw-hiap ?

“Benar“ sahut pendekar pedang merah she-Ki itu.

“Baiklah, kau kemarilah ?

Dengan langkah yang mantap pendekar pedang merah she-Ki itu

berjalan ke depan kemudian memberi hormat kepada Wi Ci To.

Dengan perlahan Wi Ci To menolak memandang Ti Then, sambil

tersenjum ujarnya:

“Lohu akan memperkenalkan dahulu pada Ti siauwhiap, dia

merupakan pendekar pedang merah yang paling tua diantara

lainnya yang disebut sebagai To Hun Kiam Khek atau pendekar

pedang pencabut sukma Ki Tong Hong” “

Ti Then segera merangkap tangannya memberi hormat ujarnya:

“Sudah lama mendengar nama besar dari saudara ini hari bisa

bertemu sungguh sangat beruntung sekali”

Si pendekar pedang pencabut sukma Ki Tong Hong pun

membalas hormat, sahutnya:

“Tidak berani Ti siauw-hiap terlalu sungkan”

Dengan perlahan dia menoleh kearah Wi Ci To ujarnya sambil

tersenjum:

“Pocu, hamba tahu bahwa hamba bukan tandingan dari Ti siauwhiap

tetapi dalam hal kepandaian silat yang diutamakan adalah

pengalaman di dalam menghadapi musuh, dengan memberanikan

diri hamba ingin mencoba-coba pengalaman dari Ti slauwhiap.”

“Baik., mau mencoba dengan tiara apa..”

Sahut si pendekar pedang pencabut sukma Ki Tong Hong dengan

perlahan.

“Kepandaian silat dari Ti siauw-hiap sudah mencapai pada taraf

kesempurnaan hal ini hamba dengar dari saudara saudara sekalian,

di dalam demonstrasi sudah tentu berbeda dengan pertempuranyang

menentukan mati hidup seseorang, bilamana bisa memperoleh

kemenangan ditengah pertempuran dengan senyata tajam yang

sungguh-sungguh dapat dihitung liehay”

“Jadi maksudmu akan bertempur dengan Ti siauwhiap di dalam

suatu pertempuran yang menentukan mati hidup?” tanya Wi Ci To

dengan nyaring.

“Benar” sahut Ki Tong Hong, “Dengan memggunakan seluruh

kekuatan berusaha mengalahkan pihak lain, dalam turun tangan

tidak boleh menaruh belas kasihan sedang bilamana salah satu

menerima luka juga tidak diperkenankan menyalahkan”

Mendengar perkataan itu Wi Ci To mengerutkan alisnya, sambil

menoleh kearali Ti Then tanyanya,

“Bagaimana pendapat dari Ti siauwhiap ?

-Bagus” boanpwe akan menggunakan nyawaku sebagai jaminan

untuk menemani saudara ini”

Wi Ci To menoleh lagi kearah Ki Tong Hong tanyanya :

“Kau siap hendak menggunakan kepandaian apa bertempur

melawan Ti Siauw- hiap ?

“Yang terutama sudah tentu harus menggunakan pedang, tetapi

hamba tadi sudah bilang kalau pertempuran ini merupakan suatu

pertempuran yang menentukan mati hidup seseorang sehingga

harus menggunakan seluruh kepandaian yang dimilikinya untuk

bertempur tidak perduli dengan menggunakan kepandaian yang

ganas atau kejam macam apa pun boleh digunakan”

“Baiklah” ujar Wi Ci To “ bilamana kau mem punyai kemungkinan

untuk membinasakan Ti siauw-hiap Lohu tentu tidak akan

menyalahkan kau tetapi bilamana sampai kau dikalahkan oleh Ti

Siauw¬hiap sehingga menderita cacad jangan sampai mendendam

di dalam hati”

“Hal ini sudah tentu”

Dengan perlahan Wi Ci To mengangkat kepalanya serunya

dengan keras:

-Hong Ling, pinyamkan pedangmu kepada Ti Siauw-hiap ?

Mendengar perkataan itu dalam hati Hong Mong Ling menjadi

sangat girang segera dia melepaskan pedangnya dari pinggang dan

berjalan ke depan menjerahkan pedang berikut sarungnya kepada

Ti Then.

Pada wajahnya menampilkan perasaan yang sangat girang sekali.

Bagaimana dia bisa girang ?

Ti Then menyambut pedang itu sedang dalam hati pikirnya :

“Orang ini begitu mendengar Wi Ci To menjuruh dia

meminyamkan pedangnya kepadaku pada air mukanya segera

memperlihatkan perasaan girang, apa mungkin dia sudah

bersekongkol dengan Ki Tong Hong untuk melaksanakan sebuah

rencana keji untuk mencelakai diriku ?”

Berpikir sampai di sini segera dia mencabut pedangnya dan

memeriksa dengan teliti.

Sesudah memeriksa seluruh bagian dari pedang itu ternyata

sedikit pun tidak menemukan tempat-tempat curiga apa pun.

Akhirnya dia menyingkirkan sarung pedang itu ke samping

kemudian bergeser tiga langkah ke samping, kepada Ki Tong Hong

ujarnya sambil tertawa :

“Ki cianpwe silahkan melancarkan serangan.”

Ki Tong Hong pun mencabut keluar pedangnya dengan nyaring

sahutnya : Ti siauw-hiap harap berhati-hati, cayhe dalam dunia

kangouw terkenal sebagai orang yang suka mengadu jiwa, banyak

akal dan jadi orang licik bahkan pekerjaan yang paling rendah juga

bisa aku keluarkan.”

Sekali pun perkataannya ini diucapkan dengan nada bergurau

tetapi cukup membuat orang yang mendengar merasa ngeri dan

bergidik: Kiranya si pendekar pedang pencabut sukma ini

merupakan seorang jago „tanpa am pun” yang sangat terkenal,

hanya saja dia khusus turun tangan terhadap orang-orang dari

golongan Hek-to saja sehingga dengan demikian Wi Ci To juga tidak

bisa mengambil tindakan atau hukuman terhadap dirinya.

Dengan sangat tenang Ti Then tersenjum ujarnya :

“Terima kasih atas peringatanmu, kan melancarkan serangan.”

“Maaf” mendadak tubuhnya maju tiga langkah ke depan

pedangnya diputar setengah lingkaran ditengah udara kemudian

menusuk ke depan dengan kekuatan yang sangat luar biasa.

Gerakan ini dilakukan begitu cepatnya sehingga mirip dengan

berkelebatnya sinar kilat, sungguh tidak malu disebut sebagai

seorang pendekar pedang yang kenamaan.

Sebaliknya Ti Then sudah bisa melihat kalau serangan yang

dilancarkan ini merupakan suatu jurus serangan tangan kosong

maka tubuhnya sama sekali tidak bergerak atau menghindar bahkan

pedangnya pun tidak diangkat untuk balas melancarkan serangan.

Ki Tong Hong melihat dia tidak mau juga melancarkan serangan

segera menarik. kembali serangan kosongnya itu ditengah jalan,

jurus serangan segera berubah dari menusuk mendiadi gerakan

menabas, tubuhnya mendesakmaju lagi ke depan dari arah dada

kini berubah menyambar pinggang Ti Then.

Diantara berkelebatnya sinar pedang tahu-tahu pedang itu sudah

mencapai pinggang Ti Then tidak lebih sejauh tiga cun.

Saat itulah Ti Then baru bersuit nyaring, mendadak tubuhnya

melonyak ke atas dengan menggunakan jurus ‘Yan Cu Can Swi”

atau burung walet menyapu air, sedang pedangnya ditekan ke

bawah memusnahkan jurus serangan itu.

Jurus serangan ini diika dilihat dari depannya sekali pun mirip

dengan sebuah jurus untuk menangkis serangan musuh tetapi di

belakang dari jurus serangan selandutnya secara diam-diam

tersembunyi sebuah serangan dahsyat yang mematikan.

Dia percaya bahwa Ki Tong Hong akan sukar untuk

menghindarkan diri dari jurus serangan yang mematikan ini hanya

saja dia tidak ingin mematikan nyawa dari Ki Tong Hong dalam hati

dia hanya punya niat melukai Ki Tong Hong saja

Siapa tahu, begitu pedangnya digunakan untuk menangkis

serangan pihak lawan suatu peristiwa yang diluar dugaan telah

terjadi terhadap dirinya.

“Criiiing . “ dengan menimbulkan suara yang sangat nyaring

pedang yang digunakan untuk menangkis serangan pedang dari Ki

Tong Hong menjadi terasa sangat ringan sekali.

Pedangnya sudah terputus…??

Bahkan putusnya dari ujung gagang pedang hingga ujung

pedangnya sendiri.

Terhadap setiap jago berkepandaian tinggi dari Bu-lim peristiwa

ini boleh dikata merupakan suatu peristiya yang sangat menakutkan

sekali.

Sesaat Ti Then sedang merasa tertegun itulah dia hanya

merasakan pinggangnya terasa amat sakit ternyata dia sudah

berhasil dilukai oleh pedang Ki Tong Hong yang tidak mau menyianyiakan

ke sempatan yang sangat baik itu.

Darah segar segera memancar keluar membasahi seluruh

pakaiannya.

“Tahan ?” bentak Wi Ci To dengan cepat.

Dengan cepat Ki.Tong Hong mengundurkan diri ke belakang

hingga beberapa kaki jauhnya dari tempat semula:

-Pocu, kenapa ?” ujar Ti Then sambil tersenjum:

“Lukamu tidak mengapa bukan ?” tanya Wi Ci To.

“Ha ha ha ha , tidak sampai binasa”

“Hal ini merupakan suatu peristiwa yang diluar dugaan, bilamana

bukannya pedang itu terputus kau pun tidak sampai menderita luka,

biarlah sekarang ganti sebilah pedang lagi untuk melanjutkan

bertempur”-

Pada saat dia bilang “Peristiwa yang di luar dugaan itu dengan

tanpa sadar dia sudah melirik sekejap kearah Hong Mong Ling

agaknya dalam hati dia sudah tahu kalau hal ini merupakan

permainan licik dari Hong Mong Ling.

“Tidak bisa ganti pedang baru“

Kenapa” tanya Wi Ci To dengan tercengang.

“Tadi Ki cianpwe sudah memberi penjelasan dengan sangat jelas

sekali, dia bilang dia mau bertempur di dalam pengalaman

bertempur dengan diri boanpwe sedang putusnya pedang sekali pun

merupakan suatu peristiwa yang berada diluar dugaan bilamana

boanpwe tidak segera bisa mengubah keadaan bahaja menjadi

keadaan yang menguntungkan hal ini mengertikan kalau

pengalaman boanpwe masih sangat cetek

-Jika demikian adanya kau sudah mengakui kalau sudah

dikalahkan?” ujar Wi Ci To keren sedang air mukanya berubah

menjadi demikian seriusnya.

“Tidak” sahut Ti Then tegas, “Boanpwe juga tidak akan mengakui

kalah karena sebelumnya Ki ciatipwe sudah beri penjelasan bahwa

pertempuran ini merupakan suatu pertempuran yang menentukan

mati hidup sedang kini boanpwe hanya menderita suatu luka sangat

ringan, ha ha ha belum sampai terbinasa”,

“Kalau memangnya demikian kau boleh ganti dengan sebilah

pedang lainnya”

“Tidak bisa” ujar Ti Than sambil menggelengkan

kepalanya”Kedua belah pihak dengan menggunakan nyawanya

bertempur mati-matian bilamana satu pihak terputus pedangnya

sudah tentu pihak yang lain tidak akan mengijinkan pihak yang

terputus pedangnya berganti dengan pedang baru, maka itulah

bilamana boanpwe sampai bertukar dengan pedang yang baru ini

namanya tidak adil”

Sehabis berkata dia membuang gagang pedang itu ke atas tanah

dan berjalan mendekati Ki Tong Hong, ujarnya tersenjum.

“Ki cianpwe silahkan melanjutkan serangan selanjutnya”

Ki Tong Hong melihat pinggangnya terluka dan darah segar

masih terus menerus mengalir keluar dengan derasnya tetapi dia

sama sekali tidak melihatnia barang sekejap pun tak terasa hatinya

menjadi tergetar, juga, sambil mundur satu langkah ke belakang

ujarnya sambil tersenjum

“Ti siauw-hiap sudah terluka, biarlah sampai di sini saja

pertempuran kita kali ini”

Ti Then tertawa dingin ujarnya:

“Kau tak .mau turun tangan, cayhe akan turun tangan terlebih

dahulu.”

“Baiklah” ujar Ki Tong Hong sambil tertawa serak. “ Kau dengan

menggunakan tangan kosong melanjutkan pertempuran ini, baiklah

kau terlebih dahulu yang menjerang. “

Ti Then hanya mengangguk dengan perlahan, mendadak

tubuhnya mendesak maju ke depan dua langkah tangaanya dengan

sangat perlahan ditepuk kearah depan.

Ki Tong Hong tidak berani berlaku gegabah dengan tergesa-gesa

dia menggeserkan diri ke samping, dari sebelah samping segera

melancarkan satu serangan dahsyat menusuk jalan darah “Yu Bun

Hiat” di bawah dada Ti Then.

Pada saat dia melancarkan serangan tusukan yang sangat

dahsyat itulah mendadak tubuh Ti Then berkelebat dengan sangat

cepat dan tahu-tahu Ki Tong Hong te!ah kehilangan bajangan

musuhnya.

Menanti dia merasakan kalau Ti Then sudah berada di belakang

tubuhnya saat itulah belakang lehernya sudah bérhasil dicengkeram

oleh Ti Then dan dilemparkan seluruh tubuhnya ketengah udara.

Kecepatan gerakannya demikian dahsyatnya sehingga Wi Ci To

sendiri pun belum sempat melihat dengan jelas gerakan apa yang

dilakukan tubuh dari Ki Tong Hong sudah terlempar ketengah udara.

“Bluuk…” dengan mengeluarkan suara yang keras tubuh Ki Tong

Hong yang dilemparkan Ti Then itu terjatuh ke atas tanah beberapa

kaki dari tempat semula, untuk beberapa saat lamanya tidak

sanggup untuk berdiri:

Setiap hadirin di dalam lapangan itu dibuat menjadi pada

melongo, air mukanya berubah menjadi pucat pasi siapa pun tidak

pernah menyangka dan siapa pun tidak akan percaya kalau Ti Then

berhasil menguasai seorang pendekar pedang merah yang tertua

dari Benteng Pek Kiam Po hanya di dalam satu jurus saja dengan

menggunakan tangan kosong, Tetapi peristiwa yang sesungguhnya

telah terjadi di hadapan mata mereka semua.

Untuk beberapa saat lamanya seluruh lapangan menjadi sunyi

senyap, secara samar-samar diliputi oleh selapis napsu untuk

membunuh yang sangat hebat.

Para pendekar pedang merah lainnya dari perasaan terkejut kini

berubah menjadi perasaan gusar yang meluap-meluap karena

mereka rasa kalau Ti Then terlalu menghina Ki Tong Hong yang

dibantingnya dengan demikian kerasnya.

Seat itulah agaknya Wi Ci To pun merasakan keadaan yang aneh

itu segera bentaknya dengan keren:

“Njoo Kiam-su, cepat bangunkan Ki Kiam-su dan bawa ke

samping

Seorang pendekar pedang merah segera menyahut dan

membangunkan tubuh Ki Tong Hong, dengan perlahan dia

membimbing dirinya mengundurkan diri dari la¬pangan untuk

beristirahat dihalaman belakang.

Air muka Wi Ci To berubah menjadi sangat keren, sambil

menyapu sekejap kearah para pendekar pedang merah ujarnya lagi

dengan keren

“Saudara sekalian, ini semua adalah keluhuran dari hati Ti Kiauwtauw

yang tidak menggunakan akal licik apa pun juga, dia

menggunakan kepandaian silat yang sesungguhnya mengalahkan

Ki-kiam-su, diantara kalian bilamana ada yang masih tidak puas

boleh minta pelajaran darinya saat ini juga”

Para pendekar pedang merah yang melihat wajah Pocu mereka

sudah berubah menjadi demikian serius serta kerennya tidak terasa

pada merasa jeri apalagi mereka pun merasa kalau kepandaian silat

dari Ti Then sudah mencapai pada taraf yang sangat tinggi,

sehingga dengan demikian tak seorang pun yang berani keluar

untuk men coba-coba.

Setelah menanti beberapa seat lamanya Wi Ci To melihat tak

adaseorang pun yang berani keluar minta pelajaran segera ujarnya:

“Kalau memang sudah tidak ada lagi tetap dengan perkataan

lohu tadi sejak ini hari kalian harus menghormati dan menurut

perkataan dari Ti siauw-hiap, bilamana ada orang yang berani

berlaku kurang ajar terhadap dirinya maka lohu akan segera

mengusir dia dari dalam Benteng Pek Kiam Po ini”

Sehabis berkata dia turun dari mimbar ujarnya kepada Ti Then:

“Ti Kiauw-tauw silahkan naik mimbar untuk menerima

penghormatan “

“Buat apa harus demikian” ujar Ti Then sambil tersenjum.

“Harus berbuat demikian, ini merupakan peraturan dari Benteng

kami”

Terpaksa dengan langkah yang periahan Ti Then berjalan naik ke

atas mimbar sesudah menerima penghormatan dan sorak sorak dari

seluruh pendekar pedang yang ada ditengah lapangan dia

merangkap tangannya membalas hormat, ujarnya

“Saudara-Saudaraku sekalian, dengan mendapatkan perhatian

dari Pocu terpaksa cayhe menerima jabatan sebagal pimpinan dari

saudara-saudara sekalian, semoga saja saudara-saudaraku sekalian

jangan terlalu memandang tinggi kepada diri cayhe, cayhe harap

kalian dengan menggunakan kedudukan sesama saudara saling

hormat menghormati, saling belajar ilmu silat dan saling bantu

membantu disegala bidang, sejak ini bilamana cay he melakukan

kesalahan harap sandara-sandara sekalian mau memberi petunjuk”

Sehabis berkata dia memberi hormat lagi dan turun dari atas

mimbar.

Sesudah itu Wi Ci To lah yang angkat bicara ujarnya:

“Sejak besok pagi Ti Kiauw-tauw akan mulai memberikan

petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat, untuk ini yang akan menerima

petundiuk adalab Yuan Ci Long -Fan Kia Yong, Tay Tiauw Eng, Njoo

Ceng Bu Tong Shu In Lin Liang, Kim Lok Hong, Kian Ceng Haan,

Mong Ling serta Lian In dari pendekar pedang merah, kalian

sepuluh orang setiap pagi harus sudah berkumpul di sini tanpa ada

alasan untuk meninggakannya”

Sehabis berkata dia menoleh kearah si pedang naga perak Huang

Puh Kian Pek sambil tanyanya:

– Sute kau punya urusan ?

“Tidak ada ?

“Baiklah, sekarang kalian boleh bubar”

Sekembalinya Ti Then ke dalam kamarnya sebentar kemudian

Shia Pek Tha sudah datang lagi dengan membawa dua stel pakaian

berserta obat luka, ujarnya sambil tertawa:

-Ti-heng cayhe mendapat perintah dari pocu sengaja datang

untuk mengobati luka dari Ti-heng–

-Aah , tidak berani, hanya suatu luka yang sangat kecil biarlah

siauw-te turun tangan sendiri”

Dia melepaskan pakaian bagian atasnya terlihatlah pada

pinggangnya tergores sebuah luka sepanjang empat cun dengan

dalam setengah cun, sedang darah segar masih terus mengalir

keluar dengan derasnya tak terasa dia tertawa pahit, ujarnya:

“Heei . . untung saja nyawaku belum dipanggil oleh Thian,

bilamana tergurat setengah cun lebih dalam lagi kiranya sejak tadi

sudah binasa”

Sambil membantu Ti Then membalut lukanya ujar Shia Pek Tha:

“Memang sungguh merupakan suatu peristiwa yang sangat aneh,

sekali pun pedang dari Mong Ling bukan merupakan pedang kuno

yang antik tetapi merupakan suatu pedang yang bagus, bagaimana

secara mendadak bisa putus sendiri ?”

“Mungkin pedang itu ada kekuatan gaibnya sehingga lebih baik

putus dari pada aku yang memakainya ?”

Shia Pek Tha menoleh memandang keluar pintu kamar kemudian

ujarnya dengan suara perlahan:

“Ti-heng tidak akan mencurigai hal itu perbuatan licik dari Mong

Ling bukan?”

-.Tidak ! tidak” ujar Ti Then sambil gelengkan kepalanya. – Mong

Ling heng merupakan seorang budiman bagaimana bisa melakukan

pekerjaan semacam ini”

Siauw-te kira hal itu hanya merupakan suatu peristiwa diluar

dugaan saja”

– Aku pikir dia tidak mungkin bisa berbuat demikian, kau sudah

menolong dia kembali ke dalam benteng kenapa dia harus

membalas suatu budi dengan dendam ?

Sesudah lukanya dibalut dan berganti dengan sebuah pakaian

semangat Ti Then telah pulih kembali, ujarnya:

“Mari pergi, kita pergi lihat Ki Kiam su itu”

“Sesudah terbanting dengan keras oleh kau kini dia masih

terlentang di atas pembaringan, bilamana sekarang kita pergi

menengok dirinya, kiranya…”

“ Dia akan berpikir secara bagaimana pun sesukanya, pokoknya

hal ini merupakan kejujuran dari hati siauw-te.”

– Baiklah” ujar Shia Pek Tha sambil mengangguk, “Cayhe akan

membawa Ti-heng ke sana.”

Ketika mereka berdua sampai di depan kamar Ki Tong Hong

terlihatlah pintu kamar terbuka lebar-lebar, Ki Tong Hong berbaring

di atas pembaringan sedang di depan pembaringan berdirilah empat

orang pendekar pedang merah Hong Mong Ling merupakan salah

satu diantaranya, entah mereka waktu itu sedang membicarakan

soal apa tetapi begitu melihat kedatangan Ti Then segera bersarnasama

menutup mulutnya rapat-rapat sedang pada air mukanya

memperlihatkan perasaan terkejutnya.

Dengan langkah perlahan Ti Then berjalan masuk ke dalam

kamar, kepada Ki Tang Hong yang berbaring di atas pembaringan

dia merangkap tangannya memberi hormat, ujarnya:

“Maaf tadi sudah melukai Ki toako, entah kini merasa

bagaimana?”

“Untung masih baik” sahut Ki Tong Hong dengan tawar, “Atas

kemurahan

Kiauw-tauw yang tidak turun tangan jahat cayhe merasa sangat

berterima kasih”

“Heei . . . tadi siawwte tidak sempat menahan diri sehingga

mambuat Ki toako terluka, dalam hati merasa tidak enak”-

“Kiauw-tauw terlalu sungkan, cayhe belajar ilmu tidak rajin

bagaimana harus menyalahkan diri kiauwtauw”

“Semoga Ki Toako jangan sampai memasukkan peristiwa hari ini

ke dalam hati”

-ooo0dw0ooo-

Jilid 5.1. Mengusir Pendekar pedang tangan kiri Cian Pit

Yuan

“Sudah tentu, sudah tentu” ujar Ki Tong Hong, “Sekali pun cayhe

telah mengalami kekalahan total tetapi di dalam hati merasa sangat

girang, sejak hari ini di dalam benteng terdapat seorang Ti

Kiauwtauw yang memimpin hal ini merupakan suatu keuntungan

bagi seluruh pendekar pedang dari benteng kami”

Dengan perlahan Ti Then menoleh kearah Shia Pek Tha, ujarnya

sambil tertawa:

“Shia heng, siauwte ingin menggunakan uang saku sendiri

menyamu seluruh saudara-saudara dari Benteng, kau bilang kurang

lebih harus membutuhkan uang berapa?”

“Ti kiawtauw tidak usah berbuat demikian” ujar Shia Pek Tha

sambil tertawa, “Seharusnya dari pihak kami yang menyamu kau”

“Tidak, tidak..siauwte akan mengundang…tiga puluh meja

perjamuan, seratus tahil uang perak cukup tidak?”

“Ha ha ha ha…satu meja perjamuan tiga tahil perak, ini sudah

merupakan suatu perjamuan yang mewah”

“Siauwte juga hanya memiliki seratus tahil saja, kalau

memangnya sudah cukup, baiklah kita putuskan demikian saja, mari

kita laporkan pada Pocu malam ini kita bersama-sama bergembira”

Malam itu seluruh lapangan latihan silat telah penuh dengan

meja-meja perjamuan yang diatur dengan sangat rapih, lampu

menerangi seluruh penjuru, dengan tenangnya Pocu sendiri si

pedang naga emas Wi Ci To sampai orang yang terbawah pendekar

pedang hitam kini menjadi tamu sendiri Ti Then, dua ratus orang

banyaknya bersama-sama bergembira pada meja perjamuannya

masing-masing membuat suasana demikian ramainya.

Ti Then sendiri satu persatu menghormati setiap meja perjamuan

dengan secawan arak, sikapnya sangat ramah dan simpatik

sehingga orang-orang yang semula merasa tidak senang dengan

kehadirannya ini lama kelamaan timbul pula perasaan simpatik dari

dalam hati mereka.

Tetapi karena orang yang harus dihormati demikian banyaknya

membuat dia makin lama semakin mabok oleh air kata-kata itu.

Wi Ci To yang melihat langkahnya mulai gentajangan segera

ujarnya pada Shia Pek Tha sambil tertawa:

“Pek Tha, Ti kiauwtauw sudah tidak kuat dengan kekuatan arak,

cepat antar dia ke dalam kamar untuk beristirahat”

Dengan sangat hormat Shia Pek Tha menyahut, segera dia

meninggalkan meja perjamuan, mendekati Ti Then yang sedang

minum dengan puasnya di samping Ki Tong Hong, ujarnya dengan

perlahan:

“Ti Kiauwtauw, kamu orang sudah mabuk”

Sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya, “Ki toako, mari kita

teguk secawan lagi”

“Bila Ti Kiauwtauw tidak mau istirahat sebentar ke dalam kamar

lebih baik kurangi sedikit dalam meneguk arak, kamu orang sudah

meneguk terlalu banyak”

Ti Then sesudah saling meneguk secawan arak dengan Ki Tong

Hong segera putar tubuhnya dengan sempojongan dia berjalan

kembali ke meja perjamuan Wi Ci To, ujarnya sambil tersenjum:

“Wi pocu, boanpwe sama sekali tidak mabok, harap kamu orang

tua legakan hati”

“Ha ha ha ha…” sahut Wi Ci To sambil tertawa, “Lohu lihat kamu

orang sudah menghabiskan tiga puluh cawan arak, bilamana tidak

berhenti mungkin kamu orang sebagai majikan akan rubuh terlebih

dahulu”

“Tidak mengapa…tidak mengapa, justru karena mabuk membuat

hati menjadi semakin tenteram, boanpwe pernah satu kali meneguk

menghabiskan arak sebanyak delapan kati akhirnya otakku masih

tetap segar dan bersih”

“Heeei..buat apa kamu orang meneguk arak sebegitu banyaknya,

haruslah kamu orang ketahui banyak minum merusak badan apalagi

lukamu belum sembuh benar-benar”

“Ha ha ha…” sahut Ti Then sambil tertawa terbahak-bahak,

“Boanpwe tidak takut merusak badan, hanya takut semakin miunum

semakin tidak mabok”

Wi Ci To tersenjum, tanyanya: “Kau gemar minum arak hingga

mabok?”

“Sekali mabok menghilangkan beribu-ribu macam kemurungan di

dalam hati, boanpwe kepingin sekali mabok selamanya tidak sadar

kembali..semakin mabok semakin tenang semakin sadar semakin

memusingkan kepala”

Wi Ci To yang mendengar perkataannya ini segera memandang

tajam wajahnya, tanyanya lagi: “Kamu punya kemurungan hati?”

“Benar, kemurungan yang sangat banyak sekali, misalnya

…ehmm..misalnya ada seorang lelaki menjual obat tetapi boanpwe

sama sekali tidak tahu di dalam cupu-cu punya menjual obat macam

apa?”

Wi Ci To yang mendengar kata-kata dalam keadaan mabok itu

tidak terasa menjadi tertawa geli, ujarnya: “Coba lihat, kamu masih

bilang tidak mabok..”

Baru saja kata-kata ‘mabok’ keluar dari mulutnya sekonyongkonyong..

sebuah benda melayang turun dengan cepatnya dari

tengah udara.

“Braaak..” dengan menimbulkan suara yang keras benda itu

tepat terjatuh di atas meja perjamuan membuat cawan serta

mangkok pada beterbangan dan jatuh ke atas tanah.

Orang-Orang yang duduk dimeja perjamuan itubegitu melihat

benda tersebut tidak tertahan lagi air mukanya segera berubah

hebat, sambil menjerit kaget mereka pada meloncat berdiri dari

tempatnya masing-masing.

Coba anda terka benda macam apa yang terjatuh dari tengah

udara itu?

Ternyata sebutir batok kepala manusia yang masih meneteskan

darah segar dari bekas bacokannya.

Shia Pek Tha yang melihat kejadian itu segera berteriak keras:

“Oh Thian, bukahkah dia adalah Kang Kian Sian dari pendekar

pedang hitam?”

Sepasang mata dari Wi Ci To berubah menjadi merah padam,

dengan berat tanyanya: “Dia sedang meronda di atas gunung?”

“Benar!” sahut Shia Pek Tha.

Di dalam sekejap mata saja semua orang sudah bisa menduga

peristiwa apa yang sedang terjadi, seluruh hadirin menjadi tenang

kembali keadaan begitu sunyi senyapnya sehingga tidak terdengar

sedikit suara pun, masing-masing tangan dengan kencang mencekal

gagang pedangnya masing-masing sedang seluruh perhatian

ditujukan siap menghadapi perubahan yang bakal terjadi.

+++

“Siapa yang datang?” tanya Ti Then dengan perlahan.

Wi Ci To menggelengkan kepalanya, agaknya dia sendiri pun

tidak tahu, tubuhnya dengan perlahan bangkit berdiri dari kursi,

ujarnya dengan nada yang berat:

“Kawan dari mana yang sudah datang mengunjungi benteng

kami, silahkan unjukkan diri untuk bertemu”

Suatu suara aneh yang sangat menjeramkan segera

berkumandang datang dari atas wuwungan rumah di samping kiri

lapangan latihan silat itu, sahutnya dengan seram:

“Aku, he he he..orang she Wi sungguh pandai kamu orang

bersenang senang mengadakan perjamuan hingga jauh malam

tetapi tahukah kamu orang majat-majat yang bergelimpangan di

tengah jalan sudah mulai mendingin?”

Para pendekar pedang merah yang ada ditengah perjamuan

begitu mendengar di atas wuwungan rumah ada orang segera siap

menubruk ke atas, saat itulah Wi Ci To sudah membentak dengan

keras: “Jangan bergerak!”

Para pendekar pedang merah tidak berani membangkang

perintahnya terpaksa duduk kembali ketempatnya masing-masing.

“Siapa sebenarnya saudara itu?”

“He he..kawan lamamu” sahut orang itu sambil tertawa

menjeramkan.

“Hmm..hmm..selamanya lohu hanya bersahabat dengan orangorang

jujur dan suka berterus terang, selamanya belum

pernahberkenalan dengan seorang manusia yang suka main

sembunyi-sembunyi seperti anak kura-kura”

Orang itu tertawa terbahak-bahak, sahutnya: “Lohu sendiri juga

tidak punya niat untuk main sembunyi-sembunyi seperti cucu kurakura”

Sambil berkata terlihatlah sesosok bajangan manusia dengan

kecepatan yang luar biasa melayang turun dari atas atap. Gerakan

tubuhnya sangat ringan bagaikan burung walet, di dalam sekejap

mata saja dia sudah melayang turun beberapa kaki diluar lapangan

latihan silat tersebut. Rumah itu jaraknya dengan permukaan tanah

tidak lebih setinggi tujuh delapan kaki, kini dengan satu kali

lompatan saja ternyata dia bisa melayang turun dengan mudahnya

hal ini dengan jelas memperlihatkan kalau ilmu meringankan

tubuhnya sudah mencapai pada taraf kesempurnaan.

Bentuk tubuhnya kaku persis seperti sesosok majat hidup yang

baru saja bangkit dari kuburan.

Jika dilihat usianya kurang lebih diantara enam puluhan, tinggi

tubuhnya sedengan sedang bentuknya kurus kering rambutnya

terurai awut-awutan, wajahnya kotor dan baju yang dipakainya pun

compang camping persis seperti orang pengemis, hanya saja

dipinggang sebelah kanannya tersoren sebilah pedang panjang.

Di samping itu dia memiliki sepasang mata yang sangat tajam

bagaikan sambaran kilat, pada saat berkelebat membuat orang yang

melihat pada bergidik saking ngerinya.

Diam-diam Wi Ci To menghembuskan napas dingin, karena walau

pun dia tidak tahu siapa orang itu tetapi dalam hatinya sadar kalau

malam ini kedatangan seorang musuh yang sangat tangguh.

Sesudah berhasil menenangkan pikirannya barulah ujarnya: “Maaf

pandangan lohu sudah lamur, siapakah sebenarnya saudara ini?”

Orang aneh itu mementangkan mulutnya tertawa dingin sehingga

terlihatlah sebaris giginya yang kuning memuakkan, sahutnya:

“Selama beberapa tahun ini Wi Pocu selalu memimpin Bu-lim,

kedudukannya pun sangat terhormat, tidak aneh kalau sudah

melupakan kawan lama”

“Hemmm..hmm..”ujar Wi Ci To sambil tertawa dingin tak hentihenti-

nya: “Walau pun sudah lama Lohu mem punyai kedudukan

sebagai pimpinan seluruh Bu-lim tetapi selamanya tidak pernah

terlalu memandang tinggi kedudukan ini, asalkan kawan-kawan

karib dari satu jalan yang sama Lohu tidak akan melupakan untuk

selamanya”

“Tetapi kamu orang sudah lupakan aku?”

“Hal ini dikarenakan saudara memang bukannya kawan lama dari

Lohu”

Mendadak Huang Puh Kian Pek berjalan mendekati Wi Ci To,

ujarnya dengan perlahan: “Suheng coba lihat telinga kanannya!”

Mendengar perkataan itu dengan cepat Wi Ci To memperhatikan

telinga sebelah kanan dari orang itu dengan sangat teliti saat itulah

dia baru menemukan kalau telinga kanannya jauh lebih kecil dari

telinga kirinya, tidak tertahan tubuhnya tergetar dengan sangat

keras, serunya:

“Haaa? Kau adalah si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit

Yuan?”

“Ha ha ha..bagus sekali, bagus sekali..akhirnya kenal

juga..sungguh untung sekali..untung sekali”

Walau pun Wi Ci To boleh dihitung merupakan seorang yang

sangat tenang tetapi saat ini pada wajahnya tidak urung

menampilkan perasaan terkejutnya juga, sama sekali tidak terduga

olehnya si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan yang pada

masa lalu merupakan seorang pemuda tampan kini sudah berubah

menjadi seorang jelek yang sangat mengerikan.

Yang datang tidak akan punya maksud baik, yang bermaksud

baik tidak akan datang, ini hari si pendekar pedang tangan kiri Cian

Pit Yuan muncul ditempat itu sudah tentu membawa maksud yang

tidak baik, apalagi jika dilihat gerak-geriknya yang tambah lincah

agaknya sukar untuk dihadapi jika dibandingkan dengan dahulu.

Bahkan kedatangannya kali ini bertepatan dengan beradanya Ti

Then di dalam Benteng, apa mungkin Ti Then benar-benar

merupakan muridnya? Apa betul dia yang perintahkan Ti Then

untuk masuk Benteng bertindak sebagai mata-mata?

Sesudah berpikir sampai di sini tidak tertahan lagi hati Wi Ci To

berdebar dengan kerasnya.

Kepandaian yang dimiliki Ti Then saja dia sendiri sudah merasa

sulit untuk hadapi, kalau benar-benar Ti Then merupakan muridnya

si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan ini maka dengan jelas

sekali memperlihatkan kalau kepandaian silat dari pihak lawan

sudah mencapai pada taraf yang jauh lebih tinggi dari dirinya,

dengan demikian kemungkinan sekali Benteng Pek Kiam Po akan

musnah di dalam serangannya kali ini.

Pikiran tersebut dengan cepat berkelebat di dalam benaknya,

segera dia putar tubuhnya berkata kepada Huang Puh Kian Pek

yang berdiri di sisinya:

“Sute, perhatikan seluruh gerak-gerik dari Ti Then..dengan

perlahan-perlahan coba dekati tubuhnya bila menemukan gerakgeriknya

sedikit mencurigakan segera turun tangan kuasai dia”

Huang Puh Kian Pek sedikit mengangguk kemudian dengan

berpura-pura tidak sadar tubuhnya mulai bergeser kesisi tubuh Ti

Then.

Ti Then yang selama ini selalu menganggap Wi Ci To sebagai

Majikan Patung Emas sudah tentu tidak terlalu memperhatikan

gerak-gerik dari Huang Puh Kian Pek yang mulai bergeser

mendekati tubuhnya itu.

Pada air muka Wi Ci To dengan perlahan-lahan mulai

menampilkan senjuman, sambil memandang tajam kearah si

pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan ujarnya:

“Dua puluh tahun tidak bertemu, tidak disangka Cian-heng sudah

berubah menjadi sedemikian rupa..”

“Semuanya ini merupakan pemberian dari Wi Toa Pocu” sahut si

pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan dengan dinginnya.

“Bagaimana perkataanmu ini?”

“Sejak aku orang she Cian kau lukao telinga kananku di depan

umum karfena merasa malu untuk bertemu dengan orang maka di

dalam beberapa tahun ini aku orang she Cian selalu bersembunyi

ditengah gunung hingga saat ini”

“Tapi” ujar Wi Ci To, “Sesaat sebelum terjadinya pertandingan

pada waktu itu kita pernah berjanyi terlebih dulu, tidak perduli siapa

pun yang terluka atau terkalahkan tidak diperkenankan mendendam

di dalam hati, mungkin Cian-heng sudah melupakan akan hal ini?”

“Ha ha ha ha..tidak lupa..tidak lupa, aku orang she Cian sama

sekali tidak mendendam”

“Lupa atau tidak hanya dalam hatimu sendiri yang jelas” ujar Wi

Ci To sambil tersenjum.

“Aku orang she Cian benar-benar tidak akan mendendam di

dalam hati, ada pepatah mengatakan menang kalah merupakan

kejadian yang biasa di dalam suatu pertempuran, kemarin kalah

mungkin hari ini akan pulang dengan memperoleh kemenangan,

buat apa mendendam di dalam hati?”

“Lalu ini hari Cian-heng punya perhitungan pulang dengan

memperoleh kemenangan?” tanya Wi Ci To lagi.

“Benar” sahut Cian Pit Yuan sambil mengangguk, “Aku orang she

Cian tentu punya hak ini bukan?”

“Sudah tentu ada..sudah tentu ada, tetapi kamu orang tidak

seharusnya membunuh anak murid lohu, kamu orang merupakan

seorang jago yang punya nama sangat terkenal di dalam Bu-lim,

kini ternyata turun tangan membunujh seorang boanpwe yang

masih rendah tingkatannya, hal ini membuat lohu merasa kecewa

bagi dirimu”

“Sebenarnya aku orang she Cian tidak punya niat untuk bunuh

dia, kesemuanya karena dia sendiri yang mencari mati”

“Oooh benar begitu?” tanya Wi Ci To sambil tertawa dingin.

“Aku orang she Cian sebetulnya punya niat dengan hormat

untuk menemui kau Wi Toa Pocu, siapa tahu anak muridmu itu

terlalu memandang rendah orang lain, dia melihat aku orang she

Cian berpakaian compang-camping dan miskin ternyata tidak

memperkenankan aku masuk bahkan memaki-maki dan meperolokolok

aku orang, terpikir olehku dengan peraturan yang keras dari

Bentengmu ini sudah tentu tidak mungkin memiliki seorang anak

murid semacam dia, karena itulah orang semacam itu tidak mungkin

bisa terpakai lagi di sini maka aku mewakili kamu orang

menyingkirkan nyawa dari sini”

Shia Pek Tha yang mendengar perkataan ini menjadi sangat

gusar, mendadak dia meloncat bangun dari tempat duduknya,

sambil mengaum keras bentaknya:

“Omong kosong, Kang Kian Sian merupakan pendekar pedang

yang paling luhur hatinya, paling jujur dan paling menuruti aturan ,

kamu bangsat tua sudah bunuh dirinya kini memfitnah lagi, aku

akan adu jiwa denganmu terlebih dulu”

Sambil berkata dia meloncat kearahnya sambil mencabut pedang

dari sarung segera dia melancarkan satu serangan dahsyat ke

depan.

Cian Pit Yuan tertawa terbahak-bahak, tubuhnya sedikit miring ke

samping segera terhindarlah dari tusukan dahsyat Shia Pek Tha ini

bersamaan pula kaki kanannya maju satu langkah ke depan dengan

tepat berhasil menghajar pundak Shia Pek Tha, membuat tubuhnya

tidak tahu lagi mundur beberapa langkah ke belakang dengan

sempojongan sambil tertawa keras ujarnya:

“Minggir sedikit, kau masih terlalu jauh untuk lawan aku”

Shia Pek Tha merupakan salah satu pendekar pedang merah

yang tertua di dalam Benteng Pek Kiam Po ini, julukannya Satu kali

tusukan menembus ulu hati, sudah sangat terkenal di dalam dunia

kangouw, kini satu tusukannya bukan saja berhasil digagalkan oleh

Cian Pit Yuan bahkan tubuhnya sendiri berhasil pula dipukul oleh

Cian Pit Yuan hingga mundur sempojongan, hal ini merupakan suatu

kejadian yang jauh diluar dugaan.

Dengan perkataan lain, hal ini membuktikan kalau kepandaian

silat dari si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan ini sudah

berhasil dilatih hingga mencapai pada taraf kesempurnaan.

Wi Ci To yang melihat kejadian itu segera sadar kalau Shia Pek

Tha bukanlah musuh dari Cian Pit Yuan itu, jika pertempuran ini

diteruskan tidak lebih juga bikin malu saja segera bentaknya dengan

keras: “Pek Tha, kau mundur!”

Tetapi Shia Pek Tha sama sekali tidak mau ambil perduli

bentakannya itu, sambil membentak keras sekali lagi dia

menyambarkan pedangnya ke depan, pedangnya diputar hingga

mirip naga yang sedang menari di dalam sekejap mata saja dia

sudah berhasil melancarkan empat jurus serangan sekaligus dengan

gerakan menusuk, membabat, membacok serta menyambar.

Keempat jurus serangan ilmu pedang ini walau pun dilakukan

dengan sedikit perbedaan waktu tetapi waktu dilancarkan keluar

mirip sekali dengan empat buah serangan dilancarkan sekaligus

disekeliling tubuh Cian Pit Yuan itu.

Tetapi sebaliknya Cian Pit Yuan sama sekali tidak mencabut

keluar pedangnya, tubuhnya masih tetap berada ditempat semula

hanya saja kakinya dengan sangat ringannya bagaikan mengalirnya

mega di angkasa, tubuhnya dengan sangat lincah berhasil

menghindarkan diri dari seluruh serangan itu, pada saat serangan

yang keempat baru saja dilancarkan terlihatlah telapak tangannya

sedikit miring dengan sangat hebat dia berhasil menghajar perut

Shia Pek Tha.

Waktu melancarkan serangan itu sama sekali tidak dilakukan

dengan cepat, hanya kecepatan serta kejituan serangannya itu

membuat Shia Pek Tha tidak berhasil menghindarkan diri lagi dari

serangan itu.

Bagaikan sebuah tiang besar tubuh Shia Pek Tha dengan

mengeluarkan dengusan berat rubuh ke atas tanah dengan

kerasnya.

Seluruh hadirin ditempat itu begitu melihat hanya di dalam satu

gerakan saja Cian Pit Yuan berhasil memukul rubuh Shia Pek Tha

tidak terasa pada melototkan matanya lebar-lebar sedang air

mukanya berubah dengan sangat hebatnya.

Dalam hati Wi Ci To sadar kalau dia harus secepat mungkin turun

tangan sendiri, tetapi baru saja dia hendak maju ke depan, Ti Then

yang berada di sampingnyajauh lebih cepat satu tindak dari dirinya,

terlihat tubuh Ti Then sedikit berkelebat dia sudah berada di

hadapan Cian Pit Yuan.

Sebenarnya Huang Puh Kian Pek terus menerus bersiap diri untuk

menguasai Ti Then, tetapi gerakan dari Ti Then jauh lebih cepat

daripada apa yang dipikirkan, hampir-hampir boleh dikata sesaat

tubuh Ti Then sudah berada satu kaki dari tempat semula dia baru

turun tangan berusaha mencegah kepergian Ti Then itu, tetapi

gerakannya ini sudah tentu tidak mencapai pada sasarannya tidak

terasa air mukanya berubah menjadi merah padam, bentaknya: “Ti

Then, kamu mau berbuat apa?”

Ti Then sudah menjongkokkan diri di samping tubuh Shia Pek

Tha, terlihatlah dari samping mulutnya darah segar masih menetes

keluar dengan derasnya sedang keadaannya pun berada di dalam

keadaan tidak sadarkan diri, segera dia angkat kepala sambil

ujarnya:

“Saudara itu cepat kemari membimbing Shia toako ke samping!”

Seorang pendekar pedang putih yang berada didekatnya segera

maju ke depan dan membopong tubuh Shia Pek Tha yang tidak

sadarkan diri itu ke samping tubuh Wi Ci To.

Setelah itu barulah dengan perlahan Ti Then bangkit berdiri dan

memandang tajam kearah Cian Pit Yuan, ujarnya sambil tertawa

dingin:

“Gerak-gerikmu sungguh tidak jelek hanya bilamana dengan

mengandalkan kepandaian ini saja sudah berani mengacau benteng

Pek Kiam Po ini mungkin tidak begitu mudah”

Tadi Cian Pit Yuan sudah melihat dengan jelas kalau gerakan

tubuhnya sangat cepat sekali, dalam hatinya tidak urung merasa

terkejut juga kini tidak terasa lagi dia lebih memperhatikan

beberapa kejap kearahnya, dengan pandangan yang sangat tajam

dengan sangat teliti dia mulai memeriksa Ti Then dari atas kepala

hingga ujung kakinya, kemudian barulah katanya:

“Siapa kau?”

“Hemm..hmmm..orang yang ada di dalam kalangan ini kecuali

saudara seorang lainnya merupakan orang-orang dari benteng Pek

Kiam Po”

“Ha ha ha…ooh..begitu?” ujar Cian Pit Yuan sambil tertawa

terbahak-bahak, “Lohu pernah dengar di dalam benteng Pek Kiam

Po terdapat pendekar pedang merah, putih serta hitam, hey bangsat

cilik kamu termasuk dari tingkatan yang mana?”

“Pendekar pedang hitam” sahut Ti Then singkat.

Cian Pit Yuan yang mendengar perkataan ini tidak tertahan lagi

mengerutkan alisnya kencang-kencang, ujarnya dengan kurang

percaya:

“Pendekar pedang hitam? Kalau begitu cepat menggelinding dari

sini, kalau tidak hemmm..hmmm jangan salahkan lohu turun tangan

kejam lagi terhadap dirimu”

“Sekali pun aku hanya seorang pendekar pedang hitam tetapi

dalam hati aku masih punya pegangan untuk membereskan orang

semacam kamu”

Cian Pit Yuan begitu mendengar perkataan itu segera menjadi

gusar, sambil angkat kepala serunya dengan keras:

“Hey orang she Wi, kamu orang apa mau lihat pendekar pedang

hitammu yang ini juga kehilangan nyawa?”

Begitu Wi Ci To melihat sikap dari Ti Then terhadap pihak

lawannya segera tahulah dia bahwa Ti Then tidak mungkin

merupakan anak muridnya, tetapi untuk membuktikan kalau Ti Then

sama sekali tidak punya hubungan dengan pihak lawan di dalam

hatinya segera timbul keinginan untuk melihat masing-masing pihak

saling bergebrak dulu, maka sambil tertawa keras ujarnya:

“Cian-heng, kalau memangnya kamu orang tahu kalau di dalam

bentengku ini terdapat pendekar pedang hitam, putih serta merah,

apa mungkin kamu orang tidak tahu kalau di dalam benteng kami ini

berlaku juga satu peraturan?”

Cian Pit Yuan menjadi tertegun, tanyanya:

“Peraturan apa?”

“Setiap orang yang masuk ke dalam benteng ini bilamana hendak

bertempur lawan lohu maka terlebih dahulu harus melewati tiga

rintangan, memukul rubuh pendekar pedang hitam terlebih dahulu

kemudian melewati rintangan pendekar pedang putih, merah baru

kemudian bergebrak sendiri dengan lohu”

“Hemm..hmmm..” ujar Cian Pit Yuan sambil tertawa dingin, “Tapi

seorang pendekar pedang hitammu sudah aku bunuh”

“Lohu tidak melihat dengan mata kepala sendiri siatuasi pada

saat itu, mungkin juga kamu bunuh dia dengan siasat licin?”

Cian Pit Yuan menjadi sangat gusar, sahutnya kemudian:

“Baiklah pendekar pedang hitam itu boleh tidak dihitung tetapi

yang baru saja ini?”

“Dia bukan orang yang lohu tunjuk sudah tentu tidak bisa

dihitung”

Cian Pit Yuan semakin gusar lagi, sambil menuding kearah Ti

Then ujarnya sambil tertawa dingin:

“Kini dengan resmi kamu tunjuk pendekar pedang hitam ini untuk

bergebrak lawan aku orang she Cian?”

“Tidak salah!” sahut Wi Ci To sambil mengangguk.

“Aku orang she Cian kalau tidak turun tangan masih tidak

mengapa, tapi begitu turun tangan maka pasti akan bunuh orang,

apa kau tega melihat anak muridmu terbunuh oleh aku orang she

Cian?”

“Ha ha ha…sebaliknya lohu malah yang mau beri nasehat

padamu lebih baik sedikit berhati-hati, mungkin yang binasa adalah

kamu orang sendiri”

Cian Pit Yuan mendengus dengan dinginnya, dia tidak mau ambil

bicara lebih banyak lagi, sambil menoleh kearah Ti Then ujarnya:

“Hey bangsat cilik, ajoh mulai turun tangan!”

“Tidak bisa..tidak bisa” ujar Ti Then, “Kamu orang adalah pihak

yang menjerbu ke dalam benteng kami ini sudah seharusnya kamu

orang yang turun tangan terlebih dulu”

Cian Pit Yuan tidak bisa menahan hawa amarahnya lagi,

bentaknya:

“Bangsat cilik, orok busuk..kamu orang berani mengejek di depan

mata lohu”

Sambil berkata tangannya dengan sangat dahsyat menghajar

dada pihak musuhnya.

Dia tetap tidak siap sedia menggunakan pedangnya, hal ini

dikarenakan dia sama sekali tidak percaya kalau seorang pendekar

pedang hitam semacam Ti Then ini bisa mengalahkan dirinya.

Padahal Ti Then sendiri juga tak punya pegangan yang teguh

untuk memperoleh kemenangan ini tetapi kini dengan nyalinya yang

besar dia ingin mencoba bergebrak dengan seorang musuh yang

tangguh ini, dia tidak takut kalau sampai dikalahkan bahkan dalam

hatinya dia mengharapkan kalau dirinya bisa dikalahkan, sehingga

dengan demikian dia bisa membatalkan perjanyiannya dengan

Majikan patung emas itu, karena dia sudah berjanyi dengan Majikan

patung emas asalkan di dalam Bu-lim dia bisa menemui seorang

yang bisa mengalahkan dirinya atau bertempur seimbang dengan

dirinya maka segera dia akan memperoleh kebebasan kembali.

Maka itulah dia sangat mengharapkan bisa dikalahkan oleh pihak

lawannya yang tangguh ini, tetapi dia tidak berani mengalah secara

sengaja oleh karena itulah begitu melihat Cian Pit Yuan melancarkan

serangan dahsyat kearah dadanya dengan cepat dia menyambut

serangan itu dengan telapaknya juga.

“Plak..!” sepasang telapak tangannya masing-masing bertemu

menjadi satu terlihatlah tubuh Ti Then mundur satu langkah ke

belakang.

Cian Pit Yuan begitu melihat Ti Then hanya berhasil dipukul

mundur satu langkah saja tidak terasa air mukanya berubah sangat

hebat, sambil tertawa aneh ujarnya:

“Hemmm..hmmmm punya simpanan juga, coba terima satu

seranganku ini lagi”

Suaranya baru keluar dari mulut, telapak tangannya sudah

menyambar datang. Dengan menggunakan jurus Co Yuan Hoa Su,

telapak tangannya dengan dahsyat menghajar perut dari Ti Then.

Ti Then tidak mau adu keras lawan keras lagi, tubuhnya sedikit

miring ke samping dengan menggunakan jurus ‘Pek Hok Liang Ci

atau bangau putih mementangkan sajap tubuhnya dari bawah ke

atas balas mengancam bahu pihak lawan.

Cian Pit Yuan tertawa dingin, telapak tangannya segera berubah

jurus, tubuhnya memutar ke sebelah kanan dengan menggunakan

jurus ‘Ji Lang Tan San auat Ji Lan memikul pakaian, balas

menjerang jakan darah Thay yang hiat, dikening sebelah kiri dari Ti

Then.

Kedua orang itu saling serang menjerang dengan kecepatan

bagaikan kilat, di dalam sekejap saja puluhan jurus sudah berlalu

tetapi masing-masing tetap seimbang tanpa ada yang berhasil

merebut di atas angin.

Dengan keadaannya seperti ini lama kelamaan hati Cian Pit Yuan

menjadi sedikit gugup dan bingung.

Pada dua puluh tahun yang lalu dia dikalahkan di bawah

serangan pedang Wi Ci To dengan menahan perasaan malu segera

hilang dari dunia kangouw untuk berlatih dengan giat ditengah

pegunungan yang sunyi, kini sesudah berhasil melatih ilmunya di

dalam hati menganggap dengan mudah mungkin dia berhasil

mengalahkan Wi Ci To sehingga terbalas dendam sakit hati

terpapasnya telinga sebelah kanannya itu, siapa tahu pada

pertempuran pertamanya secara resmi dia sudah berhadapan

dengan seorang ‘Pendekar Pedang Hitam’ yang sukar untuk

ditundukkan, hanya cukup seorang Pendekar pedang hitam saja

sudah demikian lihaynya hal ini membuktikan kalau Wi Ci To yang

sekarang jauh lebih lihay daripada Wi Ci To dua puluh tahun yang

lalu.

Semakin bertempur hatinya semakin terperanyat sehingga di

dalam keadaan yang tidak tenang itu membuat seluruh jurus

serangan yang dilancarkan semakin tidak karuan, karena itulah

sesudah lewat lima enam puluh jurus lagi lama kelamaan dia sudah

terdesak hingga berada di bawah angin.

Dalam hati Ti Then juga tidak menginginkan dia terkalahkan

dengan sangat cepat karena itulah bentaknya dengan keras:

“Pusatkan seluruh perhatian untuk bertempur, kalau tidak segera

kamu akan dikalahkan”

Cian Pit Yuan menjadi sangat terkejut segera dia pusatkan

seluruh perhatiannya untuk menghadapi musuh, tenaga murninya

diatur sehingga lancar dengan demikian dia berhasil juga

menyambut setiap serangan musuh yang sangat genting itu.

Kedua orang itu semakin bertempur semakin cepat hingga

akhirnya semua hadirin hanya melihat sekumpulan bajangan

manusia yang sebentar naik sebentar turun kemudian terdengar

pula suara menyambarnya angin pukulan yang sangat dahsyat.

Siapa pun tidak bisa melihat dengan jelas yang mana Ti Then dan

mana pula Cian Pit Yuan sendiri.

Sesudah bertempur kurang lebih empat jurus lagi tiba-tiba:

“Plok..” terlihatlah bajangan manusia itu berpisah dan masingmasing

mengundurkan diri beberapa langkah ke belakang.

Air muka dari Cian Pit Yuan berubah menjadi hijau membesi,

tangan kirinya di balik terdengar suara pekikan naga pada

tangannya sudah bertambah dengan sebilah pedang panjang yang

sangat tajam dan memancarkan sinar kebiru-biruan, bentaknya

dengan keras:

“Bangsat cilik, cepat ambil pedangmu, Lohu akan mencoba juga

kepandaianmu di dalam permainan pedang, bila kau berhasil

menyambut seratus jurus serangan lohu ini maka sejak ini hari lohu

akan mengundurkan diri dari Bu-lim selamanya tidak akan

mendatangi benteng Pek Kiam Po ini untuk menuntut balas”

“Bagus..bagus sekali” sahut Ti Then sambil tersenjum, “Hanya

saja kamu orang sudah bunuh satu saudara kami maka sebelum kau

meninggalkan tempat ini maka telinga sebelah kirimu harus

ditinggalkan juga”

Saking gusarnya air muka Cian Pit Yuan yang sudah berubah

menjadi hijau membesi semakin jelek lagi, teraknya dengan keras:

“Bangsat cilik..bangsat cecunguk anying, mungkin kamu orang

sudah bosan hidup..cepat ambil pedangmu”

Kiranya pada dua puluh tahun yang lalu Cian Pit Yuan sekali pun

jadi orang sangat aneh tetapi suka kebagusan, sesudah telinga

sebelah kanannya terluka oleh pedang Wi Ci To karena perasaan

malunya inilah segera dia angkat sumpah untuk membalas dendam

sakit hati itu, kini dia dengar Ti Then mau menabas telinga sebelah

kirinya juga tidak terasa menjadi sangat gusar sekali.

Tiba-tiba terdengar Wi Ci To tertawa terbahak-bahak ujarnya:

“Cian-heng, bagaimana kalau ganti baju dulu baru menlanjutkan

pertempuran ini?”

Air muka dari Cian Pit Yuan segera berubah menjadi merah

padam, ujarnya dengan gusar:

“Hey orang she Wi menang kalah masih belum ditentukan jangan

keburu girang dulu!”

Semua orang yang hadir ditempat itu sesudah mendengar

perkataan dari Wi Ci To ini barulah memperhatikan keadaan dari

Cian Pit Yuan, terlihatlah pakaian bagian dadanya sudah sobek

beberapa bagian hal ini memperlihatkan kalau pertempuran yang

baru saja selesai ini dia sudah terkalahkan, tidak aneh kalau dia

minta berganti dengan pertempuran pedang.

Ti Then ketika melihat seluruh sinar mata dari orang-orang yang

ada disekitar tempat itu memandang kearahnya dengan perasaan

kagum tidak terasa hatinya merasa sangat bangga, ujarnya sambil

tertawa tawar:

“Saudara mana yang mau meminyamkan pedangnya untuk

siauwte gunakan?”

Sebilah pedang panjang segera dilemparkan kearahnya.

Ti Then sesudah berhasil menyambut pedang itu dilihatnya

sebentar seluruh tubuhnya kemudian barulah ujarnya kepada Cian

Pit Yuan sambil tertawa:

“Mari, silahkan mulai melancarkan serangan”

Perasaan gusar yang menghiasi wajah Cian Pit Yuan dengan

mendadak lenyap tanpa bekas sedang sikapnya pun segera

berubah menjadi sangat serius. Pedangnya dilintangkan disepan

dada sepasang matanya memandang mendatar ke depan agaknya

seluruh perhatiannya sedang dipusatkan pada ujung pedangnya,

sehingga kelihatan sekali sikapnya yang gagah tidak malu disebut

sebagai seorang jago nomor wahid.

Wi Ci To yang melihat keadaannya itu menganggukkan kepalanya

dengan perlahan, kepada Huang Puh Kian Pek yang berada disisinya

ujarnya dengan perlahan:

“Kamu lihat bagaimana?”

“Tidak jelek” sahut Huang Puh Kian Pek dengan perlahan juga,

“Orang ini sudah melumerkan tiga kekuatan luar menjadi satu

kekuatan dahsyat, agaknya latihannya sudah mencapai pada

tingkatan yang keenam dari puncak kesempurnaan”

Wi Ci To menghela napas perlahan, ujarnya:

“Heei..bila ini hari bukannya Ti Then yang turun tangan mungkin

kerugian dan penderitaan yang akan dialami benteng ini akan jauh

lebih berat lagi”

Huang Puh Kian Pek mengangguk dengan perlahan dan tidak

ambil bicara lagi, karena saat ini Ti Then serta Cian Pit Yuan yang

sedang bertempur ditengah kalangan sudah mencapai pada situasi

yang sangat tegang dan seru, jika dibicarakan terhadap mereka

boleh dikata pertempuran kali ini merupakan suatu pertempuran

yang paling sengit yang tidak mungkin tidak dilihat.

Ti Then serta Cian Pit Yuan yang saling berhadap-hadapan

dengan perlahan mulai menggeserkan diri ketengah kalangan, suatu

suasana pertempuran yang sangat seru dan sengit membuat

pernapasan setiap hadirin terasa sangat sesak.

Sesudah melewati suatu pertempuran-sunyi-yang cukup seru dan

menegangkan, pertama-pertama Cian Pit Yuan lah yang mulai

bergerak maju, terdengar dia membentak keras tubuhnya bersama

pedang panjangnya bagaikan kilat cepatnya menubruk kearah Ti

Then.

Terlihat sinar pedang berkelebat beberapa kali, di dalam sekejap

mata dia sudah melancarkan tujuh kali serangan gencar kearah

seluruh tubuh Ti Then.

“Criing..criiing…criing….criiing..!”

Pedang panjang Ti Then dengan lincahnya bergerak dan menari

ditengah bajangan serangan pedang dari Cian Pit Yuan itu, dengan

sangat mudahnya dia berhasil mematahkan ketujuh buah serangan

dahsyat itu, pedang panjangnya menjadi semakin kencang bersamasama

dengan angin sambaran yang sangat tajam dia balas

menjerang tujuh buah serangan dahsyat kearah tubuh Cian Pit

Yuan.

Cian Pit Yuan dengan cepat mematahkan setiap serangan itu

kemudian masing-masing meloncot mundur ke belakang sekali lagi

dengan saling pandang kearah pihak lawan mereka mulai bergeser

mengelilingi kalangan pertempuran.

Kali ini Ti Then melancarkan serangannya terlebih dahulu, dia

bersuit dengan nyaringnya, pedang panjangnya diputar sedemikian

rupa sehingga terlihat bunga pedang berterabngan memenuhi

angkasa sedang tubuhnya terus menerjang ke depan hingga

mencapai di depan tubuh pihak musuh.

Pedangnya digetarkan sehingga bunga-bunga pedang memancar

kearah wajah wjah si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan itu

sedang ujung pedangnya sendiri menabas kearah pinggangnya.

Dengan cepat Cian Pit Yuan menggetarkan pedangnya

mematahkan serangan itu sedang tubuhnya dengan cepat mundur

dua langkah ke belakang baru bisa terhindar sama sekali dari

serangan Ti Then ini.

Begitu tubuhnya mundur dengan beraninya dia menerjang

kembali ke depan, kakinya dengan mantap setindak demi setindak

maju ke depan satu serangan, disusul dengan satu serangan yang

lain sehingga bagaikan terbangnya naga serta burung hong yang

sedang menari, mirip juga seperti mengamuknya hujan badai

melanda tengah samudra membuat Ti Then terpaksa mundur dua

langkah juga ke belakang.

Kedua orang itu sekali lagi menerjang ke depan, ditengah

berselimutnya bajangan pedang membuat tubuh kedua orang itu

sukar dibedakan, semua orang hanya merasakan pandangannya

menjadi kabur sukar dilihat jelas keadaan yang sesungguhnya,

mereka hanya sering mendengar benturan senyata tajam diselingi

dengan percikan bunga-bunga api, tidak tertahan lagi hati mereka

ikut berdebar-debar.

Seluruh lapangan latihan silat itu berubah menjadi sunyi senyap,

selain suara desiran serta menyambarnya angin serangan yang

tajam ditimpah dengan hiruk pikuk dari meja-meja perjamuan yang

terbentur sama sekali tidak terdengar suara lainnya lagi setiap orang

dengan pandangan yang melongo memandang pertempuran

pedang yang sangat seru dan menegangkan itu.

Diam-Diam Wi Lian In menyawil ujung baju dari Hong Mong Ling,

ujarnya setengah berbisik:

“Kini kamu tidak cemburu dan iri lagi bukan terhadap dia?”

Air muka dari Hong Mong Ling segera berubah menjadi merah

padam, dengan setengah tertegun tanyanya:

“Iri terhadap siapa?”

Wi Lian In segera mencibirkan bibirnya, ujarnya:

“Hmmm kamu orang jangan pura-pura lagi di hadapanku”

Hong Mong Ling menjadi bingung dan gugup ujarnya:

“In moay kamu bagaimana bisa bicara begini? Aku mana

mungkin iri terhadapnya, kepandaian silatnya begitu tinggi asalkan

kita mau berlatih dengan rajin di bawah bimbingannya maka aku..”

“Tidak usah bicara lagi” potong Wi Lian In sambil tertawa merdu,

“Aku hanya ingin meminyam kesempatan ini beri nasehat

kepadamu, kepandaian silatnya jangan dikata kita tidak akan

sanggup menangkan dia sekali pun ajahku sendiri juga mungkin

bukan tandingannya, sejak ini hari kau harus berlatih sungguhsungguh

di bawah bimbingannya, jangan lagi mengorek dan

menyakiti hatinya sehingga dia tidak betah hidup di dalam benteng

kita”

Hong Mong Ling sengaja memperlihatkan perasaan bingungnya,

tanyanya:

“Bagaimana aku bisa menyakiti hatinya sehingga memaksa dia

meninggalkan benteng kita ini?”

“Kamu orang jangan terlalu pandang rendah aku, aku juga bukan

seorang anak kecil berusia tiga tahun, tadi pagi dengan sengaja kau

berikan sebilah pedang yang supah putus kepadanya, aku melihat

hal ini dengan sangat jelas sekali”

Air muka dari Hong Mong Ling sekali lagi berubah menjadi merah

padam ujarnya:

“In-moay makin bicara kau makin tidak karuan, pedang itu

diputuskan oleh Ki suko bagaimana bisa dihubungkan dengan aku?”

“Hmm..kau lihat ajahku sangat pandang dia sehingga dalam hati

merasa tidak puas, tentang hal ini aku sendiri juga paham maka aku

mau memaafkan dirimu, tetapi bilamana kau mendesak terus janagn

salahkan aku kalau tidak mau perduli kau lagi”

Hong Mong Ling melihat Wi Lian Ini dibuat marah olehnya segera

ujarnya dengan gugup:

“Kau anggap pedang itu aku yang patahkan terlebih dahulu?”

“Apa bukan begitu?”

Sengaja Hong Mong Ling memeprlihatkan perasaan tidak

puasnya, ujarnya lagi:

“Coba kau pikirkan, aku juga tidak punya kepandaian untuk

menduga hal-hal yang akan datang bagaimana bisa tahu kalau

ajahmu akan pinyam pedang dariku untuk dia gunakan? Dan

dengan sengaja aku rusak pedangnya terlebih dahulu?”

“Hemmm..sejak sebelumnya kamu sudah menduga kalau ajahku

tentu akan pinyam pedang darimu”

“Heei..” ujar Hong Mong Ling sambil menghela napas panjang,

“Kalau kamu berpikir begitu aku juga tidak bisa berbuat apa-apa

lagi”

Agaknya Wi Lian In sedikit menjadi gusar karena sikapnya yang

ketus itu, sambil memandang tajam kearah wajahnya katanya lagi:

“Jika didengar omonganmu, agaknya kamu tidak puas dengan

aku?”

“Aku tidak punya perasaan begitu, aku hanya takut kamu salah

paham terhadap omonganmu”

Wi Lian In segera tertawa dingin, ujarnya:

“Omong yang sejujurnya urusan pagi ini sekali pun ajahku juga

dapat melihat dengan jelas, sebetulnya dia punya niat untuk maki

kamu hanya karena permintaanku untuk memaafkan kesalahanmu

ini sehingga dia tidak jadi, hemmm kini jika kamu masih begitu…”

Mendadak suatu jeritan ngeri yang sangat aneh sekali

berkumandang ditengah lapangan dengan kerasnya memotong

pembicaraan selanjutnya dari Wi Lian Ini itu.

Si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan sudah dikalahkan?

Pada saat pertempurannya dengan Ti Then mencapai pada jurus

yang kesembilan puluh mendadak dia bersuit keras tubuhnya

dengan cepat mengundurkan diri beberpa kaki jauhnya dari tempat

semula kemudian disusul dengan putar tubuh ujung kakinya

menutul permukaan tanah dan melayang pergi dari situ, terlihatlah

bagaikan segulung asap hitam dengan kecepatan yang luar biasa

dia melarikan diri keluar dari Benteng Pek Kiam Po.

Di dalam sekejap mata saja dia sudah melenyapkan dirinya tanpa

bekas.

Seluruh pendekar pedang yang ada ditengah kalangan itu dibuat

tertegun oleh kejadian ini, mereka semua tahu kalau Cian Pit Yuan

dudah dikalahkan tetapi tidak paham dengan cara bagaimana dia

bisa menderita kekalahannya itu.

Jilid 5.2. Kecurigaan Wi Lian In

Pedang panjang dari Ti Then ditunjukkan ke bawah, sesudah

berdiri termenung beberapa waktu lamanya barulah dengan

menggunakan ujung pedangnya menusuk sebuah telinga yang

penuh dibasahi oleh darah segar.

Ternyata dia memapas juga telinga sebelah kiri dari Cian Pit

Yuan. Seluruh pendekar pedang yang hadir di sana sesudah melihat

hal itu barulah meletus sorak sorai yang sangat keras, bahkan tidak

sedikit diantara mereka yang meloncat-loncat dan menari saking

girangnya.

Kepandaian silat dari Ti Then membuat mereka menjadi mabok,

membuat mereka menjadi terpesona dan kagum.

Ditengah suara sorak sorai serta teriakan memuji itulah dengan

setengah berbisik ujar Huang Puh Kian Pek kepada diri Wi Ci To:

“Jika melihat keadaan ini agaknya dugaan kita sama sekali meleset”

“Siapa bilang tidak, sejak sekarang juga kita tidak boleh

bertindak gegabah sehingga membuat dia merasa curiga terhadap

kita”

“Tidak” ujar Huang Puh Kian Pek, “Dengan pedangnya dia

melukai Cian Pit Yuan hal ini hanya bisa membuktikan kalau dia

bukan murid dari Cian Pit Yuan, sedangkan mengenai dia musuh

dari Benteng kami ataukah kawan dari Benteng kami kita masih

membutuhkan waktu untuk membuktikannya.”

Wi Ci To yang mendengar perkataan itu dalam hatinya merasa

sedikit tidak puas, ujarnya:

“Bilamana di dalam hatinya punya niat busuk terhadap Benteng

kita, dengan mengandalkan kepandaian silat yang dimilikinya

sekarang ini kenapa dia harus berbuat demikian, dengan terangterangan

bukankah masih sanggup?”

Dia berhenti sejenak kemudian sambungnya lagi:

“Sekarang persoalan yang terpenting adalah dengan cara

bagaimana membuat dia mau tinggal di dalam Benteng kita ini

untuk selamanya”

“He he he he…” sahut Huang Puh Kian Pek sambil tertawa

ringan, “Siauwte punya satu siasat yang bagus yang akan memaksa

dia berdiam di benteng kita untuk selamanya, hanya mungkin

suheng tidak akan menjetujuinya”

Wi Ci To segera memandang tajam wajahnya, lewat beberapa

saat kemudian barulah sahutnya: “Coba kau utarakan”

“Ha ha haha..jodohkan saja In-ji kepadanya!” sahut Huan Puh

Kian Pek dengan nada setengah gujon.

Wi Ci To menjadi tertegun, kemudian termangu-mangu lama

kemudian barulah ujarnya sambil tertawa paksa:

“Sute, kamu sedang omong gujon? Ie-suheng mu sudah

menjodohkan In-ji kepada Hong Mong Ling bagaimana kini bisa

membatalkan perjodohan itu untuk berbalik dijodohkan kepadanya?”

Sambil berkata dengan langkah yang lebar dia berjalan menuju

kearah Ti Then yang saat ini sedang dike pung oleh pendekar

pedang ditengah-tengah kalangan.

“Malam ini dengan keadaan mabok Ti-Kiauwtauw berhasil

memukul rubuh pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan, jika

berita ini sampai tersiar di dalam dunia kangouw agaknya tidak akan

ada orang yang mau percaya”

“Boanpwe tidak sanggup menawan dia sebenarnya dalam hati

sedang merasa kecewa” ujar Ti Then sambil tersenjum.

“Ha ha ha ha..hanya ini saja sudah sangat cukup, waktu itu

sesudah lohu melukai satu telinganya membuat dia harus

bersembunyi ditengah gunung selama dua puluh tahu lamanya

tanpa berani bertemu dengan seorang manusia pun ini malam Ti

Kiauwtauw berhasil melukai telinga lainnya mungkin selama

hidupnya ini tidak punya muka untuk berkelana di dalam Bu-lim

lagi”

“Heei..” ujar Ti Then sambil menghela napas, “Jika dia tidak

bunuh seorang saudara kita terlebih dahulu, boanpwe juga tidak

punya niat untuk melukai dia”

Berbicara sampai di sini segera tanyanya lagi:

“Bagaimana dengan luka dari Shia toako?”

“Heei..luka dalamnya agak parah tetapi tidak ada bahaja

terhadap nyawanya, Lohu sudah kirim orang menghantar dia pulang

kekamar untuk berobat”

“Mari pergi. Kita lihat-lihat bagaimana keadaan lukanya” kata Ti

Then.

Hari kedua karena pertempurannya melawan Cian Pit Yuan

membuat luka di pinggang Ti The kambuh kembali, sehingga dia

tidak pergi ke lapangan latihan silat untuk memberi pelajaran silat

kepada ke sepuluh orang pendekar pedang merah itu, dengan

langkah yang perlahan menuju kamar Shia Pek Tha untuk

menjenguk keadaan lukanya kemudian kembali kekamar untuk

beristirahat.

Siang harinya, terlihatlah Hong Mong Ling menuju kekamarnya

untuk menjenguk keadaan luka dari Ti Then, ujarnya:

“Ti Kiauwtauw, bagaimana dengan luka di pinggangmu? Baikan

bukan?”

“Oooh..terima kasih atas perhatianmu, sedikit baikan”

“Siauwte menerima perintah dari suhu untuk datang menemani

Ti Kiauwtauw bilamana Ti Kiauwtauw punya niat berpesiar ke atas

gunung siauwte akan bertindak sebagai petunjuk jalan”

“Heei…” ujar Ti Then, “Luka di pinggang siauwte masih belum

sembuh, untuk berpesiar ke puncak Selaksa Budha atau puncak

emas rasanya tidak begitu leluasa biarlah lain hari saja”

“Tapi di atas gunung ada sebuah tempat yang mem punyai

pemandangan alam yang sangat indah sekali bahkan tidak perlu

mengeluarkan tenaga untuk mendakinya, lebih baik kita pesiar ke

sana saja”

“Ooh melihat pemandangan desa?” tanya Ti Then lagi.

“Tidak, sumber air sembilan naga”

Ti Then berpikir sebentar kemudian barulah sahutnya sambil

mengangguk:

“Baiklah, biar bagaimana pun kita juga sedang nganggur, jauh

lebih baik untuk jalan-jalan”

Sehingga kedua orang itu sesudah membereskan pakaiannya dan

meminta ijin dari Wi Ci To segera bersama-sama keluar dari dalam

Benteng Pek Kiam Po itu.

Gunung Go bi san ini merupakan pusat agama Budha yang

umum sehingga kuil-kuil yang didirikan di atas gunung sangat

banyak jumlahnya, kedua orang itu sesudah melewati kuil Lian Hoa

Si, Hoa Jen Si, Tiang Lo Ji Koan Sim Si dan terakhir sampailah pada

kuil yang terbesar jaitu Ban Nian Si.

Kuil selaksa tahun ini didirikan pada jaman Kim. Hwesio Tong Hwi

Tong pernah bertapa ditempat ini juga, ruangan di dalam kuil boleh

dikata dibagi menjadi tujuh ruangan besar misalnya Loteng Thay Oh

Lu, ruangan Kun Lo Tien, ruangan Khiet Hud Tien, ruangan Thian

Ong Cee, ruangan Kim Kong Tien, ruangan Thay Auh Tien serta

yang terakhir Coan Tien.

Bangunan dari ruangan Coan Tien itu sangat aneh sekali, bagian

atas dari bangunan itu berbentuk persegi panjang sedang bagian

bawahnya berbentuk bulat sehingga bentuknya mirip dengan paku

terbalik seluruh bangunan terbuat dari bata merah tanpa

menggunakan sebuah tiang pun, bagian depan mau pun bagian

belakang terdapat pintu yang tingginya kurang lebih tiga kaki hingga

mirip dengan pintu kota, di dalam ruangan terletakkan patungpatung

Budha yang terbuat dari tembaga setinggi satu kaki lebih

lima enam lebarnya tujuh depa, keadaannya sangat angker dan

gagah bahkan bentuk ukirannya pun sangat indah membuat setiap

orang yang melihat tidak tertahan pada menghela napas panjang.

Ti Then sesudah melihat-lihat kuil itu dan minum the di dalam

kuil barulah bersama-sama Hong Mong Ling keluar dari kuil untuk

meneruskan perjalanan ke depan.

Sesudah melewati kuil Hay Hwe Si, Ie Ong Si, Khie Lok Si, Kiam

Liong Si, Be Sian Kang serta jembatan Cing Hong Beng Gwat Ciauw

sampailah mereka di selat Liong Bun.

Di samping sebuah telaga terdapatlah suatu tebing yang terjal,

air bening dengan derasnya memancar keluar dari bagian di atas

menrjang ke bawah sehingga terbentuklah sebuah air terjun yang

sangat indah sekali, di samping air terjun berdirilah berpuluh-puluh

gua kecil yang mirip sekali dengan gua naga, air yang terjun dari

atas dengan mengeluarkan suara yang gemuruh memancarkan

percikan air keempat penjuru, inilah yang disebut sebagai sumber

air Kiu Liong dan merupakan satu pemandangan aneh yang terdapat

di atas gunung Go bi san ini.

Ti Then yang melihat pemandangan di tempat itu tidak terasa

hatinya menjadi mabok dan terpesona oleh keindahan tempat

tersebut, tidak terasa pujinya:

“Orang-orang bilang selat serta sumber air yang paling bagus

dan paling aneh diseluruh dunia boleh dikata Liong Bun di atas

gunung Go-bi san ini merupakan yang pertama, ternyata berita itu

sedikit pun tidak salah, pemandangan di situ sungguh indah sekali”

Hong Mong Ling yang dalam benaknya sedang memikirkan

urusan lain saat ini hanya berdiam diri saja tanpa mengucapkan

sepatah kata pun.

Ti Then yang melihat Hong Mong Ling lama sekali tidak

menyawab segera ujarnya sambil tertawa:

“Hong heng, kamu bilang betul tidak?”

“Ooo..benar ..benar” sahut Hong Mong Ling dengan gugup, “Ti

Kiauwtauw bilang..bilang..”

“Ha..ha..haa…aku bilang pemandangan dari sumebr air Liong

Bun ini sungguh indah sekali”

“Benar.benar..” sahut Hong Mong Ling termenung sambil

mengangguk.

Melihat sikapnya yang gugup sinar mata Ti Then segera

memandang kearahnya dengan sangat tajam, tanyanya:

“Hong heng kamu sedang pikirkan apa?”

Hong Mong Ling termenung sebentar kemudian barulah sahutnya

dengan perlahan:

“Aku sedang pikirkan urusan malam itu”

“Urusan kemarin malam?”

“Bukan, urusan pada malam yang lalu”

Sengaja Ti Then memperlihatkan sikapnya yang bingung dan

tidak paham terhadap perkataan ini, tanyanya lagi:

“Kenapa dengan malam yang lalu?”

Hong Mong Ling memandang sekejap kearahnya kemudian

memandang lagi kearah percikan air terjun itu, ujarnya:

“Malam yang lalu bilamana siauwte tahu kalau Lu Kongcu itu

adalah si pendekar baju hitam Ti Then yang punya nama sangat

terkenal di dalam Bu-lim sudah tentu tidak mungkin akan terjadi

urusan yang sangat tidak menjenangkan itu”

Dalam hati diam-diam Ti Then merasa sangat geli, tetapi pada air

mukanya sengaja memperlihatkan perasaannya yang sedang

tertegun, tanyanya:

“Hong-heng kamu sedang bicara apa?”

Hong Mong Ling menjadi sedikit gemas, sambil pukul batok

kepalanya sendiri ujarnya:

“Sudahlah, Ti Kiauwtauw-ku yang baik, siauwte sejak dulu sudah

mengenal kau adalah Lu Kongcu itu”

“Aku tidak mengerti kau sedang bicara apa?”

“Yang tidak mengerti seharusnya adalah aku” ujar Hong Mong

Ling sambil tertawa pahit, “Malam itu dengan gaja seorang kongcu

kaja yang suka pelesiran kau pergi ke sarang pelacur Toau Hoa

Yuan mencari Liuw Su Cen karena waktu itu siauwte tidak tahu

kalau kau adalah si pendekar baju hitam Ti Then, begitu dengar

perkataanmu yang sombong membuat perasaan gusar dalam hatiku

bergolak sehingga terjadilah bentrokan dengan kau, tetapi…kalau

memangnya di sarang pelacur Touw Hoa Yuan kau sudah menang

kenapa sampai sekarang kau masih begitu tidak puas terhadap

aku?”

“Hong-heng” ujar Ti Then sambil tersenjum, “Sebetulnya kau

sedang bicarakan apa?”

“Ti Kiauwtauw tidak perlu pura-pura bodoh, di sini tidak ada

orang lebih baik kita bicara dengan blak-blakan saja”

“Hong-heng sudah salah mengenal orang, siauwte pada malam

yang lalu tidak pernah pergi ke sarang pelacur Touw Hoa Yuan”

“Hemm..hemm..” Hong Mong Ling tertawa dingin tak hentihentinya,

ujarnya:

“Siauwte tidak akan membocorkan rahasia dari Ti Kiauwtauw,

kau legakan hati saja sekarang siauwte hanya ingin mengetahui

tujuan yang sebenarnya dari Ti Kiauwtauw”

“Heeeii Hong-heng” seru Ti Then sambil mengerutkan alisnya

rapat-rapat, sedang air mukanya mulai kelihatan berubah, “Semakin

bicara semakin tidak karuan, sebenarnya sudah terjadi urusan apa?

Bagaimana jika Hong-heng ceritakan dengan jelas urusan yang

sebenarnya mungkin siauwte akan bantu pikirkan”

Dengan pandangan yang gusar Hong Mong Ling memandang

beberapa saat lamanya kearahnya, kemudian ujarnya dengan

marah:

“Baiklah kau tidak mau bicara juga tidak mengapa, aku yang

akan bicara. Karena kau tahu aku sering pergi cari Liuw Su Cen

untuk bersenang-senang dan tahu juga kalau aku sudah dijodohkan

dengan nona Wi maka sengaja kau menanti di sarang pelacur Touw

Hoa Yuan untuk mencari setori dengan aku kemudian membawa

aku bersama Cang Bun Paiuw kembali ke Benteng. Hemmm dalam

anggapanmu dengan mencekal titik kelemahanku ini hendak

berusaha mencapai tujuan dari siasat licinmu, bukan begitu?”

Air muka dari Ti Then segera berubah menjadi sangat keren,

ujarnya sambil bangkit berdiri:

“Jalan, kita kembali ke dalam Benteng Pek Kiam Po”

“Mau apa?” tanya Hong Mong Ling berubah air mukanya.

“Laporkan seluruh kejadian ini kepada suhumu agar dia yang

pergi melakukan penjelidikan yang teliti, mari kita buktikan

bersama, Lu Kongcu yang kau temui di dalam sarang pelacur Touw

Hoa Yuan itu benar-benar tidak aku yang berbuat”

Seperti ajam jago yang kalah bertempur, dengan lemasnya Hong

Mong Ling menundukkan kepalanya rendah-rendah, ujarnya

kemudian:

“Dengan jelas kamu tahu kalau aku tidak akan berani

menceritakan keadaan yang sesungguhnya, buat apa kamu mau

menggunakan cara ini?”

“Hmm kau takut sesudah menceritakan kejadian ini lalu nona Wi

tidak mau dikawinkan dengan kau?”

Hong Mong Ling mengangguk dengan perlahan.

Ti Then tertawa dingin lagi, ujarnya:

“Tetapi kau sudah menganggap siauwte adalah Lu Kongcu itu,

urusan ini harus dilaporkan kepada suhumu agar urusan bisa

menjadi jelas kembali”

+++oo+++

Hong Mong Ling yang dikata begitu menjadi lemas, ujarnya

sambil menundukkan kepalanya rendah-rendah:

“Ini hari siauwte mengajak kau kemari semuanya bertujuan

untuk membicarakan urusan ini, aku ingin kau melepaskan aku kali

ini saja, kini kalau memangnya kau tidak mau mengakui

maka…maka..jaah..sudahlah!”

“Tidak bisa, urusan ini harus diselidiki sampai jelas”

Hong Mong Ling menjadi semakin gugup, ujarnya:

“Buat apa? Bilamana urusan ini sampai tersiar luas sekali pun

nama dan kedudukanku akan hancur akan tetapi kau sendiri juga

sama sekali tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa, bukan

begitu?”

“Aku tidak takut” sahut Ti Then tegas, “Sebetulnya aku

memangnya tidak punya niat untuk tetap tinggal di dalam Benteng

Pek Kiam Po kalian, apalagi aku sendiri juga bukanlah Lu Kongcu

yang kau maksudkan tadi, bilamana urusan ini sampai tersiar luas

malah membuat namaku pun menjadi bersih”

Berbicara sampai di sini, segera ujarnya lagi tegas:

“Ajoh jalan, kita pulang”

Air muka dari Hong Mong Ling berubah menjadi pucat pasi

bagaikan majat, sahutnya kemudian dengan gugup:

“Baik..baik..sudahlah..biarlah anggap siauwte sudah salah

menduga orang lain, di sini siauwte minta maaf terlebih dulu

bagaimana? Mau bukan?”

“Hmm..” dengus Ti Then dengan sangat dingin, “Aku mewakili

nona Wi merasa kecewa, tidak disangka kau Hong Mong Ling

ternyata seorang macam begitu”

Wajah Hong Mong Ling segera berubah menjadi merah padam

bagaikan kepiting rebus, sahutnya:

“Siauwte pergi ke sarang pelacur Touw Hoa Yuan cari hiburan,

sebetulnya hanya iseng saja, padahal di dalam hati siauwte hanya

terpikir Wi Lian In seorang saja”

“Liuw Su Cen itu apakah pelacur dari Touw Hoa Yuan?” potong Ti

Then.

“Benar”

“Aku lihat wajah dari nona Wi sangat cantik bagaikan sekuntum

bunga yang baru saja mekar, kalau kau sudah miliki dia buat apa

pergi luaran cari kesenangan lagi sehingga menjadi seorang calon

suami yang busuk?”

“Heei..” ujar Hong Mong Ling sambil menghela napas, “Tadi

siauwte sudah bilang kesemuanya ini hanya karena iseng saja”

“Hemm..cari kesenangan bersama dengan Cang Bun Piauw

seorang ahli di dalam main judi, minum, pelesiran serta

mengganggu ketentraman rakjat jelata”

“Persahabatan siauwte dengan Cang Bun Piauw boleh dikata

tidak terlalu rapat, kemarin malam ketika dia melihat siauwte minum

arak seorang diri di atas loteng kedai arak maka dia datang

mendekat untuk berkenalan dengan siauwte kemudia memaksa

siauwte untuk temani dia pergi kesarang pelacur Touw Hoa Yuan

untuk cari kesenangan, padahal..padahal di sana paling banyak

siauwte juga minum arak saja…tidak akan berbuat lebih jauh dari

itu”

“Akhirnya di dalam sarang pelacur Touw Hoa Yuan kalian

bertemu dengan Lu Kongcu itu?” potong Ti Then dengan cepat.

“Benar”

“Dia sedang ditemani Liuw Su Cen minum arak cari kesenangan?”

“Benar”

“Lalu kalian juga akan mengundang Liuw Su Cen., Lu kongcu itu

tidak mau melepaskan sehingga dengan demikian kedua belah pihak

terjadi ribut-ribut diakhiri dengan suatu pertempuran?”

“Hmmm”

“Macam apa Lu kongcu itu?”

“Dia menyebutkan diri sebagai putra dari Menteri Negara Lu Ko

Sian dan merupakan seorang pemuda suka pelesiran yang sangat

terkenal sekali di ibu kota, wajahnya mirip sekali dengan kau bahkan

boleh dikata pinang dibelah dua”

“Hoo, bisa ada urusan ini…lalu bagaimana?” tanya Ti Then

dengan sedikit terkejut.

“Dia tidak mau melepaskan Liuw Su Cen untuk keluar

menyambut kedatangan kami bahkan mengoceh dan mencemooh

aku dari dalam kamar membuat kemarahan siauwte memuncak,

saat itulah segera siauwte terjang ke dalam kamar untuk beri

hajaran kepadanya, siapa tahu…”

“Dia juga bisa ilmu silat?”

“Benar” sahut Hong Mong Ling.

“Karena siauwte tidak tahu kalau dia juga seorang berilmu maka

di dalam keadaan yang tidak memandang sebelah mata kepada

pihak musuh leherku terhajar satu kali oleh kepalannya..”

“Kalau didengar kisahmu sekarang ini maka ceritamu ketika di

hadapan Pocu yang mengatakan sudah bertemu dengan seorang

berkerudung ditengah jalan merupakan cerita yang bohong belaka?”

“Heeii..siauwte terpaksa harus berbuat demikian” sahut Hong

Mong Ling sambil menghela napas panjang, “Karena bilamana

suhuku dan nona Wi tahu kalau siauwte pergi ketempat pelacuran

untuk cari kesenangan maka di dalam keadaan gusar mungkin sekali

segera membatalkan ikatan perkawinan kami”

“Ehmmm..tadi kau bilang Lu kongcu itu mirip dengan aku, coba

kamu bilang apanya yang mirip?”

“Semuanya mirip”

“Ha ha sungguh menarik sekali” sahut Ti Then sambil bertepuk

tangan, “Di dalam dunia ini ternyata ada orang yang mem punyai

wajah mirip denganku bahkan bisa ilmu silat juga”

“Heeei..waktu itu walau pun siauwte tidak menduga kalau dia

bisa ilmu silat tetapi gerakan tangan siauwte saat itu tidak perlahan,

bilamana bukannya lkepandaian silat yang dimilikinya jauh melebihi

siauwte tidak mungkin bisa memukul rubuh siauwte hanya di dalam

satu gebrakan saja”

“Karena itu lalu kau anggap dia adalah aku yang berbuat?”

sambung Ti Then sambil tertawa.

“Benar, tetapi sekarang…sekarang siauwte tahu kalau dugaanku

itu salah”

“Oooh jaah?” ujar Ti Then lagi, “Kemarin malam secara diamdiam

kau rusak pedangmu kemudian memerintahkan Ki Tong Hong

untuk bergebrak lawan aku kamu orang punya rencana untuk

bunuh aku jaah?”

“Tidak, tidak !”

“Heemmm…sungguh tidak?”

“Benar..memang demikian” sahut Hong Mong Ling dengan wajah

yang merah padam, “Siauwte mana berani memerintahlkan Ki Tong

Hong untuk bunuh kau, siauuwte hanya mengharapkan dia bisa

melukai kau sehingga dengan begitu kamu tidak punya muka lagi

untuk menyabat kedudukan sebagai Kiauwtauw benteng Pek Kiam

Po kami”

“Aku lihat urusan ini terpaksa harus dilaporkan kepada suhumu

agar dia orang tua bisa mengirim orang untuk menjelidiki asal usul

yang sebenarnya dari Lu kongcu itu”

“Jangan…jangan..” ujar Hong Mong Ling gugup, “Bila bertindak

demikian maka urusan siauwte di dalam sarang pelacur Toau Hoa

Yuan menjadi diketahui juga oleh mereka, Ti-kiauwtauw,

tolonglah..”

“Heemm..tidak bisa” ujar Ti Then dengan wajah yang sengaja

diperlihatkan keren, “Sekarang dikarenakan urusan ini menyangkut

dirimu sangat hebat maka kau bilang tidak akan mencurigai diriku,

begitu kau sudah berhasil kawin dengan nona Wi saat itu kau bisa

bicara sembarangan lagi, karena itu aku anggap lebih baik sekarang

juga kita bikin jelas urusan ini”

“Ti-kiauwtauw harap berlegakan hatimu, yang siauwte takutkan

adalah tidak bisa menikah dengan nona Wi, sesudah kita kawin

maka tidak ada urusan lainnya lagi yang penting bagi diriku”

“Heeh…kalau begitu kau harus angkat sumpah, kalau tidak aku

tidak akan lega hati”

“Baiklah” sahut Hong Mong Ling sungguh-sungguh, “Thian Ong

berada di atas aku Hong Mong Ling sejak hari ini bilamana berani

menunjuk Ti-kiauwtauw sebagai Lu kongcu, maka aku akan

mendapatkan kematian tanpa tempat kubur yang baik”

Ti Then yang melihat dia berlutut di atas tanah dan mengangkat

sumpah dengan sikap yang betul-betul serius dalam hatinya segera

merasa memandang rendah terhadap sikapnya, pikirnya dalam hati:

“Hemmm bangsat cilik ini hanya bagus diluar jelek di dalam,

sudah licik banyak akal tidak bersemangat lagi, tidak aneh kalau Wi

Ci To merasa menjesal putrinya dijodohkan kepadanya.

Hong Mong Ling sehabis angkat sumpah segera bangkit berdiri

dari atas tanah, saat itulah mendadak seperti sudah menemukan

sesuatu air mukanya berubah sangat hebat, serunya:

“Celaka!”

“Kenapa?” tanya Ti Then dengan tertegun.

Sambil menunjuk kearah sebuah hutan rima ditempat kejauhan

ujarnya dengan gemetar:

“Aku…aku melihat sesosok bajangan manusia

berkelebat..berkelebat diantara hutan itu”

Dengan cepat Ti Then menoleh kearah hutan itu, tanyanya:

“Sudah melihat jelas siapa orang itu?”

“Mirip sekali dengan sumoayku”

“Aaah tidak mungkin” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya

keras-keras, “Bagaimana dia bisa sampai di sini juga?”

“Mungkin dia menguntit kita kemari?”

Ti Then menjadi tersenjum, ujarnya:

‘”Bilamana dia ingin ikut kemari buat apa harus menguntit secara

diam-diam?”

Sambil mengusap kering keringat yang mengucur keluar

membasahi keningnya ujar Hong Mong Ling lagi:

“Ti-Kiauwtauw kau tidak tahu, pada saat kejadian terputusnya

pedang kemarin pagi dia juga dapat mengetahui kalau kejadian itu

merupakan perbuatan siauwte sebelumnya, pada kemarin malam

sesaat Ti Kiauwtauw bertempur melawan Cian Pit Yuan dengan

meminyam kesempatan ini dia memaki diri siauwte, ini hari siauwte

mengundang Ti-Kiauwtauw naik gunung untuk pesiar sudah tentu

dia merasa curiga kalau siauwte akan berbuat tidak senonoh

terhadap diri Ti-Kiauwtauw sehingga sengaja menguntit kemari”

“Kemungkinan juga orang itu bukan dia, buat apa kamu begitu

terkejut dan cemasnya?”

“Heei..siauwte ingat sekali malam itu dia memakai pakaian

berwarna merah, sedang bajangan tadi pun agaknya memakai

pakaian berwarna merah juga”

“Sekali pun orang itu adalah dia, tetapi kau sama sekali tidak

berbuat senonoh kepadaku buat apa takut?”

Hong Mong Ling tertawa pahit, sahutnya:

“Siauwte takut dia mendengar seluruh perkataan yang kita

ucapkan tadi”

“Kemungkinan ini sangat tipis, jaraknya dari sini ke sana sangat

jauh sekali, dia tidak mungkin bisa dengar jelas”

Keadaan dari Hong Mong Ling saat itu mirip sekali dengan semut

yang kepanasan, dengan cepat sekali dia berjalan pulang pergi

ujarnya kemudian:

“Tidak bisa…tidak bisa jadi..pikirannya sangat tajam dan cerdik,

asallkan dia bisa dengar sedikit saja maka segera dia akan bisa

menduga delapan sembilan bagian. Heeeii..heei..Bagaimana

sekarang enaknya?”

Ti Then memandang sekejap ke sekeliling tempat itu kemudian

barulah ujarnya dengan nada yang rendah:

“Aku akan ajari kamu satu cara, nanti sesudah kita pulang ke

dalam Benteng segera kau pergi jenguk dia, bilamana melihat

sikapnya sedikit tidak beres maka terbukti kalau orang itu adalah

dia, saat itu dengan cepat kau pergi menemui suhumu dan berlutut

di hadapannya untuk mengakui seluruh perbuatanmu itu, saat itu

kau minta maaf dan am pun, dengan sifat yang peramah dari

suhumu dan melihat kejujuranmu mungkin dia akan memaafkan

dirimu asalkan dia mengam puni kamu dipihak sumoaymu dengan

sendirinya tidak ada kesukaran lagi”

Pemikirannya ini sama sekali tidak mengandung siasat licik

lainnya, sebaliknya merupakan pemikiran yang sungguh-sungguh

keluar dari dasar lubuk hatinya untuk membebaskan kesukaran dari

Hong Mong Ling, saat ini juga dia tetap tidak ingin merusak

perhubungan cinta dari orang lain, dia hanya mengharapkan agar

Majikan patung emas melihat kegiatan dan usahanya yang matimatian

tetapi sama sekali tidak mengharapkan bisa menjelesaikan

tugas ini dengan sempurna.

Hong Mong Ling ketika merasakan cara ini sangat beralasan

barulah sahutnya dengan cepat:

“Bagus sekali, mari kita cepat pulang”

Demikianlah mereka berdua dengan tergesa-gesa sekali

berangkat kembali ke dalam Benteng Pek Kiam Po, sesudah sampai

di dalam Benteng Ti Then masuk ke dalam kamarnya sendiri untuk

beristirahat sedang Hong Mong Ling langsung menuju keruangan

dalam untuk menemui Wi Lian In di dalam kamarnya.

Sesudah berhasil dia menenangkan pikirannya barulah dengan

tangan yang sedikit genetar mengetuk pintu kamar.

“Siapa?”

Terdengar suara seorang pelajan perempuan sedang bertanya.

“Cun Lan, aku..”

Dengan perlahan pintu kamar dibuka, seorang budak yang

disebut sebagai Cun Lan itu berdiri di depan pintu sambil memberi

hormat kepada Hong Mong Ling ujarnya:

“Oooooh kiranya Hong siangkong”

“Nona ada di dalam?”

Cun Lan segera menyahut ada, kemudia menoleh ke belakang

dan teriaknya dengan keras: “Nona, Hong siangkong datang”

“Silahkan dia masuk”

Suara Wi Lian In berkumandang keluar dari dalam kamarnya.

Dengan cepat Hong Mong Ling berjalan masuk ke dalam kamar

dan menuju ke meja riasnya, terlihatlah saat itu Wi Lian In sedang

menyisiri rambutnya yang panjang terurai itu, agaknya siap hendak

pergi mandi, segera dia maju ke depan, ujarnya sambil tersenjum:

“In-moay kamu mau pergi mandi?”

“Benar, ada urusan apa?”

Ketika Hong Mong Ling melihat wajahnya tetap ramah dalam hati

segera merasa lega, sahutnya:

“Tidak ada apa-apa, hanya ingin datang lihat-lihat kau..”

Dengan perlahan Wi Lian In putar tubuhnya sambil tersenjum

tanyanya:

“Aku dengar ini hari kau menemani Ti-kiauwtauw pergi pesiar ke

atas gunung?”

“Benar, aku membawa dia pergi lihat sumber air Kiu Liong”

“Air yang diterjunkan dari Kiu Liong ini hari merupakan air yang

manis atau air yang pahit?”

Dalam hati Hong Mong Ling merasa bergetar, sambil tertawa

malu sahutnya:

“In-moay jangan bergurau, air yang diterjunkan di Kiu Liong

bukan air yang manis juga bukan air pahit”

Wi Lian In tertawa cekikikan, tanyanya lagi:

“Kamu bisa bicara baik-baikan dengan Ti-kiauwtauw?”

“Biasa” sahut Hong Mong Ling sambil menangguk, “Makin lama

kakakmu yang bodoh ini semakin merasa orangnya tidak jelek,

kepandaian silat yang dimiliki pun sangat tinggi tetapi jadi orang

tidak sombong, dia merupakan seprang sahabat yang patut kita

rapati”

“Ehmmm..kau bisa berubah sikap terhadap dirinya aku merasa

sangat girang sekali, sekarang kau boleh pergi aku mau pergi

mandi”

Dengan sangat hormat sekali Hong Mong Ling menyahut dan

mengundurkan diri dari dalam kamarnya, sedang dalam hati dia

merasa sangat girang dan puas.

Sekali pun perkataan ‘air pahit’ dari Wi Lian In itu membuat

hatinya merasa sangat terkejut tetapi perkataan selanjutnya yang

mesra dan penuh dihiasi dengan senjum manis itu membuat

perasaan di dalam hatinya mulai lega sedang dugaan kalau

bajangan yang dilihatnya di air terjun Kiu Liong adalah Wi Lian In

pun mulai lenyap dari pikirannya.

Sehabis makan malam Wi Ci To, Huang Puh Kian Pek serta Ti

Then sesudah berbicara dengan orang-orang beberapa saat

lamanya mereka pada berpisah untuk beristirahat di dalam

kamarnya masing-masing.

Sesudah lewat tengah malam dengan sangat perlahan-lahan dan

gerak-gerik yang berhati-hati Wi Lian In kelihatan berjalan menuju

ke kamar buku ajahnya kemudian mengetuk dengan perlahan.

Kiranya sejak ibu dari Wi Lian In meninggal beberapa tahun yang

lalu selama ini Wi Ci To selalu berdiam seorang diri di dalam kamar

buku itu.

Sesudah mengetuk beberapa saat lamanya terdengar dari dalam

kamar buku itu berkumandang keluar suara dari Wi Ci To yang

sedang bertanya:

“Siapa?”

“Aku, Tia”

“Oooh..In-ji”

Dengan cepat Wi Ci To bangun dari pembaringannya untuk

berpakaian dan membuka pintu kamarnya.

“Tengah malam seperti ini kamu tidak pergi tidur, buat apa

kemari?”

Dengan cepat Wi Lian In berkelebat masuk ke dalam kamarnya,

kemudian barulah ujarnya dengan perlahan:

“Tia, mari kita pergi main-main ke kota Go-bi”

Wi Ci To begitu mendengar ajakan putrinya yang sangat aneh ini

menjadi tertegun, ujarnya:

“Jangan gujon, pada saat seperti ini bagaimana bisa pergi ke

kota Go-bi untuk main-main?”

“Putrimu ingin mencari seseorang di dalam kota”

“Cari siapa?” tanya Wi Ci To tercengang.

Wi Lian In memperlihatkan senjumnya yang sangat misterius,

sahutnya:

“Sesudah sampai di dalam kota putrimu baru akan beritahu pada

kau orang tua”

Dengan wajah yang penuh dibasahi oleh embun Wi Ci To

melototkan matanya, ujarnya dengan agak keras:

“Tidak, sebetulnya kamu sedang berbuat permainan apa?”

Mendadak pada air muka Wi Lian In memperlihatkan

perasaannya yang sedih dan menderita, sahutnya:

“Putrimu hendak ke dalam kota untuk menjelidiki suatu urusan,

urusan ini mem punyai hubungan yang sangat erat dengan urusan

putrimu untuk selama hidupnya”

Ketika Wi Ci To melihat dia berbicara dengan sangat serius sekali

pada wajahnya semakin memperlihatkan perasaan terkejutnya,

tanyanya dengan cepat:

“Sebetulnya sudah terjadi urusan apa?”

“Heei..” ujar Wi Lian In sambil tertawa pahit, “Sebelum

mendapatkan bukti yang nyata putrimu tidak ingin utarakan keluar”

Wi Ci To semakin mengerutkan alisnya kencang-kencang,

ujarnya:

“Hemm ditengah malam buta mendadak kau ingin ajahmu

menemani kau pergi ke dalam kota..kamu membuat ajahmu makin

lama makin bingung”

“Sesudah sampai di dalam kota dan berhasil menemui orang itu,

ajah tentu akan memahami urusan apa sebenarnya yang sudah

terjadi”

“Besok pagi pergi bukankah sama saja?”

“Tidak bisa!” ujar Wi Lian In tegas, “Harus malam ini juga pergi

bahkan tidak diperbolehkan mengejutkan orang-orang kita sendiri”

Dengan tajam Wi Ci To memandang wajah putrinya, beberapa

saat lamanya dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, agaknya dia

sedang menduga perasaan hatinya.

“Tia” ujar Wi Lian In lagi memecahkan kesunyian itu, “Bilamana

Tia sajang pada putrimu, maka tia harus menjetujui untuk

menemani putrimu”

“Baiklah, ajahmu akan temani kau pergi”

Sesudah berpakaian dan dandan sebentar barulah berjalan keluar

dari kamar bukunya untuk kemudian keluar dalam Benteng

bersama-sama Wi Lian In.

Ajah beranak berdua sudah tentu tahu dengan jelas di tempat

mana di sekeliling benteng itu terdapat penjagaan malam. Karena

itulah dengan sangat mudah sekali mereka berhasil menghindarkan

diri dari mereka, dengan tidak menimbulkan suara sedikit pun

mereka sudaah berhasil meninggalkan benteng Pek Kiam Po untuk

berangkat menuju ke kota Go-bi.

Pada saat kentongan kedua mereka ajah beranak berdua sudah

sampai di kota Go-bi, sesudah melewati tembok kota yang tinggi

sampailah mereka disebuah jalan raja yang sangat sunyi, kepada

seorang penjual makanan maalam tanyanya:

“Toa siok ini tolong tanya rumah dari Cang Bun Piauw Cang

Kongcu terletak di jalan sebelah mana?”

Penjual bakso itu segera menurunkan pikulannya, dengan air

muka yang sangat terkejut dia memandang beberapa saat lamanya

kearah Wi Ci To serta putrinya kemudian barulah tanyanya:

“Yang nona tanyakan apakah putra dari Cang Pek Li Cang Loya?”

Wi Lian In sendiri juga tidak tahu ajah dari Cang Bun Piauw itu

bernama Cang Pek Li atau Cang Pek To, balik tanyanya:

“Apakah putranya yang bernama si tikus rakus dari Go-bi Cang

Bun Piauw?”

“Benar” sahut kakek itu sambil mengangguk, “Memang benar dia,

nona cari dia ada urusan apa?”

“Kami ajah beranak merupakan kawan dari seorang familinya,

familinya itu mem punyai sebuah barang yang dititipkan kami untuk

disampaikan kepadanya, sebetulnya kami ingin menanti sesudah

terang tanah baru temui dia, tetapi karena kami juga punya urusan

yang harus diselesaikan di luar kota maka terpaksa kami harus

kerjakan sekarang juga”

“Tetapi pintu kota sudah tertutup, bagaimana kalian ajah beranak

bisa keluar?”

Wi Lian In hanya tersebjum saja, tanyanya:

“Tolong beritahu tempat tinggal dari Cang kongcu sebetulnya

berada dimana?”

Dengan perlahan kakek penjual bakso itu menunjuk ke satu jalan

besar, sahutnya:

“Jalan dari tempat ini sesudah sampai di persimpangan belok ke

sebelah kanan, kurang lebih berjalan seratus tindak terdapatlah

sebuah bangunan besar dengan pintu besar bercat merah,

pokoknya asalkan di samping rumahnya ada dua patung macan

yang besar, itulah rumahnya”

Wi Lian In segera mengucapkan banyak terima kasih dengan

menarik tangan ajahnya Wi Ci To untuk mereka segera berjalan

menuju kejalan yang ditunjuk, sesudah berjalan kurang lebih

berpuluh-puluh tindak dengan wajah yang penuh perasaan terkejut

tanya Wi Ci To:

“Hey budak, orang yang hendak kau cari apakah Cang Bun Piauw

itu?”

“Benar”

“Buat apa kamu cari dia?” tanya Wi Ci To dengan tercengang.

“Sesudah menawan dia tentu ajah akan segera paham”

Agaknya Wi Ci To menjadi sadar sebenarnya urusan apa yang

sedang terjadi, ujarnya kemudian:

“Ehmm..apa punya hubungannya dengan Hong Mong Ling ketika

malam itu terpukul oleh seorang berkerudung?”

“Benar” sahut Wi Lian In, “Putrimu menemukan kisah yang

diceritakan suko waktu itu agaknya tidak mirip dengan kejadian

yang sesungguhnya maka itu putrimu mau menangkap Cang Bun

Piauw untuk kita tanyai dengan jelas”

“Ceritera dari Hong Mong Ling bagaimana bisa tidak sesuai

dengan kejadian yang sesungguhnya?” tanya Wi Ci To dengan nada

terkejut.

“Tentang hal ini sesudah kita menanyai Cang Bun Piauw baru

putrimu akan menceritakan dengan jelas kepada Tia”

Wi Ci To ajah beranak dengan mengikuti petunjuk dari kakek

penjual bakso itu tidak lama kemudian sudah sampai di depan

rumah dari Cang Bun Piauw..,sebuah bangunan dengan pintu besar

berwarna merah serta dua buah patung macan yang terbuat dari

batu. Waktu menunjukkan kentongan ketiga tengah malam, di

depan pintu besar tidak tampak sesosok bajangan manusia pun.

“Tia” ujar Wi Lian In dengan perlahan: “Kau masuklah dan tawan

dia keluar dari rumahnya”

Sudah tentu Wi Ci To sendiri tidak akan mengijinkan putrinya

ditengah malam buta masuk ke dalam rumah orang lain hanya

untuk menawan seorang lelaki segera mengangguk menyahut,

tubuhnya dengan sangat ringan sekali melayang melewati tembok

halaman dan berkelebat masuk ke dalam ruangan.

Dengan kepandaian dari Wi Ci To untuk menangkap seorang

yang tidak memiliki kepandaian silat seperti Cang Bun Piauw ini

sudah tentu bukan merupakan suatu urusan yang sangat sukar,

tidak lebih selama seperminum the kemudian kelihatan dari atas

tembok berkelebat sesosok bajangan manusia..Wi Ci To sudah

berhasil menawan keluar Cang Bun Piauw dari dalam rumahnya.

Agaknya jalan darah bisu dari Cang Bun Piauw sudah tertotok,

sehingga sekali pun orangnya sudah sadar dari tidurnya tetapi tidak

bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 6.1. Batalnya perjodohan Wi Lian In – Hong Mong

Ling

“Tia,” ujar Wi Lian In perlahan” kita cari satu tempat yang sunyi

saja”

“Ehmmm…benar..” sahut Wi Ci To sambil mengangguk, “Diujung

jalan ini ada sebuah rumah gubuk yang tidak ditinggali lagi, kita ke

sana saja”

Sehabis berkata, dengan mengapit tubuh Cang Bun Piauw dia

berjalan terlebih dulu ke depan.

Dalam sekejap saja mereka sudah berada di dalam rumah gubuk

itu, dengan perlahan Wi Ci To meletakkan tubuh Cang Bun Piauw di

atas tanah, sedang Wi Lian In dengan cepat mencabut keluar

pedang panjangnya yang dituding ke depan leher Cang Bun Piauw,

dengan wajah yang dingin kaku ujarnya:

“Sesudah aku bebaskan jalan darah bisumu bilamana kamu

orang berani teriak jangan salahkan pedangku akan menembus

tenggorokanmu!”

Saking terperanyatnya air muka Cang Bun Piauw sudah berubah

pucat pasi, matanya dikedip-kedipkan seolah-olah minta am pun

tetapi seperti juga sudah menyerah kepada mereka.

Setelah itu barulah Wi Lian In bebaskan jalan darah bisunya,

dengan menempelkan ujung pedang di atas leher ujarnya dengan

dingin:

“Kamu boleh pilih mau mati atau hidup?”

“Mau hidup..mau hidup..Nona Wi, am punilah nyawaku..am puni

hamba..hamba belum pernah menyalahkanmu!”

“Bilamana kamu ingin hidup, jawab seluruh pertanyaanku dengan

sejujurnya?”

“Baik..baik..! silahkan nona Wi mulai bertanya, asal hambamu

tahu tentu akan kuberi jawaban yang sesungguhnya, hanya hamba

mohon nona Wi jangan membunuh aku”

“Baik, cepat ceriterakan satu kali lagi peristiwa malam itu!”

Cang Bun Piauw menelan ludah, dalam hati dia tahu kalau cerita

karangan Hong Mong Ling malam itu sudah diketahui

kebohongannya oleh nona ini, karena itulah sekarang dia tidak

berani bohong lagi, ujarnya:

“Baik…begini…begini, maghrib itu Hong Mong Ling heng datang

ke kota dan bertemu dengan hamba ditengah jalan, lalu dia

mengundang hamba untuk minum arak dikedai arak sesudah dari

sana dia mengundang lagi hamba pergi ke sarang pelacur Touw Hoa

Yuan untuk mencari kesenangan dengan Liuw Su Cen, hamba tidak

enak untuk menampik, terpaksa ikut dengan dia ke sana”

“Kalian sudah bersahabat berapa lama?” kata Wi Lian In.

“Kurang lebih dua tiga tahunan”

“Setiap kalian bertemu tentu pergi ke sarang pelacur Touw Hoa

Yuan mencari Liuw Su Cen?”

“Be..benar..”

“Siapa yang mengajak untuk pertama kalinya?”

“Tentang hal ini..” sahut Cang Bun Piauw sambil melirik kekiri

kanan, “Tentang hal ini bukan dia yang mengajak aku, juga bukan

aku yang mengajak dia, kita berkenalan di dalam sarang pelacur

Touw Hoa Yuan itu”

“Bagus, lanjutkan!”

Cang Bun Piauw menghembuskan napas panjang, sesudah

berhenti sebentar sambungnya lagi:

“Mong Ling heng hanya senang dengan Liuw Su Cen seorang,

maka setiap kali hanya mengundang satu orang saja, malam itu kita

pergi lagi kesarang pelacur Touw Hoa Yuan tetapi waktu itu Liuw Su

Cen tidak keluar menyambut kita karena sedang menemani tamu

lain. Mong Ling heng tidak bisa menahan sabar lagi maka

diperintahnya Ku Ie untuk panggil dia keluar..”

“Siapa Ku Ie itu?”

“Germo dari sarang pelacur Touw Hoa Yuan itu”

“Hemm..lalu Liuw Su Cen itu tidak keluar?”

“Benar !” sahut Cang Bun Piauw sambil menundukkan kepalanya

rendah-rendah, “Sebab itulah Mong Ling heng sudah

menghamburkan banyak uang untuk tubuhnya itu”

“Hemm..lanjutkan!”

“Waktu itu hamba menasehati dia jangan berlalu gegabah, tamu

dari nona Liuw itu tentu seorang yang punya nama terkenal

sehingga dia tidak berani keluar menyambut kita, lebih baik lain kali

saja datang lagi, tetapi Mong Ling heng tidak mau dengar

perkataanku dan berjalan ke depan kamar nona Liuw itu untuk

mencari tahu siapa tamunya, saat itulah dari dalam kamar terdengar

suara pertanyaan dari tamu itu kepada Ku Ie: “Siapa orang itu?”

yang dijawab oleh Ku Ie: “Seorang pendekar pedang dari benteng

Pek Kiam Po yang bernama In Tiong Liong Hong Mong Ling.”

Mendengar perkataan itu tamu tersebut tertawa dingin ujarnya :

“Hemmm..aku kira orang terkenal macam apa tidak tahunya

seorang kuli silat kasaran.” Mendengar perkataan itu Mong Ling

heng menjadi sangat gusar, sambil menerjang masuk ujarnya:

“Tidak salah, cayhe memang seorang kuli silat kasaran, tetapi

kawan kamu harus tahu di dalam dunia ini hanya kuli silat kasaran

yang bisa memaksa orang berlutut sambil menyumpahi bapak

ibunya sendiri..”

“Siapa orang itu?”

“Eh..Nona Wi belum tahu siapa dia?”

“Cepat katakan !”

“Waktu itu..” sambung Cang Bun Piauw, “Sesudah orang itu

mendengar perkataan Mong Ling heng, balas mengejek juga,

“Cecunguk mana berani mengganggu kesenangan kongcu-mu,

hemmm..agaknya sudah bosan hidup?” Ku Ie menjadi gugup dia

bilang sama Mong Ling heng kalau orang itu adalah putra dari

menteri Lu Ko Sian, ketika Mong Ling heng dengar orang itu adalah

kongcu suka pelesiran yang sangat terkenal hatinya semakin gemas

lalu bentaknya kepada Lu kongcu itu untuk berlutut di hadapannya,

Lu kongcu tidak gubris omongannya Mong Ling heng segera maju

menyerang, siapa tahu Lu kongcu memiliki kepandaian silat yang

sangat lihay, dia tetap duduk sebaliknya tangannya mencengkeram

tangan kanan Mong Ling heng dan melempar tubuhnya hingga

terjungkir balik, sesudah itu lehernya dihajar satu kali membuat

Mong Ling heng dengan demikian jatuh tak sadarkan diri”

“Kemudian kamu juga dipukul rubuh oleh Lu kongcu itu?

“Benar” sahutnya sambil menundukkan kepala, “Ketika sadar

kembali kami sudah berada di dalam benteng.”

“Kalian curiga kalau Lu kongcu itu adalah pendekar baju hitam Ti

Then yang menolong kalian kembali ke dalam Benteng malam itu?

Kenapa?”

“Karena wajah dari pendekar baju hitam Ti Then mirip dengan Lu

kongcu hanya saja pakaiannnya tidak sama”

“Hemm..” dengus Wi LIan In dengan dingin, “Kenapa malam itu

kalian bilang sudah bertemu dengan seorang berkerudung?”

“Ini…ini..sudah tentu dikarenakan Mong Ling heng takut nona

tahu dia cari kesenangan di sarang pelacur Toauw Hoa Yuan”

Wi Lian In memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung,

kepada ayahnya Wi Ci To, ujarnya:

“Tia, mari kita pulang”

Sikap Wi Ci To kelihatan sedikit semangat, sinar matanya dengan

tajam memperhatikan Cang Bun Piauw, kemudian tanyanya dengan

keren:

“Kamu orang berani pastikan Lu kongcu itu adalah pendekar baju

hitam Ti Then?”

Cang Bun Piauw ragu-ragu sejenak, tapi sahutnya juga:

“Wajahnya boleh dikata mirip sekali, hanya saja….yang satu

memakai pakaian bagus sedang yang lain memakai pakaian yang

compang-camping”

“Hemm..sekarang kamu boleh pulang” ujar Wi Ci To sesudah

termenung sejenak, “Tapi.. jangan sekali-kali menceritakan

peristiwa malam ini kepada siapa pun, kalau tidak…Hmm jangan

salahkan Lohu akan mencabut nyawa anyingmu”

Cang Bun Piauw menjadi sangat girang, sambil merangkak

bangun sahutnya berkali-kali:

“Baik..baik..hamba akan berkata sedang punya urusan yang

harus diurus, malam itu juga, tapi harap Pocu jangan membiarkan

Mong Ling heng tahu kalau rahasia ini hamba yang bocorkan, kalau

tidak..kalau tidak dia akan bunuh hamba”

“Pergi!” bentak Wi Lian In keras-keras.

Cang Bun Piauw tidak berani bicara lagi, dengan terbirit-birit dia

melarikan diri dari dalam rumah itu.

Sesudah berdiam diri beberapa saat lamanya, tidak tertahan air

matanya mengucur keluar dengan derasnya membasahi wajah Wi

Lian In.

Pikiran Wi Ci To waktu itu juga sedang kacau, sesudah menghela

napas panjang barulah ujarnya:

“Kamu keluar kota dulu, aku mau ke sarang pelacur Touw Hoa

Yuan sebentar”

Sehabis bicara tubuhnya berkelebat keluar dari rumah gubuk

yang tidak ditinggalkan itu dan lenyap ditengah kegelapan.

Sesudah Wi Ci To pergi, Wi Lian In pun keluar dari rumah gubuk

dan berjalan keluar pintu kota, sesampainya di bawah tembok kota

dengan satu kali lompatan dia berhasil keluar dari kota dan menanti

di pinggiran jalan.

Kurang lebih setengah jam kemudian barulah kelihatan Wi Ci To

berlari mendatang.

Dengan cepat Wi Lian In bangkit berdiri, tanyanya: “Bagaimana?”

“Heeiii..” sahut Wi Ci To dengan wajah sangat serius,

“Keadaannya mirip sekali dengan apa yang diceritakan Cang Bun

Piauw, hanya ada satu hal”

“Hanya ada satu hal tentang apa?” Tanya Wi Lian In cepat.

“Menurut pengakuan dari Ku Ie serta pelayan sana, Lu kongcu

sesudah memukul rubuh Mong Ling dan Cang Bun Piauw lalu

perintah itu pelayan untuk sediakan kereta, dengan dihantar Lu

kongcu sendiri dia membawa kedua orang itu keluar kota dan

dibuang di samping jalan”

“Hal ini membuktikan Ti Kiauwtauw bukan Lu kongcu itu?”

“Benar!” sahut Wi Ci To sambil hela napas panjang dengan

langkah perlahan dia berjalan bolak-balik di sana, “Tetapi dapat juga

diartikan sesudah Ti Then membuang mereka di pinggir kota lalu

berganti pakaian, dengan gaya seorang miskin dia membawa

mereka kembali ke dalam benteng”

“Tetapi dia punya tujuan apa dengan berbuat demikian?”

“Sudah tentu mem punyai niat jelek!”

“Tetapi..” ujar Wi Lian In lagi, “Di dalam beberapa hari ini

sikapnya tidak jelek, bahkan membantu Tia memukul mundur

pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan..”

“Hemm..hemm..” ujar Wi Ci To sambil tertawa dingin, “Seseorang

dalam tindakannya untuk mencapai tujuan rencananya sudah tentu

harus berusaha mendapatkan kepercayaan dulu dari orang lain”

“Tetapi kepandaian silatnya sangat tinggi, apabila punya maksud

jelek terhadap Benteng kita seharusnya dengan terang-terangan

turun tangan buat apa berbuat demikian”

“Itulah merupakan hal yang membingungkan ayahmu, dengan

sifat serta tingkah lakunya yang sopan dan ramah ditambah dengan

kepandaian silat yang berhasil dilatih saat ini tidak seharusnya

menjadi seorang mata-mata yang berniat busuk..”

“Tia..” ujar Wi Lian In lagi dengan perlahan, “Kemarin sore Mong

Ling ajak dia bermain ke sumber air Sembilan naga, karena putrimu

merasa Mong Ling pernah berbuat jahat terhadapnya, maka sengaja

secara diam-diam menguntit akhirnya di sumber air sana aku

berhasil mendengar perkataan mereka berdua”

“Mereka bicarakan soal apa?”

“Mong Ling di hadapannya menuding dia sebagai Lu kongcu dan

Tanya apa maksud kedatangannya, tetapi dia seperti tidak paham

persoalan apa yang sedang dibicarakan akhirnya Mong Ling

menceritakan kembali peristiwa yang terjadi di sarang pelacur Touw

Hoa Yuan itu, begitu dengar persoalan ini dia mengusulkan untuk

melaporkan urusan ini kepada Tia dan minta kirim orang untuk

menyelidiki urusan ini, sebaliknya Mong Ling menjadi gugup

dibuatnya dan mohon dia jangan membocorkan rahasia ini, semula

dia tidak menyetujui sikapnya ini akhirnya sesudah Mong Ling

bersumpah untuk tidak menuduh dia sebagai Lu kongcu lagi barulah

dia menyanggupi untuk menyimpan rahasia ini”

“Telur busuk, anying busuk, sungguh tidak bersemangat anying

itu!”

“Tia, aku tidak mau dijodohkan dengan dia, Tia, kamu tega

melihat putrimu dikawinkan dengan seorang manusia rendah”

“Hei..tentang urusan ini biarlah ayahmu pikir-pikir dulu”

“Tapi Tia..” seru Wi Lian In setengah merandek, “Apanya yang

mau dipikirkan lagi?”

“Heii..bukannya begitu” sahut Wi Ci To dengan sedih, “Banyak

kawan-kawan kita sudah tahu kalau kamu telah dijodohkan dengan

dia, kini mendadak membatalkan perkawinan ini, kiranya..”

“Aku tidak mau tahu aku tidak mau kawin dengan dia, sekali pun

mati aku juga tidak mau dijodohkan dengan dia!”

“Baik..baiklah..di luaran dia mengadakan hubungan dengan

manusia tidak genah ditambah lagi secara diam-diam mencari

hiburan disarang pelacur hal ini sudah melanggar peraturan benteng

kita dan cukup untuk mengusir dia dari dalam perguruan”

“Kalau begitu besok pagi-pagi suruh dia menggelinding dari

dalam benteng”

“Baiklah” sahut Wi Ci To sambil menghela napas panjang, “Tetapi

selain dalam hidupnya dia kurang genah agaknya tidak ada

kejahatan lain yang diperbuat, apa kamu bersikap begitu galaknya

terhadap dia”

“Asalkan dia kembalikan tanda mataku dan menggelinding pergi

dari Benteng Pek Kiam Po untuk selamanya itu sudah cukup”

“Heeii..” ujar Wi Ci To sambil menghela napas panjang lagi,

“Sifatnya sangat bagus, bakatnya pun terpilih, tidak disangka

gemar melakukan pekerjaan rendah seperti itu. Heeiii…sungguh

mengecewakan, sungguh mengecewakan..”

“Tia…bagaimana dengan Ti Kiauwtauw?”

“Kau bilang bagaimana baiknya?”

“Putrimu tidak berani bilang dia bukan Lu kongcu, tetapi dalam

hati aku merasa dia bukanlah seorang manusia licik”

“Hati manusia siapa yang bisa menduga, contohnya saja Hong

Mong Ling, apa kamu anggap dia seorang jahat? Siapa tahu..hee..”

“Perkataan Tia sedikit pun tidak salah, kalau begitu usir saja

sekalian dari dalam Benteng”

“Tidak bisa” sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya, “Tidak

bisa usir dia keluar “

“Kenapa?”

“Baru saja ayahmu mengangkat dia sebagai Kiauwtauw, kemarin

hari dia pun sudah bantu aku memukul mundur musuh tangguh,

apalagi kita pun tidak punya bukti yang cukup untuk membuktikan

dia adalah Lu kongcu, bilamana secara mendadak kita usir saja dia,

berita ini jika sempat tersiar di Bu-lim harus dibuang kemana wajah

ayahmu ini?”

“Tetapi..tetapi bila dia punya niat jahat bukan hanya

mendatangkan kerepotan saja?”

“Tidak mengapa” sahut Wi Ci To sambil menundukkan kepalanya

pelan-pelan: “Aku sudah tugaskan beberapa orang unuk mengawasi

seluruh gerak-geriknya siang dan malam, sedikit saja dia ada

gerakan tidak akan lolos dari pengawasan kita”

“Tetapi Tia..selalu tugaskan orang mengawasi dia juga bukan

cara yang tepat”

“Sesudah lewat satu bulan bilamana dia tetap tiada gerakan yang

mencurigakan hal ini membuktikan dia tidak punya niat jahat

terhadap Benteng kita, sampai saat itu kita pun tidak usah

mengawasi gerakannya lagi”

Wi Lian In berdiam beberapa saat lamanya, kemudian sambil

memandang Wi Ci To tanyanya lagi:

“Jika dia bukan Lu kongcu, lalu siapakah Lu kongcu itu?”

“Di kota Go-bi sering bermunculan jago-jago berkepandaian

tinggi dari Bu-lim, tentang hal ini tentu kamu tahu bukan?”

“Tetapi Tia..usia dari Lu kongcu itu paling tidak belum mencapai

tiga puluh tahunan, di dalam satu gerakan saja dia berhasil

menguasai Mong Ling, kepandaian setinggi ini agaknya belum

pernah terdengar di dalam Bu-lim”

“Jika dia bukan Ti Then, maka menurut dugaanku kepandaian

silatnya hanya sedikit di atas Mong Ling”

“Tetapi Tia..” bantah Wi Lian In lagi, “Hanya di dalam satu

gebrakan saja dia berhasil menguasai Mong Ling”

“Hal ini karena Mong Ling tidak tahu kalau orang itu memiliki

kepandaian silat sehingga waktu turun tangan terlalu gegabah,

peristiwa semacam ini sering juga terjadi di dalam Bu-lim”

Wi Ci To ayah beranak sambil berkata, melanjutkan perjalanan,

sesaat menjelang fajar menyingsing mereka sudah tiba di dalam

Benteng Pek Kiam Po.

Hari sesudah terang.

Dengan langkah yang mantap serta air muka yang keren Wi Ci

To berjalan menuju ke kamar Hong Mong Ling, baru saja bangun

dari tidurnya begitu melihat suhunya dengan wajah gusar berjalan

memasuki kamarnya, dalam hati merasa sangat terkejut, dengan

cepat dia bangkit untuk memberi hormat sambil ujarnya:

“Suhu, selamat pagi..”

Wi Ci To tetap membungkam, sesudah menutup pintu kamar

ujarnya dengan dingin:

“Mong Ling, ceritakan sekali lagi peristiwa malam itu di dalam

kota Go-bi”

Mendengar perkataan itu Hong Mong Ling segera sadar kalau

urusan sudah runyam, sambil menundukkan kepala:

“Muridmu harus binasa, harap suhu mau mengam puni dosaku”

Dengan pandangan berapi-api Wi Ci To memandang tajam

wajahnya kemudian dengan keren ujarnya:

“Suhumu selalu menganggap sifatmu paling baik, paling sopan

sehingga dengan begitu aku menjodohkan putriku kepadamu, siapa

tahu kiranya kamu merupakan seorang manusia rendah yang tidak

tahu malu”

Air mata mengucur keluar dengan derasnya, membasahi wajah

Hong Mong Ling, dengan setengah merengek ujarnya:

“Karena berkenalan dengan kawan tidak genah membuat tecu

melakukan pekerjaan yang tidak senonoh, mohon suhu mau am

puni kesalahan tecu sekali lagi”

“Hemmm…sudah berapa lama kenal dengan orang itu?”

“Baru…baru, satu, satu hari”

“Apa? satu hari..?” potong Wi Ci To dengan sangat gusar, “Kamu

sudah berkenalan selama dua tiga tahun lamanya, kau sudah

menipu suhumu, sudah menipu In-ji”

Tubuh Hong Mong Ling semakin gemetar, sambil menyatuhkan

diri berlutut di tanah ujarnya:

“Tecu sumpah akan mengubah sifatku yang buruk ini, harap

suhu mau mengam puni dosaku ini”

“Hemm…hmm..hemm, sayang sudah terlambat”

Mendadak tubuh Hong Mong Ling tergetar dengan kerasnya

sambil angkat kepala ujarnya : “Suhu bilang..”

“Peraturan perguruan yang lohu susun selamanya dipegang

teguh selamanya tidak mengijinkan seorang manusia gemar pipi

licin bercampur di dalam benteng ini, semakin tidak mengijinkan

putriku dijodohkan dengan seorang manusia gemar pelesiran, cepat

serahkan tanda mata dari In-ji!”

Berkata sampai di sini dia mengambil sebuah mainan yang

terbuat dari pualam dari dalam saku yang kemudian dibuang ke

hadapan Hong Mong Ling, ujarnya lagi:

“Tanda mata yang kamu berikan pada putriku boleh diterima

kembali”

Air muka Hong Mong Ling berubah hebat, dengan gemetar

ujarnya:

“Suhu, kamu…kamu tidak mau memaafkan tecu untuk terakhir

kalinya?”

“Hemmm..hemm..walau pun lohu mau memaafkan kau juga

tidak akan menjodohkan putriku kepadamu” sahut Wi Ci To dengan

wajah semakin dingin.

“Kalau begitu dapatkah tecu menemui sumoay untuk terakhir

kalinya?”

“Dia sudah bersumpah tidak akan menemui kamu orang barang

sekejap pun”

Kepala Hong Mong Ling ditundukkan semakin rendah, dengan

setengah berbisik ujarnya :

“Urusan ini tentu Ti-kiauwtauw yang menceritakan kepada suhu,

bukan?”

-oooOOooo-

10

“Bukan” ujar Wi Ci To dengan dingin, “Urusan ini didengar In-ji

dengan mata kepala sendiri, kemarin secara diam-diam dia

menguntit kalian pergi ke sumber air Sembilan naga..sudah cukup,

cepat kau kembalikan tanda mata putriku!”

Hong Mong Ling masih tetap berlutut di tanah, ujarnya lagi:

“Kalau begitu tecu masih ada satu rahasia yang hendak

dilaporkan kepada suhu, Ti Kiauwtauw itu adalah…”

“Tidak usah banyak omong lagi” potong Wi Ci To sambil

mengulap tangannya, “Dia benar atau tidak Lu kongcu yang kau

telah temui berada di dalam sarang pelacuran Touw Hoa Yuan aku

bisa menyelidiki sendiri, urusan ini tidak ada hubungannya dengan

kamu orang”

“Dia benar adalah Lu kongcu, tecu berani memastikan dengan

jaminan nyawaku”

“Hemm, hemm..” potong Wi Ci To lagi dengan sangat gusar

hingga wajahnya berubah merah padam, “Kalau memangnya dia

adalah Lu kongcu kenapa sampai sekarang kamu masih tetap

merahasiakan? Demi keselamatan dan keuntungan sendiri kamu

tidak memperdulikan keselamatan dari seluruh benteng, kamu

orang terhitung manusia macam apa?”

Hong Mong Ling yang disemprot dengan kata-kata tajam ini tidak

bisa banyak bicara lagi, dengan wajah yang sudah berubah merah

padam dengan perlahan dia bangkit berdiri membuka sebuah lemari

pakaian. Dari sana dia mengambil keluar sebuah tusuk konde dan

diangsurkan ke tangan Wi Ci To, ujarnya sambil melelehkan air

mata:

“Tanda mata dari sumoay harap suhu menerima kembali”

Wi Ci To menerima tusuk konde dan memasukkan ke dalam

saku, ujarnya:

“Masih ada. Lohu harus mengumumkan pembatalan

perkawinanmu dengan In-ji di hadapan seluruh murid dari Benteng

Pek Kiam Po, biar mereka jadi tahu jelas sebab-sebab pembatalan

perkawinan ini. Aku kira hal ini tentu memberatkan dirimu bukan?

Tetapi demi nama baik serta pengertian dari semua orang, lohu

terpaksa harus melakukan hal ini juga”

“Suhu..” seru Hong Mong Ling sambil melelehkan air mata,

“Kamu orang tua juga akan mengumumkan pemecatan tecu dari

perguruan dan mengusir tecu dari Benteng?”

“Dosamu tidak sampai begitu berat, tetapi lebih baik untuk

sementara kau jalan-jalan diluar Benteng, sesudah perasaan gusar

dari In-ji mereda kamu baru kembali lagi”

Hong Mong Ling mengangguk, sedang air matanya jatuh

berlinang semakin deras.

“Ayoh jalan, semua pendekar pedang dari benteng kita sudah

menanti kedatanganmu di lapangan latihan silat”

Ketika mereka berdua sampai di lapangan latihan silat, terlihatlah

seluruh pendekar pedang dari benteng Pek Kiam Po sudah berdiri

sejajar dengan rapinya di depan mimbar.

Semua orang tidak ada yang tahu Pocu mereka akan berbuat

apa, hanya Ti Then seorang begitu melihat sikap serta air muka

Hong Mong Ling yang sedih segera dapat menebak peristiwa apa

yang hendak terjadi, dia sudah menganggap Wi Ci To adalah

Majikan Patung Emas kini membawa Hong Mong Ling ke tengah

lapangan sudah tentu akan mengumumkan pembatalan perkawinan

antara Hong Mong Ling dengan putrinya, dalam hati diam-diam

merasa sedih pikirnya:

“Heeii..semuanya ini karena kamu cari penyakit sendiri, dengan

usiamu yang masih sangat muda sudah menduduki sebagai

pendekar pedang merah dari Benteng Seratus Pedang, dijodohkan

pula dengan putri dari Wi Ci To tetapi karena masih tidak puas,

masih merasa kurang sehingga mencari senang dengan kaum

pelacur kelas rendahan, kini sesudah terjadi peristiwa yang demikian

tragisnya, harus kamu salahkan siapa?”

Kini dia merupakan kepala pimpinan dari seluruh pendekar

pedang di dalam benteng Pek Kiam Po ini begitu melihat Wi Ci To

berjalan naik ke atas mimbar, dengan cepat ia memberi hormat

mewakili seluruh pendekar pedang yang hadir.

Wi Ci To dengan cepat membalas hormat, sesudah itu barulah

ujarnya:

“Murid-muridku sekalian, ini pagi lohu mau mengumumkan

sebuah berita yang tidak menyenangkan, sejak hari ini juga Hong

Mong Ling bukan bakal mantu lagi. Lohu sudah ambil keputusan

untuk membatalkan perjodohan ini”

Begitu perkataan ini diucapkan keluar, seluruh hadirin pada

menjerit kaget sehingga suasana sedikit gaduh.

Ujar Wi Ci To dengan nada yang keren:

“Alasannya, kelakuan dari Hong kiam-su tidak baik, diluar

berhubungan dengan manusia-manusia tidak genah, tiap hari

mabok-mabokan bahkan tergila-gila dengan pelacur Liuw Su Cen

dari sarang pelacur Touw Hoa Yuan”

Sesudah mendengar perkataan itu seluruh hadirin semakin kaget

lagi, beberapa ratus pasang mata dengan pandangan tidak percaya

pada beralih ke atas wajah Hong Mong Ling, agaknya mereka sama

sekali tidak percaya kalau Mong Ling adalah manusia macam begitu.

Dengan perlahan Wi Ci To menoleh, tanyanya kepada Hong

Mong Ling:

“Mong Ling, kamu mengakui tidak?”

Hong Mong Ling mengangguk dengan perlahan, sedang

mulutnya masih tetap membungkam.

“Kalian tidak percaya omongan lohu ini” ujar Wi Ci To kepada

seluruh hadirin, “Boleh pergi ke sarang pelacur Touw Hoa Yuan

untuk mengadakan penyelidikan, setelah itu tentu kalian akan tahu

perkataan lohu ini sedikit pun tidak bohong”

Dia berhenti sejenak kemudian sambungnya:

“Diantara kalian bilamana masih ada orang-orang yang gemar

mabok-mabokan, gemar main perempuan, harap cepat-cepat

menyesali perbuatan tersebut dan bertobat, kalau tidak, begitu lohu

mengetahui akan hal ini jangan harap kalian bisa mendapat am pun,

cukup sekarang boleh bubar”

Dengan menundukkan kepala Hong Mong Ling dengan cepat

berlalu dari sana untuk kembali ke dalam kamarnya, sesudah

menyelesaikan buntalannya dengan menahan perasaan malu dia

berlalu dari Benteng Pek Kiam Po itu.

Dalam hati Ti Then merasa bahwa di hadapan Wi Ci To tentu

Hong Mong Ling sudah mengungkap kalau dirinya adalah Lu

kongcu, maka begitu bubaran dia langsung menuju keruangan

dalam untuk bertemu dengan Wi Ci To.

Waktu itu Wi Ci To sedang berada di dalam kamar buku bersama

Huang Puh Kian Pek, agaknya mereka sedang membicarakan Hong

Mong Ling yang tergila-gila dengan pelacur Liuw Su Cen itu. Begitu

melihat Ti Then berjalan mendatangi sambil tertawa ujarnya:

“Ti-Kiauwtauw silahkan duduk, di dalam beberapa hari ini

mungkin putriku tidak akan membaik, sesudah lewat beberapa hari

Lohu akan antar dia belajar silat dengan Ti Kiauwtauw”

“Tidak” ujar Ti Then sambil merangkap tangannya memberi

hormat, “Boanpwe datang kemari untuk minta pamit dari pocu

berdua”

Air muka Wi Ci To menjadi berubah, ujarnya dengan keren:

“Minta pamit?”

“Harap Pocu mau membatalkan jabatanku sebagai ketua

pimpinan ini kemudian boanpwe ini hari juga meninggalkan benteng

Pek Kiam Po”

“Kenapa kamu berbuat begini?” Tanya Wi Ci To dengan penuh

keheranan.

“Heeiii..untuk menghindari perasaan curiga orang lain”

“Mencurigai hal apa?”

“Apa Mong Ling heng tidak menceritakan Lu kongcu yang

ditemuinya di sarang pelacur Touw Hoa Yuan?”

“Ehmm..benar !”

“Karena itulah boanpwe merasa jauh lebih baik meninggalkan

Benteng Pek Kiam Po ini, dengan demikian boanpwe pun tidak

perlu banyak bicara untuk berusaha menyangkal”

Dengan pandangan yang sangat tajam Wi Ci To memperhatikan

wajahnya, kemudian dengan serius ujarnya:

“Ti-Kiauwtauw, pernahkah kamu merasa kalau lohu menaruh

perasaan curiga kepada Ti Kiauwtauw?”

“Seharusnya Pocu merasa curiga” sahutnya sambil tertawa pahit.

“Menanti sesudah lohu merasa curiga terhadap tingkah laku Ti

Kiauwtauw, saat itu Ti Kiauwtauw baru pergi juga belum terlambat”

Sengaja Ti Then memperlihatkan perasaannya yang keheranheranan,

tanyanya:

“Kenapa Pocu tidak mencurigai diri boanpwe?”

“Ehmm..tentang hal ini lohu sudah punya pegangan” sahut Wi Ci

To sambil memandangi wajahnya, “Lohu tahu siapa orang yang

harus dicurigai dan siapa orang yang tidak patut dicurigai”

“Tetapi mungkin juga Lu kongcu itu memang boanpwe yang

menyamar” ujar Ti Then sambil tertawa.

“Ti Kiauwtauw masih ada urusan lain?”

“Tidak ada”

“Kalau begitu silahkan Ti Kiauwtauw pergi ke lapangan latihan

silat untuk melaksanakan tugas sebagai seorang ketua pimpinan

seluruh pendekar pedang dalam benteng ini”

Terpaksa Ti Then memperlihatkan sikapnya yang sungguhsungguh,

sambil merangkap tangannya memberi hormat ujarnya:

“Pocu tidak menaruh perasaan curiga terhadap diri boanpwe

membuat hati boanpwe merasa sangat berterima kasih, tetapi sejak

hari ini jika Pocu merasa tidak tenang harap memberi tanda kepada

boanpwe, untuk menghindari perasaan curiga setiap orang boanpwe

sanggup untuk meninggalkan Benteng ini setiap saat”

Sehabis berkata dia mengundurkan diri dari dalam kamar buku.

Dalam anggapannya dia sudah melakukan suatu guyon yang

sangat menggelikan dengan majikan patung emas, karena itulah

dengan langkah yang riang gembira dia berjalan ke lapangan latihan

silat. Wi Ci To dan Huang Puh Kian Pek yang berada di dalam kamar

buku sesudah menanti dia berjalan keluar barulah saling tukar

pandangan. Ujar Huang Puh Kian Pek mendadak:

“Suheng, kamu sungguh-sungguh tidak merasa curiga terhadap

dirinya?”

“Siapa bilang aku tidak merasa curiga? Hanya saja sebelum aku

mendapatkan bukti yang sangat kuat kita tidak dapat berbuat salah

dan menyakiti hatinya”

“Jika dia betul-betul adalah Lu kongcu lalu apa tujuan

sebenarnya dia memasuki Benteng Pek Kiam Po ini?”

“Siapa tahu..”

“Mungkin mem punyai tujuan terhadap loteng penyimpan kitab

dari suheng itu?”

Air muka Wi Ci To berubah sangat hebat, ujarnya dengan dingin:

“Semoga saja bukan, kalau dia berani punya niat terhadap

loteng penyimpan kitab itu, Hmm..hmm..lohu tidak akan

membiarkan dia meninggalkan Benteng ini dalam keadaan hidup”

Berbicara sampai di sini, agaknya dalam pikirannya teringat akan

sesuatu sehingga sinar matanya berkelebat dengan sangat tajam,

ujarnya sambil tertawa:

“Untuk menyelidiki apakah Lu kongcu itu adalah dia yang

menyamar atau bukan padahal merupakan urusan yang sangat

sederhana sekali”

“Mau diselidik dengan cara apa?”

“Asal pergi ke kota Tiang An dan melihat sendiri wajah dari Lu

kongcu bukankah akan tahu. Jika wajahnya mirip dengan Ti Then

maka hal ini membuktikan kalau Ti Then sama sekali tidak pernah

berbuat jahat, jika wajah dari Lu kongcu itu sangat berlainan dari

wajah Ti Then maka hal ini dapat membuktikan kalau Lu kongcu

yang muncul disarang pelacur Touw Hoa Yuan adalah samara dari

Ti Then”

Huang Puh Kian Pek yang mendengar perkataan ini segera

mengangguk, tetapi sebentar kemudian menggelengkan kepalanya

kembali, ujarnya:

“Sekali pun wajah dari Lu kongcu itu berlainan dengan wajah dari

Ti Then tetapi belum bisa memastikan kalau Ti Then adalah itu Lu

kongcu yang muncul di dalam sarang pelacur Touw Hoa Yuan”

“Kenapa?”

“Orang lain juga bisa menyamar sebagai dia”

Dengan sangat tajam Wi Ci To memandang wajah Huang Puh

Kian Pek kemudian baru ujarnya:

“Maksudmu ada orang lain yang menyamar sebagai wajah Ti

Then kemudian menggunakan nama Lu kongcu?”

“Benar”

“Yang kamu maksud sengaja atau tidak sengaja?”

“Orang itu bisa mengetahui dengan jelas waktu Ti Then melewati

kota ini tentu tindakannya ini mengandung maksud yang

mendalam”

“Benar” ujar Wi Ci To sambil tersenyum, “Bilamanatidak sengaja,

Lohu tidak akan percaya kalau di dalam dunia ini bisa terjadi urusan

yang demikian bersamaan”

“Tetapi” ujar Huang Puh Kian Pek lagi, “Jika orang itu sengaja

menyamar sebagai Ti Then hal ini membuktikan kalau dia mau

mencelakai diri Ti Then, tindakannya ini boleh dibilang terlalu kejam

bukan? Karena bilamana bukannya secara tidak sengaja In-ji

menemukan perbuatan yang sangat rendah dari Mong Ling kita pun

sama sekali tidak akan menduga Ti Then adalah seorang manusia

yang harus dicurigai”

“Karena itulah sesudah lohu pikir bolak-balik, maka satu-satunya

kesimpulan yang bisa diambil adalah Lu kongcu itu adalah hasil

penyamaran dari Ti Then”

“Kini suheng punya rencana untuk kirim siapa pergi ke kota

Tiang An untuk menyelidiki urusan ini?” Tanya Huang Puh Kian Pek

dengan nada berat.

“Lohu akan berangkat bersama-sama dengan seorang pendekar

pedang merah”

Mendengar Wi Ci To mau berangkat sendiri tidak terasa Huang

Puh Kian Pek mengerutkan alisnya rapat-rapat, ujarnya:

“Pada saat seperti ini suheng meninggalkan benteng, aku kira

tidak sesuai”

“Tidak mengapa” potong Wi Ci To dengan cepat, “Dengan cepat

aku akan kembali, pada saat lohu tidak ada di dalam Benteng harap

kau mengawasi gerak-gerik dari Ti Then dengan lebih teliti, coba

kamu lihat sewaktu aku tidak berada akan melakukan pekerjaan

apa?”

“Ehmm..baiklah” sahut Huang Puh Kian Pek sambil

menganggukkan kepalanya, “Memang tindakan ini merupakan satu

siasat yang sangat jitu, kapan suheng mau berangkat?”

“Besok”

Keesokan harinya Wi Ci To dengan membawa seorang pendekar

pedang merah yang bernama pendekar pedang pemetik bintang,

Hung Kun, meninggalkan Benteng Pek Kiam Po untuk berangkat

kekota Tiang An.

Di depan Ti Then dia mengatakan hendak mengejar Hong Mong

Ling untuk mengawasi gerak-geriknya apakah masih menyeleweng

atau tidak.

Ti Then sama sekali tidak menaruh curiga terhadap terhadap

dirinya, dengan memusatkan seluruh perhatian dia tetap memberi

pelajaran silat kepada kedelapan orang pendekar pedang merah itu.

Kedelapan pendekar pedang merah itu adalah Yuan Ci Liong, Fan

Kia Jong, Cay Tiau Eng, Yang Ceng Bu, Tong Su Ie, Lan Liang Kim,

Lok Hong serta Kian Ceng, kedelapan orang itu merupakan

pendekar pedang merah yang usianya paling muda di dalam

Benteng seratus pedang itu, semula mereka semua merasa malu

untuk belajar silat dari Ti Then yang usianya jauh lebih muda dari

mereka tetapi sejak Ti Then mengalahkan si pendekar pedang

tangan kiri Cian Pit Yuan, mereka tidak merasa malu lagi, bahkan

sangat kagum dan tunduk betul terhadap Ti Then, maka itulah

dengan menaruh perhatian penuh mereka menerima pelajaran silat

dari Ti Then.

Sebaliknya Ti Then juga tidak menyembunyikan ilmu silatnya lagi,

seluruh kepandaian silat yang berhasil dipelajari dari majikan patung

emas diturunkan kepada mereka, hal ini dikarenakan dia sudah

menganggap Wi Ci To itu adalah majikan patung emas..kalau

majikan patung emas menghendaki dia menurunkan kepandaian

silat kepada murid-muridnya buat apa dirinya menyembunyikan

kepandaian silatnya lagi?

Hanya saja dalam hatinya dia mem punyai perasaan curiga, hal

ini adalah, Wi Ci To atau dalam anggapan Ti Then sebagai majikan

patung emas kalau memiliki kepandaian silat yang sangat tinggi

kenapa ilmu itu tetap disimpan sedemikian lamanya? Bahkan

putrinya sendiri pun tidak diberi pelajaran?

Alasan ini apa mem punyai hubungan yang erat dengan rahasia

loteng penyimpan kitab itu?

Di dalam loteng penyimpan kitab itu sebetulnya menyimpan

rahasia apa?

Apa mungkin di dalam loteng penyimpan kitab itu disimpan

berbagai kitab silat yang berisikan macam-macam kepandaian yang

dahsyat?

Sedang Wi Ci To sendiri dikarenakan berbagai macam alas an

tidak dapat menurunkan kepandaian silatnya itu kepada muridmuridnya

sehingga sengaja menggunakan dirinya sebagai ‘patung

emas’ untuk menurunkan ilmu silat itu kepada murid-muridnya?

“Tidak, tidak mungkin begitu”

Hmm, sekarang Wi Ci To sudah tidak berada di dalam Benteng,

kenapa dirinya tidak mau menyelidiki loteng penyimpan kitab itu di

tengah malam?

Benar, malam ini saat kentongan ketiga harus masuk ke dalam

loteng itu untuk memeriksa lebih jelas?

Keputusan ini diambil cepat pada pagi hari itu juga dan sedang

berada ditengah lapangan latihan silat untuk memberi pelajaran

kepada kedelapan pendekar pedang merah itu.

Mendadak, Wi Lian In tiba.

Kelihatan sekali dia sedang berusaha mengobati luka hatinya,

begitu tiba ditengah lapangan sambil tertawa paksa ujarnya:

“Ti Kiauwtauw, aku sudah datang terlambat?”

Ti Then menjadi termangu-mangu, ujarnya:

“Perasaan hati nona masih kacau, kenapa tidak istirahat

beberapa hari dulu baru datang latihan?”

“Siapa yang bilang hatiku kacau? Aku sama sekali tidak merasa

kacau atau sedih?”

“Ti Then hanya tersenyum saja tidak memberi komentar apa-apa

lagi.

Wi Lian In ketika melihat kedelapan orang pendekar pedang

merah itu sedang melatih satu jurus ilmu pukulan segera

melepaskan pedangnya dan meletakkan ke atas tanah, ujarnya:

“Ti Kiauwtauw silahkan mulai memberi petunjuk aku harus

berbuat bagaimana?”

“Baiklah” ujar Ti Then dengan perlahan, “Cayhe akan mainkan

beberapa kali jurus pukulan ini harap nona perhatikan dengan

sungguh-sungguh”

Sehabis berkata dia mulai mainkan sebuah jurus pukulan dengan

gerakan yang sangat perlahan.

Sesudah mengulangi tiga kali barulah satu gerakan demi satu

gerakan dia memberi keterangan kepada Wi Lian In, akhirnya Wi

Lian in pun seperti juga dengan kedelapan pendekar pedang merah

lainnya dengan mengikuti peraturan melatih jurus ilmu pukulan itu.

Tidak lama tengah hari sudah menjelang.

Ujar Ti Then dengan keras : “Kawan-kawan, hari ini latihan cukup

sampai di sini, nanti sore kalian boleh berlatih sendiri asalkan ada

hal-hal yang kurang jelas boleh pergi kekamar cayhe di sana kita

bersama-sama memikirkan kesukaran itu”

Kedelapan orang pendekar pedang merah itu segera memberi

hormat dan mengundurkan diri, sedang Ti Then beserta Wi Lian In

bersama-sama menuju ke ruangan tengah.

Sambil melerai rambutnya yang panjang ujar Wi Lian In sambil

tersenyum: “Kamu lihat bagaimana dengan latihanku tadi?”

“Bagus sekali”

“Tapi kamu belum beritahu padaku apa nama dari jurus pukulan

itu, mau bukan kamu beritahukan padaku?”

“Tidak bisa” sahut Ti Then sambil menggelengkan kepalanya.

Wi Lian In menjadi melengak, tanyanya: “Mengapa?”

“Karena cayhe sendiri juga tidak tahu apa nama dari jurus

pukulan itu”

“Ooh, mungkin suhumu tidak memberitahukan padamu” ujar Wi

Lian In sambil tersenyum.

Jilid 6.2. Menolong Wi Lian In di puncak selaksa Buddha

“Benar” sahutnya sambil mengangguk, “Dia orang tua hanya

mengajari aku ilmu tetapi sama sekali tidak mau beri penjelasan apa

nama jurus pukulan ini dan apa nama jurus pukulan itu”

“Ehm..suhumu sungguh misterius sekali”

“He he he..siapa bilang tidak?”

“Ti Kiauwtauw” ujar Wi Lian In sambil memandangi wajah Ti

Then, “Ilmu pukulan ini mengandung maksud yang sangat

mendalam perubahannya pun sangat banyak sekali, entah harus

berlatih seberapa lama baru berhasil”

“Asalkan berlatih dengan sungguh-sungguh tanpa gangguan

urusan samping, mungkin paling lama dua bulan sudah akan

berhasil”

Wi Lian In tersenyum lagi, ujarnya:

“Tadi kau bilang hatiku kacau dan sedih, dengan dasar apa kamu

berani bilang begitu?”

Ti Then memandang sekejap kearahnya kemudian sambil

tersenyum sahutnya:

“Kamu tidak suka dengan Hong Mong Ling heng?”

“Kemarin hari aku masih suka padanya”

“Walau pun sekarang kamu tidak suka padanya” ujar Ti Then

dengan perlahan, “Tetapi jika aku yang mengalami, secara

mendadak harus berpisah dengan seorang kekasih yang

disayanginya tidak urung akan merasa sangat sedih sekali”

“Kemarin malam aku memang sangat sedih hingga merasa sukar

untuk hidup lebih lama lagi, tetapi hari ini bukan saja aku tidak

sedih bahkan merasa sangat gembira sekali”

“Gembira sekali?” Tanya Ti Then tercengang.

“Tidak salah” sahut Wi Lian In dengan serius, “Aku merasa

gembira atas keberuntunganku karena belum dikawinkan dengan

dia”

“Agaknya nona tidak terlalu memandang tinggi terhadap nama?”

“Siapa bilang aku tidak memandang tinggi akan nama, tetapi aku

lebih baik tidak kawin untuk selamanya daripada dijodohkan dengan

seorang manusia yang berpribadi rendah dan pura-pura saja

menaruh cinta”

“Aku lihat Mong Ling heng sangat mencintai diri nona, hanya saja

karena nafsu sesaat..”

“Hemmm..kamu bantu dia bicara?” ujar Wi Lian In sambil

mencibirkan bibirnya.

“Aku bukannya bantu dia bicara” sahut Ti Then sambil tertawa,

“Aku hanya bilang walau pun dia tergila-gila dengan seorang

pelacur, tetapi bukannya dia tidak cinta padamu”

“Hemmm perkataan apa itu? Bilamana dia mencintai aku

bagaimana bisa tergila-gila dengan seorang pelacur?”

“Seorang lelaki ada kalanya bersamaan waktu mencintai dua

orang nona sekaligus, misalnya saja orang yang mem punyai

beberapa orang istri sudah banyak terjadi sekarang ini”

“Tetapi diharuskan aku bersuamikan bersama-sama dengan

seorang pelacur terkutuk, aku tidak akan tahan”

“Tetapi agaknya Mong Ling heng tidak punya maksud untuk

mengawini Liuw Su Cen sebagai istrinya”

“Liuw Su Cen itu tentu cantik bukan?”

“Tidak tahu, aku belum pernah bertemu”

“Ehmmm sungguh menarik sekali” ujar Wi Lian In sambil

tersenyum manis, “Ternyata dia

sudah salah menyangka kamu adalah Lu kongcu itu”

“Lalu menurut nona aku benar dia atau bukan?”

“Aku kira tidak mungkin”

“Mungkin saja benar”

“Tidak” sahut Wi Lian In sambil menggelengkan kepalanya, “Jika

Lu kongcu itu adalah hasil penyamaranmu maka kau hanya punya

satu tujuan saja”

“Tujuan apa?”

“Berusaha memecahkan perjodohanku dengan dia, tetapi kamu

sama sekali tidak berbuat demikian kamu masih membantu dia

bicara”

“Ehmmm….”

“Sore ini kamu ada urusan tidak?”

“Tidak ada”

“Kalau begitu temani aku bermain ke puncak emas, bagaimana?”

“Tentang hal ini…”

“Kamu takut?”

“Bukannya begitu” sahut Ti Then sambil meringis, “Baru saja

nona bentrok dengan Mong Ling heng, jika kini kita pesiar bersamasama

begitu diketahui oleh kawan-kawan Benteng, mungkin akan

bermunculan omongan iseng”

“Aku tidak taku, kamu takut apa lagi?”

“Perkataan orang sukar dijaga, cayhe tidak berani berbuat

gegabah”

“Baiklah, kamu tidak mau pergi, aku pergi sendiri”

Bercerita sampai di sini kedua orang itu sudah berada diruangan

tengah, begitulah mereka berpisah untuk kembali ke dalam

kamarnya masing-masing.

Ti Then pergi menjenguk sejenak kekamar Shia Pek Tha

kemudian berjalan-jalan disekitar Benteng. Sejak memasuki Benteng

Pek Kiam Po hingga saat ini sudah ada empat lima hari lamanya

tetapi banyak tempat di dalam Benteng itu yang belum disinggahi,

karena itulah sambil menggendong tangan dia berjalan mengelilingi

seluruh Benteng hingga akhirnya sampailah di depan Loteng

penyimpan kitab itu.

Loteng penyimpan kitab ini bertingkat tiga,keadaannya seperti

gapura, bangunannya pun sangat kuat tetapi pintu serta jendelanya

ditutup rapat-rapat sedang diluar bangunan terlihatlah empat orang

pendekar pedang berjaga siang malam di sana.

Dengan sikap seperti jalan-jalan Ti Then memeriksa dengan teliti

keadaan sekitar bangunan itu, sudah memilih jalan untuk maju dan

mundur nanti malam barulah dia kembali ke dalam kamarnya sendiri

untuk beristirahat.

Menjelang magrib seorang pelayan datang mengundang Ti Then

untuk bersantap, sesampainya di ruangan makan terlihat di sana

hanya Hu Pocu Huang Puh Kian Pek seorang saja berada di meja

makan.

Tanya Huang Puh Kian Pek begitu melihat Ti Then muncul di

sana: “Bagaimana dengan kedelapan orang pendekar pedang itu?

Berbakat untuk belajar silat?”

“Bagus sekali, mereka punya bakat yang sangat baik”

“Ake dengar nona Wi juga pergi berlatih?” Tanya lagi Huang Puh

Kian Pek sambil tersenyum.

“Tidak salah, tidak malu nona Wi disebut sebagai seorang

pendekar wanita, ternyata bisa menghilangkan kesedihan untuk

datang berlatih”

“Ehmmm…memang sifatnya seperti ayahnya, periang dan suka

bergaul”

“Heii..” ujar Ti Then tiba-tiba sambil menghela napas panjang,

“Sebetulnya Mong Ling heng jadi orang tidak jelek, boanpwe sangat

mengharapkan nona Wi bisa berhubungan kembali seperti sedia

kala”

“Aku kira tidak mungkin bisa terjadi, sifatnya sangat berangasan

dan tegas, urusan yang sudah diputuskan olehnya tidak akan

disesali lagi”

“Heii..jika tahu urusan akan terjadi begini, malam itu boanpwe

tidak akan membawa Mong Ling heng kembali”

“Ti Kiauwtauw” ujar Huang Puh Kian Pek sambil tersenyum,

“Kamu jangan bicara begini, urusan ini sama sekali tidak ada

sangkut pautnya dengan Ti Kiauwtauw”

“Heiii…hal ini juga karena kebodohan boanpwe sendiri, terhadap

kepandaian silat lainnya boanpwe masih bisa tetapi terhadap ilmu

menotok jalan darah paling tidak paham sehingga sama sekali tidak

tahu kalau jalan darah pingsannya yang tertotok, waktu itu jika

boanpwe paham mengenai jalan darah cukup sadarkan dirinya maka

urusan sudah selesai dan Mong Ling heng bisa kembali ke dalam

Benteng sendirian. Heiii…urusan yang tidak menyenangkan ini pun

tidak mungkin bisa terjadi”

“Tapi perkataan tidak bisa dibicarakan begini” ujar Huang Puh

Kian Pek sambil menggelengkan kepalanya, “Jika Ti Kiauwtauw tidak

tolong dia kembali mungkin jika sampai tergigit binatang lalu

bagaimana jadinya?”

Kedua orang itu sambil dahar sambil berbicara, mendadak

terlihatlah budak Wi Lian In yang bernama Cun Lan masuk ke dalam

ruangan dengan tergesa-gesa, air mukanya kelihatan sangat

murung, agaknya ada perkataan yang hendak disampaikan.

Tanya Huang Puh Kian Pek begitu melihat sikapnya yang raguragu

dan cemas itu : “Cun Lan, ada urusan apa?”

Dengan cepat Cun Lan berjalan ke hadapan Huang Puh Kian Pek

dan member hormat, sahutnya:

“Lapor pada Hu Pocu, sejak sore tadi siocia keluar Benteng

hingga kini belum kembali, entah bisa terjadi tidak urusan yang

tidak menyenangkan”

“Nona pergi kemana?” Tanya Huang Puh Kian Pek dengan

tercengang.

“Budakmu juga tidak tahu” sahut Cun Lan sambil menggelengkan

kepalanya.

“Hu Pocu” timbrung Ti Then dari samping, “Mungkin nona Wi

pergi ke puncak emas untuk pesiar, tadi siang dia pernah beritahu

pada boanpwe katanya mau bermain di puncak emas”

Air muka Huang Puh Kian Pek segera berubah hebat, sahutnya:

“Seorang diri dia berpesiar ke puncak emas?”

Ti Then merasa tidak enak untuk menceritakan kalau dia pernah

mengajak dirinya untuk pesiar bersama-sama, terpaksa sahutnya:

“Benar, mungkin untuk menenangkan hatinya”

“Tetapi hari sudah gelap, menurut peraturan dia sudah

seharusnya tiba di dalam Benteng” ujar Huang Puh Kian Pek sambil

memandang tajam kearahnya.

Sesudah berhenti sejenak dia menoleh kearah Cun Lan, tanyanya

lagi:

“Sewaktu nona keluar Benteng pernah membawa barang apa

saja?’

“Tidak ada, hanya sebilah pedangnya”

Alis yang dikerutkan pada wajah Huang Puh Kian Pek semakin

mengencang, ujarnya kepada Ti Then: “Sifat budak itu sangat

berangasan sekali, entah bisa tidak dia pergi mencari gara-gara?”

Hati Ti Then terasa dipukul sangat keras, sahutnya dengan

cepat: “Hal ini sukar untuk dibicarakan, bilamana pikirannya

kacau…”

“Cepat, kita cepat pergi cari dia!” ujar Huang Puh Kian Pek sambil

bangkit berdiri.

Demikianlah Huang Puh Kian Pek serta Ti Then tidak menanti

selesai makan segera keluar benteng dengan tergesa-gesa dan lari

dengan cepatnya menuju puncak emas.

puncak emas merupakan puncak yang tertinggi di gunung Go-bi

san ini, sesudah puncak selaksa Buddha, mereka berdua dengan

berlari dua jam lamanya barulah sampai di tempat tujuan.

Kiranya yang disebut dengan sebagai puncak Emas itu adalah

sebuah kuil yang semula merupakan ruangan tengah dari Koang

Siang Si, juga disebut sebagai kuil Beng Sim Si, menurut dongeng

kuil itu didirikan pada jaman kaisar Han Beng Tio dikarenakan angin

yang bertiup di atas gunung sangat keras maka seluruh kuil

menggunakan atap dari timah karena itulah tempat itu disebut juga

sebagai ruangan Si Wua Tien.

Tempat ini ada dua tempat yang paling menarik perhatian orang,

yang satu adalah tugu tembaga yang tingginya enam depa dengan

lebar tiga depa, di atas tugu itu tertuliskan dua macam huruf

dibolak-baliknya, yang satu bertuliskan tulisan Ong Ji, sedang yang

lain bertuliskan tulisan Cu In Liang Ji. Pemandangan menarik yang

lainnya adalah tebing di belakang ruangan itu.

Yang paling menguatirkan hati Huang Puh Kian Pek adalah di

dalam keadaan sedih mungkin sekali Wi Lian In akan terjun ke

dalam tebing untuk bunuh diri.

Dengan tergesa-gesa, dia membawa Ti Then ke dalam kuil itu,

kepada seorang hwesio tua tanyanya : “Toa suhu, apa kamu melihat

nona Wi pergi ke sini?”

Kiranya semua hwesio di dalam kuil ini mengenal dengan orangorang

dari Benteng Pek Kiam Po, begitu hwesio tersebut melihat

Huang Puh Kian Pek masuk ke dalam kuil segera merangkap

tangannya memberi hormat, sahutnya kemudian : “Omintohud,

kiranya Huang Puh sicu yang datang, silahkan masuk dalam

ruangan untuk minum the”

“Tidak perlu” ujar Huang Puh Kian Pek dengan tergesa-gesa,

“Cayhe sedang mencari nona Wi kami, apakah Toa suhu melihat

dia?”

“Pernah..pernah, kurang lebih dua jam yang lalu nona Wi pernah

masuk ke dalam kuil untuk bersembahyang, tetapi sesudah itu telah

keluar dari kuil dan pergi”

“Pergi kearah mana?” Tanya Huang Puh Kian Pek semakin

cemas.

“Agaknya menuju ke tebing di belakang kuil ini”

Air muka Huang Puh Kian Pek berubah semakin hebat lagi,

dengan cepat dia putar tubuh dan lari bagaikan kilat cepatnya

keluar kuil kemudian berdiri menuju ke tebing di belakang kuil itu.

Ti Then dengan kencang mengikuti dari belakangnya, kedua

orang itu hanya di dalam sekejap mata sudah sampai di samping

tebing di belakang kuil itu, tetapi tempat itu gelap gulita sedikit pun

tidak tampak bayangan tubuh dari Wi Lian in itu.

Kedua orang itu semakin mendekat lagi ke pinggiran tebing,

ketika menengok ke bawah tempat itu hanya terlihat kegelapan

yang membuta saja, sedikit pun tidak terlihat lagi pemandangan

sedikit pun.

Huang Puh Kian Pek menghembuskan napas panjang, agaknya

hatinya merasa sangat tidak tenang, ujarnya kemudian:

“Ti Kiauwtauw, coba kamu lihat mungkin tidak dia ambil

keputusan pendek?”

Ti Then menundukkan kepala berpikir sebentar, kemudian

barulah sahutnya dengan perlahan:

“Boanpwe tidak berani memastikan, tetapi jika dilihat sikapnya

yang periang ketika datang berlatih silat dilapangan silat tadi pagi

tidak mungkin dia bisa mengambil keputusan pendek”

“Baru saja kemarin dia bentrok dengan Hong eng, bagaimana ini

hari bisa gembira? Tidak mungkin bisa demikian cepatnya”

“Dia masih bilang kalau hatinya merasa sangat gembira karena

belum sampai dijodohkan dengan Mong Ling-heng”

Sinar mata Huang Puh Kian Pek berkelebat tak henti-hentinya,

ujarnya dengan berat:

“Aku lihat lebih baik kita melihat ke bawah, mari kita turun”

sehabis bicara tanpa menanti jawaban lagi dia mencari jalan untuk

menuruni tebing tersebut.

Tebing di belakang kuil ini merupakan sebuah tebing yang sangat

curam sekali, kedua orang itu dengan mengikuti jalan kecil di

sampingnya berjalan turun ke bawah, kurang lebih sesudah

memakan waktu sepertanak nasi lamanya barulah sampai didasar

tebing tersebut.

Batu-batu cadas yang besar dan runcing berserakan didasar

tebing tersebut bahkan saking banyaknya hingga seperti sebuah

hutan, untuk mencari sesosok mayat didasar tebing tersebut

agakknya harus membutuhkan waktu yang sangat lama sekali.

Ujar Huang Puh Kian Pek mendadak memecahkan kesunyian:

“Kamu cari ke sebelah sana, biar lohu cari di sebelah sini, cepat!”

Dengan demikian mereka berdua berpisah untuk masing-masing

mencari diarah yang berlawanan, tetapi walau pun sudah

mengelilingi sekitar tempat itu hingga ketempat semula tetap saja

mereka tidak menemukan mayat dari Wi Lian In.

Akhirnya Huang Puh Kian Pek hanya bisa menghembuskan napas

panjang, ujarnya: “Heeeii..membuat lohu benar-benar kuatir, budak

itu mungkin sudah pergi ke puncak selaksa Buddha”

“Apa, nona pergi ke puncak selaksa Buddha?” tanya Ti Then

mendadak.

“Jika hatinya tidak senang baru pergi ke sana, ada satu kali

hanya karena urusan yang sangat kecil dia bentrok dengan Hong

Mong Ling, akhirnya seorang diri dia lari ke atas puncak selaksa

Buddha, duduk hingga pagi membuat orang-orang yang mencari

cape setengah mati”

“Kalau memang begitu mari kita pergi ke puncak selaksa Buddha

untuk melihat-lihat”

“Baik” sahut Huang Puh Kian Pek sambil mengangguk, “Untuk

menuju ke puncak selaksa Buddha ada dua jalan, kau

menggunakan jalan sebelah selatan biarlah lohu menggunakan jalan

sebelah timur, kita bertemu di atas”

Kedua orang itu sekali lagi menaiki tebing tersebut dan berpisah

untuk masing-masing dari arah selatan dan timur menuju ke

puncak selaksa Buddha.

Ti Then yang tidak paham akan jalan di sana terpaksa melakukan

perjalanan sangat perlahan sekali, baru saja dia tiba dilereng

puncak mendadak dari sebelah kiri berkumandang datang suara

bentrokan senyata yang sangat ramai sekali.

Ehmmm…ditengah malam buta pada pegunungan yang demikian

sunyi siapa yang sedang bertempur?

Dalam ingatannya segera terpikirkan kalau salah satu diantara

mereka tentu adalah Wi Lian In, dia tidak berani berlaku ayal lagi

dengan cepat tubuhnya berkelebat menuju ke sana.

Sesudah melewati hutan itu dan berjalan setengah li jauhnya

sampailah disebuah tebing curam, hanya saja suara bentrokan

senyata itu berasal dari bawah tebing tersebut.

Dengan diam-diam dia mendekati jalanan di samping tebing itu

dan menengok ke bawah, terlihatlah kurang lebih lima kaki di bawah

tebing tersebut terdapat sebuah batu cadas yang sangat lebar

dengan lebar kurang lebih tiga kaki dan panjangnya tujuh kaki,

sedang dua orang yang sedang bertempur itu tidak lain adalah Wi

Lian In serta Hong Mong Ling adanya.

Kiranya Hong Mong Ling belum meninggalkan daerah gunung

Go-bi ini.

Hal ini sama sekali diluar dugaan Ti Then, pikirnya: “Urusan ini

sungguh aneh sekali, bangsat cilik tersebut ternyata masih berani

berdiam didaerah sekitar gunung Go-bi ini, apa mungkin dia masih

tidak mau menyerah begitu saja dan mengajak Wi Lian In untuk

bertemu di tempat ini?’

Kelihatannya pertempuran antara Wi Lian In serta Hong Mong

Ling itu sudah berjalan sangat lama sekali, sedang diantara mereka

berdua pun kelihatan sudah mulai merasa lelah hanya saja keadaan

dari Wi Lian In jauh lebih celaka, jurus-jurus serangannya hanya

dilancarkan untuk melindungi dirinya sendiri saja sedang tenaganya

kelihatan dengan jelas sudah dikuras habis, sebaliknya Hong Mong

Ling setindak demi setindak mulai mendesak mendekati tubuhnya.

Diluar tebing tersebut gelap gulita tidak terlihat apa pun juga.

Tidak terasa Ti Then menghembuskan napas dingin, pikirnya:

“Hemm..apa mungkin dia ingin membunuh Wi Lian In?”

Baru saja dia berpikir sampai di sana, mendadak terlihatlah

pedang dari Wi Lian In berhasil dipukul terpental ketengah udara

dan melayang jatuh kedasar jurang.

Tidak terasa lagi air muka Wi Lian In berubah dengan sangat

hebatnya, tanpa terasa lagi dia mundur satu langkah ke belakang.

Asalkan dia mundur lagi satu langkah maka tubuhnya akan

terjatuh ke dalam jurang dan tubuhnya akan hancur lebur terkena

batu-batu cadas yang tajam dan menongol ke atas.

Dengan meminyam kesempatan ini Hong Mong Ling

menempelkan ujung pedangnya ke depan dadanya, ujarnya dengan

keras: “Jangan bergerak!”

“Ayoh tusuk..ayoh cepat tusuk” ujar Wi Lian In sambil tertawa

sedih.

Sekali pun saat itu Hong Mong Ling mendapatkan kemenangan

tetapi kelihatan sekali hatinya merasa tidak puas, dengan sedih

ujarnya:

“In moay, kau..kau sungguh-sungguh tak mengingat kecintaan

kita pada masa yang lalu? Kamu tahu aku masih sangat cinta

padamu, asalkan kamu..”

“Tutup mulut!” bentak Wi Lian In sambil melototkan matanya

lebar-lebar, “Sekarang masih ada perkataan apa lagi yang hendak

kau ucapkan?”

Air muka Hong Mong Ling kelihatan sedikit bergerak, kemudian

barulah ujarnya lagi:

“Aku sudah bilang berpuluh-puluh kali padamu aku sama sekali

tidak cinta itu pelacur Liuw Su Cen, kejadian yang sudah terjadi itu

hanya suatu permainan belaka. Asalkan kamu mau memaafkan

diriku maka aku sanggup membawa batok kepala Liuw Su Cen

untuk kau lihat..”

Wi Lian In menjadi semakin gusar, bentaknya dengan keras:

“Tutup bacotmu. Liuw Su Cen sudah berbuat salah apa terhadap

dirimu? Buat apa aku butuhkan batok kepalanya?”

“Kalau begitu kamu minta aku berbuat apa?” tanya Hong Mong

Ling sambil menghela napas panjang.

“Aku minta kau menggelinding dari sini, aku minta kau

menggelinding jauh-jauh dari hadapanku..cepat pergi!”

Mendengar bentakan itu air muka Hong Mong Ling berubah

semakin hebat, sambil tertawa dingin ujarnya:

“Aku tahu kenapa kamu demikian bencinya terhadap aku.

Hemmm..hemm..jika bukannya datang seorang yang bernama Ti

Then kamu juga tidak mungkin bisa bersikap demikian terhadap

diriku”

Wi Lian In menjadi melengak, tidak disangka olehnya dia bisa

berbicara begini, tetapi sebentar kemudian sudah menjadi gusar

lagi, bentaknya:

“Kamu bilang apa?”

Pada air muka Hong Mong Ling terlihatlah perasaan dengki dan

bencinya, ujarnya dengan gemas:

“Kamu melihat kepandaian silat dari Ti Then jauh lebih tinggi dari

kepandaianku maka hatimu segera berubah dan ingin dijodohkan

dengan dia bukan begitu? Hemmmm..”

Saking jengkelnya air muka Wi Lian In segera berubah menjadi

pucat pasi, teriaknya berkali-kali:

“Tidak salah, tidak salah ! tidak salah, Ti Then memang berwajah

jauh lebih tampan dari kamu, kepandaian silatnya pun jauh lebih

tinggi dari dirimu maka aku ingin dikawinkan dengan dirinya, kamu

mau berbuat apa?”

“Hemm..hemmm..bagus sekali, bagus sekali” ujar Hong Mong

Ling sambil tertawa dingin tak henti-hentinya, “Bagus sekali.

Manusia budiman harus dijodohkan dengan perempuan cantik, aku

bisa mengabulkan keinginanmu ini hanya saja..hemm..hemmm…”

Berbicara sampai di sini pedang yang ditempelkan pada

jantungnya ditekan lebih dalam lagi sedang wajahnya sambil

meringis seram memandangi tajam wajahnya.

Dalam hati Wi Lian In mengira kalau dia sudah bangkit napsu

untuk bunuh dirinya tidak terasa dia menjerit kaget sedang

tubuhnya membungkuk ke belakang.

Hong Mong Ling memangnya menginginkan dia berbuat

demikian, tubuhnya dengan cepat maju ke depan sedang dua jari

tangan kirinya dengan cepat menotok jalan darah kaku ditubuhnya.

Wi Lian In tidak sempat menghindarkan diri lagi, dengan

mengeluarkan suara dengusan perlahan tubuhnya rubuh ke atas

tanah.

Tangan kiri Hong Mong Ling sesudah menotok jalan darah

kakunya segera tangannya meraba kearah dadanya, dengan air

muka penuh napsu birahi ujarnya:

“Hemmm..he he he…sesudah aku rusak perawanmu kamu orang

boleh kawin dengan Ti Then”

Air muka Wi Lian In berubah sangat hebat sekali, makinya:

“Binatang. Kamu manusia gila..binatang!”

“Ayoh teriak…ayoh teriak yang keras!” seru Hong Mong Ling

sambil tertawa dingin, “Ditempat seperti ini sekali pun kamu

berteriak hingga tenggorokanmu pecah juga tidak aka nada orang

yang dengar teriakanmu ini”

oooOOOooo

Bab 11

Sehabis berkata dia menarik tubuhnya ke bawah tebing tersebut.

Kiranya di bawah tebing itu terdapatlah sebuah gua yang cukup

lebar.

Ti Then yang takut dia melukai tubuh Wi Lian In sampai saat itu

masih tetap berdiam diri tidak bergerak sedikit pun juga, tetapi

begitu melihat dia membawa tubuh Wi Lian In ke dalam gua untuk

diperkosa tidak tertahan lagi dia meloncat turun dengan cepatnya

kearah depan gua tersebut.

Dengan cepat tubuhnya berhasil melayang turun di depan gua itu

tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga.

Saat itu Hong Mong Ling baru saja meletakkan tubuh Wi Lian In

ke atas tanah, mendadak terdengar diluar gua berkumandang suara

berkelebatnya pakaian yang tersambar angin, tidak terasa hatinya

tergetar sangat keras sekali, sambil melintangkan pedangnya di

depan dadanya teriaknya:

“Siapa?”

Ti Then yang berada diluar gua dengan cepat menutup seluruh

pernapasannya dan berdiri tanpa bergerak sedikit pun juga.

Hong Mong Ling sesudah memusatkan seluruh perhatiannya

mendengar beberapa saat lamanya tetapi tetap tidak mendengar

gerakan apa pun, hatinya malah diam-diam curiga, dia merasa

mungkin dirinya sudah salah mendengar tetapi juga tak berani

berlaku gegabah, terpaksa dengan menempelkan tubuhnya pada

dinding gua, setindak demi setindak dia berjalan keluar dari gua

untuk memeriksa.

Baru saja dia berjalan tiga langkah dari depan gua, mendadak

dengan cepat dia menghentikan langkahnya, sesudah berpikir

sebentar dengan perlahan-lahan buntalannya dilepas dan dilempar

keluar gua. Inilah yang disebut sebagai “melempar batu menanya

jalan.”

Tetapi sejak semula Ti Then sudah mendengar suara

dilepaskannya buntalan, karena itulah begitu buntalannya dilempar

ke depan dia tetap berdiam diri tidak bergerak sedikit pun juga.

Hong Mong Ling yang melihat dari luar gua tidak mendapatkan

sambutan apa pun hatinya menjadi semakin lega, dengan cepat

tubuhnya berkelebat keluar dari dalam goa.

Begitu tubuhnya berkelebat dengan cepat Ti Then mengulur

tangannya mencekal urat nadi dari tangan kanannya.

Hong Mong Ling menjadi sangat terkejut, baru saja siap

melepaskan dirinya dari cengkeraman itu mendadak terasa olehnya

tubuhnya sudah kaku tanpa bertenaga, tidak terasa ujarnya dengan

gemetar:

“Kau? Kamu…kamu….”

Ti Then tersenyum manis, ujarnya : “Tidak salah, memang aku

yang sudah datang. Mong Ling heng, kenapa kamu berbuat

demikian tidak sopannya terhadap nona Wi?”

Wi Lian In yang menggeletak di dalam goa begitu mendengar

suara Ti Then tidak tertahan lagi menjadi sangat girang, teriaknya:

“Ti Kiauwtauw, bunuh saja dia, bunuh binatang terkutuk itu!”

Air muka Hong Mong Ling yang sudah pucat pasi semakin

memutih lagi, ujarnya sambil tertawa sedih.

“Tidak salah, Ti Kiauwtauw cepat bunuh aku saja daripada

meninggalkan bencana di kemudian hari”

Ti Then hanya tertawa dingin saja tanpa mengucapkan sepatah

kata pun, sedang dalam hati pikirnya, “Walau pun bangsat cilik ini

bukan manusia baik tetapi bagaimana pun juga aku sudah merusak

perjodohan mereka, bagaimana aku bisa bunuh dia lagi?”

Pikiran ini dengan cepat berkelebat di dalam benaknya dengan

cepat dia memukul jatuh pedang panjang ditangannya, kemudian

mendorong tubuhnya keluar, ujarnya sambil tertawa:

“Pergilah! Asalkan sejak hari ini bisa menyesali dosa-dosa yang

sudah diperbuat mungkin suhumu masih mau mengam puni dosadosamu

itu”

Hong Mong Ling yang di dalam anggapannya tentu akan binasa

merasa jauh berada diluar dugaannya Ti Then mau melepaskan

dirinya, sesudah melengak beberapa waktu lamanya barulah dia

mundur beberapa langkah ke belakang, dengan pandangan

melongo dia memandang wajah Ti Then dengan sangat tajam

kemudian memungut kembali buntalannya dan meloncat pergi dari

tempat itu.

Sesudah itulah Ti Then baru masuk ke dalam gua, tanyanya :

“Nona Wi, kamu tidak terluka bukan?”

Air mata Wi Lian In dengan derasnya mengucur keluar

membasahi pipinya, ujarnya dengan nada setengah penasaran.

“Kenapa kamu tidak bunuh dia?”

“Cayhe tidak punya alas an untuk bunuh dirinya”

“Tetapi kamu juga tidak seharusnya melepaskan dia pergi”

“Heii..” ujar Ti Then sambil menghela napas panjang, “Dari cinta

memang bisa timbul perasaan benci, orang macam ini sering

terdapat di dalam dunia, cayhe rasa orang itu harus dikasihani”

“Tetapi dia menotok jalan darahku dan mau memperkosa diriku”

ujar Wi Lian In sambil melelehkan air matanya.

“Biarlah cayhe yang membebaskan jalan darah nona”

“Kamu tidak membebaskan totokan jalan darahku lalu menyuruh

siapa yang membebaskan diriku?”

Ti Then hanya tersenyum saja, tangannya dengan cepat

bergerak membebaskan totokan jalan darah kaku dari tubuh Wil

Lian In.

Begitu jalan darahnya terbebas dengan cepat Wi Lian In

meloncat bangun, tanyanya dengan cepat.

“Dia lari kearah mana?”

“Tidak perduli dia lari kearah mana pun kamu tidak akan sanggup

untuk mengejarnya lagi”

Dengan melototkan matanya Wi Lian In memandang wajah Ti

Then, kemudian sambil mencibirkan bibirnya ujarnya lagi:

“Agaknya kamu merasa simpatik terhadap dirinya, apa artinya

ini?”

“Dalam hati cayhe merasa kesemuanya ini dikarenakan kesalahan

cayhe kepada menolong dia pulang ke dalam Benteng, kalau tidak,

tidak akan terjadi keretakan seperti ini”

Wi Lian In menjadi gemas, sambil mendepakkan kakinya ke atas

tanah, ujarnya lagi:

“Perkataan apa ini? Apa dia pergi mencintai seorang pelacur juga

karena kesalahanmu?”

Ti Then hanya bisa mengangkat bahunya sahutnya sambil

tertawa tawar.

“Pokoknya kalau nona merasa dia seharusnya dihukum mati,

nanti kamu boleh lapor pada hu Pocu, aku percaya dengan kekuatan

orang-orang dari seluruh Benteng tidak sukar untuk menawan dia

kembali untuk dijatuhi hukuman mati”

Sesudah membetulkan pakaiannya barulah dengan langkah

perlahan Wi Lian In berjalan keluar dari dalam gua, ujarnya dengan

gemas.

“Sudah tentu aku harus laporkan peristiwa ini kepada Hu Pocu,

Hemm.hemm sungguh tidak kusangka dia berani punya niat untuk

memperkosa aku sesudah dia ditawan kembali aku akan turun

tangan sendiri memberi hukuman mati kepadanya”

Ti Then pun mengikuti berjalan keluar dari gua, tanyanya

mendadak.

“Dia sudah meninggalkan Benteng kemarin pagi, kenapa bisa

muncul ditempat ini secara mendadak?”

“Siapa tahu?” ujar Wi Lian In tetap gemas, “Ketika aku melihat

terbenamnya matahari di atas batu cadas tadi mendadak dia muncul

di sana, semula dia minta aku maafkan kesalahannya aku tidak mau

saking malunya dia menjadi gusar dan turun tangan terhadap

diriku”

“Heeii..ayahmu tidak tahu kalau dia masih berada di sekitar

tempat ini, dia orang tua sudah bawa orang pergi cari dia”

“Biarlah besok pagi aku minta Hu Pocu untuk kirim orang

memanggil kembali ayahku dan beritahu sekalian peristiwa ini biar

dia orang tua semakin berniat keras untuk tawan dia pulang”

Berbicara sampai di sini tubuhnya yang kecil langsing dengan

cepat meloncat melayang naik ke pinggiran tebing.

Ti Then pun ikut meloncat naik, ujarnya lagi:

“Tadi dia bilang mau membawa batok kepala dari Liuw Su Cen

untuk kau lihat, bisakah dia turun tangan untuk melaksanakannya?”

“Kini dia tidak akan melakukan hal itu, bilamana dia mencari Liuw

Su Cen lagi tentu dia bermaksud membawa dia kabur”

Mendadak dia menoleh kearah Ti Then sambil tertawa pahit,

ujarnya:

“Semua perkataan tadi kamu sudah mendengar?”

Ti Then sedikit mengangguk.

Dengan perasaan malu Wi Lian In menundukkan kepalanya

rendah-rendah, ujarnya:

“Dia bilang aku sudah berubah hati dan ingin…ingin…, sungguh

perkataan kotor dari seekor anying!”

“Tidak ada perkataan yang baik dalam cekcok, nona harap

berlega hati” ujar Ti Then sambil tersenyum.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 7.1. Wi Lian In diculik

Mendadak Wi Lian In angkat kepalanya, sambil tersenyum manis

ujarnya. “Semula kamu bilang tidak mau keluar, kenapa sekarang

datang ke sini juga??”

“Sewaktu cuaca mendekati gelap cayhe sedang dahar dengan Hu

Pocu di ruangan dalam, ketika itulah Cun Lan datang melapor kalau

nona belum pulang juga, Hu pocu merasa tidak tenteram hatinya,

maka mengajak aku naik ke atas gunung untuk mencari nona”.

Ketika Wi Lian In mendengar dia keluar bersama-sama dengan

Hu Pocu seperti juga baru saja meneguk secawan arak yang tidak

punya rasa, senyuman dibibirnya segera lenyap tanpa bekas,

ujarnya dengan nada sedikit tidak senang. “Ooh kiranya begitu,

dimana Hu Pocu?”

“Dia berpisah dengan cayhe untuk masing-masing menggunakan

arah yang berlainan menuju ke puncak selaksa Buddha, saat ini

mungkin dia sedang mencari nona di atas puncak”

“Heemm. . buat apa aku pergi ke puncak selaksa Buddha?”

Mendengar perkataan itu Ti Then tersenyum sahutnya:

“Ketika kami tidak menemukan nona di dasar tebing di belakang

kuil puncak emas maka dalam anggapan kita tentunya nona pergi

ke puncak selaksa Buddha”

“Hmm. . .” ujar Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.

“Bilamana aku mau cari jalan pendek tebing di belakang kuil itu

sudah cukup bagiku, buat apa menaiki puncak selaksa Buddha ini.

.”

“Tapi aku lihat nona tidak akan mengambil jalan pendek lantaran

dia bukan??”

“Lantaran dia? Hemm aku tidak akan sebodoh itu, pagi tadi aku

sudah bilang sedikit pun hatiku tidak sedih”

“Ayoh jalan, kita harus cari Hu Pocu untuk bersama-sama pulang

ke dalam benteng.”

Wi Lien In segera mengelitkan tubuhnya ke samping, ujarnya:

“Aku masih tidak ingin pulang, aku mau duduk di sini melihat

bulan.” sambil berkata tubuhnya mendekati ke samping sebuah batu

cadas yang besar kemudian duduk di sana tidak bergerak lagi. Ti

Then menjadi melengak, tanyanya.

“Apanya yang bagus melihat bulan?”

“Aku memangnya senang melihat”

“Kalau begitu aku pergi cari Hupocu dulu, kemudian baru

menjemput nona untuk pulang bersama-sama ” .

“Kalian tidak usah cari aku lagi, sewaktu hatiku gembira aku bisa

pulang sendiri”. Ti Then menjadi geli, ujarnya sambil tertawa.

“Hei Nona selalu bilang hatinya tidak sedih, tetapi jika ditinyau

dari sikap nona sekarang ini .”

“Aku betul-betul tidak sedih” potong Wi Lian In dengan cepat,

“Aku hanya mau duduk di sini melihat bulan, kamu jangan bicara

sembarangan.”

“Jika pikiran nona menjadi buntu” ujar Ti Then lagi sambil

tertawa “Lalu terjun ke bawah, bagaimana aku harus beri tanggung

jawabnya di depan Hu Pocu, lebih baik ikut aku pulang saja.”

Agaknya Wi Lian In sudah ambil keputusan bulat, dengan sikap

seorang nona besar tangannya dikempitkan satu sama lainnya dan

tidak berbicara lagi. Agaknya Ti Then sendiri juga takut kalau dia

terjunkan diri ke dalam jurang.

Karena itu dia tetap berada di sana, dengan perlahan tubuhnya

mulai bergeser dan duduk di samping tubuhnya ujarnya kemudian:

“Baiklah, cayhe akan menemani nona melihat bulan”

“Kau ikut duduk di sini melihat bulan jika sampai diketahui orang

lain, apa kamu tidak takut kata-kata cemoohan?” ujar Wi Lian In

dengan nada menyindir.

“Tidak takut” ujar Ti Then terus terang “Kali ini aku keluar

bersama-sama dengan Hu pocu untuk mencari nona.”

“Tapi aku mau duduk di sini sampai hari terang kembali.”

“Tidak ada halangan, sekali pun mau duduk beberapa hari lagi

aku juga tetap akan menemanimu, hanya saja dengan demikian. ..”

” Kenapa ?”

Ti Then tersenyum, sahutnya dengan keras.

“Dengan demikian semua pendekar di dalam benteng akan tahu

kalau nona masih rindu padanya”

Sebetulnya Wi Lian In merupakan seorang nona yang mem

punyai sifat keras hati tetapi mendengar perkataan ini segera

meloncat bangun ujarnya. “Baiklah, mari kita pulang”

Ti Then tersenyum, dengan cepat tubuhnya bangkit kembali dan

mengikuti dari belakang tubuhnya.

Kedua orang itu dengan cepatnya berlari menuju ke puncak

selaksa Buddha, baru saja memusatkan seluruh perhatian mencari

jejak Huang puh Kian Pek, terlihatlah dari sebuah jalanan kecil

Huang puh Kian Pek dengan cepatnya berlari mendatangi.

Begitu dia melihat Ti Then berhasil menemukan Wi Lian In,

hatinya menjadi sangat girang, ujarnya sambil tertawa. “Hei budak

kamu lari kemana?”

“Nona Wi sedang menikmati keindahan bulan dibatu cadas

sebelab sana” ujar Ti Then sambil menunjuk ke arah cadas tersebut.

Huang Puh Kian Pek menjadi tercengang, tanyanya.

“Bagaimana Ti Kiau tauw bisa tahu dia berada di sana?”

“Karena mendengar suara pertempuran yang seru membuat

boanpwe tertarik dan lari ke sana?”

Air muka Huang puh Kian Pek menjadi berubah sangat hebat,

sambil melotot ke arah Wi Lian In tanyanya. “Kamu bertempur

dengan siapa?”

“Hong Mong Ling.”

“Apa? Dia belum meninggalkan tempat ini?” tanya Huang puh

Kian Pek dengan sangat terkejut. “Bagaimana kamu bisa bentrok

dengan dia?”

Segera Wi Lian In menceritakan pengalamannya itu, ketika

bercerita sampai tubuhnya diserat Hong Mong Ling ke dalam gua

tak tertahan lagi dia menangis tersedu-sedu. Huang puh Kian Pek

menjadi sangat gusar, ujarnya kepada Ti Then. “Ti Kiauwtauw

kenapa melepaskan dia pergi?”

“Mong Ling heng sudah salah paham terhadap diri boanpwe, jika

kini boanpwe tidak melepaskan dia pergi maka kesalah pahaman ini

akan semakin mendalam.”

“Manusia rendah seperti itu seharusnya Ti kauw tauw tidak usah

memikirkan kesalahan pahaman itu lagi.”

Ti Then hanya tersenyum saja tanpa memberikan jawaban.

“Jalan, mari kita pulang ke dalam benteng Lohu akan kirim orang

untuk menawan dia kembali.”

Ketika mereka bertiga sampai di dalam benteng Pek Kiam Po hari

sudah menunjukkan tengah malam, Huang puh Kian Pek segera

mengirimkan lima orang pendekar pedang merah untuk mengejar

dan menawan Hong Mong Ling kembali kemudian memerintahkan

pula untuk menyediakan arak dan sayur yang masih hangat,

sesudah dahar bersama-sama dengan Ti Then dan Wi Lian In

masing-masing baru kembali kekamar sendiri-sendiri untuk

beristirahat.

Ti Then sekembalinya di dalam kamar tidak langsung buka

pakaian untuk istirahat, karena dalam hatinya dia sudah ambil

keputusan untuk menyelidiki loteng penyimpan kitab itu.

Sesudah memadamkan lampu mulailah dia duduk bersemedi,

dalam hati dia punya rencananya menanti sesudah kentongan

ketiga baru keluar kamar untuk mulai dengan gerakannya.

Tetapi baru saja bersemedi beberapa saat lamanya mendadak

dalam benaknya berkelebat suatu ingatan yang sangat menarik

sekali?

Teringat olehnya Wi Ci To atau dalam anggapan Ti Then

merupakan Majikan patung emas itu sudah tidak berada di dalam

benteng, sebaliknya majikan patung emas itu pernah bilang

selamanya akan bersembunyi di dalam benteng Pek Kiam Po ini, dia

pun bilang kalau punya urusan penting harus menyalakan lampu

dan mengetuk tiga kali di depan jendela, kini Wi Ci To sudah tidak

berada di dalam benteng Pek Kiam Po, kenapa dirinya tidak

mengadakan hubungan dengan dia?

Ha ha ha … . Tentu dia tidak akan tahu kalau aku sedang

mengadakan hubungan dengan dia, dengan demikian dirinya bisa

membuktikan kalau dia adalah majikan “patung emas”, lain kali

ketika bertemu dengan dia lagi membikin malu dirinya.

-0000000-

Sesudah mengambil keputusan, segera dia meloncat turun dari

atas pembaringan.

Dia mencari korek api dan menyulut lampu yang sudah tersedia

di dalam kamar itu, dengan perlahan lampu tersebut dibawa ke

samping jendala dan mulai mengetuk sebanyak tiga kali.

setelah semuanya selesai barulah dia memadamkan kembali

lampu tersebut dan meloncat naik ke pembaringan untuk mulai

bersemedhi kembali, dia merasa perbuatannya ini sangat

menggelikan sekali, dalam hati diam-diam tersenyum, pikirnya. Jika

kamu bisa melihat tandaku ini berarti kau bukan manusia tapi

setan.”

Ternyata benar juga satu jam sesudah tanda itu dibunyikan

majikan patung emas belum juga dia memunculkan diri untuk

bertemu. saat itu cuaca mendekati kentongan ketiga.

Dengan perlahan dia membuka matanya dan siap turun dari atas

pembaringan.

Tetapi baru saja matanya dibuka tubuhnya segera tergetar

dengan sangat kerasnya, bahkan hampir-hampir saking kagetnya

dia menjerit.

Kiranya di depan pembaringan berdirilah sebuah patung emas

dengan agungnya.

Patung emas itu tetap seperti patung emas yang ditemukannya

ketika berada dalam gua cupu- cupu di atas gunung Lo Cin san.

Dengan angkernya dia berdiri di depan pembaringannya tanpa

mengeluarkan sedikit suara pun, keadaannya begitu menyeramkan

membuat seluruh bulu roma Ti Then pada berdiri. Karena dalam hati

Ti Then sudah punya “Perhitungan” karenanya tidak sampai jatuh

pingsan saking kagetnya tapi wajahnya tetap sudah berubah

menjadi pucat pasi bagaikan mayat, hatinya berdebar dengan

sangat keras, sama sekali tidak terduga olehnya kalau majikan

patung emas Wi Ci To bisa muncul dengan demikian misterius? Apa

mungkin Wi Ci To bukan majikan patung emas itu.

Baru saja dia pikirkan persoalan ini mendadak dalam telinganya

berkumandang masuk suara yang dikirim dengan menggunakan

ilmu menyampaikan suara, ujarnya: “Ti Then kamu cari aku ada

urusan apa?”

Tangan kanan dari patung emas yang berdiri di hadapannya

diangkat sedikit ke atas seperti yang membuka mulut berbicara itu

adalah “Dirinya”

Ti Then angkat kepalanya memandang ke atas, dia sudah dapat

melihat kalau patung emas itu diturunkan dari atas atap. atap di

atasnya kini sudah terbuka lebar tetapi selain sepuluh utas tali

bewarna hitam yang terjulur dari atas atap tak dapat terlihat sedikit

bayangan tubuh dari majikan patung emas itu.

Ketika majikan patung emas yang bersembunyi di atas atap

rumah itu tidak mendengar suara jawaban dari Ti Then di

anggapnya Ti Then masih tertidur, dengan menggunakan patung

emasnya yang dimajukan satu langkah ke depan kaki Ti Then di

tepuknya beberapa kali, ujarnya lagi dengan lembut: “Ti Then,

cepat bangun.”

Tidak tertahan lagi Ti Then menjadi tertawa geli, ujarnya sambil

menengok ke atas.

“Aku tidak tertidur.”

Patung emas itu segera ditarik kembali ketempat semula

kemudian terdengar suara dari majikan patung emas itu

berkumandang kembali: ” Kalau begitu cepat katakan maksudmu.”

Sebetulnya Ti Then memang tidak punya persoalan yang hendak

ditanyakan, mendengar perkataan itu sambil menggaruk-garuk

kepala ujanya: “Aku kira kau sudah keluar benteng.”

“Hemm. . kenapa aku harus keluar benteng??” tanya majikan

patung emas itu dengan dingin.

“Aku kira kau pergi mencari Hong Mong Ling.”

Majikan patung emas yang berada di atas atap rumah itu

berdiam diri beberapa saat lamanya kemudian barulah ujarnya

dengan perlahan:

“Sungguh lucu ….. sungguh lucu, kau tetap mencurigai aku

adalah Wi Ci To itu” Ti Then tidak mau mengakui kebenaran katakata

itu, sahutnya dengan perlahan. “Tidak. aku mengira kau juga

ikut mengejar Hong Mong Ling kemudian membasminya”

“Kamu sudah berhasil merusak perkawinan antara dia dengan Wi

Lian In, buat apa aku harus cari dia?”

“Kamu lihat bagaimana dengan kemajuanku ini?” tanya Ti Then

sambil tertawa.

“Tidak perlahan, tetapi agaknya kamu tidak terlalu senang untuk

bergaul kembali dengan Hong Mong Ling, apa maksudmu ini?”

“Hanya dengan berbuat begini nona Wi baru tidak merasa curiga

kalau aku sedang merusak perhubungan cintanya dengan Hong

Mong Ling, dengan begitu barulah dia menaruh simpatik kepadaku,

dia baru tertarik padaku.”

“Ehmmm . . baiklah” ujar majikan patung emas sesudah berpikir

sebentar.

“Semakin cepat semakin baik, lain kali kalau dia beri tanda

menaruh cinta padamu kamu orang, tidak boleh berpura-pura lagi.”

“Aku mau ajak kamu rundingkan sesuatu hal.”

“Rundingkan urusan apa?”

“Kamu menyuruh aku memperistri nona Wi sudah tentu punya

tujuan tertentu, tetapi apakah mengharuskan sesudah aku berhasil

memperistri dirinya terlebih dahulu baru bisa mencapai tujuanmu?”

“Tidak salah”

“Tujuanmu apa tersimpan didalan loteng penyimpanan kitab dari

Wi Ci To itu” tanya Ti Then lagi.

“Bukan”

“Sungguh bukan ?”

“Hmmm . . . harap kamu orang perhatikan, kamu hanya

merupakan sebuah patung emas yang sedang melaksanakan

pekerjaanku, benar atau bukan kamu tidak punya hak untuk

mengetahuinya ”

“Kamu salah tangkap” ujar Ti Then sambil tersenyum. “Maksudku

jika benda yang kamu inginkan terdapat ditengah loteng

penyimpanan kitab itu, aku bersedia carikan benda itu keluar

sehingga tidak perlu merusak dan merugikan nama baik dari

seorang nona”

“Tidak mungkin tidak mungkin …. kamu jangan sekali-kali masuk

loteng penyimpan kitab itu”

“Kenapa?” tanya Ti Then tercengang.

“Karena begitu kamu masuk ke dalam jangan harap bisa keluar

dalam keadaan hidup”

” Kenapa?” tanya Ti Then dengan penuh keheranan “Apa di

dalam loteng penyimpan kitab itu tersembunyi alat rahasia yang

sangat lihay?”

“Benar”

“Asalkan sedikit berhati-hati.”

“Sekali pun kamu berhati-hati bagaimana macam pun tidak

berguna” potong majikan patung emas itu dengan cepat, “Loteng

penyimpan kitab itu sampai aku sendiri pun tak berani masuk

apalagi kamu, kecuali kamu sudah bosan hidup,”

“Ooh tidak kusangka sama sekali kalau alat-alat rahasia di dalam

loteng penyimpan kitab itu sangat sukar untuk dilalui sehingga kamu

sendiri pun tak berani masuk ..”

“Aku beritahu padamu lagi, Wi Ci To sekarang sedang

bersembunyi di dalam loteng penyimpan kitab itu, begitu kamu

masuk maka semua urusan akan menjadi berantakan”

“Hai? Bukankah Wi Ci To sudah ke luar Benteng??” tanya Ti Then

dengan sangat terkejut.

“Dia pura-pura meninggalkan benteng kemudian secara diamdiam

kembali ke dalam benteng kembali dan bersembunyi di dalam

loteng penyimpan kitab itu.”

Dalam hati tidak tertahan lagi Ti Then merasa bergetar dengan

sangat keras, sambil menjerit kaget ujarnya:

“Oooh Thian… apa tujuannya dengan berbuat begitu?”

“Menanti kamu masuk ke dalam jebakan”

“Oooh . …”

“Dia sudah menaruh perasaan curiga kalau Lu Kongou itu adalah

hasil samaranmu, semakin mencurigai kalau tujuanmu berada dalam

loteng penyimpanan kitabnya maka dengan pura-pura beralasan

hendak mengejar Hong Mong Ling dan mengatakan pula kepada Hu

Pocu untuk membuktikan Lu Kongeu apa benar hasil

penyamaranmu, bersama-sama si pedang pemetik bintang Hung

Kun meninggalkan benteng, padahal yang betul-betul ke kota Tiang

An hanya Hung Kun seorang, sedang dia sendiri secara diam-diam

kembali lagi ke dalam benteng dan bersembunyi di dalam loteng

penyimpan kitab itu, karena itulah, jika kamu memasuki loteng

penyimpan kitabnya maka dengan begitu keadaanmu akan segera

tertangkap basah.”

“Sungguh berbahaya sekali kalau begitu, barang apa yang

disembunyikan di dalam loteng penyimpan kitabnya itu sehingga Hu

pocu serta putrinya sendiri juga tidak boleh masuk?”

“Aku juga tidak tahu”

“Tidak mau beritahu padaku atau tidak tahu?”

“Tidak tahu”

“Baiklah” ujar Ti Then kemudian “Baiklah kita bicara persoalan

semula, kalau memangnya dia sudah merasa curiga kalau Lu kongcu

itu adalah hasil penyamaranku, bagaimana mau menjodohkan

putrinya kepadaku?”

“Dia hanya merasa curiga saja, sampai saat ini juga masih belum

berani memastikan kalau Lu kongcu itu adalah hasil penyamaranmu.

Begitu si pendekar pemetik bintang Hung Kun itu sampai dikota

Tiang An, segera akan diketahui olehnya kalau Lu kongcu adalah

aku”

” Urusan ini aku akan uruskan, kamu orang tidak usah

merisaukan” sahut majikan patung emas cepat.

“Kamu mau bunuh itu pendekar pemetik bintang Hung Kun”

“Tidak” sahutnya perlahan. “Bunuh dirinya bukan merupakan

penyelesaian yang tepat, terus terang saja aku beritahu padamu

aku sudah kirim orang yang menyamar persis seperti kamu untuk

menyamar sebagai Lu kongcu dan muncul di hadapan Hung Kun,

dengan demikian Hung Kun akan balik ke dalam Benteng untuk

melaparkan pada Wi Ci To kalau Lu Kongcu itu memang persis

seperti kau, dengan demikian Wi Ci To tidak akan mencurigai dirimu

lagi.”

“Pendapat yang sangat bagus”

“Sekali lagi aku beri tahu pada mu” ujar majikan patung emas itu

dengan keren.

” Kecuali Wi Ci To dengan rela hati mengajak kamu memasuki

loteng penyimpanan kitabnya, jangan sekali-kali kamu berani

mencuri masuk.”

“Baiklah”

“Masih ada lagi, jangan bertindak diluar garis yang sudah

ditentukan, hari kedua sesudah kamu memasuki benteng, Wi Ci To

sudah mengirim empat pendekar pedang merah yang siang malam

terus menerus mengawasi gerak gerikmu. sekarang mereka berada

di belakang kamarmu.”

“Oooh …. aku tidak sangka dia bisa berlaku demikian . .”

“Pokoknya. .” potong majikan patung emas itu lagi “sejak ini hari

asalkan dengan setulus hati dan sejujurnya kamu bergaul dengan

Wi Lian In sudah cukup, jika tidak mendapat petunjukku jangan

bertindak secara gegabah.”

“Baiklah”

“Ada persoalan lain yang mau ditanyakan lagi ?”

“Ada dua persoalan, Pertama kalau memang Wi Ci To sudah

mengirim empat orang pendekar pedang merah untuk mengawasi

gerak gerikku dari luar kamar bagaimana mereka tidak bisa

menemukan dirimu berada di atas atap kamarku ini ?”

“Hemm . . . kamu berani tanya gerak gerikku.”

“Hanya ingin tahu saja”

“Sudah tentu aku punya cara untuk membuat mereka tidak tahu,

apa pertanyaanmu yang kedua?”

“Ehmm … ” sahut Ti Then perlahan, “Kamu bilang Wi Ci To

bersembunyi di dalam loteng penyimpan kitab, tahukah kamu dia

akan bersembunyi di dalam loteng penyimpan kitab itn seberapa

lama”

“Dia membawa air serta rangsum kering dalam jumlah yang

banyak. kemungkinan selama satu bulan lamanya.

“Tujuannya apa sedang menunggu aku masuk ke sana atau

tidak??”

“Benar” sahutnya sambil tersenyum tawa, begitu dia

membuktikan kalau kamu tidak punya maksud jahat, maka dia

akan menaruh penghargaan tinggi terhadap dirimu, kemungkinan

sekali tanpa membuang banyak waktu akan menjodohkan putrinya

kepadamu.”

“Begitu kamu teringat sesuatu siasat untuk mencapai tujuanmu

tanpa membutuhkan aku kawin dengan nona Wi, harap cepat-cepat

beritahu padaku.”

“Sama sekali tidak ada, kamu harus kawin dengan Wi Lian In.”

Berbicara sampai di sini dengan cepat majikan patung emas

menarik kembali patung emasnya, siap meninggalkan tempat itu.

Dengan amat teliti sekali Ti Then memperhatikan patung emas

itu ditarik ke atas hingga sampai melihat majikan patung emas itu

menariknya ke atap kemudian terlihat pula dua buah tangan yang

sangat samar menutup kembali atap itu seperti sedia kala. Kedua

tangan itu sudah tentu tangan dari majikan patung emas itu.

Dengan sekuat tenaga Ti Then memandang tajam ke atas, tetapi

tetap tidak berhasil memandang jelas kedua buah tangannya

bahkan dia sama sekali tidak bisa melihat tangan itu milik seorang

pria atau atau milik seorang wanita.

sungguh hingga kini dia lama sekali tidak tahu majikan patung

emas itu seorang lelaki atau perempuan karena nada suara dari

majikan patung emas itu jika didengar boleh dikata mirip seorang

lelaki tetapi boleh dikata mirip seorang perempuan.

Dengan termangu-mangu dia memandang ke atap rumah hingga

majikan patung emas serta patung emasnya hilang lenyap. tapi

dalam otaknya berputar terus, semakin berpikir, semakin bingung . .

.

Yang membuat dia paling terkejut adalah Wi Ci To itu ternyata

bukan majikan patung emas itu, selama itu dia selalu menganggap

Wi Ci To adalah majikan patung emas itu,

tetapi sekarang mau tak mau harus mengakui kalau dugaannya

itu sama sekali salah besar, karena jika majikan patung emas itu

adalah Wi Ci To maka dia tidak akan memberitahukan jejaknya

kepada dirinya.

Sekali pun hal ini bisa diartikan Wi Ci To takut dirinya menerjang

masuk ke dalam loteng penyimpan kitabnya maka sengaja berkata

untuk menakuti dirinya tetapi jika dirinya benar-benar nekad

menerjang masuk ke dalam loteng penyimpanan kitab itu, walau

pun kemungkinan bisa keluar dalam keadaan hidup, hidup tetapi

dirinya tentu akan diusir keluar, dengan begitu bukankah tujuannya

akan menjodohkan dirinya dengan putrinya itu akan berantakan,

Maka Wi Ci To terbukti bukanlah majikan patung emas itu.

Kalau Wi Ci To bukan majikan patung emas itu, lalu siapakah

majikan patung emas yang sebenarnya? Apa Hu pocu Huang puh

Kian Pek?

Tidak. Tadi majikan patung emas sudah bilang kalau Wi Ci To

secara diam-diam kembali ke dalam benteng dan bersembunyi di

dalam loteng penyimpanan kitab pada malam tadi, sebaliknya

malam tadi Huang Puh Kian Pek sedang keluar benteng mencari Wi

Lian In, dia tidak akan tahu kalau Wi Ci To sudah kembali ke dalam

benteng sehingga tidak mungkin pula kalau dia adalah majikan

patung emas. Lalu siapa yang mirip sebagai majikan patung emas

itu??

Jika dia bukan salah satu anggota benteng Pek Kiam Po ini

bagaimana bisa bersembunyi di dalam benteng begitu lama tanpa

ditemui orang lain? Berpikir sampai di situ Ti Then hanya bisa

menggelengkan kepalanya saja, dia merasa sekali pun dipikir lebih

lama juga tidak ada gunanya, dia segera melepaskan sepatu

danpakaiannya untuk beristirahat.

Dia mengambil keputusan untuk mendengar perkataan majikan

patung emas, tidak pergi ke loteng penyimpanan kitab itu.

Suatu pagi hari yang cerah muncul kembali, sinar matahari yang

cerah menyinari kembali seluruh jagat raya.

Ti Then tepat waktunya sudah tiba ditengah iapangan latihan

silat untuk memberi pelajaran silat kepada Wi Lian In serta Yuan Ci

Liong sekalian delapan orang pendekar pedang merah.

Setiap hari dia memberi pelajaran hingga siang hari, sore harinya

para pendekar pedang merah itu melakukan latihannya sendirisendiri,

keadaan ini hari pun sama halnya sesudah memberi latihan

hingga siang barulah dia pergi dahar, bersama sama dengan Huang

Puh Kian pek.

“Ti kauw tauw” kamu paham main catur?”

“Ahh-sedikit-sedikit saja, cayhe dengar pocu sangat lihay di

dalam permainan catur?”

“Benar” sahut Huang puh Kian Pek sambil mengangguk.

“suhengku memang sangat gemar main catur, permainannya boleh

dikata sangat lihay sehingga sukar untuk dicarikan tandingannya ”

” Kalau begitu, permainan catur Hu Pocu juga tidak jelek” ujar Ti

Then sambil tertawa.

“Tidak bisa. . tidak bisa” ujar Huang puh Kianpek sambil

gelengkan kepalanya kembali “Walau suhengku sudah mengalah

tiga biji catur kepadaku, lohu masih tidak sanggup untuk bertahan.”

“Jika ini hari Hu Pocu tidak punya kerjaan, bagaimana kalau

memberi petunjuk satu permainan kepada diri boanpwe?”

“Petunjuk dua kata lohu tidak berani terima, mari kita main satu

kali untuk menentukan kelihaian masing-masing saja.”

Demikianlah Huang puh Kian Pek segera memerintahkan

bawahannya menyediakan alat-alat catur, dengan Ti Then

memegang biji hitam mereka berdua mulailah bermain catur sambil

bercakap-cakap.

Sesudah berjalan puluhan kali, masing-masing saling bertukar

pandangan satu kali dan masing-masing memperlihatkan senyuman

gembiranya.

Kiranya permainan catur dari kedua orang itu seimbang, bahkan

masing-masing gemar memainkan catur dengan bany k

penyerangan sehingga dengan demikian semakin bermain semakin

menarik dan semakin menggembirakan.

Dikarenakan permainan catur yang seimbang inilah membuat

mereka berdua tidak ada yang mau mengalah satu tindak pun.,

setiap bertemu dengan keadaan kritis mereka tidak ada yang mau

membuang begitu saja karena itulah begitu satu permainan selesai

harus membuang waktu selama dua jam lamanya.

Akhirnya biji hitam yang memenangkan permainan itu.

Dengan air muka yang sudah berubah merah padam ujar Huang

puh Kianpek:

“Ti kauw tauw sungguh pandai baik dalam Bun mau pun dalam

Bu, tidak kusangka permainan catur pun sangat lihai sekali”

“Mana mana . .” ujar Ti Then sambil tersenyum. “sekali pun

boanpwe menang satu tindak tetapi jika ditinyau permainannya Hu

Pocu jauh lebih tinggi satu tingkat karena boanpwe bermain terlebih

dulu”

Agaknya Huang puh Kian Pek sendiri merasa kalau dirinya

seharusnya memang menang, sambil tersenyum lalu sahutnya:

“Bagaimana kalau bermain satu kali lagi?”

“Baiklah.”

Huang puh Kian Pek segera memindahkan biji putihnya kepada Ti

Then, ujarnya lagi .

“Mari kita bicarakan siapa dahulu siapa terakhir, kali ini

seharusnya kamu memegang biji putih”

Ti Then dengan mendorong kembali biji itu kepadanya, ujarnya

sambil tertawa.

“Tidak berani, lebih baik kita main sekali lagi, lihat-lihat bilamana

beruntung boanpwe menang lagi barulah kita tentukan”

Huang puh Kian Pek tidak menampik lagi sehingga mereka

berdua sekali lagi bermain catur.

Kali ini Huang puh Kian Pek punya niat untuk memperoleh

kemenangan karenanya permainannya bersungguh-sungguh,

selamanya harus membuang waktu yang lama untuk majukan sebiji

caturnya pun karenanya permainan ini sangat lambat.

Wi Lian In yang mendengar mereka berdua sedang bermain

catur, dengan amat seru datang juga untuk melihat pertempuran

itu, bahkan berkali-kali dia memberi pendapatnya kepada Ti Then,

hanya sayang karena permainannya yang rendah sehingga seluruh

pendapatnya hanya merupakan catur-catur busuk saja. Baru

permainan hingga pertengahan, cuaca sudah mendekati gelap

kembali. Ujar Huang puh Kan Pek mendadak:

“Permainan ini mungkin baru selesai tengah malam, lebih baik

kita dahar dahulu baru melanjutkan permainan ini.”

Sudah tentu Ti Then tidak menampik, ke tiga orang itu bersamasama

pergi dahar di ruangan dalam baru mereka berdahar

datanglah lima orang pendekar pedang merah menghadap Huang

puh Kian Pek.

Mereka adalah kelima orang yang menerima perintah untuk

menangkap Hong Mong Ling kemarin malam.

Tanya Huang Puh Kian Pek begitu melihat mereka menghadap di

depannya. “Bagaimana? Sudah menangkap dia kembali?”

“Belum” sahut seorang pendekar pedang merah diantara kelima

orang itu, “Tecu sekalian berpencar mencari di sekeliling ratusan li

tetapi tidak menemui jejaknya sama sekali”

“Baiklah, kalian boleh beristirahat” ujar Huang Puh Kian Pek

sambil mendengus dingin.

Kelima orang pendekar pedang merah itu sesudah memberi

hormat bersama-sama mengundurkan diri dari ruangan itu. Dengan

gemas ujar Wi Lian In:

“Aku tidak percaya kalau dia bisa lari begitu jauh, lewat beberapa

hari kemudian aku mau mencarinya sendiri”

“Lebih baik tunggu ayahmu kembali saja” ujar Huang Puh Kian

pek sambil menghela napas panjang “Asalkan ayahmu punya niat

untuk menawan dia, cukup mengeluarkan perintah “seratus pedang”

maka seluruh pendekar pedang merah yang berkeliaran diluaran

akan segera mengadakan penge pungan, tidak takut dia bisa

terbang meloloskan diri.”

“Heii . .” ujar Ti Then pula sambil menghela napas panjang,

“Mong Ling heng berkelana diluaran, cayhe kira bukan

merupakan suatu dosa yang besar, hanya saja niatnya untuk

memperkosa nona Wi kemarin malam merupakan suatu kejadian

yang tidak seharusnya”

“Lohu juga tidak menyangka sama sekali kalau dia berani berbuat

demikian kurang ajarnya, sungguh terkutuk manusia itu.”

Sambil berdahar sambil bercakap-cakap sesudah selesai barulah

bersama-sama kembali lagi ke ruangan tamu Wi Lian In yang

menonton jalannya pertempuran yang seru itu dikarenakan

permainan Huang Puh Kian pek yang sangat lama, hatinya tidak

sabar lagi maka dia mengundurkan diri terlebih dulu ke dalam

kamar.

Kini ditengah ruangan tamu hanya tinggal Huang Puh Kian pek

serta Ti Then dua orang yang bermain catur dengan tenangnya,

seluruh perhatian mereka berdua di pusatkan pada permainan itu

sehingga tanpa terasa hari semakin larut malam.

Tidak salah lagi permainan catur itu berakhirpada tengah malam

dan hasilnya sama-sama kuat.

Huang Puh Kian pek tersenyum ujarnya.

” Walau pun lohu sudah putar seluruh otak ternyata hasilnya

sama kuat saja, kelihatannya untuk memenangkan dirimu buat lohu

masih merupakan suatu perjalanan yang sangat rumit.”

Ti Then hanya tersenyum saja, ujarnya merendah.

“Permainan yang ketiga ini boanpwe tentu akan menemui

kekalahan.”

“Heeei, sudah larut malam, lebib baik besok pagi saja, kita

bertarung lagi untuk menentukan siapa menang siapa kalah.”

Kedua orang itu dengan cepat membereskan biji-biji caturnya

dan bertindak kembali kekamarnya masing-masing, mendadak

dengan air muka terkejut Cun Lan itu budak dari Wi Lian In dengan

tergesa-gesa lari masuk ke dalam ruangan, teriaknya: “Jiya Celaka,

siocia hilang, nona sudah lenyap dari kamarnya” Huang Puh Kian

Pek menjadi melengak sambil mengerutkan alis ujarnya:

“Bagaimana bisa hilang lagi?” Dengan napas terburu-buru ujar Cun

Lan lagi:

“sewaktu budakmu mau tidur mendadak dari kamar nona

terdengar suara teriakan keras dengan cepat budakmu mengetuk

pintunya tetapi tetap tidak dibuka, maka budakmu berputar ke

belakang, dari sana melihat pintu jendela terbuka lebar-lebar

sedang siocia sudah tidak ada di atas pembaringannya, agaknya . . .

agaknya dia diculik orang.”

Mendengar perkataan itu air muka Huanpuh Kiam Pek segera

berubah hebat, tubuhnya dengan cepat berkelebat menuju ke

halaman dalam, Ti Then pun mengikuti dari belakang menuju ke

dalam, di dalam sekejap mata mereka berdua sudah tiba diluar

kamar Wi Lian In, Huang Puh Kian Pek dengan cepat mendorong

pintu kamar, ketika melihat pintu tersebut tidak bisa dibuka dengan

cepat melancarkan satu serangan dahsyat membuat pintu tersebut

hancur berantakan terkena angin pukulan yang sangat dahsyat itu.

Di dalam kamar hanya terlihat lampu masih bersinar dengan

terangnya.

Wi Lian In sudah tidak berada di dalam kamar bahkan selimut

serta kain di atas pembaringan kacau balau tidak karuan, bantalnya

terjatuh di atas tanah sedang jendela belakang terbuka lebar-lebar,

jika ditinyau keadaannya memang benar dia sudah diculik orang.

Air muka Huang Puh KianPek berubah menjadi pucat pasi,

teriaknya dengan keras:

“Tentu dia …. tentu dia . .”

“Apa Mong Ling heng ????” tanya Ti Then terkejut.

“Bukan dia siapa lagi ??” ujar Huang Puh Kian Pek dengan sangat

gusar. “Bangsat cilik, ternyata dia berani melakukan pekerjaan ini

…”

“Mari kita lihat ke halaman belakang.” ujar Tri Then keras

kemudian tubuhnya dengan cepat berkelebat keluar melalui jendela

yang terbuka itu. Diluar jendela itu adalah sebidang kebun bunga

yang sangat luas.

JILID 7.2 SIAPA DALANG PENCULIKAN NONA WI?

Huang Puh Kian Pek dengan cepat mengikuti dari belakangnya

sesudah memeriksa dengan teliti setengah harian lamanya tetap

tidak mendapatkan hasil sedikit punjua. Ujar Huang Puh Kian Pek

lagi:

“Bukit sian Ciang Yen tidak mungkin bisa didaki olehnya, tentu

dia melarikan diri melalui sebelah kiri atau kanan.”

“Apa diluaran tidak ada saudara-saudara kita dari benteng yang

menyaga?”

“Ada, di sebelah sana semuanya ada beberapa orang pendekar

pedang hitam yang menyaga malam, hanya saja bangsat cilik itu

memahami keadaan benteng kita dengan sangat jelas sekali,

pendekar-pendekar pedang hitam itu tak akan bisa menemukan dia”

” Urusan tidak bisa berlarut-larut lagi, mari kita mencari dengan

berpisah.”

sehabis berkata tubuhnya dengan cepat berkelebat menuju

kearah sebelah kanan dari kebun bunga itu.

0000

HUANG PUH KIAN PEK juga tidak berani berlaku ayal lagi,

dengan Cepat tubuhnya berkelebat menuju kearah sebelah kiri dari

kebun bunga itu, dua orang yang satu dari sebelah kiri dan yang

lain dari sebelah kanan dengan kecepatan yang luar biasa dalam

sekejap saja sudah keluar dari Benteng untuk melakukan

pengejaran ke depan.

Begitu Ti Then keluar dari tembok benteng sebara diketahui oleh

penjaga malam ditempat itu yaitu seorang pendekar pedang hitam,

di karenakan cuaca yang begitu gelap membuat pendekar pedang

hitam itu tidak sanggup melihat jelas kalau dia adalah Ti Kauw

tauw, mereka sambil mengacungkan pedang panjang bentaknya

dengan keras. “Kawan dari mana harap berhenti.”

Dengan cepat Ti Then menghentikan langkah kakinya, sahutnya

dengan perlahan. “saudara aku adanya.”

Pendekar pedang hitam itu dengan cepat menubruk datang

tetapi begitu dilihatnya orang itu adalah Ti Kauw tauw mereka

dengan gugup memberi hormat ujarnya: “Ooh kiranya Ti Kauw tauw

adanya maaf . . . maaf.”

“Kamu melihat seseorang yang melarikan diri dari sini.”

Mendengar pertanyaan itu pendekar pedang tersebut menjadi

sangat terperanyat, sahutnya. “Tidak ada? Apa ada musuh yang

menyerang benteng?”

“Benar” sahut Ti Then sambil mengangguk “Nona Wi diculik

orang.”

“Haaa ? siapa yang menculik nona Wi?” tanya pendekar pedang

hitam itu semakin terkejut.

“Tidak tahu, tetapi banyak kemungkinan hasil perbuatan dari

Hong Mong Ling, cepat kumpulkan seluruh saudara yang berjaga

disekitar tempat ini”

Dengan cepat pendekar pedang hitam memasukan jari

tangannya ke dalam mulut membunyikan kedua kali suara suitan

yang tinggi melengking, hanya cukup memakan walau sedikit sekali

terlihatlah tiga orang pendekar pedang hitam dengan kecepatan

yang luar biasa mendatang, melihat ketiga orang itu sudah tiba baru

Ti Then bertanya lagi: “semua sudah kumpul?”

“Masih kurang Fan seng sam seorang” sahut pendekar pedang

hitam itu dengan sikap tidak tenang.

Sinar mata Ti Then dengan eepat berkelebat dengan sangat

tajamnya “Dia berjaga di sebelah mana?”

“Di bukit sebelah sana.” sahut pendekar pedang hitam itu sambil

menunjuk ke sebuah bukit ditempat kejauhan ” sungguh heran,

kenapa sampai sekarang belum datang juga?”

“Benar, mari kita pergi lihat.”

sehabis berkata tubuhnya dengan sangat cepat sekali berkelebat

menuju kearah bukit tersebut.

Ketiga orang pendekar pedang hitam yang datang kemudian

sama sekali tidak tahu kejadian apa yang sudah terjadi, sesudah

mendengar cerita dari kawannya ini tidak terlahan lagi pada

menjerit kaget, dengan cepat mereka mengikuti dari belakang tubuh

Ti Then menuju kearah bukit itu.

Lima orang itu hanya di dalam sekejap saja sudah tiba ditengah

hutan di atas bukit itu, terlihatlah d iba wah sebuah pohon besar

pendekar pedang hitam yang disebut Fan seng sam itu duduk

bersandar, agaknya dia sedang tertidur saking ngantuknya.

seorang pendekar pedang hitam dengan cepat maju ke depan

menempak tubuhnya bentaknya dengan keras:

“Hey Fan seng Sam. Kamu orang cari mati yaah??”

Begitu tubuh Fan seng sam itu terkena tendangan, dengan cepat

rubuh ke sebelah samping, saat itulah kelima orang itu baru

menemukan kalau di depan dadanya sudah berubah merah karena

menetesnya darah segar sangat deras, sedang dialas permukaan

tanah pun kelihatan bekas darah yang bercucuran disekeliling

tempat itu. “ooh Thian, dia sudah dibunuh.”

Keempat orang pendekar pedang hitam itu tidak terasa lagi pada

menjerit kaget secara berbareng.

Ti Then dengan perlahan berjongkok di samping mayat Fan seng

sam itu dan mendorong tubuhnya hingga rubuh terlentang,

terlihatlah darah segar didadanya masih tetap mengucur keluar

dengan derasnya, melihat hal itu dia menggigit kencang bibirnya,

ujarnya kemudian sesudah berpikir sebentar:

Jantungnya terkena tusukan yang sangat dahsyat bahkan pedang

yang tergantung dipinggangnya belum sempat dicabut keluar, hal ini

membuktikan kalau gerakan pedang orang itu sangat cepat sekali.”

Berbicara sampai di sini dia angkat kepalanya memandang

keempat pendekar pedang hitam itu tanyanya:

“Diantara kalian empat orang siapa yang jaraknya paling dekat

dengan dia?” seorang pendekar pedang hitam diantara mereka

segera maju ke depan, sahutnya: “Cayhe jaraknya paling dekat

dengan tempat ini”

“Tadi kamu mendengar suara yang mencurigakan tidak?”

“sama sekali tidak dengar” sahut pendekar pedang hitam itu

sambil gelengkan kepalanya.

Dengan cepat Ti Then bangkit berdiri, ujarnya:

“Baru saja Hu Pocu mengejar dari sebelah kiri kebun bunga itu,

salah satu dari kalian cepat kejar dia kembali, sedang yang lain

pergi melapor pada pendekar pedang merah yang ada di dalam

Benteng, katakan kepada mereka kalau musuh melarikan diri dari

sebelah sini.”

sehabis berkata tubuhnya dengan cepat melayang ke atas dan

berkelebat bagaikan kilat cepatnya diantara pohon-pohon yang

tumbuh rapat disekitar tempat itu untuk mengejar ke depan.

Hatinya kali ini benar-benar merasa sangat cemas sekali karena

kemarin malam Hong Mong Ling memangnya suduh punya rencana

untuk memperkosa diri Wi Lian In, dia tahu jika dia tidak berusaha

menolong secepat mungkin Wi Lian In dari cengkeraman Hong

Mong Ling, maka suatu kejadian yang diluar dugaan akan segera

terjadi.

Hong Mong Ling kini sudah berada di suatu sudut yang sangat

terdesak. bukan saja dia bisa merusak perawan dari Wi Lian In,

kemungkinan sekali sesudah memperkosa dirinya akan membunuh

sekalian Wi Lian In untuk melenyapkan jejaknya.

Dengan kejadian ini jika dibicarakan dari sudut Ti Then boleh

dikata dia tidak perlu melaksanakan perintah dari majikan patung

emas lagi atau dengan perkataan lain dia tidak perlu merasa kesal

karena harus memperistri Wi Lian In, tetapi pikiran Ti Then

sokarang tidak mungkin akan berpikir demikian, dia tidak akan

membiarkan seorang gadis yang sangat cantik sekali terjatuh

ketangan seorang manusia seperti srigala ini.

Dengan sekuat tenaga dia mengejar kearah jalan-jalan yang

kemungkinan digunakan Hong Mong Ling untuk melarikan diri,

sehingga gerakannya mirip dengan anak panah yang terlepas dari

busurnya, sambil mengejar ke depan tak henti-hentinya dia

memperhatikan gerak-gerik disekeliling tempat itu tetapi di dalam

perjalanan tersebut sama sekali tidak ditemukan tempat-tempat

yang mencurigakan.

Tidak lama kemudian dia sudah mengejar hingga ke bawah kaki

gunuug Go bi san.

Di hadapannya terbantanglah sebuab tanah gersang yang sangat

luas tak terlihat ujung pangkalnya.

Dengan cepat dia menghentikan larinya sambil memandang

sekeliling tempat pikirnya: “Hmmm. . dia lari kearah mana?”

sesudah ragu-ragu sebentar dengan cepat dia memutuskan suatu

arah yarg kemungkinan dilalui oleh Hong Mong Ling, dengan tanpa

pikir panjang lagi dia melanjutkan pengejaran kearah sana.

Pengejaran ini tanpa terasa sudah melalui jarak sejauh ratusan

lie hingga sampai diluar kota Hong Yu Sian sedang waktu itu hari

sudah mulai terang.

Dia tahu Hong Mong Ling tidak akan berani masuk kota karena

itulah sesudah berputar disekitar luar kota, dia mengambil suatu

jalan kecil mencari kembali hingga atas gunung Go Bi san.

Akhirnya hasilnya sia-sia belaka.

Sekembalinya di dalam benteng Pek Kiam Po waktu menunjuktan

siang hari, agaknya seluruh pendekar pedang dari benteng itu

sudah dikerahkan keluar untuk mengadakan pencarian besarbesaran,

hanya saja mereka mencarinya tidak sejauh Ti Then,

karena itulah mereka jauh lebih pagi tiba di dalam benteng.

Huang Puh Kian Pek juga sudah tiba di dalam Benteng, Kini

melihat Ti Then kembali, segera menyambut ke depan, tanyanya:

“Bagaimana?”

“Tidak ketemu.” sahutnya sambil gelengkan kepalanya.

Huang Puh Kian Pak menjadi gemas bercampur mangkel, sambil

menggosok tangan ujarnya:

“Lalu bagaimana baiknya? Lalu bagaimana baiknya??, kalau kita

tidak bisa menolong dia kembali. .”

“Hu Pocu” potong Ti Then dengan cepat “Lebih baik kita

rundingkan di dalam rumah saja”

Kedua orang itu segera masuk dalam benteng dan duduk

ditengah ruangan tamu, sedang kedua puluh orang pendekar

pedang merah pun berjalan masuk. air muka pendekar-pendekar

itu kelihatan sekali sangat murung, seperti semut-semut diwajan

panas, Tanya Ti Then kemudian: “Hu Pocu kamu sudah mengejar

sampai dimana?”

“Lohu mengejar sampai tepi sungai baru kembali, Ti Kaauw tauw

bagaimana?”

“Boanpwe mengadakan pengejaran sampai luar kota Hong

Yusian.”

Huang puh Kian Pak menunjuk kearah ke dua puluh orang

pendekar pedang merah itu, ujarnya lagi.

“Mereka pun mengadakan pengejaran dengan berpencar tetapi

hasilnya kosong belaka”

“Hee. . dia membawa nona Wi melarikan diri, tentu gerakannya

tidak akan sangat cepat, kita sekalian tidak bisa menemukan dirinya

semuanya dikarenakan jalan yang dilalui untuk melarikan diri kita

semua tidak tahu”

“Benar” sahut Huang puh Kian Pek sambil menghela napas

panjang, “Hei bagaimana sekarang?”

“Mari kita merundingkan bersama-sama, menurut Ho Pocu

sesudah dia menculik Nona Wi, bisakah menyembunyikan diri untuk

sementara di sekeliling tempat ini atau mungkin melarikan diri

sejauh-jauhnya? ”

Air muka Huang puh Kian Pek sedikit bergerak, sahutnya

kemudian:

“Ehmmm, sudah tentu dia melarikan diri sejauh mungkin, tetapi

dia pun harus tahu kalau kita bisa menggerakkan seluruh kekuatan

kita di dalam benteng untuk melakukan pengejaran, maka itulah

untuk sementara waktu dia bisa bersembunyi disekeliling tempat ini”

“Seluruh gunung apa sudah dicari semua?”

“Tidak dicari secara teliti, kemarin malam semua orang mengejar

ke bawah gunung”.

“Ehmmm. . .” ujar Ti Then sesudah berpikir sebentar. “Kalau

begitu sekarang juga kita periksa seluruh gunung, semua pendekar

pedang hitam, putih serta merah harus bergerak semua. Kita

bicarakan lagi sesudah memeriksa dengan teliti semua tempat.”

“Benar” sahut Huang Puh Kian Pek segera bangkit berdiri. “Ki

Kiam su cepat kamu bunyikan lonceng mengumpulkan seluruh

anggota pendekar pedang yang ada di dalam benteng di tengah

lapangan latihan silat. ”

si pendekar pedang pencabut sukma KiTong Hong segera

menyahut dan meninggalkan ruangan itu dengan tergesa gesa.

Tidak lama kemudian serentetan suara lonceng yang mengalun

dengan keras berkumandang di seluruh penjuru benteng.

T

i Then serta Huang puh Kian pek sekalian dengan cepat bangkit

menuju ketengah lapangan latihan silat, Dengan tak henti-hentinya

menghela napas panjang ujar Huang puh Kian pek.

“Hei, sungguh menjengkelkan sekali, tak kusangka di dalam

Benteng kita bisa muncul seorang manusia rendah semacam ini..”

“Entah Pocu kita kapan baru kembali ??” Nyeletuk seorang

pendekar pedang merah yang berada di sampingnya. “Heei .. paling

cepat juga satu bulan lamanya.” Mendadak Ti Then tersenyum

ujarnya.

“Bagaimana Hu Pocu berani memastikan kalau Pocu baru kembali

satu bulan kemudian?”

saat itu Huang Puh Kian Pek baru teringat kalau sesaat Wi Ci To

hendak meninggalkan Ti Then hendak mengejar Hong Mong Liong,

kalau memangnya untuk mengejar Hong Mong Ling sudah tentu

sangat sukar untuk ditemukan, kapan baru bisa kembali ke dalam

Benteng, karena itulah sahutnya dengan sembarangan:

“Itu hanya merupakan dugaan Lohu saja, sekali pun suhengku

tidak berhasil mengejar Hong Mong Ling, tetapi mungkin dia

mengunjungi beberapa sahabat-sahabatnya”

Ti The hanya mengangguk saja tidak mengucapkan kata-kata

lagi, sedang dalam hati pikirnya:

“Kelihatannya sampai Hu Pocu ini sendiri juga tidak tahu kalau

saat ini Wi Ci To sedang bersembunyi di dalam loteng penyimpan

kitabnya. Hemmm sekarang tentunya Wi Ci To sudah tahu kalau

putrinya diculik tapi dia tetap saja tidak mau keluar dari tempat

persembunyiannya, . . hatinya sungguh kejam. Pada saat pikirannya

sedang berputar itulah semua orang sudah tiba ditengah lapangan

latihan silat.

saat itu dua ratus orang pendekar pedang hitam serta pendekar

pedang putih dengan sangat teratur berdiri di hadapan mimbar.

Huang puh Kian Pek segera menaiki mimbar, ujarnya dengan

berat:

“saudara-saudara sekalian, sesudah Hong Mong Ling menculik

pergi nona Wi, kemungkinan sekali dia belum meninggalkan daerah

gunung Go bi ini, sekarang marilah kita sekali lagi memeriksa setiap

jengkal dari tanah gunung Go bi ini, setiap tiga orang membentuk

satu kelompik, sesudah mendengar pembagian segera berangkat

mengerjakan perintah ini.”

Dia berhenti sebentar kemudian sambungnya lagi:

“Dari pendekar pedang merah Ciauw It Hak. dari pendekar

pedang putih Sha In seng serta dari pendekar pedang hitam The Ci

Ho kalian tiga orang bertanggung jawab atas pencarian sekitar

daerah goa pintu naga kuil selaksa tahun serta sekitar hutan

puncak bangunan cepat pergi”

Cauw It Hak, Sha In seng serta The Ci Ho segera

membungkukkan diri memberi hormat serunya:

“Menurut perintah”

Dengan cepat dipimpinnya barisan masing-masing untuk mulai

melaksanakan tugas tersebut.

“Tong Khie Peng, Jan Liang, Tau it Cin seag kalian bertiga

bertanggung jawab atas pemeriksaan sekitar daerah kuil harimau

tunduk. loteng Cin Eng Ki, batu cadas Hong Cun Peng, goa Kiu Lo

Tong serta sekitar daerah bukit telaga Ki siang Tie.”

“Cao Kim Jan, Ie Wan Hiong, Pouw Cing kalian bertiga

bertanggung jawab atas pemeriksaan daerah sekitar Hu sian Cian,

bukit Tiang so Po, kuil In sian si serta sekitar puncak selaksa

Buddha.

Tidak seberapa lama seluruh pendekar pedang merah, putih

serta hitam yang ada sudah dibagi untuk melaksanakan tugasnya

masing-masing. Akhirnya ujar Huang puh Kiau Pek kepada Ti Then.

“Lohu juga akan ikut di dalam gerakan pemeriksaan gunung ini,

sedang Ti kauw tauw lohu minta menyagakan benteng ini”

“Tidak. boanpwe seharusnya ikut juga di dalam pemeriksaan

gunung ini.”

“Ti Kauw tauw tidak paham terhadap jalanan sekitar pegunungan

ini, lebih baik tinggal di dalam Benteng saja menanti sesudah para

pendekar yang memeriksa gunung mendapatkan jejak barulah

pulang beri laporan, saat itu Ti kauw tauw mau pergi masih belum

terlambat”

Ti Then yang berpikir alasan ini memang sangat tepat sebera

mengangguk sahutnya.

“Baiklah, boanpwe akan menunggu kabar di dalam Benteng,

harap Hupocu pergi dengan berlega hati.”

Demikianlah Huang puh Kian Pek cun meninggalkan benteng

dengan tergesa-gesa.

seluruh benteng kini hanya tinggal puluhan pelayan saja,

membuat suasana di dalam benteng ini menjadi begitu sunyi serta

tenangnya, dia balik ke dalam ruangan dan duduk kembali, sedang

pikirannya dengan cepat berputar. . teringat kembali akan Wi Ci To

yang menyembunyikan diri dalam loteng Penyimpan kitab. .

Putrinya sudah terjadi suatu peristiwa ternyata dia masih bisa

menahan diri . heei. . bukankah hal ini keterlaluan??

Hmm? hanya untuk mengawasi gerak-gerikku ternyata tidak

mauperduli lagi nasib keselamatan dari putrinya sendiri, kelihatan Wi

Ci To pocu yang mem punyai nama sangat terkenal di dalam dunia

kangouw ini pun bukankah seorang manusia baik-baik.

Baru saja dia berpikir dengan gusarnya mendadak terlihatlah

pelayan tua yang melayani dirinya si Locia dengan air muka yang

sangat girang berlari masuk ke dalam ruangan, serunya dengan

keras. “Sudah pulang. . sudah pulang.”

“Siapa yang sudah pulang??” tanya Ti Then sambil bangkit berdiri

berdiri dengan cepat, “Pocu kami. . Pocu kami sudah pulang.”

Baru dia berkata sampai di situ, terlihatlah Wi Ci To dengan lagak

seperti baru saja melakukan perjalanan jauh dengan langkah lebar

berjalan masuk ke dalam ruangan.

Dengan cepat Ti Then maju ke depan menyambut

kedatangannya, ujarnya sambil memberi hormat.

“Pocu sudah pulang.”

“Ti kauw tauw.” ujar Wi Ci To dengan air muka penuh perasaan

terkejut. “Dimana semua pendekar pedang yang ada di dalam

benteng?”

” Kedatangan Pocu sangat cepat sekali, kemarin malam Hong

Mong Ling menyelundup masuk ke dalam benteng dan menculik

pergi nona Wi.”

“Apa?” teriak Wi Ci To dengan keras. “Binatang itu. dia berani

menculik In ji?? sekarang sudah ketemu belum?”

“Belum Kemarin malam boanpwe sudah melakukan pengejaran

hingga jauh diluar benteng, tetapi hasilnya hampa belaka, karena

itu Hu pocu baru saja perintahkan seluruh pendekar pedang yang

ada di dalam Benteng untuk melakukan pemeriksaan yang lebih

teliti diseluruh daerah pegunungan, jika tidak memperoleh hasil

barulah mencarijalan lain”

Kegusaran dari Wi Ci To tidak bisa ditahan lagi, dengan sinar

mata berapi-api teriaknya dengan keras.

“Bangsat cilik, Kamu berani berbuat demikian kurang ajar. .

hmm. .jangan harap bisa lolos dari tanganku”

Sehabis berkata dia putar tubuh dan menerjang keluar dengan

sangat cepat.

Ti Then tahu kalau dia pun akan mencari disekitar gunung,

karena itulah tidak sampai mengikuti dari belakang, sesudah melihat

bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan, dari air mukanya

segera terlihat terlintas suatu senyuman, pikirnya:

“Ehmm, pandai juga dia berpura-pura, tetapi perasaan cemas

yang terlihatpada wajahnya bukan sengaja diperlihatkan.”

Tetapi. . dengan munculnya Wi Ci To kembali ke dalam Benteng,

ini membuat perasaan tidak puasnya terhadap Wi Ci To tersapu

lenyap dari benaknya.

Dengan perlahan dia mengalihkan pandangannya kearah Locia si

pelayan tua itu, ujarnya sambil tersenyum.

“Lo cia, kembalinya Pocu kali ini sungguh cepat sekali.”

“Benar, untung sekali dia tepat waktunya kembali, kalau tidak

entah apa yang akan terjadi.”

Ti Then hanya tersenyum saja, tidak berbicara lagi, sedang

dalam hati pikirnya.

“Pelayan tua ini kemungkinan sekali merupakan salah seorang

yang menyelidiki dan mengawasi seluruh gerak gerikku, sejak hari

ini aku harus lebih berhati-hati lagi terhadap dirinya”

“Ti Kauw tauw” ujar si Locia lagi “dengan wajah yang sangat

murung, kau lihat bisakah Hong Mong Ling berbuat sesuatu

terhadap siocia kita?”

“Kemarin malam ditengah gunung dia pernah berusaha

memperkosa siocia, karena itulah kali ini dia menculik pergi siocia,

kemungkinan sekali juga mengandung maksud tidak lurus. .”

“Hei, memang benar papatah yang mengatakan, tahu mukanya

tahu orangnya tetapi tidak akan tahu hatinya, siapa sangka seorang

pemuda begitu baik kelihatannya hanya di dalam dua tiga hari saja

sudah berubah menjadi demikian ganas serta kejamnya, boleh

dikata mirip dengan hati srigala heeeei… Tidak lebih seperti seekor

binatang”

“Tapi persoalan yang pokok karena Pocu membatalkan

perjodohannya deagan siocia.”

“Sekali pun begitu” ujar si Locia itu lagi. “Dengan membohongi

siocia dia bermain perempuan diluaran sudah tentu pocu kami tidak

setuju kalau putrinya dijodohkan dengan manusia rendah seperti

itu.”

“Ehmmm, kamu mengikuti pocu sudah sangat lama sekali,

tentunya tahu juga asal usulnya bukan???”

“Tentu tahu..” sahut si Locia sambil mengangguk “Dia berasal

dari kota Majan di daerah Oh Tong atau Kini daerah Hu Pak.

ayahnya adalah sam Huan sin su atau si tangan sakti bergelang tiga

Hong Tiong Yang, pada waktu itu membuka sebuah piauw kiok di

kota Han Yang yang bernama Liong Hong piauw kiok. akhirnya

karena mengawal barang kiriman mendapat luka dan bersembunyi

ditengah pegunungan yang sunyi sedang putra tunggalnya dikirim

kemari mohon pocu mau menerimanya”

“Ooooh kalau begitu pocu dengan ayahnya si sam Huan sin su

merupakan kawan karib” potong Ti Then cepat.

“Tidak bisa dikatakan merupakan kawan karib, mereka hanya

pernah berkenalan saja. karena pocu melihat bakatnya sangat

bagus dan orangnya tumbuh sangat tampan maka baru sanggup

untuk menerimanya sabagai seorang murid.”

“Pada tiga tahun yang lalu ayahnya sudah meninggal.”

“Ooh” sahut Ti Then perlahan. “Lalu Ibunya ???”

“Ibunya shen si meninggalkan dunia pada tahun kedua sesudah

melahirkan dirinya, dia mati dibunuh orang”

“Dibunuh orang??” tanya Ti Then sambil memandang tajam

wajahnya.

“Benar, jikalau di bicarakan soal ibunya shen si merupakan

seorang yang punya asal usul terkenal. Dia merupakan putri dari

Thiat Ciang Cang sam Kun atau pukulan besi menggetarkan tiga

daerah shen Cing Hong yang pernah menggetarkan dunia

kangouwpada waktu itu, karena itulah sewaktu dia masih nona

sudah mendapatkan seluruh kepandaian dari ayahnya, kemudian

sesudah kawin dengan Hong Tiong Wan membantu suaminya

menyalankan Piauw kiok.”

“Pada tahun kedua sesudah melahirkan Hong Mong Ling ada satu

kali suaminya mengawal barang menuju ke daerah Lo kho sedang

dirinya mengawal barang ke Kota Han Yang, tidak disangka

ditengah jalan terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan dirinya

terbunuh hingga binasa, akhirnya Hang Tiong Yan berhasil

membunuh penyahat itu membalaskan dendam bagi istrinya.”

“Kalau begitu Hong Mong Ling sekarang hanya seorang diri

saja?”

“Aku Kira demikian, tapi aku pernah dengar ayahnya

meninggalkan sejumlah harta benda dikota Han Yang yang sekarang

dijaga oleh pamannya.”

” Harta kekayaan apa? pamannya bernama siapa?..”

“Agaknya sebuah rumah penginapan sedang pamannya bernama

apa hamba sendiri juga tak tahu”.

“Ehmmm…” ujar Ti Then sambil mengangguk. “Aku kira pocu

tentu tahu, nanti sesudah dia pulang aku mau tanya dia..”

“Buat apa Ti kauw tauw menanyai hal ini?”

“Jika di atas gunung tidak menemui dia, aku pikir harus pergi ke

kota Han Yang satu kali, paling sedikit juga harus cari pamannya

yang berdiam di sana.”

“Tidak salah, tetapi waktu itu kemungkinan siocia sudah

menemui bencana di tangannya”

“He hee hee… tetapi masih bisa juga menangkap dia kembali

untuk dijatuhi hukuman, bukan begitu???”

“Heei, semoga saja Thian melindungi kesehatan dan keselamatan

siocia sehingga dia bisa kembali dengan selamat”

“Ehm, sekarang sudah siang?”

“Benar”

” Kemarin malam aku sudah melakukan perjalanan sejauh dua

ratus lie lebih, kini perutku merasa lapar, cepat pergi sediakan

makanan” si Lo cia pelayan tua itu segera menyahut dan berlalu dari

sana.

Awan gelap mulai menutupi seluruh jagat, malam hari pun tiba

dengan cepat, para pendekar pedang yang dikirim keluar satu

persatu pada pada kembali ke dalam benteng. Tetapi tidak seorang

pun diantara mereka yang membawa kabar baik. Tidak lama

kemudian Wi Ci To serta Huang puh Kian Pek pun kembali.

Seluruh tubnh mereka basah kuyup oleh keringat yang mengucur

mengotori seluruh bajunya hal ini memperlihatkan kalau mereka

sudah memeriksa setiap jengkal tanah seluruh gunung GoBisan itu.

Tetapi. . yang mereka bawa pulang tidak lebih hanya tubuh yang

lelah serta air muka yang murung sedih, gusar serta gemas yang

bercampur menjadi satu.

Dengan wajah yang loyo Wi Ci To menyatuhkan diri di atas kursi

dalam ruangan itu, matanya dipejamkan rapat-rapat sama sekali

tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Dua puluh tiga orang pendekar pedang merah yang berdiri di

dalam ruangan itu pun pada menundukkan kepalanya rendahrendah,

air muka mereka kelihatan sekali sangat sedih dan murung.

Seluruh ruangan saat itu diliputi oleh perasaan duka yang amat

sangat, tidak terdengar suara manusia yang bercakap-cakup, hanya

helaan napas panjang sering memecahkan kesunyian yang

mencekam itu, sesudah hening lama sekali barulah terlihat Wi CiTo

membuka kembali matanya, ujarnya dengan perlahan.

“Shia Pek Tha, Ki Tong Hong, Cian su Ci serta ouwyang Huan

kalian berempat bertanggung jawab di dalam pengiriman “Perintah

seratus Pedang” segera kirim perintah itu”

shia Pek Tha, Cian su Ci, Ki Tong Hong serta ouwyang Huan

segera menyahut dan mengambil empat buah panyi kecil yang

bertuliskan kata-kata, “Perintah seratus pedang” dari sebuah tabung

ditengah meja sembahyangan di dalam ruangan itu, kemudian

mengundurkan diri dengan tergesa-gesa.

-0000000-

TIDAK LAMA KEMUDIAN terdengar suara derapan kuda yang

sangat ramai berkumandang masuk dari luar ruangan yang makin

lama makin menyauh.

Wi Ci To termenung berpikir lagi beberapa saat lamanya,

kemudian barulah ujarnya kepada kesembilan belas pendekar

pedang merah lainnya:

“Kalian mengundurkan diri untuk makan sesudah dahar segera

berangkat, setiap dua orang dibagi menjadi satu kelompok masingmasing

mengejar secara berpisah sebelum mendapatkan perintah

lohu yang mencabut kembali perintah ini kalian jangan pulang”

Kesembilan belas pendekar pedang merah itu segera menyahut

dengan hormat dan mengundurkan diri dari dalam ruangan.

sesudah itulah Wi Ci To baru menoleh kearah Ti Then, ujarnya

sambil tertawa:

“Tadi di tengah jalan Hupocu beritahu pada lohu, katanya

kemarin malam bangsat cilik itu sudah menawan putriku ke dalam

gua untuk melakukan pekerjaan tidak sopan, untung sekali waktu

itu Ti Kiauw tauw datang menolongnya saat itu kenapa Ti kauw

tauw melepaskan dia pergi?”

“Kesemua ini merupakan kesalahan boanpwe” sahut Ti Then

dengan perlahan, “Jika tahu dia akan berbuat demikian tentu

boanpwe tak akan melepaskan dia pergi.” Air mata mulai jatuh

berlinang membasahi wajah Wi Ci To, ujarnya dengan sedih.

“Selamanya Lohu mendidik murid dengan sangat keras, tidak

disangka masih muncul juga seorang manusia rendah seperti dia..

Hei.. jika tidak secepat mungkin menolong putriku dari tangannya . .

. namaku selama ini akan ikut hancur berantakan”

“Orang budiman akan mendapatkan bantuan dariThian, boanpwe

percaya putrimu akan kembali dengan selamat”

“Heei..” ujar Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya, “Kemarin

malam bangsat itu sudah punya maksud jelek terhadap putriku, kali

ini dia berhasil menculiknya tentu tidak akan melepaskannya dengan

begitu saja?”

“Tapi. .” ujar Ti Then setengah menghibur. “sesudah dia

menculik putrimu kita sudah mengerahkan seluruh kekuatan yang

ada di dalam benteng untuk mencari dia, aku kira di dalam

beberapa hari ini dia tak akan berani berbuat sesuatu terhadap nona

Wi.”

“Benar . .” sambung Hung puh Kian Pek dengan cepat “Perkataan

Ti kauw tauw sedikit pun tidak salah, asalkan di dalam beberapa

hari ini kita bisa menemui dia, maka In ji tidak akan mendapatkan

bencana.”

Dengan pandangan kosong Wi Ci To memandang keluar

ruangan, lama sekali dia berdiri termangu-mangu tidak

mengucapkan sepatah kata pun.

“Becana yang diderita nona Wi kali ini seharusnya boanpwe juga

ikut bertanggung jawab, karena itulah boanpwe sudah mengambil

keputusan untuk meninggalkan benteng ikut mencari, sekali pun

tidak bisa menolong Nona Wi sedikit-dikitnya bisa menawan dia

kembali ke dalam Benteng”

Wi Ci To hanya menganggakan kepalanya saja.

“Sore tadi” ujar Ti Then lagi “Boanpwe pernah dengar perkataan

dari Locia, katanya dikota Han Yang ayahnya pernah meninggalkan

sebuah rumah penginapan yang sekarang dijaga oleh pamannya,

Pocu tahukah kamu apa nama dari rumah penginapan itu?”

“Rumah penginapan Hok An.”

“Lalu siapa nama dari pamannya ?”

“Hong Tiong Peng ”

“Selain dia apakah masih ada keluarga lain atau kawankawannya?”

“Heei . . .” ujar Wi Ci To sambil menghela napas panjang, “pada

usia tiga belas dia masuk benteng ini, agaknya diluaran tidak punya

kawan-kawan lain, sedang dari keluarganya yang paling sering

mengadakan hubungan hanya dari pihak kakeknya- kakeknya

adalah sipukulan besi menggetarkan tiga daerah shen Cin Hong

sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, kini hanya tinggal

neneknya saja yang masih ada, dan tahun yang lalu dia masih

datang kemari nengok dia”

“Sebuah dusun kecil didekat Heng sak Than di atas gunung Kiu

kongsan” Ti Then termenung berpikir sebentar, kemudian barulah

ujarnya:

“Jika tidak berhasil mendapatkan dirinya, terakhir kita harus pergi

juga kerumah neneknya serta rumah penginapan Hok An untuk

mencari berita, karena kedua tempat ini cepat atau lambat, dia akan

ke sana juga”

“Kapan Ti Kauw tau mau berangkat ?”

Ti Then yang punya maksud hendak berunding dulu dengan

majikan patung emas, segera sahutnya.

“Bagaimana kalau boanpwe berangkat besok pagi?”

Padahal di dalam hati Wi Ci To sangat mengharapkan dia bisa

berangkat malam itu juga, hanya saja tidak enak untuk diucapkan

keluar, segera dia mengangguk. sahutnya.

“Baiklah, kemarin malam Ti Kauw tauw sudah melakukan

perjalanan satu malaman, seharusnya kini beristirahat lebih dulu”

Dengan segera Ti Then bangkit untuk memohon diri dan kembali

kekamarnya sendiri.

Dia memerintahkan pelayan tua si Locia itu menyediakan

segentong air panas untuk mandi, kemudian dahar malam dikamar

sesudah semuanya selesai barulah dia menyulut lampu dan

mengetuk jendela sebanyak tiga kali.

Dia tahu majikan patung emas baru akan muncul pada tengah

malam buta, karena itulah dia tidur terlebih dulu untuk menanti

kedatangan majikan patung emas di tengah malam nanti.

siapa tahu sekali tidur dia telah jatuh pulas dengan nyenyaknya

sampai dia merasa bahunya ditepuk orang barulah sadar kembali

dengan sangat terkejutnya. Yang menepuk bahunya itu tidak lain

adalah patung emas yang pernah di temuinya itu. Dengan cepat Ti

Then bangun dari tidurnya sambil duduk ujarnya: “Hei kawan,

sungguh cepat kedatanganmu kali ini.”

Dengan suara yang lembut dan dihantar dengan menggunakan

ilmu menyampaikan suara, sahut majikan patung emas itu dari atas

atap rumah. “Heehehe kentongan ketiga sudah berlalu, kamu kira

masih pagi?.”

Mendengar perkataan itu Ti Then segera angkat kepalanya

memandang ke atas atap rumah, sahutnya sambil tersenyum:

“sebetuinya aku mau tunggu dengan cara bagaimana kamu

datang, ha ha ha tidak disangka sudah tertidur demikian pulasnya”

“Hemm aku beberapa kali sudah peringatkan dirimu, jangan

coba-coba selidiki jejakku”

“Aku hanya ingin tahu dengan cara bagaimana kamu bisa

menghindarkan diri dari pengawasan orang-orang benteng ini”

sahut Ti Then sambil angkat bahunya. “Kamu anggap aku punya

ilmu untuk melenyapkan diri?”

“Ha ha ha ha tidak sampai begitu jauh” sahut Ti Then sambit

tertawa terbahak-bahak “Tentang nona Wi yang diculik tentu kamu

tahu bukan?”

“Ehmmm. .tahu”

” Kamu pikir harus bagaimana baiknya sekarang ini?” “Tolong dia

pulang”

“Besok pagi-pagi aku mau berangkat, hanya tidak tahu none Wi

sudah diculik kemana, kamu tahu tidak?”

“Aku tidak tahu” sahut majikan patung emas lagi “Bagaimana

pun juga kau harus berusaha keras mendapatkan Hong Mong Ling

dan menolong kembali Wi Lian In.”

“Kalau tidak berhasil?”

“Asalkan Hong Mong Ling belum bunuh dia pada suatu hari tentu

berhasil juga menolong dia kembali”

“Jika Hong Mong Ling sudah membunuh mati dia?”

“Sekarang tidak usah terlalu banyak pikiran urusan ini.”

“Masih ada satu hal lagi yang harus dijelaskan, jika dia sudah

diperkosa oleh Hong Mong Ling lalu aku..”

“Kamu tetap harus memperistri dirinya” potong majikan patung

emas itu dengan cepat.

“Hemm”

“Kamu adalah patung emasku” sambung majikan patuug emas

itu lagi, “sekali aku katakan padamu, aku mau kamu berbuat apa

saja, kamu harus lakukan”

“Aku mau kamu berbuat apa saja kamu harus melakukan

pekerjaan itu, sekali pun aku mau kamu memperistri seorang

kuntilanak yang bagaimana jelek pun kamu harus memperistri

kuntilanak itu dengan tanpa membantah”

“Hmm”

“Masih ada persoalan apalagi yang hendak kamu tanyakan?”

“Kamu ikut aku keluar benteng tidak”

“Ehmm. . kali ini aku punya pikiran untuk tinggal di dalam

benteng saja.”

“Tapi” ujar Ti Then lagi, “jika ditengah perjalanan aku

membutuhkan petunjuk darimu aku harus berbuat bagaimana?

“Kamu boleh putuskan urusan itu sesuka hatimu”

“Kenapa kamu tidak ikut aku keluar benteng?”

“Jika aku berdiam di dalam benteng, setiap saat bisa

mendapatkan berita mengenai Wi Lian In, asalkan ada orang yang

berhasil menolong dia pulang maka dengan cepat aku akan

beritahukan kepadamu”

“Kamu bisa mencari aku?”

“Bisa.”

“Bagaimana kamu bisa tahu aku berada dimana?”

“Sudah tentu aku punya cara untuk mengetahuinya”

“Baiklah” ujar Ti Then kemudian.

“Sekarang silahkan kamu sediakan uang untuk aku gunakan,

seratus tahil perak yang waktu itu kamu berikan padaku sudah aku

gunakan hingga habis”

“Hmm kamu jadi orang terlalu royal, kali ini tidak bisa.”

“Tidak ada uang sukar berjalan, kalau tidak beri aku uang, suruh

aku pakai apa pergi cari nona Wi”

“Besok sebelum kamu meninggaikan Benteng Wi Ci To tentu

akan kasih kamu uang”

“Tapi…” timbrung Ti Then lagi. “aku melakukan pekerjaanmu

sudah seharusnya menggunakan uangmu.”

“Peristiwa tertawannya Wi Lian In kali ini tidak termasuk di dalam

dugaanku maka kali ini seharusnya dikatakan kamu membantu Wi Ci

TO menolong pulang putrinya, sudah seharusnya dia yang keluar

uang.”

” Hmm. . . sungguh cermat perhitunganmu”

Majikan patung emas itu tidak memberi jawaban lagi, dengan

cepat patung emasnya ditarik ke atas atap. kemudian menutup

kembali tempat itu dan berlalu dengan tidak menimbulkan sedikit

suara pun. Ti Then juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi, sambil

menghela napas panjang dia membaringkan tubuhnya kembali ke

atas pembaringan, tetapi hingga pagi menjelang kembali dia tidak

bisa tertidur kembali. sampai dari kamar sebelah dia dengar suara

batuk-batuk dari itu pelayan tua si Lo cia barulah dia bangkit dari

pembaringannya dan membuka pintu.

Diruang makan sesudah habis bersantap pagi bersama-sama

dengan Wi Ci To serta Huang Puh Kian pek. terlihatlah dengan

membawa sebungkus uang perak serta sebilah pedang Wi Ci TO

berjalan kearahnya, ujarnya kemudian.

“Pedang ini disebut sebagai “seng shia” yang berarti menang dari

segala iblis yang merupakan salah satu pedang wasiat kesayangan

lohu pada masa yang silam, kini lohu hadiahkan pada Ti Kauw tauw

sebagai bekal perjalanan, di samping itu lima ratus tahil uang perak

ini harap Ti kiauw tauw terima sekalian”

000

TI THEN dengan mengucapkan terima kasih menerima hadiah

itu, tanyanya kemudian: “Apakah Pocu juga mau ikut mencari nona

Wi?”

“Lohu pikir akan menunggu beberapa hari terlebih dulu di dalam

Benteng, jika tidak ada berita barulah pergi sendiri”

Dengan perlahan Ti Then menoleh pula kearah Huang Puh Kian

Pek tanyanya lagi: “Bagaimana dengan Hu pocu?”

“Lohu juga akan berangkat, nanti kita keluar bersama-sama”

sahut Huang Puh Kian Pek perlahan.

“Kalau begitu” ujar Ti Then sambil bangkit berdiri “biarlah

boanpwe balik kekamar untuk mengambil sebentar barang-barang,

kemudian kita berangkat bersama-sama”

sesudah memberi hormat dia mengundurkan diri ke dalam

kamar, sesudah membungkus uang serta pakaiannya menjadi satu

dan menggantungkan pedang pemberian Wi Ci To itu pada

pinggangnya segera dia berjalan ketengah lapangan latihan silat.

Waktu itu Huang Puh Kian Pek sudah menuntun dua ekor kuda

jempolan menanti kedatangannya ditengah lapangan, begitu melihat

dia datang segera memberikan tali les dari seekor kuda jempolan

berwarna merah darah kearahnya, ujarnya sambil tertawa:

“Kuda ini disebut Ang san Khek yang merupakan kuda

kesayangan dari In ji, kini Ti Kauw tauw boleh menggunakanmya

kemungkinan sekali dengan kepandaian kuda tersebut bisa

menemukan kembali jejak dari In ji”

sambil tersenyum Ti Then menerima tali les itu sesudah naik ke

atas punggung kuda tersebut ujarnya: “Ayoh jalan”

-ooo0dw0oooJilid

8.1. Setan Pengecut Berkerudung Penculik Nona Wi

Tali les kudanya ditarik, terdengarlah suara ringkikan kuda yang

panjang, empat buah kakinya mulai bergerak dengan sangat

cepatnya menerjang keluar pintu Benteng.

Huang Puh Kian pek dengan cepat menyalankan kudanya pula

untuk mengejar, tua muda dua orang itu yang satu berada di depan

sedang yang lain berada di belakang dengan mengikuti jalanan

gunung berlari dengan cepatnya ke bawah. Tanya Ti Then

kemudian.

“Hu Pocu, kamu orang punya maksud mengambil jalan yang

mana?”

“Daerah Siok Pak banyak terdapat gunung, Lohu punya maksud

mencari dari sebelah utara, bagaimana dengan Ti kiauw tauw? ”

“Ehm. .” sahut Ti Then sesudah berpikir sejenak, “Boanpwe

punya maksud mencari kearah timur dulu kemudian baru memasuki

daerah Oh Tong (kini daerah Hu Pak) kekota Han Yang mencari

pamannya dirumah penginapan Hok An,jika di sana tidak peroleh

hasil baru menuju kedaerah telaga Heng sak Than rumah neneknya”

“Kalau begitu baiklah.” ujar Huang Puh Kianpek sambil

mengangguk “Nanti kita berpisah dijalanan bawah gunung. ”

Di dalam sekejap mata saja mereka sudah berada disuatu

persimpangan jalan di bawah gunung itu, kedua orang itu segera

berpisah yang satu menuju kearah utara sedang yang lain menuju

kearah timur untuk melakukan pencarian sendiri.

Ti Then yang melakukan perjalanan ke arah timur ditengah jalan

terus menerus mencari berita tentang Wi Lian In, sesudah berjalan

dua hari lamanya ia tetap belum memperoleh sedikit berita pun

tetapi arah tujuannya tetap tidak dirubah karena dia tahu sebelum

memperoleh gambaran dari situasi yang sebetulnya sekali pun

mengubah arah tujuan tetap tidak berguna karena itulah terpaksa

dia melanjutkan perjalanan ke depan.

Di tengah perjalanan ini walau pun tidak berhasil didapatkan

sedikit kabar pun hal ini belum bisa membuktikan kalau Hong Mong

Ling tidak melewati jalanan ini karena sesudah berhasil dia culik Wi

Lian In meninggalkan daerah gunung Go bi kemungkinan sekali

melarikan diri menggunakan kereta kuda yang tertutup sehingga hal

ini membuat dia tidak memperoleh sedikit berita pun.

Pada pertengahan hari kedua dia sudah tiba ditempat daerah

garam yang sangat terkenal yaitu daerah Ci Liuw Cing, segera

dicarinya sebuah rumah makan untuk menangsal perutnya, ketika

sedang enaknya dia dahar datanglah seorang pelayan ke samping

tubuhnya sambil memberi hormat tanyanya: “Tolong tanya apakah

kongcu she Ti?”

Mendengar pertanyaan itu hati Ti Then serasa tergetar sangat

keras, sambil memandang sekejap sekeliling tempat itu ujarnya:

“Ehmm tidak salah bagaimana kamu bisa tahu ??”

Dari dalam sakunya pelayan itu mengambil keluar sebuah sampul

surat yang kemudian diangsurkan ke hadapannya, ujarnya:

“Baru saja ada seorang anak kecil yang mengirim surat ini,

katanya surat ini akan dikirim kepada seorang kongcu berbaju hitam

yang mem punyai hati, hamba melihat di atas loteng ini hanya

kongcu seorang yang memakai pakaian hitam. . .”

“Mana itu bocah?” potong Ti Then sambil menyambut sampul

surat itu.

“Sudah pergi”

“Kamu kenal dia?” tanya Ti Then lagi dengan cemas.

“Hamba tidak kenal” sahut pelayan itu sambil gelengkan

kepalanya . “dia menyerahkan sampul surat itu kepada hamba

sesudah memberi tahu kalau surat ini harus di serahkan kepada

kongcu dengan cepat dia lari pergi.”

“Ehmmm. . kamu lihat berapa usia bocah itu ??”

“sepertinya baru berusia sebelas . . dua belas . .”

Segera Ti Then tahu kalau bocah cilik itu pun hanya dititipi oleh

seorang lain saja, segera sahutnya sambil anggukan kepalanya.

“Baiklah . . terima kasih”

Pelayan itu segera mengundurkan dirinya dari hadapan Ti Then.

Sesudah dilihatnya pelayan itu pergi jauh, barulah Ti Then

membuka isi sampul surat itu, di dalamnya terlipat secarik kertas

putih yang berisikan beberapa puluh kata.

” Untuk menolong Wi Lian In datanglah ke gunung Yan siong

san, tetapi dilarang beritahukan urusan ini kepada orang-orang dari

benteng Pek Kiam Po. Melanggar permintaan ini tidak akan ditemui

kembali.”

Tulisan itu ditulis dengan batu arang, setiap gaya serta

lengkukannya sangat mantap. agaknya dia punya maksud untuk

menutupi gaya tulisan yang sebenarnya.

Ti Then hanya tersenyum saja, sesudah menyimpan sampul surat

itu dia melanjutkan kembali untuk berdahar.

Jika dilihat luarnya kelihatan sekali sikapnya yang tenang tanpa

sedikit emosi. Padahal di dalam hati dia merasa sangat terkejut

bercampur girang, otaknya terus berputar memikirkan kedatangan

surat misterius yang sangat mendadak itu.

Jika ditinyau dari gaya tulisan yang sengaja dipertegas, di dalam

hati dia bisa menduga kalau pihak lawannya merupakan orang yang

sudah dikenal olehnya.

Tetapi walau sudah dipikirkan sangat lama, tetap saja tidak

diperoleh gambaran dari orang yang menulis surat kepadanya itu.

Hanya dari hal ini dia bisa diambil suatu kesimpulan, bahwa

orang yang menulis surat itu tidak mungkin adalah Hong Mong Ling.

Karena sesudah Hong Mong Ling menculik pergi Wi Lian In,

tentunya dia tahu kalau dirinya sampai tertangkap kembali ke dalam

Benteng hanya jalan kematian yang di perolehnya, untuk melarikan

diri saja masih merupakan suatu persoalan yang rumit, sudah tentu

tidak akan berani bermain macam-macam dengan dirinya.

Kalau demikian apakah orang yang menculik pergi Wi Lian In

bukan Hong Mong Ling atau mungkin orang yang menulis surat ini

yang melakukan ?

Jika betul maka tujuannya di dalam menculik pergi Wi Lian In

harusnya adalah Wi Ci To sendiri, tetapi kenapa dia melarang

dirinya memberitahukan hal ini kepada orang-orang dari benteng

Pek Kiam Po?

Jika bukan maka pemberitahuannya kepada dia untuk pergi

kegunung Yau Liong san untuk menolong Wi Lian In bermaksud

baik, kalau memangnya begitu kenapa tidak mau menampakkan

diri?

Hemm, tidak perduli bagaimana pun aku harus melakukan hal ini

sesuai dengan permintaannya, aku mau lihat di atas gunung Yau

Liong san sudan tersedia mainan macam apa.

Berpikir sampai di sini segera Ti Then membereskan rekeningnya

dan turun dari atas loteng, sesaat meninggalkan pintu rumah makan

itu ditariknya seorang pelayan, sambil bertanya.

“Hey tolong tanya berapa jauh jarak dari sini sampai gunung Yau

Liong san?”

“Yau Liang san??” tanya pelayan itu melengakl

“Benar Gunung Yau Liong san”

“Ooh …. sangat jauh sekali”

“Ehmm . . tentang hal ini biarlah hamba berpikir sebentar..” Dia

berhenti dan ber pikir sebentar, “hamba sudah mengingat kembali

seharusnya berada di daerah tenggara, kongcu harus menuju ke

propinsi Ci Kiang dulu (terletak di daerah Su khuan) dari sana

bertanya lagi mungkin baru jelas”

“Terima kasih”

Dengan cepat dia meloncat naik ke atas kudanya dan menepuk

pantatnya hingga lari dengan kencangnya ke depan.

Dia percaya orang yang menulis surat itu tentu menguntit dirinya

secara diam-diam tetapi dia tidak punya maksud untuk mencari

tahu siapa pihak lawannya itu, karena menolong orang adalah

terpenting dari urusan itu, tak perduli pihak lawannya itu orang

yang menculik pergi Wi Lian In atau bukan, tidak perduli juga pihak

lawannya punya maksud baik atau jelek. pokoknya menolong Wi

Lian In paling penting dari semua urusan sedang penculiknya

merupakan urusan kedua saja.

Kudanya merupakan seekor kuda jempolan, sehingga larinya pun

bagaikan meluncurkan anak panah terlepas dari busurnya, hari itu

menjelang matahari lenyap di balik gunung dia sudah melakukan

perjalanan mendekati seratus li.

Dua hari kemudian dia sudah berada di bawah kaki gunung Yao

Liong san yang megah itu.

Setibanya ditempat itu Ti Then menjadi sangat bingung, karena

pihak lawannya sama sekali tidak beritahu tempat serta tanggal

pertemuannya, sesudah berpikir sebentar barulah dia menyalankan

kudanya mengitari sekeliling daerah gunung itu, begitu dilihatnya

diantara tempat itu muncul sebuah jalanan kecil dengan cepat

kudanya di larikan ke arah sana.

Sesudah berjalan beberapa saat lamanya melaluijalan itu dari

depannya terlihatlah seorang penebang kayu berjalan mendatang

dengan perlahan sambil tersenyum dia memberi hormat kepada Ti

Then, ujarnya:

“Laote ini apa betul bernama si pendekar baju hitam Ti Then”

Ti Then segera menarik tali les sehingga kudanya itu berhenti,

sambil merangkap tangan membalas hormat sahutnya. “Memang

cayhe adanya saudara…”

Penebang kayu berusia pertengahan itu tidak memberi jawaban,

dari dalam sakunya dia mengambil keluar sepucuk surat dan di

angsurkan ke hadapan Ti Then, ujarnya:

“Tadi ada orang yang mentitipkan ini kepadaku untuk di

sampaikan kepada saudara, harap kamu mau terima”

Begitu Ti Then melihat dia diangsurkan sepucuk surat lagi, tidak

terasa alisnya dikerutkan rapat-rapat, sambil menerima surat

tersebut tanya:

“Siapa orang itu?”

“Tidak tahu” sahutnya sambil gelengkan kepalanya.

“Dia seorang lelaki atau seorang perempuan? Berapa besar

usianya?”

“Tidak tahu” sahut penebang kayu itu sambil gelengkan

kepalanya kembali.

“Haa? Apa Loheng tidak melihatnya?” tanya Ti Then sambil

tertawa meringis.

“Sudah melihatnya dengan jelas.”

” Kalau memangnya sudah melihat dengan jelas bagaimana tidak

tahu dia seorang lelaki atau pun seorang perempuan sudah tua atau

masih muda”

“Karena dia sudah beri aku satu tahil perak.”

“Oooh . . .” matanya diputar keempat penjuru angin, kemudian

sambungnya dengan suara rendah. “Bagaimana jika aku beri dua

tahil perak lagi?”

“Tidak bisa” sahutpenebang itu sambil gelengkan kepalanya.

“walau kamu beri aku dua ratus tahil aku juga tidak berani

menerima.”

Ti Then jadi menjadi melengak. tanyanya penuh keheranan. ”

Kenapa?”

“Dia sudah peringatkan aku jika aku berani mengkhianati dia

maka kepalaku ini akan dipotong, sekali pun batok kepalaku ini tidak

laku tapi juga tidak seharga dua tahil perak bukan?”

“Haaa.. haaa .. betul. betul silahkan Loheng lanjutkan perjalanan”

Penebang kayu berusia pertengahan itu segera memikul kayunya

kembali untuk melanjutkan perjalanannya .

Segera Ti Then membuka sampul surat itu dan membaca isi

suratnya, di dalam surat itu tertuliskan:

“Hemm.. sudah aku bilang jangan sembarangan beritahukan

urusan ini kepada orang-orang dari Benteng Pek Kiam Po, kamu

tidak mau dengar juga, kini masih menyuruh orang menguntit

secara diam-diam. Sekali ini aku beri kesempatan terakhir kalinya

untukmu, segera perintahkan orang itu kembali, kemudian menanti

pemberitahuanku selanjutnya”

Sehabis membaca isi surat itu Ti Then mendadak tertegun

dibuatnya.

Sama sekali tidak disangka olehnya kalau Wi Ci To masih

mengirim orang menguntit dirinya, hari itu ketika masih berada di

dalam benteng Pek Kiam Po sesudah mengetahui dari mulut majikan

patung emas kalau dirinya diawasi oleh empat orang pendekar

pedang merah siang malam hatinya tidak begitu terkejut dan heran

karena dia merasa perbuatan Wi Ci To itu memang seharusnya

tetapi sesudah terjadi berbagai peristiwa Wi Ci To ternyata masih

mencurigai dirinya, bahkan mengirim orang untuk mengawasi

seluruh tindak tanduknya, hal ini berada jauh diluar dugaannya.

Sekarang orang yang menulis surat itu salah menganggap kalau

dia yang mengatur orang untuk menguntit dari belakang, bukankah

urusan ini keterlaluan sekali?

Kini dia memberi perintah kepadanya untuk mengusir orang yang

menguntit dia itu, tetapi dengan cara bagaimana dia bisa

memancing orang-orang itu munculkan dirinya. “Ehmmm. . sudah

ada ?”

Di dalam benak Ti Then berkelebat suatu akal yang sangat bagus

sekali, segera dia menyimpan kembali surat itu ke dalam sakunya

dan melanjutkan perjalanan menuju ke arah tengah gunung.

Sesudah berjalan beberapa jauh mendadak seperti tubuhnya

terkena racun, mendadak badannya sempoyongan dan rubuh dari

atas pelana kudanya, tubuhnya dengan tepat terjatuh di samping

jalan dalam keadaan tidak sadarkan diri

Agaknya kuda itu tahu kalau majikannya menemui peristiwa

diluar dugaan, segera terlihatlah sikapnya yang tidak tenang,

dengan tak henti-hentinya dia meringkik panjang.

Permintaan tolongnya ternyata mendatangkan hasil, sekonyongkonyong

dari samping jalan ditengah tumbuhan pepohonan yang

rapat melompat keluar seseorang yang kemudian secara langsung

menuju ke samping tubuh Ti Then yang rubuh tidak sadarkan diri

itu.

Seluruh tubuh orang itu memakai baju berwarna hitam,

kepalanya memakai topi lebar yang terbuat dari rumput yang

direndahkan sehingga menutupi seluruh wajahnya, tetapi jika

ditinyau dari bentuk tubuhnya boleh dikata usianya kurang lebih

enam puluh tahunan.

Dia berjalan hingga ke samping tubuh Ti Then kemudian

berjongkok membimbing tubuhnya bangun.

Saat itulah Ti Then sudah sadar kembali dari pingsannya.

Dia membuka sepasang matanya lebar-lebar dan memandang

orang tua itu sambil tersenyum, ujarnya kemudian.

“Aku kira siapa yang sudah datang. Eh. . eh, tidak tahunya pocu

sendiri”

Orang tua itu tidak lain memang si pedang naga emas Wi Ci To

adanya. Wi Ci To tahu kalau dia tertipu oleh siasatnya, tangan

kirinya yang merangkul pinggang Ti Then dengan cepat ditarik

kembali dan diubah menjadi cengkeraman menguasai jalan darah

Ciang Hia Hiat pada lehernya, ujarnya sambil tertawa. “Ti kauw

tauw kini sudah tahu kalau lohu menguntit dirinya.”

Ti Then sama sekali tidak memberikan perlawanannya, hanya

dengan tertawa tawar sahutnya, “Tidak. aku baru tahu ada orang

yang menguntit diriku setelah menerima surat tadi, tidak tahunya

orang itu adalah pocu sendiri”

Air muka Wi Ci To yang penuh dihiasi senyuman segera hilang

lenyap berganti dengan wajah yang keren, sepatah demi sepatah

tanyanya dengan berat: “Siapa orang itu??”

“Tidak tahu.”

“Hmmm, dia beri kamu orang dua pucuk surat yang kesemuanya

lohu lihat dengan mata kepala sendiri, kenapa tidak bicara terus

terang saja.”

“Pocu kamu salah paham” ujar Ti Then sambil tertawa pahit.

“Boanpwe bukan satu jalan dengan orang itu.”

“Hmmm… hmmm.. kamu mengadakan hubungan secara diamdiam

masih bilang bukan satu jalan?”

“Heeei, waktu itu pocu bilang tidak merasa curiga terhadap

boanpwe, semuanya itu hanya pura-pura saja.”

Sinar mata dari Wi Ci To yang melotot ke arahnya semakin

berapi-api, sahutnya dengan tegas.

“Bagaimana lohu tidak merasa curiga terhadap dirimu, sebelum

kau muncul di dalam Benteng Pek Kiam Po, benteng kami

selamanya aman tetapi sesudah munculnya dirimu Benteng Pek

Kiam Po kami selalu saja terjadi urusan…”

” Kalau begitu Pocu sudah pastikan itu ?” sambung Ti Then

dengan cepat.

“Tidak salah”

“Tapi boanpwe tidak undang Hong Mong Ling pergi ke sarang

pelacur Touw Hoa Yuan untuk main perempuan.”

“Hmm, dia pergi main perempuan di dalam sarang pelacur Touw

Hoa Yuan memang urusan yang nyata, tetapi kamu jangan

campurkan urusan ini menjadi satu.”

“Jadi maksud Pocu boanpwae menggunakan kekacauan yang

terjadi di sarang pelacur Touw Hoa Yan untuk memasuki Benteng

kalian?”

” Kelihatannya memang begitu”

“Apa tujuannya?” tanyanya Ti Then.

“Bekerja sama dengan orang menculik putriku, kemudian

menggunakan putriku sebagai tanggungan memaksa Lohu untuk

menyetujui suatu permintaan kalian”

“Tidak aneh kalau Pocu selalu menguntit dari boanpwe” ujar Ti

Then sambil tertawa pahit.

Air muka Wi Ci To berubah semakin memberat, dengan dingin

ujarnya lagi:

“Sekarang beritahu pada Lohu siapa orang yang mengadakan

kerja sama dengan kamu orang? dimana putriku saat ini?”

“Di dalam tubuh boanpwe”

Wi Ci To menjadi gusar, ujarnya keras:

“Lohu tidak punya banyak kesabaran Hem. .jangan bargurau di

hadapan Lohu”

“Kawan boanpwe itu sudah beri pada boanpwe dua pucuk surat,

jika pocu melihatnya sendiri bukankah akan menjadi jelas dengan

sendirinya?”

Wi Ci TO sesudah mendengar perkataannya ini sangat beralasan

segera merogoh tangannya ke dalam saku Ti Then mengambil

keluar dua pucuk surat itu.

Dengan cepat jarinya menotok jalan darah kaku pada tubuh Ti

Then kemudian membuka kedua pucuk surat itu untuk dibaca.

Sehabis membaca kedua surat itu dia menjadi tertegun

dibuatnya, sama sekali tidak terduga olehnya kalau isi surat tersebut

hanya begitu saja.

Dengan air muka yang sudah berubah merah padam

pandangannya dengan perlahan dialihkan ke atas wajah Ti Then,

ujarnya dengan penuh penyesalan: “.. Kiranya. . kiranya Lohu . .Hai.

. heei, sudah salah duga”

Ti Then tersenyum, sahutnya dengan halus. “Manusia tidak akan

luput dari kesalahan, pocu tidak usah terlalu menyesal”

“Lalu. . lalu siapa orang itu?”

“Sebetulnya boanpwe dengan cepat akan tahu siapa dia

sebetulnya, tetapi karena dia tahu Kalau pocu sedang menguntit,

maka sengaja bersembunyi tidak mau bertemu.”

Dengan cepat Wi Ci To membebaskan jalan darah kakunya,

sambil berulang kali minta maaf ujarnya:

“Sungguh minta maaf, kesemuanya ini karena ketololan lohu. .

Heei. . hanya minta Ti kauw taw jangan sampai marah karena

kelancangan ini.”

“Ha . ha.. ha. . sejak dulu boanpwe sudah bilang, Kalau pocu

seharusnya menaruh perasaan curiga kepadaku maka boanpwe

tidak akan menjadi marah.”

“Kalau begitu sangat bagus sekali” ujar wi Ci To sambil

menghembuskan napas lega “Heeeei.. ? seharusnya lohu tidak boleh

menaruh curiga terhadap Ti kauw taw, tetapi dikarenakan

banyaknya urusan yang terjadi sangat bertepatan maka. . tetapi kini

jauh lebih baik ada dua pucuk surat itu sebagai bukti sudah cukup

membuktikan ketulusan serta kejujuran dari Ti kauw tauw.”

Dia berhenti sebentar kemudian dengan suara rendah ujarnya:

“Menurut pandangan Ti kauw tauw, siapa yang bisa menulis

kedua pucuk surat itu?”

“Boanpwe hanya tahu kalau orang itu jelas merupakan seorang

yang sudah kita kenal, sedang siapa sebetulnya orang itu masih

belum memperoleh jawaban”

“Jika dilihat dari nada ucapan kedua pucuk surat ini agaknya dia

mirip orang yang menculik putriku tetapi sepertinya tidak.”

“Apa Pocu mengenal gaya tulisan dari surat itu?”

“Tidak kenal” sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya Jika

ditinyau dari gaya tulisannya tidak mirip tulisan bangsat cilik itu”

“Orang ini punya maksud sengaja menutupi gaya tulisannya

tetapi boleh dipastikan bukan Hong Mong Ling yang menulis surat

itu”

“Hmm. . benar” sahut Wi Ci To sambil mengangguk. “Lohu juga

tidak percaya dia punya nyali begitu besarnya”

“Hingga saat ini yang membuat boanpwe merasa tidak paham

adalah orang itu kalau memangnya menculik putrimu, bertujuan

memaksa Pocu menyerahkan sesuatu barang kenapa harus

memberi larangan untuk beritahukan urusan ini kepada orang-orang

dari Benteng Pek Kiam Po?”

“Benar, hal ini membuat orang merasa bingung. .”

“Saat ini maukah Pocu mempercayai diri boanpwe ini?”

“Sudah tentu percaya. . sudah tentu percaya” sahut Wi Ci To

cepat, “Jika lohu tetap mencurigai Ti kauw tauw bukanlah jadi

manusia lagi”

“Kalau begitu harap pocu cepat-cepat pulang agar boanpwe bisa

menemui orang itu secepat mungkin”

“Baiklah” sahut Wi Ci To sambil mengangguk. “Tetapi Ti kauw

tauw harus berhati-hati, kemungkinan sekali pihak lawan memang

punya satu rencana busuk”

“Sudah tentu boanpwe bisa berhati-hati, harap Pocu berlega hati”

“Ehmm. .jika pihak lawan mengajukan syarat dalam hal uang

emas harap Ti kauw tauw menyanggupi saja, Lohu hanya punya

satu putri ini saja, sudah tentu tidak akan membiarkan dia sampai

menderita luka”

“Baiklah”

“Kalau begitu semuanya lohu titipkan pada Ti kiauw tauw, kini

lohu mau kembali ke dalam Benteng ”

Ti Then segera merangkap tangannya menghantar sambil

tersenyum tambahnya:

“Pocu harus betul-betul kembali ke dalam Benteng, kalau tidak

mungkin pihak lawan tidak mau bertemu kembali dengan boanpwe”

“Tentu pulang. . tentu pulang”

Sehabis berkata dia merangkap tangannya membalas hormat dan

memutar tubuh pergi dari sana dengan langkah lebar.

Ti Then sesudah melihat bayangan tubuhnya lenyap dari

pandangan barulah teriaknya dengan suara nyaring:

“Hei kawan Wi Pocu sudah pulang, kini silahkan bertemu

bagaimana?”

Dia tahu pihak lawannya tentu bersembunyi disekitar tempat ini

karena itulah dia berteriak.

Tetapi walau sudah ditunggu sangat lama tetap saja tidak

melihat pihak lawan munculkan diriya. Diam-diam pikir Ti Then

dalam hati.

“Mungkin dia mau menunggu hingga Wi Ci To jauh meninggalkan

gunung ini baru muncul, lebih baik aku jalan-jalan dulu ke semua

tempat.”

Sehabis berpikir begitu dia menaiki punggung kudanya kembali

dan melanjutkan perjalanannya melalui jalan gunung yang tersedia,

sesudah berjalan satu dua li jalanan gunung itu sudah sampai pada

ujung, dia menanti beberapa saat lamanya di atas kudanya, tetapi

ketika dilihatnya tidak terdapat gerak gerik sedikit pun segera dia

putar kudanya turun gunung.

Di dalam anggapannya, jika dia tidak munculkan diri di atas

gunung ini sudah tentu ditengah jalanan akan meninggalkan surat

kembali untuk menentukan tempat serta waktu pertemuan, siapa

tahu ditengah jalanan ini keadaan tetap tenang-tenang saja hingga

dia melewati daerah pegunungan Yan Liong san tetap saja tidak

tampak pihak lawan mengirim surat kembali.

Saat itu cuacanya semakin gelap. sedang malam hari pun

menjelang datang. Diam-diam pikirnya lagi di dalam hati.

Jika ditinyau dari keadaan sekarang, tidak mungkin dia mau

munculkan dirinya ini hari, lebih baik aku berusaha mencari tempat

pemondokan terlebih dulu. .

Tali les kudanya dengan cepat disentak sehingga kudanya berlari

mengikutijalan kecil yang terdapat di situ.

Tidak lama kemudian sampailah Ti Then disebuah dusun yang

bernama Siong Kan, sesudah dahar dia melanjutkan perjalanan

mengelilingi dusun itu tetapi walau pun sudah kemana pun tetap

tidak didapatkan sebuah rumah penginapan pun, terpaksa dia

menginap disebuah rumah petani diluar dusun.

Hari kedua sesudah mengucapkan terima kasih pada petani itu,

dia berjalan mengambil kudanya dikandang di samping rumah

tersebut. saat itulah dilihatnya di atas pelana kudanya terselip

secarik kertas.

Ehmm. . akhirnya ada surat juga yang datang. Dengan cepat dia

mengambil surat itu dan dibacanya. “Pergilah ke gunung Fan Cing

san.”

“Hemm seperti majikan patung emas saja lagaknya, mau

menyusahkan aku”

Dia menyimpan kembali surat itu ke dalam sakunya kemudian

kepada petani tua yang mengantar tanyanya:

“Tolong tanya jarak dari sini ke gunung Fan Cing san seberapa

jauh?”

“Kongcu mau ke gunung Fan Cing san?” tanya petani tua itu

sambil memandang wajah Ti Then, “Jaraknya kurang lebih empat

lima ratus li dari sini.”

Begitu Ti Tnen mendengar kalau jarak nya ada empat lima ratus

li tidak terasa menghembuskan napas dingin, makinya..

“Anying busuk. . turunan kere. .jauh lebih hebat dari majikan

patung emas” segera dia mengangguk kepada petani tua itu,

sahutnya sambil tersenyum. “Benar ada seorang kawan sedang

menanti cayhe di atas gunung Fan Cing san.”

“Lalu kongcu sudah tahu cara jalannya.”

“Sedang menunggu petunjuk dari Lotiang.” Petani tua itu

menuding kearah timur laut, ujarnya.

“Arahnya sana, kongcu harus pergi ke Cong An dulu kemudian

tanya jalan menuju ke Wu Cun kini didaerah Kwe Kho. setelah itu

baru ke Eng Kiang, dari sana sudah bisa lihat gunung Fan Cing san

tersebut”

“Terima kasih atas petunjuk Lotiang, cayhe mau permisi.”

Dengan cepat dia menyalankan kudanya meninggalkan rumah

petani itu menuju ke arah timur laut.

Ditengah jalanan tidak ada peristiwa yang terjadi, pada siang hari

kelima dia sudah tiba didaerah gunung Fan Cing san itu

Gunung Fan Cing san merupakan salah satu gunung yang sangat

terkenal didaerah Cian ceng ini, keadaan gunungnya sangat indah

bahkan ke atas gunung banyak terdapat kuil-kuil kuno.

Pada musim semi banyak orang yang naik gunung pasang hio,

mereka segera naik dari selat Kim To Shia kemudian disambung

dengan jembatan udara membuat pemandangan jauh lebih indah.

Waktu itu bukan musim semi, apa lagipada siang hari yang terik.

karenanya orang yang datang berpesiar di atas gunung sangat

sedikit sekali.

Sampai saat ini Ti Then tetap belum tahu pihak lawannya mau

mengadakan pertemuan dengannya di tempat mana, dia hanya tahu

pada suatu tempat yang menyolok tentu ada tanda yang

ditinggalkan.

Ketika baru saja dia membelok suatu tikungan, tidak salah lagi di

atas tanah tertuliskan sebuah gambar panah, Ti Then tersenyum dia

menyalankan kudanya menurut arah panah itu.

Jalanan berbelok-belok, sesudah berjalan kurang lebih satu li

sampailah dia disebuah persimpangan jalan yang bercabang tiga.

Ketiga buah jalan itu yang satu merupakan jalanan gunung kecil

yang menghubungkan tempat itu dengan tengah gunung, yang satu

lagi menghubungkan sebuah kuil gunung dan yang terakhir

menghubungkan jalan itu dengan sebuah jembatan gantung. Panah

yang tergambar di sana meminta Ti Then melewati jembatan

gantung itu.

Segera Ti Then meloncat turun dari kudanya dan melanjutkan

perjalanan dengan berjalan kaki.

Sesudah melewati jembatan gantung, dia harus melalui sebuah

jalan pegunungan lagi yang amat panjang.

Di dalam perjalanan ini sering tampak tanda-tanda panah

penunjuk jalan, dengan mengikuti tanda itu Ti Then melanjutkan

perjalanan ke depan, setelah melewati beberapa jembatan gantung

lagi sampailah dia di puncak gunung Fan Cing san itu Akhirnya

sampailah Ti Then pada sebuah selat yang sangat sempit dan

tersembunyi.

Dalam hati Ti Then tahu tempat yang dituju sudah hampir

sampai karena itu gerak-geriknya bertambah waspada, matanya

dengan tajam memperhatikan keadaan sekelilingnya sedang

telinganya memperhatikan suara-suara yang mencurigakan, dia

takut sampai terjerumus ke dalam jebakan pihak musuh. Dia tahu

jika pihak lawannya merupakan orang yang menculik Wi Lian In

maka dia pasti mengandung maksud tertentu dan mem punyai

seorang pembantu, karena sejak dari kota Lauw Ciang hingga sini

dengan tidak henti-hentinya dia memberi petunjuk kepada dirinya,

sudah tentu tidak mungkin membawa serta Wi Lian In. dia pasti

menyerahkan Wi Lian In kepada seseorang untuk dibawa ke sini

terlebih dulu, kalau memangnya sudah ada orang ke sini terlebih

dulu kemungkinan sekali tempat ini sudah dipasangi jebakan.

Batu-batu cadas banyak berserakan di dalam selat itu, rumput

liar tumbuh dengan lebatnya sehingga menutupi pemandangan luas,

setindak demi setindak Ti Then melanjutkan perjalanannya ke

depan, sesudah berjalan kurang lebih setengah li mendadak dari

belakang tubuhnya berkumandang suara tertawa dingin yang

sangat aneh sekali:

“He he he…” suaranya parau, rendah dan sangat berat, sedikit

pun tidak berbau hawa manusia.

Tubuh Ti Then terasa tergetar dengan keras, dengan kecepatan

yang luar biasa dia memutar tubuhnya, terlihatlah pada jarak lima

kaki dari dirinya, berdiri seorang manusia aneh dengan angkernya.

Seluruh tubuh orang itu memakai jubah berwarna hitam,

kepalanya ditutupi dengan sebuah karung hitam hingga dadanya,

pada depan matanya hanya terlihat dua buah lubang kecil saja,

secara samar-samar terlihatlah dari matanya memancarkan keluar

sinar yang sangat tajam sekali.

Selain itu berapa besar usianya, bagaimana wajahnya bahkan

lelaki atau perempuan tidak sanggup diketahuinya.

Tidak tertahan Ti Then menghembuskan napas dingin, tanyanya.

“Apa saudara yang meminta cayhe kemari?”

“Tidak salah” sahut manusia aneh itu sambil mengangguk.

Dengan perlahan sinar mata Ti Then berkelebat menyapu

keadaan sekeliling tempat itu. samhil tersenyum ujarnya lagi.

“Jika cayhe mau tahu siapa namamu tidak mengapa bukan?”

“Kamu boleh panggil aku sebadai manusia berkerudung.”

“Ha ha ha. . nama ini kurang misterius lebih baik cayhe carikan

sebuah sebutan bagimu, kamu kira bagaimana?”

“Bagus sekali”

“Tapi kau jangan marah”

“Kalau begitu baiklah” ujar Ti Then sambil tersenyum. “Aku

panggil kamu sebagai si setan pengecut saja”

Manusia aneh itu sama sekali tidak menjadi marah oleh

hinaannya ini, sambil tertawa keras ujarnya.

“Bagus sekali makianmu, bagus sekali makianmu ini, dengan

dandananku seperti ini memang patut mendapatkan ejekan sebagai

si setan pengecut. .”

“Jika kamu tidak menolak. sejak hari ini aku mau panggil kamu

sebagai setan pengecut” Manusia aneh itu menganggukkan

kepalanya berulangkali, sahutnya sambil tertawa:

“Bagus. ..baik panggil setan pengecut. . . boleh . . mau panggil

setan pangecut juga boleh. .”

“Dimana nona Wi??”

“Di dalam selat ini” sahut setan pengecut itu singkat. “Kamu

setan pengecut yang menculik dia kemari??”

“Benar”

“Lalu apa keinginanmu?”

“Ha ha ha. .” sahut setan pengecut itu sambil tertawa terbahakbahak.

“Aku hanya beritahu padamu sebaliknya tidak memberi tahu

pada Wi Ci To, di dalam hal ini sudah tentu kamu tahu tujuanku

adalah pada dirimu.”

“Aku tahu.”

Mendadak nada suara diri setan pengecut itu berubah menjadi

sangat dingin, ujarnya dengan seram:

“Permintaanku kepadamu sangat banyak sekali, mungkin kamu

tidak akan sanggup untuk menerimanya ”

“Kamu orang mau nyawaku ini?” tanya Ti Then tenang tenang

saja.

“Tidak, tidak berguna aku minta nyawamu”

“Kalau begitu, kamu mau apa?”

“Pada waktu-waktu dekat ini aku pernah dengar dari seorang

yang bisa dipercaya katanya kamu pendekar baju hitam Ti Then

pernah pukul rubuh si pendekar pedang tangan kiri Cian pit Yuan di

dalam Benteng Pek Kiam Po, apa betul ada urusan ini”

“Ha ha ha. . tidak salah”

“Usiamu baru dua puluh tahunan ternyata bisa mengalahkan Cian

pit Yuan boleh dikata kamu pernah memperoleh ilmu silat yang

sangat tinggi dari seorang pendekar aneh”

“Sedikit pun tidak salah” sahut Ti Then sambil mengangguk.

“Sedang menurut apa yang aku ketahui orang itu tidak mungkin

si kakek pemalas Kay Kong Beng.”

“Memang bukan dia”

“Kalau begitu” ujar setan pengecut itu lagi. “Kemungkinan sekali

orang itu adalah musuh bebuyutanku”

Hati Ti Ten menjadi tergerak sambil memandang tajam

kearahnya tanyanya lagi. .

“Siapa musuhmu itu?”

“Aku tidak bisa mengatakan.”

Ti Then menjadi melengak. tanyanya:

“Kenapa tidak bisa dikatakan?”

“Karena bagitu aku sebutkan maka dia juga bisa tahu siapa aku

sebenarnya, sedangkan kepandaian silat yang aku berhasil latih

hingga kini masih kalah satu tingkat dengannya. Aku bicara begini

kamu orang tentu paham bukan?”

“Paham sekali” sahut Ti Then sambil mengangguk.

“Sudahlah, sekarang aku mau bicarakan soal syarat yang aku

ajukan untuk kamu orang, permintaanku ada empat. Kesatu,

Beritahu padaku siapa dia. Kedua, Perlihatkan semua kepandaian

silatnya di hadapanku. Ketiga, Kamu orang harus turun tangin

sendiri memotong lengan sebelahmu. Keempat, bawakan sebuah

sebuah barang untuk dirinya.” Dia berhenti sebentar kemudian

sambil tertawa dingin sambungnya lagi:

“Tiga syarat pertama dari antara keempat syarat ini jika kamu

bisa lakukan dengan baik maka nona Wi boleh kamu bawa pulang.”

Ti Then yang mendengar diantara keempat syarat itu ada satu

yang minta dia potong lengannya sendiri dalam hati merasa

berdesir, sambil tertawa pahit sahutnya kemudian: “Syarat pertama

dari ke empat syarat yang kamu ajukan aku sudah tidak bisa

lakukan.”

“Tapi” potong setan pengecut itu sambil tertawa dingin “Aku rasa

syarat pertama itu justru syarat yang paling mudah asalkan kamu

mau katakan urusan sudah beres”

“Justru aku tidak bisa bicarakan karena aku sendiri juga tidak

tahu siapa sebetulnya dia.”

sinar mata setan pengecut itu berkelebat dengan tajamnya

tanyanya dengan tercengang: “Bagaimana kamu tidak tahu siapa

sebetulnya dia??”

“Bertemu dengan mukanya saja belum pernah, bagaimana bisa

tahu siapa dia?” setan pengecut itu menjadi melengak ujarnya lagi.

” Kalau begitu dengan cara bagaimana menurunkan kepandaian

silatnya??”

“Ehmm. .” sahut Ti Then sesudah berpikir sebentar. “Tentang

soal ini aku harus berpikir dulu baru bisa ambil keputusan

memberikan jawaban kepadamu atau tidak?”

“Jika betul-betul kamu orang tidak tahu siapa sebetulnya dia, hal

ini masih tidak mengapa, cukup kamu perlihatkan seluruh

kepandaian silat yang pernah dia ajarkan, dengan cepat aku segera

akan tahu betul tidak dia merupakan musuh besarku” Ti Then

termenung berpikir sebentar, kemudian baru ujarnya: “Aku mau

bertemu dulu dengan nona Wi?”

“Kamu boleh lega hati, dia sama sekali tidak menemui cidera”

“Tapi sekarang juga aku mau temui” ujar Ti Then tetap ketus,

“Aku mau bicara dengan dia, jika kamu tidak setuju semua urusan

tidak perlu bicarakan lagi”

“Hmm hmm. Bangsat cilik, tempat dan saat ini bukan waktumu

untuk bersombong”

“Kalau begitu kamu pergi cari Wi pocu saja, nona Wi adalah putri

dari Wi Pocu, Wi Pocu dengan aku tidak punya hubungan apa-apa.”

“Tapi kamu sudah jatuh cinta padanya bukan begitu?”

Sehabis berkata dia menuntun kuda tunggangannya siap

meninggalkan tempat itu.

Jilid 8.2. Si Setan Pengecut meminta ilmu silat Ti Then

“Baik… baiklah” ujar setan pengecut itu dengan cepat “Aku akan

beri perintah untuk bawa dia bertemu muka dengan kamu.” sehabis

berkata dia bertepuk tangan tiga kali sebagai tanda:

Ti Then segera angkat kepalanya memandang sekeliling tempat

itu tetapi tidak terlihat sesosok bayangan manusia pun yang

membawa Wi Lian In keluar, tidak terasa dia mendengus dengan

sangat dingin, ujarnya. “Mana orangnya??”

“Sewaktu bertemu dengan dia lebih baik kamu jangan bergerak

sembarangan, kalau tidak hmm, hmm .. aku mau beri perintah

segera binasakan dirinya.”

Tidak tertahan alis yang dikerutkan pada wajah Ti Then semakin

mengencang, ujarnya dengan keras. “Aku tanya dimana dia?”

“Di atas lekukan tebing di sebelah kiri belakang tubuhnya.”

Ti Then dengan cepat putar tubuhnya memandang ke arah sana,

begitu melihat tidak tertahan lagi hawa amarahnya memuncak,

makinya: “Bangsat cilik, ternyata kamu lagi.”

Kiranya orang yang membawa keluar Wi Lian In di atas lekukan

tanah itu tidak lain adalah si naga mega Hong Mong Ling adanya.

Sejak semula Ti Then sudah menduga kalau setan pengecut itu

punya kawan di dalam melaksanakan rencananya ini, tetapi sama

sekali tidak disangka olehnya kalau orang itu adalah Hong Mong

Ling, yang paling dikuatirkan Ti Then adalah Wi Lian In sampai

terjatuh ditangan Hong Mong Ling ini karena begitu Wi Lian In

terjatuh ketangannya walau pun tidak tentu bisa binasa secepatnya.

Hong Mong Ling tentu akan memperkosa dirinya terlebih dulu baru

membunuhnya.

Hal ini terhadap dia, terhadap ayahnya bahkan terhadap Ti Tian

sendiri juga merupakan suatu peristiwa yang paling menyiksa.

Dalam hati dia merasa sangat terkejut bercampur gusar, tetapi

tidak berani menerjang ke depan untuk memberi pertolongan,

karena jarak dari permukaan tanah sampai lekukan tebing itu walau

pun hanya setinggi tujuh delapan kaki saja tetapi jaraknya dari

tempat dia berdiri ada lima belas, enam belas kaki jauhnya, tidak

mungkin baginya sekali terjang berhasil mencapai tempat itu. Dia

tahu begitu dirinya turun tangan membunuh Wi Lian In.

Tangan kiri Hong Hong Mong Ling merangkul kencang pinggang

Wi Lian In, memaksa tubuhnya berdiri tegak sedang tangan

kanannya mencekal sebilah pisau belati tajam yang ditempelkan di

depan jantungnya.

Agaknya jalan darah dari Wi Lian In sudah tertotok sehingga

tubuhnya tidak bisa bergerak sedikit pun, dengan demikian sama

sekali tidak punya tenaga baginya untuk melakukan perlawanan,

hanya saja air mukanya yang murung serta sedih dengan tidak

henti-hentinya melelehkan air mata memandang kearah Ti Then.

setan Pengecut itu segera tertawa, ujarnya:

“Di belakang lekukan tebing dimana mereka sekarang berdiri

terdapat sebuah gua alam yang sangat indah sekali, di dalam

beberapa hari ini nona Wi berdiam dengan tenangnya di dalam gua

itu.”

Ti Then segera menggerakkan kakinya berjalan kearah tebing

dimana Hong Mong Ling berdiri.

Melihat hal itu si saten pengecut segera membentak keras:

“Berhenti, jangan kamu ke sana”

“Aku mau bicara dengan dia” ujar Ti Then sambil berhenti.

“Kamu bicara dari sana, dia masih bisa dengar” Ti Then segera

angkat kepalanya berteriak. “Nona Wi, kamu menderita luka atau

tidak?”

Air mata yang mengucur keluar dari kelopak mata Wi Lian In

semakin deras, sahutnya dengan sedih:

“Tidak terluka, hanya kemangkelan di dalam hatiku tidak bisa

ditahan lagi, Ti kauw tauw kamu tidak usah perduli aku lagi, cepat

turun tangan binasakan bangsat terkutuk ini”

“Nona Wi, kamu bersabarlah beberapa hari lagi, cayhe percaya

masih punya cara untuk menolong kamu”

“Ti kiauw tauw” ujar Wi Lian In lagi sambil menangis “Aku rela

berkorban dan binasa bersama-sama bangsat terkutuk ini, cepat

kamu turun tangan.”

“Apa mungkin nona Wi masih menaruh rasa terhadap dia?”

“Omong kosong”

“Kalau tidak kenapa rela binasa bersama-sama dengan dia.”

“Aku benci dia. . aku benci sekali melihat tampangnya? aku tidak

mau dikuasainya terus menerus.”

“Nona benci dia tapi belum melihat dengan mata kepala sendiri

kebinasaannya maka itu bersabarlah beberapa hari lagi. Kamu

adalah seorang nona baik tentu tidak mau berkorban untuk binasa

bersama-sama dia bukan?”

“Ti Kauw tauw” ujar wi Lian In dengan sedih. “Apa kamu setuju

terhadap ke empat buah syarat yang diajukan setan pengecut itu?”

“Benar”.

-0000000-

“Ini tidak ada hubungannya dengan kamu orang, jika kamu tidak

berani turun tangan menolong aku.. lebih baik pulang saja panggil

ayahku kemari.”

“Ayahmu datang juga tidak berguna” ujar Ti Then sambil tertawa

pahit. .. “Setan pengecut ini hanya maui aku seorang dan bukan

ayahmu yang dicari.”

” Kamu terlalu bodoh.. jika kamu menurut perkataan mereka

untuk potong salah satu lenganmu, saat itu mungkin mereka akan

turun tangan bunuh dirimu.”

“Tentang hal ini nona boleh berlega hati, sampai saatnya jika

mereka tidak menurut perjanyian aku masih punya kemampuan

untuk bereskan nyawa kedua orang itu.” Berbicara sampai di sini dia

menoleh kepada Hong Mong Ling, tanyanya. .

“Hei bangsat cilik, kamu sudah bulatkan tekad untuk mengikuti

setan pengecut ini untuk selamanya??”

“Tidak salah” sahut Hong Mong Ling sambil tertawa dingin.

” Kalau begitu sangat bagus sekali, kamu boleh bawa nona Wi ke

dalam goa”

Hong Mong Ling tetap berdiri tegak menanti perintah dari setan

pengecut itu sejenak kemudian barulah terdengar setan pengecut

itu terttawa, ujarnya: “Muridku yang baik, kamu bawalah dia masuk

ke dalam goa”

Dengan sangat hormat Hong Mong Ling menyahut, setelah itu

barulah dia membawa Wi Lian In mundurkan diri ke dalam goa.

Goa itu terletak di belakang tubuhnya, karena itu baru saja

mundur dua langkah tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

Sesudah itu barulah Ti Then putar tubuhnya, kepada setan

pengecut itu sambil tertawa ujarnya:

“Kamu telah mengangkat dia sebagai murid?”

“Benar”

“Kamu harus peringatkan dia, jika dia berani mengganggu

seujung rambut dari Wi Lian in, diantara kita kedua belah pihak

tidak akan ada pembicaraan lagi.”

“Asal kamu mau menerima keempat syarat yang aku ajukan aku

tanggung semuanya akan beres”

“Tapi. . “ujar Ti Then lagi… “Syarat yang pertama aku betul-betul

tidak bisa laksanakan. .”

“Soal itu tidak mengapa, asalkan kamu mainkan semua

kepandaianmu, sudah cukup buat aku untuk mengetahui apa betul

kamu murid dari musuh besarku atau bukan.”

” Harus dikeluarkan semua?”

“Benar” sahut setan pengecut itu “Harus dikeluarkan semua

bahkan setiap gerakan dan setiap jurus harus dimainkan dengan

perlahan. .” Mendengar perkataan itu Ti Then tertawa dingin,

ujarnya:

“Tujuanmu yang sebetulnya sedang mencari tahu siapa

sebetulnya suhuku atau mau merebut kepandaian silat dari

suhuku?”

“Kedua duanya, karena semakin tahu semakin lihay, semakin

lihat selamanya akan menang”

Setan pengecut itu menjadi sangat gusar, ujarnya: “Aku sedang

bicara yang sesungguhnya”

“Jika terpaut hanya satu tingkat saja, maka berarti juga

kepandaian silatmu saat ini jauh lebih tinggi dari kepandaianku,

bagaimana jika kita coba-coba”

“Tidak bisa. . tidak bisa. . ” ujar setan pengecut itu sambil

gelengkan kepalanya, “Yang menang akan sombong dan yang kalah

akan malu. . tidak. . tidak. .”

“Ha. . ha. . ha. . perkataan saudara sungguh amat jujur, sungguh

heran. . sungguh heran. .”

“Cukup, sekarang bukan waktunya untuk bicara omong kosong,

kapan kamu mulai menulis semua kepandaian silat suhumu?”

“Kini cuaca sudah semakin gelap” ujar Ti Then sambil

memandang ke angkasa, “Sedang baru saja aku melakukan

perjalanan jauh, tidak perduli bagaimana pun malam ini aku mau

tidur yang nyenyak terlebih dahulu”

“Baiklah, besok pagi mulai menulis juga tidak mengapa, sekarang

aku mau beri larangan tempat-tempat yang boleh kamu bergerak.

coba dengarkan dengan teliti. .”

“Kamu boleh tidur di tebing sana”

Dengan mengikuti tangannya yang menunjuk ke arah tebing, Ti

Then menengok ke sana, terlihatlah di bawah tebing curam itu

memang terdapat sebuah gua yang cukup dimasuki seorang saja,

segera dia mengangguk sahutnya:

“Sudah kelihatan, kamu mau aku tidur di dalam gua itu”

“Tidak salah, sedang kami guru dan murid akan mengawasi

seluruh gerak-gerikmu dari atas tebing sebelah sana, mau tidur atau

tidak terserah kepadamu, dilarang meninggalkan depan tebing

walau satu kaki”

Ti Then melihat di depan tebing itu merupakan tanah lapang

sejauh tiga kaki lebih bahkan tidak sebutir batu pun yang bisa

dibuat menyembunyikan diri, dalam hati dia memaki atas

kelicikannya, dengan dingin ujarnya: “Bagaimana kalau aku keluar

dari satu kaki??”

“Tidak ada perkataan lain” ujar setan pengecut itu dengan dingin.

“Maka nona Wi akan merasakan suatu penderitaan dan siksaan

yang nyaman”

Ti Then tertawa terbahak-bahak, ujarnya: “Ada satu akibat yang

hebat, apa kalian sudah pikirkan??”

“Akibat apa?” tanyanya sambil memandang tajam ke arah Ti

Then.

“Asalkan aku tidak menyetujui syarat-syaratmu dan terjadi suatu

pertempuran, aku percaya masih punya kesanggupan untuk

membunuh mati kau”

Pada air muka setan pengecut itu sedikit pun tidak menampilkan

perasaan jerihnya, sambil tertawa seram ujarnya:

“Kau mengira sesudah tahu dia tidak akan lolos juga dari

tanganmu?”

“Sudah pasti”

“He . . he. . he. . aku beritahu padamu, gua itu masih punya

jalan untuk mengundurkan diri”

Ti Then girang dalam hatinya tapi sengaja memperlihatkan

perasaannya yang sangat terkejut, ujarnya:

“Ha. . kiranya begitu, sungguh teliti kamu dalam mencari tempat

yang begitu baiknya”

Setan pengecut itu hanya tertawa aneh saja, ujarnya kemudian

dengan nada setengah mengejek.

“Bagaimana?? Masih mau turun tangan”

“Tidak” sahut Ti Then sambil angkat bahunya, “Sekarang aku

mau pergi tidur. .” Dengan cepat dia menuntun kudanya berjalan

menuju ke arah tebing tersebut. ujar si setan pengecut lagi dengan

keras:

” Ingat perkataanku, jika kamu orang tidak ingin melihat nona Wi

tersiksa malam ini, harus tidur dengan sebaik-baiknya di dalam gua

itu”

Ti Then pura-pura tidak dengar perkataan itu, sambil menuntun

kudanya dia tepat melanyutkan perjalanan menuju ke tebing

tersebut. sesudah melepaskan pelana kudanya dia menepuk

punggung kuda tersebut, ujarnya:

“Ang san khek pergilah makan rumput di sana. .sesudah kenyang

kembalilah ke sini, malam ini kita harus bekerja sama untuk

melanjutkan hidup, Kuda itu agaknya mengerti akan perkataan dari

Ti Then, sambil meringkik panjang dengan perlahan berjalan pergi

mencari makanannya. . .

Ti Then meletakkan pelana kuda serta bungkusannya, ke atas

tanah kemudian putar tubuhnya memandang kearah tebing sebelah

sana, saat itu si setan pengecut sudah menaiki tebing seberang dan

sedang duduk bersemedi di depan pintu goa. .

Jarak dari sebelah sini ke sebelah sana kurang lebih ada dua

puluh kaki jauhnya tetapi dikarenakan cuaca yang belum begitu

gelap membuat setiap gerak gerik dari masing-masing pihak bisa

dilihatnya dengan sangat jelas sekali.

Dengan perlahan Ti Then memutarkan kepalanya memperhatikan

keadaan di sekeliling tempat itu, kemudian memandang ke langit,

pikirnya dalam hati:

“Ini hari sudah bulan tujuh tanggal enam belas, besok tepat

merupakan saat bulan purnama, hanya tidak tahu sewaktu bulan

muncul memancarkan sinarnya ke arah sebelah mana ?? Ke sebelah

sana atau ke sebelah sini?”

Dia sangat mengharapkan tempatnya sebelah sini merupakan

tempat yang gelap. dengan demikian dia punya kesempatan untuk

melancarkan gerakannya.

Mengambil sebuah cupu arak serta sebungkus rangsum kering,

sambil memegang cupu cupu arak itu ujarnya dengan keras:

“Hei . . setan pengecut, kamu jangan begitu tegang, mari ke sini

minum arak sama aku.”

“Tidak usah. .” sahutnya dari tebing seberangan: “Aku tidak mau

minum arak, kamu minum saja sendiri”

Ti Then yang mendengar setiap patah kata yang dikirim begitu

jelasnya masuk dalam telinga, tidak terasa hatinya menjadi terkejut,

pikirnya:

“Dengan jarak dua puluh kaki lebih dia masih bisa kirim suaranya

begitu jelas ke dalam telingaku, kelihatannya dia memang

merupakan seorang jago berkepandaian tinggi dari Bu lim. Hanya

tidak tahu apakah kepandaiannya bisa mengalahkan kepandaianku

??”

Dia sangat mengharapkan ada orang yang bisa mengalahkan

kepandaian silatnya, karena asalkan ada orang yang bisa

mengalahkan dia maka dia akan bebas dari tugas sebagai patung

emas sesuai dengan perjanyiannya dengan majikan patung emas,

dengan sendirinya hatinya tidak perlu risaukan lagi untuk

memperistri putri orang lain”

Tetapi dia pun merasa kalau tenaga dalam pihak lawannya masih

berada di antara Wi Ci To dengan tenaga dalam seperti ini, masih

boleh digunakan untuk menjagoi dunia kangouw tetapi untuk

mengalahkan dirinya masih belum sanggup, karena itu dia juga

tidak menaruh harapan di atas tubuh setan pengecut itu. segera dia

duduk di atas tanah mulai dahar rangsumnya.

Sambil dahar terus menerus dia memikirkan cara-cara untuk

meloloskan diri dari pengawasan setan pengecut itu, tetapi sesudah

berpikir setengah harian lamanya masih tetap saja merasa kalau

pekerjaan ini harus menggunakan bantuan sinar rembulan. .jika

sinar rembulan tidak menyinari tebingnya maka dengan diam-diam

dia bisa meninggalkan goa untuk berusaha menolong wi Lian In.

Setan pengecut itu pernah bilang kalau gua tersebut terdapat

jalan mundur, perkataan itu jika betul maka dirinya bisa pergi

mencari pintu gua yang sebelah, dari sana diam-diam masuk ke

dalam dan turun tangan menguasai Hong Mong Ling terlebih dulu.

Tidak lama kemudian malam hari pun semakin kelam.

Kuda Ang san Khek itu dengan perlahan kembali ke hadapan Ti

Then dan tepat menutupi pintu gua, melihat hal ini pikiran Ti Then

dengan cepat bergerak. Dia mengambil kembali selimut yang ada di

atas tanah sambil ujarnya dengan perlahan.

“Ang San Khek harap berdiri jangan bergerak, jangan sampai si

Setan Pengecut diseberang sana bisa melihat semua gerak gerikku.”

sehabis berkata dia membungkukkan tubuhnya masuk ke dalam gua

itu.

Dalamnya gua itu tidak lebih hanya lima depa saja, sesudah

berjalan sampai di ujung gua dengan punggung menghadap pintu

gua dia membuka selimutnya dan di buka di atas tanah, setelah itu

dengan cepat mengumpulkan batu-batu yang ada di sana ke dalam

selimut itu sehingga sebesar tubuh manusia dan dibaringkan ke atas

tanah, dengan demikian bentuknya mirip sekali dengan seorang

manusia yang sedang tidur terlentang dengan nyenyaknya di atas

tanah.

Sesudah semua persiapan selesai barulah dia berjalan keluar dari

gua dan duduk di sana memandangi Hong Mong Ling yang sedang

mengawasi dirinya dari tebing seberang, ujarnya dengan keras:

“Hong Mong Ling malam belum begitu kelam, bagaimana kalau

kita bercerita?”

” Cerita apa? ” ujar Hong Mong Ling dengan dingin.

“Bagaimana kalau kita bercerita tentang pengalamanmu sampai

mengangkat Setan pengecut ini menjadi guru?”

“Hemm. . soal ini tidak ada yang bisa diceritakan”

“Kamu bangsat cilik jadi orang sungguh aneh, sekali pun Wi Pocu

tidak jadi menjodohkan putrinya kepadamu, tapi belum sampai

mengusir kamu dari perguruan, buat apa sekarang melaksanakan

perkerjaan seperti ini?”

“Dia sudah membatalkan perjodohan itu, sudah tentu aku tidak

punya muka lagi untuk tetap hidup di dalam benteng Pek Kiam Po”

“Sekali pun tidak punya muka untuk menetap di dalam benteng

Pek Kiam Po juga tidak punya alasan untuk menculik nona Wi”

“Barang yang tidak bisa didapatkan oleh aku Hong Mong Ling,

tidak akan dibiarkan di pungut oleh orang lain”

“Hemm. . jika begitu kau memangnya seorang bajingan yang

paling busuk”

“Heeei. . . orang she Ti” ujar Hong Mong Ling dengan sangat

gusar: “Jika kamu orang tidak mau melihat Wi Lian In menderita

lebih baik bicara sedikit sopan”

“Kamu mau duduk semalaman di sana untuk menyaga dia”

“Tidak salah”

“Aku takut kamu orang bisa melamur”

“Kalau begitu boleh coba-coba saja, kamu berani berjalan satu

kaki dari guamu. . h mm. . pertunjukan bagus segera dimulai. . ”

“Aku bisa muncul di sampingmu secara diam-diam, kemudian

memenggal batok kepalamu”

Agaknya Hong Mong Ling tidak menjadi jeri atas gertakan itu,

sambil tertawa dingin ujarnya:

“Bagus sekali, aku mau tunggu kemunculanmu itu”

Ti Then tidak berani banyak cakap lagi, segera dia pejamkan

mata mulai mempersiapkan diri

satu jam kemudian bulan yang berbentuk bulat muncul di tengah

udara malam yang bearna biru tua, sinar rembulan dengan

terangnya menyinari semua penyuru di selat itu,

menyinari tebing dimana Hong Mong Ling tinggal, juga menyinari

tebing di sebelah sini.

Dengan perlahan Ti Then menarik selimutnya yang berisi penuh

batu itu ke samping tubuhnya dan membentuk sesosok tubuh yang

sedang duduk tidak bergerak.

Tidak lama kemudian si Setan pengecut itu pun berjalan keluar

dari dalam gua.

Kepada Hong Mong Ling yang sedang berjaga ujarnya:

“Kau pergilah tidur sebentar, tapi jangan mengganggu budak itu”

Hong Mong Ling segera menyahut dan bangkit kembali ke dalam

gua.

Si setan pengecut itu segera duduk di depan pintu gua, dia

melihat pintu gua dimana Ti Then tidur tertutup sama kali oleh

tubuh kudanya tidak tertahan, teriaknya: “Hei Ti Then kamu sudah

tidur ?”

“Sudah hampir tidur, ada urusan apa?”

“Cepat singkirkan kuda itu ke samping, kalau tidak bagaimana

aku bisa mengawasi kamu”

“Pokoknya asal aku keluar gua tidak akan lolos dari sepasang

matamu, buat apa kau kuatir??”

Setan pengecut menjadi sangat gusar, bentaknya:

“Aku suruh singkirkan yaah singkirkan, jangan banyak bantah

lagi..”

“Aku hanya bisa suruh dia rebah saja karena aku mau gunakan

dia sebagai penahan angin”

Berbicara sampai di sini dia menepuk-nepuk paha kudanya,

ujarnya:

“Ang san khek .. . kau rebahlah. Setan pengecut itu tidak bisa

lihat aku hatinya tidak tenang.”

Kuda yang bernama Ang San Khek itu ternyata menurut, dengan

perlahan-lahan merebahkan dirinya.

Begitu kuda itu merebahkan diri dengan cepat Ti Then

meminyam kesempatan itu berguling ke samping kudanya, dan

bersembunyi di bawah perutnya, ujarnya dengan keras: “Demikian

bisa melihat tidak?”

Di dalam beberapa saat ini hatinya betul-betul merasa sangat

tegang, dia takut pihak lawannya mengetahui kalau orang yang

tidur terlentang di depan goa adalah manusia palsu, jika hal ini

sampai diketahui maka tidak akan ada cara lagi untuk meninggalkan

gua itu secara diam-diam.

Tetapi setan pengecut itu agaknya tidak kelihatan, sambil

mendengus dingin ujarnya: “Yang ini masih boleh juga”

Diam-diam Ti Then menghembuskan napas lega, ujarnya lagi

dengan keras: “Aku mau tidur, kau jangan banyak berbicara lagi.”

“Kau tidurlah”

Ti Then segera bersembunyi di bawah perut kudanya tanpa

berani berkutik lagi, kurang lebih setengah jam kemudian barulah

dia menepuk tubuh kudanya dengan perlahan, ujarnya dengan nada

yang sangat rendah:

“Ang san Khek. ayoh berdiri dan bawa aku ke sana. . di belakang

batu-batu cadas itu.”

Kuda Ang san Khek ini memang merupakan seekor kuda

jempolan yang tahu maksud manusia, mendengar perkataan itu ia

segera bangkit berdiri.

Dengan cepat tangan kiri Ti Then memegang leher kudanya,

sedang tangan kanannya mencekal kaki depan sebelah kanan dari

kuda itu, seluruh tubuhnya di angkat terlentang di samping kanan

kuda itu dengan demikian dari pihak si Setan pengecut itu sama

sekali tidak bisa melihat gerakannya ini. ujarnya kemudian dengan

perlahan. “Ayoh jalan. .”

Sambil menggoyang-goyangkan ekornya kuda itu dengan

perlahan berjalan menuju belakang tumpukan batu-batu cadas yang

tersebar di sana.

Saat itu si Setan pengecut yang berada di tebing sebelah sana

mendadak buka mulut, teriaknya:

“Hei Ti Then, kudamu lari. ”

Ti Then menjadi sangat terperanyat, tetapi tidak sampai

mengucapkan sepatah kata pun. Teriak setan Pengecut itu lagi

dengan keras: “Hei Ti Then, kamu dengar tidak?”

Untuk tidak menyawab tidak mungkin, terpaksa Ti Then

bergumam seorang diri

“Mungkin dia mau pergi buang hajat, hei hanya seekor binatang

saja kamu juga mau larang gerak-geriknya”

“Mungkin dikarenakan kudanya belum terlalu jauh meninggalkan

goa sehingga si setan pengecut itu tidak sampai mendengar kalau

suara Ti Then berasal dari tubuh kuda itu,

Terdengar dia mendengus dengan sangat dingin ujarnya:

“Aku tidak tega melihat kamu kehilangan seekor kuda jempolan. .

. kudamu itu memang seekor kuda yang sukar dicari” Diam-diam Ti

Then merasa geli, pikirnya:

“Tidak salah, pandanganmu ternyata sangat tajam, kuda ini

memang seekor kuda jempolan yang tahu perkataan manusia, dia

sedang membantu aku meloloskan diri dari pengawasanmu” segera

gumamnya:

“Kamu sudah mengganggu aku dua kali, jika kamu masih

mengharapkan besok pagi aku tuliskan kepandaian silatku, jangan

coba sadarkan aku lagi..”

Setan pengecut itu tidak berani bicara lagi, segera dia tutup

mulutnya rapat-rapat dan duduk tidak bergerak lagi..

Sebaliknya waktu itu kuda tersebut sudah berjalan duluan

menuju ke belakang tumpukan batu-batu cadas itu Ti Then segera

melepaskan tangannya dan menyatuhkan diri diantara batu-batu

tersebut, ujarnya dengan perlahan: “Ang san Khek apa kamu mau

buang hajat?”

Agaknya kuda itu tidak mengerti arti perkataan itu, dia tetap

berdiri tidak bergerak dari tempat semula.

Ti Then segera mengulapkan tangannya, ujarnya: “Kalau begitu,

pulanglah ke depan gua”

Kuda itu mengerti, dengan perlahan dia putar tubuhnya dan

berjalan ke depan gua kemudian merebahkan dirinya pula seperti

tadi.

Ti Then menjadi sangat girang, sesudah berdiam diri beberapa

saat lamanya dan didengarnya tidak ada suara dari setan pengecut

lagi barulah dengan perlahan menggerakkan tubuhnya menuju ke

luar selat itu.

Batu-batu cadas yang tersebut disekitar tempat itu sukar dihitung

banyaknya, dengan cepat dia berkelebat diantara batu-batu cadas

dan akhirnya berhasil juga meloloskan diri dari pandangan tajam

sepasang mata setan pengecut itu.

Sesudah berlari kurang lebih sepuluh kaki jauhnya dengan

perlahan lahan dia menongolkan kepalanya memandang, tampak

dari tempat kejauhan setan pengecut itu masih tetap duduk di atas

batu cadas yang menongol keluar itu, hal ini membuktikan kalau dia

tidak tahu kalau dirinya sudah meloloskan diri, dalam hati tidak

terasa menjadi sangat girang sekali, dengan cepat dia berlari

menuju keluar selat sempit itu.

Dia mengambil ke keputusan untuk mendaki tebing lembah itu

terlebih dulu, kemudian berputar ke punggung gunung, dari sana

barulah mencari mulut gua di belakang gua dimana Wi Lian In

dikurung.

Dia memilih sebuah tebing yang penuh ditunbuhi oleh rumputrumput

panjang sehingga bisa digunakan untuk badannya, tidak

sampai seperminum teh lamanya dia sudah mencapai puncak dari

tebing tersebut.

Dengan segera dia menengok ke bawah, terlihatlah pohon-pohon

yang rindang dan lebat tumbuh dengan suburnya pada punggung

bukit tersebut saking banyaknya sukar sekali untuk dilihat apakah

ditempat itu terdapat sebuah pintu gua yang merupakan belakang

dari gua dimana Wi Lian In tertawan atau tidak.

Tetapi dalam hatinya dia punya dugaan yang sangat kuat kalau

pintu gua tersebut tentu terletak pada punggung bukit itu

karenanya dengan perasaan hati yang mantap dia berjalan menuju

ke sana.

Sesampainya dikaki bukit, dia mulai berjalan dan memeriksa

dengan sangat teliti, kurang lebih sesudah berjalan ratusan tindak

tidak salah lagi, sebuah gua muncul di hadapannya.

Keadaan dari gua itu begitu tertutupnya bahkan diluar pintu gua

penuh tumbuh rotan dengan lebatnya, jika bukan orang yang

punya maksud mencari agaknya akan sukar untuk menemukannya .

Dengan sangat berhati hati sekali Ti Then menyingkirkan

tumbuhan rotan di depan gua itu, terlihatlah keadaan dalam gua itu

sangat gelap sekali bahkan boleh dikata tidak terlihat sesuatu apa

pun, sesudah di dengarnya dengan penuh perhatian beberapa saat

lamanya tetap saja tidak terdengar suara sedikit pun, barulah

dengan melintangkan pedangnya di depan dada dia mulai

menerobos masuk ke dalam gua tersebut, dalam hati pikirnya.

Jarak selat sebelah sana sampai di sini kurang lebih ada lima

puluh kaki jauhnya,bilamana Hong Mong Ling serta Wi Lian In

berada di sebelah sana sudah tentu gerakan-gerakan di sini tidak

akan sampai didengar oleh mereka..”

Dengan menggunakan pedangnya sebagai pencari jalan, dengan

entengnya dia berjalan masuk ke dalam gua itu, tubuhnya

ditempelkan pada dinding gua sedang langkahnya pun setindak

demi setindak maju ke depan, agaknya dia takut sampai

kedengaran suaranya. Keadaan gua itu berliku-liku, sesudah

berjalan masuk kurang lebih dua puluh kaki jauhnya, masih belum

juga terdengar suara sedikit pun.

“Ehmm. . benar. . mungkin Hong Mong Ling serta Wi Lian In

sudah tertidur sehingga tidak kedengaran sedikit pun suara mereka.

. Eh eh. . . kenapa tidak ada jalan lagil?.

Baru saja dag berpikir demikian, pedang panjangnya secara

mendadak terbentur pada sebuah dinding gua, dengan cepat dia

maju ke depan untuk melihat, saat itulah dia baru mengetahui kalau

jalanan gua itu sudah tertutup oleh beberapa buah batu cadas yang

besar, dalam hati tidak terasa menjadi sangat heran, pikirnya.

Aneh. .jika gua ini merupakan gua tempat persembunyian

mereka, kenapa ditutup dengan batu cadas ? apa mungkin aku

sudah salah mencari?.

Pada saat .pikirannya sedang berputar itu dengan cepat

diambilnya korek api dari menyulutnya, terlihatlah batu yang

menyumbat gua itu kurang lebih terdapat empat buah yang masingmasing

seberat lima ratus kati. Tiga buah berada di bawah dan satu

berada ditengahnya, dengan demikian persis menyumbat seluruh

jalan gua itu.

Ketika dilihatnya lebih teliti lagi, dengan jelas segera terlihat

perbedaannya, warna empat buah batu cadas itu sama sekali

berbeda dengan batu-batu pada dinding gua itu, hal ini

memperlihatkan kalau benda itu dipindah ke sana belum lama.

Dengan cepat Ti Then mematikan obornya, karena dia tahu gua

yang dicari sama sekali tidak salah, pihak lawan memindahkan

empat buah batu itu untuk menyumbat gua, mungkin digunakan

sebagai persiapan menghadang penyerbuan musuh.

Dengan perlahan-lahan, dia meletakkan pedang panjangnya ke

samping, kemudian dengan menggunakan sepasang tangannya dia

mengangkat sebuah batu dan dan diletakkan ke samping.

Ketika menengok ke arah sana terlihatlah gua itu pun dalam

keadaan gelap gulita.

Dia mengambil kembali pedang panjangnya dan merubuhkan

ketiga buah batu lainnya kemudian baru berjalan menuju ke arah

gua itu, langkahnya sangat hati hati, sedikit pun tidak menimbulkan

suara, karena dia tahu jarak aja dengan selat sebelah sana sudah

tidak jauh lagi.

Sesudah berjalan lagi lima belas kaki jauhnya, dari lorong gua

sebelah depan muncullah sinar lampu yang remang-remang.

Dia menduga jaraknya dengan tempat dimana Hong Mong Ling

serta Wi Lian In berada sudah tidak jauh lagi karenanya langkah

kakinya semakin hati-hati lagi, setindak demi setindak dia berjalalan

ke depan.

Sesudah berjalan delapan sembilan kaki lagi, di depan matanya

terbentanglah sebuah ruangan goa yang sangat luas.

Ditengah ruangan goa itu tersulut sebuah lamcu minyak yang

menerangi seluruh ruangan tersebut. sinaga mega Hong Mong Ling

duduk bersandar pada sebuah batu cadas. saat itu matanya

dipejamkan rapat-rapat, agaknya sedang tertidur, di hadapannya

terlentanglah tubuh Wi Lian In. sepasang tangannya diikat kencangkencang,

tubuhnya berbaring menghadap kearah dinding, agaknya

dia pun sudah tertidur.

Baru saja Ti Then mau melakukan suatu gerakan, mendadak

terdengar si setan pengecut sudah berteriak dari luar goa.. “Mong

Ling. .”

Dengan cepat Hong Mong Ling meloncat bangun, sahutnya:

“Sudah datang. .”

Dengan cepat dia berlari keluar goa.

“Coba kamu lihat. .”

” Lihat apa ?? tanya Hong Mong Ling melengak.

“Kamu lihat, bangsat cilik itu berbaring di dalam goa tanpa

bergerak sejak tadi.”

“Mungkin dia sudah tertidur.”

“Tidak mungkin. ” ujar setan pengecut itu… “Di dalam situasi

seperti ini dia tidak mungkin bisa tidur, tetapi dia sedikit pun tidak

bergerak sejak tadi, aku lihat keadaannya sedikit mencurigakan,

coba kamu pergi lihat.”

“Baiklah. .”

“Jika betul betul dia tertidur kamu tidak usah bangunkan dia,

sifat bangsat cilik itu sangat keras jika sampai membuat dia jengkel

tidak ada kebaikannya bagi kita.”

“Baiklah. .”

Kedua orang itu sesudah berbicara sampai di sini segera

berhenti, keadaannya pun menjadi tenang kembali mungkin Hong

Mong Ling sudah meloncat turun dari tebing itu.

Ti Then yang melihat ada kesempatan bagus tidak mau menyianyiakan

begitu saja, dengan cepat dia meloncat ke samping tubuh

Wi Lian In karena dia tidak tahu kalau jalan darah gagu dari Wi Lian

In sudah tertotok maka begitu sampai di samping tubuhnya dengan

cepat menutupi mulutnya.

Wi Lian In yang mulutnya ditutupi menjadi sangat terkejut dan

sadar kembali dari pulasnya, tetapi begitu dilihatnya Ti Then sudah

berdiri di hadapannya tidak tertahan pada air mukanya muncul

perasaan terkejut bercampur girang.

Sesudah memberi tanda kepadanya untuk tidak bicara, barulah Ti

Then melepaskan tangannya kemudian menggendong tubuhnya

mengundurkan diri dari gua itu.

Sesudah melepaskan tali pengikat tubuhnya barulah ujarnya

dengan menggunakan ilmu hanya menyampaikan suara. “Nona Wi

kamu sudah bisa bergerak”

Wi Lian In mengangguk.

Setelah itu barulah Ti Then meletakkan tubuhnya ke atas tanah,

ujarnya lagi:

“Kau boleh cepat mengundurkan diri ke dalam goa, biar aku yang

menghadapi setan pengecut itu.”

Sehabis berkata dia putar tubuhnya siap meninggalkan tempat

itu. Dengan cepat Wi Lian In menarik tangannya, ujarnya dengan

perlahan: “sedikit berhati hati, kepandaian dari setan pengecut itu

sangat tinggi.” Ti Then hanya mengangguk dan melanjutkan

perjalanannya ke depan.

Sesudah melewati ruangan goa itu sampailah dia di depan pintu

goa, saat itu si setan pengecut itu sedang duduk bersila di depan

sana dengan tenangnya.

Jarak dari Ti Then serta si setan pengecut itu tidak lebih hanya

tinggal dua kaki saja.

Agaknya seluruh perhatian dari setan pengecut itu sedang

dipusatkan pada seluruh gerak-gerik Hong Mong Ling, karenanya

sama sekali dia tidak merasa kalau Ti Then sudah muncul dibela

kang tubuhnya.

Sesampainya jarak kurang lebih lima depa dari belakang

tubuhnya barulah Ti Then menghentikan langkahnya, dia berdiri

tegak tidak bergerak sediki pun juga. saat ini asalkan dia

melancarkan satu serangan saja dengan telak akan mencabut

nyawa setan pengecut itu, tetapi dia tidak mau berbuat demikian dia

tidak mau membokong orang lain dari belakangnya.

Baru saja dia mau buka mulut memanggil kemudian turun

tangan, mendadak terdengar Hong Mong Ling yang berada di

bawah tebing sedang berteriak dengan keras. “Suhu. . . celaka. .”

Tubuh setan pengecut itu menjadi tergetar dengan sangat keras,

tetapi tubuhnya masih tetap duduk tidak bergerak di atas tanah,

tanyanya dengan berat. “Ada apa?”

“Dia sudah melarikan diri. …” teriak Hong Mong Ling sambil

menjerit kaget.

“Apa?” teriak setan pengecut itu sambil meloncat bangun. “Siapa

yang berbaring di dalam gua itu? Apa bukan dia yang berada di

sana?”

“Bukan. .” teriak Hong Mong Ling lagi dengan keras. “Di sana

hanya terdapat sebuah selimut yang membungkus beberapa barang

sehingga bentuknya seperti orang”

“Kalau begitu orangnya tidak berada di dalam gua?” ujar setan

pengecut itu dengan perasaan sangat terperanyat.

“Tidak ada.”

“Kalau . . . kalau begitu dia sudah lari?”

“Tidak salah . . aku memang sudah berada di sini.” ujar Ti Then

dengan dinginnya.

Begitu setan pengecut itu mendengar suara Ti Then muncul

secara mendadak dari belakang tubuhnya tidak tertahan lagi seluruh

tububnya tergetar dengan sangat keras, mendadak dia putar tubuh

bertekuk lutut siap mencabut pedangnya yang tergantung pada

pinggangnya. . .

Tetapi baru saja tangannya berada beberapa cun dari sarungnya

sebuah sinar pedang dengan kecepatan yang luar biasa sudah

berkelebat melalui atas kepalanya. “Aduh”

Setan pensecut itu menjerit aneh, tubuhnya dengan cepat

jumpalitan ditengah udara kemudian dengan cepatnya melayang ke

dalam lembah.

Sekerat kain hitam serta seutas rambut kepala beserta kulitnya

sudah terpapas dan melayang jatuh dari tengah udara.

Kulit kepala itu tidak lebih sebesar telapak tangan anak kecil.

Dengan cepat Ti Then mengikuti dari belakangnya, sambil

tertawa keras ujarnya.

“Jangan lari. Hey setan pengecut aku mau coba-coba minta

pelajaran ilmu silatmu”

Bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya tubuh setan

pengecat itu dengan cepat berlari menuju ketengah batu-batu cadas

yang berserakan itu, dari sana kemudian meloncat dan melayang

lagi ke luar lembah dengan sangat cepatnya.

Ketika Ti Then sampai di dalam lembah dengan cepat sinar

matanya berkelebat memandang sekeliling tempat itu, saat itu

bayangan tubuh dari Hong Mong Ling sudah lenyap. dengan cepat

tubuhnya melayang mengejar kearah setan pengecut itu, teriaknya

lagi: “Hei setan pengecut, jangan lari. . mari kita coba-coba

kepandaian masing-masing…”

Setan pengecut itu tetap tidak ambil perduli, dengan sipat kuping

dia melarikan diri dengan terbirit birit, hanya di dalam sekejap mata

saja sudah melenyapkan diri di balik pepohonan yang tumbuh

sangat lebat itu.

Begitu Ti Then melihat rimba yang sangat lebat itu segera tahu

untuk mengejar setan pengecut itu bukan merupakan urusan yang

mudah, karenanya dia tidak melanjutkan pengejarannya melainkan

balikkan tubuh mencari jejak Hong Mong Ling.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 9.1. Menteri Pintu dan Pembesar Jendela

Dia percaya Hong Mong Ling masih bersembunyi diantara batubatu

cadas yang terbesar itu. segera dia mengerahkan ilmu

meringankan tubuhnya dengan cepat melayang ketengah batu batu

cadas yang terbesar itu untuk menawannya.

Siapa tahu walau sudah dicari ke semua tempat, tidak tampak

pula bayangan dari Hong Mong Ling.

Eeh … eh. Bangsat cilik itu sungguh teramat licik. Apa mungkin

dia melarikan diri keluar lembah terlebih dulu dari pada si setan

pengecut itu?

Atau mungkin dengan pinyam kesempatan ini masuk ke dalam

goa kembali untuk menyerang Wi Lian In ??

Pikiran ini begitu berkelebat di dalam benaknya, dia tidak berani

berayal lagi, dengan cepat memutar tubuh lari ke dalam gua tadi.

Dengan satu kali loncatan dia naik ke atas tebing yang menonjol

keluar kemudian masuk ke dalam gua, teriaknya dengan keras.

“Nona Wi, nona Wi. .”

Dalam gua suasana tetap sunyi senyap. tidak terdengar suara

jawaban dari Wi Lian In.

Hatinya bertambah tegang, makinya dengan gemas. “Kurang

ajar. .”

Tanpa menanti lebih lama lagi dia putar tubuh menerjang keluar

gua tersebut.

“Aku di sini. .” terdengar suara Wi Lian In muncul ketika

mendadak dari balik sebuah cadas di samping gua itu.

Ti Then menjadi melengak. dengan cepat dia putar tubuhnya

memandang ke arah dimana berasalnya suara itu, saat itu tampak

Wi Lian In baru saja munculkan diri dari balik batu cadas di samping

gua itu, tak terasa dengan perasaan heran tanyanya: “Nona Wi,

kamu sedang berbuat apa di balik batu itu?”

Air muka Wi Lian In segera berubah menjadi merah padam,

dengan nada kemalu maluan sahutnya dengan manya. “Buat apa

kamu urus aku . .”

Agaknya Ti Then sadar apa yang baru saja terjadi, wajahnya pun

kelihatan berubah memerah, sahutnya sambil tertawa malu. “Ooh . .

aku kira . . aku kira. .”

“Kamu kira aku diculik pergi?” ujar wi Lian In sambil mencibirkan

bibirnya.

“Benar. . ” sahut Ti Then sambil mengangguk “Aku pergi kejar itu

setan pengecut tapi tidak berhasil kemudian balik mencari Hong

Mong Ling, dia juga tidak ada makanya aku kira dia lari masuk ke

dalam gua.”

“Hemm . . . memangnya kamu tidak punya minat bunuh kedua

orang itu, kalau tidak bagaimana mereka bisa lolos?”

“Bukan . . bukan begitu” Bantah Ti Then dengan cemas

“Kepandaian silat dari setan pengecut itu memang sangat tinggi,

ketika aku kejar dia, tubuhnya sudah berada sangat jauh sekali.”

“Tadi kamu bisa bunuh mati dia dengan satu kali tusukan, tapi

kamu hanya lukai kulit kepalanya saja.”

“Bukannya begitu” ujar Ti Then sambil tersenyum “Aku tidak beri

am pun kepadanya, hanya saja dia bisa menghindar dengan cepat.”

“Tahukah kamu siapa sebetulnya orang itu??”

“Tidak…” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

“Malam itu sewaktu dia memasuki dalam benteng, kepalanya

juga ditutupi dengan kain hitam, hanya saja suaranya seperti

pernah kudengar. Aku merasa suara itu sering aku dengar”

Pada setengah tahun yang baru saja lewat apa nona Wi pernah

meninggalkan benteng?” Wi Lian In kelihatan sedikit tertegun,

sahutnya: “Tidak pernah, buat apa kamu tanyakan hal ini??”

Ti Then dengan perlahan berjalan bulak balik di sana, sambil

tersenyum kemudian ujarnya lagi:

“Nona tadi bilang suara dari setan pengecut itu sering sekali

didengar tapi selama setengah tahun belakang ini tidak pernah

keluar dari Benteng, makanya kemungkinan sekali setan pengecut

itu adalah. . .”

“Orang Benteng Pek Kiam Po kita?” tanya Wi Lian In dengan air

muka yang sudah berubah hebat.

“Kecuali begitu tidak ada penjelasan lainnya.”

Sepasang mata Wi Lian In dipentangkan lebar-lebar, dengan

perasaan terkejut bercampur ketakutan ujarnya:

“Tidak mungkin, di dalam benteng Pek Kiam Po kita kecuali

ayahku berserta Hu Pocu tidak ada seorang pendekar pedang merah

pun yang memiliki kepandaian silat setinggi setan pengecut itu …”

“Nona selalu bilang kepandaian silat dari setan pengecut itu

sangat tinggi, dengan dasar apa nona bisa bicara begitu?”

“Hari kedua sesudah dia menculik aku didekat keresidenan Lok

san sian dia bertemu dengan Hong Mong Ling, agaknya dia tahu

urusanku dengan Hong Mong Ling dan minta Mong Ling angkat dia

sebagai suhu.”

Hong Mong Ling melihat orang yang dikempit dia adalah diriku

maka mengajukan satu syarat jika di dalam dua puluh jurus dia bisa

mengalahkan dirinya dia baru mau angkat dia sebagai guru,

akhirnya setan pengecut itu berhasil mengalahkan dia tidak sampai

dua puluh jurus, kepandaian silat setinggi itu hanya kau serta

ayahku sekalian saja yang bisa melakukan.”

Ti Then tersenyum:

“Yang kamu maksudkan aku serta ayah mu sekalian.”

“Sekalian” dua kata ini menunjuk siapa?”

“Sudah tentu Hu Pocu.”

Hati Ti Then segera bergerak, teringat kembali malam ketika dia

diculik orang. Pada saat itu Huang Puh Kian Pek sedang bermain

catur dengan dirinya diruang tamu dia tidak mungkin bisa setan

pengecut itu, tanpa terasa lagi dia gelengkan kepalanya. “Kenapa

kamu gelengkan kepala?” tanya Wi Lian In heran. “Tidak mengapa.

.”

Agaknya Wi Lian In juga sudah mencurigai Huang Puh Kian Pek,

sambil mengerutkan alis gumamnya seorang diri. “Apa mungkin

perbuatan Hu Pocu?”

“Apa kamu merasa suara dari si setan pengecut itu agak mirip

suara dari Hu Pocu?”

Wi Lian In termenung berpikir beberapa saat lamanya:

“Bukannya mirip sekali, hanya sedikit mirip …”

“Hu Pocu adalah sute dari ayahmu, bagaimana dia bisa

melakukan pekerjaan seperti ini?”

“Benar.” ujar Wi Lian In dengan air muka sedikit bingung dan

curiga.

” Hubungannya dengan ayabku sangat erat sekali, sudah

sepatutnya tidak melakukan pekerjaan seperti ini, tapi. . . kamu

bilang setan pengecut itu adalah orang benteng Pek Kiam Po kita,

kalau begitu kecuali dia masih ada siapa lagi?”

“Malam itu apakah si setan pengecut yang masuk ke dalam

kamar nona dan menculik pergi?..”

“Agaknya memang betul”

“Bagaimana kamu bisa bilang agaknya memang betul?”

“Sebelum aku diculik agaknya sudah terkena semacam obat

mabuk terlebih dulu sehingga apa pun yang sudah terjadi aku tidak

tahu, kemudian sesudah kesadaranku pulih kembali barulah aku

merasa kalau tubuhku dibawa lari setan pengecut itu keluar

Benteng”

“Saat itu aku masih bermain catur dengan Hu Pocu di dalam

ruangan tamu” Wi Lian In menjadi melengak.

“Oooh. . .saat itu kalian masih bermain catur di dalam ruangan

tamu?”

“Benar.” sahut Ti Then sambil mengangguk. “makanya Hu Pocu

tidak mungkin adalah si setan pengecut itu.”

Wi Lian In mengerutkan alisnya lagi dengan rapat:

” Kalau tidak, siapa sebetulnya setan pengecut itu ??”

” Kemungkinan sekali setan pengecut itu memang bukan orang

Benteng Pek Kiam Po kita, walau pun aku sendiri juga merasa suara

itu sepertinya pernah di kenal . .”

Mendadak dari sepasang mata Wi Lian In memancarkan sinar

yang sangat tajam, ujarnya dengan cepat:

“Apa mungkin si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan ??”

“Tidak mungkin… tidak mungkin.” ujar Ti Then sambil gelengkan

kepalanya “Pedang si setan pengecut itu digantungkan pada

pinggang sebelah kirinya dan bukan digantungkan pada pinggang

sebelah kanan bahkan sewaktu mencabut pedangnya tadi

menggunakan tangan kanan.”

“Jika dia betul-betul adalah Cian pit Yuan sudah tentu sengaja

akan menggunakan tangan kanannya untuk menutupi wajah yang

sebetulnya.”

“Omonganmu memang sedikit pun tidak salah, tapi seorang yang

sudah terbiasa menggunakan tangan kiri di dalam suatu keadaan

yang sangat kritis dan membahayakan jiwanya, dia tidak mungkin

bisa mengingat ingat harus menggunakan tangan kanannya.”

Agaknya semakin berpikir Wi Lian In merasa semakin bingung,

sambil mendepak kakinya ke atas tanah ujarnya. “Huuu . .

sudahlah, mari kita pulang saja.”

“Jangan” ujar Ti Then dengan cepat. “Nanti sesudah terang

tanah baru kita pulang”

” Kenapa ?”

Ti Then duduk kembali ke atas tanah dengan tenangnya.

“Serangan terang bisa ditahan serangan menggelap sukar

diduga, kemungkinan sekali mereka sudah pasang jebakan diantara

selat yang sempit itu. .”

“Kamu masih takuti mereka?” ujar Wi Lian In sambil mencibirkan

bibirnya yang kecil mungil itu.

Ti Then yang mendengar perkataannya sangat lucu itu tidak

terasa tertawa keras. “Aku tidak takut pada mereka, hanya saja

kamu bukan tandingan Hong Mong Ling”

“Hemm. . ” dengus Wi Lian In dengan dingin “siapa yang bilang

??”

“Hari itu ketika berada di atas gunung Go bi karena hatiku

sedang mangkel dan jengkel sehingga sukar untuk menenangkan

hati, karenanya baru berhasil dikalahkan olehnya. Padahal jika

betul-betul bertempur hemm . . hemm . .”

Tubuhnya yang langsing genit itu dengan gemasnya dibanting ke

atas tanah dan duduk tidak bergerak lagi.

Ti Then tersenyum, tanyanya dengan halus. “Perutmu sudah

lapar belum?”

“Belum. .”

“Ayahmu sudah kirim perintah seratus pedang untuk menawan

kembali Hong Mong Ling, cepat atau lambat akhirnya akan mati

juga kamu tidak usah begitu jengkelnya”

“Ayahku apa pernah keluar cari aku. .”

“Pernah. .” sahut Ti Then sambil mengangguk “Dia pernah keluar

Benteng untuk menguntit aku, tapi yang lalu sudah pulang ke dalam

Benteng kembali.”

Wi Lian In menjadi terkejut, dengan penuh keheranan tanyanya:

” Kenapa ayahku menguntit kamu?..”

“Ayahmu anggap aku sebagai seorang manusia yang patut

dicurigai bahkan menuduh aku orang yang menculik kamu pergi,

karenanya secara diam-diam menguntit aku dan mengawasi semua

gerak-gerikku”

Segera dia menceritakan kisahnya sewaktu sesaat memasuki

lembah. Dengan perasaan yang tidak tenang ujar Wi Liau In dengan

perlahan. “Ayahku mencurigai dirimu juga bukan tidak beralasan”

“Benar, makanya aku sama sekali tidak marah, hanya saja

sesudah aku hantar kamu pulang ke dalam Benteng segera akan

meninggalkan kalian.”

Air muka Wi Lian In berubah hebat. “Kamu mau tinggalkan kami

sekalian?” tanyanya.

“Benar. .” sahut Ti Then sambil mengangguk.

“Jadi kamu masih merasa marah terhadap ayahku?”

“Tidak. ” sahutnya sambil gelengkan kepalanya lagi.

“Lalu kenapa mau tinggalkan kami?”

“Aku takut, kawan-kawan di dalam Benteng ada yang tidak tahu

urusan yang sebetulnya dan menganggap aku yang merusak

perkawinanmu dengan Hong Mong Ling …”

“Sekali pun kamu punya niat merusak hubungan kita tapi aku

tetap merasa sangat berterima kasih terhadap dirimu karena dia

pergi main perempuan disarang pelacur adalah urusan yang

sungguh-sungguh sudah terjadi..”

“Sekali pun omonganmu sedikit pun tidak salah.” ujar Ti Then

sambil tersenyum. “Tapi aku merasa jauh lebih baik . .”

“Tidak usah banyak omong lagi” potong Wi Lian In dengan cepat.

“Asalkan kamu tanya dalam hatimu sendiri pernah berbuat atau

tidak, tidak usah perduli lagi omongan orang lain”

Ketika Ti Then mendengar kata-kata. . Tanya hati sendiri pernah

berbuat atau tidak, tidak terasa lagi air mukanya berubah menjadi

merah padam.

“Jika kamu sudah ambil keputusan mau meninggalkan benteng

Pek Kiam Po sekarang juga silahkan pergi.”

“Nona Wi. . . kamu jangan marah.. ”

“Aku tidak marah, kamu boleh pergi …”

“Tapi aku mau hantar nona pulang ke dalam benteng terlebih

dulu.”

“Tidak usah” ujar Wi Lian In dengan sengit, “Aku bisa pulang

sendiri, aku tidak mau kamu hantar aku pulang ke dalam Benteng.”

“Si setan pengecut serta Hong Mong Ling kemungkinan sekali

masih bersembunyi disekitar tempat ini, bagaimana aku bisa

tinggalkan kamu seorang diri?”

“Urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kamu, jika aku

terjatuh ketangan mereka lagi biarlah anggap memang itu nasibku.”

Berbicara sampai di sini tidak tertahan lagi dia mengucurkan air

mata dan menangis tersedu-sedu.

“Nona Wi.” ujar Ti Then dengan cemas. “Kamu jangan menangis.

.jangan menangis. . .baiklah aku tidak akan meninggalkan kau lagi”

Wi Lian In dengan cepat memutar tubuh membelakangi dirinya,

ujarnya lagi sambil menahan isak tangisnya.

“Aku tidak mau dikasihani orang lain, kau pergilah.”

Ti Then termenung sangat lama sekali, kemudian sambil

menghela napas baru sahutnya.

“Jika kamu menginginkan aku tinggal di dalam benteng Pek Kiam

Po untuk selamanya aku juga bisa menyangupinya. Tapi aku jadi

orang punya nasib yang sangat jelek sekali, mungkin bisa

membawa kesialan juga kepada orang lain, jika pada suatu hari

terjadi suatu urusan kamu janganlah menyesal.”

“Apa itu nasib jelek membawa kesialan bagi orang lain? omongan

yang tidak karuan itu sepatah pun aku tidak percaya.”

“Heeei…” ujar Ti Then dengan nada yang berat. “Aku bilang

kemungkinan sekali aku membahayakan ayah ibumu”

Mendadak Wi Lian In putar kepalanya memandang tajam

kearahnya. “Apa arti dari perkataanmu itu???”

“Tidak punya arti yang istimewa, aku hanya merasa aku jadi

orang sangat sialan, bersandar pada pagar. . pagar ambruk.

bersandar pada tembok. . tembok jebol.”

Mendadak Wi Lian In tertawa cekikikan dengan merdunya,

ujarnya: “Bagaimana kamu bisa punya perasaan begitu”

Ti Then angkat bahunya,” Kenyataannya memang begitu,

umpama saja sesudah aku masuk ke dalam Benteng Pek Kiam Po

tidak selang lama sudah ada beberapa peristiwa yang terjadi saling

susul menyusul, permulaan Cian pit Yuan yang datang mengacau

kemudian muncul si setan pengecut itu . . .”

“Tapi. .” potong wi Lian In dengan cepat. “Kamu berhasil pukul

mundur cianpit Yuan dan menolong aku dari cengkeraman si setan

pengecut itu.”

“Tapi jauh lebih baik tidak sampai terjadi urusan itu” ujar Ti Then

dengan perlahan.

“Sejak kamu masuk benteng Pek Kiam Po kami, secara diamdiam

aku terus menerus mengawasi gerak gerikmu, aku merasa

agaknya kamu punya pikiran di dalam hati, selamanya uringuringan

dan tidak gembira dapat kamu ceritakan karena apa ?”

“Aku tidak punya pikiran dalam hatiku” sahut Ti Then sambil

gelengkan kepalanya.

“Apa kamu pernah mengalami suatu peristiwa yang sangat

mendukakan hatimu” tanya Wi Lian In sambil memperhatikan

wajahnya tajam-tajam.

“Tidak pernah. .”

“Jika betul-betul tidak ada seharusnya kamu jadi seorang yang

sangat gembira, dengan usiamu yang masih demikian mudanya

sudah berhasil memiliki kepandaian silat demikian tinggi,

dikemudian hari jago nomor wahid di dalam dunia akan kau miliki,

seharusnya kamu gembira tapi kelihatannya kamu sangat tidak

gembira bahkan murung terus.”

Berbicara sampai di sini mendadak seperti teringat akan sesuatu,

pada wajahnya timbul suatu senyuman manis sambil mengangguk

ujarnya. “Ooh. . . sekarang aku sudah tahu.”

Ti Then menjadi melengak. “Kamu tahu apa??”

Wi Lian In menundukkan kepalanya rendah-rendah, sambil

tersenyum malu ujarnya:

“Kamu pernah mencintai seorang nona tetapi kemudian hati nona

itu berubah, tidak mau perduli kamu lagi bukan begitu?”

“Ha ha ha. . tidak. . tidak pernah terjadi urusan ini.”

“Kau jangan menipu aku” ujar wi Lian In sambil tersenyum malumalu.

“Tidak. aku tidak menipu kamu. .”

” Kalau tidak, kenapa kau tidak gembira”

“Jika kau anggap aku jadi orang tidak gembira mungkin

dikarenakan aku dilahirkan menjadi seorang yang tidak gembira.”

“Omong kosong” ujar wi Lian In sambil mendelik kearahnya.

“Mana ada orang yang dilahirkan dalam keadaan tidak gembira.”

“Ada. .” sahut Ti Then perlahan. “Misalnya seorang bayi yang

baru saja lahir di dalam dunia, ayah ibunya saling susul menyusul

meninggal dunia sehingga membiarkan anak itu hidup di dalam

kemiskinan, hidup tanpa mendapatkan kasih sayang dari orang

tuanya, hidup dalam kekurangan. coba kamu pikir sesudah dia

menginyak dewasa bisa jadi orang yang lincah dan selalu gembira

tidak?”

Wi Lian In teringat kembali riwayatnya yang pernah diceritakan

kepada dirinya, kini mendengar perkataan itu segera tahu kalau dia

sedang mengatakan dirinya karena itu perasaan simpatik dan

kasihan timbul kembali di dalam hatinya, sambil melelehkan air

mata ujarnya:

“Sewaktu masih kecil kamu memang sangat susah, tapi sekarang

sudah lain keadaannya, seharusnya kamu cari kesenangan, jangan

pikirkan urusan yang sudah lalu.”

Ti Then hanya tersenyum saja, kepalanya ditolehkan memandang

keluar gua, ujarnya lagi.

“Hari hampir terang tanah, kenapa kamu tidak istirahat

sebentar??.”

“Tidak. . aku tidak bisa tidur. . mari kita omong lagi saja. . . kau.

. . kau. . . kau sudah punya idaman hati?”

“Belum ada.”

Dengan tersenyum malu-malu dan kepala yang ditundukkan

rendah-rendah ujar Wi Lian In lagi.

“Kamu . . . kamu tidak ingin menikah?”

“Setiap lelaki yang sudah menginyak dewasa tentu kawin, siapa

yang tidak pikirkan? Hanya saja dengan wajah seperti aku ini, mana

ada nona mana yang mau jadi istriku?”

“Kamu bolak balikkan kenyataan.. “ujar Wi Lian In sambil

tersenyum. “Mungkin kamu yang terlalu pandang tinggi diri sendiri

sehingga tidak pandang orang lain”

“… Bukan . . . bukan . .”

“Biarlah sesudah pulang ke dalam benteng aku mau suruh

ayahku carikan seorang nona untukmu.” ujar Wi Lian in lagi sambil

tertawa.

“Jangan. .” ujar Ti Then sambil gelengkan kepalanya, “Urusan

perkawinan lebih baik jangan dipaksa, biarlah nanti datang dengan

sendirinya.”

Wi Lian in menundukkan kepala berpikir sebentar, kemudian

barulah ujarnya sambil tersenyum:

“Beritahu padaku, isteri yang kau inginkan merupakan nona

macam bagaimana?”

“Aku belum pernah pikirkan”

“Kalau begitu kamu pikirlah sekarang juga.”

“Aku tidak tahu. .”

“Coba pikirkan dengan perasaan. .”

Ti Then menghembuskan napas panjang kepalanya diangkat dan

memandang tajam wajahnya kemudian sambil tersenyum sahutnya.

“Bila pada satu hari aku bisa memperoleh seorang istri seperti

nona Wi, hatiku sudah merasa sangat puas..”

Air muka Wi Lian In segera berubah menjadi merah dadu,

ujarnya sambil tersenyum malu-malu.

“Ehm.. . ayahku sering bilang aku jadi orang terlalu manya,

sifatnya pun berangasan sedikit-dikit suka marah, aku bukan

seorang nona yang baik”

“Nona yang suka marah itulah nona yang paling menyenangkan,

begitu marah pot-pot bunga pada melayang… sungguh

menyenangkan sekali.”

Dikatai begitu Wi Lian In melototkan mata kearahnya, ujarnya

sambil mencibirkan bibirnya.

“Bagus sekali, jika dilihat potonganmu memang jujur tidak

kusangka mulutnya licin juga, suka menggoda orang.” Ti Then

tertawa terbahak bahak dengan kerasnya.

Tetapi sebaliknya dalam hati dia merasa sangat pahit, karena dia

merasa hubungannya dengan Wi Lian In semakin lama semakin erat

dan semakin intim. . Tujuan yang diharapkan majikan patung emas

juga hampir tercapai. Tidak lama kemudian cuaca sudah terang, Ti

Then segera bangkit berdiri ujarnya. “Jalan, kita keluar dari lembah

ini.”

Kedua orang itu dengan cepat meloncat turub dari atas tebing, Ti

Then berjalan menuju kearah tebing seberang membereskan

selimut serta barang barangnya kemudian menyerahkan

tunggangannya kepada Wi Lian In, ujarnya sambil tertawa.

“Kuda ini sungguh cerdik sekali, jika bukannya kemarin malam

dibantu dia kemungkinan sekali aku tidak punya cara untuk

menolong kamu keluar.”

Wi Lian In tersenyum manis. “Mulai sekarang kuda itu adalah

milikmu”

“Tidak. .” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya. “Aku tidak

punya kesempatan banyak untuk menunggang kuda, lebih baik

tinggalkan untuk kamu gunakan”

“Kau sungguh-sungguh tidak mau?”

“Benar, aku tidak memerlukan. .”

“Kalau begitu biarlah dia pergi hidup sendiri, mari kita pergi”

sehabis berkata dia melepaskan tali lesnya dan meninggalkan

tempat itu dengan cepat.

Melihat tindakannya yang aneh itu Ti Then melengak. dengan

cepat dia pungut kembali tali les itu serunya:

“Tunggu sebentar, kamu sungguh-sungguh tidak inginkan kuda

ini lagi?”

“Aku sudah bilang, kuda itu aku hadiahkan kepadamu, dengan

begitu dia sudah menjadi milikmu jika kau tidak suka maka kuda itu

tidak ada majikannya lagi.”

Ti Then yang dikatai begitu menjadi serba susah, mau tertawa

tidak bisa mau menangis pun tidak sanggup dengan tergesa gesa

sahutnya: “Baik, baik, Baiklah, aku mau . . , aku mau, hanya saja

ada satu syarat.”

Wi Lian In menghentikan langkahnya, sambil menoleh ujarnya

tersenyum: “Tentu kau sudah ketularan penyakit setan pengecut itu.

syarat apa?”

“Kau yang tunggangi dia kembali ke dalam Benteng kemudian

kuda itu baru menjadi milikku.”

“Aku menunggang kuda, kau jalan kaki ??”

“Dijalan aku bisa beli seekor kuda lagi.”

Wi Lian In baru mengangguk menyetujui, dia putar tubuh dan

meloncat naik ke atas kudanya kemudian dengan perlahan berjalan

keluar dari lembah sempit itu.

Ti Then yang takut si setan pengecut serta Hong Mong Ling

masih belum mematikan niatnya maka sengaja dia berjalan di depan

membukakan jalan bagi Wi Lian In, dengan menghindari batu batu

cadas yang tersebar meluas dengan sangat hati-hati dia bergerak ke

depan.

Sesudah mengitari tanah yang penuh dengan batu batu cadas,

meadadak Wi Lian In menuding ke atas sebuah batu bulat di atas

tanah, ujarnya: “Coba lihat, apa itu ??”

Ti Then tolehkan kepalanya memandang ke sana, terlihatlah di

atas batu bulat itu terdapat beberapa tetes darah segar, ujarnya

kemudian.

“Darah itu mungkin darah yang menetes keluar dari luka setan

pengecut itu, kemarin malam kulit kepalanya berhasil kutabas

sedikit mungkin, darah yang mengucur keluar tidak sedikit

jumlahnya .

“Kita ikuti saja bekas bekas darah itu, mungkin masih bisa

temukan kembali mereka berdua.”

“Tidak mungkin” ujar Ti Then sambil gelengkan kepalanya. “Luka

Setan pengecut itu tidak mungkin masih mengucur darah hingga

sekarang, jika kita mau ikuti jejak darahnya mencari mereka

mungkin sudah terlalu terlambat.”..

“Dia bilang punya dendam sakit hati dengan suhumu entah hal

itu benar atau tidak?”

“Dia ada sakit hati dengan orang lain kemungkinan tidak purapura,

tetapi tidak mungkin hasil perbuatan suhuku karena mereka

sama sekali tidak tahu siapa sebetulnya suhuku.”

Wi Lian In tersenyum, sambil pandang wajahnya ujarnya lagi:

“Kau juga tidak tahu nama suhumu, jika mereka katakan belum

tentu kau bisa tentukan apa nama itu nama suhumu atau bukan.

Bukan begitu?”

“Tidak salah. .” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Tapi dia

boleh katakan beberapa ciri-ciri yang menonjol, jika ciri-ciri yang dia

katakan kebanyakan mirip dengan ciri-ciri suhuku maka hal ini

sudah cukup membuktikan suhuku adalah musuh besarnya.”

“Yang paling lucu lagi. Dia ingin tahu nama suhumu tapi tidak

berani mengatakan nama serta sebutan sendiri”

“Makanya, kemungkinan sekali tidak punya musuh besar,

tujuannya ingin memperoleh dan mengetahui ilmu silat suhuku.”

Kedua orang itu sambil berjalan sembari bercerita, tidak lama

kemudian sudah keluar dari selat sempit itu kemudian dengan

mengikuti jalanan gunung menuruni gununk tersebut.

Pada siang harinya sampailah mereka di kota In Kiang sian, di

dalam kota Ti Then membeli seekor kuda kemudian dahar hingga

kenyang, setelah itu barulah jalan bersama sama keluar kota

menuju kekota Go bi.

Ditengah jalan tidak ada peristiwa yang terjadi, pada siang hari,

hari keempat sampailah mereka didaerah keresidenan siok lam.

Baru saja melewati suatu tanah tandus yang gundul dan kering

ternyata sudah bertemu dengan sebuah peristiwa yang sangat

membingungkan. secara mendadak mereka dicegat orang-orang

yang menghalangi perjalanan mereka adalah dua orang jago Bu lim

yang punya bentuk tubuh kurus dan gemuk, usia dari kedua orang

itu kurang lebih lima puluh tahunan. Yang gemuk punya tubuh

yang kekar bagaikan sapi, alisnya lebat matanya bulat besar sedang

wajahnya penuh berewok. Pada sepasang tangannya mencekal dua

buah senyata kapak yang besar.

Yang kurus mem punyai bentuk tubuh kecil kering seperti mayat,

matanya sipit seperti mata tikus, pada janggutnya memelihara

janggut kambing yang panjang sedang pada pinggangnya terselip

sepasang golok berbentuk sabit.

Dengan perlahan lahan mereka berjalan keluar dari balik batu

kemudian berdiri tegak ditengah jalanan, jika dilihat sikap mereka

agaknya sudah sangat lama mereka menanti di sana.

Ti Then serta Wi Lian In begitu melihat munculnya dua orang

yang sangat aneh itu dengan cepat menahan tali les kudanya,

mereka berdua mengira sudah bertemu dengan perampok

perampok biasa sehingga tanpa terasa saling bertukar pandangan

dan tersenyum ringan.

Air muka kakek yang punya tubuh kurus kelihatan dikerutkan,

ujarnya dengan nada menyeramkan.

“Hei orang muda, kaukah yang disebut pendekar baju hitam Ti

Then?”

Ti Then yang mendengar pihak lawannya tahu akan nama serta

sebutan sendiri segera tahu kalau dia bukan perampok biasa, tak

tertahan dia menjadi tertegun dibuatnya, sambil rangkap tangannya

memberi hormat, sahutnya.

“Cayhe memang benar adanya, bagaimana sebutan cianpwe

berdua? Ada keperluan apa ??”

“Hemm . . hemm . .” dengus kakek kurus itu dengan dinginnya.

“Lohu berdua tidak punya she tidak punya nama, hanya ada

satu sebutan, Lohu disebut sebagai Mentri pintu dan yang satu ini

disebut sebagai Pembesar jendela”

“Mentri pintu? Pembesar jendela ?” ujar Ti Then melengak.

“Tidak salah. .”

Ti Then tidak bisa menahan gelinya lagi, dia tertawa terbahak

bahak dengan kerasnya.

” Kalian malaikat-malaikat dari kelenteng mana?” tanyanya.

“Kelentengnya disebut istana Tian Teh Kong, tempatnya

digunung Kim Hud san”

Ti Then menjadi sangat terperanyat, tapi dia mengangguk juga

sahutnya:

“Kiranya orang-orang dari Thian Kauw Teh Hu atau Anying langit

rase bumi”

si pembesar jendela melototkan matanya dengan gusar

bentaknya. “Apa anying langit rase bumi? Yang betul Kaisar langit

Ratu Bumi”

Kiranya jika menyebut Anying langit Rase bumi, empat kata ini

tidak ada seorang pun yang tidak tahu nama ini di dalam Bu lim,

mereka merupakan sepasang suami istri pencipta huru hara dibumi,

yang laki disebut sebagai Anying langit Kong sun Yau sedang yang

perempuan disebut Rase bumi Bun Jin Cu. Bukan saja kepandaian

silat yang dimiliki sepasang suami istri ini sangat lihay bahkan jadi

orang sangat kejam dan licik. hampir boleh dikata tidak ada

tandingannya di dalam golongan Hek to, karenannya ke dua orang

itu menduduki kedudukan yang paling tinggi di dalam kaum Hek-to.

Dikarenakan selama hidupnya selalu menduduki tempat yang

teratas, harta kekayaannya tidak terhitung banyaknya, mereka

mendirikan sebuah istana Thian Teh Kong di atas gunung Kim Hud

san dengan mengambil sebutan Kaisar langit ratu bumi.

Suami istri ini bukan saja menguasahi seluruh Liok lim bahkan

anak buahnya pun mencapai selaksa lebih, maka itulah kaum

pendekar dari golongan Pek to termasuk Pocu dari Benteng Pek

Kiam Po, Wi ci to sendiri tidak berani secara terang-terangan

bentrok dengan mereka, sebab itulah siapa pun dari kalangan Bu lim

jauh lebih jeri setelah mendengar nama Kaisar langit Ratu bumi

daripada nama besar Benteng Pek Kiam Po.

Sedang kini setelah Ti Then mendengar istana Thian Teh Kong

lalu mengubah sebutan Kaisar langit ratu bumi menjadi Anying

langit rase bumi, sudah tentu membuat Pembesar jendela itu

menjadi amat gusar.

Jika bukannya dari majikan patung emas dia berhasil memiliki

kepandaian silat yang sangat tinggi, dia tidak akan berani

mengubah sebutan Kaisar langit Ratu Bumi… itu menjadi Anying

langit Rase Bumi, tapi kini dia tidak akan takut untuk meloloskan diri

dari belenggu majikan patung emas dan sangat mengharapkan bisa

bertemu dengan jago-jago Bu lim yang memiliki kepandaian silat

yang sangat tinggi, dia sangat mengharapkan ada orang yang

berhasil pukul rubuh dia makanya semakin manusia yang berbahaya

semakin manusia yang lihay dia semakin ingin coba-coba mengusik

mereka. Kini melihat Pembesar jendela itu begitu gusar air mukanya

sedikit pun ujarnya sembil tersenyum. “sebutan majikan kalian

memangnya Anying langit Rase Bumi, apanya yang tidak betul?”

Pembesar jendela semakin gusar lagi, sambil maju satu langkah

ke depan bentaknya dengan wajah meringis menyeramkan.

“Bangsat cilik, kamu orang sudah bosan hidup yaah”.

si Mentri pintu yang berada di sampingnya dengan cepat menarik

dia ke belakang, ujarnya:

“Jite, jangan terburu napsu, biar kita bicarakan lebih jelas dulu

baru turun tangan”

“Benar” ujar Ti Then sambil tertawa. “Malaikat penjaga pintu

dengan anying penjaga pintu memang sangat berbeda, buat apa

kalian begitu galak galak. Ha ha ha ha . . .”

Si menteri pintu dengan cepat angkat kepalanya, dengan

pandangan yang sangat tajam dia melirik sekejap kearah Ti Then

kemudian dengan wajah dingin kaku ujarnya: “Hemm . . kalian apa

baru saja turun dari gunung Fan cing san?”

“Tidak salah” sahut Ti Then sambil mengangguk.

“Bagus sekali, lohu berdua mendapatkan perintah dari Thian

cunTeh Ho untuk mintakan sebuah barang dari Lo te”

“Hemm . . . hemm . . . selama berpuluh-puluh tahun Thian Kauw

Teh Hu menduduki tempat yang tertinggi di dalam Liok lim, harta

yang dikumpulkan pun kurang lebih ratusan buah kereta banyaknya,

buat apa kalian cari aku seorang yang miskin.”

“Hem . . . Thian cun Teh Ho mau cari kau sudah merupakan satu

penghormatan yang besar bagimu” ujar menteri pintu itu dengan

dingin.

-ooo0ooo-

“Memang benar. . Memang benar.” sahut Ti Then sambil

berulang kali mengangguk. “Hanya tidak tahu kalian inginkan aku

orang serahkan barang macam apa?”

si Menteri Pintu itu segera tertawa dingin tak henti-hentinya.

“Buat apa Lo te berpura pura tanya lagi.”

Ti Then miringkan kepalanya berpikir sejenak. kemudian sambil

tertawa ujarnya: “ooh . . . mungkin kalian menginginkan batok

kepala cayhe ini?”

“Maksud Thian cun Teh Ho kami, minta Lo te mau serahkan itu

barang tanpa melakukan perlawanan, mereka orang tua mau beri

kalian ribuan tahil perak sebagai tanda terima kasih. Kalau tidak

terpaksa aku harus penggal kepala kalian untuk dilaporkan.”

Nada suaranya sangat dingin kaku tapi tenang, agaknya dalam

hati sudah punya pegangan yang kuat tentu berhasil memenggal

batok kepala Ti Then itu.

Ti Then yang ditanyai begitu menjadi bingung, sambil mengucak

ucak matanya tanyanya lagi.

“Apa kalian menginginkan nona di sampingku ini?”

“Urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan orang-orang

benteng Pek Kiam Po, Thian Cun kami tidak punya minat terhadap

nona Wi ini.”

” Kalau tidak. ” ujar Ti Then sambil mengerutkan alisnya.

“Sebetulnya kalian inginkan barang apa?”

Agaknya si pendekar jendela tidak bisa menahan sabar lagi,

bentaknya dengan keras.

“Bangsat cilik, kamu orang jangan berpura-pura lagi, lohu nanti

tebas kepalamu dengan satu kali bacokan”

Air muka Ti Then berubah menjadi sangat dingin, perlahan-lahan

dia meloncat turun dari tunggangannya kemudian berjalan maju tiga

langkah ke depan, ujarnya. “Coba kamu tabaskan kepalaku ini.”

Mata pembesar jendela itu melotot ke luar, dengan air muka

penuh kemarahan dia menoleh kearah si menteri pintu, ujarnya.

“Toako, barang itu pasti berada di dalam badannya. Bangsat cilik

ini tidak tahu kebaikan orang lebih baik kita bunuh saja kemudian

baru ambil barang itu dari dalam tubuhnya.”

“Ehm . . .” sahut menteri pintu itu dengan perlahan kemudian dia

putar kepalanya memandang Ti Then dengan jangat dingin. ujarnya

lagi.

” Lohu beri satu kesempatan yang terakhir bagimu, cepat

serahkan barang itu.”

“Tidak”

Bagaikan seekor harimau kelaparan dengan mengaum keras

pembesar jendela itu dengan cepat meloncat maju ke depan,

kampak raksasa ditangan kirinya dengan dahsyat diayun

memenggal kearah teng gorokan Ti Then.

Jurus serangannya sangat kuat dan dahsyat sehingga

menimbulkan suara desiran yang sangat kuat ditengah udara,

datangnya serangan ini begitu dahsyatnya sehingga orang yang

berdiri satu kaki dari sana pun merasakan desiran angin

sambarannya itu.

Ti Then tetap berdiri tidak bergerak, menanti kampak pihak

musuhnya hampir mendekati tubuhnya barulah badannya sedikit

miring ke samping, tangan kirinya secepat kilat mencengkeram

menguasahi urat nadi pergelangan tangannya, sedang tangan

kanannya bersamaan waktu pula melancarkan satu serangan

dahsyat yang dengan tepat menghajar perutnya.

“Bluuk …..” kemudian disusul dengan suara dengusan berat,

pembesar jendela itu sama sekali tidak pernah menduga gerakan

dari Ti Then bisa demikian aneh dan cepatnya, di dalam keadaan

yang sangat terkejut kapak ditangan kanannya dengan cepat

diangkat dan ditabas ke atas batok kepala Ti Then, tetapi baru saja

kapaknya itu diangkat sampai tengah jalan seluruh tubuhnya sudah

berhasil diangkat oleh Ti Then ke tengah udara.

Dengan mengerahkan tenaga yang besar Ti Then segera

melemparkan tubuh pembesar jendela itu ketengah udara, bagaikan

sebuah layang-layang yang putus benangnya tubuhnya melayang

hingga sejauh dua tiga kaki.

“Bluuuk…” punggungnya dengan keras menghajar pohon di

belakangnya, seketika juga tubuhnya menjadi lemas bagaikan

kapas, sama sekali tidak punya tenaga untuk merangkak bangun.

Sejak semula hingga sekarang tidak lebih hanya makan waktu

sekejap mata saja.

Si Menteri pintu yang melihat kejadian ini tidak terasa lagi

matanya melotot keluar dengan bulatnya, mulutnya melongo,

sedang air mukanya sebentar berubah pucat pasi sebentar lagi

berubah menjadi kehijau-hijauan, Perasaan terkejut yang dirasakan

saat ini jauh lebih hebat dari perasaan terkejut pada diri Pembesar

jendela itu

Sejak lama dia sudah mendengar nama Pendekar pakaian hitam

Ti Then ini, dia pun pernah dengar tingkatan kepandaian silat yang

dimiliki Ti Then sehingga mereka sudah punya pegangan yang kuat

untuk mengalahkan Ti Then tidak perduli siapa pun yang maju dari

mereka berdua tapi sekarang, pembesar jendela rubuh ditangan Ti

Then tidak sampai satu jurus pun bahkan dipukul hingga tidak kuat

bangkit berdiri bukankah hal ini sangat mengejutkan hatinya?

Jilid 9.2. Satu kesulitan hilang dua kesusahan datang

Sebetulnya dia berpegangan bahwa gerakannya kali ini pasti

mendatangkan hasil, siapa tahu saking terkejutnya tidak tertahan

lagi tubuhnya gemetar dengan kerasnya. Ti Then tersenyum,

ujarnya setengah mengejek:

“Pembesar jendela itu sungguh sebuah gentong nasi, masa satu

gerakan saja tidak bisa bertahan, baiklah seharusnya kini kamu

orang sebagai Menteri pintu yang turun tangan menggantikan dia.”

Saking takutnya tubuh menteri pintu itu sudah serasa menjadi

kaku, dengan wajah penuh ketakutan melotot ke arah Ti Then

ujarnya dengan gemetar.

“Ke. . kepandaian . . kepandaianmu ini apa berasal . . berasal

dari . . dari kitab pusaka Ie Cin Keng ?”

Ti Then yang mendengar perkataan itu menjadi melengak.

” Kitab pusaka Ie cin Keng ?”

“Apa memangnya bukan ?”

“Ha ha ha ha . . yang kamu maksudkan adalah kitab pusaka Ie

Cin Keng yang berisikan pelajaran silat Tat Mo Couwsu itu?”

“Benar” sahut menteri pintu sambil menganguk. “Kitab itu sudah

hilang sejak ratusan tahun yang lalu, kali ini kamu menemukannya

kembali di atas gunung Fan cin san bukan begitu??”

“Ooh . . .jadi barang yang harus aku serahkan adalah kitab

pusaka Ie Cin Keng itu??”

Dengan ragu-ragu menteri pintu itu mengangguk. tapi ke lihatan

jelas dari air mukanya kalau perasaan takut dan jeri sudah meliputi

tubuhnya. Ti Then tersenyum lagi.

“Kalian dengar dari siapa kalau aku menemukan kitab pusaka Ie

Cin Keng itu di atas gunung Fan cin san??”

“Seseorang yang dapat dipercayai sudah melaporkan hal itu

kepada Thian cun Teh Ho kami.”

“Siapa orang yang dapat dipercayai itu??”

“Lohu belum pernah bertemu, tidak tahu.”

Dengan perlahan Ti Then menoleh kearah Wi Lien in, ujarnya

sambil tertawa ringan: “Tentu si setan pengecut itu.”

“Ehmm, sebuah siasat pinyam golok untuk membunuh orang

yang sangat bagus sekali” Ti Then menoleh kembali kearah menteri

pintu itu, sambil menepuk-nepuk tubuhnya sendiri ujarnya sambil

tertawa:

“Tidak salah, kitab pusaka Ie Cin Keng itu memang berada di sini,

ayooh maju rebut”

Agaknya menteri pintu itu tidak punya keberanian untuk

melakukan hal tersebut makanya tubuhnya masih tetap berdiri tak

bergerak. “Bagaimana?? sudah tidak mau??”

“Ehmm. . . ehmm. . .jika didengar perkataan nona Wi agaknya

Lote sama sekali tidak pernah mendapatkan kitab pusaka Ie Cin

Keng itu??”

“Tidak. .kamu salah, aku memang mendapati kitab pusaka Ie Cin

Keng itu.”

Dengan perlahan menteri pintu itu menggeserkan tubuhnya

kearah Pembesar jendela, ujarnya.

“Kepandaian silat Lo te sangat hebat sekali, Lohu mengaku kalah

biarlah kami kembali ke dalam istana Thian Teh Kong dan

melaporkan peristiwa hari ini kepada Thian cun Teh Ho, biar Thian

cun Teh Ho sendiri yang mengurus.”

“Ha ha ha. . .” ujar Ti Then secara mendadak sambil tersenyum…

“Tadi sudah galak-galak sekarang mau pergi dengan begitu saja??”

Menteri pintu itu tetap berdiam diri, tubuhnya dibungkuk

membantu Pembesar jendela itu bangkit berjalan.

Agaknya dia punya minat meninggaikan tempat itu dengan

tebaikan muka.

“Tunggu sebentar.” bentak Ti Then secara mendadak dengan

sangat dingin, air mukanya berubah membesi.

Tubuh menteri pintu itu kelihatan tergetar sangat keras, sambil

meletakkan tubuh pembesar jendela ke tanah kembali, ujarnya.

“Walau pun kepandaian silat Lo te sangat tinggi tapi kami orangorang

dari istana Th an Teh Kong bukanlah manusia-manusia yang

bisa kau permainkan sesuka hati. . . kau ingin berbuat apa?…”

Ti Then yang melihat keadaannya begitu kasihan dalam hati

diam-diam merasa geli, segera ujarnya lagi dengan sangat dingin:

“Tirukan tiga kali menyalaknya anying, kemudian barulah kalian

boleh pergi.”

Air muka menteri pintu itu segera berubah hebat. dia tahu urusan

tidak mungkin bisa selesai dengan mudah. Karenanya tangannya

dengan cepat mencabut keluar sepasang goloknya yang berbentuk

sabit, teriaknya.

“Siapa yang harus meniru menyalaknya anying masih ditentukan

dulu dengan kepandaian masing-masing . ”

“Benar. . . . beralasan. Beralasan. Mari. . Mari . . . ayoh serang”

ujar Ti Then sambil maju satu langkah ke depan.

“Kenapa kamu orang tidak cabut ke luar pedangmu?” bentak

mentri pintu dengan gusar.

“Hemmm… hemmm. . . untuk menghadapi anying-anying

penjaga pintu semacam kalian masih belum berhak memaksa aku

untuk menggunakan pedang”

Walau pun dalam hati menteri pintu itu sudah merasa jeri tapi

keadaan sangat memaksa, karenanya sambil membentak keras

tubuhnya menubruk ke depan sedang goloknya dengan hebat

membacok tubuh Ti Then.

“Sreeet. . . sreeet. . .” goloknya dari sebelah kanan kearah kiri

dengan kecepatan luar biasa membacok bahu kiri Ti Then sedang

golok lainnya dari sebelah kiri menuju kearah kanan menyambar

pinggang Ti Then.

Melihat datangnya serangan dahsyat dengan cepat Ti Then

mundur satu langkah ke belakang menghindarkan diri dari bacokan

sepasang goloknya, pada saat sepasang goloknya baru saja

berkelebat lewat itulah tubuhnya dengan cepat berkelebat ke depan,

dengan meminyam kesempatan ini dia melancarkan satu serangan

menghajar dadanya.

Jurus serangan ini tidak ada keanehan atau keistimewaannya,

mentri pintu itu sendiri juga melihat dengan jelas datangnya

serangan itu tapi sekali pun dia mencoba menghindar tetap kalah

cepat.

“Bluuk . .” dadanya dengan keras kena hajaran itu.

Tubuh menteri pintu segera rubuh ke atas tanah dengan

kerasnya.

Meminyam kesempatan itu Ti Then segera meloncat ke depan,

kakinya dengan kuat-kuat menginyak perutnya, ujarnya sambil

tertawa dingin: “Ayoh bilang kamu mau tirukan gonggongan anying

tidak?”

Air muka Menteri pintu itu berubah menjadi pucat pasi bagaikan

mayat dan rubuh terlentang di atas tanah tidak berani bergerak

sedikit pun juga. ujar Ti Then lagi dengan dingin

“Ayoh bilang kamu mau menyalak tidak ?? Hemm hemm, jika

tidak maujangan salahkan aku mau inyak tubuhmu hingga hancur.”

Sambil berkata kakinya mengerahkan tenaga menginyak lebih

kuat lagi ke atas tubuh menteri pintu itu.

Dari keningnya kelihatan sekali keringat sebesar butir-butir

kedelai mulai mengucur ke luar dengan derasnya, seperti babi yang

mau dipotong teriak menteri pintu itu dengan keras:

“Baik. .. baiklah, aku teriakan aku teriak..”

Mendengar perkataan itu barulah Ti Then menarik kembali

tenaganya, ujarnya. “Ehmm . . . kalau begitu ayoh cepat

menggonggong”

Menteri pintu itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, terpaksa dia

buka mulutnya menggonggong. “Au . au . . au. .

Baru berteriak tiga kali air mukanya sudah berubah menjadi

merah padam.

Ti Then segera berputar kearah Pembesar jendela yang

bersandar di samping pohon, ujarnya.

“Kau mau menggonggong tidak ??”

Pembesar jendela itu tidak berani membangkang, terpaksa dia

pun menyalak tiga kali.

Setelah itulah Ti Then baru menarik kembali kakinya yang

menginyak perut menteri pintu itu, sambil mundur dua langkah ke

belakang ujarnya.

“Cepat pulang dan beritahu sama Anying langit rase bumi,

katakan kitab pusaka Ie cin Keng memang berada di dalam sakuku

tapi jika mereka inginkan harus datang minta sendiri.”

Menteri pintu itu tidak berani membangkang, dengan cepat dia

merangkak bangun dan menyelipkan kembali sepasang goloknya ke

belakang punggung.

Sesudah membimbing pembesar jendela bangun bagaikan dua

orang yang sedang mabok mereka berjalan kearah timur dengan

sempoyongan. Teriak Ti Then lagi dengan keras.

“Masih ada, katakan pada Anying langit Rase Bumi aku berada di

dalam Benteng Pek Kiam Po sebagai tamu, jika mencari aku di sana,

jangan sampai mengganggu orang-orang benteng seujung rambut

pun.”

Menteri pintu Pembesar jendela tidak berani banyak cakap,

dengan keadaan yang sangat mengenaskan mereka meninggaikan

tempat itu dengan cepat.

Wi Lian In tersenyum ujarnya:

“Kedua orang tua bangkotan itu sedikit pun tidak bersemangat.”

Ti Then pun segera meloncat naik ke atas kuda, sahutnya. .

“Orang yang menyaga pintu delapan sembilan bagian tidak

punya semangat semua” Sambil berkata dia menepuk kudanya

melanjutkan perjalanan ke depan.

“Kedua orang itu” ujar Wi Lian In lagi “aku juga pernah dengar,

menurut apa yang aku ketahui para cay cu yang mau menyambangi

Thian Kauw Te Hu di atas gunung Kim hud san harus memberi

sogokan terlebih dulu kepada mereka, jika tidak kasih . .jangan

harap bisa bertemu dengan Anying langit rase bumi itu.”

“Jago-jago di bawah pimpinan Anying langit Rase bumi itu sangat

banyak jumlahnya, entah kerapa kali ini mereka mengirim dua orang

gentong nasi seperti itu.”

“Terhadap kamu kedua orang itu memang mirip gentong nasi”

ujar Wi Lian In sambil pandang wajahnya. “tapi bagi orang lain

cukup mereka berdua sudah membuat setiap orang merasa pusing

kepala”

“Mungkin juga karena setan pengecut itu tidak memberi

penjelasan yang lebih teliti kepada orang-orang Anying langit Rase

bumi itu sehingga mereka hanya kirim dua orang gentong nasi

tersebut.”

“Ti toako” ujar Wi Lian In lagi, ” kenapa kamu bilang kitab

pusaka Ie Cin Keng itu berada ditanganmu??”

“Sekali pun aku bilang tidak ada belum tentu mereka mau

percaya.”

“Tapi dengan demikian orang-orang Anying langit Rase bumi

tidak akan melepaskan kamu begitu saja..”

“Nona Wi kamu salah” sahut Ti Then sambil tersenyum

“seharusnya bilang aku yang tidak akan melepaskan mereka,”

“Si Anying langit Kong sun Yau jadi orang ganas kejam, tak

berperikemanusiaan, si Rase bumi Bun Jin Cu jadi orang banyak

akal dan licik, jika mereka suami istri bergabung menjadi satu, sekali

pun ayahku juga belum tentu bisa menangkan mereka, kamu

jangan terlalu pandang rendah musuh..”

“Ha ha ha . . . untuk menghadapi aku mereka tidak akan

terpikirkan untuk bergabung dan kerubuti aku seorang”

“Sekali pun seorang lawan seorang” ujar wi Lian In lagi “Kau juga

jangan terlalu gegabah, menurut apa yang aku dengar kepandaian

silat mereka berdua suami istri tidak terpaut banyak dengan

kepandaian ayahku.”

“Aku tahu.”

“Tapi jika kamu punya kekuatan untuk bunuh mereka janganlah

ragu-ragu turun tangan, hati mereka berdua suami istri sangat

kejam dan ganas, tidak perduli kejahatan apa pun pernah mereka

lakukan, sudah seharusnya mereka dibunuh cepat cepat”

“Kau boleh tunggu saja….”

“Heei . . .” ujar wi Lian In lagi sambil menghela napas panjang

“setan pengecut itu tentu tidak menyebarkan berita bohong ini

kepada Anying langit Rase bumi itu saja, sejak kini kita harus lebih

berhati hati lagi.”

“Kitab pusaka Ie Cin Keng itu merupakan barang peninggalan

Siauw limpay, aku hanya takut hwesio-hwesio dari kuil siauw lim si

percaya penuh akan berita bohong ini kemudian datang cari aku,

orangnya aku sih aku tidak takut semakin banyak orang yang

datang semakin aku merasa gembira.”

“Hei . . . hwesio-hwesio Siauw limpay sangat menghormati

ayahku, jika sampai mereka datang biarlah ayahku yang beri

penjelasan mungkin . .”

Kiranya pada saat itu juga di hadapan mereka berkelebat lagi

bayangan manusia dengan sangat cepatnya, di hadapan mereka

sudah muncul seorang hwesio dari Siauw limpay.

Hwesio itu baru berusia kurang lebih empat puluh tahunan,

wajahnya persegi dengan telinga yang sangat besar, tubuhnya

gemuk besar pakaian pada dadanya terbuka sedikit sehingga

kelihatan perutnya yang buncit besar itu, air mukanya selalu

menampilkan senyuman sedang pada dadanya tergantung sebuah

tasbeh berwarna hitam, jika dilihat dandanannya mirip sekali

dengan Ji lay hud.

Tidak salah lagi, hwesio itu memang berasal dari partai Siauw

limpay dan merupakan seorang hwesio pendekar yang sudah

terkenal di dalam Bulim . . siauw Mi Leh atau Hwesio berwajah

riang.

Air muka Ti Then berubah sangat hebat, dengan cepat dia

meloncat turun dari kudanya dan memberi hormat, ujarnya.

” Kiranya Mi Leh Thaysu sudah datang, masih ingatkah taysu

kepada tecu?”

“He he he …” sahut Hwesio berwajah riang itu sambil tertawa

terkekeh. “Bagaimana tidak kenal. Pinceng ini hari memangnya

datang untuk cari kamu orang.”

“Semoga saja jangan karena kitab pusaka Ie Cin Keng itu.”

“Memang betul, pinceng datang ke sini karena kitab pusaka Ie

cin Keng itu.”

“Haaa?” seru Ti Then dengan terkejut. “Apa Taysu sendiri juga

mempercayai berita bohong itu?”

“Urusan ini timbul sudah tentu ada sebabnya”

“Benar.” sahut Ti Then sambil mengangguk. “sebab-sebabnya

ada seorang berkerudung yang menculik nona Wi ini dan membawa

dia ke atas gunung Fan cin san, tecu berhasil menolong nona Wi ini

dari cengkeramannya bahkan berhasil melukai kulit kepala orang

berkerudung itu mungkin karena dendam dan sakit hati karena

lukanya itu sehingga dia menyebarkan berita bohong tersebut

kemana mana, bahwa aku Ti Then sudah dapatkan kitab pusaka Ie

cin Keng itu. .”

Agaknya Hwesio berwajah riang tidak mendengarkan perkataan

Ti Then tersebut, sambil tetap tertawa-tawa ujarnya.

“Ti sicu. Waktu itu ketika kita bersama-sama minum arak di atas

gunung Ngo Thay san jaraknya hingga sekarang seberapa lama?”

Ti Then yang tidak tahu maksud pihak lawannya begitu

mendengar pertanyaan ini, menjadi melengak. “… Agaknya hampir

dua tahunan. .”

“Tidak salah. ” sahut siauw Mi Leh sambil mengangguk. “Biarlah

kita hitung dua tahun saja, pada dua tahun yang lalu sekali pun

kamu sudah punya nama terkenal di dalam Bu lim tapi kepandaian

silatmu saat itu paling tinggi juga memadahi seorang Pendekar

pedang putih dari Benteng Pek Kiam Po, sebaliknya sesudah dua

tahun, ini hari hanya cukup menggunakan satu jurus berhasil

mengalahkan kedua orang malaikat penjaga pintu dari Anying langit

Rase bumi. Coba tahukah kau berapa kali lipat kemajuan

kepandaian silatmu?”

“Satu tempat paham yang lain akan ikut sukses, asalkan aku

berhasil mengetahui rahasianya sudah tentu akan mendapatkan

kemajuan yang sangat pesat.”

“Tapi.” ujar Hwesio berwajah riang itu lagi. “Walau pun

memperoleh kemajuan yang bagaimana pesatnya pun tidak

mungkin bisa secepat ini, kecuali kamu sudah dapatkan kitab

pusaka Ie Cin Keng tersebut.”

“Thaysu.” seru Ti Then dengan serius. “Tecu betul-betul tidak

mendapatkan kitab pusaka It cin Keng tersebut, harap thaysu

jangan dengarkan berita bohong itu.”

“Kamu sudah mendapatkan banyak kebaikan dari kitab pusaka Ie

cin Keng itu, untuk bekal dikemudian hari pinceng kira juga sudah

jauh lebih cukup. Kenapa kamu orang tidak menggunakan perasaan

hatimu berpikir kalau barang itu harus dikembalikan kepada

pemiliknya?”

Ti Then yang melihat hwesio itu tetap menuduh dia sudah

mendapatkan kitab pusaka Ie Cin Keng itu, dalam hati benar-benar

merasa tidak senang ujarnya kemudian:

“Sewaktu tecu mengalahkan menteri pintu pembesar jendela

tadi, apa Thaysu sudah melihatnya semua ?”

“Benar pinceng melihatnya dengan sangat jelas” sahut Hwesio

berwajah riang itu sambil mengangguk.

“Kalau begitu, perkataan selanjutnya antara tecu dengan nona Wi

Thaysu juga sudah dengar semua bukan?”

“Tidak salahh” sahut hwesio itu sambil mengangguk lagi “sepatah

kata pun tidak ada yang ketinggalan.”

“Kalau memangnya begitu seharusnya thaysu tahu keadaan yang

sesungguhnya.”

“Kalian sejak tadi sudah tahu di samping jalan masih ada orang

yang menonton sehingga yang satu menyanyi yang lain menambahi

untuk mengelabuhi orang lain, Cara seperti itu hwesio sudah sangat

jelas sekali.”

“Heei . . omong pulang pergi agaknya Thaysu tidak akan percaya

omongan tecu lagi?”

“Ti sicu” ujar Hwesio itu dengan serius. “Demi masa depanmu

yang cemerlang lebih baik kembalikan saja kitab itu pada pihak

siauw limpay kami”

“Kalau tecu tidak sanggup mengeluarkan kitab pusaka Ie Cin

Keng itu, thaysu siap berbuat apa?”

Perlahan-lahan si hwesio berwajah riang itu melepaskan

tasbehnya yang tergantung pada dadanya, kemudian ditempatkan

ke atas udara ujarnya sambil tertawa.

“Ti sicu bisa memandang sejilid kitab pusaka Ie Cin Keng setinggi

nyawa sendiri sungguh membuat pinceng tidak menduga.”

Tasbeh yang dilemparkan ke atas udara itu ketika jatuh ke atas

tanah segera timbul suara gemuruh yang sangat keras.

“Bluuuk. . . .” tasbeh itu tidak dapat dihalangi lagi menancap di

tanah sedalam beberapa cun, sungguh suatu kepandaian yang

sangat dahsyat sekali.

“Thaysu tecu tidak ingin sampai turun tangan melawan thaysu”

ujar Ti Then sesudah melihat demonstrasi kepandaian itu.

“Boleh . . boleh . . asalkan kitab pusaka Ie cin Keng itu kau

serahkan kepada pinceng”

“Tecu berani bersumpah, jika tecu pernah mendapatkan kitab

pusaka Ie Cin keng itu maka tubuhku akan mengalami keadaan

seperti pohon ini”

Sambil berkata tubuhnya, dengan cepat melayang setinggi

beberapa kaki kemudian dengan hebatnya dia kirim satu serangan

dahsyat kearah pohon tersebut.

Pohon itu mem punyai lebar beberapa depa, tetapi begitu kena

serangannya segera patah menjadi dua dan rubuh ke atas tanah

dengan menimbulkan suara yang sangat berisik.

Hwesio berwajah riang itu juga merupakan seorang jago yang

mengutamakan tenaga pukulan, karenanya begitu dia melihat Ti

Then berhasil pukul rubuh sebuah pohon sebesar itu dalam hati

segera sadar kalau kepandaiannya masih kalah jauh, tidak terasa

lagi air mukanya berubah sangat hebat, ujarnya sambil tertawa

kering,

“Suatu pukulan yang sangat bagus, tidak aneh kalau Ti sicu tidak

memandang sebelah mata pun kepada diri pinceng.”

“Thaysu, kamu masih tidak percayai omonganku?” Hwesio

berwajah riang itu tertawa dingin.

“Hemm. . . hemm. . pinceng hanya percaya kepandaian silat sicu

jauh berada di atas kepandaianku”

Sehabis berkata dia mengambil kembali tasbehnya yang

kemudian digantungkan pada dadanya kembali, sesudah itu putar

tubuh dan berlalu dari sana dengan langkah lebar.

Ti Then hanya bisa menghela napas perlahan dan berjalan

menaiki kuda tunggangannya kembali, dengan berdiam diri dia

menyalankan kudanya melanjutkan perjalanan.

Wi Lian In segera menarik tali les kudanya membiarkan

tunggangannya itu berjalan disisi Ti Then, ujarnya kemudian:

“Ti Toako Agaknya dia masih tidak percaya. Heei … kali ini

mungkin semakin repot lagi.”

“Tidak mengapa, pada suatu hari tentu aku berhasil menangkap

setan pengecut itu, asalkan berhasil menawan dia maka berita

bohong yang disiarkan pun tidak usah aku pergi jelaskan sendiri”

“Heei . . .” ujar Wi Lian In lagi sambil menghela napas panjang.

“Entah dia sekarang berada dimana”

“Mungkin dia bisa datang dengan sendirinya”

“Ciangbunyien dari siauw lim pay tidak sebodoh Hwesio berwajah

riang itu, mungkin dia mau percayai omonganmu”

Ti Then hanya tersenyum tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Hari itu menjelang malam mereka berdua sudah tiba di dalam

kota Ho Kiang sia untuk beristirahat, sesudah dahar malam di

penginapan masing-masing berpisah untuk beristirahat di dalam

kamarnya sendiri

Dikarenakan urusan yang terjadi pada siang harinya dalam hati Ti

Then sudah waspada, sebab itulah sesudah tidur hingga tengah

malam dia tidak berani tidur lagi, segera duduk bersemedi di atas

pembaringan.

Baru saja lewat kurang lebih setengah jam, urusan ternyata

terjadi juga.

“Plaaak. .” suara itu sangat perlahan sekali muncul dari atas atap

rumah, jika didengar suara itu agaknya ada orang yang sedang

berjalan di atas genteng memecahkan atap.

Dengan perlahan lahan Ti Then turun dari atas pembaringannya

kemudian membuka pintu kamar, sekali berkelebat tubuhnya

dengan sangat cepat berjumpalitan naik ke atas atap rumah.

Tapi . . di bawah sorotan sinar bintang yang remang-remang di

atas atap tidak terlihat sesosok bayangan manusia pun, tempat itu

kosong melompong dan sangat sunyi. Tak terasa dia menarik napas

panjang pikirannya.

“Hemm aku tidak akan salah dengar, gerakan orang itu sungguh

amat cepat.”

Sesudah memeriksa beberapa saat lamanya tetap tidak

menemukan hal yang mencurigakan terpaksa dia meloncat turun

lagi dan berjalan ke depan kamar Wi Lian In, dengan perlahan

diketuknya tiga kali.

Dia takut Wi Lian In tidur terlalu nyenyak sehingga memberi

kesempatan kepada pihak musuh sehingga dia pikir mau bangunkan

dia memberi peringatan supaya waspada. siapa tahu . . dari balik

pintu tidak terdengar suara sahutan dari Wi Lian In.

“Nona Wi ini tentu tertidur sangat nyenyak, kalau tidak waktu itu

juga tidak akan terjatuh ketangan setan pengecut itu.”

Berpikir sampai di situ dia mengetuk lagi sambil teriaknya keras.

“Nona Wi, bangun.”

Dari dalam kamar tetap tidak terdengar suara sahutan dari Wi

Lian In.

Orang yang berlatih ilmu silat tidak mungkin bisa berbuat begitu

Mendadak dia merasa keadaan tidak beres, dengan seluruh tenaga

didorongnya pintu itu, tidak sangka pintu itu tidak dikunci sama

sekali, begitu didorong pintu itu segera terpentang lebar. Hal ini

semakin membuat dia bertambah terkejut, sambil meloncat masuk

teriaknya.

“Nona Wi . . Nona Wi. .”

Di dalam kamar tidak disulut lampu, karenanya untuk sesaat dia

tidak tahu di atas pembaringan itu ada orangnya atau tidak.

Dia menanti sebentar tapi tidak terdengar suara Wi Lian In juga,

segera tahulah dia kalau urusan sudah terjadi, dengan cepat

dicarinya korek dan menyulut lampu dalam kamar itu.

Begitu lampu disulut keadaan di dalam kamar menjadi terang

benderang. Wi Lian In ternyata tidak berada di dalam kamar.

Selimut di atas pembaringan sudah dike sampingkan tapi tidak

terlihat tanda-tanda melawan, agaknya Wi Lian In diculik pergi

dalam kedaan tidur sangat nyenyak.

Ti Then merasa sangat terkejut bercampur gusar, sambil mend

epakkan kakinya ke atas tanah makinya:

“Bangsat cecunguk. Heeem. . . tidak melihat darah berceceran

agaknya mereka tidak puas.. ”

Dengan cepat dia putar tubuh siap meninggalkan tempat itu,

medadak dia menjadi tertegun dibuatnya, sambil berjalan kearah

pintu kamar dirobeknya secarik kertas. Kiranya kertas itu sejak

semula sudah ditempelkan orang di balik pintu kamar itu.

Pada kertas itu kira-kira tertuliskan demikian.

” Harap bawa kitab pusaka Ie Cin Keng untuk ditukar dengan

orangmu di luar kota dalam tanah pekuburan”.

Oooh . . kiranya orang yang menculik nona Wi Lian In bukan

setan Pengecut itu, sebaliknya orang lain ? siapa dia ???

Mentri Pintu serta Pembesar Jendela.??

Tidak mungkin, mereka tidak punya nyali sebegitu besar.

Apa mungkin Hwesio berwajah riang dari siauw lim Pay ??

Tapi . . dia merupakan seorang hwesio dari partai kenamaan,

bagaimana mungkin melakukan pekerjaan semacam ini ??

Hemmm tentu seorang manusia dari golongan Hek to yang

belum mau munculkan diri

Berpikir sampai di sini Ti Then tidak ragu-ragu lagi, dengan cepat

dia putar tubuh kembali ke dalam kamarnya, memakai pakaian luar

membawa buntaiannya, setelah meninggalkan uang perak dengan

tergesa-gesa meninggalkan rumah penginapan itu.

Pada siang harinya sewaktu bersama sama Wi Lian In masuk ke

dalam kota melalui pintu sebelah timur, “ditengah jalan memang

pernah menemui sebidang tanah pekuburan. Dalam hati dia tahu

orang yang meninggalkan surat itu tentu menunjuk tanah

pekuburan itu sebagai tempat pertemuan karenanya dengan cepat

dia berlari menuju kepintu kota sebelah timur.

Di dalam sekejap mata dia sudah berada di bawah tembok kota,

karena pintu kota yang sudah ditutup dengan cepat dia meloncat

naik tembok dan berlari keluar kota. Tidak lama dia sudah tiba di

tanah pekuburan itu Teriaknya dengan keras sesampainya di sana:

“Cayhe Ti Then sudah tiba menurut suratmu, hei kawan harap

munculkan dirimu.”

Ditengah malam buta berada ditengah tanah pekuburan yang

sangat menyeramkan keadaannya, jika bukannya seorang yang

bernyali besar tidak mungkin berani melakukan hal ini

Lewat sesaat kemudian dari empat penjuru tanah pekuburan itu

muncul empat sosok bayangan manusia yang berkelebat mendatang

dengan gerakan yang sangat ringan, lincah dan cepat.

Begitu Ti Then melihat munculnya empat orang sekaligus bahkan

jika ditinyau ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai pada taraf

kesempurnaan dalam hati terasa berdesir juga, pikirnya.

“Bagaimana bisa muncul sebegitu banyak orang. . Ehmmm. .

agak sukar untuk menghadapi mereka sekaligus. . . .”

Baru saja dia berpikir sampai di situ, keempat orang itu sudah

melayang datang. Ternyata mereka berempat juga merupakan

orang-orang yang berkerudung.

Dalam hati Ti Then tahu sebab-sebab mereka mengerudungi

wajah mereka, tak terasa sambil tertawa dingin ujarnya:

“Hemmm. . . manusia-manusia pengecut juga tidak berani

perlihatkan wajah aslinya, sungguh banyak terdapat di dalam dunia

kangouw saat ini”

Keempat orang berkerudung itu tidak mau perduli ejekannya itu,

seseorang yang berdiri ditengah membuka mulut secara mendadak,

ujarnya dengan dingin. “Barang itu sudah kau bawa?”

“Sudah aku bawa.” sahut Ti Then sambil mengangguk.

” Kalau begitu cepat serahkan”

“Aku mau menemui nona Wi dulu.”

“Dia sangat baik,” ujar manusia berkerudung itu. “sesudah kau

serahkan barang itu, kami segera lepaskan dia pulang.”

“Tidak. ” ujar Ti Then tetap pada pendiriannya. “Aku harus

melihat dulu nona Wi terluka atau tidak. sesudah itu baru serahkan

itu barang kepadamu. .”

“Kamu boleh berlega hati, kami belum punya alasan untuk

melukai dia.”

“Tidak bisa” sahut Ti Then kukuh pada pendiriannya “sebelum

aku bertemu dengan dia, barang itu tidak akan kuserahkan kepada

kalian.”

Agaknya orang berkerudung itu merasa sedikit keberatan,

sesudah termenung berpikir beberapa saat lamanya barulah

ujarnya:

“Dia tidak berada disekitar tempat ini, kami punya rencana

sesudah memperoleh barang itu baru lepaskan dia pulang. . . .”

Ketika Ti Then mendengar wi Lian In tidak berada disekitar

tempat ini segera dia mengambil suatu keputusan di dalam hatinya,

tanyanya kemudian.

” Kalian masih punya teman?”

“Tidak salah.” sahutnya sambil mengangguk.

” Kalian seharusnya membawa nona Wi kemari …”

“He he he . . . ” Potong orang berkerudung itu sambil tertawa

dingin. “Tapi kami kira jauh lebih aman jika menyembunyikan dia

ditempat yang lain.”

“Ha ha ha ha. . . . Kalian sudah melakukan suatu kesalaban yang

besar” ujar Ti Then sambil tertawa terbahak bahak “Jika kalian

membawa dia kemari mungkin karena takut kalian sakiti dia

terpaksa aku serahkan kitab pusaka Ie cin Keng itu kepada kalian. .

Tapi sekarang . . dia tdak berada disekitar tempat ini, jadi aku pun

tidak usah takut apa-apa lagi”

Perkataan itu begitu selesai diucapkan mendadak tubuhnya

bergerak ke depan dengan kecepatan luar biasa menyerang

musuhnya.

Agaknya orang berkerudung itu sama sekali tidak menduda kalau

Ti Then berani turun tangan menyerang dia, hatinya betul-betul

merasa sangat terkejut, dengan cepat dia mundur ke belakang

bersamaan waktunya pula pergelangan tangan kanannya membalik

siap cabut gedang menyambut datangnya serangan musuh.

Tapi baru saja pedangnya dicabut sampai tengah jalan, tubuhnya

baru saja mundur ke belakang itulah terasa suatu sinar pedang yang

sangat menyilaukan mata menyambar kearah pinggangnya.

Sinar pedang itu dengan cepat berkelebat sedang tubuh orang

berkerudung itu pun seperti tidak terkena serangan, tubuhnya

melanjutkan gerakannya mundur hingga sejauh lima enam tindak

baru berhenti. saat tubuhnya berhenti itulah mendadak tubuhnya

bagian atas dan bagian bawah rubuh dengan arah berlainan, darah

segar segera menyembur keluar bagaikan pancuran membuat

seluruh permukaan tanah basah oleh ceceran darah itu, kiranya

pinggang orang itu sudah tergotong hingga menjadi dua bagian.

Ketiga orang berkerudung lainnya juga menyoren pedang

panjang pada punggungnya, tetapi sejak munculkan diri ke dalam

dunia kangouw hingga saat ini belum pernah melihat serangan

pedang yang bisa dilakukan demikian cepatnya, begitu melihat

temannya sudah dibabat putus pinggangnya hanya di dalam sekejap

mata, tidak tertahan lagi saking terkejutnya mereka pada berdiri

melongo.

Pada saat tubuh orang berkerudung itu rubuh ke atas tanah

itulah tubuh Ti Then sudah berkelebat berdiri di hadapan seorang

berkerudung yang berdiri di sebelah kiri.

Orang berkerudung itu merasa sangat terperanyat, belum sempat

dia cabut pedang kaki kanannya dengan seluruh tenaga

melancarkan satu tendangan dahsyat ke arah perut Ti Then.

Sekali pun serangan tendangan ini dilancarkan di dalam keadaan

gugup tapi kekuatau dan kedahsyatannya luar biasa.

Bagaimana pun juga serangan pedang Ti Thenyauh lebih cepat

satu tindak dari serangannya itu, dengan satu jurus Hong sauw Lok

Jap atau angin bertiup menggugurkan daun suatu jeritan ngeri

segera berkumandang keluar dari mulutnya. Wajahnya sudab

berhasil terpapas separuh oleh serangan silat pedang Ti Then itu.

Sisanya dua orang berkerudung itu melihat kehebatan Ti Then

sukar ditahan bahkan hanya sedikit mengangkat tangan sudah

berhasil membunuh dua orang kawannya, tak terasa hatinya merasa

sangat jeri, kini mana berani maju untuk bergebrak lagi, masingmasing

segera putar tubuh melarikan diri dengan cepat-cepat.

Ti Then sejak semula sudah menduga kalau mereka akan

melarikan diri, karenanya begitu serangannya berhasil membunuh

orang berkerudung yang kedua tubuhnya sudah berputar ditengah

udara, bentaknya dengan keras: “Lihat pedang. .”

Pedang ditangan kanannya segera disambit ke depan dengan

cepat.

Kecepatan dari serangan ini sukar dibayangkan dengan

menggunakan kata-kata.

Kiranya orang berkerudung ketiga yang berdiri di sebelah

kanannya pada saat tubuhnya meloncat pergi itulah sudah tertusuk

oleh sambitan pedang Ti Then itu, pedangnya menembus dari

punggung hingga ulu hatinya dan muncul kembali pada dadanya,

terdengar dia menjerit ngeri dengan sangat keras, sesudah berlari

sempoyongan beberapa tindak tubuhnya segera rubuh di atas

sebuab kuburan yang besar, seketika itu juga menghembuskan

napasnya yang penghabisan.

Ti Then sesudah menyambitkan pedangnya itu tubuhnya tidak

berhenti begitu saja, sekali lagi dia meloncat ke depan tangannya

dipentangkan lebar-lebar, dengan jangat cepat mengejar kearah

orang berkerudung yang keempat.

Hanya cukup dua kali lompatan saja tubuhnya sudah berada

beberapa kaki di belakang tubuhnya.

Dengan dingin ujarnya:

“Hemmm . .jika ingin hidup lebih baik berhentilah dengan cepat.”

Ketika orang berkerudung keempat yang sedang melarikan diri

itu menoleh ke belakang melihat Ti Then sudah berada di belakang

tububnya tidak terasa kakinya terasa menjadi lemas, dengan cepat

dia menghentikan larinya dan jatuhkan diri berlutut di hadapan Ti

Then, ujarnya dengan sedikit merengek:

“Ti . . . Ti siauhiap harap . . harap jangan turun tangan jahat . .

turun tangan jahat kepadaku . . .”

” Cepat lepaskan kerudungmu terlebih dulu” Bentak Ti Then

dengan keras.

Dengan gugup orang ber kerudung itu melepaskan kain

kerudungnya sehingga terlihatlah selembar wajah yang sangat jelek

yang saat itu sudah berubah menjadi pucat pasi saking terkejutnya,

dengan tak henti-hentinya dia mengangguk anggukkan kepalanya.

Dengan pandangan tajam Ti Then memperhatikan terus

wajahnya, sesaat kemudian baru tanyanya.

“Ehmm . . . sepertinya aku pernah bertemu dengan kamu orang”

“Benar benar ? pada bulan Tiong ciu tahun yang lalu dijalanan

menuju ke Kwan Lok.”

“Oooh benar.” ujar Ti Then secara mendadak. “Kau adalah Lo

Nao dari Kwan si Ngo Koay yang disebut apa Hek . .”

“Benar, aku bernama Hek Pauw atau simacan kumbang hitam

Khie Hoat.”

” Ketiga orang itu apa saudaramu semua?”

“Benar, mereka adalah Jiko, samko, serta su ko . .”

“Dimana Toako kalian oh Lui si atau malaikat halilintar Khie

Ciauw ??”

“Dia … dia membawa nona Wi menunggu kami di dalam

kelenteng tanah ditengah kota.”

“Ehmm. . .” sahut Ti Then kemudian tanyanya lagi.

“Kalian dengar dari siapa kalau aku mendapatkan sejilid kitab

pusaka Ie Cin Keng”

“Aku dengar dari sinaga mega Hong Mong Ling yang bilang.”

sahut si macan kumbang hitam Khie Hoat sambil menundukkan

kepalanya rendah-rendah. “Dia bilang kamu sudah dapatkan sejilid

kitab pusaka Ie Cin Keng yang mau dipersembahkan untuk Pocu

dari Benteng Pek Kiam Po”

“Kalian bertemu dengan si naga mega Hong Mong Ling

dimana??”

“Disebuah kota keresidenan Tong Jlen sian, ratusan li di sebelah

selatan gunung Fan Cin san”

” Kapan ???”

“Sudah lima enam hari lalu”

“Hemmm. . hemmm” ujar Ti Then sambil tertawa dingin “Hanya

dikarenakan sejilid kitab pusaka Ie cin Keng,saja kalian berani turun

tangan menculik pergi none Wi, nyali kalian sungguh tidak kecil.”

Sembari terus menerus mengangguk anggukkan kepalanya ujar

Khie Hoat lagi dengan gemetar.

“Sebetulnya kami tidak berani melakukan hal itu, karena melihat

kepandaian silat dari Ti siau hiap sangat lihai terpaksa

melaksanakan pekerjaan dengan diam-diam sehingga . . . sehingga.

. . .”

“Ehmmm. . sekarang kamu orang merasa kitab pusaka Ie Cin

Keng lebih berharga atau nyawa saudara-saudara kalian yang lebih

berharga???”

“Sudah tentu nyawa lebih berharga. .. ” sahut simacan kumbang

hitam Khie hoat sambil melelehkan air mata.

“Heemm. . . Baiklah.” ujar Ti Then lagi “Kau rebahlah dulu

beberapa saat di tanah pekuburan ini, aku mau pergi ke kelenteng

tanah di dalam kota lihat-lihat dulu,jika nona Wi berada di sana

maka aku lepaskan satu jalan hidup bagimu, kalau tidak . . . Hmm

heemmm . . .”

-oo000oo-

Jilid : 10:1. Wi Lian In diculik lagi

Sehabis berkata dengan satu kali cengkeraman dia menyambak

rambutnya dan angkat seluruh tubuhnya ke atas, jari tangannya

dengan lincah tapi cepat bagaikan kilat menotok jalan darah

kakunya.

Itu Macan kumbang hitam Khie Hoat hanya bisa mendengus

dengan sangat berat, badannya seketika itu juga menjadi kaku.

Tangannya yang lain dari Ti Then tidak berhenti sampai di situ

saja, tubuhnya dengan segera didorong ke depan sehingga rubuh

terlentang di atas tanah, kemudian baru putar tubuh mencabut

kembali pedang panjangnya membersihkan bekas-bekas darah dan

masukkan kembali ke dalam sarungnya

Setelah semuanya selesai barulah dia berlari menuju ke dalam

kota Ho Kiang san. Tidak sampai sepertanak nasi dia sudah berada

kembali di dalam kota itu.

Saat ini waktu menunjukkan kurang lebih kentongan keempat,

sinar rembulan yang memancarkan sinar menerangi jagat pun

sudah lenyap dari pandangan, suasana di dalam kota gelap gulita

tidak terlihat sesosok bayangan manusia pun yang berlalu lalang

ditengah jalan, sampai penjual makanan dimalam hari pun sudah

tidak kelihatan batang hidungnya kembali.

Dia tidak tahu kelenteng tanah itu terletak dikota sebelah mana,

terpaksa dengan mengadu untung secara sembarangan mencari

diseluruh pelosok kota, akhirnya ditemui juga sebuah kelenteng

tanah di sebelah tengah kota tersebut.

Kelenteng tanah itu terletak dipusat kota, karena waktu yang

telah sangat lama keadaan diluaran dari kelenteng itu sudah tidak

karuan bentuknya, walau begitu lampu yang terdapat di dalam

ruangan dalam masih belum terpadamkan, di dalam kelenteng itu

masih terang benderang oleh sorotan sinar lampu.

Ti Then tidak berani secara langsung menerjang masuk ke dalam

kelenteng itu, karenanya secara diam-diam sesudah memeriksa

keadaan disekeiling tempat itu terlebih dulu, sejenak kemudian dia

merasa disekeliling kelenteng itu hanya di bawah meja

sembahyangan saja yang bisa digunakan untuk menyembunyikan

diri, atau dengan perkataan lain itu oh Lui sin atau Malaikat halilintar

Khie Ciawpasti membawa Wi Lian In bersembunyi di bawah kolong

meja sembahyangan tersebut. segera dia mengerahkan ilmu

meringankan tubuhnya dengan tanpa mengeluarkan sedikit suara

pun berjalan maju ke depan.

Selangkah demi selangkah dia berjalan ke depan meja

sembahyangan itu, dengan perlahan-lahan diangkatnya meja

sembahyangan tersebut kemudian secara mendadak dengan seluruh

tenaga di baliknya meja itu ke samping.

“Braak . . braaak . ” suara yang nyaring memecahkan kesunyian

yang mencekam dipagi hari buta itu, di bawah meja itu ternyata

tidak salah lagi muncul sesosok bayangan manusia yang rebah

terlentang di atas tanah.

Orang itu tidak lain adalah Lo-toa dari Kwan si Ngo Koay atau

lima manusia aneh dari daerah Kwan si, Malaikat halilintar Khie

Ciauw adanya.

Tetapi si Malaikat halilintar Khie Ciauw yang ditemuinya sekarang

ini terlentang di tanah tanpa bergerak sedikit pun juga, memang

dari mulutnya tidak henti-hentinya malah terlihat darah segar

mengalir keluar dengan derasnya. Dia sudah binasa ?

Sebetulnya Ti Then mau melancarkan serangan dahsyat

berusaha mencengkeram tubuhnya, tapi begitu dilihatnya keadaan

yang mengerikan dari mata malaikat halilintar Khi Ciauw itu tidak

terasa rasa terperanyatnya menjerit keras.

Ternyata si Malaikat halilintar Khie Ciauw sudah sudah menemui

kematiannya dengan rasa ngeri dan misterius sekali?

Hal ini memperlihatkan kalau ada orang yang mendahului dirinya

mengejar datang ke kelenteng tanah ini untuk membunuhnya

kemudian merebut pergi We Lian In.

Hal ini begitu berkelebat di dalam pikiran Ti Then segera

mengulurkan tangan memeriksa mayat dari Khie Ciauw.

Dirabanya mayat itu masih ada hawa hangat, dalam hati dia tahu

pembunuhnya meninggalkan tempat ini belum begitu lama, dengan

cepat dia putar tubuh dan meloncat naik ke atas atap kelenteng.

Dari atas memeriksa keadaan disekelilingnya.

Tapi . . . dengan ketajaman pandangannya tetap tidak

menemukan sesuatu yang mencurigakan.

Sekali lagi dia meloncat masuk ke dalam kelenteng tanah dan

memeriksa dengan sangat teliti keadaan disekeliling tempat itu

apakah pembunuhnya meninggalkan surat atau tidak, tapi sekali

pun sudah dicari ubek-ubekan selama setengah harian jejaknya pun

tidak tampak, hatinya tidak tertahan lagi menjadi sangat cemas.

Terpikir olehnya kalau orang yang membunuh mati Khie Ciauw

dan merebut pergi Wi Lian In bertujuan atas kitab pusaka Ie Cin

Kengnya maka orang itu pasti akan meninggalkan surat baginya

untuk berjanyi bertemu di suatu tempat, tapi sampai sekarang

tanda-tanda ditinggalkannya surat sama sekali tidak tampak, hal ini

memperlihatkan kalau tujuan orang itu tidak terletak pada kitab Ie

Cin Keng tersebut melainkan pada Wi Lian In sendiri

Dengan perkataan lain orang itu kalau bukannya si setan

pengecut tentu perbuatan dari Hong Mong Ling.

Jika dugaannya ini tidak meleset maka akibat yang diderita Wi

Liau In akan jauh berada diluar dugaannya karena Hong Mong Ling

pernah berkata, “Barang yang tidak bisa aku dapati tidak akan

membiarkan barang itu didapatkan orang lain.” Kali ini napsu

binatangnya tentu akan diumbarkan ke tubuh Wi Lian In.

memperkosa dirinya kemudian membunuh mati. ..

Semakin berpikir dia semakin takut, dengan cepat tubuhnya

berkelebat menuju kearah utara.

Dia memilih lari ke arah utara karena punya alasan yang kuat,

ketiga arah lainnya tidak mungkin di tempuh oleh orang itu untuk

melarikan dirinya. Arah Timur pasti melewati gunung Fan cin san,

orang itu pasti melihat sendiri dan menduga banyak jago-jago Bulim

yang sedang berangkat menuju kegunung Fan cin san untuk

memperebutkan kitab pusaka Ie Cin Keng itu, karenanya tidak

mungkin dia mau ambil arah tersebut..

Arah selatan merupakan jalan yang dilalui Ti Then untuk

memasuki ke dalam kota, orang itu tidak mungkin berani

menempuh bahaya bertemu dengan dirinya.

Sedang arah barat merupakan jalan menuju ke benteng Pek

Kiam Po, di daerah gunung Go bi, sudah tentu orang itu tidak akan

mau masuk ke dalam perangkap, karena itulah dia berani pastikan

orang yang menculik Wi Lian In itu tentu melarikan diri

menggunakan arah utara.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang dimilikinya bagaikan

kilat cepatnya dia mengejar ke arah utara, di dalam sekejap saja

kota Ho Kiang sian sudah di lalui, dengan mengikutijalan raya dia

terus mengejar ke depan.

Tidak terasa lagi tiga puluh li sudah dilalui dengan cepat tetapi

sampai waktu itu tetap tidak didapatkanjejak apa pun, sedang cuaca

pun mulai terang kembali.

Langkah kakinya semakin lama semakin perlahan, akhirnya dia

menyatuhkan tubuhnya beristirahat di bawah sebuah pohon besar,

tak henti-hentinya dia menghela napas panjang.

Bagaimana?

Jika tidak berhasil menolong Wi Lian In kembali, dirinya mana

punya muka untuk kembali ke dalam Benteng Pek Kiam Po lagi?

Jika tidak untung Wi Lian In menemui kematiannya ditangan

Hong Mong Ling, dirinya sudah tentu berhasil meloloskan diri dari

kesukaran tapi . . . soal ini sebetulnya mendatangkan keuntungan

atau bencana bagi dirinya sendiri?

Majikan patung emas perintahkan dirinya kawin dengan dia

sudah tentu dia punya suatu maksud tertentu, jika misalnya dia

binasa apakah Majikan patung emas mau berhenti dengan begitu

saja?

Tidak mungkin, dia pasti berubah membuat rencana baru lagi,

kemudian perintahkan dirinya pergi melakukan suatu pekerjaan

yang baru, sedang pekerjaan baru itu kemungkinan sekali

merupakan pekerjaan yang jauh lebih sulit dari pekerjaan untuk

mengawini Wi Lian In.

oooo0oooo

“Su heng, aku menanti kamu orang di sini saja, ditengah jalan

kamu harus berhati-hati.”

“Ha ha ha ha . . Jangan kuatir, sekali pun sudah bertemu dengan

dia Lohu mau lihat dia bisa berbuat apa terhadap diri Lohu.”

Sedang dia berpikir keras mendadak suara bercakapnya manusia

memecahkan kesunyian yang mencekam dipagi hari itu, suara itu

berkumandang datang dari gundukan tanah di belakang pohonnya

itu.

Dengan cepat dia menoleh ke belakang, terlihatlah di atas bukit

kecil berpuluh-puluh kaki dari tempatnya sedang ada sesosok

bayangan manusia yang berlari menuruni bukit itu.

Orang itu usianya diantara enampuluh tahunan, pada badannya

memakai baju berwarna hijau pada tangannya mencekal sebuah

tongkat berkepala ular, gerakannya sangat gesit dan lincah dengan

kecepatan yang luar biasa dia melayang turun dari bukit kecil itu

kemudian berlari menuju kearah kota Hoa Kiang sian.

Begitu Ti Then melihat wajah dari kakek tua berbaju hijau itu

tidak tertahan lagi hatinya berdebar sangat keras, pikirnya terkejut:

“Aaah . . . bukankah dia majikan ular Yu Toa Hay adanya??”

Majikan ular Yu Toa Hay merupakan jagoan berkepandaian tinggi

yang sangat terkenal dari kalangan Hek to, kepandaian silat yang

dimiliki bukan saja sangat tinggi sukar diukur bahkan gemar

memelihara bermacam macam ular yang berbisa, dimana saja dia

pergi kawanan ularnya tentu dibawa serta sehingga begitu bertemu

dengan musuh tangguh segera dia akan perintahkan ular-ular

beracunnya menyerang pihak musuhnya itu, karena itulah di dalam

kalangan Bu lim dia terkenal sebagai seorang iblis yang paling

ditakuti oleh setiap orang.

Dia .. . secara mendadak kenapa bisa munculkan dirinya di sini ??

siapa orang yang berjalan sama sama dengan dia itu ?? Dengan

sendirian dia pergi kekota Hoa Koa san.

Beberapa pertanyaan ini bagaikan kilat cepatnya berkelebat di

dalam benak Ti Then, dengan tanpa disadari lagi pikirannya teringat

kembali orang yang membunuh mati si Malaikat halilintar Khie

Ciauw kemudian menculik pergi Wi Lian In, apakah orang itu

kemungkinan sekali perbuatan dari ini majikan ular Yu Toa Hay?

semangatnya menjadi bangkit kembali, sesudah dilihatnya bayangan

tubuh majikan ular Yu Toa Hay hilang dari pandangan barulah

dengan perlahan lahan dia bangkit, setelah melingkari beberapa

lingkaran bukit itu barulah dia berjalan menaiki bukit kecil tersebut.

Di atas bukit itu muncul suatu hutan bambu yang sangat lebat

sekali.

Dia dengan tenangnya menaiki bukit itu kemudian berjalan

masuk ke dalam hutan bambu, selangkah demi selangkah maju ke

depan dengan perlahan sekali.

Baru saja berjalan beberapa kaki mendadak dari empat penjuru

terdengarlah suara desisan ular yang sangat ramai sekali, dengan

cepat dia tundukan kepalanya memandang terlihatlah ada berpuluh

puluh ular beracun sedang menyusup kearahnya dengan sangat

cepat sekali.

Ular itu adalah ular berekor hijau yang sangat beracun sekali.

Ti Then menjadi sangat terkejut sekali, dia tahu dugaannya kalau

orang itu tidak lain adalah majikan ular Yu Toa Hay sedikit pun tidak

salah, segera tubuhnya melayang ke atas ujung bambu

menghindarkan diri dari serangan kawanan ular beracun itu,

kemudian dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya

melanjutkan berjalan kearah depan.

Agaknya Majikan ular Yu Toa Hay itu sudah membentuk barisan

ular disekeliling bukit itu, semakin berjalan ke depan ular-ular

beracun yang terlihat pun semakin banyak. Ular-ular itu dengan

bebasnya bergerak dan menyusup diantara hutan bambu itu cukup

sekali pandang saja bisa menduga jumlahnya di atas ratusan ekor.

Diantara ular-ular beracun itu ada beberapa ekor merupakan ular

Pek tok coa yang agaknya pernah mendapatkan latihan khusus,

begitu melihat Ti Then berjalan diantara ujung-ujung bambu

ternyata dengan cepat mengejar di belakangnya, lidahnya dijilat-jilat

keluar agaknya hendak menerkam mangsanya.

Dengan tergesa-gesa Ti Then mencabut keluar pedangnya untuk

melindungi badannya, berjalan puluhan kaki lagi mendadak dari

tengah hutan bambu itu berkumandang keluar suara jeritan keras

dari seorang gadis sambil ujarnya.

“Bangsat tua, aku harus bicara bagaimana hingga kamu orang

mau percaya?”

Mendengar suara itu Ti Then menjadi terkejut, karena suara itu

tidak lain berasal dari suara Wi Lian In.

Dalam keadaan yang sangat girang diam-diam pikir Ti Then

dalam hati:

“Oooh Thian terima kasih atas bantuanmu, akhirnya aku

dapatkan dia kembali. Tapi entah siapakah bangsat tua itu . . .”

Ketika dia berpikir sampai di situ terdengar suatu suara yang

sangat tua dan serak menyahut dengan gusar.

“Jangan berteriak lagi, tidak perduli kamu orang mau bicara apa

pun Lohu tidak akan percaya.”

“Hmmm…” terdengar suara dengusan yang sangat dingin dari Wi

Lian In. “Aku beritahu padamu, kepandaian silat dia tidak di bawah

kepandaian ayahku, jika nanti dia datang kalian tidak lebih hanya

ada satu jalan kematian saja yang bakal kalian terima.”

“He he he he kepandaian silatnya memang sangat tinggi sekali,

tapi.. .jika dia tidak mau serahkan itu kitab pusaka Ie cia Keng

kepada kami. Hm hmm.. yang menemui kematian ini hari bukan kita

tapi dia.”

Wi Lian In tertawa dingin tak henti-hentinya:

“Kamu kira kalau bisa bekerja sama dengan bangsat tua she Yu

itu lalu bisa berhasil bunuh mati dia?Hmmm jangan mimpi disiang

hari bolong.”

“Sekali pun tidak bisa.” sahut kakek tua itu sambil tertawa

terbahak bahak “tapi kita masih punya satu senyata ampuh, heee

heee …”

“Senyata ampuh macam apa?”

“Barisan selaksa ular…”

“Aaaah…”

“Majikan ular sudah atur barisan selaksa ularnya disekeliling bukit

ini, nanti jika bangsat cilik Ti Then masuk ke dalam barisan asalkan

dia tidak mau serahkan itu kitab pusaka Ie cin Keng kepada kami….

Hmmm, cukup majikan ular meniup serulingnya maka walau pun

kepandaian silat yang dimilikinya sangat tinggi tetap akan berubah

menjadi tulang-tulang putih yang bertumpuk di sini.”

Agaknya Wi Lian In dibuat ketakutan oleh perkataannya ini

sehingga tidak mengucapkan kata-kata lagi.

Ti Then yang bersembunyi diujung bambu begitu mendengar

Barisan selaksa Ular…. tiga kata tidak tertahan lagi hatinya terasa

bergidik, diam-diam pikirnya:

“Untung itu majikan ular sudah pergi kekota cari aku, kalau tidak

asaikan dia menggerakkan barisan selaksa ularnya ini. Haai…. entah

bagaimana jadinya”

Ti Then tidak berani berlaku ayal lagi, pedang panjang

ditangannya segera digerakkan.. “Sreeet….” dengan satu kali

tebasan dia memutuskan beberapa batang bambu yang lembut

kemudian dengan sangat ringan melayang beberapa kaki dari

tempat semula.

Ditengah suara bentakan yang sangat keras sesosok bayangan

manusia dengan kecepatan yang luar biasa menerjang datang dari

tengah sebuah hutan bambu kira-kira tujuh kaki dari tempatnya

berdiri sekarang ini.

Orang ini merupakan seorang kakek tua yang usianya juga

berada di atas enam puluh tahunan, pada tubuhnya memakai

pakaian berwarna abu-abu, pada tangannya mencekal sebuah

tongkat besi yang berat, satu satunya ciri yang berbeda dengan

majikan ular adalah dia merupakan seorang kakek jelek yang

bongkok badannya bahkan kepalanya kecil mulutnya pun kecil.

Bentuknya mirip sekali dengan seekor kura-kura yang sedang berdiri

Dengan kecepatan yang luar biasa dia meloncat naik ke atas

ujung bambu, tongkat besinya disilangkan di depan dadanya

melindungi tubuh matanya dengan tajam memeriksa keadaan

disekeliling tempat itu tapi begitu dilihatnya ditempat itu tidak

terdapat sesosok bayangan manusia pun tidak terasa air mukanya

berubah tertegun, gumamnya seorang diri

“Urusan aneh, urusan aneh, apa mungkin ular-ular beracun dari

Yu beng sedang berkelahi???”

Kiranya sewaktu dia meloncat naik ke ujung bambu, Ti Then

dengan meminyam kesempatan ini sudah meloncat turun ke

permukaan tanah, karenanya dia hanya melihat beberapa batang

bambu sedang bergoyang dengan tidak henti-hentinya.

Begitu Ti Then mencapai pada permukaan tanah dengan

menggunakan kecepatan yang paling luar biasa berkelebat kearah di

mana Wi Lian In berada.

Di bawah hutan bambu itu sebetulnya terdapat banyak sekali

ular-ular beracun yang bergerak, tapi dikarenakan gerakannya yang

terlalu cepat maka tidak ada seekor ular pun yang berhasil

menggigit badannya, bahkan diantara ular-ular itu ada beberapa

yang berhasil diinyak sampai mati.

Sebaliknya dikarenakan gerakannya yang terlalu cepat, suara

yang dikeluarkan dari sambaran angin yang mengenai bajunya pun

semakin keras, kakek tua bongkok yang berdiri di atas ujung bambu

segera merasakan akan hal ini, sambil membentak keras tubuhnya

dengan cepat menubruk kearahnya-

Pedang panjang Ti Then sekali lagi membabat putus bambubambu

kecil di depannya sehingga bambu itu rubuh kearah kakek

tua itu, di dalam sekejap saja tubuhnya sudah menubruk hingga

depan wi Lian In.

Saat ini sepasang tangan Wi Lian In diikat ke belakang dan

duduk bersandar di bawah batang bambu yang besar, begitu

dilihatnya Ti Then muncul di sana saking girangnya dia berteriak:

“Ti Toako cepat tolong aku”

Baru saja Ti Then mengangkat tubuhnya bangun mendadak

segulung angin serangan yang sangat santar menyerang

punggungnya dengan amat dahsyat, terpaksa dia melepaskan

kembali tubuh Wi Lian In, tubuhnya diputar pedang panjangnya

dengan hebat menusuk ke depan. “Triiing..”

Pedang panjangnya sekali lagi terbentur dengan tongkat besi

kakek bongkok itu sehingga percikan bunga api berkelebat

memenuhi angkasa.

Tubuh kakek bongkok itu seperti terkena serangan berat,

tubuhnya yang semula menubruk ke depan seketika itu juga rubuh

terjengkang ke belakang.

Tapi tubuhnya memang sangat lincah dan gesit sekali, dengan

cepat dia bersalto beberapa kali ditengah udara kemudian dengan

sangat ringan melayang turun ke permukaan tanah.

Ti Then tidak ambil kesempatan itu menyerang kembali, dengan

melintangkan pedangnya di depan dada dia berdiri di depan wi Lian

In, tanyanya dengan perlahan. “Nona Wi, siapa kura-kura tua ini ??”

Saat itu Wi Lian In merasa sangat girang bercampur tegang,

sahutnya dengan tergesa segera:

“Omonganmu tidak salah, dia memang seorang kura-kura tua …

bernama Kui su atau Kakek kura-kura Phu Tong seng.”

Diam-diam Ti Then menarik napas panjang, sambil memandang

tajam kearah kakek Kura-Kura itu ujarnya dengan dingin.

“Kiranya kamu adalah itu kakek Kura-Kura Phu Tong seng,

selamat bertemu, selamat bertemu. .”

Kedudukan kakek kura-kura Phu Tong seng ini di dalam kalangan

hek to tidak di bawah Majikan ular Yu Toa Hay, dia pun merupakan

seorang manusia bahaya yang punya sifat ganas dan sangat kejam,

di dalam dunia kangouw dia bersama dengan Majikan ular Yu Toa

Hay disebut sebagai Bulim Ji Koay atau dua manusia aneh dalam Bu

lim.

Di dalam Bu lim masih ada satu perkataan lagi yang sangat

terkenal sekali yaitu. ” Lebih baik bertemu Majikan ular daripada

bertemu Kakek kura kura…. karena begitu Kura-Kura menggigit

manusia tidak akan melepaskannya kembali begitu juga dengan

sifatnya, kecuali orang yang bertemu dengan dia memiliki

kepandaian silat yang lebih tinggi dari dirinya, kalau tidak orang

yang berani mengusik dirinya jangan harap nyawanya bisa selamat.

Sejak lama Ti Then sudah mendengar nama besarnya ini, dalam

hati diam-diam merasa sangat girang dan untung sekali karena jika

bukannya Majikan patung emas sudah menurunkan ilmu silatnya

yang sangat lihay jika sampai bertemu dengan manusia jahanam

yang demikian ganasnya sekali pun pingin mengundurkan diri belum

tentu bisa terlaksana dengan sangat mudah.

Tetapi sekarang pihak yang merasa takut adalah kakek Kura-Kura

Phu Tong seng.

Sewaktu tongkat besinya tadi bentrok dengan pedang panjang Ti

Then, secara diam-diam dia sudah mengerahkan tenaganya sebesar

tujuh bagian tapi malah tergeser mundur sejauh satu kaki oleh

tenaga pantulan yang dilancarkan Ti Then, peristiwa ini merupakan

satu peristiwa hebat yang untuk pertama kalinya dirasakan sejak dia

menerjunkan dirinya ke dalam dunia kangouw.

Dengan air muka yang penuh perasaan kaget bercampur ragu,

dia memandang melotot kearah Ti Then, beberapa saat kemudian

barulah ujarnya dengan perlahan: “Hei bangsat cilik. Kamu orang

sudah bunuh mati Majikan ular Yu Toa Hay ???”

“Belum” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

Agaknya kakek Kura-Kura Phu Tong seng sama sekali tidak bisa

terpikirkan bagaimana Ti Then bisa tiba ditempat itu sedemikian

cepatnya, karenanya tanyanya lagi: “Kalau begitu dia berada

dimana?” Ti Then tersenyum.

“Bukankah dia pergi kekota Ho Kiang sian cari aku?”

“Ooh …. kiranya kau menemukan tempat ini dengan sendirinya,

bagaimana kamu bisa tahu kalau kami berada di sini?”

” Itu Malaikat halilintar Khie Ciauw yang beritahu padaku.”

“Apa?” ujar kakek Kura-Kura setengah melengak. “Dia belum

mati?”

“Sudah mati sangat lama.”

Kakek kura-kura itu melengak lagi: “Tadi kamu bilang . .”

“Tidak salah. .” sambung Ti Then dengan cepat. “Sewaktu aku

mencari dia di dalam kelenteng tanah itu dia sudah binasa.”

Semakin mendengar perkataan Ti Then ini si kakek kura-kura

semakin menjadi bingung, ujarnya.

“Kalau memangnya begitu, bagaimana dia bisa beritahu padamu

kalau kami berada di sini??”

“Sukmanya belum buyar, karena merasa benci kepada kalian, dia

sudah munculkan dirinya kembali untuk beritahukan tempat

persembunyian kalian kepadaku.”

“Omong kosong” Bentak kakek kura-kura itu, sedang air

mukanya berubah sangat hebat. “Selama hidup lohu bunuh orang

sampai tidak bisa dihitung jumlahnya, tapi sekali pun belum pernah

melihat sukma orang mati bisa muncul lagi. .”

“He he he he… kali ini dia munculkan diri untuk beritahu padaku

tempat persembunyian kalian, hal ini membuktikan kalau kejahatan

yang kalian kerjakan sudah terlalu banyak, sehingga saat kematian

kalian sudah hampir tiba.” sehabis berkata dia angkat pedangnya

mendesak kearahnya.

Kakek kura-kura itu segera merendahkan tubuhnya memperkuat

kuda-kudanya, sambil tertawa terkekeh kekeh ujarnya:

“Hee heee …- jangan keburu senang dulu, belum tentu siapa

yang akan binasa hari ini, coba kamu lihat ular-ular beracun yang

berada di atas tanah itu, Heee heee… mereka bisa menghabiskan

badan seorang manusia hidup-hidup.”

Tak henti-hentinya Ti Then terus mendesak ke arahnya, sambil

tersenyum-senyum sahutnya.

“Tentang hal ini aku bisa percaya, tapi itu majikannya ular-ular

tidak berada di sini, tanpa ada seruling iblisnya ular-ular beracun ini

tidak akan menyerang orang.”

Mendadak kakek kura-kura itu melayang sejauh beberapa kaki

dari tempat semula dan berdiri di atas ujung bambu, dari dalam

sakunya dia mengambil keluar sebuah seruling bambu, ujarnya

sambil tertawa lebar. “Coba kamu lihat, barang apa ini”

Ti Then menjadi tertegun begitu melihat seruling itu, tanyanya

cepat. “Barang itukah seruling iblis dari majikan ular?”

“Tidak salah.”

“Bagaimana Majikan Ular bisa serahkan seruling iblisnya

kepadamu?”

“Dia takut ada orang orang Bu lim lainnya yang datang merebut

budak itu sehingga dia atur barisan selaksa ular ini kemudian

serahkan seruling iblisnya kepada lohu.” Berbicara sampai di sini dia

melintangkan serulingnya di bawah bibirnya siap ditiupnya.

“Kamu orang sungguh teramat bodoh” ujar Ti Then sambil

tersenyum senyum. ” Hanya ular-ular berbisa seperti itu mana bisa

lukai aku orang ??”

“Hmmm.. hmmm.. mungkin tidak bisa lukai kamu orang, tapi

budak itu tak mungkin bisa lolos dari bencana ini”

“Tahukah kamu dia adalah putri dari Pek Kiam Pocu ???”

“Tahu..”

“Kamu orang mengandalkan apa sehingga tidak takut padu Wi

Pocu?”

“Hee heeee…..”sahut kakek kura-kura itu sambil tertawa dingin.

“Asalkan lohu dengan Majikan ular berhasil memperoleh kitab

pusaka Ie Cin Keng itu tidak sampai butuhkan waktu satu tahun

tentu sudah berhasil melatih suatu ilmu silat yang sangat dahsyat

sekali, saat itu jangan dikata Wi Ci To sekali pun si kakek Pemalas

Kay Kong Beng kami juga tidak akan takut.”

“Jangan mimpi yang muluk muluk, pikir dulu urusan yang berada

di depan matamu sekarang. Kamu orang tidak mungkin bisa

loloskan diri dari pedang naga emasnya Wi Pocu … coba kamu toleh

ke belakang lihat siapa yang sudah datang itu?”

Kakek kura-kura itu berubah sangat hebat sekali wajahnya, dia

mengira Wi Ci To sungguh-sungguh sudah menyusup hingga

belakang tubuhnya, dengan cepat kepalanya ditoleh ke belakang

untuk melihat sedang tongkat besinya bersamaan waktunya

menyambar kearah belakang.

Tetapi dengan cepat dia sudah merasa kalau dia terkena

pancingan pihak musuhnya, ketika dia sadar kembali saat itu Ti

Then dengan mengacungkan pedang panjangnya sudah menubruk

datang ke depan tubuhnya.

Kakek kura-kura sebagai seorang jago di dalam kalangan Hek to

yang memiliki kepandaian sangat tinggi, saat ini tidak menjadi

gugup dengan cepat dia merasa kalau di belakangnya ada orang

yang sedang menyerang kearahnya dengan cepat tubuhnya

berputar, tongkat besi ditangannya dengan tidak mengubah jurus

serangannya. “sreeet …” dengan santarnya menyapu tubuh Ti

Then.

Ti Then dengan cepat mengerahkan tenaga murni ketangannya,

pedangnya dengan cepat menyambut datangnya serangan itu.

“Criiing .. .” pedang serta tongkat besi sekali lagi terbentur satu

sama lainnya, kedua orang itu agaknya sudah mendapatkan getaran

yang sangat keras sekali, tubuh kakek kura-kura melayang kearah

sebelah kanan sedang tubuh Ti Then terpental kearah sebelah kiri,

begitu mencapai permukaan tanah masing-masing mundur lagi

beberapa langkah ke belakang.

Ular-ular beracun yang berada disekeliling tempat itu menjadi

sangat terkejut, untuk beberapa saat lamanya mereka tidak bisa

membedakan yang mana musuhnya yang mana kawannya,

bersamaan waktunya mematuk kearah dua orang itu.

Kakek kura-kura dengan gusarnya memaki, tongkat besinya

dengan cepat menyapu menyingkirkan ular-ular beracun itu,

kemudian tubuhnya meloncat ke atas melayang ketempat kejauhan.

Dia punya niat untuk lari ketempat agak kejauhan dari sana

kemudian meniup seruling iblisnya untuk memerintahkan ular-ular

beracun itu menyerang kearah Ti Then beserta Wi Lian in, karena

hanya menghindarkan diri dari Ti Then sejauh mungkin dia baru

punya kesempatan untuk membunyikan seruling iblis tersebut.

Ti Then mana mau membiarkan dia meniup seruling iblis itu,

sambil membentak keras, ujung kakinya dengan cepat menutul

permukaan tanah mengejar kearahnya.

Gerakannya kali ini seperti anak panah yang terlepas dari

busurnya, di dalam sekejap saja sudah mengejar dekat tubuh kakek

kura kura itu, pedang panjangnya segera digetarkan mengancam

punggung kakek kura kura tersebut.

Kakek kura kura begitu melihat kesempatan untuk melarikan diri

digagalkan kembali oleh Ti Then hatinya menjadi teramat gusar,

dengan cepat dia putar tubuhnya menyambut datangnya serangan

tersebut.

Demikianlah satu muda yang lain tua dengan dahsyatnya

bertempur ditengah hutan bambu itu.

Karena ular beracun yang berada di dalam hutan bambu itu

semakin lama semakin banyak-maka kedua orang itu sambil

bertempur sembari berjaga jaga terhadap serangan ular ular

beracun itu, situasinya dengan sendirnya semakin bahaya lagi.

Setelah lewat kurang lebih tiga puluh jurus lebih makin lama

kakek kura kura itu terdesak hingga berada di bawah angin, tapi

bagaimana pun juga dia mem punyai pengalaman yang sangat luas

di dalam dunia kangouw begitu melihat dirinya sukar untuk merebut

kemenangan, dia tidak mau meneruskan pertempuran itu, tubuhnya

mendadak meloncat ketengah udara kemudian berjumpalitan dan

melayang ke atas ujung bambu, dari sana dengan kecepatan yang

luar biasa melarikan diri

Dengan cepat Ti Then meloncat ke atas mengejar, bentaknya

dengan keras-

“Hey kura-kura tua tinggalkan seruling iblis itu, kalau tidak

hmm…. hmmm… .jangan coba coba melarikan diri”

Kakek kura kura itu pura pura tidak mendengar, tubuhnya

bagaikan terbang cepatnya meloncat dan melayang kearah depan.

Ti Then menjadi teramat gusar, bentaknya lagi. “Baiklah. aku harus

bunuh kamu kura-kura tua agaknya.”

Baru saja dia siap dari mengejar ke arahnya mendadak dari

dalam hutan terdengar suara jeritan kaget dari Wi Lian In.

“Aduh …. Ti Toako cepat kemari, ada seekor ular berbisa

merambat kemari. .”

Mendengar perkataan itu Ti Then menjadi sangat terkejut sekali,

tanpa perduli kakek kura kura itu lagi dengan cepat putar tubuh

berkelebat kearah dimana Wi Lian In berada, terlihatlah seekor ular

beracun yang sangat besar sedang merambat mendekati tubuh Wi

Lian In, lidahnya dijulur-julurkan ke depan siap menggigit

mangsanya, dengan cepat tubuhnya melayang ke depan sedang

pedang panjangnya disambar dengan hebatnya.

“Sreeett” kepala ular itu segera tertabas hingga lepas dari

tubuhnya, sedang tubuh ular itu segera melingkar dan rubuh tidak

berkutik lagi.

Setelah itu barulah Ti Then memutuskan tali-tali pengikat

tubuhnya, dengan cemas tanyanya:

“Mereka menotok jalan darahmu tidak ??”

“Benar” sahutnya perlahan, ” Kura- kura tua itu menotok jalan

darah .., Aduh, awas belakangmu.”

Pedang panjang Ti Then dengan cepat membabat ke belakang,

seekor ular beracun segera menggeletak tidak bernyawa lagi

tanyanya kemudian: “Jalan darah apa yang sudah tertotok??”

“Jalan darah kaku”

Telapak tangan Ti Then dengan cepat menepuk kearah

pinggangnya, kemudian menarik dia berdiri

“Cepat jalan, kura-kura tua itu mau meniup seruling iblisnya.”

Perkataannya baru saja diucapkan, dari tempat kejauhan

terdengarlah suara irama seruling yang ditiup secara samar samar

berkumandang kemari.

Semula irama dari seruling itu halus dan enak didengar, tapi lama

kelamaan bertambah cepat sehingga akhirnya cepat sekali bagaikan

sedang mengirim perintah untuk melancarkan serangan.

Suara irama seruling itu kini berubah menjadi tinggi melengking

memekikkan telinga, ular-ular beracun yang berada di tengah hutan

bambu itu kelihatan mulai mengangkat kepalanya masing-masing,

bagaikan bergeraknya berjuta juta ekor kuda mereka bersama-sama

bergerak maju ke depan.

Ular ular beracun yang semula rebah di sekeliling tubuh Wi Lian

In pun seketika itu juga bagaikan kilat cepatnya menyusup dan

menerjang ke depan dengan dahsyatnya.

Pedang panjang Ti Then segera diputar sedemikian rupa

membunuh mati ular ular beracun yang mendekati kearahnya,

teriaknya dengan keras. ” Cepat lari… cepat lari…”

Wi Lian In yang diteriaki seperti itu saking cemasnya hampir

hampir menangis dibuatnya.

“Tidak bisa.” Teriaknya keras. “Darah di dalam badanku belum

lancar kembali, aku tidak bisa lari.”

Ti Then tidak bisa berbuat apa apa lagi, terpaksa dia ulur

tangannya memeluk pinggangnya yang langsing kecil menggiurkan

itu, tubuhnya dengan cepat menyejak tanah dan melayang ke atas

ujung bambu.

Walau pun ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sangat

tinggi tetapi untuk bergerak dan melayang terus di atas ujung

bambu sambil menggendong sesosok tubuh manusia tidak mungkin

bisa bertahan lama, dengan paksakan diri sesudah melayang sejauh

tiga empat kaki jauhnya tubuhnya sekali lagi tertekan ke bawah.

Tubuhnya belum saja melayang mencapai permukaan tanah ada

berpuluh puluh ekor ular beracun segera menerjang datang dengan

cepatnya.

Saking terkejutnya Wi Lian In menjerit keras dan menutup

matanya tidak berani melihat lagi, dia mengira kali ini kematiannya

sudah menjelang datang, pada saat dia memejamkan matanya

itulah pada telinganya terdengar suara samberan angin pedang

yang sangat keras, tubuhnya sekali lagi dibawa melayang ke atas-

Kiranya sesudah Ti Then membunuh mati berpuluh-puluh ekor

ular beracun itu sekali lagi dia menggendong badan Wi Lian In ke

atas ujung bambu.

Tapi sesudah menerjang kurang lebih tiga empat kaki lagi,

tenaga murninya buyar kembali sehingga tubuhnya tanpa bisa

ditahan melayang ke bawah lagi.

Kali ini ular-ular beracun yang menyerang kearahnya semakin

banyak, dari jumlahnya yang tadi bagaikan kilat cepatnya ular-ular

itu menyusup datang dari empat penjuru.

Pedang Ti Then diputar bagaikan naga sakti melindungi seluruh

tubuhnya, satu demi satu dia bunuh habis berpuluh puluh ekor ular

beracun itu, siapa tahu baru saja tubuhnya mau meloncat naik

untuk ketiga kalinya mendadak kaki sebelah kirinya terasa sangat

sakit, hatinya menjadi sangat terkejut, ujarnya dengan perlahan:

“Nona Wi, kamu bisa lari sendiri belum saat ini ???”

“Mungkin sudah bisa.”

Ti Then segera meletakkan dirinya ke atas tanah, kemudian

menyerahkan pedang panjang itu ketangannya, sambil menunjuk

kearah sebelah barat ujarnya.

“Lari ke sebelah sana, sesudah lari kurang lebih dua puluh kaki

jauhnya kamu sudah lolos dari bahaya ini.”

“Kamu?? ” tanya Wi Lian In melengak.

“Sudah tentu aku juga akan lari.”

“Oooh…”

Dengan cepat dia meloncat ke depan melewati kurang lebih tiga

kaki tingginya setelah tubuhnya melayang turun kepermukaan tanah

pedang panjangnya tak henti-hentinya digerakkan membunuh ularular

beracun itu, sekali lagi badannya melayang setindak demi

setindak, sedepa demi sedepa dilaluinya dengan cepat.

Ti Then yang kini sudah bebas dari beban yang berat segera

mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dengan sangat ringan

melayang pada ujung bambu itu, dengan kencangnya dia mengikuti

di belakangnya tubuh Wi Liau In. Tapi sesudah melewati kurang

lebih puluhan kaki jauhnya mendadak terasa olehnya kaki kirinya

semakin lama semakin kaku, semakin lama semakin tidak mau ikuti

perintahnya lagi. Dia tahu jika dia tidak cepat-cepat melarikan diri

dari tempat itu kemudian menutup jalan darah kakinya sehinggi

racun tersebut tidak sampai menyerang jantungnya, maka dirinya

tentu akan terbinasa tubuhnya segera meloncat ke depan lagi

semakin cepat, dengan sekuat tenaga dia lari ke depan dan

melewati badan Wi Lian In yang jauh berada di depan badannya itu.

Di dalam sekejap mata dia sudah berhasil menerjang keluar dari

hutan bambu itu dan menuruni bukit tersebut, saat ini seluruh kaki

kirinya sudah kehilangan rasa baru saja dia melayang turun dari

ujung bambu tubuhna tidak sanggup berdiri lagi, tidak am pun lagi

tubuhnya terjengkang ke belakang dan rubuh berguling di atas

tanah.

Wi Lian In yang baru saja melayang keluar dari hutan bambu

begitu melihat Ti Then terguling jatuh dari atas bukit itu menjadi

sangat terkejut, teriaknya: “Ti kauw tauw, kau kenapa ??”

Bukit kecil itu tidak terlalu curam sehingga kecepatan

bergulingnya tubuh Ti Then pun tidak begitu cepat, sambil

berteriak Wi Lian In sembari mengejar ke bawah, pada jarak kurang

lebih satu kaki dari permukaan tanah di bawah bukit Wi Lian In

berhasil mengejar sampai dan menarik tubuhnya ke atas-

Seluruh wajah Ti Then kotor oleh pasir dan debu akibat

gelindingan tadi, tapi kesadarannya masih tetap normal ujarnya

segera dengan cepat:

“Kaki kiriku digigit ular beracun itu, cepat kau totok seluruh jalan

darah pada kakiku itu” cepat- .”

Wi Lian In tidak berani berlaku ayal lagi, jari tangannya dengan

cepat bergerak menotok seluruh jalan darah pada kakinya,

kemudian dengan cemas tanyanya: “Bagaimana baiknya ?”

“Tidak mengapa, meminyam kesempatan kura-kura tua itu tidak

mengetahui, cepat kau bimbing aku meninggalkan tempat ini.”

Wi Lian In segera memasukkan pedang panjang itu ke dalam

sarungnya, ujarnya:

“Biar aku bopong kamu lari dari sini….”

Jilid 10.2 : Majikan Ular & Kakek Kura-kura

Dengan tidak banyak omong lagi, dia sebera mengangkat dan

menggendong tubuh Ti Then lari dari tempat itu

“Cepat lari ke belakang gundukan tanah diseberang sana.”

Wi Lian In dengan menggendong tubuh Ti Then dengan

cepatnya lari ke depan, sesudah melewati jalan raya dan lari lagi

beberapa ratus tindak sanpailah disebuah bukit dengan hutan

bambu yang sangat rapat- Dengan cepat-cepat dia menerobos ke

dalam hutan bambu itu. “Sudah cukup,” ujar Ti Then lagi.

“Sekarang coba lihat apakah kura-kura tua itu mengejar kemari

atau tidak.”

Terpaksa Wi Lian in meletakkan tubuh Ti Then ke atas tanah dan

balik keluar dari hutan bambu itu, dari tempat kejauhan terlihatlah

sesosok bayangan manusia dengan cepatnya sedang melayang

keluar dari bukit sebelah sana, dia tahu tentunya si kakek kura-kura

Phu Tong seng sedang lari mendatang. Tanpa banyak pikir lagi dia

putar tubuh lari kembali ke dalam hutan bambu itu sekali lagi

mengendong tubuh Ti Then dan lari meninggalkan hutan tersebut.

“Dia mengejar kemari?” tanya Ti Then dengan cemas.

“Benar.”

“Kau bisa menangkan dia ??””

“Tidak tahu” sahut Wi Lian In sambil gelengkan kepalanya. “Kau

mau suruh aku turun tangan melawan dia?”-

“Tentang hal ini harus melihat kau punya pegangan untuk

menangkan dia atau tidak? Kalau kau merasa punya pagangan

yang kuat bisa nenangkan dia boleh juga kita berhenti untuk

bertempur lawan dirinya…”

“Tidak.” potong wi Lian In dengan cepat. “Kita harus berusaha

punahkan racun yang bersarang dikakimu dulu.”

” Untuk sementara kaki pun tidak mengapa.”

“Sekali pun begitu tapi hatiku tidak tenang.”

Dengan kencangnya dia menggendong tubuh Ti Then berlari

keluar dari hutan bambu itu, sesudah melewati satu bukit ke kecil

lagi dia meneruskan larinya ke depan, kurang lebih sudah berlari

sepuluh lijauhnya sampaiah mereka disebuah kaki gunung yang

tidak mereka ketahui namanya.

“Kau sudah lelah.. .” ujar Ti Then lembut. “Mari kita berhenti dan

beristirahat dulu…”

Wi Lian In tidak menyawab, matanya dengan sangat tajam

memandang keadaan disekeliling tempat itu, kemudian lari lagi

menuju ke atas gunung, sesudah lari lagi sejauh satu dua li barulah

dia berhenti disebuah lekukan gunung dilereng gunung tersebut.

Dia meletakkan tubuh Ti Then ke atas tanah, sambil

menggunakan ujung bajunya menyeka keringat ujarnya sambil

tertawa.

“Mungkin mereka tidak akan menemukan tempat ini bukan?”

“Asalkan mereka bukan datang bersama-sama, aku tidak akan

takut kepada mereka, aku percaya masih punya cukup tenaga

untuk bunuh mati kura-kura tua itu.”

Dengan perlahan Wi Lian In berjongkok di depannya, sambil

menggulung celananya dengan perlahan tanyanya.

“Lukamu berada di sebelah mana?”

“Agaknya di atas lutut.”

Dengan teliti Wi Lian In memeriksa kearah lututnya, terlihatlah

dikakinya itu terdapat dua titik luka yang sangat kecil, sambil

menggunakan tangannya menekan tanyanya lagi.

“Sakit tidak?-”

“Sedikit pun tidak terasa”

“Lalu bagaimana baiknya?” tanya Wi Lian In sangat cemas-

“Aku sudah kerahkan tenaga murni untuk mendesak racun itu

tidak sampai menyerang ke dalam tubuh, tapi jika di dalam enam

jam ini tidak berusaha mendesak racun itu keluar dari kakiku, maka

kaki sebelah kiri ini akan membusuk dan hancur.”

Wi Lian In begitu mendengar perkataan itu tidak terasa

menggigit kencang bibirnya.

“Ditubuh majikan ular Yu Toa Hay tentu membawa obat

pemunah…”

“Benar-” sahut Ti Then sambil mengangguk- ” Hanya mungkin

sukar untuk merebutnya”

“Aku bisa pergi ke dalam kota untuk adu jiwa dengan dia, tapi “

sewaktu aku tidak berada di sini jika kakek Kura-kura itu datang cari

kamu lalu…”

“Ha ha ha … soal itu tidak mengapa, walau pun aku tidak bisa

bergerak tapi jika dia berani mendekati aku… Hmm aku masih

punya tenaga untuk bereskan dia, hanya yang aku kuatirkan adalah

kau, mungkin kamu bukan tandingannya….” Wi Lian In

mengerutkan alisnya rapat-rapat-

“Dulu aku pernah dengar ayahku bilang katanya kepandaian silat

dari majikan ular serta kakek kura-kura hanya satu tingkat lebih

tinggi dari pendekar prdang merah dari Benteng Pek Kiam Po kita,

perkataan ini entah betul tidak ??…”

“Ehmm.. .” sahut Ti Then kemudian sesudah berpikir sebentar

“Tadi sewaktu aku bertempur dengan kakek kura-kura itu, di atas

ujung bambu dia bisa bertahan tiga puluh jurus banyaknya, dengan

kepandaian seperti itu mungkin tidak lebih tinggi satu tingkat saja.”

“Kalau begitu aku sungguh-sungguh bukan lawan dari Majikan

ular itu, tapi tidak cari dia tidak mungkin bisa dapatkan obat

pemunah.”

“Aku sendiri bisa menyembuhkan luka ini.” sahut Ti Then sambit

tertawa pahit. ¦ sehabis berkata dia mencabut kembali pedang

panjangnya.

Air muka Wi Lian In segera berubah hebat, samhil menahan

pedangnya ujarnya dengan cemas:

“Jangan., Ini bukan cara yang baik.”

“Kau sudah salah menduga” ujar Ti Then sambil tertawa. “Aku

bukan bermaksud memotong kaki kiriku ini”

Wi Lian In menjadi melengak. ” Kalau tidak kenapa kau cabut

pedangku”

“Aku mau robek bekas luka itu dan memaksa darah beracun itu

keluar.”

“Oooh – – -” agaknya Wi Lian In menjadi sadar, dengan cepat dia

menarik kembali tangannya.

“Benar, aku pernah dengar jika seseorang tergigit ular berbisa

harus cepat-cepat paksa darah yang mengandung racun itu

mengalir keluar dari badan, kalau tidak maka orang itu akan

semakin payah. Tapi kau sudah tergigit sangat lama sekali entah

cara ini masih bisa digunakan tidak?”

“Kita coba saja.”

Sehabis berkata dia memberikan pedang panjangnya, dengan

menggunakan ujung pedang menggurat beberapa kali kearah bekas

luka kecil pada lututnya itu, segera terlihatlah darah hitam mengalir

keluar dengan derasnya. Melihat hal itu Wi Lian In menjadi gugup.

“Mari aku bantu kau keluarkan darah beracun itu”

Sehabis berkata dia sebera menggerakkan sepasang tangannya

mencekal lutut Ti Then itu dan mulai memijit mijit tempat itu

sehingga darah hitam yang keluar semakin banyak.

Beberapa saat kemudian darah hitam yang mengalir keluar dari

bekas luka itu semakin lama semakin berkurang, tapi seluruh kaki

sebelah kiri itu masih tetap merah membengkak.

Mendadak Wi Lian In berlutut di hadapannya, dengan

menggunakan mulutnya yang kecil mungil mulai menyedot sisa-sisa

dari darah hitam yang tertinggal di dalam lutut itu. Tidak terasa lagi

air muka Ti Then berubah merah padam, dengan cemas ujarnya.

“Nona Wi, jangan begitu”

Wi Lian In tetap tidak gubris omongannya, dengan sekuat

kuatnya dia menyedot sisa-sisa darah hitam itu.

Terpaksa Ti Then memejamkan matanya, sambil menghela napas

diam-diam pikirnya.

“Heei…. kelihatannya kehendak Thian memang begitu sehingga

menyuruh aku tergigit ular beracun itu…..”

Wi Lian In sembari menyedot sembari muntahkan keluar,

sesudah berturut turut menyedot dan muntahkan kembali keluar

berpuluh puluh kali banyaknya barulah ujarnya.

“Sudah cukup, sekarang aku mau bebaskan jalan darah yang

tertotok pada lututmu ini, kau tetap lanjutkan kerahkan tenaga

murni berusaha memaksa sisa-sisa sari racunnya keluar tubuh,

jangan sampai racun tersebut masuk ke dalam tubuh lagi.”

Tangannya dengan cepat bergerak menotok dan menepuk

membebaskan jalan darah yang tertotok itu.

Begitu jalan darahnya terbebas dari totokan, darah segera

mengucur keluar lagi dari bekas luka itu.

Darah yang mengalir keluar tetap masih darah berwarna hitam,

setelah lewat sesaat kemudian barulah makin lama berubah menjadi

darah segar, wi Lian In menggunakan jarinya menekan lagi lututnya

sambil bertanya . “Coba bagaimana sekarang rasanya”

“Sudah sedikit berasa.”

Mendengar hal itu Wi Lian In menjadi sangat girang. “Tidak perlu

obat pemunah dari Majikan ular lagi bukan?”

“Benar.” sahut Ti Then sambil mengangguk. “sekarang hanya

cukup obat dari Tabib biasa sudah akan sembuh kembali.”

“Coba kamu berdiri dan jalan.”

“Pasti bisa jalan.. .” sahut Ti Then sambil tertawa. “Hanya saja

tidak sanggup untuk berlari.”

Sambil berkata sembari bangkit berdiri dia berjalan bolak balik

beberapa kali di sana, hanya saja jalannya kali ini sedikit pincang

seperti orang buntung.

Wi Lian In sangat girang sekali, dia berjalan kearah suatu selokan

kecil didekat tempat itu untuk mencuci mulutnya kemudian berjalan

kembali ke hadapan Ti Then, ujarnya sambil tertawa:

“Bagaimana kamu bisa temukan aku dibukit itu??”

“Sebelum itu aku harus tanya dulu kepadamu, bagaimana kamu

bisa sampai terjatuh ketangan Kwan si Ngo Koay itu?” balik tanya Ti

Then sambil tertawa pahit. “Sekali pun Kwan si Ngo Koay punya

sedikit nama besar di dalam dunia kangouw, tapi dengan

kepandaian yang kau miliki sekarang ini tidak mungkin bisa

tertawan dengan begitu mudahnya.” Air muka Wi Lian In segera

berubah menjadi merah padam. “Aku ditawan mereka selagi tertidur

sangat nyenyak.”

“Sungguh kamu orang tidak punya sedikit perasaan

waspadamu.”

“Tidak punya cara lain, begitu aku tertidur sekali pun dunia

kiamat juga tidak akan merasa-”

“Ehmmm…. malam itu begitu aku dengar ada orang yang

berjalan malam di atas atap segera keluar kamar untuk melihat,

waktu itu tidak terlihat seorang pun di atas genteng makanya aku

segera lari kekamarmu, tapi kamu sudah lenyap diculik orang.”

“Mungkin mereka sudah totok jalan darah pulasku.” ujar wi Lian

In sedikit membela diri “Sehingga aku sama sekali tidak merasa … .”

“Di dalam kamarmu aku temukan secarik kertas yang mereka

tinggalkan, mereka perintah aku untuk membawa kitab pusaka Ie

Cin Keng untuk ditukar dengan kau diluar kota, begitu aku sampai di

tanah pekuburan itu segera muncullah empat orang berkerudung

…” segera dia menceritakan kisahnya itu dengan jelas, akhirnya

tambahnya lagi.

“Sedang di tanah bukit itu aku bisa menemukan kamu semuanya

bergantung pada untung atau tidak saja, aku punya dugaan orang

yang menculik kau pergi itu tentu melarikan diri kearah sebelah sini

maka karenanya sengaja mengejar kemari, ketika mengejar sampai

bawah bukit itu tetap saja tidak mendapatkan tanda-tanda apa pun,

hatiku betul-betul merasa gemas dan jengkel sehingga duduk

beristirahat di bawah pohon. Tiba-tiba itulah mendadak terdengar

suara bercakap cakap dua orang dari atas bukit itu, kemudian

melihat pula Majikan ular berlari menuruni bukit tersebut menuju ke

dalam kota, hatiku menjadi curiga secara diam-diam memasuki

hutan bambu itu dan akhirnya mendengar suaramu”

“Hmmm… hmmm.. .” dengan gemasnya Wi Lian In

mendepakkan kakinya ke atas tanah. “Semuanya ini hadiah dari

setan pengecut serta bangsat Hong Mong Ling itu, lain kali jika

bertemu dengan mereka lagi.. .”

Mendadak Ti Then menggoyangkan tangannya mencegah dia

berbicara lebih lanjut, ujarnya dengan rendah. “Jangan bicara, ada

orang datang.”

Wi Lian In mendiadi sangat terkejut sambii memandang sekeliling

tempat itu tanyanya dengan perlahan. “Dimana?”

“Di sana.” sahut Ti Then sambil menuding kearah hutan didekat

tempat itu

“Agaknya ada dua orang . .”

Wi Lian In semakin menjadi tegang.

“Tentu Majikan ular serta kakek kura-kura itu, cepat kita

bersembunyi.”

Luka kaki Ti Then belum sembuh seluruhnya sehingga

gerakannya pun tidak begitu lincah lagi, mereka karena takut

terjerumus kembali ke dalam barisan Selaksa ular segera bersama

sama meloncat bersembunyi disebuah liang kecil dekat tempat

tersebut.

Di samping liang itu penuh ditumbuhi rumput liar yang sangat

tinggi dan lebat, orang yang bersembunyi di bawah rumput-rumput

liar itu tidak mudah untuk ditemui kembali.

Baru saja mereka berdua menyembunyikan diri di bawah rumput

liar itu terlihatlah dua orang kakek tua munculkan dirinya dari hutan

beberapa kaki dari tempat itu dan berjalan kearahnya.

Orang itu tidak lain adalah Majikan ular Yu Toa Hay serta kakek

kura kura Phu Tong seng adanya.

Mereka sambil berjalan keluar dari hutan matanya dengan tajam

memandang sekeliling tempat itu, terdengar Majikan ular Yu Toa

Hay sembari memeriksa sekeliling tempat itu tanyanya:

“Apakah Phu heng betul betul melihat jelas kalau bangsat cilik itu

sudah tergigit oleh ular beracun milik lohu itu?”

“Tidak akan salah.” sahut kakek kura kura Phu Tong seng itu

sambil manggut-manggut. “Sewaktu Lohu mengejar keluar dari

hutan bambu itu bertepatan melihat budak itu menggendong dia lari

kemari-”

“Kalau begitu tentu mereka melarikan diri ke dalam gunung ini,

jika ini hari kita tidak berhasil mendapatkan mereka kembali,

penghidupan selanjutnya akan tidak tenang kembali-”

“Ehmmm… siapa bilang tidak. Wi Ci To tentu tidak akan

melepaskan kita.”

“Makanya-” ujar Majikan ular dengan suara yang berat. “Kita

harus menangkap mereka kembali kemudian sekalian kita bunuh

mati.. .”

“Bangsat cilik itu sudah terluka oleh gigitan ular beracun,

mungkin tidak akan melarikan diri terlalu jauh. Mari kita cari secara

berpisah saja.”

“Baik,” sahut Majikan ular sambil mengangguk- “Phu heng

memeriksa sebelah sana, biar Lohu yang memeriksa sebelah sini,

Ayoh jalan.”

Kedua orang itu bersama sama meloncat ketengah udara dan

melewati liang itu, satu kiri yang lain kekanan bagaikan terbang

cepatnya lari ke depan.

Kakek kura-kura itu melayang tepat di atas Ti Then serta Wi Lian

In yang bersembunyi di bawah liang tengah rerumput tebal itu.

Wi Lian In sesudah melihat bayangan tubuh mereka lenyap dari

pandangan barulah menghembuskan napas lega, ujarnya:

“Sungguh amat bahaya, asalkan kura-kura tua itu menengok ke

bawah segera jejak kita akan diketahui.”

“Ehmmm… masih untung Majikan ular itu tidak bawa serta ularular

beracunnya, jika dia bawa serta ular-ular berbisanya kita tidak

mungkin bisa bersembunyi lagi…”

“Ti Toako, menggunakan kesempatan mereka mencari kita ke

atas gunung lebih baik cepat-cepat kita kembali ke dalam kota saja”

Sambil berkata dia mengulur tangannya membimbing Ti Then

bangun. Tetapi begitu dilihatnya kaki kiri Ti Then tetap tidak bisa

bergerak bebas segera ujarnya lagi. “Bagaimana kalau aku gendong

saja?”

“Aaah jelek sekali.” ujar Ti Then sambil tertawa. “Jika sampai

dilihat orang lain bukankah sedikit kurang sopan dan tidak sedap

dipandang.”

“Hemmm…..” Dengus wi Lian In sambil cemberut. “Sekarang

keselamatan yang paling penting, aku saja tidak takut kau takut apa

lagi.”

Tubuhnya yang kecil langsing dan mungil itu sebera sedikit

menjongkok menggendong tubuh Ti Then pada pangkuannya,

kemudian dengan cepat lari menuruni gunung itu.

Di dalam sekejap mata mereka sudah berada ditepi jalan raya

yang banyak orang sedang melakukan perjalanan, Ti Then begitu

melihat di sana banyak orang tidak terasa merasa malu juga,

ujarnya dengan cemas: “Cepat turunkan aku, ada orang yang

melihat kita.”

Wi Lian In tetap tidak gubris, dengan cepat berlari menuju

kearah kota Ho Kiang sian.

“Nona Wi…” ujar Ti Then dengan cemas. “Jarak dari sini ke kota

Ho Kiang sian masih ada tiga puluh li jauhnya, apa kau mau

gendong aku sampai di dalam kota ??”

“Biarlah lari sampai tidak bisa lari baru kita bicarakan lagi.”

Dia tidak mau ambil perduli lagi terhadap orang-orang dijalan

yang memandang ke arahnya dengan sinar mata terkejut

bercampur keheranan, dengan menundukkan kepalanya dia berlari

terus ke depan sehingga sejauh puluhan li, waktu itu keringat sudah

mengucur dengan derasnya membasahi seluruh bajunya sedang

napasnya pun kempas kempis tidak teratur.

Waktu itu untung saja lewat sebuah tandu besar dengan delapan

orang yang menggotong, begitu dia melihat kedelapan orang kuli

menggotong tandu tersebut sangat lincah langkahnya segera

berhenti, tanyanya: “Hei, di dalam tandu ada orang tidak?”

Ke delapan orang kuli tandu itu melihat seorang nona muda

menggendong seorang pemuda melakukan perjalanan ditengah

siang hari bolong pada memandangnya dengan sinar mata penuh

perasaan heran bercampur terkejut, bersama-sama mereka

berhenti. Salah satu

diantaranya menyahut dengan sopan: “Tidak ada, kenapa orang

itu?”

“Dia tergigit ular beracun, nyawanya di dalam keadaan sangat

bahaya. Harap paman sekalian beriaku baik hati membawa kami ke

dalam kota untuk berobat.”

Kuli tandu itu begitu mendengar perkataan tersebut segera

memerintahkan kawan-kawannya untuk menurunkan tandu tersebut

dan membuka pintu tandunya, ujarnya kemudian:

“Urusan tidak boleh terlambat lagi, cepat nona bawa dia masuk.

.”

Wi Lian in menjadi sangat girang, dengan tergesa gesa dia

membimbing tubuh Ti Then duduk ke dalam tandu itu, tanyanya

lagi: “Aku boleh masuk sekalian???”

“Nona apanya dia ???”.

“Aku adalah adiknya”

” Kalau memangnya saudara sekandung tidak usah mengikuti

adat lagi, silahkan nona duduk sekalian di dalam tandu”

Wi Lian In segera membungkukkan tubuhnya masuk ke dalam

tandu, tanyanya lagi: “Paman-paman sekalian apakah orang-orang

dari kota Ho Kiang sian ???”.

“Benar” sahut kuli itu sambil menutup kembali pintu tandunya. ”

Kemarin hari kami hantar nyonya hartawan Shie kedesanya, karena

perjalanan yang amat jauh baru ini pagi kita berangkat pulang? ”

“Kalau begitu bagus sekali, nanti sesudah masuk kota harap

hantar kami kerumah tabib sekalian, aku bisa kasih kamu orang

uang sebagai imbalannya, Hanya ada satu hal yang kalian ingat jika

ditengah jalan ada orang yang menanyakan jejak kami bersaudara

jangan sekali kali kalian beritahu pada mereka.”

Kuli-kuli tandu itu begitu mendengar ada persenan uang hatinya

menjadi sangat girang sekali, segera menyahut dengan sangat

sopan.

Demikianlah kedelapan orang itu segera mengangkat tandu besar

itu melanjutkan perjalanan ke dalam kota Ho Kiang sian.

Di dalam tandu hanya terdapat satu tempat duduk saja,

karenanya Wi Lian In terpaksa berjongkok di depan tubuh Ti Then.

Ti Then yang teringat dua kali dia menggendong dirinya

melarikan diri bahkan dengan tidak perduli kotor sudah hisapkan

keluar darah berbisa pada kaki kirinya tanpa terasa perasaan

berterima kasih yang meluap luap memenuhi benaknya, tanpa

terasa lagi dia menarik tubuhnya ke dalam pangkuannya sendiri

Air muka Wi Lian in segera berubah menjadi merah padam, tapi

dia tidak memberi perlawanan sedikit pun dengan manyanya dia

duduk di atas kaki kanannya dan bersandar pada dadanya,

sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat…

Kedua orang itu siapa pun tidak ada yang buka bicara, masingmasing

berdiam diri sambil saling berpeluk pelukan.

Saat ini adalah saat yang paling menggembirakan di dalam

lembaran hidup mereka, sebaliknya waktu yang paling

menggembirakan juga lewat paling cepat, mendadak mereka

mendengar suara pembicaraan orang yang sangat ramai sekali,

kiranya mereka sudah masuk dalam kota.

Wi Lian In tidak berani duduk di atas Ti Then lagi, dengan diam

diam dia melorot ke bawah dan berjongkok kembali ke depannya.

sambil membereskan rambutnya ujarnya dengan perlahan: ” Kudakita

apa masih berada di dalam rumah penginapan?”

“Benar.” sahut Ti Then sambil mengangguk.

“Mereka tidak menemukan kita di atas gunung, mungkin segera

akan kembali ke dalam kota menanti kita di dalam rumah

penginapan.”

“Benar, tentu mereka tahu kalau kuda tunggangan kita masih

berada di dalam rumah penginapan.”

“Heii . . .” ujar wi Lian in lagi sambil menghela napas panjang.

“Hanya kuda Ang San Khek itu merupakan seekor kuda jempolan,

kalau sampai hilang sungguh sayang sekali.”

“Sudah tentu tidak bisa kita buang begitu saja.”

“Tapi jika kita kembali kerumah penginapan untuk mengambil

kuda itu mungkin segera akan diketahui mereka, mereka tidak

mendapatkan kitab pusaka le Cin Keng dan ditambah lagi takut

dengan ayahku datang mencari balas, sudah tentu akan bunuh kita

untuk menutup mulut.”

“Jangan kuatir.” ujar Ti Then tetap tenang. “Mereka tidak

mungkin berani melakukan pekerjaan itu di dalam kota”

Sedang mereka bercakap cakap mendadak terdengar kuli tandu

itu buka suara ujarnya:

“Nona, dijalanan ini ada sebuah kedai obat Hwe Cun di dalamnya

ada seorang tabib yang sangat lihay ilmu pengobatannya,

bagaimana kalau kita cari tabib itu saja?.”

“Baiklah. .”

Tidak lama kemudian tandu itu pun berhenti:

Kuli tandu itu segera membuka pintu tandu mempersilahkan wi

Lian In sekalian turun, terlihatlah saat ini mereka sudah berada di

depan pintu kedai obat bermerek Hwe Cun itu, segera Wi Lian in

membimbing Ti Then turun, sesudah memberi upah beberapa tahil

perak kepada kuli-kuli tandu itu barulah bersama sama berjalan

masuk ke dalam kedai obat tersebut.

Orang-orang dalam kedai obat itu begitu melihat seorang nona

membimbing seorang pemuda berjalan masuk pada memandang

kearahnya dengan perasaan heran, tanyanya dengan cepat:

“Ada urusan apa ??”

“Cayhe digigit seekor ular berbisa kini datang untuk berobat,

apakah Tabib ada di dalam?.”

“Ada . . . ada.” sahut pelayan itu dengan cepat. . “silahkan

kongcu masuk ke dalam”

Wi Lian In dengan membimblug Ti Then berjalan masuk ke

dalam kamar yang ditunjuk pelayan itu, saat itu terlihatlah seorang

kakek tua sedang memeriksa penyakit seseorang karenanya mereka

menanti sebentar baru mendapatkan giliran-

Kiranya kakek tua itulah merupakan tabibnya, dia

mempersilahkan Ti Then duduk terlebih dahulu kemudian baru

tanyanya. “Badan sebelah mana yang terasa tidak enak?”

“Kaki kiri cayhe digigit ular berbisa.”

“Oooh . . . .” sahut Tabib itu sambil mengangguk. “Biarlah Lohu

periksa sebentar . . . . Ehmm . . . digigit ular, berbisa macam apa??”

“Ular berekor merah darah.”

Tabib itu sembari memeriksa sambil tanyanya lagi: “Kapan

digigitnya ?.”

“Pagi tadi, kurang lebih dua jam yang lalu. .”

Tabib itu menggunakan jarinya menekan beberapa kali disekitar

bekas luka tersebut, ujarnya:

“Kau sudah keluarkan darah-darah yang mengandung bisa itu

sehingga kini tidak berbahaya lagi, sesudah diobati dua kali

ditambah minum obat penawar segera akan sembuh seperti sedia

kala.”

Sehabis berkata dia mengambil pitnya dan menulis resep

kemudian berikan kepada Ti Then dan memesankan cara-cara

penggunaannya.

Sesudah membajar rekening dan mengundurkan diri dari sana

lalu menyerahkan itu resep kepada pelayan yang dengan cepat

sudah menyediakan obat-obat yang dibutuhkan itu, ujarnya.

“Obat ini digunakan sebagai obat luar sedang obat berupa bubuk

ini untuk dimakan, setiap lewat dua jam harus menggunakan satu

kali.”

Ti Then bayar kembali uang obat itu dan digunakan sekalian obat

tersebut di sana, setelah itu baru tanyanya. “Kapan bengkaknya

akan hilang ??”

“Besok sudah sembuh sama sekali”

Mendengar itu Ti Then menjadi lega hatinya, kepada Wi Lian In

ujarnya sambil tertawa:

“Ayo pergi, kita pergi kerumah penginapan itu.”

Kedua orang itu kembalilah kerumah penginapan dimana mereka

tinggal, pelayan-pelayan dengan air muka penuh perasaan terkejut

masing-masing pada merubung menanyakan sesuatu, Ti Then

hanya menyawab adanya pencuri yang mencuri barangnya sehingga

dia pergi kejar dan tergigit ular beracun, dengan demikian mereka

pun menjadi tenang kembali. Tanya Wi Lian In kemudian: “Kuda

kuda kami apa masih ada ??”

“Masih . . . masih . . .” sahut pelayjan itu sambil mengangguk.

“Kalian berdua apa mau segera berangkat?”

“Tidak” ujar Ti Then perlahan. Kami mau menginap satu malam

lagi, besok pagi baru berangkat, Kau pergilah siapkan makanan

untuk kami”

Pelayan itu segera menyahut dan mengundurkan diri, Mendadak

Ti Then teringat kembali akan si macan kumbang hitam Khie Hoat

itu manusia yang menduduki sebagai Lo-ji dari Kwan si Ngo Keay

masih tertotok jalan darahnya ditengah tanah pekuburan diluar

kota, ujarnya kemudian kepada Wi Lian in”Bagaimana kalau kamu

orang kerjakan suatu pekerjaan?”

“Kerjaan apa?”

” Kemarin malam Loji dari Kwan si Ngo Koay si macan kumbang

hitam Khie hoat tertotok jalan darahnya hingga kini mungkin masih

berada di sana, coba kau pergi ke sana lepaskan dia pergi.”

“Hmmm . . . kejahatan yang dikerjakan Kwan si Ngo Koay sudah

sangat banyak sekali, sekali pun mati juga tidak sayang, buat apa

kita pergi urus dia lagi”

“Tidak. .” bantah Ti Then dengan cepat, “Aku sudah bilang sama

dia asalkan di dalam kelenteng tanah ditengah kota aku bisa

temukan kamu maka setelah pulang aku bebaskan dia pergi, walau

pun di dalam kelenteng tanah ditengah kota aku tidak temukan kau

tapi hal ini bukan kesalahannya.”

“Walau pun begitu . . . hari ini kau lepaskan dia pergi,

dikemudian hari dia bisa cari kau untuk membalas dendam.”

“Hal itu termasuk persoalan lain lagi…”

Wi Lian In ketika melihat dia sudah ambil ketetapan di dalam

hatinya terpaksa mengangguk.

“Baiklah, hanya saja dia berada di tanah pekuburan sebelah

mana?”

“Di sebelah barat kota, kau pergilah dengan menunggang kuda

Ang san Khek. cepat pergi cepat kembali dan hati-hati jangan

sampai diculik orang lagi…”

“Cis. . .” seru Wi Lian in dengan perasaan malu dan manya.

“Disiang hari bolong begitu ada siapa yang berani mengganggu aku

Wi Lian In? Hmmm, kalau berani ganggu aku jangan harap bisa

hidup lagi.” sehabis berkata dia berjalan keluar dari kamar.

Ti Then menanti sesudah dia keluar baru menutup pintu kamar

dan rebahkan dirinya ke atas pembaringan untuk beristirahat. Tidak

lama kemudian terdengar suara ketukan pintu kamar.

“Siapa?” tanyanya sambil bangkit berdiri

“Aku.” suara dari pelayan rumah penginapan itu berkumandang

masuk ke dalam kamar. “Tuan bukankah kamu suruh aku siapkan

makanan ?”

“Ehmm . . . masuklah. Pintu itu tidak terkunci.”

“Baik,”

Pintu kamar dibuka, pelayan rumah penginapan itu dengan

membawa makanan berjalan masuk kemudian mengaturnya di atas

meja, sedang pada mulutnya gumamnya seorang diri “Sungguh

membingungkan sekali, aneh. . . aneh…”

“Ada urusan apa ??”

“Itu . . . seorang lelaki berusia pertengahan secara tiba-tiba

menghadang hamba untuk menanyakan segala hal bahkan masih

mengajak hamba guyon, sehingga kuah telur ini menjadi sedikit

bercecer.”

Mendengar perkataan itu hati Ti Then menjadi sedikit bergerak.

sambil memandang wajahnya, tanyanya dengan serius. “Lelaki itu

tanya apa saja??”

“Dia adalah tamu yang baru datang pagi ini, tadi sewaktu hamba

membawa makanan kemari mendadak dia menghadang hamba dan

menanyakan apa ada nona yang mau temani dia tidur nanti malam,

lalu tanya juga letak rumah pelacuran-

Hamba terpaksa satu demi satu memberikan jawabannya, tapi

mendadak dia menuding ke belakang hamba sambil katanya. “Coba

lihat, nona itu sungguh cantik.” hamba cepat-cepat menoleh ke

belakang, “HHuuu . . . sungguh matanya sedikit buta, di belakang

hamba mana ada bayangan nona cantik.” Ti Then tersenyum.

“Sewaktu kamu menoleh lalu kuah itu secara tiba-tiba tercecer?”

“Benar, hanya saja tidak terlalu banyak yang tercecer . . .”

” Orang itu tinggal dikamar sebelah mana?” Pelayan itu

menuding ke kamar sabelah kanan. sahutnya. “Dia menginap

dikamar ke empat dari kamar sini.”

“Membawa teman tidak?”

“Tidak.” sahut pelayan itu sambil gelengkan kepalanya. . “Dia

hanya satu orang saja.”

“Ehmmm . . . kini masih berada di dalam rumah penginapan?”

“Benar, sesudah mengajak hamba guyon-guyon sebentar lalu

kembali ke dalam kamarnya..”

“Baiklah, kau boleh pergi” ujar Ti Then kemudian sambil

mengangguk. Pelayan itu segera membawa nampannya

mengundurkan diri dari kamar.

Dengan perlahan Ti Then berjalan mendekati kuah telur yang

dimaksud tadi kemudian dibaunya beberapa kali, setelah itu sambil

tersenyum memanggil pelayan itu lagi. “Pelayan….”

Waktu itu pelayan tersebut belum jauh meninggalkan kamarnya

Ti Then, begitu mendengar suara panggilan segera putar tubuh

sambil bertanya. “Kongcu minta barang apa lagi..”

“Oooh tidak. .” ujar Ti Then dengan suara yang keras. “Adikku

ada urusan hendak keluar sebentar tapi dengan cepat dia akan

kembali, jika kamu melihat dia pulang beritahu padanya aku sedang

menunggu dia di dalam kamar untuk makan bersama sama.”

“Baik . . . baik. . Tentu aku beritahukan padanya. .”

Ti Then menoleh memandang sekejap kearah kamar di sebelah

kanannya itu kemudian menutup pintu kamarnya kembali dan duduk

di depan mejanya.

Sambil menyendoki kuah tetur itu dicobanya seteguk, tapi tidak

sampai ditelan sesudah dicoba lalu dimuntahkan kembali kepojokan

kamar, pada air mukanya terlintaslah suatu senyuman yang amat

dingin, pikirnya. “Hmmm . . . kiranya obat pemabok.”

Dia berjalan mendekati pembaringan dan merebahkan dirinya,

pikirannya dengan cepat berputar memikirkan orang lelaki berusia

pertengahan yang hendak menjebak dirinya dengan menaruh obat

pemabok pada kuah telur tersebut.

Tetapi dengan ditemuinya beberapa orang yang munculkan diri

untuk merebut kitab pusaka Ie Cin Keng dia tahu saat ini

disekelilingnya terdapat sangat banyak orang yang sedang

mengincar kitab pusaka Ie Cin Keng itu dari tangannya, karenanya

dia sangat menyesal sudah suruh wi Lian In keluar kota untuk

membebaskan diri simacan kumbang hitam Khie Hoat.

Walau pun jarak tanah pekuburan itu tidak jauh dari dalam kota,

sekali pun ilmu pedang dari Wi Lian in tidak lemah tapi

kemungkinan sekali pun beberapa orang jago berkepandaian tinggi

bergabung menjadi satu untuk turun tangan bersama-sama seperti

buktinya kakek kura-kura serta Majikan ular itu bekerja sama

menculik dia untuk memaksa dirinya menyerahkan kitab pusaka Ie

cin Keng kepada mereka.

Semakin berpikir dia merasa semakin cemas, dengan cepat dia

bangun kembali sambil gumamnya seorang diri

” Lebih baik aku keluar kota sebentar untuk melihat-lihat.”

Baru saja dia berjalan mendekati pintu kamar, mendadak pintu

itu didorong oleh orang, terlihatlah Wi Lian In sambil tersenyum

berjalan masuk ke dalam.

Melihat munculnya Wi Lian in tanpa menemui cedera apa pun

hati Ti Then seketika itu juga menjadi lega. dengan girang serunya:

“Oooh .. .. kamu sudah kembali.”

“Pelayan tadi bilang kau sedang tunggu aku makan.” ujar Wi Lian

In sambil tertawa.

“Benar kau sudah temui dia???.”

“Sudah, aku potong telinganya terlebih dulu baru lepaskan dia

pergi.”

“Ha ha ha…” ujar Ti Then sambil tertawa serak. “sifatmu persis

seperti ayahmu,sedikit dikit suka gotong telinga orang lain …. Ha ha

ha. .”

“Aku potong telinganya untuk peringatkan padanya lain kali

jangan suka cepat percaya kabar bohong.”

Ti Then segera menutup pintu kamar kembali, sambil gape

padanya, katanya lagi:

“Ayoh cepat makan, kuahnya hampir dingin.”

Dua orang itu segera duduk saling berhadapan untuk mulai

dahar.

Sesudah menelan nasinya terlihatlah Wi Lian In mengambil kuah

telur itu untuk diminum, melihat hal itu dengan cepat Ti Then

gelengkan kepalanya, sambil tersenyum dengan menggunakan ilmu

untuk menyampaikan suara ujarnya: “Kuah itu jangan diminum”

” Kenapa ??” tanya Wi Lian In melengak.

Ti Then segera beri tanda kepadanya untuk memperendah

suaranya, kemudian dengan menggunakan ilmu untuk

menyampaikan suara ujarnya lagi: “Di dalam kuah itu ada obat

pemaboknya.”

“Ehmm.” Dengus Wi Lian In tidak percaya. ” Kau sedang

menakut-nakuti aku.”

“Aku tidak menipu kau.” sahut Ti Then dengan serius. “Ada orang

secara diam-diam memasukkan obat pemabok ke dalam kuah itu

untuk memaboklan kita orang.”

Melihat sikapnya yang sungguh-sungguh dan serius Wi Liau In

menjadi amat terkejut sekali.

“Bagaimana kau bisa tahu??”

Segera Ti Then menceritakan apa yang didengarnya dari pelayan

tentang lelaki berusia pertengahan itu, akhirnya tambahnya lagi:

“Tadi aku sudah mencobanya dan merasa kalau di dalam kuah

itu betul terdapat obat pemaboknya, asalkan kau meneguk satu

tegukan saja tanggung secara kontan akan jatuh tidak sadarkan

diri”

“Siapa lelaki berusia pertengahan itu??” tanya Wi Lian In dengan

air muka berubah sangat hebat.

“Masih tidak tahu” sahutnya sambil gelengkan kepalanya.

“Menurut pelayan itu katanya dia berada dikamar ke empat dari

sebelah kanan kita.” Mendadak Wi Lian In bangkit berdiri dan

berjalan keluar kamar. Dengan cepat Ti Then menarik dia kembali,

ujarnya sambil tersenyum: “Kau mau berbuat apa?”

“Cari dia.”

Ti Then segera tarik dia duduk kembali ke tempat semula,

dengan menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara ujarnya

sambil tertawa:

-ooo0dw0ooo-

Jilid 11 : Jay hoa cat yang nahas

“Buat apa, bukankah lebih bagus kalau kita tunggu dia masuk

sendiri kemudian baru turun tangan????”

“Tunggu dia masuk sendiri ???” tanya Wi Lian In melengak.

“Tidak salah, tunggu dia masuk sendiri”

“Benar.” sahut Wi Lian In kemudian sambil mengangguk.

agaknya dia sudah paham arti perkataan itu tanpa terasa senyuman

segera menghiasi bibirnya.

“Sst . . .jangan bicara lagi” Tiba-tiba Ti Then memperingatkan diri

Wi Lian In. “Mungkin dia sudah berada di depan kamar kita” Dengan

suara yang diperkeras sengaja Wi Lian In angkat bicara lagi. “Malam

ini kita harus lebih berhati-hati, kemungkinan orang itu akan datang

lagi”

“Yang harus hati-hati adalah kau, lebih baik malam ini kamu

orang jangan tidur”

” Kitab pusaka Ie cin Keng itu sudah kau bawa?” Ti Then

mengerutkan alisnya rapat-rapat.

“Benar” sahutnya terpaksa. “Dibawa dalam badan jauh lebih

aman rasanya”

“Heei . . sungguh menjengkelkan, entah siapa yang sudah

menyiarkan berita kalau kau telah mendapatkan kitab pusaka Ie cin

Keng itu, semula menteri pintu serta pembesar Jendela dari Anying

langit Rase bumi, kemudian disusul Hwesio berwajah riang dari

Siauw limpay, Kwan si Ngo Koay, Majikan ular serta terakhir kakek

kura-kura.”

“Sejak kini entah masih ada seberapa banyak anying-anying

bajingan yang datang merebut”

“Ie Cin Keng kan kitab ilmu silat yang berisikan kepandaian

tertinggi di dalam Bu lim waktu ini, barang itu merupakan impian

dari setiap jago dalam dunia kangouw tidak bisa, disalahkan mereka

kalau pada datang merebut…”

Wi Lian In mengambil sendok kemudian diaduk adukkan pada

mangkok yang berisikan kuah telur itu sehingga mengeluarkan

suara yang nyaring.

“Kuah telur ini sudah dingin, bagaimana kalau suruh pelayan

memanasi terdebih dulu??”

“Tidak perlu.” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya, “Aku

suka makan yang dingin, kau tidak mau biar aku yang makan.”

Sambil berkata dengan menggunakan sendok dia mengetuk

beberapa kali pada pinggiran mangkok. “Ting . . . ting . . .” disusul

suara sedang menghitup kuah tanda rasanya yang sedap.

“Coba lihat” seru Wi Lian In sambil tertawa ….. “Seperti sudah

lama tidak makan”

“Selamanya aku memang paling suka kuah telur.”

“Coba aku teguk sesendok. ”

Sambil berkata dia pun menggunakan sendoknya mengetuk

pinggiran mangkok kemudian suara sedang menghabiskan kuah itu.

“Rasanya enak bukan??? ” tanya Ti Then sambil tertawa.

“Ehmmm … . tidak seberapa”.

“Ini yang dikatakan kesukaan setiap orang tidak sama, sejak kecil

aku sudah suka makan kuah telur…”

“Aaaaah kenapa??”

Berbicara sampai di sini, badan bersama-sama dengan kursinya

terjengkang kearah belakang.

Wi Lian In dengan cepat meloncat-loncat bangun sambil menjerit

keras. “Aduh, kau …… kau kenapa ???”

Ditengah suara jeritan kaget itu mendadak pintu kamar dengan

mengeluarkan suara yang keras sudah didorong oleh seseorang,

seorang lelaki berusia pertengahan dengan potongan seorang siucay

sambil tersenyum berjalan masuk. Tanyanya: “Nona, sudah terjadi

urusan apa??”

Wi Lian In sama sekali tidak menduga pihak lawannya berani

masuk sebelum dirinya ikut jatuh tidak sadarkan diri, untuk

beberapa saat lamanya dia menjadi tertegun. “Kau . . . kau siapa

???”

Dengan perlahan lelaki berusia pertengahan itu menutup kembali

pintu kamar kemudian membungkukkan badannya memberi hormat.

“Cayhe orang-orang kangouw menyebutku sebagai pemuda

berwajah tampan Cu Hoay Lo menemui nona”

Begitu Wi Lian In mendengar kalau pihak lawannya adalah Giok

Bin Longkun itu manusia cabul yang gemar pipi licin tidak terasa air

mukanya berubah sangat hebat, serunya:

“Kiranya kau adalah Giok Bin Longkun . . kau . . . kau datang

kemari …. punya tujuan apa?”

Selesai berkata tubuhnya mulai bergoyang kemudian dengan

perlahan lahan rubuh ke atas tanah jatuh tidak sadarkanr diri

Bibir Giok Bin Longkun itu manusia cabul kelihatan sedikit

bergerak sehingga kelihatan sebaris giginya yang putih bersih

sambil tertawa ringan ujarnya.

“Apa tujuanku? Nona Wi ini sungguh terlalu tolol …. kalau

memangnya sudah tahu sebutanku Giok Bin Longkun bagaimana

tidak tahu maksud tujuanku? He he he . . .”

Die berhenti sebentar, senyuman yang menghiasi bibirnya pun

berubah semakin menyeramkan, ujarnya lagi sambil tertawa:

“Tapi aku harus mendapatkan kitab pusaka Ie Cin Keng itu

terlebih dulu kemudian baru beri kesenangan kepadamu.”

Dengan perlahan dia berjalan ke samping tubuh Ti Then

kemudian berjongkok di sisinya.

Tangannya mulai diulur ke dalam saku Ti Then untuk memeriksa

. . . mendadak dia menjerit, sangat keras badannya tidak kuasa lagi

terbanting dengan amat kerasnya ke atas tanah.

Kiranya urat nadi tangan kanannya sudah dicengkeram Ti Then

dengan kerasnya.

Ti Then yang berhasil mencengkeram tangan kanannya segera

membanting tubuhnya ke atas tanah, dirinya dengan mengikuti

gerakan tersebut bangkit berdiri dan memutar lengan kanannya itu

ke belakang punggung.

Perasaan terkejut dalam hati Giok Bin Longcun tidak kecil, di

dalam keadaan yang sangat lemas tubuhnya memutar ke kiri,

sedang dua jari tangan kirinya dengan kecepatan bagaikan kilat

menusuk kearah sepasang mata Ti Then-

Ti Then tertawa dingin, dengan tangan kirinya dia menangkis

serangan pihak lawan sedang tangannya yang lain dengan sekuat

tenaga mengangkat lengan kanannya ke atas.

“Pleetak . . .” Lengan kanannya itu segera terputus dari ruasnya.

Giok Bin Langcun menjerit kesakitan, saat itu dia tak bertenaga

lagi untuk memberikan perlawanan, kepalanya dengan lemas

ditundukkan ke bawah.

Wi Lian In pun dengan cepat meloncat bangun, tangannya

dengan cepat menyambak rambutnya dan mengangkat kepalanya

tinggi-tinggi, kemudian dengan menggunakan telapak tangannya dia

menghadiahi wajah Giok Bin Langkun keras-keras, terlihatlah bekasbekas

telapak yang merah menghiasi pipinya.

Seluruh wajah Giok Bin Longkun sudah berubah menjadi merah

membiru dan mulutnya pun darah segar mengucur keluar dengan

derasnya, sampai waktu itulah Wi Lian In baru melepaskan

tangannya, ujarnya sambil tertawa dingin ” Giok Bin Langcun, coba

sekali lagi katakan perkataanmu tadi.”

Giok Bin Langcun mana berani buka mulutnya, terpaksa dia

membungkam seribu bahasa.

“Bangsat cabul ini sudah merusak perempuan banyak sekali

sehingga pembesar berbagai tempat punya niat untuk menangkap

dia, tidak disangka ini hari bisa terjatuh ketangan kita.”

“Kau punya rencana serahkan bangsat cabul ini kepada

pembesar??.”

Dia menggelengkan kepalanya, ” Manusia seperti ini sesudah

ditangkap harus dibunuh mati, jika diserahkan pada pembesar

mungkin dia masih bisa melarikan diri”

“Benar, cepat kita turun tangan.”

Dengan cepat Ti Then menggerakkan tangannya mendorong

badan Giok Bin Langcun ke atas tanah, dengan kakinya menginyak

perutnya, ujarnya dengan amat dingin: “Hei Cu Hoay Lo, kau orang

masih ada pesan terakhir tidak ??”

Air muka Giok Bin Langcun berubah menjadi pucat pasi bagaikan

mayat, keringat dingin mengucur keluar dengan amat derasnya.

“Aku . . . aku di Tiang an masih punya simpanan uang . . .

sebesar . . . sebesar lima belas laksa tahil . . .”

“Hmm. . .” Dengus Ti Then dengan amat dingin- “Orang bilang

Giok Bin Langcun seorang yang sangat kaya dan gemar akan harta,

ternyata berita ini sedikit pun tidak salah . . . lalu apa yang kau

maui ???”

“Aku rela menyerahkan uang itu kepadamu asalkan kau orang

mau mengam puni jiwaku satu kali ini . . .”

“Lalu dengan cara bagaimana aku pergi menerima uang sebesar

lima belas laksa tahil dari gudang uang itu ??.”

Ketika Giok Bin Langcun melihat Ti Then punya maksud untuk

menerima, air mukanya sedikit berubah.

“Di dalam badanku ada secarik kertas tanda bukti untuk

menerima uang tersebut”

Ti Then segera bungkukkan badannya memeriksa sakunya dan

mengambil keluar secarik kertas tanda bukti penerima uang yang

dimaksud itu, sesudah dibolak balik melihat sekejap barulah ujarnya

sambil tertawa.

“Uang-uang ini apakah hasil tabunganmu dari perampoaan serta

pembegalan yang kau lakukan selama beberapa tahun ini?”

“Buat apa Ti Lo te menanyakan hal ini?” sahut Giok Bin Langcun

sambil tertawa pahit.

” Harus aku tanya sampai jelas, sebetulnya benar atau tidak?”

“Benar.”

” Kalau uang itu hasil membegal dan merampok dus berarti

bukan uangmu sendiri, maka itu kau tidak bisa menebus nyawamu

dengan uang-uang ini.”

Air muka Giok Bin Langkun segera berubah amat hebat.

” Kalau begitu kembalikan kertas uang itu. .”

Ti Then menyimpan kertas uang itu ke dalam sakunya, ujarnya

sambil tertawa:

“Aku bisa mengambil uang-uang itu pada waktu yang tepat

kemudian disebar dan di bagi-bagikan kepada orang-orang miskin

dengan demikian aku pun sudah membantu kau untuk meringankan

dosa-dosamu.”

Sehabis berkata begitu, kakinya dengan sekuat tenaga

menginyak jalan darah Tan Thian Hiat pada tubuhnya.

Seluruh tubuh Giok Bin Longcun hanya terlihat tergetar dengan

amat kerasnya, air muka yang semula pucat pasi kini berubah

semakin putih lagi, ujarnya dengan gemetar: “Bangsat . . kau

sungguh kejam.”

Ti Then menarik kembali kakinya, sahutnya dengan amat dingin.

“Kau masih ada kesempatan hidup selama setengah jam, diluar

kota ada sebidang tanah pekuburan, kau cepatlah pergi ke sana

mencari satu tempat yang baik”

Dengan perlahan Giok Bin Langcun bangkit berdiri, dari mulutnya

menyembur keluar darah segar dengan amat derasnya, kemudian

dengan jalan sempoyongan dia membuka pintu kamar dan

menerjang ke luar dengan cepat, lenyap dari pandangan Wi Lian In

baru tersenyum, ujarnya.

“Inyakanmu tadi apa sungguh-sungguh bisa membinasakan

dirinya?”

“Tidak salah. .” sahut Ti Then sambil mengangguk: “sekali pun

dewa turun dari kahyangan pun tidak mungkin bisa menolong dia. .”

“Membasmi seorang bajingan cabul memang merupakan suatu

pekerjaan yang paling mulia.”

“Ehm . .. . mari kita lanjutkan dahar kita. ” ujar Ti Then kemudian

sambil membetulkan bangkunya yang rubuh ke tanah.

Keesokan harinya bengkak pada kaki Ti Then pun sudah kempis

kembali, kedua orang itu sesudah membayar rekening kamar

bersama sama berjalan meninggalkan kota itu.

Ujar wi Lian In ditengah perjalanan: “Perjalanan kita masih ada

tiga hari lamanya baru sampai dirumah, semoga saja jangan terjadi

urusan lagi.”

“Aku kira tidak bisa terhindar lagi.”

“Kau mengira masih ada orang yang akan menghalangi

perjalanan kita selanjutnya?”

“Tidak salah” sahut Ti Then sambil mengangguk.

Sepasang alis Wi Lian in dikerutkan kencang-kencang, sedang

senyuman yang menghiasi bibirnya pun bilang lenyap.

“Akibat yang diterima Kwan si Ngo Koay serta Giok Bin Langcun

apa belum cukup memberi peringatan kepada mereka”

“Mungkin ada sebagian yang merasa takut lalu mengundurkan

diri, tapi Majikan ular serta kakek kura-kura itu tidak akan

berpangku tangan” Tidak terasa perasaan sedih dan cemas

menghiasi seluruh wajah Wi Lian In.

“Dengan kepandaian silatmu saat ini sudah tentu tidak akan

takuti mereka berdua, tapi ular-ular berbisa dari Majikan ular itu

sukar untuk dihadapi, jika dia atur barisan selaksa ular ditengah

jalan lalu bagaimana dengan kita?”

“Begitu melihat mereka munculkan dirinya jangan segera turun

tangan melawan mereka, terjang dulu dua tiga li kemudian baru

berhenti dan lawan mereka, dengan demikian kita tidak mungkin

bisa terjerumus ke dalam barisan selaksa ular mereka lagi”

Wi Lian In mengangguk sesudah dirasanya cara ini sangat

beralasan sekali. “Kalau begitu baiknya kita berbuat seperti itu saja .

. .”

Kedua ekor kuda tunggangan mereka berdua dengan cepatnya

melanjutkan perjalanan ke depan, pada siang harinya sampailah

mereka disebuah kota kecil untuk beristirahat dan dahar, setengah

jam kemudian sekali lagi mereka menaiki kuda tunggangannya

melanjutkan perjalanan ke depan.

Sesudah keluar dari kota kecil itu bayangan asap rumah serta

manusia semakin lama semakin jarang dan akhirnya tidak terlihat

lagi sama sekali, pemandangan yang sunyi senyap disekeliling

tempat itu menambahkan suasana yang menyeramkan.

Agaknya di dalam hati Ti Then sudah merasakan sesuatu,

ujarnya kepada Wi Lian In dengan perlahan-

“Mulai sekarang kita harus bertindak lebih berhati hati lagi”

“Ehmmm . . .” sahut Wi Lian In sambil mengangguk. “Mungkin

sudah hampir tiba.”

Setelah lewat setengah li kemudian di hadapan mereka berdua

ternyata tidak salah lagi muncul seseorang yang berdiri dengan

tegaknya ditengah jalan..

-0000000-

Muncul pengemis yang sudah amat tua dengan rambut yang

sudah memutih semua.

Pada tangannya mencekal sebuah tongkat kayu pada tubuhnya

memakai baju dari bahan yang amat kasar dan kuat, panca

inderanya tidak begitu jelek sekali hanya saja pada wajahnya

terlihat beberapa bekas kulit yang memutih sehingga wajahnya

kelihatan seperti peri yang baru muncul dari kuburan.

Begitu Ti Then melihat orang munculkan diri ternyata seorang

pengemis tua dalam hati sedikit merasa diluar dugaan, dia sama

sekali tidak bisa mengingat kembali apakah di dalam Bu lim ada

manusia semacam ini, karenanya dengan suara yang perlahan

tanyanya pada Wi Lian In. “Tahukah kau siapa orang itu?”

“Tidak tahu” sahutnya sambil gelengkan kepalanya. “Aku belum

pernah dengar di dalam Bu lim ada seorang nenek yang jadi

pengemis”

“Dia menghalangi perjalanan kita agaknya mengandung niat

jahat”

“Seorang nenek pengemis yang tidak diketahui asal usulnya buat

apa kita takuti dirinya, nanti biar aku yang hadapi dia”

Ketika mereka berdua berbicara sampai di situ tunggangan

mereka sudah tiba di hadapan nenek pengemis itu.

Ti Thenlah yang pertama-tama menahan tali les kudanya, sambil

memberi hormat ujarnya: ” Entah bagaimana sebutan Toa nio ini?

Kenapa menghalangi perjalanan kita?”

“Aku disebut orang sebagai Tang Lo Kui so atau nenek iblis

penghalang jalan” sahut nenek pengemis itu dengan air muka tidak

berubah sedikit pun juga, “selamanya pekerjaanku adalah minta

sedekah pada orang-orang yang melakukan perjalanan”

“Ha ha ha ha . .” tidak tertahan Ti Then tertawa terbahak-bahak.

“Dengan menghalangi orang yang melakukan perjalanan hanya

untuk minta sedekah bukankah terlalu tidak pakai aturan?”

“Perkataan dari siauw Ke heng ini sedikit pun tidak salah” sahut

Nenek iblis penghalang jalan itu sambil tertawa juga. “Hanya saja

dengan cara ini minta sedekah selamanya aku belum pernah

meleset”

“Lalu Toa nio inginkah apa?”

“Biarlah siauw ko sembarang beri apa saja”

Mendengar jawaban itu diam-diam Ti Then menggerutu, dengan

nada mencoba tanyanya lagi.

“Toa nio inginkan uang atau barang yang lain?”

“Mau uang.” sahut Nenek iblis penghalang jalan itu “Tapi bila di

dalam tubuh siauw ko ada barang yang jauh lebih berharga dari

uang perak sedang siauw ko rela diserahkan padaku maka aku akan

menerimanya dengan penuh perasaan gembira.”

“Cayhe hanya punya uang perak saja, barang yang lain tidak

ada lagi.”

“Kalau begitu beri aku uang perak itu saja.”

“Ehmmm . . . kenalkah Toa nlo kepada cayhe?”

“Tidak.” sahut nenek iblis penghalang jalan itu. “selamanya aku

tidak pernah punya pikiran untuk kenal dengan siapa pun juga.” Ti

Then termenung berpikir sebentar.

“Jika cayhe tidak beri uang kepada mu, kau punya niat berbuat

apa?”

“He he he . . . .” Tertawa nenek iblis penghalang jalan itu dengan

amat seramnya. “sesudah bertemu nenek iblis penghalang jalan jika

tidak mau bongkar harta sendiri untuk menderma, hal itu

merupakan pekerjaan seorang yang amat tolol.”

“Ha ha ha . . . bukannya cayhe sayang terhadap beberapa tahil

uang perak tersebut, aku takut Toa nio tidak pandang sebelah mata

pun terhadap uangku itu.”

“Hal ini harus tergantung pada siauwko mau beri berapa, kalau

beberapa tahil perak saja sudah tentu aku tidak akan mau.”

Dari dalam sakunya Ti Then mengambil keluar uang perak

seberat sepuluh tahil kemudian dilemparkan kearahnya. “Sepuluh

tahil perak ini coba Toa aio lihat cukup tidak ??”

Nenek iblis penghalang jalan itu segera menyambut uang yang

dilempar kearahnya itu, sesudah ditimang timang beberapa saat

ditangannya segera dilempar kembali kearah Ti Then, ujarnya:

“Aku kembalikan padamu, terlalu ringan.”

“Sebetuinya Toa nio minta berapa baru merasa puas” Tanya Ti

Then sambil menerima kembali uang peraknya itu. “Paling sedikit

seratus tahil perak.”

Mendengar perkataan itu Wi Lian in yang berada disisi Ti Then

menjadi amat gusar, bentaknya dengan nyaring:

“Nenek jelek, aku lihat matamu sudah buta agaknya, baiklah, aku

beri barang ini saja kepadamu.”

Tubuhnya yang kecil ramping dengan cepat melayang turun dari

atas tunggangannya, serentetan sinar putih berkelebat dari

pinggangnya, dengan kecepatan yang luar biasa menotok ke

hadapan tubuh nenek iblis penghalang jalan itu.

Nenek iblis penghalang jalan hanya tertawa terkekeh kekeh

dengan seramnya, tubuhnya dengan cepat meloncat mundur

beberapa kaki ke belakang sedang mulutnya teriaknya dengan

keras:

“Tunggu sebentar, kau sudah tidak maui nyawa kekasihmu itu

???”

Wi Lian In yang mendengar perkataannya sedikit mengherankan

menjadi melengak, sambil menghentikan serangannya dengan gusar

tanyanya: “Kau bilang apa ???”

“Jika dia tidak aku beri obat penawar nyawanya tidak akan kuat

bertahan satu jam lagi” . sahut nenek iblis penghalang jalan itu

sambil menuding kearah Ti Then-

“Omongan nenekmu”

Pedang panjangnya digetarkan, sekali lagi dia menubruk

kearahnya.

Dengan cepat seru Ti Then begitu melihat gerakannya itu:

“Jangan bergerak, perkataan dari Toa nio ini sedikit pun tidak

salah.”

Begitu Wi Lian In mendengar Ti Then mengakui perkataannya itu

dalam hati menjadi sangat terkejut, dengan gugup dia menahan

serangannya kemudian menoleh kearah Ti Then-“Sudah terjadi

urusan apa??”

“Aku terkena racun yang berbahaya..”

“Kau terkena racun ?? ” tanya Wi Lian In melengak.

“Benar.” sahut Ti Then sambii mengangguk. Toa nio ini sesudah

menerima uang perak itu secara diam-diam sudah melapisi uang itu

dengan semacam racun yang sangat berbahaya kemudian baru

dikembalikan kepadaku, kini tangan kananku sudah kaku tidak

sanggup diangkat kembali”

Lengan kanannya dengan lemas melurus ke bawah tanpa

bergerak, agaknya memang benar sudah terkena racun.

Seketika itu juga Wi Lian in menjadi amat gusar sekali, sambil

menuding ke arah nenek iblis penghalang jalan itu makinya.

” Nenek jelek terkutuk, kau berani menggunakan cara yang kotor

melukai orang lain . . . . . aku adu jiwa dengan kau”

Tubuhnya sekali lagi menerjang ke depan, pedangnya dengan

kecepatan bagaikan kilat menusuk dadanya.” Jangan bergerak” seru

Ti Then cepat.

Terpaksa Wi Lian In menghentikan gerakannya kembali, dengan

uring-uringan serunya “Kau takut apa? sesudah ahu bunuh nenek

busuk ini segera aku rebut obat penawar itu untuk mengobati kau”

“Tidak mungkin . ..” seru Ti Then sambil gelengkan kepalanya. “..

Terlambat. . Racun Toa nio ini sangat lihay sekali, kini racun itu

sudah meresap ke dalam badanku”

“Lalu bagaimana baiknya?” tanya Wi Lian In dengan perasaan

terkejut bercampur cemas…

Dengan perlahan Ti Then angkat kepalanya memandang nenek

iblis penghalang jalan itu, sambil tertawa sedih ujarnya:

“Toa- nio racunmu ini apa namanya. . ternyata begini lihay

kerjanya”

“He he he . . .” Tertawa lagi nenek iblis penghalang jalan itu

dengan amat menyeramkan. “obat itu adalah suc Hun si Kok bun

atau racun pencabut sukma penghancur tulang, cukup terkena

sedikit saja sudah lebih dari cukup untuk membunuh seseorang.”

Tubuh Ti Then bergoyang dengan kerasnya, tanyanya lagi.

“Toa nio, kenapa kau mau bunuh aku dengan menggunakan

racun itu?”

“He he he . . . aku belum tentu pasti membunuh kau, asalkan

kau bisa mengabulkan permintaanku segera akan memperoleh obat

penawar tersebut.”

“Seratus tahil uang perak itu?”

“Itu hanya omongan guyon saja.” Sahut nenek iblis penghalangjalan

itu sambil gelengkan kepalanya, “Sekali pun kau beri selaksa

tahil uang perak kepadaku belum tentu aku mau menerimanya. .”

“Kalau begitu apa yang dimaui Toa nio?”

“Kitab pusaka Ie cin Keng. .”

“Heeei …. sayang . . . sayang. .” Seru Ti Then sambil menghela

napas panjang. “Kitab pusaka Ie cin Keng itu sudah tidak berada

ditanganku lagi”

“Hmmm . . . hmmm . . jangan menipu aku, kitab pusaka Ie cin

Keng saat ini masih berada tanganmu”

“Sungguh.” seru Ti Then dengan air muka serius. “Kemarin ketika

masih berada di dalam kota Ho Kiang Sian secara diam-diam cayhe

sudah suruh seseorang mengirim kitab pusaka Ie cin Keng itu bawa

pulang ke dalam Benteng Pek Kiam Po.” Dengan sangat dingin

nenek iblis penghalang jalan itu mendengus.

“Kau perbolehkan aku memeriksa badanmu?”

“Boleh . . boleh. .” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Jika kau

temukan maka aku akan sembahkan kitab itu kepadamu tanpa

syarat.”

Ketika nenek iblis penghalang jalan itu mendengar dia menyawab

dengan begitu ringannya dalam hati dia sedikit percaya juga,

ujarnya kemudian.

“Baiklah, aku mau percaya omonganmu itu. sekalang aku mau

beri waktu pada kalian berdua. Kau harus mengusahakan di dalam

dua hari ini mengejar kembali kitab pusaka Ie Cin Keng itu.”

“Tapi orang itu sudah berangkat satu hari satu malam,

bagaimana aku bisa mengejarnya?”

“Hemmm . . . mudah sekali.” sahut ttenek iblis penghalang jalan

itu sambil menunjuk kearah Wi Lian in- “Kuda tunggangan budak itu

merupakan seekor kuda jempolan, seharusnya dia bisa mengejar

orang itu.”

“Tapi kau sudah bilang aku hanya bisa bertahan satu jam saja . .

. .”

“Kau suruh dia pergi kejar.” potong nenek iblis penghalang jalan

itu dengan cepat, “sedang kau tinggal bersamaku, aku bisa memberi

sedikit obat penawar untukmu sehingga racun itu tidak sampai

bekerja lebih cepat”

“Ehmm . . . suatu ide yang sangat bagus” sahut Ti Then sambil

mengangguk.

“Jika kau sudah setuju cepat suruh dia berangkat.”

Dengan perlahan Ti Then menoleh kearah Wi Lian In, ujarnya:

“Nona Wi, kau pergilah mengejar orang itu kembali.”

“Tapi setelah aku berhasil mengejar orang itu, kita harus bertemu

dimana?”

Deggan menggunakan tongkatnya nenek iblis penghalang jalan

itu menuding ke arah utara, ujarnya:

“Di sebelah sana ada sebuah hutan cemara yang sangat rapat,

kau sudah dapat melihat belum?”

Segera Wi Lian in menoleh kearah yang ditunjuk. terlihatlah

kurang lebih satu li dari tempat itu terdapat sebidang tanah yang

ditumbuhi pohon cemara dengan rapatnya, segera dia mengangguk.

“Ehmm … sudah tahu”

“Kita akan menanti kau di dalam sebuah kuil bobrok ditengah

pohon cemara itu, Pada hari lusa saat seperti ini jika aku tidak

melihat kau kembali dengan membawa kitab pusaka Ie Cin Keng itu

maka aku segera akan bunuh mati dia”

Wi Lian in tidak mengucapkan kata-kata lagi, segera dia meloncat

naik ke atas kuda Ang san Kheknya dan dilarikan dengan cepat ke

depan.

Nenek iblis penghalang jalan itu sesudah melihat bayangan wi

Lian in lenyap dari pandangan barulah ujarnya kepada Ti Then-

“Ayoh jalan, kita tunggu di dalam kuil bobrok itu”

“Cayhe kini merasa setengah badan sudah menjadi kaku, jika

naik kuda mungkin bergerak sedikit saja segera akan terjatuh”

“Tangan kirimu masih bebas, gunakan tangan kirimu untuk

mencekal tali les kuda”

“Bukankah kau bisa beri aku sedikit obat pemunah?”

“Tunggu sesudah tiba di dalam kuil bobrok itu kita bicarakan lagi”

Ti Then tidak bisa berbuat apa-apa lagi, terpaksa mengikuti

perkataannya dengan menggunakan tangan kiri mencekal tali les

kuda, sesudah duduk tenang barulah dengan perlahan dia jalankan

kudanya menuju kearah hutan cemara itu.

Nenek iblis penghalang jalan pun segera mengikuti dari belakang

tubuhnya, ujarnya dengan geram… “Hey cepat sedikit larinya,

jangan perlahan lahan seperti itu.”

Ti Then tetap tidak ambil perduli dengan perlahannya dia maju

ke depan, ujarnya kemudian-

“sungguh aneh sekali, dahulu bagai mana cayhe belum pernah

dengar sebutan Toa nio ini ??”

“Dulu aku tidak disebut Nenek iblis penghalang jalan”

“Lalu siapa nama Toa nio yang sebetuinya ??”

“Aku sudah ada dua puluh tahun lamanya tidak pernah berkelana

di dalam dunia kangouw, Pada dua puluh tahun yang lalu aku

disebut sebagai “Tok Mey Jin” atau perempuan cantik berbisa.”

“Oooh . .” seru Ti Then kaget. “Kiranya Toa nio adalah Tok Mey

Jin yang pernah menggetarkan dunia kangouw Pada masa yang

silam, tapi . . . cayhe dengar sewaktu muda Toa nio sangat cantik

sekali bagaimana kini bisa berubah menjadi begini rupa ???.”

“Kau tanya belang-belang putih Pada wajah ku ini??.”

“Benar, kenapa bisa begitu??.”

“Sesudah kau ketahui sebutanku, sudah tentu tahu juga ilmu

andalanku yang paling utama bukan ??”

“Tahu” sahut Ti Then sambil mengangguk. . “Katanya Toa nio

paling gemar menyelidiki berbagai macam racun, kau adalah jago

ahli di dalam penggunaan racun”.

“Belang-belang putih pada wajahku ini akibat dari penyelidikan

racun-racun itu.”

“Ooooh kiranya begitu” seru Ti Then sambil memandang kearah

wajahnya.

“Hanya dikarenakan gemar bermain racun mengakibatkan wajah

yang cantik menjadi jelek, bukankah hal itu terlalu sayang???”

“Sudah tentu sedikit tidak berharga, hanya saja akhirnya aku

berhasil membuat suatu racun yang tanpa bandingan di dalam Bu

lim pada saat ini.”

“Tapi apa gunanya???”

“Hmm.. . hmm… jika tidak berguna ini hari kau tidak akan

mengikuti aku dengan demikian penurutnya . ”

“Aduh. . . celaka. .” Teriak Ti Then tiba-tiba. “Kaki kiriku sudah

tidak bisa bergerak lagi.”

“Jangan berteriak lagi, nanti sesudah sampai dikuil aku beri kau

sedikit obat penawarnya”

Sesaat mereka bercakap cakap itulah mereka berdua sudah

memasuki hutan cemara itu.

Kuil bobrok yang dimaksud merupakan kuil gunung yang terletak

ditengah tengah hutan cemara itu, walau pun dari luaran

kelihatannya sudah rusak dan hampir roboh tapi masih cukup aman

untuk digunakan sebagai tempat meneduh dari hujan-

Sesampainya di depan kuil itu Ti Then hanya merasakan

sepasang kakinya sudah menjadi kaku tidak bisa bergerak lagi,

ujarnya kemudian sambil memegang kencang kudanya. “Aku tidak

bisa bergerak lagi.”

Nenek iblis penghalang jalan itu segera mencengkeram baju

punggungnya kemudian menyeret dia ke dalam kuil tersebut. Tapi

baru saja berjalan hingga ruangan dalam mendadak matanya

terbentur dengan sesuatu. secara mendadak air mukanya berubah

sangat hebat teriaknya.

“Bagus sekali, siapa yang tidak tahu diri …”

Berbicara sampai ditengah jalan mendadak tubuhnya tergetar

amat hebat kemudian rubuh terjengkang dengan perlahan kearah

depan-

Kiranya dia sudah melihat di atas dinding di dalam ruangan kuil

itu tertuliskan delapan hurup yang amat besar .

” Nenek iblis penghalang jalan, saat kematianmu sudah tiba.”

Hanya saja untuk sesaat lamanya dia sama sekali tidak menduga

kalau di dalam kuil itu sudah bersembunyi seorang musuh pada saat

dia memaki dengan perasaan gusar bercampur terkejut itulah

terlihatlah sesosok bayangan tubuh manusia secara mendadak

berkelebat dari belakang pintu kuil, satu kali totokan dengan tepat

menghajar jalan darah Yu Ming Hiat pada punggungnya .

Karenanya sebelum dia selesai berbicara tubuhnya sudah rubuh

ke atas tanah.

Orang yang bersembunyi di balik pintu kuil kemuuian

membokong melancarkan serangan kearah Nenek iblis penghalang

jalan itu bukan orang lain melainkan Wi Lian in adanya.

Tubuh Ti Then ikut dengan Nenek iblis penghalang jalan itu

rubuh ke atas tanah ujarnya sambil tertawa:

“Sejak tadi sulah kuduga kau bisa berbuat begini.”

Sambil tersenyum Wi Lian in membimbing dia bangkit berdiri.

“Bagaimana rasanya sekarang????”

“Seluruh badanku tidak bisa bergerak lagi”.

Wi Lian In segera membimbing tubuhnya bersandar Pada dinding

kuil kemudian membalikan badan nenek iblis penghalang jalan itu,

tangannya dimasukan ke dalam sakunya mengambil keluar tiga

buah botol kecil yang terbuat dari batu pualam.

Terlihatlah di dalam ketiga botol itu berisikan obat-obat bubuk

dengan warna kuning, putih serta hitam, Melihat hal itu tanpa terasa

lagi dia mengerutkan alisnya rapat-rapat. “Heeei . . yang mana

merupakan obat penawar?” tanyanya. “Lebih baik sadarkan dia

terlebih dulu kemudian baru bertanya lebih jelas”

Wi Lian In terpaksa meletakan kembali ketiga buah botol

porselen itu, sesudah menotok jalan darah kaku pada tubuh Nenek

iblis penghalang jalan itu barulah dia membebaskan jalan darah Yi

Ming Hiat nya.

“Hei . . kali ini kau yang sudah menolong jiwaku” Ujar Ti Then

sambil menghela napas panjang. “seharusnya kali ini aku

mengucapkan terima kasih kepadamu”

“Hemm, kenapa sungkan-sungkan begini”

Ti Then tersenyum, dengan cepat dia berganti bahan pokok

pembicaraan.

” Nenek iblis penghalang jalan ini sebetulnya merupakan Tok May

Jin Han Giok Bwe yang pernah menggetarkan dunia kangouw pada

masa yang silam, tentu kau pernah dengar sebutan itu bukan?”

“Oooh” jerit Wi Lian in dengan amat terkejut. “Tapi aku dengar

Tok May Jin Han Giok Bwe merupakan seorang yang paling cantik

dalam dunia kangouw sedangkan dia kini merupakan seorang nenek

yang amat jelek?”

“Dia bilang belang-belang putih pada wajahnya itu merupakan

akibat dari percobaannya terhadap obat beracun-”

“Tidak aneh kalau dia sangat lama tidak munculkan dirinya di

dalam Bu lim, kiranya dia malu untuk bertemu dengan orang . . .

Hmm, kau sudah sadar kembali”

“Tidak salah,” Nenek iblis penghalang jalan itu memang sudah

sadar kembali.

Agaknya dia sedang berusaha menggerakkan tubuhnya,

terlihatlah pada belang-belang putih pada wajahnya itu memancar

keluar sinar merah yang samar-samar. Makinya dengan amat gusar.

“Budak jelek, kiranya kau”

Wi Lian In segera maju ke depan menggampar pipinya dengan

amat keras. “Ayoh maki lagi, aku segera akan cabut mulutmu” .

Terpaksa Nenek iblis penghalang jalan itu mendengus saja tanpa

berani memaki lagi.

“Hey aku tanya kau, kau mau mati atau mau hidup???” Tanya Wi

Lian In dengan keren.

“Aku pilih mati, cepat kau turun tangan-”

Wi Lian in menjadi melengak “Kau cari mati??”

“Ehmm. . . .”

Wi Lian In mengambil kembali ketiga buah botol dari atas tanah,

tanyanya:

“Ketiga macam obat bubuk ini yang mana merupakan obat

penawar ??”

“Tidak tahu”

Wi Lian In menjadi amat gusar, bentaknya setengah menjerit:

“Kamu tidak mau bilang nanti aku bunuh kau. .”

“Ehmm ….. hemmm tunggu apa lagi ???”

Melihat sifatnya yang ketus seperti batu cadas itu untuk beberapa

saat Wi Lian In dibuat serba salah, sambil menggigit kencang

bibirnya kemudian baru ujarnya lagi.

“Asal kau mau beritahu botol yang mana berisikan obat penawar,

bagaimana kalau aku lepaskan kau?”

” Hemmm . . hemmm . . . jangan harap” sahut nenek iblis

penghalang jalan itu tetap dengan nada yang amat dingin-

Wi Lian in dibuat tidak bisa berkutik lagi, terpaksa dia menoleh

kearah Ti Then minta pendapatnya.

“Dia tidak mau mengaku botol yang mana berisi obat penawar,

lalu bagaimana baiknya?”

“Kau dengar saja perintahku kemudian melaksanakannya . ..

sekarang cabut pedangmu.”

Wi Lian In menurut dan mencabut keluar pedangnya dari dalam

sarung. ” Kemudian ?”

“Kerek keluar biji matanya”

Wi Lian In segera menempelkan ujung pedangnya ke pinggiran

kulit mata sebelah kanan Nenek iblis penghalang jalan itu, lagaknya

seperti sungguh-sungguh hendak mengorek keluar biji matanya.

Air muka nenek iblis penghalang jalan itu segera berubah pucat

pasi bagaikan mayat, teriaknya ngeri. “Jangan . . aku nanti beri

tahu”

“Hmm . . cepat katakan-”

“Bubuk yang kuning adalah obat penawar itu”

“Lalu bagaimana cara menelannya?” tanya Wi Lian In lagi sambil

menarik kembali pedangnya.

“Hmm . .” Dengus nenek iblis penghalang jalan itu dengan

gemasnya. “Minumkan satu tetes sudah cukup”

Dengan cepat Wi Lian in mengeluarkan bubuk obat berwarna

kuning itu pada telapak tangannya kemudian disodorkan ke

hadapan Ti Then-“Kau bukalah mututmu, biar aku yang bantu kau.”

“Tidak, berikan dia terlebih dulu”

Wi Lian In berpikir cara ini pun memang benar, maka dengan

langkah perlahan dia berjalan kembali ke samping tubuh nenek iblis

penghalang jalan itu, bentaknya. “Buka mulutmu, cepat kau makan

dulu obatmu ini”

“Heeei . . sudahlah, tidak kusangka kegagahanku pada masa

yang silam harus habis dihari ini. . Hoi. . bubuk putih itu baru obat

penawar yang sebenarnya”

“Nenek busuk.” Maki Wi Lian in dengan gusar. “Jika bukannya Ti

Toako selalu waspada kurang sedikit kau tipu mentah-mentah lagi”

Sehabis berkata dia membuang botol obat berwarna kuning itu

ke atas tanah dan mengambil bubuk yang berwarna putih, sesudah

mengeluarkan sedikit diangsurkan kedekat mulutnya.

“Ayooh… kau makan dulu obat ini”

Nenek iblis penghalang jalan itu tidak melawan, dengan buka

mulutnya lebar-lebar dia menelan habis obat bubuk itu.

Setelah ditunggu beb erapa saat Wi Lian in tetap tidak melihat

perubahan apa pun pada dirinya, barulah dia mengeluarkan lagi

bubuk itu dan diberikan pada Ti Then-

Begitu obat itu masuk ke dalam mulutnya Ti Then segera

merasakan suatu hawa dingin merembes masuk ke dalam perutnya

kemudian hawa dingin itu berubah menjadi suatu aliran yang amat

pangs mengaliri seluruh badannya, dalam hati dla tahu obat itu

memang betul-betul obat penawar, tanyanya kemudian-

“Hoy nenek iblis penghalang jalan, bubuk kuning itu sebetuinya

obat apa?”

“Mie Hun Yok atau obat pembingung sukma, siapa saja yang

menelan obat itu segera akan menjadi gila.”

“Ehmm . . . lalu bubuk hitam itu adalah bubuk sun Hun si Kok

hun tersebut?”

Baru saja nenek iblis penghalang jalan itu hendak memberikan

jawabannya mendadak seperti sudah mendengar sesuatu air

mukanya terlihat berubah sangat hebat sekali, dengan perasaan

terkejut bercampur cemas ujarnya:

“Aduh celaka. Hey budak cepat bebaskan jalan darahku, kalian

segera akan berubah menjadi setumpukan tulang-tulang putih.”

Melihat sikapnya yang sungguh-sungguh dan amat serius tidak

urung wi Lian in dibuat merasa terkejut juga, bentaknya: “Kau

jangan omong kosong”

“Benar” seru Ti Then juga. “Hoy nenek iblis penghalang jalan apa

arti perkataanmu itu ? Kenapa kalau kita tidak bebaskan jalan

darahmu maka kita akan berubah menjadi tulang-tulang putih?”

“Yu Toa Hay sudah bawa kawanan ular berbisanya kemari”

“Sungguh??” Tanya Ti Then dengan amat terperanyat sehingga

hampir-hampir meloncat bangun- “Kenapa aku sama sekali tidak

dengar suaranya?”

“Dia masih berada kurang lebih ratusan kaki jauhnya dari kuil ini,

sudah tentu kau tidak mungkin bisa dengar.”

“Lalu bagaimana kau bisa mendengar suaranya? ” Tanya Ti Then

dengan penuh keheranan-

“Aku sendiri juga tidak dengar, tapi ketika tadi ada angin yang

bertiup datang ditengah tiupan angin itu secara samar-samar

membawa bau yang amat amis sekali. Ular- ular berbisa dari

Majikan ular Yu Toa Hay itu aku paling jelas mengetahuinya, hawa

itu memang tidak salah lagi bau dari ular-ular berbisanya.” Berbicara

sampai di sini dia berhenti sebentar, kemudian sambungnya lagi: ”

Cepat bebaskan aku kalau tidak mungkin akan terlambat.”

Dengan perlahan Ti Then bangkit dan berjalan keluar dari kuil

untuk melihat ujarnya kemudian sambil kembali ke dalam ruangan.

“Tentu dia atur barisan selaksa ularnya terlebih dahulu

disekeliling kuil ini dengan perlahan-lahan, jika kau tidak percaya

omonganku nanti jangan menyesal”

“Aku bisa percaya omonganmu itu, tapi menunggu sesudah dia

munculkan diri baru bebaskan dirimu kiranya juga belum terlambat.”

“Tapi sesudah kau melihat munculnya dia saat itu sudah sangat

terlambat” ujar nenek iblis penghalang jalan itu dengan amat gusar.

“Yaaah . . . terserah.” seru Ti Then sambil angkat bahunya.

“Kemarin pagi aku sudah pernah menyajal ular- ular beracunnya,

walau pun aku tergigit oleh ularnya itu tapi tidak selihay apa yang

aku duga sebelumnya, aku percaya masih punya kekuatan untuk

melawan mereka.”

Sebaliknya ketika Wi Lian In mendengar mereka sedang

membicarakan soal ular air mukanya tidak terasa berubah menjadi

amat murung. ujarnya dengan cemas. “Kini kau sudah bisa turun

tangan belum?”

“Sudah”. sahut Ti Then sambil mengangguk. “Seluruh badanku

sudah bisa bergerak semua. .”

“Hemmm . . hemmm . . , kau jangan terlalu tidak pandang

barisan selaksa ularnya majikan ular itu.” Timbrung nenek iblis

penghalang jalan itu sambil mendengus. . “Keadaan pada kemarin

pagi aku sudah melihat semuanya, saat itu majikan ular tidak

berada di atas bukit itu sedang di atas bukit pun banyak tumbuh

bambu dengan lebatnya sehingga kau masih bisa menggunakan

ilmu meringankan tubuhmu untuk melarikan diri, tapi situasi pada

tempat ini sangat lain-” Ti Then tersenyum.

“Sekali pun tidak sama aku juga ingin menyajal, melarikan diri

bagaimana pun juga bukan suatu cara yang tepat.”

“Hemm . . . di dalam dunia kangouw saat ini hanya aku seorang

yang bisa memecahkan barisan selaksa ularnya Majikan ular itu,jika

kau pingin bertempur melawan mereka tentu akan menemui binasa”

Mendengar perkataan itu dalam hati diam-diam Ti Then merasa

sedikit bergerak. sambil memandang tajam wajahnya dia bertanya

lagi.

” Kau punya cara apa untuk menolak dan memecahkan barisan

selaksa ularnya”

“Kau bebaskan jalan darahku dulu, aku segera akan

melaksanakannya untuk kalian lihat.”

“Tidak.” sahut Ti Then ketus. “Kau bicara lebih dulu.”

” Kalau aku beritahukan kepadamu kau mau melepaskan aku

tidak???”

“Asalkan kau tidak cari gara-gara lagi kepadaku untuk minta kitab

pusaka Ie cin Keng yang kau maksud itu sudah tentu aku mau

melepaskan kau pergi”

Nenek iblis penghalang jalan menundukkan kepalanya termenung

berpikir sebentar kemudian barulah sabutnya:

“Baiklah, bubuk obat berwarna kuning itu bisa melawan barisan

selaksa ularnya Majikan ular, cepat kau ambil bubuk itu dan

sebarkan disekeliling kuil, dengan demikian kita tidak akan takut lagi

terhadap serangan ular-ular berbisa itu.”

000000

BAGIAN 19

TI THEN segera memungut botol yang berisikan bubuk bewarna

kuning itu, sambil memperhatikan botol tersebut ujarnya.

“Tadi kau bilang isi bubuk kuning ini adalah obat Mie Hun Yok.

apa bubuk ini juga bisa digunakan untuk memabokkah ular- ular

berbisa?”

“Tidak salah. ..” sahut nenek iblis penghalang jalan itu sambil

mengangguk.

“Bubuk Mie Hun Yok ku itu bisa membuat kesadaran orang

menjadi kacau, juga bisa digunakan pula untuk menggilakan

binatang-binatang buas.”

“Tapi jika ular- ular berbisa itu menjadi gila, bukankah malah

semakin sukar untuk menghadapinya? ”

“Di dalam bubuk kuning itu sudah aku campur dengan belerang,

jika ular- ular berbisa itu mencium baunya belerang mereka tidak

akan berani menyerbu ke dalam kuil lagi . . . sudahlah, jika kau

tidak mau membebaskan jalan darahku, cepatlah sebarkan bubuk

kuning itu disekeliling kuil, jangan banyak omong lagi.”

Ti Then tersenyum, segera dia meloncat ketengah kuil dan

membuang penutup botolnya, sesudah itu barulah menyebarkan

bubuk kuning tersebut kesekeliling kuil bobrok itu, di dalam sekejap

saja sudah terlihatlah bubuk kuning itu dengan berbentuk lingkaran

melingkari kuil itu. Ujarnya kemudian- .

“Hei nenek iblis penghalang jalan, aku mau beritahu sesuatu

urusan kepadamu”

“Hemm . . kau mau ingkari omonganmu” Dengus nenek iblis

penghalang jalan itu dengan amat dingin..

“Bukan, nanti sesudah menghancurkan barisan selaksa ularnya

Majikan ular aku segera akan melepaskan kau pergi, aku mau bilang

sebetuinya aku tidak memperoleh itu kitab pusaka Ie Cin Keng

seperti yang sudah disiarkan di dalam Bu lim, berita itu sengaja

disebarkan oleh setan pengecut serta si naga mega Hong Mong Ling

dari benteng Pek Kiam Po untuk bertujuan mencelakaiku”

“Hemm . . siapa itu setan pengecut?” tanya nenek iblis

penghalang jalan itu lagi sambil mendengus.

“Tidak tahu, dia memakai sebuah kerudung dari kain hitam pada

wajahnya sehingga tidak kelihatan air muka yang sebetuinya,

karena itu aku memanggil dia sebagai si setan pengecut, dia

menyelusup masuk ke dalam Benteng Pek Kiam Po menculik pergi

nona Wi, akhirnya aku temui mereka dan melukai sedikit kulit kulit

kepalanya dan menolong nona Wi kembali, mungkin karena dia

tidak bisa mengalahkan aku sengaja sekongkol dengan Hong Mong

Ling menyebarkan berita kosong itu, mengatakan aku sudah

memperoleh kitab pusaka Ie Cin Keng yang sudah lama hilang itu”

“Aku pernah dengar katanya Hong Mong Ling itu hendak

dikawinkan dengan nona Wi ini, bagaimana secara mendadak bisa

bentrok dengan pihak Benteng Pek Kiam Po?”

“Soal ini ..” sahut Ti Then tersenyum. “Sebenarnya soal ini

dikarenakan sifatnya yang jelek dan suka pelesir, sering sekali

secara diam-diam dia keluar dari Benteng cari perempuan, berita ini

akhirnya diketahui nona Wi sehingga begitulah Wi Pocu di dalam

keadaan gusar sudah putuskan hubungan ini, dia mengira akulah

yang sudah merusak hubungannya itu karenanya di dalam keadaan

gusar sudah melakukan pekerjaan ini”

“Walau pun aku tidak tahu jelas persoalannya, tapi kau memang

mungkin sengaja hendak merusak perkawinan mereka”

“Benar atau bukan aku wegah debat dengan kau, asalkan kau

mau percaya kalau aku tidak mendapatkan kitab pusaka Ie Cin Keng

itu sebentar lagi pasti aku lepaskan kau pergi, setelah itu aku harap

kau jangan datang mencari gara-gara lagi kalau tidak jangan

salahkan pedangku tidak kenal am pun. Aku sudah bunuh mati tiga

orang kini tidak mungkin akan memperlakukan istimewa terhadap

dirimu…”

Baru saja dia selesai berbicara mendadak terdengar suara

mendesis yang sangat perlahan tapi ramai berkumandang datang

dari delapan penjuru angin-Air muka Wi Lian In berubah amat

hebat, teriaknya: “Majikan ular sudah datang”

Dengan perlahan Ti Then mencabut ke luar pedangnya, ujarnya

sambil tertawa dingin-“Lebih balk kakek kura-kura Phu Tong song

itu pun ikut datang kemari”

Baru saja dia bicara terdengarlah si majikan ular Yu Toa Hay

sudah berteriak dengan amat keras dari luar kuil:

“Hey nenek tua yang berada di dalam kuil, cepat keluar untuk

bicara”

“Hmmm . . . hmmm . . . kalau mau buang kentut cepat

dilepaskan- balas nenek iblis penghalang jalan itu dengan amat

dingin.

Majikan ular Yu Toa Hay berdiam sebentar tidak bicara,

kemudian ujarnya lagi: ” Kenapa kau tidak keluar”

“Homm . . .jika mau temul aku cepat bergelinding masuk. .”

“Ha ha ha ha . . . baiklah. .” sahut majikan ular Yu Toa Hay

sambil tertawa terbahak bahak. “Kita bicara secara begitu pun boleh

juga, sekarang beritahu dulu pada lohu kau menyebut dirimu

sebagai Nenek iblis penghalang jalan tapi selamanya Lohu belum

pernah mendengar sebutan ini di dalam Bu lim, siapa sebetulnya

kau ??”

“Hei manusia jelek jangan berkentut di sana, orang lain mungkin

takuti kau sebagai Majikan ular tapi aku tidak akan takut.”

“Ha ha ha . . . kalau tidak takut kenapa tidak berani keluar untuk

bertemu ?”

Dengan perlahan Nenek iblis penghalang jalan itu menoleh

kearah Ti Then sambil ujarnya dengan perlahan

” Cepat bebaskan totokan jalan darahku, biar aku keluar

menemui bangsat jelek itu”

“Tidak bisa” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya. “Jika kau

berbalik muka dan berdiri satu garis dengan mereka bukankah

menambah kerepotan bagiku.” Nenek iblis penghalang jalan itu

menjadi teramat gusar.

“Kau sudah sebarkan bubuk Mie Hun Yok itu disekeliling kuil,

masih takut apa lagi?”

Ti Then dengan perlahan menyandarkan tubuhnya ke samping

jendela dekat pintu kuil itu untuk melongok ke depan, terlihatlah

majikan ular Yu Toa Hay sedang berdiri kurang lebih sepuluh kaki

dari kuil bobrok dimana mereka berada, sedang ular-ular

beracunnya persis berdiri di depannya menanti perintah

penyerbuan, segera dia mengundurkan kembali kesisi nenek iblis

penghalang jalan itu sambil sahutnya dengan perlahan-

“Ular-ular beracunnya kini berada kurang lebih lima kaki dari

bubuk Mie Hun Yok yang kita sebar pada sekeliling kuil ini sedang

dia pun masih berdiam diri menanti. Aku harus menunggu dulu

kehebatan dari obat Mie Hun Yok mu itu, jika sudah membuktikan

kalau bubuk itu cukup untuk menahan serangan ular-ular itu,

barulah aku mau bebaskan dirimu.”

“Hmmm . ..” Dengus nenek iblis penghalang jalan itu sedikit

mangkel “Kau bangsat cilik sungguh banyak curiga, apa kau kira aku

sudah menipu kalian-”

“Hm jika kau tidak pandai menipu orang, aku pun tidak akan

terkena racun sue hun si Kok bun mu yang lihay itu”

Baru dia selesai bicara terdengar majikan ular Yu Toa Hay yang

berada diluar kuil sudah menggember dengan keras: “Hoi Nenek

jelek, kenapa kau tidak bicara?”

“Mataku sudah mulai mengantuk. malas kalau suruh bicara

dengan kau tua bangkotan”

“Kau apakan bangsat cilik itu?”

“Dia belum mati”

“Hei nenek jelek” seru majikan ular lagi dengan keras. “Kau

percaya budak itu sungguh-sungguh pergi mengejar kitab pusaka Ie

Cin Keng itu untukmu?”

“Sudah tentu”

“Lohu beritahu padamu, kau sudah tertipu”

“Ooh begitu??” sahut Nenek iblis pengbalang jalan itu dengan

perasaan wegah.

“Pagi ini Kakek kura-kura pernah mengikuti jejak mereka sejak

meninggalkan kota Ho Kiang sian makanya ketika kau menghalangi

perjalanan mereka kemudian menawan bangsat cilik itu dia sudah

melihatnya semua dengan amat jelas, kau kira budak itu sungguhsungguh

pergi mengejar kitab pusaka Ie Cin Keng itu? Ha ha ha. . .

. sesudah ampai ditengah jalan budak itu suduh putar jalan menuju

kemari, lohu sekali pandang aja sudab tahu kalau budak itu punya

maksud untuk menolong orang, karenanya tidak lanjutkan

menguntit dirinya. Kemungkinan sekali budak itu kini sudah

bersembunyi di dalam kuil itu.”

” Kalau betul lalu bagaimana?” seru Nenek iblis penghalang jalan

itu setengah jengkel.

“Budak itu bukan tandinganku, dia tidak sanggup memukul rubuh

aku dia jangan harap bisa memperoleh obat penawar itu.”

“Hoy nenek jelek, dari pada kita saling bentrok satu sama lainnya

lebih baik kita rundingkan secara bersama-sama saja, sesudah kau

memperoleh kitab pusaka Ie Cin keng itu bagaimana kalau kita

bertiga sama sama mempelajarinya ??”

“Huei bangsat tidak tahu diri, kau boleh pergi mimpikan

impianmu yang lucu itu.”

“He he . . .jika kau tidak mau menyanggupi terpaksa hanya

satujalan kematian yang akan kau terima.”

“Kentutmu. ”

“Cukup lohu meniup seruling ini, maka di dalam sekejap saja

badanmu hanya tinggal tulang-tulang putih yang bertumpuk.”

“Kentutmu kali ini semakin bau lagi.”

Agaknya majikan ular Yu Toa Hay sudah dibuat gusar oleh

omongannya yang ketus itu, teriaknya tiba tiba.

“Phu heng, baik-baik jaga belakang kuil, jangan sampai

membiarkan nenek jelek ini melarikan diri.”

segera terdengarlah suara sahutan dari kakek kura-kura Phu

Tong seng yang agaknya berasal dari belakang kuil.

“Yu heng harap legakan hati, sekali pun nenek jelek itu punya

sayap juga jangan harap bisa meloloskan diri”

“Hoy nenek jelek” seru Majikan ular lagi dengan keras. .. “sekali

lagi lohu beri waktu bagimu untuk pikir-pikir, jika. .”

“Telur busuk mulut makmu” Potong nenek iblis penghalang jalan

itu sambil memaki.. . “kau masih punya kepandaian selihay apa

silahkan gunakan semua, tidak perlu menggonggong lagi seperti

anying busuk ditempat ini. .”

“Baiklah” Teriak majikan ular dengan amat gusar, “Kau boleh

coba coba rasakan kelihaianku”

Tidak lama kemudian terdengarlah mengalunnya suara irama

seruling yang amat merdu berkumandang memenuhi seluruh

penjuru tempat.

Ti Then serta Wi Liau Iri dengan tergesa-gesa meloncat ke depan

jendela untuk melongok ke depan, terlihatlah kawanan ular-ular

beraCun itu setelah mendengar suara irama seruling tersebut segera

menjulurkan lidahnya dan mulai bergerak seekor demi seekor

mendekati kuil bobrok tersebut.

Sebaris demi sebaris, seekor demi seekor bagaikan adanya

berlaksa tentera yang sedang menyerbu terlihat sinar yang sangat

menyilaukan mata memancar keluar dari sekitar tanah kuil itu,

kurang lebih lima ratus ekor ular berbisa sudah mulai menyerbu

datang.

Melihat hal itu tanca terasa lagi bulu kuduk Wi Lian In pada

berdiri, ujarnya dengan perlahan.

“Jika bubuk Mie Hun Yok di atas tanah itu tidak mempan, ini hari

kita akan alami nasib yang lebih mengenaskan lagi”

“Kau pergilah menyaga pintu belakang” ujar Ti Then kemudian- ”

Untuk sementara jangan sampai membiarkan kakek kura-kura itu

menemui dirimu, tidak perduli bubuk Mie Hun Yok itu mempan atau

tidak. nanti kita serbu mereka secara mendadak supaya mereka

menjadi kelabakan setengah mati”

“Ehm . .” sahut Wi Lian In sambil mengangguk kemudian dengan

sekali lompatan berdiri bersiap-siap di samping jendela dipintu

belakang kuil itu, Beratusan ekor ular berbisa bagaikan riak ombak

di tengah sungai dengan dahsyatnya mulai mendekati kuil itu lagi.

Suara irama seruling yang bergema semakin lama semakin cepat,

sedang gerakan ular itu pun semakin lama semakin cepat bagaikan

kilat, di dalam sekejap mata saja ular-ular beracun yang paling

depan sudah mendekati lingkaran bubuk Mie Hun Yok yang tersebar

disekeliling kuil itu.

Begitu ular-ular beracun itu mencium bau dari bubuk Mie Hun

Yok bagaikan baru saja terkena percikan api seketika itu juga putar

tubuh dan berputar balik ke belakang.

Jika dipandang dari tempat kejauhan pemandangan tersebut

persis seperti ombak yang memukul pantai kemudian membalik lagi.

Tapi walau pun begitu tidak seekor pun dari ular-ular beracun itu

yang berhasil melewati garis tersebut.

Melihat hal itu majikan ular Yu Toa Hay menjadi amat

terperanyat, dengan cepat dia menghentikan tiupan serulingnya.

“Phu heng, bagaimana keadaan di belakang?”

“Keadaannya tidak menguntungkan-..” seru Kakek kura-kura

yang berada di belakang kuil dengan amat terkejut. “Ular-ularmu itu

pada bentrok dan saling membunuh sendiri”

“Neneknya. ” Teriak majikan ular dengan amat gusar. “Tentu

nenek jelek itu sudah sebarkan suatu barang disekeliling kuil itu ….

anying kentut maknya”

Dengan cepat dia melintangkan serulingnya kembali

membunyikan irama yang lain, agaknya dia mau menarik tenteranya

itu

Tapi ular-ular beracun itu sudah kehilangan kendalinya oleh

sebab pengaruh obat Mie Hun Yok tersebut, begitu mendengar

suara seruling itu selain diantara sebagian kecil yang berhasil

meloloskan diri dari bencana, sebagian besar ular-ular beracun itu

sudah pada bentrok dan saling membunuh diantara sesamanya,

suasana menjadi sangat ramai sekali.

Melihat ular-ular berbisanya tidak mau mendengar perintah,

Majikan ular Yu Toa Hay semakin gusar bercampur terkejut, sambil

meloncat-loncat menahan hawa amarahnya dia berteriak dengan

keras.

“Hoy, nenek bangsat. Kau menggunakan barang apa

mengganggu ular-ular lohu itu?”

“Hahahaha menggunakan bekas air pencuci kaki makmu”

Majikan ular Yu Toa Hay tidak bisa menahan kegusarannya lagi,

sambil mengaum keras sekali lompat menerjang kearah kuil itu.

Ti Then begitu melihat dia menerjang ke dalam kuil dengan cepat

jari tangannya melancarkan totokan membebaskan jalan darah kaku

pada badan nenek iblis penghalang jalan itu, kemudian sekali lagi

meloncat ke balik pintu untuk bersembunyi.

“Braaaakl .” Dengan menimbulkan suara yang amat keras pintu

kuil itu terlempar jauh terkena tendangan dahsyatnya. Waktu itu

darah yang mengalir di seluruh badan nenek iblis penghalang jalan

itu belum lancar kembali, karena dia belum punya tenaga untuk

merangkak bangun, terlihatlah sengaja dia rebah terlentang di

dalam kuil dan pura-pura pejamkan matanya.

Begitu majikan ular Yu Toa Hay berhasil menendang rubuh pintu

kuil sekali pandang saja dia sudah melihat nenek iblis penghalang

jalan yang rebah di atas tanah itu, dia tidak tahu kalau sebelumnya

nenek iblis panghalang jalan itu tertotok jalan darahnya, melihat

sikapnya yang tidak pandang musuh dalam hati dia menganggap dia

sengaja berbuat begitu, sehingga mau tak mau dia dibuat tertegunjuga,

teriaknya dengan keras:

“Nenek bangsat. Cepat bangun, lebih baik kita tentukan siapa

yang kuat siapa yang lemah saat ini juga.”

“Eh … eh … .” Seru nenek iblis penghalang jalan itu dengan

setengah jengkel “Dari tadi aku sudah bilang kalau bicara sedikit

perlahan, aku sudah mau tidur kau ganggu lalu . . hei bangsat tua

kau mau berbuat apa”

Majikan ular Yu Toa Hay begitu melihat dia tidak pandang

sebelah mata pun kepada dirinya saking gusarnya air mukanya

tanpa terasa sudah berubah merah padam dengan melototkan

sepasang matanya bentaknya dengan keras:

“Ayoh bangun, kalau tidak jangan salahkan lohu turun tangan

terlebih dulu.”

Nenek iblis penghalang jalan yang melihat Ti Then bersembunyi

di balik pintu kuil segera dalam hati tahu kalau keadaannya tidak

berbahaya. Segera dia balikkan tubuhnya dengan wajah menghadap

ke belakang ujarnya dengan perlahan:

“Oooh bagus sekali, coba punggungku ini gatal cepat garukkan

yang keras.”

Bagaimana pun juga pengalaman majikan ular itu amat luas,

melihat dia berbuat begitu segera tahu kalau ada sesuatu yang tidak

beres, karenanya dia tidak berani langsung masuk ke dalam kuil,

melainkan dengan berdiam diri di depan kuil sepasang matanya

menyapu sekejap ke sekeliling ruangan itu, tanyanya dengan suara

berat: “Dimana bangsat cilik itu”

“Sudah aku telan hidup,hidup,” sahut nenek iblis penghalang

jalan itu seenaknya.

” Nenek bangsat bagus sekali perbuatanmu, lohu mau lihat

seberapa tinggi kelihayanmu”

Ditengah suara bentakan tangan kanannya diayunkan dengan

menggunakan seruling iblis ditangannya sebagai senyata rahasia,

dengan dahsyatnya dia menyambit mengarah punggung nenek iblis

penghalang jalan itu.

“Sreeeet” suara yang amat memekikkan telinga bergema di

dalam ruangan kuil itu.

Sepasang tangan nenek iblis penghalang jalan itu segera

menekan tanah, tubuhnya dengan cepat melayang kurang lebih tiga

depa ke atas menghindarkan diri dari sambitan seruling iblis itu

kemudian dengan sedikit mengubah gerakan dengan ringannya dia

melayang ke bawah kembali dengan sikap bersila, dengan air muka

penuh senyuman mengejek ujarnya.

“Hey Yu Toa Hay. Kau sungguh begitu tidak mampu”

“Hmm . .” Dengus Yu Toa Hay dengan amat dingin. ” Lohu masih

mengira kau tidak berani ambil keputusan-”

“Ayoh kalau berani masuk ke sini”

“Kau yang keluar.” Bentak majikan ular Yu Toa Hay sambil

mengetukkan tongkat berkepalakan ular itu ke atas tanah.

“Lapangan diluar sangat lebar kalau kau berani, ayoh keluar kita

bertanding di luar.”

Mendadak …. suara teriak aneh dari kakek kura-kura Phu Tong

Seng berkumandang keluar dari belakang kuil,jika didengar dari

suara jeritan itu jelas dia sudah menemui serangan yang diluar

dugaannya.

Air muka majikan ular segera berubah sangat hebat, dengan

cemas teriaknya. “Phu heng kau kenapa?”

Terdengar suara bentrokkan senyata tajam yang sangat ramai

diiringi dengan bentakan nyaring berkumandang datang, kemudian

terdengar suara teriakan dari kakek kura-kura Phu Tong Seng itu.

“Yu heng, budak itu berada di sini . .”

Ti Then yang mendengar Wi Lian In sudah turun tangan

melawan kakek kura-kura dalam hati segera merasa kuatir, dia tahu

dengan kepandaian silat Wi Lian In sekarang masih bukan tandingar

dari kakek kura-kura itu, jika bertempur lama kelamaan dia pasti

akan kalah, karenanya dia tidak berani berlaku ayal lagi, dengan

perlahan dia putar tubuh keluar dari balik pintu itu.

Majikan ular yang melihat munculnya Ti Then secara mendadak

dari balik pintu dalam hati betu1-betul merasa sangat terkejut

sekali, dengan tergesa gesa dia meloncat mundur ke belakang.

Tapi …. hampir bersamaan waktu sepasang kakinya

meninggalkan permukaan tanah untuk mengundurkan diri ke

belakang, serentetan sinar pedang dengan amat cepatnya sudah

berkelebat di depan tubuhnya. “Aduh. . .”

Suatu jeritan yang amat mengerikat segera berkumandang keluar

dari mulutnya.

Tubuhnya melanjutkan gerakannya meloncat mundur ke

belakang, sedang sebuah lengan kirinya beserta tongkat berkepala

ular yang sudah terputus menjadi dua menggeletak jatuh tepat di

depan pintu kuil.

Kakek kura-kura yang sedang bertempur amat seru dengan Wi

Lian In di belakang kuil ketika mendengar suara jeritan ngeri dari

majikan ular dengan cepat segera tanyanya. “Yu heng, kenapa

kau?”

Majikan ular tetap tidak menyawab, dengan menahan

memancarnya darah segar dari lengan sebelah kirinya dengan cepat

dia balik tubuh dan melarikan diri dari sana.

Bersamaan waktu itu juga Ti Then pun meloncat setinggi tiga

kaki melewati kuil bobrok itu dan meloncat turun ke belakang

lapangan kuil itu.

Terlihatlah Wi Lian In sedang bertempur amat seru melawan

kakek kura-kura Phu Tong seng, lengan kiri kakek kura-kura itu

terlihatlah basah oleh darah yang mengalir keluar, kelihatannya luka

itu berasal dari tusukan Wi Lian In yang menyerang secara tiba-tiba.

Tapi dikarenakan luka itu bukan tempat yang penting maka tidak

sampai membahayakan jiwanya.

Saat ini tongkat kayunya diputar dan dimainkan dengan amat

dahsyat sekali, angin sambaran yang menderu membuat pasir pada

beterbangan memenuhi angkasa ternyata dia berhasil merebut

kedudukan di atas angin.

Tapi . . ketika dilihatnya Ti Then munculkan diri dari balik kuil itu

semangat bertempurnya seketika itu hilang lenyap tersapu dari

dalam badannya.

Dia tahu kelihayan dari Ti Then dan bisa menduga tentu majikan

ular sudah terluka ditangan Ti Then, karena itulah begitu melihat

munculnya Ti then di sana dia tidak berani bertempur lebih lama

lagi, tongkatnya dibabat ke depan kemudian meloncat keluar dari

lingkaran kalangan siap untuk melarikan diri.

Melihat hal itu Ti Then tertawa keras, teriaknya : “Hey kura-kura

tua, mau melarikan diri mudah saja, tapi lengan kirimu itu harus kau

tinggal”

Berkatanya belum selesai tubuhnya sudah meloncat ketengah

udara, kemudian menubruk kearahnya.

Walau pun kakek kura-kura itu melarikan diri terlebih dahulu tapi

bagaimana pun juga ilmu meringankan tubuhnya bukan tandingan

Ti Then, belum beberapa jauh dia sudah tersusul oleh Ti Then,

terpaksa dia balikkan tubuhnya untuk memberi perlawanan.

Dengan seenaknya Ti Then melancarkan serangannya sejurus

demi sejurus tak putus-putusnya memaksa kakek kura-kura itu

setiap kali mundur satu langkah ke belakang, ketika sampai pada

jurus yang ketiga puluh mendadak terdengar Ti Then membentak

keras:

“Kena !”

Lengan kiri kakek kura-kura itu dengan diiringi suara

bentakannya itu terlepas dari tempat semula.

Dia menjadi melengak untuk beberapa saat lamanya kemudian

baru menjerit ngeri, tubuhnya dengan sempoyongan mundur

beberapa langkah kemudia tak tahan lagi terjatuh ke atas tanah

dengan amat keras.

Ti Then tidak melanjutkan serangannya lagi, sambil mengibasibaskan

pedang ujarnya:

“Cepat pergi, kalau tidak nyawamu pun segera kucabut

sekalian!”

Dengan menahan perasaan sakit kakek kura-kura itu

menggunakan tangan kanannya menutupi bekas luka itu kemudian

dengan menundukkan kepala melarikan diri dengan cepatnya dari

sana.

Dengan demikian pertempuran pun sudah berakhir, di atas tanah

hanya tertinggal ular-ular beracunnya majikan ular Yu Toa Hay yang

sedang saling gigit menggigit dengan amat serunya, membuat

orang yang melihat pemandangan itu tidak terasa bergidik juga.

Dengan perlahan Wi Lian In menggunakan tangannya

membereskan rambutnya yang terurai tidak karuan, ujarnya dengan

perlahan.

“Majikan ular itu juga kau kutungi lengan kirinya?”

“Benar, manusia semacam mereka ini walau pun binasa juga

tidak ada harganya, tapi Thian maha agung dengan terputusnya

satu lengan mereka kemungkinan sekali sejak kini tidak berbuat

jahat lagi”

Wi Lian In memandang lagi kearah bangkai-bangkai ular beracun

yang saling bunuh membunuh itu, ujarnya sambil tertawa.

“Bubuk Mie Hun Yok-nya nenek iblis penghalang jalan itu amat

lihay sekali, dimana dia sekarang?”

“Masih berada di dalam kuil”

“Kau punya maksud berbuat apa terhadap dia?”

“Lepaskan saja !”

“Itu pun baik juga” sahut Wi Lian In sambil berjalan menuju ke

dalam kuil.

“Tidak perduli bagaimana pun juga jika tidak ada bubuk Mie Hun

Yok-nya itu barisan selaksa ularnya majikan ular juga tidak bisa kita

pecahkan dengan demikian mudahnya”

Kedua orang itu dengan perlahan berjalan ke depan kuil

kemudian berjalan masuk ke dalam ruangan, tapi seketika itu juga

mereka dibuat tertegun.

Kiranya nenek iblis penghalang jalan itu sudah tidak berada lagi

di dalam kuil itu.

“Hemm..larinya sungguh amat cepat” seru Wi Lian In sambil

tertawa.

“Mungkin dia takut kita ingkar omongan kita karenanya secara

diam-diam sudah melarikan diri”

“Ayoh..kita pun harus pergi juga” ujarnya kemudian sambil putar

tubuh berjalan keluar dari dalam kuil.

“Kuda Ang San Khek-mu itu?”

“Aku tambat di pohon cemara di belakang kuil”

Kuda tunggangan Ti Then berada tepat di bawah tangga depan

kuil itu, dengan menggunakan pedangnya dia menyingkirkan

bangkai-bangkai ular berbisa disekitarnya kemudian dengan

menuntun kuda tunggangnya meninggalkan tempat itu.

Kedua orang itu sesudah menemukan kembali kuda Ang San

Khek yang ditambat di belakang kuil barulah bersama-sama

meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan ke depan.

“Heei…” ujar Wi Lian In di tengah perjalanan, “Majikan ular,

kakek kura-kura serta nenek iblis penghalang jalan sudah bisa kita

lalui, entah selanjutnya masih ada siapa lagi yang datang mencari

gara-gara?”

“Siapa tahu? Aku sangat mengharapkan bisa memperoleh

keterangan kitab pusaka Ie Cin Keng itu”

“Ilmu silat yang termuat di dalam kitab pusaka Ie Cin Keng itu

belum tentu lebih tinggi dari kepandaian silatmu sekarang ini, kau

mendapatkannya buat apa?”

“Berikan orang lain”

Wi Lian In menjadi melengak.

“Apa arti perkataanmu?”

“Jika kitab pusaka Ie Cin Keng itu aku berikan kepada orang

pertama yang datang merebut, maka orang-orang dari Bu-lim

lainnya segera akan tahu kalau aku tidak ada kitab pusaka Ie Cin

Keng lagi, dengan begitu mereka pun tidak akan datang mencari

gara-gara lagi”

Mendengar penjelasannya itu Wi Lian In baru paham, tanpa

terasa dia tertawa geli ujarnya.

“Cara ini bagus sekali, bagaimana kalau kita buat sejilid kitab

pusaka Ie Cin Keng yang palsu kemudian diberikan kepada orang

lain?”

“Tidak bisa…” sahut Ti Then cepat sambil gelengkan kepalanya,

“Hal ini semakin merepotkan kita”

“Untung saja tiga hari lagi kita akan tiba di rumah, asalkan sudah

berada di dalam benteng Pek Kiam Po kita tidak akan takut urusan

lagi.

“Aku kira belum tentu, masih ada orang-orang dari Anying Langit

Rase Bumi serta hwesio-hwesio dari Siuw lim pay harus kita hadapi”

“Soal itu gampang sekali kita selesaikan” ujar Wi Lian In sambil

tertawa, “Orang-orang dari Anying Langit Rase Bumi bisa kita

selesaikan dengan mengandalkan kepandaian silat, sedangkan

hwesio-hwesio dari Siauw lim aku kira dengan kedudukan ayahku di

dalam Bu-lim perkataannya bisa dipercaya oleh mereka”

“Heeeei…semoga saja memang demikian”

Kuda tunggangan mereka berdua dengan cepatnya melanjutkan

perjalanan ke depan, tidak lama kemudian sampailah mereka di

depan sebuah kota yang cukup besar, Tanya Ti Then kemudian.

“Ini kota Kiong An bukan?”

“Ehmm..benar”

“Malam ini kita istirahat dulu di dalam kota,besok pagi kita

lanjutkan perjalanan kembali”

Wi Lian In angkat kepalanya memandang sekejap keadaan

cuaca, ujarnya kemudian.

“Jarak hingga hari gelap masih ada setengah jam, kita masih bisa

melanjutkan perjalanan sejauh sepuluh lie”

Ti Then tersenyum.

“Sebelum hari gelap carilah penginapan, kokokan ayam jago

tanda pagi hari tiba, pernahkah kau dengar perkataan ini?”

“Kepandaian silatmu sangat lihay, kita takut apa lagi?”

Ti Then tersenyum lagi.

“Aku teringat akan petunjuk dari ayahku, menemui jembatan

turunlah dari kuda, menemui tebing janganlah berebut, menginap

waktu hujan turun hati-hati orang yang berjalan malam, kokokan

ayam jago menandakan pagi hari, jika bisa mengikuti perkataan ini

maka selama mengadakan perjalanan tidak akan menemui

bencana.”

“Baik..baik..mari kita menginap dulu di dalam kota malam ini”

Hari lewat dengan amat cepatnya, tidak terasa tiga hari sudah

dilewati tanpa terjadi suatu urusan apa pun.

Malam hari itu kedua orang akhirnya sampai juga ke dalam

Benteng Pek Kiam Po dengan selamat.

Wi Ci To itu pocu dari Benteng Pek Kiam Po begitu mendengar

putrinya kembali dengan selamat menjadi amat gembira sekali,

dengan cepat dia menyambut sendiri kedatangan mereka, ujarnya

dengan girang sambil mencekal kencang tangan putrinya.

“In-ji, kau tidak terluka bukan?”

Saking girangnya Wi Lian In tidak bisa menahan menetesnya

titik-titik air mata, sahutnya dengan girang. “Tidak Tia, kau lihat

putrimu baik baik bukan?”

Wi Ci To mencekal kencang juga tangan Ti Then, dengan

menahan penuh berterima kasih ujarnya.”Ti Kauw tauw, lohu entah

harus berbuat bagaimana untuk mengucapkan terima kasih ini . . .”

“Hal ini adalah kewajiban boanpwe, harap Pocu jangan pikirkan

di dalam hati. .”

Dengan menggandeng tangan Ti Then serta putrinya Wi Ci To

segera balik tubuh berjalan kembali ke dalam Benteng. “Ayoh jalan,

kita bicara di dalam saja”

Tua muda tiga orang segera berjalan masuk keruangan dalam

dan duduk saling berhadap-hadapan. Ti Then tahu tentunya dia

ingin sekali mengetahui kejadian yang sudah terjadi, segera dia

menceritakan dengan amat jelas seluruh kejadian serta peristiwa

yang terjadi ditengah jalan.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 12.1 : Si Setan Pengecut orang dalam Benteng?

Mendengar kisah itu Wi Ci To menjadi terperanyat.

“Jika begitu” ujarnya sembari menghela napas panjang.

“Sekarang semua orang sudah anggap kau orang yang

mendapatkan kitab pusaka Ie cin Keng itu ??”

“Benar” sahut Ti Then sambil mengangguk.

“Hemmm” dengus Wi Ci To dengan teramat gusar, sepasang

kepalannya diremas remas dengan keras. “Tidak kusangka Hong

Mong Ling bangsat cilik itu berani cari gara-gara, sungguh manusia

terkutuk.”

“Tia.” seru Wi Lian In menambahkan “Apakah pendekar pedang

merah yang kau kirim keluar apa sudah ada berita??”

“Tidak ada . .” sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya.

“Paman Huang Puh??”

“Dia pun tidak ada beritanya.”

“Tia” seru Wi Lian In kemudian dengan perlahan- “Kau keluarkan

perintah seratus pedang lagi panggil mereka semua pulang.”

“Baiklah” ujar wi Ci To sambil mengangguk. “Tidak sampai lima

hari lagi dari pihak Anying langit Rase bumi tentu akan datang

mengacau. .”

“Boanpwe sudah bilang dengan jelas kepada Menteri pintu

pembesar jendela itu” ujar Ti Then tiba tiba. . “Orang-orang Anying

langit Rase bumi boleh datang ke Benteng Pek Kiam Po cari

boanpwe tapi tidak diperkenankan mengganggu orang-orang

Benteng Pek Kiam Po, karena itu jika tiba waktunya biarlah

boanpwe seorang diri yang menghadapi mereka.”

“Jika Ti Kiauw tauw bicara begitu malah menganggap kami

sabagai orang luar saja, sekarang urusanmu merupakan urusanku

juga, siapa yang tidak puas kepadamu sama saja seperti tidak

merasa puas kepada Lohu.”

Berbicara sampai di sini pada air mukanya tampil suatu

senyuman yang teramat dingin, tambahnya:

“Padahal orang-orang dari golongan Anying langit rase bumi

seharusnya dibasmi secepat mungkin, dahulu Lohu ragu-ragu untuk

turun tangan karena anak buah mereka terlalu banyak. kini ada Ti

Kiauw tauw yang membantu boleh dikata sudah waktunya untuk

membasmi kejahatan demi keamanan Bu lim.”

“Boanpwe rasa pihak Anying langit Rase bumi masih mudah

untuk dibereskan” Ujar Ti Then perlahan “Sebaliknya hwesio-hwesio

dari Siauw lim malah merupakan persoalan yang paling sukar,

Boanpwe tidak bisa mengakui kalau sudah dapatkan itu kitab

pusaka Ie cin Keng, merasa tidak enak juga untuk melawan mereka

. . .”

“Ti Kiauw tauw tidak usah kuatir” ujar Wi Ci To sambil

tersenyum, “Ciangbunyin dari partai Siauw lim, Yuan Kuang Thaysu

jadi orang berpikiran luas dan turut aturan bahkan sangat cocok

dengan lohu, sampai waktunya biarlah lohu mewakili Ti Kiauw tauw

jelaskan duduknya persoalan”

“Aku hanya takut dia tidak mau percaya” Ujar Ti Then sambil

tertawa pahit.

“Jika dia tidak mau percaya” ujar Wi Ci Tao dengan air muka

serius.. “Sama saja tidak pandang diri lohu”

“Setiap urusan yang menyangkut harta benda selamanya sukar

untuk dijelaskan, jika Yuan Kong Thaysu sampai tidak percaya

omongan pocu hal ini tidak bisa salahkan dia. Menurut pendapat

boanpwe terpaksa kita harus perlihatkan sedikit bukti.”

Dengan pandangan yang amat tajam Wi Ci To memperhatikan

wajahnya.

“Bukti dari mana??” tanyanya.

“Tawan si setan pengecut atau Hong Mong Ling”

“Ehmm . . .jika berhasil menawan mereka berdua hal itu sangat

tepat sekali” sahut Wi Ci To sambil mengangguk. “Tapi kini mereka

bersembunyi dimana?”

“Menurut omongan Nona Wi kepandaian silat dari setan pengecut

itu amat tinggi sekali” ujar Ti Then dengan wajah serius. “Untuk

menawan dia bukanlah suatu urusan yang gampang. Tapi seluruh

pendekar pedang merah dari Benteng kita kini masih berkeliaran

diluaran, jika mereka bisa bertemu dengan Hong Mong Ling

mungkin bisa berhasil tawan dia pulang”

“Jadi maksud Ti Kiauw tauw tidak menyetujui lohu untuk panggil

semua pendekar pedang merah pulang?..”

“Benar” sahut Ti Then- “Kita bisa mengganti dengan satu

perintah seratus pedang yang lain, perintahkan mereka untuk

menyelidiki jejak dari Hong Mong Ling”

“Tapi dengan begitu jika orang-orang Anying Langit Rase Bumi

datang menyerbu secara besar-besaran, dengan kekuatan kita

beberapa orang mungkin tidak sanggup untuk menahan serangan

mereka” bantah Wi Ci To.

“Tujuan dari orang-orang Anying Langit Rase Bumi hanya kitab

pusaka Ie Cin Keng serta diri boanpwe, sampai waktunya asalkan

Pocu tidak ikut campur aku kira mereka tidak akan berani menyalahi

orang-orang Benteng Pak Kiam Po”

“Tapi. .” bantah Wi Ci To lagi, “dengan kekuatan kau seorang

mana mungkin melawan mereka suami istri???”

“Boanpwe percaya masih sanggup untuk melawan mereka” seru

Ti Then tegas.

“Kalau begitu baiklah” sahut Wi Ci To kemudian sesudah berpikir

beberapa saat lamanya. “Nanti Lohu keluarkan perintah seratus

pedang lagi suruh mereka menawan Hong Mong Ling . . . . kau

sudah makan belum???”

“Belum” sahut Wi Lian In yang berdiri di samping dengan cepat.

“Cepat-cepat ingin pulang sampai makan siang pun belum oooh . . .

sungguh lapar sekali”

Melihat tingkah laku putrinya, Wi Ci To tersenyum. “Kalau begitu

cepat pergi dahar” ujarnya.

-0000000-

“Ayoh jalan-” ujar Wi Lian In sambil menoleh kearah Ti Then.

“Kita pergi dahar.”

Dengan jalan berdampingan Ti Then serta Wi Lian In berjalan

keluar dari ruanganWi

Ci To yang melihat kerapatan hubungan mereka mendadak

terbayang suatu perasaan yang teramat aneh, air mukanya segera

terlintas suatu senyuman yang amat girang sekali.

“Apa ini yang dinamakan jodoh?” pikirnya di dalam hati, ” Kalau

tidak bagaimana bisa muncul urusan seperti ini? Dengan perlahan

lahan, urusan ini tidak bisa cepat- cepat . .”

Dengan perlahan dia berjalan keluar ruangan dan kumpulkan

beberapa orang pendekar pedang merah yang masih tersisa di

dalam Benteng, perintah seratus pedang segera dikeluarkan dan

diumumkan setelah itu memberi peringatan yang tegas kepada

pendekar pendekar pedang hitam serta putih untuk siap berjagajaga

kemungkinan pengacauan orang-orang Anying langit Rase

bumi, setelah itu barulah dia kembali ke dalam kamar bukunya.

Ti Then serta Wi Lian In sehabis dahar masing-masing kembali ke

dalam kamarnya masing-masing untuk beristirahat.

Itu pelayan tua si Locia ketika melihat dia pulang menjadi amat

girang sekali.

“Ti Kiauw tauw” serunya sambil maju memberi hormat, “Kau

sudah pulang?”

Ti Then tersenyum. “Ehmmm …” sahutnya sambil mengangguk.

“Kau baik-baik saja bukan Lo-cia.”

“Aku dengar Ti Kiauw-tauw berhasil tolong sio-cia pulang??”

tanya si Locia sambil tertawa-tawa.

“Tidak salah” sahut Ti Then tersenyum, dengan perlahan dia

duduk ke atas pembaringan-“Yang menculik nona adalah seorang

yang berkerudung, tujuan orang itu ternyata berada pada diriku

karenanya belum sampai beberapa hari aku keluar dari Benteng

sudah berhasil menemukan mereka”

Lalu diceritakannya kisah yang sudah terjadi itu sekali lagi.

“Heeei . . . Untung saja sio-cia kita belum sampai dijodohkan

dengan dia…” ujar si Lo-cia sambil menghela napas panjang. .

“Tidak kusangka Hong Mong Ling adalah seorang manusia berhati

binatang.”

Ti Then hanya tersenyum tidak ambil komentar.

sekali lagi Lo-cia menghela napas panjang, beberapa saat

kemudian dengan wajah penuh senyuman dia mendekati diri Ti

Then-

“Ti Kiauw-tauw” Ujarnya dengan perlahan- . “Kali ini kau berhasil

tolong nyawa sio-cia kita, pocu kami tentu akan mengucapkan

terima kasihnya kepadamu”

“Jika bukannya setan pengecut itu hendak memaksa aku, sio-cia

belum tentu diculik pergi” ujarnya perlahan- “Bencana berasal dari

aku sendiri maka itu penghargaan dari Pocu tidak bisa aku terima”

“Maksudku bukan begitu . .” Bantah si Lo-cia ketika mendengar

Ti Then sudah salah tangkap arti perkataannya. “Menurut dugaan

budak tuamu, Pocu kami bisa jodohkan sio cia kepadamu”

Terhadap perkataan dari Lo-cia Ti Then sama sekali tidak merasa

diluar dugaan, tapi tidak urung hatinya terasa tergetar juga.

“Jangan omong sembarangan” Bentaknya segera dengan serius.

“Hal ini sungguh-sungguh” ujar Lo-cia lagi sambil tertawa

terkekeh-kekeh dengan keras: “Ti Kiauw tauw masih muda lagi

berwajah tampan, kepandaian silatnya pun amat tinggi, jika pocu

kami mau cari menantu lagi maka pilihannya tentu jatuh pada diri Ti

Kiauw tauw”

“Sudah, sudahlah” seru Ti Then sambil tertawa pahit, “Kau tidak

usah bilang lagi”

Perkataannya belum selesai mendadak Wi Lian In sudah muncul

di depan pintu kamar.

“Urusan apa yang tidak usah bilang lagi?” sambungnya sambil

tertawa.

“Tidak apa-apa . . tidak ada apa-apa . .” seru Ti Then dengan

gugup, cepat-cepat dia bangkit berdiri untuk menyambut

kedatangan nona itu.

Melihat air muka Ti Then yang amat rikuh serta malu Wi Lian In

jadi semakin heran, dia menoleh kearah Lo cia sambil tanyanya: “Lo

cia kalian sedang bicarakan soal apa??”

“Ti . . . tidak apa apa hi hi hi . .” Ujar Lo cia sambil goyangkan

tangannya berulang kali.

” Cepat bilang. .” bentak Wi Lian In sambil mendepakkan kakinya

ke atas tanah matanya melotot keluar menunjukkan perasaan

marahnya, “Jika tidak mau bilang awas aku kasih hukuman

mengambil air seratus pikul”

“Aduh” seru Lo-cia sambil leletkan lidahnya. “Ambil air seratus

pikul??? am pun . .”

“Seharusnya kau tahu sifatku ini” teriak Wia Lian In sambil

bertolak pinggang “Aku bilang satu yah satu.”

“Sio cia” seru Lo cia sesudah menelan ludah. “Kau paksa

budakmu harus bilang, budakmu tidak berani membantah hanya

saja sesudah aku bilang sio cia janganlah marah”

Wi Lian In tersenyum.

“Tentu aku tidak marah, cepat katakan” ujarnya.

si Lo cia melirik sekejap kearah Ti Then, sesudah berbatuk batuk

barulah ujarnya sambil tertawa:

“Tadi budakmu sedang bergurau dengan Ti Kiauw tauw,

budakmu bilang sesudah dia berhasil menolong nyawa sio-cia, tentu

pocu bisa membalas budi ini sebaik-baiknya . .”

“Seharusnya memang begitu” seru Wi Lian In sambil mencibirkan

bibirnya. “Memang tidak salah”

“Lalu bilang apa lagi?” tanya Wi Lian In kurang sabaran.

” Kemudian- . Eh mm . . kemudian- .” jawab Lo-cia dengan

terputus-putus: “Budakmu bilang pocu …. mungkin bisa . . bisa

menjodohkan . . . menjodohkan sio cia . . kepada . . kepadanya. .”

Air muka Wi Lian In segera berubah menjadi merah padam

saking malunya.

“Bagus” Bentaknya sambil mendepakkan kakinya ke atas tanah,

“Kau berani omong sembarangan, aku . . aku . .”

Sambil berkata dia meloncat masuk ke dalam kamar dan

memperlihatkan gaya mau memukul. Dengan cepat Lo-cia

bungkukkan badannya dan lari keluar dengan cepat.

“Aduh . . . am pun . . am pun- .” teriaknya dengan keras. “Aku

sudah bilang sungguh-sungguh, kenapa kini mau dipukul?”

” Cepat pergi menyapu bersih halaman luar, kalau tidak aku tidak

akan am puni kau” Bentak Wi Lian In lagi dengan merdunya. si Lo

cia segera menyahut dan mengundurkan diri dari kamar.

Sesudah itu barulah Wi Lian In menoleh kearah Ti Then, dengan

wajah yang sudah berubah merah dadu ujarnya sambil tersenyum

malu. “Budak tua itu sungguh . . . sungguh keterlaluan- kau bilang

betul tidak?”

“Benar, sedikit pun tidak salah” sahut Ti Then sambii

mengangguk.

“Kalau begitu biar aku laporkan urusan ini kepada Tia biar dia

dimaki habis-habisan-” ujar Wi Lian In dengan manyanya.

“Baik. .”

Wi Lian In menjadi melengak:

“Tapi. .” ujarnya sambil tertawa paksa, “Mengingat usianya yang

sudah lanjut dan selamanya belum pernah melakukan pekerjaan

yang salah biar kita am puni satu kali ini, kau bilang bagaimana?”

“Bagus sekali. .”

Melihat sikapnya yang seperti kehilangan semangat tak tertahan

lagi Wi Lian In tertawa geli.

“Kau kenapa?” tanyanya.

“Tidak apa-apa” seru Ti Then sambil tertawa paksa.

Wi Lian In menoleh untuk melihat sekejap keadaan sekelilingnya

setelah itu baru menggape sambil ujarnya dengan suara yang lirih:

“Kau kemarilah, aku ada perkataan yang mau kutanyakan-..”

“Urusan apa??” Tanya Ti Then sambil maju dua langkah ke

depan-

“Kau majulah lagi.”

Ti Then maju lagi satu langkah, tanyanya sambil tertawa:

“Urusan apa ?”

“Kau kemari lebih dekat lagi” seru Wi Lian In sambil tersenyum

malu.

Terpaksa Ti Then maju lagi satu langkah ke depan, kini dia sudah

berdiri saling berhadapan dengan dia dalam jarak tidak lebih dari

satu depan, terasa napasnya yang berbau harum menusuk hidung

membuat kepalanya terasa pening.

“Sebetulnya urusan apa?” Tanyanya sambil tertawa malu.

sebelum bicara wajah Wi Lian In sudah berubah menjadi merah

padam, mulutnya komat-kamit mau mengucapkan sesuatu tapi tidak

jadi matanya melirik ke wajah Ti Then kemudian ujarnya sambil

tertawa malu.

“Aku tidak mau bilang” Selesai berkata dia putar tubuh dan lari

keluar.

Ti Then hanya bisa tertawa pahit ketika melihat sikapnya itu,

segera dia mengundurkan diri ke atas pembaringan dan

merebahkan diri untuk beristirahat.

Kini dia berpikir: “Akhirnya aku berhasil menolong Wi Lian In

kembali ke dalam Benteng Pek Kiam Po, tapi sekarang juga harus

melaksanakan tugas yang diberikan oleh majikan patung emas.

Heei,jika . . .jika aku tidak berhasil menolong Wi Lian In kembali,

saat itu . . sungguh bagus sekali”

“Tidak. tidak boleh punya pikiran begitu, jika aku tidak menolong

Wi Lian In dia tentu akan diperkosa kemudian dibunuh mati oleh

Hong Mong Ling. Lebih baik dia diperkosa kemudian dibunuh mati

oleh Hong Mong Ling atau dijodohkan kepadaku saja?”

“Sewaktu dia sudah jadi istriku, apa itu perintah kedua dari

majikan patung emas??”

Mungkinkah perintah kedua dari majikan patung emas ini jauh

lebih hebat dan jauh lebih kejam bagi Wi Lian In dari pada

diperkosa kemudian dibunuh oleh Hong Mong Ling? .

“Hei, kau sudah tidur belum?”

Mendadak Wi Lian In mendorong pintu kamar dan berjalan

masuk.

Ti Then segera bangkit berdiri.

“Belum.” sahutnya gugup. “Aku sedang berpikir . . .”

“Pikir apa??” Tanya Wi Lian sambil tertawa.

“Aku sedang pikir perkataan apa yang akan kau katakan tadi

kemudian tidak jadi kau ucapkan itu”

Wajah Wi Lian In segera berubah menjadi merah padam. “Kau

tidak tahu?” tanyanya sambil tertawa malu.

“Belum. .”

“Kalau begitu yah sudahlah” sahutnya sambil mencibirkan

bibirnya yang kecil mungil itu.

“Apa kau pasti mau bertanya?”

“Tidak”

xx

Bagian 20

Ti Then menjadi bingung dibuatnya, sahutnya kemudian sambil

garuk-garukan kepalanya: ” Kalau begitu kau mengharapkan aku

bisa menebaknya???”

“Kepalamu adalah kepala dari batu” ujar Wi Lian In sambil

tertawa, “Aku tahu selamanya kau tidak akan bisa mengetahui.”

“Maaf, otakku kadang kala memang agak tidak normal . . . .”

“Persis seperti seekor itik goblok” sambung Wi Lian In cepat.

“Benar. . benar . .”

“Sudahlah, aku tidak mau guyon terus sama kau” Ujar Wi Lian In

tiba-tiba: “Aku mau beritahukan suatu urusan kepadamu, Hu pocu

baru saja kembali.”

Dalam hati Ti Then menjadi tergerak: “Ooooh ….. serunya cepat.

“Begitu tepatnya. .”

“Aku juga merasa kali ini dia pulangnya begitu bertepatan

waktunya” seru Wi Lian In sambil memperendah suaranya. ” Karena

itu aku kemari untuk mengajak kau pikirkan urusan ini.”

“Pikirkan apanya?” tanya Ti Then sambil pandang wajahnya.

“Waktu itu ketika masih berada di atas gunung Fan cin san kau

pernah bilang si setan pengecut itu kemungkinan sekali adalah

orang dari Benteng Pek Kiam Po kita. .”

“Benar” sahut Ti Then dengan wajah serius. “Hanya hal itu

merupakan dugaanku saja, tapi jika bilang yang sesungguhnya

orang itu tidak mungkin adalah Hu Pocu kita, karena ketika kau

diculik pergi waktu itu dia masih bermain catur dengan aku di dalam

ruangan.”

“Tapi ketika aku diculik aku berada di dalam keadaan tidak sadar”

Bantah Wi Lian In dengan cepat. ” Kemungkinan sekali orang yang

menculik pergi aku malam itu adalah Hong Mong Ling bukan si

setan pengecut itu.”

Ti Then mengerutkan keningnya rapat-rapat.

“Kau tidak seharusnya mencurigai Hu Pocu” ujar Ti Then dengan

nada memberi nasehat. “Dia adalah sute dari ayahmu, dia tidak

punya alasan untuk bersekongkol dengan Hong Mong Ling”

“Sebetulnya aku juga tidak berani menaruh curiga kepadanya”

Bantah Wi Lian In dengan perlahan- “Tapi ketika dia pulang di atas

kepalanya memakai sebuah kain pengikat kepala, selamanya dia

tidak pernah memakai kain pengikat kepala kenapa kali ini bisa

begitu kebetulan dan memakai kain itu?”

Teringat ketika malam itu kepala dari setan Pengecut memang

berhasil ditabas sebagian olehnya membuat pendirian Ti Then saat

ini menjadi goyah.

“Tapi . . .” ujarnya kemudian sesudah termenung sebentar. “Kau

pun tidak bisa mendasarkan hal ini saja lalu menuduh dialah setan

pengecut itu.”

“Lalu jika di atas kepalanya ada bekas luka?” tanya Wi Lian In

sedang sinar matanya dengan tajam memandang wajah Ti Then.

Ti Then menganggukan kepalanya perlahan:

“Jika di atas kepalanya ada bekas luka, sudah tentu bisa

membuktikan kalau dialah setan pengecut itu” sahutnya.

“Kini dia sedang berbicara dengan ayah di dalam kamar buku,

bagaimana kalau kita pergi membuktikan?”

“Baik, tapi harus menggunakan sedikit kepandaian.Janganlah

sekali-kali berbuat gegabah”

Demikianlah akhirnya kedua orang itu berjalan keluar dari kamar

dan berjalan menuju kekamar bukunya Wi Ci To.

sesampainya diluar kamar terlihatlah Wi Ci To serta Hu Pocu

Huang Puh Kian Pek sedang berjalan keluar dari dalam kamar.

Dengan cepat Ti Then bertindak maju untuk memberi hormat.

“Ooh . . . Hu Pocu sudah kembali”

“Benar” sahutnya sambil tertawa, dari air mukanya jelas

memperlihatkan perasaan girangnya. “Lohu sudah cari selama

puluhan hari lamanya sedikit pun tidak memperoleh berita

sebetulnya mau pulang untuk cari- cari berita, tidak tahunya Ti

Kiauw tauw sudah berhasil menolong Wi Lian In kembali, sungguh

menggembirakan- sungguh menggembirakan”

Ternyata tidak salah di atas kepalanya di ikat dengan sekerat

kain persegi empat. Ujar Ti Then kemudian.

“Mengenai boanpwe berhasil menolong nona Wi kembali

tentunya Hu Pocu sudah mendapat tahu dari Pocu sendiri bukan?”

“Benar” sahut Huang Puh Kian Pek sambil mengangguk. “Pocu

serta lohu sedang siap mencari kau.”

“Ha ha ha ha . . .” seru Wi Ci To mendadak sambil tertawa, “kita

bicara di dalam ruangan saja.”

Tua muda empat orang masuk ke dalam ruangan dalam dan

duduk. sekali lagi Huang Puh Kian pek menanyakan peristiwa yang

sudah terjadi. setelah mendengar kisah dari Ti Then ini dengan

perasaan amat serius ujarnya:

“Heei …. satu gelombang belum reda gelombang yang lain sudah

mendatangi, kini hwesio dari Siauw lim si serta Anying Langit Rase

Bumi mungkin sudah mulai bergerak . .”

“Mungkin juga berpuluh puluh jago dari kalangan hitam akan ikut

datang juga” tambah Ti Then .

“Kalau begitu” ujar Huang Puh Kian Pek dengan nada yang amat

serius.

“Kita harus cepat-cepat persiapkan diri, hwesio-hwesio dari siauw

lim pay mungkin masih mau mendengarkan nasehat dari pocu tetapi

dari pihak Anying Langit Rase Bumi bukanlah manusia yang bisa

diajak berunding.”

“Heei . . .” ujar Ti Then kemudian sambil menghela napas

panjang. “Boanpwe merasa sangat menyesal sekali sudah

memancing berbagai macam urusan ke dalam Benteng ini.

“Ti Kiauw-tauw jangan bicara begitu” ujar Huang puh Kian Pek

sambil tertawa.. “Ini bukanlah kesalahanmu, yang patut dibunuh

seharusnya Hong Mong Ling, bangsat cilik itu tidak berbudi seorang

laknat yang harus dibunuh, seharusnya kita pergi tangkap dia,

kemudian dijatuhi hukuman mati.”

“Paman Huang puh” timbrung wi Lian In secara tiba-tiba:

“selamanya kau orang tua tidak pernah pakai ikat kepala, kenapa ini

hari secara tiba-tiba memakainya??”

Huang puh Kian Pek mengusap usap kain pengikat kepalanya

dengan perlahan.

“Orang bila melakukan perjalanan jauh lebih baik menggunakan

kain pengikat kepala untuk menahan serangan angin dan pasir”

ujarnya sambil tertawa paksa.

“Beli ditempat mana ???”

“Kota Hoa Yang.”

“Sungguh indah sekali” seru Wi Lian In sembari berjalan

mendekati samping tubuhnya, dia tersenyum ” Bolehkah

keponakanmu melihat sebentar ?”

“Bukan dengan begitu sudah jelas??” ujarnya sambil tertawa.

“Tidak” sahut Wi Lian In sembari mengulur tangannya untuk

melepas kain pengikat kepalanya itu. “Keponakanmu mau melihat

lebih teliti lagi, pada kemudian hari aku pun akan buatkan Tia

sebuah.”

Dengan perlahan Huang puh Kian pek mendorong tubuhnya ke

samping.

“Jangan bergurau ….” ujarnya sambil tertawa terbahak bahak

“Tiamu tidak akan mau menggunakan kain pengikat kepala ini.”

“Jika keponakanmu sendiri yang menyahit, Tia tentu suka untuk

menggunakannya, paman yang baik biar aku pinyam sebentar.”

Melihat kelakuan putrinya ini Wi Ci To segera melerai, ujarnya

sambil tertawa. “In-ji sejak kapan kau belajar menyahit?…”

-0000000-

“Tia kau jangan memandang rendah putrimu” seru Wi Lian In

dengan manyany a. “Hanya membuat sebuah kain pengikat kepala

saja apanya yang sukar?”

“Lohu selamanya tidak pernah lihat kau menggerakkan jarum,

heee . . . heee . . . sudah, sudahlah, Cepat kau duduk yang tenang,

jangan bergurau lagi. Kita harus merundingkan urusan yang lebih

penting”

Wi Lian In tidak bisa berbuat apa-apa lagi, terpaksa dia balik

ketempat duduknya semula, secara diam-diam dia kirim suatu tanda

apa boleh buat kepada diri Ti Then.

Ti Then pura-pura tidak melihatnya, tanyanya kepada Wi Ci To:

“Sebelum peristiwa ini apakah Pocu berdua pernah menaruh

ganyalan dengan orang-orang dari Anying langit Rase bumi?”

“Belum pernah” seru Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya. “Tapi

menurut data-data yang pernah kita terima, kepandaian silat dari

Anying langit Rase bumi memang sangat lihay sekali”

“Bagaimana jika dibandingkan kepandaian dari Majikan ular

Kakek kura-kura?” Tanya Ti Then lagi.

“Jika majikan ular serta Kakek kura-kura harus bertempur

melawan Anying langit rase bumi paling banyak hanya bisa

menerima seratus jurus saja.”

“Tidak perduli melawan berapa banyak orang apa mereka suami

istri selamanya turun tangan bersama-sama??”

“Benar” sahut Wi ci To sambil mengangguk.

Pada wajah Ti Then segera terlintaslah suatu perasaan yang

amat girang.

“Jika begitu” ujarnya “Dengan kekuatan boanpwe seorang

mungkin belum sanggup untuk memperoleh kemenangan-”

Wi Ci To yang melihat pada wajah Ti Then malah muncul

perasaan girang, dalam hati menjadi sangat bingung, ujarnya sambil

tertawa:

“Dengan kekuatan Ti Kiauw tauw seorang sudah tentu belum

bisa melawan Anying langit rase bumi, tapi Lohu tidak akan

membiarkan Ti Kiauw tauw seorang diri pergi melawan mereka

suami istri berdua”

“Tidak” bantah Ti Then dengan cepat “Boanpwe akan melawan

mereka suami istri sendirian”

“Apa Ti Kiauw tauw tidak pandang diri Lohu dan menganggap

Lohu tidak berani berbuat dosa kepada mereka?” tanya Wi Ci To

dengan perasaan kurang senang.

“Bukan begitu, pocu jangan salah paham”

” Kalau tidak, kenapa Ti Kiau tauw begitu ngotot hendak

melawan mereka suami istri berdua secara pribadi? Bukankah Ti

kiauw tauw tahu dengan seorang diri sukar untuk melawan dua

musuh?”

Ti Then dibuat melengak untuk beberapa saat lamanya, dia

berdiam diri untuk berpikir:

“Walau pun boanpwe tidak berhasil mendapatkan kemenangan”

ujarnya kemudian- “Tapi boanpwe percaya masih sanggup bertahan

untuk beberapa waktu lamanya”

“Itukah alasan Ti Kiauw tauw kenapa mau melawan mereka

suami istri secara pribadi”

Ti Then terdesak. terpaksa sahutnya dengan sembarangan.

“Mereka Anying langit Rase bumi merupakan jago jago

berkepandaian tinggi yang sudah menggetarkan dunia persilatan,

sedang boanpwe hanya seorang yang masih keroco, masih cetek

pengalamannya tentang Bu lim, jika mereka tak bisa kalahkan

boanpwe secepatmya sama saja sudah mengorek selapis kulit muka

mereka.”.

“Tidakperduli bagaimana pun juga” potong Wi Ci To dengan

tegas “Lohu tidak akan membiarkan kau pergi melawan mereka

berdua secara sendirian kau tidak usah bicara lagi.”

Ti Then tersenyum. “Inilah kesempatan boanpwe untuk mencari

nama.” ujarnya “Harap pocu mau meluluskan.” Wi Ci To menjadi

melengak.

“Kau … kau ingin menggunakan kesempatan ini untuk mencari

nama?”

“Benar” sahut Ti Then sembari mengangguk “Boanpwe tidak

berani bilang pasti bisa mengalahkan Anying langit Rase bumi, juga

tidak berani mengharapkan bisa bertanding seimbang dengan

mereka tapi bisa bertahan ratusan jurus tanpa bisa dikalahkan

mungkin sudah cukup mengangkat nama boanpwe.”

Wi Ci To menggelengkan kepalanya.

” Untuk melawan mereka suami isteri berdua lohu sendiri pun

juga bisa bertahan delapan sembilan puluh jurus saja.” ujarnya

sambil menghela napas.

Agaknya dia masih belum tahu kalau kepandaian silat dari Ti

Then sudah mencapai pada taraf nomor tiga di dalam dunia, dia

mengira kepandaian silat dari Ti Then walau pun lebih tinggi tak

mungkin bisa melampauinya karena ambil kata-kata ini sebagai

peringatan dia ingin membuat Ti Then sadar kalau dia seorang diri

tidak mungkin bisa bertahan seratus jurus saja di dalam melawan

Anying langit Rase bumi.

“Sekali pun tidak sanggup” ujar Ti Then sambil tertawa. “Pocu

bolehlah turun tangan sewaktu melihat boanpwe sudah tidak tahan”

Wi Ci To masih ingin membantah lagi, tapi keburu dicegah oleh

Huang puh Kian Pek ujarnya:

“Suheng, kalau memangnya Ti Kiauw tauw punya semangat

demikian, biarkanlah dia pergi coba-coba, perkataannya sedikit pun

tidak salah, menanti dia sudah tidak tahan kita masih punya

kesempatan untuk menolong dia dari bahaya.”

“Baiklah” sahut Wi Ci To kemudian sambil mengangguk sesudah

termenung berpikir sebentar. “sampai waktunya baru kita bicarakan

lagi.” segera dia bangkit berdiri, sambungnya sambil tertawa:

“Tadi lohu sudah perintahkan orang untuk mempersiapkan

perjamuan guna menyambut kedatangan Hu Pocu serta Ti Kiauw

tauw, kini mungkin sudah disiapkan marilah …. kita pergi dahar

dulu.”

Tua muda empat orang segera bangkit berdiri dan menuju ke

ruang dalam, terlihatlah di sana sudah disiapkan meja perjamuan

beserta hidangan yang lezat, karenanya mereka segera cari tempat

dan mulai bersantap.

Wi Lian In yang duduk di samping Huang puh Kian Pek selama ini

terus menerus mengincar kain pengikat kepalanya, ujarnya

kemudian sambil bersantap:

“Tia, kepandaian dari majikan ular Kakek kura-kura itu apakah

jauh lebih tinggi dari kepandaian pendekar pedang merah kita?”

“Tidak salah.” sahut Wi Ci To sambil mengangguk. “Mungkin satu

tingkat lebih tinggi.”

“Tapi sewaktu hari itu putrimu melawan kakek kura-kura,

rasanya dia tidak punya kesabaran yang luar biasa”

Wi Ci To tersenyum simpul mendengar omongan putrinya ini.

“Kau berhasil menangkan dia?” tanyanya.

“Tidak” sahutnya sambil menggerakkan sumpit yang berada

ditangannya “Hanya saja sewaktu putrimu menggunakan jurus

“Coan Lin sih In” atau memutar badan memanah elang . .

sembari berkata sumpit ditangan kanan secara mendadak

menyambar kearah sebelah kanan menarik kain penutup kepala dari

Huang puh Kian Pek itu.

Siapa tahu ketajaman perasaan Huang puh Kian Pek pun amat

tinggi, tangan kirinya dengan cepat diangkat menangkis

pergelangan tangannya: “Awas” serunya sambil tertawa.

Melihat serangannya tidak mencapai sasaran dengan gugup Wi

Liam In berkata: “ooh . . . maaf, paman Huang puh keponakanmu

tidak sengaja”

“Haa … ha … ha . . tidak mengapa tidak mengapa” sahut Huang

puh Kian Pek sambil tertawa terbahak-bahak “Paman Huang puh

masih belum tua, hanya menghadapi segala perubahan secara

mendadak masih sanggup”

“Lian In” seru Wi Ci To dengan nada memaki sedang keningnya

dikerutkan rapat-rapat “Kau sudah jadi seorang nona dewasa segala

gerak geriknya harus sedikit genah, jika waktu bicara jangan

gerakan tangan kaki seperti itu”

“Baiklah Tia” sahut Wi Lian In sambil menggerutu.

“Ehmm. . teruskan- .”

“Aku tidak mau membicarakan lagi”

“Hmm” dengus Wi Ci To sambil tertawa “Kau budak ini sungguh

pandai bergurau.”

“Tidak usah bicara tentang majikan ular kakek kura-kura lagi,

lebih baik kita bicarakan soal setan pengecut itu saja” sambung

Huang puh Kian Pek dengan cepat, “Kau serta Ti Kiauw tauw pernah

berdekatan dengan setan pengecut, dapatkah kau menduga

siapakah orang itu?”

Wi Lian In memandang sekejap kearah Ti Then, kemudian

barulah sahutnya sambil tersenyum:

“Kepandaian setan pengecut itu sangat tinggi, mungkin berada

diantara kepandaian paman Huang Puh siok”

“Oooh, begitu?” ujar Huang Puh Kianpek sambil tertawa.

“Kemungkinan sekali orang itu adalah salah satu orang diantara

kita orang-orang dari Benteng Pek Kiam po.”

Semula Wi Ci To dibuat melengak oleh perkataan ini tapi dengan

cepat sudah berubah menjadi amat keren.

“Inyie” ujarnya. “Kau jangan omong sembarangan.”

“Perkataan dari putrimu semuanya beralasan, jika setan pengecut

itu bukan orang yang sudah putrimu kenal baik dia tidak mungkin

akan berkerudung, lagipula nada ucapannya walau pun sengaja

diganti dengan logat yang lucu tapi suara itu sepertinya sangat

dikenal”

“Siapa?” potong Huang Puh Kian Pek dengan cepat.

Wi Lian In ragu-ragu sejenak, kemudian barulah sahutnya.

“Keponakanmu tidak bisa menduga siapa dia sebetulnya, hanya

saja suara itu agaknya sangat dikenal”

“Hmm” dengus Wi Ci To dengan keren, “Hanya berdasarkan alas

an itu saja kau sudah menuduh dia adalah salah seorang diantara

kita?”

“Benar, tapi selama setengah tahun ini putrimu tidak pernah

meninggalkan benteng barang selangkah pun, jika setan pengecut

itu adalah orang luar sesudah terpaut waktu yang lama mana

mungkin putrimu masih sangat mengenal suara itu”

Mendengar omongan putrinya yang sangat beralasan itu Wi Ci To

hanya bisa gelengkan kepalanya saja.

“Putrimu tidak berani memastikan orang itu adalah orang di

dalam benteng kami,” ujar Wi Lian In lagi, “Tapi untuk kebaikan kita

semua harus mengadakan pemeriksaan”

“Ehmmm…mau diperiksa dengan cara bagaimana?” tanya Wi Ci

To.

“Ti Kiauw tauw sudah melukai kulit kepalanya, asalkan Tia

melihat diantara pendekar pedang di dalam Benteng kita ada bekas

luka di atas kepalanya dialah Si Setan Pengecut itu”

Mendengar sampai di sini mendadak Huang Puh Kian Pek tertawa

terbahak-bahak.

“Paman Huang Puh, kau tertawakan apa?” tanya Wi Lian In

dengan perasaan teramat heran.

Huang Puh Kian Pek tidak menyawab, dia menoleh kearah Wi Ci

To lalu ujarnya sambil tertawa:

“Suheng, sekarang aku tahu kenapa Wi Lian In mau melihat kain

pengikat kepalaku ini?”

Pikiran Wi Ci To amat tajam dan cerdik, sekali dengar tahulah

sudah maksud perkataan sute-nya itu, tanpa terasa air mukanya

berubah, dengan gusarnya dia melotot kearah Wi Lian In sembari

ujarnya dengan suara berat:

“In-ji, bagaimana kau berani mencurigai paman Huang Puh-mu?”

“Am pun” seru Wi Lian In tidak mau mengaku. “Kapan aku

mencurigai paman Huang Puh? Sekali pun putrimu lebih bodoh juga

tidak akan berani mencurigai Huang Puh-siok”

“Kalau tidak kenapa kau rebut kain pengikat kepalanya?” tanya

Wi Ci To dengan nada gusar.

“Suheng kau jangan marah dulu” timbrung Huang Puh Kian Pek

sambil tertawa.

“Selamanya siauwte tidak pernah memakai kain pengikat kepala,

ini hari pulang ke dalam Benteng dengan kepala diikat, kain

pengikat kepala ini sudah tentu tidak bisa menyalahkan Lian In

menaruh curiga kepadaku…Nah, sekarang kalian lihatlah”

Sembari berkata dengan perlahan dia melepaskan kain pengikat

kepalanya.

Di atas batok kepalanya tidak tampak sedikit bekas luka pun.

Sesudah melihat hal itu dengan perlahan Wi Ci To baru menoleh

kearah putrinya.

“Sudah lihat jelas belum?” ujarnya dengan mata mendelik.

Wajah Wi Lian In segera berubah menjadi merah padam, dengan

menggerakkan bibirnya dia berkata:

“Sejak semula putrimu sudah bilang tidak menaruh perasaan

curiga kepada Huang Puh siok, jika Huang Puh-siok betul-betul

adalah si Setan Pengecut, hal..hal itu bukankah suatu omong

kosong?”

“Sekali pun kau menaruh curiga kepada pamanmu, aku tidak

akan marah” ujar Huang Puh Kian Pek sambil mengenakan kait

pengikat kepalanya kembali, “Siapa suruh pamanmu memakai kain

pengikat kepala ini”

Dengan perlahan Wi Ci To mengalihkan pandangannya kearah Ti

Then.

“Ti Kiauw tauw, kau kira siapa sebetulnya si Setan Pengecut itu?”

tanyanya.

“Boanpwe tidak tahu” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

“Apa bisa si pendekar tangan kiri Cian Pit Yuan?”

“Mungkin bukan!” jawab Ti Then sambil gelengkan kepalanya,

“Hari itu boanpwe masuk ke dalam goa melalui pintu goa di

belakangnya setelah dia sadar pernah melancarkan satu serangan

secara tergesa-gesa, tangan yang melancarkan serangan adalah

tangan kanan bukan tangan kirinya, tangan kiri di dalam keadaan

tergesa-gesa tidak mungkin bisa berganti menggunakan tangan

kanan”

“Tidak salah” seru Wi Ci To sambil anggukkan kepalanya, “Kita

tidak usah urus soal itu lagi, ayoh minum arak saja”

Sehabis berkata dia mengangkat cawan araknya dan dengan

sekali teguk menghabiskan isinya.

Selesai bersantap tua muda empat orang bercakap-cakap lagi

beberapa saat lamanya, akhirnya Ti Then pamit terlebih dahulu

untuk kembali ke dalam kamarnya beristirahat.

Sesampainya di dalam kamar dia perintahkan si Lo-cia

menyiapkan sepikul air panas untuk mandi. Sesudah semuanya

selesai barulah dia menyulut lampu dn mengetuk jendela tiga

kali…saat itulah mendadak pintu kamar diketuk orang.

“Siapa?”

“Aku..!”

Mendengar suara itu adalah suara Wi Lian In, Ti Then segera

berjalan membuka pintu kamar.

“Kau belum pulang untuk beristirahat?” tanyanya sambil tertawa.

“Belum waktunya untuk tidur” sahutnya sambil tertawa, “Kau

berbuat apa membawa lampu berjalan bolak-balik di depan jendela

?”

“Coba kau lihat seekor laba-laba yang sangat besar” ujarnya

sambil menunjuk kedinding samping jendela, “Aku pingin pukul dia

jatuh akhirnya dia berhasil melarikan diri”

“Oooh..aku boleh masuk?”

Ti Then menyingkir ke samping.

“Silahkan..silakan!” serunya.

Dengan langkah lemah gemulai Wi Lian In berjalan masuk ke

dalam kamar, ujarnya dengan nada kemalu-maluan.

“Kau jangan rapatkan pintu kamar, sekarang sudah malam”

Ti Then segera meletakkan kembali lampu itu ke atas meja,

sesudah mengangkat sebuah bangku ujarnya sambil tertawa.

“Silakan duduk, dengan berbuat begini jika ada orang yang lewat

di depan pintu bisa melihat keadaan di dalam kamar dengan amat

jelas”

“Ehmm..Lo-cia dimana?” tanyanya dengan suara rendah.

“Ooh..pergi bersantap”

Segera Wi Lian In duduk di atas bangku yang sudah disediakan.

“Heeei..dugaan kita ternyata meleset sama sekali” ujarnya sambil

menghela napas panjang, “Agaknya paman Huang Puh memang

bukan si Setan Pengecut itu”

“Sejak semula bukan aku sudah bilang tentu bukan dia” seru Ti

Then sembari tertawa.

“Tapi aku merasa Si Setan Pengecut itu pasti salah seorang

anggota Benteng kita”

“Belum tentu perasaan itu pasti benar”

Wi Lian In tidak berbicara lagi, dengan berdiam diri dia duduk di

sana.

Ti Then pun merasa tidak ada perkataan lain lagi yang hendak

disampaikan, karena itu terpaksa dia hanya berjalan mondar-mandir

di dalam kamar.

Semakin lama Wi Lian In merasakan suasana tidak begitu enak.

“Aku mau kembali ke dalam kamar” ujarnya kemudian sambil

bangkit berdiri.

“Eh eh..tidak duduk lagi?” tanya Ti Then sambil menghentikan

langkah kakinya.

“Tidak usah, aku mau pulang kamar beristirahat, perjalanan

beberapa hari ini membuat aku sangat lelah”

“Benar”

Dengan pandangan penuh perasaan cinta ujar Wi Lian In lagi:

“Kau tentu lelah bukan?”

“Aaah..masih lumayan”

“Kepandaianmu sangat tinggi sekali, sudah tentu tidak begitu

merasa lelah”

Ti Then hanya tersenyum saja tanpa berbicara apa-apa lagi.

Wi Lian In dengan perlahan putar tubuhnya siap pergi, mendadak

seperti teringat akan sesuatu ujarnya kemudian sembari menoleh

kearah Ti Then.

“Ooh benar, kau lihat Anying langit Rase bumi bisa datang

tidak?”

“Mungkin mereka tidak berani secara terang-terangan bentrok

dengan orang-orang Pek Kiam Po, tapi mereka bisa datang mencari

aku”

“Lalu kau kira kapan mereka bisa datang? Tanya Wi Lian In

sambil memandang wajahnya.

“Sukar untuk ditentukan”

“Mungkin mereka akan mengajak kau bertempur diluaran”

“Ooh itu lebih bagus lagi” seru Ti Then sambil menganggukkan

kepalanya.

“Tidak” seru Wi Lian In dengan keras, “Jika mereka manantang

kau bertempur ditempat luaran kau tidak boleh menyanggupi, Rase

bumi jadi orang banyak akal dan licik, paling gemar membokong

orang dengan serangan kejam. Kau tidak boleh pergi”

Ti Then tersenyum saja tanpa mengucapkan kata-kata.

Melihat dia berdiam diri Wi Lian In segera maju mendekati

tubuhnya sambil menarik ujung bajunya.

“Maukah kau menyanggupi untuk tidak ikut mereka keluar?”

mohonnya dengan suara perlahan.

“Baiklah!”

Wi Lian In menjadi amat girang.

“Aku sudah tahu tentu kau bisa menyanggupi permintaanku ini”

ujarnya tertawa.

“Padahal jika aku berjanyi dengan Anying langit Rase Bumi untuk

bertanding disatu tempat tertentu, ayahmu pasti akan ikut campur

juga, urusan ini ayahmu sudah bilang mau ikut serta”

“Jika kau bekerja sama dengan Tia untuk melawan Anying langit

Rase bumi sudah tentu jauh lebih punya pegangan lagi tapi bila kau

mau bertempur mereka suami istri seorang diri mungkin…yah

mungkin sukar mengharapkan menang”

Jilid 12.2: Rahasia Loteng Penyimpan kitab

Ti Then segera tersenyum mendengar omongannya itu.

“Aku punya keinginan untuk tempur mereka suami istri seorang

diri terlebih dulu” ujarnya, “Aku mau lihat kelihayan mereka suami

istri bagaimana hebatnya”

“Hemm…keinginanmu untuk peroleh kemenangan sungguh amat

hebat”

“Benar” jawab Ti Then sembari tersenyum.

Dengan pandangan yang amat mesrah dan penuh perasaan cinta

Wi Lian In memandang wajah Ti Then beberapa saat lamanya,

mendadak air mukanya berubah menjadi merah dadu serunya

sambil putar balik badannya:

“Aku mau kembali ke kamar!”

Perlahan-lahan dia berjalan keluar, sesaat hendak merapatkan

pintu kamar kembali lagi sambil putar tubuhnya.

“Kau mau pergi tidur?”

“Tidak ada urusan bukan?”

“Kenapa tidak pergi cari Tia bermain catur?” ujar Wi Lian In

dengan suara perlahan.

“Besok saja, kini aku terasa amat lelah”

“Kepandaian ayahku di dalam permainan catur amat lihay sekali,

waktu dia orang tua sudah mengalah Sembilan biji kepadaku aku

masih tidak sanggup untuk mengalahkan dirinya”

“Oh…”

“Coba kau terka, Tia bisa mengalah berapa biji catur kepadamu?”

Tanya Wi Lian In lagi.

“Entahlah”

“Aku kira Tia bisa mengalahkan biji kepadamu, ketika bermain

dengan Huang Puh-siok dia juga sering mengalah tiga biji

kepadanya”

“Oh..”

“Tetapi..” ujarnya Wi Lian In sembari tersenyum, “Jika kau bisa

pegang kelemahan permainan Tia, untuk menangkan dia tidaklah

sukar..”

“Apa kelemahan dari permainan catur ayahmu?”

“Permainannya sih tidak ada kelemahannya. Tia paling tidak

sabaran. Jika kau main dengan dia orang tua jangan sekali-kali

bermain cepat, semangkin lambat semangkin baik..”

Ketika dia berpamit kembali untuk kembali kekamarnya akhirnya

sudah membuang waktu setengah jam lagi, setelah dilihatnya si Locia

itu pelayan tua datang baru dia sungguh-sungguh kembali ke

kamarnya.

Setelah melihat bayangannya lenyap dari pandangan barulah ujar

Ti Then kepada diri Lo-cia:

“Hey lo-cia, sediakan the untukku kemudian kau boleh pergi

tidur”

Si Lo-cia segera menyahut kemudian meninggalkan kamar untuk

mengambil the dari dalam dapur, sesudah diletakkan kembali ke

atas meja, ujarnya sembari tertawa:

“Ti Kiauw tauw, rejekimu sungguh bagus sekali!”

“Jangan omong kosong lagi”

“Budakmu tahu, sio-cia kita punya perhatian khusus

terhadapmu”

Sehabis berkata dia putar tubuh berjalan keluar dari dalam

kamar.

Ti Then segera menutup kembali kamarnya, buka pakaian dan

naik ke atas pembaringan untuk tidur.

Dia tahu Majikan patung emas baru akan muncul setelah tengah

malam, karenanya dia ingin tidur terlebih dulu, sesudah mendekati

kentongan kedua baru bangun untuk menanti munculnya-Dia”

Tapi keadaan mala mini pun seperti juga pada malam-malam

yang lalu, dia tertidur dengan amat pulasnya sampai terasa, ada

orang yang menepuk-nepuk badannya bru sadar kembali dari

pulasnya dengan amat terkejut.

Dengan cepat dia buka matanya lebar-lebar, Patung emas itu

sudah muncul tepat di samping pembaringannya.

Terhadap beberapa kali dirinya tertidur dengan amat pulas Ti

Then merasa sangat heran sekali, segera dia bangkit berdiri, ujarnya

sambil membelai patung emas yang sedang berdiri di hadapannya:

“Hey patung emas, kau jangan kurang ajar!”

Majukan Patung emas yang bersembunyi di atas atap rumah

segera menggerak-gerakkan patung emasnya.

“Akhirnya kau berhasil menolong Wi Lian In kembali ke dalam

Benteng, aku merasa sangat girang sekali..” ujarnya dengan

menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara.

“Hem..” dengus Ti Then sembari tertawa tawar, kepalanya

diangkat ke atas memandang sepasang tangan yang sangat buram,

“Sudah tentu kau amat girang”

“Lalu kau sendiri apa tidak merasa girang?”

“Bisa menolong dia kembali dalam keadaan selamat sudah tentu

sangat gembira sekali” ujar Ti Then sambil tertawa pahit, “ Tapi

mendatangkan kesukaran juga bagi diri kita sendiri”

“Otak kau bocah cilik sungguh sedikit aneh, nona yang begitu

cantik seperti Wi Lian In di dalam sejuta sukar untuk mendapatkan

seorang, sebaiknya kau malah tidak gembira, sungguh

mengherankan sekali, sungguh mengherankan sekali”

“Jika hal ini bukan dikarenakan tugas yang dipaksakan sudah

tentu aku merasa sangat girang dan sangat puas sekali”

“Hemmm..sudahlah” seru Majikan Patung emas sambil

mendengus dengan amat dingin, “Tidak usah banyak omong kosong

lagi, cepat kau ceritakan pengalamanmu sewaktu menolong Wi Lian

In”

T

i Then segera menceritakan pengalamannya dengan cara

bagaimana menolong Wi Lian In lolos dari tangan Setan Pengecut

itu kemudian bagaimana ditengah jalan menemui halangan, dengan

jelasnya diceritakan semua.

Selesai mendengarkan kisah itu dengan dinginnya Majikan

patung emas mendengus lagi.

“Hemmm..kau mendatangkan kerepotan saja”

“Apa itu disebabkan aku?” tanya Ti Then dengan nada kurang

senang.

“Jika bukannya kau turun tangan terlalu ringan sewaktu berada

di atas gunung Fan Cin San kau tidak akan mendapatkan kesukaran

seperti begini, sedang setan pengecut itu pun tidak akan lolos”

“Ha.ha..kau terlalu pandang tinggi kemampuanku”

“Pernahkah kau punya pikiran siapa itu Setan Pengecut yang

sebetulnya?”

“Siang malam aku pikirkan tapi tetap tidak kuketahui juga”

Majikan Patung emas mendengus lagi dengan amat dingin.

“Pernah teringat akan Huang Puh Kian Pek?” tanyanya.

“Pernah, tapi dia tidak mungkin Setan Pengecut itu”

“He..hee..dengan andalkan apa kau berani bilang dia bukanlah

Setan Pengecut itu?” Tanya Majikan Patung Emas lagi sembari

tertawa dingin.

“Batok kepala Setan Pengecut itu berhasil kutabas segumpal

kulitnya, sebaliknya di atas kepala Huang Puh Kian Pek sama sekali

tidak kelihatan adanya bekas luka”

“Bekas luka bisa ditutupi”

“Sekali pun begitu bisa” ujar Ti Then dengan tenang, “Tapi kulit

kepala Setan Pengecut itu berhasil kutabas sebesar telapak bocah

cilik, setelah luka itu sembuh tidak mungkin akan tumbuh kulit

kembali untuk menutupi bekas luka itu”

“Tapi dia bisa memapas kulit beserta rambut orang lain, sesudah

kering kemudian ditempelkan pada kepalanya sendiri”

Mendengar perkataan itu dalam hati Ti Then merasa sedikit

bergerak, tanpa merasa lagi dia sudah menganggukan kepalanya.

“Kau sudah menemukan kalau Huang Puh Kian Pek itulah Setan

Pengecut itu?” tanyanya kemudian.

“Belum” seru Majikan patung emas dengan perlahan, “Tapi

menurut pandanganku mungkin dialah si Setan Pengecut itu”

“Asalkan melihat bagian kepalanya dengan teliti aku baru berani

pastikan”

“Kau boleh pikir satu cara toh?” ujar Majikan Patung emas.

“Sewaktu di dalam perjamuan malam tadi dia pernah buka kain

pengikat kepalanya di hadapan kita, aku tidak punya cara lagi

untuk melihat bagian kepalanya”

“Kau boleh tantang dia bertanding ilmu silat, pada kesempatan

itu kau bisa cengkeram bagian kepalanya”

“Hal ini tidak bagus” teriak Ti Then tidak mau menyetujui usulnya

ini.

“Atau secara diam-diam memasuki kamarnya kemudian

memasukkan obat pemabok pada secawan tehnya”

“Tapi aku tidak punya obat pemabok itu”

“Kau bisa pergi ke kota untuk membelinya”

“Ti Then tidak bisa berbuat apa-apa lagi terpaksa mengangkat

bahunya sambil mengalihkan pokok pembicaraan.

“Jika dia betul-betul adalah Setan Pengecut, maka apa tujuan

yang sebetulnya? Kenapa dia sampai bersekongkol dengan Hong

Mong Ling untuk menculik Wi Lian In?”

“Kau!”

“Aku?”

“Tidak salah!” jawab Majikan Patung Emas dengan tegas,

“Bukankah sewaktu berada di atas gunung Fan Cin San dia pernah

memaksa kau untuk menulis seluruh kepandaian silatmu kemudian

minta kau potong sebuah lenganmu”

“Tidak salah” ujar Ti Then sembari mengangguk, “Bahkan

katanya dia punya suatu barang yang hendak disampaikan kepada

suhuku, dia anggap kaulah suhuku”

“Ha ha ha..semua itu hanya omong kosong belaka, tujuan

mereka yang sebetulnya ingin membasmi dirimu”

“Hong Mong Ling ingin bunuh aku memang dia punya alasan itu”

ujar Ti Then selanjutnya, “Tapi dia tidak punya alas an untuk

bersekongkol dengan Hong Mong Ling”

“Ooh..kau sudah salah tanggap” seru Majikan Patung emas, “Dia

bisa bersekongkol dengan Hong Mong Ling bukannya dikarenakan

dia merasa simpatik terhadapnya, yang penting dia ingin

menyingkirkan dirimu”

“Dia mau bunuh mati aku seharusnya punya alasan bukan?”

“Mungkin dia punya suatu rencana terhadap suhengnya Wi Ci

To, sebaliknya karena kau masuk Benteng Pek Kiam Po maka dia

merasa kau bisa menghalangi rencananya, karena itu dia punya

minat untuk menyingkirkan dirimu”

“Dia punya rencana apa terhadap diri Wi Ci To?” tanya Ti Then

lagi.

“Entahlah”

“Apakah sama dengan rencanamu?” tanya Ti Then dengan nada

memancing.

“Urusan ini kau tidak perlu tahu”

“Jika dia betul-betul adalah Setan Pengecut itu, kau punya

rencana mau berbuat apa terhadap dirinya?”

“Kau boleh laporkan urusan ini dengan Wi Ci To” jawab Majikan

patung emas itu, “Sudah tentu Wi Ci To tidak akan melepaskan

dirinya”

“Baiklah” sahut Ti Then kemudian sembari mengangguk, “Untuk

sementara kita ke sampingkan urusan ini terlebih dahulu, kini biar

kita bicarakan soal anying langit rase bumi itu, tentunya kau kenal

Anying langit Rase bumi sepasang suami istri ini bukan?”

“Benar” jawab Majikan Patung emas itu singkat.

“Aku dengar kepandaian mereka suami istri berdua amat tinggi”

“Tidak salah” sahut Majikan Patung emas itu lagi, “Tapi jika satu

lawan satu masih kalah satu tingkat dengan kepandaian Wi Ci To”

“Kita tidak bisa mengatakan satu lawan satu” bantah Ti Then

cepat,

“Karena mereka suami istri berdua selamanya melawan

musuhnya dengan berbareng, musuhnya seorang mereka juga

melawan bersama-sama, musuhnya seratus mereka pun turun

tangan bersama-sama, makanya sejak kini kita harus menganggap

mereka berdua sebagai ‘satu orang’ saja”

“Hmmm” dengus Majikan Patung emas itu dengan dingin, “Buat

apa kau bicarakan urusan itu dengan aku?”

“Sebelum aku menyanggupi kau untuk menjadi patung emasmu,

kau pernah bilang akan membuat aku menjadi orang nomor tiga di

dalam dunia ini, selain kau serta Kay Kong Beng asalkan bisa

bertemu dengan orang yang bisa mengalahkan diriku segera aku

bisa batalkan perjanyian ini, sejak saat itu tidak perlu jadi patung

emasmu lagi, bukan begitu?”

“Benar” sahut Majikan patung emas itu singkat.

“Bagus sekali, mungkin aku masih punya kesempatan untuk

meloloskan diri dari belenggumu”

“Hmmm…hmmm..siapa yang bisa kalahkan dirimu?” Tanya

Majikan patung emas itu sambil tertawa dingin tak henti-hentinya.

“Anying langit Rase bumi” jawab Ti Then sambil tersenyum

simpul, di dalam anggapannya Majikan patung emas tentu tidak

akan bisa berkata lagi.

Siapa tahu begitu Majikan Patung emas itu selesai mendengar

jawabannya ini dia tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya.

“Haa..ha..haa…satu lawan satu mereka tidak mungkin bisa

mengalahkan dirimu” serunya.

00

Bagian 21

“Sejak tadi aku sudah bicara jelas” ujar Ti Then dengan tidak

kalah kerasnya, “Kita harus memandang mereka suami istri berdua

sebagai satu orang, sedang jika misalnya aku dikalahkan mereka

berdua maka sama saja kita harus pandang aku sudah dikalahkan

satu orang saja”

“Kentutmu!” teriak Majikan patung emas dengan amat gusar,

“Dengan jelas mereka adalah dua orang, mana mungkin bisa

dikatakan satu orang saja?”

“Tapi mereka..”

“Aku mau tanya padamu,” potong Majikan patung emas itu

dengan cepatnya.

“Jika diantara mereka suami istri ada yang sakit kemudian mati,

apakah yang lainnya juga bersamaan waktu ikut mati?”

“Ini…”

“Makanya..,” sambung Majikan patung emas itu lagi dengan

cepat, “Mereka adalah dua orang bukan satu orang”

“Tapi mereka selamanya turun tangan secara bersama-sama”

“Itulah karena mereka dari aliran sesat, seluruh gerak-gerik serta

perbuatannya bertentangan dengan pihak lurus, kau anggap mereka

turun tangan bersama-sama merupakan pekerjaan yang benar?”

“Sekali pun tidak benar” sahut Ti Then tidak mau kalah, tapi

mereka tidak mau melawan aku satu lawan satu, sedang dengan

berduaan melawan aku seorang sukar bagiku untuk memperoleh

kemenangan”

“Wi Ci To bisa membantumu” seru Majikan patung emas itu

singkat.

“Begitu dia turun tangan maka sejak itu juga antara pihak

Benteng Pek Kiam Po serta Istana Thian the Kong akan mengikat

suatu permusuhan yang tidak ada habisnya”

“Hmm..hmm..” dengus Majikan Patung emas itu dengan

dinginnya, “Kau bisa bekerja sama dengan Wi Ci To untuk

membunuh mati mereka suami istri berdua, dengan begitu

bukannya menjadi beres?”

“Aku bisa bekerja sama dengan Wi Ci To untuk mengalahkan

mereka suami istri berdua, tapi untuk membereskan nyawanya aku

kira merupakan suatu urusan yang agak sukar”

“Kalau bisa merebut kemenangan kenapa tidak bisa bunuh

mereka?” bantah Majikan patung emas itu dengan amat dingin.

“Misalkan saja setan pengecut itu, sewaktu berada di selat sempit

malam itu jika dia mau melawan aku terus sudah tentu aku bisa

bereskan dirinya, tapi dia sudah melarikan dirinya”

“Hmmm…walau pun tidak bisa membereskan nyawa Anying

langit Rase bumi seketika itu juga, hal ini bukanlah suatu urusan

yang patut dirisaukan” seru Majikan Patung emas, “Walau pun

jumlah anak buah dari Benteng Pek Kiam Po tidak bisa memadahi

banyaknya anggota dari pihak Thian The Kong tapi istana Thian The

Kong hanya merupakan sarang burung saja, untuk membasmi

mereka bukanlah suatu urusan yang amat sulit”

“Omonganmu terlalu ringan” ujar Ti Then sesudah mendengar

perkataannya itu.

“Hmmm” Majikan Patung emas itu mendengus lagi dengan amat

dinginnya. “Urusan ini belum terjadi karena itu tidak perlu dirisaukan

lagi. Sejak kau memasuki Benteng Pek Kiam Po hingga saat ini

sudah ada satu bulan lamanya, sedang waktu yang sudah aku

tentukan buatmu untuk menikah dengan Wi Lian In adalah tiga

bulan, kini hanya tinggal satu setengah bulan lagi kau harus

melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya”

“Hey Majikan patung emas” seru Ti Then dengan agak gusar,

“Kau mau aku suruh aku lari ke hadapannya lalu bilang, Nona Wi,

cepat kau kawin dengan aku!”

“Kenapa tidak?”

“Sungguh suatu omong kosong”

“Aku lihat Wi Ci To sama sekali tidak menaruh perasaan curiga

terhadap dirimu” ujar Majikan patung emas lagi, “Sedang Wi Lian In

sendiri agaknya juga punya perhatian terhadap dirimu, kau boleh

memperlihatkan permainanmu yang berbeda di hadapan mereka

ayah beranak, tidak perduli bagaimana pun juga di dalam satu

setengah bulan mendatang kau harus selesai dengan tugasmu ini”

“Usaha yang tergesa-gesa tidak akan mencapai pada tujuan, kau

pernah mendengar perkataan ini belum?” seru Ti Then sembari

tertawa.

“Jika kau tidak berhasil menjadi suami Wi Lian In di dalam jangka

waktu saru setengah bulan ini, hal ini merupakan suatu kerugian

yang amat besar bagiku”

“Urusan perkawinan merupakan suatu urusan yang besar”

bantah Ti Then lagi, “Urusan ini harus ditentukan oleh ayah ibu kita,

sedang ibu dari Wi Lian In sudah lama tidak berada di dalam dunia

ini lagi, dia harus mendengarkan perkataan dan keputusan dari

ayahnya tapi Wi Ci To merupakan seorang yang sangat teliti dan

tidak terlalu percaya terhadap orang lain, hanya dalam jangka waktu

satu setengah bulan saja tidak mungkin dia bisa mengawinkan

putrinya kepadaku”

“Hemm..”

“Kau bilang betul tidak?” desak Ti Then itu lagi.

Majikan patung emas itu membungkamkan diri tidak bicara lagi.

Majikan patung emas itu segera menarik kembali patung

emasnya, lalu menutup kembali atap rumah dan meninggalkan

tempat itu secara diam-diam.

Ti Then tersenyum, segera dia susupkan diri ke dalam selimut

dan tidur dengan nyenyaknya.

Kokokan ayam jago membising telinga dipagi hari, sinar matahari

dengan tajamnya memancarkan sinar keseluruh ruangan, suatu pagi

yang cerah menjelang kembali.

Agaknya keadaan Wi Lian In terhadap Ti Then saat ini sudah

tidak bisa ditinggal barang sekejap pun, baru saja Ti then selesai

mencuci muka dia sudah datang untuk mengundang Ti Then

sarapan pagi.

Selesai sarapan pagi, dia pun minta Ti Then bertindak sebagai

Kiauw tauw untuk menurunkan kepandaian selat kepadanya.

Dengan perasaan amat girang Ti Then memenuhi semua

ajakannya, bersama dirinya berjalan menuju ke lapangan latihan

silat.

Ujar Wi Lian In kepada diri Ti Then:

“Kita kaum wanita jika disuruh latihan ilmu telapak atau ilmu

pukulan kiranya tidak sesuai, lebih baik Ti Kiauw tauw ajari aku

main ilmu pedang saja”

“Baiklah” sahut Ti Then sembari mengangguk, “Biar aku mainkan

satu kali buatmu”

Selesai berkata dia mencabut keluar pedangnya dan mainkan

satu gerakan dengan amat perlahan.

Pada siang harinya mereka menyelesaikan latihan untuk hari itu,

ujar Wi Lian In kemudian dengan suara perlahan:

“Selesai makan siang, bagaimana kalau kita pesiar ke atas

gunung?”

“Tidak” jawab Ti Then menolak ajakannya itu, “Dalam beberapa

hari ini aku harus tetap tinggal di dalam Benteng untuk menanti

kedatangan hwesio-hwesio dari Siauw lim Pay serta Anying langit

Rase bumi”

Mendengar ajakannnya ditolak Wi Lian In mencibirkan bibirnya:

“Mereka tidak akan datang begitu cepat!” serunya.

“Hal ini sukar untuk kita bicarakan sekarang”

“Aku tidak mau bicara sama kau lagi” seru Wi Lian In

mengambek, kakinya dijejakkan ke atas tanah dengan keras, “Aku

mengundang kau berpesiar ke atas gunung kau menolak, lain kali

jika kau mengundang aku saat itu aku juga tidak mau”

“Bagaimana kalau begini saja, kita jangan pergi terlalu jauh,

hanya cukup duduk-duduk di atas tebing Sian Ciang saja” ujar Ti

Then kemudian sembari tertawa, “Di atas tebing Sian Ciang kita bisa

mengawasi pemandangan seluruh Benteng, jika terlihat sedikit

situasi yang tidak baik kita masih punya waktu untuk lari turun”

Wi Lian In hanya ingin pergi berduaan dengan dia, karena itu

terhadap usulnya ini tidaklah terlalu rebut.

“Bagus” teriaknya kegirangan sesudah mendengar perkataan itu,

cepat kita pergi bersantap”

Tapi sewaktu mereka bersantap siang itulah mendadak Wi Ci To

tersenyum sambil ujarnya:

“Ti Kiauw tauw, lohu dengar dari hu-pocu katanya permainan

caturmu amat tinggi?”

“Mana, mana..” seru Ti Then tetap merendah, “Sewaktu

boanpwe bermain catur dengan Hu-pocu kedua-duanya boanpwe

memegang biji hitam sedang hasilnya pun satu kali menang satu

kali seri”

“Tidak salah” sambung Huang Puh Kian Pek sembari tertawa,

“Tapi lohu bisa melihatnya kalau sewaktu permainan kedua Ti

Kiauwtauw sengaja mengalah”

“Tidak..tidak..” bantah Ti Then cepat, “Selamanya jika boanpwe

bermain dengan orang lain jika makan terus makan, selamanya

belum pernah mengalah dengan siapa pun”

“Wi Ci To tersenyum.

“Tinggi atau rendah nanti lohu sekali pandang segera akan tahu”

ujarnya, “Nanti biarlah lohu mengalah tiga biji catur terlebih dulu

kepada Ti Kiauw tauw”

“Baiklah” sahut Ti Then menyanggupi, “Boanpwe dengar

permainan catur dari Pocu amat tinggi dan merupakan jago tak

terkalahkan dalam dunia saat ini, harap pocu banyak memberi

petunjuk kepada boanpwe”

“Tidak bisa!” mendadak teriak Wi Lian In.

“Kenapa tidak bisa?” tanya Wi Ci To melengak.

“Tadi Ti Kiauw tauw sudah berjanyi kepadaku untuk mengajak

aku berpesiar ke atas tebing Sian Ciang sehabis bersantap”

Wi Ci To memandang sekejap kearah putrinya kemudian

memandang pula kearah Ti Then, dalam hati dia tahu, yang mau

adalah siapa, segera dia tersenyum.

“Kalau memangnya begitu” ujarnya kemudian, “Biarlah sesudah

kembali dari tebing Sian Ciang baru kita main catur”

Demikianlah, sesudah habis bersantap siang Wi Lian In dengan

perasaan amat girang membawa Ti Then keluar benteng untuk

kemudian mendaki ke atas tebing Sian Ciang.

Tebing Sian Ciang merupakan sebuah bukit tebing dengan tinggi

mencapai puluhan kaki tingginya, dari atas puncak tebing itu dapat

melihat seluruh pemandangan dari Benteng Pek Kiam Po dengan

teramat jelasnya.

Kedua orang itu setelah mencapai puncak tebing segera duduk

berjajar di sebelah tebing yang berlatarkan Benteng Pek Kiam Po,

ujar Ti Then kemudian sesudah memandang sekejap sekeliling

tempat itu.

“Benteng kalian bisa berdiri di samping gunung merupakan suatu

keangkeran yang luar biasa, hanya saja ada satu kekurangannya”

“Kekurangan apa?” tanya Wi Lian In dengan cepat.

“Jika ada orang yang mau menyerang Benteng bisa naik dari atas

tebing ini”

“Hal ini tidak mungkin bisa terjadi” potong Wi Lian In dengan

cepat sembari tertawa, “Sekali pun kepandaian silat orang itu lebih

tinggi pun tidak mungkin bisa meloncat turun dari sini”

Ti Then tersenyum.

“Yang aku maksud bukanlah manusia, tetapi batu besar serta

panah berapi”

“Ooh..benar!” teriak Wi Lian In kaget, sedang air mukanya sudah

berubah sangat hebat.

“Jika musuh melontarkan batu-batu besar dari sini maka seluruh

Benteng Pek Kiam Po akan hancur, jika memanahkan panah-panah

berapi maka seluruh Benteng Pek Kiam Po akan terbakar hangus”

tambah Ti Then lagi.

Wi Lian In menarik napas panjang.

“Selamanya kita belum pernah memikirkan akan hal ini, kau kira

mereka berani tidak melakukan hal ini?” tanyanya.

“Semoga saja tidak”

“Dugaanmu ini sangat tepat sekali, nanti aku mau laporkan

urusan ini kepada Tia, biar dia kirim beberapa orang pendekar

pedang untuk menyaga di atas tebing ini”

“Ehmm..seharusnya memang begitu” sahut Ti Then

mengangguk.

“Coba kau lihat” seru Wi Lian In tertawa sambil menuding kearah

Benteng Pek Kiam Po, “Di situlah letaknya kamarmu, nomor tiga dari

sebelah kiri deretan ketiga..sudah terlihat belum?”

“Ehmm..sudah”

Dia masih melihat juga atap kamarnya, karena di dalam otaknya

tanpa terasa sudah memikirkan dengan cara bagaimana Majikan

patung emas itu bisa muncul di atas atap kamarnya tanpa

mengeluarkan sedikit suara pun, sedangkan para pendekar pedang

yang menerima perintah untuk mengawasi dirinya secara diam-diam

pun tidak aka nada yang melihat.

Wi Lian In yang melihat dia dengan termangu-mangu sedang

memandangi keadaan Benteng segera menyenggol tangannya.

“Hey, kau sedang pikirkan apa?” tanyanya sambil tertawa.

Ti Then menarik kembali pandangannya.

“Aku tidak sedang berpikir” sahutnya sambil tertawa, “Sebaliknya

sedang melihat..”

“Melihat kamarmu itu?” Tanya Wi Lian In sembari tertawa manis.

“Tidak, melihat ruangan lainnya, ruangan di hadapan kamar buku

ayahmu”

“Loteng penyimpan kitab?”

“Benar” jawab Ti Then sambil mengangguk, “Si Lo-cia pernah

beritahu padaku untuk jangan mendekati loteng penyimpan kitab

itu, dia bilang ayahmu melarang siapa pun juga untuk memasuki

loteng penyimpan kitab itu termasuk kau serta Hu-pocu”

“Benar..” ujarnya dengan serius.

Dengan pandangan tajam Ti Then memandangi wajahnya,

kemudian tanyanya.

“Kenapa?”

“Aku sendiri juga tidak jelas, Tia hanya bilang di dalam loteng itu

disimpan berbagai kitab yang sangat berharga sekali”

“Kau percaya?”

“Aku…aku tidak percaya, tapi aku tidak berani Tanya” sahut Wi

Lian In dengan terputus-putus.

“Bukankah ayahmu sangat sayang padamu?”

“Benar” jawab Wi Lian In, “Urusan apa pun dia mau

menyanggupi diriku, tapi dia melarang aku memasuki loteng

penyimpan kitab itu, dengan serius dia pernah memberi peringatan

kepadaku untuk jangan mendekati loteng tersebut. Pernah dua kali

secara diam-diam menyelundup masuk ke sana akhirnya diketahui

oleh Tia. Untuk pertama kalinya dengan sangat gusar dia hanya

memaki dan memarahi aku tapi ketika kedua kalinya bukan saja

memaki dan memarahi aku, bahkan memukul diriku”

“Kau dipukul?” tanya Ti Then dengan amat terkejut.

“Benar” sahutnya sambil tertawa, “Untuk pertama kalinya dia

pukul aku bahkan memukul dengan keras sekali membuat aku

hampir-hampir setengah mati”

“Itulah sangat aneh sekali, bagaimana ayahmu bisa pandang

harta kekayaan itu jauh lebih tinggi daripada dirimu?”

Dengan sedihnya Wi Lian In menghela napas panjang.

“Aku pikir di dalam sana tentunya tidak disimpan barang-barang

berharga saja” serunya dengan sedih, “Di sana tentu disimpan suatu

rahasia yang punya hubungan sangat erat dengan Tia”

“Apa bisa suatu barang pusaka yang amat berharga?”

“Seharusnya bukan” sahut Wi Lian In sambil gelengkan

kepalanya, Tia tidak begitu gemar menyimpan harta, jika memiliki

suatu pusaka yang amat berharga dia tentu akan beritahukan

kepadaku”

Dia berhenti sejenak, kemudian sambungnya lagi.

“Waktu itu sesudah memukul aku dengan amat keras agaknya

dia merasa sangat menyesal, dia lari kekamarku untuk menghibur

diriku bahkan dengan melelhkan air mata minta aku jangan sampai

memasuki loteng penyimpan kitab itu lagi, waktu itu aku secara

tiba-tiba merasa Tia begitu kasihan lalu menyanggupinya, bahkan

sudah angkat sumpah untuk selamanya tidak memasuki loteng

penyimpan kitab itu lagi, demikianlah sejak hari itu aku tidak berani

mendekati sana lagi”

“Bagaimana dengan Hu pocu?” tanya Ti Then kemudian.

“Selamanya dia pun tidak pernah menanyakan loteng penyimpan

kitab itu, terhadap hal itu agaknya dia tidak mau ambil perduli”

“Para pendekar pedang di dalam Benteng juga tidak ada seorang

pun yang berani untuk menyelidiki?”

“Dulu memang pernah ada seorang pendekar pedang merah

secara diam-diam sudah menyelundup masuk ke dalam loteng, tapi

baru saja satu langkah memasuki pintu segera terjirat mati oleh

alat-alat rahasiai yang dipasang di sana”

“Benar” jawab Ti Then dengan bergidik, “Aku dengar si Lo-cia

juga pernah berkata kalau di dalam loteng penyimpan kitab itu

memang dipasang alat-alat rahasia yang teramat lihay”

Dengan perlahan Wi Lian In mengulurkan tangannya yang putih

mulus untuk mencekal pergelangan tangannya.

Dengan mesrahnya Wi Lian In menyandarkan badannya ke atas

dada Ti Then, dengan suara yang penuh perasaan cinta ujarnya:

“Aku tahu kau sangat baik sekali..”

“Tidak!” teriak Ti Then dengan perasaan menyesal, “Aku tidak

baik, mungkin pada suatu hari kau bisa merasa aku jauh lebih jahat

dari Hong Mong Ling”

“Aku tidak percaya” sahut Wi Lian In sembari tertawa.

“Lebih baik kau jangan terlalu percaya kepada diriku”

Pada wajah Wi Lian In terlintaslah suatu sinar kebahagiaan,

ujarnya dengan perlahan:

“Jika kau bukan seorang yang patut dipercayai, maka di dalam

dunia ini tidak aka nada orang yang bisa dipercayai lagi”

“Bukankah dahulu kau sangat percaya terhadap Hong Mong

Ling?” ujarnya sambil tertawa pahit.

Wi Lian In mengerutkan keningnya rapat-rapat ketika mendengar

perkataan itu.

“Itulah karena aku sudah dibuat buta, tapi aku hanya bisa buta

untuk satu kali saja” ujarnya.

Ti Then tersenyum kembali.

“Mungkin aku masuk ke dalam Benteng Pek Kiam Po memang

mem punyai suatu rencana tertentu seperti yang dikatakan oleh

Hong Mong Ling dahulu”

“Jangan sebut dia lagi!” teriak Wi Lian In dengan gemas, “Aku

tidak mau dengar namanya lagi”

Dengan perlahan Ti Then hanya bisa menghela napas panjang

saja, kemudian bungkam di dalam seribu bahasa.

“Kenapa kau menghela napas panjang?” Tanya Wi Lian In

dengan heran ketika mendengar Ti Then menghela napas.

“Tidak mengapa” sahutnya sembari gelengkan kepala.

Dengan pandangan yang tajam Wi Lian In memandang wajahnya

tanpa berkedip.

“Apakah kau menganggap karena aku punya ikatan jodoh

dengan dia lalu aku adalah..”

“Bukan..bukan..” bantah Ti Then dengan amat gugup, “Aku tidak

punya pikiran begini, aku tahu kau masih suci bersih”

“Semua orang menganggap jika seorang nona sudah dijodohkan

dengan orang lain maka mati hidupnya termasuk orang keluarga itu,

apa kau punya pandangan begini?”

“Tidak”

“Kalau begitu…”

Tetapi ketika dilihatnya wajah Ti Then amat murung maka

tanyanya dengan cepat.

“Lalu kenapa kau tidak genmbira?”

“Siapa bilang aku tidak gembira?” tanya Ti Then sembari tertawa

paksa.

“Kau jangan menipu aku, aku bisa melihatnya kalau di dalam

hatimu ada urusan”

“Aku sedang berpikir, loteng penyimpan kitab ayahmu bisa

mendatangkan banyak bencana bagi dirinya”

“Kau boleh legakan hati” ujar Wi Lian In tersenyum, “Sejak

adanya Benteng Pek Kiam Po Loteng penyimpan kitab itu sudah

ada, tapi selama puluhan tahun ini belum pernah terjadi orang luar

ada yang datang menyelidiki tempat itu”

“Musuh luar bisa dicegat tapi musuh dalam selimut sukar

ditahan”

“Tidak ada musuh dalam selimut” seru Wi Lian In dengan keras.

“Semoga saja begitu.”

Dengan pandangan yang tajam Wi Lian In mengawasi wajahnya

kembali. “Kau kira ada tidak?” tanyanya.

“Jika aku sudah mengemukakan dugaanku, harap kau jangan

marah dan jangan ada orang ketiga yang mendengar.” ujar Ti Then

dengan serius.

“Baiklah.” sahutnya sambil mengangguk, “Mau bicara. .

bicaralah”

“Kemarin sewaktu aku berbaring di atas pembaringan sudah

berpikir sangat lama sekali, aku merasa Hu Pocu memang patut kita

curigai.”

Wi Lian In menjadi terkejut bercampur heran.

“Bukankah sewaktu makan malam kemarin dia sudah buka kain

pengikat kepala untuk kita lihat?” ujarnya

“Tidak salah, tapi hanya sepintas lalu saja tidak bisa dilihat lebih

jelas.”

“Tapi aku bisa melihatnya teramat jelas” jawab Wi Lian In

dengan pasti. “Di atas kepalanya memang tidak terlihat sedikit

bekas lukamu.”

Ti Then tersenyum tawar.

“Dia bisa memotong kulit kepala orang lain sesudah kering

kemudian ditempelkan pada bekas lukanya sendiri, hal itu hanya

bisa dilihat dengan jelas jika kita memeriksa dengan lebih teliti.”

ujarnya.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 13.1: Ku Ie dan Liuw Su Cen berkunjung

Wi Lian In merasa terkejut bercamput heran, dengan

mementangkan mata lebar-lebar tanyanya.

“Kau kira dia bisa berbuat begitu?”

“Ehmm, hanya itu dugaanku saja, benar atau tidak harus kita

buktikan sendiri”

Dengan mengerutkan alisnya rapat-rapat lama sekali Wi Lian In

termenung untuk berpikir keras, kemudian barulah dia mengangguk.

“Tidak salah” sahutnya dengan nada serius “Jika bilang dia

bukanlah si setan pengecut itu, secara tiba-tiba dia bisa memakai

kain pengikat kepala pada waktu yang bersamaan, hal ini memang

sedikit mencurigakan, tapi kita hendak menggunakan siasat apa

pergi memeriksa keadaan kepalanya itu”

“Kita harus melaksanakan tugas ini dengan pinyam kesempatan

sewaktu dia tidak merasa.”

“Jadi maksudmu menanti dia tertidur dengan amat nyenyak?”

tanya Wi Lian In.

“Tidak bisa, tidak bisa” seru Ti Then dengan cepat sembari

gelengkan kepalanya. “Dia merupakan manusia macam apa? Asal

satu langkah kau memasuki kamarnya dia pasti akan segera

terbangun.”

“Kalau tidak begitu” seru Wi Lian in dengan cemberut, “Kita mau

gunakan cara apa lagi?”

Melihat sikapnya yang cemberut itu Ti Then tersenyum.

“satu-satunya cara kita harus gunakan obat pemabok” sahutnya

“Sebelum dia masuk kamar untuk tidur secara diam-diam kita harus

masukkan obat pemabok itu ke dalam teko air tehnya”

“Caramu itu walau pun bagus, tapi sewaktu dia sadar kembali,

segera akan diketahui olehnya kalau dia sudah mendapat bokongan

pihak musuh.”

Ti Then tersenyum lagi

“Asalkan sesudah minum teh lalu dia naik ke atas pembaringan

untuk istirahat maka hal itu tidak akan dirasakan olehnya”

Dia berhenti sebentar untuk berganti napas, lalu sambungnya

lagi:

“Sekali pun omong kosong kita bilang dia merasa kalau dirinya

sudah dibokong orang lain, hal itu tidaklah penting jika terbukti

pada kepalanya tidak terdapat bekas luka, cukup asaikan dia tidak

tahu kalau orang yang memberi obat pemabok itu adalah kita

berdua hal ini tidaklah mengapa”

Wi Lian in berdiam diri untuk berpikir beberapa waktu lamanya,

kemudian barulah mengangguk sambil sahutnya:

“Baiklah, kalau begitu kita putuskan pakai obat pemabok saja.

Biarlah aku yang secara diam-diam memasukkan benda tersebut ke

dalam teko air tehnya, tapi . . . kau punya obat pemabok itu?”

“Tidak ada”

“Di dalam benteng kita juga tidak terdapat benda semacam itu,

lalu bagaimana sekarang baiknya?” tanya Wi Lian in sedikit cemas.

“Kita bisa pergi ke dalam kota untuk membelinya di warung obat,

asal kita mau kasih uang lebih banyak sudah tentu mereka pasti

juga menjualnya kepada kita.”

“Ehm .. . ” sahutnya Wi Lian in kemudian sembari mengangguk,

“Tetapi siapa yang pergi beli”

“Sebaiknya kau saja yang pergi lebih baik aku jangan tinggalkan

tempat ini”

“Baiklah, sekarang berangkat saja bagaimana?”

Ti Then termenung berpikir sebentar, kemudian barulah kasih

jawaban-

“Bila sebelum hari gelap kau bisa barangkat kembali ke sini,

sekarang pergi pun tidak ada halangannya, kalau tidak berangkat

besok pun belum terlambat.”

“Kalau begitu aku berangkat sekarang saja” seru Wi Lian in

dengan cepatnya “Tunggu saja setelah aku berhasil beli barang itu

barulah kita pulang ke Benteng bersama-sama, setelah itu malam ini

kau harus tantang Tia adu main catur, dengan begitu pasti dia akan

menonton di samping. saat itulah aku mau gunakan kesempatan

tersebut memasuki kamarnya” Selesai berkata dia segera bangkit

berdiri.

Ti Then pun segera ikut bangkit: “Lebih baik aku ikut kau saja”

ujarnya.

Wi Lian in menjadi tertegun: “Bukankah tadi kau bilang tidak

leluasa untuk tinggalkan tempat ini” tanyanya dengan penuh

keheranan.

“Tadi aku bilang jika kita berangkat besok pagi, sekarang kita

semua sudah berada diluar benteng, kita boleh berangkat ke dalam

kota secara diam-diam, tentunya gerak gerik kita ini tak akan

diketahui oleh orang lain.”

Wi Lian In yang mendapat kawan berjalan seorang seperti Ti

Then ini sudah tentu dalam hati merasa sangat girang sekali.

“Betul” serunya dengan penuh kegirangan “Mari kita berangkat

bersama-sama.”

Demikianlah mereka berdua itu dengan mengikuti jalan semula

menuruni tebing tersebut, sesudah mengitari bawah gunung dengan

cepat mereka berdua berangkat menuju kekota keresidenan Go bi.

Jarak antara benteng pedang menuju ke kota Go bi kurang lebih

ada empat puluh li jauhnya, sepanjang jalan antara kedua tempat

itu jarang terdapat dusun yang di tinggali orang karena itu orangorang

yang melakukan perjalanan pun tidaklah begitu banyak.

Mereka berdua dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh

masing-masing dengan cepat melakukan perjalanannya, tak sampai

satu jam kemudian mereka berdua sudah tiba di dalam kota

kerisidenan Go bi tersebut.

Kali ini merupakan pertama kali Ti Then memasuki kota kembali

sesudah terjadinya peristiwa di dalam sarang pelacur Touw Hoa

Yuan, karena takut sampai dikenali kembali orang-orang dari sarang

pelacur Touw Hoa Yuan itu, karenanya begitu tiba di dalam kota dia

berusaha keras untuk menghindari tempat sarang pelacur tersebut.

Sesudah berjalan belak belok dan melaluijalan-jalan kecil yang

sepi tidak lama kemudian terlihatlah oleh mereka diseberang jalan

terdapat sebuah kedai penjual obat. Ujarnya kemudian kepada Wi

Lian in dengan suara yang amat rendah.

“Kau tunggulah sebentar di sini, biar aku yang pergi beli.”

Selesai berkata dengan langkah lebar dia berjalan menuju ke

dalam kedai penjual obat itu.

Begitu masuk ke dalam warung penjual obat tersebut segera

terlihatlah seorang tua yang berdiri di balik lemari dengan sangat

hormat sekali menggape ke arahnya.

“Silahkan duduk, silahkan duduk.” ujarnya sembari tersenyum,

“Kongcu. . kau mau cari apa?”

Dengan cepat Ti Then berjalan mendekati sisi tubuh kakek tua

itu, kemudian barulah ujarnya dengan suara rendah. “Cayhe mau

cari sedikit obat pemabok.”

“Mao beli apa?” tanya kakek tua itu dengan air muka tertegun.

” Obat pemabok. ”

“Maaf . . . maaf.” seru kakek tua itu sambil gelengkan kepalanya.

“Di dalam warung kami tidak dijual obat semacam itu”

Dari dalam sakunya Ti then mengambil keluar dua tahil perak

yang kemudian diletakkan di atas meja.

“Cayhe hanya mencari satu bungkusan kecil saja.” desaknya

dengan nada serius.

“Tidak ada. . tidak ada” Dari dari dalam sakunya Ti Then

mengeluarkan satu tahil perak kembali dan diletakkan di samping

dua tahil perak semula, sambil tersenyum tanyanya.

” Kalian sungguh-sungguh tidak menjual barang tersebut”

Sinar mata kakek tua itu dengan tajamnya memperhatikan uang

yang terletak di atas meja itu, napasnya menjadi memburu,

kemudian berubah menjadi ngos-ngosan sedikit gugup,

“Benar …. benar dulu memang masih ada sedikit, kemudian ….

kemudian . . sudah terjual habis.”

Dari dalam sakunya sekali lagi Ti Then mengambil keluar satu

tahil perak. kemudian ujarnya sembari tersenyum:

“Mungkin masih ada sisa sedikit, tolong kau carikan sedikit buat

aku . . .”

Air muka kakek tua itu ma kin lama berubah menjadi memutih,

kemudian sahutnya lagi dengan gugup,

“Baik . . . baik . . baik . . . biar lohan pergi cari-cari”

Selesai berkata dengan tergesa-gesa dia berlari masuk ke dalam

bilik kamarnya.

Beberapa saat kemudian terlihatlah dengan wajah penuh

kegirangan dia berjalan keluar.

“Kongcu” serunya sembari tertawa. “Keuntunganmu sungguh

bagus sekali, ternyata memang tersisa sedikit”

Sambil berkata dari dalam sakunya dia mengambil keluar sebuah

bungkusan kecil yang sangat tipis yang kemudian diangsurkan ke

arah Ti Then, sedang tangannya yang sebelah sudah mulai

mencomot uang perak yang terletak di atas meja.

Ti Then sesudah bungkusan yang berisikan obat pemabok itu

mendadak dia ulur tangannya menekan tangan kakek tua itu yang

sedang mengambil uang di atas meja tersebut.

“Tunggu dulu” serunya sembari tertawa.

Air muka kakek tua itu seketika itu juga berubah sangat hebat,

dengan ketakutan, tanyanya. “Ada urusan apa?”

Ti Then tersenyum.

“Jual belikan obat pemabok merupakan suatu pelanggaran

undang-undang negara, mungkin tentang hal ini kau pun tahu

bukan” ujarnya dengan nada menggertak.

Saking terkejutnya seluruh tubuh kakek tua itu sudah mulai

gemetar, ujarnya dengan Suara yang tersedu-sedu:

“Kau . . . kau petugas dari pengadilan ??”

“Ha ha ha . . . bukan. . bukan.”Jawab Ti Then dengan tertawa

tak henti-hentinya, “Tapi aku bisa membawa bungkusan obat

pemabok ini sebagai bukti untuk dilaporkan pada pengadilan, waktu

itu….”

Kakek tua itu menjadi sangat terperanyat.

“Kongcu bagaima kau bisa mencelakai orang seperti begitu?”

ujarnya dengan perasaan tidak puas? “Tadi Lohan sudah bilang

kalau tidak ada, adalah kongcu sendiri yang terus memohon . . .”

“Kamu orang tidak perlu begitu tegang” potong Ti Then sembari

tersenyum “Aku tidak akan melaporkan urusan ini kepada

pengadilan”

Saat ini kakek tua itu baru bisa menghembuskan napas lega

sambil menyeka keringat yang mengucur keluar ujarnya. ” Kongcu

kau betul-betul pandai menggoda. . .”

“Ehmmm . . . .aku merasa obat ini sedikit kemahalan, hanya satu

bungkus begini sudah minta empat tahil perak. . sungguh mahal

sekali”

“Omongan apa itu ???” Teriak kakek tua itu sedikir gusar. ”

Lohan selama ini belum pernah membicarakan soal harga, bukankah

kongcu sendiri yang rela memberi uang sebegitu banyak”

“Oh begitu? Kalau begitu cayhe mohon diri dulu.” ujar Ti Then

dengan serius.

Sesudah memasukkan bungkusan obat itu ke dalam sakunya

dengan cepat dia putar tubuhnya berjalan pergi.

Agaknya kakek tua itu merasa urusan tak beres, dengan cemas

teriaknya. “Tunggu sebentar.”

“Ada petunjuk apa lagi?” Tanya Ti Then sembari menoleh ke

belakang sedang di dalam hati dia merasa sangat geli sekali.

Dari dalam sakunya kakek tua itu mengeluarkan dua tahil perak

kemudian disusulkan ketangan Ti Then, ujarnya sambil menghela

napas panjang. “Begitu sudahlah, heei….”

Tanpa sungkan-sungkan Ti Then menerima kembali uang perak

itu dan dimasukkan ke dalam sakunya, sambil tersenyum dia

berjalan meninggalkan warung itu untuk kembali kesisi Wi Lian In.

“Ayoh jalan” ujarnya tersenyum.

“Sudah dapatkan barang itu??” tanya Wi Lian In ditengah jalan,

agaknya dia merasa tak tenang.

“Sudah”

“Apa dia juga menanyakan digunakan buat apa barang itu?”

tanya Wi Lian In lagi.

“Tidak” sahutnya sambil gelengkan kepalanya. “Hanya aku sudah

berbuat guyon dengannya, urusan selanjutnya biarlah sesudah

meninggalkan kota kita bicarakan lagi.”

Mereka berdua tidak berani berhenti terlalu lama di dalam kota,

karenanya dengan cepat kedua orang itu bergerak keluar kota.

Sesampainya di pinggiran kota barulah Ti Then mulai

menceritakan kisahnya mempermainkan si kakek tua penjual obat

itu membuat Wit Lian in tertawa terpingkal-pingkal saking gelinya.

“Kau jadi orang sungguh curang” ujarnya sembari tertawa,

“Sudah memperoleh barangnya orang lain merasa sayang untuk

keluar uang buat membayar”

Bukannya aku merasa sayang” bantah Ti Then sambil tertawa

juga. “Kebanyakan orang-orang yang memperjual belikan obatobatan

semacam itu bukanlah manusia baik- baik, biarlah kali ini

mereka sedikit merasakan kelihayanku”

Sambil berkata dia mengambil keluar bungkusen kecil yang

berisikan obat pemabok itu lalu dibukanya untuk Wi Lian in lihat.

“Nah kau terimalah barang ini” ujarna kemudian.

Wi Lian in menyambut bungkusan kecil berisikan obat pemabok

tersebut.

“Aku harus masukkan seberapa banyak obat ini ke dalam teko air

tehnya?” tanyanya kemudian.

“Aku kira separuh sudah cukup”

“Baiklah” seru Wi Lian in kemudian sambil anggukkan kepala,

“Baiknya kita kerjakan malam ini juga.”

“Jikalau kita berhasii mengetahui dia adalah si Setan pengecut

itu, kau pikir baiknya bertindak bagaimana?”

“Akan kuberitahukan kepada Tia, biarlah Tia yang mengambil

tindakkan selanjutnya” jawab Wi Lian inTi

Then menganggukkan kepalanya menyetujui, kemudian sambil

menghela napas panjang, ujarnya lagi:

“Aku sangat mengharapkan dia bukanlah si Setan pengecut itu.”

Mereka berdua sembari melanjutkan perjalanan sembari

bercakap-cakap. sesampainya di depan benteng Pek Kiam Po, cuaca

sudah menunjukkan hampir malam.

Baru saja mereka menginyakkan kakinya ke dalam Benteng,

segera terlihattah seorang pendekar pedang putih sudah

menyambut kedatangan mereka, ujarnya sambil bungkukkan

badannya memberi hormat. “Ti Kiauw tauw kau sudah kembali”

“Ehmm … ” sahut Ti Then sernbari anggukkan kepalanya. “Ada

urusan apa?”

“Tadi Pocu sudah beri pesan, katanya jika Ti Kiauw tauw serta

nona sudah balik ke dalam benteng dipersilahkan segera menuju

keruangan tamu” ujar pendekar pedang putih itu dengan amat

sopan.

Dalam hati Ti Then hanya merasakan jantungnya berdebar-debar

amat keras, tanyanya dengan amat cemas. “Sudah terjadi peristiwa

apa?”

“Ada orang yang datang menyambang diri Ti Kiauw tauw.”

“Apakah mereka adalah Anying langit Rase bumi atau mungkin

hwesio-hwesio dari Siauw Limpay?” tanya Ti Then lagi dengan

perasaan lebih cemas.

“Semua bukan . . .”jawab pendekar pedang putih itu sambil

gelengkan kepalanya.

” Kalau begitu siapa mereka Cayhe tidak kenal.”

Dalam hati diam-diam Ti Then merasa sangat heran, tidak

mungkin ada temannya yang datang menyambangi dia, karena itu

pikirannya menjadi kacau, sambil memandang sekejap kearah Wi

Lian in, ujarnya kemudian- “Cepat kita pergi melihat.”

Selesai berkata dengan langkah tergesa-gesa dia berjalan

menuju keruang tamu. Mereka berdua dengan tergesa-gesa menuju

ke dalam ruang tamu, begitu masuk ke dalam ruangan segera

terlihatlah di dalam ruangan sudah hadir dua orang lelaki dan dua

orang wanita, yang lelaki adalah Wi Ci To serta Huang puh Kian Pek.

yang wanita adalah germo dari Sarang pelacur Touw Hua Yuan, Ku

Ie serta pelacur terkenal Liuw Su Cen.

Begitu Ti Then tampak Ku Ie serta Liuw Su Cen, secara tiba tiba

di dalam Benteng Pek Kiam Po ini membuat hatinya seketika itu

juga terasa tergetar dibuatnya, dengan cepat dia menahan langkah

selanjutnya untuk beberapa saat lamanya tidak sanggup

mengucapkan Sepatah kata pun-

Munculnya Ku Ie serta Liauw su Cen secara tiba-tiba di dalam

Benteng Pek Kiam Po ini jika dibicarakan terhadap dirinya boleh

dikata merupakan suatu pukulan yang fatal. Bagaimana mereka bisa

sampai di sini?

Hmmm, Tentu hasil permainan dari Hong Mong Ling, sesudah

berdiri tertegun beberapa waktu lamanya, segera dia melanjutkan

perjalanannya menuju ke depan, kepada Wi Ci To sembari memberi

hormat ujarnya:

“Pocu, tadi boanpwe dengar dari seorang pendekar pedang putih

katanya ada tamu yang datang mencari boanpwe?”

“Benar” Sahut Wi Ci To dengan wajah amat serius, sambil

menuding kearah Ku Ie serta Liauw Su Cen sambungnya:

“Kedua orang perempuan inilah yang sedang mencari kau”

Waktu itu Ku Ie serta Liauw Su Cen sudah berdiri dari tempat

duduknya, terlihatlah Ku Ie dengan wajah penuh senyuman ramah

sudah membuka mulutnya dan berkata: “Lu Toakongcu, tentu kau

sudah lupa pada kami ibu beranak bukan?”

Liauw su Cen dengan cepat bungkukkan badannya memberi

hormat, sambungnya dengan suara yang merdu genit:

“Kami datarg menyambangi secara tiba-tiba, harap Lu kongcu

jangan marah”

Mendengar omongan mereka berdua yang tidak karuan itu tanpa

terasa Ti Then sudah kerutkan alisnya rapat-rapat, dengan tertegun

lama sekali dia pandang mereka berdua, kemudian barulah dia

balikkan badannya bertanya kepada Wi Ci To:

“Kedua orang perempuan ini apakah Ku Ie serta Liuw Su Cen dari

sarang pelacur Touw Hoa Yuan?”

Wi Ci To hanya menganggukkan kepalanya saja tanpa

mengucapkan sepatah kata pun. Ti Then tertawa dingin, kepada Ku

Ie yang berdiri di sampingnya dia berkata.

“Toa nio ini mungkin sudah salah menangkap orang, cayhe

bukanlah Lu kongcu yang kalian maksudkan”

“Benar” jawab Ku Ie itu. “Baru saja aku baru tahu kalau nama

kongcu yang sebetulnya adalah Ti Then”

Sembari menghela napas panjang sambungnya lagi:

“Sebetulnya kami ibu beranak tidak berani datang mengganggu

Ti kongcu, tapi Su Cen budak ini sudah betul-betul mencintai diri

kongcu, sejak waktu itu dia bisa berkenalan dengan diri kongcu,

selama ini makan tidak enak tidur pun tidak enak. setiap hari hanya

pikirkan kongcu seorang kapan bisa datang mengunjungi dia

kembali”

Pikiran Ti Then menjadi semakin ruwet dan kacau.

“Kalian sudah salah anggap” potongnya dengan keras “Cayhe

memangnya bernama Ti Then, tapi bukanlah Lu kongcu yang pada

waktu itu pernah mengunjungi sarang pelacur Touw Hoa Yuan

kalian-”

“Bagaimana bisa bukan” bantah Ku Ie lagi sambil tertawa serak.

“Dengan jelas kau adalah Lu kongcu yang waktu itu turun tangan

melukai diri Hong kongcu, sesudah aku tahu nama yang sebetulnya

dari kongcu dan tahu pula kalau kongcu sudah menyabat sebagai

Kiauw tauw dari benteng Pek Kiam po ini, saat ini biar aku

menceritakan urusan ini kepada Su Cen budak ini, sejak waktu itu

Su Cen budak ini setiap hari sudah ribut ribut mau datang ke sini

untuk kongcu, aku sudah bilang sama dia kini kongcu sudah

menyabat sebagai Kiauw tauw dari Benteng Pek Kiam po, jika kita

datang ke sana mungkin kongcu akan kehilangan muka, tapi Su Cen

budak ini tetap ngotot saja, dia bilang kongcu dengan senang hati

mau menerima kedatangan kita ibu beranak sedang aku pun mem

punyai pikiran Ti kongcu tentunya jadi orang berperasaan halus,

tidak mungkin bisa melupakan kekasihnya yang terdahulu maka dari

itu…”

“Sudah cukup,” potong Ti Then dengan keren, sedang wajahnya

berubah membesi, “Siapa yang perintahkan kalian kemari?”

Ku Ie berdiam diri beb erapa saat, kemudian sembari tertawa

sambungnya lagi.

“Ti kongcu, kau sunguh pandai berguyon, kami ibu beranak

dengan bersungguh hati datang menyambang dirimu, bagaimana

kau bisa memfitnah kami mengatakan kami datang atas perintah

orang lain?”

“Cayhe hari ini belum pernah pergi ke sarang pelacur Tuw Hoa

Yuan kalian, kini kau terus menerus mengatakan aku Lu kongcu itu,

terang-terangan kalian sudah perintah orang lain untuk mencelakai

diriku” teriak Ti Then dengan keras.

Mendengar omongan ini Ku Ie hanya tertawa pahit saja, kepada

Liuw Su Cen yang berada di sampingnya ujarnya dengan sedih.

“Hei budak, aku bilang bagaimana? Kini orang lain sudah

menyabat sebagai Kiauw tauw dari Benteng Pek Kiam Po, dia tidak

mungkin akan mau berkawan dengan kau sebagai seorang pelacur

murahan yang rendah derajatnya.”

Dengan rasa sedih Liuw Su Cen angkat kepalanya melirik sekejap

kearah Ti Then kemudian tundukan kepalanya kembali rendahrendah,

sesudah menghela napas panjang barulah sahutnya lirih.

“Ku Ie mari kita pulang saja.”

“lbumu paling takut kalau kau tidak puas” ujar Ku Ie kemudian

sembari menghela napas panjang. “Kini malah menjadi lebih baik,

sejak kini kau boleh menerima tamu kembali menurut perintah ku”

Berbicara sampai di sini kepada Wi Ci To serta Huang puh Kian

pek dia sedikit bungkukkan dirinya memberi hormat:

“Kami sudah mengganggu Pocu berdua, dalam hati sungguh

merasa tidak tenang” ujarnya dengan perlahan- “Lain kali jika Pocu

berdua datang kekota harap mau duduk sebentar di dalam sarang

pelacur Touw Hoa Yuan kami”

“Pergi. . Pergilah.” seru Wi Ci To dengan kasar sedang tangannya

diulapkan berulang kali.

Demikianlah dengan berjalan berlenggak lenggok Ku Ie serta

Liuw Su Cen berjalan meninggalkan ruangan itu.

Tiba-tiba Ti Then maju satu langkah menghalangi perjalanan

mereka.

“Jangan pergi” bentaknya dengan kasar.

“Ada apa?” tanya Ku Te sembari tertawa melengking sehingga

serasa menusuk kuping.

“Katakan siapa yang sudah perintah kalian kemari” bentaknya

dengan dingin.

Alis Ku Ie segera dikerutkan rapat-rapat sambil tertawa terkekehkekeh

serunya:

“Aduh Ti Kongcu kau sungguh pandai main sandiwara, kau sudah

punya kekasih yang baru kini tidak mau mengingat kembali kekasih

yang lama, tentang hal ini tidak mengapa, bagaimana?? kamu tidak

mengijinkan kami ibu beranak pergi dari sini?”

Ti Then tidak mau ambil perduli padanya dengan wajah yang

amat keren tetap bentaknya: “Siapa yang perintah kalian kemari?

sudah beri uang berapa??”

“Hmm. .” dengus Ku Ie dengan amat dingin “Walau pun Su Cen

kami hanya seorang pelacur tapi tidak seperti kau Ti Kongcu yang

sudah lupa keadaan sendiri, kau jangan salah memandang.”

“Aku bisa kasih uang yang lebih banyak lagi kepada kalian

asalkan kalian mau beri tahu dengan sejujurnya siapa yang sudah

perintah kalian kemari” ujar Ti Then coba membujuk mereka

berdua.

Ku Ie tidak mau gubris dirinya lagi, kepada Wi ci To sembari

tertawa dingin ujarnya.

“Wi Pocu, tolong tanya kami apa sudah boleh pergi? ”

“Ti Kiauw tiauw” seru Wi Ci To dengan nada kurang senang.

“Biarkan mereka pergi”

Mendengar omongan ini seketika itu juga Ti Then sudah tahu

kalau dia telah percaya akan omongan Ku Ie ini, sedang dalam hati

dia pun tahu perintah dari majikan patung emas yang diserahkan

kepadanya juga boleh dikata hanya sampai di sini saja, karena itu

segera dia menyingkir ke samping membiarkan Ku Ie serta Liauw su

Cen berlalu dari dalam ruangan.

Sesudah melihat bayangan mereka berdua lenyap dari

pandangan barulah dia merangkap tangannya memberi hormat

kepada Wi Ci To.

“Pocu” ujarnya perlahan-. “Boanpwe ada satu urusan yang

hendak dititipkan kepada Pocu.”

” Urusan apa?” tanya Wi Ci To sembari menghela napas panjang.

“Hwesio-hwesio dari partai Siauw lim serta Anying langit Rase

bumi mungkin di dalam beberapa hari ini bisa muncul di sini, jika

mereka sudah tiba tolong katakan kepada mereka boanpwe akan

menanti kedatangan mereka dipenginapan Hokan di dalam kota.

Selesai berkata dia beri hormat juga kepada Huang puh Kian Pek.

setelah itu dengan langkah lebar dia berjalan meninggalkan ruangan

tamu tersebut.

Wi Ci To, Huang puh Kian Pek mau pun Wi Lian In tidak ada yang

buka mulut memanggil dia kembali.

Sekembalinya ke dalam kamarnya dengan tergesa-gesa dia

membereskan barang-barangnya dan dipanggulnya ke atas

pundaknya, pedang panjang hadiah dari Wi Ci To diletakkannya ke

atas pembaringan lalu dia berjalan keluar dari kamar.

Melihat sikapnya yang sangat aneh itu si Lo-cia itu pelayan tua

segera menyambut kedatangannya .

“Ti Kian-Kauw tauw, kau mau kemana ?” tanyanya penuh

keheranan-

“Lo-cia” jawab Ti Then sambil tertawa pahit “Sejak ini hari kau

tidak perlu melayani aku lagi”.

“Sudah terjadi urusan apa?” tanya Lo-cia dengan perasaan

terperanyat sesudah mendengar perkataan dari Ti Then itu.

“Aku mau pergi.”

” Kemana??” tanya si Lo-cia lagi dengan cemas.

“Heei. . . belum kutentukan-..”

Setelah itu dengan langkah tergesa-gesa dia meninggalkan

kamar tersebut.

“Sebetulnya sudah terjadi urusan apa?” tanyanya si Lo-cia

sembari mengejar hingga samping tubuhnya.

“Aku sudah bukan Kiauw tauw dari benteng” si Lo-cia menjadi

melengak.

“Kau sudah ribut dengan nona kami?” tanyanya.

“Bukan- . jika kau mau tahu jelas persoalannya, kau boleh tanya

langsung kepada Pocu”

Dia tidak pergi pamit dengan Wi Ci To serta Wi Lian In lagi,

sesudah keluar dari pintu benteng segera menuju kelapangan

latihan silat. Di sana sudah terlihatlah pendekar pedang putih yang

ditemuinya tadi sedang menuntun kuda Ang san Khek yang

dihadiahkan Wi Lian In kepadanya itu.

Melihat Ti Then berjalan ke sana pendekar pedang putih itu

segera menuntun kuda tersebut ke hadapannya.

“Ti Kiauw tauw” ujarnya. “Ini adalah tungganganmu”

“Tidak.”Jawab Ti Then cepat sembari menggelengkan kepalanya

“Kuda ini miliknya nona Wi.”

“Nona Wi tadi sudah bilang, kuda ini adalah milik Ti Kiauw tauw,

jika Ti Kiauw tauw tidak mau dia bilang terpaksa kuda ini harus

dijagal saja.”

Ti Then menjadi ragu-ragu sebentar, akhirnya sahutnya sembari

anggukkan kepalanya. “Baiklah, kau tolong sampaikan dia ucapan

terima kasihku.”

Sesudah menerima tali les kuda tersebut dari tangan perdekar

pedang putih itu dengan cepat tubuhnya melayang ke atas kuda itu

kemudian melarikan tunggangannya dengan cepat menuju keluar

Benteng.

Di dalam sekejap mata Benteng Pek Kiam Po sudah ditinggal

sangat jauh sekali.

Dengan berdiam diri dia terus melarikan kudanya turun gunung,

di dalam hatinya waktu itu entah harus dibilang girang atau sedih,

dia merasakan hatinya kosong melompong, dalam hati dia tahu Wi

Lian In adalah seorang nona yang patut dicintai oleh setiap lelaki,

tapi bisa meninggalkan dirinya di dalam keadaan seperti ini juga

mungkin merupakan suatu urusan yang sangat bagus.

Dia sadar urusan ini terjadi bukanlah karena kesengajaan dari dia

sendiri, sehingga dia mem punyai alasan untuk mempertanggung

jawabkan urusan itu di hadapan majikan patung emas tersebut.

Tidak salah, majikan patung emas pasti sudah tahu urusan yang

terjadi baru saja ini, dia pasti tidak akan menyalahkan persoalan ini

kepada dirinya.

Haa. . ha. . ha. . orang yang sudah menyuap Ku Ie serta Liaw Su

Cen untuk membongkar kedokku itu tentu bermaksud hendak

merusak hubunganku dengan Wi Lian In-tapi pastilah dia tidak akan

menduga kalau dengan tindakannya ini justru sudah membantu aku

meloloskan diri dari kurungan serta perintah majikan patung emas

yang tidak tahu diri itu.

Hal inilah yang sudah membuat dia merasa sangat girang, tapi di

samping itu dia pun merasa sedikit kecewa.

Hanya karena sedikit urusan yang tidak berarti ini dia harus putus

hubungan lama sekali dengan Wi Lian In, Seorang nona yang

memiliki wajah yang amat cantik apalagi bentuk tubuhnya yang

begitu menggiurkan, Sungguh merupakan Suatu urusan yang patut

disesalkan-

Sampai waktu inilah dia baru merasa kalau perjuangan dirinya

beberapa waktu ini tidaklah sia-sia belaka, secara diam-diam dirinya

sudah betul-betul jatuh cinta terhadap Wi Lian In.

Ditengah jalanan gunung yang amat sunyi itu dia berhasil

melewati kereta kuda yang ditunggangi oleh Ku Ie serta Liuw Su

Cen, dengan mempercepat larinya kuda dia melanjutkan

perjalanannya menuju ke kota Go bi.

Sebelum cuaca benar-benar gelap sekali lagi dia sudah tiba di

dalam kota Go bi.

Sesampainya di depan penginapan Hokan dia minta satu kamar,

selesai makan malam segera tutup pintu untuk beristirahat.

Dia tidak ingin menuju ke dalam sarang pelacur Touw Hua Yuan

untuk memaki Ku Ie, karena dia tahu orang yang sudah perintah

mereka berdua melakukan urusan ini tidak luput dari Hong Mong

Ling serta si setan pengecut dua orang, apalagi untuk menanyai

seorang pelacur sehingga tahu betul-betul siapa yang sudah

perintah mereka melakukan hal itu tak terhindar harus buang uang

banyak.

Sat ini dia hanya punya satu-satunya harapan, yaitu

mengharapkan munculnya majikan patung emas pada malam ini

kemudian membicarakan persoalan ini hingga jelas.

Malam . . . . . semakin lama semakin kelam.

Kurang lebih kentongan kedua malam itu, tiba-tiba ..dari dinding

kamar sebelah secara mendadak muncul suatu suara ketukan yang

amat aneh sekali. Ada orang yang sedang mengetuk dinding tembok

dari kamar sebelah.

Dengan cepat Ti Then meloncat bangun kemudian mengetuk

juga tiga kali di atas dinding tersebut.

“Siapa ?”tanyanya dengan suara perlahan.

“Aku”

Ternyata majikan patung emas sudah munculkan dirinya. Ti Then

segera tersenyum.

“Haa ha ha… kali ini kenapa tidak turun dari atas atap rumah??”

ejeknya.

“Jangan banyak omong kosong.” bentak majikan patung emas

dengan amat gusar.

“Jangan marah dulu, peristiwa ini bukanlah aku yang cari-cari”

Dengan dinginnya majikan patung emas mendengus beberapa

kali.

“Hmm, ya atau bukan aku bisa pergi selidiki sendiri” ujarnya

dingin-

“Haa?? apa arti dari perkataanmu ini ??” tanya Ti Then dengan

penuh perasaan heran-

“Aku merasa curiga orang yang mendalangi urusan ini adalah kau

sendiri” Teriak majikan patung emas dengan gusar.

“Karena kau ingin melarikan diri dari tugas untuk memperistri Wi

Lian In maka kau perintah mereka berdua pergi ke Benteng Pek

Kiam Po. .”

“Omong kosong.” potong Ti Then tak kalah gusarnya “Kau

pandang aku Ti Then seperti orang macam apa?? Tidak salah. Aku

tidak rela pergi memperistri diri Wi Lian In tapi aku sudah bicara

sangat jelas sekali, aku sudah menyanggupi dirimu untuk menjadi

patung emasmu selama satu tahun, saat itu aku tidak pernah

merasa menyesal dan tidak akan mungkir melakukan rencana yang

begitu memalukan ini”

Lama sekali majikan patung emas berdiri tiba-tiba ujarnya lagi:

“Kalau begitu aku mau tanya padamu lagi, siang tadi kau

bersama-sama Wi Lian In semula bilang mau berpesiar ke atas Sian

Ciang, akhirnya kau tidak pergi ke tebing Sian Ciang. Kalian

sebetulnya sudah pergi kemana?”

“Beli obat”

“Obat apa?” desak majikan patung emas lagi

“Obat pemabok”

“Ooh soal kemungkinan Huang puh Kiam Pek adalah penyamaran

dari si setan pengecut itu kau sudah ceritakan kepada Wi Lian In?”

“Tidak salah” jawab Ti Then sembari mengangguk “Sebetulnya

dia rencananya mau turun tangan malam ini juga untuk

membuktikan apakah Huang puh Kiam Pek betul-betul si setan

pengecut itu atau bukan, tapi sesudah mengalami perubahan seperti

ini mungkin dia sudah hapuskan rencana semula”

” Kalau begitu” ujar majikan patung emas lagi sesudah

termenung beberapa waktu lamanya. “Kau pikir siapa yang sudah

perintah Ku Ie serta Liauw Su Cen pergi kebenteng Pek kiam Po?”

“Hmm…. kalau bukan Hong Mong Ling siapa lagi?”

Majikan patung emas termenung sebentar untuk berpikir keras,

lalu baru sahutnya.

“Ehmmm,jika saat ini diperintahkan oleh Hong Mong Ling maka si

setan pengecut itu pun juga tahu.”

“Sudah tentu.”

Majikan patung emas melanjutkan lamunannya, kemudian

tambahnya.

“Jika umpama Huang puh Kian Pek adalah si setan pengecut itu

maka sesudah berhasil menangkap Huang puh Kian Pek tidaklah

akan sukar untuk mengetahui tempat persembunyian Hong Mong

Ling..”

“Tidak salah, tapi Wi Lian In pasti sudah tidak mau melaksanakan

tugas seperti apa yang aku susun-”

“Kalau begitu biar aku saja yang pergi untuk mengurus”

“Ehmmmm, tentang ini bagusnya memang bagus.” jawab Ti

Then sembari tersenyum.

“Tapi Walaua pun Huang puh Kian Pek betul-betul adalah si setan

pengecut itu, belum tentu Wi Ci To mau mengubah pandangannya

terhadap diriku, karena dia sudah percaya bahwa akulah Lu Kongcu

yang sudah cukul rubuh Hong Mong Ling sewaktu masih berada di

dalam sarang pelacur Touw Hua Yuan”

Dia berhenti sebentar kemudian sambungnya lagi.

“Hong Mong Ling pergi main perempuan memang persoalan yang

nyata, sedang aku punya maksud untuk merusak hubungan mereka

juga merupakan soal yang nyata.”

Sekali pun perkataan dari Ti Then ini masuk akal, tapi agaknya

majikan patung emas mem punyai pandangan yang lain.

“Asalkan kita bisa buktikan Huang puh Kian Pek adalah si setan

pengecut dan bisa menawan Hong Mong Ling kembali, maka

persoalan segera akan berubah kembali,” ujarnya dengan tenang,

“Kau bisa tawan Hong Mong Ling dan di hadapan Wi Ci To kau bisa

paksa dia untuk mengaku kalau Ku Ie sera Liuw Su Cen sudah

disuap oleh dia untuk berbuat begitu, jika perlu kau boleh beli

omongan dari Ku Ie serta Liauw Su Cen, dengan demikian

pandangan Wi Ci To beserta putrinya akan berubah kembali”

“Terlalu repot. . terlalu repot” seru Ti Then sambil menghela

napas panjang, “Apa selain aku harus kawin dengan Wi Lian In

sudah tidak ada jalan lainnya”

Mendengar helaan napas dari Ti Then itu, agaknya majikan

patung emas dibuat menjadi kurang senang, tidak henti-hentinya

dia tertawa dingin-

“Tidak ada” sahutnya singkat.

“Ada kalanya” Geremeng Ti Then dengan perlahan, “Aku benarbenar

ingin sekali kau bisa bunuh aku sampai mati, aku merasa. .”

“Tidak usah banyak omong lagi” Potong majikan patung emas

dengan cepat ketika di dengarnya dia mulai melamun, ” Untuk

sementara kau boleh tinggal dirumah penginapan ini saja, aku mau

pulang ke Benteng untuk mulai bekerja, setelah aku buktikan kalau

Huang Puh Kiam Pek betul-betul si setan pengecut dan bisa paksa

dia mengakui tempat persembunyian dari Hong Mong Ling aku bisa

ke sini beri kabar padamu, aku pergi dulu”

Keesokan harinya Ti Then sesudah bangun dari tidurnya segera

buka pintu kamar memanggil seorang pelayan untuk membersihkan

kamarnya, dengan pinyam kesempatan itu tanyanya.

“Hei pelayan, kamar sebelah ini kemarin ditinggali tamu dari

mana?” Agaknya pelayan itu dibuat melengak oleh pertanyaan ini.

“Kongcu” tanyanya dengan heran “Yang kongcu maksudkan

kamar di sebelah kiri atau kamar di sebelah kanan?”

“Yang sebelah kiri ini” jawab Ti Then sembari menuding ke

sebelah kiri.

“Kamar sebelah kiri ini sama sekali tidak dihuni oleh tamu dari

mana pun.” sahut pelayan itu tertawa.

” Kemarin malam juga tidak ditinggali orang lain?”

“Tidak. kamar sebelah kiri ini sudah kosong tiga empat hari

lamanya.”

“Ehmm. . kiranya begitu. .” jawab Ti Then sembari mengangguk.

“Ada apanya yang tidak beres”

“Mungkin ada tikus yang lari-lari di dalam kamar sehingga

mengeluarkan suara ribut- ribut, kemarin malam beberapa kali aku

di bangunkan oleh suara ribut- ribut itu”

“Tikus memang binatang yang paling menjengkelkan, ada satu

kali secara tiba-tiba seorang nona berteriak minta tolong dari dalam

kamar, aku cepat- cepat lari masuk ke dalam kamar, Hu. . Hu. . kau

tebak sudah terjadi apa? Kiranya seekor tikus sudah kecebur dalam

tong berisikan kotoran, nona itu tanpa dilihat dulu sudah

berjongkok, akhirnya ha ha ha. .”

Mendengar cerita yang begitu menarik tak terasa lagi Ti Then

sudah ikut tertawa terbahak-bahak.

Siang harinya ketika Ti Then sedang makan siang di dalam kamar

mendadak dari pintu kamarnya terdengar suara ketukan yang amat

gencar sekali.

“Siapa??” tanya Ti Then dengan cepat sedang dalam hati diamdiam

merasa sedikit terperanyat.

Seorang yang masih muda segera memberikan jawabannya. “Ti

Kiauw tauw aku”

Segera Ti Then bisa mengenali kalau suara itu adalah suara

berasal diri Ki Hong, pendekar pedang hitam dari benteng Pek Kiam

Po, dengan cepat dia bangkit membuka pintu kamarnya, terlihatlah

Khie Hong dengan air muka gugup sudah berdiri tegak di depan

kamarnya, dalam hati segera dia tahu sudah terjadi suatu urusan

karena itu dengan cemas tanyanya:

“Apakah Anying langit Rase bumi sudah datang??”.

“Selain Anying langit Rase bumi masih ada ada delapan belas

orang jago berkepandaian tinggi dari istana Thian Teh kong mereka,

agaknya mirip jago-jago Cap Pwe Sah Sin yang tersiar di dalam Bu

lim”

“Tidak salah” jawab Ti Then mengangguk, “Aku memang dengar

Anying langit Rase bumi punya anak buah yang dijuluki Cap Pwe

sah sin atau delapan belas malaikat iblis, kepandaian silat mereka

katanya tidak cetek. ”

Melihat Ti Then tidak berangkat- berangkat, Ki Hong menjadi

semakin cemas:

“Ti Kiauw tauw” ujarnya cepat, “mari kita lekas-lekas kembali ke

benteng.”

“Apa Wi Poccu tidak beritahu pada Anying langit Rase bumi kalau

aku tidak berada di sana?”

“Benar, tapi mereka tidak mau percaya, mereka bilang Tiauw

Kiauw tauw pasti berada di dalam Benteng.”

“Kalau begitu baiklah, ayo berangkat.”

Dia membuat sedikit persiapan kemudian panggil pelayan

penginapan itu untuk diberi sedikit uang, katanya karena ada urusan

yang mau diselesaikan diluaran minta dia cepat- cepat sediakan

kuda. Sesudah mengunci kamarnya barulah dengan Ki Hong

bersama-sama berjalan keluar.

Sekeluarnya dari dalam rumah penginapan pelayan itu sudah

siapkan kuda Ang San Kheknya di depan pintu, demikianlah masingmasing

dengan menggunakan tunggangannya sendiri-sendiri lari

keluar dari kota.

satu jam kemudian sampailah mereka di dalam Benteng Pek

Kiam po.

Mereka berdua dengan cepat turun dari kuda ditengah lapangan

latihan silat, saat itu barulah Ti Then bertanya: “Mereka dimana??”

“Di dalam ruangan tamu” sahut Ki Hong dengan cepat.

Tanpa banyak cakap lagi Ti Then cepat berlari ke dalam ruangan

tamu.

Jilid 13.2: Anying langit Rase Bumi

Di dalam sekejap saja dia sudah sampai di dalam ruangan tamu,

terlihatlah Wi Ci To beserta Huang Puh Kian Pek duduk di tengah

ruangan sedangkan Anying langit Rase bumi beserta ke delapan

belas malaikat iblisnya duduk di kedua belah sisi, masing-masing

tidak ada yang berbicara, hanya darl sinar mata masing-masing

jelas memancarkan nafsu membunuh yang meluap-luap

Usia dari ke delapan belas malaikat iblis ini kurang lebih berada di

atas lima puluh tahunan, wajah masing-masing memperlihatkan

kebengisan serta keganasan mereka, pada tubuh masing-masing

membawa senyata yang berbeda-beda, yang duduk mereka pun

urut sesuai dengan senyata yang dibawa mulai dari Golok, pedang,

toya besi, kampak, cambuk, rantai, gada, tongkat serta pisau belati.

Sedang pada deretan yang lain adalah Tombak, trisula, kampak

raksasa, siang kiam, golok melengkung, gelang, golok panjang serta

senyata berbentuk bulan sabit. Senyata mereka merupakan delapan

belas macam senyata yang aneh dan sakti, sungguh menyeramkan

sekali.

Sebelum bertemu dengan Anying langit Rase bumi secara pribadi

di dalam benak Ti Then pernah membayangkan wajah yang

meringis menyeramkan siapa tahu kini sesudah bertemu sendiri

kelihatanlah wajah Anying langit Rase bumi itu sedikit kalem.

Si anying langit Kong Sun Yau mem punyai wajah yang tampan

dengan perawakan sedang usianya mungkin berada diantara empat

puluh tahunan hanya saja air mukanya sedikit pucat.

Kini dia berdandan sebagai seorang sastrawan dengan bahan

pakaian yaug sangat mewah, pada tangannya mencekal sebuah

kipas yang terbuat dari tulang, sungguh kelihatan gagah sekali.

Sedangkan si Rase bumi Bun Jin Cui berusia diantara tiga puluh

tujuh delapan tahunan, alisnya tipis matanya bulat tebal, bibirnya

merah bagaikan delima dandanannya sangat berlebihan sehingga

kelihatannya sangat genit sekali. sepasang tangannya dengan tak

henti-hentinya mempermainkan sebuah sapu tangan berwarna

merah, gerak geriknya sangat genit dan pemalu, lagaknya tidak

mirip sebagai jagoan yang ditakuti dalam Bu lim.

Mereka suami istri begitu melihat Ti Then berjalan memasuki

dalam ruangan segera tersungginglah suatu senyuman yang sangat

ramah.

Ti Then berlagak tidak melihat, sesudah memberi hormat dengan

Wi Ci To ujarnya: “Boanpwe Ti Then hunjuk hormat kepada Pocu”

Dengan perkataan serta gerak geriknya ini sudah jelas

memperlihatkan kalau dia sudah bukan satu keluarga lagi dengan

orang-orang Benteng Pek Kiam Po.

Wi Ci To tidak perlihatkan reaksi apa-apa, hanya sambil

menuding ke arah Anying langit Rase bumi ujarnya,

“Mereka berdua adalah Raja langit Kong sun Yau serta Ratu bumi

Bun Jin Cui”

Ti Then sedikit putar tubuhnya kemudian memandang ke arah

Anying lagit rase bumi sembari tertawa tawar,

“Lama sudah cayhe dengar nama besar kalian berdua, selamat

bertemu, selamat bertemu”

Anying langit serta Rase bumi tetap duduk tidak bergerak di

tempatnya masing-masing dengan lagak hendak memilih menantu

sambil tersenyum-senyum mereka berdua pandangi seluruh tubuh

Ti Then dari atas kepala sampai ujung kakinya.

Pertama tama Anying langit Kong sun Yau yang buka mulutnya

angkat bicara, hanya dia tidak bicara kepada Ti Then melainkan

kepada istrinya Rase bumi Bun Jin Cui yang berada disisinya.

“Kau lihat bagaimana ?” tanyanya sembari tertawa.

“Tidak jelek. tidak jelek.” sahut si Rase bumi Bun Jin Cui sembari

memperdengarkan suara tertawanya yang amat genit.

“Semangatnya tinggi wajahnya tampan, tubuh kokoh kuaat

..Heemmm tidak rugi menteri pintu pembesar jendela kita

dikalahkan ditangannya”

sesudah itu barulah si Anying langit Kong sun Yau menoleh

kearah Ti Then dengan memperlihatkan sebaris giginya yang putih

mengkilap ujarnya tersenyum.

“Lo te apakah pendekar berbaju hitam Ti Then yang sudah

menyabat sebagai Kiauw tauw pada benteng Pek Kiam Po?”

” Kemarin hari, dulu memang betul, tapi sekarang sudah

bukan”Jawab Ti Then dengan gelengkan kepalanya.

“Haa?? kenapa??” tanya Anying langit Kong sun Yau itu tertawa

“Apa Lote punya maksud memikul beban ini seorang diri?”

Ti Then tidak langsung beri jawabannya, kepada Wi Ci To ujarnya

tiba-tiba “Tolong tanya Pocu, apakah boanpwe diperkenankan

berbicara sambil duduk??”

“Ooh maaf Lohu sudah lupa, silahkan duduk. silahkan duduk”

jawab Wi Ci To cepat.

Segera Ti Then menarik sebuah bangku dan duduk di hadapan

Wi Ci To serta Hung puh Kian Pek. dengan sikap yang amat angkuh

sahutnya terhadap diri Anying langit Rase bumi

“Cayhe memang sudah ambil keputusan mau melawan kalian

dengan kekuatan seorang diri, tapi hal ini tidak ada sangkut pautnya

dengan persoalan mengapa cayhe meninggaikan Benteng Pek Kiam

Po ini. . kalian mau tanya apa lagi?? ”

“Hi h i. Hi .” mendadak si rase bumi Bun Jin Cui

memperdengarkan suara tertawanya yang amat genit, sembari

menepuk pundak suaminya si anying langit Kong sun Yau ujarnya

dengan suara manya:

“Lang cun, sifat bocah Cilik ini persis seperti sifatku, aku sangat

suka padanya”

“Ooob, apa yaah?” seru si anying langit Kong sun Yau dengan

diiringi tertawanya yang tidak sedap didengar.

“Baiknya kita bicara secara baik-baik saja dengan dia, jika dia

mau gabungkan diri secara suka rela kepihak istana Thian Teh Kong

kita, baiknya kita kasi suatu jabatan yang bagus kepadanya.”

Agaknya si anying langit Kong sun Yau sangat penurut terhadap

perkataan istrinya, mendengar perkataan tersebut segera ujarnya

kepada Ti Then sembari tertawa:

“Lo-te kau sudah dengar belum? Istriku bersikap sangat baik

kepadamu, ini merupakan kejadian pertama selama hidupnya, jika

lote bermaksud. .”

Ti Then tidak mau dengar obrolan mereka selanjutnya, dengan

cepat bentaknya dengan kurang senang.

“Bilamana saudara-saudara sekalian tidak punya nyali untuk

melawan cayhe, lebih baik cepat-cepat menggelinding dari sini,

jangan duduk terus menerus sembari mengeluarkan kentutan yang

busuk.”

Air muka si Anying langit Kong sun Yau segera berubah amat

hebat, tak henti-hentinya dia tertawa seram.

“Hmm. . hmmm, . Ti Then” Serunya dengan gusar, “Kau tidak

bisa melihat kebaikan orang lain-”

“Benar” sambung si Rase bumi Bun Jin Cui sembari tertawa “Kita

punya maksud baik-baik, kalau kau tidak mau yaah sudahlah, buat

apa mengusir kita suruh menggelinding dari sini, kami Kaisar langit

Rase bumi jika suka tinggal di sini sekali pun ada delapan tandu

yang menggotong kami belum tentu sanggup menggotong kami

pergi.”

Ti Then tetap tidak mau gubris omongan mereka, bentaknya lagi

dengan dingin. “Ini hari kalian kemari sebetulnya sedang mencari

aku Ti Then seorang atau bukan?”

“Benar” jawab si Rase bumi Bun Jin Cui dengan disertai suara

tertawanya yang amat merdu “Kita dengar laporan dari Menteri

pintu pembesar jendela yang katanya kepandaian silat Lote sangat

lihay sekali, karenanya sengaja kami kemari untuk berkenalan”

“Kalau begitu cepat kita bereskan dengan kekuatan masingmasing…”

“Hihihii… hihihi. .jangan keburu baiknya kita bicara dulu secara

baik-baik” ujar si Rase bumi Bun Jin Cui lagi, “Aku dengar katanya

sewaktu kau berada di atas gunung Fan Cin san pernah secara

kebetulan memperoleh sebuah kitab pusaka “Ie Cin Kang””

“Hmm hmm…bila kalian suami istri punya minat terhadap itu

kitab pusaka Ie Cin Keng seharusnya pukul rubuh aku dulu baru

dibicarakan lagi” seru Ti Then tetap ketus.

“Hi hi hi perkataanmu ini sungguh lucu sekali, dengan usiamu

yang masih begitu muda masa depan masih punya harapan, buat

apa kehilangan nyawa karena sejilid kitab pusaka Ie Cin Keng saja?”

“Pandanganku persis dengan pandanganmu” sambung Ti Then

dengan cepat.

“Kalian suami istri sudah enak-enak hidup secara sembunyi dan

bermewah-mewahan di dalam istana Thian Teh Kong, penghidupan

kalian tentunya sangat menyenangkan sekali, buat apa jauh-jauh

kemari untuk mengantar nyawa hanya disebabkan sejilid kitab

pusaka Ie Cin Keng saja?”

Suara tertawa dari si rase bumi Bun Jin Cui makin lama semakin

berubah amat dingin, kepada suaminya si anying langit Kong sun

Yau ujarnya:

“Budak ini susah diajak berunding, kelihatannya terpaksa kita

harus pinyam lapangan latihan silat milik Wi Pocu itu.”

“Baik..baik… ” seru si anying langit Kong sun Yau sambil

manggut-manggutkan kepalanya berkali-kali, “Tapi tentang ini kita

harus minta persetujuan dari Wi pocu dulu… ”

“Tidak usah kalian pinyam lagi” potong Wi Ci To cepat.

“Persoalan ini memangnya harus diselesaikan di dalam Benteng ini

juga”

“Tidak” bantah Ti Then tegas sesudah mendengar keputusan dari

Wi Ci To itu pocu dari benteng Pek Kiam Po. “Urusan ini tidak ada

sangkut pautnya dengan Benteng saudara ”

Bicara sampai di sini segera dia menoleh Kong sun Yau.

“Cayhe usulkan lebih baik kita bereskan urusan ini diluar benteng

saja” ujarnya. “Bagaimana pendapat kalian berdua?”

Dengan menggunakan kipasnya Kong sun Yau menutupi

mulutnya, kemudian barulah jawabnya sembari tertawa.

“Hal ini malah membuat aku serba salah, kau merasa urusan ini

tidak ada sangkut pautnya dengan Wi Pocu, sebaliknya Wi Pocu

merasa urusan ini disebabkan karena kau menolong nyawa nona Wi,

dalam hal ini dia tidak akan mau menonton saja, Aduh. . bagaimana

baiknya yaaahh?”

“Hmm… hmmmm…kitab pusaka Ie Cin Keng berada di dalam

tubuhku, bukan berada pada pihak Wi Pocu” ujar Ti Then cepat

coba-coba memanCing perhatiannya.

“Ha…haa ..haa.. tapi bilamama kita ikut kau keluar benteng

maka jika kawan-kawan Bu lim tahu, mereka tentu akan

mentertawakan kami bahwa pihak istana Thian Teh Kong takut

dengan benteng Pek Kiam Po”

-ooooooo-

“SEORANG lelaki bersenyata pasti akan bedakan mana yang baik

mana yang buruk, kali ini kalian datang kemari bertujuan pada kitab

pusaka Ie Cin Keng yang berada dalam sakuku, apalagi kini aku

sudah tinggalkan Benteng Pek Kiam po, kalian sama sekali tidak

punya alasan untuk bentrok secara langsung dengan orang-orang

benteng Pek Kiam po” teriak Ti Then coba membantah.

Tiba tiba Wi Ci To bangkit dari tempat duduknya.

“Ti Kiauw tauw.” serunya dengan suara berat. “Siapa yang bilang

kau sudah keluar dari keanggotaan Benteng Kiam Po kami?”

Ti Then agak tertegun dibuatnya, Tapi sebentar saja sudah

tenang kembali.

“Boanpwe merasa tidak punya muka lagi untuk tetap tinggal di

sini karena itu boanpwe sudah ambil keputusan hendak

meninggalkan Benteng Pek Kiam Po” ujarnya.

“Heee heee tapi lohu harus menyetujui terlebih dahulu.” bantah

Wi Ci To sembari tertawa dingin.

“Boanpwe hanya menerima tawaran untuk menyabat sebagai

Kiauw tauw di dalam Benteng Pek Kiam Po ini tapi bukanlah anak

murid sini, karenanya jika boanpwe punya maksud meninggalkan

tempat ini tidaklah perlu minta persetujuan dari Pocu terlebih dulu.”

“Tidak salah.” jawab Wi Ci To tidak mau kalah “Tapi Kiauw tauw

apa sudah lupa perjanyian kita sebelumnya?”

Ti Then tidak tahu apa yang sedang dimaksud dengan perkataan

dari Wi Ci To ini, seketika itu juga dia dibuat melengak. “Perjanyian

apa?” tanyanya penuh keheranan-

“Sesaat kau sebelum menyabat sebagai Kiauw tauw di dalam

benteng kami kita sudah mengikat janyi bahwa setiap bulan Lohu

memberi gaji sebesar tiga ratus tahil perak kepadamu sedang kau

pun diharuskan setiap hari memberi pelajaran ilmu silat kepada

seluruh pendekar pedang di dalam benteng ini. Tapi hingga hari ini

kau baru melaksanakan tugasmu selama enam tujuh hari saja. .”

“Oooh. . soal itu ?” agaknya Ti Then menjadi sadar kembali atas

perkataan Wi Ci To itu. “Sindiran Pocu memang sangat tepat sekali,

walau pun sejak boanpwe berdiam dalam benteng sudah ada satu

bulan lebih padahal hanya melaksanakan selama enam tujuh hari

saja. Tapi tentang hal ini bisa kita selesaikan dengan sangat mudah

sekali, pada kemudian hari pasti boanpwe akan kirim uang sebagai

gantinya.”

“Heee heee mau bayar harus bayar sekarang juga.” ujar Wi Ci To

cepat. Mendengar perkataan ini air muka Ti Then berubah menjadi

merah padam. “Tapi boanpwe tidak bawa uang.” ujarnya dengan

perasaan malu.

“Ha ha ha ha kalau begitu sebelum kau selesai mengembalikan

uang itu berarti kau tetap merupakan Kiauw tauw dari Benteng

kami.”

Dalam hati Ti Then tahu dengan jelas Wi Ci To berbuat demikian

“ngototnya” bukankah dikarenakan tiga ratus uang perak itu

sebaliknya berusaha mencari alasan untuk tetap menahan dirinya,

karena itu segera dia bangkit berdiri dan berkata:

“Bencana rejeki datang tidak melalui pintu, satu-satunya jalan

hanyalah dikarenakan manusia, jika Pocu pasti mau ikut campur di

dalam urusan ini, boanpwe sendiri juga tidak punya alasan untuk

menampik. Baiklah, mari kita bersama-sama menuju kelapangan

latihan silat..”

Wi Ci To segera menggape ke arah mereka dan ujarnya kepada

Anying langit Rase bumi itu:

“Silahkan saudara sekalian ikuti lohu menuju ke lapangan latihan

silat.”

Kali ini Anying langit Ruse bumi serta ke delapan belas malaikat

iblisnya datang kemari jauh sebelumnya sudah mengadakan

persiapan yang matang karena itu nyali mereka pun sangat besar.

Mendengar perkataan itu masing-masing segera meninggalkan

tempat duduknya masing-masing dengan mengikuti diri Wi Ci To.

Huang Puh Kian Pek serta Ti Then berjalan menuju ke luar.

Ti Then yang berjalan di belakang Wi Ci To ketika berjalan keluar

dari ruang tamu diam-diam matanya mulai melirik ke arah kiri

kanannya, sampai saat itu dia tidak melihat munculnya Wi Lian In di

sana sehingga membuat hatinya diam-diam merasa tidak enak.

Pikirnya.

“Tentu dia sudah benci aku setengah mati karena itu tidak mau

keluar menemui aku . . . . Heeei begitu pun malah baikan. . .”

Rombongan orang orang itu jalan sampai ditengah lapangan

latihan silat, terlihatlah para pendekar pedang hitam serta putih dari

Benteng Pek Kiam Po dengan rajin dan teraturnya sudah berbaris di

samping lapangan membuat suasana bertambah angker.

Baru saja masing-masing pihak berdiri pada arah yang saling

berhadapan tiba-tiba terlihatlan itu pelayan tua si Lo-Cia dengan

membawa sebilah Pedang sedang lari menuju ketengah lapangan

dengan tergesa-gesa, ujarnya kepada Ti Then sambil

mengangsurkan pedang tersebut ke arahnya.

“Ti Kiauw tauw ini pedangmu” Ketika Ti Then melihat pedang

tersebut adalah pedang yang ditinggalkan di dalam kamarnya

sewaktu meninggalkan Benteng Pek Kiam Po ini sebera

menyambutnya sambil mengangguk.

“Lo Cia” ujarnya sambil tersenyum. “Terima kasih”

Si LoCia hanya tersenyum-senyum saja kemudian mengundurkan

diri dari tengah lapangan.

Dengan cepat Ti Then memindahkan pedangnya ketangan kiri

kemudian kepada si Anying langit Kong sun Yau ujarnya.

“sudahlah, kini saudara boleh katakan kalian punya maksud mau

berbuat apa?”

“Heeeh…heeeh, ini hari kami datang dengan jumlah dua puluh

orang banyaknya” ujar si Anying langit Kong sun You sembari

tertawa keras “Kami tidak ingin memperoleh kemenangan dengan

andalkan jumlah yang banyak, baiknya kalian pilih juga tujuh belas

orang untuk mengimbangi kami”

Dalam hati Ti Then tahu bahwa para pendekar pedang hitam

mau pun putih dari Benteng Pek Kiampo bukanlah tandingan ke

delapan belas malaikat iblis itu, karenanya segera memberikan

jawabannya .

“Para pendekar pedang merah dari Benteng kami sedang ada

urusan keluar Benteng semuanya, sedang para pendekar pedang

hitam mau pun putih masih belum menamatkan pelajarannya, Wi

pocu sudah tuliskan larangan bagi mereka untuk bergebrak lawan

orang lain, karena itu kini biarlah kami bertiga melawan kalian saja”

“Wi Pocu, apa betul-betul?” tanya si Anying langit Kong sun Yau

sambil menoleh kearah Wi Ci To.

“Ehmm… tidak salah” sahutnya sembad mengangguk.

“Oooh sungguh tidak beruntung sekali ke delapan belas malaikat

iblis kami tak ada satu pun yang mau menganggur saja.” ujar si

Kong sun Yau tertawa

“Hmm . tidak usah begitu sungkannya”. teriak Wi Ci To sambil

tertawa dingin tak henti-hentinya.

“Tidak bisa. . tidak bisa….” bantah Kong sun Yau lagi dengan

goyang-goyangkan kepalanya. “Jika kami dua pulub orang harus

melawan kalian tiga orang hal ini terlalu tidak adil.”

“Kong sun Yau” tiba Huang puh Kian Pek berteriak sembari

tertawa dingin, ” Kau tak perlu berpura-pura lagi jika bukannya

kalian tahu kalau para pendekar pedang merah dari benteng kami

sedang punya urusan untuk keluar benteng semua sekali pun kau

sudah makan nyali beruang atau hati macan belum tentu berani

datang kemari untuk mengacau.”

Mendengar makian itu alis Kong sun Yau segera dikerutkan

rapat-rapat sedang mulutnya tak henti-hentinya memperdengarkan

suara tertawa dinginnya yang amat mengerikan.

“Hu pocu” ujarnya dengan dingin. “Perkataanmu jangan

sungkan-sungkan? Bagaimana kami bisa tahu kalau para pendekar

pedang merah benteng kalian sedang tidak berada di dalam

benteng?”

“Hmm di dalam Bu lim sekarang ini ada siapa yang menandingi

ketelitian serta kecepatan berita dari Anying langit Rase bumi”

“Hi hi hi . .” teriak si rase bumi Bun Jin Cui tiba-tiba. “Hei Huang

puh Kian Pek. bagaimana kau malah memaki kami?”

“Hehehe , apa nama kalian bukan si Anying langit Rase bumi?”

Dari sepasang mata si Rase bumi Bun Jin Cui secara samar sudah

mulai diliputi dengan napsu untuk membunuhnya.

“Hi hi hi hi kau berani main-main dulu dengan kami sebagai si

Anying langit Rase bumi??” ujarnya sembari tertawa nyengir.

“Memang aku sudah siap minta petunjuk” selesai berkata segera

dia berjalan menuju ketengah lapangan.

Si Anying langit Rase bumi segera saling bertukar pandangan

sembari tertawa, mereka berdua siap-siap berjalan menuju ke

tengah lapangan.

Melihat hal itu dengan cepat Ti Then meloncat ke tengah

diantara mereka bertiga, kepada Huang Puh Kian Pek sambil

merangkap tangannya memberi hormat ujarnya “Hu Pocu silahkan

mengundurkan diri terlebih dulu, biarlah boanpwe coba-coba

menemui mereka..”

Huang puh Kian Pek hanya tersenyum saja dan tidak terlalu

memaksakan diri, segera ia pun mengundurkan dirinya kembali.

Agaknya si Rase bumi Bun Jin Cui punya perasaan pandang

rendah terhadap diri Ti Then, begitu melihat Ti Then maju ke depan

seorang diri hendak melawan mereka suami istri berdua, tanpa

terasa lagi dia malah tertawa, ejeknya:

“Ti Kauw tauw, aku tahu kedudukanmu di dalam benteng kalian

berada di atas para pendekar pedang hitam, tapi apa kau betulbetul

punya keberanian untuk melawan kami suami istri?”

Ti Then yang melihat sikapnya yang tak begitu pandang terhadap

dirinya di dalam hati diam-diam merasa sangat girang, dengan

wajah yang serius sahutnya:

“Untuk menghadapi kalian Anying langit Rase bumi buat apa

butuhkan keberanian segala. .”

“Hehehe orang muda biasanya memang sangat sombong” ujar si

Rase bumi Bun Jin cu lagi sambil menghela napas panjang, “Tapi

peraturan sudah kita ucapkan sebelumya jika kau kalah maka kitab

pusaka le Cin keng harus kau serahkan kepadaku”

“Bila aku tak sanggup menyerahkan itu kitab pusaka Ie Cin Keng,

masih ada batok kepalaku sebagai gantinya”

“Tidak salah tidak salah” si Rase bumi sembari anggukkan

kepalanya. “jika kau tak sanggup menyerahkan itu kitab pusaka Ie

Cin Keng maka kami akan minta batok kepalamu.” Berbicara sampai

di sini lalu dia menoleh kearah suaminya: “Hey, Lang cun, ayoh

mulai” ujarnya dengan manya.

Tapi sebelum si Anying langit Kong sun Yau melakukan suatu

gerakan kedelapan belas malaikat iblis yang berada di belakangnya

sudah terlihat adanya gerakan dua orang diantara mereka sudah

meloncat keluar sembari berteriak dengan keras:

“Thian cun, untuk jagal ayam buat apa menggunakan pisau

kerbau biarlah hamba-hamba berdua yang membereskan bangsat

cilik ini.”

Kedua orang malaikat iblis ini yang satu punya bentuk tubuh

gemuk. sedang yang lain mem punyai bentuk tubuh kurus kering,

yang gemuk menggunakan kapak sebagai senyatanya sedang yang

kurus kering menggunakan sebuah tombak panjang sebagai

senyatanya. sikap serta wajah mereka sangat bengis dan seram.

Agaknya si Anying langit Kong sun Yau memang punya maksud

untuk melihat kepandaian silat yang dimiliki Ti Then terlebih dahulu,

karenanya dia hanya mengangguk sambil sahutnya.

“Baiklah, kalian selalu berteriak-teriak mau balaskan dendam bagi

si menteri pintu serta pembesar jendela, jika kini tidak membiarkan

kalian berkelahi peras-peras sedikit tenaga, tentu kalian tidak akan

merasa puas.”

Sembari berkata dia menarik isterinya untuk menyingkir ke

samping.

Ti Then yang melihat majunya dua orang malaikat iblis dalam

hatinya segera punya pikiran untuk memperlihatkan kelihayannya

pada kedua orang tersebut, karenanya dengan perlahan dia cabut

keluar pedangnya sambil berkata. “Jika kalian mau cari mati, cepat

sebut dulu nama kalian”

Si malaikat iblis yang menggunakan kapak sebagai senyatanya

dengan suara yang amat keras bagaikan guntur sudah menyahut:

“Lohu si malaikat iblis gemuk Lu Ho”

Sedangkan si malaikat iblis yang menggunakan tombak panjang

sebagai senyatanya dengan suara yang amat halus tapi mengerikan

melapor namanya. “Lohu si malaikat iblis kurus Ling ie An” Ti Then

segera maju dua langkah ke depan, teriaknya: “Ayoh serang”

Si malaikat iblis kurus mau pun gemuk yang semula berdiri

berdampingan sesudah mendengar perkataan itu dengan cepat

masing-masing melayang beberapa kaki ke samping kanan serta

samping kiri, pinggang pun ditekan ke bawah memperkuat kudakudanya

kemudian dengan perlahan-lahan mulai mendesak dan

mendekati tubuh Ti Then.

Wi Ci To, Huang puh Kiam Pek serta kaki tangan dari Anying

langit Rase bumi segera rada mundur ke belakang sehingga

terbentanglah sebuah lapangan sangat luas.

Dengan cepat Ti Then memperlihatkan gayanya seperti sedang

menghadapi musuh tangguh, pedangnya diangkat sebatas pinggang

tubuhnya sedikit merendah siap menanti serangan pihak musuh.

Wi Ci To yang melihat gaya serangannya pada air mukanya tanpa

terasa sudah perlihatkan perasaan heran serta ragu-ragunya, karena

dia tahu kepandaian dari Ti Then, dia tahu jika Ti Then ingin

mengalahkan si malaikat iblis kurus mau pun gemuk adalah sangat

gampang sekali seperti mau ambil barang disakunya sendiri tapi kini

dia malah perlihatkan gaya seperti sedang menanti serangan dari

seorang musuh tangguh, bukankah hal ini seperti juga persoalan

kecil yang dibesar-besarkan ?

Huang puh Kiam Pek sendiri agaknya juga dibuat bingung oleh

gayanya ini, tak terasa alisnya sudah dikerutkan rapat-rapat.

Si malaikat iklis kurus serta si malaikat iblis gemuk ketika melihat

pada air muka Ti Then sudah perlihatkan ketegangannya, semangat

tempur mereka malah semakin berkobar, masing-masing dari

sebelah kiri serta dari sebelah kanan melanjutkan desakannya ke

arah Ti Then.

Jarak masing-masing kini semakin dekat lagi pertama-tama si

malaikat iblis kurus Ling ie An lah yang mulai melancarkan

serangannya, dengan disertai suara bentakannya yang amat keras

tubuhnya melayang ke depan. tombak panjangnya dengan disertai

tenaga yang amat besar ditusuk kearah depan mengancam ulu hati

dari Ti Then.

Tubuh Ti Then dengan cepat menyingkir ke samping dia balik

maju satu langkah ke depan, pedang panjang ditangannya dengan

memutar satu lingkaran di depan dada dengan arah yang tepat

menutul ke arah dada pihak lawannya.

Tetapi baru saja tubuhnya bergerak. si malaikat iblis gemuk Loa

Ho yang berada di samping sudah mendesak maju ke depan,

kampak raksasanya dengan cepat disambar ke depan membacok

pundak kanannya.

Jurus serangan yang digunakan amat gencar, serangannya ini

mirip dengan sambaran kilat bergelegarnya guruh.

Serangan pedang yang dilancarkan Ti Then ke arah si malaikat

iblis kurus itu sebetulnya hanya suatu serangan kosong belaka, dia

tahu si malaikat iblis gemuk tentu akan menggunakan kesempatan

itu untuk maju melancarkan serangannya, karena itu pedangnya

baru saja disambar sampai ditengah jalan tubuhnya mendadak

berputar kemudian sedikit berjongkok. arahnya seketika itu juga

berubah, dengan jurus Ban Liong Ci hauw atau sambar naga

menusuk harimau balik membabat sepasang kaki si malaikat iblis

gemuk itu.

Dengan cepat si malaikat iblis gemuk itu meloncat ke atas untuk

menghindarkan diri dari babatan tersebut, bersamaan pula kampak

raksasa yaug berada ditangannya dari gerakan membabat menjadi

gerakan membacok, mengarah kepala diri Ti Then.

Si malaikat iblis kurus pun bersamaan waktunya melancarkan

satu tusukan dengan menggunakan tombak panjangnya mengarah

pinggang kiri dari Ti Then.

Masing masing pihak semakin bertempur semakin seru dan

semakin cepat sebentar gerakan mereka seperti terkaman harimau,

sebentar lagi berubah menjadi loncatan kera, gerakannya dilakukan

bagaikan sambaran angin yang sedang berlalu, hanya di dalam

sekejap saja tiga puluh jurus sudah dilalui dengan cepat sedang

masing-masing pihak belum ada yang menang mau pun yang kalah.

Si anying langit Rase bumi yang menonton jalannya pertempuran

dari samping kalangan di dalam hati diam-diam merasa sangat

girang sekali, ketika mereka melihat dua orang anak buahnya saja

sudah cukup menahan serangan dari Ti Then dalam hati mereka

sudah tahu bahwa gerakannya kali ini sudah pasti memperoleh

kemenangan, karena itu tanpa terasa pada wajah mereka sudah

tersungging senyuman kemenangan, agaknya mereka sangat

gembira sekali.

sebaliknya air muka Wi Ci To serta Huang puh Kian pek mulai

kelihatan risau, mereka sama sekali tidak paham kenapa kepandaian

silat dari Ti Then secara tiba-tiba bisa berubah demikian rendahnya,

tak tertahan lagi Huang puh Kiam pek mulai menggeserkan

badannya mendekati diri Wi Ci To lalu ujarnya dengan perlahan.

“Suheng, kau lihat sebetulnya sudah terjadi urusan apa dengan

dirinya?”

“Siapa tahu” sahut Wi Ci To dengan menggunakan ilmu untuk

menyampaikan suaranya. “Dia seperti sudah berubah dengan

seorang yang lain”

“Benar” sambung Huang puh Kian pek dengan cepat, ”

kepandaian silat dari si malaikat iblis gemuk ini hanya sedikit berada

di atas para pendekar pedang merah dari benteng kita, jika menurut

kemampuan dari Ti Then yang biasanya, tidak perlu sepuluh jurus

sudah cukup untuk memperoleh kemenangan kenapa ini hari dia

perlihatkan kekurangannya yang begitu menyolok??”

“Mungkin dia terlalu tegang …”

“Tidak mungkin.” bantah Huang Puh Kian Pek dengan cepat.

“Sewaktu dia melawan si pendekar tangan kiri Cian Pit Yuan tempo

hari sama sekali tidak kelihatan perasaan tegangnya, bagaimana ini

hari dia bisa takut dengan orang-orang itu ??”

“Atau mungkin dia sengaja menyembunyikan kekuatan yang

sesungguhnya . . .” timbrung Wi Ci To mendadak.

“Aku kira bukan, coba kau lihat semakin bertempur dia semakin

ngotot . , . Hmm, sudah lima puluh jurus.”

Pada saat Ti Then sudah bergerak sebanyak lima puluh jurus

banyaknya melawan si malaikat iblis gemuk serta si malaikat iblis

kurus mendadak …. menang kalah segera kelihatan jelas.

Bacokan kampak dari si malaikat iblis gemuk yang mengarah

punggung Ti Then dengan jelas kelihatan hampir mencapai

sasarannya mendadak “Bruk.” kampak raksasa yang berada

ditangannya terjatuh ke atas tanah sedang tubuhnya pun ikut rubuh

terlentang di atas tanah.

Begitu tubuhnya rubuh mengenai tanah, bentuk tubuhnya yang

gemuk bundar itu secara mendadak terpotong menjadi dua bagian

yang terpisah, isi perutnya seketika itu juga tersebar mengotori

semua permukaan tanah sedang darah segar pun mulai mengucur

keluar dengan derasnya.

Hal ini memperlihatkan sewaktu tubuhnya rubuh tadi adalah

disebabkan oleh babatan pedang Ti Then yang memisahkan

badannya dikarenakan kecepatan gerak sambaran pedang Ti Then

lah menyebabkan tubuhnya baru berpisah sesudah mencapai di atas

permukaan tanah.

Agaknya si malaikat iblis kurus itu di buat terkejut dan ketakutan

sepasang matanya melotot keluar dengan besarnya, sedang

badannya berdiri mematung di hadapan Ti Then.

Pada saat itu dia sedang melancarkan satu tusukan ke arah Ti

Then, sehingga sewaktu dia dikejutkan oleh gerakan Ti Then

membinasakan kawannya dia masih pertahankan gayanya yang

semula, keadaan ini amat lucu dan menggelikan.

Senyuman yang menghiasi wajah Anying langit Rase bumi

seketika itu juga lenyap tanpa bekas berganti dengan suatu

perubahan yang sangat hebat, sama sekali mereka melototi mayat

si malaikat iblis gemuk yang menggeletak di atas tanah.

Beberapa saat kemudian barulah terdengar si Anying langit Kong

Sun Yau them bentak dengan suara berat . “Kembali ”

Si malaikat iblis kurus tetap tidak menggubris teriakan itu, tetap

berdiri termangu- mangu di tempatnya semula.

Air muka si Anying langit Kong Sun Yau berubah semakin hebat

lagi, dengan gusarnya sekali lagi dia membentak. “Ling Ie An kau

cepat kembali.”

Si malaikat iblis kurus tetap tak bergerak sedikit pun dari

tempatnya semula, agaknya dia sudah dibuat terkejut dan ketakutan

sehingga nyawa keluar dari badannya.

Waktu itulah Ti Then baru menggunakan pedangnya sedikit

mendorong dada malaikat iblis kurus itu, ujarnya sembari

tersenyum:

“Hei, majikanmu sedang panggil kau untuk kembali, kau sudah

dengar belum?”

Dengan dorongan dari Ti Then yang perlahan itu tubuhnya

dengan perlahan barulah roboh ke depan untuk kemudian roboh

terlentang di atas tanah dengan badan atas yang terpisah dari

bagian bawahnya, Isi perutnya dengan cepat tersebar keluar, darah

segar bagaikan sumber air kerasnya mengalir keluar membasahi

seluruh tanah. Kiranya dia pun sudah terbinasa sejak tadi.

Ke enam belas malaikat ibis yang berada di belakang Anying

langit Rase bumi sesudah melihat pemandangan itu tanpa terasa

lagi sudah pada berteriak kaget. Air muka si Anying langit Rase

bumi sebentar berubah menjadi merah padam sebentar lagi

berubah menjadi pucat pasi, lama sekali memandangi Ti Then

dengan tutup mulutnya rapat-rapat.

0000

Lama sekali barulah terdengar si Rase bumi Bun Jin Cui buka

suara.

“Khin Ie, Hsing it, sak Yan song. Ing Hay Ping kalian berempat

cepat keluar minta petunjuk lagi dari Ti Kiauw tauw ini” ujarnya

dengan dingin-

Dia sudah dapat melihat kalau kepandaian silat yang dimiliki Ti

Then amat tinggi sekali, tapi dia pun merasa bahwa ke empat orang

itu masih sanggup untuk memperoleh kemenangan- karena itu

hingga kini dia masih tidak ingin turun tangan sendiri

Sampai saat ini dia masih tetap merasa kalau Wi Ci To serta

Huang puh Kian Pek lah yang betul-betul baru musuh mereka suami

istri berdua yang paling tangguh.

Terlihatlah ke empat malaikat iblis itu menyahut, kemudian

dengan langkah lebar berjalan keluar. senyata yang digunakan

keempat malaikat iblis itu adalah golok pendek. pedang, tongkat

serta trisula. Dua pendek dua panjang. Dengan wajah penuh nafsu

membunuh mereka berempat berhenti di samping kiri kanan di

hadapan Ti Then, malaikat iblis dengan bersenyatakan prdang yang

berdiri paling tengah agaknya merupakan Lotoa dari keempat orang

itu, dia dengan cepat memberi tanda kedipan kepada ketiga orang

lainnya, kemudian dengan cepat melancarkan satu serangan ke

depan.

Suatu serangan dengan jurus Hek Hauw sim atau macan hitam

mencuri hati melanda datang mengancam jantung Ti Then.

Tubuh Ti Then cepat-cepat berputar kemudian mengangkat kaki

kirinya menendang gagang pedang tersebut diikuti ujung

pedangnya diputar menusuk ke belakang dengan cepatnya.

Malaikat iblis yang menerjang Ti Then dari sebelah belakang

adalah malaikat iblis yang menggunakan golok penyapu angin

sebagai senyata Agaknya sama sekali dia tidak menduga kalau Ti

Then bisa menggunakan serangan tersebut di dalam pembukaan

serangannya. di dalam keadaan yang sangat terkejut dengan cepat

kakinya melangkah ke samping menghindarkan diri kurang lebih tiga

depa dari tempat semula bersamaan pula golok penyapu anginnya

dengan kekuatan yang luar biasa menyambar lutut kanan Ti Then.

Malaikat iblis yang bersenyatakan toya serta trisula itu dengan

menggunakan arah sebelah kanan serta sebelah kiri bersama-sama

melancarkan serangan secara berbareng.

Pertempuran kali ini masing-masing melancarkan serangan

dengan secara diam-diam sehingga semakin bergebrak semakin

seru dan semakin ganas, keempat malaikat iblis itu sampai kini

hanya menitik beratkan gerakan menyerang saja tanpa

menghiraukan pertahanan sendiri, sehingga mereka berempat

bagaikan menyambarnya angin taupan serta curahnya hujan deras

tak henti-hentinya melancarkan serangan dahsyat mengancam

seluruh tubuh Ti Then-

Agaknya Ti Then betul-betul didesak oleh pihak musuhnya

sehingga keadaannya sangat bahaya sekali dan tidak ada

kesempatan untuk melancarkan serangan balasan, tetapi setiap kali

dia menemui serangan yang membahayakan setiap kali pula bisa di

punahkan dengan sangat mudahnya.

Di dalam sekejap saja lima puluh jurus sudah berlalu dengan

cepat, walau pun kelihatannya keempat malaikat iblis itu berada di

atas angin tapi ujung senyata mereka jangan dikata mengenai

tubuh Ti Then sekali pun menowel pun tidak sanggup.

Sambil menonton jalannya pertempuran ini Wi Ci To semakin

senang segera dia menoleh ke arah Huang puh Kian Pek dan

ujarnya dengan menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara.

“Perkataanku tadi sedikit pun tidak salah, dia memang sengaja

menyembunyikan kekuatan sesungguhnya”

“Entah apa tujuannya yang sebenarnya” ujar Huang puh Kian Pek

dengan air muka penuh tanda tanya.

“Hee . . hee . . . . mungkin dia takut memukul rumput

mengejutkan ular” sekali lagi Huang puh Kian Pek mengerutkan

alisnya rapat-rapat.

“Buat apa harus berbuat begitu” sahut Wi Ci To sembari tertawa.

“Coba kau pikir jika kita bertiga harus sekaligus melawan mereka

dua puluh orang, apa mungkin bisa peroleh kemenangan?”

Agaknya Huang puh Kian Pek dapat dibikin paham, segera dia

mengangguk. “Benar” sahutnya sambil tertawa.

“Jika mereka dua puluh orang bersama-sama turun tangan, maka

kita bertiga pasti akan dikalahkan”

“Karena itulah dia harus bunuh beberapa orang terlebih dahulu,

tapi jika dia tidak sedikit menyembunyikan kekuatan sesungguhnya

si anying langit Rase bumi pasti tidak akan kirim para malaikat

iblisnya lagi untuk bergebrak melawan dia.”

Pada air muka Huang puh Kian Pek tanpa terasa sudah mulai

menampilkan suatu senyuman.

“Orang ini sangat pandai sekali, memang merupakan orang aneh

yang sukar ditemui di dalam Bu lim” ujarnya. “Hanya sayang

pikirannya tidak genah, kalau tidak suheng pasti akan terima dia

sebagai menantu tercinta”

” Kenapa tidak. .” seru Wi Ci To sembari menghela nafas

panjang.

“Apa suheng betul-betul mau menahan dia untuk meneruskan

jabatannya sebagai Kiauw tauw dari benteng kita??” tanya Hung

Puh Kian Pek lagi.

“Tidak, tadi aku terus menahan dia untuk tetap sebagai Kiauw

tauw Benteng kita maksudnya adalah. .”

-ooo0dw0ooo-

Jilid 14.1: Kemana musuh setelah kalah?

Baru saja dia berbicara sampai di situ mendadak Anying langit

Kong sun Yau berdiri jauh di hadapannya membuka mulut.

“Wi Pocu” ujarnya sembari tertawa “Kita pun lebih baik mainmain

sebentar”.

Sembari berkata mereka suami istri berdua sudah menggeserkan

langkah kakinya berjalan menuju kearah Wi Ci To serta Hung Puh

Kian Pek.

Kiranya mereka suami istri berdua sudah melihat kalau keempat

malaikat iblis mereka lama kelamaan akan tidak sanggup melawan

Ti Then lagi, ditambah lagi ketika memandang kearah wajah Wi Ci

To serta Huang puh Kian pek secara samar-samar sudah perlihatkan

senyuman gembiranya, mereka segera tahu kalau urusan sedikit

tidak beres, karenanya mereka berdua tidak ingin bertanding secara

satu persatu lagi, sebaliknya menghendaki Wi Ci To serta Huang

puh Kian Pek pun ikut bergebrak secara bersama-sama.

Semua gerak-gerik mereka berdua ini bukan lain adalah

pendapat dari si Rase bumi Bun Jin Cui, di dalam anggapannya jika

mereka suami istri berdua sudah bergebrak melawan Wi Ci To serta

Huang puh Kian Pek maka kedua belas orang malaikat iblis lainnya

pun bisa menggunakan kesempatan ini untuk turun tangan

bersama-sama mengerubuti diri Ti Then.

Dengan gerakan serempak ini sekali pun Ti Then memiliki

kepandaian yang jauh lebih tinggi pun akan binasa juga, jikalau Ti

Then sudah mati maka mereka delapan belas orang bisa bersamasama

mengerubuti Wi Ci To serta Huang puh Kian Pek sehingga

dengan demikian mereka berdua bisa dibinasakan dengan lebih

mudah.

Begitu Wi Ci To dengar si anying langit Kong sun Yau menantang

untuk bergebrak, dengan disertai tertawanya yang amat nyaring,

sahutnya. “Bagus sekali, seharusnya kita pun tidak boleh

menganggur.”

Selesai berkata bersama-sama dengan HHuang puh Kian Pek

mereka berdua bersama-sama maju ke depan menyambut

kedatangan musuh-musuhnya.

Ti Then yang melihat dari pihak Wi Ci To pun sudah siap-siap

untuk turun tangan, cepat-cepat dia memperkencang serangannya,

dia tidak ingin main petak-petakan dengan keempat orang malaikat

iblis itu lagi karenanya dengan mengerahkan ilmu yang sebenarnya

dia mulai melancarkan serangan gencar ke arah musuh-musuhnya,

terlihat pedang ditangannya secara mendadak berkelebat

menyambar tubuh keempat orang itu.

Serangan ini dilancarkan dengan kecepatan yang luar biasa,

segera terdengarlah suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati

berkumandang dan menggema diseluruh penjuru.

Pertama-tama si malaikat iblis yang bersenyatakan Trisula

menerima bagiannya terlebih dulu, sebuah lengan kanannya sudah

putus tersambar pedang dari Ti Then. Belum selesai jeritan ngeri

yang pertama berhenti, si malaikat iblis yang menggunakan toya

sebagai senyatanya sudah menjerit ngeri, akibat yang diterimanya

jauh lebih menyeramkan lagi, sepasang kakinya sudah tertabas

putus sedang tubuhnya dengan kalapnya sedang bergulung-gulung

di atas tanah sembari menjerit-jerit.

Kedua orang malaikat iblis yang bersenyatakan pedang serta

golok begitu melihat kedahsyatan dari Ti Then bahkan hanya di

dalam satu gebrakan sudah berhasil melukai kedua orang kawannya

tanpa terasa sudah menjerit kaget nyali mereka menjadi pecah

dengan tergesa-gesa mereka melarikan diri mundur ke belakang.

Tetapi….baru saja sepasang kaki mereka meninggalkan

permukaan tanah terlihatlah serentetan sinar pedang berkelebat ke

empat buah kaki mereka sudah terpisah dari badannya masingmasing

dan terjatuh ke atas tanah dari tengah udara.

Untuk beberapa saat lamanya itu si malaikat iblis yang

bersenyatakan pedang mau pun golok siapa pun tidak merasa kalau

sepasang kaki mereka sudah terbabat putus, tubuhnya dengan

cepatnya melayang sejauh enam tujuh kaki jauhnya kemudian baru

melayang turun ke atas permukaan tanah.

Pada saat itulah mereka baru merasakan kesakitan yang luar

biasa, ketika mereka sadar kalau sepasang kakinya sudah putus

barulah mulai menjerit-jerit kesakitan.

Si anying langit rase bumi yang melihat anak buah mereka

menerima bagian yang begitu mengerikan tanpa terasa air muka

mereka sudah berubah menjadi pucat pasi, mereka merasa terkejut

bercampur gusar sehingga untuk beberapa waktu lamanya sudah

melupakan Wi Ci To serta Huang puh Kian Pek yang sudah berjalan

mendekat, agaknya mereka sudah dibuat tertegun oleh

pemandangan yang mengerikan itu.

Yang membuat mereka sangat terkejut adalah sewaktu Ti Then

melawan keempat orang malaikat iblisnya terang-terangan sudah

terdesak di bawah angin bahkan sewattu bertempur semakin payah,

bagaimana di dalam sekejap mata saja sudah berhasil memperoleh

kemenangan, bahkan kemenangan diperoleh dengan begitu

mudahnya??

Perlahan-lahan si anying langit Kong sun Yau menghirup nafas

panjang kemudian baru memutar kepalanya memandang ke arah

dua belas orang malaikat iblis lainnya yang sedang memandang Ti

Then dengan perasaan amat terperanyat.

” Cepat kalian berempat turun membantu mereka menghentikan

mengalirnya darah” Teriaknya dengan keras.

Dari antara kedua belas orang malaikat iblis itu segera terlihat

empat orang berjalan maju ke depan membantu menotokkan jalan

darah dari malaikat iblis yang bersenyatakan pedang serta golok itu,

salah satu dari antara mereka sesudah memeriksa keadaan luka dari

kawanmya segera memberi laporan kepada si anying langit Kong

sun Yau.

“Lapor pada Thian Cun, keempat orang ini harus segera

ditolong.”

“Kalau begitu cepat bawa mereka ke luar.”

Demikianlah keempat orang malaikat iblis itu dengan seorang

menggendong seorang kawannya bagaikan kilat cepatnya berlari

keluar dari Benteng.

Ketika Ti Then melihat di dalam kalangan kini hanya tinggal

delapan orang malaikat iblis saja di dalam hati diam-diam merasa

sangat girang.

“Hey Anying langit Rase bumi.” Teriaknia lantang sembari

tertawa nyaring , “Malaikat-malaikat iblismu terlalu goblok seperti

gentong nasi semua, lebih baik kalian berdua saja yang maju

sendiri.”

Perkataannya baru saja diucapkan selesai mendadak kedelapan

orang Malaikat iblis itu dengan disertai suara bentakan yang amat

keras bersama-sama menubruk ke depan.

Tetapi bersamaan waktunya pula sesosok bayangan kecil yang

amat langsing berkelebat masuk ke dalam kalangan dari arah yang

berlawanan menyambut datangnya salah satu malaikat iblis dari

kedelapan orang lainnya.

Dia bukan lain adalah Wi Lian In.

Ti Then yang melihat munculnya pujaan hatinya seketika itu juga

semangatnya berkobar kembali, dengan disertai suara bentakan

yang amat nyaring pedang pusakanya melancarkan serangan

dahsyat menggulung ketujuh orang malaikat iblis lainnya.

Di dalam sekejap saja suatu pertempuran yang amat sengit

berkobar kembali.

Sejak kecil Wi Lian In sudah mendapat didikan yang amat keras

di dalam kepandaian silat apalagi di dalam ilmu pedangnya, kini

sesudah mengumbar hawa amarahnya temyata menyerupai seekor

harimau betina dengan ganasnya mencecer terus pihak musuhnya,

hanya di dalam sekejap mata saja dia sudah berhasil memaksa

malaikat iblis yang bersenyatakan siangkiam ini terus mundur ke

belakang.

Wi Ci To yang melihat putrinya sudah turun tangan dalam hati

segera tahu bahwa dia tidak akan dapat dikalahkan oleh seorang

malaikat iblis saja karena itu dengan cepat dia cabut keluar

pedangnya sendiri kemudian kepada si Anying langit Rase bumi

ujarnya sembari rangkap tangannya memberi hormat :

“Silahkan saudara-sandara memberi petunjuk”

Dalam hati si Anying langit Rase bumi diam diam merasa berlega

hati karena mereka mem punyai dugaan bahwa ketujuh orang

malaikat iblis yang menge pung Ti Then seorang diri tidak akan

terkalahkan karena itu dengan mengipas-ngipaskan kipas yang

berada ditangannya dia menyawab:

“Tidak usah terlalu sungkan, silahkan Wi Pocu memberi petunjuk”

Dari dalam sakunya si Rase bumi Bun Jin Cu pun mengambil

keluar sebuah angkin berwama kuning yang dalam satu kali

sentakan sudah berubah bentuk seperti sekuntum bunga.

“Hu Pocu..” ujarya kepada Huang Puh Kian Pek sembari tertawa

merdu, kita pun harus main-main sebentar.

Huang Puh Kian Pek hanya sedikit mengangguk saja sesudah

mencabut keluar pedangnya dia bergeser ke samping lima langkah

kemudian baru ujarnya:

“Silahkan..”

Demikianlah mereka berempat segera memperkuat kudakudanya

masing-masing, bagaikan empat ekor jago yang siap

bertempur masing-masing saling melotot kearah pihak musuhnya

tanpa berkedip.

Perlahan lahan… langkah kaki masing masing pihak mulai

bergerak dan bergeser, dengan lambat tapi mantap berkali kali

sitengubah gaya serangan yang berbeda-beda, suasana

pertempuran yang amat sengit mencekam keadaan diseluruh

kalangan membuat sebuah lapangan latihan silat yang cukup luas

itu terasa begitu sumpek dan panas Hal ini membuat setiap

pendekar pedang putih mau pun hitam yang berjumlah dua ratusan

orang itu merasa amat tegang sekali bahkan terasa sukar untuk

bernapas dibuatnya.

Pertempuran ini mem punyai sangkut paut yang amat besar

terhadap masa depan, masing-masing pihak mem punyai sangkut

paut atas mati hidupnya mereka berempat juga mem punyai

sangkut paut atas jaya atau runtuhnya Benteng Pek Kiam Po mau

pun istana Thian Teh Kong.

Wi Ci To tidak malu disebut sebagai jagoan pedang yang

termashur dalam sepuluh tahun ini, waktu ini walau pun harus

menghadapi musuh yang amat tangguh tapi. air mukanya masih

tetap tenang-tenang saja, seluruh perhatiannya sudah dipusatkan

pada ujung pedangnya sedang tenaga murni sudah mulai disalurkan

keluar dari pusarnya, kelihatannya perasaan hatinya sudah dilebur

menjadi satu dengan pedang yang berada ditangannya itu.

Air muka si Anying langit Kong Sun Yau pun kelihatannya

tenang-tenang saja hanya perbedaannya walau pun pada wajahnya

tersungging senyuman tapi dari sinar matanya jelas mengandung

napsunya untuk membunuh.

Saat ini Huang Puh Kian Pek beserta si Rase bumi Bun Jin Cu

pun sedang memusatkan seluruh perhatiannya kearah pihak musuh,

mata mereka berdua saling melotot tidak ada yang mau kalah

sedang kakinya bergerak ke samping sedikit demi sedikit, agaknya

mereka tidak ada yang mau melancarkan serangan terlebih dahulu,

masing-masing menantikan kesempatan yang baik untuk kirim satu

serangan dahsyat yang mencabut nyawa pihak musuhnya.

Setiap sedetik waktu berlalu suasana terasa semakin menegang

sedangkan suasana pembunuhan pun terasa semakin menebal.

Mendadak .. serentetan sinar pedang yang amat menyilaukan

mata dengan disertai desiran angin serangan yang amat tajam

berkelebat dan menyambar kearah tubuh si Rase bumi Bun Jin Cu.

Serangan itu bukan lain dilakukan oleh Huang Puh Kian Pek

sendiri, tubuhnya dengan cepat meloncat ketengah udara kemudian

bagaikan seekor naga yang keluar dari gua dengan cepat

menyambar kearah diri si Rase bumi Bun Jin Cu.

Si Rase bumi Bun Jin Cu segera membentak nyaring, tubuhnya

yang langsing kecil berputar putar ditengah udara, kaki kirinya

dengan kecepatan yang luar biasa disambar ke depan kemudian

dengan gaya menubruk meluncur kembali ke bawah,angkin kuning

ditangannya dengan disertai sambaran angin yang amat tajam

melilit kearah leher Huang Puh Kian Pek.

Angkin yang terbuat dari kain itu semula merupakan barang yang

amat lemas tapi sesudah disentakkan olehnya seketika itu juga

berubah menyerupai sebuah cambuk panjang sehingga

mengeluarkan suara peletakan yang amat nyaring.

Huang Puh Kian Pek yang meiihat serangannya gagal tubuhnya

cepat-cepat berguling ditengah udara, setelah berhasil

menghindarkan diri dari lilitan angkin kuning itu pedang panjangnya

cepat-cepat membabat ke samping mengancam angkin kuning yang

sedang menyambar kearahnya itu.

Tapi angkin kuning dari si Rase bumi Bun Jin Cu ini jauh lebih

gesit dan lincah daripada sebuah cambuk panjang, terlihat tangan

kanannya menekan ke bawah menarik kembali angkin kuningnya

dan tepat berhasil menghindari serangan pedang dari Hung Puh

Kian Pek itu, bersamaan pula angkinnya dikebaskan ke samping

mengancam sepasang kaki dari Huang Puh Kian Pek, serangan ini

dilakukan amat cepat dan merupakan suatu jurus serangan yang

amat indah.

Dengan cepat Huang Puh Kian Pek bersuit panjang, pedangnya

bagaikan kilat cepatnya diputar disekeliling tubuhnya, tubuhnya

berguling ke samping kemudian secara tiba tiba melancarkan satu

tusukan kearah depan.

Seketika itu juga antara mereka berdus terjadilah suatu

pertempuran yang amat sengit.

Sebaliknya pada saat itu Wi Ci To beserta si Anying langit Kong

Sun Yau tetap dengan tenang tapi mantap bergeser sedikit demi

sedikit ke samping mengelilingi kalangan, setiap langkah geseran

mereka berdua terasa seperti diganduli oleh barang seberat ribuan

kati. Keadaannya amat tegang dan menyeramkan.

Lewat lagi beberapa saat lamanya agaknya si Anying langit Kong

Sun Yau sudah merasa tidak sabaran lagi mendadak tubuh

menubruk ke depan dengan sangat dahsyat sekali, kakinya berdiri

melengkung bagaikan busur sedang kipas ditangannya menotok

kearah musuh dengan sambaran mendatar.

Tenang bagaikan Perawan bergerak bagaikan tupai meloncat,

hanya di dalam sekejap saja dia sadah menyerang ke hadapan Wi Ci

To.

Ujung kaki Wi Ci To cepat-cepat menutul permukaan tanah,

tubuhnya dengan cepat menyingkir ke samping kiri menghindarkan

diri dari serangan kipas tersebut tetapi dia tetap tidak melancarkan

serangan balasan.

Si Anying langit Kong Sun Yau tertawa dingin, jurus serangannya

mendadak berubah kipasnya ditekan ke bawah sedang tubuhnya

berputar menerobos dari sebelah kanan dengan dahsyatnya

mengancam jalan darah “Cang Bun Hiat” pada pinggang kiri Wi Ci

To.

Kecepatan perubahan jurus serargannya ini dilakukan begitu

cepat laksana sambaran petir.

Tubuh Wi Ci To sekali lagi bergeser ke samping menghindarkan

diri dari serangan musuh, ujung pedangnya sedikit diangkat

bagaikan naga yang muncul dari dalam air secara tiba”tiba menusuk

kearah leher pihak lawannya.

Tusukan ini dilakukan jauh lebih cepat dari serangan pihak

musuh.

“Serangan yang bagus” bentak si Anying langit Kong Sun Yau

dengan keras kakinya tetap tidak bergerak hanya tubuhnya

mendadak berputar dengan mengunakan kipasnya dia menangkis

datangnya tusukan tersebut.

“PlaaaK” Pedang dan kipas terbentur menjadi satu sehingga

mengeluarkan suara aduan yang amat nyaring, seketika itu juga

mereka berdua masing-masing di paksa mundur dua langkah ke

belakang.

Dengan mundurnya ini mereka berdua sama-sama tidak mau

melepaskan kesempatan yang bagus ini, tidak menanti kakinya

berhasil berdiri tegak mendadak si Anying langit Kong Sun Yau

sudah menubruk ke depan kembali, kipasnya di balik secara hebat

menotok kearah lambung Wi Ci To. Jurus serangannya amat aneh

tetapi indah sekali.

Wi Ci To dengan dingin mendengus dengan tergesa-gesa

tubuhnya menyingkir setengah tindak ke samping, pedangnya

ditekan ke bawah dengan menggunakan jurus-Hay Teh Ci Sah atau

menusuk ikan hiu didasar laut dia balas menggencet kipas pihak

musuhnya.

Sianying langit Kong Sun Yau yang melihat serangan pertamanya

tidak memperoleh hasil serangan kedua segera menyusul datang,

kipasnya diputar setengah lingkaran kemudian dibabat ke depan,

terlihatlah serentetan sinar putih berkelebat menyapu wajah Wi Ci

To.

Kedua orang itu berusaha menggunakan kesempatan baik yang

ada untuk merebut kemenangan tapi sesudah bergebrak sebanyak

dua tiga puluh jurus keadaan masih tetap seperti semula, siapa pun

tidak ada yang berhasil merebut di atas angin.

Waktu itu Ti Then berhasil memancing pihak lawannya, sengaja

dia perlihatkan sedikit tempat kelemahannya membuat seorang

malaikat iblis dengan bersenyatakan golok panjang menyerang dari

beIakang tubuhnya, pada saat yang bersamaan pula dia putar

tubuhnya sedang pedangnya dengan kecepatan yang luar biasa

menyambar dan menghajar pihak musuhnya.

“Aduh..”

Dengan disertai suara teriakan yang amat keras dan mengerikan

simalaikat iblis bersenyatakan golok panjang itu rubuh ke atas tanah

dan binasa seketika itu juga.

Tempat yang menyebabkan kematiannya tidak bukan tepat di

atas alisnya, Ti Then yang membunuh seorang musuhnya segera

membentak keras lagi, jurus pedangnya berubah dengan dikelilingi

oleh sinar pedang kebiru-biruan pedangnya menyapu dua orang

malaikat iblis yang berada di sebelah kanannya.

Belum sempat kedua orang, malaikat iblis itu melihat bagaimana

datangnya serangan itu kedua buah batok kepalanya sudah

melayang meninggalkan lehernya, dengan disertai semburan darah

segar yang amat deras kedua benda itu bergelinding di atas tanah.

Dengan demikian malaikat iblis yang menge pung diri Ti Then

kini hanya tinggal empat orang saja.

Ketika mereka melihat kawannya satu per satu berhasil dibunuh

pihak musuh tanpa terasa pikirannya menjadi kacau juga, ternyata

mereka tidak berani menge pung kembali, masing-masing berusaha

untuk mundur ke belakang mengundurkan diri dari ancaman maut.

Si Rase bumi Bun Jin Cu yang melihat Ti Then berhasil

mambunuh mati tiga orang anak buahnya kembali mendadak dia

meloncat keluar dari kalangan.

“Semua berhenti, dengar perkataanku dulu” teriaknya dengan

keras.

Mendengar suara teriakan itu si Anying Langit Kong Sun Yau

segera menghentikan serangannya dan meloncat mundur ke

belakang, sedang si malaikat iblis bersenyatakan siang kiam yang

sedang bertempur dengan serunya melawan Wi Lian In saat ini juga

sudah meloncat mundur.

Hanya di dalam sekejap mata pertempuran yang amat seru

sudah berhenti semua.

“Kong Sun Hujin ada perkataan apa? “ Tanya Wi Ci To sembari

tersenyum.

Dari wajah si Rase bumi Bun Jin Cu pun kelihatan mulai

tersungging senyuman, kepada Wi Ci To sembari tertawa ujarya:

“Wi Pocu, bilamana ini hari kami suami istri mengakui kekalahan

kepada kalian, apa kamu mengijinkan kami keluar dari sini ?”

“Ha ha ha .selamanya Lohu belum pernah melakukan

pembersihan sampai seakar-akarnya, tetapi maksud tujuan saudara

sekalian belum tercapai bagaimana mau pergi begitu saja ?”

Si Rase bumi Bun Jin Cu segera mencibirkan bibimya, dengan

lagak manya ujarnya.

“Kita tidak kuat melawan kalian kalau tidak pergi dan tetap

tinggal di sini mau berbuat apa lagi?”

“Hmmm…” dengus Ti Then secara mendadak. “Kalian sudah tidak

maui itu kitab pusaka le Cin Keng ?”

Si Rase bumi Bun Jin Cu segera menghela napas panjang.

“Kau terlalu lihay, sudahlah.” ujarnya dengan perlahan.

“Jika kalian timbul niat kembali untuk minta kitab itu kalian boleh

pergi cari aku secara pribadi” ujar Ti Then lagi sembari tertawa

dingin. “Tapi aku larang kalian mengacau orang-orang Benteng Pek

Kiam Po karena beberapa hari lagi aku sudah bukan orang Benteng

Pek Kiam Po lagi.”

“Kami bisa cari kau lagi” seru Si Rase bumi Bun Jin Cu, “Ini hari

kau sudah bunuh sembilan orang kami, hutang ini bagaimana pun

harus akutagih. Gunung nan hijau tetap berdiri selamanya, air

tenang mengalir sepanjang masa kita bertemu kembali lain waktu.”

Berbicara sampai di sini kepada si Anying langit Kong Sun Yau

tanyanya.

“Hey lelaki bangsat, bagaimana?”

Si Anying langit Kong Sun Yau segera mengangguk, kepada

kelima orang Malaikat iblis yang masih hidup ujarnya.

“Angkat mayat-mayat itu, ayoh kita pergi”

Kelima orang malaikat ibis itu segera menyahut, cepat-cepat

mereka menggotong mayat yang membujur di atas tanah beserta

kedua buah batok kepalanya, dengan mengikuti Si Anying langit

Rase bumi mereka cepat-cepat berlalu dari sana.

Di atas permukaan tanah kini hanya tertinggal titik-titik darah

segar yang tetap membasahi dan mengotori tempat itu.

Sesudah melihat rombongan si Anying langit Rase bumi lenyap di

balik pintu Benteng barulah terdengar Wi Ci To menghela napas

panjang.

“Heei. tidak kusangka bisa berakhir begitu”

“Suheng kau seharusnya jangan melepaskan mereka pergi” ujar

Huang Puh Kian Pek yang berdiri disisinya, “Selamanya si Anying

langit Rase bumi belum pernah menderita kerugian sedemikian

besarnya, ini hari kita melepaskan harimau pulang gunung tidak

sampai satu bulan kemudian mereka pasti akan datang kembali,

sewaktu lain kali mereka datang kembali tentu bukan dua puluh

orang saja yang dibawa bahkan mungkin bisa sampai dua ratus

orang atau dua ribu orang banyaknya.”

“Soal ini kau tidak perlu kuatir” hibur Wi Ci To dengan suara

perlahan.

“Nanti biarlah aku kirim perintah seratus pedang kembali untuk

panggil semua pendekar pedang merah pulang.”

Berbicara sampai di sini barulah dia menoleh kearah Ti Then, “Ti

Kiauw-tauw bagaimana kalau kita berbicara di dalam saja ?”

ujarnya.

Ti Then melirik sekejap kearah Wi Lian In yang berdiri menyauhi

dirinya itu ketika melihat wajahnya sangat adem ujarnya kemudian.

“Jika Pocu ada perkataan silahkan dibicarakan di sini saja”

Air muka Wi Ci To berubah menjadi amat keren, sesudah

termenung berpikir beberapa saat lamanya barulah ujarya.

“Tadi karena keadaan yang sangat mendesak Lohu sudah

berbicara sedikit kurang sopan tentunya Ti Kiauw-tauw tidak

menganggap sungguhan bukan ?”

“Itu adalah urusan yang nyata seharusnya Pocu berbicara begitu”

sambung Ti Then dengan cepat.

“Tetapi maksud Lohu yang sebenarnya…”

“Boanpwe paham” potong Ti Then dengan cepat. “Pocu serta Hu

Pocu mau membuang waktu memberi bantuan boanpwe merasa

sangat berterima kasih sekali. budi kebaikan ini pada kemudian hari

tentu boanpwe balas”

Wi Ci To tertawa pahit,

“Ti Kiauw-tauw sudah salah artikan perkataan Lohu” ujarnya

dengan serius, “Bilamana bukannya Ti Kiauw tauw beri bantuan

pada ini hari tentu Benteng kami sudah mengalami malapetaka yang

amat hebat, karena itu seharusnya lohu yang megucapkan terima

kasih kepadamu”

“Tidak, urusan ini ditimbulkan karena boanpwe pribadi”

“Jika bukannya Ti Kiauw tauw keluar Benteng untuk menolong

putriku tidak mungkin bisa timbul peristiwa ini”

Ti Then tidak mau tarik panjang persoalan ini lagi, ujarya

kemudian:

“Pocu masih ada perkataan apa lagi yang hendak disampaikan,

jika tidak ada boanpwe mau mohon diri terlebih dulu”

Selesai berkata dia merangkap tangannya memberi salam

perpisahan.

“Tunggu sebentar” ujar Wi Ci To dengan cemas ketika dilihatnya

Ti Then mau pergi, “Lohu ada urusan yang hendak minta petunjuk

darimu”

Sambil menggendong tangannya dia berjalan bolak balik

ditempat itu, kemudian dengan menghela napas panjang ujarnya.

“Hingga sekarang Lohu masih tidak paham . . sejak Ti Kiauwtauw

masuk ke dalam Benteng kami segala perbuatan dan tindak

tandukmu sama sekali tidak mem punyai maksud jahat, tapi…

dapatkah Ti Kiauw tauw menjelaskan kepada Lohu secara terus

terang kenapa kau pergi menyamar sebagai Lu Kongcu?”

“Tentang urusan ini maaf boanpwe tidak bisa memberitahu”

Potong Ti Then dengan cepat.

Kening yang dikerutkan semakin mengencang kembali, dengan

mata yang amat tajam Wi Ci To memandang terpesona kearahnya.

“Kalau begitu jawablah perkataan lohu ini .. “ ujarnya kemudian.

“Kau mengaku tidak kalau Lu Kongcu itu adalah hasil

penyamaranmu?”

“Mengakui”

“Apa tujuanmu?” desak Wi Ci To lagi.

“Tetap seperti perkataan tadi, maaf tidak bisa kukatakan.”

Wajah Wi Ci To kelihatan berkerut-kerut agaknya di dalam hati

dia merasa amat gusar sekali, hanya saja tidak sampai diumbar

keluar, sekali lagi dia berjalan bolak balik disekeliling tempat itu.

“Dua hari lagi boanpwe akan memgembalikan ketiga ratus uang

perak itu kepada Pocu” ujar Ti Then lagi. “Selain itu boanpwe akan

menginap dirumah penginapan Hok An di dalam kota hingga

menanti hwesio-hwesio dari Siauw lim pay datang dan

membereskan kesalah pahaman ini, dalam hal ini jika Pocu mau

minta petunjuk,-silahkan kirim orang ke rumah penginapan Hok An

untuk panggil boanpwe”

Selesai berkata dia merangkap tangannya memberi hormat lalu

kepada Huang Puh Kian Pek serta Wi Lian In, setelah itu cepatcepat

dia putar tubuh berjalan keluar meninggalkan Benteng.

Saking jengkelnya seluruh tubuh Wi Ci To gemetar dengan amat

kerasnya, sambil mengibaskan ujung bajunya dengan langkah lebar

dia berjalan masuk ke dalam ruangan.

Ki Hong itu pendekar pedang hitam ketika melihat Ti Then mau

pergi dengan cepat berlari sambil menuntun kuda Ang Shan Khek

itu.

“Ti Kiauw tauw, ini tungganganmu” ujarnya.

Ti Then tidak banyak bicara, segera dia meloncat naik ke atas

tunggangannya kemudian melarikan kudanya menuju kekota Go bi

dengan cepatnya.

Sesampainya di rumah penginapan Hok An siang hari sudah

lewat, sesudah makan kenyang segera dia meninggalkan rumah

penginapan kembali untuk mencari tahu berita tentang rombongan

si Anying langit Rase bumi itu.

Dia bisa melakukan hal ini disebabkan karena jejak orang-orang

si Anying langit Rase bumi itu sangat mencurigakan sekali, setelah

mereka kehilangan sembilan orang malaikat iblisnya pastilah tidak

akan berdiam begitu saja, bahkan sewaktu dia melihat si Rase bumi

Bun Jin Cu mengaku kalah padanya mukanya memperlihatkan suatu

rencana yang tersembunyi, kemungkinan sekali mereka sudah

merencanakan suatu penyerbuan secara diam-diam ke dalam

Benteng Pek Kiam Po sehingga bisa menutupi kembali perasaan

malu atas kekalahannya pada siang hari, oleh sebab itulah dia mau

mengetahui jejak mereka untuk kemudian mengawasi segala gerak

geriknya secara teliti.

Tetapi walau pun dia sudah berlari dan mencarinya diseluruh

penjuru kota tetap tidak tampak jejak mereka, bahkan tak seorang

pun yang melihat orang-orang dengan dandanan semacam itu

memasuki kota.

Karenanya terpaksa dia pulang kerumah penginapan untuk

beristirahat.

Tidak lama malam hari pun menjelang.

Semakin berpikir dia merasa semakin tidak tenang, akhimya

cepat-cepat dia turun dari pemharingan dan keluar kamar, kepada

seorang pelayan ujarnya.

“Hey Pelajan, aku mau keluar kota untuk menyambangi seorang

kawanku ini malam tidak akan tidur di sini harap kau menyagakan

kamarku ini, pada kemudian hari tentu aku beri upah kepadamu”

“Baik, balk..” sahut pelayan ini dengan gembira.

“Sekarang juga hamba sediakan kuda buatmu”

Selesai berkata dia putar tubuh dan berlalu dari ssna.

Dengan gugup Ti Then segera berteriak.

“Tidak usah, tidak usah …aku tidak naik kuda.”

“Kongcu mau heluar kota bagaimana tidak naik kuda?”

“Temanku itu berdiam tidak jauh dari kota, lebih baik aku

berjalan kaki saja.”

Sekeluarnya dari rumah penginapan dengan cepat dia berjalan

keluar dari pintu kota sebelah Barat, dilihatnya disekitar tempat itu

sudah tidak ada orang barulah dengan menggunakan ilmu

meringankan tubuhnya berlari menuju ke atas gunung Go-bi.

Tidak sampai setengah jam kemudian sampailah dia ditengab

gunung Go-hie di atas tebing Sian Ciang tepat di belakang Benteng

Pek Kiam Po.

Dengan diam-diam dia mengitari sekeliling tebing Sian Ciang itu

untuk periksa satu kali, ketika dilihatnya para pendekar pedang dari

Benteng Pek Kiam Po hanya berjaga-jaga di bawah tebing saja

hatinya segera merasa tidak tenang, pikirnya.

“Mungkin Wi Lian In tidak menyampaikan usulku itu kepada Wi Ci

To, Tebing Sian Ciang ini merupakan tempat yang paling baik bagi

musuh untuk menyerang Benteng Pek Kiam Po, bagaimana dia tidak

kirim orang untuk menyaga?”

Jika dilihat pada tengah malam Tebing Sian Ciang ini rnirip sekali

dengan sebuah tangan raksasa yang sedang merangkul sungai

perak dan sedang memetik bintang serta rembulan bentuknya amat

megah dan angker sekali,

Dia memilih tempat-tempat yang baik mudah untuk digunakan

mendaki diantara dinding tebing yang amat curam bagaikan seekor

kera dengan merambat dan memanyat terus ke atas.

Jilid 14.2: Tewasnya si Anying langit

Tidak selang lama dia sudah berhasil mencapai puncak tebing,

perlahan-lahan dia mulai duduk di samping tebing yang berhadapan

dengan Benteng Pek Kiam Po. Ketika melihat ratusan lampu yang

sedang menyinari seluruh Benteng tanpa terasa hatinya merasa

kecewa, teringat olehnya sewaktu kemaren hari dia duduk

berdampingan dengan Wi Lian En, waktu itu merasa mesranya Wi

Lian In bersandar pada tubuhnya berkata dengan merdunia, Jika

kau tidak bisa dipercaya maka di dalam dunia ini tidak ada orang

yang bisa dipercaya lagi, tapi sewaktu dirinya seIesai beli obat di

dalam kota Ku le serta Liauw Su Cen dari sarang pelacur Touw Hoa

Yuan sudah datang, hal ini tentu sangat melukat hati Wi Lian In.

Heeei, omong pulang pergi semuanya ini adalah karena ketololan

sendiri, jika waktu itu dia tidak mau belajar kepandaian silat dari

majikan patung emas tentu tidak akan sampai terjadi peristiwa

semacam ini, dosa yang dibuat dirinya sungguh amat berat.

“Braaak„ mendadak suara runtuhnya pasir serta batu-batuan

berkumandang datang dari tebing di sebelah belakangnya.

Ti Then merasakan hatinya tergetar, cepat-cepat tubuhnya

melayang dan bersembunyi di balik sebuah tempat yang tidak

terlihat oleh manusia, dia berdiam diri tak berani bergerak, dengan

tajamnya memperhatikan semua gerak gerik di sebelah sana.

Ada orang datang.

Sedikit pun tidak salah baru saja dia menyembunyikan diri

terdengarlah suara seseorang sedang berkata.

“He .. he .tebing Sian Ciang ini, sungguh sukar didaki “

Segera terdengar suara jawaban dari orang lainnya

-Jika mudah untuk didaki bagaimana Wi Ci To berani berlaku

begitu gegabahnya sehingga tidak kirim orang untuk berjaga?”

Kemudian terdengar suara dari si Rase bumi Bun Jin Cu sedang

berkata,

“Kalau jalan sedikit hati hati, jangan sampai ada batu yang

tertendang jatuh ke bawah tebing,”

“Benteng Pek Kiam Po berada ditepian tebing sebelah sana, ayo

kita lihat-lihat sebelah sana” suara Si Anying langit Kong Sun Yau

menyambung perkataan dari istrinya.

Bersamaan berhentinya suara pembicaraan muncullah bayangan

manusia satu persatu sebanyak sepuluh orang , . mereka bukan lain

adalah Si Anying langit Rase bumi beserta kedelapan orang

malaikatnya,

Pada punggung masing-masing pada membawa anak panah

serta busurnya sedang ditangan membawa gentong-gentong

berisikan minyak tanah yang mudah terbakar dengan tenangnya

mereka melanjutkan perjalanan menuju kepingiran sebelah Benteng

Pek Kiam Po.

Ternyata dugaan Ti Then sedikit pun tidak meleset, Si Anying

langit Rase bumi benar-benar hendak menyerang Benteng seratus

pedang dengan jalan membongkong secara diam.

Ti Then tahu bahwa bokongan mereka ini jika sampai berhasil

maka dari pihak

Benteng Pek Kiam Po menderita kerugian yang amat besar,

karenanya dia tidak berani berlaku ayal lagi, dari samping badannya

dia mengambil sebuah batu

kerikil yang tidak begitu besar kemudian secara diam-diam

disambitkan kearah Benteng Pek Kiam Po.

Dia sangat mengharapkan sambitan batunya ini berhasil

mengenai atap rumah di dalam Benteng itu, sehingga mengejutkan

semua orang yang berada di dalam Benteng agar mereka semua

tahu kalan di atas tebing Sian Ciang sudah kedatangan musuh.

Pada saat dia sedang menyambitkan batu kearaha Benteng itulah

rombongan

Si Anying langit Rase bumi itu sudah tiba di pinggiran tebing

yang mengarah Benteng Pek Kiam Po. Terdengar Si Rase bumi Bun

Jin Cu berkata sembari tertawa ringan.

“Hey lelaki bangsat, bagus bukan akalku ini?”

“Hey ….jika kau bisa dapatkan akal itu sejak semula dari pihak

kita tak akan kehilangan sembilan orang” Seru si Anying langit Kong

Sun Yau sembari menghela, napas panjang.

“Semula aku mana tahu kalau bangsat cilik She Ti itu memiliki

kepandaian silat begitu mengerikan, aku mengira dengan

menggunakan kesempatan sewaktu pendekar pedang merah

mereka tidak berada di dalam Benteng dengan kekuatan kita dua

puluh orang, sudah cukup, siapa tahu…”

“Hei.. tidak usah banyak omong kosong lagi, ayoh kita cepatcepat

turun tangan”

Demikianlah mereka bersepuluh segera melepaskan anak panah

serta busur dari tubuhnya untuk mulai mengangkat batu-batu besar.

Yang mereka ambil kebanyakan merupakan batu-batu cadas

yang amat besar bahkan setiap batu itu mem punyai berat tiga

sampai lima ratus kati ke atas, dengan batu yang begitu besar

ditambah dengan daya lemparan dari atas tebing setinggi ratusan

kaki, jangan dikata manusia sekali pun banguna Benteng yang

kokoh juga akan hancur oleh serangan ini.

Salah seorang malaikat iblis yang sedang mengambil batu-batu

cadas tiba-tiba bertanya.

“Baiknya dilempari batu dulu atau dengan panah berapi?”

“Kita lempari batu dulu” jawah si Rase bumi Bun Jin Cu singkat.

“Betul” Teriak Si Anying langit Kong Sun Yau membenarkan usul

isterinya itu.

“Jika kita menggunakan panah api terlebih dulu sebelum sampai

di dalam Benteng pasti sudah diketahui.”

“Hanya tidak tahu Wi Ci To tidur di sebelah mana, jika tahu

cukup mengarah kamarnya kita lempari sebuah batu cadas pasti dia

akan kegencet menjadi jadah, seru salah seorang malaikat iblis.

“Masih ada sibangsat cilik she Ti itu, di dalam Benteng Pek Kiam

Po hanya dua orang ini saja yang paling menakutkan, jika salah satu

diantara mereka terkena hingga yang lainnya tidak perlu kita takut

lagi”

Si rase bumi Bun Jin Cu mengangguk membenarkan

perkataannya itu.

“Agaknya antara bangsat cilik itu dengan Wi Ci To sudah terjadi

suatu urusan yang tidak menyenangkan, kau dapat meiihat tidak?”

tanyanya.

“Tidak salah” jawab Si Anying langit Kong Sun Yau. “Agaknya

bangsat cilik itu mau meletakkan jabatannya sebagai Kiauw tauw

sedang Wi Ci To tidak setuju, ternyata dia meminta bangsat cilik itu

pada saat itu juga mengembalikan uang tiga ratus tahilnya baru

memperbolehkan dia pergi. Ha ha ha orang bilang Wi Ci To jauh

lebih menghargai sikap manusia dari pada harta kekayaan,

kelihatannya tidak begitu . .”

Pada saat mereka sedang berbicara itulah dua buah batu cadas

yang amat besar sudah disiapkan.

Ti Then segera merasa bahwa dia tidak seharusnya berdiam diri

terus melihat mereka melanjutkan pekerjaannya untuk

mengumpulkan batu-batu cadas yang besar, diam-diam diambilnya

beberapa butir batu kerikil kemudian membentuk keras dia meloncat

keluar dari tempat persembunyiannya sedang kerikil ditangannya

dengan tenaga besar disambit kearah musuhnya.

Si Anying langit rase bumi sekalian sama sekali tidak pernah

menduga kalau di atas tebing masih ada orang lain, karenanya

begitu Ti Then membentak keras bagaikan sambaran geledek

disiang hari bolong seketika itu juga membuat mereka saking

terkejutnya sudah meloncat ke atas. Dikarenakan loncatannya inilah

ketiga orang malaikat iblis yang berdiri di belakangnya tepat

menerima hajaran dari sambitan batu Ti Then itu yang mengenai

lambung mereka, seketika itu juga darah berceceran sedang tubuh

mereka bertiga bergulung-gulung ditatas sambil menjerit-jerit

kesakitan.

Sambitan batu dapat mencelakai hingga dalam tubuh sebetulnya

merupakan kejadian yang tidak masuk akal, tetapi hal yang

sebenarnya sedikit pun tidak ada anehnya karena dengan tenaga

dalam yang berhasil di !atih Ti Then hingga saat ini sudah boleh

dikata mencapai pada taraf menyambit dengan daun melukai tubuh

orang, apalagi kini yang dibuat sambitan adalah batu kerikil yang

tajam sudah tentu tanpa bisa ditahan lagi sudah menembus

lambung mereka bertiga.

Si Anying langit Rase bumi yang melihat munculnya Ti Then

secara tiba-tiba itu sudah berhasil melukai ketiga orang anak

buahnya tanpa terasa air muka mereka sudah berubah amat hebat,

sembari berteriak aneh mereka bersama sama menubruk ke depan

mengancam tubuh Ti Then.

Sejak semula Ti Then sudah bikin persiapan untuk menghadapi

pertempuran yang amat sengit ini, karenanya setelah dia

menyambit batu-batu itu cepat cepat pedangnya dicabut keluar dan

dilintangkan di depan dadanya.

Ketika dilihatnya Si Anying langit rase bumi bersama sama

menubruk kearahnya dengan cepat bukannya mundur malah

sebaliknya memapaki datangnya serangan mereka berdua,

tubuhnya maju dua langkah ke depan sedang pedangnya dengan

amat dahysat dibabat kearah mereka.

Serentetan sinar kemerah-merahan yang amat menyilaukan

berkelebat memenuhi seluruh angkasa, ujung pedangnya dengan

tajam menusuk ketubuh Si Anying langit kemudian melanjutkan

serangannya kearah Si Rase bumi yang berada disisinya, di dalam

satu jurus mem punyai dua gerakan serangan yang berbeda

sungguh hebat sekali.

Si Anying langit bukanlah manusia bodoh, sewaktu tubuhnya

menubruk ke depan senyata kipasnya sudah dipersiapkan terlebih

dulu.

Tubuhnya bergerak miring sedikit ke samping dengan

menggunakan jurus “Sun Hong Si Cwan” atau mengikuti angin

melajukan perahu dia memunahkan tusukan pedang yang datang

dari Ti Then ini kemudian sewaktu sepasang ujung kakinya

mencapai tanah senyata kipasnya sekali lagi dengan menggunakan

jurus “Giok Li Cuan Suo atau gadis cantik memakai baju

mengancam jalan darah Thai yang Hiat sebelah kiri dari Ti Then.

Si Rase bumi yang berada ditengah udara pun menggerakkan

angkin kuningnya.

“Sreet..” Laksana seekor ular emas dengan gesitnya menyambar

dan menggulung ujung pedang Ti Then.

Cepat-cepat Ti Then membungkukkan badannya sambil

mengibaskan pedangnya ke samping, tubuhnya sekali lagi berputar

ke samping pedangnya bagaikan segulung sinar api yang amat

dahsyat balas menggulung kearah musuh-musuhnya.

Bersamaan waktunya Si Anying langit rase bumi meloncat ke

samping untuk menghindarkan diri dari serangan itu, kipas beserta

angkin kuning itu sekali lagi menyerang secara berbareng

membabat kearah batok kepala serta melilit pinggang Ti Then.

Mereka bertiga masing-masing dengan mengerahkan ilmu silat

andalan masing-masing berusaha untuk berebut melancarkan

serangan, seketika itu juga terjadilah suatu pertempuran yang amat

sengit sekali.

Sembari melancarkan serangan-serangan yang dahsyat Si Rase

bumi Bun Jin Cu tak henti-hentinya melirik keseluruh penjuru, ketika

dilihatnia dari dalam Benteng Pek Kiam Po tidak tampak bayangan

manusia pun yang muncul hatinya baru merasa agak lega.

” Hey bangsat cilik” teriaknya sembari tertawa.”Ini malam kau

pasti binasa,”

“Ha ha ha ha ha…” Suara tertawa dari Ti Then semakin lama

semakin bertambah nyaring, “Yang binasa pada malam ini haruslah

menunggu sebentar lagi baru bisa dipastikan.”

Si Rase bumi Bun Jin Cu sudah merasa pasti kalau mereka suami

istri berdua pasti bisa membereskan dirinya, hanya dia, kuatir

terhadap manusia-manusia dari Benteng Pek Kiam Po, karena itu

dengan nada memancing, ujarnya.

“He..hee … menurut pengetahuanku, orang-orang dari benteng

Pek Kiam Po sudah pada tidur semua.?”

“Tidak salah, tidak salah. Orang-orang dari Benteng Pek Kiam Po

sudah pada tidur semua, hanya kalian orang-orang dari istana Thian

Teh Kong saja yang belum tidur,”

Ketika si Rase bumi Bun Jin Cu mendengar dia tidak mau

mengaku secara terus terang hatinya malah dibuat menjadi tidak

tenang, ketika dilihatnya kelima orang malaikat iblis lainnya sedang

berdiri dengan termangu-mangu tanpa terasa sudah membentak

keras.

“Kalian berlima hanya berdiri termangu-mangu di sana mau

tunggu apa lagi? Cepat dorong batu-batu itu ke bawah kemudian

melepaskan panah-panah berapi ”

Sesudah mendengar perintah itu dari antara kelima orang

malaikat iblis itu segera terlihatlah dua orang sudah mengangkat

dua buah batu besar kemudian dilemparkan kearah bawah.

Sedang sisanya tiga orang menumpahkan minyak dan

digosokkan pada ujung anak panah, sesudah disudut dengan api

panah-panah itu mulai dipanahkan kearah Benteng. “Sret . . sret : ,

“Sebuah demi sebuah anak-anak panah berapi itu bagaikan

sambaran kiiat cepatnya meluncur ke bawah bersarang di atas atapatap

Benteng Pek Kiam Po.

Dua buah batu cadas yang didorong ke bawah agaknya sudah

mencapai sasaran pada atas atap rumah, dari kejauhan hanya

terdengar suara benturan yang amat keras bergema memenuhi

seluruh tempat.

Ti Then yang dike pung rapat-rapat oleh si Anying langit rase

bumi tidak sanggup untuk menahan gerak gerik mereka, terpaksa

dengan sekuat tenaga dia melancarkan serangan-serangan dahsyat

mencecer diri Anying langit rase bumi berdua, tapi bagaimana pun

juga Si Anying langit Rase bumi merupakan jago-jago

berkepandaian tinggi dari Bu-lim yang sudah amat terkenal apalagi

kini mereka suami isteri turun tangan bersama sama, baik di dalam

menyerang mau pun dalam bertahan mereka bisa bekerja sama

begitu rapatnya membuat Ti Then yang sudah menyerang dua tiga

puluh jurus dengan gencar masih tetap tidak berhasil menduduki di

atas angin.

Ketika dilihatnya kelima orang malaikat iblis itu dengan tak hentihentinya

memanahkan panah-panah berapi kearah genteng dia

menjadi cemas, mendadak pedangnya dengan disertai sambaran

angin yang amat tajam menyapu sepasang kaki Si Anying langit,

bersamaan pula tangan kirinya diayunkan ke depan dengan gaya

hendak menyambitkan senyata-senyata rahasia. Bentaknya.

“Lihat serangan”

Dengan meminyam kagempatan sewaktu si Anying langit

merangkap kipasnya untuk melindungi dada dan si rase bumi dibuat

tertegun cepat-cepat dia. meloncat keluar dari ke pungan kemudian

bagaikan sambaran angin cepatnya menubruk kearah kelima orang

malaikat iblis itu.

“Hati-hati!” teriak Si Anying langit Kong Sun Yau dengan

perasaan amat cemas.

Pada waktu itu kelima orang malaikat iblis itu sedang berdiri

menghadap kearah luar tebing sedang seluruh perhatiannya pun

sedang dipusatkan pada panah-panah berapi itu, begitu rnendengar

suara bentakan itu dengan gugup mereka putar tubuh sembari

mengangkat busur masing-masing untuk menangkis datangnya

serangan, kemudian dengan berbareng mereka melancarkan

serangan dahsyat kearah Ti Then.

Pedang ditangan Ti Then dengan disertai angin sambaran yang

amat tajam menyapu kearah mereka.” …triing- …triing.. triing “

Suara yang amat nyaring bergema ditengah malam itu, tiga buah

busur diantara kelima orang itu sudah berhasil dibabat putus oleh

pedangnya itu.

Pada saat yang bersamaan itu pula mendadak dia merasakan

kaki kanannya seperti dililiti oleh ular kemudian disusul dengan

segulung tenaga yang amat besar menarik seluruh tubuhnya ke

belakang.

Kiranya angkin kuning dari Si Rase bumi Bun Jin Cu secara diamdiam

sudah berhasil meliliti kakinya kemudian dengan seluruh

tenaga menarik tubuhnya ke atas membuat tubuh Ti Then dengan

menimbulkan suara yang amat keras rubuh terjengkang di atas

tanah.

Jatuhnya kali ini adalah kepalanya terlebih dulu mengenai tanah

membuat otaknya terasa amat sakit dan pening, pandangannya

menjadi kabur dan berkunang-kunang hampir-hampir membuat

dirinya jatuh tidak sadarkan diri.

Walau pun dia tidak sampai jatuh pingsan tapi keadaannya

semakin jelek lagi, Si Anying langit Kong Sun Yau yang berdiri di

samping ketika melihat dia terjatuh ke atas tanah senyata kipasnya

cepat-cepat ditutul ke depan mengancam jalan darah Ling Thay Hiat

pada punggungnya.

Di dalam keadaan yang amat kritis ini Ti Then sama sekali tidak

melihat adanya serangan kipas dari Si Anying langit Kong Sun Yau

bahkan kepalanya yang pening dan pandangannya yang kabur

membuat pendengarannya menjadi hilang dayanya. Tapi dia dapat

menduga Si Anying langit Kong Sun Yau pasti menggunakan

kesempatan yang sangat baik itu untuk melancarkan satu serangan

yang mematikan kearahnya, karena itu begitu tubuhnya terjatuh ke

atas tanah cepat-cepat dia berguling kearah samping bersamaan

pula dengan membabi buta dia melancarkan satu serangan dahsyat.

Disaat-saat yang amat bahaya itulah dia berhasil meloloskan diri

dari serangan si anying langit Kong Sun Yau yang mematikan

itu….serangan senyata kipas dari Si Anying langit pun mengenai

tempat yang kosong.

Tetapi Ti Then belum sama sekali lolos dari mara bahaya, angkin

kuning dari si Rase Bumi Bun Jin Cu dengan eratnya masih mengait

pada kaki sebelah kanannya.

Kiranya angkin kuning dari si Rase bumi Bun Jin Cu ini sangat

jahat sekali, pada sebuah bagian dari angkin itu dipasang

beribu”ribu kail-kail kecil yang amat tajam sekali, bentuknya mirip

dengan mata kail untuk memancing ikan tapi semuanya terbuat dari

emas. Begitu mengenai tubuh musuh maka semua kail-kail emas itu

akan menusuk masuk ke dalam tubuh sehingga sukar sekali

meloloskan dirinya.

Kini kaki kanan dari Ti Then pun sudah terkena

pancingan=pancingan emas itu sehingga sukar buat dirinya untuk

bergerak walau pun tidak terasa sakit olehnya di dalam

pertempuran ini tapi untuk meloloskan diri janganlah harap.

Dia tahu bilamana dirinya mau meloloskan diri dari angkin itu

satu-satunya jaIan hanya membabat putus angkin tersebut. Tapi

baru saja dia bermaksud membabat angkin tersebut Si Rase bumi

dengan gesitnya sudah menyentak tubuhnya meninggalkan

permukaan tanah, bagaikan seutas Iayang-layang tubuh Ti Then

dengan kerasnya ditarik berlari keempat penjuru.

Sedang itu Si Anying langit Kong Sun Yau bagaikan bayangan

saja dengan eratnya mengikuti terus disisi tubuhnya, senyata kipas

yang berada ditangannya dengan tak henti-hentinya melancarkan

serangan gencar mengancam seluruh tempat bahaya dari Ti Then.

Dengan perkataan lain : Ti Then yang sudah dipermainkan dan

diombang ambingkan Si Rase bumi Bun Jin Cu dia pun harus

melancarkan serangan dan mangobat abitkan pedangnya untuk

memusnahkan semua serangan-serangan dahsyat serta serangan

maut yang mengancam seluruh tempat penting pada tubuhnya,

keadaannya pada saat ini betul-betul amat bahaya sekali.

Situasi dan keadaan yang seperti ini di dalam jarang sekali terjadi

karena itu sampai kelima orang malaikat iblis itu pun dibuat

terpesona oleh keadaan semacam ini.

Sembari menarik tubuh Ti Then dan berlari-lari tak henti-hentinya

Si Rase bumi Bun Jin Cu sempat berkata sembari tertawa merdu.

“Hey lelaki bangsat. Kenapa tidak cepat-cepat turun tangan. “

“Ha ha ha … .sudah hampir..sudah hampir” teriak Si Anying

langit Kong Sun Yau sembari tak henti-hentinya melancarkan

serangan mautnya.”Aku tidak percaya bangsat cilik ini bertahan

lebih lama Iagi . . .”

Baru saja perkataannya selesai diucapkan mendadak…. suatu

parubahan timbul secara mendadak.

Serentetan sinar terang yang amat tajam dan menyilaukan mata

dengan menerjang angin berkelebat datang. “Plaaak-, angkin kuning

menjadi dua bagian.

Apakah terputus oleh babatan pedang Ti Then?”

Yang memutuskan angkin kuning itu hanyalah sebilah pisau

terbang yang amat tipis.

Kemunculan pisau terbang itu sangat mendadak sekaii, Si Rase

bumi Bun Jin Cu yang sedang menarik dengan sekuat tenaga

seketika itu juga menjadi terhuyung-huyung kehilangan

keseimbangannya, hampir-hampir dia terjatuh ke dalam jurang.

Tetapi kejadian yang muncul diluar dugaan ini memberi suatu

akibat yang jauh lebih parah, jauh lebih mengerikan lagi bagi Si

Anying langit Kong Sun Yau.

24

Semula dia memangnya sedang melancarkan serangan gencar

mengancam diri Ti Then, tetapi begitu angkin kuning itu terputus

maka tubuh Ti Then pun menjadi berhenti, sebaliknya Si Anying

langit Kong Sun Yau yang dengan napsunya sedang melancarkan

serangan tidak sanggup untuk berhenti di dalam waktu seketika itu

juga karenanya jarak antara dirinya dengan Ti Then pun menjadi

amat dekat, dengan meminyam kesempatan itulah Ti Then sudah

melancarkan satu serangan yang tepat menembus lambungnya.

Untuk beberapa saat lamanya dia menjadi tertegun, tetapi ketika

dilihatnya pada lambungnya sudah tertembus oleh pedang Ti Then

saat itulah tanpa bisa ditahan lagi dia menjerit ngeri dengan amat

kerasnya.

PerIahan-lahan tubuhnya rubuh ke tanah dan saat itu juga

putuslah napasnya.

Melihat kejadian itu Si Rase bumi Bun Jin Cu menjadi amat

terperanyat dengan suara amat kaget teriaknya.

“Hey Ielaki bangsat, kau kenapa?”

Waktu itu Ti Then dengan kecepatan yang luar biasa sudah

meloncat dari atas tanah, sesudah mencabut keluar pedangnya dari

lambung Si Anying langit Kong Sun Yau barulah dia berdiri di

samping.

Bagaikan seorang yang kalap dengan cepat si Rase bumi

menubruk ke atas mayat suaminya, matanya dipentangkan lebarlebar

sedang bibirnya dengan gemetar berkemak-kemik.

“Lelaki bangsat, kau…kau sudah mati?”

Agaknya dia tidak percaya kalau suaminya bisa mati, tapi kini

dengan mata kepala sendiri dia melihat suaminya memang betulbetul

sudah binasa, tak tertahan lagi butir-butir air mata mengalir

keluar dengan amat derasnya.

Semula suara tangisannya tidak terdengar lama kelamaan isak

tangisnya semakin menjadi, dan akhirnya bagaikan guntur yang

membelah bumi dia menangis dengan kerasnya sembari gembar

gembor tidak karuan:

Pada saat itulah terlihat tiga orang berlari dengan amat cepatnya

mendekati tempat itu.

Ketiga orang itu bukan lain adalah Po cu dari Benteng Pek Kiam

Po, Wi Ci To, Hu Pocu Huang Puh Kian Pek beserta Wi Lian In.

Wajah mereka semua sudah berubah amat dingin dan angker,

dengan tajamnya memperhatikan Si Rase bumi yang sedang

menangis dengan sedihnya di atas mayat si Anying langit. Tanpa

berkata-kata lagi mereka bersama-sama mencabut keluar

pedangnya masing-masing kemudian secara serempak menyerang

kelima orang malaikat iblis itu.

Jika dilihat dari perubahan wajah mereka, jelas kelihatan kalau

mereka bertiga amat gusar sekali bahkan sudah ambil keputusan

untuk membasmi orang-orang dari istana Thian Teh Kong.

Baru saja mulai kelima orang malaikat iblis itu sudah dipaksa

berada di bawah

Angin.

Kiranya kedelapan orang malaikat iblis yang dibawa anying langit

rase bumi malam ini selaln setiap orang membawa seperangkat

anak panah beserta busurnya sama sekali tidak membawa senyata

tajam lainnya, saat ini kelima orang malaikat iblis itu terpaksa harus

menggunakan busur untuk mengdakanperlawanan, sedang busur itu

bukanlah senyata yang sesuai untuk bergebrak karena itu baru saja

mulai mereka sudah dipaksa berada di bawah angin dan terdesak

mundur terus.

Wi Ci To serta Huang Puh Kian Pek masing-masing melawan dua

orang malaikat iblis, terlihatlah sinar pedang berkelebat tak hentihentinya,

diantara sambaran angin yang amat tajam suara jeritan

ngeri saling susul menyusul. Empat orang malaikat iblis sudah

terbinasa di bawah pedang mereka.

Sedang malaikat iblis yang melawan diri Wi Lian In saking

terdesaknya terus mengundurkan diri ketepi tebing, akhirnya dia

pun terjatuh ke dalam jurang dan binasa seketika itu juga.

Setelah semuanya beres mereka bertiga baru putar tubuhnya dan

berjalan mendekati rase bumi yang saat ini sedang menangis

dengan amat sedihnya di samping mayat suaminya.

“He..he..Bun Jin Cu, kau berdiri” Teriak Wi Ci To sepatah demi

sepatah dengan tegasnya.

Bagaikan sama sekali tidak menclengar suara bentakan itu Si

Rase bumi Bun Jin Cu masih tetap menangis dengan amat sedihnya.

Sepasang mata Wi Ci To segera berubah menjadi amat seram,

dengan keras

bentaknya tagi.

“Bangun!”

Si Rase bumi Bun Jin Cu tetap duduk di atas tanah sembari

menangis tersedu-sedu kelihatannya dia memang betul-betul sangat

berduka sehingga terhadap peristiwa yang terjadi disekeliling

tempat itu sama sekali tidak punya minat untuk mengurusnya,

Wi Ci To adalah seorang jagoan yang punya nama terhormat di

dalam Bu-lim pada saat ini, sudah tentu dia tidak mau melancarkan

serangan bokongan kepada Si Rase bumi, ketika dilihatnya dia tetap

tidak ambil perduli alisnya kelihatan dikerutkan rapat-rapat, agaknya

dia sudah dibuat jengkel oleh kelakuannya itu.

“Hmm. . hm..Bun Jin Cu” teriak Wi Lian sembari tertawa dingin.

“Yang binasa ini hari bukan hanya suamimu, kedelepan belas

malaikat iblis yang kau bawa pun sudah ada tujuh belas orang yang

binasa, kenapa kau tidak menangisi juga bagi mereka?”

Setelah mendengar ejekan itu mendasak Si Rase bumi Bun Jin Cu

menghentikan suara tangisannya, sesudah menggendong mayat

suaminya segera dia berjalan meninggalkan tempat itu.

Melihat mereka sama sekali tidak digubris sekali lagi Wi Ci To

mendengus dengan amat dingin..

“Bagaimana ? begitu saja mau pergi “ujarnya dengan dingin.

Dengan perlahan Si Rase bumi Bun Jin Cu menghentikan

langkahnya, dengan menahan isak tangisnya dia bertanya.

“Kau mau berbuat apa ?”

Dari nadanya ini ternyata mengandung sedikit “ Genit.

“ Dua buah batu cadas tadi sudah membunuh mati empat orang

pendekar pedang kami.” Bentak Wi Ci To dengan suara berat.

“Itu masih terhitung tidak berat” Bantah Si Rase bumi Bun Jin Cu

sembari menangis. “Aku sudah ditinggal suamiku bahkan ketujuh

belas orang anak

buahku pun sudah binasa semua.”

Wi CiTo menjadi amat gusar.

“Tapi semua urusan ini ditimbulkan oleh kalian!” Bentaknya.

“Aku tidak mau mengurus, aku tidak mau bergebrak dengan

kalian” teriak si rase bumi sembari menangis tersedu sedu, “Kalian,

mau membunuhku cepatlah turun tangan. Aku tidak percaya kau

berani turun tangan dengan seorang perempuan yang sama sekali

tidak mengadakan perlawanan “

Saking jengkel dan marahnya air muka Wi Ci To sudah berubah

pucat kehijau hijauan. Bentaknya dengan keras:

“Bun Jin Cu, kau janganlah sengaja perlihatkan mimik wajah

yang patut dikasihani, kau adalah perempuan macam apa Lohu

sudah tahu amat jelas sekali “

“Aku kehilangan suami apa tidak patut untuk menangis sedih?,”

bantah Si Rase bumi itu sambil menahan isak tangisnya.

“Tia” teriak Wi Li an In tiba-tiba sembari berjalan maju, “Tida

usah banyak omong dengan dia, biar putrimu yang bereskan”

Selesai berkata dia angkat pedangnya siap ditusuk ketubuh Si

Rase bumi itu.

Wi Ci To tahu putrinya masih bukan tandingannya, dia takut

putrinya akan terluka ditangannya karena itu segera menarik

tangannya mencegah.

“Kau cepat mundur” ujarnya,

Dengan cepat dia menarik Wi Lian In ke belakang kemudian

sambil melototkan sepasang matanya dia membentak kembali.

“Sebenarnia kau mau turun tangan tidak?”

“Aku sedang bersedih hati, tidak punya tenaga untuk bergebrak

dengan kalian, jika betul-betul mau turun tangan baiknya kita

tentukan waktu saja.” ujar Si Rase bumi kemudian.

“Bagus sekali, kapan?”

“Akhir bulan depan. Aku mau menyambut kedatangan kalian di

istana Thian Teh Kong. Bagaimana?”

Wi Ci To termenung berpikir sebentar kemudian baru

mengangguk, menyetujui.

“Pasti dating” serunya.

Dengan perlahan Si Rase bumi Bun Jin Cu putar kepalanya

menghadap kearah Ti Then, sambil menahan isak tangis ujarnya.

“Bangsat cilik, sampai waktunya kau pun ikut datang. Kau sudah

bunuh suamiku selama hidupku ini aku mau balaskan dendam”

Selesai berkata dia membopong mayat suaminya, sembari

menangis tersedu-sedu perlahan-lahan dia menuruni tebing

tersebut.

Sesudah bayangan tubuh Si Rase bumi lenyap dari pandangan

barulah Huang Puh Kian Pek berjalan ke samping tebing, sambil

menengok ke bawah ujarnya.

“Masih untung apinya bisa dipadamkan dengan cepat”

“Ehmm…” sahut Wi Ci To perlahan kemudian dia menoleh kearah

Ti Then.”Ti Kiauw-tauw, seharusnya Lohu kini mengucapkan terima

kasih kepadamu.”

“Wi Pocu tidak usah sungkan-sungkan, hal ini adalah tugas dari

boanpwe “

“Bagaimana kau bisa tahu akan hal ini?” tanya Wi Ci To.

“Hanya dugaan saja.”

Perlahan-lahan pada air muka Wi Ci To mulai memperlihatkan

perasaan menyesal sembari menghela napas panjang ujarnya lagi:

“Lohu sama sekali tidak menduga mereka bisa melakukan

tindakan semacam ini..”

Ti Then berdiam diri tidak mengucapkan sepatah kata pun,

perlahan-lahan dia berjalan ke samping sesosok mayat dari sana

disobeknya sekerat kain kemudian dibungkuskan pada luka

dikakinya.

Wi Lian In yang melihat kakinya kuyup oleh darah segar agaknya

dia merasa sedikit tidak tega, fetapi untuk maju menegur dia

merasa malu juga sehingga akhirnya dia paksakan diri untuk tetap

berdiam.

“Bungkus dahulu untuk sementara, nnti sesudah kembali ke

dalam Benteng baru diberi obat” ujar Wi Ci To tiba-tiba.

“Tidak perlu” jawab Ti Then cepat, “Boanpwe tidak punya

rencana untuk mengganggu kembali Benteng kalian. Pocu serta Hu

Pocu sekalian silahkan

kembali ke dalam Benteng untuk beristirahat”

Wi Ci To tertawa pahit, cepat-cepat dia potong perkataan dari Ti

Then yang belum selesai itu:

“Bagaimana? Apa Ti Kiauw-tauw sekarang sudah tidak sudi

menginyakkan kakinya ke dalam Benteng Lohu ini kembali ?”

“Bukan begitu” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya,

“Boanpwe hanya merasa sangat menyesal, maka … maka..”

“Sesudah urusan dibikin terang untuk menyesal pun masih belum

terlambat” potong Wi Ci To kembali, “Marilah ikut lohu kembali ke

dalam Benteng”

“Nanti dulu” teriak Ti Then mendadak “Yang Pocu maksudkan

sebagai menanti sesudah urusan dibikin terang sebetulnya

mengandung maksud apa ?”

Wi Ci To tersenjum.

“Pokoknya hingga saat ini Lohu masih belum seratus persen

menganggap kau adalah jelmaan dari Lu Kongcu itu, bukan begitu

?” ujarnya.

“Tetapi boanpwe sudah mengaku di di depan Pocu sendiri”

“Itulah kesalahan Lohu sendiri, seharusnya Lohu tidak boleh

menaruh perasaan curiga terhatiap diri Ti Kiauw-tauw”

“Ti Kiauw-tauw “ sambung Huang Puh Kian Pek dengan cepat.

“Sekali pun kau punya maksud untuk meninggalkan benteng

kami, sekarang seharusnya kau mau ikut kami untuk duduk-duduk

sebentar di dalam Benteng, untuk berangkat besok pagi pun belum

terlambat”

Mendengar perkataan itu segera Ti Then mengangguk dan

bangkit berdiri, sambil menuding kearah tujuh sosok mayat yang

menggeletak di atas tanah ujarnya kemudian.

“Bagaimana dengan mayat-mayat ini ?”

“Sesudah terang tanah biar Lohu kirim orang untuk

memberesinya, mari sekarang kita pulang ke Benteng dulu.”

Selesai berkata dia segera berjalan terlebih dulu memimpin yang

lainnya.

Tua muda empat orang sesudahnya turun dari atas tebing Sian

Ciang dan kembali ke dalam Benteng terlihatlah banyak sekali

pendekar pedang hitam mau pun putih sedang berkumpul di depan

dua buah bangunan.

Kiranya dua buah bangunan rumah yang terkena serangan batu

besar tadi sehingga tiang penyanggahnya menjadi putus dan

ambruk ke bawah, saat ini terlihat berpuluh-puluh pendekar pedang

hitam sedang membereskan runtuhan itu, sedang tidak jauh dari

tempat itu terlentang empat sosok mayat yang sudah hancur

keadaannya.

Wi Ci To berjalan mendekati keempat sosok mayat itu, sesudah

termenung dengan sedihnya barulah tanyanya kepada Ti Then.

“Sebelum kedua buah batu raksasa ini jatuh ke bawah pernah

ada sebuah batu kecil yang jatuh tepat di atas atap loteng

penyimpan kitab ini, apakah itu batu sengaja Ti Kiauw-tauw

lemparkan kemari”

“Benar” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Boanpwe punya

dugaan si anying langit rase bumi bisa membawa anak buahnya

naik ke atas tebing Sian Ciang ini untuk menyerang Benteng Pek

Kiam Po tetapi boanpwe tidak berani pastikan mereka pasti ke sana,

menanti sesudah melihat mereka tiba di atas puncak gunung

barulah menggunakan batu untuk kirim peringatan, boanpwe

mengharapkan batu ini bisa membangunkan Wi Pocu sekalian”

“Heeei .. untung saja ada batu dari Ti Kiauw-tauw yang memberi

peringatan, kalau tidak mungkin malam ini banyak orang dari

Benteng kita yang akan menemui kematiannya.”

Berbicara sampai di sini dia menoleh kearah Huang Puh Kian Pek

dan lanjutnya kembali.

“Sute, kau tetap berada di sini beri pe¬rintah kepada mereka

untuk bersihkan tempat ini, aku punya urusan hendak dibicarakan

dengan Ti Kiauw tauw”

“Baiklah suheng silahkan”

Maka dengan memberi tanda kepada Ti Then untuk mengikuti

dirinya dengan perlahan Wi Ci To berjalan menuju dalam ruangan.

Dari belakang Ti Then beserta Wi Lian In dengan berdiam diri

mengikuti diri Wi Ci To berjalan masuk ke dalam kamar bukunya,

sesampainya di depan pintu tiba-tiba ia membalikkan badannya dan

berkata kepada Wi Lian In.

“In ji, kau kembalilah kekamar untuk beristirahat”

Wi Lian In merasa ragu-ragu sebentar,agaknya dia tidak punya

muka untuk berdiam lebih lama lagi, terpaksa dia menyahut dengan

perlahan dan kembali kekamarnya.

Sesudah itu barulah Wi Ci To membuka piatu kamar mengajak Ti

Then duduk di dalam kamar, ujarnya dengan tersenyum. “Malam ini

Ti Kiauw-tanw berhasil membasmi si Anying langit Kong Son Yau

berarti juga sudah membantu orang-orang Bu-lim membasmi

saorang penyahat besar, membuat orang merasa sangat girang”

“Jika bukannya Pocu tiba pada saat yang bertepatan dan

menyambitkan pisau terbang sehingga memutuskan angkin kuning

dan si Rase bumi mungkin boanpwe pun ikut menemui bencana,

karena itu kematian dari si Anying langit seharusnya merupakan

jasa dari Pocu sendiri.” Ujar Ti Then tetap merendah.

“Mana mungkin, mana mungkin…”

Ti Then segera berganti bahan pembicaraan, ujarnya kemudian,

“Pocu memerintahkan boanpwe datang kemari entah punya

petunjuk apa?”

Senjuman yang menghiasi bibir Wi Ci To segera lenyap tanpa

bekas, dengan mimik yang amat sedih tapi serius ujarnya sesudah

menghela napas panjang.

“Lohu sangat mengharapkan bisa berbicara secara blak-blakan

dan terus terang dengan diri Ti Kiauw tauw tentang urusan yang

terjadi baru-baru ini..”

Dia berhenti sebentar kemudian lanjutnya lagi.

“Hingga sampai saat ini Lohu tetap dibuat bingung . . . sejak Ti

Kiauw-tauw memasuki Benteng hingga hari ini tidak kurang tidak

lebih selama satu bulan, tapi di dalam satu bulan ini pertama-tama

Ti Kiauw-tauw sudah bantu Lohu memukul mundur Cian Pit Yuan,

kemudian menolong putriku dari perkosaan Hong Mong Ling, lalu

menolong nyawa dari putriku dari tangan si setan pengecut,

ditambah lagi malam ini Ti Kiauw-tauw sudah membantu Benteng

kami terhindar dari mara bahaya. Semua perbuatan dari Ti Kiauwtauw

ini membuat Lo hu merasa sangat berterima kasih sekali, budi

kebaikan dari Ti Kiauw-tauw semacam ini kami orang-orang pihak

Benteng Pek Kiam Po harus berbuat bagaimana pun tetap akan

membalas budi ini, atau dengan perkataan lain jika Ti Kiauw-tauw

punya permintaan kepada Lohu atau menghendaki nyawa Lohu

maka semuanya akan Lohu penuhi. tetapi .. . Hey, sekarang Lohu

mau menanyai suatu urusan kepada diri Ti Kiauw-tauw, sebetulnya

kau punya permintaan apa terhadap Benteng kita ini ?”

Ti Then yang melihat perkataan itu diucapkan begitu jujur dan

tulus hati dalam hati merasa sangat tidak enak sekali tetapi untuk

tetap menyaga rahasia dari Majikan patung emas dia tidak mungkin

bisa menceritakan rahasia dari Majikan patung emas itu, karenanya

terpaksa dia gelengkan kepalanya.

“Tidak ada” sahutnya. “Boanpwe sama sekali tidak ada

permintaan”

Agaknya Wi Ci To tetap merasa ragu-ragu.

“Apa Ti Kiauw-tauw tidak percaya terhadap kejujuran Lohu ini?”

tanyanya.

“Bukan begitu, boanpwe tahu maksud Pocu adalah sungguhsungguh

dan sejujurnya.”

“Kalau begitu silahkan Ti Kiauw-tauw katakan, asalkan Lohu bisa

malakukan sekali pun terhadap Benteng kita tidak ada

keuntungannya Lohu tetap akan meluluskan permintaan dari Ti

Kiauw-tauw itu.”

Ti Then menundukkan kepalanya rendah-rendah, “Boanpwe

benar-benar tidak punya permintaan apa-apa” ujarnya tegas.

“Hey.. tetapi “ Dia menghela napas panjang, “Jika Ti Kiauw-tauw

betul betul tidak punya permintaan apa-apa terhadap Lohu, lalu

kenapa .. ini bukannya Lohu menaruh curiga, karena ada berbagai

macam bukti yangmembuktikan Ti Kiauw tauw adalah jelmaan dari

Lu kongcu, jika Ti Kiauw tauw tidak punya permintaan apa-apa

kenapa harus berbuat begini ?”

Agaknya dia takut Ti Then dibuat marah oleh perkataannya ini,

karena itu sambungnya kembali.

“Ti Kiauw tauw harap jangan marah, sekarang Lohu tidak mau

menyembunyikan kembali perasaan hati Lohu karena budi yang

diberikan Ti Kiauw tauw kepada kami sudah cukup untuk

memaafkan suatu kesalahan”

Ti Then betul-betul dibuat terharu dan menyesal oleh perkataan

ini, tanpa dia rasa butir-butir air mata setetes demi setetes

mengucur keluar.

Titik air mata ini merupakan yang pertama kali dikeluarkan dari

matanya sejak dia mengerti akan urusan, karena dia teringat

kembali akan penderitaan dirinya sebetulnya merupakan seorang

yang mengutamakan kejujuran dan kebenaran tetapi dia dipaksa

dan diharusnkan untuk berbuat sesuatu pekerjaan yang melanggar

nalurinya.

Ketika Wi Ci To melihat dia menangis secara tiba-tiba, jadi

melengak dibuatnya.

“Ti Kiauw tauw kau kenapa ?” tanyanya.

Ti Then menundukkan kepalanya tidak menyawab.

Dengun termangu-mangu lama sekali Wi Ci To memandang

kearahnya, kemudian tanya lagi dengan perlahan.

“Beritahu kepada lohu, apakah kau punya rahasia yang susah

dikatakan secara terus terang?”

Ti Then tetap berdiam diri tidak menyawab.

Dengan perlahan Wi Ci To menghela napas panjang,ujarnya.

“Dengan usia Lohu sekarang ini boleh dikata cukup untuk

menjadi ajahmu tetapi kau boleh menganggap Lohu seba¬gai

pamanmu, kau boleh menceritakan ra¬hasia hatimu kepada Lohu

kecuali memang betul-betul tidak dilaksanakan, kalau tidak lohu

mau berkorban untuk menyelesaikan urusanmu itu. Bagaimana?”

Ti Then mengusap kering air matanya dengan menggigit kencang

bibirnya berkata.

“Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan urusan ini, tetapi

sesudah boonpwe katakan Pocu tentu tidak akan mengabulkan

bahkan sekali pun pocu menyetujuinya belum tentu bisa berhasil”

“Jika Ti Kiauw tauw menghendaki rembulan yang berada di atas

langit tentu Lohu tidak mungkin bisa melakukannya selain itu Lohu

berani berkorban untuk menyelesaikan dan membantu persoalan Ti

Kiauw tauw itu”

Ti Then tetap menggelengkan kepalanya.

“Urusan ini pasti pocu tidak akan menyanggupinya” ujarnya.

“Wi Ci To tersenyum.

“Kenapa tidak Kiauw tauw katakan?” serunya perlahan.

Ti Then angkat kepalanya memandang tajam ke atas wajahnya,

kemudian sepatah demi sepatah barulah ujarnya:

“Jika Pocu betul-betul mau bantu boan-pwe menyelesaikan

urusan yang amat sukar ini hanya ada satu cara …gunakan

kepandaianmu untuk mengalahkan.diri boanpwe”

“Kau bilang apa?” tanya Wi Ci To.

“Untuk sementara Pocu boleh menganggap boanpwe sebagai

musuh yang tak bisa diam puni lagi kemudian berkelahi dengan diri

boanpwe. Jika Pocu berhasil mengalahkan diri boanpwe hal itu

berarti juga sudah mernbantu menyelesaikan suatu persoalan yang

sulit”

Sebetulnya Wi Ci To merupakan seorang yang memiliki

kecerdasan tinggi tetapi sesudah mendengar perkataan dari Ti Then

ini betul-betul dibuat bingung, tanpa terasa dengan mata dan mulut

melongo dia pandang wajah Ti Then, lama sekali baru gumamnya.

“Lohu tidak paham kau sedang membicarakan apa?”

“Alasannya boanpwe tidak bisa terangkan, tetapi jika pocu

sanggupi permintaan boanpwe ini dan sesudah berhasil

mengalahkan diri boanpwe maka alasan dan sebab-sebabnya tentu

akan boanpwe ceritakan”

Agaknya Wi Ci To tidak berani percaya terhadap telinganya

sendiri, sekali lagi tanyanya dengan teliti.

“Coba kau ulangi sekali ini, kau bilang meminta lohu

menganggap kau sebagai musuh besarku kemudian berkelahi

dengan kau, jika bisa kalahkan dirimu berarti sudah membantu kau

melepaskan diri dari suatu persoalan rumit, apa betul begitu?”

“Benar” sahut Ti Then sembari mengangguk. “Hanya satusatunya

jalan ini saja yang bisa membantu boanpwe menyelesaikan

urusan ini.”

“Lohu tetap tidak paham” ujar Wi Ci To lagi sambil gelengkan

kepalanya.

Dengan nada yang hampir mendekati merengek ujar Ti Then

lagi.

“Besok pagi, di atas gunung yang sunyi baiknya kita pergi

bertanding bagaimana?”

“Tidak, urusan ini Lohu tidak bisa mengabulkan” sahut Wi Ci To

kembali sambil gelengkan kepalanya.

Lama sekali Ti Then termenung berpikir keras, mendadak dengan

air muka mengandung perasaan bermusuhan ujarnya:

“Jika boanpwae yang menantang Pocu mau untuk bergebrak

melawan boanpwe ?”

Seketika itu juga Wi Ci To dibuat melengak, kemudian sembari

tertawa pahit ujarnya.

“Ti Kiauw-tauw, kau betul-betul membuat Lohu bingung.”

“Pocu, lebih baik lakukanlah satu kali ini”

Berkali-kali Wi Ci To gelengkan kepalanya, “Lohu tidak bisa

menganggap Ti Kiauw tauw sebagai musuh besarku, juga tidak bisa

bertanding denganmu,” ujarnya tegas.

“Apa Pocu takut dikalahkan oleh boanpwe?” seru Ti Then sembari

tertawa dingin.

“Ha..ha gelombang belakang mendorong gelombang di depan,

orang-orang baru menggantikan orang-orang lama, jika Lohu

terkalahkan ditangan Ti Kiauw tauw sudah pasti tidak akan menaruh

sakit hati kepadamu, persoalannya yang utama kita bukanlah musuh

yang benar-benar, Lohu tidak tega untuk berbuat demikian terhadap

dirimu”

Tanpa terasa Ti Then sudah betpikir di dalam hatinya.

“Perkataannya ini memang betul, dengan kepandaiannya

memang besar kemungkinan sukar untuk mengalahkan aku, jika kini

ditambah dengan perasaan ragu-ragu lagi sudah tentu jangan harap

bisa kalahkan diriku?”

Tanpa terasa dia sudah menghela napas perlahan, ujarnya

kemudian sambil bangkit berdiri.

“Kalau begitu biarkan boanpwe pergi”

“Kemana?”

“Kembali kerumah panginapan”

“Tidak” seru Wi Ci To dengan serius, “Sejak ini hari kau masih

tetap Kiauw tauw dari Benteng kami, kau harus tinggal di sini”

“Lebih baik Pocu jangan terlalu percaya kepada diri boanpwe,

mungkin pada suatu hari boanpwe bisa melakukan banyak

kejahatan di dalam Behteng.”

“Tidak mengapa” seru Wi Ci To sembari tertawa riang, “Tadi

Lohu sudah bilang budi yang kau berikan kepada Benteng kami

sudah terlalu banyak, sekali pun boleh dianggap penerimaan dirimu

pada ini hari sebagai Kiauw tauw sama saja seperti memelihara

harimau meninggalkan bencana dikemudian hari juga tidak

mengapa”

Dia berhenti sebentar, kemudian dengan air muka serius ujarnya:

“Tapi sekali pun mungkin Ti Kiauw tauw akan melakukan banyak

kejahatan di dalam Benteng kami, lohu hanya punya satu

permintaan”

Ti Then berdiam diri menanti perkataan selanjutnya.

“Maksud perkataan lohu ini, tidak perduli kau melakukan

pekerjaan jahat macam apa pun lohu tidak akan menegur dirimu,

hanya loteng penyimpan kitab dari lohu itu jangan sekali-kali kau

selidiki. Bagaimana? setuju bukan?”

Tak tertahan lagi tanya Ti Then.”Sebetulnya loteng penyimpan

kitab itu menyimpan rahasia apa?”

“Maaf lohu tidak bisa beri keterangan” ujar Wi Ci To sambil

gelengkan kepalanya. “Pokoknya sekali pun kau menginginkan

nyawa lohu pun boleh asalkan jangan mengintip loteng penyimpan

kitab itu”

“Omong sejujurnya, boanpwe sendiri juga tidak tahu lain kali bisa

melakukan pekerjaan jahat apa saja terhadap Benteng Pek Kiam Po

ini” ujar Ti Then sambil tertawa pahit.

“Bagus sekali, sekarang Ti Kiauw tauw boleh kembali ke dalam

kamar untuk beristirahat.

Ti Then segera memberi hormat kembali ke dalam kamarnya

dengan mambawa perasaan hati yang amat berat.

Dikarenakan perubahan yang terjadi tadi maka si Lo-cia itu

pelayan tua yang melayani dirinya pun belum tidur, melihat Ti Then

kembali kekamarnya dia menjadi amat girang sekali, sambil ikut

masuk ke dalam kamar ujarnya sembari tertawa :

“Ti Kiauw-tauw, akhirnya kau kembali juga. Heeei, kemarin hari

secara tiba-tiba Ti Kiauw-tauw meninggalkan Benteng untuk

beberapa waktu Iamanya membuat budakmu betul-betul merasa

sangat bingung, sedang pocu serta siocia pun tidak mau beritahu

kepada budak tuamu, membuat budakmu selama beberapa hari ini

betul-betul merasa bingung”

“Lebih baik kau tidur saja” ujar Ti Then tertawa tawar.

Bukannya pergi si locia malah maju mendekati dirinya, ujarnya

dengan suara rendah.

“Apa bukan Ti Kiauw tauw meninggalkan Benteng karena sudah

berkelahi dengan siocia kita ?”

“Ehmmm, benar “

“Sekarang sudah baik kembali bukan?” tanya si Lo-cia dengan

perasaan ingin tahu.

“Benar”

“Itu baru bagus sekali, Hi hi hi . Budakmu selalu merasa kalian

sebetulnya merupakan pasangan yang setimpal, jika bisa mengikat

diri sebagai suami istri sebetulnya sangat..“

“Lo cia kau sedang bicara apa ?”

Mendadak dari belakang tubuhnya muncul suara yang amat

dingin sekali.

Lo cia menjadi amat terperanyat, ketika dia putar tubuhnya

terlihatlah Wi Lian In dengan air muka adem sudah berdiri di depan

pintu tanpa terasa sambil tertawa paksa ujarnya.

“Hi..hi hi ..siocia budakmu tidak bicara apa-apa, hi hi hi . .”

“Cepat pergi tidur” bentaknya lagi.

Si Lo cia tidak berani membangkang segera dia menyahut dan

berjalan keluar dari kamar sambil tersenyum senyum.

Dengan tajam Wi Lian In pandang beberapa waktu ke atas wajah

Ti Then, kemudian dengan dingin tanyanya.

“Aku boleh masuk ?”

Ti Then tertawa pahit.

“Nona Wi sudah tidak satu kali saja masuk ke dalam kamar,

kenapa sekarang harus sungkan-sungkan? ujarnya.

Dengan perlahan Wi Lian In berjalan masuk ke dalam kamar

kemudian duduk di atas kursi, sebentar seperti mau bicara tetapi

akhirnya menundukkan kepalanya rendah-rendah.

Air muka yang adem kini sudah berubah menjadi wajah yang

diliputi oleh perasaan malu.

“Nona Wi apa juga mau tanya kepadaku kenapa aku menyamar

sebagai Lu Kongcu?” tanya Ti Then cepat.

“Aku sudah tahu kenapa kau berbuat begitu”

Diam-diam Ti Then menjadi amat terperanyat, ujarnya:

“Ooh, kau..kau sudah tahu?”

“Benar” sahut Wi Lian In sambil tersenyum malu.

“Kemarin malam sudah aku dapatkan jawaban ini “

Ti Then menjadi tertegun.

“Bagaimana .. bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku terus menerus berpikir jelas sekali kau bukan seorang jahat,

tapi kenapa berbuat begitu? Jika bilang kau mau masuk ke dalam

Benteng dengan membawa suatu rencana busuk tetapi kau sudah

bantu Tia memukul mundur sipendekar pedang tangan kiri Cian Pit

Yuan kemudian dua kali menolong aku, karena itu sesudah pikir

bolak balik akhirnya aku paham apa sebabnya kau berbuat begitu.”

Diam-diam dalam hati Ti Then merasa semakin ragu-ragu,

tanyanya.

“Kau sudah paham bagaimana?’

Sambil tersenyum Wi Lian In melirik sekejap kearahnya,

kemudian dengan suara perlahan menyahut.

“Hm. Kau masih berlaga pilon.”

“Dapatkah kau jelaskan kau sudah paham tentang apanya ?”

tanya Ti Then lagi dengan perasaan ragu-ragu.

Perlahan-lahan Wi Lian In menoleh ke depan pintu kemudian

baru ujarnya dengan perlahan.

“Beritahu padaku, pada waktu yang lampau kau pernah bertemu

aku dimana?”

Ti Then semakin bingung oleh perkataan ini.

“Dulu… aku bertemu denganmu di tempat mana…”

Wi Lian In segera melotot kearahnya, kemudian dengan malumalu

dia tundukkan kepaIanya.

“Kalau memangnya kau menginginkan aku kenapa tidak berani

bicara secara terus terang saja” ujarnya lirih. “Kau.. kau..sedikit pun

tidak punya sifat jantan.”

Secara mendadak Ti Then paham kembali apa yang dimaksudkan

olehnya, diam-diam dalam hati merasa amat geli sekali, pikirnya.

“Kiranya dia sudah paham akan hal ini ternyata dia sudah anggap

aku pernah betemu dengan dia pada waktu yang lalu kemudian

menaruh rasa cinta kepadanya, karena itu baru menyamar sebagai

Lu Kongcu untuk merusak ikatan perkawinannya dengan Hong

Mong Ling”

Wi Lian In melihat dia berdiam tidak menyawab di dalam

anggapannya dia sudah mengaku karenanya dengan tertawa malu

ujarnya.

“Sebetulnya hal ini tidak bisa menyalahkan kau menggunakan

cara yang tidak jujur ini, sewaktu kau bertemu dengan ku mungkin

waktu itu aku sudah mengikat janyi dengan Hong Mong Ling,

karena kau punya maksud . . untuk mendapatkan aku maka sudah

gunakan cara ini, aku. aku tidak akan menyalahkan kau”

Ti Then hanya tersenyum tidak menyawab.

“Tadi sewaktu berada di dalam kamar buku kau sudah bicarakan

soal apa saja dengan Tia ?” tanyanya lagi.

“Ayahmu mengharapkan aku mau beritahu secara terus terang

kanapa aku menyamar sebagai Lu kongcu. aku . . . “

“Kau sudah beritahukan urusan ini kepada Tia?” tanya Wi Lian In

cepat.

“Belum” sahutnya sambil gelengkan kepalanya “Aku tidak tahu

harus berbicara bagaimana baru baik , . “

“Urusan ini sudah tentu kau merasa tidak enak untuk bicara, tapi

aku percaya Tia tentu bisa menduga sampai di sana.”

“Ayahmu mengharapkan aku mau tinggal di sini”

“Benar” ujar Wi Lian In cepat, tadi pagi aku yang beritahukan

kepadanya aku bilang kau pasti bukan seorang yang jahat.”

“Aku harap kau jangan terlalu percaya kepadaku”

Wi Lian In tidak memberi komentar lagi, matanya perlahan

dialihkan pada kaki kanan dari Ti Then yang terluka, tanyanya:

“Kakimu sudah kau beri obat ?”

“Belum, aku kira tidak begitu penting, lukanya hanya diluaran

saja, tanpa obat pun bisa sembuh dengan sendirinya”

Wi Lian In segera bangkit betdiri.

“Biar aku pergi ambil obat”

Selesai berkata dia segera putar tubuh dan berlari dengan

cepatnya meninggalkan kamar untuk pergi ambil obat.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 15.1. Hu pocu ternyata adalah…

Ti Then hanya bisa angkat bahu saja kemudian mengundurkan

diri kembali ke atas pembaringannya, terhadap “Perubahan yang

mendadak” ini dia merasa sangat berada di luar dugaannya, dia

tidak bisa berkata saat ini harus merasa girang atau berduka, dia

hanya merasa dirinya sukar untuk meloloskan diri kembali, dia

merasa dosa yang di buat semakin lama semakin bertambah berat.

Beberapa saat kemudian terlihatlah Wi Lian In dengan membawa

kotak obat-obatan berlari masuk. ujarnya sembari tertawa: “Mari

aku tolong kau beri obat”

Dia membuka kotak obat itu kemudian berlari ke depan Ti Then

dan berjongkok untuk membalut kakinya yang terluka itu dengan

kain.

“Tidak” tiba-tiba Ti Then menarik kembali kakinya. “Biar aku yang

melakukan sendiri.”

Cepat-cepat Wi Lian In menarik kembali kakinya, ujarnya: “Kau

jangan banyak bergerak, ayoh duduk yang baik”

Diam-diam dalam hati Ti Then menghela napas panjang,

terpaksa dia pejamkan matanya membiarkan dia untuk mengobati.

Perlahan-lahan Wi Lian In melepaskan kain yang membalut

kakinya kemudian mencuCi luka itu dengan air bersih, ujarnya:

“sakit tidak??”

“Sedikit.”

“Bagaimana kau bisa terjerat angkinnya si Rase bumi?”

“Pada waktu aku bergebrak dengan mereka suami istri berdua,

para malaikat iblis itu mulai memanahkan panah-panah apinya ke

arah benteng, cepat-cepat aku menerjang ke hadapan mereka

untuk memutuskan busur- busurnya, di dalam sekejap mata itulah

angkin si Rase bumi sudah menyerang datang dari arah belakang

dan menjerat kakiku.”

“Heeei. . untung saja Tia cepat datang, kalau terlambat sedikit

saja mungkin akibat yang kau terima akan jauh lebih hebat” ujar Wi

Lian In sembari menghela napas panjang.

“Benar”

“Kau sungguh lihay.” puji Wi Lian In kembali. “Baru saja pisau

terbangnya Tia memutuskan angkin tersebut pedangmu sudah

berhasil menusuk mati si Anying langit”

“Haa ha ha ha. . mana. . . hanya waktu itu si Anying langit sama

sekali tidak menduga kalau angkinnya bisa terputus oleh sambaran

pisau terbang sehingga dia dibuat kalang kabut”

“Si Rase bumi itu sungguh menggelikan sekali, dia adalah jagoan

yang kenamaan di dalam kalangan Hek to, ketika melihat suaminya

binasa ternyata sudah menangis begitu sedihnya, jika dilihat

keadaannya pada waktu itu sedikit pun tidak mirip dengan iblis

wanita yang disegani di dalam Bu lim”

Ti Then menghela napas.

“Dia terlalu cinta pada suaminya, karena itu tidak bisa menahan

perasaan sedih yang bergolak di dalam dadanya, aku merasa sedikit

simpatik kepadanya.” ujarnya perlahan

“Dia sudah mengadakan perjanyian dengan kau dan Tia untuk

pada akhir bulan depan bertemu di istana Thian Teh Kong nya, kau

pergi tidak?” tanya Wi Lian In sambil memandang wajah Ti Then

dengan pandangan tajam.

“Sudah tentu harus pergi.”

“Aku juga mau ikut.”

“Tentang hal ini aku tidak berani ambil keputusan-” ujar Ti Then

ketika mendengar perkataannya itu. “Lebih baik kau minta ijin dulu

dengan ayahmu.”

“Jika Tia tidak mengijinkan aku pergi, aku mau pergi secara

diam-diam.”

“Ha ha ha . . ” Ti Then tertawa terbahak-bahak. “Karena itu aku

percaya ayahmu bisa mengijinkan dirimu untuk pergi.”

“Kali ini Bun Jin Cu sudah kehilangan suaminya, bagusnya untuk

bertarung dengan mengandalkan kepandaian silat pasti tidak akan

sanggup untuk mengalahkan kita, aku kira pada saatnya dia pasti

menggunakan siasaat keji untuk membokong kita. sampai waktunya

kita harus menghadapi mereka dengan berhati-hati.”

“Ehmm . . . perkataanmu sedikit pun tidak salah.”

Di dalam percakapan itulah Wi Lian In sudah selesai memberi

obat dan membalutkan luka dari Ti Then itu sembari menyimpan

kembali obat-obatan itu ke dalam kotak. ujar Wi Lian In dengan

suara rendah.

“Aku masih mau beritahukan suatu urusan kepadamu, obat

pemabok itu sudah aku masukkan ke dalam teko air tehnya Hu

Pocu”

“Ooh . . ” Dengan pandangan tajam Ti Then memperhatikan

dirinya. “Kapan kau masukkan?”

“Malam ini juga, sebelum dua batu besar itu merusak benteng

dengan pinyam kesempatan sewaktu dia tidak berada di dalam

kamar secara diam-diam aku sudah masukkan obat itu ke dalam

tekonya, tetapi dia belum sempat meneguk air teh itu, karena baru

saja aku keluar dari kamarnya batu-batu besar itu sudah berjatuhan

sehingga aku serta dia dan Tia cepat-cepat lari ke atas tebing Sian

Ciang sedang kini dia pun sedang perintahkan saudara-saudara

untuk membersihkan kekotoran reruntuhan, nanti sesudah dia

kembali kekamar entah bisa minum air teh itu atau tidak?”

“Coba kau keluar lihat-lihat sebentar, nanti sesudah dia

memadamkan lampu kau boleh ambil sebuah batu dan disambitkan

ke dalam kamarnya.Jika dari kamar tidak terdapat gerak gerik maka

artinya dia sudah mabok oleh obat pemabok tersebut.”

“Betul” seru Wi Lian In membenarkan- “Biar aku pergi lihat.”

Selesai berkata sambil membawa kotak obat dia berjalan keluar

dari dalam kamar. Ti Then pun merapatkan pintu kamarnya dan

naik ke atas pembaringan untuk beristirahat.

Dia tidak punya rencana untuk membunyikan tanda mengajak

bertemu dengan majikan patung emas, karena dia merasa malas

untuk melaporkan berita yang sangat bagus ini kepadanya.

Dia merasa sedikit menyesal sudah melakukan tindakan di atas

tebing Sian Ciang sehingga merusak rencana si Anying langit rase

bumi, jika dirinya tidak menahan serangan bokongan dari si Anying

langit Rase bumi terhadap Benteng Pek Kiam Po, maka Wi Ci To

dengan putrinya tidak mungkin bisa menerima dia kembali dengan

begitu mudahnya, ada hal ini berarti rencana dari majikan patung

emas pun bisa berjalan dengan lancar.

Tetapi penyerangan dari Anying langit rase bumi ini disebabkan

oleh dirinya, jika dirinya tidak pergi menahan serangan mereka,

bukankah dari pihak benteng Pek Kiam Po akan menemui bencana

hebat? Hei jika dirinya bisa mati jauh lebih baik mati saja sehingga

semuanya bisa beres.

Dia berbaring di atas pembaringannya tetapi matanya dengan

melotot lebar-lebar memandangi langit-langit, pikirnya berputar

terus memikirkan persoalan yang semakin rumit ini, pada waktu

saat menunjukkan hampir mendekati kentongan keempat:

“Tok tok tok . .”

Ada orang yang mengetuk pintunya dengan periahan.

Cepat-cepat Ti Then meloncat bangun dari atas pembaringan dan

membuka pintu, teriihat Wi Lian In sudah berdiri di depan pintu

sembari tersenyum: “Bagaimana??” tanyanya dengan perlahan.

“Sudah beres” Sahut Wi Lian In lirih. “Dia sudah jatuh pulas oleh

obat pemabok itu”

“Kau sudah merasa pasti kalau dia sudah mabok??”

“Aku lihat memang begitu” sahut Wi Lian In kembali sambil

angguk-anggukkan kepalanya. “Sesudah dia padamkan lampu

segera tertidur, sesudah menunggu kira-kira dua menit baru aku

jemput batu dan disambitkan ke arah jendelanya, waktu itu aku

tidak berani memeriksa ke dalam kamar mana karena merasa tidak

tenteram maka aku sambit satu kali lagi, saat itu tetap saja tidak

melihat dia keluar, kalau dia sudah minum teh itu dan sudah

mabok.”

“Bagus sekali”, seru Ti Then kegirangan “Mari kita periksa apakah

pada kepalanya ada lukanya atau tidak, jika ada dialah si setan

pengecut itu”

O

SESUDAH keluar dari kamar dan merapatkan pintunya kembali

dengan perlahan-lahan, bersama-sama dengan Wi Lian In berjalan

menuju kekamar Huang Puh Kian Pek.

Ujar Ti Then kembali dengan setengah berbisik sesampainya di

belakang kamar Huang Puh Kian Pek.

“Kau ketuklah jendelanya terlebih dulu dan panggil dia, coba lihat

dia terbangun tidak.”

“Jika dia menyahut?” tanya Wit Lian In perlahan-…

“Kalau memang begitu kau boleh karang suatu cerita bohong,

bilang saja kau melihat sesosok bayangan hitam berkelebat di atas

kamarnya.”

Wi Lian In sembari tersenyum mengangguk, segera dia

bungkukkan badannya berjalan ke bawah jendela, kemudian

mengetuk jendela tersebut teriaknya dengan perlahan-lahan:

“Huang Puh siok. Huang Puh siok”

Huang Puh Kian Pek yang berada dalam kamar tidak memberikan

jawabannya, agaknya memang betul-betul terbius oleh obat

pemabok itu.

Wi Lian In mengetuk kembali jendela itu sembari memanggil,

sesudah di dengarnya dari dalam kamar tidak terdapat gerak gerik

barulah dia menggapai kearah Ti Then memanggil dia ke sana.

Ti Then tahu tenaga dalam dari Huang Puh Kiam Pek amat tinggi

dengan sendirinya pendengarannya pun amat tajam, kini melihat

tak terjadi perubahan apa-apa dari dalam kamar segera mengetahui

kalau dia betul-betul sudah terbius oleh obat pemabok. karenanya

dengan ringan dia meloncat ke depan jendela sengaja dengan suara

agak keras ujarnya. “Hu pocu belum bangun??”

“Belum” sahut Wi Lian In cepat.

“Entah bisa terjadi peristiwa diluar dugaan atau tidak?”

“Lebih baik kita masuk saja..”

Sambil berkata dia membuka jendela tersebut dan meloncat

masuk ke dalam.

Wi Lian In segera mengikuti dari belakang sesudah mengambil

keluar korek api buru-buru disulutnya lampu di dalam kamar itu.

Begitu sinar lampu menyoroti seluruh kamar maka keadaan

diseluruh kamar bisa dilihat dengan jelas sekali.

Huang Puh Kian pek berbaring di atas pembaringan dengan

tenangnya, pada tubuhnya ditutupi dengan selapis selimut, jika

dilihat dari pernapasan hidungnya jelas dia sudah tertidur dengan

amat nyenyak.

Tetapi di dalam satu kali pandangan saja Ti Then sudah melihat

kalau dia memang betul-betul terbius oleh obat pemabok itu, karena

cawan teh yang berada d iatas meja kelihatan masih ada sisa dari

teh yang belum dihabiskan, hal ini berarti juga dia sudah minum teh

yang berisikan obat pemabok itu sedang tidurnya bisa begitu tenang

hal ini sudah tentu dikarenakan setelah minum teh segera dia naik

ke atas pembaringan untuk tidur.

Atau dengan perkataan lain sewaktu dia siap tidur itulah obat

pemabok itu mulai bekerja.

Melihat hal itu Ti Then tersenyum kemudian mendorong

badannya.

“Hu Pocu.. Hu pocu.. cepat bangun. . cepat bangun” serunya.

Huang Puh Kian pek tetap tidak bergerak..

“Sudah cukup. .sudah cukup,” teriak Wi Lian In kegirangan.

“Coba kau lihat rambutnya dulu.”

“Jika d iatas kepalanya sama sekali tidak luka kau jangan

salahkan aku lho, karena ini hanya dugaanku saja.”

“Aku sudah tahu, kau cepatlah turun tangan”

Ti Then segera mencengkeram rambut di atas kepala Huang Puh

Kiam Pek dan di tariknya dengan keras.

” Kalian sedang berbuat apa?”

Mendadak suara yang amat rendah tapi berat berkumandang

datang dari belakang jendela.

Wi Lian In serta Ti Then bersama-sama menjadi amat

terperanyat, cepat-cepat mereka menoleh ke belakang, terlihatlah

secara tiba-tiba Wi Ci To sudah muncul di depan jendela.

Air muka Wi Ci To kelihatan amat dingin sekali dengan sinar air

mata penuh kemarahan ujarnya lagi.

” Cepat bilang, kalian sedang berbuat apa??”

Mendengar bentakan itu Wi Lian In menjadi gugup, “Tia. . kami

sedang… sedang. .”

“Hmm. . h mm. . mau membunuh Hu pocu bukan begitu?” ujar

Wi Ci To sembari tertawa dingin.

Wi Lian In menjadi semakin gugup.

“Tidak. . tidak . . . putrimu tidak berani membunuh Huang Puh

siok. kami sedang …”

“Kalau tidak” potong Wi Ci To dengan dingin. “Kenapa kalian

menarik rambut Hu Pocu?”

Sedikit pun tidak salah ditangan Ti Then pada saat ini sedang

mencekal sebagian rambut beserta kulit kepalanya.

Melihat hal itu Wi Lian In menjadi amat girang sekali, dengan

cepat ujarnya.

“Tia cepat masuk coba lihatlah”

“Lihat apa?” bentak Wi ci To dengan amat gusar.

“Coba kau lihat” teriak Wi Liau In semakin girang.

Wi Ci To mendengus dengan amat dinginnya, segera dia

melompat masuk ke dalam kamar, ujarnya.

“Kalian berdua sedang bermain apa?”

Dengan mengangkut kepalanya Huang Puh Kian Pek, ujarnya Wi

Lian In kembali: “Tia, coba lihat kepalanya paman Huang Puh”

Di atas batok kepala Huang Puh Kian Pek jelas terlihat sebuah

bekas luka sebesar kepalan bayi.

Begitu melihat akan hal itu, air muka Wi ci To segera berubah

amat hebat, dari perasaan gusar kini sudah berubah menjadi

perasaan terperanyat dengan hati yang bergolak tanyanya.

“Bagaimana kalian bisa tahu?”

“Tia tentu masih ingat bukan sewaktu Huang Puh siok kembali ke

dalam Benteng putrimu pernah sengaja menarik kain pengikat

kepalanya?” ujar Wi Lian In sembari pandang wajah ayahnya.

Wi ci To sedikit mengangguk sedang air mukanya semakin lama

berubah semakin jelek, ujar Wi Lian In kembali.

“Ti Kiauw tauw mau pun putrimu sendiri merasa suara dari si

setan pengecut itu sangat dikenal, sejak sebelum putrimu ditawan

oleh mereka, belum pernah keluar dari benteng karena itu Ti Kiauw

tauw kemudian menduga kalau si setan pengecut itu kemungkinan

besar adalah orang dari benteng kita sendiri. Akhirnya setelah

Huang Puh siok pulang ke dalam benteng dia yang selamanya tidak

pernah memakai ikat kepala tapi kali ini memakainya, karena itulah

putrimu lalu mencurigai dialah si setan pengecut itu, diam-diam aku

lalu berunding dengan Ti Kiauw tauw sedang menurut pendapat Ti

Kiauw tauw sendiri pun urusan ini harus di selidiki maka dari itu

putrimu lalu pergi kekota beli obat pemabok dan secara diam-diam

sudah masukkan obat itu ke dalam air tehnya”

Wi Ci To kembali menganggukkan kepalanya, sepasang matanya

yang memancarkan sinar amat tajam dengan terpesona

memandang ke atas bekas luka sebesar kepalan bayi itu, jika dilihat

selama ini dia tidak membuka suara jelas sekali kalau hatinya betulbetul

merasa amat gusar.

Lama sekali baru terdengar dia berkata dengan periahan-

“Ambilkan seember air dingin-.

“Baik” sahut Wi Lian In dengan cepat, segera dia berjalan keluar

dari kamar untuk mengambil sebaskom air dingin.

Tidak lama dia sudah berjalan masuk kembali dengan membawa

sebaskom air.

Wi Ci To segera menerima air itu dan disiramkan ke atas wajah

Huang Puh Kian Pek. Tidak lama kemudian terlihatlah kulit kelopak

mata Huang Puh Kian pek mulai bergerak dan sadar kembali dari

maboknya.

” Kalian berdua boleh keluar dari kamar” ujar Wi Ci To kepada Ti

Then serta putrinya sesudah melihat dia sadar kembali.

Agaknya Wi Lian In tidak mau, sambil menggerutu ujarnya.

“Tidak, putrimu mau mendengarkan penjelasannya.”

Air muka Wi Ci To segera berubah amat keren, dengan nada

gusar bentaknya: “Suruh kamu keluar yaah keluar, ayoh cepat. .”

selama ini Wi Lian In sangat jarang menerima makian ayahnya,

karena itu setiap kali dia melihat ayahnya menjadi gusar maka

hatinya menjadi takut, dia tidak berani membangkang lagi dengan

berdiam diri bersama-sama dengan Ti Then berjalan keluar dari

kamar.

Tidak jauh dari kamar itu mereka berdua berhenti dengan air

muka tidak senang ujar Wi Lian In.

“Hei ….. sungguh membingungkan. .”

“Jangan marah dulu” hibur Ti Then ketika melihat dia murung.

“Ayahmu tidak mengijinkan kita ikut mendengarkan sudah tentu ada

alasannya”

“Hmmm alasan apa??”

Ti Then hanya tersenyum saja tidak menyawab, walau pun dia

tidak tahu apakah alasannya tetapi dia bisa menduga sedikit, dia

tahu Huang Puh Kian Pek bisa menyamar sebagai si setan pengecut

kemudian bersekongkol dengan Hong Mong Ling untuk menculik

pergi Wi Lian In bukanlah dikarenakan dia merasa simpatik terhadap

Hong Mong Ling, juga bukanlah untuk menghadapi dirinya,

sebaliknya dia punya suatu tujuan tertentu.. kemungkinan sekali

tujuannya terletak pada loteng penyimpan kitab dari Wi Ci To itu,

dia pasti sudah merencanakan untuk mencuri suatu barang dari

dalam loteng Penyimpan Kitab itu, beberapa waktu yang lalu dan

mungkin dikarenakan kemunculan dirinya secara tiba-tiba di dalam

Benteng Pek Kiam Po membuat dia punya anggapan dirinyalah

merupakan suatu penghalang yang paling besar bagi usahanya itu

karena itu dia punya maksud untuk menyingkirkan dirinya secepat

mungkin dari dalam Benteng.

Sudah tentu dikarenakan persoalan ini menyangkut kerahasiaan

dari Loteng Penyimpan kitab tersebut sudah tentu Wi Ci To tidak

akan mengijinkan dirinya beserta Wi Lian In hadir di sana.

Sebaliknya sampai waktu ini Wi Lian In masih tetap saja

menggerutu.

“Coba kau bilang, Tia punya alasan apa tidak mengijinkan kita

untuk mendengarkan pengakuannya?? ”

“Aku sendiri juga tidak tahu” jawab Ti Then gelengkan kepalanya

“Hanya aku tahu bahwa tindakan ayahmu kali ini pasti ada

alasannya.”Semakin lama Wi Lian In semakin menjadi gemas.

“Sungguh tidak kusangka dia benar-benar si setan pengecut itu,

dia adalah sutenya Tia, selama puluhan tahun ini Tia terus menerus

memandang dia sebagai saudara sendiri, tapi dia ternyata sudah

bersekongkol dengan Hong Mong Ling bangsat cabul itu berani

menculik aku”

Waktu itu Ti Then juga tidak tahu harus mengajukan perkataan

apa baiknya, karena itu terpaksa dia hanya termenung saja.

“Coba kaupikir apa yang dituju olehnya?” tanya Wi Lian In lagi

dengan gemas.

“Mungkin dia menaruh simpatik terhadap Hong Mong Ling” jawab

Ti Then tertawa pahit.

“Dia punya alasan apa untuk menaruh simpatik kepada Hong

Mong Ling” ujar Wi Lian In dengan amat gusar, “apakah Hing Mong

Ling anaknya??? atau mungkin muridnya ??”

Ti Then hanya bisa angkat bahunya saja.

“Aku pikir tentu dia bisa jelaskan sendiri kepada ayahmu …. oooh

ayahmu sudah keluar”

Tampak dengan langkah perlahan berjalan keluar dari dalam

kamar, air mukanya berubah hijau membesi,jelas sekali kalau

kemarahannya sudah mencapai pada puncaknya. Dengan cepat Wi

Lian In maju menyongsong kedatangan ayahnya.

“Tia dia bilang apa?” tanyanya cepat.

Wi Ci To tidak menyawab sebaliknya kepada Ti Then ujarnya:

“Hong Mong Ling bangsat cilik itu bersembunyi di dalam sarang

pelacur Touw Hoa Yuan, cepat kau ke sana tawan dia kembali”

“Boanpwe terima perintah.”

Sesudah merangkap tangannya memberi hormat segera dia putar

tubuh berlalu dari sana. Wi Lian In yang berdiri di samping ketika

mendengar Hong Mong Ling berada di dalam sarang pelacur Touw

Hoa Yuan hatinya menjadi girang, ujarnya cepat-cepat:

“Putrimu boleh ikut bukan?”

Wi Ci To termenung berpikir sebentar, agaknya baru menyawab:

“Baiklah, kau boleh ikut Ti Kauw tauw ke sana tapi kau dilarang

masuk ke dalam sarang pelacur mereka”

Wi Lian In amat girang sekali, sesudah menyauhi segera dia lari

mengejar diri Ti Then, mereka berdua masing-masing menunggang

seekor kuda melarikan tunggangannya dengan cepat keluar

benteng.

Mereka berdua dengan berdampingan dengan cepatnya lari turun

gunung menuju ke dalam kota Go bi.

“Semoga saja kita bisa tiba di dalam kota sebelum menjadi

terang” Ujar Ti Then kemudian sesudah memandang keadaan cuaca

“Jika hari sudah terang tanah, untuk menawan dia mungkin agak

lebih sulit lagi”

“Tidak mungkin” bantah Wi Lian In “sebelum terang tanah kita

pasti bisa tiba di dalam kota, waktu dia pasti masih tidur”

Dia berhenti sebentar, kemudian sambungnya lagi. “Dia tentu

tidur di dalam kamarnya Liuw Su Cen”

“Tidak salah”

“Nanti kau masuklah dari pintu depan, sedang aku menyaga di

halaman belakang, kali ini jangan sampai membiarkan dia bisa

meloloskan diri lagi.”

“Ehmm . . . aku kira tidak mungkin bisa lolos.” Wi Lian In angkat

kepalanya memandang ke arah Ti Then-

” Kau pikir Tia bisa ambil tindakan apa untuk menghukum

mereka berdua?” tanyanya.

“Entahlah” jawab Ti Then sambil angkat bahunya.

“Hmmm, mereka harus dihukum mati.”

“Soal itu juga baru bisa dilaksanakan sesudah menanti hwesiohwesio

dari Siauw lim pay datang mereka harus mengakui sendiri

semua kabar bohong yang mereka katakan itu di hadapan hwesiohwesio

itu sehingga mereka bisa dibikin percaya”

“Hmmm, aku ingin sekali cepat-cepat membunuh mati bangsat

cilik itu”

“Tidak usah terlalu cemas” hibur Ti Then sembari tersenyum.

“Biarlah ayahmu yang menyatuhi hukuman kepada mereka.”

Pada hari menjelang terang tanah, kedua orang itu sudah tiba

diluar kota Go bi, sambil menarik tali les kudanya, ujar Ti Then lagi:

“Baiknya kita tinggalkan kuda tunggangan diluar kota saja,

kemudian kita masuk kota dengan melalui tembok kota”

Wi Lian In putar kepalanya memandang keadaan disekeliling

tempat itu, ketika tampak tidak jauh dari sana ditepi sungai terdapat

beberapa batang pohon siong segera ujarnya: “Baik kita tambatkan

kuda-kuda ini pada pohon itu.”

Sesampainya di bawah pohon mereka menambatkan kuda

masing-masing pada pohon tersebut kemudian dengan

mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, masing-masing

berkelebat melewati tembok kota.

Cuaca belum terang, ditengah jalan dalam kota masih jarang

terlihat orang-orang yang berlalu lalang, Ti Then dengan membawa

Wi Lian In dengan cepatnya menuju ke depan pintu rumah

pelacuran Touw Hoa Yuan itu, ujarnya sambil menuding pintu

depan.

” Inilah yang disebut sebagai Rumah pelacuran Touw Hoa Yuan,

sekarang kau pergilah melalui gang kecil ini menuju ke belakang,

jika melihat dia melarikan diri cepat-cepatlah berteriak.”

Wi Lian In sedikit mengangguk. kemudian meuyusup kejalan kecil

tersebut, setelah dilihatnya disekitar tempat itu tidak ada orang

barulah Ti Then dengan ringannya meloncat masuk ke dalam

ruangan dalam, terlihat suasana masih amat sunyi, sesosok

bayangan manusia pun tidak kelihatan berkeliaran, jelas seluruh

penghuni rumah pelacuran itu masih tertidur dengan amat pulasnya.

Pintu diruangan depan kelihatan sedikit terbuka, melihat hal itu Ti

Then tersenyum pikirnya:

“Loteng dan ruangan semalam suntuk tidak tertutup,” segera dia

melanjutkan langkahnya masuk ke dalam.

Dia pernah satu kali datang kerumah pelacuran ini, karena itu

tahu juga letak kamarnya Liuw Su Cen, cepat-cepat dia berjalan

melalui sebuah lorong panjang menuju kekamar yang di tuju,

mendadak . . . seorang pelayan muncul di hadapannya.

Pelayan ini agaknya baru saja bangun dari tidurnya, dengan

wajah yang mengantuk dia membungkukkan badannya memberi

hormat, ujarnya: “Siangkong, selamat pagi.”

Agaknya dia sudah menganggap Ti Then adalah tamu yang

menginap di rumah pelacur mereka.

Ti Then hanya sedikit mengangguk saja, tanpa mengucapkan

kata-kata sengaja dia perlihatkan gerak geriknya yang kemalasmalasan.

“Siangkong apa kau punya perintah yang lain?” tanya

pelayan itu lagi.

“Tidak ada . . kau boleh pergi.. ” sahut Ti Then sambil

menggelengkan kepalanya berulang kali.

Si pelayan itu segera mengambil sapu dan berjalan meninggalkan

tempat itu

Menanti sesudah bayangan dari pelayan itu lenyap dari

pandangan barulah Ti Then berjalan mendekati kamarnya Liuw Su

Cen, kemudian mulai mengetuk pintu sengaja dengan suara yang

diperkecil sehingga mirip dengan suara perempuan teriaknya: “Nona

Liuw cepat buka pintu”

Dari dalam kamar segera mulai terdengar ada suara keresekan.

“Siapa?” suara Liuw Su Cen yang genit segera berkumandang

keras dengan nada yang kurang senang.

“Aku” sahut Ti Then sengaja mempertinggi suaranya. ” Cepat kau

buka pintu, Ku Ie perintahkan aku untuk memberitahukan suatu

urusan kepadamu”

“Kau siapa?” tanya Liuw su Cen lagi.

Sengaja dengan nada yang mengandung nada genit jawab Ti

Then cepat. “Aku .”

“Baiklah. . kau tunggu sebentar biar aku pakai baju dulu”

Suara keresekan yang ramai segera berkumandang keluar

kemudian disusul dengan langkah Liuw su Cen berjalan kepintu

kamar, sebentar kemudian terlihat pintu kamar dibuka dengan

perlahan.

Kiranya yang yang dimaksud memakai baju olehnya tidak lebih

hanya pakaian dalam yang amat tipis sekali, karena itu Liuw Su Cen

yang kini muncul di hadapan Ti Then keadaannya amat

menggairahkan sekali, dadanya terbuka separuh yang anggota

badan lainnya kelihatan secara samar-samar di balik pakaian

dalamnya yang terbuat dari kain tipis.

Begitu dia melihat orang yang berdiri di depan pintu bukan lain

adalah Ti Then, air mukanya sagera berubah amat hebat, serunya.

“Kau??”

Dengan satu kali dorongan Ti Then mendorong badannya ke

samping kemudian dengan kecepatan yang luar biasa meloncat

masuk ke dalam kamar.

Ternyata Hong Mong Ling memang benar berada di dalam

kamar.

Dia sedang duduk di atas pembaringan dengan alas kain merah.

Begitu melihat Ti Then meloncat masuk ke dalam kamar dengan

gugup dan tergesa-gesa dia menyambar pedang panjang di

samping badannya kemudian meloncat bangun-bagaikan seekor

burung walet dengan gesitnya melayang keluar melalui jendela.

Ti Then tertawa dingin tak henti-hentinya cepat dia mengikuti

dari belakangnya mengejar dengan kencang, ketika dilihatnya dia

melarikan diri dengan amat gugup kehalaman belakang hatinya

diam-diam merasa amat girang, cepat dia mengikuti terus dari

belakangnya.

Mereka berdua yang satu melarikan diri yang lain mengejar

bagaikan sambaran kilat cepatnya berkelebat ke arah belakang

halaman, hanya di dalam sekejap mata saja sudah melewati tembok

yang mengelilingi rumah pelacuran itu.

Wi Lian In yang menanti diluar tembok begitu melihat Hong

Mong Ling melarikan diri dengan meloncat tembok segera

membentak nyaring, pedangnya dengan dahsyat ditusuk kearah

perutnya.

Hong Mong Ling sama sekali tidak menduga kalau diluar tembok

masih ada orang yang hendak mencabut nyawanya, di dalam

keadaan yang amat terperanyat dia tidak sempat mencabut keluar

pedangnya, terpaksa bersama-sama dengan sarungnya digunakan

untuk menangkis datangnya serangan tersebut.

Tetapi tangkisannya ini tidak berhasil menutup seluruh serangan

pedang dari Wi Lian In, kaki kanannya sudah terkena babatan ujung

pedang Wi Lian In sehingga darah segar mulai mengucur keluar

dengan amat derasnya.

Tapi dia masih berusaha juga untuk melarikan diri, sekali lagi

badannya meluncur beberapa kaki kemudian meloncet naik ke atas

atap sebuah bangunan. Ti Then yang mengejar dari belakang

segera berteriak ketika melihat keadaannya itu.

“Hong Mong Ling, aku lihat lebih baik kau tidak usah membuangbuang

tenaga dengan percuma, lebih baik dengan mandah ikut

kami kembali ke dalam Benteng”

Hong Mong Ling pura-pura tidak mendengar, dengan tergesagesa

dia melarikan diri ke depan bahkan larinya semakin cepat lagi,

hal ini mungkin disebabkan di dalam anggapannya dia sudah

merasa kalau dirinya kembali ke dalam Benteng pasti akan

menerima kematian. Karena itu keinginan untuk hidup membuat

tenaganya berlipat ganda.

Oleh sebab itulah walau pun Ti Then serta Wi Lian In dengan

kencang terus menerus mengejar dirinya, untuk beberapa saat

lamanya masih belum sanggup juga untuk menawan dia kembali.

Mereka bertiga dengan jarak kurang lebih tiga kaki dengan

kecepatan yang luar biasa saling kejar mengejar di atas bangunan

rumah kota Go bi, laksana loncatan kucing cepatnya hanya dalam

sekejap mata mereka sudah tiba di samping pintu kota sebelah

timur kemudian meloncat keluar kota dan berlari menuju ke daerah

luar kota.

Ti Then yang melakukan pengejaran dengan mengerahkan

seluruh tenaganya semakin lama dapat juga mendekati diri Hong

Mong Ling.

“Hai bangsat cilik” teriaknya sambil tertawa dingin tak hentihentinya.

” Kalau kau punya kekuatan untuk lari satu li lagi, aku

akan lepaskan satu kehidupan buatmu.”

Keinginan hidup segera meliputi hati Hong Mong Ling, serunya

kemudian-“Perkataanmu itu betul tidak?”

“Ha ha ha ha. . .” Ti Then tertawa amat nyaring. “selamanya aku

bilang satu yaah satu, bilang dua yaah dua, kau legakan hatimu”

Hong Mong Ling segera mengerahkan seluruh tenaganya untuk

melarikan diri ke depan, dia mengharapkan dirinya bisa lari satu lie

lagi sehingga bisa lolos dari cengkeramannya. siapa tahu baru saja

berlari beberapa waktu luka dikakinya semakin lama terasa semakin

sakit sehingga tanpa dia sadari semakin lama larinya pun semakin

lambat.

Sebaliknya saat ini semakin mengejar Ti Then melayang semakin

cepat lagi, belum sampai mencapai setengah li Ti Then sudah

berhasil berada kurang lebih lima depa di belakang badannya.

Agaknya Hong Mong Ling tahu bahwa dia tidak akan sanggup lari

lagi, mendadak dia menghentikan larinya tubuhnya membungkuk ke

bawah sedang ujung kaki kirinya bagaikan kilat cepatnya dengan

dahsyat mejalankan satu tendangan dahsyat ketubuh Ti Then.

Sejak semula Ti Then sudah mengadakan persiapan, begitu

dilihatnya serangan tersebut hampir mencapai tubuhnya mendadak

tubuhnya miring ke samping kemudian melayang dari samping

tubuhnya. Tangan kanannya tidak mau berdiam diri secara tiba-tiba

melancarkan serangan cengkeraman mengancam jalan darah Cian

Khing hiatnya.

Hong Mong Ling yang melihat serangan tendangannya mencapai

sasaran kosong tubuhnya mendadak membalik dengan gaya

“Keledai malas menggelinding” dia putar tubuhnya ke belakang

sedang pedangnya dengan disertai sinar yang menyilaukan mata

membacok sepasang kaki Ti Then, gerakan ini dilakukan amat cepat

sekali.

Sampai waktu Ti Then tetap tidak mau menyambut pedangnya

untuk mengadakan perlawanan badannya meloncat ke atas setinggi

tiga depa sedang sepasang kakinya melancarkan serangan Lian

huan tui atau tendangan berantai mengarah wajahnya.

Cepat-cepat Hong Mong Ling melayang ke samping, pedangnya

dengan mengikuti gerakan tersebut berkelebat kembali dengan

jurus “si Gouw Huang Gwat” atau badak memandang bulan dengan

mendatar membabat pinggang Ti Then.

Segera terjadi suatu pertempuran sengit antara mereka berdua,

kurang lebih sepuluh jurus kemudian satu serangan telapak Ti Then

dengan tepat menghajar lengan kirinya, “Praakk…” seketika itu juga

tulang lengannya terputus oleh pukulan itu.

Hong Mong Ling mendengus berat, pedang panjangnya lepas

dari tangannya tadi dengan cepat tangan kirinya memungut kembali

pedangnya dan dibabat kearah lehernya sendiri, bagaikan kilat

cepatnya Ti Then melancarkan cengkeraman merebut pedangnya,

ujarnya sembari tertawa dingin.

“Hmm. . hmnnm, kau jangan begitu jangan cepat-cepat mati”

Hong Mong Ling sembari tertawa seram.

“Tidak. aku dapat perintah untuk tawan kau kembali ke dalam

Benteng”

“Aku tidak mau pulang”

“Hmm.. sekali pun begitu aku masih bisa paksa kau untuk

kembali” seru Ti Then mengejek. Diantara pembicaraan itu dua

jarinya dengan cepat menotok jalan darah kakunya.

Waktu itulah Wi Lian In baru berhasil menyusul mereka, ketika

dilihatnya Ti Then sudah berhasil mengusai diri Hong Mong Ling dia

menjadi amat girang:

“Hey bangsat cabul” makinya sambil menuding diri Hong Mong

Ling dengan jarinya, “Tidak kau duga bukan bisa ada hari ini?”

Hong Mong Ling yang tertotok jalan darah kakunya kini hanya

bisa terlentang dengan kakunya di atas tanah tapi mulutnya masih

bisa bicara, mendengar perkataan itu dia segera tertawa dingin.

“Hmm. . hmm. . seperti ini hari terhadap seorang perempuan

yang suka akan baru dan bosan pada yang lama memang patut

dirayakan”

“Siapa yang suka yang baru bosan yang lama? ” tanya Wi Lian In

dengan amat gusar.

“Perempuan itu tidak lain adalah putri Wi Pocu itu majikan dari

Benteng Pek Kiam Po yang amat terkenal di dalam dunia Kangouw ”

ejek Hong Mong Ling.

Saking gemasnya Wi Lian In membentak keras, pedang

panjangnya digerakkan secepat kilat mengancam ulu hatinya.

Tiba-tiba. . . “Traang. .” pedangnya yang hampir mengenai ulu

hati Hong Mong Ling secara mendadak terkena sambitan senyata

rahasia sehingga miring ke samping.

Senyata rahasia yang mengenai pedangnya itu bukan lain hanya

sebuah bunga teratai dari besi.

Kekuatan sambitan senyata rahasia teratai besi itu amat besar

sekali, bukan saja membuat pedangnya miring ke samping bahkan

menggetarkan badannya sehingga terjatuh dua langkah ke samping.

Wi Lian In menjadi tertegun, kepada Ti Then dengan perasaan

tidak puas ujarnya: “Di dalam benteng masih ada seorang saksi kau

takut apa lagi?”

Dia mengira Ti Then yang sudah turun tangan mencegah

perbuatannya untuk membunuh Hong Mong Ling, karena itu dia

mengucapkan kata-kata tersebut.

Ti Then tertawa pahit:

“Bukan aku, ada orang sudah datang” ujarnya.

Air muka Wi Lian In berubah sangat hebat, segera dia menoleh

memandang keadaan disekeliling tempat itu, waktu itulah dia baru

melihat kurang lebih tujuh delapan kaki dari tempat mereka berdiri

berjajar-jajar dua puluh orang hwesio, tanpa terasa lagi saking

terkejutnya dia sudah menjerit tertahan, kemudian dengan

termangu-mangu berdiri tertegun di sana.

Hanya di dalam satu kali pandangan saja dia sudah tahu kalau

kedua puluh orang hwesio itu berasal dari kuil Siauw lim si di atas

gunung song san-

Karena salah satu dari hwesio-hwesio itu bukan lain adalah si

Hwesio berwajah riang dari kuil Siauw lim si yang pernah mencegat

Ti Then untuk minta kitab pusaka Ie Cin Keng darinya.

Jilid 15.2. Rombongan Siauw Lim pay berkunjung

Sisanya sembilan belas orang masing-masing memakai pakaian

kasa yang berwarna kuning emas salah satu diantara mereka

dengan mencekal tongkat wajahnya amat ramah Jika dipandang

dari usianya sudah sangat lanjut, keadaannya amat agung dan

berwibawa sekali. Wi Lian In menarik napas panjang, teriaknya

tanpa dia sadari. “Hwesio-hwesio dari Siauw lim pay sudah datang.”

Hwesio tua yang mencekal tongkat itu sambil tersenyum berjalan

mendekati mereka bertiga, kepada Ti Then sambil merangkap

tangannya memberi hormat, ujarrya: “omitohud, Siauw sicu ini apa

bukan yang bernama pendekar baju hitam Ti Then?”.

“Tidah berani, tidak berani. . memang cayhe adanya” sahut Ti

Then cepat sambil merangkap tangannya membalas hormat.

“Lolap adalah Yuan Kuang dari Siauw lim”

Sekali lagi Ti Then bungkukkan badannya memberi hormat.

“Oh kiranya adalah Ciangbun thaysu yang sudah berkunjung,

selamat datang. selamat datang” serunya.

“Sebetuinya lolap sedang berada ditengah perjalanan menuju ke

Benteng Pek Kiam Po untuk menyambangi Wi Losicu beserta Ti

Siauw sicu, baru sampai sini tidak sangka sudah bertemu dengan

Siauw sicu, sungguh kebetulan sekali”

“Taysu jauh-jauh dari gunung Songsan datang kemari, apakah

disebabkan oleh kitab pusaka Ie Cin Keng itu?”

“Benar” sahut Yuan Kuang Taysu mengangguk. ” Kitab pusaka Ie

Cin Keng semestinya memang barang kuil kami, sesudah lenyap

selama puluhan tahun lamanya lolap dengar kitab tersebut sudah

ditemukan kembali oleh Siauw sicu, bilamana sekarang Siauw sicu

mau mengembalikan kitab tersebut kepada kuil kami Lolap betulbetul

merasa sangat berterima kasih sekali.”

“Taysu sudah salah paham” Bantah Ti Then setelah mendengar

perkataan dari Yuan Kuang Thaysu Ciangbunyin dari Siauw limpay.

“Cayhe selama ini belum pernah memperoleh kitab pusaka Ie Cin

Keng, berita bohong ini sengaja dikarang oleh Hong Mong Ling

dengan tujuan hendak mencelakai diri cayhe”

Sembari berkata dia menuding kearah Hong Mong Ling.

Mendadak dengan amat gusar Hong Mong Ling membantah:

“Omong kosong, terang-terangan kau sudah menemukan kitab

cusaka Ie Cin Keng bahkan itu hari dengan mata telingaku sendiri

aku melihat dan mendengar kau memperoleh kitab pusaka Ie Cin

Keng itu dan hendak kau persembahkan kepada Wi Ci To, buat apa

kau sekarang membantah juga.”

Ti Then mengerutkan alisnya rapat-rapat.

“Hmm…hmmm… bangsat cilik” teriaknya sembari tertawa dingin

tak henti-hentinya, ” Kalau memangnya kau sudah melihat itu kitab

pusaka Ie Cin King sekarang aku mau tanya padamu, macam

apakah kitab pusaka Ie Cin keng itu.”

” Waktu itu aku berdiri agak jauh dari tempat kalian sehingga

tidak dapat melihat jelas” jawab Hong Mong Ling tida mau kalah, ”

Hanya saja perkataanmu kepada Wi Ci To aku masih bisa

mendengar sangat jelas sekali, kau bilang kitab pusaka Ie Cin Keng

akan kau serahkan kepada Wi Ci To tetapi syaratnya haruslah

menjodohkan putrinya kepada mu”

Saking gemas dan gusarnya Wi Lian In merasa dadanya hampir

meledak dibuatnya.

“Bangsat cabul, kau berani memfitnah aku seenak hatimu, aku

bunuh kau”

Pedang panjang ditangannya dengan disertai angin sambaran

yang amat tajam dengan amat keras ditusuk ke arah perutnya.

Yuan Kuang Taysu cepat-cepat melintangkan toyanya menangkis

datangnya serangan pedang itu, sedang telapak kirinya dengan

meminyam kesempatan itu mencengkeram belakang leher Hong

Mong Ling dan di tariknya ke belakang.

“Sambut ini” bentaknya keras.

Si Hwesio berwajah riang dengan cepat maju satu langkah ke

depan menyambut diri Hong Mong Ling kemudian diserahkan lagi

kepada seorang hwesio berusia partengahan yang berada di

sampingnya.

“Kau bantu dia hentikan mengalirnya darah terlebih dulu” ujarnya

dengan perlahan.

Ti Then sama sekali tidak menyangka pihak lawan berani

merampas Hong Mong Ling dari tangannya, untuk merebut kembali

sudah tidak sempat lagi terpaksa di dalam hatinya dia merasa amat

cemas bercampur serba salah, ujarnya dengan keras.

“Taysu, dia adalah anak murid dari Wi Ci To Pocu, Kalian tidak

seharusnya menawan mereka.”

Yuan Kuang Taysu tersenyum.

“Lolap bukannya menawan dia, sebaliknya sedang melindungi

nyawanya” ujarnya kalem.

“Taysu sudah berbuat salah” seru Ti Then kembali. “Dialah

manusia licik yang sudah menimbulkan keonaran ini bahkan pernah

dua kali menculik pergi nona Wi dan hendak berbuat tidak senonoh

kepada nona Wi, karena Wi pocu sudah perintahkan cayhe untuk

tawan dia kembali ke Benteng untuk dijatuhi hukuman”

Agaknya Yuan Kung Thaysu tidak mau percaya atas perkataan

itu, sambil tersenyum balik bertanya:

“Siauw sicu, apa dia benar-benar murid dari Wi Lo sicu??”

“Tidak salah” sahut Ti Then mangangguk.

“Lalu siapa namanya??”

“Hong Mong Ling.”

Pada air muka Yuan Kuang Thaysu jelas memperlihatkan

perasaannya yang amat terkejut. “oooh. . diakah si naga mega

Hong Mong Ling?? Bukankah dia adalah bakal menantu dari Wi Lo

sicu”

“Sebetuinya memang benar, hanya saja pada waktu-waktu

mendekat ini Wi Pocu serta nona Wi sudah mengetahui kalau dia

main perempuan diluaran bahkan sudah jatuh cinta kepada seorang

pelacur, karena itu perjodohan ini sudah dibatalkan.”

“Bangsat cilik ini dari rasa malu menjadi perasaan gusar ternyata

dia berani menculik nona Wi..”

Dia tidak menceriterakan juga tentang diri Hu Pocu Huang puh

Kian Pek di sebabkan dia merasa kejelekan keluarga sendiri tidak

baik untuk disiarkan diluaran.

Sekali lagi dengan amat gusar Hong Mong Ling berteriak keras:

” Kentutmu, kapan aku Hong Mong Ling sudah jatuh cinta

dengan seorang pelacur? ke semuanya ini dikarenakan Wi Ci To

sudah timbul kerakusannya untuk memiliki kitab pusaka Ie Cin Keng

sehingga membatalkan perjodohanku dengan nona Wi, dia mau

menjodohkan nona Wi kepadanya karena kitab pusaka itu

dihadiahkan kepada Wi Ci To, dan karena takut aku menyiarkan

berita ini diluaran maka dia mau bunuh aku sehingga dengan begitu

aku akan menutup mulut untuk selama-lamanya.”

Sesudah mendengar perkataan ini berkali-kali Yuan Kuang Taysu

mengangguk. agaknya dia merasa perkataan dari Hong Mong Ling

inilah yang masuk diakal.

Saking gusarnya air muka Wi Lian In dari pucat berubah menjadi

kehijau-hijauan, baru saja dia angkat pedangnya hendak

melancarkan serangan kembali keburu sudah dicegah oleh Ti Then,

ujarnya:

“Jangan keburu napsu,pada suatu hari persoalan pasti akan

menjadi jelas kembali, kau tahanlah sendiri kemarahanmu.”

Setelah itu barulah dengan perlahan dia menoleh ke arah Yuan

Kuang Taysu, sambungnya kembali:

“Jikalau Taysu tidak percaya atas perkataan cayhe ini, sekarang

juga cayhe bisa membawa Taysu untuk bertemu dengan dua orang

saksi”

“Siapa kedua orang saksi itu??”

“Germo dari rumah pelacuran Touw Hoa Yuan, si Ku Ie serta

pelacur Liuw Su Cen, mereka bisa memberi keterangan kepada

Taysu apakah Hong Mong Ling sering pergi ke rumah pelacuran

mereka atau tidak, bahkan barusan saja cayhe menangkap dirinya

dari dalam rumah pelacuran tersebut”

“Ha ha ha… siancay… siancay…bagai mana Siauw sicu bisa

mengajak pinceng?” Yuan Kuang Taysu sembari tertawa terbahakbahak.

“Agar urusan menjadi lebih jelas mau tak mau kita harus pergi ke

sana juga.”

Senyuman yang menghiasi wajah Yuan Kuang Taysu mendadak

lenyap tanpa bekas, dengan nada yang keren tapi halus ujarnya.

“Perkataan Siauw sicu walau pun benar tetapi cara pemikiran

orang lain tidak mungkin begitu.”

” Kalau memangnya Taysu tidak ingin pergi ke rumah pelacuran

Touw Hoa Yoan itu baiklah Taysu mengikuti diri cayhe untuk

menemui Wi Pocu di dalam Benteng Pek Kiam Po, pada waktu itu Wi

Pocu bisa menjelaskan semua liku-likunya persoalan kepada diri

Taysu.”

Yuan Kuang Taysu mengangguk tanpa menyetujui usul tersebut.

“Lolap memangnya mau pergi menyambangi diri Wi Lo sicu,

demikian pun baik juga.”

Berbicara sampai di sini segera dia menoleh kepada si hweosio

berwajah riang, ujarnya:

“Ti sim kau ikuti lolap menuju ke Benteng Pek Kiam Po, sedang

cap Pwe Lo Han bawa Siauw sicu itu menanti di Kuang Hoa Hong

san Yuan di dalam kota.”

Ketika Ti Then mendengar ke delapan belas orang hwesio berusia

pertengahan itu ternyata adalah Cap pwe Lo Hannya Siauw limpay

diam-diam hatinya merasa berdesir, kini mendengar mereka hendak

menawan Hong Mong Ling hatinya semakin cemas, dengan gugup

ujarnya:

“Tidak bisa jadi, tidak bisa jadi. . kalian tidak bisa bawa Hong

Mong Ling pergi.”

Air muka Yuan Kuang Taysu terlihat sedikit berubah, dengan

nada dingin tanyanya. “Apa Siauw sicu takut kami lepaskan dia

pergi.”

“Bukannya begitu, hanya takut dia melarikan diri”

“Soal ini kau tidak perlu kuatir” ujar Yuan Kuang Taysu kemudian

“Cap Pwe Lo Han bisa menyaga dia sebaik-baiknya, dia merupakan

satu-satunya saksi yang menguntungkan kuil kami, bagaimana Lolap

bisa membiarkan dia melarikan diri??”

“Kenapa tidak Taysu bawa sekalian ke dalan Benteng Pek Kiam

Po, agar kita bisa saling berhadap-hadapan dengan terus terang.”

Pada air muka Yuan Kuang Taysu kelihatan berkelebat suatu

senyuman aneh.

“Sebelum Lolap betul-betul mengetahui sikap serta tindak tanduk

dari Wi Losicu, lolap tidak berani menyalankan cara ini.”

“Jadi maksud Taysu takut kami bunuh mati dia orang??” seru Ti

Then sambil pandang tajam wajahnya.

“Benar” sahut Yuan Kuang Thaysu tersenyum. “Bukankah tadi Wi

Li sicu berkali-kali hendak turun tangan mencabut nyawanya Hong

Siauw sicu??”

“Jikalau Taysu merasa tidak lega hati, tidak urung bawa sekalian

cap Pwe Lo Han kalian”

“Tidak bisa. . tidak bisa” Bantah Yuan Kuang Thaysu cepat.

“Dengan tindakan seperti itu sama saja memperlihatkan kalau Lolap

hendak membereskan urusan ini dengan kekerasan, sebelum kita

bicarakan dengan baik-baik, hal ini lolap rasa kurang sopan.”

Sudah sejak lama Ti Then mendengar kalau barisan Lo Han Tin

dari Siauw lim Cap Pwe Lo Han sangat lihay sekali, jika dirinya

hendak merebut diri Hong Mong Ling dari tangan Cap Pwe Lo Han

itu di tambah lagi di bawah pengawasan Yuan Kuang Taysu serta si

hwesio berwajah riang, hal ini secara tidak sengaja sudah

membuktikan kalau dirinya sudah memperoleh kitab pusaka Ie Cin

Keng tersebut dan kini mau bunuh Hong Mong Ling untuk

melenyapkan saksi, karena itu dia mengangguk sanbil menghela

napas panjang.

“Baiklah” ujarnya kemudian. “Kalau memangnya Thaysu

bermaksud begini cayhe juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tapi

thaysu harus jaga dia sebaik-baiknya jika sampai dia meloloskan diri

thaysu harus bertanggung jawab”

“Baik, kita tentukan begitu”

” Kalau begitu. . mati kita jalan”

Demikianlah ke delapan belas hwesio yang disebut sebagai Cap

Pwe Lo Han dengan membawa Hong Mong Ling masuk ke dalam

kota sedangkan Yuan Kuang Thaysu bersama-sama si hwesio

berwajah riang, Ti Then serta Wi Lian In menuju kearah Benteng

Pek Kiam Po.

Ti Then menuju keluar pintu kota sebelah barat teriebih dulu,

sesudah menemukan kembali kedua ekor kuda tunggangannya

barulah dengan memimpin Yuan Kuang Thaysu serta si hwesto

berwadah riang menuju ke gunung Go bi.

Selama dalam perjalanan ini Ti Then terus menerus mengerutkan

keningnya bahkan sikap serta tindak tanduk memperlihatkan

perasaan yang amat murung karena di dalam anggapannya semula

asalkan dia bisa menawan Hong Mong Ling maka kesalah

pahamannya dengan pihak kuil Siauw lim si bisa dibereskan dengan

mudah siapa tahu Hong Mong Ling jadi orang amat licik sekali

bahkan pintar berbohong sehingga urusan malah terbalik menjadi

semakin menegangkan.

Kini, satu-satunya harapan adalah Huang Puh Kian Pek mau

berlaku terus terang dan mengakui semua kejadian itu sejujurnya,

dengan demikian mungkin kesalah pahamannya dengan Yuan

Kuang Thaysu bisa beres-

Tapi.. maukah Huang Puh Kian Pek mengaku terus terang ??

Mungkin mau, tapi untuk membuat Yuan Kuang Thaysu bisa

percaya hal ini mungkin akan lebih sukar lagi.

Heeeey,jlka dirimu betul-betul memperoleh sebuah kitab pusaka

Ie cin Keng urusan ini akan cepat beresnya, asalkan kitab itu

diserahkan kepada hwesio-hwesio gundul ini maka urusan pun

selesai.

Agaknya Wi Lian In merasa sedikit tidak puas terhadap Yuan

Kuang Taysu serta si hwesio berwajah riang, selama di dalam

perjalanan ini dia terus menerus melarikan kudanya secepatcepatnya,

sudah tentu Ti Then tidak akan membiarkan dia berjalan

seorang diri di depan, terpaksa dia pun melarikan kudanya cepatcepat

untuk mengikuti di sampingnya walau pun begitu Yuan Kuag

Thaysu mau pun si hwesio berwajah riang yang mengikuti dari

belakang tetap tidak sampai tertinggal jauh, kedua orang hwesio itu

dengan ujung baju yang berkibar tertiup angin, tetap berlari dengan

mantap. tidak perduli sepasang kuda itu berlari bagaimana pun

cepatnya mereka tetap berada tidak kurang dari satu kaki di

belakang mereka.

sesudah melakukan perjalanan selama setengah jam lamanya,

akhirnya sampai juga mereka di depan pintu Benteng Pek Kiam Po.

Yuan Kuang Thaysu serta si hwesio berwajah riang itu segera

menghentikan langkahnya di depan pintu Benteng, sebagai seorang

ciangbunyin dari partai besar sudah tentu dia harus menyaga

kewibawaan serta kedudukannya sebagai pimpinan suatu aliran

besar, dia akan menanti sampai Wi Ci To sendiri yang menyambut

kedatangan mereka baru mau masuk ke dalam Benteng.

Ti Then serta Wi Lian In melarikan kudanya terus hingga sampai

ditengah lapangan latihan silat, terlihatlah Wi Ci To serta seluruh

pendekar pedang hitam mau pun putih sedang berkumpul di bawah

mimbar, cepat mereka meloncat turun dari kuda dan berjalan

menghampiri mereka dengan berjalan kaki.

Ketika mereka berdua tiba ditempat itulah apa yang sudah terjadi

ditengah mimbar diantara Wi Ci To serta para pendekar pedang

hitam dan putih itu, dapat mereka lihat dengan jelas tanpa terasa

lagi saking terkejutnya mereka sudah melongo dibuatnya.

Kiranya di hadapan mereka sudah terbentang suatu

pemandangan yang sangat mengerikan. Hu Pocu Huang Puh Kian

Pek berlutut ditengah lapangan, pada sepasang tangannya sedang

mencekal gagang pedang yang ujung pedangnya sudah ada tiga

bagian menembus ulu hatinya, darah segar membanyiri seluruh

tanah lapangan.

Kiranya Huang Puh Kian Pek sudah menebus dosa di hadapan

suhengnya Wi Ci To serta seluruh pendekar pedang Benteng Pek

Kiam Po dengan jalan membunuh diri

Kelihatannya dia sudah lama putus napas tapi tubuhnya yang

berlutut di atas tanah masih tetap menyaga keadaannya semula,

sepasang matanya melotot bulat-bulat sedang air mukanya

memperlihatkan tujuh bagian perasaan relanya dan tiga bagian

perasaan sedih.

Jika dilihat keadaannya saat ini, boleh dikata Wi Ci To sudah

membereskan semua dosanya di hadapan para pendekar pedang,

bagaimana dia menyamar sebagai si setan pengecut dan

bersekomgkol dengan Hong Mong Ling untuk menculik pergi Wi Lian

In kemudian mendesak dia untuk ambil keputusan atas

perbuatannya ini.

Ti Then sama sekali tidak menyangka Wi Ci To bisa berbuat

demikian terburu-buru dan gegabahnya, sebelum dirinya sera Wi

Lian In kembali ke dalam Benteng ternyata dia sudah menghukum

Huang Puh Kian Pek membuat hatinya merasa sangat tidak enak.

untuk beberapa waktu lamanya dia tidak sanggup untuk

mengucapkan sepatah kata pun.

Ketika Wi Ci To melihat dia serta putrinya sudab kembali segera

berjalan mendekati mereka, tanyanya.

” Kalian sudah berhasil tawan bangsat cilik itu?”

Dengan kesadaran yang masih samar-samar Ti Then

mengangguk.

“Sudah” sahutnya singkat.

Air muka Wi Ci To segera berubah amat seram, sambil

memandang kearah pintu benteng tanyanya lagi. “Mana orangnya?”

Ti Then tidak langsung menyawab, sebaliknya sambil menuding

kearah Huang Puh Kian Pek gumannya seorang diri: “Dia. . Hu Pocu

bagaimana bisa bunuh diri?”

“Dia merasa bersalah dan malu kepada lohu karena itu di

hadapan umum dia sudah bunuh diri untuk menebus dosa itu, inilah

satu-satunya jalan bagi dirinya”

Dia berhenti sebentar kemudian tanyanya. “Kau bilang sudah

berhasil menawan bangsat cilik itu, sekarang dimana orangnya?” Ti

Then tidak menyawab lagi pertanyaan itu.

“Pocu kenapa menyuruh dia bunuh diri begitu terburu-buru ?”

Wi Ci To mengerutkan alisnya rapat-rapat, bukannya menyawab

sebaliknya menyawab lagi.

“Dimana bangsat cilik itu?”

“Ditangan Siauw lim Cap Pwe Lo Han.”

Air muka Wi Ci To segera berubah hebat, dengan perlahan

ujarnya:

“Hwesio dari Siauw lim sudah pada datang?”

“Benar ketika boanpwe mengejar Hong Mong Ling dari dalam

rumah pelacuran Touw Hoa Yuan hingga diluar pintu kota sebelah

timur, baru saja berhasil menangkap dirinya pada saat itu juga

ciangbunyin dari Siauw limpay Yuan Kuang Thaysu beserta ke

delapan belas Lo Hannya sedang lewat di sana”

segera dia menceritakan kejadian yang sudah terjadi itu dengan

sejelas-jelasnya.

Wi Ci To yang mendengar Ciangbunyin dari Siauw limpay Yuan

Kuang Thaysu serta si hwesio berwajah riang sudah menanti di

depan pintu Benteng dia menjadi terkejut, dengan cepat serunya.

” Cepat sambut kedatangannya”

Sambil berkata dengan langkah cepat dia berjalan menuju

kepintu Benteng sebelah timur.

Loteng di atas pintu Benteng segeralah berkumandang suara

genta yang dibunyikan bertalu-talu sebanyak sembilan kali.

Inilah tanda dari Benteng Pek Kiam Po umtuk menyambut suatu

kedatangan ketua partai dari aliran besar di dalam Bu lim.

Menanti suara genta itu sudah mencapai kesembilan kalinya Wi

Ci To sudah berada diluar pintu Benteng, sambil merangkap

tangannya memberi hormat ujarnya kepada Yuan Kuang Thaysu.

“Tidak tahu Ciangbunyin Thaysu sudah datang berkunjung, maaf

tidak menyambut dari jauh, silahkan masuk. silahkan masuk”

“Tidak berani” balas Yuan Kuang Thaysu cepat-cepat, “Lolap

sudah berkunjung secara tiba-tiba sehingga mengganggu

ketenangan Benteng saudara, masih mengharapkan Wi Lo sicu

jangan marah”

“Aaah. . mana. . mana Ciangbun thaysu serta It sim Thaysu

silahkan masuk”

Demikianlah di bawah pimpinan Wi Ci To Yuan Kuang Thaysu

serta si hwesio berwajah riang atau It sim Thaysu dengan langkah

perlahan berjalan masuk ke dalam benteng.

Para pendekar pedang hitam mau pun putih yang semula berdiri

berkerumun ditengah lapangan kini dengan rapinya sudah berbaris

dikedua samping lapangan, karena itu begitu Yuan Kuang Thaysu

serta si hwesio berwajah riang memasuki lapangan latihan silat

segera bisa melihat keadaan dari Hu Pocu, Huang Puh Kian Pek

yang bunuh diri di depan mimbar tanpa terasa Yuan Kuang Thaysu

sudah menghentikan langkahnya serunya dengan nada kaget: “Iiih.

. bukankah itu Huang Puh Lo sicu”

“Memang benar dia” sahut Wi Ci To sambil tersenyum sedih.

” Kenapa dia?”

“Dia sudah berbuat macam-macam urusan yang memalukan,

baru saja dia bunuh diri untuk menebus dosa-dosanya itu”

“Dia…” seru Yuan Kuang Thaysu dengan perasaan amat

terperanyat. “Huang Puh lo sicu sudah melakukan urusan apa yang

begitu memalukan?”

“Hei.. urusan ini panjang sekali ceritanya, silahkan ciangbun

thaysu masuk ke dalam ruangan untuk minum the, nanti biarlah aku

orang she Wi menceritakan lebih jelas lagi”

“Hei. . Lolap tidak tahu kalau di dalam Benteng Lo sicu sudah

terjadi urusan, maka saat seperti ini datang mengganggu diri Wi Lo

sicu, sebetulnya tidak pantas biarlah Lolap lain kali datang lagi.” ujar

Yuan Kuang Thaysu tiba-tiba dengan serius.

“Tidak, urusan ini mem punyai hubungan dengan kitab pusaka Ie

Cin Keng yang hendak Ciangbun thaysu minta dari tangan Ti Kiauw

tauw, aku orang she Wi memangnya hendak menjelaskan urusan ini

kepada Ciangbun thaysu”

selesai berkata dia memberi hormat dan mempersilahkan Yuan

Kuang Thaysu serta si hwesio berwajah riang masuk ke dalam

ruangan.

Ketika Yuan Kuang Thaysu mendengar kalau bunuh dirinya

Huang Puh Kian pek mem punyai hubungan yang amat erat dengan

kitab pusaka Ie Cin Keng yang hendak dimintanya itu hatinya

semakin merasa terperanyat, tapi dia tidak bertanya lebih lanjut

segera mulai berjalan masuk ke dalam ruangan.

Tua muda lima orang bersama-sama masuk kedalan ruangan

tamu, sesudah semuanya duduk dan pelayan menyuguhkan teh

barulah Wi Ci To buka mulutnya berkata:

“Kedatangan ciangbun thaysu ini hari apakah disebabkan oleh

kitab pusaka Ie Cin Keng itu?”

“Benar” sahut Yuan Kuang Thaysu mengangguk ” Kitab pusaka Ie

Cin Keng merupakan barang peninggalan dari Tat Mo Couwsu dari

kuil kami, karena lenyapnya kitab itu pada sepuluh tahun yang lalu

Lolap pernah melakukan pencarian disemua tempat tapi tidak

memperoleh hasil sama sekali, pada waktu baru-baru ini lolap

dengar katanya Ti Siauw sicu sudah diangkat Wi Losicu sebagai

Kiauw tauw dari Benteng Pek Kiam Po karena itulah terpaksa Lolap

datang mengganggu, harap Wi Losicu mau menasehati Ti Siauw

sicu untuk mengembalikan kitab pusaka Ie cin Keng itu kepada kuil

kami, untuk itu Lolap betul-betul merasa sangat berterima kasih

sekali.”

Wi Ci To mengerutkan alisnya rapat-rapat.

” Ciangbun thaysu mendengar kalau Ti Kiauw tauw sudah

memperoleh kitab pusaka Ie Cin Keng ini dari siapa?” tanyanya.

“It sim yang dengar berita ini dari dunia kangouw.”

“Ha ha ha..” secara tiba-tiba Wi Ci To tertawa terbahak-bahak

dengan amat keras. “Berita yang tersebar di dalam dunia Kangouw

apa bisa dipercaya begitu saja.”

“Tanpa angin ombak tak akan menggulung “Jawab Yuan Kuang

Thaysu.

“Betul. . betul angin itu memang berasal dari suteku serta murid

penghianat Hong Mong Ling, karena mereka berdua punya niat

untuk membunuh mati Ti Kiauw tauw maka diluaran sudah

menyiarkaan berita bohong ini, dia bilang Ti Kiauw tauw sudah

mendapatkan kitab pusaka Ie Cin Keng, sebetulnya memang

sengaja hendak memancing jago-jago di dalam Bu lim agar

semuanya cari dia..”

“Wipocu tolong tanya kenapa Hu Pocu punya niat untuk

membunuh Ti Siauw sicu???” Mendadak si hwesio berwajah riang

ikut berkata. Air muka Wi Ci To segera berubah menjadi amat dingin

sekali.

“Dia melihat lolap sudah hapuskan ikatan perkawinan antara

putriku dengan Hong Mong Ling dan mengusir Hong Mong Ling dari

Benteng, di dalam hatinya merasa sangat tidak puas sekali, karena

itu dia bersekongkol dengan Hong Mong Ling untuk mencelakai diri

Ti Kiauw tauw”

“Urusan ini sungguh lucu sekali” seru si hwesio berwajah riang

sembari tersenyum. “Wi Pocu membatalkan ikatan jodoh ini

disebabkan sikap serta tindak tanduk yang tidak genah dari Hong

Mong Ling, sedangkan Huang Puh Hu Pocu adalah sute dari Wi

Pocu, bagaimana dia tidak memihak kebenaran bahkan sebaliknya

menaruh simpatik kepada Hong Siauw sicu?”

“Selamanya dia paling menyayangi Hong Mong Ling”

“Tapi agaknya hal ini bukanlah suatu alasan bukan?” seru si

hwesio berwajah riang sambil memperlihatkan senyuman yang

mengejek.

“Jadi maksud Thaysu Lohu sedang berbicara bohong?” tanya Wi

Ci To kurang puas.

“Tidak berani, pinceng hanya merasa bersekongkolnya Huang

Puh Hu pocu dengan Hong Siauw sicu mungkin disebabkan alasan

lain, sedang Wi Peocu sendiri juga tidak tahu”

“Lohu sudah menanyai dirinya amat jelas, hal ini tidak ada sebabsebab

lainnya lagi” jawab Wi Ci To keren.

“Pada waktu yang lalu pinceng punya jodoh untuk bertemu

beberapa kali dengan Hu Pocu, terhadap sikapnya sedikit banyak

mengenal juga, tidak kusangka dia ternyata membantu seorang

sutitnya yang berwatak buruk. Hei sungguh sayang. sungguh

sayang. .”

Pada mulutnya dia menghela napas tak henti-hentinya pada hal

di dalam hatinya dia bermaksud tidak percaya.

“Tadi sewaktu berada diluar kota Go bi Hong Siauw sicu sudah

mengatakan suatu alasan lain lagi” sambung Yuan Kuang Thaysu.

“Dia bilang sesudah Ti Siauw sicu memperoleh kitab pusaka Ie

Cin Keng itu lalu mau dipersembahkan kepada Wi Losicu dengan

syarat putri dari Wi Lo sicu harus dikawinkan dengan dia, menurut

omongannya tadi agaknya Wi Losicu sudah setuju, karena itu ikatan

perkawinannya dengan Hong Siauw sicu baru dibatalkan, sayangnya

karena Wi Lo sicu takut Hong Siauw sicu sudah bocorkan rahasia ini

maka sudah perintahkan kepada Ti Siauw sicu untuk bunuh dia.”

Air muka Wi Ci To segera berubah amat hebat, dengan

menganduug perasaan ujarnya dengan berat:

“Lalu Ciangbun thaysu mempercayai perkataannya???”

“Sudah tentu lolap tidak berani percaya begitu saja atas semua

omongannya, tapi perkataan dari Hong siau sicu memang beralasan

karena itu sedikit banyak Lolap percaya juga”

“Jadi maksud Ciangbun thaysu, Lohu selalu pandang tinggi

sebuah kitab pusaka semacam Ie Cin Keng itu???” seru Wi Ci To

tertawa dingin. Yuan Kuang Thaysu hanya berdiam diri tidak

menyawab.

“Terus terang saja lohu katakan, Kitab pusaka Ie Cin Keng itu

dipandangan orang lain mungkin dianggap sebagai suatu pusaka

yang amat berharga, tapi di dalam pandangan Lohu sama sekali

tidak menarik”

Yuan Kuang Thaysu hanya tersenyum saja tanpa mengucapkan

sepatah kata pun, sikapnya yang tenang ini menunjukkan kalau dia

sangat tidak ingin terjadi bentrokan dengan Wi Ci To.

Ujar Wi ci To lagi.

“Lohu bisa hapuskan ikatan jodoh antara putriku dengan murid

terkutuk itu semuanya dikarenakan mengetahui dia sudah main

perempuan ditempat luaran, bahkan sudah terpincut seorang

perempuan pelacur. Pelacur itu adalah Liuw Su Cen dari rumah

pelacuran Touw Hoa Yuan di dalam kota, tentang urusan ini si ibu

germo Ku Ie sempat tanya Hartawan cang, Cang Bun Piauw boleh

ditanyai sebagai saksi. jika ciangbun thaysu tidak percaya kau boleh

pergi tanyai mereka-mereka itu”

Yuan Kuang Thaysu dengan perlahan menghela napas panjang.

“Wi Lo sicu jadi orang jujur bahkan utamanya sangat dihormati di

Bu lim, seharusnya perkataan yang diucapkan Lolap tidak boleh

menaruh curiga tapi Lolap masih ada urusan yang belum jelas.”

Berbicara sampai di sini dia melirik sekejap ke arah Ti Then.

” Urusan apa yang ciangun thaysu belum jelas?” tanya Wi Ci To

segera.

“Menurut omongannya It sim” ujar Yuan Kuang Thaysu sambil

menuding kearah si hwesio berwajah riang itu. ” Kepandaian silat

dari Ti Siauw sicu amat lihay sekali, jika dibicarakan dari kepandaian

silatnya yang dimiliki sekarang ini sangat tidak sesuai dengan

usianya yang masih begitu muda, bila dikatakan Ti Siauw sicu tidak

memperoleh kitab pusaka Ie Cin Keng bagaimana dia bisa demikian

lihaynya?”

Mendengar omongan itu Wi Ci To segera angkat kepalanya

tertawa terbahak-bahak.

“Yang Ciangbun thaysu maksudkan apakah di hadapan It sim

thaysu Ti Kiauw tauw sudah pukul rubuh sebuah pohon raksasa

hanya di dalam satu kali pukulan itu?”

“Benar”

“Kepadaian Ti Kiauw tauw bukan hanya di dalam ilmu telapak

saja yang lihay, bahkan di dalam ilmu meringankan tubuh serta ilmu

pedang jauh lebih lihay lagi.”

“Maka itulah jika bukannya dia sudah memperoleh kitab pusaka

Ie Cin Keng bagaimana dia bisa mencapai tingkat seperti itu? ”

Senyum yang menghiasi wajah Wi Ci To mendadak lenyap tanpa

bekas, dengan nada serius ujarnya:

“Sekarang Lohu mau bertanya di dalam kitab pusaka Ie Cin Keng

dari kuil kalian itu apa juga membuat jurus ilmu pukulan”

“Di dalam kitab pusaka Ie Cin Keng itu hanya khusus memuat

cara-cara untuk melatih badan, sekali pun tidak memuat adanya

jurus-jurus ilmu pukulan mau pun ilmu pedang tapi jika sudah

berhasil melatih sim hoat yang termuat di dalam, untuk mempelajari

ilmu-ilmu dari partai lain boleh dikata amat mudah sekali”

Wi Ci To tertawa terbahak-bahak lagi. “Apakah di dalam hal

jurus-jurus serangan pun bisa dipahami tanpa ada yang

membimbing?” tanyanya.

“Boleh dikata memang demikian-”

“Dengan usia Ti Then sekarang ini jika dia sudah berhasil melatih

sim Hoat tersebut apakah bisa digunakan untuk pukul rubuh diri

Ciangbun thaysu?” tanya Wi Ci To lagi.

Agaknya Yuan Huang Thaysu sama sekali tak menduga dia bisa

mengajukan pertanyaan semacam ini, untuk berapa saat lamanya

barulah jawabnya.

“Sekali pun belum bisa memukul rubuh diri lolap tapi

kemungkinan bisa berada dalam kedudukan seimbang.”

Senyuman mulai menghiasi kembali wajah Wi Ci To.

“Jadi maksud Ciangbun thaysu sekali pun Ti Kiauw tauw sudah

berhasil memperoleh sim Hoat dari kitab pusaka Ie cin Keng, paling

tinggi juga hanya bisa mencapai kedudukan seimbang saja dengan

kepandaian Ciangbun thaysu?”

Sekali lagi Yuan Kuang Thaysu merasa ragu-ragu, kemudian

barulah dia mengangguk, “Mungkin memang begitu.”

“Kalau begitu” ujar Wi Ci To lagi dengan sinar matanya yang

berkedip-kedip “Jika Ti Kiauw tauw bisa mengalahkan diri ciangbun

thaysu, apakah hal itu cukup untuk membuktikan kalau kepandaian

silat yang dimilikinya sekarang ini bukan berasal dari kitab pusaka le

Cin Keng??”

Yuan Kuang thaysu tak tahu apa maksudnya untuk mendesak

dirinya dengan pertanyaan yang membuat dirinya sukar untuk

memberikan jawaban itu, segera dia balik bertanya.

“Apakah menurut pandangan Wi Lo sicu dengan kepandaian Ti

siuw sicu sekarang ini bisa mengalahkan Lolap?”

“Harap ciangbun thaysu jawab pertanyaan dari aku orang she Wi

memberi jawab pun atas perkataan Ciangbun thaysu tadi.”

Tanpa terasa lagi Yuan Kuang thaysu sudah melirik sekejap

kearah diri Ti Then, diam-diam dalam hatinya berpikir terus. Walau

pun dirinya belum pernah melihat kitab pusaka Ie Cin Keng itu

tetapi dari ciangbunyin yang terdahulu sudah pernah mempelajari

ilmu tersebut ditambah lagi dengan latihan sendiri selama puluhan

tahun, sudah tentu tidak mungkin bisa di kalahkan oleh seorang

pemuda yang baru saja mempelajari kitab pusaka Ie Cin Keng,

karenanya segera dia menganguk.

“Baiklah.” sahutnya “Jika Ti Siauw sicu bisa mengalahkan Lolap

maka hal ini bisa dibuktikan kalau kepandaian silatnya bukan berasal

dari kitab pusaka Ie Cin Keng.”

Wi Ci To tersenyum kegirangan-

“Kalau begitu ciangbun thaysu sudah menyanggupi untuk

bertanding dengan diri Ti Kiauw tauw?” desaknya.

Keadaan Yuan Kuang Thaysu waktu ini sudah menyerupai duduk

di punggung harimau, untuk maju salah untuk mundur pun salah,

terpaksa dia mengangguk kembali. “Benar.”

Perlahan-lahan Wi Ci to menoleh kearah Ti Then, ujarnya

sembari tersenyum.

“Ti Kiauw tauw inilah kesempatan yang paling bagus buatmu

untuk membersihkan diri dari fitnah itu, maukah kau minta sedikit

pelajaran dari ciangbun thaysu?”

Di dalam anggapan Ti Then untuk memukul rubuh seorang

ciangbunyin mungkin bisa merusak nama baik orang lain, ketika

mendengar perkataan itu dengan gugup sahutnya.

“Jika ada cara yang lain kita digunakan untuk membersihkan

fitnah ini lebih baik jangan main kekerasan saja”

“Hal ini haruslah minta petunjuk dari ciangbun thaysu.” sambung

Wi Ci To cepat-cepat sembari tertawa.

Ti Then segera merangkap tangannya memberi hormat kepada

Yuan Kuang Thaysu, ujarnya dengan hormat.

“Selain diselesaikan dengan kekerasan harus menggunakan cara

apa lagi Ciangbun thaysu baru mau percaya kalau cayhe tidak

pernah memperoleh kitab pusaka Ie Cin Keng?”

Air muka Yuan Kuang Thaysu berubah keren, lama sekali dia

berpikir tapi akhirnya jawabnya:

“Lolap tidak punya cara yang lebih baik lagi..”

“Kalau memang betul-betul ingin menggunakan kekerasan cayhe

punya satu permintaan harap Ciangbun thaysu mau penuhi”

“Siauw sicu silahkan bicara”

“Kita jangan bergebrak di sini, bahkan tidak diperkenankan orang

ketiga hadir di dalam kalangan pertempuran, Ciangbun thaysu

bersama-sama cayhe lebih baik cari satu tempat yang sunyi untuk

bertanding, siapa menang siapa kalah tidak usah diberitakan keluar,

Bagaimana??”

Waktu itu Yuan Kuang Tbaysu sedang merasa kuatir kalau dirinya

menemui kekalahan di tangan pemuda itu, mendengar perkataan ini

hatinya menjadi amat girang dengan senyuman manis sahutnya.

“Bagus sekali, tetapi lolap juga ada permintaan, kalau di dalam

pertandingan ini beruntung Lolap yang menang masih

mengharapkan Siauw sicu mau serahkan kitab pusaka Ie Cin Keng

itu secara rela hati sehingga dapat lolap bawa kembali kekuil Siauw

lim si” Ti Then terpaksa tertawa pahit.

“Di dalam dunia ini tidak ada barang yang lebih berharga dari

nyawa sendiri, jikalau cayhe sudah kalah dan tidak sanggup

mengembalikan kitab pusaka Ie Cin Keng itu, Ciangbun Thaysu

masih bisa membawa batok kepala cayhe untuk dibawa pulang.”

Yuan Kuang Thaysu segera merangkap tangannya di depan

dada.

“Omintohud. . omitohud .” Pujinya kepada sang Budha. “Lolap

adalah pendeta Budha, tidak berani melakukan pembunuhan kepada

sesama manusia”

“Kalau begitu, cayhe rela bunuh diri di hadapan ciangbun thaysu”

Yuan Kuang Thaysu sekali lagi menghela napas panjang.

“Loalap hanya menginginkan kitab pusaka Ie Cin Keng dapat

dikembalikan kepada kuil kami, yang lain sama sekali tidak

mengharapkan”

“Bagaimana kalau kita berangkat sekarang juga?” ujar Ti Then

sambil bangkit berdiri.

Yuan Kuang Thaysu segera mengangguk dan bangkit berdiri,

kepada si hwesio berwajah riang ujarnya:

“It sim, kau temanilah Wi Lo sicu di sini. Lolap dengan Ti Siauw

sicu tidak lama akan kembali.”

Di dalam hati sihwesio berwajah riang tahu apa maksud

perkataan dari Ciangbunyin ini karenanya dengan sangat hormat dia

menyahut: “Tecu terima perintah.”

Kepada Wi Ci To itu Pocu dari Benteng seratus pedang Yuan

Kuang Thaysu juga memberi hormat setelah itu barulah ujarnya

kepada Ti Then yang sudah bangkit berdiri. “Siauw sicu, mari kita

berangkat”

Demikianlah Ti Then serta Yuan Kuang Thaysu masing-masing

segera berjalan ke luar dari Benteng menuju ke arah tanah

pegunungan yang sunyi, tanya Yuan Kuang Thaysu kemudian

ditengah perjalanan.

“Ti Siauw sicu punya maksud mau bertanding ditempat mana?”

“Lebih baik Ciangbun thaysu saja yang menentukan.”

Yuan Kuang Thaysu menundukkan kepalanya berpikir sebentar,

akhirnya dia baru menyawab:

“Di atas puncak selaksa Buddha jarang terdapat jejak manusia,

bagaimana kalau kita selesaikan di sana saja?”

“Baiklah.” sahut Ti Then singkat.

Tongkat ditangan Yuan Kuang Thaysu itu segera ditutulkan ke

atas permukaan tanah, tubuhnya dengan cepat melayang ke tengah

udara kemudian mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya

melayang menuju ke tengah gunung.

Perkataan dari Ti Then ini memang beralasan sekali. toya yang

dibawa Yuan Kuang Thaysu itu dibuat dari baja murni, mungkin

beratnya berada di atas tiga puluh kati, jika dikatakan kalah sedikit

memang beralasan, karenanya setelah Yuan Kuang thaysu

mendengar perkataan ini perasaan malunya juga sudah lenyap

separuh, dia menarik napas panjang-panjang ujarnya kemudian

sesudah memandang pemandangan disekelilingnya.

“Lolap sudah ada dua puluh tahunan lamanya tidak berkunjung

ke sini, pemandangan ditempat ini sama sekali tidak berubah”

“Walau pun selaksa tahun pemandangan akan tetap utuh, tetapi

manusia tidak akan luput dari tua, sakit dan binasa”

Wajah Yuan Kuang tbaysu kelihatan sedikit bergerak, dengan

pandangan mata terpesona dia pandang diri Ti Then. Waktu inilah

dia baru merasa sifat dari Ti Then jauh berlainan dengan sifat

pemuda-pemuda lainnya, dia memiliki suatu semangat yang lain,

pemuda semacam ini apa mungkin punya hati rakus terhadap

sebuah kitab Ie Cin Keng.

Ketika Ti Then melihat dia memandang dirinya dengan

terpesona, segera angkat bahunya, ujarnya kemudian “Mari kita

mulai saja.”

-ooo0dw0ooo-

Jilid 16.1: Hong Mong Ling melarikan diri

“EHMM . . . .” sesudah termenung beberapa waktu tanyanya lagi

“Siauw sicu punya rencana mau bertanding dengan menggunakan

cara apa?”

“Cayhe mengikuti petunjuk Ciangbun thaysu saja”

Agaknya Yuan Kuang Thaysu sudah mengubah kembali

pendiriannya.

“Bagaimana kalau begini saja?” ujarnya sambil tertawa dengan

lucunya. “Kita saling bergebrak dengan tidak usah bertanding secara

langsung, kini Lolap perlihatkan beberapa kepandaian terlebih dulu

jikalau siauw sicu bisa melakukan seperti apa yang lolap lakukan

maka lolap akan percaya kalau Siauw sicu belum pernah

memperoleh kitab pusaka Ie Cin Keng itu”

Ti Then mengangguk tanda setuju.

“Baiklah, silahkan ciangbun thaysu memberi petunjuk.”

Sepasang mata Yuan Kuang Thaysu mulai berputar memandang

sekeliling tempat itu setelah dilihatnya ada beberapa batu cadas

raksasa yang amat besar lalu dia berjalan ke sana, ujarnya.

“Silahkan siauw sicu juga ikut kemari”

Dia berjalan mendekati batu cadas raksasa itu kemudian

meletakkan toyanya ke atas tanah. sesudah meraba beberapa kali

ke atas batu cadas itu ujarnya sembari tertawa.. “Batu cadas ini

sungguh atos sekali.”

Siapa tahu belum habis dia berkata batu cadas raksasa itu

bagaikan sebatang kayu yang amat lapuk hanya sedikit dikebas

dengan menggunakan telapak tangannya batu itu selapis demi

selapis terkupas dan remuk menjadi bubuk.

“Kekuatan telapak dari Ciangbun thaysu sungguh amat lihay.”

puji Ti Then sesudah melihat demontrasi ini.

Air muka Yuan Kuang Thaysu sedikit berubah dan

memperlihatkan kegirangan hatinya, dia mundur satu langkah ke

belakang kemudian ujarnya sembari tertawa:

“Hanya suatu permainan yang tidak ternilai, harap siauw sicujangan

dibuat bahan tertawaan”

“Kekuatan pukulan dari Ciangbun thaysu ini apakah

menggunakan ilmu yang termuat di dalam kitab pusaka Ie cin

Keng?”

“Tadi sewaktu Lolap masih berada di dalam Benteng sudah

pernah berkata di dalam kitab pusaka Ie Cin Keng itu hanya melulu

ilmu untuk melatih badan saja, tetapi bilamana sim Hoat yang

termuat di dalamnya sudah berhasil dipelajari maka dimana kau

mau maka segala ilmu dan kekuatan bisa dilaksanakan”

Ti Then dengan perlahan mengangkat tangannya dan sedikit

ditekan ke atas batu cadas raksasa yang lainnya, ujarnya:

“Jika ditinyau dari keadaan barusan ini maka kekuatan pukulan

yang termuat di dalam kitab cusaka Ie Cin Keng termasuk golongan

keras atau golongan Yang, bukan begitu??”

Ketika Yuan Kuang Thaysu melihat telapak tangannya yang

menekan di atas batu cadas sama sekali tidak membuat batu cadas

itu mengalami suatu perubahan yang aneh, di dalam anggapannya

mengira tentu dia sedang mengukur keatosan dari batu cadas itu,

diam-diam di dalam hatinya merasa geli, Tetapi dia mengangguk

juga. “Boleh dikata memang demikian”

” Untung saja ilmu yang cayhe pelajari bukan termasuk golongan

Yang melainkan banyak kelunakannya” seru Ti Then dengan

perasaan amat senang. “Mungkin dengan berdasarkan golongan im

ini cayhe bisa membuktikan kalau ilmu yang cayhe pelajari bukan

berasal dari kitab pusaka Ie Cin Keng”..

“Sekarang silahkan siauw sicu memperlihatkan sedikit ilmumu

agar lolap bisa membuka sedikit mata lolap”

Ti Then segera berjongkok di samping batu cadas tadi, mulutnya

dengan perlahan didekatkan dengan batu cadas yang baru saja

ditekan dengan tangannya itu, laksana sedang meniup semangkok

kuah yang amat panas dia meniup batu cadas itu perlahan sekali.

Seketika itu juga batu cadas raksasa yang amat atos itu

berterbangan keempat penjuru dalam bentuk hancur lebur seperti

bubuk. Kiranya sewaktu tadi dia menekan batu cadas tersebut saat

itulah dia sudah membusukkan seluruh batu cadas itu, karena

kekuatan pukulannya termasuk golongan im inilah maka keadaan di

luar dari batu itu masih kelihatan utuh.

Air muka Yuan Kuang Thaysu segera berubah amat hebat,

kemudian berubah menjadi merah padam seperti kepiting rebus

karena waktu ini dia sudah melihat kalau tenaga pukulan Ti Then ini

memang termasuk golongan lunak atau golongan im, Tetapi yang

membuat dia benar-benar merasa terperanyat adalah tenaga

pukulan dari Ti Then ternyata jauh lebih tinggi satu tingkat dari

kekuatannya sendiri, seorang pemuda yang baru dua puluh tahunan

sudah berhasil melatih ilmunya hingga mencapai taraf yang

demikian hebatnya sungguh merupakan suatu peristiwa yang mimpi

pun dia tidak pernah menduga.

Dia menarik napas panjang-panjang, sesudah berhasil

memenangkan hatinya dengan memperhatikan senyumannya yang

amat pahit ujarnya:

“Sunggguh lihay sekali, dengan usia siauw sicu yang masih

drmikian mudanya ternyata sudah berhasil melatih ilmumu hingga

mencapai taraf yang demikian tinggi sungguh sukar sekali sungguh

sukar sekali”

Ti Then segera membungkukan badannya memberi hormat.

“Apakah sekarang ciangbun Thaysu sudah percaya kalau ilmu

silat yang cayhe pelajari bukan berasal dari kitab pusaka Ie Cin Keng

itu??”

Di dalam hati sudah tentu Yuang Kuang Thaysu sudah percaya

seratus persen tetapi untuk melindungi sedikit wajahnya dia tidak

mau langsung memberikan jawabannya, dia tersenyum:

“Lolap masih ingin menyajal kepandaian silat dari siauw sicu sicu

sekali lagi harap siauw sicu mau meminyamkan pedang tersebut

kepada Lolap untuk digunakan sebentar”

Ti Then segera melepaskan pedangnya kemudian

diangsurkannya ujarnya sambil tertawa:

“Sudah lama cayhe dengar ilmu pedang dari Ciangbun Thaysu

amat lihay, ini hari ada keberuntungan sungguh membuat cayhe

merasa sangat girang sekali.”

Yuan Kuang thaysu hanya berdiam diri saja tidak menyawab,

setelah menerima pedang tersebut dia berjalan menuju ke puncak

yang teratas dan membabat putus sebuah pohon siong sebesar

rangkulan tangan sesudah membuang akar pohon itu, pohon yang

sepanjang lima depa dipotong potongnya menjadi tiga bagian

kemudian diangsurkan kepada Ti Then ujarnya: “Harap siauw sicu

melemparkan ketiga potongan pohon itu ketengah udara”

“Baiklah. . silahkan ciangbun thaysu bersiap-siap” sahut Ti Then

sambil mengangguk, kemudian menerima ketiga buah potong

pohon tersebut.

“Sekarang silahkan lemparkan potongan itu ketengah udara..”

Ti Then segera melemparkan potongan-potongan pohon

ketengah udara setinggi kurang lebih lima depa dia sudah tahu

Yuan Kuang Thaysu mau mendemontrasikan apa kerenanya dengan

gaya yang amat bagus dia melemparkan ketiga buah potongan

pohon itu ketengah udara dengan berpisah sehingga antara ketiga

potongan itu ada jarak sejauh tiga depa.

Yuan Kuang Thaysu berdiam diri hingga ke tiga buah gotongan

itu berada kurang lebih tiga depa dari permukaan tanah mendadak

dia bersuit panjang, tubuhnya meloncat ke atas sedang pedangnya

bagaikan kilat cepatnya dikebaskan beberapa kali di tengah udara

kemudian tubuhnya melayang kembali ke atas tanah.

Potongan pohon yang semula hanya tiga bagian itu kini sudah

berhasil dibabat putus menjadi enam bagian bahkan setiap bagian

sama panjangnya dan bekas potongannya rata semua.

Melancarkan serangan ditengah udara bahkan bisa memotong

tiga bagian batang pohon menjadi enam bagian yang sama

besarnya hanya di dalam sekejap mata hal ini boleh dikata sudah

mencapai pada taraf yang tertinggi tiada tara.

Bilamana pada setahun yang lalu Ti Then melihat demontrasi

ilmu pedang dari Yuan Kuang Thaysu ini pasti dia akan dibuat

terperanyat, tetapi ini hari sekali pun kepandaian ilmu pedang dari

Yuan Kuang Thaysu amat tinggi tetapi di dalam pandangannya hal

itu bukanlah suatu pekerjaan yang amat sukar hanya saja pada air

mukanya sengaja dia perlihatkan perasaan kagumnya, dengan keras

dia berteriak memuji.

Kali ini Yuan Kuang Thaysu tidak berani memperlihatkan

senyuman bangganya lagi, dia hanya tersenyum saja lalu

mengembalikan pedang itu ketangan Ti Then, ujarnya.

“Lolap tahu permainan barusan ini sangat jelek sekali, tetapi

bilamana tidak berbuat begini pasti tidak bisa melihat kelihayan ilmu

pedang dari siauw sicu.” Ti Then segera menerima kembali

gedangnya dengan menggunakan sepasang tangannya.

“Kepandaian dari cayhe mungkin tidak bisa memadahi

kepandaian dari ciangbun thaysu”

“Bilamana siauw sicu berbicara demikian lagi berarti juga sedang

menyindir diri lolap”

Ti Then tidak mau banyak bicara lagi segera dia mengambil

potongan kayu yang lainnya kemudian diangsurkan ke tangannya.

“Cayhe juga akan ikut seperti apa yang ciangbun thaysu sudah

kerjakan-” Yuan Kuang Thaysu segera mundur tiga langkah ke

belakang.

“Silahkan bersiap sedia” serunya, kemudian batang pohon itu

dilemparkan ke tengah udara.

Di dalam hati dia agak sedikit lega karena dalam hati dia

menganggap bilamana Ti Then mau membabat putus satu batang

kayu tidak perduli bagaimana lihaynya paling banyak juga hanya

bisa membabat menjadi tiga bagian saja seperti dirinya.

Tetapi perasaan girang yang bermunculan di dalam hatinya di

dalam sekejap saja sudah lenyap tanpa bekas.

Terlihatlah tubuh Ti Then laksana seekor burung bangau yang

membumbung tinggi ke angkasa melompat setinggi tiga kaki lebih

kemudian gedang ditangannya laksana kilat cepatnya dikibaskan

tiga kali setelah itu baru melayang turun kembali ke atas

permukaan.

Potongan kayu yang melayang ditengah udara dengan tetap

menyaga keadaannya semula melayang terus ke bawah, tetapi

begitu mencapai permukaan tanah segera berpisah menjadi enam

bagian.

Yang berbeda dengan demonstrasi Yuan Kuang Thaysu tadi, dia

bukannya membabat putus kayu itu dengan berbentuk silang

melainkan lurus-lurus enam bagian yang sama bagian babatan amat

licin sekali.

Melihat kejadian itu Yuang Kuang Thaysu hanya bisa melelerkan

lidahnya di dalam hati dia merasa terkejut bercampur syukur, yang

membuat dia terkejut tak usah dikata lagi sedang yang membuat

dia bersyukur adalah dirinya masih bisa melihat gelagat dan cepatcepat

mengubah keadaannya sendiri sehingga tak sampai bergebrak

dengan dirinya, jika sampai bertempur bukankah nama besar dirinya

selama ini akan ikut hancur hanya di dalam sekejap mata.

Ti Then yang melihat air mukanya penuh diliputi perasaan

terperanyat di dalam hati diam-diam merasa geli, segera dia

masukkan kembali pedangnya ke dalam sarung, ujarnya sembari

merangkap tangannya memberi hormat.

“Apa Ciangbun thaysu masih ingin mencoba lagi??”

“Tidak perlu. . tidak perlu” sahutnya cepat sambil gelengkan

kepalanya berulang kali.

“Kalau begitu Ciangbun thaysu masih menganggap ilmu yang

cayhe dapatkan ini berasal dari kitab cusaka Ie Cin Keng?”

“Tidak” sekali lagi Yuan Kuang Thaysu gelengkan kepalanya

“Sekarang Lolap sudah tahu kalau kepandaian silat yang siauw sicu

saat ini bukanlah berasal dari kitab pusaka Ie Cin Keng, karena

kemahiran dan kelihayan dari kepandaian silat siauw sicu sekarang

sudah jauh melebihi ilmu yang termuat di dalam kitab pusaka Ie Cin

Keng tersebut.”

Ti Then menjadi amat girang. “Kalau begitu bagus sekali.”

“Ti siauw sicu masih muda tapi sudah berhasil memiliki

kepandaian silat yang demikian dahsyat sungguh membuat orang

lain sukar untuk mempercayainya.” puji Yuan Kuang Thaysu.

“Terima kasih atas pujian dari Ciangbun thaysu, tapi di dalam hal

kepandaian silat kita harus mengutamakan juga akan pengalaman,

kini pengalaman yang cayhe dapatkan masih sangat cetek. bilamana

harus sungguh-sungguh bertempur mungkin belum merupakan

tandingan dari Ciangbun Thaysu”

Sudah tentu Yuang Kuang Thaysu tahu kalau perkataannya ini

hanya suatu hiburan buat dirinya di dalam hati dia merasa semakin

kagum lagi terhadap sikapnya ini. .

“Ha ha ha ha . .” dia tertawa tergelak dengan amat keras, “Siauw

sicu, jangan kira Lolap adalah seorang ciangbunyin dari suatu partai

besar lalu tidak bisa mengalami kekalahan, kita dari partai Siau lim

si tujuan yang terutama di dalam melatih ilmu silat adalah untuk

kesehatan badan kita dan bukan bertujuan untuk merebut nama

kosong, karena itu sekali pun dikalahkan orang lain tidak sampai

memasukkan hal ini ke dalam hati”

“Tetapi ini hari ciangbun thaysu belum kalah.” bantah Ti Then

cepat.

“Siapakah suhumu apakah dapat siauw sicu beritahukan?”

“Suhu cayhe adalah seorang BuBeng Lojin”

“Bu Beng Lojin??” tanya Yuan Kuang Thaysu keheranan-

“Benar” sahut Ti Then mengangguk. “selamanya suhu hidup di

tanah pegunungan yang sunyi dan selama ini tidak pernah

memberitahukan namanya kepada cayhe.”

Diam-diam Yuang Kuang Thaysu merasa amat heran tapi tidak

terlalu mendesak untuk menanyai lebih lanjut, ujarnya kemudian:

“Di dalam Bu lim saat ini semua orang bilang kepandaian silat

dari Si kakek pemalas Kay Kong Beng merupakan jagoan nomor

wahid, terapi jika dilihat dari Siauw sicu sekarang ini lolap berani

bertaruh kalau kepandaian silat dari suhumu pasti jauh berada di

atas kepandaian silatnya si kakek pemalas Kay Lo sicu.”

Ti Then hanya tersenyum saja tidak menyawab.

Yuan Kuang Thaysu segera merangkapkan tangannya di depan

dada untuk memberi hormat.

“Kesalah pahaman yang lalu membuat Siauw sicu menemui

berbagai kesulitan, di sini Lolap minta maaf terlebih dulu atas

kekhilafan tersebut.”

“Tidak mengapa… tidak mengapa, kesalahan ini bukan terletak

pada diri ciangbun taysu sekalian ” seru Ti Then dengan cepat.

Yuan Kuang Taysu menghela napas panjang.

“Hong siauw sicu itu-jadi orarg sungguh amat bahaya sekali,

tidak nyana dengan wajahnya yang begitu tampan dan gerak

geriknya yang begitu sopan selain mem punyai sifat serta hati yang

begitu licik, kejam dan banyak akal busuk”

“Heeii.. karena mau mencelakakan diri cayhe dia sudah

menyiarkan berita bohong ini akhirnya dari perbuatannya ini sudah

mencelakai dua puluh orang yang menemui ajalnya.”

“Dua puluh orang?” tanya Yuan Kuang Thaysu dengan nada amat

terperanyat.

“Banyak orang Bu lim yang mendengar berita yang mengatakan

cayhe sudah mendapatkan kitab pusaka Ie Cin Keng itu lalu masingmasing

pada berdatangan untuk merebut kitab tersebut dari tangan

cayhe yang pertama-tama adalah si Menteri pintu serta Pembesar

Jendela dua orang anak buah dari si anying langit rase bumi mereka

berhasil cayhe lukai dan melarikan diri, setelah itu Kwan si Ngo Koay

yang akhirnya empat orang saudaranya mati di bawah pedangku,

lalu si majikan ular serta Kakek kura-kura, masing-masing

kehilangan sebuah lengannya, dan terakhir si anying langit rase

bumi berserta kedelapan belas orang malaikat iblisnya, hal ini

bahkan merupakan peristiwa yang terjadi kemarin hari, akhirnya si

anying langit Kong sun Yau beserta ke tujuh belas orang malaikat

iblisnya sudah pada binasa.”

Yuan Kuang Thaysu begitu mendengar hal semacam ini begitu

selesai mendengar perkataan itu dia menjerit kaget.

“Omitohud . . omitohud. . tidak kusangka Hong Siauw sicu sudah

mencelakai orang begitu banyaknya. .”

“Nanti setelah sampai di dalam Benteng biarlah cayhe

perintahkan orang untuk memanggil Cang Bun Piauw. Ku Ie serta

Liuw Su cen untuk dimintai keterangan” Ujar Ti Then dengan

perlahan, “Dengan demikian ciangbun thaysu akan menjadi jauh

lebih jelas kalau urusan ini semuanya ditimbulkan oleh Hong Mong

Ling seorang.”

Yuan Kuang Thaysu segera memungut kembali toyanya.

“Tidak perlu. . tidak perlu. Kesalah pahaman ini kita sudahi

sampai di sini saja, mari sekarang kita kembali ke dalam Benteng.”

Demikianlah kedua orang itu segara berjalan menuruni puncak

selaksa Buddha kembali ke dalam Benteng.

Sesampainya di dalam Benteng Pek Kiam Po, Wi ci To mau pun si

hwesio berwajah riang yang melihat wajah mereka berdua penuh

diliputi oleh perasaan girang di dalam hati merasa sangat berada

diluar dugaan.

Tetapi sesudah mendapatkan penjelasan dari Yuan Kuang Thaysu

apa yang sudah terjadi di atas puncak Selaksa Buddha barulah

mereka paham kembali akan kesalah pahaman ini.

Yuan Kuang Thaysu duduk lagi beberapa waktu di dalam Benteng

setelah itu barulah dia bangkit berdiri dan berkata.

“Karena ada perubahan yang terjadi di dalam benteng Pek Kiam

Po lolap tidak berani mengganggu terlalu lama. Haai, sekarang

silahkan Ti siauw sicu mengikuti lolap kembali ke dalam kota untuk

membawa kembali Hong siauw sicu.”

Wi Ci To juga tidak menahan lebih lama lagi, segera dia pun ikut

berdiri:

“Baiklah” sahutnya kemudian “Besok pada pertemuan di atas

gunung Hoa san kita berbicara lebih banyak lagi.”

Dia berhenti sebentar, kemudian secara tiba-tiba tambahnya:

“Sudah tentu kalau aku orang she Wi bisa hidup lebih lama lagi,

sampai waktunya pertemuan di atas gunung Hoa san”

Mendengar perkataan itu Yuan Kuang Thaysu menjadi melengak.

“Apa maksud dari perkataan Lo sicu ini?” Wi ci To tersenyum:

“Tidak ada arti yang istimewa, manusia bukanlah malaikat, siapa

yang kuat hidup lebih lama lagi di dalam dunia ini, Bukan begitu?”

“Dengan kepandaian dari Lo sicu yang sudah berhasil melatih

seluruh tubuhnya sudah tentu akan diberi panjang umur, untuk

hidup sampai usia seratus tahun belumlah menjadi suatu persoalan

yang sulit.”

Wi Cio To hanya tersenyum tidak memberikan jawabannya lagi.

Demikianlah tua muda lima orang lalu berjalan meninggalkan

ruangan, Wi Ci To mengiringi tamu-tamunya sampai di depan pintu

Benteng barulah berhenti. Wi Lian In yang berdiri disisinya Ti Then

tiba-tiba angkat bicara: “Kau mau pergi dengan menunggang

kuda?”

“Tidak perlu” Jawab Ti Then segera. “Kuda Ang san Khek masih

berada dirumah penginapan Hok An, nanti sekalian aku naiki untuk

bawa kembali ke dalam Benteng”.

Yuan Kuang Thaysu beserta si hwesio berwajah riang segera

berpamitan dengan Wi Ci TO, lalu bersama-sama dengan Ti Then

melanjutkan perjalanan menuju ke dalam kota Go bi. Ditengah

parjalanan, ujar si hwesio berwajah riang itu:

“Ti siauw sicu, waktu lalu pinceng sudah menaruh perasaan

curiga terhadap siauw sicu harap kau mau memaafkannya, hanya

sampai kini pinceng masih ada sesuatu hal yang tidak jelas, entah

siauw sicu memberikan penjelasannya”

“Baiklah. silahkan taysu berbicara.”

“Urusan yang pinceng tidak paham adalah itu Hu Pocu Huang

Puh Kian Pek yang hidup berdampingan selama puluhan tahun

lamanya sebagai suheng te dengan Wi Pocu, bahkan jadi orarg jujur

dan mengutamakan keadilan, bagaimana kini bisa melupakan

hubungan suheng-te dengan diri Wi Ci To sebaliknya malah

menaruh simpatik dan membantu diri Hong Mong Ling?”

Mendengar pertanyaan ini Ti Then agak melengak.

“Bukankah soal ini sejak tadi Wi Pocu sudah memberi penjelasan

sejelas-jelasnya” si hwesio berwajah riang tersenyum.

“Wi Pocu bilang Ho Pocu Huang Puh Kian Pek terlalu sayang

terhadap diri Hong Mong Ling, tetapi penjelasan semacam itu sukar

membuat orang lain merasa puas”

Di dalam hati Ti Then tahu tujuan Huang Puh Kian Pek

bersekongkol dengan Hong Mong Ling adalah untuk membasmi

dirinya dari dalam Benteng Pek Kiam Po kemudian meneruskan

rencananya untuk mencari suatu barang pusaka yang tersimpan di

dalam Loteng Penyimpan Kitab tersebut, tetapi terhadap persoalan

ini bagaimana dia bisa menjelaskan kepada pihak lain ??

segera dia tersenyum sahut dengan perlahan:

“Sungguh maaf sekali, tentang hal ini cayhe tidak punya hak

untuk memberikan penjelasannya ”

” Kenapa?? ” Desak si hwesio berwajah riang itu lagi.

Ti Then merasa pertanyaan ini menggelikan, terpaksa dengan

serius dijawabnya.

“Karena cayhe sendiri juga tidak paham kenapa Hu Pocu Huang

Puh Kian Pek mau berbuat demikian”

“Apakah di dalam waktu waktu ini diantara mereka suheng te

sering ada percekcokan??”

“Tidak tahu, Cayhe baru memasuki Benteng Pek Kiam Po selama

dua bulan saja di dalam dua bulan ini ada ada setengah bulan

lamanya tidak berada dalam Benteng, karenanya apakah diantara

Wi Pocu dengan Hu pocu Huang Puh Kian pek sering ada

percekcokan cayhe sendiri sama sekali tidak tahu”

“Wi Ci To jadi orang jujur dan mengutamakan keadilan sehingga

dihormati oleh semua orang di dalam Bu lim” Tambah si hwesio

berwajah riang itu lagi.

“Bilamana di dalam peristiwa Wi Pocu tidak memberikan

keterangan yang masuk akal mungkin akan menimbulkan dugaan

yang simpang siur di dalam Bu lim.”

“It sim hati-hati kalau berbicara” Tiba-tiba Yuan Kuang thaysu

membentak keras, memotong pembicaraannya.

Air muka si hwesio berwajah riang segera berubah memerah, dia

tidak berani melanjutkan kembali kata-katanya.

Ti Then yang melihat air mukanya sangat tidak enak segera

mengubah bahan pembicaraan.

“Oooh yaah benar, tadi sewaktu masih berada di dalam Benteng

Wi Pocu pernah membicarakan soal pertemuan yang diadakan di

atas gunung Hoa san setiap pembukaan tahun, sebetulnya

dikarenakan urusan apa??”

“Itu hanya suatu pertemuan persahabatan saja” jawab Yuan

Kuang Thaysu mengangguk. “Pertemuan ini timbul dari pikiran Wi

Lo sicu pada dua belas tahun yang lalu, dia mengajak si kakek

pemalas Kay Kong Beng, ciangbunyin dari Bu tong Pay Ling Cing

cinyien beserta lolap untuk setiap tiga tahun mengadakan satu kali

pertemuan di atas gunung Hoa san untuk saling tukar pikiran dan

minum arak. hal ini hanya terbatas pada pembicaraan persoalan Bu

lim serta hubungan persahabatan diantara kita berempat saja.”

“Apa juga membicarakan kepandaian silat?” tanya Ti Then”

Tidak. walau pun kita membicarakan persoalan Bu lim tetapi

sama sekali tidak pernah menyinggung soal ilmu silat karena semua

orang tidak ingin terjadi perselisihan karena persoalan tersebut.”

“Kalau memangnya hanya untuk mengikat persahabatan saja,

buat apa harus diadakan setiap tiga tahun sekali bahkan memilih

tempat gunung Hoa san yang begitu jauh letaknya?” tanya Ti Then

lagi.

“Siauw sicu kau tidak tahu, pertemuan semacam ini sangat

menyenangkan sekali, apalagi anak murid dari Wi Lo sicu, Butong

mau pun siauw limpay amat banyak dan bersama-sama melakukan

perjalanan di dalam Bu lim, bagaimana pun juga tidak terhindar dari

bentrokan-bentrokan, bilamana diantara kita bertiga mem punyai

suatu ikatan persahabatan yang erat dengan sendirinya urusan bisa

dibereskan dengan amat mudah sekali.”

Ti Then yang mendengar akan hal ini tanpa terasa sudah

anggukkan kepalanya berulang kali.

“Ehmm, jika dipikir secara begini pertemuan itu sungguh menarik

sekali”

“Kita berempat sudah mengadakan pertemuan sebanyak tiga kali

di atas gunung Hoa san” sambung Yuan Kuang Thaysu lagi

“Dikarenakan banyaknya orang Bu lim yang tahu akan pertemuan di

atas gunung Hoa san inilah membuat pertemuan kita ini bertambah

lagi dengan suatu urusan”

“Urusan apa?” potong Ti Then cepat.

“Ada berapa orang kebanyakan ilmu silat mereka biasa saja,

dengan meminyam kesempatan sewaktu kami berempat

mengadakan pertemuan di atas gunung Hoa san untuk

membereskan persoalan mereka dan memintakan keadilan bagi

mereka sehingga banyak urusan yang sudah kami bereskan. Tapi

lama kelamaan orang yang naik ke atas gunung semakin lama

bahkan semakin banyak.

Demikianlah sejak itu orang-orang bulim telah menganggap

pertemuan kita berempat di atas gunung Hoa san merupakan suatu

pertemuan bu lim untuk menegakkan keadilan.”

Yuan Kuang thaysu mengangguk “Hanya saja orang-orang yang

minta bantuan semakin lama semakin banyak membuat kami

merasa sedikit kewalahan juga.”

Demikianlah mereka bertiga sama-sama melakukan perjalanan

sembari berbicara, tidak terasa setengah jam sudah dilewatkan

dengan amat cepat sedang mereka pun sudah tiba di dalam kota Go

bi.

Ti Then mampir ke penginapan Hok An terlebih dulu untuk

membereskan rekeningnya, sesudah menuntun kuda Ang shan

Kheknya barulah bersama-sama Yuan Kuang thaysu bertiga berjalan

menuju ke kuil Kuang Hoa si.

sesampainya di depan kuil Kuang Hoa si terlihatlah seorang

hwesio kecil dengan tergesa-gesa lari masuk untuk memberikan

laporan, tidak lama kemudian majikan dari kuil Kuang Hoa si beserta

seorang lohan berjalan keluar menyambut kedatangan ciangbunyin

dari partai siauw lim ini, sehabis bercakap-cakap sebentar dengan

majikan kuil barulah Yuan Kuang Thaysu berkata kepada seorang

lohan yang berada disisinya itu.

“Bu In, kau pergi bawa Hong siauw sicu kemari”

Lo han yang bernama Bu In itu segera memperlihatkan air muka

yang serba susah.

“Apakah ciangbun thaysu mau serahkan Hong siauw sicu kepada

pihak Benteng Pek Kiam Po??”

“Benar” sahut Yuan Kuang Thaysu sembari tersenyum, “urusan

sudah dibikin beres, Ti siauw sicu ini memang betul-betul tidak

pernah mendapatkan kitab pusaka Ie Cin Keng”

“Tetapi, tetapi…” seru Lo Han itu gugup.

Air muka Yuan Kuang Thaysu segera berubah hebat, ujarnya

dengan nada serius: “Apanya tetapi. . tetapi, cepat bawa Hong

siauw sicu kemari”

Air muka Lo Han itu segera berubah jadi merah padam seperti

kepiting rebus, serunya dengan semakin gugup:

“Tecu sedang bersiap-siap melaporkan hal ini kepada

Ciangbunyien, itu Hong siauw sicu itu sudah melarikan diri”

Mendadak Yuan Kuang Thaysu bangkit berdiri dengan perasaan

gusar bercampur terkejut bentaknya:

“Apa?? dia sudah melarikan diri?? Kalian yang lepaskan dia pergi

jauh??”

“Bukan. . bukan. . bukan. .” seru Lo han yang disebut “Bu In” itu

“Tecu sakalian sudah menerima perintah dari Ciangbunyin

bagaimana berani melepaskan pergi?? dia melarikan diri dengan

menggunakan akal licik”

“Kurang ajar.” Teriak Yuan Kang Thaysu dengan amat gusar:

“Kalian delapan belas orang ternyata seorang pun tidak ada

gunanya, hanya seorang saja tidak bisa menyaga.”

” Urusan adalah demikian, tecu sekalian sesudah membawa dia

datang kemari, lalu membantu mencegah darah yang mengalir

keluar, setelah itu dia minta dihantarkan kekamar belakang, Bu sim

suheng lalu membantu dia melepaskan jalan darahnya yang tertotok

tapi dia bilang luka pada kakinya sangat sakit tidak bisa berjalan

sendiri, dia minta Bu tim suheng membimbing dia ke belakang, Tecu

sekalian yang melihat dia sukar untuk berjalan sendiri lalu

memperhatikan gerak geriknya sehingga hanya Bu sin seorang saja

membimbing dia ke belakang. setelah lewat lama Tecu sekalian

tidak melihat dia kembali juga lalu menyusul ke belakang, terlihatlah

Bu sim suheng seorang diri berdiri di depan Hei ketika tecu sekaLian

masuk ke dalam saat itu baru tahu kalau dia sudah melarikan diri

dari tempat tersebut.”

” Goblok. . goblok. Kalian semua goblok.” teriak Yuan Kuang

Thaysu dengan perasaan amat gemas. .

“Bu sim suheng sekalian segera melakukan pengejaran ke empat

penjuru, tetapi sampai sekarang belum kembali juga. Tetapi luka

dari Hong siauw sicu amat parah, dia tidak mungkin bisa lari terlalu

jauh dari sini, kemungkinan sekali masih bisa mengejar dia

kembali.”

“Mereka sudah mengejar beberapa lama?”

“Kurang lebih ada dua jam lamanya”

“Hmmmm.” dengus Yuan Kuang Thaysu dengan dingin. “Tentu

dia berhasil meloloskan dirinya dari kejaran mereka, kalau tidak

mengapa sedemikian lamanya masih belum kembali.”

Pada wajah Lo han itu kelihatan muncul perasaan menyesal dan

malunya, dia menundukkan kepalanya rendah-rendah tanpa

mengucapkan sepatah kata pun juga. Dengan perlahan Yuan Kuang

Thaysu menoleh kearah Ti Then, ujarnya:

“Ti siauw sicu harap berlega hati, orang itu kita yang loloskan

maka Lolap bertanggung jawab untuk menawan dia kembali”

“Tidak mengapa. . tidak mengapa” jawab Ti Then cepat.

“Bangsat cilik itu jadi orang memang sangat licik dan banyak akal,

sukar untuk dihadapi, ini hari bilamana ciangbun taysu tidak bisa

berhasil mebawan dia kembali sudahlah tidak mengapa”

“Tidak” potong Yuan Kuang Thaysu dengan tegas. “Lolap pasti

akan tawan dia kembali untuk diserahkan ke dalam Benteng kalian”

Ti Then tidak mau berdiam lebih lama lagi ditempat itu segera

dia berpamitan.

“Kemungkinan sekali bangsat cilik itu masih bertembunyi di

dalam kota, biarlah cayhe ikut mencari dirinya”

Sehabis berkata dia merangkap tangannya memberi hormat

kepada Yuan Kuang Thaysu, majikan dari kuil Kuang Hoa si serta

salah satu Lo Han dari kedelapan belas Lo han itu, kemudian baru

putar tubuhnnya berialu dari sana.

Setelah keluar dari kuil Kuang Hoa Si dengan menunggang kuda

Ang Shan Khek dia berlari dengan cepatnya menuju ke rumah

pelacuran Touw Hoa Yuan-

Di dalam hatinya dia tidak bermaksud untuk menawan Hong

Mong Ling dan dibawa kembali ke dalam Benteng Pek Kiam Po

untuk dijatuhi hukuman mati oleh Wi Ci To, dia hanya ingin

menawan dia kembali untuk ditanyai sesuatu hal, menanyai kenapa

dia bersama-sama dengan Huang Puh Kian pek mem punyai

rencana untuk bunuh dia, apa sebenarnya rencana yang terkandung

dalam hati Huang Puh Kian Pek.

Wi Ci To pasti tahu apa rencana yang terkandung dalam hati

Huang Puh Kian Pek, tapi untuk menyaga agar rahasia ini tidak

sampai bocor, dia mau tak mau terpaksa harus mendesak Huang

Puh Kian Pek untuk bunuh diri.

Sekarang saat ini hanya Hong Mong Ling seorang saja yang

mungkin tahu rencana yang terkandung di dalam hati Huang puh

Kian Pek, sedang rencana yang terkandung dalam hati Majikan

patung emas kemungkinan sekali mirip dengan apa yang

direncanakan oleh Huang puh Kian pek. maka bilamana dia berhasil

menawan Hong Mong Ling kemungkinan sekali akan segera tahu

rencana rencana apa saja yang akan diberikan Majikan Patung emas

kepadanya untuk dilaksanakan di dalam Benteng Pek Kiam Po.

Karena itulah dia sangat berharap bisa menawan kembali Hong

Mong Ling.

Di dalam sekejap mata dia sudah tiba di depan pintu rumah

pelacuran Touw Hoa Yan. Ti Then cepat-cepat meloncat turun dari

atas kuda dan berjalan masuk ke dalam halaman rumah. setelah

berhadap-hadapan dengan Ku ie dengan air muka adem ujarnya. ”

Kalian sudah sembunyikan dia di tempat mana?”

sejak semula Ku Ie sudah tahu apa yang sudah terjadi, kini

melihat Ti Then berjalan masuk dengan air muka penuh diliputi

Nafsu untuk membunuh, saking takutnya seluruh badannya sudah

pada gemetar dengan amat keras.

“Ti …tidak. tidak… kami tidak menyem… menyembunyikan Hong

siangkong…”

“Omong kosong” Bentak Ti Then dengan gusar.

Hampir-hampir Ku Ie jatuh berlutut di hadapannya saking

takutnya, dengan nada setengah merengek serunya.

“Sungguh, sungguh berani mati. sejak Hong siangkong dikejar Ti

siangkong tadi pagi, sampai kini. . belum pernah kembali lagi, kalau

tidak percaya silahkan. . silahkan periksa. .”

-0000000-

SEJAK TADI Ti Then sudah menduda kalau Hong Mong Ling tidak

mungkin berani kembali kerumah pelacuran Touw Hoa Yuan ini lagi,

tujuannya datang kemari hanya ingin mengetahui sedikit jejak dari

Hong Mong Ling saja, segera dengan berat dia mendengus:

“Kalau begitu” ujarnya dengan keren ” Cepat beri jawaban

dengan berterus terang, di dalam kota ini selain Cang Bunpiauw

seorang dia masih punya berapa sahabat lagi?”

“Ti… tidak ada…tidak…ada. .” Berulang kali Ku Ie

menggelengkan kepalanya “Hong siangkong hanya berkenalan

dengan Cang kongcu seorang, dia tidak punya kawan yang kedua”

“Dimana rumahnya Cang Bunpiauw itu?” bentak Ti Then lagi.

“Dekat dengan pintu kota sebelab utara, sesampainya di sana

asalkan Ti siangkong bertanya pasti akan tahu.”

Ti Then tertawa dingin tak henti-hentinya.

“Aku lihat lebih baik kalian ikut mendoakan agar aku dengan

lancar berhasil menawan dia kembali, kalau tidak…Hmm Hmm”

Ku Ie semakin dibuat ketakutan, giginya berkeretuk sedang

wajahnya berubah pucat.

“Baik . . baik. .” teriaknya dengan gemetar “Kepandaian dari Ti

siangkong amat lihai, pasti bisa menawan dia kembali”

“Hmmm, sama sekali aku tidak menduga kalau nyali kalian begitu

besar ternyata berani mencari gara-gara dengan pihak benteng Pek

Kiam Po”

“Tidak. . tidak . . .” seru Ku Ie cemas sembari gelengkan

kepalanya berulang kali “sekali pun kita memiliki nyali yang lebih

besar pun tak berani bermusuhan dengan pihak Benteng Pek Kiam

Po, Ti siangkong kau tahu Hong siangkorg itu ada orang amat galak

dan kejam, waktu itu kami berdua berani mengunjungi Benteng Pek

Kiam Po sebetulnya karena dipaksa bilamana kami tidak mau

mendengarkan omongannya dia mau membakar habis rumah

pelacuran Touw Hoa Yuan kami, maka kami berdua terpaksa ikut

perintahnya.”

“Hm . . lain kali jikalau dia datang kerumah pelacuran Touw Hoa

Yuan kalian lagi kau harus kirim orang beritahukan kepada orangorang

orang benteng Pek Kiaw lo, tahu tidak” gertak Ti Then

“Baik . . baik …. tahu. . tahu” sahut Ku Ie sambil anggukkan

kepalanya berulang kali.

Setelah itu barulah Ti Then putar tubuhnya berjalan keluar dari

rumah pelacuran itu dan menuju ke pintu kota sebelah Utara.

sesampainya di dekat pintu kota sebelah utara dengan mudahnya

dia berhasil menemukan rumahnya Cang Bun Piauw.

Terlihatlah di depan piutu rumah yang amat megah itu berdiri

seorang pelayan dengan angkernya, cepat dia berjalan ke depan

sambil tanyanya: “Hei kongcu kalian ada dirumah tidak”

Mendapat tegoran yang kasar itu pelayan tersebut segera

melototkan matanya bulat-bulat.

“Kau berbicara sama siapa?” bentaknya dengan gusar.

“Dengan kau.” seru Ti Then tidak mau kalah sedang tangannya

dengan keras menepuk pedang yang tergantung pada pinggangnya.

Agaknya pelayan itu tidak berani bersikap kasar lagi, setelah

melihat gerak gerik dari Ti Then yang angker ini cepat-cepat dia

tertawa paksa.

“oh betul. . betul, siangkong tentunya teman baik kongcu kami,

entah siapa namanya?”

“Aku orang she Ti”

“Ooh, oh . . . kiranya Ti Kongcu adanya” jawab pelayan itu sambil

memperlihatkan tertawanya yang dipaksakan. “sungguh tidak

beruntung kongcu kami sedang minum arak dengan seorang teman

di atas loteng Go bi lo . . silahkan Ti Kongcu tunggu sebentar di

dalam biarlah hamba pergi panggil dia kemari.”

“Tidak usah, biar aku pergi cari sendiri”

Tidak menanti jawabannya lagi dia meloncat naik ke atas

kudanya dan melarikan tunggangannya itu dengan cepat menuju ke

loteng Go bi.

Loteng Go bi merupakan rumah makan dimana untuk pertama

kalinya dia bertemu dengan Hong Mong Ling, sesampainya di depan

pintu rumah makan itu segera terlihat ada seorang pelayan yang

maju menyambut kedatangannya. sembari meloncat turun dari

kudanya tanya Ti Then cepat: “Apakah Cang kongcu ada di atas

loteng?”

“Ada, ada” jawab pelayan itu, “Silahkan kongcu serahkan itu

kuda kepada hamba”

“Aku hanya mau cari Cang kongcu untuk berbioara beberapa

patah kata saja, setelah itu segera mau berangkat.”

Sambil berkata dia serahkan tali les kudanya kepada pelayan itu

lalu berjalan masuk ke dalam rumah makan tersebut.

setelah berada ditingkat kedua dalam sekali pandangan saja dia

sudah melihat si tikus rakus dari Go bi Cang Bun Piau sedang minum

arak dengan dua orang komplotannya,

Waktu itu Cang Bun Piauw duduk membelakangi tangga loteng

sehingga dia tidak melihat Ti Then sudah berada di loteng.

Tampak tangannya sedang erat-erat di atas meja

memperlihatkan gaya sedang berkelahi, ujarnya kepada kedua

orang komplotannya itu:

“Demikianiah dia tangkap tangannya kemudian hanya terdengar

suara Bluuuum, dia sudah jatuh terlentang di atas tanah”

“Sungguh lihay sekali, lalu bagaimana?” tanya seoragg pemuda

yang kurus kering.

“Kemudian Heey..hey.Jangan kata nangkap lagi, bangsat anying

kecil yang kurang ajar itu ternyata berani berlaku dengan aku Cang

Bun Piauw, dia menyambar secawan arak dan disambitkan ke atas

kepalaku, lalu.. lalu sesudah dia tahu siapakah aku orang cepatcepat

jatuhkan diri berlutut untuk minta maaf bahkan masih suruh

Pek Kiam Pocu yang punya nama terkenal itu datang kerumahku

untuk minta maaf”

“Hi hi hi. . kau sedang berbohong bukan?” ujar seorang pemuda

yang gemuk seperti babi sedang tertawa cekikikan “Semua orang

mungkin takut dengan ayahmu tetapi aku kira Pek Kiam Pocu tidak

akan takut, orang lain merupakan manusia yang bisa pergi datang

tanpa meninggalkan bayangan, dia mau bunuh orang cukup angkat

jarinya saja kenapa harus takut dengan kalian ayah beranak??”

Cang Bun Piauw menjadi kurang senang ketika mendengar

kawannya tidak mau percaya.

“Bilamana kau tidak percaya lain kali jikalau bertemu dengan

bangsat cilik itu aku akan memaksanya di hadapan kalian, coba

tanya padanya apa dia pernah merengek-rengek kepada Pek Kiam

Pocu untuk wakili dia minta maaf kepada ayahku.”

Mendengar ocehan yang tidak karuan itu, diam-diam Ti Then

merasa geli bercampur gemas, segera dia berjalan mendekati Cang

Bun Piauw itu sembari ujarnya. “Bangsat cilik itu sudah datang”

Mendengar suara itu Cang Bun piauw segera menoleh, tetapi

ketika dilihatnya Ti Then yang datang air mukanya segera berubah

hebat.

Sesudah termangu- mangu beberapa waktu lamanya barulah

dengan gugup dia bangkit berdiri, ujarnya.

“Ooh. oooh ..kiranya Ti heng, silahkan duduk silahkan duduk” Ti

Then tidak mau menggubris dirinya, kepada kedua orang pemuda

itu tanyanya.

“Yang tadi dia ceritakan sebagai bangsat cilik apakah bernama Ti

Then?”

Kedua orang pemuda itu tidak tahu kalau dia adalah Ti Then,

segera bersama-sama mengangguk:

“Benar, siapakah kamu orang?”

“Cayhe adalah Ti Then” sahutnya sembari tersenyum.

Jilid 16.2: Isi Loteng penyimpan kitab

Pemuda yang sangat gemuk seperti babi itu segera tertawa

terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk punggungnya Cang Bun

Piauw ujarnya:

“Bagus sekali, sekarang orangnya sudah datang coba kau

tanyakan biar kami dengar”

Air muka Cang Bun Piauw seketika itu juga berobah menjadi

pucat kehijau-hijauan, giginya bentrokan sendiri seperti sedang

berkelahi.

“Ti. . Ti heng” serunya ketakutan. “Siau-te hanya. . hanya bicara

guyon saja, kau. . kau jangan marah kepadaku. . mari mari biar

siauw te hormati Ti heng dengan secawan arak.”

Sambil berkata dia mengangkat sebuah bangku ke hadapan Ti

Then lalu menyuguhkan secawan arak kepadanya. Ti Then tidak

mau gubris kepadanya: “Ayoh berlutut” tiba-tiba bentaknya dengan

keras.

Seluruh tubuh Cang Bun Piauw tergetar dengan amat kerasnya,

kemudian dengan wajah setengah merengek ujarnya:

“Ti Then orang budiman tidak akan menyalahkan kesilafan orang

kecil, buat apa harus berbuat begitu?”

“Berlutut” bentak Ti Then semakin keras sedang wajahnya

berubah menjadi amat seram.

Ketika Cang Bun Piauw melihat wajahnya sudah diliputi oleh

napsu untuk membunuh, dia tidak berani membangkang lagi,

sepasang kakinya menjadi lemas dengan serta merta berlutut di

hadapan Ti Then.

“Anggukkan kepalamu tiga kali” perintah Ti Then lagi.

Cang Bun Piauw tidak berani membantah, dengan benturkan

kepalanya keras-keras ke atas tanah dia menganggukkan kepalanya

tiga kali. setelah itu barulah Ti Then tertawa dingin.

“Sewaktu berada dirumah pelacuran Touw Hoa Yuan aku tidak

pernah minta maaf dengan kamu orang bukan?” ujarnya.

Dengan nada yang hampir menangis jawab Cang Bun Piauw. “Ti.

. tidak.”

“Pernah tidak memohon kepada Wi Pocu untuk minta maaf

dengan ayahmu?”

“juga tidak” sahut Cang Bun Piauw sambil menundukkan

kepalanya rendah-rendah.

“Baiklah sekarang beritahukan kepadaku, kau sembunyikan

dirinya ditempat mana?”

Cang Bun Piauw menjadi melengak dia angkat kepalanya

kembali. “Kau menuduh aku…aku menyembunyikan siapa?”

“Jika kau berpura-pura lagi, akan sekali tebas potong kepala

anyingmu ini” bentak Ti Then sambil melototkan matanya.

saking terkejutnya seluruh tubuh Cang Bun Piauw gemetar

dengan amat keras dengan suara terputus-putus jawabnya.

“Ti. .Ti heng, ada. . ada perkataan ki.. kita bica.. bicarakan baikbaik.

. .ada. .perkataan kita bicarakan baik- baik. .a ku.. siaaute..

siauw te belum …. belum per.. pernah menyembunyikan. .

menyembunyikan siapa pun.”

“Kau bangsat cilik, kau kira aku aku tidak berani bunuh kau?”

bentak Ti Then dengan gusar.

Cang Bun Piauw benar-benar mau menangis dibuatnya, dengan

suara yang serat parau ujarnya.

“Siauw te sungguh-sungguh tidak tahu Ti Then sedang

membicarakan soal apa, jikalau yang kau maksudkan adalah Nona

Liuw itu sampai saat ini dia masih berada di dalam rumah pelacuran

Touw Hoa Yuan dengan baik-baik”

“Yang aku tanyakan adalah Hong Mong Ling. Aku dengar katanya

dia bersembunyi di rumahmu”

Pada wajah Cang Bun Piauw segera perlihatkan perasaan

jengkel, teriaknya:

“siapa yang bilang? Waktu itu setelah siauw te kembali dari

Benteng Pek Kiam Po selama ini belum pernah bertemu dengan dia,

siapa bilang dia bersembunyi di rumahku?”

“Kalau ada lebih baik kau mengaku terus terang, kalau tidak jika

aku tahu kalau kau sedang berbohong aku akan mencabut setiap

ototmu”

“Sungguh tidak ada, bilamana Ti heng tidak percaya biarlah

siauwte sekarang juga menghantar Ti heng kerumahku”

Ti Then yang melihat dia betul-betul tak tahu urusan ini barulah

tersenyum. “Baiklah, sekarang kau boleh berdiri”

Perlahan-lahan Cang Bun Piauw bangkit berdiri, kepada kedua

orang pemuda itu dengan wajah serba susah ujarnya.

“Kalian berdua tunggulah sebentar di sini, biar siauwte hantar

saudara ini .”

“Aku tidak jadi cari dia, sekarang kau boleh duduk kembali”

Potong Ti Then sembari tersenyum.

Cang Bun Piauw menjadi melengak. “Ti heng tidak jadi pergi?”

“Aku percaya kau tak berani menyembunyikan dirinya.”

saat itulah Cang Bun Piauw baru menghembuskan napas dan

berani duduk.

Ti Then menepuk-nepuk pundaknya, ujarnya sambil tertawa.

“Ayoh duduk dan lanjutkan dongenganmu, tetapi tidak boleh

menggunakan namaku serta namanya Wi Pocu”

Seperti juga baru saja mendapatkan rejeki nomplok, dengan

bungkukkan badannya seratus delapan puluh derajat dia memberi

hormat berulang kali.

“Baik baik, siauwte tak berani . . .. tak berani. Tadi siauwte hanya

mengajak guyon dengan kedua orang kawanku ini. Heei. . heei.

Apakah Ti heng tidak duduk-duduk dulu untuk minum secawan

arak?”

Ti Then tak menyawab, segera dia putar tubuhnya turun dari

loteng itu, sesudah naik ke atas kudanya cepat-cepat dia kaburkan

tunggangannya itu kearah luar kota.

Tidak berhasilnya menawan Hong Mong Ling kembali membuat di

dalam hatinya diam-diam merasa sedikit kecewa tetapi dia sudah

ambil keputusan dia akan pergi mencari sendiri setelah memberi

laporan terlebih dahulu kepada Wi Ci To.

Sekembalinya ke dalam benteng Pek Kiam Po cuaca sudah

mendekat magrib,

Wi Ci To serta Wi Lian In yang melihat dia pulang kembali

dengan tangan kosong merasa amat heran, bersama-sama

tanyanya. “Dimana bangsat cilik itu?”

“Dia berhasil melarikan diri” jawab Ti Then tertawa pahit.

“Aku tahu” tiba-tiba ujar Wi Lian In sambil mendepakkan kakinya

ke atas tanah “Tentu kau sengaja membiarkan dia melarikan diri”

“Bukan- . . bukan” bantah Ti Then- “Dia berhasil melarikan diri

dari pengawasan siauw- lim Cap Pwe Lo han”

Segera dia menceritakan keadaan dengan cara bagaimana Hong

Mong Ling menggunakan akalnya melarikan diri daripengawasan

siauw- lim Cap Pwe Lo Han di kuil Kuang Hoa si.

Air muka Wi Ci To segera berubah menjadi amat keren.

“Tidak perduli ia melarikan diri sampai ujung langit pun aku harus

menawan dia kembali”

“Yuan Kuang Thaysu sudah menyamin kalau dia akan menawan

dirinya kembali”

“Bagaimana dengan janyi kita kepada si rase bumi Bun Jin Cu

pada bulan depan” tanya Ti Then tiba-tiba.

“Lohu akan langsung menuju ke sana”

“Tetapi sirase bumi Bun Jin Cu juga berjanyi dengan boanpwe.”

“Sampai waktunya Ti Kiauw tauw boleh berangkat langsung dari

sini, kita bertemu di atas gunung Kim Ting san”

“Ehmm. kita tunggu beberapa hari lagi, jikalau Siauw lim Cap

Pwe Lo Han tidak berhasil menawan dia kembali Lohu mau pergi

sendiri untuk menawan dia kembali”

“Tia, putrimu juga mau ikut” ujar Wi Lian In yang berdiri

disisinya. Wi Ci To termenung berpikir sebentar baru ujarnya.

“Di dalam beberapa hari ini bila mana para pendekar pedang

merah bisa kembali di dalam benteng semua kau sampai pada

waktunya boleh ikut Ti Kiauw tauw pergi, kalau tidak kau harus

tinggal di dalam benteng untuk jaga rumah.”

Berbicara sampai di sini segera dia bangkit berdiri “Mari kita pergi

makan”

Tua muda tiga orang segera menuju ke ruang makan- Wi Ci To

dengan air muka serius berdiam diri tak mengucapkan sepatah kata

pun, hal ini entah dikarenakan kesedihan atas kematian sutenya

Huang puh Kian Pek atau karena tidak berhasil ditawannya kembali

Hong Mong Ling dan menjadi marah.

Melihat keadaan diliputi oleh kesunyian, Ti Then coba

memecahkan kesunyian tersebut.

“Pocu apakah jenasah dari Hu pocu sudah dikebumikan?”

“Ehmm sudah selesai” sahut Wi Ci To perlahan-

“Heei. . boanpwe betul-betul merasa bingung, kenapa dia bisa

melakukan pekerjaan seperti ini?”

Wi Ci To mendengus dengan amat dinginnya: “Hanya ada dua

kata: Kemungkinan sekali bersekongkolnya dia dengan Hong Mong

Ling masih ada tujuan lain-dan bukan terbatas pada soal karena

sayangnya serta simpatiknya”.

Agaknya Wi Ci To tidak ingin membicarakan itu lagi, dengan

tawar jawabnya. “Jikalau ada lohu sendiri juga tidak ada tujuan

yang sebenarnya”

Mendengar kata-kata ini sengaja Ti Ten berkata lagi.

“Hong Mong Ling pasti tahu, bilamana siauw lim Cap Pwe Lo han

berhasil tawan dia kembali, kita bisa mengorek keterangan yang

lebih banyak lagi dari mulutnya”

Air muka Wi Ci To segera berubah amat hebat, mendadak dia

meletakkan kembali mangkok serta sumpitnya ke atas meja

kemudian meninggalkan perjamuan.

“Kalian teruskanlah untuk makan, lohu mau masuk ke dalam

kamar buku untuk beristirahat.”

Selesai berkata dengan menggendong tangannya dia berlalu dari

sana.

Setelah dilihatnya bayangan Wi Ci To lenyap dari pandangan,

barulah Wi Lian In memperlihatkan senyuman pahitnya, ujarnya

kepada Ti Then dengan suara yang amat lirih.

“Kau pikir apa tujuan dari Hu Pocu Huang puh Kiam pek

bersekongkol dengan Hong Mong Ling?”

Ti Then gelengkan kepalanya:

“Aku sendiri juga tidak tahu, seharusnya kau yang tahu karena

Hu pocu sudah bersama-sama dengan kalian selama puluhan tahun

lamanya, sedang aku baru kenal dengan dia selama dua bulan saja”

“Mari kita selidiki bersama-sama, langkah pertama yang

dilakukan mereka sesudah bersekongkol dengan Hong Mong Ling

adalah menculik aku pergi kemudian mengajak kau untuk bertemu

dengan mereka di atas gunung Fan Cin Gan, dia minta kau

beritahukan nama suhumu, mencatat semua kepandaian silat yang

kau miliki kemudian membuntungkan tangannya sendiri setelah itu

minta kau hantarkan semacam barang kepada suhumu, seharusnya

jika dipandang dari kejadian itu arah yang dituju mereka seharusnya

kau bukan aku, benar tidak??”

“Aku kira bukan demikian” Bantah Ti Then sembari gelengkan

kepalanya “Dia mengajukan empat syarat kepadaku diantara itu

hanya syarat yang meminta aku catat semua kepandaian silatku

serta meminta aku membawa semacam barang kepada suhu agak

mirip dikatakan sebuah syarat tetapi tentang soal kepandaian silat

hal ini sedikit tidak cocok”

” Karena aku sudah sanggupi untuk memberi pelajaran

kepandaian silat di dalam benteng Pek Kiam Po, walau pun dia

adalah Hu pocu tetapi dia pun boleh ikut berlatih dengan diriku.

Karena itulah aku kira syarat yang minta kucatatkan semua ilmu

silatku hanya merupakan suatu kedok saja untuk menutupi

rencananya sedangkan syarat yang menyuruh aku menghantar

sebuah barang untuk suhuku kemungkinan sekali dia bermaksud

untuk membunuh suhuku . .”

“Dengan alasan apa dia mau bunuh suhumu?” potong Wi Lian In

mendadak.

” Untuk menjelaskan hal ini terlebih dulu, kita harus

membicarakan syarat yang ketiga terlebih dulu, dia minta aku

buntungi salah satu lenganku, hal ini kemungkinan sekali

dikarenakan kepandaian silat yang aku alami amat lihay sehingga

merupakan seorang yang paling menakutkan bagi dirinya, dia

mengharapkan sesudah tanganku buntung sebelah maka hal

tersebut merupakan satu pukulan yang berat buat diriku sehingga

dengan begitu dia pun tak usah terlalu takut kepadaku, sedangkan

soal dia minta bawakan semacam barang untuk suhuku

kemungkinan sekali punya arti yang sama yaitu barang itu pastilah

semacam barang yang membinasakan, ketika suhuku menerima

barang-barang tersebut maka beliau segera akan binasa, hal ini

boleh dikata merupakan siasat sekali panah mendapat dua hasil.

Karena kepandaian silat dari seorang suhu pasti jauh lebih lihay dari

kepandaian silat muridnya, jikalau muridnya sudah di basmi tapi

suhunya tidak dibasmi sekalian, ini boleh dikata meninggalkan bibit

bencana buat dirinya sendiri”

“Heey, omong pulang pergi tujuannya itu sama saja yaitu hendak

membasmi dirimu bukan?” Ujar Wi Lian In sambil menghela napas

panjang.

“Tidak salah” jawab Ti Then mengangguk. “Tetapi hal ini

bukanlah tujuan yang terakhir, kita bisa mengambil kesimpulan

bahwa sekongkolnya dia dengan Hong Mong Ling sama sekali bukan

dikarenakan perasaan simpatiknya terhadap Hong Mong Ling, sekali

pun hal ini timbul dikarenakan rasa simpatiknya maka dalam soal ini

dia semakin tidak punya alasan lagi untuk membinasakan diriku.

Maka itulah sebab-sebab dia mau membinasakan diriku pastilah di

karenakan aku.”

“Aku merupakan penghalang besar bagi usahanya atau dengan

perkataan lain dia sudah merencanakan suatu rencana busuk

terhadap kalian ayah beranak. tetapi dengan munculnya aku secara

tiba-tiba di dalam benteng Pek Kiam po membuat dia merasa takut

aku mengganggu usaha mereka itu karena itulah dia mau

menyingkirkan nyawaku”

Wi Lian In yang mendengar penjelasan ini tidak henti-hentinya

mengangguk.

“Penjelasanmu sungguh sangat tepat sekali, tetapi dia sudah

merencanakan rencana busuk apa terhadap kami ayah beranak?…”

“Tentang ini aku tidak tahu tadi aku sudah berkata kalian ayah

beranak yang hidup dengan dia puluhan tahun lamanya sudah tentu

jauh lebih jelas daripada aku yg baru berkumpul dua bulan saja.”

“Menurut apa yang kuketahui” ujar Wi Lian In lagi sambil

menggigit bibirnya kencang. “Dia sangat baik memperlakukan Tia,

walau Tia adalah pocu sedang dia adalah Hu pocunya tetapi selama

ini Tia selalu menganggap dia sebagai saudara sendiri, selama ini

tidak pernah cekcok atau segala apa pun omong yang jelas lagi

setiap rambut dan pohon yang ada di dalam benteng ini adalah milik

ayahku juga miliknya, aaai apa lagi yang membuat dia merasa tidak

puas?”

“Kemungkinan heei, perkataan ini sebetulnya aku tidak patut

mengatakan.”

“Apa yang kau pikirkan cepat katakan saja, sekali pun apa yang

mau kau katakan memalukan kami ayah beranak aku juga tidak

akan menyalahkan dirimu karena kita saat sedang menyelidiki

persoalan ini”

Ti Then berbatuk-batuk kering terlebih dulu kemudian barulah

jawabnya.

“Ehmm. . aku sedang berpikir kau bilang setiap jengkal rumput

serta setiap batang pohon yang terdapat di dalam benteng Pek Kiam

po adalah miliknya ayahmu sama juga seperti miliknya, perkataan

ini kemungkinan sekali sedikit tidak benar, karena dalam benteng

agaknya masih ada barang yang dia sendiri dilarang untuk

mendekati”

Air muka Wi Lian In segera berubah. “Yang kau maksudkan

loteng penyimpan kitab itu?”

Ti Then hanya mengangguk tanpa memberikan jawabannya. Wi

Lien In menarik napas panjang.

“Kalau begitu tujuan yang utama dari Hu Pocu kemungkinan

sekali terletak di dalam loteng penyimpan kitab itu.”

“Kemungkinan sekali memang benar” sahut Ti Then sambil sekali

lagi mengangguk. “Karena dengan kedudukannya sebagai Hu Pocu

ternyata tidak boleh mengetahui juga rahasianya ayahmu

bagaimana pun juga karena perasaan heran dan ingin tahunya bisa

berubah menjadi perasaan kurang puas.”

“Perkataan dari Ti Kiauw tauw sedikit pun tak salah, tetapi di

dalam Loteng Penyimpan Kitab itu Lohu tidak mem punyai rahasia

apa-apa yang istimewa?” suara dari Wi Ci To secara tiba-tiba

muncul dari depan pintu ruangan tersebut.

Ti Then sama sekali menyangka kalau Wi ci To setelah pergi bisa

kembali lagi, mendengar perkataan itu dia menjadi amat

terperanyat, cepat-cepat dia bangun berdiri dan menghadap kearah

pintu ruangan.

” Harap Pocu suka memaafkan kelancangan dari boanpwe”

ujarnya terburu-buru minta maaf.

“Tidak mengapa” sahutnya tersenyum kemudian dengan langkah

perlahan dia berjalan masuk ke dalam, “Perkataan yang baru saja

kau ucapkan memang sangat benar.”

Ti Then hanya menundukkan kepalanya tanpa memberikan

jawaban,jelas sekali pada air mukanya memperlihatkan perasaan

menyesal.

Dengan menggendong tangannya Wi Ci To berjalan pulang pergi

di dalam ruangan tersebut, lama sekali barulah ujarnya:

“Padahal jika dikatakan di dalam loteng penyimpan kitab itu tidak

terdapat semacam rahasia hal ini memang tidak benar, tetapi

rahasia yang terdapat di sana sebetulnya tidak ada sangkut pautnya

dengan orang lain, juga bukan merupakan barang mustika yang

berharga satu kota… sekarang mari kalian ikuti lohu.”

Selesai berkata dia berjalan keluar dari dalam ruangan- .

Ti Then serta Wi Lian In yang mendengar dia akan memimpin diri

mereka berdua untuk masuk dan melihat-lihat Loteng Penyimpan

kitab itu di dalam hati tanpa terasa tergetar juga dengan amat

keras, bersamaan itu perasaan yang amat girang pun meluncur dari

lubuk hati mereka.

Terhadap diri Wi Lian In serta Ti Then, hal ini merupakan

harapan yang diidamkan setiap hari, apalagi terhadap diri Ti Then

sejak di ketahui olehnya kalau Wi Ci To memiliki sebuah Loteng

penyimpan Kitab yang melarang putrinya sendiri mau pun sutenya

untuk masuk ke dalam, di dalam hatinya sudah ambil kesimpulan

kalau tujuan dari majikan patung emas yang perintahkan dirinya

masuk ke dalam Benteng Pek Kiam Po ini terletak di dalam loteng

Penyimpan kitab itu, karenanya dia sangat mengharap bisa

mengetahui macam apakah barang yang dikehendaki itu, dia sangat

mengharapkan bisa mengetahui terlebih dulu gerakan selanjutnya

dari dirinya akan menimbulkan aktbat yang baik atau buruk

terhadap Benteng Pek Kiam Po.

Kini Wi Ci To secara tiba-tiba sudah melanggar aturannya yang di

pegang teguh selama puluhan tahun lamanya, dia ingin membuka

rahasia yang terdapat di dalam loteng penyimpan kitab ini, hal ini

membuat orang lain sama sekali tidak menduga.

Wi Lian In dengan air muka yang bersinar dan penuh perasaan

girang meletakkan kembali mang kok sumpitnya kemudian

mengikuti dari belakang.

Tua muda tiga orang hanya tidak lama kemudian sudah berada

diluar pintu loteng Penyimpan Kitab itu, dari dalam sakunya Wi ci To

mengambil keluar sebuah kunci yang amat aneh sekali bentuknya

kemudian dengan perlahan-lahan membuka gembokan di depan

pintu Loteng Penyimpan Kitab itu.

Beberapa orang pendekar pedang hitam yang menyaga di luar

Loteng Penyimpan Kitab itu ketika melihat pocu mereka hendak

membawa Ti Then serta Wi Lian In masuk ke dalam loteng tersebut

tanpa terasa pada wajah mereka sudah muncul perasaan terkejut

bercampur heran, karena mereka sudah menyaga diluar Loteng

Penyimpan Kitab ini selama puluhan tahun lamanya dan mereka

selama ini Pocu mereka sudah menuliskan larangan bagi setiap

orang untuk memasuki Loteng Penyimpan Kitab ini, sebaliknya

malam ini secara mendadak Pocu mereka sudah membawa Ti Then

serta putrinya masuk ke dalam Loteng itu, bukankah hal ini

merupakan suatu kejadian yang sangat mengherankan dan sangat

mengejutkan??

Sesudah membuka pintu loteng Penyimpan Kitab itu, barulah Wi

Ci To menoleh ke belakang dan berkata pada Ti Then serta Wi Lian

In.

“Kalian berdirilah yang jauh biar Lohu masuk terlebih dulu untuk

menutup semua alat rahasia yang terdapat di dalamnya, sesudah itu

kalian baru ikut masuk.” . selesai berkata dia mendorong pintu

depan dan berjalan masuk.

Ruangan di bawah loteng penyimpanan kitab itu keadaannya

biasa saja, tanpa ada tempat-tempat yang terlalu istimewa, ruangan

itu tidak lebih hanya merupakan sebuah ruang tamu yang kecil.

Sesudah Wi ci To mendorong pintu berjalan masuk ke dalam

segera bisa kelihatan keadaan di dalamnya amat teratur sekali

bahkan diatur dengan gaya artistik yang merah tetapi dikarenakan

selama puluhan tahun lamanya tidak pernah dibersihkan maka

semua alat-alat yang ada di dalamnya kelihatan sudah menjadi kuno

bahkan setiap ujung tembok sarang laba-laba memenuhi semua

tempat, keadaannya sangat menyeramkan sekali mirip dengan

sebuah rumah setan saja.

Wi Ci To sesudah masuk ke dalam ruang tamu yang kecil, itu

hanya di dalam sekejap mata saja sudah lenyap tanpa bekas, di

dalam sekejap saja mendadak keadaan di dalam ruangan itu terang

benderang bagaikan siang hari saja, Wi Ci To dengan ditangannya

membawa lampu muncul di hadapan Ti Then serta Wi Lian Inujarnya:

“Sekarang kalian boleh masuk”

Air mukanya di bawah sorotan sinar lampu yang dibawa kelihatan

amat cerah dan bersinar.

Ti Then mau pun Wi Lian In dengan membawa perasaan hati

yang tidak tenang mengikuti dengan kencang di belakangnya,

selama ini mereka membungkam di dalam seribu bahasa.

Setelah mereka memasuki ruangan tamu yang kecil itu seperti

juga baru saja memasuki suatu dunia yang diliputi oleh keseraman

dan kemisteriusan, seluruh tubuh mereka merasa amat dingin

sedang wajahnya sedikit mulai memucat.

Di samping sebelah kanan dari ruang tamu itu terdapat sebuah

tangga yang menghubungkan tempat itu dengan loteng lantai ke

dua, dengan membawa lampu Wi Ci To mulai berjalan menaiki

tangga itu ujarnya tiba-tiba: “Mari kalian ikut naik”

Ti Then merupakan orang kedua yang menaiki tangga tersebut,

setiap kali kakinya menginyak tangga tersebut di dalam hati terasa

suatu perasaan yang saugat aneh karena waktu inilah dia baru mau

percaya kalau disetiap sudut di dalam ruangan loteng penyimpan

kitab itu dimuat alat rahasia yang menyeramkan bahkan dia pun

tahu kalan alat rahasia itu tidak diatur dan dipasang sekitar tanggatangga

itu saja bahkan disetiap jengkal tanah di dalam ruangan

tamu itu pun terdapat.

Luas ruangan itu jika dipandang dari luar kurang lebih ada tujuh

kaki sebaliknya ruangan kecil di dalamnya hanya ada tiga kaki saja,

artinya disekeliling tembok di dalam ruangan itu sudah dipasang alat

rahasia yang mendirikan bulu roma.

Tangga yang menghubungkan lantai-lantai pertama ke lantai

kedua ada delapan belas trap banyaknya, setelah melewati tangga

terakhir sampailah disebuah ruangan kamar baca yang begitu luas.

Di sekeliling ruang kamar baca ini terdapat rak tinggi besar, di

dalam rak itu berjajarlah beribu-ribu buah kitab, bahkan boleh

dikata selain kitab sama sekali tidak terdapat barang lainnya lagi.

Inilah keadaan dari ruangan loteng penyimpanan kitab yang

membawa kemisteriusan bagi setiap orang.

Tanpa terasa lagi Wi Lian In sudah mengeluarkan suara tertahan

yang penuh diliputi oleh perasaan terkejut bercampur kecewa,

gumamnya seorang diri: “Ternyata tidak ada apa-apanya”

Dengan perlahan Wi Ci To meletakkan lampu yang dibawanya ke

atas meja, ujarnya sembari tersenyum:

“Tidak ada apa-apanya, Ehmm loteng penyimpanan kitab dari

lohu ini sudah menyimpan berbagai macam kitab serta lukisan dari

pujangga-pujangga terkenal pada masa yang silam, banyak

diantaranya jarang bisa didapatkan ditempat luar, jika dibilang

dengan uang, mungkin berada di atas ratusan juta tahil perak.”

“Tetapi.” bantah Wi Lian In cemberut “Lukisan lukisan serta

tulisan-tulisan ini di dalam pandangan kami orang-orang Bu lim

sama sekali tidak berharga.”

“Benar. tetapi lohu memangnya punya kegemarannya begitu,

sejak kecil lohu paling suka membaca buku dan gemar menyimpan

berbagai lukisan dari pujangga-pujangga terkenal, di dalam hati

lohu barang-barang ini sangat berharga sekali”

” Untuk menyimpan lukisan lukisan serta tulisan-tulisan ini, Tia

sudah memasang alat-alat rahasia disekeliling loteng ini, apa untuk

mencegah orang lain memasuk tempat ini??” sahut Wi Lian In

kurang puas.

“Tidak” sahut Wi Ci To geleng kepalanya, ” lohu pasang alat-alat

rahasia ini sebetulnya untuk mencegah ada orang yang masuk ke

sini mencuri kitab-kitab serta lukisan tersebut di samping itu juga

untuk menyaga suatu rahasia lainnya”

“Rahasia apa??” tanya Ti Then serta Wi Lian In hampir

bersamaan-

Wi Ci To tidak segera memberikan jawabannya, sinar matanya

dengan tajam memandang beberapa saat lamanya ke atas wajah Ti

Then mau pun Wi Lien In kemudian dengan air muka serius ujarnya.

“Sebelum Lohu membuka rahasia ini aku mau tanya padamu

terlebih dulu…In ji apakah kau mau percaya terhadap setiap

perkataan yang aku katakan???”

“Putrimu mau percaya” sahut Wi Lian In sambil mengaagguk.

“Bagaimana dengan Ti Kiauw tauw??” tanya Wi Ci To kemudian

sambil menoleh kearah Ti Then.

“Selama ini Pocu jadi orang sangat jujur, setiap perkataan mau

pun perbuatan semua pakai aturan, bagaimana boanpwe berani

tidak percaya?.”

“Kalau begitu sangat bagus sekali, sekarang juga lohu mau

membuka suatu rahasia di hadapan kalian, setiap perkataan yang

aku katakan adalah hal yang sungguh-sungguh terjadi, sama sekali

tidak ada perkataan bohong barang sepatah pun.”

Selesai berkata dia berjalan menuju ke depan rak buku sebelah

selatan dan menyingkirkan sejilid kitab kemudian kelihatan

tangannya dimasukkan ke dalam rak buku itu, entah diapakan

mendadak dia mundur kembali ke belakang.

Dari belakang rak kitab itu segera terdengar suara gesekan

terbukanya pintu rahasia, sebuah pintu dengan perlahan-lahan

membuka kearah kanan.

Di belakang rak buku itu terdapat sebuah dinding kayu yang

menutupi tempat itu sedang di depan dinding tersebut tergantung

sebuah kain yang di sampingnya terdapat sebuah tali, agaknya kain

itu bisa ditarik untuk menyingkirkannya.

Agaknya Wi Ci To merasa sedikit keberatan untuk membuka

rahasia tersebut, dari mukanya jelas memperlihatkan dia merasa

sangat sedih bercampur bingung.

“Tia, barang apa di belakang kain tersebut? ” tanya Wi Lian In

cepat, agaknya dia sudah tidak merasa sabar lagi.

Wi Ci To termenung berpikir beberapa saat lamanya, setelah itu

barulah ujarnya: “Coba kau tebak”.

“sebuah pintu menuju keruang rahasia??”

“Bukan..” jawab Wi Ci To sambil menggelengkan kepalanya.

“Sebuah lemari rahasia??”

“Juga bukan…”

“Mungkin sebuah lukisan?” Tiba-tiba Ti Then nyeletuk.

“Benar, memang sebuah lukisan”.

Selesai berkata dia maju ke depan menarik tali di sampingnya

untuk membuka kain penutup tersebut.

Begitu kain penutup itu terbuka, tidak salah lagi tampak sebuah

lukisan muncul di hadapan mereka, sebuah lukisan dari seorang

perempuan yang sangat cantik. Tanpa terasa Ti Then sudah

menarik napas panjang, pikirnya:

“Oooh Thian, ternyata di dalam dunia ada seorang perempuan

yang demikian cantiknya” Memang benar perempuan yang terdapat

di dalam lukisan itu memang mem punyai paras amat cantik, tapi

cantiknya bukan merupakan cantik yang mendebarkan hati,

menimbulkan hawa nafsu sebaliknya kecantikan parasnya adalah

bersih, suci dan sedikit pun tidak ada pengaruh aneh lainnya.

Wi Lian In melototkan matanya lebar-lebar dengan perasaan

terperanyat teriaknya, “Sungguh cantik sekali Tia, siapakah

perempuan ini ???”

“Dia she shu bernama Sim Mey”.

Agaknya Wi Lian In belum pernah mendengar nama “Shu Sim

Mey” itu setelah mendengar kata-kata itu dia menjadi berdiri

tertegun. “Siapa dia?” tanyanya lagi.

“Rumahnya ada didesa He Liong cong di daerah Kauw shu.”

Sekali lagi Wi Lian In dibuat tertegun. “Ah, dia satu kam pung

dengan Tia?”

Dengan perlahan Wi Ci To mengangguk. dengan air muka sangat

sedih jawabnya: “Benar. sewaktu aku masih kecil kita adalah

bertetangga….”

“Kalian.. kalian punya ikatan perjodohan sejak kecil??” tanya Wi

Lian In gemetar, sedang air mukanya berubah hebat. sekali lagi Wi

ci To mengangguk.

“Hubunganku dengan dia boleh di gambarkan dengan syair Tiang

Han Hiong, dari penyair terkenal Lie Pak..”

Segera dia mulai bersyair dengan nada penuh golakan hati, air

mukanya berubah amat keren sedang mulutnya tak henti-hentinya

membaca isi dari syair tersebut.

Begitu dia selesai membaca syair tersebut tanpa disadari lagi air

matanya sudah menetes keluar membasahi wajahnya . ”

Melihat Wi Ci To mengeluarkan air matanya, Wi Lian In menjadi

teramat heran bercampur terperanyat, ujarnya:

“Jadi Tia maksudku dengan Shu Sim Mey sudah menjadi suami

istri?”

“Tidak salah” jawab Wi Ci To dengan perasaan amat sedih

“sebelum aku kawin dengan ibumu terlebih dulu sudah menjadi

suami istri dengan shu sim Mey”

Wi Lian In merasakan hal ini merupakan suatu pukulan yang

berat bagi dirinya, tanpa dapat dicegah lagi dia melelehkan air mata

dengan perasaan sedih ujarnya: “Tia, kau sudah menipu ibu. .”

“Benar, aku sudah menipu ibumu” sahut Wi Ci To sambit

mengangguk. “Sekali pun aku sudah menjadi suami istri selama tiga

puluh tahun lamanya dengan dia, tetapi selama ini belum pernah

betul-betul mencintai dirinya, karena …. karena aku tidak bisa

melupakan Shu Sim Mey ini”

Dari sepasang mata Wi Lian In segera memancarkan perasaan

tidak puasnya, sambil melototi lukisan dari shu sim Mey itu ujarnya:

“Perempuan itu sekarang berada dimana?”

“Di dalam sebuah kuburan didekat kali Han san si.”

Wi Lian In menjadi melengak. “ooh.. dia. .dia sudah meninggal?”

“Benar, dia meninggal dunia pada usia tujuh belas tahun, berarti

juga pada tahun ketiga setelah aku menikah dengan dia, shu sim

Mey telah meninggal dunia.”

Perlahan-lahan Wi Lian In menghapus bekas air matanya.

“Bagaimana dia bisa meninggal?”

“Saking rindunya kepadaku dia menjadi sakit kemudian

meninggal?”

“Hal ini berarti juga setelah Tia menikah dengan dia karena suatu

urusan sudah meninggalkan dirinya?” tanya Wi Lian In dengan

perasaan amat terperanyat.

“Benar, sesudah dia menikah dengan aku pada tahun kedua

karena aku sangat gemar belajar ilmu silat, maka aku lantas

meninggalkan rumah untuk mencari guru, sebetulnya hanya

rencana paling lama setengah tahun saja kemudian hidup kembali

bersama-sama dengan dia, tetapi pada bulan ketiga sesudah aku

meninggalkan rumah mendadak di atas gunung Tong-san sudah

bertemu dengan seorang jagoan aneh dari Bu lim dan dialah

sucowmu si Thiat Kiam ong atau kakek pedang baja suma song,

ketika dia melihat bakatku maka sesudah menerima diriku sebagai

ahli warisnya dan memberi pelajaran ilmu pedang, karena

perhatiannya yang tertuju pada ilmu pedang inilah sudah lupa untuk

kembali kerumah menengok dia, hanya di dalam sekejap saja satu

tahun sudah berlalu.”

Perlahan-lahan dia menghela napas panjang, kemudian

sambungnya lagi: “Setahun kemudian aku baru teringat untuk

kembali ke rumah menengok dia, siapa tahu pada saat itulah

sucowmu sudah jatuh sakit dengan usianya sembilan puluh delapan

pada waktu itu ditambahkan secara tiba-tiba jatuh sakit membuat

aku harus merawat dia orang tua, karena itulah rencana untuk

pulang kerumah menengok dia menjadi terbengkalai. setengah

tahun lewat dengan cepat akhirnya sucouwmu wafat, setelah habis

aku membereskan layannya barulah dengan tergesa-gesa kembali

ke su Kho siapa tahu baru saja sampai dirumah aku baru tahu pada

setengah tahun yang lalu dia sudah binasa, die meninggal dunia

karena terlalu rindu kepadaku.”

Berbicara sampai di sini dia menarik napas panjang-panjang,

agaknya luka di dalam hatinya kambuh kembali. Wi Lian In berdiam

diri tidak berbicara.

Ti Then sendiri pun terpaksa bungkam, diam seribu bahasa,

tetapi di dalam hatinya dia merasa ikut sedih dan tergerak oleh

cerita yang amat menyedihkan ini, dia masih mem punyai suatu

perasaan yang lain daripada yang lain, dia sama sekali tidak

menyangka di dalam Loteng Penyimpan kitab yang diduga

menyimpan berbagai rahasia ini ternyata hanya menyimpan suatu

kisah yang menyedihkan saja bahkan rahasia itu hanya menyangkut

pada “Urusan pribadi” orang lain.

Lama sekali Wi Ci To memandang wajah putrinya, setelah itu

baru tanyanya: “Inyie, kau benci terhadap dia?”

“Tidak. .”

“Kalau begitu kau benci terhadap aku??”

” juga tidak…”

Tanpa terasa Wi Ci To sudah menghela napas panjang.

” Kematiannya dikarenakan rindu padaku, sebetulnya kami

berdua saling cinta mencintai, dikarenakan kegoblokanku sendiri

sudah menghantarkan nyawanya, bilamana aku teringat kembali

akan persoalan ini di dalam hati seperti diiris-iris oleh berjuta-juta

batang pisau, sungguh menderita sekali.”

Dia berhenti sebentar, kemudian sambungnya lagi.

“sewaktu di dalam hati, hatiku marasa sedih sehingga sukar

dihilangkan beberapa kali aku sangat mengharapkan bisa melakukan

berbagai urusan yang bisa meringankan beban orang-orang Bu lim

tetapi hal ini semua sama sekali tidak berguna, asalkan bayangan

tubuhnya muncul kembali di dalam benakku maka sama sekali tidak

bisa hilang bilang, akhirnya.. Ehmmm, setelah delapan tahun dari

kematiannya aku baru bertemu dengan ibumu, tentang bagaimana

aku lalu kawin dengan ibumu tentunya kau sedikit mengetahui

bukan ??”

Wi Lian In dengan perlahan mengangguk:

“Tahu. ibu sekeluarga sewaktu kakekku lepas dari jabatan pulang

kam pung, ditengah jalan sudah bertemu dengan kaum perampok.

kakek dan nenek pada binasa sedang kawanan perampok itu mau

menodai ibu waktu itulah Tia sedang lewat di sana dan turun tangan

membunuh perampok-perampok itu tersebut dan menolong ibu,

dengan demikian ibu dengan ayah lalu kawin bukan begitu???”

“Benar. sebetulnya aku tidak punya niat untuk mengawani

ibumu tetapi saat itu ibumu sudah luntang lantung seorang diri

tanpa sanak famili bahkan secara diam-diam dia bertekad untuk

membalas budi ini dengan menggunakan tubuhnya, bilamana aku

tidak mau terima dia sebagai istrinya maka dia mau mati saja

makanya aku baru menerimanya. Tetapi walau pun aku berusaha

keras untuk mencintai ibumu bayangan dari su sim May tidak bisa

hilang- hilangnya dari benakku, adakalanya terang-terangan ibumu

yang berdiri di hadapanku, aku sudah salah melihat dia sebagai sub

Sim Mey, ada satu hari aku tidak betah untuk tidur diam-diam

mencuri lihat lukisan wajahnya, karena takut ibumu tahu maka aku

baru bangun Loteng Penyimpan Kitab ini dan menggantungkan

lukisannya di sini. setiap kali kalau aku rindu padanya lalu masuk ke

sini untuk memandang wajahnya selama setengah harian.”

“Heeeey… Tak tak tertahan lagi Wi Lian In menghela napas

panjang, “Bilamana sejak dahulu kala Tia mau menceritakan urusan

ini mungkin sekali luka di dalam hati kau orang tua akan sedikit

menjadi sembuh.”

” Tidak.. Aku tidak bisa melukai hati ibumu, ibumu adalah

seorang perempuan yang pendiam, selamanya selalu menurut

omonganku dan dengan sepenuh hati mencintai aku, jika dia tahu

hatiku sudah direbut orang lain dia pasti akan merasa sangat

berduka hati.”

-ooo0dw0ooo-

Jilid 17.1: Mengejar Hong Mong Ling

Dia berhenti sebentar sesudah menghela napas panjang barulah

tambahnya.

” Karena itulah selama puluhan tahun ini aku tidak membiarkan

setiap orang masuk ke dalam loteng penyimpan kitab itu termasuk

juga kau dan Huang puh siok karena aku takut sesudah kalian tahu

rahasia ini lalu menceritakan kepada ibumu”

Berbicara sampai di sini dengan perlahan dia menoleh kearah Ti

Then.

“Tadi sewaktn masih berada di ruang makan Ti Kiauw tauw

menduga kemungkinan bersekongkolnya Hu pocu serta murid

murtad itu dikarenakan hendak mencuri sesuatu barang dari Loteng

penyimpan kitab ini kemungkinan memang benar, karena ketika

mereka melihat lohu dengan tegas melarang setiap orang masuk ke

dalam Loteng penyimpan kitab itu lalu di dalam alam pikiran mereka

mem punyai suatu dugaan kalau di dalam tempat ini pasti disimpan

barang-barang berharga yang sukar didapatkan. Heei. . Ini memang

kesalahan Lohu seharusnya setelah istriku meninggal Lohu harus

mengumumkan rahasia ini tetapi untuk itu Lohu masih takut kalau

urusan ini sampai melukai hati putriku karena itu sampai kini tidak

aku ceritakan terus, karena hal ini sudah mencelakakan seorang

sute yang sudah hidup bersama-sama dengan Lohu selama puluhan

tahun lamanya.”

Dengan perlahan Wi Lian In menuding ke arah lukisan dari Shu

Sim Mey itu. tanyanya: “Dia . apakah sudah meninggalkan empat

puluh tahun lamanya? Waktu sudah lewat begitu lama kenapa Tia

masih selalu saja menyiksa diri??”

Dengan amat sedihnya Wle Ci TO menghela napas panjang.

” Walau pun dia sudah meninggalkan empat puluh dua tahun

lamanya, tetapi di dalam ingatannya ayahmu seperti juga peristiwa

yang baru terjadi kemarin hari”

“Sejak hari ini apakah Tia ingin terus memikirkan dirinya?” tanya

Wi Lian In lagi sembari bernapas panjang.

“Ulat sutera binasa karena seratnya dan musnah, lilin habis

apinya baru padam”

“Tia, kau terlalu menyiksa diri” seru Wi Lian In.

Wi Ci To tertawa pahit.

“Kau bukanlah aku sudah tentu tidak paham keadaan pikiran

ayahmu sekarang ini, kita sejak kecil main bersama, tumbuh

menjadi dewasa pun bersama-sama, dia sering berkata padaku

secara diam-diam: Dilangit dia rela menjadi sepasang burung

merpati, di tanah dia rela menjadi pohon seranting, tetapi saat itu

ternyata aku begitu rela meninggalkannya seorang diri, coba kau

bilang ayahmu harus merasa menyesal tidak.?”

“Tapi…” Bantah Wi Lian In lagi. “Orang yang sudah

meninggalkan tidak akan hidup kembali, buat apa Tia begitu

menyiksa diri untuk memikirkan dirinya terus menerus?”

Wi Ci To berdiam diri tidak menyawab, dia hanya menghela

napas panjang saja. “Tia, maukah kau orang tua sejak hari ini tidak

pikirkan dia kembali?”

Wi Ci To gelengkan kepalanya, dia tertawa pahit.

“Aku sering berusaha tidak memikirkan dirinya, tapi selamanya

tidak berhasil”

“Putrimu ada satu cara, hanya saja Tia mau melakukannya?”

“cara apa?”

“Bakar saja lukisan itu” Ujar Wi Lian In sembari memandang

tajam lukisan dari Shu Sim may itu.

Air muka Wi Ci To segera berubah amat hebat, dengan suara

berat bentaknya:

“In-ji, jangan omong sembarangan”

“Pendapat dari putrimu itu sama sekali tidak punya maksud

mendendam padanya, sebaliknya ..”

“Tidak usah kau teruskan” potong Wi Ci To cepat.

“Kalau begitu sejak kini putrimu boleh memasuki Loteng

Penyimpan kitab ini bukan” tanya Wi Lian In lagi.

“Kau kemari mau berbuat apa??”

“Baca buku, bukankah di dalam Loteng ini disimpan berbagai

macam buku yang berharga? Kalau tidak dilihat terlalu sayang.”

Dengan perlahan Wi Ci To menggelengkan kepalanya.

“Selamanya kau paling tidak suka membaca buku, jikalau kau

betul-betul mau membaca di dalam kamar bukuku masih tersedia

buku dalam jumlah cukup banyak.”

“Jadi maksud Tia putrimu tidak diperkenankan masuk ke dalam

Loteng penyimpanan kitab ini lagi??”

“Benar” sahutnya mengangguk. “Lohu tak ingin ada orang yang

datang kemari untuk menganggu dia.”

“Tetapi itu hanya sebuah lukisan saja, bukan manusia betulbetul.”

“Tetapi selama puluhan tahun ini Lohu selalu merasa bahwa dia

masih hidup di dalam Loteng Penyimpan kitab ini, setiap saat lohu

masih merasa kalau sukmanya masih tetap ada dan karenanya lohu

tidak ingin ada orang yang datang mengganggu dirinya, membuat

sukmanya terkejut dan meninggalkan tempat ini..”

Dengan pandangan yang tajam dan mengandung arti mendalam

Wi Lian In memandang wajah ayahnya, kemudian dengan air muka

penuh perasaan sedih ujarnya.

“Tia,jika kau orang tua terus menerus begitu, kemungkinan sekali

pada suatu hari bisa…. bisa. .” Akhirnya perkataan “Gila” berhasil

ditahan juga dan tidak bisa sampai diucapkan-

Wi Ci To segera menurunkan kembali kain penutupnya kemudian

menggerakkan alat rahasianya, menarik kembali rak buku itu ke

tempat semula setelah itu sambil mengangkat kembali lampu yang

ada di atas meja ujarnya: “Mari kita keluar”

Tua muda tiga orang segera turun dari loteng itu, sambil

mengunci kembali pintu Loteng dengan perlahan Wi Ci To angkat

kepalanya memandang cuaca yang sudah menggelap itu.

“Malam sudah larut, kalian pun harus kembali ke kamar untuk

istirahat”

Selesai berkata dengan menggendong tangan ia berlalu dari

sana, Ti Then serta Wi Lian In saling pandang, memandang tanpa

seorang pun yang mengucapkan kata-kata kemudian tanpa terasa

lagi suatu senyuman pahit menghiasi bibir mereka, setelah lewat

beberapa saat kemudian mereka berdua berpisah untuk kembali ke

kamarnya masing-masing.

Ti Then yang sekembalinya dari kamar segera dia duduk di atas

pembaringan dan berpikir dengan keras, dia sedang memikirkan

suatu persoalan yang amat penting, semula di dalam anggapannya

Majikan Patung Emas memperalat dia tujuannya tentu terletak pada

suatu barang pusaka yang disimpan dalam Loteng Penyimpan Kitab

pusaka itu, tetapi menurut apa yang dilihatnya sekararg ini barang

yang disimpan di dalam Loteng Penyimpan kitab itu bukan lain

hanyalah suatu rahasia pribadi Wi Ci To sendiri.. kalau memangnya

begitu lalu kenapa Majikan Patung Emas memerintahkan dia untuk

bergabung dengan pihak Benteng Pek Kiam Po kemudian

memperistri Wi Lian In, apa sebetulnya yang di arah ???

Apa mungkin Majikan Patung Emas pun sudah menganggap Wi

Ci To menyembunyikan suatu barang pusaka di dalam Loteng

penyimpan Kitabnya itu sehingga mau menggunakan kedudukannya

sebagai menantu untuk masuk ke dalam Loteng Penyimpan kitab itu

untuk mengadakan penyelidikan???

Tidak. Majikan Patung Emas menghendaki dirinya berlaku

sebagai Patung Emasnya tentu di dalam hatinya tersimpan suatu

rencana yang amat rapi Jikalau dia tidak tahu betul-betul barang

pusaka apa yang sudah disimpan di dalam Loteng Penyimpan kitab

pusaka itu, tidak mungkin mau menggunakan tenaga yang begitu

besarnya.

Tapi jika dilihat cara bercerita serta perubahan mimik dari Wi Ci

To, jelas sekali dia bukan sedang berbohong.

Apa mungkin tujuan dari Majikan Patung Emas tidak terletak di

dalam Loteng penyimpan Kitab itu.

Sekali lagi dia terjerumus di dalam alam pikiran yang ruwet, alam

pikiran yang sangat kacau.

“Ti Kiauw tauw, ini air tehmu.”

Si Locia itu pelayan tua dengan membawa cawan teh panas

bertindak masuk ke dalam kamar kemudian dengan amat

hormatnya menyodorkan cawan itu ke hadapan Ti Then..

Ti Then segera menerima cawan itu dan mulai meneguknya,

sedang pikirannya tetap diperas dengan segala tenaganya.

“Ti Kiauw tauw…” panggil si Lo-cia itu lagi sambil tertawa.

Dengan perlahan Ti Then angkat kepalanya. “Ada urusan apa?”

Si Locia tersenyum-senyum malu, lama sekali baru mendengar

dia berkata.

“Budakmu tadi dengar katanya Pocu sudah membawa siocia

serta Ti Kiauw tauw masuk ke dalam Loteng Penyimpan Kitab itu”

“Tidak salah” sahut Ti Then mengangguk.

“Sungguh heran, bagaimana Pocu bisa membiarkan orang lain

mememasuki Loteng penyimpan Kitabnya?”

“Agar semua orang tahu kalau di dalam Loteng penyimpan

Kitabnya itu tidak terdapat barang pusaka satu pun”

“Kalau memangnya tidak ada barang pusaka, kenapa selama ini

tidak membiarkan orang lain untuk masuk?”

“Aku hanya bisa memberitahukan padamu kalau di dalam Loteng

penyimpan kitab itu tidak terdapat barang apa-apa, sebaliknya

hanya tersimpan suatu kisah pribadi dari pocu”

“Hanya tersimpan suatu kisah pribadi dari pocu?” Tanya si Locia

setengah tidak percaya.

“Benar”

“Kisahnya bagaimana? ” desak si Locia kembali.

“Aku hanya bisa memberitahukan padamu sekian saja, bilamana

kau mau mengetahui hal yang lebih jelas seharusnya pergi tanya

siocia sendiri”

Mendengar omongan itu Locia garuk-garuk kepalanya.

“Siocia tidak mungkin mau beritahu pada budakmu, dia sering

memaki budakmu terlalu banyak omong”

Ti Then tersenyum: “Kau memang terlalu cerewet”

“Tetapi budakmu berbuat demikian hanya terlalu memperhatikan

perkembangan pocu kita, kau harus tahu budakmu sudah mengikuti

pocu selama puluhan tahun lamanya, segala sesuatunya …”

“Sudah ..sudah. . pocu kalian tidak ada urusan yang harus kau

sedihi, kau tidak per1u merasa kuatir hatinya, pergi tidur sana”

Lo cia segera menyahut berulang kali dan mengundurkan diri dari

sana.

Ti Then segera mengunci pintu kamarnya dan mengambil lampu

mendekati jendela untuk kirim tanda, tetapi sesudah dipikir

beberapa kali dia membatalkan kembali maksudnya itu, dia pikir

tentu Majikan patung Emas sudah mengetahui kalau dia telah

kembali ke dalam Benteng Pek Kiam Po sedang sebelum dirinya

menjadi suami istri dengan wi Lian In dia pun tidak akan

memberitahukan rencananya, karena itu dia merasa malas untuk

mengadakan hubungan, segera dia buka pakaiannya dan naik ke

atas pembaringan untuk beristirahat.

Dia sudah ada dua hari lamanya tidak tidur karena itu

semangatnya saat ini sudah luntur, tidak selang lama dia berbaring

ia sudah tertidur dengan amat pulasnya.

Entah sudah tertidur beberapa lamanya mendadak dia sadar

kembali dengan perasaan amat terperanyat.

Ketika dia buka matanya terlihatlah itu patung emas sudah

berdiri dengan angkernya di depan pembaringannya.

Tanpa terasa dia sudah menghela napas panjang, dengan

perasaan tidak puas bercampur mangkel gumamnya.

“Aku sudah ada beberapa hari lamanya tidak tidur, kenapa kau

tidak membiarkan aku tidur dengan nyenyaknya barang satu hari

saja?”

Suara dari Majikan Patung Emas segera berkumandang datang

dari atas atap. sahutnya dengan suara yang amat dingin:

“Aku ada perkataan yang harus diucapkan kepadamu”

Dengan lambat-lambat Ti Then bangkit berdiri: “Bukankah besok

malam masih bisa?” serunya kembali

“Bangsat cilik” Teriak Majikan Patung Emas itu setengah gusar.

“Kau jangan berberbuat begitu, kau adalah patung emasku,

bilamana aku tidak membiarkan kau tidur kau pun terpaksa harus

sadar terus.”

“Bilamana patung emasmu binasa karena kelelahan?”

Majikan patung emas segera tertawa dingin.

“Dengan usiamu seperti sekarang kau tidak akan binasa karena

kelelahan, sekali pun sepuluh hari tidak tidur pun tidak mengapa”

“Di dalam keadaan gusar aku bisa mengambil keputusan

pendek.” ancam Ti Then tak mau kalah.

“Aku tahu kau tidak akan melakukan bunuh diri, karena di dalam

benakmu masih ada urusan yang belum diselesaikan.”

Ti Then segera mendengus dingin, “Sudah, sudahlah, ada

perkataan cepat disampaikan.”

Nada dari majikan patug emas segera berubah menjadi lunak

kembali.

“Pertama-tama aku mau ucapkan selamat padamu terlebih dulu,

karena akhirnya kau berhasil memenuhi harapanku dan kembali ke

benteng Pek Kiam Po”

“Aku sudah tahu tentu kau amat girang” sahut Ti Then tawar.

“Tetapi. .” ujar Majikan patung emas kembali sembari tertawa.

“Semua ini bukanlah atas pahala kau seorang, jikalau bukannya

Anying langit rase bumi datang mencari setori Wi Ci To juga tidak

akan mengubah pikirannya sedemikian cepat dan menahan dirimu

untuk meneruskan jabatanmu sebagai Kiauw tauw”

“Lalu bagaimana pendapatmu tentang peristiwa di atas tebing

Sian Ciang itu”

“Tidak jelek. kau menduga terlebih dulu gerakan dari musuh

sehingga berhasil menghilangkan suatu bencana, tetapi dengan

perbuatanmu itu berarti juga sudah mendatangkan suatu bencana

buat dirimu sendiri, jadi ini bukanlah suatu keuntungan buatku mau

pun buat dirimu sendiri bukan begitu?”

“Kau mau bicara apa pun boleh”

” Kemarin malam sewaktu aku siap memasuki kamar Huang puh

Kian Pek aku lihat dia sudah melakukan suatu gerakan, karena itu

aku tak jadi turun tangan sendiri. Walau pun budak itu sudah

menaruh kesalah pahaman dengan kau ternyata masih juga mau

melaksanakan pendapatnya, hal ini membuktikan kalau dia sudah

menaruh cinta kepadamu.”

Ti Then hanya berdiam diri tidak menyawab.

“Sesampainya di dalam Istana Thian Teh Kong kau harus lebih

hati-hati lagi,” ujar majikan patung emas itu kembali serius.

“Si Rase Bumi Bun Jin Cu tentu akan mengundang orang untuk

membantu bertempur, untuk berkelahi secara terang-terangan kau

bersama-sama Wi Ci To tak akan kalah, tetapi keadaan dalam

Istana Thian Teh Kong sama saja dengan keadaan di dalam Loteng

Penyimpan kitab itu, setiap tempat dipasang alat rahasia, kau

mungkin bisa masuk dengan selamat tetapi untuk lolos tentu sukar.

Karenanya kau lebih baik jangan masuk ke dalam, kalau tidak begitu

nyawamu hilang untuk menemukan kembali nyawamu itu aku akan

menemui kesulitan yang amat besar”

“Aku pun mau beritahukan suatu urusan kepadamu, jikalau

tujuanmu terletak pada suatu macam barang yang di simpan dalam

loteng Penyimpan Kitab itu maka sebaliknya sejak kini kau hilangkan

saja pikiran tersebut, karena semalam Wi Ci To telah membawa

putrinya serta aku memasuki Loteng Penyimpan Kitab itu, di dalam

sana kecuali hanya terdapat berbagai macam kitab serta lukisan

sama sekali tidak ada barang pusaka apa pun.”

Agaknya Majikan Patung Emas dibuat terperanyat oleh berita

yang mendadak ini: “Haa. Wi Ci To membawa kalian jalan-jalan ke

dalam Loteng Penyimpan kitabnya?”

“Tidak salah, urusan ini seharusnya kau tahu bukan ?? ”

“Aku yang bersembunyi di dalam Benteng Pek Kiam Po ini setiap

kali harus menanti setelah tengah malam tiba baru bergerak. maka

tidak semua urusan bisa aku ketahui .. kau bilang di dalam Loteng

Penyimpan Kitab itu selain kitab serta lukisan tidak terdapat barang

lainnya?”

“Benar.”

” Kalau memang begitu” ujar Majikan Patung emas kembali. ”

Kenapa dia melarang semua orang masuk ke sana?? Dan kenapa

disetiap tempat di atas loteng itu dipasang alat-alat rahasia ?”

“Karena di dalam sana dia sudah menyembunyikan suatu rahasia

pribadinya.”

“Rahasia apa ?”

“Termasuk rahasia percintaannya.”

Agaknya majikan patung emas itu tidak merasa sabaran lagi,

bentaknya: ” Cepat katakan-”

“Sebab-sebab dia tidak memperkenankan orang lain memasuki

Loteng Penyimpan Kitabnya dikarenakan di sana dia sudah

menyimpan lukisan dari istri pertamanya Shu Sim Mey. kiranya

sebelum dia mengawini ibunda Wi Lian In terlebih dulu dia sudah

mem punyai seorang istri..”

Segera dengan amat jelas dia menceritakan apa yang sudah

didengarnya itu kepada majikan Patung Emas.

Dia mau menceritakan rahasia dari Wi Ci To ini kepadanya sudah

tentu mengharapkan pihak lawannya, sudah tentu bilamana barang

yang diincar pihak lawannya itu berada di dalam Loteng Penyimpan

Kitab itu menjadi paham kalau di sana sama sekali tidak terdapat

barang pusaka apa pun, dan mengharapkan pihak lawannya bisa

menghapuskan maksud hatinya ini bahkan membatalkan

kedudukannya sebagai patung emas yang diperbudak.

Siapa tahu selesai Majikan Patung Emas itu mendengar kisahnya

segera tertawa terbahak-bahak:

“Kau mau percaya atas semua perkataannya itu???”

“Sudah tentu percaya” Seru Ti Then cepat. “Karena sewaktu dia

menceritakan kisahnya ini perubaban mimiknya persis dengan dia

yang diceritakan, sudah tentu aku percaya penuh”

“Sebaliknya aku sama sekali tidak percaya..” seru Majikan Patung

Emas tertawa dingin.

“Bilamana waktu itu kau hadir di sana, kau akan percaya

terhadap semua perkataannya.”

“Tidak, aku tidak akan percaya pada perkataannya.” Bantah

majikan Patung emas dengan tegas.

“Kau punya alasan apa untuk tidak mempercayai atas perkataan

itu ?”

“Di dalam Bu lim saat ini kecuali aku seorang, tidak ada orang

lain yang tahu lebih jelas riwayat hidupnya, dia sama sekali tidak

mem punyai seorang istri yang bernama Shu Sim Mey, semua itu

dia sengaja karang untuk membohongi kalian-”

Diam-diam Ti Then merasa amat terperanyat. “Benarkah?”

“Sedikit pun tidak salah, jikalau kau punya waktu pergilah satu

kali ke daerah Su kho dan coba cari berita tentang riwayatnya, maka

kau segera akan tahu kalau apa yang dikatakan kemarin malam

semuanya merupakan suatu omongan kosong yang amat besar”

Dalam hati Ti Then betul-betul merasa hatinya bergolak dengan

amat keras:

” Kalau begitu dia sengaja karang cerita ini dengan tujuan untuk

mengelabui putrinya sehingga dia tidak menaruh perasaan curiga

lagi.”

“Sedikit pun tidak salah”

“Kalau begitu rahasianya yang betul-betul sebenarnya apa?”

Desak Ti Then lagi.

” Untuk sementara waktu aku tidak bisa beritahukan kepadamu”

“Dia tentu sudah menyembunyikan semacam barang pusaka, kau

ingin menggunakan aku pergi mencuri barang pusaka tersebut

bukan begitu?” seru Ti Then sembari tertawa mengejek.

“Salah besar”.

“Hmm, kau sedang berbohong.”

Majikan Patung Emas segera memperdengarkan senyumannya

yang amat misterius.

“Manusia seperti aku ini sekali pun diperlihatkan barang-barang

pusaka yang bagaimana berharga dan bagaimana hebatnya sama

sekali tidak akan menggerakkan hatiku, maka kau berlegalah

hatimu, aku sama sekali tidak akan mencuri barang pusaka dari Wi

Ci To barang sebuah pun juga.”

Dia berhenti sebentar kemudian tambahnya sembari tertawa:

“Jika lalu tujuanku terletak pada barang pusaka, di dalam istana

Thian Teh kong jauh lebih banyak lagi.”

Ti Then segera putar otaknya, dia merasa perkataannya sedikit

pun tidak salah, jikalau dia menghendaki barang pusaka di dalam

istana Thian Teh kong memang jauh lebih banyak. tetapi dia sama

sekali tidak ingin mencuri barang pusaka juga tidak ingin mencelakai

diri Wi Ci To bahkan dia pernah bilang kalau dia menyamin tidak

akan mengganggu orang-orang benteng Pek Kiam Po barang

seujung rambut pun.

Kalau begitu, apa sebetulnya tujuan yang sedang direncanakan

sehingga mengharuskan dirinya menyelundup masuk ke dalam

benteng Pek Kiam Po kemudian mengawini Wi Lian In?

Agaknya Majikan Patung emas tahu apa yang sedang dipikirkan

Ti Then di dalam hatinya, segera dia tertawa

“Aku tahu di dalam hatimu tentu mengandung bermacam

perasaan curiga dan ragu-ragu, jikalau kau ingin cepat-cepat

mengetahui apa tujuanku yang sebetulnya maka kau haruslah lebih

mempergiat usahamu sehingga Wi Lian In budak itu bisa kau

peristri secepat mungkin”

“Tapi Wi Ci To sudah tahu kalau aku adalah Lu Kongcu itu”

bantah Ti Then- “Karena itu dia pun sudah tahu kalau aku masuk ke

dalam benteng Pek Kiam Po membawa suatu maksud tertentu, aku

kira dia tidak akan menjodohkan putrinya kepadaku”

“Tidak. kau sudah dua kali menolong nyawa putrinya bahkan

kemarin malam sudah membantu mereka melenyapkan suatu

bencana yang sebetulnya mengancam seluruh isi benteng, maka

aku percaya di dalam hatinya dia pasti sangat berterima kasih

kepadamu, sejak ini hari bilamana rahasiamu tidak sampai bocor

maka dengan cepat dia akan menjodohkan putrinya Wi Lian In

kepadamu.”

“Ehmm… kau punya petunjuk lain?” tanya Ti Then dengan nada

kemalas-malasan- “Kalau tidak ada aku mau pergi tidur.”

“Masih ada satu urusan, kau masih ingat dengan pendekar

pedang merah si pendekar pedang pemetik bintang Hong Kun?

“Oooh pendekar pedang merah yang waktu itu mengikuti Wi Ci

To pergi mengejar Hong Mong Ling?”

“Benar, waktu itu Wi Ci To mengajak Hong Kun dengan alasan

pergi mengejar Hong Mong Ling padahal secara diam-diam malam

itu juga dia kembali ke dalam benteng dan bersembunyi di dalam

Loteng Penyimpan kitabnya menanti kau terpancing ke dalamjebakannya,

sedangkan Hong Kun itu menerima perintah berangkat

ke kota Tiangan untuk menyelidiki wajah yang sebenarnya dari Lu

Kongcu, di dalam waktu dekat ini dia akan kembali ke dalam

benteng”

“Lalu bagaimana baiknya?”

” Waktu itu untuk menutupi penyamaranmu aku sudah

perintahkan orang lain untuk menyamar sebagai Lu Kongcu dan

sengaja muncul di hadapan Hong Kun agar Hong Kun sudah salah

menganggap kalau ” Lu Kongcu memang benar-benar pernah pergi

ke rumah pelacuran Tou Hoa Yuan, kini Wi Ci To sudah memastikan

adalah Lu Kongcu itu sedang kau pun sudah mengakui kalau Lu

Kongcu itu adalah hasil penyamaranmu, lewat dua hari lagi jikalau

Hong Kun sudah kembali ke dalam benteng untuk melaporkan

pertemuannya dengan Lu Kongcu dan membuktikan kalau Lu

Kongcu memiliki kepandaian silat yang tinggi serta pernah memukul

roboh Hong Mong Ling di rumah pelacur Tou Hoa Yuan, Wi Ci To

tentu akan menjadi sadar kembali.”

“Bukanlah dengan begitu perasaan curiga terhadap diriku bisa

dilenyapkan?” Tanya Ti Then kegirangan.

“Tapi kau pernah mengaku kalau kau adalah Lu Kongcu itu dan

yang memukul roboh Hong Mong Ling sewaktu berada di rumah

pelacuran Touw Hoa Yuan juga kau. .”

“Haaa.. haaa… soal itu tidak usah kuatir, jikalau Wi Ci To

menaruh curiga lalu atas ketidak cocokan ini aku punya cara untuk

memberikan jawabannya.”

“Kau mau Jawab bagaimana ?”

“Aku bisa bilang aku Ti Then seharusnya tidak patut dicurigai

orang, makanya ketika ada orang yang mencurigai aku adalah Lu

Kongcu itu dalam hatiku merasa amat mangkel, karena itu sengaja

aku mengaku, karena aku punya anggapan pada suatu hari urusan

pasti akan menjadi terang .. coba kau bilang tepat tidak jawaban

ini?”

Majikan patung emas menjadi amat girang sekali.

“Cocok sekali cocok sekali” pujinya. “Jawaban ini cocok sekali

dengan sifatmu yang keras dan angkuh, sungguh bagus sekali”

“Sekarang kau mengijinkan aku untuk tidur sebentar bukan?”

“Sudah tentu.. sudah tentu, kau tidurlah.” seru majikan patung

emas dengan amat girang.

Pendekar pedang merah dari benteng Pek Kiam po seorang demi

seorang mulai kembali ke dalam benteng.

Pada tiga hari sesudah Ti Then masuk ke dalam Loteng

Penyimpan kitab suatu siang hari benar juga itu si pendekar pedang

pemetik bintang Hong Kun yang mendapat tugas menyelidiki

keadaan Lu Kongcu kembali ke dalam Benteng. Wi Ci To segera

panggil dia untuk bertemu di dalam kamar bukunya. “Kau sudah

bertemu dengan Lu Kongcu?” tanyanya dengan perasaan ingin tahu.

“Sudah.” sahut si pendekar pedang pemetik bintang Hong Kun

mengangguk.

“Pada hari pertama setelah tecu tiba di kota Tiang An di atas

sebuah loteng rumah makan sudah bertemu dengan dia”

“Bagaimana dengan wajahnya ??”

“Mirip sekali dengan Ti Kiauw tauw”

Air muka Wi Ci To segera berubah.

“Bagaimana kau bisa memastikan kalau dia adalah putranya Lu

Ko sian ???”

“Semula tecu tidak tahu, kemudian telah mendengar kawankawan

yang doyan pelesiran dimana mereka minum arak bersamasama

dengan dia memanggil orang itu dengan sebutan Lu heng

bahkan kelakuannya amat menghormat sekali, lalu tecu juga tanya

pelayan, waktu itulah tecu baru tahu kalau dia adalan Lu Kongcu

itu”

Wi Ci To segera tersenyum.

“Kemudian kau pura-pura mabok dan sengaja mencari setori

dengan dia, bukan begitu” seketika itu juga sipendekar pedang

pemetik bintang itu menjadi tertegun-

“Oh, kiranya suhu juga sudah berada di sana…” serunya

keheranan.

“Tidak. aku tidak ada di sana” jawab Wi Ci To sambil gelengkan

kepalanya.

” Kalau tidak bagaimana suhu tahu kalau tecu pura-pura mabok

dan mencari setori dengan dia orang ??” tanya Hong Kun

keheranan.

” Hanya dugaanku saja, di dalam tempat seperti itu untuk

menyajal kepandaian silat orang lain terpaksa harus pura-pura

menjadi mabok”

Dia berhenti sebentar, sesudah menghembuskan napas panjangpanjang

tambahnya. “Bahkan aku pun tahu atas hasil

penyelidikanmu itu…bukankah dia tidak bisa bersilat”

“Tidak benar” Bantah si pendekar pemetik bintang itu cepat ”

Kepandaian ilmu silatnya tidak termasuk ilmu silat pesaran, tecu

terpaksa harus menghamburkan tenaga yang amat besar dan lama

baru berhasil menawan dirinya”

Ketika itu juga Wi Ci To menjadi melengak. “Haa, sungguh ???”

Dengan perlahan si pendekar pemetik bintang itu mengangguk.

“Benar, kepandaian silatnya agak sedikit berada di bawah

kepandaian silat pendekar pedang merah kita tapi jauh lebih tinggi

dari para pendekar pedang putih”

Sekali lagi Wi Ci To dibuat terperanyat. “Kiranya ada kejadian

semacam ini, lalu bagaimana?”

“Sesudah tecu berhasil menawan dirinya, lalu tecu tanyai apakah

pada satu bulan yang lalu pernah datang ke kota Go bi??, memukul

rubuh seorang pendekar pedang merah dari Benteng Pek Kiam Po di

dalam rumah pelacuran Touw Hoa Yuan?”

Sebelumnya dia tidak mau mengaku, tapi sesudah tecu desak

terus menerus akhirnya dia mengaku juga, dia masih bilang yang

rubuh olehnya adalah si naga mega Hong Mong Ling.”

Mendadak Wi Ci To bangkit berdiri, sepasang matanya

memancarkan sinar yang amat tajam dan memandang wajah si

pendekar pedang pemetik bintang tanpa berkedip. serunya dengan

suara berat.

“Kau sedang bohong bukan?”

” Urusan yang demikian besar tecu mana berani mengarang

cerita bohong ” Jawab si pendekar pedang pemetik bintang dengan

wajah serius.

Agaknya Wi Ci To menemui kesukaran, alisnya dikerutkan rapatrapat

berulang kali dia berjalan bulak balik di dalam kamar bukunya,

akhirnya baru dia berkata. “Baiklah, sekarang persilahkan Ti Kiauw

tauw serta siocia datang kemari.”

Dengan sangat hormat sekali si pendekar pedang pemetik

bintang itu menyahut, setelah memberi hormat dia mengundurkan

diri dari sana menuju ketengah lapangan latihan silat.

Ujarnya kemudian setelah bertemu dengan Ti Then yang sedang

memberi pelajaran silat kepada Wi Lian In

“Ti Kiauw tauw, siocia kalian diundang pocu untuk berbicara di

dalam kamar buku”

Ti Then sudah tahu peristiwa apa yang sudah terjadi, karenanya

dengan sangat tegang dia mengajak Wi Lian In berjalam menuju

kamar buku dimana Wi Ci To sudah menanti, setelah memberi

hormat ujarnya:

“Pocu mengundang boanpwe datang kemari entah mem punyai

petunjuk apa?”

“Silahkan Ti Kiauw tauw ambil tempat duduk.” Ti Then segera

menarik sebuah bangku dan duduk.

Lama sekali Wi Ci To memandangi dirinya sambil tersenyum,

kemudian baru ujarnya . “Sifat dari Ti Kiauw tauw lain kali harus

sedikit diubah.”

” Urusan apa?” tanya Ti Then tertegun.

” Waktu itu kenapa kau mengakui kalau kau adalah Lu Kongcu

itu?”

Ti Then tertawa serak.

“Kiranya Pocu bermaksud demikian, apakah sekarang pocu sudah

tahu kalau boanpwe bukanlah Lu Kongcu?”

“Tidak salah” jawab Wi Ci To sambil mengangguk. “Hari ini lohu

baru tahu kalau Ti Kiauw tauw benar-benar bukanlah Lu Kongcu itu,

tetapi kalau memangnya kau bukan dia kenapa waktu itu sudah

mengaku”

Ti Then tak langsung memberikan jawabannya sebaliknya balas

tanya: “Bagaimana Pocu berani memastikan kalau boanpwe

bukanlah Lu Kongcu itu?”

” Urusan sudah begini untuk mengelabui pun tidak ada gunanya,

Lohu sudah mengirim seorang pendekar pedang merah untuk pergi

kekota Tiang An untuk melakukan penyelidikan, pendekar pedang

merah itu sudah berhasil memperoleh keterangan kalau Lu Kongcu

yang waktu itu memukul rubuh Hong Mong Ling di dalam rumah

pelacuran Touw Hoa Yuan memangnya Lu Kongcu sendiri dan

bukanlah Ti Kiauw tauw yang sengaja menyamar.”

“Bagus sekali” Teriak Ti Then tertawa. “Boanpwe sudah menduga

bahwa pasti ada satu hari urusan ini bisa dibikin terang”

” Waktu itu ketika lohu menanyai dirimu kenapa kau sudah

mengakuinya?” tanya Wi Ci To lagi.

“Ku Ie mau pun Liuw Su Cen terus menerus mengatakan kalau

boanpwe adalah Lu Kongcu, itu sedangkan Pocu sendiri pun

agaknya sudah mempercayai perkataan mereka, di dalam keadaan

seperti itu kalau boanpwe tidak mengaku apa mungkin Pocu mau

mempercayainya??”

Air muka Wi Ci To segera berubah dan memperlihatkan perasaan

menyesal.

” Waktu itu Lohu memang betul-betul sudah mempercayai

perkataan mereka, tetapi kau tidak seharusnya mengakui semuanya

itu, seharusnya kau bisa membedakan urusan ini dengan dirimu

sendiri”

” omong terus terus terang saja, boanpwe sama sekali tidak

punya alasan untuk tetap tinggal ditempat ini oleh karena itu malas

untuk mendebat urusan ini.”

“Karena itu” ujar Wi Ci To lagi “Lohu anjurkan agar sifatmu itu

sedikit diubah, sifat yang keras dan ketus kadang kala bisa

mendatangkan kesukaran bagi dirinya sendiri”

“Benar, terima kasih atas petunjuk dari pocu”

Dengan perlahan Wi Ci To menoleh ke arah Wi Lian In, ujarnya

kemudian sambil tertawa.

“Inyie, Ti Kiauw tauw memang benar-benar seorang pemuda

yang bersih dan jujur, waktu itu kita betul-betul berbuat sesuatu

yang salah terhadapnya, kau bilang benar tidak ??”

Semula di dalam anggapan wi Lian In ‘Lu Kongcu’ itu adalah hasil

penyamaran Ti Then, tetapi dikarenakan dua kali Ti Then menolong

dia lolos dari “mulut macan” bahkan lenyapkan pula bencana yang

akan menimpa benteng Pek Kiam Po karena itulah perasaan curiga

terhadap Ti Then menjadi lenyap dan di dalam anggapannya

sekarang Ti Then sengaja menyamar sebagai Lu Kongcu semuanya

dikarenakan dia mencintai dirinya.

Sekarang sesudah dia tahu kalau Ti Then bukanlah Lu Kongcu itu

di dalam hatinya sekali pun merasa girang juga atas kebersihan diri

Ti Then tidak urung merasa kecewa juga, setelah mendengar

perkataan dari ayahnya dengan perasaan malu dia menundukkan

kepalanya..

Dengan perlahan Wi Ci To berbatuk-batuk kering, ujarnya

kemudian sambil tertawa.

“Para pendekar pedang merah telah ada sebagian yang telah

kembali ke dalam Benteng makanya Lohu ambil keputusan untuk

berangkat ini hari juga”

“Pergi mencari Hong Mong Ling?” tanya Ti Then

Air muka Wi Ci To segera berubah menjadi amat keren.

“Benar” sahutnya perlahan- “Peraturan perguruan lohu

selamanya keras terhadap murid-murid yang murtad dan berbuat

jahat selamanya tidak meninggalkan kehidupan”

“Tia. .” Wi Lian In mendadak nyeletuk. “Kau orang tua tidak tahu

dia sudah bersembunyi dimana, kau orang tua mau cari dimana?”

“Biarlah lohu cari disegala tempat, kemudian bila sampai

waktunya langsung menuju ke istana Thian Teh Kong untuk

memenuhi janyi.”

” Kalau memangnya begitu, biarlah Ti Kiauw tauw serta putrimu

ikut bersama-sama Tia?”

Dengan perlahan Wi Ci To gelengkan kepalanya.

“Jangan, bilamana kita bertiga harus melakukan perjalanan

bersama-sama, hal ini terlalu menyolok dan mudah di ketahui oleh

bangsat kecil itu.”

“Tetapi Ti Kiauw tauw serta putrimu juga mau pergi ke istana

Thian Teh Kong ” bantah Wi Lian In ngotot.

“Begini saja, dua hari lagi kalian berdua baru berangkat dengan

mengambil jalan lain, dengan demikian kesempatan untuk bertemu

dengan bangsat cilik itu pun menjadi lebih besar.”

Dia berhenti sebentar, kemudian dengan wajah yang amat dingin

tambahnya.

“Bilamana kalian sudah berhasil bertemu dengan dia, tidak usah

buang tenaga membawa dia kembali ke dalam Benteng, juga tidak

perlu bertanya lebih banyak. ditempat itu juga turun tangan bunuh

mati dirinya”

Diam-diam Wi Lian In melirik ke arah Ti Then, kemudian baru

ujarnya sambil tertawa: “Kau sudah dengar belum??”

Ti Then terpaksa angkat bahunya, dia hanya tersenyum saja

tanpa mengucapkan sepatah kata pun, padahal di dalam hati diamdiam

pikirnya:

“Aku tidak akan berbuat demikian, bilamana berhasil menawan

dirinya, aku harus menanyai lebih jelas lagi..”

Tampaklah Wi Ci To sudah bangkit berdiri ujarnya:

“Inyie, coba kau bantu ayahmu bereskan sedikit perbekalan, lohu

mau kumpulkan semua pendekar pedang merah untuk diberi tugas,

setelah itu aku harus segera berangkat.” sambil berkata dia berjalan

keluar dari kamar bukunya.

Ti Then pun segera ikut bangkit berdiri dan berjalan keluar,

tinggal Wi Lian In seorang yang berada dalam kamar buku itu

membantu ayahnya membereskan buntalannya.

Satu jam kemudian Wi Ci To di bawah hantaran Ti Then, wi Lian

In serta berpuluh-puluh pendekar pedang merah meninggalkan

Benteng Pak Kiam Po untuk melakukan perjalanannya.

Wi Lian In yang melihat ayahnya sudah berangkat meninggalkan

benteng segera merasakan hatinya jauh lebih ringan, kepada Ti

Then sambil tersenyum mesra ujarnya: “Kita mau berangkat hari

apa??”

“Ayahmu minta kita baru berangkat dua hari kemudian, kita

pastikan saja baru berangkat.”

“Entah Tia sedang bermain sandiwara apa, padahal bilamana kita

bisa berangkat bersama-sama bukankah jauh lebih bagus lagi?”

Ti Then hanya tersenyum saja dan tidak memberikan

jawabannya, dia tahu kenapa Wi Ci To menghendaki melakukan

perjalanan seorang diri, sebab-sebab Wi Ci To menghendaki

demikian tentunya bukan dikarenakan dia mau memberikan

kesempatan kepada Wi Lian In untuk lebih erat bergaul dengan dia.

melainkan dia tidak menghendaki ada orang ketiga yang hadir

sewaktu dia menawan diri Hong Mong Ling kemudian menghukum

mati dia orang, dengan demikian rahasianya itu pun tidak akan

sampai tersiar diluaran. Tetapi urusan ini dia tidak enak untuk

menjelaskan kepada diri Wi Lian InWi

Lian In yang melihat dia hanya tertawa saja tanpa

memberikan jawabannya, wajahnya segera berubah semu merah,

ujarnya: “Ayo kau bilang.”

“Kau minta aku bicara apa ??”

“Coba kau bilang kenapa Tia tidak mengijinkan kita melakukan

perjalanan bersama-sama dengan dia orang tua.”

“Bukankah ayahmu sudah menjelaskan?, kita melakukan

perjalanan dengan berpisah begitu kesempatan untuk bertemu

dengan Hong Mong Ling pun menjadi jauh lebih besar.”

Wi Lian In segera mencibirkan bibirnya: “Kau kira hanya alasan

ini saja ??”

“Mungkin memang begitu” sahut Ti Then tertawa.

Dengan manyanya Wi Lian In melototkan matanya ke arahnya.

“Hmmm, kau orang sungguh pandai berpura-pura.”

Di dalam hati Ti Then tahu dia sangat menginginkan dia berkata

demikian, lalu ujarnya: “Mungkinkah masih ada satu alasan, tetapi

bilamana aku katakan tentu akan dipukul. .”

“Siapa yang mau pukul kau??”

“Orang yang ada di sampingku” ujar Ti Then tersenyum. Wi Lian

In segera tertawa senang.

“Buat apa aku pukul dirimu?? cepat kau katakan tentu aku tidak

pukul dirimu”

Jilid 17.2: Siapa pembunuh Hong Mong Ling?

“Baiklah aku katakan, ayahmu tidak membiarkan diri kita

melakukan perjalanan bersama-sama dia orang tua memang masih

ada satu alasan, dan alasan itu adalah tidak ingin mengganggu kita

berdua.”

Wajah Wi Lian In segera berubah menjadi merah dadu, dengan

nada manya ujarnya: “Aku tidak paham perkataanmu ini”

“Baiklah aku bicara lebih jelas lagi, ayahmu mau memberikan

kesempatan pada kita berdua untuk melakukan perjalanan bersamasama

dengan begitu kesempatan buat kita berdua untuk bermesramesraan

pun menjadi lebih banyak.”

Wi Lian In merasa malu juga girang, dengan perlahan dia

mendorong badannya kemudian dengan cepat lari keluar dari dalam

kamar.

Keesokan harinya, baru saja fajar menyingsing dia sudah datang

kekamar Ti Then, ujarnya.

“Hey. kita berangkat ini hari saja bagaimanaa??” . .

“Bukankah ayahmu minta kita berangkat dua hari lagi, sekarang

baru satu hari” ujar Ti Then sambil menguap berulang kali.

“Pokoknya kan kita menganggur, berangkat ini hari atau

berangkat besok juga sama saja”

“Kalau tidak ada bedanya kita berangkat besok saja” jawab Ti

Then cepat.

“Tidak, kita berangkat ini hari saja”

Melihat kelakuan ini Ti Then tersenyum. “Buat apa begitu

cemasnya???”

Wi Lian In segera medepakkan kakinya ke atas tanah. “Kau tidak

mau berangkat, aku mau berangkat seorang diri.”

Selesai berkata dia segera putar badannya siap mau pergi.

Dengan cepat Ti Then menarik pergelangan tangannya lalu

ujarnya sambil tertawa:

“Jangan merasa bingung dulu, mau berangkat kita pun harus

bersiap-siap dengan buntalan-”

“Baiklah. kau cepat bersiap-siap. biar aku beritahukan para

pendekar pedang merah.”

Tidak lama kemudian mereka berdua masing-masing dengan

mempergunakan seekor kuda berlari meninggalkan Benteng Pek

Kiam Po.

Wi Lian In kelihatan girang sekali mendengar dia berkata sambil

tertawa.

“Jarak dari sini ke gunung Kim Hud san masih ribuan lie lagi

jauhnya, jika di dalam satu hari kita melakukan perjalanan sejauh

dua ratus lie berarti lima hari kemudian haru sampai”

” Kau punya rencana jadi tamunya istana Thian Teh Kong??”.

“Bagaimana bisa dikatakan jadi tamu” tanya Wi Lian In tertegun-

Ti Then tersenyum.

“Janyinya si rase bumi Bun Jin Cu masih ada dua puluh hari

lamanya, jikalau kita sampai di sana setengah bulan lebih cepat,

bukankah sama saja jadi tamu istana Thian Teh Kong ???”

Wajah Wi Lien In segera berubah menjadi merah padam seperti

kepiting rebus.

“Tidak salah, aku sudah lupa kalau perjanyian kita masih ada dua

puluh hari lamanya…”

“Karena itu kita tidak perlu cepat-cepat, berjalan perlahan pun

tidak mengapa.”

“Tidak sampai lima puluh li satu hari??” tanya Wi Lian In sambil

memandangi wajah Ti Then-

“Jikalau kita melakukan perjalanan selambat itu, kiranya kuda

kita tidak akan sabaran”

“Cepat tidak baik lambat juga tidak baik, lalu kita harus berjalan

secara bagaimana?”

“Lebih baik kita cari tempat untuk bermain-main”.

Mendengar perkataan itu Wi Lien In menjadi amat girang.

“Bagus sekali, coba kau bilang kita baiknya bermain ke tempat

mana ?”

“Bagaimana kalau gunung Kim Tong sam”

senyuman yang menghiasi bibir wi Lian In segera berubah

menjadi senyuman pahit, dengan perasaan amat terkejut dia teriak

tertahan.

” Gunung Kim Tong san ?”

” Kenapa??” tanya Ti Then tersenyum.

Wi Lian In dengan perlahan menarik napas panjang-panjang,

lama sekali baru ujarnya:

” Gunung Kim Teng sen bukanlah tempat kediaman dari si kakek

pemalas Kay Kong Beng”.

” Kenapa .?”

“Kau mau kegunung Kim Teng san apa mem punyai maksud

lain?” tanya Wi Lian In sambil pandang tajam wajahnya.

“Tidak ada” jawab Ti Then sambil menggelengkan kepalanya.

“Aku merasa kalau pemandangan di atas gunung Kim Tong san

sangat bagus sekali, aku pingin main-main ke sana.”

“Kau kenal tidak dengan si kakek pemalas Kay Kong Beng ?”

“Kenal.. kenal. hanya saja aku tidak punya rencana untuk

mencari dia orang, sesampainya di atas gunung Kim Teng san

asalkan kita tidak mendekati tempat kediamannya perduli apa

sikakek pemalas atau si kakek rajin” .

Agaknya Wi Lian In bisa dibuat paham maksudnya.

” Kalau begitu baiklah, aku mendengar sifatnya si kakek pemalas

Kay Kong Beng sangat aneh, lebih baik kita jangan terlalu mencari

gara-gara dengan dia.”

“Kau pernah dengar dari siapa kalau sifatnya si kakek pemalas

Kay Kong Beng sangat aneh??” tanya Ti Then keheranan-

“Dari Tia, Tia pernah katakan walau pun si kakek pemalas Kay

Kong Beng itu dari aliran lurus tetapi suka menyendiri dan jadi

orang sangat sombong, dia bukanlah seorang manusia yang bisa

diajak bergaul.”

“Perkataan dari ayahmu itu sedikit pun tidak salah, makanya aku

sendiri pun tidak suka padanya.”

“Aku dengar katanya dia berdiam diri di atas puncak paling atas

dari gunung Kim teng san, satu hari satu malam terus menerus

duduk tidak bergerak. apa betul begitu?”

“Tidak salah” jawab Ti Then sambil mengangguk “Karenanya

semua orang memberikan julukan si kakek pemalas kepadanya.”

“Kenapa dia berbuat begitu?” tanya Wi Lian In lagi dengan

perasaan heran-

“Siapa yang tahu, mungkin seperti apa yang ayahmu katakan

karena sifatnya yang angkuh, sombong dan suka menyendiri itulah”

“Ada orang bilang kepandaian silatnya jauh lebih tinggi dari

kepandaian silat ayahku, kau lihat bagaimana??”

“Aku pun dengar orang-orang lain berkata demikian, padahal

keadaan yang sebenarnya siapa pun tidak tahu”

“Sekali pun boleh di hitung kepandaian silatnya sangat jauh lebih

dari kepandaian silat ayahku, tetapi ayahku adalah seorang cianpwe

yang paling dihormati di dalam Bu lim.”

“Perkataanmu sedikit pun tidak salah” sahut Ti Then sambil

mengangguk. “Kepandaian silat nomor satu bukanlah suatu yang

aneh tetapi sifat paling baik dan nomor satu bukanlah suatu yang

luar biasa.”

Wi Lian In segera tertawa.

“Kau lihat bagaimana dengan sifat dan tindak tanduk Tia??”

“Soal itu sukar untuk dikatakan-”

sekali lagi Wi Lian In tertawa cekikikan-

“Tia adalah seorang pendekar sejati, juga seorang malaikat

dalam kasih sayang, perkataan ini kau setuju tidak??”

“Sangat setuju sekali” Jawab Ti Then sambil mengangguk.

” Waktu itu, ketika aku mendengar kalau Tia pernah menikah

sebelum kawin dengan ibuku di dalam hati aku benar-benar merasa

sangat sedih, kemudian sesudah tahu kalau shu sim Mey telah mati

empat puluh tahun yang lalu, kesedihanku menjadi hilang..”

“Benar, Ayahmu mengawini ibumu sebagai istri yang syah dan

bukannya dijadikan gundik, seharusnya kau tidak punya alasan

untuk bersedih hati”

“Tetapi ternyata Tia merindukan seorang yang sudah mati empat

puluh tahun yang lalu, belasan tahun ini terlalu keterlaluan?”

“Kurasa tidak.” sahut Ti Then tersenyum. “orang yang bisa

seperti ayahmu sungguh sedikit sekali.”

“Karena itulah sesudah aku pikir bolak balik bukan saja aku tidak

menyalahkan Tia, bahkan semakin menghormati dirinya, karena di

dalam dunia ini orang lelaki biasanya suka yang baru dan bosan

dengan yang lama, orang seperti Tia yang tidak melupakan cintanya

yang pertama sungguh sukar ditemui”

“Benar benar” Barulah kali ini Ti Then menganggukkan

kepalanya. Mendadak Wi Lian In tertawa merdu.

“Sedang kau kemungkinan sekali termasuk salah satu dari

sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang.” TI

Then menjadi tertawa geli.

“Bagaimana kau bisa tahu kalau aku jadi orang tidak suka yang

baru dan bosan yang lama?”

“Aku bisa melihatnya”

“Mungkin orang semacam aku ini tidak seperti ayahmu” jawab Ti

Then sambil angkat bahunya. “Tetapi aku percaya aku jadi orang

suka yang baru dan bosan dengan yang lama”

Wi Lian In dengan perlahan menundukkan kepalanya, sambil

tertawa malu ujarnya: “Aku mau buktikan dengan menggunakan

waktu”

“Sedikit pun tidak salah” sambung Ti Then dengan cepat. “Waktu

adalah sebuah cermin, siapa pun tidak bisa menghindarinya”

Dengan periahan Wi Lian In menoleh ke arah lain, tanyanya tibatiba.

“Beritahukan padaku, bilamana Tia mendadak.. mendadak

menghendaki dari. . . kau punya rencana mau berbuat apa?”

Sengaja Ti Then pura-pura tidak paham atas perkataannya itu.

“Mendadak menghendaki apa. .”

Wi Lian In dengan gemas menoleh kembali, sambil tersenyum

malu-malu dia melotot kearah Ti Then,

“Kau jangan pura-pura tolol, aku tak mau bicara lagi.”

Sehabis berkata cambuknya segera diayunkan dan dia lantas

melarikan kudanya ke arah depan.

Mereka berdua segera melanjutkan perjalanannya menuju ke

arah Timur laut sambil melakukan perjalanan mereka tak hentihentinya

mencari jejaknya Hong Mong Ling, akan tetapi sama sekali

tidak memperoleh hasil.

Di dalam sekejap mata saja sembilan hari sudah berlalu dengan

cepat, mereka sudah tiba dipegunungan Kim Teng san.

Jarak antara gunung Kim Teng san menuju ke gunung Kim Hud

san dimana istana Thian Teh Kong terletak masih ada tiga ratus li

jauhnya, walau pun gunung Kim Hud san jauh lebih tinggi dari

gunung Kim Teng san ini, tetapi pemandangannya jauh lebih indah,

sedang kaum pelancong yang mengunjungi gunung ini pun amat

banyak sekali.

Mereka berdua segera menitipkan kuda mereka disebuah rumah

petani di bawah gunung, dengan alasan mau melancong ke atas

gunung mereka melanjutkan perjalanannya naik ke gunung dengan

berjalan kaki.

Wi Lian In yang sudah pernah mengunjungi berbagai tempat

kenamaan tanpa terasa kini mengerutkan alisnya.

” Gunung Kim Teng san ini jauh berbeda dengan gunung Go bi

kita.”

Ti Then tertawa.

“Apanya yang tidak sama??” tanyanya

“Yang berbeda adalah digunung Go bi jarang ada orang yang

melancong.”

“Ha ha ha. .jadi maksudmu kau suka tempat yang tenang?”

tanya Ti Then sambil tertawa terbahak-bahak.

“Benar. tidak seperti digunung ini dimana- mana ada orang yang

berpesiar”

“Di sana ada sebuah pohon yang usianya sudah ribuan tahun.”

ujar Ti Then kemudian sambil menuding ke depan. “Di bawah pohon

ada goanya, mari aku bawa kau ke sana. .”

Mereka berdua sesudah melihat pohon tua itu segera duduk

beristirahat di bawah pohon itu juga, agaknya Wi Lian In bukanlah

orang yang suka akan ketenangan, baru saja duduk sebentar

mendadak dia sudah bertanya kembali.

“Si kakek pemalas Kay Kong Beng berdiam dimana, jaraknya

masih jauh?”

“Tidak terlalu jauh.. jaraknya dari sini mungkin masih ada

puluhan li, kau buat apa bertanya hal ini?”

” Tidak mengapa, aku sedang berpikir satu hari penuh dia duduk

terus di dalam guanya, apa tidak merasa kesepian dan jemu?”

“Di sampingnya masih ada seorang kacung buku yang bisa

menghilangkan perasaan jemunya” jawab Ti Then perlahan.

“Bilamana dia melihat ada orang asing yang ke sana,dia bisa

marah tidak??”

“Hal Ini sih tidak. bilamana kau tidak pergi mengganggu dia dan

kau hanya lewat saja di depannya dia tidak akan memperdulikan

dirimu”

” Kalau memangnya demikian, bagaimana kalau kita pergi lihatlihat??”

“Bukankah kau tidak ingin mencari gara-gara?” tanya Ti Then

sambil tertawa.

“Kita tidak usah mengganggu dia, asalkan lewat saja di depan

guanya sudah cukup, aku belum pernah melihat sendiri bagiamana

wajahnya jagoan nomor satu dari dunia ini.”

“Ha ha ha. .” Tt Then tertawa terbahah-bahak. “Dia seperti juga

manusia biasa punya dua mata ,satu hidung dan satu mulut.”

Mendengar perkataan dari Ti Then ini wi Lian In menjadi agak

gemas..

“Siapa yang bilang dia tidak punya mata hidung dan mulut? aku

hanya pingin melihat wajahnya saja.”

“Baiklah, mari ikut aku.” ujar Ti Then kemudian sambil bangkit

berdiri.

Demikianlah ..mereka berdua segera melanjutkan perjalanannya

menuju ke tengah gunung.

setelah melewati tebing-tebing dan jalan pegunungan sejauh

sepuluh li, di hadapan mereka munculah sebuah puncak gunung

yang amat megah sekali, sambil menuding ke atas puncak tersebut

ujar Ti Then perlahan.

“Di atas puncak itulah tempat kediaman si kakek pemalas itu,

mau naik ke atas?”

“Hmm. . .”

Walau pun puncak gunung itu kelihatannya amat megah dan

aneh sekali tetapi tidak sukar untuk mendakinya, kedua orang itu

dengan cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya masingmasing

untuk mendaki ke atas, tidak sampai sepertanakan nasi

kemudian mereka sudah tiba di atas puncak tersebut.

Di atas puncak gunung sangat jarang terdapat tumbuhtumbuhan

yang tumbuh di sana, pemandangannya bebas dan

meluas, baru saja mereka berdua tiba di atas puncak dari kejauhan

sudah melihat goa tempat tinggal si kakek pemalas Kay Kong Beng

itu, bahkan di depan goa masih kelihatan sesosok bayangan

manusia.

orang itu. . adalah seorang pemuda, saat ini dia sedang berlutut

menghadap ke dalam gua.

Karena jaraknya yang masih jauh mereka berdua tidak bisa

melihat apakah si kakek pemalas Kay Kong Beng ada di dalam goa,

juga tidak bisa melihat dengan jelas siapakah pemuda yang sedang

berlutut di depan goa itu,

Wi Lian In begitu melihat di depan goa tempat tinggal si kakek

pemalas Kay Kong Beng terdapat seorang pemuda yang sedang

berlutut tidak bergerak. tanpa terasa sudah merasa terkejut, ujarnya

dengan suara yang sangat lirih. “Aneh sekali, bukankah orang itu

kacung bukunya?”

“Bukan-” jawab Ti Then dengan wajah amat serius. ” Kacung

bukunya aku pernah bertemu muka dengannya, wajahnya bukan

demikian??”

“Kalau tidak siapa orang itu?” tanya Wi Lian In kurang puas

“Kenapa dia berlutut di hadapan goa tempat tinggal sikakek pemalas

Kay Kong Beng itu?”

Ti Then segera terbayang kembali keadaannya setahun yang lalu

dimana dia berlutut di hadapan kakek pemalas Kay Kong Beng ini

mohon diterima sebagai murid, hatinya segera terasa bergolak,

dengan perlahan dia mendengus.

“Aku kira orang itu tentu sedang mohon si kakek pemalas Kay

Kong Beng menerimanya sebagai murid Hmm. sungguh goblok…”

“Bagaimana kau bisa tahu kalau orang itu ingin mengangkat si

kakek pemalas Kay Kong Beng sebagai gurunya?” tanya Wi Van in

dengan perasaan amat terkejut.

“Hanya orang yang mohon diangkat sebagai muridnya saja yang

mau berlutut dengan sangat hormat tanpa bergerak di depan goa

tempat kediamannya itu”

“Bagaimana kau bisa tahu kalau orang itu sudah berlutut sangat

lama sekali di sana?” tanya Wi Lian In kembali.

“Coba kau lihat di atas punggung orang itu sudah terdapat

dedaunan kering yang amat banyak sedang saat ini di atas puncak

sama sekali tidak ada angin, ranting-ranting pohon pun tidak

bergoyang maka aku menduga orang itu tentu sudah berlutut

sangat lama sekali”

Dengan perlahan Wi Lian In menganggukkan kepalanya.

“Jikalau orang itu memang datang untuk mengangkat dia sebagai

guru, maka si Kay Kong Beng ini memang sedikit pun tidak punya

perasaan-”

Mendengar perkataan dari Wi Lian In ini sekali lagi Ti Then

tertawa dingini

“Kecuali dia disebut sebagai si kakek pemalas yang kerjanya

hanya duduk melulu, dia pun memiliki sebuah hati yang amat keras

bagaika baja”

“Bilamana dia tidak ingin menerima orang itu sebagai muridnya,

kenapa tidak mau terus terang saja beritahu kepadanya, sebaliknya

menyuruh orang itu berlutut dalam waktu yang amat panjang?”

“Dahulu aku juga pernah datang ke sini mohon dia menerima

diriku sebagai muridnya, dia sepatah kata-kata pun tidak bilang,

hanya pejamkan matanya terus sambil duduk tidak bergerak, Hmm.

.”

“Ooh. .” seru Wi Lian In sambil pentangkan matanya lebar-lebar.

“Kau. . kau juga pernah mohon mengangkat dia sebagai gurumu??”

“Benar” sahutnya Tt Then mengangguk.

“Hal ini benar terjadi kapan??”

“Dahulu. .”

“Sebelum belajar ilmu dari Bu Beng Lojin?”

“Ehmm” Ti Then tidak membuka mulutnya kembali, dia tidak

ingin membicarakan peristiwa yang sudah terjadi waktu yang

lampau, karena bilamana harus menceriterakan urusan yang sudah

lalu maka dia akan menemui kesulitan di dalam menceriterakan asal

usulnya itu.

Wi Lian In yang melihat dia tidak mau memberi penjelasan

sejelas-jelasnya segera mengira dia tidak ingin mengingat kembali

peristiwa yang menyedihkan hatinya, karena itu dia pun tidak terlalu

mendesak. sambil menarik ujung bajunya dia berkata: “Bagaimana

kalau kita lihat-lihat di sana?”

“Baik, jika orang itu benar-benar ingin menganggap Kay Kong

Beng sebagai guru, lebih baik cepat-cepat kita nasehatkan padanya

untuk menghilangkan pikiran ini.”

Sambil berkata dia segera mulai berjalan menuju ke gua

tersebut.

Kurang lebih setelah mereka berjalan delapan sembilan kaki dari

dimana pemuda itu berlutut, dari sana sudah dapat melihat si kakek

pemalas Kay Kong Beng yang ada dalam gua.

selang pada saat ini mendadak si kakek pemalas Kay Kong Beng

mementangkan matanya lebar-lebar, ujarnya dengan dingin.. “Kau

belum pergi?”

Usianya kurang lebih sudah mendekati sembilan puluh tahunan,

rambut serta jenggotnya sudah memutih bagaikan perak. Wajahnya

kaku dan sangat berwibawa disertai sifatnya yang dingin kaku. Pada

badannya dia memakai jubah tipis berwarna hijau, mungkin karena

sudah terlalu lama duduk di sana seluruh tubuhnya penuh dengan

debu sehingga keadaannya mirip sekali dengan seorang pengemis.

Pemuda yang berlutut di depan gua ketika mendengar si kakek

pemalas Kay Kong Beng membuka mulutnya terlihatlah seluruh

tubuhnya tergetar dengan amat keras. segera dengan nada

merengek ujarnya.

“Hamba mohon kau orang tua mau terima aku sebagai murid,

sejak ini hari walau pun di suruh menjadi anying atau kuda sebagai

pembalasan jasa hamba juga mau”

Ternyata tidak salah, dia memang datang untuk mohon diterima

sebagai murid.

Tanpa terasa Ti Then mau pun wi Lian In bersama-sama

menghentikan langkah kakinya, ketika mereka mendengar kalau si

kakek pemalas Kay Kong Beng membuka mulut, hal ini berarti juga

pemuda itu mem punyai harapan, karenanya tidak ingin maju untuk

mengganggu.

Tampak si kakek pemalas Kay Kong Beng mengerutkan alisnya

yang sudah memutih, ujarnya dengan suara amat berat.

“Sekali pun kau berlutut seratus tahun lagi juga tidak berguna,

Lohu sejak dulu sudah ambil sumpah tidak akan menerima murid

lagi.”

Pemuda itu menganggukkan kepalanya berulang kali, dengan

nada memohon ujarnya lagi:

“Hamba mem punyai dendam berdarah yang harus dibalas,

bilamana kau orang tua tidak mau menerima hamba sebagai murid

berarti hamba tidak mem punyai kesempatan lagi untuk membalas

dendam sakit hati ini. .”

“Soal ini tidak ada hubungannya dengan lohu” jawab si kakek

pemalas itu dengan suara amat dingin.

Hampir-hampir pemuda itu dibuat menangis karena cemasnya,

dengan nada isak tangis yang ditahan-tahan mohonnya lagi.

” Hamba mohon kau orang tua mau berbuat baik, asalkan kau

orang tua tidak mau terima aku sebagai murid. lebih . . lebih baik

hamba mati. . mati. . di sini saja.”

“Hmmm, setiap orang yang mohon Lohu terima dia sebagai

murid tentu bilang punya dendam sakit hati yang harus dibalas,

Lohu telah bosan terhadap omongan itu”

Pemuda itu tidak bisa menahan isak tangisnya lagi, dengan

melelehkan air matanya, rengeknya lagi.

“Setiap perkataan yang hamba katakan adalah nyata,jlkalau kau

orang tua tidak percaya boleh. . boleh pergi menyelidiki sendiri”

“Tidak perlu periksa lagi” Potong si kakek pemalas cepat “Lohu

sama sekali tidak akan percaya kalau Wi Ci To bisa melakukan

pekerjaan yang merugikan orang banyak ini”

Ketika Wi Lian In mendengar bahwa persoalan ini menyangkut

ayahnya tanpa terasa tubuhnya tergetar keras, segera dia siap maju

ke depan untuk menanyai lebih jelas lagi. Ti Then yang melihat

tindak tanduknya ini dengan cepat-cepat mencegah dirinya, ujarnya

setengah berbisik,

“Jangan keburu napsu, kita dengar lagi apa yang akan dikatakan-

Agaknya pemuda itu masih tidak merasakan Ti Then serta Wi

Lian In sudah ada di sampingnya, dengan perasaan yang bergolak

dia angkat tangannya bersumpah.

“Bilamana perkataan dari hamba ada sepatah yang bohong,

biarlah Thian memberikan kematian yang mengerikan kepadaku, Wi

Ci To bajingan tua itu memang benar-benar sudah membunuh mati

ayah ibuku bahkan sudah merampas pusaka keturunanku pedang

pusaka Khang Lu Po Kiam.”

-0000000-

Ada saat berbicara dia angkat kepalanya, dengan demikian Ti

Then serta Wi Lian In bisa melihat bagian dari wajahnya, begitu

mereka bisa melihat wajahnya tanpa terasa lagi mereka berdua

menjerit kaget.

Dialah sinaga mega Hong Mong Ling adanya.

Ternyata dia sudah lari ke atas gunung Kim Teng san untuk

omong sembarangan di hadapan sikakek pemalas Kay Kong Beng.

Wi Lian In merasa terkejut, gusar juga girang dia mana bisa

bersabar lebih lama lagi, sambil membentak nyaring dengan cepat

tangannya mencabut keluar pedangnya dan menubruk kearahnya.

Hong Mong Ling yang mendengar secara tiba-tiba dari belakang

badannya muncul suara bentakan nyaring dengan cepat dia

menoleh ke belakang, tetapi begitu dilihatnya mereka adalah Wi

Lian In serta Ti Then saking terkejutnya dia menjerit keras, hampirhampir

sukmanya ikut melayang saking takutnya, sambil menjerit

ngeri dia melayang dan melarikan diri menuju ke samping kanan

dari gua tersebut.

“Bangsat kau mau lari kemana”. Bentak Wi Lian In dengan amat

gusar. Tubuhnya dengan cepat menubruk melakukan pengejaran

dengan amat cepatnya.

Ti Then pun ikut menyusul dari belakang, tubuhnya bagaikan

seekor kuda terbang, di dalam sekejap mata saja sudah melampaui

diri Wi Lian In dan berada kurang lebih empat kaki di belakang

Hong Mong Ling. Tetapi pada saat itulah Hong Mong Ling sudah

berada di pinggiran puncak. dengan gugupnya dia tanpa memilih

jalan lagi sudah meloncat turun dari atas puncak tersebut.

Ti Then yang tidak tahu keadaan dari puncak itu ketika

dilihatnya dia meloncat turun dia pun ikut meloncat juga.

Tetapi begitu dia sudah meloncat turun segera terlihatlah

keadaan dari puncak itu tanpa terasa dia sudah menarik napas

dingin, diam-diam pikirnya dtngan perasaan terkejut. “Bangsat cilik

kau sungguh-sungguh tidak ingin nyawamu lagi”

Kiranya di bawah puncak itu adalah sebuah tebing yang amat

curam. jaraknya dengan punggung puncak itu ada dua puluh kaki

lebih, sedang ditengahnya sama sekali tidak terdapat pohon yang

bisa menghambat daya luncur tersebut, karenanya bila meloncat

turun dari sana berarti juga melakukan bunuh diri.

Sedang keadaan dari Hong Mong Ling saat ini seperti juga

sebuah bintang yang rontok dengan cepatnya meluncur terus

kearah bawah.

Ti Then yang berada di dalam keadaan terkejut itu tiba-tiba

melihat tubuh Hong Mong Ling yang meluncur dengan cepatnya ke

bawah itu mendadak mencabut keluar pedangnya. pada saat dia

berhasil mencabut keluar pedangnya itulah tubuhnya sudah berada

kurang lebih satu kaki dari permukaan tanah. “Triing. . ”

Terdengar suara ujung pedang yang mengenai tanah kemudian

disusul dengan suara benturan yang amat keras, seluruh tubuh

Hong Mong Ling dengan amat beratnya terlempar jatuh ke atas

permukaan tanah.

Mungkin karena dia menggunakan pedangnya terlebih dulu untuk

menyentuh tanah sehingga bisa membuang sebagian besar dari

daya tekanan itu, karena itulah dia tidak sampai menjadi terluka

parah setelah jatuh terlentang beberapa saat lamanya dia segera

berguling dan bangun kembali untuk kembali melarikan diri ke

bawah puncak.

Ti Then pun segera ikut menggunakan caranya itu, pedangnya

dengan cepat dicabut keluar kemudian dengan gaya menusuk

menutul permukaan tanah dan membuang sebagian dari tenaga dan

dengan gesitnya dia berguling ke samping.

Ketika memandang kembali terlihatlah saat itu Hong Mong Ling

sudah berada kurang lebih beberapa kaki jauhnya dari tempat

dimana kini dia berada dikarenakan tempat selanjutnya tumbuh

dengan rapatnya pohon-pohon maka dengan enaknya dia bisa

mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk melarikan diri.

Wi Lian In yang berdiri diujung puncak tidak berani langsung

meloncat turun dengan cepat teriaknya.

” Cepat kejar.. cepat kejar jangan sampai dia lolos kembali.”

Dengan cepat Ti Then melayangkan tubuhnya ke tengah udara,

kemudian dengan kecepatan bagaikan kilat mengejar kearah depan.

Agaknya Hong Mong Ling sudah ambil keputusan biar pun dirinya

mati juga tidak ingin sampai ditawan kembali oleh Ti Then tampak

dengan nekatnya dia terus terjun ke bawah puncak.

Ti Then dengan kencangnya mengejar terus dari belakang, satu

rintangan demi satu rintangan bisa dilaluinya dengan selamat.

Di dalam sekejap mata mereka berdua sudah tiba di kaki gunung,

Hong Mong Ling yang pertama-tama mencapai permukaan tanah

tubuhnya dengan cepat berkelebat menuju kearah hutan rimba

yang agak lebat di samping tempat itu.

Begitu tiba di atas tanah datar kecepatan larinya Ti Then pun

semakin lipat ganda, tampak di dalam satu dua kali loncatan saja

dia sudah berada kurang lebih beberapa kaki di belakangnya.

Agaknya Hong Mong Ling sudah tahu kalau dia tidak mungkin

berhasil lolos dari kejarannya, mendadak tubuhnya berputar sedang

pedangnya dengan amat dahsyat melancarkan satu serangan

mematikan kearah belakang.

Ti Then dengan cepat angkat pedangnya menangkis kemudian

disusul dengan tiga serangan berantai melanda tubuhnya, di dalam

sekejap saja sudah membuat Hong Mong Ling menjadi kalang kabut

dibuatnya.

Dengan paksakan diri Hong Mong Ling berhasil juga meloloskan

diri dari beberapa serangan itu, agaknya dia tahu dirinya sudah

terjepit mendadak tertawa sedih.

“Ti Then, kau sudah rebut calon istriku kini mau bunuh aku lagi,

dimana letaknya hati nalurimu??

“Sebetulnya aku tidak punya maksud untuk membunuh kau,

tetapi hatimu terlalu jahat,.”

“Aku hanya ingin mengangkat si kakek pemalas sebagai suhuku,

sama sekali tidak mengandung maksud lain”

“Kalau begitu kenapa tadi kau bilang Wi Ci To sudah bunuh mati

ayah ibumu bahkan sudah merebut barang pusaka turun

temurunmu?”

Hong Mong Ling menjadi kelabakan dibuatnya.

“Itu…itu salahku bicara terlalu cepat, jikalau kali ini kau mau

melepaskan aku, aku bersumpah akan mengubah sifatku yang jelek

ini.”

Dengan meminyam kesempatan sewaktu mereka sedang

berbicara itulah Ti Then dengan cepat menempelkan ujung

pedangnya ke depan ulu hatinya kemudian memaksa dia mepet

dengan pohon, bentaknya.

“ Lepaskan padangmu. “

Hong Mong Ling menurut perintahnya dan melepaskan

pedangnya ke atas tanah, ujarnya sambil tertawa pahit :

“Bilamana kau bunuh mati aku mungkin selama hidupmu akan

merasa menyesal, “

Ti Then tertawa dingin tak henti-hentinya.

“Sekarang aku mau tanya satu urnsan kepadamu, jika kau bisa

memberikan jawaban yang memuaskan hati aku segera melepaskan

satu jalan kehidupan buat dirimu.”

Hong Mong Ling menjadi amat girang, “Baik, silahkan bertanya.”

“Apa tujuan dari Hu Pocu bersekongkol dengan kau untuk

menculik pergi nona Wi?”

“Dia menaruh simpatik kepadaku”

Alis dari Ti Then segera dikerutkan rapat-rapat, ujarnya sambil

tertawa dingin.

“Nona Wi dengan cepat akan sampai di sini, jikalau dia sudah

sampai di sini aku tidak bisa membantu kau lagi, makanya cepat kau

katakan terus terang.”

Hong Mong Ling dibuat ragu-ragu beberapa saat lamanya,

akhirnya jawabnya juga.

“Baiklah, urusan yang sebetulnya adalah begini, ada orang yang

melakukan jual beli dengan Hu Pocu dan sanggup memberi dia

selaksa tahil perak sebagai balas jasanya, syaratnya adalah

mintakan sebuah barang dari dalam Loteng penyimpan kitabnya..”

“Siapa orang itu?” desak Ti Then lebih lanjut.

“Dia adalah …..”

“Plaak…” mendadak keningnya terpukul oleh semacam senyata

rahasia sehingga darah segar memancar keluar membasahi empat

penjuru.

Sebuah batu cadas dengan amat tepatnya bersarang

dikeningnya, dikarenakan tenaga sambitan yang amat keras dan

kuat membuat batu itu seketika itu juga bersarang amat dalam di

dalam kepalanya itu, darah segar memancar keluar dengan amat

derasnya.

Ti Then menjadi amat terperanyat dengan cepat dia putar

pedangnya melindungi badan bentaknya dengan keras.

“Kawanan tikus dari mana yang sudah datang, cepat

menggelinding keluar. “

Batu itu berkelebat dari belakang tubuhnya karena itu segera dia

memutar tubuhnya ke belakang, dengan kepandaiannya sekarang

serta kecepatan geraknya boleh di kata waktu antara dia putar

badannya serta Hong Mong Ling terkena sambaran batu itu hanya

terpaut tidak lebih sekejap mata saja, tetapi walau pun dia sudah

putar matanya memandang keempat penjuru jangan dikata

orangnya sekali pun bayangannya juga tidak tampak.

Ti Then merasa terkejut bercampur gusar baru saja dia siap

hendak melakukan pengejaran mendadak dari kaki puncak sebelah

depannya muncul dua sosok bayangan manusia..si kakek pemalas

Kay Kong Beng serta Wi Lian In, segera tanyanya.

“Nona Wi, kau melihat tidak seorang melarikan diri dari tempat

ini?”

Sambil lari mendekat sahutnya Wi Lian In cepat.

“Tidak, apa dia berhasil melarikan diri ?”

“Yang aku maksudkan bukan Hong Mong Ling” jawab Ti Then

semakin bingung.

“Dia adalah orang yang lain dan baru saja menyambit senyata

rahasia membunuh mati Hong Mong Ling.”

Air muka Wi Lian In segera berubah amat hebat,

“Ada urusan apa? . , . siapa orang itu ?” tanyanya dengan amat

terperanyatat.

“Karena aku tidak melihat dia baru bertanya dengan dirimu,

ketika aku putar tubuhku orang itu sudah melarikan diri tanpa

bekas..”

Agaknya Wi Lian In benar-benar dibuat terperanyat, tanyanya

kepada si kakek pemalas Kay Kong Beng yang berdiri disisinya:

“Kay Lodianpwe, kau melihat tidak?”

“Tidak.” Jawab sikakek pemalas Kay Kong Beng sambil gelengkan

kepalanya. “Lohu selama ini ikut kau turun kemari, kau tidak melihat

sudah tentu Lohu juga tidak melihatnya.”

Waktu berbicara air mukanya masih tetap dingin kaku dan sangat

tawar, agaknya semua urusan tidak ada hubungannya dengan dia.

“Bajingan. Aku harus cari orang sampai dapat…” seru Ti Then

dengan amat gusarnya.

Sambil berkata tubuhnya dengan cepat berkelebat mengejar

kearah depan.

Dia memastikan orang itu tentu orang yang mengadakan jual beli

dengan Hu Pocu, pihak lawan sengaja turun tangan membunuh

mati Hong Mong Ling tentu bertujuan untuk menutup mulutnya,

karena itulah dia sudah bulatkan tekad untuk mencari hingga dapat

orang yang melakukan pemibunuhan itu.

Wi Lian In ketika melihat Ti Then melakukan pengejaran segera

ujarnya kepada sikakek pemalas Kay Kong Beng.

“Kay Lo-cianpwe, kau bisa bantu kami untuk carikan orang itu ?”

Si Kakek pemalas Kay Kong Beng tetap berdiri ditempat semula.

“Lohu tidak ingin terlibat di dalam urusan yang tidak berguna,

kalian pergilah cari sendiri” ujarnya dengan amat tawar.

Wi Lian In tidak bisa berbuat apa-apa terpaksa dia mendepakkan

kakinya keras-keras ke atas tanah kemudian mengejar dengan

mengambil arah yang berlainan.

Menanti setelah mereka berdua lenyap dari pandangan barulah

sikakek pemalas itu berjalan mendekati mayat Hong Mong Ling yang

sudah putus napas itu, lama sekali dia memandang wajahnya

kemudian baru menghela napas panjang.

“Hati bangsat cilik ini amat jahat, dia seharusnya binasa..”

ujarnya sambil gelengkan kepalanya.

Ti Then yang kerahkan tenaga dalamnya sepenuh tenaga

membuat larinya pun semakin cepat, bagaikan kilat cepatnya dia

melakukan pemeriksaan disekeliling hutan itu. sesudah dicarinya

ubek-ubekan selama setengah hari lamanya tetap tidak memperoleh

hasil, dia pun dengan uring-uringan terpaksa kembali ketempat

semula.

Sesampainya di sana tampaklah olehnya si kakek pemalas masih

berdiri di hadapan. mayat Hong Mong Ling, dia tidak berani berlaku

ayal dengan cepat maju ke depan memberi hormat, ujarnya,

“ Kay Lo-cianpwe apa masih ingat dengan cayhe ?

Dengan perlahan kulit mata si kakek pemalas bergerak melirik

sekejapkearahnya.

“Bukankah kau sipendekar baju hitam Ti Then yang pada tahun

lalu memohon Lohu menerima dirimu sebagai murid?” ujarnya

dengan nada amat tawar,

“Benar, urusan tahun yang lalu tidak usah kita ungkap lagi.“

Terlihat sikakek pemalas sedikit tersenjum.

“Jika dilihat dari gerakan tubuhmu tadi kelihatan sekali jauh tebih

hebat berpuluh-puluh kali lipat dari tahun yang lalu jagoan dari

mana yang sudah menggembleng dirimu ?”

“Maaf tidak bisa cayhe sebut”

Pada wajah sikakek pemalas Kay Kong Beng sedikit pun tidak

kelihatan perasaan tidak puasnya, dia tertawa terbahak-bahak.

“Kau bocah cilik apa masih menaruh perasaan marah kepada diri

Lohu?”

“Tidak.”

“Kalau begitu bagus sekali, bukannya Lohu tidak pandang dirimu

sebaliknya dikarenakan sejak dulu Lohu sudah angkat sumpah untuk

tidak menerima murid lagi.”

“Boanpwe sudah tahu kalau kau orang tua pada waktu yang

lampau pernah menerima satu murid kemudian dikarenakan

muridmu itu berbuat jahat dan durhaka maka di dalam keadaan

gusar kau orang bunuh mati muridmu itu kemudian bersumpah

untuk tidak menerima murid kembali, kau orang tua tidak mau

menarima murid kembali memang sangat beralasan sekali. “

“Benar.” jawab Sikakek pemalas Kay Kong Beng mengangguk.

“Makanya Lohu tidak ingin menerima murid kembali dan tidak ingin

membunuh mati muridku yang kedua ini.”

Ti Then dengan perlahan-lahan menoleh memandang keempat

penjuru.

“Nona Wi kemana?”

“Mengejar orang itu.”

Dengan perlahan Ti Then berjongkok di depan mayat dari Hong

Mong Ling dan memeriksanya dengan teliti luka pada bagian

kepalanya, ketika dilihatnya batu yang menyambar tersebut

bersarang sedalam satu cun tanpa terasa hatinya merasa berdesir

juga, ujarnya.

“Sungguh hebat tenaga dalam orang itu.”

Si kakek pemalas Kay Kong Bang hanya mengangguk saja tanpa

mengucapkan sepatah kata pun.

“Locianpwe sudah tahu orang itu?” tanya Ti Then lagi sambil

menuding kearah mayat Hong Mong Ling.

“Tadi sudah dengar dari nona Wi.”

“Locianpwe bisa percaya terhadap semua omongannya?”

“Jikalau dia mengatakan orang lain, Lohu mungkin masih mau

percaya, tetapi dia bilang Wi Ci To yang sudah membunuh mati

ayah ibunya hal ini Lohu tidak akan mempercayai,”

Ti Then menjadi amat girang.

“Itulah sangat bagus, padahal orang tuanya…” ,

Baru saja berbicara sampai di sini ranting-ranting di atas

kepalanya mendadak bergoyang, tampak dengan ringannya Wi Lian

In meloncat turun dari atas pohon itu.

“Kau menemukan sesuatu?… tanya Ti Then dengan cepat.

-ooo0dw0oooJilid

18.1: Pembesar kota Cuo It Sian

“Tidak, setan pun tak kelihatan.”

“Hmm” dengus Ti Then dengan amat gemasnya. “aku harus

berusaha cari dia sampai dapat, dia tak akan lolos dari tanganku”

“Sebetulnya tadi sudah terjadi urusan apa?” tanya Wi Lian In

perlahan.

Ti Then segera menceritakan pengalamannya terakhir

tambahnya:

“Di dalam pada saat ini orang yang bisa membayar uang

sebanyak satu laksa tahil perak tidak banyak jumlahnya, dengan

menurut titik terang itu pasti bisa kita dapatkan.”

“Si anying langit rase bumi punya banyak uang, mereka juga

bisa melakukan” tiba-tiba si kakek pemalas menimbrung.

Dengan perlahan Ti Then gelengkan kepalanya.

“Pasti bukan perbuatan dari si anying rase bumi”

“Ooh . . .” seru si kakek pemalas.

“Dengan berdasarkan hal apa kau berani bicara begini.”

“Karena sianying langit Kong sun Yau sudah binasa diujung

pedang boanpwe.”

Tanpa terasa air muka si kakek pemalas sedikit berubah. “Kiranya

begitu” sahutnya perlahan.

“Kau sanggup membinasakan si anying langit Kong sun You

berarti juga kepandaian silatmu sudah mencapai tarap amat tinggi.”

Ti Then tidak mau menyawab perkataannya itu, kepala Wi Lian

In ujarnya: “Bagaimana kalau kita kubur saja mayatnya.”

Dengan pandangan gemas dan penuh diliputi kebencian Wi Lian

In melirik sekejap ke atas jenazah Hong Mong Ling.

“Bajingan ini sudah melupakan budinya Tia yang sudah

membesarkan dirinya, bahkan masih memfitnah dia orang tua

menghina dan mengatakan Tia sudah membinasakan ayah ibunya,

manusia yang berhati binatang semacam ini buat apa kita kuburkan

mayatnya??”

“Pokoknya dia sudah binasa, buat apa pikirkan persoalan itu

lagi??”

Wi Lian In segera mencibirkan bibirnya.

“Kau mau kuburkan mayatnya, kuburlah sendiri aku tidak mau”.

Terpaksa Ti Then mencabut pedangnya dan seorang diri

menggalikan sebuah liang untuk mengubur mayat Hong Mong Ling.

“Nona Wi, apakah ayahmu baik-baik saja ??” Tanya sikakek

pemalas kemudian kepads Wi Lian In.

Wi Lian In tidak berani kurang hormat, segera dia bungkukkan

badannya memberi hormat:

“Terima kasih atas perhatian cianpwe, Tia baik-baik saja””

“Ehmm. Lohu sudah ada dua tahun lamanya tidak bertemu

dengan ayahmu, bilamana kau bertemu dengan dia sampaikan

salam dari Lohu.”

“Baiklah terima kasih atas perhatian cianpwe” Sekali lagi Wi Lian

In memberi hormat.

“Lohu mau kembali ke dalam goa, apa kalian mau duduk-duduk

sebentar di dalam goa?”

“Tidak perlu, tidak berani mengganggu ketenangan dari cianpwe”

jawab Wi Lian In dengan gugup.

Si kakek pemalas segera tersenyum, dengan cepat bagaikan kilat

dia putar tubuhnya dan berlalu dari sana.

Saat ini Ti Then sudah selesai mengubur mayatnya Hong Mong

Ling, sambil melemaskan otot-ototnya dia memandang bayangan si

kakek pemalas yang mulai melayang dengan cepatnya menuju ke

atas puncak, gumamnya seorang diri:

“Orang tua ini boleh dikatakan baik juga, boleh dikatakan jahat,

sungguh membuat orang menjadi bingung.”

“Perduli bagaimana pun, asalkan dia tidak berbuat kejahatan

sudahlah cukup” Sambung Wi Lian In segera.

Dengan perlahan Ti Then membersihkan pedangnya kemudian

memasukkan kembali ke dalam sarungnya.

“Tadi bagaimana dia mau ikut kau datang kemari?” tanyanya

kemudian.

“Ketika dia mendengar aku adalah putrinya dari Pek Kiam Pocu

sikapnya segera berubah, dia bilang dia tidak akan percaya terhadap

semua perkataan dari Hong Mong Ling bahkan mengutarakan

kepadaku mau membantu menawan kembali si bangsat cilik Hong

Mong Ling itu.”

Ti Then segera tersenyum:

“Kelihatannya di dalam dunia ini dia hanya menghormati ayahmu

seorang saja”

Wi Lian In pun segera ikut tertawa.

“Hal ini berarti juga dia bukanlah seorang yang benar-benar suka

menyendiri”

“Mari kita pergi dari sini”

Wi Lian In segera mengangguk, dengan berdampingan mereka

berjalan menuruni gunung itu dengan langkah yang amat perlahan.

sembari berjalan tak henti hentinya Ti Then berpikir terus. .

“Aku tidak bisa menerka di dalam Bulim waktu ini selain si anying

langit rase bumi yang memiliki banyak uang siapa lagi yang bisa

begitu kayanya kau tahu tidak?”

“Kau jangan terlalu percaya atas perkataannya, mungkin sekali

dia sedang berbohong”

“Tidak.” Bantah Ti Then segera.

“Aku percaya dia bukan sedang berbohong, coba kau pikirlah

jikalau dia sedang berbohong kenapa orang lain bisa bunuh mati dia

secara tiba-tiba sewaktu dia hendak memberi tahu nama orang

yang mengadakan jual beli?”

“Tapi waktu itu bukankah Tia sudah membawa kita masuk ke

dalam Loteng Penyimpanan kitab untuk melihat-lihat?” Bantah Wi

Lian In tidak mau kalah.

“Bukankah di dalam loteng itu kecuali terdapat kitab-kitab serta

lukisan yang bertumpuk tumpuk hanya ada rahasia pribadi Tia

sendiri?” Ti Then hanya tertawa tidak menyawab.

Dengan cepat Wi Lian In putar kepalanya memandang dirinya.

“Apa kau kira Tia masih menyimpan rahasia yang tidak mau

diceritakan pada kita”

“Bukan suatu rahasia, tapi semacam barang”

“Selamanya Tia menganggap uang perak. mau pun emas seperti

kotoran manusia, dia tidak akan menyimpan barang-barang

berharga yang bernilai satu kota”

Ti Then tidak ingin membuat dia tidak gembira segera ujarnya

lagi:

“Ehm, kemungkinan sekali orang yang melakukan jual beli itu

tahu kalau ayahmu memiliki sebuah Loteng Penyimpanan kitab yang

amat misterius, lalu sudah mengangap di dalamnya pasti tersimpan

barang-barang berharga, dengan demikian timbulah hati serakahnya

dan menggunakan uang sebesar selaksa tahil perak untuk

menyuruh Hu Pocu masuk ke dalam Loteng Penyimpan kitab itu

melakukan pencurian”

Wi Lian In segera mengangguk tanda menyetujui pendapatnya

ini.

“Yang aneh kenapa Hu Pocu mau menyanggupi permintaan

orang lain dan melakukan pekerjaan yang begitu memalukan

terhadap Tia.”

“Uang sejumlah satu laksa tahil perak. jumlah itu bukanlah suatu

jumlah yang kecil sudah tentu setiap orang terpancing itu”Jawab Ti

Then tertawa.

“Sedangkan orang yang melakukan jual beli itu ternyata tak tahu

barang apa yang sudah disimpan di dalam Loteng Penyimpan kitab

itu sehingga berani mengeluarkan uang satu laksa tahil perak . . Hm

siapa dia?”

Berkata sampai di situ mendadak dia menghentikan langkah

kakinya, sedang air mukanya penuh diliputi oleh perasaan terkejut

bercampur ragu-ragu.

Ti Then yang melihat perubahan wajahnya segera tahu tentu dia

sudah teringat siapa orang yang bisa melakukan jual beli itu,

hatinya menjadi amat girang, tanyanya dengan cepat,

“Siapa?”

“Tidak mungkin, tidak mungkin.” seru Wi Lian In kembali sambil

gelengkan kepalanya “Dia tak mungkin mau melakukan pekerjaan

semacam ini.”

“Siapa yang kau maksudkan?” desak Ti Then lagi.

“Pembesar kota atau sian Thay ya, Cuo It Siang”

Pikiran Ti Then menjadi terang kembali.

Tak salah dalam Bu lim selain si Anying langit Rase Bumi, boleh

dihitung sian Thay ya Cuo It Sian saja yang paling kaya.

“Tapi aku berani pastikan dia pasti bukanlah orang yang

melakukan jual beli itu”

Ti Then berpikir sebentar kemudian mengangguk.

“Ehmm, si pembesar kota Cuo It Sian merupakan seorang

pendekar tua yang sudah mem punyai nama sangat terkenal di

dalam dunia kang ouw, dengan sifat dan tindak tanduknya setiap

hari dia tak mungkin mau melakukan pekerjaan semacam ini . . .”

Kiranya yang dikatakan sebagai pembesar kota Cuo It Sian dalam

Bu lim mem punyai nama yang sangat terkenal sekali, dia bukan

saja pandai di dalam ilmu silat dalam hal ilmu surat menyurat pun

sangat jempolan, pada waktu yang lampau sesudah dia lulus dalam

ujian negara dia diangkat sebagai pembesar kota tapi baru saja

menyabat kedudukan itu satu tahun lamanya dia sudah meletakkan

jabatannya, sebabnya karena di dalam melakukan penyelidikan dan

pemeriksaan soal pembunuhan, para pembunuhnya ternyata adalah

para enghiong hohan yang sedang membela keadilan. Dia tahu

kedudukannya sebagai pembesar sangat terikat karenanya segera

letakkan jabatannya pulang kam pung.

sejak waktu itu dia sering berkelana di dalam Bu lim sebagai

seorang pendekar yang menegakkan keadilan. Dengan harta

peninggalan leluhurnya yang begitu banyak. bukan saja hidupnya

cukup dan senang bahkan suka membantu kepada yang lemah dan

karena itulah semua orang di dalam Bu lim menyebut dirinya

sebagai Sian Thay ya.

Dengan perkataan lain, dia merupakan seorang pendekar yang

membenci akan kejahatan, manusia semacam ini sudah tentu tidak

mungkin mau melakukan jual beli dengan Huang puh Kiam Pek

untuk mencuri barang dari Wi Ci To.

“Tetapi…” ujar Ti Then lagi sesudah berpikir beberapa waktu

lamanya. “Selain dia, siapa lagi yang bisa mengeluarkan uang

sebanyak selaksa tahil perak???”

“Mungkin orang yang melakukan jual beli itu bukanlah orang dari

kalangan Bu lim.”

Ti Then segera tertawa:

“Kalau begitu kau tidak setuju dengan pendapatku tadi?”

“Apa pendapatmu?” Tanya Wi Lian In melengak.

“Aku tadi berpendapat kalau orang yang membunuh mati Hong

Mong Ling adalah orang yang melakukan jual beli dengan Hu Pocu.”

“Tetapi dengan kepandaian silatnya yang tidak lemah, jikalau dia

ingin mencuri semacam barangnya Tia bukankah bisa turun tangan

sendiri?” bantah Wi Lian In cepat.

“Sebabnya bisa sangat banyak sekali, sekarang aku baru tahu

satu sebabnya saja, tentu dia sudah menyelidiki keloteng Penyimpan

kitab itu dan mengetahui di sana sudah terpasang alat-alat rahasia

yang amat lihay, karena tahu tidak bisa turun tangan sendiri lalu

melakukan jual beli dengan diri Hu Pocu”

Tanpa terasa Wi Lian In menganggukkan kepalanya.

“Ehmm, masih ada satu sebab lagi, tentu orang yang melakukan

jual beli itu mem punyai hubungan persahabatan yang amat erat

dengan diri Hu pocu, makanya Hu pocu baru menyanggupi . . . .”

Berbicara sampai di sini mendadak air mukanya berubah kembali

dengan amat hebatnya.

“Jika demikian adanya, itu sian Thay ya Cuo It Sian merupakan

orang yang patut dicurigai.”

Dengan tajam Ti Then memandangi wajahnya.

“Apakah Cuo It Sian sangat baik dengan Hu Pocu?”

“Benar, mereka merupakan sepasang sahabat yang paling erat”

“Kalau begitu, kita bisa pergi mencari Cuo It Sian untuk diajak

berbicara”

“Rumahnya ada dikota Tiong khin Hu, darisini masih ada tiga hari

perjalanan”

“Ehmm perjanyian dengan si rase bumi Bun Jin cu masih ada dua

belas hari lamanya, masih ada waktu.” ujar Ti Then segera.

” Kalau begitu mari kita berangkat.”

Mereka berdua segera turun dari gunung Kim Teng san, setelah

mengambil kudanya kembali di rumah petani mereka segera

berangkat memasuki daerah siok Khin. Tiga hari kemudian

sampailah mereka di kota Tiong khin Hi

Hari itu siang hari sudah menjelang, sinar matahari dengan amat

teriknya memancarkan sinarnya ke seluruh jagad. Mereka berdua

sesudah menangsal perutnya disebuah kedai rumah makan dan

bertanya alamat dari Cuc It sian barulah menunggang kuda masingmasing

menuju ke sana.

Ujar Wi Lian In kemudian ketika berada ditengah jalan:

“Sesudah bertemu muka nanti kita harus menggunakan cara apa

untuk membuktikan dia benar atau bukan orang yang melaksakan

jual beli tersebut??”

“Pertama-tama kita beritahukan kepadanya terlebih dulu kalau

kita baru saja pulang dari gunung Kim Teng san, jikalau dia

memang benar orang yang melakukan jual beli itu setelah

mendengar perkataan kita air mukanya pasti berubah, dengan

berdasarkan hal ini sedikit-dikitnya kita bisa buktikan kalau dia

adalah si pembunuh Hong Mong Ling. Jika air mukanya sama sekali

tidak berubah?” Tanya Wi Lian In kemudian.

“Kalau memang begitu kita beritahukan kepadanya kalau Hu

Pocu karena gagal melakukan pekerjaan kini sudah bunuh diri dan

ayahmu perintahkan kita berdua untuk sengaja menyambangi

dirinya untuk dimintai beberapa petunjuk. jika kita bicara begini

bilamana dia adalah orang yang melakukan jual beli itu air mukanya

tidak bisa tenang-tenang saja, sedikit berubah saja kita bisa

pastikan dia itu orangnya”

“Pendapatmu sungguh bagus sekali, baiklah kita lakukan

demikian saja.” Pada saat mereka berbicara itulah tanpa terasa

sudah tiba di depan rumah Cuo It Sian.

Bangunan ini amat besar dan megah sekali, pintu depan dicat

merah darah sedang tembok yang mengelilingi bangunannya amat

tinggi sekali, sedang tangga batu yang menghubungkan jalan

dengan pintu dibuat dari ubin yang mengkilap. satu kali pandang

saja sudah tahu kalau dia merupakan seorang hartawan yang

sangat kaya, baru saja mereka berdua tiba di depan pintunya

terlihatlah seorang pelayan tua sudah menyambut kedatangan

mereka, ujarnya sambil merangkap tangannya memberi hormat:

“Kalian berdua mau cari siapa ?”

Sengaja Ti Then perlihatkan sikapnya yang amat dingin dan

angkuh. “Mau cari Lo ya kalian”

“Oooh .. tolong tanya siapa nama dari kongcu?” tanya pelayan

tua itu lagi sambil tertawa.

“Cayhe Ti Then sedang dia adalah nona Wi, putri kesayangan

dari Pek Kiam Pocu, kami sengaja datang menyambangi lo ya

kalian”

Ketika pelayan itu disebutkannya nama ini, sikapnya semakin

ramah lagi, berkali-kali dia rangkap tangannya memberi hormat,

“Kiranya kalian datang dari Pek Kiam Po, silahkan masuk ke

dalam untuk minum teh.”

Selesai berkata dia bergegas ke samping mempersilahkan tamutamunya

untuk masuk.

“Apa Lo ya kalian ada dirumah?” Tanya Ti Then mendadak.

“Lo ya baru saja keluar rumah, tapi orangnya ada di dalam kota

saja. . Silahkan kalian berdua tunggu sebentar di dalam blar Lo han

segera kirim orang cari dia kembali”

Ti Then segera mengangguk. Ia dan Wi Lian In segera masuk ke

dalam ruangan dalam.

Pelayan tua dengan memimpin mereka berjalan masuk melalui

ruangan tengah, ruangan minum teh dan akhirnya berbelok ke

suatu serambi yang amat panjang, setelah itu barulah sampai

disuatu ruangan tamu yang amat kecil tapi indah sekali. Pelayan tua

itu segera mempersilahkan mereka berdua untuk duduk ujarnya:

“Lo ya kami selamanya paling suka menerima tamu-tamu

terhormat di dalam ruangan tamu yang kecil ini, kalian berdua

jangan sampai marah”

Sambil berkata dia meletakkan dua cawan teh wangi ke depan Ti

Then serta Wi Lian In sambungnya:

“Kalian berdua tunggulah sebentar di sini, biariah Lo han kirim

orang untuk panggil Lo ya kami kembali”

Selesai berkata dia segera memberi hormat dan mengundurkan

diri dari dalam ruangan.

Wi Lian In setelah melihat pelayan tua itu pergi baru bergeser ke

samping tubuh Ti Then, ujarnya dengan suara rendah:

“Aku rasa.. mungkin kita sudah salah anggap orang lain”.

“Kenapa ??” tanya Ti Then sambii tersenyum.

“Coba kau lihat orang lain begitu kaya tapi tidak menjadi

sombong karenanya, bahkan terhadap orang lain begitu ramah,

bagaimana bisa jadi orang yang bermaksud jahat ??”

“Tahu orangnya tahu wajahnya belum tentu tahu hatinya, di

dalam dunia ini banyak orang yang menggunakan kedok orang baik

padahal hatinya amat busuk dan tersimpan niat-niat jahat yang

berada diluar batas.”

Wi Lian In segera mengerutkan alisnya: “Tapi aku rasa Cuo It

Sian bukanlah manusia semacam ini. .”

“Aku juga tidak berani pastikan dialah orang yang melakukan jual

beli tersebut tetapi kita harus mengadakan penyelidikan juga

terhadap dirinya.”

“Ehmmm …. nanti sesudah bertemu dengan dia apa yang kita

ucapkan lebih baik sedikit sopan dan halus sehingga tidak sampai

mencelakai orang lain.”

“Aku sudah tahu, kau berlegalah hati”. sahut Ti Then sembari

tertawa.

Dengan perlahan Wi Lian In angkat cawannya dan mereguk

sedikit teh itu, ujarnya kemudian:

“Teh ini sungguh wangi sekali, entah menggunakan daun teh apa

namanya??”

Ti Then pun ikut meneguk satu tegukan, kemudian sahutnya:

“Inilah yang dinamakan Yu Cian, aku pernah minum teh ini dahulu.”

“Apa itu Yu Cian??”

“Itulah Teh yang dipetik sebelum musim pemghujan, teh

semacam ini sesudah direndam dengan air panas yang mendidih

kemudian diletakkan di bawah sorotan sinar matahari segera akan

timbul suatu warna yang menyilaukan mata, bukan saja rasanya

gurih dan harum bahkan sangat mahal harganya”

Tidak tertahan lagi Wi Lian In meneguk lagi satu tegukan ujarnya

kemudian sambil tertawa:

“Pengalaman dan pengetahuanmu sungguh amat luas.” .

Ti Then pun ikut tertawa.

“Itu bukanlah terhitung apa- apa.”

“Cuo It Sian sudah begitu tidak aneh kalau dia tidak ingin

menyabat sebagai pembesar lagi, coba kau lihat tempat tinggalnya

ini saja mungkin hampir meliputi seratus dua ratus kamar

banyaknya.”

“Tidak salah, disekitar kota Cong cin -Hu mi semua bangunan

kebanyakan tidak sebesar rumah ini”

Baru saja mereka berbicara sampai di situ tampaklah pelayan tua

tadi sudah berjalan masuk bersama-sama seorang tua yang

memakai pakaian amat perlente sekali”

Ti Then segera mengira kakek tua berbaju perlente itu adalah si

sian Thay ya, dengan cepat dia bangkit berdiri:

Pelayan tua itu dsngan cepat berkata sambil tertawa:

“Ini adalah kuasa kami, Lo ya kami sebentar lagi baru kembali”

“ooh… Ti Then tidak berani berlaku ayal, segera dia rangkap

tangannya memberi hormat kepada orang itu. “selamat bertemu,

selamat bertemu.”

Orang tua itu cepat-cepat balas memberi hormat, ujarnya

ssmbari tertawa:

“Ti Siauw hiap silahkan duduk, majikan kami baru saja keluar

harap tunggu sebentar lagi.”

Ti Then segera mengucapkan kata-kata merendah dan duduk

kembali ke tempat semula. Kuasa she Go itu pun duduk di hadapan

mereka, kepada Wi Lian In tanyanya. “Nona ini apakah putri

kesayangan dari Wi Pocu??”

Wi Lian In dengan tersenyum malu-malu menundukkan

kepalanya, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Kuasa she Go itu pun segera menoleh kepada Ti Then kembali.

“Aku dengar katanya Ti siauw hiap sudah diangkat sebagai Kiauw

tauw dari Benteng Pek Kiam Po??”

“Benar. .”

“Sungguh soorang pemuda enghiong” puji kuasa she Go itu.

“Para pendekar pedang merah dari Benteng Pek Kiam Po semuanya

merupakan jago-jago nomor wahid di dalam Bu lim, dengan usia

dari Ti Siauw hiap yang masih demikian muda ternyata dapat

menduduki di atas para pendekar pedang sungguh merupakan

suatu hal yang aneh dan sukar untuk dipercaya.”

“Terima kasih atas pujian diri Penguasa Go, cayhe tidak berani

untuk menerimanya”

“Ini hari Ti Siauw hiap serta nona Wi datang kemari entah mem

punyai urusan apa? ” tanyanya lagi dengan sopan.

“Kami sengaja datang untuk menyambangi majikan kalian-”

“Oooooh… terima kasih, terima kasih. . Ehm, aku dengar katanya

di dalam Benteng Pek Kiam Po pada waktu-waktu mendekat ini

sudah berturut-turut terjadi beberapa urusan entah berita ini benar

tidak…”

“Penguasa Go sudah mendengar berita apa?” tanya Ti Then

dengan amat cepat. Penguasa Go melirik sekejap kearah Wi Lian In

kemudian sambil tertawa jawabnya. ” Urusan mengenai Hong siauw

hiap dan nona Wi…”

“Sedikit pun tidak salah, samuanya memang peristiwa yang

nyata”jawab Wi Lian In dengan mantap.

“Heeeii .. sungguh tidak nyana Hong siauw hiap dia orang

ternyata sudah terjurumus ke dalam lembah yang demikian hinanya,

sungguh sayang sekali.”

“Hong Mon Ling sudah mati.”

Seketika itu juga penguasa Go menjadi sangat terperanyat.

“oooh, ayahmu. . ayahmu yang hukum mati dia?”

“Bukan”

“Lalu. , lalu bagaimana dia bisa mati?” tanya penguasa Go itu

semakin terperanyat. saat itulah Ti Then secara tiba-tiba memotong,

“Majikanmu kapan baru kembali?”

Agaknya penguasa Go menjadi melengak atas dipotongnya

perkataan ini, tapi dengan cepat dia sudah sadar kembali kalau Ti

Then tidak senang dia mencampuri urusannya, dengan wajah penuh

senyuman paksa ujarnya kemudian.

“Sudah hampir datang, tadi majikan kami sedang pergi cari

teman untuk diajak ngobrol, mungkin sebentar lagi sudah kembali,

apakah Ti siauw hiap ada urusan yang penting?”

“Ooh. . tidak begitu penting, hanya ada satu urusan yang hendak

minta keterangan darinya”

“Entah urusan apakah itu?” tanya penguasa Go cepat.

“Urusan ini lebih baik dibicarakan sesudah bertemu muka sendiri

dengan majikan kalian-”

“Baik. . baik. .” Seru penguasa Go berulang kali sambil tertawa

malu, “Silahkan kalian menunggu sebentar. . ooh iya, apa kalian

berdua sudah bersantap”

“Sudah.”

“Jikalau belum bersantap, kalian berdua tidak usah terlalu

sungkan- . oooh.. majikan sudah datang.”

Ti Then mau pun Wi Lian In segera menoleh ke arah luar

ruangan, ternyata tidak salah seorang tua beejubah hijau dengan

langkah tergesa-gesa berjalan menuju ke dalam ruangan tamu yang

amat kecil itu.

Kakek tua itu berusia kurang lebih delapan puluh tahunan,

rambutnya sudah memutih semua, sedang alisnya amat panjang

sampai di bawah mata, hidungnya yang mancung serta wajahnya

yang merah bersinar menunjukkan suatu semangat yang tinggi

serta keangkeran yang tak terbantahkan.

Wi Lian In pernah bertemu dengan Sian Thay ya Cuo It Sian ini,

karenanya begitu dilihatnya si pembesar kota itu datang segera dia

bangkit berdiri untuk menyambut. Ti Then yang berada di

sampingnya pun segera ikut bangkit berdiri.

Dengan langkah yang amat cepat si pembesar kota Cuo It san

berjalan masuk ke dalam ruangan tamu itu, begitu dilihatnya Wi

Lian In berdiri di sana segera dia tertawa terbahak bahak.

“Haa. . hee. . hey budak. angin apa yemg meniup kau datang ke

sini?”

Wi Lian In tidak berani berlaku ayal di hadapan seorang cianpwe

segera dia menjura uutuk memberi hormat.

“Wi Lian In datang menghunjuk hormat kepada Cue locianpwe.”

“Haa. . hee. . hee. .” sipembesar kota Cuo It Sian tertawa lagi,

“Benerapa tahun tidak bertemu, kau sudah bertambah tinggi”

sambil tertawa malu Wi Lian In menundukkan kepalanya rendahrendah,

tanpa memberikan jawaban.

Dengan perlahan Cuo It Sian menoleh kearah Ti Then, tanyanya

sambil tertawa.

“Apakah saudara ini adalah Ti Kiauw tauw dari Benteng Pek Kiam

Po, si pendekar baju hitam Ti Then?”

Ti Then pun segera merangkap tangannya memberi hormat.

“Boanpwe memberi hormat, harap cianpwe suka memaafkan-”

“Tidak perlu begitu sungkan, cepat duduk untuk berbicara” seru

Cuo It san tertawa.

Penguasa Go pun dengan cepat mengundurkan diri dari sana,

demikianlah tua muda tiga orang segera mengambil tempat

duduknya masing-masing. Pertama-tama Cuo It Sian yang buka

mulut.

“Apakah ayahmu tidak datang??” tanyanya.

“Tidak”

“Sudah ada beberapa tahun lamanya lohu tidak mengunjungi

Benteng Pek Kiam po, apakah ayahmu serta Hu Pocu baik-baik

saja??” Wi Lian In tidak menyawab, dia hanya melirik sekejap

kearah Ti Then.

Cuo It Sian yang melihat air muka mereka sedikit aneh segera

menjadi tertegun.

“Ada urusan apa??” tanyanya keheranan.

Sepasang mata Ti Then dengan amat tajamnya memandang ke

atas wajahnya, kemudian baru jawabnya dengan perlahan.

“Urusan ini sangat panjang untuk diceritakan, kali ini boanpwe

serta nona Wi sengaja dari gunung Kim Teng san datang ke mari

untuk menyambangi diri Locianpwe”

Ketika Cuo It Sian mendengar jawaban ini dia sepertinya merasa

keheranan, sambil mengedip-ngedipkan matanya dia balas pandang

sekejab Ti Then-” Kalian datang dari gunung Kim Teng san, apa arti

perkataan ini??”

Air mukanya hanya diliputi oleh perasaan terkejut dan heran,

sama sekali tidak terdapat perasaan ragu-ragu serta takutnya.

Ti Then dengan amat tajamnya memandang wajahnya terus,

tambahnya:

“Benar kami datang dari gunung Kim Teng san, sengaja datang

menyambangi diri locianpwe.”

Tanpa terasa Cuo It Sian menggerutkan alisnya rapat-rapat,

dengan perasaan bingung ujarnya.

“Jadi maksud kalian- kalian baru saja naik kegunung Kim Teng

san untuk untuk menyambangi si kakek pemalas Kay Kong Beng

kemudian datang ke rumah Lohu?? Ini. . ini berarti ada urusan

apa?”

Ti Then sedikit pun tidak melihat adanya perubahan yang aneh

pada wajahnya, tanpa terasa dia dibuat gugup juga, ujarnya.

“Apakah Locianpwe tidak tahu kalau Hu pocu kami sudah bunuh

diri??”

Air muka Cuo It Sian seketika itu juga berobah amat hebat,

mendadak dia bangkit berdiri teriaknya dengan terperanyat.

“Apakah Huang Puh Kiam Pek bunuh diri? dia kenapa mau bunuh

diri??”

Kali ini walau pun air mukanya berubah amat hebat tetapi

perubahan ini jelas sungguh berubah, dan bukannya berubah

seperti apa yang dibayangkan oleh Ti Then semula.

Ti Then segera mem punyai dugaan kalau dia bukanlah orang

yang melakukan jual beli serta membunuh mati Hong Mong Ling,

karena jika dia betul-betul orangnya tidaklab mungkin perubahan

wajahnya begitu sungguh-sungguh, karenanya perasaan curiga

yang semula ditujukan kepada diri pembesar kota Cuo It Sian ini

pun menjadi goyah juga. Dia menarik napas panjang-panjang, lama

kemudian barulah ujarnya.

“Inilah hal yang Wi Pocu sangat ketahui, karenanya Wi pocu

memerintahkan boanpwe untuk datang kemari minta petunjuk dari

Locianpwe, karena Lo cianpwe sudah bersahabat sangat lama sekali

dengan diri Hu Pocu, kemungkinan sekali Locianpwe tahu mengapa

Hu Pocu bunuh diri”

Dengan perasaan terkejut bercampur heran Cuo It Sian

memandang wajah Ti Then tak berkedip.

“Lohu sudah ada dua tiga tahun lamanya tidak bertemu dengan

Hu Pocu, dia Heey. . coba bagaimana kalau kalian Ceritakan dulu

dengan teliti keadaan yang sudah terjadi??”

Ti Then menundukkan kepalanya berpiklt sebentar, kemudian

barulah mengangguk.

“Baiklah, urusan ini harus diceritakan sedari Wi pocu

membatalkan ikatan jodoh antara Hong Mong Ling dengan nona Wi,

tentang urusan ini tentunya Locianpwe sudah dengar berita dari

orang lain bukan?”

“Benar, pernah mendengar tentang berita ini”

“Ada satu malam boanpwe sedang bermain Catur dengan Hu

Pocu sehingga jauh malam mendadak budak kami datang melapor

kalau nona Wi sudah lenyap tanpa bekas, Hu Pocu serta boanpwe

segera berangkat menuju ke kamar untuk mengadakan

pemeriksaan, menurut keadaan pada waktu itu kami mengambil

kesimpulan kalau nona Wi sudah diculik, oleh Hu Pocu

memerintahkan seluruh pendekar pedang yang ada di dalam

Benteng untuk mengadakan pemeriksaan di empat penjuru..”

“Waktu itu apakah Wi Pocu tidak berada di dalam Benteng??”

potong cuo It Sian mendadak.

“Benar, Wi Pocu serta seorang pendekar pedang merah karena

ada urusan sudah keluar Benteng, tetapi pada keesokan harinya Wi

Pocu sudah kembali lagi ke dalam Benteng dan sekali lagi

menggerakkan semua pendekar pedang yang ada di dalam Benteng

untuk melakukan pengejaran. Hu Pocu serta boanpwe pada pagi

hari-hari ketiga bersama-sama meninggalkan Benteng Pek Kiam Po

,,”

Segera dia menceritakan kembali bagaimana dia menerima

undangan dari si setan pengecut, bagaimana melukai kulit kepala si

Setan pengecut itu di atas gunung Kim Teng San menolong kembali

Wi Lian In lalu bagaimana mengetahui bahwa Huang Puh Kian Pek

adalah si setan pengecut itu.

Ketika selesai mendengar cerita itu Cuo It Sian

saking.terperanyatnya sudah menjerit tertahan, tanyanya.

“Apakah sesudah kalian berhasil membuka rahasianya lalu dia

melakukan bunuh diri?”

“Benar.” Sahut Ti then mengangguk.

Sebelum dia melakukan bunuh diri apakah tidak mengatakan

kenapa dia sampai bersekongkol dengan Hong Mong Ling untuk

menculik diri Nona Wi?”

Terpaksa Ti Then berbohong sahutnya.

“Benar, dia bilang sudah menerima pesanan jual beli dari

seseorang, orang itu sanggup membayar selaksa tahil perak

Kepadanya dengan syarat mencurikan semacam barang Wi Pocu

dari dalam Loteng Penyimpan Kitabnya”

Air muka Cuo It Sian sedikit pun tidak berubah, tanyanya dengan

cemas:

“Siapakah orang yang sudah melakukan jual beli dengan Hu Pocu

itu?”

Ti Then tidak segera memberikan jawabannya, hanya ia terus

menerus memperhatikan perubahan air muka pihak lawan, sebentar

kemudian setelah merasa yakin kalau dia bukanlah orang yang

melakukan jual beli itu, jawabnya:

“Hu Pocu hanya mengatakan ada orang yang melakukan jual beli

dengan dia dengan upah selaksa tahil perak, karena untuk sesaat

dia menjadi rakus akan harta makanya baru menerima permintaan

tersebut sedangkan siapa yang sudah melakukan pekerjaan ini dia

sama sekali tidak mau mengatakannya”

Dia berhenti sejenak, kemudian sambungnya:

“Kiranya Wi Pocu tahu kalau Locianpwe mem punyai hubungan

persahabatan yang sangat erat dengan Hu Pocu selama puluhan

tahun lamanya, sengaja mengirim boanpwe kemari untuk minta

keterangan barangkali locianpwe mengetahui sedikit urusan ini”

Cuo It Sian mengerutkan alisnya rapat-rapat, lama sekali dia

tidak menyawab, kurang lebih seperminum teh kemudian baru

terdengar dia membuka mulutnya member jawaban:

“Selama ini Hu Pocu jadi orang amat jujur dan berhati lurus

bagaimana bisa melakukan pekerjaan semacam ini? Hei, sungguh

membuat orang merasa diluar dugaan…TiSiauwhiap tadi bilang baru

saja pulang dari gunung Kim Teng San, sebetulnya apa arti dari

perkataan ini?”

“Setelah Boanpwe serta nona Wi menerima perintah untuk

meninggalkan Benteng ditengah jalan sudah mendengar perkataan

dari seorang kawan Bulim yang mengatakan pernah bertemu muka

dengan Hong Mong Ling di atas gunung Kim

Teng San, karenanya segera boanpwe berdua berangkat menuju

ke atas gunung Kim Teng San dengan harapan bisa menawan dia”

“Tidak salah.”Sahut Cuo It Sian mengangguk. “Jikalau bisa

berhasil menawan Hong Mong Ling maka kita bisa tahu juga siapa

orangnya yang sudah melakukan pekerjaan jual beli itu akhirnya

apa kalian berhasil menawan dia kembali?”

“Setelah boanpwe berdua tiba di atas gunung Kim Teng San,

pada waktu itulah sudah menemukan kalau Hong Mong Ling sedang

berlutut di depan gua tempat kediaman Si kakek pemalas Kay Kong

Beng, dia sedang memohon si kakek pemalas Kay Kong Beng mau

menerimanya sebagai murid dengan harapan bisa memperoleh

sebuah sandaran.”

“Lohu dengar si kakek pemalas sudah bersumpah untuk tidak

menerima murid kembali, mungkin dia tidak akan diterima sebagai

muridnya bukan?”

“Benar” jawab Ti Then mengangguk, “Ketika dia melihat

boanpwe berdua muncul di sana dengan gugup segera melarikan

diri, tetapi ketika sampai di bawah puncak dia sudah berhasil

boanpwe tawan dan pada saat boanpwe sedang paksa dia untuk

memberitahukan nama orang yang melakukan jual beli itu, baru dia

mau menyawab saat itulah sebuah batu cadas sudah menyambar

datang dan tepat menghajar batok kepalanya sehingga binasa”

“Haaaa….siapa orang itu?” Tanya Cuo It Sian kaget.

“Sudah tentu orang yang sudah melakukan jual beli dengan Hu

Pocu, dia sengaja turun tangan membunuh Hong Mong Ling untuk

melenyapkan kesaksian.”

“Siapakah orang itu ?” tanya Cuo It Sian lagi sambil memandang

tajam wajahnya.

Ketika Ti Then melihat dia betul-betul tidak memperlihatkan

sedikit perubahan pun segera memastikan kalau dia bukanlah orang

yang

sudah melakukan jual beli itu, karenanya dengan terus terang

jawabnya.

“Sungguh sayang sekali boanpwe sama sekali tidak melihat

dirinya, begitu batunya menyambar segera dia melarikan diri dari

sana, karena itu boanpwe tidak berhasil menawan dia kembali.”

“Heey… sungguh sayang sekali”

“Kenapa tidak, tetapi boanpwe percaya cepat atau lambat

akhirnya aku berhasil juga menawan dia, karena di dalam Bu-lim

orang yang bisa membayar uang sebesar satu laksa tahil perak tidak

banyak jumlahnya.”

Mendengar perkataan itu air muka Cuo It Sian segera berubah

amat hebat, sepasang matanya mernancarkan sinar yang amat

tajam, sesudah memandang beberapa saat lamanya ke atas wajah

Ti Then pada air mukanya segera timbullah senyumannya yang

amat dingin.

“Lohu sekarang paham, kalian sudah mencurigai Lohu kalau

adalah orang yang melakukan jual beli dengan Hu Pocu”

“Tidak berani, tidak berani..locianpwe sudah salah paham”

Cuo It San tertawa dingin.

“Lohu merupakan salah satu orang yang sanggup membayar

uang sebesar selaksa tahil Perak, ditambah lagi merupakan kawan

baik dari Hu Pocu, bukan begitu?”

“Nama besar dari locianpwe sudah tersebar diseluruh Bu-lim,

mana boanpwe berdua berani menaruh perasaan curiga terhadap

diri locianpwe, kedatangan boanpwe ini hari hanya mengharapkan

locianpwe mau member sedikit gambaran dan sedikit keterangan

kepada kami, selain itu tidak punya maksud lainnya”

Sekali lagi Cuo It Sian memandang tajam wajahnya, dengan

diiringi suatu senyuman yang amat tidak gembira ujarnya.

“Jikalau perkataanmu ini tidak bohong, Lohu di sini minta maaf

terlebih dulu karena tidak bisa membantu kalian sebab lohu sendiri

juga tidak tahu siapa orangnya yang patut dicurigai”

“Di dalam dunia kangouw saat ini kecuali locianpwe serta si

anying langit rase bumi siapa lagi yang amat kaya?”

“Lohu tidak tahu” sahut Cuo It Sian sambil gelengkan kepalanya,

Bilamana kalian menganggap siapa yang kaya dialah manusia yang

patut dicurigai boleh dikata pikiran kalian terlalu kekanak-kanakan”

“Tetapi hal ini sangat beralasan sekali” timbrung Wi Lian In yang

selama ini bungkam terus.

“Kalau begitu” ujar Cuo It Sian lagi sambil tertawa dingin tak

henti-hentinya.

“Lohu juga termasuk salah seorang yang patut dicurigai bukan?

Coba kalian ke kota dan tanyakan kepada penduduk di sini selama

dua bulan yang baru lalu pernahkah Lohu meninggalkan kota Tiong

Khin Hu ini barang setapak pun, orang-orang di dalam kota setiap

hari melihat lohu ada di sini”

“Locianpwe kau jangan marah” Wi Lian In coba meredakan

hawa amarah Cuo It Sian yang mulai berkobar, “Kami memang

benar-benar tidak menaruh perasaan curiga terhadap diri

Locianpwe, kami hanya sengaja datang kemari untuk minta

keterangan dari kau orang tua dan mengharapkan dari sini bisa

memperoleh sedikit keterangan”

Jilid 18.2: Tertawan di gudang bawah tanah

“Jikalau kalian tidak pernah menaruh perasaan curiga terhadap

lohu kenapa pertama yang kalian ucapkan adalah kalian baru saja

datang dari gunung Kim Teng san? hal ini membuktikan kalau kalian

sudah menaruh curiga lohulah orang yang sudah membinasakan

Hong Mong Ling sewaktu berada digunung Kim Teng san. kalian kini

sengaja berbicara tentu sengaja sedang memeriksa perubahan

wajah dari lohu apakah mencurigakan atau tidak”

Wajah Lian In segera berubah menjadi merah padam.

“Sudahlah tetapi sekarang kami sudah percaya kalau kau orang

tua bukanlah orang yang melakukan jual beli itu”

Dengan wajah penuh perasaan tidak senang Cuo It Sian bertanya

kembali: “Sekarang ayahmu berada dimana?”

“Beberapa hari kemudian dia akan pergi ke istana Thian Teh

Kong untuk menemui janyinya.”

“Kalian juga mau pergi ke istana Thian Teh Kong?” tanya Cuo It

sian lagi.

“Benar.”

“Kalau lohu mau membicarakan persoalan ini langsung

berhadapan dengan ayahmu”

Wi Lian In menjadi gugup dibuatnya.

“Tidak… tidak perlu begitu”

“Kenapa? apakah Lohu tidak seharusnya pergi mencari ayahmu

untuk membicarakan persoalan ini hingga menjadi jelas…”

“Bukan begitu” seru Wi Lian In agak gugup “Kami pergi ke istana

Thian Teh Kong sebetulnya mau bertempur dengan si rase bumi

Bun Jin Cu, jikalau orang tua berangkat bersama-sama kami si rase

bumi Bun Jin Cu bisa salah paham menganggap kau orang tua

merupakan bala bantuan kami, lebih baik kau orang tua tidak usah

berbuat begini.”

“Sampai waktunya biarlah Lohu berdiri di samping untuk

menonton saja.”

“Tetapi”

Mendadak Cuo It sian tertawa terbahak-bahak.

“Ha. . haa . haaa.. haaa.. Lohu sekarang sudah paham, ini hari

kalian datang mencari lohu pasti bukan atas perintah dari ayahmu,

bukan begitu?”

“Benar” sahut Wi Lian In, sekali lagi wajahnya sudah berubah

menjadi merah padam seperti kepiting rebus. “Jika Tia tahu kami

datang ke sini mencari kau orang tua, dia pasti akan marah

kepadaku”

“Baik, baik” seru Cuo It Sian tertawa terbahak-bahak. ” Kalian

datang mencari Lohu sekali pun bukan atas perintah dari ayahmu,

tapi Lohu mengingat usia kalian yang masih kecil tidak akan cari

perkara lagi dengan diri kalian”

Wi Lian In menjadi amat girang.

“Dengan begitu kau orang tua tidak jadi ikut kami pergi ke istana

Then Teh Kong bukan ???”

“Benar” sahut Cuo It sian mengangguk.

Saat itulah Wi Lian In baru merasa hatinya menjadi lega, dengan

tersenyum malu dia menundukkan kepalanya rendah-rendah.

“Keponakan perempuanmu tidak tahu apa-apa sehingga

membuat salah terhadap kau orang tua, sungguh maaf sekali”

“Tidak mengapa, tidak mengapa padahal urusan ini tidak bisa

salahkan kalian kalau sampai menaruh curiga kepadaku, Lohu

memang tidak salah memiliki banyak uang bahkan Hu pocu pun

mem punyai hubungan persahabatan yang amat erat selama

puluhan tahun lamanya, jikalau Lohu misalnya mohon padanya

untuk mencarikan semacam barang milik ayahmu, dia memang pasti

sukar untuk menampiknya.”

Dia berhenti sebentar untuk berganti napas, kemudian

tambahnya lagi sambil tertawa:

“Tetapi kalian pun harus berpikir walau pun harta kekayaan dari

lohu ini boleh di kata belum menangkan sebuah negara tapi untuk

dipakai seumur hidupku masih terlalu berlebihan, Lohu mau apa,

ada apa, buat apa pergi menyuruh orang lain untuk mencuri sebuah

barang ke punyaan ayahmu??”

Ti Then segera bangkit berdiri, sambil merangkap tangannya

memberi hormat ujarnya:

“Perkataan dari Locianpwe sedikit pun tak salah, maaf tadi

boanpwe sekalian sudah menaruh curiga kepada diri Locianpwe,

mohon locianpwe suka memaafkan, kini ijinkan boanpwe sekalian

memohon diri”

“Buat apa begitu tergesa-gesa?” tanya Cuo It sian melengak.

“Perjanyian dengan pihak istana Thian Teh Kong tinggal

beberapa hari saja, kami harus segera berangkat untuk mengejar

waktu.”

” Kalau memang begitu lohu juga tidak akan menahan kalian

lebih lama lagi” seru Cuo It sian kemudian sambil bangkit berdiri

“Lain kali jika lewat dikota ini jangan lupa untuk tinggal beberapa

hari di rumah Lohu ini, walau pun usia dari lohu sudah amat tua

tetapi sangat suka untuk bergaul dan berkawan dengan orangorang

muda”

Ti Then segera menyanggupi hal itu, bersama-sama dengan Wi

Lian In mereka berpamit dan keluar dari ruangan itu.

Cuo It Sian menghantar mereka berdua sampai diluar pintu

besar, masing-masing barulah berpisah, Ti Then bersama-sama Wi

Lian In dengan menunggang kudanya masing-masing dengan cepat

berjalan ke tengah jalanan dalam kota.

Terdengar Wi Lian In menghela napas panjang, ujarnya

kemudian ketika sudah berada ditengah jalan.

“Coba kau lihat, sejak semula aku sudah bilang dia tak mungkin

orang yang sudah melakukan jual beli itu”

” Tetapi jika tidak datang sendiri untuk membuktikan siapa yang

tahu kalau dia bukan orangnya?” Bantah Ti Then cepat.

“Untung sekali dia tidak kukuh untuk ikut kami pergi menemui

Tia, kalau tidak Tia tentu akan memaki aku setengah mati.”

“Kita mencurigai dialah orang yang sudah melakukan jual beli itu

semuanya sangat beralasan sekali, aku kira ayahmu tidak akan

memaki kita semua.”

“Sekali pun perasaan curiga kita pada dirinya sangat beralasan

tetapi perkataannya lebih beralasan lagi, dia sangat kaya sekali,

mau apa ada apa buat apa pergi mencuri barang miliknya Tia?”

Mendengar perkataan ini Ti Then terpaksa tertawa pahit.

“Kemungkinan sekali barang milik ayahmu itu untuk dibeli

dengan uang.”

“Kau berbicara demikian berarti juga masih menaruh sedikit

curiga terhadap dirinya”

“Tidak” Bantah Ti Then dengan cepat.

“Maksudku, sekali pun orang kaya masih ada alasan juga untuk

pergi mencuri barang miliknya orang lain-”

Dengan sedihnya Wi Lian In menghela napas panjang.

“Hanya entah barang apa yang sudah Tia simpan di dalam

Loteng Penyimpan kitabnya itu?”

“Sesudah bertemu dengan ayahmu lebih baik kita jangan

tanyakan soal ini”

“Kenapa?”

“Sebelum Hu Pocu bunuh diri dia pasti sudah menguraikan

persoalan ini di hadapan ayahmu, sedang ayahmu kalau

memangnya tidak ingin kita ikut mengetahui persoalan iui di

dalamnya pasti ada persoalan yang harus dirahasiakan, kita tak

seharusnya membuat ayahmu serba susah”

“Tidak. persoalan ini harus di tanyakan sampai jelas”

“Sekali pun kau ingin tahu, ayahmu belum tentu mau beri tahu

padamu”

Wi Lian In segera mencibirkan bibirnya.

“Aku tidak percaya kalau Tia masih ada rahasia yang tidak boleh

diberitakan pada putrinya sendiri”

“Mungkin ada satu hari ayahmu akan memberitahukan persoalan

ini dengan sendirinya tetapi sekarang aku kira belumlah saatnya

buat kita untuk ikut mengetahui soal ini”

“Apa kau menganggap barang yang disimpan Tia itu ada

hubungannya dengan rahasia pribadinya?”

“Aku kira bukan” jawab Ti Then gelengkan kepalanya. Jika ada

sangkut paut dengan rahasia pribadi ayahmu maka orang yang

bermaksud mengadakan pencurian itu pasti seorang dari kalangan

lurus, tetapi orang yang memerintahkan Hu pocu melakukan

pencurian itu bukanlah orang dari kalangan lurus”

“Kalau memangnya tidak ada sangkut pautnya dengan rahasia

pribadi Tia, kenapa kita tidak boleh ikut menyelidikinya??”

“Persoalan ini aku sendiri juga tidak mengerti, pokoknya kalau

memang ayahmu tidak mengijinkan kita ikut tahu di dalamnya pasti

ada alasan-alasan yang kuat” Dengan perlahan

Wi Lian In menghela napas panjang.

“Huy, sudahlah untuk sementara aku akan berpura-pura tidak

tahu akan urusan ini, kini apa kita langsung menuju ke istana Then

Teh Kong??”

“Untuk menginap satu hari di dalam kota juga boleh, hanya saja

bila Cuo It sian tahu akan hal ini dia pasti tidak akan senang hati.”

“Kalau begitu kita keluar dari kota saja” Mereka berdua segera

menyalankan kudanya keluar dari kota Tiong khin cu dan berangkat

menuju kearah selatan, ketika sudah berjalan sejauh dua puluh li

sampailah mereka di sebuah dusun kecil sedang hari pun mulai larut

malam.

“Sudahlah” seru Wi Lian In tiba-tiba sambil tertawa. “Seperti juga

perkataan dulu menjelang tengah malam beristirahatlah, ayam

mulai berkokok baru melihat langit kembali”

“Aku kira di dalam dusun ini tidak ada rumah penginapan” ujar Ti

then ikut tertawa juga.

“Kalau begitu kita cari kuil saja untuk menginap satu malam.”

Ternyata dugaan mereka sedikir pun tidak salah, sekali pun

sudah berputar ke seluruh dusun, ternyata sebuah rumah

perginapan pun tidak kelih atan, tetapi diluar dusun di temuinya

sebuah kuil dari kaum Toosu.

Kuil Toosu itu bernama kuil sam Cing Kong, walau pun

bangunannya tidak begitu besar tetapi keadaannya amat tenang

sekali karena itu mereka berdua segera mengambil keputusan untuk

menginap di sana.

Segera terlihat seorang tosu tua dengan amat ramahnya berjalan

keluar menyambut kedatangan mereka, setelah mengetahui maksud

kunjungan Ti Then berdua dengan perasaan amat girang ujar Toosu

tua itu.

“Baiklah, kalian berdua kalau tidak merasa muak dengan kotoran

kuil kami, silahkan untuk bermalam di sini”

Ti Then menjadi amat girang sekali.

“Entah siapa sebutan dari Tootiang??” tanyanya.

“Pinto It Cing dan merupakan penerima tamu dari kuil ini” Ti

Then pun segera memperkenalkan dirinya.

“Cayhe bernama Ti Then sedang nona ini adalah putri dari Pek

Kiam Pocu”

Ketika itu It Cing sanyien mendengar kalau mereka merupakan

orang-orang dari kalangan Bu lim, air mukanya segera berubah

amat hebat, dengan tertawa paksa ujarnya. “oooh .. silahkan

masuk. silahkan masuk. .”

Selesai minum teh It Cing Toojin segera bangkit memimpin

mereka berdua menuju kedua buah kamar yang bersih dan tenang

sekali, akhirnya tanyanya juga. ” Kalian berdua tentu belum

bersantap malam bukan?”

“Benar, tetapi cayhe membawa bekal makanan kering, Tootiang

tidak usah. .”

“Bekal kering untuk dimakan ditengah jalan” potong it Cing

Toojin dengan cepat, “Kini sicu sudah ada dikuil kami, buat apa

berlaku begitu sungkan-sungkan- tunggulah sebentar biar Pinto

perintah orang untuk kirim nasi kemari.”

Selesai berkata dia memberi hormat dan mengundurkan diri dari

kamar.

Tidak lama kemudian seorang Toosu berusia pertengahan

dengan membawa senampan nasi dan sayur berjalan masuk ke

dalam kamar kemudian meletakkan nasi serta sayur itu ke atas meja

dengan amat rapinya, ujarnya kepada Ti Then sambil memberi

hormat. “sicu silahkan bersantap.jikalau membutuhkan apa-apa

silahkan perintah saja.”

“Terima kasih atas perlakuan kalian yang baik, cayhe tidak

memerlukan apa-apa lagi” sahut

Ti Then cepat sambil gelengkan kepalanya.

Sesudah Toosu berusia pertengahan itu meninggalkan kamar,

barulah Ti Then bersama-sama Wi Lian In duduk saling berhadapan

dan mulai bersantap. sambil bersantap ujar Wi Lian In dengan

perlahan.

“Toosu-toosu dari kuil ini sangat baik sekali memperlakukan

orang lain, besok sebelum berangkat kita harus beri beberapa tahil

perak kepada mereka”

“Baiklah, aku juga merasa Toosu-toosu itu sangat ramah dan

sopan sekali, seharusnya kita kasih persen lebih banyak kepada

mereka”

“Adakalanya, bisa hidup beberapa hari lamanya ditempat yang

demikian sunyinya ini terhadap badan mau pun pikirannya sangat

baik sekali.”

” Betul” Sahut Ti Then setuju. “Bila cuma beberapa hari saja

masih tidak mengapa. kalau kelamaan mungkin akan merasa kesal

juga. .”

Sedang mereka berdua bercerita sambil bersantap masuklah

Toosu berusia pertengahan tadi membawa sepoci teh panas,

sehabis membereskan meja dia pun mengundurkan diri kembali.

Ujar Ti Then kemudian-

“Jarak hari ini sampai waktu perjanyian kita dengan si rase bumi

Bun Jin Cu masih ada delapan hari lamanya, sedang kita baru hari

sudah bisa tiba di istana Thian Teh Kong, coba kaupikir enaknya

selama beberapa hari ini kita pergi kemana?”

“Bagaimana kalau kita menginap beberapa hari di dalam kuil ini

saja ??”

“Tidak baik, lebih cepat cari tempat untuk bermain saja”

“Hanya tidak tahu disekitar tempat ini ada pemandangan yang

indah tidak ??”

“Besok pagi kita pergi tanya pada toosu itu bukankah sudah

beres?”

“Baiklah sekarang kau kembalilah kekamar untuk beristirahat”

Dengan perlahan Wi Lian In berjalan ke dekat meja dan

menuang teh ke dalam dua cawan, sambil mengangsurkan cawan

yang satu ke depan Ti Then ujarnya dengan manya:

“Aku masih tidak ingin tidur, kita ngomong-ngomong lagi saja.”

Ti Then segera menerima cawan itu dan meneguknya satu

tegukkan-

“Waktu buat kita untuk ngomong-ngomong masih sangat banyak

sekali” serunya sambil tertawa.

“Jika kau bosan dengan aku biarlah aku segera pergi” ujar Wi

Lian In kurang senang kemudian diteguknya jugs teh dalam cawan

itu.

“Ha ha ha. . jangan ngomong begitu”

Wi Lian In segera meletakkan cawannya ke atas meja, kemudian

berjalan ke hadapannya, ujarnya dengan malu-malu:

“Coba ngomonglah secara terus terang, sebenarnya … kau suka .

suka padaku tidak?”

Ti Then sama sekali tidak menduga kalau dia bisa mengeluarkan

kata-kata ini, untuk seketika itu juga dia dibuat kelabakan.

“Su. . . sudah. . sudah tentu suka”.

Wi Lian In angkat kepalanya memandang sekejap ke arahnya,

dengan wajah sedih ujarnya:

” Tetapi aku merasa kalau kau tidak suka padaku, kau selalu

menghindari aku, selalu berlagak pura. . . berlagak pilon-”

Ti Then pun meletakkan cawannya ke atas meja, sambil

memegang kencang sepasang pundaknya dia menghela napas

dengan perlahan-

“Tidak salah, aku selalu berusaha menghindari kau, hal ini

karena. . karena aku tidak sesuai untuk mencintai. . mencintai

dirimu.”

Menggunakan kesempatan ini Wi Lian In menyatuhkan diri ke

dalam pelukannya ujarnya dengan air mata yang menetes ke luar:

“Kau sedang omong kosong,jika kau tidak pantas siapa lagi yang

pantas? siapa lagi yang sesuai?”

“Siapa pun pantas, siapa pun sesuai cuma aku seorang yang

tidak pantas” jawab Ti Then perlahan sedang tangannya dengan

sangat mesra mengelus elus rambutnya yang indah itu.

Mendadak Wi Lian In angkat kepalanya dengan air muka penuh

perasaan terkejut bercampur gusar, ujarnya: “Apa arti dari

perkataanmu ini?”

Dengan cepat Wi Lian In angkat tangannya untuk menutupi

bibirnya, ujarnya dengan manya.

“Siapa yang menghendaki kau punya kedudukan? siapa yang

menghendaki kau punya uang? Kenapa kau bisa punya pikiran

yang demikian menggelikan?”

Berbicara sampai di sini mendadak sepasang tangannya yang

sedang merangkul Ti Then dengan perlahan terlepas sedang

tubuhnya pun dengan amat lemasnya merosot ke bawah untuk

kemudian jatuh terlentang tidak sadarkan diri.

Ti Then yang melihat seCara tiba-tiba dia jatuh tidak sadarkan

diri hatinya menjadi amat terperanyat, cepat- cepat ditariknya. “Wi

Lian In kau kenapa?” tanyanya dengan cepat.

Sepasang mata Wi Lian In dipejamkan rapat-rapat, tubuhnya

lemas tak bertenaga sama sekali ternyata dia benar- benar jatuh tak

sadarkan diri

Ti Then sama sekaii tidak menduga die bisa jatuh tidak sadarkan

diri secara tiba-tiba untuk sesaat hatinya menjadi bingung sekali,

segera dia meaggendong badannnya untuk di atas pembaringan.

Tetapi baru saja dia berjalan dua langkah dari tempat semula

mendadak lututnya menjadi sangat lemas saking tidak kuatnya

tubuhnya mau pun tubuh Wi Lian In sama-sama jatuh ke atas

tanah. Dia pun jatuh tidak sadarkan diri.

00000

PERTAMA-TAMA yang sadar kembali adalah Ti Then, dia seperti

baru saja bangun dari suatu tidur yang amat pulas sekali, tetapi

ketika dia bisa membuka matanya kembali dan melihat dengan jelas

pemandangan di sekeliling tempat itu tanpa terasa lagi dia

menemukan dirinya sudah tidak tertidur di dalam kamar pada kuil

san cing Koan itu, kini dia berada disuatu ruangan bawah tanah

yang amat dingin, lembab dan gelap sekali.

Luas dari ruangan bawah tanah itu kurang lebih hanya lima kaki

saja, sekelilingnya merupakan dinding dinding tanah yang amat

lembab.

Di bawah dinding tanah sebelah badannya terdapatlah sebuah

tangga-tangga batu yang menuju ke atas, diujung tangga batu

terdapat sebuah pintu besi, sedang di samping pintu di atas dinding

tergantunglah sebuah lampu minyak. selain itu tidak tampak barang

lainnya.

Ti Then merasakan baru saja terbangun dari suatu impian yang

amat buruk. sesudah tertegun beberapa saat lamanya barulah dia

mulai angkat kakinya berjalan menuju ke atas tangga-tangga itu.

Tetapi baru saja berjalan sejauh tiga depa, mendadak

terdengartah.. “cring ..” seketika itu juga badannya berhenti

bergerak. walau sudah berusaha sekuat tenaga tetap tidak berhasil

untuk maju.

Cepat- cepat dia tundukkan kepalannya memandang, saat itulah

dia baru merasa kalau dibagian pinggangnya sudah di ikat dengan

seutas rantai yang amat kuat sedang ujung rantai tersebut diikat

dengan sebuah tiang besi yang ditanam amat dalam sekali di bawah

permukaan tanah.

Pada waktu dia melihat adanya tiang besi itulah dia juga melihat

diri Wi Lian In seperti juga dirinya dirantai dengan besi dan saat ini

sedang berbaring dipojokan dinding.

Ti Then segera meloncat ke samping tubuh Wi Lian In, tertaknya

dengan cemas.

“Lian In- . Lian In, cepat kau bangun”

Wi Lian In lelap tertidur dengan amat pulasnya.

Ti Then segera gerakan tangannya menggoyangkan tangannya

teriaknya kembali: “Lian In- , Lian In- , cepat bangun”

Waktu itulah Wi Lian In baru mengeluarkan sedikit suara, dengan

perlahan matanya dipentangkan kemudian gumamnya dengan

suaranya yang amat manya. “Hari belum terang, tidur sebentar

lagi.”

Baru berbicara sampai di situ mendedak dia bangkit berdiri, air

mukanya berubah sangat hebat. “Hey, tempat mana ini?”

“Sebuah ruangan bawah tanah” sa hut Ti Then tertawa pahit.

“Ruang bawah tanah?” teriak Wi Lian In dengan perasaan amat

terperanyat “Ruang bawah tanahnya siapa?? bagaimana kita sampai

di sini??”

“Mungkin ruang bawah tanahnya kuil Sam Cing Koan, HHmm,

kita masih bilang mereka angat sopan dan ramah menghadapi

tamu-tamu, kiranya tak lebih kaum bajingan rampok”

“Tetapi. .” seru Wi Lian In lagi dengan kaget. “Bagaimana

mereka bisa berhasil menawan kita kembali?”

“Sesudah kita minum air tehnya tidak lama kemudian sudah jatuh

tidak sadarkan diri, tentu di dalam tehnya sudah diberi obat

pemabok oleh mereka.”

Wi Lian In menjadi amat geli, sekali pergelangan tangannya

dengan cepat di balik untuk mencabut keluar pedangnya, siapa tahu

dia sudah menangkap tempat kosong, sehingga tanpa terasa lagi air

mukanya berubah sangat hebat, dengusnya dengan amat dingin-

“Hmmm pedangku juga diambil mereka”

Melihat kegusaran dari Wi Lian In, Ti Then tertawa pahit lagi,

ujarnya sambil menuding kearah rantai yang mengikat pinggang

mereka. “Mereka masih merantai kita dengan sebuai rantai yang

begitu besar”

Wi Lian In dengan cepat mencekal erat-erat rantai itu, sepasang

matanya merah berapi saking marahnya. “Bisa tidak diputus dengan

paksa?”

“Biar aku coba-coba.”

Dia putar badannya kearah tiang besi itu, sepasang tangannya

dengan kencang mencekal erat-erat rantai tersebut kemudian di

tariknya beberapa kali. Akhirnya bukan saja tidak berhasil

memutuskan rantai itu bahkan untuk menggoyangkan tiang besinya

pun tidak sanggup.

Tanpa terasa lagi dia mengeluarkan seruan kecewa.

“Tidak bisa, tidak bisa .. . barang semacam ini harus ada sebuah

pedang pusaka yang bisa memotong besi baru bisa berhasil”

Wi Lian In pun mengerahkan tenaganya untuk mencoba tarik

rantai itu, ketika dilihatnya betul- betul dia tidak berhasil

memutuskan rantai tersebut, dia baru berhenti menarik, ujarnya

sambil menggerutuk gigi “Toosu bangsat, apa maksud mereka

untuk menahan kita ditempat seperti ini?”

Ti Then tidak memberikan jawabannya, matanya dengan amat

tajam memandang lurus ke atas tiang besi itu. Lama sekali baru dia

buka mulutnya. “Entah tiang besi ini bisa dicabut keluar dari

permukaan tanah atau tidak?”

“Mari kita coba bersama-sama.”

Demikianlah mereka berdua segera mendekati tiang besi itu,

empat buah tangan bersama-sama merangkul tiang besi tersebut

kemudian bersama-sama mencabutnya.

siapa tahu sekali pun mereka sudah kerahkan seluruh tenaga

yang mereka miliki, jangan dikata tercabut, sedikit bergerak pun

tidak. seperti tiang besi itu sudah berakar di dalam tanah.

Hal ini membuat Wi Lian In menjadi amat heran-

“Suatu urusan yang amat aneh, dengan kekuatan kita berdua,

sekali pun sebuah pohon besar juga bisa roboh, kenapa tidak

sanggup untuk mencabut keluar sebuah tiang besi saja.”

“Dalam hal ini hanya ada satu sebab saja, tiang besi ini

dihubungkan dengan tiang besi yang lain, jika ada empat tiang besi

yang ditanam di bawah tanah, sekali pun kita berdua kerahkan

semua tenaga juga tidak akan berhasil.” Tak terasa lagi Wi Lian In

menjadi murung dibuatnya. “Lalu bagaimana baiknya?”

“Duduk dulu, kita menanti sebentar lagi” sambil berkata dia

duduk bersandar ke dinding.

Dengan gemasnya Wi Lian In pun mendepakkan kakinya ke atas

tanah, kemudian duduk disisi Ti Then, ujarnya lagi.

“Sungguh aneh sekali, aku lihat Toosu-Tosu bangsat itu sama

sekali tidak memiliki kepandaian silat, coba kau lihat mereka

memiliki ilmu silat tidak?”

“Ehmm.. tidak.” sahut Ti Then gelengkan kepalanya. Dengan

gemas sekali lagi Wi Lian In menghela napas panjang.

“Ternyata kita bisa kecundang ditangan para tosu-tosu bangsat

yang tidak berkepandaian silat, sungguh menyesal sekali”

“Di dalam kuil Sam Cing Koan bukan hanya ada Toosu menerima

tamu itu saja, Toosu-toos yang lain mungkin memiliki kepandaian

silat”

Wi Lian In segera merogoh ke dalam sakunya, tapi sebentar

kemudian sudah mendengus dengan amat gusar,

“Hmm semua uangku sudah diambil mereka, punyamu

bagaimana?”

Ti Then pun ikut merogoh ke dalam sakunya.

“Semua sudah diambil oleh mereka, iih, salah masih ada ini”

Kiranya uang kertas itu adalah uang yang diterimanya dari si Giok

Bin Longkung cu Hoay Lo, itu manusia cabul tempo hari, uang yang

sebesar lima belas laksa tahil itu di dalam gudang uang Tiang An

Glen Khie di kota Tiang An.

Waktu itu sesudah dia berhasil menawan itu manusia cabul Giok

Bian Lang cung cu Hoay Lo dia pernah menggunakan uang itu untuk

menebus nyawanya, dia menganggap uang itu adalah hasil

rampasan, rampokan pihak lawannya karena itu tidak mau

menyanggupi permintaannya dan turun tangan menghukum mati

dia orang.

Setelah itu dalam anggapannya dia ingin pergi kekota Tiang An

untuk mengambil uang tersebut guna dibagikan kepada orangorang

miskin, karena perubahan yang terjadi berulang kali,

maksudnya ini tidak terlaksana terus tidak di sangka ini hari ternyata

uang itu tidak sampai terampas oleh bajingan-bajingan toosu di atas

kuil Sam Cing Koan.

“Sungguh suatu urusan yang aneh” teriak Wi Lian In keheranan,

“Uang kertas ini bisa memperoleh uang sebesar lima belas laksa

tahil kenapa mereka tidak mau”

“Ehmm” Ti Then segera memasukkan uang itu ke dalam sakunya

kembali. “Inilah keteledoran mereka, kau jangan berteriak keraskeras

sehingga mereka bisa tahu urusan ini”

Dengan perlahan Wi Lian In mengangguk. ujarnya dengan suara

yang amat lirih sekali.

“Mereka mengurung kita ditempat ini entah bermaksud hendak

menggunakan cara apa membereskan kita?”

“Semoga saja tidak memotong daging kita untuk di jual sebagai

makanan.”

“Kau jangan omong sembarangan” teriak Wi Lian In dengan

amat terperanyat. “Mereka bukannya sedang membuka kedai gelap.

buat apa potong daging kita untuk dijual ??”

“Selain itu tidak terpikir oleh ada alasan apa lagi mereka mau

tangkap kita, jika ditinyau dari keadaan biasanya setelah mereka

merampas uang kita tentu membunuh sekalian kita sehingga bersih”

“Dan terbukti kini dia tidak membunuh kita, tentu ada maksudmaksud

lainnya…” sambung Wi Lian In segera.

“Tidak mungkin-. tidak dia menawan kita sebagai sandera untuk

memeras ayahmu”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku percaya di dalam kuil itu pasti ada Toosu yang memiliki

kepandaian silat, sedang ketika kita masuk ke dalam kuil untuk

menginap secara gegabah sudah lapor nama kita, mereka kalau

sudah tahu kalau kau adalah putrinya Pek Kiam Pocu, sekali pun

nyalinya mereka lebih besar pun belum tentu berani melakukan

pekerjaan ini.”

Wi Lian In yang merasa perkataan dari Ti Then sangat berasalan

sekali, tanpa terasa sudah mengangguk.

“Tidak salah.. karena itu turun tangan membinasakan diri kita

tetapi mereka sama sekali tidak turun tangan terhadap kita”

“Itulah sebabnya” seru Ti Then sambil kerutkan alisnya rapatrapat.

“Kita tidak bisa paham soal ini ..Hmm. Aku sudah tahu, tentu

Tosu-toosu dari kuil Sam Ciang Koan ini adalah anak buah dari si

anying langit rase bumi” Air muka Wi Lian In segera berubah sangat

hebat.

“Berdasarkan hal apa kau berani memastikan kalau mereka

adalah anak buah dari si anying langit rase bumi??”

“Anak buah dari si anying langit rase bumi sangat banyak sekali

dan meliputi berbagai golongan, apa lagi tempat ini dengan istana

Thian Teh Kong jaraknya sangat dekat sekali, karena Toosu-toosu

dari kuil san Cing Koan ini pasti anak buah dari si anying langit rase

bumi mereka tahu si rase bumi Bun Jen Cu sudah menantang

ayahnya untuk bertanding, maka dari kini mereka tawan kita

terlebih dahulu kemudian memaksa ayahmu untuk mengaku kalah”

Air muka Wi Lian In segera berubah menjadi pucat pasi, dengan

nada amat cemas serunya.

” Kalau benar begitu, kita harus cepat- cepat berusaha untuk

melarikan diri dari sini”

Dengan perlahan Ti Then mengangguk, mendadak ujarnya

dengan menggunakan ilmu menyampaikan suara.

“Ada orang datang, kita cepat- cepat berbaring ke tanah purapura

masih belum sadar” dengan meminyam kesempatan dia tidak

bersiap siaga kita turun tangan menguasai dirinya”

Selesai berkata dengan mengambil tempat seperti semula Ti

Then jatuhkan diri berbaring kembali.

Wi Lian In pun dengan cepat ikut berbaring ketempat semula.

Baru saja mereka selesai berbaring, pintu besi diluar tangga batu

itu sudah terbuka kemudian disusul dengan suara gesekan pintu

yang amat panjang, seorang berkerudung hitam dengan membawa

makanan berjalan turun ke bawah.

Manusia berkerudung ini seluruh badannya memakai pakaian

berwarna hitam, selain dari potongannya bisa dilihat kalau dia

adalah seorang lelaki sampai kira- kira berusia berapa tahun pun

tidak tahu.

Dia berjalan turun ke bawah tangga batu yang terakhir,

kemudian berhenti kurang lebih empat depa dari tempat dimana Ti

Then sekalian berbaring, setelah memandang beberapa waktu ke

arah Ti Then serta Wi Lian In yang berbaring di atas tanah,

mendadak dia mengeluarkan suara tertawanya yang amat dingin.

“He. Hee.. kalian sungguh-sungguh belum sadar kembali?”

Selesai berkata dia bungkukkan badannya meletakkan makanan

yang dibawanya itu ke atas tanah, kemudian putar badannya siap

pergi dari sana.

Mendadak Ti Then meloncat bangun tangannya dengan dahsyat

melancarkan satu cengkeraman maut mengarah pinggang pihak

lawannya, serangan ini dilakukan bagaikan kilat cepatnya tetapi

ketika berada kurang lebih lima enam cun dari pihak lawannya

tubuhnya sudah tertahan oleh rantai yang mengikat pinggangnya.

Agaknya manusia berkerudung hitam itu telah tahu kalau Ti Then

tidak akan sanggup mencengkeram dirinya, karena itu sengaja dia

tidak menghindar bahkan berdiri tegak tidak bergerak sedikit pun

juga, ujarnya sambil tertawa aneh.

“Suatu ilmu cengkeraman yang amat bagus, jikalau tadi aku

terkena cengkeramanmu itu pasti sekerat dagingku akan hilang”

Ti Then betul-betul dibuat amat gusar sekali, telapak kanannya

ditarik sedang kakinya mendadak melancarkan satu tendangan kilat

mengancam lambung pihak lawannya. orang berkerudung hitam itu

sekali lagi tertawa terbahak-bahak, dia mundur setengah langkah ke

belakang menghindarkan diri dari tendangan tersebut, ejeknya lagi:

“Tendanganmu kali ini juga tidak jelek. hanya kurang panjang

sedikit ha ha ha…” Ditengah suara tertawanya yang amat keras dia

mulai melangkah naik ke atas tangga-tangga batu itu untuk pergi.

“Berhenti” Bentak Ti Then dengan amat gusar.

Orang berkerudung hitam itu sama sekali tidak mau menggubris

dan meneruskan langkahnya menaiki tangga-tangga batu itu,

setelah melewati pintu besi lantas ditutupnya pintu itu dengan amat

keras.

Saking gusarnya hampir-hampir Ti Then merasakan dadanya

mau meledak dibuatnya, makinya dengan amat gusar:

“Bajingan pengecut, cucu kura-kura, Kenapa kalian tidak mau

bicara lebih jauh lagi?”

“Sudah. . sudahlah. . tidak usah memaki lagi” ujar Wi Lian In

sambil bangkit duduk. “Aku lihat mereka pasti anak buah dari si

anying langit rase bumi”

“Hmm, jika aku berhasil meloloskan diri dari sini, pasti kubunuh

mereka satu persatu” seru Ti

Then dengan amat gemas. “Jika dilihat bentuknya, dia bukan

Toosu-toosu itu.”

Ti Then dengan berdiam diri duduk kembali ke tempat semula,

sesudah menghembuskan napas panjang-panjang barulah ujarnya:

“Tempat ini kemungkinan sekali bukan berada dikuil Sam Cing

Koan itu ..”

“Dan ruangan bawah tanah ini bukan ruang bawah tanahnya kuil

Sam Cing Koan?” Tanya

Wi Lian In dengan amat terperanyat.

“Mungkin kita sudah berada di dalam istana Thian Teh Kong.”

Sekali lagi Wi Lian In dibuat terperanyat oleh perkataan ini.

“Tidak mungkin, agaknya kita belum begitu lama jatuh pingsan.”

“Bagaimana kau bisa tahu kalau kau belum jatuh pingsan sangat

lama? Mungkin kita sudah tidak sadarkan diri beberapa hari

lamanya, kemudian mereka membawa kita dari kuil Sam Cing Koan

ke dalam istana Thian Teh Kong.”

Berbicara sampai di sini, dia mengambil makanan yang baru saja

dikirim itu ujarnya lagi.

“Coba kau lihat, makanan ini jauh lebih bagus dari makanan yang

kita temui sewaktu berada di dalam kuil Sam Cing Koan, tempat ini

pasti bukan kuil Sam Cing Koan itu” Dengan perasaan amat terkejut

bercampur ragu-ragu teriak Wi Lian In lagi:

“Jikalau tempat ini adalah istana Thian Teh Kong, tadi orang itu

kenapa harus berkerudung?? si rase bumi Bun Jin Cu kenapa tidak

turun kemari untuk bertemu muka dengan kita??”

“Dia mungkin sengaja memperlihatkan kemisteriusannya, dia

pikir mau menyiksa kita terlebih dulu”.

“Hey. .” Wi Lien in menghela napas panjang. “Kelihatannya untuk

melarikan diri kita akan mengalami kesulitan.

“Lain kali jika dia kirim santapan buat kita lagi, aku harus carikan

satu akal buat menawan dia”

Mendengar perkataan itu Wi Lian In tertawa pahit.

“Jika dia tidak mau berjalan mendekati kita, bagaimana kita bisa

menawan dirinya?”

“Aku punya akal, mari sekarang kita makan dulu”

Dia bangkit berdiri dan mengambil makanan itu ke hadapan Wi

Lian In, ketika dilihatnya makanan itu sangat lezat kelihatannya

tanpa terasa dia sudah tertawa.

“Coba kau lihat makanan itu jauh lebih enak daripada makanan

yang kita temui sewaktu berada di kuil Sam Cing Koan, aku berani

bertaruh tempat ini pasti bukan kuil Sam Cing Koan itu”

Agaknya Wi Lian In tidak bernapsu untuk bersantap, dengan

wajah amat murung ujarnya.

“Coba kau katakan, kau punya akal apa untuk menawan orang

berkerudung itu?”

Ti Then tidak mau langsung memberikan jawabannya, dia

mengambil semangkok nasi, ujarnya kemudian sambil tertawa:

“Makan kenyang dulu, setelah itu aku baru beritahukan

kepadamu”

“Aku tidak bernapsu”

“Tidak makan kenyang mana ada tenaga untuk menawan

musuh? Cepat makan, cepat makan!”

Wi Lian In segera merasa kalau perkataannya sedikit pun tidak

salah, dengan paksakan diri dia pun mengambil nasi untuk makan.

Ti Then yang dikarenakan sudah mem punyai cara untuk

menawan musuh hatinya sangat gembira sekali, satu mangkuk nasi

belum berapa lama sudah habis disikat olehnya.

Wi Lian In yang melihat dia bersantap dengan begitu

bernapsunya segera mengangsurkan nasinya yang masih separuh

ke hadapan wajahnya, ujarnya dengan manya.

“Aku tidak habis, kau tolonglah aku habiskan nasi yang masih

separuh ini”

Dengan perlahan Ti Then gelengkan kepalanya.

Jika kau tidak mau habiskan nasi itu maka aku tidak mau

beritahukan bagaimana caranya menawan pihak musuh”

“Aku sungguh-sungguh tidak bernapsu untuk bersantap”

“Bagaimana juga kau harus makan”

Wi Lian In menjadi agak gemas dibuatnya.

“Hmmm, kau mau paksa aku?”

“Sekarang kau baru tahu?” balas tanya Ti Then sambil tertawa

terbahak-bahak.

Dalam hati Wi Lian in tahu dia berbuat demikian karena takut dia

menderita kelaparan karena itu memaksa dia untuk berdahar, tanpa

terasa hatinya merasa terhibur juga, sehingga tanpa dia sadari nasi

yang masih ada separuh mangkuk di dalam sekejap saja sudah

disikat hingga ludas.

Agaknya dia sangat ingin sekali mengetahui caranya Ti Then

hendak menawan musuh, sambil membersihkan mulutnya dia

berkata.

“Sudah selesai, ayoh sekarang beritahukan padaku kau mau

menggunakan cara apa untuk menawan orang berkerudung itu?”

“Menggunakan cambuk”

“Darimana kau mendapatkan cambuk itu?” Tanya Wi Lian In agak

melengak.

Ti Then segera melepaskan ikat pinggangnya dan memegang

ujung dari ikat pinggang tersebut, sedikit tangannya digetarkan

seketika itu juga ikat pinggang yang amat lemas menjadi kuat

bagaikan seekor naga yang sedang menari.

Ujarnya sambil tertawa.

“Inilah cambuk, bajingan tadi bilang kakiku tidak cukup panjang,

sekarang cambuk ini cukuplah panjang buat menawan dirinya”

Melihat itu Wi Lian In menjadi amat girang sekali.

“Permainan ini adalah ilmu andalan dari si rase bumi Bun Jin Cu,

kau juga bisa?”

Sekali lagi Ti Then menggerakkan ikat pinggangnya.

“Dulu aku belum pernah mempelajari ilmu ini tetapi di dalam

keadaan yang terpaksa mungkin masih bisa memperoleh sandaran”

Wi Lian In menjadi amat girang sekali.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 19.1: Terjebak dalam lautan api

“Bagus sekali, sewaktu kau mengenakan ikat pinggang ini

menggulung sepasang kakinya aku segera kirim satu pukulan ke

badannya”

Dengan perlahan Ti Then mengangguk.

“Betul sekali” sahutnya tertawa, “Kita harus bekerja sama dengan

sangat erat, sekarang kau berdirilah di sana biar aku coba-coba

terlebih dulu.”

Wi Lian In menurut dan berdiri ditempat dimana dia tidak dapat

mundur kembali, ujarnya:

“Kau harus berlatih hingga betul-betul bisa menggulung

sepasang kakiku kemudian menarik seluruh tubuhku kearahmu

sana.”

Perkataan “sana” baru selesai di katakan mendadak terasa

olehnya pandangannya menjadi kabur, pinggangnya terasa

mengencang seperti juga dililit oleh seekor ular, seluruh badannya

meninggalkan permukaan tanah melayang menuju kearah Ti Then.

Dengan gerakan yang amat gesit Ti Then membuang ikat

pinggangnya ke atas tanah kemudian sepasang tangannya

menerima tubuhnya yang ramping kecil itu dan memeluknya dengan

amat kencang.

Dengan mengambil kesempatan itu dengan amat mesranya dia

kirim satu ciuman ke atas pipinya, ujarnya dengan perlahan. “Apa

betul begitu??”

Saking malunya seluruh wajah Wi Lian In berubah menjadi

merah dadu, kepalanya segera disusupkan ke atas dada Ti Then

bersamaan pula kepalannya dengan perlahan-lahan memukuli

badan Ti Then.

“Kau jahat, aku tidak mau. .” serunya sambil tertawa malu-malu.

Ti Then memeluk badannya semakin kencang lagi. “Sejak dulu aku

sudah bilang aku lebih jahat dari Hong Mong Ling.”

“Ehmm..jika kau sebut namanya lagi aku tidak mau perduli kau

lagi.”

Ti Then angkat kepalanya kembali, dia segera berganti dengan

bahan pembicaraan yang lain.

“Sekarang entah waktu siang atau malam?”

“Mungkin sudah tengah malam. ”

“Kalau begitu kita harus tunggu beberapa jam lagi bajingan itu

baru datang kembali.”

“Jikalau misalnya secara tiba-tiba si rase bumi Bun Jin Cu datang

kemari kau punya maksud untuk berbuat bagaimana?” tanya Wi

Lian In tiba-tiba.

“Kita harus melihat bagaimana sikapnya terhadap kita terlebih

dulu, jikalau dia punya maksud untuk turun tangan membinasakan

kita, terpaksa kita harus turun tangan untuk mengadu jiwa, kalau

tidak lebih baik kita jangan banyak bergerak secara gegabah.”

“Jika bisa berhasil menawan dia bukankah sangat bagus sekali,

kenapa lebih baik berdiam saja??” tanya Wi Lian In lagi.

“Kepandaian silat dari si rase bumi Bun Jin Cu bukankah kau

sudah melihat sendiri, jika mau menggunakan ikat pinggang ini

untuk menawan dia mungkin tidak terlalu mudah.”

“Tetapi jikalau orang berkerudung itu bukan seorang yang

terpenting, buat apa menawan dirinya??”

“Aku lihat manusia berkerudung itu bukanlah seorang yang tidak

terpenting, jikalau tidak penting kenapa dia harus mengerudungi

wajahnya.”

“Masih ada lagi, jikalau dibadannya tidak membawa kunci dari

rantai ini bagaimana??”

” Kalau begitu jika si rase bumi Bun Jin Cu mau menolong nyawa

dia, harus memberikan kuncinya kepada kita.”

“Apa mungkin si rase bumi Bun Jin Cu mau melepaskan kita

hanya untuk menolong nyawa orang anak buahnya?”

Ti Then segera angkat bahunya.

“Benar, dia tidak akan melepaskan kita hanya untuk menolong

nyawa seorang anak buahnya, tetapi di dalam keadaan seperti ini

selain kita harus mencoba untuk menggunakan cara itu, apa kau

punya cara yang lain lagi??”

Wi Lian In juga tidak terpikirkan cara yang lebih bagus lagi,

terpaksa dia menghela napas panjang, kemudian menundukkan

kepalanya rendah-rendah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Kurang lebih sesudah lewat tiga jam lamanya, apa yang

ditunggu-tunggu Ti Then selama ini sudah muncul. Terdengar suara

pintu besi diluar dibuka kemudian suara langkah seseorang yang

semakin lama semakin mendekat bergema datang.

Ti Then segera kirim tanda kepada Wi Lian In, sepasang tangan

ditekuk di depan dadanya padahal tangan kanannya secara diamdiam

masuk ke dalam sakunya mengambil keluar ikat pinggangnya

dan siap untuk turun tangan.

Wi Lian In pun segera bergeser ke depan dan duduk di sebelah

kanan dari Ti Then, dia cudah bersiap sedia untuk turun tangan

menotok jalan darah pihak musuhnya begitu ikat pinggang dari Ti

Then berhasil meliliti pinggang lawannya.

Pada saat kedua orang itu baru saja selesai bersiap sedia, pintu

besi sudah terbuka dan masuklah orang berkerudung hitam tadi.

Pada tangannya dia membawa sebuah tong kayu yang besar

agaknya tempat itu sengaja dikirim buat Ti Then berdua membuang

kotoran.

Dia menuruni terus tangga-tangga batu itu, sesudah meletakkan

tong besar itu ke atas tanah dari dalamnya diambil keluar dua

mangkuk nasi dan diletakkan ditempat di mana Ti Then berdua tidak

bisa maju lagi. sesudah mengambil kembali mangkuk- mangkuk

kosong yang terdahulu, dia baru mendorong tong besar itu ke

depan, gerak geriknya amat hati-hati dan teliti sekali agaknya dia

terus menerus bersiap sedia terhadap todongan Ti Then yang

mendadak.

Ti Then yang melihat dia amat waspada dan tidak gampang

untuk turun tangan, di dalam hatinya diam-diam merasa amat

cemas sekali, ujarnya kemudian sambil tertawa:

“Saudara terus menerus tidak mau beritahukan alasan kenapa

menawan kami berdua, agaknya di dalam hal ini ada sebab-sebab

tertentu, tetapi ada satu hal tentunya saudara mau menyawabnya

dengan berlega hati bukan, sekarang waktu apa?”

Orang berkerudung hitam itu mengambil kembali kedua buah

mangkuk yang kosong itu, tertawanya dengan seram.

“Buat apa kalian menanyakan soal itu??” ujarnya dingin.

“Ingin tanya saja, kami di kurung di dalam tempat ini sudah

beberapa lamanya?”

“Sekarang waktu pasang lampu, kalian sudah jatuh tidak

sadarkan diri selama satu malam”

“Ooh kiranya sudah satu hari satu malam” seru Ti Then agak

tertahan “Lalu apa saudara juga tidak mau beritahu alasan apa

kalian mau menawan kami??”

“Belum sampai waktunya” jawab manusia berkerudung itu

singkat.

“Aku tahu sekarang, kalian tentu sedang menanti Wi Pocu datang

memenuhi janyi kemudian baru jatuhi hukuman kepada kita, bukan

begitu??”

Manusia berkerudung itu segera memperlihatkan senyumannya

yang amat misterius.

“Sedikit pun tidak salah” sahutnya dingin.

“Sekarang si rase bumi Bun Jin Cu apa berada di sini?” Tanya Ti

Then lagi.

“Benar” sahut orang berkerudung itu singkat.

” Kenapa dia tidak mau turun bertemu muka dengan kami??”

“Jika kalian pengen mati juga tidak perlu begitu cepat- cepat,

pada saat dia bertemu muka dengan kalian berarti juga waktu kalian

untuk meninggalkan dunia ini.”

“Aku tahu dia pasti benci sekali kepada diriku karena aku sudah

bunuh suaminya” ujar Ti Then tertawa.

Manusia berkerudung hitam itu hanya tertawa dingin saja,

kemudian putar tubuhnya pergi dari situ.

Tangan kanan Ti Then segera melayang mengebutkan ikat

pinggang yang sudah disiapkan ditangannya itu, laksana seekor ular

raksasa yang baru keluar dari dalam gua bagaikan kilat cepatnya

meluncur ke depan.

“Plaakk” dengan amat tepat sekali ikat pinggang itu melilit

seluruh pinggang dari manusia berkerudung hitam itu

Orang berkerudung hitam itu menjadi sangat terperanyat,

dengan cepat dia berusaha melepaskan diri dari lilitan tersebut,

tetapi pada saat yang bersamaan itu pula seluruh tubuhnya berhasil

ditarik meninggalkan permukaan melayang kearah Ti Then.

Wi Lian In segera melayang ke depan melancarkan satu totokan

yang dahsyat menghajar jalan darah Ling Thay Hiat di bagian

punggungnya, karena itu ketika tubuhnya orang berkerudung hitam

itu terjatuh ke atas tanah dia sudah tidak bertenaga lagi untuk

bergerak.

Kiranya jalan darah “Ling Thay Hiat” sekali pun merupakan salah

satu jalan darah kematian di dalam tubuh manusia tetapi asalkan

turun tangan tidak terlalu berat tidak akan sampai mencabut nyawa

orang tersebut, karena Wi Lian In masih ingin menggunakan dia

sebagai sandera untuk memaksa si rase bumi Bun Jin Cu

melepaskan dia serta Ti Then karena itu dia tidak membinasakan

orang tersebut.

Dengan cepat Ti Then bergerak kembali menambahi orang itu

dengan satu totokan kembali pada jalan darah kakunya, seperti baru

saja mendapatkan harta kekayaan dengan cepat dia seret orang itu

ke samping.

“Cepat geledah badannya” seru Wi Lian In dengan suara yang

lirih.

Dengan cepat Ti Then mengulur tangannya merogoh ke dalam

saku orang berkerudung itu, tetapi walau pun sudah diperiksa

setengah harian lamanya tetap tidak menemukan sesuatu apa pun,

tanpa terasa lagi dia merasa sedikit kecewa.

“Hmm dia sungguh-sungguh tidak membawa kunci itu.”

dengusnya dengan cemas.

Wi Lian In tidak mau ambil diam, tangannya dengan cepat

merampas kain kerudungnya itu sehingga terlihatlah suatu wajah

yang ramah dan gagah, sedikit pun tidak nampak tanda-tanda

pernah berbuat jahat sedang usianya sudah berada di atas lima

puluh tahunan. Tidak terasa lagi dia menjadi melengak.

“Orang ini aku tidak kenal, apa kau kenal dengan dia orang?”

“Aku juga tidak kenal, sungguh aneh sekali. .” seru Ti Then

sambil gelengkan kepalanya.

“Benar” sambung Wi Lian In lagi dengan air muka penuh

perasaan ragu-ragu “Kalau dia memangnya tidak kenal dengan kita,

kenapa harus mengerudungi wajahnya??” Ti Then segera menggigit

kencang bibirnya:

“Sekarang aku punya suatu perasaan, kemungkinan sekali orang

ini bukan anak buah dari si rase bumi Bun Jin Cu itu”

Wi Lian In agak tertegun mendengar keterangan ini.

“Ooh. . bagaimana bisa bukan?”

“Pertama, jika orang ini betul- betul anak buah dari si rase bumi

Bun Jin Cu, tidak ada alasan buat dia untuk mengerudungi

wajahnya, kedua, pertama kali dia datang kemari sepatah kata pun

dia tidak mau berbicara, tetapi ketika kedatangannya kali ini dengan

amat cepatnya dia sudah mengaku sebagai anak buah dari si rase

bumi Bun Jin Cu, hal ini membuktikan bahwa setelah mereka

melihat kita sudah salah menganggap dia sebagai anak buahnya si

rase bumi Bun Jin Cu untuk menutupi asal usulnya yang

sesungguhnya dia sudah mengakui dengan cepat”

“Jika orang ini bukan anak buah dari si rase bumi Bun Jin Cu, lalu

siapakah dia? Apa tujuannya menawan kita di sini?” tanya Wi Lian

In dengan perasaan amat terkejut bercampur heran.

” Cepat kita sadarkan kemudian paksa dia untuk berbicara.”

Tetapi .. baru saja mereka membalikkan badan manusia

berkerudung hitam itu untuk bersiap menyadarkan dirinya, pintu

besi di atas tangga-tangga batu itu mendadak tanpa mengelearkan

sedikit suara pun sudah muncul kembali dua orang manusia. Tidak

salah, dua manusia berkerudung hitam.

Pada tangan ke dua orang manusia berkerudung hitam itu

masing-masing membawa seperangkat busur serta anak panah dan

berdiri berjajar di atas tangga batu itu, sikapnya amat dingin dan

kaku mirip sekali dua setan yang baru saja keluar dari neraka.

Melihat hal itu air muka Ti Then segera berubah sangat heran,

dengan cepat dia lintangkan badan manusia berkerudung hitam itu

ke depan Wi Lian In serta dirinya, kiranya dia mau menggunakan

tubuh manusia berkerudung hitam itu sebagai tameng dari serangan

anak-anak panah, ujarnya dengan tertawa dingin:

“Jika kalian berani lepaskan anak panah untuk memanah kami,

maka yang binasa adalah dia terlebih dulu”.

Kedua orang manusia berkerudung hitam itu tidak mengucapkan

sepatah kata pun, mereka masing-masing mulai mempersiapkan

anak panahnya masing-masing, terdengarlah salah satu diantara

mereka berdua dengan suara yang amat dingin dan kaku berkata:

” Kalian mau lepaskan orang itu tidak??”

“Jika kalian mau melepaskan kami pergi, maka kami juga akan

melepaskan orang ini”

“Kalau tidak?” ejek manusia berkerudung hitam itu sambil tak

henti-hentinya memperdengarkan suara tertawanya yang amat

dingin

” Kalau tidak. kami minta dia menemani kami mati”

” Kalian tidak akan kami jatuhi hukuman mati, asalkan kalian mau

lepaskan dia maka kalian bisa menanti di sini dengan tenang.”

“Menanti apa?” desak Ti Then cepat.

“Menanti sesudah usaha kita mencapai keberhasilan maka kalian

segera akan mendapatkan kebebasan juga.”

“Kalian bukan anak buah dari si rase bumi Bun Jin Cu bukan?”

“Benar atau bukan sekarang kalian tidak perlu tahu.”jawab orang

berkerudung hitam itu keras.

“Aku mau tahu.”

Mendadak orang berkerudung hitam itu terbahak-babak dengan

amat keras. “Tetapi siapa yang mau beritahu kepada kalian??”

Ti Then segera menuding kearah orang berkerudung hitam yang

berada ditangannya. “Dia bisa beritahu kepada kami” sahutnya

dingin.

Suara tertawa dari manusia berkerudung hitam itu mendadak

berhenti, sepatah demi sepatah ujarnya dengan suara berat:

“Kalian bila tidak lepaslan dia kembali maka kalian akan

mendapatkan suatu pelajaran yang lain dari pada yang lain, kalian

lihat saja”

“Suatu perlakukan yang bagaimana??” tanya Ti Then dengan

wajah dingin sedang mulutnya tidak hentinya memperdengarkan

suara tertawa yang amat menusuk telinga.

” Kalian tidak mungkin akan memperoleh makan”

Ti Then angkat kepalanya tertawa terbahak-bahak.

“Tetapi jika kami berdua mati kelaparan, kalian mau

menggunakan apa untuk berjual beli dengan diri Wi Pocu??”

“Tidak lama lagi Wi Ci To akan memperoleh berita dari kami,

sedang urusan kita dengan dia pun bisa di selesaikan di dalam lima

hari ini, kalian tidak makan tidak akan sampai membuat kalian mati

kelaparan, hanya saja suatu penderitaan yang agak berat akan

menimpa diri kalian, buat apa kamu semua memaksa untuk

merasakan penderitaan tersebut??”

“Sebenarnya kalian sedang mengadakan jual beli apa dengan Wi

Pocu?”

” Kalian tunggu saja dan tanya sendiri dengan Wi Ci To” jawab

orang berkerudung itu dingin.

“Baiklah” sahut Ti Then kemudian sambil angkat bahunya.

“Jika kawanmu memang tidak mau berbicara biarlah aku pergi

tanya Wi Pocu sendiri sudah bertemu muka”

Sekali lagi orang berkerudung hitam itu mendengus dengan amat

dinginnya. ” Kalian betul- betul tidak mau melepaskan dia?”

“Tidak”

Orang berkerudung hitam itu menjadi betul- betul gusar

dibuatnya.

“Heee… hee.. kau bangsat cilik agaknya tidak takut mati

kelaparan tetapi apa benar-benar merasa tega melihat nona Wi

menderita kelaparan???”

“Kalian tldak perlu ikut merasa kuatir, nonamu tidak akan

menderita kelaparan” sambung Wi Lian In dengan dingin.

“Tidak urung kalian tidak bisa lolos dari sini, buat apa mencari

gara-gara??”

Ti Then tidak mau kalah, segera dia pun menuding kearah orang

berkerudung hitam yang berhasil ditawan itu.

“Temanmu ini juga tidak akan solos dari cengkeramanku, apa

kalian tidak ingin menolong nyawanya”

Dari sepasang mata orang berkerudung hitam itu segera

memancarkan sinar yang amat tajam dan buas sekali, serunya

dengan gemas.

“Kau bangsat cilik jangan harap bisa mendapatkan berita seperti

apa yang kalian inginkan”

“Kau bukanlah dia, kenapa dia tidak mau menyawab semua

pertaayaanku???” ejek Ti Then sambil tertawa.

Orang berkerudung hitam itu tidak mau menyawab lagi, dia

melirik sekejap kearah temannya yang berada disisinya, kemudian

mereka berdua mulai menarik busurnya mengarah ulu hati dari

manusia berkerudung hitam yang berada di depan diri Ti Then.

Tiba-tiba …. mereka mulai melepaskan anak panah itu.

Jarak mereka tak lebih hanya lima depa saja, karena itu

meluncurnya dua buah anak panah itu bagaikan kilat cepatnya.

Ti Then sama sekali tak menduga pihak lawannya begitu teguh

untuk melenyapkan nyawa kawannya sendiri Ketika dilihatnya kedua

buah anak panah itu meluncur datang sebetuinya dia mau

menyingkirkan orang berkerudung itu ke samping, tapi ketika

teringat bilamana dia membawa orang berkerudung itu menyingkir

ke samping maka Wi Lian In yang ada di belakangnya akan

mengalami bencana, karena itulah disaat yang amat keritis itu dia

tetap ragu-ragu dan tidak bergerak sedikit pun dari tempat semula.

Sedang meluncurnya kedua batang anak panah itu pun amat

cepat, di dalam sekejap mata saja terdengarlah . . “Bluk . . . bluk…”

kedua batang anak panah itu dengan tepat menghajar ulu hati dari

orang berkerudung itu. Melihat hal ini Ti Then menjadi sangat

gusar.

“Bajingan bangsat, kalian sungguh amat kejam.”

Orang berkerudung hitam itu hanya memperdengarkan suara

tertawanya yang amat aneh, lama sekali baru ujarnya.

“Sekarang kalian sudah tidak dapat memaksa dia untuk

mengucapkan kata-kata lagi, bagaimana kalau mayatnya

kembalikan kepada kami?”

Ti Then takut sesudah mayat itu dilemparkan kembali kepada

mereka, lantas mereka melancarkan serangan kembali terhadap

dirinya berdua karena itu dia tak mau melepaskan tamengnya dari

orang berkerudung tersebut.

Ketika orang berkerudung bitam itu melihat mereka tak mau

mengembalikan mayat tersebut, segera angkat kepalanya tertawatawa.

“Baiklah jikalau kalian merasa sangat tertarik terhadap mayat

tersebut, biarlah aku tinggalkan di sini untuk kalian dahar

dagingnya”

Selesai berkata dia putar badan sambil menarik kawan di

sebelahnya untuk meninggalkan tempat itu.

Terlihatlah mereka mulai menaiki tangga-tangga batu itu sesudah

menutup kembali pintu besi dan menguncinya kembali terdengar

suara langkah kakinya semakin lama semakin jauh.

Lama sekali Ti Then berdiri tertegun di sana, kemudian baru

meletakkan kembali mayatnya ke atas tanah.

“Dugaanku ternyata tidak salah.” ujarnya sambil menghela napas

panjang. “Ternyata mereka bukan anak buah dari si rase bumi Bun

Jin Cu.”

Wi Lian In pun bergeser ke samping tubuh Ti Then, ujarnya

sambil memandang mayat tersebut dengan pandangan terperanyat.

“Sungguh kejam, untuk menyaga rahasia mereka ternyata

dengan tidak sayang turun tangan jahat membinasakan kawannya

sendiri, di dalam dunia ini ternyata masih ada manusia yang tidak

berprikemanusiaan”

“Dari hal ini sudah bisa diketahui kalau sekali pun mereka harus

mengorbankan dirinya pun tetap berjuang terus sampai mencapai

pada tujuannya…memeras ayahmu.”

“Tetapi tidak tahu mereka mau Tia menyanggupi ucapannya?”

“Hmm, mereka pasti sedang ayahmu untuk menyerahkan

semacam barang”

“Betul, otak pimpinan dari orang orang yang menawan kita kali

ini pastilah orang yang sudah melakukan jual beli dengan Hu Pocu”

Air muka Wi Lian In segera berubah hebat.

“Tidak salah. . pasti dia orang, sedang manusia berkerudung ini

tentu anak buahnya semua”

Dia segera bangkit berdiri dan berjalan bolak balik di sana,

ujarnya lagi dengan perasaan murung:

“Bagaimana sekarang baiknya??”

“Bilamana ayahmu sudah setuju untuk menyerahkan barang itu

berarti kesempatan buat kita untuk hidup masih ada, tetapi. .”

“Kau pikir Tia bisa serahkan barang itu tidak?” potong Wi Lian In

dengan cepat.

” Untuk menolong nyawa kita mungkin dia mau, tetapi bukankah

karena kita berdua sudah menyusahkan ayahmu?.”

“Tetapi kita tidak bisa meloloskan diri dari sini”

Dengan berdiam diri Ti Then memandangi mayat yang ada di

atas tanah itu dengan mata melotot, mendadak seperti baru saja

teringat akan sesuatu hal mendadak dia mencabut keluar dua

batang anak panah yang tertancap di dalam tubuh orang

berkerudung itu, serunya dengan sinar mata penuh gembira:

“Dua batang anak panah ini, mungkin bisa bantu kita untuk

meloloskan diri” Semangat Wi Lian In segera timbul kembali.

“Benar” serunya kegirangan, “Kita gunakan kedua batang anak

panah ini sebagai senyata rahasia dan berusaha membinasakan

mereka.”

“Tidak. sekali pun kita berhasil membinasakan mereka untuk

meloloskan diri tetap tidak bisa.”

“Kalau tidak, kau bermaksud berbuat bagaimana ???” tanya Wi

Lian In tertegun.

Ti Then segera memperendah suaranya.

“Kita gunakan kedua batang anak panah ini untuk membongkar

tiang besi yang tertanam di dalam tanah.

“Apa bisa??” tanya Wi Lian to ragu-ragu.

“seharusnya bisa. .”

“Tetapi, jika sewaktu kita sedang membongkar tiang besi ini

mendadak mereka masuk lagi, lalu. .”

“Tidak mungkin” potong Ti Then segera.

“Baru saja mereka menghantarkan nasi buat kita makan, di

dalam dua tiga hari ini mungkin mereka tidak akan datang lagi”

Pandangan Wi Lian In menjadi bersinar kembali.

” Kalau memang demikian, mari kita mulai bekerja, tetapi entah

harus bekerja berapa hari baru bisa membongkar tiang besi ini?”

“Jika di bawah tiang besi ini masih ada besi yang melintang di

dalam tanah, paling cepat mungkin kita harus bekerja satu hari

penuh baru bisa”

Wi Lian In segera mengambil satu batang anak panah dari

tangan Ti Then kemudian mulai berjongkok di bawah tiang besinya

dan mulai turun tangan bekerja.

Ti Then pun mulai bekerja untuk membongkar tiang besi itu,

ujarnya dengan suara perlahan:

“Hati-hati sedikit, jangan sampai ujung anak panah itu menjadi

putus”

Demikianlah bagaikan kilat cepatnya mereka bekerja terus

menggali tanah itu untuk berusaha membongkar tiang besi yang

mengikat mereka, tidak kurang satu jam kemudian mereka sudah

berhasi menggali tanah itu sedalam dua depa lebih.

Tapi semakin mereka bekerja semangatnya semakin berkobar,

karena tanah itu tidaklah keras, sehingga Ti Then tidak perlu

menggunakan ujung panah, cukup dengan telapak tangan saja

sudah bisa bekerja.

Ketika mereka sudah mencapai kurang lebih tiga depa dalamnya

mendadak terasa oleh mereka ujung anak panahnya terbentur

dengan suatu barang yang amat keras. Wi Lian In segera menjerit

keras. “Ada batu”

“Tidak salah, memang batu.” seru Ti Then kegirangan. ” Kenapa

kau malah kegirangan?”

Ti Then dengan menggunakan ujung anak panahnya

membersihkan pasir yang ada disekeliling batu itu kemudian telapak

tangannya ditusuk keujung pinggiran batu seketika itu juga sebuah

batu yang amat besar sudah terangkat dari dalam tanah. Ujarnya

sambil tertawa:

“Bukankah demikian satu persatu kita singkirkan batu ini jauh

lebih cepat daripada harus membongkar tanah itu?”

Wi Lian In ketika melihat perkataannya sedikit pun tidak salah dia

menjadi amat girang.

“Bagus sekali, jika demikian adanya kita bisa membongkar tiang

besi itu jauh lebih cepat lagi”

Ti Then sudah mendorong batu pertama ke samping segera

bungkukan badan mendorong kembali batu yang kedua. . ketiga.

.ke empat.

Tidak sampai satu jam kemudian mereka sudah berhasil

membongkar permukaan tanah sekitar tiang besi itu seluas lima

depa dengan dalam lima enam depa ditambah lagi sejumlah tiga

puluh buah batu besar sudah berhasil dikeluarkan dari dalam tanah.

“Tiang besi itu sungguh panjang sekali kenapa masih belum

teriihat dasarnya?” Tanya Wi Lian In kemudian-

“Mungkin sudah hampir..”

Dikarenakan rantai yang mengikat badan mereka hanya

sepanjang tiga depa ke sananya mereka harus bekerja sambil

membungkukkan badannya rendah- rendah, sesudah membongkar

sedalam satu depa kemudian ternyata tidak salah lagi, mereka

sudah dapat melihat ujung sebelah dalam dari tiang besi itu dan

dugaan Ti Then sertikit pun tidak salah, pada ujung tiang besi itu

dihubungkan lagi dengan empat tiang besi yang melintang.

Keempat tiang besi yang melintang itu ada sebesar batang

pedang panjangnya, setiap tiang besi ada tiga depa lebih dengan

mendatar lurus di dalam tanah, tidak tahu tiang itu dihubungkan

dengan tempat mana lagi.

Ti Then segera merangkul tiang besi itu dan menggoyangkannya

beberapa kali dengan sekuat tenaga, alhasil tiang besi itu kelihatan

sedikit mengendor, tanpa terasa lagi dia mengerutkan alisnya rapatrapat.

“Tidak bisa jadi, kita harus membongkar permukaan tanah ini

lebih lebar lagi sehingga keempat tiang besi yang melintang itu bisa

diangkat keluar.”

“Jika kita begitu, mungkin kita harus bekerja satu hari lagi baru

bisa lolos” seru Wi Lian In murung

“Kita sekarang sudah bekerja dua jam lamanya mungkin

sekarang sudah tengah malam buta,jika kita teruskan pekerjaan ini

sekarang juga mungkin ketika cuaca menjadi terang kembali seluruh

pekerjaan kita sudah selesai, ayoh, cepat turun tangan.”

Demikianlah mereka berdua segera melanjutkan kerjanya

kembali menggali tanah di bawah tiang besinya masing-masing.

Ti Then yang bekerja deagan amat giat hanya di dalam beberapa

waktu saja sudah berhasil membongkar permukaan tanah

sepanjang tiga depa dan saat itulah dia sudah tidak bisa bekerja

kembali karena rantai yang mengikat badannya sudah tidak dapat

mau kembali.

Ini merupakan suatu persoalan yang paling berat, rantai yang

mengikat badannya mereka hanya sepanjang tiga depa saja, di

tambah dengan lengannya paling banyak juga hanya mencapai

sejauh empat lima depa dari tempatnya, untuk lebih maju lagi

sudah tentu tidak mungkin.

Wi Lian In bekerja jauh lebih perlahan tetapi ketika dilihatnya

keadaan Ti Then yang tidak dapat melanjutkan pekerjaan itu tanpa

terasa dia pun berhenti, ujarnya sambil menghela napas panjang:

“Bagaimana??”

Sepasang mata dari Ti Then mengeluarkan sinar yang amat

tajam, dia membuang anak panah itu dan memundurkan diri ke

samping tiang besinya itu tubuhnya sedikit berjongkok ke bawah

sepasang tangannya dtngan kencang mencekal tiang itu dan

menariknya dengan sekuat tenaga.

“Kraaak . . . .” terdengar suara yang amat nyaring bergema

memenuhi seluruh ruangan itu, tiang besi itu patah menjadi dua

bagian oleh tenaga tarikan dari Ti Then ini.

Melihat kejadian ini Wi Lian In menjadi amat girang. “Kekuatan

sakti, coba kita cabut yang lainnya lagi.”

Ti Then segera putar tubuhnya menuju kearah tiang besinya

sesudah mencoba mencabutnya berulang kali akhirnya dengan

timbulkan suara yang amat nyaring tiang besi itu pun putus juga .

Perasaan girang yang meliputi seluruh hati Wi Lian In semakin

memuncak. Kita putuskan satu tiang lagi, kita segera akan lolos dari

sini”.

“Tidak bisa, tidak bisa” jawab Ti Then dengan napasnya yang

ngos-ngosan seperti kerbau. “Biar aku istirahat sebentar, aku sudah

kerahkan semua tenagaku kini badanku betul- betul terasa amat

lelah.”

“Kalau begitu biar aku yang coba mencabut”

Dia segera putar badannya. sepasang tanganya dengan erat-erat

mencekal tiang besi itu, kuda-kudanya diperkuat mendadak dengan

seluruh tenaganya dia mencabutnya ke atas, tetapi sekali pun sudah

kerahkan tenaga penuh tiang besi tersebut hanya sedikit bengkok

saja.

Ti Then segera tarik napas panjang-panjang. “Mari kita coba

dengan bergabung.”

Sambil berkata tubuhnya pun ikut masuk ke dalam liang,

sepasang tangannya dengan erat mencekal tiang besi itu,

bersamaan pula tenaga mereka berdua dikerahkan ke luar, tanpa

banyak rewel lagi tiang ketiga itu pun berhasil dipatah menjadi dua

bagian.

Kini masih tersisa satu tiang lagi, tetapi mereka saat ini betulbetul

sudah kehabisan tenaga, jangan dikata untuk mencabutnya

hanya untuk mendorong saja mereka sudah merasa tidak kuat.

Mereka berhenti sebentar untuk istirahat, setelah itu sekali lagi

dicobanya dan kali ini ternyata berhasil.

Tiang besi yang terakhir ini pun berhasil mereka patahkan

menjadi dua bagian.

Tetapi hal ini bukanlah berarti mereka sudah lolos dari

kesukaran, karena waktu sekarang dibadan mereka masih ada

rantai yang mengikat badan mereka, sedang rantai itu dengan amat

kuatnya terikat di atas tiang besi itu, jika mereka ingin lolos dari

ruang bawah tanah itu terlebih dahulu harus dapat menerjang pintu

besi itu, bahkan sekali pun mau terjang itu pintu besi dibadan

mereka masing-masing pun tetap harus membawa sebuah tiang

besi yang amat banyak. dengan membawa tiang besi yang amat

berat.

Berat tiang besi itu saja sudah ada dua ratus kati, jikalau diluar

sana sudah bersiap-siap musuh dalam jumlah yang amat banyak.

dengan membawa tiang besi yang demikian beratnya apa mereka

bisa meloloskan diri?”

Mereka berdua tampak duduk beristirahat sebentar, ujarnya Wi

Lian In pada saat itu

“Bagaimana kalau kita terjang pintu besi itu dengan

menggunakan tiang besi ini?”

“Jangan, tunggu sebentar . .” seru Ti Then sambil gelengkan

kepalanya.

“Masih mau tunggu apa lagi?”

“Kita tangsal perut terlebih dahulu baru cari akal.”

Dia bangkit berdiri dan mengambil kedua mangkuk nasi yang

dihantar oleh dua orang berkerudung hitam itu, sambil memberikan

satu mangkuk nasi kepada Wi Lian In ujarnya sambil tertawa.

“Jika mau adu jiwa kita juga harus makan kenyang dulu, bukan

begitu?”

Wi Lian In hanya tersenyum saja sambil menerima mangkuk nasi

itu, tidak lama kemudian dia sudah menyikat habis nasi tersebut.

Selesai bersantap mereka berdua baru bangkit berdiri, ujar Ti

Then sambil tertawa. “Sudah, sekarang kau mulai berteriak.” . Wi

Lian menjadi melengak. “Apa?”

“Dari pada harus menggunakan tiang besi ini untuk mendobrak

pintu besi tersebut, lebih baik kita pancing mereka datang untuk

membukakan pintu buat kita.”

Wi Lian In segera merasa cara ini sedikut pun tak salah, dia

menjadi amat girang sekali.

“Bagus” serunya “Biar aku mulai berteriak . . . Ehmm, tunggu

sebentar . . .”

“Ada apa?”

Mendadak wajah Wi Lien In berubah menjadi merah dadu, dia

menundukkan kepala rendah-rendah kemudian ujarnya malu: “Tidak

mengapa aku hanya ingin . . .”

“Kau ingin berbuat apa?” tanya Ti Then melengak.

Dengan gemasnya Wi Lian In mendepakkan kakinya ke atas

tanah, sahutnya dengan malu malu.

“Aku tidak ingin berbuat apa-apa, aku hanya ingin . . ingin…”

Ti Then yang melihat jawabannya terputus-putus tanpa terasa

sudah tertawa terbahak-bahak.

“Kau ingin apa cepat katakaniah, buat apa sungkan??”

“Kau . . kau.. berdirilah menghadap ke sana.” sera Wi Lian In

dengan perasaan amat malu. “Jangan bergerak yaah, jangan

menoleh tahu tidak”

Seketika itu juga Ti Then menjadi paham, segera dia memutar

tubuhnya membelakangi dirinya dan berdiri tidak bergerak sedikit

pun juga. “Sudahlah, sekarang silahkan”

Agaknya Wi Lian In masih merasa tidak lega hatinya ujarnya lagi.

“Kau jangan mengintip yeah, kalau tidak. . kalau tidak aku pukul

kau”

“Baik, baiklah, sekarang silahkan cepat”

Wi Lian In barulah mulai melepaskan ikat pinggang dan

pakaiannya untuk berjongkok menyelesaikan urusan pribadinya,

sebentar kemudian dengan perasaan malu dia sudah bangkit berdiri

kembali.

“Sudahlah sekarang bagaimana kalau aku mulai berteriak??”

tanyanya sambil tersenyum malu.

“Baik, sekarang mulai berteriak.”

“Harus berteriak bagaimana??”

“Bagaimana pun boleh, asal bisa memancing mereka datang

kemari.”

“Bagaimana kalau aku berteriak ngeri?”

“Baiklah” sahut Ti Then sambil tertawa.

Demikianiah Wi Lian In lantas berteriak ngeri dengan amat

panjang dan kerasnya, suara itu penuh diliputi oleh perasaan yang

amat takut, kesakitan seperti baru saja digigit oleh setan.

Ti Then pun segera memungut dua buah potongan tiang besi

tadi, sambil mengangsurkan kepada kepada Wi Lian In ujarnya lagi:

“Bawa barang ini, nanti bisa kita gunakan sebagai pengganti

pedang”

Wi Lian In segera menerimanya dan disisipkan ikatan

pinggangnya, kemudian bersama-sama dengan Ti Then mengangkat

tiang besi itu, siap menerjang kearah pintu-pintu besi tersebut.

Dengan pusatkan seluruh perhatian mereka bersiap sedia, tetapi

lama sekali tidak terdengar juga adanya orang yang menuruni

tangga-tangga batu itu, tanpa terasa dia menjadi ragu-ragu.

“Kenapa?? kenapa mereka belum datang juga ??”

“Sttt, jangan berbicara”

“Bagaimana kalau aku berteriak lagi?”

“Tidak perlu, mereka pasti akan datang.”

Ternyata dugaan dari Ti Then sedikit pun tidak salah, baru saja

dia selesai berbicara dari depan pintu besi itu sudah terdengar suara

langkah dua orang yang berjalan dari kejauhan mulai mendekati

tempat tersebut. Kemudian disusul dengan suara dibukanya kunci

besi itu.

Ti Then yang mengangkat ujung tiang yang berada di depan

segera sedikit mengangguk memberi tanda kepada Wi Lian In,

setelah itu dengan memperingan langkah masing-masing mereka

mulai berjalan menaiki tangga batu itu siap menerjang keluar.

“Kraaaak…” suara yang smat nyaring bergema, pintu besi itu

perlahan-lahan mulai membuka.

Yang muncul tidak lain adalah dua orang berkerudung hitam

yang tadi, tetapi begitu mata mereka terbentur dengan Ti Then

serta Wi Lian In yang berdiri di belakang pintu sambil mencekal

tiang besi tersebut saking terperanyatnya mereka sudah berteriak

tertahan, salah satu diantara mereka segera menyambar ujung

pintu siap untuk di tutup kembali.

Tetapi baru saja tangannya mencapai pinggiran pintu itu, Ti Then

serta Wi Lian In dengan masing-masing mengeluarkan suara

bentakan yang amat nyaring dengan mencekal tiang besi itu sudah

menerjang ke luar dari sana.

Berat tiang besi itu ada dua ratus kati di tambah dengan tenaga

dorongan mereka berdua sudah cukup sebetulnya untuk menerjang

sebuah pintu kota, apa lagi hanya pintu besi yang kecil.

Jika orang sampai kena terjang tiang ini tidak urung seketika itu

juga akan binasa ditempat, karenanya orang-orang berkerudung

hitam itu dengan amat gugupnya sudah meloncat ke samping untuk

menghindarkan diri.

Demikianiah Ti Then beserta Wi Lian In dengan tanpa perduli

keadaan disekelilingnya sudah menerjang keluar dari pintu besi itu

dengan masih membawa tiang besi yang amat berat.

Diluar pintu besi itu merupakan sebuah rumah yang terbuat dari

tanah liat di dalamnya bertumpuk-tumpuk barang-barang

pertanyan, sekali pandang saja sudah tahu rumah itu merupakan

sebuah gudang pertanyan yang biasanya digunakan untuk

menyimpan gandum serta alat-alat bertani.

Ketika Ti Then serta Wi Lian In melihat keadaan ditempat itu

tanpa tarasa lagi sudah menjadi melengak, tetapi mereka tidak

berhenti sampai di sana ketika dilihatnya kedua orang berkerudung

hitam sudah meloncat keluar dari rumah itu itu mereka pun segera

menerjang terus keluar dari sana.

Saat ini cuaca menunjukkan hampir terang tanah, keadaan

disekeliling tempat itu masih gelap gulita, tetapi pada saat mereka

sudah berada diluar rumah itu sekali pandang saja mereka sudah

melihat tempat itu adalah sebuah tanah lapang yang biasanya

digunakan untuk menjemur padi.

Pada permulaan ketika mereka dikurung di dalam ruangan di

bawah tanah di dalam otak mereka masing-masing terus menerus

memikirkan di tempat manakah sekarang mereka berada, semula

mereka mengira sudah berada diruang bawah tanahnya istana

Thian Teh Kong akhirnya tahu juga kalau dugaan mereka salah,

tetapi mereka sama sekali tidak menduga kalau mereka sudah

berada dirumah seorang petani.

Bagaimana bisa di rumah seorang petani?

Jilid 19.2 : Janyi menjadi suami istri

Baru saja mereka berdua merasa terkejut dan heran mendadak

terdengarlah suara desiran angin yang amat tajam, tampak dua

batang anak panah dengan amat dahsyatnya sudah meluncur

secara diam-diam kearah mereka.

Sabatang anak panah mengancam Ti Then sedang sebatang

lainnya mengancam Wi Lian In.

Ti Then segera bungkukkan badannya ke bawah tiang hesi yang

ada ditangan kanannya dengan tepat memukul kearah anak panah

tersebut, bersamaan pula bentaknya dengan cemas.

“Lian In, hati-hati”

Dengan kecepatan yang luar biasa Wi Lian In segera mencabut

tiang besinya pula untuk memukul jatuh anak panah yang

mengancam badannya.

“Cepat mundur ke dalam rumah!” serunya keras.

Baru saja dia selesai berkata tampak dua batang anak panah

dengan mengeluarkan sambaran angin yang amat tajam meluncur

kembali mengancam mereka berdua.

Sekali lagi mereka pukul jatuh anak-anak panah itu.

Terdengar Ti Then berteriak dengan amat keras.

“Mereka berada di ujung rumah di sebelah depan, cepat kita

serang ke sana!”

“Jangan!” seru Wi Lian In dengan amat cepat, “Kita mundur

kembali ke dalam rumah saja, lebih baik kita cari kampak untuk

putuskan rantai-rantai ini”

Ti Then segera merasa perkataannya sedikit pun tidak salah,

akhirnya bersama-sama dengan Wi Lian In dengan tergesa-gesa

mereka mengundurkan diri ke dalam rumah itu dan menutup rapatrapat

pintunya, setelah meletakkan tiang besi itu ke atas tanah

mereka mulai mencari alat untuk memutuskan rantai-rantai

tersebut.

Tetapi sekali pun sudah mencari disekeliling rumah itu tetap tidak

tampak adanya kampak, tetapi ditemuinya sebuah cangkul.

Ti Then segera mengambil cangkul tersebut, ujarnya dengan

cepat kepada Wi Lian In:

“Cepat berjongkok, biar aku coba”

Wi Lian In menurut omongannya dan berjongkok lantas

meletakkan rantainya ke atas tanah.

“Criiiing!” terdengar suara yang amat nyaring bergema diseluruh

ruangan disertai dengan percikan bunga-bunga api, ujung cangkul

itu sedikit bengkok tetapi rantainya tetap utuh tidak cedera sedikit

pun juga.

“Tidak ada gunanya, cangkul itu tidak berguna” seru Ti Then

sambil membuang cangkul itu ke atas tanah.

“Kurang ajar” teriak Wi Lian In dengan amat gusar, “Di sini

terdapat begitu banyak alat-alat tetapi sebuah kampak pun tidak

kelihatan”

“Tentu sudah disembunyikan oleh mereka, mari kita terjang lagi

keluar, bagaimana kalau kita cari di dalam rumah yang lain?”

“Mereka melancarkan serangan dari tempat kegelapan, sukar

buat kita untuk berjaga-jaga, lebih baik untuk sementara kita

menunggu di sini saja sampai terang tanah”

“Begitu pun juga boleh” sahut Ti Then kemudian sambil

mengangguk sesudah berpikir sebentar. “Agaknya mereka cuma

dua orang saja, baiklah kita tunggu sampai terang tanah baru turun

tangan bereskan mereka.”

“Gelegar . . !” mendadak suara yang amat keras bergema

memenuhi seluruh ruangan , kiranya pintu kayu depan rumah itu

sudah mulai diserang dengan menggunakan batu-batu cadas yang

amat besar sehingga menggetarkan dengan amat kerasnya.

“Hmmm..” Ti Then tertawa dingin tak henti-hentinya. “Coba kau

lihat mereka malah berani menyerang kita”

“Kelihatan sekali kepandaian slat mereka tidak seberapa,

bilamana berani merusak pintu untuk menyerang kita Iebih baik kita

tutup jalan mundurnya terlebih dahulu kemudian baru kita tangkap

dari dalam.”

“Betul” seru Ti Then tertawa.

“Bluuuk..!” Sekali lagi suara pintu kayu yang terkena gempuran

batu besar.

“Mari kita palangkan tiang besi ini di belakang pintu kayu itu”

Seru Ti Then

dengan suara perlahan. ” Jika kita melihat mereka menyerang

masuk segera angkat tiang besi itu biar mereka jatuh tersungkur”

Wi Lian In menjadi amat girang sekali.

“Pendapat yang amat bagus.”

Mereka berdua satu di sebelah kiri yang lain di sebelah kanan

berjongkok didekat pintu kemudian palangkan itu tiang besi di

depan pintu untuk menanti dengan amat tenangnya.

Sebuah batu besar mengenai pintu rumah itu lagi membuat pintu

tersebut menjadi patah dua bagian dan terpentang ke samping.

Terdengar orang berkerudung hitam itu dengan suaranya yang

tertawa seram.

“Hey bocah cilik cepat keluar dan menyerah tanpa melawan,

kalau tidak kalian

akan merasakan siksaan yang sangat berat”

Ti Then tertawa terbahak-bahak dengan amat kerasnya.

“Kalian punya kepandaian apa saja silahkan gunakan keluar, aku

sekalian sudah siap sedia untuk minta petunjuk.”

“Jika kau bangsat cilik ingin hidup lebih lama cepat

menggelinding keluar. “

“Aku tidak ingin hidup, kalian masuklah” jawab Ti Then sambil

tertawa nyaring.

“He.. . he .. he.. . kalian sungguh-sungguh sudah ambil

keputusan untuk mati didaIam rumah itu?” Tanya orang

berkerudung hitam itu sambil tertawa aneh.

“Benar.”

“Bagus, lohu akan memenuhi harapan kalian”

Selesai dia berbicara mendadak terlihatlah segumpal bayangan

hitam melayang menuju ke atas atap rumah tersebut.

Kiranya setumpuk rumput kering adanya.

Selesai melemparkan rumput kering itu disusul dengan desiran

anak panah berapi meluncur kearah rumput kering tersebut,

agaknya rumput itu semula sudah diberi minyak karena itu begitu

terkena api segera terbakar dengan amat besarnya.

Kiranya mereka punya maksud untuk membakar Ti Then berdua

di dalam rumah batu itu.

Ti Then sama sekali tidak menyangka nereka bisa berbuat begitu,

ketika dilihatnya api berkobar dengan amat besarnya dia merasa

amat terperanyat, dengan tergesa-gesa dia meloncat keluar sedang

kakinya dengan melancarkan satu tendangan kilat menendang

rumput-rumput kering yang berapi itu.

Tendangan itu dilancarkan bagaikan kilat cepatnya karena itu

tidak sampai melukai kakinya.

Siapa tahu kedua orang berkerudung yang berada diluaran ketika

melihat dia melancarkan tendangan kilat menyingkirkan rumputrumput

kering tersebut, empat telapak mereka segera melayang

melancarkan satu serangan dahsyat.

Terasalah segulung angin serangan yang amat dahsyat bagaikan

menggulungnya ombak besar ditengah samudra menggulung tak

henti-hentinya kearah rumput kering itu membuat api yang sedang

berkobar bergolak dengan dahsyatnya melayang kembali ke dalam

rumah itu.

Ti Then yang badannya masih terikat oleh rantai membuat

gerakannya tidak leluasa lagi, karenanya dia tidak sanggup untuk

melancarkan serangan juga memukul balik rumput-rumput kering

itu, di dalam keadaan yang amat gugup diambilnya cangkul yang

menggeletak di atas tanah kemudian menyambut datangnya

rumput-rumput kering itu.

Sambarannya kali ini membuat rumput-rumput kering itu menjadi

tersebar keempat penjuru dan jatuh di tiang-tiang pintu yang

terbuat dari kayu, seketika itu juga rumput-rumput kering yang

berapi itu mulai membakar apa yang ditemuinya.

Wi Lian In dengan cepat mengambil sebuah karung goni dan

dipukul-pukulkan ke atas tanah dimana api mulai berkobar.

Tetapi baru saja mereka selesai memadamkan api itu tampak

segumpal rumput kering serta sebatang anak panah berapi

melayang kembali ke dalam, seketika itu juga rumah tersebut

terbakar kembali.

Ti Then menjadi amat gusar sekali, makinya.

“Anak jadah cucu kura-kura, Lian In ayoh kita terjang keluar saja

adu jiwa dengan mereka”

“Baik, kita bunuh mereka semua”

Kedua orang itu segera menerjang keluar, sambil membentak

keras mereka menerjang keluar dari rumah itu dengan ditangan kiri

dan tangan kanan mereka masing-masing membopong sebuah tiang

besi.

Kedua orang berkerudung hitam ketika melihat mereka

menerjang bersamaan waktunya melancarkan satu serangan

dengan menggunakan anak panah mereka kemudian bersama-sama

menyatuhkan diri ke samping bersembunyi ditempat kegelapan.

Di dalam sekejap mata saja ada dua batang anak panah lagi

meluncur dari arah Barat serta Utara menyerang ke tubuh Ti Then

serta Wi Lian In dengan amat cepatnya.

Kiranya mereka tidak berani bertempur berhadap-hadapan

dengan Ti Then,

kini mereka hendak menggunakan kelemahan dari Ti Then yang

harus membopong tiang besi untuk melancarkan serangan

mendesak dirinya.

Ti Then dengan amat gusarnya membentak keras, mendadak dia

melemparkan tiang besi yang dibawanya dan melayangkan

tangannya menyambut datangnya sambaran anak panah itu,

kelihatannya dia hendak menggunakan anak panah itu sebagai

senyata rahasia untuk balas melancarkan serangan kepihak musuh.

Wi Lian In pun segera berbuat sama dengan diri Ti Then, hanya

sayang mereka berdua tidak bisa melihat dengan jelas tampat

persembunyian mereka berdua karenanya serangan balasan mereka

dengan menggunakan anak panah itu tidak sampai mencapai pada

sasarannya.

Dengan kecepatan bagaikan kilat Ti Then memungut kembali

tiang besi itu kemudian bentaknya :

“Bunuh dulu binatang yang ada di sebelah Timur, ayoh jalan.”

Mereka berdua dengan masing-masing menggotong tiang besi itu

dengan cepat berlari menuju kesudut sebelah Timur, tetapi ketika

sampai ditempatnya ternyata tidak tampak bayangan musuh.

Sedang pada saat yang bersamaan pula dari belakang tubuh mereka

meluncur datang dua batang anak panah membokong diri mereka.

Mereka berdua dengan cepat putar tubuhnya memukul jatuh

anak panah itu, ketika memandang ke atas tampaklah kedua orang

berkerudung hitam itu sudah berdiri di atas atap dua buah rumah.

Dengan amat gusarnya Ti Then membentak keras.

“Kalau kalian betul-betul punya nyali turunlah, kita tentukan di

atas permainan senyata”

“Ha ha ha … .jangan cemas” teriak manusia berkerudung hitam

itu sambil tertawa terbahak-bahak, “Sebelum kucing menghabiskan

tikus hasil mangsanya seharusnya dipermainkan dulu sampai puas”

Ti Then segera menaungut anak panah yang terjatuh ke atas

tanah itu dan disambit kembali kearah orang itu, bentaknya:

“Ayo gelinding turun dari sana.”

Anak panah itu meluncur lebih dari pentangan busur tetapi begitu

orang berkerudung hitam itu melihat Ti Then melayangkan

tangannya tubuhnya dengan cepat menyingkir ke samping beberapa

depa jauhnya kerena itu dengan sangat mudah sekali dia berhasil

menghindarkan serangan tersebut.

Manusia berkerudung hitam lainnya segera membalas serangan

itu dengan memanahkan sebatang anak panah kearahnya,

demikianlah saat itu juga antara

pihak terjadilah suatu pertempuran panah yang amat seru sekali.

Mendadak ujar Wi Lian In dengan suara perlahan.

“Jangan disambit kembali”

Waktu itu Ti Then baru saja menangkap sebatang anak panah

dan siap disambit

kembali, mendengar perkataan itu dia menjadi tertegun.

“Kenapa ?” tanyanya.

Dengan suara yang amat Iirih sehingga hampir-hampir tidak

terdengar sahut Wi Lian In:

“Anak panah yang mereka bawa sudah tidak banyak lagi, asalkan

kita terus menerima saja menanti setelah anak panah mereka habis,

mereka tidak akan mengapa-apakan kita lagi.”

“Betul” seru Ti Then tertawa. “Labih baik kita maju beberapa

langkah ke depan untuk pancing mereka memanah lebih banyak

lagi.”

Mereka berdua lantas maju dua langkah ke depan dan berdiri

ditepi lapangan untuk penjemuran padi itu.

Kedua orang berkerudung hitam itu ketika melihat mereka

berdua bukannya mencari tempat bersembunyi bahkan malah

munculkan kini segera memanahkan anak panahnya terus menerus.

Dengan amat gesitnya Ti Then mau pun Wi Lian In meloncat

kekanan kekiri untuk menghindarkan diri dari serangan tersebut,

walau pun ditangan mereka harus mengangkat sebuah tiang besi

yang amat berat tetapi tidak sebuah pun anak-anak panah itu

mangenai badan mereka.

Tidak lama kemudian anak panah dari kedua orang berkerudung

hitam itu sudah tinggal tidak seberapa banyak lagi.

“Ha ha ha ha .. . . bagaimana?” Ejek Ti Then tertawa terbahak

bahak.

“Terang-terangan kalian tidak bisa mengapa-apakan kami, aku

lihat Iebih baik kalian turun saja ke sini untuk bergebrak”

Kedua orang berkerudung hitam itu tidak memberikan

jawabannya barang sekejap pun, mereka saling bertukar

pandangan kemudian secara tiba tiba bersama-sama menyatuhkan

diri ke belakang wuwungan rumah dan lenyap tanpa bekas.

Wi Lian In menjadi melengak dibuatnya.

“Hmmm.. entah mereka berdua menggunakan permainan setan

apa lagi?”

“Tidak usah takuti mereka, cuma dua orang saja bahkan hari

pun hampir terang tanah apa pun yang bakal terjadi kita tidak usah

takuti lagi”

“Dekat dekat sini agaknya tidak ada rumah petani yang kedua,

entah tempat manakah ini?”

Baru saja Ti Then mau memberi jawabannya mendadak terasalah

olehnya dari belakang tubuhnya ada sambaran angin tajam yang

membokong dirinya dengan cepat dia bungkukkan badannya sedang

tiang besi yang ada ditangannya di balik melancarkan tangkisan.

“Traaaaang . “ suara benturan besi segera bergema disusul

dengan percikan bunga api memenuhi angkasa.

Secara diam-diam kedua orang berkerudung itu sudah

munculkan diri di belakang

badan mereka berdua, kali ini ditangan masing-masing mencekal

sebuah golok besar kelihatannya mereka punya maksud untuk

beradu tenaga dengan diri Ti Then berdua.

Ti Then sesudah berhasil menangkis pergi serangan golok pihak

musuhnya, tubuhnya dengan cepat berputar balik, tiang besi

ditangannya ditekan ke atas kemudian secara tiba-tiba menyerang

kearah orang berkerudung hitam yang sedang membokong diri Wi

Lian In itu.

Serangannya ini dilancarkan bagaikan kilat cepatnya, hanya

sayang ditangan kirinya harus menggendong tiang besi yang amat

berat bahkan Wi Lian In yang ada di sampingnya tidak bisa

menyesuaikan diri dengan gerakannya karena itu serangan yang

dilancarkan ini tidak sampai pada tubuh pihak musuhnya dan

mencapai sasaran yang kosong.

Kedua orang berkerudung hitam itu sama-sama tertawa aneh,

satu dari sebelah

kiri yang lain dari sebelah kanan bersama-sama mengangkat

goloknya melancarkan serangan kembali, tetapi mereka tidak berani

langsung menyerang berhadap-hadapan dengan diri Ti Then, setiap

serangan mereka pasti ditujukan pada tempat-tempat yang sukar

bagi Ti Then untuk bergerak.

Semula di dalam anggapan Ti Then asalkan pihak lawannya mau

turun tangan dengan dia maka dirinya dengan amat mudah bisa

menggunakan ilmunya yang amat sakti untuk membinasakan

mereka berdua, tetapi sekarang sesudah bergebrak beberapa jurus

banyaknya dia baru merasa kalau keadaannya tidak semudah apa

yang dipikirkan semula.

Ketika dilihatnya Wi Lian In diserang dan dipaksa berada di

dalam keadaan amat bahaya, segera serunya dengan gugup:

“Lian In, lepaskan tiang besi itu dan duduklah.”

Wi Lian In yang mendengar perkataan itu segera tahu kalau Ti

Then siap menggunakan sikap tenang untuk menguasai lawannya,

karena itu dia lantas meletakkan tiang besi itu ke atas tanah dan dia

sendiri tanpa ragu-ragu lagi duduk ke atas tanah.

Ti Then pun ikut duduk, merekti berdua duduk dengan

punggung menempel punggung sedang tangannya yang lain

memutarkan tiang besi itu untuk melindungi dirinya sendiri dari

serangan pihak musuh, demikianlah mereka dengan amat

mudahnya berhasil memunahkan setiap serangan musuh.

Kedua orang berkerudung hitam itu menyerang kembali

beberapa saat lamanya ketika dilihatnya mereka tidak sanggup

melukai diri Ti Then berdua, salah satu diantara orang berkerudung

hitam itu segera memberi tanda dan mereka berdua dengan tidak

banyak cakap lagi mengundurkan diri ke belakang kemudian

melenyapkan diri di balik kegelapan.

“Mungkin mereka mau melepaskan panah-panah lagi, mari kita

mundur ke bawah tembok pojokan sana untuk menghindarkan diri

dari bokongan pihak musuh.”

Siapa tahu sekali pun mereka sudah menunggu setengah jam

lamanya tetap tidak mendengar sedikit gerakan apa pun.

“Heran…” Seru Wi Lian In ragu-ragu.

“Apa mereka sudah tahu sukar lantas mengundurkan diri?”

“Aku kira tidak mungkin, mereka pasti tidak akan melepaskan

kita dengan begini saja, mereka tentu sedang mempersiapkan suatu

penyerangan kembali”

Dengan dinginnya Wi Lian In mendengus.

“Aku tidak percaya mereka bisa melancarkan penyerbuan dengan

cara yang lain lagi.”

“Aku hanya tahu mereka tidak lepas tangan begitu saja, untuk

menutup penyamaran mereka….. “

Perkataannya belum selesai mendadak di sekeliling rumah petani

itu bergema

Suara percikan yang amat keras disusul berkobarnya lautan api

yang amat dahsyat.

Lautan api itu muncul dari empat penjuru rumah pertanyan itu,

hanya di dalam sakejap mata saja gulungan api yang amat dahsyat

menggulung ketengah udara dan menge pung semua tempat.

Jelas sekali kedua orang berkerudung hitam itu secara diam-diam

sudah menyiram sekeliling tempat itu dengan minyak bakar

kemudian menyulut api sehingga membuat api itu baru mulai saja

sudah berkobar begitu dahsyatnya, hanya di dalam sekejap mata

saja kedua buah rumah itu sudah terbakar menjadi abu.

Air muka Wi Lian In segera berubah amat hebat, teriaknya

dengan amat terperanyat.

“Celaka mereka mau bakar kita hidup-hidup.”

Selamanya Ti Then punya nyali yang amat besar dan tidak

pernah kacau pikirannya menghadapi berbagai mara bahaya, tapi

kali ini ketika dilihatnya empat penjuru semuanya merupakan lautan

api yang berkobar-kobar dengan amat dahsyatnya, air mukanya

tanpa terasa berubah memucat juga, teriaknya dengan gemas:

“Kurang ajar, seharusnya sejak tadi aku punya pikiran kalau

mereka bisa melakukan pekerjaan ini”

“Kalau begitu kita cepat-cepat mundur ke liang ruang bawah saja

untuk bersembunyi” teriak Wi Lian In dengan amat cemasnya.

“ Tidak bisa, walau pun ruang bawah tanah itu tidak sampai

terbakar tetapi kita bisa dipanggang sampai mati.”

Pikiran Wi Lian In menjadi amat kacau, serunya dengan gemetar.

“Lalu bagaimana baiknya?”

“Terjang keluar.”

“Tidak mungkin, empat penjuru merupakan lautan api bagaimana

kita bisa terjang keluar ? Lebih baik kita bersembunyi di dalam

ruang bawah tanah itu saja?”

“Tidak bisa.”potong Ti Then dengan tegas, “Kita tidak bisa

bersembunyi di dalam ruang bawah tanah itu lagi..mari ikuti diriku!”

Dia mengangkat tiang besinya kembali bersama-sama dengan Wi

Lian In mereka Iari keluar dari rumah itu menuju ketengah lapangan

penjemur padi.

Di depan Iapangan penjemuran padi tidak terdapat barang apa

pun, karena api yang berkobar di sebelah sana agak lemah, jilatan

api tidak lebih hanya enam tujuh depa tingginya.

Pada jarak kurang Iebih tiga kaki dari tembok api itu Ti Then

menghentikan langkahnya.

“Mari kita meloncat dari sebelah sini saja.”serunya.

Wi Lian In menjadi terkejut bercampur gugup.

“Dengan menyeret tiang besi yang begitu beratnya apa mungkin

bisa meloncat keluar?” serunya.

“Bisa, gunakan saja tiang besi itu untuk meloncat keluar,

demikian saja, kita

Masing-masing menggendong satu pojokan kemudian Iari ketepi

tembok lautan api itu kemudian menancapkan ujung yang lain ke

atas permukaan tanah, dengan meminyam kekuatan ini kita

layangkan badan keluar dari lingkungan tersebut”

Sambil berkata dia member contoh kepada diri Wi Lian In.

Melihat hal itu Wi Lian In menjadi amat terkejut bercampur

girang.

“Cara ini sedikit pun tidak jelek, hanya saja kalau tidak berhasil

badan kita pasti akan terjatuh ke dalam lautan api”

“Betul” seru Ti Then tersenyum pahit, “Tetapi selain ini tidak ada

cara lain lagi”

“Baiklah, daripada mati lebih baik kita tempuh bahaya ini saja,

tetapi…”

“Tetapi kenapa?”

Wajah dari Wi Lian In mendadak berubah menjadi merah dadu,

dengan perasaan amat malu ujarnya.

“Waktu itu sewaktu masih ada di kuil Sam Cing Koan kau pernah

bilang suka padaku, entah itu sungguh-sungguh atau tidak?”

Ti Then sama sekali tidak menduga di saat-saat yang begitu kritis

dan membahayakan jiwa mereka dia sekali lagi mengungkit urusan

ini membuat di dalam hati diam-diam merasa amat geli juga.

“Sudah tentu sungguh-sungguh” serunya sambil mengangguk.

Wi Lian In dengan perlahan mengangkat kembali wajahnya yang

telah memerah itu, tanyanya lagi dengan perasaan malu bercampur

girang.

“Kalau begitu, kau punya rencana untuk meminang aku tidak?”

“Sudah tentu” sekali lagi Ti Then mengangguk,

“Tetapi….sekarang aku kira bukan waktunya untuk membicarakan

soal ini..”

“Tidak” potong Wi Lian In dengan serius, “Sekarang adalah

waktu yang paling tepat untuk membicarakan soal ini, jika kau mau

meminang aku maka sekarang juga aku sudah menganggap kau

sebagai suamiku, dengan demikian jikalau kita sampai mati tertelan

oleh lautan api itu kita mati juga sebagai suami istri”

“Kalau kita tidak jadi mati?” tanya Ti Then lagi.

“Kalau begitu dari kedudukan sebagai suami istri kita undurkan

sebagai calon suami istri, nanti setelah Tia setuju kita baru resmikan

upacara ini”

Ti Then menjadi sangat girang sekali.

“Baik, kalau begitu bagus sekali”

“Perlu kita berlutut untuk upacara?”

“Sesukamu” sahut Ti Then tertawa.

“Kalau begitu kita berlutut menghadap ke langit” seru Wi LIan In

sambil tertawa malu, “Sesudah sembahyang dengan langit dan bumi

kita masing-masing saling member hormat, bagaimana?”

“Bagus sekali!”

33

Mereka berdua segera berlutut menghadap ke sebelah selatan

dan menghormat kepada langit dan bumi setelah itu bangkit berdiri

dan saling memberi hormat lagi.

Saat itu Wi Lian In betul-betul merasa amat girang sehingga

tanpa bisa dicegah lagi dia sudah menubruk ke dalam pelukan Ti

Then dan mengucurkan titik air mata kegirangan.

Mereka berdua saling berpeluk dengan eratnya, masing-masing

tidak ada yang buka suara untuk memecahkan kesunyian yang

nikmat tersebut.

Api yang berkobar disekeliling mereka semakin lama semakin

membesar dan akhirnya disekitar tempat itu pun mulai terbakar

dengan dahsyatnya.

Lama sekali baru kelihatan Ti Then dengan perlahan mendorong

badannya ke samping.

“Mari, sekarang kita lompati tembok lautan api ini”

Mereka berdua dengan tidak banyak cakap masing-masing

mencekal satu ujung tiang besi itu kemudian bersama-sama

mengangkatnya.

“Ayoh jalan” bentaknya disusuI tubuhnya bergerak menerjang ke

depan.

SeteIah berlari sampai ditepian tembok api itu mereka segera

meletakkan ujung yang satu dari tiang besi itu ke atas tanah

kemudian membentak Iagi :

“Naik!”

Tubuh mereka bersama-sama meloncat ke atas dengan

meminyam kesempatan sewaktu tiang itu berdiri mereka bersamasama

meIepaskan ujung tiang besi sehingga dengan begitu tubuh

mereka pun ikut melayang ke atas.

Tiang besi itu sebetulnya ada enam depa panjangnya ditambah

dengan panjang rantai tiga depa karenanya sekali loncat mereka

bisa mencapai setinggi sembilan depa, akhirnya mereka berhasii

juga melewati jilatan api setinggi enam tujuh depa itu dengan

selamat dan berkelebat menuju kearah luar.

Siapa tahu lebar tembok api itu ada satu kaki, karenanya ketika

mereka masing-masing mencapai di atas permukaan tanah empat

buah kaki mereka dengan serta merta terjatuh ke dalam lautan api.

Suatu perasaan yang amat sakit menyerang diseluruh kulit kaki

mereka membuat Ti Then mau pun Wi Lian in saking sakitnya sudah

berteriak keras.

Tanpa terasa lagi dengan sekuat tenaga mereka berguling kearah

luar dan menyeret pergi tiang besi yang ada ditengah lautan api itu

sejauh tiga empat kaki jauhnya dan lolos dari bahaya tersebut.

Ti Then dengan tidak perdulikan perasaan amat sakit yang

menyerang kakinya dia dengan sekuat tenaga meloncat ke depan

kemudian dengan menyeret Wi Lian In serta tiang besi itu berlari

lagi sejauh beberapa kaki.

Tetapi pada saat mereka baru saja lolos dari bahaya ituiah

mendadak dari samping kiri kanan mereka berkelebat bayangan

manusia kemudian disusul dengan berkelebatnya dua batang golok

besar yang memancarkan sinar keperak-perakan, hanya di dalam

sekejap saja golok tersebut sudah membabat di pinggiran badan

mereka.

Sekali lagi kedua orang berkerudung hitam itu melancarkan

serangan kearah Ti Then berdua.

Di dalam keadaan yang amat bingung dan kacau Ti Then tidak

sempat mencabut keluar tiang besi yang terselip dipinggangnya

untuk digunakan menangkis serangan golok pihak Iawannya,

terpaksa dia mengguling ke samping bersamaan pula dia

membentak keras dan melancarkan tendangan sapuan kearah kaki

musuh.

Dengan tendangan sapuan ini sebetulnya dia tidak

mengharapkan bisa mengenai pihak musuhnya, siapa tahu urusan

yang berada diluar dugaannya sudah terjadi, orang berkerudang

hitam itu ternyata tidak sanggup untuk menghindarkan diri dari

serangan tersebut.

“Bluuuk . . “ dengan disertai suara teriakan kaget orang

berkerudung hitam itu jatuh terlentang di atas tanah.

Pada saat yang bersamaan pula Wi Lian In berhasil

menghindarkan diri dari serangan golok orang berkerudung hitam

lainnya, di dalam keadaan yang amat cemas tanpa terasa lagi

tangannya sudah mencomot segenggam pasir dan disambitnya

tepat mengarah wajah pihak musuh.

Serangan aneh dengan menggunakan secomot pasir ini kelihatan

sekali

berada diluar dugaan orang berkerudung hitam itu karenanya

dengan tepat pasir tersebut menghajar wajahnya, mungkin ada

beberapa pasir yang masuk ke dalam matanya, terdengar dia

berteriak aneh kemudian sambil menutupi wajahnya mengundurkan

diri ke belakang dengan tergesa gesa.

Sebaliknya orang berkerudung hitam yang tersapu jatuh oleh

serangan Ti Then tadi tidak sempat untuk melarikan dirinya. Ti Then

yang melihat dia terjatuh segera menubruk ke atas tubuhnya

sedang sepasang tangannya dengan sekuat tenaga mencekik

lehernya dan menekan terus ke atas tanah.

Dia betul-betul merasa benci dan gemas atas keganasan pihak

lawannya oleh sebab itu sewaktu turun tangan dia sama sekali tidak

ragu-ragu. “Kraaak . Suara remuknya tulang-tulang bergema

memenuhi sekeliling tempat itu, ternyata tulang leher dari orang

berkerudung hitam itu sudah berhasil dicekik remuk olehnya.

Dikarenakan sewaktu turun tangan dia melancarkan serangannya

dengan secepat kilat maka sampai suara teriakan ngerinya pun

belum sempat diteriakkan dia sudah binasa.

Orang berkerudung hitam yang terkena percikan pasir tadi

setelah melihat kawannya binasa saking takutnya seluruh wajahnya

sudah berubah menjadi pucat pasi, berulangkali dia mundur ke

belakang agaknya dia betul-betul merasa amat takut.

Ti Then menarik kembali tangannya dan bangkit berdiri dengan

perlahan, ujarnya dengan amat dingin sambil memandang tajam

wajah orang berkerudung hitam itu.

“Kini tinggal kau seorang.”

Sekali lagi orang berkerudung hitam itu mundur beberapa

langkah ke belakang, agaknya dia bermaksud melarikan diri dari

sana.

“Kau tidak akan bisa lari.” Seru Ti Then tertawa dingin. “Kau

harus menyerang kami lagi, menyerang sampai kami betul-betul

binasa baru boleh pergi, kalau tidak asalkan kami berhasil melarikan

diri sini dan menanyakan pada rumah-rumah petani yang ada

disekitar tempat ini siapa majikan kalian, aku tidak akan menemui

kesukaran untuk mengetahui siapakah otak dari kalian.”

Sepasang mata dari orang berkerudung hitam itu segera

berkedip-kedip, mendadak ujarnya.

“Kam pung pertanyan ini adalah lumbung dari Sian Thay-ya, Cuo

It Sian, otak pimpinan kita adalah sipembesar kota Cuo It Sian

tersebut.”

Selesai berkata sepasang kakinya mendadak menutul permukaan

tanah dan lari ke depan, Iaksana segulung asap hitam hanya di

dalam sekejap saja dia sudah lari tanpa bekas ditelan kagelapan

yang masih mencekam sekeliling tempat itu.

Ti Then seketika itu juga menjadi tertegun.

Perkataan dari orang berkerudung hitam itu membuat hatinya

betul-betul tergetar, dia tidak paham apa maksud dari perkataan

orang itu, apakah perkataannya itu benar? Apa tujuannya untuk

mencelakakan diri si pembesar kota Cuo It Sian ?? Atau memang

punya maksud lain ?

Wi Lian In pun dibuat terkejut oleh perkataan tersebut, ketika

dilihatnya orang berkerudang hitam itu sudah berlari amat jauh

tanpa terasa dia sudah bergumam seorang diri:

“Apa betul perkataannya? Apa betul pemimpin mereka adalah itu

pembesar kota Cuo It Sian ?”

Tampak Ti Then menarik napas panjang-panjang.

“Sukar untuk dipastikan.” serunya sambil gelengkan kepalanya

berulang kali. “Perkataannya ini boleh dipercaya juga boleh tidak

dipercaya. “

“Perkam pungan tani ini apa betul milik si Cuo It Sian atau bukan

kita bisa selidiki dengan mudah.”

Ti Then berpikir sejenak, kemudiana baru menyahut.

“ Aku kira tidak salah, perkam pungan tani ini pasti miliknya Cuo

It Sian.”

“Bagaimana kau bisa tahu ?” tanya Wi Lian In terperanyat.

“Perkataan dari orang itu pastl terselip suatu rencana busuk

Iainnya.kalau memangnya suatu siasat busuk maka tempat yang

dimaksud tentu sungguh-sungguh sehingga membuat kita menjadi

percaya, makanya aku rasa ucapannya yang mengatakan perkam

pungan tani ini miliknya itu pembesar kota Cuo It Sian sedikit pun

tidak salah.”

“Kalau begitu orang yang perintah tangkap dan tawan kita juga

betul-betul perbuatan dari Cuo It Sian?”

“Belum tentu” Ti Then gelengkan kepalanya. “Untuk menutupi

asal usul yang sebetulnya pihak lawan tanpa ragu-ragu turun

tangan melenyapkan kawannya sendiri, kenapa sewaktu mau pergi

sudah membocorkan keadaan yang sebenarnya ?”

Tanpa terasa Wi Lian In sudah mengangguk:

“Tidak salah. Tidak salah, dia berkata begita tentu mau

menjerumuskan diri Cuo It Sian. “

Sekali lagi Ti Then gelengkan kepalanya.

“Tetapi dia harus tahu juga kalau kita tidak akan percaya

omongannya dengan begitu mudah, maka… perkataannya ini

kemungkinan juga memang betul, maksud dia berbicara terus

terang pasti mengharap dalam hati kita timbul perasaaan tidak

percaya memancing kita masuk ke dalam alam kebingungan”

“Sebetulnya kau sedang membicarakan apa?” tanya Wi Lian In

melongo.

“Maksudku, majikan mereka. Adalah itu pembesar kota Cuo It

Sian juga mungkin betul lima bagian karena dia melihat dirinya tidak

berhasil mencelakai kita dan

Kita pun bisa bertanya-tanya disekitar tempat ini apalagi

sewaktu kita sudah dapat dengar dari penghuni perkam pungan tani

ini kalau tempat itu miliknya sipembesar kota Cuo It Sian sudah

tentu kita akan mencurigai diri Cuo It Sian, karena dia memberitahu

kita terlebih dahulu kalau pemimpin mereka adalah Cuo It Sian agar

di dalam pikiran kita timbul perasaan tidak percay, karena dia

merasa kita tidak akan percaya atas omongannya”

Saat itu Wi Lian In baru paham tanpa terasa dia mengangguk

lagi.

“Tidak salah, jika ditinyau dari sini orang yang menjadi otak dari

penangkapan kita kemungkinan sekali perbuatan dari Cuo It Sian. “

“Yah atau bukan, sekarang kita hanya bisa pilih salah satu.”

“Kita boleh pergi Tanya-tanya dulu sekeliling perkam pungan tani

ini, tetapi sebelumnya kita harus mencari akal membuka rantai yang

mengikat pada badan kita”,

Ti Then tersenyum, sambil menunjuk kearah orang berkerudung

hitam yang baru saja dibunuhnya itu ujarnya.

“Jika dugaanku tidak salah, kunci untuk membuka rantai kita ada

di dalam badannya”

Wi Lian In segera memperlihatkan perasaan yang amat girang.

“Ooooh, bagaimana kau bisa tahu kunci itu berada di dalam

badannya?”

“Tadi sesudah aku bunuh mati orang ini, manusia berkerudung

hitam yang lainnya segera mundur ke belakang dengan perasaan

amat takut, jika ditinyau dari keadaan kita sekarang ini dengan

badan dirantai pada tiang besi yang amat

Berat untuk mengejar dirinya pun tidak mungkin bisa berhasil,

buat apa harus takut? Karena itu pikiranku segera bergerak, aku

pikir…”

“Kunci itu berada dibadannya” sambung Wi Lian In dengan amat

girang.

“Betul” seru Ti Then ikut tertawa girang.

Wi Lian In segera meloncat ke samping mayat dari manusia

berkerudung hitam itu san mulai memeriksa isi sakunya, mendadak

tampak dia berteriak girang kemudian meloncat bangun sambil

memperlihatkan dua buah kunci.

“Coba kau lihat” teriaknya keras, “Dugaanmu sedikit pun tidak

salah, kunci itu memang ada di dalam sakunya”

Ti Then betul-betul merasa amat girang sekali.

“Coba bawa kemari, kita coba” serunya cemas.

Wi Lian In segera menuju ke belakang badannya dan

memasukkan salah satu kunci yang ada ditangannya ke dalam

lobang kunci rantai tersebut kemudian memutarnya kekanan.

“Klik” rantai sudah terbuka.

Ti Then betul-betul merasa amat girang sekali, cepat-cepat

direbutnya kuncinya yang lain dan membukakan rantainya mereka

berdua yang bisa bebas kembali dari belenggu tak tertahan sudah

pada meloncat kegirangan.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 20.1 Api cinta Wi Lian In

Tiba-tiba Wi Lian In menjerit kesakitan. “Aduh . . kakiku sakit

benar aduh . . .”

“Waah . . . tentu terkena api sewaktu meloncat tadi, mari sini

biar aku periksa sebentar.”

Dia menarik celana kakinya ke atas, terlihatlah kakinya yang

semula berwarna putih laksana salju kini sudah berubah menjadi

memerah dengan penuh gelembung-gelembung air yang amat

banyak. dalam hati Ti Then merasa sedikit tak tega lalu hiburnya

dengan suata perlahan-

“Wah masih untung cuma kulitnya saja yang terluka, sebentar

saja akan sembuh dengan sendirinya”

“Lalu bagaimana?” tanya Wi Lian In kemudian dengan nada

kuatir. “Omong kosong ,mari sini biar aku yang periksa”

“Tidak usah periksa lagi” Ujar Ti Then sambil tertawa, dia lantas

bangkit dan berdiri kembali.

“Saat ini kau juga tidak membawa obat luka terbakar, cuma lihatlihat

saja apa gunanya?? Yang penting kita sekarang harus cepatcepat

meninggalkan tempat ini, nanti setelah sampai di dalam kota

kita baru beli obat buat luka- luka terbakar ini.”

Waktu itu sang surya sudah memancarkan sinarnya keempat

penjuru, dari tempat kejauhan seCara samar-samar terdengar

kokokan ayam yang saling sahut menyahut.

Mendengar suara kokokan ayam itu Wi Lian In segera angkat

tangannya menuding kearah mana berasalnya suara kokokan ayam

tersebut serunya dengan girang.

“Di sebelah sana tentu ada rumah kaum petani, ayoo kita lihat ke

sana.”

Kedua orang itu segera meninggalkan rumah petani yang kini

sudah terbakar musnah itu.

Kurang lebih setelah melakukan perjalanan sejauh setengah li,

tak salah lagi mereka sudah menemukan sebuah rumah petani,

kaum petani di sana sejak pagi-pagi sudah bangun dari tidurnya dan

kini hanya terlihat seorang perempuan sedang menCuoi pakaian

didekat sumur.

Dengan tanpa sungkan-sungkan lagi Wi Lian In maju

menghampiri perempuan itu untuk kasi hormat. Ujarnya: “Toa so

permisi.”

“Kalian . . . . ” teriak perempuan desa itu mendadak dengan

pandangan penuh perasaan terperanyat, dia memandang kearah Ti

Then berdua kemudian meloncat bangun “Kalian datang dari

mana??”

“Kami kakak beradik sedang mencari seorang famili kami, siapa

tahu ketika berjalan sampai di sini sudah tersesat,Toa so tolong

tanya tempat manakah ini?”

“Ooh, kiranya di sini bernama desa Thay Peng cung,” sengaja Wi

Lian In memperlihatkan perasaan terperanyat. “Kami kakak beradik

sebetuinya mau pergi ke Tiong cing hu, entah kota Tiong cing hu

terletak didaerah mana? jaraknya dari sini masih seberapa jauh?”

“Waah jauh sekali. Kota Tiong cing hu terletak di sebelah barat

daya harus melakukan perjalanan selama satu hari penuh baru

sampai di sana.”

“Aaah, masih harus menempuh satu hari perjalanan??. kami kira

kota Tiong cing hu sudah dekat dari sini”

“Kota Tiong khing hu adalah sebuah kota besar, sewaktu hamba

masih muda pernah pergi satu kali, pergi ke sana waktu itu hamba

harus berjalan satu hari penuh baru sampai”

“Famili kami kakak beradik bernama Cuo It sian, mungkin Toa so

pernah mendengar nama dari Cuo it sian ini bukan?”

Mendengar disebutnya nama Cuo It sian ini perempuan desa itu

menjadi sangat girang sekali.

“Oooh . . . kiranya kalian mau mencari Cuo Lo-ya, kami

penduduk dari desa Thay Peng Cun semuanya merupakan lumbung

padi milik dia orang tua, sudah tentu kami tahu diri Cuo Lo-ya”

Berbicara sampai di sini sikapnya pun berubah menjadi sangat

ramah sekali, sepasang tangannya yang masih basah oleh air Cucian

dengan tergesa gesa digosok-gosokkan ke atas celananya kemudian

dengan wajah penuh dihiasi oleh senyuman ujarnya:

“Mari … mari . silahkan kalian berdua masuk ke dalam rumah,

tentu kalian berdua belum sarapan pagi bukan . . . .”

“Tidak. tidak perlu kami sudah makan.” potong Wi Lian In

dengan gugup “Terima kasih atas maksud baik dari Toa so, kita

harus segera berangkat”

Dengan terburu-buru mereka memberi hormat, kemudian putar

badannya melanjutkan perjalanannya. .

sesudah melakukan perjalanan beberapa saat lamanya barulah

terdengar Wi Lian In tertawa dingin:

“Heee.. hee .. kelihatannya si pembesar kota Cuo It sian tidak

bisa luput dari kecurigaan kita.”

Ti Then tidak langsung memberikan tanggapannya, dia

termenung berpikir sejenak lalu baru jawabnya.

“Sebelum kita memperoleh bukti yang betul-betul bisa di pegang

teguh, lebih baik jangan secara sembarangan menuduh kalau dialah

orang manusia berkerudung itu untuk menawan dan menyekap

kita…”

“Lalu apa rencanamu dari sekarang untuk menyelidiki urusan ini

??”

“Kembali ke kuil Sam cing Koan dulu”

“Benar” seru Wi Lien In menganguk, “Kita mengupas bajinganbajingan

toosu itu terlebih dulu, jikalau mereka sudah mengaku

kalau pemimpin mereka adalah Cuo It sian, kita bisa bawa mereka

untuk bertemu dengan Cuo It Sian.”

“Aku pikir peristiwa kita dibikin mabok kemungkinan sekali tidak

ada sangkut pautnya dengan tosu-tosu dari kuil Sam cing Koan-”

Wi Lian In menjadi melengak

“Bagaimana tidak ada sangkut pautnya?? kita dibikin mabok

sewaktu berada di dalam kuil, apalagi yang kirim teh itu kepada kita

juga toosu-toosu dari kuil tersebut”

“Jikalau yang menjadi otak mereka adalah cuo It Sian,

seharusnya mereka tahu bisa jelas dari kuil Hwesio-hwesio sukar

untuk melarikan diri dari kuil tosu, mereka tidak mungkin berani

memerintahkan toosu-toosu kuil itu untuk memberi obat pemabok

ke dalam air teh yang bakal kita minum”

“Kalau begitu, dia sudah kirim orang lain untuk bersekongkol

dengan toosu-toosu kuil Sam cing koan ??”

“Kalau misalnya betul-betul begitu” sahut Ti Then kemudian

“Maka orang itu seharusnya mem punyai hubungan yang sangat

erat sekali dengan tosu-tosu kuil Sam cing Koan, karena itu para

toosu baru menyanggupi untuk membantu mereka, aku lihat tidak

mungkin. . tidak mungkin”

“Tetapi tidak perduli bagaimana pun juga, peristiwa dibikin

maboknya kita oleh toosu-toosu kuil sam Cing Koan adalah peristiwa

yang betul-betul sudah terjadi”

“Sekali pun begitu” bantah Ti Then lagi, ” Kemungkinan sekali

otak dari peristiwa ini datang sendiri lalu kirim orang untuk secara

diam-diam bercampur baur dengan toosu-tosu yang lain kemudian

secara sembunyi-sembunyi memasukkan obat pemabok itu ke

dalam air teh kita.”

” Walau pun kemungkinan bisa begitu, tapi. .”

“Aku rasa pasti demikian” potong Ti Then cepat.

” Kalau memangnya demikian lalu buat apa kita pergi ke kuil Sam

Cing Koan?”

“Pergi mengambil buntalan serta kuda kita”

Saat itulah Wi Lian In baru ingat kalau buntalan serta kuda

tunggangan mereka masih ketinggalan di dalam kuil sam Cing Koansegera

dia tertawa.

“Ha.. haa.. aku sudah lupa kalau buntalan serta kuda

tungggangan kita masih disimpan di dalam kuil sam Cing Koan-..”

Satu jam kemudian mereka berdua sudah tiba di dalam dusun

dimana terletak kuil sam Cing Koan, sesudah pergi membeli obat

terbakar di sebelah kedai obat barulah mereka menuju kekuil sam

Cing Koan-

“Tidak perduli bagaimana pun kita harus memancing-mancing

pada mereka dengan pertanyaan-pertanyaan” seru Wi Lian in

kemudian sampainya di depan kuil sam Cing Koan itu,

“Kemungkinan sekali diantara tosu-tosu yang ada di dalam kuil

sekarang ini masih ada yang merupakan komplotan dari orangorang

berkerudung hitam itu.”

“Sudah tentu harus ditanyai dulu, tetapi aku percaya kita tidak

akan bisa berhasil memperoleh jawaban yang memuaskan hati, mari

kita masuk.”

Mereka berjalan menaiki tangga di depan pintu kemudian masuk

ke dalam ruangan besar yang bernama sam Cing Thlen waktu itulah

mereka sudah melihat si penerima tamu . “It Cing” tojin menerima

seorang kakek tua itu dari rakyat biasa dan kini baru berbicara,

ketika dia orang melihat Ti Then serta Wi Lian In berjalan ke dalam

ruangan, air mukanya seketika itu berubah menjadi amat terkejut

bercampur gembira, cepat-cepat dia berdiri dan datang menyambut:

“Bukankah kalian berdua adalah sepasang kakak beradik yang

kemarin hari menginap di dalam kuil kami??” teriaknya.

“Benar” jawab Ti Then sambil bungkukkan badannya memberi

hormat.

“Malam itu sesudah kalian berdua bersantap. kenapa secara tibatiba

sudah lenyap tanpa bekas?”

“Ha. ha . soal itu kami harus bertanya juga kepada Totiang yang

pada malam itu mengirim santapan buat kami berdua.”

“Ooooh…” teriak It Cing Toojin tertegun, “Apa mungkin sian

Tong sudah berlaku kurang hormat kepada kalian dan sudah

berbuat salah kepada kalian berdua?”

“Oooh totiang yang malam itu kirim santapan buat kita bersama

sian Tong??” tanya Ti Then tersenyum.

“Benar, selama ini dia sangat sopan menghadapi orang lain, tidak

disangka kali ini sudah melakukan kesalahan terhadap kalian

berdua, waah. dia memang seharusnya dihukum” Ti Then segera

tersenyum.

“sian Tong totiang bukannya melakukan kesalahan kepada kami

berdua karena sikap serta tindak tanduknya”

” Kalau tidak” teriak It Cing Toojin melengak. “Bagaimana dia

sudah berbuat salah kepada kalian berdua”

Ketika Ti Then melihat dalam ruangan itu masih ada orang

sedang menyambangi kuil dia tidak mau secara terus terang

membeberkan kejadian yang sesungguhnya di depan orang lain

sehingga membuat nama baik dari kuil sam Cing Koa bernoda,

karenanya itu ujarnya kemudian.

“Dapatkah Tootiang mempersilahkah sian Tootiang untuk ikut

kami berbicara di dalam kamar belakang??”

“Baiklah” sahut It Cing Toojin kemudian sambil mengangguk

“Buntelan dari sicu berdua masih ada di dalam kamar belakang,

silahkan kalian berdua menanti sebentar di dalam kamar belakang,

biarlah pinto mencari sian Tong”

Ti Then mengangguk menyetujui, dengan diikuti oleh Wi Lian In

mereka berdua berjalan melalui pintu samping ruangan tengah itu

menuju kekamar di mana kemarin malam mereka menginap.

Ternyata kedua buah buntalan itu masih tetap terletak di atas

pambaringan dengan baiknya, agaknya mereka memang betul-betul

tak pernah menggeserkan buntalan itu.

Wi Lian In segera membuka buntalannya untuk memeriksa

sebentar isinya, setelah itu barulah ujarnya sambil tertawa:

“Kelihatannya mereka betul- betul jujur, buntalanku sama sekali

tidak dikutik-kutik oleh mereka”

“Tapi buntalanku pasti sudah diperiksa oleh mereka”

Perkataan ini baru saja di ucapkan terlihatlah It Cing Tojin serta

Sian Tong Toojin sudah berjalan masuk ke dalam kamar.

Agaknya It Cing Toojin sudah mendengar apa yang diucapkan

oleh Ti Then tadi, sambungnya kemudian.

“Benar, pinto memang pernah membuka buntalan dari sicu untuk

diperiksa isinya karena lenyapnya kalian berdua secara tiba-tiba

membuat pinto merasa tidak tenang untuk mencari tahu asal usul

kalian berdua mau tak mau terpaksa kami mesti membuka buntalan

kalian untuk diperiksa, harap sicu berdua tak sampai marah karena

hal ini”

“Tidak mengapa, tidak mengapa. . memang seharusnya begitu.”

It Cing Tojin lantas menuding ke arah Sian Tong Toojin yang

berada di sampingnya, ujarnya:

“Dialah sian Tong yang pada malam itu melayani sicu berdua, dia

sudah berbuat salah apa sicu sekalian boleh secara langsung

menegur padanya agar pinto pun bisa menyatuhi hukuman

kepadanya”

Sepasang mata Ti Then dengan amat tajamnya memandang

seluruh tubuh dari Sian Tong Toojin, lama sekali baru terdengar dia

tertawa dingin.

“To Tiang sudah mendapatkan perintah dari siapa untuk

memasukkan obat pemabok ke dalam air teh kami?”

“Sicu, kau sedang berbicara apa??” tanya sian Tong Toojin

termangu- mangu.

” Kenapa Tootiang harus berpura-pura bodoh?”

Air muka Sian Too Toojin semakin berubah hebat, dia segera

menoleh ke arah It Cing Toojin yang berdiri di sampingnya.

“Susiok” ujarnya dengan perasaan bingung “sicu ini sedang

berbicara apa?”

Agaknya It Cing Tojin sudah dibuat terperanyat oleh perkataan

tersebut, keringat dingin mengucur keluar dengan derasnya,

wajahnya pun berubah pucat pasi serunya lagi sambil memandang

kearah diri Ti Then-

“Jadi maksud sicu air teh yang pada malam itu dikirim sian Tong

kekamar kalian sudah ditaruhi obat pemabok di dalam?”

“Sedikit pun tak salah.” sahut Ti Then dengan amat dingin

“setelah kami minum air teh itu tak lama kemudian jatuh tak

sadarkan diri, sewaktu sadar kembali ternyata kami sudah dikurung

di sebuah ruangan di bawah tanah”

“Hal ini sungguh-sungguh sudah terjadi?” Teriak It Cing Toojin

dengan perasaan terkejut.

“Sampai pagi hari inilah kami baru berhasil melarikan diri dari

dalam ruangan bawah tanah itu, Tootiang, kau bisa melihat sendiri

bukan dari dandanan serta pakaian kami yang kotor dan koyak ini.”

“Tetapi siauwte tak pernah melakukan pekerjaan semacam ini.”

Seru Sian Tong Toojin keras-keras. Ti Then tertawa dingin:

“salah satu dari ketiga orang berkerudung hitam yang menculik

dan mengurung kami itu sudah mengaku kepada kami.”

“Dia bilang siauw te yang menaruh obat pemabuk itu ke dalam

air teh kalian?” Teriak sian Tong Toojin dengan amat gusar.

“Tidak salah”

“Omong kosong.” teriak Sian Tong Toojin sambil mencak-mencak

saking gemasnya.

“Dia sedang memfitnah aku, sekarang dia ada dimana?? Ayoh

kita cari dia untuk diajak beradu muka dengan aku.”

“Dia sudah aku lukai bagian lehernya kini masih berada di tempat

itu.”

“Kalau begitu” ujar sian Tong Toojin dengan amat gusarnya “Mari

kita bersama-sama pergi cari dia, di hadapan kita semua boleh

kalian tanyakan, siauw te mau lihat dia masih berani mengoceh tak

karuan tidak”

“Sebetulnya siapakah mereka itu? Kenapa mau menculik kalian

berdua?….” tanya It Cing Toojin kemudian-

Ti Then berdiam diri tak menyawab, dia tahu sian Tong Toojin

memang benar-benar tidak tersangkut di dalam urusan ini

karenanya dia pura-pura tak mendengar.

“Demikian pun baik juga.” ujarnya kemudian, “cayhe akan pergi

ke sana untuk membawa dia orang datang kemari, aku mau lihat

dia yang sedang memfitnah diri Too tiang atau Too tiang yang

sedang berbohong bagaimana?”

“Bagus sekali, hal ini memang jauh lehih bagus, kebersihan hati

siauw te bagaimana bisa dirusak orang dengan seenaknya, sicu

cepat engkau tangkap dia dan bawa ke sini agar semua orang bisa

menjadi jelas. Hmm… h mm… kurang ajar… kurang ajar…”

Ti Then segera menyinying buntalannya dan diikat pada

punggungnya, setelah itu baru tanyanya.

“Kuda tunggangan kami berdua masih di sini bukan?”

“Benar, biar siauw te pergi menuntunnya kemari.” selesai berkata

dengan tergesa-gesa dia berjalan pergi.

Ti Then segera merangkap tangannya memberi hormat kepada

diri It Cing ujarnya.

” Kemungkinan sekali orang berkerudung hitam itu memang dia

membohong untuk memfitnah diri sian Tong Tootiang. pokoknya

bagaimana keadaan yang sebetulnya biarlah cayhe sesudah

membawa dia datang ke sini baru kita periksa lagi dengan lebih

teliti”

“Baiklah, pinto berani pastikan kalau sian Tong tidak mungkin

merupakan seorang yang begitu jahatnya, sicu silahkan pergi tawan

orang itu untuk dibawa ke sini”

Mereka bertiga segera berjalan keluar dari kamar, terlihatlah sian

Tong tojin sudah menuntun kedua ekor kuda itu menanti di depan

pintu.

Ti Then serta Wi Lian In segera menerima kudanya masingmasing

dan meloncat naik ke atas, sesudah memberi hormat

kembali kepada It Cing Tojin mereka segera melarikan kudanya

meninggalkan kuil sam Cing Koan.

Mereka berdua sesudah melarikan kudanya beberapa waktu

lamanya baru terlihatlah Ti Then tertawa pahit.

“Coba kau lihat, betul tidak omonganku ?? mereka tentu tidak

tahu urusan ini”.

“Kenapa tadi kau bilang mau membawa orang berkerudung

hitam itu untuk dihadapkan dengan dia orang?, bukankah orang

berkerudung hitam itu sudah kau cekik mati sejak tadi-tadi?”

“Jikalau tidak berbohong mana mungkin mereka akan

melepaskan kita pergi dengan begitu saja”

“Kini seharusnya kita pergi cari Cuo It sian”

“Tidak. tidak ada gunanya cari dia”

Wi Lian In menjadi melengak.

“Tidak pergi cari Cuo It sian lalu seharusnya pergi cari siapa?.”

“Cari ayahmu..”

Sekali lagi Wi Lian in dibuat melengak oleh jawaban dari Ti Then

ini. “Ooooh. . benar ??”

“Sekali pun yang menjadi dalang penculikan kita adalah Cuo It

sian tetapi sekarang kita sama sekali tidak punya bukti apa pun,

kita bisa mengapa-apakan dirinya, tidak perduli siapa orang yang

menjadi dalang di dalam penculikan ini, tujuan mereka adalah

hendak menggunakan kita orang sebagai tunggangan untuk

memaksa ayahmu menyerahkan barang itu, makanya kita harus

mencari ayahmu untuk diajak berunding, asalkan kita berhasil

bertemu dengan ayahmu kemudian menanyakan lebih jelas lagi,

tidaklah sukar bagi kita untuk mengetahui siapa dalang yang

sebenarnya.”

“Ehmmm, memang beralasan juga” jawab Wi Lian In kemudian

sambil mengangguk “Tetapi entah sekarang Tia sudah tiba diistana

Thian Teh Kong belum?”

“Kita berangkat sekarang juga, kemungkinan sekali bisa bertemu

dengan beliau”

“Aku punya satu pendapat, bagaimana kalau kits kembali kedesa

Thay peng sun untuk melihat-lihat keadaan di sana?”

“Tidak salah” seru Ti Then, segera di teringat akan sesuatu hal

kembali, “Mari kita berangkat sekarang juga, kemungkinan sekali di

sana kita bisa bertemu dengan pihak lawan”

“Selain itu masih bisa mencari kembali pedang kita, kita mau

pergi keistana Thian Teh Kong seharusnya mem punyai pedang

yang menggembel dibadan kita.”

“Baiklah, ayoh kita cepat berangkat”

Mereka berdua segera melarikan kuda dengan cepat, tidak selang

lama kemudian sudah berada kembali di dalam dusun Thay Peng

Cung.

Pada jarak kurang lebih ratusan langkah dari depan dusun

tersebut mereka meloncat turun dari kuda dengan sangat cepat,

memperhatikan keadaan disekeliling tempat itu.

Terlihatlah keadaan didusun tersebut sebagian besar sudah

terbakar musnah, kini hanya tinggal tembok-tembok serta tiang

tidak ikut terbakar berdiri serabutan, diatap asap dengan tebalnya

tetapi keadaan disekitar tempat itu tidak tampak bayangan manusia

punAgaknya

Wi Lian In merasa keadaan diluaar dugaannya, serunya:

“Bagaimana di sini tidak tampak sesosok bayangan manusia pun???”

“Mari kita lihat-lihat ke sana”

Dengan jalan menyelinap mereka berdua dengan bersembunyisembunyi

jalan mendekati perkam pungan tersebut, sesudah

memeriksa disekeliling dusun itu, terasalah oleh mereka kalau

disekeliling tempat itu memang betul-betul tidak tampak bayangan

musuh, karenanya dengan tenang-tenang baru berani munculkan

diri untuk berjalan maju ke depan.

orang berkerudung hitam dibunuh mati Ti Then tadi, kini

mayatnya sudah terbakar, panasnya hawa di sana saat ini seluruh

kulit badan sudah terkupas bahkan seluruh tubuhnya sudah

digenangi dengan air bercampur darah yang amis sekali baunya,

keadaan begitu seram dan memaksa orang mau muntah.

“Mayat ini belum pernah dipindah dari tempat semula,

kelihatannya mereka belum datang ke sini” ujar Ti Then kemudian-

“Tetapi aneh, seharusnya penduduk disekitar dusun ini tahu

kalau ditempat ini terjadi kebakaran tetapi kenapa tidak ada orang

yang datang??”

“Api mulai membakar ditengah malam buta, kemungkinan sekali

mereka memang tidak melihatnya”

“Lalu satu keluarga dari petani yang mendiami tempat ini sudah

pergi kemana?” potong Wi Lian In tiba-tiba.

Ti Then termenung berpikir sebentar kemudian baru jawabnya:

“Ada dua kemungkinan, yang pertama sudah dibunuh oleh

mereka, yang kedua sudah pindah dari tempat sini. jikalau sudah

pindah lalu..”

“Lalu yang perintah mereka sudah tentu si pembesar kota Cuo It

sian” potong Wi Lian In”

Benar” jawab Ti Then mengangguk. “Cuo It Sian merupakan

pemilik tanah dari perkam pungan ini, hanya dia seorang saja yang

bisa memerintahkan penduduk sini untuk pindah.”

“Waaaah. .waaah… celaka, pedang kita sudah tentu rusak karena

terbakar”

“Pedang itu tidak mungkin bisa terbakar rusak. ayoh kita lihatlihat

di dalam sana, mungkin pedangnya masih ada.”

Demikianlah mereka berdua segera masuk ke dalam rumah itu

untuk mencari kembali pedang mereka, sesampainya diruangan

yang sudah terbakar hangus di sana di temuinya oleh mereka lima

sosok mayat yang sudah terbakar hangus.

“Ooh Thian ” teriak Wi Lian In dengan perasaan terperanyat, ”

Kelima sosok mayat ini apakah mayat dari pemilik rumah ini?”

“Pasti benar” jawab Ti Then dengan wajah serius. “Coba kau lihat

diantara kelima sosok mayat adalah mayat bocah . .”

Tak tertahan lagi Wi Lian In menarik napas dingin, dengan

gemas teriaknya. “Hmm . . . sungguh kejam hati bajingan-bajingan

itu” Ti Then pun mengerutkan alisnya rapat-rapat.

“Yang aneh, sewaktu kemarin malam kita melarikan diri dari

ruangan bawah tanah kenapa tidak menemukan mereka-mereka

ini?”

” Kemarin malam kita sama sekali tidak masuk ke dalam ruangan

tamu ini.”

“Tetapi sewaktu terjadi kebakaran seharusnya orang-orang ini

berteriak minta tolong . . . .” bantah Ti Then lagi, tapi sebentar

kemudian dia sudah menjerit tertahan “HHmm, mereka berlima

tentu telah di totok jalan darah bisunya sehingga tak sanggup untuk

berteriak minta tolong, Heeey. . sungguh mengerikan”

Wi Lian In tidak berani terlalu banyak melihat lagi, serunya

kemudian-

“Mari kita keluar saja.”

Ti Then melakukan pencarian kembali di antara reruntuhan

tembok, tetapi tetap tidak menemukan kembali kedua belah pedang

mereka, akhirnya dia mengundurkan diri juga dari ruangan tamu itu

untuk mencari diantara reruntuhan ditempat lainnya.

Mereka berdua dengan susah payah mencari setengah harian

lamanya tetapi tetap tidak memperoleh hasil, terpaksa dengan hati

kesal Ti Then berdua berhenti mencari.

Ti Then mengambil keluar bubuk obat dan membubuhinya pada

luka Wi Lian In kemudian membubuhi juga pada kakinya sendiri,

setelah itu baru ujarnya:

“Aku lihat di dalam waktu yang sangat singkat tidak mungkin kita

memperoleh hasil, kita tak usah menunggu lagi, sekarang juga kita

berangkat ke istana Thian Teh Kong.”

“Baiklah, aku mau berganti pakaian dulu tolong kau jagakan

jikalau ada orang datang cepat-cepat beritahu padaku”

“Jadi maksudmu sewaktu kau berganti pakaian aku tidak usah

menutup mataku?” goda Ti Then sambil tertawa.

“cis . . . jangan omong sembarangan aku mau berganti pakaian

di belakang runtuhan tembok itu,tapi kau jangan ngintip lho, kalau

tidak. . . awas aku pukul kau.”

“Kita sekarang sudah jadi suami istri, buat apa kau begitu rikuhrikuh

terhadap aku orang??”

“Bukan suami istri, tapi calon suami istri” bantah Wi Lian In

dengan serius, ” Kemarin malam aku sudah berbicara sangat jelas,

jikalau kita mati maka boleh dianggap kita sudah menjadi suami

istri, tetapi kalau tidak mati kita harus undurkan sebutan kita

sebagai calon suami istri.”

“Omongan apa itu??” seru Ti Then sambil menghela napas

panjang-panjang “Aku sungguh menyesal kenapa kemarin malam

tidak terbakar mati saja?”

Wi Lian In segera tertawa cekikikan, dia melepaskan buntalannya

dan berjalan ke balik reruntuhan tembok untuk berganti pakaian-

“Cepat sedikit, aku juga mau berganti”

Wi Lian In yang di balik runtuhan tembok segera menyawab.

“Kenapa kau tidak berganti pakaian di sana saja??”

“Waaah tidak bisa .. .tidak bisa, jika ada orang datang aku harus

lari kemana??”

“Kau seorang lelaki takut apa lagi?” seru Wi Lian In sambil

tertawa geli.

” orang lelaki tidak takut orang lelaki tapi takut dengan orang

perempuan, jikalau secara tiba-tiba datang seorang nona dan waktu

itu aku sedang telanyang .. waah kemana aku harus lari??”

“Hmmm, kamu orang sedang mimpi yaa?” teriak Wi Lian In

sambil tertawa terus.

Ditengah percakapan itulah dia sudah selesai berganti pakaian

dan berjalan keluar dari balik runtuhan tembok. Ti Then segera

melepaskan buntalannya sendiri.

“Sekarang giliranku, kau jangan mengintip aku ganti pakaian lho”

serunya sambil tertawa

Air muka Wi Lian in seketika itu juga berubah menjadi merah

padam. “Cis. . siapa yang mau mengintipkan ganti pakaian??”

Sambil tertawa Ti Then berjalan ke balik runtuhan tembok

kemudian melepaskan semua pakaiannya yang sudah kotor, siapa

tahu baru saja dia memakai celananya mendadak terdengar Wi Lian

in yang ada diluar sudah berteriak: “Aduh celaka ada orang datang”

Seketika itu juga Ti Then menjadi kelab akan, tanpa memakai

pakaian atasnya lagi dengan badan setengah telanyang dia berlari

keluar: “Dimana. . dimana??” tanyanya gugup,

seketika itu juga Wi Lian In tertawa cekikikan sehingga badannya

terbungkuk- bungkuk .

-ooo00000ooo-

Dua hari kemudian mereka sudah tiba dekat dengan gunung Kim

Hud san- dimana terletaknya istana Thian Teh Kong, dari jauh

hanya terlihatiah pegunungan yang saling bersambungan

menembus awan.

Jika dilihat dari kejauhan puncak Kim Hud san semuanya ada

empat buah, lingkar melingkar sambung menyambung laksana naga

yang sedang tertidur keadaannya amat megah sekali.

Tak terasa lagi Wi Lian In sudah memuji.

” Gunung Kim Hud San inijauh lebih bagus dari pada gunung

Kiam Teng san.”

“Aku dengar di atas gunung ada tempat-tempat pesiar yang

bagus-bagus dan indah sekali seperti kuil Lian Hia si, si Ci Gi, gua

sak Gouw Tong, gua Ku Hud Tong dan lain-lainnya. Katanya dahulu

sering banyak pelancong yang berpesiar ke sana. .”

“Lalu sejak si anying langit rase bumi mendirikan istana Thian

Teh Kong di sana kaum pelancong jarang yang berani ke sana?”

“Benar.” sahut Ti Then mengangguk. “Bukan saja kaum

pelancong tidak berani berpesiar ke sana, sampai pada hwesio yang

berdiam di dalam kuil di atas gunung pun pada meninggalkan

gunung, mereka tidak berdiam menjadi satu dengan kaum

perampok.”

“Hmmm si anying langit rase bumi sungguh buas sekali.”

Maki Wi Lian In dengan gusar. “Mereka tidak pergi ke tempat lain

justru datang ke sini merusak pemandangan indah.”.

“Bukan begitu saja” tambah Ti Then lagi. “Aku dengar semua kuil

yang ada digunung sekarang ini sudah dijadikan sarang perampok

oleh mereka.”

“Lalu istana Thian Teh Kong didirikan di sebelah mana?”

“Mungkin tidak jauh dari si ci Go tetapi tempat yang sejelasnya

aku sendiri juga tidak tahu”

“Jarak waktu dengan saat perjanyian masih ada dua hari

lamanya, kini kita mau langsung naik ataukah menanti Tia di bawah

gunung saja?”

“Siang hari menunggu di bawah gunung”

“Kalau malam naik ke gunung melakukan penyelidikan?”

sambung Wi Lian In sambil tersenyum.

“Benar.” jawab Ti Then sambil mengangguk

“Si rase bumi Bun Jin Cu kini sudah kehilangan suaminya, dengan

kepandaian serta kekuatan anak buahnya dia tidak mungkin berani

menantang ayahmu secara terang-terangan, kemungkinan sekali

mereka sudah pergi mengundang jago-jago Bu lim lainnya untuk

mereka di dalam pertempuran kali ini atau mungkin juga dia sudah

mengatur jebakan buat kita agar kita terpancing, karenanya kita

harus naik ke atas gunung untuk mengadakan penyelidikan terlebih

dahulu.”

Wi Lian in segera angkat kepalanya memandang keadaan

cuacanya lalu baru ujarnya.

“Sekarang masih ada waktu satu jam baru malam hari menjelang

datang, lebih baik kita cari suatu tempat yang baik untuk istirahat.”

Ti Then segera pentangkan matanya memandang keadaan

sekeliling tempat itu, terlihatlah di sebelah kiri diantara rentetan

pegunungan yang melingkar terdapat sebuah hutan yang sangat

lebat sekali, serunya kemudian sambil menuding kearah sana. “Mari

kita ke sana saja.”

sewaktu naik gunung mereka berdua sudah menitipkan kuda

tunggangan mereka pada rumah kaum tani disekitar tempat itu,

karenanya gerak geriknya mereka sekarang jadi lebih lebih leluasa,

hanya di dalam beberapa kali loncatan saja mereka berdua sudah

berada di dalam hutan yang lebat itu.

“Kita bersembunyi di dalam hutan yang begini lebat, jikalau Tia

datang apa dia orang tua bisa melihat kita?” Ujar Wi Lian In

kemudian sesampainya di dalam hutan itu.

“Bisa, tempat ini merupakan jalan gunung untuk menuju ke atas

gunung.”

“Buat sementara orang lain tentu akan menggunakan jalan ini

tetapi buat ayahku belum tentu”

Ti Then segera tersenyum.

“Tidak ayahmu pasti bisa menggunakan jalan ini untuk naik

gunung.”

“Alasanmu.”

“Karena ayahmu merupakan seorang yang suka terus terang,

jikalau dia naik gunung untuk memenuhi janyi pastilah dia akan

secara terang-terangan naik gunung, tidak mungkin dia orang tua

mau naik gunung secara sembunyi-sembunyi.”

Ketika Wi Lian In mendengar dia orang sedang memuji ayahnya

dalam hati lantas merasa sangat gembira sekali, tanpa terasa lagi

dia sudah melemparkan satu senyuman manis kepadanya.

“Perkataanmu sedikit pun tidak salah. Tia memang seorang lelaki

yang demikian-” Ti Then tersenyum, tambahnya kemudian-

“Tetapi kemungkinan sekali kita tidak bisa bertemu dengan

ayahmu jika terus menanti di sini”

“Perkataanmu kenapa begitu plin plan?” seru Wi Lian In

melengak.

“Kemungkinan sekali si otak dari penculikan diri kita itu sama

sekali tidak tahu kalau kita sudah melarikan diri

Wi Lian In segera merasa perkataannya sedikit pun tidak salah,

tak terasa lagi dia mengangguk.

“Ehmm jika memang betul-betul begitu, bilamana Tia sudah

mendengar kalau kita tertawan kemungkinan sekali sudah

membatalkan datang ke sini untuk memenuhi undangan dari pihak

istana Thian Teh Kong”

sinar matanya yang amat indah itu berkedip-kedip sebentar

kemudian dengan merasa kuatir tambahnya: “Lalu bagaimana kita

sekarang??”

“Biar aku seorang diri naik ke atas gunung untuk memenuhi

undangan”

“Lalu aku??”

“Pergi cari ayahmu.”

” Kau suruh aku pergi kemana mencarinya?”

“Sebelum si otak penculikan itu mau menggerakkan ayahmu, dia

tentu membiarkan ayahmu melihat diri kita terlebih dulu. Karenanya

kau harus menuju ke dusun Thay Peng cun sana.”

“Tetapi” bantah Wi Lian In lagi “Dengan seorang diri kau naik ke

atas gunung untuk memenuhi undangan, apakah kamu orang sudah

merasa punya pegangan untuk mengalahkan si rase bumi Bun jin

Cu beserta anak buahnya??”

“Jika mereka menyerang satu persatu aku merasa masih punya

kekuatan untuk menghalau mereka, bilamana mereka bergerak

secara bersama-sama tidak kuat jauh lari dengan kedua belah

kakiku ini.”

“Tidak” sekali lagi bantah Wi Lian In.

“Malam ini kita masih menyelidiki dulu keadaan istana Thian Teh

Kong kemudian baru balik ke sini menunggu Tia, bilamana lusa

masih belum datang untuk memenuhi janyi hal itu berarti Tia sudah

ikut si penculik itu pergi ke perkam pungan Thay Peng cun itu, kita

harus berusaha bertemu dengan sirase bumi Bun jin Cu untuk

mengundurkan perjanyian ini, setelah itu bersama-sama pergi

mencari Tia.”

“Demikian pun baik juga, tetapi malam ini biar aku seorang diri

saja yang pergi mengintip. kau lebih baik tunggu saja di sini.”

” Kenapa ??” seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.

“Jika seorang diri saja yang mengintip maka keadaan kita sukar

diketatui oleh mereka, jikalau kita harus pergi bersama-sama,

bilamana sampai ketemu waahh sulit buat kita untuk menolong dari

jebakan si rase bumi Bun Jin Cu.”

“Tidak aku juga mau ikut”

“Baik” seru Ti Then setengah mengancam “Bilamana kau tidak

mau mendengar omonganku, sesudah kembali kebenteng Pek Kiam

Po aku segera minta berhenti dari ayahmu”

Mendengar ancaman itu Wi Lian In jadi gugup,

“Baik . …. baik” serunya cepat. “Aku mendengar omonganmu,

aku mendengar omonganmu”

Ti Then segera tersenyum.

” Calon istriku yang paling cantik, sekarang silahkan mengambil

keluar rangsum kita, bagaimana kalau kita makan bersama-sama

.??”

Mereka berdua lalu mendahar rangsum tersebut setelah itu saling

berpelukan dan bermesraan, lama sekali di bawah pohon yang

rindang. Tiba-tiba terdengar Wi Lian In menghela napas panjang.

“Haay . . . malam begitu cepat datang.”

“Heehh . . . kenapa ???” saru Ti Then melengak.

Wi Lian In segera tersenyum malu, kepalanya ditundukkan

rendah-rendah.

“Kau mau berangkat kapan?? ”

“Sebentar lagi, dari sini untuk mencapai istana Thian Teh Kong

masih ada setengah hari perjalanan-”

Perlahan-lahan Wi Lian In menyatuhkan dirinya kembali ke dalam

pelukannya, ujarnya sambil memejamkan sepasang matanya.

” Lebih baik kau berangkat pada kentongan pertama saja, si rase

bumi Bun Jin Cu tentu sudah mengatur banyak penjagaan di

sekeliling istananya, kalau pergi terlalu pagi malah lebih mudah di

ketahui oleh mereka”

Perlahan-lahan pada wajahnya terpancarkan suatu sinar

kebahagian, sinar tersebut tentu bisa ditemui di wajah setiap nona

yang sedang terjerumus di dalam lembah percintaan, karena hal

inilah Ti Then segera tahu kenapa dia minta dirinya berangkat

sesudah kentongan pertama, dia bukan merasa kuatir atas

keselamatan dirinya kalau sampai diketahui oleh anak buahnya si

rase bumi Bun Jin cu melainkan dia mengharapkan bisa bergumul

dan bermesra-mesraan lebih lama lagi dengin dirinya.

Jilid 20.2 Terperangkap di istana Thian Teh Kong

Setiap kali dia menghadapi “Rasa cinta yang demikian tebalnya”

ini Ti Then selalu merasa seperti meneguk secawan arak yang manis

bercampur rasa pahit, dalam hati dia merasa girang juga merasa

murung, karena dalam pikirannya segera terbayang kembali olehnya

kalau dia hanya menerima perintah dari seseorang. . dia cuma

sebuah patungnya saja.

Tanpa terasa lagi tangannya mulai mengusap wajahnya yang

halus itu, sembari merasakan kenikmatan dari perasaan cintanya

yang berkobar-kobar ini dalam hatinya merasa perih juga seperti

diiris-iris oleh beribu-ribu golok.

Tetapi Wi Lian In sama sekali tidak mengetahui akan hal ini, pada

wajahnya terbayang suatu senyuman yang sangat gembira, ujarnya

sambil tertawa ringan-“Aku punya usul. .”

“Usul apa?” tanya Ti Then melengak.

“Selesai kita membereskan urusan di sini kita langsung pulang ke

dalam Benteng saja, sewaktu kau bertemu dengan si locia itu

pelayan tua kau bisa secara diam-diam kasi tanda kepadanya. .”

Untuk beberapa waktu lamanya Ti Then dibuat bingung oleh

perkataannya yang tidak ada ujung pangkalnya ini. “Beri tanda apa

kepada si Lo-cia. . ???”

“Hmm, kau pura-pura bodoh.” seru Wi Lian In dengan

manyanya, sedang tangannya dengan perlahan mencubit kakinya Ti

Then-

“Oooh. .” Ti Then segera paham apa yang sedang dimaksudkan-.

“Kau minta aku suruh si Locia mewakili aku pergi meminang

dirimu??”

“Si Locia sangat suka kalau kita orang bisa bersatu, dia tentu

mau membantu kamu orang.”

“Tapi aku tidak bisa omongnya.”

“Tidak usah terus terang, secara diam-diam saja kau beri tanda

kepadanya”

“Bagaimana caranya?” tanya Ti Then lagi,

“Sewaktu lain kali dia mengungkat kembali hubungan diantara

kita berdua, kau bolehlah berkata kepadanya sambil tertawa. “Locia,

kau cuma bicara di mukaku terus apa gunanya?, sesudah dia

mendengar perkataanmu ini dia toh punya pikiran untuk menjadi

mak comblangnya, walau pun dia cuma seorang pelayan saja, tetapi

dia sudah turut dengan ayahmu selama puluhan tahun lamanya,

perkataannya Tia tidak akan menganggapnya sebagai angin lalu”

“Bilamana ayahmu tidak setuju?” tanya Ti Then sambil tertawa.

“Tidak mungkin, bilamana Tia menolak dia orang tua tidak

mungkin bisa membiarkan kita berdua melakukan perjalanan

bersama-sama pada kali ini.”

“Bilamana ayahmu bermaksud untuk menjodohkan kau

kepadaku, kenapa tidak tunggu saja sampai dia bilang sendiri?”

Wi Lian in tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tak terasa lagi sambil

tertawa malu dia mencubit kembali kaki Ti Then berulang kali.

“Baiklah” serunya dengan gemas. “Sudah. . sudahlah, aku sama

sekali tidak memaksa.”

“Lian In” seru Ti Then kemudian sambil menghela napas

panjang. “Sekali lagi aku mau berbicara aku betul-betul suka

padamu tetapi kemungkinan sekali pada satu hari kau bisa

mengetahui kalau aku bukanlah seorang yang baik.”

Wi Lian In pun ikut menghela napas panjang:

“Andaikata seperti apa yang kau katakan, di kemudian hari kau

berbuat tidak baik kepadaku, waktu itu aku mau menerimanya

dengan rela hati, bajingan itu selamanya tidak pernah mengatakan

begitu, dia selalu bilang kalau dia jadi orang sangat jujur, sangat

pendiam sangat berbudi dan bagaimana cintanya kepadaku. .”

Setelah mendengar perkataan ini Ti Then semakin merasa

menyesal, dalam hati segera dia mengambil satu keputusan

pikirnya.

“Dia begitu cinta dan menaruh hatinya kepadaku, bagaimana aku

tega mempermainkan dirinya?? Heey. sudah. .sudahlah, lain kali

jikalau majikan patung emas perintahkan aku untuk melakukan

pekerjaan yang merugikan mereka ayah beranak. sekali pun harus

binasa aku juga tidak melakukannya.”

Sesudah mengambil keputusan ini, hatinya pun terasa begitu

leganya, mendadak dia ulurkan tangannya mengangkat kepalanya

ke atas kemudian kirim sebuah ciuman mesra ke atas bibirnya.

Wi Lian In sama sekali tidak menduga dia bisa berbuat demikian,

seketika itu juga dia dibuat kelabakan, tetapi hal ini pun merupakan

suatu kejadian yang sangat diinginkan sejak dahulu karenanya dia

hanya memberi sedikit perlawanan kemudian berdiam diri

membiarkan Ti Then melakukan penyerbuannya.

Suasana yang manis dan mendebarkan hati itu hanya di dalam

sekejap saja sudah berlalu, kentongan pertama kini menjelang di

depan mata, terpaksa dengan hati berat Ti Then mendorong

badannya ke samping lalu bangkit berdiri “Sekarang aku harus

berangkat” ujarnya perlahan.

“Ti Toako, biarkan aku mengikuti dirimu?” Mohon Wi Lian In

segera.

“Tidak. kau harus menanti di sini.”

“Woow. . kamu orang. .” seru Wi Lian In sambil mencibirkan

bibirnya.

“Aku tidak ingin kau pun menempuh bahaya, aku juga tidak mau

membiarkan si rase Bumi Bun Jin Cu menawan dirimu karenanya

terpaksa aku harus berbuat demikian-”

“Kalau begitu kapan kau baru kembali??”

“Sebelum terang tanah, bilamana sesudah terang tanah aku

belum kembali juga, hal ini berarti juga aku sudah menemui sesuatu

kejadian diluar dugaan, waktu itu kau harus cepat-cepat

meninggalkan tempat ini pergi cari ayahmu, paham tidak??”

“Tidak, jikalau kau tidak kembali aku pasti mau raik ke atas

gunung mencari kau.”

“Hmm” sahut Ti Then sambil tertawa “Jikalau benar-benar begitu

tentu si rase bumi segera membagi hartanya kepada anak buah

mereka.”

“Soal ini aku tidak mau ikut campur” Desak Wi Lian In tetap

ngotot, “Besoknya aku mesti bersama-sama kau orang”

“Baik. . baiklah” sambung Ti Then dengan cepat “Urusan tidak

akan berobah menjadi demikian beratnya, kau tidak usah berbicara

lagi, aku mau pergi”

Baru saja dia selesai berbicara tubuhnya sudah berkelebat sejauh

puluhan kaki kemudian dengan cepatnya berlari dan lenyap di balik

pepohonan yang amat lebat disekitar tempat itu.

Bagaikan melayangnya seekor burung elang dengan amat

cepatnya dia berkelebat menuju ke atas puncak gunung Kim Hud

san, di dalam sekejap mata saja sudah berada di atas sebuah

puncak bukit, sambil berdiri diam diam memandang kealam di

sekelilingnya.

Terlihatlah kurang lebih satu li di punggung gunung secara

samar-samar terlihatlah memancarnya beberapa titik lampu yang

sangat terang, dia tahu tempat itu pasti bukanlah istana Thian Teh

Kong melainkan sebuah kuil yang sudah direbut oleh orang-orang

istana Thian Teh Kong. Tubuhnya dengan berkelebat menuju ke

arah dimana berasalnya sinar yang terang itu.

Tetapi sesudah berlari selama beberapa waktu lamanya

mendadak dia merasakan kalau keadaan sedikit tidak beres.

Karena kini dia sudah berada kurang lebih empat lima li jauhnya

memasuki gunung tetapi selama perjalanan ini dia sama sekali tidak

bertemu dengan seorang penjaga pun.

Gerak geriknya sangat gesit dia cepat sekali, tetapi selama ini dia

tidak lupa untuk memeriksa setiap tempat yang kemungkinan sekali

ditempati sebagai pos penjagaan, tetapi setiap tempat pegunungan

yang dilalui selama ini bukan saja keadaannya amat terang bahkan

tidak tampak seorang penyahat pun yang berjaga ditempat-tempat

yang strategis. Keadaan seperti tidak perduli untuk orang yang

berjalan malam macam apa pun tentu merasakan suatu keadaan

yang tidak beres. Atau dengan perkataan lain tidak ada penjagaan

di atas gunung bukannya berarti si rase Bun Jin Cu sudah

mengendorkan penjagaan terhadap serangan orang lain, melainkan

dia sudah perintahkan orang agar termakan ke dalam jebakan yang

membingungkan ini, dia sengaja tidak memberi penjagaan pada

pos-posnya, hal ini bermaksud agar musuhnya terjerumus ke dalam

jebakannya yang sudah disiapkan terlebih dahulu.

Karenanya gerak gerik Ti Then semakin berhati-hati, dia tidak

berani bergerak maju secara serampangan, tubuhnya dibungkukkan

rendah-rendah, kemudian dengan menggunakan pohon-pohon serta

dedaunan yang tumbuh di sana sebagai penghalang pandangan,

bergerak dengan sangat hati-hati sekali, dia sama sekali tidak

membiarkan sinar rembulan

menyinari tubuhnya sehingga meninggalkan bayangan di

belakangnya, apalagi sesuatu yang membuat orang lain merasa

curiga.

Sebentar dia berlari cepat, sebentar kemudian dia berhenti dan

berjongkok, gerak geriknya amat berhati-hati, sesudah membuang

waktu yang sangat banyak akhirnya dia berhasil juga mendekati

tempat dimana berasalnya sinar lampu tadi.

Dengan terburu-buru dia menerobos ke dalam sebuah semak

kemudian menongolkan kepalanya keluar, terlihatlah olehnya

sebuah pemandangan yang lain daripada yang lain, bahkan hal itu

membuat dia berdiri tertegun. Apakah sinar lampu itu mendadak

lenyap?

Bukan, sinar lampu masih ada, cuma yang ia lihat sekarang

bukanlah sinar lampu melainkan sinar dari api yang sedang

berkobar.

Di atas punggung gunung itu tidak tampak adanya kuil lagi,

melainkan setumpukan puing-puing berserakan memenuhi

permukaan tanah.

Setumpukan puing-puing itu diantaranya masih mengepulkan api

yang lumayan besar.

Tempat itu memang betul-betul merupakan sebuah kuil, cuma

sekarang kuil itu sudah terbakar hingga tinggal puing-puingnya. Iih.

. sudah terjadi peristiwa apa?

Apa mungkin Wi Ci To sudah tiba?

Tidak mungkin, dia adalah seorang yang tahu aturan dan

bukanlah manusia semacam dia sebelum waktunya yang sudah

dijanyikan pasti tidak akan mempercepat waktunya datang ke atas

gunung untuk melancarkan serangan bokongan.

Peristiwa ini tentu dilakukan oleh musuh-musuh dari si anying

langit rase bumi yang sudah mendengar akan kematian dari si

anying langit Kong Sun Yau dan kini sengaja datang hendak balas

dendam dan membumi hangus semua tempat yang ada disekitar

istana Thian Teh Kong.

Sambil berpikir keras Ti Then memandang keadaan sekelilingnya

dengan lebih teliti lagi, baru saja dia mau majukan jalannya ke

depan untuk melihat lebih jelas lagi mendadak dari antara

pepohonan di sebelah kiri dari reruntuhan puing-puing kuil itu

berjalan mendatang dua orang lelaki berpakaian singsat, keadaan

dari mereka berdua amat mengenaskan sekali, pakaian mereka

sudah robek-robek tidak karuan bahkan kelihatan beberapa lubang

bekas terkena api apalagi badannya terluka bakar sehingga

membuat gerak-gerik mereka sangat lamban sekali.

Mereka berdua dengan saling rangkul-merangkul memaksakan

diri berjalan ke depan sedang dari mulutnya tidak henti-hentinya

mengeluarkan suara rintihan yang memilukan hati.

Sesampainya di luar hutan di dekat runtuhan puing-puing kuil itu

mereka baru menghentikan langkah kakinya, sambil memandang ke

arah puing-puing yang berserakan itu mereka bersama-sama

menghela napas panjang.

Terdengar salah satu diantara mereka itu sambil menghela napas

panjang makinya dengan perasaan sangat gemas.

“Maknya..tidak kusangka ini hari aku bisa terjatuh sampai

keadaan semacam ini.”

Salah seorang lelaki dengan telinga seperti kuping gajah itu

segera menyambung:

“Heeeyy….cialat…cialat…begitu Thian Cun modar semuanya juga

ikut musnah.”

“Hanya sayang kita sudah mengikuti Thian Cun selama puluhan

tahun lamanya kini apa pun tidak mendapat.”

“Itu salahnya kita sendiri, semua orang secara diam-diam

membuat rencana untuk merampok semua harta benda yang ada di

dalam istana sebaliknya kita malah dengan enak-enak tertidur pulas,

untung saja kita cepat-cepat sadar kembali, kalau

tidak…waaah…waaah..nyawa pun ikut lenyap.”

“Heey..entah bagaimana keadaan di dalam istana sekarang ini?”

“Apanya yang bisa dibicarakan lagi, sudah tentu keadaannya

seperti tempat ini. Semua orang dengan andalkan nyawa sendirisendiri

pada merampok barang yang ditemui kemudian lemparkan

api ke dalamnya..semuanya akan segera beres,

makanya..makanya…”

“Bagaimana kalau kita ke istana sebentar untuk lihat?”

“Sudah, sudahlah tidak perlu pergi lagi, kaki kanan aku si orang

tua sudah terluka bakar kini terasa begitu sakitnya, buat apa balik

ke sana lagi..makanya, lebih baik kita turun gunung saja.”

“Turun gunung sekarang juga?”

“Kenapa?”

“Cuaca begini gelapnya, apalagi di badan kita masih terluka,

jikalau sampai jatuh bukankah keadaan kita semakin parah?”

“Tidak mungkin, ayoh kita perlahan-lahan jalan..”

Berbicara sampai di sini mereka berdua segera saling bombing

membimbing untuk menuruni gunung itu dengan mengikuti jalan

kambing yang ada di sana.

Ti Then sesudah melihat bayangan dari kedua orang itu lenyap

dari pandangannya dia barulah bangkit berdiri, pikirnya.

“Kiranya di dalam istana Thian The Kong sudah terjadi

kekacauan, kaum perampok sudah pada berontak dan kini

merampok semua harta kekayaan yang tersimpan di dalam istana

Thian Teh Kong.”

Akhirnya seperti ini dia sama sekali tidak pernah

membayangkannya, tetapi dia paham akibat ini memang seharusnya

terjadi, pada waktu yang lalu pengaruh istana Thian Teh Kong bisa

kuat hal ini dikarenakan kepandaian silat dari si Anying langin Kong

Sun Yauw sangat liehay, karenanya anak buahnya tidak berani

melawan, sebaliknya kini si Anying langit Kong Sun Yauw sudah

binasa, si Rase bumi Bun Jin Cu pun sedang merasa sedih sehingga

tidak ada kekuatan untuk mengurusi anak buahnya, sudah tentu

banyak anak buahnya akan memberontak kemudian merampok dan

melarikan diri dari atas gunung.

Akibat yang terjadi seperti ini terhadap kalangan Bu-lim memang

merupakan suatu hal yang menyedihkan.

Ti Then menarik hawa segar dalam-dalam kemudian pikirnya lagi

:

“Entah sirase bumi Bun Jin Cu masih ada di atas gunung atau

tidak ? Aku harus naik ke atas untuk Iihat-lihat, jikalau dia masih

ada di sana lebih baik aku selesaikan saja urusan ini secara pribadi.”

Begitu pikiran ini berkelebat di dalam benaknya dia segera mulai

menggerakkan badannya melayang menuju ke puncak gunung.

Setelah diketahui olehnya kalau di dalam istana Thian Teh Kong

sendiri sudah terjadi kekacauan hal ini berarti juga tidak adanya

penjagaan di atas gunung bukanlah merupakan salah satu siasat

yang sedang diatur oleh sirase bumi Bun Jin Cu, karenanya dia tidak

perlu menyembunyikan dirinya lagl selama di dalam perjalanan ini,

dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah

mencapai pada kesempurnaan dia melayang terus menuju puncak

gunung.

Setelah melewati gua Sak Gouw Tong serta Si Ci Go dia

melanjutkan kembali perjalanannya sejauh puluhan li dan akhirnya

sampai juga di istana Thian Teh Kong.

Istana Thian Teh Kong yang sudah menggetarkan seluruh dunia

kangouw ini sama sekali tidak sampai dibakar oleh kaum

pemberontak, tetapi depan pintu istana terlentanglah berpuIuh

puluh mayat yang menggeletak memenuhi permukaan tanah, ada

yang kepalanya putus, ada yang perutnya robek sehingga ususnya

keluar dan lain-lain, keadaan yang begitu mengerikan, darah yang

berbau amis tercecer memenuhi seIuruh

permukaan tanah.

Jika dilihat dari keadaan .tersebut agaknya pertempuran sengit

baru saja berhenti tidak lama.

Ti Then takut di dalam istana kemungkinan sekaIi masih tersisa

kaum penyahat yang masih belum meninggaIkan tempat itu dan

tidak berani langsung menerjang masuk ke dalam, setelah

diperiksanya dengan amat teliti keadaan sekeliling tempat itu dan

betul-betul merasa yakin kalau tidak ada musuh yang masih sisa di

dalam istana itu, dia barulah berani meloncat naik ke atas

wuwungan dari istana Thian Teh Kong tersebut.

Keadaan di dalam istana itu sama saja seperti keadaan diluar,

mayat-mayat menggeletak diseluruh tempat agaknya karena

perebutan harta kekayaan memaksa mereka saling bunuh

membunuh.

Diantara mayat-mayat itu bahkan ada dua mayat yang gayanya

sangat menggelikan sekali, mereka berdua sudah binasa

semua,yang satu terkena tembusan pedang panjang sedang yang

lain terkena bacokan pada pundak sebelah kirinya tetapi ditangan

masing masing bersama sama mencekal sebuah buntalan, agaknya

sesudah terluka parah dan rubuh ke atas tanah mereka masih ingin

memperebutkan buntalan tersebut.

Ti Then sesudah berdiam diri untuk memperhatikan keadaan

disekelilingnya beberapa saat kemudian dengan tanpa

mengeluarkan sedikit suara pun dia meloncat turun dari atas

wuwungan rumah. lalu berjalan mendekati buntalan itu, terlihatlah

di dalam buntalan itu kini cuma tersisa dua stel pakaian saja,

agaknya intan permata yang berharga sudah disikat oleh ‘Nelayan

Beruntung’ yang menonton di samping.

Dia melemparkan kembali buntatan itu ke atas tanah. kemudian

melanjutkan langkahnya menuju ke dalam, setelah melewati

ruangan besar, ruang Teh, ruang bunga sampailah dia disebuah

serambi yang amat panjang sekali bahkan dari dalam serambi itu

secara samar-samar terdengarlah suara seorang perempuan sedang

menangis terisak-isak.

Dia segera angkat kepalanya memandang ke sana terilhatlah di

hadapannya berdirilah sebuah ruangan yang amat besar dan megah

sekali, di atas ruangan itu terpancanglah sebuah papan nama

bertuliskan ‘Khie le Tong’ tiga huruf kata dari emas.

Suara tangisan itu tidak lama berkumandang keluar dari dalam

ruangan “Khie le Tong” itulah.

Dalam hati Ti Then merasa amat terperanyat, cepat-cepat dia

menyatuhkan diri berjongkok di samping sebuah tiang besar,

pikirnya:

“Untung sekali masih ada seorang yang hidup, entah siapakah

dia orang ?? Apakah sirase bumi Bun Jin Cu ? Ataukah dayang dari

istana Thian Teh Kong?”

Dengan amat tenangnya dia memperhatikan keadaan di sana

selama beberapa saat lamanya, akhirnya dia mengambil keputusan

untuk masuk ke dalam mengadakan memeriksa, demikianlah

tubuhnya segera bergerak menuju kearah ruangan Khie Ie Tong

tersebut.

Sesampainya di samping ruangan Khie Ie Tong itu suara tangisan

terisak dari dalam ruangan itu terdengar semakin jelas lagi, di atas

tebing Sian Ciang di belakang benteng Pek Kiam Po tempo hari

pernah mendengar suara isak tangisan rase bumi Bun Jin Cu oleh

karena jtulah begitu dia mendengar suara tangisan tersebut segera

diketahui olehnya kalau suara tangisan itu bukan lain berasaI dari si

Rase bumi Bun Jin Cu.

“Hmmm, ternyata dia masih ada di sini.”

Setelah berpikir keras beberapa waktu lamanya mendadak

terdengar Ti Then berteriak :

“Orang yang ada di dalam apa benar si rase bumi Bun Jin Cu ??

Dari dalam ruangan Khie le Tong suara tangisan dari si rase bumi

Bun Jin Cu segera berhenti kemudian diikuti ruangan itu menjadi

terang benderang,

“Siapa ?” tanya si rase bumi Bun Jin Cu dengan suara yang amat

dingin sekali.

Ti Then segera munculkan dirinya di depan pintu Khie le Tong

itu.

“Cayhe Ti Then,” sahutnya. tenang.

TerIihatlah pada waktu itu si rase bumi Bun Jin Cu sedang duduk

disebuah kursi kebesaran, pakaiannya tidak karuan rambutnya

kacau sedang wajahnya amat pucat, begitu dilihatnya Ti Then sudah

muncul di depan air mukanya tanpa terasa lagi sudah berubah

sangat hebat. Cepat-cepat dia meloncat bangun kemudian serunya

dengan amat benci:

“Kiranya kamu orang.”

“Entah di dalam istana itu sudah terjadi urusan apa?”

Si rase bumi Bun Jin Cu tidak memberi jawabannya, dengan

pandangan mata yang rnemancarkan sinar kebencian dia pelototi

diri Ti Then, kemudian sambil menggigit bibirnya dia berteriak

kembali.

“Waktu perjanyan belum tiba, kau bangsat cilik buat apa datang

ke sini ?”

“Aku boleh bicara terus terang padamu malam ini sebenarnya

aku cuma datang ke atas gunung untuk melakukan pengintaian,

siapa tahu di dalam istana Thian Teh Kong sudah terjadi peristiwa

yang demikian menyedihkan karena itu terpaksa aku meneruskan

perjalanan datang ke sini untuk melihat keadaan yang sebenarnya.”

Sepasang alis dari Si rase bumi Bun Jin Cu segera dikerutkan

rapat-rapat, sambil menggerutuk giginya dia menjerit kembali.

“Semuanya ini hasil hadiah yang kau berikan kepada kami,

kedatanganmu malam ini sungguh bagus sekati bilamana aku tidak

bisa menghancurkan tubuhmu sekali pun binasa mataku tidak

meram.”

“Hee..heee..bukankah anak buahmu sudah pada meninggalkan

dirimu seorang diri?” ejek Ti Then sambil tertawa tawar.

“Tidak salah” teriak si rase bumi Bun Jin Cu sambil menghajar

sebuah meja dengan amat kerasnya, “Mereka semua memang

sudah pergi, tetapi kau bangsat cilik jangan bergembira terlebih

dahulu, cukup aku seorang sudah lebih dari cukup untuk bereskan

dirimu.”

“Aku menaruh perasaan simpatik terhadap kejadian yang kau

alami, tetapi harus kau ketahui pada itu hari kejadian di atas tebing

Sian Ciang jikalau aku tidak bunuh suamimu kemungkinan sekali

aku sudah terbunuh oleh dirinya. .”

“Tidak usah banyak omong lagi,” sekali lagi teriak si rase bumi

Bun Jin Cu sambil menghajar meja yang ada di sampingnya. Ti Then

segera tertawa dingin.

“Aku cuma mengharapkan kau menjadi paham, istana Thian The

Kong kalian bisa menjadi demikian kesemuanya dikarenakan

keserakahan dirimu, janganlah kau salahkan urusan ini kepadaku.”

“Tidak usah banyak omong lagi, pokoknya ini hari aku harus

bunuh dirimu untuk melampiaskan kebencianku terhadap dirimu.”

“Bagus sekali, aku tahu untuk selamanya kau tidak akan

melepaskan aku hidup, memang lebih baik kita selesaikan urusan

diri kita pada malam ini juga. Tetapi kini, seperti omonganku tadi,

aku betul-betul merasa simpatik atas kejadian yang kau alami,

walau pun kau Bun Jin Cu bukanlah seorang perempuan baik-baik,

tetapi tidak perduli bagaimana pun kejadian yang kau alami selama

satu bulan ini betul-betul membuat keadaanmu patut dikasihani.”

“Telur makmu.” maki si rase bumi Bun Jin Cu dengan gusarnya.

“Aku tidak membutuhkan rasa simpatik dari kau bangsat.”

Mendengar makian yang kotor itu Ti hen. tanpa terasa sudah

kerutkan alisnya rapat-rapat.

“Maksud dari perkataanku tadi, malam ini aku tidak akan

membunuh dirimu, nanti bilamana terjadi pertempuran diantara kita

kau boleh serang aku dengan. menggunakan cara apa pun, waktu

itu aku akan bertahan saja tanpa melancarkan serangan balasan,

jikalau kau berhasil membunuh mati aku, yaaah.. tidak ada

perkataan lain lagi tetapi jikalau kau tidak berhasil rnembinasakan

diriku maka lain kali jikalau sampai bertemu kembali, aku, tidak

akan sungkan-sungkan lagi terhadap kau orang. ”

“Hmm..kau bangsat cilik jangan bermimpi, malam ini kau tidak

akan berhasil meloloskan diri dari tanganku.” Teriak si rase bumi

Bun Jin Cu sambil tertawa dingin tak henti-hentinya.

“Perkataanku kini sudah selesai, sekarang silahkan kau mulai

turun tangan”

Dari balik sebuah kursi Si rase bumi Bun Jin Cu mencabut keluar

sebilah pedang panjang, teriaknya sambil menudingkan pedang itu

ke hadapan Ti Then.

“Kau masuklah ke sini, kita bereskan hutang-hutang kita di dalam

ruangan Khie le Tong ini juga”

Ti Then sama sekali tidak mau percaya kalau dirinya bisa terluka

ditangannya,..tanpa ragu-ragu lagi dia berjalan masuk ke dalam

ruangan itu.

Ketika Bun Jin Cu melihat dia berjalan memasuki ke dalam

ruangan mendadak berteriak kembali :

“Berhenti !”

“Ada apa??” tanya Ti Then tersenyum tapi dia menghentikan

langkahnya juga.

“Aku mau bertanya suatu urusan…”

“Silahkan berbicara”

“Malam ini kalian datang berapa orang?”

“Cuma dua orang saja, aku serta nona Wi.”

“Wi Ci To ???”.

“Dia tidak datang bersama kami, mungkin lusa baru sampai

didini.”

Sepasang mata dari Bun Jin Cu segera berkedip-kedip tanyanya

kembali:

“Dimana budak itu ?”

“Dia tidak ikut naik ke atas gunung”

“Kenapa tidak sekalian ikut ke sini??”

“Sebelum waktunya perjanyian buat apa dia datang ke sini??”

“Kini dia ada dimana ?”

“Maaf tentang pertanyaan ini cayhe tidak bisa memberikan

jawabannya.” seru Ti Then sambil tertawa.

Si rase bumi Bun Jin Cu segera tertawa dingin tak henti-hentinya.

“Aku sangat mengharapkan dia ikut datang, agar dia bisa melihat

dengan cara bagaimana aku menghukum rnati dirimu”

“Haaaa ..haaaaa.. tapi dia tidak punya ganyalan sakit hati apaapa

dengan dirimu..”

Sepasang mata bolanya segera berputar-putar sekali lagi dia

tertawa dingin,

“Tentu dia sedang menunggu di bawah gunung, hmmm.. kini aku

mau tawan dirimu terIebih dulu, jikalau lama sekali dia tidak melihat

kau kembali tentu dengan sendirinya bisa naik ke atas gunung

untuk mengadakan pencarian. hee ,… heee..saat itu aku mau

sekalian tangkap dirinya,”

“Tidak salah pada waktu itu dia memang bisa naik ke atas

gunung untuk mencari aku tetapi apa kau punya kekuatan untuk

menawan aku orang ?”

“Hee..hee.. tanpa membuang banyak tenaga aku bisa tawan kau

bangsat”

Mendadak Ti Then teringat kembali kalau di dalam istana Thian

Teh Kong penuh dipasangi alat-alat rahasia, kemungkinan sekali di

dalam ruangan Khie Ie Tong ini sudah dipasang sebuah alat rahasia

yang sangat dahsyat sekali, tanpa terasa lagi dia sudah merasa

amat terperanyat, cepat-cepat dia menjejak tubuhnya meloncat

mundur ke belakang.

Tetapi… dia sudah terlambat satu tindak.

Pada saat dia sedang teringat kembali untuk mengundurkan diri

dari ruangan Khie le Tong itulah mendadak permukaan tanah yang

diinyaknya sudah meresap ke dalam, kemudian diikuti dengan suara

peletekan yang amat nyaring, permukaan tanah itu sudah membalik

kearah dalam tanah.

Kiranya permukaan tanah dari ruangan Khie le Tong ini

merupakan sebuah papan yang bisa berputar.

Ti Then tidak sempat untuk menghindarkan diri lagi dari kejadian

itu, padahal sekali pun dia sempat meloncat mundur juga tidak

mungkin bisa menghindarkan diri dari kejadian itu karena seluruh

badannya kini sudah meluncur turun ke bawah dengan kecepatan

yang luar biasa.

Begitu tubuh Ti Then meluncur ke bawah, papan permukaan

yang ada di atasnya sudah menutup kembali seperti asalnya

semula, karenanya Ti Then yang meluncur ke bawah dengan amat

cepatnya itu sebelum tubuhnya mencapai permukaan tanah

keadaan di sekelilingnya sudah menggelap kembali.

Dia tidak tahu, bagaimana keadaan di bagian bawahnya, tetapi

dengan cepat, di dalam hatinya sudah mengambil suatu bayangan

yang paling buruk yaitu dia menduga dibagian bawahnya sudah

dipasang golok-golok yang amat banyak sekali menantikan

kejatuhan badannya, karena itu cepat-cepat dia mengerahkan

seluruh tenaga dalamnya melancarkan satu pukulan dahsyat kearah

bawah, pada saat yang bersamaan puIa. dengan menggunakan

tenaga pantulan itu dia berjumpalitan di tengah udara untuk

kemudian melayang turun dengan amat ringannya.

Di daIam sekejap saja tubuhnya sudah mencapai permukaan

tanah, pada saat kakinya mencapai tanah itulah seperti

menggerakkan alat rahasia lainnya terdengarlah suara benturan

yang amat keras di bagian atasnya sebuah benda besi yang amat

berat sekali melayang turun menghajar kepalanya.

Ti Then menjadi amat terperanyat sepasang tangannya dengan

cepat diayunkan ke atas siap-siap menerima benda yang mau

menekan dirinya itu, siapa tahu pada jarak kurang lebih beberapa

depa di atasnya benda itu berhenti bergerak.

Dia menghembuskan napas lega, dengan perlahan kakinya mulai

bergerak ke samping sedang tangannya mulai meraba-raba,

terasalah di sekelilingnya Cuma ada terali besi yang amat kuatnya.

Sebuah…dua..tiga..empat buah..mendadak dia menjadi paham,

teriaknya dengan perasaan amat kaget:

“Celaka, kiranya aku dikurung di dalam sebuah sangkar besi.”

Cepat-cepat dia mencekal besi-besi itu kemudian dengan sekuat

tenaga ditarik-tariknya beberapa kali, walau pun sudah kerahkan

seluruh tenaganya keadaan masih tetap seperti semula, bukan saja

tidak cidera bahkan gemilang sedikit pun tidak.

Besarnya terali besi itu ada sebesar kepalan bocah cilik, sedang

luasnya tempat itu hanya cukup buat dia berdiri saja,..dia tahu

ternpat ini adalah sebuah kurungan besi yang amat kuat sekali.

Bagaimana sekarang ?

Si rase bumi Bun Jin Cu sebentar lagi tentu sudah sampai di sini ,

„ .

Mendadak ditengah kegelapan itu tertembuslah suatu sinar yang

amat terang sekali, sinar itu semakin lama semakin membesar,

dengan diikuti masuknya sinar terang terdengar juga suara cicitan

yang amat nyaring.

Sebuah pintu batu yang amat besar dengan perlahan-lahan

bergeser kearah sebelah kiri.

Ketika seluruh pintu batu itu sudah bergeser ke samping, sinar

terang memancar masuk memenuhi seluruh ruangan, dia bisa

melihat keadaan disekelilingnya dengan amat jelas sekali bahkan

melihat juga si rase bumi Bun Jin Cu yang berdiri di depan pintu.

Sedikit pun tidak salah, dia memang sudah terjerumus di dalam

sebuah

sangkar terbuat dari besi.

Pada tangan Bun Jin Cu menenteng sebuah lampu yang tahan

terhadap angin sedang wajahnya penuh dengan senyuman puas

sedang memandang dirinya, mendadak terlihatlah tangannya

menekan sebuah tomboI pada dinding di sampingnya kemudian

serunya sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Hey bangsat cilik, ayoh kemari.”

Sangkar dari besi itu dengan perlahan-lahan segera bergeser ke

depan dan terus bergerak sampai pada ujungnya yang persis ada di

hadapan dari dari si rase bumi Bun Jin Cu.

Bun Jin Cu segera meletakkan Iampu yang ada ditangannya ke

atas tanah kemudian sambil bertolak pinggang, ejeknya dengan

suara yang amat dingin.

“Bagaimana ? Hey bangsat, kau punya perkataan apa lagi ?”

“Tidak ada yang bisa dibicarakan lagi, sekarang aku sudah

terjatuh ke tanganmu, mau dibunuh mau disiksa sesukamu.”.

“Kau sudah bunuh suamiku, mencelakakan kami orang-orang

istana Thian Teh Kong sehingga berantakan, aku tidak akan

memberikan kematian yang terlalu cepat buat kamu orang, aku mau

menggunakan bermacam-macam cara siksaan untuk menyiksa

kamu, aku mau membuat kau binasa perlahan-lahan, binasa

sepotong demi sepotong”

“Apa itu binasa secara perlahan-Iahan, binasa sepotong demi

sepotong?” tanya Ti Then sambil tertawa pahit.

“Nanti kau akan tahu dengan sendirinya.”

“Besok lusa Wi Pocu sudah sampai di sini, jika kau mau

menghukum mati diriku lebih baik cepat sedikit.”

“Hmmm..” dengus Bun Jin Cu dengan amat dinginnya, “Kau

masih mengharapkan ada orang yang dating menolongmu keluar

dari sini?”

“Bilamana Wi Pocu tahu kalau aku sudah kau tawan sudah tentu

akan berusaha untuk menolong aku.”

“Betul!” seru si rase bumi Bun Jin Cu sambil tertawa dingin,

“Tetapi selamanya dia tidak akan berhasil.”

“Hee..soal ini lebih baik kita tunggu saja di kemudian hari.”

Bun Jin Cu tidak berbicara lagi, pada sebuah tempat di atas

dinding dia menekan lagi sebuah tombol alat rahasia, setelah itu

dengan tenangnya dia meninggalkan tempat tersebut.

Semula Ti Then menganggap tentunya dia akan menggerakkan

alat rahasia untuk mengembalikan sangkar besinya ketempat

semula, tetapi segera dia merasa keadaan sedikit tidak beres karena

begitu dia menekan tombol tersebut sangkar besi dimana dia berada

bukannya mundur ke belakang melainkan meluncur kembali ke

bawah,

Kurang lebih sesudah menurun sejauh tiga empat depa dalamnya

mendadak permukaan sangkar besi itu sudah terendam di dalam air

yang sangat dingin, kiranya di bawah permukaan tanah itu

merupakan sebuah kolam air yang sangat dingin.

Sangkar besi itu meluncur turun terus ke bawah sehingga air

yang merendam badan Ti Then setinggi lehernya, dalam hati dia

benar-benar merasa berdesir pikirnya:

“Oooh…Thian, sebetulnya dia mau berbuat apa terhadap diriku

dengan merendam badanku ke dalam kolam?? mau

menenggelamkan badanku ataukah agar badanku menjadi hancur

?”

Kelihatannya dia punya maksud untuk menenggelamkan seluruh

badannya, karena ketika air sudah mencapai pada lehernya sangkar

besi itu masih terus meluncur ke bawah sehingga seketika itu juga

air kolam melampaui kepalanya.

Dengan tergesa-gesa dia merambat naik ke atas sangkar besi itu

untuk menongolkan kepalanya ke atas permukaan air, siapa tahu

sangkar besi itu tidak berhenti sampai di situ saja akhirnya sangkar

besi itu berhenti pada dasar kolam.

Kini dia terkurung di dalam sangkar, untuk keluar sudah tidak

mungkin lagi karena seluruh tubuhnya sudah terkurung di dalam air

sedang pernapasannya pun mulai terasa amat sesak.

Seperti seekor tikus yang terjatuh ke dalam air dengan gugup dia

bergerak ke sana kemari berusaha membuka penutup dari sangkar

besi itu, tetapi walau pun dia sudah berusaha dengan menggunakan

seluruh

tenaga dalamnya tetap tidak memperoleh hasil yang diinginkan,

beberapa waktu kemudian dia mulai terasa napasnla habis, tanpa

bisa dicegah lagi dia mulai membuka mulutnya meneguk air kolam

itu.

Satu detik kemudian dia tidak bisa bergerak lagi, tubuhnya

dengan amat tenangnya menggeletak pada dasar kolam ..jatuh

tidak sadarkan diri.

XXX

Waktu itu Wi Lian In sedang menunggu di bawah pohon dengan

amat tenangnya, dia rnerasakan hatinya amat kesepian tetapi

sedikit pun tidak merasa kuatir atas keselamatan dari Ti Then,

karena dia percaya dengan kepandaian silat yang dimiliki Ti Then

sekarang ini dia masih sanggup untuk menghadapi segala mara

bahaya.

Sepasang tangannya dipangku di depan dadanya sedang

kepalanya didongakkan memandang rembulan yang terpancang

ditengah awan, pada benaknya terbayang kembali berbagai

pemandangan indah semasa lalu, terbayang olehnya juga keadaan

sewaktu benteng Pek Kiam Po mengadakan perayaan buat

perkawinannya dengan Ti Then, bagaimana para tamu pada

berdatangan untuk memberi selamat sehingga seluruh Benteng

penuh sesak, ayahnya dengan senyum manis menarik tangannya Ti

Then untuk dikenalkan pada tamunya satu persatu…

Mendadak segulung awan gelap menutupi cahaya rembulan

membuat cuaca menjadi sangat gelap, seketika itu juga dia menjadi

sadar kembali dari lamunannya.

Pada saat itulah mendadak dia merasakan seseorang dengan

perlahan lahan mendekati badannya, dalam hati diam-diam dia

merasa sangat girang pikirnya.

“Tentu dia sudah kembali, tentu dia sudah datang. Hmmmm,dia

mau memeluk aku dari belakang agar aku menjadi kaget.”

Karena itu dia tidak bergerak lagi, dengan pura-pura tidak tahu

dia tetap berpangku tangan duduk di sana.

Perasaannya sedikit pun tidak salah, di belakang badannya

memang benar-benar ada seseorang yang mulai berjalan mendekati

badannya, cuma saja orang itu bukan Ti Then melainkan adalah

seorang yang berkerudung hitam.

Orang berkerudung hitam ini bukanlah orang yang sudah

melarikan diri sewaktu ada di perkam pungan Thay Peng Cung

melainkan orang lain.

Tubuhnya tinggi bahkan kelihatan gemuk sekali, sepasang

matanya memancarkan sinar yang amat tajam, jika dilihat dari

gerak-geriknya jelas sekali kepandaian silatnya berada jauh di atas

kedua orang berkerudung hitam yang melarikan diri dari perkam

pungan Thay Peng Cung tempo hari itu.

Dengan perlahan-lahan dia menggeserkan badannya mendekati

Wi Lian In yang sedang duduk terpekur, agaknya dia punya

maksud untuk menawan diri Wi Lian In secara tiba-tiba.

Akhirnya dia sudah mencapai pada kurang lebih tiga depa dari

diri Wi Lian In.

Tampak tangan kanannya dengan perlahan-lahan diangkat ke

atas sehingga terlihatlah lima jarinya yang seperti kuku garuda,

dengan perlahan dia mulai mendekat tubuh Wi Lian In dan

mengancam jalan darah Cian Cing Hiat-nya.

Pada saat yang bersamaan pula mendadak Wi Lian In putar

badannya menubruk kearah sepasang kaki dari ‘Ti Then’ sambil

serunya genit.

“Haa….haaa..mau menggoda aku yaah?”

Orang berkerudung itu sama sekali tidak menyangka dia bisa

melancarkan serangan ini dengan cepat sepasang kakinya menutul

permukaan tanah kemudian meloncat mundur sejauh tujuh delapan

kaki dari tempat semula.

Ketika Wi Lian In melihat orang itu bukanlah Ti Then dalam hati

juga merasa terperanyat, dengan gugup dia meloncat bangun

kemudian teriaknya.

“Siapa kau?”

Walau pun di dalam keadaan terperanyat dan gugup tetapi dia

bisa melihat kalau pihak lawannya bukanlah anak buah dari si rase

bumi Bun Jin Cu (Karena anak buah dari si rase bumi Bun Jin Cu

tidak perlu menggunakan kain kerudung segala), juga dia tahu

orang ini bukanlah orang berkerudung hitam yang melarikan diri

tempo hari sewaktu ada di dalam perkam pungan Thay Peng Cung.

Ketika orang berkerudung hitam itu mendengar perkataannya

ditambah lagi melihat perubahan wajahnya yang amat terperanyat

bercampur gugup segera tahu kalau tadi dia sudah salah

menganggap dirinya sebagai Ti Then, tanpa terasa lagi dia tertawa

terbahak-bahak.

“Kau kira aku siapa? Kekasihmu Ti Then? He..hee…”

Wi Lian In benar-benar merasa malu, gusar bercampur kaget,

segera dia maju satu langkah ke depan, kemudian bentaknya

dengan nyaring:

“Siapa kamu orang?”

Orang berkerudung hitam itu tetap tidak bergerak, dia hanya

tertawa dingin tak henti-hentinya.

“Aku datang khusus hendak menyampaikan sebuah kabar buruk,

kekasihmu Ti Then sudah binasa di dalam istana Thian Teh Kong.”

Wi Lian In benar-benar merasakan hatinya tergetar sangat keras

sekali, air mukanya berubah menjadi pucat pasi sedang suaranya

pun rada gernetar.

“Kau . . . kau orang dari istana Thian Teh Kong?”

“Tidak salah” jawab orang berkerudung hitam itu mengangguk.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 21.1 : Wi Lian In juga terjebak

Walau pun dalam hati Wi Lian In merasa amat terperanyat,

tetapi dengan perasaan curiga tanyanya pula

“ Bilamana kau anak buah dari istana Thian Teh Kong kenapa

mukamu kau tutupi dengan kain kerudung?”

“Hee ?. hee .. karena akulah majikan yang baru dari istana Thian

Teh Kong”

“Hmmmm” Dengus Wi Lian In dengan amat dingin. “Kecuali Si

rase bumi Bun Jin Cu sudah modar, kalau tidak dari istana Thian

Teh Kong tidak akan muncul pemimpin baru. ”

“Ha..ha.. kau bodoh, bodoh amat, sekarang si rase bumi Bun Jin

Cu kan sudah menjadi istriku. “

Mendengar perkataan ini Wi Lian In semakin terperanyat,

pikirnya:

“ Jikalau si rase bumi Bun Jin Cu itu benar-benar sudah

mendapatkan seorang suami yang baru maka sebagai pemimpin

baru dia mem punyai cara berpikir yang berbeda pula, dia memang

mirip sekali dengan lagak seorang pemimpin. “

“Omong kosong “ Teriaknya kemudian sembari berusaha

menenangkan pikirannya. “Bun Jin Cu baru saja kehilangan

suaminya, dia tidak mungkin mau mencari suami yang baru sebelum

suaminya dikubur satu bulan lamanya”

“Tetapi dia mau tidak mau terpaksa harus berbuat demikian “

sahut lelaki berbaju hitam yang berkerudung itu, “Karena dia sangat

memerlukan bantuan dari seorang suami untuk menyelesaikan

pekerjaannya pada esok hari. “

Wi Lian In segera merasa perkataannya ini beralasan juga,

seketika itu juga kepercayaannya terhadap “Kematian” Ti Then pun

menjadi bertambah tebal beberapa bagian hatinya terasa semakin

terkejut lagi.

“Kau jangan omong sembarang di sini.” Bentaknya dengan

teramat gusar. “Kau tahu bagaimana macam Ti Kiauw tauw kami?

dengan mengandalkan kepandaianmu yang seperti monyet

kepanasan jangan harap bisa melukai dirinya.”

“Kau tidak tahu siapakah aku yang sebetulnya, bagaimana bisa

tahu pula kalau aku tidak sanggup untuk melukainya?” Balas seru

lelaki berbaju hitam yang berkerudung itu sembari tertawa dingin.

“Aku tidak mau perduli siapa kau orang” teriak Wi Lian ln dengan

amat gusarnya, “Di dalam Bu lim pada saat ini kecuali si kakek

pemalas seorang jangan harap bisa menemukan orang yang bisa

mencelakai jiwanya. “

“Heee .. . heee …. aku bisa anggap perkataanmu itu sedikit pun

tidak salah tetapi alat-alat rahasia yang dipasang di dalam istana

Thian Teh Kong kami sudah cukup untuk menghancur lumurkan

seluruh isi badannya”

Wi Lian In pun tahu bagaimana hebat serta dahsyatnya a!at-alat

rahasia yang dipasang di dalam istana Thian Teh Kong,

kepercayaannya kali ini semakin bertambah beberapa bagian lagi.

Di dalam keadaan yang amat sedih bercampur gusar dia segera

membentak keras, tubuhnya sambil menubruk maju ke depan

teriaknya

“Aku akan adu jiwa dengan kau orang”

Sepasang tangannya dipentangkan di tengah udara, jari-jari

tangannya ditegangkan bagaikan baja lalu melancarkan serangan

dahsyat mencukil kearah sepasang mata pihak lawan.

Lelaki berkerudung itu segera tertawa panjang, telapak

tangannya dengan gaya “ Tong Ci Pay Kwan Im” atau bocah cilik

menyembah dewi Kwan Im menyambut datangnya serangan

tersebut, bersamaan pula kaki kanannya diangkat melancarkan

tendangan kilat menghajar lambungnya.

Ketika Wi Llan ln melihat serangan yang dilancarkan pihak lawan

ternyata tidak jelek dia tidak berani berlaku gegabah lagi, tubuhnya

dengan amat cepat miring ke samping sepasang telapak tangannya

dengan amat cepat membabat kearah kaki kanan pihak Jawan yang

menendang dirinya.

Telapak kiri lelaki berkerudung itu cepat cepat menyambar ke

samping. “Plaak.” dengan keras lawan keras dia tangkis datangnya

serangan dari Wi Lian In itu.

Wi Lian In segera merasakan tangannya seperti terbentur dengan

baja yang amat kuat, telapak tangan kanannya terasa amat sakit

sekali sehingga tak kuasa lagi tubuhnya tergetar mundur dua

langkah ke belakang.

Dengan pertempuran ini masing-masing pihak sudah merasa

amat jelas bagaimana kehebatan ilmu silat lawannya, jelas di dalam

hal tenaga dalam lelaki berkerudung itu jauh lebih tinggi beberapa

tingkat dari diri Wi Lian In.

Wi Lian In yang melihat tenaga dalam dirinya tidak sanggup

memenangkan pihak lawan cara bertempurnya segera berubah,

serangan-serangan yang dilancarkan banyak kosong dari pada nyata

dia tidak ingin menyambut datangnya serangan pihak lawan

denganke ras lawan keras kembali.

Dari ayahnya dia pernah belajar sebuah ilmu telapak yang khusus

ditujukan untuk melawan pihak musuh yang memiliki tenaga dalam

jauh Jebih tinggi dari dirinya, ilmu tersebut disebut sebagai ilmu

telapak “Lok Hoa Ciang” atau ilmu bunga berguguran, segera tanpa

berpikir panjang lagi dia mengeluarkan seluruh jurus dari ilmu

telapak bunga berguguran untuk menyambut datangnya serangan

dari pihak musuh.

Untuk beberapa saat lamanya lelaki berkerudung itu segera

terdesak mundur terus oleh keampuhan dari ilmu telapak itu, tetapi

semakin lama akhirnya dia berhasil juga mengetahui kunci

kelemahan dari ilmu telapak bunga berguguran itu, di dalam

sepuluh jurus kemudian dia sudah berhasil memunahkan seluruh

serangan pihak lawan di atas angin kembali.

Wi Lian ln yang hatinya bercabang karena memikirkan

keselamatan dari Ti Then membuat perhatiannya pun menjadi tidak

tercurahkan di dalam pertempuran ini, ketika diiihatnya ilmu telapak

bunga berguguran sudah digunakan habis tetapi masih belum juga

berbasil mendapatkan kemenangan hatinya terasa semakin

bertambah kacau, serangan yang dilancarkan menjadi kacau balau

sehingga berturut turut dia terdesak mundur terus oleh serangan

musuh.

Lelaki berkerudung itu tidak mau melepaskan barang satu detik

pun, dia terus menerus melancarkan serangan gencar mendesak

mundur Wi Lian In sedangkan mulutnya memperdengarkan suara

tertawanya yang amat menyeramkan.

“Heee ..hee , , budak liar-“ ejeknya dingin. “Jikalau kau orang

mau menemukan mayat kekasihmu lebih baik serahkan saja kau

orang tanpa melawan, aku segera akan membawa kau naik ke atas

gunung untuk menemuinya “

Baru saja dia orang habis berkata mendadak wajah Wi Lian In

berubah sangat girang sekali, teriaknya dengan cemas.

“ Aaaah.. „ Ti Kiauw tauw sudah datang “

“ Haaa ,, haa , mayatnya pun sudah mulai dingin” seru lelaki

berkerudung itu sambil tertawa terbahak-bahak. “Kau jangan ngibul

tidak karuan, dia orang tidak akan bisa muncul kembali di sini hee,,

hee, kau mengharapkan dia orang bisa datang menolong dirimu?

mimpi, hii, hii, kau orang sedang mimpi di siang hari bolong”

Wi Lian In yang melibat dia orang sama sekali tidak dibuat takut

oleh gertakannya ini dalam hati semakin percaya lagi kalau Ti Then

sudah binasa di dalam istana Thian Teh Kong, saking sedih hatinya

permainan siiatnya pun menjadi bertambah kacau balau.

Melihat kesempatan yang amat baik lelaki berkerudung itu

dengan cepat maju melancarkan titiran serangan gencar mendadak

kakinya menyapu kearah kaki Wi Lian In dengan cepatnya sembari

membentak keras

“ Kau rubuhlah.”

Wi Lian ln tidak sempat menghindarkan diri lagi, kakinya terkena

sapuan tersebut dengan amat cepatnya.

“Bruuuk.” Tubuhnya dengan amat keras terbanting ke atas tanah

tidak bisa berkutik lagi.

Lelaki berkerudung itu segera tertawa terbahak-bahak, jari

tangannya dengan kecepatan bagaikan kilat melancarkan serangan

totokan ketubuh Wi Lian In.

Mendadak . . . .

“Lian In kau jangan gugup, aku datang” Suara seseorang yang

amat berat secara tiba-tiba berkumandang keluar dari dalam sebuah

hutan yang amat lebat.

Jika didengar dari nada suaranya orang itu mirip sekali dengan

diri Ti Then.

Seluruh tubuh lelaki berkerudung itu terasa bergetar dengan

amat kerasnya jelas sekali dia benar-benar merasa terperanyat.

Tanpa memperdulikan lagi diri Wi Lian ln yang menggeletak di

atas tanah dengan cepat tubuhnya meloncat ke atas pohon

kemudian berlalu dengan terbirit-birit.

Wi Lian ln benar-benar dibuat teramat girang, cepat-cepat dia

meloncat bangun lalu berseru dengan keras.

“Then ko, apa betul kau orang yang datang?”

Terdengar suara ujung baju yang tersampok angin berderu

mendatang, mendadak di depan tubuhnya berkelebat datang

sesosok bayangan manusia.Tetapi orang itu bukanlah Ti Then,

melainkan seorang pendekar berusia pertengahan.

Wajah pendekar berusia pertengahan ini cukup tampan,

pakaiannya merupakan sebuah jubah enghiong yang bersulamkan

seekor naga dari emas pada pinggangnya tersoren sebilah pedang,

sedang pada ujung pedang tergantunglah sebuah kain yang

berwarna merah.

“Kau, Suma suko” seru Wi Lian In agak tertegun dengan

membelalakkan matanya.

Kiranya pendekar berusia pertengahan ini bukan lain adalah salah

satu pendekar pedang merah dari Benteng Pek Kiam Po yang

bergelar “Mo lm Kiam Khek” Suma San Ho adanya.

Begitu tubuh si Mo Im Kiam Khek-Suma Sin Ho. melayang turun

ke atas permukaan tanah dengan cepat dia melintangkan

padangnya di depan dada. matanya menyapu sekejap ke empat

penjuru lalu ujarnya dengan cemas.

“Sumoay- di mana musuhnya? “

Dalam hati Wi Lian In merasa sangat kecewa sekali karena orang

yang datang bukanlah diri Ti Then, tetapi dalam hati dia pun merasa

amat terkejut bercampur heran karena dia sama sekali tidak

menyangka di dalam keadaan yang sangat berbahaya pendekar

pedang merah ini bisa tepat munculkan dirinya di sana, dengan

pandangan termangu mangu dia orang memperhatikan diri Suma

San Ho.

“Suma Suko. bagaimana kau orang bisa sampai di sini? “

Bukannya memberi jawaban dia malah balik bertanya.

“Ie heng tahu besok pagi Wi Pocu ada janyi dengan pihak istana

Thian Teh Kong- karenanya aku bermaksud malam ini mengadakan

penyelidikan dulu terhadap situasi pihak musuh karena itu aku

sengaja datang ketempat sini. tadi aku dengar kau berteriak Ti

Kiauw Tauw sudah datang,…. .sebenarnya sudah terjadi urusan

apa??? Ti Then sudah pergi kemana??? siapakah orang yang sudah

menyerang dirimu tadi ??? “

Mendengar pertanyaan itu tak tertahan lagi titik-titik air mata

mengucur keluar dengan derasnya membasahi seluruh wajah Wi

Lian ln.

“ Ti Kiauw tauw sudah binasa.” ujarnya sembari menangis

terisak-isak.

“Sungguh?” Teriak Suma San Ho dengan amat terkejut. “Jadi

yang dimaksud sebagai mayat pun sudah mendingin olteh orang itu

adalah diri Ti Kiauw tauw.”

“ Benar.” Sahut Wi Lian In mengangguk, suara tangisannya

semakin lama semakin keras. “Dia bilang Ti Kiauw Tauw sudah

terjebak oleh alat rahasia dan kini sudah meninggal“

“Lalu siapakah orang itu?” Tanya Suma San Ho dengan semakin

cemas lagi.

“ Seorang lelaki yang berkerudung, dia menyebut dirinya sebagai

suami si rase bumi Bun Jin Cu yang baru, pemimpin baru dari istana

Thian Teh Kong.”

“Tetapi aku rasa hal ini tidak mungkin” Seru Suma San Ho kaget.

“Aku pun merasa demikian, si rase bumi Bun Jin Cu tidak

mungkin mau kawin lagi dengan begitu cepat, – tetapi perkataan

dari lelaki berkerudung itu sangat beralasan sekali, dia bilang Bun

Jin Cu sangat membutuhkan seorang suami untuk menggantikan

ayahku, perkataan ini …”

“Perkataan ini tidak dipercaya.” Potong Suma San Ho dengan

cepat.

Wi Lian In menjadi melengak.

“Kenapa tidak boleh dipercaya? Bun Jin Cu memang seharusnya

membutuhkan seorang yang memiliki kepandaian silat amat tinggi

untuk membantu dia orang menghadapi musuh-musuhnya untuk

memenangkan pertempuran esok pagi dia seharusnya

mengorbankan semuanya demi tercapainya cita-cita ini,”

“Tidak benar, tidak benar” ujar Suma San Ho sambil gelengkan

kepalanya berulang kali. “Berita yang le heng dapatkan sama sekali

tidak ada yang menganggap soal Bun Jin Cu sudah kawin lagi”

“Kau sudah memperoleh berita apa? “ tanya Wi Lian In

melengak.

“ Kemarin sore le heng mendengar banyak orang yang berbicara

katanya orang-orang pihak istana Thian Teh Kong sudah pada

menghianati diri Bun Jin Cu, katanya karena mereka melihat si

anying langit Kong Sun Yau sudah modar dan mengetahui juga

perjanyiannya dengan Wi Po cu esok hari mereka segera merasakan

kalau pemimpin mereka tidak akan sanggup mengalahkan orangorang

benteng Pek Kiam Po karenanya bersama sama mereka

sudah berkhianat dan melarikan diri turun gunung sesudah

merampok seluruh kekayaan yang ada di dalam istana , . . apakah

kalian tidak pernah mendengar adanya berita ini?”

“Tidak pernah, apakah sungguh hal ini sudah terjadi?” tanya Wi

Lian ln terkejut.

“Kemungkinan besar hal ini sudah terjadi, karena di tengah

perjalanan le-heng sudah menemui beberapa orang anggota istana

Thian Teh Kong ketika mereka melihat diri le-heng ternyata sudah

pada berlarian menyauhi diriku tanpa berani memberikan

perlawanannya “

“Jika hal ini benar-benar sudah terjadi maka lelaki berkerudung

tadi pasti bukanlah suami yang baru dari si rase bumi Bun Jin Cu”

seru Wi Lian In mendadak, “karena jika Bun Jin Cu mau kawin dia

tentu mencari seorang yang memiliki kepandaian silat amat lihay,

jikalau dia sudah mem punyai seorang suami yang memiliki

kepandaian silat amat lihay anak buahnya sudah tentu tidak akan

menghianati dirinya lagi, bukan begitu? “

“Kapan kau serta Ti Kiauw-tauw tiba di sini ?”

“Sebelum malam hari sudah tiba di sini, Ti Kiauw-tauw bilang

mau naik ke gunung untuk menyelidiki jejak musuh di dalam istana

Thian Teh Kong dan menyuruhi aku menunggu di sini, aku sudah

menunggu dua jam lamanya mendadak muncul lelaki berkerudung

itu, kepandaian silatnya sangat lihay sekali aku tidak bisa

mengalahkan dia “

“Tetapi.. “ ujar Suma San Ho kemudian sambil mengerutkan

keningnya setelah berpikir sejenak. “Jika dia orang bukan orang

pihak istana Thian Teh Kong lalu mengapa sudah turun tangan

membokong dirimu ? maka , . .”

“Aaaah … sekarang aku baru tahu” tiba-tiba teriak Wi Lian In

dengan keras. “Dia tentunya pemimpin dari tiga orang berkerudung

yang terdahulu, dia bukan lain tentu yang sudah melakukan jual beli

dengan Hu Pocu kita.”

Suma San Ho yang mendengar perkataan ini segera dibuat

menjadi bingung, sambil mengucak-ucak matanya dia bertanya:

“Siapakah ketiga orang berkerudung itu? siapa yang sudah

mengadakan jual beli dengan Hu Pocu kita ?”

Persoalan ini jika diceritakan amat panjang sekali, lebih baik kita

pergi memecahkan teka teki mati hidupnya Ti Kiauw tauw serta

keadaan dari istana Thian Teh Kong dulu, lalu aku baru

menceritakam seluruh persoalan kepadamu”

“Baiklah” jawab Suma San Ho mengangguk. “Tetapi le heng

percaya Ti Kiauw tauw belum menemui bencana, dia pasti masih

hidup “

Mendengar perkataan ini Wi Lian In menjadi amat girang,

tanyanya,

“Dengan berdasarkan apa kau berani memastikan, kalau Ti Kiauw

tauw belum menemui bencana?“

Suma San Ho segera tersenyum.

“Tadi secara mendadak kau berteriak “Ti Kiauw tauw sudah

datang” apakah sengaja sedang memancing jawaban dari pihak

lawan? “

“Benar, tetapi bangsat itu sama sekali tidak dibuat kaget oleh

perkataanku itu, bahkan sebaliknya malah tertawa terbahak bahak,

dia bilang mayat dari Ti Kiauwtauw sudah mendingin maka aku jadi

merasa sangat kuatir terhadap keselamatan Ti Kiauw tauw”

“ Ti Kiauw tauw sudah pergi selama dua jam lamanya dan belum

kembali juga, kemungkinan sekali dia memang sudah terjatuh ke

tangan si rase bumi Bun Jin Cu tetapi dia pasti belum menemui

kematiannya alasannya, pertama: Besok pagi Bun Jin Cu akan

mengadakan pertempuran melawan Wi Pocu jikalau malam ini dia

berhasil menawan diri Ti Kiauw tauw maka dia tidak akan cepatcepat

penghukum mati dirinya sebaliknya menahan dirinya untuk

menguasahi Wi Po cu pada keesokan harinya. Kedua : tadi aku

sewaktu Ie-heng menirukan nada suara dari Ti Kiauw tauw dengan

berkata “Aku datang” lelaki berkerudung itu cepat-cepat melarikan

diri dari sini, hal ini berarti juga kalau Ti Kiauw tauw belum mati, jika

dia sudah mati mengapa lelaki berkerudung itu segera melarikan diri

sesudah mendengar suaranya?“

“Benar, benar sekali“ Seru Wi Lian In dengan amat girang. “

Tetapi lebih baik kita menyeiidiki urusan ini sampai jelas terlebih

dulu . „ , ayoh jalan“

Wi Lian In dengan cepat berlari menuju ke atas gunung, Suma

San Ho pun mengikuti dari belakangnya sambil berlari tanyanya

dengan suara keras,

“ Sumoay, apakah Pocu tidak berjalan bersama-sama dengan

kalian ?”

“Tidak, Tia berangkat dulu satu hari sebelum kita berangkat,

katanya

dia mau menawan diri Hong Mong Ling. Ooooh benar, aku mau

memberitahukan satu hal kepadamu, itu bangsat yang tidak tahu

malu Hong Mong Ling sudah menemui ajalnya.”

“Aaaah??? dia mati di tangan siapa?” tanya Suma San Ho

tertegun.

“Dia sudah dibinasakan oleh lelaki berkerudung tadi. aku percaya

orang berkerudung tadi pastilah orang yang sudah melakukan jual

beli dengan Hu Pocu kita.”

“Sebetulnya sudah terjadi urusan apa?”

“Baiklah aku sekarang juga menceritakan urusan ini kepadamu,

sebenarnya urusan adalah begini, setelah aku serta Ti Kiauw tauw

meninggalkan benteng karena waktu itu masih ada dua puluh hari

lamanya dengan waktu perjanyian dengan Bun Jin Cu maka Ti

Kiauw tauw mengajak aku berpesiar kegunung Kim Teng San . . .”

“Kim Teng San?” sela Suma San Ho terperanyat. “Bukankah

gunung Kim Teng San merupakan tempat kediaman dari si kakek

pemalas Kay Kong Beng, kalian sudah bertemu dengan dia orang? “

“Sebenarnya kami tidak bermaksud untuk menemui Kay Kong

Beng itu tetapi sesampainya di atas gunung Kim Teng San karena

tidak ada tempat indah yang bisa dinikmati maka kami mengambil

keputusan untuk pergi ke rumah kediaman Kay Kong Beng.

Siapa sangka sewaktu tiba di depan gua tempat tinggal Kay Kong

Beng di atas puncak gunung Kim Teng San ternyata kami sudah

menemukan itu bangsat cilik Hong Mong Ling sedang berlutut di

depan gua memohon Kay Kong Beng untuk menerimanya sebagai

murid..”

Sewaktu dia menyelesaikan ceritanya mereka berdua sudah tiba

di punggung gunung, yaitu tepat di depan kuil yang sudah terbakar

hangus itu.

Melihat asap yang masih mengepul di antara tumpukan puingpuing

tak terasa lagi Suma San Ho sudah berkata.

“Kelihatannya berita yang tersiar dalam dunia kang ouw adalah

sungguh-sungguh terjadi, istana Thian Teh Kong agaknya memang

benar-benar sudah menemui pengkhianatan”

“Tidak tahu bagaimana dengan keadaan istana Thian Teh Kongnya

sendiri?” ujar Wi Lian In sambil memandang ke tempat

kejauhan. “Jikalau di sana pun sudah terbakar musnah hal ini

berarti juga Ti Kiauw-tauw tidak mungkin sudah terjebak di dalam

alat rahasia yang dipasang di dalamnya.

“Benar” jawab Suma San Ho mengiakan. “Kemungkinan sekali

istana Thian Teh Kong belum sampai terbakar musnah, jikalau

sudah hancur lebur mana mungkin Bun Jin Cu tetap berdiam

ditempat ini ? Ti Kiauw tauw pun tidak mungkin pergi sedemikian

lamanya.”

Seketika itu juga Wi Lian ln merasakan hatinya mulai murung

kembali, tanyanya dengan amat cemas :

“Jarak dari sini ke istana Thian Teh Kong masih seberapa jauh?”

“Tidak terlalu jauh lagi, mari ikuti diriku”

Dengan dipimpin oleh Suma San Ho mereka berdua segera

melakukan perjalanan kembali ke depan, setelah melewati sebuah

tebing yang terjal mendadak Suma San Ho menghentikan

langkahnya, ujarnya dengan suara perlahan sambil menuding

kearah sebuah bayangan hitam di atas gunung yang ada

diseberangnya.

“Coba kau lihat, itulah istana Thian-Teh Kong”

Saat ini pagi hari sudah mulai mendekat, sinar rembulan telah

lenyap dari udara membuat suasana di sekeliling tempat itu amat

gelap sekali, ditengah kegelapan cuma terlihat sedikit sinar lampu

yang memancarkan keluar dari dalam istana Thian Teh Kong

ditempat kejauhan, keadaan pada saat itu amat menyeramkan

sekali.

“Kau lihat bagaimana?” tiba-tiba bisik Wi Lian ln dengan suara

perlahan.

“ Selama di dalam perjalanan menuju ke tempat ini sama sekali

kita tidak menemukan kaum perampok yang berjaga-jaga di sekitar

tempat ini, jelas sekali istana Thian Teh Kong sudah menemui

bencana tetapi jika ditinyau dari keadaan ini agaknya istana Thian

Teh Kong itu sama sekali tidak menemui cedera, sudah tentu Bun

Jin Cu pun masih ada di sana..”

“Jika demikian tidak salah lagi Ti Kiauw tauw pasti sudah

tertawan olehnya” sambung Wi Lian In dengan hati yang berdebardebar

keras.

“Ehmmm..coba kau lihat baiknya kita masuk ke dalam istana

sekarang juga atau menanti sesudah terang tanah?”

“Sudah tentu sekarang juga,”

“Tetapi suasana di dalam istana itu amat gelap sekali “ seru

Suma San Ho ragu-ragu, “ apalagi kita pun tidak tahu bagaimana

keadaan di dalam istana tersebut, jikalau sampai terjebak oleh alat

rahasia mereka . . .”

“Jika kau tidak berani masuk tunggulah di tempat ini saja biar

aku masuk seorang diri” Potong Wi Lian In cepat.

Tubuhnya dengan cepat melayang ke arah istana Thian Teh Kong

itu.

Dengan terburu-buru Suma San Ho memburu ke depan.

“Nona Wi kau jangan salah paham” ujarnya dengan suara yang

amat lirih, bukannya nyali le-heng kecil tetapi aku rasa kita harus

bekerja dengan berhati-hati”

Saat ini Wi Lian In cuma ada satu tujuan saja di dalam hatinya

yaitu mengetahui keadaan yang sebenarnya dari Ti Then terhadap

keselamatan dirinya sendiri sama sekali dia tidak mengambil pikiran

lagi, mendengar perkataan itu dia segera tertawa dingin.

“Setelah kita tiba di istana Thian Teh Kong asal jangan masuk ke

dalam rumah bukankah alat-alat rahasia itu sama sekali tidak bisa

mengapa-apakan diri kita?”

“Sekali pun begitu lebih baik kita sedikit berhati-hati “ ujar Suma

San Ho perlahan, “Kemungkinan sekali masih banyak orang yang

tidak menghianati diri Bun Jin Cu.”

Wi Lian In tidak berbicara lagi, dengan beberapa kali loncatan dia

melayang turun di depan istana Thian Teh Kong itu.

Ketika dilihatnya terdapat banyak mayat-mayat yang

bergelimpangan di depan istana itu dia menjadi tertegun.

“liih „ . orang-orang ini apakah dibunuh mati oleh Ti Kiauw

tauw?”

Suma San Ho segera berjongkok memeriksa keadaan dari mayat

mayat tersebut lalu gelengkan kepalanya,

“Bukan, orang-orang ini sudah mati kurang lebih sudah mati satu

hari lamanya “

“Lalu siapa yang melakukannya? “ tanya Wi Lian In heran.

“Kemungkinan sekali dilakukan oleh Bun Jin Cu sendiri“

”Tidak salah “ Seru Wi Lian In menjadi panas kembali, “Dia

melihat orang orang ini pada mengkhianati dirinya sudah tentu

sangat marah sekali, karenanya dalam keadaan marah dia lalu turun

tangan kejam membinasakan mereka semua”

Dia berhenti sebentar untuk menyapu sekejap ke sekeliling

tempat itu, lalu tambahnya lagi.

“ Jika dilihat dari keadaan ini di dalam istana masih ada orang

lain tidak?”

“ Menurut apa yang le heng ketahui di antara anak buah si

anying langit rase bumi cuma ada dua orang saja yang tidak

mungkin mengkhianati diri mereka,”

“Siapa?” Tanya Wi Lian ln sambil memandang kearahnya dengan

tajam.

“Si menteri pintu serta Pembesar jendela. dua orang ini paling

setia terhadap si anying langit rase bumi, kini sekali pun si anying

langit sudah modar tetapi mereka tidak mungkin mau mengkhianati

diri Bun Jin Cu”

Mendengar disebutnya nama-nama itu Wi Lian ln segera tertawa

dingin.

“Jika cuma kedua orang ini saja kita tak perlu terlalu takut lagi,

kepandaian silat mereka aku orang sudah pernah menyajalnya, aku

kira tidak ada yang bisa dibanggakan”

Dia berjalan menuju ke samping sesosok mayat lalu memungut

sebilah pedang panjang.

“Ayoh jalan” ujarnya sambil berjalan menuju ke pintu depan,

“Kita lihat-lihat ke dalam”

Setelah mereka berdua keluar memasuki pintu depan, apa yang

dilihat keadaan di sana mirip sekali seperti yang ditemui Ti Then

semula di dalam istana penuh bergelimpangan mayat-mayat yang

kebanyakan kehilangan lengannya, kaki atau kepalanya, darah yang

mulai membeku berceceran di semua tempat membuat keadaannya

sangat mengerikan sekali.

Suma San Ho yang merupakan seorang pendekar yang memiliki

nama terkenal di dalam Bu lim entah sudah menemui berapa

banyak pertempuran yang ngeri tetapi ketika melihat suasana di

dalam istana itu tak terasa lagi dengan membelalakan matanya dia

menghela napas panjang.

“Sungguh tidak kusangka istana Thian Teh Kong yang sudah

memimpin kaum Liok-lim selama puluhan tahun lamanya kini sudah

mendapatkan akhir yang demikian mengenaskan“

“Bilamana pada hari biasa si anying langit serta rase bumi bisa

baik-baik menarik anggotanya sudah tentu tidak akan terjadi

pengkhianatan semacam ini “

Mereka berdua dengan melintangkan pedang di depan dada

melakukan pemeriksaan kembali di sekeliling tempat itu, ketika

dirasanya tak tampak sesosok manusia yang masih hidup dan

dengan segera mereka melanjutkan langkahnya masuk ke dalam

istana itu dan tiba di depan ruangan Khie Ie Tong tersebut.

Mendadak dari dalam ruangan Khie Ie Tong berkumandang

keluar suara rintihan yang amat lemah sekali.

Suara itu sepertinya dikeluarkan oleh seorang yang sudah

mendekati ajalnya, kedengarannya amat mengerikan sehingga

mendirikan bulu roma.

Wi Lian In serta Suma San Ho yang mendengar suara ini

bersama sama menjadi amat terkejut, cepat-cepat tubuhnya

membungkuk ke bawah dan pusatkan perhatiannya untuk

mendengar.

Beberapa saat kemudian terdengar Suma San Ho berbisik dengan

suara yang amat lirih kepada Wi Lian In :

“ Agaknya suara itu berasal dari seorang rampok muda“

“ Tapi aku rasa suara itu mirip sekali dengan suara Ti Kiauwtauw”

bantah Wi Lian In.

Air muka Suma San Ho segera berubah sangat hebat.

“ Oooooh . . . benar ?“

Wi Lian In segera pusatkan perhatiannya untuk mendengarkan

kembali suara itu beberapa saat lamanya, akhirnya dengan wajah

berubah amat hebat bisiknya:

“ Aaaah …. semakin didengar aku rasa semakin mirip “

“ Jika dia orang adalah Ti Kiauw-tauw bagaimana dia orang bisa

terluka di dalam ruangan Khie Ie Tong ini ?”

“Tentu sewaktu dia memasuki ruangan Khie Ie Tong ini untuk

mengadakan pemeriksaan sudah tersenggol alat rahasia dan

terhajar semacam senyata rahasia.”

“Tidak bisa jadi “ seru Suma San Ho mengemukakan kecurigaan

hatinya. “Jikalau Bun Jin Cu melihat dia sudah terluka tentu segera

menawan

dia orang untuk disimpan di dafam penyara, dia tidak mungkin

membiarkan dia orang berbaring di sana terus”

“ Tetapi jika Bun Jin Cu sudah meninggalkan istana Thian Teh

Kong ini?”

Sinar mata Suma San Ho segera berkelebat, akhirnya dia

mengangguk juga.

“Ehmmm tidak salah, kemungkinan sekali Bun Jin Cu sudah

meninggalkan

tempat ini…coba kau berteriaklah untuk lihat-lihat adakah reaksi

dari dalam ruangan”

Wi Lian In segera bangkit berlari dan berteriak ke arah ruangan

Khie Ie Tong itu,

“Hey . . di dalam ada orangkah ?

Dari tengah ruangan tersebut segera menyahut suara seorang

dengan nada terputus-putus.

“Lian. . In . . kau… kau ..ce . , . pat . . . daaa – ., datang .”

Kecuali Ti Then siapa orang lagi yang bisa memanggil dirinya

dengan sebutan Lian In?

Wi Lian In menjadi sangat girang sekali dia menoleh dan

menggape kearah Suma San Ho lalu bertindak menuju ke ruangan

Khie Ie Tong tersebut

“Tunggu dulu” cepat Suma San Ho menarik tangannya.

“Kenapa?“ teriak Wi Lian In dengan amat gusar.

Suma San Ho tidak ambil perduli terhadap dirinya yang merasa

kurang senang terhadap tindakannya ini, teriaknya keras :

“Ti Kiauw tauw, di dalam sana adakah alat rahasia ?”

“Kaaau .. . . kau .. kau siapa ?” Suara rintihan dari Ti Then

segera bergema kembali.

“Cayhe adalah Suma San Ho dari pendekar pedang merah “.

“Aiaa . . . aaaalat …. alat rahasia di sini – – – di si ni sudah ….

sudah berjalan . . . kaaa …. kalian cepat .. , cepat masuk . tolong . .

tolong . . aaaku . . – aku . – – aaa . “

“ Aku datang” Wi Lian In tidak bisa menahan golakan hatinya

dengan cepat dia berkelebat masuk ke dalam ruangan tersebut.

Suma San Ho yang melihat sumoaynya berlari masuk segera

mengikutinya dari belakang mereka berdua dengan cepat

menerjang masuk ke dalam ruangan Khie Ie Tong yang amat gelap

gulita itu.

Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak bisa melihat Ti Then

sebenarnya sudah terluka diarah sebelah mana, Wi Lian ln jadi

bingung serunya kembali,

“ Ti Kiauw iauw, kau berada di mana?“

Baru saja ucapannya selesai mendadak permukaan tanah yang

diinyak oleh mereka sudah membalik kearah dalam.

Seperti halnya dengan Ti Then mereka pun tidak punya

kesempatan untuk melarikan diri, bersama-sama tubuhnya meluncur

jatuh ke bawah.

Lalu seperti juga dengan Ti Then mereka berduaan terkurung di

dalam kerangkeng besi di bawah tanah itu.

Wi Lian In menjadi sangat terperanyat, teriaknya berulang kali

“Aduh celaka… kita kena tipu, kita kena tipu,”

Suma San Ho lalu mencabut keluar pedangnya dan membacok

kearah kurungan besi tersebut tetapi tidak berguna, besi terali itu

terbuat dari baja murni yang tidak mungkin bisa dihancurkan

dengan menggunakan pedang biasa, dia menjadi menghela napas

panjang.

“Sungguh jahanam sekali “ makinya dengan gusar. ”

“Semuanya adalah kesalahanku” ujar Wi Lian ln dengan wajah

sangat malu, “Aku sama sekali tidak mendengar kalau suaranya

ternyata palsu”

“ Heee, heee, semuanya dikarenakan kelihayan dari permainanku

untuk menirukan nada suara dari kekasihmu itu “

Dengan diiringi suara tertawanya yang kegirangan si rase bumi

Bun Jin Cu sudah muncul pada ujung kurungan besi itu.

Bersamaan dengan suara terbukanya pintu batu, pada ujung

dinding dengan perlahan-lahan terbuka ke samping, serentetan

sinar yang amat terang memancar masuk dalam ruangan.

Dengan wajah penuh senyuman Bun Jin Cu muncul di depan

pintu, lalu tangannya menekan tombol pada dinding, kurungan besi

itu dengan cepatnya sudah meluncur ke depan tubuhnya.

“Hii.. . . bii . penghasilanku malam ini sungguh bagus sekali “

ujarnya tertawa cekikikan, “Di dalam satu malaman aku sudah

berhasil memperoleh tiga ekor ikan besar “

Wi Lian In benar-benar dibuat sangat gusar sekali, kakinya

dengan cepat melancarkan tendangan dahsyat menghajar besi

kurungan tersebut. f

“Nenek bangsat” makinya dengan amat gusar “Kau sudah apakan

Ti Kiauw-tauw kami ?”

“Kau ingin cepat-cepat bertemu dengan dia bukan ?“ ejek Bun Jin

Cu tertawa.

Sudah tentu Wi Lian ln sangat mengharapkan bisa bertemu

dengan diri Ti Then untuk mengetahui mati hidupnya, tetapi dia

tidak memberikan jawabannya, sepasang matanya dengan amat

gusar melotot ke arahnya dia kepingin sekali menerjang keluar dari

kurungan lalu kirim satu bacokan membinasakan dirinya.

“Nona Wi” ujar Bun Jin Cu kembali sambil tertawa. “Aku tahu kau

sangat suka kepada dirinya, tetapi aku orang mau memberi nasehat

kepadamu lebih baik perasaan cintamu ini kau tarik kembali, karena

untuk hidupmu kali ini tidak mungkin bisa memperoleh jawabannya

lagi”

Wi Lian In ketika mendengar perkataan itu menjadi amat

terperanyat.

“Kau sudah mencelakai dirinya ?” Bentaknya dengan amat gusar.

“Apakah dia orang tidak seharusnya modar?” Balas tanya Bun Jin

Cu sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding tembok.

Wi Lian In benar-benar dibuat teramat gusar sambil

menggetarkan pedangnya dia menantang.

“Lepaskan aku keluar, aku mau menyagal kau nenek tua yang

jelek.”

Bun Jin Cu tenang-tenang saja seperti baru melihat harimau

betina yang sedang kalap dia tersenyum-senyum.

“Perkataan kau orang sungguh lucu sekali, mana mungkin aku

mau melepaskan dirimu hanya untuk membunuh diriku?”

“Mari kita adakan pertempuran yang menentukan mati hidup

kita, coba lihat kau yang mati atau aku yang hidup,” teriak Wi Lian

In kembali.

“Heee . . – hee .. , , aku tidak akan berbuat demikian,” ujar Bun

Jin Cu sambil gelengkan kepalanya,” Aku sudah berbasil menawan

dirimu, buat apa kau paksa aku untuk membuang tenaga dengan

percuma?“

“Perempuan cabul, nenek tua yang jelek, tidak aneh kalau anak

buahmu pada menghianati dirimu, kau.. . , , kau tidak cukup

bersikap sebagai pentolan perampok perempuan“

“Hiii ..- hiii . .,hiii . . . ayo maki, maki terus sepuas hatimu, nanti

aku mau suruh kau menangis terus.”

“Bun Jin Cu.” Tiba-tiba Suma San Ho menimbrung- “Kau punya

rencana menghukum kita dengan cara apa?”

“Kau tunggu saja nanti,”

“Heee … heee . , .aku mau peringatkan satu hal kepadamu” ujar

Suma San Ho kembali sambil tertawa dingin, “Pendekar pedang

merah dari Benteng Pek Kiam Po sudah pada kumpul di atas gunung

ini, jikalau kau kepingin hidup cepat lepaskan kita dari sini”

Mendengar perkataan tersebut Bun Jin Cu segera angkat

kepalanya tertawa terbahak bahak.

“Pendekar pedang merah dari benteng Pek Kiam Po kalian itu

masing-masing macam apa? kini aku orang sudah berhasil menawan

nona Wi yang terhormat ini, sekali pun datang seratus orang Wi Ci

To aku pun tidak akan takut.”

“Tapi bilamana kami mati kau pun jangan harap bisa meloloskan

diri dengan selamat”

Bun Jin Cu tertawa semakin keras lagi.

“Perkataanmu ini kemungkinan sekali tidak salah, tetapi sejak

semula.

aku orang sudah tidak ingin hidup lebih lama lagi, ini hari aku

orang bisa menghukum mati Ti Then serta nona Wi ini sekali pun

pada kemudian hari harus binasa ditangan Wi Ci To sedikit pun aku

tidak merasa menyesal”

“Ti Kiauw-lauw sudah membinasakan suamimu, kalau kau orang

mau membalas dendam ini kami tidak bisa berkata apa-apa lagi,

tetapi Wi Sumoay kami ini tidak punya dendam apa-apa dengan

kau orang, kenapa kau pun ingin membinasakan dirinya?“

Bun Jin Cu segera tertawa, “Sewaktu ada dialas tebing Sian Ciang

dia sudah mengejek diriku, karena itu setelah aku orang membuat

dia merasakan penderitaan yang amat hebat lalu sekalian

membasminya dari muka bumi “

Wi Lian In segera menjerit keras, teriaknya

“Sekarang juga aku mau mengejek dirimu lagi, kau kehilangan

suamimu memang pantas, bagus sekali kematiannya ini namanya

takdir buat kau orang, tahu tidak perempuan cabul ?“

Air muka si rase bumi Bun Jin Cu berubah sangat hebat.

“Menteri pintu, pembesar jendela, kalian masuk kemari”

panggilnya dengan keras.

“Baik”.

JILID 21.2 : Pengkhianatan menteri pintu

Ditengah suara sahutan tampak dua orang berjalan masuk ke

dalam pintu dan muncul di belakang tubuh Bun Jin Cu.

“Bawa mereka ke dalam ruangan siksa” perintahnya kepada

kedua orang itu.

Selesai berkata dia berjalan meninggalkan tempat itu.

Ketika si menteri pintu melihat dia berlalu dari sana dari

wajahnya segera terlintas senyumannya yang amat seram, dengaa

perlahan dia ke ujung ruangan dan menekan sebuah tombol di

sana.

Dengan disertai suara gesekan yang amat keras kurungan besi

dimana Wi Lian In serta Suma San Ho berada dengan perlahan

mulai menurun ke bawah dan masuk ke dalam kolam air itu.

Atau dengan perkataan lain, mereka pun mendapatkan

penyambutan seperti yang dialami Ti Then.

Kurang lebih seperempat jam kemudian, menteri pintu baru

menekan tombol kembali untuk mengerek naik kurungan besi

tersebut.

Saat Wi Lian In serta Suma San Ho yang ada di dalam kurungan

besi itu sudah jatuh tidak sadarkan diri, bagaikan dua ekor ayam

yang tercebur ke dalam air dengan lemasnya mereka menggeletak

di dasar kurungan.

Si pembesar jendela segera memandang ke arah Wi Lian In,

wajahnya sudah penuh diliputi oleh napsu jahat, ujarnya dengan

cengar cengir.

“Nona yang begitu cantiknya kalau dibinasakan sungguh sayang

sekali . .”

“Haa , . haa , , bagaimana, kau sudah mengilar.: “ Goda si

menteri pintu tertawa terbahak bahak.

“Cuma aku tidak enak untuk mengusulkan permintaanku ini“

“Bagaimana kalau Lohu yang mewakili dirimu?“

“Apakah Hujin setuju? “

“Jangan kuatir” seru si menteri pintu tersenyum “Menanti setelah

Wi Ci To pun berhasil ditawan aku kira hujin tentu menyetujuinya,

kau menggunakan barang apa untuk mengucapkan terima kasihnya

kepadaku?”

Si pembesar jendeia segera tertawa terbahak-bahak.

“ Kita menteri pintu pembesar jendeia, kau suka harta aku suka

perempuan sudah tentu aku menggunakan uang untuk

mengucapkan terima kasihku kepadamu”

“Berapa ?“

“Bagaimana kalau seratus tahil perak”

“Baik, kita putuskan demikian.”

Demikianlah mereka berdua lalu membuka pintu kurungan besi

itu dan menggotong tubuh Wi Lian In serta Suma San Ho keluar.

Setelah diberi pertolongan seperlunya ketika melihat mereka

hendak sadar kembali dari pingsannya kedua orang itu segera

menotok jalan kakunya, setelah itu dengan seorang membopong

sesosok tubuh berjalan keluar dari sana.

Setelah melewati sebuah lorong kecil dan melewati sebuah pintu,

sampailah mereka di dalam sebuah ruangan siksa yang agak lebar.

Di dalam ruangan siksa itu sudah tersedia berbagai macam alat

siksa yang sangat menyeramkan.

Si rase bumi Bun Jin Cu duduk di atas sebuah kursi yang tertutup

dengan sebuah kulit macan, beberapa kaki di hadapannya berdirilah

tiga buah tiang kayu yang pada tiang tengah sudah terikat

seseorang.

Orang itu bukan lain adalah Ti Then.

Sepasang tangan serta sepasang kakinya terpentang lebar-lebar

yang masing-masing bagiannya sudah terikat kencang-kencang di

atas tiang kayu tersebut, baju bagian atasnya sudah terbuka

sehingga terlihatlah dadanya yang sudah dipenuhi dengan bekasbekas

cambukan, setiap bekas cambukan masih mengalirkan darah

segar.

Jelas sekali dia baru saja memperoleh pukulan yang kejam

sehingga jatuh tidak sadarkan diri.

Setelah si menteri pintu dan pembesar jendela menyeret tubuh

Wi Lian In serta Suma San Ho masuk ke dalam ruangan siksa

terdengar Bun Jin Cu sudah berkata.

“Ikat mereka di atas tiang kayu itu lalu bebaskan jalan darahnya“

“Perlukah membuka pakaian mereka? “ tanya si pembesar

jendela tiba-tiba sambil lertawa.

“Pakaian dari Suma San Ho boleh di buka, pakaian Wi Lian In

jangan”

Air muka si pembesar jendela segera memperlihatkan rasa

kecewanya.

“Kenapa tidak ditelanyangi sekalian?“ tanyanya tertawa nyengir.

“Lo Ciauw, kau orang semakin tua semakin menjadi“ goda Bun

Jin Cu sambil tertawa cekikikan,”Kau sudah mengambil perhatian

khusus dengan budak itu?”

Air muka si pembesar jendela segera berubah memerah, dia

tertawa dengan malu-malu.

“Hamba tidak berani “ sahutnya perlahan.

“Ehmmrnm … ” kenapa kau orang sudah berlaku sungkan?“ Goda

si menteri pintu sembari mengikat tubuh Suma San Ho ke atas tiang

kayu.

Dengan mengambil kesempatan itulah si pembesar jendeIa

tertawa cengar cengir tanyanya:

“ Hujin, kau bermaksud berbuat apa terhadap budak ini? “

“Nanti sesudah berhasil tawan Wi Ci To sekalian kita baru

menghukum mereka dengan perlahan-lahan, tapi kau jangan kuatir

aku tahu kesukaan dari Lo Ciauw kau orang, sebelum aku

menghukum mati dirinya aku akan kasih kesempatan buat kau

orang untuk menikmati tubuhnya..”

Si pembesar jendela menjadi amat girang.

“Baik . . . baik . . “ sahutnya berulang kali. “Terima kasih hujin..

terima kasih hujin,”

“ Masih ada kau Lo si, nanti setelah dendam sakit hatiku terbalas

aku orang akan perseni dirimu sebanyak-banyaknya. Hey.. di tengah

tiupan angin taupan kita bisa mengetahui mana yang rumput mana

yang bukan, ditengah kesusahan baru ketahuan siapa yang setia

siapa yang tidak, tidak ku sangka sama sekali diantara ribuan orang

banyaknya cuma kalian berdua saja yang mau setia kepadaku”

“Hujin kau jangan bicara sembarangan lagi “ bantah si menteri

pintu dengan cepat. “Hamba sama sekali tidak menaruh minat

terhadap perempuan “

Bun Jin Cu segera tetawa. “Kau tidak suka perempuan apakah

tidak suka pada harta pula?“

“Harta? siapa yang tidak suka padanya?” ujar si menteri pintu

sambil tertawa malu. “Tetapi saat ini seluruh harta kekayaan yang

ada di dalam istana Thian Teh Kong sudah dirampok habis-habisan.

. “

“Tidak, terus terang saja aku beritahukan kepada kalian, harta

kekayaanku masih amat anyak sekali“

“Sungguh?” tanya si menteri pintu dengan amat girangnya.

“Kau sudah tertarik?” Goda si rase bumi Bun Jin Cu kembali

sambil melirik sekejap kearahnya.

Dengan gugup si menteri pintu gelengkan kepalanya berulang

kali.

“’Tidak tidak . . hamba ikut bergembira buat diri hujin.. ternyata

hujin sudah merasakan hal yang bakal terjadi di kemudian hari

sehingga menyimpan sebagian besar dari harta kekayaannya ke

dalam suatu tempat yang tersembunyi, dengan demikian . . dengan

demikian bisa digunakan oleh Hujin untuk melanjutkan hidup di

kemudian hari “

“ Heeey . . . harta kekayaan yang tersimpan bernilai di atas

jutaan tahil perak banyaknya, untuk beberapa keturunan pun tidak

akan habis dipakai”

“Kalau begitu bagus sekali, untuk beberapa keturunan pun tidak

akan habis dipakai ”

“Biarlah menanti setelah aku berhasil membalaskan dendam buat

suamiku aku akan mengambil keluar sebagian untuk

menghadiahkan kepadamu, sedikit-dikitnya aku harus beri seratus

ribu tahil perak buat kau orang.”

”Tidak .. . tidak, hamba tidak berani menerimanya” Tolak si

menteri pintu dengan cepat.

“Kenapa ?”

“Hamba tidak ikut mengkhianati diri hujin bukanlah dikarenakan

mengharapkan persenan yang begitu banyak dari hujin” jawab si

menteri pintu dengan serius, ”Hamba cuma mengharapkan bisa

mengikuti hujin untuk selamanya untuk membalas terima kasihku

atas perhatian yang di berikan hujin kepada kami.”

Agaknya Bun Jin Cu dibuat terharu juga oleh kata-katanya ini,

matanya menjadi memerah hamper-hampir butiran air mata

menetes keluar.

“Aku tahu kalian berdua sangat setia kepadaku, tetapi sejak

Thian Cu binasa aku sudah merasa berputus asa, nanti biarlah

setelah urusan selesai semua aku mau cari sebuah tempat yang

tidak pernah didatangi manusia untuk melanjutkan hidupku

selanjutnya, karena itu kau tidak usah sungkan-sungkan lagi,

perkataan yang sudah aku katakan selamanya tidak akan berubah

kembali, sampai waktunya aku pasti akan menghadiahkan seratus

ribu tahil perak kepadamu“

“Budi kebaikan dari hujin hamba menerimanya saja di dalam

hati” ujar si menteri pintu serius pula “ Tetapi hamba tidak akan

menerima uang barang satu peser pun dari hujin”

Agaknya si pembesar jendela merasa keheranan atas kebaikan

hati dan kesetiaan dari menteri pintu ini, tak tahan lagi dia berseru :

“Lo si selama hidupnya kau orang paling suka dengan uang perak

yang putih berkilauan, kenapa kali ini kau menolak pemberian dari

hujin?“

“Tidak salah, lohu selama hidupnya memang paling suka dengan

uang perak” jawab si menteri pintu dengan wajah berubah keren.

“Bahkan boleh di kata saking senangnya sampai tidak bosanbosannya,

tetapi uang yang lohu sukai adalah uang orang lain,

bukan uang dari Hujin“

Ketika si pembesar jendela melihat wajahnya yang serius tak

terasa lagi sudah menjulurkan lidahnya.

“Hee . heee, , , tidak kusangka kau Lo si ternyata seorang

manusia yang berbudi “

Bun Jin Cu yang melihat mereka sudah selesai mengikat tubuh

Wi Lian In serta Suma San Ho ke atas tiang lalu ujarnya sambil

tertawa:

“Sudah, sudahlah, sekarang kalian boleh keluar berjaga-jaga di

sana, jikalau menemukan Wi Ci To sudah datang cepatlah datang

memberi kabar kepadaku”

Si menteri pintu serta pembesar jendela segera menyahut dan

mengundurkan diri dari dalam ruangan siksa itu.

Bun Jin Cu lalu bangkit berdiri dan mengambil segentong air dan

disiramkan ke atas wajah Ti Then, setelah meletakkan kembali

gentong tersebut dia mengambil sebuah cambuk dan kembali ke

kursinya semula.

“Hmmm “ dengusnya dingin. “Kali ini aku mau lihat kau bangsat

busuk merasa tidak “

Tidak lama kemudian Ti Then sudah sadar kembali dari

pingsannya.

Dia segera memperdengarkan suara tertawanya yang mendirikan

bulu roma, ujarnya:

“Hey bangsat cilik, coba kau angkat kepalamu siapa yang sudah

ada dikanan kirimu ??? “.

Dengan perlahan Ti Then angkat kepalanya, ketika melihat Wi

Lian ln yang ada di sebelah kiri serta Suma San Ho yang ada di

sebelah kanannya dia menjadi sangat terperanyat.

“Bukankah dia adalah “ Mo Im Kiam khek “ Suma San Ho, kenapa

kau pun tawan dirinya ?”

“ Dia datang bersama-sama dengan kekasihmu, aku dengan

tanpa membuang sedikit tenaga pun sudah berhasil menawan

mereka berdua”’

“Tentu kau menggunakan papan terbalik yang ada di dalam

ruangan Khie Ie Tong ?” Seru Ti Then tertawa pahit.

“Sedikit pun tidak salah” jawab Bun Jin Cu mengangguk. Walau

pun papan terbalik itu merupakan satu macam alat rahasia yang

paling sederhana tetapi kegunaannya amat besar sekali,

kemungkinan sekali dengan alat itu aku pun berhasil menawan Wi

Ci To tanpa membuang banyak tenaga.”

Dengan perlahan Ti Then menghela napas panjang.

“Aku betuI-betul merasa tidak paham, sebetulnya siapakah

musub besar yang sudah membinasakan suamimu?”

Bun Jin Cu segera tertawa dingin tak henti-hentinya.

“ Malam itu sewaktu ada di atas tebing Sian Ciang jika bukannya

Wi Ci To datang tepat pada waktunya dan melancarkan pisau

terbang sehingga memutuskan angkinku kau bangsat cilik tidak

akan berhasil membinasakan suamiku, maka itu seluruh orangorang

dari Banteng Pek Kiam Po merupakan musuh besarku”

“ Hmm, tentu selama ini kau merasa cuma suamimu seorang saja

yang tidak patut untuk menerima kematiannya ?“

“Benar”

“Tapi aku rasa cuma orang yang bisa berjaga diri saja yang tidak

seharusnya binasa“

Bun Jin Cu mendadak meloncat bangun dan kirimkan satu

pukulan cambuk ke atas badannya, dia tertawa dingin dengan

seramnya.

“Kau orang tidak usah banyak bicara dengan aku, aku tidak ingin

berbicara soal apa pun dengan kau “

Berbicara sampai di sini dia menarik rambut Wi Lian ln dan

mendongakkan kepalanya ke atas lalu mendengus dengan amat

dingin.

“Kau budak jelek, tidak mau sadar-sadar juga?”

“Cuh . .” mendadak Wi Lian In meludahkan riak ke atas wajahnya

yang dengan tepat menghajar hidung Bun Jin Cu.

Si rase bumi menjadi amat gusar sekali, dia mundur dua langkah

ke belakang lalu mengangkat cambuknya kirim satu cambukan ke

atas tubuhnya.

Wi Lian In segera merasakan badannya amat sakit sekali, dengan

menahan sakit dia melototkan matanya memandang dia orang

dengan amat gusar.

Ti Then yang melihat kejadian itu segera merasakan hatinya

seperti diiris iris dengan amat gusar dia meronta sekuat tenaga lalu

bentaknya dengan keras.

“Tahan, perempuan cabul kenapa kau pukul badannya?“

oooooOooooo

Mendengar perkataan itu Bun Jin Cu menghajar tubuh Wi Lian In

makin keras lagi, sembari memukul ujarnya tertawa melengking.

“ Aku sengaja akan memukul dia, aku mau lihat kau merasa

sedih tidak ?“

Saat ini Suma San Ho pun sudah sadar kembali dari pingsannya,

ketika dilihatnya Wi Lian In mendapatkan hajaran yang begitu

kejam seketika itu juga dia menjadi amat gusar.

“Perempuan sundal. Nenek jelek. kenapa kau tidak memukul aku

saja?” teriaknya dengan mata melotot.

“ Kau tunggu saja sebentar lagi akan tiba giliranmu “

Sembari berkata cambuknya bagaikan titiran air hujan dengan

kerasnya dihajarkan ke atas tubuh Wi Lian ln.

Ti Then benar-benar dibuat gusar oleh tindakannya ini, sambil

membentak keras sepasang tangannya mengerahkan seluruh

tenaga untuk meronta.

“ Kraak , . “ tiang kayu yang mengikat tangannya seketika itu

juga terputus menjadi dua bagian.

Kiranya tali yang digunakan untuk mengikat sepasang tangan

serta sepasang kakinya itu merupakan otot kerbau yang sangat

kuat, semula dia pernah mencoba untuk memutuskannya tetapi

tidak berhasil kini melihat Wi Lian In memperoleh hajaran yang

demikian kejam membuat dia orang dalam keadaan amat gusar

segera mengeluarkan suatu tenaga gaib yang amat hebat sekai

membuat tiang kayu tersebut menjadi patah.

Tetapi walau pun kayu itu patah orang masih tidak sanggup

untuk meninggalkan tiang kayu itu karena sepasang kakinya masih

terikat di atas tiang.

Ketika Bun Jin Cu melihat dia sudah berhasil meronta sehingga

tiang kayu menjadi putus dengan cepat tubuhnya meloncat ke

belakang lalu melancarkan serangan menotok jalan darah kakinya.

Ti Then tidak bisa menghindar lagi terasa seluruh tubuhnya

menjadi linu seketika itu juga anggota badannya tidak bisa

bergerak.

Bun Jin Cu segera berputar ke depan badannya, sambil bertolak

pinggang memperlihatkan sikapnya yang menantang, dia tertawa

genit.

“Sejak tadi aku sudah tahu lebih baik aku pukul dia daripada

memukul dirimu sekarang tentu puas bukan?”

”Kubunuh kau bangsat Perempuan.” Teriak Ti Then dengan amat

gusarnya.

“Bilamana kau bangsat cilik berhasil meloloskan diri dari istana

Thian Teh Kong ini aku akan menantikan kedatanganmu kembali,

tetapi sekarang aku orang tetap mau memukul dia, kau baik-baiklah

berdiri nonton di sana.”

Selesai berkata pinggulnya digoyang-goyangkan lalu berjalan ke

hadapan Wi Lian In dan dengan perlahan mulai mengangkat

cambuknya.

Suma San Ho yang melihat kejadian ini benar benar tidak kuasa

menahan hawa amarahnya,bentaknya keras

“Perempuan sundal kenapa kau tidak berani pukul aku ? Mari kau

ke sini kalau berani pukul aku saja “.

Bun Jin Cu pura-pura tidak mendengar, cambuknya diangkat

tinggi-tinggi lalu dengan sekuat tenaga dihajar ke atas tubuh Wi

Lian In.

Pada waktu dia menghajarkan cambuknya yang pertama itulah

mendadak pintu ruangan siksa itu dibuka, tampak si pembesar

jendela dengan wajah gugup berlari masuk.

“Ada urusan apa?” tanya Bun Jin Cu dengan cepat sewaktu

dilihatnya wajah si pembesar jendela amat gugup.

“Lapor kepada hujin, di dalam istana sudah kedatangan seorang

manusia yang sangat misterius” ujar sipembesar jendela dengan

cepat.

“Siapa ?” tanya Bun Jin Cu kaget.

“Tidak tahu, dia memakai baju berwarna hitam, wajahnya

berkerudung kepandaian silatnya tidak jelek, sewaktu dia sudah

berada di belakang tubuh hamba, saat itulah hamba baru merasa . .

.”

“Lalu bagaimana dengan Lo-si ? “ tanya Bun Jin Cu kaget.

“Lo-si tidak mengapa, manusia misterius itu sama sekati tidak

menyerang hamba sekalian, dia cuma bilang mau bertemu dengan

Hujin untuk membicarakan sebuah juai beli.”

“ Dia tidak mau menyebutkan namanya? Tanya si rase bumi ini

semakin terperanyat.

“ Benar, tetapi dia berkali-kali mengutarakan bahwa dia bukan

datang kemari mencari gara-gara melainkan hendak membicarakan

sebuah barang dagangan.”

“Barang dagangan apa?“

“Dia biiang setelah bertemu dengan hu jin baru mau

membicarakannya sendiri”

Bun Jin Cu segera tertawa dingin.

“Hmm.. aku kira tentu dialah Wi Ci To itu, da ingin memancing

aku keluar dari sini“

“Tidak. . . bukan, bukan dia.” Cepat si pembessr jendela

gelengkan kepalanya. “Dari bentuk tubuhnya sangat mirip dengan

diri. Wi Ci To“

“Sebelum aku berhasil menawan diri Wi Ci To aku orang sudah

mengambil keputusan untuk tidak meninggalkan ruangan di bawah

tanah ini, coba kau keluar tanya padanya mau membicarakan soal

juai belii barang apa, bilamana dia tidak mau bicara terus terang

katakan saja aku tidak ingin membicarakan persoalan ini dengan

dirinya itu“

“Baik” sahut si pembesar jendela dan berlalu dari sana.

Sepasang mata dari Bun Jin berputar-putar mendadak dia

melepaskan cambuk dan pergi menutup pintu setelah itu baru

duduk kembali ke kursinya sambil melirik sekejap kearah Ti Then,

Wi Lian ln serta Suma San Ho tiga orang.

“Kalian jangan bergirang dulu “ ujarnya sambil tertawa dingin. “

jika orang yang baru saja datang itu hendak menolong kalian maka

jangan harap dia orang bisa melakukannya, saal ini kecuali kami

orang-orang dari istana Thian Teh Kong tidak ada seorang pun

yang bisa menerobos masuk ke dalam ruangan siksaan ini“

Dia berhenti sebentar untuk tukar napas lalu tambahnya,

“Sedang aku orang pun sudah mengambil keputusan untuk

mempertahankan tempat ini, tidak perduli siapa yang sudah datang

aku sudah memastikan diri untuk tidak keluar “

Wi Lian ln serta Suma San Ho yang mendengar dari mulut si

pembesar jendela itu mengatakan orang yang baru saja datang

adalah “Seorang yang misterius” segera mengetahui orang itu

tentulah lelaki berkerudung tadi, karenanya terhadap “ Pendatang””

itu sama sekali tidak menaruh harapan, dalam hati Ti Then tergerak

juga oleh perkataan ini, walau pun dia juga menduga “Pendatang”

itu kemungkinan sekali kaum komplotan dari orang-orang

berkerudung yang munculkan diri di dusun Thay Peng Cung tetapi

dia pun merasa kemungkinan sekali “Pendatang “ itu adalah orang

dari benteng Pek Kiam Po, segera dia pun tertawa dingin.

“Hmmm, sesudah istana Thian Teh Kong rata dengan tanah,

tempat ini pun bisa digali dengan perlahan-lahan, akhirnya liang

rasemu ini bakal terbongkar juga “

Mendadak..

Suara ketukan pintu memecahkan kesunyian kembali.

Dengan amat gesit Bun Jin Cu meloncat ke samping pintu lantas

tanyanya dengan suara keras.

“Siapa? Lo-Ciauw?”

“Benar, hamba adanya” sahut orang itu.

“Apakah orang tersebut sudah berhasil menerjang masuk ke

dalam istana?”

“Belum” jawab pembesar jendela dengan sangat hormat, “Dia

masih berdiri di luar ruangan Khie Ie Tong”

Mendengar sampai di sana, Bun Jin Cu baru merasa lega, dia

segera membuka pintu membiarkan si pembesar jendela berjalan

masuk.

“Dia berbicara apa lagi?”

“Dia masih tidak mau menjelaskan persoalannya, tapi dia

menjelaskan juga barang apa yang hendak diperjual belikan dengan

diri hujin”

Berbicara sampai di sini dia melirik sekejap kearah Ti Then serta

Wi Lian ln lalu tertawa terbahak-bahak.

“ Urusan apa yang begitu menggelikan ?” tanya si Bun Jin Cu

keheranan.

“ Sungguh menggelikan, sungguh menggelikan sekali, haa ….

haaa …. “

Melihat dia orang tidak memberikan jawaban juga Bun Jin Cu

segera mengerutkan keningnya.

“Sebenarnya dia mau membicarakan perdagangan apa dengan

aku?”

“Dia bilang mau membeli kedua orang itu dari tangan hujin “

sahutnya sambil menuding ke arah Ti Then serta Wi Lian In.

“ Ooh … dia mau membeli kedua orang ini ?”

“ Benar, dia bilang mau membayar seratus ribu tahil perak

kepada hujin untuk membeli kedua orang tersebut“

Wajah si rase bumi Bun Jin Cu segera berubah adem, dia tertawa

dingin.

“Perkataanku sedikit pun tidak salah bukan ? jikalau dia orang

bukan Wi Ci To sendiri tentulah salah satu pendekar pedang merah

dari Benteng Pek Kiam Po.”

“Tidak mungkin “ Bantah si pembesar jendela gelengkan

kepalanya.

“Hamba berani memastikan kalau dia orang bukanlah pendekar

pedang merah dari benteng Pek Kiam Po,”

“Sungguh?” Seru Bun Jin Cu kurang percaya.

“Benar, jikalau orang-orang dari benteng Pek Kiam Po

mendengar kalau ketiga orang ini sudah terjatuh ketangan hujin

mereka pasti akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk

berusaha menolong mereka meloloskan diri, dengan sifat mereka

tidak mungkin pihak sana mau mengeluarkan banyak uang untuk

membeli mereka bertiga karena jikalau mereka sampai membeli

mereka bertiga bukankah nama dari Benteng Pek Kiam Po akan

hancur?”

Bun Jin Cu segera merasakan perkataannya ini sediki t pun tidak

salah, tanpa terasa lagi dia sudah mengangguk.

“Hmmm . . . pemikiranmu ini memang sangat beralasan sekali .

.”

“Apa lagi..” sambung si pembesar jendela itu lagi, ”Orang itu

cuma bilang mau membeli Wi Lian In serta Ti Then dua orang dan

sama sekali tidak mengungkat-ungkat Mo Im Kiam Khek, bilamana

orang itu berbasal dari benteng Pek Kiam Po sudah tentu dia pun

akan membeli sekalian diri Mo Im Kiam Khek.”

“Benar, sangat beralasan, lalu apakah dia orang juga

mengatakan tujuannya untuk membeli Ti Then serta Wi Lian In?”

“Benar, dia bilang dia orang ada dendam sakit hati dengan Wi Ci

To, dia hendak menggunakan kedua orang ini untuk menguasahi

diri Wi Ci To.”

“ Kalau memang demikian tujuannya sama seperti apa yang aku

orang cita-citakan.”

“ Bagaimana dengan keputusan hujin?”

”Hmmm…” dengus si rase bumi dengan amat dingin. “ Kau pergi

beritahu kepadanya, jangan dikata seratus ribu tahil perak sekali

pun satu juta tahil perak aku juga tidak akan menjual mereka

kepadanya.”

“Baik,” sahut si pembesar jendela lalu berlalu dari sana dengan

terburu-buru.

Bun Jin Cu segera menutup pintu kembali, kepada Ti Then

bertiga dia menyengir.

“Kalian sudah dengar belum? musuh besar dari We Ci To

sungguh banyak sekali.”

Ti Then bungkam tidak berbicara.

“Di antara kalian bertiga adakah yang tahu siapakah orang itu ?”

tanyanya lagi sambil tertawa.

“Bilamana kau orang kepingin kenapa tidak keluar sendiri untuk

melihat-lihat?” Seru Ti Then dengan amat dingin.

“Aku orang sama sekali tidak tertarik dengan dirinya “

“ Sebaliknya orang itu sangat tertarik kepadamu” sambung Suma

San Ho dengan cepat. “Dia bilang dialah suamimu yang baru.”

“ Suma San Ho apakah badanmu benar-benar merasa gatal?“

teriak si rase bumi tertawa keras.

“Hal ini sungguh-sungguh terjadi, tadi sewaktu masih ada di

bawah gunung dia sudah membokong nona Wi dan mengaku

sebagai majikan baru dari istana Thian Teh Kong, dia bilang dialah

suamimu yang baru.”

“ Aaaah sungguh ??? “.

“Jika kau tidak percaya kenapa tidak keluar untuk bertanya

sendiri ? “

“Lalu tahukah kau siapakah dia orang?” tanya Bun Jin Cu lagi

sambil tertawa.

“Baiklah”

“Berapa besar usianya? bagaimana wajahnya?”

“Wajahnya berkerudurg sehingga tidak bisa dilihat, tetapi jika

didengar dari suaranya dia tidaklah terlalu tua, bahkan kepandaian

silatnya tidak rendah aku rasa dia dia orang sangat cocok untuk

dijadikan suamimu yang baru”

Wajah Bun Jin Cu segera berubah memerah, dengan nada malumalu

ujarnya.

“Bangsat, kau pun merasa kuatir juga terhadap perkawinan aku

orang? “

Baru saja Suma San Ho mau memberi jawaban mendadak dari

pintu luar terdengar kembali suara ketukan pintu,

“Lo ciauw?” tanya Bun Jin Cu dengan cepat.

“Bukan, hamba adanya “ Suara dari menteri pintu,

Bun Jin Cu segera membuka pintu membiarkan si menteri pintu

berjalan masuk,

“Bagaimana dengan Lo ciauw?’- tanyanya cepat.

“ Dia tidak mengapa “

“ Lalu bagaimana dengan orang itu?™-

“Dia masih ada di sana, dia minta hamba masuk ke dalam untuk

memberi nasehat kepada hujin, dia bilang jikalau hujin tidak ingin

menjual tawanan itu dia sangat mengharapkan hujin mau

mengubah cara dengan bekerja sama dengan dia orang untuk

bersama sama menghadapi Wi Ci To. hamba rasa . . . “

Berbicara sampai di sini dia segera menutup mulutnya rapatrapat.

“Kau rasa bagaimana ?“

“Hamba rasa orang itu sangat bernapsu sekali untuk ikut

bersama kita bahkan kepandaian ilmu silatnya amat tinggi, tadi di

depan hamba dia sudah mempamerkan satu tenaga pukulannya

dimana hanya dalam satu kali sambaran saja patung singa di depan

ruangan Khie le Tong sudah berhasiI dihancurkan”

Air muka Bun Jin Cu segera berubah sangat hebat, serunya

“Patung arca singa yang ada di depan ruangan Khie le Tong

dibuat dari bahan yang sangat keras, jikalau dia orang bisa

menghancurkan benda tersebut berarti puIa tenaga dalamnya

mencapai pada tarap kesempurnaan.”

“Benar, maka itu hamba rasa jikalau hujin mau bekerja sama

dengan dia orang kemungkinan sekali bisa mendirikan kembali

kewibawaan dari istana Thian Teh Kong kita untuk melanjutkan

menjagoi Bu-lim”

Sepasang mata dari Bun Jin Cu segera berkedip-kedip tanyanya:

“ Dia tetap tidak mau bicara terus terang soal asal usulnya?“

“ Benar, dia bilang jikalau hujin mau bekerja sama dengan dia

maka setelah menjadi orang sendiri sudah tentu dia orang tidak

akan menyembunyikan asal usulnya”

“Jika kau dengar dari suaranya kau kira berapa besar usianya ?”

“Mungkin enam puluh tahun ke atas”

Bun Jin Cu menjadi amat gusar, teriaknya kalap:

“Ooooh , , , , kiranya seorang kakek tua celaka.”

Si menteri pintu yang melihat secara mendadak dia menjadi

gusar dalam hati menjadi keheranan.

“Dia . . . dia .. walau pun usianya sudah lanjut tetapi bukan

seorang kakek tua celaka, tubuhnya tinggi kekar perkataannya pun

amat nyaring dan berwibawa membuat orang yang mendengar

merasa amat kagum.

“Tidak mau, tidak mau” teriak si rase bumi Bun Jin Cu dengan

amat gusarnya. “Aku tidak mau bekerja sama dengan dia orang, kau

suruh dia orang cepat menggelinding dari sini “

“Hujin kau jangan marah dulu” Ujar si menteri pintu mendadak

dengan memperendah suaranya. “Dia orang benar-benar punya

maksud untuk bekerja sama dengan kita, bahkan dia memberikan

sebuah nota uang sebesar seratus ribu tahil perak, katanya jika

hujin setuju..”

“Tidak usah banyak omong lagi” potong si rase bumi Bun Jin Cu

sambil mengulapkan tangannya, “kau sendiri pun tidak usah

banyak komentar suruh dia cepat-cepat menggelinding dari sini.”

Si menteri pintu segera tertawa, dari wajahnya terlintas sifat

liciknya.

“Hujin tunggu dulu, dia masih mengatakan sesuatu, tapi hujin

jangan marah setelah mendengar perkataan ini “

“Bukankah dia orang bilang mau memperistri diriku?” Sambung

Bun Jin Cu cepat.

“Bukan.”

Bun Jin Cujadi tertegun.

“Kalau tidak, dia mengatakan apa?”

Si menteri pintu melirik sekejap ke arah Ti Then bertiga lalu

merendahkan suaranya.

“Perkataan ini lebih baik jangan sampai mereka bertiga ikut

mendengar . .”

Si rase bumi Bun Jin Cu segera menarik dia orang untuk maju

beberapa langkah ke depan lalu baru ujarnya

“Sekarang kau berbicaralah”

Menteri pintu segera menempelkan bibirnya ke samping telinga

dan berkata dengan suara yang amat lirih,

“Dia bilang jikalau hujin tidak menginginkan uang yang seratus

ribu tahil perak itu maka dia bersedia untuk menghadiahkan uang

seratus ribu tahil perak itu kepada . . . Lohu”

Kata terakhir “ Lohu” segaja diperkeras, dan pada saat yang

bersamaan

pula jari tangannya melancarkan serangan menotok jalan darah

kaku pada tubuh Bun Jin Cu.

Air muka Bun Jin Cu segera berubah sangat hebat, sepasang

matanya terbelalak, dengan perasaan amat gusar bentaknya:

“Lo si„ kau berbuat apa?”

Perkataan terakhir baru selesai diucapkan tubuhnya sudah rubuh

ke atas tanah.

Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini membuat Bun Jin Cu

sangat terperajat, demikian juga dengan Ti Then bertiga yang

terikat di atas tiang kayu, mereka sama sekali tidak menyangka si

menteri pintu bisa ikut berkhianat juga.

Si menteri pintu segera tertawa seram. Sikapnya sudah berubah

sangat ganas dan kejam sekali, sambi memandang kearah Bun Jin

Cu yang tertotok di atas tanah ujarnya dengan perlahan.

“Mau apa? Hee . , . hee . . , hee … jika kau orang belum jelas

biarlah lohu mengulangi lagi, dia bilang jikalau hujin tidak mau

menerima uang sebesar seratus ribu tahil perak itu maka dia rela

menghadiahkan uang tersebut kepada diri Lohu. “

Air muka Bun Jin Cu sudah berubah menjadi pucat kehijauhijauan,

dia tahu perbuatan apa yang hendak dilakukan si menteri

pintu terhadap dirinya, di samping merasa terkejut bercampur

ketakutan dia pun merasa sangat gusar, bentaknya.

“ Budak bangsat nyalimu sungguh besar kau sudah bosan hidup

lebih lama lagi?”

“Heee .. . hee . . .Hujin yang baik, kau orang jangan marahmarah

dulu” Seru si menteri pintu sambil tertawa seram. “Di dalam

keadaan seperti ini kau jangan menyalahkan tindakan dari Lohu ini“

“Kau pingin berbuat apa?” Teriak si rase bumi dengan penuh

perasaan gusar bercampur kaget.

“Jual mereka berdua untuk mendapatkan uang tambahan yang

tidak terduga,” jawab si menteri pintu sambi! menuding ke arah Ti

Then serta Wi Lian In.

“Bagus, bagus sekali, tidak kusangka kau pun mengkhianati

diriku” seru Bun Jin Cu sambil meneteskan air mnta saking

mangkelnya. “ Tetapi sewaktu aku hendak memberi uang sebesar

seratus ribu tahil perak kepadamu tadi kenapa kau tidak mau terima

? mengapa sekarang hanya Jikarenakan uang sebesar seratus ribu

tahil perak pula kau mengkhianati diriku?”

“Haaaa , haaa , , , kau terlalu memandang rendah keinginanku,

jikalau Lohu cuma menginginkan seratus ribu tahil perakmu buat

apa aku orang menanti sampai hari ini batu berkhianat? terus

terang saja aku beritahu kepadamu, sejak semula Lohu sudah tahu

kalau sebagian besar harta kekayaanmu sudah kau sembunyikan di

suatu tempat karena tidak tahu tempat penyimpannya maka aku

tidak ikut kawan-untuk mengkhianati kau ”

“Kau jangan mimpi” Teriak Bun Jin Cu gusar, “Kau jangan harap

bisa memperoleh harta kekayaan tersebut.”

Pada wajah menteri pintu segera terlintaslah senyuman yang

amat licik dan kejam.

“Tidak, Lohu tahu kau masih tidak ingin mati kau tentu bisa

berikan barang barang itu kepadaku, bukan begitu ? “

“Sekali pun aku harus mati aku bersumpah tidak akan

menyerahkan barang-barang itu kepadamu.” Teriak Bun Jin Cu

sambil menggigit bibir menahan kemangkelan hatinya yang sudah

memuncak.

“Bagus sekali, kalau kau orang memangnya tidak takut mati lohu

pun tidak ingin membinasakan dirimu, tetapi Lohu bisa memotong

sepasang kakimu lalu menghancurkan kecantikan wajahmu

sehingga kau berubah menjadi seorang nenek tua yang sangat jelek

dan cacad”

Mendengar ancaman itu air muka Bun Jin Cu segera berubah

menjadi pucas pasi, dengan amat gusar dia melototkan matanya

kearahnya, akhirnya sambil menghela napas panjang dia berkata

dengan nada yang amat sedih

“Lo-si, kau berlaku demikian kepada ku apakah tidak merasa

kalau tindakanmu itu terlalu kejam?'”

“Begitulah.” ujar simenteri pintu sambil tertawa serak, “Hujin,

kau tahu aku pun tahu kita semua suka membicarakan persoalan

dengan baik-baik”

“Kau terlalu bodoh, orang yang ada di depan itu sekarang

menyanggupi dirimu untuk menyerahkan uang sebesar seratus ribu

tahil perak tetapi setelah kau menyerahkan kedua orang itu

kepadanya maka dia akan turun tangan membunuh dirimu” ujar si

rase bumi memberi peringatan.

Soal ini Lohu sejak tadi sudah memikirkannya” Sela si menteri

pintu sambil angkat bahunya. “Sebelum aku orang mendapatkan

uangnya Lohu tidak akan turun tangan menyerahkan mereka

berdua kepada dirinya, tentang hal ini kau boleh berlega hati “

“Tapi kemungkinan juga uang tersebut adalah palsu . . “

“Tidak akan palsu, Lohu sudah memeriksa nota uang tersebut

dengan teliti, aku kenal dengan tandannya yang ada di atas, Lohu

pun mem punyai simpanan uang di dalam gudang uang itu”

“Lo Ciauw apakah ikut juga mengkhianati diriku?” Akhirnya tanya

Bun Jin Cu dengan sedih

“Tidak, dia orang kecuali paling doyan perempuan terhadap hujin

sangat setia”

Bun Jin Cu menjadi sangat girang teriaknya.

“ Bagus sekali, akhirnya masih ada juga orang yang tidak

mengkhianati diriku”

“Tetapi sungguh amat sayang” Seru menteri pintu menyengir,

“Tidak beruntung dia … dia sudah mati “

-ooo0dw0ooo-

Jilid 22 : Barang apa yang diminta lelaki berkerudung?

”Kau sudah membunuh dirinya? “tanyanya Bun Jin Cu tertegun.

“Tidak salah“ sahut si menteri pintu mengangguk, “Lohu tahu

kau orang tidak akan mau menjual tawanan itu juga tidak akan mau

bekerja sama dengan dia orang semakin tahu pula dia si Lo Ciauw

tidak bisa menghianati dirimu, karenanya Lohu turun tangan terlebih

dulu membunuh mati dia orang.”

“Sungguh tidak kusangka, sungguh tidak kusangka kau Lo si

mem punyai hati yang demikian kejamnya ..” Teriak Bun Jin Cu

dengan wajah yang amat sedih bercampur gusar.

“Bukankah kau orang sering berkata dengan suamimu, Tahu

mukanya tahu wajahnya belum tentu tahu isi hatinya beberapa

perkataan ini? “

Bun Jin Cu benar-benar dibuat gemas sumpahnya.

“Kau tidak akan memperoleh cara kematian yang wajar, kau

tidak akan mati dengan sempurna“

Mendengar perkataan itu air muka si menteri pintu segera

berubah hebat, dari atas dinding dia mencabut keluar sebilah golok

baja lalu menjerat badannya berdiri ujarnya sambil melototi dirinya

dengan amat buasnya:

“Lohu sudah tidak sabaran untuk banyak bertanya, sekarang kau

harus menyawab pertanyaan lobu, dimanakah harta kekayaanmu itu

kau sembunyikan?“

“Jika aku tidak mau menyawab apa kah kau akan merusak

kecantikan wajahku serta memotong kedua belah kakiku?” tanyanya

lagi dengan wajah berubah pucat pasi.

“Sedikit pun tidak salah” jawab menteri pintu ketus.

“Tetapi bilamana aku memberitahukan tempat penyimpanan

harta kekayaan tersebut kau tidak akan membunuh diriku?”

“Benar“ sahutnya mengangguk.

“Aku tidak percaya “

“Apa yang sudah lohu katakan selama ini tidak akan berubah

kembali, aku tidak akan berbohong“

“Kau tidak takut kalau aku mencari balas kepadamu pada

kemudian hari?”

Si menteri pintu segera tertawa terbahak-bahak.

“Selamanya kau tidak akan bisa mencari lohu untuk membalas

dendam karena lohu cuma menyanggupi untuk tidak membunuh

kau, lohu sama sekali belum pernah menyanggupi untuk tidak

memusnahkan seluruh kepandaian silatmu”

“Apa?“ teriak Bun Jin Cu dengan sangat terperanyat. “Aku mau

memberitahukan tempat penyimpanan harta kekayaanku kau orang

masih hendak memusnahkan seluruh ilmu silatku?”

“Yaaa, cuma ada satu jalan ini yang bisa membuat Lohu berlega

hati”

Dari sepasang mata si rase bumi Bun Jin Cu segera memancar

keluar sinar kemarahan yang berapi-api, agaknya saking gemasnya

dia kepingin sekali menelan dia orang bulat-bulat. Sambil menggigit

bibir teriaknya sepatab demi sepatah

“Si Im piauw kau binatang buas yang berhati srigala . .. “

Mendadak si menteri pintu menekankan golok bajanya ke atas

batang hidungnya.

“Lohu tidak akan bertanya untuk ketiga kalinya, kau mau

memberi tahu tempat penyimpanan harta kekayaanmu tidak?”

bentaknya keras.

Seketika itu juga si rase bumi Bun Jin Cu berhenti memaki,

setelah menarik napas panjang sahutnya dengan nada terputusputus.

“Har … harta . . , harta kekayaan ., itu , , di , . . disimpan , – –

disimpan di dalam . di dalam sebuah ruang rahasia di dalam

ruangan siksa ini “

“Pada dinding sebelah mana? “tanya si menteri pintu sambi!

menyapu sekejap di sekeliling ruangan tersebut,

“Dinding yang di belakang itu.”

Si menteri pintu segera mengalihkan pandangan matanya kearah

dinding tembok yang ada di belakang ruang siksa tersebut, agaknya

dia merasa berada diluar dugaan.

“Haaa . … ha. ha …. tidak kusangka harta kekayaanmu itu kau

sembunyikan di dalam dinding ruangan siksa ini …”. seru nya sambil

tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana cara membuka dinding

tersebut?”

“Dinding tersebut tidak akan bisa digerakkan.”

“Lalu bagaimana caranya untuk masuk ke dalam ?“tanya si

menteri pintu ragu-ragu.

“Pada dinding tersebut seluruhnya mem punyai seratus buah

batu besar, kau singkirkan dulu batu yang ketiga puluh enam,

empat puluh enam dan lima puluh enam setelah itu kau akan

menemukan sebuah jalan di bawah tanah yang sempit.”

“Di dalam ruangan itu adakah alat rahasianya ??”

“Tidak ada.”

“Sungguh tidak ada ?“ seru si menteri pintu tertawa dingin.

“Jikalau kau orang merasa takut kenapa tidak bawa aku sekalian

kssana?”

“Lohu memang mem punyai maksud demikian.”

Tangannya dengan cepat mencengkeram tangan kanan dari Bun

Jin Cu lalu menyeretnya ke bawah dinding bata tersebut, lantas

dengan

menggunakan tangan kanannya dia memeluk pinggangnya

sehingga membuat badannya bersandar pada tubuhnya sendiri,

tangannya yang lain mulai menggerakkan golok baja untuk

mengorek keluar ketiga buah batu bata yang dimaksud tadi.

“Ketiga buah batu bata ini?” tanyanya.

“Benar, empat buah batu bata ini ada yang di bawah batu nomor

tiga puluh enam, empat batu bata yang ada di bawah nomor empat

puluh enam serta empat batu bata yang ada di bawah batu nomor

lima puluh enam harus dibongkar juga”

“Heee … he hee maaf hujin, sewaktu ini lohu bekerja aku harus

tetap memeluk dirimu seperti ini, karena jika ada suatu peristiwa

yang terjadi secara mendadak kau pun tidak dapat ikut melarikan

diri . . . sekarang sekali lagi aku mau bertanya harta kekayaanmu itu

apa betul kau simpan ditempai ini?”

“Benar” teriak si rase bumi Bun Jin Cu dengan amat sengit.

Si menteri pintu segera tersenyum, golok bajanya diangkat dan

mulai bongkar batu-batu bata yang dimaksudkan, berturut turut dia

menusuk beberapa kali pada batu nomor tiga puluh enam sehingga

menjadi kendur baru menggunakan ujung golok mencukilnya keluar.

Sewaktu dia membongkar sedalam setengah depa mendadak dia

berhenti bekerja dan menggeserkan kakinya setengah langkah ke

samping sehingga badan dari Bun Jin Cu kini berhadap-hadapan

langsung dengan dinding batu tersebut, ujarnya sambil tertawa

seram.

“Sewaktu aku melepaskan batu bata ini, jikalau dari dalam

dinding meluncur keluar senyata-senyata rahasia itu akan tepat

menghajar wajahmu terlebih dulu”

“Heee . . . hee . . kau terlalu teliti, aku lihat aku tidak akan

berhasil membokong dirimu” ujar Bun Jin Cu sambil tertawa pahit.

Si menteri pintu segeta tertawa, dia meletakkan golok bajanya ke

atas tanah lalu menggunakan tangannya membongkar batu bata

tersebut.

Batu yang seberat tiga puluh kati segera terjatuh ke atas tanah

sehingga mengeluarkan suara yang amat keras sekali.

Sedang dari atas dinding itu sama sekali tidak ada gerakan apa

pun juga, tak ada senyata rahasia yang meluncur keluar.

Di balik batu itu suasana amat gelap sekali tidak tampak barang

apa-apa di sana kecuaii secara samar-samar bisa diduga kalau

tempat itu merupakan sebuah jalan rahasia.

Si menteri pintu yang melihat dari balik dinding itu tidak ada

senyata rahasia yang meluncur keluar dia baru menengok ke dalam

untuk memeriksa.

“Berapa panjang jalan rahasia ini?” tanyanya tiba-tiba sambil

tertawa.

“Ada tujuh delapan kaki panjangnya “

“Kalian menyimpan harta kekayaan itu pada ujung jalan rahasia

ini ?”

“Tidak, pada ujung jalan rahasia itu terdapat sebuah pintu besi,

di balik pintu besi terdapat sebuah ruangan kecil, seluruh harta

kekayaanku ada di dalam ruangan kecil itu.”

Si menteri pintu menjadi amat girang sekali, tanpa banyak

bertanya lagi dia segera membongkar keluar batu yang keempat

puluh enam serta ke lima puluh enam, setelah itu dengan mengikuti

ketiga buah batu tadi dia melanjutkan membongkar.

Kurang lebih seperminum teh lamanya seluruh pintu jalan rahasia

sudah muncul di hadapannya.

Ti Then, Wi Lian In serta Suma San Ho yang terikat di atas tiang

kayu dan menghadap ke depan pintu ruangan siksa pula karenanya

tidak bisa melihat bagaimana keadaan di sana, tetapi rasa

terperanyat serta ngeri yang semula meliputi hati mereka bertiga

semakin lama semakin Ienyap karena mereka tahu jika mereka

terjatuh ketangan orang berkerudung itu maka kesempatan untuk

melanjutkan hidup masih ada.

Hal ini jelas sekali, tujuan dari si rase bumi Bun Jin Cu adalah

menawan mereka untuk dibunuh sebagai balas dendam atas

kematian suaminya, sebaliknya tujuan dari lelaki berkerudung itu

hanya bertujuan untuk memaksa Wi Ci To menyerahkan barang

tersebut kepadanya, jikalau Wi Ci To sudah menyerahkan “Barang”

tersebut kepadanya sudah tentu mereka segera akan dilepaskan.

Saat itu terdengar si menteri pintu sedang bertanya.

“Jalan rahasia ini dibangun sudah lama?”

“Sewaktu mendirikan istana Thian Teh Kong jalan rahasia itu

sudah ada”

“Bagaimana lohu tidak tahu?”

“Selain kami suami istri berdua tidak ada orang ketiga yang tahu”

“Atau dengan perkataan lain, jalan rahasia ini kalian suami istri

yang menggalinya sendiri?”

“Bukan begitu, orang-orang yang menggali jalan rahasia ini

sudah kami bunuh semua setelah mereka menyelesaikan

pekerjaannya”

“Ooooh kiranya begitu” ujar si menteri pintu sambil

tertawa.”Harta kekayaan yang disimpan di dalam ruangan tersebut

apa benar-benar bernilai di atas puluhan juta tahil perak?”

“Benar, semua barang merupakan barang-barang berharga yang

tidak ternilai harganya, diantara itu cuma ada sebuah peti emas

yang merupakan barang paling tidak berharga, maukah kau

memberikan batangan emas itu kepadaku?”

“Ada berapa banyak?“

“Cuma tiga puluh kati“

“Heee . . heee , , . tiga puluh kati emas murni merupakan sebuah

harta kekayaan juga kenapa Lohu harus memberikannya

kepadamu?“

Bun Jin Cu hanya bisa menghela napas paajaag.

“Jika kau tidak memberikan sedikit kepadaku bukankah aku akan

menjadi ludas dan amat miskin?”

“Baiklah, mengingat hubungan persahabatan kita pada waktuwaktu

yang lalu lohu akan berikan satu kati emas buatmu untuk

melanjutkan hidupmu dikemudian hari“

“Cuma satu kati? satu kati emas bisa digunakan untuk apa ?“

“Kau jangan terlalu serakah, satu kati emas murni bukanlah satu

jumlah yang kecil, asalkan sedikit mengirit maka barang itu bisa

memberi makan kepadamu selama satu, dua tahun lamanya.”

“Bagaimana untuk selanjutnya??? “

Si menteri pintu termenung sebentar, lalu tertawa.

“Sudah tentu setelah lohu memusnahkan seluruh ilmu silatmu

kau tidak bisa merampok lagi kemana-mana, maka itu lohu

nasehatkan kepadamu di dalam satu, dua tahun ini kau cepatcepatIah

mencari seorang suami yang baru untuk nunut hidup,

dengan wajahmu yang cantik lohu kira untuk mencari pengganti

suami tidaklah terlalu sukar. “

“Hmmmm, terima kasih atas pemikiranmu buatku itu“ dengus

Bun Jin Cu dengan amat dinginnya.

“Sudah cukup, ayo kita masuk.”

“Kau tidak takut di dalam jalan rahasia itu sudah diatur alat-alat

rahasia yang bisa membinasakan jiwamu?”

Si menteri pintu segera tertawa terbahak bahak.

“Tidak takut, karena lohu akan memeluk badanmu terus, tidak

perduli sudah terjadi urusan apa pun kau harus menemani lohu”

“Heee ….. perkataanmu sedikil pun tidak salah” ujar si rase bumi

sambll menghela napas panjang, “ Aku orang memang masih tidak

ingin mati …. sekarang kau dengarlah petunjukku, berjalanlah

masuk dengan melalui pinggiran dinding,”

Dengan menggunakan tangan kirinya si menteri pintu memeluk

pinggangnya erat-erat membuat badannya dengan kencang

menempel pada badannya sendiri, segera dia mengikuti petunjuk itu

untuk berjalan masuk dengan melalui pinggiran dinding sebelah

kanan.

Di atas jalan rahasia itu secara samar-samar bisa terlihat

tersusun rapi sebuah demi sebuah batuan hijau yang mengkilap

jelas sekali di dalam jalan rahasia itu sudah dipasang alat rahasia

yang amat lihay sekali.

Kurang lebih berjalan lima kaki kemudian sewaktu kaki kanan si

menteri pintu

hendak menginyak batu hijau yang kelima mendadak Bun Jin Cu

berteriak:

“Berhenti.”

Dalam hati si menteri pintu merasa amat tegang, mendengar

perkataan tersebut tubuhnya tak kuasa lagi sudah tergetar dengan

amat keras.

Dengan cepat dia berhenti di atas batu hijau yang kelima itu

sambil tanyanya :

“Ada apa ?”

“Sekarang berganti berjalan melalui dinding sebelah kiri“

“Jika berjalan salah akan terjadi peristiwa apa?“ tanya si menteri

pintu kemudian sambil memperhatikan batuan hijau yang tersusun

di atas permukaan tanah itu.

“Ada seratus dua puluh batang anak panah akan meluncur dari

empat penjuru jalan rahasia ini “

Dengan perlahan si menteri pintu dongakkan kepalanya ke atas

dinding jalan rahasia itu, tampak suasana amat galap sekali

sehingga tidak terlihat ujung dindingn, dalam hati dia segera tahu di

atas sana tentu sudah dipasang alat rahasia.

Tak terasa lagi sambil menghembuskan napas dingin ujarnya :

“Jalan rahasia ini demikian sempitnya jikalau bersamaan waktu

meluncur keluar seratus dua puluh batang anak panah sekali pun

dia memiliki kepandaian silat yang amat tinggi pun sukar untuk

meloloskan diri .. “

“Karena ini kita tidak boleh salah jalan barang satu tindak pun”

seru Bun Jin Cu sambil tertawa dingin.

Si menteri pintu segera memindahkan badannya ke sebelah

kanan lalu dengan sangat berhati-hati sekali berjalan ke samping

satu langkah besar, dan tanyanya kembali :

“Sekarang maju ke depan berapa langkah ?”

“Kau jalanlah terus, sampai pada tempat yang tidak bisa dilalui

tentu aku bisa memberitahukan kepadamu”

Akhirnya dengan sangat berhati-hati sekali si menteri pintu

berjalan maju melalui tiga buah batu hijau dan berhenti kembali.

“Sekarang bagaimana ?“

“Aku belum suruh kau berhenti buat apa kau merasa begitu

tegang?“

“Jawabanmu jangan sembarangan” teriak si menteri pintu

dengan amat gusar.

“Maju lagi tiga langkah ke depan “

Si menteri pintu segera maju lagi ke depan.

Siapa tahu baru saja dia berjalan dua langkah ke depan

mendadak terdengar si rase bumi Bun Jin Cu sudah berteriak kaget:

“ Aduh . . .. . “

Suara teriakan kagetnya ini hampir-hampir membuat nyali si

menteri pintu copot dari dalam raganya, tububnya tergetar dengan

amat keras sekali lalu dengan ketakuan dia meloncat ke atas udara

dan melayang keluar dari jalan rahasia itu dengan amat cepatnya.

oooX ooo

37

Tetapi sewaktu dia sudah tiba di luar jalan rahasia itu, dari dalam

ruangan sama sekali tidak terjadi sesuatu kejadian apa pun.

Hal ini benar-benar membuat dia menjadi melengak, dengan

amat kheki tanyanya: “Hey sudah terjadi urusan apa?“

“Tidak mengapa“ sahut Bun Jin Cu sambi! tertawa genit “Aku ada

sedikit urusan pribadiku yang harus diselesaikan”

“Telur makmu,” Teriak si menteri pintu dengan amat gusar. “Kau

sengaja mencari gara-gara dengan lokhu.”

“Ouw …. aku kan sungguh-sungguh, karena hatiku merasa amat

cemas kepingin sekali aku orang menyelesaikan sedikit urusan

pribadiku terlebih dulu, biarlah kita baru masuk kembali setelah aku

menyelesaikan urusanku itu“

“Tidak bisa jadi,” teriak menteri pintu keras-keras, “Mau pergi

kencing yaah nanti, kau tunggu saja setelah kita berada didalm

ruangan jalan rahasia itu,”

”Tapi aku sudah betul-betul tidak bisa tahan lagi.”

“Jangan banyak bicara, jika kau berani cari gara-gara lagi jangan

salahkan lohu akan kasih sedikit hajaran kepada mu“

Sehabis berkata dengan amat gusarnya dia berjalan kembali ke

dalam ruangan rahasia tersebut.

Dengan melalui jalan yang semula dia berjalan lima langkah dari

dinding sebelah kanan lalu berjalan lima langkah lagi dari dinding

yang sebelah kiri dan berdiri pada tempat yang semula.

“Sekarang harus berjalan berapa langkah lagi ?” tanyanya

dengan amat gusar.

“Maju satu langkah ke depan.”

Dengan mengikuti petunjuk itu si menteri pintu berjalan maju

satu langkah ke depan. laiu tanyanya kembali:

“Selanjutnya?”

“Sekarang berjalan melalui batuan hijau yang ada di sebelah

tengah, kau maju lagi tujuh langkah ke depan”

Dengan mengikuti petunjuk itu si menteri pintu segera berjalan

maju melalui batuan hijau yang ada di sebelah tengah, setindak

demi setindak dia berjalan maju ke depan.

Menanti setelah Bun Jin Cu seka lian bertindak pada langkah

yang kelima mendadak dia menghela napas dengan amat sedihnya.

“Si Im Piauw orang-orang berkata manusia binasa karena harta

burung mati karena makanan kenapa kau tidak mau percaya

terhadap pepatah kuno itu ?”

“Kau berbicara apa?“ seru menteri pintu melengak.

Baru saja dia berkata sampai di situ kaki kirinya sudah menekan

pada batuan hijau yang keenam, segera dia merasakaa batuan hijau

yang diinyaknya itu menekan turun ke bawah, hatinya segera

merasa tidak beres tetapi baru saja dia bersiap mengundurkan diri

dari sana waktu sudah tidak mengijinkan lagi.

“Sreeet . . sreet . .” suara berdesirnya anak panah yang meluncur

keluar bagaikan air hujan dengan amat cepatnya meluncur keluar

dari empat penjuru ruangan dan berkelebat menuju kearah mereka.

Seketika itu juga ada berpuluh-puluh anak panah yang berhasil

menembusi bagian kepala, lengan, dada serta kaki dari menteri

pintu serta Bun Jin Cu.

Segera terdengarlah si menteri pintu memperdengarkan suara

jeritan ngerinya yang penghabisan, tubuhnya berkelejet beberapa

kali lalu rubuh ke atas tanah tidak berkutik kembali.

Tubuh Bun Jin Cu pun ikut rubuh ke atas tanah tetapi dia sama

sekali tidak memperdengarkan suara teriakan yang ngeri sebaliknya

tertawa keras dengan amat seramnya.

Suara tertawanya semakin lama semakin perlahan akhirnya dia

tundukkan kepalanya menemui ajalnya dengan mulut penuh

senyuman.

Ti Then, Wi Lian In serta Suma San Ho tidak bisa melihat

kejadian apa yang sudah terjadi di dalam jalan rahasia itu, tetapi

mereka pun sedikitnya mendengar peristiwa apa yang telah

berlangsung, terdengar Ti Then dengan perasaan terkejut

bercampur girang berteriak keras

“Haaaa mereka sudah menggerakkan alat rahasia “

Dengan sekuat tenaga Suma San Ho menoleh ke belakang,

ketika dilihatnya tubuh Bun Jin Cu serta si menteri pintu yang

menggeletak di atas tanah dengan tubuh penuh tertancap oleh

delapan sembilan batang dengan anak panah tak terasa lagi dia

sudah menjerit tertahan.

“Tidak salah, mereka sudah binasa terkena sambaran anak

panah.”

“Bagus – , . bagus sekali.” teriak Wi Lian In dengan amat

girangnya sehingga melupakan badannya yang amat sakit.

“Sekarang mereka sudah binasa, itulah yang dinamakan

pembalasan dari Thian”

“Ternyata dia punya keberanian untuk mengadu jiwa dengan

sang pengkhianat, hal ini sungguh berada di luar dugaanku” ujar Ti

Then dengan terharu.

“Itulah disebabkan dia terlalu becci terhadap si menteri pintu

yang sudah mengkhianati dirinya sehingga tanpa sayang jiwanya

sendiri dia sudah mengadu jiwa dengan dirinya” timbrung Suma San

Ho dengan amat gembira.

“Sekarang aku mau mulai berusaha membebaskan totokan jalan

darahku bagaimana kau? Tempat-tempat yang terpukul terasa sakit

tidak?”

“Ada sedikit sakit tetapi tidak mengapa aku rasa perlahan-lahan

akan sembuh dengan sendirinya . . , . Suma suheng, bagaimana

dengan keadaanmu?”

“Ie-heng baik-baik saja” sahut Suma San Ho dengan cepat.”

Cuma saja tangan serta kakiku terikat kencang-kencang oleh otot

kerbau itu . . . .”

“Eeeeh lelaki berkerudung itu sudah berada di dalam istana, kita

harus cepat-cepat berusaha untuk meloloskan diri dari ikatan tiang

kayu ini” tiba-tiba Wi Lian in memperingatkan.

“Tadi si menteri pintu bilang dia orang sudah membinasakan si

pembesar Jendela, entah hal ini benar atau tidak?”

“Aku kira sedikit pun tidak salah” jawab Suma San Ho cepat.

“Karena ingin menelan semua harta kekayaan kemungkinan sekali

dia tidak akan melepaskan diri pembesrJendela”

“Kalau memang demikian adanya, cayhe rasa keselamatan kita

untuk sementara tidak mengapa”

“Tidak salah” jawab Suma San Ho. “Lelaki berkerudung itu tidak

ada yang menunjuk jalan dia tentunya tidak berani menerjang

secara sembarangan ke sini dengan menerjang kedelapan belas

alat-alat rahasia yang sudah dipasang si anying langit rase bumi

disekeliling tempat ini”

“Sekarang persoalannya sekali pun kita berhasil melepaskan diri

dari belenggu ini tapi tidak bia menorobos keluar dari tempat ini”

ujar Ti Then lagi.

“Lebih baik kita bicarakan persoalan itu setelah kita lolos dari

tiang kayu ini, kau membutuhkan waktu berapa lama untuk

membebaskan diri dari totokan jalan darahmu itu ?”

“Kurang lebih setengah jam lamanya”

“Kalau begitu cepatlah kau mengerahkan tenagamu, tidak perduli

bagaimana pun kita harus meloloskaa diri dari ikatan tiang kayu ini

sebelum lelaki berkerudung itu berhasil memasuki ruangan siksa

ini.”

“Baik, aku tidak akan berbicara kembali dengan kalian.”

Ti Then segera memejamkan matanya untuk pusatkan seluruh

perhatiannya mengatur pernapasan, dengan mengikuti aliran jalan

darah dia berusaha menggunakan hawa murninya untuk menerjang

jalan darahnya yang tertotok.

Waktu itu lelaki berkerudung yang sedang menanti diluar

ruangan Khie Ie Tong sewaktu melihat si menteri pintu sudah amat

lama sekali tidak keluar-keluar juga hatinya tidak sabaran, sambil

menggendong tangan dia berjalan mondar mandir dan bergumam

seorang diri:

“Hmmm, sudah begitu lama kenapa dia tidak balik? tentu di sana

sudah terjadi peristiwa, tetapi jikalau dia tidak berhasil menguasai

Bun Jin Cu sebaliknya dibunuh olehnya kenapa si rase bumi itu tidak

keluar untuk menengok ?? apakah dia sudah bersiap sedia umuk

bertahan di dalam ruangan siksanya itu?”

Mendadak telinganya menangkap suatu gerakan tubuh yang

mencurigakan, tubuhnya dengan cepat berkelebat bersembunyi di

balik sebuah wuwungan rumah,

“Ada orang yang datang?”

Tidak salah, tempat itu sudah kedatangan dua orang.

Kedua orang itu kurang lebih sudah berusia empat puluh

tahunan, tubuhnya memakai baju singsat berwarna hijau dengan

sebuah golok besar tergores pada punggungnya, jika dilihat dari

wajahnya yang bengis kejam jelas sekali mereka bukanlah manusia

baik-baik.

Gerakan tubuh mereka sangat mencurigakan sekali, seiampainya

di depa t ruangan Cbi le Tong sewaktu dilihatnya tubuh si pembesar

jendela sudah menggeletak tak bernyawa di atas tanah wajah

mereka segera berubah amat hebat.

Mereka saling berpandangan sekejap lalu terdengarlah salah

seorang yang berbadan tinggi besar berbisik dengan suara yang

amat lirih:

“Bukankah dia orang adalah sipembesar jendela ?”

Lelaki kasar yang punya bentuk badan pendek kecil segera

mengangguk, “Tidak salah, dialah si pembesar jendela itu.”

“Sungguh heran sekali,” terdengar lelaki berbadan tinggi besar

itu berseru dengan pandangan terperanyat.

“Dia sama sekali tidak mengkhianati diri Teh Ho Kenapa dia pun

terbunuh ?”

“Entah si menteri pintu masih ada tidak?” tiba-tiba silelaki

berbadan pendek memberi peringatan sedang matanya berputar

memandang ke sekeliling tempat itu.

“Si pembesar jendela sudah mati sudah tentu si menteri pintu

pun tidak akan hidup kemungkinan juga dia sudah meninggalkan

tempat ini.”

“Tapi Teh Ho kemungkinan juga masih di dalam.”

“Tidak mungkin” seru lelaki berbadan besar itu cepat. “Aku berani

bertaruh dengan kau orang, dia pasti sudah meninggalkan istana

Thian Teh Kong ini”

“Tapi lebih baik kita sedikit berhati-hati jangan dikarenakan

sedikit harta kita malah kehilangan nyawa”

Dia berhenti sebentar untuk tukar napas lalu sambungnya

kembali:

“Omong terus terang saja, Lo Liuw, sebenarnya kau merasa Teh

Ho masih ada seberapa banyak harta kekayaan yang terpendam di

ruang bawah tanahnya ? apa barang-barang ini pasti ada ?”

“Pasti, tidak salah lagi” sahut lelaki berbadan besar itu sambil

mengangguk. “Lo cu sudah kerja selama tujuh, delapan tahun

lamanya di dalam ruangan alat-alat rahasia dan sering sekali melihat

Thian Cun serta Teh Ho memasuki ruangan siksa itu, mereka pasti

sudah menyembunyikan sejumlah harta kekayaan di dalam ruangan

itu.”

“Jikalau di dalam ruangan siksa itu benar-benar sudah tersimpan

sejumlah harta kekayaan bagaimana Teh Kong ini?” Sela si lelaki

berbadan pendek itu.

“Aku orang tua bisa mengambil kesimpulan kalau dia orang

sudah meninggalkan tempat itu alasaanya ada dua Pertama, esok

hari merupakan waktu janyinya kepada Wi Ci To untuk mengadakan

pertandingan, dia orang bukanlah tandingan dari Wi Ci To

karenanya dia harus menghindarkan diri dari tempat tersebut,

kedua: menurut anggapannya harta kekayaan yang disimpan di

dalam ruangan siksa tak

ada yang mengetahuinya, karena itu dengan berlega hati dia

meninggalkan tempat itu, dia bisa balik kembali ke atas gunung

setelah waktu perjanyian dengan Wi Ci To lewat.”

Lelaki kasar berbadan pendek itu segera termenung berpikir

sebentar akhirnya sambil memandang tajam wajahnya dia berkata:

“Lalu apakah ksu sudah merasa yakin bisa melewati kedelapan

belas buah alat

rahasia itu ?”

“Aku orang tua sudah bekerja selama tujuh, delapan tahun

lamanya di dalam kamar alat-alat rahasia itu, terhadap semua alat

rahasia aku sudah mengenalnya seperti mengenali jariku sendiri,

kau boleh berlega hati tidak perlu melewati kedelapan belas alat

rahasia itu pun masih bisa sampai di dalam ruangan siksa“

Mendengar perkataan teisebut lelaki berbadan pendek itu

menjadi amat girang sekali,

“Kalau memangnya demikian urusan tidak bisa ditunda-tunda

lagi, ajoh mari kita masuk ke dalam”

“Sekali lagi aku orang tua berbicara” tiba-tiba ujar lelaki berbadan

tinggi besar itu dengan serius.

“Setelah kita mendapatkan harta kekajaan itu maka aku orang

tua akan mendapatkan tujuh bagian sedangkan kau orang cuma

tiga bagian.”

“Tidak ada persoalan. tetap seperti perkataan semula.”Jawab

lelaki pendek itu mengangguk berulang kali.

“Kalau begitu ikutilah diri lohu” ujarnya kemudian sambil

melanjutkan langkahnya memasuki ruangan Khie Ie Tong tersebut,

Pada saat mereka berdua berjalan memasuki pintu ruangan Khie

Ie Tong itulah si lelaki berkerudung yang semula bersembunyi di

atas wuwungan rumah mendadak melayang turun ke atas tanah

dan bergerak menuju ke belakang badan kedua orang laki-laki kasar

itu.

Kedua orang lelaki kasar itu masih tetap tidak merasakan

sesuatu, mereka melanjutkan perjalanannya terus menaiki tangga.

Tangan kanan dari lelaki berkerudung itu dengan cepat

berkelebat mencengkam leher dari lelaki berbadan pendek itu

kemudian mengangkat seluruh badannya ke atas.

“ Aduuh .. “

Saking terkejutnya lelaki berbadan pendek itu sudah berteriak

tertahan.

Tetapi baru saja suara teriakannya keluar dari mulut tubuhnya

sudah dilemparkan beberapa kaki jauhnya oleh lelaki berkerudung

itu sehingga kepalanya hancur dan darah segar berceceren keluar,

tubuhnya hanya berkelejet beberapa kali lalu rubuh binasa.

Lelaki berbadan tinggi besar itu menjadi amat terperanyat sekali

hamper-hampir membuat sukmanya pun ikut melayang, sambil

menjerit-jerit keras tubuhnya dengan cepat mengundurkan diri ke

belakang.

Tubuh lelaki berkerudung itu bagaikan bayangan setan saja

mengikuti terus dari belakang badannya.

“Heee . . hee jangan lari aku tidak akan membinasakan dirimu”

Lelaki berbadan tinggi besar itu tidak mau tahu, pergelangan

tangan kanannya dengan cepat di balik mencabut keluar golok yang

terselip pada pinggangnya lalu dengan dahsyatnya dibacok ke atas

kepala lelaki berkerudung itu.

Tubuh lelaki berkerudung itu dengan cepat berkelebat ke

samping, telapak tangannya di balik mencengkeram pergelangan

tangan lawannya sedang mulutnya membentak keras.

“Lepas”

Seketika itu juga lelaki berbadan tinggi besar itu merasakan

pergelangan tangan yang dicengkeram oleh orang berkerudung itu

terasa amat sakit sekali, golok di tangannya tidak dapat dicekal lagi

dengan menimbulksn suara yang amat nyaring goloknya terjatuh ke

atas tanah.

Saking-takutnya seluruh tubuh lelaki berbadan tinggi besar itu

gemetar dengan amat kerasnya, sepasang lututnya menjadi lemas,

tak kuasa lagi dia jatuhkan diri berlutut di atas tanah.

“Ooh Thayhiap am puni aku orang” mohonnya dengan suara

gemetar.

“Hmm.. aku bilang tidak akan membunuh kau yah tidak bunuh,

apa telingamu sudah tuli?”

Mendengar perkataan tersebut lelaki itu menjadi terkejut

bercampur gembira, serunya berulang kali.

“Baik, baik, kau . . kau siapakah kau orang tua?”

“Lohu adalah Wi Ci To dari benteng Pek Kiam Po” sahut orang

berkerudung itu dingin.

“Aaaah?” tak kuasa lagi lelaki itu menjerit tertahan lalu berdiri

melongo tak bisa mengucapkan sepatah kata pun juga.

Sinar mata lelaki berkerudung itu segera berkelebat dengan amat

tajamnya, dia tertawa dingin tak henti-hentinya.

“Siapa namamu?’ tanyanya.

“Hamba bernama Liuw Khiet“ sahut lelaki tersebut sambil

menelan ludah.

“Kau pun anak buah dari istana Thian Teh Kong?”

“Benar” Jawab si Liauw Khiet mengngangguk.”Tetapi sekarang

hamba sudah mengkhianati Teh Ho dan bukan anggota dari istana

Thian Teh Kong lagi.”

“Tadi kau bilang sudah bekerja selama tujuh delapan tahun

lamanya di dalam ruangan alat rahasia, perkataanmu itu sungguhsungguh

atau sedang berbohong?”

“Sungguh . . . sungguh waktu itu hamba benar-benar terdesak

karenanya tidak berani melawan.””

“Kau benar-benar mem punyai cara untuk memasuki ruangan

siksa itu tanpa melalui kedelapan belas alat rahasia tersebut? “

sambung lelaki berkerudung itu.

Benar. “Seru lelaki tersebut setelah ragu ragu sebentar.

“Bagus sekali, kau bawalah lohu masuk ke dalam,”

“Wi Pocu mau berbuat apa masuk ke dalam ruangan siksa itu?”

tanya Liuw Khiet ragu ragu.

“Mencari Bun Jin Cu”

“Aaaah “ Liuw Khiet segera berteriak kaget. “Teh Ho masih . . .

masih ada di dalam istana Thian Teh Kong?”

“Tidak salah” sahutnya mengangguk, “Dia tahu lohu sudah

datang lalu tidak berani keluar bertempur, selama ini dia terus

menerus bersembunyi di dalam ruangan siksanya saja, karena itu

terpaksa lohu harus masuk ke dalam mencarinya.”

“Tentang soal ini …tentang ini..”

Lelaki berkerudung itu segera tertawa dingin.

“Jikalau kau orang tidak mau baik-baik membawa lohu masuk ke

dalam, jangan salahkan lohu akan membinasakan dirimu”

Air muka Liuw Khiet segera berubah pucat pasi, sahutnya

berulang kali:

“Baik..baik. hamba akan membawa Wi Pocu masuk ke dalam.

cuma . . “.

“Cuma apa ?”

“Jikalau Wi Pocn tidak berhasil membinasakan dirinya maka

hamba akan menerima akibat yang mengerikan.”

“Ooooh. . . hehe ,, heee .. kau boleh berlega bati,” Ujar lelaki

berkerudung itu sambil tertawa seram. “Lohu pasti berhasil

membasmi dirinya“

“Setelah Wi Pocu membinasakan dirinya apakah kau orang tua

juga mau melepaskan hamba?”

“Sudah tentu, sudah tentu “Sahut orang berkerudung itu

berulang kali.

“Jikalau di dalam ruangan siksa itu benar-benar terdapat harta

kekayaan maka Lohu mau perseni beberapa bagian kepadamu.”

Mendengar perkataan tersebut Liuw Khiet menjadi amat girang

sekati, dia segera mengangguk,

“Baik , , . baik , ,, terima kasih Wi Pocu, sejak ini hari hamba

tentu akan berubah sifat dan jadi orang baik-baik”

Lelaki berkerudung itu tidak mau banyak bicara lagi dia segera

menarik tangannya berjalan memasuki ruangan Khie Ie Tong itu

tanyanya.

“Kita masuk melalui ruangan Khie Ie Toag ini?”

“Benar, di belakang meja panjang itu.”

“Lohu tahu diatss permukaan ruangan ini sudah dipasang papan

terbalik, kita harus berjalan melalui mana sehingga tidak mengenai

alat rahasia tersebut?“

“Papan membalik ini bukan bergerak secara otomatis tetapi harus

digerakkan dengan tenaga manusia, alat untuk menggerakkan

papan itu ada di bawah meja panjang tersebut, kini di balik meja

panjang tidak ada orang yang ada di sana dengan sendirinya alat

rahasia ini tidak akan berjalan“

“Hmm, jika kau berani menipu lohu jangan salahkan aku

membinasakan dulu dirimu” tiba-tiba ancam lelaki berkerudung itu

dengan suara yang amat berat.

“Wi Pocu harap kau berlega hati, hamba sekali pun punya nyali

lebih besar- pun tidak berani menipu kau orang tua”

“Baiklah, mari kita masuk ke dalam“

Dengan menarik tangan Liuw Khiet dia berjalan memasuki

ruangan Khie Ie Tong itu.

Dengan sangat berhati-hati sekali dia berjalan menuju ke

belakang meja panjang itu lalu bungkukan badannya memeriksa,

tetapi di atas meja itu sama sekali tidak terlihat adanya tombol

rahasia segera di dalam anggapannya Liuw Khiet sudah apusi

dirinya, dengan amat gusar sekali dia mengerahkan tenaga

murninya untuk menggencet pergelangan tangan dari Liuw Khiet.

“Hmm, heee …. hee ,, di bawah meja panjang itu sama sekali

tidak ada tombol rahasia,” ujarnya sambil tertawa dingin.

Seketika itu juga Liuw Khiet merasa kan pergelangan tangannya

sangat sakit se hir-tga serasa menusuk tulang, dia cepat-cepat

bungkukkan badannya

“Ada. ada, hamba akan membukanya buat kau orang tua lihat,”

“Dimana tombol rahasia itu?” Seru lelaki berkerudung itu kembali

sambil tertawa dingin, tetapi lima jarinya yang mencengkeram

pergelangan tangan Liuw Khiet sudah mulai mengendor.

Dengan terburu-buru Liuw Khiet mengulur tangannya menepuk

dan mendorong meja panjang tersebut, segera terlihatlah sebuah

jalan rahasia yang sangat gelap.

Pada tengah pintu ruangan rahasia itu tampaklah empat buah

tomboi yang berwarna merab, kuning, hitam dan putih empat

warna.

Dia segera menuding kearah tombol tersebut sambil berkata :

“Coba kau orang tua lihat, bukankah ini merupakan tomboltombol

alat rahasia?”

“Ehmm . . kenapa ada empat buah banyaknya“

“Yang merah digunakan untuk membuka papan berputar, yang

hitam untuk turun sedang yang putih untuk naik ke atas dan yang

kuning digunakan untuk menutup papan berputar” sahut Liuw Khiet

menerangkan.

“Apa yang dimaksud dengan naik ke atas dan turun ke bawah“

”Jika kita menekan tombol hitam maka papan yang kita inyak

sekarang akan turun ke bawah dan terus meluncur sampai jalan

rahasia di bawah tanah”

“Oooh kiranya begitu, di dalam jalan rahasia dbawah tanah

adakah alat rahasia?”

tanya lelaki berkerudung itu menjadi paham kembali.

“Tidak ada, di sana cuma ada tiga buah pintu besi“

“Setelah melewati ketiga buah pintu besi itu kita akan sampai di

dalam ruangan siksa?”

“Benar “

Agaknya lelaki berkerudung itu tidak percaya kalau susunan

ditempai itu bisa begitu sederhananya, nada suaranya segera

berubah menjadi amat keras.

“Tadi kau bilang di dalam ruangan siksa itu si anying langit rase

bumi sudah menyimpan barang-barang berharganya, kalau memang

begitu kenapa di dalam ruangan siksanya dia tidak memasang alat

rahasia apa pun?”

“Jaian rahasia ini biasanya cuma digunakaa oleh Thian Cun serta

Teh Ho dua orang saja, untuk keselamatan mereka sendiri sengaja

mereka tidak memasang alat rahasia di sana,”

“Baiklah, sekarang kau boleh pencet tombol itu,”

Liuw Khiet segera menekan tombol berwarna hitam itu, papan

yang seluas tiga depa itu segera tanpa mengeluarkan sedikit suara

pun meluncur ke bawah menuju ke ruangan rahasia yang ada di

bawah tanah.

Ruangan bawah tanah itu terbuat dari batu batu cadas yang

amat kuat, luasnya ada empat depa sedang tingginya satu kaki dan

panjangnya lorong tersebut tidak diketahui karena tiga kaki dari

sana sudah terhalang oleh sebuah pintu besi.

Lelaki berkerudung itu segera menarik Liuw Khiet turun ke atas

tanah tanyanya kembali

“Di dalam lorong bawah tanah ini apakah tidak ada lampu?“

“Tidak ada”

“Kalau begitu” ujar lelaki berkerudung itu lagi sambil menuding

kearah papan yang baru saja meluncur ke bawah itu.”jika barang ini

sudah naik ke atas bukankah kita harus meraba-raba ditengah

kegelapan.”

“Tidak mengapa, pintu besi itu mudah untuk dibukanya.”

Agaknya lelaki berkerudung itu merasa hatinya kurang mantap,

dia segera menuding kearah pintu besi ini dulu kemudian baru

menaikkan kembali barang ini.

Liuw Khiet segera menyahut, dia berjalan ke depan pintu besi

yang ada di dalam lorong bawah tanah lalu mencekal gelang pintu

dan menariknya lima kali lalu mendorong ke belakang.

“Kraaak ..” dengan menimbulkan suara yang amat nyaring pintu

besi itu segera membuka ke samping.

Saat ini di hadapan mereka terbentanglah sebuah jalan rahasia

yang panjangnya ada tiga kaki, pada ujung jalan rahasia itu muncul

kembali sebuah pintu besi yang bentuknya serupa dengan pintu besi

di hadapan mereka sekarang ini.

“Pintu besi yang kedua itu apa perlu di buka pula?” tanya Liuw

Khiet sambil memandang kearah orang itu,

“Bukankah kau bilang semuanya ada tiga buah pintu?”

“Benar“

“Kalau begitu buka semuanya terlebih dahulu kita batu menutup

pintu masuk “

Liuw Khiet segera menyahut dan berjalan ke depan pintu besi

yang kedua itu tangannya menarik gelangan pintu empat kali dan

mendorongnya ke belakang, pintu besi itu pun terbuka.

Ketika dia berhasil membuka pintu yang ketiga, tampak jalan

rahasia itu berbelok ke kanan, pada ujungnya terdapatlah sebuah

pintu batu

“Itulah ruangan siksa“ ujar Liuw Khiet dengan perlahan sambil

menuding kearah pintu batu itu.

Suaranya rada gemetar, karena dia merasa sangat takut dan

ngeri terhadap diri si rase bumi Bun Jin Cu.

“Jika pintu besi itu ditutup mati dari dalam kita harus berbuat

bagaimana untuk membukanya ?“ tanya lelaki berkeruduog itu pula

dengan suara perlahan.

“Terpaksa kita harus menghancurkan pintu tersebut.”

Lelaki berkerudung itu segera termenung berpikir sebentar,

akhirnya jawabnya

“Baiklah,lohu akan kembali ke sana untuk menutup pintu, kau

baik-baiklah menunggu di sini”

Sembari berkata tangan kanannya dengan cepat berkelebat

menotok jalan darah kaku dari tubuh Liuw Khiet.

Belum sempat Liuw Khiet menjerit tertahan tubuhnya sudah

jatuh duduk di atas tanah, wajahnya berubah menjadi pucat pasi.

Lelaki berkerudung itu dengan cepat membalikkan badannya

kembali ke pintu depan lalu menekan tombol berwarna putih itu

untuk menaikkan kembali papan tersebut, setelah itu berjalan

kembali ke depan pintu batu dan mendorong pintu tersebut

dengan sekuat tenaga, tetapi pintu itu sama sekali tidak

gemilang.

Dia menjadi gusar, tubuhnya mundur satu langkah ke belakang

lalu membentak keras dan melancarkan satu tendangan dahsyat

kearah pintu tersebut,

“Braaak . . ,”suara yang amat nyaring segera bergema memenuhi

seluruh lorong tetapi pintu itu sema sekali tidak tampak cedera,

jelas sekali memperlihatkan kalau pintu tersebut memang amat kuat

sekali.

Ti Then, Wi Lian In serta 3uma San Ho yang mendengar dari luar

ruangan siksa itu ada suara orang yang sedang menendang pintu

dalam hati segera tahu kalau lelaki berkerudung itu sudah sampai di

sana, mereka bertiga segera saling bertukar pandangan dengan hati

yang ngeri.

“Ti Kiauw tauw” terdengar Wi Lian In berkata dengan suara yang

amat cemas, “Kau sudah berhasil membebaskan jalan darahmu?”

Ti Then gelengkan kepalanya tetapi dia tidak mengucapkan

sepatah kata pun.

Sebetulnya pada detik-detik terakhir itu dia sudah akan berhasil

membebaskan jalan darah kaku yang tertotok pada badannya tetapi

suara tendangan pintu yang berkumandang secara tiba-tiba itu

membuat dia merasa terkejut sehingga hawa murni yang sudah

dipersatukan menjadi buyar kembali.

Tetapi dia tidak berani banyak berbicara dia hendak

mengumpulkan kembali hawa murninya untuk menggunakan

kesempatan yang terakhir ini menerjang jalan darahnya yang

tertotok sehingga bisa terbebas sebelum pihak musuh berhasil

mendobrak hancur pintu batu tersebut.

Kirannya kayu yang mengikat tangannya kini sudah terputus oleh

tangannya, asalkan jalan darahnya terbebas maka sepasang

tangannya segera akan bebas bergerak.

“Braaak. Braak. Braak“

Pintu batu itu ditendang kembali sehingga membuat pintu

menjadi tergetar dengan amat kerasnya, jika ditinyau dari keadaan

saat ini kemungkinan sekali sebentar lagi pintu itu akan terpukul

bancur.

Wi Lian In menjadi sangat terperanyat, teriaknya dengan hati

cemas.

“Cepat . . . ccpat sekali, Ti Kiauw tauw kau cspatlah sedikit,

mereka sudah hampir berhasil menerjang piniu itu”

“Jangan takut.” Tiba-tiba Suma San Ho menenangkan suasana

yang mulai menegang itu, “Pintu itu terhalang oleh besi, untuk

beberapa saat lamanya dia tidak mungkin bisa msnjebolkan pintu

itu,”

“Tidak” bantah Wi Lian In dengan cepat,” Dia bisa

menghancurkan pintu itu dengan cepat.

“Braak. Braaak„ Braak.”

Suara tinjuan yang amat nyaring bergema kembali, ternyata

sedikit pun tidak salah pintu itu sudah kelihatan mulai mengendor

dari engselnya,

Mendadak terdengar lelaki berkerudung itu tertawa terbahak

bahak,

“Hey Bun Jin Cu“ teriaknya mengejek. “Kau bersembunyi terus di

dalam ruangan bukanlah suatu cara yang bagus lebih baik kau

orang cepat bukakan pintu buat aku?“

Wi Lian In menjadi melengak, medadak di dalam benaknya

berkelebat suatu ingatan dengan menirukan nada suara dari Bun Jin

Cu teriaknya

”Hey siapa kau orang?”

Lelaki berkerudung itu sama sekali tidak mengerti kalau Bun Jin

Cu sudah mati, karenanya dia orang sama sekali tidak mencurigai

pula kalau suara itu bukan suara dari Bun Jin Cu sendiri, kakinya

sekali lagi menendang pintu batu itu dengan berat-berat lalu

tertawa terbahak-bahak.

“Jika kau orang mau tahu siapakah Lohu kenapa tidak membuka

pintu mempersilahkan aku orang masuk saja?“

“Tidak, aku tidak akan membukakan pintu sebelum kau orang

menjelaskan siapakah adalah kau orang“

“Kau boleh berlega hati” teriak lelaki berkerudung itu. “Lohu

bersumpah tidak akan mengganggu seujung rambut pun dirimu.

Lohu sengaja datang kemari untuk membicarakan kerja sama kita

untuk menghadapa Wi Ci To”

“Bagus, bagus sekali“ sahut Wi Lian In dengan menirukan lagak

dari Bun Jin Cu. “Tetapi aku orang masih tidak mengetahui siapa

ssbenarnya kau, bagaimana aku bisa menyetujui untuk bekerja

sama dengan dirimu?“

”Lebih baik kita bicarakaa soal ini setelah berhadap-hadapan

muka, di samping itu lohu pua bisa memberitahukan namaku”

“Hee . hee . aku tidak akan tertipu oleh pancinganmu” Seru Wi

Lian In mendadak sambil tertawa dingin. “Jika mau membicarakan

soai ini leoih baik kau berdiri saja di pintu luar”

“Omong yang mudah saja lohu hendak menggunakan putrinya

serta bangsat cilik she-Ti itu untuk memaksa Wi Ci To menyerahkan

sebuah barang”

“Kau akan memaksa Wi Ci To untuk menyerahkan barang apa ?“

desak Wi Lian In lebih lanjut. f

“Sebuah barang yang sangat tidak berharga untuk dibicarakan.”

“Kalau memangnya tidak berharga, buat apa kau mencari barang

tersebut?”

“Barang itu sangat tidak berharga, sampai dijual pun tidak laku,”

“Sebetulnya barang apa yang sedang kau cari?” desak Wi Lian In

terus.

“Lohu tidak bisa memberitahukan hal ini kepadamu.”

“Hal ini berarti juga kau sama sekali tidak bermaksud sungguhsungguh

untuk bekerja sama dengan diriku.”

“Lohu akan segera memberikan uang sebesar seratus ribu tahil

perak untuk membeli tawaranmu itu.”

Wi Lian In segera tertawa dingin.

“Aku orang sama sekali tidak tertarik dengan uang seratus ribu

tahil perakmu itu.”

“Tapi Lohu masih bisa membantu dirimu untuk menghadapi Wi Ci

To, dengan tenaga gabungan dari kita berdua Wi Ci To pasti bisa

diringkus dengan mudah” ujar lelaki berkerudung itu coba memaksa

Bun Ji Cu untuk tertarik.

“Sekarang aku sudah punya tiga orang tawanan, buat. apa aku

orang takut dengan Wi Ci To lagi?”

“Kau terlalu memandang rendah dirinya, dia tidak akan mau kau

kuasai dengan begitu mudahnya”

“Oooh benar?” Seru Wi Lian In sambil tertawa terbahak-bahak.

“Coba kau bilang tegakah dia orang melihat putrinya, dia masih

mem punyai berpuluh puluh orang pendekar pedang merah yang

memberikan bantuannya. Kau tidak akan bisa bertahan melawan

kerubutan mereka.”

“Hii . . hiii . • .hii . , . menunggang keledai membaca not lagu,

kita lihat saja bagaimana hasilnya nanti, “ Sela Wi Lian In kemudian

sambil tertawa.

“Tidak perduli bagaimana pun apa kau sudah ambil keputusan

untuk tidak mau bekerja sama dengan Lohu ?“ Tiba-tiba ancam

lelaki berkerudung itu sambil tertawa dingin.

Wi Lian In menoleh memandang sekejap kearah Ti Then, ketika

dilihatnya dia

masih mengerahkan tenaga dalamnya untuk membebaskan jalan

darahnya yang tertotok lalu ujarnya lagi,

“Di dalam keadaan seperti ini aku punya beberapa syarat, jika

kau bisa penuhi syarat-syarat tersebut aku baru mau bekerja sama

dengan dirimu”

“Cepat kau katakana!”

“Pertama, sebutkan siapa kau orang. Kedua, katakan barang apa

yang hendak kau paksakan dari Wi Ci To untuk diserahkan kepada

dirimu“

“Hmmm “ dengus lelaki berkerudung itu dengan kurang senang,

“Buat apa kau tertarik dengan urusan ini?“

“Tertarik?” Mendadak Wi Lian In tertawa terbahak-bahak “Sifat

manusia memang demikian“

“Jikalau lohu tidak mau berbicara apakah kau tidak ingin

menerima permintaan dari lohu untuk mengadakan Kerja sama?”

Seru lelaki berkerudung itu dengan amat dingin.

Wi Lian In tidak memberikan jawaban secara langsung, dia

segera tertawa.

“Jikalau kau mau bsrbicara terus terang, aku orang pasti akan

merahasiakannya bahkan tidak mau pula barang yang hendak kau

hadiahkan kepadaku, kau lihat bagaimana?“

“Tidak” potong lelaki berkerudung itu dengan tegas,

“Permintaanmu itu lohu tidak sanggup untuk memenuhinya,aku

cuma minta kau mau menyetujui kerja sama diantara kita kalau

tidak lohu segera akan menerjang masuk ke dalam ruanganmu ini”

Dia berhenti sebentar lalu sambungnya sambil tertawa seram :

“Jikalau Lohu berhasil mendobrak pintu ini sampai waktu itu

sekali pun ingin bekerja sama dengan Lohu aku pun tidak akan

mau“

Wi Lian In yang melihat jalan darah dari Ti Then belum berhasil

juga dibebaskan hatinya merasa amat cemas sekali nada ucapannya

segera berubah amat halus sahutnya

“Jikalau aku orang menyanggupi kau hendak menggunakan cara

apa untuk membantu diriku untuk menghadapi Wi Ci To?”

“Sewaktu besok pagi dia naik ke atas gunung dia orang tentu

membawa banyak sekali pendekar pedang merah. Lohu membantu

dirimu membasmi semua pendekar pedang merah lalu bersamasama

bergabung tenaga menghadapi dirinya.”

“Kau punya pegangan kuat untuk mengalahkan para pendekar

pedang merah itu?”

“Sama sekali tidak ada soal” jawab lelaki berkerudung itu singkat.

“Tetapi aku pun percaya tanpa bantuan dari dirimu aku masih

sanggup untuk menghadapi para pendekar pedang merah itu dan

membasminya semua“

“Hmm” terdengar lelaki berkerudung itu tertawa dingin, “Kau

hendak menggunakan cara apa untuk membasmi seluruh pendekar

pedang merahnya?”

“Asalkan aku berhasil memanctng mereka untuk memasuki

ruangan di bawah tanah ini maka aku bisa menggerakkaa alat

rahasia untuk membasmi para pendekar pedang merah itu“

Mendengar perkataan itu lelaki berkerudung itu segera terbahak

bahak.

“Cuma sayang kedelapan belas alat rahasiamu itu sudah aku

hancurkao semua,

coba pikirlah jika aku tidak berhasil menghancurkan alat-alat

rahasia itu bagaimana Lohu bisa sampai di sini dalam keaadaan

selamat?”

“Haaa.. kau berhasil melewati kedelapan belas alat rahasiaku

itu?” teriak Wi Lian In pura-pura kaget.

“Sedikit pun tidak salah” jawab lelaki berkerudung itu sambil

tertawa tergelak.

“Karena Lohu melihat si menteri pintu lama sekali tidak kembali

juga, di dalam keadaan cemas terpaksa aku menerjang kemari

seorang diri, sekarang kedelapan belas alat rahasiamu itu sudah

berhasil Lohu hancurkan”

“Hmmm, tidak kusangka kau lihay juga“teriak Wi Lian In semakin

terperanyat.

“Maka itu sekarang kau cuma ada satu jalan saja ….

menyanggupi untuk bekerja sama dengan Lohu”

“Soal ini aku harus pikirkan terlebih dulu, sudah tentu kau harus

memberi waktu buat aku orang berpikir sebentar bukan?”

“Tidak” tolak lelaki berkerudung itu ketus, “Jika kau tidak mau

menerima maka Lohu segera akan menerjang pintu batumu ini“

“Jikalau kau orang benar-benar punya maksud untuk bekerja

sama dengan aku sudah tentu membiarkan aku untuk berpikir

sebentar”.

Lelaki berkerudung itu termenung berpikir sebentar, akhirnya dia

baru menyawab

“Baiklah, cepat kau berpikir”

Ketika Wi Lian In mendengar dia orang sudah menyetujui untuk

mcmberi waktu kepada dirinya untuk berpikir hatinya menjadi agak

lega, segera kepada Ti Then tanyanya dengan suara perlahan.

“Hey, kau harus menunggu berapa waktu lagi baru berhasil

membebaskan diri dari totokan jalan darah?”

Ti Tben tetap bungkam tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Jangan ganggu dia, waktu masih belum tiba sekali pun kau ribut

juga tidak

Berguna” Tiba-tiba Suma San Ho menimbrung dengan suara

yang perlahan.

Wi Lian In mengerutkan alisnya rapat-rapat, dia tidak berbicara

lagi.

Beberapa saat kemudian terdengarlah suara teriakan dari lelaki

berkerudung berkumandang lagi agaknya dia sudah merasa tidak

sabaran.

“Bun Jin Cu, kau sudah mengambil keputusan belum?”

“Kau jangan ribut,aku sedang barpikir masak-masak“ seru Wi

Lian In dengan gugup.

“Hmm jika kau mau cepat-cepatlah bilang kalau tidak mau yaa

cepat menolak buat apa berpikir lama-lama?” teriak lelaki

berkerudung itu dengan amat gusar.

“Aku sedang memikirkan satu urusan jikalau aku setuju untuk

bekerja sama dengan dirimu nanti setelah kau mendapatkan barang

yang kau dapatkan apakah kau orang masih melanjutkan untuk

bekerja sama dengan dirimu? ataukah kita berjalan berpisah?”

“Jika kau orang senang untuk bekerja sama terus dengan lohu

sudah tentu lohu akan membantu kau untuk mendirikan istana

Thian Teh Kong kembali.”

“Kalau begitu bukankah kita orang akan menduduki sebagai

pemimpin baru dari istana Thian Teh Kong?“

“Haaaa . . . haaa . , , jika lohu yang menduduki puncak

pimpinan hal ini tidak akan merendahkan nama besar dari dirimu.”

“Tadi aku dengar dari si menteri pintu serta pembesar jendeia

katanya kepandaian silatmu amat tinggi sekali, tetapi saudara bukan

apaku bagaimana kau orang bisa menduduki tempat puncak

pimpinan dari istana Thian Teh Kong?“

“Hiii.. hiii ,. jika kau mau, lain kali kita bisa hidup bersama untuk

selama- lamanya,”

“Baiknya sih baik cuma aku takut di tertawai orang lain” seru Wi

Lian In tertawa malu-malu.

Lelaki berkerudung itu segera tertawa terbahak-bahak,

“Usiamu masih sangat muda, jika kawin lagi memang

sepantasnya siapa yang berani mentertawakan dirimu?”

“Tetapi . ,Heeey.” tak tertahan lagi Wi Lian In menghela napas

panjang, “Aku masih tidak bisa melupakan suamiku yang terdahulu.”

“Orang yang sudah mati tidak akan bisa hidup kembali, buat apa

kau begitu rindu kepadanya?”

“Semasa hidupnya dia terlalu baik kepadaku, bagaimana aku

orang tidak memikirkan dirinya?”

“Kalau begitu” ujar lelaki berkerudung itu kemudian sambil

tertawa serak. “Kau ingin menyanda untuk selamanya?”

”Tentang soal ini untuk sementara waktu aku masih belum

mengambil keputusan”

“Jika kau tidak ingin kawin lagi yah sudahlah, setelah kita bekerja

sama untuk melenyapkan benteng Pek Kiam Po kita bisa berjalan

menurut jalannya masing-masing”

“Tunggu dulu“ tiba tiba Wi Lian In berteriak dengan suara berat,

“Aku hendak menanyakan suatu urusan kepadamu”

”Ada urusan apa lagi?” tanya lelaki kerudung itu sambil

mendengus dingin. “Ini tahun kau umur berapa?”

“Sudah enam puluh tahun lebih.“

“Aih . . .” Teriak Wi Lian In dengan amat keras. “Sudah berumur

enam puluh tahun ?“

“Kenapa ?“

“Usiamu sudah terlalu tua“

Lelaki berkerudung itu menjadi amat gusar sekali setelah

mendengar perkataan dari Wi Lian In itu, kakinya dengan hebat

melancarkan satu tendangan kilat ke arah pintu batu itu, sedang

mulutnya dengan amat gusar membentak:

“Jika kau orang tidak punya maksud kawin dengan Lohu buat

apa ikut campur dengan bertanya-tanya umurku?“

“Aaaah . . . . jangan marah dulu, jangan marah dulu“ seru Wi

Lian In dengan gugup “Aku masih belum mengambil keputusan“

“Kau siluman rase sungguh amat licik kau hendak mengulur ulur

waktu ??” teriak lelaki berkerudung itu sambil melancarkan

tendangan kembali menghajar pintu batu itu.

Wi Lian In yang mendengar dia melancarkaa serangan kembali

menghajar pintu batu itu dalam hati merasa sangat cemas sekali,

apalagi saat ini jalan darah dari Ti Then belum berhasil dibebaskan,

terpaksa teriaknya dengan amat keras:

“Aku mau bertanya kembali tentang satu urusan, kau sudah

beristri belum?”

Lelaki berkerudung itu tidak mau memberikan jawabannya lagi,

dengan sekuat tenaga dia melancarkan tendangan menghajar pintu

batu itu sehingga membuat seluruh ruangan siksa menjadi tergetar

dengan amat kerasnya.

Situasi sudah mencapai pada tarap sangat kritis sekali.

Saat ini Ti Then masih tetap memejamkan matanya untuk

mengatur pernapasan dari atas kepalanya tampak butiran keringat

sebesar kacang kedelai dengan derasnya menetes keluar, wajahnya

merah padam agaknya dia sudah mencapai pada puncak

latihannya.

ooo00ooo

38

Tak tertahan lagi Wi Lian In berseru dengan suara yang

perlahan, “Ti Kiauw tauw, cepat sedikit dia dan hampir berhasil

mendobrak pintu tersebut”

Baru saja perkataannya selesai mendadak terdengar suara

jatuhnya benda besi ke atas tanah . . . pantek dari pintu batu itu

sudah berhasil digetarkan hingga terlepas dari tempatnya.

Bersamaan dengan membukanya pintu batu itu bagaikan kilat

cepatnya lelaki berkerudung itu berkelebat masuk ke dalam

tubuhnya tegak sepasang tangannya disilangkan di depan dada,

lagaknya sedang siap menerima serangan musuh.

Tetapi ketika dilihatnya di dalam ruangan siksa itu sama sekali

tidak tampak bayangan dari Bun Jin Cu dia menjadi tertegun,

bersamaan pula tubuhnya berdiri tegak matanya dengan amat

tajam sekali menyapu sekejap ke arah diri Ti Then, Wi Lian In serta

Suma San Ho bertiga.

“Dimana Bun Jin Cu?” tanyanya dengan suara berat.

“Dia sudah lari.” Cepat-cepat sahut Suma San Ho.

“Heee , he , .. dia lari kearah mana?“ Seru si lelaki berkerudung

itu sambil tertawa dingin.

“Tadi aku lihat dia orang berlari menuju ke belakang dinding batu

itu.”

Sepasang mata lelaki berkerudung itu dengan cepat msnyapu

sekejap kesekeliling tempat itu, ketika dilihatnya pada dinding batu

pada bagian belakang dari ruang siksa itu tampak sebuah lubang

besar dia segera menjerit tertahan.

“Dia melarikan diri melalui dinding batu itu?” tanyanya lagi.

“Tidak salah“

Mendadak lelaki berkerudung itu berkelebat menuju ke samping

dinding batu itu dan menengok ke dalam ruangan jalan rahasia

yang ada di balik dinding, waktu itu lah dia menemukan pada

kurang lebih tiga kaki di dalam ruangan rahasia itu menggeletak dua

sosok mayat yang dia orang bisa melihat dengan jelas orang

tersebut bukan lain adalah Bun Jin Cu serta si menteri pintu

tubuhnya segera terasa bergetar dengan amat keras.

“Iiilh . . dia sudah mati?” serunya tertahan.

“Siapa yang sudah mati?” tanya Suma San Ho pura-pura merasa

terperanyat.

“Bun Jin Cu serta si menteri pintu, mereka suduh menginyak alat

rahasia dan kini sudah binasa ditengah jalan rahasia itu terhajar

hujan panah”

“Tidak aneh sewaktu kau berhasil menerjang pintu dan

memasuki ruangan ini kita mendengar suara teriakannya, kiranya

dia sudah terkena alat rahasia . . haa.. . haaa hal ini sungguh

menyenangkan sekali, tidak kusangka sama sekali Bun Jin Cu pun

bisa menemui ajalnya terkena alat rahasia yang dipasangnya

sendiri”

Lama sekali lelaki berkerudung itu memandang tajam mayat Bun

Jin Cu yang menggeletak di atas tanah, mendadak dia mengambil

sebuah batu cadas yang besar dan disambitkan tepat menghajar

mayatnya yang menggeletak di atas tanah.

Batu cadas itu dengan amat kerasnya terjatuh ke atas tubuh Bun

Jin Cu sehingga mengeluarkan suara yang amat keras sekali.

Ketita batu itu mengggelinding ke samping dengan tepat

membuat wajah Bun Jin Cu tertoleh kearah luar.

Kiranya dia takut Bun Jin Cu sedang berpura-pura mati

karenanya sengaja dia menyambitkan batu itu untuk memeriksa

apakah Bun Jin Cu benar-benar sudah binasa, kini ketika dilihatnya

dia orang benar-benar sudah menemui ajalnya seketika itu juga

hatinya menjadi sangat gembira sambil mendongakkan kepalanya

tertawa terbahak serunya:

“Tidak salah, tidak salah, dia orang memang betul-betul sudah

binasa, haaa . .haa baaa . . – berarti juga kalian bertiga kini sudah

menjadi barang di dalam kantong lohu”

Ditengab suara tertawanya yang amat keras tubuhnya melayang

menuju ke hadapan Ti Then bertiga.

Melihat lelaki berkerudung itu melayang mendekati mereka

bertiga,, Suma San Ho menjadi kuatir, ujarnya dengan cepat.

“Kita bertiga harus terjatuh ketangan saudara hal ini sungguh

merupakan suatu tejadian j«ng sangat beruntung”

“Oooh benar?” teriak leliki berkeru dung itu sambil tertawa

tergelak.

“Sedikit pun tidak salah” sahut Suma San Ho membenarkan. “Bun

Jin Cu menawan kami dikarenakan mau membalas dendam

sedangkan saudara cuma hendak menggunakan kami untuk

merebut semacam barang saja“

“Tetapi jikalau Wi Ci To tidak mau menyerahkan barang yang

Lohu minta itu maka kalian pun jangan harap bisa hidup” ujar lelaki

berkerudung itu sambil tertawa seram.

“Sekali pun perkataanmu sedikir pun tidak salah tetapi saudara

pun tidak akan membinasakan kita pada saat ini, bukan begitu?”

Lelaki berkerudung itu tidak memberikan jawabannya, dengan

langkah perlahan dia berjalan menuju kehadaoan Ti Then lalu

mengangkat kepalanya yang tertunduk dengan lemasnya itu.

Ketika dilihatnya sepasang mata Ti Then terpejam rapat-rapat,

sepertinya sedang jatuh tidak sadarkan diri tak terasa lagi dia sudah

tertawa dingin.

“Kenapa dengan bangsat cilik ini?”

“Dia sudah terpukul rubuh oleh Bun Jin Cu“ sahut Suma San Ho

berbohong.

Dengan amat teliti sekali lelaki berkerudung itu memeriksa kedua

buah tiang kayunya yang terpatahksn, melihat ini dia menghela

napas panjang.

“Hey…tenaga dalamnya sungguh tidak lemah, kayu yang begitu

kuatnya dia masih bisa mematahkannya”

“Karena dia memutuskan kayu tiang itulah Bun Jin Cu baru

memukulnya hingga jatuh tidak sadarkan diri, pukulannya sungguh

amat kejam sekali.”

Dengan langkah perlahan lelaki berkerudung itu beralih ke

hadapan Wi Lian In ejeknya sambil tertawa.

“Hee…hee..agaknya kau pun sudah merasakan sedikit deritamu

juga?”

Wi Lian In melengos, mulutnya tetap ditutup rapat-rapat.

Lelaki berkerudung itu pun segera beralih ke depan tubuh Suma

San Ho.

“Bun Jin Cu bersiap-siap mau melarikan diri kenapa dia tidak mau

membunuh dirimu terlebih dulu?” ujarnya sambil tertawa.

“Kemungkinan sekali dia tidak bermaksud uniuk melarikan diri

meninggalkan istana Thian Teh Kong ini, agaknya dia berusaha

untuk membawa si menteri pintu bersembunyi di suatu tempat lalu

baru balik kemari membawa kita semua meninggalkan ruangan

siksa, siapa sangka mereka sudah tidak kebentur dengan alat

rahasia sehingga menemui ajalnya.”

Agaknya lelaki berkerudung dia sama sekali tidak mencurigai

perkataan dari Suma San Ho ini, dia segera mengangguk.

“Sebetulnya Lohu punya maksud sungguh-sungguh untuk

bekerja sama dengan dirinya, asalkan dia mau menyanggupi diri

Lohu maka dia pun tidak akan menerima kematiannya dengan

demikian mengenaskan”

“Sebetulnya saudara bermaksud meminta barang apa dari Pocu

kami?” tiba-tiba tanya Suma San Ho.

“Soal ini kalian tidak perlu tahu” sahutnya ketus.

“Apakah kitab pusaka Ie Cin Keng itu?”

Mendengar disebutnya kitab pusaka Ie Cin Keng lelaki

berkerudung itu segera terbahak-bahak.

“Kitab pusaka Ie Cin Keng itu sekali pun kalian hadiahkan untuk

Lohu sebagai kertas pembersih pantatku. Lohu belum tentu mau.”

“Apakah dikarenakan sebuah lukisan?” tiba-tiba timbrung Wi Lian

In,

Agaknya lelaki berkerudung itu dibuat melengak, tapi sebentar

kemudian sudah tertawa kembali.

“Haaa . . . haaa . , , haaa , . . bagaimana kalian bisa pikirkan

tentang lukisan? apakah di dalam loteng penyimpan kitab dari

ayahmu itu sudah tersimpan sebuah lukisan yang sangat berharga

sekali?“

“Di dalam loteng penyimpan kitab ayahku kecuali kitab serta

lukisan tidak ada barang yang berharga lagi.”

“Lobu tidak menghendaki kitab-kitab serta lukisan-lukisan dari

ayahmu itu” ujar lelaki berkerudung itu sambil tertawa. “ Sekali pun

kitab serta lukisan lukisan itu lebih berharga lohu tidak akan

memandang barang sekejap pun”

“Lalu kau orang menghendaki barang apa?” Desak Wi Lian In.

“Soal ini kalian tidak perlu tahu” Potong lelaki berkerudung itu

sambil gelengkan kepalanya. “Bukankah lohu tadi sudah bilang

kalian tidak usah ikut mengetahui persoalan ini?”

Tiba-tiba Wi Lian In menghela napas panjang ujarnya,

“Aku sangat haus dapatkah kau orang carikan secawan teh buat

diriku?“

“Ditempat ini mana ada teh?” ujar lelaki berkerudung itu sambi

menyapu sekejep

kesekeliling tempat itu.

“Aku pun tidak tahu, coba kau keluarlah dari sini tolong

membantu aku carikan”

Perasaan curiga segera menyelimuti wajahnya, mendadak dia

tertawa seram.

“Heee . . hee , . sekarang aku tahu, bukankab kau sedang

menipu lohu untuk keluar dari sini lalu dengan mengambil

kesempatan itu melarikan diri dari tempat ini?”

“Jikalau kami mem punyai cara untuk melarikan diri tidak akan

menanti sampai sekarang, buat apa kau orang banyak curiga?”

“Tapi kekasihmu segara akan sadar kembali” ujar lelaki

berkerudung itu sambil menuding kearah Ti Then, “Dia sudah

berhasil memutuskan tiang kayu yang mengikat tubuhnya maka

setelah dia sadar kembali dengan cepat dia akan berhasil

melepaskan otot kerbau yang mengikat badannya, bukan begitu?“

“Dia baru saja dipukul dengan amat kejam, tidak mungkin dia

orang bisa sadar kembali dengan cepat“ ujar Wi Lian In sambil

menghela napas panjang dengan amat sedihnya.

Lelaki berkerudung itu tak bias menahan gelinya, dia segera

tertawa keras.

“Jika kau mau minum the boleh saja, tetapi Lohu harus menotok

jalan darah kakunya dulu”

“Kalau begitu sudahlah, aku tidak jadi minum” teriak Wi Lian In

dengan gugup.

“Hal ini semakin membuktikan kalau kau sedang menipu diri

Lobu, sekarang Lohu harus menotok jalan darah kakunya terlebih

dulu”

Selesai berkata jari tangannya dipentangkan lalu dengan

kecepatan bagaikan kilat menotok jalan darah kaku pada tubuh Wi

Lian ln.

Wi Lian In yang melihat permainannya yang pura-pura malah jadi

berantakan tak terasa lagi menjadi sangat gusar, makinya:

“Bajingan tua, kau tunggu saja setelah ayahku datang tentu ada

tontonan yang bagus buat kau orang”

Lelaki berkerudung itu tertawa terbahak-bahak, kakinya mulai

bergerak mendekati diri Ti Then.

“Lohu memang kepingin sekali kalau ayahmu bisa datang kemari

dengan cepat”

Sambil berkata jari tangannya pun dengan cepat diangkat

menotok jalan darah kaku pada tubuh Ti Then.

Pada saat jari tangannya hendak mendekati jalan darah kaku

pada tubuh Ti Then itulah mendadak sepasang tangan dari Ti Then

diangkat, tangan kirinya dengan kecepatan bagaikan kilat

membabat kearah lambungnya.

Seketika itu juga lelaki berkerudung itu mendengus berat,

tubuhnya dengan sempoyongan mundur tiga langkah ke belakang

lalu berjongkok sambil memegangi lambungnya yang kena hajar.

Hal ini memperlihatkan kalau serangan dari Ti Then tadi dengan

amat tepat sekali berhasil menghajar lambungnya sehingga dia

mendapatkan luka dalam yang tidak ringan.

Dengan cepat Ti Then bungkukkan badannya melepaskan otot

kerbau yang mengikat kakinya, dia harus cepat-cepat melepaskan

ikatan kakinya ini untuk meloloskan diri, karena sebentar lagi lelaki

berkerudung itu tentu akan melancarkan serangan ke arahnya.

Tetapi baru saja dia berhasil melepaskan belenggu pada kaki

kanannya lelaki berkerudung itu sudah bangkit berdiri.

Dengan disertai suara bentakan yang amat kerasnya menubruk

maju ke depan, telapak tangan kanannya dipentangkan sehingga

tampaklah lima jarinya yang bagaikan cakar burung elang dengan

amat dahsyat menghajar jalan darah “Yu Bun hiat” pada dada

sebelah kirinya.

Datangnya serangan ini sangat dahsyat sekali, agaknya dia

hendak membinasakan Ti Then sebelum terlepas dari ikatan karena

itu tubuhnya pun tidak sanggup untuk meloloskan diri dari tiang

kayu tersebut melihat datangnya serangan pihak musuh terpaksa

tubuhnnya menyingkir ke samping bersamaan pula kaki kanannya

dengan sekuat tenaga menjejak permukann tanah sehingga

tubuhnya akan sedikit meleng, dengan bersusah payah akhirnya dia

berhasil juga menghindarkan diri dari serangan musuh.

Tangannya dengan cepat menyambar otot kerbau yang semula

digunakan untuk mengikat tangannya itu dengan menggunakannya

sebagai cambuk dia melancarkan serangan melilit leher pihak lawan.

Tubuhnya yang harus memikul sebuah tiang kayu yang amat

berat tetapi berhasil juga menghindarkan diri dari satu serangan

dahsyat jeng dilancarkan oleh lelaki berkerudung itu bahkan berhasil

pula menggunakan otot kerbau sebagai cambuk balas melancarkan

serangan membuat Wi Lian In serta Suma San Ho yang melihatnya

merasa sangat kagum, tak terasa lagi mereka berteriak mcmuji.

Sebaliknya gerakan silat dari lelaki berkerudung itu pun tidak

bodoh, bukannya mundur tubuhnya semakin mendesak maju ke

depan, tubuhnya yang sebelah atas membungkuk untuk

menghindarkan diri dari ancaman otot kerbau dari Ti Then

sedangkan sepasang telapak tangannya bersama-sama membabat

ke depan menghajar pinggang dari Ti Then.

Kecepatan geraknya amat mengagumkan sekali laksana

berkelebatnya sinar kilat di tengah udara.

Ti Then segera bersuit panjang mendadak dengan membawa

serta tiang kayu yang mengikat badannya dia meloncat sejauh lima

enam kaki jauhnya ke ujung kanan dari dinding batu itu.

Di bawah dinding batu itu tersedialah bermacam-macam alat

siksa yang diantaranya tergantung sebuah rantai besi.

Dengan cepat Ti Then menyambar rantai besi itu kemudian

digetarkan dan menyapu ke tubuh lelaki berkerudung yang saat itu

datang mengejar.

Melihat datangnya serangan rantai lelaki berkerudung itu segeta

tertawa dngin kakinya menggelincir ke samping, tubuhnya dengan

cepat rebah kekiri, telapak tangan kirinya bagaikan kilat cepat

menyambar datangnya serangan rantai dari Ti Then itu.

Ti Then mana mau membiarkan rantainya tertangkap, dengan

cepat tangannya digetarkan kembali, rantai besi itu mendadak

bagaikan seekor ular dengan licinnya beputar-putar lalu dengan

dahsyatnya menusuk ke dada pihak lawan.

Agaknya lelaki berkerudung itu sama sekali tidak menyangka

kalau Ti Then bisa memainkan rantai itu sehingga demikian

sempurnanya, untuk sesaat dia tidak sanggup untuk memecahkan

jurus tersebut terpaksa dengan cepat tubuhnya melayang mundur

kembali ke belakang.

Ti Then berhasil mendesak mundur pihak lawannya dengan cepat

dia meloncat kembali ketengah udara kemudian memepetkan tiang

kayunya pada dinding batu.

Kiranya dia sudah menemukan kalau di atas dnding itu

tergantung sebuah golok baja, dia berharap bisa memperoleh golok

baja itu sehingga bisa digunakan untuk memutuskan otot kerbau

yang mengikat kakinya.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 23 : Wi Ci To datang memenuhi janji

Sudah tentu lelaki berkerudung itu pun mengetahui maksud

hatinya, karena itu setelah tubuhnya terdesak mundur ke belakang

disertai dengan suara bentakan yang amat keras tubuhnya sekali

lagi menubruk ke arah depan.

Ti Then yang meloncat kearah dinding di mana tergantung golok

baja itu sama sekali tidak segera mencabut keluar golok tersebut.

Mendadak dia membentak keras, rantai besi ditangannya dergan

sekuat tenaga diobat-obitkan ke depan lalu meluncur terlepas dari

tangannya.

Rantai besi itu bagaikan seutas tali dengan kecepatan tinggi

meluncur dengan dahsyatnya menghajar tubuh lelaki berkerudung

itu.

Agaknya lelaki berkerudung itu sama sekali tidak menyangka Ti

Then bisa melakukan hal itu, untuk sesaat lamanya dia terdesak

untuk menyingkir ke samping kiri menghindar diri dari sambitan

rantai besi itu.

Dan pada saat yang amat singkat itulah Ti Then sudah berhasil

mencabut keluar golok baja yang tergantung di atas dinding lalu

dengan beberapa kali bacokan berhasil memutuskan otot kerbau

yang mengikat kaki kirinya.

Dengan demikian dia sudah bebas dari belenggu.

Setelah tidak ada tiang kayu yang mengganggu gerakannya pun

semakin bebas lagi, serangan yang dilancarkan kearah lelaki

berkerudung itu menjadi semakin gencar siapa tahu pada saat dia

hendak menggerakkan golokya melancarkan serangan itulah lelaki

berkerudung itu sudah berhasil meloncat ke hadapan Wi Lian In.

Telapak tangan lelaki berkerudung itu dengan cepat ditekan ke

atas batok kepala dari Wi Lian ln sembari membentak mengancam :

“Jangan bergerak, sedikit kau bergerak saja Lohu segera akan

menyagal budak ini”

Ti Then sama sekali tidak menyangka kalau orang berkerudung

itu bisa menggunakan cara yang paling rendah untuk mempersalahi

dirinya, dia segera menghentikan langkahnya.

“Heee . . heee – . beranikah kau bertempur secara jujur dengan

diriku?” tantangnya dengan wayah adem.

Ketika lelaki berkerudung itu melihat ternyata dia benar-benar

tidak berani bergerak maju hatinya merasa agak lega, dia pun

tertawa dingin dengan amat seramnya,

“Aku tidak ada keperluan untuk berbuat demikian.” serunya.

“Tidak kusangka di dalam Bu lim ternyata masih ada juga

manusia yang tidak tahu malu seperti kau” Dengus Ti Then dengan

amat gusar.

Lelaki berkerudung itu segera menyengir kejam.

“Lohu tidak malu, yang aku takuti cuma tujuanku yang tidak

mencapai sukses”

“Sekarang kau tidak akan bisa mencapai tujuanmu lagi, jikalau

kau ingini nyawamu cepatlah bergelinding dari sini,”

“Hmm, sekarang Lohu masih ada di atas angin, kenapa harus

menggelinding dari sini ?“ Serunya dengan nada mengejek.

Mendadak suaranya berobah menjadi amat keren, dengan

gusarnya dia membentak:

“Lepaskan golokmu, kalau tidak jangan salahkan lohu tidak

berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap budak ini “

“Ti Kiauw tauw,jangan perduli dirinya “ Teriak Wi Lian In dengan

cepat, “Cepat kau serang dia orang, kau tidak usah mengurusi diriku

lagi.“

Telapak tangan kiri dari lelaki berkerudung itu dengan cepat

dipentangkan di depan dadanya dengan gaya hendak meraba

teteknya.

“Kau surgguh-sungguh tidak takut ?” ancamannya sambil tertawa

menyengir dengan kejamnya.

Seketika itu juga air muka Wi Lian In berubah pucat pasi, dia

tidak berani membuka mulut lagi.

Ketika lelaki berkerudung itu melihat dia tidak berani berteriak

lagi kepalanya dengan perlahan ditoleh kearah Ti Then.

“Kau dengar tidak? Lohu perintah kau untuk melepaskan golok

tersebut”

Walau pun Ti Then tahu kalau pihak lawannya tidak akan turun

tangan jahat dengan membinasakan diri Wi Lian In tetapi dia pun

tidak berani menggunakan taruhan nyawa Wi Lian In untuk

menempuh bahaya, segera dengan hati uring-uringan dia

melemparkan goloknya ke atas tanah, tetapi mulutnya tetap

memperdengarkan suara tertawa dingin yang tak henti-hentinya,

“Sekali pun golok ini aku lepaskan tetapi kukira kau belum bisa

mengapa-apakan diriku ?”

“He.. hee kau bangsat cilik lihat saja nanti’“ seru lelaki

berkerudung itu sambil tertawa seram.

Sehabis berkata mendadak tangan kirinya diulur memeluk

pinggang dari Wi Lian In dengan membawa sekalian tiang kayunya

dia berjalan menuju ke pintu depan.

Ti Then yang tidak tahu dia orang hendak berbuat apa terhadap

Wi Lian ln ketika melihat dia membawa pergi Wi Lian In dari sana

hatinya menjadi amat cemas tak terasa lagi tubuhnya maju satu

langkah ke depan teriaknya dengan gusar:

“Kau mau berbuat apa terhadap dirinya?”

Telapak tangan kanan dari lelaki berkerudung itu dengan cepat

ditekankan kembali ke atas batok kepala Wi Lian In,

“Jangan bergerak.” teriaknya kasar, “Apakah kau ingin melihat

budak ini menemui ajalnya ditanganku ?”

“Kau hendak membawa dirinya kemana ?“

“Tidak akan meninggalkan ruangan siksa ini. Lohu sudah datang

dengan membawa seorang pembantu.“

Diam-diam Ti Then merasa amat terperanyat sekali, tak terasa

lagi dia sudah bertanya :

“Kau sudah membawa pembantu ? “

“Benar, dia sekarang berada di depan pintu ruangan siksa ini “?

sahut lelaki berkerudung itu dtngaa amat bangga.

Sambil berkata dengan menyeret tubuh Wi Lian In dia

mengundurkan diri dari pintu batu itu.

Pada saat dia mengundurkan diri ke depan pintu batu itulah

dengan amat gesit tangannya rnelancarkan cengkeraman

mengangkat sesosok tubuh manusia ke atas.

Orang itu bukan lain adalah Liuw Khiet yang membawa dia orang

memasuki ruangan siksa ini.

Sudah tentu Ti Then tidak kenal dengan Liuw Khiet, ketika

dilihatnya tubuh orang itu amat kaku dia orang segera mengerti

kalau orang tersebut sudah tertotok jalan darahnya oleh lelaki

berkerudung itu, dalam hati dia merasa semakin heran.

“Orang inikah pembantumu?” tanyanya perlahan.

“Tidak salah” sahut lelaki berkerudung sambil mengangguk. “Jika

dia menginginkan nyawanya sudah tentu harus menjadi pembantu

lohu”

“Siapakah sebenarnya dia orang?” tanya Ti Then kembali.

“Dia bernama Liuw Khiet, yang semula merupakan salah seorang

anak buah dan istana Thian Teh Kong yang bekerja di ruang alat

rahasia “

“Tentang hal ini aku sama sekali tak menduga, kiranya di tempat

ini masih ada dia seorang yang belum meninggalkan istana Thian

Teh Kong ini”

“Tidak” bantah lelaki berkerudung itu dengan cepat “Dia sudah

pergi dari sini tapi Kembali lagi untuk mencuri harta kekayaan dari

Bun Jin Cu, akhirnya dia tidak untung sudah berhasil Lohu tangkap”

Dia melepaskan tubuh Liuw Khiet itu ke atas tanah lalu dengan

kerennya dia membentak.

“Hey Liuw Khiet, kau ingin mati atau hidup ?”

“Mau hidup . . mau hidup” sahut Liuw Khiet dengan suara

gemetar, “Hamba mau menjadi pembantu dari kau orang tua”

“Kalau begitu sangat bagus sekali“sahut lelaki berkerudung itu

sambil tertawa, “Apa yang Lohu perintahkan kau harus

melakukannya dengan cepat, tahu tidak ?”

“Tahu . . tahu . , tahu.”

“Kau orang bisa menotok jalan darah ?” tanya lelaki berkerudung

itu.

“Sedikit-sedikit saja.”

“Kalau begitu kau pun kenal letaknya jalan darah di tubuh

manusia bukan ?” tanya lelaki berkerudung itu lagi dengan suara

yang amat dingin.

“Kenal … kenal”

“Bagus sekali ” seru lelaki berkerudung itu dengan amat

gembira. “Sekarang Lohu mau membebaskan jalan darahmu yang

tertotok lalu kau pergi menotok jalan darah kaku dari bangsat cilik

itu, berani tidak ?”

“Asalkan kau orang tua masih menguasai nona Wi itu hamba

sudah tentu berani”

“Bagus sekali” teriak Ielaki berkerudung itu lagi dengan amat

gembiranya. “Baik-baiklah kau membantu Lohu untuk menguasahi

ketiga orang itu, setelah urusan selesai Lohu pasti akan perseni

dirimu banyak-banyak bahkan melepaskan kau dari sini.”

“Baik .. baik terima kasih atas kebaikan budi kau orang tua.”

“Tetapi bilamana kau orang berani memperlihatkan permainan

busuk seketika itu juga Lohu akan mencabut nyawamu saat itu

juga”

“Baik ,. baik, hamba tidak berani” seru Liuw Khiet berulang kali.

Telapak tangan dari lelaki berkerudung itu segera menepuk ke

atas badannya membebaskan jaian darah kakunya yang tertotok.

“Nah sekarang bangunlah.”

Liuw Khiet berdiam diri sebentar lalu baru bangkit berdiri, dengan

gaya yang amat hormat ujarnya:

“Sekarang aku harus pergi menotok jalan darahnya ?”

“Tidak salah” sahut lelaki berkerudung itu mengangguk.

“Sewaktu turun tangan kau harus melancarkannya dengan sekuat

tenaga”

“Dia tidak akan melawan bukan?” tanya Liuw Khiet lagi dengan

ketakutan sambil melirik sekejap kearah Ti Then.

“Tidak mungkin berani” sahut lelaki berkerudung itu tertawa,

“Jika dia berani melawan maka nona Wi inilah yang akan menderita

terlebih dulu”

Mendengar perkataan tersebut nyali Liuw Khiet jadi bertambah

besar, dengan gaya seekor anying hendak menggigit manusia

dengan langkah perlahan dia berjalan mendekati tubuh Ti Then.

“Liuw Khiet” seru Ti Then sambil tertawa. “Kau sungguh amat

bodoh, sewaktu kau berhasil menotok jalan darah kakuku maka dia

akan turun tangan membinasakan dirimu,, dia selamanya tidak

pernah melepaskan siapa pun “

“Cuh, kau bangsat cilik tidak usah banyak omong lagi“ Bentak

Liuw Khiet dengan amat gusar “Pandanganku orang tua jauh lebih

terang dari dirimu, siapa yang bisa dipercaya aku baru

menentukannya sendiri“

“Jikalau kau orang tidak parcaya terhadap omonganku,

silahkanlah untuk cepat turun tangan” sahut Ti Then kemudiaa

sambil tertawa serak,

“Angkat tanganmu ke atas.” Bentak Liuw Khiet dengan cepat.

Ti Then tertawa dia menurut saja, perintah tersebut dengan

mengangkat tangannya ke atas,

Jari telunjuk serta jari tengah dari Liuw Khiet dengan amat

tepatnya menghajar jalan kaku dari Ti Then.

Seketika itu juga Ti Then rubuh ke atas tanah.

Saat itulah lelaki berkerudung itu baru bisa menghembuskan

napas lega, dia segera meletakkan tubuh Wi Lian In ke atas tanah

lalu tertawa ter-babak-bahak.

“Bagus …. bagus sekali. sekarang seret dia orang kemari lalu

mengikat tangan serta kakinya dengan menggunakan otot kerbau

tersebut, “

Liuw Khiet menyahut dan menarik sepasang kaki Ti Then untuk

dibawa menuju ketengah itu antara tubuh Wi Lian In serta Suma

San Ho, setelah itu memungut otot kerbau yang menggeletak di

atas tanah.

Dengan perlahan dia memungut dua utas otot kerbau, baru saja

tubuhnya hendak berjalan menuju ke samping tubuh Ti Then

mendadak air mukanya berubah sangat hebat, sambil

membelalakkan matanya lebar-lebar dia memandang ke depan pintu

itu lalu berteriak dengan amat keras

“Iiiih siapa kau?”

Ssbenarnya saat ini telaki berkerudung itu sedang berdiri

membelakangi pintu batu tersebut, mendengar perkataan itu

dengan amat terkejut sekali dia putar badannya ke belakang lalu

melancarkan satu serangan dahsyat ke depan.

Perubahan yang dilakukan amat cepat sekali, laksana

berkelebatnia kilat, siapa tahu setelah melancarkan serangannya itu

dia segera menemukan kalau di depan pintu batu itu sama sekali

tidak menemui jejak musuh.

Sedang saat dia merasakan kalau di depan pintu tidak tampak

adanya orang itulah mendadak punggungoja sudah terhajar oleh

satu pukulan yang amat dahsyat sekali.

Orang yang melakukan serangan dahsyat itu bukan lain adalah Ti

Then sendiri.

Kiranya Liuw Khiet tadi sama sekali tidaksecara sungguh-sungguh

metotok jalan darah kakunya, sedangkan di dalam ruangan siksa itu

pun sama sekali tidak terdapat manusia lain.

Setelah lelaki berkerudung itu merasakan punggungnya kena

hajar dengan amat keras itulah dia segera merasa dirinya sudah

kena tipu, tubuhnya dengan cepat berjumpalitan keluar dari pintu

batu itu lalu dengan amat cepatnya melayang keluar dari ruangan

bawah tanah itu.

Ti Then segera membentak keras, tubuhnya meloncat ke atas

melakukan pengejaran dari belakang.

Liuw Khiet pun dengan tergesa-gesa memungut golok yang ada

di atas tanah lalu meloncat ke samping tubuh Wi Lian ln dengan

menggunakan golok itu dengan cepat dia memutuskan otot kerbau

yarg mengikat tangan kakinya setelah itu menyusul memutuskan

otct kerbau yang mengikat tangan serta kaki dari Suma San Ho.

Perubahan yang terjadi secara mendadak ini benar benar berada

diluar dugaan dan Wi Lian In mau pun Suma San Ho sendiri, Wi

Lian In dangan membelalakan matanya memandang kearah Liuw

Khiet serunya dengan amat terkejut bercampur girang.

“Kau . . . kau tidak menotok jalan darah kakunya?“

Liuw Khiet setelah memutuskan otot kerbau yang mengikat

tangannya Suma San Ho dia segera berjongkok memutuskan otot

kerbau yang mengikat kakinya., saat itu dia segera tertawa

sahutnya.

“Tidak, bukankah tadi hamba sudah bilang pandangan hamba

jauh lebih jelas

siapa yang bisa dipercaya siapa yang tidak bisa dipercaya,”

“Bagus sekali” teriak Wi Lian In dengan amat girang sekali. “Kau

jadi manusia tidak jelek juga, nanti kami tentu baik-baik

mengucapkan terima kasih kepadamu”

Berbicara sampai di situ tubuhnya sudah menerjang keluar dari

ruangan siksa tersebut.

Saat ini Liuw Khiet sudah berhasil memutuskan seluruh otot

kerbau yang mengikat tubuh Suma San Ho.

Dengan cepat Suma San Ho meloncat kearah dinding sebelah kiri

untuk mencabut keluar sebilah pedang yang tergantung di sana.

Baru saja dia hendak menerjang keluar dari ruangan itu untuk

menyusul diri Wi Lian In mendadak tampak Wi Lian In sudah balik

kembali ke dalam ruangan siksa itu.

“Kenapa kau?” seru Suma San Ho tertegun.

“Sungguh cepat sekali.” teriak Wi Lian In dengan wayah amat

terkejut, “Mereka sudah berlari meninggalkan tempat ini dengan

amat cepatnya,”

Air muka Liuw Khiet segera berubah sangat hebat.

“Kalau begitu tentu mereka sudah berlari masuk ke dalam

ruangan bawah tanah yang pernah dipasangi dengan alat-alat

rahasia itu. kalau tidak mereka tidak akan lari dengan cepatnya.”

Mendengar perkataan tersebut Wi Lian In menjadi sangat

terperanyat sekali.

“Dua buah jalan rahasia itu yang mana baru menuju ke tempat

alat rahasia itu” tanyanya dengan cemas.

“Jalan di bawah tanah yang berbelok ke kanan dan terus

lempeng itu merupakan jalan di bawah tanah yang sudah dipasangi

dengan delapan belas buah alat rahasia“

“Bukankah tadi bajingan tua itu bilang sudah berhasil merusak

kedelapan belas buah alat rahasia tersebut?“

“Dia sedang omong kosong.” seru Liuw Khiet dengan cepat.

“Kalau begitu” ujar Wi Lian In kembali “Bagaimana dia sampai di

dalam ruangan siksa ini dengan selamat tanpa melewati kedelapan

belas alat rahasia tersebut??”

“Dia memaksa hamba untuk membawa dia masuk kemari dengan

mengambil jalan rahasia yang lain.”

“Kalau begitu” ujar Wi Lian In dengan keheranan, “Kenapa dia

tidak melarikan diri dengan melalui jalan rahasia yang semula?“

“Pada ujung jalan rahasia itu terdapat sebuah alat rahasia yang

digunakan untuk naik turun” ujar Liuw Khiet menerangkan,

”Mungkin dia melihat waktunya untuk mencapai jalan tersebut tidak

sempat lagi makanya dia memilih jalan rahasia yang dipasangi

dengan delapan belas alat rahasia itu untuk melarikan diri „ . .cepat,

kita pergi lihat “

Selesai berkata dia berlari terlebih dahulu memimpin yang lain

untuk berlari ke depan.

Wi Lian In serta Suma San Ho yang mengikuti dari belakang

bersamaan sudah bertanya.

“Kau memahami jalan di sini?”

“Paham” sahutnya cepat, “Aku cuma takut tidak sempat

menyusul mereka, alat rahasia yang berada di paling depan

bernama “Siang Sek Sin Peng “ atau sepasang batu mengepres kue,

alat tersebut amat libay sekali“

“Apa itu Siang Sek Sin Peng,?” tanya Suma San Ho kebingungan.

“Jikalau kita tidak mengerti bagaimama cara jalannya melalui

tempat itu maka bilamana kita menyenggol alat rahasia dari kedua

belah dinding akan muncul batu besar, yang bersama-sama

menggencet menjadi gepeng, itulah yang dinamakan Siang Sek Sin

Peng.”

Wi Lian In yang mendengar kelihayan dari alat rahasia itu hatinya

segera merasa berdebar debar.

“Jika bajingan tua itu berhasil digencet mati itulah paling bagus,

cuma aku takut .. takut Ti Kiauw tauw pun ikut menemani dirinya.”

“Semoga saja merekajangan sampai begitu … “ Sela Liuw Khiet

dengan ce pat.

Selesai berkata dengan amat cepatnya dia berlari ke depan,

mendadak dengan wayah terperanyat dan muka pucat dia

menghentikan langkahnya.

“Kenapa??” tanya Wi Lian In dengan cepat sewaktu dilihatnya dia

orang ketakutan.

“Coba kajian libat” serunya sambil menuding ke depan.

Wi Lian In serta Suma San Ho dengan cepat mengalihkan

pandangan matanya, mengikuti arah yang dituding oleh Liuw Khiet

itu. tampaklah kurang lebih tiga kaki dari mereka berdiri jalan

rahasia tersebut sudah terhalang oleh dua buah pintu batu yang

amat rapat sekali, Wi Lian menjadi bingung, tanyanya.

“Kau tidak bisa membuka pintu batu yang besar itu?“

“Itu bukan pintu batu” seru Liuw Khiet dengan cepat sembari

menarik napas panjang-panjang. “Itulah yang tadi hamba

maksudkan sebagai alat rahasia Siang San Sin Pek, kedua buah batu

itu merupakan batu yang digunakan untuk menggencet ke tengah.

Sedang saat ini kedua buah batu besar itu sudah merapat satu

sama lainnya hal ini sudah tentu berarti juga kalau alat rahasia itu

sudah menggencet sesuatu.”

Wayah Wi Lian In segera berubah amat hebat, serunya,

“Jadi maksudmu, mereka sudah tergencet di dalam?“

“ Kemungkinan sekali memang demikian .. “ sahut Liuw Khiet

mengangguk.

Wayah Wi Lian In segera berubah menjadi amat sedih sekali,

sambil mencekal tangan Liuw Khiet serunya dengan suara setengah

menangis.

“Apa betul-betul tidak ada jalan untuk meloIoskan diri?”

Liuw Khiet segera tertawa pahit.

“Panjang kedua buah batu ini ada lima kaki, jikalau sewaktu

mereka menyenggol alat rahasia itu dapat segera meloncat mundur

kemungkinan sekali bisa lolos . ..tetapi menurut apa yang sudah

sering terjadi mereka tidak mungkin berhasil mencapai lima kaki

jauhnya di dalam satu kali loncatan saja.”

Mendengar keterangan itu Wi Lian In menjadi amat sedih,

mendadak dia menutupi wayahnya dengan tangan lalu menangis

terseduh-seduh dergan amat sedihnya.

“Eeeeh jangan menangis,jangan menangis” seru Suma San Ho

dengan gugup, “Kita sama sekali tidak mendengar kalau mereka

sudah memperdengarkan suara yang mencurigakan, kemungkinan

sekali sebelum kedua buah batu besar itu menggencet ketengah

mereka sudah berhasil meloncat keluar dari jalan rahasia ini.”

“Kaujangan menghibur diriku,” seru Wit Lian In sambil menangis

semakin keras, “Tidak perduli siapa pun tidak mungkin berhasil

meloncat sejauh lima kaki hanya di dalam satu kali loncatan saja,

dia, . . . dia tentu sudah tergencet di tengah.“

“Dapatkah kau memisahkan kedua buah batu besar itu ?” tanya

Suma San Ho kemudian kepada Liuw Khiet.

“Dapat …. dapat “ jawab Liuw Khiet mengangguk. “ Tetapi

hamba harus berputar satu jalan yang amat panjang sekali baru

bisa sampai di dalam kamar alat rahasia tersebut, aiat untuk

membuka alat rahasia “Siang Sak Sia Peng “ ini pun berada di

dalam kamar rahasia tersebut”

“Kalau begitu bagaimana kalau kau pergi membuka alat rahasia

ini terlebih dulu ?” ujar Suma San Ho dengan gugup.

“Baiklah, kalian harap tunggu sebentar di sini “

Selesai berkata dengan cepat dia putar badan meninggalkan

tempat itu.

Suma San Ho dengan perlahan menoleh kearah Wi Lia n In dan

hiburnya dengan kata-kata yang halus:

“Sumoay untuk sementara waktu lebih baik kaujangan bersedih

hati dulu, ” Ie-heng percaya Ti Kiauw tauw tidak mungkin menemui

bencana, dari wayahnya jelas memperlihatkan kalau dia orang

bukanlah seorang yang pendek usia . .”

“Sungguh ?” tanya Wi Lian In mendadak sambil angkat kepalanya

yang sudah dibasahi oleh butiran air mata itu.

“Sungguh” jawab Suma San Ho mengangguk. “Alisnya panjang

sekali hal ini membuktikan kalau dia orang termasuk orang yang

panjang umur, dia tidak mungkin bisa mati dengan begitu

mudahnya,”

“Kau bisa meramal ?” tanya Wi Lian In tertegun.

“Benar” sahut Suma San Ho sambil tertawa paksa, “Cuma hanya

paham sedikit kulitnya saja”

Wi Lian In menundukkan kepalanya kembali sambil menangis

tersedu-sedu.

“Jika dia mati aku pun tidak ingin hidup lebih lanjut, kau tahu

tidak dia jadi orang amat baik, dia sangat baik sekali terhadap

diriku, bahkan kita . . kita , , .”

“Benar, orang budiman akan selalu di lindutgi Thian, dia tidak

akan mati” coba hibur Suma San Ho sekali lagi, tak urung nada

suaranya menunjukkan kesedihan hatinya pula.

“Tetapi aku mengetahui dengan amat jelas kepandaian silat yang

dimilikinya, tak mungkin bisa sekali loncat mencapai sejauh lima

kaki”

Jika seseorang mencapai pada saat kritis yang mengancam

jiwanya kadang kala bias muncul suatu tenaga gaib yang sesuatu

luar biasa sekali, Ie-heng percayaTi Kiauw tauw pasti lolos dari mara

bahaya ini”

Mendadak Wi Lian In meloncat ke hadapan kedua buah batu

raksasa itu lalu berteriak menghadap ke arah celah yang ada di

tengahnya:

“Ti Kiauw tauw… Ti Kiauw tauw, kau berada dimana?”

Selesai berteriak dia menempelkan telinganya kearah celah-celah

tersebut untuk pusatkan perhatiannya mendengar.

Tetapi dia segera menjadi kecewa, dia sama sekali tidak

mendengar sedikit suara pun dari Ti Then.

Suma san Ho segera maju ke depan menariknya ke belakang.

“Kemungkinan sekali dia sudah jauh meninggalkan tempat ini”

ujarnya. “Karena itu dia orang sudah tidak mendengar suara

teriakanmu itu”

“Jalan rahasia ini adalah lurus, jikalau dia masih hidup sudah

seharusnya mendengar suara teriakanku ini”

“Tadi Liuw Khiet sudah berkata kalau di dalam jalan rahasia ini

dipasang delapan belas buah alat rahasia, jikalau alat rahasia

tersebut sudah mulai bergerak belum tentu jalan rahasia ini masih

tetap lurus seperti semula”

“Itu Liuw Khiet sudah pergi amat lamanya tidak ada beritanya

lagi? Apa dia sudah melarikan diri?” gumam Wi Lian In kemudian.

“Tidak mungkin, dia memberi bantuan dulu kepada kita tidak

mungkin dia orang akan melarikan diri”

“Aku ada satu hal yang tidak paham” ujar Wi Lian In

mengemukakan keberatan hatinya. “Kenapa dia orang bias berdiri di

pihak kita?”

“Karena dia tahu kita tidak akan membinasakan dirinya”

“Sungguh sayang sekali Ti Kiauw tauw tidak berhasil melukai

bajingan tua itu dengan pukulannya tadi” seru Wi Lian In sambil

menghela napas panjang. “Jikalau pukulannya tadi berhasil

membinasakan dirinya maka sudah tentu tidak akan terjadi peristiwa

semacam ini”

“Kenapa tidak?” sambung Suma San Ho. “Tetapi hal ini tidak bias

dikatakan karena tenaga dalam Ti Kiauw tauw terkuras pada saat itu

dia melancarkan serangan dengan berbaring sudah tentu tenaga

dalamnya tidak dapat dikerahkan sepenuh tenaga, apalagi bajingan

tua itu…”

Perkataannya belum selesai mendadak terdengar suara

berderiknya batu-batuan yang amat ramai, kedua belah batu

raksasa yang merapat tadi dengan perlahan mulai bergeser kekanan

dan kekiri.

Di dalam sekejap saja batu tersebut sudah kembali menjadi

sebuah jalan rahasia.

Walau pun jalan rahasia itu amat gelap tetapi mereka berdua

hanya di dalam sekali pandang saja bisa melihat pada batu cadas

yang ada di sebelah kanan terbanting sesosok mayat manusia yang

kini sudah d buat gepeng oleh gencetan batu.

Dengan suara yang amat keras Wi Lian In menjerit ngeri

tubuhnya menjadi lemas seketika itu juga dia jatuh tidak sadarkan

diri di atas tanah.

Suma San Ho menjadi amat terperanyat, dengan gugup dia

membangunkan badannya kembali sambil berteriak dengan suara

yang amat cemas :

“Sumoay, sumoay, kau bangunlah.”

Wi Lian In sedikit pun tidak berkutik, biji matanya yang setengah

terbuka dan setengah tertutup itu berputar kearah atas, tubuhnya

amat lemas jelas sekali dia memang sudah jatuh tidak sadarkan diri.

Suma San Ho berteriak lagi beberapa kali tetapi dia tetap jatuh

tidak sadarkan dirinya, terpaksa dia meletakkan kembali tubuhnya

ke atas tanah lalu berlari memasuki jalan rahasia tersebut

keadaasnya saat ini amat bingung sekali karena dia tahu orang yang

sudah kena gencet mati itu pasti Ti Then, dia bisa mengambil

kesimpulan ini karena ada sebuah alasan yang amat kuat. Sewaktu

alat rahasia itu muIai berjalan lelaki berkerudung itu berlari dipaling

depan sehingga dia masih mem punyai harapan untuk meloloskan

diri, sebaliknya Ti Then yang melakukan pengejaran di belakang

pasti sukar untuk meloloskan diri, hal ini sudah terang jelas sekali

dan masuk diakal.

Tetapi sekali pun begitu dia masih mem punyai satu harapan, dia

mengharapkan orang yang sudah kena gencet mati itu bukanlah Ti

Then.

Dengan langkah yang amat cepat dia terlari mendekati mayat itu,

terlihatlah

seluruh tulang dari mayat itu sudah kena gencet sehingga

gepeng laksana selembar kertas saja, keadaannya penuh dilumuri

dengan darah sehingga karena amat menyeramkan sekali.

Dikarenakan keadaan di dalam ruangan bawah tanah itu amat

gelap untuk beberapa saat lamanya dia tidak bisa membedakan

yang mati itu Ti Then atau si lelaki berkerudung itu, tiba-tiba dia

teringat kembali dengan lampu lentera yang tergantung di dalam

ruangan siksa, tubuhnya dengan cepat berlari balik mengambil

lampu lentera itu kemudian kembali lagi ke tempat semula.

Dengan meminyam sinar lentera itu dia melakukan pemeriksaan

dengan amat telitinya terhadap mayat tersebut sudah lama

membeku, hatinya menjadi sangat girang sekali, dengan cepat dia

meloncat balik, ke sampinng tubuh Wi Lian ln sembari teriaknya

keras :

“Sumoy! cepat bangun, orang yang kena gencet mati itu bukan

Ti Kiauw-tauw. “

Perkataan ini ternyata amat manjur sekali jika dibandingkan

dengan obat mujarab lainnya, seketika itu juga Wi Lian ln sadar

kembali dari pingsannya.

“Kau bilang apa ?” tanyanya dengan cemas.

“Ti Kiauw-tauw tidak mati” seru Suma San Ho dengan amat

girang-

“Sungguh? “ teriak Wi Lian ln sambil meloncat bangun.

“Sungguh.”

Dengan cepat Wi Lian ln merebut lampu lentera yang ada

ditangannya dan berlari menuju ke ruangan bawah tanah itu.

Ketika dia dapat melihat “ Lembaran “ mayat itu tak terasa lagi

hatinya menjadi bergidik, dengan ketakutan teriaknya :

“Aduh ,.. sungguh sukar sekali untuk dilihat, dia . .orang siapa ? “

“Dia bukan Ti Kiauw-tauw juga bukan bajingan tua itu”

“Bagaimana kau bisa tahu kalau dia bukan bajingan tua itu?”

teriak Wi Lian In dengan terperanyat.

“Coba kau lihat darah dari mayat itu sudah lama membeku,” ujar

Suma San Ho sambil menuding kearah mayat tersebut, jikalau yang

mati adalah Ti Kiauw-tauw atau bajingan tua itu maka orang yang

baru saja mati kena gencet darah yang mengalir keluar tidak

mungkia bisa langsung membeku,”

“Tidak salah.” Sahut Wi Lian In setelah memeriksa dengan teliti

mayat itu,”Bahkan baju yang dia pakai pun tidak mirip dengan

pakaian yang d pakai oleh Ti Kiauw tauw. tetapi siapakah orang ini?

“Aku duga dia orang tentu salah satu dari anak buah Bunn Jin

Cu, kemungkinan sekali orang ini meminyam kesempatan sewaktu

semua orang memberontak memasuki ruangan bawah rahasia ini

untuk mencari harta siapa tahu sudah kena gencet alat rahasia

hingga menemui ajalnya”

Sekali lagi Wi Lian In mengangguk dengan perlahan matanya

beralih kearah depan.

“Kalau begitu Ti Kiauw tauw setelah pergi kemana?” tanyanya.

“Sudah tentu berada di jalan rahasia sebelah depan, nanti biarlah

kita tunggu Liuw Khiet datang dulu kemudian kita baru…”

Baru saja dia berbicara sampai di situ mendadak terdengar dari

dalam ruangan bawah tanah itu berkumandang datang suara

seseorang.

“Kalian berdua harap berlega hati seluruh alat rahasia yang ada

di dalam ruangan bawah tanah ini sudah hamba tutup”

Suara dari Liuw Khiet dengan amat ringannya berkumandang

datang dari suatu tempat yang agaknya amat jauh sekali.

Suma San Ho menjadi melengak, dengan cepat dia menyuruh Wi

Lian In mengangkat tinggi lampu lentera itu, saat itulah mereka

baru menemukan di at as dinding atap ruangan tersebut terdapat

sebuah lubang yang bulat kecil, segera dia angkat kepalanya

berteriak :

“Liuw Khiet, kaukah ? “

“Benar” sahut Liuw Khiet dengan keras, “Kalian berdua sekarang

sudah berada di tengah-tengah alat rahasia Siang Sek Sia Peng ini.

apakah kalian menemukan sesuatu ?”

“Di sini sudah kena gencet seseorang, tetapi dia bukan Ti Kiauwtauw

juga bukan orang berkerudung itu” teriak Suma San Ho

dengan keras.

“Oooh ,. kalau tidak siapa yang sudah kena gencet sehingga mati

?” seru Liuw Khiet dengan terperanyat.

“Aku tidak kenal, tetapi darah dari mayat sudah membeku,

kelihatannya dia sudah mati dua hari yang lalu.”

“Kalau begitu dia tentulah orang dari istana Thian Teh Kong . . “

“Hey Liuw Khiet. kau berada di dalam kamar alat rahasia?” teriak

Wi Lian In bertanya.

“Benar”

“Kau yang berada di dalam kamar rahasia dapatkah melihat

semua keadaan alat-alat rahasia tersebut?”

“Aku tidak bisa melihatnya secara langsung, tetapi dari

perubahan yang terjadi di sini aku bisa tahu alat rahasia mana

sudah mulai jalan . .”

“Kalau begitu” potong Wi Lian In dengan cepat. “Sebelum kau

menutup semua alat-alat rahasia yang sudah berjalan? “

ooo O ooo

“Sudah ada tiga macam alat rahasia yang bekerja, yaitu” Siang

Sek Sia Peng, Thay San Ya Ting – serta – ln Sian Wan“, alat rahasia “

Thay San Ya Ting “ itu terletak jalan rahasia depan kalian, hamba

sudah menaikkannya.”

Tidak menanti dia bicara habis Wi Lian In sudah bertanya

kembali dengan cemas

“Apakah yang dimaksud sebagai Thay San Ya Ting serta In Sian

Wang itu ?”

“Yang dimaksud sebagai Thay san Ya Ting adalah sebuah plat

besi yang beratnya dua ribu kati bergerak dari atas atap di jalan

rahasia ini menuju ke bawah dan dapat membuat orang menjadi

hancur”

“Lalu adakah orang yang kena kena ditindih mati oieh alat

rahasia Thay San Ya Ting itu ?” tanya Wi Lian In terperanyat,

“Tidak ada,, tetapi di dalam alat rahasia In Sian Wang agaknya

sudah menawan seorang, hamba tidak tahu orang yang ada di

dalam alat rahasia In Sian Wang itu Ti siauw hiap atau lelaki

berkerudung itu karenanya hamba tidak berani . , . . aduh .”

Perkataannya belum selesai diucapkan mendadak dia sudah

menjerit kaget.

Suma San Ho menjadi cemas, tanyanya dengan cepat .

“Liuw Khiet, kau kenapa ?”

“Ti, . . , tida …. tidak mengapa . .tidak mengapa …..” seru Liuw

Khiet tetapi suara jelas rada gemetar.

“Lalu kenapa kau menjerit kaget ?” tanya Suma San Ho menjadi

curiga.

“Seee . . . seekor tikus . . .. baru saja dia berlari melalui atas

kakiku . . . .”

Walau pun pada saat ini dalam hati Wi Lian In sedang merasa

kuatir atas keselamatan dari Ti Then, ketika mendengar perkataan

ini tak urung dia tertawa cekikikan juga.

“Hmm” godanya. “Kau orang adalah lelaki berbadan gede,

kenapa sama seekor tikus yang begitu kecil juga takut ? “

Liuw Khiet segera ikut tertawa, tetapi lertawanya sangat

dipaksakan.

“Sudah tentu hamba tidak takut dengan tikus, hamba kira sudah

kedatangan musuh“

“Hey alat rahasia In Sian Wang itu terletak di mana ? sebetulnya

permainan apa itu ? “ sela Suma San Ho.

“Alat tersebut terletak di depannya Thay San Ya Ting yang

merupakan sebuah jala besar yang tidak mungkin bisa diputus

dengan menggunakan senyata tajam, sekarang di dalam jala itu

agaknya sudah menangkap seseorang, kalian cepatlah pergi lihat ke

sana. “

Wi Lian In segera berlari dengan amat cepatnya menuju ke

depan.

Sumai San Ho pun mengikuti dengan cepat dari belakang,

mereka berdua setelah berlari beberapa saat lamanya mendadak

merasakan permukaan di hadapan mereka agak melesak masuk

beberapa Cun ke dalam.

Wi Lian In segera mengangkat lampu lenteranya untuk

memeriksa, tampak di atas dinding jalan rahasia itu terdapat sebuah

besi plat yang amat besar sekali, tak terasa lagi ia menghembuskan

napas dingin.

“Mungkin inilah yang disebut sebagai alat rahasia Thay San Ya

Ting itu?”

“ Tidak salah” sahut Suma San Ho mengangguk. “Jika plat baja

yang demikian besarnya terjatuh dari atas tentu seketika itu juga

membuat orang tergencet jadi hancur”

Wi Lian ln tidak mau membuang banyak waktu lagi ditempat itu,

dengan cepat dia berlari ke depan sambil serunya.

“Hayo cepat kiia melihat alat rahasia In Sian Wang itu”

Mereka berdua berlari kembali beberapa puluh kaki jauhnya,

mendadak di hadapan mereka terlihatlah sebuah jalan rahasia yang

melesak dalam sekali, disekeliling tempat liang itu tampaklah jerijijeriji

besi yang dengan amat rapatnya mengurung tempat tersebut.

Wi Lian In serta Suma San Ho cepat-cepat berlari mendekati

liang itu dan melongok ke bawah mendadak mereka menemukan

dalam liang terkurung sesosok bajangan hitam yang di atasnya

tertutup oleh sebuah jala, orang tersebut tidak lain adalah Ti Then.

“Ti Kiauw tauw” teriak Wi Lian ln dengan cepat.

Ti Then yang sedang meronta di dalam In Siang Wan itu ketika

melihat Wi Lian In serta Suma San Ho sudah pada datang menjadi

amat girang sekali, teriaknya :

“Lian In, Suma Heng, cepat kalian tolong aku keluar dari sini “

“Kau tidak terluka bukan ?” tanya Wi Lian In dengan hati yang

cemas.

“Tidak, tetapi jala ini sangat kuat sekali, aku tidak berhasil

menjebolnya….”

“Kau tunggulah sebentar, biar kusuruh Liuw Khiet segera

mengereknya ke atas”

Dia segera angkat kepalanya ke atas, ketika dilihatnya di atas

tempat itu tidak terdapat adanya lubang untuk berbicara dengan

nada mencoba dia segera berteriak:

“Hey Liuw Khiet, kau dengar suaraku bukan?”

Agaknya di ruangan sebelah atas terdapat juga lubang untuk

mendengarkan percakapan yang ada di bawah, terdengar suara dari

Liuw Khiet segera bergema mendatang.

“Dengar, apakah orang yang yang ada di dalam jala itu adalah Ti

Siauw hiap?”

“Benar.” seru Wi Lian In dengan amat girang, “Cepat kau

gerakan alat rahasia itu dan menggereknya ke atas”

Liuw Khiet segera menyahut dengan perlahan jala itu dikerek

naik ke atas sedang tubuh Ti Then yang terjerumus ke dalam liang

itu pun naik ke atas, dengan perlahan permukaan tanah yang

tadinya berliang dengan tanpa mengeluarkan sedikit suara pun

sudah balik kembali seperti keadaan semula.

Dengan tergesa-gesa Wi Lian In serta Suma San Ho membuka

jala itu menolong Ti Then keluar.

Ti Then yang berhasil meloloskan diri dari dalam jala In Sian

Wang dengan amat gemasnya melancarkan satu tendangan

menghajar jala itu.

“Permainan apa ini.” teriaknya gemas.

“Bukannya menangkap bajingan tua itu malahan menahan aku

orang“

“Sebenarnya sudah terjadi urusan apa?” tanya Suma San Ho

sambil tertawa.

Ti Then garuk garuk kepalanya.

“Aku mengejar bajingan tua itu dengan berturut turut melewati

dua buah alat rahasia, tidak disangka sewaktu aku mengejarnya

sampai di sini mendadak permukaan tanah yang aku inyak sudah

menurun ke bawah dan terjatuh ke dalam sebuah jala yang amat

besar, masih untung bajingan tua itu hanya memikirkan untuk

melarikan diri saja sehingga tidak melihat kalau aku sudah terjebak

di dalam alat rahasia itu, jikalau dia melihat aku terjatuh ke dalam

jala sudah tentu dia tidak akan melepaskan aku dengan demikian

mudah”

“Kalau begitu bajingan tua itu sudah berhasil meloloskan diri dari

jalan rahasia ini” timbrung Suma San Ho.

Ti Then menjadi melengak.

“Bagaimana Suma heng bisa tahu kalau dia orang telah lolos dari

jala di bawah tanah ini?” tanyanya keheranan.

“Liuw Khiet sekarang masih ada di kamar alat rahasia, dia bilang

dari ke delapan belas alat rahasia cuma ada tiga buah saja yang

sudah bergerak, dari hal ini jelas membuktikan kalau bajingan tua

itu sudah berhasil meloloskan diri dari sini “

“Nyawanya sungguh betuntung sekali “ tak tertahan lagi Ti Then

menghela napas panjang, “Pukulanku tadi ternyata sama sekali

tidak berhasil merubuhkan dirinya”

“Tadi dengan cara apa kau berhasil meloloskan diri dari Siang

Sek Sia Peng itu?” sela Wi Lian In tiba-tiba.

“Apa yang dimaksud Siang Sek Sia Peng itu?” tanya Ti Then

melengak.

“Dua buah batu raksasa yang bisa menggencet barang yang ada

ditengahnya, bagaimana kau bisa meloloskan diri dari gencetan batu

besar yang ada lima kaki panjangnya itu?”

“Oooh kiranya barang itu yang dinamakan Siang Sek Sia Peng”

seru Ti Then sambil tertawa. “Hmm, si anying Iangit rase bumi

sungguh lucu sekali, ternyala dia orang sudah menyamakan

manusian dengan kue”

“Sebenarnya kau menggunakan cara apa untuk meloloskan diri

dari sana?” desak Wi Lian In lebih lanjut.

”Gampang sekali, walau pun di dalam satu kali loncatan aku

tidak berhasil mencapai lima kaki jauhnya tetapi asalkan sebelum

kedua buah batu besar itu merapat aku bisa menutulkan kakiku ke

permukaan tanah di tengah batu lalu meloncat lagi keluar bukankah

sudah lolos?“

“Oooh , , . kiranya begitu, tadi aku betul-betul merasa sangat

kuatir sekali,” ujar Wi Lian In sambi! tertawa,

“Tadi sewaktu sumoay melihat di dalam Siang Sek Sia Peng itu

tergencet mati seorang dia sudah mengira Ti Kiauw-tauw .,„. sudah

mati, di dalam keadaan yang amat terperanyat dia sudah jatuh tidak

sadarkan diri” sambung Suma San Ho dengan cepat.

“Lalu ?” seru Ti Then kaget.

Suma San Ho segera tertawa terbahak-bahak. “Akhirnya setelah

mengetahui kalau orang

yang mati itu bukan Ti Kiauw-tauw dia segera sadar kembali.”

Wayah Wi Lian In segera terasa amat panas, dengan gemasnya

dia pelototi diri Suma San Ho.

“Sudah . . sudahlah,jangan bicarakan soal itu lagi” teriaknya

cepat dengan hati mendongkol.

“Sewaktu aku lewat di sana tadi aku pun dapat melihat di atas

dinding batu ada sesosok mayat, siapakah orang itu ?”

“Orang itu sudah mati dua hari yang lalu aku kira tentulah anak

buah dari istana Thian Teh Kong.”

“Ehmmm , . . “ dengan perlahan Ti Then angkat kepalanya

memandang kearah jalan rahasia itu. “Sepertinya tadi aku dengar

suara Liuw Khiet ada di atas, apakah dia berada di sana ?”

“Benar” dia berada di dalam kamar alat rahasia, dia berbicara

dengan kita melalui sebuah corong kecil.

“Hey Liuw Khiet, kau meadengar suaraku tidak ?” teriak Ti Then

dengan keras.

“Dengar, apakah kau adalah Ti Siauwhiap ?” terdengar suara dari

Liuw Khiet berkumandang kembali dari atas ruangan.

“Benar, aku seharusnya mengucapkhn banyak terima kasih

kepadamu, bilamana bukannya kau bisa membedakan yang mana

jahat yang mana baik kita bertiga tentu akan sukar untuk

meloloskan diri dari cengkeraman bajingan tua itu.”

“Aaaah Ti Siauw-hiap tidak usah sungkan-sungkan”

“Bajingan tua itu sudah meloloskan diri dari dalam jalan rahasia

ini, kau harus berhati-hati.”

“Baik, hamba bisa.. hamba bisa berhati-hati”

Ti Then segera merasa nada suaranya sangat mencurigakan

sekali, dalam hati dia merasa keheranan, segera kepada Wi Lian In

serta Suma San Ho ujarnya dengan suara lirih:

“Sungguh aneh sekali, kenapa pada waktu berbicara kenapa

suaranya rada gemetar”

“Tadi dia dibikin terkejut oleh seekor tikus, mungkin rasa

kagetnya belum hilang” sahut Wi Lian In sambil tertawa.

“Kaget karena seekor tikus?” seru Ti Then keheranan.

“Dia yang bilang sendiri, tadi sewaktu Suma Suheng bercakapcakap

dengan dirinya di dekat alat rahasia Siang Sak Sia Peng

mendadak dia menjerit kaget lalu Suma suheng tanya kepadanya

ada urusan apa dia jadi kaget, dia bilang baru saja ada seekor tikus

meloncat kakinya yang dia kira ada musuh datang sehingga menjadi

terperanyat, haa haaa seorang lelaki segede itu ternyata bisa dibuat

terperanyat hanya karena seekor tikus saja, sungguh lucu sekali “

Ti Then segera mengerutkan alisnya rapat-rapat.

“Tetapi tidak mungkin dia bisa terperanyat sampai seperti itu?“

Berbicara sampai di sini dia segera angkat kepalanya berteriak.

“Liuw Khiet, kau tidak mengapa bukan?”

Liuw Khiet tidak menyawab, lewat beberapa saat kemudian dia

baru menyawab.

“Tidak mengapa, tidak mengapa”

“Kami mau mengejar musuh lagi, kau lihat lebih baik kami

melalui jalan mana sehingga terasanya aman?”

Liuw Khiet tidak langsung menyawab lewat beberapa saat

kemudian baru sahutnya.

“Hamba sudah menutup semua alat rahasia yang ada di dalam

jalan rahasia ini, kalian bertiga boleh berjalan terus ke depan, tidak

selang lama segera akan menemukan kembali jalan keluar”

“Baiklah, sekarang kita baru berada di perjalanan melewati alat

rahasia In Sia Wang, di sebelah sana lagi merupakan alat rahasia

apa?”

“Alat rahasia selanjutnya bernama „Thian Ciang Kan Liem’

“Permainan macam apa itu?’ tanya Ti Then tertawa.

“Sewaktu alat rahasia ini digerakkan dari atas atap dinding akan

memancar keluar air lima racun atau Ngo Tok Swe, barang siapa

yang terkena air beracun ini seketika itu juga akan menemui

ajalnya”

“Tempat itu ada seberapa jauh letaknya dari tempat kita

sekarang berada?”

“Kurang lebih dua puluh langkah, tetapi hamba sudah menutup

alat rahasia tersebut kalian bertiga boleh lewat dengan berlega

hati,”

“Baiklah sekarang kami juga akan pergi ke sana”

Selesai berkata dengan menggape kearah Wi Lian In serta Suma

San Ho dengan dia berjalan dipaling depan mereka melanjutkan

perjalanannya kembali.

Berjalan kurang lebih lima belas langkah mendadak dia

menghentikan langkahnya tidak bergerak lagi kepada Suma San Ho

yang ada di belakangnya dia berkata dengan suara yang amat lirih:

“Suma San Ho tolong pinyamkan pedangmu itu kepada siauw

te?”

Suma San Ho segera mencabut pedangnya dan diserahkan

kepadanya,

“Ti Kiauw tauw kau mau berbuat apa?” tanyanya keheranan.

Ti Then tidak menyawab, setelah menerima pedang tersebut dia

segera angkat pedang itu dan dilemparkan kearah jalan rahasia

yang ada di depannya,

“Braaak “dengan menimbulkan suara yang nyaring pedang itu

segera menggetarkan di atas tanah sehingga menimbulkan suara

yang ribut.

Seketika itu juga Suma San Ho mengerti maksud dari Ti Then,

dia segera tertawa ringan.

“Apakah Ti Kiauw tauw tidak ….percaya dengan Liuw Khiet lagi ?

“ tanyanya.

“Segala sesuatu lebih baik berhati-hati, bukan begitu?” bisik Ti

Then sambil tertawa.

“Sekarang boleh lewat bukan ? “

“Tidak,” cepat Ti Then sambil gelengkan kepalanya. “Kita coba

satu kali lagi, coba kau lemparkan sarung pedang itu ke depan.”

Suma San Ho segera mencabut keluar sarung pedangnya dengan

mengerahkan tenaga dalamnya dia menyambitkan sarung pedang

itu ke depan. Sarung pedang itu jatuh ke atas tanah dengan

menimbulkan suara yang nyaring tetapi alhasil sama saja seperti

keadaan semula dari dalam jalan rahasia itu sama sekali tidak

memperlihatkan gerak-gerik apa pun.

“Sekarang kita boleh maju ke depan” ujar Ti Then kemudian

sambil tertawa.

Mereka bertiga setelah berjalan kembali tiga puluh langkah

jauhnya dan dirasakannya sudah berlalu dari alat rahasia “Thian

Ciang Kan Liem“ terdengar Wi Lian In sudah bertanya :

“Entah selanjutnya merupakan permainan macam apa?”

“Coba aku Tanya” Ujar Ti Then sambil menghentikan langkah

kakinya.

“Hey Liuw Khiet.” teriaknya dengan keras.

“Ti Siauw hiap kau ada perintah apa lagi?” terdengar suara dari

Liuw Khiet berkumandang keluar dari atas ruangan.

“Kita sudah melalui alat rahasia Thian Ciang Kan Liem ,coba

katakanlah alat rahasia apa lagi yang ada di depan?”

“A!at rahasia itu dinamakan Ong Cong Coat Pit atau menangkap

kura-kura di dalam kendi.”

“Apa itu yang dimaksud dengan menangkap kura-kura di dalam

kendi ?“

“Sewaktu alat rahasia itu bergerak maka ada dua buah terali besi

yang akan meluncur turun ke bawah sehingga orang yang ada di

dalamnya kena kurungan”

“Hmmm aku tahu alat rahasia ini sama sekali tidak kelihatan

keistimewaannya,”

“Benar” sahut Ti Then membenarkan. “Sewaktu si anying langit

rase Bumi bermaksud hendak menangkap musuhnya dalam keadaan

hidup maka dia akan menggunakan alat rahasia ini.”

“Alat rahasia itu terletak dimana?”

“Berada kurang lebih sepuluh langkah dari tempat kalian

sekarang berada, hamba sudah menutup seluruh alat rahasia itu

kalian boleh maju terus dengan berlega hati”

“Baiklah, aku akan segera melewati tempat itu.”

Dia orang segera mengangkat pedang panjangnya dan

disambitkan kembali ke arah depan.

“Traaang” sekali lagi pedang itu dengan mengeluarkan suara

yang amat nyaring terjatuh di atas tanah kurang lebih sepuluh

langkah di atas permukaan jalan rahasia itu.

“Braak . .. Braaak “ tidak lama suara pedang yang jatuh ke atas

tanah itu bergema diikuti dua buah suara yang amat keras

menggeletar memenuhi seluruh ruangan, dua buah terali besi yang

amat besar sudah terjatuh ke atas tanah satu terjatuh pada sepuluh

langkah di depan mereka sedang yang lain jatuh pada dua puluh

langkah dari mereka berdiri.

Wi Lian In yang nampak hal ini menjadi teramat gusar baru saja

dia mau membuka mulut untuk memaki Ti Then terburu-buru sudah

menutupi mulutnya.

“Jangan marah dulu. sebentar lagi kita baru memaki,” ujarnya

suara yang lirih.

Sehabis berkata tubuhnya dengan cepat meloncat ke depan terali

besi itu dan menggoyangkannya dengan amat keras, sembari

mendorong sembari teriaknya.

“Hey Liuw Khiet, kau orang sudah berbuat apa?”

“Haaa . . . ha . , haa . .”

Suara tertawa yang amat keras dan nyaring sekali bergema

datang dari ruangan di atas jalan rahasia itu.

Wi Lian In yang ikut meloncat ke tepian terali besi itu setelah

mendengar suara tertawa tersebut air mukanya segera berubah

sangat hebat, serunya dengan kaget.

“Aaah . . . dia“

“Tidak salah” sahut lelaki berkerudung itu sambil tertawa amat

keras “Memang Lohu adanya, haa . .haa . . Liuw Khiet sudah

menjual kalian kepadaku“

“Cepat” teriak Ti Then dengan suara amat keras: “Kita bersamasama

coba mengangkat terali besi Ini“

Pada mulutnya berteriak-teriak dengan amat ribut padahal

badannya tetap berdiri tidak bergerak, agaknya dia berteriak-teriak

secara demikian bertujuan agar lelaki berkerudung yang ada di atas

ruangan itu mepgira kalau mereka bertiga sudah terkurung di dalam

terali besi itu.

Suma San Ho serta Wi Lian In segera mengetahui maksud hati

dari Ti Then mereka pun segera ikutan berteriak dengan suara

yang amat lantang.

“Mari, kita angkat terali besi ini,..”

Pada hal mereka sendiri pun tetap berdiri tidak bergerak.

Sekali lagi terdengar lelaki berkerudung itu tertawa terbahak

bahak.

“Lohu nasehatkan kepada kalian lebih baik duduk saja dengan

tenang-tenang di sana, kedua buah pintu terali itu sudah tertutup

mati, kecuali kalian mem punyai kekuatan selaksa kati hee . . . heee

. kalau tidakjangan harap kalian berhasil mengangkat terali besi ini“

“Hey keledai tua, “ maki Wi Lian In dengan gusar.”Jika kau

punya nyali ayoh turun bergebrak satu lawan satu dengan kami”

“Sudah tentu Lohu akan turun” ujar lelaki berkerudung itu sambil

tertawa.

“Ayoh kalau mau turun cepat menggelinding ke sini.“

Lelaki berkerudung itu sama sekali tidak memberikan

jawabannya, hal ini jelas memperlihatkan kalau dia orang

meninggalkan kamar alat rahasia itu untuk berangkat menuju ke

kamar alat rahasia menangkap kura-kura di dalam kendi ini.

“Hey keledai tua, kau dengar suaraku tidak?” teriak Wi Lian In

kembali.

“Nona Wi, dia orang sudah turun ke sana” terdengar suara Liuw

Khiet bergema mendatang.

“Kau , . Liuw Khiet “ seru Wi Lian ln tertegun. “Kau sudah

“menjual kami kepadanya“

“Tidak, hamba tidak akan berani menjual kalian kepadanya “

jawab Liuw Khiet ketakutan. “Peristiwa ini terjadi di luar dugaan

hamba, tadi secara mendadak dia menerjang masuk ke dalam

kamar alat rahasia ini lalu menangkap hamba dan hamba memaksa

untuk mendengarkaa perintahnya, kalau tidak . , “

“Cepat bilang, dia akan muncul sebelah mana? “ potong Ti Then

dengan cepat.

“Dia berjalan masuk dari jalan rahasia di depan kalian, kurang

lebih sekarang sudah ada ditengah jalan “

Dia berhenti sebentar untuk tukar napas lalu tambahnya.

“Sungguh maaf sekail saat ini jalan darah hamba sudah tertotok

aku orang tidak bisa menggerakan alat rahasia itu untuk menolong

kalian keluar dari jebakan tersebut”

“Terus terang saja aku beritahukan kepadamu” ujar Ti Then

dengan cepat, “Kami sama sekali tidak terkurung di dalam

kerangkeng besi itu.”

Mendengar perkataan itu Liuw Khiet menjadi teramat girang.

“Sungguh? tanyanya kaget. “Kalian berada dimana?”

“Kami ada di dekat alat rahasia Thian Ciang Kan Liem ini.”

“Bagus sekali” seru Liuw Khiet dengan cemas. “Kalian cepat

mundur kembali keluar pintu ruangan siksa lalu memutar dengan

mengambil jalan rahasia yang berbelok kesebeiab kanan dan

berjalan sampai di ujung, pada dinding ujung jalan itu bakal ada

sebuah batu yang bisa terlepas kalian cepat mendorong batu itu ke

dalam maka segera kalian akan menemukan dua buah tombol alat

rahasiayang berwarna putih serta hitam, kalian tekanlah tombol

hitam terlebih dulu maka akan ada sebuah papan meluncur turun ke

bawah kalian cepat-cepat berdiri di atas papan tersebut lalu tombol

berwarna putih, maka papan itu dengan ce pat akan membawa

kalian keluar dari ruangan Khie le Tong – . . cepat,”

Ti Then dengan cepat mengingat kata-kata tersebut lalu

menggape ke arah Suma San Ho serta Wi Lian In untuk berlari

dengan cepat-cepatnya melalui jalan rahasia semula.

Di dalam sekejap saja mereka bertiga sudah tiba di depan pintu

ruangan siksa itu lalu berputar ke kanan dan berlari lagi beberapa

kaki hingga mencapai pada ujung jalan.

Dengan diterangi Iampu lentera yang dibawa oleh Wi Lian In Ti

Then segera memeriksa di sekitar tempat itu,

Ternyata sedikit pun tidak salah mereka segera menemukan

sebuah batu yang sudah kendor, dengan cepat batu itu didorong.

“Kraaak . “ dengan secara otomatis batu itu menyusup ke dalam

dinding sehingga muncullah dua buah tombol yang berwarna putih

serta hitam.

Dia agak ragu-ragu sebentar lalu ujarnya:

“Tadi Liuw Khiet mengatakan suruh menekan tombol yang hitam

dulu bukan ?”

“Tidak salah, menekan yang hitami dulu”

Ti Then segera menekan tombol itu, terdengar sedikit suara yang

amat perlahan sebuah papan seluas tiga depa dengan perlahanlahan

meluncur turun ke bawah.

Serentetan sinar terang menyorot masuk ke dalam ruangan

bawah tanah, sudah tentu sinar itu berasal dari ruangan Khie le

Tong dekat dengan istana Thian Teh Kong itu.

Ketika papan yang sedang meluncur turun ke atas permukaan

tanah itu mencapai kurang lebih dua kaki dari pintu keluar Ti Then

segera menggape ke arah Suma San Ho serta Wi Lian In, ujarnya.

“Mari kita meloncat keluar “

Wi Lian In menyahut, tubuhnya dengan cepat melayang ke atas

lalu meloncat keluar dari pintu ruangan itu dan hinggap di tengah

sebuah ruangan yang amat besar dari ruangan Khie Ie Tong.

Suma San Ho pun dengan cepat ikut meloncat keluar. Ti Then

segera menekan tombol putih itu untuk menggerakkan papan itu

naik kembali ke atas sedang dirinya pun ikut meloncat keluar.

Kecepatan meluncur dari papan itu jauh lebih cepat naik ke atas

dari pada turun ke bawah, tidak selang lama Ti Then berhasil keluar

dari mulut ruangan tersebut papan itu sudah menutupi permukaan

tanah, dan tertutup mati.

Waktu itu adalah tengah malam dari hari ketiga, mereka bertiga

dengan hati penuh kegirangan memperhatikan keadaan di sekeliling

tempat itu lalu memperlihatkan senyuman yang amat gembira.

“Mungkin saat ini keledai tua itu sudah menemukan kalau kita

orang sudah tidak berada di dalam terali besi itu” ujar Wi Lian In

sambil tertawa,

“Aduh . . . celaka.” Mendadak teriak Ti Then dengan kaget, “Aku

sudah lupa menanyakan kepada Liuw Khiet dimana letaknya kamar

alat rahasia itu jikalau bajingan tua itu menemukan kalau kita

berada di dalam jebakan tersebut sudah tentu dia bisa benci

terhadap Liuw Khiet dan membinasakan dirinya.”

“Tidak salah,” sahut Suma San Ho dengan serius. “Hati orang

tidak jelek, kita harus berusaha untuk menolong dirinya.”

“Tetapi di dalam istana Thian Teh Kong ini terdapat begitu

banyak kamar-kamar, untuk sesaat lamanya aku kira sukar bagi kita

untuk menemukan kamar alat rahasia itu, lebih baik aku turun lagi”

Baru saja berbicara sampai di sini mendadak dia melihat ke

depan pintu ruangan Khie le Tong itu tampak sesosok bajangan

manusia berkelebat dengan amat cepatnya dengan segera

tangannya menyambar sebuah pot bunga dan disambitkan ke

arahnya dengan amat keras.

Suma San Ho serta Wi Lian In melihat adanya musuh yang

muncul di sana segera lintangkan telapak tangannya di depan dada

siap menghadapi sesuatu.

Tetapi, pada saat Ti Then menyambitkan pot bunga itulah dia

bisa melihat dengan jelas wayah dari orang tersebut, tak terasa lagi

dia sudah menjerit kaget.

Kiranya orang yang baru saja datang itu bukannya lelaki

berkerudung melainkan itu Pek Kiam Pocu dari benteng seratus

pedang, Wi Ci To adanya.

Ti Then takut pot kembang yang disambit olehnya mengenai

tubuhnya, segera dengan hati cemas serunya

“Cepat menghindarkan.”

Dengan sama sekali tidak gugup Wi Ci To memukul jatuh pot

bunga itu lalu berjalan memasuki ruangan Khie Ie Tong.

“Kalian pun sudah datang semua ?”tanyanya.

Tetapi di dalam satu kali pandangan itulah dia bisa melihat baik

Ti Then mau pun Suma San Ho pada setengah telanyang bahkan

melihat pula pada tubuh Ti Then sudah dipenuhi bekas cambukan

yang penuh dinodai oleh darah yang sudah membeku, air mukanya

segera terlintas suatu rasa yang amat kaget sekali.

“Eeeeh ..kalian kenapa?” tanyanya terperanyat.

Wi Lian In yang melihat ayahnya sudah datang dengan cepat

berlari menyambut, teriaknya sambil tertawa.

“Tia, kau pun sudah datang”

Dengan cepat Wi Ci To menarik tangan putrinya dan

memperhatikan seluruh tubuhnya dengan amat teliti.

“Lian In” ujarnya dengan terkejut, “Agaknya kau pernah dipukuli

dengan menggunakan cambuk?“

“Ehmmm . . . tadi aku dipukuli oleh Bun Jin Cu, kami secara tidak

sengaja sudah kena alat rahasianya dan di tawan di ruangan

siksanya”

“Mana Bun Jin Cu itu bangsat perempuan?” Serunya dengan

wajah amat gusar sekali, sedangkan matanya menyapu sekejap ke

sekeliling tempat itu.

“Dia sudah mati “

“Aaaah?” dengan perlahan sinar matanya dialihkan kearah Ti

Then lalu tanyanya:

“Apakah dia orang dibunuh oleh Ti-Kiauw tauw?”

“Bukan” sahut Ti Then sambiI memberi hormat. “Urusan ini sulit

untuk diceritakan secepatnya, biarlah setelah urusan ini beres

semua boanpwe baru laporkan urusan ini dengan lebih teliti lagi,

sekarang boanpwe harus menolong nyawa seseorang yang berada

di dalam keadaan yang sangat berbahaya . “

“Nyawa siapa orang yang sedang berada dalam keadaan bahaya?

“ tanya Wi Ci To dengan pandangan tajam.

“Seorang anak buah dari istana Thian Teh Kong yang bernama

Liuw Khiet, dia sudah menolong boanpwe bertiga meloloskan diri

dari cengkeraman seorang lelaki berkerudung yang tidak jelas asal

usulnya, sedangkan dia orang sekarang sudah tertotok jalan

darahnya oleh orang itu dan rubuh di dalam kamar alat rahasia.”

“Kemungkinan sekali lelaki berkerudung itu hendak pergi

membinasakan dirinya karena dia sudah menolong kita, cuma saja

boanpwe tidak tahu kamar alat rahasia itu terletak di bagian mana

dari istana ini, Pocu agaknya jauh lebih memahami hal-hal tentang

alat rahasia, dapatkah kau orang tua membawa kami menuju ke

kamar alat rahasia itu?”

Walau pun Wi Ci To cuma mendengar sedikit penjelasan saja

tetapi melihat sikap Ti Then yang amat serius segera mengetahui

kalau urusan ini tidak bisa ditunda lagi, dengan cepat dia putar

badannya menuju keluar.

“Kalian cepat ikut Lohu.”

Dengan memimpin diri Ti Then, Suma San Ho serta Wi Lian In

dia berjalan keluar dari ruangan Khi Ie Tong itu dan memasuki

sebuah ruangan dalam yang amat lebar dan indah sekali.

“Kamar alat rahasia itu berada di bawah ruangan ini” ujarnya

kemudian sambil menghentikan langkahnya.

“Tia, bagaimana kau orang bisa tahu?” tanya Wi Lian in dengan

amat girang.

“Kemarin sewaktu aku orang berjalan kemari di tengah jalan

sudah bertemu dengan seorang jagoan berkepandaian tinggi dari

istana Thian The Kong, dia beritahu kepada Lohu kalau istana Thian

Teh Kong sudah mengalami penghinaan bahkan memberitahukan

kepadaku juga kalau Bun Jin Cu sudah berada di dalam istana

bersiap-siap menggunakan alat rahasia untuk menghadapi diriku, di

samping itu dia pun menjelaskan letak keadaan dari berbagai alat

rahasia yang dipasang di dalam istana Thian Teh Kong ini dan

menjelaskan pula letak dari kamar alat rahasianya”

“Bagaimana orang itu mau membocorkan banyak urusan kepada

Tia?” tanya Wi Lian In keheranan,

Wi Ci To segera tertawa dingin.

“Semula aku orang juga merasa bingung dengan kejadian ini,

akhirnya setelah aku orang pikir masak-masak baru aku ketahui

kemungkinan sekali dia orang sudah merampok barang-barang

berharga dari istana Thian Teh Kong dalam jumlah yang amat

banyak, dikarenakan takut Bun Jin Cu datang mencari balas

kepadanya sengaja dia hendak menggunakan tangan Lohu untuk

membinasakan dirinya”

“Bagaimana kalau sekarang Wi Pocu terangkan dahulu jalan

masuk ke dalam kamar alat rahasia itu?” sela Ti Then dengan hati

cemas.

“Di dalam sebuah kamar kosong di dalam ruangan ini, kalian

masuklah untuk melihat-lihat” ujar Wi Ci To sambil menuding kearah

belakang ruangan itu.

Sambil berkata dia berjalan memasuki pintu ditengah ruangan

tersebut.

Ternyata sedikit pun tidak salah, di belakang ruangan itu

terdapat sebuah kamar kosong yang amat besar sekali, saat ini

pintu itu tertutup rapat.

Wi Ci To segera mendorongnya dan berjalan masuk menuju

kesebuah dinding di samping ruangan.

Dengan amat teliti sekali dia orang memperhatikan goretangoretan

yang ada di sana lalu dengan mengarah satu tujuan telapak

tangannya melancarkan satu pukulan ke depan,

Batu pada dinding itu dengan cepat terpukul masuk sedalam tiga

cun tetapi sebentar kemudian sudah mental kembali seperti sedia

mula.

Dan pada saat itulah mendadak dinding tembok itu merekah

menjadi dua bagian yang setengah bagian bergeser ke sebelah kiri

dan yang lainnya bergeser ke sebelah kanan dan muncullah sebuah

ruangan rahasia.

Ditengah ruangan rahasia itu terdapat rentetan anak tanggayang

terus memantang ke dalam, suasananya amat gelap sekall sehingga

sulit untuk melihat lebih teliti seberapa dalam ruangan bawah tanah

itu.

“San Ho,” terdengar Wi Ci To berseru “Ditengah ruangan tadi ada

sebuah lampu lentera coba kau ambil dan bawa kemari”

Suma San Ho segera menyahut dan mengundurkan diri tidak

lama kemudian dengan membawa sebuah lentera dia berjalan

kembali ke dalam kamar itu.

Wi Ci To segera menerima lampu itu dan berjalan masuk kedakm

ruang rahasia tersebut, tanyanya.

“Kalian tadi bilang lelaki berkerudung itu masih ada di dalam

kamnr rahasia ?”

“Semula ada di jalan rahasia tetapi saat ini kemungkinan sekali

sudah kembali ke dalam kamar rahasia itu” sahut Ti Then sembari

berjalan mengikuti dari belakangnya.

Suma San Ho serta Wi Lian In pun dengan cepat mengikuti dari

belakang Ti Then setindak demi setindak berjalan menuruni anak

tangga tersebut.

”Apakah dia bukan orang dari istana Thian Teh Kong?” tanya Wi

Ci To lagi.

“Bukan, dia merupakan orang dari aliran lain.”

“Bagaimana dengan kepandaian silatnya?”

“Tidak jeiek, pendekar pedang merah dari benteng kita tak

seorang pun yang bisa melawan dirinya.”

“Kenapa dia dataog kemari mencari gara-gara dengan kalian?”

“Omong yang gampang saja, dia pingin penawan diri Lian In

serta hamba untuk dijadikan barang tanggungan untuk memaksa

Pocu . . . “

Saat itu Wi Ci To sudah mulai menuruni tangga yang bawah

ketika mendengar perkataan tersebut seketika itu juga dia

menghentikan langkahnya.

“Dia mau memaksa Lohu?“ tanyanya dengan sinar mata yang

berkelebat tajam.

“Dia orang tidak memberikan penjelasan yang seterangterangnya”

sahut Ti Then tertawa, tetapi bilamana kita nanti

berhassil menawan dirinya sudah tentu akan menjadi jelas apa yang

sebenarnya dicari”

Wi Ci To termenung berpikir sebentar lalu tidak berbicara lagi,

dengan langkah lebar dia berjalan memasuki ruangan bawah tanah

tersebut.

Setelah menuruni tengah-tengah sampailah mereka disebuah

jalan rahasiayang amat lebar, tua muda empat orang segera

melanjutkan perjalanannya kembali dan tiba di depan sebuah pintu

besi.

Pintu besi itu cuma dirapatkan saja.

“Inilah yang dinamakan sebagai kamar alat rahasia” ujar Wi Ci To

kemudian sambil menuding ke arah pintu besi itu.

Selesai berkata dengan tendangan kilat dia melancarkan

serangan kearah pintu besi itu.

Tangan kirinya dia membawa lampu sedang tangan kanannya

disilangkan di depan dada lalu dengan sangat berhati-hati sekali

berjalan masuk ke dalam,

Dangan mengikuti geseran lampu terlihatlah sebuah kamar alat

rahasia yang dipenuhi roda-roda bergerigi serta rantai yang malang

melintang tidak karuan muncul di hadapan mereka berempat.

Dikarenakan banyaknya alat yang ada di dalam kamar itu untuk

beberapa saat lamanya mereka tidak bisa melihat apakah di dalam

kamar itu ada orang atau tidak, Wi Ci To segera berkata kepada diri

Ti Then bertiga:

“Kalian bertiga berjaga-jagalah di pintu keluar ini biar lohu

seorang diri mencari-cari ke dalam”

“Tia, kau harus sedikit hati-hati” ujar Wi Lian ln kemudian

memberi peringatan.

Wi Ci To segera menyahut dan dengan langkah yang sangat hatihati

dia berjalan memasuki ruangan itu,

Lampu lenteranya diangkat tinggi-tinggi sehingga bisa menerangi

ruangan jauh lebih luas lagi, dengan berjalan melewati berbagai

macam alat rahasia dia melakukan pemeriksaan terus akhirnya

sampailah di sebuah roda bergigi yang amat besar dan berhenti

bergerak.

“Iih . . di sini berbaring seseorang”

“Hamba . . hamba Liuw Khiet, kau ..” terdengar suara dari

seseorang bergema datang.

Ketika Ti Then mendengar suara itu segera berseru. “Pocu, dialah

Liuw Khiet, dia orang tidak terluka bukan?“

“Tidak, cuma jalan darahnya ter totok”

Liuw Khiet yang mendengar suara dari Ti Then segera berteriak.

“Ti Siauw-hiap cepat kemari tolong”

Sinar mata dari Wi Ci To menyapu sekejap ke sekeliling tempat

itu lalu baru bungkukkan badannya membebaskan jalan darah dari

Liuw Khiet.

“Dimana telaki berkerudung itu?” tanyanya.

“Sudah lari.”

“Lari kearah mana ?“ tanya Wi Ci To lagi sambil mengerutkan

alisnya rapat-rapat.

Dengan berusaha keras akhirnya Liuw Khiet berhasil berdiri juga,

ujarnya kemudian sambil menuding kearah sebuah pintu di tengah

ruang alat rahasia tersebut.

“Agaknya setelah dia orang tahu kau datang kemari segera

berlari masuk ke dalam kamar alat rahasia ini dan membuka alat

rahasia”Menangkap kura-kura di dalam kendi, setelah itu dengan

terburu-buru melarikar diri ke arah jalan keluar yang ada di dekat

ruangan Khie Ie Tong”

Ti Then,yang mendengar perkataan tersebut dengan cepatnya

dia berlari menu ju keluar ruangan depan dan berlari ke arah

ruangan Khie Ie Tong.

Jarak antara ruangan Khie Ie Tong sampai ruangan dalam itu ada

dua puluh kaki jauhnya karena itu hanya di dalam beberapa kali

loncatan saja dia sudah berada di dalam ruangan Khie Ie Tong,

dengan cepat dia berlari ke samping meja panjang itu.

Terlihatlah papan bergerak sudah menurun ke bawah, jika dilihat

dari keadaannya kemungkinan sekali lelaki berkerudung itu sudah

melarikan diri keluar dari ruangan Khie Ie Tong ini kemungkinan

juga dia baru akan meloncat keluar dari jalan rahasia itu.

Ti Then dengan cepat melongok ke dalam tetapi tidak terlihat

adanya bajangan dari lelaki berkerudung itu hatinya diam-diam

berpikir.

“Aku kira dia sudah melarikan diri dari sini, biar aku periksa sekali

lagi”

Begitu pikiran itu berkelebat di dalam benaknya dengan cepat dia

orang meloncat masuk ke dalam.

Dia percaya kepandaian silatnya masih bisa menangkan pihak

lawannya karena itu hatinya sama sekali tidak merasa takut, setelah

meloncat masuk ke jalan bawah tanah dengan langkah lebar dia

berjalan maju ke depan.

Setelah berjalan puluhan langkah banyaknya sampailah dia di

depan sebuah jalan rahasia yang bercabang, belok sebelah kanan

adalah ruangan siksa sedang belok sebelah kiri adalah jalan rahasia

yang dipenuhi dengan alat-alat rahasia.

Dia menengok ke arah kedua belah samping tetapi tidak tampak

bajangan dari lelaki berkerudung itu juga, segera tubuhnya dengan

cepat berkelebat menuju ke kamar siksa untuk memeriksanya

terlebih dahulu.

Langkah kakinya amat ringan sekali, dengan perlahan-lahan dia

berjalan mendekati pintu ruangan siksa itu lalu dengan cepatnya

menerjang masuk ke dalam ruangan sedangkan sinar matanya

menyapu ke sekeliling tempat itu.

Tetapi dengan amat cepatnya dia sudah menemukan kalau

ruangan siksa itu kosong melompong tak tampak sesosok manusia

pun, tubuhnya dengan cepat mendekati dinding menyambut keluar

sebilah golok dan menerjang keluar kembali menuju ke jalan rahasia

yang terpasang alat-alat rahasia itu.

Setelah melewati alat rahasia Siang Sek Sia Peng, Thay san Ya

Ting, In Siang Wang serta ‘menangkap kura-kura di dalam kendi’

empat buah alat rahasia terlihatlah kedua buah terali besi yang

tadinya menutupi jalan rahasia kini sudah diangkat kembali, segera

teriaknya dengan keras:

“Hey Liuw Khiet, Liuw Khiet, kalian masih ada di dalam kamar

alat rahasia ?”

“Masih,” sahut Liuw Khiet dari atas ruangan. “Apakah Ti siauw

hiap sudah menemukan sesuatu ?”

“Tidak, sekarang aku berdiri di dekat alat rahasia ‘Menangkap

kura-kura di dalam kendi’ itu mau mencoba periksa ke tempat a!atalat

rahasia yang lain apakah semua alat sudah ditutup?”

“Biarlah aku periksa sebentar. .”

Sebentar kemudian dia baru menyawab:

“Sudah ditutup semua, Ti siauw hiap silahkan lewat dengan hati

lega.”

Dengan langkah yang cepat Ti Then segera berlari ke depan,

terlihatlah jalan rahasia itu ada yang lebar ada yang sempit bahkan

diantaranya terdapat pula beberapa ruangan yang mewah dan

sebuah gua yang amat besar, setelah lewat gua itu dia melewati

beberapa jalan tikungan yang membingungkan dan akhirnya

sampailah di depan sebuah pintu dan muncul kembali di dalam

kamar alat rahasia itu.

Wi Ci To masih memeriksa seluruh ruangan kamar alat rahasia itu

dengan amat teliti ketika dilihatnya Ti Then muncul kembali ke

dalam kamar itu dia agaknya dibuat tertegun.

“Bagaimana?” tanyaya.

“Pocu tidak usah mencari kembali, dia sudah melarikan diri dari

sini”

“Dia melarkan diri dengan mengambil jalan melalui pintu ruangan

Khie Ie Tong itu?” timbrung Liuw Khiet dengan cepat.

“Benar,” sahut Ti Then mengangguk, “Sewaktu aku sampai di

depan ruangan Khie IeTong di pintu keluar sudah terbuka, aku kira

dia teatunya sudah melarikan diri dari sini”

Wi Lian In yang sedang berjaga di pintu depan segera

mendepakkan kakinya ke atas tanah saking gemasnya.

“Aku kira dia belum lari jauh, mari cepat kita kejar“

Sehabis berkata dia mau putar badan untuk mengejar.

“Lian In kembali, jangan kejar lagi!” bentak Wi Ci To dengan

cepat.

Mendengar suara bentakan dari ayahnya Wi Lian In segera

menghentikan langkahnya:

“Kenapa tidak dikejar?” tanyanya sambil putar badan, “Keledai

tua itu jauh Iebih jahat dari Bun Jin Cu, seharusnya kita pergi

menawan dia orang untuk tanyai lebih jelas lagi“

“Sewaktu Ti Kiauw-tauw mengejar ke ruangan Khie Ie Tong dia

sudah melarikan diri” sahut Wi Ci To menerangkan, “Saat ini

kemungkinan sekali dia sudah berada jauh beberapa li dari sini,

apalagii kita pun tidak tahu dia melarikan diri dengan mengambil

arah yag mana, lebih baik tidak usah dikejar lagi”

“Hmmm, berka!i-kali dia membokong Ti Kiauw tauw serta

putrimu, bagaimana kita bisa melepaskan dirinya begitu saja ? “Seru

Wi Lian In dengan gemas.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 24 : Lelaki berkerudung lolos.

“Jangan cemas” ujar Wi Ci To dengan perlahan. “Lebih baik kita

keluar dari tempat ini terlebih dahulu lalu kalian ceritakan kejadian

yang sudah kalian alami kepadaku, kemungkinan sekali aku bisa

menebak siapakah orang itu”

Demikianlah mereka berlima segera berjalan keluar dari kamar

alat rahasia itu dan menuju keruangan luar, setelah mengadakan

pemeriksaan kembali dengan teliti dan memastikan kalau lelaki

berkerudung itu benar-benar sudah merat dari istana Thian Teh

Kong mereka baru berkumpul dan duduk-duduk di dalam ruangan

Khie Ie Tong.

“Eeei di mana baju Ti Kiauw tauw serta San Ho ?” tanya Wi Ci To

kemudian.

“Masih ada di dalam ruangan siksa” sahut Ti Then cepat.

“San Ho” seru Wi Ci To memberi perintah. “Coba kau turun ke

bawah dan ambil pakaian kalian kemari lalu kita harus cepat-cepat

atur langkah kita selanjutnya.

Suma San Ho segera menyahut dan meninggalkan tempat itu

untuk balik kembali ke daIam jalan rahasia.

“Tia “ ujar Wi Lian In kemudian. “Janyi pertempuran kita adalah

besok pagi, bagaimana tia ini hari sudah sampai ?”

“Aku dengar orang bilang katanya di dalam istana Thian Teh

Kong sudah terjadi pemberontakan karena itu sengaja aku lebih

pagi datang kemari, , . – eeehm tadi kalian bilang Bun Jin Cu sudah

mati, sebenarnya dia mati ditangan siapa?”

“Dia sudah bunuh diri,” sahut Ti Then.

“Kenapa dia harus bunuh diri ?” tanya Wi Ci To keheranan.

“Saking kehekinya karena pengkhianatan dari si menteri pintu

yang mengingini harta kekayaannya, ternyata dia orang telah

mengambil kesempatan sewaktu dia orang tidak siap sudah

menotok jalan darah dirinya dan paksa dia untuk mengakui tempat

penyimpanan harta kekayaannya, setelah dia orang memberitahu

tempat penyimpanan harta kekayaan itu si menteri pintu segera

menawan dia untuk mengikuti dirinya masuk ke dalam, akhirnya

sudah kena senggol alat rahasia sehingga mereka berdua samasama

terbinasa di tengah hujan anak panah …”

oooOOooo

Baru saja dia membicarakan sampai di situ tampaklah Suma San

Ho dengan membawa pakaiannya sudah meloncat keluar dari dalam

ruangan rahasia.

Ti Then segera menerima pakaiannya dan mengenakannya lalu

sekali lagi menceritakan kisahnya sejak meninggalkan benteng Pek

Kiam Po. sewaktu dia menceritakan sudah bertemu dengan Hong

Mong Ling di atas gunung Kim Teng san di mana dia orang sudah

terbinasa kena sambitan batu, air muka Wi Ci To berubah sangat

hebat, timbrungnya:

“Siapa yang sudah turun tangan terhadap dirinya?

“Boanpwe tidak melihatnya, tetapi. .”

“Apa mungkin sikakek pemalas Kay Kong Beng yang turun

tangan?” potong Wi Ci To kembali.

“Tidak mungkin!” sambung Wi Lian In dengan cepat. “Sewaktu Ti

Kiauw tauw mengejar turun gunung putrimu menyusul ke bawah

bersama-sama dengan si kakek pemalas Kay Kong Beng, sebelum

dia dan diriku menemukan mayatnya Hong Mong LIng dia orang

belum pernah meninggalkan diriku barang selangkah pun”

“ Kalau begitu menurut kalian siapa yang sudah menyambit mati

diri Hong Mong Ling?” tanya Wi Ci To.

“Menurut boanpwe pastilah lelaki berkerudung yang baru saja

melarikan diri dari istana Thian Teh Kong itu”

“Apa alasanmu?” seru Wi Ci To sambil memandang tajam

wajahnya.

“Menurut pengakuan Hong Mong Ling dikarenakan Hu pocu

sudah menerima jual beli dengan orang lain maka dia sengaja

perintahkan Hong Mong Ling untuk mencuIik pergi nona Wi, waktu

Hong Mong Ling mau menyebutkan nama orang yang melakukan

jual beli itu ternyata dia sudah dihajar mati oleh sambitan batu itu,

dari hal ini saja sudah jelas menunjukkan kalau orang yang turun

tangan membinasakan dirinya adalah orang yang mengadakan juai

beli Hu pocu itu sebetulnya Ielaki berkerudung itu terus menerus

menyusun siasat untuk menawan nona Wi serta boanpwe juga

bertujuan untuk mengadakan jual beli dari soal inilah boanpwe

berani memastikan kalau orang yang melakukan pembunuhan

terhadap Hong Mong Ling pastilah lelaki berkerudung hitam itu”

Air muka Wi Ci To segera berubah menjadi amat keren.

“Apakah dia orang terus menerus berusaha menawan kalian

berdua?”

“Benar” sabut Ti Then mengangguk, “Setelah baanpwe serta

nona Wi meninggalkan gunung Kim Teng San selama dalam

perjalanan kami terus menerus, berpikir siapa lagi yang bisa

membayat uang tebusan sebesaf sepuluh laksa tahil perak di dalam

Bu lim pada saat ini?

Akhirnya kami teringat pada seseorang, dialah itu pembesar kota

atau Sian Thay ya Cuo It San,”

Begitu Wi Ci To mendengar disebutnya nama Sian Thay ya Cuo It

Sian air mukanya segera berubah sangat hebat, seketika itu juga dia

bungkam dalam seribu bahasa. Terdengar Ti Then melanjutkan

kembali pembicaraannya:

“Boanpwse sudah lama mendengar sifat yang lurus dan berbudi

dari itu Sian Thay ya Cuo It Sian dan menganggapnya tidak

mungkin orang semacam ini melakukan kejahatan, tetapi teringat

kembali persahabatannya yang amat rapat sekali dengan Hu Pocu

kecuali dia, orang lain sekali pun mem punyai uang tebusan yang

lebih banyak pun belum tentu Hu Pocu mau menerimanya, karena

itu kami segera mengambil keputusan untuk pergi ke kota Tiong Jin

Hu mencari Cuo It Sian guna membicarakan persoalan ini .

Segera dia pun menceritakan kisahnya ketika bertemu dengan

Cuo It Sian lalu dimana didaiam kuii Sam Cing Kong termakan obat

pemabok dan ditawan di bawah ruang sebuah rumah petani di

dusun Thay Hung Cung beserta bagaimana kemudian berhasil

meloloskan diri dari kurungan mereka.

Semakin mendengarkan kisah ini air muka Wi Ci To berubah

semakin hebat, dari matanya memancarkan sinar yang amat tajam

sekali, ujarnya dengan suara yang berat.

“Perkam pungan petani itu apakah merupakan lumbung padi dari

Cuo It Sian? “

“Tidak salah” sahut Ti Then sambil mengangguk.

“Salah satu di antara ketiga orang berkerudung itu sebelum

meninggalkan tempat itu apakah sungguh-sungguh mengaku anak

buah dari Cuo It Sian?” tanya Wi Ci To kembali.

“Benar, dia orang berkata begitu.”

Wi Ci To segera mengerutkan alisnya rapat-rapat.

“Jika cuma berdasarkan hal itu saja kita belum bisa memastikan

kalau orang berkerudung tadi adalah Cuo It Sian bahkan

menyawabnya dengan tenang saja kemungkinan sekali mereka

memang mem punyai rencana untuk mencelakai diri Cuo It Sian,

tetapi kemungkinan juga orang yang melakukan jual beli itu adalah

Cu It Sian sendiri, sedangkan orang itu sengaja mengaku terus

terang kemungkinan sekali bermaksud agar di dalam hati kita timbul

perasaan ke balikannya terhadap mereka dan menganggap Cuo it

Sian pastilah bukan pemimpin mereka.”

Wi Ci To termenung berpikir sebentar, akhirnya dia baru

menyawab.

“Jadi menurut pendapat Ti Kiauw tauw lelaki berkerudung tadi

pastilah Cuo It Sian?”

“Benar atau bukan boanpwe tidak berani memastikannya.”

Tiba-tiba dengan sedikit pun tidak ragu-ragu ujar Wi Ci To

dengan suara tegas.

“Tetapi Lohu dapat memberitahukan kepada kalian, lelaki

berkerudung itu bukanlah Cuo It Sian. “

“Lalu siapakah dia ?”

“Lohu sendiri pun tidak tahu“ sahut Wi Ci To sambil gelengkan

kepalanya.

“Tia, dengan berdasarkan apa kau orang tua berani memastikan

kalau lelaki berkerudung itu bukanlah Cuo it Sian ?” timbrung Wi

Lian In.

“Alasannya ada dua, pertama: Cuo lt Sian adalah seorang

pendekar tua yang sifat mau pun tindak tanduknya amat jujur dan

berbudi. Lohu sangat memahami dirinya, orang semacam dia tidak

mungkin bisa melakukan pekerjaan seperti ini. Kedua, Jika Cuo It

Sian mau melaksanakan niatnya ini dia tidak akan berani

menggunakan lumbung padinya sendiri untuk berbuat sesuatu.“

“Betui.” Seru Ti Then. “Tetapi boanpwe masih ada satu persoalan

yang masih merasa tidak paham, yaitu gudang di bawah tanah yang

digunakan untuk mengurung kami … “

“Orang yang mem punyai gudang di bawah tanah bukan cuma

satu dua oran g saja.” Cepat sela Wi Ci To sambil tersenyum.

“Tidak salah. Kebanyakan rumah, gudang di bawah tanah itu

dipergunakan untuk menyimpan barang-barang keperluan tetapi

gudang di bawah tanah yang digunakan untuk mengurung kami

sangat berlainan sekali dengan gudang-gudang yang lain, di dalam

gudang tersebut sudah tertanam tiang besar yang malang melintang

tidak keruan dan sangat berbeda dengan tiang besi lainnya, pada

dasarnya ada empat buah cabang besi yang satu sama lainnya

saling sambung menyambung, jelas sekali tempat itu khusus

digunakan untuk menawan jago-jago berkepandaian tinggi dari Bu

lim”

Terhadap pertanyaan ini agaknya Wi Ci To tidak dapat

memberikan jawabannya, dia cuma mengerutkan alisnya rapatrapat

sambil gelengkan kepalanya berulang kali.

“Coba bayangkan” ujar Ti Then kembali, “Bilamana lelaki

berkerudung itu bukan Cuo It Sian bagaimana di dalam gudang

orang lain sudah disediakan peralatan seperti ini?”

“Tidak salah” sambung Wi Lian ln pula.”Orang lain tidak akan

tahu kalau di bawah gudang rumah petani itu sudah dipasang

perlengkapan seperti ini”

Wi Ci To jadi termenung lama sekali dia berpikir keras akhirnya

ujarnya kembali.

“Waktu itu aku orang merasa sangat gusar sekali, sehingga

sudah salah mengira kalau setelah menaruh simpatik kepada Mong

Ling dan sama sekali tidak menyelidiki lebih lanjut”

Soal ini sudah tentu membuat orang merasa kebingungan, tetapi

lohu percaya lelaki berkerudung itu pasti bukanlah Cuo It Sian.

“Tia berani memastikan kalau lelaki berkerudung itu bukan Cuo It

Sian. sudah tentu Tia telah tahu siapakah lelaki berkerudung itu

bukan?”

“Aku betul-betul tidak tahu.” sahut Wi Ci To sambil gelengkan

kepalanya.

“Lalu sebelum Hu Pocu bunuh diri apakah dia orang tidak

memberitahukan sesuatu kepada Tia?” tak tertahan lagi desak Wi

Lian In lebih lanjut.

“ Tidak,” sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya, “Dia cuma

bilang merasa malu terhadap Tia, sedangkan karena apa dia mau

bekerja sama dengan Hong Mong Ling untuk menculik dirimu dia

orang sama sekali tidak mau memberi tahu.”

“Jikalau memangnya begitu, tidak seharusnya Tia membiarkan

dia orang lalu bunuh diri”

Agaknya Wi Lian In merasa sangat tidak puas terhadap

penjelasan dari ayahnya, tiba-tiba sambil mencibirkan bibirnya

ujarnya kepada Liuw Khiet:

“Liuw Khiet, di dalam istana ini apakah masih ada makanan yang

bisa didahar?”

“ Hamba tidak begitu jelas, mungkin masih ada sedikit,” sahut

Liuw Khiet dengan sangat hormatnya.

“Kalau begitu kau pergilah cari sedikit, kalau ada bawalah kemari

perutku terasa agak lapar.

Liuw Khiet sgera menyahut dan berlalu dari sana.

Wi Lian In memandang hingga bayangan tubuh Liuw Khiet

lenyap dari ruangan Khie le Tong lalu baru menoleh kembal kearah

ayahnya.

“Tia,” ujarnya dengan perlahan. “Tujuan lelaki berkerudung itu

menculik Ti Kiauw tauw serta purtimu sebetulnya hendak memaksa

Tia untuk menyerahkan semacam barang ?”

Tidak menanti orang selesai berbicara Wi Ci To sudah gelengkan

kepalanya.

“Lohu tidak paham barang apa yang di minta oleh dia orang.”

“Dia bilang barang itu sama sekali tidak berharga. Tia, tentunya

tahu bukan barang apa yang sama sekali tidak berharga yang

disimpan di dalam loteng penyimpan kitab tetapi baginya

merupakan barang yang maha penting ?”

“Lohu banyak menyimpan kitab-kitab serta lukisan-lukisan yang

kelihatannya sama sekali tidak berharga padahal merupakan barang

yang amat penting sekali.”

“Tetapi dia bilang tidak mau kitab-kitab serta lukisan itu.”

Wi Ci To tertawa pahit.

“Kalau begitu lohu semakin tidak tahu barang apa yang

sebenarnya dimaui dirinya.”

Wi Lian ln sekali lagi mencibirkan dirinya, dengan nada yang

amat manya serunya

“Tia, kau sungguh-sungguh tidak tahu ataukah memang sengaja

tidak mau beritahu kepada kami ?”

Air muka Wi Ci To segera berubah amat keren.

“Loteng penyimpan kitab yang ada di dalam benteng Pek Kiam

Po bukankah kau orang sudah melihatnya sendiri?” serunya dengan

nada kurang senang, “Di dalam sana selain kitab serta lukisan apa

pun tidak ada lagi”

“Kalau begitu urusan ini sungguh aneh sekali, walau pun lelaki

berkerudung itu tidak mengatakan nama dari barang itu tetapi jika

didengar dari nada ucapannya jelas dia tahu kalau dia pun

mengetahui barang yang dimintanya itu “

“Lalu kenapa dia tidak mau bicara terus terang?” balik tanya Wi

Ci To.

“Dia tidak mau bicara terus terang sudah tentu ada sebabnya.

“Sudah ., sudahlah, kau tidak usah berpikir sembarangan lagi “

sela Wi Ci To kemudian kurang sabar. “Teniunya dia orang sudah

mendengar orang lain bilang kalau lohu mem punyai sebuah loteng

penyimpan Kitab yang tidak memperkenankan orang lain masuk

atau melihatnya karena itu sudah menganggap di dalam loteng

penyimpan Kitab lohu itu sudah tersimpan semacam barang pusaka

yang sangat berharga sekali lalu timbullah niatnya untuk merebut.”

“Tidak mungkin begitu.” bantah Wi Lian In dengan cepat.

“Jikalau dia orang sama sekali tidak mengetahui barang apa yang

dimaui oleh dirinya sendiri bagaimana dia berani mengeluarkan

uang sebesar sepuluh laksa tahil untuk membelinya?”

“Menurut apa yang lobu ketahui Hu Pocu sama sekali tidak

pernah menerima uang sebesar sepuluh laksa tahil itu.”

“Dia sudah bersiap sedia untuk membayar uang sebesar sepuluh

laksa tahil perak itu, karena di dalam kantongnya dia membawa

selembar uang kertas …..”

Agaknya Wi Ci To tidak ingin melanjutkan pembicaraan tentang

soal ini mendadak dia bangkit berdiri.

“Kalian tadi bilang Bun Jin Cu sudah mati, dimana mayatnya ?”

“Ada di dalam sebuah jalan rahasia di balik tembok ruangan

siksa, dia memberitahu kepada si menteri pintu katanya seluruh

harta kekayaannya disimpan di dalam jalan rahasia tersebut, “sahut

Ti Then segera,

“Kalian ikutlah aku masuk ke dalam.”

Segera kepada Suma San Ho perintahnya:

“San Ho kau jagalah di atas ruangan ini, bilamana menemui lelaki

berkeudung itu , kembali lagi cepatlah kirim tanda bahaya.

“Tecu menerima perintah.” sahut Suma San Ho sambil

bungkukkan badannya memberi hormat.

Wi Ci To segera berjalan ke belakang meja panjang dan

melongok ke dalam ruangan bawah tanah itu, tanyanya:

“Kita berjalan melalui tempat ini?”

“Benar,” sahut Ti Then perlahan. “Biar boanpwe membawa

jalan.”

Selesai berkata dia segera meloncat turun ke bawah.

Wi Ci To serta Wi Lian ln pun ikut meloncat turun ke bawab,

sesampainya di bawah tanah Ti Then mengambil obor sebagai

penerangan untuk menyulut lampu lentera tadi baru memimpin

mereka berdua berjalan masuk ke dalam.

Mereka bertiga dengan cepat sudah tiba di dalam ruangan siksa

itu dan berhenti di depan jalan rahasia di balik dinding tersebut, di

bawah sorotan sinar lampu terlihatlah dengan amat jelasnya majat

dari Bun Jin Cu serta si menteri pintu masih menggeletak ditengah

jalan rahasia.

Lama sekali Wi Ci To memperhatikan mayat dari Bun Jin Cu lalu

sambil menghela napas panjang ujarnya :

“Seseorang asalkan hidup dengan teratur dan memakai aturan

pastilah tidak menemui ajal tanpa terurus”

“Tia, Bun Jin Cu bilang di jalan rahasia itu dia sudah menyimpan

harta kekayaannya dalam jumlah yang amat besar, bagaimana

kalau kita masuk untuk melihat-lihat?”

“Tidak.” sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya. “Tidak

perduli ada beberapa banyak harta kekayaannya semua itu

bukanlah milik kita”

“Cuma melihat saja kan tidak mengapa?” desak Wi Lian In lebih

lanjut.

“Kalau memangnya tidak mau mengambil buat apa pergi

melihat?”

“Menurut pendapat boanpwe.”sela Ti Then tiba-tiba, “Jikalau di

dalam sana benar-benar sudah tersimpan harta kekayaan dalam

jumlah yang amat besar sekali pun kita tidak mengambilnya tetapi

paling sedikit harus diatur sedemikian rupa sehingga berguna”

“Bagaimana mengaturnya?”

“Diambil keluar lalu dibagi untuk menolong kaum miskin?”

“Ehmm . . , baik sih baik,”sahut Wi Ci To perlahan, “Cuma saja

siapa yang mau percaya kalau harta itu kita ambil guna menolong

kaum miskin?”

“Kini ada Liuw Khiet di sini, sewaktu kita membagikan harta

kekayaan tersebut kita boleh membawa sekalian dirinya agar dia

pun bisa menjadi saksi”

Wi Ci To termenung untuk berpikir sebentar akhirnya dia

mengangguk.

“Baiklah, kita masuk ke dalam untuk meIihat-lihat . . .apakah alat

rahasia yang dipasang di dalam jalan rahasia ini sudah semua?”

“Putrimu kira masih ada alat rahasia yang belum bekerja, biarlah

aku menyambitkan semacam barang ke dalam sana untuk

memeriksa.”

Wi Lian In segera mengambil sebuah batu cadas lalu dilemparkan

ke dalam jalan rahasia yang agak dekat dengan jalan keluar,

sewaktu dilihatnya sama sekali tidak terjadi perubahan apa pun dia

mengambil kembali sebuah batu dan disambitkan kearah jalan

rahasia di depan kedua mayat yang menggeletak ditengah jalan itu,

tetapi keadaan tetap tenang-tenang saja, ujarnya kemudian.

“Kelihatannya sudah pada bekerja”

“Hmm, bagaimana kau bisa tahu menggunakan cara ini untuk

memeriksa keadaan?” tanya Wi Ci To sambil tertawa.

“Aku belajar dari Ti Kiauw tauw” jawab Wi Lian In tertawa malu

sedangkan tangannya menuding kearah Ti Then.

“Bagus . . bagus sekali,” puji Wi Ci To sambil menganggukkan

kepalanya. “Tetapi jikalau jalan rahasia ini panjang maka di dalamn

ja tentu masih terdapat alat rahasia, maka itu kita tidak boleh cepatcepat

mengambil kesimpulan kalau alat rahasia ini sudah bekerja

semua”

Sambil berkata dia bungkukkan badannya mengambil dua buah

batu lalu berjalan masuk ke dalam ruangan rahesia itu.

Mereka bertiga melewati mayat dari Bun Jin Cu serta si menteri

pintu lalu ber jalan kembali beberapa langkah dengan mengikuti

jalan rahasia yang berbelok ke kiri mereka melanjutkan

perjalanannya ke depan.

Ti Then dengan membawa lampu lentera berjalan dl belakang Wi

Ci To, segera mereka dapat melihat kalau jalan itu semakin lama

semakin sempit dan semakin panjang, luasnya cuma ada dua depa

sedang kedua belah dindingnya terbuat dari batu yang tidak

dibubuhi oleh pasir untuk menguatkannya.

Wi Ci To memandang sebentar ke sekeliling tempat itu lalu

ujarnya :

“Di dalam jalan rahasia ini pasti ada alat rahasianya, bahkan alat

rahasia itu tentu ada di atas dinding.”

Sambil berkala dia melemparkan sebuah batu kearah depan

untuk memeriksa keadaan di sana.

Ketika batu itu jatuh ke atas tanah segera terdengarlah suara

yang amat nyaring, memecahkan kesunyian tetapi sama sekali tidak

tampak adanya alat rahasia yang bekerja.

“Aaah.. tidak ada.” Seru Wi Lian In tegas. Segera dia melempar

kembali sebuah batu ke arah dinding yang lain.

Segera terdengarlah suara yang amat keras diikuti suara desiran

yang amat nyaring dari dinding sebelah kanan mendadak meluncur

keluar ratusan batang tombak yang bersama-sama meluncur ke

dinding sebelah kiri.

Tombak-tombak panjang itu dengan amat rapatnya terjejer di

atas dinding tembok laksana paku yang memantek di atas kayu

membuat seluruh jalan rahasia itu tertutup rapat.

Jikalau orang yang berjalan melewati sana sekali pun ilmu silat

yang dimilikinya amat dahsyat tentulah sebentar saja akan berubah

menjadi seekor Landak.

Tak terasa lagi Wi Lian In menghembuskan napas dingin,

“Ooooh Thian” serunya. “Untung sekali kita belum berjalan ke

dalam”

“Sungguh aneh sekali” timbrung Ti – Then sambil mengerutkan

alisnya, “tadi Liew Khiet bilang semua alat rahasia sudah tertutup

bagaimana sekarang alat rahasia di tempat ini bisa bekerja?”

“Sebabnya alat rahasia yang ada di dalam jalan rahasia ini bukan

diatur dari kamar alat rahasia yang ada di sana” sahut Wi Ci To

menerangkan.

“Oooh kiranya begitu” ujar Ti Then menjadi paham kembali. “Jadi

dengan perkataan lain, selain si anying langit rase bumi berdua

siapa pun yang berani melewati jalan rahasia ini tentu sukar lolos

dari kematian.”

Wi Ci To mengangguk.

“Selain ini dapat dibuktikan pula kalau di ujung jalan rahasia Ini

memang betul-betul tersimpan harta kekayaan dalam jumlah yang

amat besar sekali.”

Wi Lian In memandang berates-ratus tombak yang menutupi

jalan tadi, dia amat tertegun.

“Kita harus masuk ke dalam melalui mana?” tanyanya.

Wi Ci To segera mengambil lampu lentera yang ada di tangan Ti

Then sambil ujarnya:

“Di tempat ini tentu ada alat rahasia untuk membukanya, biarlah

lohu periksa sendiri “

Dia mengangkat lam punya memeriksa keadaan di sekeliling

tempat itu bersamaan pula tangannya memukul dinding serta

permukaan tanah, akhirnya di ujung permukaan tanah dia dapat

menerima suara pantulan yang sangat berbeda, akhirnya dia

membongkar jubin yang ada tempat pojokan itu.

Tampak di bawah jubin itu terdapat sebuah lubang kecil, di

tengah lubang itu terpendam sebuah tabung besi yang kecil pula

sedang di atas tabung besi itu terdapat sebuah alat untuk

memegang yang berwarna hitam pekat, jelas sekali itu adalah alat

yang digunakan untuk membuka alat rahasia tersebut.

Wi Ci To segera memegang tabung besi itu dan dengan perlahan

menariknya ke arah sebelah kanan, terdengar suara yang amat

nyaring, tombak-tombak besi yang tertancap di atas dinding tadi

dengan perlahan balik kembali ketempat semula.

“Sekarang kita boleh masuk ke dalam bukan?” ujar Wi Lian In

kemudian.

“Tidak boleh, coba kau lemparkan sebuah batu kembali ke

dalam.” seru Wi Ci To memberi perintah.

Wi Lian In segera berjalan keluar dari jalan rahasia itu dan

mengambil sebuah batu besar untuk kemudian dilempar ke depan.

“Sreest ….” Tombak besi yang semula sudah tertarik kembali ke

tempatnya yang semula sekali lagi meluncur keluar menancap pada

dinding yang ada di hadapannya.

Wi Lian In menjadi sangat terperanyat sekali.

“Aduh ….. bagaimana bisa jadi?” serunya keras.

Wi Ci To tersenyum.

“Hal ini berarti bilamana kau tidak mengerti caranya berjalan

melewati tempat ini tentu akan tersenggol alat rahasia”

“Jika alat rahasianya bekerja tombak-tomabk itu menghalangi

jalan hingga kita tidak bisa berlalu jika tidak bekerja kita pun tidak

mengerti cara jalannya, bukankah dengan demikian kita dapat

masuk ke dalam?” ujar Wi Lian ln sambil kerutkan alisnya.

“Soal itu sangat mudah sekali” Sela Wi Ci To tersenyum. “Asalkan

gagang dari tabung besi itu kita ganyal sehingga tidak bergerak lagi

maka alat rahasia itu pun akan mati dengan sendirinya”

Sehabis berkata dari dalam sakunya dia mencabut keluar sebilah

pisau belati dan sekali lagi mengembalikan gagang tabung besi itu

kea rah sebelah kiri membuat tombak besi itu menyusup kembali ke

tempat asalnya, setelah itu pisau belatinya baru ditusuk ke dalam

liang kecil menahan daya luncur daripada gagang tabung besi

tersebut.

Ti Then yang melihat pisau belati itu sudah selesai menahan

gagang dari tabung besi itu, dia orang segera putar tubuh

membopon sebuah batu cadas dan dilemparkan kea rah dalam.

Kali ini ternyata alat rahasia itu sama sekali tidak jalan.

Wi Lian In menjadi amat girang, serunya keras.

“Bagus, sekarang kita boleh masuk bukan?”

Wi Ci To mengangguk, dengan tegakkan badan dia menggetakan

kakinya berjalan masuk ke dalam.

Mereka bertiga berjalan kembali beberapa kaki jauhnya,

mendadak jalan rahasia itu berubah menjadi tangga-tangga batu

yang menurun ke bawah, Wje Ci To segera perintahkan Ti Then

untuk balik ke jalan rahasia sebelah depan mengambil lagi dua buah

batu cadas lalu dilemparkan ke arah bawah anak tangga batu

tersebut.

Sewaktu dilihatnya dari tempat itu sama sekali tidak dapat

perubahan apa pun hatinya menjadi terasa amat lega.

Di bawah tangga batu itu merupakan sebuah ruangan batu yang

luasnya ada satu kaki lebih, di dalamnya tidak terlihat adanya

barang lain kecuali dua buah peti mati yang terbuat dari tembaga.

Kedua buah peti mati tembaga itu membujur berdampingan dan

diletakkan tepat di tengah ruangan batu tersebut, kelihatannya

sangat menjeramkan sekali.

Tua muda tiga orang sewaktu melihat di dalam ruangan itu

kecuali dua buah peti mati tembaga, tidak terlihat adanya barang

apa pun tidak terasa lagi dibuat melengak juga.

“Iih.. si anying langit rase bumi menyimpan semua harta

kekayaan di dalam peti mati?” seru Wi Lian In sambil menjerit

tertahan.

Wi Ci To pun angkat lam punya untuk menerangkan empat

penjuru lalu dengan nada yang amat tenang ujarnya :

“Ruangan batu ini agaknya merupakan ujung dari pada jalan

rahasia tersebut”

Ti Then segera mengambil kembali dua buah batu yang tadinya

disambitkan ke arah tangga batu itu lalu dilemparkan ke tengah

ruangan batu tersebut, tetapi sama sekali tidak kelihatan adanya

perubahan apa pun dari dalam ruangan, ujarnya kemudian,

“Mari kita turun ke sana lihat!”

Mereda bertiga dengan langkah perlahan berjalan masuk ke

dalam ruangan batu itu, sekali lagi Wi Ci To memeriksa keadaan di

sekeliling tempat itu akhirnya deagan nada pasti serunya.

“Tidak bisa salah lagi, kecuali ruangan batu ini tidak ada jalan

rahasia atau ruangan batu lagi.”

“Sungguh aneh sekali” ujar Ti Then kemudian mengutarakan

keheranan hatinya. “Apakah mungkin si anying langit rase bumi

sudah menyimpan seluruh harta kekayaannya di dalam peti mati

tembaga tersebut?”

Wi Ci To termenung berpikir sebentar lalu dengan perlahan dia

mengusap peti mati yang terbuat dari tembaga itu.

“Jika dilihat keadaannya” ujarnya perlahan. “Kemungkinan sekali

Bun Jin Cu menipu si Menteri pintu, dalam tempat ini agaknya sama

sekali tidak tersimpan semacam harta kekayaan .. “

“Lalu kedua buah peti mati tembaga ini?” timbrung Wi Lian in

dengan ragu-ragu.

“Mereka suami istri berdua tentunya mempersiapkan tempat ini

sebagai tempat pekuburan jenasah bagi mereka sendiri,” sambung

Wi Ci To kemudian.

Dia meletakkan lampu lentera tersebut ke atas tanah lantas

mengangkat kedua peti mati tembaga itu sebentar, ujarnya lagi:

“Peti mati yang ada di sebelah kiri rada enteng sedang peti mati

yang ada di sebelah kanan rada berat, kemunkinan sekali peti mati

yang berat itu sudah berisikan jenasah dari si anying langit Kong

Sun Yauw”

“Bagaimana kalau kita buka penutupnya?” ujar Ti Then

mengusulkan.

Wi Ci To berpikir sebentar kemudian baru jawabnya

“Kita buka peti mati yang rada enteng itu saja, jikalau di

dalamnya kosong melompong berarti juga kalau peti mati yang ada

di sebelah kanan itu terbaring jenasah dari Kong Sun Yauw”

Ti Then segera mengangguk dan dengan perlahan membuka

penutup peti mati yang ada di sebelah kiri.

Sekali pandang saja segera kelihatan kalau peti mati itu memang

betul-betul kosong tak berisi.

“Jika peti mati ini kosong tentunya peti mati yang ada di sebelah

kanan berisikan jenasah dari Kong Sun Yauw,” ujar Wi Lian In

perlahan. “Tapi kenapa mereka suami istri mau berbuat demikian?”

“Kemungkinan sekali dia orang takut mayatnya dirusak orang lain

la!u baru mempersiapkan alat rahasia itu, kejahatan yang mereka

suami istri perbuat sudah terlalu banyak sekali sudah tentu dalam

hati mereka pun takut kalau ada orang yang merusak mayat

mereka setelah mereka mati.”

“Kelibatannya orang jahat yang terlalu banyak melakukan

kejahatan setelah mati pun tidak tenang,” ujar Ti Then sambil

tertawa pahit.

Dengan perlahan Wi Lian In mengeIus-elus peti mati tembaga

yang ada di sebelah kanan, dengan perasaan ingin tahu bercampur

rasa takut ujarnya

“Kemungkinan sekali di dalam peti mati ini bukan tersimpan

mayat dari Kong Sun Yauw, bagaimana . . . bagaimana kalau kita

buka sebentar untuk dilihat?”

“Wi Ci To tidak menyawab sebaliknya kepada Ti Then ujarnya.

“Ti Kiauw-tauw, kita berbuatlah sedikit amal, coba kau bawa

jenasah dan Bun Jin Cu dan masukkan ke dalam peti mati yang

masih kosong ini.”

Ti Then mengangguk dan balik ke jalan rahasia di bagian depan

dan membopong jenasah dari Bun Jin Cu masuk ke dalam ruangan

batu, setelah mencabut keluar semua anak panah yang tertancap di

badannya barulah dia masukkan mayatnya ke dalam peti dan

menutup peti mati tersebut, ujarnya kemudian sambil tertawa:

“Setelah mati dia tentu tahu perbuatan kita ini dan seharusnya

mengucapkan terim kasih kepada kita, karena sampai kini kita

sudah bantu dirinya mengurusi mayatnya yang terlantar”

“Berbuat baik harus timbul dari hati sendiri, kita tidak

mengharapkan adanya ucapan terima kasih buat kita” sela Wi Ci To

sambil tertawa.

Air muka Ti Then segera berubah merah.

“Perkataan dari Pocu sedikit pun tidak salah, boanpwe cuma

omong guyon saja” sahutnya sambil tertawa malu.

“Ayoh jalan” seru Wi Ci To kemudian sambil balik menaiki tangga

batu.

“Tia“ seru Wi Lian In tiba-tiba. “Kita memeriksa lebih teliti lagi

sekitar tempat ini, kemungkinan sekali harta kekayaan itu dipendam

di bawah ruangan batu itu.”

Wi Ci To tidak menyawab sebaliknya melanjutkan langkahnya

menuju keluar.

Wi Lian In cuma bisa meleletkan lidahnya terhadap diri Ti Then

terpaksa dengan mengikuti dari belakangnya mereka berjalan keluar

dari tempat itu.

Sekembalinya di ruangan Khie le Tong tampak Liuw Khiet

membawa senampan makanan sedang menanti, dia tahu Wi Ci To

bertiga masuk ke dalam jalan rahasia itu untuk mencari harta

karenanya kelihatan sekali air mukanya penuh diliputi ketegangan

dan gembira cuma saja dia orang tidak berani membuka mulut

untuk bertanya.

Suma San Ho sendiri pun ingin sekali cepat-cepat tahu keadaan

di dalam jalan rahasia itu melihat Pocu tidak menyawab tak tertahan

lagi tanyanya

“Pocu, di dalam jalan rahasia itu apa benar-benar ada harta

kekayaan?”

“Tidak ada.” sahut Wi Ci To dengan wajah yang amat serius

sekali, “Di dalam jalan rahasia itu ada sebuah ruangan batu, di

dalam kurungan batu itu ada dua buah peti mati tembaga, yang

satu berisi jenasah dari Kong Sun Yauw sedang yang lain kosong. Ti

Kiauw tauw sudah memasukkan jenasah dari Bun Jin Cu ke dalam

peti mati yang kosong itu. Selain itu tidak tampak barang Iainnya”

“Ouuww” teriak Suma San Ho dengan amat kagetnya. “Kalau

begitu Bun Jin Cu cuma sengaja menipu si menteri pintu”

Wi Ci To mengangguk.

“Tidak, Bun Jin Cu ada harta kekayaan di dalam jumlah yang

amat besar di dalam istana ini” timbrung Liuw Khiet secara

mendadak.

Wi Ci To segara melirik sekejap ke arahnya, lantas tertawa

dingin.

“Kau sangat ingin mendapatkan hartaitu?” tanyanya dengan

suara yang amat dingin.

Liuw Khiet menjadi sangat terperanyat sekali.

“hamba tidak berani . . hamba tidak terani” jawabnya gugup.

“Liuw Khiet, aku mau bertanya kepadamu” sambung Ti Then

kembali. “Kau kira hara kekayaan lebih penting ataukah nyawa lebih

penting?”

Air muka Liuw Khiet segera berubah menjadi merah padam

seperti kepiting rebus, dia menundukkan kepalanya rendah-rendah,

“Sudah tentu . . . sudah tentu nyawa lebih penting, jika tidak punya

nyawa bagaimana harta kekayaan itu bisa digunakan?”

“Betul,” seru Ti Then tertawa. “Makanya jika ingin nyawamu

panjang janganlah memikirkan harta kekayaan itu lagi, coba kau

lihat saja si menteri pintu yang ingin merebut harta kekayaan

akhirnya dia harus mengorbankan nyawanya.”

Agaknya Liuw Khiet dapat dibuat mengerti, dia menganggukkan

kepalanya berulang kali.

“Benar . , – – benar . . .” serunya.

“Di dalam ruangan batu itu benar-benar tidak ada harta

kekayaan apa pun,” sambung Ti Then lagi. “Tetapi aku percaya

tentu si anying langit rase bumi masih mem punyai sejumlah harta

kekayaan yang disimpan di sesuatu tempat, persoalannya tempat

disimpannya harta kekayaan itu tentunya sudah dipasangi alat

rahasia yang amat lihay sekali, jikalau kau tidak berhati-hati

kemungkinan sekali sebelum memperoleh harta kekayaan itu sudah

binasa terkena alat rahasianya.”

Liuw Khiet menganggukkan kepalanya berulang kali,

“Perkataan dari Ti Siauw Hiap sedikit pun tidak salah, hamba

sudah mengambil keputusan tidak akan memikirkan harta kekayaan

itu lagi.”

Selesai berkata dia angkat kepalanya memandang sekejap kearah

Wi Ci Tou agaknya ada perkataan yang hendak disampaikan tetapi

tidak berani mengutarakan keluar.

“Kau ingin berbicara apa lagi ?” Tanya Wi Ci To kemudian setelah

dilihatnya perubahan wajah dari Liuw Khiet.

Mendadak Liuw Khiet jatuhkan diri berlutut di atas tanah, ujarnya

:

“Hamba ada satu permintaan harap Wi pocu mau menerima

hamba untuk dijadikan seorang penjaga atau pelayan di dalam

Benteng Pek Kiam Po”

Agaknya Wi Ci To sama sekali tidak menduga dia bisa

mengajukan permintaan ini, untuk sesaat lamanya dia dibuat serba

salah, ujarnya kemudian setelah berpikir sebentar.

“Ehmmm . . . soal ini …”

Dengan cepat Liuw Khiet mengangguk-anggukkan kepalanya

berulang kali.

“Bilamana Pocu mau menerima hamba, sejak ini hari hamba

bersumpah untuk berbuat jadi seorang baik-baik” ujarnya setengah

mendesak.

“Pocu,” ujar Ti Then kemudian sewaktu melihat Wi Ci To dibuat

serba susah. “Hati orang ini tidak jelek terhadap boanpwe untuk

menerimanya tidaklah salah.”

“Baiklah.” Sahut Wi Ci To kemudian setelah mendengar

perkataan tersebut. “Cuma peraturan perguruan Lohu amat keras

sekali, sekali pun seorang penjaga benteng yang kecil pun asalkan

perbuatannya sedikit melanggar peratutan tentu akan segera

mendapatkan huskuman yang berat, tentang hal ini kau harus

memikirkan lebih masak lagi.”

“Baik …. baik hamba sudah menyesali perbuatan hamba tempo

hari, hamba akan berusaha untuk memperbaiki semua perbuat an

serta sifatku yang jelek, jikalau melanggar peraturan silahkan Pocu

segera menyatuhkan hukuman kepada hamba.”

“Baiklah, kalau begitu kau bangun.”

Liuw Khiet menjadi amat girang sekali, setelah menganggukkan

kepalanya tiga kali dia baru merangkak bangun dan berdiri di

samping dengan amat hormatnya.

Dengan perlahan Wi Ci To menyapu mereka bertiga dan ujarnya:

“Kalian bertiga pun harus dahar dulu, sesudah itu masih ada

urasun yang harus diselesaikan.”

“Tia, kita mau bekerja apa lagi? “ tanya Wi Lian ln kemudian.

“Nanti sesudah dahar aku baru beritahu kepada kalian.”

Demikianlah, Ti Then, Suma San Ho, Wi Lian In bertiga segera

mulai mendahar makanan yang ada di atas meja panjang itu.

Di dalam sekejap saja mereka bertiga sudah menghabiskan

semua makanan yang ada di atas nampan, sambil mambersihkan

mulutnya ujar Wi Lian la dengan cepat.

“Sudah, Tia kau ingin suruh kami berbuat apa ?”

“Kita masing-masin berpencar untuk menyulut api membakar

habis istana Thian Teh Kong ini”

Wi Lian ln menjadi melengak,

“Aaaaaa …. istana Thian Teh Kong yang demikian besarnya

jikalau harus dibakar semua bukankah terlalu sayang ?”

“Harus dibakar sampai musnah, kalau tidak lain kali tentu ada

orang yang bisa menggunakan tempat ini untuk berbuat jahat lagi,”

“Benar,” sambang Ti Then, “Liuw Khiet coba kau pergi cari sedikit

minyak . . “

Waktu itu hari sudah, magrib sebuah bangunan istana Thian Teh

Kong yang amat megah hanya di dalam sekejap saja sudah berada

di tengah lautan api yang berkobar dengan besarnya sehingga

suasana di sekeliling tempat itu terasa amat terang sekali bagaikan

sang surya yang memancarkan sinarnya dari balik gunung.

Di tengah berkobarnya api yang amat besar itulah tua muda lima

orang bersama-sama turun gunung.

Di tengah perjalanan terdengar Wi Lian In bertanya

“Tia, apakah kita tidak berusaha untuk menyelidiki asal-usul dari

manusia berkerudung itu?”

“Kita tidak tahu siapakah dirinya, bagaimana bisa pergi

mengadakan penyelidikan?” seru Wi Ci To dengan tawar.

“Pergi cari Cuo It Sian”

“Tidak bisa!”

“”Kenapa?”tanya Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya. “Apakah

Tia merasa dia orang sama sekali tidak mencurigakan?”

“Benar.” Sahut Wi Ci To mengangguk, “Kau tidak boleh

menganggap lelaki berkerudung itu adalah Cuo It Sian dikarenakan

kau ditawan dan disekap di dalam gudang di bawah tanah milik

dirinya.”

“Sejak tadi aku kan sudah bilang jikalau dia orang mau

melakukan kejahatan tentu tidak akan berani menggunakan perkam

pungannya sendiri.”

“Tetapi sekali pun bukan dia jikalau kita pergi ke sana untuk

mengajak dia orang membicarakan persoalan ini kemungkinan sekali

masih bisa mendapatkan sedikit keterangan yang berguna” kata Wi

Lian In lebih lanjut.

Dengan perlahan Wi Ci To gelengkan kepalanya.

“Sebelum kita memperoleh bukti yang nyata aku tidak akan

membuat kesalahan dengan seorang pendekar tua yang mem

punyai nama serta kedudukan yang amat terkenal di dalam Bu lim.”

“Tapi kita cuma mengajak dia membicarakan persoalan ini saja . ,

.” desak Wi Lian ln kembali.

“Tidak perlu,” potong Wi Ci To dengan cepat. “Jika ingin

menawan orang lelaki berkerudung hitam itu satu-satunya jalan

adalah kembali ke dalam Benteng menantikan kedatangannya, kalau

memang dia ingin mendapatkan semacam barang dari diriku sudah

tentu sejak saat ini dia akan munculkan dirinya berulang kali.”

Wi Lian In tidak berbicara lagi jika dilihat dari wajah ayahnya

yang kukuh dan tidak mau pergi mencari Cuo It Sian jelas sekali

menunjukkan kalau ayahnya tdak punya maksud untuk menyelidiki

hal ikhwal tentang manusia berkerudung tersebut.

Sikapnya yang sama sekali berlawanan dengan keadaan biasanya

ini sudah cukup bagi Ti Then untuk membenarkan dugaannya, ia

tahu Wi Ci To tentu sedang menyembunyikan sesuatu barang yang

tidak menginginkan dirinya ikut mengetahui.

Sambil berkata dia melirik sekejap ke arah Ti Then lalu

melemparkan satu senyuman pahit. “Apa boleh buat.”

Ti Then cuma bisa angkat bahunya sambil balas mengirim satu

senyuman pahit dia tidak mengucapkan sesuatu apa pun.

Dalam hati dia tahu bilamana Wi Ci To tidak mau menyelidiki asal

usul dari lelaki berkerudung itu jelas sekali di dalam hal ini tentu ada

sesuatu rahasia yang dia orang tidak ingin pun orang lain ikut,

sebaliknya walau pun dirinya merupakan seorang Kiauw tauw dari

Benteng Pek Kiam Po tetapi bagaimana pun juga merupakan orang

luar.

Jikalau dirinya terus menerus memaksa untuk menyelidiki asal

usul dari lelaki berkerudung itu berarti juga dia hendak membongkar

rahasia pribadinya, hal ini sama sekali tidak berguna bagi dirinya.

Karena itu di dalam hati kecilnya Ti Then sudah mengambil

keputusan untuk tidak ikut memberikan pendapatnya mengenai diri

lelaki berkerudung itu.

Dengan berdiam diri mereka berlima melanjutkan perjalanannya

ke arah depan, sewaktu hamper mendekati kaki gunung Kim Hud

san mendadak Wi Ci To yang berada di paling depan

memperdengarkan suara tertahannya yang amat perlahan lalu

menghentikan langkahnya.

Wi Lian In yang ada di belakangnya menjadi melengak.

“Tia, ada urusan apa?” tanyanya.

“Coba kau lihat dari sana muncul seseorang ,” sahut Wi Ci To

sambil menuding ke arah jalan gunung yang ada di sebelah

depannya.

Ti Then berempat segera mengalihkan pandangannya ke depan,

ternyata sedikit pun tidak salah dari jalan gunung di tempat

kejauhan tampaklah seseorang yang memakai baju bijau dengan

cepatnya berlari mendatang.

“Hey agaknya seorang kakek tua, bahkan kepandaian silatnya

tidak jelek “ seru Ti Then pula.

“Apa mungkin jagoan berkepandaian tinggi dari pihak istana

Thian Teh Kong? “ sela Suma San Ho.

“Lobu kira bukan …”

“Kalau begitu lebih baik kita bersembunyi dulu, coba kita lihat

siapa yang telah datang, setelah itu …”

“Tidak perlu” potong Wi Ci To sambil tertawa, “tidak perduli yang

datang musuh atau kawan, kita tidak boleh bersembunyi.”

Pada waktu mereka sedang berbicara itulah orang tersebut sudah

datang semakin mendekat.

Sewaktu mereka berlima dapat melihat, dengan jelas wajah

orang tersebut tak tertahan lagi pada menjerit tertahan, agaknya

peristiwa ini jauh berada diluar dugaan mereka.

Siapakah yang sudah datang?

Orang itu bukan lain adalah si pembesar kota atau Sian Thay-ya

Cuo It Sian.

Ternyata secara tiba-tiba dia sudah munculkan dirinya di atas

gunung Kim Hud san.

Ti Then serta Wi Lian In pun merasa jauh berada di luar

dugaannya dengan kedatangan dari Cuo It Sian secara tiba-tiba

seketika itu juga dari dalam hatinya timbul perasaan curiga, karena

mereka segera terpikirkan, jikalau lelaki berkerudung itu adalah

penyamaran dari Cuo It Sian maka dia memang ada alasannya

untuk cepat-cepat mengembalikan wajah aslinya untuk mencuci

bersih kecurigaan yang timhul di hati orang lain.

Di dalam sekejap saja Cuo It Sian pun dapat melihat kedatangan

yang mendadak dari Ti Then sekalian, dia agak tertegun tetapi

sebentar kemudian sudah menerjang ke hadapan mereka, teriaknya

dengan perasaan kaget bercampur girang.

“Wi Pocu, kalian … kalian baru saja datang dari istana Thian Teh

Kong?”

“Benar,” sahut Wi Ci To sambil rangkap tangannya menjura.

“Sudah lama kita tidak bertemu, Cuo heng, bagaimana ini hari bisa

muncul di tempat ini?”

“Haa ,.. , haa , , Lolap memang sengaja datang kemari untuk

bertemu dengan kalian.”

“Oohh . “ Seru Wi Ci To lalu kepada Ti Then, Suma San Ho serta

Putrinya dia berkata kembali.

“Ti Kiauw tauw, Suma San Ho, In ji kalian cepat datang

menghunjuk hormat kepada locianpwe.”

Kiranya walau pun Wi Ci To terhitung manusia berkepandaian

tinggi yang kedudukannya amat terhormat tetapi usianya jauh lebih

kecil beberapa tahun dari Cuo lt Sian, kerenanya terhadap diri Cuo

It Sian dia orang menaruh rasa hormat yang berlebihan,

Walau pun di dalam hati Ti Then, mau pun Wi Lian ln menaruh

rasa curiga terhadap diri Cuo It Sian tetapi sebelum mendapat bukti

yang menerangkan lelaki berkerudung itu adalah hasil

penyamarannya sudah tentu mereka tidak berani berlaku tidak

hormat, segera bersama-sama dengan Suma San Ho pada bertindak

maju untuk memberi hormat.

oooOOooo

Cuo It Sian yang melihat wajah Ti Then serta Wi Lian In agak

tidak beres dia segera tertawa terbahak-bahak.

“Ti Siauw Hiap, nona Wi kalian tidak perlu kuatir, Lolap kali ini

sengaja datang ke gunung Kim Hud san bukanlah hendak

mengadukan parsoalan ini kepada Wi Pocu.”

Wi Lian lu segera tertawa tawar.

“Urusan hari itu dimana Tit li sudah menyambangi Cuo

Locianpwe ayahku sudah mengetahui.”

“Ocoouw begitu?” kepada Wi Ci To ujarrnya.

“Wi Pocu sudah bertemu muka dengan Bun Jin Cu?”

“Belum, sewaktu aku orang she Wi sampai ke istana Thian Teh

Kong dia sudah bunuh diri.”

Cuo It Sian menjadi amat terperanyat serunya.

“Aaaah… kenapa dia bunuh diri?”

“Anak buahnya pada kemarin hari sudah pada mengkhianati

dirinya sedangkan anak buahnya yang bernama Menteri pintu telah

turun tangan menotok tubuh dirinya dan memaksa dia orang

menyerahkan harta kekayaannya, di dalam keadaan gusar dia sudah

memancing menteri pintu untuk memasuki sebuah jalan rahasia

yang penuh dipasang alat rahasia lalu sengaja menggerakkan alat

rahasia untuk bersama-sama menemani ajalnya dengan si menteri

pintu itu.”

Mendengar sampai di sini Cuo It Sian semakin terperanyat lagi.

“Apa? ternyata ada urusan seperti ini? kenapa anak buahnya

pada mengkhianati dirinya?”

“0rang-orang dari istana Thian Teh Kong sebenarnya merupakan

manusia ganas yang sukar diatur” ujar Wi Ci To sambil tertawa.

“Mereka sewaktu melihat si anying langit sudah mati segera

menganggap seorang wanita tidak mungkin bisa berbuat sesuatu

pekerjaan yang amat besar karena itu mereka pada tidak mau

mendengarkan perintah si rase bumi lagi dan akhirnya

memberontak.

Dengan perlahan Cuo It Sian mengangguk ujarnya sambil

menghela napas panjang:

“Orang jahat pasti akan menerima pembalasan yang mengerikan,

inilah satu contoh buat kita”

“Tadi Cuo heng bilang ada satu urusan sengaja datang mencari

lohu entah urusan apa yang penting? tanya We Ci To kemudian.

Dengan perlahan Cuo It Sian mengalihkan pandangannya melirik

sekejap ke arah Ti Then serta Wi Lian ln, lalu baru berkata ujarnya.

“Wi Pocu kau tidak tahu, beberapa hari yang lalu di rumah

lumbung padiku di desa Thay Peng Cung sudah terjadi suatu

peristiwa yang amat mengagetkan, sewaktu Lolap bertanya dengan

para petani yang ada di sekeliling tempat itu katanya peristiwa itu

kemungkinan sekali ada sangkut pautnya dengan seorang pemuda

serta seorang nona, dalam hati loap segera menduga pemuda serta

gadis itu kemungkinan sekali adalah Ti siauw hiap serta putrimu

karenanya sengaja aku datang kemari untuk bertanya.”

“Tidak salah,” sambung Ti Then dengan cepat, “Sepasang

pemuda pemudi itu memang benar boanpwe serta nona Wi”

Air muka Cuo It Sian segera berubah sangat hebat.

“Jikalau demikian adanya pemilik rumah lumbung padi yang ada

di sana sebanyak lima orang dibinasakan oleh Ti siauw hiap ?”

ujarnya dengan keras.

“Bukan.”

“Kalau bukan siapa yang sudah turun tangan terhadap mereka ?“

seru Cuo It Sian sambil melototi dirinya.

“Mereka dibunuh oleh tiga orang berkerudung, mereka

meminyam kesempatan sewaktu boanpwe berdua menginap dikuil

Sam Cing Kong secara diam-diam sudah menyelinap ke dalam kuil

dan menaruh obat pemabok ke dalam air teh yang dikirim ke kamar

boanpwe berdua, sehingga boan pwe berdua tidak sadarkan diri,

sewaktu kami sadar kembali boanpwe berdua sudah disekap di

dalam sebuah gudang di bawah tanah, akhirnya boanpwe dengan

memakai akal berhasil meringkus sa!ah seorang di antara mereka .

.”

Dengan amat jelasnya dia segera menceritakan kejadian yang

telah dialami olehnya kepada si pembesar kota.

Air muka Cuo It Sian tampak berubah menjadi terperanyat

bercampur gusar, dari matanya memancarkan sinar yang tajam

sekali.

“Perkataan dari Ti siauw hiap ini apakah sungguh-sungguh?”

tanyanya.

“Sedikit pun tidak salah,” sahut Ti Then mengangguk.”Akhirnya

boanpwe berdua melakukan pemeriksaan kembali di dalam perkam

pungan tersebut, saat itu api sudah padam sedang boanpwe berdua

kembali untuk mencari pedang yang lenyap di tengah abu tetapi di

dalam ruangan tengah sudah menemukan lima sosok mayat yang

sudah hangus terbakar, menurut dugaan boanpwe tentunya

semalam ketiga orang berkerudung itu sudah menotok jalan darah

kaku serta bisunya sehingga sewaktu terjadi kebakaran sama sekali

tidak terdengar suara mereka yang berteriak minta tolong”

Cuo It Sian menjadi setengah percaya setengah tidak, tanyanya

lagi,

“Lalu apa tujuan mereka untuk menculik kamu berdua ?”

Dengan perlahan Ti Then menoleh arah Wi Ci To, tanyanya.

“Wi Pocu bolehkah boanpwe berbicara?”

“H mm m . . katakanlah” sahut Wi Ci To mengangguk.

Waktu itulah Ti Then baru berkata lagi terhadap diri Cuo It Sian

yang sudah memperhatikan dirinya terus menerus.

“Mereka bertiga mendapat perintah dari seorang lelaki

berkerudung hitam, sedangkan tujuan dari lelaki berkerudung hitam

itu sehingga menculik boanpwe berdua ialah hendak menggunakan

kami berdua sebagai barang tanggungan untuk memaksa Pocu kami

menyerahkan semacam barang.”

Sinar mata Cuo lt Sian segera berkilap-kilap, desaknya lebih

lanjut .

“Dia mau memaksa Wi Pocu menyerahkan barang apa?”

“Soal ini dia orang terus menerus tidak mau mamberi penjelasan,

katanya cuma sebuah barang yang sama sekali tidak berharga.”

Cuo It Sian segera berpaling memandang ke arah Wi Ci To lantas

tanyanya:

“Wi Pocu apakah kau tahu barang apa yang diminta olehnya?”

“Aku orang she Wi pun tidak mengerti” sahut Wi Ci To sambil

gelengkan kepalanya.

“Pihak lawan mengatakan barang itu tidak berharga tetapi bisa

dipikir tentunya sangat berharga sekali buat dirinya, Wi Pocu

sebaiknya kau harus mengetahuinya.”

Wi Ci To segera tersenyum.

“Aku orang she Wi benar-benar tidak tahu, di dalam loteng

penyimpan kitab aku orang she Wi memang banyak tersimpan

lukisan serta kitab-kitab kuno yang kelihatannya tidak berharga

padahal sangat bernilai sekali, tetapi pihak lawan bilang tidak

menghendaki lukisan atau kitab sehingga membuat aku orang she

Wi sendiri pun tidak paham barang apa yang sebenarnya diminta

olehnya.”

“Hal ini memang membuat orang menjadi kebingungan” seru Cuo

It Sian sambil kerutkan alisnya rapat-rapat.

Dia berpikir sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke arah Ti

Then, tanyanya kemudian :

“Jika didengar perkataan Ti siauw hiap agaknya kau orang sudah

pernah bertemu dengan dirinya?”

“Benar,” sahut Ti Then mengangguk. “Dia pernah datang ke

gunung Kim Hud san pada beberapa jam yang lalu sewaktu masih

ada di dalam istana Thian Teh Kong”

Demikianlah dia pun segera menceritakan bagaimana lelaki

berkerudung itu hendak bekerja sama dengan Bun Jin Cu lalu

peristiwa yang sudah terjadi setelah itu.

Cuo It Sian menjadi sangat terperanyat sekali.

“Kalian sudah tahu siapakah mereka itu?” tanyanya.

“Dia orang terus menerus memakai kerudung pada kepalanya

bahkan sewaktu berbicara sengaja mengubah nada suaranya

sehingga kita tidak dapat mengenal dirinya.”

“LaIu menurut Ti Siauw hiap berapa besar usianya?”

“Kurang lebih enam puluh tahunan”

“Senyata tajam apa yang digunakan?”

“Tidak membawa senyata tajam,” sahut Ti Then sambil

gelengkan kepalanya.

“Lalu ilmu silatnya termasuk ilmu yang berdasarkan Iwekang

ataukah Gwa-kang?”

“Ilmu silatnya termasuk dalam golongan orang yang meyakinkan

Iwekang, tenaga dalamnya berhasil dilatih sehingga mencapai taraf

yang sangat tinggi cuma saja tidak tahu dia dari aliran mana karena

sebenarnya dia belum pernah secara sungguh-sungguh bergebrak

dengan boanpwe”

“Bagaimana dengan perawakan badannya?”

“Tinggi besar seperti locianpwe, gemuk kurusnya pun sangat

mirip dengan Locianpwe”

“Ehmmm . . .” Alisnya dikerutkan rapat-rapat lalu tanyanya

kepada diri Wi Ci To.

“Wi Pocu, apakah kau orang sudah teringat seseorang dari

kalangan Bu lim yang mem punyai perawakan seperti itu?”

“Aku ingat akan seseorang” sahut Wi Ci To tertawa.

“Siapa?” tanya Cuo It Sian dengan amat girang.

“Si pembesar kota Cuo It Sian.” sahut Wi Ci To sambil tertawa.

Cuo It Sian jadi melengak disusul dengan suatu senyuman pahit

menghiasi bibirnya.

“Wi Pocu kau orang jangan berguyon, dengan amat kejamnya dia

sudah membinasakan orang-orang Lolap, pikirannya pun amat licik

Lolap pasti akan mencari dirinya untuk membalas dendam”

“Masih ada satu geguyon lagi yang Locianpwe setelah

mendengar tentu akan gusar dan gembar-gembor saking marahnya”

timbrung Wi Lian ln secara tiba-tiba.

Cuo It Sian menjadi melengak. “Geguyon apa?” tanyanya.

“Malam itu sewaktu masih ada di perkam pungan tersebut

setelah kami berhasil meloloskan diri dari lautan api dan

membinasakan orang berkerudung yang kedua, orang berkerudung

terakhir sebelum meninggalkan tempat itu sudah memberitahukan

suatu berita yang menggetarkan hati. . “

“Dia bilang apa?” tanya Cuo It Sian dengan penuh perhatian.

“Dia bilang pemimpin mereka bernama si pembesar kota Cuo It

Sian”

Seketika itu juga air muka Cuo It Sian berubah sangat hebat,

sinar matanya dengan perlahan menyapu sekejap kearab Wi Ci To

sekalian lalu ujarnya.

“Kelihatannya kalian sudah menaruh curiga terhadap Lolap?”

“Locianpwe kau jangan marah,” sela Ti Then dengan nada serius

sekali. “Lelaki berkerudung itu memang berkata demikian.”

“Sedang kalian pun percaya terhadap omongannya?” sambung

Cuo It Sian sambil tertawa dingin.

“Sudan tentu boanpwe tidak berani percaya perkataan dari orang

berkerudung itu jelas sekali menujukkan kalau dia orang sedang

sengaja mencelakai diri locianpwe”

Mendengar perkataan tersebut hawa amarah dari Cuo It Sian

dengan perlahan mereda kembali, dia segara mengangguk.

“Kelihatannya bukan saja lelaki berkererudung itu hendak

mendapatkan barang milik

Wi Pocu bahkan ingin mencelakai Lolap. Hmm, sungguh kejam

siasatnya sekali panah mendapat dua burung yang mereka

laksanakan.”

“Mungkin dia ada dendam sakit hati dengan Cuo heng sehingga

berbuat demikian terhadapmu” Tiba-tiba Wi Ci To memperingatkan.

“Selama hidupku Lolap benci orang-orang yang sudah bentrok

dergan aku amat banyak sekali, tetapi entah lelaki berkerudung itu

merupakan penyamaran dari musuhku yang mana?”

“Ooh yaa masih ada satu urusan yang boanpwe ingin minta

penjelasan”’ ujar Ti Then lagi, “Pertanyaan ini setelah boanpwe

katakan harap locianpwe jangan menjadi marah dibuatnya”

“Urusan apa? “ tanya Cuo It Sian dengan pandangan yang amat

tajam.

“Di dalam gudang di bawah tanah itu ada terpendam sebuah

tiang besi yang khusus digunakan untuk menyekap tawanan-tawan,

apakah di dalam gudang bawah tanah orang lain juga mempunyai

barang tersebut?”

“Betul, urusan ini Lolap memang sukar untuk menjelaskannya

….”

Berbicara sampai di sini dia segera menoleh kearah Wi Ci To dan

tanyanya.

“Wi Pocu, apakah kau masih ingat kalau lolap mempunyai

seorang adik ?”

“Tidak salah, tidak salah” seru Wi Ci To membenarkan. “Urusan

itu sudah terjadi pada sepuluh tahun yang lalu.”

“Jelas dari air muka Cuo lt Sian menunjukkan rasa sedihnya, dia

menghela napas panjang,

“Dia sudah hidup selama dua puluh satu tahun lamanya di dalam

gudang bawah itu, setiap kali lolap teringat dirinya hatiku segera

merasakan seperti diiris-iris – . . .”

“Aaasaaah ., . , Locianpwe mem punyai seorang adik yang

pernah tinggal di dalam gudang di bawah tanah itu?” Tanya Wi Lian

In keheranan.

“Benar.” sahut Cuo It Sian sambil mengangguk. “Dia jauh lebih

cerdik dari lolap pada usia dua puluh tahun dia sudah berhasil

meiatih ilmu silatnya sehingga mencapai pada tarap kesempurnaan

tetapi akhirnya dikarenakan jatuh hati dengan seorang nona dan

dikarenakan berbagai sebab sehingga tidak berhasil mengawini

nona tersebut dia menjadi gila, bergerak sedikit saja lantas turun

tangan membunuh orang akhirnya lolap tidak bisa berbuat apa-apa

Iagi terpaksa mengurungnya di dalam gudang bawah tanah itu, dia

hidup selama dua puluh satu tahun lamanya di dalam gudang

bawah tanah tersebut dengan sangat menderitanya, akhirnya dia

meninggal dunia karena sakit.”

Berbicara sampai di sini tidak tertahan lagi titik air mata menetes

keluar membasahi wajahnya.

“ Oooh kiranya begitu” seru Wi Lian In ikut terharu, “Tidak aneh

kalau di dalam gudang tersebut sudah terpendam tiang besi yang

begitu kuatnya.”

Sekali lagi Cuo It Sian kerutkan alisnya rapat-rapat.

“Tetapi yang paling aneh bagaimana lelaki berkerudung itu bisa

tahu kalau di dalam gudang bawah tanahku itu ada barang seperti

itu sehingga bisa menawan kalian berdua ke sana?”

“Hal itu berarti juga kalau lelaki berkerudung itu sangat

memahami keadaan dari Locianpwe, atau dengan perkataan lain

kemungkinan sekali lelaki berkerudung itu adalah orang yang

locianpwe sangat kenal”

“Tidak salah” Cuo It Sian mengangguk, “Tetapi sekarang lolap

masih tidak bisa menduga siapakah dia orang “

“Ada satu hari boanpwe pasti bisa menangkap si rase tua itu,

sampai waktunya aku tentu akan menyerahkan kepada locianpwe

untuk dijatuhi hukuman yang setimpal”

“Jikalau lolap yang menangkapnya terlebih dahulu maka lolap

segera akan memberi kabar kepada kalian oooh benar, Wi Pocu

waktu itu lolap dengar dari Ti siauw hiap yang katanya Hu pocu

meninggal karena bunuh diri, apakah bunuh dirinya itu sungguhsungguh

ada sangkut pautnya dengan lelaki berkerudung itu?”

“Ehmmm” sahut Wi Ci To sembarangan lalu bungkam kembali.

Air muka Cuo It Sian agak sedikit berubah kurang senang, cepatcepat

dia berganti bahan pembicaraan.

“Lantas Wi Pocu punya maksud untuk langsung pulang ke dalam

Benteng sekarang juga?”

“Benar,” sahut Wi Ci To mengangguk, “Sampai saat ini cita-cita

dari lelaki berkerudung itu sama sekali belum mencapai, sudah tentu

dia orang tidak akan berpangku tangan saja, kemungkinan sekali dia

bisa kembali ke dalam Benteng”

Baru saja berbicara sampai di situ mendadak air mukanya

berubah sangat hebat cepat-cepat bentaknya

“Cepat tiarap”

Cuo It Sian, Suma San Ho serta Wi Lian In empat orang segera

bisa mendengar suara menyambarnya senyata rahasia yang

menampok angin berkelebat kearah mereka dengan cepat tubuhnya

bersama-sama membungkuk ke bawah untuk menghindar.

“Braaaaak , .. “ dengan disertai suara desiran yang amat tajam

senyata rahasia itu melewati atas kepala kelima orang itu nancap di

atas batang pohon di pinggir jalan.

Pada ujung anak panah itu terikatlah secarik kertas putih, jelas

sekali pihak-musuh sedang mn menyambit suratnya dengan

menggunakan perantara anak panah.

Cuo It Sian, Ti Then serta Suma San Ho yang melihat hal ini

bersama-sama membentak keras, tubuh mereka bersama-sama

berkelebat menuju ke arah mana berasalnya suara sambitan tadi.

Di kedua belah samping jalan gunung itu semuanya merupakan

pepohonan yang amat rindang dan rapat sekali sehingga mereka

bertiga menubruk ke depan beberapa kaki jauhnya tubuh mereka

sudah lenyap di balik pepohonan.

Wi Lian In pun ingin ikut mengejar tapi keburu ditahan oleh Wi

Ci To ujarnya:

“Tidak perlu, ada mereka tiga orang lebih dari cukup”

Liuw Khiet segera meloncat mendekati pohon itu dan mencabut

keluar anak panah tersebut yang kemudian dengan sangat

hormatnya diangsurkan kepada Wi Ci To.

Sebatang anak panah yang bersurat, pocu silahkan lihat, ujarnya.

Wi Ci To segera menerima anak panah itu dan melepaskan

secarik kertas yang terikat pada batang anak panah itu laIu

dibacanya.

Sebentar saja air mukanya sudah berubah sangat hebat sekali.

Kiranya pada kertas tersebut bertulisan :

“Dipersembahkan kepada Pek Kiam pocu. Wi Ci To.

Tiga pendekar pedang merah dari Benteng kalian, Ih Kun. Kha

Cay Hiong serta Pauw Kia Yen telah berada ditangan lohu.

Jikalau kalian tidak ingin melihat mereka bertiga dibunuh oleh

aku orang, cepatlah persiapkan barang yang sudah lohu ingini itu.

Menanti balasan dari saudara.”

Di bawah surat itu tidak tampak adanya nama si pengirim.

Tetapi sekali pandang saja Wi Lian In segera berteriak keras.

“Aaaah tentu si lelaki berkerudung itu yang menulis.”

Air muka Wi Ci To berubah menjadi pucat ke hijau-hijauan

menahan rasa gusar, dengan dinginnya dia berdiri di sana tanpa

mengucapkan sepatah kata pun tetapi barang siapa saja yang

melihatnya tentu segera akan mengetahui bagaimana kegusaran

yang sedang bergolak di dalam hatinya.

“le Kun, Kha Cay Hiong serta Pauw Kia Yen bagaimana bisa

terjatuh di tangannya?” tanya

Wi Lian In dengan sangat terperanyat.

Dari sepasang mata Wi Ci To segera memancar keluar sinar mata

yang amat tajam sekali, sepatah demi sepatah sahutnya .

“Kepandaian silat mereka bertiga tidak rendah sekali pun tidak

berhasil memenangkan pihak lawan belum tentu bisa tertawan oleh

mereka tentunya sewaktu mereka berangkat kemari di tengah jalan

sudah terkena jebakan yang dipasang oleh mereka”

“Lalu bagaimana baiknya?” tanya Wi Lian In murung. “Jikalau Tia

tidak menyerahkan barang itu tentunya mereka bertiga akan

dibunuh secara kejam”

Wi Ci To tetap berdiam diri tidak mengucapkan sepatah kata pun

sedangkan dari sepasang matanya jelas sekali tampak kegusaran

yang sukar untuk ditahan.

Sekali lagi Wi Lian In menghela napas panjang ujarnya.

“Semula aku orang selalu menaruh curiga kalau lelaki

berkerudung itu adalah Cuo it Sian. kiranya dugaanku tersebut

sebetulya salah”

Baru saja bicara sampai d sini tampak Cuo It Sian, Ti Then serta

Suma San Ho bertiga sudah berkelebat mendatang.

Di tangan Ti Then tampaklah seorang lelaki kasar berbaju hijau

yang terkena cengkeramannnya.

Ditangan lelaki berbaju hijau itu masih memegang sebuah busur,

jeias sekali panah tadi dialah yang memanah.

Melihat hal itu Wi Lian In menjadi amat gusar, teriaknya.

“Hoore sudah ketangkap, sudah ketangkap”

Bagaikan sedang menenteng seekor ayam kecil saja dengan

amat ringannya Ti Then berkelebat mendatang kemudian dengan

kerasnya membanting tubuh lelaki berbaju hijau itu ke hadapan Wi

Ci To, ujarnya.

“Tidak salah, budak inilah yang baru saja memanahkan anak

panah tersebut”

Dari dandanan lelaki berbaju hijau itu jelas menunjukkan kalau

dia merupakan seorang lelaki kasar yang sering berbuat jahat, dia

orang yang dibanting ke atas tanah oleh Ti Then segera m

merasakan kepalanya amat pening dadanya sesak, untuk beberapa

saat lamanya tidak sanggup untuk bangun.

Lama sekali baru kelihatan dia jatuhkan diri berlutut di hadapan

Wi Ci To, ujarnya dengan badan gemetar:

“Thay ya am pun . . hamba . , hamba…”

“Siapa namamu?” bentak Wi Ci To dengan amat keras.

“Hamba bernama Mao ji, penduduk dari Lam Khuan Sian “ sahut

lelaki berbaju hijau itu dengan badan gemetar.

“Anak panah tadi kau yang memanah?” tanya Wi Ci To kembali.

“Benar . . . . benar , , . “ sahut lelaki berbaju hijau itu sambil

mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hamba tolol dan tidak tahu

aturan harap Loya mau mengam puni dosa hamba”

“Kau sudah seberapa lama mengikuti lelaki berkerudung itu?”

potong Wi Ci To kembali.

“Tidak – . , hamba tidak kenal dengan dia orang, kurang lebih

setengah jam yang lalu sewaktu hamba melewati gunung ini dia

sudah mencegat hamba, dia orang tanya maukah hamba mencari

untung besar sepuluh tail perak, karena hamba kena jiret kerlipan

uang perak seberat sepuluh tail perak, dia perintahkan hamba untuk

bersembunyi di balik pohon dan sewaktu melihat kalian turun segera

anak panah bersurat ini suruh dipanahkan . .”

“Omong kosong” bentak Wi Ci To secara tiba-tiba.

Lelaki berbaju hijau itu menjadi sangat terperanyat, dia

mengangguk-anggukkan kepalanya semakin cepat lagi.

“Sungguh… perkataan dari hamba .semuanya sungguh-sungguhi

. . coba kau lihat?”

Sembari berkata dari dalam sakunya dia mengambil keluar

sepuluh tahil perak dan ujarnya kembali :

“Coba kau lihat inilah uang sepuluh tahiI perak yang dia orang

hadiahkan kepada hamba”

“Kau orang masih tidak mau bicara terus terang ?” bentak Wi Ci

To kembali sambil melototkan sepasang matanya besar-besar.

Saking cemasnya hampir-hampir lelaki berbaju hijau itu dibuat

menangis, teriaknya dengan terputus-putus:

“Per…perkataan hamba….sungguh-sungguh, jika kau orang . .

orang tua tidak percaya hamba . hamba segera . . segera angkat

sumpah.”

“San Ho bunuh dia!” perintah Wi Ci To kemudian sambil menoleh

ke arah Suma San Ho.

Suma San Ho sudah tahu pocu mereka selamanya tidak pernah

membunuh orang secara sembarangan, dia tahu Pocunya ini sedang

menakut-nakuti dirinya karena itu dia segera menyahut kemudian

mencabut keluar pedangnya dan ditempelkan ke atas lehernya siap

ditebaskan ke atas kepalanya.

Saking takutnya lelaki berbaju hijau itu menjerit-jerit seperti babi

yang disembelih, teriaknya.

“Oooh . . thay ya am pun . thay ya am punilah hamba, di rumah

hamba masih ada seorang ibu yang sudah berusia delapan puluh

tahun, hamba tidak boleh mati..”

“Baiklah, lepaskan dia pergi” seru Wi Ci To kemudian sambil

tersenyum.

Suma San Ho segera mendorong badannya ke depan sambil

membentak.

“Sana menggelinding cepat-cepat dari sini”

Bagaikan baru saja mendapatkan rejeki nomplok lelaki berbaju

hijau itu segera berteriak kegirangan, sambil menghembuskan

napas lega dia merangkak bangun seperti anying yang kena gebuk

dengan terbirit-birit melarikan diri dari sana.

“Tia” ujar Wi Lian In sewaktu melihat ayahnya melepaskan orang

itu pergi, “Kau orang tua tidak seharusnya melepaskan dia dengan

begitu saja kemungkinan sekali dia anak buah dari lelaki

berkerudung tersebut”

Wi Ci To tidak berdaya setelah melihat lelaki berbaju hijau itu

pergi jauh baru ujarnya kepada Ti Then dengan suara yang amat

lirih.

“Ti kiauw tauw coba kau buntuti dirinya, lohu akan menanti kau

di dalam rumah penginapan

Ya Lay di dalam kota Ci Kian Sian.

Ti Then segera menyahut dan dengan mengerahkan ilmu

meringankan tubuh dia berkelebat masuk ke dalam hutan untuk

membuntuti dirinya dari tempat kejauhan.

Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di tanab rumput di

bawah gunung, tampak lelaki berbaju hijau itu dengan cepatnya

berlari menuju ke kota Lan Khuan sian, selama di dalam

perjalanannya ini dia beberapa kali menengok ke belakang agaknya

dia merasa takut Wi Ci To sekalian mengejarnya.

Sudah tentu jejak dari Ti Then tidak dapat diketahui olehnya,

terus menerus menyaga jarak yang tertentu dengan dirinya selama

di dalam perjalanan ini dia menguntit dengan sangat berhati-hati

sekali.

Setelah mengikuti sejauh puluhan lie akhirnya sampailah mereka

di dalam kota Lam Khuan sian, begitu masuk ke dalam kota lelaki

berbaju hijau itu sudah tidak tampak rasa kaget atau ketakutan.

Dengan badan tegak langkah Iebar dia berjalan dengan

seenaknya di tengah jalan, agaknya dia merupakan seorang

benggolan yang paling ditakuti di dalam kota Lam Khuan Sian ini

banyak orang-orang yang berlalu lalang di tengah jalan ketika

bertemu dengan dia orang segera bungkukkan badannya memberi

hormat.

Ti Then tetap menguntit dirinya dari tempat kejauhan, setelah

melalui jalan raya yang besar mendadak tampak lelaki berbaju hijau

itu berbelok ke sebuah jalan kecil dan akhirnya berbelok pula ke

sebuah lorong kecil dan mamasuki sebuah rumah yang sudah

bobrok.

Baru saja dia mendorong pintu untuk masuk, dari dalam rumah

segera terdengar suara seseorang perempuan yang tinggi

melengking sedang bertanya.

“Siapa? “

“Aku . . Lo kongmu.” sahut lelaki berbaju hijau itu sambil

menutup kembali pintu rumahnya.

Tampaklah seorang wanita setengah baya yang rambutnya awutawutan

tidak karuan berjalan keluar dari dalam rumah, tanyanya.

“Heei kenapa sepagi ini kau orang sudah pulang?”

“Ambillah secawan air teh terlebih dulu”Seru lelaki berbaju hijau

itu sambil duduk di atas sebuah kursi.

“Hmmm,” terdengar perempuan yang rambutnya awut-awutan

itu tertawa dingin. “Jika dilihat dari modelmu tentunya kau orang

berhasil memperoleh suatu jual beli yang agak lumayan ?”

“Sedikit pun tidak salah,” sahut lelaki berbaju hijau itu sambil

tertawa senang.

Perempuan yang rambutnya awut-awutan itu segera masuk ke

dalam rumah mengambil secawan teh dan diangsurkan kepadanya.

“Lo nio tahu setiap kali kau mem punyai uang tentu badanmu

bisa gemetar dengan keras,” Serunya sambil tertawa.

Sehabis minum secawan air teh lelaki berbaju hijau itu segera

mengangsurkan cawan kosongnya kepada dia orang ujarnya sambil

mengangkat kakinya ke atas kursi.

“Hey nasinya sudah matang?”

“Woou…masih terlalu pagi”

“Maknya …. nenek anying” maki lelaki berbaju hijau itu dengan

amat gusarnya, “Tentu kau orang berjudi lagi?”

“Tidak salah” sahut perempuan itu tidak mau kalah, “Kau bisa

pergi main pelacur di luaran sedang Lo nio tidak pernah pergi cari

lelaki unluk main, apa kau tidak terima? kau mau cari gara-gara

dengan aku yaaa ?”

Lelaki berbaju hijau itu segera mendengus dingin, dari dalam

sakunya dia mengambil keluar sepuluh tahil peraknya dan dengan

berat digebrakkan ke atas meja.

“Coba kau lihat barang apa ini?” t eriaknya keras.

Pandangan mata perempuan tersebut terasa menjadi terang,

dengan cepat dia merebut uang itu sambil mengusap-usapnya

dengan penuh bernapsu, dengan perasaan amat girang bercampur

terkejut dan keheranan tanyanya

“Heeey, kau dapat merampas dari mana? “

“Maknya, setiap kali aku punya uang tentu kau menganggap aku

mendapatkannya dengan jalan merampas.”

“Kalau tidak kau mendapatkan keuntungan dari toko yang mana

?“ seru perempuan tersebut sambil tersenyum-senyum kuda.

“Aku bukan mendapatkannya dari cari untung di toko, aku orang

memperoleh uang itu dengan taruhan nyawa“ teriak lelaki berbaju

hijau itu dengan mendongkol.

“Oooh. . tidak kusangka kau masih bisa mencari uang juga, eei

dengan cara bagaimana kau mendapatkan uang itu ?”

“Sore itu sewaktu aku tiba dibawab kaki gunung Kim Hud san

tiba-tiba perjalananku dihadang oleh seseorang lelaki

berkerudung..”

“Aduh..”teriak perempuan itu dengan amat keras, “Apakah kau

orang tukang todong sudah bertemu dengan perampok?”

“Maknya … “ sekali lagi lelaki berbaju hijau itu memaki sambil

melototkan matanya.

“Kalau bicara perlahan sedikit, neneknya,,. aku orang setiap hari

harus gulung sana gulung sini bukankah cuma memelihara kau

perempuan cabul. sekarang kau malah maki aku tukang

todong..perempuan sundal”

-ooo0dw0ooo-

Jilid 25 : Kecurigaan pada si pembesar kota

“BAGUS ! bagus !” seru perempuan itu kembali sambil tertawa.

“Perduli apa, teriak atau tidak berteriak pokoknya tetangga-tetangga

kita sudah pada mengerti semua keadaan kita, kau orang masih

takut apa lagi?”

“Hm !”‘ dengus lelaki berbaju hijau itu kurang puas.” Tetapi uang

sebanyak sepuluh tahil yang aku dapatkan ini hari bukan dapat dari

merampas”’

“Scbenarnya sudah terjadi urusan apa?” tanya perempuan yang

rambutnya awut-awutan itu dengan nada serius, sedang senyuman

yang semula menghias bibirnya kini lenyap tak berbekas lagi.

“Lelaki berkerudung itu tanya padaku apakah mau untung

sepuluh tahil perak, aku yang melihat wajahnya dalam hati segera

tahu kalau dia orang ada urusan yang ingin meminta bantuanku,

karena itu aku segera menerimanya, dia lalu mengambil keluar

sepuluh tahil perak dan diberikan kepadaku di samping memberikan

pula sebuah busur dan sebatang anak panah yang di atasnya terikat

segulung kertas “

“Aku tahu, sekarang!” Nyeletuk perempuan itu. “Dia orang minta

kau pergi membunuh orang, bukan begitu ?”

Lelaki berbaju hijau itu menjadi sangat gusar sekali.

“Kenapa kau terus menerus memotong pembicaraan orang ?”

“Baik – . . baiklah …. sekarang kau lanjutkanlah perkataanmu !”

“Lalu dia membawa aku menuju ke sebuah jalan gunung di atas

gunung Kim Hud-san, dia meminta aku bersembunyi di dalam hutan

di samping jalan gunung tersebut, katanya nanti bakal ada lima,

enan oraag yang akan turun gunung melalui jalan itu, dia memesan

kepadaku kalau melihat mereka turun, panah bersurat ini harus

dipanahkan kearah mereka.”

“Akhirnya kau berhasil membinasakan salah seorang diantara

mereka ?” tanya perempuan itu kembali.

Dengan amat kasarnya lelaki berbaju hijau itu menggebrak meja

yang ada di sampingnya.

“Aku suruh kau orang jangan memotong pembicaraanku, kau

mengerti tidak?” bentaknya dengan amat gusar.

“Baik. baiklah kau boleh teruskan !”

“Lelaki berbaju hitam itu tidak perinlahkan aku untuk membunuh

orang, dia cuma meminta aku memanahkan secarik surat kepada

mereka, enam orang yang baru saja turun gunung itu, aku lalu

menunggu di dalam hutan selama setengah jam lamanya ternyata

sedikit pun tidak salah, ternyata dari atas gunung muncul enam

orang, aku segera memanahkan, setelah itu lalu putar ..badan

melarikan diri … . ”

“Tidak aneh seluruh badanmu berkeringat bau, lalu bagaimana

selanjutnya?” Timbrung perempuan itu kembali.

Lelaki berbaju hijau itu menelan ludah lebih dulu kemudian baru

sambungnya.

“Aku belum barhasil lari seberapa jauh segera sudah terkejar

oleh seorang tua dan dua orang pemuda, sewaktu aku melihat tidak

bisa melarikan diri lagi dari kejaran mereka terpaksa memutar

badan memberikan perlawanan sengit kepada mereka …”

“Akhirnya kau berhasil dikalahkan?” seru perempuan itu sambil

tertawa.

“Jika aku orang kalah saat ini mana mungkin bisa kembali

kerumah ?”

“Hm ! hm ! terus terang saja aku beritahu kepadamu si orang tua

serta kedua orang pemuda itu semuanya merupakan gentong nasi

belaka tidak sampai dua jurus aku sudah berhasil pukul mereka

bertiga sehingga jatuh bangun dan akhirnya berlutut di depanku

minta diam puni jiwanya, aku yang melihat keadaan mereka sangat

kasihan sekali lalu mengam puni mereka”

Mendengar kisahnya ini agaknya perempuan itu tidak mau

percaya, sambil mencibirkan bibirnya dia tertawa mengejek.

“Oooh sungguh ??” serunya kurang percaya.

“Sudah tentu sungguh, kapan aku orang pernah menipu dirimu

?” balas teriak lelaki berbaju hijau itu dengan serius.

“Lalu siapa lelaki berkerudung itu ?”

“Siapa yang tahu” jawab lelaki berbaju hijau itu sambil gelengkan

kepalanya. “Setelah itu aku pun tidak pernah bertemu kembali

dengan dirinya, kelihatannya dia menyerupai seorang kakek tua

yang sudah berusia lima, enam puluh tahunan, tubuhnya kurus

sekali

Ti Then yang bersembunyi di balik rumah setelah mendengar

perkataannya sampai di sini segera mendorong pintu berjalan

masuk ke dalam.

“Mao Ji !” serunya sambil tertawa, “Coba kau ulangi sekali lagi

badan lelaki berkerudung itu apakah kurus sekali?”

Agaknya lelaki berbaju hijau itu mimpi pun tidak pernah

menyangka kalau Ti Then bisa membuntuti dirinya sampai di sini,

melihat kehadiran dirinya air mukanya segera berubah sangat

hebat, sambil berteriak aneh tubuhnya meloncat ke atas sedang

tangannya menyambar sebuah kursi yang terbuat dari bambu dan

dilemparkan kearah Ti Then.

Ti Then segera ayunkan telapak tangannya mengirim satu

pukulan menghantam datangnya kursi bambu itu sehingga hancur

berantakan dan tersebar ke atas tanah, tubuhnya dengan

mengambil kesempatan ini mendesak maju ke depan lalu

mencengkeram baju didada lelaki berbaju hijau itu.

“Jika kau berani sedikit bergoyang saja segera aku orang akan

mencabut keluar seluruh. Otot-ototmu satu demi satu!” ancamnya

sambil tertawa.

Agaknya lelaki berbaju hijau itu termasuk manusia yang suka

menindas yang lemah tapi takut dengan yang keras, kali ini

badannya dicengkeram oleh Ti Then segera gemetar dengan amat

kerasnya.

“Baa …. baaik I Baik !’ sahutnyagugup, “Ada omongan kita

bicarakan secara baik-baik …. ada omongan kita bicarakan secara

baik-baik”

Air muka perempuan yang rambutnya awut-awutanan itu pun

kelihatan amat gugup dan terkejut sekali, dengan cepat dia

menyusupkan uang seberat sepuluh tahil perak itu ke dalam

sakunya lalu mengambil sapu siap dipukulkan ke atas badan Ti

Then.

“Ayoh cepat lepas tangan!” jeritnya dengan suara yang

melengking tinggi. “Kenapa kau menangkap lakiku?”

Ti Then tidak ambil gubris terhadap dirinya, dia tetap

memandang kearah lelaki berbajau hijau itu sambil tertawa,

tanyanya:

“Kau sudah melihat betul-betul? Apa tidak salah lelaki itu mem

punyai badan yang amat kurus sekali ?”

Dia bisa sangat memperhatikan bentuk badan dari ‘Lelaki

berkerudung’ itu karena dia ingin membuktikan “Lelaki

berkerudung”‘ yang memerintahkan lelaki berbaju hijau untuk

mengirim surat ancaman ini benar atau tidak sama dengan lelaki

berkerudung yang muncul di dalam istana Thian Teh Kong itu,

karena menurut apa yang dilihat olehnya lelaki berkerudung yang

munculkan dirinya di dalam istana Thian Teh Kong itu mem punyai

potongan badan yang tinggi besar, jikalau perkataan dari lelaki

berbaju hijau yang mengatakan lelaki yang berkerudung itu mem

punyai badan yang amat kurus sekali adalah sungguh-sungguh

maka hal ini dengan amat jelas sekali membuktikan kalau ‘Lelaki

berkerudung’ yang mengirim surat ancaman ini sama sekali

bukanlah lelaki berkedung yang ditemuinya.

Dia merasa hal ini sangat penting sekali, alasan yang paling

penting adalah bilamana ‘Lelaki berkerudung’ yang sudah

memerintahkan lelaki berbaju hijau itu adalah lelaki berkerudung

yang ditemuinya maka jelas sekali menunjukkan si pembesar kota

atau Si Sian Thay-ya, Cuo It Sian bukanlah lelaki berkerudung hitam

itu, sebaiiknya jikalau lelaki berkerudung yang memerintahkan lelaki

berbaju hijau ini sama sekali lain dengan “lelaki berkerudung hitam

yang ditemuinya di dalam istana Thian Teh Kong maka keadaan dari

Si Sian Thay-ya atau si pembesar kota Cuo It Sian sangat

mencurigakan sekali.

Agaknya lelaki berbaju hijau itu saking tegangnya sehingga

napasnya serasa sesak sekali, ujarnya kembali dengan gugup :

“Beeee . . . benar . . . beee …. benar tubuhnya kurus . . . kurussekali”

“ Seberapa tinggi badannya ?? “ tanya Ti Then kembali.

“Tidak terlalu tinggi, seperti . . . sepe-perti isteriku ini . . . “

Ti Then segera melirik sekejap ke arah perempuan yang awutawutan

itu lagi, serunya kembali sambil tertawa :

“Kau tidak omong kosong bukan ! “

“Tidak! tidak! perkataan hamba sungguh-sungguh benar tidak

ada sepatah kata pun yang berbohong. “

“Tapi apa yang aku dengar selama setengah harian di luar rumah

tadi sudah merasakan di dalam sepuluh patah katamu ada sembilan

bagian yang sedang berbohong.”

Wayah lelaki berbaju hijau itu segera berubah menjadi merah

padam seperti kepiting rebus, lama sekali dia orang tidak dapat

mengucapkan sepatah kata pun juga.

Air muka Ti Then segera berubah menjadi sangat serius sekali,

serunya : “Aku sudah tahu kau orang adalah seorang tukang todong

yang terkutuk, kali ini aku am puni nyawa anyingmu. Tapi lain kali

jikalau kau orang masih saja melakukan pekerjaan semacam ini

heee . . . . heee …. jangan salahkan aku orang akan mencabut

nyawamu pada setahun kemudian”

Selesai berkata dengan mengerahkan tenaga dalamnya dia

mendorong rubuh ujung tembok dari rumah itu.

Setelah itu dengan perlahan dia menoleh ke arah perempuan

dengan rambut yang awut-awutan tadi, tambahnya:

“Lelakimu ini sungguh pandai berbohong, terang-terangan tadi

aku melihat dia orang mendapatkan lima puluh tahil perak dari lelaki

berkerudung itu sekarang dia bilang cuma mendapat sepuluh tahil

perak saja. Heee …. heee . , kamu orang sudah kena dibohongi”

Sehabis berkata dengan langkah lebar dia berlalu dari sini.

Belum jauh dia meninggalkan rumah itu segera terdengar suara

bantingan barang-barang yang amat ramai dari dalam rumah

tersebut disusul dengan suara makian dari perempuan tersebut :

“Bagus, bagus sekali ! Kau lelaki bangsat, pandai juga kamu orang

mengkorup uang belanya, terang-terangan orang lain perseni kau

sebanyak lima puluh tahil perak sekarang kau cuma mengaku

mendapat sepuluh tahil perak saja, cepat serahkan empat puluh

tahil perak yang lain, kalau tidak Lo-nio segera akan adu jiwa

dengan dirimu !”

“Eeeeei . . . tunggu dulu, tunggu dulu. Kau jangan mau

mendengar omongannya, aku betul-betul cuma mendapatkan

sepuluh tahil perak dari orang itu . . . Aduh !! ”

Selanjutnya terdengarlah suara yang amat berisik sekali bergema

dari dalam rumah tersebut.

Dalam hati diam-diam Ti Then merasa sangat geli sekali, dia

segera berbelok keluar dari lorong itu melalui jalan besar, saat ini

malam hari sudah tiba, perut pun terasa amat lapar, dalam hati dia

segera mengambil keputusan untuk mencari sebuah rumah makan

untuk berdahar dulu kemudian baru melakukan perjalanan malam

menuju ke kota Ci Kiang sian untuk bertemu dengan Wi Pocu

sekalian.

Dengan mengikuti jalan besar, dia kembali berjalan puluhan

langkah jauhnya, mendadak di depan sebuah kuil dia melihat

banyak orang yang berkerumun mengelilingi sebuah lapangan, dari

tengah banyak orang itu terdengarlah suara tambur serta

gembrengan yang amat ramai sekali, sekali pikir saja dia segera

tahu tentunya ada orang yang jual akrobat sedang mamberikan

tontonannya di sana, dengan perlahan dia pun berjalan menuju ke

sana.

Tampak orang yang melakukan pertunjukan tersebut adalah

seorang kakek tua, seorang pemuda serta seorang nona, saat ini si

kakek tua yang ada di tengah kalangan sedang mempertunjukkan

Ilmu jari sakti Ci Sin Kang” yang jarang ditemui di dalam Bu-lim, dia

orang menggunakan jari tengah serta jari telunjuk dari tangan

kanannya menutul permukaan tanah la!u tubuhnya berdiri dengan

mengandalkan kekuatan jari tersebut, atau dengan perkataan lain

dia menahan seluruh berat badannya dengan mengandalkan

kekuatan jarinya itu.

Sungguh merupakan sebuah ilmu kepandaian yang sangat lihay

sekali !

Ti Then sama sekali tidak menyangka kalau orang yang

melakukan pertunjukan tersebut merupakan seseorang yang

memiliki kepandaian silat demikian tingginya, dalam hati merasa

sangat terkejut bercampur keheranan.

Dia segera maju ke depan untuk meIihat lebih jelas lagi, tapi

sewaktu dia melihat jelas wayah dari orang tua itu seketika itu juga

hatinya seperti digodam dengan sebuah palu yang amat besar,

seketika itu juga seluruh tubuhnya gemetar dengan amat kerasnya.

Dengan cepat dia mendesak untuk maju ke barisan yang paling

depan lantas teriaknya dengan suara yang amat keras : “Yan

Locianpwe ! ”

Betul, dia memang kenal dengan orang tua penjual silat ini.

Bukan saja dia kenal dengan orang tua she Yan ini bahkan pada

masa yang lalu dia orang masih, mem punyai hubungan yang

sangat penting sekali dengan orang tua She Yan ini.

Kakek tua yang sedang mempertunjukkan ilmu “lt Ci Sin Kang”

itu sewaktu mendengar ada orang yang memanggil namanya dia

segera berhenti bermain dan bangkit berdiri, matanya dengan

perlahan menyapu ke sekeliling tempat itu bersamaan pula

tanyanya

“Kawan dari mana yang sudah memanggil aku orang ?”

Sewaktu kakek tua itu melihat Ti Then ada di sana air mukanya

segera berubah hebat.

“Kau. . . . Ti Then ?” serunya.

Ti Then mengangguk dengan perlahan, jelas sekali wayahnya

kelihatan amat terharu sekali.

Wajah kakek tua itu pun terlihat sangat terharu, setelah melototi

Ti Then beberapa waktu lamanya mendadak kepada para penonton

yang ada di dalam kalangan itu dia merangkap tangannya menjura.

“Saudara-saudara sekalian !” ujarnya sambil tertawa.

“Pertunjukan ini hari sampai di sini saja, terima kasih atas

kunjungan dari saudara-saudar sekalian!”

Ketika para penonton mendengar dia mau bubaran segera pada

meninggalkan tempat itu, uang persenan yang diberikan pun tidak

seberapa banyak.

Si pemuda serta sang nona yang mengikuti kakek tua itu

agaknya kenal juga dengan diri Ti Then, ketika melihat para

penonton pada bubaran mereka bersama-sama berjalan mendekati

diri Ti Then, jelas pada air muka mereka memperlihatkan

kegemasan serta kebencian hatinya.

Setelah memperhatikan diri Ti Then beberapa saat lamanya

terdengar si pemuda itu tertawa dingin.

“Kelihatannya pada waktu dekat-dekat ini kau orang

mendapatkan penghasilan yang lumayan juga ?”

Air muka Ti Then sedikit pun tidak berubah sedangkan mulutnya

tetap membungkam di dalam seribu bahasa.

Sang nona itu pun segera tertawa dingin, tambahnya :

“Kenapa kau orang tidak berbicara ? Apa mungkin kau sudah

tidak kenal dengan kami orang-orang yang hidupnya tergantung

menjual silat ?”

Air muka kakek tua itu segera berubah amat keren, bentaknya :

” Wi lh, Lan-ji, jangan kurang ajar kalian, cepat bereskan barangbarang

itu dan kembali ke rumah penginapan terlebih, dulu!”

Pemuda yang bernama Wi Ih serta nona yang bernama Lan-ji itu

tidak berani membangkang perintah dari sang kakek tua, dengan

gusarnya mereka melotot sekejap kearah Ti Then lalu dengan uringuringan

berlalu dari sana untuk membereskan gembrengan, tambur

serta alat-alat Iainnya yang ada di dalam kalangan.

Tampak kakek tua itu berjalan maju menggandeng tangan Ti

Then lalu ujarnya :

” Ayoh pwrgi, kita mencari satu tempat untuk omong-omong”.

Dengan berdiam diri Ti Then mengikuti dari samping kakek tua

itu dan berjalan ke sebuah rumah makan.

“Bagaimana kalau kita naik ke atas loteng ? ” tanyanya sambil

menghentikan langkahnya.

“Baiklah, kita minum berapa cawan, ” sahut sang kakek tua

sambil mengangguk.

Mereka berdua segera naik ke atas loteng rumah makan itu dan

mencari sebuah tempat untuk duduk, setelah meminta beberapa

macam arak mereka saling berpandangan tanpa ada yang

mengucapkan kata-katanya terlebih du!u, agaknya mereka berdua

merasa banyak perkataan yang hendak diucapkan tetapi tidak tahu

baiknya memulai dari bagian yang mana karena itu sama-sama

bungkam diri.

Lama sekali baru terdengar Ti Then yang mula-mula

memecahkan kesunyian.

“Kau orang tua sudah ada berapa tahun lamanya melakukan

pertunjukan jual silat?” tanyanya.

“Sudah hampir satu tahun lamanya.”

“Kenapa kau memilih jalan ini untuk melanjutkan hidup kalian ?”

Kakek tua itu segera tertawa pahit.

“Kecuali menjual silat Lohu masih bisa melakukan pekerjaan apa

lagi ?”

“Aaaai …. semuanya ini dikarenakan kesalahan hamba . . . ” seru

Ti Then sambil menundukkan kepalanya.

Kakek tua itu pun ikut menghela napas panjang.

“Kau orang tidak usah menyalahkan dirimu sendiri, orang yang

sering berjalan malam pun tidak urung akan bertemu juga dengan

setan.”

”Wi Ih bocah itu tidak jeiek” sambung kakek tua itu lagi. “Dan

belum pernah, meninggalkan Lohu sedangkan Lan-ji pun mem

punyai perhatian terhadap dirinya, maka itu pada beberapa bulan

yang lalu Lohu sudah kawinkan mereka berdua.”

“Hal itu bagus sekali !” sahut Ti Then sambil mengangguk.

“Sikap serta tindak tanduk mereka tadi kurang baik terhadap

dirimu harap kau orang jangan marah di hati ” ujar kakek tua itu

lagi.

“Tidak …. tidak ! Mereka memang seharusnya membenci diriku ”

ujar Ti Then dengan amat murung.

“Kau sudah bertemu dengan dirinya?”

“Siapa ?” tanya Ti Then melengak.

“Si Hong Liuw Kiam Khek atau si jagoan pedang yang suka

pelesiran, Ing Ping Siauw?”

“Belum ?” jawabnya sambil gelengkan kepalanya.

Kakek tua itu segera menghela napas panjang kembali.

“Kau orang apa merasa yaki perbuatan itu dilakukan oleh si

jagoan pedang suka pelesiran Ing Ping Siauw ?” tanyanya.

“Di dalam sepuluh bagian ada delapan bagian tidak salah, karena

sejak kejadian itu. di dalam Bu-lim tidak pernah terdengar namanya

mau pun beritanya lagi. ”

000O000

“Janyinya dengan dirimu masih ada setahun Iamanya bukan ?”

tanya takek tua itu lagi.

“Benar !”

Sekaii lagi kakek tua itu menghela napas panjang.

“Lohu betul-betul tidak paham apa tujuannya dia orang berbuat

demikian ?”

“Aku rasa tentunya demi nama baik dirinya, ada orang bilang si

jagoan pedang suka pelesiran, Ing Ping Siauw, si naga mega Hong

Mong Ling serta cayhe merupakam tiga orang jago dari angkatan

muda, dia orang sangat mengharapkan bisa menduduki pda jagoan

yang pertama diantara tiga jagoan angkatan muda lain.”

Baru saja kakek tua itu mau berbicara lagi tampak si pelayan

sudah membawa sayur serta arak, dia segera menutup mulutnya

kembali.

Menaati setelah pelayan itu mengatur sayur serta arak di atus

rneja Ti Then segera bangkit memenuhi cawan dari si orang tua lalu

memenuhi juga cawannya sendiri, setelah itu dengan berdiam diri

masing-masing menghabiskan isi cawannya sendiri-sendiri.

“Pada akhir-akhir ini kau orang bagaimana ?” tanya kakek tua itu

tiba-tiba,

“Cayhe sekarang menyabat sebagai Kiauw-tauw di dalam

Benteng Pek Kiam Po”

“Apa ?” seru kakek tua itu kaget.

“Cayhe menyabat sebagai Kiauw-tauw di dalam Benteng Pek

Kiam Po.”

“Hal . . hal ini mana mungkin ?” seru kakek tua itu ragu-ragu.

“Orang yang bisa menyabat sebagai Kiauw-tauw di dalam Benteng

Pek Kiam Po seharusnya mem punyai kepandaian silat yang jauh di

atas para pendekar pedang merah lainnya yang ada di dalam

Benteng, sedangkan kau . . kau , .”

“Cayhe sudah menemui suatu kejadian yang aneh dan

mendapatkan pelajaran ilmu silat yang amat lihay dari seorang

manusia aneh di dalam Bu-lim . . . “

“Siapakah manusia aneh tersebut?”

“Hal inilah cayhe ingin sekali mengutarakannya keluar, tetapi

berhubung adanya sebab-sebab yang amat penting pada saat ini

cayhe tidak bisa memberitahukan seluruh keadaan dari manusia

aneh tersebut harap kau orang tua suka memaafkan.”

“Dia bisa melatih ilmu silatmu sehingga melebihi kepandaian silat

dari pendekar pedang merah dari Benteng Pek Kiam Po?” tanya

kakek tua itu kembali.

“Benar “

“Kalau begitu tentang Ing Ping Siauw sudah tentu tidak ada

persoalannya lagi?”

“Benar, tetapi cayhe harus menanti delapan bulan kemudian baru

bisa mencari dirinya, sekarang cayhe masih belum bisa.”

“Kenapa ?” tanya kakek tua itu melengak.

“Sebab-sebabnya cayhe tidak bisa menjelaskan” sahut Ti Then

sambil gelengkan kepalanya.

“Ehmmm”

“Menunggu setelah semua persoalan ini telah beres tentu cayhe

bisa menceritakan seluruh persoalan ini kepada kau orang tua”

“Ehmmm”

“Bagaimana hidup kalian sampai sekarang?”

“Masih baik”

“Tapi harus melakukan pertunjukan silat terus bukanlah suatu

acara yang baik”

“Sebaliknya Lohu merasa sangat bagus sekali, sekali pun

pendapatannya amat sedikit tetapi tidak ada ikatan apa pun.”

“Tetapi bilamana sampai bertemu dengan orang yang pernah

dikenal …. bukankah..”

“Lohu mengandalkan kepandaian untuk mencari uang kenapa

harus malu bertemu dengan orang lain? ”

“Cayhe cuma mengharapkan kau orang tua bisa membangun

kembali kejayaan serta kewibawaanmu seperti tempo hari.”

“Tidak bisa jadi, siapa yang masih percaya dengan Lohu ?”

“Kalau begitu bagaimana kalau berdagang?”

“Soal itu harus membutuhkan sejumlah uang.”

“Kalau lima belas laksa tahil perak cukup tidak?”

“Ehm,..berapa?”

Ti Then segera mengambil keluar uang kertas yang

didapatkannya dari si Giok Bin Langcun, Cu Hoay Lo lalu diberikan

kepada orang tua tersehut, ujarnya :

“Uang kertas ini dikeluarkan oleh gudang uang di kota Tiang An.

kau orang tua dengan membawa uang kertas ini bisa pergi

mengambil uang sebesar lima belas laksa tahil perak.”

“Kau mendapatkan uang sebanyak ini dari mana??” tanya kakek

tua itu dengan amat terperanyat sekali.

“Uang itu bukan milik cayhe, pada dua bulan yang lalu secara

tidak sengaja cayhe sudah berhasil menawan diri si “Giok Bian

Langcun” Cu Hoay Lo, kau orang tua tentunya sudah pernah

mendengar nama “Giok Bin Langcun” Cu Hoay Lo bukan ?”

“Ehmm benar!” sahut kakek tua itu sambil mengangguk.

“Menurut berita yang tersiar katanya dia merupakan seorang

penyahat cabul yang kejahatannya sudah bertumpuk-tumpuk.”

“Benar, waktu itu sewaktu cayhe beserta putri dari Wi Pocu, Wi

Lian In karena ada urusan melewati sesuatu tempat telah ditemui

oleh Giok Bin Langcun ini, dengan mengambil kesempatan sewaktu

cayhe sekalian mcnginap di sebuah rumah penginapan dia secara

diam-diam sudah mencampurkan obat pemabok ke dalam makanan

kami, akhirnya hal itu sudah ditemui oleh cayhe dan berhasil

menawannya, karena dia kepingin hidup terus segera mengambil

keluar uang kertas ini untuk menebus nyawanya. . .”

Kakek tua itu segera mengerutkan alisnya rapat-rapat, potongnya

:

“Lalu kau orang menerima uang kertasnya ini dan melepaskan

dirinya pergi?”

“Tidak, cayhe menerima pemberian uang kertasnya ini lalu

menajatuhi hukuman mati kepadanya.”

“Eeeeh …. seharusnya setelah kau orang mau menerima

uangnya ini tidas sepantasnya membinasakan dirinya” seru kakek

tua itu.

“Sesaat cayhe turun tangan aku sudah menanyainya dengan

amat jelas, cayhe dapat tahu kalau uang itu dia berhasil kumpulkan

dari hasil rampokannya selama ini, karena itulah cayhe merasa uang

itu tidak sah buat menebus nyawanya, apalagi cayhe pun tidak

punya perhatian untuk menggunakan uang sebanyak lima belas

laksa tahil perak ini, cayhe mem punyai maksud bilamana ada waktu

luang mau berangkat menuju ke- Tiang-An antuk mengambil uang

tersebut dan dibagikan kepada kaum miskin.”

“Kalau begitu Lohu semakin tidak berani menerima uang itu?”‘

ujar kakek tua kemudian.

“Tidak mengapa!” sahut Ti Then dengan perlahan. “Menanti

setelah tahun depan aku barhasil menyelesaikan urusan ini dengan

si jagoan pedang suka pelesiran Ing Ping Siuw kau orang boleh

mengurangi lima belas laksa tahil buat aku orang.”

“Tidak!” seru kakek tua itu sambil gelengkan kepalanya. “Kau

bisa bertemu dengan Ing Ping Siuw atau tidak masih merupakan

satu persoalan, sekarang lohu tidak bisa menerima pemberian uang

tersebut.”

“Cayhe percaya bisa bertemu dengan Ing Ping Siuw dan

menyelesaikan persoalan ini, kau orang tua harap berlega hati untuk

menerimanya.”

“Tidak perlu!” ujar kakek tua itu sambil gelengkan kepalanya.

“Lohu sampai sekarang masih belum miskin benar-benar sehingga

makan pun tidak ada, aku tidak perlu membutuhkan uang sebegitu

banyak, Lebih baik kau menyimpannya kembali !”

Agaknya Ti Then tahu sifat dari orang tua itu dia pun tidak mau

mendesak lebih lanjut, dan memasukkan kembali uang ketas itu ke

dalam sakunya.

“Kalau begitu” ujarnya “kemudian. “Kita harus menentukan

waktu untuk bertemu muka kembali, kalau tidak di tempai yang

demikian luasnya cahe diharuskan pergi ke mana untuk menemui

dirimu??”

“Perjanyian dari Ing Ping Siuw masih ada satu tahun lamanya,

kalau begitu kita tentukan saja pada hari ini tahun depan kita

bertemu muka kembali di bawah loteng Cuan Yen Lo dikota Tiang

An.”

“Baiklah! Sampai waktunya aku orang tentu akan menunggu.”

Kakek tua itu segera meneguk habis isi cawannya lalu

memperhatikan diri Ti Then sambil tertawa.

“Sekali lagi Lohu mau beritahu kepadamu, kau orang tidak usah

merasa menyesal dikarena urusan itu, Lohu tahu kau orang

merupakan seorang pemuda yang jujur maka itu tidak perduli lain

kali kau bisa atau tidak menyelesaikan persoalan ini lohu sama

sekali tidak memikirkannya di dalam hati.”

“Tidak !” seru Ti Then dengan tegas, “Tentang persoalan itu pasti

akan cayhe urus sampai selesai.”

”Lohu sangat tertarik dengan kehebatan dan kepandaianmu bisa

menyabat

sebagai Kiauw-tauw di dalam Benteng Pek Kiam Po” ujar orang

tua itu sambil ter senyum. “Dapatkah kau orang menceritakan

kisahmu secara bagaimana bisa memasuki Benteng Pek Kiam Po ?”

“Cayhe kenal dengan seorang pendekar pedang merah dari

Benteng Pek Kiam Po, dia orang she-Shia bernama Pek Tha yang

merupakan anak murid dari Wi Pocu, pada suatu hari. . . . yaitu

setelah cayhe memperoleh kejadian aneh …. sewaktu melakukan

perjalanan melalui kota Gobi cayhe sudah bertemu dengan Shia Pek

Tha itu, dia kukuh mau mengundang cayhe untuk mertamu di dalam

bentengnya, waktu itu Wi Pocu punya keinginan untuk mengetahui

kepandaian silat dari cayhe, apakah bisa memenangkan pendekar

pedang merah dari Bentengnya lalu dia perintahkan beberapa orang

pendekar pedang merah untuk menyajal kepandaian cayhe,

akhirnya beberapa orang pendekar pedang merah itu sudah

terkalahkan di tanganku, ternyata Wi Pocu jadi orang sangat jujur,

bukannya menjadi marah dia malah memuji-muji cayhe bahkan

memberi jabatan Kiauw-tauw kepada cayhe, melihat sikapnya yang

bersungguh-suugguh terpaksa cayhe menerimanya”

“Sungguh tidak kusangka kau bisa menemui kejadian aneh

seperti ini” seru kakek

tua itu sambil memperlihatkan rasa herannya. “Lalu ada urusan

apa ini hari kau

datang kekota Lam Khuan sian ini ?”

“Jika membicarakan persoalan ini sukar sekali untuk dijelaskan

dengan sepatah dua patah kata saja, persoalan ini dimulai dari

muridnya Wi Pocu yaitu Hong Mong Ling main perempuan lacur di

tempat luaran . . . .”

Demikianlah dia segera menceritakan bagaimana Hong Mong

Ling diusir dari perguruan, bagaimana dia orang bekerja sama

dengan Hu Pocu menculik Wi Lian In lalu bagaimana Hong Mong

Ling menyiarkan berita bohong di luaran yang menyatakan dirinya

sudh memperoleh kitab pusaka “Ie Cin Keng” dari Siauw-lim-Pay lalu

bagaimana si anying langit rase bumi merebut kitab tersebut

sehingga terjadi peristiwa yang amat panjang.

Sewaktu kakek tua itu mendengarkan, kisah ini tak terasa lagi

hatinya merasa sangat terperanyat sekali, tanyanya : .

“Sebenarnya Wi Pocu mem punyai barang pusaka apa toh

sehingga membual leIaki berkerudung itu mau melakukan tindakan

kejam semacam ini ?”

“Tidak tahu” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya, “Selama

ini Wi Pocu tidak mau mengakui sudah menyimpan semacam

barang pusaka atau tidak, cayhe sendiri pun tidak tahu”

Mereka berdua sambil berdahar sambil bercerita tidak terasa lagi

hari sudah menunjukkan tengah malam, para tetamu yang

bersantap di rumah makan itu pun sudah pada berlalu, akhirnya

kakek tua itu bertanya:

“Kalau begitu malam ini juga kau punya maksud untuk keluar

dari kota untuk bertemu dengan Wi Pocu?”

“Benar”

“Kalau begitu” ujar kakek tua itu sambil bangkit berdiri, “Kita

berpisah dulu di sini, pada hari yang sama tahun depan kita

bertemu kembali di loteng Cian Yen Lo di kota Tiang An!”

Ti Then segera memanggil pelayan untuk bikin rekening lalu

bersama-sama turun dari loteng dan berpisah di tengah jalan, kakek

tua itu kembali ke rumah penginapan sedangkan Ti Then dengan

melakukan perjalanan malam meninggalkan kota untuk menunju ke

kota Ci Kiang sian yang jaraknya ada ratusan li jauhnya.

Setelah melakukan perjalanan selama satu malam pada waktu

hari mendekati terang tanah dia sudah tiba dikata Ci Kiang Sian.

Setelah menemukan rumah penginapan Ye Lay dan bertanya

pada pemilik rumah penginapan itu dia segera mengetahui kalau Wi

Ci To sekalian memang betul menginap di sana, dengan diantar oleh

pelayan dia berjalan mendatangi sebuah kamar.

Pelayan itu segera menuding kearah pintu kamar itu, ujarnya :

“Sianseng tua yang she-Wi itu menginap di dalam kamar yang

sebelah tengah, mungkin saat ini belum bangun.”

Ti Then segera mengetuk pintu sambil berseru :

“Pocu, apakah kau orang sudah bangun ?”

Pintu kamar segera terbuka, tampak Wi Ci To sambil tersenyum

sudah berdiri di balik pintu.

“Ti Kiauw-tauw kau melakukan perjalanan malam ‘?” tanyanya.

‘”Benar,”

“Silahkan masuk.”

Baru saja Ti Then duduk di dalam kamar nya Wi Ci To tampaklah

Wi Lian In, Suma San Ho serta s i pembesar kota Sian Thay Ya yang

mendengar suaranya dari kamar sebelah sudah pada berdatangan

untuk menanyakan jejak dari lelaki berbaju hijau itu.

“Orang itu tentu bukan anak buah dari lelaki berkerudung itu”

ujar TiThen kemudian. “Kemarin cayhe menguntit dirinya terus

hingga ke dalam kota Lam Khuan sian . . . ”

Dia orang segera menceritakan seluruh apa yang didengarnya

kepada semua orang.

Sedangkan mengenai orang tua yang ditemuinya dikota tersebut

dia orang sama sekali tidak mengungkap barang sepatah kata pun

juga.

Wi Ci To segera menghela napas panjang.

“Hal ini sungguh berada diluar dugaanku. Lohu kemarin

menyuruh Ti Kiauw tauw membuntuti dirinya tidak lebih cuma takut

sudah salah menduga ”

“Pihak lawan apakah tidak mengirim berita lagi?” tanya Ti Then

kemudian.

“Tidak”

“Kemarin tulisan di atas anak panah itu mengatakan apa saja ?”

tanya Ti Then kembali.

“Dia bilang tiga orang pendekar pedang merah dari Benteng kita

…. Ih Kun,Kha Hiong serta Pauw Kia Pen sudah terjatuh ke

tangannya, dia minta barang yang diinginkan supaya dipersiapkan

dan menunggu beritanya.”

Ti Then menjadi amat terperanyat.

“Hmm ! ternyata permainanya Iihay juga!”

“Benar” seru Wi Ci To sambi! Tertawa dingin. “Tetapi di

kemudian hari ia bakal menyesal su sudah memperlihatkan

permainan ini!”

“Kini Wi Pocu punya rencana apa untuk menghadapi mereka ?”

“Kini orang kita tidak tahu mereka sudah membawa orang-orang

itu kemana terpaksa kita harus kembali ke dalam Benteng untuk

menunggu berita.”

“Di atas suratnya apakah dia orang juga tidak menjelaskan

barang apa yang ia minta??” tanya Ti Then lagi.

“Tidak” sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya, “Agaknya dia

mengira Lohu sudah tahu barang apa yang dia minta itu, pada hal

Lohu sendiri sampai sekarang pun masih tidak tahu barang apa

yang sebenarnya dia inginkan.”

Ti Then segera menoleh ke arah Cuo It Sian lalu dengan amat

sopannya bertanya:

“Apakah Cuo Locianpwe punya rencana untuk ikut bersamasama

kita pergi ke Benteng Pek Kiam Po ?”

“Benar” sahut Cuo It Sian sambil mengangguk. “Dia berani

mencari gara-gara dengan Ioolap sudah tentu lolap harus baik-baik

memberi pelajaran kepadanya.”

Ti Then termenung berpikir sebentar lantas baru ujarnya

kembali:

“Sekarang dia orang sudah berhasil menawan ketiga orang kita,

setelah ada barang tanggungan sudah seharusnya dia orang

menampakkan dirinya.”

“Lolap percaya dia masih belum berani menampakkan diri secara

terang-terangan” ujar Cuo lt Sian sambil tertawa dingin tak hentihentinya.

“Kecuali dia orang sudah tidak sayang dengan nyawanya

sendiri.”

“Lantas Pocu apa sudah mengambil keputusan untuk menerima

ancamannya ini?”‘ tanya Ti Then kemudian sambil menoleh ke arah

Wi Ci To.

“Lohu sendiri sampai sekarang masih belum bisa mengambil

keputusan, karena Lohu tidak tahu barang apa yang orang dia

mintai, apa lagi seharusnya dia orang memperlihatkan terlebih dulu

Ih, Kha serta Pauw tiga orang yang sudah mereka tawan.”

“Betul” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Kita harus

mengetahui terlebih dulu apakah Ih, Kha serta Pauw betul-betul

sudah terjatuh ke tangannya setelah itu baru memikirkan beberapa

syarat untuk ditukar dengan ketiga orang itu”

Wi Ci To melihat Liauw Khiet berdiri dipintu depan segera

perintahnya :

“Liauw Khiet cepat kau perintahkan orang untuk siapkan

makanan, setelah berdahar kita harus cepat-cepat meninggalkan

tempat ini.”

Dengan sangat hormatnya Liauw Khiet menyahut dan berlalu dari

tempat itu.

Ti Then yang secara tiba-tiba sudah teringat kembali kedua ekor

kudanya yang sudah dititipkan di rumah petani di bawah gunung

Kim Hud san lantas bertanya kepada Wi Lian In: “Kau tidak

membawa kedua ekor kuda kita ?”

“Sudah.” sahut Wi Lian In cepat,” Kemarin Tia sudah membeli

lagi empat ekor kuda jempolan, nanti kita masing-masing

menungang kuda untuk kembali ke dalam Benteng.”

Setengah jam kemudian tua muda enam orang sudah selesai

sarapan pagi dan melunasi rekening rumah penginapan, setelah itu

bersama-sama naik ke atas kudanya dan malakukan perjalanan

menuju ke kota Go-bi,

Jarak kekota Ci Kiang sampai ke kota Go-bi ada tiga empat hari

perjalanan, karenanya mereka berenam tidak berani melakukan

perjalanan terlalu cepat takut kuda tunggangannya tidak kuat

sehingga karena itu perjalanan mereka dilakukan tidak cepat juga

tidak lambat.

Di tengah perjalanan tiba-tiba Wi Lian In kirim satu kerdipan

mata kepada Ti Then, Ti Then yang melihat hal itu segera tahu

kalau dia orang mau mengajak dirinya untuk bercakap-cakap

karenanya sengaja dia orang memperlambat lari kudanya.

Akhirnya makin lama mereka berdua ketinggalan semakin jauh

dari rombongan, tanya Ti Then kemudian sambil melarikan kudanya

berbareng dengan dirinya.

“Ada urusan apa ?”

“Kita semua sudah salah menduga” ujar Wi Lian In sambil

menuding kearah Cuo It Sian yang berlari di depan. “Ternyata dia

orang bukanlah lelaki berkerudung itu!”

‘Sungguh !” sahutnya tegas “Satu orang tidak mungkin bisa

berubah menjadi dua orang, kemarin dia berjalan bersama-sama

dengan kita, sudah tentu dia tidak bisa pergi menyuruh lelaki

berbaju hijau itu untuk mengirim surat tersebut.”

“Tetapi lelaki berbaju hijau itu berkata bahwa pada setengah jam

sebelumnya orang berkerudung itu baru pergi mencari dirinya,

sedangkan dia….. Cuo It Sian sewaktu bertemu dengan kita sampai

waktu lelaki itu memanahkan suratnya agaknya belum kelewat

setengah jam Iamanya?”

“Benar !” sahut Wi Lian In mengangguk. “Dia berbicara dengan

kita lama sekali, pasti ada setengah jam lamanya”

“Kalau memangnya demikian dia orang masih tetap sangat

mencurigakan sekali” ujar Ti Then sambil tertawa.

“Kenapa?” seru Wi Lian In lertegan. “Apakah dia orang mem

punyai ilmu untuk memisahkan diri ?”

“Manusia berkerudung yang memerintahkan lelaki berbaju hijau

untuk kirim surat panah tersebut bukanlah manusia berkerudung

yang kita temui, melainkan manusia berkerudung yang lain.”

“Bagaimana kau bisa tahu dia adalah orang lain ?'” tanya Wi Lian

In keheranan.

“Lelaki berbaju hijau itu bilang orang yang memerintahkan

dirinya adalah seorang lelaki berkerudung yang badannya amat

kurus sekali, sedangkan, lelaki berkerudung yang kita temui tempo

hari sewaktu masih ada di istana Thian Teh Kong mem punyai

perawakan yang tinggi besar dari hal ini saja sudah jelas

membuktikan kalau dia adalah orang lain.”

“Eeei . , . lelaki berkerudung yang melarikan diri sewaktu berada

di perkam pungau Thay Peng Cun itu pun agaknya mem punyai

perawakan yang amat kurus sekali ?” ujar Wi Lian In secara tibatiba.

“Tidak salah, kemungkinan sekali memang dia orang ” sahut Ti

Then sambil mengangguk.

“Hmm.Jika dilihat dari hal ini, orang yang ada di depan kita ini

sangat mencurigakan sekali ?”

“Jika keadaan ini tidak melihat maka aku sangat mengagumi

nyaiinya yang demikian besar” ujar Ti Then sambil tersenyum.

“Kau orang apakah tidak menceritakan urusan ini kepada ayahku

?”

“Tidak, dia terus menerus mengikuti dari samping tubuh ayahmu

lantas suruh dengan cara bagaimana membuka suara??”

“Urusan ini harus cepat-cepat dilaporkan kepada Tia, aku

pencaya Tia pun masih mengira lelaki berkerudung yang

memerintahkan lelaki berbaju hijau itu adalah lelaki berkerudung

yang semula.”

“Menanti jika malam nanti kita menginap di rumah penginapan,

dengan mengambil kesempatan sewaktu Cuo It Sian tidak ada di

samping ayahmu cepat-cepatlah kau menceritakan hal ini kepada

beliau.”

Wi Lian In segera mengangguk.

“Tetapi” ujar Ti Then kembali. “Kau tidak boleh tetap ngotot

menuduh Cuo It Sian adalah lelaki berkerudung itu, kau cukup

memberitahu kepada ayahmu saja lelaki berkerudung yang

memerintahkan lelaki berbaju hijau itu sama sekali bukanlah lelaki

berkerudung yang kita temui di dalam istana Thian Teh Kong.”

“Kalau cuma berkata demikian bagaimana Tia bisa mengerti ?”

“Ayahmu itu manusia macam apa ? Ada urusan apa yang dia

orang tidak dapat pikirkan ?” Seru Ti Then sambil tersenyum.

Wi Lian In segera mengangguk, dia tersenyum,

“Tidak perduli lelaki berkerudung itu benar Cuo It Sian atau tidak,

menanti setelah kita kembali ke dalam Benteng kemungkinan sekali

segera kita orang bisa tahu barang apa yang dia minta sehingga

memaksa ayahmu untuk menyerahkan kepadanya !”

Hari itu malam hari sudah menjelang, keenam orang itu pun

baru saja tiba di sebuah kota, mereka segera pada mencari rumah

penginapan untuk beristirahat.

Dengan mengambil kesempatan sewaktu Cuo It Sian tidak ada di

samping ayahnya Wi Lian In segera menceritakan bagaimana

manusia berkerudung yang memerintahkan lelaki berbaju hijau itu

sama sekali bukan manusia berkerudung yang mereka temui di

dalam istana Thian Teh Kong.

Setelah mendengar perkataan itu agaknya Wi Ci To sama sekali

tidak menjadi terkejut atau heran.

“Lalu bagaimana ?” tanyanya sambil tertawa.

“Semula aku mengira dia adalah seorang yang sama ternyata

dugaan ini salah, kalau begitu . , . kalau, begitu – – .”

“Kalau begitu hal ini berarti juga manusia berkerudung itu adalah

anak buahnya dari manusia berkerudung hitam itu” sambung Wi Ci

To dengan cepat.

“Selain itu berarti juga ada salah seorang yang harus kita curigai”

“In-ji, kau orang jangan pikir yang bukan-bukan” Seru Wi Ci To

kemudian sambil mengerutkan alisnya rapat-rapat.

“Bukannya aku menaruh banyak curiga, tetapi berbagai fakta

sudah membuktikan , kalau . . . ”

“Sudahlah “ potong Wi Ci To sambil mengulapkan tangannya.

“Kita jangan membicarakan persoalan ini lagi, aku ada satu urusan

yang hendak aku tanyakan kepadamu”

“Urusan apa ?’ tanya Wi Lian In tertegun.

“Urusan ini sebetulnya ibumu yang cocok untuk bertanya” ujar Wi

Ci To sambil tertawa perlahan.”Tetapi sayang ibumu teiah

meninggal dunia maka itu terpaksa akulah yang mewakili dirinya

untuk menanyai kau orang. . . . sebenarnya kau punya perhatian

tidak terhadap Ti Kiauw tauw ?”

Wi Lian In sama sekali tidak menyangka ayahnya bisa

menanyakan soal ini pada saat dan tempat seperti ini, seketika itu

juga saking malunya seluruh wayahnya sudah berubah menjadi

merah padam.

“Aku tidak tahu. . , . ” Serunya sambil menutupi wayahnya

dengan kedua belah tangannya.

Wi Ci To segera tersenyum.

“Aku lihat selama beberapa hari Ini kau sudah mulai menaruh

rasa cinta terhadap Ti Kiauw-tauw, tetapi sekali pun begitu aku

harus bertanya terlebih dahulu kepapamu, kau rasa bagaimana ?”

Dalam hati Wi Lian In merasakan hatinya berdebar-debar dengan

amat kerasnya, dia merasa terkejut bercampur girang tetapi

tangannya tetap menutupi wayahnya dan tidak mengucapkan

sepatah kata pun.

‘”Dengan mengambil kesempatan dia orang tidak ada di sini kau

boleh mengutarakan isi hatimu kepadaku, dengan demikian aku

pun bisa mengambil inisiatif” desak Wi Ci To selanjutnya.

“Dia . ., . dia …. putrimu merasa dia …. dia tidak jelek . . . !”

“Benar !” ujarya Wi Ci To sambil tertawa. “Aku pun merasa dia

orang tidak jelek hanya saja lohu merasa ada berbagai tempat yang

benar-benar membuat orang merasa tidak paham!”

“Tia, kau tidak memahami apanya ??” tanya Wi Lian In kemudian

dengan malu-malu.

“Lohu sendiri pun tidak bisa mengutarakannya keluar, lohu cuma

merasa agaknya dia mem punyai sesuatu rahasia.”

“Tetapi aku tidak melihat bagian mananya yang tidak beres.”

“Kau tentu masih ingat sewaktu si anying langit rase bumi

menyerang Benteng Pek Kiam Po kita pada malam hari bukan ?”

ujar Wi Ci To dengan perlahan. “Malam itu setelah si rase bumi

meninggalkan Tebing Sian Ciang lohu sudah mengundang dia untuk

kembali ke dalam benteng dan mengajaknya masuk ke dalam kamar

bukuku untuk berbicara, waktu itu lohu sangat menaruh curiga

kalau dialah Lu kongcu itu lantas dengan sejujurnya lohu minta dia

memberitahukan maksud tujuannya, semula dia tidak mau

menyawab akhirnya setelah lohu mendesaknya lebih lanjut

mendadak dia meneteskan air mata….”

Mendengar sampai di situ Wi Lian ln segera mencibirkan bibirnya.

“Dia memangnya bukan Lu Kougcu itu setelah Tia memaksa dia

terus untuk menyawab sudah tentu hatinya terasa tertekan

sehingga menjadi sedih hati dan meneteskan air mata ”

“Tidak . . . . bukan demikian” bantah Wi Ci To sambil gelengkan

kepalanya. “Waktu itu lohu cuma bertanya kepadanya apakah ada

sesuatu perkataan yang sukar untuk diutarakan atau mungkin ada

persoalan yang menyulitkan hatinya, lohu bilang kalau ada tentu

aku akan bantu untuk menyelesaikan persoalan tersebut, setelah

mendengar perkataan tersebut mendadak dia meneteskan air

matanya, dia bilang jikalau lohu mau membantu dirinya untuk

menyelesaikan persoalan ini hanya ada satu cara saja yaitu meminta

lohu berkelahi dengan dirinya, mengalahkan dirinya !”

“Apa artinya ini?” seru Wi Lian In tertegun.

“Aku sendiri pun tidak paham tetapi dia orang tidak mau

menjelaskan lebih lanjut, dia cuma bilang harap lohu untuk

sementara waktu mau menganggap dirinya sebagai musuh besar

lalu bertempur dengan dirinya, jikalau lohu berhasil mengalahkan

dirinya hal ini berarti juga sudah membantu dia menyelesaikan satu

persoalan yang menyulitkan sekali.”

Sepasang mata Wi Lian In segera terbelalak lebar-lebar, dengan

perasaan sangat terperanyat ujarnya :

“ini . . . ini… sebetulnya apa artinya?”

“Dia bilang alasannya sampai kini belum bisa diterangkan, tetapi

jikalau lohu berhasil mengalahkan dirinya maka dia mau

menceritakan sebab-sebabnya kepadaku.”

“Lalu Tia menyanggupinya ?” Tanya Wi Lian In terperanyat.

“Dia mem punyai budi terhadap kita ayah beranak, bagaimana

aku bisa mengabulkan permintaannya yang sangat membingungkan

ini ?” Seru Wi Ci To sambil tertawa pahit.

“Sampai sekarang dia belum pernah mengatakan sebabsebabnya

!”

“Tidak !”

“Kalau begitu biarlah aku pergi menanyai dirinya !”

Selesai berkata dia segera pjtar badan siap berlalu dari dalam

kamar.

“Tidak !” Cegah Wi Ci To sambil menarik tangannya. “Kau jangan

pergi menanyai dirinya !”

“Kenapa ?” tanya Wi Lian In keheranan.

“Setiap orang tentu mem punyai suatu rahasia yang tidak bisa

dikatakan kepada orang lain. sekarang bilamana kau bertanya

kepadanya belum tentu dia mau mengutarakannya keluar bahkan

lohu merasa rahasianya ini tentu tidak ada sangkut pautnya dengan

Benteng kita, karena selama beberapa hari ini menurut pengamatan

lohu terhadap dirinya aku sudah dapat melihat kalau dia sama sekali

tidak menaruh suatu rencana terhadap Benteng kita, dia

Betul-betul merupakan seorang pemuda yang halus budi dan

baik-baik”

“Tetapi kalau memangnya dia mem punyai kesukaran seharusnya

kita pergi membantu dirinya” ujar Wi Lian In dengan ngotot.

“Benar!” sahut W ie Ci To sambil mengangguk. “Tetapi satusatunya

jalan untuk membantu dia menyelesaikan kesukarannya

adalah menyuruh lohu mengalahkan dirinya dengan menggunakan

ilmu silat, coba kau pikir dapatkah hal ini dijalanan?”

“Kalau begitu biar aku pergi bertanya kepadanya, kemungkinan

sekali dia mau memberikan jawabannya”.

Sekali lagi Wi Ci To gelengkan kepalanya.

“Tidak,jikalau kau bertanya padanya saat ini dia orang bisa salah

paham dan menganggap kita ayah beranak masih menaruh curiga

terhadap dirinya”

Dia berhenti sebentar lantas sambungnya sambil tertawa.

“Cuma ada suatu waktu di dalam keadaan yang tertentu kau

boleh pergi bertanya kepadanya.”

“Keadaan bagaimana?” tanya Wi Lian In keheranan.

“Setelah kalian menjadi suami isteri !” Wayah Wi Lian In segera

berubah menjadi merah padam seperti kepiting rebus, saking

malunya tak sepatah kata pun bisa diucapkan keluar.

“Setelah kalian menjadi suami isteri berarti juga kita sudah satu

keluarga, saat itulah kau boleh bertanya kepada dirinya

kemungkinan sekali dia mau mengatakan sebab-sebabnya.” ujar Wi

Ci To lagi.

“Tetapi Tia masih belum jelas mengetahui asal-usulnya

bagaimana Tia begitu tega menjodohkan..”

Baru saja berbicara sampai di sini mendadak dia dapat melihat Ti

Then serta Suma San Ho berjalan masuk ke dalam kamar, dengan

terburu-buru dia menutup mulutnya. kembali.

Dengan perlahan Wi Ci To angkat kepalanya memandang kearah

Ti Then serta Suma San Ho yang baru saja masuk ke dalam kamar

itu, ujarnya kemudian sambil tertawa :

“Ti Kiauw-tauw, San Ho kalian keluarlah sebentar, lohu sedang

membicarakan suatu urusan dengan Siauw-li”

Dengan sangat hormatnya Ti Then serta Suma San Ho menyahut

lalu mengundurkan diri dari dalam ruangan.

Ketika Wi Lian In melihat mereka sudah mengundurkan diri

segera sambungnya kembali dengan suaranya lirih :

“Tia, apakah kau tega menjodohkan kami kepadanya?”

Dengan perlahan Wi Ci To mengangguk-

“Bukankah tadi aku sudah bilang dia adalah seorang pemuda

yang dapat dipercaya, tidak perduli di dalam hatinya masih

menyimpan rahasia apa atau lain kali akan berbuat pekerjaan apa,

lohu percaya dia tidak akan membahayakan keselamatan dari

Benteng kita.”

Wi Lian In segara mengangguk tanpa mengucapkan kata-kata

lagi.

“Sekarang aku mau tanya lagi, apakah kau sungguh-sungguh

menyenangi dirinya?” tanya Wi Ci To lebih lanjut.

“Siauw-li serahkan Tia yang mengambil keputusan ” sahutnya

perlahan, dengan air muka yang berobah menjadi merah.

Halaman 47-48 robek/hilang

“Benar, lolap masih teringat beberapa tahun yang lalu Pocu

pernahmengalah dua biji catur kepada lolap tetapi akhirnya kita

main seimbang, ini hari Lolap mau melihat apakah permainan

caturku ada mendapatkan kemajuan atau tidak.”

“Bagus sekali !” sahut Wi Ci To dengan girang. “Tetapi kita batasi

dua kali permainan saja, besok kita harus masih melakukan

perjalanan, ini malam kita orang tidak boleh terlalu banyak capai.”

Berbicara sampai di sini segera tolehnya kearah Wi Lian In.”

“In-ji, kau pergilah menyuruh pelayan mempersiapkan

seperangkat catur !”

Wi Lian In menyahut dan mengundurkan diri dari dalam kamar

lalu perintahkan pelayan untuk mengambil alat catur.

Setelah semuanya selesai dia baru pergi mencari Ti Then serta

Suma San Ho ujarnya kemudian :

“Ti Kiauw-tauw, Suma suheng, bagaimana kalau kita berjalanjalan

ke kebun bunga ?”.

Padahal dia cuma ingin mengajak Ti Then seorang saja, karena

melihat Suma San Ho pun ada di situ dia merasa tidak baik untuk

meninggalkan dia seorang diri oleh sebab itulah sengaja dia

mengajaknya sekalian.

Ternyata Suma San Ho tahu diri juga, sahutnya dengan cepat :

“Kalian berdua pergilah, aku tidak ingin pergi.”

“Kenapa tidak mau ikut ?” sengaja Wi Lian In mengomel.

“Ie-heng merasa lelah sewaktu melakukan perjalanan, lebih baik

aku cepat-cepat kembali ke kamar untuk beristirahat.”

Selesai berkata dia sengaja memperlihatkan muka setan pada Ti

Then lantas kembali ke dalam kamar.

Demikianlah akhirnya Ti Then serta Wi Lian In berjalan ke dalam

kebun bunga di belakang rumah penginapan tersebut, agaknya

kebun bunga itu tidak pernah terawat karena kelihatan sekali

rumput yang tumbuh dengan amat suburnya ….

Walau pun begitu di dalam pandangan Wi Lian In tempat ini

merupakan suatu tempat yang sangat indah sekali, bersama-sama

dengan Ti Then mereka berjalan menuju ke sebuah gardu lalu

duduk berdampingan

“Kau sudah beritahukan urusan itu kepada ayahmu ?” tanya Ti

Then kemudian.

“Benar !” sahut Wi Lian In mengangguk. “Tetapi Tia mengatakan

aku banyak menaruh curiga terhadap.orang lain dan suruh aku

jangan banyak berpikir tidak karuan.”

“Kemungkinan juga Cuo It Sian bukanlah manusia berkerudung

hitam itu, seharusnya ayahmu jauh lebih jelas dari kita.”

Dengan perlahan Wi Lian In mengangguk.

“Saat ini Tia sedang main catur dengan dia orang di dalam kamar

. . . . ”

“Tadi ayahmu sedang membicarakan apa dengan kau ?” tanya Ti

Then kemudian,

“Coba kau terka !” seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.

Ti Then tersenyum.

“Apakah kalian sedang membicarakan barang yang diminta oleh

manusia berkerudung hitam itu?”

“Bukan !” jawab Wi Lian In sambil mengelengkan kepalanya.

“Membicarakan cara-cara untuk menolong Ih, Kha serta Pauw

tiga orang??”

“Soal itu tidak ada keharusan untuk mengelabuhi kau serta Suma

Suheng !”

“Lalu membicarakan urusanmu ?” seru Ti Then sambil tertawa.

“Cuma benar separuh saja.”

“Lalu yang separuh membicarakan siapa ?” Tanya Ti Then lagi

sambil tertawa serak.

Wi Lian In segera manempelkan bibirnya dekat telinganya lantas

dengan nada yang manya sahutnya :

“Membicarakan dirimu.”

“Membicarakan tentang apa tentang diriku?” Tanya Ti Then

dengan hati menegang.

Wi Lian In segera kirimkan satu kedipan mata yang menggiurkan

kepadanya “Coba kau terka lagi?” ujarnya.

“Dia orang tua menasehati dirimu untuk jangan terlalu bergaul

rapat dengan diriku?”

“Hihi…hiii…justru sebaliknya!”

Mendengar sampai di situ Ti Then segera menjadi paham

kembali, dia tersenyum.

“Kau menceritakan urusan tentang hubungan kita yang sudah

mengikat menjadi calon suami istri ?”

“Tidak, baru saja aku mau membicarakan urusan itu dengan Tia

mendadak dia balik bertanya kepadaku apakah aku..apakah aku. . .

kau mengerti bukan ?”

“Tidak!” sahut Ti Then sambil tertawa.

Dengan manyanya dia segera mencubit lengan Ti Then, serunya

dengan suara aleman:

“Jikalau kau pura-pura bodoh terus aku tidak mau berbicara lagi.”

“Baik baiklah! aku tidak pura-pura bodoh lagi “ujar Ti Then

kemudian sambil tertawa terbahak-bahak. “Lantas bagaimana kau

memberikan jawabannya kepada ayahmu?”

“Aku bilang aku tidak tahu.”

“Bagus sekali”

“Kenapa bagus sekali ?” Seru Wi Lian ln sambil mengirim satu

kerlingan mata kepadanya.

“Tidak mau dan tidak tahu mem punyai perbedaan yang sangat

besar sekali, bukan begitu ?”

“Ehmm .. , . selamanya Tia belum pernah langsung menanyakan

urusan ini kepadaku, tadi aku benar-benar merasa sangat malu

sekali” ujar Wi Lian In lagi sambil merebahkan dirinya ke dalam

rangkulan Ti Then.

“Tidak usah putar-putar lagi, akhirnya bagaimana ?”

“Dia bilang sesudah menolong Ih, Kha serta Pauw tiga orang

segera dia orang tua mau mengawinkan kita berdua.”

Seketika itu juga Ti Then merasakan hatinya terjeblos ke dalam

jurang yang amat dalam sekali, dia merasa hatinya bagaikan dipukul

oleh ombak samudra yang tak putus-putusnya.

Urusan ini merupakan satu hal yang dinantikan sejak lama sekali,

juga merupakan sebuah urusan yang paling ditakuti olehnya. saat

ini dia tidak dapat mengata hatinya girang atau murung, seluruh

tubuhnya terasa menjadi sangat tegang sekali, karena dengan

demikian berarti juga ‘Rencana busuk” dari majikan patung emas

sudah hampir mencapai kesuksesan

sedangkan dirinya sebagai seorang patung emas pun bakal

mulai memperoleh perintah,

untuk melakukan sesuatu perbuatan yang sama sekali merugikan

Wi Ci To bersama putrinya..”

ooooOOoooo

Walau pun di dalam hati kecilnya dia sudah mengambil

keputusan jikalau majikan patung emas mau perintah dirinya

melakukan suatu pekerjaan yang sekali merugikan Wi Ci To beserta

putrinya dia akan melakukan perlawanan dengan taruhan nyawa,

tetapi setelah dipikir lebih teliti lagi dia pun merasa bahwa urusan

ini tidak bisa diselesaikan dengan kematian dirinya, karena majikan

patung emas baru mau memberikan peiintahnya yang kedua selelah

dirinya kawin dengan Wi Lian In.

Sedangkan pada saat itu nasi sudah akan menjadi bubur, jikalau

dirinya mati bukankah sama saja dengan dirinya sudah merusak

kebahagiaan dari seorang nona?

Makanya dia merasakan hatinya sangat bingung sekali.

Saat ini Wi Lian In pun dapat melihat dia orang betul-betul mem

punyai pikiran yang ruwet, dengan perlahan tangannya ditepuktepukkan

ke atas bahunya lalu tanyanya dengan suara yang amat

halus:

“Agaknya kau merasa tidak begitu gembira ??”

“Siapa yang bilang??” ujar Ti Then dengan cepat sambil

memperlihatkan senyumya.

“Dari sikapmu aku bisa melihat jelas!”

“Tapi belum tentu rasa gembira yang terkandung di dalam hati

harus diperlihatkan di atas wayah”

“Tetapi berita ini tidak seharusnya membuat kau orang merasa

sangat tidak gembira !”

“Apakah wayahku memperlihatkan kalau hatiku merasa tidak

senang?” tanya Ti Then kemudian.

“Sedikit pun tidak salah,”

“Kau sudah salah melihat” seru Ti Then kemudian. “Aku tidak

mem punyai alasan untuk merasa tidak gembira, aku cuma..eeei!

Ini yang dinamakan ilmu menenangkan hati, yang dimaksud

sekali pun gunung ambruk di depan mata tidak menjadi kaget,

gembira tidak kelihatan senang, menemui bencana tidak kelihatan

murung, malang tidak tampak mengerang.

“Omong kosong! Kecuali tidak suka padaku kalau tidak

bagaimana bisa melihat gembira tidak menjadi girang hati?” Sela Wi

Lian In sambil mencibirkan bibirnya.

“Bukankah aku sekarang sedang girang hati?’ Ujar Ti Then cepatcepat

sambil meraperlihatkan tertawanya yang dipaksakan.

“Aku bisa melihat kau sengaja memperlihatkan tertawamu yang

dipaksakan”

“Bagaimana bisa jadi ?” ujar Ti Then sambil mengangkat

bahunya. “Aku sudah bilang aku tidak mem punyai alasan untuk

bergirang hati”

“Bilamana seseorang tidak dapat mengikuti perubahan perasaan

hatinya dengan memperlihatkan gembira, marah, murung dan sedih

hati hal ini membuktikan kalau …… membuktikan kalau…”

“Membukikan kalau orang itu adalah seorang yang amat dingin

kaku dan tidak berperasaan bukan begitu??” sambung Ti-Then

dengan cepat.

“Tapi aku tahu kau bukanlah seorang manusia yang dingin kaku

dan tidak berperasaan’

“Kalau begitu sangat bagus sekali”

”Lalu kau mem punyai rahasia apa yang terkandung di dalam

hatimu ??” desak Wi Lian In lagi.

“Aku tidak punya rahasia apa-apa !”

“Kau sedang menipu aku !”

“Jika semisalnya aku benar-benar ada rahasia hati maka itu

berarti juga aku sedang merasa murung apakah dikemudian hari

aku bisa memberikan kegembiraan buat dirimu…”

“Asalkan kau benar-benar suka padaku tidaklah perlu untuk

merasa murung hati” ujar Wi Lian In sambil memandang tajam

wayahnya.

“Sudah tentu aku suka padamu. …”

Wi Lian ln segera menarik-narik ujung bajunya, lantas ujarnya

dengan suara yang perlahan : “Omong sesungguhnya sebetulnya

kau mempnyai rahasia atau tidak ?”

Dalam hati Ti Then merasakan hatinya serasa berdesir.

“Haa . . . haaa . – . haaa …. Bagaimana malam ini kau bisa

memperlihatkan sikap yang demikian berubah dan tidak seperti

biasanya ?” ujarnya sambil tertawa paksa.

“Apa kau orang minta bukti ?”‘

“Coba katakan !” ujar Ti Then sambil angkat kepalanya.

“Sebenarnya Tia sudah cegah aku untuk jangan menanyakan

urusan ini kepadamu, dia bilang sekali pun di dalam hatimu

tersimpan sesuatu rahasia tetapi belum tentu mem punyai bahaya

bagi kita ayah beranak, sekali pun begitu tapi aku merasa ada

pentingnya juga untuk bertanya lebih jelas lagi kepadamu karena

sekarang aku sudah menjadi calon istrimu, aku mem punyai hak dan

tugas untuk ikut memikul kemurungan hatimu itu !”

Semakin lama Ti Then merasa hatinya semakin tidak tenang,

tetapi pada wayahnya masih tetap memperlihatkan sikapnya yang

sama sekali tidak menjadi sesuatu urusan apa pun.

“Jikalau di dalam hatiku tersimpan suatu urusan tentu aku bisa

memberitahukannya kepadamu, tapi aku betul-betul tidak mem

punyai rahasia apa pun.”

“Kalau begitu” ujar Wi Lian In lagi sambil memandang tajam wa

jahnya. “Waktu itu setelah kau berhasil memukul mundur si anying

langit rase bumi di atas tebing Sian Ciang dan mengikuti Tla masuk

ke dalam ruangan baca di dalam benteng kenapa kau minta Tia

untuk berkelahi dengan dirimu ? Kenapa kau bilang apabila Tia bisa

mengalahkan dirimu berarti pula sudah membantu kau

menyelesaikan suatu urusan yang amat sulit ?”

Ti Then sama sekali tidak menyangka dia bisa secara tiba-tiba

menanyakan kembali urusan ini, untuk beberapa saat lamanya dia

orang dibuat kelabakan tidak tahu bagaimana baiknya untuk

memberikan jawabannya.

“Ooouw …. soal ini??” ujarnya agak malu.

“Sekarang juga aku minta penjelasan yang beralasan dari

dirimu,”

“Itu…itu ….. sebetulny tidak ada urusan ap-apa!” sahut Ti Then

dengan gelagapan. “Waktu Itu kalian terus menerus menganggap

aku sebagai Lu kongcu maka dalam hati aku merasa kheki dan ingin

sekali . . ingin sekali meningalkan Benteng Pek Kiam Po, tetapi

menginginkan aku orang supaya tetap tinggal di sana, hatiku waktu

itu benar-benar merasa serba susah bahkan ayabmu terus menerus

mendesak aku dan bertanya apakah di daiam hatiku sudah

tersimpan satu rahasia.

Di dalam keadaan terdesak mendadak dalam ingatanku

berkelebat satu akal. aku pura-pura memperlihatkan kalau aku

benar-benar mem punyai sesuatu rahasia hati yang tidak bisa

diberitahukan kepada orang lain, dengan mengambil kesempatan itu

aku pun mengajak dia untuk berkelahi.

Padahal aku tahu ayahmu pasti tidak akan mau bertempur

dengan diriku, saat itu aku sengaja berkata demikian sebetulnya

bertujuan agar ayahmu menarah rasa curiga yang lebih besar lagi

terhadap diriku sehingga mengijinkan aku meninggalkan Benteng

Pek Kiam Po kalian itu!”

“Penjelasan ini sama sekali tidak sesuai dengan keadaan !” Seru

Wi Lian In kemudian setelah selesai mendengarkan perkataannya

itu.

“Tetapi hal ini merupakan kejadian yang sungguh-sungguh!”

Agaknya Wi Lian In merasa sangat tidak puas dengan

penjelasannya itu, dia tundukkan kepalanya tidak mengucapkan

sepatah kata pun,

Ti Then dengan sikap seperti sengaja seperti juga tidak sengaja

menyapu sekejap ke sekeliling tempat itu, lantas bisiknya dengan

suara yang amat lirih :

“Lian in, jikalau kau merasa tidak tega hati ternadap aku orang

kau boleh beritahukan kepada ayahmu supaja untuk sementara

waktu menunda maksudnya untuk menyelenggarakan perkawinan di

antara kita !”

Wi Lian In merasa semakin tidak puas lagi, mendadak dia bangkit

berdiri.

“Baik, aku segera memberitahukan urusan ini kepada Tia ! ”

Selesai berkata dengan gemas dan marahnya dia berlari

meninggalkan gardu tersebut.

Dengan, pandangan yang amat sayu Ti Then memperhatikan dia

orang berlalu meninggalkan kebun bunga itu, dalam hati dia benarbenr

merasa sangat sedih sekali, tetapi dia pun merasa sedikit

girang hati.

Dia menganggap bilamana Wi Lian In benar-benar

memberitahukan perkataan ini kepada ayahnya maka untuk

sementara waktu Wi Ci To tentunya akan menghapuskan pikiran

tersebut, walau pun hal ini akan menusuk hatinya tetapi terhadap

kehidupan selanjutnya malah mem punyai kebaikan.

Jika dibicarakan dengan perkataan lain, dia menganggap sehari

dirinya belum kawin dengan Wi Lian In maka satu hari pula majikan

patung emas tidak dapat memberikan perintahnya yang kedua, jika

secara demikian berlarut-larut terhadap “Rencana busuk” yang

disusun oleh majikan patung emas pun menjadi kurang

menguntungkan sebaliknya terhadap dirinya sendiri Wi Ci To dan Wi

Lian In sangat “Menguntungkan” sekali.

Tetapi apakah Wi Lian In benari pergi ke kamar ayahnya dan

meminta dia orang tua untuk sementara waktu membatalkan

maksudnya hendak mengadakan perkawinan di antara mereka?

Tidak! Sama sekali tidak!

Dia terus berlari masuk ke dalam kamarnya di rumah penginapan

tersebut lantas naik ke atas pembaringan untuk tidur dengan

lelapnya.

Keesokan harinya tua muda enam orang sesudah membereskan

rekening segera meninggalkan rumah penginapan itu untuk

melanjutkan perjalanan kembali ke Benteng.

Di tengah perjalanan tidak terjadi urusan apa-apa, pada hari

keempat siang akhirnya mereka berenam sudah tiba kembali ke

dalam Benteng Pek Kiam Po.

Di bawah sambutan yang amat hormat dari beberapa puluh

orang pendekar pedang merah Wi Ci To masuk ke dalam Benteng

dan duduk di tengah ruangan, tanysnya kemudian kepada si jago

pedang penembus ulu hati, Shia Pek Tha :

“Pek Tha, sudah beberapa lama kau kembali ke dalam Benteng

?”

“Hamba sudah ada enam, tujuh hari lamanya kembali ke dalam

Benteng.”

“Apakah di dalam Benteng sudah terjadi sesuatu urusan ?” tanya

Wi Ci To kembali.

“Tidak.”

“Apakah tidak menemukan adanya manusia yang tidak dikenal

menyusup ke dalam Benteng kita ?”

“Tidak ada, sejak Pocu meninggalkan Benteng keadaan di sini

sama sekali aman tentram tidak t erjadi suatu peristiwa pun.”

Dengan perlahan Wi Ci To menyapu sekejap kearah para

pendekar pedang merah yang berdiri di sampingnya lantas

tanyanya:

“Kalian semua pada menerima perintah untuk meninggalkan

Benteng guna menawan Hong Mong Liang manusia terkutuk itu,

sewaktu kembali ke dalam Benteng ada siapa yang pernah bertemu

dengan Ih Kun, Kha Cay Hiong serta Pauw Kia Yen?”

“Tecu tidak ada yang melihat !” sahut para pendekar pedang

merah secara berbareng.

“Bagaimana dengan mereka bertiga?” tanya Shia Pek Tha dengan

amat terperanyat.

“Mereka bertiga sudah terjatuh ke tangan seorang manusia

berkerudung hitam”

Segera dia menceritakan seluruh kejadian itu dengan sejelasjelasnya.

Sampai waktu ini masih ada tujuh puluh dua orang pendekar

pedang merah yang belum kembali dari tempat luaran, apakah Ih,

Kha serta Pauw tiga orang betul-betul terjatuh ke tangan manusia

berkerudung hitam itu masih merupakan satu pertanyaan yang

mencurigakan bagiku .. . . ” ujar Shia Pek Tha dengan perlahan.

“Tidak akan’ salah lagi !” seru Wi Ci To sambil tertawa dingin tak

henti-hentinya. “Manusia berkerudung itu tidak perlu menggunakan

omongan bohong untuk menipu kita. Ih, Kha serta Pauw tiga orang

pasti sudah terjatuh ketangan musuh !”

Shia Pek Tha termenug berdiam diri.

“Dia minta lohu kem bali ke dalam Benteng untuk menunggu

kabar beritanya” ujar Wi Ci To lagi. “Maka di dalam beberapa hari ini

pasti ada berita yang akan muncul, kalian seharusnya sedikit

berhati-hati lagi.”

Selelah semuanya selesai dia segera memerintahkan untuk

mempersiapkan perjamuan buat menyambut datangnya si Sian

Thay-ya atau si pembesar kota Cuo It Sian. Sore itu dengan

membawa mabok Ti Then balik kembali ke dalam kamarnya, si Locia

itu pelayan tua segera membantu dia membawakan sebaskom

air untuk cuci muka, lalu sambil tertawa pecengis-an ujarnya :

“Ti Kiauw-tauw, katanya Hong Mong Ling itu bangsat cilik sudah

mati ?”

“Benar!” sahut Ti Then sambil mencuci muka. “Dia dibinasakan

oleh sebuah batu yang disambit oleh manusia berkerudung hitam.”

“Sebetulnya manusia berkerudung itu berasal dari aliran

mana?”tanya Lo-cia lagi.

“Sampai sekarang masih belum tahu…”

“Hamba dengar si rase bumi Bun Jin Cu pun sudah mati”

“Tidak salah, dia sudah bunuh diri !”

Dia orang “kenapa mau bunuh diri?” desak si-Lo-cia lebih lanjut.

Ti Then segera melemparkan handuknya kearah dia lantas

menepuk-nepuk bahunya.

“Aku baru saja pulang” ujarnya sambil tertawa. “Sekarang aku

orang harus tidur dulu dengan nyenyak lain kali saja aku

beritahukan kepadamu.”

“Baik …. baik …. baik !” sahut Lo-cia sambil bungkukkan dirinya

memberi hormat. “Heee …. heee …. hamba selamanya tidak bisa

menghilangkan penyaktt cerewetnya ini, Ti Kiauw-tauw silahkan

beristirahat!”

Selesai berkata dengan mengambil baskom air itu dia

mengundurkan dirinya dari dalam kamar.

Ti Then segera naik ke atas pembaringan untuk beristirahat,

tidak terasa lagi dia sudah tertidur dengan amat nyenyaknya.

Menanti setelah didengarnya ada orang yang mengetuk pintunya

dia baru bangun dari pulasnya, ketika melihat keluar jendela

terlihatlah hari sudah gelap, dengan tergesa-gesa dia meloncat

bangun sambil bertanya :

“Siapa ?”

“Aku !”

Suara dari Wi Lian In !

“Silahkan masuk !” ujar Ti Then kemudian sambil tersenyum.

“Kenapa tidak pasang lampu?” tanyanya.

“Aku baru saja cuci muka sebentar, kemudian sudah tertidur

dengan amat nyenyaknya.”

Dia segera menyulut lampu kamar dan katanya sambil tertawa :

“Apa sudah waktunya untuk tidur malam ?”

“Sudah hampir” sahut Wi Lian In mengangguk. “Aku lihat satu

siangan kamu orang terus menerus tutup pintu tidak keluar

makanya sengaja aku kemari untuk menjenguk, tidak tahunya kau

sedang tidur.”

“Setelah tiba di dalam Benteng hatiku merasa amat tenang

sekali, karenanya mudah sekali untuk tertidur nyenyak.”

“Hiii ..hii …. kiranya kau pun mem punyai perasaan hati tenang

setelah kembali ke dalam Benteng sehingga bisa tertidur dengan

amat nyenyaknya” ujar Wi Lian In sambil tertawa. “Aku masih

mengira kau dapat bersikap seperti di tempat luaran, melihat

kegembiraan tidak senang, menemui bencana tidak murung!”

“Kau orang sungguh pintar sekali mencari kelemahan ucapan

orang lain” seru Ti Then sambil angkat bahunya.

“Tia serta Cuo It Sian sedang ngomong-ngomong di dalam kamar

buku, bagaimana kalau kita pergi ke sana ?”

“Baiklah, mari kita ke sana.”

“Rasanya kau sudah tidak menaruh rasa curiga dengan Cuo It

Sian?”

“Rasa curiga sudah tentu masih ada sedikit” ujar Ti. Then sambil

tertawa. “Tetapi kalau memangnya ayahmu menyalahkan kita orang

terlalu banyak menaruh curiga kepada orang lain lebih baik untuk

sementara kita lepaskan rasa curiga tersebut”

“Tla sering menggunakan hati seorang budiman untuk

menghadapi pikiran licik manusia rendah, aku merasa kuatir…”

Ti Then termenung sebentar lantas ujarnya sambil tertawa :

“Bilamana kau merasa kuatir aku bisa ajarkan satu cara buat

dirimu.”

“Coba kau katakanlah !”

“Selama beberapa malam ini kau jangan tidur tetapi sembunyilah

diluar jendela Cuo It Sian untuk melakukan pengintaian.”

“Kau menganggap jikalau dia adalah manusia berkerudung hitam

itu maka dia bisa melakukan gerakannya pada malam hari ?” tanya

Wi Lian ln sambil memperhatikan wajahnya.

“Benar “ sahut Ti Then mengangguk. “Kemungkinan sekali

diwaktu malam secara bersembunyi-sembunyi dia bisa mendekati

jendela dari ayahmu untuk kirim beritanya.”

“Apakah yang kau maksud dengan berita adalah waktu serta

tempat untuk saling tukar menukar barang ?” tanya Wi Lian ln

perlahan.

“Benar.”

“Dapatkah dia orang pergi mencari barang milik ayahku dengan

mengambil kesempatan sewaktu ada di dalam Benteng kita ?”

“Tidak mungkin!” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

“Jikalau dia menganggap barang tersebut bisa dicuri sejak dahulu

dia sudah turun tangan untuk mencurinya.”

Dengan perlahan Wi Lian ln mengangguk.

“Jikalau menyuruh aku seorang diri mengawasi gerak-geriknya

dengan seorang diri aku rasa terlalu tidak enak, bagaimana jika kau

temani aku?” ujarnya kemudian.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 26 : Manusia berkerudung ternyata Sian Thay-ya

“TIDAK, aku tidak dapat menemani kau orang !”sahut TI Then

sambil gelengkan kepalanya.

“Kenapa ?” tanya Wi Lian In dengan kurang senang.

“Di dalam Banteng sebelum mendapatkan perintah dari ayahmu

aku tidak leluasa untuk sembarangan bergerak”

“Jikalau Tia nanti menyalahkan kau biarlah aku ssorang diri yang

menanggung.”

“Aku orang bukannya takut dimaki oleb ayahmu sebaliknya

karena kedudukanku sebagai Kiauw-tauw seharusnya menghormati

ayahmu” ujar Ti Then mengharapkan.

“Baiklah, jikalau kau tidak mau menemani aku biarlah aku ajak

Pek Tha suheng untuk menemani aku orang !” Seru Wi Lian In

sambil mencibirkan bibirnya.

“Bagus, aku setuju !”

Dengan sangat tidak senang Wi Lian In berlalu dari sana.

Malam hari itu sekali lagi Wi Ci To menyamu diri Cuo It Sian,

semua orang minum arak dan bersantap dengan gembiranya,

setelah ngobrol ke sana ke sini akhirnya masing-masing kembali ke

kamarnya sendiri-sendiri untuk beristirahat.

Ti Then yang sekembalinya ke dalam kamar segera mandi lalu

naik ke atas pembaringannya untuk tidur.

Dia tahu majikan patung emas tentu akan munculkan dirinya

ditengah malam untuk menanyai kejadian serta kemajuan yang

dicapai dengan Wi Lian In selama satu bulan lebih ini, dalam hati dia

terus berpikir untuk mencari jawaban yang akan diberikan nanti.

Ternyata sedikit pun tidak salah, kurang lebih pada kentongan

ketiga majikan patung emas sudah munculkan dirinya beserta

dengan patung emasnya dari atas atap rumah.

Kali ini Ti Then sudah bangun dari pulasnya sebelum majikan

patung emas menurunkan patung emasnya, dengan mata melotot

lebar-lebar dia memperhatikan sepasang tangan yang agak samarsamar

membuat atap kamarnya lalu melihat juga patung emas itu

dengan perlahan-lahan diturunkan ke samping pembaringan, dalam

hati diam-diam dia orang merasa sangat terperanyat sekali pikirnya:

“Kenapa tiap kali dia munculkan dirinya di atas atap rumah

selama ini tidak pernah ditemui oleh para pendekar pedang yang

melakukan perondaan di sekeliling Benteng ?? apa mungkin dia

benar-benar sudah berhasil melatih ilmu untuk melenyapkan diri ?

“Ti Then, kau bangunlah !”

Terdengar suara dari majikan patung emas dengan amat

Iembutnya berkumandang datang dari atas rumah.

Ti Then segera bangun dan menggoyang-goyangkan patung

emas tersebut, serunya dengan menggunakan ilmu untuk

menyampaikan suara .

“Aku tahu malam ini kau bisa datang” Majikan patung emas pun

segera tertawa.

“Aku pun tahu kau orang sedang menunggu aku”

“Kau ada banyak pertanyaan yang hendak kau ajukan bukan ?”

“Benar!” sahut majikan patung emas itu singkat.

“Ehmmm..kau boleh mulai bertanya !”

“Kau bicaralah ! Ceritakan seluruh kejadian yang kau alami sejak

meninggalkan benteng Pek Kiam Po sampai kembali lagi ke dalam

benteng”

“Jika demikian adanya, bercerita sampai pagi pun belum tentu

bisa selesai” seru Ti Then dengan keras.

“Katakan saja yang penting-penting”

“Setelah kami meninggalkan Benteng Pek Kiam Po karena jarak

waktu perjalanan dengan si rase bumi, mengambil keputusan untuk

pergi kegunung Kim Teng San terlebih dahulu untuk main-main. ..”

“Hey bocah Cilik !” Potong majikan patung emas tiba-tiba. “Kau

orang sengaja pergi kegunung Kim Teng San apakah hendak

mempamerkan kepandaian silatmu di hadapan si kakek pemalas Kay

Kong Beng itu?”

“Apa arti dari perkataanmu ini?” serunya.

“Tahun yang lalu kau pernah pergi ke tempatnya meminta dia

menerima kau sebagai muridnya tetapi dia tidak mau menerima, di

dalam hatimu sudah tentu merasa gemas juga terhadap dirinya

bukan ? kini kau sudah berhasil mempelajari kepandaian silat dari

diriku, kau sengaja mau memamerkan di hadapannya bukan begitu

?”

“Tidak benar “ Jawab Ti Then sambil gelengkan kepalanya. “Dia

orang tidak mem punyai alasan untuk harus menerima aku sebagai

muridnya sehingga aku pun tidak punya alasan untuk membenci

dirinya apa lagi sengaja pergi ke tempat tinggalnya untuk

mempamerkan kepandaian silatku !”

“Ehmm . . , sekarang teruskan !”

“Semula kami pun tidak ingin pergi menemui Kay Kong Beng

tetapi kemudian Wi Lian In bilang sekali pun dia orang belum

pernah bertemu muka dengan jago nomor wahid di dalam Bu-lim

saat ini dan terus menerus mengajak aku untuk menyambanginya,

akhirnya aku membawanya juga pergi ke atas puncak, siapa tahu

sewaktu hendak tiba di depan gua tempat Kay Kong Beng itulah

mendadak kita menemukan Hong Mong Ling sedang berlutut di

depan gua itu . . . ”

Dengan amat tenangnya majikan patung emas mendengarkam

semua kisahnya, menanti setelah didengarnya Hong Mong Ling

telah dibinasakan oleh seorang dengan menggunakan sambitan

batu sewaktu dia orang mau memberi tahu nama dari orang yang

sudah melakukan jual beli dengan Hu Pocu segera diselanya :

“Sudah tentu orang itu adalah orang yang telah melakukan jual

beli dengan Huang Puh Kiam Pek ?”

“Sedikit pun tidak salah, dia membinasakan Hong Mong Ling

agar dia menutup mulut untuk selama-lamanya.”

“Lantas kau berhasil menemukan orang ini?” tanya majikan

patung emas lagi.

“Tidak” gerak geriknya sangat cepat sekali, waktu aku bersamasama

dengan nona Wi melakukan pemeriksaan di sekeliling tempat

itu ternyata sama sekali tidak menemukan sedikit pun jejak yang

mencurigakan, akhirnya kita teringat kembali kalau di dalam Bu-lim

saat ini orang yang bisa membayar uang sebesar satu laksa tahil

perak kecuali si anying langit rase bumi cuma ada Sian Thay-ha atau

si pembesar kota Cuo It Sian saja karenanya kami mengambil

keputusan untuk pergi mencari Cuo It Sian .. ”

Dia segera menceritaikan seluruh kisahnya dengan amat jelas

sekali, tidak selang lama kemudian seluruh kejadian yang dialaminya

sudah selesai diceritakan.

“Jika demikian adanya Cuo It Sian itu ini memang merupakan

seorang yang sangat mencurigakan sekali” ujar majikan patung

emas kemudian.

“Ya atau tidak aku tidak berani bicara sembarangan,”

“Seharusnya Wi Ci To mengetahui akan hal ini.”

“Aku pun berpikir demikian !”

“Wi Ci To bilang dia orang tidak tahu barang apa yang diminta

oleh manusia berkerudung hitam itu, menurut aku tentunya

merupakan omong kosong belaka !” ujar majikan patung emas lagi

dengan perlahan.

“Aku pikir tentunya kau tahu bukan barang apa yang diminta oleh

manusia berkerudung hitam itu ?”

“Aku tidak tahu!”

“Tentunya aku pun berbicara tidak sesungguhnya!” Sambung Ti

Then segera.

“Aku bukannya manusia berkerudung hitam itu bagaimana aku

orang bisa tahu barang apa yang diminta dirinya?”

“Aku percaya kau orang tentunya merupakan orang-orang dari

satu golongan, barang yang diminta pun tentu sama!”

“Haaa. . haaa. . . . bagaimana kalau kita bertaruhan?” ujar

majikan patung emas sambil tertawa.

“Taruhan apa?”

“Bilamana dikemudian hari kau tahu kalau barang yang diminta

manusia berkerudung itu sama dengan barang yang aku minta kau

boleh tidak usah menjadi patung emasku lagi, sebaliknya jikalau

barang yang aku minta sama sekali berbeda bagaimana kalau kau

orang jadi patung emasku lagi untuk selama satu tahun”

Ti The a segera merasakan hatinya bergidik.

“Tidak mau. . . . tidak mau. . . .” serunya dengan gugup.

“Kau sudah takut?” ejek majikan patung emas sambil tertawa.

“Benar!” sahut Ti Then sambi! memperlihatkan tertawanya yang

amat pahit. “Aku yang jadi patung emas sudah merasakan sangat

menderita sekali, jikalau harus jadi patung emas selama satu tahun

lagi bukankah nyawaku pun akan ikut Ienyap?”

“Kalau begitu seharusnya kau orang mau percaya kalau tujuanku

sama sekali berbeda dengan tujuan dari manusia berkerudung hitam

itu!”

“Aku percaya ……. aku percaya !” sahut Ti Then berulang kali,

“Ehmm …… bagaimana hubunganmu dengan Wi Lian In ?” tanya

majikan patung emas lagi.

“Seperti keadaan semula, tidak baik juga tidak jelek.”

Mendengar perkataan itu majikan patung emas menjadi amat

gusar.

“Hal ini berarti juga kau orang belum mengeluarkan

kepandaianmu terhadap dirinya, bukan begitu ?” bentaknya dengan

keras.

“Coba kau pikirlah lebih teliti, kejadian yang sudah aku alami

selama satu bulan ini, kami benar-benar tidak mem punyai

kesempatan untuk berCintaan dan bermesra-mesraan !”

“Aku tidak percaya !” Seru majikan patung emas. “Jikalau

diantara kalian yang satu punya rasa Cinta sedang yang lain tidak

punya maksud berbuat begitu sekali pun kalian dijebloskan ke dalam

neraka tingkat kedelapan belas juga sama sekali tidak punya selera

untuk berkasih-kasihan.”

“Aku nasehatkan kau lebih baik jangan keburu-buru, urusan

semacam ini tidak bisa dipaksa!”

“Aku pun menasehatkan padamu” seru majikan patung emas

sambil tertawa dingin.” Jikalau kau ingin cepat-cepat bebaskan diri

dari belenggu, cepat-cepat memperistri dirinya !”

“Jikalau Wi Ci To mem punyai maksud untuk mengawinkan

putrinya kepadaku kemungkinan sekali sudah hampir”

“Dia orang pernah memberi tanda kepadamu?”

“Belum” sahut Ti-Then sambil gelengkan kepalanya, “Sekarang

dia orang sedang merasa risau karena ketiga orang anak buahnya

terjatuh ke tangan manusia berkerudung hitam itu, mana dia orang

punya selera untuk mengurusi urusan ini?”

“Kalau memangnya begitu apa yang kau artikan dengan ‘Mungkin

sudah hampir itu’? kau berdasarkan apa berani berkata demikian ?”

“Aku sedang berpikir jikalau aku bisa menolong Ih, Kha serta

Pauw tiga orang lolos dari ‘belenggu manusia berkerudung hitam itu

kemungkinan sekali dia bisa mengawinkan putrinya kepadaku”

“Tidak salah !” sahut majikan patung emas itu membenarkan.

“Hal ini membutuhkan berapa waktu lamanya?”

“Soal ini tidak bisa diketahui dengan pasti sskarang kami sedang

menunggu berita dari manusia berkerudung hitam itu, menanti

selelah ada berita darinya aku segera akan melakukan sesuatu

gerakan, uma saja…..”

“Cuma saja apa?”

“Aku takut dia orang tidak memperkenankan aku ikut campur di

dalam urusan ini”

“Yang kau maksudkan Wi Ci To ?”?” tanya majikan patung emas.

“Benar!” jawab Ti Then sambil mengangguk. “Dia tidak mau

memberitahukan barang apa yang diminta oleh manusia

berkerudung hitam itu kemungkinan sekali dia pun tidak

memperbolehkan aku untuk membantu dia orang pergi menolong

orang karena jikalau aku ikut di dalam gerakannya maka akhirnya

kemungkinan juga aku pun bisa ikut mengetahui “rahasia” nya !”

“Tetapi dia pun tidak mungkin membiarkan ketiga orang anak

buahnya kehilangan nyawa bukan?”

“Sudah tentu, tetapi dia bisa pergi seorang diri untuk

menyelesaikan urusan ini dengan manusia berkerudung hitam itu.”

“Aku kira tidak mungkin, kecuali dia rela menyerahkah barang

yang diminta pihak lawan kalau tidak dia pasti akan membawa

pembantu di dalam menyelesaikan urusan ini”

“Jikalau dia membutuhkan tenaga bantuanku sudah tentu aku

akan membantunya dengan hati rela dan menolong kembal Ih, Kha

serta Pauw tiga orang, saat itu bilamana dia mem punyai maksud

untuk mengawinkan putrinya kepadaku kemungkinan sekali segera

akan mengutarakannya keluar.”

“Baiklah., aku menunggu beritamu !” akhirnya seru majikan

patung emas itu dengan perlahan.

“Kalau aku sudah ada janyi sebelumnya dengan dirimu sudah

tentu aku bisa melakukannya dengan sepenuh hati, tetapi aku tidak

berani memastikan aku pasti bisa memenuhi harapanmu, tidak

perduli bagaimana pun juga perkawinan adalah, merupakan satu

soal yang maha besar, hal ini kau seharusnya mengerti jelas terlebih

dahulu.”

Sebenarnya majikan patung emas sudah menarik patung

emasnya naik ke atas untuk berlalu dari sana, mendengar perkataan

itu mendadak dia berhenti sehingga membiarkan patung emasnya

bergantungan ditengah udara.

“Apa arti dari perkataanmu itu ?” tanynya.

“Aku bilang belum tentu aku berhasil mencapai apa yang

diharapkan.”

“Kecuali kau sengaja mengacau jalannya rencanaku ini kalau

tidak pasti akan berhasil” ujar majikan patung emas sambil tertawa

dingin. “Karena Wi Lian In sudah menaruh rasa Cinta kepadamu !.

Kalian berdua sudah sama-sama jatuh Cinta dan sama-sama senang

pada yang lainnya!”

“Tetapi masih ada searang Wi Ci To” sambung Ti Then dengan

amat cepat. “Jikalau dia orang tidak mem punyai maksud untuk

mengawinkau putrinya kepadaku, sekali pun Wi Lian In menaruh

Cinta kepadaku secara bagaimana pun juga tidak berguna.”

Majikan patung emas termenung berpikir sebentar, lalu dengan

suara yang amat ketus dan dingin teriaknya :

“Apakah kau orang sudah menceritakan hubungan diantara kita

kepada Wi Ci To secara diam-diam ?”

“Tidak…!”

“Kalau begitu” sambung majikan patung emas lagi. “Dengan

watak serta kepandaian silatmu ditambah pula dengan jasa yang

kau peroleh buat benteng Pek Kiam Po, Wi Ci To pasti akan

menerima dirimu sebagai menantunya!”

Ti Then termenung tidak menyawab lagi.

“Tapi menurut aku” sambung majikan patung emas lagi, “Tidak

perduli kau berhasil bantu dia untuk menolong Ih, Kha serta Pauw

bertiga atau tidak, setelah urusan ini beres semua dia pasti akan

mengawinkan putrinya kepadamu, kalau tidak……kalau tidak hal ini

berarti kau pernah secara diam-diam memberitahukan kepada Wi Ci

To kalau kau orang sama sekali tidak punya maksud untuk

mengawini putrinya, sampai waktu itu aku tidak berlaku sungkansungkan

lagi terhadap dirimu!”

Ti Then tetap bungkam diri tidak berbicara.

Dengan perlahan majikan patung emas menarik kembali patung

emasnya ke atas sambil ujarnya kembali :

“Pokoknya kau orang boleh berlega hati, kau tidak usah takut

kalau lain kali aku menyuruh kau mencelakai Wi Ci To, Wi Lian In

atau anak buahnya, sekali lagi aku terangkan tujuanku sama sekali

tidak ada jeleknya terhadap semua orang yang ada di dalam

Benteng Pek Kiam Po ini”

“Tidak ada jeleknya apakah mungkin ada baiknya ?”

Waktu itu majikan patung emas sudah menarik kembali patung

emasnya, ketika mendengar perkataan tersebut dia lantas

menyawab :

“Boleh dikata sangat menguntungkan dirimu, karena Wi Ci To

yang punya menantu seperti kau boleh dikata sangat

menguntungkan dirinya.”

“Kalau begitu apakah tujuanmu baru berhasil setelah aku berhasil

memperistri diri Wi Lian In ?”

“Bukan, tujuanku adalah . , .. baiklah ! Aku bisa beri sedikit

keterangan buat dirimu. Cuanku pun sama dengan tujuan dari

manusia berkerudung hitam itu yaitu ingin mendapatkan semacam

barang yang tidak berharga dari Wi Ci To, Cuma saja barang yang

aku minta sama sekali berbeda dengan barang yang diinginkan oleh

manusia berkerudung hitam itu !”

“Kalau memangnya sama sekali tidak berharga buat apa kau

orang berusaha begitu keras dengan bersusah payah hendak

mendapatkanaja ?”

“Karena dia sangat penting buat diriku” sahut majikan patung

emas itu dengan tegas. “Kita ambil contoh saja bilamana aku

sedang membangun satu rumah tetapi kekurangan sebuah batu

bata sebaliknya di daiam Benteng Wi Ci To mem punyai kelebihan

batu bata maka itu aku ingin mendapatkan batu bata milik Wi Ci To

ini terhadap dirinya boleh dikata sama sekali tidak menemui

kerugian apa pun sebaliknya jika dibicarakan buat aku orang dengan

barang itu maka rumahku akan segera jadi…. sudahlah, untuk

malam ini sampai sekian saja, kau pergilah tidur!”

Dia mengulur keluar tangannya yang samar-samar untuk

menutup atap kamar lantas bagaikan bertiupnya angin sudah

berlalu dari sana tanpa mengeluarkan sedlkit suara pun.

Dengan termangu-mangu Ti Then memandang ke atas jendela,

penjelasan dari majikan patung emas ini bukan saja tidak membuat

dia menjadi jelas atas beberapa persoalan yang membingungkan

hatinya bahkan semakin membingungkan lagi, sudah tentu dia

paham apa yang diminta oleh majikan patung emas itu bukanlah

sebuah batu bata seperti perkataannya tadi, perkataan biar pun ini

tidak lain Cuma perumpamaan saja, tetapi di dalam hati dia berpikir:

“Kalau memangnya barang yang diminta oleh majikan patung

emas itu sama sekali tidak ternilai sehingga menyerupai sebuah

batu bata apa lagi merupakan barang ‘Sisa”‘ dari Wi Ci To, kenapa

dia orang tidak mau memintanya dari Wi Ci To secara berterus

terang ? Sebaliknya menggunakan berbagai macam tindakan untuk

bersusah-payah memperolehnya ?”

Karena itulah dia menanggap perkataan dari si majikan patung

emas itu sama sekali tidak benar!

Dengan bersusah-payah dia memeras seluruh otaknya untuk

memecahkan persoalan ini, sampai terang tanah dia tidak bisa

memejamkan matanya kembali.

Pagi Itu setelah dia orang selesai sarapan pagi dengan Wi Ci To

serta Cuo It Sian dikarenakan dari manusia berkerudung hitam itu

masih belum ada ”Berita'” yang datang semua orang tidak ada

pekerjaan untuk dilakukan. Cuo It Sian segera mengusulkan kepada

Wi Ci To .

“Wi Pocu !” ujarnya, “Dari pada menganggur bagaimana kalau

kita main catur di dalam kamar bacamu ?”

“Bagus sekali !” sahut Wi Ci To sambil mengangguk. “Hari itu

sewaktu masih ada di rumah penginapan kita masing-masing

menang satu kali, ini hari kita harus menentukan siapa yang

menang siapa yang kalah !”

Demikianlah mereka berdua segera masuk ke dalam kamar baca

untuk main catur.

Menanti setelah mereka pergi dalam ruangan Wi Lian In buruburu

berbisik kepada Ti Then dengan suara yang amat lirih :

“Kemarin malam aku bersama-sama dengan Pek Tha suheng

mengawasinya satu malam akhirnya sama sekali tidak menemukan

apa pun.”

“Jikalau dia adalah manusia berkerudung hitam itu maka ini hari

atau malam ini tentu akan mengadakan sesuatu gerakan, kalian

awasi lagi satu malam !”

Wi-Lian In segera menguap beberapa kali, ujarnya:

“Semalaman tidak tidur sungguh lelah sekali, aku mau pergi tidur

dulu!”

“Benar, kau harus beristirahat dulu, nanti biarlah aku yang

melakukan pengawasan.”

“Jikalau kau menemukan sesuatu cepatlah datang kekamarku

untuk beritahukan kepadaku.”

“Tentu” sahut Ti Then mengangguk.

Setelah Wi Lian In pergi dia segera berjalan menuju ke kamar

baca dari Wi Ci To pikirnya mau menonton jalannya permainan catur

tersebut, tetapi baru saja berjalan sampai di bawah loteng

penyimpan kitab itu mendadak terlihatlah Shia Pek Tha berjalan dari

depan, dia segera- tertawa.

“Ti Kauw-tauw, bagaimana kalau kita mencari satu tempat untuk

ngobrol ?”

Dalam hati Ti Then tahu dia mau membicarakan soal apa, segera

dia mengangguk.

“Baiklah, mau kemana ?”

“Kekebun bunga saja, di sana agak tenang dan sepi”

Sesampainya di dalam kebun bunga mereka berdua segera

duduk di dalam sebuah gardu bersegi enam, terdengar Shia Pek Tha

membuka pembicaraan terlebih dahulu:

“Kemarin malam aku bersama-sama nona Wi melakukan

pengintaian semalaman di depan kamar Cuo It Sian tentunya Ti

Kiauw-tauw tahu bukan ?”

“Tahu!” jawab Ti Then sambil mengangguk. “Semula dia minta

siauw-te yang menemani tetapi siauw-te segera merasa hal itu tidak

pantas karenanya aku suruh dia pergi mencari Shia-heng ”

Ar muka Shia Pek Tha segera berubah menjadi sangat murung.

“Ti Kiauw-tauw!” ujarnya. “Kau mengira Cuo lt Sian itu apakah

ada kemungkinan adalah manusia berkerudung hitam itu ?”

“Jika dilihat dari jejak serta keadaannya memang dia orang

sangat mencurigakan sekali, tetapi siauw-te tidak berani

memastikan kalau dia oranglah manusia berkerudung hitam itu.”

“Tapi Cuo It Sian merupakan seorang jago tua yang namanya

sangat terkenal di dalam Bu-lim, bagaimana mungkin dia mau

melakukan pekerjaan seperti ini?”

“Siauw-te pun berpikir demikian. , .”

“Yang dimaksudkan berbagai bukti oleh Ti Kiauw tauw tadi

sebetulnya maksudkan beberapa hal ?”

“Pertama : sifat dari Hu Pocu kau, aku semuanya mengetahui

jelas, jikalau orang yang melakukan jual beli bukan kawan karibnya

dia tentu tidak mau menyanggupi untuk melakukan pekerjaan yang

menyalahi Pocu kita, sedangkan Cuo It Sian itu adalah kawan karib

dari Hu Pocu bahkan dia orang sangat kaya sekali, cuma dia orang

saja yang bisa membayar sepuluh laksa tahil perak. Kedua : Tempat

untuk mengurung sauw-tauw serta nona Wi di bawah gunung

bawah tanah adalah di dalam rumah tani di-desa Thay Peng Cung

yang merupakan milik Cuo It Sian, walau pun hai ini bisa di artikan

kemungkinan sekali manusia berkerudung itu sengaja mau

mencelakai diri Cuo It Sian tetapi setelah Siauw-te pikirkan masakmasak

siauw-te merasa manusia berkerudung itu tidak akan mem

punyai nyali untuk bersama-sama menyalahi Benteng Pek Kiam Po

serta diri Cuo It Sian.

“Ketiga: Sewaktu Pocu bersama siauw-te sekalian enam orang

baru saja keluar dari istana Thian Teh Kong, Cuo It Sian sudah

muncul di sana bahkan tidak lama kemudian ada orang yang

memanahkan surat ancaman itu, jika ditinyau dari urutan yang

terjadi . secara tiba-tiba dan bersamaan itu sesungguhnya dia

bertujuan untuk membersihkan kecurigaan serta nama baiknya,

dengan berdasarkan tiga hal ini siauw-te segera menaruh curiga

kalau Cuo it Sian itulah simanusia berkerudung hitam itu.”

Dengan perlahan Shia Pek Tha mengangguk.

“Tetapi” ujarnya lagi memperlihatkan ragu-ragunya. “Jikalau

dikatakan Cuo it Sian adalah manusia berkerudung hitam itu lalu

barang apa yang sebenarnya dia kehendaki seharusnya Pocu kita

mengetahuinya dengan jelas, kenapa Pocu bilang sama sekali tidak

tahu ?”

“Soal ini seharusnya Shia-heng mengetahui dengan sendirinya”

sahut Ti Then sambil tertawa.

oooOOOooo

Dari sepasang mata Shia Pek Tha segera memancar keluar sinar

yang berkedip-kedip, dengan wajah penuh perasaan terperanyat

serunya:

“Apa mungkin Pocu kita sengaja tidak mau memberitahu ??”

Ti Then cuma tertawa saja tanpa mengucapkan sepatah kata

pun,

“Benar!” seru Shia Pek Tha sambil mengangguk. “Di dalam loteng

penyimpanan kitab dari Pocu kita ini selamanya tidak

memperbolehkan orang lain untuk memasukinya aku kira di

dalamnya tentu sudah di simpan semacam barang ,, . , ”

Ti Then tetap tersenyum tidak mengucapkan sepatah kata pun,

Mendadak Shia Pek Tha angkat kepalanya memandang tajam ke

atas wajahnya.

“Aku dengar katanya Pocu pernah membawa Ti Kiauw-tauw serta

nona Wi memasuki loteng penyimpan kitab tersebut?” tanyanya

dengan suara perlahan.

“Benar”

“Dapatkah Ti Kiauw-tauw menceritakan keadaan di dalam loteng

penyimpan kitab itu?”

“Boleh, tetapi Pocu merasa kurang senang kalau orang lain

mengetahui rahasianya, jikalau Shia-heng sudah mengetahui akan

hal ini lebih baik yangan secara sembarangan memberitahukan

kepada orang lain,”

“Tentang hal ini sudah tentu, harap kiauwtauw berlega hati.”

seru Shia Pek Tha dengan cepat.

“Di dalam loteng penyimpan kitab dari Wi Pocu yang penting

sebenarnya tersimpan suatu kisah cinta…”

Segera dia menceritakan bagaimana pada waktu dahulu Wi Ci To

sudah kawin dengan seorang perempuan yang bernama “Su Sia

Mey” yang bermain bersama-sama sejak kecil lalu bagaimana

meninggalkan rumah mencari guru silat kenamaan karena rindu Su

Sin May jatuh sakit dan meninggal dunia sehingga hal ini membuat

hatinya terasa amat sedih sekali, karena rindunya lantas dia

membuat sebuah lukisan dari wajah Su Sin May dan disembunyikan

di dalam loteng penyimpan kitab itu . .

Sudah tentu cerita dari Wi Ci To ini adalah sebuah cerita bohong

sesuai dengan pemberitahuan dari majikan patung emas itu tetapi

saat Ini dia terpaksa harus menceritakan “Cerita bohong” ini kepada

Shia Pek Tha.

Setelah selesai mendengar kisah itu dengan perasaan amat

terperanyat Shia Pek Tha berseru :

“Tidak kusangka sama sekali Wi Pocu bisa mem punyai suatu

kisah cinta yang mengharukan, tetapi barang yang dikehendaki oleh

manusia berkerudung hitam itu tentunya bukan lukisan dari Su Sin

May itu-bukan?”

“Menurut dugaan siauw-te pasti bukan”sahut Ti Then sambil

mengangguk. “Karena kisah cinta itu sama sekali tidak ada sangkut

pautnya dengan orang lain”

“Kalau begitu . . . “ seru Shia Pek Tha Sambil mengerutkan

alisnya rapat-rapat. “Kemungkinan sekali Pocu kita masih mem

punyai rahasia lain yang belum diutarakan keluar”

“Pocu kita adalah ssorang jagoan Bu lim yang sangat

mengagumkan dan patut kita hormati, maksudnya siauw-te kira

tidak seharusuja kita orang pergi menyelidiki rahasianya.”

“Sudah tentu, sudah tentu” sahut Shia Pek Tha sambil

mengangguk. “Tetapi yang membuat aku orang merasa sangat

heran sekali adalah : Baik dia orang tua mau pun lelaki berkerudung

hitam itu kenapa tidak ada yang mau menyebutkan nama mau pun

macam dari barang tersebut ?”

“Soal ini siauw-te sendiri pun tidak jelas”

Dengan perlahan Shia Pek Tha angkat kepalanya memperhatikan

wajahnya, lantas tanyanya dengan perlahan.

“Ti Kiauw-tauw! Kau rasa dapatkah Pocu kita menyerahkan

barang yang diminta oleh manusia berkerudung hitam itu untuk

ditukar dengan nyawa Ih, Kha serta Pauw tiga orang ?”

“Siauw-te tidak tahu.”

“Aku rasa dia orang tidak mungkin dapat duduk tidak bergerak

melihat Ih, Kha serta Pauw tiga orang dibunuh orang lain” ujar Shia

Pek Tha lagi sambil menghela napas panjang.

“Sebelum manusia berkerudung hitam itu datang kemari untuk

mengirim berita mengenai waktu serta tempat untuk saling tukar

barang lebih baik untuk sementara waktu kita anggap saja menusia

berkerudung hitam itu adalah Cuo It Sian, secara diam-diam kita

meneruskan pengawasannya terhadap semua gerak gerik dia orang.

Bagaimana pendapat dari Shia-heng ?”

“Sampai saat ini terpaksa kita harus berbuat demikian” sahut

Shia Pek Tha sambil mengangguk.

Sampai di situ Ti Then segera bangkit berdiri.

“Sekarang mereka sedang bermain catur di dalam kamar baca,

siauw-te pikir mau pergi ke sana untuk melihat-lihat. Lain hari kita

berbicara lagi!” Serunya kemudian.

Mereka berdua segera berjalan keluar dari kebun bunga. Shia

Pek Tha melanjutkan perjalanannya menuju kehalaman luar

sedangkan Ti Then berjalan menuju ke pintu luar dari kamar baca

Wi Ci To, melihat pintu tersebut tertutup rapat dia orang lantas

maju ke depan untuk mengetuk pintu.

“Siapa?” Terdengar suara dari Wi Ci To berkumandang keluar

dari dalam kamar baca.

“Boanpwe !’

“Oooo . – silahkan masuk”

Ti Then segera mendorong pintu dan berjalan masuk ke dalam,

terlihatlah Wi Ci To serta Cuo It Sian ternyata benar-benar sedang

saling berhadap-hadapan main catur, cepat-cepat dia rangkap

tangannya menjura.

“Boanpwe dengan besar nyali datang menonton jalannya

permainan catur ini tentunya tidak mengganggu kalian berdua

bukan ?”

“Tidak.. . tidak” sahut Wi Ci To cepat sambil tertawa.

Ti Then lantas mengambil sebuah bangku dan duduk di samping

mereka, terlihatlah di atas papan catur kelihatan tinggal beberapa

biji catur saja, tak tertahan lagi tanyanya.

“Sudah main satu babak ?”

“Belum, baru babak pertama.”

“Ouww . . . sungguh perlahan . sekali “ ujar Ti Then sambil

tertawa.

“Kenapa tidak?” Timbrung Cuo It Sian itu si pembesar kota

sambil tertawa pula, “Biasanya Pocu kalian selalu bermain gesit dan

cepat siapa sangka permainan babak ini ternyata sangat lambat

sekali”

“Penjagaan dari Cuo-heng semakin lama semakin dahsyat dan

semakin membingungkan aku orang she Wi jikalau tidak ingin babak

ini menemui kekalahan sudah seharusnya bermain dengan sangat

berhati-hati sekali.”

Mendengar perkataan dari Wi Ci To ini Cuo It Sian segera tertawa

terbahak-bahak.

“Lebih baik Pocu cepat mengambil keputusan, jikalau berpikir

terlalu lama sering sekali permainan ini akan menjadi permainan

catur yang busuk”

Lama sekali Wi Ci To memperhatikan papan catur serta biji

caturnya, setelah termenung berpikir beberapa saat lamanya dia

baru meletakkan satu biji caturnya ke atas papan catur kemudian

dia menoleh ke arah Ti Then,

“Tadi Lohu mengalah dua biji catur kepadanya, kelihatannya

memang benar-benar sangat berat sekali. .” ujarnya sambil tertawa.

Ti Then cuma tersenyum-senyum tanpa mengucapkan sepatah

kata pun.

Sekali lagi Wi Ci To tertawa.

“Sewaktu bermain catur di dalani rumah penginapan itu kita

masing-masing menang satu kali, permainan kali ini merupakan

permainan untuk menemukan siapa yang bakal menang siapa yang

bakal kalah karenanya lohu harus mamenangkannya ”

Mendadak Cuo It Sian memajukan satu biji caturnya ke depan,

dia tenawa tergelak dengan amat kerasnya.

“Sekarang adalah Lohu yang menguasai kalangan, jika ingin

menang seharusnya mengeluarkan satu jurus jalan aneh!” ujarnya

keras.

“Ehmmm…memang harus dicarikan sebuah jalan yang aneh

sekali.”

“Kalau begitu bunuh saja ” Timbrung Ti Then tiba-tiba.

Air muka Wi Ci To berubah menjadi amat keren sekali.

“Tidak, waktunya belum tiba” Serunya perlahan. “Sekarang

terpaksa kita harus mengikuti permainannya dengan jalan saling

buntut membuntuti, menanti ada kesempatan yang baik kita baru

kasih satu serangan total yang membuat dia orang gelagapan tidak

karuan.”

Sembari berkata dia memajukan biji caturnya kembali.

Cuo It Sian segera mengambil satu biji caturnya ditaruhkan ke

atas papan, ujarnya sambil tersenyum-senyum mengejek:

“Jikalau Pocu ingin bermain uber-uberan dengan Lolap terpaksa

Lolap harus melakonkan suatu pertempuran cepat-cepatan dengan

diri Pocu !”

“Coba kau lihat!” seru Wi Ci To kemudian sambil menoleh kearah

diri Ti Then. ‘”Dia orang meminyam kesempatan sewaktu aku

mengalah berulang kali kepadanya dia mau menggunakan

permainan paksaan, sungguh menjengkelkan sekali!”

Ti Then yang selama ini mendengarkan pembicaraan mereka

segera merasakan kalau ucapan mereka tidak mengenai permainan

catur saja melainkan menyangkut suatu kata-kata rahasia yang

menyangkut suatu peristiwa besar, tidak terasa lagi hatinya

berdebar-debar dengan amat kerasnya, dalam hati pikirnya.

“Apa mungkin si pembesar kota ini benar-benar adalah manusia

berkerudung hitam itu ? Tetapi jika dilihat dari sikapnya yang amat

tenang sekali laksana batu karang kemungkinan sekali memang

betul dia orang adanya. Hmm! sungguh besar ju ga nyalinya dia

orang ternyata berani saling berhadap-hadapan dengan Pek Kiam

Pocu Wi Ci To yang namanya sudah meggetarkan sungai telaga”

Berpikir sampai di sini tidak terasa dia melirik sakejap kearah diri

Cuo It Sian.

“Bagaimana? apakah kau juga minta lolap bertindak terlalu

ganas, terlalu kejam?” ujar Cuo It Sian sambil tertawa sewaktu

melihat dia orang melirik kearah dirinya.

“Tidak berani !” ujar Ti Then dengan cepat. ”Dalam hati

boanpwae sedang berpikir : jikalau Pocu tidak mengalah aku kira

kau orang tua tidak bisa bermain dengan demikian enaknya.”

Cuo It Sian segera tertawa terbahak-bahak, “Sudah tentu. .

.sudah tentu ! permainan catur dari Pocu kalian jadi lebih tinggi dari

kepandaian Loiap, jikalau dia orang tidak mau mengalah bagaimana

Lolap berani diam-diam dengan dia orang!”

Ti Then cuma tertawa saja tidak memberikan jawabannya, sekali

lagi dia orang berpikir:

“Benar jikalau perkataan ini dimaksudkan dia orang sudah

menguasai Ih, Kha serta Pauw tiga orang, Wi Ci To memang benarbenar

tidak leluasa untuk turun tangan”

Terdengar Cuo It Sian sudah melanjutkan lagi kata-katanya :

“Permainan ini mirip sekali dengan tindakan yang dipakai oleh

manusia berkerudung hitam itu, kepandandaian silatnya tidak bisa

memadahi kepandaian silat dari Pocu kalian sehingga dia harus

berusaha menggunakan akan menawan Ih, Kha serta Pauw tiga

orang terlebih dulu kemudian baru memaksa Pocu kalian. Lolap

percaya beritanya sudah hamper tiba di sini !”

“Perumpamaan ini memang paling sesuai !” ujar Wi Ci To sambil

tertawa keras.

“Benar !” sambung Ti Then sambil tertawa juga. “Cuo Locianpwe

berbicara demikian seperti juga kau adalah manusia berkerudung

hitam itu “

“Bilamana Lolap adalah manusia berkerudung hitam itu maka

urusan bisa kita selesaikan dengan mudah” ujar Cuo It Sian tiba-tiba

sambil tertawa.

“Bagaimana perkataanmu ini bisa kau ucapkan?” Tanya Ti Then

keheranan

“Kalian boleh turun tangan menawan Lolap lalu memaksa Lolap

untuk melepaskan orang yang sudah ditawan.”

“Perkataan itu ini sedikitpun tidak salah cuma sayang Locianpwe

bukanlah manusia berkerudung hitam itu”

Walaupun pada mulutnya ia berbicara demikian padahal di dalam

hati diam-diam pikirnya:

“Benar! sedikit pun tidak salah! jikalau dia benar-benar adalah

manusia berkerudung itu kenapa Wi Ci To tidak mau melakukan hal

ini?

Kini Wi Ci To tidak mau berbuat demikian berarti juga kalau dia

bukanlah manusia berkerudung hitam itu, ataukah dia mem punyai

kesulitan sehingga tidak bisa turun tangan membuat dia ragu-ragu

dan takut untuk turun tangan?”

Di tengah tertawa serta ngobrolan yang ramai kedua orang tua

itu melanjutkan permainan catur mereka, Wi Ci To tetap bermain

dengan amat lambat sekali, entah dia betul-betul sedang berpikir

keras atau sengaja mengulur waktu?

Sampai siang hari sudah lewat permainan catur babak pertama

baru selesai, dan hasilnya adalah seri.

Wi Ci To segera tertawa terbahak-bahak :

“Haaaaa, . .. .haaaaa. .. .haaa . , . seri memang paling bagus !

damai jauh lebih baik”

“Tetapi lolap tidak ingin damai atau seri, nanti sore sekali lagi kita

adu kepandaian!” Seru Cuo It Sian sambil tertawa.

Sorenya mereka kembali melanjutkan kembali permainan catur

mereka di dalam kamar baca, Ti Then pun tetap menonton

jalannya pertandingan itu dari samping.

Permainan catur kali ini Wi Ci To main semakin lambat lagi,

menanti setelah hari menunjukkan tengah malam permainan

tersebut baru sampai di tengah jalan agaknya perhatian Wi Ci To

tidak terletak pada permainan catur tersebut, dengan tak hentinya

dia bergumam terus :

“Aneh, kenapa masih belum datang juga?”

“Kemungkinan sekali mereka sedang mengadakan persiapan,

setelah persiapan mereka selesai sudah tentu akan datang ber

tanya.” sahut Cuo It Sian tetap tenang.

“Mari kita pergi bersantap dulu !” ujat Wi Ci To kemudian sambil

bangkit berdiri.

“Tetapi permainan catur kita belum selesai !” Jawab Cuo It Sian

sambil memandang kearah papan catur tersebut.

“Kita lanjutkan sesudah bersantap,”

Mereka bertiga segera pergi menuju ke ruangan makan,

mendadak tanya Wi Ci To:

“Ti Kiauw-tauw, selama satu harian ini kenapa In-ji tidak ada?

Dia pergi kemana?”

Baru saja ucapannya selesai terdengarlah suara dari Wi Lian In

berkumandang datang dari tempat luaran.

“Tia ! aku sudah datang !” teriaknya.

Disusul dengan munculnya seorang gadis ke dalam ruangan

makan tersebut.

“In-ji, hari ini kau pergi kemana ?” Tanya Wi Ci To.

“Aku tidak pergi kemana pun, seharian ini aku beristirahat di

dalam kamar”

“Kau sudah tidur satu harian penuh ?”

“Benar” Sahut Wi Lian In dengan malu-malu. “Pada waktu-waktu

yang lalu aku tidak pernah tidur dengan nyenyak, karenanya ini hari

aku tidur sepuas mungkin.”

“Haaaoayaaa …. kau budak semakin lama semakin malas . . . ”

Berbicara sampai di situ dia segera mempersilahkan Cuo it Sian

untuk ambil duduk.

Sewaktu mereka berempat sedang bersantap mendadak

terdengar Wi Lian In membuka mulut bertanya.

“Tia, apakah sudah ada berita dari manusia berkerudung hitam

itu ?”

“Belum !” jawab Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya. “Entah di

dalam cupu cu punya dia orang sedang menjual obat apa!”

“Sungguh aneh sekali !” ujar Wi Lian In keheranan. “Dia meminta

kita orang kembali ke benteng untuk menunggu beritanya, kini kita

sudah dua hari kembali ke dalam Banteng tetapi belum juga

mendapat berita dari dirinya, , , “

“Kecuali dia orang sudah tidak menginginkan barang dari Wi

Pocu, kalau tidak cepat atau lambat dia pasti akan kirim berita buat

kita” Sahut Cuo It Sian dengan cepat.

Dengan perlahan Wi Lian In menoleh ke arah Ayahnya, lantas

tanyanya.

“Apakah Tia rela menyerahkan barang itu untuk menolong Ih,

Kha serta Pauw tiga orang ?”

”Sampai saat ini lohu masih belum mengambil keputusan” jawab

Wi Ci To setelah termenung berpikir sebentar. “Karena lohu masih

tidak tahu barang apa yang dia orang minta”

Wi Lian ln tidak bertanya lagi, dengan berdiam diri dia

melanjutkan santapannya.

“Ti Kiauw-tauw, nanti lohu minta tolong kau orang mau

memeriksa keadaan di sekeliling tempat ini, serangan terangterangan

bisa dicegah, serangan bokongan sukar diduga, kita harus

berhati-hati menghadapi mereka.”

“Baiklah”

“Ayoh jalan !” ujarnya kemudian kepada Cuo It Sian.” Kita

melanjutkan permainan catur yang belum selesai tadi !”

Setelah kedua orang itu meninggalkan ruangan makan Wi Lian In

segera bertanya kepada Ti Then dengan suara yang amat lirih :

“Apa kau orang sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan

?”

“Tidak.”

“Kalau begitu kemungkinan sekali dia bukanlah manusia

berkerudung hitam itu?”

“Kita tidak bisa berkata begitu, aku kira lebih baik kita

meneruskan pengawasan kita secara diam-diam !”

“Selama seharian ini apakah dia orang terus menerus bermain

catur dengan Tia di dalam kamar baca ?” tanya Wi Lian In lagi.

“Benar “ sahut Ti Then sambil mengangguk. “Aku masih ingat

perkataanmu tempo hari, bukankah permainan ayahmu amat cepat

sekali ?”

“Tidak salah, permainan catur ayahku itu memang amat cepat,

selamanya dia orang paling merasa tidak sabaran untuk berpikir

keras.”

“Tetapi permainannya hari ini dengan Cuo It Sian ternyata sama

sekali berbeda dengan keadaan biasanya, permainannya kali ini

sangat lambat sekali.”

“Kemungkinan sekali Tia terlalu kuatir atas keselamatan dari Ih,

Kha serta Pauw tiga orang sehingga sama sekali tidak mem punyai

minat untuk bermain catur ?”

“Jikalau dia orang tidak mem punyai minat untuk bermain catur

seharusnya bermain lebih cepat lagi” Sela Ti Then perlahan.

“Kalau tidak, lalu apa artinya ?” Tanya Wi Lian In keheranan.

“Aku merasa agaknya di dalam benak ayahmu sedang

memikirkan sesuatu urusan untuk cepat-cepat mengambil

keputusan, dia orang bukannya sungguh-sungguh sedang bermain

catur melainkan sedang memikirkan satu urusan yang lebih

penting,”

“Perkataanku tadi kan tidak salah, pasti sedang memikirkan caracara

untuk menolong Ih, Kha serta Pauw tiga orang dari belenggu

manusia berkerudung hitam tersebut”

“Kini berita dari manusia berkerudung belum tiba, apanya yang

bisa dipikirkan?” Ujar Ti Then sambil mengerutkan alisnya rapatrapat.

“Makanya aku pikir tentunya ayahmu bukan sedang

memikirkan persoalan untuk menolong Ih, Kha serta Pauw tiga

orang, melainkan sedang berpikir perlukah dia orang pergi

menolong Ih, Kha serta Pauw tiga orang atau tidak,”

“Tentunya urusan ini ayahmu tentu akan menceritakan suatu

cara untuk menolong mereka !”

“Belum tentu” ujar Ti Then sambil tertawa. “Di dalam pikiran kita

nyawa Ih, serta Pauw tiga orang sangat penting sekali tetapi

kemungkinan juga barang dari ayahmu itu jauh lebih penting dari

nyawa Ih, Kha serta Pauw tiga orang!”

Wi Lian In termenung tidak berbicara. “Sekarang kau pergilah ke

kamar baca untuk melihat mereka bermain catur sedang aku mau

periksa sebentar sekeliling tempat ini.”

Selesai berkata dia berjalan keluar dari ruangan makan itu.

Dia melalui pintu Benteng berjalan keluar lantai dengan

mengikuti tembok benteng melakukan perondaan disekeliling

tempat itu.

Setelah semuanya diperiksa dengan amat teliti dia baru kembali

ke dalam Benteng dengan mengambil jalan dari pintu Benteng yang

semula.

Baru saja dia orang memasuki benteng, mendadak tampak Wi

Lian In berlari mendatang, tak terasa lagi dengan perasaan heran

tanyanya : “Eeeeei . . . kenapa kau pun ikut keluar?”

“Tia tidak memperbolehkan aku ikut menonton” seru Wi Lian In

sambil mencibirkan bibirnya.

“Kenapa?” Tanya Ti Then keheranan.

“Dia meminta aku pergi memeriksa di sekeliling tempat ini untuk

berjaga-jaga jangan sampai ada musuh yang menyusup ke dalam

Benteng …. coba kau piker kita memangnya sedang menanti

kedatangan dari pihak musuh kenapa sekarang diharuskan berjagajaga

jangan sampai ada musuh yang menyusup kembali ?”

“Benar” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Apalagi semua

pendekar pedang kita sudah bersiap siaga di dalam Benteng,

sebetulnya tidak perlu ditambah kau seorang lagi…apakah mungkin

hal ini dikarenakan pelbagai sebab lantas ayahmu sengaja

menyuruh kau orang keluar?”

“Aku pun berpikir demikian !”

Ti Then termenung berpikir sebentar, mendadak teriaknya.

“Aaaaah…mungkin…mungkin..biar aku pergi lihat !”

Sehabis berkata dengan langkah yang amat cepatnya dia berlari

masuk ke dalam Benteng.

Di dalam sekejap saja dia sudah tiba di depan kamar baca itu,

tampak keadaan di dalam kamar itu terang benderang agaknya

masih ada penghuninya di dalam kamar itu, segera dia orang maju

ke depan untuk mengetuk pintu.

Tetapi sekali pun dia sudah mengetuk pintu berulang kali dari

kamar itu tetap tidak terdengar suara dari Wi Ci To yang sedang

bertanya.

Dalam hati diam-diam dia terasa tergetar amat keras, dengan

cepat teriaknya.

“Pocu! Pocu ! Bolehkah boanpwe masuk ke dalam?”

Suasana di dalam kamar itu tetap sunyi senyap tidak terdengar

sedikit suara pun.

Dia segera tahu urusan tentunya terjadi suatu perubahan,

dengan cepat tangannya mendorong pintu tersebut dan masuk ke

dalam.

Terlihatlah di tengah kamar baca itu masih tergeletak papan

catur serta biji caturnya, sebaliknya bayangan dari Wi Ci To mau

pun Cuo It Sian sudah tidak nampak lagi.

“Iiih…mereka pergi kemana?”

Dengan cepat dia berlari masuk ke dalam kamar dan melakukan

pemeriksaan dengan teliti, terlihatlah keadaan di dalam kamar baca

itu sama sekali tidak tampak kacau balau, dalam hati dia merasa

semakin terperanyat lagi.

Dengan kecepatan dia balik badan berlari keluar dari kamar baca

dan bertanya kepada dua orang pendekar pedang hitam yang

sedang berjaga di depan loteng penyimpan kitab itu.

“Apakah kalian melihat Poca beserta Cuo Locianpwe

meninggalkan kamar baca itu ?”

“Tidak !” Sahut kedua orang pendekar pedang hitam itu

bersama-sama, “Sejak Pocu serta Cuo Locianpwe masuk ke dalam

kamar sampai kini mereka belum pernah keluar.”

Ti Then segera menduga kemungkinan sekali Wi Ci To serta Cuo

It Sian sudah keluar melalui jendela di belakang kamar baca itu,

dengan cepat tubuhnya meloncat kembali ke dalam kamar baca

tersebut.

Terlihatlah di dalam kamar baca itu semuanya ada dua buah

jendela sedang kedua buah jendela itu sampai kini masih tertutup

rapat-rapat, dia segera maju ke depan untuk mendorongnya tetapi

walau pun sudah didorong dengan sekuat tenaga tetap tidak

terbuka juga membuat hatinya bertambah cemas lagi. Pikirnya:

“Sungguh aueh sekali, jikalau mereka keluar melalui jendela itu

sudah seharusnya jendela ini tidak dapat ditutup kembali dari dalam

kamar, sedangkan kedua orang pendekar pedang hitam yang

menyaga di depan Loteng penyimpan kitab itu pun bilang tidak

melihat mereka berdua keluar dari dalam kamar lalu apakah mereka

sudah berhasil meyakinkan ilmu meienyapkan diri ?

Ehemmm…benar! tentunya mereka keluar dari atap rumah, biar aku

naik ke atas untuk memeriksanya !”

Berpikir sampai di situ tubuhnya dengan cepat meloncat ke atas

atap rumah, terlihatlah atap-atap rumah itu sama sekali tidak

terlihat adanya tanda-tanda yang pernah dibuka orang, jelas sekali

Wi Ci To serta Cuo It Sian tidak mungkin keluar dengan melalui

tempat tersebut.

Jalan keluar dari kamar baca itu kecuali pintu kamar cuma ada

dua jendela atau atap rumah, sekarang atap itu pun kelihatan tidak

mungkin bisa dilalui sedangkan mereka berdua pun tidak keluar

melalui pintu kamar, lalu bagaimana mereka bisa lenyap ?

Bagaimana dua orang manusia hidup bisa lenyap secara tiba-tiba

dari dalam kamar tersebut ?

Apa mungkin mereka sudah berhasil meyakinkan ilmu untuk

melenyap diri ?

Tidak ! tidak mungkin terjadi urusan ini !

Dia orang segera merasakan urusan ini amat gawat sekali,

dengan cepat tubuhnya meloncat turun ke bawah kemudian

berteriak dengan kerasnya kearah kedua orang pendekar pedang

hitam, yang berjaga di luar loteng penyimpan kitab itu:

“Cepat panggil nona serta pendekar merah untuk berkumpul di

sini, Pocu seru Cuo Locianpwe sudah lenyap”

Kedua orang pendekar pedang hitam itu tetap berdiri tegak, dari

wajahnya jelas memperlihatkan sikap yang serba salah.

“Lapor kepada Ti-Kiauw-tauw !” ujar mereka berdua secara

berbareng. “Sebelum cayhe memperoleh perintah dari Pocu tidak

berani melalaikan tugas kami.”

Ti Then sedikit mengerutkan alisnya ujung kakinya dengan cepat

menutul permukaan tanah dan berlari menuju ke halaman depan,

teriaknya dengan keras :

“Heeeei …. Lian ln ! saudara-saudar sekalian kemarilah semua . ,

. . Pocu serta Cuo Locianpwe sudah lenyap tak berbekas”

Baru saja dia selesai berteriak segera terlihatlah Wi Lian In

beserta lima, enam orang pendekar pedang merah pada berlari

mendekat, tanyanya dengan amal terperanyat :

“Ada apa ?”

“Pocu serta Cuo Locianpwe telah, lenyap!”

Baik Wi Lian In mau pun keenam orang pendekar pedang merah

itu segera menjerit kaget, air muka mereka berubah sangat hebat

sekali.

“Bagaimana lenyapnya ?”

“Semula mereka masih ada di dalam kamar bermain catur, tetapi

tadi sewaktu siauw-te mau masuk ke kamar baca itu ternyata sudah

menemukan mereka tidak ada di dalam kamarnya bahkan kedua

orang saudara yang berjaga di depan loteng penyimpan kitab itu

pun bilang mereka tidak melihat kedua orang tua itu berjalan

keluar”

“Apa mungkin mereka keluar melalui jendela ?” tanya. Shia Pek

Tha dengan sangat terperanyat.

“Tidak, baik kedua buah jendela mau pun atap kamar itu

semuanya tertutup amat rapat, siauw-te sudah memeriksanya

dengan teliti…mereka tidak mungkin melalui tempat tersebut.”

“Bagaimana bisa terjadi urusan ini?” seru Shia Pek Tha kembali

dengan amat terperanyat.

“Mari kalian ikut aku pergi memeriksa!” tiba-tiba Wi Lian In

berteriak keras.

Di tengah suara teriakannya itulah dia sudah berkelebat menuju

ke depan.

Semua orang segera mengikutinya dari belakang dan bersamasama

berlari menuju ke depan kamar baca, setelah mengadakan

pemeriksaan dengan amat teliti akhirnya terbukti jendela itu sama

sekali tidak terbuka sedangkan atap itu pun tidak memperlihatkan

tanda-tanda pernah dibuka oleh orang lain.

Shia Pek Tha segera berlari keluar dan bertanya kepada kedua

orang pendekar pedang hitam yang sedang berjaga di depan loteng

penyimpan kitab itu.

“Kalian benar-benar tidak melihat Pocu serta Cuo Locianpwe

keluar dari dalam kamar?”

“Benar!” sahut kedua orang itu secara berbareng. “Cayhe sekali

pun melihatnya dengan amat jelas sekali Pocu serta Cuo Locianpwe

memang benar-benar tidak pernah keluar dari dalam kamar”

“Hal ini sungguh aneh sekali!” sela Ki Tong Hong salah satu dari

pendekar pedang merah itu dengan keras. “Mereka tidak pernah

keluar dari pintu, juga tidak keluar dari jendela mau pun dari atas

atap rumah tetapi bagaimana tidak pernah kelihatan manusianya?”

Sekali lagi semua orang berlari masuk ke dalam kamar baca itu

dan mengadakan pemeriksaan yang amat teliti sekali terhadap

seluruh isi kamar tersebut.

Mendadak dari atas meja buku Ki Tong Hong mengambil keluar

secarik kertas putih sambil teriaknya keras :

“Coba lihat, Pocu sudah meninggalkan sepucuk surat!”

“Ditujukan buat Ti Kiauw-tauw beserta semua pendekar pedang

merah yang ada di dalam Benteng”

“Lohu baru saja memperoleh sepucuk surat dari manusia

berkerudung hitam yang mengajak lohu pergi kesuatu tempat untuk

membicarakan persoalan ini. Lohu segera mengajak Cuo-heng

melakukan perjalananan cepat untuk memenuhi janyi itu. Kalian

semua harus tetap tinggal di dalam Benteng dan melakukan

penjagaan yang lebih ketat lagi. Jangan sekali-kali ada yang

meninggalkan benteng sehingga bisa digunakan kesempatan itu

bagi pihak musuh. Sekian”

Semua orang yang pada mengerubung untuk membaca surat itu

segera pada berubah wajahnya, air muka mereka penuh diliputi oleh

perasaan terkejut bercampur heran.

Karena sekali pun mereka sudah membaca surat yang

ditinggalkan oleh Pocu mereka dan mengetahui kalau Pocu mereka

bersama-sama dengan Cuo It Sian sudah pergi memenuhi janyi

dengan manusia berkerudung hitam itu tetapi mereka semua masih

tidak paham dengan cara apa mereka bisa meninggalkan kamar

baca itu?

Masih ada lagi, surat yang dikirim oleh manusia berkerudung

hitam itu dengan cara bagaimana bisa dihantar masuk ke dalam

Benteng?

Sejak Wi Ci To berenam kembali ke dalam Benteng, oleh karena

mengetahui kalau dari pihak manusia berkerudung hitam itu bakal

ada berita yang hendak dikirim datang maka penjagaan di dalam

Benteng itu sudah diperkuat berkali-kali lipat sehingga mereka

semua percaya jikalau benar-benar ada orang luar yang mau masuk

ke dalam Benteng pasti tidak akan lolos dari pengawasan para

pendekar pedang yang melakukan penjagaan di sekitar Benteng itu.

Sebaliknya kini ternyata manusia berkerudung hitam itu bisa lolos

dari pengawasan para pendekar pedang dan mengirim surat

tersebut ke dalam Benteng bahkan Pocu mereka serta Cuo It Sian

pun secara tiba-tiba dan amat misterius sekali bisa meninggalkan

Benteng Pek Kiam Po tanpa diketahui, bukankah hal ini merupakan

suatu urusan yang berada diluar dugaan mereka?

Karenanya untuk beberapa saat lamanya mereka cuma bisa

saling berpandangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Akhirnya Wi Lian In lah yang memecahkan kesunyian itu terlebih

dahulu, setelah ragu-ragu sebentar akhirnya dia berkata:

“Aku tahu secara bagaimana Tia serta Cuo Locianpwe bisa

meninggalkan kamar baca itu!”

Mendengar perrkataan tersebut tidak terasa lagi semangat semua

orang berkobar kembali.

“Mereka dengan cara apa meninggalkan tempat ini?” Tanya

mereka berbareng.

Dengan perlahan Wi Lian In melirik sekejap kearah sebuah lemari

pakaian yang ada di dalam kamar itu, lantas ujarnya:

“Di dalam kamar baca ayahku ada sebuah jalan rahasia di bawah

tanah yang bisa berhubungan dengan sebuah gua di atas tebing

Sian Ciang..”

“Ooh..kiranya begitu!” seru semua orang dengan amat

terperanyat. “kalau begitu Pocu beserta Cuo Locianpwe tentunya

berjalan keluar melalui jalan rahasia ini.”

“Dimana mulut jalan rahasia itu?” tanya Shia Pek Tha kemudian.

“Di dalam lemari tersebut” sahut Wi Lian In sambil menuding

kearah lemari yang ada di dalam kamar itu.

Dengan wajah yang amat terkejut bercampur heran Tanya Ki

Tong Hong kembali sambil memandang kearah lemari tersebut:

“Kenapa kami semua tidak tahu kalau ditempat ini ada sebuah

jalan rahasia?”

“Ada satu kali” ujar Wi Lian In menerangkan. “Sewaktu Tia

menemukan kalau satu gua di atas tebing Sian Ciang itu

menghubungkan tempat tersebut dengan tanah di bawah Benteng

kita lantas secara diam-diam dia orang tua sudah menghubungkan

tempat ini dengan jalan rahasia ini yang siap-siap digunakan untuk

mengundurkan diri jikalau ada sesuatu kejadian yang berada di luar

dugaan”

Dia berhenti sebentar, lalu sambungnya lagi:

“Karena Tia takut saudara-saudara secara tidak berhati-hati

sudah membocorkan urusan ini keluar maka itu dia orang tua tidak

sampai memberitahukan urusan kepada kalian semua.”

“Tetapi kenapa Pocu harus keluar dengan melalui pintu rahasia

ini?” tanya Shia Pek Tha.

“Mungkin dia tidak ingin kita semua mengikuti dirinya.”

“Bilamana Pocu tidak memperbolehkan kita ikut asalkan dia

orang tua kasih perintah siapa orang yang berani melanggar

perintah dari Pocu?”

“Aku berani melanggar!” ujar Wi Lian In sambil tertawa.

“Tidak salah!” seru Shia Pek Tha sambil tertawa serak. “Tentunya

Pocu takut kau secara diam-diam mengikuti dirinya karena itu

secara sembunyi-sembunyi dia orang sudah berlalu dari dalam jalan

rahasia ini”

“Tetapi kalau memangnya Pocu tidak ingin jalan rahasia ini

diketahui oleh kita semua kenapa justru membiarkan Cuo Locianpwe

mengetabuinya?” Tanya Ki Tong Hong mengemukakan rasa heran di

dalam hatinya. “Walau pun Cuo Lo-Cianpwe merupakan seorang

pendekar yang mem punyai nama besar tetapi bagaimana pun juga

dia adalah orang luar!”

“Soal ini aku juga tidak paham. . . “Sahut Wi Lian In perlahan.

“Masih ada lagi, kenapa Pocu tidak membolehkan kita semua ikut

pergi?

Bukankah semakin banyak orang yang pergi harapan untuk

menolong Ih, Kha serta Pauw tiga orang bertambah besar?”

“Kemungkinan sekali hal ini merupakah salah satu syarat yang

diajukan manusia berkerudung itu, mungkin dia cuma mengijinkan

PoCu serta Cuo Lo-Cianpwe dua orang saja yang pergi memenuhi

janyi”

Dengan perlahan dia menoleh kearah Ti Then, lalu tanyanya:

“Ti Kiauwtauw, kau bagaimana?”

“Mungkin memang demikian adanya” sahut Ti Then sambil

tertawa.

Sekarang di dalam hatinya semakin merasa kalau Cuo It Sian ada

delapan bagian merupakan manusia berkerudung hitam itu, cuma

saja dikarenakan urusan ini menyangkut suatu rahasia dari Wi Ci To

yang tidak bisa diberitahukan kepada orang lain maka dia tidak ingin

mengatakan kecurigaan di dalam hatinya.

“Tapi tulisan yang ditinggalkan oleh Pocu sudah tertulis amat

jelas supaya kita semua menyaga Benteng lebih ketat lagi dan tidak

diperkenankan meninggalkan tempat ini”

“Untung saja yang kau maksudkan sebagai kita tidak termasuk

aku di dalamnya” sahut Wi Lian In sambil tertawa.

Ti Then menjadi melengak.

“Bagaimana tidak termasuk kau?”

“Bukankah tulisan yang ada di dalam surua itu menulis kalau

surat tersebut ditujukan buat Ti Kiauw-tauw beserta seluruh

pendekar pedang merah yang ada di dalam Benteng?”

“Tapi kau pun salah satu dari pendekar pedang merah!” Seru Ti

Then sambil tertawa.

“Tidak!” bantah Wi Lian In sambil gelengkan kepalanya. “Tia

menganggap aku sebagai putrinya. Selama ini dia tidak pernah

menganggap aku sebagai salah satu pendekar pedang merah dari

Benteng kita.”

“Jadi maksudmu kau ingin pergi mengejar?”

“Benar!” sahut Wi Lian In mengangguk.

“Baru saja kau bilang sendiri kemungkinan sekali saat ini Pocu

serta Cuo Locianpwe sudah meninggalkan jalan rahasia itu dan tidak

mungkin bisa kecandak, buat apa kau pergi mengejar?”

“Aku punya cara untuk mengejar Tia!”

“Cara apa?” tanya Ti Then heran.

“Sebentar lagi tentu kau orang akan tahu!”

Selesai berkata dia segera berlalu dari dalam kamar baca itu.

Shia Pek Tha yang melihat tindak tanduknya itu segera

mengerutkan alisnys.

“Dia tentu akan membawa anying sakti untuk mengejar jejak

Pocu, tetapi… bagaimana kita memperbolehkan dirinya

meninggalkan, benteng seorang diri?”

“Apa itu anying sakti?” tanya Ti Then lagi.

“Benteng kita mem punyai seekor anying srigala yang bisa

mengejar seorang, asalkan bisa mengambil barang dari Pocu kau

membiarkan dia menciumnya maka dia bisa mengejar diri Pocu tidak

perduli dia orang kemana pun.”

“Kiranya demikian, kalau begitu sangat bagus sekali!”

“Tidak, kita tidak boleh membiarkan dia pergi seorang diri!”

“Aku kira siapa pun tidak bisa menahan maksudnya ini” ujar Ti

Then sambil tertawa.

“Lalu apakah Ti Kiauwtauw mau pergi bersama-sama dirinya?”

“Tidak bisa jadi” seru Ti Then sambil gelengkan kepalanya. “Pocu

sudah memberi perintah agar siauwte tetap tinggal di dalam

Benteng, bilamana siauwte pergi dan di dalam Benteng terjadi

sesuatu urusan, bukankah siauwte akan kesalahan?”

“Bilamana musuh bisa menyerang kita, dsngan kekuatan dua

puluh orang mungkin masih bisa memberikan perlawanan, tentunya

hal ini harap Ti Kiauw-tauw berlega hati” ujar Shia Pek Tha dengan

cepat.

“Tidak salah” Nyeletuk Ki Tong Hong. “Apalagi tidak perduli

sudah terjadi urusan apa pun di dalam Benteng kita agaknya jauh

lebih penting untuk melindungi keselamatan dari nona Wi !”

“Tetapi siauw-te sendiri tidak bisa melanggar perintah dari Po-Cu

?” seru Ti Then Coba mempertahankan diri.

“Ti Kiauw-tauw bisa menjelaskan kepada Pocu, karena hendak

melindungi kesalamatan dari nona Wi terpaksa kau orang harus

meninggalkan benteng”

Melihat mereka berdua terus mendesak dirinya terpaksa Ti Then

mengangkat bahunya.

“Biarlah nanti siauwte coba-coba untuk menasehatinya kembali,

jikalau dia orang tetap kukuh mau mengejar terpaksa siauwte harus

mengawasinya”

Tidak selang berapa lama ternyata dugaan dari Shia Pek Tha

sedikit pun tidak salah, Wi Lian In dengan membawa seekor anying

yang amat besar berjalan masuk ke dalam kamar baca.

Anying raksasa itu mem punyai perawakan badan yang amat

besar dan kuat sekali, sepasang matanya memancarkan sinar yang

berkilauan, sepertinya mau menggigit semua orang yang

ditemuinya, keadaannya amat menakutkan sekali!

Dengan menuntun sang anying, Wi Lian In berjalan masuk ke

dalam kamar lalu mengambil keluar sepasang sepatu dari Wi Ci To

dan membiarkan anying itu membauinya, setelah itu barulah

ujarnya:

“Sepatu itu adalah sepatu milik ayahku, kau baiklah menciumnya

lalu kita pergi mengejar Tia, tahu tidak?”

Anying itu segera membaui sepasang sepatu dari Wi Ci To itu

lantas sambil menggonggong berlari mendekati lemari tersebut.

Ti Then segera tertawa.

“Nona Wi lebih baik jangan pergi!” ujarnya.

“Tidak bisa, tentunya kau tahu bukan kenapa aku harus pergi?”

Beberapa perkataan ini kecuali Ti Then serta Shia Pek Tha siapa

pun tidak paham apa arti dari perkataan itu, kiranya dia sudah

merasa kalau Cuo It Sian kemungkinan sekali adalah manusia

berkerudung hitam itu, karena dia takut ayahnya terjebak ke dalam

pancingannya, karena itu memaksa untuk pergi menyusul.

“Aku percaya ayahmu pasti tidak akan terjadi sesuatu urusan apa

pun, lebih baik kau tetap tinggal di dalam Benteng saja!” ujar Ti

Then dengan perlahan.

Wi Lian In tidak mau menggubris perkataan itu, dengan cepat dia

membuka lemari itu dan menarik sebuah pedang pada dasarnya,

begitu papan itu ditarik keluar maka segeralah terlihat sebuah mulut

jalan rahasia muncul di hadapannya.

Sambil menarik anying tersebut untuk memasuki ke dalam lemari

ujarnya kemudian:

“Ayoh Cian Li Yan masuk ke dalam..”

Kiranya anying itu bernama Cian Li Yan atau simata seribu li.

Si Cian Li Yan segera merangkak ke atas lemar dan menyusup

masuk ke dalam jalan rahasia itu sambil memperdengarkan suara

gongongannya yang amat ramai.

“Selamat tinggal!” seru Wi Lian In kemudian sambil melambaikan

tangannya kepada semua orang.

Selesai berkata dia pun melangkah masuk ke dalam jalan rahasia

tersebut.

“Nona Wi, tunggu sebentar!” teriak Shia Pek Tha mendadak.

Wi Lian In segera menoleh dan kirim satu senyuman kepada

semua orang.

“Siapa yang berani menghalangi diriku aku akan suruh Cian Li

Yan menggigitnya terlebih dulu” ujarnya.

“Tetapi jikalau ada orang yang mau ikut kau pergi ?” tanya Shia

Pek Tha sambil tertawa.

Wi Lian In dengan perlahan melirik sekejap kearah Ti Then lantas

dengan nada mengejek serunya :

“Siapa yang punya nyali untuk ikut aku pergi ?”

“Aku !” sahut Ti Then cepat.

“Bukankah kau orang mau menyaga Benteng?” Seru Wi Lian In

sambil mencibirkan bibirnya.

“Aku kira ayahmu tentu akan menganggap melindungi dirimu

jauh lebih penting daripada menyaga Benteng Pek Kiam Po ini.”

“Tapi aku tidak membutuhkan perlindungan dari orang lain”

Selesai berkata dengan cepat dia menerobos masuk ke dalam

jalan rahasia tersebut.

Ti Then pun dengan cepat mengikuti dari belakangnya, setelah

masuk ke dalam jalan rahasia itu dia orang segsra merasakan

keadaan di sana sangat gelap sekali sehingga tidak dapat melihat

bayangan Wi Lian In yang ada di depannya, dia orang menjadi

gugup.

“Nona Wi, kau dimana?” teriaknya dengan keras.

“Aku di sini!” sahut Wi Lian In dari tempat kurang lebih puluhan

kaki dalamnya.

Ti Then segera berjalan maju ke depan sembari berjalan ujarnya

lagi.

“Jalan rahasia ini sungguh gelap sekali, kenapa tidak memasang

lampu?”

“Jika kau orang takut gelap lebih baik jangan ikut” teriak Wi Lian

In sambil tertawa.

Mendadak Ti Then menghentikan langkahnya.

“Aku orang benar-benar takut tempat yang gelap, kalau begitu

kau pergilah sendiri!”

Baru saja dia selesai berkata tampaklah jalan rahasia itu sudah

diterangi oleh lampu yang memancarkan sinarnya dengan amat

terangnya.

Tampak Wi Lian In dengan membawa sebuah lampu lentera

berdiri kurang lebih dua kaki di dalam jalan rahasia itu, teriaknya

sambil tertawa geli.

“Jika kau orang tidak mau datang, lihat saja lain kali aku

menggubris dirimu atau tidak !”

Sambil tersenyum Ti Then segera maju mendekati dirinya.

Demikian mereka berdua segera melanjutkan perjalanannya

sambil berjalan berdampingan, mendadak terdengan Cian Li yan itu

anying yang ada di depan menyalak dengan amat kerasnya.

“Ada urusan apa?” tanya Ti Then dengan cepat.

“Di depan sana ada sebuah pintu batu, dia yang tidak bisa lewat

sudah tentu menyalak terus…” jawab Wi Lian In menerangkan.

Beberapa langkah kemudian ternyata tidak salah lagi, di depan

jalan rahasia itu terdapatlah sebuah pintu batu yang menghalangi

perjalanan selanjutnya, sedangkan itu anying “Cian Li Yan” berdiri

didekat pintu sambil menyalak tak henti-hentinya.

Wi Lian In segara maju ke depan membuka pintu batu itu dan

membiarkan “Cian Li Yan” si anying meneruskan perjalanannya ke

depan. ujarnya :

“Pintu batu itu sebetulnya tertutup rapat, sekarang ternyata

cuma dirapatkan saja, hal ini membuktikan kalau ayahku memang

benar-benar pernah melalui jalan rahasia ini”

“Apakah jalan rahasia ini tidak dipasangi alat rahasia ?”

“Tidak” sahut Wi Lian In dengan sambil gelengkan kepalanya. “Di

depan sana ada sebuah pintu besi yang bisa dibuka tutup secara

otomatis, setelah melewati pintu besi itu maka tempat yang di

depannya adalah gua alam”

ooOOoo

MEREKA berdua segera mengikuti jejak si anying” Cian Li Yan”

berjalan masuk ke dalam, kurang lebih setelah berjalan puluhan

langkah ternyata di dalam jalan rahasia itu kembali muncul sebuah

pintu besi yang menghalangi perjalanan mereka.

Wi Lian In segera mencekal gelang besi yang ada di atas pintu

dan memutarnya kekiri lantas kekanan, dengan perlahan pintu itu

terbuka lalu bergeser sendiri ke sebelah kanan. Ternyata sedikit

pun tidak salah di balik pintu itu merupakan sebuah gua alam yang

berliku amat panjangnya.

Setelah melalui pintu besi itu Wi Lian In segera memutar kembali

gelang baja yang ada di atas pintu tersebut sehingga pintu tersebut

bergeser kembali ke tempat semula, kemudian barulah bersamasama

dengan Ti Then melanjutkan kembali perjalanannya mengikuti

jejak anying “Cian Li Yan” yang sudah lari terlebih dulu di depan.

Tidak lama kemudian kedua orang beserta sang anying tersebut

telah berjalan keluar dari sebuah gua yang amat sempit dan muncul

di samping sebuah hutan lebat di belakang bukit Sian Ciang.

Tampak anying itu membaui lagi sekeliling tempat itu, kemudian

dengan disertai suara gonggongannya yang amat keras ia berlari

menyusup ke atas gunung.

Arah yang dituju ternyata adalah puncak gunung Go-bi ini untuk

mengadakan pertemuan dengan ayahku”

“Jikalau manusia berkerudung hitam itu adalah Cuo It Sian maka

tempat yang mmenurut dugaannya merupakan tempat yang paling

cocok untuk bertemu dengan ayahmu adalah di atas gunung Go-bi

ini.”

“Kau rasa manusia berkerudung hitam itu apa mungkin

sipembesar kota Cuo It Sian?” tanya Wi Lian In dengan ragu-ragu.

“Di dalam sepuluh bagian ada delapan tidak akan salah”

“lalu Tia bisa keluar Benteng bersama-sama dengan dirinya

dikarenakan kemauannya sendiri ataukah dipaksa olehnya?”

“Soal ini aku orang tidak bisa mengetahui jelas, kita harus

menunggu sesudah bertemu dengan mereka baru bisa mengetahui

keadaan yang sebenarnya.”

“Jika membicarakan di dalam soal ilmu silat Tia jauh lebih tinggi

tingkatannya daripada dirinya, tetapi saat ini dia sudah menguasai

Ih, Kha serta Pauw tiga orang, maka, …………Ehmmmm….kau rasa

ayahmu bisa menyerahkan barang itu kepadanya, karena menolong

orang lebih penting, dia orang tua tidak bisa melihat anak buahnya

dibunuh orang lain kecuali……”

“Kecuali bagaimana ?” tanya Wi Lian In cepat.

“Kecuali barang itu jauh lebih berharga dari pada nyawa dari Ih,

Kha, Pauw tiga orang, tetapi aku penrcaya di dalam dunia ini tidak

ada barang yang jauh lebih berharga dari pada nyawa manusia.”

“Benar !’ sahut Wi Lian In mengangguk. “Tetapi sifat ayahku

amat jujur sekali, selamanya dia tidak pernah mendapatkan tekanan

dari orang lain, jika permintaan dari pihak lawan sangat keterlaluan

atau mungkin dia orang juga lebih menegangkan setelah dia orang

menyerahkan barang yang diminta kepada pihak lawan, aku rasa

Tia tidak akan menyanggupi permintaannya itu.”

“Jikalau dikarenakan ayahmu tidak menyerahkan barang tersebut

sehingga menyebabkan Ih, Kha serta Pauw tiga orang menemui

kematian yang amat mengerikan aku kira ayahmu pasti akan

mengerahkan semua jago pedang yang ada untuk menyelesaikan

urusan ini dengan pihak mereka.”

“Semoga saja keadaan jangan sampai begitu jelek..” seru Wi Lian

In segera.

Berbicara sampai di sini mereka berdua tidak membuka mulut

kembali, dengan mengikuti anying tersebut mereka melanjutkan

perjalanan dengan berdiam diri, karena mereka berdua merasa

kalau larinya “Cian Li Yan” semakin lama semakin cepat, hal ini

membuktikan kalau “tujuan” mereka sudah tidak jauh lagi.

Setelah melewati hutan yang lebar dan melanjutkan perjalanan

kembali sejauh satu, dua li sampailah mereka di depan sebuah

tebing yang sangat curam sekali.

Cian Li Yan segera membaui tebing tersebut dan mendongakkan

kepalanya memandang ke atas tebing sambil menyalak tak hentihentinya.

Ti Then segera tahu kalau Wi Ci To serta Cuo It Sian tentunya

ada di atas tebing curam tersebut.

“Lian In cepat suruh dia jangan menyalak lagi ” teriaknya dengan

suara yang amat lirih.

Wi Lian In segera meloncat ke samping badan anyingnya.

“Sudah..sudahlah jangan menyalak lagi” serunya sambil mebelai

lehernya. “Kau baik-baiklah menunggu di tempat ini jangan

bergerak, tahu tidak?”

Cian Li Yan itu segera menggoyang-goyangkan ekornya dan

berbaring di bawah tebing tersebut tidak bergerak lagi.

Setelah itu Wi Lian In menggape kearah Ti Then memberi tanda

supaya bersama-sama melayang ke atas tebing, ujung kakinya

segera menutul permukaan tanah dan meluncur naik ke atas tebing

yang amat curam itu.

Tinggi tebing itu ada dua puluh kaki yang merupakan batu-batu

karang yang selapis demi selapis, karenanya mereka berdua yang

mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya hanya di dalam sekejap

saja sudah berhasil tiba di atas puncak tersebut.

Baru saja mereka berdua menginyakkan kakinya di atas puncak

tebing itu mendadak dari samping badannya terdengar suara

bentakan yang sangat keras sekali:

“Berhenti! kalian tidak diperkenankan datang kemari !”

Orang baru saja membentak itu bukan lain adalah si pembesar

kota Cuo It Sian.

Dia berdiri di atas tebing sebelah utara, di belakang badannya

masih ada empat orang, yaitu lelaki berkerudung hitam yang

perawakannya kurus kecil (sekali pandang saja Ti Then mau pun Wi

Lian In segera bisa mengenal kembali kalau orang itu adalah

manusia berkerudung yang berhasil meloloskan diri sewaktu ada di

perkam pungan Tay Peng cung), sedangkan ketiga orang lainnya

adalah Ih Kun, Kha Cay Hiong serta Pauw Kia Yen yang mereka

tawan.

Mereka tiga orang diikat di atas sebuah pohon Siong di samping

tebing yang amat curam, sepasang tangan mau pun kakinya terikat

dengan amat kuatnya sehingga tidak dapat bergerak sedikit pun.

Sedangkan Wi Ci To berdiri di hadapan Cuo It Sian berlima

kurang lebih delapan kski di depannya, waajahnya amat murung

sekali jelas dia orang sudah menemui kesulitan.

Dari pemandangan waktu itu jeias sekali memperlihatkan kalau

manusia berkerudung yang mereka cari selama ini bukan lain adalah

Sian Thay-ya atau si pembesar kota Cuo It Sian adanya !

-ooo0dw0ooo-

Jilid 27.1 : Barang yang diminta….potongan pedang

Jelas sekali orang yang mengadakan jual beli dengan Hu Pocu

untuk mencuri semacam barang milik Wi Ci To lalu membinasakan

diri Hong Mong Ling di atas gunung Kim Teng san dengan sambitan

batu bukan lain adalah perbuatan dari Cuo It Sian si pembesar kota

ini. Sekali pun di dalam hati Wi Lian In sudah punya dugaan kalau

manusia berkerudung itu adalah Cuo It Sian tetapi sekarang setelah

melihat dengan mata kepala sendiri kalau Cuo It Sian benar-benar

adalah manusia berkerudung itu tidak urung merasa terkejut

bercampur gusar juga, alisnya dikerutkan rapat-rapat.

“Cuo It Sian, kiranya benar kau adanya!” teriaknya dengan amat

gemas.

Cuo It Sian segera tertawa terbahak-bahak.

“Sedikit pun tidak salah !” sahutnya ketus, “Cama saja kalian

mengetahui hal ini sudah terlalu lambat”

“Hmm…! Aku rasa sedikit pun tidak lambat” seru Wi Lian In

sambil tertawa dingin.

Selesai berkata pergelangan tangan kanannya membalik dan

mencabut keluar pedang panjangnya lalu berjalan ke depan maju

mendesak kearah diri Cuo It Sian.

“In-ji, jangan sembarangan bergerak!” bentak Wi Ci To dengan

amat cepat.

Cuo It Sian segera mengundurkan satu langkah ke belakang dan

berdiri diantara Kha Cay Hiong serta Pauw Kian Yen telapak tangan

kanannya ditekan pada jantung Kha Cay Hiong sedang telapak nya

menekan dada dari Pauw Kia Yen.

“Benar..! Bagus sekali, ayoh maju satu langkah lagi !” serunya

sambil tertawa terbahak-bahak. “Lolap terpaksa main adu jiwa

dengan kalian !”

Si manusia berkerudung hitam yang badannya kecil kurus itu

pun segera melintangkan goloknya ke atas leher dari Ih Kun, dia

bersiap sedia asalkan Wi Lian In maju menyerang maka goloknya

akan segera ditabaskan ke atas kepala dari In Kun.

Wi Lian In yang melihat keadaan seperti ini terpaksa

menghentikan langkah kakinya.

“Kalian sungguh tidak berguna ! gentong nasi !” teriaknya

dengan amat gemas. “Hey bajingan tua ! terus terang saja aku

beritahu kepadamu, para pendekar pedang dari Pek Kiam Po kami

sudah mengepung tempat ini rapat-rapat, jikalau kau berani turun

tangan membinasakan ketiga orang itu maka kalian berdua jangan

harap pula bisa lolos dari kematian !”

Cuo It Sian sama sekali tidak menjadi jera ketika mendengar

ancaman tersebut, sekali lagi dia tertawa terbahak-bahak.

“Mati? haaa. . . , haaa. haaa. Lolap sama sekali tidak menaruh

rasa takut terhadapnya, sejak semula Lolap sudah mengambil

keputusan jikalau malam ini tujuanku tidak tercapai maka aku

segera akan adu jiwa dengan kalian l”

“Kenapa?

Air muka Cuo It Sian segera berubah menjadi amat keren.

“Kita tak perlu tahu!” serunya sambil mengejar kejam.

“Tia ! Sebetulnya dia orang minta barang apa?” Tanya Wi Lian In

sambil menoleh kearah ayahnya.

Wi Ci To tidak langsung memberikan jawabannya, lama sekali dia

termenung berpikir keras akhirnya baru jawabnya:

“Sebuah potongan pedang..”

“Hey orang she Wi, kau berani melanggar peraturan yang sudah

lolap tentukan” teriak Cuo It Sian dengan air muka yang berubah

sangat hebat.

Wi Ci To tertawa tawar.

“Aku orang she Wi cuma berbicara sampai di sini saja, apa

halangannya?” ujarnya dengan dingin.

“Asalkan kau orang berani berbicara sepatah kata lagi, Lolap

terpaksa akan adu jiwa dengan kalian!”

“Aku orang she Wi merasa perbuatan dari Cuo heng ini cuma

mendatangkan bencana buat dirimu sendiri !”

“Sebenarnya kau mau serahkan itu barang atau tidak?” teriak

Cuo It Sian dengan keras, napsu mulai menyelimuti wajahnya.

Wi Ci To dengan perlahan merogoh dan mengambil keluar

potongan pedang tersebut lalu tertawa.

“Sejak aku orang she Wi tahu kalau Cuo heng berhasil menawan

mereka bertiga, aku orang she Wi sudah mengetahui kalau aku

orang tidak bisa mempertahankan ptongan pedang ini lagi” ujarnya

perlahan. “Tetapi dapatkah kau orang menyambung kembali kedua

potongan pedang itu seperti sedia kala?”

Gagang pedang yang menghubungkan gagang dengan tubuh

pedang itu cuma ada enam tujuh cun saja panjangnya, pedangnya

pun amat kecil dan memancarkan sinar yang menyilaukan mata,

agaknya tidak salah lagi pedang itu merupakan satu pedang pusaka.

Cuo It Sian yang melihat Wi Ci To sudah mengambil keluar

potongan pedang itu air mukanya jelas kelihatan sangat terharu

sekali.

“Potongan yang sebelah lagi Lolap sama sekali tidak

membuangnya” ujarnya denga suara yang amat berat. “Maka itu

dapat mengembalikan seperti keasalnya atau tidak bukanlah urusan

yang penting..cepat kau lemparkan kemari!”

Dengan hati yang keberatan Wi Ci To mempermainkan potongan

pedang tersebut, agaknya dia pun merasa amat sayang untuk

melemparkan pedang tersebut kepadanya, ujarnya dengan

perlahan:

“Aku orang she Wi sudah menyimpan ptotongan pedang ini ada

tiga tahun lamanya, sekarang sebetulnya aku merasa amat sayang

sekali untuk diserahkan kepadamu…”

“Jikalau kau tetap menginginkan barang tersebut..hmmmm!

hmm! Jelas sekali keiga nyawa anak muridmu sukar untuk

dipertahankan lebih lama lagi!” ancam Cuo It Sian dengan

seramnya.

“Karena itulah aku orang she Wi harus tunduk kepala terhadap

pengaruh jahat untuk pertama kalinya” ujar Wi Ci To sambil

menghela napas panjang.

Dia berhenti sebentar, mendadak sinar matanya dengan amat

tajam sekali perhatikan diri Cuo It Sian, lantas tambahnya:

“Tetapi, anak murid dari aku orang she Wi sudah mengepung

puncak ini masa kalian percaya bisa meninggalkan tempat ini dalam

keadaan selamat ?”

“Lolap berdua percaya masih bisa menyingkir dari sini dalam

keadaan selamat”

“Kalian tetap akan membawa ketiga orang ini?” tanya Wi Ci To

lagi,

“Tidak, asalkan kau orang melemparkan potongan pedang itu

kepadaku, maka lolap segera akan melepaskan mereka bertiga,

perkataan yang aku sudah ucapkan selamanya tidak akan aku tarik

kembali !”

Wi Lian In yang melihat ayahnya sudah ada maksud untuk saling

bertukar barang dengan pihak lawan hatinya merasa sangat cemas

sekali, walau pun dia orang sama sekali tidak mengetahui seberapa

berharga potongan pedang itu tetapi dia tahu barang tersebut tentu

sangat berharga sekali.

“Tia, kau sungguh-sungguh mau bertukar syarat dengan dirinya

?” tak kuasa lagi dia bertanya.

“Benar….” sahut Wi Ci To mengangguk.

Dengan perlahan Wi Lian In menoleh ke arah Ti Then,

maksudnya dia mengharapkan Ti Then bisa mencarikan akal untuk

merebut kembali posisi mereka yang amat terdesak ini.

Ti Then segera gelengkan kepalanya dengan perlahan, agaknya

dia tidak punya kekuatan itu.

Karena tempat dimana dia berdiri sekarang ini ada sebelas, dua

belas kaki jauhnya dari Cuo It Sian berada, dia merasa dirinya tidak

punya kekuatan untuk mencegah Cuo It Sian jikalau dia orang mau

turun tangan membinasakan seseorang.

Cuo It Sian yang melihat kejadian ini dalam hati merasa amat

girang sekali, senyuman bangga segera menghiasi bibirnya.

“Wi pocu. kau masih tunggu apa lagi? ” tanyanya sambil tertawa

dingin.

“Baiklah, kau sambutlah !”

Selesai berkata dia segera ayunkan tangannya melemparkan

potingan pedang tersebut kepadanya.

Cuo It Sian dengan cepat menyambutnya, seperti baru saja

mendapatkan harta karun dengan cepat dia memasukan barang

tersebut ke dalam sakunya.

“Bagus , , , bagus sekali….” ujarnya sambil tertawa, “Pertukaran

kita kali ini sama sekali tidak merugikan siapa pun aku

mengharapkan kau bisa melupakan kejadian ini dan mengharapkan

pula agar persahabatan diantara kita masih terikat rapat, lain kali

jikalau ada kesempatan luang tentu aku akan pergi ke rumahmu

untuk main catur lagi.”

Berbicara sampai di sini dia segera kirim satu kerdipan mata

kepada manusia berkerudung hitam yang berperawakan kurus kecil

itu lantas bersama-sama mengundurkan diri ke belakang pohon.

Manusia berkerudung dengan perawakan yang kurus kecil itu

pun dengan gerakan yang amat cepat menyorenkan goloknya ke

atas pinggang lalu bersama-sama mengundurkan diri ke belakang

pohon.

Di dalam sekejap saja mereka berdua sudah mencekal sebuah

tali yang terikat di atas pohon itu lalu dengan cepatnya

bergantungan melayang ke atas puncak yang lain !

Kiranya sejak semula mereka sudah mempersiapkan cara-cara

untuk meloloskan diri dari sana, di atas sebuah pohon Siong yang

besar di puncak gunung sebelah depan mereka sudah mengikat

dua utas tali yang ujung sebelahnya lagi diikat pada puncak sebelah

sini, saat inilah dengan menggunakan tali itu mereka berkelebat

menuju ke puncak yang lain sehingga dengan demikian bisa jauh

meninggalkan kejaran dari Wi Ci To sekalian.

Wi Ci To, Ti Then mau pun Wi Lian In yang melihat mereka

berhenti melayang ke puncak seberang segera bersama-sama

menubruk ke depan.

Tetapi sewaktu tiba di samping badan Kha, pauw serta Ie tiga

orang, Cuo It Sian serta lelaki berkerudung hitam itu sudah

melayang sejauh lima kaki lebih, bahkan dengan amat cepatnya

sudah lenyap di tengah kegelapan malam.

Wi Lian ln jadi amat cemas sekali.

“Tia ! Biar putrimu yang melindungi ketiga suheng, kau dengan

Ti Kiauwtauw cepatlah melakukan pengejaran !” ujarnya cemas.

“Tidak perlu, kita tidak mungkin bisa menyandak dirinya, biarkan

saja mereka pergi ! ” ujar Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya.

“Tetapi potongan pedang itu. Bukankah Tia ingin merebutnya

kembali 7?”

Agaknya di dalam hati Wi Ci To mem punyai satu pikiran sendiri.

“Ehmmm . , . “ sahutnya. “Aku bisa dengan perlahan-lahan

mencarikan satu cara untuk merebutnya kembali.”

“Sekarang mereka belum pergi jauh jika Tia pergi mengejar

bersama-sama dengan Ti Kiauw-tauw kemungkinan sekali masih

bisa menyandak mereka !”

“Kau tidak tahu ” ujar Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya

kembali. “Jikalau aku sekarang pergi mengejar, di dalam keadaan

yang kepepet kemungkinan sekali dia akan menghancurkan

potongan pedang tersebut, dengan demikian…Haaii…sekarang

kalian lepaskanlah ikatan ketiga orang itu !”

Ti Then segera turun tangan melepaskan tali yang mengikat

badan Pouw Kia Yen, sedangkan Wi Lian In dengan menggunakan

pedangnya memutuskan tali yang mengikat tubuh Kha Cay Hiong

serta Ih Kun.

Agaknya mereka bertiga sudah tertotok jalan darahnya, karena

itu setelah talinya terlepas mereka masih berdiri di bawah pohon

dengan amat kakunya, sedikit pun tidak bisa bergerak.

“Apa kalian sudah tertotok jalan darah kaku serta bisunya ?”

tanya Wi Ci To kemudian.

Kha, Ih serta Pauw bersama-sama mengedip-ngedipkan

matanya, jelas dugaan dari Wi Ci To ini sama sekali tidak salah.

Wi Ci To dengan cepat turun tangan membebaskan jalan darah

dari mereka bertiga, lantas baru tanyanya:

“Bagaimana kalian bisa kena tawan oleh Cuo It Sian ?”

Dengan wajah amat menyesal Ih, Kha serta Pauw tiga orang

bungkukkan badan menjura.

“Sewaktu tecu sekalian mendengar suhu mau menemui janyi di

atas istana Thian Teh Kong maka tecu bermaksud untuk berangkat

ke sana memberi bantuan siapa tahu sewaktu sampai ditengah jalan

dan menginap disebuah rumah penginapan, mendadak di dalam

makanan kami sudah ditaruhi obat pemabok..”

Agaknya selama beberapa hari ditawan ini mereka bertiga sama

sekali tidak diberi makan, karena itu badannya terasa amat lemas

sekali sampai berbicarapa pun tidak bertenaga.

“Baiklah kalian duduklah untuk beristirahat,” perintah Wi Ci To

Kemudian.

Ih, Kha serta Pauw tiga orang segera-duduk di atas pohon,

terdengar Pauw Kia Yen melanjutkan kembali pembicaraannya.

“Tecu bertiga selama ini dikuasai oleh manusia berkerudung yang

kurus kecil itu sampai pada lima hari yang lalu mereka baru

memberi tecu sekalian sedikit makanan..”

“Kami tidak tahu kalau pemimpin mereka adalah Cuo It Sian itu si

pembesar kota” sambung Ih Kun kemudian, ” Sampai pai tadi suhu

datang bersama-sama dengan dia orang, kami baru paham

sebanarnyasudah terjadi urusan apa”

“Tia ! ” tiba-tiba Wi Lian In menimbrung. “Sebenarnya potongan

pedang itu mengandung rahasia apa?”

“Lohu tidak bisa menjelaskannya.”

“Kenapa tidak boleh dijelaskan?” Tanya Wi Lian In lagi dengan

nada kurang senang.

“Karena Lohu sudah menyanggupi dirinya untuk tidak

membocorkan rahasianya ini”

“Tia ! Kenapa kau orang begitu memegang janyi dengan manusia

semacam dia?” serunya cemberut.

“Tidak perlu dia orang bersifat bagaimana, kalau lohu sudah

menyanggupi maka di dalam urusan ini aku harus tetap pegang

janyi” ujar Wi Ci To dengan vvajah serius. “Itulah sifat dari Ioohu

yang lohu pegang teguh sejak dahulu.”

“Pocu baru malam ini tahu kalau lelaki berkerudung yang muncul

di istana Thian Teh Kong itu adalah dirinya, ataukah. . . , .”‘ tiba-tiba

Ti Then menimbrung.

“Sejak semula lohu sudah tahu !” potong Wi Ci To dengan cepat.

“Lalu kenapa sewaktu dia mertamu di Benteng, pocu tidak mau

turun tangan menawannya?”

“Kalau berguna sejak semula lohu sudah turun tangan” ujar Wi Ci

To sambil tertawa pahit.

“Kenapa tidak berguna?” Tanya Ti Then keheranan.

“Dia tidak takut mati, bukankah tadi terang-terangan kalian

dengar sendiri beberapa kali dia berkata mau mengadu jiwa?

Perkataan tersebut bukanlah cuma gertak sambal belaka.”

“Kenapa dia tidak takut mati?” tiba-tiba Wi Lian In nyeletuk.

“ln-ji, kau jangan berusaha mengorek sampai dasar kuali” seru

Wi Ci To sambil tertawa.

“Putrimu masih ada satu pertanyaan lagi, seharusnya Tia

menyawab dengan sejujur-jujurnya“

“Persoalan apa ? ”

“Dia. ..Cuo It Sian sebetulnya orang baik atau orang jahat ?”

“Orang baik !”

“Kalau begitu kenapa dia orang menggunakan cara yang begitu

rendah untuk merebut potongan pedang milik Tia?”

“Karena potongan pedang itu sebenarnya adalah barang

miliknya!”

Mendengar perkataan ini, Ti Then, Wi Lian In serta Ih, Kha, Pauw

tiga orang pada melengak semua.

“Apa?” tanyanya berbareng, “Potongan pedang itu miliknya?”

“Benar!” sahut Wi Ci To mengangguk.

Hal ini benar-benar merupakan satu urusan yang jauh berada

diluar dugaan mereka, kiranya potongan pedang itu adalah barang

milik Cuo It Sian.

Sebelum kejadian ini Ti Then sekalian selalu menganggap Cuo It

Sianlah yang sudah menggunakan cara yang paling kotor untuk

merebut barang milik Pocu mereka, siapa tahu urusan yang benar

malah ke balikannya, kiranya Cuo It Sian menggunakan cara-cara

rendah ini tidak lebih untuk merebut barang miliknya sendiri.

“Tia! Jadi maksudnya..kau…kau sudah merebut potongan

pedangnya?” tanya Wi Lian In dengan perasaan yang amat

terperanyat sekali.

Wi Ci To dengan perlahan gelengkan kepalanya.

“Lalu kenapa tidak dikembalikan kepadanya?”

“Pertanyaan ini Ioohu tidak bisa menyawabnya, karena setelah

menyawab pertanyaan ini berarti juga aku sudah membocorkan

rahasia tersebut!”

Dia berhenti sebentar, lalu dengan perlahan pada wajahnya

terlintaslah suatu senyuman yang amat dingin sekali, tambahnya:

“Walau pun potongan pedang itu adalah barang miiiknya tetapi

lohu tetap akan berusaha menggunakan akal untuk merebutnya

kembali !”

“Kenapa?” tanya Wi Lian In dengan terperanyat.

Dengan perlahan Wi Ci To gelengkan kepalanya.

“Aku tidak bisa memberitahukan kepadamu sekarang ini”

sahutnya perlahan.

Kepalanya didongakkan ke atas langit nan gelap, lantas dia

menarik napas panjang.

“Sudahlah, mari kita kembali ke dalam Benteng!”

Tua muda enam orang segera menuruni puncak gunung itu, di

tengah perjalanan sembari memperhatikan keadaan di sekeliling

tempat itu mendadak Wi Ci To tertawa geli.

“Eeeh In-ji!” serunya. “Bukankah kau bilang seluruh jago pedang

dari Benteng Pek Kiam Po sudah mengurung gunung ini rapatrapat?

Kiranya kau orang sedang berbohong!”

“Sebetulnya putrimu memang bermaksud untuk menakut-nakuti

diri mereka..” sahut Wi Lian In sambil tertawa tawar.

Wi Ci To kembali memimpin melakukan perjalanan lagi.

“Bukankah lohu sudah tinggalkan surat di dalam Benteng yang

memerintahkan kalian menyaga Benteng? Kenapa kalian mengejar

kemari?” ujarnya lagi. “Tentu kau yang memaksa Ti Kiauwtauw

untuk mengejar kemari bukan?”

“Benar…” seru Wi Lian In kurang senang.

Karena dia orang tidak berhasil memperoleh seluruh rahasia itu

karena di dalam hati merasa sangat tidak senang sekali.

Kembali Wi Ci To melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba sepertinya

saja teringat akan sesuatu urusan mendadak dia menghentikan

langkahnya.

“Oooh benar, kurang sedikit saja Lohu lupa memberitahu kepada

kalian..” ujarnya.

Ti Then sekalian pun pada menghentikan langkahnya.

“Pocu ada pesan apa?” tanyanya.

Dengan perlahan Wi Ci To putar badannya menghadap kearah

mereka, lalu dengan wajah yang amat serius dia pandangi mereka

denpan amat tajamnya.

“Peristiwa malam ini aku larang kalian membocorkannya keluar,

termasuk juga kepada para jago pedang yang ada di dalam

Benteng, mengerti!”

“Jikalau para saudara dari Benteng menanyai tecu, maka tecu

harus bagaimana memberikan penjelasannya?” tanya Kha Cay Hiong

kemudian.

“Katakan saja kalau tujuan dari orang berkerudung itu menculik

kalian sebetulnya mau merampas pedang yang lohu bawa ini dan

bermaksud menghina lohu, untung saja mendapatkan bantuan dari

diri Cuo It Sian sehingga akhirnya berhasil menolong kalian lolos

dari tawanannya, Sekarang Cuo It Sian sedang pergi mengejar lelaki

berkerudung hitam tersebut”

Mendengar perkataan itu dengan wajah yang amat tidak senang

Wi Lian In mencibirkan bibirnya,

“Tia tidak mau memberitahu rahasia tentang potongan pedang

itu masih tidak mengapa, kenapa sampai diculiknya jago pedang

kita oleh Cuo It Sian puni harus dirahasiakan ?”

“Tidak salah” seru Wi Ci To dengan suara yang amat berat.

“Urusan ini menyangkut suatu pergolakan yang amat hebat di

dalam Bu-lim, kalian janganlah membocorkan di tempat luaran”

“Jikalau pocu menggunakan alasan yang mengatakan manusia

berkerudung itu bertujuan untuk menghina diri pocu, seharusnya

kau orang tua pikirkan satu alasan yang lebih tepat lagi baru bisa”

sela Ti Then kemudian

“Alasan ? beritahukan saja ada kemungkinan dia orang

mempunyai rasa sakit hati dengan Lohu, selama hidupku lohu selalu

bertindak adil dan banyak menyalahi orang-orang dari kalangan

Hek-to, alasan ini sudah tentu bisa diterima, bukan ?”

“Ada satu hal yang kermungkinan sekali tidak bisa diterima !”

sambung Wi Lian In dengan cepat.

“Soal yang mana ?” tanya Wi Ci To sambil mengalihkan

pandangannya yang amat tajam ke atas wajahnya.

“Jika dia menculik pada jago kita dengan bertujuan untuk

menghina Tia, sudah seharusnya Tia tidak bisa melepaskan dirinya

dengan begitu saja, tetapi kini sebaliknya Tia malah bersama-sama

kita pulang ke dalam benteng, bukanlah hal ini sangat lucu sekali ?”

“Benar. . ., , benar, . .” seru Wi Ci To sambil tersenyum, “Kalau

begitu lohu tidak jadi pulang ke dalam Benteng bersama-sama

kalian ! ”

Mendengar perkataan itu kini malah Wi Lian In yang dibuat

tertegun.

“Jika Tia tidak ikut kami pulang, lalu…”

“Lohu sudah mengambil keputusan untuk pergi mengejar Cuo It

Sian dan berusaha untuk merebut kembali potongan pedang

tersebut !” potong Wi Ci To dengan cepat.

“Putrimu juga ingin pergi !”‘cepat seru Wi Lian ln.

“Tidak bisa jadi, jikalau kau ikut aku pergi mungkin malah bisa

menyulitkan pekerjaanku !”

Wi Lian In segera mencibirkan bibirnya.

“Sampai kapan putrimu baru tidak menyulitkan pekerjaan kau

orang tua?” serunya kurang senang. j

“Kali ini jikalau kau ingin ikut lohu maka kau orang tentu akan

menyulitkan urusan !”

Wi Lian In yang melihat perkataan dari ayahnya amat atos dan

keren sekali, di dalam hati segera paham kalau ayahnya sudah

mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya ikut, sekali

pun memohon juga tidak berguna terpaksa dia berdiam diri tidak

berbicara lagi.

“Ingat !” tiba-tiba Wi Ci To berbicara lagi dengan wajah yang

berubah amat keren. ” Kalian jangan sekali-kali membocorkan

rahasia tentang lelaki, berkudung hitam itu adalah diri Cuo It Sian,

siapa saja yang berani melanggar lohu segera usir dia dari

perguruan ! “.

Dalam hati Ih, Kha serta Pauw merasakan hatinya berdesir,

dengan cepat mereka pada menjura bersama-sama.

“Tecu turut perintah !”

“Kau pun sama juga” ujar Wi Ci To lagi sambil melototi diri Wi

Lian In. ” Asalkan kau berani membocorkan rahasia ini maka lohu

tidak akan menganggap kau sebagai putriku lagi ! ”

Agaknya Wi Lian In selamanya belum pernah mendengar

ayahnya berbicara dengan demikian seriusnya, sehingga dalam hati

dia rada merasa sedih.

“Baiklah, putrimu tidak akan memberitahukan kepada orang lain”

sahutnya sambil mengangguk.

Mendadak Wi Ci To menarik tangan Ti Then, ujarnya:

“Ti Kiauw-tauw, kau ikutilah Lohu ke samping untuk berbicara

sebentar, lohu ada urusan yang harus dipesankan kepadamu !”

Dengan menarik tangan Ti Then dia berjalan beberapa langkah

ke tempat kejauhan, setelah dirasanya jarak dengan putrinya serta

Ih, Kha serta Pauw tiga orang rada jauh dia baru berhenti,

“Ti Kiauw-tauw.” ujarnya dengan suara yang amat lirih, “Maukah

kau orang membantu lohu untuk mencuri kembali potongan pedang

tersebut ?”

“Hamba turut perinlah dari Pocu” sahut Ti Then cepat sambil

mengangguk kepalanya.

“Bagus sekali !” Teriak Wi Ci To kegirangan. “Setelah Cuo It Sian

berhasil merebut kembali potongan pedangnya kemungkinan sekali

dia akan menyembunyikan barang itu ke dalam rumahnya, ada

kemungkinan juga pergi memjari “Cu Kiam Lojin” atau siorang tua

pelebur pedang untuk menyambungkan pedang yang putus jadi dua

bagian itu … Ti Kiauw-tauw tahu bukan dengan Cu kiam Lojin ini ?”

“Tahu” sahut Ti Then sambil mengangangguk. “dia adalah ahli

lebur pedang yang paling terkenal dikolong langit pada saat ini,

menurut apa yang hamba dengar katanya dia bertempat tinggal di

atas gunung Tong Ting Cun san”

“Benar, si “Cu Kiam Lojin” ini bernama Kan It Hong, bukan saja

dia pandai membuat sebilah pedang bagus bahkan bisa pula

menyambung sebilah pedatng yang sudah patah menjadi dua

bagian sehingga tidak kelihatan sedikit bekasnya pun Lohu sangat

mengharapkan Ti Kiauw-tauw mau mewakili Ioohu untuk pergi ke

gunung Cun san satu kali, jikalau kau menemukan Cuo It Sian pun

ada di tempat itu dan sedang membetulkan pedangnya maka

usahakanlah untuk mencuri potongan pedang itu kembali.”

“Baiklah.”

“Urusan ini sangat penting sekali” pesan Wi Ci To lagi dengan

nada sungguh-sungguh. “Kau boleh berangkat meninggalkan

Benteng pada besok hari secara diam-diam, janganlah sampai

membiarkan In-ji mengetahuinya.”

“Baik!”

“Kau boleh menanti selama tiga bulan lamanya di atas gunung

Cun san setelah lewat tiga bulan kemudian jikalau tidak melihat Cuo

It Sian pergi ke sana juga kau kembali ke dalam Benteng untuk

membuat laporan.”

“Tetapi, jikalau tidak berhasil mencuri bolehkah aku pergi

merampas?” tanya Ti Then kemudian.

”Tidak, harus dicuri bahkan jangan sampai ditemui kalau kaulah

yang melakukan pekerjaan tersebut.”

Mendengar perkataan itu Ti Then segera tertawa.

“Bilamana Boanpwe tidak berhasil mencuri barang tersebut Pocu

jangan marah lho… karena boanpwe belum pernah melakukan

pekerjaan seperti ini,”

Wi Ci To pun tertawa.

“Lohu memerintahkan Ti Kiauw-tauw untuk berlaku sebagai

pencjuri dalam hati sebetulnya Ioohu merasa tidak enak, tetapi Ti

Kiauw-tauw boleh melakukan tugas tersebut dengan hati yang

tenang, karena pekerjaan ini sama sekali bukanlah suatu pekerjaan

yang jahat, semua alasan serta sebab-sebabnya lohu tentu akan

menjelaskan kepadamu dikemudian hari.”

“Baiklah, boanpwe percaya potongan pedang dari Pocu ini pasti

mem punyai kegunaan yang sungguh-sungguh”

Jilid 27.2 : Menguntit Cuo It Sian ke gunung Cun san

Wi Ci To tidak berbicara lagi, dengan memegang tangan Ti Then

dia berjalan kembali ke hadapan Ih, Kha, Pauw serta putrinya.

“Sudahlah, kalian boleh pulang, ke dalam Benteng !” ujarnya

kemudian.

Pada wajah Wi Lian In segera diliputi oleh kecurigaan yang

menebal, dengan pandangan yang aneh dia memperhatikan

ayahnya serta diri Ti Then, lalu ujarnya.

“Tia ! kau orang tua apa mau mengejar Cuo It Sian ?”

“Tidak salah ! ” sahut Wi Ci To sambil mengangguk, “Lohu

kemungkinan sekali langsung pergi kerumahnya di kota Tiong Cing

Hu maka itu kemungkinan sekali tidak bisa langsung pulang ke

rumah, kalian harus baik-baik tinggal di dalam Benteng sebelum

lohu pulang ke dalam Benteng kalian dilarang berkeliaran sendiri di

luaran, tahu tidak ?”

“Tetapi jikalau Tia menemui hal yang ada di luar dugaan, putrimu

bagaimana bisa mengetahuinya?”

“Di dalam tiga bulan jikalau Tia belum pulang ke Benteng juga,

saat itulah baru boleh meninggalkan Benteng untuk mencari Lohu.”

Selesai berkata tubuhnya segera meloncat ke depan, bagaikan

segulung asap hitam hanya di dalam sekejap saja sudah berada di

tempat yang jauh sekali.

Wi Lian In dengan pandangan tajam memperhatikan bayangan

ayahnya hingga lenyap dari pandangan, lantas dengan cepat

tanyanya kepada diri Ti Then:

“Tadi ayahku membicarakan soal apa dengan kau ? ”

“Tidak tahu !”

Sepasang mata Wi Lian In segera melotot lebar-lebar.

“Kau barani tidak beritahu kepadaku ?” serunya manya.

“Jikalau boleh membiarkan kau tahu, ayahmu pun tidak perlu

memberitahukan hal itu secara diam-diam”

Agaknnya Wi Lian In dibuat bertambah kheki, dengan cepat dia

berhenti berjalan.

“Sekarang ayahku sudah tidak ada di sini, bukankah tidak ada

halangannya kau memberitahukan urusan tersebut kepadaku ?”

“Aku sebagai Kiauw-tauw dari benteng Pek Kiam po bagaimana

boleh memberitahukan tugas rahasia yang diperintahkan oleh

ayahmu ? maukah kau orang jangan nembuat aku jadi serba susah

?”

Wi Lian In sekali lagi menjejakkan kakinya ke atas tanah lalu

berjalan lagi dengan cepat.

Ti Then, Ih Kun, Kha Cay Hiong serta Pauw Kia Yen pun dengan

membawa serta si anying Ciaa Ii Yen mengikuti di belakangnya

berjalan kembali ke dalam Benteng.

Setelah berjalan beberapa saat kemudian mendadak Wi Lian In

menghentikan langkahnya kembali, terdengar dengan seorang diri

dia bergumam:

“Kenapa potongan pedang itu bisa miliknya Cuo It Sian? Kalau

memangnya barang milik Cuo It Sian kenapa dia tidak mau minta

kembali barang itu secara terbuka ?”

Ti Then yang ada di belakangnya sewaktu melihat mulutnya

berkemak kemik seorang diri segera tertawa geli.

“Eeei kau jangan berpikir sembarangan ,” serunya.

Wi Lian In tetap seperti orang gendeng . . .

“Tia adalah seorang yang jujur, kenapa dia mau merampas

barang milik orang lain?”

”Ayahmu bisa menguasahi barangnya Cuo It Sian sudah tentu

ada alasan yang kuat, kau janganlah dikarenakan urusan ini lantas

menaruh rasa curiga terhadap perbuatan ayahmu.”

“Tetapi aku merasa Tia rada sedikit aneh , . . . ” seru Wi Lian ln

lagi ragu-ragu.

“Apakah sebab-sebabnya dilain hari tentu ayahmu bisa memberi

penjelasan dengan sendirinya.”

” Lalu kenapa tidak dijelaskan sekarang saja ?”

“Ayahmu tidak mau memberi penjelasan pada saat ini sudah

tentu ada alas an-alasa tertentu”

“Masih ada lagi” ujar Wi Lian In lagi dengan perlahan ” Tadi

terang-terangan ayah bilang tidak mau pergi mengejar Cuo It Sian,

tetapi seteIah aku bilang tidak seharusnya dia kembali ke Benteng

kenapa secara mendadak pula dia mau pergi mengejar diri Cuo It

Sian, dia . . apakah dia sungguh-sungguh pergi mengejar diri Cuo It

Sian ?”

“Sudah tentu sungguh-sungguh, kali ini ayahmu sudah bersiap

sedia pergi ke kota Tiong Cing Hu untuk mencari diri Cuo It Sian.”

Dengan perlahan Wi Lian In menghela napas panjang lalu

melanjutkan kembali perjalanannya ke depan.

Lima orang dengan cepatnya sudah tiba di dalam Benteng,

mereka segera dirubung oleh para jago untuk memanyakan

pengalamannya, Ti Then serta Wi Lian In pun segera menceritakan

kisahnya waktu mereka bisa dikibuli.

Setelah semuanya selesai masing-masing baru kembali ke dalam

kamarnya untuk beristirahat.

Ti Then yang kembali kembali ke kamarnya segera menyulut

lampu minyak dan mengetuk tiga kali ke depan jendela, setelah itu

baru naik ke atas pembaringan untuk beristirahat.

Dia bersiap-siap hendak mencerirakan perintah dari Wi Ci To

yang menyuruh dia pergi mencuri potongan pedang itu kepada

majikan patung emas, karena perjalanannnya kali ini harus

memakan waktu selama tiga bulan lamanya, sewaktu dirinya

kembali dari gunung Cun san maka boleh dihitung dia sudah jadi

patung emas selama tujuh bulan lamanya, saat itu jaraknya dengan

” Kontrakan waktu ” sudah tinggal lima bulan lagi, terhadap dia

majikan patung emas boleh dikata kepulangan tiga bulan ini

merupakan satu “kerugian ” yang amat besar sekali, kemungkinan

sekali karena urusan ini maka “rencana busuk” nya tidak bisa

mencapai kesuksesan, maka itu dia harus memberikan

penjelasannya.

Sudah tentu terhadap tugas yang diberikan Wis Ci To kali ini dia

merasa sangat girang sekali, karena hal ini merupakan satu

kesempatan yang paling baik buat dirinya untuk mengundurkan

waktu berakhirnya perjanyian ini. Maka dia mengambil keputusan

sekali pun perjalanannya kali ini menuju ke gunung Cun san bisa

memperoleh hasil dengan amat lancar, dia pun baru akan kembali

ke dalam Benteng setelah tiga bulan lamanya.

Sewaktu dia tertidur sampai tengah malam, ternyata patung

emas dari majikan patung emas itu muncul juga dari atas atap

rumah.

“Ti Then !'” terdengar majikan patung emas dengan

mengerahkan ilmu untuk menyampaikan suaranya memanggil

dirinya..

“Cepat kau ceritakan kisahmu sewaktu pergi menolong Ih, Kha

serta Pauw tiga orang !”

“Aku mengundang kau datang kemari memangnya hendak

memberitahukan urusan ini kepadamu..”

“Kalau begitu cepatlah berbicara !”

“Ternyata Cuo It Sian itu si pembesar kota adalah manusia

berkerudung itu !”

“Sejak semula sudah ada di dalam dugaanku !”

“Pada malam tadi'” ujar Ti Then kemudian, “Dia mengajak Wi Ci

To main catur di dalam kamar bacanya, akhirnya mendadak mereka

lenyap secara bersamaan,

Nona Wi segera memastikan kalau mereka keluar melalui sebuah

jalan rahasia yang ada di dalam kamar baca itu, lantas dengan

membawa seekor anying sakti Cian Li Yen mengikuti mereka”

“Jalan rahasia itu menembus sampai dimana ?” tanya majikan

patung emas ingin tahu.

“Di dalam sebuah goa di belakang tebing “Sian Ciang, aku

bersama-sama dengan nona Wi sesudah keluar dari goa itu dengan

mengikuti anying sakti tersebut lantas melakukan pengejaran terus

yang akhirnya sampailah disebuah tebing yang amat curam, di atas

tebing curam itu terdapat sebuah puncak yang agak luas, kami

segera naik ke atas puncak itu, terlihatlah Cuo It Sian dengan

seorang lelaki berkerudung yang kurus kering sedang naenguasahi

Ih, Kha serta Pauw tiga orang, kiranya barang yang diminta oleh

Cuo It Sian adalah sebuah potongan pedang, itulah bukan lain

sebuah gagang pedang yang amat pendek sekali, kalihatannya amat

berharga sekali . . . . ”

“Eeeei . , .- , kiranya potongan pedang itu yang dicari, lalu Wi Ci

To apa menyerahkan kepadanya ?” tanya majikan patung emas

lebih lanjut.

”Sudah diberikan. !'”

“Hmmmm , . . . orang she Cuo itu sungguh lihay sekali !”

“Setelah dia berhasil memperoleh potongan pedang itu bersamasama

dengan si lelaki berkerudung yang kurus kecil meninggalkan

tempat itu, sesaat sebelum pergi dia masih mengundang Wi Ci To

untuk pergi main catur di rumahnya !”

“Sungguh berarti sekali. lalu Wi Ci To mengadakan pengejaran

tidak ?”

“Tidak segera pergi mengejar ” jawab Ti Then. ” Dia menyuruh

kami jangan membocorkan rahasia dari Cuo It Sian ini terlebih

dahulu kemudian memberi perintah juga kepadaku, setelah itu baru

.pergi mengejar”

“Kau di perintahkan untuk berbuat apa ?” tanya majikan patung

emas lebih lanjut.

“Soal ini nanti sada aku baru memberitahukan padamu, sekarang

aku mau membicarakan soal potongan pedang itu terlebih dulu, . .

sungguh mengherankan sekali . … kiranya potongan pedang itu

sebetulnya adalah barang milik Cuo It Sian, sungguh lucu tidak ?”

“Ehmm, . . memang aneh sekali . . .”

“Aku sungguh tidak mengerti, kalau memangnya potongan

pedang itu adalah milik Cuo It Sian sendiri kenapa dia tidak minta

kembali secara terus terang saja ? sebaliknya menggunakan caracara

yang begitu rendah untuk turun tangan ? sedangkan Wi Ci To

pun merupakan seorang dari kalangan lurus yang biasanya

bertindak jujur dan pendekar, kali ini dia sudah manginginkan

barang milik orang lain ? bahkan mengusahakan juga mau merebut

kembali potongan pedang itu ?”

“Benar!” seru majikan patung emas itu memperdengarkan suara

keheranannya juga. “Urusan ini memang benar-benar membuat

orang kebingungan, apa mungkin potongan pedang itu sudah

mengandung suatu rahasia yang amat penting?”

“Pastilah begitu !” teriak T i Then membenarkan. “Bahkan rahasia

itu pastilah mem punyai hubungannya dengan mereka berdua

sehingga terjadilah suatu perebutan yang tidak terbuka, yang satu

ingin merebut yang lain ingin mempertahankan terus”

“Tidak salah, , : .tidak salah..”

“Tetapi” ujar Ti Then lagi: “Tidak perduli rahasia itu mem punyai

sangkut paut dengan urusan apa pun, menurut pandanganku maka

Wi Ci To berada didalarn kedudukan lurus sedangkan Cuo It Sian

berada di dalam kedudukan jahat”

“Ehmmm, , , apa benar ?” seru majikan patung emas dengan

suara yang tidak yakin.

“Benar!” sahut Ti Then mengangguk.

“Karena untuk mendapatkan potongan pedang itu Cuo It Sian

ternyata tidak jeri-jerinya membunuh dan mencelakai orang lain,

bahkan masih ingin bekerja sama

dengan si rase bumi Bun Jin cu, pekerjaannya ini tidak sesuai

dengan sifat asli seorang pendekar sejati !”

“Lalu kau kira bagaimana dengan cara yang aku lakukan saat

ini?”.

“Tindakanmu rada kalem tidak seperti Cuo It Sian yang amat

ganas dan kejam tetapi … jika dikatakan lihay juga tidak cukup

lihay!”

“Apa maksudmu ?” tanya majikan patung emas sambil tertawa.

“Karena kau minta aku kawin dulu dengan nona Wi. hal ini sedikit

keterlaluan “.

“Aku membantu kau mendapatkan seorang istri yang amat cantik

dan genit dan membantu Wi Lian In mencarikan seorang suami

yang tampan bahkan membantu Wi Ci To mencarikan seorang

menantu yang amat bagus sekali, apanya lagi yang jelek ?”

“Jikalau kau orang tidak bertujuan, hal itu memang amat bagus

sekali ! ” seru Ti Then dengan cepat,

“Sudah. . . . sudahlah. . . . kau jangan omong kosong lagi ! ”

potong majikan patung emas kemudian. ” Tadi kau bilang Wi Ci To

sudah perintahkan dirimu untuk melakukan satu tugas sebetulnya

tugas apa itu ?”

“Dia minta aku pergi mencuri kembali potongan pedang tersebut”

“Bukankah dia sudah pergi sendiri?”

“Dia punya rencana pergi merebut barang itu di rumahnya Cuo

It Sian, tetapi dia pun merasa ada kemungkinan Cuo It Sian pergi

ke atas gunung Cun-san untuk mencari Ciu Kiam Lojin untuk bantu

dia menyambungkan kembali pedangnya yang sudah patah jadi dua

bagian itu, karenanya sudah perintahkan diriku untuk meminyam

kesempatan tersebut mencurinya kembali..”

“Hmmm !” dengus majikan patung emas itu dengan cepat. “Jarak

dari sini menuju ke gunung Cun san selama tiga bulan lamanya,

jikalau waktu itu tidak melihat juga Cuo It Sian pergi mencari Ciu

Kiam Lojin maka tiga bulan kemudian akan baru boleh pulang ke

dalam Benteng.”

Mendengar berita itu agaknya majikan patung emas dibuat

cemas sekali.

“Maknya … dengan begitu bukankah perkawinanmu dengan Wi

Lian In juga harus diundurkan paling cepat tiga bulaa lagi “

teriaknya dengan gemas.

“Aku tahu pekerjaan ini sangat menggangu sekali terhadap

rencana yang kau susun tetapi coba kau pikir dapatkah aku

menolaknya ?”

oooOOooo

“Sudah tentu kau tidak bisa menolaknya . . . persoalannya

sekarang. . . , setelah lewat tiga bulan kemudian berarti di dalam

satu tahun sudah tinggal lima bulan saja, jikalau diantara waktu itu

timbul kembali persoalan bukankah tujuanku jadi berantakan ?”

“Bilamana tujuanmu sampai berantakan, hee. . . hee, . .

bukanlah kesalahanku” sahut Ti Then cepat.

“Hmm! jikalau rencanaku gagal maka orang yang paling gembira

tentunya kau kan ?” seru majikan patung emas dengan dingin,

“Mana. . . . mana. .”

Dengan dinginnya majikan patung emas bertanya kembali.

“Kenapa Wi Ci To memerintahkan kau berjaga selama tiga bulan

lamanya baru boleh pulang kembali ?”

“Alasannya mudah sekali, dia sudah mengambil keputusan untuk

merebut kembali potongan pedang tersebut.”

“Hmm ! Hmm ! sungguh kurang ajar sekali..” teriak si majikan

patung emas dengan teramat gusar.

“Dia bahkan memerintahkan aku untuk meninggalkan Benteng

secara diam-diam dan jangan sampai membiarkan nona Wi, karena

alasannya dia orang takut sampai putrinya terjatuh kembali ke

tangan Cuo It Sian, makanya aku mem punyai rencana untuk

meninggalkan Benteng secara diam-diam besok pagi, entah kau

orang punya perintah lain tidak ?”

Lama sekali majikan patung emas berpikir keras, akhirnya dia

menyawab :

“Setelah kau orang berhasil mendapatkan potongan pedang itu

kau harus cepat-cepat kembali ke dalam Benteng, aku larang kau

berkeliaran lebih lama lagi di tempat luaran !”

“Hal ini sudah tentu !”

“Aku sudah mengambil keputusan untuk secara diam-diam

mengirim orang untuk mengawasi seluruh gerak gerikmu, jikalau

aku mengetahui kalau kau belum pulang juga walau pun potongan

pedang itu sudah kau dapatkan. . . .hmmm. , . ,hmmm. . .! aku

segera bunuh dirimu!”

“Kau punya hak untuk berbuat begitu?’serunya membantah.

“Rencana yang sudah aku susun harus mencapai hasil, lain waktu

setelah kau

kembali ke dalam benteng jikalau di dalam satu bulan Wi Ci To

belum juga menyiarkan berita perkawinan putrinya dengan dirimu,

maka waktu itu terpaksa aku melakukan perintahku yang kedua!”

“Perintahmu yang kedua ini adalah. . . . .” tanya Ti Then.

“Aku perintah kau orang cepat mengawini diri Wi Lian In !”

Ti Then segera merasakan hatinya tergetar amat keras dia

tertawa pahit.

“Jikalau kau demikian adanya memungkinan sekali urusan malah

jadi kacau tidak karuan!” serunya.

“Tidak mungkin ! sewaktu Wi Ci To tahu kau dengan putrinya

sudah melakukan hubungan gelap maka satu-satunya cara buat dia

orang dia. , . , .adalah, . . mengawinkan dirimu secepatnya !”

“Dia mungkin akan turun tangan membunuh diriku.”

“Tidak mungkin !”

Ti Then segara termenung tanpa mengucapkan sepatah kata

pun

Dengan perlahan majikan patung emas menarik kembali patung

emasnya ke atas, tambahnya :

“Kau harus ingat, aku bisa mengirim orang secara diam-diam

mengawasi seluruh gerak gerikmu, sewaktu kau berhasil

mendapatkan potongan pedang itu dan tidak kembali juga, tanpa

banyak rewel lagi aku segera akan turun tangan membinasakan

dirimu !”:

Selesai berkata dia segera menarik seluruh patung emasnya ke

atas atap dan menutup kembali atapnya lalu pergi.

Dengan mandongakkan kepalanya ke atas atap Ti Then diamdiam

merasa geli pikirnya:

“Untung saja kau tidak melarang aku pergi. . . :”

Dia mengira asalkan dia orang tidak terlalu keburu untuk pergi

mencuri potongan pedang dari Cuo It Sian itu maka dia masih mem

punyai waktu yang banyak untuk berkeliaran selama tiga bulan

ditempat luaran, karena itu terhadap gentakan dari majikan patung

emas dia sama sekali tidak merasa murung,

Keesokan harinya, baru saja dia selesai bersantap pagi tampaklah

pelayan perempuan Cun Lan sudah menghadap datang.

“Ti Kiauw tauw !” ujarnya sambil menjura, “Siocia mengundang

kau untuk berbicara di dalam kebun bunga”

“Baik, beritahu kepadanya sebentar lagi aku akan ke sana.”

Cun Lan segera menyahut dan meninggalkan tempat itu.

Sekembalinya ke dalam kamar Ti Then segera membereskan

pakaiannya secara diam-diam dan diletakkan di dalam kamar,

setelah itu dia pergi mencari Shia Pek Thad an ujarnya kepadanya:

“Shia heng, siauwte sudah mendapatkan perintah dari Pocu

untuk melakukan suatu tugas, setelah aku meninggalkan Benteng

maka semua urusan di sini kaulah yang mengurus”

“Pocu suruh Ti Kiauwtauw melakukan pekerjaan apa?” Tanya

Shia Pek Tha keheranan.

“Maaf, pocu sudah pesan wanti-wanti kepada siauwte untuk

jangan memberitahukan urusan ini kepada orang lain, harap Shia

heng suka memaafkan.”

Dengan perlahan Shia Pek Tha mengangguk.

“Apa nona Wi juga ikut pergi?” ujarnya.

“Dia tidak pergi. Pocu minta siauwte pergi seorang diri saja.”

“Kalau memang begitu lebih baik Ti Kiauwtauw pergi secara

sembunyi-sembunyi saja jangan sampai membiarkan dia orang

tahu.”

“Benar !” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Baru saja dia

perintahkan Cun Lan untuk datang mengajak siauwte ngobrol di

kebun bunga, nanti tolong secara diam-diam Shia-heng bawa kuda

Ang San Khek itu keluar, dan tunggu aku di pintu Benteng setelah

siauw-te bercakap cakap beberapa patah kata dengan diirinya

siauwte segera mau berangkat ”

“Baiklah, kepergian dari Ti Kiauw-tauw kali ini entah

membutuhkan waktu seberapa lama ?”

“Tidak tentu, paling cepat satu, dua bulan, paling lambat yaa tiga

empat bulan”

“Urusan yang hendak Ti Kiauw-tauw kerjakan kemungkinan

sekali ada hubungannya dengan manusia berkerudung hitam

bukan?”.

Ti Then segera tertawa,.

“Maaf, siauw-te tidak bisa naemberitahu..”

“Baiklah “ ujar Shia Pek Tha pula sambil tertawa. “Aku pergi

mempersiapkan kuda buat Ti Kiauw-tauw “.

Selesai berkata dia segera berjalan menuju ke kandang kuda.

Ti Then yang berjalan ke kebun bunga segera tampaklah olehnya

Wi Lian In sedang duduk seorang diri di tepi bunga teratai, agaknya

dia sedang memikirkan sesuatu.

Dengan perlahan dia duduk di samping badannya lantas

bertanya:

“Ada urusan apa ?”

Wi,Lian In segara memutuskan sebatang ranting pohon Liauw

dan dikoyakan ke dalam air kolam:

“Perkataan yang Tia ucapkan kemarin malam kepadamu tentunya

kau mau memberitahukan kepadaku bukan ?” ujarnya dengan

perlahan.

“Sebelum aku menyawab pertanyaanmu ini, aku mau

menanyakan satu urusan dulu kepadamu . . „ , kau .suka tidak kalau

aku menghormat ayahmu ?”

“Baik.. ., baik, . . . kau tidak mau bicara yaa sudahlah ! buat apa

kau orang mengambil perkataan yang tidak berat untuk menekan

aku ?” seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.

Ti Then segera tersenyum.

“Kau adalah putri ayahmu, seharusnya kau orang lebih percaya

dan lebih menghormati ayahmu sendiri daripada aku “.

“Bukannya aku tidak percaya atau tidak menghormati ayahku,

aku cuma ingin tahu apa yang dia orang tua bicarakan dengan

dirimu “.

“Kemarin malam kan aku sudah bilang, jikalau ayahmu

memperbolehkan kau tahu kenapa harus berbicara secara pribadi

dengan aku orang.”

Dengan sedihnya Wi Lian In menghela napas panjang.

“Aku tahu ayahku adalah seorang yang baik” ujarnya. “Tetapi

terhadap urusan yang menyangkut diri Cuo It Sian ini setelah

berpikir semalaman aku tetap tidak mengerti, aku tidak tahu kenapa

ayah ngotot mau mendapatkan kembali potongan pedang milik Cuo

It Sian itu ? sedangkan Cuo It Sian sendiri pun kenapa tidak mau

meminta langsung kepada ayahku secara terbuka ?”

“Tentang urusan ini ayahmu tidak pernah memberitahukan

kepadaku, sehingga aku sendiri pun tidak tahui”

“Apakah ayahku meminta kau orang membantu dirinya untuk

melakukan satu urusan?” tanya Wi Lian la kemudian sambil melototi

dirinya.

“Bukan !” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

Mendadak Wi Lian In tersenyum.

“Sungguh-sungguh bukan ?” tanyanya.

“Sungguh !” sahut Ti Then dengan serius.

“Ini hari kau ingin berbuat apa ?”

“Tidak ingin berbuat apa-apa, cuma sada sat ini aku ada satu

urusan yang harus diselesaikan secepatnya , , ”

“Urusan apa?” tanya Wi Lian In cepat.

Ti Then sengaja memperlihatkan wajah kemalu-maluan lalu

tertawa.

“Aku ingin pergi mengentengkan badan sebentar ! bilamana kau

tidak merasa kelamaan, tunggulah sebentar. . . . nanti kiia

ngomong-ngomomg lagi.”

Mendengar perkataan itu air muka Wi Lian In segera berubah

memerah dengan malunya dia cemberut.

“Hmmm ! membosankan, sana. , sana. , . . “ serunya.

Ti Then segera bangkit berdiri dan ujarnya lagi sambil tertawa:

“Kau harus tunggu aku di sini, menanti aku kembali lagi ke sini

dan membicarakan. suatu urusan yang penting kepadamu”

Selesai berkata dengan gaya ada urusan genting dia berlari

keluar dari kebun bunga itu.

Sekembalinya dari dalam kamar dengan membawa buntalan dan

pedangnya dia segera berlari menuju kepintu Benteng.

Mendekati pintu benteng dia bertemu dengan Ki Tong Hong itu si

pendekar pedang merah, dia yang melihat Ti Then membawa

buntalan dan gerak geriknya tergesa-gesa segera maju bertanya :

“Ti Kiauw-tauw kau mau kemana ?”

“Ada urusan mau pergi ke kota sebentar..”

“Apa bukan melakukan perjalanan jauh?” Tanya Ki Tong Hong

sambil tertawa menyengir.

“Bukan..”

“Kalau begitu kenapa harus membawa buntalan?” desak Ki Tong

Hong lebih lanjut.

Untuk sesaat Ti Then tidak ada perkataan untuk menyawab, “Kau

orang boleh pergi bertanya dengan Shia-heng !”

Sehabis berkata dia segera merangkap tangannya memberi

hormat lalu keluar dari pintu Benteng.

Shia Pek Tha sejak semula sudah menanti diluar Benteng dengan

menuntun kuda Ang Shan Khek itu, melihat Ti Then berlari

mendatang dia segera datang menyongsong dan memberikan tali

les kudanya kepada dia orang.

Ti Then segera menerima tali les dan meloncat naik ke atas

punggung kudanya. Di tengah suara bentakannya yang amat

nyaring dia melarikan kudanya turun gunung.

Dia tahu jikalau Wi Lian In mendengar kalau dirinya

meninggalkan Benteng dia tentu akan mengejarnya, karena itu

selama perjalanan dia terus melarikan kudanya dengan amat cepat

sekali.

Hanya di dalam sepertanak nasi kemudian dia sudah menuruni

pegunungan Go-bi dan berlari di jalaa raya yang datar.

Setelah itu dia melarikan kudanya pula menuju ke arah timur.

Selama di tengah perjalanan tidak menemui kejadian apa-apa,

pada siang hari ketujuh dia sudah memasuki daerah Oh Kiang dan

menaiki gunung dari Bu Leng san.

Pemandangan disepanjang jalan amat indah sekali, akhirnya dia

memperlambat lari kudanya untuk melanjutkan perjalanan dengan

perlahan-lahan, dia orang benar-benar dibuat mabok oleh

keindahan alam sekitar tempat tersebut.

Dia berjalan . . – berjalan terus, tidak terasa lagi hari sudah

menjadi gelap.

Pandangan yang terlihat di hadapannya cumalah lereng-lereng

gunung terjal ini saling sambung menyambung, tak terasa lagi

gumamnya seorang diri :

“Aaaa . . . celaka, ini kemungkinan sekali aku harus menginap

ditempat terbuka.”

Baru saja dia selesai bergumam, mendadak dari samping hutan

ditengah gunung berjalanlah keluar seorang tukang pencari kayu

yang usianya masih sangat muda sekali.

Pemuda itu mem punyai perawakan yang tinggi kekar dan sangat

berotot, wajahnya tampan dengan pada ikat pinggangnya tersoren

sebilah kampak pendek, pundaknya memikul satu pikulan kayu

bakar sedangkan langkahnya amat mantap sekali, jelas dia

merupakan orang yang pernah belajar ilmu silat.

Jilid 27.3 : Cian Pit Yuan membalas dendam

Ti Then yang melihat wajah pemuda sangat menarik rasa

simpatik segera menyelimuti dirinya, dia berjalan ke samping badan

pemuda itu lantas menjura: “Lo-te maaf mengganggu !”

Pemuda itu segera menghentikan langkah kakinya, dia

mengangguk sebagai balasan menghormat,

“Aaah.. Lo-heng tentu orang yang sedang melakukan perjalanan

bukan ?”

“Benar . . benar, tolong tanya dari tempat ini menuju kekota

yang terdekat masih ada seberapa jauh ?”.

“Lo-heng mau pergi kemana ?”

“Kesebelah sana!” sahut Ti Then segera sembari menuding

kearah Utara.

“Tempat itu menuju kekota Ih Hong, kalau menunggang kuda

paling cepat juga ada setengah hari perjalanan !”

“Iiih. . . kalau begitu sesampainya di kota tersebut sudah tengah

malam buta?” teriak Ti Then amat terkejut.

“Benar, bilamana Lo-heng tidak menampik. silahkan menginap

satu malam di rumah gubukku?”

“Lote tinggal digunung ini?”

“Benar, tidak jauh dari sini.”

“Tidak mengganggu?”

“Apa ganggu mengganggu, di rumah gubukku cuma siauw-te

seorang saja” sahut pemuda sambil tertawa,

Ti Then jadi keheranan. “Oooh. . Lote tinggal di atas gunung

seorang diri ?”

“Benar !” jawab pemuda itu sambiI menganggukkan kepalanya.

“Setelah orang tuaku mati satu-satunya ciciku juga kawin, sekarang

dirumahku cuma tinggal aku seorang diri saja.”

“Lalu Lote menggantungkan pencari kayu sebagai penghidupan

sehari-hari ?” tanya Ti Then lagi.

“Benar!” sekali lagi pemuda itu mengangguk. “Ada kalanya aku

berburu adakalanya pula aku mencari kayu di hutan.”

“Lalu siapa namamu?”

“Aku she Kwek bernama Kwek Kwan San, lalu kau ?”

“Aku adalah Ti Then!”

Pemuda Kwek Kwan San itu segera tersenyum ramah, ujarnya:

“Bagaimana Ti-heng? kau orang jadi bermalam dirumahku tidak?”

“Baik?” Sahut Ti Then dengan amat girang, Malam ini terpaksa

aku orang mengganggu satu malam !”

Agaknya Kwek Kwan San itu pun menaruh rasa simpatik

terhadap diri Ti Then, mendengar dia menyanggupinya hatinya

terasa amat girang sekali.

“Kalau begitu silahkan Ti-heng mengikut diri siauw-te !”

Sehabis berkata dia berjalan terlebih dahulu mengikuti jalan

gunung tersebut.

Ti Then pun turun dari kuda dan mengikuti dari sampingnya,

setelah berbelok-belok di jalan pegunungan yang agak lebar kini

mereka berbelok ke dalam sebuah jalan usus kambing yang amat

sempit sekali.

Setelah melalui lagi beberapa ratus langkah tampaklah tidak jauh

dari mereka sekarang berada berdirilah sebuah rumah gubuk.

“Itukah ramahmu ?” tanyanya segera.

“Benar !” jawab Kwek Kwan San mengangguk. “Rumahku jeiek

harap jangan dibuat geguyon”

“Mana . . . mana , . . Lo-te tinggal di sini seorang diri apakah

tidak terlalu kesepian ?” tanya Ti Then gugup.

“Dahulu aku memang rada kesepian tetapi sekarang sudah tidak,

karena baru-baru ini Siauw-te sudah mengangkat seorang suhu, dia

orang tua sekarang berdiam bersama-sama dengan siauw-te !”

“Oooh . . . kiranya begitu! laiu siapa, kah sebutan dari suhumu ?”

tanya riThtE kemudian

“Sebutan suhuku amat aneh sekuli, dia dipanggil sebagai Sang

Sim Lojin atau si kakek tua berduka hati, sedangkan siapakah nama

yang sesungguhnya selama ini dia orang tua tidak pernah mau

memberitahukannya kepada siauw-te . , ,”

“Sang Sim Lojin ?” tanya Ti Then terperanyat.

“Benar. Sang Sim Lojin !”

“Kenapa dia orang berduka ?”

“Entahlah..” sahut Kwek Kwan san sambil gelengkan kepalanya.

“Dia sekarang ada di dalam rumah?”

“Ada, suhuku jarang sekali keluar pintu”

“Jika dilihat dari langka lo-te yang begitu mantap sudah tentu

kepandaian silatnya amat hebat, kenapa kau orang masih

menggantungkan pencarian kayu bakar sebagai biaya hidup ?”

“Mana . : . . mana . . . “ ujar Kwek Kwan San sambil tertawa

malu. “Siauw-te cuma berhasil mempelajari sedikit permainan kaki

saja, jika dibandingkan dengan orang lain masih terpaut sangat jauh

sekali”

Sewaktu mereka bercakap-cakap itulah tanpa terasa sudah tiba

di depan rumah gubuk itu. Kwek Kwan San segera meletakkan kayu

bakar yang dipikulnya tadi ke atas tanah lantas berjalan masuk ke

dalam rumah.

“Suhu . . suhu . . . “ teriaknya keras “Kita sudah kedatangan

seorang tetamu.”

Tetapi sewaktu dia berjalan masuk ke dalam rumah tidak terasa

lagi air mukanya rada sedikit tertegun.

“Iih . suhu, dia orang tua sudah pergi ke mana ?” jeritannya

kaget.

Ti Then pun ikut berjalan masuk ke dalam, ternyata di dalam

ruangan itu memang benar-benar kosong melompong dan sama

sekali tidak kelihatan jejak dari “Sang Sim Lojin” itu, lantas ujarnya :

“Kemungkinan sekali suhumu sudah keluar dari rumah.”

Pada wajali Kwek Kwan San segera terlintaslah satu perubahan

yang amat aneh lantas dengan perlahan mengangguk.

“Benar …. Ti heng silahkan duduk biarlah siauw-te pergi

mencarinya sebentar”

Selesai berkata dia segera putar badan dan berjalan keluar.

Ti Then pun segera duduk di atas ruangan tersebut, matanya

dengan perlahan menyapu sekejap keseluruh dinding ditempat itu,

ketika dilihatnya di atas dinding sudah tergantung sebilah pedang

panjang dengan sarung yang amat kuno sekali dalam hati diamdiam

berpikir:

“Oooh . . . kiranya si Sang Sim Lojin ini pun merupakan seorang

jagoan pedang entah bagaimana kepandaiannya di dalam

permainan pedang ? dan mengapa mem punyai sebutan sebagai

Sang Sim Lojin?”

Sewaktu pikirannya berputar dengan keras itulah terdengar Kwek

Kwan yang ada diluar sedang berteriak keras:

“Suhu …. suhu . . . kau ada dimana ?” Suara teriakannya

semakin lama semakin perlahan dan semakin lama semakin kecil

agaknya dia sudah berada di tempat yang amat jauh sekali.

Kurang lebih seperempat jam kemudian tampaklah Kwek Kwan

San dengan wajah yang amat sedih sekali berjalan masuk kembali

ke dalam rumah, alisnya dikerutkan rapat-rapat.

“Aneh sekali, entah suhu dia orang tua sudah pergi ke mana ?”

“Apa suhumu jarang keluar?”

“Benar!” jawab Kwek Kwan San mengangguk. “Selama beberapa

bulan ini setiap kali siauw-te pulang dari mencari kayu dia pasti

menunggu di dalam rumah, entah mengapa ini hari sudah keluar

rumah….. haaaai..entah dia orang sudah pergi kemana ?”

“Jikalau mau pergi ke tempat kejauhan seharusnya dia orang tua

meninggalkan surat sebagai pemberitahuan”

“Benar … sungguh aneh sekali ..” Seru Kwek Kwan San

keheranan tidak ada habisnya.

“Apa mungkin sudah menemui peristiwa lain ?”

“Jikalau sudah terjadi urusan, dengan kepandaian silat yang

dimiliki oleh suhu dia orang tua seharusnya bisa menghadapi

dengan mudah, kepandaian silat dari dia orang tua amat hebat

sekali”

” Pedang itu apakah milik suhumu ?” tanya Ti Then kemudian

sambil menuding kearah pedang yang tergantung di atas dinding

itu.

“Tidak salah!” sahut Kwek Kwan San mengangguk.

“Kalau begitu” ujar Ti Then lagi, “Dapatkah suhumu pergi ke

sekitar tempat ini untuk berjalan-jalan? Bilamana sudah terjadi

peristiwa yang diluar dugaan pedang itu tidak seharusnya masih

tergantung di atas dinding.”

Mendengar penjelasan dari Ti Then itu dengan perlahan perasaan

murung yang menyelimuti wajahnya mulai luntur.

“Perkataan dari Ti heng sedikit pun tidak salah” sahutnya rada

girang, “Silahkan kau tunggu sebentar, biar siuwte masuk ke dalam

untuk mempersiapkan makanan”

Selesai berkata dia berjalan masuk ke dalam rumah.

Tidak lama kemudian nasi panas dengan beberapa macam sayur

asin sudah dihidangkan di atas meja.

Kwek Kwan San kembali berjalan keluar dari rumah untuk

menengok, lalu dengan keheran-heranan ujarnya :

“Sungguh aneh sekali, bagaimana dia orang belum kembali

juga?”

“Coba tunggu sebentar lagi”

Kwek Kwan San segera kembali ke dalam rumah.

“Tidak, mari kita makan dulu” ujarnya kemudian.

Dia mempersilahkan Ti Then duduk dan mengambilkan dua

mangkuk nasi yang satu diangsurkan kepada Ti Then dan yang lain

buat dia sendiri, lantas bersama-sama bersantap.

Sembari makan tanya Ti Then lagi:

“Lo-te tahun ini umur berapa?”

“Delapan belas.”

“Kau punya maksud untuk selamanya menggantungkan

pencarian kayu baker untuk biaya hidup?”

“Tidak, lain kali setelah kepandaian silatku berhasil aku latih

hingga mencapai pada taraf yang tinggi siauwte punya rencana

untuk jadi Piauw-su, aku dengar jadi piauwsu paling mudah mencari

uang, bukan begitu?”

“Benar, tetapi juga sangat berbahaya sekali ” sahut Ti Then

sambil mengangguk.

“Guruku pernah bilang, asalkan siauw-te mau berlatih selama

tiga tahun lamanya maka dia tanggung siauw-te bisa jadi jagoan

nomor satu, saat itu untuk jadi piauw-su bukanlah satu soal yang

sulit ”

“Jadi piauwsu bukan saja harus mem punyai kepandaian silat

yang amat tinggi bahkan pengalamannya pun harus amat luas

sekali ”

“Aku tahu ” sahut Kwek Kwan San mengangguk, “Aku beleh

menyabat sebagai pengawal rendahan terlebih dulu. ooohh yaa, Tiheng

bekerja apa ?”

“Cayhe menyabat sebagai Kiauw-tauw dari Benteng Pek Kiam Po”

Agaknya Kwek Kwan San belum pernah mendengar nama dari

Benteng Pek Kiam Po ini, mendengar perkataan tersebut dia jadi

tertegun.

“Apa itu Benteng Pek Kiam Po?” tanyanya.

“Benteng Pek Kiam Po adalah satu aliran di dalam Bu-lim yang

cukup besar pengaruhnya, markas besarnya ada di gunung Go-bi,

apakah suhumu belum pernah membicarakan soal Pek Kiam Po ini

kepadamu ?”

“Tidak!” sahut Kwek Kwan San sambil gelengkan kepalanya.

“Suhu kecuali setiap hari memberi pelajaran ilmu silat kepada siauwte,

apapan tidak pernah dibicarakan.”

“Di dalam Bu-lim pada saat ini setiap jago yang pernah terjunkan

diri ke kalangan kang-ouw pasti akan tahu kalau di atas gunung Gobi

ada sebuah Benteng Pek Kiam po, suhumu tidak pernah

mengungkatnya kepada mu mungkin dikarenakan perhatiannya

cuma dipusatkan pada pemberian pelajaran ilmu silat.”

“Apakah orang-orang dari Benteng Pek Kiam Po pun berlatih

ilmu pedang semua?” tanya Kwek Kwan San lagi.

“Benar !”

“Siapakah Pocunya ?”

“Si pedang naga emas Wi Ci To.”

“Apakah ilmu pedangnya sangat tinggi sekali?”

“Dia mem punyai nama harum sebagai Bu Lim Cit Ji Kauw-jin

atau jagoan nomor dua dari seluruh Bu-lim,”

Agaknya Kwek Kwan San menaruh perhatian khusus terhadap

urusan ini, desaknya lebih lanjut:

“Lalu siapakah si jagoan nomor wahid di dalam seluruh Bu-lim

saat ini ?”

“Si kakek pemalas Kay Kong Beng, tetapi dia bukan orang

benteng Pek Kiam Po kami, dia berdiam di puncak gunung Kim Teng

San “

“Ilmu pedang dari suhuku di dalam pandangan siauw-te amat

dahsyat dan liehay sekali, entah dapatlah kepandaian silatnya

dibandingkan dengan si kakek pemalas Kay Kong Beng serta pocu

dari Benteng Pek Kiam Po tidak ? ”

“Cayhe belum pernah melihat ilmu pedang dari suhumu,

sehingga sukar buatku untuk menyawab pertanyaan ini ”

“Ada satu hari suhu pernah mendemontrasikan permainan

pedangnya buat siauw-te lihat, dia menancapkan tiga batang bambu

ke atas tanah lantas di dalam satu kali babatan saja sudah berhasil

menebas putus ketiga batang bambu tersebut, tetapi bambu yang

cuma diberdirikan itu sama sekali tidak rubuh”

“Kalau begitu kepandaian ilmu pedang dari suhumu memang

sangat dahsyat sekali ” seru Ti Then tertarik.

“Jika dibandingkan dengan si kakek pemalas Kay Kong Beng

serta Pocu dari Ti-heng rasanya bagaimana?”

“Hmmmm..mungkin hampir sama”

“llmu pedang dari Ti-heng tentunya sangat lihay bukan?”

“Mana. . mana. , ,” ujar Ti Then sambil tersenyum, “Cayhe masih

terpaut jauh”

“Tadi Ti-heng bilang kau menyabat sebagai apa di dalam Benteng

Pek Kiam Po?”

“Cong Kiauw-tauw.”

“Apa yang dimaksud dengan Kiauw-tauw itu ?” tanya Kwek Kwan

San lagi

“Kedudukan Kiauw-tauw ada di bawah Pocu seorang dan

bertugas untuk memberi pelajaran ilmu silat kepada seluruh jagoan

pedang yang ada di dalam Benteng.”

Mendengar penjelasan itu Kwek Kwan San jadi terperanyat

“Jagoan pedang yang ada di dalara Benteng Pek Kiam Po apakah

usianya sederajat dengan usia dari Ti-heng ?” tanyanya lagi.

“Tidak, jagoan pedang di dalam Benteng Pek Kiam Po yang

berusia sekecil cayhe cuma ada beberapa orang saja “

“Lalu bagaimana Ti-heng bisa menyabat sebagai Kiauw-tauw dari

para jago di dalam Benteng Pek Kiam Po” tanya Kwek Kwan San lagi

sambil berseru keheran-heranan.

“Hal ini dikarenakan , . , Ehmm, pertanyaan dari Lo-te ini

sungguh-sungguh membuat cayhe sukar untuk memberi jawaban..”

“Ooooh sekarang aku paham sudah tentu ilmu pedang dari Ti

heng jauh melebihi kepandaian silat dari para jago pedang lainnya

sehingga diangkat sebagai Kiauw-tauw, bukan begitu ?”

Ti Then sambil tertawa segera mengangguk.

Kwek Kwan San jadi amat girang sekali, serunya:

“Dapatkah Ti-heng memperlihatkan sedikit kepandaian untuk

siauwte lihat?”

“Haa..haa..siauwte tidak berani memperlihatkan kejelekanku di

hadapan kalian!” serunya dengan cepat sambil gelengkan kepalanya

cepat.

“Ti-heng kenapa sungkan?” ujar Kwek Kwan san dengan terburuburu.

“Siauw-te cuma ingin mengetahui bagaimana taraf kepandaian

silat yang aku miliki sekarang ini jika dilihat dari kepandaian yang Tiheng

miliki. Siauw-te sejak belajar ilmu pedang dari suhuku dia

orang tua sampai saat ini belum pernah mengetahui bagaimana

hasil dari latihanku itu jikalau Ti heng mau sedikit

memperlihatkannya maka Siauw-te segera akan tahu seberapa

tinggi kepandaian yang aku miliki.”

“Tapi…jikalau sampai suhumu pulang dan menemuinya bukankah

terlalu tidak baik . . . ,” ujar Ti Then kembali berusaha menampik.

”Suhuku kemungkinan sekali ada urusan pergi ke kota, aku rasa

dia orang tua tidak mungkin bisa kembali dengan cepat,”

“Kalau begitu setelah selesai makan bilamana suhumu belum

kembali juga, cayhe akan memperlihatkan sedikit kejelekan.”

akhirnya Ti Then mengabulkan.

Kwek Kwan San jadi amat girang sekali.

“Bagus sekali, mari kita cepat makan !”

Selesai berkata dengan lahapnya dia menghabiskan nasinya.

Tidak lama kemudian mereka berdua sudah kenyang benarbenar.

Kwek Kwan San tidak sempat membereskan mangkok

sumpitnya segera dia memohon lagi kepada diri Ti Then :

“Ti-heng bagaimana kalau mendemonstrasikan sekarang saja !”

“Baik, mari kita keluar rumah.”

Mereka berdua segera jalan keluar dari rumah gubuk itu, Ti Then

memungut tiga batang bambu dan diletakkan di atas tanah lalu

mencabut keluar pedang panjangnya, dia tertawa. “Cayhe pun mau

jajal mengayunkan cara seperti suhumu, jikalau jelek Ioo-te jangan

tertawa Iho. .”

“Tidak mungkin, tidak mungkin. Ti-heng silahkan bermain” seru

Kwek Kwan San dengan cepat.

Ti Then segera pusatkan pikirannya, lantas kakinya maju satu

langkah ke depan, pedang yang ada di tangannya dengan cepai

bagaikan sambaran kilat dibabat ke depan.

…Sreeeet. ….. ditengah bekelebatnya sinar pedang yang

menyilaukan mata pedangnya sudah dimasukkan kembali ke dalam

sarungnya.

Sedang ketiga batang bambu itu pun masih tetap berdiri tidak

bergerak dari tempatnya, dengan lurus bamboo-bambu tersebut

masih berdiri di atas tanah.

Sepasang mata dari Kwek Kwan San terbelalak lebar-lebar

melototi ketiga bambu tersebut, beberapa saat kemudian dia baru

berjalan mendekati bambu tersebut menyenggolnya dengan

perlahan.

Ketiga batang bambu tersebut segera putus dan jatuh

berantakan di atas tanah, air mukanya segera berubah, dia merasa

terkejut bercampur kagum sehingga tidak terasa lagi menarik napas

panjang-panjang. “Oooh. . . . Ilmu pedang dari Ti-heng ternyata

seimbang dengan ilmu pedang dari suhuku, kau orang bagaimana

bisa berhasil melatih sehingga demikian hebatnya?”

Ti Then cuma tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun,

dia tidak ingin memberitahu kalau dirinya bisa mematahkan lima

batang bambu sekaligus, karena dia tidak ingin menghilangkan

kepercayaan seorang murid terhadap suhunya.

Lama sekali Kwek Kwan San mematung melongo kearahnya,

lantas dengan ragu-ragu serunya:

“Kau. . , usiamu masih muda, bagaimana kau orang berhasil

melatih ilmu pedangmu sehingga demikian tingginya ?”

“Cayhe berlatih ilmu pedang sejak berumur lima enam tahun

sehingga dengan demikian bisa memperoleh kesuksesan seperti ini,

tetapi jikalau membicarakan tenaga dalam mungkin Cayhe masih

kalah jika dibandingkan dengan suhumu”

Dengan amat kagumnya Kwek Kwan San memperhatikan dirinya

terus menerus ujarnya kemudian:

“Siauw-te baru belajar ilmu pedang beberapa bulan saja, entah

sampai kapan baru bisa berhasil mencapai seperti apa yang dimiliki

Ti-heng saat ini ?”

“Bakat lo-te amat bagus sedang pikirannya pun amat tajam

sekali, asalkan mau berlatih dengan giat lima tahun kemudian

pastilah kau orang bisa berhail mencapai taraf seperti ini”

“Tetapi.. “ bantah Kwek Kwan San.lagi. ” Lima tahun kemudian

sewaktu siauwte berhasil mencapai pada taraf seperti Ti-heng saat

ini, maka pada waktu itu kedahsyatan dari ilmu silat Ti-heng entah

sudah menanyak seperti apa ?”

Ti Then segera tertawa geli,

“Lo–te kau tidak boleh berpikir demikian ” ujarnya keras, “Ada

pepatah yang mengatakan satu gunung, lebih tinggi dari gunung

yang lain, ditengah yang hebat pasti ada yang jauh lebih hebat,

cayhe cuma bisa begini saja dapat dihitung seberapa tingginya?”

Agaknya Kwek Kwan San rada kikuk juga oleh perkataannya tadi,

dia tertawa malu dan ujarnya :

” Benar. siauw-te tidak seharusnya menginginkan diriku jauh

lebih tinggi dari orang lain”

Ti Then segera memungut kembali ketiga batang bambu itu dan

dilempar ke tempat kejauhan.

“Nanti sewaktu suhumu pulang lebih baik Lo-te jangan

mengungkat-ungkat soal ini, mau bukan ? ” ujarnya.

“Ti heng takut kalau suhuku mencari kau orang untuk diajak

bertanding ?”

“Benar !” jawab Ti Then tertawa, “Suhumu adalah seorang

locianpwe dari Bu-lim, cayhe seharusnya menaruh hormat

kepadanya “.

Suhu dia orang tua jadi orang memang amat baik sekali,

bilamana dia tahu kalau ilmu pedang Ti-heng amat tinggi sekali, dia

orang tua pasti akan ikut merasa bergirang hati “.

“Suhumu mem punyai julukan sebagai si kakek tua bersedih hati,

tentunya pada masa yang lalu sudah menemui suatu pengalaman

pahit yang mendukakan hati-nya. . . ” ujar Ti Then tiba-tiba.

“Ada satu kali, dia pernah beritahu kepada siauw-te. katanya di

dalam Bu-lim dia mem punyai dendam dengan seorang jagoan

berkepandaian tinggi, cuma saja dia tidak pernah memberitahukan

siapakah nama si jagoan berkepandaian tinggi itu?”

“Suhumu mem punyai rencana hendak membalas dendam?”

tanya Ti Then.

“Agaknya memang begitu, karena di samping dia orang tua

menurunkan ilmu silat kepadaku dia pun setiap hari berlatih dengan

rajinnya”

Mereka berdua sembari bercakap-cakap sembari berjalan kembali

ke dalam rumah, Kwek Kwan San segera membereskan mangkok

sumpit dan dari dalam dapur membawa keluar sepoci teh panas.

Dia mengambil secawan buat Ti Then lalu mengambil pula

secawan buat dirinya sendiri, ujarnya lagi :

“Ilmu pedang dari Ti-heng belajar dari siapa ?”

“Cayhe pernah mengangkat seorang suhu yang mem punyai

julukan sebagai Bu Beng Lojin “.

” Bu Beng Lojin ?” tanya Kwek Kwan San keheranan.

“Benar ” sahut Ti Then sambil meneguk air tehnya satu tegukan.

“Suhuku sama dengan suhumu, dia pun mem punyai satu

pengalaman di masa lampau yang amat menyedihkan hatinya…”

Baru saja dia berbicara sampai kata-kata yang terakhir mendadak

terlihatlah olehnya tubuh Kwek Kwan San bergoyang tidak hentihentinya

seperti seorang lagi kemabokan terhuyung-huyung dan

sempoyongan tidak karuan.

Tidak terasa lagi di dalam hati Ti Then merasa sangat

terperanyat.

“Iiih… Lo-te kau kenapa?” tanyanya.

“Heran..kepalaku..oh. . .kepalaku.” seru Kwek Kwan San sambil

memegang kepalanya sendiri dan mengerutkan alisnya rapat-rapat.

Perkataannya belum selesai diucapkan mendadak cawan yang

ada ditangannya terjatuh ke atas tanah sedang tubuhnya pun ikut

rubuh ke atas tanah, . . .secara tiba-tiba dan sangat aneh sekali dia

jatuh tidak sadarkan diri lagi.

Ti Then yang melihat kejadian itu menjadi sangat terperanyat

sekali, dengan cepat dia meletakkan cawan air tehnya ke atas meja

lalu berjongkok ke samping badan Kwek Kwan San dan

membimbingnya bangun.

“Hey Lo-te.. Lo-te.. kau kenapa ?'” teriaknya.

Pada saat itulah mendadak dia pun merasakan kepalanya sangat

pening sekali, dalam hati dia merasa sangat terperanyat, pikirnya:

“Celaka. . .! pasti ada orang yang memasukkan obat pemabok ke

dalam air the ini !”

Dengan cepat dia meletakkan badan Kwek Kwan San ke atas

tanah dan berusaha bangkit berdiri, tetapi pada saat itulah

kepalanya terasa semakin pening sehingga membuat matanya

berkunang-kunang tubuhnya terhuyung-huyung dengan

sempoyongan akhirnya tidak kuasa lagi rubuh ke atas tanah dan

jatuh tidak sadarkan diri.

Baru saja dia jatuh tidak sadarkan di ri ke atas tanah, dari pintu

rumah gubuk itu tampaklah berkelebatnya sesosok bayangan

manusia diikuti munculnya seorang manusia aneh.

Orang aneh ini berusia kurang lebih enam puluh tuhunan,

tubuhnya sedengan sedang rambutnya awut-awutan dan amat kotor

dengan kepala yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang,

ditambah lagi dengan sepasang matanya yang memancarkan sinar

yang amat tajam sekali membuat orang yang melihat dirinya seperti

juga me lihat mayat hidup yang baru saja bangkit dari dalam

kuburan.

Siapakah orang itu ?

Bukan lain, dialah, si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan

adanya ! Si pendekar aneh dari Bu-lim yang telinga kanannya

berhasil dipapas putus oleh Wi Ci To pada masa yang lalu dan

terpapas lagi telinga kirinya oleh Ti Then pada beberapa bulan yang

lalu ternyata sudah munculkan dirinya di depan rumah gubuk di

atas.gunung Bu Leng san ini.

Begitu tubuhnya berjalan masuk ke dalam rumah, matanya

dengan amat tajam melirik sekejap ke atas badan Ti Then yang

menggeletak di atas tanah lalu memperdengarkan suara tertawanya

yang amat dingin sekali, setelah itu dari dalam sakunya dia

mengambil keluar sebotol obat dan mengambil keluar sebutir untuk

kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya Kwek Kwan San.

Tidak selang lama kemudian Kwek Kwan San sadar kembali dari

pingsannya.

Dengan perlahan sepasang matanya dipentangkan, sewaktu dia

bisa melihat jelas orang yang ada di hadapannya bukan lain adalah

si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan dengan amat

girangnya dia segera meloncat bangun.

“Suhu” teriaknya. ” Kau sudah pulang ?”

Tetapi sebentar kemudian dia sudah melihat tubuh Ti Then yang

rubuh tidak sa¬darkan diri di atas tanah serta cawan air teh yang

berserakan di atas meja, seketika itu juga dia teringat kembali

dengan kejadian yang baru saja berlangsung itu, teriaknya.

“Aduuuh … bagaimana bisa jadi ? Tadi tecu dengan Ti-heng ini –

. “

“Bukankah sudah jatuh tidak sadarkan diri ?” Potong .si pendekar

pedang tangan kiri Cian Pit Yuan sambil tertawa.

“Benar “ teriak Kwek Kwan San dengan sangat terperanyat.”

Tecu mendadak merasakan kepalaku pening dan berputar amat

cepat lalu jatuh tidak sadarkan diri, saat itu agaknya Ti-heng masih

baik-baik saja . . bagaimana sekarang pun dia juga jatuh tidak

sadarkan diri ?”

“Karena kalian berdua sudah terkena obat pemabok !” jawab si

pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan sambil tertawa dingin.

“Aaaah terkena obat pemabok ??” tanya Kwek Kwan San dengan

sangat terkejut sekali.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 28

1 : Manusia berkerudung utusan Majikan Patung Emas

“Tidak salah,” jawab si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit

Yuan sepatah demi sepatah. “Memang benar ada orang yang sudah

memasukkan obat pemabok ke dalam air teh kalian”

“Siapa yang memasukkan obat petnabok itu?” tanya Kwek Kwan

Ssn dengan amat terperanyat.

“Aku.”

Kwek Kwan San seketika Itu juga dibuat melengak.

“Haah …. suhu kau orang yang memasukkan obat pemabok itu

ke dalam air teh kami?” ujarnya tidak mau percaya.

“Benar . .” sahut si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan

mengangguk “Kau merasa ada diluar dugaanmu bukan?”

“Tidak salah, kenapa suhu memasukkan obat pemabok itu ke

dalam air teh kami sehingga kami jadi mabok?” teriak Kwek Kwan

San dengan melototkan sepasang matanya lebar-lebar.

“Karena aku orang tua mau merubuhkan dirinya” jawab si

pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan sambil menuding kearah

diri Ti Then yang menggeletak di atas tanah.

Kwek Kwan San benar-benar merasa terkejut.

“Suhu kenal dengan dia orang?”

“Sudah tentu aku kenal, dia adalah Kiauw tauw dari Benteng Pek

Kiam Po yang bernama Ti Then “

“Suhu ada dendam sakit hati dengan orang ini?”

“Aku orang tua memang punya dendam dengan Pocu mereka Wi

Ci To, sedangkan bangsat cilik ini …aku sih tidak punya ganyalan

apa apa”

“Kalau memangnya tidak punya ganyalan hati apa-apa kenapa

suhu mau merubuhkan dirinya?” tanya Kwek Kwan San keheranan.

“Karena aku ingin menanyakan satu urusan dengan dirinya, kau

pergilah mencari seutas tali”

Kwek Kwan San ragu-ragu sebentar, akhirnya dia masuk ke

dalam rumah juga untuk mengambil seutas tali.

Si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan segera turun

tangan mengikat seluruh tubuh Ti Then dengan cepatnya setelah itu

menotok jalan darah dari Ti Then dan memasukkan sebutir pil ke

dalam mulutnya.

Tidak selang lama kemudian Ti Then pun dengan perlahan-lahan

sadar kembali dari pingsannya.

Ketika dia dapat melihat orang yang berdiri di hadapannya bukan

lain adalah si pendekar tangan kiri Cian Pit Yuan dalam hati dia

merasa sedikt bergidik, disusul satu senyuman pahit menghiasi

bibirnya.

“Aaah, kiranya Sang Sim Lojin adalah kau!” serunya.

“Setelah Lohu mengasingkan diri ke atas gunung dan berlatih

ilmu pedang dengan susah payah selama dua puluh tahun lamanya

tidak kusangka sewaktu menerjunkan diri ke dalam Bu lim untuk

kedua kalinya sudah dikalahkan ditangan kau bangsat cilik,

bagaimana hal ini tidak membuat Lohu bersedih hati”

“Hal itu dikarenakan ilmu silatmu tidak sempurna, bagaimana

bisa menyalahkan diriku?”

“Lohu sama sekali tidak menyalahkan dirimu.”

“Lalu kenapa kau menawan aku seorang?” tanya Ti Then sambil

tertawa dingin.

“Karena aku ingin menanyakan satu urusan dengan dirimu.”

“Kau bersikap demikian kasarnya terhadap diriku, kau mengira

aku mau menyawab pertanyaan-pertanyaan yang kau ajukan?”

Si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan segera tertawa

dingin.

“Bilamana kau tidak mau menyawab pertanyaan yang lohu

ajukan maka jangan harap bisa meninggalkan tempat ini.” sahutnya.

Ti Then tertawa, dengan perlahan dia mengalihkar sinar matanya

kearah wajah diri Kwek Kwan San, “Lote. suhumu memang amat

bagus sekali” ejeknya.

ooOOoo

AIR muka Kwek Kwaa San seketika itu juga berubah memerah,

dengan menundukkan kepalanya rendah-rendah dia tidak

mengucapkan sepatah kata pun.

“Bangsat cilik!” seru si Cian Pit Yuan dergan suara yang amat

berat, “Kau bisa mencari sampai di sini hal ini jelas tidak

mengandung maksud baik terhadap Lohu, siapa yang bilang salah

kalau Lohu turun tangan dulu?”

“Aku sedang melakukan perjalanan lewat di tempat ini, aku sama

sekali tidak sedang mencari dirimu” ujar Ti Then sambil tertawa

pahit.

“Benar” sambung Kwek Kwan San lebih lanjut. “Suhu, Ti-heng

memangnya sedantg melakukan perjalanan lewat di tempai ini, dia

bukannya sengaja datang mencari kau orang tua”

“Kau mengerti apa?” bentak Cian Pit Yuan dengan gusarnya

sambil melotolt dirinya. “Tempat ini sangat jarang sekali dilalui

orang, dia pasti sengaja datang mencari aku orang-tua, kalau tidak

mana mungkin bisa tiba di sini?”

Ti Then tiba-tiba tertawa terbahak-bahak

“Sejak semula aku sudah melupakan dirimu sama sekali buat apa

aku datang mencari dirimu lagi?” serunya.

“Omong kosong,” bentak Cian Pit Yuan dengan amat gusar. “Wi

Ci To takut lohu pergi ke benteng Pek Kiam Po-nya untuk membalas

dendam maka dia sengaja mengirim dirimu untuk menyelidiki

keadaaan dari lohu, kau kira lohu tidak mengerti akan hal ini?”

“Bagaimana mungkin Wi Pocu kami takuti dirimu yang pergi ke

benteng Pek Kiam Po untuk membalas dendam? kau kira kami pihak

benteng Pek Kiam Po ada dendam dengan dirimu?”

“Apa mungkin tidak ada?” ejek Cian Pit Yuan dengan dingin.

“Tidak ada”

Cian Pit Yuan jadi teramat gurar, dia mendengus dengan amat

ademnya.

“Tetapi Lohu merasa punya satu dendam yang sedalam lautan

dengan dirinya,”

“Bagaimana kalau suruh muridmu itu menimbangnya dari

tengah?”

“Tidak perlu.”

“Yang kau maksudkan dengan dendam sedalam lautan tentunya

dikarenakan Wi Pocu serta aku berhasil membabat putus sepasang

telingamu bukan?”

Cian Pit Yuan yang mendengar lukanya dikorek kembali oleh Ti

Then air mukanya seketika itu juga berubah jadi merah padam, dia

menggembor dengan amat kerasnya.

“Tidak salah, karena Lohu tidak hati-hati telingaku berhasil kalian

tabas sampai putus, maka itu Lohu mau membalas dendam.

Pokoknya ada satu hari Lohu pasti akan msnabas putus juga

sepasang telinga dari kalian berdua.”

“Soal ini aku sama sekali tidak menolak” jawab Ti Than dengan

air muka yang sangat tenang sekali. “Tetapi kau boleh menganggap

tersayatnya sepasang telingamu oleh kita adalah satu dendam

sedalam lautan, pada mulanya kita melukai kau dengan

mengandalkan ilmu silat yang sungguh-sungguh dan sama sekali

tidak menggunakan akal licik mau pun siasat busuk, maka itu jika

lain kali kau merasa dirimu sudah cukup kuat untuk bergebrak

dengan diri kita lebih baik pergunakanlah ilmu silat yang benar,

tidaklah benar kalau menganggap kami sebagai satu musuh buyutan

yang dendamnya sedalam lautan.”

“Lohu pasti akan memotong sepasang telinga dari kalian berdua”

teriak Cian Pit Yuan lagi sambil menggigit kencang bibirnya

menahan kegemasan dalam hatinya, “Kalian tunggu saja waktunya”

“Sampai waktunya kami akan menyambut dirimu dengan senang

hati, sekarang mari kita bicara terang-terangan saja, perjalananku

hari ini bukanlah sengaja datang mencari dirimu.”

“Lohu tidak percaya!”

“Jika aku sengaja datang untuk menyelidiki keadaanmu, aku

tidak akan mengikuti muridmu untuk bersama masuk rumah ini.”

Seru Ti Then tertawa.

“Kalau begitu ceritakanlah apa maksudmu lewat jalan ini dan kau

bangsat cilik mau pergi kemana?”

“Maaf soal ini sukar untuk memberi jawaban.”

Cian Pit Yuan segera tertawa dingin.

“Jika kau orang suka berterus terang menyawab pertanyaan yang

aku ajukan ini Lohu akan segera melepaskan dirimu pergi, kalau

tidak heee heee heee seharusnya kau tahu, pada saat ini cukup

Lohu angkat jari tangan saja kau segera akan menemui ajalnya.”

“Aku rasa kau tidak akan berbuat demikian”

“Kau mengira Lohu tidak berani membunuh dirimu? seru Cian Pit

Yuan sambil tertawa aneh.

“Menurut apa yang ku ketahui kau orang kecuali berpikiran picik

dan mem punyai rasa ingin menang yang berlebih-lebihan

sebetulnya bukanlah satu orang yang suka membunuh orang

dengan sembarangan.”

“Kau terlalu memandang tinggi diri Lohu”

“Apa mungkin tidak?” Seru Ti Then.

“Ini hari kau harus menyawab dua buah pertanyaan dari Lohu,

kalau tidak Lohu pasti tidak akan melepaskan dirimu”

“Apa itu kedua buah persoalanmu itu?”

“Pertama, beritahu kepada Lohu kau hendak kemana,” ujar Cian

Pit Yuan dengan keren, “Kedua, beritahu kepadaku, kepandaian silat

yang kau pelajari ini kau dapat dari siapa?”

“Kedua buah persoalan itu sebetulnya mudah saja untuk

dijawab,cuma aku mempunyai satu sifat yang kukoay sekali,

bilamana aku menyawab pertanyaanmu dengan perkataan yang

sungguh atau mungkin mengarangkan satu jawaban hanya

bertujuan untuk memperoleh kebebasan hal ini sama saja aku

sudah menemui satu kekalahan, aku tidak ingin memperoleh

kekalahan ini.”

“Jadi kau tidak mau menyawab?” teriak Cian Pit Yuan dengan air

muka penuh diliputi oleh hawa napsu membunuh.

“Tidak!”

Cian Pit Yuan segera tertawa dingin dengan amat seramnya.

“Haruslah kau ketahui,” ajarnya dingin, “Bilamana malam ini Lohu

turun tangan melenyapkan dirimu, tidak mungkin ada orang yang

bisa tahu atas kejadian ini.”

“Tapi sedikitnya ada dua oraag yang tahu, yang satu adalah kau

dan yang lain adalah muridmu itu.”

Dengan perlahan sipendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan

mengalihkan pandangannya ke atas wajah Kwek Kwan San,

tanyanya dengan nada mencoba:

“Kwan San, bangsat cilik ini adalah musuh besar suhumu,

bagaimana kalau suhu turun tangan membinasakan dirinya?”

“Baik,” sahut Kwek Kwan San mengangguk. “Tetapi suhu kau

orang tua haruslah memberi satu kesempatan buat dirinya.”

“Mau kasi kesempatan apa lagi?” tanya Cian Pit Yuan melengak.

“Lepaskan dia lantas bunuh dirinya dengan mengandalkan ilmu

silat yang suhu miliki.”

Agaknya Cian Pit Yuan sama sekali tidak menyangka kalau

muridnya bisa mengucapkan kata yang demikian ’Gagah’nya, untuk

sesaat lamanyadia malah dibuat sangat rikuh. Karena dia pun

pernah menyajal kepandaian silat dari diri Ti Then dan di dalam hati

tahu bilamaoa dirinya diharuskan mengadakan pertempuran secara

adil dengan diri Ti Then maka kesempatan untuk memperoleh

kemenangan tidaklah terlalu besar di dalam hatinya justru dia tidak

ingin bertempur secara adil dengan dirinya.

Dia agak melengak sebentar tapi sebentar kemudian sudah

angkat kepalanya tertawa terbahak-bahak.

“Bagus… Bagus… aku orang mern punyai ahli waris seperti

dirimu dalam hati aku benar-benar merasa girang sekali.”

Mendengar perkataan tersebat Kwek Kwan San jadi sedikit

ketakutan.

“Bilamana tecu sudah salah berbicara harap suhu mau

memaafkan” ujarnya dengan cepat.

“Tidak, perkataanmu sedikit pun tidak salah” sahut Cian Pit Yuan

sambil gelengkan kepalanya. “Aku orang tua tidak akan

membinasakan dirinya di dalam keadaan situasi seperti ini, tetapi

aku pun tidak akan melepaskan dirinya dengan begitu saja, kecuali

dia mau menyawab kedua buah pertanyaan yang aku ajukan tadi.”

“Aku tidak akan menyawab kedua pertanyaanmu itu.” Teriak Ti

Then sambil tertawa.

“Kalau begitu kau jangan harap bisa meninggalkan tempat ini

dalam keadaan selamat”

“Kalau memangnya demikian bilamana aku punya kesempatan

bisa meloloskan diri dari sini, aku tentu tidak berlaku sungkansungkan

lagi terhadap dirimu.”

“Untuk selamanya kau tidak akan mem punyai kesempatan untuk

meloloskan diri lagi,” sahut Cian Pit Yuan sambil tertawa dingin

dengan amat seramnya. “Mulai saat ini setiap jsm sekali Lcohu akan

menotok jalan darah kakumu, kau tidak bakal bisa melarikan diri.”

“Haaa ….. haaa . . . tapi kau harus ingat dengan pepatah yang

mengatakan, orang budiman tentu akan dibantu oleh Tbian

kemungkinan sekali ada orang bakal turun tangan menolong diriku.”

“Kau jangan mimpi” Seru Cian Pit Yuan dengan serius ambil

tertawa, “Tidak akan ada orang yang bisa sampai di sini apalagi di

dalam Bu-lim pada saat ini kecuali si kakek pemalas Kay Kong Beng

serta Wi Ci To dua orang tidak akan ada yang bisa menolong dirimu

dari tangan lohu.”

Ti Then segera melirik sekejap kearah Kwek Kwan San lantss dia

tersenyum.

“Hal ini sukar sekali untuk dijawab, kemuungkinan sekali cuma

seorang yang berkepandaian sangat biasa pun bisa menolong aku

meloloskan diri dari sini”

Agaknya Cian Pit Yuan pun teringat pula dengan muridnya, tidak

terasa lagi dia sudah menoleh kearah Kwek Kwan San ke atas

dengan wajah yang serius dan keren ujarnya:

“Kwan San, kau tidak akan mengkhianati suhumu bukan?”

Agaknya Kwek Kwan san tidak paham dengan kata-kata tersebut,

dia agak melengak.

“Tecu mana berani mengkhianati suhu,” ujarnya.

“Maksudku kau dilarang menolong bangsat cilik ini secara diamdiam”

ujar Cian Pit Yuan dengan serius.

“Tecu tidak berani”

“Hey bangsat cilik.” ujar Cian Pit Yuan kemudian sambil menoleh

kearah Ti Then dan tertawa dingin. “Lohu bilang satu ysa satu,

jikalau kau mau menyawab pertanyaan dari Lohu itu maka Lohu

segera akan melepaskan dirimu”

Agaknya Kwek Kwan San pun tidak tega melibat Ti Then

tersiksa, tiba-tiba dia nyeletuk, “Benar, Ti-heng, kedua pertanyaan

yang diajukan oleh suhuku agaknya tidak terlalu sukar untuk

menyawab kenapa kau tidak mau memberi jawabannya?”

“Lepaskan diriku terlebih dulu, setelah itu aku baru kasi

jawabannya”

“Tidak.” potong Cian Pit Yuan dengan ketus. “Kau jawab dulu

pertanyaanku kemudian lohu baru lepaskan dirimu.”

“Kalau begitu kita tidak usah berbicara lagi.”

“Bangsat cilik” teriak Cian Pit Yuan sambil mendengus dingin.

“Tulang badanmu sungguh-sungguh keras sekali.”

“Benar, sudah keras bau lagi.”

“Bagus, Lohu mau lihat kau bangsat cilik bisa bersabar sampai

seberapa lama,”

Ti Then pejamkan matanya tidak menyawab lagi.

Kepada Kwek Kwan San dengan cepat Cian Pit Yuan memberi

perintah.

“Kwan San, bawa dia ke dalam kamar!”

Kwek Kwan San menyahut dan membopong tubuh Ti Then

masuk ke dalam sebuah kamar tidur dan meletakkan badan Ti Then

di atas pembaringan kemudian dengan tanpa mengucapkan sepatah

kata pun dia mengundurkan diri dari tempat itu.

Kepada Cian Pit Yuan tanyanya dengan suara yang amat lirih.

“Suhu, apa kau orang tua benar-benar mau menawan dirinya

selama beberapa hari di sini.”

Cian Pit Yuan mengangguk, lalu menarik dirinya keluar dari

rumah tersebut.

“Kwan San,” ujarnya dengan suara yang amat rendah. “Di dalam

hati kecilmu tentunya kau merasa perbuatan dari suhumu ini salah

bukan?”

“Tecu tahu suhu amat benci terhadap dirinya,” sahut Kwek Kwan

San sambil menundukkan kepalanya. “Karena seperti apa yang

dikatakan agaknya telinga suhu sudah dilukai olehnya.”

“Dia memang sudah melukai telingaku sebelah kiri, tetapi aku

sama sekali tidak membenci dirinya. Karena ilmu silatnya memang

benar-benar bisa mengalahkan diriku, kini suhu menahan dirinya

sebetulnya ingin mengetahui asal-usul yang sebetulnya.”

“Dia bilang suhunya bermama Bu Beng Lojin.”

“Bukankah hal ini sama saja dengan tidak diberitahu?”

“Suhu, buat apa kau ingin mengetahui asal-usulnya?” tiba-tiba

Kwek Kwan San angkat kepalanya dan bertanya.

“Karena dia adalah satu-satunya pemuda aneh yang pernah aku

temui selama hidupku, tabun ini dia cuma berusia dua pulun

tahunan tetapi kepandaian silat yang dimiliki amat dahsyat dan

sempurna sekali sehingga sukar diukur.”

“Tadi dia sudah mendemonstrasikan ilmu pedangnya di hadapan

tecu, tecu rasa ilmu yang dimilikinya tidak lebih seimbang dengan

kepandaian silat yang dimiliki kau orang tua”

“Tidak,” jawab Cian Pit Yuan sambil gelengkan kepalanya.

“Kepandaian silatnya jauh lebih tinggi satu tingkat dari diriku,

beberapa bulan yang sewaktu aku pergi ke Benteng Pek Kiam Po

untuk menunutut balas saat itu dia mengaku sebagai pendekar

pedang hitam dari Benteng Pek Kiam Po tetapi setelah bertempur

ternyata aku sudah dikalahkan satu jurus dari dirinya, akhirnya aku

baru tahu kalau dia adalah Kiauwtauw dari Benteng Pek Kiam Po…”

Berbicara sampai di sini dengan perlahan dia menghela napas

panjang, sambungnya kemudian:

“Hal ini benar-benar merupakan satu peristiwa yang sama sekali

tidak terduga semula aku cuma tahu di dalam Bu-lim pada saat ini

kepandaian silat dari si kakek pemalas Kay Kong Beng adalah yang

paling tinggi kemudian Wi Ci To dan terakhir aku, tetapi kini

sesudah munculnya Ti Then ini dimana kepandaian silatnya tidak

berada di bawah aku orang bahkan kelihatannya jauh di atas Wi Ci

To membuat aku jadi berpikir, dia orang yang usianya masih

sedemikian mudanya sudah memiliki kepandaian silat yang demikian

sakti dan dahsyatnya apalagi kepandaian silat dari suhunya sudah

tentu jauh lebih lihay lagi”

“Kepandaian ilmu silat dari orang itu tentu jauh berada di atas

kepandaian silat dari si kakek pemalas Kay Kong Beng, sedangkan

pada berpuluh-puluh tahun ini agaknya di dalam Bu-lim sama sekali

tidak pernah terdengar adanya orang yang memiliki kepandaian silat

jauh melebihi kepandaian silat dari si kakek pemalas Kay Kong

Beng, maka itu aku ingin sekali mengetahui siapakah sebenarnya

suhunya itu”

“Sekarang dia tidak mau memberi jawaban atas pertanyaan yang

suhu ajukan, suhu pikir mau berbuat apa terhadap dirinya?” seru

Kwek Kwan San kemudian.

“Biar dia merasa lapar selama beberapa hari, pada saat itu dia

tentu akan berbicara dengan sendirinya”

“Kalau berbuat demikian rada tidak baik suhu kalau memangnya

tidak bermaksud membinasakan dirinya lebih baik kita cepat-cepat

lepaskan dirinya pergi saja, tidak urung di kemudian hari pun suhu

harus melepasksn juga dia orang. Aku kuatir sampai waktu itu

sampaidia bisa..”

“Kau tidak perlu kuatir, dia tidak akan bisa berbuat sesuatu

terhadap kita.” Potong Cian Pit Yuan dengan cepat.

“Tecu punya satu akal, kemungkinan sekali ada gunanya.

“Akal apa?” tanya Cian Pit Yuan sambil memperhatikan dirinya.

“Apa kemungkinan ini hari dia lewat di tempat ini sebetulnya

hendak pulang untuk bertemu dengan suhunya, nanti lebih baik

suhu lepaskan dia pergi saja kemudian secara diam-diam menguntit

dari belakang, kemungkinan sekali dengan berbuat demikian bisa

bertemu dengan suhunya.”

Mendengar perkataan itu air muka Cian Pit Yuan sedikit bergerak.

“Ehmm… memang satu cara yang amat bagus . .” serunya

kemudian.

Ketika Kwek Kwan San melihat agaknya suhunya mau menerima

usulnya tersebut dalam hati dia merasa sangat girang sekali.

“Bagaimana kalau tecu pergi membebaskan dirinya?” tanyanya

dengan cepat.

“Jangan keburu. biar aku pikir-pikir dulu.”

“Tecu rasa inilah satu cara yang paling bagus,” sambung Kwek

Kwan San lebih lanjut. “Dengan demikian kita bisa menyelidiki asal

usul perguruannya bisa pula menghindarkan diri dari bentrokan

secara langsung dengan dirinya.”

“Baiklah.” sahut Cian Pit Yuan kemudian sambil mengangguk.

“Tetapi kita bebaskan besok pagi saja, besok pagi aku akan

berpura-pura pergi meninggalkan rumah lalu kau secara diam-diam

melepaskan dirinya pergi, dengan berbuat demikian dia tentu tidak

akan menaruh curiga kepada kita.”

“Betul, baiklah kita kerjakan demikiau saja. Sekararg kau tidurlah

dulu aku mau pergi menyaga dirinya”

Selesai berkata dia segera putar badan memasuki kamar

tersebut.

Setelah masuk kamar dimana Ti Then disekap, ketika melihat Ti

Then terbaring di atas pembaringan dia segera menariknya dan

merebahkan ke atas tanah.

“Sungguh maaf” serunya sambil tertawa. “Di dalam rumah ini

cuma ada dua buah pembaringan saja, malam ini terpaksa kau

harus tidur di atas tanah tanpa alas.”

Ti Then segera tertawa dingin.

“Kau bermaksud semalam tidak tidur dan duduk di atas

pembaringan untuk menyaga diriku?” tanyanya.

“Benar,” jawab Cian Pit Yuan tersenyum kemudian naik ke atas

pembaringan dan duduk bersila, “Lohu tahu kau bisa mengerahkan

tenaga dalammu untuk membebaskan diri dari totokan jalan darah,

karena itu aku hendak korbankan tidak tidur satu malam untuk

setiap setengah jam sekali menotok kembali jalan darahmu.”

Tiba-tiba Ti Then tertawa terbahak-bahak.

“Haa …. haa cuma sayang perhitunganmu kali ini rada meleset,

karena aku cuma membutuhkan seperempat jam saja sudah bisa

mengerahkan tenaga dalam untuk membebaskan diri dari totokan.”

“Seperempat jam?” tanya Cian Pit Yuan sambil mendengus

dingin.

“Tidak salah, seperempat jam sudah cukup.”

“Di dalam Bu-lim pada saat ini sekali pun sikakek pemalas Kay

Kong Beng sendiri pun belum tentu bira membebaskan diri dari

totokon jalan darah hanya di dalam seperempat jam saja,

bagaimana kau orang bisa?”

“Kay Kong Beng tidak dapat tetapi aku bisa melakukanuny” sahut

Ti Then tertawa,

“Agakaja kau sudah kena totok selama seperempat jam bukan ?”

“Benar.”

Cian Pit Yuan segera tertawa terbahak-bahak.

“Kalau begitu kenapa sampai sekarang kau masih belum bisa

bergerak?” tanyanya mengejek.

“Siapa bilang aku belum dapat bergerak?”

Sewaktu Ti Then mengucapkan kata yang terakhir itulah

terdengar suara terputusnya tali yang mengikat badannya bergema

memenuhi seluruh ruangan.

Cian Pit Yuan jadi sangat terperanyat, dengan cepat bagaikan

kilat dia mcloncat turun dari atas pembaringan lalu sepasang telapak

tangannya bersama-sama didorong ke depan menghajar badan Ti

Then yang masih menggeletak di atas tanah itu.

Dengan cepat Ti Then meloncat bangun dari atas tanah

menghindarkan diri dari datangnya serangan gencar itu disusul

tubuhnya meloncat bangun, di tengah suara tertawanya yang amat

keras telapak tangannya segera melancarkan satu pukulan

menghajar pinggangnya.

Walau pun Cian Pit Yuan melakukan gerakannya dalam ksadaan

yang amat kritis tetapi dia sama sekali tidak gugup, melihat

serangannya mencapai pada sasaran yang kosong dengan cepat

kaki kanannya ditarik ke belakang, tubuhnya berputar setengah

lingkaran lalu dengan menggunakan telapak tangannya menangkis

datangnya serangan Ti Then yang amat dahsyat.

Ti Then ysng melihat serangan gsncarnya tidak mencspai pada

sasaran serangan yang kedua segera menyusul datang, telapak

kirinya dengan menggunakan jurus banteng menerjang langit

menyerang kening kanan musuhnya.

Dengan cspat Cian Pit Yuan menundukkan kepalanya

menghindarkan diri dari serangan tersebut kakinya dengan

gencarnya melancarkan tendangan kilat ke depan.

“Bangsat cilik!” bentaknya dengan keras. “Ayoh kita bertempur

diluaran saja”

Telapak kanan dari Ti Then segera dibabat ke bawah menyambut

datangnya tendangan kaki kirinya, segera tertawa.

“Di dalam kamar bukankah sama saja?” serunya mengejek.

Mendadak Cian Pit Yuan mengundurkan diri ke belakang hingga

punggungnya terbentur dengan tembok ruangan dengan mengambil

kesempatan itulah dia segera mengerahkan tenaga dalamnya

menghajar hancur tembok yang menghalangi perjalanannya itu.

“Braaak . . !” dengan disertai suara yang amat keras tembok itu

kena hajar satu lubang yang besar dengan cepatnya tubuhnya

melayang keluar dari kamar.

Bagaikan bayangan saja Ti Then menguntit terus dari

belakangnya.

“Hey Cian Pit Yuan, kau mau melarikan diri?” teriaknya sambil

tertawa keras.

“Baru saja dia selesai berkata mendadak dari samping tubuhnya

berkumandang datang suara seorang asing yang amat halus tapi

keren dan berwibawa sekali:

“Sudah .. sudahlah Ti Then, kau tidak usah membuang banyak

waktu lagi di tempat ini,” ujarnya.

Orang yang baru saja berbicara itu bukan lain adalah manusia

berkerudung itu.

Lelaki berkerudung berbaju biru itu jika didengar dari suaranya

serta dipandang dari perawakannya jelas merupakan seorang

pemuda yang baru berusia dua puluh tahunan, dia berdiri kurang

lebih tiga kaki di depan pintu rumah dengan pada tangan-kirinya

mengempit seseorang, Kwek Kwan San.

Entah dengan cara bagaimana Kwek Swan San sudah

dikuasainya, saat ini badan dengan amat lemasnya bergantungan di

atas tangannya dan sama sekali tidak kelihatan bergerak.

2 : Menyambung pedang patah

Cian Pit Yuan pun mendengar juga suara itu, sewaktu dilihatnya

manusia berkerudung itu mengempit muridnya sendiri untuk sesaat

lamanya dia dibuat teramat gusar sekali.

“Siapa kau?” teriaknya dengan keras.

Lelaki berkerudung itu segera tertawa ringan.

“Cian Pit Yuan” serunya. “Jika orang tidak terlalu ingin tahu

mungkin usiamu masih bisa diperpanjang beberapa tahun lagi”

Dengan cepat Cian Pit Yuan menoleh kearah diri Ti Then lantas

tanyanya dengan suara yang amat berat.

“Kalian berasal dari satu golongan?”

“Ooooh bukan. . . . bukan . . “ sahut manusia berkerudung itu

tertawa. “Cuma secara diam-diam aku sudah memasuki kamarmu

lantas membebaskan jalan darah yang tertotok dari Ti Then.”

“Haaa – – haahaa – . saudara sungguh keterlaluan” seru Ti Tben

dengan cepat.

“Ha ha . . . haaa , . “ mendengar suara dari Ti Then itu manusia

berkerudung tersebut segera tertawa terbahak, “Dikolong langit

pada saat ini masih belum ada orang yang bisa membebaskan dari

pengaruh totokan hanya di dalam waktu seperempat jam saja, kalau

mau berbohong jangan berlebihan.”

Cian Pit Yuan segera maju satu langkah mendekati manusia

berkerudung itu dengan wajah penuh perasaan gusar teriaknya lagi.

“Kalau kalian bukan berasal dari satu golongan kenapa secara

diam-diam membantu dia melepaskan totokan jalan darahnya? Lalu

kenapa kau pun menculik anak muridku?”

“Semuanya demi kebaikanmu sendiri,” sahut manusia

berkerudung itu sambil tertawa, “Aku tidak tega melihat kau

terbinasa di tangan Ti Then.”

“Kentut makmu” teriak Cian Pit Yuan dengan amat gusar.

Manusia berkerudung itu sama sekali tidak jadi marah oleh

makian tesrebut, kepsda diri Ti Then lantas ujarnya.

“Ti Then, kau boleh pergi.”

“Saudara hendak menyatuhkan hukuman yang bagaimana

terhadap guru bermurid itu?” tanya Ti Then sambil memperhatikan

diri manusia berkerudung itu.

”Soal ini kau tidak usah ikut campur.”

“Walau pun dia orang bukanlah seorang manusia baik-baik tetapi

muridnya Kwek Kwan San itu tidak jelek, cayhe berharap jangan

sampai melukai dirinya.”

“Aku menyanggupi untuk tidak melukai diri Kwek Kwan San, kau

boleh berlega hati.”

“Eeeh . . . aku boleh bertemu lagi dengan dirimu?”

“Kau barus tahu kita tidak ada keperluan untuk bertemu muka

kembali.”

Ti Then terpaksa angkat bahunya.

“Sebetulnya saudara apa dia orang?” tanyanya kemudian.

Yang dia maksud sebagai “Dia” sudah tentu adalah Majikan

patung emas itu.

Tadi, setelah manusia berkerudung itu membebaskan jalan darah

dari Ti Then dengan menggunakan kesempatan sewaktu Cian Pit

Yuan guru bermurid sedang bercakap-cakap diluar rumah, dengan

amat cepatnya Ti Tben sudsh bisa menduga kalau manusia

berkerudung berbaju biru ini tentulah manusia yang sudah dikirim

oleh majikan patung emas untuk mengawasi dan membuntuti

dirinya, karena majikan patung emas takut setelah dia mendapatkan

potongan pedang itu tidak mau cepat-cepat kembali ke dalam

benteng, karenanya dia lantas kirim orang untuk mengawasi seluruh

gerak geriknya.

Ternyata manusia berkerudung itu memang orang yang dikirim

oleh majikan patung emas, mendengar perkataan tersebut dia

segera manyawab:

“Soal ini kau tidak perlu tahu”

“Tentu kau ahli warisnya bukan?” seru Ti Then lagi aambil

tertawa.

“Perkataanmu sudah terlalu banyak,” seru manusia berkerudung

itu kurang senang.

“Aku ada satu perasaan, agaknya kita pernah bertemu disuatu

tempat.”

“Kau jangan omong sembarsngan”

“Sungguh,” sahut Ti Then sambil tertawa, “Walau pun saudara

berkerudung tetapi aku bisa merasakan dari sepasang matamu itu.”

“Sebetulnya kau orang mau pergi tidak?” teriak manusia

berkerudung dengan keras.

Ti Then angkat bahunya lantas masuk ke dalam rumah

mengambil buntalan serta pedangnya kemudian naik ke atas

punggung kuda Ang Shan Kheknya, sambil merangkap tangannya

memberi hormat kepada Cian Pit Yuan serunya tertawa:

”Hey Cian Pit Yuan, aku msu pergi dulu! Jikalau kau orang mau

membalas dendam atas terpotongnya telingamu pada tiga bulan

kemudian aku akan menanti kedatanganmu di dalam benteng Pek

Kiam Po.”

“Ada satu hari Lcohu pasti akan datang!” teriak Cian Pit Yuan

dengan amat gusar.

Ti Then segera menyentak tali les kudanya lalu melarikan

kudanya meninggalkan rumah tersebut untuk melanjutkan kembali

perjalanannya dengan mengikuti jalan gunung yang ada.

—ooo0dw0ooo—

Pada hari yang ketujuh belas sore Ti Then sudah berada di dalam

kota Hoa Yong Sian yang jaraknya tinggal beberapa ratus li dari

gunung Cun San.

Di dalam kota itu dia menginap satu malam dirumah penginapan

‘Im Hok’ untuk kemudian pada keesokan harinya setelah menitipkan

kudanya di rumah penginapan itu dia melanjutkan perjalanannya

dengan berjalan kaki.

Pada suatu magrib akhirnya dia sampai di atas gunung Cun San

tersebut.

Cun san, disebut juga sebagai gunung Siang san dengan luas

puncak tujuh li merupakan satu gunung yang amat indah sekali.

Di atas gunung kecuali ada kuil Siang te Bio serta kuil Cong Sin si

yang terletak di kaki gunung, pemandangan di atas jalan amat

indahnya, bahkan banyak kaum pelajar yang berpelancongan di

sana.

Hari itu Ti Then sudah tiba di depan pintu kuil Cong sin si di

bawah kaki gunung, ketika dilibatnya ada seorang hwesio sedaog

bersapu membersihkan rontokan dedaunan ia segera maju menjura.

“Lao suhu, permisi..” serunya.

Si hwesio tua itu dengan cepat meletakkan sa punya dan

merangkap tangannya memberi hormat.

“Siauw sicu ada petunjuk apa ?” tanyanya dengan halus.

“Aku dengar di atas gunung Cun san seorang Cu Kiam Lojin,

entah tahukah Lo-suhu dia tinggal di gunung yang sebelah mana ?”

tanya Ti Then cepat.

“Siauw-sicu mencari dia apa mau membuat pedang?”

“Benar.”

Si hwesio tua itu segera menuding kearah sebuah lembah yang

ada di depan kuilnya,

“Siauw-cu boleh naik ke atas gunung dengan mengikuti lembah

tersebut, dan carilah Liong Hauw Ji Tong, bilamana kau orang

berjodoh kemungkinan sekali bisa bertemu dengan Cu Kiam Lojin

itu.”

“Apakah Cu Kiam Lojin tinggal di dalam gua Liong Hauw Ji

Tong?”

“Benar” sahut hwesio tua itu mengangguk, “Ada kalanya dia

tinggal di dalam gua naga, ada kalanya juga tinggal didaiam gua

macan. tetapi sekali pun tahu dia ada di dalam gua belum tentu

kau bisa bertemu muka dengan amat mudah.”

“Kenapa ?” tanya Ti Then keheranan.

“Apakah Siauw sicu tidak tahu begaimana keadaan dari gunung

tersebut?” tanya si hwesio tua tertawa.

“Cayhe tidak tahu, harap Lo-suhu mau memberi petunjuk.”

“Gunung Cun san di atasnya tanah padahal tengahnya kosong,

dan ada berates-ratus ruangan mau pun gua yang saling

berhubungan satu sama lainnya, Jikalau Cu Kiam lojin tidak

membuat pedang kebanyakan tinggal di salah satu ruangan diantara

beratus ruangan tersebut, maka itu mau mencari dia tidak terlalu

gampang.”

“Apa sungguh ada keadaan seperti itu?”

“Benar atau tidak siauw-sicu boleh pergi melihatnya sendiri

Jikalau siavw sicu tidak menemukan apa yang aku katakan maka

anggap saja perkataan dari pinceng adalah bohong tetapi kalau

slauw sicu menemui apa yang kukatakan sudah tentu sicu akan tahu

kalau perkataan dari pinceng bukanlah bohong.”

Mendengar perkataan tersabut Ti Then segera tersenyum.

“Baiklah, terima kasih atas petunjuk dari Losuhu, cayhe akan

segera mengadu untung”.

Selesai berkata dia segera merangkap tangannya memberi

hormat dan putar badan melanjutkan kembali perjalanannya.

Dengan mengikuti lembah gunung dia berjalan beberapa saat

lamanya, sehingga menemukan juga gua naga serta gua macan, dia

melakukan pemeriksaan beberapa saat lamanya disekeliling gua

tersebut akhirnya dia mengambil keputusan untuk memasuki gua

naga terlebih dahulu.

Tetapi pada saat dia sedang menggerakkan langkah mendadak

dari dalam gua berkumandang datang suara pembicaraan manusia,

dalam hati dia merasa amat terperanyat.

Dengan cepat tubuhnya mengundurkan diri ke belakang lantas

bersembunyi di balik sebuah batu besar di sekeliling tempat itu.

Wi Ci To sudah memberi pesan wanti-wanti kepadanya untuk

jangan sampai diketahui pihak lawan sewaktu hendak mencuri

potongan pedang dari Cuo It Sian maka itu begitu dia mendengar

ada suara pembicaraan manusia dengan cepat dia menduga salah

satu diantara mereka pastilah diri Cuo It Sian, karenanya dengan

cepat dia menyembunyikan dirinya.

Sebentar kemudian suara pembicaraan manusia semakin lama

semakin dekat, tampaklah dari dalam gua naga muncul dua orang

tua.

Salah satu diantara mereka adalah seorang kakek tua berjubah

kuning dengan wajah yang amat segar, rambut serta jenggot yang

berwarna putih memenuhi seluruh wajahnya.

Sedang orang yang terakhir bukan lain adalah Cuo It Sian itu si

pembesar kota.

Kakek tua berjubah kuning itu sudah tentu adalah Cu Kiam Lojin

Kan It Hong, dia dengan mengikuti Cuo It Sian si pembesar kota

berjalan keluar dari gua naga dan berhenti di depan pintu gua,

ujarnya sembari mendongakkan kepalanya memandang keadaan

cuaca.

“Hari sudah hampir gelap. Lebih baik Cuo heng bermalam satu

malaman saja di sini, lalu berangkat pulang pada keesokan harinya”

“Tidak” tolak Cuo It Sian dengan cepat, “Aku orang she Cuo

benar-benar punya urusan penting yang harus diselesaikan, aku

harus cepat-cepat pulang untuk membereskannya”

“Jikalau aku tahu setelah mengambil pedang Cu heng segera

mau pulang, Lolap seharusnya mengundurkan pembuatan pedang

itu beberapa hari kemudian.” seru Cu Kiam 1oojin sambil tertawa.

Cuo lt Sian yang mendengar perkataan tersebut segera tertawa.

“Ha..ha..Kan-heng tidak perlu menyesali, setelah lewat beberapa

hari aku orang she Cuo tentu akan datang lagi kemari untuk

bermain catur dengan diri Kan-heng”

“Lolap tinggal di sini benar-benar membuat aku merasa tersiksa

adalah dikarenakan tidak memperoleh lawan permainan catur yang

setangguh Cuo-heng, permainan catur yang paling tinggi di sekitar

tempat ini cumalah ketua kuil Siang hui bio, tetapi usianya sudah

amat lanjut pandangan matanya pun sudah tidak seberapa jelas lagi

dia tidak begitu suka main catur lagi.”

Dengan perlahan Cuo It Sian memperhatikan keadaan disekeliling

tempat itu terlebih duu, lantas dia tertawa lagi.

“Sudahlah, aku orang she-Cuo harus mengucapkan terima

kasihku kepada Kan-heng, karena sudah menolong aku

menyambungkan kembali pedang tersebut, bilamana di kemudian

hari ada waktu luang aku tentu akan datang mengganggu Kan-heng

lagi, sekarang silahkan Kan-heng kembali ke dalam gua”

Selesai berkala dia rnerangkap tangannya mengambil perpisahan.

“Bagaimana kalau lolap menghantar Cuo heng sampai di tengah

jalan?” ujar Cu Kiam Lojin.

“Aaah tidak berani. Iiih – . – Kan-heng, coba kau lihat, siapa yang

ada di belakangmu?”

Air muka Cu Kiam Lojin segera berubah sangat hebat, dengan

tergesa-gesa dia menoleh kearah dalam gua.

Dengan mengambil kesempatan itulah mendadak Cuo It Sian

melancarkan satu pukulan dahsyat yang dengan amat tepat sekali

menghajar batok kepala dari Cu Kiam Lojin itu, dikarenakan tenaga

pukulan yang disalurkan keluar amat dahsyat dan berat sekali

segera terdengarlah suara benturan yang amat keras sekali tanpa

berteriak sepatah kata pun tubuh Cu Kiam Lojin sudah rubuh ke

atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa.

Ti Then yang bersembunyi di balik batu sewaktu melihat secara

tiba-tiba Cuo It Sian turun tangan membinasakan diri Cu Kiam Lojin,

untuk sesaat lamanya saking terperanyatnya hamper-hampir dia

menjerit keras.

Peristiwa ini benar-benar sangat mengejutkan sekali. sebetulnya

mereka berdua berbicara dengan baik-baik sedikit percek-cokan

pun tidak ada, sungguh tidak terkira ternyata Cuo It Sian bisa turun

tangan secara tiba-tiba membinasakan diri Cu Kiam Lojin.

“Kenapa dia mau membinasakan diri Cu Kiam Lojin? Apakah dia

orang mem punyai ikatan permusuhan sedalam lautan dengan diri

Cu Kiam Lojin?

Tidak, Bilamana dia orang mem punyai dendam sedalam lautan

dengan diri Cu Kiam Lojin dia orang tidak mungkin bisa pergi

mencari Cu Kiam lojin untuk membetulkan pedangnya yang patah.

Berbagai macam pikiran dengan amat cepatnya berkelebat

memenuhi benaknya, darah panas yang mengalir di dalam tubuh

terasa bergolak dengan amat kerasnya, saking terharunya atas

kejadian itu hamper-hampi dia meloncat keluar untuk

membinasakan diri Cuo It Sian. Tetapi akhirnya dia berhasil

menahan pergolakan di dalam hatinya itu, dia teringat bahwa untuk

membinasakan diri Cuo It Sian sebetulnya bukanlah satu peristiwa

yang amat sulit setiap saat setiap waktu dia masih bisa mencabut

nyawanya.

Sekarang persoalannya bilamana dirinya segera munculkan diri

dan turun tangan membinasakan dirinya walau pun dapat

mmperoleh pedang pendek itu tetapi dia takut setelah kematian dari

dirinya maka pedang pendek itu akan kehilangan semacam daya

yang amat berharga.

Dia bisa mem punyai dugaan ini semuanya dikarenakan sewaktu

dilihatnya Cuo It Sian masih ada dalam Benteng Pek Kiam Po,

sebenarnya Wi Ci To mem punyai kesempatan yang sangat baik

untuk membinasakan diri Cuo It Sian, sedangkan waktu itu Wi Ci To

sama sekali tidak turun tangan bahkan akhirnya pernah memesan

wanti-wanti kepadanya untuk mencuri pedang tersebut sewaktu Cuo

It Sian tidak berada.

Walau pun dia tidak bisa memahami alasannya tetapi dia tahu

Wi Ci To berbuat demikian sudah tentu ada satu sebab-sebab

tertentu.

Karena itu dia mengambil keputusan untuk mengikuti pesan dari

Wi Ci To dan mencuri kembali pedang pendek itu kemudian setelah

menanti Wi Ci To mendapatkan hasil dari perbuatannya ini dia baru

turun tangan membinasakan si bajingan tua yang berhati licik dan

kejam dengan bersembunyi di balik kulit sebagai pendekar tua yang

bijaksana.

Karena itu walau pun dia merasa amat gusar melihat kematian

dari Cu Kiam Lo-jin di tangannya tetapi dia masih tetap bersembunyi

di balik batu dengan amat tenangnya.

Cuo It Sian yang berhasil dalam satu kali pukulan membinasakan

Cu Kiam Lo-jin pada wajahnya segeralah memperlihatkan satu

senyuman yang amat licik sekali, dengan cepat dia memutar balik

jenasah dari Cu Kiam Lojin lalu gumamnya seorang diri.

“Kan It Hong, sebenarnya diantara kau dan aku tidak mem

punyai dendam sakit hati apa pun,. sebetulnya Lolap tidaklah

seharusnya turun tangan membinasakan dirimu, tetapi untuk

melenyapkan saksi berbicara, Lolap mau tidak mau harus turun

tangan membinasakan dirimu juga untuk menutupi kesalahan ini,

aku akan membantu untuk menguburkan mayatmu sehingga

mayatmu tidak sampai berserakan tanpa terurus”

Selesai berkata dia menggendong mayat dari Cu Kiam Lojin dan

balik kembali ke dalam gua.

Kurang lebih setengah jam kemudian baru tampak dia berjalan

keluar lagi dari dalam gua naga, saat ini cuaca sudah sangat gelap.

Beberapa saat lamanya dia berdiri di depan mulut gua, lalu

dengan menggerakkan tubuhnya dia berkelebat menuju kearah

Barat.

Menanti setelah bayangannya lenyap dari pandangan Ti Then

baru muncullah dirinya dari balik batu besar dan menguntitnya dari

tempat kejauhan.

Setelah menuruni gunung Cun san, Cuo It Sian rnelanjutkan

kembali perjalanannya menuju kearah Barat, kurang lebih dia berlari

lagi sejauh lima puluh li dan sampailah disuatu tempat pegunungan

yang amat sunyi, waktu itulah dia baru berhenti.

Dengan perlahan dia menengok sekejap kesekeliling tempat itu

lantas baru duduk di bawah pohon dan menyeka keringat yang

mengucur keluar membasahi wajahnya, dari dalam saku dia

mengambil keluar sebilah pedang pendek dan dipermainkan

beberapa saat lamanya, akhirnya dia memasukkan kembali

pedangnya ke dalam sarung dan memejamkan matanya untuk

beristirahat.

Ti Then pun bersembunyi di balik semak-semak kurang lebih dua

puluh kaki dari tempat itu dan berjongkok tidak bergerak, sedang

dalam hati diam-diam pikirnya.

“Mungkin dia sudah lelah karena lari terlalu lama sehingga

sekarang harus beristirahat sebentar. …”

Baru saja pikiran tersebut berkelebat melewati benaknya

mendadak dari atas tidak jauh dari Cuo It Sian tampak secara tibatiba

berkelebat datang satu bayangan hitam.

Melihat akan hal itu Ti Then merasakan hatinya agak tergetar,

pikirnya dalam hati:

“Hmm,.. kiranya dia sedang menantikan kedatangaa seseorang..”

Tetapi dugaannya ternyata salah.

Agaknya orang yang melakukan jalan malarn itu bukanlah orang

yang sedang dinantikan oleh Cuo It Sian, karena begitu Cuo It Sian

melihat orang yang melakukan jalan malam itu mendekati dirinya

dengan cepat dia meloncat bangun.

“Siapa?” tanyanya dengan suara yang amat berat.

Agaknya orang yang sedang melakukan perjalanan malam itu

merasa sangat terkejut sekali, dengan cepat dia menghentikan

langkah kakinya lalu menyilangkan telapak tangannya di depan

dadanya.

“Kau adalah . . , Aaaah bukankah kau orang tua adalah Cuo It

Sian Cuo Lo cianpwe si pembesar kota?” serunya terkejut.

Di bawah sorotan sinar rembulan dapat dilihat orang yang

melakukan perjalanan malam itu berumur empat puluh tahunan,

wajahnya gagah dan’merupakan seorang berusia pertengahan yang

mem punyai semangat tinggi.

Air muka Cuo It Sian kelihatan amat ragu-ragu sekali dengan

amat telitinya dia memperhatikan beberapa saat lamanya lelaki

berusia pertengahan itu.

“Kau siapa?” tanyanya kemudian sesudah memperhatikan orang

beberapa saat lamanya.

Sikap dari orang berusia pertengahan itu sangat menghormat

sekali, dia segera merangkap sepasang tagannya menjura.

“Boan pwe Cau Ci Beng. dengan gclar Sin Eng atau si elang

sakti.”

“Kau kenal dengan lolap ?” tanya Cuo It Sian lagi.

“Benar.” sahut si elang sakti Cau Ci Beng mengangguk, “Suhuku

adalah Thiat Kiam Ong atau si kakek pedang baja Nyio Sam Pak,

pada tiga tahun yang lalu bukankah Cuo Lo cianpwe pernah

membantu dia orang tua membebaskan diri dari satu bencana

kemudian Cuo locianpwe masih bertamu di dalam perkam pungan

Kiam San Cung kami dan waktu itu bpanpwe yang meladeni diri kau

orang tua”

“Tidak salah . ., tidak salah . .. “ seru Cuo It Sian jadi paham

kembali. “Sekarang lolap sudah teringat kembali, bagaimana

keadaan dari suhumu pada rnasa-masa ini?”

“Suhu di dalam keadaan selamat dan sehat.”

Cuo It Sian segera tersenyum.

“Lolap sudah amat lama sekali belum pernah bertemu dengan

suhumu,” ujarnya.

“Suhuku pun sering merindukan diri Cuo locianpwe.”

“Lolap sendiri juga tidak melupakan suhmu . . Coba kau lihat,

pedang pendek Biat Hun atau pembasmi sukma yang suhumu

hadiahkan kepada lolap tempo hari masih lolap simpan terus di

dalam sakuku.” ujar Cuo It Sian sambil tertawa.

Dia segera mengambil keluar pedang pendek itu dan digoyanggoyangkan

di hadapannya Cau Ci Beng lantas disimpan kembali ke

dalam sakunya.

Mendengar keterangan tersebut diam-diam Ti Then merasa

sangat terperanyat sekali, pikirnya.

“Kiranya pedang pendek itu adalah pedang hadiah dari si kakek

pedang baja Nyio Sam Pak “ Mengenai si kakek pedang baja Nyio

Sam Pak ini dahulu dia pernah mendengar orang bercerita katanya,

si kakek pedang baja ini merupakan orang jagoan pedang yang

sudah lama mengasingkan diri dari dalam kalangan dunia persilatan,

dalam ilmu pedangnya kecuali Wi Ci To yang bisa menandingi boleh

dikata jarang sekali menemui tandingannya, tetapi dikarenakan

usianya yang sudah lanjut maka beberapa tahun yang lalu dia sudah

cuci tangan terhadap urusan dunia ramai.

Sekali pun begitu anak murid yang diterima amatlah banyak

sekali, karenanya sekali pun dia orang tua sudah lama

mengundurkan dirinya tetapi nama perkam pungan Thiat Kiam San

Cung masih sangat terkenal di dalam Bu-lim bahkan mendapat

sanjungan dan penghormatan dari orang lain.

Karena seperti Juga Wi Ci To, sikakek pedang baja ini pun

menerima murid dan mendidik anak muridnya untuk berbuat jujur

dan bersikap pendekar.

Saat ini sewaktu Si elang sakti Cau Ci Beng memperlihatkan

pedang hadiah dari suhunya itu ada air mukanya segera

memperlihatkan senyuman girangnya.

“Bilamana suhu dia orang tahu kalau Cuo locianpwe begitu

sayang terhadap pedang pendek Biat Hun ini tentu dia orang tua

sangat girang sekali, kenapa ditengah malam buta ini Locianpwe

berlari-lari di tempat luarau?”

“Pada malam tadi Lolap sedang mengejar seorang penyahat

pemetik bunga dari kota Gak Yang, tidak disangka sewaktu sampai

di sini sudah kena terlolos olehnya, karena itu aku lantas beristirahat

di sini sejenak.”

“Penyahat pemetik bunga yang mana?” tanya Cau Ci Beng

dengan serius.

“Dia mengerudungi wajahnya dengan menggunakan secarik kain,

karenanya lolap sama sekali tidak bisa tahu siapakah dia orang”

Dengan gemasnya Cau Ci Beng menghela napas panjang.

“Penyahat pemetik bunga yang ada di dalam Bu-lim memang

tidak sedikit jumlahnya, aku dengar itu “Giok Bin Lang Cu’ Cu Hoay

Lo yang sudah berbuat banyak sekali kejahatan telah dibinasakan

oleh Ti Then itu Kiauw-tauw dari benteng Pek Kiam Po.”

000odwo000

“EHHMMM.Lolap pun mendengar orang berkata begitu, cuma

tidak tahu sungguh-sungguh atau cuma berita isapan jempol saja”

“Kemungkinan sekali bukan lain isapan jempol,” ujar Cau Ci Beng

sambil gelengkan kepalanya. “Belum lama boanpwe pernah bertemu

dengan seorang pendekar pedaug merah dari benteng Pek Kiam Po,

boanpwe dengar berita tersebut dari penlekar pedang merah itu.”

“Malam ini Cau Hian tit datang kemari sedang ada urusan apa?”

“Boanpwe mendapat perintah dari suhu untuk pergi ke gunung

Cun san untuk meminta sebilah pedang dari Cu Kiam Lojin”

Mendengar perkataan tersebut air muka Cuo It Sian rada sedikit

berubah.

“Eeeei…pergi mengambil sebilah pedang ?”

“Benar, suhu sudah memesan suruh Cu Kiam Lojin membuatkan

sebilah pedang dan hari ini sudah jadi, pada setahun yang lalu

sewaktu suhu berpesiar kedaerah Lam Huang secara tidak sengaja

dia orang tua sudah menemukan sebuah besi baja yang amat bagus

sekali, lantas dia menyerahkan besi itu kepada Cu Kiam Lojin untuk

membuatkan sebilah pedang, pada akhir-akhir ini dia orang tua

mengirim surat kepada suhu yan katanya pedang tersebut sudah

jadi, karenanya boanpwe sekarang diperintahkan untuk pergi

mengambilnya.”

“Oooh …. kiranya begitu.”

“Locianpwe kenal dengan Cu Kiam Lojin ini ?” tanya Cau Ci Beng

lagi.

“Kenal…” sahutnya mengangguk.

Cu Kiam Lojin berturut-turut sudah membuatkan empat bilah

pedang buat suhu dia orang, sekarang yang boanpwe bawa ini

adalah satu diantaranya.”

“Kan It Hong adalah seorang akhli yang berpengalaman di dalam

membikin pedang, setiap pedang yang dibuat oleh dia orang

pastilah merupakan sebilah pedang yang amat bagus sekali.”

“Benar,” jawab Cau Ci Beng mengangguk, “Boanpwe sudah

menggunakan pedang ini selama sepuluh tahun lamanya, sampai

sekarang pedang ini masih tetap tajam tanpa memperoleh sedikit

kerusakan apa pun”

“Lolap sekali pun ada jodoh pernah bertemu beberapa kali

dengan Kan It Hong tetapi pedang yang dibuat lolap sama sekali

belum pernah melihatnya, dapatkah Cau hiantit meminyamkan

pedang itu kepadaku sebentar?”

Cau Ci Beng segera mencabut keluar pedangnya lalu dengan

menggunakan sepasang tangannya diangsurkan ke depan.

Cuo It Sian segera menerima pedang itu dan memperhatikannya

di bawah sorotan sinar rembulan.

“Ehhh, ternyata memang sebilah pedang yang sangat bagus

sekali,” pujinya berulangkali, “Cau hiantit sudah membinasakan

berapa banyak orang dengan menggunakan pedang ini?”

3 : Kehilangan jejak Cuo It Sian

“Boanpwe sudah membinasakan puluhan orang, tetapi yang

perlu diterangkan, manusia-manusia yang boanpwe bunuh

kebanyakan adalah kaum penyahat yang sudah sering melakukan

pekerjaan-pekerjaan durhaka, dan selama ini belum pernah

membinasakan seorang manusia baik pun..”

“Sebaliknya Lolap pernah membinasakan seorang manusia

baik…” seru Cuo It Sian sambil membelai pedang tersebut dan

menghela napas pendek.

“Ooh…benar?” seru Cau Ci Beng melengak.

“Benar, Lolap terang-terangan tahu kalau dia adalah seorang

manusia baik, tetapi mau tidak mau aku harus membinasakan

dirinya.”

“Lalu kenapa?”

Cuo It Sian tidak menyawab, dengan pandangan mata yang

melongo dia memperhatikan pedang yang ada di tangannya

kemudian baru angkat kepalanya dan bertanya.

“Kali ini Cau hian-tit melakukan perjalanan seorang diri ?”

“Benar” sahut Cau Ci Beng mengangguk, “Boanpwe dengan

seorang kawan sudah berjanyi untuk bertemu kembali beberapa

hari yang akan datang di kota Hoa Yong Sian, karena takut tidak

sampai kecandak waktunya maka terpaksa boanpwe melakukan

perjalanan dengan siang malam, aku punya perhitungan setelah

terang tanah nanti boanpwe sudah bisa tiba di atas gunung Cun

san”

Dengan perlahan Cuo It Sian mengangguk.

“Kalau memangnya demikian, Cau Hian-tit cepat-cepatlah

melakukan perjalanan,” ujarnya kemudian.

Selesai berkata pedang panjang yang ada ditangannya mendadak

ditusuk ke depan menghajar ulu hati dari Cau Ci Beng.

Cau Ci Beng lantas berteriak ngeri dengan amat menyayatkan

hati. sepasang tanganya mencekal kencang-kencang pedang

panjang itu sedang air mukanya memperlihatkan rasa kaget yang

bukan alang kepalang, sambil melotot kearah Cuo It Sian serunya

gemetar:

“Lo . . . Locianpwe kenapa . . . ke napa . .!”

Bicara sampai di sini dia tidak kuat untuk bertahan lebih lama

lagi, tubuhnya rubuh ke atas tanah dan menemui ajalnya seketika

itu juga.

Cuo It Sian segera menghela napas panjang.

“Kenapa aku membinasakan dirimu?” serunya dengan terharu.

“Hei…alasannya karena sewaktu kau tiba di gua naga di atas

gunung Cun San kemungkinan sekali bisa menemukan tempat

terkuburnya Kan It Hang dan dari penemuan mayat dari Kan It

Hong yang terbunuh oleh orang lain jika dihubungkan dengan

penemuan mala mini dengan lolap bukankah kau orang bisa timbul

rasa curiga. Lain kali mungkin kau bisa menceritakan kisah ini

kepada orang lain dan orang pastilah akan menaruh curiga kalau

Kan It Hong adalah lolap yang turun tangan membinasakannya.”

Dengan perlahan dia menggelengkan kepalanya lantas menghela

napas panjang lagi.

“Kesemuanya ini adalah alasan lolap kenapa terpaksa aku harus

turut membinasakan dirimu. bagaimana kau mati tidak meram

sukmamu pergi mencari Wi Ci To untuk membalas dendam ini

karena dialah yang memaksa lolap harus melakuka jalanan ini.”

Selesai berkata dia segera memungut kembali pedangnya dan

mulai menggali tanah untuk mengubur mayat dari Cau Ci Beng.

Ti Then yang melihat kejadian itu di dalam hati benar-benar

merasa sangat terkejut bercampur gusar, makinya diam-diam:

“Bajingan tua, kau patut menemui kematianmu, kau sudah

membinasakan orang kini malah mengalihkan dosanya kepada

orang lain”

Terhadap kematian dari Cau Ci Beng ini ia merasa amat menyesal

sekali, karena sewaktu dia mendengar perkataan yang terakhir dari

Cuo lt Sian tadi secara samar-samar dia sudah merasakan kalau Cuo

It Sian bermaksud hendak melenyapkan saksi hidup.

Pada waktu itusebetulnya dia mem punyai kesempatan untuk

kirim suara memberi peringatan kepada diri Cau Ci Beng, tetapi

dikarenakan dia belum benar-benar yakin kalau Cuo It Sian benar

mau turun tangan membinasakan Cau Ci Beng di samping dia pun

memikirkan perintah yang dibebankan kepadanya maka membuat

dalam hatinya sedikit ragu-ragu sewaktu keadaan sangat kepepet

itulah untuk memberi peringatan sudah tidak sempat lagi skhingga

tidak berhasil menolong nyawa dari Cau Ci Beng.

Diam-diam dia menggigit kencang bibirnya, dalam hati pikirnya:

“Pokoknya ada satu hari aku tentu akan mengumumkan seluruh

kejahatan dari kau bajingan tua di hadapan orang-orang Bu-lim

kemudian menghancurkan badanmu sehingga berkeping-keping.”

Agaknya Cuo It Sian sendiri pun takut I kalau sampai

diketemukan oleh orang lain, gerak-geriknya amat cepat dan tidak

selang kemudian dia sudah berhasil menggali liang yang amat besar

dan memasukkan mayat Cau Ci Beng ke dalam liang tersebut

kemudian menutupnya kembali dengan tanah, semuanya telah

selesai dia baru putar badannya melarikan diri ke sebelah Barat.

Ti Then tetap menguntitnya dari arah belakang. Dia tidak berani

terlalu dekat dengan dirinya.

Ketika sang surya muncul kembali di ufuk sebelah timur Cuo It

Sian sudah tiba di kota Hoa Yong Sian.

Ti Then segera mengikuti masuk ke dalam kota tersebut, ketika

dilihatnya Cuo It Sian sembari berjalan di tengahi jalan kepalanya

menengok ke kanan menengok ke kiri dia segera tahu kalau dirinya

sedang mencari rumah penginapan, teringat kuda Ang Shan Khek

nya masih dititipkan dipenginapan Im Hok tidak terasa diam-diam

doanya:

“Lebih baik jangan dibiarkan dia masuk ke rumah penginapan Im

Hok tersebut, kalau tidak aku akan menemui kesukaran untuk turun

tangan.”

Dia mem punyai rencana untuk meminyam keempatan sewaktu

Cuo It Sian menginap di rumah penginapan dia segera berusaha

untuk mencuri pedang pendek tersebut.

Sebaliknya di rumah penginapan Im Hok sudah ada nama serta

kudanya yang tertinggal di sana, karenanya dia tak ingin Cuo It Sian

masuk ke dalam rumah penginapan Im Hok itu sehingga membuat

urusan selanjutnya jadi berantakan.

Akhirnya rasa kuatir itu lenyap juga dari benaknya.

Cuo It Sian menginap di sebuah rumah pemginapan kecil dengan

nama Ban Seng.

Ti Then segera tahu dia sengaja mencari sebuah penginapan

kecil karena takut sampai ditemui oleh orang-orang yang dia kenal,

bersamaan pula dia tahu tentunya dia sedang melakukan siasat

siang mendekam malam bergerak paling sedikitnya dia akan

mendekam di penginapan Ban Seng itu seharian lamanya.

Segera dia mengambiI satu siasat pula. Dia segera membeli

seperangkat sepatu dan pakaian baru kemudian dengan

menggunakan beberapa macam barang untuk mengubah wajahnya

sete!ah itu baru berjalan ke luar kota dan mencari sebuah tempat

yang sunyi untuk mulai menyamar.

Terhadap ilmu mengubah wajah dia mem punyai satu

pengalaman yang cukup sempurna, tidak lama kemudian dia sudah

berhasil menyamar sebagai seorang pedagang pertengahan.

Setelah menyembunyikan sepatu, pakaian serta pedangnya dia

baru berjalan kembali lagi ke dalam kota.

Setelah memasuki kota dia langsung menuju kerumah

penginapan Ban Seng, ketika dilihatnya ada beberapa orang tamu

sedang membayar rekening siap meninggalkan tempat tersebut dia

segera menanti di samping,

Tidak lama kemudian terlihatlah seorang pelayan maju memberi

hormat kepadanya: “Khek-koan.. kau . .”

“Mau mencari kamar,” sahut Ti Then dengan cepat.

“Baik . . . baik.” sahut si pelayan sambil membungkukkan

badannya, silahkan Khek koan mengikuti hamba.”

Selesai berkata dia segera putar kepalanya berjalan masuk ke

dalam.

“Apa tidak perlu tinggalkan nama?”

“Tidak usah. . : tidak usah, silahkan kau orang beristirahat dulu

ke dalam kamar, nanti baru….”

“Tidak” potong Ti Then dengan cepat, “Aku mau menulis namaku

terlebih dulu, nanti sore ada kemungkinan seorang teman akan

kemari mencari aku”

“Kalau begitu silahkan ikuti hamba pergi ke sana” sahut pelayan

itu sambil menghentikan langkah kakinya.

Dia memimpin Ti Then menuju ke kamar kasir dan mengambil

sebuah kitab untuk kemudian membukanya pada halaman yang

terakhir menyilahkan Ti Then menulis namanya.

Tidak salah lagi pada nama tamu yang terakhir dia menemukan

tinta bak yang masih belum kering benar, tetapi nama yang ditulis

bukannya ‘Cuo It Sian’ tiga kata melainkan Cu Khei Kui.

Ti Then yang tidak menemukan nama ‘Cuo It Sian’ diantara

nama-nama tersebut dia segera menuding ke atas nama Cu Khei Kui

tersebut.

“Nama orang ini sungguh berarti sekali”

“Benar” sahut sang pelayan sambil tertawa. “Nama ini adalah

nama dari seorang tamu yang baru saja menginap di rumah

penginapan kami.”

Ti Then segera menulis namanya dengan sebutan Ciau Cuang di

belakang nama Cu

Khei Kui tadi sambil meletakkan kembali pitnya ke atas meja dia

berkata sambil tertawa.

“Aku adalah seorang pedagang, dan paling suka membicarakan

soal rejeki atau sial, nama orang ini adalah Khei Kui, tolong beri aku

satu kamar yang persis disarnpingnya saja, biar aku pun ikut

kecipratan rejeki.”

“Boleh.. boleh, tetapi tetamu tua itu baru mau tidur, dia berpesan

kepada hamba untuk jangan membangunkan dia, maka . …”

“Aku pun hendak pergi tidur sebentar “ potong Ti Then dingan

cepatnya. “Aku tidak akan membangunkan dirinya”.

“Kalau begitu bagus sekali. Khek koan kau ingin makan?” tanya

pelayan itu kemudian dengan cepat.

“Baiklah, ambilkan beberapa macam sayur dan bawa ke dalam

kamarku”

Demikianlah si pelayan itu segera memimpin dia masuk ke dalam

rumah penginapan dan membuka pintu kamar tepat di samping

kamar dari Cu Khei Kui dan membiarkan Ti Then masuk, kemudian

mempersiapkan makanannya.

Ti Then segera masuk ke dalam dia segera mepetkan badannya

dengan tembok untuk mendengarkan suara yang ada di sampingnya

dengan penuh perhatian,

Dia cuma mendengar suara napas yang agak keras dari Cu Khei

Kui itu, dia tentu pihak lawan sudah tertidur dengan amat pulasnya,

segera dia pun mengundurkan diri ke samping pembaringan dan

mulai memikirkan cara-cara untuk mencuri pedang pendek itu.

Tidak lama kemudian si pelayan sudah menghidangkan sarapan

pagi.

“Khek koan,” serunya. “Makanan pagimu sudah datang.”

“Baik,” sahut Ti Then sengaja mengganti nada ucapannya.

“Setelan makan aku pun mau tidur, kau tidak perlu melayani aku

lagi.”

Dengan amat hormatnya pelayan itu menyahut. setelah

meletakkan sarapan itu di atas meja dia segera mengundurkan

dirinya.

Setelah bersantap pagi Ti Then pun membaringkan badannya ke

atas tempat pembaringan melanjutkan pemikirannya cara-cara

untuk mencuri pedang tersebut.

Akhirnya dia memperoleh dua cara :

Pertama, sewaktu Cuo It Sian ada urusan dan meninggalkan

kamarnya.

Dan kedua, Sewaktu dia berganti pakaian atau sedang mandi.

Tetapi kedua buah cara itu baru bisa dilakukan menanti setelah

dia sadar kembali dari pulasnya, tetapi kapan dia baru sadar kembali

dari pulasnya?

“Ehmm, dia baru saja tertidur sudah tentu paling cepat siang

nanti baru bangun, lebih baik kini dirinya pun tidur sebentar.

Berpikir sampai di sini dia tidak melanjutkan kembali

pemikirannya, segera dia memejamkan matanya dan tertidur

dengan nyenyaknya.

Siapa tahu baru saja dia tertidur tidak lama, mendadak dari luar

kamar berkumandang datang suara yang amat ramai sekali.

Terdengar si pelayan itu dengan suara yang cemas sedang

berteriak:

“Eei . ,. . eei nona, kau sedang berbuat apa?”

Disambung dengan suara yang amat merdu dan nyaring dari

seorang gadis memberi jawabannya:

“Nonamu sedang cari orang”

“Kau sedang cari siapa?”

“Kau tidak usah ikut campur”

“Nona, kau…kau..menuntun anying itu, tentunya bukan sedang

perintah dia untuk menggigit orang bukan?”

“Bukan!”

“Lalu.. kenapa kau menuntun anying itu datang kemari?”

“Tadi aku sudah bilang aku sedang mmencari orang, apa

telingamu sudah tuli?”

“Tetapi…tetapi…”

“Kalau kau banyak bicara lagi nonamu segera akan perintah Cian

Li Yen ini untuk menggigit dirimu terlebih dulu”

Ti Then yang mendengar disebutnya nama ‘Cian Li Yen’ tiga buah

kata tidak terasa lagi menjadi sangat terkejut sekali, dengan gugup

tubuhnya meloncat bangun kemudian serunya di dalam hati:

“Aduh . . celaka, bagaimana dia bisa sampai di sini?”

Pada saat dia ingin membuka pintu kamar itulah mendadak dari

pintu kamar sebelah luar terdengar suara gonggongan anying

sangat ramai sekali, kemudian disusul suara dari Wi Lian In berkata:

“Cian Li Yen, apa tidak salah kamar ini?”

Sekali lagi anying itu menggonggong dengan amat kerasnya

bersamaan pula terdengar suara kuku anying yang mulai mencakar

pintu kamar.

Diam-diam Ti Then menghela napas panjang, pikirnya:

“Habis..habis sudah. Cuo It Sian yang ada di kamar sebelah

sesudah mendengar suara itu tentu akan kabur”

Dia takut Wi Lian In berteriak memanggil namanya terpaksa dia

segera maju ke depan membuka pintu kamar.

“Ada permainan setan apa? Siapa yang sudah membawa seekor

anying gila mengganggu orang?” teriaknya dengan gusar.

Wi Lian In yang berdiri di depan pintu di dalam anggapannya

orang yang ada di dalam kamar sudah tentu adalah diri Ti Then,

ketika dilihatnya orang yang ada di depan matanya sekarang bukan

lain adalah seorang lelaki berusia pertengahan dengan memelihara

jenggot pendek pada janggutnya seketika itu juga dia melengak.

“Kau siapa?” serunya dengan air muka yang sudah memerah.

“Cayhe Ciau Cuang” sahut Ti Then dengan nada suara yang

sengaja diperberat, “Nona ada keperluan apa datang mencari

cayhe?”

Untuk beberapa saat lamanya Wi Lian In dibuat kelabakan juga

dengan paksa dia menarik anying ‘Cian Li Yen’-nya.

“Maaf, maaf aku sudah salah mencari orang,”serunya kikuk.

“Sungguh membingungkan, hmmm..” seru Ti Then sambil

mendengus perlahan.

Selesai berkata dia hendak menutup pintu kamarnya kembali.

Siapa sangka si anying ‘Cian Li Yen’ itu tidak mau mengakui

kesalahannya, melihat Ti Then hendak menutup pintu dengan cepat

tubuhnya kembali menubruk ke depan dan menggonggong dengan

ramainya kearah diri Ti Then.

Dengan sekuat tenaga Wi Lian In segera menarik anyingnya ke

belakang,

“Binatang jahanam !” makinya dengan gusar. “Matamu betulbetul

sudah buta”

Si anying ‘Cian Li Yen’ itu tetap tidak mau mengaku salah,

kakinya diangkat ke atas dan tak henti-hentinya menggonggong

dengan menghadap diri Ti Then.

Si pelayan yang ada di samping sewaktu melihat kejadian ini dia

jadi semakin keras lagi, teriaknya berulang kali.

“Coba kau lihat, aku tadi Tanya kau mencari siapa kau orang

tidak mau menyawab, sekarang anyingmu sudah membangunkan

tetamu kita semua sungguh kurang ajar..sungguh kurang ajar

sekali”

“Cepat, tarik dia keluar” teriak Ti Then pula sambil mengulapkan

tangannya, “Kalau tidak jangan salahkan aku segera akan pukul

anying itu dengan menggunakan tongkat”

Wi Lian In menganggukkan kepalanya berulangkali lantas dengan

sekuat tenaga menarik anying Cian Li Yen-nya untuk mengundurkan

diri dari situ.

“Ayoh jalan…ayoh jalan,” bentaknya dengan keras, “Kau anying

goblok, anying konyol tunggu saja pembalasanku sekembalinya dari

sini”

Pada saat itulah dari pintu kamar Cu Khei Kui yang ada di

samping kamar Ti Then terbuka dengan perlahan disusul bergema

datangnya suara seorang kakek tua.”

“Ada urusan apa yang begitu ramai dan ributnya?”

“Aduh, habislah..” batin Ti Then diam-diam dia merasa hatinya

berdebar dengan amat keras.

Dia berpendapat bahwa ketika Cuo It Sian berjalan keluar dari

kamarnya dan melihat Wi Lian In seorang diri ada di sana, dia tentu

akan menawan diri Wi Lian In, pada saat itu dirinya harus turun

tangan memberi bantuan dengan begitu bukankah ‘penyamaran’-

nya akan jadi berantakan?

Atau dengan perkataan lain, seluruh usahanya yang susah payah

ini hancur berantakan sampai di sini.

Tetapi sewaktu dia orang sedang menghela napas panjang

dikarenakan kejadian inilah mendadak dia dibuat tertegun sesudah

melihat wajah dari Cu Khei Kui itu.

Kiranya Cu Khei Kui yang baru saja keluar dari kamar itu

bukanlah si pembesar kota Cuo It Sian melainkan adalah seorang

kakek tua yang berperawakan kurus sekali.

Dengan mata terbelalak mulut melongo Ti Then memperhatikan

kakek tua itu tajam-tajam untuk beberapa saat lamanya dia tidak

dapat mengucapkan sepatah kata pun. Ia selalu menganggap Cu

Khei Kui itu adalah adalah diri Cuo It Sian, siapa tahu dugaannya

ternyata adalah salah besar, kesalahannya kali ini benar-benar amat

lihay sekali.

Kalau memangnya Cu Khei Kui ini bukanlah Cuo It Sian, lalu Cuo

It Sian yang sebsnarnya tinggal di kamar sebelah mana?

Begitu pikiran tersebut berkelebat di dalam benaknya, ketika

dilihatnya Wi Lian In sudah hendak meninggalkan halaman rumah

penginapan tersebut dia segera berteriak dengan keras:

“Nona, tunggu sebentar!”

Sembari berteriak dia mengejar ke depan dengan langkah yang

cepat.

“Ada urusan apa?” tanya Wi Lian In setelah mendengar

perkataan tersebut, dia berhenti dan putar badannya.

“Cayhe sekarang sudah jadi paham kembali bukankah nona

sedang menggunakan penciuman anying ini sedang mencari

seseorang?”

Sskali pun perkataanmu itu sedikit pun tidak salah lalu kau

orang mau apa?” Seru Wi Lian In ketus.

“Anying nona itu sudah mencari sampai di sepan kamar cayhe

kemungkinan sekali tidak salah orang yang sedang nona cari ada

kemungkinan pernah tinggal di dalam kamarku itu.”

“Ehmmm…. kemungkinan sekali memang demikian” Seru Wi Lian

In.

Mendadak Ti Then memperendah suaranya, ujarnya dengan

cepat:

“Aku adalah Ti Then, kau pergilah dulu sebentar kemudian aku

akan menyusul datang.”

Berbicara sampai di sini dia segera memperkeras suaranya.

“Kenapa nona tidak pergi ke tempat pemilik rumah penginapan

ini untuk memeriksa daftar nama tetamu? Kemungkinan sekali dari

sana bisa ditemukan kembali.”

Wi Lian In agak melengak dibuatnya, tetapi sebentar kemudian

dia sudah mengangguk berulang kali.

“Tidak salah…tidak salah” serunya dengan cepat, “Biarlah aku

periksa sebentar”

Selesai berkata dengan terburu-buru dia menarik anying Cian Li

Yen-nya untuk berlalu dari sana.

Setelah melihat bayangan dari Wi Lian In lenyap dari pandangan

Ti Then baru tertawa, putar badan dan ujarnya sambil gelengkan

kepalanya berulang kali.

“Nona ini sungguh amat lucu sekali…”

Si pelayan itu segera menjura berulang di depan Ti Then serta Cu

Khei Kui.

“Maaf..maaf, sudah mengganggu kalian, maaf..” serunya sambil

tertawa paksa.

Cu Khei Kui tidak menyawab, dia putar badan berjalan masuk

kembali ke dalam kamarnya dan menutup pintu kembali.

Sedangkan Ti Then segera menarik tangan si pelayan itu ke

samping.

“Aku mau bertanya kepadamu,” ujarnya dengan suara yang amat

lirih sekali, “Pagi ini orang yang memasuki rumah penginapanmu

kecuali aku beserta si kakek tua she Cu itu masih ada siapa lagi?”

“Sudah tidak ada lagi,” sahut pelayan itu sambil gelengkan

kepalanya.

“Sungguh?” tanya Ti Then keheranan.

“Sungguh,” sahutnya mengangguk.

“Tetapi kurang lebih dua jam sebelum aku memasuki rumah

penginapanmu ini agaknya aku pernah melihat seorang kakek tua

berjubah hijau memasuki rumah penginapan ini, kakek tua berjubah

hijau itu mem punyai perawakan tinggi besar.”

“Betul, betul..” sambung pelayan itu dengan cepat, “Memang

pernah ada seorang kakek tua berjalan memasuki rumah

penginapan kita ini, tetapi dia tidak menginap di sini.”

“Kenapa?”

“Siapa yang tahu?” sahut pelayan itu sambil merentangkan

tangannya ke samping.

“Semula dia punya rencana untuk tinggal di sini selama

beberapa hari lamanya tetapi setelah bersantap pagi mendadak dia

bilang ada urusan penting yang harus diselesaikan, dengan terburuburu

dia membayar rekening lantas meninggalkan tempat ini.”

“Kalau begitu dia pernah masuk ke dalam kamar?”

“Benar, kamarnya ada tepat di hadapan kamarmu.”

Sambil berkata dia menuding kearah sebaris kamar, lantas

tanyanya lagi secara tiba-tiba.

“Khek-koan, kau kenal dengan Lo-sianseng itu?”

“Tidak kenal, Cuma saja aku tahu siapakah dia orang

adanya….dia adalah..ehmmm..dia adalah seorang yang sangat luar

biasa sekali.”

Si pelayan itu jadi ingin tahu lebih lanjut, desaknya kemudian.

“Bagaimana hebatnya?”

“Dia adalah seorang penulis yang paling terkenal pada saat ini.

Setiap tulisannya bisa laku sepuluh tahil perak.”

“Aaaah..” teriak pelayan itu sambil menjulurkan lidahnya. “Setiap

tulisannya bisa laku sepuluh tahil perak? Oohh Thian..”

“kamar yang baru saja ditinggali apa sudah kau beresi?”

“Belum”

“Kalau begitu mari kita pergi ke kamarnya untuk memeriksa

jikalau bisa menemukan tulisan-tulisannya yang dibuang

kemungkinan sekali kita bisa untung besar”

“Belum” sahut si pelayan itu dengan cepat. “Agaknya dia tidak

pernah membuang semacam barang pun.”

“Kalau begitu, mari kita pergi mencari” sahut Ti Then menarik

ujung bajunya.

Selesai berkata dia segera berjalan menuju kekamar tetamu yang

amat panjang.

Si pelayan yang melihat dia begitu bernapsunya terpaksa ikut

dari belakangnya dan membukakan pintu kamar dimana Cuo It Sian

pernah ditinggali.

“Hamba berani bertaruh dengan Khek koan” ujarnya tertawa,

“Lo-sianseng itu sama sekali tidak membuang tulisan apa pun juga”

Ti Then tidak mengambil bicara, dia segera berjalan masuk ke

dalam ruangan dan memeriksa keadaan di sekeliling tempat itu,

akhirnya di bawah sebuah pembaringan dia menemukan sepasang

sepatu yang berbau amat busuk dan sudah berlubang, dalam hati

dia merasa sangat girang sekali sambil memungut sepatu tersebut

ujarnya.

“Sepasang sepatu bobrok ini apakah peninggalan dari Losianseng

itu?”

“Benar, apakah barang itu pun sangat berharga?” tanya si

pelayan itu sambil tertawa.

Dari dalam sakunya Ti Then mengambil secarik kain lalu

membungkus sepatu itu dengan sangat berhati-hati dan dimasukkan

kembali ke dalam sakunya.

Setelah itu dia mengambil pula sebuah hancuran uang perak

yang disusupkan ke dalam tangan pelayan itu.

“Boleh bukan aku membawa pergi sepasang sepatu bobrok ini ?”

Si pelayan itu jadi kebingungan, dia memandang ke atas

hancuran keping perak yang ada di tangannya lantas memandang

pula ke arah Ti Then dengan pandangan keheranan.

“Khek-koan.” ujarnya. “Dengan uang sebanyak ini paling sedikit

kau masih bisa membeli dua pasang sepatu baru”

“Tetapi aku labih suka sepasang sepatu bobrok ini” sahut Ti Then

tertawa. “Karena barang yang pernah dipakai oleh seorang penulis

terkenal sangat berharga sekali.”

“Hamba tidak paham” ujar pelayan itu sambil gelengkan

kepalanya berulang kali.

“Sudahlah..” ujar Ti Then sambil menepuk-nepuk pundaknya.

“Karena diganggu nona tadi setan tidurku pun sudah diusir keluar

dari dalam badanku, aku segera mau meninggalkan rumah

penginapan ini, coba kau pergi menghitung rekeningku.”

“Kau mau pergi ?” tanya pelayan itu melengak.

Ti Then segera berjalan dari kamar itu untuk masuk ke dalam

kamarnya sendiri.

“Benar.” jawabnya. “Tetapi kau boleh berlega hati, aku sanggup

untuk membayar uang sewa kamar selama satu hari penuh.”

Sskembalinya di dalam kamarnya send:ri dia lantas memeriksa

apakah barangnya ada yang ketinggalan setelah itu baru berjalan

keluar untuk membayar rekening, akhirnya meninggalkan rumah

penginapan tersebut.

Sekeluarnya dari pintu rumah penginapan itu dia sudah

menemukan Wi Lian In serta si anying Cian Li Yen-nya sedang

menanti di ujung jalan, dengan cepat dia berjalan menuju

kearahnya dan lewat dari samping badannya.

“Tunggulah aku dipintu sebelah timur” ujarnya denan suara yang

amat lirih.

“Sudah terjadi urusan apa ?” tanya Wi Lian In dengan cemas.

Ti Then tidak menyawab, tapi melanjutkan kembali

perjalanannya kearah depan.

-ooo0dw0oooJILID

29.1 : Menggunakan anying Cian Li Yen

DALAM HATI Wi Lian In merasa amat heran bercampur terkejut,

tetapi dia tahu Ti Then berpesan demikian tentu ada sebabsebabnya

kareoanya tanpa bertsnya lebih lanjut dia segera mensrik

anying Cian Li Yen-nya untuk berlari menuju kearah pintu kota

sebelah Timur.

Ti Tben segara berjalan melewati sebuah jalan kecil lantas berdiri

di pojokan lorong, secara diam-diam dia memperhatikan semua

orang yang berjalan mengikuti dari belakang Wi Lian In, setelah

dilihatnya bayangan dari Wi Lian In telah lenyap di ujung jalan dan

betul-betul yakin kalau tidak ada orang yang membututinya dari

belakang dia baru berani melanjutkan kembali langkahnya untuk

mengejar diri Wi Lian In.

“Mari ikut aku,” serunya,

“Ada orang yang membuntuti kita?” Tanya Wi Lian In dengan

cepat.

“Tidak ada.”

“Lalu kenapa kau begitu berhati-hati dan gerak-gerikmu begitu

rahasianya.”

“Aku mau tidak mau harus mengadakan persiapan, karena ada

seseorang yang kemungkinan sekali sudah mengetahui jejakmu.”

“Siapa?”

“Nanti saja aku beritahukan kepadamu” sahut Ti Then dengan

cepat,

Selesai berkata dengan langkah yang lebar dia berjalan menuju

ke tempat dimana pada pagi hsrinya dia menyembunyikan pakaian

serta pedang panjangnya.

Matanya dengan perlahan memeriksa sebentar keadaan

disekeliling tempat itu setelah dirasakannya tidak ada orang dia baru

duduk di atas tanah rumput.

“Kau duduklah” ujarnya kemudian.

Wi Lian In segera duduk saling berhadapan dengan dirinya.

“Eei . . . kenapa kau menyamar dengan wajah yang begitu

jeleknya?” tanyanya sambil teriawa.

Lama sekali Ti Then memperhatikan dirinya, kemudian balik

tanyanya:

“Lalu kenapa kau ikut keluar dari Benteng?”

“Aku harus tahu apa alasanmu meninggalkan Benteng tanpa

psmit,” sahut Wi Lian In sambil mengerutkan alisnya.

“Bilamana aku adalah ayahmu maka aku harus keras-keras

mengbajar pantatmu.”

“Apa alasanmu meninggalkan Benteng tanpa pamit aku harus

mengetahuinya dengan jelas” teriak Wi Lian In dengan gusar.

“Apa Shia Pek Tha tidak menjelaskan kepadamu?”

“Aku tanya kepadanya, dia bilang tidak tahu maka secara diamdiam

dengan membawa anying Cian Li Yen aku meninggalkan

Benteng. karena cuma anying Cian Li Yen saja yang bisa mengejar

dirimu, kau jangan harap bisa melepaskan dtri dari diriku.”

“Kali ini aku meninggalkan Benteng sebetulnya sedang pergi

membereskan satu persoalan yang diperintahkan oleh ayahmu, aku

sama sekali tidak bermaksud meninggalkan benteng Pek Kiam Po

untuk selama-lamanya” ujar Ti Then memberikan penjelasannya.

Lalu kenapa kau tidak memperbolehkan aku mengetahui ?” tanya

Wi Lian In kurang senang.

“Karena aku takut kau akan ikut keluar maka itu aku tidak

membiarkan kau mengetahuinya. ”

“Seharusnya kau mengetahui sifatku, bilamana kau memberitahu

secara terus terang kepadaku kemungkinan sekali aku masih mau

berdiam di dalam Benteng.”

“Mungkinkah ?” tanya Ti Then sambil tertawa pahit,

“Sudah . . , sudahlah,” seru Wi Lian In sambil tertawa meringis.

“Sekarang aku sudah ikut keluar Benteng, lebih baik kau ceritakan

dulu apa tugas yang sudah diberikan ayahku untuk kau laksanakap”

Ti Then melirik sekejap memandang kearah anying Cian Li Yen

yang sedang berbaring di sampingnya, kemudian baru bertanya

“Kau menggunakan anying Cian Li Yen ini membuntuti diriku

apakah pernah melewati gunung Bu Leng san ?”

“Benar,” sahut Wi Lian In mengangguk.

“Di atas gunung ada sebuah rumah gubuk, kau menemukan

sesuatu di sana?” tanya Ti Then lebih lanjut.

“Benar, agaknya kau pernah menginap satu malam di dalam

gubuk tersebut bukan begitu?”

Sekali lagi Ti Then mengangguk, “Lalu sewaktu kau memasuki

rumah gubuk itu apakah sudah menemukan seseorang di sana ?”

tanyanya.

“Tidak, majikan rumah itu adalah seorang penebang kayu,

kemungkinan sekali dia sedang naik ke atas gunung untuk mencari

kayu”

Ti Then yang mendengar perkataan tersebnt dia segera

mengetahui kalau Wi Lian In sama sekali tidak bertemu dengan si

pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan. Kwek Kwan San serta si

manusia berkerudung berbaju biru yang dikirim

majikan patung emas untuk mengawasi geraK geriknya itu

karenanya dia lantas berkata:

“Tidak salah, aku sudah menginap satu malam di rumah pencari

kayu itu untuk kemudian pada keesokan harinya meninggalkan

tempat itu.”

“Bilamana aku datang setengah hari lebih pagi kemungkinan

sekali masih bisa bertemu dengan dirimu, kemudian agaknya kau

melanjutkan perjalanan menuju kearah sebelah Timur dan menuju

ke gunung Cun san bukan demikian ?” ujar Wi Lian In.

“Betul, kalau memangnya kau pernah datang ke gunung Cun san

sudah seharusnya kau paham apa tugasku kali ini bukan?”.

“Aku mengejar terus sampai di depan mulut gua di atas gunung

Cun san, tetapi agaknya kau tidak memasuki gua tersebut

sebaliknya bersembunyi di belakang sebuah batu cadas yang besar,

apakah kau sedang menyelidiki seorang yang berada di dalam gua

tersebut?”

“Ehmmm..” sahut Ti Then mengangguk, “Tahukah kau siapa

yang bertempat tinggal di dalam gua tersebut?”

“Tidak tahu.”

“Gua tersebut bernama gua naga, tempat itu adalah tempat

tinggal dari si Cu Kiam Lojin Kan It Hong”

“Aaah , . kiranya Cu Kiam Lojin tinggal di dalam gua itu, buat apa

kau pergi mencari dirinya?” tanya Wi Liau In dengan sangat

terperanyat.

“Aku bukan pergi mencari dia, sebaliknya sedang menanti

kedatangan seseorang”

“Aah… sekarang aku sudah paham”

“Ehm..”

“Bukankah kau sedang menanti kedatangan Cuo It Sian?”

“Benar,” sahut Ti Then mengangguk. “Ayahmu mengira ada

kemungkinan dia bisa pergi mencari Cu Kiam Lojin untuk

membetulkan pedangnya, karena itu sengaja memerintahkan diriku

untuk pergi ke gunung Cun san menanti dan curi kembali pedang

itu”

“Lalu apakah dia sudah datang ke sana?”

“Sudah.”

“Lalu kau berhasil mencuri potongan pedang itu?”

“Tidak.”

“Kenapa tidak mau merampas dengan terang-terangan”

“Ayahmu memerintahkan diriku untuk mencuri potongan pedang

itu secara diam-diam tanpa sepengetahuan dirinya, dia orang tua

melarang aku merampas dengan terang-terangan.”

“Maksudnya?”

“Ayahmu tidak memberi keterangan”

“Apa Cu Kiam Lojin sudah berhasil menyambung kembali

potongan pedang tersebut?”

“Sudah.”

“Kau boleh mengadakan hubungan dengan Cu Kiam Lojin untuk

mencuri kembali potongan pedang tersebut”

“Sebetulnya aku pun mem punyai maksud untuk bertindak

demikian, cuma saja kedatanganku rada sedikit terlambat. Sewaktu

aku tiba digua naga di atas gunung Cun san, Cu Kiam Lojin sudah

berhasil menyambungkan potongan pedang dari Cuo It Sian itu

sedang bersama-sama keluar dari gua aku takut jejakku sampai

diketahui oleh Cuo It Sian maka sengaja aku bersembunyi di

belakang batu besar.”

“Akhirnya kau membuntuti Cuo It Sian terus sampai ke kota Hoa

Yong Sian?” timbrung Wi Lian In.

“Benar,” jawab TiThen membenarkan. “Tetapi aku hendak

menceritakan satu peristiwa yang menyedihkan terlebih dulu ……

sesaat sebelum Cuo It Sian meninggalkan gunung Cun san

mendadak dia sudah turun tangan jahat terhadap diri Cu Kiam

Lojin.”

“Iih…kenapa dia turun tangan jahat terhadap Cu Kiam Lojin ?”

tanya Wi Lian In terperanyat.

“Dia membinasakan diri Cu Kiam Lojin ada kemungkinan

dikarenakan dia tidak ingin membiarkan orang lain tahu kalau

pedang pendek tersebut sudah pernah patah menjadi dua untuk

kemudian disambung kembali.”

“Perkataan apa itu?”

“Aku tidak tahu, tetapi aku percaya putusnya pedang pendek itu

kemungkinan, sekali sudah menyimpan satu rahasia yang tidak

memperkenankan orang lain untuk mengetahuinya,”

“Tia tentu tahu rahasia terputusnya pedang itu.”

“Benar.”

“Kau melihat dengan mata kepalamu sendiri dia membunuh Cu

Kiam Lojin?”

“Benar,” jawab Ti Then mengangguk, “Sewaktu aku headak

masuk ke dalam gua naga uutuk mencari Cu Kiam Lojin mendadak

dari dalam gua berkumandang keluar suara orang yang sedang

berbicara.”

Segera dia menceritakan kisah dimana Cuo It Sian

membinasakan diri Cu Kiam Lojin kemudian bagaimana ditengah

jalan membinasakaa pula anak murid dari si si kakek pedang baja

Nyio Sam Pek yaitu si elang sakti Cau Ci Beng.”

Ketika Wi Lian In mendeugar kalau pedang pendek Biat Hun milik

Cuo It Sian itu sebenarnya adalah hadiah dari si kakek pedang baja

Nyio Sam Pek dia semakin merasa terkejut bercampur heran.

“Jika demikian adanya rahasia yang menyelimuti pedang pendek

milik Cuo It Sian ini mem punyai hubungan dan sangkut paut yang

sangat erat sekali dengan si kakek pedang baja Nyio Sam Pek?”

“Aku rasa tidak ada.”

“Tidak ada?” seru Wi Lian In keheranan.

“Betul, jika didengar dari perkataan si elang sakti Cau Ci Beng,

pada beberapa tahun yang lalu Cuo It Sian pernah membantu Nyio

Sam Pak membebaskan diri dari suatu bencana yang amat

membahayakan nyawanya, untuk membalas budi kebaikan ini Nyio

Sam Pal lantas menghadiahkan sepotong pedang pendek Biat Hun

itu kepada Cuo It Sian setelah itu Nyio Sam Pak sama sekali belum

pernah bertemu kembali dengan dirinya maka terputusnya pedang

pendek Biat Hun ini agaknya sama sekali tidak ada hubungannya

dengan diri Nyio Sam Pak.”

Dengan perlahan Wi Lian In menganggukkan kepalanya.

“Kalau begitu” ujarnya kemudian, “Dia dapat turun tangan

membinasakan diri Cau Ci Beng kesemuanya dikarenakan takut Cau

Ci Beng menemukan jenasah dari Cu Kiam Lojin di dalam gua naga

kemudian menaruh curiga kalau dialah yang sudah turun tangan

membunuh orang tua itu.

“Tidak salah” sahut Ti Then membenarkan, “Tempat dimana dia

bertemu dengan Cau

Ci Beng cuma ada lima puluh lie jauhnya dari gunung Cun san,

dia takut Cau Ci Beng menemukan mayat dari Cu Kiam Lo jin lantas

menaruh curiga terhadap dirinya”

oooOooo

Halaman 13-14 robek

“Setelah mengetahui dia merasa ada yang mengikuti, aku

mengambil keputusan untuk menyamar dan ikut menginap di dalam

rumah penginapan tersebut bersamaan pula dengan ini mencari

kesempatan yang baik untuk mencuri kembali potongan pedang itu,

siapa tahu akhirnya aku sudah salah menganggap orang lain”

Ketika Wi Lian In mendengar dia sudah salah menganggap Cu

Khei Kui sebagai Cuo It Sian tidak kuasa lagi sudah tertawa geli.

“Masih untung saja Cu Khei Kui itu bukanlah diri Cuo It Sian”

ujarya.

“Apa artinya?” Tanya Ti Then melengak.

Wi Lian In tersenyum.

“Bilamana Cu Khei Kui itu adalah diri Cuo It Sian maka dengan

perbuatanku tadi berarti juga sudah membocorkan pekerjaanmu,

kau tentu akan membenci diriku setengah mati,” sahutnya.

“Betul,”sahut Ti Then sambil tertawa, “Tetapi untung saja dengan

perbuatanmu itu dengan cepat aku bias mengetahui kesalahan

anggapanku, jikalau kau tidak dating ke sini kemungkinan sekali aku

harus menunggunya sampai nanti malam baru tahu kalau aku sudah

salah menganggap orang lain sebagai diri Cuo It Sian, waktu itu

kemungkinan sekali dia orang sudah melarikan diri jauh-jauh”

“Kalau sekarang kita melakukan pengejaran masih bisa kecandak

tidak?” tanya Wi Lian In kemudian.

“Kemungkinan sekali”

“Untuk sementara tidak mungkin pulang ke rumah.”

“Tidak perduli dia hendak lari kemana pun aku masih ada satu

cara untuk mendapatkannya” ujar Ti Then tertawa.

“Kau hendak mencari dengan cara apa?”

Ti Then segera menuding kearah anying Cian Li Yen itu, dia

tertawa.

“Menggunakan Cian Li Yen untuk mencari jejaknya.”

“Bilamana kita hendak menggunakan Cian Li Yen seharusnya ada

semacam bararg dari Cuo It Sian baru bisa dilaksanakan,”

Dari dalam sakunya Ti Then segera mengambil keluar sepasang

sepatu bobrok yang ditemukannya di dalam kamar Cuo It Sian itu.

“Barangnya ada di sini.” serunya.

Melibat hal itu Wi Lian In jadi amat girang sekali.

“Barang ini adalah barang peninggalannya?” tanyanya cepat.

“Benar,”jawab Ti Then mengangguk.

“Bagus . . bagus sekali” teriaknya, “Mari kita segera melakukan

pengejaran.”

“Ayahmu tidak menghendaki kau ikut keluar dikarenakan dia

takut kau terjatuh kembali ke tangannya.”

“Kau jangan berpikir hendak mengusir aku pulang” sela Wi Lian

In cepat.

“Kalau begitu kau harus mengubah dulu wajahmu, dengan

demikian sewaktu mendekati dirinya tidak sampai bisa ditemui oleh

dirinya”

“Baiklah, nanti setelah sampai di dalam kota aku akan mencari

seperangkat baju -lagi dan barang-barang untuk mengubah wajah,

eei, kuda Ang Shan Khek-mu ada dimana?” ujar Wi Lian In

kemudian.

“Aku titipkan di rumah penginapan Im Hok di dalam kota.

“Karena kali ini aku keluar dari benteng secara diam-diam maka

tidak sampai menunggang kuda, entah di dalam kota bisa tidak

nembeli seekor kuda?”

“Kita pergi lihat-lihat saja.”

Sehabis berkata dia mengambil keluar pakaian serta pedangnya

dari balik semak dan bangkit berdiri.

Mereka berdua segera berjalan kembali ke dalam kota. Ti Then

kembali terlebih dahulu kemmah penginapan Im Hok untuk

mengambil kembali kuda Ang Shan Kheknya, lantas membeli bahanbahan

untuk mengubah wajah buat Wi Lian In dan akbirnya di pasar

kuda membeli seekor kuda untuk kemudian melanjutkan perjalanan

keluar dari kota.

Sekeluar dari pintu kota sebelah Utara mereka berdua mencari

sebuah hutan untuk membiarkan Wi Lian In mengubah wajahnya

sendiri.

Ketika berjalan keluar kembali dari dalam hutan itu dari seorang

nona yang cantik Wi Lian In kini sudah berubah menjadi seorang

perempuan berusia pertengahan yang banyak berkeriput.

Kepalanya diikat dengan secarik kain berwarna bijau pakaiannya

memakai seperangkat baju amat besar sekali dengan sebuah tahi

lalat menghiasi di bawah bibirnya, kelihatan dia jauh lebih jelek

beberapa bagian.

“Selama di dalam perjalanan kali ini kita mau saling memanggil

sebagai suami istri atau saudara saja?” tanya Ti Then kemudian

sambil tertawa.

“Sesukamu,” sahut Wi Lian In sambil tertawa pula.

“Lebih baik kita jelaskan terlebih dulu sehingga jangan sampai di

depan orang lain memanggil aku Niocu kepadamu sedang kau

memanggil koko kepadaku”

“Bilamana harus jadi suami isteri kemungkinan sekali kau tidak

ma uterus terang, lebih baik kakak beradik saja” ujar Wi Lian In

sambil tertawa malu.

Ti Then tidak banyak berbicara, dari dalam sakunya dia

mengambil keluar kembali sepatu dari Cuo It Sian itu lantas

diberikan kepadanya.

“Sekarang kau berikanlah barang ini biar dicium Cian Li Yen”

Wi Lian In segera menyambut barang tersebut dan diciumkan

kepada anyingnya

Cian Li Yen.

“Hey Cian Li Yen,” serunya, “Kita mau pergi mencari dia orang,

kan bawalah kami Ke sana”

Cian Li Yen lantas mascium sepatu itu beberapa saat lamanya

dan kemudian berlari di tempat itu, agaknya dia tidak menemukan

hawa dari Cuo It Sian disekitar tempat ini terbukti dengan cepatnya

ia sudah menuju ke jalan raya.”

Ti Then serta Wi Lian In dengan cepat melarikan kudanya

mengikuti dari belakangnya, setelah berlari sampai di atas jalan raya

tampaklah Cian Li Yen berlarian bolak balik lari di atas jalan raya

tersebut, agaknya dia masih belum menemui juga bau dari Cuo It

Sian, akhirnya dia berdiri tidak bergerak di depan kuda Wi Lian In.

Kemungkisan sekali Cuo It Sian tidak melalui tempat ini, lebih

baik kita bawa Cian Li Yen kembali ke kota terlebih dulu, biar dia

mencari mulai dari rumah penginapan Ban Seng itu saja” ujar Ti

Then kemudian.

“Baiklah,” sahut Wi Lian In.

Dia segera menarik tali les kudanya dan melanjutkan

perjalanannya kembali ke kota Hoa Yang Sian.

Dengan disertai suara gonggongan yang keras Cian Li Yen

dengan cepat berlari terlebih dulu ke depan.

Tetapi sewaktu berada dua puluh kaki dari pintu kota mendadak

di sebuah perempatan jalan si Cian Li Yen, anying itu berhenti

berlari dan mulai menciumi tanah di sekeliling tempat itu, kemudian

angkat kepalanya dengan disertai suara gonggongan yang keras ia

berlari kembali menuju kea rah Barat laut.

Dengan cepat Wi Lian In melarikan kudanya mengikuti dari arah

belakang.

“Dia sudah mendapatkan bau badan dari Cuo It Sian,” teriaknya

cepat.

“Kalau begitu perintah dia untuk melanjutkan kejarannya kearah

depan”

“Cian Li Yen, apa jalan ini?” Tanya Wi Lian In kepada anyingnya

sambil menuding kearah satu jalan.

Sekali lagi si anying Cian Li Yen menggonggong kemudian berlari

melalui jalan raya tersebut.

Ti Then serta Wi Lian In segera melarikan kudanya di dalam kota

kecil itu, dia segera memerintahkan Wi Lian In untuk memanggil

kembali si anying Cian Li Yen.

“Aku mau melihat-lihat dulu ke dalam kota” ujarnya kemudian,

“Bilamana tidak menemui dirinya di dalam kota, kita baru

melanjutkan kembali pengejaran kita”

“Lebih baik kau masuk ke kota dengan berjalan kaki saja” seru

Wi Lian In dengan cepat. “Kemungkinan sekali dia kenal dengan

kuda Ang Shan Khek-mu itu”

Ti Tben segera merasakan perkataan tersebut sedikit pun tidak

salah, dia lantas turun dari kudanya dan menyerahkan tali les kuda

tersebut kepadanya untuk kemudian melanjutkan perjalanannya

masuk dalam kota dengan berjalan kaki.

Kota kecil ini cuma punya satu jalanan saja dengan tujuh,

delapan puluh rumah penduduk, di pinggir jalan ada rumah

penginapan ada pula rumah makan.

Ti Then dengan mengikuti jalan raya itu memeriksa keadaan

disekeliling tempat itu dengan sangat teliti, tetapi walau pun sudah

sampai di ujung jalan tidak menemukan juga jejak dari Cuo It Sian,

terpaksa dia berjalan keluar menyambut dirinya.

“Khek koan…” serunya. “Tidak masuk ke dalam untuk beristirahat

sebentar?”

“Terima kasih” sahut Ti Then sambil menghentikan langkah

kakinya. “Cayhe sedang mencari seorang tua, apakah Loheng pagi

ini pernah melihat seorang kakek tua berbaju hijau yang lewat di

sini?”

“Ada . . ada .. bukankah kakek itu mem punyai perawakan tinggi

besar dengan rambutnya yang sudah pada memutih?” ujar pelayan

itu cepat.

“Benar ,. Benar” sahut Ti Then dengan amat girang.

Pelajan itu segera menuding kearah ujung jalan tersebut.

“Kurang lebih satu jam yang lalu dia berlalu dengan melewati

tempat ini dan melanjutkan perjalanannya ke sana.”

Ti Then benar-benar merasa sangat girang sekali, dia segera

rangkap tangan menjura

“Terima kasih atas petunjukmu” ujarnya tergesa-gesa, “Lain kali

jika lewat di sini lagi aku tentu akan mampir di rumah makanmu”

Selesai berkata dengan langkah yang tergesa-gesa dia berjalan

balik keluar kota itu kemudian memberi tanda untuk berrangkat

kepada diri Wi Lian In.

Sambil meloncat naik ke atas kudanya dia berkata:

“Dia sudah tidak ada di dalam kota ini lagi, mari cepat kita

berangkat.”

“Kau sudah mengadakan pencarian dengan teliti?” tanya Wi Lian

In lagi.

“Aku sudah bertanya dengan seorang pelayan dari rumah makan,

dia bilang pada satu jam yang lalu Cuo It Sian baru saja lewat dari

kota ini.”

“Kalau begitu,” seru Wi Lian In dengan amat girang sekali.

“Sebelum matahari terbenam nanti kita pasti bisa mengejar dirinya”

“Kita cuma bisa mencuri tidak boleh merampas, maka itu lebih

baik menanti setelah dia menginap di rumah penginapan kita baru

mencari kesempatan untuk turun tangan.” ujar Ti Then sambil

melarikan kudanya melanjutkan perjalanannya menuju kearah

depan.

“Entah jalan raya ini berhubungan dengan kota mana..”

“Aku sendiri juga tidak tahu, pokoknya ada Cian Li Yen yang

membawa jalan dan tujuan kita yaitu cuma mendapatkan Cuo It

Sian kembali, kita tidak usah takut sampai tersesat jalan”

Sambil berbicara mereka berdua melarikan kudanya melewati

kota kecil itu dengan dipimpin oleh si anying Cian Li Yen yang berlari

dipaling depan, kurang lebih mengejar lagi dua puluh li jauhnya

sampailah mereka d sebuah dusun kecil.

Waktu ini hari sudah mendekati siang, Ti Then seperti juga

semula menghentikan kudanya diluar dusun lantas dia sendiri

masuk mencari di sekeliling dusun setelah tidak melihat adanya

bayangan dari Cuo It Sian dia baru berjalan keluar dari dusun

tersebut.

Dengan membawa Wi Lian In akhirnya dia berjalan masuk

kembali ke dalam dusun dan bersantap di sebuab rumah makan

kecil, dari mulut sang pelayan mereka baru tahu kalau dusun ini

bernama Khao Kia Ciang.

Akbirnya dengan mengikuti jalan raya itu mereka berjalan

kembali sejauh tujuh puluh lie dan sampailah di sebuah kota besar

yang bernama Kong An.

Demikianlah setelah selesai bersantap mereka melanjutkan

perjalanannya kembali menuju kearah Barat laut dengan dipimpin

oleh si anying Cian Li Yen, karena di dalam pikiran mereka berdua

menduga tentunya Cuo It Sian menginap satu malam dikota Kong

An sian. Karena itu mereka melarikan kudanya cepat menuju ke

sana.

Sewaktu mendekati magrib akhirnya mereka berdua sampai juga

dikota Kong An sian, Ti Then segera menambat kuda

tunggangannya diluar kota.

“Lebih baik kita titipkan kuda kita dirumah penduduk diluar kota

saja, bagaimana pendapatmu?” tanyanya.

“Baik, di sebelah sana ada rumah penduduk.”

Dia segera melarikan kudanya menuju ke rumah penduduk yang

ditemuinya itu.

Sesampainya di depan pintu rumah penduduk itu terlihatlah

seorang katek tua sedang bermain dengan seorang bocah cilik yang

sedang belajar berjalan di sebuah lapangan penjemuran beras.

Ti Then segera turun dari kudanya dan merangkap tangannya

menjura.

“Lo-tiang. permisi.”

“Oooo . – silahkan, silahkan, Lo-te ada keperluan apa?” sahut

kakek tua itu sambil balas memberi hormat.

“Kedua ekor kuda dari cayhe kakak beradik..”

Baru saja dia berbicara sampai pada kata-kata yang terakhir

mendadak dia merasakan hatinya tergetar dengan amat kerasnya.

Karena kembali ada seorang kakek tua berbaju hijau yang secara

tiba-tiba saja berjalan keluar dari dalam ruangan rumah petani itu.

Sedang kskek tua berbaju hijau itu bukan lain adalah Cuo It Sian

itu si pembesar kota,

Hal ini benar-benar berada diluar dugaan mereka, mereka sama

sekati tidak menyangka kalau Cuo lt Sian bisa munculkan dirinya

dari rumah petani tersebut.

Di dalam sekejap itulah Ti Then cuma merasakan saking

kagetnya hampir-hampir sukmanya ikut melayang tetapi bagaimana

pun juga dia mem punyai satu sikap yang tidak gugup di waktu

menghadapi masalah ini, dengan cepat dia pura-pura tidak kenal,

memperhatikan pihak lawannya dan melanjutkan kata-katanya:

“Kuda ini adalah keturunan mongol yang amat bagus sekali,

karena kami membutuhkan uang pesangon maka salah satu

diantaranya akan kami jual”

Dia menuding ke arah kuda Ang Shan Khek yang ada di

sampingnya.

“Kuda ini amat bagus sekali, cuma tidak tahu Lo-tiang

membutuhkan tidak seekor kuda” ujarnya. “Bilamana membutuhkan

cayhe sanggup menjualnya dengan harga yang sedikit lebih murah,”

Wi Lian In yang melihat secara tiba-tiba Cuo It Sian munculkan

dirinya dari dalam ruangan rumah petani itu dia pun merasa sangat

terkejut sekali, ketika mendengar pada soal yang amat kritis itulah

Ti Tuen bisa berpura-pura mau menjual kuda tidak terasa lagi diamdiam

dia merasa kagum atas kecerdikan dari Ti Then ini.

“Benar, kuda kami ini membelinya dengan harga enam puluh

tahil perak,” sambungnya dengan cepat, “Bilamana Lo-tiang

bermaksud mau membelinya kita bisa kurangi dengan beberapa

tahil lagi.”

Ketika kakek tua itu mendengar perkataan tersebut dia segera

gelengkan kepalanya.

JILID 29.2 : Penguntitan yang terpergok

“Biar pun lo-te kurangi separuh pun lo-han tidak membelinya,”

ujarnya tersenyum.

Ti Then segera memperlihatkan rasa kecewa.

“Kalau begitu terpaksa kami harus menjualnya di pasar penjual

kuda” ujarnya kemudian.

Dia takut Cuo It Sian mengetahui wajah aslinya maka itu sembari

berkata dia segera menarik kuda Ang Shan Khek-nya untuk berlalu

dengan cepatnya dari sana.

Mendadak Cuo It Sian maju mendekati kearah diri Ti Then

sembari berteriak dengan keras:

“Lote, tunggu dulu.”

Dalam hati Ti Then merasa hatinya semakin menegang, terpaksa

dengan keraskan kepalanya dia putar badannya kembali.

“Lo-tiang ini, apakah kau bermaksud hendak membeli kuda ini?”

ujarnya sambil tertawa paksa.

Sambil tersenyum Cuo It Sian berjalan mendekati kuda Ang Shan

Khek itu dan ulur tangannya untuk membelai.

“Ternyata memang benar-benar seekor kuda yang amat

jempolan sekali…” serunya memuji.

“Pandangan mata lo-tiang ini sungguh luar biasa sekali,”

sambung Ti Then dengan cepat sambil memperlihatkan

senyumannya yang kepaksa.

“Kuda ini memang betul-betul seekor kuda jempolan yang sukar

ditemui walau pun cayhe tidak berani mengatakan di dalam sehari

kuda ini bisa menempuh seribu li tetapi untuk melakukan perjalanan

tiga, lima ratus li di dalam satu hari agaknya sama sekali tidak ada

persoalan lagi.”

Agaknya Cuo It Sian pun sudah mengenal akan kuda Ang Shan

Khek itu, pada air mukanya segera memperlihatkan senyuman yang

amat licik sekali.

“Lote, kau mendapatkan kuda ini dari mana?” tanyanya.

“Be… beli… beli dari daerah Mongol.”

“Kiranya tidak begitu bukan?” seru Cuo It Sian sembari

memandang dirinya dengaa sinar mata yang amat tajam sekali.

Ti Then sengaja m«nperlihatkan wajah yang sedikit ketakutan

tetapi dipaksa untuk menenangkan hatinya, dia segera

memperlihatkan satu senyuman yang kurang enak dipandang.

“Bagaimana kau bisa bijara begitu?” serunya.

“Karena Lobu pernah melihat kuda ini.”

“Eeeei… kau… kau orang tua pernah melihat kuda ini?” tanya Ti

Then pura-pura terkejut.

“Benar,” jawab Cuo It Sian sambil tertawa. “Bahkan tahu juga

nama dari kuda itu, dia bernama Ang Shan Khek bukan begitu?”

“Tidak… tidak… tidak…” teriak Ti Then sengaja ketakutan lalu

dengan gugupnya mundur beberapa langkah ke belakang.

Dengan amat cepatnya Cuo It Sian segera bergerak maju ke

depan telapak kirinya dengan dahsyatnya mencengkeram dada dari

Ti Then.

“Cepat bicara,” bentaknya dengan keras. “Kau mendapatkan

kuda Ang Shan Khek ini dari mana?”

Saking takutnya seluruh tubuh Ti Then gemetar dengan amat

kerasnya.

“Ada omongan kita bicarakan baik-baik… ada omongan kita bisa

bicarakan baik-baik “ serunya dengan gugup.

“Aduh…” teriak Wi Lian In pula yang ada di samping. “Lotiang ini

kenapa kau mencengkeram koko-ku?”

Cuo It Sian itu sipembesar kota sama sekali tidak memperdulikan

dirinya, dengan sekuat tenaga dia menggoyang-goyangkan badan Ti

Then.

“Kau mau bicara tidak?” serunya dengan suara yang amat berat

dan dingin sekali. Jikalau tidak mau bicara lohu sekali pukul

hancurkan badanmu.

“Baik… baik, aku bicara…” seru Ti Then cepat.

“Heei… sebetulnya begini, kuda ini… kuda hamba… hamba dapat

mencuri dari seorang pemuda.”

“Pemuda itu kurang lebih berusia dua puluh tahunan, wajahnya

tampan dengan memakai baju berwarna hitam betul tidak?” seru

Cuo It Sian sambil tertawa dingin.

Pada air muka Ti Then segera memperlihatkan rasa

terperanyatnya yang bukan alang kepalang.

“Benar, benar,” jawabnya. “Bagaimana kau orang tua bisa tahu?”

Cuo It Sian tidak menyawab, sekali lagi dia tertawa dingin.

“Dia bukankah bernama Ti Then?” tanyanya.

“Hamba tidak tahu siapakah dirinya.” Ti Then menyawab sambil

gelengkan kepalanya berulang kali.

“Pada beberapa hari yang lalu waktu hamba berjalan melewati

kota Lok san Sian mendadak hamba dapat melihat pemuda itu

dengan menunggang kuda menginap disebuah rumah penginapan,

ketika hamba melihat kuda itu adalah seekor kuda jempolan rasa

serakah segera meliputi hatiku, maka pada malam hari itu juga

hamba segera mencuri kuda tersebut.”

“Nyali kalian sungguh tidak kecil.” bentak Cuo It Sian dengan

keras.

“Hamba harus mati… hamba harus mati…” teriak Ti Then dengan

seluruh tubuhnya gemetar amat keras, “Harap… harap kau orang

tua suka lepaskan hamba satu kali ini.”

“Apa kau benar tidak tahu siapakah pemuda tersebut?” tanya

Cuo It Sian kembali dengan suara yang amat berat.

“Hamba benar-benar tidak tahu, dia… dia ada hubungan apa

dengan kau orang tua?”

“Dia adalah Kiauw-tauw dari Benteng Pek Kiam Po. Orang-orang

Bu-lim menyebut sebagai si pendekar baju hitam Ti Then.”

“Oooh… Thian,” teriak Ti Then dengan amat kerasnya.

“Kiranya dia adalah Kiauw-tauw dari Benteng Pek Kiam Po,

sipendekar baju hitam Ti Then adanya… lalu kau… kau orang tua

adalah… adalah Pocu dari Benteng Pek Kiam Po… sipendekar

pedang naga emas Wi Toa Pocu?”

“Benar,” sahut Cuo It Sian sambil mengangguk sedang dan

mulutnya tiada hentinya memperdengarkan suara tertawa yang

amat dingin sekali.

“Heeei tidak kusangka ini hari aku bisa bagitu sialnya,” seru Ti

Then dengan wajah minta dikasihani, “Tidak kusangka sama sekali

hamba sudah mencuri kuda dari Kiauw tauw Benteng Pek Kiam Po

dan kini hendak menjualnya kepada Wi Toa Pocu.”

Wi Lian In- pun dengan cepat berjalan maju memohonkan am

pun.

“Kau orang tua kalau memangnya adalah Wi Toa Pocu yang

namanya sudah menggetarkan seluruh dunia kangouw seharusnya

tidak memikirkan dosa dari kami manusia rendah, mohon Wi Toa

Pocu suka mengam puni diri kokoku satu kali.”

Cuo It Sian melirik sekejap kearahnya, lantas kepada Ti Then

tanyanya dengan suara keren

“Siapakah namamu?”

“Hamba bernama Bun Ih dengan julukan si tikus pembuat lubang

sedangkan adikku bernama Bun Giok Kiauw dangan julukan kucing

malam.”

Cuo It Sian segera mendengus dengaa amat dinginnya.

“Cukup didengar dari julukan kalian kakak beradik Lohu sudah

tahu kalau kalian adalah manusia-manusia rendah yang sering

melakukan kejahatan. Seharusnya lohu turun tangan memberi

hukuman mati kepada kalian, tetapi mengingat kalian baru untuk

pertama kalinya terjatuh ketangan lohu maka kali ini aku kasih

kesempatan buat kalian untuk mengubah sifatmu yang jelek itu,

cepat menggelinding pergi.”

Berbicara sampai di sini dia segera mendorong badan Ti Then

dengan keras membuat dirinya jatuh berguling-guling di atas tanah

dengan amat kerasnya.

Dengan terburu-buru Ti Then merangkak bangun, lantas berkalikali

menjura.

“Terima kasih Wi Pocu mau memberi am pun kepada kami,

hamba kakak beradik sejak ini hari tentu akan mengubah kelakuan

kami untuk membalas budi kebaikan dari Pocu.”

Berbicara sampai di sini dia segera putar tubuh dan kirim satu

kerdipan mata kepada Wi Lian in untuk kemudian bersama-sama

melarikan diri dari sana.

Wi Lian In- pun dengan cepat meloncat naik ke atas kuda

tunggangannya siap melarikan kuda tersebut dari sana.

Pada saat itulah terdengar Cuo It Sian yang ada di belakang

sudah membentak dengan suara yang amat dingin sekali.

“Kuda itu pun sekalian tinggal di sini.”

Dia agak melengak dibuatnya tetapi tidak berani membangkang

terpaksa cepat-cepat meloncat turun dari kudanya lantas sambil

mengikuti diri Ti Then melarikan diri dengan cepat dari sana.

Dua orang manusia seekor anying bersama-sama melarikan diri

ketempat yang amat sunyi sekali, kurang lebih setelah berlari satu,

dua li dan dilihatnya Cuo It Sian tidak mengadakan pengejaran Ti

Then baru mengajak Wi Lian In untuk menyusup masuk ke dalam

sebuah hutan.

Mereka berdua mencari sebuah hutan untuk duduk beristirahat.

Lama sekali mereka saling berpandangan kemudian tidak tertahan

lagi sudah tertawa terbahak-bahak.

“Aku sudah hidup dua puluh satu tahun lamanya tetapi

selamanya belum pernah menemukan urusan yang demikian

menggelikan” ujar Ti Then kemudian sambil tertawa.

“Kenapa tidak” sambung Wi Lian In segera. “Urusan ternyata

begitu tepatnya. sama sekali aku tidak menduga bisa bertemu

dengan dirinya di tempat tersebut.”

Ti Then segera menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal

“Yang aneh, bagaimana dia bisa menginap dirumah petani

tersebut?” ujarnya.

“Kemungkinan sekali petani itu pun merupakan anak buahnya,”

seru Wi Lian In memberikan usulnya.

“Tidak mungkin,” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya,

“jarak dari tempat ini kekota Tiong Cing Hu ada seribu li lebih, tidak

mungkin dia bisa mem punyai anak buah ditempat ini.”

“Kalau tidak kenapa dia tidak menginap di dalam kota saja?”

Dengan perlahan-lahan Ti Then angkat kepalanya, dan

memandang dirinya dengan pandangan mata yang amat tajam

sekali.

“Kemungkinan sekali dia takut di dalam kota sudah bertemu

dengan orang yang pernah dia kenal karena itu sengaja dia pinyam

rumah petani itu untuk menginap satu malam,” ujarnya kemudian.

“Jarak tempat ini dengan gunung Cun san sudah amat jauh sekali

kenapa dia masih takut dengan orang lain?” ujar Wi Lian ln dengan

cepat.

“Aku kira tentunya begini kemungkinan sekali di dalam kota

Tiong Cing Hu sama juga ada seorang Pembesar Kota Cuo It Sian

lagi.”

“Kau bilang apa?” Wi Lian In melengak.

“Dengan perkataan lain saja, tentunya dia sudah mengatur

seorang penggantinya di dalam rumahnya itu sehingga membuat

penduduk disekeliling tempat itu menganggap dia orang belum

pernah meninggalkan kota Tiong Cing Hu barang selangkah pun.

Dikarenakan hal itu sudah tentu dia tidak dapat bertemu dengan

orang-orang yang pernah dikenalnya di tengah jalan.”

“Kau berdasarkan akan hal apa bisa mengambil kesimpulan

demikian?” tanya Wi Lian In kebingungan.

“Pada beberapa hari yang lalu karena kita menaruh curiga dialah

orang yang sudah mengadakan jual beli dengan Hu Pocu serta

diam-diam membinasakan Hong Mong Ling pernah pergi kekota

Tiong Cing Hu untuk mencari dirinya sewaktu kita bertemu muka

tentunya kau masih ingat apa yang diucapkan untuk pertama

kalinya bukan?”

“Dia bilang apa?” tanya Wi Lian In.

“Sewaktu dia melihat kita sedang menaruh rasa curiga terhadap

dirinya, dia pernah bilang selama setengah tahun lamanya ini dia

sama sekali belum pernah meninggalkan kota Tiong Cing Hu barang

selangkah pun, bahkan berkata juga kalau penduduk disekitar

tempat itu setiap hari bisa melihat dirinya, bukan begitu?”

“Benar… benar…” sahut Wi Lian In sambil menganggukkan

kepalanya berulang kali. “Dia memang pernah mengucapkan katakata

tersebut.”

“Tetapi, ternyata dia bisa membinasakan Hong Mong Ling di atas

gunung Kim Teng san. Sedangkan orang-orang di kota Tiong Cing

Hu setiap hari bisa melihat dirinya? maka itu aku percaya tentu dia

mem punyai seorang pengganti. Dia hendak menggunakan tubuh

seorang penggantinya menutupi seluruh gerak geriknya yang

sebetulnya sedang direncanakan.”

“Kalau memangnya demikian maka bila mana dia berbuat

sesuatu pekerjaan yang jahat ditempat luaran siapa pun tidak akan

bisa menduga kalau pekerjaan itu adalah hasil perbuatannya,” seru

Wi Lian In dengan terperanyat.

“Benar,” sahut Ti Then membenarkan. “Maka itu dia harus

menghindarkan diri dari pertemuan dengan orang-orang yang

pernah dikenal olehnya.”

“Dia berbuat demikian tentunya tujuan yang sedang dicari adalah

hendak mencuri potongan pedang dari ayahku.”

“Benar” sahut Ti Then mengangguk.

Wi Lian In segera mengerutkan alisnya rapat-rapat.

“Aku benar-benar tidak paham sebetulnya potongan pedang itu

mem punyai rahasia apa?” ujarnya.

“Aku percaya ada suatu hari kita bisa mengetahui keadaan yang

sesungguhnya.”

“Sekararg kita harus berbuat bagaimana?” ujar Wi Lian In

kemudian sambil menghela napas panjang.

“Lanjutkan kuntitan kita, ada kesempatan segera turun tangan

mencuri pedang tersebut.”

“Menurut pandanganmu, dia benar-benar tidak mengenal kita

atau cuma berpura-pura saja?”

“Kemungkinan sekali tidak, jikalau dia sudah kenal dengan kita

air mukanya tidak akan setenang itu.”

“Tetapi kedua ekor kuda itu kita harus mencari akal untuk

mencurinya kembali,” seru Wi Lian In.

“Kemungkinan sekali dia menginap dirumah petani itu, besok

pagi sesudah menanti dia pergi kita baru menuntunnya kembali.”

“Lalu malam ini kita mau menginap di mana?”

“Masuk ke dalam kota saja.”

“Kalau begitu mari kita segera berangkat” ujarnya Wi Lian In

kemudian sambil bangkit berdiri.

Mereka berdua segera berjalan keluar dari hutan itu untuk

melanjutkan perjalanannya masuk ke dalam kota dan mencari

sebuah rumah penginapan untuk masing-masing masuk ke dalam

kamarnya sendiri-sendiri beristirahat.

Keesokan harinya setelah bersantap pagi mereka berdua lantas

membajar rekening dan meninggalkan rumah penginapan tersebut.

Wi Lian In yang melihat hari masih amat pagi sekali, segera dia

menghentikan langkahnya.

“Lebih baik kita terlambat sedikit tiba di sana, kalau pergi terlalu

pagi kemungkinan sekali dia masih belum meninggalkan tempat

tersebut” ujarnya.

“Sejak semula dia sudah meninggalkan tempat itu.” Jawab Ti

Then sambil tertawa.

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Wi Lian In melengak,

Ti Then tersenyum.

“Kemarin malam pada kentongan ketiga aku sudah keluar kota

satu kali” ujarnya.

“Bagus sekali yaaa, ternyata kau melakukan gerak gerikmu

dengan amat rahasia, kenapa tidak beritahukan kepadaku terlebih

dulu?” seru Wi Lian In sambil melototkan matanya lebar-lebar.

“Jangan marah dulu” ujar Ti Then tertawa. “Aku rasa jika pergi

seorang diri jauh lebih leluasa sehingga tidak sampai ditemui

olehnya.”

Air muka Wi Lian In segera berubah sangat hebat, dia merasa

benar-benar tidak senang.

“Aku tahu, tentunya kau benci karena aku mengikuti dirimu

terus, bukankah begitu?” serunya sambil mencibirkan bibirnya.

“Kalau memangnya begitu kemarin malam aku bisa langsung

membuntuti dirinya.”

Wi Lian In segera kirim satu kerlingan mata kepadanya.

“Sewaktu kau tiba dirumah petani itu, apa dia sedang siap-siap

mau berangkat dari sana?” tanyanya.

“Benar,” jawab Ti Then mengangguk.

“Kenapa kau tidak segera kembali kerumah penginapan untuk

membangunkan aku lantas bersama-sama menguntit dirinya?” omel

Wi Lian In lebih lanjut.

“Dia orang yang mengambil keputusan untuk berangkat ditengah

malam berarti juga kalau dia sudah menaruh rasa curiga terhadap

diri kita berdua bilamana pada waktu itu kita membuntuti dirinya

maka pastilah jejak kita segera akan di temukan olehnya.”

“Tetapi sekarang kemungkinan sekali dia sudah berada ditempat

yang amat jauh sekali” seru Wi Lian In.

Ti Then segera menuding kearah si anying Cian Li Yen yang ada

disisi badannya.

“Kita ada Cian Li Yen sebagai penunjuk jalan tidak takut dia akan

terbang ke atas langit,” ujarnya.

Pada waktu bercakap-cakap itulah tanpa terasa mereka berdua

sudah keluar dari pintu kota.

Tidak lama kemudian mereka sudah tiba di depan rumah petani

itu. Pada waktu itu sikakek tua yang kemarin sedang dengan bocah

cilik pada saat ini sedang menyapu diluar halaman, ketika dilihatnya

Ti Then serta Wi Lian In berjalan kearahnya tanpa terasa air

mukanya sudah berubah sangat hebat.

“Buat apa kalian datang kemari lagi?” tanyanya kurang tenang.

Ti Then sambil tersenyum segera merangkap tangannya memberi

hormat,

“Cayhe kakak beradik sengaja datang untuk meminta kuda kami.

Silahkan Lotiang suka menuntun keluar kedua ekor kuda itu dan

kembalikan kepada kami.”

“Kedua ekor kuda itu kalian dapatkan dengan jalan mencuri,

kalian begitu berani datang kemari lagi?” seru kakek tua itu.

“Bilamana tidak berani kami tidak akan kemari.”

“Pergi, pergi.” Teriak kakek tua itu sambil mengulap tangannya

berulang kali. “Kedua ekor kuda itu sudah tidak ada dirumah Lohan

lagi.”

“Sudah dibawa pergi orang itu?” tanya Ti Then kemudian.

“Benar, dia sudah berangkat pada tengah malam kemarin.”

“Haaa… haaa… aku tahu kalau Lo Tiang sedang berbohong,

hiii… bukan begitu?” Seru Ti Then sambil tertawa.

Sepasang mata kakek tua itu segera melotot keluar lebar-lebar.

“Kalau bicara lebih baik kalian sedikit tahu sopan,” serunya

dengan amat marah. “Lohan sudah hidup sampai sekarang,

selamanya belum pernah berbohong.”

“Cuma sayang kali ini kau sudah berbohong,” sambung Ti Then

dengan cepat.

“Jikalau kalian tidak mau pergi lagi Lohan segera akan lapor

kepada pengadilan biar mereka tangkap kalian,” ancam kakek tua

itu kemudian.

Air muka Ti Then segera berubah sangat hebat sekali.

“Boleh, boleh… silahkan Lotiang pergi melapor, cuma saja…

Heee… jikalau kau tidak cepat-cepat bawa kedua ekor kuda itu

keluar cayhe segera akan turun tangan membakar habis rumah

serta gudangmu itu.”

Mendengar ancaman tersebut sikakek tua itu benar-benar

merasa sangat terperanyat sekali.

“Cis… kalian pembegal kuda, nyali kalian sungguh besar,”

teriaknya dengan keras.

“Ditengah siang hari bolong kalian juga berani memperlihatkan

keganasan kalian?”

Wi Lian In agaknya merasa sikap dari Ti Then ini terlalu kasar

dan buas. Dengan diam-diam dia menyawil ujung bajunya.

“Koko,” ujarnya dengan suara yang amat lirih kemudian. “Sama

sekali perkataan dari lo tiang ini benar, kedua ekor kuda itu pastilah

sudah dibawa pergi oleh orang itu.”

“Tidak,” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

Wi Lian In jadi melengak.

“Kau melihat sendiri dia pergi dengan tangan kosong?” tanyanya.

“Benar,” sekali lagi Ti Then mengangguk.

Si kakek tua itu jadi mencak-mencak saking gusarnya.

“Jikalau kalian tidak percaya boleh pergi mencari disekeliling

tempat ini,” teriaknya dengan keras.

“Bagaimana kalau aku menirukan apa yang sudah kalian

bicarakan?” ujarnya Ti Then kemudian sambil tertawa dingin.

“Kau mau bicara apa?” tanyanya melengak

“Kemarin malam sewaktu orang itu mau pergi dia pernah berkata

demikian: Loheng kedua ekor kuda ini lohu tidak mau, baiknya aku

hadiahkan kepada kalian saja. Hnm waktu itu ternyata kau berlaku

sungkan sungkan dan cepat menyawab:

Tidak… tidak.. Lohan tidak berani menerimanya, lebih baik kau

Lo sianseng bawa pergi saja. Orang itu lantas tertawa dan berkata

lagi. Kau tidak usah sungkan-sungkan lagi, di dalam Benteng Lohu

masih ada beratus-ratus ekor kuda jempolan, lohu sama sekali tidak

akan memandang tinggi kedua ekor kuda ini.

Mendengar perkataan tersebut air mukamu segera

memperlihatkan rasa kegirangan. Cuma saja kemudian kau

menyawab dengan agak murung. Cuma saja jikalau kedua orang

pembegal kuda itu datang lagi Lo han harus berbuat bagaimana

untuk menghadapinya?

Dijawab oleh orang itu. Mereka tidak akan berani datang kemari

lagi, bilamana Lo heng takut, tidak urung untuk sementara waktu

bawalah kedua ekor kuda itu untuk dititipkan pada tetangga,

bilamana mereka datang lagi untuk meminta kudanya Lo heng boleh

bilang saja kuda tersebut sudah Lo hu bawa… beberapa patah kata

itu tentunya ceyhe tidak salah berbicara bukan?”

Mendengar perkataan tersebut air muka sikakek tua itu segera

berubah jadi pucat kehijau-hijauan.

“Kau… kau sudah mendengar semua pembicaraan kami?”

tanyanya.

“Tidak salah” sahut Ti Then Sambil mengangguk. “Bahkan aku

masih melihat putramu menuntun kedua ekor kuda tersebut

meninggalkan tempat ini.”

Kakek tua itu jadi amat sedih sekali, dengan cepat dia berteriak

keras.

“Hok Lay….. Hok Lay…..”

Dari dalam ruangan itu segera meloncat keluar seorang petani

berusia pertengahan yang pada tangannya mencekal sebuah

tongkat pikulan yang berat, dengan amat gusarnya dia berteriakberteriak

terhadap diri Ti Then.

“Bajingan. sungguh besar nyalimu, kaliau mau pergi tidak? kalau

tidak pergi juga lohu segera akan menghajar putus sepasang kaki

anying kalian.”

Ti Then segera tertawa, dari dalam sakunya dia mengambil

sekerat perak.

“Begini saja,” ujarnya kemudian sambil menimang-nimang uang

perak itu. “Cayhe beri uang perak ini kalian sebagai uang ganti rugi,

bagaimana?”

Petani berusia pertengahan itu segera memperlihatkan sikapnya

untuk berkelahi, dia melintangkan tongkat pikulan itu ke depan.

“Tidak.” Teriaknya keras. “Kedua ekor kuda itu bukan milik

kalian, kalian tidak berhak untuk memintanya kembali.”

“Bukan milik kami apa mungkin milik kalian?” seru Ti Then sambil

tertawa dingin.

“Tidak salah,” jawab petani berusia pertengahan itu dengan amat

ketusnya.

“Lo sianseng itu berkata sendiri kalau kedua ekor kuda itu

dihadiahkan kepada kami. Sudah tentu kedua ekor kuda itu adalah

milik kami.”

Sepasang mata dari Ti Then dengan perlahan menyapu sekejap

kesekeliling tempat itu, ketika dilihatnya sebuah batu putih

menggeletak ditengah lapangan dia segera berjalan menuju ke sana

dan meraba sebentar batu itu.

“Batu ini sungguh besar sekali,” serunya sambil tertawa. “Tentu

ada tiga ratus kati beratnya bukan?”

“Kau hendak berbuat apa?” teriak petani berusia pertengahan itu

dengan gusarnya sambil maju dua langkah ke depan.

Dengan menggunakan sepasang tangannya Ti Then mengangkat

batu besar itu kemudian dipindahkan ketangan kanannya dan

diangkat dengan menggunakan satu tangan.

“Coba kau lihat, kau percaya bisa menangkan aku tidak?” ujarnya

sambil tertawa.

Sembari berkata dia berjalan mengelilingi lapangan tersebut.

Batu putih itu paling sedikit ada dua ratus kati beratnya, tetapi di

dalam tangannya kelihatan sangat enteng sekali seperti sedang

mengangkat kapas saja.

Kali ini petani berusia pertengahan itu benar-benar dibuat

terperanyat sampai termangu-mangu, sepasang matanya terbelalak

lebar-lebar untuk beberapa saat lamanya dia tidak sanggup untuk

mengucapkan sepatah kata pun.

Kakek tua itu semakin dibuat terperanyat lagi, dengan gugup

serunya,

“Sudah…. sudahlah Hok Lay, kau tidak usah banyak beribut

dengan dirinya lagi, cepat tuntun kedua ekor kuda itu bawa kemari

dan kembalikan kepada mereka.”

Agaknya petani berusia pertengahan itu masih tidak mau kalah,

dengan uring-urungan teriaknya,

“Kau jangan mengira tenagamu besar lalu kami takut dengah

dirimu, cukup aku berteriak maling aku mau lihat kalian akan

melarikan diri kearah mana,”

Tangan kanan dari Ti Then segera ditekuk kemudian didorong

kearah atas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk

melemparkan batu putih tersebut beberapa kaki jauhnya ketengah

udara lantas tertawa terbahak-bahak.

“Haaaa… haaa… haaa… asal kau berteriak maling aku segera

lemparkan batu ini ke atas atap rumah kalian,” ancamnya.

Melihat kejadian itu sipetani berusia pertengahan itu tidak berani

banyak bercakap lagi saat inilah dia baru tidak berani mengumbar

nafsunya lagi. Sambil melempar tongkat itu ke atas tanah dengan

uring-uringan dia pergi dari sana.

JILID 29.3 : Pencuri tiga tangan insaf

Tidak lama kemudian kedua ekor kuda itu sudah dituntun

kembali.

Ti Then segera menyusupkan uang perak itu ketangan sikakek

tua tersebut kemudian menerima tali les kudanya dan bersama

sama dengan Wi Lian In melarikan kudanya meninggalkan tempat

itu.

Mereka berdua dengan cepatnya berlari menuju kejalan raya,

saat itulah terdengar Wi Lian In berkata sambil tertawa,

“Untung sekali kemarin malam kau sudah datang, kalau tidak kita

benar-benar bakal tertipu oleh mereka ayah beranak.”

“Hal ini tidak bisa menyalahkan mereka ayah beranak dua orang,

mereka sama sekali tidak tahu kalau kedua ekor kuda itu

sebenarnya adalah milik kita berdua, dia mengira kalau memangnya

Cuo It Sian sudah menjetujui untuk menghadiahkan kedua ekor

kuda itu kepada mereka, hal ini berarti juga sudah menjadi

miliknya.”

“Kemarin malam Cuo It Sian berangkat menuju kearah mana?”

tanya Wi Lian In kemudian.

Ti Then segera menuding kearah sebelah Barat.

“Dia melanjutkan perjalanannya melalui tempat itu, kelihatannya

dia bermaksud untuk kembali kekota Ciong Cing Hu.”

Mendadak Wi Lian In menarik tali les kudanya untuk

menghentikan perjalanannya.

“Coba kau ambil keluar sepatu milik Cuo It Sian itu dan berikan

kepada si anying Cian Li Yen agar dia membauinya kembali”

ujarnya.

“Baik,” sahut Ti Then dan dia segera mengeluarkan sepatu itu

dan membiarkan si anying Cian Li Yen untuk menciuminya beberapa

kali.

Setelah itu tampaklah si Cian Li Yen, segera berputar beberapa

kali di atas jalan raya untuk mencari jejaknya, setelah itu diiringi

suara gonggongannya yang amat keras ia lantas berlari menuju ke

arah sebelah Barat.

Mereka berdua dengan cepat mengikutinya dari belakang.

Hari kedua, orang berserta anying itu sudah tiba disebuah kota

untuk bersantap sesudah beristirahat sebentar lantas melanjutkan

kembali perjalanannya.

Menanti mendekati magrib mereka sudah melakukan perjalanan

seratus lie dan sampailah disebuah kota yang bernama Ngo Hong

Sian.

Wi Lian In segera memerintahkan anyingnya Cian Li Yen untuk

berhenti, setelah itu kepada Ti Then ujarnya.

“Apa mungkin dia ada di dalam kota ini?”

“Dia berangkat kemarin malam jika ditinyau dari kekuatan

kakinya saat ini kemungkinan sekali sudah meninggalkan kota

kurang lebih lima puluh lie jauhnya maka itu dia tidak mungkin

masih ada di dalam kota ini.”

“Dia melakukan perjalanan dengan berjalan kaki tidak mungkin

bisa menandingi kita yang menunggang kuda, kemungkinan sekali

dia sedang beristirahat di dalam kota,” ujar Wi Lian In memberikan

pendapatnya.

“Kemarin dia sudah menginap satu malam dirumah petani itu

sedangkan jarak antara kota Kong An Sian dengan tempat ini tidak

lebih cuma beberapa ratus li saja, sudah tentu dia tidak akan mau

masuk kekota, aku rasa ini hari tidak mungkin dia berani nginap di

dalam kota.”

“Coba kau lihat,” ujar Wi Lian In kemudian sambil menuding

kearah sianying Cian Li Yen. “Cian Li Yen terus mau lari masuk ke

dalam kota, jelas sekali dia pernah masuk ke dalam kota, lebih baik

kita sedikit berhati-hati.”

“Dia memang pernah masuk ke dalam kota.” Ujar Ti Then sambil

tersenyum. “Tetapi aku berani bertaruh saat ini dia pasti sudah tidak

ada di dalam kota lagi.”

“Baik, mari kita masuk ke dalam kota untuk memeriksa.”

Selesai berkata dia segera sentak kudanya untuk berjalan

memasuki pintu kota.

Cian Li Yen masih tetap berlari memimpin jalan di depan, setelah

berlari melewati beberapa buah jalan akhirnya dia berhenti sebentar

di depan sebuah rumah makan dan menciumi beberapa kali tempat

disekeliling tempat itu setelah itu baru melanjutkan kembali larinya

kearah sebelah depan.

Ti Then segera tersenyum.

“Kelihatannya dia pernah berhenti sebentar di dalam rumah

makan ini” ujarnya sambil menyengir.

“Tadi kau bilang dia tidak berani masuk ke dalam kota, kenapa

sekarang terbukti dia berani berhenti di dalam kota?”

“Kemungkinan sekali dia yang melakukan perjalanan jauh merasa

lelah dan lapar maka itu sengaja memberanikan dirinya untuk

masuk kota bersantap.”

Baru saja mereka bercakap cakap sampai di situ mendadak

tampak anying Cian Li Yen berbelok memasuki sebuah lorong kecil.

Mereka berdua cepat-cepat melarikan kudanya melanjutkan

kuntitannya.

“Aduh aku sudah lapar,” ujar Wi Lian In secara tiba-tiba, “Mari

kita makan dulu di sini kemudian baru melanjutkan kejaran kita.”

“Tidak,” potong Ti Then cepat, “Kita cuma bisa membeli sedikit

barang saja untuk kemudian dimakan diluar kota.”

Ketika itulah mereka bisa melihat ujung jalan terdapat sebuah

rumah makan segera kudanya dilarikan menuju ke sana dan Ti Then

meloncat turun dari kudanya untuk membeli sedikit ransum untuk

kemudian melanjutkan kembali perjalanannya kearah depan.

Selama di dalam perjalanan ini Cian Li Yen berbelok-belok lagi

beberapa lorong dan tikungan, akhirnya sampailah disebuah jalanan

yang amat sunyi sekali.

Lama kelamaan akhirnya Wi Lian In merasakan juga akan

sesuatu, dia tertawa,

“Dugaanmu sedikit pun tidak salah dia tentu takut ditemui oleh

orang-orang yang pernah dia kenal karena itu sengaja mencari jalan

yang jarang sekali dilalui orang,”

“Jika dilihat dari keadaan sekarang ada kemungkinan dia sudah

berjalan keluar melalui pintu kota sebeelah selatan.”

“Dugaannya sedikit pun tidak salah”

Tidak lama kemudian si anying Cian Li Yen sudah memimpin

mereka berlari menuju ke kota sebelah selatan dan berlari terus

menuju keluar kota.

Kurang lebih setelah meninggalkan kota sejauh satu li sianying

Cian Li Yen berhenti berlari dan membaui sesuatu di pinggir jalan

lalu bergonggong tiada hentinya

“Eeei….. sudah terjadi urusan apa?” tanya Wi Lian In keheranan.

“Biar aku turun ke sana untuk lihat-lihat?”

Dengan cepat dia meloncat turun dari atas kuda dan berjalan

menuju ke samping jalan untuk memeriksa.

Terlihatlah di atas tanah rumput sudah dibasahi hampir separuh

bagian bahkan tercium bau yang amat menusuk hidung, dalam hati

seketika itu juga tahu apa yang sudah terjadi.

Dengan cepat dia menepuk-nepuk badan si anying Cian Li Yen.

“Cian Li Yen jangan menggonggong lagi jarak kita dengan pihak

musuh sudah amat dekat sekali kau janganlah sembarangan

menyalak, nanti malah jejak kita konangan.”

“Ada barang apa tuh di atas tanah rumput itu?” tanya Wi Lian In.

“Dia sudah kencing di sana.” Sahut Ti Then sambil naik ke atas

kuda tunggangannya. “Sehingga membuat tanah rumput itu jadi

basah kemungkinan sekali setengah jam yang lalu dia kencing di

sini.”

“Kalau jarak kita dengan dirinya mungkin sekali tidak sampai

sepuluh li saja,” ujarnya Wi Lian In.

“Benar, karenanya sejak sekarang gerak gerik kita harus jauh

lebih berhati-hati lagi.”

Dia segera mengangsurkan makanan yang dibelinya tadi

kepadanya.

“Mari, kita sembari makan sembari melanjutkan perjalanan

ujarnya lagi.”

Wi Lian In segera mengambil satu biji bakpau buat sianying Cian

Li Yen-nya kemudian baru mengambil satu biji lagi buat dirinya

sendiri, ujarnya kemudian sembari bersantap,

“Kalau kita membuntuti dirinya terus menerus seperti ini aku rasa

bukanlah satu cara yang bagus, kita harus mencari satu akal untuk

turun tangan mencuri pedang itu…”

“Benar,” sahut Ti Then sembari makan bakpaunya. “Tetapi aku

masih belum mendapatkan cara untuk mencuri pedang tersebut…”

“Bilamana dia mau menginap dirumah penginapan ada

kemungkinan kita mem punyai kesempatan untuk turun tangan

mencuri. Tetapi jikalau dia tidak mau menginap dirumah penginapan

lalu kita mau berbuat apa?”

“Jarak dari sini ke kota Tiong Ting Hu masih ada beberapa hari

lamanya baiknya secara perlahan-lahan saja kita mencari

kesempatan untuk turun tangan.”

Padahal bukannya dia tidak punya siasat untuk mencuri pedang

tersebut sebaliknya dia tidak ingin memperoleh pedang tersebut

dengan cepat.

Karena dia tahu begitu dia berhasil mendapatkan pedang pendek

itu dan diserahkan kepada Wi Ci To maka ada kemungkinan sekali

dirinya segera akan dikawinkan dengan Wi Lian In, dia tetap tidak

ingin menikah dengan Wi Lian In di bawah perintah dari majikan

patung emas, karena itu dia hendak sengaja mengulur waktu lebih

lama lagi.

Tetapi dia pun tahu si manusia berkerudung berbaju biru,

pemuda yang dikirim majikan patung emas untuk mengawasi gerak

geriknya sedang mengawasi dirinya terus menerus, maka itu dia

harus mau tidak mau memperlihatkan juga sikap sedang berpikir

dan mencari siasat untuk mencuri pedang itu.

Sudah tentu Wi Lian In sama sekali tidak mengetahui akan hal

ini. Terdengar dia berkata lagi,

“Tidak perduli bagaimana pun, kita harus berhasil mencuri

pedang pendek itu sebelum dia tiba dirumahnya di kota Tiong Cin

Hu. Bilamana membiarkan dia pulang ada kemungkinan kita akan

menemui kesukaran sewaktu turun tangan mencuri pedang itu.”

“Aku rasa hal ini belum tentu,” bantah Ti Then segera,

“Kemungkinan sekali setelah dia tiba dirumah, kita malah lebih

mudah untuk turun tangan.”

“Bagaimana bisa jadi?”

“Setelah sampai dirumah sudah tentu dia tidak akan membawa

pedang pendek itu di badannya terus menerus, asalkan… Iiih”

Mendadak dia memperdengarkan satu jeritan kaget bersamaan

pula menghentikan kudanya.

“Ada urusan apa?” tanya Wi Lian In dengan sangat terperanyat

sekali.

“Baru saja aku menemukan di atas jalan raya berkelebat sesosok

bajangan manusia hitam.”

Air muka Wi Lian In segera berubah sangat hebat.

“Apa mungkin bajangan hitam itu adalah dirinya?” dengan suara

yang amat lirih.

“Ada kemungkinan,” sahut Ti Then sambil mengangguk.

Wi Lian In jadi merasa sangat tegang.

“Dia pastilah sudah menemukan diri kita bagaimana kita

sekarang?” tanyanya gugup.

“Biar aku cari satu siasat…” seru Ti Then termenung berpikir

sebentar.

“Bagaimana kalau mengundurkan diri?” ujar Wi Lian In

memberikan usulnya.

“Tidak,” jawab Ti Then dengan cepat. “Kita tidak boleh

mengundurkan diri diri. harus pura-pura tidak mengetahui akan hal

ini dan tetap melanjutkan perjalanan menuju ke depan.”

“Bilamana dia munculkan dirinya untuk menghalangi perjalanan

kita?” tanya Wi Lian In lebih lanjut.

“Kalau begitu kita pura-pura merasa sangat terkejut kemudian

melarikan kudanya untuk lari berpencar, jangan sekali-kali turun

tangan melawan dirinya.”

“Melarikan diri secara berpencar?” seru Wi Lian In sambil

mengerutkan alisnya.

“Benar, jikalau dia mengejar aku maka kau melarikan diri dulu

kekota Ngo Hong sian dan tunggu aku di sana, aku pasti bisa

meloloskan diri dari kejarannya. “Ayoh jalan, sikap kita harus seperti

tidak menemukan apa-apa.”

Setelah berbicara sampai di sini dia segera melarikan kudanya

untuk melanjutkan perjalanan kearah depan. Wi Lian In segera

mengikuti dari sampingnya.

Mereka berdua sembari makan bakpaunya bersama-sama

melanjutkan perjalanannya ke depan. Sikap mereka tenang-tenang

saja tanpa terdapat perubahan apa pun.

“Koko…” tiba-tiba Wi Lian In membuka mulutnya berbicara.

“Kuda Ang Shan Khek yang kita dapatkan dari Ti Kiauw tauw dari

benteng Pek Kiam Po itu agaknya tidak mudah untuk

melepaskannya, untuk keselamatan kita lebih baik lepaskan saja.”

Ti Then paham apa maksud dari perkataannya ini, segera dia

menyambung.

“Tidak, jikalau aku takut banyak urusan aku tidak akan begitu

berani merampas kembali kuda itu dari tangan sipetani tua

tersebut.”

“Tetapi,” ujar Wi Lian In lagi, “Bilamana sampai bertemu kembali

orang she Wi itu kemungkinan sekali kita bakal menemui kesulitan.”

“Jangan kuatir, kita tidak mungkin bisa ketemu lagi dengan

dirinya” ujar TI Then tertawa.

Baru saja perkataan tersebut selesai diucapkan mendadak

terdengar suara bentakan yang amat keras sekali berkumandang

keluar dari dalam hutan di samping jalan diikuti munculnya seorang

lelaki kasar.

Lelaki ini berusia kurang lebih tiga puluh tahunan, wajahnya

kurus kering perawakannya juga tidak terlalu tinggi dengan

memakai baju berwarna hitam dan pada tangannya mencekal

sebilah golok yang memancarkan sinar yang berkilauan.

Jika dilihat dari potongan wajahnya yang amat buas dan kejam

sekali, jelas sekali dia adalah seorang pembegal dan bukannya Cuo

It Sian sipembesar kota itu.

Baik Ti Then mau pun Wi Lian In, yang melihat akan hal ini diamdiam

pada menghembuskan napas lega. Mereka cuma takut

bertemu muka dengan Cuo It Sian, jikalau terhadap orang lain

mereka masih tidak memandang sebelah mata pun.

Ketika lelaki berbaju hitam itu meloncat turun ketengah jalan

segera dia mengangkat goloknya dan dengan buasnya membentak.

“Jikalau kalian maui nyawa cepat serahkan buntalan serta kuda

itu.”

Ternyata sedikit pun tidak salah, dia orang bukan lain adalah

seorang pembegal jalan.

Wi Lian In segera tertawa cekikikan dan menghentikan kudanya.

“Aduh…. celaka…. aku sudah bertemu dengan sipembegal jalan.”

Sipembegal jalan itu sewaktu melihat pada wajah mereka sama

sekali tidak memperlihatkan rasa ketakutan barang sedikit pun juga,

dia sendiri malah merasa kurang aman dengan cepat tubuhnya

maju kembali satu langkah ke depan kemudian mengangkat

goloknya siap dibacok ke depan.

“Ayoh cepat turun dari kuda,” bentaknya dengan kasar. “Kalau

tidak Toaya-mu segera akan bacok-bacok kepala kalian jadi dua

bagian.”

“Jikalau kau mengingini buntalan serta kuda kami lebih baik

tanya dulu dengan Cian Li Yen-ku itu,” ujar Wi Lian In sambil

tertawa.

Si pembegal jalan itu jadi melengak.

“Siapa itu Cian Li Yen?” tanyanya.

Wi Lian In segera menunjuk si anying Cian Li Yen yang ada di

depan kudanya.

“Itulah dia,” jawabnya.

Sipembegal jalan itu melirik sekejap kearah sianying Cian Li Yen

itu lantas memperdengarkan suara tertawa dinginnya yang amat

menyeramkan.

“Macan- pun Toaya-mu bisa bunuh apalagi cuma seekor anying.

Hee….. hee….. sungguh lucu sekali….”

“Kalau kau berani ayoh kau maju…….. kau boleh coba-coba

rasanya digigit oleh Cian Li Yen…..”

Ti Then yang melihat Wi Lian In hendak memerintahkan

anyingnya untuk melancarkan serangannya kearah sipembegal jalan

itu dengan gugup dia mencegah.

“Tidak….. jangan, kau jangan memerintahkan sianying Cian Li

Yen untuk menggigitnya dulu.”

Dengan perlahan Wi Lian In putar kepalanya dan kirim satu

senyuman manis kepadanya.

“Kau tidak usah kuatir terhadap diri Cian Li Yen, dia sudah

memperoleh latihan yang amat keras sekali…. dengan kekuatannya

sudah cukup untuk memberi perlawanan terhadap seorang jagoan

berkepandaian tinggi dari dalam Bu-lim.”

“Aku tahu,” ujar Ti Then sambil tertawa, “Yang aku kuatirkan

kalau Jin-heng ini sampai digigit Cian Li Yen dan menemui ajalnya.”

Berbicara sampai di sini dia segera menoleh kearah sipembegal

jalan itu lalu ujarnya sambil tertawa

“Aku lihat wajahmu rada sedikit kukenal agaknya aku pernah

bertemu dengan dirimu disuatu tempat…. siapa namamu??”

“Tidak usah banyak omong,” bentak sipembegal itu sambil

melototkan matanya lebar-lebar, aku mau tanya kalian ingini harta

atau jiwa? ayoh cepat jawab.”

Lama sekali Ti Then memperhatikan dirinya dengan amat teliti

tanpa memberikan jawaban, akhirnya secara tiba-tiba saja dia

tertawa terbahak-bahak.

“Haa… haa sekarang aku sudah teringat kembali,” sahutnya.

“Bukankah kau adalah si Sam Su Tou Ji atau sipencuri tiga tangan

Kauw Ban Li?”

Mendengar disebutnya nama itu airmuka sipencuri tiga tangan

segera berubah sangat hebat sekali, terburu-buru dia mundur satu

langkah ke belakang, sepasang matanya yang seperti tikus dengan

tajamnya berkedip-kedip beberapa kali.

“Kawan kau berasal dari golongan mana? kenapa kenal dengan

diriku?” tanyanya dengan terperanyat.

“Jika dibicarakan sebenarnya kita adalah termasuk kawan lama,”

ujar Ti Then sambil tertawa.

Seketika itu juga sipencuri tiga tangan dibuat melengak lagi.

“Kawan yang aku sipencuri tiga tangan Kauw Ban Li pernah

temui tidak akan terlupakan kembali,” ujarnya.

“Sudah tentu, sudah tentu,” sahut Ti Then sambil mengangguk.

“Dahulu kau tidak pernah bertemu dengan wajahku semacam ini

maka sudah tentu kau tidak kenal lagi?”

“Lalu apakah kawan sedang menyamar?” tanya sipencuri tiga

tangan dengan terperanyat.

“Benar.”

Walau pun sipencuri tiga tangan masih tidak tahu siapakah

sebenarnya sipedagang berusia pertengahan yang ada di

hadapannya saat ini, tetapi dia tahu sudah bertemu dengan seorang

jagoan dari Bulim, tidak terasa lagi dia sudah mundur satu langkah

ke belakang.

“Kawan siapakah sebetulnya kau?” tanyanya.

“Kurang lebih dua tahun yang lalu kita pernah bertemu muka

dikota Tiang Ang hari itu aku hendak naik ke atas sebuah loteng

rumah makan sedang kau mau turun dari atas loteng, lagakmu

seperti orang sedang kemabokan dan sewaktu turun sudah

menabrak diriku… sudah ingat bukan?”

“Tidak salah,” sahut Si pencuri tiga tangan dengan wajah yang

sudah berubah memerah dia angkat bahunya ke atas. “Cayhe

memang pernah berkeluntungan selama dua tahun lamanya di

dalam kota Tiang An, di dalam dua tahun ini memang setiap hari

cayhe berada di dalam keadaan mabok terus. Entah siapakah

sebetulnya kau orang.”

“Seharusnya kau masih ingat dengan diriku” ujar Ti Then sambil

tertawa, “Karena setelah kejadian itu kau pernah berkata dengan

aku, kau bilang baru untuk pertama kalinya kau tertangkap sewaktu

menyalankan operasimu.”

Air muka sipencuri tiga tangan segera berubah semakin riku

sekali.

“Sesungguhnya aku semuanya sudah mengalami tiga kali gagal

dalam pekerjaanku, pertama kali tertangkap ditangan sipendekar

baju hitam Ti Then, sedangkan kedua serta ketiga kalinya air sungai

menenggelamkan kuil raja naga aku sudah mencopet kawan berasal

dari satu jalan.”

“Dan akulah orang yang untuk pertama kalinya menangkap

dirimu itu” sambung Ti Then sambil memperendah suaranya.

“Kau adalah….” teriak sipencuri tiga tangan dengan sangat

terperanyat.

“Stt…. jangan menyebut nama serta julukanku, kalau tidak aku

segera akan suruh kau merasakan bagaimana rasanya kalau otot

serta urat nadi di-pisah-pisahkan.”

Mendengar perkataan tersebut si pencuri tiga tangan jadi

semakin terkejut dengan cepat dia mengucek-ucek matanya lalu

dengan seluruh kekuatannya melototi diri Ti Then.

“Apa betul dirimu ?”

Ti Then segera mengangguk dan tersenyum.

“Hari itu kau berpura-pura mabok dan menumbuk aku sewaktu

naik ke atas loteng, mengambil kesempatan itu kau sudah mencuri

uang perakku, tetapi segera bisa aku ketahui, aku lantas kirim satu

totokan merubuhkan dirimu, tubuhmu lantas terjatuh ke bawah

loteng sehingga membuat seluruh wajah dan badanmu bengkakbengkak

menghijau setelah itu.”

Sipencuri tiga tangan yang mendengar perkataan itu sampai di

sana dengan cepat dia membuang golok yang ada ditangannya dan

jatuhkan diri berlutut untuk kemudian menganggukan kepalanya.

“Hamba ada mata tak berbiji, ternyata kali ini sudah berani

mengganggu kau Ti.. Ti.. “

“Jangan sebut namaku,” seru Ti Then dengan cepat.

Seluruh tubuh si pencuti tiga tangan segera tergetar dengan

amat kerasnya.

“Baik… baik… sahutnya dengan gugup. Hamba harus mati,

silahkan kau orang suka memaafkan aku sekali ini lagi, lain kali

hamba bersumpah tidak akan berbuat jahat lagi dan tidak akan

melakukan perbuatan yang memalukan ini lagi.”

“Sekarang kau berdirilah, jangan terus menerus berlutut,” ujar Ti

Then sambil tertawa.

“Kalau kau suka memaafkan diriku dan mengam puni lagi diriku

maka hamba baru berani berdiri,” ujarnya sipencuri tiga tangan

sambil tetap melanjutkan anggukan kepalanya.

“Semuanya kau sudah membunuh berapa orang?” tanya Ti Then

kemudian.

“Seorang pun aku tidak membunuh,” sahut sipencuri tiga tangan

sambil gelengkan kepalanya berulang kali.

“Omong kosong.”

“Sungguh,” seru sipencuri tiga tangan merengek. “Golok dari

hamba ini selamanya cuma digunakan untuk menakut-nakuti orang

yang lewat di sini saja, setetes darah pun belum pernah terciprat

dari golok tersebut.”

-ooo0dw0oooJilid

30

“HMM.. nyalimu semakin lama semakin berani yaaa, pertamatama

kau ahli mencopet harta benda orang lain, sekarang semakin

berani lagi perbuatanmu, berani benar menggunakan golok untuk

membunuh orang dan merampok harta kekayaan yang dibawa,”

bentak Ti Then dengan keras.

“Hamba benar-benar tidak membunuh seorang pun” teriak si

pencuri tiga tangan dengan keras. “Kali ini hamba jadi si pembegal

sesungguhnya dikarenakan desakan biaya hidup, hamba terpaksa

mau tidak mau harus melakukan pekerjaan ini.”

“Telur nenekmu, apakah ketiga buab tanganmu sudah dipotong

orang lain?” bentak Ti Then lebih lanjut,

Si pencuri tiga tangan segera tertawa pahit.

“Boleh dibilang memaag sudah dipotong orang lain” sahutnya

perlahan,

“Siapa yang punya keahlian yang begitu dahsyatnya sehingga

melarang kau untuk melakukan pekerjaan mencopet lagi?”

Liong Touw Lotoa kami sendiri,

“Miauw So Suseng?” seru Ti Then sambil memandang tajam

wajahnya.

“Benar, memang dia orang,” sahut si pencuri tiga tanga

mengangguk.

“Dia melarang, kau mencopet baraag milik orang lain?”

“Benar,” sekali lagi si pencuri tiga tangan mengangguk.

“Kenapa?”

“Ada satu kali di kota Tiang An juga hamba melihat ada seorang

kakek tua yang memakai baju yang amat perlente, dari badan kakek

berbaju perlente itu hamba berhasil meacuri sebuah intan permata

yang mahal harganya. sewaktu aku merasa kegirangan itulah

mendadak aku menghadap. saat itu terlihatlah banyak kawankawan

lain dari satu golongan sudah pada berkumpul di sana. Liong

Touw LoToa tanya di antara kita siapa yang sudah mencuri sebuah

intan permata dari badan seorang kakek tua yang memakai baju

perlente siauw jin segera mengaku akulah yang si pencuri, dengan

langkah lebar Liong Touw Lo toa segera menghampiri siauw jin dsn

lantas hadiahi beberapa tamparan membuat mukaku jadi beegkak”

“Kenapa?” tanya Ti Then tertawa. Dengaa wajah yang meringis

kera dia

menyawab

“Siauw jin punya mata tidak melihat gunung Thay san, kiranya

kakek tua berjubah perlente itu bukan lain adalah ayah dari Liong

Touw Lotoa kami”

“Haaa , haaaa .,. haaa , , bagus sekali bagus sekali” seru Ti Then

sambil tertawa terbahak-baha. Kau manusia rendah juga berani

mengganggu kepala Thay Swi memang harus mati , . memang

harus mati,”

“Heeeei . . .” Si pencuri tiga tangan menghela napas panyanpanjang

dengan sedihnya. “Selama beberapa tahun ini nasib siauwjin

memang kurang mujur- selalu mendapatkan mangsa yang salah

saja,”

“Liong Touw Lo-toa kalian memang tidak seharusnya memberi

hukuman kepadaku dia boleh mencopet harta kekayaan milik orang

lain kenapa orang lain tidak diperkenankan mencopet harta

kekayaan milik ayahnya?”

“Dia bilang siauw-jin sudah memyeset kulit mukanya karena itu

menghukum hamba untuk Menutup tangan selama tiga tahun

lamanya. coba kau bayangkan jikalau mengharuskan hamba

menutup pintu selama tiga tahun lamanya dia selama tiga tahun ini

tidak dapat pekerjaan bagaimana siauw ji bisa mendapat uang

untuk membeli makanan? di dalam keadaan yang terpaksa siauw jin

mau tidak mau harus ganti pekerjaan sebagai pembegal jalan. tetapi

siauw jin benar-benar tidak pernah melukai barang seorang pun,

yang hamba minta cumalah harta kekayaan orang yang lewat di sini

karena hamba tahu melukai orang cuma mendatangkan kerepotan

saja karena itu siauw-jin tidak berani melakukan pekerjaan itu.”

“Eeeei apa kau sering sekali membegal harta kekayaan dari

orang yang lewat di jalan ini?” tiba-tiba Wi Lian In nyeletuk.

“Tidak,” jawab si pencuri tiga tangan sambil gelengkan

kepalanya. “Setiap tempat siauw-jin cuma melakukaa pekerjaan

selama tiga lima hari saja, siauw-jin tidak berani berdiam terlalu

lama.”

“Dijalan ini kau sudah melakukan berapa hari?” tanya Wi Lian In.

“Ini hari adalah hari kedua, tetapi cuma mendapatkan tiga kali

hasil saja, mendapat uang tidak seberapa banyak.”

“Kurang lebih setengah jam yang lalu apakah kau melihat ada

seorang kakek tua berbaju hijau lewat di sini.”

“Oouw . . . nona maksudkan si pembesar kota Cuo It Sian?”

tanya si pencuri tiga tangan.

“Tidak salah” sahut Wi Lian In dengan amat girang, “Kau melihat

dirinya?”

“Benar,” sahut si pencuri tiga tangan mengangguk. “Untung

sekali siauw-jin segera mengenal kembali kalau dia adalah si

pembesar kota sehingga tidak berani muuculkan diri untuk

menghalangi perjalanannya, jikalau siauw-jin tadi tidak sampai

melibat lebih jelas mungki nyawa anyingku pun sudah lenyap.”

“Dia melihat dirimu tidak?”

Sekail lagi sipencuri tiga tangan menggelengkan kepalanya

.Begitu siauw-jin melihat dirinya berjalan mendatang, siauw-jin

lantas bersembunyi di balik pepobonan dan tidak berani bergerak

sampai napas pun tidak berani terlalu keras”

“Bagus ,, bagus sekali,” seru Wi Lian In dengan amat girang

sekali, “Sekarang aku mau Tanya lagi„ ilmu mencopetmu lihay atau

tidak ?”

Si pencuri tiga tangan tidak mengetahui apa meksud dari

perkataan ini, dia jadi ragu-ragu sebentar.

“Tidak berani dikatakan terlalu lihay. yaa , , . . boleh di kata

cukup untuk memperoleh sesuap nasi saja.” sahutnya kemudian.

“Sebetulnya bagaimana ?” tanya Wi Lian In kemudian sambil

menoleh kaarah Ti Then. Ti Then tersenyum.

“Diantara kawan-kawan segolongannya bolwh dikata dia

merupakan salah seorang jagoannya yang berkepandaian paling

tinggi”

“Kalau begitu bagaimana kalau kita mintai bantuannya ?”

“Baik sih baik. cuma .. – ..”

“Kenapa ?”

“Kauw Ban Li,” seru Ti Then sambil menoleh kearah diri si

pencuri tiga tangan “Beranikah kau pergi msncuri barang yang ada

dibadan Cuo It Sian?”

Mendengar perkataan tersebut si pencuri tiga tangan jadi amat

terperanyat sekali dengan gugupnya dia menggelengkan kepalanya.

“Tidak . . . tidak , . . siauw-jin tidak berani.. siauw-jin tidak

berani” tolaknya dengan cepat, “Si pembesar kota Cuo It Sian

merupakan salah satu jagoan yang berkepandaian paling tinggi

pada saat ini di dalam Bu-lim bilamana tidak untung siauw-jin kena

tertawan bukankah nyawaku akan melayang ?”

“Cuo It Sian bukanlah seorang iblis tukang penjagal manusia,

buat apa kau takuti dirinya?” sambung Wi Lian In lebih lanjut.

“Tidak , . . tidak,” ber-turut sipencuri tiga tangan menggelengkan

kepalanya lagi berulang kali, “Sekali pun nyali siauw jin lebih besar

pun tidak akan berani mengganggu diri si pembesar kota itu.”

Kami ingin sekali mendapatkan semacam barang milik Cuo It

Sian. bilamana kau mau membantu usaha kita ini dan mencurikan

benda tersebut buat kami maka jasa mu itu bisa digunakan untuk

menebus dosamu kali ini. kami bisa lepaskan satu jalan hidup buat

dirimu, kalau tidak bmm. . , hm m. . .”

Mendengar perintahnya itu sepasang mata dari si pencuri tiga

tangan terbelalak lebar-lebar, dengan amat terkejut sekali serunya:

“Kalian berdua ingin mendapatkan barang apa dari sipembesar

kota Cuo It Sian itu?”

“Kau menyanggupi dulu untuk mencurikan buat kami sesudah itu

aku baru beritahu urusan ini kepadamu.”

Sinar mata dari si pencuri tiga tangan segera beralih ke atas

wajah dari Ti Then jelas air mukanya memperlihatkan keraguraguan

serta rasa terperanyatnya.

“Kau dengan si pembesar kota adalah sama-sama seorang

pendekar yang mem punyai nama sangat terkenal sekali di dalam

Bu-lim” serunya, “kenapa . . kenapa . “

“Alasannya aku tidak bisa memberitahukan kepadamu,” jawab Ti

Then samnbil tertawa, “tetapi aku boleh beritahu kepadamu akan

sesuatu. jikalau ksu bantu mendapatkan barang itu berarti juga

sudah membantu kami untuk melakukan satu pekerjaan mulia.”

Agaknya rasa hormat dari si pencuri tiga tangan terhadap diri

sipembesar kota Cuo It Sian jauh melebihi rasa hormatnya terhadap

diri Ti Then mendengar perkataan tersebut dia tetap

memperlihatkan rasa keragu-raguannya.

“Sungguh ?” tanyanya.

“Kau tahu siapakah dia orang?” tanya Ti Then kemudian sambil

menuding kearah diri Wi Lian In.

“Siauw jin tidak tahu,” jawab si pencuri tiga tangan sambil

gelengkan kepalanya,

“Dia adalah putri kesayangan dari Wi Pocu dari Benteng Pek Kiam

Po. Wi Liao In adanya,”

“Aaaah kiranya nona Wi,” teriak si pencuri tiga tangan Kauw Ban

Li dengan amat terperanyat.

Dengan nada serta kedudukan dari nona Wi serta aku orang

tidak perduli kami hendak melakukan pekerjaan apa pun kau boleh

merasa berlega hati.”

“Aku masih bisa menanggung akan sesuatu, apa yang kami minta

bukanlah harta kekayaan melainkan semacam barang yang semula

adalah milik ayahku sendiri,”

Sipencuri tiga tangan jadi amat terperanyat sekali.

“Aaaaa … Cuo It Sian sudah mencuri barang milik ayahmu?”

“Kita tidak bisa mengatakan dia sudah mancuri barang milik

ayahku” sahut Wi Lian In lebih lanjut. “Pokoknya dikarenakan

semacam alasan yang tidak bisa dijelaskan. .- coba kau jawablah

dulu mau bekerja untuk kami atau tidak?”

“Yang Siauw jin takuti kalau sampai aku ketangkap olehnya

kemungkinan , kemungkinan” seru Si pencuri tiga tangan tetap ragu

ragu.

“Sekali pun begitu belum tentu harus menemui ajal” potong Wi

Lian In dengan cepat. “Asalkan kau tidak bilang kami yang

memerintahkan dirimu untuk melakukan pekerjaan tersebut maka

dia cuma menganggap kau sebagai searang pembegal jalan biasa

saja, paling banyak yaaa bakal merasakan sedikit penderitaan saja”

Si pencuri tiga tangan termenung berpikir sebentar, lalu tanyanya

lagi

“Jikalau Siauwjin tidak untung kena tangkap, bilamana dia

hendak turun tangan membinasakan hamba maukah kalian berdua

turun tangan menolong Siauw jin?”

“Tidak” jawab Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

Diam-diam Si pencuri tiga tangan menarik napas panjangpanjang

dia tertawa pahit.

“Kalau begitu siauw jin tidak punya nyali untuk melakukan

pekerjaan ini” ujarnya.

“Asalkan kau jangan bilang kami yang memerintahkan dirimu

untuk melakukan perbuatan tersebut, aku rasa tidak akan

berbahaya”

“Tidak bisa jadi . tidak bisa jadi” teriak si pencuri tiga tangan

Kauw Ban Li sambil goyangkan tangannya berulang kali.

“Kalau begitu yaa sudah,”

Dia tahu dengan kepandaian dari si pencuri tiga tangan bilamana

dia sudah menyanggupi untuk mencurikan pedang pendek yang ada

di tangan Cuo It Sian maka kemungkinan sekali pekerjaan tersebut

dapat mencapai hasil yang diharapkan, tetapi dia pun tidak

mengharapkan bisa berhasil tnencuri pedang pendek itu secepatnya,

karena itu dia orang tidak mau terlalu memaksa si pencuri tiga

tangan untuk melakukannya.

Tetapi Wi Lian In tidak mau melepaskan begitu ssya kesempatan

yang baik ini dia tertawa dingin.

“Tidak, kau harus menerima pekerjaan ini” tandasnya

Si pencuri tiga tangan jadi amat gugup sekali.

“Nona Wi, kau baik-baiklah melepaskan diriku, Siauw jin benarbenar

tidak punya nyali untuk mencopet barang milik si pembesar

kota” ujarnya setengah merengek.

“Walau pun kepandaian silatnya amat tinggi tetapi terhadap

perbuatan mencopet sama sekali dia tidak bisa berjaga-jaga buat

apa kau takuti dirinys ?”

“Tetapi ,. “

“Kalau kau tidak-setuju juga boleh saja” ujar Wi Lian In

kemudian sambil meloncat turun dari kudanya, “Sekarang ambil

kembali golokmu itu,”

“Nona Wi, kau bermaksud untuk berbuat apa?” tanya Si pencuri

tiga tangan dengan ketakutan lantas mundur beberapa langkah ke

belakang.

“Aku tidak dapat melepaskan seorang pembegal yang

mendatangkan celaka buat orang orang yang melakukan perjalanan

melewati tempat ini, tetapi aku sanggup untuk memberi satu

kesempatan buatmu untuk beradu jiwa, bilamana kau ingin tetap

hidup maka kau harus mengalahkan diriku”

Saking takutnya seluruh air muka Si pencuri tiga tangan sudah

berubah jadi pucat pasi bagaikan mayat.

“Tidak, tidak” serunya sambil goyangkan tangannya berulang

kali. “Siauw jin tahu kalau kepandaian hamba bukanlah tandingan

dari nona Wi. Nona Wi kau am punilah aku orang ini,”

“pungut senyatamu dan berdiri!” perintah Wi Lian In dengan

suara yang amat dingin.

Si pencuri tiga tangan segera menoleh kearah Ti Tben dan

memohon kepadanya.

“Ti . . slauwhiap, kita sudah punya jodoh untuk bertemu muka

satu kali. tolonglah diriku dan lepaskan siauw jin kali ini”

“Sayang aku tidak berkuasa” seru Ti Then sambil gelengkan

kepalanya.

Mendadak Wi Lian In berkelebat dan maju mencengkeram baju

di dadanya lantas mengangkat badannya yang sedang berlutut di

atas tanah itu.

“Aku kasi muka padamu kau tidak mau menerima, ini hari

janganlah kau menyalahkan kalau nonamu tidak akan berlaku

sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu.”

Selesai berkata telapak tangannya segera diangkat dan siap-siap

turun tangan melancarkan serangan.

Si pencuri tiga tangan jadi amat terperanyat sekali, teriaknya

kemudian.

“Baik, baiklah, siauw jin menerima permintaan kalian itu.”

Tangan kanan dari Wi Lian In segera di tekuk, kedua jari tengah

serta telunjuknya dengan bagaikan kilat cepatnya berkelebat

menotok jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiat pada iga kanannya lalu

baru lemparkan badannya ke atas tanah.

“Totokan ini aku menggunakan ilmu totokan tunggal dari

Benteng Pek Kiam Po kami di dalam kolong langit saat ini tiada

seorang pun yang bisa membebaskannya kecuali aku serta ayahku,

sekarang aku totok dulu jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiat di

badanmu, enam bulan kemudian jikalau tidak diobati maka kau akan

muntah darah dan binasa.”

Mendengar perkataan dari Wi Lian In ini si pencuri tiga tangan

benar-benar merasa ketakutan.

“Nona Wi” teriaknya ngeri. “Siauw jin sudah menyanggupi nona

untuk melakukan pekerjaan tersebut, kenapa sekarang nona masih

turun tangan juga mencelakai diri siauw jin?”

“Jangan takut, di dalam sepuluh hari ini kau tidak akan marasa

badannya berubah” ujar Wi Lian In tenang saja. “Menanti sesudah

kau berhasil memperoleh barang tersebut aku segera akan turun

tangan membebaskan jalan darahmu itu dan mengobatinya.”

“Bilamana siauw jin tidak sanggup untuk mencopet barang itu?”

tanya Si pencuri tiga tangan dengan kaget.

“Untuk menolong nyawamu sendiri kau harus berhasil

mendapatkan benda tersebut”

“Tapi kalau siauw-jin tidak untung tertawan olehnya, lalu . . .”

“Menanti setelah dia membebaskan dirimu aku baru turun tangan

menolong dirimu.”

“Baiklah,” ujar Si pencuri tiga tangan kemudian dengan sedih

lantas bangkit berdiri. “Sekarang beritahu kepada siauw jin kalian

menghendaki benda apa dari badannya.”

“Sebilah pedang yang bernama Biat Hun Kiam.”

“Pedang pendek itu apa selalu ada di badannya?” tanya Sipencuri

tiga tangan lebih lanjut.

“Tidak salah” sahut Wi Lian In mengangguk. “Kau harus bzrusaha

mencurinya dapat pedang pendek itu sebelum dia tiba dirumahnya

dikota Tiong Cing Hu.”

“Dia lewat ditempat ini setengah jam yang lalu, ada kemungkinan

saat ini sudah berada beberapa puluh li jauhnya, bolehkah siauw-jin

berangkat sekarang juga?”

“Dia tidak tahu ada orang yang hendak mengejar dirinya, kau

lebih baik mengejarnya dengan sekuat tenaga, kemungkinan sekali

masih bisa menyandak dirinya.”

“Setelah aku berhasil memperoleh barang itu siauw jin harus

mencari kalian kemana?” tanya sipencuri tiga tangan kemudian.

“Asalkan kau lari balik kemari sudah tentu bisa bertemu dengan

kita.”

“Baiklah,” ujar si pencuri tiga tangan sambil garuki kepalanya,

“Siauw jin segera akan mengejar dirinya, semoga saja di dalam dua

tiga hari ini bisa memperoleh hasil,”

Selesai berkata dia merangkap tangannya memberi hormat lalu

putar badannya beelalu dari sana.

“Tunggu dulu,” tiba-tiba Ti Then berteriak.

“Ti siauwhiap ada perintah apa lagi?” tanya sipencuri-tiga tangan

sambil putar badan.

“Tidak perduli kau berhasil mendapatkan barang itu atau tidak

lebih baik kau jangan membocorkan urusan ini ketempat luaran,

kalau tsdak sebelum kau berhasil mulai di dalam pekerjaanmu kau

bakal menemui kematian.”

“Baik, baik, baik . .” seru sipencuri tiga tangan berulang kali.

“Tentang hal ini siauw jin paham, sekali pun siauwjin sudah makan

nyali macan juga tidak akan berani membocorkan urusan ini

ketempat luaran”

“Kalau begitu baiklah, sekarang kau boleh pergi,” seru Ti Then

kemudian sambil mengulapkan tangannya.

Si pencuri tiga tangan cepat-cepat putar badannya dan berlari

meninggalkan tempat itu hanya di dalam sekejap saja dia sudah

lenyap di balik kegelapan.

Wi Lian In segera membungkukkan badannya memungut kembali

golok yang menggeletak di atas tanah itu lantas dibuangnya ke

tengah hutan setelah itu baru naik kembali ke atas kuda

tunggangannya dan tersenyum.

“Kau mengira dia bisa memperoleh hasil tidak ?”

“Ilmu mencopetnya sangat libsy sekali, ada kemungkinan dia bisa

memperoleh hasil,”

“Bilamana dia bisa memperoleh hasil kemungkinan sekali Cuo It

Sian tidak menduga kalau pekerjaan itu kita yang perbuat bukan ?”

tanya Wi Lian In kemudian.

“Bagaimana bisa jadi ?”

“Dulu sewaktu dia meocopet uang perakmu bukankah dia

berpura-pura seperti seorang mabok dan menumbuk dirimu ?”

“Tidak salah,” sahut Ti Then mengangguk.

“Bilamana waktu itu kau tidak merasa dan kemudian kau

menemukan uangmu sudah lenyap, tentu di dalam anggapanmu

sudah menduga dialah yang berbuat, bukan begitu ?”

“Benar”

“Kalau begitu jikalau dia mencopet dengan menggunakan cara

yang sama maka Cuo It Sian di kemudian hari bisa menduga kalau

pedang pendeknya itu ada kemungkinan dicopet orang lain,

sedangkan orang-orang Benteng Pek Kiam Po kita tidak ada seorang

pun yang memahami ilmu mencopet maka itu dia tidak akan

menduga kalsu pekerjaan itu kita yang perbuat.”

“Perkataanmu ini kedengarannya memang sangat beralasan”

seru Ti Then tersenyum.

“Apa mungkin salah?” tanya Wi Lian In heran.

“Menurut penglihatanmu: tidak perduli Si pencuri tiga tangan

hendak mencuri pedang pendek itu dengan cara apa pun sewaktu

Cuo It Sian menemukan pedang pendeknya kena tercuri maka dia

akan menduga itulah perbuatan dari kita.”

“Tetapi dia tidak mem punyai bukti.”

“Buat apa dia membutuhkan bukti?”

“Kalau begitu sewaktu dia menemukan pedang pendeknya tercuri

dan memastikan kalau perbuatan itu adalah hasil pekerjaan dari

Benteng Pek Kiam Po kita, coba kau pikir dia akan melakukan

gerakan apa lagi” tanya Wi Lian In.

“Sudah tentu dia akan berusaha untuk merebut kembali dari

tangan kita”

“Hmmm,” dengus Wi Lian Ia dengan dingin. “Kali ini dia jangan

harap bisa merebutnya kembali dari tangan kita,”

“Tetapi sekarang kita belum memperoleh hasil,”

“Aku percaya Si pencuri tiga tangan pasti akan berhasil” sahut Wi

Lian In sambil tertawa kikuk-

“Tadi kau menggunakan cara apa menotok jalan darah Hiat Bun

Sang ci Hiat-nya?” tanya Ti Then kemudian.

“Coba kau terka,” seru Wi Lian Im sambil tertawa ringan.

Ti Then segera angkat bahunya.

“Selamanya aku belum pernah mendengar kalau di dalam

Banteng Pek Kiam Po mem punyai semacam ilmu menotok jalan

darah yang menunggal, bukankah kau sedang beromong kosong?”

“Benar,” sahut Wi Lian In tertawa.

“Ehmmm?”

“Sungguh omong kosong”

“Kalau begitu kau menggunakan cara menotok yang mana

menotok jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiatnya tanpa melukai

dirinya?”

“Kau masih tidak paham?”

“Benar.”

“Terus terang saja aku beritahu kepadamu aku sama sekali tidak

menotok jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiat-nya, aku sedang menipu

dirinya.”

“Aaaah , . . aaah …”

“Bagus tidak?”

“Bagus sekali, haaa .haa “

000odwo000

Malam semakin kelam, mereka dengan menunggang kuda

melakukan perjalanan dengan sangat lambat sekali, setelah berjalan

selama satu kentongan akhirnya terlihatlah di samping jalan

terdapat sebuah kuil bobrok, mereka lantas masuk ke dalamnya

untuk beristirahat.

Keesokan harinya kembali mereka menunggang kuda

melanjutkan perjalanannya mengejar ke depan.

Hari itu mereka berdua sudah melakukan perjalanan sejauh

ratusan li dan sampailah di sebuah kota kecil yang bernama Ngo Li

Pang-

Tiba-tiba tampaklah dari tempat kejauhan sipencuri tiga tangan

dengan amat cepatnya sedang berlari mendatang.

Baik Ti Then mau pun Wi Lian In yang melihat hal tersebut dalam

hati merasa sangat girang sekali, dengan cepat mereka melarikan

kudanya menyambut kedatangannya.

“Sudah berhasil?” tanya mereka hamper berbareng dan sama

sama meloncat turun dari atas kuda.

“Untung tidak menemui kegagalan, sudah aku dapatkan” seru si

pencuri tiga tangan sambil tertawa kegirangan.

Sembari berkata dari dalam sakunya dia mengambil keluar

sebuah pedang pendek beserta sarungnya !alu dengan

menggunakan sepasang tangannya diangsurkan kearah Ti Then.

Wi Lien In dengan cepat merebut pedang itu kemudian

dicabutnya pedang pendek tersebut untuk dilihat.

“Pedang ini tidak salah bukan?” tanyanya dengan rasa

kegirangan.

“Di dalam badannya tidak terdapat pedang yang kedua cuma ada

sebilah pedang itu saja,” ujar si pencuri tiga tangan sambil menyeka

keringat yang mengucur keluar membasahi dahinya.

Ti Then segera meminta kembali pedang itu dan dilihatnya

beberrpa saat lamanya, lantas dia memuji.

“Pekerjaan dari Cu Kiam Lojin memang sangat hebat sekali, dua

potong pedang yang sudah patah ternyata bisa disambung kembali

seperti sedia kala.”

“Kauw Ban Li, ilmu mencopetmu ternyata amat dahsyat sekali,

dia tidak merasa bukan?” tanya Wi Lian Ia tertawa.

“Waktu itu dia tidak merasa, tetapi sekarang ada kemungkinan

sudah merasa,”

“Kau turun tangan dimana?” taaja Wi Lian In lagi.

“Di dalam kota Hok Hong Sian tidak jauh dari tempat ini, dia

masuk ke dalam sebuah rumah makan.”

“Kapan?” tiba-tiba Ti Then menimbrung.

Si pencuri tiga tangan berdiam diri sebentar untuk tukar napas,

lantas baru jawabnya.

“Siang ini juga kurang lebih satu jam yang lalu”

“Kalau begitu kemungkinan sekali dia bisa balik kemari untuk

mencari, kita tidak boleh berbicara di tengah jalan, ayoh cepat

mencari satu tempat untuk menghindar,” seru Ti Then dsagan

cemas.

“Di atas bukit sana ada sebuah hutan, kita pergi ke dalam hutan

itu saja,” seru Wi Lian In kemudian sambil menuding kearah sebelah

kiri,

Selesai berkata dia segera meloncat turun dari kudanya dan

berjalan menuju ke atas bukit kecil itu.

Setelah mereka bertiga tiba di dalam hutan di atas bukit kecil itu

lantas bersama-sama duduk di atas rumput.

“Sudahlah,” terdengar Ti Then berkata. “Sekarang kita boleh

bcrcakap-cakap dengan hati lega, coba kau ceritakanlah kisahmu

sewaktu mencopet pedang pendek itu.”

Kemarin malam setelah siauw-jin meninggalkan kalian berdua

lantas melanjutkan perjalanan ke depan dengan mengikuti jalan

raya ini pagi ini aku sudah mengejarnya sampai di kota Hok Hong,

aku pikir dia tentu beristirahat di dalam kota itu makanya dengan

cepat siauw-jin melakukan penyelidikan. Setelah cari setengah

harian lamanya ternyata masih belum ketemu juga. Akhirnya

sewaktu siauw-jin hendak keluar dari kota mendadak tampak dia

berjalan masuk ke dalam kota.”

Dia barhenti sebentar untuk menukar napas. Lantas sambungnya

kembali.

“Siauw-jin melihat dia masuk ke dalam kota segera

membuntutinya dari tempat kejauhan, ketika melihat dia berjalan

masuk ke dalam sebuah rumah makan maka siauw-jin cepat-cepat

mengikutinya dari belakang, kita berpisah cuma dua kaki saja dan

saling berhadapan.

Dia minta macam-macam sayur untuk makan sedang siauw-jin

cuma minta semangkok mie saja maka itu sewaktu dia mulai makan

siauw-jin sudah selesai bersantap, sesudah membayar rekening

siauw-jin lantas berjalan lewat di samping badannya waktu itu kaki

kanannya direntangkan ditengah jalan maka siauw-jin pura-pura

tersangkut kakinya dan terjatuh ke depan.

Siauw-jin dengan mengambil kesempatan ini lantas mencekal

badannya untuk menahan badan sedangkan tangan yang lain

merogoh ke dalam sakunya mencuri pedang tersebut yang

kemudian hamba sembunyikan di dalam saku.

Setelah kejadian itu hamba pura-pura marah dan memakinya

beberapa kejap kemudian terburu-terburu aku meninggalkan rumah

makan itu dan lari kemari… demikianlah akhirnya aku menemukan

kalian di sini.”

“Bagus, perbuatanmu amat bagus sekali” seru Ti Then tertawa.

“Tetapi,” seru si pencuri tiga tangan itu lagi sambil tertawa pahit.

Sewaktu dia menemukan pedang pendeknya tercuri maka dia akan

tahu kalau perbuatan itu siauw-jin yang melakukannya dia tentu

masih teringat wayah dari siauw jin…”

“Soal ini tidak mengapa, dunia adalah amat luas sekali sedang

dia pun tidak tahu siapakah dirimu, untuk menemukan kau lagi

adalah amat sukar sekali.”

“Semoga saja demikian,” ujar sipencuri tiga tangan sambil

menghela napas panjang.

“Bilamana kau takut sampai ditemukan kembali olehnya maka

kau boleh jauh meninggalkan Siok Oauw dua daerah ini bersamaan

pula boleh sedikit merubah wayahmu, dengan demikian bukankah

tidak usah takut lagi dengan dirinya?”

Air muka sipencuri tiga tangan segera kelihatan sedikit murung.

“Siauw jin punya rencana untuk kembali bergulung didaerah

kota Tiang An saja tetapi…”

“Ada kesukaran apa?”

“Ti siauw-hiap dengan Liong Touw Lo toa kami apakah mem

punyai hubungan yang baik?” balik tanya sipencuri tiga tangan itu

sambil memandang tajam wayahnya.

“Tidak.” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

“Kalau begitu sudahlah.”

“Kau minta aku mewakili kau untuk mintakan keringanan dari

Liong Touw Lo toa kalian agar larangan tersebut bisa dicabut

kembali?”

“Benar,” sahut sipencuri tiga tangan sambil mengangguk, “Tetapi

kalau memangnya Ti Siauw hiap sama sekali tidak mem punyai

hubungan dengan Liong Toauw Lo toa kami hal itu tidak mungkin

bisa terjadi.”

“Sekali pun aku bisa memintakan keringanan dari Liong Touw Lo

toa kalian tetapi aku juga tidak bisa membantu pekerjaanmu ini,”

sahut Ti Then dengan wayah serius. “Bagaimana aku bisa

membantu seorang pencopet untuk minta keringanan kemudian

memberi kesempatan buat dirinya untuk mencopet harta kekayaan

orang lain?”

Air muka sipencuri tiga tangan itu segera berubah jadi memerah.

“Sekali pun siauw jin adalah seorang copet tetapi di dalam

kalangan penyahat pun ada caranya, siauwjin selamanya tidak

pernah turun tangan terhadap kaum miskin” serunya.

“Orang miskin tidak beruang sudah tentu kalian tidak bakal mau

turun tangan terhadap mereka.”

Sekali lagi sipencuri tiga tangan garuk garuk kepalanya, kepada

Wi Lian In kemudian ujarnya.

“Nona Wi sekarang kau boleh membantu siauw jin untuk

mengobati luka yang terluka dari tertotoknya jalan darah Hiat Bun

Sang Ci Hiat bukan?”

“Boleh.”

“Kalau begitu silahkan kau turun tangan sekarang juga.”

“Kau baru tertotok satu hari satu malam saja, luka dalam pun

belum terjadi. Sekarang cukup sedikit dipijit maka lukamu itu bakal

sembuh dengan sendirinya.”

“Baik… baik…” seru sipencuri tiga tangan dengan amat girang.

“Sebelum aku mengobati dirimu, aku memperingatkan satu

urusan lagi kepadamu, aku melarang kau untuk membocorkan

rahasia dimana kau pernah membantu kami mencurikan sebilah

pedang pendek dari diri Cuo It Sian, kalau tidak, jangan dikata kami

tidak akan mtngam puni dirimu. Cuo It Sian tahu akan hal ini dia

pun tidak bakal mau melepaskan dirimu.”

“Sudah tentu, sudah tentu,” sahut sipencuri tiga tangan berulang

kali.

“Siauw-jin sendiri juga tidak ingin mati, sudah tentu aku tidak

bakal membocorkan urusan ini ketempat luaran.”

“Ti Kiauw-tauw.” ujar Wi Lian In kemudian kepada diri Ti Then.

“Kau bantu aku pijitkan dirinya sebentar.”

Ti Then segera mengangguk.

“Baiklah, sekarang kau boleh berbaring di atas tanah.”

Sipencuri tiga tangan menurut dan merebahkan diri ke atas

tanah, Ti Then segera menepuk sebentar jalan darah Hiat Bun Sang

Ci Hiat di atas tubuhnya kemudian mengurutkan juga urat nadi yang

lain, setelah itu baru ujarnya,

“Sudah cukup, sekarang kau merasa nyaman tidak??”

“Sedikit pun tidak salah,” Sipencuri tiga tangan segera merasakan

badannya amat nyaman sekali, dengan cepat dia meloncat bangun.

“Nyaman….. nyaman sekali, serunya. Ti siauw hiap boleh dikata

mirip dengan Hoa Tou yang hidup kembali. Sungguh hebat sekali

kepandaianmu.”

“Ingat.” ujar Ti Then lagi sambil ketawa. “Di dalam enam bulan

ini kau dilarang mendekati lawan sejenis dan bermain perempuan.

Kalau tidak maka luka dalammu akan kambuh kembali.”

Sipencuri tiga tangan jadi melengak.

“Iiih… sungguh… sungguh??”

“Sudah tentu sungguh.”

Agaknya terhadap enam bulan dilarang bermain perempuan ini

sipencuri tiga tangan merasa sangat sedih dan tersiksa sekali dia

mengerutkan alisnya rapat-rapat lantas menghela napas panjang.

“Sungguh minta am pun, sungguh minta am pun…” serunya

sedih.

Mendengar perkataan tersebut air muka Wi Lian In segera

berubah memerah.

“Apanya yang am pun am pun? cepat menggelinding pergi dari

sini,” bentaknya dengan keras.

“Ooh…” sipencuri tiga tangan segera sadar kembali, dengan

cepat dia merangkap tangannya menjura lantas putar badan

melarikan diri terbirit-terbirit dari sana.

Setelah Wi Lian In melihat dia telah pergi jauh, dia baru tertawa.

“Kau sungguh pintar omong kosong,” serunya.

“Orang semacam dia ini jikalau tidak dikasih sedikit pelajaran lain

kali masa bisa berubah jadi baik?

Dia mendengar selama setengah tahun tidak boleh main

perempuan ternyata wayahnya sudah berubah jadi amat murung

sekali, sungguh menggelikan.

Orang-Orang itu pinternya cuma makan, minum, judi, main

perempuan dan berbuat jahat, kini dia mendengar selama setengah

tahan lamanya harus mengekang napsu birahinya sudah tentu dia

merasa sedih hati.”

Wi Lian In segera menyawil ujung bajunya dengan tertawa malumalu

ujarnya tiba-tiba.

“Eeeei….. aku mau tanya padamu, kau pernah bermain

perempuan tidak?”

“Tidak pernah….. tidak pernah.” seru Ti Then dengan gugap

sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. “Sampai hari ini

juga aku masih seorang jejaka. kau jangan sembarangan

menuduh.”

“Hmmmm, aku tidak percaya.” Seru Wi Lian In sambil

mencibirkan bibirnya.

“Sungguh. Omong sesungguhnya sampai sekarang aku masih

tidak tahu bagaimana caranya bermain perempuan dan bagaimana

rasanya.”

“Kalau begitu begaimana kau bisa mengerti kata-kata main

perempuan dua kata itu?”

“Sekali pun belum pernah makan daging babi tetapi pernah juga

melihat babi lewat,” seru Ti Then sambil angkat bahunya. “Sekali

pun kita belum tahu bagaimana caranya main perempuan tapi tahu

juga kata-kata tersebut, bilamana sampai kata main perempuan saja

tidak tahu bukankah kau anggap aku sebagai seorang goblok?”

Wi Lian In tidak mengucapkan kata-kata lagi dia cuma tersenyum

saja.

“Kau tertawa apa?”

“Tidak mengapa, ayoh kita melanjutkan perjalanan lagi” seru Wi

Lian In kemudian sambil meloncat bangun.

Demikianlah mereka berdua segera naik kuda menuruni bukit

tersebut dan melanjutkan perjalanan kembali.

Karena takut ditengah perjalanan bertemu dengan Cuo It Sian,

maka mereka tidak berani menuju ke kota Hok Hong Sian melainkan

putar ke sebelah Selatan dan jauh-jauh menghindari kota tersebut

untuk kemudian melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke

sebelah Barat.

“Ayahku pada saat ini ada kemungkinan masih menunggu di kota

Tiong Cing Hu, bagaimana kalau kita langsung pergi mencari dirinya

lantas bersama-sama pulang ke dalam Benteng?” ujar Wi Lian In di

tengah jalan.

Ti Then yang secara diam-diam sedang berpikir kalau

pekerjaannya kali ini mencuri kembali pedang Biat Hun Kiam tidak

lebih cuma membutuhkan dua puluh harian saja sudah tentu tidak

mau menyetujui usulnya ini, karena dia tahu bilamana dia

diharuskan mencari Wi Ci To dan mengajaknya pulang bersamasama

maka ada kemungkinan dia segera akan menjodohkan

putrinya kepadanya, hal ini sudah tentu sangat menguntungkan

sekali terhadap usaha dari majikan patung emas karenanya dengan

cepat dia gelengkan kepalanya.

“Tidak, kita tidak perlu mencari ayahmu,” serunya.

“Kenapa?”

“Bilamana kita pergi kekota Tiong Cing Hu ada kemungkinan bisa

diketahui Cuo It Sian atau anak buahnya, sekarang kita sudah

memperoleh kembali pedang Bian Hun Kiam ini, lebih baik tidak

usah pergi mencari kerepotan lagi.”

“Jikalau kita mengubah kembali wayah kita siapa yang bakal

mengenal diri kita lagi?”

“Tetapi Cuo It Sian kenal dengan kuda serta anying ini” sahut Ti

Then.

Sambil menuding kearah kuda Ang Shan Khek serta sianying Cian

Lie Yen.

“Kalau kita tidak membawanya masuk ke dalam kota bukankah

hal ini sudah beres?” desak Wi Lian In lebih lanjut.

“Sekali pun dititipkan diluar benteng hal ini juga tidak aman.

Bukankah kau tahu sendiri kalau Cuo it Sian mem punyai banyak

lumbung padi diluar kota?”

“Hmmmm. Kau terlalu tidak bernyali” Seru Wi Lian In sambil

mencibirkan bibirnya.

“Ayahmu beberapa kali memesan wanti-wanti agar usaha kita ini

jangan sampai diketahui oleh Cuo it Sian, demi kebaikan lebih baik

kita tidak usah melewati kota Tiong Cing Hu saja,”

“Tetapi ayahku sama sekali tidak tahu kalau kita sudah

mendapatkan kembali pedang pendek itu, bilamana tidak memberi

kabar kepada dia orang tua…”

“Ayahmu pasti tahu” potong Ti Then dengan cepatnya.

“Bagaimana bisa jadi?” seru Wi Lian In melengak.

“Setelah Cuo It Sian mengetahui dia sudah kehilangan sebelah

pedang pendek. Coba kau pikir dia bisa berbuat bagaimana?”

“Pertama-tama dia akan pergi ke mana-mana untuk mencari diri

sipencuri tiga tangan Kauw Ban Li.”

“Tidak salah,” sahut Ti Then membenarkan. “Tetapi dia tidak

tahu sipencuri tiga tangan adalah manusia dari daerah mana,

menurut keadaan pada waktu itu dia tidak mungkin bisa pergi

mencari diri sipencuri tiga tangan, maka itu akhirnya dia bisa

teringat untuk pergi kembali ke Benteng Pek Kiam Po kita.”

Dia berhenti sebentar, lalu sambungnya lagi.

“Sewaktu da mengambil keputusan untuk pergi mengadakan

penyelidikan di dalam Benteng Pek Kiam Po maka dia tentu akan

pergi dulu ke kota Tiong Cing Hu, karena bagaimana pun dia pasti

akan lewat dikota tersebut bahkan ada kemungkinan dia harus

membawa beberapa orang pembantu…”

“Lalu bagaimana?” tanya Wi Lian In.

Setelah dia kembali kekota Tiong Cing Hu maka hal ini pasti akan

diketahui oleh ayahmu, sedang ayahmu cukup melihat sedikit

perubahan wayahnya saja maka dia bisa tahu kalau kita sudah

berhasil mendapatkan hasil, saat itu sudah tentu ayahmu akan

langsung kembali ke Benteng dengan sendirinya.

Bilamana Tia ditemukan oleh Cuo It Sian?

Hal itu tidak usah dikuatirkan lagi. Kepandaian silat dari ayahmu

jauh lebih tinggi dari kepandaian Cuo It Sian, sekali pun datang lagi

beberapa orang juga tidak bakal bisa menandingi dirinya.

We Lian In temenung berpikir sebentar. Akhirnya dia

mengangguk.

Baiklah kita tidak usah pergi ke kota Tiong Cing Hu.

Sekembalinya ke dalam Benteng. Kita harus baik-baik

menyembunyikan kuda Ang Shan Khek serta anying Cian Li Yen itu

kalau tidak bilamana sampai diketahui oleh Cuo It Sian kalau sikuda

Ang Shan Khek serta anying Cian Li Yen ada di dalam benteng kami

maka dia segera akan tahu kalau Si tikus pembuat lubang Bun In

serta si kucing Bun Giok Kiauw yang ditemuinya hari itu dirumah

petani adalah kita orang.

Padahal Tia tidak seharusnya merasa takut terhadap dirinya,

jikalau dia diharuskan bertempur melawan orang dari benteng Pek

Kiam Po kita boleh dikata kepandaiannya masih terpaut sangat jauh

sekali.

Serangan terang-terangsan bisa ditangkis, serangan bokongan

sukar terhindar, dia tahu bertempur secara terang-terangan tidak

bakal menangkan kita sudah tentu dia akan bisa secara sembunyi

menculik orang kita.

“Bilamana membicarakan sampai soal ini aku teringat kembali

akan satu persoalan,” ujar Wi Lian In kemudian. “Kalau memangnya

pedang pendek ini adalah milik Cuo It Sian kenapa ayahku harus

merebutnya sedangkan Cuo It San yang tahu pedang tersebut

sudah diambil oleh ayahku kenapa dia tidak minta kembali secara

terbuka?”

“Di dalam hal ini sudah tentu ada persoalannya. Cuma saja kita

tidak tahu” ujar Ti Then tertawa.

“Masih ada lagi” ujar Wi Lian In lebih lanjut. “Ayahku

mendapatkan pedang pendek itu pasti ada gunanya, tetapi sebelum

Cuo It Sian merebut kembali pedang pendeknya itu kenapa Tia

sama sekali tidak pernah menggunakan pedang itu untuk melakukan

sesuatu pekerjaan.”

“Bagaimana kau bisa tahu tidak pernah,” bantah Ti Then dengan

cepat.

“Selama beberapa tahun ini aku merasa semua pekerjaan yang

dilakukan oleh Tia sama sekali tidak ada hubungan dengan pedang

pendek tersebut.”

“Kali ini kita berhasil mencuri kembali pedang pendek, aku rasa

ayahmu pasti bisa menceritakan seluruh kejadian kepada kita.”

“Semoga saja demikian.”

Pada wajahnya secara tiba-tiba tersungginglah satu senyumam

yang kemalu-kemaluan ujarnya.

“Semoga juga setelah urusan selesai kita bisa hidup dengan

tenang dan bahagia.”

“Benar,” sahut Ti Then mengangguk. “Sejak aku menyabat

sebagai Kiauw tauw sampai hari ini belum pernah secara sungguhsungguh

menurunkan pelajaran ilmu silat kepada jago pedang kita,

aku rasa hal ini sungguh patut disesalkan.”

“Hal ini tidak dapat menyalahkan dirimu, omong terus terang saja

selama setengah tahun apabila tidak ada kau maka benteng Pek

Kiam Po kita entah sudah berubah jadi bagaimana?”

“Omong sebaliknya,” ujar Ti Then sambil tertawa. “Bilamana

tidak ada aku maka hubunganmu dengan Hong Mong Ling tidak

bakal retak. Sedangkan benteng Pek Kiam Po- pun tidak bakal

terkena serangan dari sianying langit rase bumi, kau tidak boleh

menyalahkan orang lain, semua bencana ini akulah yang membawa

datang.”

“Omong kosong,” seru Wi Lian In dengan manyanya. “Kalau kau

berkata demikian, berarti juga kau senang kalau aku kawin dengan

Hong Mong Ling manusia jahanam itu?”

“Aku tidak mengartikan demikian….”

“Jikalau kau tidak suka dengan aku omonglah. Terus terang

karena Tia ada kemungkinan sudah akan mengambil keputusan.”

“Kau marah lagi,” seru Ti Then sambil tertawa.

“Sudah tentu aku sangat marah.” seru Wi Lian In sambil

mencibirkan bibirnya. “Kau orang sungguh membingungkan, kau

selalu menganggap kaulah yang sudah merusak hubunganku

dengan Hong Mong Ling.”

“Sudah….. sudahlah, kita tidak usah membicarakan lagi soal ini.”

“Bilamana kau sungguh suka padaku maka tidak seharusnya kau

merasa sedih dan menyesal dikarenakan persoalan tersebut.

Seharusnya kau menganggap kau telah menolong aku loloskan aku

dari mulut macan.”

Di dalam hati diam-diam Ti Then tertawa pahit.

“Tidak.” pikirnya di dalam hati, “Bilamana kau sungguh-sungguh

bisa kawin dengan Hong Mong Ling hal itu sungguh bagus sekali

dan tidak bakal terjadi urusan apa pun. Tetapi bilamana kau mau

kawin dengan aku hal itu benar-benar seperti juga menghantar kau

kemulut macan.”

Wi Lian In yang melihat dia tidak mengucapkan sepatah kata pun

segera memandang dirinya tajam-tajam.

“Lain kali kau tidak akan membicarakan perkataan ini lagi

bukan?” tanyanya.

“Tidak.” Sahut Ti Then sambil tertawa paksa.

“Aku sebetulnya sedang amat gembira, mendengar perkataanmu

itu sekarang aku merasa seluruh perutku jadi kotor dan mual

rasanya.”

“Baik, siauw-jin memang berdosa dan patut menerima hukuman

mati.” Seru Ti Then dengan cepat.

“Hmmm…” Dengus Wi Lian In, tetapi sebentar kemudian dia

sudah tertawa cekikikan.

Ti Then- pun tertawa, tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata

pun.

“Di dalam hati aku sudah mem punyai perhitungan. Entah kau

setuju atau tidak?” ujar Wi Lian In kemudian.

“Coba katakanlah.”

“Setelah kita kembali ke dalam Benteng dan menyerahkan

pedang pendek Bian Hun Kiam itu kepada ayahku, bagaimana kalau

kita pergi kekota Tiang An untuk bermain dan sekalian membeli

sedikit barang?”

“Setuju,” seru Ti Then dengan amat girangnya. “Cuma saja ada

kemungkinan ayahmu tidak setuju. jikalau ayahmu menjetujui kita

pergi sudah tentu aku amat setuju sekali.”

“Hal ini sukar untuk dikatakan.”

“Coba kau bilang Tia ada alasan apa melarang kita pergi?”

“Alasannya ada dua, Pertama kita harus menyaga di dalam

benteng untuk bersiap-siap menghadapi serbuan dari Cuo It Sian

yang hendak merebut kembali pedangnya, Kedua, haaa… haaaa…

sesudah aku bicara kau jangan marah lho.”

“Kau bicaralah.”

“Hari itu sewaktu ada di dalam kebun bunga di dalam Benteng

kau pernah beritahu kepadaku katanya ayahmu bermaksud hendak

menjodohkan dirimu kepadaku, maka aku duga setelah kita kembali

ke dalam Benteng kemungkinan sekali ayahmu segera mengambil

keputusan, dengan demikian kita bukankah tidak bisa pergi?”

“Soal pertama aku tidak berani bicarakan, soal kedua kau tidak

perlu kuatir” seru Wi Lian In dengan malu lantas dia melototi dirinya

dengan gemas. “Sekali pun ayahku mengumumkan pernikahan kita

tetapi belum tentu langsung diadakan perayaannya, dia bisa

menunggu sesudah kita kembali dari kota Tiarg An kemudian

mencarikan satu hari yang amat bagus.”

“Kalau memangnya bisa begitu hal itu amat bagus sekali,” ujar Ti

Then tersenyum. “Aku pun sudah kepingin sekali pergi kekota

Tiang An untuk menarik uang lima belas laksa itu untuk dibagikan

kepada fakir miskin, uang kertas dari Giok Bian Lang-cun itu sudah

aku bawa selama berbulan-berbulan lamanya, kalau tidak cepatcepat

diambil mungkin kertasnya akan hancur sendiri.”

“Dapatkah kau mengambil sedikit diantara uang itu untuk

membelikan satu hadiah buat aku,” tanya Wi Lian in sambil tertawa.

“Hal ini boleh saja, cuma saja kau akan menganggap hadiahku

sangat tidak berharga.”

“Kau punya rencana hendak menghadiahkan aku apa?”

“Jikalau diharuskan menggunakan uang lima belas laksa maka

tidak perduli mau beli barang apa pun tidak boleh lebih satu tahil

perak.”

“Iih….. satu tahil perak?” tanya Wi Lian In tertegun.

“Benar satu tahil perak,” sahut Ti Then sambil mengangguk.

“Aduuhh… kikir benar kau ini,” teriak Wi Lian In dengan amat

keras.

“Kalau uang sebesar lima belas laksa ini milikku maka aku boleh

menggunakan seluruh uang itu untuk membelikan hadiah buatmu.”

“Hmmm, tidak kusangka kau jujur benar,” seru Wi Lian In sambil

tertawa pahit.

00odwo00

Setelah menempuh perjalanan selama sembilan hari lamanya

akhirnya pada siang hari itu juga sampailah mereka di dalam

Benteng Pek Kiam Po dalam keadaan selamat.

Shia Pek Tha sekalian yang melihat Wi Lian In pulang bersamabersama

Ti Then jadi merasa terkejut bercampur girang, mereka

masing-masing pada mengerubung maju untuk menanyakan

bagaimana caranya dia bisa menemukan kembali Ti Then.

Wi Lian In lantas menceritakan apa yang dirasanya boleh

dibicarakan, setelah itu baru kembali ke dalam kamarnya.

“Saudara-Saudara sekalian.” ujar Ti Then kemudian kepada para

jago pedang merah yang ada di sana. “Tentunya kalian ingin

mengetahui apa yang telah siauwte kerjakan sewaktu keluar dari

Benteng ini bukan? tetapi dikarenakan Pocu sudah pesan wantiwanti

kepada siauw-te untuk jangan membocorkan rahasia ini maka

maaf siauw-te tidak dapat menceritakan hal ini kepada saudara

sekalian.

Satu-Satunya hal yang bisa siauw-te katakan adalah tugas yang

diserahkan kepada siauw-te oleh Pocu sudah siauw-te laksanakan

dan mencapai hasil yang diinginkan.”

“Pocu kita kapan baru bisa kembali ke dalam benteng?” tanya

Shia Pek Tha kemudian.

“Menurut dugaan siauw te, ada kemungkinan paling lambat

sepuluh hari kemudian Pocu baru kembali.”

“Pocu kami telah pergi kemana? Dapatkah Ti Kiauw tauw

memberitahukan kami?” sambung Ki Tong Hong lebih lanjut.

“Tidak bisa,” sahut Ti Then sambil tersenyum. “Karena apabila

siauwte mengatakan kemana Pocu sudah pergi berarti pula telah

membocorkan rahasia ini.”

“Sudahlah… sudahlah,” ujar Shia Pek Tha kemudian sambil

tertawa lalu menarik tangan Ti Then. “Tidak perduli Ti Kiauw tauw

mendapatkan tugas yang bagaimana pun untuk diselesaikan

ditempat luaran. Kali ini dia bisa pulang ke dalam Benteng dalam

keadaan selamat kita harus merayakannya, ayoh jalan, kita pergi

minum arak.”

Malam ini setelah bersama-bersama bersantap malam Ti Then

berserta Wi Lian In yang dikarenakan lelah melakukan perjalanan

jauh segera bersama kembali ke kamar masing-masing untuk tidur.

Ti Then tahu pada tengah malam nanti patung emas bisa

munculkan dirinya. Tetapi dia yang dikarenakan sudah tidak merasa

terperanyat oleh kemisteriusan dari majikan patung emas maka itu

tidak sampai memikirkan kembali urusan itu di dalam hati, tidak

lama setelah dia naik ke atas pembaringan dia sudah tertidar

dengan amat pulas.

Ternyata sedikit pun tidak salah, baru saja lewat kentongan

ketiga majikan patung emas sudah munculkan dirinya.

Dengan tanpa mengeluarkan sedikit suara pun dia sudah

membuka atap rumah lantas menurunkan patung emasnya

kesampng pembaringan Ti Then.

“Ti Then, kau bangunlah” seru majikan patung emas dengan

mengerahkan ilmu untuk menyampaikan suaranya.

Dengan terkejut Ti Then sadar dari pulasnya, sambil menggosok

matanya dia bangkit duduk.

“Selamanya tanpa kuundang kau datang sendiri,” serunya

dengan menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara.

“Apanya yang tidak benar?” tanya majikan patung emas sambil

tertawa.

“Aku baru bisa tidur pulas setelah tiba di dalam benteng, tetapi

kau selalu saja tidak membiarkan aku tertidur dengan nyaman dan

enak.”

“Aku mau tahu selama sebulan ini patung emasku sudah berbuat

pekerjaan apa saja ditempat luaran.”

“Seharusnya kau telah tahu dengan sendirinya bukan?”

“Apa maksudmu?”

“Apa dia belum pulang?”

“Siapa yang kau maksudkan dengan “dia”?”

“Manusia berkerudung baju biru yang kau kirim untuk mengawasi

seluruh gerak gerikku itu.”

Agaknya majikan patung emas merasa sangat kaget sekali.

“Kau… kau sudah bertemu dengan dirinya?” tanyanya cepat.

“Benar,” sahut Ti Then tenang. “Bahkan kita pernah bercakapcakap.”

“Harus dibunuh, harus dibunuh.” Seru majikan patung emas

sambil mendengus dingin. “Ternyata dia tidak melakukan

pekerjaannya sesuai dengan perintahku.”

“Kecuali kau perintahkan dirinya untuk mengawasi aku secara

diam-diam kau masih perintah dia untuk melakukan pekerjaan apa

lagi?”

“Tidak ada,” sahut majikan patung emas. “Aku cuma perintah dia

untuk mengawasi seluruh gerak gerikmu secara diam-diam karena

aku takut kau sengaja mengulur-ulur waktu dan tidak langsung

pergi mencuri pedang itu.”

“Sebetulnya dia adalah apamu?”

“Kau tidak tahu?”

“Walau pun kami pernah bercakap-cakap tetapi dia sama sekali

tidak membocorkan rahasiamu.”

“Kalau begitu bagus sekali.”

“Sebenarnya dia adalah apamu?” sekali lagi Ti Then bertanya.

“Kau tidak perlu tahu.”

Ti Then segera tersenyum.

“Sskali pun kau tidak berbicara kemungkinan sekali aku bisa

menebaknya sendiri.”

“Sekali lagi aku memberi peringatan kepadamu, jika kau berani

menyelidiki sesuatu yang menyangkut diriku, aku tidak akan berlaku

sungkan lagi terhadap dirimu.”

“Dia adalah putramu?” Ti Then tidak perduli tetapi bertanya

terus.

“Bukan.”

“Kalau begitu anak muridmu?”

Majikan patung emas segera menggerakkan patung emasnya

dengan gaya hendak menyerang.

“Kau cari mati?” tanyanya dengan gusar.

“Sekali pun aku kepingin mati belum tentu kau membiarkan aku

mati,” seru Ti Then mengejek.

“Kau sudah salah menduga” seru majikan patung emas tertawa

dingin. “Aku boleh gagal di dalam rencanaku tetapi aku tidak akan

membiarkan kau mengetahui siapakah aku orang.”

“Kau tidak berani membiarkan aku tahu, siapakah kau orang

tetapi berani membiarkan dia tahu, kalau memang demikian pada

waktu semula kenapa kau tidak menyuruh dia mewakili diriku?”

“Ada bermacam-macam persoalan, dia tidak bisa mewakili kau

untuk masuk ke dalam Benteng Pek Kiam Po.”

“Kelihatannya dia masih amat muda,” seru Ti Then membantah.

“Kepandaian silatnya- pun tidak jelek, ada alasan apa dia tidak bisa

menggantikan diriku?”

“Alasannya tidak bisa diutarakan keluar.”

“Aku tahu,” ujar Ti Then kemudian sambil tertawa. “Wajahnya

tentu tidak mendatangkan rasa simpatik dari orang lain, jikalau dia

yang disuruh masuk ke dalam Benteng Pek Kiam Po, Wi Lian In

tentu tidak suka kepadanya, bukan begitu??”

“Yangan banyak omong lagi,” potong majikan patung emas

dengan gusar. “Sekarang aku mau kau beritahu kepadaku, dimana

kau sudah menemukan dirinya sedang membuntuti dirimu? apa

yang sudah kalian bicarakan??”

“Sebetulnya aku tidak menemukan kalau dia sedang membuntuti

diriku, dialah yang munculkan diri dengan sendirinya.”

“Kenapa dia mau munculkan dirinya untuk bertemu muka dengan

dirimu?”

“Alasannya dia bisa munculkan diri dikarenakan hendak

menolong nyawaku, karena sewaktu ada di atas gunung Bu Leng

san secara tidak sengaja sudah terjatuh ke tangan sipendekar

tangan kiri Ciat Pit Yuan.”

“Iiih…. sipendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan bersembunyi

di atas gunung Bu Leng san?” tanya majikan patung emas dengan

sangat terperanyat.

“Benar,” sahut Ti Then membenarkan. “Dia sudah menerima

seorang murid yang bernama Kwek Kwan San, guru murid dua

orang berdiam di dalam sebuah rumah gubuk di atas gunung

tersebut.

Waktu itu aku lewat di sana dan bertemu dengan muridnya Kwek

Kwan San, semula tidak tahu kalau dia adalah anak murid dari si

Cian Pit Yuan itu, sehingga menerima undangannya untuk menginap

satu malam di rumah gubuknya.”

Segera dia menceritakan semua kejadian yang sudah dialaminya

sewaktu ada di dalam rumah gubuk tersebut.

“Demikianlah akhirnya dia munculkan dirinya dan menolong aku

untuk membebaskan diri dari totokan jalan darah.” Ujar Ti Then

mengakhiri kisahnya.

Sehabis mendengar kisahnya itu majikan patung emas baru bisa

menghela napas panjang.

“Oooh…. Kiranya demikian,” ujarnya. “Kalau begitu di dalam

keadaan seperti itu memang ada keharusan untuk munculkan

dirinya untuk menolong dirimu lolos dari bahaya maut, aku tidak

bisa menyalahkan dirinya.”

“Kemungkinan sekali dia bakal dengan cepat kembali kerumah.”

Ujar Ti Then dengan mengambil kesempatan ini.

“Benar…..” sahut majikan patung emas tanpa terasa.

Tapi sebentar kemudian dia sudah merasa kalau dia sudah salah

ngomong, cepat-cepat bantahnya.

“Aaaah…. tidak… tidak. Dia tidak mungkin bisa masuk ke dalam

Benteng Pek Kiam Po ini.”

Mendengar perkataan tersebut diam-diam Ti Then merasa amat

geli sekali, pikirnya.

“Perduli kau adalah seekor rase tua berusia ribuan tahun,

akhirnya keterlanjur ngomong juga. Hmmm… hmmm…. sekarang

aku sudah tahu kalau kau mem punyai seorang anak buah yang

menyelinap di dalam Benteng Pek Kiam Po ini.”

Walau pun di dalam hatinya dia berpikir demikian tetapi pada

mulutnya dia sudah menyawab.

“Kalau begitu bagaimana kalian bisa bertemu dan saling

berhubungan berita?”

“Soal ini adalah rahasiaku. Kau tidak perlu tahu.”

“Rahasiamu sungguh tidak sedikit,” seru Ti Then tertawa.

“Tidak usah banyak omong lagi, sekarang teruskanlah

laporanmu.”

“Setelah meninggalkan gunung Bu Ling san aku cepat-cepat

melakukan perjalanan menuju kegunung Cun san, setelah

mengetahui tempat tinggal dari Cu Kiam Lo jin, Kan It Hong adalah

di dalam gua naga serta gua macan maka aku segera berangkat

menuju kegua naga dan punya maksud untuk mencari dari gua itu

terlebih dulu, siapa tahu baru saja memasuki gua tersebut

mendadak dari dalam gua sudah berkumandang keluar suara orang

yang sedang berbicara….”

Majikan patung emas yang mendengar secara tiba-tiba Cuo It

Sian turun tangan membinasakan diri Cu Kiam Lojin dengan amat

terperanyatnya dia menjerit kaget.

“Nama besar serta sifat kependekaran Cuo It Sian sudah

memenuhi seluruh angkasa dan tersebar luas didalan Bu lim, tidak

kusangka sama sekali dia bisa melakukan pekerjaan yang demikian

rendahnya, kenapa dia turun tangan membinasakan diri Cu Kiam Lo

jin?”

“Dia tidak mengharapkan ada orang yang tahu kalau dia pernah

membetulkan pedang ditempatnya Cuo Kiam Lojin. Atau dengan

perkataan lain dia tidak ingin orang orang dari Bu lim mengetahui

kalau pedang pendeknya itu pernah patah jadi dua bagian.”

“Alasannya?” tanya majikan patung emas.

“Tidak tahu.”

“Ehmmm… kalau dikata mungkin Cuo It Sian pernah

menggunakan pedang itu untuk….” ujar majikan patung emas

setelah termenung berpikir keras, tetapi setelah sampai ditengah

jalan dia bungkam sekali.

Ti Then yang mendengar dia tidak melanjutkan kembali katakata-

nya segera bertanya.

“Kenapa?”

“Tidak mengapa.” Sahut majikan patung emas kemudian setelah

termenung berpikir keras bsberapa saat lamanya. “Lalu akhirnya

bagaimana?”

“Dia menyeret jenasah dari Cu Kiam Lojin ke dalam gua dan

menguburnya.

Karena aku sudah memperoleh larangan dari Wi Ci To untuk

munculkan diri merampas barang itu, secara diam-diam aku

membuntutinya terus dari belakang, aku punya maksud untuk

mencari kesempatan yang baik, malam itu setelah dia melakukan

perjalanan sejauh lima puluh li, mungkin dikarenakan telah lelah

maka akhirnya dia duduk beristirahat di atas tanah tidak lama

kemudian mendadak muncul kembali seorang yang melakukan

perjalanan malam.”

“Siapa?” timbrung majikan patuag emas dengan cepat.

“Tahukah kamu orang di dalam Bu lim ada seorang yang

bernama sikakek pedang baja Nyio Sam Pak?”

“Tahu,” sahut majikan patung emas. “Nama besar dari sikakek

pedang baja Nyio Sam Pak jauh di atas dari Cuo It Sian, apakah

orang yang melakukan perjalanan malam itu adalah Nyio Sam Pak?”

“Bukan, orang yang melakukan perjalanan malam itu adalah anak

murid dari Nyio Sam Pak yang bernama silang sakti Cau Ci Beng.”

Mendengar perkataan tersebut majikan patung emas jadi sangat

terperanyat.

“Apakah mereka sudah mengadakan pertemuan ditempat itu?”

“Bukan.” Bantah Ti Then kemudian. “Si elang sakti Cau Ci Beng

cuma lewat ditempat itu saja. Ketika dia menemukan Cuo It Sian

ada di sana dia segera berhenti dan memberi hormat, karena dia

pun kenal dengan dirinya, kiranya Cuo It Sian dengan suhunya Nyio

Sam Pak adalah kawan lama. Menurut apa yang aku dengar, pada

waktu yang lalu Cuo It Sian pernah membantu Nyio Sam Pak

menghindarkan diri dari suatu bencana, untuk membalas budi itu,

Nyio Sam Pak lantas menghadiahkan satu pedang Biat Hun

kepadanya, pedang itu adalah pedang yang dibawa Cuo It Sian

untuk disambung kembali di rumahnya Cu Kiam Lo jin.”

“Kalau demikian adanya rahasia yang menyelubungi pedang

pendek itu ada kemungkinan mem punyai sangkut pautnya dengan

diri Nyio Sam Pak,” ujar majikan patung emas memberikan

pendapatnya.

“Aku kira tidak ada.”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

Demikianlah akhirnya Ti Then menceritakan kembali bagaimana

Cuo It Sian membinasakan diri silang rajawali Cau Ci Beng…

akhirnya dia menambahkan.

“Ditinyau dari hal ini bilamana pedang pendek Biat Hun itu ada

rahasia yang mem punyai sangkut paut dengan diri Nyio Sam Pak

tidak seharusnya Cuo It Sian turun tangan membinasakan dirinya.”

“Heee…. heee….” terdengar majikan patung emas tertawa

dingin. “Di dalam satu hari berturut-turut membinasakan dua orang,

hati Cuo It Sian benar-benar amat kejam sekali.”

“Dia pernah bergumam seorang diri katanya semua ini adalah Wi

Ci To yang memaksa sehingga dia berbuat serong.”

“Menurut perkataan yang diucapkan itu aku menduga tentunya

dia pernah menggunakan pedang pendek itu untuk melakukan satu

urusan yang jahat, sehingga sewaktu Wi Ci To memperoleh pedang

tersebut, dia jadi kelabakan dengan sendirinya.”

“Soal ini aku pun pernah memikirkannya, tetapi aku rasa tidak

mirip…..”

“Kalau tidak, apa lagi alasan yang cocok?”

“Aku sendiri juga tidak tahu,” ujar Ti Then setelah ditanyakan

oleh majikan patung emas itu.

“Aku rasa agaknya Wi Ci To belum sampai memegang semua

buktinya, karena menurut perkataan dari Wi Ci To sendiri dia sudah

menyimpan potongan pedang itu selama tiga tahun lamanya, jikalau

dikata Wi Ci To sudah mencekal satu bukti yang nyata kenapa

selama tiga tahun ini dia tetap merahasiakannya?”

“Mungkin Wi Ci To hendak menggunakan kesempatan ini untuk

memaksakan sesuatu dengan dirinya, atau kemungkinan juga

setelah didesak beberapa kali akhirnya Cuo It Sian jadi nekat dan

mengambil tindakan untuk merebut kembali potongan pedang itu.”

“Tidak.”

“Kau menganggap Wi Ci To tidak bisa melakukan pekerjaan ini?”

tanya majikan patung emas sambil tertawa.

“Benar,” sahut Ti Then singkat.

“Kau tidak merasa Wi Ci To adalah seorang manusia yang amat

misterius?”

“Tetapi aku percaya dia adalah seorang yang jujur dan berhati

lurus,” sambung Ti Then cepat.

“Sudahlah, sekarang lanjutkan laporanmu, secara bagaimana kau

bisa mencuri kembali pedang pendek tersebut.”

Ti Then- pun segera menceritakan bagaimana disebuah rumah

penginapan dikota Hoa Yong Sian secara tidak sengaja dia sudah

bertemu dengan Wi Lian In dan bagaimana dengan menggunakan

ketajaman penciuman dari sianying Cian Li Yen melakukan kejaran

terhadap diri Cuo It Sian dan akhirnya kurang sedikit ketahuan

rahasianya sewaktu ada dirumah petani diluar kota Kong An Sian.

Dan paling akhir dia bagaimana menyuruh sipencuri tiga tangan

untuk mencuri kembali pedang pendek itu…..

Selesai mendengarkan kisah tersebut majikan patung emas

segera tertawa.

“Cuo It Sian dengan membuang banyak akal dan tenaga

bersusah payah untuk merebut kembali potongan pedang itu kini

tercuri kembali oleh kalian, bilamana dia tahu saking cemasnya

mungkin bisa jadi gila dengan sendirinya.”

“Aku sama sekali tidak menaruh simpatik kepadanya.”

“Lalu pedang Biat Hun Kiam itu apakah sekarang ada

dibadanmu?” tanya majikan patung emas tiba-tiba.

“Benar.”

“Bagaimana kalau diperlihatkan sebentar kepadaku.”

“Tapi kau tidak boleh bawa lari lho.”

Majikan patung emas tertawa.

“Bilamana aku bermaksud membawa lari bukankah sama saja

mendatangkan kerepotan buat diriku sendiri?”

Di dalam hati Ti Then tahu dia benar-benar sangat

mengharapkan dirinya bisa memperoleh penghargaan dari Wi Ci To

sehingga berhasil mempersunting Wi Lian In sebagai istrinya,

karena itu dia tidak mungkin dia mau membawa lari pedang pendek

Biat Hun tersebut karena bilamana dia sampai berbuat demikian

bukankah sama saja merusak rencana kita sendiri? Karena itu dia

segera melepaskan pedang pendek itu dan diberikan kepada patung

emas yang ada di hadapannya tersebut.

Majikan patung emas segera menarik patung emasnya itu ke atas

dan melihat sebentar pedang pendek itu.

“Pedang pendek ini kelihatannya biasa saja, tidak ada

keistimewaannya apa pun,” ujarnya kemudian.

“Benar,” sahut Ti Then membenarkan. “Aku pun tidak bisa

melihat adanya satu keistimewaan.”

“Tetapi aku benar-benar merasa kagum atas kelihayannya dari

Cu Kiam Lojin yang bisa menyambung pedang itu sehingga tidak

kelihatan sedikit bekas pun.”

“Benar.”

Majikan patung emas segera meletakkan pedang pendek itu ke

atas pergelangan tangan dari patung emasnya lagi dan

mengereknya turun ke bawah.

“Ini terimalah kembali,” serunya.

Setelah menerima kembali pedangnya, Ti Then lantas berkata

lagi.

“Eeei. aku mau pergi tidur, bagaimana kalau malam ini sampai di

sini saja??”

“Tidak, aku masih ada perkataan yang hendak ditanyakan

kepadamu, kapan Wi Ci To baru kembali?”

“Mungkin sepuluh hari lagi.” Sahut Ti Then dengan cepat.

“Aku dengar perkataan dari para jago yang ada di dalam Benteng

katanya Wi Ci To sudah memberikan putrinya kepadamu, maka itu

setelah dia pulang ke dalam Benteng dia pasti mengumumkan

pernikahan kalian.”

“Kalau tidak, kau jangan menyalahkan aku lho.”

“Kecuali secara diam-diam kau main setan, kalau tidak pasti

berhasil,” ujarnya majikan patung emas dengan suara berat.

“Aku tidak sedang main setan, maksudku bilamana sampai terjadi

lagi suatu peristiwa kemungkinan sekali Wi Ci To akan

menangguhkan perkawinan diantara kita. Hal ini jelas adalah suatu

alasan yang betul.”

“Setelah pedang pendek itu direbut kembali kau rasa bisa terjadi

peristiwa apa lagi?” tanya majikan patung emas.

“Hal ini sukar untuk dibicarakan, setelah Cuo It Sian menemukan

kalau pedang pendeknya sudah tercuri sudah tentu dia akan

menaruh curiga kalau pekerjaan ini pasti hasil perbuatan dari Wi Ci

To, maka itu aku menduga Cuo It Sian pasti datang. “

“Dia tidak punya bukti. Bagaimana berani datang kebenteng Pek

Kiam Po untuk mencari gara-gara?”

“Untuk merebut kembali pedang pendek itu dia sudah

membinasakan berpuluh-puluh orang banyaknya. Kau pikir kali ini

dia tidak berani memperlihatkan satu permainan setan lagi?”

“Bilamana dia berani datang mencari gara-gara lagi, hal ini

berarti pula hendak merusak rencanaku. Saat itu aku tidak akan

berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap dirinya,” ancam majikan

patung emas dangan keren.

“Kau ingin berbuat apa?”

“Bunuh dirinya berarti juga membantu Bu lim melenyapkan satu

sumber bencana kau setuju bukan kalau aku turun tangan

membinasakan dirinya?”

“Aku tidak menolak.”

“Bagus sekali,” sahut majikan patung emas dengan girang. “Jika

tidak datang yaaa sudahlah, bilamana datang maka aku surah dia

tidak dapat kembali kekota Tiong Cing Hu lagi.”

Berbicara sampai di sini dia segera menarik patung emasnya ke

atas, menutup atap rumah dan lenyap tak berbekas.

Ti Then pun segera jatuhkan diri ke atas pembaringan dan sekali

lagi tertidur dengan amat pulasnya.

Tiga hari kemudian sipedang naga emas Wi Ci To sudah kembali

ke dalam Benteng Pek Kiam Po.

Begitu sampai di dalam Benteng dengan cepat dia

memerintahkan Ti Then untuk menghadap ke dalam kamar

bacanya.

“Ti Kiauw tauw, kau berhasil?” tanyanya.

“Benar…” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Untung boanpwe

berhasil mencuri kembali pedang Biat Hun ini.”

Sambil berkata dia mengambil keluar pedang pendek itu dan

diangsurkan ke depan.

Wi Ci To setelah menerima pedang ini lantas dengan telitinya

diperiksa sebentar. Tetapi sebentar kemudian air mukanya berubah

sangat hebat.

“Secara bagaimana kau pergi mencuri pedang pendek ini?”

tanyanya sambil mengangkat kepalanya.

Ti Then segera menceritakan seluruh kisahnya dengan amat jelas

sekali….

Ketika dilihatnya Wi Ci To sedang mengerutkan alisnya rapatrapat

dia jadi merasa heran.

“Ada apanya yang tidak beres?” tanyanya.

Wi Ci To tertawa pahit lantas mengangkat pedangnya ke depan.

“Kau sudah tertipu,” serunya.

“Tertipu?” tanya Ti Then melengak.

“Benar, tetapi hal ini tidak bisa salahkan dirimu…”

“Pedang pendek itu adalah palsu?”

“Benar,” sahut Wi Ci To mengangguk, “Walau pun bentuk serta

besar kecilnya persis seperti pedang Biat Hun tersebut tetapi di atas

pedangnya tidak terdapat tulisan Biat Hun dua kata.”

Ti Then segera merasakan wajahnya amat panas sekali, matanya

terbelalak lebar-lebar.

“Apa mungkin tulisan itu sudah jadi lumer sswaktu Cu Kiam Lojin

menyambung kembali potongan itu?” tanyanya.

“Pasti tidak.”

Kening yang dikerut Ti Then semakin mengencang, dengan

gemasnya dia berseru,

“Tentulah sipencuri tiga tangan yang sudah main setan dengan

aku, dia tidak berani mencopet pedang pendek Cuo It Sian lantas

mencarikan satu pedang pendek lalu menipu diriku, bangsat cilik…”

“Tidak benar…” potong Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya.

“Pasti bukan sipencuri tiga tangan yang main setan, karena dia

belum pernah melihat pedang Biat Hun tersebut sehingga tidak

mungkin pula baginya untuk pergi mencari sebilah pedang pendek

yang persis untuk menipu dirimu.”

“Kalau begitu boanpwe yang kena ditipu oleh Cuo It Sian

bajingan tua itu?” ujarnya Ti Then sambil membelalakan matanya.

“Benar, kemungkinan sekali sewaktu dia mengenal kembali kuda

Ang Shan Khek sewaktu ada dirumah petani itu dalam hatinya

sudah timbul rasa curiganya, karena itu dia segera

menyembunyikan pedang Biat Hun yang asli dan sengaja

mencarikan satu yang palsu untuk dibawa dibadannya.”

Mendengar penjelasan tersebut Ti Then segera tertawa pahit.

“Bagaimana pun jahe yang tua jauh lebih pedas, boanpwe sama

sekali tidak menyangka kalau dia bisa berbuat demikian” ujarnya.

“Dia memang benar-benar pinter sekali, sekali ini hampir-hampir

saja lohu- pun kena ditipu olehnya.”

“Apakah di dalam kota Tiong Cing Hu dia sudah pasang seorang

penggantinya??”

“Benar, bagaimana kau bisa tahu?” tanya Wi Ci To melengak.

“Hal itu boanpwe ketahui setelah memikirkan dan mencocokcocokkan

semua kejadian yang ada, beberapa bulan yang lalu

dikarenakan boanpwe menaruh curiga dialah yang sudah melakukan

jual beli dengan Hu Pocu, pernah bersama-bersama dengan Lian In

pergi menyambangi dirinya. Dia yang melihat boanpwe menaruh

curiga terhadap dirinya dia segera mengeluarkan satu bukti yang

amat kuat sekali, dia bilang setiap hari penduduk dikota Tiong Cing

Hu melihat dia ada di dalam kota dan minta boanpwe mengadakan

penyelidikan, saat itu boanpwe sudah tentu amat percaya.”

-ooo0dw0ooo-

Jilid 31

IA BERHENTI sebentar untuk tukar napas lalu sambungnya lagi

”Dikemudian hari setelah boanpwe benar-benar yakin dialah yang

membinasakan diri Hong Mong Ling maka di dalam pikiranku segera

berkelebat satu ingatan. Boanpwe merasa pastilah ada seseorang

yang menyamar sebagai dirinya dan setiap hari ada dirumahnya

dikota Tiong Cing Hu untuk melindungi seluruh gerak geriknya, kali

ini dia pergi ke tempat Cu Kiam Lojin untuk membetulkan

pedangnya bahkan mem punyai maksud untuk membunuhnya pula,

sudah tentu dia menyuruh orang yang menyamar sebagai dirinya itu

untuk setiap hari berlalu lalang di dalam kota Tiong Cing Hu agar

semua orang melihatnya, dikemudian hari apabila ada orang yang

menaruh curiga terhadap dirinya dan menudub dialah yang sudah

membunuh Cu Kiam Lojin maka saat itulah dia akan meminta

penduduk disekitar kota Tiong Cing Hu untuk bertindak sebagai

saksi kalau dia orang sama sekali belum pernah meninggalkan kota

Tiong Cing Hu barang setapak pun.”

“Memang demikian adanya ” sahut Wi Ci To sambil mengangguk.

“Kali ini Lohu pergi kekota Tiong Cing Hu setiap hari bisa melihat dia

pergi main catur di dalam sebuah rumah penyual teh, selama itu

Lohu selalu tidak mengetahui kalau dia adalah Cuo It Sian palsu,

sampai pada tengah malam suatu hari di sana untuk keempat

kalinya Lohu masuk ke dalam rumahnya untuk mencuri pedang

pendek itu mendadak Lohu sudah menemukan ada dua orang Cuo

It Sian muncul di tanah lapangan halaman belakangnya saat itulah

Lohu baru tahu dia orang sebenarnya punya seseorang yang

sengaja menyamar sebagai dirinya . . ”

“Waktu itu apakah pocu tidak mendengar dia membicarakan soal

dia orang sudah menggunakan sebilah pedang pendek yang lain

ditukar dengan pedang Biat hun Kiam yang asli?” tanya Ti Then

kemudian.

“Tidak!” sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya.” Hal itu

boleh dikata adalah kesalahan Lohu sendiri yang terlalu bernapsu

dan gegabah, ketika Lohu mendengar Cuo It Sian mengatakan

“Sudah dicuri dikota Hok Hong Sian” maka di dalam anggapanku

kau sudah berhasil mendapatkannya. karena itu secara diam-diam

aku sudah mengundurkan diri dari sana, dan tidak melanyutkan

mencuri dengar pembicaraan mereka.”

“Lalu seharusnya bagaimana baiknya ?”

Wi Ci To termenung berpikir sebentar mendadak sambil

menengok kearah depan pintu ujarnya :

“Lian In, kau masuklah!”

Mendengar perkataan tersebut Ti Then jadi melengak, tetapi

sebentar kemudian dia sudah tertawa.

“Aaaaah ….. kiranya Lian In sedang mencuri dengar diluar kamar

.. ”

Tampak pintu kamar dengan perlahan-lahan didorong ke dalam

kemudian tampaklah Wi Lian In dengan wajah yang masih diliputi

oleh rasa malu berjalan masuk ke dalam kamar baca itu.

”Tia. ” serunya malu, “Pendengaranmu sungguh tajam sekali, aku

baru saja samppai ditempat ini.”

”Kalau begitu orang yang mencuri dengar diluar kamar sejak tadi

tentunya bukan kau orang melainkan budak setan lainnya,” ujar Wi

Ci To sambil tertawa gemas.

Ait muka Wi Lian In seketika itu juga berubah memerah.

„Hmm.“ dengusnya, „Tia sungguh pintar sekali memaki orang

dengan jalan berputar, aku tidak cuma berdiri sebentar saja diluar

kamar.“

„Apa yang aku bicarakan dengan Kiauwtauw kau sudah

mendengar semuanya, sekarang aku mau bertanya kepadamuo kau

punya akal apa yang baik?“ ujar Wi Ci To sambil tertawa.

„Hal ini harus melihat maksud hati dari Tia, jikalau Tia sudah

mengambil keputusan untuk merebut kembali pedang Biat Hun

Kiam itu maka aku bsserta Ti Kiauw tauw terpaksa harus pergi

mencuri lagi“

„Sudah tenta lohu punya maksud hati untuk merebut kembali

pedang pendek itu.

Cuma saja jikalau kita tidak mencarikan satu akal yang bagus

rasanya tidak akan mudah mendapatkan hasil.“

Tiba-tiba tampak Ti Then bangkit berdiri dan berjalan menuju ke

pintu kamar untuk menengok sebentar keadaan ditempat luaran,

setelah dilihatnya tidak ada jagoan pedang dari Benteng yang

berada disekeliling tempat itu dia baru berputar kembali dan berkata

dengan suara yang amat lirih sekali :

„Boanpwe punya satu akal, cuma saja tidak dapat dibicarakan

secara terus terang“

„Coba kau katakanlah,“ ujar Wi Ci To sambil memandang tajam

wajahnya.

Ti Then segera maju satu langkah mendekati badannya lantas

bungkukkan badannya membisikkan sesuatu ketelinganya, akhirnya

dia menambahkan :

„Pocu rasa bagaimana dengan siasat ini?”

Air muka Wi Ci To segera memperlihatkan rasa girangnya,

dengan cepat dia mengangguk.

“Siasat ini bagus sekali, kita boleh coba. . . , Coba . . . kita boleh

coba-Coba!” Serunya.

“Cuma saja tidak tahu bagaimana dengan perawakan badannya?”

“Lohu sendiri pun sudah ada tujuh, delapan tahun lamanya tidak

pernah bertemu dengan dirinya, bagaimana perawakan badannya

lohu sendiri juga tidak begitu jelas, tetapi bagaiamana pun kita

harus pergi melihatnya pula, sampai waktunya kita mengambil

keputusan kembali.”

“Eeeei. . . . sebetulnya ada urusan apa?” tanya Wi Lian In tidak

sabaran lagi.

“Lian In!” ujar Wi Ci To tersenyum dan menoleh kearah putrinya.

“Siasat dari Ti Kiauw-tauw yang begitu baik untuk mencuri kembali

pedang itu, untuk kali ini terpaksa kau tidak boleh mengikutinya.”

“Asalkan aku mengetahui alasan yang melarang aku ikut pergi

sudah tentu aku tidak akan pergi !” Seru Wi Lian In sambil

mencibirkan bibirnya.

“Sudah tentu mem punyai alasan yang tidak memperbolehkan

kau ikut, bilamana kali ini kau tetap ngotot untuk ikut maka semua

siasat dari Ti Kiauw tauw tidak bisa dijalankan lagi.”

Wi Lian In segera kirim satu kerlingan mata yang amat gemas

terhadap diri Ti Then tanyanya dengan wajah yang penuh rasa tidak

senang.

”Apa tokh sebetulnya siasat yang kau usulkan itu?”

”Bila kau menyanggupi untuk tidak ikut pergi maka aku baru

beritahu kepadamu” sahut Ti Then tersenyum,

”Kau tidak mau bicara juga tidak mengapa” teriak Wi Lian In

semakin tidak senang, ”Pokoknya aku masih punya seekor anying

Cian Li Yen untuk membuntuti dirimu.”

Mendadak air muka Wi Ci To berubah jadi amat keren sekali,

”Kali ini jikalau kau menggunakan anying Cian Li Yen untuk

membuntuti lohu serta Ti Kiauw tauw lagi maka aku tidak akan

mengakui sebagai putriku lagi.“

Wi Lian In yang melihat ayahnya berbicara dengan demikian

serius dan keren tidak terasa lagi dia jadi bergidik.

”Tia, kau hendak pergi bersama-sama dengan Ti Kiauw-tauw ?”

tanyanya terperanyat.

”Benar, kami mau pergi menyambangi seseorang kemudian baru

pergi kekota Tiong Cing Hu untuk mencuri pedang.”

”Mau menyambangi siapa ?“ tanya Wi Lian In lebih lanjut,

„Kau kemarilah, aku akan memberitahukan siasat dari Ti

Kiauwtauw itu.”

Wi Lian In segera berjalan mendekati ayahnya. Wi Ci To pun

lantas memberitahukan siasat dari Ti Then itu dengan suara yang

amat lirih.

Selesai mendengar Wi Lian In mengangguk.

„Kira-kira harus membutuhkan beberapa lama?” tanyanya.

“Paling cepat juga satu setengah bulan,” sahut Wi Ci To setelah

berpikir sebentar.

“Aku setuju tidak ikut pergi, tetapi tentunya aku boleb pergi

ketempat lain untuk jalan-jalan bukan ?”

”Kau ingin pergi kemana?”

”Tiang An”

”Mau berbuat apa?“

„Aku sudah sebesar begini tetapi selamanya belum pernah pergi

kekota Tiang An, aku ingin mencari pengalaman sekalian membeli

barang aku dengar katanya barang yang ada di-ibu kota jauh lebih

baik dari barang-barang di kota lain.“

”Kalau mau main, kesempatan di kemudian hari masih amat

banyak“ ujar Wi Ci To tertawa. „Sedangkan mengenai pembelian

barang, jikalau barang itu adalah keperluan untuk perkawinanmu

nanti, kau boleh berlega hati aku bisa kirim orang untuk pergi beli

barang-barang tersebut buatmu.“

Air muka Wi Lian In segera berubah memerah sambil

mendepakkan kakinya ke atas tanah ujarnya.

”Siapa yang mau pergi beli barang keperluan kawin, aku cuma

ingin membeli sedikit barang saja.”

”Tidak perduli kau hendak membeli barang apa pun sebelum

lohu berhasil merebut kembali pedang pendek Biat Hun Kiam itu kau

dilarang meninggalkan benteng seorang diri, jikalau kau tidak mau

mendengar omonganku maka aku tidak akan menyayangi dirimu.”

Wi Lian In segera mencibirkan bibirnya.

”Tia, kau takut aku terjatuh kembali ke tangannya Cuo It Sian

bajingan tua itu?”

”Benar.”

”Soal ini sebetulnya Tia tidak perlu kuatir, perjalanan putrimu kali

ini menuju kekota Tiang An adalah . ..”

Medadak Wi Ci To ulapkan tangannya memotong pembicaraan

selanjutnya.

”Biarlah lohu beritahu satu persoalan lagi kepadamu. . ”

Sehabis berkata dia menarik dirinya ke samping badannya lalu

membisikkan sesuatu perkataan kepadanya.

Selesai mendengar perkataan tersebut air muka Wi Lian In

segera berubah merah padam, dengan rasa amat malu sekali dia

menutupi wajahnya sendiri.

”Tidak, aku tidak mau.”

Dengan menundukkan kepalanya dia lari keluar dari kamar baca

tersebut.

Wi Ci To segera tertawa terbahak-bahak.

Ti Then yang melihat perubahan wajah antara ayah beranak itu

dia segera mengetahui tentunya Wi Ci To sudah mengatakan

sesuatu kepada putrinya, sehingga membuat dia merasa malu

sekali.

„Pocu, kau orang tua memberitahukan soal apa kepadanya ?“

tanyanya sambil tertawa paksa.

„Lohu beritahu kepadanya, bilamana dia tidak baik-baik tinggal di

dalam Benteng maka aku tidak akan membiarkan dia kawin“

Ti Then segera tersenyum, lalu dengan cepat mengalihkan bahan

pembicaraannya.

”Pocu punya rencana berangkat kapan ?”

”Bagaimana kalau besok pagi ?”

”Boanpwe ikuti saja keputusan dari Pocu.”

”Kalau begitu kita berangkat besok pagi saja.”

”Baikiah,” ujar Ti Then sambil merangkap tangannya menjura.

”Pocu silahkan beristirahat, boanpwe ….”

”Ti Kiauw-tauw, silahkan duduk lagi” tiba-tiba Wi Ci To mengulap

tangannya memutuskan perkataan selanjutnya. ”Lohu masih ada

perkataan yang hendak dibicarakan dengan dirimu.”

Terpaksa Ti Then duduk kembali. “Pocu ada petunjuk apa?”

tanyanya.

Dengan sinar mata yang amat tajam Wi Ci To memperhatikan

wajahnya, dia tersenyum,

”Ada satu persoalan yang selama ini Lohu belum pernah

menanyakan kepadamu, pernahkah kau kawin?” tanyanya.

”Belum” sahut Ti Then dengan hati berdebar-debar amat keras

sekali.

”Kalau begitu bagus sekali” seru Wi Ci To kegirangan. ”Aku mau

tanya satu persolan lagi, bagaimana pandanganmu terhadap putriku

itu?”

Wajah Ti Then segera berubah jadi merah padam seperti kepiting

rebus saking malunya.

”Lian In ba . . . bagus sekali,” sahutnya sambil tertawa malumalu.

”Selama hidupku lohu cuma mem punyai seorang putri dia saja,

maka itu rasa sayangku kepadanya amat berlebih-lebihan, tetapi

jika dilihat dari tindak tanduknya sifatnya boleh dikata tidak jelek.”

”Benar, benar . . ”

”Bilamana Ti Kiauw-tauw tidak menampik, bagaimana kalau Lohu

jodohkan saja kepadamu”

”Boanpwe tidak becus di dalam sega1a-galanya, mungkin tidak

memadai untuk mendapatkan diri Lian In,” sahut Ti Then sambil

menundukkan kepalanya rendah-rendah.

”Ti Kiauw tauw tidak usab terlalu merendahkan diri, pemuda

yang demikian baiknya seperti dirimu boleh dikata selama hidupku

lohu baru untuk pertama kali menemuinya maka bilamana kita

bicarakan memadai atau tidak seharusnyalah putrikulah yang tidak

memadai,”

”Tidak berani, pocu terlalu memuji.”

”Bilamana kau mem punyai perhatian khusus terhadap putriku

maka setelah berhasil mencuri pedang pendek itu, lohu segera akan

menguruskan perkawinan kalian, tetapi bila kau tidak punya

perhatian juga tidak mengapa, bagaimana?”

”Pocu bisa memandang tinggi boanpwe . boanpwe merasa

sangat berterima kasih sekali,” seru Ti Then dengan gugup. ”Cuma

saja , , Cuma saja . ,”

”Cuma saja bagaimana?”

”Cuma saja boanpwe bisa jadi seorang Kiauw tauw yang baik

tetapi belum tentu bisa jadi seoraog menantu yang baik”

Mendengar perkataan tersebut Wi Ci To segera tertawa

”Soal ini Lohu tidak akan merasa kuatir, omong terus terang saja

Lohu sudah memperhatikan dirimu lama sekali, terhadap seluruh

tindak tandukmu lohu boleh dikata sudah mengetahui amat jelas

sekali.”

”Tapi boanpwe merasa.. . merasa boanpwe bukanlah . . bukanlah

seorang manusia baik” seru Ti Then tertawa pahit.

”Tidak” seru Wi Ci To dengan tegas, ”Kau adalah seorang

pemuda yang amat bagus dan berhati jujur, walau pun dalam

hatimu ada kemungkinan sudah tersembunyi satu rahasia yang

tidak dapat diberitahukan kepada orang lain tetap! tidak perduli

apakah rahasia itu lohu berani memastikan kalau kau adalah

seorang manusia yang dapat dipercaya.”

Dalam hati Ti Then merasa semakin menyesal lagi.

”Dugaan dari Pocu sedikit pun tidak salah, Boanpwe mem punyai

suatu rahasia yang tidak dapat diberitahukan kepada orang lain . . ”

serunya terharu.

Wi Ci To segera goyangkan tangannya mencegah dia orang

untuk melanjutkan kembali perkataannya.

”Kalau memangnya tidak boleh diberitahukan kepada orang lain

lebih baik tidak usah dibicarakan lagi” ujarnya sambil tertawa

ramah, ”Lebih baik sekarang kita bicarakan soal perkawinan saja,

bilamana tidak setuju maka Lohu tetap adalah Pocu-mu sedangkan

kau pun tetap merupakan Kiauw-tauw diri Lohu,”

Sampai keadaan seperti ini boleh dikata situasi dari Ti Then

seperti naik di atas pungguag macan mau turun pun tidak sanggup

lagi. Terpaksa dia menigggalkan tempat duduknya dan jatuhkan diri

berlutut dihadapas Wi Ci To lantas menyalankan penghormatannya.

”Gakhu, ada dia di atas, terimalah satu penghormatannya.”

Wi Ci To benar-benar merasa sangat girang sekali, dengan cepat

dia ulur tangannya membimbing dia bangun kemudian tertawa

terbahak-bahak dengan amat kerasnya.

”Haaa , . ha. bagus sekali. lain kali setelah kembali ke dalam

Benteng lohu pasti akan mencarikan satu hari yang bagus untuk

kawinkan diri kalian.”

Ti Then segera bangkit berdiri, tangannya dilurus ke bawah dan

berdiri tidak bergerak, dia tidak tahu haruskah hatinya merasa

murung atau girang, keadaannya amat mengenaskan sekali.

”Satu-satunya syarat yang harus kau terima adalah setelah kau

kawin dengan putriku maka kalian harus tetap tinggal di dalam

benteng, dan kau pun tetap menyabat sebagai Kiauw tauw dari

Benteng Pek Kiam Po” sambung Wi Ci To lagi sambil tertawa.

“Baik”

”Kau punya usul lain?” tanya Wi Ci To lagi.

“Tidak ada”

“Kalau begitu sekarang kau boleh kabarkan berita bagus ini

kepada Wi Lian In bersamaan pula peringatkan kepadanya untuk

jangan meninggalkan benteng setelah kita pergi, jika kau yang

mengatakannya dia malah mau mendengar, pergilah!”

Ti Then segera menyahut dan mengundurkan diri dari kamar

baca itu setelah menyalankan penghormatan kembali.

Setelah itu dia baru berjalan menuju kamar Wi Lian In.

Sesampainya di depan kamar Wi Lian In tampaklah pada waktu

itu si budak Cun Lan sedang berjalan keluar dari dalam ruangan.

Dia segera menghentikan langkah kakinya.

”Siocia ada di kamar?” tanyanya.

”Ada,” sahut Cun Lan singkat.

”Tolong panggil dia keluar.”

”Ti Kiauw tauw kenapa kau tidak mau masuk sendiri ke dalam?”

ujar Cun Lan sambil tertawa.

”Aaa . . . aku . aku boleh masuk ?” tanya Ti Then malu-malu.

”Sudah tentu boleh.” sahut Cun Lan sambil tertawa geli.

Selesai berkata bukannya masuk ke dalam kamar untuk melapor

sebaliknya malah lari keluar.

Ti Then tak dapat berbuat apa-apa lagi terpaksa dia melanjutkan

langkah kakinya masuk ke dalam kamar.

”Lian In . , , , Lian In , ,” teriaknya berulang kali.

”Siapa ?”

Suara dari Wi Lian In berkumandang keluar dari dalam kamar,

jika didengar dari nada suaranya jelas membawa serta tertawa yang

ditahan-tahan agaknya dia sudah tahu Ti Then yang datang tetapi

sengaja bcr pura-pura tolol.

”Aku” sahut Ti Then sambil menghentikan langkah kakinya.

”Siapa kau?” tanya Wi Lian In lagi tetap tidak munculkan dirinya.

”Si tikus membuat lubang Bun Ih” sahut Ti Then tertawa.

”Kau hendak cari siapa ?”

”Mau cari calon istriku . .”

„Siapa calon isterimu itu ?“

“Wi Lian In”

“Sungguh besar nyalimu, jikalau didengar Tia mulutmu tentu

akan ditampar sampai keluar darah,”

“Aku tidak takut, aku memangnya mendapat peritah dari ayahmu

sengaja datang mencari calon istriku.”

Ketika Wi Lian In mendengar perkataannya yang terakhir ini

bagaikan segulung angin kencang dengan cepatnya berlari keluar,

jelas sekali kelihatan biji matanya yang jeli mengandung rasa girang

yang bukan alang kepalang.

”Kau . .kau bilang apa?” tanyanya girang bercampur malu-

”Aku mendapat perintah dari Gakhu dia orang tua untuk datang

kemari mencari calon istriku.” seru Ti Then sambil menepuk

dadanya sendiri.

Di hadapan Ti Then, Wi Lian In tidak merasa malu lagi seperti

sewaktu ada di hadapan ayahnya, mendengar perkataan ini dia

segera menarik tangan Ti Then,

”Tia bilang apa?”

”Dia orang tua tanya aku maukah mengawini dirimu sebagai

isteriny, bilaman mau maka dia menyuruh aku berlutut dan

menyalankan penghormatan besar kepadanya “

”Lalu kau sudah jalankan?” tanya Wi Lian In dengan sangat

cemas.

“Sudah,” sahut Ti Then mengangguk.

Wi Lian In jadi amat girang sekali.

“Lalu bagaimana?” tanyanya cepat.

“Dia bilang setelah kita berhasil mendapatkan pedang pendek itu

maka dia akan mengawinkan kita berdua, tetapi ada satu syarat.”

”Syarat apa?”

”Sebelum kita balik kembali ke dalam Benteng kau dilarang

meninggalkan Benteng, kalau berani melanggar batal.”

”Aku tidak pergi sudahlab, buat apa kau membicarakan soal itu

demikian seriusnya” seru Wi Lian In sambil tertawa,

”Kau adalah putri kesayangan dari ayahmu, kau tidak boleh

membuat dia merasa kuatir, begitulah tindakan seoraag anak yang

berbakti kepada orang tuanya.”

Wi Lian In segera mengangguk.

„Aku bersumpah tidak akan keluar pintu benteng barang

selangkah pun,” serunya kemudian.

„Jika di dalam Benteng kau merasa megganggur bolehlah kau

bantu aku membuatkan beberapa stel pakaian, sekarang apa pun

aku tidak punya sampai waktunya kswin kalau diharuskan memakai

baju yang kuno dan jelek bukankah akan menggelikan para tamu

saja?”

„Baiklah,“ sahut Wi Lian In sambil mengangguk berulang kali.

„Aku bisa pergi ke dalam kota untuk membeli bahan kain yang

paling bagus untuk membuatkan tiga lima stel pakaian buat dirimu,

ada lainnya?“

”Tidak ada”

”Kapan kau berangkat?”

”Besok pagi.”

Wi Lian In yang mendengar kekasihnya hendak berangkat

meninggalkan dirinya

Begitu cepat jelas dari air mukanya memperlihatkan rasa

keberatannya,

”Aku ada banyak persoalan yang hendak dibicarakan dengan

dirimu, bagaimana kalau kita duduk-duduk di dalam kebun burga?”

tanyanya.

”Baiklah.”

Sesampainya di dalam kebun bunga akhirnya Wi Lian In tidak

berbicara terlalu banyak, mereka berdua dengan berdiam diri saling

berpelukan dengan mesranya.

Malam itu sehabis bersantap malam Wi Ci To mengumpulkan

semua jago pedang merah yang ada di dalam Benteng dan

mengumumkan kalau besok bendak keluar Benteng bersama-sama

dengan Ti Then untuk membereskan satu urusan sesudah memesan

wanti-wanti dan menyerahkan seluruh pekerjaan yang ada di dalam

Benteng kepada anak muridnya dia membubarkan semua orang dan

mengundurkan diri ke kamar untuk beristirahat.

Ti Then pun kembali ke dalam kamarnya sendiri, si pelayan tua

Locia dengan matanya yang sipit berjalan masuk ke dalam kamar

membawa seteko air teh panas.

”Ti Kiauw tauw, aku dengar kau hendak keluar benteng lagi?”

tanyanya.

“Tidak salah, besok harus berangkat.”

”Kali ini kau hendak pergi kemana?”

“Rahasia ini tidak boleh dibocorkan.”

“Aku budak tua masih mendengar satu berita bagus lagi, berita

baik ini tentunya Ti Kiauw-tauw boleh membocorkannya bukan?”

“Berita baik apa?” tanya Ti Then pura-pura bodoh-

Si Locia segera tertawa haa haa hi hi, ”Aku dengar katanya Pocu

telah menjodohkan sio-cia kepadamu, bukan begitu?”

“Kau dengar berita ini dari siapa?” tanya Ti Then sambil tertawa

tawar.

“Semua jago pedang yang ada di dalam benteng sudah pada

tahu.”

”Mereka dengar dari siapa?”

“Katanya Sio-cia memberitahukan soal ini kepada Cun Lan, dan

Cun Lan lah yang membocorkan ke tempat luaran.”

‘Hmmm! budak itu memang sangat cerewet sekali!”

Si Lo-cia segera tertawa.

“Peristiwa yang patut digirangkan oleh siapa pun ini, kenapa Ti

Kiauw-tauw mengelabuhi kita juga ?” ujarnya.

“Teringat akulah yang merusak hubungan perkawinan antara

dirinya dengan Hong Mong Ling aku merasa sedikit tidak enak”

Senyuman yang menghiasi bibir Lo-cia segera lenyap tak

berbekas diganti dengan satu wajah yang serius,

“Ti Kiauw-tauw bagaimana bisa berkata demikian ?” ujarnya

keras. “Bangsat cilik itu sudah terpikat oleh kecantikan wajah

seorang pelacur rendahan hal ini sudah merupakan satu persoalan

yang amat memalukan sekali, bagaimana kau bisa berkata dirimulah

yang telah menghancurkan ikatan perkawinan mereka ?”

“Jago-jago pedang yang ada di dalam Benteng setelah

mendengar berita ini, bagaimana tanggapan mereka.?”

“Semuanya setuju, mereka menganggap sio-cia memang paling

pantas kalau dijodohkan dengan diri Ti Kiauw-tauw!” Sahut Si Lo-cia

dengan cepat.

“Tidak ada seorang pun yang merasa tidak setuju ?”

“Tidak ada! Tidak ada !” Sahut Lo-cia dengan cepat gelengkan

kepalanya.

“Baiklah, Lo-cia, kau kembalilah ke kamarmu untuk beristirahat

aku pun mau pergi tidur.”

” Baik …. baik . . , ” sahut Lo-cia tertawa lalu bungkukan

badannya memberi hormat. “Ti Kiauw-tauw pun. silahkan

beristirahat”

Sehabis berkata dia segera mengundurkan diri dari sana.

Ti Then berjalan mendekati depan jendela, setelah mendengar

Lo-cia telah kembali ke kamarnya sendiri dia baru mengambil lampu

dan mengetuk di depan jendela tiga kali, selesai memadamkan

lampu dia baru naik ke atas pembaringan untuk tidur.

Dia berbaring di atas pembaringan tidak bergerak sedikit pun,

tetapi dalam hati dia merasa pikirannya amat tajam sekali, bahkan

benar-benar membingungkan hatinya.

Wi Ci To mengatakan pedang pendek itu adalah palsu walau pun

hal ini berada diluar dugaannya semula tetapi dia merasa sangat

gembira sekali, karena dengan demikian dia bisa melarikan diri lagi

dari waktu yang sudah ditetapkan, dia tidak takut untuk dikawinkan

cepat-cepat dengan Wi Lian In tetapi di hadapan Wi Ci To sudah

bilang mau menjodohkan putrinya kepadanya, hal ini membuat

harapannya jadi musnah! Dia selalu mengharapkan Wi Ci To bisa

menghapuskan maksud hatinya ini.

Sekarang akhirnya datang juga kenyataan tersebut.

“Siasat serta rencana” yang disusun oleh majikan patung emas

akhirnya jadi kenyataan juga, setelah lewat satu setengah bulan

kemudian dia bakal jadi suami istri dengan Wi Lian In. Sewaktu dia

sudah jadi suami dari Wi Lian In maka majikan patung emas bisa

memerintahkan perintahnya yang kedua, apakah perintahnya itu?

Mencuri sebuah barang dari Wi Ci To yang sama sekali Tidak

berharga”

”Benar !” Majikan patung emas berkata demikian, tetapi

perkataan ini tidak tentu benar, jikalau apa yang diminta majikan

patung emas adalah semacam barang yang sama sekali “Tidak

berharga” kenapa dia tidak memintanya sscara terbuka kepada diri

Wi Ci To ? Sebaliknya menyusun rencana yang demikian ruwetnya

untuk menyalankan maksudnya itu?

Maka itu satu-satunya kesimpulan yang bisa diambil olehnya

adalah :

Barang yang diminta majikan patung emas itu tentulah barang

yang paling disayang dan paling disenangi oleh Wi Ci To!

Kalau memangnya barang itu adalah barang yang paling

disayangi oleh Wi Ci To jikalau dirinya mengikuti perinlah dari

majikan patung emas dan mencuri barang tersebut bukankah

dengan demikian sudah membuat dosa terhadap mertuanya Wi Ci

To? merasa berdosa dengan istrinya Wi Lian In?

Berdosa terhadap Wi Ci To masih tidak begitu memberatkan,

tetapi kalau berdosa terhadap Wi Lian In hal ini merupakan satu

kesalahan yang maha besar bagaimana aku boleh merusak

kebahagian dari seorang nona!

Satu-satunyanya jalan adalah segera meninggalkan benteng Pek

Kiam Po, tidak lagi menjadi patung emasnya majikan patung emas,

tetapi dengan demikian majikan patung emas pasti tidak akan

melepaskan dirinya dengan begitu saja,

Kalau dirinya mati memang sama sekali tidak perlu disayangkan,

tetapi bagaimana dengan kerugian yang diderita oleh Yuan

Lociaopwe gara-gara dirinya?

Teringat akan diri “Yuan Locianpwe” …. orang tua penjual silat

itu … hatinya semakin merasa seperti diiris-iris, sangat menderita

sekali, karenanya sekali pun sudah bolak-balik lama sekali dia tidak

bisa tidur juga.

Kurang lebih mendekati kentongan ketiga itulah dia baru dengan

perlahan tertidur dengan pulasnya.

Tetapi pada saat itu juga mendadak terdengar suara dari majikan

patung emas berkumandang masuk ke dalam telinganya.

“Ti Then, ada urusan apa kau mencari aku?” tanyanya.

Ti Then segera membuka matanya kembali, tampak majikan

patung emas sudah menurunkan patung emasnya ke samping

pembaringannya, dia segera bangun duduk.

“Apa kau tidak mendengar sedikit berita pun?” tanya Ti Then

dengan mengerahkan ilmu untuk menyampaikan suara pula.

“Aku cuma tahu Wi Ci To sudah pulang, lainnya sama sekali tidak

tahu,”

“Kalau begitu sekarang aku mau beritahu kepadamu satu berita

baik dan satu berita jelek, harap setelah kau mendengar berita baik

itu jangan kelewat girang dan setelah mendengar berita jelek

jangan kelewat marah.”

“Hmmmm!” dengus majikan patung emas dengan dingin. “Kau

bangsat cilik pinter juga putar-putar dulu kalau bicara. cepat

katakanlah!”

“Aku beritahu dulu berita jelek . . . besok pagi aku mau

meninggalkan Benteng Pek Kiam Po lagi”

“Mau apa ? tanya majikan patung emas cepat,

Ti Then tidak menyawab melainkan melanjutkan kembali katakatanya

“Wi Ci To minta aku pergi bersama-sama dirinya, paling cepat

satu setengah bulam kemudian baru pulang.”

“Mau apa?” desak majikan patung emas lebih lanjut.

“Cari pedang.”

“Eehmm?”

“Pergi ke kota Tiong Cing Hu untuk mencuri pedang pendek Biat

hun Kiam milik Cuo it Sian itu lagi !”

“Hmm ! apakah Cuo It Sian mem punyai pedang pendek Biat Hun

Kiam yang kedua ?”

“Tidak ada, dia cuma ada sebilah saja.”

“Kalau memang cumanya sebilah, bukankah pedang tersebut

sudah kau curi kembali?”

“Tidak, aku sudah kena tertipu oleh siasatnya Cuo It Sisn,

pedang yang aku curi pulang bukanlah pedang pendek Biat Hun

Kiam yang sebenarnya.”

“Bagaimana bisa terjadi ?”

“Cuo It Siaii menduga tentu kami bisa berusaha uatuk mencuri

kembali pedang pendek itu maka dia menyembunyikan pedang Biat

Hun Kiam yang asli sebaliknya membawa satu pedang tiruan yang

persis seperti Biat Hun Kiam di dalam badannya, kami tidak

menduga dia bisa berbuat demikian- karenanya sudah tertipu.”

“Wi Ci To yang memecahkan rahasla ini ?”

“Benar.”

“Kalian bakal mencuri kembali pedang Biat Hun Kiam asli dengan

menggunai cara apa ?”

“Wi Ci To bilang setelah sampai di kota Tiong Cing Hu baru

mencari akal lagi…” sahut Ti Then dengan cepat,

“Harus membutuhkan satu setengah bulan lamanya ?”

“Benar, kau tahu Cuo It Sian adalah seorang rase tua yang amat

licik, dia tidak akan menyembunyikan pedang-pendek Biat Hun Kiam

itu di suatu tempat yang mudah dicuri orang lain.”

“Hmmm ! sungguh banyak urusan yang terjadi !”

“Sekarang aku mau memberitahu satu berita yang baik, ini hari

Wi Ci To sudah menjodohkan Wi Lian In kepadaku”

“Dia bicara bagaimana ?”

”Dia tanya kepadaku maukah aku memperistri putrinya, jikalau

aku mau maka aku disuruh menyalankan upacara penghormatan

terlebih dulu maka aku melaksanakan permintaannya itu.”

”Dia bilang kapan baru melaksanakan perkawinan kalian?”

”Sudah tentu setelah berhasil mencuri pedang pendek Biat Hun

Kiam dan kembali ke dalam Benteng”

”Apakah dia tidak mengucapkan syarat apa?”

”Ada, dia minta aku tetap tinggal di dalam Benteag Pek Kiam Po

dan melanjutkan menyabat sebagai Kiauw-tauw, dan aku sudah

setuju.”

”Soal ini sedikit pun tidak jelek”

”Apa yang kau rencanakan sudah bakal jadi kenyataan bukan?”

sindir Ti Then.

”Ehmm . . .”

”Sekarang kau beleh beritahu apa tujuanmu yang sebenarnya?”

”Tidak dapat.”

”Lebih baik kau beritahu kepadaku saja barang apa yang kau

inginkan itu jikalau aku merasa bisa kuambilkan sekarang juga aku

bisa pergi mencurinya untukmu, kalau barang itu tidak dapat aku

ambil sekali pun aku sudah kawin dengan Wi Lian In juga sama

saja tidak bakal bisa ambilkan buat dirimu”

”Barang yang aku kehendaki cuma bisa diambil setelah kau

menikah deagan Wi Lian In” seru majikan patung emas dengan

tegas.

”Kalau besitu tidak ada halangannya bukan kalau

memberitahukan sekarang juga kepadaku?” desak Ti Then lebih

laajut.

”Waktunya belum tiba, tidak berguna memberitahukan urusan ini

kspadamu”

”Kalau waktunya sadah tiba tetapi aku tidak mengambilkan

buatmu kau mau berbuat apa?”

”Kalau demikian adanya maka kau tidak bakal lolos dari

krmatian.”

”Jikalau kau menghendaki aku melakukan satu pekerjaan yang

merugikan Wi Ci To ayah beranak aku lebih baik mati saja.”

”Sejak dulu aku sudah bilang barang yang aku minta sama sekali

tidak bakal mencelakai Wi Ci To ayah beranak beserta seluruh jago

pedang yang ada di dalam Benteng Pek Kiam Po, kau takut apa?”

bentak majikan patung emas dengan gusar.

”Kalau tidak bakal mendatangkan bencana buat mereka kenapa

kau tidak minta kepada Wi Ci To dengan terbuka saja?”

”Persoalannya maukah Wi Ci To menyerahkan barang itu

kepadaku”

”Hal ini membuktikan kalau barang itu sama sekali bukanlah

suatu barang yang sama sekali tidak berharga.”

”Terhadap dirinya boleh dikata barang itu sama sekali tidak

berharga, lain kali kau bakal bisa tahu kalau perkataanku ini sama

sekali bukan omong kosong.”

”Aku lihat, lebih baik kau turun saja kemari dan bunuh diriku.”

”Hmm, kau kepingin melawan?” teriak majikan patung emas

dengan gusar.

”Benar.”

”Kenapa?”

”Karena aku tidak mau berbuat sesuatu pekerjaan yang

menyalahi diri Wi Ci To beserta putrinya,”

”Kau sama sekali tidak mau percaya terhadap tanggungan yang

aku ucapkan?”

”Jikalau barang yang kau minta itu sama sekali tidak bakal

mendatangkan bencana buat Wi Ci To ayah beranak beserta seluruh

jago pedang yang ada di dalam Benteng Pek Kiam Po maka

sekarang kau tidak ada keharusannya untuk menyembunyikan

urusan tersebut, sebaliknya kini kau tidak mau memberitahu dengan

berterus terang hal ini membuktikan kalau barang yang kau mintai

itu pasti bakal mendatangkan bencana buat Wi Ci To ayah beranak

serta seluruh jago pedang dari Benteng Pek Kiam Po-”

”Kau sama sekali sudah salah menduga”

”Tapi aku percaya dugaanku sedikit pun tidak salah.”

”Apakah kau sudah mengambil keputusan sekali pun mati tidak

bakal melakukan pekerjaanku?”

”Benar.”

”Kalau begitu terpaksa aku harus membunuh mati dirimu”

”Hem, jangan ngomong terus, ayoh cepat turun kemari dan mulai

turun tangan.”

”Aku tidak perlu turun, cukup dengan menggunakan patung

emas ini saja sudah lebih dari cukup untuk mencabut nyawamu.”

ocoOooo

”KALAU BEGITU silahkan mulai turun tangan.”

”Aku mau pergi bunuh dulu dua orang kemudian baru datang

kemari lagi untuk membunuh dirimu.”

Berbicara sampai di sini majikan patung emas segera menarik

kembali patung emasnya ke atas.

Ketika Ti Then mendengar dia mau pergi membunuh dua orang

terlebih dulu hatinya jadi sangat terperanyat sekali,

”Kau mau pergi bunuh siapa?” tanyanya.

”Wi Ci To ayah beranak” sahut majikan patung emas sepatah

demi sepatah dengan amat dinginnya.

Seluruh tubuh Ti Then segera tergetar dengan amat kerasnya.

”Tidak, tunggu dulu” teriaknya terperanyat.

”Ada apa?” tanya majikan patung emas tertawa dingin.

”Kau berdasarkan alasan apa mau pergi membunuh mati mereka

ayah beranak?”

”Tanpa alasan.”

”Kau sedang menggertak diriku?”

”Tidak” potong majikan patung emas dengan suara yang amat

dingin sekali.

”Sebetulnya aku hendak menggunakan cara yang amat halus

untuk mendapatkan barang itu, tetapi kalau memangnya kau tidak

ingin jadi patung emasku lagi terpaksa aku harus pergi dengan

menggunakan kekerasan, kejadian ini terpaksa harus aku lakukan.”

”Mau pergi merampas belum tentu harus membunuh mati

mereka ayah beranak” tiba-tiba Ti Then nyeletuk, ”Terang-terangan

kau sedang menggertak diriku.”

”Kalau memangnya menggertak dirimu kau mau apa?” seru

majikan patung emas itu sambil memperdengarkan suara

tertawanya yang amat menyeramkan-

Dalam hati Ti Then benar-benar merasa amat bingung dan sedih

sekali, pikirannya kacau tak terhingga.

Dia tahu pihak musuhnya sedang menggertak dirinya dan

memaksa dirinya untuk melanjutkan mendengarkan perintahnya lagi

tetapi bilamana dirinya tidak mau menurut-dia bisa sungguhsungguh

pergi membunuh mati Wi Ci To ayah bcranak dengan

kepandaian silat yang demikiao tingginya dari majikan patung emas,

Wi Ci To pasti bukan tandingannya.

Di dalam benaknya segera berkelebatlah berbagai ingatan

kemudian dengan cepatnya mengambil satu keputusan.

Jikalau dirinya menerima perintahnya terus pergi kawin dengan

Wi Lian-In, pergi mencurikan semacam barang milik Wi Ci To walau

pun mendatangkan satu bencana terhadap diri Wi Ci To ayah

beranak tetapi bagaimana pun juga bencana masih jauh lebih

ringan daripada ancaman membunuh yang dilancarkan majikan

patung emas pada saat ini.

Karena itu diam-diam dia menghela napas panjang.

”Baiklah,” ujarnya kemudian dengan menggunakan ilmu uutuk

menyampaikan suara, ”Boleh dihitung kau cukup ganas, aku

menyerah.”

Majikao patung emas segera tertawa,

”Lain kali kau bisa tahu kalau aku orang sama sekali tidak ganas,

justru karena aku tidak ingin mencelakai mereka ayah beranaklah

maka aku baru suruh kau pergi mencuri barangnya, jikalau berganti

dengan orang lain, dia tidak akan bersikap demikian.”

”Sudah . , sudahlah kau pergi sana, aku mau tidur” usir Ti Then

sambil mengulapkan tangannya.

”Aku mau memberi peringatan lagi kepadamu, jikalau kau berani

secara diam-diam merusak semua rencanaku maka segala akibat

harus kau tanggung sendiri.”

Sehabis berkata dia menutup kembali atap rumah dan lenyap tak

berbekas.

Dengan gemasnya Ti Then menggerutuk giginya, diam-diam

dalam hati makinya.

”Iblis, kau benar-benar iblis tua yang banyak berdosa.”

Dia tidak berhasil memadamkan rasa gusar yang membakar

hatinya, sepasang matanya dengan berapi-api memandang ke atas

atap, dari gelap berubah jadi terang dia sama sekali tidak pernah

memejamkan matanya sedikit pun.

Setelah terang tanah dia baru turun dari pembaringan untuk cuci

muka kemudian berjalan menuju ke ruang makan untuk bersantap

pagi bersama-sama dengan Wi Ci To. Wi Ci To yang melihat

sepasang matanya merah membengkak jadi merasa keheranan.

”Ti Kiauw tauw, kemarin malam kau tidak bisa tidur?” tanyanya.

”Benar, teringat sudah kana tipu oleh Cuo It Sian selama satu

malaman aku tidak dapat tertidur barang sekejap pun.” sahut Ti

Then sambil tertawa malu.

”Cuma sedikit urusan saja tidak perlu kau pikirkan terus di dalam

hati,”

”Baik”

”Setelah bersantap kita segera akan berangkat, . kali ini kau

harus tukar dengan kuda yang lain, kau tidak dapat menunggang

kuda Ang San Khek lagi”

”Benar.” Sahut Ti Then membenarkan. ”Masih ada satu persoalan

lagi, boanpwe duga Cuo It Sian kemungkinan sekali sudah kirim

orang untuk mengawasi gerak-gerik kita dari luar Benteng, maka

setelah kita keluar dari pintu Benteng ada kemungkinan dibuntuti

oleh mereka, maka itu lebih baik kita sedikit berganti wajah saja

kemudian jangan keluar dari pintu sebelah depan.”

”Baik, kita berbuat demikian saja” sahut Wi Ci To sambil

mengangguk.

Demikianlah setelah bersantap pagi mereka berdua segera

kembali ke dalam kamarnya masing-masing untuk menyamar, Wi Ci

To menyamar sebagai seorang sastrawan tua sedangkan Ti Then

menyamar sebagai seorang siucay muda.

Demikianlah setelah memilih dua ekor kuda jempolan di bawah

hantaran Shia Pek Tha serta para jago pedang merah lainnya Wi Ci

To serta Ti Then meninggalkan benteng dengan melalui pintu

benteng sebelah belakang.

Setelah mengitari satu lingkaran besar mereka baru memilih satu

jalan gunung untuk kemudian melanjutkan perjalanannya kembali.

Satu jam kemudian tua muda dua orang itu sudah jauh

meninggalkan benteng Pek Kiam Po dan melanjutkan perjalanan

menuju kearah sebelah utara,

Ditengah perjalanan Wi Ci To tiba-tiba menoleh ke belakang

lantas ujarnya

”Agaknya tidak ada orang yang sedang membuntuti kita bukan ?”

”Kita sudah berganti wajah apa lagi turun gunung dengan

menggunakan jalan lain, bilamana ada orang juga yang membuntuti

diri kita maka pihak lawan boleh dikata pendengarannya amat luas.”

”Benar juga perkataanmu.”

”Apakah pedang pendek itu dibawa serta?”

”Sudah kubawa” sahut Wi Ci To sambil menepuk-nepuk

badannya.

”Pedang Biat Hun Kiam dari Cuo It Sian itu apakah ada sarung

pedangnya?”

”Sebetulnya ada cuma saja kemungkinan sudah hilang.”

”Semoga saja kali ini kita bisa berhasil mendapatkan pedang

tersebut dengan lancar.”

„Siasatmu amat bagus sekali“ ujar Wi Ci To. „Asalkan tidak terjadi

urusan lain lagi seharusnya kita bisa mendapatkan hasil.”

„Setelah mendapatkan kembali pedang pendek itu, dapatkah

boanpwe mengetahui Gak-hu hendak berbuat apa?”

Wi Ci To termenung berpikir sebentar akhirnya sahutnya:

„Pertama-tama Lohu cuma bisa beritahu padamu sedikit saja,

setelah Lohu dapatkan pedang pendek tersebut pada bulan

permulaan tahun depan aku mau membawanya ke atas gunung Hoa

San untuk mengadakan pertemuan dengan si kakek pemalas Kay

Kong Beng, Yuan Kuang Thaysu dari Siauw lim Pay serta

Ciangbunyin dari Bu tong Pay Leng Cing Ceng Tojin.“

„Kalau begitu pedang pendek Biat Hun Kiam ini ada sangkut paut

yang amat erat sekali dengan pertemuan di atas gunung Hoa san

itu?“

„Lohu tidak dapat menyawab pertanyaanmu lagi,“ sahut Wi Ci To

tersenyum.

„Benar,“ sahut Ti Then dengan gugup. „Sejak kini boanpwe tidak

akan menanyakan urusan ini lagi“

“Bukannya sengaja Lohu memperlihatkan kemisteriusan

sebaliknya hal ini meyangkut keselamatan dari Bu lim, makanya

tidak boleh bocor barang sedikit pun”

”Setiap diadakannya pertemuan puncak para jago di atas

gunung Hoa san apakah mengharuskan Gak hu serta si kakek

pemalas Kay Kong Beng, ciangbunyin dari Siauw lim Pay dan

ciaogbunyin dari Bu tong Pay untuk mengikutinya?” tanya Ti Then

mengalihkan bahan pembicaraan selanjutnya,

„Benar,” sahut Wi Ci To mengangguk, „Sebetulnya pertemuan itu

cuma satu tempatnya berkumpul para kawan lama dan bukannya

tempat satu pertenuan yang bermaksud merebut gelar jagoan.”

„Tempo hari boanpwe dengar dari ciangbynyin Siauw lim Pay

berkata, agaknya di atas pertemuan Hoa san ini juga khusus untuk

membereskan pertikaian yang terjadi di dalam Bu lim?”

„Benar, kami empat orang saling berjanyi untuk setiap tiga tahun

berkumpul satu kali di atas gunung Hoa san, sebenarnya tujuan

kami cuma untuk mempererat persahabatan diantara kita sendiri,

hal ini disebabkan karena kecuali si kakek pemalas Kay Kong Beng

seorang di antara kami bertiga mem punyai anak murid yang sangat

banyak sekali dan sering terjadi keributan di dalam Bu lim, karena

itu kami sebagai pemimpinnya harus mem punyai satu ikatan

persahabatan yang erat sehingga dengan demikian suatu percekcokan

diantara anak buah kita bisa diselesaikan dengan baik-baik.”

Dia berhenti sebentar untuk tukar napas kemudian sambungnya.

”Tetapi waktu serta tempat berkumpulnya kami berempat

semakin lama semakin di ketahui oleh orang banyak, demikianlah

diantara mereka ternyata banyak yang sudah naik ke atas gunung

memohon kita membereskaankesukaran yang mereka hadapi, lama

kelamaan pertemuan Hoa san ini dari hubungan empat partai kini

jadi satu pertemuan Bu lim yang amat ramai sekali.”

”Bukankah hal itu bagus sekali?” seru Ti Then cepat.

Wi Ci To segera tertawa pahit.

”Benar,” sahutnya, ”Tetapi kadang-kadang kami menghadapi

juga persoalan yang benar-benar membuat orang sukar untuk

memecahkannya.”

”Dengan nama besar serta kedudukan dari Gak-hu serta tiga

orang cianpwe lainnya

apakah masih ada juga persoalan yang tidak berhasil

diselesaikan?”

”Benar, ada kalanya urusan yang kami hadapi bukanlah dapat

dibereskan cuma dengan kepandaian serta nama kita.”

”Gak-hu sering membereskan pertikaian yang terjadi di dalam Bu

lim, sudah tentu banyak kenal dengan orang-orang Bu lim bukan?”

”Benar” sahut Wi Ci To mengangguk-”Orang yang sedikit punya

nama tentu Lohu kenal, buat apa kau menanyakan urusan ini?”

”Aku ingin sekali mengetahui di dalam Bu lim pada saat ini

apakah ada orang yang memiliki kepandaian silat seperti yang

dimiliki si kakek pemalas Kay Kong Beng?”

”Ada seorang”

”Siapa?”

”Sayang lohu sendiri juga tidak kenal” sahut Wi Ci To tertawa.

”Siapakah nama serta sebutan orang itu?”

”Bu Beng Lojin.”

Ti Then jadi melengak tapi sebentat kemudsan wajahnya sudah

berubah memerah.

”Kepandaian silat dari suhuku apakah benar-benar ada di atas

kepandaian dari si kakek pemalas?” ujarnya tertawa.

Kiranya pada beberapa bulan yang lalu sewaktu tidak lama dia

memasuki benteng Pek Kiam Po, Wi Ci To pernah menanyakan

tentang asal-usul perguruannya,dia tidak dapat mengatakan

gurunya adalah majikan patung emas makanya dia lantas

menyebutkan seorang kakek tua tanpa nama yang sudah mewarisi

kepandaiannya itu, kini mendadak Wi Ci To menyebut kembali ”Bu

Beng Lojin” empat buah kata membuat hatinya rada sedikit tidak

tenang.

”Tidak salah,” sahut Wi Ci To mengangguk. “Walau pun Lohu

belum pernah bertemu dengan suhumu tetapi lohu berani

memastikan kalau kepandaian silat dari suhumu jauh berada di atas

dari kepandaian si kakek pemalas Kay Kong Beng.”

”Perkataan dari Gak-hu ini apakah diambil kesimpulan dari

kepandaian yang boanpwe miliki ?”

”Benar, kau sendiri terhadap kepandaian silat yang kau miliki

apakah masih merasa tidak jelas ?”

”Boanpwe merasa tenaga dalamku masih terlalu rendah . . .”

”Tidak” seru Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya. ”Dengan

kepandaian yang kau miliki saat ini sebenarnya sudah jauh melebihi

dari lohu sendiri.”

”Gak-hu, kau jangan bicara demikian, sedikit kepandaian dari

boanpwe ini mana berani dibandingkan dengan diri Gak-hu” seru Ti

Then dengan gugup.

Wi Ci To tersenyum.

“Sungguh,” serunya. “Kau pernah mengalahkan si pendekar

pedang tangan kiri Cian Pit Yuan di dalam kurang dari seratus jurus

sedangkan tingkatan lohu dengan Cian Pit Yuan kira-kira terpaut

sedikit saja, bilamana lohu bermaksud hendak mengalahkan dirinya,

kecuali harus bertempur mati-matian sebanyak tiga-lima ratus jurus

jangan harap bisa memperoleh hasil, maka itu dengan kepandaian

silat yang kau miliki sekarang ini boleh dikata jauh berada di atas

kepandaian dari Lohu.”

Dia berhenti sebentar untuk menghela napas panjang kemudian

sambungnya lagi:

”Sedangkan perbedaan antara Lohu dengan si kakek pemalas

Kay Kong Beng cuma satu tingkat saja, karena itu dengan

kepandaian silat yang kau miliki sekarang sekali pun tidak bisa

melampaui diri si kakek pemalas Kay Kong Beng tetapi suhumu pasti

jauh lebih dahsyat dari diri si kakek pemalas Kay Kong Beng.”

“Omong terus terang saja sekali pun kepandaian dari boanpwe

tidak rendah tetapi pernah dikalahkan di tangan seorang pemuda

yang satu tingkat dengan diriku” ujar Ti Then tiba-tiba.

Wi Ci To sedikit melengak.

“Sungguh?” tanyanya sambii memandang tajam wajahnya.

“Sungguh !” sahut Ti Then mengangguk.

“Siapakah dirinya ?”

”Si “Hong Liuw Kiam Khek” Ing Peng Siauw !”

“Aaaah …. kiranya dia orang !”

“Gak hu tahu tentang orang ini bukan ?”

“Tahu !” sahut Wi Ci To mengangguk, “Dua tahun yang lalu lohu

pernah bertemu satu kali dengan dirinya dan dengan mata kepala

lohu sendiri bisa melihat dia mengalahkan dua orang jagoan

berkepandaian tinggi dari kalangan Hek to, tetapi jika dilihat dari

gerakan tubuhnya itu agaknya tidak seberapa lihay jika

dibandingkan dengan dirimu.”

Ti Then tidak ingin mengatakan kalau sewaktu dia dikalahkan

oleh si “Hong Liuw Kiam Khek” Ing Peng Siauw belum belajar

kepandaian silat dari majikan patung emas, karenanya dia segera

berbohong:

“Kemugkinan sekal dia sengaja menymbunykan kekuatan yang

sesungguhnya sehingga Gak hu sama sekali tidak dapat

melihatnya,”

”Ehmm . . . kemungkinan sekali memang demikian,” sahut Wi Ci

To mengangguk. “Tetapi . . Lohu selalu merasa bahwa sekali pun

dia adalah seorang jagoan muda yang amat menonjol tetapi jika

dibandingkan dengan bakat serta keadaanmu agaknya dia tidak

dapat menandingi dirimu, bagaimana kau bisa dikalahkan olehnya ?”

Ti Then segera tertawa pahit.

”Kemungkinan sekali dikarenakan dia terjun di dalam dunia

kangouw rada pagian sehingga pengetahuannya jauh lebih matang

dari diri boanpwe sendiri ” ujarnya.

”Siapakah suhumu ?”

“Tidak tahu!” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya,

“Boanpwe pernah mengadakan penyelidikan kepada banyak orang

tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahui asal-usul

perguruannya.”

“Kenapa kau dikalahkan olehnya?”

”Setahun yang lalu!”

“Kenapa kau bergebrak dengan dirinya?”

“Persoalan ini jika dibicarakan terlalu panjang sekali” ujar Ti Then

sambil menghela napas ringan„ Tempo hari Gak-hu pernah bertanya

kepadaku apakah boanpwe ada rahasia yang tidak dapat diutarakan

keluar, lebih baik sekarang juga boanpwe ceritakan urusan ini . . ”

Wi Ci To yang mendengar dia hendak menceritakan rahasia yang

selama ini terpendam di dalam hatinya tidak terasa lagi air mukanya

sedikit berubah.

”Jikalau kau merasa hal ini tidak leluasa untuk dibicarakan lebih

baik tidak usah diucapkan saja. Lohu pernah berkata kepada Wi Lian

In tidak perduli kau mengandung rahasia yang macam apa pun

Lohu percaya kau adalah seorang pemuda yang berhati lurus dan

jujur.”

“Tidak, urusan ini sebetulnya tidak ada halangannya untuk

diberitahukan kepada Gak-hu, sebenarnya mau menceritakan

urusan ini kepada Gak-hu tetapi karena boanpwe takut urusan ini

sampai tersiar ditempat luaran sehingga mendatangkan satu

kekacauan maka selama ini boanpwe tidak pernah

membicarakannya,”

Dia bcrhenti sebentar lantas sambungnya lagi:

“Di dalam kota Tiang An dahulu pernah ada sebuah perusahaan

ekspedisi “Yong An-Piauw-kiok” yang merupakan perusahaan

terbesar diseluruh negeri tentu Gak-hu tahu bukan ??”

“Tahu!“ sahut Wi Ci To mengangguk, “Piauw-tauw dari Yong An

Piauw-kiok itu bernama Kim Kong So atau si tangan baja Yuan

Siauw Ci, aku dengar kepandaian silat yang dimilikinya tidak lemah

selamanya barang kawalannya belum pernah gagal bahkan menurut

apa yang lohu dengar dagangannya bagus sekali.”

“Cuma sayang Yong An Piauw-kiok pada setahun yang lalu sudah

hancur dan tutup”

Wi Ci To jadl melengak.

„Iiih …. kenapa tentang urusan ini lohu belum pernah mendengar

orang berkata ?” tanyanya.

“Heey . . . tidak lama berselang piauw kiok itu sudah ditutup

gara-gara perbuatan dari seorang piauw-sunya.”

“Siapakah piauw su itu ?” tanya Wi Ci To sambil memandang

tajam wajahnya.

“Dialah boanpwe sendiri.”

Agaknya Wi Ci To merasa berita ini berada diluar dugaannya,

dengan amat terperanya dia bertanya:

“Aaaa, . . kiranya kau pernah menjadi piauw-su di perusahaan

ekspedisi Yong An Piauw-kiok ?”

“Benar !” sahut Ti Then mengangguk “Ada satu kali secara

kebetulan boanpwe bisa berkenalan dengan si tangan baja Siauw Ci,

dia mengundang boanpwe untuk bekerja di perusahaan

ekspedisinya, semula boanpwe menolak tetapi akhirnya setelah

mendapatkan desakan berulang kali akhrnya boanpwe menerimanya

juga.”

“Nama besar dari perusahaan ekspedisi Yong An Piauw-kiok

sudah menggetarkan seluruh kolong langit, setiap piauw-su yang

ada diperusahaannya boleh dikata merupakan jago-jago pilihan, ada

banyak orang yang mau masuk pun tidak dapat kini si tangan baja

Yuan Siauw Ci ternyata mengundang kau untuk memasuki

perusahaannya hal ini jelas membuktikan kalau dia amat

memandang tinggi dirimu.”

“Benar“ Sahut Ti Then membenarkan, “Piauw-su di dalam

perusahaan itu semuanya berjumlah tujuh puluh orang banyaknya,

masing-masing semuanya merupakan jagoan Bu-lim yang berilmu

tinggi dan memiliki pengalaman yang amat luas sekali,

sembarangan mengirim seorang pun sudah dapat membereskan

satu urusan maka itu barang siapa ssya yang bisa jadi piauw-su di

dalam perusahaan tersebut namanya segera akan terkenal di dalam

Bu-lim”

”Kau bekerja berapa bulan di perusahaan tersebut?” tukas Wi Ci

To.

“Cuma tiga bulan lamanya dan melidungi dua buah barang

kawalan, yang pertama aku mengikuti seorang piauw-su pergi

mencari pengalaman dan kedua kalinya pergi mengawal sendiri

sebuah barang kawalan rahasia, siapa tahu baru saja meninggalkan

kota Tiang An selama tiga hari peristiwa ternyata sudah terjadi..”

”Sebetulnya barang apa?” tanya Wi Ci To terkejut bercampur

heran.

“Satu peti mutiara, intan serta permata yang berharga seratus

dua puluh laksa tahil perak”

“Ooouuw, . . suatu barang kawalan yang begitu berharganya !”

Seru Wi Ci To sambil menghembuskan napas panjang.

”Benar, pemilik barang itu adalah seorang pembesar negeri yang

mem punyai pangkat tinggi, tujuannya adalah kota Thay Yuan Hu

yang semuanya ada seribu li jauhnya, dikarenakan jumlah yang

terlalu besar itulah apalagi perjalanan yang demikian jauhnya ini

Yuan Piauw-tau merasa untuk melindungi barang kawalan secara

terang-terangan terlalu bahaya maka itu dia mengambil keputusan

untuk melindungi barang kawalan tersebut secara diam-diam, dia

bertanya kepada para Piau-su yang ada di dalam perusahaan siapa

yang berani melindungi barang itu, mungkin dikarenakan jumlah

yang terlalu besar ternyata diantara piauw-su piauw-su itu tidak ada

yang berani menerima. .”

„Lalu kau beranikan diri untuk menerima?”

“Benar” Sahut Ti Then mengangguk, „Saat itu Yuan Piauw-tauw

pun sangat setuju kalau boanpwe yang bertanggung jawab,

alasannya karena boanpwe belum lama memasuki perusahaan

tersebut, sehingga orang yang mengetahui pun belum banyak,

karena hal itulah ada kemungkinan pcrhatian dari semua orang tidak

bisa dicurahkan kepada boanpwe semuanya.”

„Hal ini sedikit pun tidak salah!”

“Tetapi Yuan Piauw-tauw jadi orang ternyata amat teliti sekali,

dia kirim dulu seorang piauw-su yang pura-pura sedang melindungi

barang kawalan itu melakukan

perjalanan, setelah lewat dua hari kemudian dia baru

mengijinkan boanpwe untuk meninggalkan kota Tiang An dengan

mengawal barang-barang tersebut.”

Dengan sedihnya dia menghela napas panjang tambahnya:

“Demikianlah pada hari ketiga sewaktu ada dikota Cong Koan,

ternyata aku sudah

bertemu dengan si Hong Liuw Kiam Khek Ing Peng Siauw…”

”Sebelum kejadian itu diantara kalian apa saling kenal ?” tanya

Wi Ci To.

“Ada satu kali kami memang pernah bertemu, karena boanpwe

melihat kepandaian silatnya menonjoi jadi orang pun sangat bagus

maka di dalam hati aku sudah timbul rasa simpati, maka itu ketika

untuk kedua kalinya bertemu muka di sebuah rutnah makan dikota

Cong-kwan kami saling bersantap di dalam satu meja, dia bilang dia

mau pergi ke Thay Yuan Hu untuk mencari encinya sedang

boanpwe pun bilang ada urusan mau pergi ke kota Thay Yuan Hu

pula, demikianlah dia lantas mau berjalan bersama-sama dengan

boanpwe, boanpwe yang merasa dia adalah seorang dari kalangan

lurus maka dengan hati girang meluluskannya…”

”Apakah kau pernah memberitahukan soal kawalan barang

berharga itu ?” timbrung Wi Ci To tiba-tiba.

”Tidak” sahut Ti Then gelengkan kepalanya.

”Atau mungkin secara tidak berhati-hati kau sudah

memperlihatkan barang berharga itu kepadanya ?”

“Juga tidak, sebelum dia memperlihatkan wajah aslinya yang

menyengir kejam selamanya tidak pernah memandang sekeap pun

terhadap buntalan yang ada pada punggung boanpwe!”

“Jikalau demikian adanya dia tentu dari tempat lain berhasil

mendapatkan kabar kalau kau sedang mengawal sejumlah barang

kawalan menuju ke kota Thay Yuan Hu, maka itu sengaja

munculkan dirinya dikota Cong Kwan.”

“Kemungkinan sekali memang demikian” sahut Ti Then

membenarkan.” Tetapi yang aneh sewaktu Yuan Piauw-tauw

menerima barang kawalan itu mereka membicarakan di dalam

suasana yang amat rahasia sekali, kecuali Piauw-su yang ada di

dalam perusahaan sampai anak buah lainnya pun tidak tahu,

bagaimana mungkin dia bisa memperoleh berita ini ?”

“Kemungkinan sekali Piauw-su yang ada di dalam perusahaan

itulah yang sudah membocorkan keluar.”

“Tidak . . . tidak mungkin !” sahut Ti Then sambil gelengkan

kepalanya.” Walau pun Yong An Piauw-kiok mem punyai tujuh puluh

orang Piauw-su tetapi setiap piauwsu sudah pernah memperoleh

pengawasan yang amat lama sekali dari Yuan Piauw-tauw,”

Setelah merasa aneh Wi Ci To segera tertawa dingin.

“Lohu tidak percaya kalau si Hong liuw Kiam Khek Ing Peng

Siauw mem punyai ilmu untuk meramal kejadian yang akan

datang.”

“Hal ini sudah tentu, karena itulah boanpwe baru merasa sangat

keheranan”

“Kau bilang majikan dari pemilik barang itu adalah seorang

pembesar, siapakah namanya? dan apa jabatannya ?”

“Sampai saat ini boanpwe sendiri juga tidak tahu siapakah

sebenarnya orang itu karena dia pernah memohon kepada Yuan-

Piauw tauw untuk merahasiakannya, orang yang bekerja sebagai

pengawal barang memang mem punyai kewajiban untuk

merahasiakan namanya karena itu Yuan Piauw-tauw selama ini

selalu tidak mau menyebutkan siapakah nama yang sebenarnya.”

”Bagus, sekarsng lanjutkanlah lagi”

“Hari itu menunjukkan siang hari setelah kami bersantap dirumah

makan tersebut ternyata dia sudah berebut untuk membayar

rekening makanan setelah itu kita bersama-sama keluar kota, baru

saja berjalan enam, tujuh puluh li hari sudah menjadi gelap,

boanpwe segera usulkan untuk mencari penginapan sebaliknya dia

bilang malam hari hawanya amat nyaman sekali dan mau

melanjutkan kembali perjalanannya sejauh puluhan li lagi, boanpwe

tidak curiga kepadanya maka itu menurut saja permintaannya dan

melanjutkan kembali perjalanan ke depan.

Siapa tahu baru saja berjalan empat lima li jauhnya dan tiba

disatu tempat yang amat sunyi dia menghentikan langkah kakinya,

sambil mendougakkan kepalanya memandang rembulan ujarnya

“Ti heng, malam ini tanggal berapa ?”

“Tanggal empat.”

”Kalau begitu masih ada sebelas hari itu sampai batas waktu

yang terakhir.”

“Urusan apa ?”

“Siauw-te sudah tertarik dengan seorang nona, dia adalah

seorang Putri hartawan dengan memiliki potongan wajah yang amat

cantik menarik, siauw-te kepingin memperistri dirinya tetapi

hartawan itu mengatakan siauw-te terlalu miskin, dia tidak mau

mengawinkan putrinya kepadaku..”

“Lalu bagaimana baiknya?”

“Nona itu menaruh rasa cinta yang mendalam sekali terhadap diri

siauw-te dan sanggup untuk lari dari rumah bersama-sama dengan

siauwte tapi sudah Siauw-te tolak maksudnya ini, siauw-te bilang

kalau lari dari rumah hal itu sangat memalukan sekali”

“Betul, perkataan dari Ing-heng ini sedikit pun tidak salah”

“Akhirnya Siauw-te pergi menemui ayahnya, begitu bertemu

Siauw- te segera bertanya dia mau minta uang berapa banyak baru

mau mengawinkan putrinya kepadaku, coba kau terka dia bilang

bagaimana?”

“Dia bilang apa?”

“Hmmm, dia minta seratus laksa tahil perak!”

“Oooohh…Thian!”

“Benar! ternyata jauh lebih mahal dari emas”

“Lalu akhirnya bagaimana?”

“Siauw-te mengabulkannya”

“Aaaah. . . Ing-heng punya seratus laksa tahil perak?”

“Tidak punya”

“Lalu, . . . lalu . . . Ing-heng punya rencana pergi meminyam

seratus laksa tahil perak?”

“Tidak salah, ternyata dia tidak jelek juga, dia sudah memberi

batas waktu selama satu bulan kepada Siauwte untuk pergi

meminyam.”

“Aku rasa tidak mudah untuk memperolehnya.”

“Siauw-te kira belum tentu.”

“Ehmmm??”

”Asalkan Ti-heng suka meminyamkan kepada Siauw-te. …..”

“Ing-heng jangan berguyon!”

“Sungguh, sekarang Ti-heng pinyamkan dulu kepada Siauw-te,

dua tahun kemudian dari seperti ini juga Siauw-te akan kembalikan

semua uangmu itu beserta bunganya! Perkataan yang sudah Siauwte

katakan selamanya tidak pernah diingkari”

“Haaaaa … . haaa . . . cuma sayang Siauw-te tidak punya

Seratus laksa tahil perak!”

“Intan permata yang ada dibadan Ti-heng itu bukankah berharga

di atas seratus laksa tahil perak ?”

Waktu itu boanpwe yang mendengar perkataannya ini diam-diam

merasa sangat terperanyat sekali, boanpwe lantas tanya dia tahu

darimana kalau boanpwe membawa intan permata yang bernilaikan

lebih dari seratus laksa tahil perak, dia tertawa dan menyawab kalau

mendengar dari orang lain lalu boanpwe tanyai pula apa dia

bermaksud merampok barang kawalanku, dia bilang kalau boanpwe

tidak pinyamkan kepadanya maka dia akan turun tangan merampok

barang kawalan tersebut”.

Berbicara sampai di sini wajah Ti Then segera tersungginglah

satu senyuman dengan perlahan-lahan sambungnya

”Boanpwe yang melihat perkataannya seperti tidak sedang guyon

dengan cepat cabut keluar pedang siap menghadapi serangannya,

dia yang melihat sikap boanpwe itu segera tertawa terbahak-bahak

dan berkata:”Bagus . . . bagus sekali, kita boleh bertanding dengan

pedang, kita lihat siapa lebih lihay diantara kita, bilamana siauw-te

kalah maka aku segera akan lari pergi dari sini-tetapi bilamana Tiheng

yang secara tidak beruntung aku kalahkan maka minta

permata-tersebut harus kau tinggal . . . , demikianlah pada waktu

itu juga kami segera bertempur dengan amat serunya . .”

“Dia membawa pembantu tidak?” tukas Wi Ci To lagi,

“Tidak, sejak permulaan sampai terakhir dia mengalahkan

boanpwe sama sekali tidak pernah kelihatan munculnya orang yang

ketiga !”

“Kepandaian silatnya jauh lebih tinggi darimu?” tanya Wi Ci To

lagi.

“Hal ini tidak begitu menyolok, ditengah pegunungan yang amat

sunyi itu bertempur dengan susah payah sebanyak seribu jurus

lebih, ketika mendekatinya

terang tanah akhirnya boanpwe dikalahkan satu jurus dan

terkena tusukan pedangnya pada bagian kakiku”

”Tidak dapat mengetahui asal-usul ilmu silatnya?”

”Benar, tidak tahu”

”Akhirnya harta kekayaan tersebut berhasil dia rampas?”

”Benar, sewaktu boanpwe terkena tusukannya dan rubuh ke atas

tanah dengan mengambil kesempatan itulah dia merebut buntalan

yang berisikan intan permata itu, sesaat sebelum meninggalkan

tempat itu dia berkata bahwa dua tahun kemudian dia akan

mengembalikan barang itu beserta bunganya, dia berjanyi dengan

boanpwe untuk bertemu kembali dua tahun kemudian, di tempat ini

juga, setelah itu dia segera berkelebat pergi dari sana.”

Wi Ci To segera menghela napas panjang.

”Heeei ….. sungguh tidak disangka si Hong Liuw Kiam Khek, Ing

Peng Siauw sebenarnya adalah manusia semacam itu akhirnya kau

berhasil menemukan dirinya?”

”Tidak” sahut Ti Then tertawa pahit, ”Sejak dia berhasil

memperoleh harta kekayaan itu jejaknya lantas lenyap tak

berbekas, walau pun boanpwe serta seluruh piauw-su yang ada di

dalam perusahaan ekspedisi Yong An Piauw kiok sudah dikerahkan

semuanya dan mencari ke semua tempat tetapi tidak menemukan

jejaknya juga.”

”Lalu bagaimana tanggungjawab orang she Yuan itu terhadap

pemilik barang tersebut?”

”Dikarenakan persoalan inilah seluruh harta benda dari Yuan

Piauw-tauw jadi ludas untuk mengganti kerugian tersebut, dengan

demikian perusahaan Yoang An Piauw-kiok pun hancur berantakan”

”Tidak aneh kalau setiap hari keadaanmu amat murung sekali,

kiranya kau merasa tidak tenang dikarenakan sudah

menghancurkan kejayaan dari Yong An Piauw kiok.”

”Yang membuat boanpwe merasa lebih sedih adalah seorang

Piauw tauw yang mentereng dari sebuah perusahaan ekspedisi yang

besar ternyata kini sudah terlantar di dalam Bu lim dengan menjual

silat sebagai biaya hidup.”

”Hei . . hal ini memang patut menerima simpatik dari orang lain”

seru Wi Ci To sambil menghela napas panjang.

”Maka itu boanpwe pernah bersumpah untuk mencari dapat

harta yang sudah di rampok oleh Ing Peng Siauw itu, sebelum

berhasil mencapai maksudku ini aku tidak akan berdiam diri”

”Bilamana sejak semula kau menceritakan urusan ini kepada diri

Lohu maka lohu bisa perintahkan seluruh jago pedang yang ada di

dalam Benteng untuk bantu kau mencarikan kabar dari dirinya”

”Justru boarpwe takut kalau berita ini sampai tersiar didaiam Bulim

sehingga memancing datangnya incaran dari jago-jago kalangan

Hek-to, dengan demikian bukankah urusan jadi semakin berabe?”

”Asalkan pesan wanti-wanti kepada mereka untuk jangan

membocorkan rahasia ini bukankah urusan sudah beres?”

Ti Then segera mengerutkan alisnya rapat-rapat.

”Boanpwe ingin sekali pergi mencari dirinya sendiri, kemudian

mengajak dia bertempur hingga salah satu diantara kita ada yang

mati.”

”Dia bilang dua tahun kemudian hendak dikembalikan entah

perkataannya itu sungguh-sungguh atau cuma bohong belaka.”

”Hmmm.. sudah tentu omongan setan” seru Ti Then sambil

tertawa dingin.

”Menanti setelah urusan yang menyangkut diri Cuo It Sian ini

bisa dibikin beres maka lohu segera akan menggerakkan semua

jago pedang merah yang ada di dalam Benteng untuk pergi mencari

jejaknya, lohu tidak percaya kalau jejaknya tidak dapat ditemukan

kembali . . oooh, kalau memangnya ini hari kau sudah membuka

rahasiamu itu kepadaku, lohu mau tanyakan kembali satu persoalan

yang mencurigakan hatiku, tempo hari sewaktu lohu mengutarakan

maksudku hendak membantu dirimu kau pernah bilang asalkan lohu

mau berkelahi kemudian mengalahkan dirimu hal ini sama juga

sudah membantu kau membereskan satu persoalan yang rumit,

sebetulnya apa maksud dari perkataanmu itu?”

Ti Then segera tertawa malu.

“Padahal hal itu sebetulnya tidak mengandung maksud yang

mendalam, semula Gak hu masih menganggap boanpwe adalah Lu

Kong-cu yang pernah pergi ke sarang pelacuran Touw Hoa Yuan,

karena di dalam hati boanpwse ingin sekali meninggalkan Benteng

Pek Kiam Po, sedang waktu itu pun Gak-hu memaksa boanpwe

untuk tinggal beberapa hari di sana boanpwe tidak mendapatkan

cara untuk manolak permintaan itu karenanya sengaja boanpwe

berkata demikiao agar Gak-hu menaruh rasa curiga semakin

mendalam lagi terhadap boanpwe, dengan begitu boanpwe bisa

meninggalkan tempat itu dengan leluasa.”

“Oooh … kiranya begitu ..” seru Wi Ci To sambil tertawa.

Mendadak Ti Then menuding kearah tempat kejauhan.

“Coba lihat” serunya. “Bukankah itu kota Tan Leng Sian?”

Wi Ci To segera angkat kepalanya memandang ternyata sedikit

pun tidak salah di hadapannya muncul sebuah kota yang cukup

besar, dia segera mengangguk.

“Tidak salah, itu memang kota Tan Leng sian,” sahutnya. ”Ini

hari kita sudah melakukan perjalanan sejauh seratus li.”

Dengan perlahan-lahan Ti Then menengok ke sebelah Barat, dia

lantas berkata lagi:

”Sang surya sudah turun gunung, hari ini kita mau menginap di

kota Tan Leog sian ataukah melakukan perjalanan malam?”

”Kita beristirahat saja.”

Hari berlalu dengan amat cepatnya, tidak terasa sepuluh hari

sudah berlalu tanpa terasa, siang hari itu mereka sudah tiba ditepi

gunung Lak Ban san didaerah Gong Si.

Dengan termangu-mangu Ti Then memandang kearah rentetan

pegunungan Lak Ban san yang lenggak lenggok dengan terjalnya

itu.

”Tempat ini boanpwe baru untuk pertama kali datang ke sini,

pemandangannya sungguh tidak jelek” ujarnya.

”Lohu sudah ada dua kali ke sini, perkam pungan Thiat Kiam san

ada diseberang gunung yang paling atas itu.”

”Bagaimana hubungan persahabatan antara Gak hu dengan si

kakek pedang baja Nyio Sam Pek?” tanya Ti Then.

”Tidak begitu rapat, tetapi juga tidak punya ganyaian sakit hati

apa-apa.”

”Menurut berita yang tersebar katanya ilmu pedangnya amat

lihay?”

“Tidak salah” sahut Wi Ci To mengangguk. “Di dalam Bu lim pada

saat ini namanya boleh dikata termasuk di dalam kesepuluh nama

jagoan yang terkenal di Bu lim, tetapi dia sudah sangat lama

mengundurkan dirinya, jarang sekali orang-orang yang menyebut

namanya lagi,”

”Berapa banyak anak muridnya?”

“Anak muridnya yang menonjol cuma ada puluhan orang saja

tetapi baik lelaki

Perempuan, tua muda kecil semuanya pada berlatih ilmu silat,

pangaruhnya amat besar sekali.”

”Kita harus mengembalikan wajah kita yang asli bukan ?”

”Benar.”

Tua muda dua orang segera turun dari atas kuda dan mencari

sebuah sumber air untuk mencuci bersih penyamarannya, setelah

masing-masing berganti pakaian mereka baru melanjutkan kembali

perjalanannya menuju ke atas gunung.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 32

Di Perkampungan Pedang Baja

KEISTIMEWAAN dari gunung Lak Ban san ini adalah curam serta

terjalnya gunung serta jalan kecil yang menghubungkan tempat itu,

bukan saja berliku-liku bahkan merupakan tempat berlindung yang

amat bagus sekali, pada jaman dahulu tempat. ini merupakan satu

tempat persembunyian yang amat bagus sewaktu berlindung.

Setelah berhenti sebentar untuk melihat keindahan alam. Mereka

segera melanjutkan perjalanannya naik keatas gunung Lak ban san

itu.

Dari kejauhan tampaklah tiga ekor kuda datang mendekati

mereka berdua.

Diatas kuda tersebut duduklah tiga orang lelaki berpakaian

singsat dengan sebilab pedang tersoren pada punggungnya, jelas

kelihatan sikap mereka yang amat gagah dan mengagumkan sekali.

Melihat datangnya orang-orang itu Wi Ci To segera merarik tali

les kudanya untuk menghentikan tunggangannya.

”Orang-orang dari perkampungan Thiat Kiam San sudab datang.”

ujarnya cepat kepada Ti Then.

Ti Then pun segera menghentikan kuda kemudian duduk sejajar

dengan Wi Ci To.

Hanya di dalam sekejap saja ketiga orang penunggang kuda itu

sudab mendekati diri merekaberdua.

Tampaklah ketiga orang itu sudah berusia empat puluhan sedang

yang ada di tengah mempunyai wajah yang amat keren sekali.

Setelah mendekat sejauh tiga kaki dari mereka berdua, lelaki

yang berwajah keren itu segera maju tiga langkah kedepan

kemudian terhadap Wi Ci To dia merangkap tangannya menjura.

”Yang datang bukankah Wi toa pocu dari Benteng Pek Kiam Po?”

tanyanya.

“Lobu benar adanya,” sahut Wi Ci To sambil balas menjura.

”Cayhe Nyio Si Ih tidak mengetahui kalau Wi Toa Pocu mau

datang menyambangi, maaf tidak dapat menyambut kedatangan

Pocu dengan cepat” ujar lelaki berusia pertengahan itu lagi.

“Tidak berani..tidak berani“ jawab Wi Ci To tersenyum. „Kiranya

Lo-te adalah putera ketiga dari Nyio Lo Cung-cu, beberapa tahun

yang lalu sewaktu Lohu datang menyambangi ayahmu di gunung

Lak ban san ini kebetulan lote tidak ada di dalam perkampungan.“

„Benar“ sahut Nyio Si Ih dengan amat hormatnya.

Dengan perlahan Wi Ci To mengalihkan pandangannya kearah

dua penunggang kuda lainnya disamping Nyio Si Ih.

”Lalu, apakah mereka juga adalah…”

„Dia adalah Su sute dari boanpwe Huan Ceng Hong, sedang yang

ada disebelah kanan adalah Ngo sute dari boanpwe Cia Pu Leng.”

Huan Ceng Hong serta Cia Pu Leng dengan cepat pada maju

memberi hormat;

”Menghunjuk hormat buat Wi Toa Pocu” serunya berbareng.

Wi Ci To tersenyum.

“Oooh..kiranya Liong Hauw Ji Kiam (Dua jagoan pedang naga

dan harimau) yang namanya sudah menggetarkan dunia persilatan,

selamat bertemu..selamat bertemu..” serunya.

“Pujian dari Wi Toa Pocu, boanpwe berdua tidak berani

menerimanya,” jawab Huan Ceng Hong serta Cia Pu Leng terburuburu.

Wi Ci To lantas menuding kearah Ti Then yang ada

disampingnya.

“Lohu juga mau perkenalkan kepada Lo-te bertiga, dia adalah Ti

Then, Ti Kiauw-tauw dari Benteng kami”

Ti Then yang masih duduk diatas kudanya sambil mengangguk

tersenyum ramah.

Mendengar perkataan tersebut air muka mereka segera

memperlihatkan rasa terkejutnya yang bukan alang kepalang,

sesudah melototi diri Ti Then beberapa saat lamanya mereka baru

merangkap tangannya memberi hormat.

“Nama besar dari Ti Kiauw-tauw laksana meledaknya guntur di

siang hari bolong, ini hari bisa berkenalan sungguh kami merasa

sangat bangga sekali.”

Ti Then yang melihat sikap mereka sangat ramah dia pun dengan

terburu-buru turun dari kuda lalu membalas hormatnya itu. Wi Ci To

lantas melanjutkan bertanya.

“Kalian bertiga apakah ada urusan mau turun gunung?”

”Tidak” bantah Nyio Si Ih sambil menggelengkan kepalanya,

”Boanpwe mendapat perintah dari ayah untuk menyambangi

seorang sahabat, Wi Toa Pocu, kami akan antar kalian ke atas

gunung sebentar…”

”Eeii…bagaimana ayahmu bisa tahu kalau lohu mau datang?”

tanyanya keheranan.

”Bukan..bukan..setelah Wi Toa Pocu serta Ti Then naik keatas

gunung kami baru memperoleh kabar” sahut Nyio Si Ih tertawa.

Mendengar perkataan tersebut Wi Ci To baru jadi paham

kembali.

”Oooh..kiranya begitu…keadaan dari ayahmu apakah baik-baik

saja?”

oooOOOooo

54

”Berkat lindungan Thian-dia orang tua berada dalam keadaan

baik-baik saja” Sahut

Nyio Si Ih dengan hormat.

„Karena ini karena lohu serta Ti Kiauw-tauw ada urusan lewat sini

karena teringat sudah lama lohu tidak bertemu dengan ayahmu,

maka sekalian naik ke gunung untuk menyambangi dirinya”

„Terima kasih atas kemurahan hati Wi Toa Pocu mau

menyambangi ayah, mari ikuti boanpwe naik keatas..“ sahut Nyio Si

Ih lagi.

„Baiklah“

Demikianlah Nyio Si Ih bertiga segera naik keatas kuda untuk

memimpin jalan di depan, sedangkan Wi Ci To serta Ti Then

mengikuti dari belakang.

Kurang lebih berjalan kembali selama setengah jam lamanya

akhirnya mereka baru tiba di puncak yang teratas dari gunung Lak

Ban san tersebut.

Setelah melewati sebuah hutan pohon siong yang lebat

tampaklah sebuah perkampungan yang amat besar dan megah

muncul di hadapan mata.

Di luar pintu besar di depan perkampungan tersebut terlihatlah

sudah ada tujuh delapan orang berdiri disisi pintu menanti

kedatangan tamu terhormat, diantaranya tampaklah seorang kakek

tua yang rambut serta jenggotnya sudah pada memutih semuanya.

Tidak usah dibicarakan lagi, sudah pasti kakek tua itu bukan lain

adalah si kakek pedang baja Nyio Sam Pak, begitu dia melihat

rombongan yang datang sambil tertawa tergelak dia maju

menyambut.

„Ha..ha..sungguh gembira hati ini, entah angin apa yang

membawa Wi Pocu sudi berkunjung ke perkampungan kami ini…“

Dengan cepat Wi Ci To meloncat turun dari atas kuda, dia pun

tertawa terbahak-bahak.

“Wajah Nyio-heng penuh dengan cahaya merah kelihatan sekali

amat segar bugar, sungguh patut digirangkan! sungguh patut

diselamatkan!” Serunya sambil merangkap tangannya menjura.

Si kakek pedang baja Nyio Sam Pak segera angkat kepalanya dan

memperlihatkan sebaris giginya yang sudah tinggal tak seberapa

banyak itu.

“Coba kau lihat” ujarnya. “Gigiku sudah pada rontok semua,

bagaimana kau bisa

bilang masih kelihatan segar bugar?”

Wi Ci To tersenyum,

“Usia dari Nyio-heng sudah ada sembilan puluh enam, cuma

rontok beberapa buah gigi bukanlah satu urusan yang berat, ada

orang bilang begitu usia manusia mula menginjak tua bukan saja

giginya pada rontok bahkan telinganya akan tuli matanya akan buta,

kalau tidak dialah seorang bajingan.”

“Haaaa …. haaaa …. haaaaa : . . kenapa tidak. , . . kenapa tidak”

Seru si kakek pedang baja Nyio Sam Pak tidak tertahan sambil

tertawa terbahak-bahak. “Untung sekali lolap bukanlah bajingan!

haaaa …. haaaa . . . “

Setelabt tertawa keras beberapa saat lamanya mendadak dia

menuding kearah Ti

Then, dan tanyanya :

“Siapakah bocah ini ?”

“Kiauw-tauw dari Benteng kami, dia bernama Ti-Then.”

Dengan cepat Ti Then maju kedepan untuk memberi hormat.

“Boanpwe Ti Then menghunjuk hormat buat Nyio Locianpwe,”

Air muka Si-kakek pedang baja Nyio Sam Pak segera

memperlihatkan rasa terkejut kemudian dengan telitinya dia

memperhatikan tubuh Ti Then dari atas sampai ke bawah, setelah

itu dengan tak henti-hentinya dia memperdengarkan suara

keheranannya.

“Usianya masih begitu muda tetapi sudah berhasil manjadi

Kiauwtauw dari

Benteng Pek Kiam Po, sungguh mengagumkan sekali . …

sungguh mengagumkan sekali !” serunya berulang kali.

“Aku orang she Wi serta Ti Then dikarenakan ada sedikit urusan

melewati tempat ini, mendadak aku teringat kspada Nyio-heng yang

sudah ada bebeapa tahun tidak bertemu karenanya sengaja aku

naik keatas gunung untuk menyambangi diri Nyio-heng, harap

kedatangan dari lohu ini tidak sampai mengganggu ketenangan dari

Nyio-heng.”

“Mana …. mana ” sahut Si kakek pedang baja Nyio Sam Pak

dengan serius.

“Silahkan masuk kedalam untuk minum teh… silahkan !”

Serombongan orang-orang itu segera berjalan masuk kedalam

ruangan tengah, setelah duduk ditempat masing-masing dan

pelayan menghidangkan air teh Nyio Sam Pak baru buka mulut

berbicara,

„Wi Pocu tadi bilang ada urusan melewati tempat ini entah

urusan apa itu?”

“Sebetulnya bukan satu urusan yang besar, Cuma dikarenakan

anak murid dari orang she Wi yang bernama Cu Han Seng banyak

meninggalkan Benteng beberapa tahun yang lalu sampai kini

jejaknya tidak jelas dan baru-baru ini aku orang she Wi dengar di

dekat kota Kiu Sian ada orang pernah menemui dirinya maka aku

orang segera menyusul kesana untuk mencarinya, aku orang she Wi

takut dia sudah menemui satu peristiwa yang diluar dugaannya,”

“LaIu apa sudah ketemu ?” tanya Nyio Sam Pak memperhatikan

dirinya.

“Belum !”

”Wi Pocu rasa sudah terjadi urusan apa dengan dirinya ?”

Wi Ci To menghela napas panjang,

”Urusan sebetulnya adalah begini, dia adalah salah seorang

pendekar pedang putih dari Benteng kami, aku orang she Wi pernah

menentukan satu peraturan barang siapa diantara pendekar pedang

merah dia baru berhak untuk berkelana diluaran, sedangkan Ciu

Han Seng ini tidak lama setelah naik menjadi pendekar pedang

putih sudah meninggalkan Benteng, Hal ini berarti pula sudah

melanggar peraturan yang sudah aku orang she Wi tentukan . .”

”Karenanya Wi Pocu bermaksud menangkap dirinya pulang ke

Benteng untuk menjatuhi hukuman ?” Sambung Nyio Sam Pak

kemudian,

”Benar” sahut Wi Ci To mengangguk.

”Tetapi sebab yang utama adalah tak takut dia sudah menemui

kejadian yang diluar

Dugaan, karena dia mempunyai satu dendam kesumat, orang

tuanya sudah dibunuh oleh majikan ular Yu Toa Hay dan dia terus

menerus ingin pergi mencari Yu Toa

Hay untuk membalas dendam, tetapi dengan kepandaian yang

dimiliki sekarang ini sebetulnya dia masih bukan tandingan dari Yu

Toa Hay itu.“

Dengan perlahan Nyio Sam Pak mengangguk,

“Kiranya masih ada bermacam-macam alasan yang demikian

ruwetnya, muridmut Ciu Han Seng tentunya kepingin cepat-cepat

membalas dendam orang tuanya sehingga tanpa pamit lagi dia

sudah meninggalkan Benteng, soal ini memang patut dikasihani”

“Benar. . .”

Dengan perlahan sinar mata dari Nyio Sam Pak dialihkan keatas

wajah Ti Then ia tertawa.

“Ti Kiauw-tauw, bisa diterima sebagai Kiauwvtauw dari Benteng

Pek Kiam Po tentunya kepandaian silat yang dimilikinya amat tinggi

sekali, entah dapatkah Lolap ikut mengetahui siapakah nama dari

gurumu”

”Tidak berani!” Sahut Ti Then sambil bungkukan badannya

memberi hormat. “Suhuku adalah Bu Beng Lo-jin, dia orang tua

sudah lama sekali mengundurkan diri dari-keramaian dunia.”-

”Bu Beng Lojin?” tanya Njio Sam Pak dengan air muka keheranheranan.

“Lolap sudah berkelana didalam Bu-lim selama lima, enam

puluh tahunan lamanya tetapi belum pernah mendengar kalau

didalam Bu-lim ada seorang jagoan berkepandaian tinggi yang

demikian hebatnya. …”

”Perkataan yang diucapkan Ti Kiauw-tauw adalah perkataan yang

sungguh-sungguh!” Sambung Wi Ci To dengan cepat.-“Dia cuma

mendapatkan pelajaran ilmu silat saja dari Bu Beng Lojin itu

sedangkan mengenai hubungan antara guru dan murid agaknya

tidak terlalu penting..”

“Kenapa ?” tanya Nyio Sam Pak melengak.

“Kemungkinan sekali dimasa yang lalu Bu Beng Lojin pernah

menemui satu peristiwa yang menyedihkan hatinya sehingga dia

sudah mengasingkan diri tidak munculkan diri kembali kedalam Bulim,

waktu dia menerima Ti Kiauw-tauw-sebagai muridnya dia

pernah mengatakan sebab-sebabnya menerima murid, dia bilang

tidak tega melihat ilmu silatnya ikut terkubur kedalam liang kuburan

karena itu setelah Ti Kiauw-tauw berhasil didalam ilmu silatnya dia

lantas pergi meninggalkan dirinya. -sampai sekarang Ti Kiauw-tauw

sendiripun tidak tahu-dia telah berdiam dimana.”

Mendengar perkataan tersebut Nyio Sam Pak menghela napas

panjang. “Kelihatannya didalam dunia ini masih terdapat banyak

jagoan berkepandaian tinggi yang tidak diketahui oleh orang Bu-lim,

walaupun lolap belum pernah melihat kepandaian dari Ti Kiauwtauw

tapi cukup ditinjau dari penghargaan yang diberikan Wi Pocu

kepadanya sehingga sukar dicarikan tandingannya pada saat in

Ini”

“Nyio locianpwe terlalu memuji,” ujar Ti Then merendah, ”Sedikit

kepandaian dari boanpwe tidaklah seberapa, sebenarnya masih

belum bisa dikatakan hebat”

”Kalau Ti Kiauw tauw bicara demikiao Wi Pocu kalian setelah

mendengar perkataan ini hatinya tentu akan sedih” ujar Nyio Sem

Pak sambil tertawa terbahak-bahak.

”Apa maksud dari perkataan Nyio Locianpwe ini?” tanya Ti Then

melengak.

”Pendekar pedang merah dari Benteng Pek Kiam Po semuanya

adalah jagoan pedang yang sudah mempunyai nama besar di dalam

Bu-lim, bilamana sekarang Ti Kiauw tauw bilang kepandaianmu

tidak dapat melebihi orang lain maka bukankah para pendekar

pedang merah itu termasuk golongan rendahan”

Wi Ci To yang ada disamping tertawa terbahak-bahak.

„Padahal keadaan yang sesungguhny memang demikian”

sambungnya dengan cepat,

„Anak buah dari aku orang she Wi jikalau dibandingkan dengan

Ti Kiauw tauw memang boleh dikata golongan rendah saja”

Sekali lagi Nyio Sam Pak tertawa tergelak.

„Sebaliknya anak murid golongan rendahan dari Wi Pocu itu

semuanya dapat menjabat sebagai Kiauwtauw dari perkampungan

Thiat Kiam san Cung kami”

”Nyio heng kita adalah kawan lama, buat apa kalau bicara begitu

merendahnya?” ujar Wi Ci To sambil tertawa.

Mendadak air muka Nyio Sam Pak berubah jadi amat sedih sekali,

lalu dengan perlahan-lahan dia menghela napas panjang.

„Suagguh kami orang dari perkampungan Thiat Kiam San cung

sudah tidak dapat mengembalikan kejayaan seperti dahulu lagi“

ujarnya dengan sedih. ”Semakin lama kita semakin merosot; coba

bayangkan pada masa yang lalu ada siapa yang berani datang ke

perkampungan Thiat Kiam san cung kami untuk mencari gara-gara?

sedan kini….”

Berbicara sampai disini dengan sedihnya dia menundukkan

kepalanya lalu menghela napas panjang,

”Kenapa ?” tanya Wi Ci To kaget,

Nyio Sam Pak segera tertawa pahit.

”Hei . . . lebih baik tidak usah kita ungkap lagi” serunya.

Wi Ci To yang melihat dia tidak mau menjelaskan lebih lanjut,

dengan cepat dia mengalihkan bahan pembicaraannya.

”Putra pertama serta putra kedua dari Nyio heng apa tidak ada

didalam perkampungan?”

”Mereka ada urusan sudah meninggalkan perkampungan”

”Agaknya mereka berdua sudah memperoleh seluruh kepandaian

dari Nyio-heng, bahkan ..”

Dia angkat kepalanya memandang kearah Huan Ceng Hong serta

Cia Pu Leng yang

ada dibelakang badan Nyio Sam Pak itu lalu sambungnya lagi.

”Beberapa orang anak murid dari Nyio-heng ini pun sudah

mencapai kesempurnan, menurut perkataan seharusnya hal ini tidak

membuat Nyio-heng merasa kecewa.”

”Mereka suheng-te memangnya tidak membuat lolap merasa

kecewa,” sahut Nyio Sam Pak perlahan. ”Persoalannya sekarang

kepandaian yang lolap berikan kepada mereka sudah tidak cukup

bagi mereka untuk menghadapai segalanya.”

“Anak murid dari aku orang she Wi sekalipun pendekar pedang

merah yang paling tinggi pun sewaktu berkelana didalam dunia

kangouw belum tentu bisa menangkan seluruh pertempuran yang

dihadapinya, merekapun sama saja pernah memperoleh kekalahan,

tetapi lohu pernah beritahu kepada mereka, sebagai seoraog jagoan

pedang yang penting adalah semangat berlatih silat yang tidak ada

kunjung padamnya, belum tentu setiap menghadapi pertempuran

harus memperoleh kemenangan”

“Perkataan dari Wi Pocu sedikitpun tidak salah” ujar Nyio Sam

Pak tertawa, “Mereka suheng-te pun bisa memegang erat-erat

perkataaan tersebut”

“Kalau memangnya bisa demikian maka yang lainnya tidak perlu

dipikirkan lagi”

”Tetapi bilamana setiap kali menghadapi pertempuran sengit dan

seringkali menderita kekalahan begini pun bukanlah suatu cara yang

baik”

”Perkataan dari Nyio-heng ini apakah mempunyai bukti?”

Nyio Sam Pak termenung berpikir sebentar, akhirnya dia tertawa

pahit.

”Lebih baik tidak usah dikatakan saja, bilamana diceritakan malah

mendatangkan rsa malu saja”

”Bilamana Nyio-heng ada urusan yang sukar dibereskan lebih

baik kau ucapkanlah terus terang, aku orang she Wi dengan senang

hati akan turun tangan memberi bantuan”

Nyio Sam Pak Cuma gelengkan kepalanya tidak berbicara.

”Nyio-heng,” ujar Wi Ci To kemudian berganti bahan

pembicaraan. ”Pada masa

Mendekat ini apakah kau pernah bertemu dengan si pembesar

kota uo It Sian?“

Ketika Nyio Sam Pak mendengar disebutnya si pembesar kota

Cuo It Sian mendadak semangatnya berkobar kembali.

”Tidak” jawabnya sambil gelengkan kepalanya, ”Sudah lama

sekali aku tidak bertemu dengan dirinya, apakah Wi Pocu pernah

melihat dirinya?”

”Tidak lama yang lalu aku pernah bertemu satu kali dengan

dirinya, aku orang she Wi dengar katanya Nyio-heng dengan dirinya

adalah kawan lama?”

”Benar,” sahut Nyio Sam Pak mengangguk, ”jadi orang tidak jelek

juga, bukan saja Bun mau pun Bu lihay bahkan berhati pendekar

dan suka menolong orang yang lemah, dia memang seorang

manusia yang patut diajak berkawan.”

”Benar…benar..” sahut Wi Ci To tersenyum.

”Kepergian putra pertama serta putera kedua dari lolap kali ini

pun ada kemungkinan sekalian mereka pergi juga menyambangi

dirinya.”

Mendengar perkataan itu dalam hati Ti Then merasa sangat

terperanjat sekali.

”Aaah..kedua orang putera dari locianpwe pergi menyambangi

dirinya?” serunya tak terasa,

Dia teringat kembali akan peristiwa terbunuhnya si elang sakti

Cau Ci Beng oleh Cuo It Sian, urusan ini Nyio Sam Pak sampai

sekarang pun masih belum tahu.

Bilamana sekarang kedua orang putra dari Nyio Sam Pak menuju

ke rumahnya Cuo It Sian bukankah hal ini akan memancing rasa

curiga dari Cuo It Sian ? ada kemungkinannya sekali malah

menimbulkan napsu membunuh dari dirinya sehingga hal ini

membuat hatinya jadi amat cemas sekali.

Nyio Sam Pak yang melihat secara tiba-tiba dia orang

menimbrung bahkan air mukanya membawa rasa tegang tidak

terasa lagi jadi sedikit melengak.

”Ada yang tidak beres?” tanyanya cepat.

”Tidak mengapa ….tidak mengapa,”

Dengan perlahan Nyio Sam Pak menoleh ke arah diri Wi Ci To

lalu dengan wajah yang ragu-ragu tanyanya;

”Apakah diantara Wi Pocu dengan Cuo It Sian ada ganjalan hati?”

Wi Ci To sendiripun tahu Ti Then sedang merasa kuatir atas

keselamatan dari kedua orang putra Nyio Sam Pak itu, tetapi pada

saat ini dia merasa tidak leluasa untuk menceritakannya kareoa itu

dia segera gelengkaa kepalanya.

”Tidak ada, walaupun aku orang she-Wi sudah berkenalan amat

lama sekali dengan dirinya tetapi belum pernah terjadi sedikit

bentrokan pun”

Baru saja dia selesai berkata mendadak tampaklah seorang

pemuda berlari masuk ke dalam ruangan lalu dengan sikap yang

gugup dia berkata kepada Nyio Sam Pak-

”Cung cu, mereka datang merampok kayu lagi”

Air muka Nyio Sam pak segera berubah sangat hebat, mendadak

dia membanting hancur cawan yang ada di tangannya dan meloncat

bangun.

”Hmmm..sungguh keterlaluan sekali!”

”Sudah terjadi urusan apa?” tanya Wi Ci To melengak.

Dengan amat gusarnya Nyio sam Pak berjalan mondar mandir di

tengah ruangan, kemudian dia baru tertawa dingin.

”Hmmmm..itu iblis bongkok Ling Hu-Ih berani mencari gara-gara

dengan lolap”

Mendengar disebutnya si iblis bongkok Ling Hu Ih oleh Nyio Sam

Pak ini baik

Wi Ci To mau pun Ti Then bersama-sama jadi sangat terkejut

karena si iblis bongkok Ling Hu Ih ini adalah seorang manusia yang

paling lihay dari kalangan Hek-to, kepandaian mau pun nama

besarnya tidak ada di bawah dari si anjing langit rase bumi, bahkan

mempunyai julukan sebagai raja dari antara iblis.

Selama ini jejaknya tidak menentu karena itu sekalipun Wi Ci To

sudah amat lama mendengar nama besarnya tetapi belum pernah

bertemu muka, tetapi dia tahu si iblis bongkok Leng Hu Ih ini adalah

seorang manusia yang sukar untuk diganggu.

”Si iblis bongkok Leng Hu Ih sudah sampai di gunung Lak Ban

San?” Tanya Wi Ci To dengan terperanjat.

“Benar, sudah ada beberapa bulan lamanya” sahut Nyio Sam Pak

dengan air muka terharu.

”Apa tujuannya datang ke gunung Lak Ban san ini?”

”Mendirikan markas besar”

”Aaaah..ternyata ada urusan begini? Dia ingin menduduki gunung

ini sebagai raja?”

”Tidak salah, selama ini iblis tersebut selalu berkelana seorang

diri, tidak disangka secara tiba-tiba saja pada tiga bulan yang lalu

dia memimpin segerombolan manusia datang ke gunung Lak Ban

san dan berdiam kurang lebih tiga li dari perkampungan kami,

katanya mereka mau mendirikan markas besar disana”

”Bukankah hal ini berarti pula sedang menantang perang

terhadap Nyio-heng?” tanya Wi Ci To dengan air muka serius.

”Benar!” sahut Nyio Sam Pak tertawa dingin, ”Karena lolap sudah

mengumumkan kalau aku telah mengundurkan diri dari kalangan

dunia persilatan, maka lolap tidak ingin bergebrak lagi dengan orang

lain, karena itu sudah memerintahkan putraku yang pernah

mencegah, akhirnya setelah bergebrak, karena mereka berjumlah

amat banyak putraku sekalian tidak kuat menahan serangan mereka

dan setiap kali menderita kekalahan, pada waktu mendekat ini sikap

mereka semakin ganas lagi, ternyata pepohonan dan kayu-kayu

yang ada di sekitar tempat ini sudah diambili, bukankah hal ini

terang-terang sedang menantang aku?”

“Apakah dahulu Nyio heng pernah ada ganjalan hati dengan Ling

Hu Ih ?”

“Dengan dia orang sendiri tidak ada, tetapi dengan adik

misannya Si “Ping sin siucay” atau-siucay penyakitan Ciu Kia Leng

psrnah terjadi sedikit peristiwa pada tujuh delapan tahun yang lalu

dia sudah lolap hukum, kemungkinan sekali dengan berdasarkan

urusan inilah dia sengaja naik keatas gunung Lak Ban San untuk

mencari gara-gara”

“Tadi Nyio heng tidak mau menceritakan urusan tersebut apakah

yang dimaksud dengan peristiwa dari Leng Hu Ih ini?”

“Benar!” Sahut Nyio Sam Pak sambil menghela napas panjang.

“Omong terus terang saja dikarenakan lolap tidak mempunyai

pegangan yang kuat untuk memperoleh kemenangan maka selama

ini lohu terus menerus bersabar diri dan menghindarkan diri dan

setiap bentrokan langsung dengan mareka, tetapi ternyata mereka

mendesak terus menerus, bukankah hal ini semakin tidak

memandang sebelah mata pun kepada lolap?”

Dia berhenti sebentar untuk kemudian sambungnya lagi:

“Orang yang dibawa olehnya kali ini ada dua ratus orang lebih,

diantaranya ada beberapa orang yang merupakan jagoan

berkepandaian tinggi dari kalangan Hek-to, lolap yang merasa tidak

dapat menangkan mereka maka pada beberapa hari yang lalu sudah

memerintahkan kedua orang putraku untuk turun gunung mencari

bala bantuan. Cuo It Sian pun termasuk salah seorang yang lolap

mintai bantuannya.”

Wi Ci To yang mendengar Cuo It Sian pun termasuk orang yang

diundang untuk membantu pertempuran ini tidak kuasa lagi dia

sudah melirik sekejap kearah Ti Then kemudian tanyanya:

“Bala bantuan yang diundang Nyio heng entah kapan baru bisa

tiba disini?”

“Paling cepat mungkin dua puluh hari kemudian baru bisa tiba”

“Ada satu persoalan yang aku orang she-Wi mengharapkan Nyioheng

suka menjawabnya secara terus terang . . .”

“Urusan apa?” tanya Nyio Sam Pak sambil pandang tajam

wajahnya.

“Nyio-heng, maukah kau orang memandang aku orang she-Wi

sebagai teman?”

„Apa maksud perkataan dari Wi Pocu ini?”

“Bilamana Nyio-heng suka memandang aku orang she-Wi sebagai

teman maka sekarang juga kita pergi temui si iblis bongkok Leng Hu

Ih itu”

“Bisa memperoleh bantuan dari Wi Pocu sudah tentu sangat

bagus sekali, Cuma saja Wi Pocu baru saja tiba dari tempat

kejauhan, bagaimana boleh . . . “.

“Kau tidak usah sungkan-sungkan lagi !” ujar Wi Ci-To sambil

bangkit berdiri, nenanti setelah membereskan Leng Hu Ih, Nyioheng

baru baik-baik menjamu kita dengan beberapa cawan arak

saja”

“Kalau begitu Lolap segera akan memrntahkan anak muridku

untuk bikin persiapan” ujar Nyio Sam Pak dengan amat girang.

“Kemudian kita bersama-sama berangkat, pergi mencari diri Leng

Hu Ih untuk bertempur mati-matian”

”Tidak . ..tidak perlu” cegah Wi Ci To dengan cepat, “Lebih baik

Nyio-heng perintahkan anak muridmu untuk baik– m-enjaga

perkampungan saja, cukup kita- tiga orang sudah dapat

membereskan mereka”

“Tetapi mereka berjumlah amat banyak” Seru Nyio Sam Pak

melengak-

Wi Ci To lantas tersenyum tawar, “Untuk menawan penjahat

harus menangkap rajanya terlebih dulu, asalkan kita berhasil

membunuh Leng Hu Ih maka sisanya tidak perlu ditakuti lagi.”

“Tetapi mereka masih mempunyai beberapa orang pembantu

yang amat lihay sekali

seperti “Ci Hun Suseng” atau si-sastrawan banci Ong Cuo Ting”

Pan Bian si Sah” atau si muka aneh Ling Ang Lian” Boe-Cing atau Si

kakek tak berbudi Ko Cing Im serta It Kiam Pun Ci” atau bertemu

tidak mujur Cang Hiong, bilamana Leng Hu Ih tidak mau bertempur

satu lawan satu melainkan memerintahkan mereka-untuk turun

tangan mengerubuti..”

”Soai ini pun tidak usah dikuatirkan !” potong Wi Ci To dengan

cepat.

Nyio Sam Pak melihat dia orang mempunyai kepercayaan yang

begitu teguh tidak-banyak berbicara lagi kepada putranya yang

ketiga Nyio Si Ih lantas perintahnya: “Si Ih, kau pergi ambil pedang

baja dari Lolap!”

Nyio Si Ih dengan hormatnya menyahut kemudian dengan

tergesa-gesa lari masuk ke dalam ruangan.

Tidak lama kemudian pedang bajanya sudah tiba.

Nyio Sam Pak segera menerima pedang itu dan dicabutnya

keluar, seperti baru saja bertemu dengan kawan lama ujarnya

kemudian sambil menghela napas panjang.

”Pedang baja ini sudah lolap simpan lama sekali, tidak kusangka

ini hari harus digunakan kembali !”

Pedang baja ini besar kecilnya persis dengan pedang pusaka

biasa, cuma saja dari badannya mengeluarkan sinar yang amat

tawar sekali, kelihatannya sangat aneh. Wi Ci To tersenyum,

“Pedang baja dari Nyio-heng ini pada masa yang lalu pernah

mengetarkan seluruh? dunia kangouw dan ditakuti oleh kaum

penjahat, kali ini bisa muncul kembali dari sarungnya membuat

Nyio-heng kelihatan makin gagah lagi” pujinya.

Nyio Sam Pak cuma tertawa tawar lalu memasukkan kembali

pedang bajanya ke dalam sarung, kepada putranya yang ketiga Nyio

Si Ih dia segera berpesan,

“Si Ih, kau baik-baiklah menjaga perkampungan, lolap bersamasama

dengan Wi Pocu akan menemui Leng Hu Ih tersebut.”

Berbicara sampai disini dia segera menoleh kearah Wi Ci To serta

Ti Then.

”Mari kita berangkat !” ujarnya sambil tertawa.

Dengan demikian mereka bertiga segera berjalan meninggalkan

perkampungan Thiat kiam San Cung.

Nyio Sam Pak memimpin berjalan di depan, dengan melalui

sebuah jalan usus kambing yang kecil disamping kiri perkampungan

dia berjalan sejauh setengah li, mendadak terdengarlah suara

ditebangnya kayu berkumandang datang dari hutan sebelah depan.

Nyuo Sam Pak segera mempercepat langkahnya.

“Heee . . . heeee , . . kemarin dulu pemimpin yang meronda

disini adalah Hoa Hu Tiap atau sikupu-kupu bunga Hong It peng,

kemungkinan sekali ini hari pun dia juga yang pimpin” Serunya

sambil tertawa dingin.

“Bagaimana dengan kepandaian silatnya?” tanya Wi Ci To.

“Tidak lemah, muridku Cia Pu Leng pernah bergebrak melawan

dirinya tetapi bsrakhir dengan seimbang.”

”Hoa Hu Tiap, atau sikupu-kupu bunga Hong It Peng ini boanpwe

pernah mendengar orang berkata” tiba-tiba tukas Ti Then.” Menurut

apa yang boanpwe dengar dia adalah adik angkat dari Giok Bian

Langcoen, Coe Hoay Lo !”

“Tidas salah, mereka berdua adalah bajingan-bajingan cabul

yang kejahatannya sudah bertumpuk-tumpuk”

“Giok Bin Langcoen Coe Hoay Lo sudah boanpwe basmi” ujar Ti

Then sambil tertawa, “Ini hari biarlah si kupu-kupu bunga Hong It

Peng ini pun boanpwe basmi sekalian,”

Berbicara sampai disini mendadak di hutan sebelah depan

terdengar suara benturan yang amat keras sekali sehingga

memekikkan telinga, agaknya ada sebatang pohon besar yang

berhasil dirobohkan.

“Kurang ajar !” maki Nyio Sam Pak dengan gusar.

Tubuhnya segera berkelebat menubruk kearah hutan itu.

Wi Ci To serta Ti Then pun dengan cepat mengikuti dari

belakangnya di dalam sekejap saja mereka bertiga sudah tiba

dilapangan tersebut.

Pada saat ini di tengah lapangan ini ada dua puluh orang lelaki

herpakaian ringkas sedang menggergaji kayu sedaag yang lain

sedang memotong-motong kayu itu jadi beberapa bagian dan siap

digotong pergi.

Diantara mereka ada seorang yang mamakai baju berwarnawarni

dengan wajah kurus kering sedang berdiri bergandeng tangan

disana jika dilihat dari sikapnya jelas dialah pemimpin yang

memimpin pekerjaan di tempat ini.

Ketika pandangan matanya dapat melihal si kakek pedang baja

Nyio Sam P»k, Wi Ci To serta Ti Ihen menubruk datang air mukanya

sedikit berubah, tetapi dia orang sama sekali tidak memperhatikan

rasa jerinya.

Bukan begitu saja bahkan dia melengos dan pura-pura tidak

melihat kedatangan mereka itu.

Dengan wajah yang amat gusar sekali Nyio Sam Pak segera

berjalan menghampiri dirinya.

”Kau kah si kupu-kupu bunga, Hong It Peng ?” tanyanya dengan

suara yang berat.

”Cayhe memang adanya” sahut lelaki berusia pertengahan itu.

”Siapakah nama besar dari lo sianseng ? Ada keperluan apa

datang kemari ?” ”Lolap Nyio Sam Pak”

Si kupu kupu bunga Hong It Peng sengaja memperlihatkan rasa

terkejutnya, dengan gugup dia bungkukkan badannya menjura.

”Aaih . .. kiranya kiranya kau orang tua adalah Nyio Lo Cung-cu

selamat bertemu , selamat bertemu.”

”Siapa yang suruh kalian tebangi kayu-kayu disini?” seru Nyio

Sam Pak tertawa dingin.

Si kupu-kupu bunga Hong It Peng tertawa.

”Toako kami si iblis bongkok Leng Hu Ih yang suruh.”

Dia mengucapkan kata-kata Iblis bongkok Leng Hu Ih dengan

dengan amat tegas sekali agaknya dia mengira nama Leng Hu Ih

bisa mengejutkan orang yang mendengar.

”Sekarang aku perintah kalian untuk menghentikan penebangan

kayu dan cepat menggelnding pergi dari sini!” perintah Nyio Sam

Pak lagi dengan dingin.

Mehdengar perkataan itu si kupu-kupu bunga Hong It Peng

segera tertawa terbahak-bahak.

”Nyio lo Cung-cu kau sungguh pandai bergurau” ujarnya

mengejek. ”Hutan belantara ini bukannya harta milik kau Nyio Lo

Cungcu, siapa yang senang menebang siapa pun tidak ada yang

bisa mencegah.”

“Tetapi Lolap bisa mencegahnya,” ujar Nyio Sam Pak dingin.

Sinar mata dari si kupu kupu bunga segera melirik sekejap

kearab Wi Ci To serta

Ti Then yang berdiri disampingnya, agaknya dia sama sekali tidak

kenal dengan Pocu dari benteng Pek Kiam Po serta Ti Kiauwtauw

yang namanya sudah menggetarkan seluruh dunia kangouw ini, air

mukanya sama sekali tidak memperlibatkan sedkit rasa jeripun.

”Oouw kiranya ini hari Nyio Lo Cung-cu sudah memnbawa

pembantu” ejeknya dengan dingin, ”Makanya omonganmu begitu

besar hee…he..”

Sepasang mata dari Nyio Sam Pak segera melotot lebar-lebar

lantas tertawa seram-

”Tidak-salab,, ini hari lolap memang sengaja mengundang datang

dua orang pembantu tetapi untuk membasmi kau bajingan cabul

lolap percaya masih ada kekuatan”

Berbicara sampai kata-kata yang terakhir telapak tangan

kanannya segera didorong ke depan melancarkan satu pukulan

menghajar dada darI si kupu-kupu bunga itu.

Di tangan kirinya dia masih mencekal pedang bajanya, saat ini

dia tidak ingin menggunakan pedangnya melancarkan serangan, hal

ini sudab tentu dikarenakan dia lagi menjaga kedudukannya sendiri

dan tidak ingin bertempur secara resmi melawan si kupu kupu

bunga ini.

Dengan cepat si kupu-kupu bunga merasa datangnya serangan

tersebut amat hebat baru saja pundak dari Nyio Sam Pak sedikit

bergerak dia sudah meloncat mundur ke belakang.

“Hee . . hee . . tunggu sebentar!” serunya sambil tertawa aneh.

“Ada kentut cepat lepaskan!” teriak Nyio Sam Pak tertawa dingin.

Si kupu-kupu bunga segera memperlihatkan senyuman

menyengirnya yang sangat mengejek.

”Nyio Lo cung cu.” ujarnya sambil menuding ke arah Wi Ci To

serta Ti Then yang berdiri disampingnya itu. ”Kedua orang

pembantu yang kau bawa ini hari sudah seharusnya kau kenalkan

dulu biar aku pun mengetahui nama mereka.”

”Yang tua adalah si pedang naga emas Wi Ci To, Pocu dari

Benteng Pek Kiam Po, si pendekar pedang yang muda adalah Kiauw

tauw dari Benteag Pek Kiam Po si pendekar baju hitam Ti Then”

Seketika itu juga air muka si kupu-kupu bunga berubah sangat

hebat.

Dia orang yang mempunyai si iblis bongkok Leng Hu Ih sebagai

tulang punggung sebenarnya sama sekali tidak memandang sebelah

mata terhadap para pembantu yang diundang oleh Nyio Sam Pak

ini, tetapi ketika didengarnya kedua orang itu bukan lain adalah Wi

Ci To itu Pocu dari Benteng Pek Kiam Po serta si pendekar pedang

hitam Ti Then, seketika itu juga dia dibuat ketakutan. Sekalipun si

iblis bongkok Leng Hu Ih sendiri pun tidak berani mencari gara-gara

dengan Wi Ci To apalagi si kupu-kupu bunga sendiri ? Maka itu

didalam keadaan yang amat cemas itulah sikapnya pun sudah

berobah jauh lebih hormat lagi. Dengun gugup dia bungkukkan

badannya menjura terhadap diri Wi Ci To.

”Oooow . . kiranya Wi Toa Pocu sudah datang maaf cayhe

punya-mata tak berbiji . .maaf . . maaf . . ” serunya sambil

menyengir-nyengir, Wi Ci To segera melengos dia tidak ambil gubris

terhadap omongannya. Air muka si kupu-kupu bunga seketika itu

juga berubah memerah dan merasa sangat malu sekali, dengan

sekuat tenaga dia berusaha untuk tetap mempertahankan

senyuman di bibirnya-

”Hee . . . heea . cayhe . . cayhe membawa beberapa orang

saudara ini datang menebang kayu . .se.. sebetulnya mendapat

perintah dari toako Kami si iblis bungkuk Leng Hu Ih , , , kini kini ,

heee . hee , kini bilamana Wi Toa Pocu perintahkan kami untuk

berhenti . . cayhe . . , cayhe segera kembali ke markas uotuk

melaporkan urusan ini kepada toako kami“

Berbicara sampai disini dia segera menoleh dan teriaknya dengaa

keras kepada anak buahnya-

”Heeey saudara sekalian, berhenti menebang, ikut aku pulang..“

Mendengar perintah tersebut orang-orang itu lantas pada

berhenti bekerja dan membereskan alat-alatnya siap meninggalkan

tempat itu.

”Hong It Peng,” tiba-tiba terdengar Ti Then berseru sambil maju

kedspan, ”Biar mereka pulang sendiri,”

Air muka si kupu-kupu bunga segera berubah jadi pucar pasi, dia

segera memperlihatkan senyuman paksa.

”Ti Kiauwtauw ada petunjuk apa?” tanyanya.

Ti Then berjalan sampai beberapa langkah dan badannya baru

berhenti, kepada Nyio Sam Pak segera ujarnya.

„Nyio Locianpwe, kau orang tua boleh beristirahat dulu, orang ini

serahkan saja kepada boanpwe untuk dibereskan.”

Agaknya Nyio Sam Pak pun ingin sekali mengetahui kelihaian dari

Ti Then, dia segera tertawa dan mengundurkan diri dari sana, waktu

itu Ti Then baru menoleh kearah si kupu-kupu bunga.

”Aku dengar kau adalah adik angkat dari Giok Bian Langcoen Coe

Hoay Lo ?“

”Benar” sahut si kupu kupu bunga Hong It-peng sambil terpaksa

mengangguk.

”Kalau begitu seharusnya kau membalas dendam atas kematian

dari Giok Bian Langcoen, dia sudah aku bunuh mati”

„Cayhe mempunyai perintah yang belum terlaksana, saat ini

bukan waktunya untuk membicarakan soal balas dendam, nanti

setelah aku laporkan urusan ini kepada toako aku baru datang lagi

untuk minta beberapa pelajaran dari Ti kiauw tauw” usai berkata dia

putar badan siap meninggalkan tempat tersebut kembali.

”Berhenti!” bentak Ti Then sambil tertawa, si kupu kupu bunga

segera merasakan hatinya bergidik, terpaksa dengan keraskan

kepala dia putar badannya kembali.

“Ti Kiauw tauw kau punya perintah apa lagi?” tanyanya sambil

tertawa kering.

”Agaknya kau takut mati.?”

Air muka si kupu kupu bunga segera berubah memerah.

”Cayhe tidak paham apa maksud dari perkataan Ti Kiauwtauw

ini.”

”Selama hidupku aku paling benci terhadap manusia Jay Hoa Cat

yang tukang merusak perawan perempuan, maka itu setiap kali aku

bertemu dengan penjahat pemetik bunga aku tidak bakal akan

melepaskan dirinya.”

”Tapi cayhe bukanlah seorang penjahat pemetik bunga.”

”Sedikit-dikitnya satu golongaa dengan dia, kau adalah adik

angkat dari Giok Bian LangCoen maka sudah tentu sama sepeiti dia

kau pun Seoracg penjahat pemetik bunga.”

”Kalau bicara lebih baik kalau ada buktinya, Ti Kiauwtauw jangan

sembarangan menuduh.”

Ti Then segera tertawa dingin.

“Ditinjau dari julukanmu sebagai kupu kupu bunga, kupu-kupu

selamanya tidak bakal meninggalkan bunga.

Agaknya si kupu kupu banga merasa keadaan tidak baik, dengan

cepat dia menarik kembali rasa takutnya diikuti memperdengarkan

suara tertawanya yang sangat tidak enak.

”Kelihatannya ini hari Ti Kauwtauw tidak bermaksud melepaskan

cayhe?”

”Benar, kau boleh mulai melancarkan serangan” sahut Ti Then

mengangguk.

”Bagus sekali, cayhe akan menemani kau bermain sebentar”

Tubuhya segera bergerak mundur beberapa depa ke belakang

tangan kanannya merogoh ke dalam sakunya mencabut keluar

sebilah pedang emas yang memancarkan sinar yang amat-tajam,

Ti Then tetap tidak mencabut keluar pedangnya, dia tertawa

nyaring.

”Bagus sekali, sekarang silahkan mulai turun tangan”

Si Kupu kupu bunga segera menggetarkan pedang lemas di

tangannya sehingga memperdengarkan suara dengungan yang

amat keras, dia tertawa dingin.

”Kenapa kau tidak cabut keluar pedangmu?”

”Di dalam sepuluh jurus bilamana aku tidak dapat mencabut

nyawamu dengan menggunakan sepasang kepalanku ini maka ini

bari ku akan lepaskan satu kehidupan buat dirimu”

Walaupun si kupu-kupu bunga sudah lama mendengar nama

besar dari Ti Then dan mengetahui kalau dia memiliki kepandaian

silat yang amat tinggi, tetap; karena ia belum pernah melihatnya

dengan mata kepala sendiri maka dalam hatinya masih tak mau

percaya.

Kini mendengar perkataan dari Ti Then itu tak terasa dia jadi

gusar juga.

”Kita putuskan demikian, terimalah seranganku!” bentaknya

sambil tertawa seram.

Baru saja perkataannya selesai pedangnya sudah membabat

datang dengan cepat menusuk hati dari Ti Then.

Ti Then tetap berdiri tidak bergerak, menanti setelah ujung

pedangnya hampir mendekati badannya tubuhnya baru sedikit

miring kesamping, telapak tangannya diubah jadi cengkeraman

mengancam pergelangan tangan kanan pihak lawan.

Siapa tahu tusukan pedang dari si kupu kupu bunga itu tidak

lebih cuma serangan kosong belaka, melihat Ti Then miringkan

badannya menghindar dengan cepat dia gerakkan badannya maju

kedepan pedang lemasnya dari gaya minimal jadi membabat,

laksana berkelebatnya naga perak dia mengancam pergelangan

tangan kanan dari Ti Then.

Perubahan jurus yang sangat cepat ini benar-benar boleh dipuji

sebagai serangan jagoan kelas satu di Bulim,

Ti Then segera membentak keras, tubuhnya sedikit berjongkok

ke bawah telapak tangan kirinya bagaikan kilat cepatnya menghajar

pusar dari pihak lawan.

Ketika si kupu-kupu bunga menemukan serangannya yang kedua

kembali mencapai sasaran yang kosong untuk mengubah jurus

kembali sudah tidak sempat saking terdesaknya terpaksa dia

mengundurkan dirinya kebelakang.

Tetapi bersamaan dengan mundurnya sang badan kebelakaog

itulah dia membentak keras lagi, pedang lemasnya membacok

pundak-kiri dari Ti Then.

Datangnya serangan pedang kali ini amat dahsyat dan ganas

sekali, bilamana pundak dari Ti Then ini terkena bacokannya maka

kontan segera akan terpapas putus jadi dua.

Tetapi menang kalahpun pada saat itu sudah dapat ditentukan.

Ketika pedang si kupu-kupu bunga dibabat kebawah itulah

mendadak dia merasakan pandangannya jadi kabur, dia sudah

kehilangan bayangan dari Ti Then.

Diikuti jalan darah Leng Thay hiat pada punggungnya terasa

seperti kena ditusuk, saking kesakitannya seketika itu juga dia tidak

sadarkan diri.

Tubuhnya sedikit bergoyang lantas rubuh tak dapat bergerak

lagi.

Kedua puluh orang penjahat lainnya sewaktu melihat pemimpin

mereka si kupu-kupn bunga hanya didalam tiga jurus saja sudah

menggeletak tak bangun, semuanya pada terkejut dan berdiri

termangu-mangu di sana. Untuk melarikan diri pun mereka sudah

lupa.

Nyio Sam Pak sendiripun dibuat terbelalak oleh kejadian ini.

Dia sejak semula sudah tahu kalau Ti Then tentu memiliki

kepandaian silat amat tinggi sekali hingga bisa diterima sebagai

Kiauwtauw didalam Benteng Pek Kiam Po tetapi dia tidak

menyangka kalau gerakan Ti Then dapat demikian lihaynya.

Lama sekali dia termangu-mangu kemudian dengan sangat

terperanjatnya berpikir.;

”Dalam tiga jurus saja dia sudah berhasil memukul rubuh si

kupu-kupu bungs. kepandaian yang demikian tingginya ini

kemungkinan Wi Ci To sendiripun tidak sanggup untuk

melakukannya.

Berpikir sampai disitu tidak tertahan lagi dia segera membuka

mulutnya bertanya:

”Ti Kiauw tauw, apa kau sudah membunuh dirinya ?”

”Benar” sahut Ti Then mengangguk,

Para penjahat lainnya sewaktu mendengar si kupu-kupu bunga

sudah binasa saat itu

seperti baru saja bangun dari impian, dengan cepat-cepat pada

melarikan diri dari sana dengan terbirit-birit,

”Semuanya berhenti!” tiba-tiba dengan suara yang seperti guntur

membelah bumi Ti Then membentak keras.

Mendengar suara bentakan yang memekikkan telinga itu suasana

di sekeli1ing kalangan jadi bergetar, para penjahat sudah mulai

melarikan diri terbirit-birit itu pun segera pada berhenti berlari dan

tidak berani bergerak barang sedikitpun.

”Maju dua orang dan angkat mayat ini, sisanya dengan berbaris

jadi satu mengikutinya dari belakang” perintah Ti Then lebih lanjut.

Para penjahat itu mana berani membangkang, segera tampaklah

dua orang penjahat maju ke depan menggotong mayat si kupukupu

bunga sedang yang lainnya berbaris jadi satu mengikutinya

dari belakang, tapi mereka tidak ada yang berani bergerak.

Karena mereka tidak tahu Ti Then hendak memerintahkan

mereka pergi ke perkampungan Thiat Kiam San-cung ataukah

kembali ke markas besarnya sendiri.

”Ayoh jalan! Kembali ke markas besar kalian!” perintah Ti Then

lebih lanjut.

Demikianlah dua orang yang menggotong mayat itu berjalan di

paling depan berbaris mengikuti dari belakangnya.

Thi Then, Nyio Sam Pak serta Wi Ci To tiga orang berjalan di

paling belakang, bagaikan sebuah ular panjang mereka beramairamai

bergerak menuju ke markas mereka.

Kurang lebih sesudah melakukan perjalanan sejauh dua li

setengah sampailah mereka di depan sebuah perkampungan.

Perkampungan itu belum selesai dibangun, saat ini masib ada

berpuluh-puluh orang penjahat sedang mendirikan pagar kayu serta

bahan tangga.

”Berhenti!” perintah Ti Then selanjutnya.

Kedua puluh orang penjahat itu agaknya sudah pernah mendapat

pendidikan yang amat keras sekali, mendengar perintah itu dengan

gerakan yang sama mereka menghentikan barisannya.

„Berlutut..!“

Para penjahat jadi melengak tapi mereka tidak berani

memmbangkang dengan cepat pada berlutut keatas tanah.

”Yang membopong mayat tidak usah berlutut”

Kedua orang penjahat yang menggotong mayat itu mengikuti

perintah dan tetap berdiri.

”Bagus sekali, sekarang semua orang merangkak masuk kedalam

perkampungan dan suruh Leng Hu Ih menggelinding keluar!”

Para penjahat itu tidak ada yang berani membangkang, dengan

mengikuti dari belakang mayatnya si kupu-kupu bunga mereka

merangkak masuk kedalam perkampungan.

Para penjahat lainnya yang ada didalam perkampungan itu

semula tidak mengetahui apa yang sudah terjadi, ketika melihat ada

segerombolan orang merangkak masuk kedalam perkampungan

mereka pada tertawa terbahak-bahak kegelian.

Tetapi setelah melihat jelas kalau mereka adalah orang sendiri

bahksn melihat pula mayat tersebut bukan lain adalah mayat dari si

kupu kupu bunga air muka mereka baru pada berubah hebat.

Dengan meninggalkan pekerjaannya sendiri-sendiri mereka pada

melarikan diri masuk kedalam markasnya dengan terbirit-birit.

Tidak lama kemudian si iblis bungkuk Leng Hu Ih dengan

memimpin serombongan orang berjalaa keluar dari sarangnya.

Usianya ada enam puluh tahun, kepalanya besar dengan mata

yang bulat, wajahnya„ penuh barcambang walaupuo badannya

bongkok tetapi perawakannya besar dia amat ganas sakali

kelihatannya, pada saat ini air mukanya diliputi oleh napsu untuk

membunuh.

Orang yang mengikutinya dari belakang semuanya ada dua belas

orang banyaknya,

diantara mereka tidak ada seorangpun yang berwajah genah,

mereka semua mempunyai bentuk wajah yang bengis dan ganas

sekali-

Setelah berjalan keluar dari sarangnya mereka berhenti karang

lebih empat kaki dari antara Wi Ci To bertiga.

Si iblis bungkuk Leng Hu Ih segera mengulap tangannya

mencegah kedua belas orang pembantunya untuk berhenti sedang

dirinya maju tiga langkah kedepan, kepada Wi Ci To lantas rangkap

tangannya memberi hormat.

“Lo-heng ini apakah bukan si pedang naga emas Wi Ci To, Pocu

dari Benteng Pek-Kiam Po ?” ujarnya,

“Lo-hu memang adanya” sahut Wi Ci To sambil balas hormatnya.

Si iblis bongkok Leng Hu Ih segera memperdengarkan suara

tertawanya yang amat menyeramkan.

”Nama besar dari saudara aku sudah mendengarnya seperti

mendengar guntur di siang hari bqlong, ini hari beruntung dapat

bertemu aku merasa sangat beruntung sekali ”

“Haaaa …. haaa …. tidak berani ..tidak berani!”

Si iblis bongkok Leng Hu Ih segera memperlihatkan sebaris

giginya yang putih runcing kemudian tertawa seram kembali.

“Selama puluhan tahun lamanya Wi Pocu memimpin Bu-lim dan

menjagoi seluruh kolong langit hal ini benar-benar patut dikagumi

oleh semua orang.”

“Terima kasih. . . . terima kasih.” Sahut Wi Ci To kembali.

oooooOooooo

“Tidak lama berselang aku dengar katanya Wi Pocu

menghancurkan istana Thian Teh Kong dan membasmi si anjing

langit rase bumi, entah benarkah urusan ini ?” tanya si iblis bongkok

Leng Hu Ih tertawa.

“Benar !”

“Ini hari Wi Pocu datang kemari entah ada keperluan apa ?”

“Sengaja datang menghantar kau ke-akherat !”

Air muka si iblis bongkok Leng Hu Ih segera berubah sangat

hebat.

“Perkataan dari Wi Pocu sungguh enak sekali !” serunya tertawa

serak.

Wi Ci To tersenyum.

“Selamanya lohu kalau berbicara tidak pernah berbelok-belok !”

“Bagus sekali, kalau begitu sekarang aku orang she-Leng Hu

ingin minta satu penyelasan kepadamu, kau mau menghantar aku

orang she Leng Hu menuju ke akherat berdasarkan alasan apa ?”

“Membasmi penjahat !”

“Kau mengartikan aku orang she Leng Hu yang memerintahkan

anak buahku pergi ke sekitar perkampungan Thiat Kiam San Cung

menebangi kayu ?” Seru Si iblis bongkok Leng Hu Ih tertawa dingin.

“Bukan !”

“Kalau begitu membasmi penyahat dua kata mempunyai maksud

apa ?”

“Kau mengumpulkan manusia-manusia celaka ini datang kemari

dan bendak mendirikan sarang hal ini terang-terangan sedang

mempersiapkan satu komplotan perampok, demi keselamatan dari

penduduk terpaksa lohu harus membasmi dulu bibit-bibit bencana

ini agar pendudukpun bisa terhindar dari bencana yang

menderitakan.”

Tiba-Tiba Leng Hu lh tertawa terbahak-bahak.

“Haaa . , – . haaaa . haaa .. Wi Ci To ! Kau terlalu tidak pandang

diri kami,” teriaknya mendongkol.

“Orang lain mungkin takuti dirimu tetapi aku Leng Hu Ih tidak

bakal akan pandang sebelah matapun kepadamu!”

‘*Selama hidup tujuan lohu membasmi penjahat bukanlah

bermaksud hendak jadi seorang pahlawan, kau tidak pandang lohu

hal ini tidak akan menyusahkan hati lohu.”

“Nyio Sam Pak” tiba-tiba Leng Hu Ih menoleh kearah diri Nyio

Sam Pak lantas ejeknya dengan suara yang menghina,.”Lohu kira

kau adalah seorang manusia luar biasa, tidak disangka kau orang

lebih cuma seorang kawanan tikus bernyali:kecil, menanti setelah

kedatangan pembantu kau baru berani menongolkan kepala

bertemu dengan lohu!”

Mendengar perkataan tersebut Nyio Sam Pak segera maju

kedepan.

“Bliamana kau berharap hendak berkelahi dengan lolap, sekarang

bukankah sudah ada kesempatan’ ujarnya perlahan.

“Bagus. , . . bagus …. bagus sekali, hal ini memang sesuai

dengan maksud hati lohu!” Sahut Leng Hu Ih sambil angkat

kepalanya tertawa tertawa terbahak-bahak.

SambiI berkata dari tangan seorang sastrawan berusia pertengan

dia menerima sebilah pedang kemudian maju kedepan menyambut

kedatangan dari Nyio Sam Pak.

Melihat suasana sudah meruncing Wi Ci To segera berkata

dengan menggunakan ilmu menyampaikan suaranya :

“Ti Kiauw tauw, badan Nyio Cungcu sudah lemah usianya pun

sudah lanjut,aku rasa dia tidak bakal bisa menahan serangannya

lebih baik kau saja yang menyambut serangan kali ini.”

Mendengar perkataan tersebut Ti Then segera maju kedepan

menghalangi Nyio Sam Pak.

“Nyio Locianpwe!” ujarnya sambil. rangkapkan tangannya

memberi hormat. “Kau orang tua sudah mengumumkan diri untuk

mundur dari dunia persilatan, tidak seharusnya kau orang tua

menggerakkan senjata lagi, biarlah pertempuran kali ini boanpwe

yang mewakili.”

“Tidak !” tolak Nyio Sam Pak sambil tertawa, “Ti Kiauw tauw

silahkan mengundurkan diri. lolap mau turun tangan sendiri*

“Bilamana Nyio Locianpwe sayang kepada boanpwe maka

seharusnya pertempuran kali ini kau orang tua berikan kepada

Boanpwe, agar boanpwe pun mendapat kesempatan untuk

mengangkat nama !”

Berbicara sampai disini tidak menanti Nyio Sam Pak setuju atau

tidak dia segera menyambut datangnya Si iblis bongkok Leng Hu Ih.

“Hey manusia bongkok!” ujarnya sambil tertawa, “Seharusnya

kau mencari diriku dulu. dan balaskan dendam atas kematian dari

anak buahmu si kupu-kupu bunga”

“Menyingkir!” bentak Leng Hu lh sambil mengerutkan alisnya

rapat-rapat. “Kau bangsat cilik manusia macam apa. Kau berani juga

menantang Lohu bertempur?”

Kelihatannya dia sama sekali tidak mengetahui kalau Ti Then

adalah seorang manusia yang sukar untuk dihadapi.

“Ooow kau suruh aku menyingkir ? mudah sekali! asalkan kau

gerakan pedangmu aku bisa mundur .sendiri.”

Mendengar perkataan dari Ti Then ini Leng Hu Ih jadi amat gusar

sekali dengan cepat dia putar badan meninggalkan tempat itu.

“Cuo Ting!” perintahnya dengan dingin. “Kau turun tangan dan

jagal bangsat cilik itu!”

Jika didengar dari nada suaranya jelas dia tidak mau menurunkan

derajatnya berternpur dengan angkatan rendah.

Si sastrawan berusia pertengahan itu segera menyahut dan

meloncat maju kedepan.

Wajahnya adalah yang paling “Genah” diantara kedua belas

orang lainnya telapi bibirnya memakai gincu serta pipinya berbedak,

seorang lelaki dengan memakai gincu dibibirnya hal ini jelas

memperlihatkan kalau dia orang adalah seorang banci.

Ti Then yang melihat potongannya segera merasa dadanya amat

mual hamper muntah.

“Kau orang yang disebut sebagai sastrawan Banci Ong Cuo

Ting?” tanyanya.

“Benar” sahut si sastrawan banci Ong Cuo Ting dengan suara

yang melengking kecil dan gaya yang tengik.

“Kau sebenarnya lelaki atau perempuan?” bentak Ti Then dengan

mengerutkan alisnya rapat-rapat.

“Lalu kau melihat aku seorang lelaki atau perempuan?” balik

Tanya si sastrawan banci sambil paling kepalanya tertawa

melengking.

“Aku lihat kau mirip dengan seorang siluman!”

“Betul sekali!” sahut si sastrawan banci tertawa, “Aku memang

paling suka makan itunya manusia…hee..hiii..hiii..kau bocah cilik

lebih baik sedikit waspada!”

“Kau berbadan tidak laki-laki tidak perempuan sungguh membuat

orang merasa mual, harus dibunuh!”

Begitu kata-kata terakhir diucapkan keluar dari mulutnya,

serangannya sudah menyambar kedepan.

Agaknya si sastrawan banci itu tidak menyangka kalau gerakan Ti

Then bisa begitu cepatnya, dia jadi terperanjat lalu dengan terburuburu

mundur beberapa tindak kebelakang.

Serangan kedua dari Ti Then segera menyambar dating lagi

menghajar pinggangnya.

“Rubuh!” bentaknya keras.

Pukulannya ini dilancarkan amat cepat sekali, sedangkan

ketepatannya serta kemantapannya luar biasa.

“Braaak!” punggung dari si sastrawan banci Ong Cuo Ting itu

segera terkena hajar sehingga badannya berjumpalitan diatas

tanah.

Melihat kejadian itu si iblis bongkok Leng Hu Ih baru merasa

terkejut, air mukanya berubah sangat hebat sekali, agaknya pada

saat ini dia baru mengetahui kalau Ti Then sebetulnya adalah

seorang manusia berbahaya.

“Pukulanku barusan cuma merupakan satu peringatan saja

kepadamu agar kau jangan terlalu memandang rendah musuhmu,

ayoh bangun kita bergebrak kembali!”

Air muka si sastrawan banci Ong Cuo Ting segera berubah

memerah, dengan cepat dia melompat bangun.

“Bangsat cilik, kau pintar juga!” teriaknya.

Pukulannya tadi agaknya tidak sampai melukai badannya, tetapi

tidak urung nyalinya terpukul goyah juga, senyuman yang

menghiasi wajahnya seketika itu juga lenyap tak berbekas.

Begitu tubuhnya meloncat meloncat bangun dia segera

merendahkan badannya memperkuat kuda-kuda kemudian pusatkan

seluruh perhatiannya menanti serangan lawan selanjutnya.

Ti Then sama sekali tidak memperlihatkan gaya apa pun, sambil

tertawa mengejek ujarnya.

“Kali ini lebih baik kau saja yang mulai menyerang!”

Si sastrawan banci Ong Cuo Ting segera geserkan bandannya

bergerak maju, kemudian secara tiba-tiba membentak keras,

telapak tangannya laksana sebilah golok dengan tajamnya

membabat badan Ti Then.

Ti Then yang mendengar datangnya angin pukulan amat keras

dia segera mengetahui kalau serangan tersebut adalah serangan

yang benar-benar, telapak tangan kanannya segera diayun

menyambut kedatangannya.

Si sastrawan banci Ong Cuo Ting yang baru saja menerima satu

pukulannya tanpa menderita Iuka dalam hati dia mengira Ti Then

cuma mengandalkan kelincahan ilmu telapaknya saja sedangkan

tenaga dalamnya biasa saja, karena itu melihat Ti Then menyambut

datangnya serangan tersebut dalam hati merasa sangat girang

sekali, dia mengambil keputusan untuk mengadu keras. lawan keras

dengan diri Ti Then.

Mendalak …” Braak !” ujung telapak masing-masing pihak

dengan menimbulkan suara yang amat keras saling berbentur satu

sama lainnya.

Si sastrawan banci segera menjerit ngeri tubuhnya berturut-turut

mundur tiga langkah kebelakang kemudian jatuh terduduk di atas

tanah, air mukanya berubah pucat pasi bagaikan mayat: sedang

keringat dingin mengucur keluar dengan derasnya.. .

Sebaliknya Ti Then bagaikan batu karang saja dengan tenangnya

masih tetap berdiri tidak bergerak,

Air muka Leng Hu lh berubah sangat hebat.

“Cuo Ting, kau luka dimana?” tanyanya dengan cemas.

Tangan kiri dari Si sastrawan banci Ong Cuo Ting ditekan pada

lengan kanannya kemudian memperlihatkan rasa kesakitan.

“Aduuh . . . lengan kananku! aduuh .habis sudah lengan

kananku.” Teriaknya meringis.

Leng Hu Ih segera maju kedepan dan menyincing ujubg baju

kanannya untuk memeriksa, tampaklah ujung telapaknya sudah

mendekok kedalam. sebuah lengan kanan yang bagus kini sudah

terhajar patah jadi empat bagian, tulang-tulangnya sudah hancur

lebur sedangkan otot-otot maupun urat nadinya sudah pada pecah

berantakan.

Tidak terasa lagi dia menghembuskan napas dingin. kepada

seorang kakek tua yang ada disampingnya dia segera berseru:

“Lo-ko, cepat kau bimbing Cuo Ting masuk kedalam…!”

Seorang kakek tua .segera menyahut dan membimbing Si

sastrawan banci masuk kedalam sarangnya.

Setelah itu Leng Hu Ih baru mendengus dingin. sepasang

matanya dengan perlahan beralih keatas wajah Ti Then,

Dengaa pandangan berapi-api dan penuh napsu membunuh

teriaknya sepatah demi sepatah:

“Bangsat cilik, lohu ternyata sudah salah menyangka dirimu!”

“Sekarang pun aku rasa masih belum terlambat” sambung Ti

Then dengan cepat.

Agaknya Leng Hu lh tetap tidak bermaksud untuk turun tangan

sendiri, dia kembali pergi ketempat semula

“Kim Ho, Kim Hay kalian kakak beradik cepat turun kedalam

kalangan, minta beberapa petunjuk dari Ti Kiaw tauw” perintahnya.

Dua orang kakek tua yang kurus kering dengan wajah yang sama

dan berusia kurang lebih lima puluh tahunan dengan mencekal gada

bersama-sama berjalan keluar dari barisan.

Wajah mereka seperti pinang dibelah dua- pakaian yang dipakai

pun sama sampai perawakan pun kembar, jelas sekali mereka

adalah saudara kembar.

Wi Ci To yang melihat munculnya sepasang saudara kembar yang

bernama Kim Ho serta Kim Hay itu air mukanya segera berubah

sangat hebat,.,

“Haaaa . . , haaa . . -haaaa . ; , kiranya Thian san Ji Lang! atau

dua ekor serigala dari Thian san, sudah lama kita tidak bertemu !”

ujarpja tiba-tiba.

Thian San Ji Lang segera tertawa seram.

“Wi Toa Pocu selama ini baik-baik kah ?’* ujarnya berbareng.

“Haaaa . . . haaa . . . pertempuran kita sewaktu ada diatas

gunung Thian mungkin sudah sepuluh tahun bukan?”

“Tidak salah, sepuluh tahun !”

“Kalian saudara-saudara kembar yang dapat turun tangan

bersama-sama bahkan memiliki kerja sama yang amat bagus

sungguh mengagumkan sekali untung sekali pada sepuluh tahun

yang lalu Lohu berhasil menangkan setengah jurus dari kalian, lohu

rasa setelah berpisah sepuluh tahun. kepandaian kalian berdua

tentu jauh lebih lihay bukan?”

Thian san Ji Lang segera tertawa dingin.

“Nanti setelah kita bertemu dengan Ti-kiauwtauw mu ini, cayhe

bersaudara masih ingin minta petunjuk dari Wi toa pocu, harap toa

pocu suka member muka kepada kami.”

“Bagus…bagus sekali, lohu akan menanti kedatangan kalian!”

Ti Then sebetulnya tidak tahu keadaan yang sebetulnya dari

Thian san Ji Lang ini, setelah mendengar pembicaraan dengan Wi Ci

To dia baru tahu kalau kedua orang saudara ini bukanlah manusia

sembarangan, dia tahu secara diam-diam Wi Ci To sedang memberi

peringatan kepadanya untuk jangan memandang enteng musuhnya,

dia lantas bertanya :

“Wajah kalian dua orang sungguh mirip sekali. tentunya anak

kembar bukan ?”

“Tidak salah !” sahut Thian San Ji Lang berbareng.

“Siapakah “Kim Ho ? dan siapa Kim Hay?”

“Aku Kim Ho” sahut orang yang ada di sebelah kiri.

“Aku Kim Hay !” sahut orang yang ada di sebelah kanan.

“Oooouw. . . Kim Ho adalah Lo-toa Kim Hay- adalah Lo-ji ?” tukas

Ti Then lagi sambil tertawa.

“Tidak salah!” sahut Kim Ho mengangguk, air mukanya berubah

amat keren sekali.

“Kalian menggunakan serigala sebagai julukan, tentunya bukan

manusia baik-baik !”

“Aku rasa tidak seberapa . . . . hanya saja kami doyan makan

daging manusia !” kata Kim Hay sambil tertawa seram.

“Ouuw begitu?? sungguh tepat sekali aku orang memang ahli

didalam menangkap srigala yang doyan makan manusia!”

“Tidak usah banyak omong lagi cepat cabut keluar pedangmu!”

bentak Kim Ho sambil melototkan matanya.

Dengan perlahan-lahan Ti Then mencabut keluar.pedangnya,

ujung pedangnya dituding keatas tanah sambil tertawa ringan.

“Silahkan – .!”

“Kau bangsat cilik jikalau kepingin hidup lebih lama lagi lebih baik

turun tangan terlebih dulu.”;

“Sedikitpun tidak salah.”

Ditengah suara pembicaraannya mendadak tubuhnya bergerak

maju kedepan, pedang panjangnya dengan cepat melancarkan

serangan gencar mengancam tubuh musuh-musuhnya.

Ditengah berkelebatnya sinar pedang yang menyilaukan mata

tampak dua kuntum bunga pedang dengan amat cepatnya

melayang kekiri dan kekanan.

Ternyata kedua orang srigala dari Thian san bukan marusia tolol,

gada ditangan masing-masing dengan cepat diangkat menangkis

datangnya serangan pedang dari Ti Then.

“Crring…criing”. . dua buah suara benturan berbunyi pada saat

yang bersamaan hal ini membuktikan bagaimana cepatnya gerakan

pedang dari Ti Then.

Baiu saja suara bentrokan tersebut bergema tubuhnya sudah

rnenerobos ke tengah antara Thian.san.Ji Lang; dengan jurus Hong

Cian Jan Im atau angin berhembus membuyarkan mega pedangnya

bagaikan kilat cepatnya melayang membabat bagian bawah dari

tubuh Thian san Ji Lang.

Ketenangannya laksana perawan, kecepatannya laksana

sambaran kilat,

Tetapi kepandaian silat dari Thian san Ji Lang pun amat tinggi

sekali, baru saja jurus serangan dari Ti Then dilancarkan kedepan

tubuh mereka pun melayang sejauh lima depa menghindarkan diri

dari serangan tersebut.

Kemudian disusul gada dari Kim Ho mendadak menekan

kebawah dengan jurus “Hay The Ci Sah” atau menusuk hiu di dasar

laut menangkis pedang dari Ti Then.

Satu bertahan yang lain menyerang, kerjasama mereka benarbenar

sangat hebat sekali.

Sekali pandang saja Thi sudah tahu kalau pertempuran kali ini

merupakan pertempuran yang paling seru sejak dia terjunkan

dirinya kedalam dunia Kangouw, tetapi dia sedikit pun tidak keder

sejak semula dia sudah tidak memperhatikan nyawanya sendiri,

bahkan dia sangat berharap didalam satu pertempuran yang amat

sengit sekali dia bisa mengakhiri hidupnya sehingga dengan

demikian bisa lolos dari perintah majikan patung emas.

Sudah tentu yang dimaksudkan dengan berharap bisa mengakhiri

hidupnya didalam satu pertempuran sengit bukannya berarti dia

mempunyai niat membiarkan musuhnya membinasakan dirinya

sebaliknya dia bermaksud hendak mengadu jiwa dengan

mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Maka itu setiap kali ia bisa bertemu dengan musuh tangguh

semangatnya malah berkobar, dia semakin berani untuk bergerak

maju dan semakin bertempur semakin bersemangat.

Karena itulah walaupun kerja sama dari Thian San Ji Lang amat

lihay sekali tetapi tidak sampai membuat dia jadi keder.

Tampak telapak tangannya bersama-sama dengan pedang di

tangannya mendadak melancarkan serangan berbareng ke depan.

Telapak kirinya dengan cepat disambar kedepan menghajar dada

dari Kim Hay sehingga dia orang terdesak mundur disusul badannya

maju kedepan, pedang ditangannya laksana seekor naga sakti

menyambut datangnya serangan dari Kim Ho.

Di dalam sekejap saja masing-masing pihak sudah saling serang

sebanyak lima puluh jurus.

Keadaan seperti semula siapa pun tidak ada yang berhasil

memperoleh kemenangan.

Nyio Sam Pak yang menonton jalannya pertempuran seketika itu

juga dibuat terbelalak dan mulut melongo.

Sebaliknya Leng Hu Ih serta jagow kelas satunya pun dibuat

terbelalak melihat pertempuran tersebut, mereka benar-benar tidak

dapat percaya akan kejadian yang dilihatnya di depan mata pada

saat ini.

Seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tahunan ternyata

bisa bertempur seorang diri melawan Thian San Ji Lang yang

namanya telah menggetarkan dunia kangauw sejak puluhan tahun

yang lalu, bukan saja tidak kelihatan kalah bahkan semakin

bertempur semakin berani dan semakin lama semakin gagah.

Kembali tiga puluh jurus berlalu dengan cepatnya, hati Thian San

Ji Lang pun mulai goyah dan gugup.

Hal ini sudah tentu terjadi, bilamana pihak lawannya adalah Wi Ci

To sekali pun bertempur sangat lama mereka tidak bakal jadi gugup

kerena Wi Ci To adalah jagoan yang satu angkatan dengan mereka,

bilamana tidak berhasil mendapatkan kemenanga didalam waktu

yang singkat adalah soal yang jamak.

Sebaliknya Ti Then dia tidak lebih adalah seorang bocah yang

masih ingusan, ternyata dengan seorang diri dia bisa menahan

serangan gabungan dari Thian san Ji Lang bahkan semakin

bertempur semakin gagah, sudah tentu didalam hati mereka merasa

sangat terperanjat sekali-

Pertempuran diantara jagoan kelas satu paling mengutamakan

ketenang’an, sedikit mereka merasa gugup perhatiannya jadi buyar

dengan sendirinya kerja sama diantara mereka pun jadi rada

kendor, semakin bertempur mereka semakin jarang menyerang dan

akhirnya terdesak ada dibawah.

Ti Then yang berhasil merebut diatas angin jurus serangan yang

dilancarkan keluar pun semakin ganas lagi, jurus-jurus mematikan

dengan tak hentinya mengalir keluar, sinar pedangnya laksana

beribu-ribu jarum ganas dengan cepatnya menerjang kedepan

membuat keadaaan serasa kabur dibuatnya.

Mendadak suara jeritan ngeri menyayatkan hati berkumandang

keluar dari mulut Kim Hay.

Tampak tubuhnya mendadak meloncat kedepan meninggalkan

kalangan pertempuran, baru saja sepasang kakinya menempel

permukaan tanah tubuhnya sudah bergoyang-goyang tidak

hentinya.

Kiranya bagian lambungnya sudah tertusuk pedang..darah segar

dengan amat derasnya mengucur keluar membasahi bajunya.

Mungkin dikarenakan luka itu tepat ada di tempat bahaya maka

akhirnya dia tidak kuat menahan tubuhnya lagi dan rubuh ke atas

tanah.

“Lo-ji, kau…” teriak Kim Ho dengan perasaan terperanjat sekali.

Baru saja dia selesai berkata mendadak air mukanya sudah

berubah sangat hebat.

Karena pada saat itulah dia merasa lengan kanannya terasa amat

dingin, dalam hati dia segera tahu urusan tidak beres, tubuhnya

dengan terburu-buru meloncat beberapa kaki kedepan sedangkan

telapak kirinya pun tanpa terasa sudah menekan ke lengan

kanannya.

Tetapi dia segera menemuka tempat itu sudah kosong kemudian

disusul rasa nyeri yang amat sangat, air mukanya berubah sangat

berduka, sambil menghela napas panjang dia jatuhkan diri duduk

diatas tanah.

Darah segar dengan derasnya mengucur keluar dari lengannya.

Kiranya seluruh bagian dari lengan kanannya sudah kena dibabat

putus.

Gada serta tangan kanannya tepat terjatuh di depan kaki Ti

Then.

Leng Hu Ih semula menganggap dengan dikeluarkannya Thian

san Ji Lang maka kemenangan pasti ada di tangannya, siapa tahu

akhirnya satu mati yang satu terluka, membuat hatinya merasa

terkejut bercampur gusar, air mukanya jadi kehijau-hijauan, kulitnya

mengerut, setelah memerintahkan anak buahnya menggotong pergi

Thian San Ji Lang dia segera berjalan maju mendekati Ti Then.

—ooo0dw0ooo—

Jilid 33

“BANGSAT CILIK!” Bentaknya sambil tertawa seram “Kau

memang betul-betul seorang manusia berbakat alam yang sukar

ditemui diantara Bu-lim, kau berhak bermain-main dengan Lohu.”

“Haaa . . . haaa . . haaahaa sebentar lagi kau bakal tahu bukan

saja aku punya hak untuk bermain dengan diirmu bahkan

mempunyai kekuatan pula untuk membereskan dirimu” sahut Ti

Then sambil tertawa terbahak-bahak.

Leng Hu Ih segera menggetakkan taagannya mencabut keluar

pedang panjang dari sarungnya sambil melemparkan sarung

pedangnya ke samping serunya dengan suara yang amat keras:

“Ayoh! mulai serang!”.

“Tunggu sebentar!” tiba-tiba Wi Ci To berteriak mencegah.

Dia segera berjalan kesamping Ti Then dan mengulapkan

tangannya minta dia orang mengundurkan diri, lalu kepada Leng Hu

Ih ujarnya sambil tersenyum:

“Kiau-tauw dari Benteng kami sudah melayani dua kali

pertandingan, kali ini seharusnya adalah giliran Lohu!”

Sinar mata yang amat buas dari Leng Hu Ih berkelebat beberapa

kali, dia lantas mengangguk.

“Bagus …. bagus sekali, Lohu dari dulu memang mempunyai

maksud untuk terjadinya satu peristiwa seperti ini hari” sahutnya

sambil tertawa seram.

Dengan perlahan2 Wi Ci To mencabut keluar pedang panjangnya,

dia tersenyum tawar,

“Saudara mempunyai julukan sebagai iblis nomor satu didalam

Bu-lim, sekalipun diantara kita berdua tidak ada ikatan sakit bati

tetapi demi melenyapkan bibit bencana untuk Bu-lim lohu sudah

ambil keputusan untuk melenyapkan kau dari muka bumi, karena

itulah nanti kalau turun tangan kaupun tidak usah sungkan2 lagi.”

“Baik!” Teriak Leng Hu Ih tertawa seram dengan kerasnya. “Ini

hari juga kita tentukan siapa yang menang siapa kalah, kita lihat

saja setelah hari ini seluruh Bu-lim adalah milikmu atau milik Lohu!”

“Heee . . . heeee . , , kiranya saudara ingin mcrajai seluruh

sungai telaga.” Tidak tertahan lagi Wi Ci To tertawa dingin.

“Tidak salah, urusan ini bukannya tidak dapat dikerjakan!”

“Sekalipun kau dapat membinasakan lohu jangan harap kau

dapat merajai seluruh Bu-lim, haruslah kau ketahui jago2 Bu-lim

yang kepandaiannya jauh melebihi lohu pun masih amat banyak

sekali!”

“Hee . . heeee . . . heeee . . . cuma ada dua orang saja, yang

satu adalah si kakek pemalas Kay Kong Beng sedang yang lain

adalah Suhunya bangsat cilik She-Ti itu, tetapi kedua orang ini aku

rasa tidak terlalu sukar untuk dihadapi.”

“Haa . . haaa . . . haaa . . . lalu tahukah kau orang siapa

sebetulnya Suhu dari Ti Kiauw-tauw?” ejek Wi Ci To sambil tertawa

ter-bahak2.

“Lohu dapat menyelidikinya dengan seksama.”

“Kau orang sama sekali tidak mengetahui siapakah Suhu dari Ti

Kiauw-tauw,

bagaimana kau bisa tahu kalau dia orang tidak sukar untuk

dihadapi?”

“Tidak usah banyak omong lagi, ayoh, mulai serang” bentak Leng

Hu Ih tidak sabaran lagi kemudian mendesak maju satu langkah

kedepan.

“Lohu lihat lebih baik kau saja mulai menyerang, tidak perduli

kau bagaimana sombongnya dimata lohu kau orang tidak lebih

cuma seorang cacad, bagaimana lohu tega untuk turun tangan

terlebih dulu terhadap seorang yang sudab cacad?”

Mendengar perkataan tersebut Leng Hu Ih benar-benar dibuat

amat gusar, dia segera berpekik nyaring lalu membentak keras.

“Mulutmu jelek harus dihancurkan, lihat pedang!”

Tubuhnya berkelebat kedepan, sekonyong-konyong pedang

panjangnya ditusuk kehadapan dada Wi Ci To.

Kecepatan geraknya benar-benar membuat Ti Then yang berdiri

disamping pun merasa sangat terperanjat, dia dapat melihat

kecepatan gerak dari Leng Hu Ih tidak berada dibawah dirinya,

karenanya dia mulai merasa kuatir terhadap keselamatan dari Wi Ci

To, dia takut Wi Ci To tidak sanggup menahan datangnya serangan

yang begitu gencar dari Leng Hu Ih.

Tetapi bagaimanapun Wi Ci To adalah seorang ahli di dalam ilmu

pedang, tampak tubuhnya sedikit miring kesamping dengan amat

indahnya dia berhasil menggeserkan kedudukkannya dan dengan

amat cepatnya menghindarkan diri dari tusukan pedang Leng Hu Ih

ini.

Pokoknya diapun berhasil juga untuk balas melancarkan satu

tusukan mengarah badan musuhnya.

Tusukannya ini amat aneh dan dahsyat sekali, pedangnya dari

arah bawah menuju keatas menusuk leher dari Leng Hu Ih.

Sebaliknya gerakan dari Leng Hu Ih untuk memecahkan

datangnya jurus serangan itupun sangat aneh sekali, tampak

sepasang kakinya tidak bergerak tubuhnya bagian atas menjatuhkan

diri kebelakang pedang pedangnya dengan mendatarkan dada

ditusuk kedepan menutul tubuh pedang dari Wi Ci To, kecepatannya

luar biasa sekali.

Sekali pandang saja Ti Then dapat melihat kalau di dalam jurus

serangannya ini secara diam-diam sudah terkandung satu serangan

mematikan yang amat ganas sekali.

Ternyata dugaannya sedikitpun tidak salah, pada waktu pedang

panjang dari Wi Ci To menyambar kedepan menangkis datangnya

serangan dari Leng Hu Ih itulah mendadak Leng Hu Ih melancarkan

satu jurus yang amat aneh.

Pedangnya bagaikan ular dengan kecepatan bagaikan sambaran

kilat berturut-turut menusuk jalan darah “Tiong Ting, Hun Swe serta

“Tan Thian” tiga buah jalan darah penting.

Wi Ci To tidak sempat menangkis datangnya serangan tadi,

seketika itu juga dia kena terdesak mundur tiga langkah ke

belakang.

Leng Hu Ih segera mendesak kedepan pedang panjangnya

bagaikan bayangan setan berkelebat keatas kebawah tak ada

hentinya menyerang keseluruh tubuh Wi Ci To.

Dalam hati Ti Then merasa sangat tegang sekali, tidak kuasa lagi

kepada Nyio Sam Pak yang disampingnya dia berbisik dengan suara

yang amat lirih,

“Si bongkok ini sungguh lihay sekali jalannya jurus pedang amat

aneh dan ganas,”

“Benar!” sahut Nyio Sam Pak mengangguk. “Katanya ilmu

pedangnya ini dia dapatkan dari seorang hwesio Si Ih yang amat

lihay.”

Baru saja Ti Then mau membuka mulut lagi mendadak dari

dalam sarang musuh berkelebat datang tiga sosok bayangan

manusia. Sewaktu dilihat lebih jelas lagi ternyata mereka adalah

ketiga orang yang membawa pergi si sastrawan banci serta Thianshan

Ji lang itu.

Ketika memandang pula kearah keenam orang yang ada ditengah

kalangan tampaklah mereka dengan mata melotot sedang

memandangi dirinya tajam2. Di dalam hati dia segera tahu kalau

mereka mempunyai maksud untuk mengerubuti dirinya berdua.

Kepada diri Nyio Sam Pak kembali ujarnya dengan suara yang

perlahan:

“Nyio Locianpwe apa kau kenal dengas kesembilan orang itu?”

“Kenal . . kenal..” sahut Nyio Ssm Pak dengan cepat, “Dari kiri

kekanan adalah Si kakek tak berbudi Ko Cing Liong, si ketemu tidak

mujur Cing Hiong, si muka aneh Leng Ang Lian, Kui Kok Yau Tong

atau si siluman bocah dari lembah setan Yu Si, atau si malaikat

botak Yu Sam San, Ci Hua Kui atau si sastrawan rambut merah

Gong Pit Kay, sedang tiga orang yang baru datang itu adalah Ang

Liuw Ci atau si bisul merah Tiauw Ih, Touw Ciauw Liong atau si

naga bertanduk tunggal Lu Cian San serta Sam Cian Lang Ci atau si

mata keranjang Si Koan Khei.”

“Anak buah dari si iblis bongkok apakah cuma ini saja yang

lihay?” tanya Ti Then kembali.

“Masih ada tujuh, delapan orang yang tidak datang mungkin

orang-orang itu sudah mendapat perintah untuk turun gunung

menyelesaikan sesuatu tugas.”

“Dari antara kesembilan orang ini Nyio locianpwe percaya bisa

sekaligus menghadapi berapa orang?”

“Paling banyak cuma tiga orang saja” sahut Nyio Sam Pak setelah

termenung berpikir sebentar, “Ti Kiauw tauw apakah mengira

mereka bakal maju mengerubuti kita?”

“Benar, coba kau lihat mereka sudah saling bertukar pandangan,

aku rasa sebentar lagi mereka akan bergerak”

“Lalu Ti Kiauw tauw sendiri bisa menerima berapa orang?” balik

tanya Nyio Sam Pak.

Didalam hati Ti Then merasa dengan kekuatannya sendiri

didalam sekejap saja dia bisa menerima empat orang musuh, tetapi

agar membuat pihak sana tidak merasa terlalu malu maka

jawabnya;

“Boanpwe sendiri pun cuma bisa menghadapi tiga orang saja,

maka itu bilamana mereka bersembiian bersama-sama menyerang

kiranya kita bakal menemui kerepotan, kita harus menggunakan

cara yang paling cepat dan diluar dugaan turun tangan terlebih dulu

membereskan dua orang dari antaranya,”

“Coba kau lihat, mereka sudah datang” tiba-tiba Nyio Sam Pak

berteriak dengan air muka berubah hebat,

Sedikitpun tidak salah, Si kakek tak berbudi Ko Cing Liong

sekalian bersembilan bersama-sama mencabut keluar senjata

tajamnya masing-masing kemudian dengan gagahnya berjalan

mengbampiri diri Ti Tben serta Nyio Sam Pak yang masih berdiri tak

bergerak.

Menanti setelah mereka hampir mendekati dirinya mendadak Ti

Then tertawa nyaring, “Heee .. . hee . . . kalian ingin mengandalkan

jumlah banyak untuk memperoleh kemenangan ?”

Baru saja perkataan tersebut diucapkan keluar mendadak

tubuhnya berkelebat ke depan, saking cepatnya sehingga orang lain

tidak dapat melihat jelas tahu-tahu tubuhnya sudah berada diantara

kesembilan orang itu.

Di tengah berkelebatnya sinar pedang yang menyilaukan mata

terdengarlah dua kali jeritan ngeri yang menyayatkan hati

berkumandang memenuhi angkasa.

Diikuii suara jatuhnya dua tubuh manusia ke atas tanah.

Orang yang rubuh binasa diatas tanah adalah si Setan rambut

merah Gong Pit Kay serta si naga bertanduk tunggal Lu Cing San.

Bagian badannya yang terkena pedang adalah diatas kening

serta pada lehernya, begitu tubuhnya mencapai permukaan tanah

napasnya pun ikut putus.

Sebenarnya mereka pun sudah bersiap sedia untuk ikut maju

mengerubuti Ti Then berdua, mereka pun dapat melihat tubuh Ti

Then yang menerjang kearah mereka tetapi walaupun sudah

bersusah payah untuk menghindar keadaan masih tidak

mengijinkan.

Hal ini seketika itu juga membuat sisanya bertujuh jadi

termangu-mangu. Sudah tentu mereka semua adalah jago-jago dari

kalangan Hek-to yang sering memperoleh kemenangan didalam

menghadapi pertempurannya, mereka semua berani menerjang dan

berani beradu jiwa, setelah termangu-mangu beberapa saat

lamanya kesadarannya pun jadi pulih kembali, mereka mulai

berteriak-teriak dan maju kedepan mengerubuti Ti Then.

Tampak bayangan golok serta pedang berkelebat memenuhi

angkasa membuat pandangan jadi kabur, hanya dalam sekejap saja

Ti Then sudah terjerumus di dalam dengan keadaan yang sangat

berbahaya sekali.

Walaupun dia orang memiliki kepandaian silat yang amat tinggi

tetapi dengan kekuatan seorang diri mana mungkin dia dapat

menahan serangan gabungan dari tujuh orang jagoan kelas satu

dari kalangan Hek to ini, karena tujuh orang ada empat belas buah

tangan sebaliknya dia orang cuma ada dua tangan saja.

Dua tangan tidak mungkin bisa menahan serangan berbareng

dari empat belas buah tangan.

Nyio Sam Pak tidak berani berlaku ayal lagi, dengan

menggerakkan pedangnya dia pun segera menubruk masuk

kedalam kalangan.

Dengan menggunakan jurus Hong In Yong atau angin bertiup

ombak menggulung secara terpisah dia menyerang si siluman bocah

dari lembah setan Yu Si serta si bisul merah Tiauw Ih berdua.

Dia orang adalah seorang ahli pedang yang sudah sangat

terkenal didalam Bu lim bahkan tenaga dalamnya amat tinggi sekali,

si siluman bocah dari lembah setan Yu Si serta sibisul merah Tiauw

Ih mana berani memandang enteng musuhnya, berturut-turut

mereka menggerakan pedangnya menangkis datangnya serangan

tersebut.

Demikianlah dengan cepatnya Nyio Sam Pak sudah terjerumus

kedalam satu pertempuran yang amat seru sekali melawan si

siluman bocah dari lembah setan Yu Si serta si bisul merah Tiauw ih.

Beberapa jurus lewat dengan cepatnya, sewaktu dilihatnya Ti

Then yang harus melawan lima orang ternyata sudah terdesak ‘U

dibawaJi acgin. sec&ra mendadak dibawah angin, secara nendadak

dia sudah kirim satu tusukan kearah si ketemu tidak mujur.

“Ayoh kemari seorang lagi!” bentaknya dengan keras. “Kalian

lima orang tua bangka mengerubuti seorang pemuda apakah tidak

merasa malu?”

“Bagus sekali,” sahut si ketemu tidak mujur Cang Hiong sambil

tertawa dingin, “Kalau kau orang tidak ingin berumur panjang, aku

si orang tua segera kirim kau pulang ke rumah nenekmu.”

Gada di tangannya dengan mengarah tepat kepala Nyio Sam Pak

membacok ke bawah.

Dengan adanya hal ini Ti Then segera merasakan tekanan yang

mendesak dirinya jauh lebih enteng lagi, tempo hari sewaktu ada di

dalam Benteng Pek Kiam Poo dia pernah membasmi habis

kedelapan belas malaikat iblis dari si anjing langit rase bumi,

sekalipun sekarang dia merasa si kakek tak berbudi si malaikat

botak serta si mata keranjang memiliki kepandaian silat yang jauh

lebih tinggi dari kedelapan belas orang

malaikat iblis tersebut tetapi dia merasa untuk merebut

kemenangan bukanlah suatu persoalan yang menyulitkan.

Dugaannya sedikitpun tidak meleset, setelah berlalu puluhan

jurus perlahan-lahan dia berhasil merebut posisi yang lebih baik lagi.

Senjata yang digunakan si kakek tak berbudi empat orang adalah

toya, pedang, cambuk serta kipas, mereka yang melihat Ti Then

dari kedudukan banyak bertahas sedikit menyerang, makin lama

berubah jadi kedudukan banyak menyerang sedikit bertahan hatinya

mulai merasa terkejut bercampur gusar, empat macam senjata

bagaikan titiran air hujan dan tiupan angin topan dengan gencarnya

menyerang tubuh Ti Then.

Didalam sekejap saja lima puluh jurus sudah berlalu dengan

cepatnya, walau pun si kakek tak berbudi berempat masih berada

diatas angin tetapi toya, pedang, cambuk serta kipas empat macam

senjata tajamnya untuk menjiwit ujung baju dari Ti Then pun tidak

sanggup.

Saat ini Wi Ci To serta si iblis bongkok Leng Hu Ih pun sedang

bertempur dengan amat serunya, untuk beberapa saat lamanya

tidak dapat ditentukan siapa yang kuat siapa yang lemah.

Sebaliknya Nyio Sam Pak ada sedikit tidak kuat menahan

serangan musuhnya, ilmu pedangnya amat lihay sekali tetapi

dikarenakan usianya yang sudah lanjut ditambah pula badannya

sudah mulai lemah, setelah bergebrak mendekati ratusan jurus

gerakannya mulai menjadi perlahan, kelihatannya dia sudah tidak

ada harapan lagi untuk merebut kemenangan.

Ti Then, yang melihat akan hal ini diam-diam didalam hati

merasa amat cemas sekali mendadak dia bersuit panjang, jurus

pedangnya berkelebat semakin cepat lagi menerjang musuhmusuhnya.

Tiba-tiba si malaikat botak Yu Sam San mendengus berat,

dengan terhuyung-huyung tubuhnya mundur beberapa langkah

kebelakang, dari kaki kirinya mengucur keluar darah segar dengan

amat derasnya jelas dia sudah tersambar pedang dari Ti Then.

Ti Then yang serangannya mendapatkan hasil semangatnya

semakin berkobar, pedang panjangnya dengan mengikuti

gerakannya menekan kebawah kemudian laksana serentetan sinar

kilat dengan cepatnya membabat sepasang kaki dari si kakek tak

berbudi.

Dengan terburu-buru si kakek tak berbudi meloncat menghindar,

sepasang tangannya mencekal toya besinya semakin kencang

kemudian dengan mengarah kepala Ti Then membacok kebawah.

Jurus serangannye amat kuat dan dahsyat, gerakannya pun

cepat bagaikan sambaran kilat.

Ti Then tertawa dingin mendadak tubuhnya miring kesamping

kemudian berputar kearah kanan, pedangnya dari gerakan

membacok diubah jadi gerakan menusuk dengan menggunakan

jurus Huan Liong Ci Hauw atau naga membalik menusuk macan

berbalik menerjang si mata keranjang Su Koan Khei terdengar dia

berpekik aneh kemudian dengan gugupnya mengebutkan kipasnya

menangkis datangnya serangan tersebut tetapi akhirnya dia tidak

berhasil juga untuk menghindarkan diri dari seluruh serangan

tersebut pinggangnya dengan kerasnya kena tertusuk pedang Ti

Then.

“Aduuuh …!”

Dengan amat terperanjatnya dia berteriak keras kemudian ujung

kakinya menutul permukaan tanah dengan cepatnya mengundurkan

diri sejauh dua kaki ke belakang, kedua tangannya menekan

menutupi luka pada pinggangnya kemudian dengan terbirit-birit

melarikan diri kedalam sarangnya.

Si malaikat botak Yu Sam Sian pun tidak berani bertempur lebih

lama lagi cambuknya dengan cepat disambar kebawah kemudian

dengan menyeret kaki kirinya yang terluka mengikuti dari belakang

si mata keranjang, mengundurkan diri kedalam sarang dengan tergesa2,

Dengan demikian orang yang mengerubuti diri Ti Then kini

tinggal dua orang saja yaitu si kakek tak berbudi serta si muka

aneh.

Ti Then merasa semakin enteng lagi, serangan yang dilancarkan

semakin ganas lagi, seketika itu juga membuat si kakek tak berbudi

serta si muka aneh terdesak mundur terus dan tidak kuat untuk

bertahan lebih lanjut.

Tetapi pada saat itulah Nyio Sam Pak berhasil dipukul kaki

kanannya oleh gada dari si ketemu tidak untung Cang Hiang

sehingga terjatuh keatas tanah.

Senjata siluman bocah dari lembah setan Yu Si adalah sepasang

tombak pendek, ketika dilihatnya Nyio Sam Pak rubuh keatas tanah

dia segera tertawa aneh.

Dengan mengambil kesempatan ini sepasang tombaknya dengan

disertai tenaga yang dahsyat ditusuk keatas lambung Nyio Sam Pak.

Bilamana tusukannya ini mendapatkan hasil maka seketika itu

juga seluruh isi perut dari Nyio Sam Pak akan berserakan diatas

tanah.

Tetapi pada saat yang amat kritis itulah mendadak Si siluman

bocah dari lembah setan Yu Si menjerit ketakutan, tubuhnya dengan

sempoyongan mundur satu kaki lebih kemudian rubuh keatas tanah

tak bergerak lagi.

Tepat pada bagian ulu hatinya tertancaplah sebuah gagang

pedang yang menembus sampai pada punggungnya. Matinya amat

cepat sekali, begitu tubuhnya menggeletak diatas tanah sepasang

matanya mendelik keluar dan tidak bernyawa lagi.

Orang yang baru saja turun tangan melancarkan serangan itu

bukan lain adalah Ti Then adanya.

Ti Then yang melihat Nyio Sam Pak rubuh diatas tanah

dikarenakan jaraknya ada tiga kaki jauhnya didalam keadaan cemas

dalam hati segera mengambil keputusan untuk menyambitkan

pedangnya guna menolong nyawa dari Nyio Sam Pak.

Begitu pedangnya disambitkan kedepan tubuhnya ikut menubruk

maju kedepan tubuh Nyio Sam Pak.

Telapak tangannya bagaikan kilat cepatnya dihantam kedepan

menghajar dada dari si ketemu tidak mujur.

Si ketemu tidak mujur yang dikarenakan melihat si siluman bocah

dari lembah setan Yu Si secara tiba tiba menemui ajalnya terkena

sambitan pedang pada saat ini saking terkejutnya sudah dibuat

termangu-mangu, maka itu sewaktu pukulan Ti Then menyambar

datang ternyata dia sudah lupa untuk menangkis maupun

menghindar,

“Braak . .” dengan disertai suara yang amat keras tubuhnya

terpukul pental keatas udara, serentetan darah segarpun mengikuti

melayang sang tubuh memancar keluar dari mulutnya.

Sewaktu tubuhnya mencapai tanah dia sudah tidak bergerak lagi.

Sebaliknya si bisul merah Tiauw Ih yang melihat kehebatan Ti

Then laksana malaikat dari angkasa saking takutnya dia tidak berani

bergebrak lebih lanjut, sepasang kakinya menutul permukaan tanah

kuat-kuat kemudian mengundurkan diri beberapa kaki jauhnya.

Si kakek tak berbadi serta si muka aneh pun tidak berani maju

kembali, dengan perlahan mereka mulai menggeserkan kakinya

kebelakang, agaknya mereka bermaksud untuk molor pergi.

Melihat sikap mereka itu Ti Then segera mendesak tiga langkah

kedepan.

“Heee – , . heee . . . jangan lari!” bentaknya sambil tertawa

dingin. “Kalian bertiga harus bertempur lagi dengan aku”

Air muka si kakek tak berbudi seketika itu juga berubah jadi

pucat pasi bagaikan mayat, mendadak dia putar tubuh kemudian

bagaikan segulung asap berlalu dengan tergesa-gesa dari sana,

Si muka aneh serta si bisul merah yang melihat si kakek tak

berbudi melarikan diri sudah tentu tidak berani berdiam lebih lama

lagi disana, mereka pun dengan cepat melarikan diri terbirit-birit

dari kalangan.

Ti Then segera tertawa terbahak-bahak kemudian baru putar

badannya dan berkata kepada Nyio Sam Pak.

“Bagaimana dengan luka Nyio Locianpwe ?”

Nyio Sam Pak tidak menjawab, sepasang matanya dengan

terbelalak lebar-lebar melototi diri Ti Then beberapa saat lamanya

dia orang banar-benar dibuat melongo.

Lama sekali baru terdengar dia orang menghela napas panjang

kemudian gelengkan kepalanya berulang kali.

“Oooh . . . Thian, kepandaian silat dari Kiauw-tauw ini sebetulnya

dilatih dengan cara bagaimana?”

Ti Then cuma tersenyum tidak menjawab, dia segera maju

kedepan membimbingnya bangun.

“Heeeei, masih untung kakiku tidak sampai putus …” ujar Nyio

Sam Pak kemudian sambil tundukkan kepalanya memperhatikan

kaki kanannya. “Ombak belakang sungai Tiang Kang mendorong

ombak di depannya, manusia baru menggantikan manusia-manusia

lama, perkataan ini ternyata sedikit pun tidak salah. Lolap memang

sudah terlalu tua,”

Ti Then yang melihat dia tidak menemui cedera yang berarti

segera menoleh memandang kearah pertempuran yang masih

berlangsung dengan sengitnya antara Wi Ci To dengan Leng Hu Ih,

ketika melihat mereka masih bartempur dengan begitu ramainya tak

terasa dia sudah tersenyum.

“Mereka benar-benar sepasang musuh yang bagus!” ujarnya.

“Tidak-” Bantah Nyio Sam Pak dengan cepat. “Si iblis bungkuk

hampir kalah, coba kau lihat keringat sudah mulai mengucur

membasahi keningnya, sebaiiknya keaadaan Wi Poocu masih biasa

saja seperti sedia kala . .”

“Tidak salah, si iblis bungkuk tidak bakal bisa bertahan seratus

jurus lagi.”

“Tetapi …” ujar Nyio Sam Pak dengan suara yang amat lirih.

“Bilamana dia ingin melarikan diri agaknya Wi Poocu tidak bakal bisa

menghalangi dirinya.”

Ti Then segera mengangguk tanda menyetujui pendapat ini, dia

pun sudah bisa melihat kalau Leng Hu Ih adalah seorang manusia

yang luar biasa.

Bilamana dia orang dibandingkan dengan diri si pendekar pedang

tangan kiri Cian Pit Yuan, dia orang memang jauh lebih tinggi satu

tingkat darinya.

Terdengar dengan perlahan Nyio Sam Pak menghela napas

panjang, lalu gumamnya seorang diri, “Bilamana iblis ini tidak

dibasmi maka dia merupakan satu bencana yang tak terhingga

dikemudian hari ….”

“Tadi dia bilang mau bertempur mati-matian melawan Poocu,

entah benar tidak perkataannya itu”

“Menurut penglihatan lolap dia tidak bakal mau bertempur

mati2an melawan Wi poocu, dia pasti akan melarikan diri” sahut

Nyio Sam Pak tertawa.

Tetapi dia tidak akan berhasil meloloskan dirinya. . .”

Perkataannya yang gagah dan tegas ini menunjukkan kalau

didalam hatinya dia sudah berniat untuk membasmi si iblis bungkuk

Leng Hu Ih tersebut.

Selesai berkata dia segera berjalan menuju kedepan mayat dari si

siluman bocah dari lembah satan dan mencabut keluar pedangnya,

setelah membersihkan darah yang menempel pada tubuh pedang

itu dia baru kembali lagi kesamping badan Nyio Sam Pak.

“Ti Kiauw-tauw ini hari sudah menolong lolap lolos dari kematian,

entah lolap harus berbuat bagaimana untuk membalas budimu yang

besar itu?” ujar Nyio Sam Pak kemudian sambil memandang diri Ti

Then tajam2.

ooOoo

56

“Nyio locinpwe kau tidak usah begitu sungkan2, membasmi

kaum penjahat dan menolong sesamanya adalah tugas kami, buat

apa Locianpwe memikirkannya didalam hati ?” Seru Ti Then dengan

cepat.

Pada saat itulah mendadak terdengar si iblis bongkok Leng Hu Ih

yang ada didalam kalangan berteriak keras, dengan cepat dia

menoleh kearah tengah kalangan.

Tampaklah pada saat itu si iblis bongkok Leng Hu Ih sedang

melayang kebelakang untuk mengundurkan diri.

Sejak semula Ti Then sudah memperhatikan dirinya, begitu

melihat dia mengundurkan dirinya kebelakang dengan cepat

tubuhnya bergerak, maju kedepan untuk menghalangi perjalanan

mundurnya.

“Hey Bungkuk ! mati hidup belum ditentukan kau sudah ingin lari

?” bentaknya keras. f

Dibagian dada dari si-iblis bongkok Leng Hu Ih sudah tergores

sebuah luka yang panjang, darah segar menetes keluar membasahi

bajunya. jelas dia audah berhasil di lukai oleh ujung pedang dari Wi

Ci To.

Ketika dilihatnya Ti Then menghalangi jalan mundurnya, pada air

mukanya jelas menampilkan rasa gusarnya yang amat sangat;

“Siapa yang menghalangi aku mati!” bentaknya dengan keras.

Pedang ditangannya dengan kecepatan yang luar biasa ditusuk

kedada Ti Then.

Dengan cepat Ti Then menggeserkan badannya kesamping,

pedangnya dengan menggunakan jurus “Giok Ti Heng Coei” atau

seruling pualam berbunyi alun, membabat pinggangnya.

Siapa tahu jurus serangan yang baru saja dilancarkan oleh Leng

Hu Ih ini cuma sebuah jurus tipuan belaka, baru saja menyambar

sampai ditengah jalan mendadak tubuhnya menyingkir kesamping

untuk kemudian berkelebat pergi.

Ti Then segera tertawa terbahak2 bagaikan bayangan setan dia

mengikuti dari belakangnya dan menghalangi didepannya.

“Kau tidak bakal bisa lolos dari sini!” teriaknya keras sambil

membabat pedangnya ke depan. “Lebih baik kau tinggal disini untuk

baik2 bergebrak dengan aku saja”

“Baik. Lohu akan mengadu jiwa dengan kau bangsat cilik!”

Bentak Leng Hu Ih dengan gusarnya sambil menangkis datangnya

serangan itu.

Ditengah suara teriakannya yang amat nyaring kembali dia

melancarkan tujuh kali tusukan mengancam tubuh Ti Then.

Ti Then harus mengundurkan diri tujuh tindak baru berhasil

memecahkan ke tujuh buah serangan dahsyatnya itu, dengan cepat

dia balas melancarkan tujuh buah se rangaa dahsyat pula mendesak

dia orang sehingga terpaksa mundur tujuh delapan tindak

kebelakang,

Wi Ci To tahu Ti Then tidak bakal menderita kekalahan ditangan

Leng Hu Ih karenanya didalam hati dia merasa berlega hati, dia

segera berjalan mendekati diri Nyio Sam Pak dan tanyanya dengan

penuh perhatian :

“Agaknya tadi Nyio-heng terluka, bagaimana?? Tidak mengapa?”

“Tidak mengapa!” Sahut Nyio Sam Pak sambil gelengkan

kepalanya. “Sedikit aku berlaku ayal kaki kananku terkena satu kali

gebukan dari gadanya Si ketemu tidak mujur”

“Masih dapat berjalan?”

“Bisa!”

“Kalau begitu mari kita serbu kedalam sarangnya dan sekalian

membakarnya”

“Tetapi menang kalah diantara mereka belum ketahuan,

bagaimana kita..”

Seru Nyio Sam Pak sambil menuding ketengah kalangan dimana

Ti Then serta Leng Hu Ih sedang bergebrak dengan amat serunya.

“Kau tidak usah menaruh rasa kuatir terhadap diri Ti Kiauw-tauw”

Potong Wi Ci To dengan cepat “Tidak sampai seberapa lama dia

sudah dapat membereskan musuhnya.”

“Bukan begitu, maksud lolap bilamana kita meninggalkan tempat

ini dan anak buahnya ber-sama2 mengerubuti diri Ti Kiauw-tauw

bukankah urusan akan berabe?”

“Justru dikarenakan takut anak buahnya menyerbu kesini dalam

jumlah yang besar maka aku orang she-Wi bermaksud untuk

menerjang dulu kedalam sarangnya dan hancurkan seluruh orang

yang ada disana.”

Nyio Sam Pak termenung berpikir sebentar akhirnya dia

mengangguk. “Baiklah. mari kita masuk!”

Demikianlah dengan cepat mereka berdua berkelebat menaiki

tangga didepan sarang tersebut kemudian menerjang masuk kearah

dalam.

Leng Hu Ih yang melihat Wi Ci To serta Nyio Sam Pak menerjang

masuk ke dalam sarangnya dan dia segera tahu mereka hendak

menghancurkan seluruh isinya tidak terasa lagi didalam hati merasa

tarkejut bercampur gusar.

Dia meraung keras, ber-turut2 pedangnya dibabat kedepan

memaksa mundur Ti Then kebelakang kemudian dengan meminjam

kesempatan itu hendak menerjang masuk pula kedalam sarang

tersebut dan mencegah Wi Ci To berdua menghancurkan

gerakannya.

Sudah tentu Ti Then tidak akan membiarkan dia orang

mengundurkan diri dari sana, ditengah suara tertawanya yang amat

keras tubuhnya segera meloncat keatas mengejar dari belakang.

Sekali loncat Leng Hu ih sudah mencapai tiga kaki jauhnya, ilmu

meringankan tubuhnya jelas sangat hebat, tetapi baru saja

sepasang kakinya menncapai atas tanah Ti Then pun dalam waktu

yang bersamaan melayang lima depa dihadapannya, pedang

panjangnya dengan amat gencar melancarkan serangan mendesak

dirinya membuat dia orang kembali terkurung didalam bayangan2

pedang yang amat rapat itu.

Sekali lagi mereka berdua bergebrak beberapa jurus banyaknya

diatas tangga itu.

Leng Hu Ih yang melihat dia tidak berhasil meloloskan diri tidak

kuasa lagi segera memaki dengan gusarnya:

“Neneknya . . anak anjing! lohu dengan kalian Benteng Pek Kiam

Poo ada sakit hati apa? kenapa kalian mau membasmi kami sampai

keakar2nya?”

“Kami Benteng Pek Kiam Poo selalu mengutamakan sifat

pendekar untuk membasmi kaum penjahat yang mengacau

ketentraman Bu-lim, selamanya kami menganggap kaum penjahat

sebagai musuh2 kita yang harus dibasmi” ujar Ti Then sambil

tertawa berat.

Leng Hu Ih setelah berhasil menangkis beberapa jurus serangan,

mendadak tubuhnya meloncat keatas kemudian berjumpalitan

ditengah udara dan melayang turun ditangga yang lebih depan.

Dengan cepat Ti Then meloncat mengejar.

“Mau pergi boleh saja, tetapi sebuah tanganmu harus ditinggal”

Serunya sambil tertawa nyaring.

Mendadak Leng Hu Ih putar badannya dan mengayunkan

tangannya kebelakang.

“Barang ini kau terimalah !” teriaknya sambil tertawa keras-

Segenggam kapur dengan cepatnya menyambar datang.

Ti Then menduga dia orang sedang menyambitkan senjata

rahasia ke arahnya tetapi sama sekali tidak menyangka kalau

senjata rahasianya adalah segenggam kapur yang khusus digunakan

untuk melukai mata, dikarenakan jaraknya terlalu dekat baru saja

dia bermaksud menutup matanya keadaan sudah terlambat.

Ada sebagian kecil dari kapur itu sudah tepat menghajar matanya

sehingga terasa amat perih.

Mata adalah bagian badan yang paling lemah, setiap jago Bu-lim

yang terkena kapur tersebut bilamana bukannya untuk sementara

akan jadi buta maka untuk selamanya dia tidak dapat melihat lagi,

karenanya keadaan seperti itu sangat berbahaya sekali.

Sudah tentu Ti Then tidak terkecuali, dia merasakan sepasang

matanya amat sakit, seketika itu juga pandangannya jadi gelap tak

dapat melihat suatu apapun.

Rasa terperanjatnya kali ini benar2 luar biasa, dengan gugup dia

menghentikan gerakannya dan meloncat turun dan atas tangga.

Dikarenakan dia orang tak dapat melihat suatu apapun, begitu

mencapai permukaan tanah seketika itu juga tubuhnya jatuh

terjengkang tak dapat bergerak.

Melihat hal itu Leng Hu Ih jadi amat girang sekaii, dengan cepat

dia menubruk kebawah.

“Bangsat cilik, serahkan nyawamu!” Bentaknya sambil tertawa

keras.

Pedangnya digetarkan dengan cepat mengarah ulu hati Ti Then,

dia menyerang kearah bawah.

Walaupun sepasang mata Ti Then sudah jadi buta tetapi

telinganya masih tajam dan dapat membedakan datangnya angin

serangan.

Dengan gesitnya dia menggelinding ke samping menghindarkan

diri dari tusukan pedang tersebut, diikuti tubuhnya meloncat keatas

dengan mengikuti arah datangnya angin serangan tadi menyapu ke

depan.

Serangannya kali ini mengancam sepasang kaki dari Leng Hu Ih.

Kecepatan serangannya amat dahsyat seperti menggunakan

mata yang normal.

Dengan lekas Leng Hu Ih meloncat kesamping untuk

menghindarkan diri dari babatan itu, pada wajahnya segera

tersungginglah satu senyuman yang amat buas dan ganas sekali,

“Heee . . . . bangsat cilik. kau masih ingin mempamerkan

kepandaianmu ?” ejeknya dingin.

Air muka Ti Then amat tawar sekali, dengan perlahan-lahan dia

menekukkan kaki kirinya kebawah sehingga membentuk gaya

setengah berlutut pedang panjangnya dilintangkan didepan dada

memperhatikan sikap menanti serangan.

“Hmm…. sekarang adalah kssempaian yang baik buatmu, ayoh

maju!” serunya dingin.

Dengan diam2 Leng Hu Ih bergeser tiga langkah kesamping

kemudian secara

diam2 menusuk kearah pinggangnya, menanti ujung pedangnya

sudah berada satu dua coen dari pinggangnya dia baru membentak

dengan keras :

“Awas !”

Mendadak tubuh Ti Then berputar setengah lingkaran, didalam

keadaan yang amat kritis dia sudah membabat pedangnya

kesamping memukul miring serangaanya itu, kemudian dengan

mengikuti gerakan badannya sang pedang membacok kearah

dadanya.

Gerakannya amat keras dan aneh sekali. Dengan ter-buru2 Leng

Hu Ih meloncat mundur kebelakang.

“Heee . . . heee …. bangsat cilik” teriaknya sambil tertawa

seram.” Aku mau lihat kau masih bisa terima berapa jurus serangan

dari Lohu !”

Selesai berkata tubuhnya bergerak maju lagi melancarkan

serangan ganas.

Dengan mengandalkan pendengarannya Ti Then segera

menggerakkan pedangnya menangkis serangan tersebut, semakin

lama dia merasa semakin tidak tahan akhirnya terpaksa dia

meloncat bangun untuk menghindar.

Leng Hu Ih tidak mau memberi kesempatan buatnya untuk

bertukar napas. tubuhnya sekali lagi menubruk maju kedepan,

serangannya pun semakin lama semakin gencar semakin lama

semakin dahsyat.

“Hey bangsat cilik” teriaknya sembari menyerang sembari

tertawa seram. “Ini hari kau sudah membinasakan empat orang

anak buah dari Lohu, sekarang lohu mau tabas putus sepasang

tangan serta sepasang kakimu terlebih dulu untuk membalaskan

dendam atas kematian dari mereka berempat! ”

Ti Then dengan sekuat tenaga menahan datangnya serangan itu,

sembari bertempur tangannya yang lain segera mengucak matanya

berusaha untuk mengembalikan penglihatannya tetapi sekalipun

sudah berusaha amat lama dia semakin merasa matanya semakin

sakit sehingga tak terasa lagi didalam hati dia menghela napas

panjang.

“Sudahlah ” pikirnya kemudian, “tidak kusangka aku Ti Then ini

hari harus menemui ajalnya ditangan Si iblis bungkuk ini tetapi . .

bagaimana aku boleh mati dengan sama sekali tidak berharga ini ?

Aaku harus mengadu jiwa dengan dirinya.”

Baru saja berpikir sampai disitu mendadak dia merasakan

lengannya amat sakit sekali agaknya Leng Hu Ih sudah berhasil

menggores luka lengannya.

Masih untung luka tersebut tidak terlalu berat, dengan tergesagesa

dia angkat badannya untuk menangkis.

“Traaaang . . “ dengan tepatnya dia berhasil memukul kesamping

pedang dari Leng Hu Ih, dia tidak mau membuaug kesempatan lagi

tubuhnya dengan cepat bergerak maju mendesaknya lebih lanjut.

Ssbaliknya Leng Hu Ih tidak mau mengadu jiwa dengan dirinya,

ketika dilihat tempat kedudukkannya sudah diketahui dengan cepat

tubuhnya meloncat kesamping.

Kemudian dengan perlahan-lahan dia memutar kebelakang badan

Ti Then, sambil meringankan tindakannya dengan tanpa

mengeluarkan sedikit suara pun dia mendesak maju kembali.

Ti Then dengan pusatkan seluruh perhatiannya mendengar,

dikarenakan tidak mendengar juga pihak lawannya menyerang

terpaksa dia putar badannya melancarkan serangan dengan

menggunakan jurus Ya Can Pat huan atau delapan penjuru

petempur malam.

Leng Hu Ih tetap berdiam ditempat sama sekali tidak bergerak.

“Leng Hu Ih, kau terlalu tolol” Maki Ti Then kemudian sambil

menghentikan gerakammya. “Bagaimana sudah begitu lama kau

masih belum sanggup untuk membinasakan diriku ?”

Didalam hati Ti Then tahu dia hendak melancarkan serangan

bokongan kepadanya karena itu di dalam hati dia pun segera

mengambil keputusan untuk dengan siasat melawan siasat.

Dia akan berdiri tenang menunggu datangnya serangan musuh,

menanti pedangnya sudah menempel badannya dengan

menggunakan saat yang amat kritis itulah dia hendak balas

melancarkan satu serangan beradu jiwa dengan dirinya.

Karena itu keadaannya jadi semakin tegang lagi, dengan

dinginnya dia berdiri menanti.

Leng Hu Ih yang melihat pihak lawannya pun hendak

menggunakan tenang ma lawan tenang semakin tidak berani

bergerak lagi, sepasang matanya yang buas dengan cepatnya

berputar-putar, mendadak dengan perlahan-lahan dia berjongkok

memungut sebuah batu kemudian dengan perlahan-lahan bangkit

dan mneyambitkan batu itu kedepan tubuh Ti Then.

“Plooook!” dengan disertai suata yang amat nyaring batu itu

tepat terjatuh dihadapannya.

Tubuh Ti Then segera kelihatan bergetar amat keras.

Tetapi dia pun tidak turun tangan, dia hendak menanti sampai

pedang pihak lawan menempel badannya dia baru melancarkan

serangan balasannya.

Sebaliknya Leng Hu Ih menduga Ti Then pasti akan terkena

pancingannya dan turun tangan melancarkan serangan, karena itu

begitu melihat badan Ti Then sedikit tergetar dengan cepat dia

ayunkan pedangnya menyerang lengan sebelah kanan dari Ti Then.

Dia tetap mempunyai rencana untuk membacok putus tangan

serta kaki Ti Then dulu kemudian baru membinasakan diri Ti Then

dengan perlahan-lahan.

Tampaklah sinar pedang berkelebat menyilaukan mata,

pedangnya dengan amat tepat sekali berhasil membacok lengan

kanan dari Ti Then,

Sedang Ti Then pun dengan menggunakan saat pedang tersebut

menempel badannya mendadak dia putar pedangnya dari bawahketiak

kanannya menusuk kearah belakang.

“Aaaaaah ,„.„..”.

Suara teriakan ngeri yang mendirikan bulu roma segera bergema

keluar dari mulut Leng Hu Ih.

Ti Then segera merasakan kalau pedangnya dengan amat tepat

sekali berhasil menusuk lambung lawannya, didalam hati dia merasa

sangat girang sekali, dengan cepat tubuhnya berputar kebelakang

kaki kanannya dengan kecepatan yang luar biasa melancarkan

tendangan kilat menghajar lambungnya kemudian sembari

mencabut keluar pedangnya dia meloncat mundur satu langkah.

Dia sama sekali tidak mendengar suara rubuhnya pihak lawan,

karena itu begitu ujung kakinya mencapui permukaan tanah dengan

pusatkan seluruh perhatiannya dia siap-siap menghadapi perubahan

selanjutnya,

Tetapi walaupun sudah ditunggu beberapa saat lamanya masih

belum terdengar juga suara rubuh maupun berjalannya Leng Hu Ih,

didalam hati diam2 dia merasa terkejut bercampur curiga, tidak

kuasa lagi tanyanya dengan suara keras;

“Hey bungkuk, kau sudah mati?”

Leng Hu Ih tidak menjawab.

Tadi dia merasakan pedangnya itu dengan amat tepat sekali

berhasil menusuk lambung dari pihak lawannya bahkan pedangnya

menancap sangat dalam sekali, menurut keadaan biasa seharusnya

pihak lawan sudah menemui ajalnya.

Tetapi kenapa dia tidak mendengar suara rubuhnya pihak lawan?

karenanya didalam hati dia merasa tidak paham. pedangnya segera

dikibaskan kembali dengan menggunakan jurus Ya Can Pat Hong

atau delapan penjuru bertempur malam.

Akhirnya dia sama sekali menemui sasaran yang kosong.

“Apa mungkin dengan membawa luka dia sudah melarikan diri ?”

pikirnya didalam hati- “Bilamana memang demikian adanya maka

tentunya dia meloncat pergi sewaktu aku mencabut keluar

pedangku tadi . . ?”

Berpikir akan hal ini rasa tegang yang mencekam didalam hatinya

pun manjadi kendor kembali, dia mulai merasakan lengan kanannya

terasa amat sakit.

Ketika dia meraba dengan menggunakan tangannya saat itulah

dia baru menemukan kalau luka pada lengannya itu tidak kecil,

panjangnya ada dua coen dengan lebar tiga coen bahkan hampir

melukai tulangnya, darah segar dengan tak-henti2nya menetes

keluar membasahi bajunya, dengan cepat jari tangannya berkelebat

menotok jalan darah yang dekat dengan tempat tersebut.

Setelah itu kepalanya didongak memandang kearah sebelah

sarang penjahat itu, secara samar2 dia merasakan ada sinar merah

yang muncul didaerah sekitar tempat itu, tak kuasa lagi dia

bergumam seorang diri;

“Aaah…… itu tentu warna api, Wi Ci To serta Nyio Sam Pak

sudah membakar sarang perampok tersebut”

Berpikir sampai disitu mendadak telingany mendengar suara

hiruk pikuk yang amat keras sekali berkumandang datang dari

tempat kejauhan,

Jika didengar dari suara tersebut agaknya berasat dari anak buah

dari si iblis bongkok yang sedang melarikan diri kocar kacir dari

dalam sarangnya.

“Ehmm …. bilamana diantara orang2 itu ada seorang jagoan

yang melarikan diri melewati tempat ini dan melihat aku sedang

terluka…”

Berpikir akan hal ini dengan ter-gesa2 dia berjalan menuju

kesebelah kanan.

Dia masih ingat disebelah kanas dari tempat itu terdapat sebuah

hutan yang amat lebat dia bermaksud untuk bersembunyi beberapa

saat lamanya didalam hutan itu, karena mata serta kedua luka

dilengannya sudah sukar buatnya untuk bergebrak kembali.

Tetapi baru saja dia berjalan beberapa langkah mendadak

terdengarlah suara tersampoknya ujung pakaian berkelebat dating

dengan kecepatan yang luar biasa.

Dengan cepat dia putar badannya siap2 menghadapi sesuatu.

“Ti Kiauw-tau kau kenapa?”

Suara dari Wi Ci To.

Mendengar suara itu Ti Then segera menghembuskan napas

lega, dengan wajah yang menampilkan senyuman pahit dia berkata:

“Gakhu..kau…”

Wi Ci To yang melihat wajahnya sudah dipenuhi dengan kapur

menjadi amat terperanjat sekali, dengan cepat dia berlari mendekat.

“Kenapa matamu?” tanyanya dengan cemas.

“Karena sedikit tidak waspada, mataku sudah terkena sambitan

kapur dari si iblis bongkok..”

Belum habis dia berbicara tiba-tiba terdengarlah suara dari Nyio

Sam Pak berkumandang keluar dari belakang Wi Ci To.

“Aaaah…kau sudah bunuh iblis ini!” teriaknya dengan keras.

“Aaaah..dia sunguh-sungguh sudah mati?” Tanya Ti Then

kegirangan.

“Kau…kau membinasakan dirinya setelah matamu dibutakan

olehnya?” tanya Wi

Ci To dengan terperanjat.

“Benar” sahut Ti Then mengangguk, “Dia ingin menabas tangan

serta kaki dari boanpwe tetapi akhirya boanpwe berhasil menusuk

dirinya… agaknya boanpwe berhasil menusuk lambungnya”

“Tidak!” seru Nyio Sam Pak membenarkan kesalahannya, “Kau

sudah menusuk ulu hatinya”

“Oooh..lalu mayatnya apa rubuh disana?”

“Benar”

“Sungguh aneh sekali” gumam Ti Then seorang diri, “Kenapa

boanpwe tidak mendengar tubuhnya rubuh keatas tanah?”

“Tentunya dia rubuh keatas tanah dengan perlahan” sahut Wi Ci

To memberikan pendapatnya, “Matamu sudah tidak dapat melihat?”

“Benar, aku cuma bisa melihat sinar putih yang rada samar2 dan

buram . .”

Wi Ci To dengan ter-gesa2 memasukkan pedangnya kedalam

sarung kemudian serunya dengan cemas:

“Mari, lohu gendong kau pulang kedalam perkampungan !”

Tidak menanti Ti Then memberikan jawabannya dengan cepat

dia sudah menggendong badan Ti Then dan lari menuju ke

perkampungan Thiat Kiam San Cung.

Nyio Sam Pak sambil menenteng pedang-segera mengikuti dari

belakangnya.

“Bagaimana dengan sarang mereka ?” tanya Ti Then kemudian

ditengah jalan.

“Sedang terbakar hebat, anak buah mereka sebanyak seratus

orang sudah bubaran bagaikan buuung !”. Sahut Wi Ci To.

“Diantara pembantu2 Leng Hu Ih kini cuma Sikakek tak berbudi,

Si muka aneh serta sibisul merah tiga orang saja yang berhasil

meloloskan diri” Sambung Nyio Sam Pak lebih lanjut. “Boleh dikata

pertempuran kita kali ini memperoleh kemenangan total, cuma saja

Ti Kiauw-tauw sudah menderita luka. hal ini benar2 membuat lolap

merasa tidak tenang”.

“Nyio Locianpwe buat apa mengucapkan kata2 tersebut ? sedikit

luka dari boanpwe ini tidaklah seberapa buat apa locianpwe merasa

kuatir ?”.

“Tetapi bilamana sepasang mata dari Ti Then Kiauw-tauw tidak

dapat melihat kembali, maka „ . . . ”

“Tidak! dia dapat melihat lagi,” Sela Wi Ci To dengan cepat.”

Setelah kembali kedalam perkampungan nanti, asalkan dibersihkan

beberapa kali dengan menggunakan air maka dia bisa melihat

kembali seperti sedia kala”

“Semoga saja demikian…” sambung Nyio Sam Pak sambil

menghela napas panjang.

“Bilamana tidak dapat melihat juga tidak mengapa, nyawa dari

boanpwepun ini didapat dari pungutan, ada apanya yang dapat

disesali ?”

Di dalam keadaan buta ternyata Ti Kiauw tauw masih bisa

melukai dan membinasakan Leng Hu Ih, hal ini sungguh2 sukar

untuk dipercaya!”

“Soal ini mungkin dikarenakan dia orang terlalu memandang

rendah diriku.

Bilamana bukannya dia ingin membacok putus sepasang tangan

serta kaki dari boanpwe kemungkinan sekali dia sudah berhasil

membinasakan diri boanpwe.”

Mereka bertiga sembari berjalan sembari ber-cakap2, tidak

selang seperempat jam kemudian mereka sudah tiba didalam

perkampungan Thiat Sam Kiam san Cung.

Nyio Si Ih sekalian yang melihat Ti Then menderita luka jadi

merasa terkejut, dengan cepat mereka pada maju mengerubung

dan menanyakan parsoalannya..

Tetapi Nyio Sam pak sudah mengulapkan tangannya mencegah,

tegurnya:

“Nanti saja kita bicarakan lagi, sekarang cepat ambil beberapa

pikul air bersih,”

Huan Ceng Koei serta Cia Pu Leng yang ada dikalangan dengan

tergesa2 segera berlalu.

Kepada putranya Nyio Si Ih dengan cepatnya Nyio Sam Pak

memberi perintah lagi.

“Si Ih, cepat kau siapkan obat2an dan menolong Ti Kiauw-tauw

balutkan lukanya.”

“Baik!” sahut Nyio Si Ih kemudian dengan tergesa-gesa berlalu

dari sana. Beberapa saat kemudian Huan, Cio dua orang sudah

mengambil empat pikulan air bersih, Wi Ci To segera membimbing

Ti Then untuk berjongkok dihadapan air bersih itu dan serunya.

“Mari masukkan kepalamu kedalam air!”

Ti Then segera menurut dan memasukkan kepalanya kedalam

air, kapur yang di wajahnya setelah terkena sir segera pada buyar

dari kawahnya,

Wi Ci To yang melihat air yang bersih atu sudah tercampur

sehingga kotor segera ganti dengan air yang baru.

“Sekarang coba kau membuka matamu dengan perlahan-lahan”

katanya,

Sekali lagi Ti Then memasukkan kepalanya kedalam air kemudian

dengan ptrlahan-lahan membuka matanya,

Ternyata sedikitpun tidak salah, rasa sakit sudah semakin

berkurang, kaput yan masih tertinggal didalam matapun sebagian

besar sudah larut kedalam air.

Ketika dia angkat kepalanya secara samar2 dia dapat melihat

beberapa sosok bayangan yang kabur, dalam hati dia merasa

sangat girang sekali.

“Aaah . . , sudah lebih baikan!”.

“Sudah dapat melihat??” tanya Wi Ci To dengan cepat.

“Masih sedikit kabur, tetapi sudah dapat melihat bentuk badan

orang!”.

“Coba ganti sepikul air lagi!”

Setelah mencuci lagi dengan sebaskom air bayangan orang yang

semula kelihatan kabur kini jauh lebih jelas lagi, cuma saja jaraknya

masih kelihatan jauh.

Wi Ci To yang melihat Nyio Si Ih sudah membawa obat2an

datang kesana lantas ujarnya kemudian:

“Sekarang balut dulu lukamu, setelah itu lohu akan bantu

mencucikan kembali matamu dengan perlahan”.

Demikianlah dengan dibimbing oleh Wi Ci To, Ti Then

dibaringkan keatas sebuah pembaringan.

Wi Ci To serta Nyio Sam Pak segera turun tangan sendiri

mencucikan mulut luka itu kemudian baru diberi obat dan di

bungkus dengan kain.

“Kau sudah banyak mengalirkan darah, sekarang merasa

bagaimana?” tanya Wi Ci To tiba2.

“Sekarang aku merasa rada lapar! ” sahut Ti Then sambil

tersenyum.

“Aaaah …” seru Nyio Sam Pak tertahan, kepada putranya Nyio Si

Ih cepat ujarnya:

“Si Ih, perjamuan telah dipersiapkan?”.

“Sejak semula telah dipersiapkan ” sahut Nyio Si Ih dengan

sangat hormat.

“Sekarang Ti Kiauw-tauw tidak dapat makan dimeja perjamuan, .

kau cepatlah bawa kemari makanan tersebut”.

Nyio Si ih lantas menyahut dan berlalu dari sana.

“Nyio-heng!” tiba? terdengar Wi Ci To berkata. “Disini apakah ada

kapas yang bersih?”

“Buat apa Wi Poocu memerlukan kapas?” tanya Nyio Sam Pak

melengak.

“Bersihkan matanya!” Sahut Wi Ci To sambil menuding kearah Ti

Then. “Matanya harus dibersihkan dengan menggunakan-kapas

baru dapat bersih dari kapur”.

Nyio Sam Pak lalu memerintahkan anak buahnya untuk pergi

mengambil kapas, kemudian dengan rasa girang ujarnya:

“Jika dilihat keadaan ini penglihatan dari Ti Kiauw-tauw akan

dapat pulih kembali seperti sedia kala”

“Benar! ” sahut Wi Ci To mengangguk. “kapur memang barang

yang paling mudah melukai mata, tetapi kalau dapat cepat2

dibersihkan dengan air maka hal itu tidak lagi terlalu bahaya”.

Leng Hu Ih selamanya menyebut dirinya sebagai iblis nomor satu

didalam Bu-lim dan selamanya bersikap amat sombong sekali, tidak

disangka didalam sakunya dia pun memiliki benda yang amat

rendah seperti ini! “.

“Mungkin benda ini sudah dipersiapkan untuk menghadapi kita

berdua dia sebeenarnya adalah orang dari kalangan Hek-to sudah

tentu berbuat apa pun dia tidak takut”.

Sewaktu berbicara sampai disana tampaklah Nyio Si Ih dengan

membawa nampan makanan yang lezat sudah berjalan masuk ke

dalam.

Baru saja makanan itu diletakkan di meja orang yang

diperintahkan untuk membawa kapas pun sudah tiba.

“Mau cuci mata dulu atau makan dulu?” tanya Nyio Sam Pak

kemudian.

“Cuci mata dulu” Sahut Wi Ci To,

Dia mengambil sebuah bangku dan membiarkan kepala dari Ti

Then menjulur keluar dari dalam pembaringan dan bersandar diatas

bangku tersebut. setelah itu dia mengambil kapas dibasahi dulu

dengan air dingin kemudian baru mulai membuka mata dari Ti Then

dan membersihkan kapur yang masih tertinggal didalam kelopak

matanya itu.

Sesudah dicuci beberapa kali akhirnya rasa sakit yang diderita Ti

Then pun jauh berkurang, sedangkan penglihatannya sudah pulih

delapan bagian,

“Sekarang bagaimana rasanya ?” tanya Wi Ci To.

“Sudah hampir pulih seluruhnya cuma saja masih merasa sedikit

sakit.”

“Soal ini tidak bisa terhindar lagi tetapi setelah lewat satu dua

hari tentu akan sembuh kembali seperti sediakala, sekarang kau

duduklah dan bersantap.”

“Tidak!” cegah Nyio Sam Pak dengan cepat. “Tangan kanan dari

Ti Kiauw-tauw masih belum sembuh. biarlah dia tetap berbaring

Lolap akan suruh putraku membantu dia!”

Dengan cepat dia menekan badan Ti Then untuk berbaring

kembali, setelah itu kepada putranya Nyio Si Ih perintahnya:

“Si Ih, coba kau bantulah Ti Kiauw-tauw untuk menyiapkan

makanan itu kepadanya!”

“Tidak perlu begitu. boanpwe bisa makan dengan menggunakan

tangan kiri.” Seru Ti Then menampik.

Tetapi walaupun dia sudah berbicara secara bagaimanapun dia

orang tua tidak memperkenankan juga dia makan sendiri. Ti Then

tidak dapat berbuat apa-apa lagi terpaksa sahutnya kemudian:

“Kalau begitu silahkan Nyio Locian-pwe pergi bersantap, cuma

dikarenakan sedikit luka dari boanpwe membuat Lo-cianpwe pun

harus bingung- benar2 membuat boanpwe merasa tidak tenang.”

“Baiklah!” ujar Nyio-Sam Pak kemudian dan menoleh kearah Wi

Ci To. “Mari kita pergi makan dulu, nanti kita datang lagi!”

Setelab dua orang tua itu pergi Nyio Si Ih mulai membantu Ti

Then menyuapinya, dia orang sampai waktu ini masih tidak tahu

bagaimana Ti Then terkena sambitan kapur oleh pihak lawan serta

bagaimana kesudahan pertempuran melawan Leng Hu Ih, tidak

tertahan lantas tanyanya;

“Ti-heng siapa yang sudah melukai matamu itu ?”

“Leng Hu Ih”

“Oooh. . . kau sudah bergebrak dengan si iblis bungkuk Leng Hu

Ih ?” tanya Nyio Si Ih terkejut.

“Benar.”

“Lalu bagaimana kesudahannya ?” Sembari menyuapi makan Ti

Then segera menceritakan bagaimana dia sudah mengalahkan diri

iblis bungkuk itu.

Ketika Nyio Si Ih mendengar dia orang sudah berhasil

membinasakan diri iblis bungkuk Leng Hu Ih tidak terasa lagi

sepasang matanya sudah terpentang lebar2, dengan wajah kurang

percaya tanyanya dengan terkejut.

“Sungguh ? kau . . . kau bisa menangkan si iblis bungkuk Leng

Hu Sian?”

Ti Then cuma tersenyum saja tidak menjawab.

xxxx

Malam ini dengan alasan hendak menjaga Ti Then Wi Ci To tidur

satu kamar dengan diri Ti Then.

Nyio Sam Pak menemani mereka berdua sampai tengah malam

baru pamit untuk pulang ke kamarnya.

Setelah melihat bayangan punggungnya lenyap dari balik pintu,

Ti Then baru menoleh ke arah Wi Ci To dan tersenyum pahit.

“Siasat kita aku rasa sukar untuk dijalankan lagi” ujarnya dengan

suara yang rendah. “Gak-hu punya rencana berbuat bagaimana?”

“Lohu sendiri juga tidak mengetahui cara untuk menghadapi

perubahan ini..” sahut Wi Ci To kemudian dengan wajah serius

setelah termenung berpikir beberapa saat lamanya.

“Ini hari kita harus membantu Nyio-locianpwe melenyapkan si

iblis bungkuk Leng Hu Ih, walau pun urusan terjadi di luar dugaan

tetapi boleh dikata perjalanan kita tidak sia-sia, bilamana kita tidak

pergi ke perkampungan Thiat Kiam San Cung terlebih dulu

bagaimana bisa tahu kalau Nyio locianpwe juga mengundang Cuo It

Sian untuk member bantuan?”

“Benar!” sahut Wi Ci To sambil mengangguk “Untung sekali Nyio

Cung-cu berkata kalau paling cepat Cuo It Sian baru sampai disini

dua puluh hari kemudian, maka itu kita masih punya kesempatan

untuk mengubah siasat”

“Gak-hu menduga apakah Cuo It Sian bisa menerima undangan

dari Nyio Locian-pwe untuk datang ke perkampungan Thiat Kian San

Cung?”

“Delapan bagian dia bisa dating!”

“Tetapi ada kemungkinan juga dia tidak berani datang, karena

dia sudah membinasakan anak murid dari Nyio locianpwe, Si elang

sakti Cau Ci Beng, sewaktu putra dari Nyio Locianpwe sampai di

rumahnya dan menjelaskan maksud hatinya untuk memohon

bantuannya membasmi Si iblis bungkuk Leng Hu Ih, mungkin dia

sudah menaruh curiga kalau rahasia dimana dia sudah membunuh

mati si elang sakti Cau Ci Beng telah diketahui oleh dia orang tua

sehingga dengan demikian dia sudah menaruh salah anggapan

bahwa undangannya untuk mengunjungi perkampungan Thiat Kiam

San Cung hanyalah satu siasat balaka !”

“Sudah tentu dia bisa berpikir sampai kesana, tetapi lohu percaya

dia bisa datang karena diapun menduga kalau pembunuhan yang

dilakukan ditengah malam buta itu tidak bakal bisa diketahui oleh

siapapun juga, maka itu Nyio Cung-cu tidak mungkin bisa

mengatahui kalau Cau Ci Beng mati ditangannya, bahkan bilamana

dia tidak datang maka hal ini semakin bisa diperlihatkan kecurigaan

yang lebih besar !”

Dia berhenti sebentar untuk kemudian katanya lagi :

“Sudah tentu jikalau dia tidak datang kita bisa melakukan

pekerjaan sesuai dengan rencana,”

“Bilamana dia sudah datang apakah Gak-hu merasa dia dapat

membawa pedang Biat Hun Kiam-nya ?” tanya Ti Then

“Sukar untuk dibiarakan, dia ada kemungkinan membawa serta

pedang tersebut ada kemuugkinan juga tidak membawa pedang itu

. . .”

“Apa maksud perkataanmu itu ?”

“Untuk menutupi rahasia patahnya pedang pendek itu ada

kemungkinan dia bisa membawa serta pedang pendek Biat Hun

Kiam itu untuk sengaja diperlihatkan kepada Nyio Cung cu sehingga

dengan demikian bisa ada orang yang membuktiksn kalau pedang

pendek Biat Hun Kiam itu belum pernah terputus , . .”

“Oooh „ , . . sekarang boanpwe paham sudah,” tiba-tiba potong

Ti Then sambil tertawa.

“Kau sudah memahami apa?” tanya Wi Ci To melengak.

“Dahulu dia pernah menggunakan pedang pendek Biat Hun Kiam

itu untuk melakukan satu perbuatan yang merugikan masyarakat,

akhirnya pedang pendek itu patah jadi dua dan secara tidak sengaja

sudah didapatkan oleh Gak-hu sehingga menangkap pangkal

peristiwa inu, bukan begitu?” ujar Ti Then sambil tertawa.

“Benar” sahut Wi Ci To kemudian sambil mengangguk sesudah

berpikir sebentar. “Sekarang kau adalah menantuku, maka aku

sudah menaruh kepercayaan kepadamu, peristiwa yang terjadi

memang seperti apa yang kau duga, dia memang pernah

menggunakan pedang ini untuk melakukan satu perbuatan yang

merugikan orang lain.”

“Peristiwa apa?”

Dengan perlahan-lahan Wi Ci To menghela napas panjang.

“Orang itu sebetulnya tidak jelek” ujarnya. “Pada masa yang lalu

setelah lulus ujian dia lantas diangkat sebagai pembesar negeri dan

memangku jabatan disatu kota tetapi dia orang bersifat jujur dan

suka menegakkan keadilan bahkan paling tidak suka melihat cara

bekerja dari pembesar lainnya, akhirnya karena tidak betah dia

meletakkan jabatan dan kembali kedesa, beberapa tahun kemudian

dia mulai berkelana didalam Bu-lim. dikarenakan semasa kecilnya

dia pernah memperoleh pelajaran ilmu silat dari seorang manusia

aneh di dalam Bu-lim maka tidak sampai satu tahun dia

mengembara namanya sudah terkenal sekali diseluruh sungai telaga

bahkan di dalam beberapa tahun itupun dia sering melakukan

pekerjaan baik maka orang2 sudah menganggap dia sebagai

seorang pendekar yang patut dihormati.

Heei.. , , siapa tahu setelah tiba di masa tuanya ternyata

perbuatannya malah tidak keruan dan sudah melakukan satu

perbuatan yang sangat tercela sekali”

Dia berhenti sebentar untuk tukar napas kemudian sambil

tertawa dingin sambungnya:

“Urusan sudah begini, pada suatu tengah malam empat tahun

yang lalu, dikarenakan lohu ada urusan hendak pergi menyambangi

Yuan Koan Thaysu itu ciangbunjin dari Siauw lim pay ditengah

perjalanan melewati sebuah dusun didekat kota Tiong Cing Hu yaitu

dusun Sak Peng, mendadak dari sebuah rumah petani

berkumandang datang suara jeritan ngeri dari seorang perempuian,

lohu dengan cepat mengejar kesana begitu masuk kedalam pintu

satu pemandangan yang amat memalukan dan mengerikan

terpampang dihadapan mata,

Didalam rumah itu menggeletaklah sepasang suami istri, yang

lelaki sudah tertotok jalan darah kematiannya sehingga binasa

diatas lantai, yaug perempuan telanjang bulat menggeletak diatas

pembaringan, jelas sekali bagian bawah badannya sudah mengalami

perkosaan yang ganas, pada dadanya masih mengalir keluar darah

segar dengan amat derasnya sedang disamping badannya

menggeletaklah potongan pedang pendek tersebut.

Jika ditinjau dari keadaan itu jelas perempuan tersebut sudah

diperkosa dulu kemudian baru dibunuh dan alat untuk melakukan

pembunuhan itu bukan lain adalah pedang pendek tersebut entah

secara bagaimana pedang pendek yang digunakan untuk menusuk

dada perempuan itu bisa putus sedangkan pembunuhnya mungkin

karena keadaannya amat gugup ternyata potongan pedang itu pun

sudah lupa untuk memungutnya kembali.”

Ketika mendengar kisah tersebut sampai disana Ti Then segera

mengerti, bangsat tukang perkosa itu bukan lain adalah si pembesar

kota Cuo It Sian, tidak terasa lagi hawa amarah sudah membara

didalam dadanya.

“Hmm, sungguh ganas perbuatannya!” makinya dengan gusar.

Sekali lagi Wi Ci To menghela napas panjang, sambungnya lagi :

“Ketika Lohu melangkah masuk kedalam kamarnya perempuan

tersebut masih belum putus nyawa, begitu bertemu dengan lohu

dengan kata kata terputus dia cuma mengucapkan Cuo It Sian tiga

kata saja setelah itu napasnya putus dan menemui ajalnya.”

“Dia mempunyai banyak uang, untuk main perempuan masih

mempunyai cara yang amat banyak sekali, tidak kusangka ternyata

dia masih menggunakan juga cara yang demikian kejamnya. Hmm,

patut dibunuh”

Wi Ci To tersenyum.

“Manusia adakalanya memang sangat menggelikan” ujarnya lagi

dengan perlahan. “Terang-terangan didalam hati mempunyai sifat

suka main perempuan tetapi dihadapan orang lain sengaja

memperlihatkan sikap yang keren dan berwibawa di wajahnya

memperlihatkan sikapnya yang sok suci . . . karena itu untuk

melampiaskan napsu binatangnya terpaksa dia melakukan pekerjaan

mencuri, demikian pula dengan keadaan dari Cuo It Sian, terang

terangan dia kepingin sekali main perempuan tetapi tidak berani

memperlihatkan keinginannya itu secara terbuka didalam keadaan

yang kebelet pikiran serta kesadarannya jadi terganggu,

kesadarannya jadi kalut sehingga tanpa memikirkan akibatnya dia

sudah melakukan pekerjaan yang amat rendah dan memalukan itu.”

“Tetapi jikalau ditinjau kekayaan yang berlimpah limpah untuk

mencari perempuan atau gundik bukanlah satu soal yang amat sulit,

didalam rumahnya dia menyembunyikan perempuan ada siapa yang

bakal tahu ?” ujar Ti Then sambil tertawa.

“Dengan usianya yang sudah lanjut boleh dikata sudah patut

menjadi kakeknya orang lain, bagaimana pun dia harus

memperlihatkan juga kewibawaannya apalagi ada beberapa patah

kata entah kau pernah dengar orang berkata atau tidak ?”

“Perkataan apa ?” tanya Ti Then cepat.

“Daripada istri lebih baik gundik, daripada gundik lebih baik

budak perempuan, daripada budak perempuan lebih baik

memperkosa.”

“Hmmm, sungguh mirip tulang kere!” seru Thi Then sambil

tertawa pahit.

Mendadak Wi Ci To mendehem perlahan, senyuman yang

menghiasi bibirnya pun

telah lenyap.

“Pokoknya” ujarnya lagi dengan serius, “Perbuatan dari Cuo It

Sian memperkosa perempuan itu bukan dikarenakan godaan hatinya

saja. sebab yang penting adalah dikarenakan perempuan itu

mempunyai wajah yang amat cantik serta bentuk badan yang

montok dan menggiurkan.”

“Aaaah.., perempuan ini sangat cantik?” tanya Ti Then tertegun.

“Benar.” sahut Wi Ci To mengangguk, “Boleh dikata saking

cantiknya sukar untuk dibandingkan, apalagi sepasang matanya

yang hitam dan besar itu membuat setiap orang yang melihatnya

pasti akan terpikat. Sudah tentu Cuo It Sian terpikat hatinya oleh

kecantikan wajah perempuan itu sewaktu menarik hasil panennya

sehingga saking tidak tahannya dia sudah melakukan perbuatan

tersebut.”

“Lalu apakah suami dari perempuan itu adalah anak buah dari

Cuo It Sian?” tanya Ti Then keheranan-

“Tidak salah, kalau tidak bagaimana perempuan itu bisa

mengetahui kalau orang yang memperkosa kemudian

membunuhnya adalah hasil perbuatan dari Cuo It Sian?”

Dia berhenti sebentar untuk tukar napas kemudian sambungnya

lagi.

“Berbicara selanjutnya, sewaktu loho melihat perempuan itu telah

mati untuk menghindarkan diri dari kesalah pahaman dari orangorang

kampung, maka lohu segera pungut kembali potongan

pedang itu dan meninggalkan dusun itu kembali ke kota Tiong Cing

Hu”

Sewaktu Lohu sampai dirumahnya waktu itu dia masih belum

tidur, ketika lohu munculkan dirinya dan bertemu dengan dia

kemudian memperlihatkan pula potongan pedang itu dia segera jadi

ketakutan bahkan secara tiba-tiba sudah berlutut dihadapan lohu

untuk minta diampuni dosanya, dengan memandang jasa yang

pernah diperbuat sewaktu berkelana didalam Bu-lim dia berjanji

empat tahun kcmudian dia akan bunuh diri dihadapan lohu untuk

menebus dosanya”

“Kenapa dia mengajukan permintaan itu?”

“Dia bilang dia masih ada perintah dari suhunya yang masih

belum diselesaikan, menurut perkataannya sesaat suhunya

menemui ajalnya dia minta dia orang bantu mencarikan keturunan

dari seorang tuan penolongnya kemudian mewariskan seluruh

kepandaian silat itu kepada putra atau cucu dari orang itu, dan

selama ini dia masih belum menjalankan tugasnya itu karenanya dia

berharap sebelum meninggalkan dunia ini dia ingin menyelesaikan

dulu perintah dari Suhunya ini..”

“Perkataannya ini apa sungguh-sungguh?”

“Waktu itu wajahnya dipenuhi dengan air mata bahkan sudah

mengangkat sumpah. Lohu segera mempercayainya dan

mengijinkan dia hidup empat tahun lagi. Saat itu perduli dia sudah

berhasil menemukan keturunan dari tuan penolongnya itu atau tidak

dia diharuskan bunuh diri untuk menebus dosa tersebut.”

“Lalu apakah Gak-hu tidak pernah memikirkan bilamana sampai

waktunya dia mungkiri sumpahnya dan tidak mau membunuh diri

untuk menebus dosanya itu?”.

“Lohu pernah memberitahu kepadany dengan jelas bilamana

sampai waktunya dia tidak mau bunuh diri untuk menebus dosa

tersebut maka pada pertemuan puncak di gunung Hoa san tahun

besok dihadapan orang banyak Lohu akan membongkar rahasianya

ini”

“Dan potongan pedang itu sebagai barang buktinya ? sambung Ti

Then lebih lanjut.

“Benar” sahut Wi Ci To membenarkan.

“Selama tiga tahun ini secara diam-diam beberapa kali Lohu

memeriksa gerak-geriknya; aku menemukan dia agaknya memang

benar sedang mencari- keturunan tuan penolongnya sesuai dengan

pesan terakhir suhunya, tetapi waktu hari itu Lohu mendengar

pengakuan dari Hu-Poocu yang berlutut sambil menjelaskan

maksudnya mengadakan jual beli dengan Cuo It Sian, Lohu baru

merasa aku orang sudah tertipu*, kiranya dia sengaja ulur waktu

sebenarnya sedang berusaha untuk mencuri kembali potongan

pedang itu untuk melenyapkan bukti”

“Setelah Hu poocu bunuh diri seharusnya Gak-hu lantas

mengumumkan kejahatannya”

“Waktu itu dikarenakan sedang mempersispkan perjanjian

dengan si anjing langit rase bumi lohu tidak ada waktu untuk

mengumumkan kejahatannya dihadapan umum tetapi menanti

setelah aku berhasil menghancurkan istana Thian Teh Kong dia

sudah berhasil menawan Ih Koen, Cha Cay Hiong serta Pau Kia Yen

tiga orang”

“Sewaktu dia orang sesudah memperkosa lalu membunuh

perempuan itu, potongan pedang yang lain masih tertinggal didalam

badan perempuan itu, akhirnya bagamana dia bisa mengambil

kembali potongan pedang yang masih tertinggal itu ?” tanya Ti Then

lagi.

“Hari itu setelah lohu perintah kau pergi kegunung Cun san untuk

mencuri kembali potongan pedang tersebut, lohu segera berangkat

menuju ke dusun Sam Peng untuk mengadakan penyelidikan, saat

itulah lohu baru tahu pada malam setelah perempuan itu diperkosa

kemudian dibunuh dan tepatnya setelah lohu meninggalkan diri Cuo

It Sian dia segera kembali lagi ke perkampungan Sam Peng untuk

mengambil keluar potongan pedang yang masih tertinggal dibadan

perempuan itu kemudian minjam kesempatan sebelum terang tanah

dia sudah bakar habis rumah petani itu, karenanya sewaktu Lohu

mengadakan penyelidikan didusun Sam Peng orang2 dusun

disekeliling tempat itu semuanya bilang sepasang suami istri itu

menemui ajalnya karena rumah yang mereka diami sudah terbakar,

mereka sama sekali tidak tahu kalau mereka sudah mati terlebih

dahulu ditangan Cuo It Sian.

Ditinjau dari hal ini saja jelas sekali sejak semula dia sudah punya

rencana untuk merebut kembali potongan pedang itu dari tangan

Lohu dan hendak mencuci bersih dosanya.”

-oooOdwOooo“

PERISTIWA ini sekalipun Gak-hu tidak dapat segera

mengumumkan dihadapan Bu-lim seharusnya boleh juga

diberitahukan kepada para jago yang ada didalam Benteng “ujar Ti

Then kemudian. “Kenapa Gak-hu selalu tidak mau berkata?”

“Sesudah potongan pedang itu berhasil dia orang dapatkan

kembali lohu sendiri pun tidak mempunyai bukti lagi untuk

membuktikan dosanya secara terbuka berarti juga sudah membuka

kedoknya yang sebenarnya dia mempunyai pengaruh dan harta

yang cukup banyak dan dapat menggunakan uangnya untuk

membeli kekuatan dari luar untuk melawan Benteng kita, maka itu

Lohu harus berpikir sebelum membeberkan dosa dihadapan umum.”

“Tetapi pedang pendek itu sudah disambung seperti sedia kala,

sekalipun kita rebut kembali apakah bisa digunakan sebagai bukti

atas kejahatannya?”

“Dapat”

“Bagaimana bisa jadi ?” tanya Ti Then tidak paham.

“Pedang pendek itu adalah hadiah dari Nyio Sam Pak kepadanya

di kemudian hari setelah ada ditangan kita sekalipun dia mau

memberi penjelasan juga tidak bakal jadi terang apalagi ada kau

sebagai yang dengan mata kepala sendiri melihat dia

membinasakan Cu Kiam Lojien serta Si elang sakti Cau Ci Beng- lain

kali di hadapan para jago dalam Bu lim kau bisa menunjukan pula

tempat dimana Cu Kiam Lo-jien serta Si elang sakti Cau Ci Beng

dikubur.”

Ti Then segsra mengangguk membenarkan.

“Tadi Gak-hu bilang kalau memangnya dia menerima undangan

tersebut datang ke Perkampungan Thiat Kiam San cung ada

kemungkinan pedang pendek Biat Hun Kiam itu dibawa serta

kemudian sengaja diperlihatkan pada Nyio locianpwe sehingga

dengan demikian ada orang yang membuktikan kalau pedang

pendek itu belum pernah patah.”

Tidak menanti dia meneruskan perkataannya Wi Ci To sudah

menyambung.

“Sebaliknya alasannya tidak dibawa serta kemungkinan sekali dia

takut hilang.”

“Kalau begitu sekarang kita pura-pura mengatakan dia datang

dengan membawa pedang pendek itu. kita harus carikan satu akal

untuk mendapatkan pedang tersebut”

“Kau punya pendapat apa ?”

“Sebenarnya maksud kita datang kemari adalah hendak melihat

wajah serta perawakan dari Nyio Locianpwe kemudian oleh Gak-hu

atau boanpwe yang menyamar sebagai Nyio Locianpwe pergi ke

kota Tiong Cing Hu untuk memeriksa pedang itu kemudian menukar

pedang yang asli dengan yang palsu- Kini kalau memangnya Cuo It

Sian akan datang di perkampungan Thiat Kiam San Cung bagaimana

kalau kita jelaskan seluruh persoalan itu kepada dia orang tua

kemudian minta dia menanyakan pedang Biat Hun Kiam itu sesudah

dia tiba didalam perkampungan, bilamana Cuo It Sian membawa

serta pedang pendek Biat Hun Kiam itu maka dia akan mengambil

keluar untuk diperlihatkan kepada Nyio Locianpwe, saat itulah kita

dengan menurut rencana yang semula turun tangan dan biarlah

Nyio Locianpwe yang menukar pedang yang asli itu dengan yang

palsu”.

“Bilamana siasat ini diketahui olehnya?” tanya Wi Ci To setelah

termenung berpikir sebentar.

Ti Then segera tersenyum manis.

—ooo0dw0ooo—

Jilid 34.1 : Cuo It Sian akhirnya datang juga

“Kalau begitu kita harus menawannya secepat mungkin, dia

sudah memperkosa dan membunuh orang jikalau dibicarakan dari

dosanya ini kita boleh membasminya terlebih dahulu tanpa menanti

pertemuan puncak para jago diatas gunung Hoa San tahun depan”

Wie Ci To termenung berpikir sejenak akhirnya dengan tegasnya

dia mengangguk.

“Baiklah, kau tidurlah terlebih dulu,” ujarnya kemudian. “Loohu

sekarang juga akan pergi menemui Nyio Cung-cu dan menceritakan

seluruh peristiwa ini kepadanya”

Selesai berkata dia segera mengambil mantelnya dan turun dari

atas pembaringan untuk pergi dari dalam kamar.

Dengan perlahan Ti Then menghembuskan napas lega, teka teki

yang menyelimuti hatinya selama beberapa bulan ini boleh dikata ini

hari sudah terpecahkan, tidak terasa diam2 dia sudah memperingati

diri sendiri.

Seorang manusia yang benar2 sejati tidaklah seharusnya berbuat

kejahatan seperti Cuo It Sian ini sebetulnya dia adalah seorang yang

suci dan berbudi, tetapi dikarenakan menuruti hawa napsu didalam

hatinya sehingga melakukan pekerjaan yang begitu memalukan

bahkan setelah peristiwa itu dia tidak mempunyai keberanian untuk

menebus dosanya, akhirnya semakin terjerumus kedalam lembah

kehinaan yang lebih mendalam sehingga tidak dapat terhindar lagi

dia harus menebus dosa itu hal ini sungguh menakutkan sekali ….

Selanjutnya dia memikirkan dirinya sendiri, teringat dirinya yang

diperintahkan oleh Majikan Patung Emas untuk memperisteri Wie

Lian In maka keadaannya pada saat itu mirip sekali dengan keadaan

dari Cuo It Sian yang sudah memperkosa perempuan itu, untuk

berpaling pun sudah terlambat !

Bolehkah dirinya kawin dengan Wie Lian In? Tidak boleh!!!

Tetapi majikan patung emas sudah menerangkan dengan begitu

jelasnya, bilamana dirinya tidak mau mendengarkan kembali

perintahnya untuk memperistri Wie-Lian In dan bantu dia mencapai

pada tujuannya maka terpaksa dia akan melakukan satu tindakan

“Kekerasan”.

Tindakan ” Kekerasannya ” itu sudah tentu hendak turun tangan

membinasakan Wie Ci To serta Wie Lian In, dengan kepandaian

silatnya yang begitu dahsyat dan sempurna untuk membinasakan

Wie Ci To boleh dikata satu pekerjaan yang amat mudah sekali.

Kalau begitu, jikalau dia mau mengikuti perintahnya dan

memperistri Wie Lian In bukankah hal ini sama saja dengan telah

menolong Wie Ci To dari kematian, tetapi persoaiannya terletak

setelah dia kawin dengan Wie Lian In … .

Semakin berpikir semakin bingung dan semakin mangkel, selama

satu malaman dia tidak dapat memejamkan matanya barang

sekejappun.

XXXXX

Hari sudah terang . .

Dengan wajah yang sangat terharu Nyio Sam Pak bersama

dengan Wie Ci To berjalan masuk kedalam kamar Ti Then,

Setelah duduk di dalam kamar dia baru menghela napas panjang

dan ujarnya,

“Ti Kiauw tauw, tempat terkuburnya jenasah muridku apakah kau

masih bisa menemukannya ?”

“Sudah tentu bisa” sahut Ti Then mengangguk- “Sekalipun

boanpwee tidak tahu nama dari tempat pegunungan yang amat

sunyi tersebut tetapi dengan amat mudahnya boanpwee bisa

menemukannya kembali.”

Titik2 air mata mulai mengucur keluar membasahi wajahnya,

kemudian sambil gelengkan kepalanya dia menghela napas panjang,

“Tidak kusangka Cuo It Sian sebetulnya adalah seorang manusia

yang berhati begitu kejam. tidak aneh kalau muridku sampai kini

belum kembali juga, kiranya dia sudah menemui bencana.”

“Karena dia sudah membinasakan Cu Kiam Loojien didadalam

hatinya dia baru ambil keputusan untuk membereskan sekalian

muridmu karena muridmu bilang mau pergi kegunung Cun San

mencari Cu Kiam Loojien untuk mengambil pedang, sedangkan

tempat itunya amat dekat sekali dengan gunung Cun San apalagi

ditengah malam bisa pula dia takut setelah muridmu menemukan

mayat dari Cu Kiam Loojin lantas menaruh curiga dialah

pembunuhnya, karena itu tanpa berhenti lagi dia menusuk mati

sekalian muridmu,” kata Ti Then.

“Sungguh kejam, terlalu kejam!” maki Nyio Sam Pak dengan

amat gusarnya.

“Kali ini orang yang pergi mengundang dia datang kemari adalah

putra sulung dari Nyio cungcu atau putra yang kedua ?” tanya Wie

Ci To tiba2.

Air muka Nyio Sam Pak seketika itu juga berubah sangat hebat.

“Putra sulung loolap Si Ce.” sahutnya sambil mendongakkan

kepalanya. “Maksud Wie Poocu . . . kemungkinan dia bisa turun

tangan membinasakan putraku ?”

“Loohu rasa tidak mungkin” sahut Wie Ci To sambil gelengkan

kepalanya. “Sekalipun dia menaruh curiga kalau undangan Nyio

heng kepadanya untuk mengunjungi perkampungan Thiat Kiam San

Cung adalah bertujuan untuk membalas dendam atas kematian dari

muridmu dia pun tidak akan berani turun tangan untuk sekalian

membunuh mati putra dari Nyio heng karena sekalipun dia bunuh

putramu juga tidak ada gunanya.”

Mendengar perkataan tersebut Nyio Sam Pak baru merasa rada

lega.

“Putraku sudah ada tiga, empat hari lamanya meninggalkan

perkampungan, sekali pun mengirim orang untuk suruh dia pulang

juga tidak bakal kecandak” ujarnya perlahan.

“Kalau begitu kitapun terpaksa harus menggunakan siasat

melawan siasat seperti apa yang aku orang She Wie katakan

kemarin malam . . . menanti saja kedatangannya!” Sahut Wie Ci To

kemudian.

“Bilamana dia datang juga untuk memenuhi undangan mungkin

setengah bulan kemudian baru bisa tiba ditempat ini” ujar Nyio Sam

Pak lagi sambil menggigit kencang bibirnya. “Loolap cuma takut dia

orang tidak berani datang untuk memenuhi undangan”.

“Kalau begitu kita tunggu dua puluh hari dulu disini bilamana dia

tidak datang juga maka kita ber-sama2 pergi ke kota Tiong Cing Hu

untuk mengunjungi diri nya”.

Nyio Sam Pak segera mengangguk.

“Sewaktu dia tiba di perkampungas Thiat Kiam San Cung waktu

itu janganlah sekali-kali membiarkan diapun tahu kalau kita ada

didalam perkampungan “Tukas Ti Then pula. “Maka itu Nyio

Loocianpwee harus baik2 memberi pesan wanti2 sama orang2

perkampungan agar semuanya baik2 menjaga rahasia ini”

“Soal ini loolap paham” sahut Nyio Sam Pak mengangguk.

Demikianlah mulai hari itu Wie Ci To serta Ti Then pun tinggal

didalam perkampungan Thiat Kiam San Cung.

Didalam sekejap saja sepuluh hari lewat dengan cepatnya . ..

sepasang mata serta kedua tempat luka pedang ditangan Ti Then

pun sudah sembuh seperti sedia kala, dikarenakan Nyio Sam Pak

menaruh rasa terima kasih atas bantuan mereka membasmi Si iblis

bungkuk Leng Hu Ih serta anak buah-nya. setiap hari tentu dengan

masakan yang paling lezat dia menjamu Wie Ci To berdua, karena

itulah sekalipun sewaktu luka Ti Then sudah kehilangan banyak

darah tetapi saat ini boleh dikata sudah sembuh kembali seperti

sedia kala.

Hari itu putra kedua dari Nyio Sam Pak, Nyio Si Jien sudah

kembali kedalam perkampungan dengan membawa dua orang

jagoan kelas satu dari Bu lim merekapun merupakan kawan akrab

dari Nyio Sam Pak, yang satu adalah Im Si Tiauw Ong atau si kakek

tukang pancing Shia Si Yuen sedangkan yang lain adalah toosu dari

Bu-tong pay Lam Yang Cu.

Setelah mereka meadengar penjelasan dari Nyio Sam Pak dan

mengetahui berkat bantuan dari Pek Kiam-Pocu Wie Ci To kawanan

iblis bungkuk Leng Hu Ih berhasil dibasmi maka mereka berdua

cuma tinggal satu hari saja didalam perkampungan kemudian pada

hari kedua pamit diri untuk kembali ketempat asalnya.

Didalam sekejap mata empat hari kembali berlalu dengan

cepatnya. Nyio Sam Pak pun menduga ada kemungkinan Cuo It Sian

hampir datang karenanya dia segera rnempersiapkan satu kamar

rahasia buat Wie Ci To serta Ti Then untuk bersembunyi setelah itu

dia mengumpulkan seluruh anggota perkampungannya untuk diberi

wanti2 jangan sampai membocorkan rahasia dimana Wie Ci To serta

Ti Then berhasil menghancurkan si iblis bungkuk Leng Hu Ih

kemudian mertamu selama beberapa lama didalam perkampungan.

Keesokan harinya Nyio Si Ce yang diperintahkan Nyio Sam Pak

untuk mengundang Cuo It Sian mendadak muncul kembali didalam

perkampungan Thiat Kiam San Cung seorang diri.

Nyio Sam Pak yang melihat putranya kembali dalam keadaan

selamat, hatinya jadi amat lega sekali.

“Si Ce kau sudah kembali?” serunya kegirangan.

“Benar Tia !” Sahut Nyio Si Ce cepat. “Selama dua puluh hari ini

apakah Si iblis bungkuk Leng Hu Ih tidak mencari gara2 lagi dengan

kita ?”

“Tidak, kau sudah bertemu dengan Cuo It Sian ?”.

“Benar, dia telah menyanggupi untuk datang membantu kita

mengusir Si iblis bungkuk tersebut “.

“Lalu kenapa dia tidak datang ber-sama2 kau? ” tanya Nyio Sam

Pak kemudian.

“Dia bilang masih ada urusan yang harus diselesaikan, dan

memerintahkan aku untuk pulang dulu. dia bilang dua hari

kemudian akan menjusul sendiri kemari “.

“Bagus, kau ikutlah Loolap!” ujar Nyio Sam Pak kemudian sambil

mengangguk.

Dengan memimpin putranya Nyio Si Ce dia berjalan masuk

kedalam kamar rahasia itu, ujarnya kemudian sambil menuding

kearah Wie Ci To serta Ti Then yang sedang bermain catur didalam

kamar rahasia tersebut.

“Mereka adalah Wie Toa Poocu dari Benteng Pek Kiam Poo serta

Ti Then, Ti Kiauw-tauw dari Benteng Pek Kiam Poo, cepat kau maju

menyambut mereka !”,

Nyio Si Ce yang mendengar perkenalan dari ayahnya itu semula

rada tertegun tetapi sebentar kemudian dengan wajah kegirangan

segera maju memberi hormat,

Menanti setelah mereka mengucapkan kata2 merendah barulah

ujarnya kembali.

“Si Ce, sekarang kau ceritakanlah keadaanmu sewaktu bertemu

dengan Cuo It Sian kepada kita semua”

Nyio Si Ce yang mendengar perkataan tersebut ada sesuatu yang

tidak beres segera jadi tertegun,

“Cuo Loocianpwee dia . . . dia kenapa ?” tanyanya keheranan.

“Nanti saja aku beritahu padamu. sekarang kau ceritakanlah

dahulu kisahmu”

“Aku melakukan perjalanan siang malam dengan cepatnya pada

hari kesembilan sudah tiba di kota Tiong Cing Hu. setibanya didepan

rumah Cuo Loocianpwee kebetulan dia sedang keluar rumah dan

agaknya mau pergi keluar, ketika melihat putramu datang agaknya

dia merasa sangat terkejut sekali dan katanya . Iih …bukankah kau

adalah putra sulung dari Nyio Sam Pak dari perkampungan Thiat

Kiam San Cung, Nyio Si Ce? putramu lantas cepat turun dari kuda

memberi hormat. Dia tanya kepadaku ada urusan apa datang

kekota Tiong Cing Hu, aku menjawab mendapatkan perifctah dari

Tia untuk menyambangi dirinya dan ada urusan yang hendak

dirundingkan, setelah mendengar perkataan tersebut air mukanya

kelihatan rada aneh, lama sekali dia mamperhatikan aku tanpa

mempersilahkan aku masuk kedalam rumah. Setelah berada

didalam rumah dia baru tanya ada urusan apa putramu suruh

datang kemari, aku lantas menceritakan kisah dimana si iblis

bungkuk Leng Hu Ih datang ke atas gunung Lak Ban san untuk

mendirikan sarang dan mencari gara-gara dengan kita dari

perkampungan Thiat Kiam San Cung kemudian mengutarakan

sekalian msksudnya minta dia suka membantu.

Dia lalu menanyai keadaan dari si iblis bungkuk Leng Hu Ih

dengan amat teliti, setelah itu termenung berpikir beberapa saat

lamanya kemudian baru menyetujui, tetapi dia bilang masih ada

urusan yang harus dikerjakan terlebih dulu maka itu dia

memerintahkan aku untuk kembali dulu dan dua hari kemudian dia

baru menyusul kemari.”

Dengan perlahan Nyio Sams Pak mengangguk, kepada Wie Ci Tc

lantas tanyanya.

“Menurut Wie Poocu bagaimana ?”.

“Bilamana dia telah menyanggupi untuk datang memberi bantuan

seharusnya ikut datang pula dengan putramu …” Sahut Wie Ci To

setelah termenung berpikir sebentar.

“Benar. tetapi jika ditinjau dari keadaan ini ada kemungkinan dia

tidak berani datang”.

“Tidak tentu, jikalau dia tidak datang bagaimana dia orang akan

memberi alasannya kepada Nyio Loocianpwee ?? ” Sela Ti Then

kemudian. “Menurut pendapat boan-pwee tentu dia akan secara

diam2 datang kegunung Lak Ban san dulu untuk memeriksa apakah

Si iblis bungkuk Leng Hu Ih pernah mendirikan sarangnya diatas

gunung ini setelah itu baru datang ke perkampungan kita”

“Bilamana demikian adanya, jikaiau dia melihat sarang itu sudah

terbakar belum tentu mau datang!”

“Dia pasti datang, asalkan dia orang sudah memeriksa dan

mengetahui kalau memang pernah terjadi urusan ini maka dia pati

akan datang kemari”.

“Bilamana dia datang kemari, lalu loo-lap harus menjelaskan

kepadanya dengan cara apa?” tanya Nyio Sam Pak lagi.

“Katakan saja secara tiba2 datang seorang jagoan Bu-lim yang

tidak diketahui namanya, dengan seorang diri dia pergi mencari

siiblis bungkuk Leng Hu Ih lalu membunuh dirinya dan membakar

sarangnya.

“Bilamana kita harus memberi penjelasan secara begini maka kita

harus mengirim orang untuk menjaga dibekas sarang itu, kalau

tidak bilamana ada kaum penjahat yang tersisa dan ditanyai oleh

Cuo It Sian bukankah urusan-akan berabe??” timbrung Wie Ci To.

“Benar! ” sahut Nyio Sam Pak mengangguk “Nanti Loolap akan

kirim orang untuk pergi kesana”-.

Nyio Si Ce yang mendengar dari pembicaraan orang2 itu agaknya

mengandung “Siasat” tidak terasa dalam hati merasa terkejut

bercampur ragu2.

“Tia! Sebetulnya sudah terjadi urusan apa?” tanyanya keberanan.

“Kau duduklah” Seru Nyio Sam Pak kemudian dengan wajah

serius. “Aku akan menceritakan kepadamu dengan perlahan ….”

xxx

Hari ketiga siang sejak Nyio Si Ce pulang kedalam perkampungan

mendadak dengan tergesa-gesa Nyio Sam Pak berjalan masuk

kedalam kamar rahasia, kepada Wie Ci To ujarnya.

“Dugaan dari Wie Poocu sedikitpun tak salah. Cuo It Sian sudah

hampir datang.”

Semangat Wie Ci To segera berkobar kembali.

“Apakah dia pergi memeriksa dulu keadaan dari sarang

tersebut?” tanyanya cepat.

“Benar,” sahut Nyio Sam Pak sambil mengangguk. “Seorang anak

buah Loolap yang diperintahkan untuk menjaga disekitar sarang itu

baru saja melepaskan burung merpati yang kirim kabar katanya Cuo

It Sian sudah munculkan dirinya di belakang sarang tersebut,

bahkan katanya sebentar lagi segera tiba.”

“Apakah dia orang pernah berbicara dengan anak buah dari Nyio

heng itu?” tanya Wie Ci To kegirangan.

“Tidak! Loolap perintah dia untuk menyamar sebagai anak buah

dari si iblis bungkuk Leng Hu Ih dan bersembunyi di sekeliling hutan

itu, begitu ditemui oleh Cuo It Sian maka dia harus mengaku

sebagai sisa dari anak buahnya si iblis bungkuk. Akhirnya Cuo It

Sian tidak menganiaya dirinya, di atas suratnya dia melaporkan

bahwa Cuo It Sian cuma memeriksa sebentar abu dari sarang

tersebut setelah itu lantas berangkat menuju kemari.”

Wie Ci To segera mengambil keluar pedang pendek palsu yang

persis seperti pedang pendek Biat Hun Kiam itu kepadanya.

“Kalau begitu bagus sekali” serunya sekarang kita harus bekerja

sesuai dengan rencana”

Pedang pendek yang mirip dengan pedang Biat Hun Kiam itu

adalah pedang yang dicuri si pencuri tiga tangan dari badan Cuo It

Sian. Cuo It Sian pernah menggunakan pedang itu untuk menipu Ti

Then sekarang Wie Ci To pun ikut menggunakan cara yang sama

untuk menipu diri Cuo It Sian-

Setelah menerima pedang itu Nyio Sam Pak segera

memasukkanya ke dalam saku.

“Mungkin dia sudah hampir tiba” katanya dengan cepat. “Loolap

segera pergi menyambutnya”

Selesai berkata dia segera putar badan berlalu.

Baru saja tiba diluar kamar rahasia itu tampaklah putra

sulungnya Nyio Si Ce dengan tergesa-gesa sudah datang.

“Tia! Dia sudah tiba didepan pintu perkampungan! ” lapornya

dengan suara yang perlahan.

Dengan langkah yang cepat Nyio Sam Pak segera berjalan keluar

dari pintu perkampungan.

“Cepat buka pintu menyambut! ” teriaknya.

Dengan membawa ketiga orang putranya Nyio Sam Pak segera

berjalan keluar dari pintu perkampungan-

Tampaklah sesosok bayangan manusia dengan amat cepatnya

muncul diatas jalanan luar perkampungnn tersebut,

Gerak gerik dari bayangan tersebut amat cepat sekali, hanya

didalam sekejap saja sudah berada kurang lebih sepuluh kaki dari

depan pintu perkampungan.

Dia . . . bukan lain adalah si pembesar kota Cuo It Sian!!

Dengan wajah penuh senyuman Nyio-Sam Pak segera

merangkap tangannya menjura.

“Cuo-heng, Loo-lap sedikit terlambat menyambut, maaf . . .

maaf”..

Cuo It Sian segera tertawa terbahak2, sahutnya sambil

menepuk2 pundak dari Nyio Sam Pak;

“Jangan terlalu sungkan2 , . . . Nyio-heng kita adalah kawan

lama yang sudah ada puluhan tahun lamanya buat apa masih

membicarakan segala macam adat?”

“Haah . . . haaa . . . haaa . . , , ada beberapa tahun tidak

bertemu ternyata Cuo heng masih tidak kelihatan tua, sebetulnya

Cuo-heng lah yang lebih pandai merawat badan” ujar Nyio Sam Pak

sambil tertawa ter-bahak2.

“Mana . . . mana . . . bilamana siauw-te sudah menginjak usia

seperti Nyio-heng kiranya tidak bakal bisa sehat seperti diri Nyio

heng sekarang ini !”

“Mari kita bicara didalam saja” ujar Nyio Sam Pak kemudian

sambil menggandeng tangannya.

Mereka segera berjalan masuk kedalam ruangan tengah, setelah

duduk Nyio Si Ce lantas menyuguhi air teh.

Kemudian Nyio Sam Pak memerintahkan putranya yang kedua,

ketiga dan beberapa orang anak muridnya untuk ber-sama2 maju

memberi hormat.

Sesudah semuanya selesai Nyio Sam Pak baru berkata dengan

suara yang serius.

“Kali ini Loolap mcngundang Cuo-heng jauh2 datang kemari

sungguh merasa tidak enak.”

“Aaaah . . buat apa Nyio heng berbicara demikian” seru Cuo It

Sian dengan cepat. “Bilamana kawan ada kesusahan sudah

seharusnya aku turun tangan membantu apa lagi si iblis bungkuk

Leng Hu Ih adalah seorang penjahat Bu lim yang patut dibasmi

bilamana Siauwte dapat ikut serta di dalam pembasmian penjahat

ini boleh dikata merupakan satu urusan yang patut digembirakan”

“Cuma sayang urusan sudah bisa dibikin bares.”

“Iiih . . bagaimana bisa beres?” tanya Cuo It Sian sengaja

memperlihatkan rasa kagetnya.

“Urusan sudah terjadi diluar dugaan, hari itu setelah Loolap

memberitahukan Si Cie, Si Jien dua orang bersaudara untuk turun

gunung -mengundang Cuo heng serta Im Si Tiauw Ong dan Lam

Yang Ci dari Bu tong Pay, mendadak pada hari ketiga putraku yang

bungsu Si Ih datang melapor, katanya didepan sarangnya Leng Hu

Ih sudah kedatangan seorang jagoan berkepandaian tinggi yang

sedang bertempur dengan amat serunya melawan Leng Hu Ih”

“Entah siapakah jagoan Bu lim itu?” timbrung Cuo It Sian-

“Cuo-heng dengarkan dulu Loolap menceritakan urusan ini

dengan perlahan lahan, ketika loolap mendengar ada orang yang

sedang bertempur seru dengan Leng Hu Ih maka segera loolap

mengumpulkan seluruh anak muridku untuk menerjang kesana,

siapa tahu setibanya didepan sarang itu tampaklah Leng Hu Ih

sudah menggeletak mati sedangkan sarangnya pun sudah berada

didalam lautan api.”

“Aaah . . , sudah tentu perbuatan dari si kakek pemalas Kay Kong

Beng “ seru Cuo It Sian dengan wajah terperanjat.

“Bukan,” sahut Nyio Sam Pak tersenyum dan gelengkan

kepalanya.

Air muka Cuo It Sian segera berubah hebat,

“Kalau tidak tentu perbuatan dari Pek Kiam Poocu Wie Ci To,”

Serunya lagi dengan sinar mata yanng berkedip2,

“Juga bukan!”

Dengan pandangan tajam Cuo It Sian memandang diri Nyio Sam

Pak tidak berkedip,

“Kalau tidak tentunya Kiauw-tauw dari Benteng Pek Kjam Poo . .

si pendekar Ti Then” sahutnya sepatah demi sepatah.

“Bukan …. bukan “

Rasa tegang dari Cuo It Sian pun segera lenyap tak berbekas,

diganti dengan senyuman yang amat ramah menghiasi bibirnya.

“Lalu siapa ?”

Nyio Sam Pak mendehem dulu beberapa kali kemudian baru

sambungnya:

“Loolap sekalian yang melihat Si iblis-bungkuk Leng Hu Ih sudah

mati tetapi anak buahnya masih ada maka segera menghajar

mereka sehingga dibuat kocar kacir tidak karuan, waktu itu Loohu

berhasil membunuh Si kupu kupu bunga Hong it Peng, Si manusia

banci Ong Cuo Ting. Thian San Ji Lang-‘ Kiem Hoo dan Kiem Hay, Si

ketemu tidak mujur Cang Hiong serta si Siluman bocah dari lembah

setan Yu Si beberapa orang”

“Lalu siapa yang telah membinasakan Leng Hu Ih itu ?”,

“Setelah Loolap berhasil mernperoleh kemenangan segera

menangkap seorang penjahat untuk ditanyai. Katanya orang yang

berhasil membinasakan Leng Hu Ih adalah seorang kakek tua

berbaju hijau yang usianya sudah ada tujuh puluh tahunan,

wajahnya amat segar dan berwibawa, ketika dia bertemu muka

dengan Leng Hu Ih didepan sarangnya dia orang cuma

mengucapkan sepatah kata saja, katanya: “Hey bungkuk kau masih

ingat hutangmu pada tiga belas tahun yang lalu ?” setelah itu

mereka segera bertempur”

“Tadi sewaktu Nyio-heng sampai di sana dia orang sudah pergi ?”

tanya Cuo It Sian-

“Benar !” Sahut Nyio Sam Pak mengangguk. “Setelah dia berhasil

membunuh Leng Hu Ih dan membakar sarangnya lantas tanpa

mengucapkan kata2 lagi sudah berlalu dari sana”.

“Tahukah kau dia meaggunakan senjata apa ?”

“Menurut jawaban dari penjahat itu dia menggunakan pedang”

“Sunggug aneh sekali” Seru Cuo It Sian sambil mengerutkan

alisnya rapat2. “Leng Hu Ih mempunyai julukan sebagai raja iblis

dari seluruh Bu-lim. jago2 Bu-lim pada saat ini kecuali si kakek

pemalas Kay Kong Beng, Pek Kiam Poocu Wie Ci To serta si

pendekar baju hitam Ti Then, siapa lagi yang bisa membinasakan

diri Leng Hu Ih ??”.

“Loohu sendiripun tidak dapat mengetahui dia adalah Nabi dari

mana, cuma saja didalam Bu-lim yang demikian luasnya memang

pasti ada beberapa orang jagoan yang berkepandaian amat tinggi

sekali tanpa diketahui oleh orang lain”.

Lama sekali Cuo It Sian termenung berpikir keras, lalu

gumamnya seorang diri:

“Ehmm … apa muagkin dia . “

“Cuo-heng sudah teringat akan siapa ?”

“Seorang yang bernama Boe Beng Loojien”

“Boe Beng Loojien?” Tanya nyio Sam pak pura-pura terkejut.

“Benar,” sahut Cuo It Sian mengangguk. Wajahnya berubah amat

serius sekali. “Dia adalah suhu dari si pendekar baju hitam Ti Then

itu-Kiauw tauw dari benteng Pek Kiam Poo . , tahukah Nyio heng

akan si pendekar baju hitam Ti Then- pemuda-ini ?”

“Loolap pernah mendengar cuma tidak begitu jelas, dia adalah

pemuda macam apa ?”

“Usianya ada dua puluh tahunan, tetapi kepandaian silat yang

dimilikinya amat tinggi sekaii sukar diukur dia pernah mengalahkan

pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan,”

Mendengar perkataan tersebut Nyio Sam Pak segera menghela

napas panjang,

“Heeei . kepandaian silat dari si pendekar pedang tangan kiri Cian

Pit Yuan tidak ada dibawah kepandaian dari Wie Ci To, kalau

memangnya si pendekar baju hiram Ti Then bisa mengalahkan

dirinya maka kepandaian silatnya jelas jauh diatas kepandaian dari

Wie Ci To,”

“Ehmin . . . !” sahut Cuo It Sian mengangguk. “Sekalipun tidak

dapat melampaui Wie Ci To, sedikit2nya juga tidak ada dibawah Wie

Ci To sendiri!”

“Sebenarnya dia dengan Wie Ci To ada sangkut paut apa?” tanya

Nyio Sam Pak kemudian dengan wajah serius.

“Katanya pula si pendekar baju hitam itu Ti Then melakukan

perjalanan lewat diluar kola Go-bie dan menemukan murid dari Wie

Ci To yaitu Hong Mong Ling menggeletak dijalan dalam keadaan

tidak sadar, dia lantas menolongnya kembali ke Benteng Pek Kiam

Poo, akhirnya Wie Ci To menemukan kalau Ti Then memiliki

kepandaian silat yang amat tinggi sekali, karenanya dia diangkat

sebagai kiauwtauw didalam Benteng Pek Kiam Poo,”

“Seorang bocah cilik yang baru berusia dua puluh tahunan

ternyata berhasil memiliki kepandaian silat yang tinggi sungguh

bukanlah satu pekerjaan yang gampang”

“Siauw-te pernah dua kali bertemu muka dengan dirinya, dia

mengaku suhunya bernama Boe Beng Loojien, mengenai siapakah

namanya yang sebetulnya dia sendiripun tidak tahu, tidak perduli

perkataannya ini benar atau tidak dengan kepandaian silatnya yang

begitu tinggi, kepandaiannya tidak mungkin bisa dimilikinya sejak

lahir- dia pasti ada seorang suhu bahkan kepandaian silat dari

suhunya itu pasti jauh berada diatas kepandaian silat dari si kakek

pemalas Kay Kong Beng.”

Jilid 34.2 : Ada saksi pengakuan Cuo It Sian

Dengan cepat Nyio Sam Pak menganggukkan kepalanya,

“Benar” sahutnya, “Kalau memangnya kepandaian silat yang

dimiliki Ti Then tidak berada dibawah kepandaian silat dari Wie Ci

To maka kepandaian silat dari suhunya pasti berada diatas si kakek

pemalas Kay Kong Beng.”

“Maka itu siauwte menduga orang yang membinasakan Leng Hu

Ih itu ada kemungkinan besar adalah suhunya Ti Then, Si Boe Beng

Lojin”

“Hey . cuma sayang kedatangan loolap ada sedikit terlambat,

kalau tidak loolap tentu akan berkenalan dengan jagoan yang

memiliki kepandaian silat amat tinggi ini”

Dia berhenti sebentar untuk tukar napas lalu sambungnya lagi

sambil tertawa:

“Heei tapi dengan kejadian itu kedatangan dari Cuo heng dari

tempat jauh ini akan sia-sia belaka tetapi tidak mengapa asalkan

Cuo-heng ada kesenangan pasti ada yang hendak dibunuh”

“Aaaah …. masih ada musuh?” tanya Cuo It Sian melengak.

“Ada!”

“Siapa ?”

“Loolap” sahut Nyio Sam Pak sambil menuding hidungnya sendiri.

“Haa haaa kiranya sengaja Nyio-heng mengundang siauw-te

kemari sebetulnya hendak memuaskan keinginanmu untuk main

catur,” seru Cuo It Sian tertawa keras.

“Kali ini bilamana Cuo-heng tidak mau melayani Loolap untuk

bermain sebanyak sepuluh atau delapan kali, Loolap tidak akan

melepaskan kau pergi”

“Baik, siauw-te akan melayani sampai akhir”

Saat itulah Cia Pu Leng sudah berjalan masuk ke dalam ruangan,

“Suhu, perjamuan sudah dipersiapkan” Lapornya kepada Nyio

Sam Pak,

Nyio Sam Pak segera bangkit berdiri meninggalkan tempat

duduknya,

Mereka segera berjalan menuju ke ruangan makan, tampak

ditengah ruangan sudah tersedia satu meja perjamuan yang

mewah.

Nyio Sam Pak segera mempersilahkan Cuo It Sian untuk

menduduki tempat yang teratas sedang dirinya duduk disampingnya

kemudian memerintahkan pula Si Ce, Si Jien serta Si Ih untuk

menemaninya.

Tua muda lima orang segera angkat cawan dan meneguknya

dengan gembira.

“Nyio-heng bilang sudah mengundang pula sikakek tukang

pancing serta Lam Yang Ci dari Bu-tong Pay, kenapa mereka tidak

ikut datang untuk sama2 bersantap?”

“Mereka sudah datang, tetapi ketika mendengar Leng Hu Ih

sudah mati keesokan harinya lalu pada berlalu dari perkampungan”

“Lama sekali tidak bertemu dengan si kakek tukang pancing, dia

orang apakah masih suka mancing seperti dulu?”

“Benar, Shia Si Yuen loo-heng ini memang sangat menyenangkan

sekali .”

“Katanya dia suka mancing ikan dikarenakan untuk menghindari

istrinya yang cerewet, lama kelamaan dia maiah terkena demam

mancing.”

Nyio Sam Pak segera angkat cawannya dan menghormati

kembali satu cawan kepadanya, setelah itu baru tanyanya:

“Beberapa tahun ini Cuo-heng sendiri mengisi kekosongan waktu

dengan bekerja apa ?”

“Beberapa tahun akhir ini Siauw-te jarang melakukau perjalanan

jauh, setiap hari duduk dirumah teh untuk ngomong2.”

“Kenapa tidak mencari seorang murid?”

“Siauw-te memang bermaksud demikian, cuma saja untuk

mencari seorang pemuda yang mempunyai hati serta sifat yang baik

dan jujur bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, bahkan sifat

dari Siauw-te pun sangat pemalas. tidak sabaran untuk memberi

petunjuk kepada murid maka itu sampai sekarang Siauw-te tidak

pernah menerima seorang murid pun”

Nyio Sam Pak lantas tersenyum.

“Sebaliknya Loo-lap mempunyai murid yang tidak sedikit

jumlahnya. bilamana Cuo-heng tidak menampik atas kebodohan

mereka aku akan hadiahkan seorang muridku agar jadi ahli

warismu”

“Haaa . . . haaa , . . Nyio-heng jangan berguyon” ujar Cuo It Sian

sambil tertawa terbahak2, “Bagaimana mungkin muridmu boleh

diberikan kepada orang lain?”

“Sungguh,” jawab Nyio Sam Pak dengan serius, “Kepandaian dari

Loolap ada batasnya, bilamana mereka mengikuti loolap terus

sebetulnya tidak bakal bisa memperoleh kemajuan, bilamana Cuoheng

benar benar ada maksud loolap pasti akan memberikan

seorang kepadamu, usianya tidak begitu besar cuma dua puluh tiga

tahun bahkan sifatnya pun amat bagus sekali,”

Cuo It Sian melihat dia orang berkata dengan nada yang serius,

tidak terasa sudah tanyanya sambii memperhatikan wajahnya

tajam:

“Siapa?”

“Itu orang yang sudah melayani Cuo-heng sewaktu Cuo-heng

mertamu di perkampungan Loolap tempo hari,”

“Siapa?” tanya Cuo It Sian agak melengak.

“Sekarang dia tidak ada di dalam perkampungan, Loolap sedang

mengirim dia pergi ke gunuog Cun San untuk mengambil kembali

sebilah pedang dari Cu Kiam Loojien, tetapi ada kemungkinan

sebentar lagi dia bakal kembali… Cuo-heng apa sudah tidak ingat

lagi dengan dirinya ?”

Dengan perlahan Cuo It Sian angkat cawannya untuk meneguk

habis isinya, lantas dia tertawa terbahak-bahak.

“Kelihatannya siauw-te harus berpikir keras lagi . . eeee „aduh

siapa toh namanya? loolap sudah agak lupa.”

“Dia bernama Cau Ci Beng”

“Oooh … benar… benar” sahut Cuo It Sian dengan wajah yang

biasa saja. “Agaknya dia mempunyai julukan sebagai si . si . . “

“Si elang sakti !”

“Ehm , „ tidak salah.. tidak salah, memang benar si elang sakti”

sahut Cuo It Sian keras, “Bagaimana Nyio heng secara tiba-tiba

punya maksud hendak memberikan dia orang sebagai muridnya

siauw-te?”

“Dia mempunyai bakat yang amat bagus sekali tidak sampai

seberapa lama seluruh kepandaian silat dari Loolap sudah berhasil

dipelajari seluruhnya, diam2 Loolap pergi mengadakan pameriksaan

Loolap rasa bilamana dia dapat memperoleh seorang guru yang

ternama maka di kemudian hari dia tentu akan jadi seorang jagoan

Bu-lim. Setelah pikir pulang pergi Loolap rasa cuma Cuo-heng

seorang saja semua yang mempunyai hubungan persahabatan yang

erat dengan loolap bahkan Cuo-heng memiliki kepandaian silat yang

tinggi pula maka itu Loolap rasa hanya Cuo-heng seorang saja yang

patut menjadi gurunya itulah sebabnya kenapa Loolap mempunyai

maksud untuk memberikannya kepada Cuo-heng”

Dia berhenti sebentar untuk tukar napas lalu sambil tersenyum

tambahnya:

“Tetapi Loolap tidak terlalu memaksa bilamana Cuo-heng tidak

berminat yaa.. sudahlah.”

Cuo It Sian tersenyum tawar.

“Urusan ini harus menunggu dia orang menyetujuinya baru bisa

jadi. aku lihat lebih baik tunggu sampai dia pulang dulu baru kita

bicarakan lagi”

“Baiklah, kita tunggu dia pulang dulu baru dibicarakan kembali.”

Berbicara sampai disini kepada putranya yang ketiga Si Ih lantas

tanyanya, ” Si Eh, Ci Beng, bocah itu agaknya sudah pergi sangat

lama bukan?”

“Benar, sudah ada sebulan lamanya” Sahut Nyio Si Ih dengan

hormatnya.

Nyio Sam Pak segera mengerutkan alisnya rapat2.

“Bocah ini segala-galanya baik cuma sayang dia rada suka

bermain!” Serunya.

“Nyio-heng apa suruh dia pergi mengambil pedang dirumah

kediamannya Cu Kiam Loojien?” tiba2 Cuo It Sian bertanya.

“Benar, tahun yang lalu Loolap pergi melakukan perjalanan

kedaerah Lam Huang dan secara tidak sengaja sudah menemukan

sebuah besi baja yang bagus, maka loolap lantas serahkan besi itu

kepada Cu Kiam Loojien untuk dibuatkan sebilah pedang, bulan

kemarin Cu Kiam Loojien datang mengirim surat katanya pedang

tersebut sudah jadi maka loolap lantas kirim orang untuk

mengambilnya.”

“Haaaa . . . haaaa . . . walau pun Nyio-heng sudah

mengundurkan diri dari keramaian dunia, tetapi kegemarannya

terhadap pedang agaknya belum pernah hilang” ujar Cuo It Sian

sambil tertawa.

“Benar . . . benar . . . mari, mari . . kita minum arak.”

Mereka berlima kembali saling maneguk satu cawan setelah itu

mulai bersantap.

Tiba-tiba agaknya Nyio Sam Pak sudah teringat akan sesuatu,

daging yang sudah disumpit dan hendak dimasukkan kedalam mulut

mendadak ditarik kembali.

“Aaaah , , benar” ujarnya sambil angkat kepalanya, “Pedang Biat

Hun Kiam yang tempo hari Loolap hadiahkan kepada Cuo-heng

apakah masih ada ?”

“Masih ada, masih ada, Siauw-te selalu membawanya didalam

badan.”

Agaknya Nyio Si Ih tidak mengerti apa yang dibicarakan itu.

cepat tanyanya: Apa itu pedang pendek Biat Hun Kiam ?”

“Oooh sebilah pedang pendek dari jaman Cun Ciu, dahulu loolap

hadiahkan kepada Cuo heng.”

“Bagaimana macamnya pedang pendek dari jaman Cun Ciu itu ?”

tanya Nyio Si Ih lagi dengan wajah ke-heran2an.

“Cuo-heng” ujar Nyio Sam Pak kemudian kepada diri Cuo It Sian.

“Sewaktu tempo hari loolap hadiahkan pedang Biat itu kepada

Cuo heng bocah-bocah masih kecil sehingga belum pernah melihat

bagaimana bentuk dari pedang Biat Hun Kiam itu, sekarang

dapatkah Cuo-heng mengambilnya keluar untuk dilihat-lihat ?”

Cuo It Sian segerai mengangguk, dari dalam sakunya dia

mengambil keluar pedang pendek Biat Hun Kiam itu kemudian

diangsurkan kepada Nyio Si Ih.

“Hian-tit silahkan melihat” ujarnya sambil tertawa.

Nyio Si ih segera bangkit berdiri dan menerima pedang itu

dengaa menggunakan sepasang tangannya, setelah itu perlahan

mencabut keluar pedang pendek itu.

Ketika dilihatnya pedang tersebut memancarkan sinar yang

menyilaukan mata tidak terasa lagi dia sudah memuji.

“Sebuah pedang yang amat bagus,”

“Mari berikan kepadaku” ujar Nyio Si Jien dengan cepat.

Mereka tiga bersaudara segera saling bergilir memandang

pedang tersebut, akhirnya Nyio Sam Pak menerima pedang itu.

Sembari memperhatikan pedang itu ujarnya.

“Pedang Biat Hun Kiam ini memang merupakan sebilah pedang

yang amat bagus sekali cuma saja mendatangkan hawa membunuh

yang tidak enak, apakah Cuo heng pernah menggunakan pedang ini

untuk membunuh seseorang ?”

“Tidak pernah! ” sahut Cuo It Sian sambil gelengkan kepalanya.

Baru saja dia berbicara sampai disitu mendadak dari depan

ruangan berkumandang suara terjatuhnya barang yang pecah

berantakan.

Cuo It Sian yang didalam hatinya memang sudah menaruh

curiga, begitu mendengar suara terjatuhnya barang pecah belah itu

dengan cepat meloncat bangun kemudian putar badannya

menengok keluar.

“Ada urusan apa?” teriaknya.

Diatas lantai didepan pintu tampaklah pecahan mangkok serta

tumpahan kuah yang mengotori seluruh permukaan.

Kiranya seorang pelayan yang membawa satu nampan kuah

ayam entah secara bagaimana sewaktu ada didepan pintu itu sudah

jatuh sehingga kuahnya tumpah.

“Nyio An, kau kenapa tidak berhati~hati!” Bentak Nyio Sam Pak

dengan gusar

“Nyio An” si pelayan itu segera memperlihatkan rasa takutnya,

dengan badan gemetar sahutnya dengan gugup:

“Ham . . . hamba . , hamba . salah! kaki . . . kaki hamba kena . .

. kena ter ter – . . tersangkut batu . .”

“Cepat ambil sapu dan bersihkan tempat itu !” bentak Nyio Sam

Pak lagi dengan gusar.

Nyio An segera menyahut dan dengan ter-gesa2 mengundurkan

diri dari sana.

“Hmmm! Usianya sudah lanjut tetapi bekerja selalu saja tidak

keruan !” Maki Nyio Sam Pak lagi.

“Nyio-heng tidak usah memaki dirinya lagi” cegah Cuo It Sian

dengan cepat. “Kemungkinan sekali kuah itu memang amat panas

sekali.”

Nyio Sam Pak segera memasukkan kembali pedang pendek itu

kedalam sarungnya lalu diserahkan kembali kepadanya.

“Cuo-heng silahkan duduk kembali” ujarnya sambil tertawa,

“Budak itu sungguh bodoh, baik2 semangkuk kuah ayam kini malah

hancur berantakan tidak keruan !”

Cuo It Sian segera menerima kembali pedang pendek itu, baru

saja hendak dimasukkan kembali kedalam badannya mendadak air

mukanya berubah sangat hebat, sambil mencabut kembali pedang

pendeknya jelas wajahnya berubah semakin seram.

“Nyio-heng sebenarnya kau mau berbuat apa ?” tanyanya sambil

memandang tajam diri Nyio Sam Pak.

“Kenapa?” balas tanya Nyio Sam Pak sambil tertawa,

“Bilamana Nyio-heng merasa keberatan untuk memberikan

pedang Biat Hun Kiam itu kepadaku lebih baik mintalah kembali

secara terus terang, di siang hari bolong buat apa kau melakukan

pekerjaan itu?”

Sembari berkata tangannya dengan cepat disamber menekan

pundak kanan dari Nyio Si Ce.

“Si Ce-heng cepat menyingkir.”

Suara peringatan itu keluar dari mulutnya Ti Then.

Secara diam-diam dia bersama-sama dengan Wie Ci To sudah

munculkau dirinya di depan ruangan makan tersebut.

Mendeogar suara peringatan itu Nyio Si Ce segera berjumpalitan

kebelakang ber-sama2 dengas kursinya dia mundur kebelakang

lantas dengan meminjam kesempatan itu meloncat sejauh dua kaki

lebih.

Nyio Si Jien serta Nyio Si Ih bersaudara pun bersama-sama

meloncat dua kaki kebelakang meninggalkan meja perjamuan.

Cuo It Sian yang telapak tangannya menekan tempat kosong

tubuhnya dengan cepat berputar kamudian menoleh memandang

kearah pintu luar,

Begitu melihat Wie Ci To serta Ti Then muncul didepan pintu

ruangan, air mukanya seketika itu juga berubah jadi pucat pasi

bagaikan mayat.

“Heee heee. kiranya Wie Poccu juga sudah datang,” ujarnya

sambil tertawa dingin “Kalian terus menerus memfitnah dan

mendesak loohu untuk menyerahkan harta kekayaan loohu, kalian

sungguh kejam sekali.”

“Hmmmm, orang she Cuo sampai keadaan seperti ini juga ingin

sekalian menggigit loohu,”

“Nyio-heng.” ujar Cuo It Sian kemudian kepada diri Nyio Sam

Pak.

“Wie Poocu ini demi berhasilnya maksud hati untuk merebut

harta kekayaan dari loohu berulang kali dia berusaha memfitnah aku

dengan merebut pedang Biat Hun Kiam tersebut, karena dia hendak

menggunakan pedang Biat Hun Kiam itu sebagai bukti menuduh

siauw-te sudah membunuh orang, kau jangan sampai kena tertipu

olehnya,”

Wajah Nyio Sam Pak segera berubah jadi amat keren. Sinar

matanya dengan perlahan menyapu sekejap keatas wajahnya lalu

dengan dinginnya bertanya;

“Apakab Cuo-heng benar2 tidak pernah membunuh orang ?”

“Tidak! Siauw-te buat apa membunuh orang? Seharusnya Nyioheng

tahu bagaimana aku jadi orang . . .”

“Kalau begitu !” Potong Nyio Sam Pak dengan cepat. “Siapa yang

sudah membunuh mati Cu Kiam Loojien serta muridku Cau Ci

Beng?”.

Selama ini Cuo It Sian selalu menganggap perbuatannya

membunuh mati Cu Kiam Loojien serta si elang sakti Cau Ci Beng

tidak akan diketahui orang lain. Saat ini mendengar secara tiba2

Nyio Sam Pak mengungkat kembali akan kedua orang itu didalam

hati dia merasa sangat terkejut sekali.

“Siapa yang sudah melihat ?” tanyanya tanpa terasa.

“Ti Kiauw-tauw“ Sahut Nyio Sam Pak dengan wajah yang amat

adem.

Mendadak Cuo It Sian tertawa keras dengan amat seramnya.

“Nyio-heng, persahabatan kita sudah ada puluhan tahun

lamanya, apakah sampai ini hari kau masih tidak memahami sifat

dari Siauw-te? Kenapa bukannya kau mempercayai omongan Siauwte

bahkan sebaliknya mempercayai omongan sembarangan,

omongan fitnah dari mereka berdua yang ingin mencelakai Siauw-te

?”

“Mata loolap masih belum kabur, siapa yang benar siapa yang

salah masih dapat membedakan dengan jelas ” Seru Nyio Sam Pak

sambil tertawa dingin. “Apa lagi dari tindak tandukmu tadi yang

hendak menawan putraku Si Ce. loolap sudah tahu kalau perkataan

dari Wie, Ti dua orang tidak salah!”

Sepasang mata dari Cuo It Sian dengan mengandung rasa benci

yang amat sangat memandang diri Wie Ci To berdua tanpa

berkedip, dari wajahnya tersungginglah satu senyuman dingin yang

amat menyeramkan.

“Tidak salah! ” ujarnya kemudian. “Cu Kiam Loojien serta

muridmu Cau Ci Beng memang loohu yang bunuh tetapi kalian tidak

punya bukti, dengan nama baik serta kedudukan yang terhormat

dari loohu didalam Bu-lim aku rasa didalam dunia kangouw tidak

bakal ada orang yang mempercayai tuduhan j&ng kalian lancarkau

kepada loohu!

“Tetapi beberapa patah kata perkataan yang kau ucapkan

barusan ini merupakan satu bukti yang nyata !” Sahut Wie Ci To

sambil tertawa nyaring;

“Tetapi kecuali kalian, ada siapa yang mendengar pula

perkataanku ini?” ejek Cuo It Sian sambil tertawa dingin.

“Masih ada loolap!”

Bersamaan dengan berkumandangnya suara itu didepan pintu

muncul kembali seorang.

00O00

58

Dia adalah seorang hweesio tua yang memakai baju lhasa

berwarna abu2 dengan ditangannya membawa sebuah tongkat.

Melihat munculnya orang itu air muka Cuo It Sian berubah

semakin hebat lagi.

“Siapa kau ?” tanyanya dengan cepat.

Walaupun dia tidak tahu siapakah hweesio tua itu tetapi dia tahu

dia orang bukanlah anggota dari perkampungan Thiat Kiam San

Cung ini.

Bilamana seseorang yang bukan termasuk orang dari

perkampungan Thiat Kiam San Cung mendengar perkataannya

tersebut sudah tentu lebih dari cukup untuk menjadi seorang saksi,

karenanya hal ini benar2 membuat dia merasa sangat terperanjat.

Dengan sikap yang amat keras dan berwibawa hweesio tua itu

bungkukkan badannya memberi hormat:

“Loolap It Ie !”

“Ciangbunjin dari Ngo Thay San. It Ie Sangjien?” tanya Cuo It

Sian dengan kaget, tubuhnya tergetar dengan amat keras sekali.

“Benar loolap adanya!” sahut hweesio itu sambil mengangguk.

Air muka Cuo It Sian semakrn pucat lagi. dia percaya dengan

nama serta kedudukannya yang ada didalam Bu-lim sekali pun Wie

Ci To serta Nyio Sam Pak menuduh dia pernah melakukan

pembunuhan dan perkosaan dengan diri mereka sebagai saksinya

orang2 didalam Bu-lim sebagian besar tidak akan mau percaya

karena itu tadi dia berani mengaku kalau Cu Kiam Loojien serta Cau

Ci Beng memang dia yang bunuh, siapa sangka pada saat yang

bersamaan It Ie Sangjien dari Ngo Thay San sudah munculkan diri

disana.

Dia tahu dengan kedudukan It Ie Sangjien sebagai seorang

pendeta yang beribadat tinggi setiap perkataan dan perbuatannya

tentu akan dihormati oleh semua orang bilamana dia orang

bertindak sebagai saksinya maka bukankah kedudukan akan jadi

kepepet.

Nyio Sam Pak yang melihat air mukanya penuh diliputi oleh

perasaan terkejut tak terasa lagi dia sudah tersenyum.

“Wie Poocu menduga kau tentu tidak akan mengakui dosa2

tersebut maka mengusulkan kepada Loolap untuk kirim orang pergi

ke gunung Ngo Thay San mengundang datang It Ie Sangjien ini,

sekarang kau sudah mengaku telah membunuh orang dan It Ie

Sangjien pun sudah mendengarnya dengan jelas, kau ada perkataan

apalagi yang hendak dikatakan?”.

Lama sekali Cuo It Sian termenung akhirnya dia menghela napas

panjang.

“Hey kau orang she-Wie, hatimu sungguh begitu atos” ujarnya

sambil menoleh kearab Wie Ci To. “Loohu dikarenakan menuruti

napsu sendiri sehingga melakukan satu perbuatan yang memalukan

kau tanpa mengingat perbuatan mulia yang sudah loohu lakukan

selama ini didalam Bu-lim memaksa Loohu harus melakukan bunuh

diri juga, kau …. kau sungguh kejam! “.

Berbicara sampai disini tidak kuasa lagi dua titik air mata

menetes keluar membasahi pipinya.

Air muka Wie Ci To segera berubah sangat hebat, dengan nada

yang amat keren dan serius ujarnya;

“Tanpa sebab kau sudah membunuh anak buahmu sendiri, lalu

memperkosa istrinya kau manusia yang tidak lebih menyerupai

binatang masih berani membela diri juga ?”.

Dengan perlahan Cuo It Sian menundukkan kepalanya rendah2.

Ujar Wie Ci To lagi :

“Untuk menutupi dosamu kau sudah menggunakan pelbagai cara

yang memalukan untuk mtnculik Ti Kiauw-tau serta Siauw-li bahkan

membinasakan pula sekeluarga petani didusun Thay Peng Cung,

diikuti membunuh Cu Kiam Loojien serta si elang sakti Cau Ci Beng.

Perbuatanmu sungguh kejam sekali”.

“Hee . . . heee . . . Wie Ci To. Di mana dapat mengampuni orang

ampunilah dia orang” ujar Cuo It Sian sambil tertawa seram. “Loohu

sudah hidup sampai begini tua apakah kau benar2 ingin merusak

nama baik dari Loohu?”.

“Perkataan dari Loohu pada tiga tahun yang lalu ini hari masih

terhitung.” ujar Wie Ci To dengan suara yang berat. “Bila mana kau

mau bunuh diri untuk menebus dosa ini maka loohu tidak akan

mengumumkan dosamu ini secara terbuka !”.

“Bagaimana kalau Loohu menggunakan seluruh kekayaanku

untuk menolong orang miskin sebagai tebusan atas dosaku itu,

setelah itu loohu akan mengundurkan diri dari keramaian Bu-lim …”

serunya lagi dengan ter-sedu2.

“Tidak bisa !” Potong Wie Ci To dengan keras.

“Kalau begitu kau benar2 mengingini nyawa dari Loohu ini?” Seru

Cuo It Sian sambil tertawa dingin. “Ayoh cepat turun tangan !”.

Baru saja kata2 terachir diucapkan mendadak dengan gaya

burung bangau menerjang kelangit tubuhnya meluncur keatas atap.

“Braaaak ….!” dengan disertai suara yang amat keras sekali atap

rumah itu sudah hancur berantakan sedang tubuhnya dengan

melalui lubang diatas atap itu menerjang keluar.

Wie Ci To segera membentak keras, tubuhnya pun segera

meloncat naik keatas wuwungan rumah,

Sewaktu dilihatnya Cuo It Sian melarikan diri kebelakang

perkampungan diapun dengan cepat mengikuti dari belakang,

dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang paling lihay

dengan cepatnya dia mengejar dari belakang.

Ti Then serta Nyio Sam Pak dengan cepat mengikutinya pula dari

arah belakang untuk melakukan pengejaran.

Cuo It Sian melarikan diri dengan amat cepatnya. hanya didalam

sekejap saja dia sudah melewati empat buah rumah bagaikan kilat

cepatnya dia melarikan diri terus kedepan.

Tetapi agaknya orang2 didalam perkampungan Thiat Kiam San

Cung itu sudah mengadakan persiapan, sewaktu sepasang kaki dari

Cuo It Sian menginjak pada atap bangunan yang kelima mendadak

tampaklah dari atas wuwungan rumah muncul sesosok bayangan

manusia yang dengan dahsyatnya membabat sepasang kaki dari

Cuo It Sian.

“Turun !” Bentaknya.

Di dalam keadaan yang ter-gesa2 Cuo It Sian jadi terperanjat

sekali, tetapi bagaimanapun dia adalah seorang jago kawakan.

tubuhnya dengan cepat menjatuhkan diri kebawah kemudian

berbelok kekanan melanjutkan larinya.

Disebelah kanan merupakan bangunan yang berloteng.

Siapa tahu diatas loteng itupun sudah ada orang yang

bersembunyi disana, baru saja tubuhnya hampir mencapai atas

loteng itu mendadak kembali tampaklah seorang yang muncul

kembali dari atas bangunan itu sambil melancaikan satu serangan

dahsyat kearahnya.

Dengan cepat Cuo It Sian berjumpalitan ditengah udara. karena

tidak sempat lagi untuk menangkis lagi datangnya serangan

tersebut, sembari mengebutkan ujung jubahnya dia melayang turun

keatas tanah.

Wie Ci To, Ti Then, Nyio Sam Pak serta It Ie Sangjien waktu

itupun sudah tiba disana dan mengurungnya rapat2.

Cuo It Sian yang melihat dia orang tidak dapat melarikan diri lagi,

air mukanya gera berubah jadi pucat pasi.

“Bagus . . bagus” serunya sambil tertawa seram. “Walaupun ini

hari loohu tidak bisa meloloskan diri dari kematian tetapi kau orang

she-Wie pun jangan harap dapat hidup lebih lama lagi”.

Air muka Wie Ci To segera berubah sangat adem.

“Seluruh perbuatan dari loohu selama hidup belum pernah

tercela, sekalipun setelah mati kau jadi setan loohu juga tidak akan

takut!” sahutnya.

“Tidak salah! ” seru Cuo It Sian dengan gusar. “Kau orang she-

Wie memang suci bersih dan jujur, tetapi kaupun jangan harap bisa

lolos, ada satu hari kau pun akan menyesal sendiri”

“Untuk membasmi penjahat sekalipun loohu harus mati juga

tidak akan menyesal!” ujar Wie Ci To lagi sambil tertawa dingin.

Jilid 34.3 : Ancaman pasukan aneh

“Kau tunggu saja Loohu sejak semula sudah atur satu pasukan

aneh yang dapat menghancurkan dirimu, tidak sampai setengah

tahun kemudian kau beserta seluruh benteng Pek Kiam Poo jangan

harap bisa meloloskan diri dari bencana ini!”

Selesai berkata tangan kanannya dengan cepat digaplokkan

keatas kepalanya sendiri.

Terdengar suara hancurnya tulang batok kepalanya seketika itu

juga hancur berantakan dan berserakan diatas tanah, setelah itu

tubuhnya dengan perlahan roboh keatas tanah menemui ajalnya.

Melihat kejadian itu It Ih sagjien segera memejamkan matanya,

“Omintobud . , ,siancay „ , ,siancay” serunya berulang kali.

Nyio Sam Pak berdiam diri lama sekali setelah itu dia baru

menghela napas panjang.

“Walaupun dia sudah bunuh diri tetapi dia orang sama sekali

tidak memperlihatkan rasa menyesalnya . . , heeai . . . sungguh

sayang..sungguh sayang..”

“Dia selalu menganggap perbuatan baiknya yang selama ini

dipupuk bisa menghapuskan kejahatan yang pernah diperbuat itu

siapa sangka sekalipun seorang budiman hanya karena sedikit salah

saja maka jasanya yang terdahulu akan ikut lenyap dengan

sendirinya, apalagi kejahatan yang diperbuat olehnya kali ini benarbenar

merupakan satu kejahatan yang luar biasa.”

“Bilamana bukannya ini hari loolap mendengar dengan mata

kepala sendiri akan pengakuannya mungkin loolap masih tidak akan

percaya kalau dia pernah melakukan perbuatan dengan

memperkosa istri orang lain” ujar Nyio Sam Pak lagi sambil

menghela napas panjang, “Dengan sifatnya sebenarnya tidaklah

mungkin bisa melakukan pekerjaan semacam itu.”

“Manusia tidak akan terhindar dari sifat kebinatangannya,

bilamana tidak dapat mawas diri maka sukar sekali buat kita untuk

bisa menghindarkan diri dari perbuatan semacam itu” ujar Wie Ci

TO.

“Benar” sambung It Ih sangjien dengan cepat, “Perkataan dari

Wie sicu sedikitpun tidak salah, mungkin Cuo sicu bisa berbicara

demikian dikarenakan hartanya yang banyak dirumah membuat dia

harus bersikap keras dan berwibawa, karenanya untuk memuaskan

napsu kebinatangannya dia harus melakukan perbuatan semacam

ini”

“Dia bilang sudah mengatur satu pasukan aneh, entah siasat apa

lagi itu?” ujar Nyio Sam Pak tiba2 sambil angkat kepalanya

memandang kearah diri Wie Ci To.

“Mungkin omong kosong untuk gertakan saja !” Jawab Wie Ci To

sambil tertawa dingin.

“Lebih baik Wie Poocu sedikit berhati2, loolap dahulupun mengira

dia adalah seorang kawan yang patut untuk diajak sebagai teman,

tetapi dari sini sudah dapat dilihat kalau dia orang adalah seorang

yang amat licik sekali bahkan suka untuk menggunakan akal,

kemungkinan sekali sejak semula dia memang sudah

mempersiapkan semacam siasat yang hendak mencelakai Wie

Poocu serta Benteng Pek Kiam Poo”

“Ini hari ada It Ih Sangjien yang bertindak sebagai saksi, lain kali

bilamana di antara Benteng kami dengan pihak Cuo It Sian terjadi

sesuatu urusan, aku rasa mudah sekali untuk dapat dibereskan. . . ”

“Sekarang kita hendak mengurus jenazahnya dengan cara

bagaimana ?” tanya Nyio Sam Pak kemudian.

“Baik2 menguburkan dirinya saja”

“Baiklah, urusan ini serahkan saja kepada putriku untuk pergi

menguruskannya, mari kila kembali keruangan tengah saja”.

xxxxx

Keesokan harinya It Ih Sangjien berpamitan pada Nyio Sam Pak

serta Wie Ci To untuk kembali kegunung Ngo Thay san.

Wie Ci To yang merasa tidak tenang atas perkataan-perkataan

yang sudah diucapkan oleh Cuo It Sian sesaat hendak bunuh diri,

setelah menghantarkan It Ih Sangjien pulang diapun segera berkata

kepada Nyio Sam Pak:

“Nyio-heng, aku orang she-Wie pun harus pulang”.

“Tidak!!” cegah Nyio Sam Pak dengan cepat. “Wie Poocu harus

tinggai lagi beberapa hari baru pulang”.

“Bilamana dilain waktu ada kesempatan kita bertemu lagi,

sekarang aku orang she Wie harus pulang ke benteng untuk

mengurusi perkawinan”.

“Perkawinan siapa?” tanya Nyio Sam Pak melengak.

“Putriku.”

Nyio Sam Pak pernah mendengar Ti Then memanggilnya sebagai

Gak hu, mendengar perkataan tersebut dia segera memandang

sekejap kearah Ti Then.

“Menantu dari Wie Poocu apakah Ti Kiauw tauw ini?” tanyanya

sambil tertawa.

“Benar.” sahut Wie Ci To mengangguk.

“Aku orang she Wie sudah berkata bilamana urusan dari Cuo It

Sian ini sudah beres aku akan segera melangsungkan perkawinan

mereka.”

“Putrimu bisa dijodohkan dengan Ti Kiauw tauw boleh dikata

merupakan pasangan yang setimpal” ujar Nyio Sam Pak dengan

girang. “Selamat. selamat, sampai waktunya jangan lupa memberi

kabar kepada Loolap,”

“Tentu, tentu..” sahut Wie Ci To tertawa.

Mendadak Nyio Sam Pak menarik kembali senyuman yang

menghiasi bibirnya itu, lalu ujarnya dengan serius,

“Bilamana Wie Poocu benar-benar bermaksud berangkat ini hari,

loolap ada satu permintaan.”

“Nyio-heng silahkan berbicara, asalkan aku orang she Wie bisa

melaksanakan pasti akan melakukannya!”

“Sebetulnya bukan satu urusan yang besar cuma saja jenasah

dari muridku Cau Ci Beng Loolap ingin memindahkan ia kedalam

perkampungan, bilamana tidak menunda perjalanan kalian

bagaimana kalau loolap perintahkan Si Ce serta Si Jien untuk

mengikuti kalian ? Cukup Wie Poocu suka menujukkan tempat

terkuburnya Cau Ci Beng biarlah putraku yang bekerja sendiri”

“Baiklah” sahut Wie Ci To kemudian sambil mengangguk. “Kalau

begitu putramu boleh siap-siap untuk melakukan perjalanan.”

Nyio Sam Pak segera menoleh kearah putranya Nyio Si Ce serta

Nyio Si Jien.

“Kalian cepatlah mengadakan persiapan, Wie Poocu serta Ti

Kiauw tauw sebentar lagi akan berangkat.”

Kedua orang bersaudara itu segera menyahut dan masuk

kedalam untuk mengadakan persiapan,

Agaknya Nyio Sam Pak teringat kembali akan sesuatu, mendadak

dia bangkit berdiri, “Ooooh benar, kalian berdua tunggulah

sebentar, loolap akan pergi kedalam sebentar”

Dengan tergesa-gesa dia meninggalkan ruangan besar, tidak

selang lama kemudian dia sudah berjalan masuk kembali kedalam

ruangan dengan membawa satu kotak.

Ujarnya kemudian sambil tertawa tawar,

“Putrimu dengan Ti Kiauw-tauw akau melangsungkan

perkawinannya, loolap tidak ada barang apa2 cuma sedikit hadiah

ini harap kau suka menerimanya”

Air muka Ti Then segera terasa amat panas,

“Tidak . . . Nyio loocianpwee kau jangan berbuat demikian,

boanpwee tidak berani menerimanya “ujarnya dengan gugup„

Nyio Sam Pak duduk kembali keterapas semula setelah ltu dia

tertawa ter~bahak2.

“Jangan dikata Ti Kiauw-tauw sudah menolong loolap membasmi

Si-iblis bungkuk Leng Hu Ih, sekalipun dengan persahabatan antara

loolap dengan Wie Poocu kedua hadiah ini harus diberikan juga

kepadamu.”

Sambil berkata dia meletakkan kotak yang semula kesamping

kemudian dari dalam sakunya mengambil keluar pula satu kotak

yang amat indah itu.

Ketika kotak itu dibuka, tampaklah sebuah intan sebesar jari

kelingking muncul di hadapan mata.

“Intan iai adalah pemberian dari seorang kawanku dari daerah Si

Ik pada beberapa tahun yang lalu” ujarnya kemudian. “Sekarang

loolap akan menghadiahkannya kepada putri Wie Poocu sebagai

tanda selamat.”

Intan tersebut berwarna biru dan memancarkan sinar yang

berkilauan. jelas sekali harganya tidak ternilai,

Agaknya Wie Ci To juga mengerti bagaimana berharganya

barang tersebut, dengan cepat dia gelengkan kepalanya.

“Tidak bisa jadi, tidak bisa jadi..” tolaknya, “Bagaimana Nyio

heng boleh menghadiahkan barang itu kepada siauwli? Bilamana

Nyio heng memang bermaksud untuk memberi hadiah maka hadiah

itu tidak boleh kelewat seratus tahil perak”

Intan tersebut boleh dikata mempunyai harta sebesar sepuluh

laksa tahil.

“Sekalipun berharga sepuluh laksa tahil tetapi barang itupun

merupakan benda mati” ujar Nyio Sam Pak tertawa. “Bilamana

bukannya kalian datang tepat pada waktunya mungkin loolap

beserta seluruh isi perkampungan ini sudah tanpa bernyawa lagi,

apakah intan ini masih bisa disimpan?”

“Tidak bisa . . tidak bisa!” seru Wie Ci To terus sambil gelengkan

kepalanya berulang kali.

“Eeh . . . eeh , . . bukannya disumbangkan untuk Wie Poocu,

kenapa kau orang begitu ribut?”

Berbicara sampai disini dia segera mengangsurkan intan itu

kepada Ti Then.

“Ti Kiauw-tauw harap suka mewakili aku untuk menyerahkan

barang ini kepada nona Wie sesampainya didalam Benteng”.

Ti Then menoleh memandang kearah Wie Ci To, dia tidak berani

untuk menerimanya.

“Wie Poocu, sebenarnya kau tahu bagaimana sifat dari Loolap”

ujar Nyio Sam Pak lagi. “Bilamana ini hari kau tidak mau

menerimanya maka Loolap akan suruh orang sengaja mengirim

benda terebut ke-dalam Benteng Pek Kiam Poo!”.

“Baiklah, kau terimalah!” ujar Wie Ci To kemudian sambil

mengerutkan alisnya.

Saat itulah Ti Then baru berani menerima intan tersebut.

“Sudah seharusnya boanpwee mewakili nona Wie mengucapkan

terima kasih atas pemberian dari Nyio Loocianpwee ini ” ujarnya

perlahan.

Setelah itu dengan hormatnya dia menjura memberi hormat.

Nyio Sam Pak segera tertawa ter-bahak2 dia mengambil pula

kotak yang lebih besar itu.

“Yang ini loolap hadiahkan untuk Ti Kiauw-tauw sebagai hadiah.

Sedikit sumbangan ini harap kau suka menerimanya.” ujarnya lagi

sambil tertawa.

“Barang itu barang pusaka apa lagi ?” Timbrung Wie Ci To dari

samping.

Nyio Sam Pak segera membuka kotak itu, dia tersenyum.

“Sebuah pakaian yang terbuat dari kulit ! ” Serunya.

Pakaian yang terbuat dari kulit itu berwarna putih, diatasnya

dengan amat rapatnya tertancap jarum2 yang amat tajam.

Melihat barang tersebut air muka Wie Ci To segera berubah amat

hebat “Aaah . . , Luan Wee Cia ?? ” Serunya.

“Penglihatan Poocu sungguh lihay. memang tameng landak

adanya.”

Luan Wee Cia atau baju luar tameng landak ini jika dibicarakan di

daiam Bu-lim boleh dikata merupakan satu barang yang sangat

berharga sekali, jikalau dipakai dibadan boleh dikata mirip dengan

sebuah tameng besi yang amat dahsyat tidak perduli senjata atau

telapak tangan jangan harap bisa melukai barang seujung rambut

pun”

“Tidak, tidak” seru Wie Ci To lagi sambil gelengkan kepalanya.

“Barang pusaka yang demikian berharganya seharusnya Nyio heng

…”

“Seharusnya diberikan orang lain” sambung Nyio Sam Pak

dengan cepat. “Dan orang yang paling cocok untuk menerima

barang tersebut adalah Ti Kiauw tauw”

“Nyio Loocianpwee harap menerimanya kembali, boanpwee tidak

berani menerimanya,” tampik Ti Then cepat,

“Apa kau orang baru menerima barang ini bilamana Loolap sudah

berlutut dihadapanmu?”

“Tidak. tidak ada urusan semacam ini” teriak Ti Then sambil

membelalakkan matanya,

“Ti Kiauw tauw membantu perkampungan kami melenyapkan

musuh besar, budi semacam ini apa halangannya kalau loolap

berlutut dihadapanmu ?”

Sehabis berkata dia sungguh2 mau jatuhkan diri berlutut.

Ti Then benar2 amat terperanjat sekali, dengan gugup dia

meninggalkan tempat duduknya sambil berteriak.

“Sudah. sudahlah boanpwee menerimanya”

“Haaa haaa loolap tidak takut kau tidak menerimanya” seru Nyo

Sam Pak sambil tertawa terbahak-bahak.

Setelah menerima pakaian luar tameng landak itu Ti Then segera

bungkukkan badannya memberi hormat.

“Barang yang demikian berharganya boanpwee benar-benar tidak

berani untuk menerimanya,” ujarnya cepat. “Bilamana dikemudian

hari Nyio Loocianpwee membutuhkan sesuatu harap segera kirim

orang pergi mencari boanpwee”

“Baik, baik bilamana memang ada kejadian seperti itu Loolap

segera akan kirim orang untuk meminjamnya dari tangan Ti Kiauw

tauw.”

Saat itulah tampak Nyio Si Ce dua bersaudara dengan membawa

buntalan sudah berjalan keluar.

“Baiklah,” ujar Wie Ci To kemudian sambil merangkap tangannya

member hormat: “Sekarang juga loohu pamit dulu, setelah hari

perkawinan siauwli ditetapkan tentu loohu akan kirim orang untuk

memberi kabar kepada Nyio-heng, sampai waktunya Nyio-heng

harus dating ber-sama2 dengan putramu”

“Sudah tentu ! sudah tentu !”

Dia menghantar Wie Ci To serta Ti Then sampai diluar

perkampungan, setelah

mereka berangkat dia baru balik kembali kedalam

perkampungan.

Wie Ci To, Ti Then serta dua bersaudara dari keluarga Nyio

masing2 dengan menunggang seekor kuda mengikuti jalan gunung

menuruni gunung Lak Ban San tersebut kemudian melanjutkan

perjalanannya menuju kearah Timur.

Selama ditengah perjalanan tidak terjadi peristiwa apa2, pada

hari yang kelima mereka sudah tiba dikota Tiang An.

Ti Then dengan mengambil kesempatan itu segera menguangkan

kertas uang sebesar lima belas laksa tahil perak yang didapatkan

dari tangan Giok Bien Langcoen, Coe Hoay Loo itu kemudian

membelikan juga beberapa macam kado buat Wie Lian In.

Setelah menginap satu malam didalam kota, keesokan harinya

mereka kembali melajutkan perjalanannya.

Sebelum meninggalkan kota Tiang An Ti Then memasukkan uang

sebanyak lima belas laksa tahil itu kedalam empat buah karung,

kemudian dengan minta bantuan dari Wie Ci To serta dua

bersaudara dari keluarga Nyio setiap kali mereka memasuki kota

dan menemukan rumah orang miskin secara diam2 lantas memberi

beberapa tahil perak kedalamnya.

Demikianlah sembari melakukan perjalanan mereka menyebarkan

uang tersebut kepada kaum miskin. Sewaktu memasuki daerah Auw

Leng uang sebesar lima belas laksa tahil perak sudah tersebar habis.

Ti Then merasa sangat gembira sekali, ujarnya sambil tertawa:

“Beberapa hari ini aku rasakan sebagai hari2 yang paling

berbahagia buatku selama hidupnya !”

“Inilah yang dinamakan berbuat amal paling menyenangkan”

Seru bang Wie Ci To sambil tersenyum,

“Harta kekayaan dari Cuo It Sian jika dihitung ada seberapa

banyaknya ?”.

“Dia adalah manusia yang paling kaya di wilayah daerah Siok

Ceng bilamana dihitung dengan sawah dan tanahnya mungkin ada

diatas seribu laksa tahil perak”.

“Uang yang sebegitu banyaknya bisa menolong banyak orang

miskin, hari itu kenapa Gak-hu tidak mau menerima uang

tebusannya itu untuk kemudian dibagi bagikan kepada orang miskin

?”

“Tidak, dosa dari seorang manusia tidak dapat ditebus dengan

menggunakan uang” seru Wie Ci To dengan keren.

“Dengan kematian ini entah harta kekayaan yang sebegitu

banyaknya itu hendak diberikan kepada siapa?”

“Dia ada seorang putra yang sejak semula sudah meninggalkan

rumah entah pergi kemana, kali ini setelah mendengar ayahnya

bunuh diri kemungkinan sekali bisa pulang untuk mengatur urusan

terakhir dari ayahnya”

“Putranya apa bisa bersilat ?”

“Loohu dengar tidak bisa, dia adalah seorang sastrawan yang

pernah lulus ujian Negara, agaknya bernama Ing Koei”

“Perkataan yang diucapkan Cuo It Sian sebelum bunuh diri Gakhu

merasa sungguh-sungguh atau bohong ?”

“Loohu sendiri juga tidak jelas…”

”Bilamana urusan ini adalah nyata” sambung Nyio Si Ce dengan

cepat. “Dan Wie Loocianpwee merasa sulit untuk dihadap mereka

segeralah kirim orang untuk memberi kabar kepada kami- walaupun

Tia dia orang tua sudah mengundurkan diri dari dunia kangouw

tetapi kami bersaudara nanti akan memberi bantuan kepada Wie

loocianpwee untuk sumbang sedikit tenaga.”

“Baik” ujar Wie Ci To sambil tertawa.

Tua muda empat orang sembari berjalan sembari bercakap

cakap, kembali berjalan sepuluh hari lagi sampailah mereka di

tengah tanah tandus antara gunung Cun san dengan kota Hoa Yong

Sian, yaitu tempat dimana Si elang sakti Cau Ci Beng menemui

ajalnya.

Ti Then segera turun dari kudanya dibawah pohon tersebut,

sambil menuding keatas tanah gundukan dibawah pohon yang

rindang itu ujarnya,

“Cau-heng dikubur ditempat ini.”

Nyio Si Ce serta Nyio Si Jien lantas meloncat turun dari kuda,

kemudian setelah mencabut keluar pedangnya mereka mulai

menggali kuburan tersebut.

Tidak begitu dalam mereka menggali segera tersiarlah bau busuk

mayat yang amat menusuk hidung.

Mereka dua orang bersaudara segera berhenti menggali.

“Cau sute kau menemui kematian dengan begitu kasihannya !”

ujar Nyio Si Jien sambil melelehkan air mata.

Dengan perlahan Nyio Si Jien menoleh kearah Wie Ci To,

kemudian ujarnya:

“Wie Loocianpwee serta Ti-heng apakah hendak kembali kedalam

Benteng?”

“Loohu akan menuuggu setelah jenazahnya akan dikeluarkan dari

tanah baru berangkat”

“Tidak !” Seru Nyio Si Ce dengan gugup, “Wie Loocianpwee serta

Ti-heng yang bersusah payah sudah menghantar kami bersaudara

sampai disini sudah lebih dari cukup, kini biarlah Si Jien mengikuti

Loocianpwee ber-sama2 melakukan perjalanan sampai dikota Hoa

Yong Sian untuk membeli kereta- peti mati dan barang2 lain setelah

itu Wie Loocianpwee berdua boleh berangkat kembali ke Benteng.”

“Tidak membutuhkan bantuan Loohu?”.

“Tidak, urusan yang demikian kecilnya ini, kami bersaudara bisa

membereskan sendiri”.

“Kalau begitu Loohu berpisah dulu sampai disini, sampai

waktunya perkawinan antara Ti Kiauw-tauw serta siauw-li, kalian

dua bersaudara harus datang pula untuk minum arak kegirangan”.

“Tentu . . . tentu, kami pasti datang” sahut Nyio Si Ce sambil

merangkap tangannya memberi hormat.

Demikianlah Wie Ci To, Ti Then serta Nyio Si Jien segera

melanjutkan kembali perjalanannya kearah Barat kembali ke kota

Hoa Yong Sian.

Tidak sampai dua puluh li mereka sudah berada didalam kota,

setelah menemani Nyio Si Jien membeli kereta serta peti mati dan

menghantar dia orang melakukan perjalanan, Ti Then serta Wie Ci

To baru bersantap siang kemudian melanjutkan perjalanan kembali

ke Benteng.

Air muka Wie Ci To penuh dihiasi senyuman kegembiraan,

ujarnya di tengah perjalanan:

“Kali ini kita dapat membereskan Cuo It Sian dengan begitu

mudahnya sungguh berada diluar dugaan . .”

“Benar.” sahut Ti Then mengangguk, “Dengan demikian kita

sudah membuang banyak kerepotan dari pada harus melakukan

sesuai dengan rencana dimana mengharuskan Gak-hu menyamar

sebagai Nyio Sam Pak, walaupun kita berhasil mencuri pedang itu

tetapi untuk membereskan nyawanya harus menanti dulu sampai

tahun besok setelah Gak hu mengumumkan dosanya di hadapan

umum, wah kalau sampai waktu itu baru bisa turun tangan untuk

membinasakan dirinya mungkin hati pun sudah mangkel sekali.”

“Cuo It Sian bilang Loohu bernapsu untuk membunuh dirinya

terus menerus, berarti pula dia sedang menegur loohu tidak

mempunyai hati untuk mengampuni orang lain, kau rasa

bagaimana?”

“Tidak, dia yang melakukan pekerjaan jahat dosanya amat besar

sekali tidak boleh diampuni lagi.”

“Karena kau akan menjadi menantu loohu maka loohu akan

memberi nasehat kepadamu kau janganlah sekali-kali menganggap

dengan kepandaian silat yang amat tinggi dan pergi kesana kemari

tanpa diketahui orang lain sekalipun melakukan suatu perbuatan

salah tidak bakal bisa ketahuan, kau harus ingat akan kata-kata

yang mengatakan : Sekaiipun kau bisa mengelabui orang tetapi

jangan barap bisa mengelabui dirimu sendiri, apa lagi mengelabui

mata hati Lao Thian-ya setiap orang yang percaya berbuat jahat dia

tentu akan menerima karma sesuai dengan perbuatannya,”

Ti Then yang teringat akan dirinya yang mendapat perintah dan

majikan patung emas untuk pergi memperistri putri orang lain uatuk

kemudian melaksanakan satu rencana busuk dalam hati merasa

sangat menyesal sekali, saking gemasnya dia kepingin sekali

mencari sebuah lubang untuk diterobosi.

Dia ingin sekali menceritakan seluruh rencana yang sudah

disusun oleh majikan patung emas dan rahasia dimana dia orang

telah digunakan oleh majikan patung emas tetapi setelah teringat

akan sesuatu dia batalkan kembali maksudnya itu.

Karena sejak bersama-sama dengan Wie Ci To meninggalkan

Benteng Pek Kiam Poo sampai kedalam perkampungan Thiat Kiam

San Cung dan hingga kini walaupun dia belum pernah bertemu

kembali dengan pemuda berbaju biru itu orang yang dikirim majikan

patung emas untuk mengawasi gerak geriknya tetapi dia selalu

merasa pemuda berbaju biru itu masih mengawasi terus akan

dirinya, bilamana sekarang dia membeberkan semua rahasia dari

majikan patung emas bilamana sampai terdengar atau terlihat oleh

pemuda berbaju biru itu dan dilaporkan kepada majikan patung

emas. Walaupun hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan dia orang

tetapi Wie Ci To beserta seluruh anggota Benteng Pek Kiam Poo

akan menemui bencana yang luar biasa ada kemungkinan majikan

patung emas segera akan turun tangan …. membunuh Wie Ci To

atau menculik Wie Lian In!”

Maka itu setelah berpikir bolak balik akhirnya dia merasa lebih

baik urusan jangan dibicarakan dulu, menanti setelah dia

mendapatkan satu cara untuk menghadapi majikan patung emas

waktu itulah dia baru minta ampun dihadapan Wie Ci To.

Wie Ci To yang melihat setelah dia orang mendengar

perkataannya itu air mukanya segera kelihatan sangat aneh dalam

anggapannya dia mengira perkataannnya sudah terlalu berat,

segera dia tertawa.

“Loohu percaya penuh kau pasti bukanlah manusia semacam itu,

perkataan yang aku ucapkan ini hari cumalah omongan sepintas lalu

saja.”

“Nasehat dari Gak-hu sedikitpun tidak salah, aku orang pasti

akan mengingatkan terus didalam hati.”

“Loohu bisa mempunyai seorang menantu seperti kau dalam hati

loohu merasa amat girang sekali ” ujar Wie Ci To tersenyum dan

menganggukkan kepalanya.

Mendadak terdengar Ti Then menghela napas panjang.

“Seperti Cuo It Sian, orang yang memiliki nama baik didalam Bulim

setelah melakukan sedikit kesalahan saja maka namanya akan

jadi rusak. Sebaliknya kita yang sudah turun tangan memberi

hukuman pun menemui banyak kesukaran. coba bayangkan saja

disamping harus menghukum dia kita pun harus memberi

penjelasan kepada orang2 Bu-lim lainnya. Setelah dipikir-pikir aku

rasa membunuh orang2 dari kalangan Hek-to jauh lebih gampang

lagi misalnya saja boanpwee sudah membinasakan Giok Bien

Langcoen Coe Hoay Loo jelas tidak usah diterangkan lagi orang2

lainpun sudah pada tahu kenapa boanpwee membunuhnya”.

“Benar. perkataan tersebut sedikitpun tidak salah. Menghadapi

Cuo It Sian, Loohu merasa benar2 merupakan satu pekerjaan yang

paling susah”

“Kejadian yang seperti peristiwa Cuo It Sian ini apakah Gak-hu

pernah menemuinya lagi ?” tanya Ti Then kemudian dengan

meminjam kesempatan ini.

“Sudah tidak ada!” Sahut Wie Ci To sambil gelengkan kepalanya.

“Selama hidupnya Gak-hu kecuali mengikat permusuhan dengan

si pendekar pedang tangan kiri apakah tidak pernah mengikat

permusuhan dengan jago2 Bu lim lainnya?”

“Tidak ada. buat apa kau menanyakan hal ini?”

“Tidak mempunyai arti yang istimewa, boanpwee cuma

sembarangan bertanya saja!” sahut Ti Then tertawa.

Dengan perlahan Wie Ci To menghela napas panjang.

—ooo0dw0ooo—

Jilid 35

“LOOHU jarang sekali mengikat permusuhan dengan orang lain

dikarenakan urusan pribadi bilamana para jagoan dsri kalangan hekto

yang pernah loohu kasi hukuman dahulu sekarang menaruh

dendam kepadaku hal itu yaa boleh dikata merupakan satu hal yang

jamak.”

“Sewaktu boanpwee belum memasuki benteng Pek Kiam Poo,

terhadap diri Gak-hu pun pernah menaruh satu perasaan … “ kata Ti

Then.

“Eeeei . . . perasaan apa ?” tanya Wie Ci To sembari

memperhatikan wajahnya dalam2.

Setelah mendengar perkataan dari boanpwee, Gak-hu jangan

marah lhoo.” ujar Ti Then tertawa.

“Loohu tidak akan marah, kau boleh langsung berkata terus

terang saja.”

„Boanpwee merasa seluruh perbuatan serta gerak gerik dari Gakhu

mengandung kemisteriusan hingga membuat orang merasa

susah untuk mengambil dugaan.”

“Kau maksudkan dari segi apa?” tanya Wie Ci To tertawa.

“Semisalnya dengan loteng penyimpan kitab itu ….”

“Rahasia yang menyelubungi loteng Penyimpan kitab itu sudah

kau ketahui “ Potong Wie Ci To dengan cepat. “Di tempat itu kecuali

menyimpan sebuah kenangan lama yang sukar loohu lupakan sama

sekali tidak menyimpan rahasia apapun !”

“Sudah tentu boanpwee mau pecaya terhadap apa yang Gak-hu

katakan. tetapi boanpwee rasa orang luar tidak bakal mau percaya.

mereka tentu akan menganggap Gak-hu menyimpan barang pusaka

yang berharga didalam Loteng penyimpan kitab tersebut.”

Wie Ci To yang mendengar perkataan itu lantas tertawa.

“Jago Bu~lim yang mengetahui kalau loohu memiliki sebuah

Loteng Penyimpan

kitab yang melarang setiap orang memasuki tempat itu sudah

tidak sedikit jumlahnya, tetapi selama puluhan tahun ini tiada

seorang pun yang berani mengadakan penyelidikan kedalam Loteng

tersebut, kini mereka sudah tidak merasa keheranan lagi terhadap

tempat itu.”

“Hanya untuk menyimpan sebuah lukisan serta sebuah rahasia

pribadi Gak-hu harus membangun sebuah loteng penyimoan kitab

yang demikian kuatnya boanpwee rasa hal ini rada luar biasa, sama

saja dengan persoalan kecil yang dibesar2kan”

“Kau berkata demikian apa mungkin di hatimupun sudah

menaruh curiga kalau di dalam Loteng penyimpan kitab dari loohu

itu sudah tersimpan semacam barang pusaka yang berharga ?”

Tanya Wie Ci To sambil memandang tajam dirinya kemudian

tertawa.

“Boanpwee menduga bilamana Gak-hu benar2 sudah menyimpan

semacam barang di dalam loteng penyimpan kitab itu maka barang

itu pasti bukan barang pusaka yang berharga melainkan sebuah

benda yang sama sekali tidak berharga tetapi mempunyai sangkut

paut yang amat besar sekali dengan keselamatan kita semua, atau

boleh dikata sifat dari barang itu ada kemiripan dengan potongan

pedang pendek dari Cuo It Sian, bukan begitu ?”

Wie Ci To tersenyum tetapi tidak memberikan jawabannya, lewat

beberapa saat kemudian baru menggelengkan kepalanya.

“Tidak benar. dugaanmu sama sekali salah”

Ti Then pun tertawa. dia tidak banyak berbicara lagi.

Setengah bulan kemudian, akhirnya tua muda dua orang tiba

juga didalam Benteng Pek Kiam Poo.

Wie Lian In serta para jagoan pedang yang ada di dalam Benteng

sewaktu mendengar berita ini cepat pada keluar pintu Benteng

untuk melakukan penyambutan kemudian bsrsama sama masuk

kedalam Benteng dan duduk beristirahat di dalam ruangan tamu.

Wie Ci To yang dikarenakan Cuo It Sian sudah melakukan bunuh

diri maka dia tidak mengumumkan akan kejahatan yang sudah

diperbuat olehnya, oleh sebab itulah terhadap pengalamannya

selama ia meninggalkan benteng bersama-sama dengan Ti Then

sepatah katapun tidak dia ungkat, dia cuma menanyakan keadaan

dari Benteng dari diri si pendekar penembus ulu hati Shia Pek Tha,

“Keadaan Benteag aman tenteram tidak terjadi urusan apapun.”

Terdengar Shia Pek Tha memberikan laporannya. “Cuma si Cui

lojien dari gunung Cing Shia pernah datang berkunjung mencari

poocu untuk diajak main catur tetapi setelah mengetahui poocu

tidak ada dalam benteng dia lantas pulang,”

“Baiklah, tidak ada urusan lagi. kalian boleh mengundurkan diri”

seru Wie Ci To kemudian sambil mengangguk.

Msnanti setelah Shia Pek Tha serta para jagoan pedang mersh

sudah pada mengundurkan diri dari dalam ruangan, Wie Ci To

bangun berdiri dan kirim satu senyuman kepada diri Wie Lian In.

“In-jie.” ujarnya dengan halus.

“Bilamana kau ingin mengetahui bagaimana kesudahan dari

pekerjaan yang dilakukan loohu serta Ti Kiauw tauw, kau boleh

suruh Ti Kiauw tauw menceritakannya loohu sekarang mau

beristirahat dulu,”

Selesai berkata dia segera berjaian keluar dari ruangan tersebut.

Menanti setelah bayangan punggung dari Wie Ci To lenyap dari

pandangan, dengan tidak sabaran lagi Wie Lian In segera menoleh

dan mendesak Ti Then dengan kata2 yang keras.

“Cepat ceritakan, kalian berhasil atau tidak ?”

“Haaa . , haaa . . jangaa keburu, biarlah aku mengembalikan

buntalan kedalam kamar dan cuci muka dulu nanti aku tentu

menceritakan kisah ini dengan jelas.

“Baiklah kalau begitu cepatlah kau pergi aku tunggu dirimu

didalam kebun.”

Sekembalinya dalam kamar, Ti Then meletakkan dulu

buntalannya keatas meja setelah itu dia baru perintah si Loo-cia

mengambil air untuk mencuci muka.

Setelah semuanya selesai dengan langkah perlahan dia baru

berjalan menuju kedalam kebun.

Sejak semula Wie Lian In sudah menanti didalam gardu, sewaktu

melihat Ti Then muncul disana dia lantas menepuk2 bangu yang

ada disamping badannya.

“Mari, duduk disini!” katanya.

Ti Then tanpa berbicara lagi segera duduk disisi badannya.

Wie Lian In segera menjatuhkan diri kedalam pelukannya,

dengan wajah yang kikuk ujarnya perlahan:

“Aku mau tanya padamu, beberapa hari ini apakah kau

merindukan diriku?”.

“Sudah tentu! tiada seharipun aku tidak merindukan akan

dirimu!” sahut Ti Then sembari merangkul pinggangnya yang

ramping itu.

“Sungguh ?”

“Sungguh !!”

“Akupun sangat merindukin dirimu” ujar Wie Lian In lagi dengan

pandangan

penuh cinta. “Ada berapa kali aku bermaksud untuk menyusul

dirimu”.

“Aaaah . . . masih untung kau tidak menyusul diriku”.

“Kenapa?” Tanya Wie Lian In keheranan.

“Urusan sudah terjadi diluar dugaan, kami tidak jadi pergi kekota

Tiong Cing Hu. Aku dengan ayahmu berhasil membereskan diri Cuo

It Sian didalam perkampungan Thiat Kiam San cung”.

“Aaaah . , . Cuo It Sian juga pergi ke perkampungan Thiat Kiam

San Cung?” tanya Wie Lian In dengan terperanjat.

“Benar, urusan sebenarnya adalah begini”

Diapun segera menceritakan seluruh kejadian itu kepada diri Wie

Lian In.

“Demikianlah. . . . akhirnya dia terdesak dan bunuh diri

dihadapan kita !” Terdengar Ti Then mengakhiri ceritanya.

Wie Lian In setelah selesai mendengar cerita itu segera

menghembuskan napas panjang2.

“Sungguh tidak disangka bajingan tua itu bisa dilenyapknn

dengan demikian mudahnya, bagaimana dia mau melakukan bunuh

diri ?” tanyanya.

“Didalam keadaan seperti itu dia tahu untuk meloloskan diri

bukanlah satu pekerjaan yang gampang, apalagi ayahmu pun sudah

memberi ancaman bilamana dia tidak mau melakukan bunuh diri

untuk menebus dosanya maka seluruh kejahatan yang diperbuat

akan diumumkan didalam Bu-lim maka itu terpaksa dia harus

memilih jalan bunuh diri ini.”

Dengan pandangan penuh rasa kuatir Wie Lian In segera

dongakkan kepalanya memandang sepasang mata Ti Then,

“Kau bilang matamu kena disambit kapur oleh si iblis bungkuk

Leng Hu Ih, sekarang spa sudah sembuh ?” tanyanya.

“Sama sekali sudah sembuh.”

“Luka yang dilengan ?”

“Juga telah sembuh.”

“Setelah kau serta Tia menghantarkan dua bersaudara dari

keluarga Nyio menemukan tempat dikuburnya jenszah Cau Ci Beng

lalu segera berangkat pulang?”

Dari dalam sakunya dia lantas mengambil keluar sebuah kotak

dan diangsurkan kepada Wie Lian In.

“Ini terimalah barang hadiah untukmu dari! Nyio Loo cung-cu

coba bukalah untuk dilihat-lihat.

“Barang hadiah ?” Tanya Wie Lisn In melengak.

“Benar. sewaktw dia mendengar ayahmu bilang kau hendak

kawin dengan aku. maka hadiah ini lantas dititipkan kepadaku untuk

disampaikan kepadamu,” ujar Ti Then sambil tertawa.

Air muka Wie Lian In seketika itu juga berobah merah.

“Ayahku bilang spa ?” tanyanya dengan malu.

“Dia bilang setelah kembali kedalam Benteng maka dia orang tua

segera akan mempersiapkan perkawinan kita.”

Wie Lian In segera membuka kotak itu sewaktu dilihatnya isi dari

kotak itu bukan lain adalah sebuah berlian biru tidak kuasa lagi

matanya terbelalak lebar,

“Oooh, , Thian!” teriaknya kaget. “Berlian biru ini sangat

berharga sekali.”

“Menurut taksiran ayahmu ada kemungkinan berlian itu bernilai

sapuluh- laksa tahil perak”

“Barang yang demikian berharganya bagaimana kau berani

menerimanya ?” tanya Wie Lian In dengan terkejut bercampur

girang.

“Nyio Loo cung-cu jadi orang sangat lapang dada dia paksa aku

untuk menerimanya bahkan dia bilang bilamana aku tidak mau

terima maka dia sengaja akan kirim orang untuk menghantarkan

barang itu kemari”

Wie Lian In segera mengambil keluar berlian biru itu dan

ditelitinya beberapa saat setelah itu sambil tertawa katanya:

“Mungkin untuk membalas budi kalian yang sudah membantu dia

membasmi si iblis bungkuk Leng Hu Ih dan anak buahnya maka

sengaja dia hadiahkan barang2 yang berharga, waah . . . aku yang

tidak ikut2 malah kecipratan rejeki . .”

“Dia masih hadiahkan barang ini untukku” ujar Ti Then kembali

sambil mengeluarkan baju tameng landak psmberian Nyio Sam Pak

itu. “Tahukah kau barang apakah ini ??”.

Wie Lian In lantas terima pakaian luar tameng landak itu dan

diperhatikan beberapa saat lamanya.

“Ooooh sebuah pakaian dalam, agaknya terbuat dari kulit

semacam binatang!” katanya.

“Eeehni . . baju ini kalau dipakai dibadan bisa tahan tusukan

senjata tajam bahkan dapat msmunahkan pula tenaga lweekang

dari jagoan macam apapun”.

“Apakah baju luar tameng landak ?” tanya Wie Lian In dengan

bersemangat.

“Tidak salah, ternyata kau mengerti juga akan barang berharga”

sahut Ti Then sembari mengangguk.

Wie Lian In menarik napas panjang.

“Barang semacam ini bukankah merupakan satu barang pusaka

yang di-idam2kan oleh setiap jago Bu-lim?” Serunya dengan hati

sangat gembira.

“Sebetulnya aku tidak berani menerima pemberian hadiah yang

sangat berharga ini, tetapi Nyio Loo Cung-cu terus menerus

mendesak bahkan dia bilang jikalau aku tidak mau menerima maka

dia mau berlutut dihadapanku, aku tidak punya akal lagi terpaksa

barang ini aku terima.”

Dia berhenti sebentar untuk tukar napas setelah itu sambil

tertawa tambahnya :

“Padahal aku tidak membutuhkan barang semacam ini, aku

sudah mengambil keputusan untuk hadiahkan barang ini kepada

orang lain!”.

Mendengar keputusan dari Ti Then ini tidak terasa lagi Wie Lian

In jadi merasa tegang.

“Tidak boleh . . . tidak boleb, tidak bisa jadi!” Serunya dengan

gugup. “Barang pusaka yang di-idam2kan oleh setiap jagoan Bu-lim

bagaimana boleh kau hadiahkan kepada orang lain, kau jangan

berbuat ke-tolol2an!”

“Aku mau hadiahkan barang ini buat calon istriku yang tercinta

apa juga tidak boleh ?” Tanya Ti Then sambil memandang diri Wie

Lian In dengan mesra.

Wie Lian In agak tertegun dibuatnya, tetapi sebentar kemudian

dia sudah tertawa cekikikan.

“Hmmm sungguh pintar mulutmu, aku tidak mau!” Teriaknya.

“Kenapa kau tidak mau ? Tanya Ti Then melengak. “Barang

semacam ini sangat berguna sekali buat dirimu, lain kali bilamana

kau keluar Benteng harus memakainya dibadanmu. jikalau misalnya

sampai bertemu dengan jagoan yang memiliki kepandaian silat amat

tinggi jadi tidak sampai menderita luka.

oooOOOooo

59

Dengan perlahan Wie Lian In segera mencubit pahanya, lalu

dengan wajah penuh perasaan cinta kasih ujarnya dengan suara

perlahan:

“Oooh.., engkohku yang bodoh, beberapa hari kemudian

barangmu sama juga dengan barangku, barangku sama juga seperti

barangmu, buat spa kau hadiahkan barang itu kepadaku ?”

Ti Then yang merasa perkataannya sedikit pun tidak salah,segera

angkat bahunya dan tertawa.

“Kalau begitu lain kali bilamana kau mau keluar pintu maka harus

mengabulkan permintaanku untuk memakainya dibadan.”

Wie Lian In segera menganggukkan kepalanya lalu menempelkan

pipinya keatas dadanya, dia benar2 sudah dimabuk oleh cinta.

Dari dalam sakunya kembali Ti Then mengambil keluar sebuah

kotak.

“Ehmm yang sekarang ini adalah hadiahku yang aku beli sewaktu

ada di kota Tiang An, entah sukakah kau dengan barang2 ini?”

tanyanya.

“Asalkan kau yang membeli aku tentu suka!”

Sembari berkata dia membuka kotak itu untuk dilihat isinya,

terlihatlah tusuk konde, anting2, gelang dan macam2 perhiasan

yang memancarkan cahaya terang muncul dihadapan matanya,

tidak kuasa lagi dalam hati dia merasa amat girang,

“Bukankah kau pernah bilang hendak membelikan hadiah buatku

yang nilainya tidak melebihi satu tahil perak?” Godanya sambil

tertawa, “Aku rasa barang2 perhiasan ini tidak sampai satu tahil

perak bukan ?”

“Barang2 itu aku beli dengan menggunakan uangku sendiri maka

harganya tidak ada batas-batasnya.”

“Aku pun sudah belikan beberapa pakaian buat-mu, sekarang

barang-barang itu sudah ada didalam kamarku biar nanti aku

ambilkan buat kau lihat…”

Mereka berdua duduk ber-mesra2an hingga jauh malam

menjelang datang, waktu itulah sambil bergandengan tangan

mereka baru berjalan keluar dari dalam kebun menuju kekamar

baca untuk menjenguk Wie Ci To sebentar, kemudian ber~sama2

pergi bersantap malam.

Sehabis bersantap Ti Then kambali ke kamarnya untuk

membersihkan badan, berganti pakaian lalu jalan2 keluar untuk

melakukan perondaan disekeliling Benteng. Sehabis berkata

sebentar dengan para jagoan pedang dia baru kembali kedalam

kamarnya untuk beristirahat.

Dia tahu tanpa diundang majikan patung emas pasti akan

munculkan dirinya ditengah malam, karenanya tanpa mengirim

tanda lagi dia lantas naik keatas pembaringan untuk tidur.

Ternyata sedikitpun tidak salah, seperti juga beberapa kali yang

lain pada kentongan ketiga tanpa diundang majikan patung emas

sudah munculkan dirinya diatas atap rumah, setelah membuka atap

dengan tanpa mengeluarkan sedikit suarapun dia mulai menurunkan

patung emasnya.

Kali ini Ti Then merasakan kedatangannya jauh lebih jelas, sesaat

sebelum patung emas itu berada ditepi pembaringannya dia sudah

terjaga dari pulasnya, dia segera bangun dari tidurnya lalu menarik

tali hitam yang mengikat patung emas tersebut.

“Hey agaknya kali ini kau merasa begitu ter-buru2, kenapa selalu

saja kau tidak memberikan waktu buatku untuk beristirahat dengan

nyenyak?” Teriaknya dengan menggunakan ilmu menyampaikan

suara.

Nada ucapan dari majikan patung emas masih tetap dingin, kaku

dan sangat tawar sekali.

“Apakah setiap kali kau meninggalkan benteng Pek Kiam Poo

tidak pernah tidur dengan nyenyak?” Serunya dengan menggunakan

ilmu untuk menyampaikan suara pula.

“Perjalanan jauh melelahkan badan, setelah kembali kedalam

Benteng sudah tentu harus tidur dulu semalam dengan

nyenyaknya!”.

“Kau tidak usah banyak bicara lagi, ayoh cepat melaporkan

seluruh pengalamanmu dengan jelas!” Perintah majikan patung

emas dengan angkernya.

“Orang yang kau kirim untuk mengawasi diriku apa masih belum

kembali?” tanya Ti Then sambil tertawa.

“Bagaimana kau tahu kalau aku kirim orang lagi untuk

mengawasi seluruh gerak-gerikmu?”

“Hal ini sudah ada didalam dugaanku! ” Jawab Ti Then tertawa

geli.

“Kali ini dugaanmu sama sekali meleset aku tidak kirim orang

untuk membuntuti dirimu”.

“Kenapa ?”

Majikan Patung emas segera tertawa dingin.

“Karena aku tahu kau merasa sayang terhadap nyawa Wie Ci To

ayah beranak, untuk melindungi mereka dari bencana yang tidak

diinginkan sudah tentu kau tidak akan bermaksud untuk merusak

rencanaku dari tengah jalan ” katanya.

“Akhir dari Cuo It Sian adalah sebuah cermin buatmu, orang yang

bermaksud jahat tentu akan memperoleb akhir yang tidak

menyenangkan !”

“Hmm! kau bangsat cilik berani memberi nasehat kepadaku ?? ”

Teriak majikan Patung emas dengan gusar. “Cuo It Sian tetap Cuo It

Sian sedang aku tetap aku?”

“Jadi maksudmu kepandaian silat yang kau miliki jauh lebih lihay

dari kepandaian Cuo It Sian sehingga tidak ada orang yang bisa

menguasahi dirimu lagi ?”

“Sedikitpun tidak salah!” jawab majikan patung emas tidak ragu2

lagi.

“Heee . . . heee kalau begitu anggapan kau itu adalah salah

besar! walaupun kepandaian silatmu tiada orang yang dapat

melawan tetapi Thian bisa menghukum dirimu, bilamana kau

berbuat jahat maka karmanya akan selalu mengikuti dirimu.”

“Sudah cukup belum perkataanmu ?” potong majikan patung

emas dengan gusarnya.

Dalam hati Ti Then tahu hawa amarahnya sebentar lagi akan

berkobar karenanya nada ucapannya semakin dipertajam.

“Belum selesai” jawabnya sambil tertawa “Sekarang aku mau

mulai dengan laporanku „„”

Demikianiah dia segera menyerukan seluruh kejadian yang

dialaminya sewaktu ada didalam perkampungan Thiat Kiam San

Cung.

Dengan tenangnya majikan patung emas mendengarkan kisah itu

hingga habis setelah itu barulah ujarnya:

“Jadi dengan demikian peristiwa yang menyangkut diri Cuo it

Sian dapat dikatakan sudah beres?”

“Benar!!” sahut Ti Then mengangguk “Tetapi sesaat sebelum dia

melakukan bunuh diri pernah mengancam katanya dia sudah

mengatur satu pasukan aneh yang di dalam setengah tahun

mendatang bakal mendatangkan bencana bagi Benteng Pek Kiam

Poo, perkataan ini bilamana sungguh2 maka lain kali kita masih ada

urusan lagi!”

“Hmm! orangnya sudah mati masih bisa memperlihatkan

permainan setan apa lagi?” Seru majikan patung emas sambil

mendengus dingin.

“Aku pun berpikir demikian , , , ”

“Sekarang kita bicarakan soal perkawinanmu dengan Wie Lian In,

apakah Wie Ci To pernah menyinggung kembali persoalan ini?” ujar

majikan patung emas kemudian mengalihkan bahan

pembicaraannya.

“Pernah! dia bilang setelah kembaii ke dalam Benteng maka dia

akan mulai mengadakan persiapan. aku rasa kejadian itu pasti bakal

berlangsung didalam satu, dua bulan mendatang.

“Kalau memangnya sudah mulai mengadakan persiapan lalu buat

apa harus menunggu satu dua bulan lagi ?”.

“Sudah tentu harus memilih satu hari yang bagus agar semua

tetamu ditempat kejauhan bisa ada kesempatan untuk mendatangi

Benteng Pek Kiam Poo, kau bilang benar tidak? ” Seru Ti Then

tertawa.

“Ehmmm …. tidak salah…Wie Ci To mempunyai sahabat serta

kenalan ysng amat banyak dan tersebar diseluruh Bu-lim, tetamu

yang diundang tentu sangat banyak sekali”.

“Tujuanmu sudah hampir tercapai pada apa yang kau inginkan,

maka itu sekarang aku mau menjelaskan telebih dahulu akan

aesuatu hal kepadamu. Sewaktu aku sudah jadi suami istri dengan

Wie Lian In maka tidak perduli kau mau mencuri atau berbuat

apapun pokoknya tidak boleh melukai keselamatan barang

seorangpun dari anggota Benteng Pek Kiam Poo, kalau tidak sekali

pun harus mati aku juga tidak akan melakukan perintahmu !”

“Boleh”.

Ti Then lalu termenung sebentar, mendadak sambil tertawa

ujarnya lagi :

“Kau pernah bilang perintahmu yang kedua baru akan kau

sampaikan setelah aku kawin dengan Wie Lian In tetapi setelah aku

kawin dengan Wie Lian In maka aku akan tidur satu pembaringan

dengan dirinya. Saat itu bagaimana kau bisa memberikan

perintahmu yang kedua ? Apakah kau hendak menggunakan cara

yang sama seperti sekarang, menurunkan patung emas dari atas

atap untuk bercakap-cakap dengan aku ?”.

“Soal ini sampai waktunya sudah tentu ada caranya sendiri”.

“Baiklah, jikalau kau tidak ada perkataan yang lain sekarang

silahkan untuk mengundurkan diri”.

“Aku masih ada beberapa patah kata lagi yang hendak aku

sampaikan kepadamu. Aku tahu selama ini kau menerima

perintahku untuk kawin dengan Wie Lian In dengan rasa tidak puas,

kemungkinan sekali kau bisa melaporkan urusan ini kepada diri Wie

Ci To. Hmm! bilamana kau berani berbuat demikian maka kau akan

menyesal karena kesemuanya ini tidak bakal biss lolos dari

pengawasanku begitu aku menemukan kau bermaksud untuk

membocorkan hal ini kepadanya maka aku segera akan turun

tangan membunuh mereka ayah beranak terlebih dulu, setelah itu

baru membasmi seluruh jagoan pedang yang ada di dalam

Benteng,”

Mendengar ancaman itu Ti Then segera merasakan hatinya

bergidik.

“Bilamana kau ada nyali untuk membinasakan diri Wie Ci To

kenapa tidak kau lakukan sejak semula?” Tantang Ti Then dengan

kesal. “Kenapa kau kirim aku kemari untuk melakukan segala

macam siasat dengan ber-sembunyi2 ?”.

“Setiap manusia mempunyai rasa cinta kasih yang tersembunyi,

jika tidak sampai pada keadaan yang benar2 terpaksa aku tidak

ingin membuka pantangam membunuh!” jawab majikan patung

emas dengan dingin.

Selesai berkata dia segera menarik kembali patung emasnya.

Dua hari kemudian mendadak Wie Ci To memerintahkan seluruh

jagoan pedang

merah yang ada didalam Benteng untuk ber-sama2 bersantap

siang.

Semua orang yang mendengar pemberitahuan itu segera

mengetahui kalau di dalam perjamuan nanti tentu Poocu mereka

akan menyampaikan sesuatu hal. Maka tanpa membuang tempo lagi

mereka segers berkumpul didalam ruangan makan.

Ternyata sedikitpun tidak salah, setelah bsrsantap Wie Ci To

lantas mengumumkan kalau putrinya akan dijodohkan dengan Ti

Then.

Seluruh jago pedang merah segera menyambut pengumuman itu

dengan hati girang, ditengah suara sorakan yang gegap gempita

mereka pada angkat cawannya memberi selamat buat Wie Ci To

serta diri Ti Then. Tampak sambil tersenyum Wie Ci To berkata lagi.

“Loohu sudah pilihkan suatu hari yang baik uatuk perkawinan itu,

yaitu pada tanggal dua puluh delapan bulan depan, jaraknya dari ini

hari masih ada lima puluh hari!”

“Apakah perlu mengadakan perayaan dengan mengundang sanak

keluarga serta sahabat karib?” Tanya Shia Pek Tha.-

“Sudah tentu!”

“Kalau begitu kita harus segera membuat undangan untuk

disebarkan kepada semua teman kalau tidak bagaimana mungkin

para sahabat dan handai taulan bisa mengetahui waktunya?”

“Benar, perkataanmu sedikitpun tidak salah” Sahut Wie Ci To

sambil mengangguk.

“Selesai bersantap cepatlah kalian membuat surat undangan

untuk kemudian segera disebarkan, dan sampaikan pula perintahku

bagi seluruh jagoan pedang merah yang masih berkelana di tempat

luaran untuk kembali ke benteng pada waktunya dan ikut di dalam

perayaan ini.”

“Terima perintah”

Sehabis bersantap Shia Pek Tha segera kembali kedalam

kamarnya untuk mulai menulis surat undangan.

Sebaliknya Ti Then seperti juga seorang tawanan yang baru saja

menerima keputusan hukuman mati, hatinya merasa amat murung.

Dengan perlahan dia mulai menjauhi orang-orang lain ustuk

kembali kedalam kamarnya dan termenung selama setengah harian

lamanya. tetapi sebentar kemudian satu ingatan sudah berkelebat

didalam benaknya baru saja dia meloncat bangun dengan wajah

yang kukuh mendadak pintu kamar sudah dibuka.

“Ti Kiauw-tauw selamat …. selamat untukmu.'” Seru Loo-cia itu si

pelayan tua sambil tertawa ha haa-hihi.

Ti Then tertawa tawar dan tidak mengucapkan sepatah katapun,

dia lantas berjalan meninggalkan kamar menuju kekamar baca dari

Wie Ci To.

Didalam hati dia sudah mengambil keputusan untuk membuka

seluruh rahasia hatinya dihadapan Wie Ci To, karena semakin lama

dia berpikir semakin terasa olehnya kalau dirinya tidak seharusnya

menerima perintah dari majikan patung emas untuk merusak nama

baik serta kesucian dari seorang nona.

Dengan langkah yang lebar dia berjalan menuju kedepan kamar

baca Wie Ci To lalu mulai mengetuk pintu.

“Siapa ?” Terdengar suara dari Wie Ci To berkumandang keluar

dari dalam kamar baca itu.

“Boanpwee adanya !”

“Silahkan masuk !”.

Ti Then segera mendorong pintu itu ke samping lalu berjalan

masuk kedalam.

Tidak! pada saat kaki kanannya mulai melangkah masuk kedalam

pintu kamar itulah mendadak dia dibuat benar2 tertegun.

Karena ada serentetan suara yang halus seperti suara nyamuk

bergema masuk kedalam telinganya:

“Ti Then ! Bilamana kau mengira aku tidak berani membunuh

mati mereka ayah beranak maka dugaanmu itu adalah salah

besar!”.

Orang yang mengirim suara itu tentu majikan patung emas

adanya.

Ti Then segera merasakan hatinya berdebar keras, tanpa terasa

lagi kepalanya sudah menoleh memperhatikan keadaan disekeliling

tempat itu. Dia sangat mengharapkam bisa menemukan tempat

persembunyian majikan patung emas itu.

Didalam hati dia benar2 merasa sangat terkejut karena tidak

menduga majikan patung emas berani munculkan dirinya ditengah

siang hari bolong, diapun sama seka1i tidak mengira kalau pihak

lawan bisa mengerti apa yang sedang dipikirkan dihatinya.

Tetapi sewaktu dia menoleh dan memeriksa keadaan disekeliling

tempat itu apa pun tidak kelihatan. suasana disekitar tempat itu

amat sunyi sekali tidak tampak sesosok bayangan manusiapun.

“Ada urusan apa?” Terdengar Wie Ci To sudah membuka mulut

bertanya.

Dengan ter-buru2 Ti Then berusaha untuk menenangkan hatinya

lalu melanjutkan langkahnya berjalan masuk kedalam kamar baca

tersebut.

“Aaaah . . . tidak mengapa . ..” jawabnya sambil sertawa paksa.

“Air mukamu rada tidak benar, apakah terlalu banyak minum

arak ?”

“Benar. saudara2 pada memberi selamat kepadaku dengan arak

membuat boanpwee merasa rada tidak kuat.”

“Ada perkataan yang hendak kau sampaikan?”

Dalam hati diam2 Ti Then menghela napas sedih, pikirnya;

“Tidak. tidak , , . . . Majikan patung emas benar2 mempunyai

kekuatan untuk membinasakan mereka ayah beranak, aku tidak

boleh mencari keselamatan buat diriku sendiri sebaliknya

mencelakai diri mereka berdua”

Pikiran ini dengan cepat berkelebat didalam benaknya dia lantas

menjawab dengan cepat:

“Boanpwee ada satu urusan yang hendak minta bantuan dari

Gak-hu Thay jien”

“Urusan apa ?” Tanya Wie Ci To keheranan.

“Suhu dari boanpwee Bu Beng Loojien walaupun jejaknya tidak

jelas tetapi boanpwee rasa adalah suatu keharusan bagiku untuk

berusaha mencari dapat dia orang tua dan memberi kabar

kepadanya akan berita baik ini”

“Baik . . baik . . bilamapa bukannya kau yang mengingatkan

Loohu sendiripun akan melakukan akan hal ini, cuma dunia

demikian luas entah harus kemana kita pergi untuk menemukan dia

orang tua dan menyampaikan kabar ini ?”

“Perkataan Gak-hu sedikitpun tidak salah, untuk menemukan dia

orang tua memang bukanlah satu pekerjaan yang gampang,

sekalipun misalnya berhasil juga kita menemukan dirinya, mau

datang atau tidak masih merupakan satu persoalan, boanpwee

cuma ingin menunjukkan sedikit rasa baktiku saja sebagai

muridnya.”

“Lalu Hian-say (menantu) bermaksud untuk berbuat apa ?” tanya

Wie Ci To kemudian.

“Tempo hari setelah suhu menerima boanpwee sebagai muridnya

pernah membawa aku berpesiar ke gunung Lok san, terhadap

pemandangan disekitar tempat itu dia sangat tertarik, dia pernah

bilang lain kali mau mendirikan sebuah rumah didekat tempat itu

maka itulah ada kemungkinan di tempat tersebut kita bisa

menemukan dia orang tua”

“Jarak dari sini ke gunung Lok San sangat jauh sekali sedangkan

hari perkawinanmu dengan In-Jie pun sudah dekat, apalagi masih

ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, bilamana kau

bermaksud untuk pergi mencari sendiri loohu rasa ….”

“Boanpwee tidak bermaksud untuk pergi mencari sendiri ” ujar Ti

Then dengan gugup.

“Kalau tidak apakah Hian-Say bermaksud minta loohu kirimkan

seseorang untuk mewakili dirimu pergi mencari ?”

“Benar, tetapi tidak usah khusus kirim seseorang, asalkan Gak-hu

ada teman yang tinggal disekitar gunung Lok San maka sewaktu

membagi undangan sekalian suruh saudara itu pergi keatas gunung

untuk mencari-cari atau meninggalkan tulisan diatas puncak,

dengan berbuat demikian entah berhasil menemukan dia orang tua

atau tidak hati boanpwee pun sudah rada lega”.

“Baiklah, kalau memangnya begitu kau pergilah kekamar Pek Tha

yang lagi menulis undangan, katakan kepadanya sewaktu mengirim

undangan buat “Auh in Suseng” Han Tiong Thian di gunuog Lok San

sekalian perintah saudara yang menyampaikan undangan itu untuk

pergi keatas puncak gunung mencari cari jejak dari Suhumu ” kata

Wie Ci To kemudian.

Ti Then segera bungkukkan badannya menjura.

“Baiklah, terima kasih atas perhatian dari Gak-hu” Sahutnya.

Selesai berkata dia segera mengundurkan dirinya dari dalam

kamar baca itu.

Sewaktu memasuki kamar baca tadi dia sebetulnya ber-siap2

untuk membuka rahasia dimana dia menerima perintah dari majikan

patung emas untuk melaksanakan segala sesuatunya. Tetapi setelah

mtndapatkan peringatan dari majikan patung emas yang mendadak

itu mcmbuat keberanian yang sudah muncul dihatinya seketika itu

juga hancur lumur kembali.

“Dia tahu demi suksesnya tujuan yang diharapkan majikan

patung emas sudah membuang banyak waktu dan tenaga, bilamana

dirinya bermaksud hendak merusak rencananya yang sudah hampir

mencapai keberhasilan itu didalam keadaan gusar ada kemungkinan

dia dapat melaksanakan ancamannya itu.

Karena itulah demi untuk melindungi keselamatan dari Wie Ci To

berdua terpaksa dia melenyapkan kembali maksud hatinya dan

sengaja mengarangkan satu alasan hendak mencari suhunya untuk

menutupi maksud yang sebetulnya.

Tetapi pada saat ini hatinya benar-benar merasa sangat

menderita karena undangan saat ini mau dibagikan.

Bilamana dia tidak membuka rahasia ini pada waktu sekarang

maka begitu undangan tersebut dibagikan maka keadaan sudah

terlambat.

Dengan hati murung dia berjalan menuju ke kamarnya Shia Pek

Tha, tampaklah pada saat itu Shia Pek Tha lagi menulis undangan

dengan repotnya.

Sambil tertawa dia lantas maju kedepan menghampiri dirinya.

“Pek Tha heng,” Tegurnya. “Buat apa kau begitu terburu-buru.”

“Ti Ktauw-tauw apa tidak merasa terburu-buru?” goda Shia Pek

Tha sambil tertawa.

“Siauwte sedikitpun tidak merasa ter-buru2 !”

“Haaa . . haaa . . . bilamana perkataanmu ini sampai didengar

oleh nona- dia pasti tidak akan mengampuni dirimu.” Seru Shia Pek

Tha sambil tertawa ter-bahak2.

Ti Then pun tertawa, dia segera mengambil selembar undangan

dan dilihatnya sekejap.

“Sebenarnya kita mau mengundang beberapa orang sahabat?”

tanyanya.

“Kawan karib dari Benteng kami seluruhnya ada tiga ratus orang,

ditambah dengan kawan2 karib Ti Kiauw-tauw aku rasa kali ini tentu

akan ramai sekali.”

“Walaupun Siauw-te juga ada beberapa orang kawan karib tetapi

jejak mereka tidak menentu, sulit untuk mencari mereka itu ” kata

Ti Then perlahan.

“Apa Ti Kiauw-tauw tidak bermaksud untuk mengundang mereka

ikut minum arak kegiraaganmu ?” tanya Shia Pek Tha keheranan.

“Benar, cuma ada seorang yang harus diundang, cuma saja aku

takut orang ini pun sulit untuk ditemukan …. diantara nama2 yang

diundang apakah Pek Tha-heng mengikut sertakan juga “Auh Ih

Suseng” Han Tiong Thian yang tinggal digununc Lok San !”

Shia Pek Tha segera memeriksa sebentar daftar yang ada dimeja,

setelah itu dia baru mengangguk.

“Ada, orang ini juga merupakan sahabat dari Benteng kami,

apakah Ti Kiauw tauw mempunyai hubungan persababataa dengan

orang ini ?”

“Yang hendak Siauw-te undang bukan dia melainkan suhuku Bu

Beng Loojien dia orang tua ada kemungkinan sudah menetap diatas

puncak gunung Lok San. baru saja Siauw-te melaporkan hal ini

kepada Poocu. Sekarang Siauw-te sangat mengharapkan agar Pek

Tha-heng suka memberi tugas kepada saudara yang mengantarkan

undangan bagi Auh In Suseng Han Tiong Thian ini untuk sekalian

menaiki puncak Lok san mencari tahu jejak dan suhuku, bilamana

tidak menemukan dia disana maka tolong disuruh dia meninggalkan

pesan di atas puncak itu katakan saja tanggal serta hari dimana

siauw-te serta nona Wie akan menikah.

Dengan berbuat demikian maka hati siauw-te baru bisa merasa

rada lega.”

“Baiklah” sahut Shia Pek Tha dengan girang. “Undangan besok

akan mulai dibagi, nanti biarlah aku suruh seorang saudara pergi

menghadapi Ti Kiauw tauw, waktu itu Ti Kiauw tauw bisa berikan

sedikit keterangan tentang bentuk wajah serta perawakan badan

suhumu kepadanya, dengan demikian dia baru bisa mengenali

suhumu itu”

“Baiklah, kali ini harus membuat undangan tentu bakal

merepotkan banyak saudara bukan ?”

“Tidak seberapa banyak, cukup kirim dua puluh orang saja.”

“Betul,” Seru Ti Then setuju. “Menurut apa yang aku dengar

para jago pedaog merah yang mau keluar Benteng atau kembali

kedalam benteng tentu mencatatkan tanggal terlebih dahulu di

tempat Pek Tha-heng sini, apakah sungguh-sungguh ada urusan

lain ?”

“Ada, Waktu keluar benteng serta tempat yang hendak dituju

semuanya dicatat jelas-jelas agar dikemudian hari bilamana ada

urusan bisa menemukannya kembaii dengan gampang.”

“Buku catatan tersebut entah dapatkah siauw-te melihatnya

sebentar ?”

“Sudah tentu boleh.” Jawab Shia Pek Tha tertawa. “Kini Ti Kiauw

tauw sudah menjadi menantu dari Poocu kami, kenapa kau malah

berlaku begitu sungkan2 ?”

“Sehabis berkata dia segera membuka lacinya dan mengambil

keluar sejilid buku yang tebal kemudian diangsurkan kepada diri Ti

Then.

Ti Then lantas menyambut buku itu dan mencari sebuah kursi

didalam kamar untuk mulai membuka setiap lembar dengao teliti.

Apa yang sedang dicari dari kitab tersebut ?

Kiranya secara mendadak dia teringat kembali akan diri pemuda

berkerudung yang mendapat perintah dari majikan patung emas

untuk mengawasi gerak geriknya itu, dia memastikan kalau pemuda

berkeruduug itu pastilah salah satu dari pendekar pedang merah

dari Benteng Pek Kiam Poo karena itu dia bermaksud untuk mencari

tahu dirinya.

Dengan mengikuti tanggai dimana dirinya meninggalkan Benteng

menuju ke gunung Cun san untuk mencari Cu Kiam Loojien akhirnya

dia berhasil menemukan kalau semuanya ada tiga orang pendekar

pedang merah yang ber-sama2 dengan dirinya meninggalkan

Benteng.

Ketiga orang itu adalah Thio Yen Hoat, Fang Loo Tek serta Ie Si

Kuang.

Sekalipun sejak memasuki Benteng sampai sekarang cuma ada

tujuh delapan bulan saja tetapi terhadap setiap pendekar pedang

merah yang ada didalam Benteng dia tidak dapat meng-ingat2nya

satu persatu.

“Pek Tha-heng!” ujarnya kemudian sambi1 dongakkan kepalanya.

“Diantara pendekar pedang merah yang ada didalam Benteng kita

ada siapa yang usianya paling muda ?”

Shia Pek Tha menghentikan menulisnya dan berpikir sebentar,

beberapa saat kemudian dia baru menjawab :

“Usianya yang paling muda adalah Yuen Cia Nian, tahun ini dia

baru berusia dua puluh empat tahun”,

“Yang keiua ?”.

Yang kcdua adalah Pang Loo Tek, tahun ini dia berusia dua puluh

enam tahun, kecuali dua orang ini lainnya sudah berusia diantara

tiga puluh tahun keatas. Ti Kiauw-tauw buat apa kau menanyakan

persoalan ini ?”.

“Aaah . . . , tidak mengapa. apakah saat ini Yuen Cia Nan serta

Pang Loo Tek ada didalam benteng?”.

“Tidak ada, mereka lagi kembali ke rumah untuk menjenguk

orang tuanya tetapi beberapa hari kemudian ada kemungkinan

mereka akan kembali lagi kedalam Benteng”.

“Mereka masuk ke dalam Benteng sudah ada berapa tahun

lamanya ?” tanya Ti Then lagi.

“Yuen Cia Nian masuk kedalam Benteng sewaktu berusia dua

belas tahun. Poo cu yang melihat tulang serta bakatnya amat bagus

bahkan memiliki kecerdikan yang luar biasa maka sengaja

mendatangi orang tua mereka untuk mengangkat dia orang jadi

murid. Sedangkan Pang Loo Tek masuk kedalam Benteng sewaktu

berusia lima belas tahun, dia masuk dengan perantara orang lain”.

“Siapakah perantaranya?” Tanya Ti Then mendesak.

“Cui Toojien dari gunung Cing Shia!”.

Ti Then segera merasakan dugaannya tidak mungkin bisa terjadi,

majikan patung emas tidak mungkin menyelundupkan orang2nya

sejak sebelas, dua belas tahun yang lalu karenanya dia lantas Yuen

serta Pang dua orang bukanlah orang yang patut dicurigai.

Dia segera bangkit berdiri dan mengembalikan kitab tersebut

kepada diri Shia Pek Tha.

“Tidak mengganggu lebih lama lagi, siauw-te mau kembali

kekamar untuk beristirahat nanti…”

Baru saja berbicara sampai disini tampaklah seorang pendekar

pedang merah yang berjulukkan sebagai Liong Cau Kiam Khek atau

si jagoan pedaog cakar naga Sun Thian Jiu berjalan masuk kedalam

kamar.

“Aaaah … sungguh kebetulan sekali..” Seru Shia Pek Tha dengan

cepat, “Ti Kiauw tauw harap tunggu sebentar, cayhe memang ada

bermaksud untuk meminta bantuan dari Thian Jiu heng untuk pergi

satu kali ke gunung Lok San, kini Ti Kiauw tauw boleh menjelaskan

bagaimana bentuk wajah serta perawakan badan dari suhumu

kepada Ihian Jiu heng sehingga dia bisa sedikit memahami.”

“Eeeei ada urusan apa ?” tanya si jago pedang cakar naga ini

melengak.

Shia Pek Tha segera menceritakan maksud Ti-Then untuk

mencari dapat suhunya Bu Beng Loojien untuk ikut merayakan

perkawinannya ini, akhirnya dia menambahkan :

“Ti Kiauw tauw merasa ada kemungkinan suhunya tinggal

disekitar puncak gunung Lok san. maka itu cayhe punya maksud

untuk meminta bantuan Thian Jiu heng, agar bsrtanggung jawab

didaiam penyebaran undangan kawan2 yang ada di sekitar daerah

Kan Cing, dan sekalian harap Thian Jiu heng suka pergi ke puncak

gunung Lok san untuk mencari jejak dari Bu Beng Loojien.”

“Baik, akan cayhe lakukan dengan senang hati” sahut Sun Thian

Jiu dengan hati girang.

“Bilamana tidak menemukan dia orang tua maka harap Thian Jiuheng

suka meninggalkan beberapa patah tulisan di suatu tempat

yang mencolok di atas puncak gunung Lok San itu, tulis saja kalau

siauw-te mengundang dia orang tua untuk dating ke Benteng Pek

Kiam Poo mengikuti perayaan perkawinan siauw-te..”

“Ti Kiauwtauw, bagaimanakah bentuk wajah dari suhumu?”

Ti Then segera menerangkan bagaimanakah bentuk wajah dari

suhunya Bu Beng Loojien, setelah itu dia baru meninggalkan kamar

dari Shia Pek Tha.

Baru saja berjalan keluar dari dalam kamar itu mendadak

tampaklah pelayan dari Wie Lian In, itu si budak Cun Lan sudah

berjalan mendatang.

“Cun Lan, ada urusan apa?” tanyanya kemudian sambil

menghentikan langkahnya.

“Siocia mengundang Ti Kiauwtauw untuk bertemu muka di dalam

kebun, katanya ada urusan yang hendak dirundingkan dengan diri

Ti Kiauw-tauw” jawab Cun Lan sambil memberi hormat.

“Kenapa tidak melihat dia munculkan dirinya?” tanya Ti Then lagi

sambil tertawa.

Cun Lan segera menutup mulutnya menahan rasa geli di hatinya.

“Nona kami takut malu, dia tidak berani keluar sendiri..”

Ti Then segera tersenyum dan melanjutkan langkahnya menuju

kearah kebun.

xxxxx

Didalam sekejap saja sebulan sudah lewat dengan cepatnya,

jarak dengan waktu perkawinan Ti Then pun tinggal dua puluh hari

lagi.

Pagi itu sewaktu Wie Ci To serta Ti Then sedang ada ditengah

lapangan latihan silat memberi petunjuk para pendekar pedang

hitam dan putih berlatih silat, mendadak terlihatlah seorang

pendekar pedang hitam lari masuk dengan tergesa2 lalu memberi

hormat didepan Wie Ci To.

“Lapor Poocu, Ciangbunjien dari Siauw lim pay. Bu tong pay,

Kun-lun pay serra Tiang Pek pay datang menyambangi!”

Mendengar laporan tersebut air muka Wie Ci To segera

terlintaslah satu perasaan keheranan.

“Iih . . . bagaimana mungkin mereka dapat datang dengan begitu

cepat ?”.

“Benar, para pendekar pedang yang dikirim untuk menyebar

undangan pun belum kembali, bagaimana mungkin tetamu yang

hendak memberi selamat sudah datang dua puluh hari lebih pagi?”

Ti Tnen pun merasakan didalam urusan ini ada hal2 yang tidak

beres.

“Apakah keempat orang ciangbunjin ini datang untuk memberi

selamat ?” serunya.

Sepasang mata Wie Ci To berkedip2 lalu sambil mengulapkan

tangannya dia berseru:

“Ayoh jaian kita pergi menyambut kedatangannya !”.

Mereka berdua dengan tergesa-gesa berjalan keluar dari benteng

terlihatlah Yuen Kuang taysu itu ciangbunjin dari Siauw lim pay

beserta Leng Cing Ceng jien dari Bu-tong Pay, Kiem Cong Loojien

dari Kun lun pay serta sekuntum bunga Bwee Mong Yong Sian Kauw

dari Tiang Pek pay sedang berdiri didepan pintu benteng.

Wie Ci To segers maju kedepan menyambut.

“Tidak mengetahui kunjungan dari empat orang ciangbunjin,

maaf loohu tidak menyambut dari jauh . . maaaf , maaf , ,”

Yuen Kuang Thaysu segera merangkap tangannya membalas

hormat.

“Kunjungan secara tidak sengaja, masih mengharapkan Wie

Loosicu jangan marah”

“Aaa , mana . mana, Ciangbunjin berempat silahkan masuk” ujar

Wie Ci To kembali.

Sehabis berkata dia segera miringkan badannya kesamping

mempersilahkan tetamunya untuk masuk,

Keempat orang ciangbunjin dari Siauw lim pay, Butong pay, Kun

lun pay serta Tiang Pek pay sembari tersenyum segera bersamasama

jalan masuk kedalam benteng.

Setelah masing-masing dipersilahkan duduk di dalam ruangan

tamu, Ti Then baru maju kedepan menghunjuk hormat.

Dengan pandangan yang amat teliti Leng Cing Ceng jien

memperhatikan seluruh tubuh Ti Then dari atas kebawah, setelah

itu sambil tartawa ujarnya.

“Diakah Kiauw tauw dari Benteng Pek Kiam Poo, si pendekar baju

hitam Ti Then, Ti Siauw sicu ?”

“Benar” sahut Wie Ci To sambil tersenyum pula.

“Tampan, cerdik, bersemangat dan gagah sekali, sungguh

merupakan orang pilihan” puji Leng Cing Ceng jien tiada hentinya,

“Apakah Ciangbunjien berempat sudah menerima undangan yang

kami bagikan? “ tanya Wie Ci To kemudian sambil tertawa.

Ciangbuojin dari Bu tong Pay, Leng Cing Ceng jien kelihatan rada

tertawa,

“Undangan apa ?” balik tanyanya.

Wie Ci To segera menuding kearah diri Ti Then.

“Aku orang She Wie sudah menjodohkan Siauw li Lian In

kepadanya, dan hendak mengawinkan mereka pada tanggal dua

puluh delapan bulan ini undangan yang aku orang She Wie kirimkan

pada sebulan yang lalu apakah ciangbunjien berempat belum

menerimanya?”

“Tidak! ” Sahut Leng Cing Ceng-jien dengan terperanjat. “Pada

sebulan yang lalu Pinto sudah turun gunung, tentu undangan itu

tiba sewaktu Pinto baru saja turun gunung . . . hal ini sungguh

kebetulan sekali”

“Tidak salah!” Sambung Kiem Cong Loojien dari Kun-lun Pay

sambil tertawa. “Kedatangan kita kali ini sungguh kebetulan sekali

haaa , . . haaa . . . aku bisa mencicipi arak kegirangan itu.”

“Kalau memangnya ciangbnnjien berempat tidak mengetahui

akan urusan ini maka kedatangan kalian ini hari entah ada arusan

apa? ” tanya Wie Ci To kemudian,

Air muka Yuen Kuang thaysu dari Siauw-lim Pay segera berubah

serius.

“Sebelum menyelesaikan persoalan ini Pinceng dengan

memberanikan diri hendak menanyakan beberapa persoalan kepada

diri Wie Loo-sicu “. katanya.

“Ciangbunjien ada petunjuk apa?” tanya Wie Ci To sembari

memandang tajam wajahnya.

“Pada sebulan yang lalu apakah Wie Loo Sicu pernah ber-sama2

dengan Ti Siauw Sicu pergi mengunjungi perkampungan Thiat Kiam

San cung?”.

“Aaaa . . . bagaimana ciangbun thaysu bisa mengetahui akan

urusan ini ?” Tanya Wie Ci To melengak.

Yuen Kuang Thaysu segera tersenyum, “Dapatkah Wie Loo sicu

memberikan jawaban atas pertanyaan dari pinceng ini ?”

Wie Ci To termenung beberapa saat, akhirnya dia mengangguk.

“Pernah!” jawabnya.

“Ada urusan apa kalian berdua pergi ke perkampungan Thiat

Kiam San Cung?” tanya Yuen Kuang Thaysu lagi.

Wie Ci To segera mengerutkan alisnya rapat2. Tetapi dengan

ramahnya dia tetap tersenyum.

“Bilamana ciangbun thaysu ada beberapa persoalan yang

mencurigakan hatimu kenapa tidak ditanyakan secara terus terang

saja?”.

Wajah Yuen Kuang Thaysu berubah semakin serius lagi,

“Ada orang yang melaporkan kepada pinceng berempat dan

minta peradilan kepada kami katanya Wie Loosicu ber-sama2

dengan Nyio Sam Pak dari perkampungan Thiat Kiam San Cung

telah membunuh seseorang untuk merebut harta kekayaannya”

ujarnya setelah berdiam beberapa saat lamanya.

Wie Ci To jadi tertegun, tapi sebentar kemudian dia sudah

tertawa terbahak-bahak dengan gusarnya.

“Sungguh berarti …. sungguh berarti. tolong tanya siapakah

orang yang sudah melaporkan urusan ini kepada kalian?”

“Si pembesar kota Cuo It Sian.”

Air muka Wie Ci To seketika itu juga membeku, sepasang

matanya terbelalak besar;

“Apa ? Cuo It Sian, ?” tanyanya keras-keras.

“Tidak salah.”

“Kapan dia pernah pergi ketempat ciangbunjin berempat untuk

mengadukan persoalan ini ?” tanya Wie Ci To dengan rasa

keheranan.

“Kurang lebih pada empat bulan yang lalu mendadak dia

munculkan dirinya di kuil Siauw lim si dan menyerahkan sepucuk

surat kepada pinceng dia memesan wanti2 kepada pinceng katanya

surat itu baru boleh dibuka setelah mendengar berita tentang dia

terbunuh, didalam surat itulah dia menuliskan siapakah yang sudah

membunuh dirinya,”

Berbicara sampai disini dia segera menuding kearah Leng Cing

Ceng jien, Kiem Cong Loojin serta si sekuntum bunga Bwee Mong

Yong Sian Kauw lalu sambungnya lagi:

“Mereka bertigapun saling susul menyusul memperoleh sepucuk

suratnya, dia minta surat itu disimpan terus hingga ada kabar yang

mengatakan dia sudah mati, saat itu dia minta kami membaca isi

suratnya itu dan mengajukan tuntutan”

“Satu bulan yang lalu”, sambung Leng Cing Ceng jien kemudian,

“seorang pelayan dari Cuo It Sian datang ke kuilku, sambil menangis

dia melaporkan akan kematian majikannya diatas perkampungan

Thiat Kiam san Cung dia bilang simpanan uang dari Cuo Loosicu

yang disimpan diperbagai gudang uang sudah diambil oleh

seseorang sehingga habis dan uang itu lima puluh laksa tahil

banyaknya setelah pinto mendengar berita itu lantas membaca

suratnya itu . , ,”

Berbicara sampai disini dia segera berhenti berbicara agaknya dia

merasa tidak enak untuk meneruskan kembali kata-katanya itu.

“Apa yang ditulis diatas suratnya itu ?” tanya Wie Ci To sambil

tertawa dingin.

Dari dalam sakunya Yuen Kuang Thaysu dari Siauw lim pay

segera mengambil keluar sepucuk surat dan diangsurkan kehadapan

Wit Ci To.

“Wie Loo sicu boleh membaca sendiri.” ujarnya.

Wie Ci Tio segera menyambut surat itu dan dibukanya untuk

kemudian membaca:

“Ditujukan kepada Yuen Kuang thaysu Ciangbunjien dari Siauwlim

pay :

Selama hidupnya loolap berkelakuan malas, satu2nya

kegemaranku cuma berpesiar ke-tempat2 yang berpemandangan

indah, selama puluhan tahun bergeluntungan di dalam Bu-lim

sekalipun tidak banyak melakukan kebajikan tetapi perbuatan jahat

belum pernah loolap lakukan barang sebuahpun, tentunya thaysu

tahu bukan akan hal ini?

Siapa tahu baru2 ini beberapa kali Pek Kiam Poocu Wie Ci To

muncul dirumah lolap secara tiba2 dan menuduh loolap pernah

melakukan kejahatan memperkosa perempuan orang, dia berkata

asalkan loolap suka memberi seratus laksa tahil perak maka rahasia

ini akan disimpan baik2, kalau tidak maka dia akan siarkan didepan

umum.

Loolap yang menerima tuduhan ini sudah tentu merasa kaget,

coba bayangkan dengan tindak tanduk dari loolap yang tidak psrnah

melakukan kejahatan bagaimana mungkin bisa melakukan

perbuatan tersebut ?

Sejak ini hari bilamana loolap mengalami kejadian diluar dugaan

maka perbuatan ini pastilah perbuatan dari Wie Ci To beserta Kiauw

tauwnya Ti Then harap Thaysu suka membela keadilan

menuntutkan persoalan ini dihadapan umum sehingga walaupun

loolap mati juga tidak mati dengan kecewa.”

Akhirnya tertulislah beberapa kata:

“Tahun xxx bulan xxx tanggal xxx, Cuo It Sian “.

Selesai membaca surat itu tidak kussa Wie Ci To tertawa pahit.

“Hmmm! Kiranya yang dimaksud sebagai pasukan aneh tersebut

sebelum bunuh diri adalah permainan semacam ini!” Serunya,

Dia segera menyerahkan surat itu ketangan Ti Then lalu kepada

Leng Cing Ceng jien, Kiem Cong Loo-jien serta Si sekuntum bunya

Bwee Mong Yong Sian Kouw tanyanya:

“Surat yang ciangbunjien bertiga terima apakah persis sama

seperti apa yang ditulis didalam surat yang ditujukan kepada Yuen

Kuang Thaysu itu?”.

“Tidak salah! ” Sahut Leng Cing Ceng-jien, Kiem Cong Loo jien

serta Mong Yong Sian Kauw ber-sama2,

“Apakah ciangbunjien berempat mempercayai atas segala

tuduhan yang dia lontarkan atas diri loohu ?” tanya Wie Ci To

kembali.

“Pinto sekalian tidak bcrani mempercayai begitu saja seluruh

tuduhannya, tetapi setelah mengadakan penyelidikan kami bisa

mengambil kesimpulan kalau kematian Cuo Loo Sicu diatas

perkampungan Thiat Kiam San cung adalah benar2 karena terpaksa

oleh Wie Loo Sicu serta Nyio Loo Sicu” ujar Leng Cing Ceng-jien

dengan serius. “Oleh karena itulah didalam hati tidak terhindar kami

menaruh curiga juga. karena menurut pengetahuan kami tidak ada

orang yang menggunakan kematiannya untuk memfitnah orang,”

“Betul!” ujar Wie Ci To mengangguk. “Bilamana seorang hendak

memfitnah orang lain dia tidak mungkin tidak akan menggunakan

cara membunuh diri untuk melaksanakan niatnya itu, karena setelah

dia bunuh diri walaupun tujuannya tercapai tetapi dirinya sendiripun

tidak mendapatkan apa pun !”

“Wie Poocu serta Nyio Cung-cu paksa dia untuk melakukan

bunuh diri sudah tentu ada alasannya, dapatkah kau

menjelaskannya kepada kami ?” ujar Si Sekuntum bunga Bwee

Mong Yong SianKauw dengan perlahan.

Dia adalah seorang wanita yang sudah berusia setengah abad

tetapi dandanan serta suaranya masih jelas, nyaring dan merdu.

Air muka Wie Ci To berubah jadi amat keren.

“Aku orang she-Wie pernah menjamin terhadap dirinya untuk

tidak mengumumkan dosa2nya asalkan dia suka membunuh diri

untuk menebus kesalahan yang sudah diperbuat, tetapi kalau

memangnya dia tidak menyesal juga sekalipun sudah mati bahkan

mau menyeret aku orang she-Wie maka terpaksa seluruh dosanya

aku umumkan kepada semua orang”.

Demikianlah dia segera meceritakan kembali peristiwa yang

sudah terjadi pada tiga tahun yang lalu dimana dia menemukan Cuo

It Sian memperkosa lalu membunuh istri orang lain, dikarenakan

mengingat perbuatan mulia yang dilakukan pada masa sebelumnya

maka dia mengijinkan dirinya untuk hidup empat tahun lagi.

Siapa sangka untuk menghilangkan dosanya ini ternyata dia

sudah mencelakai sekeluarga penduduk petani dusun Tbay Peng

Cung dan menggunakan gudang dibawah tanahnya untuk

mengurung putrinya serta Ti Then, akhirnya dia berhasil menawan

tiga orang pendekar pedang merah untuk rebut kembali separuh

pedang pendeknya itu untuk kemudian dibawa ketempatnya Cu

Kiam Loojien untuk diperbaiki, lalu bagaimana dia membunuh mati

Cu Kiam Loojien Cau Ci Beng dan lain … lainnya . . .

Akhirnya dia meceritakan juga siasatnya yang sudah ia susun

bersama2 Ti

Then untuk merebut kembali potongan pedang itu dengan jalan

menyamar sebagai Nyio Sam Pak, siapa sangka sewaktu ada

diperkampungan Thiat Kiam San Cung dia sudah menemukan si iblis

bungkuk Leng hu Ih mencari gara2, lalu bagaimana Ti Then

membunuh mati Leng Hu Ih, Cuo It Sian bagaimana datang ke

perkampungan untuk membantu mengusir musuh lalu bagaimana

membuka rahasia terbunuhnya Cau Ci Beng, akhirnya dia terdesak

dan bunuh diri.

Terakhir dia menambahkan juga dengan beberapa patah kata :

“Aku orang She Wie tahu dengan nama serta kedudukannya

didalam Bu-lim maka perbuatannya tidak akan dipercaya oleh orang

lain, maka itu sengaja loohu pergi ke gunung Ngo Thay san

mengundang datang It Ie Sang-jien sebagai saksi, seluruh

pengakuan dari Cuo It Sian sudah didengar sendiri oleh dirinya,

bilamana ciangbunjien berempat tidak percaya boleh segeraberangkat

kegunung Ngo Thay San dan tanyakan sendiri kepada It

Ie Sang jien”.

Mendengar perkataan itu Yuen Kuang Thaysu, Leng Cing Cengjien,

Cong Loo-jien serta Mong Yong Sian Kauw jadi terperanjat.

“Jadi dengan demikian Cuo It Sian lah bermaksud jahat, heeei

sungguh tidak disangka dia adaiah seorang manusia kejam yang

hatinya seperti binatang. ”

“Untung sekali It Ie Sang-jien yang bertindak sebsgai saksi, kalau

tidak bukankah aku orang she Wie akau terkena getahnya” Seru

Wie Ci To sambil menghela napas.

“Harap Wie Loo Sicu yangan marah atas perbuatan pinceng

sekalian yang menanyakam kembali persoalan ini kepada dirimu,

sesungguhnya dengan nama serta kedudukan dari Cuo Loo Sicu

yang ada di dalam Bu-lim siapapua tidak bakal menyangka akan

perbuatan jahatnya itu.” ujar Yuen Kuang Thaysu menjelaskan.

“Saudara berempat suka turun tangan mengusut peristiwa ini

boleh dikata merupakan pekerjaan yang mulia. aku orang she Wie

mana berani menyalahkan diri kalian?”

Berbicara sampai disini mendadak dia menghela napas lalu

tambahnya :

“Aku orang she Wie selamanya menganggap orang jahat musuh

buyutan, sungguh tidak kusangka menghadapi urusan ini ternyata

harus menemui berbagai kesulitan. . . Sampai sekarang urusan

semacam ini didalam hati aku orang she-Wie masih ada sebuah lagi.

heeey aku bingung harus berbuat bagaimana enaknya”.

Ti Then yang mendengar perkataan itu diam2 dalam hati segera

berpikir :

“Apakah perkataan yang diucapkan ini menunjukkan peristiwa

seperti apa yang ditunjuk majikan patnog emas?”.

“Wie Loo sicu, kau sedang membicarakan apa?” tanya Yuen

Kuang Thaysu tiba2.

“Heeei , . . lebih baik tidak usah dibicarakan lagi” jawab Wie Ci

To sambil gelengkan kepalanya.

oooOOOooo

“PERTEMUAN puncak para jago di atas gunung Hoa San yang

diadakan tahun besok telah hampir tiba, bilamana Wie Loo sicu ada

urusan yang susah dipecahkan kenapa tidak diberitahukan

dihadapan umum? pinto sekalian tentu akan berusaha keras untuk

memberi bantuan ” ujar Leng Cing Ceng-jien.

“Tidak mudah . . . tidak mudah . . . “ Seru Wie Ci To sambil

gelengkan kepalanya.

“Peristiwa mengenai diri Cuo It Sian lebih baik Wie Poocu cepat2

umumkan dihadapan umum, sehingga semua orang bisa dibikin

paham kembali ” ujar Kiem Tong Loojien memberikan pendapatnya”

Kalau tidak bilamana ada urusan seperti ini hari bukankah hanya

mendatangkan kerepotan saja?”

“Benar !” Sambung Mong Yong Sian Kauw dengan cepat “Kami

berempat mungkin masih mempercayai perkataan dari Wie Poocu,

tetapi para jagoan dari kalangan Hek-to aku rasa belum tentu mau

percaya atas perkataanmu ini, aku lihat lebih baik Wie Poocu cepat2

mengumumkan peristiwa ini ke dunia-kangouw sehingga mereka

pun mengetahui kejahatan yang sudah dilakukan oleh diri Cuo It

Sian”.

Dengan perlahan Wie Ci To segera mengangguk.

“Perkataan dari ciangbunjin berdua sedikitpun tidak salah,”

Sahutnya. “Dua puluh hari lagi adalah saat perkawinan putriku, aku

orang she-Wie pun sudah membagikan undangan kepada semua

sahabat, ada kemungkinan It Ie Sang-jien dari Ngo-thay San pun

ikut datang, biarlah menggunakan kesempatan itu aku siarkan berita

ini dihadapan para jago”.

“Wie Poocu pun baru sedikit mengadakan persiapan, orang2 dari

kalangan Pek-to ada kemungkinan mau mendengarkan penjelasan

dari Wie Poocu ini tetapi orang2 dari kalangan Hek-to belum tentu

mau menerima penjelasan itu dengan demikian saja” kata Mong

Yong Sian Kauw member peringatan.

“Aku orang She Wie cuma takut kesalah pahaman dari jago2

kalangan Pek-to, sedang mengenai orang2 dari golongan Hek-to

baik dia mau percaya atas perkataan dari aku orang She Wie atau

tidak hal itu bukanlah satu urusan yang terlalu penting” ujar Wie Ci

To sambil tertawa.

“Kini rasa curiga sudah tersapu bersih, kita berempat bermaksud

untuk tinggal di sini menanti saat diadakannya perayaan perkawinan

Ti Kiauw-tauw atau pulang dahulu ?” tanya Kiem Cong Loojien

tiba2.

“Sudah tentu harus menunggu didalam Benteng loohu” sahut Wie

Ci To dengan gugup. “waktu perkawinan siauw-li sudah dekat, buat

apa kalian lari2 dengan percuma?”.

“Diatas gunung Go-bie banyak terdapat kuil Pinceng ada maksud

untuk tinggal selama beberapa hari di kuil, menanti setelah hari

Perkawinan menjelang Pinceng baru datang lagi untuk

mengganggu” ajar Yuan Kuang Thaysu sambil tertawa.

“Pinto juga bermaksud untuk pergi ke kuil Sang Cing Kong diatas

gunung Cing Shia untuk temui bsberapa Too-su yang sudah lama

tidak bertemu muka” ujar Leng Cing Ceng-jien memberikan maksud

hatinya.

Kiem Cong Loojien yang mendengar perkataan dari kawan2nya

itu segera tertawa terbahak-bahak.

“Haaa . , haaa . . , si hwecsio pergi cari hweesio yang Toosu

pergi mencari Toosu, loolap adalah rakyat biasa terpaksa harus

pergi mencari kawan sebangsaku” katanya.

“Bukankah aku orang she Wie adalah kawan sebangsa

ciangbunjin ?” seru Wie

Ci To sambil tertawa.

“Tidak salah” sahut Kiem Tong Loojien sambil mengangguk,

“Maka itu loolap bermaksud untuk tetap tinggal di dalam Benteng”

Wie Ci To segera menoleh kearah si sekuntum bunga Bwee Mong

Yong Sian Kauw lalu katanya, ”Bagaimana kalau Mong Yong

ciangbunjin tetap tinggal didalam Benteng?”

“Didalam Benteng Wie Poocu banyak lelaki daripada perempuan,

aku rasa tidaklah terlalu leluasa untuk melayani aku seorang

perempuan bukan?” ujar Mong Yong Sian Kouw sambil tertawa.

“Haa , , haa . tidak. tidak benar” ujar Wie Ci To sambil tertawa

terbahak-bahak. “Didalam benteng kami masih terdapat banyak

sekali istri-istri pendekar pedang merah kami, bilamana Mong Yong

ciangbunjin merasa perempuan harus mencari perempuan maka

didalam Benteng loohu ini masih terdapat banyak sekali orang

perempuan.”

Dia berhenti sebentar, senyuman yang semula menghiasi

bibirnya mendadak lenyap tak berbekas,

“Mong Yong ciangbunjien” ujarnya lagi “Aku orang she-Wie ada

satu urusan ingin meminta bantuan dari ciangbunjien”

“Ada urusan apa ?” tanya Mong Yong Sian Kouw sambil

tersenyum.

Dengan perlahan Wie Ci To mengalihkan pandangannya

ketempat kejauhan lalu menghela napas panjang.

“Sejak kecil siauwli sudah kehilangan ibunya sehingga sifatnya

rada manja bahkan banyak urusan yang dia tidak mengerti, kini dia

sudah hampir kawin, harap ciangbunjien suka membantu loohu

untuk sedikit mendidik urusan dapur maupun rumah tangga

daripada tugas seorang istri,”

“Sifatku rada berangasan dia tidak mirip seorang perempuan,

bilamana suruh aku yang memberi petunjuk ada kemungkinan

malah jadinya tidak karuan” ujar Mong Yong Sian Kouw sambil

tertawa.

“Aaah . . . mana., mana – “

“Bilamana Wie Poocu merasa berlega hati maka aku akan tinggal

disini saja” akhirnya ujar Mong Yong Sian Kauw sambil

mengangguk.

Wie Ci To segera mengucapkan terima kasihnya, kepada Yuan

Kuang thaysu serta Leng Cing Ceng-jien ujarnya kemudian:

“Silabkah ciangbunjien berdua untuk tinggal semalam,

bagaimana kalau besok baru berangkat ?”

“Baiklah!” Sahut Yuen Kuang Thaysu dan Leng Cing Ceng-jien

berbareng.

“Ti Kiauw-tauw!” Seru Wie Ci To kemudian kepada Ti Then. “Kau

masuklah dan panggil In-jie untuk keluar menghunjuk hormat

kepada ciangbunjien berempat, setelah itu perintah juga untuk

menyediakan dua meja perjamuan, yang sata tanpa daging yang

satu biasa”.

Dengan hormatnya TiThen segera menyahut dan mengundurkan

diri dari ruangan.

Tidak lama kemudian dengan seorang diri Wie Lian In munculkan

dirinya ditengsh ruangan kemudian dsngan malu2 maju menghunjuk

hormat kepada keempat orang ciangbunjien itu.

Tampak sembari tertawa ujar Mong Yong Sian Kauw dengan

perlahan:

“Aku tidak tahu kalau nona Wie mau menikah sehingga tidak

membawa barang sumbangan, lain kali aku kirim saja untuk

menyusul kekurangan ini”.

Baru saja perkataan itu selesai diucapkan mendadak terlihat Ti

Then berjalan masuk kedalam ruangan dsngan ter-gesa2 wajahnya

kelihatan sangat aneh sekali.

Wie Ci To yang melihat wajahnya rada aneh dalam hati merasa

sedikit terkejut.

“Ada urusan apa?” tanyanya dengan cepat.

Ti Then tertawa dingin.

“Diluar benteng sudah kedatangan serombongan orang yang

ingin bertemu muka dengan Gak-hu thayjien serta boanpwee!”

katanya.

“Siapa ?” tanya Wie Ci To dengan air muka berubah.

“Jago2 dari kalangan Hek-to, kebanyakan adalah anak buah dari

si anjing langit rase bumi serta si iblis bungkuk Leng Hu Ih, sebagai

pentolannya adalah si pendekar tangan kiri Cian Pit Yuan!”.

Wie Ci To mulai tertawa dingin tak hentinya, lalu dengan

perlahan bangun dari tempat duduknya.

“Hmmm kedatangan mereka tentu disebabkan oleh karena

peristiwa matinya Cuo It Sian, heee . . hee . . . sungguh cepat

kedatangan mereka” ujarnya.

“Semuanya ada bsrapa orang ?” tanya Yuen Kuang Thaysu tibatiba.

“Kurang lebih ada dua ratus orang banyaknya.”

“Lalu Wie Loosicu siap2 mau berbuat apa ?” Tanya Yuen Kuang

thaysu sambil menoleh kearah Wie Ci To.

“Sudah tentu menjelaskan urusan ini terlebih dahulu, bilamana

mereka tidak mau percaya maka terpaksa terserah mereke ingin

berbuat apa,”

Saat ini ada beberapa orang pendekar pedang merah sudah

memasuki ruangan tamu untuk siap menerima perintah.

Dengan perlahan Wie Ci To pandang diri mereka kemudian baru

ujarnya dengan keren:

“Perintahkan semua jago pedang yang ada di Benteng untuk siap

menghadapi pertempuran tetapi tidak diperkenankan turun tangan

terlebih dahulu.”

Bcberapa orang pendekar pedang merah itu segera menyahut

dan mengundurkan diri dari ruangan untuk menjalankan

perintahnya,

“Bagaimana kalau biarkan pinceng berempat menjelaskan

terlebih dahulu akan persoalan ini kepada mereka, ada

kemungkinan mereka bisa mendengar perkataan kami, bagaimana

menurut pendapat Wie Loo sicu ?” ujar Yuen Kuang Thaysu

memberikan usulnya.

“Baiklah, mari kita keluar bersama-sama”.

Demikianlah tua muda tujuh orang segera bersama-sama

meninggalkan ruangan untuk menuju ke pintu luar benteng.

Sewaktu hampir tiba di pintu benteng suara hiruk pikuk serta

percakapan orang yang ramai berkumandang datang dari tempat

luaran jika didengar dari suara itu jelas gerakan dari orang-orang

golongan Hek-to kali ini amat dahsyat sekali.

Sesampainya dibawah pintu benteng Wie Ci To segera

memberikan perintahnya kepada bsberapa orang pendekar pedang

hitam yang berjaga-jaga disana,

“Segera buka pintu!” bentaknya.

Dengan perlahan-lahan pintu benteng mulai terbuka, terlihatlah

didepan benteng sudah berkumpul banyak orang yang lagi

berkerumun diantara orang- orang itu kelihatan ada beberapa orang

jagoan Hek-to yang rada terkenal.

Kecuali sisa anak buah dari istana Thian Teh Kong serta Si Iblis

bungkuk yang bergabung, Ti Then menemukan juga tiga orang

“Kawan lamanya ” mereka adalah Si majikan ular Yu Toa Hay, Si

kakek kura2 Phu Tong Seng serta Si nenek iblis penghalang jalan

Han Giok Bwee.

Dan sebagai pentolannya bukan lain adalah si Pendekar tangan

kiri Cian Pit Yuan.

Sewaktu Ti Then melihat adanya Si pendekar pedang tangan kiri

Cian Pit Yuan ada disana mendadak dalam hatinya timbul sedikit

harapan, dia mengharapkan didalam pembicaraannya dengan Wie

Ci To Cian Pit Yuan bisa “menyinggung’ pula si pemuda berkerudung

yang telah menolong dia lolos dari kurungannya diatas gunung Boe

Leng San itu.

Mengenai peristiwa tertawannya dia oleh Cian Pit Yuan selama ini

belum pernah dia ceritakan kepada Wie Ci To ayah beranak, sedang

kini bilamana Cian Pit Yuan mengungkat kembali peristiwa tersebut

maka setelah urusan ini dia pasti akan mendesak dirinya untuk

memberi penjelasan, saat itulah dia merasa punya “alasan” untuk

menceritakan rahasia diperintahnya dia orang oleh majikan patung

emas.

Atau dengan perkataan lain demikian Wie Ci To tidak akan

menjodohkau putrinya kepadanya dan diapun bisa melaporkan kalau

Cian Pit Yuan lah yang sudah merusak rencana dari majikan patung

emas ini.

Maka itu dia sangat mengharapkan Cian Pit Yuan dapat

mengungkat kembaii peristiwa hari itu.

Saat ini sewaktu si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan

melihat munculnya Yuen Kuang Thaysu, Leng Cing Ceng jien, Kiem

Cong Loojien serta Mong Yong Sian Kauw empat orang

Ciangbunjien ber-sama2 dengan munculnya Wie Ci To air mukanya

tidak kuasa lagi berubah hebat, agaknya mereka menduga Wie Ci

To sudah mengetahui terlebih dahulu akan rencana mereka

sehingga kini mengundang empat orang ciangbunjien sebagai

pembantunya.

Tidak menanti Wie Ci To membuka mulut si pendekar pedang

tangan kiri Cian Pit Yuan sudah tertawa keras dengan amat

seramnya.

“Wie Toa Poocu!” serunya dengan dingin, “Kedatangan loohu ini

hari bukannya dimaksudkan untuk menuntut dendam kita dahulu!”.

“Kalau memang demikian bagaimana kalau Cian-heng berserta

kawan2 lainnya untuk minum the terlebih dulu didalam ruangan?”

ujar Wie Ci To dengan tawar.

“Terima kasih, lebih baik kita membicarakan persoalaa ini

ditempat luaran saja”

“Kalau begitu silahkan Cian~heng mulai berbicara.

“Hey Penguasa Go ayoh keluar kemari” Teriak Cian Pit Yuan

kearah tengah gerombolannya.

Seorang kakek tua yang memakai pakaian perlente jalan keluar

dari antara gerombolan manusia dan mendekati kesamping badan

Cian Pit Yuan.

Kiranya orang tua itu bukan lain adalah Si-penguasa dari Cuo It

Sian itu Si-pembesar kota.

“Wie Toa Poocu apakah kenal dengan orang tua ini?” Tanya Cian

Pit Yuan sembari menuding kearah Si penguasa.

“Maaf Loohu tidak kenal!” jawab Wie Ci To sambil gelengkan

kepalanya.

“Dia adalah penguasa rumah dari Cuo It Sian” Bisik Ti Then

sewaktu dilihatnya ayah mertuanya tidak kenal.

Walaupun telinga dari Cian Pit Yuan sudah terkena papas habis

sehingga lenyap tetapi pendengarannya masih amat tajam.

“Tidak salah!” Sambungnya sambil tertawa. “Bagaimanapun

orang muda jauh lebih jujur dan suka terus terang daripada orang

tua, dia memang penguasa rumah dari Cuo It Sian”

“Cuo It Sian sudah loohu hokum, apakah ini hari kalian siap2

datang kemari untuk membalas dendam?” Tantang Wie Ci To

dengan nada mendongkol.

Agaknya Cian Pit Yuan sama sekali tidak menduga kalau Wie Ci

To berani mengakui dialah yang sudah memaksa Cuo It Sian untuk

bunuh diri mendengar perkataan tersebut dia jadi tertegun, tetapi

dengan cepat wajahnya sudah berubah jadi beringas kejam.

“Bagus sekali !” Serunya sambil tertawa dingin. “Kalau

memangnya Wie Toa poocu sudah mengakui kaulah yang paksa Cuo

It Sian untuk melakukan bunuh diri maka urusan jadi lebih mudah

lagi untuk dibicarakan “.

Berbicara sampai disini dia segera menoleh kearah keempat

orang ciangbunjin dari Siau-lim pay, Bu-tong Pay, Kun-lun Pay serta

Tiang Pek Pay, lalu tambahnya.

“Sekarang aku orang she Cian cuma ingin bertanya beberapa

patah kata dengan ciangbunjien berempat, kalian berempat

bermaksud untuk berbuat apa terhadap urusan ini? hendak

menegakkan keadilan Bu-lim dengan menghukum Wie Toa Poocu

ataukah membalaskan dendam bagi kematian Cuo It Sian?”

“Omintohud . . Omintohud!” Seru Yuen Kuang Thaysu sambil

merangkap tangannya memuji keagungan Buddha. “Kedatangan

pinceng berempat kali ini bermaksud untuk menegakkan keadilan di

Bu-lim. Cuma saja, mengenai persoalan yang menyangkut kematian

Cuo It Sian ini sesudab mengalami suatu penyelidikan dari kami

berempat maka kami menemukan kalau tuduhan yang dilancarkan

Cuo Loo-sicu sebenarnya adalah terbalik.”

“Bagaimana bisa terbalik?” seru Cian Pit Yuan sambil mendengus

dingin.

“Urusan yang sebetulnya adalah begini: Pada tiga tahun yang lalu

Cuo Loo Sicu pernah melakukan perkosaan terhadap istri orang lain

lalu membunuh suaminya sekalian. Dan urusan ini kebetulan ditemui

oleh Wie Loosicu..”

“Omong kosong !” Teriak si penguasa Go secara tiba2. “Dikolong

langit pada saat ini ada siapa yang tidak tahu akan keluhuran budi

dari Loo-ya kami, apa maksud kalian memfitnah kesucian nama

serta kedudukannya ?”

“Go Sicu jangan keburu marah dulu” ujar Yuen Kuang Thaysu

dengan wajah serius. “Pinceng sebagai seorang ketua partai tidak

akan berani berbicara sembarangan sebelum ada bukti yang nyata.”

“Lalu apa buktinya?” Teriak penguasa Go lagi dengan gusar.

“Seorang penganut agama tidak akan berbobong. Silahkan

saudara sekalian mendengarkan penjelasan dari Pinceng setelah itu

pinceng akan tunjukkan sekalian buktinya !” Jawab Si hweesio dari

Siauw-lim Pay ini dengan wajah amat tenang.

“Baik, sekarang cepatlah katakan !” Seru Si penguasa Go lagi

dengan mendongkol.

Demikianlah Yuen Kuang Thaysu segera membeberkan seluruh

dosa yang telah diperbuat oleh Cuo It Sian tanpa kekurangan

sepatah katapun.

Dia bercerita sampai dimana Cuo It Sian kedesak dan merlakukan

bunuh diri di perkampungan Thiat Kiam San Cung, akhirnya sambil

menuding kearah Ti Then tambahnya:

“Ti siauw-cu ini boleh dikata termasuk salah seorang saksi, dia

melihat dengan mata kepala sendiri dimana Cuo Loo-sicu

membunuh Cu Kiam Loojien serta si elang sakti Cau Ci Beng.”

“Heee . . hee . . . Thaysu kau sungguh tolol” Seru si penguasa Go

sambil tertawa dingin. “Bilamana bangsat cilik itu boleh bertindak

sebagai saksi maka aku pun bisa pula sembarangan memanggil

orang sendiri untuk menfitnah orang lain!”.

Yuen Kuang thaysu sama sekali tidak menjadi marah karena

kata2 yang kasar dari penguasa Go itu, dia malah tersenyum.

“Jadi maksud dari sicu setiap perkataan yang diucapkan oleh

orang2 Benteng Pek Kiam Poo tidak boleh dijadikan sebagai bukti”.

“Sudah tentu”.

“Kalau begitu bagaimana kalau orang yang lepas dari Benteng

Pek Kiam Poo bertindak sebagai saksi ?” Tanya Si hweesio lagi

sambil tersenyum.

“Soal itu harus dilihat siapakah dia orang!”.

“Seorang hweesio dari gunung Ngo Thay San, It Ie Sang-jien!”.

“Apakah dia melihat Loo-ya kami membunuh orang?” Dengus si

penguasa Go dengan dingin.

“Wie Loo-sicu pasti akan datang mengunjungi perkampungan

Thiat Kiam san Cung agar dia jangan sampai mungkiri lagi atas

dosa-dosanya maka sengaja sudah mengirim orang ke gunung Ngo

Thay San untuk mengundang It Ie Sangjien datang mengunjungi

perkampungan Thiat Kiam San Cung. Cuo Loo-sicu yang tidak

mengetahui disampingnya masih ada orang luar yang sedang

mencuri dengar dia sudah mengakui seluruh dosa yang pernah

dilakukan”

“Lalu dimanakah It Ie Sang-jien itu?” Tanya si penguasa Go lagi

sambil tertawa dingin.

“Lewat sepuluh hari lagi dia bakal datang mengunjungi benteng

Pek Kiam Poo bilamana saudara2 sekalian tidak percaya atas

perkataan yang pinceng ucapkan maka sampai waktunya kalian

boleh datang kemari lagi untuk langsung mendengarkan

penjelasannya ”

Si Penguasa Go mendenus, lalu sambil menoleh kearah para jago

lainnya dia berkata kembali:

“Saudara2 aekalian apakah parkataan dari It Ie Sang jien boleh

dianggap sebagai bukti?”

“Tidak, mereka tentu sudah bersekongkol!” jawab Cian Pit Yuan

sambil tertawa.

“Cian Loo Sicu! kau seharusnya mempercayai perkataan dari It Ie

Sang-jien sebagai seorang psndeta beribadat. ” Seru Yuen Kuang

Thaysu kurang senang.” Dia pernah menjabat sebagai ciangbunjin

kuil Lak Hok dikota Tiang An dan pernah mendalami pelajaran

agama Buddha dengan kedudukannya dia tidak akan berbohong, dia

adalah seorang pendeta yang patut kita hormati!”

“Tetapi sungguh sayang aku orang she Cian sudah menganggap

dia sebagai seorang hweesio yang pinter berbohong !” Ejek Cian Pit

Yuan sambil tertawa.

Mendengar ejekan ini Yuen Kuang Thaysu jadi amat gusar, toya

ditangannya segera diayunkan kedepan melancarkan serangan.

-ooo0dw0ooo-

Jilid 36

“PERKATAAN dari pinceng sampai disini saja, bilamana saudara2

sekalian suka mendeagarkan perkataanku maka silahkanlah turun

gunung, jikalau tidak suka percaya kenapa tidak lantas turun tangan

saja”.

“Tidak salah” sambung Wie Ci To dengan cepat. “Yuan Kuang

ciangbunjin sudah menjelaskan seluruh persoalan hingga benar2

terang, bilamana saudara2 sekalian merasa kalau perkataan ini

boleh dipercaya maka silahkan sekarang juga turun gunung,

bilamana tidak percaya heee . . . . heee . . . aku orang she-Wie

akan menantikan petunjuk selanjutnya dari saudara2 sekalian”.

Dua ratus orang jagoan dari kalangan Hek-to dengan

membusungkan dadanya pada berdiri tidak bergerak.

Tidak, akhirnya ada juga seorang yang mempercayai perkataaa

tersebut.

Dialah si “Tang Loo Koei Bo” Han Giok Bwee.

“Selamanya aku si nenek tua paling tidak suka mencari gara2

tetapi akupun tidak ingin mengikat permusuhan dengan lain

golongan, hey penguasa Go, aku pergi dulu !” teriaknya dengan

keras.

Selesai berkata tanpa mengucapkan kata2 lagi dia lantas putar

tubuh untuk turun gunung.

“Han Giok Bwee, kau berani pergi ?” bentak si penguasa Go

dengan nada amat gusar.

“Benar” jawab Tang Loo Koei Bo tertawa, “Oooh yaa haa . . . haa

kurang sedikit saja aku si nenek tua sudah melupakan akan sesuatu

urusan, maaf . . maaf…”

Dari dalam sakunya dia lantas mengambil keluar sebuah kertas

uang dan dilemparkan kembali kearah sipenguasa Go,

“Naah itu ambillah kembali, aku si nenek tua tidak akan merasa

tertarik oleh selaksa tahil perakmu itu!”

Selesai berkata dia lantas putar badan dan berlalu bagaikan

angin yang berhembus.

Seketika itu juga air muka si penguasa Go berubah jadi merah

padam dia benar2 merasa amat malu sekali.

Belu lagi dia orang memperlihatkan sesuatu gerakan apapun

terdengarlah si majikan ular Yu Toa Hay dengan amat gusarnya

sudah gembar-gembor dan mencak2.

“Apa ?” Teriaknya keras. “Kau kira si Tang Loo Koei Bo jauh lebih

kuat dari loohu? dia boleh mengambil selaksa tahil perak, kenapa

Loohu cuma mendapat delapan ribu tahil perak saja, Loo Phu kan

ambil berapa?”

“Loohu juga hanya mendapat delapan ribu tahil perak ” jawab

sikakek kura2 Phu Tong Seng.

“Hal ini tidak bisa jadi !” Teriak si majikan ular Yu Toa Hay sambil

mencak2. “Hey orang she-Go kau tidak adil. kami majikan ular serta

kakek kura2 di dalam hal apa tidak dapat melebihi si Tang Loo Koei

Bo itu ? dia boleh mendapat selaksa tahil perak kenapa kami hanya

mendapat delapan ribu tahil?”

“Benar, hal ini tidak adil . . . .kurang ajar ! kurangajar! kau lihat

bagaimana sekarang??? ”

“Jangan mau kerjakan pekerjaan ini” Teriak simajikan ular Yu

Toa Hay keras. “Mari kita pergi saja dari sini !”

Sehabis berkata dia mengambil keluar sabuah kertas uang dan

dilemparkan kehadapan si penguasa Go tersebut, setelah itu kakinya

menjejak tanah dan berkelebat pergi dari sana.

Si kakek kura2pun dengan cara yang sama melemparkan uang

kertas it keatas tanah lalu mengikuti dari belakang kawannya berlalu

dari situ.

Si penguasa Go benar2 merasa amat malu sekali atas terjadinya

peristiwa ini.

“Pemberontak ! Pemberontak !” Teriaknya sambil mendepakkan

kakinya berulang kali keatas tanah.

Si “Boe Cing Shu”; Ko Cing Liong yang tempo hari berhasil

meloloskan diri dari gunung Lak Ban San dengan cepat bergeser

kesamping badannya, dan dalam saku diapun mengambil keluar

secarik uang kertas lalu disusupkan ketangannya.

“Hmmm ! Bilamana bukannya Han Giok Bwee sengaja bicara

terus terang maka Loohu akan kau tipu mentah2″ Serunya dengan

dingin. “Hmm! Kau kira aku yang harus menjual nyawa buat kau

orang she Go hanya berharga enam ribu tahil perak saja? Niiiih ….

aku kembalikan kepadamu !”.

Sehabis berkata tanpa menoleh lagi dia segera berlalu dari sana.

Si muka aneh Ling Ang Lian dengan jalan yang menggiurkan pun

berjalan keluar dari barissn setelah itu dia melemparkan uang kertas

tersebut keatas wajah si penguasa Go.

“Han Giok Bwae adalah Loocianpwee aku tidak akan menandingi

dirinya”, Serunya sambil tertawa dingin. “Tetapi si majikan ular serta

sikakek ular adalah orang cacad, mereka boleh mengambil delapan

ribu tahil kenapa aku cuma mendapat lima ribu tahil saja”

Dengan genitnya diapun berlalu dari sana.

“Maknya . . . !” Terdengar seorang lelaki bercambang memekik

keras dengan amat gusarnya, “Kiranya orang lain bisa mendapat

lebih banyak lagi dari loohu … mak nya! loohu cuma mendapat tiga

ribu tahil, tidak mau, aku tidak mau !”

Demikianlah satu demi satu para jago dari kalangan Hek-to itu

melemparkan kembali uang kertasnya keatas tanah lalu ber-sama2

mengundurkan diri dari kalangan pertempuran.

Hanya didalam sekejap saja sudah ada seratus orang lebih yang

mengundurkan dirinya.

Melihat kejadian ini tidak kuasa lagi Wie Ci To mendongakkan

kepalanya tertawa ter-bahak2.

“Haaa . . . haha …. haaa . . Loohu masih kira saudara2 sekalian

datang kemari karena setia kawan . . , haaa . . .haaa kiranya

mereka lagi menjual nyawa buat orang lain !”.

Yuan Kuang Thaysu, Leng Cing Cang-jien, Kiem Cong Loojien,

Mong Yong-Sian Kauw beserta seluruh jagoan pedang merah yang

ada disana tidak tertahan lagi bersama-sama tertawa ter-bahak2;

Sebaliknya sipenguasa Go saking gusarnya seluruh tubuhnya

gemetar amat keras.

Cian Pit Yuan semakin gusar lagi, mendadak dia mencengkeram

dada si penguasa Go itu lalu memakinya dengan amat gusar.

“Kau kakek tua celaka . . . kiranya kau orang sedang

menggunakan uang untuk membeli nyawa mereka! Hampir2 Loohu

kena kau kibuli !”

“Bukankah kau sama saja seperti mereka menerima uang dariku

?” Teriak si penguasa Go. “Kau malah menerima paling banyak, kau

mengambil lima, . .”

“Omong kosong”

Ditengah suara bentakan yang amat keras telapak tangannya

sudah melayang turun menghajar ubun2 dari si penguasa Go

sehingga seketika itu juga kepalanya hancur berantakan.

Sehabis membunuh sipenguasa Go itu, tanpa banyak bicara lagi

Cian Pit Yuan segera meloncat beberapa kaki jauhnya, dengan

melewati kepala para jagoan dari kalangan Hek-to lainnya dia

melayang kearah depan.

“Orang she-Cian, kau tidak boleh pergi!” bentak Wie Ci To sambil

menjejakkan badannya meloncat ketengah udara.

Tetapi belum berhasil dia menyandak diri Cian Pit Yuan, sejak

semula sudah ada orang yang menanti kedatangannya di tempat

kejauhan, begitu melihat Cian Pit Yuan melayang datang dia lantas

melancarkan satu pukulan kedepan.

“Terimalah seranganku!” bentaknya.

Orang itu bukan lain Ti Then adanya.

Cian Pit Yuan yang tubuhnya masih ada di tengah udara tidak

dapat menghindarkan diri lagi, terpaksa dia mendorong telapak

tangannya kedepan menyambut datangnya serangan tersebut.

“Braak . .. !” disertai suara bentrokan yang amat keras sekali,

tdbuh Cian Pit Yuan sudah kena dipukul mental sehingga jatuh dari

tengah udara dan rebah terlentang diatas tanah.

Pada saat itulah Wie Ci To kebetulan sudah berada disamping

badannya, dengan cepat pedangnya berkelebat mengancam di atas

lehernya.

“Jangan bergerak!” ancamnya.

Dengan langkah yang perlahan Ti Then pun segera menghampiri

datang.

Air muka Cian Pit Yuan berubah pucat pasi bagaikan mayat,

tetapi nada ucapannya masih amat kasar.

“Wie Toa Poocu sungguh dahsyat kepandaian silatmu!”

Jelas dari ucapannya ini mengandung nada mengejek yang amat

pedas.

“Kau boleh berlega hati” Seru Wie Ci To sambil tertawa dingin.

“Loohu bisa memberi satu kesempatan yang amat adil buat dirimu,

sekarang loohu mau tanya terlebih dulu akan satu hal, kau sudah

menerima berapa banyak uang dari si penguasa Go itu.”

“Kau anggap Loohu manusia macam apa, tidak mengambil uang

barang sesenpun dari dirinya!” Teriak Cian Pit Yuan dengan amat

gusarnya.

“Tetapi agaknya loohu pernah mendengar si penguasa Go

mengucapkan kata2 “Lima” bukankah kau sudah menerima lima

laksa tahil perak dari dirinya?”

Air muka Cian Pit Yuan seketika itu juga berubah jadi memerah,

“Kau memfitnah!” gembornya.

“Semua orang mengambil uang, mana mungkin kau sendiri yang

tidak menerima?”

“Dia datang padaku meminta Loohu bantu dirinya untuk

menegakkan keadilan, dia bilang kau orang she Wie serta Nyio Sam

Pak sudah membunuh mati Cuo It Sian majikannya dengan

menggunakan akal; Loohu mempercayai penuh atas perkataannya

itu maka lantas menyetujui permintaan bantuannya, aku sama sskali

tak menerima uangnya!”

“Kalau memangnya demikian kenapa dia membenci dan memaki

dirimu?” Seru Wie Ci To sambil mendengus dingin.

“Siapa yang tahu?” Teriak Cian Pit Yuan pula dengan benci.

“Bilamana kau tidak mengambil uangnya maka ada seharusnya

meninggalkan satu kehidupan untuk loohu tanyai sampai jelas,

tetapi secara tiba2 kau turun tangan membinssakan dirinya

bukankah tindakanmu itu mirip pula dengan perbuatan membunuh

untuk melenyapkan bukti hidup?”

“Omong kosong, loohu membinasakan dirinya karena merasa

gemas akan kelicikan serta kekejaman hatinya, aku sama sekali

tidak bermaksud membunuh untuk melenyapkan bukti hidup.”

Dengan perlahan Wie Ci To segera menoleh kearah Ti Then.

“Ti Kiauw tauw, coba kau periksa sakunya!” perintahnya dengan

cepat.

Ti Then menyahut dan berjalan kesisi tubuh Cian Pit Yuan setelah

itu berjongkok dan memeriksa sakunya.

Air muka Cian Pit Yuan dari pucat pasi kini berubah jadi biru kehijau2an,

mendadak teriaknya dengan keras:

“Didalam saku Loohu ada selembar uang kertas, tetapi itu adalah

uang dari loohu sendiri”.

Tangan kanan Ti Then yang merogoh ke da!am sakunya lantas

dapat meraba secarik uang kertas, setelah dilihatnya nilai yang

tertulis diatas kertas itu tidak kuasa lagi dia lantas tertawa cekikikan.

“Haaa . . . haaa . . . kenapa kertas uang ini pun kebetulan

bernilai lima laksa tahil perak?”.

“Tidak Salah, uang itu adalah uang tabungan dari Loohu

sendiri!”.

“Kalau begitu biarlah aku periksa sebentar dengan kertas uang

yang lainnya, bilamana gudang uang yang tertera diatas kertas

uang ini sama dengan gudang uang yang tertera diatas kertas2

uang lainnya maka hal ini membuktikan kalau uang itu bukan

milikmu”.

Dia berjalan beberapa langkah kedepan untuk memungut secarik

kertas uang, setelah dilihatnya gudang uang yang tertera di atas

kertas uang itu tak ada bedanya tidak terasa sambil tertawa dingin

ujarnya kepada sipendekar pedang tangan kiri ini.

“Hmm ! Kiranya berasal dari sebuah gudang uang yang sama,

sekarang tentu saja kau tidak ada perkataan lain bukan ?”.

Saking malunya saat ini Cian Pit Yuan jadi amat gusar sekali,

“Kalau memangnya Loohu menerima uangnya, lalu ada sangkut

pautnya apa dengan dirimu??” Bentaknya keras.

“Siapa yang bilang tiada sangkut pautnya dengan kami?”

sambung Wie Ci To sambil tertawa dingin. “Kau orang she Cian

terang2an mengetahui kalau tuduban yang dilancarkan mereka

terhadap Loohu adalah suatu peristiwa yang tidak nyata tetapi

karena ingin mempeioleh uang lima laksa tahil peraknya kau sadah

membolak-balikkan persoalan.

Hmmmm! Sekarang dengan memimpin jago2 dari kalangan

Hitam kalian datang mencari gara2 dengan Loohu apakah dalam

urusaa ini Loohu tidak boleh menuntut ??”

“Tetapi kau harus lihat dulu orang yang menerima uangnya ada

dua ratus orang banyaknya, bukannya cuma loohu seorang saja”

Bantah Cian Pit Yuan dengan ter-buru2.

“Orang lain boleh dipandang rendah tapi kau orang she Cian

tidak akan dipandang demikian!”

“Diluar mukanya walaupun loohu dibeli olehnya tetapi hal yang

sebenarnya adalah ingin berkelahi dengan dirimu, beranikah kau

bergebrak melawan loohu ??”

“Bagus sekali . . . bagus sekali . . Loohupun sudah siap sedia

untuk mamadamkan niatmu itu !” Seru Wie Ci To sambil tertawa

dingin.

Berbicara sampai disini pedang yang mengancam

tenggorokannya segera ditarik kemball dan mengundurkan diri tiga

langkah kebelakang.

“Ayoh bangun berdiri !” Bentaknya dengan keras.

Cian Pit Yuan dengan cepat meloncat bangun, diantara

berkelebatnya sinar pedang yang keemas-emasan ditangan kirinya

sudah bertambah lagi dengan sebilah pedang yang memancarkan

hawa yang amat dingin sekali.

Tetapi agaknya dia masih menaruh rasa jeri terhadap Ti Then

yang berdiri disamping, dia memandang sekejap kearahnya lalu

ujarnya.

“Kita harus menjelaskan dulu perkataan kita, ini hari bilamana

loohu kalah di tangan Wie Tou Poocu maka loohu akan menanti

hukuman, tapi bilamana menang?”.

“Bilamana kau menang maka Loohu akan serahkan diri dan

menerima hukuman yang dijatuhkan kepada Loohu !” Sambung Wie

Ci To dengan cepat.

“Justru karena loohu takut tidak bertenaga untuk jatuhi hukuman

kepadamu, karena anak buahmu amat banyak sekali”

Sekali dengar saja Wie Ci To sudah mengerti apa maksud dari

perkataannya itu; kepada para jago pedang merah lantas pesannya:

“Kalian dengarlah semua, bilamana nantti loohu mati ditangannya

maka kalian tidak boleh menyusahkaa dirinya, biarkanlah dia pergi

dengan bebas, sudah dengar?”

“Dengar!” Seru pendekar pedang merah itu serempak.

“Ti Kiauw-tauw kaupun sama juga!” pesannya pula kepada diri Ti

Then.

“Baik!” sahut pemuda itu sambil menjura.

Wie Ci To segera kebas2kan pedangnya dan menoleb kembali

kearah Cian Pit Yuan.

“Sudahlah!” ujarnya sambil tertawa “Loohu sudah memberi pesan

wanti2 kepada mereka, sekarang kau boleh turun tangan dengan

berlega hati!”

“Baik, ini hari bilamana bukannya kau yang mati maka akulah

yang modar!” Teriak Cian Pit Yuan sambil tertawa seram.

Kuda2nya diperkuat, seketika itu juga dia sudah bersiap

melancarkan serangan.

Walaupun terhadap orang ini Wie Ci To memandang menghina

tetapi terhadap ilmu pedangnya dia tidak berani berlaku gegabah,

tubuhnya dengan cepat diperendah kemudian dengan pandangan

mata yang amat tajam memperhatikan pihak musuh.

Jago kelas satu bertempur situasinya sudah tentu tidak sama,

tampaklah mereka berdua yang satu ada diselatan yang lain ada di

sebelah Utara berdiri saling berhadap-hadapan, seluruh

perhatiannya dicurahkan pada gerak-gerik pihak musuhnya

kemudian dengan perlahan baru bergeser maju kedepan.

Suasana jadi amat tegang, seluruh jago yang hadir disana

merasakan hatinya berdebar keras, napasnya menjadi sesak.

Dengan wajah yang amat seram dan penuh diliputi napsu

membunuh Cian Pit Yuan segera bergeser maju terus kedepan.

Sebaliknya wajah Wis Ci To amat halus, ramah tetapi keren dan

berwibawa sekali.

Ti Then yang melihat sikap serta air muka mereka berdua segera

berjalan kesamping Wie Lian In dan bisiknya dengan suara yang

amat lirih.

“Pertempran kaii ini ayahmu pasti menang,”

“Bagaimana kau bisa tahu ?” tanya Wie Lian In dengan hati tidak

tenang.

Ti Then tidak menjawab sebaliknya malah bertanya.

“Tahukah kau pada tempo dulu ayahmu harus menggunakan

berapa jurus untuk mengalahkan dirinya ?”

“Teringat akan perkataan Tia, agaknya dia bertempur sebanyak

seribu jurus banyaknya.

“Tetapi situasi pada saat ini sama sekali berbeda, aku percaya

tidak sampai membutuhkan dua ratus jurus ayahmu sudah dapat

memperoleh kemenangan”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Orang yang bergebrak melawan orang selamanya harus

membutuhkan keteguhan serta kepercayaan diri sendiri, terutama

kali niat.

Cian Pit Yuan yang dibeli oleh orang lain sebetulnya tidak

mempunyai niat untuk bergebrak ditambah pula keteguhan hatinya

berhasil kita pecahkan. maka pertempuran ini dengan amat

cepatnya bisa diselesaikan.”

Baru saja perkatan itu selesai diucapkan mendadak terdengar

Cian Pit Yuan membentak keras, dialah yang pertama-tama

melancarkan satu serangan dahsyat menutuk kearah diri Wie Ci To.

Dia orang yang memiliki julukan sebagai si pendekar pedang

tangan kiri sudah tentu serangannya berlawanan dari biasanya, jelas

kelihatan serangannya kali ini amat dahsyat sekali.

Sebaliknya permainan pedang dari Wie Ci To adalah kebalikan

dari permainan pedangnya, tampak dia sedikit mengangkat

psdangnya, jurus serangan tersebut segera dapat dipunahkan

dengan manis.

Tetapi sewaktu dilihatnya Cian Pit Yuan mengubah jurus

serangan lagi dan menyapu badannya dengan mengikuti gerakan

badannya dengan mantap dia segera membabat pundak kanan dari

Cian Pit Yuan,

Jurus serangan ini kelihatanya amat sederhana tetapi secara

samar-samar mengandung satu tenaga tekanan yang maha

dahsyat.

Mendadak , . sepasang pedsng mereka bagaikan kilat cepatnya

sudah terbentur satu sama lain, hanya di dalam sekejap saja

mereka berdua sudah saling serang menyerang sebanyak puluhan

jurus banyaknya setelah itu baru berpisah dan masing2

mengundurkan diri keutara dan keselatan.

Beberapa puluh orasg jagoan dari kalangan Hek-to serta jago2

pedang merah dari Benteng Pek Kiam Poo pada saat ini ber-sama2

mengundurkankan dirinya kebelakang, karena mereka merasakan

adanya segulung hawa pedang yang amat tajam dan santar

berkelebat memenuhi angkasa.

Selangkah demi selangkah kembali Cian Pit Yuan maju kearah

Wie Ci To dengan langkah yang mantap mengikuti terus kearah

sebelah kiri mereka baru berhenti setelah saling berhadap-hadapan

muka.

Pada wajah Cian Pit Yuan terlintaslah satu senyuman buas yang

amat seram sekali,

Sedangkan pada wajah Wie Ci To terlintas satu senyuman yang

ramah tapi mempersonakan.

Mendadak . . , masing2 pihak kembali melayang kedepan

melancarkan serangannya.

Kali ini tubuh mereka bersama melayang ketengah udara lalu

dengan cepat bagaikan kilat saling serang menyerang beberapa

jurus banyaknya, hanya didalam sekejap mata saja mereka berdua

sudah menyerang dua puluh jurus serangan dahsyat.

Tetapi belum juga bisa menentukan siapa menang siapa kalah.

Sikap Cian Pit Yuan berubah semakin menyeramkan lagi.

Sedangkan sikap dari Wie Ci To berubah semakin rsmah dan

halus.

Melihat akan hal itu dalam hati Ti Then benar2 merasa sangat

kagum.

Ilmu pedang mereka berdua yang satu jalan keras yang lain

mengutamakan

kegesitan walaupun belum bisa dikata betul-betul sempurna

tetapi telah mencapai pada taraf yang benar2 matang “ pikirnya di

hati.

Pada saat pikirannya sedang berputar itulah mendadak

pandangannya terasa jadi kabur, Wie Ci To serta Cian Pit Yuan

untuk ketiga kalinya sudah bergebrak saling serang menyerang

dengan serunya.

Pertempurannya kali ini jauh lebih dahsyat lagi dari bentrokannya

yang semula, walau pun jurus2 serangan yang mereka lancarkan

sedikitpun tidak kacau tetapi kelihatannya bagaikan dua ekor macan

betina yang lagi berduel membuat setiap orang merasa hatinya

amat tegang sekali.

Dan untuk pertempuran kali ini mereka berdua tidak berpisah

lagi, sinar pedang bagaikan api membara yang berkelebat ke atas

kebawab tidak hentinya seperti juga ombak ditengah samudra yang

melanda pantai . . .

Saking dahsyatnya pertempuran ini hampir boleh dikata tanah

merekah seluruh jagat tergoncang hebat.

Hanya didalam sekejap saja mereka berdua sudah bertempur

sebanyak seratus jurus banyaknya walaupun pertempuran ini amat

seru tetapi masih belum juga bisa ditentukan siapa yang menang

siapa yang kalah.

Semakin lama Wie Lian In merasa hatinya semakin tidak tenang,

dengan cepat dia menyenggol badan Ti Then.

“Eeeei coba kau lihat, mereka sudab bergebrak sebanyak seratus

jurus” serunnya cemas.

“Jangan kuatir, ayahmu pasti akan menang”

“Bilamana sampai kalah ?” tanya Wie Lian In murung.

Ti Then segera tersenyum, “Peristiwa ini tidak bakal ada.”

katanya-

“Sewaktu bertempur didalam Benteng tempo hari agaknya

bajingan tua ini tidak selihay ini hari”

“Soal ini ada dua sebab musabsbnya, pertama: waktu itu dia

terlalu memandang rendah pihak musuhnya. Kedua, didalam

setengah tahun ini dia telah berlatih kembali akan beberapa buah

jurus serangan yang baru …. aaah . . menang kalah sudah dapat

ditentukan.”

Sedikitpun tidak salah, akhirny menang kalah bisa ditentukan

juga,

Semua orang mendengar suara dengusan berat terlebih dulu

setelah itu tampaklah masing2 pihak dengan cepatnya

mengundurkan diri beberapa kaki kearah belakang.

Sepasang kakinya menempel permukaan tanah, semuanya berdiri

tegak tak bergerak, sedang matanya saling melotot tak berkedip.

Cian Pit Yuan dengan senyum kemenangan yang amat seram

berdiri tak bergerak disana.

Sebaliknya air muka Wie Ci To berubah sangat keren, baju

dibagian dadanya sudah terobek beberapa coen panjangnya oleh

ujung pedang Cian Pit Yuan sehingga pakaian dalamnya pun ikut

tergores robek, tetapi tidak terlihat adanya darah yang mengalir

keluar.

Dengan sangat terkejutnya Wie Lian In menjerit kaget, hatinya

merasa amat kecewa sehingga tubuhnya hampir2 rubuh tak

sadarkan diri,

Air muka ciangbunjin dari Siauw lim pay, Bu tong pay, Kun Lun

Pay, Tiang Pek Pay serta seluruh pendekar pedang merah pada

berubah sangat hebat,

Ternyata Wie Ci To sudah menemui kekalahan.

Walaupun tubuhnya tidak sampai mengucurkan darah tetapi

dengan kekalahannya ini akan mempengaruhi meti hidupnya,

karena dengan diri Cian Pit Yuan dia sudah mengadakan perjanjian

terlebih dahulu.

Siapa yang kalah dia bakal dihukum oleh pihak lawannya sedang

dia sepagai seorang Toa Poocu dari Benteng Pek Kiam Poo yang

namanya sudah amat terkenal didalam Bu-lim tidak akan

memungkiri perkataannya yang sudah diucapkan, sudah tentu dia

akan membiarkan Cian Pit Yuan turun tangan menghukum dirinya.

Senyum kemenangan yang menghias wajah Cian Pit Yuan pun

semakin lama semakin menebal, dia memandang sekejap kearah

diri Wie Ci To lalu sambil menuding dengan menggunakan

pedangnya dia membentak:

“Orang she Wie, kau sudah kalah..”

Siapa tahu baru saja perkataan itu selesai diucapkan air mukanya

sudah berubah jadi tertegun.

Pokoknya sinar matanya yang buas dan amat menyeramkan itu

hanya didalam sekejap saja sudah berubah jadi amat tawar dan

sedih sekali.

Diikuti tubuhnya yang berdiri tegak dengan perlahan-lahan rubuh

kedepan dan jatuh tertelungkup diatas tanah.

Apa yang sudah terjadi?

Semua jago dibuat tertegun oleh peristiwa ini.

Untuk beberapa saat lamanya mereka semua tidak mengetahui

siapakah yang menang dan siapakah yang kalah, masing-masing

dengan mata terbelalak lebar-lebar berdiri mamatung di tempat.

Saat itu cuma Ti Then seorang yang dapat melihat seluruh

kejadian itu dengan amat jelas, tampak dia berjalan maju kedepan

dan menendang badan Cian Pit Yuan sehingga tidur terlentang,

setalah itu dengan menggunakan tangannya dan membuka

pakaiannya.

“Gak hu, sambaran pedangmu kali ini sungguh indah sekali!”

pujinya sambil tertawa.

Waktu itulah semua orang baru dapat melihat kalau pada jalan

darah Cang Bun Hiat pada pinggang Cian Pit Yuan sudah dibasahi

oleb darah segar karena itulah seketika itu juga mereka mengerti

peristiwa apa yang sudah terjadi.

Kiranya sewaktu dia berhasil mcmbabat robek baju bagian dada

dari Wie Ci To itulah jalan darah Cang Bun Hiat pada bagian

pinggangnya sendiripun terkena satu tusukan pedang dari Wie Ci

To.

Sedang dirinya sama sekali tidak merasakan akan hal itu, dia

masih mengira dirinyalah yang sudah memperoleh kemenangan.

Setelab semua orang mengerti apa yang telah terjadi, maka tidak

kuasa lagi suara tepukan tangan serta teriakan memuji bergema

memenuhi seluruh angkasa.

ocooOoooo

BEBERAPA puluh jago dari kalangan Hek-to yang melihat

kemenangan ada dipihak Wie Ci To tidak berani berada disana lebih

lama lagi, masing2 pada bubaran dan melarikan diri dari sana,

Hanya didalam sekejap saja seluruh kalangan sudah dibikin

bersih dari jago2 kalangan Hek-to.

Suatu angin taupan yang bakal melanda, dengan demikian jadi

tenang kembali.

Suara teriawa dari sisekuntum Bunga Bwee Mong Yong Sian

Kauw tiba2 memecahkan kesunyian.

“Aaaih . , kiranya pasukan aneh yang disusul oleh Cuo It Sian

sama sekali tidak lihay !” ujarnya.

“Benar!” sahut Kiem Cong Loojien dari Kun Lun-pay,” Apalagi

Tang Loo Koei Bo sinenek tua itu, dia paling mengerti bilamana

bukannya dia yang sudah memecahkan rahasia sipenguasa Go yang

membeli tenaga mereka dengan uang mungkin badai ombak dan

angin taupan yang dahsyat ini tidak bakal sirap dengan sebegitu

cepatnya.”

“Dia adalah simanusia paling cantik di dalam Bu lim Han Giok

Bwee” timbrung Wie Lian In pula.” -Waktu yang ialu dia menaruh

kesalah pahaman terhadap kami dan hendak merebut kitab pusaka

Ie Cin Keng, terakhir dia berhasil kami tawan tetapi kemudian kami

lepaskan kembali dirinya.”

“Kiranya begitu, mungkin dia sengaja memecahkan rahasia

sipengua&a Go ini juga dengan maksud untuk membalas budi kalian

itu” ujar Kiem Cong Loojien.

“Inilah yang dinamakan semangka akan mendapatkan semangka,

menanm sayur akan mendapatkan sayur”

Wie CiTo tertawa, dia lantas memerintahkan orang2 dari Benteng

untuk membereskan jenasah dari Cian Pit Yuan, setelah itu kepada

keempat orang Ciangbunjin ujarnya:

“Meja perjamuan ada kemungkinan sudah dipersiapkan, mari kita

masuk kedalam untuk meneguk beberapa cawan arak!”.

XX XXX

Keesokan harinya Yuan Kuang Thaysu serta Leng Cing Ceng-jien

berpamit kepada Wie Ci To dan masing2 menuju ke gunung Go-bie

dan Cing Shia untuk menyambangi teman2nya, sedangkan Kiem

Cong Loojien serta Mong Yong Sian Kauw tetap menjadi tamu

didalam benteng Pek Kiam Poo . . .

Sedangkan suasana didalam Benteng Pek Kiam Poo untuk

sementara menjadi tenang kembali.

Sebaliknya perasaan hati dari Ti Then tidak dapat tenang, bahkan

boleh dikata duduk tidak enak tidurpun tidak tenang, hatinya benar2

terasa kacau sekali karena hari perkawinannya sehari demi sehari

mulai mendekat sedangkan tak sebuah akal pun didapat olehnya hal

ini membuat hatinya bertambah tidak tenang.

Terhadap diri Wie Lian In dia sama sekali tidak mempunyai

perasaan ” Sayang atau keberatan ” bilamana dia bisa pergi dan

membereskan urusan ini maka walau pun seperempat jam pun dia

tidak ingin berada lebih lama lagi didalam Benteng Pek Kiam Poo.

Tetapi dikarenakao ancaman dari majikan patung emas membuat

dia orang

mau tidak mau harus mengambil satu keputusan untuk

menyelesaikan urusan ini, barang yang diinginksn oleh majikan

patung emas agaknya harus didapatkan juga, bilamana dirinya

tanpa memperdulikan lagi segala urusan dan meninggalkan benteng

Pek Kiam Poo maka majikan patung emas pasti akan menggunakan

cara yang paling kejam dan paling ganas untuk membinasakan Wie

Ci To ayah dan anak.

Walaupun Ti Then merasa harga diri adalah amat penting tetapi

nyawa dari Wie Ci To ayah beranak jauh lebih penting lagi. dia tidak

akan mengorbankan nyawa Wie Ci To ayah beranak, karena ingin

menjaga harga dirinya sendiri.

Bahkan undangan sudah dibagikan, bilamana dia melarikan diri

dari Benteng Pek-Kiam Poo bukankah Wie Ci To ayah beranak bakal

kehilangan muka dihadapan orang2 Bu-lim ?

Maka itulah saat ini dia sudah berada didalam keadaan kepepet.

keadaannya seperti sedang menunggang harimau sekali pun mati

tidak boleh melakukan niatnya tersebut.

Satu2nya cara yang dapat dilakukan oleh dia adalah didalam

sepuluh hari sebelum hari perkawinannya ini berusaha untuk

menyelidiki nama serta asal usul dari majikan patung emas,

bilamana nama serta asal usul dan majikan patung emas ini dapat

diketahui olehnya maka ada kemungkinan dia masih bisa

memikirkan satu cara untuk menghadapinya.

Tetapi, harus membutuhkan beberapa waktu dia baru berhasil

mengetahui nama serta asal-usul dari majikan patung emas ini?

Hal ini sama sekali tak terpikir olehnya!

Hari itu, sewaktu dia lagi memberi petunjuk ilmu pedang kepada

seorang pendekar pedang mendadak masuklah kedalam benteng

seorang pemuda dengan menunggang kuda, jika dilihat dari gagang

pedang merah yang tersoren pada pinggangnya jelas dia

merupakan seorang pendekar pedang merah.

Ketika dilihatnya pula perawakan tubuh dari orang itu mendadak

hatinya merasa rada bergerak, kepada seorang pendekar pedang

putih yang ada disampingnya dia lantas bertanya :

“Eeeei . . pendekar pedang merah itu apakah anggota dari

Benteng kita?”.

“Benar, apakah Ti Kiauw-tauw sudah lupa ??”.

“Pendekar pedang didalam Benteng kita, ada sembilan puluh

orang banyaknya, bahkan ssbagian bssar berkelana didalam dunia

kangouw, sudah tentu aku tidak akan kenal satu persatu” sahut Ti

Then pura2 serius.

“Saudara ini tentunya Ti Kiauw-tauw pernah menemuinya, dia

baru dua bulan yang lalu pulang kerumah menjenguk keluarganya.

Ini hari dia baru pulang kembali ke dalam Benteng kita !”.

“Dia tentu Yuan Cia-heng?”

“Salah ! Dia adalah Phoa Loo Tek, usianya jauh lebih besar dua

tahun dari diri Yuan Cia” sahut pendekar pedang putih itu sambil

gelengkan kepalanya.

“Aaah . . . benar, benar,” dia adalah Phoa Loo Tek, heeeei ….

bagaimana ingatanku bisa begitu buruk ?”

Saat itulah Phoa Loo Tek sudah turun dari kudanya ditengah

kalangan latihan silat itu, sewaktu dilihatnya Ti Then sedang

memberi petunjuk ilmu pedang kepada para pendekar pedang

lainnya sambil tertawa dia lantas maju menghampiri dan menjura.

“Ti Kiauw-tauw kau sudah pulang ?” ujarnya.

“Benar, aku dengar Phoa-heng pun sedang pulang untuk

menjenguk keluarga?” ujar Ti Then mengangguk.

“Betul, sebenarnya cayhe hendak kembali kedalam Benteng lebih

pagian tetapi dikarenakan ibuku selalu tidak memperbolehkan cayhe

untuk berangkat maka terpaksa aku harus tinggal satu bulan di

rumah “.

“Dimanakah rumah Phoa heng ?”

“Cayhe tinggal disuatu dusun kecil, Swie Mo Kauw, sebelah Barat

dari gunung Cing Shia!”

“Aaaah . . . tempat itu tidak terlalu jauh, dengan menunggang

kuda paling banter cuma dua tiga hari perjalanan ”

“Benar!”

“Phoa-heng baru saja kembali kedalam Benteng perjalanan jauh

melelahkan sekali, kau pergilah untuk beristirahat!”.

Phoa Loo Tek segera menyahut dan mengundurkan diri dari

sana,

Ti Then yang melihat cuaca sudah mendekati siang dia lantas

membubarkan para pendekar pedang lalu berjalan menuju kamar

istirahat dari sipenembus ulu hati Shia Pek Tha.

Sesampainya didalam kamar Shia Pek Tha dia melihat Phoa Loo

Tek lagi mencatatkan tanggal kembalinya kedalam Benteng didalam

buku..

Shia Pek Tha yang melihat Ti Then berjalan masuk kedalam

kamar dia segera bangkit berdiri dan menuding kearah Phoa Loo

Tek.

“Ti Kiuw tauw, Phoa Lote ini baru saja kembali dari liburannya.”

“Siauw te sudah tahu, kita sudah bartemu muka sewaktu ada

dilapangan latihan silat” sahut “Ti Then sambil tertawa.

Saat ini Phoa Loo Tek sudah menulis tanggal liburannya, setelah

itu kepada Ti Then dan Shia Pek Tha dia tertawa dan putar badan

berjalan keluar dari kamar.

“Ti Kiauw tauw ada urusan apa?” tanya Shia Pek Tha.

Ti Then yang mendengar suara langkah dari Phoa Loo Tek sudah

menjauh dia berbisik.

“Shia heng, siauwte rada menaruh perasaan curiga terhadap

jagoan pedang she Phoa ini!”

Shia Pek Tha jadi melengak.

“Aaah . . apanya kurang beres dari dirinya?”

“Peadekar psdang she Phoa ini tinggal didusun Swee Mo Kauw,

jaraknya dari sini cuma ada tiga hari perjalanan saja, tetapi sekali

pergi sudah ada dua bulan lamanya, agaknya didalam urusan ini

rada sedikit tidak beres.”

Mendengar perihal tersebut Shia Pek-Tha segera tertawa.

“Tinggal beberapa hari di rumah adalah biasa, apanya yang tidak

beres ?”

“Ingatkah sewaktu tempo hari Siauw-te datang untuk memeriksa

buku tersebut ?”

“Masih ingat, bagaimana ?” tanya Shia Pek Tha sambil

mengangguk.

“Tempo hari sewaktu siauw-te kembali ke dalam benteng dan

ditengah jalan melewati gunung Lak Ban San ada satu hari di

sebuah rumah penginapan di kota Kiam Bun Koan sudah

menemukan dua orang Bu-lim yang lewat dari samping siauw te,

salah satu diantaranya sudah berkata;

“Kau harap berlega hati, tadi Phoa Loo Tek sudah berbicara amat

jelas sskaii, dia bisa turun tangan memberi bantuan… siauw te yang

merasa nama Phoa Loo Tek ini rada dikenal maka setelah dipikirpikir

setengah harian baru teringat kembali kalau didalam Benteng

dari antara pendekar pedang merah pun ada seseorang yang

bernama Phoa Loo Tek . . .”

“Akhirnya bagaimana ?” Tanya Shia Pek Tha dengan pandangan

tajam.

“Menanti siauw-te teringat kembali akan hal ini kedua orang Bulim

itu sudah pergi tak berbekas, tetapi wajah dari kedua orang itu

siauw te masih ingat, jika dilihat dari potongannya jeias dia

bukanlah seorang manusia baik2”

“Lalu apakah arti dari perkataan kedua orang itu ?”.

Dengan perlahan Ti Then gelengkan kepalanya;

“Siauw te sendiri pun tidak paham, akhirnya setelah siauw-te

melakukan pemeriksaan di buku catatan itu dan mengetahui kalau

Phoa Loo Tek baru pulang kerumah dalam hati siauw-te baru

menaruh rasa heran. Bukankah Shia heng tahu jarak antara dusun

Swie Mo Kauw serta Kiam Bun Koan ada enam ratus li jauhnya,

kalau memangnya Phoa Loo Tek pulang ke rumah bagaimana dia

bisa lari ke kokta Kiam Bun Koan yang jaraknya ada enam ratus li

itu?”

Shia Pek Tha segera termenung berpikir sebentar, akhirnya dia

menjawab juga;

“Apakah Ti Kiauw tauw menaruh curiga kalau alasan Phoa Loo

Tek pulang kerumah adalah pura2, sebaliknya secara diam2 dia

sudah pergi mengadakan hubungan dengan orang dikota Kiam Bun

Koan ?”

“Tidak salah!”

“Bagaimana kalau sekarang juga kita pergi menanyai dirinya ?”

kata Shia Pek Tha, setelah itu dia lantas melangkah keluar dari

dalam kamar.

Dengan terburu-buru Ti Then menarik dia kembali,

“Kau tidak boleh berbuat demikian” sahutnya sambil

menggelengkan kepalanya.

“Kenapa ?” tanya Shia Pek Tha melengak.

“Pertama, yang dimaksudkan sebagai Phoa Loo Tek oleh orang

itu belum tentu Phoa Loo Tek dari benteng kita, ada kemungkinan

nama mereka adalah sama. Kedua, Jikalau misalnya dia orang

sendir, maka sekalipun Shia heng tanya dirinya belum tentu dia

orang suka mengaku buat apa kita mengejutkan dirinya terlebih

dahulu ?”.

“Lalu menurut pendapat dari Ti Kiauw tauw kita harus berbuat

bagaimana ?”

“Secara diam2 kirim seorang kedusun Swie Mo Kauw untuk

menyelidiki apakah dia sungguh-sungguh sudah pulang kerumah.

Bilamana orang tuanya menjawab bahwa dia ada disana maka hal

ini membuktikan kalau Phoa Loo Tek ini bukanlah dia, sebaliknya

bilamana orang tuanya berkata bahwa dia tidak ada dirumah atau

mungkin cuma tinggal sehari dua hari saja maka ada kemungkinan

dia orang adalah Phoa Loo Tsk yang dimaksudkan kedua orang Bulim

itu, dengan sendirinya dia adalah seorang yang patut dicurigai.”

“Hmmm . . , sangat beralasan sekali”

“Kedua orang Bu-lim itu bsrwajah amat menyeramkan, bilamana

mereka berasal dari kalangan hitam maka janji Phoa Loo Tek untuk

turun tangan membantu sudah tentu bukan satu pskerjaan yang

cemerlang, apalagi Poocu kita selalu menasahati seluruh jagoan

pedang yang ada didalam Benteng kita untuk menjauhkan diri dari

segala kejahatan maka itu urusan ini harus kita selidiki sampai

jelas.”

“Benar . . benar . . .” sahut Shia Pek Tha sambil mengangguk

berulang kali, “Ti Kiauw tauw rasa baiknya kirim siapa untuk

melakukan penyelidikan ini ?”

“Urusan ini untuk sementara waktu janganlah dilaporkan terlebih

dahulu kspada Poocu sehingga jangan sampai pula kawan yang lain

mengetahui maka itu maksud dari Siauw te bilamana Shia heng

tidak keberatan maka dengan mengambi1 beberapa waktu ini

berangkatlah sendiri untuk melakukan penyelidikan, bagaimana

maksud dari Shia heng ?”

“Boleh, waktu perkawinan dari Ti Kiauw tauw masih ada enam

belas hari lamanya dari sini menuju ke dusun Swie Ma Kauw pun

pulang balik cuma membutuhkan enam hari saja, kemungkinan

sekali Poocu akan memberi izin uutuk turun gunung, cuma entah

harus menggunakan alasan apa untuk minta libur ?”

“Coba Shia-heng pikirlah dengan cermat.”

Lama sekali Shia Pek Tha termenung bsrpikir akhirnya dia

menjerit kegirangan.

“Aaash. sudah ada, setiap tahun pada waktu begini cayhe tentu

akan menuju ke gunung Kiu Cing san untuk menengok istri dari

seorang kenalanku yang telah meninggal, biarlah aku menggunakan

alasan ini untuk minta ijin.”

“Tetapi apa hubungannya antara dirimu dengan dia orang ?”

“Dahulu cayhe mempunyai seorang sahabat karib yang bernama

Siauw Tioen Hoo, dia pun merapakan seorang jagoan Bu-lim tapi

akhirnya dia dibunuh orang dan meninggalkan seorang istri dengan

tiga orang anak, keadaannya sangat kasihan sekali, karenanya

setiap tahun cayhe tentu pergi menengok meraka dan membagi

sedikit uang buar mereka, urusan ini pun diketahui pula oleh Poocu

sendiri.”

“Kalau memangnya begitu hal ini amat bagus sekali. Poocu tentu

mengijinkan Shia heng untuk pergi keluar.”

“Cayhe sekarang juga akan minta ijin kepada Poocu, bilamana

Poocu setuju maka cayhe sekarang juga akan berangkat”

Sehabis berkata dengan ter-buru2 dia terus berlalu dari sana.

Tidak lama kemudian dengan wajah penuh senyuman dia sudah

berjalan kembali lagi.

“Haaa .. haaa . Poocu sudah setuju” ujarnya tertawa, “Dia cuma

memberi pesan agar beberapa hari sebelum perkawinan dari Ti

Kiauw tauw harus sudah kembali ke dalam Benteng.”

Dalam hati Ti Then merasa amat girang sekali.

“Lalu Shia heng mengambil keputusan hendak berangkat

sekarang juga ?”

“Tidak salah, cayhe adalah seorang yang mempunyai sifat ingin

terburu2, sesuatu urusan setelah diambil keputusan maka segera

juga kepingin berangkat”

Dia berganti pakaian, mengambi1 beberapa stel ganti dan

beberapa ratus tahil perak yang dibungkus menjadi satu buntalan

lalu dipanggul keatas bahu,

“Sudahlah. sekarang aku mau berangkat” katanya kemudian.

“Shia heng hendak berangkat dengan menunggang kuda ?”

“Sudah tentu”

“Kawan-kawan Benteng lainnya bilamana melihat secara tiba2

Shia heng berangkat meninggalkan benteng tentu akan menaruh

rasa curiga. lebih baik kau pesanlah beberapa patah kata kepada

mereka.”

“Baiklah, apakah Ti Kiauw tauw ada pesan lainnya ?”.

“Tidak ada, Siauw te punya maksud tidak menghantar Shia heng

keluar benteng, harap di perjalanan Shia heng suka berhati-hati”

Demikianlah Shia Pek Tha lantas berangkat meninggalkan

benteng itu.

Sedangkan Ti Then sendiri pun dengan wajah penuh

kegembiraan berjalan kembali kedalam kamarnya.

Apa yang dikatakan pernah bertemu dua orang Bu-lim di kota

Kiam Bun Koan sudah tentu adalah perkataaa kosong belaka, tujuan

yang utama dari dirinya adalah pergi menyelidiki kemana perginya

Phoa Loo Tek selama dua bulan ini, karena dia merasa perawakan

badan dari Phoa Loo Tek ini sangat mirip sekali dengan perawakan

pemuda berkerudung yang diperintah majikan patung emas untuk

menyelidiki dan mengawasi dirinya itu.

Bilamana Shia Pek Tha mendapat tahu kalau Phoa Loo Tek tidak

pernah pulang ke rumah atau mungkin cuma beberapa hari saja

disana maka delapan bagian Phoa Loo Tek ini adalah si pemuda

berkerudung.

Jikalau dia berhasil membuktikan kalau Phoa Loo Tek adalah si

pemuda berkerudung itu, dirinya secara diam2 bisa pancing dia

keluar dari Benteng kemudian menawan dirinya dan paksa dia untuk

mengaku nama serta asal usul dari majikan patung emas, dengan

demikian ada kemungkinan dia akan memperoleh cara yang amat

baik untuk menghadapi majikan patung emas itu.

Terhadap urusan ini dia menaruh harapan yang amat besar

sekali.

Sakembalinya kedalam kamar dia lantas berganti dengan pakaian

singsat.

Saat itulah tampak si Loo-cia pelayan tua itu sudah berjalan

masuk ke-dalam kamar.

“Ti Kiauw tauw,” ujarnya. “Tadi Coen Lan datang kemari, katanya

nona mengundang kau pergi ke-sana setelah bersantap.”

“Baiklah.”

“Beberapa hari ini agaknya setiap hari nona terus menerus

bersembunyi didalam kamar, apakah dia merasa malu?”

“Benar” jawab Ti Then tertawa.

Mendadak, dengan pandangan mata yang tajam si Loo-cia

pelayan tua itu memperhatikN dirinya lalu sambil tertawa tanyanya:

“Ti Kiauw tauw, ada urusan apa yang membuat hatimu jadi

begitu gembira ?”

“Urusan yang menggembirakan ?” tanya Ti Then melengak.

“Air muka Ti Kiauw tauw amat giraag sekali, tentu ada satu

urusan yang menyenangkan hatimu,” seru si Loo-cia sambil

menuding wajahnya.

“Setiap orang yang menghadapi hari perkawinannya sudah tentu

akan bsrsemangat, aku sudah hampir jadi pengantin . . . coba kau

bilang patutkah aku merasa tidak gembira?”.

“Tidak, rasa girang dari Ti Kiauw-tauw kali ini sangat luar biasa

sekali, perasaan gembira ini belum psrnah ditemui sejak Ti Kiauwtauw

memasuki benteng Pek Kiam Poo”.

“Kau jangan omong sembarangan!”.

“Sungguh, hamba yang selama hidup bekerja sebagai pelayan

paling pinter melihat perubahan wajah dari majikanku, hati

majikanku lagi senang atau sedih hamba mengetahuinya dengan

amat jelas sekali”.

Ti Then tidak banyak bicara lagi dengan dirinya, dia lantas

berjalan keluar dari kamar dan menuju ke ruangan makan, karena

waktu itu adalah waktu bersantap.

xxxxx

Selesai bersantap dia berjalan menuju ke kamar Wie Lian In, saat

itu dia melihat Wie Lian In lagi duduk disamping Mong Yong Sian

Kauw itu si ciangbunjin dari Tiang Pek Pay dan melihat dia sedang

menyulam.

Dengan amat hormatnya dia lantas menjura kepada diri Mong

Yong Sian Kauw setelah itu baru ujarnya kepada diri Wie Lian In:

“Coen Lan tadi bilang kau ada urusan mencari aku ?”.

“Aaaah . . tidak ada urusan yang penting” sahut Wie Lian In

sambil tertawa malu. “Mong Yong ciangbunjien lagi memberi

pelajaran menyulam kepadaku, aku ingin membuatkan satu

kantongan uang buat dirimu cuma saja tidak tahu kau suka

kembangan yang bagaimana maka aku sengaja mengundang kau

kemari”.

“Tidak boanpwee sangka Mong Yong ciangbunjin pun bisa

menyulam, sungguh luar biasa sekali” puji Ti Then kepada Mong

Yong Sian Kauw sambil tertawa.

“Aku adalah seorang perempuan sudah tentu mengerti akan

menyulam, hal ini ada apanya yang aneh?7” seru Mong Yong Sian

Kauw tertawa pula.

“Tetapi kau sebagai seorang ciangbunjien suatu partai besar

bagaimana ada waktu untuk mempelajari soal begini ??”.

“Sekarang aku adalah seorang ciangbunjien tetapi sewaktu kecil

tidak, permainan macam ini aku mempelajari ini dari ibuku semasa

kecil”.

Waktu ini dia sedang menyulam sebuah bunga Bwee, kelihatan

sulamannya amat bagus sekali.

“Agaknya ciangbunjien amat suka dengan bunga Bwee?” tanya Ti

Then lagi.

“Bukankah julukanku sebagai sekuntum bunga Bwee?”.

“Mong Yong ciangbunjien bukan saja pandai membuat bunga

Bwee bahkan bunga yang lain pun saagat indah sekali” timbrung

Wie Lian In dari samping.

“Lalu kau sendiri sudah bisa mempelajari berapa macam?” tanya

Ti Then terhadap diri sang nona.

“Sama sekali tidak bisa, maka itu aku mau tanya dulu kau suka

dengan bunga apa, setelah kau menyebutkannya maka aku akan

mempelajarinya dari Mong Yong ciangbunjien!”.

Mendengar perkataan tersebut Ti Then segera tersenyum.

“Bilamana diatas kantongan uang disulam sekuntum bunga, hal

ini aku rasa rada kurang bagus.”

“Kenapa ?”

“Mudah menghamburkan uang hingga habis!” jawab Ti Then

sambil tertawa. (Huruf Tionghoa “Hoa” berarti bunga, berarti pula

menghamburkan).

Wie Lian In segera tertawa cekikikan, “Uang yang ada didalam

kantongan uang memang seharusnya di-hambur-hamburkan!”

serunya.

“Mengirit adalah satu kebaikan, buat apa orang harus

menghambur-hamburkan uang? aku lihat lebih baik kau sulamkan

sebuah kepala harimau saja”

“Kepala macan?” tanya Wie Lian In melengak,

“Benar?” jawab Ti Then tsrtawa. “Bilamana diatas kantongan

uang disulam dengan seekor kepala macan maka setiap kali aku

merogoh kantong untuk mengamhil uang lantas bisa merasakan

seperti masuk kedalam mulut macan, maka setiap pengeluaran

sangat berhati-hati.”

Wie Lian In serta Mong Yong Sian Kauw yang mendengar

perkataan tersebut tak terasa lagi segera tertawa keras.

Pada saat mereka bertiga sedang bercakap-cakap itulah

mendadak dari luar bangunan terdengar suara si Loo-cia pelayan

tua itu sedang berteriak teriak:

“Ti Kiauw tauw . . Ti Kiauw-tauw… diluar ada seorang tamu yang

sedang mencari dirimu!”

Mendengar perkataan tersebut Ti Thens segera merasakan

hatinya tergetar amat keras, dengan terburu-buru dia mohon pamit

dan berjalan keluar.

“Siapa?” tanyanya setelah bertemu muka dengan Loocia si

pelayan tua itu.

“Orang itu tidak suka melaporkan namanya, dia cuma bilang

dirinya kenal dengan Ti Kiauw tauw dan sekarang ada urusan untuk

bertemu muka.”

Ti Then merasa tidak mungkin ada seorang kawannya yang

sengaja datang untuk bertemu muka dengan dirinya karena itu

dalam hati dia merasa amat curiga, tanyanya lagi :

“Bagaimana potongan dari orang itu ?”.

“Katanya seorang kakek tua, hamba tidak melihatnya sendiri

sehlngga tidak begitu jelas”.

“Sekarang dia ada dimana?”

“Masih ada didalam pintu luar benteng”.

Dengan langkah yang tergesa-gesa Ti Then segera berjalan

keluar dari pintu luar Benteng.

Sewaktu tiba dihalaman depan dia bertemu muka dengan Wie Ci

To.

“Loo-cia bilang di luar ada seorang kakek tua yang hendak

bertemu dengan siauw say!” katanya sambil menghentikan

langkahnya.

“Benar, mari kita berjalan keluar untuk melihat sebentar” ujar

Wie Ci To sambil mengangguk.

Tua muda dua orang segera berjalan keluar dari pintu Benteng,

terlihatlah didepan pintu berdiri seorang kakek tua berbaju hijau

dengan pada kepalanya tertutup oleh sebuah topi lebar yang

terbuat dari rerumput, saat ini dia sedang menundukkan kepalanya

sebingga tidak terlihat wajahnya, tetapi jika ditinjau dari sikapnya

tidak salah lagi dia adalah searang jagoan dari Bu-lim.

Ti Then sagera mengerutkan alisnya cepat 2, sambil maju

merangkap tangannya memberi hormat ujarnya :

“Cayhe adalah Ti Then, entah…”

Si kakek tua berbaju hijau itu mendongakkan kepalanya lalu

tersenyum.

Melihat kedatangan dari orang itu, terasa lagi Ti Then segera

tertawa sanang, dengan gugup dia berlari kedepan dan jatuhkan diri

berlutut.

“Aaaah . , , kiranya adalah Yuan Loocianpwee …”

Suaranya gemetar, jelas hatinya merasa sangat terharu sekali!

Tidak salah, kakek tua itu adalah Piauw Tauw dari Yong An

Piauw-kiok, Si Kiem Kong So, Yuan Siauw Ko adanya.

Dengan cepat Yuan Siauw Ko membangunkan dia.

“Tidak usah banyak adat ” ujarnya sambil tertawa. “Loohu

dengar kau sudah hampir menikah maka sengaja berangkat kemari

untuk menengok dirimu.”

Bertemu dengan orang ini Ti Then merasa bertemu dengan

orang yang paling rapat dengan dirinya, dsngan rasa yang amat

girang dia lantas menoleh kearah Wie Ci To dan ujarnya.

“Gak-hu, dialah Piauw-tauw dari Yong An Piauw-kiok!”

“Nama besar dari Yuan-heng sudah lama aku orang she Wie

kagumi, selamat bertemu! selamat bertemu! ” ujarnya sambil

merangkap tangannya menjura.

Dengan gugup Yuan Siauw Ko pun membalas hormat itu.

“Kunjungan yang mendadak harap Wie Poocu suka jangan

marah.”

“Mana . . . mana . . mari masuk ke dalam untuk minum teh”.

Sambil berkata dia menyingkir ke samping mempersilahkan

tamunya untuk masuk ke dalam.

Mereka bertiga segera mengambil tempat di ruangan tengah

Benteng dan duduk menurut urutan.

Ti Then lantas menghidangkan air the, setelah masing2 pihak

berbicara beberapa kata kesopanan terdengarlah dengan wajah

serius Wie Cl To berbicara:

“Mengenai peristiwa lenyapnya barang kawalan sewaktu Ti Then

bekerja di dalam Piauw-kiok Yuan-heng, aku orang she-Wie baru

tahu pada kurang lebih sebulan yang lalu, karena urusan ini bocah

ini makan tidak enak tidur tidak tenang. Tetapi aku orang she-Wie

sudah berjanji setelah perkawinan mereka aku akan mengerahkan

ssluruh pendekar pedang yang ada untuk menyelidiki jejak dari si

Hong Liuw Kiam Khek ini, aku tidak percaya dia bisa lenyap”.

“Bilamana Wie Poocu suka turun tangan memberi bantuan sudah

tentu Loohu merasa sangat berterima kasih sekali” ujar Yuan Siauw

Ko sambil tertawa. “Tetapi sejak semula Loohu sudah tidak pikirkan

urusan ini didalam hati, apakah lain kali berhasil menemukan

kembali barang kawalan yang lenyap itu soal tersebut sudah tidak

terlalu penting lagi.”

“Apa maksud dari psrkataan Yuan-heng itu?”

“Loohu sudah mengganti lenyapnya barang itu dengan si pemilik

barang, sedang terhadap mereka pun tidak ada tanggung jawab lagi

maka itu dapatkah kita menemukan kembali barang itu loohu rasa

bukanlah satu urusan yang penting.”

“Yuan-heng sangat lapang dada menganggap harta seperti

kotoran, sungguh membuat Loohu merasa amat kagum, tetapi di

pihak Ti Then hal ini tidak bakal menenangkan hatinya, karena dia

sudah mencelakai seluruh keluarga Yuan-heng.”

“Usia Loohu sudah lanjut, terhadap pekerjaan pun sudah tidak

terlalu mementingkan, setelah berkelana selama beberapa tahun

didalam Bu-lim, loohu merasa sudah bosan dan ingin beristirahat

saja.”

“Tidak perduli bagaimana pun lenyapnya barang kawalan itu

harus berusaha untuk dicari kembali” ujar Wie Ci To dengan wajan

yang amat serius. “Hal ini bukan saja demi Yuan-heng tetapi demi Ti

Then pula. Sejak dia menjabat sebagai Kiauw tauw didalam benteng

aku orang she Wie jarang sekali melihat wajahnya menampakkan

kegembiraan, selalu saja dia merasa amat murung, kini dia sudah

menjadi menantu dari aku orang she Wie, maka aku orang

seharusnya memberi satu kebahagiaan kepada mereka.

Mendengar psrkataan tersebut saking terharunya tidak kuasa lagi

Ti Then mengucurkan air matanya,

Dia benar2 merasa terharu, luka dihatinya pun terungkap

kembali.

Dengan sedihnya Yuan Siauw Ko menghela napas panjang.

“Sudah tentu Loohu sendiri pun sangat mengharapkan barang

kawalan yang sudah lenyap itu bisa dicari kembali, bilamana Wie

Poocu bisa bantu mencarinya kembali maka Loohu bersedia untuk

menyumbangkan separohnya untuk menolong kaum miskin”

“Lao-heng serta putrimu apa tidak ikut datang ?” tiba-tiba Ti

Then menyambung dari samping.

“Setelah pertemuan kita dulu, sebulan kemudian Loohu sudah

menikahkan Lao Ie dengan putriku, kini mereka tinggal di rumah”

“Apakah mereka sudah tidak ikut loocianpwee menjual silat ?”

“Benar! ” Sahut Yuan Siauw Ko sambil mengangguk. “Alasannya

ada dua, pertama; sekaraag Lan-jie sudah mengandung sehingga

tidak leluasa baginya untuk berluntang-lantung didalam dunia

kangouw. Kedua: Lao Ie sekarang sudah menjadi Piauw-su dari

Liong Hauw Piauw-kiok, penghidupan mereka pada saat ini lumayan

juga”

“Lalu kau sendiri?” tanya Ti Then dengan rasa kuatir.

“Menganggur, heeeei …. di kota Han Yang Loohu buka sebuah

perguruan silat dan menerima murid, idep2 mencari tambahan

sesuap nasi!”

“Bilamana bisa mencari satu tempat untuk tinggal memang jauh

lebih baik dari pada harus berkelana terus didalam Bu-lim …” seru Ti

Then dengan rada lega.

“Kapan kau akan menikah dengan nona Wie ?” tanya Yuan Siauw

Ko kemudian.

“Masih ada enam belas hari lagi”.

“Apakah Yuan-heng suka menetap selama beberapa hari disini ?”

sambung Wie Ci To kemudian.

“Baiklah, Loohu sengaja datang kemari untuk memberi selamat

sudah tentu baru pulang setelah perkawinan mereka selesai,

asalkan tidak mengganggu ketenangan didalam Benteng, loohu

tentu akan tinggal disini”.

“Aaaah . . . buat apa Yuan-heng membicarakan perkataan

tersebut ? Tempo hari aku orang she Wie pun pernah

membicarakan soal Yuan-heng dengan diri Ti Then, cuma karena

tidak mengetahui dimanakah Yuan-heng berada maka sulit untuk

mengirim undangannya keluar, kini Yuan-heng sudah datang, sudah

tentu hal ini amat bagus sekali”

Sedang mereka bercakap-cakap terlihatlah ciangbunjien dari Kun

Lun Pay Kiem Cong Loojien ber-sama2 dengan ciangbunjien dari

Tiang Pek Pay, Mong Yong Sian Kauw sudah berjalan masuk ke

dalam ruangan.

Dengan cepat Wie Ci To memperkenalkan mereka berdua dengan

Yuan Siauw Ko setelah itu baru ber-sama2 mengambil tempat

duduk, karena semuanya adalah orang2 dari kalangan dunia

kangouw maka apa yang dibicarakan pun tidak akan lebih dari

persoalan tersebut.

Malam itu Wie Ci To mengadakan perjamuan untuk menjamu diri

Yuan Siauw Ko, orang yang ada didalam perjamuan itu, Kiem Cong

Loojien. Mong Yong Sian Kauw, mereka dengan amat gembiranya

bersantap dan minum arak sehingga tengah malam baru bubaran.

Setelah itu Ti Then menghantar sendiri Yuan Siauw Ko ke dalam

kamarnya untuk beristirahat.

“Malam sudah larut, kau pun kembalilah ke kamar untuk

beristirahat, ada perkataan kita bicarakan lagi besok pagi”. katanya

kemudian.

Ti Then ssgera menyahut dan mengundurkan diri dari ruangan

tersebut.

Pada saat dia mengundurkan diri kedalam kamarnya itulah

langkahnya amat perlahan sekali, beberapa kali dia kepingin

berhenti dan berbicara sepuasya dengan Yuan Siauw Ko.

Dia ingin memberitahukan rahasia dirinya kepadanya, dia akan

menceritakan bagaimana dia diperalat oleh majikan patung emas.

Rasa hormatnya terhadap si Kiam Kong So Yuan Sauw Ko ini

tidak berada dibawah Wie Ci To, karena Yuan Siauw Ko adalah

merupakan seorang jagoan Bu lim yang paling disayang olehnya, dia

pernah mengangkat dirinya, memberi petunjuk kepadanya bahkan

menyayangi dirinya.

Sesuatu kehilangan barang kawalan tempo hari pun bukan saja

dia tidak memaki dirinya bahkan terus menerus menghibur dirinya.

Karena itu di dalam hatinya Yuan Siauw Ko adalah seorang ayah

yang pstut dihctmati dan disayangi, sekarang dirinya menemui

urusan yang menyulitkan dia ingin mengutarakan seluruh kesulitan

itu kepadanya.

Tetapi berbagai ingatan kembali berkelebat memenuhi seluruh

benaknya, akhirnya dengan paksakan diri dia membatalkan maksud

hatinya itu dan berjalan kembali ke kamarnya.

Karena dia sudah memikirkan akan satu hal dia merasa kuatir

bilamana hal ini sampai diketahui oleh majikan patung emas atau

mata2 yang dikirim olehnya untuk mengawasi dan

memperdengarkan apa yang dikatakaa olehnya Yuan Siauw Ko

bakal menemui kematian yang mengerikan sekali,

Hal ini boleh dikata ada kemungkinan bisa terjadi, majikan

patung emas tidak akan membiarkan orang ketiga untuk ikut

mengetahui rencana busuknya ini, sewaktu dia mengetahui kalau

Yuan Siauw Ko pun mengetahui akan rahasianya ini maka dia bisa

turun tangan membinasakan dirinya.

Maka itu setelah berpikir pulang pergi akhirnya dia paksakan diri

untuk bersabar.

Sekembalinya kedalam kamar dia lantas mencuci muka,

membuka pakaian dan tidur.

Malam itu kembali Majikan patung emas munculkan dirinya.

Dengan diam2 dia menurunkan patung emasnya kebawah lalu

menggerakkan patung tersebut untuk membangunkan Ti Then.

“Ti Then, kau bangunlah!” tegurnya.

Dengan cepat Ti Then membuka matanya kembali.

“Ada urusan apa?”

“Aku man membicarakan soal Kiam Kong Su Yuan Siauw Ko

dengan dirimu”.

“Kenapa ?” tanya Ti Then tawar.

“Aku ingin mengetahui hubunganmu dengan si tangan baja Yuan

Siauw Ko itu?”

“Tidak perduli aku mempunyai sangkut paut apa dengan dirinya

hal ini tiada hubungannya dengan dirimu”.

“Sekarang kau masih merupakan patung emasku ” bentak

majikan patung emas dengan gusar. “Sekalipun aku suruh kau

mengorek keluar hatimu kaupun harus melaksanakannya.”

“Baik, aku akan mengorek hatiku baru kau lihat2”.

Sehabis berkata dari dalam sakunya dia mencabut keluar sebilah

pisau belati.

Agaknya majikan patung emas merasa amat terkejut sekali

melihat kejadian itu.

“Tidak, aku tidak akan taruhan dengan dirimu” serunya dengan

terburu-buru, “Aku tidak menyuruh kau untuk mengorek keluar

hatimu”.

“Hmmm! aku sih mengharapkan sekali kau benar2

memerintahkan aku untuk mengorek keluar hatiku, dengan

demikian semua kesulitanku bisa musnah” seru Ti Then sambil

tertawa pahit.

Nada suara dari majikan patung emas seketika itu juga berubah

jauh lebih lunak lagi.

“Aku cuma ingin mengetahui hubungan diantara kalian, apakah

soal inipun tidak boleh dikatakan?”

“Sewaktu ada di gua Hu Lu Tong di gunung Ccen san kau pernah

berjanji tak akan mendesak aku untuk membuka rahasia”.

Majikan patung emas termenung sebentar, akhirnya dia

menyahut.

“Baiklah, kau tidak usah mengatakan pun tidak mengapa,

padahal aku cuma ingin membantu kau..”

“Bagaimana kau bisa tahu kalau aku mempunyai kesulitan yang

membutuhkan bantuan dari orang lain ?” desak Ti Then dengan

sedikit tergerak.

“Aku bisa melihatnya.”

“Kemunculanmu malam ini apakah sengaja hendak

menyampaikan maksud baikmu itu?”

“Di samping itu aku mau mengatakan satu hal kepadamu aku

merasa bahkan hubunganmu dengam Yuan Siauw Ko agaknya amat

rapat sekali, tetapi bagaimanapan hubungan diantara kalian berdua

aku melarang kau untuk menceritakan urusan di antara kita ini

kepadanya.

“Bilamana aku memberitahukan rahasia ini kepadanya kau punya

maksud untuk berbuat apa?”

“Aku bermaksud untuk berbuat apa tentunya kau bisa

menebaknya sendiri bukan?” seru majikan patung emas dengan

dingin.

“Bilamana secara diam2 aku memberitahu kepadanya ?” tanya Ti

Then dengan nada mencoba.

“Soal itu tidak akan mengelabuhi diriku ” jawab majikan patung

emas sambil tertawa dingin.

“Benar ” kata Ti Then sambil mengangguk. “Ada seseorang yang

bersembunyi di dalam benteng dan setiap waktu setiap saat

mengawasi setiap gerak gerikku secara diam2 …”

“Hmm! kalau kau sudah tahu itulah sangat bagus sekali”

“Kau ingin menakut nakuti diriku ?”

“Bukannya menakuti dirimu ” sahut majikan patung emas

sepatah demi sepatah. “Aku benar2 bisa berbuat demikian, setiap

kali aku melihat kau hendak membocorkan rahasiaku maka aku bisa

perintah dia untuk membunuh mati orang itu”.

“Kau berlegalah hati. bilamana aku bermaksud hendak

memberitahukan urusan ini kepadanya maka sewaktu tadi aku

membawa dia kedalam kamar aku bisa memberitahukan hal ini

kepadanya, aku tidak akan menanti sampai sekarang”.

“Aku sangat tidak ingin membunuh mati sahabatmu yang paling

intim maka itu aku memberi peringatan kepadamu, lebih baik kau

sedikit berhati-hati”.

“Terima kasih atas peringatanmu, aku bisa meng-ingat? urusan

dihati”.

Nada suara dari majikan patung emas kembali berubah jadi amat

halus.

“Apakah kau sudah mengambil keputusan untuk tidak

memberitahukan kepadaku apakah hubungannya antara dirimu

dengan dia orang?”.

“Hubunganku dengan dirinya Wie Ci To ayah beranak pun sudah

tahu, maka aku bermaksud hendak menceritakan rahasia ini

kepadamu”.

Segera dia menceritakan kisahnya pada dua tahun yang lalu

sewaktu dia menjadi Piauw-su diperusahaan Yong An Piauw-kiok

lalu bagaimana sewaktu melindungi suatu barang sudah kena

dicegat oleh si “Hong Liuw Kiam Khek” Ih Ping Siauw lalu

bagaimana ia dikalahkan dan seterusnya.

Selesai mendengar kisahnya itu majikan patung emas lantas

tertawa.

“Tidak aneh kalau kau ingin mencari si kakek pemalas Kay Kong

Beng untuk mengangkatnya sebagai guru, haaa . , haaa . . kiranya

kau ingin belajar ilmu silat kemudian mencari Ih Ping Siauw untuk

membalas dendam”.

“Sekarang kau sudah tahu rahasia hatiku, tolong tanya

bagaimana kau ingin membantu aku untuk menyelesaikan urusan

ini?”

Majikan patung emas termenung sebentar, akhirnya dia

menjawab:

“Walaupun didalam urusan ini aku bermaksud untuk membantu

dirimu tetapi tidak akan aku lakukan secepat mungkin, unsan itu

bisa aku kerjakan setelah tujuanku tercapai sukses”

“Menanti setelah tujuanmu tercapai aku bisa pergi mencarinya

sendiri, buat apa membutuhkan bantuanmu lagi?”

“Kau seorang diri mau pergi mencari kemana ? bila ada aku yang

memberi bantuan . . .”

“Semoga saja kau tidak tertarik oleh karena intan permata

tersebut ” potong Ti Then dengan cepat.

“Itulah pikiran dari seorang manusia rendah ” Seru majikan

patung emas dengan nada tidak senang. “Walaupun intan permata

itu nilainya ada diatas ratusan laksa tahii tetapi aku tidak akan

memandangnya barang sebelah matapun”

Ti Then termenung tidak menjawab. Majikan patung emas segrra

menarik kembali patung emasnya keatas.

“Ingat !” ujarnya lagi. “Bilamana kau tidak ingin melihat Yuan

Siauw Ko mati dengan sangat mengerikan maka urusanku janganlah

kau bocorkan kepadanya.”

XXX

Hanya didalam sekejap saja enam hari sudah berlalu.

Jarak dengan hari perkawinanpun tinggal sepuluh hari saja ! Hari

itu mcndekati lohor sipendekar pedang penembas ulu hati Shia Pek

Tha sudah kembali kedalam Benteng.

Setelah menemui Poocu Wie Ci To, sewaktu didengarnya Ti Then

lagi main catur dengan Kiem Cong Loojien di kebun dia lantas

berjalan menuju kesana.

XxxdwxxX

TI THEN yang lagi bermain catur di dalam gardu kebun, sewaktu

dilihatnya Shia Pek Tha berjalan mendekat, semangatnya mendadak

berkobar.

“Shia heng kau sudah kembali?” tanyanya.

“Benar, baru saja pulang ”

Ti Then yang melihat adanya Kiem Cong Loojien disana merasa

tidak leluasa untuk menanyakan jejak dari Phoa Loo Tek di

hadapannya, segera sambil manuding kearah bangku batu dia

berseru:

“Shia-heng, silahkan duduk disini.”

Shia Pek Tha segera memberi normat kepada Kiem Cong Loojien

setelah itu baru duduk disampingnya.

“Bagaimana kesudahan dari permainan semula?” tanyanya

sembari memperhatikan permainan catur itu.

“Seri . . . sudah main dua kali, satu menang satu kalah, sekarang

adalah permainan yang ketiga”.

“Agaknya didalam permainan kali ini ciangbunjien sudah ada

diatas angin”.

Kiem Cong Loojien segera terlawa ter-bahak2.

“Has …. haa kentutnya yang ada di atas angin! pada permainan

yang semula pun loolap selalu memimpin didepan tetapi setelah

sampai pada akhirnya selalu saja menemui kegagalan, permainan

catur dari Ti Kiauw-tauw ini sangat aneh sekali !”.

Mendadak Ti Then menggerakkan biji caturnya.

“Biji catur ini harus dihidupkan” serunya keras.

Dengan rasa tegang Kiem Cong Loojien segera memperhatikan

biji catur dari Ti Then tersebut setelah itu berpikir sebentar akhirnya

dengan wajah yang amat girang tanyanya:

“Kau sudah pasti ?”.

“Pasti!” jawab Ti Then mengangguk.

“Kau tidak boleh mengulangi kembali biji caturmu lho!”

“Ciangbunjin kapan melihat aku ber main curang?”

“Bagus sekali, permainan caturmu kali ini sudah mati !” sahutnya.

Sambii berkata dia menjalankan sebuah biji caturnya.

Melihat akan hal itu Ti Then segera menjerit keras:

“Aduh . . . celaka ! celaka! kiranya mataku sudah buta.”

“Haa ,. . sekarang kau sudah kalah aku lihat . . ”

Ti Then segera membubarkan biji2 catur tersebut.

“Boanpwee mengaku kalah!” serunya sambil tertawa pahit.

Agaknya Kiem Cong Loojien merasa amat bangga sekali.

“Bagaimana?” Ujarnya sambii tertawa “Permainan catur dari

Loolap tidak jelek bukan?”

“Benar, tidak disangka permainan catur dari ciangbunjien sangat

lihay sekali sungguh mengagumkan!”

Berbicara sampai disini dia lantas bangkit berdiri.

“Tetapi boanpwee masih tidak mau mengaku kalah, besok pagi

kita teruskan lagi dengan dua kali permainan !”.

“Selalu menanti petunjuk darimu” jawab Kiem Cong Loojien

sambil tertawa.

Dia lantas membereskan catur itu lalu bertiga berjalan keluar dari

kebun.

Ti Then serta Shia Pek Tha mengawani Kiem Cong Loojien

kembali kedalam kamarnya terlebih dulu setelah itu baru kembaii

lagi kedalam kebun,

Ti Then yang melihat ditempat itu tidak kelihatan ada orang lain

segera tanyanya dengan suara perlahan:

“Bagaimaaa ?”

“Dugaan dari Ti Kiauw-tauw sedikitpun tidak salah, Phoa Loo Tek

benar-benar sangat mencurigakan sekali” sahut Shia Pek Tha

dengan air muka yang berubah amat keren.

Mendengar perkataan tersebut Ti Then hanya merasakan hatinya

berdebar amat keras, tanyanya dengan cemas:

“Apa yang dikatakan oleh orang tuanya?”

“Dia sama sekali tidak pulang kerumah, orang tuanya bilang Loo

Tek sudah ada setahun lamanya tidak pernah puiang!”.

“Jika demikian adanya, didalam hal ini tentu ada suatu persoalan

yang mencurigakan”.

“Dia keluar benteng dengan alasan hendak pulang menemui

orang tuanya tetapi dia tidak kembali hal ini jelas sekali

menunjukkan kalau ditempat luaran dia sudah melakukan suatu

pekerjaan yang tidak genah, urusan ini harus cepat2 dilaporkan

kepada Poocu” ujar Shia Pek Tha dengan wajah ssrius.

“Tidak bisa jadi!” bantah Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

“Kenapa?”

“Apa yang sudah dilakukan oleh Phoa-heng selama ditempat

luaran kita sama sekali tidak tahu, apalagi hari perkawinan dari

siauw-te pun sudah dekat, lebih baik didalam waktu seperti ini

jangan mengganggu diri Poocu”,

Agaknya Shia Pek Tha merasa kalau perkataannya ini sedikitpun

tidak salah, dia lantas mengangguk.

“Kalau begitu, Ti Kiauw-tauw rasa kita harus berbuat bagaimana

baiknya?”

“Besok pagi Siauw-te akan meminjam kesempatan ini untuk

keluar dari Benteng; setelah itu Shia-heng pura2 teringat kalau

masih ada dua orang kawan yang belum kebagian undangan, maka

kirimlah dia serta Yuan Cia untuk membawa undangan itu, sudah

tentu kedua buah undangan itu harus mempunyai tujuan yang

berbeda, hingga dengan demikian Siauw-te bisa mencegatnya

ditengah jalan dan menanyainya dengan se-jelas2nya.”

“Ehm … ini memang suatu cara yang amat bagus sekali …”

“Coba Shia-heng pikirkan apakah masih ada sahabat yang belum

kebagian undangan?”

Shia Pek Tha termenung berpikir sebentar setelah itu baru

jawabnya :

“Diatas gunung Cing Shia masih ada seorang To Pit Toojien yang

ada perkenalan satu kali jumpa, karena sifatnya yang suka

menyendiri dan tidak akur untuk berkumpul dengan orang maka

undangan itu tidak dikirim buatnya, tetapi bilamana membagikan

undangan ini kepadanya pun boleh juga …”

“Kalau begitu kirimlah dia pergi!”

“Di kota Tiong Lam didaerah Siok Tiong ada seorang hartawan

Cau yang boleh juga dibcri undangkn tetapi kenapa kau ingin

menggunakan cara ini”

“Bilamana di dalam waktu yang bersamaan Shia-heng mengirim

mereka berdua untuk kirim undangan maka dia orang baru tidak

menaruh rasa curiga.”

“Baiklah Besok pagi Cayhe akan kirim dia menuju ke gunuug Cing

Shia, sedang mengirim Yuan Cia ke kota Ticng Lam.. Bilamana Ti

Kiauw tauw ingin menanyakan dirinya maka kau boleh mencegatnya

ditengah jalan, biiamana alasan yang dikatakan amat masuk diakal

maka lepaskan dia pergi tetapi jikalau alasannya terlalu dibuat-buat

maka segeralah membawa dia pulang untuk dihadapkan kepada

Poo-cu!”

Setelah mengadakan perundingan beberapa saat lamanya

mereka berdua baru berjalan keluar dari kebun itu dan kembali ke

dalam kamarnya masing2.

Sekembalinya didalam kamar Ti Tthen segera naik keatas

pembaringannya untuk beristirahat, dengan amat tenang dia mulai

memikirkan satu peristiwa yang sulit dan berada diluar dugannya.

Hal itu adalah: Sewaktu besok pagi dia mencegat diri Phoa Loo

Tek ditengah perjalanan dan akhirnya membuktikan kalau dia

benar2 anak buah dari majikan patung emas, setelah itu dia harus

mengambil tindakan apa untuk memberi hukuman kepadanya ?

Sudab tentu dirinya harus memaksa dia untuk mengakui siapakah

nama serta asal usul dari majikan patung emas, setelah itu

memaksa dirinya pula untuk mengaku siasat apa yang sudah

disusun olehnya, tetapi tidak perduli dia mengatakan apa pun

akhirnya dia harus mengambil suatu tindakan terhadap dirinya.

Bunuh matia dia orang?

Tentu Tidak!

Bilamana membisakan dirinya dia bisa mengelabuhi diri majikan

patung emas, tetapi bagaimana dia harus bertanggung-jawab

terhadap Wie Cito serta Shia Pek Tha?

Lepaskan dia pergi?

Hal ini semakin tidak mungkin lagi.

Bilamana majikan patung emas mengetahui kalau dia berhasil

menawan “Anak buahnya”nya, mana mungkin dia mau berpeluk

tangan.

Persoalan ini terus menerus berkelebat di hatinya, akhirnya

saking tidak kuatnya Ti Then mengambil keputusan untuk

menentukan sikapnya setelah situasi berada dihadapan mata.

xxxx

Hari kedua, dia minta ijin kepada Wie Ci To dengan alasan

hendak mencari angin di luar benteng, dengan menunggang

kudanya dia lantas meninggalkan benteng Pek Kiam Poo.

Didalam perjalanannya menuju ke kota Go-bie, dia sama sekali

tidak berhenti, setelah melewati kota sebelah utara dia melanjutkan

kembali perjalanannya sejauh beberapa li dan sampailah di suatu

tempat pegunungan yang amat sunyi dengan disampingnya tumbuh

lebat pepohonan yang besar.

Setelah turun dari kudanya dan mengikat tunggangannya baik2,

dengan amat tenangnya Ti Then duduk disamping hutan untuk

menunggu.

Jalan raya ini adalah satu jalan yang harus dilalui bilamana

hendak menuju ke gunung Ching Shia, di dalam hati dia

memastikan kaiau Phoa Loo Tek pasti akan melewati tempat ini.

Kurang lebih setelah menunggu satu jam lamanya, akhirnya

terdengarlah olehnya suara derapan kuda yang amat ramai

bergema mendatang.

Dengan gesitnya Ti Then meloncat bangun dan berdiri di

samping hutan, ketika menengok kearah sebelah depan terlihatlah

dari arah kota Go-bie berlarilah mendatang seekor kuda dengan

amat cepatnya.

Dalam hati dia lantas menduga kalau orang itu pastilah Phoa Loo

Tek adanya, karena itu sengaja dia duduk disamping jalan pura2

lagi beristirahat

Hanya didalam sekejap saja kuda itu sudah berada dekat dengan

dirinya.

Tetapi ketika dia dapat melihat si penunggang kuda itu, seketika

itu juga dia orang dibuat tertegun.

Kiranya orang yang ada di atas kuda itu bukan Phoa Loo Tek,

melainkan seorang pendekar pedang merah yang lain dari benteng

Pek Kiam Poo.

Pendekar pedang merah itu bernama Tong Ceng Boe dan

merupakan salah seorang pendekar pedang merah yang pernah

menerima petunjuk ilmu silat dari diri Ti Then.

Bukankah terang2an orang yang di kirim untuk membagi

undangan itu adalah Phoa Loo Tek, bagaimana secara tiba2 orang

bisa berganti dengan Tong Ceng Boe?

Untuk beberapa saat lamanya Ti Then dibuat kebingungan.

Tong Ceng Boe yang melihat Ti Then ada di samping jalan, air

mukanya pun kelihatan sedikit berubah, dengan gugup dia lantas

menahan tali les kudanya dan meloncat turun ke atas tanah.

-oo0dw0oo-

Jilid 37 : Pengakuan Ti Then kepada Yuan Siauw Ko

“Ti Kiauwtauw, kau ada urusan apa datang kemari ?” tanyanya

sambil merangkap tangannya memberi hormat.

“Aku keluar lagi cari angin” sahut Ti Then sambil bangkit berdiri.

“Baru saja beristirahat ditempat ini, Tong-heng hendak pergi

kemana ?”.

“Cayhe mendapat perintah dari Shia Toako untuk kirim satu

undangan ke gunung Cing Shia”

‘Bukankah undangan sudah habis dibagi?”

‘Benar ! cuma secara tiba2 Shia Toa-ko sudah teringat dua orang

yang belum mendapat undangan, karenanya lantas perintah cayhe

serta Yuan Cia untuk mengirimnya.”

“Mau diberikan buat siapa undangan itu?” tanya Ti Then lagi.

“To Pit Toojien !”

“Lalu bagaimana bisa kirim kau orang?”

“Sebetulnya Shia Toa-ko memerintahkan Phoa Loo Tek yang

kirim surat undangan ini, siapa tahu mendadak Phoa Loo Tek sakit

perut sehingga terpaksa harus diganti cayhe !”

Saat itulah Ti Then baru paham kembali sebab2nya, tidak terasa

lagi diam2 lantas berpikir:

“Hmm! bajingan itu sungguh licik sekali, apakah dia sudah

mengetahui siasatku ini sehingga sengaja ber-pura2 sakit perut?”

Setelah berpikir sampai disitu tidak terasa lagi dia lantas

bertanya: ”Bagaimana mendadak perutnya bisa sakit?”

“Siapa yang tahu” ujar Tong Ceng Boe sambil tertawa.

“Ada kemuagkinan sudah salah makan “

Dengan perlahan Ti Then mengangguk.

“Baiklah kau boleh pergi !” ujarnya kemudian.

Tong Ceng Boe lantas merangkap tangannya memberi hormat,

naik keatas kuda tunggangannya dan berlalu dari situ.

Ti Then sendiripun sambil menuntun keluar kuda Ang Shan Kheknya

bsrangkat kembali kedalam Benteng.

Perubahan yang terjadi secara tiba2 ini benar2 berada diluar

dugaannya, tetapi dia memahami mengapa Shia Pek Tha ganti

mengirim Tong Ceng Boe untuk kirim surat undangan itu, bilamana

dia sendiri yang menghadapi peristiwa ini diapun akan berbuat

demikian, yang penting jangan sampai karena sakitnya perut Phoa

Loo Tek surat undangan itu tidak jadi dikirim sehingga menimbulkan

kecurigaan dari Phoa Loo Tek.

Pcrsoalannya sekarang, kenapa Phoa Loo Tek pura2 sakit perut?

apa dia sudah menduga kalau dirinya bisa menunggu dia ditengah

jalan dan hendak membongkar rahasianya sehingga tidak berani

kwluar? atau mungkin sebabnya dia sakit perut karena hanya ingin

menghindari tugas yang diberikan?

Bilamana soal ini termasuk hal yang di belakang hal itu masih

tidak mengapa, tetapi bilamana termasuk yang ada didepan maka

urusan ini rada tidak beres.

Bilamana dia tidak membongkar urusan ini sampai terang, dia

pasti akan laporkan urusan ini kepada majikan patung emas,

dengan demikian , . .

Berpikir sampai disini Ti Then segera merasakan hatinya gelisah

dia mempercepat larinya kuda untuk cepat2 tiba di-dalam Benteng

Pek Kiam Poo.

Satu jam kemudian dia sudah tiba kembali di Benteng Pek Kiam

Poo.

Sewaktu dilihatnya didepan Benteng masih kelihatan adanya

pendekar pedang hitam yang lagi ber-jaga2, hatinya merasa rada

lega, dia tahu didalam Benteng tidak terjadi urusan,

Dengan psrlahan dia orang mengambil keluar sapu tangaanya

dan mulai menyeka kering keringat yang mengucur keluar setelah

itu baru menjalankan kudanya masuk ke dalam Benteng, dia tidak

ingin semua orang melihat kalau dia kedalam Benteng dalam

keadaan terburu-buru.

Kuda Ang Shan Khek-nya dimasukkan dulu kedalam istal setelah

itu dia baru pargi menjenguk Wie Ci To dalam kamarnya.

Waktu itulah dia melihat Shia Pek Tha berjalan menuju

kearahnya, dia lantas berdiri tidak bergerak,

“Shia-heng !” ujarnya sambil tertawa. “Sudah lama kuda Ang

Shan Khek itu melakukan perjalan jauh, ini hari Siauw-te

membawanya jalan2 larinya sungguh bersemangat sekali!”

Shia Pek Tha tertawa dan maju lebih dekat lagi dengan Ti Then,

setelah dirasanya disekeliling tempat itu tidak ada orang dia baru

berbisik :

“Ti Kiauw-tauw kau sudah bertemu muka dengan Tong Ceng Boe

?”.

Dengan perlahan Ti Then mengangguk.

“Hmmm! Bangsat cilik itu sungguh licik sekali” Dengus Shia Pek

Tha dengan sengit. “Sewaktu aku kirim dia ber-sama2 Yuan Cia

untuk kirim undangan dia menyahut dengan senang hati, tetapi

sewaktu kembali ke dalam kamar untuk mangadakan persiapan

mendadak dia berjongkok diatas tanah dan teriak2 katanya sakit

perut, oleh karena pada waktu itu banyak saudara-saudara yang

ada disana aku tidak punya akal lain kecuali memerintahkan Tong

Ceng Boe untuk menggantikannya. Hmm… ! Aku lihat sakitnya perut

tentu pura-pura belaka”.

“Tidak salah, memang pura2 belaka!”

“Tetapi dia sama sekali tidak tahu Ti Kiauw-ta«w lagi menanti

dirinya ditengah jalan, kenapa dia harus pura2 sakit perut ?”.

“Soal ini Siauw-te sendiripun tidak paham” seru Ti Then sambil

gelengkan kepalanya.

“Apa mungkin dia mempunyai berbagai macam alasan yang

mengharuskan dia untuk tetap tinggal didalam Benteng ?”.

Sekali lagi Ti Then gelengkan kepalanya.

“Dia sekarang ada diraana ?” tanyanya kemudian.

“Sekarang dia lagi berbaring didalam kamarnya.”

“Apakah Shia-heng melaporkan urusan ini kepada Poocu ?”.

“Benar!” sahut Shia Pek Tha mengangguk. “Cuma aku tidak

melaporkan kecurigaan dari Ti Kiauw-tauw ini, aku cuma bilang

secara mendadak sudah teringat kalau To Pit Toojien serta

hartawan Cau belum mendapat undangan maka sengaja kirim Phoa

serta Yuan dua orang untuk menyampaikannya, siapa tahu tiba2

Phoa Loo Tek sakit perut lalu ganti mengirim Tong Ceng Boe untuk

melaksanakan tugas ini!”.

Diam2 Ti Then menghembuskan napas lega.

“Bagus . . bagus sekali !” serunya dengan girang. “Untuk

sementara waktu kita jangan laporkan dulu urusan ini kepada

Poocu”,

“Tetapi kita harus memikirkan yang buruk2 bilamana secara

diam2 bangsat cilik itu mengadakan hubungannya dengan orang

luar dan bersiap-siap hendak berbuat suatu urusan yang tidak

menguntungkan benteng kami bukankah urusan akan jadi semakin

berat? Karena menurut cayhe lebih baik kita laporkan saja kepada

Wie Poocu.”

“Tidak!” Potong Ti Then dengan cepat, “Urusan ini jangan sekalikali

dilaporkan dulu kepada Poocu!”

“Kenapa?” tanya Shia Pek Tha tidak paham.

“Seperti perkataan yang terdahulu, hari perkawinan siauw-te

sudah hampir tiba sehingga kita menimbulkan banyak urusan

sehingga membuat poocu jadi tidak senang hati apalagi bilamana

kejelekan rumah tangga sendiri sampai tersiar di tempat luarpun

tidak ada baiknya kini Ciangbunjin dari Kun-lun pay serta Tiang-pek

pay juga Yuan Loocianpwee masih ada di dalam Benteng, bilamana

sampai terjadi sesuatu bukankah hanya mendatangkan tertawaan

dari orang2 Bu-lim saja? Maka itu menurut pendapat siauw-te lebih

baik untuk sementara waktu kita jangan bergerak dulu tapi secara

diam2 memperhatikan terus seluruh gerak-geriknya, menanti

setelah perkawinan siauw-te lewat dan semua tetamu pada bubaran

kita baru periksa dirinya lagi.”

Shia Pek Tha berpikir sebentar dan akhirnya mengangguk.

“Demikianpun baik juga …,” sahutnya.

“Sekarang siauw-te mau pergi menemui Poocu serta Yuan

locianpwee sekalian, kita berbicara kembali dikemudian hari.”

Dia lantas berjalan masuk kekamar baca Wie Ci To.

Waktu itu Wie Ci To serta Kiem Cong Loojien lagi main catur,

sedang si tangan sakti Yuan Siauw Ko lagi duduk disamping

menonton jalannya pertempuran tersebut, dia lantas maju kedepan

dan memberi hormat kepada mereka semua.

Kiem Cong Loojien memandang sekejap kearahnya, lalu tanyanya

sambil tertawa:

“Ti Kiauw-tauw, pagi ini kau sudah pergi kemana ?”

“Achh . . . naik kuda putar2 sebentar digunung, boanpwee

mempunyai seekor kuda jempolan yang suka bergerak sedang pada

waktu mendekat ini jarang sekali menungganginya, sewaktu

boanpwee melihat kuda itu me-ringkik2 tiada hentinya maka

sengaja membawa dia untuk lari berputar2 sebentar.”

“Ooooh…” Seru Kiem Cong Loojien setelah itu dia menundukkan

kepalanya berpikir kembali.

Biji catur yang dipegang olehnya adalah hitam dan saat ini ada

dua buah yang digencet mati oleh Wie Ci To tetapi dia tidak mau

mengaku kalah juga, dia masih dengan susah payah meronta.

“Apakah Wie Poocu juga mengalah buat dirimu”

“Mengalah tiga biji, sejak permulaan Loolap sudah menang diatas

angin, siapa tahu sedikit kurang hati2 sudah kena digencet mati dua

biji…coba kau lihat payah tidak?”

“Omong terus terang saja, dengan kekuatan permainan dari

ciangbunjien seharusnya aku orang she Wie mengalah empat biji

catur” ujar Wie Ci To tertawa.

“Lalu kau mengalah berapa biji kalau main dengan menantumu?”

“Tiga biji!”

“Bagaimana kesudahannya?” tanya Kiem Cong Loojien lagi.

“Lumayan.”‘

“Kalau bagitu bagus sekali, kemarin sewaktu loolap main catur

tiga kali dengan dia loolap berhasil menangkan dua kali kalah sekali,

dengan mengikuti patokan ini maka bilamana Wie Poocu kalah

empat biji catur buat loolap ada kemungkinan biji-biji caturmu

baka1 habis aku makan.”

“Haa …haa, tetapi dalam permainan kali ini ciangbunjien sudah

kalah

amat banyak sekali!” ujar Wie Ci To sambil tertawa ter-bahak2.

“Soal itu kan disebabkan Loolap terlalu berlaku gegabah, kalau

kau tidak percaya mari kita main satu kali lagi!”

Sehabis berkata dia lantas mengacaukan biji2 catur dan siap

untuk sekali lagi main catur dari depan.

Wie Ci To lantas tersenyum.

“Sudah hampir makan, mari kita bersantap dulu baru main lagi.”

ajaknya.

Selesai bersantap siang Kiem Cong Loojien kembali mengajak

Wie Ci To untuk main catur lagi, Wie Ci To merasa tidak enak untuk

menolak lalu kepada Yuan Siauw Ko ujarnya sambil tertawa.

“Yuan-heng, bilamana merasa menganggur bagaimana kalau

main satu dua babak dengan Ti Then?”

“Tidak! Loohu sudah lama mendengar keindahan alam dari

gunung Go bie, sore ini aku punya rencana untuk bsrpesiar kesana!”

“Kalau begitu suruh Ti Then mengawani!” seru Wie Ci To.

Setelah itu dia menoleh kearah Ti Then dan ujarnya lagi

“Ti Kiauw-tauw, kau temanilah Looianpwee untuk berpesiar!”

“Baik!” sahut Ti Then dengan hormat.

Sekembalinya kedalam kamar dia lantas berganti pakaian.

Loo Cia itu pelayan tua yang membawa air teh tampak berjalan

masuk kedalam kamar sewaktu dilihatnya pemuda itu ada dikamar

dia lantas bsrkata.

“Ti Kiauw-tauw, pagi ini nona memerintahkan Cun Lan untuk

mengundang kau pergi kesana, lalu budak tuamu jawab kau tidak

ada …”

“Ada urusan apa ?” potong Ti Then dengan cepat.

“Budakmu tidak tahu, ada kemungkinan dia merasa rindu

mungkin !”

“Omong kosong !”

“Ti Kiauw-tauw, kau pergi kemana toch tadi pagi ?” tanya Loo-cia

lagi sambil meletakkan air teh keatas meja.

“Mencari angin diatas gunung”.

Si Loo-cia lantas garuk2 kepalanya.

“Aku belum pernah mendengar orang bilang kalau seorang calon

pengantin mendadak mencari angin keatas gunung, apa mungkin

Kiauw-tauw ada urusan dihatimu ?”

“Justru karena hendak jadi pengantin pikiranku jadi kacau!”.

“Lhoo sungguh lucu, mau jadi penganten hatinya kok jadi

kacau?”

“Kau sudah pernah jadi penganten?”

“Belum!” jawab Loo-cia sambil gelengkan kepalanya.

“Kalau begitu lain kali bilamana kau punya kesempatan untuk jadi

penganten hatimu akan paham bagaimana kacaunya pikiran pada

waktu itu”.

“Ach . , . Ti Kiauw-tauw lagi guyon nih!” ujar Loo-cia sambil

tertawa malu-malu, “Dengan usia budakmu yang lanjut mana

mungkin bisa memperoleh kesempatan untuk jadi penganten”.

“Siapa yang bilang tidak boleh? sekali pun sudah berusia delapan

puluh tahun pun masih boleh jadi penganten, apalagi tahun ini kau

baru berusia tujuh puluh tahunan.”

Berbicara sampai disini pakaian yang dipakai sudah beres

sehingga dia lantas berjalan menuju keluar kamar.

“Ti Kiauw-tauw kau hendak pergi kemana lagi?” tanya Loo-cia

dengan cepat.

“Yuan Loocianpwee ingin berpesiar ke gunung Go-bie, lalu Poocu

perintah aku untuk mengawaninya”.

“Nona sana, apakah Ti Kiauw-tauw tidak pergi ?”

“Nanti saja sekembalinya dari gunung”.

Sewaktu dia tiba di kamar Yuan Siauw Ko saat itu si orang tua

sudah menanti disana. Demikianlah mereka berdua lantas bersamasama

berjalan keluar dari Benteng dan menuju ke gunung Go-bie.

Baru saja berjalan beberapa ratus langkah mendadak Ti Then

berhenti bergerak, sambil menoleh memandang jalan yang semula

dia bertanya:

“Yuan Loocianpwee, kau bermaksud untuk berpesiar kemana

dulu ?”

Maksudnya berhenti dia menoleh ke belakang sudah tentu

sedang memeriksa apakah ada crang yang menguntit atau tidak.

“Sembarang saja!” jawab Yuan Siauw Ko sambil tersenyum,

“Tempat mana yang indah kita pergi saja kesana untuk melihat-lihat

“.

“Pemandangan indah digunung Ga-bie amat banyak sekali, kalau

cuma saharian saja tidak mungkin bisa melihat hingga selesai..”

“Kalau begitu kita berpesiar saja ke tempat-tempat yang dekat,

ada kesempatan di kemudian hari kita jalan2 lagi ke tempat lain..”

“Pemandangan indah yang ada di dekat tempat ini ada Wang

Siang Thay serta Kiu Loo Tong.”

Mendadak Yuan Siauw Ko menemukan pemuda itu sedang

memperhatikan jalan raya semula. Tidak terasa hatinya rada

menaruh curiga.

“Kau lagi melihat apa?” tanyanya.

“Ach..tidak mengapa!” jawab Ti Then sambil menoleh dan

melanjutkan kembali perjalanannya ke depan.

Tetapi baru saja berjalan beberapa langkah mendadak dia

menghentikan langkahnya kembali.

Karena didalam sekejap mata itulah secara mendadak dia sudah

teringat akan satu persoalan, terpikir olehnya bilamana dia

menggunakan kesempatan ini untuk memberitahukan rahasia

tentang dirinya yang diperintahkan majikan patung emas kepada

Yuan Siauw Ko, sekali pun misalnya majikan patung emas

mengetahuinya agaknya dia orang tidak bakal berani turun tangan

membunuh Yuan Siauw Ko.

Alasannya : bilamana dia turun tangan membunuh Yuan Siauw

Ko maka Wie Ci To akan mengadakan penyelidikan dengan jelas,

dengan demikian ada kemungkinan bisa mengakibatkan perkawinan

dirinya dengan Wie Lian In mendapat gangguan, hal ini pasti bukan

satu persoalan yang diingini oleh majikan patung emas.

Atau dengan perkataan lain, hari perkawinan antara dirinya

dengan Wie Lian In sudah dekat sedang siasat yang disusun

olehnya pun sudah hampir jadi kenyataan, di saat seperti ini dia

tidak akan berani membunuh orang untuk mencari kerepotan buat

dirinya sendiri.

Ti Then yang teringat akan hal ini hatinya mulai terasa tergetar

amat keras, sehingga tanpa terasa lagi dia sudah menghentikan

tindakannya.

Yuan Siauw Ko yang melihat sikapnya amat aneh tidak terasa

dalam hati merasa semangkin tercengang.

“Eeei kau kenapa ?” tanyanya.

Ti Then menoleh kembali sekejap ke belakang, setelah dirasanya

tidak ada orang yang menguntit dia baru kirim suara dengan

menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara;

“Tadi Yuan Loocianpwee menanyai boanpwee lagi melihat apa,

sekarang akan boanpwae jawab yang sebenarnya . . . boanpwee

lagi memeriksa apakah ada orang yang menguntit atau tidak.”

Mendengar perkataan tersebut Yuan Siauw Ko jadi melengak.

Tetapi dia yang selama hidupnya bekerja sebagai seorang

Piauwsu otaknya amat tajam sekali, dia tahu Ti Then yang

menjawab pertanyaannya dengan menggunakan ilmu untuk

menyampaikan suara sudah tentu sedang menjaga jangan sampai

terjadi satu peristiwa yang tidak terduga.

Karena itu setelah melengak beberapa saat lamanya dia

melanjutkan kembali perjalanannya kedepan, sembari pura2*

menikmati keindahan alam dia menggerakkan bibirnya juga untuk

mengirim suara.

“Sebenarnya sudah terjadi urusan apa ?”

Ti Then yang mengikuti dari samping badannya sambil

bergendong tangan lantas menjawab.

“Dengan meminjam kesempatan ini hari boanpwee akan

membuka satu rahasia yang amat mengerikan sekali, setelah

Loocianpwee mendengar kisah ini lebih baik jangan sekali-kali

memperlihatkan rasa kaget atau tercengang, sikapnya harus seperti

biasa saja. Bersama pula sewaktu bercakap-cakap dengan

boanpwee diluarnya pun harus bercerita yang lain2 sehingga tidak

sampai menaruh rasa curiga dari orang yang mengawasi aku secara

diam-diam”

“Baiklah, kau boleh mulai bercerita.”

Selesai menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara dia lantas

berkata lagi dengan suara yang nyaring.

“Heeei . . . pemandangan di gunung Go-bie sungguh indah

sekali, setiap gunung setiap batu setiap tempat dan setiap kayu

mempunyai keindahan yang tersendiri.”

“Benar” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Pemandangan yang

indah digunung ini boanpwee sudah berkali-kali melihatnya, tetapi

dalam hati aku merasa tiada bosan-bosannya, setiap kali melihat

pemandangan itu hatiku serasa jadi amat tentram.”

Berbicara sampai disini dia segera berganti dengan menggunakan

ilmu untuk menyampaikan suara :

“Urusan akan boanpwee ceritakan sejak boanpwee meninggalkan

perusahaan Yong An Piauw-kiok, tentunya loocianpwee masih ingat

bukan apa yang boanpwee ucapkan sebelum meninggalkan Piauwkiok

?”

Sembari memandang keindahan alam Yuan Siauw Ko lantas

menyahut:

“Ingat, kau pernah bersumpah hendak mencari kembali barang2

yang dirampas itu dengan sekuat tenaga, sebelum berhasii tidak

akan kembali”

“Benar, sehingga boanpwee secara tiba2 saja teringat akan

sesuatu urusan, teringat akan kepandaian ilmu pedang dari Hong

Liuw Kiam Khek yang jauh lebih tinggi dari boanpwee

mengharuskan aku untuk lebih giat berlatih ilmu silat sehingga

setelah bertemu kembali dengan Ih Peng Siauw dapat mengalahkan

juga dirinya dan rebut kembali barang pusaka yang sudah dirampas

itu.”

Yuan Siauw Ko tidak segera menyahut mendadak dia menuding

kearah sebuah kuil yang ada di punggung gunung.

“Eeei itu kuil apa ?” tanyanya.

“Oooh ,, . kuil Ci Im Tan Yuan, didalamnya tiada yang bisa

dilihat, lebih baik kita menuju ke Wang Siang Thay saja,” ujar Ti

Then.

Sehabis berkata dia melanjutkan kembali parjalanannya kedepan,

disamping itu dia mengirim suara terus dengan menggunakan ilmu

untuk menyampaikan suara.

“Demikianlah akhirnya boanpwee pergi mencari seorang guru

kenamaaan untuk belajar silat, pertama-tama boanpwee pergi ke

gunung Kiem Teng san untuk mencari si kakek pemalas Kay Kong

Beng, dia adalah satu-satuna jagoan terlihay di kolong langit pada

saat ini, bilamana aku bisa diterima sebagai muridnya maka untuk

mengalahkan Ih Peng Siauw bukanlah satu persoalan yang sukar

lagi..”

Dengan amat jelasnya dia lantas menceritakan bagaimana dia

ditolak oleh si kakek pemalas Kay Kong Beng dan lain-lainnya,

akhirnya dia menambah lagi.

“Boanpwee yang melibat dia duduk tidak bergerak sama sekali

terpaksa terpaksa turun gunung, pada saat itulah mendadak

dibawah gunung diatas sebuah batu besar sudah menemui sepucuk

surat, sewaktu boanpwee mendekatinya terlihatlah diatas sampul itu

ditulikan kata2:

Baca didaiamnya, agaknya surat itu sengaja diberikan kepada

Boanpwee, karenanya boanpwee lantas mengambil dan membaca

isi suratnya tetapi pada saat itu pula dibalik batu yang menutupi

sampul surat tadi tampak ssbuah tanda telapak tangan yang

membekas ssngat dalam sekali di atas batu yang amat keras itu,

dalamnya kurang lebih ada tiga coen.”

“Hmmm.. sungguh dahsyat tenaga pukulannya” puji Yuan Siauw

Ko dengan menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara. “Apa dia

sengaja meninggalkan bekas pukulan itu untuk kau lihat ?”

“Benar, dia 1agi mempamerkan ilmu saktinya yang mengejutkan,

waktu itu boannpeee benar2 dibuat tercengang dan kaget oleh

kedahsyatannya itu karena boanpwae selamanya belum pernah

mendengar ada orang yang berhasil mempelajari ilmunya sehingga

mencapai taraf yang begitu tingginya.”

“Lalu yang ditulis didalam surat itu ?”

“Cuma ada dua puluh kata saja: Bilamana ingin belajar ilmu silat

yang mengejutkan pergilah ke puncak gunung Gouw Ong Hoog

digunung Pek Gouw San kurang lebih tiga ratus li sebelah Barat dari

tempat ini”

“Ada tanda tangannya?”

“Tidak ada.”

“Bagus, teruskan.”

Mendadak Ti Then menuding kearah depan.

“Coba lihat,” serunya. “Itulah yang dinamakan Wang Siang

Thay!”

Yuan Siauw Ko ter-buru2 angkat kepalanya.

“Ehhmm . . . . tempat itu kenapa yaa disebut sebagai Waan

Siang Thay..?”

“Boaapwee tidak tahu, tetapi menurut orang2 yang sering

berpesiar disini setiap kali mereka sampai di Wang Siang Thay

lantas teringat kembali oleh mereka akan desanya”

“Benar”

Ti Then melanjutkan kembali kata-katanya dengan menggunakan

ilmu untuk menyampaikan suara.

“Walaupun boanpwee tidak tahu maksud hati dari orang yang

mengirim surat itu tetapi dalam hati lantas mengambil keputusan

untuk melihatnya sehingga jelas, pada hari ketiga siang boanpwee

sampai juga di atas puncak Gouw Ong Hong di gunung Pek Gouw

san, tetapi disana tidak kelihatan ada seorang manusia pun, setelah

mencari setengah harian lamanya akhirnya diatas batu gunung

kembali menemui secarik kertas putih yang diatasnya tertulis katakata:

“Berjalanlah kearah Barat daya dua ratus li dibawah pohon

siong tua diatas gunung Mao Gouw san” beberapa kata , .”

“Ehmm .. . sebenarnya orang itu lagi main apa toh ?”

“Sedang mengetes apakah boanpwee punya guru atau tidak.”

“Oooh , , , kiranya begitu.”

Demikianlah dengan mengikuti petunjuknya boanpwee berangkat

menuju ke gunung Mao Gouw san dan mendapatkan pohon siong

tersebut, tetapi disanapun tidak kelihatan ada seorang manusiapun

kecuali secarik kertas yang bertuliskan, Berjalan dua ratus li ke

sebelab Selatan, didalam gua Sak Touw Tong digunung Sak Touw

San, beberapa kata.”

“Kelihatannya dia benar-benar sedang mencoba keteguhan hati

serta semangatmu untuk berguru”

“Benar, tetapi tidak sampai disitu saja, sesampainya didalam gua

Sak Tauw Tong digunung Sak Tauw san boanpwee mendapatkan

secarik kertas kembali agar boanpwee suka pergi ke puncak Cian

Hong digunung Koan Mau san dua ratus li dari tempat itu, setelah

tiba di puncak Cian Hong dia kembali memerintahkan boanpwee

untuk pergi kegua Ho Lu Tong di gunung Loo Coen san dua ratus li

jauhnya dari temoat puncak Cian Hong itu, akhirnya seluruh

perjalanan sewaktu boanpwee jumlah ada seribu li lebih.”

“Apakah dia orang ada didalam gua cupu-cupu digunung Loo

Coen san itu?” “Loocianpwe, coba kau lihat bagaimana

pemandangan dari Wang Siang Thay ini?”

“Sungguh luar biasa dari tempat kejauhan cuma kelihatan tebingtebing

gunung yang terjal, kelihatannya sungguh luar biasa sekali,

agaknya tadi kita naik dari sana bukan ?”

“Benar, itulah tebing Sian Ciang dan bawahnya adalah benteng

Pek Kiam Poo.”

“Ehmm…”

“Benar, orang itu ada didalam cupu2 di gunung Loo Coen san,

tetapi boanpwee sama sekali tidak pernah menemui orangnya

kecua1i suaranya saja hal ini dikarenakan dia bersembunyi di balik

sebuah batu diatas dinding gua dan tidak ingin bertemu muka

dengan boanpwee”

“Sebabnya ?”

“Dia tidak ingin terima boanpwee sebagai muridnya, dia cuma

ingin memberi pelajaran ilmu silat kepadaku dan syaratnya adalah

menjadi patung emasnya selama satu tahun untuk mengerjakan

seluruh pekerjaan yang diperintahkan olehnya..”

“Aahh..”

“Setelah lewat tempat ini maka kita akan tiba dikuil Thian Hong

Tan Yan. Kuil Sian Hong si yang bernama pula Kiu Lo Tong, didalam

kuil itu amat indah sekali, mari kita pergi kesana”

“Baik”

Tua muda dua orang lantas berangkat menuju ke Wan siang

Thay dengan melalui sebuah jalan usus kambing yang kecil.

Yuan Siauw Ko yang sedang mendengar kisah dari Ti Then

dengan menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara sikapnya

selalu tenang-tenang saja, tetapi setelah mendengar kalau pihak

lawan meminta Ti hen untuk menjadi patung emasnya selama

setahun pada air mukanya tidak kuasa lagi sudah menunjukkan rasa

kagetnya yang tak terhingga.

“Orang itu laki atau perempuan ?” tanyanya.

“Jika didengar dari suaranya jelas dia adalah seorang lelaki,

usianya ada diatas enam puluh tahunan”

“Apa tujuaannya memaksa kau untuk menjadi patung emasnya

?”

“Dia tidak menjawab, dia cuma minta boanpwee belajar ilmu

silat yang sakti lalu menyerahkan satu tugas buat boanpwee”

“Kau menyanggupinya?”

“Semula boanpwee menolak karena menurut maksud hatinya lain

kali bilamana dia perintahkan boanpwee untuk berbuat apa maka

aku harus melaksanakannya” , . .

“Benar, bilamana dia suruh kau bunuh orang maka kau harus

membunuhnya, urusan ini tidak boleh jadi.”

“Tetapi akhirnya boanpwee mengabulkan juga”

“Aaach . , “

“Loocianpwee coba kau lihat itulah puncak Ban Hud Cing,

jaraknya dari sini kelihatannya jelas padahal bila berjalan kaki harus

membutuhkan satu jam perjalanan.”

Agakanya saat ini Yuan Siauw Ko sudah tidak bermaksud untuk

melihat pemandangan lagi,setelab menyahut dia lantas kirim suara

lagi dengan menggunakan ilmua untuk menyampaikan suara.

“Kau sungguh amat tolol, bilamana dia perintahkan kau untuk

membunuh orang apa kaupun harus pergi membunuh orang ?”

Dengan pandangan yang sayu Ti Then memandang ke tempat

kejauhan,

“Aku berani menjamin aku tidak akan pergi membunuh orang,

sekalipun misalnya dia paksa boanpwee juga tidak akan

melakukannya.”

“Sekalipun tidak bunuh orang, diapun sama saja bisa

memerintahkan dirimu untuk melakukan pekerjaan yang merugikan

banyak orang.”

“Benar, tetapi dia pernah bilang misalnya boanpwee merasa

pekerjaan itu tidak benar maka aku boleh menggunakan cara yang

benar untuk menyelesaikan pekejaan itu misalnya saja bilamana dia

ingin seekor ayam maka boanpwee harus memberi seekor ayam

kepadanya, sedang mengenai ayam itu didapatkan dari mencuri

atau membeli dia tidak akan ikut campur.”

“Sungguh aneh sekali, akhirnya bagaimana?”

Tua muda dua orang itu sembari menggunakan ilmu

menyampaikan suara untuk bercakap-cakap merekapun bercerita

tentang keindahan alam sehingga sewaktu tiba digua Kiu Loo Tong,

Ti Then baru selesai menceritakan seluruh kisahnya.

Air muka Yuan Siauw Ko berubah jadi amat terharu, makinya

berulang kali.

“Sungguh bodoh! Sungguh bodoh! Wie Poocu adalah seorang

jagoan yang punya hati jujur dan adil, bagaimana kau boleh

melakukan pekerjaan yang sama sekali menyalahi mereka ayah

beranak?”

Ti Then bungkam tidak menjawab, dia berjalan masuk terlebih

dulu ke dalam gua Kiu Loo Tong itu.

Gua Kiu Loo Tong ini dibagi menjadi gua sebelah dalam dan gua

sebelah luar sedang luar gua itu amat lebar laksana pintu kota.

Gua sebelah luar sudah ditumbuhi rotan dengan amat rapatnya,

disebelah kiri kanannya terdapat dua buah pintu yang masingmasing

jaraknya ada beberapa kaki jauhnya, jika dipandang dari

luar gua kelihatannya amat dalam sekali sehingga tak kelihatan

dasarnya, di belakang dinding gua sebelah luar terdapat kembali

sebuah gua kecil, keadaan di sana pun gelap gulita, berpuluh-puluh

ekor burung walet terbang kian kemari dengan tiada hentinya.

Setelah menuruni tangga batu sampailah di sebuah ruang yang

tanahnya datar dan dipenuhi dengan batu-batu cadas, di paling

belakang terdapat sebuah ruangan yang diatas meja sembahyang

masih kelihatan sinar lilin berkedip-kedip, tempat itu biasanya

digunakan untuk sembahyang oleh pengunjung-pengunjung yang

datang berpesiar kesana.

Saat ini didalam gua itu tidak tampak adanya kaum pelancong

yang datang.

Ti Then dengan bungkam diri berlutut di dalam meja

sembahyangan itu, sambil melelehkan air mata diam-diam dia

bersembahyang.

Setiap manusia sesudah berada di dalam keadaan kepepet saat

itu teringat olehnya untuk minta bantuan dengan Dewa, demikian

juga dengan diri Ti Then.

Lama sekali Yuan Siauw Ko berdiam diri tidak berkata,

kemudian…

“Sekarang kau bermaksud untuk berbuat apa?” tanyanya

kemudian.

“Boanpwee sendiri juga tidak tahu bagaimana harus berbuat

sesuatu”

“Bilamana kau suka percaya atas perkataan loohu maka segera

pergilah temui Wie Poocu dan ceritakan seluruh kejadian ini

kepadanya.”

“Tidak bisa jadi!” seru Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

“Dia sudah peringatkan kepada boanpwee untuk jangan

membocorkan rahasia ini kepada orang lain, kalau tidak maka dia

akan turun tangan membunuh mati Wie Ci To ayah beranak”

“Loohu tidak percaya kalau dia bisa membunuh mati Wie Poocu”

“Tidak, dia pasti bisa melakukannya, boanpwee yang cuma

belajar ilmu silat selama setengah tahun saja sudah berhasil

memperoleh kepandaian melebihi kepandaian Wie Ci To, bilamana

dia ingin turun tangan membinasakan diri Wie Ci To hal itu adalah

satu pekerjaan yang amat gampang sekali baginya.”

“Dia sudah bersembunyi selama tujuh delapan bulan lamany di

dalam Benteng Pek Kiam Poo, adakah kau secara diam-diam tidak

berhasil mencari tahu dirinya?”

000O000

63

“BENAR, boanpwce secara diam-diam sudah memeriksa seluruh

orang yang ada didalam Benteng, tetapi selama ini tidak berhasil

juga untuk menemukan dirinya”

“Setiap kali dia bercakap cakap dengan dirimu apakah selalu saja

menurunkan patung emasnya dari atas genting ?”

“Tidak salah.”

“Lalu di samping kiri kananmu adakah orang yang mendiaminya.”

“Cuma seorang pelayan tua si Loo Cia, Cia Tiang San seorang.”

“Apa mungkin Cia Tiang San itulah si majikan patung emas?”

“Seharusnya tidak mungkin, Loocia sudah ikuti Wie Ci To selama

empat puluh tahun lamanya bahkan secara diam-diam boanpwee

sudah ada dua kali menjajal dirinya dan aku temukan walaupun

badannya amat sehat tapi tidak mengerti ilmu silat.”

“Kalau begitu cuma ada satu cara saja yang bisa digunakan

untuk mencarinya.”

“Cara apa?”

“Malam ini kau kirim tanda untuk ajak bertamu, loohu akan

secara diam-diam-diam menanti di dekat kamarmu, dengan begitu

bilamana dia muncul diatas kamarmu loohu akan segera mengenali

siapakah dia sebenarnya”

“Tapi cara ini kurang baik”

“Apa maksudmu?”

“Saat ini dia gelap aku terang, kitapun tidak tahu siapakah dia

orang, karena itu bilamana loocianpwee naik keatas atap ada

kemungkinan bisa ditemui olehnya, waktu itu keadaan buat

loocianpwee bisa sangat berbahaya , . .”

“Loohu bisa berjaga2 dengan sangat ber-hati2, bilamana

menemukan hal-hal yang tidak beres ssgera akan menyingkir, aku

percaya dia tidak akan bisa mengapa-apakan diri loohu”.

“Dia pernah berulang kali memberi tahu padaku, bilamana dia

merasa ada orang yang ikut mengetahui rahasianya itu maka dia

akan turun tangan membunuh orang itu dengan gerakan cepat,

maka itu cuma mengetahui siapakah dia orang percuma saja, kita

harus sekalian tangkap dirinya.”

“Kalau begitu diam2 biar aku laporkan urusan ini kepada Wie

Poocu agar dia suka mengadakan persiapan, sampai waktunya kita

bisa bersama-sama turun tangan mengerubut, waktu itu sekalipun

dia memiliki tiga kepala enam tangan jangan harap bisa meloloskan

diri”

“Locianpwee karena tidak mengenal ilmu silat yang dimiliki

sebenarnya ada ada seberapa tinggi sehingga bisa berpikir

demikian, padahal dia sudah berada ditingkat yang paling

sempurna, dia dapat menghancurkan kerubutan dari seluruh

anggota benteng, menurut boanpwee bilamana kita ingin menawan

dirinya hal ini tidak mungkin bisa terjadi”.

“Demikian tidak baik, begitupun tidak baik, apa kau benar2 ingin

mendengarkan perintahnya untuk kawin dengan nona Wie?”

“Inilah satu2nya jalan yang bisa melindungi Wie Ci To ayah

beranak dari gangguannya”.

“Tidak, bilamana kau kawin dengan Nona Wie maka sama saja

dengan mau mencelakai mereka ayah beranak”.

“Majikan patung emas pernah berkata, bilamana boanpwee

sudah kawin dengan nona Wie maka dia akan memberi perintah

yang kedua, maka itu boanpwee kira . . . setelah habis kawin aku

mau tahu dulu apakah perintah dari majikan patung emas yang

kedua itu, bilamana perintahnya itu sama sekali kurang ajar maka

boanpwee bermaksud hendak adu jiwa dengan dirinya”.

“Walaupun kau berbuat demikian tetapi setelah kawin dengan

dirinya bukankah nama sucinya akan ternoda ?”.

“Tetapi sekarang sama saja sudah terlambat karena undangan

sudah disebarkan”.

“Seharusnya sebelum undangan itu dibagi kau harus pergi

mengaku kepada Wie Poocu”

“Boanpwee pun punya maksud untuK berbuat demikian tetapi

baru saja tiba di depan kamar baca dari Wie Ci To maksud hatiku

sudah diketahui oleh majikan patung emas, dia mengirim suara

mengancam boanpwee bilamana berani membocorkan rahasia ini

maka dia akan segera turun tangan membinasakan Wie Ci To ayah

beranak, mendengar nada suaranya yang amat tegas aku rasa dia

bukan lagi main gertak”

“Apa kau sungguh2 senang dengan nona Wie?”

“Benar”

“Kalau memangnya begitu, seharusnya kau tidak menipu

dirinya”.

“Persoalannya sekarang justru kalau aku tidak mengerjakan

perintah dari majikan patung emas maka mereka ayah beranak

akan mati di tangan majikan patung emas”.

“Bilamana loohu adalah Wie Cji To maka loohu rela mati di

tangan majikan patung emas daripada melihat putrinya sendiri kena

kau tipu “.

Mendengar perkataan tersebut Ti Then segera merasakan

hatinya tergetar amat keras, karena dia merasa psrkataan yang

diucapkan oleh Yuan Siauw Ko ini sedikit pun tidak salah, dia tahu

Wie Ci To adalah termasuk orang yang bersifat demikian dia adalah

seorang yang membenci kejahatan seperti musuh buyutan,

selamanya tidak pernah kompromi dengan orang2 jahat karena ini

bilamana dia meceritakan rahasia ini kepada Wie Ci To maka ada

kemungkinan dia rela mati ditangan majikan patung emas daripada

putrinya ditipu, dan sudah tentu waktu itu dia tidak akan

menyalahkan dirinya.

Sebaliknya bilamana dia terus bungkam sehingga pada suatu hari

dia menemukan kalau dirinya sedang menipu mereka maka waktu

itu dia akan membenci dirinya hingga akhir jaman.

Maka itu dia merasa perkataan yang diucapkan oleh Yuan Siauw

Ko ini sedikitpun tidak salah, seharusnya dia menceritakan rahasia

ini kepada Wie Ci To.

Dengan perlhan dia lantas mengangguk.

“Baiklah, boanpwee pasti akan mengikuti petunjuk dari Yuan

loocianpwee dan menceritakan seluruh kejadian ini kepada Wie Ci

To,” katanya dengan teguh.

Mendengar perkataan itu Yuan Siauw Ko jadi teramat girang

sekali.

“Tetapi sebelum memberitahukan urusan ini kepadanya lebih

baik kau mengetahui lebih dulu siapakah majikan patung emas itu.”

“Jadi maksud Loocianpwe …”

“Sebelum mengetahui siapa majikan patung emas itu, kau

hendak secara bagaimana melaporkan hal ini kepada Wie Poocu?

Bilamana dia tidak sabaran dan segera perintahkan seluruh isi

benteng untuk menangkap majikan patung emas, ada kemungkinan

saat ini majikan patung emas segera melarikan diri.

Tetapi bilamana kau sudah tahu siapakah majikan patung emas

maka semua orang bisa melakukan tugasnya secara diam-diam

setelah itu memberi satu penyerangan serentak yang membuat

majikan patung emas jadi kelabakan, dengan begitu kita bisa

berhasil tangkap dia dengan amat mudah.”

“Loocianpwee tetap menginginkan agar boanpwee suka kirim

tanda untuk ajak dia berbicara lalu loocianpwee intip dari samping?”

“Benar!” sahut Yuan Siauw Ko mengangguk.

“Tetapi….bilamana jejak dari loocianpwee diketahui, waktu itu….”

“Kau tidak usah merasa kuatir buat loolap.” Potong Yuan Siauw

Ko dengan cepat. “Bilamana dia membinasakan loolap maka Wie Ci

To tentu akan menguntungkan gerakannya, Loolap percaya dia

tidak akan berani bertindak sembarangan”

Dia berhenti sebentar untuk kemudian sambungnya lagi.

“Apalagi dia tidak tentu bisa menemukan jejak dari loolap, kamar

loolap cuma berada pada jarak dua belas, tiga belas kaki saja

bilamana dari atas atap aku mengintip keluar dia tidak bakal bisa

mengetahui kalau loolap lagi mengawasi gerak-geriknya.”

Ti Then termenung berpikir sebentar, akhirnya dia mengangguk.

“Baiklah, tetapi lebih baik besok malam saja kita baru melakukan

pekerjaan, karena ini hariboanpwee datang berpesiar dia pasti akan

menaruh rasa curiga, bilamana boanpwee ajak dia untuk bertemu

malam ini tentu dia sudah tertipu.”

“Baiklah! kalau begitu kita putuskan besok malam baru mulai

bekerja…”

“Didalam hal ini Loocianpwee janganlah sekali-kali

memperlihatkan tanda-tanda yang mencurigakan! Sikapnya harus

seperti biasa dan pura-pura tidak pernah terjadi sesuatu urusan,

kalau tidak…”

“Kau legakanlah hatimu, di dalam hati loolap sudah punya

pegangan!” ujar Yuan Siauw Ko tertawa.

Ti Then segera merasa mereka telah lama sekali berhenti di gua

Kiu Loo Tong, karenanya dia lantas berkata;

“Di dekat tempat ini ada beberapa kuil yang bagus, mari kita

pergi keluar”.

Tua muda dua orang segera berjalan keluar dari gua Kiu Loo

Tong itu dan

Melihat-lihat di kuil yang ada di sekeliling tempat itu, sesudah

Sang surya condong kearah barat mereka baru balik ke dalam

Benteng.

Sekembalinya didalan Benteng malam haripun telah tiba.

Sehabis bersantap malam Ti Then duduk-duduk sebentar di

kamarnya Wie Lian In setelah itu baru kembali ke kamarnya untuk

beristirahat.

Semalam tidak terjadi satu peristiwa apa pun.

Keesokan harinya selesai cuci muka Ti Then seperti biasanya

pergi ke kamar Yuan Siauw Ko untuk memberi hormat, sesampainya

di depan pintu kamarnya waktu itu keadaan masih sunyi.

Ti Then lantas mulai mengetuk.

“Yuan loocianpwee, kau orang tua sudah bangun belum?”

teriaknya.

Dari dalam kamar suasana tetap sunji senyap.

Sedang pintu kamar itu setelah diketuk beberapa kali pun lantas

membuka sedikit, kiranya pintu itu sama sekali tidak terkunci.

Ti Then segera mendorong pintu dan berjalan masuk, tampaklah

seprei dan selimut sudah diatur amat rajin sedangkan Yuan Siauw

Ko sendiri tidak tampak di kamar.

“Ach . . . tentunya dia lagi berjalan-jalan di tempat luaran!”

Pikirnya di hati.

Karena itu dia lantas mengundurkan diri dan menuju ke kamar

dari Kiem Cong Loojien yang ada disebelahnya untuk memberi

hormat, dan terakhir dia baru menuju kekamar baca dari Wie Ci To.

Setiap pagi dia tentu pergi ke kamar baca Wie Ci To untuk

memberi hormat.

Sesampainya dipintu sebelah luar dari kamar baca itu kebetulan

Wie Ci To pun lagi mau keluar, dia lantas tanya.

“Gak-hu, apakah kau sudah bertemu dengan Yuan

Loocianpwee?”

“Tidak! Apa dia tidak ada di kamar?”

“Benar, aku rasa dia tentu lagi berjalan-jalan di dalam Benteng,

biarlah siauw-say pergi mencarinya.”

Dia lantas berputar ke halaman sebelah dalam, tetapi walaupun

sudah dicari kalang kabut tidak ditemukan juga bayangan itu Yuan

Siauw Ko, ketika dia menanyai para pendekar pedang hitam yang

berjaga-jaga di pintu benteng sebelah depan, mereka pun tidak

melihat Yuan Siauw Ko keluar dari sana.

Hatinya mulai merasa berdebar amat keras sekali.

“Celaka! Apa mungkin dia sudah dicelakai oleh majikan patung

emas?”

Tidak! Ada kemungkinan dia sudah pergi ke kebun.

Dengan tergesa-gesa dia lari menuju ke kebun di belakang

benteng, sembari mencari teriaknya berulang kali.

“Yuan loocianpwee!!! Yuan Loocianpwee….”

Akhirnya walau pun sudah dicari di seluruh kebun tetapi

bayangan dari Yuan Siauw Ko tidak kelihatan juga.

Kali ini hatinya benar-benar amat kalut.

Setelah dia menceritakan seluruh rahasianya kepada Yuan Siauw

Ko kemarin hari sewaktu ada di gunung selama ini isi hatinya

merasa terus menerus kuatir bilamana urusan ini bisa diketahui oleh

majikan patung emas, dia merasa kuatir Yuan Siauw Ko dicelakai

oleh majikan patung emas sedang kini….peristiwa yang sangat tidak

diinginkan ini sudah terjadi di depan mata.

Dengan termangu-mangu dia berdiri di dalam kebun, hatinya

benar-benar terasa amat kacau.

“Heeiii..semoga saja bukan begitu” gumamnya seorang diri.

“Benteng ini amat luas, ada kemungkinan dia lagi berbicara di

kamar seorang pendekar pedang merah, biarlah aku pergia cari dia

lagi.”

Akhirnya dia berjalan kembali ke halaman depan, setiap kali

bertemu dengan orang dia tentu menanyakan jejak dari Yuan Siauw

Ko.

Tetapi sekali pun satu deretan kamar para pendekar pedang

merah itu sudah diperiksanya dan kali ini tidak kedengaran juga

suara dari Yuan Siauw Ko.

Hatinya mulai merasa semakin cemas lagi.

“Ehm..apa mungkin dia sudah pergi ke kamar kecil?”

Kembali dia berjalan menuju ke benteng sebelah kiri dimana

berdiri gubuk-gubuk kecil yang digunakan untuk membuang hajat,

akhirnya hasil yang diperoleh hanya nihil saja.

Ehmm , . . !! ada kemungkinan dia sudah mendatangi kamar

kecil dan sekarang sudah kembali kekamarnya lagi.

Karenanya dia lantas kembali lagi ke kamar Yuan Siauw Ko,

tetapi sekalipun sudah masuk kedalam kamar keadaannya sama

saja, sama sekali tidak kelihatan ada sesosok manusiapun.

Tetapi didalam kamar diatas meja dia menemukan secarik surat.

Isi surat itu berbunyi demikian:

Ditujukan kepada Wie Toa poocu serta Ti Kiauw-tauw.

Sewaktu sadar dart impian tiba2 aku teringat masih ada

perjanjian dengan seorang kawan digunung Cing Shia dua hari

kemudian.

Karena waktu mendesak dan takut terlambat dalam perjanjian

maka aku pergi tanpa pamit, harap kalian suka memaafkan dan

semoga ssja aku bisa datang kembali untuk ikut merayakaa hari

perkawinanmu.

Loolap Yuan Siauw Ko-

Beberapa perkataan itu ditulis dengan tergesa-gesa sekali

sehingga tidak begitu genah tulisannya.

Surat ini didalam pandangan Wie Ci To serta orang2 lainnya

kecuali merasa diluar dugaan dan sayang terhadap Yuan Siauw Ko

yang pergi tanpa pamit tidak akan menimbulkan kecurigaan yang

lain, tetapi dimata Ti Then hal ini segera menimbulkan rasa curiga

yang luar biasa.

Karena dia tahu Yuan Siauw Ko bukanlah manusia yang bernyali

kecil, dia tidak akan pergi menemui perjanjian dengan kawannya

secara tiba2 setelah mengadakan perundingan untuk membuka

rahasia dari majikan patung emas, didalam keadaan yang

sesungguhnya hal ini tidak mungkin bisa terjadi.

Tetapi, sekarang Yuan Siauw Ko benar2 sudah pergi tanpa pamit,

apa sebabnya dia berbuat demikian ???

Tidak ragu2 lagi kepergian Yuan Siauw Ko secara tiba2 ini tentu

ada sangkut pautnya dengan Majikan patung emas!.

Majikan pstung emas pastilah sudah menggunakan satu tindakan

yang amat lihay untuk memaksa Yuan Siauw Ko mau tidak mau

harus meninggalkan Benteng Pek Kiam Poo.

Atau ada kemungkinan surat ini sama sekali bukanlah ditulis oleh

Yuan Siauw Ko sendiri sebaliknya hasil karya dari Majikan Patung

emas.

Setelah dia membunuh Yuan Siauw Ko lantas menulis surat ini

untuk pasang jebakan agar perbuatan dosanya ini tidak sampai

diketahui oleh orang lain.

Berpikir sampai disini Ti Ihen merasakan kepalanya pusing

matanya berkunang-kunang, hampir-hampir dia jatuh tidak

sadarkan diri.

Seluruh badannya terasa panas dingin, tangan yang memegang

surat itu pun gemetar tiada hentinya.

“Ti Kiauw-tauw, kau kenapa?” tiba-tiba berkumandang dayang

pertanyaan dari seseorang.

Dan orang itu bukan lain adalah Kiem Cong Loojien.

Sewaktu melewati dari depan kamar Yuan Siauw Ko dia bisa

melihat air muka Ti Then rada aneh, karenanya dia lantas berhenti

untuk bertanya.

“Yuan loocianpwee sudah pergi,” sahutnya sambil tertawa sedih.

Kiem Cong Loojien jadi melengak.

“Kau bilang apa?”

Dengan tangan masih gemetar Ti Then lantas serahkan surat itu

kepadanya.

“Inilah surat yang ditinggalkan Yuan Loocianpwee. Ciangbunjien,

kau boleh lihat..”

Kiem Cong Loojien segera menerimanya dan membaca hingga

habis. I

“Aaach . . sungguh aeeh , . . sungguh aneh , . .” Teriaknya

tercengang, “Sekali pun ada urusan yang bagaimana pentingnya

seharusnya dia bilang dulu dengan Wie Poocu kalau mau pergi.”

“Ada kemungkinan Yuan Loocianpwee merasa membangunkan

Wie Poocu di tengah malam buta adalah satu pekerjaan yang

kurang sopan sehingga…”

“Tetapi kepergiannya yang tanpa pamit bukankah kurang sopan

juga?” Potong Kiem Cong Loojien dengan cepat.

“Ciangbunjien tidur di kamar sebelahnya, apakah kau tidak

mendengar sedikit suara pun?”

Kiem Cong Loojien dongakkan kepalanya termenung sebentar,

dia gelengkan kepalanya.

“Tidak, loohu yang menjadi tetamu di dalam Benteng sudah

tentu tidak usah bersiap sedia, karenanya begitu naik ke atas

pembaringan kontan tidur dengan nyenyaknya, mungkin sekalipun

ada suara Loohu juga tidak akan mendengarnya.”

“Kalau begitu ayoh cepat kita laporkan urusan ini kepada Poocu.”

Karena waktu itu adalah waktu bersantap pagi maka kedua orang

itu langsung menuju ke ruangan bersantap.

Sedikitpun tidak salah, Wie Ci To sudah menanti diruang

bersantap, bagitu melihat munculnya Kiem Cong Loojien dia lantas

bangun menyapa.

“Kemarin malam ciangbunijien bisa tidur dengan nyenyak bukan

?”

“Sungguh nyenyak sekali sehingga kamar sebelah sudah

kehilangan orangpun tidak merasa” jawab Kiem Cong Loojien sambil

menyengir.

“Apa ? Sudah kehilangan orang?” Wie Ci To tertegun.

Ti Then segera maju ke depan dan menyeraahkan surat dari

Yuan Siauw Ko kepadanya.

“Yuan Loocianpwee kemarin malam sudah meninggalkan benteng

!” lapornya.

Air muka Wie Ci To berubah hebat, dia lantas terima surat itu

dan diperiksanya satu kali, jeias wajahnya memperlihatkan rasa

terkejut yang luar biasa.

“Aach . . . ! Sebenarnya sudah terjadi urusan apa?” serunya tak

terasa.

“Ada kemungkinan Yuan Loocianpwe tidak suka mengganggu

Gak-hu sehingga dia pergi tanpa pamit . . . “

Wie Ci To termenung berpikir sebentar mendadak dari sepasaag

matanya memancarkaa sinar yang amat tajam dan memandang diri

Ti Then tak berkedip.

“Apakah diantara kalian berdua sudah terjadi satu urusan yang

tidak menyenangkan hati ?”

“Tidak !” sahut Ti Then dengan serius, “Kemarin sore siauw-say

temani dia orang berpesiar keatas gunung dan kami ber-cakap2

dengan hati yang amat girang, di antara kami berdua sama sekali

tidak terjadi satu peristiwa yang tidak menyenangkan hati”.

“Kalau begitu urusan ini sungguh aneh sekali.” Seru Wie Ci To

dengan suara yang berat, sinar matanya berkedip-kedip. “Loohu

tidak percaya kalau dikarenakan sungkan mengganggu Loohu

ditengah malam buta Yuan Piauw tauw sudah pergi tanpa pamit,

didalam soal ini pasti ada sebab2nya!”

“Loolap merasa kepergian Yuan Piauw-tauw meninggalkan

benteng adalah satu hal yang mengherankan . . ” tukas Kiem Cong

Loojien.

Ti Then termenung tidak berbicara, sebelum dia mengadakan

pembicaraan dengan Majikan patung emas, dan sebelum

membuktikan kalau kepergian Yuan Siauw Ko ada hubungannya

dengan Majikan patung emas dia tidak ingin memberi pendapatnya,

dia pun tidak bisa membongkar rahasia dari majikan patung emas

karena bilamana kepergian tanpa pamit dari Yuan Siauw Ko ini

adalah hasil karya dari Majikan Patung emas maka hal ini

membuktikan kalau peringatan yang diucapkan Majikan Patung

Emas bukanlah satu gertakan sambal belaka, dia benar2 berani

turun tangan membunuh orang, apa yang diucapkan tidak akan

dipungkiri kembali.

Atau dengan perkataan lain, Ti Then benar2 merasa bilamana

dirinya tanpa

memikirkan akibatnya lantas menyiarkan patung emas maka

Majikan Patung emas pun segera turun tangan membereskan Wie Ci

To serta Wie Lian In, hal ini Ti Then tidak akan merasa tega untuk

melihatnya.

“Bilamana Loohu adalah Wie Ci To maka Loohu rela mati di

tangan majikan patung emas daripada melihat putriku ditipu

mentah-mentah oleh dirimu.”

Walau pun perkataan dari Yuan Siauw Ko ini benar tetapi

bagaimana pun juga dirinya belum betul-betul mencelakai Wie Lian

In, bilamana sampai saat ini dia harus membinasakan nyawa dari

mereka ayah beranak ini benar-benar tidak berharga.

Karena itu pikiran Ti Then pun kini berubah kembali, semangat

serta keberanian yang diperlihatkan kemarin hari kini meruntuh…dia

mulai merasa ragu-ragu.

Wie Ci To sendiri agaknya merasa tidak paham juga, alisnya

dikerutkan rapat-rapat, sambil bergendong tangan dia berjalan

mondar-mandir.

“Apa mungkin pelayanan dari Benteng kita tidak baik sehingga

dia jadi jemu dan pergi?” terdengar dia kembali bergumam.

“Bilamana membicarakan soal itu seharusnya Loolaplah yang

paling memperhatikan” sela Kiem Cong Loojien sambil tertawa,

“Tetapi setelah menjadi tamu selama beberapa hari didalam

Benteng Loolap merasa pelayanan disini amat bagus sekali”

“Benar” sambung Ti Then, “Terhadap sifat dari Yuan

Loocianpwee siauw-say lah yang paling paham, dia orang tua

bersifat lapang dada dan bukanlah seorang manusia yang berhati

sempit”

“Tetapi kepergiannya yang tanpa pamit sama sekali tidak benar.

Dia bilang secara tiba-tiba sudah teringat kembali ada janji dengan

seorang sahabat karib, bilamana partemuan ini harus pergi kenapa

dia bisa melupakannya?”

“Ada kemungkinan pertemuan ini sudah dijanjikan pada tempo

hari karena tidak pernah diingat-ingat maka sewaktu kemarin

malam teringat kembali dia jadi ribut sendiri”

“Kau lihat partemuan apakah yang sudah dijanjikan dengan

temannya itu ?” tanya Wie Ci To sambil memandang tajam

wajahnya.

“Soal ini sulit untuk diketahui, kalau memangnya dia orang tua

menyebut sebgai sahabat karib maka seharusnya pertemuan ini

tidak sampai membahayakan jiwanya” sahut Ti Then.

“Kalau begitu lebih baik kita kirim dia orang untuk lihat-lihat di

gunung Cing Shia, kau lihat bagaimana?”

“Begitu pun bagus sekali.”

“Coba kau panggil Shia Pek Tha dan suruh dia kirim seorang

pendekar pedang merah untuk pergi ke gunung Cing Shia”

Ti Then segera menyahut dan mengundurkan diri dari ruangan

bersantap, setelah menemukan Shia Pek Tha dia lantas

menceritakan kepergian dari Yuan Siauw Ko yang tanpa pamit pada

kemarin malam serta perintah dari Poocu untuk kirim seseorang

untuk mengadakan pemeriksaan di gunung Cing Shia, setelah itu dia

baru kembali lagi ke ruang bersantap.

Dia menemani Kiem Cong Loojien serta Wie Ci To untuk

bersantap, tapi hatinya yang lagi murung mana ada napsu untuk

makan?

Dia cuma mengharapkan hari cepat malam.

Malam hari pun mulai menjadi kelam.

Dari dalam kamar Wie Lian In dia langsung kembali ke kamarnya,

setelah mengundurkan si Loo Cia pelayan tua itu dia lantas

mengambil lampu dan diketuknya tiga kali di dekat jendela, setelah

itu baru naik ke atas pembaringan.

Saat ini napsu untuk tidur pun berkurang, sepasang matanya

dengan melotot lebar-lebar memandang tajam atas genting….

Kentongan pertama….kentongan kedua…..dengan cepatnya

berlalu, kini kentongan ketiga pun menjelang.

Tidak lama melewati kentongan ketiga dari atas atap terasa

adanya suara tindakan seorang diikuti sepasang tangan yang samarsamar

membuka atap kesamping lalu menurunkan patung emas itu

ke bawah.

Majikan patung emas sudah tiba.

Dia turunkan patung emasnya itu ke samping pembaringan Ti

Then lalu dengan menggunakan ilmu untuk menyampaikan

suaranya dia lantas kirim perkataan:

“Ti Then, aku terka malam ini kau tidak dapat tidur bukan?

Bukankah kau lagi menunggu aku?”

“Tidak salah” sahut Ti Then dengan suara yang amat dingin

sekali.

“Kau sudah bunuh Yuan Piauw-tauw?”

Majikan patung emas tidak menjawab, sebaliknya malah balas

bertanya:

“Kenapa kau orang tidak suka mendengarkan perkataanku dan

menceritakan seluruh rahasia ini kepada Yuan Siauw Ko?”

Mendengar perkataan tersebut Ti Then segera merasakan

hatinya tergetar amat keras.

“Siapa yang bilang aku sudah menceritakan seluruh rahasia ini

kepadanya? Apa kau mendengar dengan telinga sendiri?” bantahnya

dengan keras.

“Heee . . heee . . . kemarin sore kalian bersama-sama berpesiar

keatas gunung, dengan mengambil kesempatan itu kau ceritakan

seluruh rahasia ini kepadanya. Hmmm urusan sudah nyata, kau

masih ingin mungkir ?” Seru Majikan patung emas sambil tertawa

dingin tiada hentinya.

“Hmm, sewaktu Wie Ci To menunjuk aku untuk mengawani dia

berpesiar keatas gunung dalam hati aku sudah tahu kalau kau pasti

akan menaruh curiga. Hmmm, ternyata dugaanku sedikitpun tidak

salah.”

“Kau tidak mengaku ?” seru Majikan patung emas sambil

mendengus.

“Tidak.”

“Tetapi Yuan Siauw Ko sudah mengaku.”

“Heee . . . heee , . . hee , , jangan coba tipu aku. Yuan Piauwtauw

sama sekali tidak tahu urusan ini, dia bisa mengaku tentang

soal apa dengan dirimu?” ejek Ti Then tertawa dingin.

Majikan patung emas tidak langsung memberi jawaban, dia

termenung berpikir sebentar kemudian baru sahutnya:

“Dia mengaku kalau kau sudah menceritakan seluruh rahasia ini

kepadanya bahkan sudah menyusun rencana siap-siap hendak

menawan diriku.”

Ti Then tahu Yuan Sianw Ko bukanlah seorang manusia yang

takut mati, dia tidak akan mau mengakui keseluruhan ini.

“Kau yangan omong kosong!” teriaknya kemudian dengan gusar.

“Kau sendiri yang omong kosong”

“Kau sudah bubuh dirinya?”

“Tidak”

“Lalu kau membawa dirinya kemana?” desak Ti Then lebih lanjut.

“Suatu tempat yang sangat rahasia.”

“Kalau kau sudah mengambil kesimpulan kalau aku sudah

membocorkan rahasia ini kepadanya, kenapa tidak sekalian

bereskan nyawanya?”

Majikan patung emas segera tertawa seram.

“Aku tahu bilamana aku bunuh dirinya maka kau tidak akan

mendengarkan petunjukku lagi, maka itu untuk sementara waktu

aku kurung dia di suatu tempat tertentu, setelah tujuanku tercapai

maka waktu itulah aku baru lepaskan dirinya kembali.”

“Lalu surat yang ditinggalkan di kamarnya apa kau yang tulis?”

“Bukan”

“Lalu dia yang menulis?”

“Juga bukan”

“Kalau begitu surat itu ditulis oleh pemuda yang kau kirim untuk

menyelundup ke dalam Benteng Pek Kiam Poo itu?”

“yangan lupa kau adalah patung emasku, kau dilarang untuk

menyelidiki urusanku.”

“Walau pun aku adalah patung emasmu tetapi sama sekali

berbeda dengan patung emas yang ada di depanmu ini, bilamana

aku mengambil keputusan untuk tidak mendengarkan perintahmu

lagi maka kau sedikitpun tidak bisa berbuat apa-apa.”

“Benar” sahut majikan patung emas membenarkan, “Tetapi kau

yangan lupa aku masih ada satu cara untuk menghadapi dirimu, aku

bisa pergi membinasakan Wie Ci To ayah beranak, menghancurkan

seluruh pendekar pedang yang ada di dalam Benteng Pek Kiam Poo,

soal ini tentunya bukan satu persoalan yang menyenangkan bukan?”

Mendengar ancaman itu Ti Then segera merasakan hatinya

kurang puas, dia merasa sangat jengkel.

“Bilamana kau ingin aku menyelesaikan rencanamu ini dengan

baik, maka kau harus beritahu padaku apakah Yuan Piauw-tauw

sudah mati atau belum…”

“Soal itu sangat mudah sekali, lewat dua hari kemudian aku bisa

membawa tulisannya untuk kau lihat, bilamana kau bisa melihat

surat yang ditulis dia sendiri maka segera akan kau ketahui kalau

dia masih ada di dalam dunia.”

“Cuma sayang aku tidak kenal dengan tulisannya, dulu aku sama

sekali tidak pernah melihat tulisannya”

“Bagaimana kalau aku suruh dia menulis satu urusan yang

diketahui oleh kalian berdua saja?”

“Bagus, kau suruhlah dia menulis nama-nama dari seluruh nama

serta gelar dari Piauwsu yang ada di Yong An Piauwkiok, bilamana

ada satu kata saja yang salah maka aku tidak akan percaya kalau

dia masih hidup.”

“Baik,” sahut majikan patung emas. “Aku pun memberi

peringatan kepadamu, Yuan Siauw Ko adalah satu contoh yang baik

buat dirimu, sejak ini hari bilamana kau berani bocorkan kembali

rahasiaku maka bukan saja aku mau bunuh orang yang mengetahui

rahasiaku itu bahkan Yuan Siauw Ko pun akan aku bunuh”

“Aku tidak mau bicara lagi dengan dirimu, cepat kau pergi!”

teriak Ti Then dengan kasar.

Dengan perlahan majikan patung emas menarik kembali patung

emasnya dan berlalu dari sana.

Dua hari kemudian….

Jarak dengan hari perkawinan pun tinggal lima hari.

Para sahabat serta handai taulan yang menerima undangan pun

mulai berdatangan sehingga suasana di dalam Benteng Pek Kiam

Poo semakin lama semakin menjadi ramai.

Pagi hari itu sewaktu Ti Then bangun dari tidurnya dia

menemukan di samping badannya sudah menggeletak secarik

kertas yang di dalamnya tertuliskan kata2 dengan amat rapat sekali.

Majikan patung emas sama sekali tidak mengingkari janji, dia

benar2 sudah membawa tulisan asli dari Yuan Siauw Ko.

Semangat Ti Then jadi berkobar kembali, dia segera mengambil

kertas putih itu dan dibacanya dengan teliti.

Di atas kertas putih itu tertuliskan nama2 orang serta gelarnya,

dan mereka bukan lain adalah nama2 Piauw-su yang dulu pernah

bekerja di perusahaan ekspedisi Yong An Piauwkiok.

Menurut pemikiran Ti Then dahulu Piauwsu yang bekerja di

perusahaan Yong An Paiuwkiok semuanya ada seratus dua puluh

orang banyaknya, sekali pun majikan patung emas memiliki

pengetahuan yang amat luas juga sukar baginya untuk mengetahui

seluruh nama-nama dari piauwsu itu, dan bilamana didalam namanama

itu dia tidak menemukan tulisan yang salah maka hal ini

membuktikan kalau tulisan itu benar-benar ditulis oleh Yuan Siauw

Ko dan hal ini membuktikan juga kalau dia masih hidup, kalau tidak

mana jelas Yuan Siauw Ko menemui bencana.

Dengan telitinya dia memeriksa nama-nama serta gelar dari

Piauwsu, tetapi sewaktu melihat nama dari Piauwsu keempat

mendadak hatinya terasa tergetar dengan keras.

Karena dia menemukan nama dari piauwsu keempat itu telah

salah ditulis!

Nama yang sebenarnya adalah “Cian Se Jien” tetapi yang ditulis

adalah “Cian Su Wo”

Hm! Bagaimana mungkin Yuan Siauw Ko bisa salah menulis

dengan kata-kata “Jien” jadi “Wo” atau “saya”? jelas nama-nama ini

bukan ditulis sendiri oleh Yuan Siauw Ko, Yuan Siauw Ko pasti

menemui bencana.

Berpikir akan hal ini Ti Then segera merasakan darah panas

didalam dadanya bergolak dengan amat kerasnya, hawa amarah

bergolak dihati.

“Iblis bajingan, kiranya kau betul2 sudah membinasakan Yuan

Loocianpwee!” makinya dengan gusar.

Tetapi walau pun hatinya merasa sedih bercampur gusar dia

tetap melanjutkan membaca nama2 itu karena dia masih menaruh

harapan kalau nama2 selanjutnya tidak ditwmui kesalahan lagi.

Bilamana diantara nama2 itu Cuma satu tulisan saja yang salah,

hal ini bisa dijelaskan ada kemungkinan Yuan Siauw Ko tidak

sengaja menulis salah.

Tetapi sewaktu membaca sampai nama piauwsu yang ketujuh

kembali dia menemukan kesalahan!

Di atas kertas itu tertuliskan nama “Huo Cay Ciang” padahal

seharusnya nama itu salah, kata-kata “Cay” dituliskan jadi “Cay”

yang berarti “berada”!.

“Ehm…! “Cay” dan “Cay” artinya sama, apa mungkin ini pun

kesalahan dari Yuan Siauw Ko?”

Karenanya dia melanjutkan kembali untuk membaca nama-nama

itu.

Akhirnya didalam kertas itu samuanya dia sudah menemukan

tujuh tulisan yang salah: Ong Beng ditulis jadi Lui Beng, Cau It Jan

ditulis jadi Cau It Tong, Kang Kuang Peng ditulis jadi Kang Kuang

Ping…..

Dengan amat gusarnya dia merobek2 kertas itu hingga hancur,

tetapi sewaktu dia hendak menghancur lumurkan kertas itu, tiba2

satu ingatan berkelebat didalam ingatannya.

Berpikir sampai disitu dengan terburu2 dia menyambung kembali

sobekan kertas itu dan dilihatnja lagi dengan lebih teliti lagi tulisan2

yang salah itu,

Dengan cepatnya dia menemukan disetiap tulisan yang ditulis

salah tentu ada satu titik hitam.

Ehmm!! Titik2 hitam ini apa sengaja ditulis oleh Yuan Siauw Ko?

apakah tujuannya agar dia bisa memperhatikan beberapa tulisan

yang ditulis salah itu?

Benar! bagaimana kalau tulisan2 yang salah itu disambung

menjadi satu??

“Aku ada didalam gua karang dibawah gua Lui Tong Ping”.

Seketika itu juga Ti Then jadi amat girang sekali sehingga

hampir2 terjingkrak-jingkrak.

Satu harapan kembali muncul dihatinya . . . dia mengharapkan

malam hari cepat menjelang.

XXXXXX

Akhirnya, malam haripun menjelang datang, seluruh jagat sudab

menjadi gelap gulita bintangpun tidak tampak.

Keramaian yang mencekam di dalam Benteng Pek Kiam Poo pun

dengan perlahan menjadi sunyi kembali. Ti Then segera kembali ke

kamarnya dan ganti pakaian untuk tidur.

Malam itu dia tidak kirim tanda untuk mengajak Majikan patung

emss untuk bertemu muka, bahkan secara diam2 berdoa agar

majikan patung emas tidak munculkan dirinya tanpa diundang,

karena malam ini dia bersiap sedia untuk pergi ke dalam gua karang

dibawah gua Lui Tong Ping untuk menjenguk Yuan Siauw Ko.

Dengan tenangnya dia berbaring diatas pembaringan untuk

menanti saat kentongan ketiga lewat, dia harus menanti setelah

lewat kentongan ketiga baru pergi karena dia harus menanti pula

apakah majikan patung emas akan munculkan dirinya atau tidak.

“Tok . tok . . tok!”

Akhirnya kentongan ketiga pun tiba.

Dia tetap berbaring diatas pembaringannya tidak bergerak, dia

menanti kembali seperempat jam lamanya setelah benar-benar

mengetahui kalau Majikan patung emas tidak datang dia baru turun

dari pembaringannya dengan perlahan-lahan lalu membuka jendela

dan meloncat ke atas atap.

Setelah itu dengan menggunakan bayangan rumah sebagai

tempat persembunyian dia mengitari satu lingkaran benteng itu

kemudian panjat tembok benteng dan berjalan keluar.

Dia Yang bertindak sebagai kiauw-tauw dari Benteng Pek Kiam

Poo sudah tentu mengetahui dengan amat jelas sekali seluruh

tempat2 penjagaan yang terbesar didalam Bsnteng itu, karenanya

dengan amat mudah sekali dia berhasil menghindarkan diri dari

penjagaan para pendekar pedang.

Hanya didalam sekejap saja dia sudah berhasil mencapai

dibawah tembok benteng.

Setelah dilihatnya disekeliling tempat itu tak ada orang dia lantas

mengeluarkan ilmu cecak merayap untuk melewati tembok itu dan

meloncat keluar kemudian dengan gerakan tubuh yang amat cepat

sekali berkelebat menuju ke gunung Go-bie.

Dia sudah ber-kali2 berpesiar keatss gunung ber-sama2 dengan

Wie Lian In, terhadap keadaan pemandangan disekitar tempat itu

pun dia sudah hapal benar.

Dia tahu goa Lui Tong Ping itu letaknya diatas puncak gunung

tidak jauh dari kuil Pek Im Si.

Setelah melewati kuil Toa Jan Si, Auw Ceng Ti, Pek Im Si, dan

jalan gunung yang kecil dan sempit akhirnja dia berhasil tiba diatas

gua Lui Tong Ping.

Dibawah gua Lui Tong Ping itu merupakan satu tebing yang

curam dengan jurang yang dalamnya tak terhingga, dan merupakan

satu tempat yang jarang sekali dikunjungi oleh kaum pesiar, karena

tempat itu sangat berbahaya dan sukar sekali untuk dilalui.

Saat ini waktu sudah menunjukkan kentongan ketiga lebih,

suasana didalam gua Lui Tong amat gelap gulita dan secara samar2

membawa rasa seram yang mendirikan bulu roma.

Ti Then dengan sedikitpun tidak ragu2 berjalan menuruni tebing

itu, dengan menggunakan batu2 cadas yang pada tersebar di

seluruh tempat setapak demi setapak dia meloncat turun.

Kurang lebih sepertanak nasi kemudian dia tiba dibawah gua Lui

Tong Ping itu.

Walaupun cuaca dimalam hari amat gelap tetapi ia masih bisa

melihat pemandangan disekitar tempat itu dengan jelas.

Dia melihat dibawah gua Lui Tong Ping itu merupakan satu

lembah yang amat terjal itu, empat penjuru dikelilingi tebing yang

hampir tegak lurus dengan pohon siong yang tumbuh miring

menjulang kearah jurang.

Diatas permukaan tanah penuh tersebar batu2 cadas yang besar

dan tajam dengan ditumbubi lumut yang amat banyak, agaknya

sejak pertama kali hingga kini tiada seorangpun yang pernah

mendatangi tempat itu.

Setelah berjalan dan memeriksa disekeliling tempat itu beberapa

saat lamanya akhirnya diantara dua buah batu cadas yang amat

besar dia menemukan sebuah gua alam yang tidak begitu besar.

Sambil berjongkok dia memeriksa permukaan tanah itu, ternyata

sedikitpun tidak salah di depan gua itu tampak telapak kaki yang

samar2, didalam hati dia tahu dugaannya tidak salah karenanya

sembari mencabut keluar pedangnya dia menerobos masuk kedalam

gua.

Suasana didalam gua itu amat gelap tak tampak lima jarinya

sendiri.

Dengan menggunakan pedang Ti Then meraba-raba beberapa

saat lamanya, dia menemukan pedangnya sudah terbentur dengan

sebuah dinding gua yang amat keras, karena dia tidak tahu arah

gua itu berbelok ke arah mana terpaksa dari dalam sakunya

mengambil keluar obor sebagai penerangan.

Dengan menggunakan cahaya sinar obor itulah dia mulai

memeriksa keadaan di sekeliling tempat itu, saat itulah dia baru

melihat walaupun gua itu Cuma satu tapi berbelok-belok, sebentar

melebar sebentar lagi menyempit dan dinding yang saat ini

menghalangi perjalanannya adalah sebuah batu cadas yang

menonjol keluar sedang lorong itu berbelok kearah sebelah kanan.

Dengan mengikuti lorong itu dia berbelok kekanan, setiap kali

bsrjalan beberapa langkab dia menyulut kembali obornya.

Setelah berjalan beberapa saat lamanya akhirnya dia tiba juga

disuatu ruangan yang amat besar sekali.

Gua itu dibatasi dengan dinding batu yang terjal dan tajam,

disekelilingnya tak tampak barang apa pun kecuali batu sehingga

keadaannya amat menyakitkan.

Baru saja Ti Then hendak melakukan pemeriksaan lebih teliti lagi,

mendadak obor yang ada ditangannya padam kembali.

Hatinja rada mendongkol, dia lantas mengambil keluar sebuah

obor kembali siap2 disulut.

Mendadak . . .

“Ti Then, kau?” Suara seseorang secara tiba2 saja

berkumandang keluar dari sisi kirinya, jelas dari nada suara itu

menunjukkan hatinya merasa amat kegirangan.

Dan suara itu . , . , bukan lain adalah suara dari si tangan sakti

Yuan Siauw Ko.

Mendengar teguran itu Ti Then jadi amat girang sekali, dengan

ter-buru2 dia menyulut obornya untuk memeriksa tempat

disekeliling tempat itu.

“Yuan Loocianpwee, kau ada dimana?”

Tetapi sebentar kemudiam dia sudah lihat dimana Yuan Siauw Ko

berada.

oooOOOOooo

64

Dari balik sebuah batu cadas yang tingginya ada tiga depa

dengan panjang empat depa tampak si tangan sakti Yuan Siauw Ko

merangkak keluar, kaki kanannya diborgol sedang rantainya diikat

kebawah batu cadas tersebut, cuma tangan tiga hari saja tidak

melihat sinar sang surya keadaannya sudah benar-benar berubah,

wajahnya tidak mirip manusia lagi.

Dengan sekali lompat Ti Then meloncat ke hadapannya dan

berjongkok.

“Yuan Loocianpwee, dia…dia mengurung kau di tempat ini?”

tanyanya dengan terperanjat.

Dia bisa mengajukan pertanyaan ini dikarenakan dia melihat batu

cadas yang mengikat rantai itu cuma seribu kati saja beratnya,

sedang dengan tenaga dalam yang dimiliki si tangan sakti Yuan

Siauw Ko untuk mendorong batu cadas itu bukanlah satu pekerjaan

yang sulit, tetapi kelihatannya dia terkurung rapat dan tak dapat

meloloskan diri.

Sambil bersandar pada batu cadas itu Yuan Siauw Ko tertawa

sedih.

“Tentunya kau merasa heran bukan, kenapa cuma batu seberat

seribu kati saja bisa mengurung loohu ?” tanyanya.

Sepasang mata dari Ti Then dengan amat tajamnya

memperhatikan rantai yang memborgol kakinya itu lalu memandang

ke arah ujung rantai yang ditindih batu cadas itu.

“Benar !” sahutnya keheranan. “Apakah batu cadas ini ada

permainan lainnya ?”.

“Tidak ada!” sahut Yuan Siauw Ko sambil gelengkan kepalanja.

“Dia cuma mendorong batu cadas ini untuk ditindihkan keatas rantai

besar itu . .” “Kalau memangnya demikian, kenapa kau orang tua

tidak mendorongnya ?”

Dengan sedihnya Yuan Siauw Ko menghela napas panjang.

“Dia sudah musnahkan seluruh kepandaian silat dari loohu !”

“Apa? dia sudah musnahkan seluruh kepandaian silat kau orang

tua?” teriak Ti Then terperanjat.

“Kini Loohu seperti juga orang tua biasa, seorang kakek biasa

bilamana ingin mendorong batu cadas bukankah hal ini sama saja

dengan satu impian disiang hari bolong ?”

“Apakah dia memberi makanan serta minuman buat kau orang

tua?” tanya sang pemuda lagi dengan gusarnya.

“Ada, dia membawa sekantong ransum kering serta sekantongan

air bersih, hanya cukup buat Loohu gunakan selama setengah

bulanan.”

“Mari aku bantu tarikan rantai besi itu”

Dia meletakkan kembali pedangnja lalu dengan menggunakan

sepasang tangannya menarik rantai itu kebelakang.

“Sreeett . . . ! ” dengan satu kali sentakan dia berhasil

memutuskan rantai itu menjadi dua bagian.

Tetapi Yuan Siauw Ko masih tetap duduk tidak bergerak

sedikitpun.

“Apa kau bisa mencari tempat ini setelah mengertikan

kesembilan nama yang sengaja aku tulis salah itu ?” tanyanya.

“Benar !” sahut Ti Then mengangguk. “Dia bilang kau orang tua

masih hidup, boanpwee tidak percaya dan paksa dia untuk meminta

nama2 dari seluruh Piauw-su yang pernah bekerja di perusahaan

‘Yong An Piauw-kiok”

Kemarin dia meletakkan nama2 itu di samping pembaringan

boanpwce, sewaktu boanpwee melihat diatas daftar nama itu

banyak terdapat tulisan yang salah dalam anggapanku pasti bukan

tulisan yang sebenarnya dari kau orang tua, akhirnya setelah

boanpwee baca seluruh kesalahan itu menjadi satu, akhirnya aku

baru tahu kalau kau orang tua sengaja hendak memberi tahu

tempat dimana Loocianpwee dikurung”

“Malam ini kau datang kemari, apakah dia orang tahu ?” Tanya

Yuan Siauw Ko dengan cemas.

“Mungkin dia tidak tahu”.

“Apa yang dia katakan kepadamu ?” tanya Yuan Siauw Ko lagi

sambil tertawa pahit.

“Dia bilang kau orang tua sudah mengakui pernah mendengar

rahasianya”

“Kau percaya ?”

“Tidak percaja !”.

“Bagus sekali !” Seru Yuan Siauw Ko dengan amat girang. “Dia

sudah mengetahui bagaimanakah sifat dari loohu, loohu sama sekali

tidak mengakui soal apa pun kepadanya”

“Bagaimana dia bisa membawa kau orang tua meninggalkan

Benteng Pek Kiam Poo?” tanya Ti Then ingin tahu.

“Ditengah malam buta dia mengetuk pintu kamar loohu, katanya

kau lagi menunggu diluar benteng dan ada urusan penting yang

hendak dirundingkan dengan loohu, pada waktu itu Loohu tidak

tahu kalau dia lagi main siasat..”

“Kalau begitu kau sudah melihat dia orang?” tanya Ti Then

dengan hati berdebar-debar.

Dia dengan Majikan patung emas sudah mengadakan hubungan

selama tujuh, delapan bulan lamanya tetapi hingga hari ini tidak

tahu sebenarnya Majikan patung emas itu lelaki atau perempuan

dan bagaimana wajahnya.

Kini mendengar Majikan patung emas sudah munculkan dirinya

untuk memancing Yuan Siauw Ko keluar benteng hatinya jadi

berdebar ingin cepat-cepat tahu.

“Benar! Bahkan loohu melihatnya dengan amat jelas sekali” sahut

Yuan Siauw Ko sambil tertawa.

Ti Then segera merasa hatinya semakin berdebar keras lagi.

“Siapakah dia orang?” tanyanya cemas.

“Seorang kenalan yang setiap hari dapat kau temui.”

Agaknya dia merasa didalam urusan ini amat menarik sekali

sehingga sengaja jual mahal untuk menyebutkan nama orang itu.

“Apakah dia adalah salah seorang pendekar pedang merah dari

Benteng Pek Kiam Poo?” tanya Ti Then ingin tahu.

“Bukan!” jawab Yuan Siauw Ko tertawa, dengan perlahan dia

gelengkan kepalanya.

“Apa…apa Wie Ci To?”

Sekali lagi Yuan Siauw Ko gelengkan kepalanya.

“Bukan!”

“Lalu siapakah dia orang?”

“Coba kau terka…!”

Ti Then termenung berpikir sebentar tetapi sekali pun sudah

lewat beberapa saat lamanya dia tidak dapat mengetahui juga

siapakah orang itu.

“Yuan Loocianpwee, kau jangan jual mahal, sebenarnya siapakah

orang yang sudah menyamar sebagai Majikan patung emas itu?”

“Haa . . . haaa …. buankah tadi aku sudah berkata orang iiu

dapat kau temui setiap hari . . .!”

“Pendekar pedang merah dari Benteng Pek Kiam Poo bukan, Wie

Ci To bukan lalu . .. lalu siapakah dia orang?”

Dengan pandangan tajam Ti Then memperhatikan Yuan Siauw

Ko tanpa berkedip, dalam hati dia merasa gemas atas ke-jualmahalan

dari si orang tua she Yuan itu.

Yuan Siauw Ko yang melihat pemuda itu dibuat gemas dia cuma

tersenyum saja.

“Loocianpwee, aku mohon siapakah orang yang sudah menyamar

sebagai Majikan Patung Emas itu?”

“Dia . . . dia . . . adalah…….”

“Siapa ? siapa dia ??” desak Ti Then dengan gemas.

Sekali lagi Yuan Siauw Ko tertawa ter-bahak2.

“Kalau aku beritahu siapakah majikan patung emas itu, kau ingin

beri apa kepadaku?”

“Apa yang Loocianpwee inginkan pasti aku kabulkan !” sahut Ti

Then dengan bernapsu.

-oo0dw0oo-

Jilid 38 : Loo-cia ternyata Majikan Patung Emas…

Mendadak Ti Then membelalakkan matanya lebar-lebar.

“Apa mungkin Loo-cia si pelayan tua itu?” tanyanya gemetar.

Dengan perlahan Yuan Siauw Ko mengangguk.

“Tidak salah, memang dialah orangnya.”

Air muka Ti Then seketika itu juga berubah menjadi pucat psi

bagaikan mayat, seluruh tubuhnya terasa jadi dingin dan kaku,

mulutnya melongo-longo sedangkan matanya terbelalak lebar-lebar,

untuk beberapa saat lamanya tak sepatah katapun diucapkan

keluar.

Kiranya Majikan patung emas adalah penyamaran dari Loo-cia itu

pelayan tua!

Cia Tiang Sian!!

Seorang pelayan tua yang sudah mengikuti Wie Ci To selama

empat puluh tahun lamanya ternyata bukan lain adalah majikan

patung emas yang sangat misterius itu.

Lama sekali Ti Then berdiri termangu-mangu, setelah itu baru

serunya tertahan:

“Ooh…Thian!”

“Orang yang menjalankan tidak bakal tahu sedang yang

menonton dari samping amat jelas, hari itu setelah kau

menceritakan seluruh persoalan kepada Loohu, Loohu segera

teringat kalau si Loo-cia pelayan tua itu adalah seorang manusia

yang patut dicurigai, tapi kau tidak suka mempercayainya.”

Ti Then tetap berada didalam keadaan yang amat terkejut,

terdengar dia bergumam seorang diri:

“Bagaimana mungkin dia adalah Majikan Patung Emas?

Bagaimana mungkin dia adalah Majikan Patung Emas ? Dia sudah

ada empat puluh tahun lamanya mengikuti Wie Ci To, sedang

kepandaian silatnya…”

Baru saja berbicara sampai disitu mendadak di dalam ruangan

gua itu terasa adanya kelebatan cahaya terang sebentar kemudian

suasana di tempat itu sudah terang benderang oleh cahaya obor.

Seorang tua dengan membawa lampu lentera berjalan masuk ke

dalam.

Dia…..bukan lain adalah Loo-Cia itu pelayan tua!

Sewaktu melayani Ti Then di dalam benteng wajahnya selalu

tersungging satu senyuman ramah, sedang sekarang…..bukan saja

wajahnya tidak diliputi oleh senyuman bahkan kelihatan begitu

dingin kaku, dan menyeramkan sekali, bahkan boleh dikata sudah

nerubah jadi seorang…seorang berdarah dingin!

Terhadap Loo-Cia yang melayani dirinya terus dan dirinya tidak

mengetahui kalau dia adalah Majikan Patung Emas, Ti Then merasa

hatinya amat tergetar keras sehingga wajahnya berubah pucat pasi.

Walau pun dengan memegang pedang erat-erat dia berdiri di

hadapan Majikan patung emas tetapi tak sepatah kata pun bisa dia

ucapkan keluar!

Loo-cia meletakkan dahulu lampu lentera itu keatas sebuah batu,

sikapnya amat dingin bagaikan es, setelah memandang sekejap

kearah Ti Then serta Yuan Siauw Ko dia baru berkata:

“Hmm! Selama ini kau tidak suka menerima perintahku dengan

hati rela dan selama ini pula tidak suka menerima peringatan dari

diriku, kelihatannya kau merasa tidak percaya kalau aku berani

turun tangan membunuh orang.”

Nada suaranya amat dingin, seperti perkataan yang diucapkan

oleh Raja Akhirat! Membuat setiap orang yang mendengar segera

merasakan bulu kuduknya pada berdiri.

Ti Then yang untuk pertama kalinya mencium bau kematian

tubuhnya terasa tergetar amat keras, dengan cepat kuda-kudanya

diperkuat, siap-siap menghadapi sesuatu pertempuran yang

menentukan mati hidupnya.

“Loo-cia!” teriaknya dengan keras. “Rupanya kaulah Majikan

Patung Emas!”

“Hee…heee..cuma sayang keadaan sudah terlambat, sekali pun

kau tahu juga tiada gunanya.”

Ti Then yang melihat dari sinar matanya memancarkan napsu

membunuhnya yang luar biasa, tak kuasa lagi dia menghembuskan

napas dingin.

“Bilamana kau sungguh-sungguh mau membinasakan kami, aku

ada satu permintaan.”

“Coba kau katakan.”

“Aku tidak suka menerima kematian dengan demikian saja, aku

mau mengadu jiwa dengan dirimu!”

“Hee..hee..itu memang menjadi hakmu!” seru Majikan patung

emas sambil tertawa dingin.

“Tetapi aku tahu dengan kepandaian silatku masih bukan

merupakan tandinganmu maka itu aku sangat mengharapkan

sebelum kau membinasakan diriku suka menjelaskan apakah

sebenarnya tujuan yang engkau tuju!”

“Baik!” jawab Loo-cia dengan seram. “Menanti napasmu hampir

putus, aku bisa beritahukan kepadamu! Sekarang kau boleh mulai

turun tangan!”

Ti Then segera menoleh kearah Yuan Siauw Ko dan ujarnya

dengan hati menyesal:

“Boanpwee sudah menyeret cianpwee ikut terancam jiwanya,

dalam hati aku benar-benar merasa menyesal. Semoga saja pada

penjelmaan di kemudian hari bisa menjadi anjing atau kuda untuk

membalas jasa dari Loocianpwee ini!”

Terhadap soal kematian agaknya Yuan Siauw Ko merasa sangat

tawar, mendengar perkataan dari Ti Then itu dia tertawa.

“Tidak! Soal ini bukanlah kesalahanmu, kau tidak hutang apa-apa

dengan loohu!”

Dengan sedihnya Ti Then segera menghela napas panjang,

dengan perlahan dia menoleh ke arah Loo-cia.

“Yuan loocianpwee ini tidak tahu urusan, bilamana kau tidak suka

melepaskan dirinya maka harap kau suka kasih satu pemberesan

yang cepat,” katanya.

“Baik!”

Nada suaranya amat tegas sedikitpun tidak ragu-ragu, jelas

terhadap diri Ti Then serta Yuan Siauw Ko dia sudah punya maksud

untuk membereskannya.

“Hee…hee..kepandaian silatku aku berhasil pelajari dari dirimu,

entah kali ini bisa tidak menerima dua puluh jurus seranganmu?”

kata Ti Then sambil tertawa.

Sehabis berkata tubuhnya maju ke depan, pedangnya diayun

menotok tubuh Loo-cia.

Jurus serangan ini bernama “Sian Jien Ci Lo” atau dewa sakti

menunjuk jalan, yang merupakan satu jurus serangan yang bukan

dipelajari dari pihak lawannya karena dia tahu bagaimana harus

menggunakan ilmu pedang yang dipelajari darinya untuk menyerang

dia orang maka hal ini sama sekali tidak ada gunanya.

Loo-cia tertawa dingin, dia tetap berdiri tidak bergerak.

Menanti ujung pedang dari Ti Then sudah hampir mendekati

badannya, mendadak telapak kanannya baru membalik, dengan

menggunakan tangan kosong dia mencengkeram pedang dari Ti

Then.

Melihat serangan tersebut Ti Then jadi terkejut, dengan gugup

dia menarik kembali serangannya, sambil menyingkir kekanan

dengan menggunakan jurus “Jie Lang Tan San” atau Jie Lang

memanggul gunung, membabat pinggang musuhnya.

“Ilmu pedang bagus!” puji Loo-cia dengan keras.

Tubuhnya menyingkir ke samping, dengan amat gesit dan

lincahnya kembali dia berhasil menghindarkan diri dari tusukan Ti

Then, mendadak tubuhnya menyerang ke sebelah kiri, telapaknya

dengan mengubah jadi cengkeraman elang, menghajar jalan darah

‘Ciang Bun’ pada pinggang Ti Then.

Dengan gugup Ti Then menyingkir kebelakang, pedangnya

dengan memutar satu lingkaran bagaikan burung merak lagi

mementangkan sayap dia menghajar dadanya Loo-cia.

Masing-masing pihak bergebrak dengan kecepatan yang luar

biasa, setiap jurus dipecahkan dengan jurus, didalam berjaga

membawa daya menyerang hanya didalam sekejap saja sudah

puluhan jurus sudah berlalu dengan amat cepatnya.

Tetapi pada saat masing-masing pihak bertempur dengan amat

seru itulah tiba-tiba……..

“Rubuh!” bentak Loo-cia dengan keras.

Hanya didalam sekejap saja sinar pedang berkelebat memenuhi

angkasa, bayangan telapak mengacaukan pandangan, masingmasing

pihak sudah berhenti bergerak sedang tubuh Ti Then pun

dengan perlahan-lahan rubuh ke atas tanah.

Semuanya ini membuat Yuan Siauw Ko yang menonton di

samping dibuat melongo-longo, dia yang melihat Ti Then dapat

dengan amat sengitnya melawan Majikan Patung emas menurut

anggapannya, walau pun Ti Then tidak dapat memperoleh

kemenangan paling sedikit untuk menerima seratus jurus pun masih

bisa.

Siapa sangka cuma sepuluh jurus saja dia sudah menemui

kekalahan secara mendadak, hal ini benar-benar amat

mencengangkan hatinya.

Sedang Ti Then sendiri pun merasa kebingungan, dia tidak

mengerti pihak lawan sudah menggunakan cara apa untuk menotok

jalan darahnya, bahkan dia pun merasa jari tangan pihak lawan pun

tidak sampai mengenai tubuhnya tetapi sudah cukup membuat

badannya jadi kaku sehingga tak dapat berdiri lebih lama.

Tetapi pikiran serta kesadarannya masih penuh, keadaannya

mirip dengan orang yang tertotok jalan darah kakunya.

Dengan menggunakan kakinya Loo-cia lantas membalik

badannya sehingga terlentang, air mukanya masih tetap dingin dan

buas kejam.

“Kau lihat!” ujarnya, “Walau pun aku sudah menciptakan dirimu

sebagai jago nomor tiga di seluruh Bu-lim, tetapi bilamana ingin

membereskan dirimu aku masih bisa lakukan dengan amat mudah.”

“Sekarang tentunya kau sudah boleh menceritakan tujuanmu

bukan?”

“Sebentar lagi pasti aku beritahukan kepadamu!”

Dengan perlahan dia bergeser kesamping tubuh Yuan Siauw Ko

dan memasukkan sepasang tangannya kebawah batu cadas, entah

dengan menggunakan cara yang bagaimana tahu-tahu batu cadas

itu sudah terangkat setinggi satu depa kemudian kakinya

menendang rantai besi itu kebawah batu dan menurunkan kembali

batu cadas itu.

“Buat apa kau berbuat demikian?” ujar Yuan Siauw Ko sambil

tertawa dingin.

“Karena kau cuma tinggal satu jam saja hidup di dunia.”

“Seluruh kepandaian silat loohu sudah kau punahkan, apa kau

takut loohu melarikan diri?”

“Benar, untuk sementara waktu aku akan meninggalkan gua ini

satu jam kemudian akan kembali lagi kesini untuk membereskan

kalian berdua!”

Sehabis berkata dia lantas berjalan keluar dari gua tersebut.

Melihat tindakan dari Majikan Patung Emas itu Ti Then segera

merasakan hatinya tergetar amat keras.

“Tunggu dulu!” teriaknya dengan cemas.

Majikan Patung Emas segera menghentikan langkahnya dan

menoleh.

“Permintaanmu itu bisa aku penuhi satu jam kemudin, sekarang

lebih baik kau berbaring dulu disini!” katanya dingin.

“Kau mau kemana?”

“Pulang ke dalam Benteng.”

“Mau apa?”

“Urusi pekerjaan!” sahut Majikan Patung Emas singkat.

Sehabis berkata dia melanjutkan kembali langkahnya menuju ke

depan.

Ti Then sudah dapat menebak apa yang hendak dikerjakan

olehnya sekembalinya ke dalam Benteng, hatinya merasa semakin

cemas lagi.

“Tunggu dulu, apa yang hendak kau lakukan sekembalinya ke

dalam Benteng?” “Teriaknya dengan cemas.

“Sejak semula aku sudah bilang” ujarnya sambil menghentikan

langkahnya kembali, “Bilamana dengan menggunakan cara yang

lunak tidak dapat mencapai tujuan terpaksa aku harus

menggunakan cara kekerasan!”

Mendengar kata-kata itu Ti Then merasakan matanya berkunangkunang.

“Tidak! Kau tidak boleh membunuh mereka ayah beranak!”

teriaknya dengan keras.

“Satu jam kemudian kau pun bakal mati, buat apa sekarang kau

merasa kuatir buat orang lain?”

Sehabis berkata dia melangkah kembali keluar.

Dalam hati Ti Then tahu didalam keadaan tak siap sedia Wie Ci

To ayah beranak pasti sukar untuk meloloskan diri dari kematian,

tidak terasa lagi dia sudah menghela napas panjang.

“Sudahlah, aku menyerah kepadamu!” katanya lemas.

Majikan Patung Emas pura-pura tidak mendengar, dia

melanjutkan kembali langkahnya menuju ke depan.

“Kau kembalilah, aku suka menurut petunjukmu lagi!” teriak Ti

Then semakin keras.

Dengan perlahan Majikan Patung Emas baru menghentikan

langkahnya dan menoleh.

“Kau bangsat cilik tidak bisa dipercaya, bagaimana aku dapat

mempercayai kembali kata-katamu?” ujarnya dingin.

“Yuan loocianpwee masih ada di tanganmu, kau takut apa?”

Majikan Patung Emas termenung berpikir sebentar, setelah itu

baru putar badannya berjalan balik.

“Kau sungguh-sungguh tidak akan mengkhianati aku lagi?”

“Tidak!”

“Sekarang kau sudah tahu akulah Majikan Patung Emas,

bilamana kau berani memecahkan rahasiaku, maka yang pertamatama

aku bunuh adalah Yuang Cong-piauwtauw ini!”

“Kau boleh berbuat demikian.”

“Baik, untuk terakhir kalinya aku suka mempercayai dirimu!”

Sehabis berkata dia lantas berjongkok untuk membebaskan jalan

darah kaku dari Ti Then yang tertotok.

Ti Then yang merasa cara menotok jalan darahnya ini sangat

istimewa sekali, tidak tertahan lantas tanyanya:

“Agaknya tadi kau orang tidak membentur badanku bukan?”

“Sudah tentu, karena yang aku gunakan adalah totokan angin!”

jawab Loo-cia sambil tertawa seram.

Jari tangan kanannya segera ditekuk dan disentilkan ke depan.

“Plaaak!” dengan disertai suara angin yang amat nyaring batu

kecil yang ada beberapa depa jauhnya segera tersentil jatuh ke

tengah kejauhan.

Waktu itu Ti Then baru bangkit berdiri, melihat kedahsyatan dari

ilmu tersebut dalam hati merasa amat terperanjat.

“Agaknya ilmu silat semacam ini kau orang belum pernah

mengajarinya kepadaku!”

“Seharusnya aku tinggalkan beberapa ilmu untuk aku simpan,

kalau tidak bagaimana aku bisa menguasai dirimu?”

Ti Then segera bangkit berdiri dan menoleh ke arah Yuan Siauw

Ko sambil tertawa pahit.

“Loocianpwee! Sebenarnya boanpwee tidak ingin takluk dengan

perbuatan jahat, tetapi saat ini aku mau tidak mau harus tunduk

satu kali!”

Sudah tentu Yuan Siauw Ko mengerti akan maksud hatinya,

kesemuanya ini dia lakukan dikarenakan Wie Ci To ayah beranak,

karenanya terhadap keputusan inipun dia mengetahui jelas.

“Loohu tahu, kau pergilah dengan lega hati!” ujarnya sambil

tertawa.

“Kau punya rencana hendak mengurung Yuan loocianpwee

sampai kapan baru dilepaskan kembali?” tanya Ti Then kemudian

sambil menoleh kearah Loo-cia.

“Sesudah tujuanku tercapai!”

“Kau orang tidak seharusnya memusnahkan ilmu silatnya” omel

Ti Then.

“Caraku untuk memusnahkan ilmu silat orang lain sama sekali

berbeda dengan cara biasanya, sampai waktunya aku lepaskan dia

pergi tentu kepandaian silatnya aku pulihkan kembali.”

“Apa sungguh-sungguh perkataanmu itu?” tanya Ti Then dengan

hati girang.

“Tidak salah”

“Di dalam waktu-waktu ini aku mengharapkan kau jangan

merugikan dirinya”

“Asalkan dia tidak melarikan diri, aku pasti tidak akan merugikan

dirinya.”

“Keadaan dari loohu sekarang ini seperti anjing pun lebih baik,

kau masih bilang tidak merugikan?” cela Yuan Siauw Ko dari

samping.

“Aku merasa senang untuk memberi lebih enak sedikit

kepadamu, tetapi dengan keadaan pada saat ini terpaksa aku cuma

bilang bersikap demikian kepadamu.”

Berbicara sampai disini dia lantas menoleh kearah Ti Then.

“Sekarang cepat kau kembali ke dalam Benteng!” perintahnya.

“Kau tidak kembali bersama-sama aku?”

“Kau pulanglah terlebih dahulu.”

Dengan wajah ragu-ragu Ti Then menoleh sekejap kearah Yuan

Siauw Ko, lama sekali baru ujarnya:

“Kau masih ada disini untuk berbuat apa?”

“Kau boleh lega hati, bilamana aku ingin mencelakai dirinya saat

ini pun aku bisa turun tangan.”

Ti Then yang merasa perkataannya ini sedikit pun tidak salah

lantas merangkap tangannya menjura kearah Yuan Siauw Ko,

setelah itu memungut kembali pedangnya dimasukkan kedalam

sarung.

Baru saja Ti Then berjalan beberapa langkah mendadak

terdengarlah Loo-cia si majikan patung emas berkata kembali:

“Ooh benar, bilamana jejakmu malam ini diketahui oleh para

pendekar pedang yang berjaga-jaga di benteng, kau hendak

menggunakan cara apa untuk memberi penjelasan?”

Sembari melanjutkan perjalanannya keluar dari gua itu jawab Ti

Then tawar.

“Aku bilang baru saja menemukan orang yang melakukan

perjalanan malam melewati benteng, aku lantas melakukan

pengejaran hingga di luar benteng.”

“Betul, memang seharusnya kau memberi penjelasan secara

demikian” sahut Loo-cia tertawa.

Dia pun lantas ikut di belakang Ti Then berjalan keluar dari gua,

menanti bayangan tubuh Ti Then sudah lenyap dari pandangan dia

baru kembali lagi kedalam gua dan menarik lepas rantai besi yang

ditindih dibawah batu cadas tersebut.

Kemudian sambil membawa kantongan ransum serta air, ujarnya

kepada Yuan Siauw Ko.

“Ayoh, kita pun harus berangkat!”

“Kemana?”

“Tempat ini sudah diketahui oleh Ti Then, maka aku harus

membawa dirimu menuju kedalam gua yang lain”

Dengan berdiam diri Yuan Siauw Ko bangkit berdiri dan

mengikuti dari belakang tubuhnya berjalan keluar dari gua tersebut.

Sesampainya diluar gua, dikarenakan kepandaian silat dari Yuan

Siauw Ko sudah musnah sehingga tidak bisa mengerahkan ilmu

meringankan tubuh maka dengan dibimbing oelh Loo-cia mereka

melayang dan menaiki keatas tebing gua Lui Tong Ping tersebut.

Setelah itu mereka melanjutkan perjalanannya menuju kedalam

gunung yang lebih jauh lagi.

Sewaktu bayangan tubuhnya sudah ada beberapa kaki jauhnya

dari sana, mendadak dari bawah gua Lui Tong Ping itu berkelebat

kembali sesosok bayangan hitam yang secara diam-diam tanpa

mengeluarkan sedikit suara pun menguntit dari belakang Loo-cia

hingga ke tempat tujuannya.

Adakah bayangan hitam itu adalah Ti Then?

Bukan, saat ini Ti Then sudah kembali ke benteng Pek Kiam Poo.

XXXdwXXX

Para tetamu yang sengaja datang membawa selamat sudah

berdatangan, suasana di dalam benteng Pek Kiam Poo mulai jadi

ramai.

Saat itu sewaktu Ti Then lagi duduk melamun di dalam kamar

mendadak tampak Loo-cia masuk ke dalam kamar.

“Ti Kiauw-tauw, Poocu mengundang kau ke kamar baca untuk

bercakap-cakap” katanya sambil tertawa.

“Urusan apa?” tanya Ti Then melengak.

“Entahlah!”

Dia menoleh dulu memandang sekeliling tempat itu kemudian

sambil memperendah suaranya dia berkata kembali.

“Jarak sekarang dengan hari perkawinanmu tinggal empat hari

saja. Di dalam empat hari ini apa yang dikatakan oleh Wie Ci To

kepadamu harus kau laporkan semua kepadaku, tahu tidak?”

Ti Then segera mengangguk dan putar badan berlalu dari sana.

Setibanya didalam kamar baca Wie Ci To tampaklah Wie Lian In

pun pada sat itu ada didalam kamar baca, karenanya dia lantas

maju memberi hormat kepada Wie Ci To.

“Loo-cia bilang katanya Gak-hu thayjien lagi mencari

menantumu?”

“Benar” sahut Wie Ci To tersenyum, “Loohu punya satu urusan

yang hendak dirundingkan dengan dirimu, kau duduklah”

Ti Then segera duduk di samping.

Wie Ci To mendehem beberapa kali, lalu sambil menuding kearah

Wie Lian In ujarnya sambil tertawa.

“Lian In budak ini secara mendadak kemarin hari minta kepada

Loohu untuk mendirikan satu kamar baru…”

Ti Then jadi melengak.

“Apa sempat untuk membangun sebuah kamar baru lagi?”

tanyanya.

“Maksud dari Lian In bukannya minta dibangunkan satu kamar

yang baru, dia cuma bilang tidak suka menganggap kamarnya

sekarang sebagai kamar yang baru, dia pikir ingin mencari tempat

lain untuk mendirikan kamar baru buatnya.”

Dengan tidak paham Ti Then memandang sekejap ke arah Wie

Lian In.

“Bukankah kamarmu sekarang ini sangat bagus sekali?”

tanyanya.

“Hmm, kamar itu syudah aku diami selama puluhan tahun

lamanya, sejak semula aku sudah merasa bosan” seru Wie Lian In

sambil mencibirkan bibirnya.

“Sudah..sudahlah, kau tidak usah seperti bocah cilik saja!”

“Perkatraannya memang amat betul” timbrung ie Ci To sambil

tersenyum. “Setelah kalian menikah ada seharusnya dimulai dengan

barus segala-galanya”

“lalu kau sudah setuju dengan kamar yang mana di dalam

Benteng ini?” tanya Ti Then sambil tertawa, dengan perlahan dia

menoleh kearah Wie Lian In.

“Aku sudah setuju dengan kamar didalam loteng penyimpan kitab

tersebut.”

Semula Ti Then agak melengak, tetapi sebentar kemudian dia

sudah tertawa geli.

“Lian In, kau jangan berguyon” serunya.

“Tetapi tia sudah setuju”

Sekali lagi Ti Then dibuat kebingungan, dia merasa urusan ini

ada diluar dugaannya.

“Sungguh?” tanyanya sambil menoleh kearah Wie Ci To.

“Sungguh…” sahut Wie Ci To mengangguk.

“Tetapi…”

“Loteng penyimpan kitab itu tidak mengandung rahasia apa pun”

potong Wie Ci To dengan cepatnya, apalagi setelah Loohu ceritakan

soal lukisan Shu Sia Mey kepada kalian hatiku pun rada baikan,

maka itu Loohu sudah mengabulkan permintaan dari Lian In untuk

serahkan itu loteng penyimpan kitab sebagai kamar baru kalian.”

Untuk beberapa saat lamanya Ti Then dibuat kebingungan, dia

tahu didalam loteng penyimpan kitab pasti sudah tersimpan satu

rahasia, sedang barang yang diinginkan oleh Majikan patung emas

itu pun pasti tersimpan di dalam Loteng penyimpan kitab tersebut.

Sekarang mereka ayah beranak menyerahkan loteng tersebut

kepada dirinya untuk dijadikan sebagai kamar baru, bukankah hal ini

sama saja dengan mengundang pencuri ke dalam kamar? Dan

memberi kesempatan buat Majikan Patung emas atau boleh dikata

dirinya sendiri untuk melakukan niatnya?

“Kau tidak suka dengan tempat itu ?” tanya Wie Lian In tibatiba.

“Bilamana kau menyuruh aku mengambil keputusan maka aku

rasa kamarmu yang sekarang itu jauh lebih baik.”

“Kenapa ?” tanya Wie Lian In kurang senang.

“Loteng penyimpan kitab itu tentu merupakan tempat yang

paling tenang dari ayahmu, kita tidak seharusnya merebut tempat

kesenangan dari ayahmu itu.”

“Soal ini kau tidak usah kuatir,” sambung Wie Ci To dengan

cepat, “Pada beberapa waktu ini Loohu sudah jarang membaca

buku lagi bahkan loohu rela memberikan loteng penyimpan kitab itu

buat kalian gunakan sebagai kamar baru.”

“Apa maksud dari Gak hu ?”

“Loohu masih teringat dengan kata-katamu tempo hari,

dikarenakan Loohu sudah melarang setiap orang memasuki loteng

penyimpan kitab itu maka mudah menimbulkan rasa curiga dari

orang lain kalau di dalam loteng itu benar-benar sudah tersimpan

barang pusaka, demi jelasnya persoalan ini maka Loohu rasa

serahkan ruangan itu buat kalian adalah merupakan satu

penyelesaian yang paling baik.”

“Asalkan kau tidak menolak maka aku segera akan suruh orang

untuk membersihkan tempat itu dan memasukkan semua alat2

rumah tangga kedalam ruangan” sambung Wie Lian In dengan

cepat.

“Lalu buku-buku itu hendak pindah kemana ?”

“Kamar kosong didalam Benteng masih banyak, buku-buku itu

mudah saja dipindahkan ke tempat lain”

“Sedang alat rahasianya ?”

“Alat rahasia sukar untuk dibongkar, tetapi Loohu bisa jelaskan

semua alat rahasia itu kepada kalian agar kalian pun mengerti cara

menggunakannya.”

“Sebetulnya menantumu merasa kurang setuju,” ujar Ti Then

sambil tertawa. “Tetapi kalau memangnya Gak hu serta Lian In

sudah setuju maka siauw say pun tidak akan menolak lagi”

Mendengar perkataan tersebut Wie Ci To segera bangkit berdiri,

“Loohu akan pergi menutup alat rahasianya, kemudian suruh

orang untuk memindahkan kitab serta lukisan-lukisan itu. Dan

mengadakan pembersihan seperlunya”.

Sehabis berkata dia lantas berlalu dari sana.

Menanti bayangan tubuh dnri Wie Ci To sudah lenyap dari

pandangan Ti Then baru menoleh kearah Wie Lian In dan

mengomel.

“Kau tidaklah patut untuk mengajukan permintaan ini kepada

ayahmu !”.

“Kenapa ?” tanya Wie Lian In sambil mencibirkan bibirnya.

“Membaca buku dan memandang lukisan adalah satu-satunya

kesenangan dari ayahmu, tidak seharusnya kau mengganggu

kesenangan beliau itu !”.

“Tetapi membaca buku atau melihat lukisan tidak seharusnya

diatas loteng penyimpan kiiab !”.

“Tetapi belum tentu juga ruangan loteng penyimpan kitab itu

harus dijadikan kamar baru kita”.

“Aku rasa loteng penyimpan kitab itu sangat indah sekali,

dibawah loteng ada ruangan tamunya, diatas loteng adalah kamar

tidur dan bisa digunakan untuk memandang ketempat kejauhan

apalagi bila mana musim panas menjelang tidak merasa terlalu

panas, bukan begitu ?”.

Sambil mengerutkan alisnya rapat2 Ti Then tidak mengucapkan

sepatah katapun.

“Disamping itu” ujar Wie Lian In lagi tertawa, “Kita bisa pula

melenyapkan pikiran yang bukan2 dari ayahku terhadap Shu Siu

Mey, bukankah itu sangat bagus sekali ?”

Ti Then tertawa tawar dan tidak mengucapkan kata-kata lagi.

“Ayoh jalan, kila pergi melihat-lihat.”

Mereka berdua segera berjalan keluar dari kamar baca itu

menuju kebawah loteng penyimpan kitab.

Waktu itu kebetulan Wie Ci To sedang berjalan mendatang,

terdengar sambil tertawa ujarnya :

“Loohu sudah mematikan alat2 rahasianya, sekarang aku mau

suruh pelayan singkirkan buku-buku serta lukisan2 itu.”

Tidak lama kemudian dangan diawasi oleh Wie Ci To sendiri

tampak tiga orang pelayan tua mulai menurunkan peti-peti buku

yang ada didalam loteng penyimpan kiiab itu.

Agaknya Wie Ci To merasa kekurangan tenaga, kepada Ti Then

lantas ujarnya;

“Coba kau panggil Loo-cia kemari untuk membantu.”

“Kenapa tidak suruh pendekar pedang hitam saja ?”

“Tidak, beberapa orang tua itu sudah ada sangat lama mengikuti

loohu, cuma mereka saja yang tahu bagaimana caranya

membereskan barang-barang tersebut.”

“Ooow . .” seru Ti Then, setelah itu dia berjalan ke ruangan

tengah untuk mencari datang Loo cia.

“Loo-cia, poocu perintah kau membantu mengangkati barang,”

serunya.

“Mengangkati barang apa ?” tanya Loo-cia dengan sinar mata

ragu-ragu.

“Membongkar kitab-kitab serta lukisan2 yang ada didalam loteng

penyimpan kitab, Poocu mau berikan tempat itu untuk dijadikan

kamar pengantenku”

“Apa maksudmu ?” tanya Loo-cia dengan air muka berubah

sangat hebat.

“Ini adalah atas perintah dari Wie Lian In, dia bilang mau pindah

kamar dan Wie Ci To setuju, maksudnya yang lain adalah agar

semua orang paham kalau didalam loteng penyimpan kitab itu

sebetulnya tidak ada barang pusaka apapun.”

“Lalu alat-alat rahasia didalam loteng itu apakah sudah dibuang?”

“Tidak,” jawab Ti Then perlahan. “Wie Ci To bilang alat-alat

rahasia itu tidak bisa dibongkar, tetapi dia hendak memberi

penjelasan kepada kami bagaimana caranya menggunakan alat-alat

rahasia tersebut.”

“Kalau begitu sangat bagus sekali !!” Teriak Loo-cia dengan hati

girang.

“Aku tahu setelah mendengar berita ini kau pasti akan merasa

girang, tapi bilamana kau bermaksud untuk mendapatkan semacam

barang dari Wie Ci To saat ini merupakan satu kesempatan yang

baik, kau boleh menggunakan kesempatan sewaktu menggotongi

buku2 serta lukisan2 itu untuk mencari dapat barang itu”.

“Soal itu tidak mungkin bisa terjadi !” ujar Loo-cia sambil

gelengkan kepalanya.

“Kenapa ?”

Loo-cia tersenyum, dengan suara yang amat lirih ujarnya;

“Barang yang aku maui itu sudah disimpan oleh Wie Ci To

dengan amat rahasia, barang itu baru bisa diperoleh bilamana kau

benar2 sudah memahami seluk beluk dari alat2 rahasia yang

menyelubungi loteng penyimpan kitab itu”.

“Jadi maksudmu, barang yang kau inginkan itu tidak mungkin

dipindahkan oleh Wie Ci To keluar dari loteng penyimpan kitab

tersebut ?”.

“Benar”.

“Besarkah barang itu?”.

“Tidak besar yaa tidak kecil!” sahut Loo-cia sambil tcrtawa

misterius.

“Kau rasa setelah aku bisa menggunakan alat2 rahasia itu lalu

bisa bantu dirimu untuk mendapatkan barang tersebut?”

“Tidak salah”

“Kalau begitu ada kemungkinan sebelum tiba saatnya aku kawin

dengan Wie Lian In barang itu sudah dapat aku dapatkan?”.

“Ada kemungkinan memang begitu”.

“Bilamana aku bisa memperoleh barang itu sebelum hari

perkawinanku, apakah kau hendak memaksa aku tetap kawin

dengan Wie Lian Ini?”

“Tidak!” seru Loo-cia, “Waktu itu kau boleh ambil keputusan

sendiri, bilamana suka kawin dengan dirinya kau boleh tetap tinggal

disini. bilamana tidak suka yaa boleh meninggalkan benteng Pek

Kiam Poo”

Mendengar perkataan itu Ti Then jadi amat girang.

“Kalau begitu sekarang juga kau boleh beritahukan kepadaku

barang macam apakah yang kau kehendaki itu, akupun bisa segera

melaksanakan tugas tersebut, karena ada kemungkinan sebentar

lagi Wie Ci To bakal memberitahukan kepadaku cara2 kegunaan dari

alat2 rahasia tersebut”.

Loo-cia termenung berpikir sebentar, akhirnya dia

menggelengkan kepalanya.

“Tidak, sekarang masih belum bisa, menanti setelah kau benar2

mengerti jelas cara-cara dari alat rahasia itu . . hmm. hmmm„

benar, apakah Wie Ci To ayah beranak pernah mengajukan

permintaan untuk tunjuk aku lagi untuk melayani dirimu?”

“Tidak.”

“Ada kesempatan kau boleh katakan soal ini dengan Wie Ci To,

katakan saja kau suka padaku dan mengharapkan aku bisa

melanjutkan pekerjaannya melayani dirimun di loteng penyimpan

kitab tersebut”

Dalam hati Ti Then tahu pihak lawan berkata demikian dengan

tujuan ingin mencari barang, memang cara itulah yang terbaik,

karenanya dia lantas mengangguk.

“Baiklah, bilamana Wie Ci To tidak setuju, aku tidak punya cara

lhoo,” katanya.

“Asalkan kau tidak membocorkan rahasiaku maka dia tidak akan

menaruh curiga terhadap diriku, bilamana dia tidak menaruh curiga

terhadap diriku maka permintaanmu itu pasti akan dikabulkan.”

“Semoga saja demikian, sekarang kau boleh pergi bekerja.”

Loo-cia segera mengangguk dan berjalan menuju ke Loteng

Penyimpan kitab itu.

Ti Then pun mengikuti dari belakangnya berjalan menuju kearah

Loteng penyimpan kitab.

Wie Ci To yang melihat munculnya Loo-cia dia lantas berseru.

“Loo-cia, dahulu kau pernah membantu loohu aturkan buku2 dan

lukisan2 coba kau masuklah kedalam dan membantu”

Dengan hormatnya Loo-cia menyahut dan dengan langkah cepat

masuk kedalam loteng penyimpan kitab untuk membantu

membongkari buku2 serta lukisan tersebut.

XxxdwxxX

WIE CI TO segera menoleh kearah Ti Then dan tertawa.

“Loo-Cia orang ini tidak jelek, dia sudah mengikuti puluhan tahun

lamanya dengan Loohu, selamanya belum pernah ribut maupun

mengomel, dia adalah seorang yang rajin . . . . ”

“Benar !” sahut Ti Then mengangguk. “Sebelum dia mengikuti

Gak-hu apa kerjanya?”

“Seorang kuli di dusun, ada satu kali karena miuum arak dan

mabok dia sudah membuat gara2 sehingga diusir oleh majikannya.

Loohu yang melihat dia orang amat jujur lantas menerimanya

sebagai pembantu, kaiau di-hitung2 boleh dikata dia sudah ada

empat puluh tahun lamanya mengikuti Loohu.”

“Apakah dia pernah belajar ilmu silat?”.

“Pernah belajar beberapa waktu lamanya, karena bakatnya tidak

ada kemudian dia tidak berlatih lagi”.

Sewaktu mereka ber-cakap2 terlihatlah Loo-cia dengan

menggotong sebuah peti buku berjalan keluar dari Loteng

penyimpan kitab itu dan berhenti dihadapan mereka, kepada Wio Ci

To sambil tertawa tanyanya :

“Peti ini berisikan tulisan tangan dari para sejarah Wan, Poocu

punya maksud untuk menyimpannya dikamar yang mana?”

“Taruh saja disebelah kiri dari kamar baca”.

Loo-cia segera menyahut dan sambil menggotong peti tersebut

berjalan menuju ke kamar baca.

“Loo-cia” tiba2 terdengar Wie Lian In menegur sambil tertawa

perlahan. “Tenagamu sungguh tidak kecil !”,

Sembari berjalan Loo-cia menjawab :

“Peti buku ini tidak lebih cuma enam tujuh puluh kati beratnya,

bilamana budakmu tidak kuat untuk mengangkat bukankah hanya

memalukan orang2 benteng Pek Kiam Poo saja”.

“Loo-cia bekerja amat gesit, p«rkataannya pun amat lincah,

siauw-say berharap lain kali dia bisa meneruskan untuk melayani

aku ” ujar Ti Then sengaja mengambil kesempatan ini.

“Tapi aku tidak suka padanya, dia sering menggoda aku!” sela

Wie Lian In amat kesal.

“Kan tidak mengapa bukan kalau cuma berguyon ??”

“Lain kali ada Cun Lan seorang sudah cukup buat apa ditambahi

dengan dirinya?”

“Tetapi apakah Cun Lan bisa mengerjakan pekerjaan besar?”

“Tidak salah“ sela Wie Ci To sambil tertawa. “Walaupun usia dari

Loo-cia sudah tidak kecil tetapi untuk melakukan pekerjaan kasar

aku lihat masih bisa, lebih baik biar dia ikut dengan kalian lagi.”

Wie Lian In tersenyum dan tidak membantsh lagi.

Empat orang pelayan tua itu setelah repot setengah harian

akhirnya buku2 serta lukisan2 yang ada didalam loteng penyimpan

kilab itupun sudah berhasil dibereskan Wie Ci To lantas perintah

mereka untuk membersihkannya, kepada Ti Then serta putrinya dia

memberi pesan:

“Kemungkinan sekali besok pagi barang2 rumah tangga sudah

bisa dibawa masuk, sekarang kalian ikutlah loohu menuju ke kamar

baca, Loohu hendak menjelaskan dulu keadaan dari alat rahasia

itu.”

xxxdwxxx

Magrib itu juga Loo-cia berempat sudah menyelesaikan

pekerjaannya untuk membereskan Loteng Penyimpan kitab itu, Wie

Ci To pun dengan mengambil kesempatan sebelum alat2 rumah

tangganya diatur didalam ruangan tersebut dengan mengajak Ti

Then serta putrinya memasuki loteng penyimpan kitab dan

menjelaskan cara2 menutup serta membuka alat2 rahasia itu

beserta perubahannya.

Dengan telitinya Ti Then mengingat semua keterangan itu di hati,

diam2 dia merasa terperanjat juga karena ini harilah dia baru

benar2 mengetahui kalau Loteng penyimpan kitab itu benar2

merupakan satu tempat yang sukar ditembusi oleh orang asing.

Alat rahasia yang dipasang didalam ruangan itu ada delapan

belas macam jumlahnya bahkan cara untuk menggerakkan alat

rahasia itupun bisa diubah sesukanya sehingga memaksa pihak

musuh tidak dapat memecahkannya untuk selamanya.

Diam2 pikirnya dihati:

“Tidak aneh kalau Loo-cia hendak menggunakan aku untuk

mencuri barang tersebut, bilamana tidak mendengarkan penjelasan

dari Wie Ci To ini hari siapapun tidak bakal bisa keluar lagi dari sini

dalam keadaan hidup2 setelah tiba disini!”.

Setelah Wie Ci To selesai menjelaskau rahasia itu mendadak dia

menggerakkan suatu alat rahasia sehingga membuat dinding

tembok itu memutar dengan sendirinya, ujarnya sambil tertawa:

“Tempo hari Loohu pun pernah membuka dinding rahasia ini

untuk melihat lukisan dari Shu Sin Mey ….”.

Sedang sekarang lukisan dari Shu Sin Mey yang ada disana sudah

tidak kelihatan lagi!

“Dimanakah lukisan itu sekarang berada? tanya Wie Lian In

keheranan.

“Loohu sudah simpan lukisan kedalam ruaogan rahasia tersebut,

sebetulnya Loohu bermaksud untuk membawanya keluar dari loteng

penyimpanan kitab ini tetapi dikarenakan semasa hidupnya dia

paling suka ketenangan maka loohu rasa lebih baik biarkan dirinya

tinggal didalam loteng saja”.

“Apakah disebelah sana masih ada sebuah kamar rahasia?” tanya

Wie Lian In lagi.

“Ada! disebelah dalam!” sahut Wie Ci To sambil mengangguk.

Dari samping dinding kembali dia menekan sebuah tombol. Kraak

. . . kraak . . dengan menimbulkan suara yang nyaring dari balik

dinding rahasia itu kembali terbuka sebuah ruangan rahasia yang

amat gelap dan cuma kelihatan anak tangganya saja.

Anak tangga yang terbuat dari batu itu menghubungkan ke

tempat yang lebih dalam lagi, kemana tujuannya? tiada yang tahu.

Wie Ci To segera menuju kedalam ruangan tersebut.

“Dari sini menuju kebawah akan tiba disuatu tempat yang amat

rahasia, ruangan itu letaknya ada tiga kaki dalamnya dari atas

permukaan tanah” ujarnya.

“Bagaimana kalau aku masuk untuk melihat?”.

“Tidak!” cegah Wie Ci To denpan wajah keren.

“Ada yang penting?” tanya Wie Lian In kaget.

“Loohu tidak ingin ada orang yang mengganggu dirinya, sejak ini

hari ssluruh ruangan Loteng Penyimpan kitab ini loohu serahkan

kepada kalian suami istri, cuma satu2nya ruangan rahasia ini saja

loohu harap kalian suka tinggalkan buat dirinya.”

“Jadi maksud Tia apa mungkin sukmanya masih ada didalam

loteng penyimpan kitab ini?” tanya Wie Lian In tiba2 sambil tertawa.

“Benar, walaupun dia sudah meninggal amat lama tapi loohu

selalu merasa bahwa sukmanya tidak bakal pergi dari tempat ini!”

Dia berhenti sebentar, kemudian dengan menggunakan sepasang

matanya yang amat tajam memperhatikan diri Ti Then serta Wie

Lian In sekejap, dan ujarnya dengan suara keren:

“Loohu tidak akan menggunakan kekerasan untuk memaksa

kalian pergi menghormat dirinya, tapi bilamana kalian suka

menghormati loohu maka harap janganlah kalian pergi mengganggu

dirinya!”

“Baik!” sahut Wie Lian In dengan amat hormatnya. “Putrimu pasti

tidak akan menginjak ruangan rahasia ini barang selangkah pun!”

“Gak-hu harap berlega hati!” ujar Ti Then dengan muka yang

serius, “Siauw-say akan menganggap di dalam loteng penyimpan

kitab ini sama sekali tidak ada lorong rahasia ini dan tidak pula

ruangan bawah sekali.”

“Kalau begitu sangat bagus sekali!” sahut Wie Lian In dengan

hati girang.

“Apakah didalam ruangan itu tidak dipasangi alat rahasia ?”.

“Tidak ada, maka itu loohu mengajukan permintaan ini kepada

kalian. karena loohu takut secara sembunyi2 kalian hendak

mengintip masuk”.

“Tidak mungkin terjadi” Seru Wie Lian In sungguh2. “Bilamana

Tia tidak berkata ada kemungkinan putrimu akan masuk ke dalam,

sekarang Tia sudah memberi pesan demikian sudah tentu putrimu

tidak akan berani masuk lagi”.

Wie Ci To yang mendengar perkataan dari putrinya itu amat

tegas diapun lantas menekan kembali tombol rahasianya sehingga

dinding rahasia itu menutup kembali.

“Mari kita turun kebawah!” ujarnya.

Malam itu setelah Ti Then menemui para tetamu untuk bersantap

malam dia kembali kekamarnya sendiri.

“Loo-cia ambil teh!” teriaknya dengan keras,

“Sebentar!” seru Loo-cia dari kamar samping kemudian tampak

dia berjalan datang dengan membawa secawan teh.

Setelah dilihatnya dia meletakkan air itu keatas meja sekali lagi

dengan kasar Ti Then memberi perintah:

“Loo-cia, pergi masak segentong air panas, aku mau mandi !”

“Baik . . . baik . . . sebentar lagi datang! ” sahut Loo-cia sambil

bungkuk2 badannya.

Selesai berkata dia lantas mengundurkan dirinya.

Ti Then yang melihat dia orang sama sekali tidak dibuat

mendongkol oleh sikapnya yang kasar itu dalam hati merasa amat

kagum sekali atas kesabaran hatinya.

Setelah membersihkan badan Loo-cia membantu dia orang

membuang air kotor itu, membereskan pakaian kotor lalu ujarnya

sambil tertawa:

“Bangsat cilik, selama beberapa bulan ini walaupun kau

menerima perintahku tetapt aku pun sudah membantu kau untuk

melakukan berbagai macam pekerjaan, maka itu seharusnya kau

sudah merasa puas.”

“Tidak salah! ” sahut Ti Then tersenyum lalu meneguk air teh itu

satu tegukan. “Di dalam melayani majikan kau memang sangat

pandai sekali”.

Setelah menutup pintu kamar Loo-cia segera duduk disamping

badannya, dan ujarnya dengan menggunakan ilmu untuk

menyampaikan suara:

“Tetapi hari inipun tidak bisa terlalu lama !”.

“Wie Ci To sudah menjelaskan seluruh rahasia dari alat rahasia

didalam loteng penyimpan kitab dengan jelas, aku pikir sekarang

kau sudah boleh memberitahukan barang apa yang sebetulnya kau

inginkan”

“Apa kau sudah memeriksa seluruh rahasia didalam Loteng

penyimpan kitab itu ?”

“Kecuali sebuah ruangan rahasia aku tidak memeriksanya . . . “

Air muka Loo-cia segera memperlihatkan kegirangan, tanyanya

dengan cemas,

“Ruangan rahasia yang ada didalam Loteng penyimpan kitab itu

terletak di sebelah mana?”

“Mulut pintu ada di loteng tingkat dua, sedang ruangan rahasia

itu terletak pada tiga kaki dibawah tanah.

“Kalian dilarang untuk mssuk memeriksa apakah hal ini

disebabkan oleh larangan dari Wie Ci To ?” tanya Loo-cia lagi

dengan cemas.

“Benar,” sahut Ti Then sambil mengangguk, “Dia bilang lukisan

dari Shu Sin Mey ada didalam ruangan rahasia itu, dia minta kami

jangan mengganggunya.”

“Bagus sekali” seru Loo-cia lagi sambil tertawa dingin.

“Aku rasa barang yang kau inginkan tentunya terletak didalam

ruangan rahasia itu bukan ?”

“Tidak salah” sahut Loo-cia mengangguk,

“Wie Ci To bilang dalam ruangan rahasia itu tidak dipasang alat

rahasia, bilamana hendak mengambil barang itu bukankah sangat

mudah sekali ?”

“Hmm aku tidak percaya kalau didalam ruangan rahasia itu tidak

dipasangi alat rahasia” ujar Loo-cia sambil gelengkan kepalanya.

“Tetapi perkataan ini dia katakan kepada putrinya sendiri,

bilamana dia berbohong dan ada kemungkinan Wie Lian In karena

rasa ingin tahu secara diam-diam memasuki ruangan tersebut

bukankah hal ini sama saja dengan mencelakai putrinya sendiri?”

Agaknya Loo-cia merasa perkataannya ini sedikitpun tidak salah,

alisnya segera dikerutkan rapat-rapat,

“Ehmm . . . tidak salah, bilamana didalam ruangan rahasia itu

benar-benar ada alat rahasianya dia seharusnya bisa memikirkannya

sampai disini tetapi . . . aku benar-benar merasa tidak percaya kalau

didalam ruangan rahasia itu tidak dipasangi alat rahasia . . “

“Apa aku pergi masuk kedalam untuk mengadakan

pemeriksaan?”

Dengan amat tajamnya Loo-cia memperhatikan lalu tertawa

mengejek.

“Hmm, bagaimana sekarang kau begitu bersemangat ?”

tanyanya.

“Aku sangat mengharapkan perintah dan tugasmu itu bisa aku

selesaikan sebelum hari pernikahanku dengan Wie Lian In, karena

aku tidak ingin menipu dirinya.”

“Kau punya rencana untuk meninggalkan benteng Pek Kiam Poo

setelah menyelesaikan tugas ini ?”

“Benar,” sahut Ti Then mengangguk,

Dengan cepat Loo-cia lantas gelengkan kepalanya.

“Aku rasa hal ini tidak mungkin.”

“Apa maksudmu ?”

“Kau tidak mungkin bisa menyelesaikan tugasmu sebelum kawin

dengan Wie Lian In … .”

“Karena sukar ?”

“Tidak, soal ini sangat mudah tetapi kau pasti tidak akan bantu

aku untuk menyelesaikannya.”

“Bilamana barang yang hendak kau curi itu adalah sebuah barang

tidak berharga dan tidak mendatangkan bencana buat keselamatan

dari Wie Ci To ayah beranak, demi keselamatan dari Wie Ci To ayah

beranak serta Yuan Loocianpwee aku suka pergi menyelesaikan

pekerjaan ini.”

“Tetapi keadaan pada saat ini sudah berubah kembali, aku

sudah ambil keputusan untuk mengerjakannya sendiri” kata Loo-cia

sambil tertawa seram.

Dengan pandangan melongo dan kebingungan Ti Then

memperhatikan dirinya, tak sepatah katapun diucapkan kembali.

“Semula aku memang benar2 ingin menggunakan dirimu untuk

mencuri suatu benda, tetapi sekarang barang itu sudah aku

dapatkan” ujar Loo-cia lagi.

Ti Then jadi melengak-

“Aku sudah bantu dirimu untuk mencurinya ?”.

“Benar” sahut Loo-cia mengangguk, “Barang yang aku inginkan

adalah keterangan dari alat2 rahasia yang dipasang di Loteng

Penyimpan Kitab tersebut, sekarang aku sudah bisa bebas

memasuki loteng itu maka itu tidak membutuhkan buku keterangan

lagi.”

“Apa gunanya kau menginginkan buku keterangan mengenai

alat-alat rahasia di loteng penyimpan kitab itu ?”

“Tujuannya hanyalah ingin memasuki loteng penyimpan kitab

tersebut.”

“Apa tujuanmu untuk memasuki loteng penyimpan kitab itu ?”

“Membunuh seseorang.”

Mendengar jawaban itu Ti Then jadi amat terperanjat, dengan

terburu-buru dia meloncat bangun.

“Apa ? kau mau membunuh orang? siapa yang hendak kau

bunuh ?” tanyanya.

Loo-cia segera mengulapkan tangaanya agar dia jangan terlalu

terburu napsu, setelah itu dengan menggunakan ilmu untuk

menyampaikan suara jawabnya;

“Aku mau membunuh mati seorang musuh besarku.”

“Musuh besarmu …. dia bersembunyi dida1am loteng penyimpan

kitab tersebut?” tanya Ti Then dengan terperanjat.

Dengan dinginnya Loo-cia mengangguk dan katanya.

“Benar, dia bersembunyi didalam loteng penyimpan kitab itu

sudah ada puluhan tahun lamanya.”

Ti Then segera merasakan hatinya berdebar-debar dengan amat

kerasnya.

“Siapakah orangnya?” tanyanya kaget.

“Seorang manusia yang tidak termasuk anggota benteng Pek

Kiam Poo, selama beberapa tahun ini dia selalu menerima lindungan

dari Wie Ci To “ Sahut Loo-cia sepatah demi sepatah.

Air muka Ti Then masih tetap dipenuhi oleh rasa terkejut,

desaknya lebih lanjut.

“Siapakah namanya? Lelaki atau perempuan?”

“Sekarang aku tidak bisa memberitahukan dulu soal ini

kepadamu.”

“Apa mungkin Shu Sin Mey?”

“Sejak dulu aku sudah bilang perempuan yang disebut sebagai

Shu Sin Mey sebetulnya tidak ada, kesemuanya ini cuma omong

kosong dari Wie Ci To saja.”

“Lalu kenapa Wie Ci To suka melindungi dirinya?”

“Karena dia sudah memberi banyak kebaikan untuk Wie Ci To.”

“Apa kau betul-betul yakin kalau dia bersembunyi didalam loteng

penyimpan kitab?”

“Tidak salah!”

“Kalau begitu tentu bersembunyi didalam ruangan rahasia

tersebut?”

“Ada kemungkinan memang begitu.”

“Tetapi kalau memangnya didalam loteng penyimpan kitab itu

sudah bersembunyi seseorang kenapa Wie Ci To suka menyerahkan

ruangan dari loteng penyimpan kitab itu kepada kami untuk

dijadikan kamar pengantin?”

“Alasannya ada dua, pertama: Sengaja dia berbuat demikian

untuk menjebak aku didalam loteng penyimpan kitab tersebut,

kedua: dia sudah menaruh kepercayaan terhadap dirimu dan ingin

menggunakan kepandaian silatmu untuk menakut-nakuti aku yang

hendak menerjang masuk.”

“Jikalau demikian adanya hal ini membuktikan kalau Wie Ci To

sudah mengetahui kalau kau hendak membunuhh orang itu.”

“Benar.”

“Kalau memang demikian adanya, bagaimana dia suka

membiarkan kau tetap tinggal di dalam Benteng ?”

“Karena dia tidak tahu kalau aku sudah menyelinap ke dalam

bentengnya.”

“Aaah . . . kiranya kau bukanlah Loo-cia yang sungguhsungguh?”

“Benar, Loo-cia yang sebenarnya sudah mati.”

“Kau yang membunuh dirinya ?”

“Ehmm, aku bunuh mati dirinya lalu menyayat seluruh kulit

wajahnya serta rambutnya dengan melalui sesuatu pembuatan yang

amat teliti akhirnya kulit tersebut berhasil aku buat menjadi sebuah

topeng.”

“Hmm, cukup ditinjau dari hal ini saja sudah membuktikan kalau

hatimu kejam tanganmu telengas”

“Kesemuanya ini untuk lancarkan memberi petunjuk dan

mengawasi dirimu, aku mau tidak mau harus berbuat demikian”

kata Loo-cia.

“Sebenarnya orang itu sudah mengikat permusuhan apakah

sehingga kau hendak membinasakan dirinya ?”

“Dendam sedalam lautan, karena dia . , tuuggu dulu, ada orang

datang”

Baru saja Loo-cia selesai berbicara terdengarlah suara ketukan

pintu bergema datang.

“Ti Kiauw-tauw, kau sudah tidur belum?” tanya Shia Pek Tha dari

luar.

“Belum. Shia-heng silahkan masuk.”

Loo-cia pun segera bangun berdiri dan memperlihatkan sikapnya

lagi melayani.

Sambil mendorong pintu masuk kedalam ujar Shia Pek Tha ;

“Saudara yang dikirim Poocu tempo hari untuk pergi ke gunuog

Cing Shia sudah kembali.”

Terang2an Ti Then mengetahui kalau saudara itu pasti tidak akan

menemukan Yuan Siauw Ko tetapi dengan nada amat kuatir

tanyanya;

“Apa sudah ketemu ?”

“Belum”

“Hal itu sungguh aneh sekali,” seru TI Then sambil mengerutkan

alisnya rapat2.

“Apa mungkin dia meninggalkan surat yang mengatakan dia

orang hendak pergi ke gunung Cing Shia adalah bohong belaka ?”

“Ada kemungkinan memang begitu” jawab Shia Pek Tha

tersenyum.

“Hal ini sungguh membuat orang lain jadi kebingungan”.

“Tetapi Ti Kiauw-tauw tidak usah kuatir, bukankah dia sudah

meninggalkan pesan bahwa pada waktu perkawinanmu dia bakal

ikut merayakannya?”

“Dia bilang semoga bisa datang, kata2 semoga inilah

membuktikan kalau belum tentu dia bisa datang”.

“Tetapi dengan kepandaian silat yang dimiliki Yuan Cong Piauwtauw,

aku rasa sukar baginya untuk memperoleh musuh tangguh,

seharusnya dia tidak menemui kesulitan”.

“Benar, semoga saja begitu”.

“Aku mau pergi laporkan urusan ini kepada Poocu, maaf sudah

mengganggu diri Kiauw-tauw”.

Selesai berkata dia lantas menjura dan berlalu dari sana.

Loo-cia menghantar dirinya sampai keluar dari kamar, setelah

dilihatnya bayangan tubuh Shia Pek Tha lenyap dari pandangan dia

baru balik lagi ke dalam kamar.

“Dia sudah pergi” ujarnya dengan menggunakan ilmu untuk

menyampaikan suara.

“Mari kita melanjutkan kembali dengan percakapan kita tadi, kau

bilang orang itu mempunyai dendam sedalam lautan dengan orang

itu, sebetulnya bagaimana toh kejadiannya?”

“Dia sudah bunuh mati istriku.” jawab Loo-cia sambil berjalan

kembali ke kursinya semula.

“Kenapa dia harus membunuh mati istrimu?”

“Hmmm, hendak memperkosa tapi gagal, dia lantas bunuh mati

dirinya” seru Loo-cia dengan benci.

“Kepandaian silatmu amat tinggi tak terhingga, ada siapa yang

berani mengganggu istrimu ?”

“Waktu itu kepandaian silatku tidak setinggi seperti sekarang ini.”

“Omong terus terang saja, aku tidak terlalu percaya dengan

omonganmu, karena aku tidak percaya Wie Ci To suka melindungi

orang semacam itu”

Mendengar perkataan itu Loo-cia segera tertawa dingin.

“Bilamana orang itu mempunyai hubungan persaudaraan yang

amat erat sekali?” tanyanya.

“Sekali pun saudara kandung sendiri, bilamana dia salah Wie Ci

To tidak bakal mau melindungi dirinya.”

“Hmmm, kau terlalu memandang agung diri Wie Ci To.”

“Benar, aku merasa dialah seorang pendekar pedang yang

berhati baja dan selalu berada di keadilan.”

“Malam ini aku tidak punya maksud untuk beribut soal pribadi

dari Wie Ci To ini.”

“Kau bilang orang itu sudah bersembunyi selama sepuluh tahun

lamanya didalam loteng penyimpan kitab itu, aku merasa rada

kurang percaya.”

“Hmm, urusan yang tidak akan kau percaya masih sangat banyak

sekaii”

“Sering kali aku melihat Wie Ci To masuk kedalam loteng

penyimpan kitab itu dengan tangan kosong, bilamana didalam sana

ada seorang manusia hidup maka ada seharusnya dia masuk

kedalam dengan membawa bahan makanan.”

“Dari kamar bacanya ada sebuah jalan rahasia yang langsung

menembus loteng penyimpan kitab itu, dia bisa menghantarkan

bahan makanan serta minuman dengan melalui lorong rahasia itu.”

“Apakah kau benar2 merasa yakin kalau dari dalam kamar

bacanya ada sebuah lorong rahasia yang menghubungkan tempat

itu dengan loteng penyimpan kitabnya ?” tanya Ti Then ragu2.

“Tidak salah! dengan meminjam kesempatan sewaktu Wie Ci To

tak ada didalam benteng beberapa kali aku memasuki lorong

rahasia itu untuk menuju kedalam loteng penyimpanan kitab

tersebut, tetapi akhirnya hasil yang aku dapat adalah nihil karena

pada ujung lorong rahasia itu sudah dipasangi dengan alat rahasia”

“Sekarang kau punya rencana kapan hendak masuk kedalam

ruangan rahasia itu?”

“Setelah lewat tiga hari komudian” sahut Loo-cia setelah berpikir

sejenak, “Pokoknya sehari atau dua hari sebelum hari

perkawinanmu, yang jelas kau harus turun tangan?”

Ti Then jadi terperanjat.

Dengan liciknya Loo-cia lantas tertawa menyengir.

“Wie Ci To bilang didalam ruangan dibawah tanah itu tidak

dipasangi alat rahasia aku merasa rada tidak percaya!”.

“Hmmm! Hee…hee..kiranya kau kepingin aku jadi setan

gentayangan yang mewakili dirimu?” seru Ti Then sambil tertawa

dingin.

Loo-cia cuma angkat pundaknya saja,

“Perkataanmu jangan kau ucapkun begitu tidak enak didengar,

aku rasa bilamana didalam ruangan itu benar2 ada alat rahasianya

maka tidak tentu harus mencabut nyawamu !” katanya.

“Kau kira nyawaku jauh lebih panjang daripada nyawa orang lain

?”

“Tidak !” bantah Loo-cia sambil tertawa. “Caraku melihat:

bilamana didalam ruangan rahasia itu dipasang alat rahasia maka

kiranya tidak akan sampai menimbulkan kematian seperti alat2

rahasia yang di pasang disekeliling loteng penyimpan kitab tersebut,

maka itu aku rasa bilamana sampai kau menggerakkan alat rahasia

maka paling2 juga cuma terluka ringan atau tertangkap basah”.

“Kalau memangnya begitu, kenapa kau tidak pergi sendiri?”

“Aku tidak bisa kalau sampai tertawan, bilamana aku sampai

tertawan oleh alat rahasia yang dipasang didalam ruangan tersebut

ada kemungkinan Wie Ci To segera turun tangun menghukum mati

diriku !”

“Bilamana aku yang tertangkap, apakah Wie Ci To akan

melepaskan diriku dari hukuman mati?” Teriak Ti Then jengkel.

Dengan kalemnya Loo-cia mengangguk.

“Sedikitpun tidak salah, karena dia adalah mertuamu dan lusa

bakal kawin dengan putrinya, bilamana dia menghukum mati dirimu

maka bagaimanakah dia orang hendak bertanggung jawab kepada

putrinya serta para undangan yang sudah pada berdatangan?”.

Dia berhenti sebentar, kemudian sambungnya lagi:

“Pokoknya, inilah tugas yang terakhir bagimu, bilamana kau bisa

melakukan tugas itu dengan lancar maka aku menyanggupi pula

untuk bebaskan janji kita sebelum waktunya agar kaupun bisa cepat

bebas dari ikatan.”

“Bilamana hasil dari latihan itu membuktikan kalau didalam

ruangan rahasia itu tidak dipasangi alat rahasia, apakah kau segera

akan turun tangan membinasakan orang itu ?”

“Benar,” sahut Loo-cia mengangguk.

Kembali Ti Then termenung beberapa saat lamanya, setelah itu

sambil mengangguk ujarnya:

“Baiklah, aku menyanggupi untuk pergi mengadakan

pemeriksaan, tetapi perkataan harus kita ucapkan dari semula,

bilamana aku tidak sengaja menyenggol alat rahasia sehingga mati

atau tertangkap maka kau tidak diperkenankan turun tangan

membinasakau Wie Ci To ayah beranak.”

“Baik, aku menyanggupi.”

“Besok Wie Lian In akan kirim orang untuk memindahkan alat2

rumah tangga kedalam loteng penyimpan kitab itu, sampai

waktunya aku bisa berkata kepadanya mengijinkan aku untuk

tinggali tempat itu terlebih dahulu. bilamana dia menyanggupinya

maka ditengah malam buta , . .”

“Tidak.” Potong Loo-cia dengan cepat, “Lebih baik dilakukan

siang hari saja karena sering-sering di tengah malam buta Wie Ci To

memasuki kamar rahasia itu untuk menjenguk orang tersebut.”

“Bilamana memilih siang hari maka besok pagi aku rasa tidak

mungkin bisa kita lakukan karena Wie Ci To sudah pesankan amat

banyak alat-alat rumah tangga, besok siang belum tentu bisa diatur

semuanya didalam ruangan loteng penyimpan kitab itu”

“Kalau begitu lusa siang saja” seru Loo-cia kemudian, “Sewaktu

bersantap siang maka kau boleh berkata pura-pura mau tidur siang

sebentar lalu masuk kedalam loteng penyimpan kitab itu, aku bisa

mengikuti dari belakang dan secara diam2 jagalah keselamatanmu

dari luar”

“Baiklah, kalau begitu kita kerjakan demikian saja”

Mereka berdua setelah berunding beberapa waktu lamanya Loocia

baru kembali ke kamarnya sedang Ti Then naik keatas

pembaringan untuk beristirahat.

Sudah tentu dia tidak dapat langsung tertidur, karena pernyataan

yang diutarakan oleh Majikan patung emas secara tiba2 ini

membuat hatinya amat kaget, dia sama sekali tidak menyangka

kalau dia orang bermaksud untuk membunuh seseorang yang

bersembunyi didalam loteng penyimpan kitab tersebut.

Hal ini benar2 amat merangsang pikirannya, dia mimpipun tidak

pernah berpikir kalau didalam Loteng penyimpan kitab bisa

bersembunyi seseorang, sedang apa yang dicari oleh Majikan

patung emas pun benar2 merupakan sebuah barang yang sama

sekali tidak berharga buat orang2 Benteng Pek Kiam Poo.

Tetapi hal yang membuat hatinya rada terhibur adalah Majikan

patung emas hendak turun tangan sendiri untuk bunuh mati orang

itu dan bukannya memerintahkan dirinya untuk melakukan!

Tetapi siapakah orang itu?

Kenapa dengan susah payah Wie Ci To berusaha untuk

melindungi dirinya? dan apakah tujuannya dengan membangun

loteng penyimpan kilab yang demikian angkernya hanya bermaksud

uatuk melindungi seseorang yang sama sekali tidak punya sangkut

paut dengan dirinya?.

XXXdwXXX

Keesokan harinya dengan dipimpin sendiri oleh Wie Lian In dia

mengatur perabot rumah tangga kedalam ruangan.

Perabotnya sungguh luar biasa sekali banyaknya termasuk

barang2 buat ruangan tamu serta kamar pengantin, para pelayan

harus bekerja setengah harian penuh baru dikata selesai.

Setelah semuanya selesai Wie Lian In baru mengontrolnya satu

kali, kemudian kepada Ti Then tanyanya sambil tertawa;

“Diatur dan disusun secara begini apa kau merasa senang ?”

“Sungguh bagus sekali” puji Ti Then sambil tertawa. “Aku sama

sekali tidak pernah menyangka bakal bisa mendiami sebuah kamar

yang demikian mewah dan menterengnya.”

“Kalau begitu malam ini kau boleh pindah kemari saja ” seru Wie

Lian In dengan pandangan mesra.

Ti Then yang mendengar dia begitu dalam hati benar2 merasa

kebetulan, dia rada melengak dibuatnya.

“Aaaach . , . aku boleh pindah dulu kemari ?”

“Bukannya boleh saja tapi harus!” sahut Wie Lian In sambil

mengangguk.

Untuk kedua kalinya Ti Then dibuat melengak lagi.

“Bagamiana bisa dimaksudkan pasti ?” tanyanya keheranan.

“Ooooh . . . itu cuma adat saja. kamar pengantin yang baru saja

diatur malam harinya tidak boleh kosong tetapi harus tetap diisi

dengan orang”.

“Oooh . . . kiranya begitu !” seru Ti Then tertawa.

“Sekarang coba kau perintah Loo-cia si pelayan tua itu untuk

mengangkuti barang2 itu kemari!!”.

xxxdwxxx

Satu hari kembali menjelang . , . !

Suasana didalam Benteng Pek Kiam Poo-pun semakin ramai lagi,

para tamu yang pada berdatangan dari tempat kejauhan sudah

pada berkumpul sehingga membawa rasa yang amat ramai didalam

Benteng Pek Kiam Poo.

Semua orang pada menantikan munculnya keesokan harinya,

besok pagi adalah saat Ti Then serta Wie Lian In bersembahyang

didepan arwah para leluhur.

Sebaliknya Ti Then yang bakal jadi pengantin malah merasa

kesepian, depannya kesepian, sebaliknya hatinya berdebar2 dengan

amat kerasnya.

Apalagi saat ini hatinya terasa berdebar semakin keras, karena

dia siap2 pergi ke loteng penyimpan kitab untuk “tidur siang”.

Hidup selanjutnya serta kematian yang bakal diterima

kesemuanya ditentukan pada saat ini juga!

Tadi setelah dia menemani para tetamu bersantap siang dengan

alasan kepalanya rada sakit dia kembali kekamar untuk berbaring

sebentar.

Wie Ci To yang menganggap dia terlalu tegang sehingga jadi

pusing lantas tertawa dan suruh dia mengundurkan diri dari ruangan

perjamuan dan kembali ke loteng penyimpan kitabnya untuk

beristirahat.

Scwaktu tiba di bawah loteng penyimpan kitab itu dia

menemukan Kiem Cong Loojien itu ciangbunjien dari Kun-lun pay

sedang menghalangi perjalanannya,

“Ti Kiauw-tauw, bagaimana kalau loolap mengalah tiga biji dan

kita main stu babak?”

“Mengalah tiga biji?” seru Ti Then sambil tertawa serak.

“Tidak salah, ini hari loolap akan mengalah tiga biji kopadamu,

aku punya pegangan untuk sikat kau sampai habis”

“Sungguh maaf boanpwee tidak dapat melayani karena kepalaku

terasa rada pusing” seru Ti Then menolak.

“Haaa.. . . haa. . sejak ladi loolap sudah menduga kalau kau

orang tak bakal berani menyambut datangnya tantanganku ini . . ha

..ha..”

Dengan bangganya dia tertawa dan meninggalkan tempat

tersebut.

Demikianlah Ti Then lantas masuk ke dalam loteng penyimpan

kilab dan naik ke atas tingkat kedua untuk kemudian duduk

disamping pembaringan yang bersulamkan bunga merah.

Matanya dengan perlahan menyapu sekejap memperhatikan

keadaan di sekeliling tempat itu kemudian dengan sedihnya

menghela napas panjang.

Semuanya itu bakal jadi miliknya …. tetapi sedikit dia salah

bertindak maka. . .

“Tok . , . tok . . tok . . . !.”

Dari luar terdengar suara tiga kali ketokan pintu.

“Siapa ?” tanya Ti Then dengan kaget.

“Hamba !”.

Tidak salah lagi, d:a adalah majikan patung emas!

“Masuk!” seru Ti Then lawar.

Loo-cia mendorong pintu kamar dan berjalan masuk sambil

membawa air teh.

Dia meletakkan terlebih dahulu cawan teh itu ke atas meja

sedang matanya dengan sangat tajam memperhatikan keadaan di

sekeliling tempat itu kemudian dengan mengerahkan ilmu untuk

menyampaikan suara tanyanya:

“Dimana letaknya mulut lorong rahasia tersebut?”

Ti Then segera menuding kearah kamar dinding di hadapannya.

“Itu dibalik tembok tersebut”

Loo-cia segera menoleh dan memperhatikan sekejap keadaan

dari ruangan tamu yang ada disana.

“Baiklah, kau boleh masuk kedalam.”, perintahnya kemudian,

“Aku akan berjaga-jaga didepan pintu!”

Sehabis berkata dia mengundurkan diri ke samping pintu.

Ti Then dengan perlahan bangkit berdiri, air mukanya sudah

berubah jadi amat tegang sekali,

“Aku mau bicara sekali lagi. Aku suka melakukan pekerjaan ini

dengan hati sungguh2 asalkan bilamana misalnya aku tertangkap

atau mati oleh alat rahasia didalam ruangan tersebut kau tidak lagi

pergi mencelakai Wie Ci To ayah beranak serta Yuan Piauw-tauw!”

“Hati manusia dibuat dari daging, bukankah dahulu aku sudah

pernah berkata kepadamu, asalkan kau suka melakukan pekerjaan

bagiku dengan seluruh perhatian dan seluruh tenaga sekalipun

gagal misalnya aku tidak akan menyalahkan dirimu, semakin tidak

akan mencari gara2 dengan orang lain, soal ini kau boleh berlega

hati”

“Aku masih ada satu permintaan lagi” ujar Ti Then kemudian.

“Tapi kau pun bisa menolak permintaanku ini, bilamana kau sudah

menyanggupi maka pekerjaan ini harus dilaksanakan dengan

sungguh hati”.

“Apa itu permintaanmu ?” Tanya Loo-cia dengan sinar mata yang

amat tajam.

“Aku pernah bersumpah hendak menemukan kembali si Hong

Liuw Kiam Khek Ih Peng Siuw dan merebut kembali harta kekayaan

dari Yuan Cong Piauw-tauw, nanti semisalnya aku mati karena

terkena alat rahasia sudah tentu niatku ini pun tidak bisa aku

penuhi, entah maukah kau orang membantu aku untuk mencari

dapat si Ih Peng Siuw itu dan rebut kembali harta kekayaan itu

untuk diserahkan kembali kepada Yuan Cong Piauw-tauw ?”

“Aku kabulkan pcrmintaanmu !”.

Mendengar dia orang sudah menyanggupi Ti Then merasakan

hatinya rada terhibur, dia tersenyum.

“Kalau begitu aku ucapkan banyak terima kasih terlebih dahulu

kepadamu”.

“Kau tidak usah sungkan2 lagi” jawab Loo-cia tcrtawa pula.

Demikianlah dengan per-lahan2 Ti Then berjalan mendekati

dinding tembok dihadapannya dan menekan tombol.

Dinding itu mulai bergerak dan memutar kedepan sehingga

muncul kembali sebuah tombol rahasia yang lain.

Ti Then tanpa ragu2 lagi segera menekan tombol yang ada

disebelah dalam itu.

“Kraak . . . Kraak . . . ” . dengan menimbulkan suara yang

nyaring dinding rahasia itu membuka menjadi dua bagian dan

muncullah sebuah lorong rahasia yang amat gelap sekali.

Loo-cia yang berdiri di samping pintu menjaga gerak-gerik diluar

loteng Penyimpan kitab matanya dengan amat teliti sekali

memperhatikan cara Ti Then membuka dinding rahasia tersebut,

sewaktu dilihatnya dinding itu membuka ke samping hatinya benar2

merasa amat kegirangan.

“Apakah itu pintu masuk ke dalam ruangan rahasia?” tanyanya

dengan mengerahkan ilmu untuk menyampaikan suara.

“Sedikitpun tidak salah, dibawah pintu mulut rahasia ini adalah

tangga2 batu yang panjang, suasana didalamnya amat gelap

sekali.”

“Apa kau menemukan sesuatu ?” tanya Loo-cia lagi.

“Aku cuma bisa melihat tangga2 batu yang lurus kebawah,

keadaan disekitar tiga kaki amat gelap sekali dan tidak dapat

melihat suatu apapun !”

“Kalau begitu kau lekas turun kebawah!” desak Loo-cia kemudian

dengan hati ber-debar2.

Ti Then ragu2 sebentar, akhirnya dia melangkah juga mwmasuki

lorong rahasia tersebut.

Inilah merupakan satu tugas yang maha berat dan sudah

dipikirkan sejak dahulu kala, dia tahu ada satu hari dia bakal

mendapatkan perintah paksaan yang bisa mengakibatkan

kematiannya karena itu dia tidak begitu merasa tegang, dia cuma

merasa menyesal dan sedih.

Menyesal terhadap diri Wie Ci To serta Wie Lian In.

Dan sedih atas nasibnya yang buruk !!

Kesemuanya ini hanya dikarenakan dia kepingin mempelajari ilmu

silat yang lebih tinggi sehingga bisa mengalahkan Ih Peng Siuw

mengakibatkan dirinya terseret kedalam keadaan yang salah besar

….

Dia menjadi patung emas dari orang lain, menerima perintah

orang lain, dan melakukan berbagai pekerjaan yang menyalahi hati

nalurinya ….

Untung saja Majikan Patung Emas sudah menyanggupi untuk

tidak melukai Wie Ci To ayah beranak serta Yuan Siauw Ko maka itu

dirinya boleh menemui ajalnya dengan hati yang tenang …

Sembari berpikir dia berjalan menuruni tangga2 batu yang gelap

itu, mendadak dia merasa hatinyo sangat mengharapkan bisa

menggerakkan alat rahasia sehingga didalam sekejap saja dirinya

sudah mati, bilamana dirinya mati maka semua kekesalan serta

kemurungan yang mencenkam di hatinya bakal musnah dan lenyap

dengan begitu saja.

Tetapi walaupun dia sudah menuruni kurang lebih lima puluhan

tangga batu tersebut keadaan masih tetap tenang2 saja tak terjadi

sedikit urusan pun.

Sedang kini dihadapannya sudah muncul sebuah lorong rahasia

yang sangat datar.

Luas lorong itu sama besarnya dengan luas tangga2 batu tadi

cuma bisa dilalui oleh dua orang yang berjalan bersama-sama.

Dikarenakan tempat itu jauh memasuki tanah maka sinar yang

menerangi tempat itupun tak ada sehingga keadaannya amat gelap

gulita, benda yang ada pada jarak lima depa tak dapat dilihat lebih

terang.

Dia rada menghentikan langkahnya, dalam hati diam2 pikirnya:

“Jika dilihat keadaan disini maka ruangan rahasia itu pasti ada di

ujung dari lorong ini, tetapi apakah di dalam ruangan rahasia itu

benar2 sudah bersembunyi musuh besar dari majikan patung emas?

Bilamana sungguh2 maka orang itu yang bersembunji selama

puluhan tahun lamanya dibawah ruangan rahasia yang tak terkena

sinar matahari ini sungguh merupakan satu siksaan yang luar biasa

sekali!.

Bahkan . . . bilamana didalam ruangan rahasia itu benar2 sudah

bersembunyi seseorang maka dia percaya orang itu pastilah sanak

famili dari Wie Ci To dan dia pun akan percaya kalau orang itulah

musuh besar pembunuh istri dari majikan Patung emas, kalau tidak

Majikan patung emas

tidak bakal menyusun seluruh rencana dengan peras keringat

untuk mencabut nyawanya sedangkan Wie Ci To pun tidak bakal

bersusah payah mendirikan Loteng penyimpan kitab yang demikian

kuatnya untuk melindungi dirinya. Orang yang berhali jujur dan adil

seperti Wie Ci To tidak disangka diapun mempunyai pikiran yang

tidak genah.

Diam2 Ti Then menghela napas panjang dan melanjutkan

kembali langkahnya memasuki lorong tersebut.

-oooOdwOooo

SETIAP KALI dia berjalan maju setindak maka dalam hati dia

sudah ber-siap2 menerima datangnya elmaut …. dia bersiap sedia

menerima datangnya sambaran anak panah yang menembusi ulu

hatinya …. dia bersiap sedia menerima jatuhan batu besar yang

akan menggencet dirinya jadi rata ….

Tetapi akhirnya semua itu bisa dilewati dengan selamat tanpa

kekurangan sasuatu apa pun.

Kini dihadapannya sudah terhalang kembali dengan sebuah pintu

kayu yang besar.

Pintu kayu itu cuma sedikit dirapatkan saja, dari dalam ruangan

memancarkan keluar sinar yang redup2 . .

Jelas dibalik pintu kayu itu adalah ruangan yang dikatakan

“Kamar rahasia!”

Sekali pandang saja Ti Then dapat tahu kalau didalam ruangan

rahasia itu ada orangnya, karena itu dengan memperingan

langkahnya dengan perlahan dia mendekati pintu pasang telinga

dan memperhatikan dengan taliti.

Sedikitpun tidak salah dari dalam ruangan itu berkumandang

keluar suara dengkuran dari seseorang yang keras.

Jelas orang yang ada didalam ruangan rahasia itu sedang tidur

siang!

Ti Then ingin sekali membuka pintu kayu itu untuk melihat

siapakah orang yang ada didalam ruangan itu.

Tetapi akhirnya dia membatalkan kembali rasa ingin tahu yang

mencekam dihatinya iiu, dia merasa tugas bagi dirinya sudah selesai

dan tidak usah pergi menempuh bahaya lagi.

Urusan selanjutnya adalah tugas dari Majikan Patung emas

sendiri!

Maka itu dia cuma memperhatikan sebentar dari samping pintu

kemudisn dengan perlahan-lahan mengundurkan diri dari sana dan

dengan langkah lebar berjalan kembali keatas ruangan loteng

penyimpan kitab.

Hanya didalam sekejap saja dia sudah tiba didalam lorong

rahasia dan berjalan keluar dari tempat tersebut.

Loo-cia masih tetap berdiri di samping pintu berjaga-jaga,

sewaktu dilihatnya Ti Then meloncat keluar dari lorong rahasia itu

air mukanya segera berubah amat girang bercampur tegang.

“Bagaimana?” tanya Loo-cia dengan hati rada berdebar-debar.

“Perkataan dari Wie Ci To sedikitpun tidak salah, didalam

ruangan itu benar-benar tidak dipasangi alat rahasia.”

“Coca kau katakan lebih jelas lagi!”

“Dari sini masuk kedalam semuanya ada lima puluh buah tangga

batu,” ujar Ti Then sambil menuding kearah mulut pintu rahasia

tersebut.

“Setelah itu melalui sebuah lorong rahasia yang panjangnya ada

tiga puluh langkah, di ujung lorong muncullah sebuah pintu kayu

dan dibalik pintu kayu itu adalah ruangan rahasia, saat itu pintu itu

cuma dirapatkan saja sedang orang yang ada didalam ruangan itu

pun lagi tidur nyenyak, cepat kau turun ke bawah.”

Loo-cia dengan tergesa-gesa menutup rapat pintu itu dan

berjalan ke sisi Ti Then.

“Kau sudah melihat orang itu?” tanyanya sambil melongok

kedalam lorong rahasia tersebut.

“Tidak!” jawab Ti Then sambil menggelengkan kepalanya.

“Kalau tidak melihat orangnya bagaimana kau bisa tahu kalau

orang itu lagi tidur?”

“Aku bisa mendengar suaranya.”

“Kau bilang pintu kamar rahasia itu cuma dirapatkan saja?”

“Benar!”

“Kenapa tidak dikunci sekalian?”

-ooo0dw0oooJilid

39

“AKU TIDAK tahu” sahut Ti Then. “Mungkin biar hawa segar bisa

lancar masuk kedalam ruangan !”.

“Kalau memangnya kamar itu tidak dikunci, kenapa kau tidak

secara diam2 mencuri masuk untuk melihat keadaan yang

sebenarnya ??”.

“Aku takut sudah mengganggu orang itu sehingga sudah

merusak pekerjaanmu”.

Dengan amat tenangnya Loo-cia memperhatikan dirinya, agaknya

dia mau melihat apakah didalam perkataannya itu ada siasat atau

tidak.

Setelah termenung beberapa saat lamanya terakhir dia baru

berkata:

“Baiklah, aku mau pergi kebawah untuk melihat-lihat, kau

berbaringlah untuk sementara diatas pembaringan”.

Ditengah suara percakapannya dengan cepat bagaikan kilat jari

tangannya melancarkan satu totokan menghajar jalan darah kaku

dari Ti Then, setelah itu dia baru membopoog tubuhnya keatas

pembaringan.

“Bilamana ada orang datang aku harus berbuat bagaimana ?”

tanya Ti Then dengan suara perlahan.

“Kau boleh berkata kapadanya lagi sakit dan tidak ingin keluar

kembali”

Mendengar perkataan itu Ti Then tertawa pahit.

“Terhadap para pendekar pedang dari Benteng Pek Kiam Poo aku

bisa menolak untuk membuka pintu tetapi terhadap Wie Ci To serta

beberapa orang ciangbunjien, apakah aku bisa menolak ?” katanya.

“Urusan tidak bakal begitu kebetulan, bahkan aku pun dengan

cepatnya akan keluar kembali!”.

Sehabis berkata dengan cepatnya dia menerobos masuk kedalam

lorong rahasia tersebut.

Diam2 Ti Then menghela napas panjang, dia sendiripun pernah

berpikir hendak menggunakan kesempatan sewaktu dia orang

masuk kedalam lorong rahasia itu dia hendak menggerakkan tombol

untuk menutup kembali jalan rahasia tersebut sehingga pihak lawan

terkurung didalam bawah tanah.

Setelah itu dia akan melaporkan hal ini kepada Wie Ci To untuk

menawan dirinya.

Siapa tahu baru saja pikiran tersebut berkelebat didalam

benaknya pihak lawan sudah turun tangan menotok jalan darah

kakunya. “Sungguh licik sekali rase tua itu!”

Sejak dia dipaksa menjadi patung emasnya Ti Then selalu

mencari kesempatan untuk memberikan perlawanan, dia sangat

mengharapkan bisa mendapatkan satu kesempatan untuk balas

menguasai majikan patung emas tetapi kssempatan itu tiada

kunjung datang.

Sedang kini tujuan dari Majikan patung emas sudah hampir

tercapai tetapi dirinya sudah dibuat tak berdaya oleh akal liciknya.

Kalau memangnya dirinya sudah menemui kekalahan dan dirinya

tidak bakal bisa mendapatkan kebahagiaan dengan Wie Lian In

didalam pcrkawinan ini maka saat ini dia cuma mengharapkan

Majikan patung emas bisa cepat2 memperoleh hasil agar dia cepat2

meninggalkan benteng Pek Kiam Poo dan memberi kesempatan

buat dirinya untuk menghindarkan diri dari perkawinan ini..,

“Sreeet . . ,!”

Sewaktu dia lagi memejamkan mata dan berpikir tidak karuan

itulah mendadak terasa adanya ujung baju yang tersampok angin

berkumandang dari luar jendela loteng sebelah kanan dari

pembaringannya.

Mendengar suara tersebut dia lantas tahu kalau ada orang yang

melayang datang dari loteng sebelah depan.

Gerak gerik dari orang itu yang diluar kebiasaan seketika itu juga

membuat hatinya merasa kaget dan tergetar amat keras.

Ketika dia membuka matanya . . air mukanya segera berubah

sangat hebat!!

Coba terka siapa yang sudah datang??

Dia bukan lain adalah Wie Ci To.

Air muka Ti Then berubah jadi pucat pasi bagaikan mayat,

matanya terbelalak lebar2 sedang mulutnya melongo . . dia benar2

dibuat tertegun !!!

Dengan air muka amat keren tetapi tersungging satu senyuman

ramah ujar Wie Ci To dengan suara perlahan:

“Bilamana dugaan Loohu tidak salah maka ada kemungkinan kau

sudah tertotok jalan darahnya oleh Majikan patung emas bukan??”.

Sepasang mata Ti Then melotot semakin lebar lagi, dia benar2

merasa amat terperanjat.

“Gak-hu, kau , . semuanya kau . . kau sudah tahu ???”.

Sambil tersenyum Wie Ci To mengangguk dengan perlahan.

“Cepat tutup ruangan rahasia tersebut!” seru Ti Then kemudian

dengan cemas,

“Tidak perlu lagi, dia tidak bakal bisa lolos !”

“Didalam ruangan rahasia itu sudah dipasangi alat2 rahasia ??”

tanya Ti Then terkejut bercampur girang.

“Tidak salah !”.

Ti Then segera teringat kembali dengan Phoa Loo Tek si

pendekar pedang merah.

“Kalau begitu masih harus menangkap seorang lagi! dia adalah .“

“Bukankah Phoa Loo Tek??” sambung Wie Ci To cepat.

Mendengar disebutnya nama itu Ti Then jadi semakin melengak.

“Pek Tha-heng yang melaporkan urusan ini kepada Gak-hu?”

tanyanya.

“Tidak . . . “.

Dia berjalan maju kedepan menekan tombol rahasia itu untuk

menutup kembali dinding tersebut setelah itu menekan tombol yang

lain untuk menutup kembali dinding paling luar setelah itu dia baru

mendekati pembaringan dan membebaskan jalan darah dari Ti Then

yang tertotok itu.

Dengan cepat Ti Then meloncat bangun dari atas pembaringan.

“Gak-hu bagaimana kau bisa mengetahui seluruh urusan ini?”

tanyanya dengan terharu.

“Selama ini kau selalu menutup-nutupi urusan Majikan patung

emas ini dengan Loohu, sekarang loohu pun mau jual mahal

terhadap dirimu . . mari ikutlah loohu turun loteng!” ujar Wie Ci To

sambil tersenyum.

Sehabis berkata dia berjalan keluar dari pintu itu dan menuruni

ruangan loteng penyimpan kitab.

Ti Then pun mangikuti dari belakangnya, mimpipun dia tidak

pernah menyangka kalau urusan ini bisa berakhir dengan begini

mudah.

Berakhirnya urusan ini benar2 membuat hatinya jadi kaget

bercampur heran, tetapi membuat hatinya merasa girang juga!! dia

kepingin sekali mencak2 dan berteriak2 kegirangan sehingga semua

kemurungan di hatinya bisa terlempar keluar dari dalam dadanya.

Dia boleh dikata tidak bisa mempercayai akan kenyataan ini … .

dia sama sekali tidak menyangka kalau Wie Ci To bisa menyusun

jebakan secara diam2 dan memancing Majikan patung emas untuk

masuk kedalam pancingannya.

Bagaimana Wie Ci To bisa mengetahui rencana busuk dari

Majikan patung emas ini ???

Masih ada lagi, mengapa dia sama sekali tidak menyalahkan

dirinya ?

Sewaktu beberapa persoalan yang mencurigakan hatinya itu

berkelebat didalam benaknya itulah dia bersama-sama dengan Wie

Ci To sudah keluar dari loteng penyimpan kitab tersebut.

Sekeluarnya dari loteng penyimpan kitab itu Ti Then segera

merasakan suasana ditempat itu rada berubah.

Benteng Pek Kiam Poo yang semula diliputi oleh rasa kegirangan

saat ini sudah berubah jadi tenang dan serius sekali:

Ciangbunjin dari Siauw-Lim Pay, Bu Tong Pay, Kun-lun Pay serta

Tiang Pek Pay berdiri berdiri berjajar didepan loteng, air mukanya

mereka amat tegang jelas merekapun mengetahui urusan yang

sebenarnya.

Air muka Ti Then berubah jadi merah padam hingga menjalar

sampai ditelinganya, kepalanya ditundukkan rendah2 karena dalam

hati benar2 dia merasa menyesal.

Ti Then benar2 merasa takut kalau Wie Lian In pun hadir disana

…. tetapi untung tak tampak dia orang muncul dikalangan.

Wie Ci To segera kirim satu senyuman kearah keempat orang

ciangbunjien itu dan ajaknya :

“Mari kita pergi melihat Phoa Loo Tek dahulu !”.

Demikianlah beberapa orang itu segera berjalan ber-sama2

kehalaman depan.

Sesampainya dikamar istirahat dari para pendekar pedang merah

terlihatlah olehnya didepan kamar tidur dari Phoa Loo Tek sudah

berkerumun beberapa puluh orang pendekar pedang merah.

Agaknya mereka belum mengerti urusan apa yang sudah terjadi,

saat ini masing2 lagi berbisik-bisik dan membicarakan persoalan

tersebut.

Ketika dilihatnya Poocu mereka berjalan mendatang, semua

orang pada menyingkir kesamping memberi jalan lewat buat Wie Ci

To sekalian untuk masuk kedalam.

Ti Then pun mengikuti dari belakang Wie Ci To berjalan masuk

kedalam ruangan beristirahat tersebut, terlihat olehnya Phoa Loo

Tek dengan diikat kencang2 lagi berbaring dibawah kaki Shia Pek

Tha, Kie Tiong Hong beberapa orang pendekar pedang merah.

Menanti setelah keempat orang ciangbunjien itu sudah masuk

semua kedalam ruangan Wie Ci To baru menoleh kearah Ti Then

dan tertawa.

“Yang inipun baru saja berhasil ditawan, dikarenakan dia orang

tidak mengetahui terlebih dahulu bakal terjadi urusan ini maka tak

ada kesempatan buat dirinya untuk melawan.

Ti Then berdiam diri tidak menjawab, karena dia sendiripun tidak

tahu harus menjawab secara bagaimana.

Sekali lagi Wie Ci To tertawa.

“Bilamana kau dapat menebak tahu siapakah dia orang maka

didalam hati kau tentu akan merasa terkejut” katanya.

“Apakah dia bukan Phoa Loo Tek yang sungguh2 ?” tanya Ti

Then tertegun.

Senyuman yang semula menghiasi bibir Wie Ci To pun segera

lenyap tak berbekas diganti dengan rasa sedih:

“Sudah tentu bukan !” sahutnya. “Phoa Loo Tek yang

sesungguhnya sudah menemui bencana .. dia cuma memakai kulit

wajah dari Phoa Loo Tek saja !.

“Lalu siapakah dia orang?” tanya Ti Then dengan terperanjat.

“Temanmu !”.

“Temanku ??”.

“Bilamana kau tidak percaya boleh sobek kulit mukanya !”.

Ti Then menurut dan maju satu langkah kedepan untuk

kemudian berjongkok disamping badan Phoa Loo Tek, dengan

kerasnya dia tarik rambutnya sehingga seluruh kulit wajahnya

terobek lepas,

Sewaktu dia dapat melihat wajah yang sesungguhnya dari orang

itu tidak kuasa lagi saking kagetnya dia menjerit keras.

“Aaaach …. Thian ! Kiranya kau adalah si “Hong Liuw Kiam Khek”

Ih Peng Siauw”

Sedikitpun tidak salah, orang itu adalah si “Hong Liuw Kiam

Khek” Ih Peng Siauw yang setiap hari dipikirkan dan berharap bisa

merebut kcmbali harta pusaka yang direbut olehnya,

Soal ini dia sama sekali tidak pernah menduga, dia tidak pernah

berpikir kalau anak buah dari Majikan Patung emas sebenarnya

adalah Hong Liuw Kiam Khek Ih Peng Siauw.

Jika ditinjau dari hal ini maka jelas rencana Majikan patung emas

hendak menurunkan ilmu silat kepadanya dan minta dia menjadi

patung emasnya selama setahun sudah disusun sejak dua tahun

sebelumnya.

Dalam hati Ti Then benar2 merasa amat gusar, saking marahnya

seluruh tubuhnya sudah gemetar amat keras.

“Tadi dia sudah mengakui kalau dia bersama-sama dengan

Majikan patung emas sengaja kerja sama uniuk memancing dirimu

terjerumus pula kedalam lingkungan ini, kelihatannya dia sengaja

merampok barang kawalanmu dengan tujuan agar kau pergi

mencari seorang guru dan tujuannya yang di-cita2kan bisa

tercapai.”

Dengan cepatnya Ti Then mencengkeram baju dibagian dada Ih

Peng Siauw dan menariknya duduk.

“Sebetulnya terjadi urusan apa?” Bentaknya dengan keras.

Si “Hong Liuw Kiam Khek” Ih Peng Siauw yang jalan darah

kakunya tertotok seluruh tubuhnya tak dapat bergerak, tetapi dia

masih bisa berkata.

Dari wajahnya yang tampan segera tersungginglah satu

senyuman mengejek.

“Tidak salah !” sahutnya. “Selama beberapa tahun ini kami sudah

menipu dirimu mentah2 sungguh maaf sekali!”

Ti Then betul2 merasa amat gusar, tangannya dengan cepat

diayun kirim satu tamparan keras menggaplok wajahnya.

“Kalian sengaja mengatur siasat untuk memancing aku apakah

tujuannya hendak mengunakan diriku sebagai patung emasmu?”

bentaknya kembali.

Si “Hong Liuw Kiam Khek” Ih Peng Siauw yang wajahnya kena

digaplok air mukanya segera berubah sangat hebat.

“Urusan sudah menjadi begini, aku suka menceritakan seluruh

kejadian ini kepadamu, tetapi bilamana kau main kasar lagi maka

sekalipun mati aku tidak akan menjawab pertanyaanmu!”.

“Cepat katakan!”.

“Terhadap barang2 kawalan yang kami rampas itu aku orang

tidak menaruh rasa tertarik, saat ini kesemuanya kami titipkan

disebuah gudang uang, kami punya maksud setelah urusan ini

dibikin beres maka uang itu akan kami ambil kembali untuk

diserahkan kepadamu”.

“Dititipkan di gudang uang yang mana?” desak Ti Then.

“Kiem San Cian Cung dikota Go-bie”

Mendengar perkataan itu dalam hati Ti Then merasa amat

girang.

“Lalu apa hubunganmu dengan majikan patung emas?”.

“Dahulu aku adalah kacung bukunya, achirnya dia menerima aku

sebagai murid!”

“Dia sudah mempunyai murid seperti kau, lalu buat apa mencari

diriku untuk dijadikan patung emasnya?”.

“Soalnya bakatku tidak baik sehingga tidak dapat mempelajari

seluruh kepandaiannya, bilamana aku yang datang kemari belum

tentu Wie Poocu suka menghargai diriku”.

“Hmmm! kau tahu tidak aku benar2 benci diri kalian guru

bermurid hingga merasuk ketulang sumsum!” Teriak Ti Then sambil

menggigit kencang bibirnya.

“Sudah tentu tahu, ini urusan sudah mengalami kegagalan, aku

pun tidak berani minta diampuni dari kematian, Bilamana kau orang

merasa aku adalah seorang lelaki sejati maka janganlah memberi

siksaan kepadaku melainkan berilah satu kematian yang cepat buat

diriku.”

“Heee . . . heec . . . bilamana kau ingin mati dengan sempurna

lebih baik jawab lagi satu pertanyaanku ini !”

“Silahkan bertanya, mulai sekarang asalkan ada pertanyaan pasti

akan kujawab, kecuali urusan yang aku sama sekali tidak tahu

menahu …”

“Aku rasa suhumu sudah menguruog Yuan Cong Piauw-tauw

disuatu tempat, sekarang Yong Cong Piauw-tauw ada dimana ?”

“Maaf, soal ini suhu tidak pernah memberitahukan kepadaku,

sehingga aku sendiripun tidak tahu.”

“Omong kosong!” teriak Ti Then gusar.

“Yuan Cong Piauw-tauw dikurung disebuah gua diatas puncak

Hud Ting, loohu sudah kirim orang uutuk pergi menolongnya, ada

kemungkinan aebentar lagi bakal kembaii” timbruug Wie Ci To.

“Gak-hu bagaimana bisa tahu?” tanya Ti Then melengak.

Wie Ci To tersenyum.

“Urusan sebcnarnya adalah begini:. sewaktu malam itu kau pergi

menjenguk Yuan Cong Piauw-tauw didalam gua Loei Tong Peng

tengah malam itu Loohu terjaga dari tidur dan entah bagaimana tak

bisa tidur ksmbali, karenanya lantas masuk kedalam Loteng

Pcnyimpan kitab untuk melihat buku, tetapi tidak lama kemudian

hatiku merasa murung sehingga berdiri didekat jendela loteng.

Pada saat itulah mendadak Loohu menemukan dari dalam

kamarmu ada sesosok bayangan manusia berkelebat dengan

cepatnya. . .”

Berbicara sampai disitu mendadak dia berhenti sebentar, setelah

tukar napas, sambungnya lagi sambil tersenyum.

“Bayangan manusia itu adalah Loo-cia, waktu itu Loohu tidak bisa

melihat jelas kalau dia orang adalah Loo-cia, didalam anggapanku

ada orang asing yang menyelinap masuk kedalam benteng,

karenanya aku lantas meloncat keluar dari Loteng Penyimpan kitab

dan mengadakan pengejaran.

Sesampainya dibawah tembok banteng Loohu baru bisa melihat

jelas kalau orang itu adalah Loocia, melihat tangannya membawa

lampu lentera sedang gerak=geriknya amat mencurigakan bahkan

amat gesit dan lihay sekali dalam hati Loohu segera menaruh rasa

curiga, demikianlah diam2 lantas aku menguntil dari belakanggnya.

Demikianlah Loohu menguntil terus sampai di gua Loei Tong

Ping, melihat dia meloncat pula cuma saja aku tidak ikut masuk

kedalam gua, karena waktu itu Loo-cia sudah pasang lampu

bilamana aku ikut masuk bukankah jejakku segera akan di ketahui ?

karena itu Loohu cuma bersembunyi ditenpat luaran saja

mendengarkan seluruh pembicaraaan kalian, waktu itulah Loohu

baru tahu kalau dia bukanlah Loo-cia yang sebenarnya sedang

kaupun adalah patung emasnya yang sengaja menerima perintah

untuk menyelinap masuk kedalam Benteng.”

Dengan muka menyesal Ti Then menundukkan kepalanya tidak

berkata.

“Tetapi ” ujar Wie Ci To lagi sambil tertawa. “Dari pembicaraan

diantara kalian berdua Loohu bisa tahu walaupun kau jadi patung

emas yang menerima perintah darinya tetapi tidak ber-sunggguh2

ada di pihaknya, bahkan rasa sayangmu terhadap Loohu ayah

beranak membuat hatiku merasa amat terharu.”

Saat itulah Ti Then baru tahu kenapa dia orang sama sekali tidak

menyalahkan dirinya, dalam hati dia lantas merasa amat girang.

“Akhirnya” sambung Wie Ci To lebih lanjut. “Loohu melihat kau

berjalan keluar dari gua itu dan meloncat naik dari Loei Tong Ping.

Tidak lama kemudian Majikan patung emas dengan membawa Yuan

Cong Piauw-tauw berjalan keluar pula dari dalam gua tersebut,

karena itu dari tempat kejauhan Loohu lantas menguntitnya terus,

akhirnya sewaktu tiba didekat puncak Ban Hud Ting dia membawa

Yuan Cong Piauw-tauw masuk kedalam sebuah gua, Loohu menanti

beberapa saat lamanya diluar gua . . . kurang lebih sepertanak nasi

kemudian baru melihat dia berjalan keluar dari gua tersebut dan

meninggalkan tempat itu.

Menanti dia sudah pergi jauh Loohu baru masuk ke dalam gua

untuk menemui Yuan Cong Piauw-tauw, waktu itu dia sudah

ditindihi dengan b«berapa buah batu cadas …”

“Aaakh . . . Yuan Loocianpwee tidak terluka?” tanya Ti Then

dengan terperanjat setelah mendengar sampai disitu.

“Tidak, Yuan Cong Piauw-tauw terkurung diantara sela2 batu2

cadas itu, dia cuma tak dapat keluar sedang badannya tidak sampai

tertindih . .”

Waktu itulah Ti Then baru bisa menghembuskan napas lega

tetapi disusul pula dengan helaan napas sedih.

“Dikarenkan Yuan Loo-cianpwee mengetahui seluruh rahasia ini

maka dia sudah ditawan dan dipunahkan seluruh kepandaian

silatnya.”

“Sewaktu dia melihat Loohu muncul di sana benar2 merasa amat

giraog sekali, dia lantas menceritakan aeluruh hubunganmu dengan

majikan patung emas, Sebetulnya Loohu ingin menolongnya keluar

tetapi dia bilang menawan majikan patung emas dan menolong

orang lebih penting; Loohu merasa perkataannya tidak salah maka

itu lantas berangkat pulang kedalam benteng dan mengadakan

perundingan rahasia dengan Pek Tha serta Lian In, akhirnya kami

ambil keputusan untuk mengubah loteng penyimpanan kitab itu

sebagai kamar pengantin dan pancing majikan patung emas untuk

masuk kedalam jebakan!”.

“Bilamana bukannnya Gak-hu menemukan jejaknya aecara

mondadak, siauw-say entah harus berbuat bagaimana baiknya?”

ujar Ti Then dengan terharu.

Sehabis berkata dia melelehkan air mata kegirangan.

“Lalu sekarang dia sudah terkena alat rahasia apa?” tanya Yuan

Kuang Thaysu dari Siauw-Lim pay secara tiba2.

“Terkurung didalam kurungan besi”.

“Sebenarnya siapakah dia orang??” tanya Leng Cing Ceng-jien

pula.

“Apa tujuannya menggunakan Ti siauw-sicu unluk menyelinap

kedalam Benteng ??”‘,

Wie Ci To segera tertawa dingin.

“Dia memerintahkan Ti Then untuk menyelinap masuk kedalam

Benteng sebetulnya hendak mencuri buku keterangan mengenai alat

rahasia loteng penyimpan kitab itu setelah itu masuk kedalam loteng

penyimpan itu untuk membunuh seseorang yang menerima

lindungan dari aku orang she-Wie”.

“Aaakh .. siapakah orang itu?” tanya Leng Cing Ceng-jien dengan

kaget.

“Aku orang she Wie sudah atur dia orang untuk bersembunyi

didalam kamar gudang kayu, mari silahkan saudara2 sekalian

mengikuti aku orang she-Wie untuk menemui dirinya !!”.

Sehabis berkata dia lantas berjalan keluar dari kamar.

Ti Then, Yuan Kuang Thaysu, Leng Cing Ceng-jien, Kiem Cong

Loojien, Mong Yong Sian Kauw serta ber-puluh2 orang pendekar

pedang merah lantas ber- sama2 mengikuti dari belakangnya.

Saat ini para tetamu yang datang untuk memberi selamat pun

sudah pada mengetahui sudah terjadi urusan, oleh karena itu

sewaktu tiba di depan gudang kayu tersebut orang yang mengikuti

datang ada tiga ratus banyaknya.

Wie Ci To mempersilahkan para tetamu untuk menunggu didepan

pintu sedang dia sendiri berjalan kedalam, sebentar saja dia sudah

berjalan keluar kembali dengan membawa seorang manusia “Aneh”!

Sewaktu semua hadirin melihat munculnya orang aneh itu tidak

terasa pada bergidik semuanya, bulu kuduk pada berdiri.

Sedikitpun tidak salah, wajah dan bentuk orang aneh itu amat

menakutkan.

Jikalau ditinjau dari rambutnya yang sudah memutih kira2

usianya ada enam puluh tahunan, wajahnya amat jelek sehingga

sukar untuk dilukiskan.

Kulitnya kering dan hangus seperti bekas terbakar tempo dahulu

seluruh wajahnya berwarna darah dengan mata, hidung serta mulut

yang bengkok tidak keruan, sungguh menyeramkan.

Disamping itu sepasang tangannya sudah lenyap hingga

pundaknya, ternyata diapun merupakan seorang cacad.

Melihat kejadian itu Ti Then segera merasakan hidungnya jadi

kecut, hatinya benar2 terharu.

“Orang yang sudah cacad seperti begini pun majikan patung

emas masih mau membunuh dirinya, orang itu sungguh amat

kejam!”.

Dengan dibawah bimbingan Wie Ci To orang aneh itu berdiri

didepan pintu gudang kayu.

“Saudara2 sekalian coba lihatlah” ujarnya dengan keras. “Inilah

orang yang hendak dibunuh oleh majikan patung emas!”

Semua orang dengan hati terperanjat berdiri ter-mangu2, tak

sepatah katapun bisa diucapkan keluar.

Wie Ci To kembali menuding keatas wajah orang aneh itu,

teriaknya lagi dengan keras, “Pada sepuluh tahun yang lalu dia

dibakar oleh majikan patung emas, bahkan memotong lidahnya dan

sepasang tangannya, Sang Kwan-heng coba kau bukalah mulutmu

agar bisa dilihat orang!”.

Untung telinga orang aneh itu masih baik, mendengar perkataan

tersebut dia lantas membuka mulutnya lebar2.

Sedikitpun tidak salah didalam mulutnya memang benar2 tidak

terdapat lidah lagi!

Yuan Kuang Thaysu yang tidak tega melihat kekejaman itu lantas

memejamkan mata memuji keagungan Buddha.

Sedangkan Kiem Cong Loojien dengan suara yang berat dan hati

khe-ki berteriak.

“Sebenarnya ada dendam sakit hati apakah antara dirinya

dengan majikan patung emas sehingga dia turun tangan begitu

kejam terhadap dirinya ?”

“Hee . . . heee . . . sedikitpun tidak ada dendam apa-apa, bahkan

mereka berdua adalah suheng-te. Majikan patung emas adalah

suheng sedang dia adalah sute-nya!”

“Kalau memangnya tak ada dendam sakit hati bahkan saudara

seperguruan pula, kenapa majikan patung emas hendak menyiksa

dirinya?” tanya Kiem Cong Loojien keheranan.

“Semuanya hanya dikarenakan sejilid kitab pusaka ilmu silat!”

jawab Wie Ci To dengan wajah adem, “Orang ini she Sang-kwan,

bernama Jien. Pada tiga puluh tahun yang lalu dengan majikan

patung emas bersama-sama belajar ilmu silat dengan seorang

jagoan Bu-lim, akhirnya setelah tamat belajar dan turun gunung,

dengan amat cepatnya Majikan patung emas berhasil memperoleh

nama didalam Bu-lim, sebaliknya Sang-kwan Jien karena berhati

tawar dan tidak suka mencari nama maka tidak lama setelah turun

gunung lantas berpesiar ke daerah Si Ih.

“Berturut2 dia berdiam selama delapan belas tahun lamanya

didaerah Si Ih, pada saat dia hendak kembali kedaerah Tionggoan

itulah dari seorang hweesio Si Ih dia memperoleb sejiiid kiiab

pusaka ilmu silat. Sekembalinya kedaerah Tionggoan dia lantas

membawa kitab puiaka itu pergi mencari suhengnya Majikan patung

emas, untuk diajak belajar bersama-sama.

“Siapa tahu Majikan patung emas sudah timbul hati serakah,

diam2 dia memasukkan racun kedalam arak yang diminum oleh

Sang Kwan Jien, memotong pula lidah serta sepasang tangannya

membuat dia jadi seorang cacad yang tak dapat menulis mau pun

berkata.

“Akhirnya dia mengurung dirinya dalam sebuah gua, tetapi tak

lama kemudian dia berhasil melarikan diri dan datang ketempat aku

orang she Wie. Dengan menggunakan kakinya dia menulis seluruh

kejadiannya dan minta bantuan aku orang she Wie untuk membalas

dendam ini. aku orang she Wie yang merasa bukanlah tandingan

dari suhengnya terpaksa melindungi dirinya didalam loteng

penyimpan kitab dan berharap dengan menggunakan alat rahasia

yang ada disana untuk menangkap suheng-nya, karena cuma

dengan loteng penyimpan kitab ini saja bisa menawan dirinya,

setelah menanti selama puluhan tahun lamanya akhirnya aku orang

she Wie berhasil pula mendapatkan kesempatan ini.”

Air muka Sang-kwan Jien sedikit pun tidak berubah, dia tetap

berdiri tak bergerak di tempat semula cuma saja dari sepasang

matanya menetes keluar titik-titik air mata.

Terdengar Leng Cing Cengjien menghela napas panjang.

“Heee…Sang-kwan sicu ini sudah mau berlatih bersama-sama

dengan dirinya kenapa dia masih merasa tidak puas?” ujarnya.

“Karena pada waktu itu dia sudah merasa dirinya adalah seorang

jagoan yang tak terkalahkan, dia sudah menerima penghormatan

dari para jago Bu-lim, dia tidak ingin membagikan kecemerlangan ini

kepada orang lain…karena itu dia melakukan pekerjaan ini!”

Dia berhenti sebentar untuk kemudian sambungnya lagi.

“Bilamana diantara saudara=saudara sekalian ada yang merasa

ragu-raagu terhadap perkataan dari aku orang she Wie maka nanti

bilamana bertemu dengan Majikan Patung emas boleh

menanyakannya sendiri, asalkan saudara-saudara sekalian dapat

melihat wajahnya yang sesungguhnya maka waktu itulah kalian

bakal mengetahui kalau perkataan dari aku orang she Wie

sedikitpun tidak salah”

“Siapakah dia orang?”

“Bilamana Sian-kauw melihat orang itu maka waktu itulah bakal

mengetahui siapakah dia orang, sekaraog mari saudara2 ikuti aku

menuju ke lapangan latihan silat, aku orang she Wie akan suruh

orang membawa dirinya datang untuk bertemu muka dengan

saudara2 sekalian!”

Demikianlah semua orang lantas bergerak menuju ke lapangan

latihan silat dengan bersama-sama.

Sedangkan Wie Ci To dengan membawa Shia Pek Tha serta Kie

Tong Hong berjalan masuk kedalam Loteng Penyimpan kitab itu,

Ti Then yang melihat di sekeliling tempat itu tidak kelihatan

munculnya Wie Lian In dalam hati merasa amat tidak tenang.

Diam2 dia menghela napas panjang dan serunya :

“Heei . . .dia tentu sedang menangis didalam kamarnya, dia

merasa gemas karena aku sudah menipu dirinya . . .

Dia kepingin sekali pergi menemui dirinya dan minta maaf

kepadanya, tetapi teringat kalau sebentar lagi dia bakal menemui

majikan patung emas terpaksa pikiran ini untuk sementara waktu

dihapuskan dari hatinya, dengan mengikuii orang lain ber-sama2

berjalan menuju lapangan latihan silat.

Sesampainya di tengah lapangan latihan silat, tiba-tiba..

“Aaach . . Yuan Cong Piauw-tauw sudah kembali, Yuan Cong

Piauw-tauw sudah kembali !!”

Terdengar suara teriakan dengan riuh rendah.

Dengan cepat Ti Then menoleh kearah sana, sedikitpun tidak

salah, terlihatlah si tangan sakti Yuan Siauw Ko dengan dibimbing

oleh dua orang pendekar pedang merah berjalan masuk kedalam

benteng, hatinya hadi amat girang.

Dengan cepat dia berlari mendekat sambil teriaknya dengan amat

gembira:

“Yuan Loocianpwee, kau sudah kembali!”

Yuan Siauw Ko mengangguk, tetapi sewaktu dilihatnya ditengah

lapangan latihan silat sudah berkumpul beratus-ratus orang dia jadi

rada terkejut.

“Orang2 itu lagi berbuat apa ?? apakah majikan patung emas

sudah kena ditawan?” tanyanya.

“Sudah …. sudah berhasil ditawan !” sahut Ti Then sambi!

Tersenyum.

“Dia sudah menggerakkan alat rahasia yang dipasang didalam

lorong rahasia dibawah loteng penyimpan kitab, saat ini Wie Poocu

sedang masuk kedalam loteng penyimpan kitab untuk membawanya

keluar, orang2 ini lagi menanti untuk melihat wajahnya”.

“Apa sudah tahu siapakah dia orang?” tanya Yuan Siamv Ko

dengan girang pula.

“Masih belum tahu, Wie Poocu jual mahal, katanya setelah

melihat wajah aslinya tentu bakal ada orang yang tahu dengan

sendirinya.”

Saat ini para tamu yang kenal dengan Yuan Siauw Ko sudah pada

berdatangan untuk menyapa. Yuan Siauw Ko pun lantas menjura

membalas hormatnya.

Kepada Ti Then ujarnya lagi:

“Wie Poocu apakah sudah menjelaskan kisahnya kisahnya malam

itu menguntit Loo-cia?”

“Benar!” Sahut Ti Then mengangguk, “Boanpwee sama sekali

tidak menyangka bisa berakhir dengan demikian . . .”

“Bukankah berakhir secara begini mendapatkan kebaikan buat

dirimu ?”.

“Sudah tentu!!”.

“Masih ada Phoa Loo Tek apakah sudah ditangkap sekalian ?”.

“Benar! Loocianpwee tentu tidak menyangka siapakah dia orang

!!”.

“Siapa?”

“Hong Liuw Kiam Khek, Ih Peng Siauw!”

“Aaah, bagaimana bisa dia orang?” tanya Yuan Siauw Ko

melengak.

“Kiranya dia merampok barang kawalanku tempo hari karena

mendapat petunjuk dari Majikan patung emas, sedang tujuan

mereka guru bermurid merampok kawalan itu pun hanya bertujuan

untuk memancing keinginan boanpwee untuk mencari guru belajar

silat, sstelah dengan menggunakan cara itu pula memaksa

boanpwee untuk menjadi patung emasnya dan mengerjakan

rencananya yang sudah disusun.”

“Kalau begitu kesemuanya ini hanya merupakan satu siasat yang

licik saja?” tanya Yuan Siauw Ko terperanjat.

“Sedikit pun tidak salah!”

“Apakah Ih Peng Siauw mengakui dimana barang2 pusaka itu

disimpan olehnya?”

“Benar! dia bilang barang itu tetap seperti sedia kala dan

disimpan didalam sebuah gudang uang didalam kota Go bie, lain kali

biarlah aku pargi kekota untuk megambilnya kembali.”

Baru saja perkataan itu selesai diucapkan terdengarlah suara

yang hiruk pikuk bergema datang.

“Ach . . , sudah datang, sudah datang!” teriaknya,

Tidak salah, Shia Pek Tha serta Kie Tong Hong dengan

menggotong sebuah kurungan besi berjalan masuk kedalam

lapangan latihan silat.

Kurungan baja itu tidak besar cuma ada enam depa tingginya

dengan tiga depa tebalnya, saat ini di-sekeliling kurungan itu

tertutup dengan secarik kain sehingga tidak dapat melihat jelas

wajah majikan patung emas yang ada didalam kurungan,

Semua hadirin pada berkerumun maju untuk saling rebut melihat

wajahnya.

Dibawah perintah Wie Ci To, Shia Pek Tha serta Kie Tong Hong

segera meletakkan kurungan itu ketengah kalangan.

Semua orang yang melihat kurungan itu tertutup oleh secarik

kain sedang dari dalam kurungan tak terlihat adanya gerakan

apapun dari majikan patung emas pada merasa terkejut bercampur

ke-heran2an.

Kiem Cong Loojien dari Kun-lun Pay tidak dapat menahan ssbar

lagi, tak tertahan segera tanyanya.

“Apakah dia sudah mambunuh diri?”.

“Belum!” jawab Wie Ci To tertawa.

“Kalau belum, kenapa tidak meronta?”

“Kurungan besi itu amat kuat sekali, dia tahu sekalipun meronta

juga tak berguna maka terpaksa dia harus berbaring didalam

kurungan dengan tenang !”.

Berbicara sampai disini dia lantas menoleh ke arah Shia Pek Tha

dan perintahnya:

“Pek Tha, coba buka kain penutup itu!”

Dengan amat hormatnya Shia Pek Tha menyahut dan menarik

kain penutup tersebut.

Dengan begitu maka Loo-cia (majikan patung emas) itu dapat

dilihat keseluruhan tubuhnya oleh semua orang.

Keadaannya amat mengenaskan sekali sehingga mirip dengan

seekor tikus, tetapi buas pula seperti seekor binatang, wajahnya

menyengir kejam sedang dari sepasang matanya memancarkan

senar kejam yang membuat orang bergidik.

Ti Then adalah orang yang paling mengetahui jelas kedahsyatan

ilmu silatnya, melihat seluruh wajahnya sudah diliputi oleh napsu

membunuh dan siap2 menerjang keluar dari kurungan hatinya

merasa bergidik.

Dengan cepat dia menggeserkan badannya mendekati Wie Ci To,

lalu tanyanya dengan suara yang amat lirih.

“Apakah kurungan itu benar2 sangat kuat?”,

“Sedikitpun tidak ada parsoalan!” sahut Wic Ci To mengangguk.

“Ada kemungkinan dia bisa membobol kurungan itu untuk

keluar?”

“Aaakh . . . tidak mungkin bisa terjadi”.

Waktu itu Leng Cing Ceng-jien yang berdir di dekat mereka

sudah membuka mulut,

“Wie Poocu tadi bilang pada wajahnya memakai topeng,

sekarang apakah kau bisa melepaskan topeng tersebut agar pinto

bisa melihat jelas wajahnya?”

“Sudah tentu boleh saja” sahut Wie Ci To sambil mengangguk,

“tetapi kepandaian silat orang iui amat lihay sekali, bilamana

kepandaian silatnya tidak dimusahkan terlebih dahulu siapapun

jangan harap bisa mendekati dirinya, biarlah sekarang aku orang

she-Wie mausnahkan dulu tenaga dalamnya”

Sambil berkata dia mengambil sebilah psdang dari seorang

jagoan pedang merah dan berjalan maju kedepan.

Mendadak Ti Than teringat kembali dengan kata2 dari majikan

patung emas yang mengatakan dia punya cara untuk memulihkan

kembali tenaga murni dari Yuan Siauw Ko, melihat Wie Ci To

berjaIan maju kedepan diapun lantas menyusul.

“Gak-hu tunggu sebentar!” serunya.

“Ada urusan aps ?” tanya Wie Ci To sambil menoleh.

Ti Then lantas menuding kearah Yuan Siauw Ko yang berdiri

diantra para jagoan lainnya.

“Yuan Loocianpwee sudah kembali, sedang kepandaian silainya

sudah dipunahkan oieh majikan patung etnas, tetapi dia bilang dia

orang punya cara untuk memulihkan kembali ilmu silatnya . . . “.

“Ehmm . . Loohu paham !”.

Dia maju tiga langkah kedepan dan berdiri didepan kurungan

besi tersebut, kepada majikan patung emas yang ada didalam

kurungan itu lantas teriaknya:

“Loo-heng!! perbuatanmu jauh lebih kejam dari perbuatan Cuo It

Sian, maka itu kau tidak bisa diampuni lagi, tetapi bilamana kau

suka menjelaskan cara untuk memulihkan kembali ilmu silat dari

Yuan Cong Piauw-tauw, Loohu bisa pergi memintakan keringanan

dari sute-mu agar kau bisa mati lebih tenang, bagaimana ?”.

“Hee . . . heee . . . kau bersiap sedia hendak menghukum loohu

dengan cara bagaimana ?” tanya majikan patung emas sambil

tcrtawa dingin.

“Menggunakan api membakar wajahmu lalu memotong lidah dan

sepasang tanganmu.’

Mendengar perkataan tersebut majikan patung amas segera

tertawa ter-bahak2.

“Haaa , . . . haaa . , . bagus . . . bagus sekali, inilah yang

dinamakan adil . . dahulu aku menyiksa dia dengan cara begitu dan

sekarang diapun hendak menggunakan cara yang sama untuk

menyiksa aku . . haaa . . . bagus, bagus sekali !”

“Bilamana mengikuti keputusan dari sute-mu maka walaupun kau

bisa hidup didunia tetapi jauh lebih tersiksa dari pada mati, maka itu

menurut pendapat loohu lebih baik kau memilih mati sempurna saja

bagaimana ?”.

“Tidak ! haaa – – haaa …” Teriak majikan patung emas sambil

tertawa ter-bahak2 ” Loohu bilamana hidup malah tersiksa lebih

baik aku terima saja keputusanmu itu!”.

“Kalau begitu kau tidak ingin memulihkan kembali ilmu silat dari

Yuan Siauw Ko ?”.

“Tidak !”.

“Seorang lelaki sejati bisa membedakan dendam dan budi, dia

tidak ada sakit hati apa pun dengan dirimu buat apa kau menyiksa

dirinya?”.

“Heee . . . hee . . . Loohu tidak akan punya hati welas kasih,

terus terang aku beritahu padamu, loohu masih ingin membunuh

beberapa orang untuk main-main!”.

“Sudah besar sekali omonganmu, apakah kau punya tenaga

untuk membunuh orang?” ejek Wie Ci To sambil tertawa dingin.

“Sedikitpun tidak salah, kalau kau tidak percaya lihatlah sendiri!”.

Berbicara sampai disini mendadak dia dongakkan kepalanya dan

memandang ke arah Ti Then dengan buas.

“Bangsat cilik, kau kemarilah!” bentaknya.

Ti Then segera merasakan seluruh bulu kuduknya pada berdiri,

dengan paksakan diri dia berjalan maju juga.

“Kau ada perkataan apa lagi?”.

“Aku mau tanya padamu, sewaktu kau menyanggupi untuk

menjadi patung emas ku apa yang pernah kau katakan?” tanya

majikan patung emas dengan amat gusar.

“Aku bilang setelah menyanggupi perknataanmu tidak akau

menyesal kembali “.

“Dan akhirnya ?” tanya Majikan patung emas sambil tertawa

dingin.

“Akhirnya aku selalu merasa menyesal, tetapi masih untung

perbuatanku tidak sampai melanggar janji kita”.

Sepasang mata Majikan patung emas melotot semakin bulat lagi.

“Kau tidak melanggar janji ?” tanyanya sepatah demi sepatah.

“Bonar, tidak !”.

Agaknya saking bencinya majikan patung emas kepingin menelan

diri Ti Then didalam satu kali terkaman.

“Lalu siapa yang sudah mengkhianati diriku ?” bentaknya dengan

keras.

“Aku sama sekali tidak mengkhianati dirimu, tertawannya dirimu

adalah siasat yang diatur oleh Wie Poocu sendiri, aku sama sekali

tidak tahu menahu”.

“Omong kosong !” bentak majikan patung emas dengan gusar.

Wie Ci To tertawa dingin.

“Saat ini walaupun saudara mempunyai sayap juga jangan harap

bisa meloloskan diri dari sini, buat apa kami berbohong?? dia benar2

tidak mengkhianati dirimu, rahasiamu berhasil loohu bongkar

sendiri!.”

Sudah tentu majikan patung emas tak mau percaya akan

perkataannya itu. Dia segera mendengus dengan amat dinginnya.

“Ooooh begitu?”

“Tidak salah, ditengah malam buta tempo hari karena Loohu

tidak bisa tidur maka sudah naik keatas loteng penyimpan kitab,

waktu itu secara tidak sengaja aku sudah menemukan jejakmu lalu

menguntit sampai diluar gua Loei Tong Peng, karenanya rahasiamu

bisa aku ketahui semuanya.”

“Apa benar2 begitu?” tanya majikan patung emas sambil

memandanng tajam wajahnya.

“Sedikitpun tidak salah”

Dari air muka majikan patung emas segera tersungginglah

senyuman dingin yang mengerikan.

“Wie Ci To! kau paling auka ikut campur didalam urusan orang

lain,” ujarnju perlahan. “Kau ikut campur didalam urusan Cuo It Sian

masih boleh2 saja tetapi kau berani juga menyinggung kepala loohu

. . Hmm! Sungguh tidak tahu kekuatan sendiri!”

“Loohu memang rada tidak mengetahui kekuatan sendiri, tapi

loohu punya kesabaran untuk memancing ikan kakap, selama

sepuluh tahun tiada sedikitpun loohu lelah menanti kedatanganmu,

dan akhirnya cita-cita loohu itu terjadi pula.

“Hmm! apa kau kira bisa membereskan loohu ?”

“Benar! kecuali kau punya tenaga untuk menghancurkan

kurungan baja ini!” seru Wie Ci To sambil mengangguk.

“Baik, Loohu akan mendemontrasikan kepandaian silatku!”

Begitu perkataan terakhir diucapkan keluar mendadak

terdengarlah suara yang amat keras berkumandaug memenuhi

seluruh angkasa ….

“Braak . . . !” kurungan baja itu sudah terpental hancur sebagian

besar oleh tenaga pukulannya sehingga terbang sejauh lima depa.

Dia benar2 berhasil menghancurkan kurungan besi tersebut.

Dengan menggunakan sepasang telapak tangannya dia

menghancurkan tutup kurungan besi yang amat kuat, dari hal ini

saja sudah jelas menunjukkan kalau tenaga pukulannya benar2

sangat dahsyat sekali.

Tak ada seorangpun yang pernah menyangka kalau dia bisa

menghancurkan tutup kurungan besi yang begitu kuat, untuk

beberapa saat lamanya mereka dibuat termangu.

Tampaklah olehnya setelah sepasang telapak tangannya berhasil

menghancurkan penutup kurungan tersebut tubuhnya pun

mengikuti gerakan tersebut melayang keluar dan mololoskan diri

dari kurungan itu.

Melihat kejadian itu Wie Ci To jadi merasa sangat terperanjat.

“Saudara2 sekalian cepat mundur!” serunya.

Ditengah suara bentakannya yang amat keras tubuhnya pun

bagaikan kilat cepatnya menerjang ketergah udara dan kirim satu

tusukan dahsyat kwtubuh Majikan patung emas,

Majikan patung emas segera tertawa ter-bahak2, telapak kirinya

menekan kebawah balas menghantam tubuh pedang dari Wie Ci To

sehingga tusukan tarsebut berubah arah, bersamaan pula dua jari

tangannya dengan gaya “Jie Liong Ciang Cu” aiau dua naga berebui

mutiara menotok ke arah sepasang mata Wie Ci To.

Gerakannya amat cepat dan dahsyat laksana malaikat yang turun

dari kahyangan.

Wie Ci To yang tubuhnya masih ada di tengah udara tidak

sempat untuk berubah jurus, dia dipaksa untuk berjungkir balik dan

melayang turun kembali keatas tanah.

Bagaikan kilat cepatnya majikan patung emas segera menerjang

kearah gerombolan para hadirin, sepasang telapak tangannya

bagaikau kilat cepatnya sudah melancarkan cangkeraman

menghajar seorang pendekar pedang putih.

“Braaak ! Braaak ! Braaak !” dengan menimbulkan tiga kali suara

yang amat nyaring, tiga orang pandekar pedang putih sudah kena

dihajar sehingga otaknya berceceran memenuhi seluruh permukaan

tanah,

Melihat kejadian itu Wie Ci To jadi amat gusar, sepasang

matanya melotot lebar-lebar dengan disertai suara bentakan yang

amat keras dia manubruk kedepan melancarkan satu tusukan kilat.

Ti Then yang melihat Majikan patung emas berhasil meloloskan

diri dari kurungan tersebut dalam hati sudah mengerti kalau urusan

bakal celaka. dengan cepat dia merebut sebilah pedang dari seoraug

peadekar pedang merah dan siap2 menghadapi musuh,

Saat ini melihat dia orang didalam sekali kelebatan berhasil

membinasakan tiga orang pendekar pedang putih, dia semakin tidak

berani berayal lagi.

Tubuhnya dengan cepat menubruk kearah depan melancangi

tubuh Wie Ci To yang lagi menubruk kedepan pula, pedangnya

dengan cepat membabat pinggangnya.

Hanya didalam sekejap saja diantara mereka bertiga sudah

terjadi suatu pertempuran yang amat sengit.

Beberapa orang ciangbunjien serta be-ratus2 tetamu yang

melihat pertempuran diantara mereka bertiga sudah mencapai pada

ketegangannya pada dibuat merasa bergidik.

Kiranya Majikan patung emas yang baru menghadapi dua orang

musuh ternyata sudah menggunakan tangan kosong untuk melawan

serangan2 pedang dari Wie Ci To serta Ti Then, semakin bertempur

semakin bersemangat dan semakin lihay bahkan berhasil menduduki

diatas angin.

Semua orang tahu bahwa kepandaian silat dari Wie Ci To ada

sedikit dibawah kepandaian silat dari si kakek pemalas Kay Kong

Beng, dengan kedahsyatan ilmu silatnya ditambah lagi dengan si

pendekar baju hitam Ti Then ternyata tidak berhasil pula untuk

menahan serangan2 dari Majikan patung emas, hal ini benar2

merupakan satu peristiwa yang tak pernah diduga sebelumnya.

Kiem Cong Loo-jien yang melihat pertempuran itu dalam hati

benar2 merasakan hatinya bee-debar2, gumamnya:

“Loohu berlatih ilmu silat selama hidupku, ini hari boleh dikata

terbuka sepasang mataku . . . “

Yuan Kuang Thaysu yang melihat kejadian itupun lantas

mengerutkan alisnya rapat2 dan mulai bergeser mendekati diri Leng

Cing Ceng-jien.

“Jika ditinjau situasi saat ini agaknya Wie Poocu serta Ti kiauw

sicu tidak bakal kuat bertahan lebih lama lagi,” ujarnya dengan

suara perlahan. “Apakah ciangbunjien sekalian punya maksud untuk

maju memberi bantuan ?”

“Kepandaian silat majikan patung emas memang benar amat

dahsyat sekali dan seharusnya kita maju membantu” ujar Leng Cing

Cengjien agak ragu2. “Tetapi . . . walaupun kepandaian silat

majikan patung emas amat tinggi tatapi kita masing2 adalah

seorang ketua dari suatu partay besar bilamana kita pun harus

harus bekeja sama untuk mengerubuti seseorang bukankah hal ini

mendapatkan tertawaan dari orang lain . . .”

“Walau pun perkataan dari Ciang kauw sedikit tidak salah” Sahut

Yuan Kuang Thaysu perlahan. “Tetapi jikalau kiia tidat maju

membantu sehingga Wie Poo cu serta Ti siauw-sicu menemui

kekalahan bukankah keadaan malah semakin bertambah runyam ?”

Leng Cing Cengjien termenung beberapa saat lamanya, akhirnya

dia mengangguk.

“Baiklah.,mari kita maju”

Tetapi pada saat mereka hendak maju kedepan itulah mendadak

menang kalah sudah bisa ditentukan.

“Plak.” dengan disertai suara yang amat nyaring Wie Ci To sudah

terkena pukulan dengan amat tepat sehingga tubuhnya terjengkang

kebelakang.

Majikan patung emas segera tertawa terbahak-bahak, dengan

meminjam kesempatan ini dia mengejar lebih jauh sedang

serangannya pun semakin gencar menghajar perut Wie Ci To.

Ti Then membentak keras tidak perduli keselamatan dirinya

sendiri dia lantas maju dua langkah kedepan pedangnya dengan

disertai sambaran angin tajam membabat telapak kanan dari

majikan patung emas,

Serangannya kali ini sudah menggunakan seluruh tenaga yang

dimiiikinya sehingga gerakannya amat tajam dan ganas.

Majikan patung emas terdesak dan terpaksa dia menarik kembali

tangan kanannya, kakinya dengan cepat kirim satu tendangan kilat

menghajar pergelangan tangan kanan dari Ti Then.

“Bangsat cilik, Loohu jagal dirimu dulu!” makinya dengan gusar.

Sepasang tangan Ti Then kembali berputar dari gerakan

membabat berubah jadi gerakan menghadang menancam

pinggangnya.

Tetapi baru saja bergerak sebanyak tiga jurus dia sudah terpukul

pundaknya oleh serangan yang umat aneh dari majikan patung

emas sehingga terjungkir balik dan jatuh terlentang diatas tanah.

Wie Ci To yang melihat akan hal ini segera meloncat bangun dari

atas tanah, pedangnya dengan gaya ‘Coan Sin Si Ing’ atau putar

badan memanah elang menusuk jalan darah “Thay Yang Hiat” pada

pelipis kiri majikan patung emas,

Waktu itu majikan patung emas sedang mengangkat telapak

tangannya untuk membereskan nyawa Ti Then, kini melihat

datangnya serangan pedang yang amat ganas terpaksa dia

bubarkan serangan semula untuk meuolong diri, kakinya bergeser

badannya berputar menghindarkan diri dari tusukan tersebut,

bersamaan pula kaki kanannya menyapu kedepan menghajar

sepasang kaki dari Wie Ci To.

Dengan mengambil kesempatan itulah Ti Then cepat2 meloncat

bangun lalu kirim satu tusukan.

Tua muda dua orang dengan bekerja sama amat erat ber-sama2

menerjang diri majikan patung emas.

Semula mereka masih bisa bertahan tetapi lama kelamaan

keadaan mulai barubah setelah dengan susah payah mereka

menerima sepuluh jurus akhirnya mereka berdua cuma bisa

menangkis saja tanpa dapat menyerang barang sejuruspun.

Yuan Kuang Thaysu serta Leng Cing Ceng-jien tidak berani

berayal lagi mereka segera kirim kerdipan mata lalu ber-sama2

menubruk kedepan.

Yang satu dengan menggunakan senjata toya sedang yang lain

menggunakan senjata Hud-tim dari kiri serta kanan menggencet

pihak musuh.

Wajah majikan patung emas segera berubali amat dahsyat, dia

dongakkan kepalanya tertawa ter-habak2,

“Bagus . , bagus sekali!” teriaknya: “haaa … haa . . . ayoh maju

beberapa orang lagi, dari pada banyak buang waktu ayoh berbareng

saja pada maju semua!”

Sekali lagi suatu pertempuran yang amat sengit kembali

berlangsung!

Dengan terjunnya Yuan Kuang Thaysu serta Leng Cing Cin-jien

maka situasi pertempuranpun lantas berubah seimbang, untuk

beberapa saat lamanya mereka bertempur semakin sengit.

Tampaklah tubuh mereka berlima bagaikan kilat cepatnya saling

menyambar. angin pukulan menyambar tiada hentinya diselingi

babatan hawa pedang yang menggigilkan serta sambaran toya serta

hud-tim yang setiap saat mengancam jiwa . . .

Enam puluh jurus berlalu dengan amat cepatnya tetapi keadaan

masih seimbang,

Kiem Cong Loojien yang melihat kejadian itu segera garuk2

kepalanya, mendadak dia bergeser kesisi Mong Yong Sian Kauw itu

Ciangbunjien dari Tiang Pek Pay dan ujarnya sambil tertawa:

“Mong Yong ciangbunjien, aku lihat kita pun harus segera maju!”

“Aku rasa tunggu sebentar lagi” jawab Mong Yong Sian Kauw

tawar.

“Apa kau kira mereka berempat bisa mempcroleh kemenangan?”

“Sedikit-dikitnya tidak sampai dikalahkan”

“Aku lihat tidak bisa jadi….” Seru Kiem Cong Loojien sambil

gelengkan kepalanya.

“Lebih baik kita maju sekalian untuk membantu mereka.”

Agaknya Mong Yong Sian Kauw merasa keberatan atas usul

tersebut.

“Bilamana kitapun ikut maju” ujarnya, “Hal ini berarti bahwa dari

Benteng Pek Kiam Poo sudah bekerja sama dengan Siauw Lim, Butong,

Kun-lun serta Tiang-Pek lima partay besar untuk mengerubuti

seseorang bilamana berita ini sampai tersiar dalam Bu-lim bukankah

rada tidak enak?”

“Haa..haa..Siauw-Lim serta Bu-tong merupakan gunung Thay-san

dari Bu-lim, mereka berdua pun tidak takut ditertawakan bagaimana

kita harus takut?”

Mong Yong Sian Kauw termenung tidak menjawab.

“Eeeii aku mau tanya kepadamu, besok pagi kau kepingin minum

arak kegirangan tidak?” desak Kiem Cong Loojien lagi.

“Sudah . . . sudahlah, mari kita pun maju” seru Mong Yong Sian

Kauw kemudian sambil tertawa.

Demikianlah mereka berdua pun segera menerjang pula kedepan

untuk mengerubut diri majikan patung emas.

Dengan demikian keadaan dari majikan patun& emas semakin

teedessk lagi, dia dibuat agak repot oleh kerubutan ini.

Walaupun dia crang memiliki kepandaian silat yang amat tinggi

tetapi seorang manusia tidak bakal berhasil menangkan kerubutan

enam pasang tangan, apalagi keenam orang itu pun merupakan

jago2 nomor wahid didalam Bu-lim pada saat ini dan memiliki

kepandaian silat yang amat tinggi sudah tentu dia rada kedesak.

Wie Ci To yang melihat keempat orang ciangbunjien itu turun

tangao dengan tanpa belas kasihan dan setiap serangannya tentu

mengancam tempat yang berbahaya, dengan gugup lantas serunya

: “Harap saudara2 sekalian suka turun tangan lebih ringan, jangan

sampai membinasakan dirinya,”

Keempat orang ciangbunjien sendiri pun tahu kalau ilmu silat dari

Yuan Siauw Ko belum pulih dan tak dapat membinasakan dirinya

karena itu serangannya mulai mengendor,

Mendadak Majikan Patung Emas melayang setinggi empat kaki

jauhnya dan meloloskan diri dari kurungan enam orang untuk

kemudian menerjang kearah sebelah luar.

Tujuannya bukan lain adalah gerombolan dimana para tamu lagi

berdiri.

Wie Ci To yang melihat dia bermaksud hendak bunuh orang

secara sembarangan hatinya jadi merasa amat terkejut, dengan

diiringi suara bentakan yang keras tubuhnya segera menubruk

kedepan.

Ti Then pun bersamaan waktunya mengejar dari bslakang, pertama2

dialah yang tiba terlebih dahulu dibelakang tubuh majikan

patung emas.

Tetapi pada saat yang bersamaan pula majikan patung emas

berhasil menangkap sepasang kaki dari seorang tetamu, dia lantas

mengangkat tubuh tetamu itu dan diputar keatas kepala untuk

kemudian dihajarkan kearah Ti Then.

Dengan cepat Ti Then membungkkukan badannya menghindar

pedangnya dengan disertai desiran tajam menusuk kakinya

sehingga mengucurkan darah segar.

Majikan patung emas segera menjerit keras, sepasang tangannya

dipentangkan lebar2, tubuh dari tamu yang berhasil dicengkeram

sudah kena disobek sehingga robek jadi dua bagian, setelah itu

lengannya lalu diayunkan kedepan.

Separuh badan yang masih dibasahi oleh darah segar lalu

disambitkan kearah Wie Ci To sekalian yang mengejar datang

sedangkan separuh lainnya dengan mengerahkan tenaga murninya

yang dahsyat disambitkan ketubuh Ti Then.

Dengan cepat Ti Then meloncat empat depa kesamping, dengan

mengikuti getakan itu tubuhnya berputar satu lingkaran besar

pedangnya dengan menggunakan jurus Liuw Seng Kun Gwat” atau

bintang meluncur mengejar rembulan menusuk kedepan dengan

datar.

Tetapi pada saat itulah mendadak dia sudah kehilangan

bayangan dari Majikan patung emas.

“Aduuh . . .”

Suara teriakan ngeri berkumandang datang dari tiga kaki dari

tempat tersebut !

Kiranya Majikan patung emas sudah berhasil menerjang

ketengah gerombolan para tamu, dengan menggunakan ilmu Ing

Jiauw Kang dia menghajar wajah tetamu itu sehigga hancur dan

binasa seketika itu juga.

Melihat kejadian itu Wie Ci To benar2 amat gusar, sepasang

matanya ber-api2, dengan mencekal pedangnya kencang2 dia

mengejar kearah depan.

“Bunuh dia! bunuh dia! tidak usah sungkan2 lagi” teriaknya

dengan keras.

Ti Then, Yuan Kuang Thaysu, Leng Cing Ceng-jien, Kim Cong

Loo-jien serta Mong Yong Sian Kauw bagaikan sambaran kilat

cepatnya segera menerjang kedepan dan mengerubuti kembali diri

Majikan patung emas.

Walaupun untuk melawan serangan enam orang musuh sekaligus

Majikan patung emas menemui kesukaran tetapi untuk meloloskan

diri dari kurungan sangatlah mudah sekali, kembali dia melancarkan

serangan dahsyat mendesak mundur keenam orang itu kemudian

bagaikan seekor burung dengan cepatnya menerjang keluar dari

kurungan.

Kali ini Ti Then tidak memberi kesempatan buatnya untuk

melarikan diri lagi, tubuhnya dengan cepat ikut mengejar ke tengah

udara dan kirim satu tusukan.

“Turun!” bentaknya keras.

Tubuh majikan patung emas yang meloncat ke tengah udara

mendadak berhenti bergerak, tubuhnya membalik dan kirim satu

pukulan dahsyat ke depan.

“Coba kau rasakan pukulanku ini!” teriaknya sambil tertawa aneh.

Ti Then sama sekali tidak menyangka dia bisa menghentikan

tubuhnya di tengah udara untuk sesaat lamanya dia tak sempat

menarik tubuhnya kembali sehingga dengan amat tepatnya pukulan

tersebut bersarang didadanya,

” Braaak . . . !” dadanya kena dihantam sehingga tubuhnya

terjatuh kembali dari tengah udara.

Tetapi satu peristiwa yang diluar dugaan pun sudah terjadi pada

saat itu pula.

Sewaktu tubuh Ti Then terkena serangan itu hingga jatuh keatas

tanah kelihatannya dia tentu akan terluka parah atau mati, siapa

tahu pada saat itulah mendadak pedangnya diangkat, dengan jurus

“Gien Liong Jut Hay” atau naga perak keluar dari lautan mengirim

satu tusukan kedepan. Tusukan ini datangnya jauh berada di luar

dugaan dari majikan patung emas !

Dia mimpi pun tidak mengira kalau Ti Then mnsih bertenaga

untuk kirim satu tusukan kearahnya, tadi dia melancarkan serangan

kearah Ti Then dengan menggunakan seluruh tenaga, barang

siapakah yang terkena serangan itu maka seketika itu juga akan

binasa atau se-dikit2nya jatuh tidak sadarkan diri, karena itu dia

tidak pernah berpikir kalau Ti Then masih bisa melancarkan

serangan kearahnya.

Baru saja hatinya mcrasa kaget tusukan pedang yang amat cepat

dari Ti Then itu dengan amat tepatnya sudah menembus

lambungnya hingga tembus kebelakang.

“Aaaach . . .”

Seketika itu juga seluruh kalangan jadi gaduh dan ramai oleh

suara teriakan terkejut bercampur girang. Tubuh majikan patung

emas yang terjatuh dari atas tidak sampai rubuh ke atas tanah, dia

tetap berdiri tegak dengan gagahnya.

Dengan perlahan kepalanya ditundukkan melihat sekejap kearah

pedang yang menusuk lambungnya itu kemudian dengan wajah

penuh rasa terperanjat memandang diri Ti Then dengan melotot.

“Kau . . . kau tidak terluka?” gumamnya.

Terhadap diri Ti Then yang tidak terluka oleh pukulan dia merasa

amat terkejut, bahkan jaun lebih terkejut dari pada tusukan pedang

yang berhasil menembus lambungnya itu.

Ti Then sendiri pun sama sekali tidak menyangka kalau didalam

keadaan gugup pedangnya berhasil menembus lambungnya hingga

tembus kebelakang punggung, walaupun saat ini dia sudah jauh

dari kematian tetapi hatinya masih merasa takut, dengan ter-buru2

dia mundur satu langkah kebelakang.

“Selamanya aku tidak bermaksud untuk membinasakan dirimu,

tetapi perbuatanmu terlalu kejam . . .”

Air muka majikan patung emas berubah jadi amat keren,

bentaknya lagi:

“Cepat katakan, kenapa kau tidak terganggu oleh pukulan Loohu

tadi?”.

“Dapatkah kau beritahukan dulu kepadaku bagaimana caranya

untuk nemulihkan kembali ilmu silat dari Yuan Cong Piauw-tauw?”.

Dari atas wajah majikan patung emas segera tersungginglah rasa

kesakitan yang luar biasa, bibirnya bergerak dengan gemetar.

“Asalkan dia bisa mempelajari sim hoat dari tenaga dalamku

maka tiga bulan kemudian dia bisa pulih kembali seperti keadaan

semula” katanya.

“Tetapi. . heee-. . . heee . . . tahukah kau bilamana waktu ini aku

sudah tak ada waktu lagi untuk memberi pelajaran Sim-hoat

tersebut kepadanya!”.

“Lalu apakah Sang Koan Loocianpwee dia orang mengerti Simhoat

tersebut?”

Dengan perlahan majikan patung emas menundukkan kepalanya.

“Aaaa . . aku . . aku tidak tahu . , . kau boleh . . boleh taa . . tanya

sendiri . . . keee . . kepada . . . kepadanya . . “.

Tubuhnya mulai sempoyongan, mendadak dia angkat kepalanya

dan membentak keras :

“Cepat katakan, bagaimana kau tidak terluka oleh serangan dari

Loohu??”.

“Karena aku memakai pakaian luar tameng landak !”.

“Aaaach . . . darimana kau mendapatkan pakaian luar tameng

landak tersebut?” tanya majikan patung emas dengan terperanjat,

“Nyio Loo cung-cu dari perkampungan Thiat Kiam San Cung yang

hadiahkan kepadaku”.

“Bagus . . bangsat . . bangsat cilik . , nasibmu sungguh mujur!”

serunya sambil menundukkan kepalanya dengan perlahan.

Baru saja dia selesai berkata mendadak tubuhnya bergerak maju

kedepan, bagaikan kilat cepatnya dia menerjang kedepan tangan

kirinya mencengkeram dada Ti Then sedang telapak kanannya

dengan beratnya menghajar keningnya.

“Aduuuh . . . !”.

Semua orang yang melihat kejadian itu pada berteriak terkejut.

Tetapi pada saat itulah . . .

“Bruuk!” tubuh majikan patung emas sudah keburu dipukul dulu

hingga terpental sejauh tiga kaki dan jatuh terlentang diatas tanah.

Bersamaan waktunya pula serentetan darah segar muncrat keluar

dari lambungnya!

Kiranya pada saat Ti Then melancarkan serangan menggetarkan

tubuhnya kebelakang itulah tangannya yang lain sudah mencabut

keluar pedangnya yang tertancap pada lambungnya itu. Darah segar

memancur amat tinggi, semakin lama semakin rendah dan akhirnya

suasana menjadi amat tenang. Akhirnya majikan patung emas mati

juga.

Ti Then merasa amat terkejut bercampur girang, lama sekali dia

berdiri mematung disana. Suasana di seluruh kalanganpun jadi sunyi

senyap, lama sekali baru terlihatlah Wie Ci To beserta keempat

orang ciangbunjien berjalan mendekat. Sang Kwan Jien pun

dibawah bimbingan dua orang pendekar pedang merah berjalan

mendekati mayat dari majikan patung emas. Wajahnya masih tetap

dingin tak berperasan tetapi sinar matanya memancar keluar cahaya

kegirangan, disamping rasa sedih, girang bercampur pula rasa

kasihan.

Setelah berdiam diri beberapa saat lamanya akhirnya Wie Ci To

berjongkok dan tangannya mulai meraba leher majikan patung

emas . . , lama sekali dia meraba terakhir tampaklah dengan

perlahan dia melepaskan selapis topeng kulit dari dagunya, mulut . .

hidung . . . mata . . .

Mendadak terdengar keempat orang ciangbunjien itu pada

berteriak kaget. Para tetamu yang ada diempat penjuru pun tak

tertahan lagi pada berkerumun ke depan untuk melihat wajah yang

sesungguhnya dari majikan patung emas.

Sewaktu semua orang bisa melihat jelas wajah asli dari majikan

patung emas itulah tak ada seorangpun yang tidak menjerit kaget,

karena didalam hati mereka sama sekali tidak menyangka kalau

majikan patung emas sebenarnya adalah seorang jagoan yang

paling dihormati oleh orang2 Bu-lim selama puluhan tahun ini!

“Oooh Thian, bukankah dia adalah si “KAKEK PEMALAS KAY

KONG BENG”

“Huuus jangan sembarangan bicara, dia bukan si kakek pemalas

Kay Kong Beng, cuma wajahnya saja mirip dengan si kakek pemalas

Kay Kong Beng!”.

Dengan perlahan Wie Ci To bangkit berdiri, wajahnya amat

dingin sekali.

“Tidak!” serunya. “Dia benar2 adalah si KAKEK PEMALAS KAY

KONG BENG”.

Kenyataan ini seketika itu juga membuat semua orang berdiri termangu2

untuk beberapa saat lamanya. Ti Then yang berkenalan

paling lama dengan majikan patung emas, kini setelah mengetahui

dia ornng bukan lain adalah si kakek pemalas Kay Kong Beng dibuat

tertegun juga untuk beberapa saat lamanya.

Teringat kembali olehnya keadaan sewaktu dia naik kegunung

Kiem Teng san untuk mohon diterima sabagai muridnya, waktu itu

dia tetap duduk tak bergerak bahkan melihat pun tidak terhadap

perbuatannya itu.

Tidak disangka dibalik kesemuanya itu dia sudah mengambil

tindakan yang luar biasa . . . secara diam2 dia sudah menyamar

sebagai majikan patung emas dan memancing dirinya untuk pergi

ke gua Hu Lu Tong diatas gunung Loo Cun san . . .

Somakin berpikir dia merasa hatinya makin bergidik.

Saat itulah terdengar Yuan Kuang Thay-su dari Siauw-lim pay

sudah berkata.

“Omintohud . . omintohud . . ! Tidak disangka majikan patung

emas sebetulnya adalah samaran dari Kay Loo sicu !”.

“Kalau memangnya Wie sicu sudah tahu atas perbuatannya yang

mencelakai saudara perguruan kenapa tidak sejak dahulu siarkan

dosanya ini ?” sambung Leng Cing Cin-jien.

Dengan perlahan Wie Ci To meletakkan tangannya keatas

pundak Sang Kwan Jien setelah itu menghela napas panjang.

“Waktu itu orang yang mengetahui kalau Sang Kwan Jien adalah

sute dari Kay Kong Beng tidak banyak, apa lagi dia tidak bisa

berbicara mau pun menulis, wajah aslinya pun sudah dihancurkan,

bilamana aku orang she- Wie siarkan dosanya ini ada siapa yang

suka mempercayainya ? siapa yang suka percaya kalau dia adalah

sute dari Kay Kong Beng ?”.

“Soal ini memang kenyataan”. sahut Leng Cing Cin-jien

membenarkan.

“Bilamana bukannya ini hari Pinto melihai dengan mata-kepala

sendiri kalau majikan patung emas adalah hasil penyamaran dari

Kay Kong Beng, Pinto memang benar2 tidak akan percaya kalau dia

adalah seorang manusia yang begitu”,

“Maka itu sebelum berhasil menawan dirinya aku orang she-Wie

terpaksa harus menyimpan baik2 rahasia ini, bilamana aku ceritakan

hal ini dia malah bisa balik menuduh aku orang sengaja memfitnah

dirinya. Dia orang seharusnya dibeginikan seperti ini hari baru bisa

mengaku terus terang.”

“Aaah . . kiranya inipun termasuk sebab2 mengapa Wie Poocu

mendirikan loteng penyimpan kitab yang dilengkapi dengan alat2

rahasia” seru Kiem Cong Loojien sambil mengangguk. “Terus terang

saja aku katakan sebelum kejadian ini loohu selalu menganggap

kalau didalam loteng penyimpan buku itu sudah disimpan sebuah

benda pusaka yang berharga sekali !”

“Aku orang she Wie merasa hanya membiarkan dia datang

sendiri baru bisa semua orang percaya ” ujar Wie Ci To sambil

senyum. “maka sengaja aku dirikan sebuah loteng penyimpan kitab,

sengaja aku orang she Wie kirim berita pula kepadanya kalau Sang

Kwan Jien sebenarnya ada didalam Benteng aku orang she Wie,

setelah menunggu selama sepuluh tahun lamanya dia tidak datang2

juga, aku orang she Wie malah mengira dia sudah tidak mempunyai

niat.”

“Omitohud ! kejahatan akan memperoleh balasan. Kay Loo sicu

tidak tahu budi bahkan membalas kebaikan dengan kejahatan

sutenya, dia memang harus menerima ganjaran !” ujar Yuan Kuang

Thaysu dengan serius.

“Aku orang she Wie cuma merasa sayang, sebenarnya dia tidak

boleh melakukan pekerjaan seperti ini.”

Tiba2 terdengar Mong Yong Sian Kauw tertawa geli.

“Wie Poocu, menantumu hilang!” serunya.

Mendengar perkataan tersebut Wie Ci To jadi kaget, dengan

gugup dia menoleh dan memeriksa keadaan disekeliling tempat itu,

“Bocah ini kemana perginya ?” pikirnya di hati.

“Jangan cemas . . . jangan cemas !” Seru Mong Yong Sian Kauw

lagi sambil tertawa.

“Dia masih belum jauh meninggalkan pintu benteng.”

Semua orang dengan cepat menoleh ke arah luar, terlihatlah

pada saat itu Ti Then lagi berjalan meninggalkan pintu, agaknya dia

bermaksud meninggalkan tempat itu tanpa pamit.

Dengan cepat Wie Ci To mengejar dari belakangnya sambil

berseru :

“Eeei Ti Then, kau kembali.”

Mendengar teriakan Ti Then menghentikan langkahnya dan

tundukkan kepalanya. Dia benar2 ingin pergi meninggalkan tempat,

karena dia merasa walaupun hatinya merasa cinta terhadap Wie

Lian In tapi tidak bakal bisa menjelaskan urusan ini hingga benar2

terang karena itu jauh lebih baik dia cepat2 meninggalkan Benteng

Pek Kiam Poo. Tetapi maksud hatinya itu ternyata sudah diketahui

oleh seseorang . . . si sekuntum bunga bwee Mong Yong Sian Kauw,

Dengan cepatnya Wie Ci To mengejar sampai dibelakang

tubuhnya.

“Ti Then, kau hendak kemana??” tanyanya dengan terharu.

“Siauw-say sudah tidak punya muka untuk tetap tinggal di

Benteng lebih lama maka … “.

“Omong kosong!!” potong Wie Ci To dengan cepat.

“Bagaimanakah sifatmu loohu sudah mengetahuinya amat jelas,

Loohu sama sekali tidak marah kepadamu dan kau pun tidak punya

alasan untuk meninggalkan Benteng !”.

Ti Then cuma menggerakkan bibirnya tanpa mengucapkan

sepatah katapun.

“Sifatmu Loohu mengerti amat jelas” ujar Wie Ci To lagi. “Dan

kini kau sudah membinasakan dirinya, hal ini membuktikan kalau

pikiranmu adalah jujur kau sudah merasa menyesal terhadap

perbuatan tersebut, Loohu percaya tak seorang pun yang bakal

mengatakan bahwa perbuatanmu itu salah !!”.

Saking terharunya air mata mulai mengucur keluar membasahi

seluruh wajahnya, dia benar2 merasa berterima kasih sekali atas

kebaikan hati Wie Ci To.

“Perhatian dari Gak-hu yang ber-lebih2an ini membuat siauw-say

merasa amat berterima kasih, cuma ….”

“Kau maksudkan Lian In ?” seru Wie Ci To sambil tarsenyum,

“Terus terang Loohu beritahu padamu, dia sama sekali tidak

menaruh rasa dendam kepadamu, dia sejak semula sudah tahu

kalau kau benar2 sudah menyenangi dirinya, sampai kini dia tidak

munculkan dirinya hal ini disebabkan oleh karena besok pagi dia

bakal menikah, seharusnya kau tidak boleh memaksa seorang nona

yang hendak menikah untuk munculkan diri dihadapan umum bukan ?”.

Mendengar perkataan tersebut Ti Then segera tertawa . ..

tertawanya kali ini amat luwes dan menarik . . .

“Cepat . . . cepat masuk kedalam temui dirinya” seru Wie Ci To

kemudian sambil ulapkan tangannya berulang kali.

“Dia lagi menanti kedatanganmu kedalam !”.

Ti Then mengangguk dan lari masuk ke dalam Benteng dengan terburu2.

Di belakangnya terdengar olehnya suara teriakan serta gelak

yang amat ramai sekali . .

TAMAT

~Semoga Postingannya Bermanfaat. Silahkan meninggalkan komentar walaupun hanya sepatah kata~